BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas beberapa aspek yang terkait dalam penelitian ini, yaitu: 1. Reumatoid Arthritis
1.1 Pengertian Reumatoid Arthritis Daud (2004) menyatakan bahwa Reumatoid Arthritis (RA) merupakan penyakit autoimun menyebabkan inflamasi kronik yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang mengenai jaringan persendian ataupun organ tubuh lainnya.
Sebagian
besar
penderita
menunjukkan
gejala
penyakit
kronik yang hilang timbul, jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi progresif. Penyakit autoimun terjadi jika sis
tem
imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Brunner & Suddarth (2001) menyatakan RA penyakit yang disebabkan oleh reaksi autoimun yang terjadi di jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi sehingga kolagen terpecah dan terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Pada pasien RA yang kronik dapat terjadi tanpa ada gejala klinis tapi sendi terus mengalami kerusakan hingga sendi tidak berfungsi lagi (Shiel, 1999). Rematoid Artritis (RA) adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat progresif, mengenai jaringan lunak dan cenderung untuk menjadi kronis yang menyebabkan terlibatnya sendi pada penderita-penderita penyakit RA ini pada tahap berikutnya setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progresivitasnya (Adnan, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Waluyo (1993 dalam et Al nasution, 2007) penyakit RA perasaan nyeri dan kaku dibagian sendi. Pada umumnya RA mempunyai kelainan sendi yakni: RA yang menyerang sendi dan otot, menyerang sendi, otot dan alat-alat dalam tubuh lainnya, bersifat sistemik yang menghasilkan nyeri sendi (artralgia) dan nyeri otot (mialgia), hanya jaringan ikat yang menyebar (difus) yang menyerang sistem sendi, otot, kulit dan alat-alat dalam. 1.2 Klasifikasi Reumatoid Arthritis Reumatoid Arthritis dapat dikelompokkan berdasarkan diagnostik sebagai berikut: kaku pagi hari, nyeri pada pergerakan atau nyeri tekan paling sedikit pada satu sendi, pembengkakan karena penebalan jaringan lunak atau cairan (bukan pembesaran tulang), pembengkakan paling sedikit satu sendi dan masa bebas gejala dari kedua sendi yang terkena tidak lebih dari tiga bulan, pembengkakan sendi yang simetris dan terkenanya sendi yang sama pada kedua sisi yang timbulnya bersamaan. Menurut Cecilia, Nasution & Isbagio tahun 2007 mengklasifikasikan RA sabagai berikut : 1) Reumatoid Klasik Harus terdapat 7 dari kriteria tersebut di atas. Kriteria 1 sampai 5 tanda dan gejala sendi harus berlangsung terus menerus paling sedikit selama 6 minggu. Jika ditemukan salah satu tanda dari daftar yang tidak termasuk RA, maka penderita tidak dapat digolongkan dalam kelompok ini. 2) Reumatoid Definit Harus terdapat 5 dari kriteria di atas. Kriteria 1 sampai 5 tanda dan gejala sendi harus berlangsung terus menerus paling sedikit 6 minggu. \
Universitas Sumatera Utara
3) Probable Reumatoid Arthritis Kemungkinan RA terdapat 3 dari kriteria di atas. Paling sedikit satu dari kriteria 1 sampai 5 tanda atau gejala sendi harus berlangsung terus menerus paling sedikit 6 minggu. 4) Possible Reumatoid Arthritis Diduga RA harus terdapat 2 dari kriteria diatas , dan lamanya gejala sendi paling sedikit 3 bulan. Termasuk possible Reumatoid Arthritis jika memiliki ciri sebagai berikut kaku pagi hari, nyeri tekan atau nyeri gerak dengan riwayat rekurensi atau menetap selama 3 minggu, riwayat atau didapati adanya pembengkakan sendi, nodul subkutan (diamati oleh pemeriksa) peningkatan Laju Endap Darah atau CReaktif Protein, Iritis. 5) Yang tidak termasuk RA Penyakit bukan RA Gejala dan Tanda Butterfly rash yang khas pada Konsentrasi LE sel tinggi Lupus Eritematosus Sistemik Periartritis Nodosa
Pada pemeriksaan terdapat nekrosis arterial, kelemahan atau bengkak yang menetap pada leher, tubuh, dan otot-otot faring (polimiositis atau dermatomiositis), skleroderma yang jelas (sklerosis sistemik) tidak hanya terbatas pada jari jari Demam Reumatik Disertai artritis migrasi dan adanya endokarditis Artritis Gout Bersifat akut, nyeri dan bengkak pada satu sendi atau lebih terutama bila membaik dengan kolkhisin, toil gout Artritis Infektif Disebabkan oleh bakteri atau virus disertai demam, menggigil dan artritis akut yang biasanya berpindah-pindah (pada stadium awal), pemeriksaan bakteriologik dan histologik ditemukan tuberkulosis pada satu sendi Sindrom Reiter Uretritis, konjungtivitis, dan artritis akut yang pada mulanya berpindah-pindah Shoulder hand syndrome Bahu dan tangan yang terkena unilateral, (reflex sympathetic dystrophy disertai pembengkakan difus pada tangan syndrome), yang diikuti dengan atrofi dan kontraktur
Universitas Sumatera Utara
Hypertrophir, osteoarthropathy clubbing jari atau hipertrofi periostitis sepanjang tulang-tulang panjang, terutama jika terdapat lesi intrapulmonal atau gangguan lain yang berhubungan Neuroarthropati Kondensasi dan destruksi tulang termasuk sendi dan didapati gangguan neurologik yang sesuai. Gambaran kulit khas eritema Sel yang khas dalam darah, sumsum tulang, nodosum, leukemia atau atau jaringan, agammaglobulinemia. limfoma. Gambaran histologik sarkoid Peningkatan plasma sel dalam sumsum tulang atau test Kveim positif, atau dengan protein Bence Jones dalam urine mieloma multiple
Sebagai pedoman umum, sampai sekarang masih dipakai kriteria dari ARA (American Reumatism Association) untuk menegakkan diagnosis RA yang seluruhnya ada 11 kriteria yakni adanya rasa kaku pada pagi hari (Morning stiffness), penderita merasa kaku dari mulai bangun tidur sampai sekurang-kurangnya 2 jam, pembengkakan jaringan lunak sendi (soft tissue swelling) yang berlangsung sampai 6 minggu, nyeri pada sendi yang terkena bila digerakkan (joint tenderness onmoving) sekurang-kurangnya didapati pada satu sendi, sekurang-kurangnya pada sebuah sendi yang lain, poliartritis yang simetris dan serentak (Symmetrical Polyarthritis Simultaneously). Serentak di sini diartikan jarak antara rasa sakit pada satu sendi disusul oleh sendi yang lain harus kurang dari 6 minggu, didapati adanya nodulus reumaticus subkutan, didapati adanya kelainan radiologik pada sendi yang terkena, sekurang-kurangnya dekalsifikasi, faktor uji rema positif, pengendapan mucin yang kurang pekat, didapati gambaran histologik yang khas dari sayatan benjolan rheuma (Rheumatoid nodule) (Gordon, 1997).
Universitas Sumatera Utara
1.3 Respon Penderita Reumatoid Arthritis Junaidi (2006) menyatakan bahwa Arthritis muncul perlahan dengan manifestasi umum peradangan berupa demam, rasa lemah, nyeri tubuh, lelah, anoreksia, penurunan berat badan, pembengkakan sendi. Sekitar 10% RA muncul secara akut sebagai poliarthritis, yang berkembang cepat dalam beberapa hari. Pada sepertiga pasien, gejala mula-mula pada satu sendi lalu pada banyak sendi. Umumnya penyakit memperlihatkan pola simetris. Sendi antara telapak tangan dan jari tangan serta pergelangan tangan biasanya merupakan sendi-sendi yang pertama kali terkena.Terjadi kekakuan paling parah pada pagi hari, yang berlangsung sekitar 1 jam dan mengenai sendi secara bilateral. Episode-episode peradangan diselingi oleh periode jeda/remisi. Rentang gerak menjadi berkurang, timbul deformitas sendi dan kontraksi otot dimana otot dan tendon yang berdekatan dengan persendian yang mengalami peradangan cenderung mengalami kekakuan dan memendek. Terbentuk benjolan (nodus) rematoid ekstrasinovium pada sekitar 20% individu pengidap RA. Nodus merupakan pembengkakan yang terdiri dari sel-sel darah putih dan sisa sel terdapat didaerah trauma atau peningkatan penekanan. Nodus biasanya terbentuk dijaringan bawah kulit diatas siku dan jaringan. 1.4 Penatalaksanaan
1.4.1 Penatalaksanaan Farmakologis Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS, coxib, analgetika opioid atau non opioid, dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat (Adnan, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Pengobatan dengan medikamentosa ini dibagi atas beberapa kelompok pula : 1.4.1.1
Pengobatan secara Simptomatik
Simple analgesik, misalnya : paracetamol, aminopyrin, acetophenethidin. Obat anti inflamasi non-steroid, misalnya : Indomethacin, phenylbutazon, ketoprofen, sodium diclofenac, indoprofen. Obat anti inflamasi golongan steroid, misalnya : prednison. Pada pengobatan secara simptomatik hanya bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, sedangkan progresivitas penyakitnya akan berjalan terus. Obat-obat simptomatik ini seringkali dipakai sampai berbulan-bulan sambil menunggu sampai obat remitif cukup tinggi kadar yang diperlukannya di dalam darah untuk memberikan efek pengobatan. Oleh sebab itu memilih obat yang aman dan menilai keadaan darah dan alat-alat badan yang lain secara laboratoris pada waktu-waktu tertentu amat penting guna melihat adanya efek samping sedini mungkin. Efek samping yang paling umum terjadi pada alat pencernaan, misalnya gastritis, nausea, muntah maupun diare ringan.
Pemakaian obat-obat simptomatik golongan steroid secara sistemik tidak dianjurkan karena dapat mengalami ketergantungan. Sedangkan pemakaiannya dalam jangka waktu yang lama akan lebih banyak merugikan penderita. Penderita dapat mengalami super-infeksi oleh kuman lain yang dapat membahayakan penderita yang memang sudah dalam keadaan lemah, lebih-lebih bila didapati infeksi dengan virus. Juga akan timbul moonface, tulang-tulang semakin menjadi porotik, iritasi terhadap lambung makin hebat. Bila pemakaian steroid dihentikan, obat analgetika jenis apapun tak akan mampu menghilangkan rasa sakit pada sendi-sendinya. Dalam keadaan-keadaan tertentu memang digunakan golongan steroid, misalnya untuk menyelamatkan hidup penderita RA yang berat atau pemakaian suntikan setempat (local/intra-articular) (Shiel, 1999).
Universitas Sumatera Utara
1.4.1.2 Pengobatan Secara Remitif Cara kerja pengobatan remitif ini menghambat faktor RA menjadi negatif, sehingga perjalan penyakitnya ikut dihambat dan dalam waktu yang lama penderita akan sembuh atau remisi penuh. Golongan obat remitif ini memang lebih bermanfaat bagi penderita, namun tergolong jenis obat yang lambat bekerjanya. Harus hati-hati karena jangka pemakaian yang lama sampai berbulan dan diperlukan monitoring dengan pemeriksaan laboratorium pada waktu-waktu tertentu.
Penicillamine adalah merupakan hasil pemecahan produk degradasi dari penicillin sebagai antibiotika. Dengan dipecahnya makroglobulin ini, maka faktor RA jadi negatif dan dengan demikian perjalanan penyakitnya ikut dihambat dan bila ini berlangsung dalam jangka waktu yang diperlukan, maka penderita akan sampai pada stadium remisi yang sempurna (complete remission). Penderita seolah-olah sembuh, tanpa keluhan, tanpa obat. Kadang-kadang masa remisi ini dapat berlangsung sampai lebih dari tiga tahun. Efek samping nya adalah urticaria, nausea, muntah, diare, proteinuria, hilangnya rasa kecap terutama terhadap manis dan asin, dan peninggian transaminasi
(Adnan,
2008).
Obat-obat
yang
mempengaruhi
perjalanan
penyakit immuno-suppressant (penekanan zat kekebalan), cytostatic agent (obat sitostatika)
alkylating
agent,
chelating
agent,
(penocillamine)
anti malaria (chloroquin), anthelmentica levamisol, chrysothera-py. 1.4.2 Pengobatan Nonfarmakologis 1.4.2.1
Pengobatan Fisioterapi
Fisioterapi perlu dalam menangani kasus RA, yakni mencegah kerusakan sendi, mencegah kehilangan fungsi sendi, mengurangi nyeri, dan mencapai remisi secepat mungkin. Sendi yang meradang harus dilatih secara lembut dan perlahan sehingga tidak terjadi kekakuan atau cedera. Setelah peradangan mereda, bisa dilakukan latihan yang lebih aktif secara rutin, tetapi jangan sampai berlebihan supaya tidak terlalu lelah (Junaidi,
Universitas Sumatera Utara
2006). Pada pengobatan fisioterapi pembidaian sering dilakukan untuk meregangkan sendi secara perlahan (Adnan, 2008). Penderita yang menjadi cacat karena RA dapat menggunakan alat bantu untuk dapat melaksanakan tugasnya sehari-hari, contoh sepatu ortopedik khusus atau sepatu atletik khusus. 1.4.2.2 Pengobatan Pembedahan Bila berbagai cara pengobatan sudah dilakukan namun belum berhasil juga dan alasan untuk tindakan operatif cukup kuat, maka dilakukanlah pembedahan. Berbagai jenis pembedahan
ini
pada
penderita
RA
umumnya
ortopedik misalnya: synovectomia, arthrodese, total hip replacement, memperbai-ki
bersifat deviasi
ulnar (Junaidi, 2006). 1.4.2.3 Pengobatan Psikoterapi Peranan ahli psikologi dan petugas sosial medis (social worker) diperlukan untuk menangani mental penderita agar tetap gigih dan sabar dalam pengobatan serta tidak merasa rendah diri sehingga penderita mampu melakukan tugas sehari-hari terutama untuk mengurus dirinya sendiri. Juga petugas sosial medis yang ikut membuat penilaian terhadap suasana lingkungan, penilaian kamampuan penderita (Adnan, 2008). 1.4.2.4 Panas atau dingin Pada prinsipnya cara kerja terapi panas pada RA meningkatkan aliran darah ke daerah sendi yang terserang sehingga proses inflamasi berkurang (Junaidi, 2006). Selain itu terapi panas akan melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan kelenturan jaringan sehingga mengurangi rasa nyeri serta memungkinkan hasil terapi didapat secara optimal (Kusumaastuti, 2008). Terapi panas dapat menggunakan lilin paraffin, microwave, ultrasound, atau air panas. Cara menggunakan air panas bisa dengan handuk hangat atau kantong panas yang ditempelkan pada sendi yang meradang atau dapat juga dengan mandi atau berendam dalam air yang panas. Terapi dingin bertujuan untuk membuat baal bagian yang terkena RA sehingga mengurangi nyeri, peradangan, serta kaku atau kejang otot. Cara terapi dingin
Universitas Sumatera Utara
adalah dengan menggunakan kantong dingin, atau minyak yang mendinginkan kulit dan sendi (Junaidi, 2006). 1.4.2.5 Terapi diet Prinsip dasar pola diet untuk mendapatkan berat badan yang ideal dengan menerapkan pola makan secukupnya sesuai dengan energi yang diperlukan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Pola makan pada pasien RA adalah sayur dengan porsi yang lebih banyak, buah, rendah lemak, dan kolesterol (Junaidi, 2006).
2. Konsep Nyeri 2.1 Pengertian Nyeri Nyeri merupakan pengalaman sensorik multidimensi yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan. Kelompok studi nyeri Perdossi (2000) menerjemahkan definisi nyeri yang dibuat IASP (International Association The Study of Pain) yang berbunyi “nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut”. Nyeri merupakan masalah kesehatan yang kompleks, dan merupakan salah satu alasan utama seseorang datang untuk mencari
pertolongan
medis. Nyeri
dapat
mengenai
semua orang,
tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial, dan pekerjaan (Crombie, et a l, 1999). Mc.Caffery (1979 dalam tamsuri, 2006) mendefinisikan nyeri sebagai
kea
daan yang mempengaruhi seseorang dan keberadaannya diketahui jika seseorang pernah mengalaminya. Nyeri akan membantu individu untuk tetap hidup dan melakukan kegiatan secara fungsional. Pada kasus-kasus gangguan sensasi nyeri (misalnya: neuropati akibat diabetes) maka dapat terjadi kerusakan jaringan yang hebat (Dieppe, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Kozier & Erb (1983 dalam Tamsuri, 2006) menegaskan bahwa nyeri merupakan suatu sensasi ketidaknyamanan akibat persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan fantasi luka. Nyeri merupakan masalah kesehatan yang kompleks, dan merupakan salah satu alasan utama seseorang datang untuk mencari pertolongan medis. Nyeri dapat mengenai semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial, dan pekerjaan (Crombie, et al. 1999). 2.2 Klasifikasi Nyeri 2.2.1 Klasifikasi berdasarkan awitan Berdasarkan waktu kejadiaan, nyeri dikelompokkan menjadi nyeri akut dan kronis. Nyeri akut terjadi dalam waktu yang singkat dari 1 detik sampai kurang dari 6 bulan. Nyeri akut dibagi atas: Pertama nyeri yang muncul, dimana sebelumnya tidak ada nyeri kronik. Kedua, nyeri yang datang tiba-tiba, sebelumnya klien sudah menderita nyeri kronik akan tetapi nyeri akut tidak berhubungan dengan nyeri kronik. Ketiga, nyeri akut yang merupakan eksaserbasi nyeri kronik yang selama ini diderita oleh pasien (Tamsuri, 2008). Nyeri akut umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut, atau pada pembedahan dengan awitan yang cepat dan tingkat keparahan yang bervariasi. Nyeri ini biasanya hilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan penyembuh. Nyeri akut merupakan gejala dimana intensitas nyeri berkorelasi dengan beratnya lesi atau stimulus. Cedera jaringan atau inflamasi akut akan menyebabkan pengeluaran berbagai mediator inflamasi, seperti:
bradikinin,
prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin, dan sebagainya yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung atau tidak langsung. Sebagian dari mediator inflamasi tersebut dapat langsung mengaktivasi nosiseptor dan sebagian lainnya menyebabkan sensitisasi nosiseptor yang menyebabkan hiperalgesia.
Universitas Sumatera Utara
Nyeri kronis timbul tidak teratur, intermiten atau bahkan persisten. Nyeri kronis dibagi 2 yakni nyeri kronik maligna dan nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak dapat diprediksi meskipun penyebabnya mudah ditentukan. Nyeri kronis dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi. Klien yang mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik. 2.2.2
Klasifikasi berdasarkan lokasi
Potter & Perry (2005) ada beberapa macam klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi yakni: LOKASI
KARAKTERISTIK
Nyeri Nyeri berlangsung sebentar superficial/kutaneus Nyeri akibat stimulasi dan terlokalisasi. Nyeri kulit biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam. Viseral dalam Nyeri akibat stimulasi Nyeri bersifat difus dan organ-organ internal dapat menyebar ke beberapa arah. Durasi bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama daripada nyeri superficial. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul atau unik tergantung dari organ yang terlibat. Nyeri alih Terjadi pada nyeri Nyeri terasa dibagian tubuh visceral karena banyak yang terpisah dari sumber organ-organ yang tidak nyeri dan dapat terasa punya reseptor nyeri. dengan berbagai karakteristik Jalan masuk neuron sensoris dan organ yang terkena kedalam segmen medulla spinalis sebagai neuron dari tempat asal nyeri dirasakan, persepsi nyeripada daerah yang tidak terkena. Radiasi
CONTOH-CONTOH PENYEBAB Jarum suntik, luka potong kecil atau terserasi.
Sensasi pukul, angina pectori, dan sensasi terbakar.
Infark miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri, dan bahu kiri, natu empedu, yang dapat mengalihkan nyeri ke selangkangan.
Universitas Sumatera Utara
Sensasi nyeri meluas dari Nyeri serasa akan menyebar tempat awal cedera ke ke bagian tubuh bawah atau sepanjang bagian tubuh. bagian tubuh yang lain. Nyeri dapat bersifat intermitten atau konstan.
2.2.3
Nyeri punggung bagian tubuh akibat diskus intravertebral yang rupture disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik.
Klasifikasi Berdasarkan Organ
Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya kerusakan (aktual atau potensial) organ. Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya pada neuralgia dan dapat terjadi secara akut maupun kronis. Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psikologis, umumnya terjadi ketika efek-efek psikogenik seperti cemas dan takut timbul pada klien.
2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri Berger (1992) nyeri dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
(1)
lingkungan, (2) umur, (3) kelelahan, (4) riwayat sebelumnya, (5) mekanisme pemecahan masalah, (6) kepercayaan/agama, (7) budaya, dan (8) orang-orang yang memberi dukungan. Lingkungan yang tidak nyaman akan memperkuat persepsi nyeri. Suasana ribut, panas, dan kotor akan membuat pasien merasa intensitas nyerinya lebih tinggi. Sebaliknya jika suasana tenang, nyaman, dan bersih akan membantu menciptakan perasaan rileks sehingga rasa nyeri dapat dikurangi. (Taylor, 1997). Umur juga berpengaruh terhadap persepsi seseorang terhadap nyeri. Anakanak dan orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat mengkomunikasikan apa yang dirasakannya, sehingga kemungkinan perawat
tidak dapat
melakukan pengukuran untuk
menurunkan nyeri secara adekuat (Berger, 1992).
Universitas Sumatera Utara
Kelelahan dapat membuat orang merasakan nyeri lebih kuat. Hal ini disebabkan karena kekurangan energi untuk melawan stimulus nyeri Lelah juga mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap nyeri. Semakin diterima rasa nyeri akan semakin berkurang begitu juga sebaliknya (Alexander & Hill, 1987). Riwayat sebelumnya berpengaruh tehadap persepsi seseorang tentang nyeri. Orang yang sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan lebih siap menerima perasaan nyeri, sehingga dia akan merasakan nyeri lebih ringan dari pengalaman pertamanya (Taylor, 1997). Mekanisme pemecahan masalah mempengaruhi perasaan nyeri seseorang. Banyak cara yang dilakukan seseorang untuk menurunkan rasa nyeri. Ini sangat membantu orang tersebut untuk menurunkan nyerinya, misal seseorang terbiasa membayangkan hal-hal yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatiannya terhadap nyeri (Berger, 1992). Kepercayaan/agama mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri. Dalam agama tertentu, kesabaran adalah hal yang paling berharga di mata Tuhan. Kadangkadang nyeri dianggap sebagai peringatan sebagai peringatan atas kesalahan yang telah dibuat sehingga orang tersebut merasa pasrah dalam menghadapi nyeri (Taylor, 1997). Budaya mempengaruhi bagaimana seseorang mengartikan nyeri, bagaimana mereka memperlihatkan nyeri serta keputusan yang mereka buat tentang nyeri yang dirasakannya. Masyarakat dalam suatu kebudayaan mungkin merasa bangga bila tidak merasakan nyeri karena mereka menganggap bahwa nyeri tersebut merupakan sesuatu yang dapat ditahan (Berger, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Adanya orang-orang yang memberi dukungan berpengaruh terhadap nyeri yang dirasakannya, misalnya seorang anak tidak akan berfokus pada nyeri yang dirasakannya jika ia berada didekat kedua orang tuanya (Taylor, 1997). 2.4 Mekanisme Nyeri Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksious yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui spinalis, batang otak, talamus, dan korteks cerebri. Pencegahan terhadap terjadinya kerusakan jaringan mengharuskan setiap individu untuk belajar mengenali stimulus-stimulus tertentu yang berbahaya dan harus dihindari. Apabila terjadi kerusakan jaringan, sistem nosiseptif akan bergeser fungsi dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak. Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitivitas akan meningkat, sehingga stimulus nonnoksious atau noksious ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Sebagai akibatnya, individu akan mencegah adanya kontak atau gerakan pada bagian yang cidera tersebut sampai perbaikan jaringan selesai. Hal ini akan meminimalisasi kerusakan jaringan lebih lanjut. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi. Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang adaptif
atau
Reumatoid Arthritis, penatalaksanaan yang aktif harus dilakukan. Respon inflamasi berlebihan atau kerusakan jaringan yang hebat tidak boleh dibiarkan. Tujuan terapi adalah menormalkan sensitivitas nyeri. Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan adanya stimulus noksious atau penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi sebagai respon kerusakan sistem saraf (nyeri neuropatik) atau sebagai akibat fungsi abnormal sistem saraf (nyeri fungsional). Berbagai mekanisme yang mendasari
Universitas Sumatera Utara
munculnya nyeri telah ditemukan, mekanisme tersebut adalah: nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Pada kasus nyeri nosiseptif terdapat proses transduksi, transmisi, dan persepsi. Kerusakan jaringan akan memacu pelepasan zat-zat kimiawi (mediator inflamasi) yang menimbulkan reaksi inflamasi yang diteruskan sebagai sinyal ke otak. Sinyal nyeri dalam bentuk impuls listrik akan dihantarkan oleh serabut saraf nosiseptor tidak bermielin (serabut C dan ) yang bersinaps dengan neuron di kornu dorsalis medulla spinalis. Sinyal kemudian diteruskan melalui traktus spinotalamikus di otak, dimana nyeri dipersepsi, dilokalisir, dan diintepretasikan (Brookoff, 2000). 2.5 Respon Klien Terhadap Nyeri Respon seseorang terhadap nyeri bervariasi, ada yang sakit dan ada yang tidak merasakan respon tingkah laku terhadap nyeri yang dialami (Priharjo, 1996).
2.5.1 Respon fisik Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan respon yang serupa dengan respon tubuh terhadap stres. Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta nyeri superficial, tubuh bereaksi membangkitkan General Adaptation Syndrome (Reaksi Fight or Flight), dengan merangsang sistem saraf simpatis sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral, akan mengakibatkan stimulasi terhadap saraf parasimpatis (Tamsuri, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.5.2 Respon perilaku Respon prilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat bermacam-macam. Meinhart dan Mc. Caffery (1983) menggambarkan 3 fase perilaku terhadap nyeri yaitu: antisipasi, sensasi, dan fase pasca nyeri Mc. Caffery (1983 dalam Tamsuri, 2006). Fase antisipasi merupakan fase yang paling penting dan merupakan fase yang memungkinkan individu untuk memahami nyeri. Individu belajar mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri muncul, karena kecemasan dapat menyebabkan peringatan sensasi nyeri yang terjadi pada klien dan atau tindakan ulang yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi nyeri menjadi kurang efektif. Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang diungkapkan oleh seseorang individu yang mengalami nyeri seperti menangis, meringis, meringkukkan badan, menjerit, dan bahkan mungkin berlari-lari.Pada fase pasca nyeri, individu biasa saja mengalami trauma psikologis, takut, depresi, serta dapat juga menjadi menggigil. 2.5.3 Respon psikologis Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi individu. Individu yang mengartikan nyeri sebagai sesuatu
yang
negatif
cenderung
memiliki
suasana
hati
sedih,
berduka,
ketidakberdayaan, dan dapat berbalik menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya pada individu yang memiliki persepsi nyeri sebagai pengalaman positif akan menerima nyeri yang dialaminya (Tamsuri, 2006). 2.3 Pengukuran Nyeri Reumatoid Arthritis Potter & Perry (2005) untuk pengukuran nyeri perlu dilakukan pengkajian karakteristik umum nyeri untuk membantu perawat membentuk pengertian pola nyeri dan tipe nyeri. Perawat mengajukan pertanyaan untuk menentukan awitan, durasi,
Universitas Sumatera Utara
rangkaian nyeri. Kapan nyeri mulai dirasakan? Apakah nyeri yang dirasa terjadi pada waktu yang sama setiap hari? Seberapa sering nyeri kambuh? Kemudian
perawat meminta klien untuk menunjukkan lokasi nyeri. Alat
pengkajian skala nyeri berupa numeris, deskriptif, analog visual. Klien menetapkan suatu titik pada skala yang berhubungan dengan persepsinya tentang tingkat keparahan nyeri pada waktu melakukan pengkajian. Ada beberapa instrumen yang digunakan untuk mengukur skala nyeri, diantaranya yang dikemukakan oleh AHCPR (Agency for Health Care Policy & Research) : Deskripsi Sederhana terdiri dari : tidak nyeri, nyeri sedang, nyeri berat, nyeri sangat berat Visual Analog Scale (VAS) Digunakan garis 10 cm batas antara daerah yang tidak sakit ke sebelah kiri dan daerah batas yang paling sakit.
Tidak sakit
Nyeri sehebat yang terjadi
Verbal Numerical Rating Scale (VNRS) Sama dengan VAS hanya diberi skor 0-10 daerah yang paling sakit dan kemudian diberi skala
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Grafik Verbal Rating Scale
Tidak ada nyeri
Nyeri ringan
nyeri sedang
nyeri berat
nyeri sangat
hebat (Brunner & Suddarth, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Jika klien mengerti dalam penggunaan skala dan dapat menjawabnya serta gambaran-gambaran yang diungkapkan atau ditunjukan padanya dapat
diseleksi
dengan hati–hati, maka setiap instrument tersebut dapat menjadi valid dan dapat dipercaya (Potter & Perry, 2005). 3. Nyeri Reumatoid Arthritis 3.1 Ciri Khas Nyeri Reumatoid Artritis Nyeri pada penyakit reumatik terutama disebabkan oleh adanya inflamasi yang mengakibatkan dilepaskannya mediator-mediator kimiawi. Kinin dan mediator kimiawi lainnya dapat merangsang timbulnya rasa nyeri. Prostaglandin berperan dalam meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri yang disebabkan oleh suatu rangsangan/stimulus (Isbagio,1995). Menurut Junaidi (2006) gejala klinis RA pada saat yang bersamaan bisa banyak sendi yang mengalami peradangan. Biasanya peradangan bersifat simetris. Jika suatu sendi pada sisi kiri tubuh terkena, sendi yang sama di kanan tubuh juga meradang. Yang pertama kali meradang adalah sendi-sendi kecil di jari tangan, jari kaki, tangan, kaki, pergelangan tangan, siku, dan pergelangan kaki. Sendi yang meradang biasanya menimbulkan nyeri dan menjadi kaku secara simetris, terutama pada saat bangun tidur atau setelah lama tidak melakukan aktivitas fisik. Sendi yang terserang akan membengkak, membesar dan segera terjadi kelainan bentuk. Jari-jari pada kedua tangan cenderung membengkok ke arah kelingking sehingga tendon pada jari-jari tangan bergeser dari tempatnya. Pembengkakan pergelangan tangan dapat mengakibatkan terjadinya sindrom terowongan karpal. Sifat sistemik pada kategori penyakit reu matik yang dikenal sebagai penyakit jaringan ikat dicerminkan dalam bentuk proses inflamasi yang tersebar luas. Meskipun berfokus pada persendian inflamasi juga melibatkan bagian-
Universitas Sumatera Utara
bagian tubuh lainnya seperti vaskulitis, jantung, paru, ginjal (Brunnert & Suddarth, 2001). Sekitar 10% AR muncul secara akut sebagai poliartritis, yang berkembang cepat dalam beberapa hari. Pada sepertiga pasien, gejala mula-mula monoartritis lalu poliartritis. Terjadi kekakuan paling parah pada pagi hari, yang berlangsung sekitar 1 jam dan mengenai sendi secara bilateral. Episode-episode perandangan diselingi oleh remisi. Rentang gerak berkurang, tebentuk benjolan rematoid ekstra sinovium (Junaidi, 2006). Nyeri RA kronis sakit adalah melibatkan keduanya antara peripheral dan sekeliling, prosesnya meliputi: adanya faktor intrinsik ke neuron (unsur P, serotonin), pelepasan mediator inflamasi ke jaringan sehingga rusak oleh prostaglandins, TNF, yang mengaktifkan sel yang peka rangsangan ion-channel-linked pada afferent berhubungan
dengan
neurons, glutamate
menyebabkan
neurotransmitter nyeri yang utama, N-Methyl-D-Aspartate
kerusakan
dorsal,
(NMDAa)-RECEPTOR
yang menghasilkan rangsangan inflamasi (Kelly, 2005). 3.2 Mekanisme Terjadinya Nyeri Reumatoid Arthritis Pada RA nyeri dan inflamasi disebabkan oleh terjadinya proses imunologik pada sinovial (Harry,2008). Tahap pertama adanya stimulus antigen kemudian terbentuk antibodi imunoglobin membentuk komplek imun dengan antigen sehingga menghasilkan reaksi inflamasi. Inflamasi akan terlihat di persendian sebagai sinovitis. Inflamasi
merupakan
proses
primer
dan
degenerasi
merupakan
proses
sekunder.Prostaglandin bertindak sebagai modifier inflamasi prostaglandin memecah kolagen sehingga dapat merangsang timbulnya nyeri melalui proses edema, proliferasi membaran sinovial, pembentukan pannus, penghancuran kartilago dan erosi tulang (Brunner & Suddarth, 2001)
Universitas Sumatera Utara
Harry (2008)
mentatakan bahwa nyeri pada penyakit RA dapat terjadi
akibat: 1) Rangsangan pada nociceptors di dalam komponen perangkat biomekanik, misalnya perangsangan nociceptors pada otot, sendi, tendon dan ligamen. Nyeri jenis ini berhubungan dengan konsep nyeri sistem sensorik, sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap situasi yang membahayakan atau terjadinya kerusakan. Oleh
karena
adanya
nyeri
ini,
maka
bagian
yang
terserang
akan
diistirahatkan/imobilisasi, untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut. 2) Penekanan saraf atau serabut saraf (radiks). 3) Perubahan postur yang menyebabkan fungsi untuk mengatur kontraksi otot
tidak
sempurna. 4) Mekanisme psikosomatik. 3.3 Mekanisme Pengurangan Nyeri Reumatoid Artritis Tujuan pengobatan RA adalah menghilangkan rasa sakit, meredakan inflamasi, mempertahankan luas gerakan sendi, mencegah kecacatan dan membantu penderita dalam mengatasi problema psikologis yang timbul sebagai akibat dari penyakit kronis yang meninggalkan kecacatan ini. Pada prinsipnya terapi yang dilakukan meliputi sendi yang meradang diistirahatkan karena penggunaan sendi yang terkena akan memperberat peradangan. Selama periode pengobatan diperlukan istirahat setiap hari, dilakukan kompres panas dan dingin, diberikan obat nyeri, obat antiinflamasi nonsteroid atau steroid sistemik atau pemberian logam emas, atau tindakan pembedahan untuk memperbaiki deformitas. Mengistirahatkan sendi secara rutin membantu mengurangi nyeri. Pembidaian dapat digunakan untuk imobilisasi dan mengistirahatkan satu atau beberapa sendi untuk mencegah kekakuan (Junaidi, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Kekakuan dan rasa tidak nyaman dapat meningkat pada saat istirahat, sehingga penderita dapat terbangun dari tidur atau bahkan sulit tidur. Oleh karena itu, cara-cara mengurangi nyeri sangat berharga bagi penderita, misalnya dengan kompres dingin atau penggunaan obat antinyeri jangka panjang. Penderita RA sekurang-kurangnya harus beristirahat 10-12 jam pada malam hari dengan penambahan satu waktu istirahat pada siang hari (Nainggolan, 2004). 4. Terapi Dingin 4.1 Pengertian Terapi Dingin Terapi dingin atau cold therapy atau cryotherapy merupakan modalitas terapi fisik yang menggunakan sifat fisik dingin untuk terapi berbagai kondisi, termasuk penyakit reumatik (Bambang, 2003). Terapi dingin pada RA pada suhu 300C atau lebih rendah dapat menurunkan enzim kolagenase, enzim yang sangat berperan dalam perjalanan penyakit RA. 4.2 Teknik aplikasi terapi dingin 4.2.1 Terapi dingin ice packs Pecahan es dibungkus dengan handuk kering atau basah atau dimasukkan kedalam kirbat es, diaplikasikan 10-15 menit untuk daerah superficial dan 15-20 menit untuk jaringan yang lebih dalam. Kompres dingin ice packs sering digunakan untuk kompres dingin nyeri RA sehingga dapat mengurangi bengkak dan edema.. 4.2.2 Terapi dingin cold gel packs Berisi zat kental (gel) yang tetap efektif sampai 45-60 menit setelah didinginkan. Disimpan di unit pendingin pada suhu 0-100 F. Dapat digunakan berulang kali dan dapat dibentuk sesuai daerah yang akan diterapi. Penggunaan yang tidak tepat dapat menyebabkan frosbite. Suhu yang tidak tepat kemungkinan tidak dapat mencapai efek terapetik yang diinginkan. Lama aplikasi adalah 20-30 menit
Universitas Sumatera Utara
dengan aplikasi hydrocollator pack kulit langsung menjadi dingin, jaringan subkutan beberapa menit sesudahnya, dan otot sedalam 2 cm menjadi dingin sekitar 50C setelah 20 menit. 4.2.3 Terapi dingin ice immersion Digunakan untuk mengobati bagian distal ekstremitas. Penampung (container) yang cukup menampung ekstremitas diisi dengan es dan air kemudian bagian ekstremitas yang akan diterapi direndam. Suhu berkisar antara 13-180 C untuk terapi yang berlangsung 10-20 menit. 4.2.4 Terapi dingin ice massage Balok es yang dibentuk dalam gelas plastik atau pada batang kayu dan diusap pada daerah yang akan diterapi, biasanya daerah kecil dengan radang jaringan atau spasme otot. Arah aplikasi harus sejajar dengan serabut otot, dan usapan terusmenerus selama 3-10 menit sampai tercapai rasa kebas / anastesi. 4.2.5 Terapi dingin vapocoolant spray Digunakan zat flouromethan atau kloretil atau nitrogen cair vaporasi. Apabila disemprotkan pada kulit akan memberikan akan memberikan pendinginan yang bermakna melalui evaporasi. Kaleng semprotan dipegang sekitar 50 cm dari bagian tubuh yang akan diterapi, arah semprotan membentuk sudut sekitar 300 C, hanya satu arah dari origo ke insersi otot, dengan kecepatan 10 cm perdetik, sekitar 4 garis sejajar, menggunakan 1-2 sweep sambil mempertahankan regangan pasif. 4.3 Prinsip Terapi Dingin Memberikan rasa dingin dengan menggunakan kirbat es atau kain yang dingin pada tempat yang terasa nyeri. Tujuannya untuk mengurangi inflamasi yang terjadi pada tempat yang terserang nyeri sehingga sensasi nyeri pasien pun berkurang (Ganong, 2000). Pada saat pasien mengalami nyeri, hitung skala nyeri pasien tersebut
Universitas Sumatera Utara
dengan skala numeris. Terapi ini diberikan saat pasien mengalami nyeri. Kompres dingin diberikan pada lokasi yang terkena nyeri kemudian ukur kembali skala nyeri pasien dengan skala numeris. Kompres dingin dapat menimbulkan reaksi sistemik dan lokal. Respon sistemik terjadi melalui mekanisme pengilang panas sedangkan respon lokal menimbulkan stimulasi ujung saraf dari perifer ke hipotalamus, yang akan menyebabkan timbulnya kesadaran terhadap suhu lokal dan memicu timbulnya respon adaptif untuk mempertahankan suhu tubuh normal. Tubuh dapat mentoleransi suhu dalam rentang tertentu. Suhu normal permukaan kulit 340C, tetapi reseptor suhu dapat beradaptasi dengan suhu lokal antara 150-450C. Jika suhu terlalu dingin dapat menyebabkan mati rasa sebelum rasa nyeri. Hal ini berbahaya karena dapat menyebabkan cedera jaringan yang serius (Potter & Perry, 2005). 4.4 Manfaat Terapi Dingin Kompres dingin digunakan untuk mengurangi nyeri, peradangan, mencegah edema, menurunkan suhu tubuh dan mengontrol pendarahan dengan meningkatkan vasokontriksi. Kompres dingin tidak boleh digunakan pada area yang sudah terjadi edema, karena efek vasokontriksi menurunkan reabsorpsi cairan. Kompres dingin tidak boleh diteruskan apabila nyeri semakin bertambah atau edema meningkat atau terjadi kemerah-merahan berat pada kulit. Untuk mencapai hasil yang maksimal maka kompres idngin dipasang ditempat selama 20 menit kemudian diambil, dan beri kesempatan jaringan untuk hangat kembali (Priharjo, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Potter & Perry (2005) menyatakan efek terapi dingin sebagai berikut: Respon fisiologis Keuntungan terapeutik
Contoh kondisi yang diobati
Vasokontriksi
Menurunkan aliran darah ke daerah tubuh yang mengalami cedera, mencegah terbentuknya edema, menurangi inflamasi.
Anastesi lokal
Mengurangi nyeri lokal
Metabolisme menurun
Visikositas meningkat Ketegangan menurun
sel
Mengurangi jaringan
kebutuhan
Trauma langsung (keseleo, ketegangan, fraktur, spasme otot), luka tusuk, luka bakar minor, nyeri, penyuntikan, artrhritis oksigen dan trauma sendi.
darah Meningkatkan koagulasi darah pada temapat yang cidera. otot
Menghilangkan nyeri
5. Terapi Dingin Pada Nyeri Reumatoid Arthritis Kompres dingin pada sendi reumatoid akan menghambat aktivitas kolagenase di dalam sinovium dan mengurangi spasme otot. Pemberian terapi dingin pada pasien RA sangat mudah diaplikasikan baik oleh pihak tenaga kesehatan ataupun oleh pasien. Terapi ini mudah digunakan, tidak mahal, dan dapat diaplikasikan. Aplikasi dingin pada kulit menyebabkan vasokontriksi kutan segera melalui mekanisme reflek dengan rangsangan saraf simpatetik dan secara langsung merangsang kontraksi otot polos. Vasokontriksi awal diperkirakan akibat peningkatan afinitas reseptor alfa adrenergik pascaperbatasan terinduksi dingin, terhadap norepinefrin yang ada yang ada dalam otot polos vaskuler. Terjadi vasodilatasi reaktif karena pendinginan lebih lanjut menginterupsi pelepasan norepineprin. Vasodilatasi menghangatkan jaringan, kembali melepaskan norepineprin ke reseptor yang tersentisasi.
Universitas Sumatera Utara
Tindakan yang dilakukan adalah siapkan semua peralatan, cuci tangan, isi kirbat es dengan kepingan es. Keluarkan udara dan kencangkan penutupnya. Keringkan bagian luar dan periksa adanya kebocoran. Beritahu pasien, jaga harga diri pasien, buka area yang akan dipasang kompres, atur posisi sesuai dengan kebutuhan, letakkan kirbat es pada area yang dikehendaki, ikat bila diperlukan, bantu pasien mengatur posisi yang nyaman, bereskan peralatan, kembalikan pada tempatnya (Priharjo, 1993).
Universitas Sumatera Utara