BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI
2.1. Pendahuluan Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga atau institusi yang mengantar keselamatan yang diberikan Allah kepada umatNya dalam Yesus Kristus. Gereja dalam arti institusi tidak terlepas dari sebuah organisasi. Karena di dalam gereja diperlukan sistem hierarki (suatu tatanan, pengaturan, penyusunan) maupun tentang pengelolaan dalam segala sesuatu proses yang dilakukan oleh gereja tersebut demi tercapainya pengorganisasian yang baik sehingga gereja dapat mencapai tujuannya. Salah satunya adalah Gereja Bala Keselamatan yang memahami dirinya sebagai suatu institusi perwakilan Allah di dunia. Gereja Bala Keselamatan sebagai institusi ada dalam satu bentuk institusional dan berfungsi melalui jabatan-jabatan dan sarana-sarana yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuannya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam bab ini penulis akan membahas pemahaman tentang gereja sebagai institusi yang akan berguna dalam pembahasan ini. Penulis akan memulai dengan menjelaskan beberapa pemikiran yang berkaitan dengan definisi gereja dan hakikat gereja dalam kitab suci, hal ini dilakukan untuk memperoleh suatu pemahaman yang utuh berkaitan dengan konsep gereja secara umum. Selanjutnya konsep model-model gereja dan model gereja sebagai institusi, dalam kaitannya dengan sistem hieraki Gereja Bala Keselamatan. Pada bagian akhir dari keseluruhan penulisan bab ini, penulis akan memberikan kesimpulan mengenai gereja sebagai institusi.
10
2.2. Gereja 2.2.1. Definisi: Asal Usul dan Arti Kata Gereja Istilah gereja memiliki beberapa macam pengertian, yaitu arti secara umum dalam kata (bahasa) aslinya dan arti secara khusus dalam pengertian gereja itu sendiri. Berdasarkan arti kata (bahasa) aslinya, secara etimologis kata “gereja” berasal dari bahasa Portugis Igreja, berkaitan dengan kata Iglesia (spanyol), Eglise (Perancis), serta ecclesia (Latin) yang berasal dari kata Yunani Kyriake (κυριακη) yang berarti dimiliki Tuhan.1 Kata ini menekankan kenyataan bahwa gereja adalah milik Tuhan. Kata Kyriake sebagai sebutan bagi persekutuan para orang yang menjadi milik Tuhan, belum terdapat di dalam Perjanjian Baru. Istilah ini baru dipakai pada zaman sesudah para rasul, yaitu sebutan gereja sebagai suatu lembaga dengan segala peraturannya.2 Alkitab Perjanjian Lama memakai dua istilah untuk menunjuk gereja, yaitu “qahal” ()קהל. Berasal dari akar kata yang sudah tidak dipakai lagi yaitu qal (kal) yang artinya “memanggil” dan edhah yang berasal dari kata ya’adh berarti “memilih” atau “menunjuk” atau “bertemu bersama-sama di tempat yang telah ditunjuk.3 Alkitab Perjanjian Baru juga memakai dua kata yang diambil dari Septuaginta, yaitu Ekklesia () yang berasal dari kata Ek' ('εκ) dan kata Kaleô' ('καλεω) yang artinya “memanggil ke luar”, dan kata sunagoge, dari kata sun dan ago yang berarti “datang atau berkumpul bersama”.4 Kata sunagoge secara eksklusif menunjuk kepada arti pertemuan ibadah orang Yahudi atau juga bisa menunjuk kepada arti bangunan di mana mereka berkumpul untuk beribadah secara umum.
1
Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1992), 341. Harun Hadiwiyono, Iman Kristen, cet.2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), 362. 3 Louis Berkhof, Teologi Sistematika Volume 5: Doktrin Gereja, terj. Yudha Thianto, cet.8 (Surabaya: Momentum, 2010), 5. 4 Berkhof, Teologi Sistematika Volume 5, 6. 2
11
Di dalam Septuaginta5, kata Yunani ini dipakai untuk menterjemahkan kata Ibrani “qahal”. Qahal mempunyai arti profan (tidak religius) “perkumpulan” dimana orang berkumpul untuk kepentingan tertentu, juga mempunyai arti religius “umat, jemaat” yang berkumpul karena dipanggil oleh firman Allah keluar dari antara bangsa-bangsa dan menjadi umat milik Allah (qahal YHWH). 6 Berdasarkan penjelasan di atas, menuntun penulis untuk memahami bahwa definisi gereja merupakan sebuah konsep dengan banyak sisi, sehingga menjadi wajar kata ekklesia yang dipakai untuk menunjuk tentang gereja tidak selalu memiliki konotasi yang sama. Kata ini umum dipakai bagi sidang umum yang dikumpulkan secara resmi. Sidang seperti ini menjadi ciri khas kota-kota di luar Yudea, di mana injil diberitakan. Dengan demikian kata ekklesia lebih mengandung arti pertemuan daripada organisasi atau masyarakat. 7 Sebagai hasil dari perluasan gereja, kata ekklesia mendapat pemakaian yang lebih luas. Gereja-gereja lokal didirikan di mana-mana, dan semua itu disebut sebagai ekklesiai sebab mereka memanifestasikan gereja yang universal. Dalam kebanyakan surat-suratnya, Paulus menggunakan kata ekklesia dalam arti rangkap: kata itu dapat menunjukkan jemaat di salah satu tempat tetapi juga gereja universal. Contoh hubungan antara keduanya dapat di lihat dalam rumusan alamat surat 1 dan 2 Korintus: “kepada ekklesia Allah seperti berada di Korintus”.8 Ekklesia di Korintus bukanlah cabang dari ekklesia universal, sebaliknya juga gereja universal bukanlah gabungan dari banyak ekklesia setempat. Dengan demikian, ekklesia di setiap tempat merupakan perwujudan konkret dan lengkap dari kenyataan ekklesia itu dalam hubungan yang hidup dengan semua jemaat lain. Gerald O’Colin SJ dan Edward G. Farrugia SJ, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 293. Septuaginta dalam bahasa Yunani berarti tujuh puluh. Terjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani yang terpenting dikenal sebagai “LXX”. Artinya terjemahan yang dikerjakan oleh tujuh puluh ahli. 6 Tom Jacobs, Dinamika Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1979), 13. 7 Anggota IKAPI, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid I A-l (Jakarta: Yayasan Bina Kasih OMF, 2008), 332. 8 George Kircheberger, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Cet.1 (Ende: Nusa Indah, 1991), 87. 5
12
2.2.2. Hakikat Gereja Dalam Kitab Suci Dan Ajaran Gereja Kata ”Gereja” bukanlah semacam batasan atau definisi. Ekklèsia adalah kata yang biasa saja pada zaman jemaat perdana. Dari cara memakainya, kelihatan bagaimana jemaat perdana memahami diri dan merumuskan karya keselamatan Tuhan di antara mereka. Kadang-kadang mereka berkata ”Gereja Allah” atau juga ”jemaat Allah”. Mereka menjadi jemaat atau gereja karena iman mereka akan Yesus Kristus, khususnya akan wafat dan kebangkitan-Nya. Gereja merupakan jemaat Allah yang dikuduskan dalam Kristus Yesus. Dengan demikian, ada dua ungkapan penggunaan nama yang dipakai secara khusus untuk Gereja dalam Perjanjian Baru: ”Umat Allah” dan ”Tubuh Kristus”. Keduanya berkaitan satu sama lain. Yusak Setyawan mengungkapkan, dalam tradisi Paulus (mencakup tulisan-tulisan Paulus maupun tulisan-tulisan penerus Paulus) gereja dipahami sebagai Umat Allah dalam kaitannya dengan pandangan Paulus tentang misi kepada orang-orang non Yahudi, walaupun ia terdidik dalam tradisi Yahudi. Relasi antara Israel dan bangsa-bangsa lain (non Yahudi) dijelaskan dalam surat Roma 9-11.9 Israel mempunyai tempat khusus dalam sejarah keselamatan universal. Dengan demikian orang Kristen dari non-Yahudi tidak boleh memandang rendah Israel. Tom Jacobs mengungkapkan bahwa, paham gereja sebagai “Umat Allah” hanya dapat dimengerti dan dipahami melalui latar belakang sejarah Israel sebagai umat Allah. 10 Kekhususan Israel sebagai bangsa, adalah kesatuannya dengan Tuhan. Kesadaran mereka sebagai bangsa, tidak terutama ditentukan oleh kesadaran etnis, sejarah atau budaya, tetapi oleh kesadaran religius bahwa mereka adalah umat Allah.
9
Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Press), 13. 10 Jacobs, Dinamika Gereja, 14.
13
Niko Diester Syukur menjelaskan gagasan “Umat Allah” dalam Perjanjian Lama hendak menekankan bahwa, gereja ada dan berkembang dari sejarah keselamatan yang sudah dimulai sejak pemilihan dan pemanggilan Abraham sampai dengan perjanjian yang diadakan Tuhan dengan para leluhur bangsa Israel di padang gurun Sinai pada zaman Musa (Kel.19; 24:1-8).11 Dengan demikian gereja dimengerti dalam suatu kesadaran serius bahwa gereja mengalami dirinya berhubungan erat dengan umat manusia dalam rangka sejarah keselamatan yang universal. Namun dalam hal ini gereja tidak berarti hanya sebatas kelanjutan klaim bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah. Paham Umat Allah dipertegas kembali di dalam Perjanjian Baru. Harus disadari bahwa kata “umat” dalam Perjanjian Baru tidak berarti hanya suatu kumpulan orang-orang secara pribadi. Umat Allah dalam Perjanjian Baru ialah perhimpunan orang-orang yang diketahui khusus sebagai orang yang percaya kepada Tuhan yang bangkit. Paulus di dalam surat- suratnya mengingatkan dasar gereja memang Israel, tetapi yang penting untuk menjadi warga gereja bukanlah hubungan etnis (keturunan Abraham), melainkan pemanggilan Allah (Rom.1:6; 8:28; 1 Kor 1:2) dan penyerahan manusia dalam iman (Gal.3:7; Rom.1:5; 16:26). Paulus menggaris-bawahi bahwa kepenuhan sejarah Israel telah dicapai dalam Kristus (2 Kor. 1:20; Gal.3:5-18), sehingga orang yang bersatu dengan Kristus harus disebut “Israel Sejati, “Umat Allah yang baru” (Gal.3:29; 6:16; Rom.9:6). 12 Kesatuan yang erat antara gereja dan Kristus dijelaskan Paulus dengan gambaran “Tubuh Kristus”. Dari semua gambaran yang dipakai Paulus, gambaran mengenai tubuh adalah yang paling hidup dan penuh arti. Jemaat digambarkan sebagai satu tubuh yang memberikan gambaran mengenai hubungan Kristus dengan orang orang-rang percaya. Menurut Tom Jacobs, kata “Tubuh Kristus” dipakai sebagai semacam metafora atau
11 12
Niko Syukur Dister OFM, Teologi Sistematika 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 210. Niko Syukur, Teologi Sistematika 2, 220.
14
perumpamaan yang hanya mempunyai arti karena Kristus. Gereja tidak disebut ‘tubuh’ karena kerja-sama atau kesatuan antar para anggota, tetapi oleh karena para anggota bersatu dalam Kristus. Sifat kristologisnya membuat gereja menjadi “tubuh”.13 Küng mengungkapkan bahwa, “jemaat lokal adalah tubuh Kristus”, yang menurut Paulus, dibangun melalui baptisan (1 Kor. 12:12,13, 14-27; band. 6:5-17), dan yang turut merayakan Perjamuan Kudus, sebagai simbol keterhisabannya ke dalam tubuh dan darah Kristus (1 Kor. 10:16). Angota tubuh itu selalu memiliki kharisma atau karunia yang beragam satu sama lain (1 Kor.12 dan Roma 12) dan dengannya mereka wajib melayani seorang akan yang lain.14 Kharisma atau karunia tersebut dimaksudkan paulus sebagai pertolongan Allah dalam hubungannya dengan pembangunan jemaat. Penggunaan yang lebih berkembang dari gambaran tubuh Kristus dapat terlihat dalam surat Efesus dan Kolose. Di sini gereja disamakan dengan Tubuh Kristus (Ef. 1:22,23; 4:12,15-16; 5:23; Kol. 1:18,24). Kristus sebagai kepala mengendalikan jemaat, Ia dipandang sebagai sumber kehidupan dan kepenuhan Jemaat. Dialah yang paling utama (Kol.1:18). Kristus sebagai kepala ditekankan secara khusus sebagai unsur yang mempersatukan (Ef. 1:22-23; 4:15).15 Küng mengungkapkan “gereja seluruhnya adalah tubuh Kristus”. Jika dalam Surat Korintus dan Roma gereja lebih menekankan pada individunya, namun dalam Surat Efesus dan Kolose lebih ditekankan pada keseluruhannya. 16 Artinya dimensi eskatologi gereja berkaitan dengan aspek antropologi dari masyarakat yang nyata. Dengan demikian, gereja
13
Tom Jacobs et al., Gereja Menurut Perjanjian Baru, editor. Tom Jacobs (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 48. Hans Küng, The Church, terj. Ray and Rosallen Ockenden, cet. 3 (London: Burns & Oates Limited, 1969), 227. 15 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3: Eklesiologi, Eskatologi, Etika, terj. Lisda Tirtapraja Gamadhi, cet.8 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 72. 16 Küng, Church, 230. 14
15
ada dan terbangun sebagai satu keluarga dalam dunia yang luas, di mana Kristus adalah kepala dari gereja dalam arti keseluruhan tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memahami bahwa ungkapan Umat Allah dan Tubuh Kristus yang dipakai secara khusus untuk gereja merupakan satu kenyataan dari gereja, namun dilihat dari bermacam-macam segi. Gereja mewujudkan suatu persekutuan yang baru, yang bukan terdiri dari banyak anggota yang semuanya sama dan berdiri sendirisendiri secara berdampingan, yang seorang di samping yang lain. Akan tetapi yang dipentingkan dalam ungkapan tersebut ialah kesatuan, yang para anggotanya benar-benar saling berkaitan secara harmonis. Kesatuan di antara gereja-gereja dalam perkembangan awal ditemukan dalam teologi Paulus, yaitu bahwa kesatuan gereja dianugerahkan oleh Allah yang menuntut diusahakannya keutuhan gereja: iman akan Yesus Kristus Tuhan, satu baptisan dalam Kristus, keterlibatan dalam ekaristi memecah roti yang menjadikan mereka mendemonstrasikan kesatuan tubuh Kristus.17 Dari pemikiran-pemikiran teologisnya, Paulus secara tegas mengemukakan hakikat gereja. Gereja adalah persekutuan orang yang percaya akan Kristus, umat Allah dari perjanjian baru, dan komunitas di dunia dari Tuhan yang dimuliakan. Gereja merupakan suatu kesatuan atau persekutuan di antara manusia karena rahmat Kristus, namun di dalam inti gereja orang menemukan misteri. Dulles menjelaskan, arti utama dari misteri bukanlah Allah menurut hakikatNya yang sebenarnya ataupun pikiranpikiran ilahi, akan tetapi terlebih kepada rencana penyelamatan Allah yang menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus. 18 Tujuan misteri ialah penyempurnaan alam semesta dan pemersatuan segala sesuatu di dalam Kritus yang akan menyerahkan diri bersama segalagalanya kepada Bapa sebagai penyempurnaan eskatologis, dalam persekutuan sempurna dari 17 18
Yusak Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi, 14. Avery Dulles S.J, Model-Model Gereja (Ende: Nusa Indah, 1990), 18.
16
kerajaan Allah.19 Gereja merupakan bagian dari misteri Kristus, yang justru menyatakan dan melaksanakan rencana keselamatannya di dalam gereja. Ia tetap berkarya secara dinamis di dalam gereja melalui rohNya. Kata misteri (mysterion) sama dengan kata sakramen (sacramentum). Dalam Kitab Suci kedua-duanya dipakai untuk rencana keselamatan Allah yang disingkapkan kepada manusia. Tetapi dalam perkembangan teologi kata misteri dipakai terutama untuk menunjuk pada segi ilahi dan tidak tampak rencana dan karya Allah, sedangkan kata sakramen lebih menunjuk pada aspek insani dan tampak.20 Misteri dan sakramen adalah dua aspek dari satu kenyataan, ilahi dan insani, yang disebut Gereja. Dari satu pihak Gereja bermakna ilahi, karena merupakan tubuh mistik Kristus dan adalah persekutuan rohani, yang diperkaya dengan karunia-karunia surgawi itulah sebabnya disebut misteri. Tetapi sekaligus adalah kelompok insani dilengkapi dengan jabatan hierarkis, karena hidup di dunia. Ini semua di sebut unsur manusiawi dan ditunjukkan dengan kata sakramen. Gereja dikatakan tidak tampak karena bersifat spiritual, gereja tidak dapat dilihat dengan mata jasmani. Persatuan orang percaya dengan Kristus adalah sebuah persatuan mistis, roh yang membentuk satu ikatan yang tak tampak. Gereja menjadi tampak dalam pengakuan dan perbuatan, dalam pelayanan firman dan sakramen-sakramen, serta dalam organisasi dan pemerintahan gereja secara eksternal.21 Sifat misteri gereja memiliki dampak yang sangat penting terhadap metodologi penyelidikan tentang gereja. Ia menyingkirkan kemungkinan pendekatan yang bertolak belakang dari konsep-konsep yang jelas, atau dari pengertian-pengertian dalam arti biasa. Dapat dikatakan sarana pertama yang telah digunakan untuk menjelaskan misteri adalah
19
Georg Kircheberger, Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Ledalero, 2007), 410. Niko Syukur, Teologi Sistematika 2, 203. 21 Berkhof, Teologi Sistematika 5, 26-28. 20
17
gambaran.22 Supaya gambaran dapat sungguh-sungguh menjelaskan suatu realita yang mau dijelaskan, maka gambaran yang dipakai harus berakar dalam pengalaman iman umat. 2.2.3. Model Model Gereja Gambaran dipergunakan secara reflektif dan kritis untuk memperdalam pemahaman teoritis mengenai suatu kenyataan, gambaran itu menjadi apa yang dewasa ini disebut model.23 Ada banyak pengertian kata model yang dipergunakan
dalam pemikiran
kontemporer. Ian G. Barbour memilah empat macam penggunaan istilah ini (ekperimental, logis, matematis dan teoritis) dan menandaskan bahwa model teoritis merupakan perhatian yang utama, sesuai dengan maksudnya untuk mengadakan perbandingan penggunaan modelmodel ini dalam bidang ilmu pengetahuan dan teologi.24 Barbour mendefinisikan model ini sebagai “representasi simbolis dari segi-segi yang dipilih menyangkut tingkah laku dari sistem majemuk untuk maksud-maksud tertentu”. Sebuah model adalah sebuah kasus yang dirancang secara agak sederhana dan artifisial, yang dirasa berfaedah dan memberi terang untuk menghadapi rupa-rupa kenyataan yang lebih majemuk dan beraneka ragam. Sangat penting untuk memahami bahwa model merupakan konstruksi. Model-model bukanlah cermin dari realitas, model-model adalah “tipe-tipe ideal”, entah berupa posisi-posisi yang dirancang secara logis atau abstraksiabstraksi yang dibentuk dalam posisi-posisi konkret.25 Model-model sama seperti gambaran dan simbol, menyediakan rupa-rupa cara yang melaluinya seseorang dapat mengetahui realitas di dalam seluruh kekayaan dan kemajemukannya. Model-model memang menyajikan
22
Dulles, Model-Model Gereja, 19. Dulles, Model-Model Gereja, 23 24 Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002), 53. 25 Bevans, Model Teologi Kontekstual, 54. 23
18
sebuah pengetahuan yang selalu bersifat separuh dan tidak mencukupi, namun tidak pernah palsu atau bersifat subjektif.26 Sekurang-kurangnya bagi Gereja Katolik maupun Protestan, penggunaan modelmodel untuk mendekati suatu pemahaman tentang suatu persoalan teologis yang majemuk atau sulit dapat dilihat dalam pemunculan karya Avery Dulles “Model-Model Gereja”, sebuah karya yang yang telah menjadi klasik dalam teologi Katolik pasca Konsili Vatikan II. Dalam buku ini, Dulles memperlihatkan dengan sangat meyakinkan kekuatan dalam menggunakan model untuk memilah persoalan-persoalan di bidang teologi. Di dalam tulisannya, Dulles menguraikan enam model gereja: Gereja sebagai institusi, gereja sebagai persekutuan mistik, gereja sebagai sakramen, gereja sebagai pewarta, gereja sebagai hamba, dan gereja sebagai persekutuan murid-murid. Masingmasing model ini menyingkapkan ciri khas tentang pemahaman misteri gereja. Kemudian, Dulles menarik implikasi-implikasi dari setiap model untuk eskatologi, ekumenisme, pelayanan serta wahyu dan mengakhirinya dengan suatu penilaian terhadap model-model tersebut, di dalamnya ia menunjukkan segi-segi yang perlu dilestarikan atau perlu ditinggalkan dalam setiap eklesiologi. Dulles mengembangkan gagasannya tentang model berdasarkan kajian terhadap karya Ian G. Barbour, Ian T. Ramsey dan Max Black, yang berhadapan dengan tantangan bagi bahasa teologis dari positivisme logis, yang menegaskan bahwa penggunaan model-model dalam bidang ilmu pengetahuan alam cocok untuk wacana teologi. 27 Khususnya dalam kerangka apa yang disebut Ramsey sebagai model-model penyingkapan dan apa yang dinamakan Dulles sebagai model-model heuristik, maka kenyataan-kenyataan teologi yang
26 27
Bevans, Model Teologi Kontekstual, 55. Bevans, Model Teologi Kontekstual, 52.
19
majemuk seperti gereja, rahmat Allah atau penebusan manusia dapat terbuka bagi pengungkapan, refleksi dan kritik.28 Dalam rangka mengimbangi rupa-rupa kekurangan dari masing-masing model, maka seorang teolog mendayagunakan suatu kombinasi dari kekhasan masing-masing model yang tidak dapat direduksi lagi. Model dominan yang mampu memecahkan masalah atau problemproblem teologis yang tidak mampu dijelaskan oleh model-model lain disebut paradigma.29 Biasanya paradigma ini berubah seiring dengan perubahan yang terjadi dalam dunia dan masyarakat. Semua model dalam arti inklusif, sungguh-sungguh tidak memadai dan perlu dilengkapi oleh model-model yang lain. Seseorang bisa saja menganut satu model sebagai yang paling tepat menjelaskan realita yang sedang di bahas, namun hal ini tidak menuntut orang tersebut mesti menolak kebasahan apa yang ditegaskan oleh para teolog yang lainnya. Suatu sistem teologi yang baik pada umumnya akan mengakui rupa-rupa keterbatasan metafora-metafora dasarnya, dan oleh karena itu akan terbuka kepada kritik-kritik dari sudut pandang yang lain. Di antara enam model gereja yang diuraikan oleh Avery Dulles di dalam bukunya, penulis akan berusaha menyoroti satu model gereja, yaitu model gereja sebagai institusi yang telah menjadi paradigma di dalam teologi modern. dengan cara ini penulis beranggapan, mampu menunjukkan ciri khas aliran-aliran eklesiologis modern, mengidentifikasi pandangan-pandangan yang paling umum, serta memahami kemantapan aneka gaya teologi. Model gereja sebagai institusi akan dikemukakan bersama dengan beberapa penilaian tentang kelebihan dan kekurangannya.
28 29
Dulles, Model-Model Gereja, 28-29. Dulles, Model-Model Gereja, 30.
20
2.3. Gereja Sebagai Institusi Untuk dapat memahami dengan baik konsepsi dan teori tentang gereja sebagai institusi, harus diketahui apa itu pengertian institusi.
Menurut Hendropuspito, institusi
merupakan suatu bentuk organisasi yang secara tetap tersusun dari pola-pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi sebagai cara yang mengikat guna tercapainya kebutuhankebutuhan sosial dasar.30 Sulaeman Taneko mendefinisikan institusi dengan adanya normanorma dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam institusi tersebut. Institusi merupakan pola-pola yang telah mempunyai kekuatan tetap dan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan haruslah dijalankan menurut pola-pola tersebut.31 Untuk meneliti sebuah organisasi, tidak terlepas dari keberadaan institusi. Menurut Talcott Parson sebagaimana dikutip oleh Sulaiman Taneko, masyarakat merupakan kumpulan individu yang membawa budaya masing-masing dengan membentuk lembaga atau institusi itu sendiri. Menurutnya, sistem-sistem sosial yang ada di masyarakat itu dapat dilihat sebagai suatu organisasi, yang apabila diteliti akan dilihat pula nilai-nilai yang ada pada lembaga atau institusi serta aturan-aturan yang mengikat individu. Kemudian diimplementasikan nilai-nilai adaptasi, prosedur serta norma atau pola-pola pada suatu organisasi.32 Berdasarkan penjelasan di atas, menuntun penulis untuk memahami bahwa Institusi merupakan serangkaian norma dan perilaku yang sudah bertahan, kemudian digunakan selama periode waktu tertentu (yang relatif lama) untuk mencapai maksud atau tujuan yang bernilai kolektif (bersama) atau maksud-maksud lain yang bernilai sosial. Institusi tidak hanya organisasi-organisasi yang memiliki bangunan fisik saja tetapi juga aturan-aturan yang ada di masyarakat dapat dikategorikan sebagai suatu institusi.
30
D. Hendropuspito O.C, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 113. B. Sulaiman Taneko, Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), 72. 32 B. Sulaiman Taneko, Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan, 74. 31
21
Menurut hakikatnya gereja adalah suatu masyarakat yang sempurna, dalam arti dia tidak tunduk kepada suatu masyarakat lain, dan juga dia memenuhi semua syarat yang dituntut oleh suatu institusi yang sempurna. Robert Bellarminus sebagaimana dikutip oleh Avery Dulles, mengungkapkan bahwa gereja merupakan suatu bentuk masyarakat manusia (Coetus Hominum).33 Selanjutnya Dulles mengungkapkan, dalam salah satu bagian yang terkenal dalam bukunya Die Controversiis Bellarminus menulis: “gereja yang satu dan benar adalah masyarakat manusia yang dibentuk oleh pengakuan iman kristiani yang sama, serta diikat oleh pengambilan bagian dalam sakramen-sakramen yang sama, di bawah bimbingan para pemimpin yang sah.” Pengertian gereja tersebut di atas, seluruhnya disusun oleh Bellarminus dari unsurunsur yang kelihatan. Ia mau menegaskan bahwa gereja yang benar adalah seperti suatu masyarakat yang kelihatan sama seperti masyarakat Romawi, Kerajaan Perancis, atau Republik Venesia.34 Dengan demikian gereja dilukiskan menurut analogi yang diambil dari masyarakat politis. Gereja sebagai masyarakat historis kongkret, memiliki suatu konstitusi, seperangkat hukum, badan kepemimpinan dan sekelompok anggota yang menerima konstitusi dan undang-undang sebagai kewajiban mereka. Tanpa memiliki organisasi yang tetap, gereja tidak dapat melaksanakan misinya. Sepanjang sejarah agama Kristen gereja selalu memiliki segi institusional: memiliki pewartaan yang diakui, menerima formula-formula konvensional, dan menetapkan tata cara ibadah yang berlaku umum. Namun penekanan pada institusi tidak sama dengan institusionalisme, walaupun sering bisa terjerumus ke dalam institusionalisme. Dengan institusionalisme, diharapkan suatu sistem di mana institusional menduduki tempat pertama. Di dalam dokumen Konsili Vatikan II unsur institusional gereja lebih ditekankan, yakni organisasi yuridis gereja. Dengan menempatkan organisasi yuridis gereja dalam 33 34
Avery Dulles S.J, Model-Model Gereja (Ende: Nusa Indah, 1991), 16. Dulles, Model-Model Gereja, 17.
22
konteks pemikiran teologis yang lebih luas dan mendalam mengenai sifat batiniah gereja, Vatikan II menghindarkan bahaya-bahaya yuridisme.35 Penekanan unsur ini telah dikemukakan pada zaman Bapa-Bapa Gereja sampai dengan abad ke-13 (teolog skolastik). pada akhir abad pertengahan (Kontra Reformasi) semakin ditekankan lagi, khususnya berkaitan dengan jabatan Paus dan hierarki gereja. Pandangan institusional mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-19 dan diungkapkan dengan jelas dalam skema yang pertama dari konstitusi dogmatik tentang gereja yang disiapkan untuk Konsili Vatikan I. Skema tersebut menjelaskan, gereja tidak hanya sebagai masyarakat yang sempurna, tetapi juga hukumnya yang permanen dianugerahi oleh Tuhan sendiri.36 Dalam eklesiologi ini, kekuasaan dan tugas gereja dibagi atas tiga: mengajar, menguduskan dan memimpin. Gereja juga mempunyai analogi dengan dunia sekular, biar pun sedikit berbeda. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memahami bahwa gereja sebagai institusi merupakan suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum untuk mencapai kebutuhan dasar yang berkenaan dengan dunia supra empiris. Ketentuan yang demikian itu diperlukan untuk menjamin tata tertib dan menjauhkan kekacauan yang tidak diinginkan. Tiga kekuasaan dan tugas gereja tersebut di atas tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, apabila tidak ada suatu institusi yang mengaturnya. Untuk itu diperlukan adanya institusi yang mempunyai wewenang untuk mengaturnya dengan baik. Di dalam institusi ada unsur kekuasaan yang berwenang untuk memberikan sanksi hukum sebagai sarana preventif dan represif terhadap warga gereja yang hendak meremehkan atau menghapusnya.
35 36
Dulles, Model-Model Gereja, 34. Dulles, Model-Model Gereja, 35
23
2.3.1. Ciri-Ciri Model Gereja Sebagai Institusi Suatu ciri dari model gereja institusional adalah konsep tentang otoritas yang hierarki. Gereja tidak dipahami sebagai suatu masyarakat yang demokratis atau menganut sistem perwakilan, tetapi sebagai suatu masyarakat di mana pelimpahan kekuasaan memimpin terpusat di dalam tangan suatu golongan tertentu, yang selalu memilih anggota baru untuk boleh masuk ke dalam kelompoknya. 37 Dalam awal kehidupan bersamanya, gereja telah menetapkan paling tidak otoritas hierarki sederhana dan esensial yaitu bahwa Yesus Kristus adalah Kepala Gereja dan umat adalah tubuhNya. Meskipun Yesus Kristus adalah kepala atas gereja, namun gereja perlu memiliki sistem hierarki dan sistem pemerintahan. Umat Allah perlu mengorganisasikan diri dan aktivitasnya dalam ketaatan kepada Yesus Kristus dan memperhatikan struktur sosiologis masyarakat di mana pun ia berada.38 Dalam kehidupan gereja mula-mula, terdapat dua golongan pelayan. Golongan yang pertama ialah yang dapat disebut golongan kharismatik, yaitu mereka yang mempunyai kharisma dan panggilan khusus seperti: para rasul, nabi dan penginjil gereja mula-mula. Pelayanan mereka pada umumnya bersifat regional (berpindah-pindah) sesuai dengan pimpinan roh kudus dan kebutuhan jemaat-jemaat. Golongan yang kedua ialah pejabatpejabat setempat, yaitu para penilik, penatua dan diaken (syamas). Pelayanan mereka bersifat lokal dan tetap.39 Pada zaman rasuli tidak dibedakan antara penatua dan penilik. Di kemudian hari, dalam gereja mula-mula mulai nampak tugas-tugas yang lebih tetap dan juga struktur-struktur
37
Dulles, Model-Model Gereja, 36. Ebenhaizer I Nuban Timo, Umat Ditapal Batas: Percakapan Tentang Gereja Jilid II, Cet.2 (Salatiga: Alfa Design, 2011), 163. 39 Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja I: Gereja Mula-Mula Di Dalam Lingkungan Kebudayaan YunaniRomawi, Cet.2 (Jawa Timur: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 1992), 41. 38
24
organisasi tertentu mulai diterima, secara khusus dua macam bentuk pelaksanaan struktur tetap yaitu: “presbiterial kolegial” dan “episkopal monarki”.40 “Presbiterial kolegial” berarti gereja dipimpin oleh dewan (collegium) para penatua (presbuteroi). Sedangkan, “epsikopal monarki” berarti gereja dipimpin oleh satu orang (monarkos) yang disebut penilik atau uskup (episkopos). Semula fungsi episkopos (seperti juga diakonos) serupa dengan fungsi penggembalaan atau pengajar, akan tetapi tugasnya berkembang menjadi pemimpin gereja lokal seluruhnya, mulai dibantu oleh beberapa petugas tetap lainnya yang disebut diakonioi.41 Jabatan episkopos sangat berkembang cepat sesuai dengan perkembangan jemaat yang berada dalam dunia Helenis-Yunani. Sementara itu jabatan presbuteroi hanya digunakan dalam jemaat-jemaat-jemaat Kristen Yahudi.42 Oleh sebab itu, menjadi sangat mungkin bahwa jabatan episkopos menjadi satu-satunya pemimpin jemaat. Pada akhirnya kedua struktur tersebut menjadi satu. Pimpinan gereja ada pada seorang uskup yang dibantu oleh dewan penatua dan beberapa diaken. Ketiga jabatan tersebut merupakan jabatan organisatoris yang bersifat tetap, kemudian oleh otoritas gereja diteruskan dalam bentuk institusi yang terdiri dari berbagai macam fungsi di dalam gereja.43 Di dalam eklesiologi yang berpusat pada institusi terdapat adanya sifat: “klerikalis, yuridis, dan triumphalis”. Ia bersifat “klerikalis” karena memandang klerus, khususnya klerus pada posisi yang paling tinggi sebagai sumber segala kekuasaan dan inisiatif. 44 Jabatan uskup sebagai klerus tertinggi sejak zaman rasuli menjadi semakin penting dalam gereja. Dari petugas yang mengatur hal-hal praktis dalam kehidupan gereja, para uskup telah menjadi pemimpin-pemimpin rohani yang memainkan peranan kunci di gereja.45 Jabatan uskup mulai dilihat sebagai ketetapan rasuli. Para rasul menunjuk uskup-uskup di jemaat-jemaat untuk 40
Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja I, 42. Jacobs, Dinamika gereja, 172-173. 42 J.L. Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja. Cet.9 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 51. 43 Nuban Timo, Umat Ditapal Batas, 145. 44 Dulles, Model-Model Gereja, 37. 45 Jan. S Aritonang & Chr. De Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja: Pengantar Sejarah Eklesiologi, cet, 6 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 12. 41
25
meneruskan pekerjaan mereka. Dengan demikian para uskup dilihat sebagai pengganti para rasul. Melalui penggantian rasuli (successio apostolica), setiap uskup dihubungkan dengan para rasul.46 Eklesiologi yang berpusat pada institusi bersifat “yuridis”, karena ia memahami otoritas di dalam gereja serupa dengan pola yuridiksi dalam negara sekular dan sangat memperluas peranan hukum dan sanksi. Gereja menyadari dirinya sebagai suatu komunitas (masyarakat) di mana para pemimpinnya memiliki kekuasaan yuridis sosial. Dengan kekuasaan itu mereka dapat mengatur dengan sah dan mengikat anggotanya dalam hati nurani melalui peraturan hukum dan kegiatan hukum lainnya. 47 Eklesiologi institusional bersifat “triumphalis” untuk menggambarkan gereja sebagai kesatuan pasukan tempur yang berjuang melawan setan dan kuasa-kuasa kejahatan. Dalam sejarah gereja, sikap triumphalistik ini terungkap melalui adagium Extra Ecclesiam Nulla Salus (tidak ada keselamatan di luar gereja). Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Cyprianus, seorang uskup dari Kartago. Dengan ungkapan ini, Cyprianus mau mengatakan bahwa sakramen yang diberikan oleh para bidat (orang-orang yang menyebarkan ajaran yang melenceng dari ajaran resmi gereja) tidak menghantar keselamatan. Hanya sakramen dalam gereja yang mampu menyelamatkan. Dengan demikian, ungkapan ini mau menjaga kesatuan gereja dari benih-benih perpecahan yang ditaburkan oleh para bidat.48 Kesatuan merupakan syarat mutlak untuk gereja sebagai tubuh Kristus yang tidak terbagi. Kesatuan ini nampak dalam keuskupan, prinsip kesatuan yang diberikan Kristus melalui para rasul kepada gereja. 49 Eklesiologi institusionalis berpikir dalam kerangka pandangan dunia yang statis di mana segalanya pada intinya tetap sama seperti semula dan karena itu asal-usul menjadi amat penting. Eklesiologi institusional sangat mengutamakan kegiatan Kristus di dalam 46
Aritonang & De Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja, 13 Eddy Kristiyanto OFM, Gagasan yang menjadi peristiwa: Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 22. 48 Eddy Kristiyanto, Gagasan yang menjadi peristiwa, 27. 49 Aritonang & De Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja, 16. 47
26
menetapkan jabatan-jabatan dan sakramen-sakramen yang ada sekarang di dalam gereja. 50 Karena itu Konsili Trente menetapkan bahwa ketujuh sakramen dan hierarki sebagai yang ditetapkan oleh Kristus. Dalam perkembangannya, Konsili Trente menjadi sebuah “solusi” untuk semua masalah doktrinal dan institusional. Konsili Trente menjadi sebuah ideologi baru yang merubah gereja menjadi berwajah sama (uniformitas). Semua pengaruh dan kontak antara tradisi eklesial dengan realitas disaring melalui Konsili Trente. Konsili Trente menjadi sistem eklesial baru yang bersifat hierakis dan terpusat.51 Berkaitan dengan kritik ilmiah yang tidak bisa membuktikan bahwa semua jabatan, keyakinan dan ritus diadakan oleh Kristus, para kaum teolog-teolog model ini menerapkan metode regresif: ajaran terbaru dari magisterium sebagai indikasi terhadap apa yang seharusnya sudah ada sejak semula. Dalam periode institusional ini gereja tidak mengakui adanya kuasa mana pun yang membaharui tentang wahyu. Menurut konsep ini, tugas teologi yang paling mulia adalah menunjukkan bagaimana suatu doktrin yang didefinisikan oleh gereja terkandung di dalam sumber-sumber wahyu.
2.3.2. Sasaran Pelayanan Model Gereja Sebagai Institusi Sasaran pelayanan di dalam model institusional pada dasarnya sama seperti tiga kriteria yang dikemukakan oleh Robert Bellarminus. Sebagaimana dikutip oleh Dulles, Bellarminus menjelaskan bahwa: “anggota gereja yang menerima ajaran-ajaran yang diakui, yang mengambil bagian dalam sakramen-sakramen yang sah, dan yang tunduk kepada para gembala yang diangkat secara sah.”52 Keanggotaan gereja bisa dibuktikan secara yuridis dan yang mendapat pelayanan dari gereja adalah para anggotanya. Dari penjelasan tersebut, sudah menjadi jelas bahwa gereja bertujuan memberikan kehidupan kekal bagi para anggotanya.
50
Dulles, Model-Model Gereja, 38. Eddy Kristiyanto OFM, Reformasi Dari Dalam: sejarah Gereja Zaman Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 106. 52 Dulles, Model-Model Gereja, 39. 51
27
sikap yang dituntut dari anggotanya adalah patuh dan mempercayakan diri kepada pejabatpejabat gereja.
2.3.3. Kekuatan Model Gereja Sebagai Institusi Ada tiga kekuatan yang terdapat di dalam model eklesiologi institusional, yaitu: Pertama, teori ini sangat didukung oleh ajaran resmi gereja dari beberapa abad yang lalu. Gereja berulang kali menekankan bahwa struktur ajaran, tata aturan sakramen, dan susunan kepemimpinannya bersumber dalam wahyu ilahi. Sehingga sulit bagi orang beriman untuk mengambil posisi yang berbeda. Kedua, dengan memberikan penekanan yang kuat atas elemen kontinuitas dari asal-usul agama Kristen, pendekatan institusional menyediakan mata rantai yang penting antara masa sekarang yang serba tidak pasti dengan masa lampau yang dihargai sebagai masa ideal. Ketiga, model institusional telah membantu memberikan orang Kristen suatu realitas identitas kelompok yang jelas (esprit de corps). Umat memiliki ketaatan institusional yang tinggi, karena mereka didorong untuk menerima maksud dan ajaran gereja yang ditetapkan oleh pemimpin. Di samping itu, Gereja mempunyai tujuantujuan yang jelas bagi kegiatan misionernya. 53
2.3.4. Kelemahan Model Gereja Sebagai Institusi Di dalam eklesiologi model institusional terdapat lima kelemahan yang tidak kecil. antara lain:54 Pertama, model ini tidak memiliki dasar biblis dan tradisi gereja perdana. Hanya sedikit saja teks di dalam Perjanjian Baru yang mendukungnya dan teks-teks tersebut harus ditafsirkan secara khusus. Dalam Surat-surat Paulus (Roma, Korintus, Efesus), ditemukan banyak macam pelayanan, fungsi dan kharisma dalam tubuh mistik Kristus. Namun tidak mungkin menentukan yang dari tugas-tugas itu sama dengan apa yang
53 54
Dulles, Model-Model Gereja, 40. Dulles, Model-Model Gereja, 41.
28
dinamakan jabatan. Paulus berbicara banyak tentang pelayan-pelayan sabda, tetapi sangat kurang tentang jabatan-jabatan kepemimpinan. Dengan demikian, Kitab suci tidak melukiskan gereja sebagai suatu masyarakat yang seragam dengan peraturan yang ketat. Kedua, model institusional membawa konsekuensi negatif pada kehidupan kekristenan. Beberapa kebajikan seperti ketaatan, diberi tekanan yang berlebihan sementara kebajikan lain diabaikan. “Klerikalisme” agaknya cenderung membuat kaum awam menjadi pasif, dan menjadikan kerasulan mereka hanya sebagai tambahan belaka dari kerasulan “hierarki”. “Yuridisme” terlalu membesar-besarkan peranan otoritas manusia dan dengan demikian mengubah injil menjadi suatu hukum yang baru. Ketiga, model institusional menghalangi kreativitas teologi. Model ini mengikat teologi menjadi eksklusif pada tugas untuk membela pendapat yang ditetapkan secara resmi, dan dengan demikian mengurangi penelitian kritis dan mendalam untuk mencari pengertian baru. Dalam teologinya, gereja Katolik bergantung banyak pada tradisi untuk mendukung konsepnya tentang kesatuan dari gereja. gereja Katolik biasanya mengacu pada teologi perjuangan para Bapa gereja secara khusus Irenius dan Tertulian dalam melawan perpecahan gereja. Tulisan Bapa-bapa gereja lainnya seperti Cyprian dan Augustinus yang melawan perpecahan dan mendukung kesatuan gereja Katolik juga banyak digunakan sebagai argumentasi teologi. Selanjutnya, dukungan lain bagi kesatuan gereja juga terkait erat dengan pemahaman teologis beberapa teolog Katolik bahwa gereja perlu menjadi gereja yang kelihatan (secara organisasi menyatu) karena Kristus juga kelihatan ketika Ia berinkarnasi. Menurut mereka, sebagaimana Kristus kelihatan pada saat inkarnasi, demikian pula tubuhNya yaitu gereja, kelihatan pada saat ketidakhadiranNya.55 Keempat, institusionalisme yang berlebihan menimbulkan problem teologi yang sangat serius. Menurut beberapa wakil dari aliran ini, keselamatan kekal bagi orang-orang
55
Eddy Kristiyanto OFM, Visi Historis Komprehensif: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 42-43.
29
yang bukan bagian dari Gereja hampir mustahil. umat manusia tidak akan memperoleh keselamatan kekal semata-mata hanya karena mereka bukan orang kristen, tidak bisa dipercaya
dan
tidak
dapat
diterima
secara
teologis.
Model
institusional
gagal
memperhitungkan daya hidup rohani dari gereja-gereja non-Katolik. Bahkan di dalam Gereja Roma Katolik sendiri, eklesiologi ini tidak dapat memberikan keleluasaan yang secukupnya dengan unsur kharismatik. Kelima, akhirnya eklesiologi ini tidak sesusai dengan tuntutan zaman. Di dalam zaman dialog, ekumenisme dan perhatian kepada agama-agama dunia, tendens monopoli dari model ini tidak dapat diterima. Pada masa di mana semua intitusi besar dipandang dengan rasa curiga dan segan, sangat sulit untuk menarik orang kepada suatu agama yang aspek institusionalnya memainkan peranan utama. Di dalam masyarakat modern yang pluralistik, orang tidak mengalami gereja sebagai sarana mutlak yang perlu memberikan arti bagi hidup mereka. Akan tetapi, mereka rela memilih suatu gereja dengan harapan akan menerima pelayanan khusus yang tidak diperoleh di tempat lain.56
2.4. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa Gereja dalam arti institusi tidak terlepas dari sebuah organisasi. Karena di dalam gereja diperlukan suatu tatanan, pengaturan, penyusunan maupun tentang pengelolaan dalam segala sesuatu proses yang dilakukan oleh gereja tersebut demi tercapainya pengorganisasian yang baik sehingga gereja dapat mencapai tujuannya, sebagai mandataris Allah di dunia. Gereja sebagai institusi dapat juga dilihat sebagai organisasi yang ditinjau dari sosiologis karena gereja tidak akan pernah lepas dari sudut pandang sosial kemasyarakatan. Alasan yang mendasarinya, bahwa gereja terdiri dari sudut bagian sosial kemasyarakatan. 56
Dulles, Model-Model Gereja, 42.
30
Pandangan ini terjadi karena gereja belumlah sempurna, sehingga diperlukan peraturan dan disusun dari keterlibatan dan disiplin hidup masyarakat. Gereja sebagai institusi berusaha menjelaskan bahwa gereja harus menjadi suatu komunitas yang berstruktur dan harus tetap menjadi komunitas seperti yang didirikan oleh Kristus sebagai kepala gereja. Komunitas seperti itu mesti mencakup suatu tugas pastoral yang dilengkapi dengan kekuasaan untuk memimpin dalam komunitas, untuk menentukan batas-batas perbedaan pendapat yang bisa diterima dan untuk mewakili komunitas secara resmi. Gereja sebagai institusi, pada dirinya sendiri cenderung menjadi kaku, doktriner, dan konformis. Model ini dengan mudah menggantikan Tuhan dengan pejabat gereja. Hal ini bisa menjadi suatu bentuk penyembahan berhala. Sebagai solusinya, gereja harus tampil sebagai subordinasi terhadap hidup perutusan komunalnya.
31