BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku Perilaku adalah suatu aksi reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi yaitu rangsangan (Ensiklopedi Amerika). Robert Kwick (1974) dalam Notoatmodjo 2003 menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dipelajari. Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2005) merumuskan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara stimulus (perangsang) dan respon. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme tersebut merespon, maka teori ini disebut juga teori “S-O-R” atau Stimulus-OrganismeRespon, dimana respon tersebut dibedakan menjadi 2 respon yaitu, 1) Respondent respons/reflexive adalah respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap, misalnya makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, 2) Operant respon/instrumental response adalah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena memperkuat respons. Misalnya seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik (respon terhadap
Universitas Sumatera Utara
uraian tugasnya) kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya. Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) Perilaku tertutup (covert behavior), perilaku ini terjadi bila respons terhadap stimulus masih belum dapat diamati orang lain secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang ada. Contoh: ibu hamil tahu pentingnya periksa hamil untuk kesehatan bayi dan dirinya (pengetahuan), kemudian mencari informasi di mana tempat periksa hamil yang dekat (sikap). 2) Perilaku terbuka (overt behavior), perilaku ini terjadi bila respons terhadap stimulus sudah berupa tindakan atau praktik yang dapat diamati orang lain dari luar. Contoh: ibu hamil memeriksakan kehamilannya. 2.1.2
Domain Perilaku Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2005), membagi perilaku
manusia ke dalam 3 (tiga) domain, ranah atau kawasan yakni : 1) kognitif (cognitive), 2) afektif (affective), 3) psikomotorik (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), tindakan (practice). 1.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
Universitas Sumatera Utara
dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2005) Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu: a.
Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang paling rendah. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain, menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, dan sebagainya. Contoh : dapat menyebutkan manfaat dari pemeriksaan kehamilan.
b.
Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi tersebut harus
dapat
menjelaskan,
menyebutkan,
contoh
:
menyimpulkan,
meramalkan dan sebagaimana terhadap objek yang dipelajari. c.
Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi ini dapat
Universitas Sumatera Utara
diartikan atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. d.
Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan,
membedakan,
memisahkan,
mengelompokkan,
dan
sebagainya. e.
Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dan formulasi-formulasi yang ada.
f.
Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Menurut Arikunto (2005) pengetahuan seseorang dapat diketahui dan
diinterprestasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu: Pengetahuan baik:
Universitas Sumatera Utara
jika hasil presentase 76- 100%, pengetahuan cukup jika hasil persentase 56-75% dan pengetahuan kurang jika hasil persentase <56%. 3
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat langsung tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2005). Azwar (2009) mengatakan bahwa sikap juga merupakan evaluasi atau reaksi perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak memihak (unfavorable) pada objek tertentu, sementara Sekord dan Backman dalam Azwar (2009) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Sikap yang ditujukan seseorang merupakan bentuk respon batin dari stimulus yang berupa materi atau obyek di luar subyek yang menimbulkan pengetahuan berupa subyek yang selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap si subyek terhadap yang diketahuinya itu (Notoatmodjo, 2005). Azwar (2009) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok yang saling menunjang yaitu 1. Komponen kognitif, merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen ini berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat
Universitas Sumatera Utara
disamakan. 2. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut asfek emosional. 3. Komponen konatif merupakan asfek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak/bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam Penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. 3. Tindakan. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas atau sarana dan prasarana. Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan (support) (Notoatmodjo, 2005). Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau tindakan responden. 2.1.3
Determinan Perilaku Beberapa teori yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan perilaku
dari analisis faktor-faktor yang memengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Green (1980) dalam Notoatmodjo, 2003 mengatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu, a. Faktor predisposisi (predisposing factor), faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap
Universitas Sumatera Utara
masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. b. Faktor pemungkin (enabling factor) faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti, Puskesmas, Rumah Sakit, Poliklinik, Posyandu, Polindes, Pos Obat Desa, Dokter atau Bidan Praktek Swasta. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan. c. Faktor penguat (reinforcing factor) faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama dan para petugas kesehatan, termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif serta dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama dan para petugas terlebih lagi petugas kesehatan. Di samping itu, undangundang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. Seorang ibu hamil yang tidak mau memeriksakan kehamilannya di Puskesmas disebabkan karena orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat dari pemeriksaan kehamilan bagi ibu dan janin yang dikandung (predisposing
Universitas Sumatera Utara
factors). Tetapi barangkali juga karena rumahnya jauh dari Puskesmas tempat memeriksakan kehamilannya atau peralatan yang tidak lengkap (enabling factors). Sebab lain mungkin karena para petugas kesehatan atau tokoh masyarakat lain disekitarnya tidak pernah memberikan contoh ataupun penyuluhan tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan (reinforcing factors). Teori Karr dalam Notoatmodjo (2005) mengidentifikasi adanya 5 (lima) determinan perilaku, yaitu 1) Adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan dengan obyek atau stimulus di luar dirinya’, 2) Adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support), perilaku seseorang cenderung memerlukan legitimasi dari masyarakat sekitarnya. Apabila perilaku tersebut bertentangan atau tidak memperoleh dukungan dari masyarakat, maka ia akan merasa kurang atau tidak “nyaman”, 3) Terjangkaunya informasi (accessibility of information) adalah tersedianya informasi dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang, 4) Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk mengambil keputusan. Di Indonesia terutama ibu-ibu, kebebasan pribadinya masih terbatas, terutama lagi di pedesaan. Seorang istri, dalam pengambilan keputusan masih sangat tergantung kepada suami. Contoh, untuk periksa hamil seorang istri harus mendapat persetujuan dari suami, 5) adanya kondisi dan situasi yang memungkinkan (action situation). Untuk bertindak apa pun memang diperlukan suatu kondisi dan situasi yang tepat. Perilaku mencakup 3 domain, yakni : pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan tindakan atau praktik (practice) (Notoatmodjo, 2003). Oleh sebab itu,
Universitas Sumatera Utara
mengukur perilaku dan perubahannya khususnya perilaku kesehatan juga mengacu kepada 3 domain tersebut. Menurut Notoatmodjo (2003) Secara rinci perilaku kesehatan dijelaskan sesuai dengan domain perilaku yaitu, a. Pengetahuan kesehatan (health knowledge). Pengetahuan tentang kesehatan adalah mencakup apa yang diketahui oleh seseorang terhadap cara-cara memelihara kesehatan. Pengetahuan tentang cara-cara memelihara kesehatan meliputi: Pengetahuan tentang risiko yang bisa saja terjadi dalam kehamilan, pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi kesehatan kehamilan, pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang profesional maupun tradisional, pengetahuan untuk menghindari kecelakaan baik kecelakaan rumah tangga maupun kecelakaan lalu lintas dan tempat-tempat umum. Oleh sebab itu, untuk mengukur pengetahuan kesehatan seperti tersebut diatas adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui pertanyaan-pertanyaan tertulis atau angket. Indikator pengetahuan kesehatan adalah tingginya pengetahuan responden tentang kesehatan, atau besarnya persentase kelompok responden atau masyarakat tentang variabel-variabel atau komponenkomponen kesehatan. b. Sikap terhadap kesehatan. Sikap terhadap kesehatan adalah pendapat atau penilaian orang terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, yang mencakup sekurang-kurangnya 4 variabel yaitu : 1) Sikap terhadap risiko yang bisa saja terjadi selama kehamilan, 2) Sikap tentang faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi kesehatan, 3) Sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang profesional maupun tradisional, 4) Sikap untuk menghindari
Universitas Sumatera Utara
kecelakaan baik kecelakaan rumah tangga maupun kecelakaan lalu lintas dan tempattempat umum. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan. c. Praktik kesehatan (health practice). Praktik kesehatan atau tindakan untuk hidup sehat adalah semua kegiatan atau aktivitas orang dalam rangka memelihara kesehatan. Tindakan atau praktik kesehatan ini juga meliputi 4 faktor yaitu : 1) Tindakan atau praktik sehubungan dengan risiko yang bisa saja terjadi selama kehamilan, 2) Tindakan atau praktik sehubungan faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi kesehatan, 3) Tindakan atau praktik sehubungan fasilitas pelayanan kesehatan yang profesional maupun tradisional, 4) Tindakan atau praktik sehubungan untuk menghindari kecelakaan baik kecelakaan rumah tangga maupun kecelakaan lalu lintas dan tempattempat umum. 2.1.4
Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan Anderson (1974) dalam Notoatmodjo (2010) mengembangkan model sistem
kesehatan berupa model kepercayaan kesehatan (health belief model) yang didasarkan teori lapangan (field theory) dari Lewin (1994). Dalam model Anderson ini, terdapat 3 (tiga) kategori utama dalam pelayanan kesehatan yaitu : 1.
Karakteristik predisposisi (predisposing characteristic). Karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu mempunyai kecenderungan untuk menggunakan pelayanan kesehatan maupun memakai alat kontrasepsi yang berbeda-beda. Karakteristik predisposisi dapat dibagi ke dalam
Universitas Sumatera Utara
3 kelompok yaitu: 1. Ciri-ciri demografi meliputi umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah anggota keluarga. 2. Struktur sosial meliputi jenis pekerjaan, status sosial, pendidikan, ras, agama, kesukuan. 3. Kepercayaan kesehatan meliputi keyakinan, sikap, pengetahuan terhadap pelayanan kesehatan, dokter dan penyakitnya. 2.
Karakteristik pendukung (enabling characteristic). Karakteristik ini terdiri dari Sumber daya keluarga yaitu penghasilan keluarga, kemampuan membeli jasa pelayanan dan keikutsertaan dalam asuransi kesehatan. Sumber daya masyarakat yaitu jumlah sarana pelayanan kesehatan, jumlah tenaga kesehatan, rasio penduduk dengan tenaga kesehatan dan lokasi sarana.
3.
Karakteristik kebutuhan (need characteristik). Kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan, bilamana tingkat predisposisi dan pendukung itu ada.
2.2
Pemeriksaan Kehamilan
2.2.1
Pengertian Kehamilan Kehamilan adalah kondisi dimana seorang wanita memiliki janin yang sedang
tumbuh di dalam tubuhnya (yang pada umumnya di dalam rahim). Kehamilan pada manusia berkisar 40 minggu atau 9 bulan, dihitung dari awal periode menstruasi terakhir sampai melahirkan (Prawirohardjo, 2002). Kehamilan merupakan suatu proses reproduksi yang perlu perawatan khusus, agar dapat berlangsung dengan baik kehamilan mengandung kehidupan ibu maupun
Universitas Sumatera Utara
janin. Resiko kehamilan ini bersifat dinamis, karena ibu hamil yang pada mulanya normal, secara tiba-tiba dapat menjadi berisiko tinggi. Faktor resiko pada ibu hamil seperti umur terlalu muda atau tua, banyak anak, dan beberapa faktor biologis lainnya adalah keadaan yang secara tidak langsung menambah resiko kesakitan dan kematian pada ibu hamil. Resiko tinggi adalah keadaan yang berbahaya dan mungkin terjadi penyebab langsung kematian ibu, misalnya pendarahan melalui jalan lahir, eklamsia, dan infeksi. Beberapa faktor resiko yang sekaligus terdapat pada seorang ibu dapat menjadikan kehamilan berisiko tinggi. 2.2.2
Pengertian Pemeriksaan Kehamilan Menurut Prawiroharjo (2002) Pemeriksaan kehamilan adalah pengawasan
terhadap ibu hamil dengan mempersiapkan sebaik-baiknya fisik dan mental ibu dalam kehamilan, persalinan dan post partum sehingga selalu dalam keadaan sehat dan normal. Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan (SPK). Pelayanan antenatal sesuai standar meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan) (Depkes, 2009). Asuhan antenatal penting untuk menjamin agar proses alamiah tetap berjalan normal selama kehamilan. Kehamilan dapat berkembang menjadi masalah atau komplikasi setiap saat. WHO memperkirakan sekitar 15% dari seluruh wanita hamil akan berkembang menjadi komlikasi yang berkaitan dengan kehamilannya serta dapat
Universitas Sumatera Utara
mengancam jiwanya. Asuhan antenatal yang baik sangat penting untuk hasil kehamilan yang baik karena sebagian besar dari kematian ibu bisa dihindarkan melalui asuhan antenatal, intranatal dan postnatal yang bermutu tinggi. Asuhan antenatal dikatakan bermutu apabila asuhan yang diberikan memenuhi standar minimal asuhan kehamilan yang dikenal dengan istilah 7 T, yaitu timbang berat badan, ukur tekanan darah, ukur tinggi fundus uteri, imunisasi TT (Tetanus Toxoid), pemberian tablet besi (minimum 90 tablet selama kehamilan), tes terhadap PMS (Penyakit Menular Seksual), temu wicara dalam rangka persiapan rujukan (Hani dkk, 2011). Kriteria kehamilan normal yaitu ibu sehat, tidak ada riwayat obstetri buruk, ukuran uterus sama/sesuai usia kehamilan, pemeriksaan fisik dan laboratorium normal. Sedangkan kehamilan dengan masalah kesehatan seperti hipertensi, anemia berat, preeklampsi, pertumbuhan janin terhambat, infeksi saluran kemih, penyakit kelamin, dan kondisi lain yang dapat memburuk selama kehamilan. Oleh karena itu pelayanan/asuhan pemeriksaan kehamilan merupakan cara penting untuk memonitor dan mendukung kesehatan ibu hamil normal dan mendeteksi sedini mungkin bila ada kelainan pada ibu hamil. Ibu hamil sebaiknya dianjurkan mengunjungi bidan atau dokter sedini mungkin semenjak ibu merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan atau asuhan pemeriksaan kehamilan (Saifuddin, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Tujuan Pemeriksaan Kehamilan Menurut Saifuddin (2005) pemeriksaan kehamilan bertujuan untuk memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang janin, meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental dan sosial bayi, mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang mungkin terjadi selama kehamilan, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan pembedahan, mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat, ibu maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin, mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian ASI eksklusif, mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi agar dapat tumbuh dan berkembang secara normal. Sedangkan tujuan utama pelayanan pemeriksaan kehamilan di indonesia adalah untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi. 2.2.4
Pelaksana Pemeriksaan Kehamilan Sebagai pelaksana
dalam pelayanan pemeriksaan kehamilan terdiri atas:
(Depkes RI, 2005). a. Tenaga medis meliputi dokter umum dan dokter spesialis kebidanan b. Tenaga perawatan meliputi : Bidan, Perawat, Perawat mahir bidan 2.2.5
Lokasi Pelayanan Pemeriksaan Kehamilan Tempat pemberian pelayanan pemeriksaan kehamilan dapat bersifat statis dan
aktif meliputi (Depkes RI, 2005): a. Puskesmas b. Puskesmas pembantu
Universitas Sumatera Utara
c. Pondok bersalin desa d. Posyandu e. Rumah penduduk ( pada kunjungan rumah kegiatan puskesmas ) f. Rumah sakit pemerintah atau swasta g. Rumah sakit bersalin h. Tempat praktik swasta (bidan, dokter) 2.2.6
Kunjungan Pemeriksaan Kehamilan Kunjungan ibu hamil adalah kontak antara ibu hamil dan petugas kesehatan
yang memberi pelayanan antenatal untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan. Istilah kunjungan tidak mengandung arti bahwa selalu ibu hamil yang datang ke fasilitas pelayanan, tetapi dapat juga sebaliknya yaitu ibu hamil yang dikunjungi petugas kesehatan dirumahnya atau di posyandu. Ibu hamil tersebut harus sering dikunjungi jika terdapat masalah, dan ia hendaknya disarankan untuk menemui petugas kesehatan bilamana ia merasakan tanda-tanda bahaya atau jika ia khawatir (Saifuddin, 2005). K1 (akses pelayanan antenatal) adalah persentase ibu yang melakukan pemeriksaan kehamilan yang pertama kali ke petugas kesehatan sesuai standar pada trimester pertama atau sebelum usia kehamilan 14 minggu. K4 adalah persentase ibu yang melakukan pemeriksaan kehamilan sesuai standar paling sedikit empat kali selama hamil dengan distribusi waktu 1 kali pada trimester 1, 1 kali pada trimester 2 dan 2 kali pada trimester 3.
Universitas Sumatera Utara
Setiap ibu hamil menghadapi risiko komplikasi yang bisa mengancam jiwanya. Oleh karena itu, setiap wanita hamil memerlukan sedikitnya empat kali kunjungan selama periode antenatal dengan ketentuan sebagai berikut: Satu kali kunjungan selama trimester pertama (sebelum 14 minggu), satu kali kunjungan selama trimester kedua (antara minggu 14-28) dan dua kali kunjungan selama trimester ketiga (antara minggu 28-36 minggu dan sesudah minggu ke 36) (Depkes RI, 2009). 2.2.7
Standar Minimal Asuhan Kehamilan Asuhan antenatal yang baik sangat penting untuk hasil kehamilan yang baik
karena sebagian besar dari kematian ibu bisa dihindarkan melalui asuhan antenatal, intranatal dan postnatal yang bermutu tinggi. Setiap wanita hamil menghadapi resiko komplikasi yang bisa mengancam jiwanya. Menurut Hani, dkk (2011) Standar asuhan kehamilan atau yang dikenal dengan istilah 7 T adalah sebagai berikut: 1. Timbang Berat Badan Secara perlahan berat badan ibu hamil akan mengalami kenaikan antara 9-13 kg selama kehamilan atau sama dengan 0,5 kg per minggu atau 2 kg dalam satu bulan. Penambahan berat badan (BB) paling banyak terjadi pada trimester II kehamilan. Suatu pertanda bahaya bila: tubuh ibu sangat kurus atau tidak bertambah (paling sedikit 9 kg) selama kehamilan, tubuh ibu sangat gemuk atau bertambah lebih dari 19 kg selama kehamilan, berat badan ibu naik secara tibatiba lebih dari 0,5 kg dalam satu minggu atau lebih dari 2 kg dalam satu bulan.
Universitas Sumatera Utara
Penambahan BB ibu selama kehamilan sebagian besar terdiri atas penambahan BB bayi, plasenta, serta air ketuban dan sebagian lagi berasal dari penambahan BB ibu sendiri. 2. Ukur Tekanan Darah Tekanan darah normal antara 90/60 hingga 140/90 mmHg dan tidak banyak meningkat selama kehamilan. Tekanan darah adalah ukuran kencangnya darah menekan bagian dalam pembuluh darah (vena dan arteri). Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan banyak masalah dalam kehamilan aliran darah dari plasenta ke bayi juga mengalami gangguan sehingga penyaluran oksigen serta makanan terhambat, yang menyebabkan gangguan pertumbuhan (IUFD) dan sebagainya. 3. Ukur Tinggi Fundus Uteri (TFU) Uterus semakin lama semakin membesar seiring dengan penambahan usia kehamilan,pemeriksaan tinggi fundus uteri dilakukan dengan membandingkan HPHT (Hari Pertama Haid Terakhir) dan diukur dengan menggunakan palpasi (metode jari) atau meteran terhadap TFU. Uterus bertumbuh kira-kira 2 jari per bulan. Suatu temuan dinyatakan sebagai pertanda bahaya bila: bagian atas uterus tidak sesuai dengan batas tanggal kehamilan dari HPHT, pembesaran uterus lebih atau kurang dari 2 jari per bulan. 4. Imunisasi TT (Tetanus Toxoid) Imunisasi TT perlu diberikan pada ibu hamil juga memberikan kekebalan pada janin terhadap infeksi tetanus (tetanus neonatorum) pada saat persalinan, maupun postnatal. Bila seorang wanita selama hidupnya mendapatkan imunisasi sebanyak
Universitas Sumatera Utara
lima kali berarti akan mendapatkan kekebalan seumur hidup (long life) dengan periode waktu tertentu terhadap penyakit tetanus. Menurut WHO, jika seorang ibu belum pernah mendapatkan imunisasi TT selama hidupnya, maka ibu tersebut minimal mendapatkan paling sedikit 2 kali injeksi selama kehamilan (pertama saat kunjungan antenatal pertama dan kedua, empat minggu setelah kunjungan pertama). Dosis terakhir sebaiknya diberikan sebelum dua minggu persalinan untuk mendapatkan efektivitas dari obat. 5. Pemberian Tablet Besi Selama kehamilan seorang ibu hamil minimal harus mendapatkan 90 tablet tambah darah (Fe), karena sulit untuk mendapatkan zat besi dengan jumlah yang cukup dari makanan. Untuk mencegah anemia seorang wanita sebaiknya mengkonsumsi sedikitnya 60 mg zat besi (mengandung FeSO 4 320 mg) dan 1 mg asam folat setiap hari. Akan tetapi, jika ibu tersebut sudah menderita anemia, maka sebaiknya mengkonsumsi 2 tablet besi dan 1 asam folat per hari. Ingatkan bahwa zat besi menyebabkan mual, konstipasi, serta perubahan warna pada feses. Maka saran yang dianjurkan adalah minum tablet besi pada malam hari untuk menghindari perasaan mual. Tablet besi sebaiknya diberikan saat diketahui ibu tersebut hamil sampai 1 bulan sesudah persalinan. Zat besi penting untuk mengompensasi peningkatan volume darah yang terjadi selama kehamilan dan untuk memastikan pertumbuhan serta perkembangan janin yang adekuat.
Universitas Sumatera Utara
6. Tes Terhadap PMS (Penyakit Menular Seksual) PMS yang terjadi selama kehamilan berlangsung akan menyebabkan kelainan atau cacat bawaan pada janin dengan segala akibatnya, oleh karena itu tes terhadap PMS perlu dilakukan agar dapat didiagnosis secara dini dan mendapatkan pengobatan secara tepat. 7. Temu Wicara dalam Rangka Persiapan Rujukan Temu wicara mengenai persiapan tentang segala sesuatu yang kemungkinan terjadi selama kehamilan penting dilakukan. Hal ini penting karena bila terjadi komplikasi dalam kehamilan, ibu dapat segera mendapat pertolongan secara tepat, karena kematian ibu sering terjadi karena 3T, yaitu: Terlambat mengenali bahaya, terlambat mengenali dirujuk, terlambat mendapat pertolongan yang memadai.
2.3 Akses dalam Pelayanan Kesehatan Aksesibilitas sebenarnya banyak memiliki aneka macam ragam istilah Frenk (1992) dalam Ilham (2004), berpendapat bahwa aksesibilitas adalah sinonim dengan availibilitas (ketersediaan). Sehingga antara akses (aksesibilitas) dan ketersediaan (availibilitas) sebenarnya tidak dapat dibedakan. Misalnya antara akses terhadap kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan dengan tersedianya beberapa fasilitas dalam pemerataan pelayanan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Achmady (1994) dalam Ilham (2004) Aksesibilitas artinya adalah pada prinsipnya setiap orang tanpa harus melihat asal usulnya mempunyai kesempatan dan akses yang sama terhadap pelayanan kesehatan. Menurut Mayer (1996) dalam Murniati (2007), mengemukakan bahwa dalam pelayanan kesehatan yang baik terdapat 4 (empat) elemen pokok diantaranya adalah aksesibilitas Pelayanan, dimana pelayanan harus dapat digunakan oleh individuindividu pada tempat dan waktu yang ia butuhkan. Pengguna pelayanan harus mempunyai akses terhadap berbagai jenis pelayanan, peralatan, obat-obatan dan lainlain sesuai dengan kebutuhan pasien. Eryando (2007) mengatakan bahwa aksesibilitas dapat dilihat dari sisi pelaksana pelayanan dan pengguna. Sisi pengguna dipengaruhi; a) faktor pemungkin (enabling), yaitu usia, jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan, pendidikan, pendapatan, besar keluarga, keberadaan pelayanan; b) faktor pendukung (predisposing), yaitu; sikap dan pengetahuan, kemampuan untuk mencapai (membayar); dan c) faktor kebutuhan (need) akan pelayanan. Aksesibilitas dari sisi pelayanan kesehatan dilihat dari fungsi jarak ke pengguna pelayanan, waktu tempuh, kesesuaian dengan kebutuhan, faktor lingkungan secara fisik dan politik wilayah. Pengertian tersebut secara garis besar mengelompokkan faktor aksesibilitas ke dalam; a) aksesibilitas fisik; b) aksesibilitas ekonomi; dan c) aksesibilitas sosial, baik dari sisi pengguna maupun pelaksana pelayanan. a). Aksesibilitas fisik. Akses fisik terkait dengan ketersediaan pelayanan kesehatan, atau jaraknya terhadap pengguna pelayanan. Akses fisik dapat dihitung dari
Universitas Sumatera Utara
waktu tempuh, jarak tempuh, jenis transportasi, dan kondisi di pelayanan kesehatan, seperti jenis pelayanan, tenaga kesehatan yang tersedia dan jam buka. b). Aksesibilitas ekonomi. Akses ekonomi dapat dilihat dari sisi pelayanan serta sisi pengguna. Aksesibilitas ekonomi sisi pengguna dilihat dari kemampuan finansial responden untuk mengakses pelayanan kesehatan, yang terkait dengan demand ke pelayanan kesehatan. c). Aksesibilitas sosial. Aksesibilitas sosial adalah kondisi non-fisik dan finansial yang mempengaruhi pengambilan keputusan untuk ke pelayanan kesehatan. Aksesibilitas sosial dikelompokkan kedalam kelompok pemungkin (enabling), yaitu; jenis pekerjaan, dan pendidikan, serta faktor pendukung (predisposisi) yang terkait dengan sikap dan pengetahuan tentang pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Selain itu, pemberdayaan perempuan dan keluarga, yang salah satu manifestasinya adalah keterlibatan dalam pengambilan keputusan untuk mendapatkan pelayanan maternal yang adekuat. Akses pelayanan kesehatan pada ibu masih sangat rendah, dilihat dari rendahnya pemeriksaan antenatal, penolong pertama persalinan masih didominasi oleh dukun dan banyak persalinan masih dilakukan di rumah (Rukmini, 2005).
2.4
Motivasi Menurut Quinn (1995) dalam Notoatmodjo (2005) Motivasi berasal dari
bahasa latin yang berarti to move. Secara umum mengacu pada adanya kekuatan dorongan yang menggerakkan kita untuk berperilaku tertentu. Oleh karena itu, dalam
Universitas Sumatera Utara
mempelajari motivasi kita akan berhubungan dengan hasrat, keinginan, dorongan dan tujuan. Didalam konsep motivasi kita juga akan mempelajari sekelompok fenomena yang mempengaruhi sifat, kekuatan dan ketetapan dari tingkah laku manusia. John Elder (1998) masih dalam Notoatmodjo (2005), mendefenisikan motivasi sebagai: interaksi antara perilaku dan lingkungan sehingga dapat meningkatkan, menurunkan atau mempertahankan perilaku. Defenisi ini lebih menekankan pada hal-hal yang dapat diobservasi dari proses motivasi. 2.4.2
Teori Motivasi Ada dua aliran teori motivasi, yaitu motivasi yang dikaji dengan mempelajari
kebutuhan-kebutuhan atau contens theory dan ada yang mengkaji dengan mempelajari prosesnya atau disebut sebagai process theory (Wood et all, 1998 dalam Notoatmodjo, 2005). Teori-teori pada Content theory mengajukan cara untuk menganalisis kebutuhan yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku tertentu, sedangkan process theory berusaha memahami proses berfikir yang ada yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku tertentu. Salah satu teori motivasi yang terkenal adalah teori kebutuhan hierarki dari Maslow. Maslow membagi dua kategori besar, yaitu kebutuhan tingkat dasar dan tingkat tinggi. Secara lebih rinci Maslow membagi kebutuhan tersebut menjadi lima tingkatan, yaitu ; 1). Kebutuhan fisiologis seperti misalnya kebutuhan untuk makan dan minum, tidur dan seks, 2). Kebutuhan akan rasa aman, dalam hal ini setiap manusia selalu ingin mendapatkan lingkungan hidup yang aman, kedua kebutuhan ini disebut sebagai kebutuhan primer, 3). Kebutuhan untuk mencintai dan dicintai,
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan ini mencerminkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, dimana dalam hal ini setiap manusia selalu ingin hidup berkelompok agar dapat mencintai dan dicintai, 4). Kebutuhan untuk dihargai, yaitu kebutuhan untuk diakui oleh lingkungannya, 5). Kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang paling tinggi dan merupakan kebutuhan yang paling sulit untuk dipenuhi (Notoatmodjo, 2005). 2.4.3
Pengukuran Motivasi Motivasi tidak dapat diobservasi secara langsung namun harus diukur.
Menurut Notoatmodjo (2005) motivasi dapat diukur melalui berbagai cara yaitu dengan 1). Tes proyektif. Apa yang kita katakan merupakan cerminan dari apa yang ada dalam diri kita. Dengan demikian untuk memahami apa yang dipikirkan orang,maka kita beri stimulus yang harus diinpretasikan. Salah satu tehnik proyektif yang banyak dikenal adalah Thematic Apperception Test (TAT). Dalam tes tersebut klien diberikan gambar dan klien diminta untuk membuat cerita dari gambar tersebut. Dalam teori Mc Leland dikatakan, bahwa manusia memiliki tiga kebutuhan yaitu kebutuhan untuk berprestasi(n-ach),kebutuhan untuk power (n-power), kebutuhan untuk berafiliasi (n-aff). Dari isi cerita tersebut kita dapat menelaah motivasi yang mendasari diri klien berdasarkan konsep kebutuhan di atas. 2). Kuesioner. Salah satu cara untuk mengukur motivasi melalui kuesioner adalah dengan meminta klien untuk mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang dapat memancing motivasi klien. 3). Observasi perilaku. Cara lain untuk mengukur motivasi adalah dengan membuat situasi sehingga klien dapat memunculkan perilaku yang mencerminkan motivasinya. Misalnya, untuk mengukur keinginan untuk berprestasi,
Universitas Sumatera Utara
klien diminta untuk memproduksi origami dengan batas waktu tertentu. Perilaku yang diobservasi adalah apakah klien menggunakan umpan balik yang diberikan, mengambil keputusan yang berisiko dan meningkatkan kualitas daripada kuantitas kerja. 2.4.4
Jenis Motivasi Menurut Notoatmodjo (2005) berdasarkan sumber dorongan terhadap
perilaku, motivasi dapat dibedakan menjadi dua 1). Motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal dari dalam kebutuhan sehingga manusia menjadi puas. 2). Motivasi ekstrinsik. Motivasi ektrinsik adalah motivasi yang berasal dari luar yang merupakan pengaruh dari orang lain atau lingkungan. Hasibuan (2000) dalam Riduwan (2005) mengatakan bahwa motivasi memiliki 3 sub variabel yaitu motif, harapan dan insentif. Motif adalah sesuatu yang dapat merangsang keinginan dan dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Harapan adalah suatu kesempatan yang diberikan terjadi karena perilaku untuk tercapainya tujuan. Insentif adalah pemberian hadiah atau imbalan agar seseorang termotivasi untuk melakukan suatu tindakan.
2.5
Landasan Teori Perilaku seseorang dapat ditentukan oleh motivasinya. Motivasi dapat
menjelaskan tentang alasan seseorang melakukan sesuatu tindakan, karena motivasi merupakan daya pendorong yang menyebabkan seseorang berbuat maupun tidak berbuat sesuatu guna mencapai tujuan yang diinginkan, sehingga dapat disebutkan
Universitas Sumatera Utara
dalam
hubungannya
dengan
perilaku
pemeliharaan
kesehatan
motivasi
mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah individu (ibu hamil) agar mereka mau memelihara dan meningkatkan kesehatan selama kehamilan Sofianti (2002). Motivasi mempunyai sub variabel yaitu motif, harapan (expectancy) dan insentif (incentive) Hasibuan (2000) dalam Riduwan (2009). Menurut Eryando (2007) pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal, merupakan fungsi dari akses ke pelayanan kesehatan. Aksesibilitas digolongkan menjadi: a) aksesibilitas fisik. Aksesibilitas fisik terkait dengan ketersediaan pelayanan kesehatan, atau jarak ke fasilitas pelayanan. Akses fisik dapat dihitung dari waktu tempuh, jarak tempuh, jenis transportasi, dan kondisi di pelayanan kesehatan, seperti jenis pelayanan, tenaga kesehatan yang tersedia dan jam buka. b). Aksesibilitas Ekonomi dilihat dari kemampuan finansial responden untuk mengakses pelayanan kesehatan. c) aksesibilitas sosial. Dilihat berdasarkan jenis pekerjaan, pendidikan, sikap dan pengetahuan tentang pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan untuk mendapatkan pelayanan maternal yang adekuat. Keputusan untuk melakukan kunjungan antenatal terkait dengan teori Anderson (1974) dalam Notoatmodjo 2010 meliputi karakteristik predisposisi (ciriciri demografi, struktur sosial dan manfaat-manfaat kesehatan), karakteristik pendukung (sumberdaya keluarga dan sumberdaya masyarakat) dan karakteristik kebutuhan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan landasan teori maka disusunlah kerangka teori sebagai berikut: Akses Aksesibilitas fisik Waktu tempuh Jarak tempuh Transportasi Ketersediaan petugas Jam buka Aksesibilias ekonomi Kemampuan finansial Aksesibilitas sosial Pendidikan Pekerjaan Pengetahuan Sikap Pengambilan keputusan
Pemanfaatan pelayanan kesehatan
Motivasi Motif Harapan insentif
Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian
2.6 Kerangka Konsep Berpedoman pada landasan teori, maka disusun kerangka konsep penelitian. Tidak semua variabel yang ada dalam kerangka teori akan diteliti dengan pertimbangan yang logis. Pada variabel aksesibilitas fisik, sub variabel waktu tempuh, jarak tempuh, transportasi tidak diteliti karena Puskesmas mudah dijangkau dari pemukiman penduduk dan terdapat transportasi umum untuk mencapai
Universitas Sumatera Utara
Puskesmas. Sub variabel jam buka juga tidak diteliti karena Puskesmas buka selama enam hari kerja dari jam 08.00-18.00 WIB. Aksesibilitas ekonomi juga tidak diteliti karena pelayanan yang diperoleh tidak dipungut biaya. Variabel Independen
Variabel Dependen
Akses Aksesibilitas fisik Ketersediaan petugas Aksesibilitas sosial - Pendidikan - Pekerjaan - Pengetahuan - Sikap - Pengambilan keputusan
-
Perilaku Ibu dalam melakukan kunjungan antenatal
Motivasi Motif Harapan Insentif
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara