BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1. Keuangan Negara Secara umum keuangan negara diartikan sebagai semua hal yang yang bertalian dengan masalah penerimaan dan pengeluaran Negara. Suparmoko (1992), pakar keuangan negara Indonesia, menyatakan bahwa keuangan Negara merupakan studi tentang pengaruh-pengaruh dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN)
terhadap
perekonomian,
terutama
pengaruh-pengaruhnya
terhadap
pencapaian tujuan-tujuan kegiatan ekonomi, stabilitas harga-harga, distribusi penghasilan yang merata dan peningkatan efisiensi serta penciptaan kesempatan kerja. Dalam pengelolaan APBN tidak terlepas dari peranan pajak sebagai penyumbang terbesar dalam penerimaan Negara. Kebijakan fiskal dalam kerangka ekonomi makro mempunyai dua instrument pokok, yaitu kebijakan perpajakan (sisi penerimaan pemerintah) dan kebijakan pengeluaran. Walaupun kebijakan fiskal diambil untuk mencapai tujuan ekonomi, kebijakan ini juga dapat dipakai untuk peningkatan aspek sosial, seperti pemerataan, pendidikan dan kesehatan.
Sebagai
instrumen
kebijakan
fiskal
dan
implementasi
perencanaan
pembangunan setiap tahun, strategi dan pengelolaan APBN memegang peranan penting bagi Pemerintah untuk mencapai sasaran pembangunan nasional. APBN menjadi salah satu alat perekonomian dalam menyelenggarakan pemerintahan, mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, mendistribusikan barang dan jasa, serta menjaga stabilitas dan akselerasi kinerja ekonomi.
2.1.2
Penerimaan Pajak Penerimaan negara terdiri dari penerimaan dalam negeri Pemerintah, dan
hibah. Penerimaan dalam negeri Pemerintah terdiri atas (Dumairy,1997): Penerimaan Perpajakan: • Pajak dalam negeri a) Pajak Penghasilan (PPh) b) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) c) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) d) Bea perolehan Hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) e) Pajak lainnya f) Cukai.
Definisi pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah dimana pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang dan pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak dimana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya (Mangkoesoebroto, 2001). Dalam menerapkan kebijakan anggaran baik anggaran defisit maupun anggaran surplus, tidak terlepas dari peran pajak sebagai sumber pendapatan utama. Dalam penerapan anggaran surplus, pemerintah dapat meningkatkan pajak, khususnya pajak penghasilan atau pajak tidak dinaikkan tetapi pengeluaran pemerintah dikurangi. Begitu juga dalam penerapan anggaran defisit, pemerintah dapat menurunkan tingkat pajak sehingga konsumsi masyarakat dapat menigkat dan gairah usaha juga meningkat. Peranan penerimaan perpajakan sebagai salah satu sumber penting dalam pembiayaan negara akan terus ditingkatkan dengan melakukan berbagai evaluasi dan kebijakan penyempurnaan. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan system perpajakan dapat lebih efektif dan efesien sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. Dengan demikian, diharapkan prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan, kesederhanaan dan keadilan dapat tercapai sehingga tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap perkembangan kondisi ekonomi makro. Langkah-langkah reformasi perpajakan selama ini dilakukan telah berhasil mendorong peningkatan penerimaan perpajakan secara cukup signifikan, meskipun
masih banyak menghadapi kendala terutama berkaitan dengan kapasitas administrasi pemungutan pajak. Langkah-langkah reformasi perpajakan tersebut antara lain meliputi langkah-langkah pembaharuan kebijakan (tax policy reform) dan langkahlangkah pembaharuan adminstrasi kebijakan (tax administrative reform). Langkahlangkah pembaharuan kebijakan perpajakan ini dilaksanakan antara lain melalui perubahan UU KUP, UU PPh, perubahan UU PPN dan PPnBM, perubahan UU PBB, perubahan UU Bea Materai, serta UU Kepabeanan dan UU Cukai. Pada intinya Paket Amandemen Undang-Undang perpajakan ini lebih dititikberatkan pada pemberian rasa keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi serta mengoptimalkan penerimaan perpajakan. Supramono dan Damayanti (2005) menguraikan fungsi-fungsi pajak sebagai berikut: 1. Fungsi penerimaan (budgetair) yaitu fungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran. 2. Fungsi mengatur (regulator) yaitu fungsi untuk mengatur atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan pemerintah dari sudut social dan ekonomi. Berdasarkan kewenangan dalam pemungutannya, pajak dapat digolongkan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah jenis-jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, diantaranya pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan, bea materai, bea masuk, cukai dan pungutan ekspor. Sedangkan Pajak Daerah dipungut oleh pemerintah daerah, baik pemerintah daerah provinsi dan pajak daerah kabupaten/kota, diantaranya pajak kenderaan bermotor, bea balik nama kenderaan bermotor, pajak pembangunan I dan pajak hiburan. Dari kedua jenis pajak tersebut, yang akan diuraikan berikut ini hanyalah jenis-jenis pajak pusat karena hanya pajak pusat yang merupakan penerimaan pemerintah pusat yang menjadi bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun pajak pusat tersebut berbeda jenisnya atau namanya antara sebelum reformasi perpajakan 1983 dan sesudah reformasi. Hal ini tampak dari tabel 2.1 berikut ini :
Tabel 2.1 Penyederhanaan Pajak dalam Reformasi Perpajakan 1983 Sebelum 1983
Sesudah 1983
Pajak Perseroan Pajak Pendapatan
Pajak Penghasilan
Pajak Kekayaan Pajak Bunga, Dividen, dan Royalti Pajak Penjualan
Pajak Pertambahan Nilai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Bea Materai 1922
Bea Materai
Pajak atas Tanah Verponding
Pajak Bumi dan Bangunan
Verponding Indonesia Iuran Pembangunan Daerah Sumber : The Indonesian Tax in Brief, 2006
Jenis pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat sesudah reformasi perpajakan 1983 adalah sebagai berikut : 1. Pajak Penghasilan (PPh) Menurut Mansury (2002), PPh sesuai undang-undang tentang pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Supramono dan Damayanti (2005) menambahkan bahwa pajak pernghasilan adalah pungutan resmi oleh pemerintah yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah. 2. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Menurut Supramono dan Damayanti (2005) Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan terhadap setiap pertambahan nilai dari suatu produk atau jasa yang dihasilkan oleh pengusaha kena pajak. Sedangkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan terhadap barang-barang yang tergolong mewah. 3. Pajak Bumi dan Bangunan Pajak Bumi dan Bangunan menurut Supramono dan Damayanti (2005) adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi dan tubuh bumi serta bangunan yang terletak di
atas bumi tersebut. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan. Yang dimaksud bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau bangunan. 4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Supramono dan Damayanti (2005) berpendapat bahwa BPHTB adalah penyerahan sebagian dari nilai ekonomis dari perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. 5. Bea Materai Dalam The Indonesian Tax in Brief disebutkan bahwa Bea Materai adalah pajak atas dokumen yang dipakai masyarakat dalam lalulintas hukum. Yang dimaksud dengan dokumen disini adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan. Surat perjanjian, surat kuasa,
surat pernyataan dan akte adalah sebagian contoh dari dokumen yang dikenakan bea materai. 6. Bea Masuk Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang kepabeanan, yang dimaksud bea masuk adalah pungutan oleh negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang-barang yang diimpor. Dengan adanya pungutan tersebut, maka bea masuk selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara juga sebagai pengatur arus impor, baik untuk barang konsumsi maupun barang yang diperlukan industi dalam negeri. Dengan demikian, penerimaan bea masuk tidak semata-mata ditujukan sebagai penerimaan untuk mengisi kas negara, tetapi juga berfungsi sebagai alat pengaturan (regulator). 7. Cukai Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, yang dimaksud cukai adalah pungutan oleh negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik perlu untuk dibatasi, diawasi produksinya dan peredarannya, karena akan berpengaruh langsung terhadap kesehatan dan ketertiban social. Dengan demikian, peranan cukai tidak saja berorientasi pada penerimaan negara, melainkan mempertimbangkan pula aspek pembatasan produksi dan konsumsi. Oleh karena itu, dasar pertimbangan besarnya penerimaan cukai tergantung dari jumlah barang yang kena cukai, tarif cukai dan harga dasar barang kena cukai.
8. Pajak Ekspor Yang dimaksud dengan pungutan ekspor adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang akan diekspor. Pengaturan tarif pajak
ekspor
ditetapkan
dengan
Keputusan
Menteri
Keuangan,
dengan
memperhatikan harga patokan ekspor dan jumlah wajib pajak valuta asing. Kebijakan yang ditempuh dalam pungutan pajak ekspor ini bertujuan untuk mengendalikan harga pasar di dalam negeri.
2.1.3. Produk Domestik Bruto (PDB) Produk domestik bruto (PDB) merupakan variabel paling penting dalam makroekonomi. PDB mengukur total output barang dan jasa suatu negara dan pendapatan totalnya. Suatu negara dapat dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif apabila kuantitas barang dan jasa yang dihasilkan negara tersebut mengalami kenaikan. Namun demikian dalam kenyataannya sangat sulit untuk mengetahui berapa jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu untuk mengukur pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan output dilakukan dengan menggunakan perubahan nilai moneternya (uang) yang tercermin dalam PDB. Perubahan PDB menunjukkan adanya perubahan barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu (Rahardja dan Manurung, 2004).
Di negara-negara yang sedang berkembang sebagian besar penerimaan pajaknya berasal dan sumber pajak tak langsung. Menurut Nafziger (1990) dan dalam Yuzrat and Makhfatih (Nasution, 2003) menyebutkan bahwa proporsi PDB terhadap pajak langsung pada negara sedang berkembang lebih rendah daripada pajak langsung dari negara-negara maju. Hal ini dikarenakan pada negara-negara yang sedang berkembang lebih rendah golongan berpenghasilan tingginya. Dalam perkembangannya akan terjadi proses pergeseran dari dominasi pajak tidak langsung menjadi pajak langsung sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi diiringi dengan peningkatan pendapatan perkapita penduduknya.
Dalam jangka panjang peranan pajak langsung akan semakin penting seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat dan ditunjang pula dengan teknologi canggih menuju era globalisasi. Selain berfungsi sebagai pemerataan karena struktur tarifnya bersifat progresif, perkembangan hubungan internasional yang semakin maju kearah liberal dan global mengharuskan pemerintah untuk menurunkan tarif impornya dalam rangka peningkatan daya saing ekonomi domestik di ekonomi dunia. Konsekuensinya penerimaan pajak tidak langsung akan menjadi turun. Alternatifnya adalah memobilisasi penerimaan pajak yang bertumpu pada pajak langsung seperti pajak penghasilan.
Menurut Blanchard (2000) dalam sistem perekonomian terbuka, komponen PDB terdiri dari konsumsi, investasi, belanja negara, ekspor dan impor yang dirumuskan sebagai berikut : Y = C + I + G + (X - M)
(2.1)
Dimana : Y
= Produk Domestik Bruto Riil
C
= Konsumsi Rumah Tangga Riil
G
= Konsumsi Pemerintah Riil
I
= Pengeluaran Investasi Riil
X-M
= Ekspor Netto Riil
X
= Ekspor Riil
M
= Impor Riil Masing-masing variabel yang mempengaruhi PDB dijelaskan oleh Rahardja
dan Manurung (2004) sebagai berikut: 1) Konsumsi rumah tangga riil adalah pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi akhir barang dan jasa baik barang dan jasa yang habis dipakai dalam waktu setahun maupun lebih.
2) Konsumsi Pemerintah riil adalah pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang dikeluarkan hanya untuk mendapatkan barang dan jasa akhir, sedangkan pengeluaran pemerintah untuk tunjangan sosial tidak termasuk dalam definisi konsumsi pemerintah. 3) Pengeluaran investasi riil adalah pengeluaran-pengeluaran dunia usaha untuk meningkatkan atau menciptakan nilai tambah. 4) Ekspor netto adalah selisih antara ekspor dan impor barang dan jasa. Rumah tangga menerima pendapatan dan menggunakannya untuk membayar pajak penghasilan (PPh), mengkonsumsi barang dan jasa yang didalamnya telah termasuk Pajak pertambahan Nilai (PPN) dan menabung melalui pasar uang. Semakin tinggi pendapatan seseorang semakin besar pula pajak penghasilan yang harus dibayar. Sedangkan untuk konsumsi atas barang dan jasa yang meningkat akan meningkatkan pajak Pertambahan Nilai. Penggalian sumber-sumber keuangan khususnya yang berasal dari pajak dapat dilakukan
dengan
terlebih
dahulu
meningkatkan
pengeluaran
Pemerintah
(Government Expenditures) untuk merangsang meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam hal ini pemerintah dapat melakukannya melalui : a.
Belanja Pegawai. Belanja Pegawai merupakan salah satu pos yang penting dari APBN karena
jika pos ini tidak ada, maka roda pemerintahan tidak dapat digerakkan. Belanja Pegawai dalam hal ini kita sederhanakan sebagai bayar Gaji ( W ). Apakah yang
terjadi dari perubahan W ? Pembayaran atau peningkatan gaji pegawai negeri ( PNS ) akan berpengaruh pada pendapatan dan seterusnya permintaan permintaan PNS untuk membeli barang barang atau jasa- jasa. Gaji PNS berubah atau naik, maka pendapatan disposable income sektor rumah tangga bertambah ( Yd ). Pertambahan Yd dapat menaikkan ∆ AD melalui pengeluaran konsumsi ( ∆C ). Tambahan konsumsi, akibat dari tambahan pendapatan itu tergantung pada kecenderungan konsumsi atau pada MPC. Jadi konsumsi meningkat dengan ∆C = c Yd = c ∆W, c ad alah MPC, selanjutnya efek pengganda atau proses pelipat ( proses multiplier ) akan meningkat AD sebesar : 1 ∆ AD = --------- ∆ C 1–c
1
c
∆ AD = -------- c ∆ Yd = -------- ∆ W 1- c
1-c
MPC atau c dinegara kita dapat dikatakan masih tinggi, karena pendapatannya masih rendah. Sebagian besar dari tambahan pendapatan digunakan untuk tambahan konsumsi. Misal diasumsi MPC = c = 0,80 , maka dengan ∆ belanja pegawai sebesar
Rp. x ,- maka dapat menaikkan∆AD sebesar 500%. Seterusnya perubahan AD sebesar ini akan meningkatkan PDB dan meningkatkan pajak.
b.
Belanja Barang / Jasa atau Pengeluaran Pembangunan. Belanja Barang atau Pengeluaran Pembangunan pada putaran pertama akan
menaikkan AD sebesar : 1 ∆ AD = ----------- ∆ G 1- c Kalau kita asumsi MPC = c
= 0,8 , maka pengeluaran pembangunan akan
meningkatkan AD sebesar 500%. Dengan tingginya multiplier effect yang tercipta maka akan juga menigkatkan PDB dan meningkatkan pajak.
Dalam sistem ekonomi tertutup, identitas output agregat merupakan penjumlahan
konsumsi
rumahtangga,
konsumsi
perusahaan
dan
konsumsi
pemerintah, yaitu: y = c+i+ g
dimana: y = output riil agregat,
(2.2)
c = konsumsi riil rumahtangga, i = konsumsi riil perusahaan, dan g = konsumsi riil pemerintah Fungsi konsumsi riil rumah tangga dan konsumsi riil perusahaan masingmasing adalah c = C[( y − τ + tr ), R]
(2.3)
i = I [ y, R]
(2.4)
dimana: y - τ+tr = pendapatan disposable riil, dan R = tingkat bunga nominal. Hubungan persamaan (2.2), (2.3) dan (2.4) menjelaskan output riil agregat, yaitu: y = C[( y − τ + tr ), R ] + I [ y, R ] + g
(2.5)
Misalkan fungsi konsumsi riil rumah tangga dalam bentuk linier dari pendapatan disposable dan tingkat bunga nominal: c = α 0 + α 1 [y-τ+tr] - α 2 R. Demikian juga fungsi konsumsi riil perusahaan adalah dalam bentuk linier dari
pendapatan disposable dan tingkat bunga nominal: i = β 0 + β 1 y - β 2 R. Oleh sebab itu output riil agregat ekonomi tertutup berubah menjadi: y = α 0 + α 1 ( y − τ + tr ) − α 2 R + β 0 + β1 y − β 2 R + g
y=
1 1 − α 1 − β1
[α 0 + β 0 + g − α 1τ + α 1tr − (α 2 + β 2 ) R]
y = φ[ R, g ,τ , tr ]
(2.6)
Dari persamaan ini (2.6) ditunjukkan bahwa peningkatan belanja pemerintah (g) dan transfer pemerintah (tr) akan meningkatkan output riil agregat (y), sebaliknya peningkatan pajak (t) akan menurunkan output riil agregat (y).
2.1.4.
Inflasi Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan
terus menerus Sadono Sukirno (2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain. (Boediono : 2000). Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama. Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus menerus dan kenaikan harga yang terajadi pada seluruh kelompok barang dan jasa Pohan (2008:158).
Inflasi akan mengurangi daya beli uang yang telah diperoleh masyarakat dengan susah payah. Apabila harga naik, tiap lembar uang yang dihasilkannya hanya akan mampu membeli barang dan jasa dalam jumlah yang sedikit. Jadi , kelihatannya inflasi secara langsung telah menurunkan standar hidup. Namun dipihak lain, ketika harga naik, pembeli barang dan jasa akan mengeluarkan lebih banyak uang untuk apa yang mereka beli, pada saat yang sama penjual barang dan jasa mendapatkan lebih banyak uang dari penjualan mereka. Karena kebanyakan orang mendapatkan penghasilan dengan menjual jasa mereka, seperti para tenaga kerja, penghasilan juga semakin meningkat sejalan kenaikan harga. Jadi, inflasi sendiri tidak mengurangi daya beli riil masyarakat. Ketika laju inflasi sebesar 6 % mengurangi nilai riil dari kenaikan sebesar 4 %, pekerja mungkin merasa dirinya telah diperdaya. Sebenarnya pendapatan riil ditentukan oleh variable- variable riil seperti modal fisik, SDM, SDA dan ketersediaan tehnologi produksi. Pendapatan nominal ditentukan oleh faktorfaktor tersebut dan tingkat harga keseluruhan. Bila pendapatan nominal cenderung sama dengan kenaikan harga, berarti inflasi bukan merupakan suatu masalah. Namun para ekonom telah mengidentifikasi beberapa kerugian akibat inflasi. Masing-masing kerugian menunjukkan bahwa pertumbuhan terus menerus pada jumlah uang yang beredar sesungguhnya memiliki dampak pada variable-variabel riil tersebut. Hampir semua pajak mengganggu insentif, menyebabkan masyarakat mengubah sikap mereka dan alokasi sumber – sumber daya dalam perekonomian menjadi kurang efisien. Akan tetapi banyaknya pajak menimbulkan lebih banyak
masalah karena adanya inflasi, karena pembuat hukum sering kali gagal memperhitungkan inflasi ketika merumuskan undang-undang perpajakan. Para ekonom yang telah mempelajari undang-undang pajak menyimpulkan bahwa inflasi cenderung menaikkan beban pajak pendapatan yang berasal dari tabungan, tidak melihat keuntungan riil dari penjualan sejumlah aktiva. Pajak pendapatan dari suku bunga. Salah satu solusi bagi masalah ini adalah, dari pada menghilangkan inflasi adalah menyusun daftar sistem pajak, artinya hukum pajak dapat ditulis ulang untuk memperhitungkan dampak inflasi. Pada dunia yang ideal, hukum pajak akan ditulis dalam rangka mencegah inflasi mengubah tanggungan pajak riil seseorang. Walaupun secara eksplisit inflasi tidak dimasukkan kedalam penentuan target pajak. Namun secara implisi variabel inflasi dimasukkan kedalam variabel Produk Domestik Bruto (PDB) nominal karena didalam perhitungan PDB nominal memasukkan perubahan harga. Collin Clark (Mangkoesubroto, 1993) mengemukakan hipoteisis tentang batas kritis perpajakan. Dikatakan bahwa jika kegiatan sektor pemerintah, yang diukur dengan pajak dan penerimaan-penerimaan lain, melebihi 25% dari total kegiatan ekonomi, maka yang terjadi adalah inflasi. Dasar yang dikemukakan adalah bahwa pajak yang tinggi akan mengurangi gairah kerja. Akibatnya produktivitas akan turun dengan sendirinya dan ini akan mengurangi penawaran agregate. Di lain pihak,
pengeluaran pemerintah yang tinggi akan berakibat pada naiknya permintaan agregate. Inflasi terjadi karena adanya keseimbangan baru yang timbul sebagai akibat adanya kesenjangan antara permintaan agregate dan penawaran agregate. Hubungan Pajak Penghasilan dengan inflasi dapat dilihat dari tulisan Beth Kern, seorang Assistant Professor di indiana University South Bend, yang berjudul : Inflation and The Individual Alternative Minimum Tax (AMT), dia menyatakan bahwa : ”The relationship between inflation and the AMT is complex. David Hulse gives some insight into current individual AMT issues with his AMT boundary calculations. These boundaries derive the breakeven points to determine how much in preferences and adjustments taxpayers at varying taxable incomes may have before being subject to the individual AMT under current law. Overtime, inflation causes these breakeven points to decline. Inflation combined with reguler income tax (RIT) bracket and exemption indexing has eroded the value of this exemption. As each year passes, the AMT is shifting from a tax burden for hight-income taxpayers to one for moderate income taxpayers”. Dari hubungan di atas dapat disimpulkan bahwa inflasi dapat mengikis Pajak Penghasilan.
2.1.5. Tingkat Suku Bunga SBI menurut Noprin (2000) suku bunga adalah biaya yang harus di bayar oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan. Suku bunga juga merupakan sebuah harga yang menghubungkan masa kini dengan masa depan, sebagaimana harga lainnya maka tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran (Suhedi: 2000). Godam (2007) menyebutkan penyebab perubahan konsumsi, yaitu : Penyebab Faktor Ekonomi a.
Pendapatan Pendapatan yang meningkat tentu saja biasanya otomatis diikuti dengan peningkatan pengeluaran konsumsi. Contoh : seseorang yang tadinya makan nasi aking ketika mendapat pekerjaan yang menghasilkan gaji yang besar akan meninggalkan nasi aking menjadi nasi beras rajalele. Orang yang tadinya makan sehari dua kali bisa jadi 3 kali ketika dapat tunjangan tambahan dari pabrik.
b.
Kekayaan Orang kaya yang punya banyak aset riil biasanya memiliki pengeluaran konsumsi yang besar. Contohnya seperti seseorang yang memiliki
banyak rumah kontrakan dan rumah kost biasanya akan memiliki banyak uang tanpa harus banyak bekerja. Dengan demikian orang tersebut dapat membeli banyak barang dan jasa karena punya banyak pemasukan dari hartanya. c.
Tingkat Bunga Bunga bank yang tinggi akan mengurangi tingkat konsumsi yang tinggi karena orang lebih tertarik menabung di bank dengan bunga tetap tabungan atau deposito yang tinggi dibanding dengan membelanjakan banyak uang.
d.
Perkiraan Masa Depan Orang yang was-was tentang nasibnya di masa yang akan datang akan menekan konsumsi. Biasanya seperti orang yang mau pensiun, punya anak yang butuh biaya sekolah, ada yang sakit butuh banyak biaya perobatan, dan lain sebagainya.
Keynes membedakan permintaan uang menurut motivasi masyarakat untuk memegang uang menjadi tiga yaitu untuk berjaga-jaga, transaksi dan motif spekulasi, yakni mencari uang dari perbedaan tingkat bunga. Konsumsi mempunyai hubungan yang erat dengan tingkat tabungan, tabungan merupakan bagian dari pendapatan yang tidak dikonsumsi atau dibelanjakan. Suku bunga mempengaruhi pengeluaran konsumsi masyarakat melalui tabungan. Semakin tinggi tingkat bunga, semakin besar
pula jumlah uang yang ditabung sehingga semakin kecil uang yang dibelanjakan untuk konsumsi. Sebaliknya semakin rendah tingkat bunga, maka jumlah uang yang ditabung semakin rendah yang berarti semakin besar uang digunakan untuk konsumsi. Jadi hubungan antara konsumsi dan suku bunga mempunyai arah yang bertentangan, dimana suku bunga yang meningkat akan mengurangi pola konsumsi masyarakat (Sukirno, 2001). Dari hubungan di atas dapat kita simpulkan semakin menurun suku bunga maka akan semakin bertambah penerimaan pajak karena konsumsi masyarakat juga meningkat karena barang barang yang dibelanjakan tersebut dikenakan Pajak begitu juga sebaliknya.
2.1.6. Pertambahan wajib pajak
Di dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 yang telah diperbaharui terakhir dengan Undang-undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pada pasal 1 angka 2 terdapat pengertian Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Program kebijakan ekstensifikasi dalam tahun 2010 dilaksanakan melalui dua kegiatan utama yaitu pengenaan pajak atas surplus bank Indonesia dan penambahan subjek pajak orang pribadi. Penambahan wajib pajak akan terus dilakukan melalui
tiga pendekatan utama yaitu pendekatan berbasis pemberi kerja dan bendahara pemerintah, pendekatan berbasis property dan pendekatan berbasis profesi. Kegiatan ekstensifikasi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh direktorat jenderal pajak untuk memperluas atau menambah jumlah wajib pajak yang nantinya diharapkan akan menambah penerimaan Negara dari sektor perpajakan.
2.2.
Landasan Penelitian terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Yogi Rahmayanti (2006) mengenai analisis potensi pajak menyatakan bahwa yang menentukan penerimaan pajak yaitu Tax Rate, Tax Base (PDB) don Collection System. Dalam penelitian ini ditekankan pada dua jenis pajak yang mempunyai peran yang signifikan terhadap penerimaan pajak di Indonesia yaitu PPh dan PPN. Salah satu hasil estimasi yang dilakukan menunjukkan bahwa Tax Base (PDB) dan time trend (trend waktu) mempunyai hubungan yang positif terhadap penerimaan PPh. Hasil regresi menunjukkan bahwa tax base mempunyai hubungan positif terhadap penerimaan PPh dengan koefisien sebesar 0,78 dan terhadap PPN dengan koefisien sebesar 1,156. ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan Tax Base (PDB) sebesar satu persen akan meningkatkan penerimaan PPh sebesar 0,78 persen dan penerimaan PPn sebesar 1,156 persen. Time trend (trend waktu) mempunyai hubungan yang positif dengan dengan penerimaan PPh dengan
koefisien sebesar 0,53 persen dan terhadap PPN dengan koefisien sebesar 0,37 persen. Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2003) yang merupakan penelitian ex post facto yang merupakan penelitian dari peristiwa yang telah terjadi dan kemudian dirunut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi dari berbagai sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi dan pertumbuhan penerimaan pajak penghasilan selama dasawarsa 1990-2000 di antaranya dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung oleh faktor-faktor Produk Domestik Bruto, Jumlah Wajib Pajak, dan Jumlah Kantor Pelayanan Pajak yang tersebar di seluruh Indonesia Immervoll (2005), Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh inflasi terhadap Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Kontribusi Sekuriti Sosial di Eropa, dengan memakai variable inflasi sebagai variable bebas dan pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Kontribusi Sekuriti Sosial sebagai variable terikat. Hasil penelitian menunjukkan Inflasi berpengaruh negative terhadap Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Dalam penelitiannya Teera (2000) menganalisis determinan penerimaan pajak di Uganda, estimasi model dimana penerimaan pajak merupakan fungsi dari pembangunan ekonomi dan struktur ekonomi. Ty = f (Y,M,A,P,Ag,Mf,D,TR,T) Dimana :
Ty
= Rasio Pajak terhadap PDB
Y
= PDB per kapita
M
= Rasio impor terhadap PDB
A
= Rasio Aid terhadap GNP
P
= Kepadatan Penduduk
Ag
= Rasio Pertanian terhadap PDB
Mf
= Rasio Manufaktur terhadap PDB
D
= Rasio Hutang Luar Negeri terhadap PDB
TR
= Variabel Bayang diproxy ke tax ratio
T
= Time Trend
Oktivani (2007), Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah jumlah wajib pajak dan jumlah pemeriksaan pajak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan orang pribadi di kantor Pelayanan Pajak madiun, dengan memekai variable jumlah wajib pajak dan jumlah pemeriksaan pajak sebagai variable bebas dan penerimaan pajak penghasilan orang pribadi sebagai variable terikat. Penelitian ini membuktikan bahwa jumlah wajib pajak lebih dominan
mempengaruhi penerimaan PPh Orang Pribadi bila dibandingkan dengan jumlah pemeriksaan pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Madiun.
2.2.1. Kerangka Konseptual Penelitian Dengan demikian maka kerangka konseptual penelitian ini adalah penerimaan pajak di Indonesia dipengaruhi oleh PDB, Inflasi, tingkat suku bunga SBI dan pertambahan wajib pajak. PDB (X1)
Inflasi (X2) Penerimaan Pajak (Y)
Suku Bunga SBI (X3)
Delta Wajib Pajak (X4)
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Analisis Determinan Penerimaan Pajak di Indonesia
2.2.2. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka hipotesis penelitian sebagai berikut: 1.
PDB berpengaruh positip terhadap penerimaan pajak (Tax) di Indonesia
2.
Inflasi berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak (Tax) di Indonesia
3.
Tingkat Suku Bunga SBI berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak (Tax) di Indonesia.
4.
Jumlah pertambahan wajib pajak berpengaruh positip terhadap penerimaan pajak (Tax) di Indonesia