BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Sistem Ie Dalam melakukan penelitian mengenai keluarga Jepang kita harus menguraikan
terlebih dahulu pola-pola hubungan kekerabatan yang ada dalam keluarga tradisional Jepang yang dikenal dengan sistem Ie. Sistem Ie ini tumbuh dan bertahan sangat kuat pada masyarakat Jepang. Sangat sulit untuk mendefinisikan arti Ie secara tepat. Bila kita melihat karakter kanji yang melambangkannya, Ie 「 家 」 dapat berarti rumah atau keluarga tetapi ternyata arti dari Ie tidaklah sederhana itu. Sistem Ie merupakan salah satu kebudayaan khas Jepang. Chie Nakane dalam bukunya berjudul Ie no Kozo mengemukakan bahwa: 家は一定の条件に支えられて、形成された日本文化特有の制度であるとい うことである。 Ie adalah satu sistem yang khas dari kebudayaan Jepang yang terbentuk dengan ditunjang oleh syarat-syarat tertentu (1978:3). dan: 「家」制度というものが…他の国々見られず日本においてのみ非常に発達 した制度であるということは、「家」は日本に固有な文化をあらわしてい るものといえよう。 Sistem Ie di Jepang........merupakan suatu sistem keluarga yang tidak dapat ditemukan di negara lain, kecuali di Jepang, sistem yang berkembang ini hanya ada di Jepang karena sistem ini merupakan perwujudan kebudayaan khas Jepang (1978:8). Sebagai kebudayaan yang khas, konsep Ie tidak hanya mengatur sistem keluarga Jepang , tetapi juga mengatur interaksi sosial masyarakat. Ie bahkan mendapat pengakuan secara
9
10 hukum dalam Undang-Undang Dasar Meiji yang terbentuk pada tahun Meiji (1899). Konsep pemikiran Ie, nilai-nilai dan norma-normanya tertanam kuat pada masyarakat Jepang. Ie bukan saja sebagai sistem keluarga tradisional Jepang tetapi juga merupakan satuan unit kerjasama. Penerapan sistem Ie dihapuskan ketika Jepang mengalami kekalahan dan berada dibawah kekuasaan Amerika Serikat. Pihak Amerika Serikat yang diwakili oleh Jendral Douglas Mac Arthur mengeluarkan beberapa kebijaksanaan yang salah satunya memaksa Jepang membuat Undang-undang baru yang dikenal dengan Undang-Undang Dasar 1946 dalam undang-undang tersebut ada salah satu pasal, yaitu pasal 24 UUD 1946 menyatakan bahwa dalam kehidupan keluarga, individu harus dihormati dan perlunya persamaan derajat antara pria dan perempuan. Selain itu pihak Amerika juga memaksa pemerintah Jepang untuk mengeluarkan Hukum Sipil tahun 1948 yang isinya menghapuskan sistem Ie. Akan tetapi karena sistem Ie itu sudah tertanam dalam diri orang Jepang dalam kurun waktu yang panjang, walaupun sudah dihapusnya sistem tersebut mereka masih menerapkan sistem Ie dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut Befu (2001), konsep Ie mengandung dua pengertian, pertama Ie sebagai satuan unit keluarga, dan kedua Ie sebagai satuan unit kerjasama. Sebagai satuan unit keluarga, kesinambungan Ie berpegang pada garis keturunan ayah kepada anak laki-laki pertama. Sebagai satuan unit kerjasama, Ie menekankan pada kesinambungan pada nama keluarga dan pekerjaan keluarga. Dari konsep ini terlihat bahwa yang terpenting dalam Ie adalah kesinambungan hidup Ie itu sendiri sebagai satuan unit. Dalam sistem Ie terdapat dua sifat hubungan dalam berinteraksi, yaitu hubungan horisontal dan hubungan vertikal. Hubungan horizontal terlihat jelas pada masyarakat pedesaan, masyarakat pedesaan tidak membawakan dirinya sebagai individu tetapi selalu menempatkan dirinya
11 dalam kerangka Ie ketika sedang berinteraksi. Adanya hubungan horisontal di kalangan tertentu merupakan awal terbentuknya dozoku yang membentuk desa. Hubungan vertikal dalam Ie berarti hubungan atasan dengan bawahan atau orang tua dengan anak di lingkungan masing-masing Ie-nya. Dalam dozoku hubungan atasan dengan bawahan terjadi antara honke dan bunke. Hubungan ini dijaga dengan sangat ketat, sehingga orang berada dalam posisi bawahan tidak dapat membantah atau melawan atasannya. Selain itu hubungan vertikal juga berarti bahwa Ie bukan satuan unit yang hanya ada di masa sekarang, melainkan juga memiliki pertalian dengan waktu dan asal-usul sejarahnya dari masa lampau, masa sekarang sampai masa yang akan datang. Hubungan yang ada tidak terbatas pada anggota yang hidup sekarang tetapi juga hubungan dengan para nenek moyang yang telah tiada dan hubungan dengan generasi yang akan datang. Terkadang sistem Ie ini sering disamakan sebagai Kazoku (keluarga). Padahal terdapat perbedaan antara sistem Ie dengan Kazoku. Menurut Chie Nakane dalam bukunya yang berjudul Japanese Society berpendapat bahwa Ie merupakan acuan pencerminan masyarakat Jepang yang keanggotaannya dapat lama berjalan yang dapat dilihat dalam perusahaan Jepang. Loyalitas kepada Ie dan menjaga nama baik Ie tercermin dalam kehidupan kelompok. Kelompok menjadi satuan unit kehidupan yang sakral dan kepentingan kelompok ada di atas kepentingan individu (1970:15-17). Torioge Hiroyuki (1985) juga menjelaskan bahwa Ie merupakan suatu unit dasar bagi kehidupan orang Jepang yang mempunyai ciri: 1) menpunyai harta sebagai warisan dan berdasarkan harta warisan itu diselenggarakan suatu unit usaha yang berkaitan dengan perekonomian keluarga.
12 2) secara periodik menyelenggarakan upacara pemujaan arwah leluhur dan menjaga kelangsungan keturunan dari generasi ke generasi terutama yang berhubungan dengan kesinambungan nama keluarga (myoji). Kizaemon Aruga (1986) menjelaskan Ie dapat dikatakan merupakan sesuatu yang khas yang terlihat sebagai seikatsu shudan (kelompok kehidupan) atau seikatsu kyodotai (kehidupan bersama). Di dalam Ie, walaupun bagian yang menjadi dasar penyatuannya adalah suami isteri untuk mempertahankan atau melestarikan Ie itu, orang-orang yang berpartisipasi dalam kehidupan Ie walaupun tidak ada hubungan darah dengan anggota keluarga akan dianggap sebagai keluarga. Dengan demikian yang menjadi anggota dalam Ie tidak hanya orang-orang yang mempunyai kaitan hubungan darah. Syarat utama sebagai anggota Ie adalah kerjasama mengelola Ie dan fungsional dalam kehidupan Ie. Sedangkan yang dimaksud keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat dan merupakan pranata sosial yang sangat penting bagi kehidupan sosial setiap masyarakat. Parsudi Suparlan (1986) juga berpendapat bahwa yang dimaksud keluarga yaitu satuan sosial terkecil yang dimiliki manusia. Dan keluarga juga merupakan suatu satuan kekerabatan dan satuan tempat tinggal. Sistem Ie mendapat pengaruh dari ajaran konfusius yang mengajarkan tentang akar-akar nilai Gorin dan Gojo. Gorin yaitu lima dasar hubungan yang terjadi diantara manusia, hubungan tersebut yaitu: hubungan kun-shu (penguasa dan pengikut), oya-ko (orang tua/ayah dengan anak), fu-fu (suami-isteri), ani-ototo (kakak laki-laki dengan adik laki-laki), dan nakama (hubungan yang terjadi diantara teman). Dalam Gorin ditekankan kesetiaan yang terjadi dintara hubungan tersebut yang merupakan dasar bagi keharmonisan tatanan sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan Gojo yaitu lima moral
13 dasar manusia, yaitu: jin (prikemanusiaan), gi (keadilan), chi (pengertian), rei (sopansantun) dan shin (keyakinan). Gojo menguasai lima hubungan dasar manusia atau gorin. Dari pemikiran seperti itu konsep Ie sudah tertaman pada masyarakat Jepang sampai sekarang, dan juga sistem Ie yang kuat itu dijadikan pola dasar sistem negara. Di dalam sistem Ie yang paling berkuasa dan bertanggung jawab terhadap Ie adalah Kacho atau Koshu, yaitu kepala Ie. Dalam sistem negara Jepang posisi tersebut ditempati oleh Tenno atau Kaisar. Sistem Ie bukan merupakan kelompok yang ada di masyarakat akan tetapi Ie adalah pemikiran tentang bentuk kelompok keluarga. Karena itu misalkan bila seluruh anggota Ie tidak ada yang mengakibatkan Ie tersebut akan dihapus dari koseki atau catatan istilah Ie bukan berarti bahwa Ie itu musnah. Ie tersebut masih berlanjut karena ada kemungkinan munculnya kembali anggota Ie baru yang menggantikan kekosongan tersebut. Munculnya Ie baru itu bukan berarti munculnya suatu kelompok Ie yang baru akan tetapi anggota Ie baru itu hanya menggantikan Ie yang lama. Nama setiap Ie akan memiliki simbol yang disebut dengan istilah kamon. Simbol keluarga atau kamon mencerminkan nilai Ie serta memperlihatkan asal usul Ie dan lamanya Ie itu berdiri. Rasa memiliki simbol tersebut dan kesediaan untuk menjaga simbol Ie tersebut merupakan awal dari rasa kesadaran terhadap Ie dan kesadaran pada nenek moyang yang dianggap sebagai bagian terpenting di dalam Ie. Urutan silsilah keluarga atau Ie biasa disebut dengan koseki. Koseki juga mencatat semua kejadian sosial yang dilakukan dalam kehidupan Ie. Misalnya tentang perkawinan, pengadopsian anak, dan kejadian ritual yang dilakukan. Antara sistem koseki dengan sistem Ie terdapat kaitan yang erat. Pada sistem Ie hal tersebut akan terlihat dari adanya hubungan vertikal pada pewarisan dari kakek ke anak ke cucu dan seterusnya, juga pada hubungan honke
14 (keluarga asal atau utama) dengan bunke (keluarga cabang) dan dari upacara ritual nenek moyang. Pemikiran untuk menjaga kesinambungan Ie dapat terlihat pada kalangan masyarakat ekonomi kelas atas, yaitu pada keluarga Zaibatsu, yaitu kelompok pengusaha kaya, kalangan ini akan menbentuk koseki tersendiri untuk menjaga kesinambungan Ie-nya. Sistem Ie yang sudah tertanam pada diri masyarakat Jepang membuat sistem ini tidak terikat oleh ruang dan waktu, mereka akan tetap memiliki pemikiran tentang Ie walaupun jarang mengunjungi Ie-nya.
2.1.1 Keanggotaan Ie Anggota Ie terdiri dari keluarga batih, meskipun faktor tersebut tidak bersifat mutlak. Kelompok kekerabatan Ie ini terdiri dari semua orang yang berdiam dalam sebuah rumah, serta berpartisipasi dalam kehidupan sosial maupun ekonominya. Anggota kekerabatan ini terdapat anggota yang memiliki hubungan darah dan anggota yang tidak mempunyai hubungan darah, sehingga jumlah anggota Ie relatif besar. Sebuah Ie dapat beranggotakan sepasang suami isteri, orang tua dari pihak suami, anak-anak, saudara dari pihak suami, dan hokonin atau mereka yang bekerja pada Ie tersebut.dari keanggotaan Ie akan terlihat bahwa Ie merupakan keluarga besar dengan garis keturunan patrilineal (pihak laki-laki) dan hokonin yang tidak memiliki huibungan darah dengan anggota lain melainkan mereka hanya bekerja untuk Ie-nya. Berikut ini akan digambarkan bagan sebuah Ie secara sederhana.
15
Anggota Ie dengan hubungan darah
Keterangan: : hubungan perkawinan : hubungan keturunan : hubungan saudara kandung : kepala Ie : laki-laki : perempuan : batas Ie
Gambar 2.1 Keanggotaan Ie Menurut Joy Henry dalam bukunya yang berjudul Understanding Japanese Society ada elemen-elemen yang terdapat dalam sistem Ie. Berikut adalah bagan dari elemen-elemen yang terdapat dalam sistem Ie (1987:25).
16
Nenek moyang Orang yang baru meninggal Garis kematian Pensiun Kepala Ie Yome
Pengganti
Yoshi
Anak-anak Garis kelahiran Keturunan atau anak cucu Gambar 2.2 Elemen-elemen Ie Keterangan : Yome
: perempuan yang telah menikah ikut marga laki-laki
Yoshi
: laki-laki yang telah menikah ikut marga perempuan
Setelah mengetahui keanggotaan dan elemen-elemen yang ada dalam sistem Ie, selanjutnya penulis akan menjabarkan lingkungan yang terdapat dalam sistem Ie. Dalam sistem Ie terdapat hubungan antar manusia dibagi menjadi dua, yaitu: lingkungan uchi (dalam) dan lingkungan soto (luar).
2.2 Uchi dan Soto Dalam berinteraksi masyarakat Jepang memiliki beberapa pasangan konsep yang membedakan antara penampilan resmi yang steril dan realitas yang tersembunyi
17 (Mayarakat Jepang Kontemporer:30). Untuk mengetahui sifat masyarakat Jepang dalam berinteraksi setidaknya kita harus memperhatikan pasangan konsep tersebut. Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi penulisannya yang batasan tersebut adalah konsep uchi dan soto. 李御寧 I O Ryon (1985) seorang penulis berkebangsaan Korea dalam buku 「縮 み志向の日本人」, menjelaskan tentang konsep uchi soto sebagai berikut: 内と外の二つの世界...ここから日本特有の「内」と「外」の観念が作られ るのです。「内」とは縮みの空間で、自分がよくわかる具象的な世界。経馬験 し、肌身に感じられる小さな世界なのです。それに対して「外」は拡がりの世 界で、抽象的な広い空間です。だから、日本人はなにを見ても、すぐ内と外に わけて考え、行動する傾向があります。 Terjemahan Dua dunia uchi dan soto…dari sini dibuatlah ide atau konsep pemikiran tentang uchi dan soto. Yang dimaksud dengan uchi yaitu ruangan sendiri, yang merupakan dunia yang konkrit, yang dapat langsung dimengerti oleh orang dari lingkungannya sendiri. Disinilah dunia kecil tempat pengalaman, tubuh, dan perasaan dicurahkan. Sedangkan yang dimaksud dengan soto yaitu dunia luas, dan merupakan ruang abstrak yang luas. Oleh karena itu setiap melihat dunia, orang Jepang langsung teringat tentang uchi dan soto, dan cenderung bertindak atas dasar tersebut. Joy Henry (1987:43) dalam Understanding Japanese Society, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan uchi soto adalah sebagai berikut: Uchi and soto translate roughly as ‘inside’ and ‘outside’ respectively, and they are probably first learned by a child in association with the inside and outside of the house in which it lives. They, or parallel words,¹ are also applied to members of one’s house as opposed to members of outside world, and to members of a person’s wider groups, such as the community, school or place of work, as opposed to other people outside those groups. terjemahan
18 Uchi dan soto secara kasar diterjemahkan sebagai bagian dalam dan bagian luar secara berturut-turut, dan mungkin dipelajari pertama kali oleh seorang anak dalam asosiasi dengan bagian dalam dan bagian luar dari rumah tempat tempat tinggalnya. Uchi dan soto, atau kata yang sama artinya, juga digunakan untuk anggota-anggota dari rumah seseorang sebagai lawan untuk anggota-anggota dari dunia luar, dan juga untuk anggotaanggota dari kelompok seseorang yang lebih luas, seperti lingkungan, sekolah atau tempat kerja, sebagai lawan dari orang lain diluar kelompok-kelompok itu. Dari pendapat diatas terlihat bahwa masyarakat Jepang dalam berinteraksi membagi dua kelompok yaitu: lingkungan dalam (uchi) dan lingkungan luar (soto). Hal tersebut dapat kita lihat dalam pemakaian bahasa, pintu masuk rumah Jepang (genkan), dan kamon. Dalam pemakaian bahasa, hal tersebut dijelaskan dalam homepage wikipedia sebagai berikut: Uchi-soto adalah istilah dalam bahasa Jepang yang digunakan untuk mengarah / menunjuk pada perbedaan antara kelompok dalam (uchi, “bagian dalam”) dan kelompok luar (soto, “bagian luar”). Perbedaan antara kelompok-kelompok ini bukan hanya pokok bagian dari tradisi social Jepang, tetapi juga secara langsung dicerminkan dalam bahasa Jepang itu sendiri (hhtp://en.wikipedia.org/wiki/Uchi-soto). Konsep uchi dan soto dalam pemakaian bahasa dapat dilihat ketika seseorang berbicara dengan orang yang berada di luar uchinya, mereka akan menggunakan bahasa yang lebih sopan daripada berbicara dengan uchinya. Contohnya penggunaan kata minum, penggunaan kata minum dapat diucapkan dengan berbagai cara yaitu: •
nomimono (untuk diri sendiri atau lingkungan dan kelompoknya)
•
onomimono (untuk orang lain diluar lingkungannya)
Dan contoh lainnya yaitu kata Ibu dan Ayah, untuk memanggil Ibu dan Ayah sendiri orang Jepang memanggil dengan sebutan chichi dan haha sedangkan untuk Ibu dan Ayah orang lain mereka memanggil dengan sebutan otousan dan okaasan (http://en .wikipedia.org/wiki/Uchi-soto). Pernyataan serupa dinyatakan oleh inoue
19 tadashi dalam buku sekentei no kouzou. Inoue mengatakan bahwa bahasa Jepang merupakan cermin dari konsep uchi dan soto (showa54:72-73). Dalam rumah Jepang untuk memasuki rumah terlebih dahulu kita melewati genkan. Genkan menandakan adanya perbedaan antara uchi dan soto. Hal tersebut dikatakan bahwa lingkungan dalam yang bersih tidak boleh tercampur dengan lingkungan luar yang kotor. Teori-teori tentang “kekotoran” dan “kebersihan” itu adalah sebuah sistem klasifikasi yang berhubungan dengan teori-teori tentang “kekotoran” dan “kebersihan” yang dipertahankan lebih dalam, seperti telah dijelaskan oleh Mary Douglas (1970) di dalam masyarakat Jepang perbedaan antara uchi dan soto adalah sebuah contoh dari bagian sistem klasifikasi yang dipertahankan begitu dalam (Understanding Japanese Society:44). Dan teori tentang “kekotoran” dan “kebersihan” juga dijelaskan oleh Emiko Ohnuki-Tierney (1984:Chapter2), Emiko menjelaskan bahwa lingkungan luar dianggap kotor karena di lingkungan tersebut adalah tempat kuman-kuman berada. Ketika orang luar masuk ke dalam lingkungannya konsep tentang “kekotoran” langsung terekspresikan. Lingkungan luar itu adalah tempat dimana orang luar berada, Emiko menambahkan orang-orang dari lingkungan tersebut dikatakan hitogomi yang artinya kedengaran seperti “manusia kotor atau sampah” akan tetapi arti dari ungkapan tersebut yaitu orang banyak di luar lingkungannya (Understanding Japanese Society:44). Dalam kamon kita dapat melihatnya pada kereta, kuil, pedang, hiasan gedung atau rumah, lampion, lambang perusahaan, perhiasan, pakaian dan lain-lain. Dari barangbarang tersebut kita dapat melihat penerapan konsep uchi dan soto. Seseorang dibedakan darimana mereka berasal, apakah mereka dari anggota keluarga Kaisar, samurai, pedagang, pegawai kantor, maupun keluarganya.
20 Dalam uchi dan soto terdapat dua sikap ketika seseorang ingin menyampaikan perasaan maupun pemikirannya, dua sikap itu yaitu tatemae dan honne. Kata tatemae 建 前 berasal dari kanji 建 て る dan kanji 前 . Kanji 建 て る tateru mempunyai arti menempatkan atau mendirikan. Sedangkan kanji 前 mae mempunyai arti depan atau muka (Kamus Standar Bahasa Jepang – Indonesia). Maka jika diartikan secara kasar yaitu mendirikan atau menempatkan sesuatu yang tampil di permukaan sosok manusia. Mengapa orang Jepang mempunyai sifat seperti itu karena pola pikir mereka yang berusaha memahami perasaan orang lain ketika sedang berbicara. Nieda Rokusaburo mengatakan bahwa yang dimaksud tatemae yaitu: タテマエというものは、各人の立場や目的の違いを越えて何人にも守らなけれ ば、空証文みたいか、たんなるアクセサリーみたいなものに終わるだろう。 Yang dimaksud dengan tatemae adalah memahami perbedaan tujuan dan sudut pandang orang lain masing-masing orang, dan bila ada yang tidak memeliharanya, maka itu akan seperti surat obligasi kosong yang akan berakhir seperti aksesori belaka. Dengan demikian berdasarkan kutipan di atas, orang Jepang telah menempatkan pengertian untuk memahami lawan bicara agar ketika saat berbicara seseorang harus memperhatikan atau mempertimbangkan bahwa setiap orang mempunyai cara pikir dan kepentingan yang berbeda. Pasangan tatemae adalah honne. Honne yaitu pendapat sebenarnya, atau apa yang dipikirkan oleh seseorang. 本音 Honne berasal dari kanji 本 hon dan kanji 音 ne. Kanji 本 hon mempunyai arti dasar sedangkan kanji 音 ne berarti suara. Jadi arti dari kanji honne yaitu suara dasar. Sama seperti tatemae, honne diperlukan pada saat bersosialisasi. Seseorang harus bisa menyeimbangkan sifat tersebut agar tidak terjadi konfrontasi secara terbuka. Jadi tatemae dan honne adalah dua hal
21 yang tidak dapat dipisahkan bila sedang berinteraksi sosial. Takeo Doi (1981) menjelaskan bahwa honne ada karena adanya tatemae, di lain pihak honne memanipulasi tatemae dari belakang. Karena itu, tatemae dan honne adalah hubungan yang saling mengisi. Tanpa ada yang satu, yang lain tidak akan ada. Ruang lingkup tatemae dan honne sangat erat hubungannya dengan lingkungan uchi dan soto. Takeo Doi (1981) berpendapat bahwa yang menyebabkan timbulnya tatemae dan honne yaitu perjanjian yang diciptakan oleh masyarakat berdasarkan persetujuan yang sama. Jadi hal tersebut mempunyai keterkaitan dengan masyarakat yang bersangkutan. Dalam masyarakat Jepang, terdapat linkungan uchi dan soto. Linkungan uchi diperinci lagi menjadi miuchi lingkungan keluarga dan nakamauchi lingkungan kerabat (The Anatomy of Dependence:40). Jadi uchi adalah tempat dimana seseorang menjadi anggotanya, yang ruang lingkup uchi tersebut tergantung dari situasi dan kondisi seseorang. Jadi seseorang tidak bisa begitu saja menebak suatu lingkungan uchi dari orang lain, karena hanya orang tersebutlah yang tahu lingkungan mana yang merupakan uchi atau soto baginya. Hubungannya dengan sikap tatemae honne yaitu bila seseorang berada dalam uchinya seseorang akan merasa lebih bebas untuk menampilkan honnenya. Jadi bisa dikatakan bahwa honne akan tampil di lingkungan dimana seseorang merasa aman. Sedangkan soto adalah tempat dimana seseorang harus menampilkan sikap tatemaenya pada saat berinteraksi sosial.
22 2.3 Kamon Kamon yaitu lambang Keluarga yang digunakan untuk mengenali dan membedakan klan seseorang atau keluarga, dan kelompok uchinya. Kamon berasal dari kanji 家 「KA」 yang berarti keluarga (dari masing-masing keturunannya) dan kanji 紋 「MON」 yang berarti lambang atau simbol (The Kodansha Bilingual Encyclopedia of Japan). Tsumao (1997) menjelaskan bahwa nama setiap ie mempunyai simbol keluarga yang disebut kamon ( 家 紋 の 話 :26). Menurutnya juga walaupun kebudayaan itu didatangkan dari Cina tetapi kebiasaan menggunakan lambang untuk keluarga tidak ada di Cina (家紋の話:19).
2.4
Simbol Simbol atau lambang adalah sesuatu seperti tanda yang menyatakan suatu hal atau
mengandung maksud tertentu, tanda pengenal yang tetap (menyatakan sifat dan keadaan). Menurut Clifford Geerzt (1992) pengertian simbol dibagi ke dalam tiga kelas yang berbeda (Kebudayaan dan Agama:6) yaitu; pertama simbol yang dipakai untuk tanda-tanda konvensional eksplisit dari sesuatu; kedua adalah simbol terbatas pada sesuatu yang mengungkapkan secara tidak langsung dan figuratif apa yang tidak bisa dinyatakan secara langsung dan harafiah; ketiga adalah simbol yang dipakai untuk objek, tindakan, peristiwa, kualitas, atau relasi yang berlaku sabagai wahana untuk sebuah konsep. Berdasarkan Concise Oxford Dictionary, Tunner mengungkapkan juga bahwa simbol adalah:
23 A symbol is a thing regarded by general consent as naturally typifying or representing or recalling something by possession of analogous qualities or by association in fact or thought. Terjemahan: Simbol adalah sesuatu yang dipandang oleh persetujuan umum sebagai perlambangan secara alami atau perwakilan atau kenangan atas sesuatu yang memiliki kualitas-kualitas analogis atau penyatuan dalam kenyataan atau pemikiran (1967:19). Tunner menambahkan selain sebagai perwakilan dari sesuatu juga memilki kualitaskualitas analogis Dan Tunner (1967) juga menyimpulkan sifat-sifat simbol dari tiga makna, yaitu: 1. Makna Exegesis, yaitu makna yang didapatkan dari hasil menyatakan sejumlah informan mengenai objek yang diamati sehingga pengertian yang nyata dari simbol dapat diungkapkan. Informan yang dimaksud adalah orang awam atau ahli. 2. Makna operasional, yaitu mengungkapkan pengertian yang tependam dari objek simbolis dan tidak begitu disadari oleh manusia disekitarnya. Makna ini didapatkan dari pengamatan penggunaan dan bagaimana objek tersebut digunakan oleh masyarakat disekitarnya. 3. Makna posisi, yaitu makna yang mengacu pada kaitannya dengan simbol lain dalam keseluruhan sistem dan mengungkapkan pengertian simbol yang tersembunyi. Selain itu Tunner (1967) membagi simbol menjadi dua bagian yaitu simbol dominan dan simbol instrumental. Yang dimaksud simbol dominan yaitu simbol yang tidak hanya dipandang sebagai alat pemenuhan maksud dari ritual tertentu saja akan tetapi lebih mangacu sebagai nilai dasar dari ritual tersebut. Sedangkan simbol
24 instrumental adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu dalam setiap ritual yang ditentukan. Setelah mengungkapkan kedudukan dan makna simbol Tunner (1967) dalam bukkunya yang berjudul The Forest of Symbol menjelaskan sifat-sifat simbol yaitu; sifat pertama dari simbol yang paling sederhana adalah kondensasi (condensation) yang dalam kamus berarti pemadatan atau penyingkatan. Maksudnya simbol dominan mewakili suatu benda dan tindakan yang mencakup keseluruhan nilai atau makna yang mendalam dipadatkan dalam formasi tunggal. Sifat yang kedua adalah penyatuan significata (makan-makna pokok dari simbol) yang berbeda (unification of disparate significata). Sifat yang ketiga yaitu pengkutuban makna (polarisation of meaning) yang menerangkan bahwa sesungguhnya setiap simbol memiliki dua kutub makna yaitu kutub ideologis (ideological pole) dan kutub inderawi (sensory pole).