BAB II MISI GEREJA: LANDASAN TEORI A.
MISI GEREJA Gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya mempunyai tiga tugas, yaitu
Persekutuan, Kesaksian dan Pelayanan. Tiga tugas ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Ketiga tugas ini juga merupakan misi gereja di tengah-tengah dunia ini.Dapat dikatakan gereja belum menjalankan misi atau tugasnya dengan baik kalau ia hanya menekankan salah satu saja dari ketiga tugas tersebut. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia merumuskan panggilan gereja di semua tempat dan di sepanjang zaman sebagai berikut: "Tiap gereja adalah ungkapan dari gereja yang kudus dan am, yaitu persekutuan orang yang percaya, pria-wanita, tua muda disegala tempat dan di sepanjang zaman. Gereja di semua tempat dan sepanjang zaman terpanggil untuk: 1. Menampakan keesaan mereka seperti keesaan Tubuh Kristus dengan rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh(1 Kor. 12:4). 2. Memberitakan Injil kepada segala makhluk (Mrk. 15: 16). 3. Menjalankan pelayanan dalam kasih dan usaha menegakan keadilan. (Mrk.10: 45; Luk.4: 18; 10: 25-37; Yoh. 15: 16)".14
Selanjutnya dijelaskan lagi bahwa tugas panggilan gereja itu adalah kelanjutan dari misi Yesus Kristus, yang telah diutus oleh Allah untuk menyelamatkan dunia
14
PGI, Lima Dokumen Keesaan Gereja (Jakarta:BPK Gunung Mulia,2002), halaman9
ini dan memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah. Tugas panggilan gereja tidak pernah berubah di semua tempat dan dalam segala zaman. Sebab gereja hidup oleh Kristus dan bagi Kristus. Dan Kristus itu tidak berubah, karena Ia tetap sama, baik kemarin, hari ini, besok dan selama-lamanya.15 Menurut Olaf Schumann, misi baru dimengerti secara benar bila bertolak dari Kristus dan misi -Nya, karena kepercayaan umat Kristen ialah pemahamannya tentang diri dan karya keselamatan Yesus Kristus. Gereja purba merumuskan kepercayaannya tentang Kristologi dimana Tuhan Yesus Kristus yang menghampakan diri menjadi hamba yang sama seperti kita manusia, dan menderita (Flp. 2: 5-7), melalui kehadiran dan pekerjaan-Nya, jemaat merasakan perwujudan Kerajaan Allah; pemerintahan-Nya dalam damai sejahtera dan kasih karunia.16 Pandangan lain tentang tugas dan panggilan gereja dinyatakan oleh Jurgen Moltman bahwa gereja berada di tengah dunia ini bukan untuk dirinya sendiri, melainkan diutus dan dihadirkan untuk melaksanakan misi Allah(Missio Dei) Seperti halnya Yesus diutus Bapa ke dalam dunia untuk melaksanakan misi Allah, demikian juga Yesus mengutus para murid (juga gereja) untuk melaksanakan misi Allah di tengah dunia ini. 17 Sejalan dengan Moltman; H. Kraemer, memiliki pandangan yang sama bahwa gereja adalah untuk dunia dan
15
ibid, hlm 9 Olaf Schuman, Apakah Kristologi masih berarti Masa Kini? Tabah Melangkah, ed. S.Wismoady Wahono (Jakarta: STT Jakarta, 1984), h1m.380-382 17 Jurgen Moltman, The Church in Power of the Spirit (London: SCM Press, 1977), h1m. 19 16
bukan untuk dirinya sendiri. Aspek h a k i k i g e r e j a a d a l a h m e m b a w a m i s i d an m e l a ya n i . It u l a h s e b a b n ya i a mengungkapkan bahwa gereja adalah misi dan gereja adalah pelayanan.18 Sedangkan S.H.Widyapranawa19 (dosen Fakultas Theologia Universitas Duta Wacana) merumuskan misi sebagai berikut : Arti Pokok dari misi atau Zending ialah pengutusan keluar kepada bangsabangsa (non-Kristen ) di dunia untuk menyampaikan berita keselamatan dan kesukaan(injil) dan datangnya Kerajaan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus, yang dilakukan baik melalui pemberitaan secara lisan maupun melalui pelayanan diakonal, yang bersifat kesaksian dan pelayanan secara holistik Dari uraian di atas, penulis cenderung mengartikan misi gereja dalam tulisan ini secara luas, yaitu yang menyangkut keseluruhan dari tugas panggilan gereja baik kepada manusia dan lingkungannya serta menjawab pergumulan manusia dalam realitas sosial atau dalam situasinya sehingga pelaksanaan misi gereja itu benar-benar merupakan misi yang relevan dan kontekstual.
B.
PE RGE SE RAN PARADIKMA MIS I 20 Menurut David J. Bosch 21, Suatu pemahaman tentang misi gereja tidak
terbentuk dengan sendirinya, tetapi sangat ditentukan oleh teologi misi yang 18
H. Kraemer, Theologia Kaum Awam (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 95-103 19 .S. Widyapranawa, “Dasar Teologis Perspektif Misi Dalam Perjanjian Lama,” Gema Duta Wacana, No 43, 16 maret,1992, hal 7 20 David J. Bosch, Transforming Mission, Paradigm Shifs in Theology of mission, terj. Stephen Suleman(Jakarta:BPK Gunung Mulia 2002), 285
21
Ibid
menjadi dasar dari pemahaman itu. Dibalik pemahaman misi selalu terdapat suatu paradigma yang mempengaruhi dan menentukannya karena dalam kenyataan tidak hanya terdapat satu teologi misi. Dengan kata lain, dalam sejarah gereja telah muncul beberapa paradigma misi yang menentukan bagaimana misi dipahami dan dilaksanakan oleh gereja yang meyakini dan hidup dalam paradigma misi yang dinilai relevan dalam kurun waktu tertentu. David J. Bosch, dalam bukunya Transformasi misi Kristen, mengusulkan agar Gereja merefleksikan kembali apa arti misi dalam periode-periode yang lalu hingga masa kini. Dalam penjelasannya pengarang memakai sub judul "Perubahan-perubahan paradigma dalam misiologi"22 Selanjutnya paradigma yang mempengaruhi dan menentukan pemahaman misi itu dapat disebut paradigma misi. Dalam uraian ini pengarang menggunakan istilah pergeseran paradigma menurut teori Thomas Kuhn. Thomas Kuhn meneliti ilmu pengetahuan alam yang mengalami pergeseran teori dari waktu ke waktu. Pergeseran itu bukanlah secara berangsur-angsur menuju kepada kesempurnaan, melainkan suatu revolusi yang menunjukan perbedaan yang menyolok tentang suatu yang diteliti. Namun demikian tidak satu teoripun yang dimutlakan karena masing-masing teori melihat sesuatu dalam konteksnya.23 Paradigma itu sendiri menurut Kung mempunyai pengertian ―Keseluruhan konstelasi dari keyakinan,nilai-nilai,tehnik-tehnik yang dipahamibersama oleh anggota-anggota
23
Ibid, h1m 286
suatu komunitas‖.24 . Kemudian Bosch merumuskan paradigma misi sebagai model interpretasi dan pemahaman yang mempengaruhi, bahkan menentukan keyakinan dan nilai serta teknik-teknik misi yang dipakai oleh gereja sebagai suatu komunitas dalam era tertentu.25 Bosch melanjutkan bahwa dalam kenyataannya, tidak sesederhana seperti yang telah dirumuskan di atas. Munculnya suatu paradigma misi sangat ditentukan oleh perubahan dan pergeseran paradigma teologi. Padahal, perubahan dan pergeseran paradigma teologi tidak persis sama seperti dalam ilmu pengetahuan karena perubahan dan pergeseran paradigma dalam ilmu pengetahuan seringkali terjadi secara revolusioner. Seperti dalam ilmu alam, paradigma Copernican diganti oleh Newtonian kemudian digeser lagi oleh Einsteinian 26. Menurut Bosch, bila terjadi pergeseran maka paradigma yang lama sudah tidak dianut lagi oleh para ilmuan yang sudah bekerja dalam paradigma baru. Tidak demikian halnya dalam pergeseran paradigma teologi karena munculnnya suatu paradigma yang baru tidak sama sekali menghapus elemenelemen dari paradigma-paradigma yang lama 27. Hal ini juga harus disadari dalam memahami paradigma misi. Mempelajari pergeseran paradigma misi akan membantu usaha memahami bagaimana orang-orang Kristen atau gereja memahami dan melaksanakan misi dalam pelbagai era dalam sejarah kekristenan. Hal itu juga akan menolong Gereja pada
24
Hans Kung, Paradigm Change in Theology: A Proposal for Discussion, dalam Widi Artanto: Menjadi Gereja Misioner (Yogyakarta:Kanisius,1997),33. 25 David J.Bosch (2002), hIm.285 26 Ibid 27 Ibid, hlm 586
masa kini untuk memiliki pandangan yang lebih mendalam tentang bagaimana Gereja pada masa kini harus memberi arti terhadap misi karena setiap usaha menginterpretasikan misi di masa lalu secara tidak langsung adalah usaha untuk menginterpretasikan misi pada masa kini dan masa depan. Disinilah kita melihat relevansi dari pemikiran misiolgis David J. Bosch terutama mengenai pergeseran paradigma misi dalam sejarah gereja sampai tahun 1990-an. David J. Bosch adalah seorang professor dan dosen misiologi di University of Petroria Afrika Selatan. Pemikiran misiologisnya menjadi terkenal setelah dua bukunya diterbitkan. Buku yang pertama terbit pada tahun 1980 dengan judul
`Witness
to
the
world,
The
Christian
Mission
in
Theological
Perspective(Marshall, Morgan & Scott, London, 1980) dan yang kedua terbit tahun 1991 dengan judul Transforming Mission, Paradigm Shifts in Theology of Mission(orbis books maryknoll new York, 1991).28 Untuk menentukan pergeseran paradigma misi dalam sejarah gereja, secara garis besar David J. Bocsh mengikuti pembagian era yang diikuti oleh Hans Kung29 sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Setiap
28 29
Paradigma misi apokaliptik dari gereja perdana Paradigma misi Helenistik dari periode Bapa Gereja Paradigma misi gereja katolik abad pertengahan Paradigma misi reformasi protestan Paradigma misi era pencerahan Paradigma misi ekumenis yang sedang muncul era
memiliki
konteks
masing-masing
dan
klaim
Ibid. xi-xii Ibid 286.Bandingkan Hans Kung, Paradigm Change in Theology(New York:Crossroad 1989)157
bahwa
pemahaman iman dan misi gereja saat itu sesuai kehendak Allah. Mereka percaya bahwa pemahaman iman mereka tepat dan obyektif. Itulah sebabnya setiap era memiliki paradigma yang berbeda secara kualitatif seperti tampak, misalnya dalam perbedaan dunia kekristenan Helenistik dari abad ke II sampai abad ke IV yang begitu berbeda dengan dunia kekristenan dari gereja perdana.Perbedaan itu terjadi karena masing-masing era melakukan refleksi teologis dengan paradigma yang telah bergeser dari paradigma yang dipakai oleh era sebelumnya30. Pergeseran itu terjadi karena suatu krisis dalam teologi dan kehidupan gereja. Krisis itulah yang mengantar suatu perubahan atau pergeseran paradigma, misalnya, yang terjadi awal abad pertengahan, perpisahan gereja timur dan barat, serta krisis yang melatarbelakangi terjadinya reformasi 31. Demikian pula dengan paradigma misi ekumenis yang muncul karena suatu krisis. Krisis itu tidak hanya terjadi di dalam tubuh gereja dan masyarakat Kristen, tetapi juga di dalam kehidupan dunia yang ternyata sangat mempengaruhi misi gereja (misalnya, perkembangan ilmu pengetahuan yang bersifat ambigius, kesenjangan sosialekonomi-politik yang menyebabkan penderitaan sebagian besar umat manusia, dan pluralitas agama di dunia ketiga, Eropa, serta Amerika)32. Semua itu mendorong gereja dan teolog dunia ketiga) juga gereja dan teolog barat itu sendiri. Untuk merumuskan ulang pemahaman dan penghayatan gereja terhadap keberadaan dan misinya di tengah-tengah dunia ini 30 Ibid 288 31 Ibid 292 32. Ibid. 4-6
Pergumulan teologis yang di dorong oleh krisis itu memunculkan paradima teologi, termasuk di dalamnya teologi misi yang juga memberi pengaruh pada pemahaman dan pelaksanaan misi. Hal itu terjadi karena teologi dan praktek misi saling mempengaruhi. Interaksi yang menentukan antara teologi dan misi sudah tampak sejak zaman PB, terutama dilihat dalam diri Paulus. Teologi Paulus sangat ditentukan praktek misinya dan sebaliknya. Teologi memperhatikan anggapan dan prinsip dasar yang memberi arah kepada aktivitas gereja. Anggapan dan prinsip dasar itu selalu hadir dalam aktivitas gereja walaupun tidak selalu diekspresikan dan diformalisasikan secara eksplisit. Dibelakang setiap usaha misi dalam berbagai periode selalu terdapat refleksi teologis walau tidak selalu secara formal dinyatakan. No mission is possible without theology33. Seringkali memang terjadi kesenjangan dan bahkan ketegangan, namun relasi semacam itu bersifat kreatif sehingga interaksi antara teologi dan praktek misi tetap merupakan kenyataan. Yang mungkin terjadi adalah teologi tanpa misi atau usaha bereteologi tanpa menghubungkannya dengan misi gereja. Namun, teologi semacam itu tidak dapat lagi disebut teologi yang autentik karena teologi yang autentik hanya berkembang dimana gereja bergerak dalam relasi dialektis dengan dunia;
atau
dengan
kata
lain,
teologi
berkembang dimana gereja secara aktif menjalankan misinya ditengah-tengah dunia. Oleh karena itu, paradigma teologi misi tidak terpisahkan dari paradigma misi karena model-model pemahaman dalam teologi misi menentukan model-model 33
. Ibid. 24.
praktek misi gereja. Menurut Bosch34 Enam era yang disebutkan oleh Hans Kung masih menunjukkan paradigma makro yang menyatakan suatu rekonstruksi teologis secara keseluruhan, namun di dalamnya masih dibagi lagi dalam berbagai bidang. Juga harus disadari bahwa transisi dari suatu paradigma ke paradigma yang lain tidak terjadi tiba-tiba karena ketika paradigma yang baru muncul, yang lama tetap hidup. Bahkan, ketika suatu paradigma sudah muncul dengan jelas, masih dapat diamati adanya paradigma lain yang hidup ditangah–tengah pergumulan teologis baik secara akademis maupun dalam praksis Gereja. Kenyataan ini tidak menggembirakan dan bahkan seringkali membingungkan, tetapi tidak ada jalan lain kecuali menentukan sikap dengan memilih paradigma yang diyakini dan bekerja dengan paradigma itu. Mengenai
pemilihan
paradigma
teologi
ini,
Hans
Kung 35
memperingatkan bahwa seorang teolog atau sekelompok teolog tidak dapat secara mudah menciptakan suatu paradigma karena suatu paradigma, yang muncul dan berkembang secara kompleks, menyangkut berbagai faktor sosial, politik, eklesiologis, dan teologis yang saling terkait. Proses yang begitu kompleks itu tidak selalu terjadi secara dramatis. Perubahan yang terjadi bukanlah perubahan secara berangsur-angsur, melainkan suatu perubahan yang drastis. Dalam proses perubahan itulah, para teolog cepat atau lambat, akan menemukan 34
. Ibid. 296. 35 .Ibid. Bandingkan Hans Kung, Paradigm Change in Theology (New York Crossroad1989), 442-443
dirinya sendiri sedang diperhadapkan dengan pertanyaan apakah paradigma teologinya sendiri tetap berkaitan dengan paradigma yang sedang berlaku saat itu. Pada saat itulah dia harus memilih paradigma yang dengannya ia ingin bekerja dengan loyalitas, keterikatan, serta perhatian yang penuh.
C.
PERGESERAN PARADIGMA MISI DALAM SEJARAH Untuk memahami paradigma misi ekumenis dengan lebih baik
sebagai paradigma yang berlaku atau dominan saat ini, perlu kiranya ditelusuri dan dikenal paradigma-paradigma yang sudah muncul dalam sejarah gereja dalam hal ini, David J. Bosch memberikan sumbangan yang berarti karena dalam transforming mission(1991) ia menguraikan dengan cukup lengkap setiap paradigma misi dari setiap era. Disini, hanya akan diuraikan karakteristik pokok setiap paradigma, mulai dari paradigma misi gereja perdana sampai paradigma misi ekumenis. 1.
Paradigma misi apokaliptik dari gereja perdana36 Paradigma misi dari gereja perdana dapat dilihat dalam pemikiran dan praktek
misi yang terkandung dalam Matius, Lukas dan Kisah Para Rasul serta surat surat Paulus. Ketiga dokumen PB ini dipilih(oleh David J. Bosch) karena ketiga pengarang itu dianggap sudah dapat mewakili pemikiran misiologis dari abad pertama. Matius sebagai seorang Yahudi menulis injilnnya bagi masyarakat
36
David J.Bosch, (1991). Uraian lengkap tentang paradigma ini terdapat dalam Bab 2-4. hlm.87-268, sedangkan yang dimuat disini adalah kesimpulan dari karakter-karakter terpenting paradigma misi Apokaliptik 37 Ibid. 92-
129
Kristen Yahudi dalam satu lingkungan missioner yang khas pada abad pertama sehingga. muncul "amanat agung"(Mat.28:18-20) yang memberi pengaruh pada abadabad selanjutnya. Lukas merupakan penulis yang tidak hanya menulis injil Lukas tetapi juga kitab Kisah Para Rasul yang menunjukkan kesatuan antara. misi Yesus dan misi Gereja perdana. Adapun Paulus adalah Rasul untuk orang "nonyahudi" yang memberi pengaruh sangat besar terhadap pemikiran dan praktek misi gereja perdana 1.1.
Paradigma misi menurut Matius37 Identitas diri komunitas kristen adalah identitas, dalam misi Kristus yang sejak awal sampai akhir injil Matius diarahkan kepada orang Yahudi dan nonYahudi serta berpuncak pada "Amanat Agung" Gambaran tentang Yesus yang tetap tinggal bersama murid -muridNya memberi arah misi untuk meneladani Dia serta memberi kekuatan karena la selalu menyertai murid-murid yang melanjutkan misi sampai ke masa depan. Yesus bukan hanya guru mereka melainkan Tuhan mereka yang memiliki kuasa atas langit dan bumi. Ortopraksis(tuntutan bertindak dalam dunia menuju kepada kehendak Allah) adalah jawaban atas dua kecenderungan dalam komunitas Matius yaitu kecenderungan untuk melanjut kan ketaatan terhadap hukum dan kecenderungan menyerahkan diri kepada bimbingan Roh. Ortopraksis ini diungkapkan oleh Matius dengan menonjolkan cerita-cerita dan ucapan Tuhan
Yesus tentang perbuatan, buah-buah kehendak Allah, perihal menjadi sempurna dan melaksanakan keadilan yang pasti diterima oleh kedua kecenderungan itu. Menjadi murid berarti menjadi orang Kristen yang hidup dalam kasih dan keadilan. Kemuridan melibatkan suatu komitmen terhadap kerajaan aan Allah dengan melaksanakan keadilan, kasih, dan kesetiaan terhadap seluruh kehendak Allah. Misi tidak dipersempit menjadi suatu kegiatan yang menyadarkan manusia-manusia baru dengan jaminan keselamatan kekal, namun sejak semula membuat orang-orang terbuka terhadap kebutuhan orang lain, memberikan mata dan hati untuk mengenal ketidakadilan, penderitaan, penindasan, dan keadaan yang menyedihkan dari mereka yang terbuang. Menurut Amanat Agung Matius, tidak mungkin menjadikan murid-murid t anpa
m emberi t ahu
m ereka
t ent ang suat u panggi l an Al l ah unt uk mempraktekan keadilan terhadap orang miskin. Hukum kasih yang merupakan dasar kehidupan gereja adalah suatu bagian yang integral dari misi. Matius mengkombinasikan pendekatan pastoral dan profetis dalam misi untuk orang-orang Yahudi dan non-Yahudi karena Allah tidak membatalkan perjanjian-Nya dengan umat pilihan. Kesetiaan Allah itu harus dilihat dalam rangka Allah merangkul seluruh dunia. Jadikanlah murid-Ku dalam pikiran Matius tidak sama dengan menjadi anggota suatu jemaat. Ada huungan antara keduanya, etapi harus dibedakan.
Gereja ditemukan di mana murid-murid hidup dalam komunitas yang melaksanakan kehendak Bapa. Jadi,
sebenarnya
Matius
tidak
tertarik
pada
istilah
misi
dan
semacamnya ketika ia menggambarkan praktek misi Yesus dan murid murid-Nya serta implikasikan untuk masyarakat pada saat itu. Istilah yang digunakan di sini, antara lain, mengirim pergi, memproklamasikan, bersaksi, mengajar dan menjadi murid. Walaupun dalam Matius tidak ditemukan begitu saja suatu teori misi yang valid dan universal, terdapat suatu dasar dan arah yang dinyatakan Matius bahwa melalui dan di dalam Yesus, pelayanan, kematian, dan kebangkitan-Nya, terbukalah jalan misi kepada orang-orang non-Yahudi. Semua batas sudah diangkat dan era yang baru sudah dinyatakan. Para murid dipanggil untuk memproklamasikan puncak kemenangan Yesus kepada kekuatan kejahatan, untuk memberikan kesaksian-Nya dan membimbing dunia ke dalam pengenalan kasih Allah. Dalam pandangan Matius, orang-orang Kristen menemukan identitasnya yang benar ketika mereka itu tetlibat dalam misi dan dalam relasi yang baru dengan orang lain sebagai cara hidup yang baru. Suatu komunitas misioner adalah suatu komunitas yang mengenal diri sendiri sebagai yang berbeda menurut lingkungannya. 1.2.
Paradigma Misi menurut Lukas Menurut Lukas, melalui Roh Kudus, Kristus yang bangkit hadir dalam komunitas Kristen dan tidak berhenti pada peristiwa Pentakosta.
Tekanan pada Roh Kudus dan peranan-Nya begitu menonjol karena Lukas melihat realisasi misi Yesus dalam misi Gereja pada saat itu dalam bimbingan, inisiatif, serta kuasa Roh Kudus. Kontribusi Lukas dalam pemahaman tentang misi adalah korelasi antara misi untuk orang Yahudi dan non-Yahudi. Yesus pertama-tama adalah Mesias bagi orang Yahudi, namun Ia juga Juruselamat bagi orang-orang non-Yahudi. Kesaksian adalah aspek yang sangat penting dalam paradigma misi menurut Lukas. Istilah "rasul" dan "saksi" dalam Luk as dan Kisah Para Rasul mempunyai makna yang sama dalam beberapa perkembangan. Rasul-rasul adalah mereka yang menjadi saksi Kristus, terutama saksi kebangkitan-Nya. Itu berarti saksi Kerajaan Allah di dalam Yesus yang inkarnasi, mati, dan bangkit. Tujuan misi adalah pertobatan individu dan pengampunan dosa serta keselamatan. Namun, pertobatan individu bukanlah tujuan pada dirinya sendiri karena ia menggerakkan orang percaya masuk ke dalam komunitas Kristen yang pada gilirannya bertanggung jawab terhadap mereka yang berada di luar komunitas. Keselamatan sebagai tujuan misi mempunyai dimensi ekonomis, sosial, politik, fisik, psikologis, dan spiritual.. Hal ini nampak dalam tulisan dan perhatian Lukas terhadap relasi orang kaya dan orang miskin. Lukas mempunyai minat yang kuat terhadap keadilan ekonomis
karena ia melihat pelayanan Yesus terarah kepada kondisi riil dari orang miskin, buta dan orang tertindas. Yesus memperjuangkan keberpihakan Allah terhadap orang miskin(God's preferential option for the poor). Ia mengumumkan Tahun Yobel untuk memulihkan orang yang tidak memiliki apa pun, orang yang tertindas dan yang sakit, serta memanggil orang kaya dan kuat untuk berbagi dengan mereka yang menjadi korban eksploitasi. Terhadap orang kaya, Yesus m e n g h e n d a k i s i k a p ya n g b e n a r t e r h a d a p h a r t a m i l i k d a n c a r a menggunakannya. Unsur lain yang menonjol adalah perdamaian dan rekonsiliasi. Ini tampak dalam tema-tema penghapusan balas dendam dan cinta kepada musuh. Dimensi lain adalah eklesiologi misi yang menyatukan misi Yesus dengan misi Gereja. Kehidupan Yesus dan kehidupan Gereja dalam Lukas dan Kisah Para Rasul menjadi satu dalam RohKudus. Unsur terakhir adalah penderitaan dalam misi seperti Nampak dalam arti kata'martir' yang mengandung makna kesediaan untuk berkorban. Stefanus dan Paulus digambarkan sebagai saksi-saksi(martyr-martyr) yang mengalami penderitaan sebagai bagian dalam keterlibatan misi. 1.3.
Paradigma Misi menurut Paulus.38 Menurut Paulus keberadaan Gereja adalah suatu konsekuensi dari misi dalam dunia yang terbagi secara cultural, religious, ekonomis, dan
38. Ibid hlm 192-282
sosial. Setiap orang yang dibaptis dalam Yesus tidak lagi dibagi atau terpisah dan dibedakan sebagai orang Yahudi atau non-Yahudi, budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, Yunani atau Barbar karena semua adalah satu dalam Kristus. Tiap anggota menemukan identitas mereka di dalam Yesus Kristus lebih daripada di dalam ras, budaya, kelas sosial, atau jenis kelamin. Misi Paulus yang menekankan misi kepada orang non-Yahudi tidak menutup pintu terhadap orang Yahudi itu sendiri karena Gereja yang terdiri dari orang Kristen Yahudi dan non-Yahudi adalah suatu pangembangan dan interpretasi yang segar dari apa yang dimengerti oleh Yudaisme sebagai `Israel baru' atau lebih tepat `Israel yang diperluas'. Oleh karena itu, keberadaan orang Kristen non-Yahudi tidak mungkin pernah dilepaskan dari Israel. Kedua golongan ini dipersatukan di dalam Gereja. Pemahaman misi Paulus terkait erat dengan konteks Parusia Kristus yang diharapkan segera datang. Hal ini menjadi problem karena parusia itu tidak kunjung terjadi. Namun justru karena itu, muncul semangat misi yang didorong oleh tanggung jawab yang besar atas keprihatinan hidup orang lain dalam waktu yang dipahami begitu singkat. Dalam konteks Paulus, komunitas Kristen adalah kelompok periferi dalam m asyarakat , dan
suatu kel ompok m argi nal yan g dapat di abai kan,
keberadaannya selalu dalam keadaan kritis. Keadaan ini
menyebabkan `absen;nya kritik terhadap struktur social yang tidak adil seperti perbudakan dan juga sikap terhadap pemerintah yang lebih positif. Akan tetapi, hal itu tidak berarti pandangan teologi misi Paulus mengabaikan keterlibatan dalam masyarakat. Paulus menekankan suatu etika yang aktif dalam partisipasi orang Kisten dalam dunia yang ditebus Allah, di sini dan kini. Hal itu dilakukan justru karena kemenangan Allah pada akhir zaman sudah dipastikan. Kekuatan untuk melayani Kristus dalam hidup sehari-hari merupakan kesaksian di tengah dunia sekuler saat itu. Namun, Paulus juga menolak suatu sikap yang menekankan partisipasi yang terlalu banyak dalam dunia karena pengharapan terhadap parusia yang segera tiba. Dimensi penderitaan merupakan dimensi yang penting dalam teologi misi Paulus karena praktek misi akan berbenturan dengan kekuasaan dan kekuaan zaman yang menyebabkan penderaan. Bagi Paulus semua penderitaan ini diterima bukan karena sikap pasif dalam menghadapi kekuatan dunia, tetapi suatu ekspresif aktif Gereja demi penebusan dunia. Penderitaan adalah bentuk keterlibatan dalam misi, sharing dalam penderitaan Kristus demi keselamatan dunia. Kesediaan untuk menderita dalam kelemahan ini sama sekali bukan kekalahan yang tidak ada artinya. Paulus mengungkapkan suatu dialektika yang sangat indah dalam 2 Kor.4:8, 6:8-10 dan yang berpuncak dalam 1 2 : 9 , " C u k u p l a h k a s i h k a r u n i a -
K u b a g i m u , s e b a b j u s t r u d a l a m kelemahanmulah kuasa-Ku menjadi sempurna." Bagi Paulus, tujuan misi bukanlah Gereja itu sendiri, tetapi rekonsiliasi antara Allah dan dunia karena di dalam Kristus Allah mendamaikan diri-Nya tidak hanya dengan Gereja tetapi dengan dunia. Kristus dimuliakan oleh Allah dan diberi nama di atas segala nama supaya dalam nama Yesus semua lutut bertekuk menyembah Dia. Itulah sebabnya Paulus menyebutkan semua bangsa dalam Rm 1:5 sebagai sasaran paling luas dari misi yang diterimanya dari Kristus. Tugas inilah yang membawa Paulus berkeliling di wilayah Mediterania untuk melaksanakan misi.
D.
ELEMENT-ELEMENT PARADIGMA MISI EKUMENIS39 Setelah
melihat
latar
belakang
pergeseran
paradigma
yang
memunculkan paradigma misi ekumenis, tiba saatnya untuk menelaah paradigma ekumenis itu sendiri dengan mencoba memilah-milah beberapa elemen mendasar yang terdapat di dalamnya. Elemen-elemen mendasar itu merupakan tematema pokok yang menjadi pergumulan dalam praksis Gereja dan teologi yang kemudian muncul sebagai model atau corak misi dalam era ini. Elemen-elemen mendasar paradigma misi ekumenis itu akan dibahas satu per satu di bawah ini. 1.
Gereja dan Misi40 Menurut Bosch41, untuk mendapatkan pemahaman tentang pergeseran
39 40
Bosch memberi sub judul Unsur-unsur Paradigma yang sedang muncul. Ibid. hml.565. Ibid,
pemikiran misioner di kalangan Gereja Protestan tentang hubungan Gereja dan misi pada era sesudah Pencerahan, maka kontribusi dari konferensi-konferensi misi internasional sangat penting dan karena itu perlu ditelusuri. Konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh (1910),konferensi di Yerusalem (1928), konferensi di Tambarang (1938), dan seterusnya. Tentang pergeseran pemahaman hubungan misi dan Gereja, Christian deJonge menyebut bahwa konferensi Endinburgh diakui sebagai saat kelahiran gerakan ekumenis yang memberi perhatian besar terhadap hilangnya semangat misi Kristen Barat masa itu, tetapi hampir tidak menyentuh pertanyaan teologis tentang relasi Gereja dan misi. Pokok-pokok pemikiran yang dihasilkan masih di sekitar pekabaran Injil ke seluruh dunia dengan sasaran wilayah-wilayah dunia yang bukan Kristen.42 Konferensi Pekabaran Injil sedunia di Yerusalem(1928) membahas relasi Gereja ‗tua‘ dan Gereja ‗muda‘ sebagai agenda utama dengan masih memakai pembagian geografis antara negara atau wilayah Kristen dan non -Kristen 43 Kemudian,
Konferensi
Pekabaran
Injil
Sedunia
di
Tambaram(1938)
mendiskusikan relasi Gereja dan misi dengan lebih teologis, walaupun tetap, dalam relasi ‗tua‘ dan ‗muda‘. Perbedaan antara Negara Kristen dan non-Kristen secara prinsip ditolak karena Negara Eropa dan Amerika Utara juga merupakan ‗medan misi‘44. 41
Ibid hlm 567 Christian deJonge, Menuju Keesaan Gereja,Sejarah, Dokumen-dokumen dan Tema Gerakan Oikumenis (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1993), 10 43 Ibid (1991), 567 44 J.L.Ch. Abineno, Kraemer di Tambaran(Jakarta:BPK Gunung Mulia,1988), 59 42
Trauma Eropa terhadap PD I dan munculnya ideologi totaliterisme (Sosialisme Nasional, Fasisme, Marxisme) serta teologi antroposentris dari teologi Liberal Protestan (Adolf von Harnack dan Ernst Troeltsch) merupakan tantangan yang lebih perlu didiskusikan saat itu. Dosa, keterasingan, penghakiman, pertobatan, pengampunan, dan kebenaran muncul lagi di permukaan dalam diskusi tentang misi. Tentang konferensi Tambaram (1938) Abineno berpendapat bahwa dalam konferensi ini muncul suatu perspektif baru tentang misi karena Gereja dan misi dilihat bersamasama tidak terpisahkan. Lima subtema dalam konferensi itu (yaitu 1. Iman, yang olehnya Gereja hidup; 2. Kesaksian Gereja tentang imannya; 3. Kehidupan batiniah dan kekuatan Gereja; 4. Hubungan Gereja dan lingkungannya; dan 5. Kerja sama dan keesaan)45 menunjukkan kesatuan Gereja dan misi. Kemudian. Konferensi Willingen(1952) menekankan Missio Dei yang menjadi konsep paling penting saat itu. Gereja berubah dari kedudukannya sebagai pengutus menjadi yang diutus dalam rangka Missio Dei46. Di Ghana(1958) tercapai tiga konsesus tentang misi yang diringkas oleh Newbegin sebagai berikut(1)'Gereja adalah misi yang berarti' bahwa berbicara tantang Gereja sama artinya dan sekaligus berbicara tentang misi;(2)‘Basis misi ada di manapun juga‘ yang berarti bahwa setiap komunitas orang Kristen ada dalam situasi missioner;(3)'Kerja sama misi' yang berarti
45 46
.Ibid Ibid., 568
berakhirnya semua bentuk kerja sama antara Gereja yang tidak seimbang 47. Kemudian, ketika IMC diintegrasikan dalam WCC di New Delhi(1961), saat itu dipahami bahwa dengan integrasi ini WCC menempatkan tugas missioner dalam setiap pusat kehidupannya48. Sementara itu, perubahan pemahaman misi di kalangan Katolik menurut Bosch terjadi di sekitar dan setelah Konsili Vatican II. Interpretasi tentang misi yang belum terintegrasi menjelang Konsili Vatican II berubah secara mendasar lewat Konsili. Dalam Lumen Gentium(konstitusi dogumatis tentang
Gereja),
Gereja
tidak
lagi
dijelaskan
secara
tradisional,
melainkan sebagai misteri kehadiran Allah di dunia, hakikat suatu sakramen, tanda d a n i n s t r u m e n k o m u n i t a s d e n g a n A l l a h d a n k e s a t u a n s e l u r u h u m a t manusia49.Eklesiologi semacam ini menurut Tom Jacob 50 menempatkan Gereja bukan sebagai kelompok elit yang menerima anugerah keselamatan jiwa, melainkan suatu komunitas hamba yang missioner. Gereja yang menjadi instrumen dan sakramen harus hadir di tengahtengah dunia dan berjuang untuk mewujudkan kesatuan umat manusia. Oleh karena itu, tempat Gereja bukanlah di atas dunia sebagai kelompok elit, melainkan di tengah-tengah dunia sebagai hamba yang hidup untuk kesatuan dan keutuhan dunia ini.
47
Ibid.,569. Ibid 49 Tom Jacob, Gereja dan Dunia, ed.J.B.Banawiratma (Yogyakarta: Kanisius, 1987),24 48
50
Ibid
1.1.
Gereja Sebagai Sakramen dan Tanda Menurut Bosch51 pandangan teologi misi dengan terminology ‗sakramen,
tanda dan sarana‘ digunakan lebih ekstensif dalam Gereja Katolik daripada dalam Gereja Protestan. Lumen Gentium (LG) secara eksplisit menyebut Gereja sebagai "Sakramen, tanda dan sarana dalam hubungan erat antara manusia dengan Allah dan kesatuan diantara umat". Gereja adalah "Sakramen yang kelihatan dari kesatuan umat yang diselamatkan","Sakramen dari keselamatan universal". Evangelii Nuntiandi (1975) tentang hal ini, Harda Wiryana menyatakan bahwa , "Sementara Gereja sedang memproklamasikan Kerajaan Allah, ia berada di tengah-tengah dunia sebagai tanda dan instrument dari Kerajaan itu 52. . Suatu Konsultasi di Roma tahun 1982 menyatakan bahwa Gereja adalah 'Komunitas Kristen yang konkret dalam kehidupan sehari-hari yang diidentifikasikan sebagai tanda dan sarana dari keselamatan53. Selanjutnya Bosch menyatakan bahwa di kalangan Protestan, terminologi itu muncul di Uppsala(1968), "Gereja adalah tanda dari persatuan kemanusiaan yang akan datang42". Kemudian Uskup Agung Archbishop Williem Temple merumuskan bahwa Gereja adalah satu-satunya masyarakat dalam dunia yang keberadaanya adalah untuk atau demi mereka yang tidak menjadi anggota-anggotanya. Pandangan Temple ini menurut Bosch berawal dari Bonhoeffer yang menegaskan bahwa Gereja adalah ‖the
51
Ibid., 574 Ibid. Bandingkan Dokumen Konsili Vatikan II, terj.R.Hardawiryana(Jakarta:Dokumentasi dan Penerangan KWI Obor,1993),65, 69. 53 Ibid.Bandingkan.Memorandum 1982 (Hasil Konsultasi Misi yang diadakan di Roma, Mei 1982), International Review of Mission vol.71, hlm 462 52
church for others”54 .Gereja harus hidup berbagi dalam problem-problem sekuler dari kehidupan manusia biasa, bukan dengan menguasai melainkan dengan membantu dan melayani. Ungkapan 'the church for others' dianut makin luas dengan dasar yang jelas dari PB yang menggambarkan Yesus sebagai seorang yang mencuci kaki murid-murid-Nya yang menjadi simbol dari maksud kedatangan-Nya di dunia, yaitu"memberikan nyawa untuk banyak orang"(Mrk 10:45). 55 Namun, West dan Sumdermeier mengingatkan akan kemungkinan bahwa dibalik ungkapan Bonhoeffer itu tersembunyi suatu latar belakang tipe'humanis liberal borjuis' atau gagasan Gereja Barat (tempat Bonhoeffer dibesarkan) yang cenderung mengenal diri mereka sebagai yang terbaik untuk orang lain dan penjaga orang lain. Mungkin lebih baik ungkapan itu diubah dari 'the church for others' menjadi the church with others'56. 1.2
Gereja itu Missioner Menurut Kraemer Eklesiologi yang muncul dalam era ini menegaskan
bahwa Gereja harus dilihat secara esensial sebagai misi. Misi bukan sesuatu yang sekunder dan keberadaan Gereja adalah demi misi. Karena Allah adalah Allah yang missioner, maka umat Allah juga harus umat yang missioner. Karena Gereja dan misi menjadi satu dan bersama-sama sejak dari permulaan, maka tidak mungkin ada sebuah Gereja tanpa misi atau misi tanpa
54
ibid 54 Ibid. hlm 575 bnd Dietrich Bonhoefer, Letters and Papers From Prison (London: SCM Press, 1964), h1m. 166 55 ibid 56 ibid
Gereja57. Bila terjadi sebuah Gereja tanpa misi, maka itu hanya sebuah badan yang semu. Itu tidak berarti bahwa Gereja itu selalu dan di setiap tempat terlibat dalam proyek-proyek misioner. Newbigin 58 membedakan dimensi missioner Gereja dan intense missioner sebagai dua aspek yang harus selalu ada dalam Gereja . Dimensi missioner sebuah jemaat nyata ketika jemaat itu benar-benar menjadi komunitas yang beribadah; mampu mengundang orang luar dan membuat mereka kerasan; yang pastornya tidak memonopoli pelayanan dan anggota-anggotanya bukan
sekedar
menjadi
objek
pastoral care; yang anggota-anggotanya
dipersiapkan dan dilengkapi untuk panggilan mereka dalam masyarakat; dan yang strukturnya
lentur
dan
inovatif.
Namun,
dimensi
misioner
Gereja
itu
menimbulkan kesengajaan yang langsung Nampak dalam keterlibatan di tengah-tengah masyarakat. 1.3
Gereja sebagai umat yang berziarah Pemahaman lain yang ditekankan baik oleh Gereja Katolik maupun oleh
Gereja-gereja Protestan dalam era ini adalah pengertian Gereja sebagai umat Allah yang mengembara(God's Pilgrim People) 59. Implikasi dari gambaran 'Gereja sebagai umat Allah' adalah bahwa Gereja mengembara dalam perjalanan berarak-arakan. Ide ini dimunculkan oleh Bonhoeffer dan konferensi 57
Hendrik Kraemer, dalam A Theology of The Laity, (London: Lutterworth Press, 1962),h1m. 13 1, dimana ia menegaskan:The church in mission implies that it is in all times and places the world- wide and local-near embrace of the world, in and to which it is sent. 58 Lesslie Newbigin, One Body, One Gospel, One World (London & New York: International Missionary Council, 1958), hlm.21 59 David J. Bosch (1997), h1m. 572
Willingen(1952) di kalangan Protestan. Dan Yves Congar mempromosikan ide ini sejak 1937 di kalangan Katolik 60. Pola dasar Alkitab dari `umat Allah dalam pengembaraan' ini terutama diambil dari surat Ibrani. Gereja sebagai arak-arakan pengembara dalam zaman modern ini mempunyai posisi yang ex-centric(pusat keberadaan dan perhatian Gereja tidak terletak pada dirinya sendiri, tetapi di luar dirinya, yaitu dunia yang dikasihi Allah). Ia adalah ekklesia yang dipanggil ke luar dunia dan diutus kembali ke dalam dunia 61. The pilgrim church membutuhkan dua hal, yaitu dukungan dalam perjalanan dan tujuan pada akhir perjalanan. la tidak mempunyai tempat kediaman di sini, ia adalah ‗parokia‘ (suatu tempat tinggal yang temporal). Ia secara pemanen berlayar menuju akhir zaman. Bahkan, jika ada perbedaan yang tidak terjembatani ant ara Ger e j a dan t uj uann ya , yai t u Kerej a an
Al l ah,
ia
di pan ggi l
unt uk
memperjuangkan sesuatu yang
diberlakukan dalam Kerajaan Allah itu di sini dan saat ini.62 2.
Gereja dan Dunia63 Menurut Bosch 64 konsep tentang Gereja dan dunia yang bersifat statis
menempatkan
dunia
sebagai suatu kekuatan yang jahat. Teologi hanya
memperhatikan Gereja dan bukan dunia. Seolah-olah yang ada hanya Gereja. Konsep semacam ini menyebabkan pelayanan dan kehidupan Kristen secara
60
Ibid hlm. 573 Ibid 62 Ibid 63 Ibid hlm 577 64 Ibid 61
tertutup dipahami sebagai aktivitas mengajar, beribadah, pastoral, dan karitatif. Misi dipahami sebagai proses mendirikan Gereja dan untuk itu segala energi akan dihabiskan. Dengan sangat lambat terjadi perubahan pemahaman mengenai Gereja dan dunia. Yang menonjol, barulah setelah PD II, orientasi Gereja terhadap dunia berubah secara mendasar. Kalau di Edinburgh(1910) Gereja dilihat sebagai `penakluk dunia", maka di Whitby(1947) menjadi 'Gereja dalam solidaritas dengan dunia'65 Dalam Gereja Katolik, terobosan pemikiran tentang relasi Gereja dan dunia datang
dari
Konsili
Vatikan
11.
Dalam
Gaudium
et
Spes(GS)
dinyatakan, "Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga."66 Di kalangan Protestan dan Katolik dalam era ini, pemikiran tentang Gereja dan dunia disimpulkan oleh Bosch67 sebagai berikut : 2.1
Jika Gereja tidak dapat digambarkan sebagai sumber misi, Gereja juga bukan tujuan
misi.
Gereja
harus
m e n ya d a r i
k a r a k t e m ya
ya n g
b e r s i f a t sementara."Kata terakhir bukan Gereja, melainkan kemulaan bagi Allah Bapa dan Putra dan Roh Kebebasan 68 . Dengan kata lain, sumber dan tujuan misi adalah Kerajaan Allah.
65
Ibid Ibid, hlm. 578 lihat juga Dokumen Konsili Vatikan II, h1m.509-5 10 67 Ibid, hlm 578-579 68 Ibid, bnd Juergen Moltmann, The Church in Power of the Spirit: A Contribution to Messianic Ecclesiology (London:SCM Press,1977),19 66
2.2.
Gereja ada di dunia sebagai tanda dan sarana Kerajaan Allah. Gerja menjadi sakramen keselamatan bila di dalamnya tanda-tanda Kerajaan Allah nampak dengan jelas : perdamaian, keadilan, kebenaran, dan kehidupan baru dalam cinta kasih.
2.3.
Keterlibatan misioner Gereja lebih daripada memanggil individuindividu masuk ke dalam Gereja sebagai 'ruang tunggu ke surga'. Mereka yang diinjili adalah umat manusia yang menjadi subjek dalam kondisi sosialekonomi-politik
di
dunia
ini.
Oleh
karena
itu
perlu
suatu
konvergensi antara pembebasan individu dan manusia dalam sejarah-nya; proklamasi Injil dan kedatangan Kerajaan Allh. Dalam perspektif ini, Gereja adalah umat Allah(tidak di luat tetapi) di tengah -tengah peristiwa-peristiwa dunia atau komunitas dari dunia ini. 2.4.
Gereja yang digambarkan secara pneumatologis sebagai tempat tinggal Roh Kudus adalah gerakan dari Roh Kudus dalam perjalanan dunia menuju masa depan69 2.5.Struktur dan tata Gereja harus diorganisasikan untuk melayani masyaraat dan tidak memisahkan orang-orang percaya dari sejarah. Pekerjaan dan kehidupan Gereja harus lekat dengan rencana keselamatan Allah yang bersifat costnichistorical dan karena itu Gereja menjadi umat Kerajaan Allah dan bukan `umat Gereja sering menempatkan Gereja di atas concern terhadap keadilan dan kebenaran. 'Umat Gereja' berpikir tentang bagaimana
69
Memorandum 1982, 461
memasukkan orang ke dalam Gereja, sedangkan umat kerajaan berpikir bagaimana memasukkan Gereja ke dalam dunia. Umat Gereja kuatir bahwa dunia mungkin mengubah Gereja, sedangkan umat kerajaan bekerja untuk mengubah dunia.70 3.
Peranan Jemaat dalam Misi Menurut Bosch71misi Gereja yang terutama adalah misi yang dilaksanakan
oleh jemaat-jemaat di segala tempat di dunia ini. Perspektif ini jelas tampak dalam PB, tetapi sering diabaikan dalam sejarah Gereja. Dalam Gereja Katolik, Gereja dan misi tampak jelas berpusat pada Paus. Di kalangan Protestan, Gerejagereja muda, tetap bergantung pada kebijakan dan bantuan Gereja yang lebih tua serta, agen-agen misi. Roland Allen72 tercatat sebagai orang yang pertama mengingatkan dalam era ini untuk kembali menempatkan peranan jemaat dalam misi. Ia menunjukkan bahwa Paulus mengirimkan surat-suratnya kepada suatu Gereja, entah itu di Tesalonika, Efesus, atau Korintus, dan bukan sebagai buah misi-nya atau Gereja muda hasil misi Gereja Anthiokia sebagai Gereja tua. Sejak semula, jemaat-jemaat itu dilihat sebagai Gereja Kristus yang lengkap dengan Firman dan sakramen. Kemudi an Bosch 73 mencatat bahwa suatu perubahan terj adi dalam
70 71
misi
Prot estan
ketika
Konferensi
Yerusalem(1928)
Bnd. " Howard Snyder, Liberating the Church (Illionis: Inter Varsity Press,1983),
David J.Bosch(1997), 587 72 Ibid 73 Ibid, hlm 581 bnd Christian DeJonge (1993), 15
dan
Tambaram(1938) mulai mengakui'Gereja-gereja muda' secara seimbang. Whitby memakai ungkapan partnership in obedience (mitra dalam ketaatan) untuk menyatakan bahwa perbedaan status antara, 'Gereja tua' dan 'Gereja muda' sama sekali tidak berarti bahwa ada perbedaan status antara dua jenis Gereja ini. Gereja tua dan Gereja muda, mempunyai tanggung jawab dan tugas yang sama, yaitu mengabarkan berita pengharapan. Konferensi Ghana(1958) menolak istilah Gereja muda dan Gereja tua. Misi bukan one way traffic dari Barat ke Dunia Ketiga karena setiap Gereja di mana pun harus dimengerti sebagai pelaksana misi. Disini pandangan tentang Gereja untuk orang lain berubah menjadi Gereja dengan orang lain, pro-eksistensi berubah menjadi co-eksistensi. 74 Perkembangan di Gereja Katolik lebih dramatis karena untuk sekian abad Gereja lokal baik di Eropa maupun di wilayah misi tidak pernah sungguh-sungguh eksis. Misi Gereja adalah urusan Gereja di Roma, bahkan sampai ke detailnya. Setelah PD I, Gereja lokal mulai detemukan kembali dalam
dokumen-dokumen
seperti
Maximum
Illud(1919),
Rerum
Ecclesiae(1926), dan Fidei Donum(1957) dan makin jelas dalam Konsili Vatican II. Dalam LG dinyatakan bahwa Gereja universal secara aktual menemukan keberadaan yang sebenarnya dalam Gereja lokal karena martyria, leitourgia, dan diakonia" secara praktis terjadi di sana. 75 Namun dalam kenyataan(baik di kalangan Protestan maupun Katolik) di sana-sini masih
74 75
Ibid, Ibid., 380
terdapat relasi antara Gereja yang kurang seimbang, tampaknya keputusan keputusan akhir masih diambil oleh Gereja-gereja di Barat karena beberapa Gereja dan agen misi Barat merupakan sumber subsidi bagi kelancaran hidup dan misi Gereja di Dunia Ketiga76. 4.
Misi sebagai Missio Dei77 Setelah PD I, para teolog misi mulai mencatat adanya perkembangan dalam
teologi biblis dan sistematis. Menurut Bosch(FN), Karl Barth(1932) menjadi seorang Teolog pertama yang menyebutkan misi sebagai aktivitas Allah sendiri. Pengaruh Karl Barth sangat penting karena dia telah menerobos secara radikal pendekatan teologi era Pencerahan. Pengaruh itu terasa sampai ke konferensi Willingen(1952) yang mencuatkan ide Missio dei secara jelas. Misi dimengerti sebagai datang hanya dari Allah sendiri 78. Keyakinan ini tidak diambil dari eklesiologi atau soteriologi melainkan dari doktrin Trinitas. Seperti Allah Bapa mengutus Putra dan Allah Putra mengutus Roh Kudus, ketigaNya mengutus Gereja ke tengah-tengah dunia. Misi adalah partisipasi dalam pengutusan Allah dan karena itu misi tidak ada dengan sendirinya tetapi hanya karena inisiatif Allah. Willingen juga mengenali relasi yang erat antara Missio Dei dan misi sebagai Solidaritas dalam Inkarn asi dan Salib Kristus 79. Kemudian Bosch mengutip pandangan Moltman yang menyebutkan peranan Gereja sebagai instrumen misi yang merupakan gerakan Allah sendiri masuk ke dalam dunia. 76
Ibid, Ibid.,596 78 Ibid., 597. 79 Ibid 77
Konsekuensinya kita harus berkata,"Gereja ada karena misi" dan bukan sebaliknya.80 Berpartisipasi dalam misi berarti berpartisipasi dalam gerakan kasih Allah kepada manusia. Menurut Bosch, pengaruh pandangan Willingen ini meluas sampai ke Gereja Ortodox Timur dan kaum evangelis serta Gereja Katolik. Dalam dokumen Konsili Vatican II Decree ono Mission dirumuskan'misi adalah manifestasi dari rencana Allah yang penampakan dan realisasinya ada di dalam dunia dan sejarah'81. Selanjutnya Bosch mencatat bahwa Setelah Willingen, konsep Missio Dei mengalami perkembangan karena pengertian Missio Dei mencakup seluruh dunia dan semua aspek kehidupan manusia.Perhatian Allah tidak eksklusif di dalam dan melalui Gereja, tetapi kepada seluruh dunia dalam sejarahnya. Jadi, misi Allah lebih luas daripada misi Gereja karena misi Allah adalah aktivitas Allah yang mencakup Gereja dan dunia, yang di dalamnya Gereja memperoleh hak istimewa untuk ikut ambil bagian. Dalam dokumen Konsili Vatican II Gaudium et Spes, pengertian yang lebih luas tentang tentang misi dingkat secara pneumatologis lebih daripada kristologis.82Sejarah dunia bukan hanya suatu sejarah yang penuh kejahatan, melainkan juga sejarah kasih yang di dalamnya Kerajaan Allah berkembang melalui pekerjaan Roh Kudus. Dalam aktivitas misinya, Gereja berhadapan dengan manusia dan dunia yang di dalamnya keselamatan Allah
80
Ibid., 598 Ibid., 598 lihat juga Dokumen Konsili Vatikan II, 1993, 399 82 Ibid.,600, lihat juga Dokumen Konsili Vatikan II, 520. Disitu tugas panggilan yang dikerjakan umat Allah disebut sebagai ―Menanggapi dorongan Roh Kudus ‖. 81
sudah dilaksanakan dengan tersembunyi melalui Roh Ku dus. Subjek sejarah kemanusiaan itu adalah Roh Kudus83. Harus diakui bahwa perkembangan pemikiran tersebut tidak lagi sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh K.Barth karena sebenarnya konsep semula
adalah
untuk
melindungi
misi
terhadap
sekularisasi
dan
horizontalisme dengan menekankan peranan Allah secara eksklusif. Kendati begitu, konsep Missio Dei telah mematahkan pemahaman yang sempit tentang misi yang bersifat Gereja-sentris. Dalam konsep ini, misi Gereja tetap dijalankan sebagai partisipasi dalam Missio Dei. 5.
Misi dan Keadilan84 Dalam menguraikan bagian ini, Bosch berpendapat bahwa keadilan sosial
merupakan pusat pemberitaan PL. Ia memberi contoh dalam tradisi profetis nabi-nabi seperti Amos dan Yeremia yang menentukan raja-raja Israel untuk menerapkan keadilan bagi rakyatnya 85. Namun, konteks Gereja awal sangat berbeda secara mendasar di bawah pemerintahan Romawi. Posisi orang Kristen, yang memaksa mereka untuk toleran atau dianiaya bila menentang penguasa, mendorong mereka untuk melihat aspek spiritual lebih -dominan daripada masalah keadilan86. Perkembangan selanjutnya dalam era Konstantinus, pemikiran Agustinus, Tomas Aquinas, dan era Pencerahan cenderung mendukung sikap itu karena
83
Ibid., 601. Bosch memberi sub judul sebagai perjuangan demi keadilan. Ibid., 614. 85 Ibid, 86 Ibid, 84
dunia dan permasalahan sosial tidak dilihat sebagai tanggung jawab Gereja87. Hal itu artinya bahwa pengaruh dan konteks zaman sering kali mendorong Gereja untuk tidak bersentuhan dengan masalah struktural karena sikap itu tidak akan dapat diterima oleh penguasa politik pada zamannya. Keterlibatan dan pelayanan sosial Gereja akhirnya terbatas pada pelayanan karitatif dan usaha-usaha kesejahteraan sosial. Dalam kesadaran lebih lanjut, diakui adanya ketegangan antara keadilan dan kasih. Disini Bosch mengutip pandangan Reinhold Neighbuhr yang memakai istilah 'etika rasional' untuk menunjukkan sikap iman yang menekankan keadilan dan keterlibatan dalam masyarakat, dan 'etika religius' yang menekankan kasih dalam hubungan dengan Allah sebagai aspek transcendental yang lebih penting daripada aspek sosial-horizontal. 88 Gerakan ekumenis dan Gereja Katolik kontemporer cenderung pada 'etika rasional' dengan dimensi profetis yang dominan. Hal ini tampak dalam banyak dokumen ekumenis sejak tahun 1966 sampai Bangkok 1973 dan Konsili Vatican II. Adapun kelompok evangelis memilih 'etika religius' dengan tekanan pada dimensi ‗mistik‘ yang cenderung mendorong individu atau kelompok untuk mengundurkan diri dari dunia dan mencari persekutuan dengan Allah serta kurang peduli terhadap sesama89. Untuk mengatasi ketegangan itu, relasi antara penginjilan dan tanggung jawab sosial harus dibedakan
87
Ibid, hal 615.
88
Ibid, 616, bnd R. Neibuhr, Moral Man and Immoral Society(New York: Charles Scribner's Sons, 1960), 56-64. 89
Ibid,hlm.617
sebagai dua mandat yang diterima dari Allah. Yang pertama adalah amanat untuk memproklamasikan Injil keselamatan melalui Yesus Kristus dan yang kedua panggilan Kristen untuk berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam masyarakat manusia demi keadilan 90. Namun, yang berkembang dalam sejarah Gereja justru suatu
pemisahan
antara
golongan
fundamentalis
yang
mengutamakan mandat penginjilan dan Social Gospel yang sangat menekankan keterlibatan sosial politik. Polarisasi ini makin berkembang sebagai kenyataan dan perkembangan antara kubu evangelis dan kubu ekumenis. Di lingkungan evangelis diskusi tentang relasi penginjilan dengan tanggung jawab sosial sering
muncul
dalam
konferensi
penginjilan sedunia.
Tampak
ada
perubahan dari sikap yang menolak berangsur menjadi sikap yang tetap melihat penginjilan sebagai yang utama dan tanggung jawab sosial sebagai buah atau akibat penginjilan. Jadi, bila mandat sosial ditekankan dalam penginjilan, maka pasti ditambahkan suatu pernyataan bahwa mandat penginjilan adalah yang utama. Perjanjian
Lausanne
(1974)
yang
merupakan
hasil
akhir
Kongres
Internasional Penginjilan Sedunia di Lausanne dari kaum evangelis menyatakan penyesalan kelompok ini sebagai berikut Di sini pula kami menyatakan penyesalan karena kealpaan kami dan juga karena kadang-kadang kami menganggap bahwa pekabaran Injil dan keprihatinan-keprihatinan sosial tidak ada sangkut pautnya satu dengan yang lain. Memang, perdamaian dengan manusia bukan pendamaian dengan Allah, aksi sosial bukan pekabaran Injil, dan pembebasan politik bukan penyelamatan. Meskipun demikian, kami menegaskan bahwa pendamaian dan keterlibatan sosial-politik kedua-duanya adalah bagian dari 90
Ibid,
tugas kristiani kita. Karena kedua-duanya adalah ungkapan dari doktrin kami tentang Allah dan manusia, kasih kami untuk sesama dan ketaatan kami kepada Yesus Kristus. Berita keselamatan juga menunjuk pada berita pengadilan terhadap setiap bentuk pengasingan, penindasan, diskriminasi, serta kita tidak perlu takut untuk mencela kejahatan dan ketidakadilan dimanapun kita menemukannya.91 Kemudian, perubahan sikap mendasar mulai tampak jelas dalam konsultasi World Evangelical Fellowship di Wheaton, 1983 92 melihat perkembangan di Afrika S elat an di mana dosa tidak hanya bersi fat individual tet api juga structural(diskriminasi, rasialisme, dll.). Dualisme tubuh-jiwa tidak cocok dengan Injil dan karena itu penginjilan harus diperluas dengan pelayanan yang menjawab kebutuhan manusia yang meliputi baik transformasi pribadi oleh Roh Allah maupun transformasi sosial-struktural. Tentang perubahan pemahaman ini Bosch mengutip statement wheaton (1983), alinea 26, menyatakan : Kejahatan bukan hanya ada dalam hati manusia melainkan juga dalam struktur-struktur social… Misi Gereja mencakup pemberitaan Injil dan pembuktiannya, karenanya kita harus menginjili, menjawab kebutuhan kebutuhan manusia yang segera dan memperjuangkan tranformasi sosial. 93 Dengan perkembangan itu terdapat kemungkinan terjadinya pemahaman bersama antara kaum evangelis dan dan kelompok ekumenis dan Katolik. Namun, dalam kenyataan pemahaman bersama itu masih harus diperjuangkan bersama karena sering kali terjadi kesenjangan antara keputusan atau hasil-hasil suatu. konferensi Gerejawi dan praktek di lapangan. 91 Ibid.Bandingkan Perjanjian Lausanne , oleh Tany Lane, dalam Runtut Pijar, Sejarah Pemikiran Kristiani, Terj. Conny Corputty (Jakarta : BPK-GM, 1990), 272 92 Ibid., 619 93 Ibid, hlm 624
6.
Misi dan Penginjilan94 Dalam era ekumenis ini dibutuhkan pengertian penginjilan yang konstruktif.
Penginjilan tidak sama dengan misi, namun mempunyai kaitan dan saling berhubungan secara teologis dan praktis. Pandangan David J. Bosch 95 ini penulis jabarkan sebagai berikut : 6.1.
Misi lebih luas daripada Penginjilan. Penginjilan adalah misi, tetapi misi tidak hanya Penginjian. Misi adalah tugas total dari Allah yang mengutus Gereja demi keselamatan dunia. Gereja diutus ke dalam dunia untuk mengasihi, melayani, mengajar, berkhotbah„ menyembuhkan, dan membebaskan.
6.2.
Penginjilan tidak dapat disamakan dengan dengan misi karena
ia
merupakan bagian integral dari misi sehingga tidak dapat diisolasi menjadi aktivitas yang terpisah. 6.3.
Penginjilan dapat digambarkan sebgai dimensoi yang esensial dari seluruh aktivitas Gereja. Oleh arena itu, penginjilan juga tidak dapat berdiri sendiri terpisah dari Gereja.
6.4.
Penginjilan adalah keterlibatan dlam kesaksian tentang apa yang sudah, sedang, dan akan dilakukan Allah.. Penginjilan aalah respons dari pa yang Allahkerjakan, dank arena itu tidak dapat dirumuskan berdasarkan hasil yang harus dicapainya.
94 95
Dalam buku Tranforming mission, Bocsh menggunakan sub judul Misi Sebagai Penginjilan. Ibid, hlm. 626. Ibid, hlm.631-641.
6.5.
Namun, penginjilan mempunyai tujuan agar mendapatkan respons berupa pertobatan yang merupakan trasnsfrmasi total dari seluruh sikap dan gaya hidup manusia yang terus berlangsung seumur hidup.
6.6.
Penginjilan selalu merupakan undangan yang penuh kesuaan dari Allah agar mereka kembali kepada Allah, tetapi tidak dengan eaks a dan mengancam.
6.7.
Orang yang melakukan penginjilan adalah seorang saksi dan bukan haki. Konsekuesinya, kita tidak perlu mengevaluasi pelayanan penginjilan dengan menghitung dan membagi 6.8.Walaupun harus rendah hati, kita harus tetap memandang penginjilan sebagai yang diselamatkan dan yang hilang.
6.8.
Pelayanan
yang
penting.
Penginjilan
bukan
pilihan
ekstra,
melainkan tugas yang suci, penting, dan unik yang tidak dapat diganti dengan yang lain. 6.9.
P e n g i n j i l a n h a n ya m u n g k i n d i l a k u k a n b i l a k o m u n i t a s ya n g melaksanakannya(Gereja) menunjukkan iman Kristen dan cara hidup yang menarik. Jika Gereja menyampaikan esan pengharapan, asih, iman, keadilan, dan perdamaian, maka sesuatu dari pesan itu harus menjadi Nampak dan dapat dilihat di dalam Gereja itu sendiri(bdk.Kis 2:42 47,4:32-35).
6.10. Penginjilan menawarkan keselamatan kepada manusia sebagai suatu karunia masa kini yang mengarah kepada hidup yang kekal.
6.11
Penginjilan bukan proselitisme antardenominasi yang mengarah kepada kompetisi intern dan antara Gereja. Menginjili orang yang menjadi anggota sebuah Gereja untuk bergabung dalam Gereja tertentu bukanlah penginjilan.
6.12 Penginjilan bukan sebagai alat perluasan Gereja. Pemikiran yang menekankan jumlah atau kuantitas mengurangi arti penginjilan itu sendiri karena lebih menghasilkan anggota yang tidak memiliki komitmen dan menyebabkan Gereja menjadi seperti `klub agama'. 6.13, Pembedaan antara penginjilan dan penambahan anggota tidak bera rti keduanya tidak berkaitan. Tanpa Gereja tidak ada penginjilan atau misi, tetapi statistik anggota Gereja tidak menjamin efektivitas dan tanggung jawab Gereja dalam penginjilan. 6.14. Dalam penginjian `hanya manusia yang dituju dan hanya manusia yang dapat memberikan respons'.. Itu berarti penginjilan memiliki dimensi personal. Namun, karena Injil tidak individualistis dan manusia tidak pernah diisolasi sebagai individu, maka tanggung jawab sosial juga mendapat tempat sebagai dimensi pertobatan. 6.15. Penginjilan yang autentik selalu kontekstual. Penginjilan tidak memisahkan manusia dari konteksnya, dan mendorong orang untuk hanya mempunyai `mata rohani'; juga bukan untuk memeluk kutur yang dianggap, lebih dominan. Bila mereka yang diinjili mengalami tragedy dan penderitaan, Injil harus ditawarkan dalam konteks itu dengan menyatakan kehendak Kristus terhadap situasi mereka.
6.16. Oleh karena itu, penginjilan tidak dapat dipisahkan dari khotbah dan praktek keadilan karena hal ini menyangkut komitmen terhadap Kerajaan Allah, yang membebaskan manusia dari dosa-dosa dan penderitaan. 6.17
Penginjilan bukan suatu mekanisme untuk mempercepat kedatangan Kristus. Walaupun visi eskatologi menjadi dorongan dalam penginjilan, kedatangan Kristus adalah pemenuhan Kerajaan Allah yang dikerjakan Allah sendiri.
6.18
Penginjilan bukan hanya proklamasi verbal walaupun dimensi ini jelas ada dalam penginjilan dan dunia juga membutuhkan pernyataan verbal tentang nama Yesus di tengah-tengah ketidakpastian yang melanda dunia. Akan tetapi, hal itu tidak terpisahkan dari perbuatan sebagai `kehadiran Kristen' atau 'Fi rman yang m enjadi dagi ng'.
Akhirn ya, David J. Bosch 96 merumuskan penginjilan sebagai "dimensi dan aktivitas misi Gereja, dengan kata dan perbuatan dan dalam terang situasi serta konteks tertentu, yang menawarkan kepada setiap orang dan komunitas di segala tempat suatu kemungkinan yang sah untuk secara langsung ditantang untuk memasuki suatu reorientasi radikal atas hidup mereka yang meliputi pembebasan dari perbudakan dunia dan kekutan-kekuatannya serta menyambut Kristus sebagai Juru Selamat dan Tuhan, menjadi anggota yang hidup dari komunitas Gereja, terlibat dalam pelayanan rekonsiliasi, perdamaian, dan keadilan di dunia, serta memiliki komitmen sesuai den an tujuan Allah yang menempatkan segala hal di bawah Kristus". Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa ditempatkannya penginjilan sebagai salah satu elemen paradigma misi ekumenis juga
96
Ibid,hlm. 644.
membuktikan bahwa dalam paradigma teologi sering kali mas ih berkembang pemahaman yang menonjol dalam paradigma sebelumnya. Saat ini, eksistensi kaum evangelical, melalui Lausanne Committee for World Evangelization dengan konferensi-konferensi penginjilan sedunia (1974 di Lausanne yang melahirkan Committee tersebut pada tahun 1974, di Pataya pada tahun 1980, di Wheaton pada tahun 1983, dan di Manila pada tahun 1989) dan School of World Mission and Institute of Church Growth yang dirintis Donald Anderson McGavran di Pasadena, tetap mewarnai era ekumenis ini. Rumusan dan catatan David J. Bosch di atas sangat membantu untuk menempatkan penginjilan secara benar tanpa sama sekai ditolak oleh Gereja gereja yang hidup dalam paradigma ekumenis. Penginjilan yang konstruktif tetap relevan bila pelaksanaannya mempertimbangkan konteks karena pada zaman ini kebutuhan untuk mengalami pertobatan pribadi masih terdapat di mana-mana. Segi konstruktif dari penginjian yang relevan dan kontekstual adalah penginjilan yang tidak berhenti pada pertobatan pribadi, tetapi dilanjutkan dengan panggilan untuk mengembangkan relasi sosial dalam tanggung jawab bersama masyarakat. 7.
Misi dan Pembebasan97 Teologi pembebasan adalah salah satu dari elemen paradigma era
ekumenis yang secara mendasar telah menunjukkan pergeseran paradigma misi Gereja, baik dalam pemikiran maupun praktek. Yang dimaksudkan dengan teologi pembebasan di sini adalah teologi yang memusatkan perhatian pada 97
Ibid,hlm. 663.
pembebasan. Teologi pembebasan adalah fenomena yang ‗multi wajah‘ dalam Black Theology, Hispanic Theology, dan Amerindian Theology di Amerika Utara; Teologi Amerika Latin(yang sering hanya disebut Liberation Theology), Feminist Theology, South African Black Theology, dan gerakan-gerakan teologi di Afrika, Asia dan Pasifik Selatan lainnya 98. Teologi pembebasan, khususnya di Amerika Latin, sebenarnya merupakan protes terhadap ketidakmampuan Gereja dan misi Barat dalam mengatasi masalah-masalah struktur yang tidak adil karena sampai tahun 1960 hampir tidak ada perhatian terhadap aspek pembebasan dalam misi Gereja99. Menurut Bosch model
karitatif
100
yang
Lingkungan misi sebelum 1960 hanya mengenal dianggap
memadai
dalam
bidang
kesehatan,
pendidikan, dan training pertanian sebagai bagian dari pendekatan komprehensif dalam misi. Namun, kemudian muncul suatu strategi baru yang lebih mendasar yang disebut pembangunan. Negara-negara Barat berlomba-lomba untuk mengambil bagian dalan pemecahan masalah kemiskinan Dunia Ketiga dengan menyalurkan dana dan skill mereka untuk proyek-proyek pembangunan. Bagi Barat, pembangunan berarti modernisasi. 101 Seluruh proyek didasari oleh asumsi bahwa apa yang baik untuk Barat juga baik untuk Dunia Ketiga. Dunia ketiga juga dianggap membutuhkan peningkatan teknologi, bantuan pembangunan, dan
98
Ibid, Ibid, hlm.664 100 Ibid,hlm.665 101 Ibid,hlm. 665 bnd.F.Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan : Sejarah, Metode, dan Isinya (Jakarta : Pusat Sinar Harapan, 1987), 14-16, 82-84. 99
keterampilan yang mengalir dari donor-donor Barat ke Dunia Ketiga ‗sebagai pasien‘ dan karena itu tidak memerlukan konsultasi terlebih dahulu. Sikap ini dilaksanakan dengan asumsi bahwa tidak ada sesuatu pun di pihak Barat yang harus diubah. Akibatnya, pada umumnya proyek-proyek dilaksanakan dengan keliru.
Kelompok
elit
kecil
di
Negara-negara
Dunia
Ketiga
pun
mendapatkan keuntungan di tengah-tengah mayoritas penduduk yang tetap miskin, bahkan lebih miskin. Kemiskinan ternyata bukan sekedar masalah kurangnya keterampilan teknologi atau faktor moral dan budaya, melainkan lebih sebagai masalah tata hubungan stuktural dunia102. Sejak tahun 1950an, di Negara-negara Dunia Ketiga, terutama Amerika Latin, terjadi pergeseran dari ide pembangunan ke ide pembebasan, baik secara teologis maupun eklesiologis. Perubahan ini terjadi karena pengaruh yang kuat dari Teologi Pembebasan103. Menurut Bosch104 istilah 'Teologi Pembebasan' itu sendiri dibuat pada tahun 1960an dan memuncak dalam konferensi para Uskup Amerika Latin di Medellin tahun 1968. Masalah pokok tidak lagi dilihat antara ‗berkembang‘ dan ‗tidak berkembang‘, tetapi ‗dominasi‘ dan ‗ketergantungan‘, penindas dan yang ditindas, kaya dan miskin, kapitalis dan sosialis. Kemiskinan tidak akan tercabut dengan pelimpahan teknologi tepat guna ke negara-negara miskin, tetapi hanya dengan
menghilangkan
sebab-sebab
mendasar
ketidakadilan.
Pembangunan
mengandung kontinuitas dari masa lalu secara revolusioner, sedangkan pembebasan 102
Ibid, Ibid, hlm. 666. 104 Ibid, 103
mengandung suatu permulaan yang baru. 105 Di kalangan Protestan, tema pembebasan juga berkembang dengan baik karena pengaruh langsung ataupun tidak langsung dari gebrakan baru teologi pembebasan Amerika Latin. Sidang Raya WCC di Uppsala tahun 1968 menyatakan bahwa 'Gereja-gereja mendengar jeritan mereka yang merindukan perdamaian, mereka yang lapar dan ditindas, mereka yang mengharapkan roti
dan keadilan, para korban
diskriminasi yang menuntut keadilan manusiawi, dan jutaan orang yang mencari arti dari kehidupan ini'.106 Menurut Bocsh107 nada baru dari WCC dan telah menggeser interpretasi terhadap ‗orang miskin‘ yang metaforis sebagai ‗kemiskinan rohani‘, namun terminologi yang dipakai adalah ‗pembangunan‘(development) yang saat itu sedang dianggap sebagai strategi yang tepat untuk memecahkan masalah ketidakadilan dunia. Konferensi Bangkok(1973) menegaskan suatu tekanan baru : ungkapan
‗keselamatan‘
diterjemahkan
sebagai
‗pembebasan‘,
ungkapan
‗persekutuan‘ menjadi ‗solidaritas‘. Di Melboume(1980) orang miskin menjadi pusat refleksi misioner karena kemiskinan adalah prioritas yang sentral dan penting dalam misi Gereja. Dalam empat seksi, dibicarakan bagaimana Injil Kerajaan Allah dapat sungguh-sungguh menjadi kabar baik khususnya untuk kaum miskin. 108
105
Ibid, Ibid, hlm. 667. Bnd Gustavo Guiterrez, Theology of Liberation (London : SCM Press Ltd, 1974), 25-27. 107 Ibid, 108 Ibid,bnd Wahono Nitiprawiro (1987), 153-154. 106
Kemudian Bosch109 membandingkan pandangan ini dengan kalangan gereja katolik Konferensi mendellin (1969) dan puebla (1979) mendemostrasikan penemuan kembali orang miskin' dalam kehidupan gereja katolik. Ungkapan preferential option for the poor diciptakan di puebla. Bosch mengutip pandangan Gutierrez menjelaskan bahwa preference 110 tidak mengadung pengertian eksklusif seolah-olah Allah hanya berpihak kepada orang miskin: ‗option‘. (pilihan) tidak di mengerti sebagai optional' (boleh fakultatif memilih). Orang miskin adalah yang pertama walaupun bukan satu-satunya yang dapat perhatian Allah. Oleh karena itu. Gereja tidak punya pilihan untuk juga mendemonstrasikan solideritasnya terhadap dan bersama orang miskin. Bahaya dari ungkapan itu adalah godaan untuk terjatuh pada tekanan 'the church for the poor' lebih daripada 'the church of the poor'. Konferensi Melbourne menjawab masalah ini dengan menyatakan bahwa bukannya orang miskin yang membutuhkan Gereja, tetapi Gereja lah yang membutuhkan orang misin jika Gereja ingin hidup, lebih dekat dengan Tuhannya yang miskin. Orang miskin bukan lagi sekedar objek misi Gereja, tetapi mereka menjadi agen dan pembawa misi.111 Oleh Gutierrez hal ini dirumuskan dengan menegaskan bahwa teologi pembebasan adalah suatu ekspresi dari hak orang miskin untuk berpikir sesuai dengan iman mereka. sendiri. Kalau dulu Gereja adalah suatu suara yang menyuarakan mereka yang tidak mampu bersuara atau 109
Ibid,hlm. 668 Ibid,bnd Gustavo Guiterrez, Theology of Liberation (London : SCM Press Ltd, 1974), 25-27. 111 Ibid, 110
tidak punya suara, maka sekarang mereka yang tidak mampu bersuara atau tidak punya suara menyuarakan suara mereka sendiri.112 Orang miskin memang menjadi fokus dalam pelayanan Yesus dan Gereja perdana. Setelah era Konstantinus, Gereja menjadi semakin kaya dan mengabaikan orang miskin. Namun demikian, muncul lagi perhatian terhadap orang miskin yang dipelopori oleh gerakan monastik. Miskin pertama-tama dimegerti sebagai miskin secara materi yang nyata, tetapi juga harus sebagai yang tersingkir dan sangat sedikit berpartisipasi dalam masyarakat karena tidak punya daya apapun. Inilah yang disebut "subhuman
condition",
atau
"an
evil,
scandalous
condition” 113 Dalam perspektif semacam ini, prefential option for the poor tidak hanya berlaku bagi Amerika Latin, tetapi juga dibagian dunia lain, dengan bentuk yang lain pula, seperti rasisme dan diskrimnasi yang melahirkan Black Theology di Amerika utara dan Afrika Selatan.114 Kemiskinan bukan masalah etis saja, melainkan masalah teologis. Dikalangan evangelis juga terjadi perubahan, dimana mereka menerima doktrin bahwa Allah ada disamping mereka yang tertindas. 115Tentang kaum tertindas tersebut Bosch 116 mengutip pandangan Ronald J. Sider bahwa Allah berada di pihak kamu tertindas, dan bila orang lain yang mempunyai hak istimewa sebagai umat Allah merekapun akan berada di pihak kaum tertindas. Itu berarti bahwa
112
Ibid Ibid.669. bnd Gustavo Gutieffez, (1974), 291. 114 Ibid 115 Ibid,. 670. 116 Ibid, 671 113
orang-orang Kristen yang menolak mereka bukanlah benar-benar umat Allah walaupun mereka sering melaksanakan ibadah. Teologi pembebasan sering dikritik dan dipersoalkan. Pertama, teologi pembebasan sering dihubungkan dan diangap sebagai variasi dari teologi liberal yang muncul pada abad 19 di Eropa. Kedua, penggunaan analisis Marxis oleh teologi pembebasan mengundang kritik karena bisa menimbulkan aksi kekerasan yang dianggap sikap Kristen yang utama. Ketiga, pengertian pembebasan itu sendiri tidak dapat diterapkan untuk semua konteks, seperti misalnya konteks Asia begitu berbeda dengan konteks Amerika Latin. Oleh karena itu, teologi pembebasan tidak dapat diterima begitu saja oleh Gereja dan teolog Barat dan juga bahkan dari dunia ketiga lainnya.117 Walaupun
teologi
pembebasan
sering
disalah
mengerti,
ia
tetap
merupakan gerakan yang mewakili suatu taraf baru dalam berteologi dalam era postmodernisme, dan usaha ini merupakan produk yang tidak pernah akan berhenti. Dalam setiap taraf
Gereja
harus
memperbaiki,
meningkatkan
dan
mengoreksi formulasi misi pembebasan itu supaya makin dapat di mengerti dan dipercayai sebagai pesan Kristen yang integral dalam realitas yang kita alami. 8.
Misi Sebagai Kesaksian Bersama118 Konferensi Misi sedunia di Edinburgh tahun 1910 merupakan
tonggak pertama, yang memanifestasikan kesatuan sebagai ekspresi iman dan
117 118
Ibid,hlm 671-676. Ibid. 701.
menemukan bahwa kesatuan yang autentik tidak pernah akan ada tanpa misi yang autentik yang membuka pintu kearah dunia. Pembentukan International Missionary Council (IMC) 1921 dan kemudian WCC 1948, menghadirkan dikotomi dalam lingkup structural global antara kesatuan dan misi, namun kemudian diatasi dengan penyatuan IMC kedalam WCC pada tahun 1961. Peristiwa itu bukan terjadi karena tuntutan bahwa zaman ekumene harus menggantikan zaman misi, melainkan suatu penemuan kembali kesatuan dan misi dalam satu gerakan bersama.119 Dalam pergumulan dan perkembangan usaha-usaha keesaan itu nampak beberapa ciri yang diperjuangkan dan ingin terus dikembangkan sebagai wujud dari paradigma misi ekumenis. Yaitu, (a) Antara, keesaan dan misi terdapat koordinasi yang saling menguntungkan. (b)Kesatuan bukan berarti penyeragaman karena ditengah-tengah perbedaan yang ada (sosial, ekonomi, politik, budaya) terdapat satu pusat, yaitu Yesus Kristus. Kesatuan dalam misi tidak akan hilang sepanjang alkitab dibaca bersama. (c) Gereja harus bersatu dalam misi karena tugas missioner tidak pernah selesai. Semua tempat atau, wilayah di dunia ini adalah wilayah misi dan dalam tugas yang terus menerus itu kesatuan dalam misi sangatdibutuhkan. (d) Kesatuan itu dinyatakan bukan dalam relasi paternalis melainkan suatu partnership (e) Pada tingkat lokal, kesatuan dalam misi juga harus diwujudkan dengan menghindari perebutan mendirikan gereja baru ditempat yang sama. (f) 119
Ibid. 704. Bandingkan Christian DeJonge, (1993), 43
Kesatuan gereja dalam misi ini harus disadari bukan untuk kesatuan itu sendiri, melainkan dalam rangka kemanusian dan dunia ini. (g)Kesatuan bukan hanya pilihan ekstra, tetapi panggilan prinsip untuk menjadi satu sama seperti Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus yang satu.120 Menurut Sularso Sopater121 karakter misi dalam kesatuan dan kesaksian bersama ini adalah karakter yang menonjol dalam paradigma misi ekumenis, baik ditingkat dunia maupun nasional. Banyak Gereja dalam lingkup nasional menyadari bahwa misi yang seringkali harus berhadapan dengan kekuasaan yang menghambat hanya dapat dilaksanakan dengan persatuan Gereja-gereja. Usaha persatuan gereja seperti di Filipina, India Selatan dan India Utara merupakan contoh-contoh kesadaran itu. Namun, pola persatuan di pelbagai Negara tidak dapat dikatakan seragam. Banyak perbedaan dalam pola-pola persatuan Gereja itu seperti yang nampak bila dibandingkan denga pola persatuan Gereja-gereja di Indonesia, (Sesudah Sidang Raya VII di Pematang Siantar, 1971, yang menunda pembentukan Gereja yang esa sampai soal ini dipahami) pola persatuan bersifat agak longgar dan lebih menekankan kesatuan spiritual daripada kesatuan struktural. Hal ini sama dengan karakter paradigma misi ekumenis, yaitu kesatuan yang bukan berarti penyeragaman. 9. 120
Misi dan Pelayanan Umat122
Ibid,hlm. 711-716 bnd David J.Bosch, (1991), 464-467. Disini David J.Bosch menguraikan tujuh ciri-ciri karakter paradigma misi ekumenis dengan cukup panjang lebar dan bagian ini penulis mencoba untuk menyimpulkannya. 121 Sularso Sopater, Analisa dan Prospek Situasi Oikumene di Indonesia, dalam Konteks berteologi di Indonesia, ed. Eka Darmaputera (BPK Gunung Mulia, 1991, hlm.346-347. 122 Ibid, hlm. 716, dalam bukunya D.J. Bosch memakai subjudul Misi Sebagai Pelayanan Umat Allah.
Pada era ini terjadi pergeseran dalam pelaksanaan pelayanan Gereja, yang dahulu dimonopoli oleh pejabat Gereja, sekarang dilihat sebagai tanggung jawab seluruh umat Allah, baik yang berjabatan maupun yang tidak berjabatan. Dalam hal ini Bosch mengutip pandangan Moltmann yang menyatakan bahwa tugas teologi pada saat ini adalah menjadi teologi bagi Kaum awam dalam panggilan mereka di dunia ini dan bukan hanya berteologi untuk pendeta dan imam.123 Sejak semula Yesus sendiri memilih orang-orang biasa yang tidak terdiri dari orang-orang rohaniawan pada zaman itu. Gereja perdana juga menunjukan partisipasi anggota dalam perkumpulan dari rumah ke rumah. Namun kemudian timbul bermacam-macam jabatan Gerejawi: episkopos, presbyteros, dan diakonos.124 Pada abad ke-3 peranan para pejabat Gereja makin kuat dan memiliki wewenang terhadap kaum awam, hal ini terus berkembang dalam Gereja Katolik sampai masa Reformasi. Hierarki sebagai pemegang kekuasaan, kebijakan, dan bahkan juga hak pengudusan telah membatasi peranan anggota Gereja biasa. Kemudian, Luther menekankan "imamat orang percaya" dengan tetap menetapkan pejabat-pejabat: pendeta, tua-tua, dan diaken dalam kenyataan masih memegang peranan besar.125 Namun, setelah PD II terjadi perobahan baik dalam gereja katolik maupun protestan. Peranan kaum awam kembali mendapat tempat yang tepat. Disini orang yang berjabatan dipahami sebagai
123
Ibid,hlm. 717 bnd Juergen Moltmann, The Open Church, Invitation to a Messianic Life Style (London: SCM Press Ltd,1983), hlm.123-124 124 125
Ibid,hlm. 718 Ibid,hlm. 719
komunitas iman. Pelaku misi adalah komunitas iman itu, bukan para clerus126untuk itu kursus teologi kaum awam sangat diperlukan. Lahirnya pusat-pusat pembinaan warga Gereja sesudah PD II tidak dapat dilepaskan dari kesadaran mengenai peranan kaum awam yang lebih dipandang sebagai kesaksian yang relevan dari fungsi gereja ditengah-tengah dunia ini. Asumsi pandangan ini menurut Andar Ismail,127 tidak perlu dipandang sebagai polarisasi antara kegiatan domestik didalam Gereja dan keterlibatan warga Gereja dalam masyarakat. Pembinaan warga Gereja justru ingin mewujudkan keseimbangan antara kesaksian orang-orang Kristen ditengah-tengah kehidupan sekuler dan pelayanan di dalam Gereja. Tentang hal ini Wahono Nitiprawiro 128 memberi suatu contoh yang lain dari peranan kaum awam di Amerika Latin dengan kelompok atau komunitas basis. Komunitas basis dalam konteks Amerika Latin merupakan gerakan dari kelompok warga Gereja untuk menjembatani jurang antara iman dan politik dengan menggunakan metode Medelin (see, judge, then act) dalam menginterpretasikan ayat-ayat alkitab. Komunitas yang beranggotakan orang-orang miskin, para penganggur, dan para buangan itu membaca Injil bersamasama dari konteks keprihatinan dan kegembiraan mereka sebagai orang miskin dan terbuang di Amerika Latin. Kelompok-kelompok kaum awam ini telah menjadi sumber inspirasi dan kekuatan yang membuktikan bahwa misi bukanlah urusan
126
Ibid,hlm. 722 Andar Ismail, "Meluruskan Pemahaman tentang PAK dan PWG", Pidato Dies Natalis ke55 Sekolah Tinggi Telogia Jakarta, 27 September 1989, yang juga dimuat dalam Buletin LPK Sinode GKJ dan GKI Jateng, no.2, tanun 1989, hIm.24-27 128 Ibid,hlm. 726 bnd F. Wahono Nitiprawiro, (1987) him. 108-109 127
kaum elit Gereja, melainkan pelayanan atau aksi seluruh umat Allah. Para pejabat Gereja harus mendukung komunitas basis serta kelompok warga gereja itu dan tidak membelokkan arah dengan menjadikan kelompok-kelompok itu sekedar sebagai kelompok kegiatan kesalehan keagamaan yang tertutup. 10.
Misi dan Penganut Kepercayaan Lain129 Dalam menguraikan bagian ini D.J. Bosch menulis bahwa pada tahun 60-an
muncul theologia religionum, suatu disiplin teologi yang mempertanyakan tidak hanya siapakah orang-orang Kristen(Katolik, Anglikan, Metodis, Ortodoks) itu, tetapi siapakah orang-orang yang memeluk agama atau kepercayaan yang lain seperti Hindu, Budha, dan Islam. Hal ini tidak terlepas dari pluralitas agama yang sudah ada sejak lama di Asia dan bagian dunia ketiga lainnya serta perkembangan baru di Barat dengan pertumbuhan agama-agama lain. 130Pergumulan ini pada masa lalu tidak diangkat karena Gereja Katolik berpegang pada keyakinan bahwa ―di luar Gereja tidak ada keselamatan‖, sedang Gereja Protestan meyakini "di luar firman tidak ada keselamatan". Kekristenan dimengerti sebagai sesuatu yang unik, eksklusif, superior, definitif, normatif, dan absolut.131 Namun, perkembangan agama-agama lain mendorong sikap yang berbeda. Pandangan era pencerahan yang bersikap relativistis dan keruntuhan hegemoni kolonialisme Barat mempengaruhi
129
Ibid,hlm.727, dalam bukunya D.J.Bosch member i subjudul Misi Sebagai kesaksian kepada orang-orang berkepercayaan lain. 130 Ibid, hlm 728. 131 Ibid, bnd Paul Kniter, No Other Name? a Critical survey of christiani attitudes toward the word religions(Maryknoll, New York : Orbis Books 1985 ),hlm. 135
sikap gereja selanjutnya. Menurut Bosch 132Gereja sedang menghadapi dua problem besar,
yaitu
dunia
yang
menawarkan
keselamatan
lewat
kemajuan teknologi dan kemampuan manusia yang dianggap dapat memecahkan masalah manusia serta agama-agama lain yang berkembang begitu pesat. Menghadapi tantangan yang terakhir ini tampaknya Gereja tidak siap. Kita tidak mempunyai teologi yang dapat menghadapi tantangan yang dihadapi orang Kristen dengan kehadiran agama Budha dan Hindu. Ada tiga macam sikap Gereja terhadap agama-agama lain yang digambarkan oleh David J.Bosch.133 Pertama adalah sikap eksklusif yang menempatkan kekristenan sebagai satu-satunya "agama yang benar". Ia mencacatat disini theology of religion dari Karl Barth yang menegaskan bahwa agama adalah ketidakpercayaan. Tidak ada kontak yang mungkin terjadi antara agama dan penyataan Allah. Kedua, sikap yang memandang kekristenan sebagai pemenuhan dari agama-agama lain seperti nyata dalam konsep adaptasi, akomodasi , dan pemribumian. Kekristenan sebagai agama yang menerima penyataan Allah secara sempurna merupakan yang terbaik dan agama lain hanya samar-samar. David J. Bosch menempatkan pandangan Karl Rahner yang menyebut orang yang beragama lain sebagai anonymous Christians dalam sikap yang kedua ini (yang positif). Ketiga adalah sikap relatifisme yang dipengaruhi oleh semangat pencerahan yang menganggap kenyataan kepelbagaian Agama sebagai sesuatu yang relatif. Semua agama-agama sama,
132 133
Ibid,hlm. 731 Ibid,hlm. 734-738.
hanya namanya saja yang lain. Ketiga sikap dan pandangan itu dianggap tidak memuaskan dan muncullah pandangan yang keempat, yaitu dialog, Bila pembagian ini dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Sumartha.134 Hal yang sama pula diuraikan oleh
Banawiratma135, maka perspektif David J. Bosch hampir sama
dengan apa yang dinyatakan Banawiratma dalam memilih model ia memakai istialah paradigm pluralis diagonal: Paradigma yang kita pilih adalah paradigm pluralis diagonal. Paradigma ini mengakui kenyataan pluralism iman dan agama. Paradigma ini jelas menolak paradigm eksklusifis, dan dapat dikatakan berada diantara paradigm inklusifis dan pluralis indeferen. Memang paradigma pluralis, tetapi tidak indiferen. Saya meyakini bahwa agama dan iman saya sekarang ini adalah yang paling dapat saya pertanggungjawabkan dan karena itu saya anut dengan sepenuh hati. Paradigma ini menganggap serius baik agama dan iman saya maupun agama dan iman lain, dan dengan demikian terbukalah kemungkinan optimal untuk dialog dan saling memperkaya. Di tengah-tengah pluralism religious yang berhubungan satu sama lain secara dialogal, pandangan dan sikap serta jati diri masing-masing dapat diungkapkan dan dikembangkan.136 Adapun David J. Bosch137 mengemukakan perspektifnya tentang model dialog dalam pluralism ini sebagai berikut. a.
Dialog
adalah
menerima
keperayaan
lain
sebagai
sesame(coexistence). Kita tidak mungkin berdialog bila kita tidak menerima kehadiran mereka dan pandangan yang mereka anut. Dialog harus diarahkan bukan kepada (to), dengan (with), tentang (about), 134
Yaitu pembagian menurut Samartha: 1.model eksklusivisme, 2.model inklusivisme,dan 3.model pluralisme. Lihat resensi E.G.Singgih dalam Gema, no.47, tahun 1994 135
Banawiratma membagi dalam empat model, yaitu 1. Paradigma eksklusifis, 2. Paradigma inkusifis, 3. Paradigma pluralis indiferen, dan 4.paradigma pluralis diagonal. Lihat "Bersama Saudara-Saudari Beriman Lain. Perspektif Gereja Katolik" dalam Dialog. Kritik dan identitas agama,Seri Dian I/I(Yogyakarta: Dian/Interfidei,1993),h1m.14-16. 136 Ibid, hlm. 16 137 David J. Bosch, (1997), hIm.742-745.
melainkan diantara (between) orang-orang yang memiliki iman yang hidup. b.
Dialog yang benar dilakukan dengan komitmen terhadap injil karena tanpa itu dialog hanya akan menjadi sekedar obrolan, namun juga harus dengan menerima kehadiran autentik dari sesame kita.
c.
Dialog hanya mungkin bila kita maju dengan keyakinan bahwa kita tidak akan masuk ke dalam kekosongan karena kita pergi dengan harapan untuk bertemu dengan Allah bersama oran lain. Sikap ini kita lakukan degan rendah hati karena kita dan sesame kita sama-sama penerima anugerah yang sama dan "sharing" dalam misteri yang sama. Kita bukan "the haves" yang berdiri dihadapan "the have not" secara spiritual.
d.
Dialog dan misi hanya dapat dilakukan dengan kerendahan hati karena iman Kristen adalah suatu agama dari anugerah yang kita teria dengan cuma-Cuma lewat salib Kristus. Sikap rendah hati adalah autentik Kristen dan dengan sikap ini kita berjumpa dengan orang yang mempunyai kepercayaan lain. "Justru ketika kita lemah kita kuat" adalah ciri orang Kristen, dan dalam perjupaan dengan sesame, kita memang menjadi mudah diserang . Namun, hanya dengan itu kita akan memperoleh pengalaman yang bersih. Pengalaman itu menghantar kita kepada pembaharuan dan perubahan komitmen.
e.
Dialog dan misi harus mengakui bahwa agam-agama mempunyai "dunia" mereka sendiri dan karena itu dialog juga harus berbeda menurut agama yang menjadi partner dialog.
a.
Dialog tidak mengganti misi. Misi dan dialog bukan dua hal yang identik, tetapi juga bukan dua hal yang bertentangan. Komitmen kita untuk berdialog sejajar dengan komitmen kita untuk misi. Dialog dan misi bergerak pada "satu jalan" karena komitmen iman bergandengan dengan respek terhadap orang lain. Ketiadak samaan antar keduanya Nampak karena proklamasi injil tetap harus dilaksanakan, sementara kita mau dan mampu berdialog.
Tema mengenai misi dan dialog ini makin menjadi relevan bagi gereja-gereja dan para Teolog Asia karena mereka tidak puas dengan pendekatan yang selama ini dilakukan oleh gereja dan para teolog Barat terhadap keberadaan agamaagama lain seperti tampak misalnya dalam penolakan para teolog Asia terhadap pandangan Kraemer yang dianggap eksklusif terhadap agama lain. Teolog-teolog Asia seperti S.J Samartha dan W. Ariarajah telah membuka suatu pendekatan baru dalam memahami kehadiran agama-agama lain dan hidup bersama mereka dibumi Asia. Setelah membahas paradigma misi ekumenis yang diwarnai oleh pelbagai aspek dan pergumulan yang belum seluruhnya jelas, masih ada satu tugas lagi sebelum membangun suatu teologi misi dan pemahaman gereja missioner dalam konteks tertentu. Tugas itu adalah merekonstruksi pemahaman, motivasi dan tujuan misi yang tidak relevan menjadi misi yang relevan dengan konteks kita, baik diAsia maupun di Indonesia. Barulah dengan demikian elemen-elemen
paradigma misi ekumenis itu dapat diimplementasikan dalam pemahaman dan pelaksanaan misi gereja yang nyata.