Bab 2 Landasan Teori
2.1 Konsep Keluarga Jepang Konsep keluarga, menurut Elliot & Bogardus dalam Khairuddin (1997) tidak hanya menjangkau orang-orang yang menikah dan mempunyai ikatan darah. Seseorang yang tidak sedarah pun dapat dikatakan anggota keluarga, contohnya dalam kasus adopsi. Keluarga dapat dibagi menjadi dua macam, keluarga dalam artian luas dan keluarga dalam artian yang sempit. Brown dalam Yudhasari (2003:30), memberikan sebuah pengertian bahwa keluarga dalam arti luas meliputi semua pihak yang ada hubungan darah atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan clan atau marga. Sedangkan keluarga dalam arti sempit hanya meliputi orang tua dan anak. Sebagai sebuah kelompok sosial kecil, keluarga pada hakekatnya memiliki nilai kasih sayang dan tanggung jawab sebagai landasannya. Elliot & Bogardus dalam Khairuddin (1997: 3) mengatakan: The family is a small social group, normally composed of a father, mother, and one or more children, in which affection and responsibility are equitably shared and which are reared to become self controlled and socially motive person. Terjemahan: Keluarga adalah sebuah kelompok sosial kecil, biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan satu atau lebih anak, dimana keluarga dapat membesarkan anak-anaknya dengan porsi kasih sayang dan tanggung jawab yang sama rata, sehingga kelak anak-anak tersebut dapat tumbuh menjadi individu yang mempunyai kontrol diri serta dapat bersosialisasi dengan baik.
7
Mengenai peran keluarga, Aoi Kazuo dalam Yudhasari (2003:34) menegaskan betapa pentingnya makna keluarga bagi manusia. Menurut beliau, keluarga memberi makna kepada setiap manusia. Beliau juga berpendapat, keberadaan keluarga sangat penting bagi anggotanya. Dalam sebuah struktur kemasyarakatan, ikatan solidaritas yang paling kuat adalah solidaritas kepada kaum kerabat dan keluarga. Selain memiliki peranan, terdapat fungsi-fungsi dalam sebuah keluarga. Fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan di dalam atau di luar keluarga (Suhendi, 2001:44). Menurut Horton dan Hunt (dalam Khairuddin, 1997) terdapat 10 fungsi suatu keluarga, yang antara lain adalah: 1. Fungsi pengaturan seksual 2. Fungsi reproduksi 3. Fungsi sosialisasi 4. Fungsi afeksi 5. Fungsi pendidikan 6. Fungsi keagamaan 7. Fungsi Perlindungan 8. Fungsi rekreatif 9. Fungsi ekonomis 10. Fungsi penentuan status. . Selanjutnya, landasan penelitian ini terbatas pada fungsi afeksi dan fungsi perlindungan saja. Yang dimaksud dengan fungsi afeksi dalam keluarga adalah keluarga merupakan tempat dimungkinkannya kasih sayang tumbuh dan berkembang dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia akan kasih sayang.Sedangkan, keluarga dengan 8
fungsi perlindungan artinya, kelurga berfungsi memberikan perlindungan fisik psikologis dan ekonomi bagi setiap anggotanya. Bahkan keluarga wajib membela, jika salah seorang anggota keluarganya mendapatkan kesulitan atau serangan dari luar. Konsep keluarga Jepang (kazoku) tidak jauh berbeda dengan konsep keluarga pada umumnya. Konsep kazoku menurut Aoi Kazuo dalam Yudhasari (2003:2) adalah sebagai berikut: 家族とは日常的な生活をともにしている夫婦・親子等の親族や、その 他の事実上の成員から成り立つ集団であるが、かならずしも同居して いるとは限らない」とか、「家族とは、夫婦関係を基礎として、親子、 兄弟など少数の近親者を重要な構成員とする、第一欠的な福祉追求の 集団である。 Terjemahan: Keluarga adalah kelompok yang terdiri dari kerabat dekat, orang tua-anak dan pasangan suami istri yang menjalani kehidupan bersama sehari-hari atau, Keluarga adalah suatu kelompok yang bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan yang dilandasi adanya ikatan hubungan suami dan istri yang terdiri dari orang terdekat dalam jumlah kecil seperti ayah, ibu, dan anakanak. Sementara itu, konsep lain tentang kazoku datang dari Kiyomi. Kiyomi dalam Soelistyowati (2003:18) mengatakan: 家族とは夫妻関係を基礎として、親子、きょうだいなど近親者をする。 感情情裔虫合に支えられた、第一次的福祉追求の集団である。 Terjemahan: Suatu kelompok yang membentuk hubungan saudara dekat yang penting seperti kakak - adik dan orang tua – anak dengan suami istri sebagai dasar dan dengan didukung oleh rasa kesatuan yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan Seorang pakar sosiologi Jepang yang telah lama mengamati konsep keluarga, Chie Nakane dalam Yudhasari (2003:34), menyebut masyarakat Jepang dengan istilah 9
masyarakat kelompok. Sebagai masyarakat kelompok, terutama dalam hubungannya dengan sistem keluarga, masyarakat Jepang terkenal sebagai masyarakat yang sangat loyal satu sama lain. Dalam suatu keluarga terjalin suatu hubungan yang sangat mendalam dan kuat. Hubungan antaranggota keluarga pada masyrakat Jepang tidak saja berlangsung selama mereka masih hidup, tetapi setelah mereka meninggal dunia pun mereka masih memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Upacara Obon, yaitu upacara yang digelar untuk mendoakan arwah leluhur dengan cara berziarah, adalah bukti nyata bagaimana kuatnya hubungan antaranggota keluarga (Yudhasari, 2003:3). 2.2 Konsep Remaja Jepang Masa remaja adalah sebuah fase peralihan dari masa kanak-kanak menuju tahap kedewasaan. Masa remaja sendiri digolongkan menjadi beberapa fase menurut usia. Ruth Strong (Nur, 2003: 22) membagi masa remaja ke dalam 3 fase, antara lain: pra pubertas (10-14 tahun), early adolescence (15-18 tahun), later adolescence (19-21 tahun). Masih dalam Nur (2003: 22), Miles berpendapat masa-masa remaja biasa ditandai dengan adanya perubahan biologis dan psikologis pada diri seseorang. Perubahan ini mengakibatkan bermacam dampak. Secara psikologis, perubahan selama masa remaja dapat menimbulkan kepekaan emosi, rasa ingin diterima, dan pengaktualisasi diri. Remaja jepang, seperti halnya remaja pada umumnya, sebagian besar masih berada dalam tahap pencarian jati diri. Sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Marcia dalam Nur (2003: 22), kondisi dimana para remaja yang masih terbawa arus dan belum tahu harus mengarah kemana disebut dengan diffused identity, dan remaja yang berjuang dalam pencarian jati diri disebut moratorium. Hal senada juga dituturkan oleh Takeuchi (2004: 61), seperti yang dikutip berikut ini: 10
青年期はモラトリアムを脱し、職業選択から自律性獲得と自我同一性 達成に至る大きな発達的移行期である。青年は職業選択作業を遂行す る途上で自己の同一性に 「出会う」発達過程をたど。 Terjemahan: Remaja seharusnya keluar dari status moratoriumnya, dan melangkah menuju tahap dimana mereka dapat mencapai otonomi mereka sendiri dan masuk kedalam perkembangan transisi berikutnya termasuk bertugas menemukan pekerjaan atau menemukan jalan menuju karir yang diinginkan. Salah satu perbedaan yang menonjol antara remaja jepang dengan remaja pada umumnya adalah menyangkut konsep kebebasan. Apabila di Amerika, contohnya, menjadi dewasa dilakukan dengan cara hidup bebas mandiri dan meninggalkan rumah orang tuanya, di Jepang sebaliknya, menjadi dewasa bukan berarti harus meninggalkan rumah orang tua. Sharon Kinsella dalam Nur (2003:31) mengatakan: Adulthood was directly understood to mean society, and vice versa; it was not viewed as a sourced of freedom or independence, it was viewed as quite the opposite, as a period of restriction and hard work. Terjemahan: Kedewasaan berkaitan secara langsung dengan masyarakat, dan sebaliknya; namun kedewasaan tidaklah dilihat sebagai sumber dari kebebasan ataupun kemandirian. Kedewasaan dilihat sebaliknya, sebagai suatu periode dimana ada pembatasan dan kerja keras. 2.3 Konsep Antisocial Personality Disorder Psikologi adalah kata benda untuk ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku; ilmu pengetahuan tentang gejala dan penyakit jiwa. Berbicara tentang kejiwaan, sesuatu yang membuat manusia unik adalah fakta bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai kepribadian (personality). Setiap individu lahir dengan suatu karakteristik kepribadian yang menyertainya. 11
Personality atau kepribadian menurut Nolen (2007: 423) adalah; All the ways we have of acting, thinking, believing and feeling that make each of us unique. Terjemahan: Segala cara bertingkah, berpikir, percaya dan merasakan yang membuat setiap pribadi unik. Damping (2009:1) mengatakan bahwa kepribadian seseorang dibentuk oleh dua faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah: 1. Warisan kecenderungan atau gen. Ini adalah aspek kepribadian yang diturunkan kepada seseorag dari oleh orang tua, seperti rasa malu atau pandangan terhadap kebahagiaan. 2. Lingkungan atau situasi kehidupan. Lingkungan tempat seseorang dibesarkan, hubungan dengan anggota keluarga dan orang lain juga turut berpengaruh dalam pembentukan kepribadian. Faktor ini mencakup beberapa hal seperti jenis pola pengasuhan yang dialami seseorang, apakah itu dengan penuh cinta atau kekerasan. 2.3.1 Psikologi Abnormal Teori-teori psikologi abnormal sangatlah banyak dan luas jangkauannya. Beberapa teori berfokus pada konflik dan kegelisahan yang tidak disadari, beberapa lainnya berfokus pada efek ganjaran dan hukuman keadaan sekeliling, sebagian pada prosesproses pemikiran, dan sisanya pada permasalahan manusia yang berusaha keras melihat kemampuan potensialnya di dunia yang dapat berubah dengan tiba-tiba. Teori psikologi tentang penyimpangan mental dikenal dengan istilah Psychological Theory of Mental disorders. Terdapat empat variasi penjabaran teori menurut gejala 12
yang menjadi penyebab terjadinya mental disorder, yakni; Psychodynamic Theories, Behavioral Theories, Cognitive Theories, Humanistic and Existential Theories. 2.3.2 Personality Disorder Personality disorder merupakan jenis penyimpangan yang tergolong dalam teori abnormal kategori Behavioral Theories, artinya gejala penyimpangan mental ini disebabkan oleh hukuman terhadap suatu kebiasaan/ tingkah laku tertentu. Dikemukakan oleh Grant dalam Nolen (2007: 423), Personality disorder merupakan pola berkepanjangan menyangkut tingkah laku, pemikiran dan perasaan yang sulit beradaptasi. Gejala penyakit ini biasanya dapat mulai dikenali ketika seseorang menginjak masa remaja atau masa awal kedewasaan. Orang-orang dengan personality disorder
sering kali didiagnosa mempunyai pengalaman atau latar belakang
penyimpangan akut lainnya, seperti major depression ataupun perlakuan kejam yang nyata (substance abuse) beberapa kali dalam hidupnya. Di dalam klasifikasi grup Personality disorder sendiri terdapat tiga pengelompokan (clusters), yakni: Cluster A :Odd-Eccentric Personality Disorders, Cluster B: DramaticEmotional Personality Disorders, Cluster C: Anxious-Fearful Personality Disorders. 2.3.3 Antisocial Personality Disorder Menurut Sher & Trull dalam Nolen (2007:435), kecenderungan penyimpangan Antisocial dengan status cukup parah telah dikenal dengan berbagai sebutan lebih dari dua abad lamanya. Seorang tokoh bernama Pritchard dalam Nolen (2007:435) bahkan memakai kata moral insanity (terjemahan: moral tak sehat) untuk para penderita Antisocial Personality Disorder. Alasannya, para penderita penyimpangan ini memiliki kontrol diri rendah serta kerap mengabaikan hak orang lain. Kemudian pada tahun 1891 13
lahirlah sebutan psychopathic oleh Koch yang ditujukan kepada kalangan masyarakat yang sama. Penulis-penulis di masa berikutnya, yakni pada akhir abad-19 dan awal abad-20, mulai sering mempergunakan kata psychopath kepada orang-orang yang mempunyai kecenderungan perilaku yang tidak stabil. Sekarang ini kata psychopath bukanlah bagian resmi dari daftar istilah DSM-IV-TR. Sebutan ilmiah yang dipakai untuk merujuk pada kelakuan antisocial kronis tersebut adalah Antisocial Personality Disorder (ASPD). Dalam ilmu psikologi, Antisocial personality disorder termasuk dalam klasifikasi Personality Disorder cluster B: Dramatic-Emotional Personality Disorder, atau golongan dengan orang-orang yang umumnya takut merasa ditelantarkan serta memiliki disfungsi menyangkut hubungannya dengan orang lain. Antisocial personality Disorder (selanjutnya disebut ASPD) merupakan suatu pola yang mudah menyebar tentang keacuhan maupun kekerasan terhadap hak dari individu lain yang dimulai sejak masa remaja dan berlanjut hingga dewasa. Konsep tersebut dapat ditemukan dalam buku Abnormal Psychology, karya Susan Nolen (2007:436). Menurut Nolen (2007:436), ciri menonjol dari disorder ini, adalah rendahnya kontrol atas hati nurani terhadap sesama. Orang-orang dengan ASPD mempunyai tingkat toleransi yang rendah dan seringkali bertingkah tanpa pemikiran panjang. Tidak jarang mereka mengambil resiko dan mencari hal-hal yang menantang tanpa kesadaran akan sesuatu yang membahayakan dirinya. Ia juga mengungkapkan penderita ASPD biasanya penuh dengan muslihat, ditandai dengan tindakan berbohong yang berulang, atau melakukan tindakan berlawanan terhadap sesama, untuk memenuhi keuntungan atau kenikmatan pribadi. 14
Hart & Hare dalam Nolen (2007:435) berpendapat, penderita ASPD biasa melakukan berbagai tindakan kriminal, baik dalam bentuk serangan maupun perbuatan melukai perasaan orang lain, termasuk diantaranya; mengancam, membunuh, dan memperkosa. Tindakan-tindakan tersebut biasa mereka lakukan dengan frekuensi yang lebih banyak dari orang-orang tanpa penyimpangan ini. Ciri penderita ASPD lainnya datang dari seorang peneliti asal Institut Kesehatan Mental Missouri, Danny Wedding. Wedding (2005: 64) mengatakan bahwa penderita ASPD adalah seseorang dengan sikap acuh dan melakukan tindak kekerasan terhadap hak orang lain. Ciri-ciri seorang ASPD menurut Wedding tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri yang sudah ada sebelumnya. Wedding (2005: 63) berpendapat seorang penderita ASPD mempunyai kecenderungan sebagai berikut: melanggar hukum, dapat menjadi agresif secara fisik, memanipulasi orang lain, berbohong, mengambil resiko yang tidak masuk akal, serta hanya memiliki sedikit (atau bahkan tidak tidak mempunyai) rasa bersalah atau penyesalan atas tingkah laku mereka. Penderita ASPD adalah penganut prinsip kepuasan. Mereka biasa melanggar hak-hak orang lain dan masuk dalam pengalaman-pengalaman berbahaya. Ganggunan ASPD yang parah akan membuat penderitanya menjadi pribadi yang dingin dan tidak berhati. Menurut Hare dalam Nolen (2007:436), para penderita ASPD akut memperoleh kepuasan dengan cara berlomba-lomba merendahkan orang lain. Mereka dapat menjadi kejam dan jahat. Parahnya, orang-orang tersebut tidak melihat kejahatan mereka sebagai suatu kesalahan. Namun, apabila diperlukan orang-orang dengan ASPD dapat menunjukkan perilaku yang berbeda. Sekonyong-konyong mereka dapat berubah menjadi pribadi yang sangat ramah dan ceria. Lalu, setelah mendapatkan 15
apa yang diingini mereka akan kembali pada keadaan semula, tidak mempunyai rasa hormat dan arogan. Moeller & Dougherty (2001:6) merangkum ciri-ciri penderita ASPD ke dalam beberapa poin. Seseorang dapat dikatakan sebagai penderita ASPD, apabila menunjukkan paling tidak tiga perilaku pada poin-poin dibawah ini. 1. Melakukan tindakan kriminal secara berulang 2. Berbohong/ menipu 3. Impulsif 4. Melakukan perkelahian atau ancaman secara berulang 5. Acuh pada keselamatan orang lain 6. Sikap tidak bertanggung jawab 7. Tidak memiliki rasa bersalah ataupun belas kasihan. Seorang pakar psikologi terkemuka, Donald Black dalam jurnalnya Introduction to Antisocial Personality Disorder (2006) menggambarkan seorang ASPD sebagai pribadi yang hanya sedikit mengkhawatirkan masalah yang dihadapi dan sama sekali tidak mencemaskan masa depan. Pada akhirnya, dibandingkan individu lain pada umumnya, penderita ASPD mempunyai kecenderungan yang lebih untuk melakukan tindakan bunuh diri, atau mati akibat kekerasan, seperti kecelakaan. Terdapat beberapa teori sebagai latar belakang terjadinya penyimpangan ASPD. ASPD kerap dikaitkan dengan pengalaman hidup seseorang, termasuk sejarah masa kanak-kanak, pelecehan seksual ataupun emosional, pengabaian, perampasan, atau penelantaran, bergaul dengan rekan-rekan yang terlibat dalam perilaku antisosial, atau memiliki orangtua pecandu alkohol atau seorang antisosial. Black (2006) mengulas 16
beberapa faktor yang menjadi latar belakang seseorang menderita ASPD. Menurut beliau, walaupun pada dasarnya faktor keturunan (genetik) berpengaruh, namun faktor lingkunganlah yang memberikan kontribusi untuk pengembangannya, tidak terkecuali faktor keluarga. Seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang terganggu akan lebih mungkin tumbuh menjadi dewasa dengan kondisi emosinal yang terluka. Selain faktor keluarga, Black juga mengatakan bahwa pengalaman traumatik dapat memicu seseorang mengalami perubahan pola normal otak. Berikut kutipannya: Traumatic events can disrupt normal development of central nervous system, a process that continues through the adolescent years. By triggering a release of hormones and other brain chemicals, stressful events could alter the pattern of normal (Black, 2006:2). Terjemahan: Kejadian traumatik dapat mengganggu perkembangan normal saraf pusat, sebuah proses yang berlanjut selama tahun-tahun remaja. Dengan memicu pelepasan hormone-hormon dan bahan kimia otak lainnya, peristiwa stress dapat mengubah pola normal seseorang (Black, 2006:2). Mendukung teori di atas, Moffitt dalam Nolen (2007:437) mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan, This is particularly true of people who were not antisocial as children but became antisocial as adolescents or young adults . Terjemahan: Adalah benar apabila seseorang yang pada masa kanak-kanak tidak mederita antisocial, namun menjadin seorang antisocial pada saat remaja atau saat memasuki masa awal kedewasaan. Dengan pernyataan diatas dapat diketahui bahwa andaipun pada masa kanak-kanak seseorang tidak menderita ASPD, tetap ada kemungkinan ia menjadi seorang penderita ASPD pada saat remaja.
17
2.3.4 Konsep Trauma Secara etimologi trauma berasal dari bahasa Yunani yang berasti luka. Terr dalam Webb (2004:11) mendefinisikan trauma dengan ungkapan; When a sudden, unexpected, overwhelmingly intense blow or series of blows assaults the person from outside. Terjemahan: Ketika satu atau rangkaian serangan yang tiba2, tidak terduga, dan sangat hebat melanda seseorang dari luar. Menurut Van der Kolk dalam Webb (2004:11) trauma yang dialami oleh seseorang biasanya memicu terjadinya tindakan kekerasan yang dilakukan orang tersebut kepada orang lain di sekitarnya. Fakta ini diperkuat oleh pernyataan dari beberapa penulis yang mengatakan; stress dengan kenangan dan dilatarbelakangi suatu oleh pengalaman menyebabkan hancurnya indera seseorang untuk merasa bersalah terhadap kejahatan. Beliau juga mengatakan, yang dimaksud dengan pengalaman traumatik mencakup perasaan kehilangan, amarah, pengkhianatan dan ketidak mampuan untuk membantu. Dengan demikian , kehilangan jelas selalu menjadi bagian dari trauma, baik dalam bentuk simbolis dari kehilangan akan rasa keselamatan dan keamanan, maupun bentuk simbolis dari kehilangan yang spesifik, seperti; lingkungan yang sudah dikenalnya atau keluarga. 2.4 Teori Penokohan Dalam karya fiksi terdapat bermacam-macam istilah. Salah satu istilah yang dikenal adalah penokohan. Menurut pengertian awam, penokohan menyangkut bagaimana seorang tokoh cerita bertingkah laku dan bersikap. Namun pengertian penokohan sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Beberapa ahli dalam Nurgiyantoro (2007) mengemukakan teori-teori yang mendetail mengenai penokohan. Namun sebelum masuk 18
lebih jauh ke dalam pembahasan mengenai penokohan, ada baiknya penulis membahas sedikit mengenai perbedaan istilah tokoh dan penokohan. Masyarakat awam pada umumnya seringkali sulit membedakan antara istilah tokoh dan penokohan. Menurut Nurgiyantoro (2007:165), istilah tokoh menunjuk pada orang atau pelaku cerita, sedangkan watak; perwatakan; karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Istilah penokohan dan karakterisasi-karakterisasi sering juga disamaartikan dengan karakter dan perwatakan. Lebih lanjut, istilah “penokohan” dijabarkan oleh Jones dalam Nurgiyantoro (2007:165) sebagai pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita Abrams dalam Nurgiyantoro (2007:165) mendeskripsikan istilah tokoh cerita (character) secara lebih spesifik. Menurut beliau, tokoh cerita (character) berarti orang (orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Ahli lainnya— Stanton, dalam Nurgiyantoro (2007:165) mengungkapkan; penggunaan istilah “karakter” (character) dalam berbagai literatur bahasa inggris menyaran pada dua istilah berbeda yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut, sehingga character dapat berarti “pelaku cerita” dan dapat pula berarti “perwatakan”. Namun, apabila dilihat dari teori resepsi dimana dalam suatu karya fiksi pembedaan satu tokoh dengan tokoh lainnya dapat lebih ditentukan melalui kualitas pribadinya daripada dilihat secara fisik, untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan 19
dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku (nonverbal). Dengan demikian istilah “penokohan” mempunyai pengertian yang lebih luas daripada “tokoh” maupun “perwatakan” sebab penokohan sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro. 2007: 166).
20