Bab 1 Struktur Perilaku Kinerja Structure ConductPerformance (SCP) Melalui teori struktur, perilaku dan kinerja pasar atau yang dalam literatur ekonomi industri dikenal sebagai paradigma structure−conduct−performance akan dapat ditelaah keterkaitan antara kinerja industri dengan faktor−faktor penentunya seperti kekuatan pasar dan hambatan masuk pasar. Paradigma S-C-P Salah satu subjek pokok dalam pembahasan ekonomi industri adalah kinerja untuk industri tertentu. Bahkan dapat dikatakan bahwa kajian terhadap kinerja merupakan tujuan dari studi organisasi industri. Kerangka kerja analisis yang umum digunakan adalah pendekatan struktur, perilaku dan kinerja atau paradigma structure conduct performance (S−C−P) yang mempelajari keterkaitan antara struktur, perilaku dan kinerja suatu industri. Pendekatan SCP merupakan pendekatan yang cukup dominan dalam studi ekonomi industri dengan asumsi bahwa kinerja pasar sangat dipengaruhi oleh struktur pasar yang ada. Salah seorang pioneer dalam pendekatan ini, Richard Caves menyatakan bahwa struktur pasar sangatlah penting karena struktur menetukan perilaku perusahaan dalam suatu industri dan perilaku tersebut selanjutnya akan mempengaruhi kualitas dari kinerja industri (Clarkson dan Miller, 1982: 5). Struktur pasar mengacu pada karakteristik pasar yang mempengaruhi proses persaingan. Dengan demikian struktur pasar diantaranya terkait dengan ukuran dan distribusi ukuran dari perusahaan (size and size of distribution of firm), hambatan masuk pasar (barrier and condition of entry), differensiasi produk serta struktur biaya dan regulasi pemerintah. 1
Struktur pasar akan mempengaruhi operasional dan perilaku maing−masing perusahaan. Struktur pasar dapat mempengaruhi kondisi internal perusahaan misalnya melalui kebijakan yang terkait dengan karyawan, kondisi kerja dan lain hal yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi alokasi sumber daya yang dimiliki antar perusahaan. Perilaku perusahaan dapat dikaji dari desain produk dan diferensiasinya, cara penetapan harga serta kegiatan periklanan dan promosi penjualan yang dilakukan perusahaan. Secara skematis pendekatan S−C−P dapat digambarkan sebagai berikut : Struktur Perilaku Kinerja Gambar 1.1 Skema Framework Organisasi Industri
2
Adapun kinerja pasar merupakan penilaian mengenai bagaimana tujuan ekonomi tertentu dapat dipenuhi yang meliputi efisiensi, pertumbuhan, pemerataan dan kesempatan kerja. Dalam rangka membuat penilaian kinerja, kriteria ekonomi normatif harus dijadikan patokan. Supaya kita dapat menyatakan baik buruknya kinerja suatu industri terlebih dahulu harus ditentukan tujuan normatif yang ingin dicapai. Aliran Chicago Pendekatan SCP menekankan bahwa kinerja pasar sangat ditentukan oleh kekuatan pasar (market power). Pendapat ini ditentang oleh aliran Chicago yang percaya bahwa perilaku anti persaingan pada dasarnya disebabkan oleh campur tangan pemerintah. Bukannya mengingkari eksistensi monopoli, aliran Chicago berpendapat bahwa monopoly power yang tidak didukung oleh pemerintah hanyalah bersifat sementara. Pendekatan Chicago menolak kemungkinan berhasilnya strategi yang dilakukan oleh suatu perusahaan terhadap perusahaan lain maupun terhadap calon pesaing (potential entrant). Dengan keyakinan yang kuat bahwa penyimpangan dari model persaingan sempurna hanyalah bersifat sementara, maka tidaklah mengejutkan jika aliran Chicago mengkritik riset yang dilakukan melalui kerangka S−C−P. Aliran SCP percaya bahwa teori mikro elementer tidaklah cukup untuk menjelaskan kejadian di dunia nyata, oleh karenanya diperlukan observasi untuk mengembangkan model yang cukup komprehensif untuk menjelaskan realita. Sebaliknya, aliran Chicago bersikukuh bahwa kontradiksi antara teori mikro dasar dengan kenyataan terjadi karena akibat dari kesalahan dalam observasi (Martin, 1989 : 11). Secara skematis, kerangka kerja aliran Chicago dapat diilustrasikan dalam Gambar1.2
3
Gambar 1.2 Skema Framework Aliran Chicago
Berdasarkan skematis diatas, kebebasan untuk memasuki pasar (freedom of entry) akan menjamin optimalisasi kinerja. Struktur Perilaku Kinerja Struktur pasar tidak digambarkan sebagai determinan dari kinerja pasar. Sementara aliran SCP memandang persaingan tidak sempurna sebagai model dasar untuk meninjau perilaku industri, aliran Chicago lebih memandang bahwa model persaingan sempurna merupakan model yang lebih relevan. Meski demikian dalam hal tertentu terdapat sintesis diantara dua kubu aliran dimaksud. Ekonom dalam aliran SCP tidak lagi memandang bahwa kekuatan pasar sebagai satu−satunya penjelas bagi perilaku pasar. Akan tetapi pendukung aliran SCP tetap tidak ingin mengasumsikan, sebagaimana dilakukan oleh aliran Chicago, bahwa efisiensi merupakan penjelas utama dari perilaku perusahaan dan pemerintah sebagai biang penyebab kekuatan pasar (market power).
4
Bab 2 Struktur Pasar Secara umum struktur pasar berada dalam dua spektrum yang berbeda yaitu pasar persaingan sempurna (perfect competition) dan pasar monopoly. Pasar persaingan sempurna dapat diidentifikasi dari beberapa karakteristik sebagai berikut: (1) Terdapat banyak penjual atau perusahaan dalam pasar, (2) Barang yang dijual bersifat homogen, (3) Setiap perusahaan hanya menjadi price taker, tidak ada satupun perusahaan yang menjadi pengontrol harga atau price maker, (4) Dalam jangka panjang, tiap perusahaan tidak bisa menikmati profit ekonomis dengan tingkat harga sama dengan biaya marginalnya dan, (5) Tidak terdapat hambatan untuk memasuki pasar (no entry barriers). Identifikasi strukur pasar dapat dievaluasi berdasarkan beberapa karakteristik diatas. Pasar monopoly misalnya, dapat dilihat dari ciri yang secara ekstrim berbeda dengan tipikal pasar persaingan sempurna, yaitu : terdapat hanya satu Penjual yang menjadi price maker, perusahaan menikmati profit ekonomis dalam jangka panjang dengan menetapkan harga diatas biaya marginal−nya dan terdapat hambatan untuk memasuki pasar (entry barrier conditions). Dengan demikian, pasar dengan karakteristik yang berada diantara spektrum pasar persaingan sempurna dan monopoly dapat diidentifikasi sebagai pasar oligopoly. Para ahli mengajukan berbagai pengukuran untuk mengidentifikasi struktur pasar, beberapa diantaranya disampaikan secara sepintas melalui pembahasan berikut. Pendekatan Produk Salah satu cara untuk mengidentifikasi pasar adalah dengan menggunakan pendekatan produk. Apabila pasar didefinisikan berdasarkan jenis produk maka harus dipastikan hubungan antara 5
produk satu dengan produk lainnya. Hubungan dimaksud dapat berupa hubungan substitusi maupun hubungan komplementer. Jika beberapa produk memiliki hubungan substitusi antar satu dengan lainnya, maka sudah selayaknya untuk dikelompokkan dalam satu pasar yang sama. Identifikasi pasar dengan pendekatan produk dapat dilakukan dengan cara mengukur elastisitas silang (cross elasticity) diantara beberapa produk dimaksud, dengan formulasi sebagai berikut:
dalam hal ini q adalah kuantitas, p tingkat harga serta subscript x dan y masing−masing menunjukkan barang x dan barang y. Apabila koefisien elastisitas silang adalah positif maka barang x dan y bersifat substitusi dan jika negatif dapat dikatakan bersifat komplementer. Pendekatan Kinerja Salah satu karakteristik pasar diidentifikasi berdasarkan kinerja (performance). Sebagaimana telah disinggung bahwa pasar monopoly dapat menetapkan harga diatas biaya marjinal, sementara pasar persaingan hanya mampu menetapkan harga sama dengan biaya marjinalnya. Seberapa besar deviasi antara tingkat harga dengan biaya marjinalnya, menunjukkan besarnya derajat kekuatan monopoly (monopoly power) yang dimiliki pasar dimaksud. Salah satu indeks yang dapat digunakan untuk mengukur derajat kekuatan monopoly adalah menggunakan indeks Lerner yang diformulasikan sebagai berikut:
dalam hal ini P adalah tingkat harga dan MC adalah biaya marjinal. Lerner Index (LI) bervariasi antara 0 hingga 1. Semakin mendekati 1 maka semakin 6
merepresentasikan kekuatan monopolis. Permasalahan teknis dari perhitungan indeks Lerner adalah bahwa perhitungan marginal cost dalam praktek tidaklah mudah. Oleh karena itu, beberapa ahli mengajukan alternatif perhitungan yang diantaranya menggunakan indeks Bain. Bain mendefinisikan tingkat profit (profit rate) sebagai ∏e/V dimana dalam hal ini profit ekonomis dinyatakan sebagai:
Dalam hal ini R adalah total penerimaan, C besarnya biaya, D besarnya depresiasi, V adalah nilai dari investasi dengan return sebesar i. Sebagaimana telah dicatat bahwa pasar non− persaingan sempurna akan menikmati profit ekonomis dalam jangka panjang. Pendekatan Konsentrasi Alternatif pengukuran struktur pasar adalah menggunakan indeks konsentrasi. Secara umum dapat dinyatakan bahwa apabila pasar hanya didominasi oleh beberapa perusahaan, maka perilaku beberapa perusahaan tersebut akan cenderung berupaya mengontrol harga sebagaimana dilakukan oleh monopolis. Pendekatan konsentrasi pasar menggunakan beberapa indeks, salah satu yang banyak digunakan adalah rasio konsentrasi yang diukur berdasarkan data penjualan beberapa perusahaan terbesar. Dalam praktek, rasio konsentrasi tidak hanya didasarkan pada data penjualan namun juga bisa menggunakan variabel jumlah tenaga kerja, nilai investasi, jumlah aset dan lain sebagainya. Batasan banyaknya jumlah perusahaan terbesar juga bervariasi, bisa menggunakan empat perusahaan terbesar, delapan perusahaan, 50 perusahaan atau bahkan 100 perusahaan terbesar tergantung pada cakupan data yang tersedia. Perhitungan konsentrasi pasar dapat juga dilakukan dengan pendekatan kurva konsentrasi dan kurva Lorenz. Kurva konsentrasi mengurutkan jumlah perusahaan dari yang terbesar hingga jumlah perusahaan terkecil dalam sumbu horizontal dan persentasi kumulatif dari asset dalam 7
industri sebagai sumbu vertical. Sebaliknya kurva Lorenz dalam perhitungannya mengurutkan dari jumlah perusahaan terkecil hingga jumlah perusahaan terbesar. Aplikasi kurva Lorenz lebih anjut adalah dengan menggunakan koefisien Gini yang bernilai 0 hingga 1. Semakin mendekati 0 berarti distribusi ukuran perusahaan semakin merata (perfect equality). Konsentrasi pasar juga dapat dihitung dengan menggunakan indeks Herfindahl yang diformulasikan sebagai berikut:
Dalam hal ini N adalah jumlah perusahaan, x adalah ukuran perusahaan ke i dan T adalah total ukuran pasar. Ukuran pasar bisa menggunakan asset, penjualan atau variabel lainnya. Indeks Herfindahl bernilai antara 1/N hingga 1. Jika seluruh perusahaan memiliki ukuran yang sama maka indeks ini bernilai sebesar 1/N sedangkan jika hanya terdiri satu perusahaan (monopoly) dalam industri maka indeks ini akan bernilai satu.
8
Bab 3 Kinerja Industri Salah satu karakteristik pasar atau industri diidentifikasi berdasarkan kinerja (performance). Sebagaimana telah disinggung bahwa pasar monopoli dapat menetapkan harga diatas biaya marjinal, sementara pasar persaingan hanya mampu menetapkan harga sama dengan biaya marjinalnya. Seberapa besar deviasi antara tingkat harga dengan biaya marjinalnya, menunjukkan besarnya derajat kekuatan monopoli (monopoly power) yang dimiliki pasar dimaksud. Salah satu indeks yang dapat digunakan untuk mengukur derajat kekuatan monopoli adalah menggunakan indeks Lerner (Clarkson dan Miller, 1982 : 59) yang diformulasikan sebagai berikut:
Dalam hal ini P adalah tingkat harga dan MC adalah biaya marjinal. Lerner Index (LI) bervariasi antara 0 hingga 1. Kinerja pasar secara normatif dikatakan baik jika tingkat harga yang terjadi sama dengan biaya marjinalnya. Indeks Lerner merupakan representasi dari indikator price−cost margin (PCM) yang banyak digunakan oleh peneliti sebagai indikator kinerja industri. Kinerja industri sebenarnya tidak hanya dapat diukur berdasarkan indikator ini saja. Beberapa indikator seperti efisiensi teknis, profitabilitas dan penyerapan tenaga kerja juga mencerminkan kinerja industri.
9
Pangsa Pasar Untuk memulai analisis, misalkan kurva permintaan dapat dinyatakan secara linear sebagai berikut (Martin, 1989 : 27 –28) :
dalam hal ini, P adalah tingkat harga, Q output dan –b adalah kemiringan kurva permintaan (∆P/∆Q). Penerimaan marjinal dari seorang produsen dapat dinyatakan sebagai perubahan total penerimaan akibat perubahan satu unit output. Sementara perubahan total penerimaan dapat dinyatakan sebagai:
maka penerimaan marjinal dapat dinyatakan sebagai :
Mengingat elastisitas permintaan merupakan perubahan persentase permintaan akibat satu persen perubahan harga, yakni:
maka penerimaan marjinal dapat dinyatakan sebagai:
Maksimasi profit dari produsen tunggal atau monopolis, diperlukan pemenuhan syarat tambahan penerimaan sama dengan tambahan biaya sehingga :
10
dengan manipulasi matematis maka akan diperoleh:
Persamaan diatas menyatakan hubungan antara price−cost margin dengan elastisitas permintaan dalam kasus monopoli. Melalui persamaan ini dapat diketahui bahwa kekuatan pasar seorang monopolis dibatasi oleh elastisitas permintaan akan produknya. Semakin tinggi elastisitas permintaan, maka semakin kecil kekuatan pasar yang dimilikinya. Kenaikan harga sedikit saja akan mengurangi permintaan dalam jumlah yang relatif besar. Untuk kasus oligopoli, (Martin, 1989 : 131) misalnya pasar dilayani oleh dua produsen yang memproduksi masing−masing q1 dan q2 sebagai berikut:
Fungsi biaya untuk masing−masing produsen dapat dinyatakan sebagai:
Total penerimaan untuk perusahaan 1 adalah:
Dengan demikian penerimaan marjinal perusahaan 1 adalah :
Maksimasi profit perusahaan 1 dicapai pada saat MR1 sama dengan MC1 yaitu:
atau
11
Dengan membagi kedua ruas persamaan diatas dengan P maka akan diperoleh:
Persamaan elastisitas permintaan dapat jika dihubungkan dengan slope kurva permintaan –b dapat ditulis sebagai:
Dengan mendefinisikan elastisitas permintaan sebagai persamaan price−cost margin dapat dinyatakan sebagai:
P/bQ maka
Dalam hal ini si adalah market share dari perusahaan oligopolis. Model oligopoli yang digambarkan diatas tidak lain merupakan model duopoli Cournot standar yang mengsumsikan bahwa sebuah perusahaan akan mengambil keputusan mengenai output yang akan dijualnya dengan mengasumsikan bahwa output dari perusahaan pesaing adalah konstan. Asumsi ini banyak dikritik oleh banyak ahli karena menganggap bahwa perusahaan akan dengan pasti mengetahui jumlah output pesaing. Untuk mengatasi masalah ini, Martin (1989 : 113) memperkenalkan koefisien yang disebut sebagai conjectural variation yang mengukur persentase perubahan output pesaing yang diperkirakan oleh sebuah perusahaan akibat dari peningkatan outputnya sebesar satu persen. Conjectural variation dinyatakan sebagai:
Jika koefisien conjectural variation ini disubsitusikan ke dalam model 12
price−cost margin oligopolis maka akan diperoleh:
Apabila αi bernilai 1 maka persamaan diats akan menjadi seperti model monopoli murni sebagaimana dalam persamaan sebelumnya. Jika αi bernilai 0 maka persamaan dimaksud akan kembali menjadi model oligopoli Cournot dasar. Intensitas Kapital Secara teoritis indikator price−cost margin berhubungan dengan intensitas kapital. Semakin tinggi intensitas kapital yang diperlukan dalam teknik produksi, maka semakin tinggi pula nilai price−cost margin. Mengingat data mengenai biaya arjinal tidak tersedia secara langsung, beberapa peneliti mengasumsikan terjadinya constans return to scale dimana biaya marjinal sama dengan biaya rata−rata. Carlton dan Jeffrey (2000: 246) merumuskan marginal cost sebagai berikut:
Dalam hal ini v adalah variable cost per unit, r adalah return dari kapital dan adalah depresiasi. Apabila nilai MC dalam persamaan diatas disubstitusikan ke dalam persamaan indeks Lerner maka dapat dinyatakan:
Dengan mengatur ulang persamaan diatas maka akan diperoleh persamaan price−cost margin yang dapat dirumuskan sebagai :
Indikator price−cost margin pada sisi sebelah kiri persamaan diatas dinyatakan sebagai rasio antara selisih nilai output dengan nilai input 13
dengan nilai outputnya. Adapun fraksi K/PQ dalam kajian empiris disebut sebagai kapital−sales ratio. Intensitas Impor Studi price−cost margin, dapat dihubungkan dengan intensitas impor. Kajian price−cost margin kaitannya dengan impor dikenal dengan pengujian import−disipline hypothesis. Pugel (1980 : 121) menganalisis permasalahan ini dengan mendefinisikan total pendapatan sebagai penjumlahan dari nilai penjualan domestik dan nilai impor
Maksimasi profit oleh produsen, Z, kaitannya dengan harga domestik PD dapat dinyatakan sebagai :
dalam hal ini CD adalah biaya marjinal dari produksi domestik. Syarat optimalisasi profit untuk first order condition, oleh Pugel dinyatakan sebagai :
Dengan menyusun kembali persamaan diatas, Pugel merumuskan persamaan price−cost margin sebagai berikut :
Dalam hal ini εMS adalah elastisitas supply barang impor, εMM dan εDD masing−masing elastisitas permintaan impor dan barang domestik dan εMD dan εDM adalah elastititas silang permintaan silang. Berbagai elastisitas dalam persamaan sebelumnya tidak dapat diobservasi secara langsung sehingga Pugel menyederhanakan sebagai : 14
dengan batasan:
Dari persamaan diatas diketahui bahwa indikator price−cost margin secara teoritis memiliki hubungan negatif terhadap rasio impor terhadap nilai output domestic.
15
Bab 4 Perilaku Pasar Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa model price− cost margin dapat digunakan untuk untuk mendeteksi derajat perilaku kolusif antar perusahaan. Perilaku tersebut dapat diestimasi dari koefisien conjectural variation yang diberikan dalam persamaan sebelumnya dapat ditulis kembali sebagai :
Dengan demikian koefisien conjectural variation dapat diestimasi dengan cara:
Perilaku kolusif digambarkan oleh Yoffie dan Casseres (1994) sebagai perilaku yang sedemikian rupa sehingga kinerja yang dihasilkan oleh pasar sama dengan struktur monopoli meskipun dalam pasar terdiri atas beberapa perusahaan. Apabila masing−masing perusahaan melakukan strategi untuk menikmati keuntungannya sendiri maka saling respon antar pesaing akan menyebabkan kinerja yang medekati kondisi oligopoli Cournot. Dalam kasus yang lebih ekstrem dengan melibatkan lebih banyak perusahaan maka persaingan yang terjadi akan semakin mendekati kondisi persaingan sempurna. Secara matematis, jika permintaan pasar dinyatakan dalam kurva linear dan biaya marjinal sama dengan c, maka dalam kondisi persaingan sempurna akan dicapai keseimbangan harga pada tingkat P = c dengan output sebesar:
16
Apabila kondisi pasar berupa monopolis, maka maksimasi profit dilakukan dengan menyamakan pendapatan marjinal dengan biaya marjinal. Pendapatan marjinal untuk kasus permintaan linear adalah MR = a – 2bQ. Keseimbangan output dicapai pada saat :
Dalam kasus oligopolis dengan n perusahaan, maka pendapatan marjinal dapat dinyatakan sebagai MR = a – (n+1)bQ sehingga keseimbangan output total seluruh perusahaan adalah :
Secara skematis, keseimbangan output dan harga untuk masing−masing struktur pasar dapat digabung dalam ilustrasi Gambar 4.1. Gambar 4.1 Kinerja Monopoly, Oligopoly dan Persaingan Sempurna
17
Melalui ilustrasi tersebut ditunjukkan bahwa level kolusif sama dengan level monopoly. Dalam pasar yang hanya kuasai oleh segelintir perusahaan, maka tingkat harga maupun output akan mendekatai level monopoly ini sehingga disebut sebagai level kolusif yang optimal. Apabila perusahaan tidak bisa melakukan kolusi maka akan dicapai level keseimbangan oligopoly Cournot. Apabila jumlah perusahaan semakin meningkat maka akan dicapai level persaingan sempurna. Ilustrasi selengkapnya dapat diperhatikan dalam Gambar 4.1 Efisiensi Hubungan antara market share dengan price−cost margin dapat dilihat dari kaitannya dengan efisiensi. Hipotesis efisiensi menyatakan bahwa semakin efisien sebuah perusahaan maka semakin tingi pula tingkat profit yang bisa diraih (Martin, 1989: 180). Hipotesis efisiensi merupakan penjelas lain disamping perilaku kolusif untuk menjelasakan hubungan antara positif antara market share dengan kinerja industri. Ilustrasi selengkapnya mengenai hipotesis efisiensi ini dapat diperhatikan melalui ilustasi Gambar 4.2 Gambar 4.2 menunjukkan penurunan biaya marjinal dari C1 ke C2 misalnya akibat ditemukan teknik produksi baru atau tim manajemen yang lebih superior. Turunnya biaya marjinal menyebabkan perpotongan antara kurva penerimaan marjinal dengan biaya marjinal bergeser ke bawah. Perusahaan dapat menurunkan harga dari P1 ke P2 dan menjual dengan output yang lebih banyak sekaligus menikmati peningkatan dalam profit. Melalui ilustrasi Gambar 2.4 dapat ditunjukkan bahwa peningkatan output dari Q1 ke Q2 diikuti dengan peningkatan dalam indikator price−cost margin. Berdasarkan gambar dimakud dengan mudah dapat dibuktikan bahwa (P1 – C1) / P1 < (P2 – C2) / P2.
18
Gambar 4.2 Efisiensi dan Penentuan Harga
Market Power Efek ekonomi dari market power adalah alokasi sumber daya yang tidak efisien atau mis−alokasi input, redistribusi pendapatan dari konsumen ke produsen dan mengurangi kesejahteraan ekonomi atau economic welfare (Martin, 1989: 30). Untuk melihat efek ini secara grafis, berikut disajikan ilustasi model pasar dengan asumsi constant return to scale. Dalam kondisi persaingan, tingkat harga adalah Pc dengan tingkat output sebesar Qc dan surplus konsumen sebesar PcAE. Jika struktur pasar merupakan monopolis maka output akan dibatasi sehingga tingkat harga menjadi Pm dengan tingkat output sebesar Qm. Surplus konsumen menyusut menjadi PmAB. Sebesar PcPmBG surplus konsumen dialihkan ke produsen berupa transfer pendapatan konsumen terhadap produsen. Adapun bagian surplus konsumen sebesar segitiga GBE tidak dinikmati oleh pihak manapun sehingga merupakan deadweight welfare loss (DWL).
19
Gambar 4.3 Efek Alokatif dan Redistributif Market Power
Peningkatan harga menyebabkan sebagian konsumen yang hanya bersedia membayar sebesar biaya produksi c, tidak dapat membeli produk dari monopolis yang harganya lebih tinggi (Pm > Pc = c). Konsumen tersebut mengalihkan pembelian untuk produk lain yang harganya (relatif terhadap harga monopolis) lebih rendah. Permintaan untuk barang monopolis menurun, dan permintaan untuk barang lainnya meningkat. Sejalan dengan itu, akan terjadi alokasi (allocated away) sumber daya dari produk monopolis ke produk lainnya. Dengan merestriksi output dan menaikkan harga, monopolis mengirimkan sinyal yang salah mengenai nilai relatif terhadap konsumen sehingga mengurangi permintaan untuk produk monopolis (monopolized goods). Pengurangan ini akan menyebabkan mis−alokasi sumber daya antar industri. Not enough of the monopolized good is produced, from a social point of view, and too much of other goods is produced (Martin, 1989 : 31).
20
Efek ekonomi dari market power berupa DWL dapat dihitung dengan pendekatan sebagai berikut:
Mengingat bahwa :
Maka persamaan DWL dapat dihitung sebagai berikut :
Dari persamaan diatas telah jelas bahwa indikator price−cost margin memiliki hubungan searah dengan deadweight welfare los.
21
Bab 5 Strategi Harga Harga merupakan sinyal yang memandu alokasi sumber daya dalam perekonomian pasar. Ia juga merupakan instrument utama yang menentukan distribusi pandapatan antar pelaku ekonomi dalam proses ekonomi. Pertanyaan sentral dalam teori ekonomi adalah untuk menjelaskan tinggi dan rendahnya harga dari suatu produk. Penjelasan dimulai secara logis maupun observasi yang mengaitkan antara perilaku harga penjual dan pembeli dengan bermacam variabel penjelas. Beberapa variabel yang ditekankan oleh penyusun teori harga dikategorikan dalam sub−bahasan struktur pasar yang mencakup jumlah dan distribusi ukuran penjual dan pembeli, tingkat substitusi dan diferensiasi produk, serta ada tidaknya hambatan masuk bagi penjual ke pasar. Hubungan antara karakteristik struktur pasar dengan perilaku harga merupakan fokus utama dalam volume ini. Secara lebih khusus, kita akan membahas bagaimana tingkat harga ditentukan dalam struktur Struktur Harga dan Perilaku Harga Meskipun memungkinkan untuk menyusun tipologi yang lebih kompleks, klasifikasi yang paling penting mengidentifikasi lima macam struktur pasar dasar yang mana ditentukan oleh jumlah penjual dan jenis produk. Jenis Produk Satu Homogeneous Product Differentiated Product
Pure Monopoly
Jumlah Penjual Sedikit Homogeneous Oligopoly Differentiated Oligopoly
Banyak Pure Competition Monopolistic Competition
22
Berdasarkan skema diatas, perbedaan lebih dalam dapat digambarkan dengan mengacu pada kemudahan masuk bagi penjual baru. Klasifikasi diatas dapat dinyatakan menurut mudahnya masuk (easy entry), dimana supplier baru akan datang untuk merespon kenaikan harga diatas biaya, hingga sulitnya masuk (blockaded entry), dimana supplier baru tidak muncul meskipun harga yang dihasilkan mencapai tingkat profit monopolis yang maksimum. Perbedaan antara homogenitas dan diferensiasi dalam klasifikasi tergantung pada derajat substitutabilitas diantara produk beraneka produk yang dijual. Homogenitas akan terjadi, jika dalam benak pembeli, produk−produk dimaksud dapat saling digantikan secara sempurna. Produk dapat dinyatakan terdiferensiasi apabila, melalui perbedaan fisik, pelayanan, tempat dan atau kesan subjektif, sebuah produk perusahaan lebih disukai daripada produk pesaing oleh beberapa pembeli, meskipun menawarkan harga yang lebih mahal. Nyatanya, diferensiasi produk amat kompleks sehingga dalam praktek sangat sulit untuk memisahkan pada level mana ujung homogenitas dan awal dari diferensiasi. Sama halnya, meskipun akhir monopoly murni berujung pada jumlah penjual dari satu menjadi dua sehingga disebut oligopoly, sangat sulit untuk memilah secara pasti mana oligopoly yang dapat digolongkan ke dalam struktur pasar kompetitif atau atomistic. Kunci dari pembedaan tersebut kerap bersifat subjektif. Jika jumlah penjual relatif sedikit sehingga masing−masing penjual percaya bahwa terdapat keuntungan ekonomis yang diperoleh dari perilaku pasar oleh pihak lain, dan bahwa perusahaan lain terpengaruh oleh tindakannya, maka pasar dapat dikatakan bersifat oligopolistik. Dibawah persaingan sempurna, jumlah perusahaan sedemikian besarnya dan pangsa pasar tiap−tiap perusahan sangat kecil sehingga tidak satupun perusahaan yang secara jelas mampu mempengaruhi harga pasar secara keseluruhan atau perusahaan lain yang memberi keuntungan dengan membatasi outputnya. Dalam bahasa matematis, harga merupakan parameter bagi perusahaan kompetitif – ia ditentukan seluruhnya oleh kekuatan pasar dan bukan oleh kekuatan kontrol oleh satu perusahaan. Monopolis murni, oligopolis dan pesaing monopolistik sama−sama memiliki karakteristik yang berbeda dengan persaingan sempurna : 23
masing−masing menyadari bahwa keputusan akan outputnya akan memiliki pengaruh terhadap tingkat harga. Dalam hal ini masing−masing dapat memperbesar kuantitas output yang dijual pada tingkat permintaan tertentu dengan cara menurunkan harga, atau dapat menaikkan harga dengan menerima konsekwensi bahwa output yang dijual akan menurun. Semua bentuk perilaku tersebut dapat dikatakan sebagai “monoploly power” Para ekonom telah membangun model yang secara logika menarik, meskipun bersifat mekanistik, untuk memprediksi perilaku harga yang dihasilkan oleh persaingan sempurna, monopoli dengan rintangan masuk, dan (kadang bersifat kontroversi) di bawah kondisi persaingan monopolistik. Jika terjadi persaingan sempurna, maksimasi profit mensyaratkan bahwa perusahaan memperbanyak outputnya hingga harga sama dengan biaya marjinal. Masuknya perusahaan baru ke dalam industri akan terjadi hingga dicapai kondisi keseimbangan dimana harga, biaya marjinal, dan biaya rata− rata berada pada level minimum. Keuntungan supra−normal tidak ada. Dalam kondisi monopoly murni dengan blockaded entry dan persaingan monopolistik yang easy entry, produsen mencapai keuntungan maksimum dengan tingkat harga yang ada diatas biaya marjinal. Disparitas antara harga dan biaya marjinal akan menyebabkan mis−alokasi sumber daya, dalam arti bahwa beberapa konsumen tidak bisa membeli produk yang ditawarkan karena harganya jauh diatas harga yang bersedia dibayar oleh konsumen. Dalam kasus monopoli murni, super normal profit juga dapat dicapai. Dengan oligopoly (dan juga monopoli dimana masuknya pesaing tidak dihambat), permasalahan teoritis menjadi berbeda dan sekaligus sulit. Masing−masing oligopolies sadar bahwa kebijakan terbaik mengenai harga yang ditetapkan juga tergantung pada penetapan harga oleh pesaing. Perusahaan menjadi saling tergantung, dan mereka sadar akan hal itu. Sama dengan hal itu, monopolis yang membiarkan dirinya terancam oleh persaingan akan menyadari bahwa posisi pasar dan tingkat keuntungannya akan dipengaruhi bagaimana pesaing potensial (calon pesaing) merespon kebijakan harganya. Keputusan darim oligopolies dan monopolis rentan saingan (entry−vulnerable) tergantung pada bagaimana asumsi yang mereka buat mengenai keputusan dan 24
reaksi pesaing dan calon pesaing serta beberapa asumsi lain yang layak dipertimbangkan. Kompeksitas dari permasalahan oligopoli menimbulkan banyaknya teori harga oligopolies, dari yang sederhana hingga yang rumit dengan pendekatan matematis. Perkembangan teori ini tidak terlepas dari banyaknya pola perilaku yang bisa diobservasi dari oligopoly. Observasi sebab akibat menyarankan bahwa segala sesuatu bisa saja terjadi. Beberapa industri oligopolis nampak mempertahankan pendekatan harga sebagaimana monopoli murni. Sementara yang lain lebih tertarik untuk melakukan perang harga. Berdasarkan banyaknya perilaku yang diprediksi oleh teori serta observasi yang dilakukan, beberapa ekonom berkesimpulan bahwa permasalahan oligopoly tidak bisa ditentukan. Hal ini benar, setidaknya jika melihat bahwa seseorang tidak bisa menghubungkan keseimbangan harga dengan kondisi biaya dan permintaan dalam cara dan mekanisme yang unik dan menarik. Akan tetapi hal ini juga bisa dikatakan salah jika menyimpulkan bahwa kita tidak dapat membangun teori yang mampu memprediksi perilaku harga oligopolistik secara tepat. Sebuah interpretasi konstruktif adalah : untuk membuat perdiksi yang mampu bekerja kita membutuhkan teori yang lebih luas dibandingkan dengan teori yang telah diterima baik dalam pembahasan monopoly murni maupun persaingan sempurna, termasuk diantaranya variabel yang tidak relavan dengan dua kasus ekstrem tersebut. Persoalan ini menjadi sangat penting tidak hanya karena permasalahan teoritis dari oligopolies yang sangat sulit dan menarik, namun juga karena struktur pasar oligopolistik merupakan hal yang umum dijumpai dalam dunia nyata Sebuah indeks yang mengukur derajat oligopoli adalah rasio konsentrasi empat perusahaan yang diukur berdasarkan total persentase penjualan empat perusahaan terbesar. Jika konsentrasi rasio empat perusahaan berada diatas level 40% maka perlunya ketergantungan antar oligopolies dalam penentuan harga menjadi sangat signifikan.
25
Teori Murni Penentuan Harga Oligopolis Sebagai langkah awal, sangat berguna jika melakukan kajian terhadap beberapa hal penting dalam pengembangan teori oligopoli. Tulisan awal yang membahas permasalahan oligopoly dilakukan oleh Augustin Cournot yang dipublikasikan tahun 1838 namun tidak ditemukan oleh ahli ekonomi hingga 45 tahun kemudian. Cournot menyatakan bahwa masing−masing perusahaan akan memilih memasarkan output yang memaksimumkan profitnya dengan mengasumsikan bahwa output dari perusahaan lain akan tetap. Dari asumsi sederhana ini, Cournot menurunkan dua kesimpulan. industri tertentu, terdapat keseimbangan Pertama, untuk harga−kuantitas yang stabil. Kedua, keseimbangan harga tergantung pada jumlah penjual. Dengan penjual tunggal, dihasilkan harga monopolis. Dengan semakin banyaknya jumlah penjual, harga keseimbangan akan menurun sehingga jika jumlah penjual sangat banyak, tingkat harga akan semakin mendekati biaya marjinal. Dengan demikian, model Cournot mengindikasikan bahwa semakin dekat dengan keseimbangan kompetitif, maka semakin banyak jumlah penjual – sebuah prediksi yang sesuai dengan kenyataan. Premis Cournot tidak realistik dalam hal tertentu. Pertama, dia mengasumsikan bahwa kuantitas output yang ditawarkan merupakan variabel kunci. Perusahaan menentukan outputnya dan menawarkannya ke pasar dengan tingkat harga yang menyamakan antara permintaan dan penawaran. Asumsi inidikritik oleh ekonom setelahnya yang berargumen bahwa berdasarkan observasi tingkat harga merupakan variabel penting utama bagi perusahaan yang memiliki kekuatan pasar. Dalam hal ini produser menentukan tingkat harga dan membiarkan pembeli memutuskan barang apa yang berapa yang ingin dia beli pada tingkat harga dimaksud. Keberatan ini akan semakin menguat jika kita mengasumsikan beberapa derajat diferensiasi produk, sehingga produsen yang berbeda akan dapat secara bersamaan menjual di pasar yang sama pada tingkat harga yang berbeda. Diskriminasi Harga Salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh produsen atau penjual dalam pasar non−persaingan sempurna untuk memaksimumkan 26
keuntungannya adalah melalui praktek diskriminasi harga. Melalui strategi ini, produsen dapat meningkatkan keuntungannya dengan cara “mengambil” bagian dari surplus konsumen. Seberapa besar surplus konsumen yang berhasil dialihkan menjadi keuntungan produsen atau penjual menentukan besarnya derajat diskriminasi harga telah dilakukan. Diskriminasi harga derajat pertama atau diskriminasi harga sempurna (perfect price discrimination) tidak menyisakan bagian surplus konsumen (no consumers’ surplus left) sedemikian rupa sehingga setiap konsumen membayar harga maksimum untuk setiap unit barang yang ditawarkan. Selanjutnya, Arthur C. Pigou melakukan klasifikasi diskriminasi harga berdasarkan derajatnya, yaitu : derajat pertama atau diskriminasi harga sempurna, derajat kedua dan derajat ketiga. Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, diskriminasi harga derajat pertama memungkinkan produsen menjual tiap unit barang pada tingkat harga yang maksimum. Dalam kasus ini, produsen atau penjual berhasil menempatkan seorang konsumen untuk berhadapan dengan situasi pilihan “take it or leave it”. Clarkson dan Miller (1983) memberikan contoh ilustrasi yang menarik yaitu dalam kasus seorang wisatawan yang menawar souvenir di tempat wisata. Dalam hal ini, seorang wisatawan dapat terjerat dalam apa yang disebut oleh Clarkson dan Miller sebagai “tourist traps”. Produsen dapat menjual harga souvenir pada tingkat harga maksimum yang bersedia dibayar oleh seorang konsumen serta dapat menjual pada tingkat harga yang bervariasi untuk unit souvenir yang sama pada seorang konsumen yang berbeda. Diskriminasi harga derajat pertama mengakibatkan beralihnya seluruh surplus konsumen ke tangan penjual. Surplus konsumen didefinisikan sebagai perbedaan antara tingkat harga yang sebenarnya konsumen bersedia membayar (would have paid) dengan harga yang betul−betul dia bayarkan (actually paid) pada tingkat output tertentu. Dalam kasus diskriminasi harga sempurna, perbedaan ini adalah tidak ada. Apabila produsen tidak dapat menetapkan diskriminasi harga untuk setiap unit barang yang dijual, namun masih bisa menentukan tingkat harga berbeda untuk sejumlah unit (lebih dari satu unit) barang maka perilaku sedemikian dikategorikan sebagai diskriminasi harga tingkat kedua. Contoh diskriminasi harga derajat kedua adalah pemberian diskon untuk pembelian unit yang lebih banyak, seperti dijumpai dalam 27
diskon harga yang kerap dijumpai di supermarket. Disamping itu, jenis potongan harga juga dapat diberikan dengan cara mengenakan tarif lebih murah untuk penggunaan jasa diatas ambang tertentu. Mengingat penjual tidak melakukan diskriminasi harga pada tiap unit barang yang dijual, maka surplus konsumen tidak dapat dialihkan seluruhnya menjadi keuntungan penjual Namun demikian, dibandingkan dengan menjual pada tingkat harga tunggal (harga monopolis), keuntungan penjual lebih banyak karena dapat menjangkau jumlah konsumen yang relatif lebih banyak. Berbeda dengan jenis diskriminasi harga lainnya, dalam diskriminasi harga derajat ketiga produsen atau penjual membagi pasar menjadi beberapa segmen pasar. Selanjutnya, produsen menetapkan harga yang berbeda pada tiap−tiap bagian pasar yang berbeda tersebut. Segmentasi pasar dapat dilakukan berdasarkan perbedaan lokasi pasar. Produsen atau penjual dapat menjual barang atau jasa pada tingkat harga yang lebih mahal pada pasar yang memiliki elastisitas permintaan relatif lebih rendah. Diskriminasi harga semacam ini dapat dijumpai pada kasus harga tiket kereta yang berbeda untuk kelas ekonomi, kelas bisnis dan kelas eksekutif; perbedaan karcis pertunjukan konser antara kelas biasa dan kelas VIP serta perbedaan harga buku dan jurnal ilmiah untuk mahasiswa dan umum. Efisiensi Alokatif Mengingat diskriminasi harga hanya dapat dilakukan untuk pasar non−persaingan sempurna, seringkali diasosiasikan bahwa praktek diskriminasi harga akan menyebabkan alokasi sumber daya yang tidak efisien (misallocation of resources). Namun demikian, secara teori diskriminasi harga pada level tertentu dapat menjual output dengan kuantitas yang sama dengan pasar persaingan sempurna. Jika diasumsikan bahwa kurva biaya monopolis sama dengan total kurva biaya dalam pasar persaingan sempurna maka kita dapat membandingkan kinerja monopolis yang melakukan diskriminasi harga dengan kinerja pasar persaingan. Dalam kasus diskriminasi harga sempurna, produsen menjual setiap unit barang pada tingkat harga berbeda sedemikian rupa sehingga unit terakhir terjual dengan tingkat harga yang sama dengan 28
biaya marjinalnya. Secara keseluruhan total output terjual akan sama dengan output dalam pasar persaingan. Dengan demikian maka dalam kasus ini, tidak terjadi in− efisiensi alokatif dalam praktik diskriminasi harga derajat pertama. Perbedannya hanya terletak pada siapa yang akan “menikmati” bagian surplus konsumen. Dalam pasar persaingan sempurna surplus konsumen seluruhnya dinikmati oleh konsumen, sebaliknya dalam pasar monopolis yang melakukan diskriminasi harga sempurna, surplus konsumen seluruhnya diambil oleh monopolis. Dalam kasus diskriminasi harga derajat kedua, tingkat output terjual akan dibawah tingkat penjualan persaingan sempurna namun masih diatas level output monopoly tanpa diskriminasi harga. Selanjutnya, dalam kasus diskriminasi harga derajat ketiga tingkat output akan sama dengan tingkat monopoly murni dengan catatan bahwa seluruh kurva permintaan pasar berbentuk linear. Mengutip Joan Robinson, Clarkson dan Miller (1983) membuktikan bahwa untuk kurva permintaan non− linear, diskriminasi harga derajat ketiga akan menjual output yang lebih banyak dibandingkan output yang dijual pada persaingan sempurna. Diskriminasi dan Efisiensi Diskriminasi harga dapat meningkatkan efisiensi alokasi sumberdaya jika diperlukan untuk mencapai utilisasi maksimum. Sebagai misal, perusahaan listrik yang berupaya mengoptimalkan kapasitasnya dapat memberlakukan diskriminasi harga untuk pelanggan rumah tangga, pelayanan umum dan industri supaya dapat menjangkau segmen pasar yang lebih luas. Disamping itu, diskriminasi harga dalam taraf tertentu diperlukan untuk mempertahankan eksistensi sebuah industri. Dalam sebuah industri yang memiliki kurva biaya rata− rata diatas kurva permintaan total maka industri tidak akan bertahan lama dalam jangka panjang. Jika dilakukan diskriminasi harga diharapkan produsen dapat menjual harga tinggi pada pasar yang permintaannya in−elastik dan menjual harga murah pada pasar yang permintaannya relatif elastik. Rata−rata harga jual diharapkan minimal sama dengan biaya rata−ratanya sehingga industri masih dapat bertahan.
29
Bab 6 Skala Ekonomis dan Persaingan Monopolistik Peran skala ekonomis dalam perdagangan internasional pada dasarnya telah lama disadari oleh beberapa ahli ekonomi. Menurut Paul Krugman, beberapa pemikir seperti Bertin Ohlin (1933), Balassa (1967) dan Kravis (1971) secara umum berpendapat bahwa skala ekonomis memiliki peran penting dalam menjelaskan fenomena perdagangan antar negara− negara industri maju pasca perang dunia. Hanya saja, porsi bahasan mengenai skala ekonomis sebagai penyebab terjadinya perdagangan relatif masih sedikit (Paul Krugman menulis artikel mengenai topik ini pada tahun 1979). Dalam artikelnya yang berjudul Increasing Return, Monopolistic Competition and International Trade, Paul Krugman mencoba membangun sebuah model untuk menjelaskan kaitan antara skala ekonomis dengan perdagangan. Pendekatan yang digunakan oleh Krugman ini enjadi agak kompleks karena juga mengaitkan struktur pasar persaingan monopolistik dalam menganalisis peran skala ekonomis terhadap perdagangan internasional, khususnya perdagangan antar industri sejenis atau yang lebih dikenal sebagai intra−industry trade. Struktur pasar yang menjadi acuan dalam Model Krugman ini adalah pasar persaingan monopolistik Chamberlinian yang kali pertama diperkenalkan oleh Dixit dan Stiglitz (1977). Sungguhpun demikian, Krugman melakukan modifikasi terhadap model Dixit dan Stiglitz dengan tujuan agar penjelasannya relatif lebih mudah difahami. Sebagaimana pemaparan teori perdagangan yang relatif ketat dengan berbagai asumsi, model Krugman ini juga diawali dengan beberapa penjelasan tentang beberapa asumsi. Beberapa asumsi dimaksud diantaranya adalah : fungsi produksi dengan satu input (tenaga kerja), kondisi full−employment, fungsi ulititas yang identik dalam suatu masyarakat, elastisitas permintaan yang menurun (decreasing) serta 30
beberapa asumsi yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Sebelum melangkah pada pembahasan asumsi, beberapa konsep penting akan dijelaskan terlebih dahulu seperti konsep mengenai skala ekonomis dan beberapa konsep mengenai struktur pasar persaingan monopolistic. Skala Ekonomis Konsep skala ekonomis terkait erat dengan derajat homogenitas sebuah fungsi produksi. Sebagai gambaran, misalkan terdapat fungsi produksi sebagai berikut:
Dalam hal ini Q adalah output, K adalah kapital dan L adalah labor. Derajat homogenitas fungsi dapat diketahui jika kita m engalikan input dengan konstanta tertentu, misalkan t, maka fungsi produksi diatas dapat dinyatakan sebagai berikut:
Derajat homogenitas dapat dievaluasi melalui fraksi α+ β, dimana dalam hal ini apabila : α+ β < 1 adalah kondisi decreasing return to scale α+ β = 1 dikenal sebagai kondisi constant return to scale α+ β > 1 dikenal sebagai kondisi increasing return to scale Kondisi constant return to scale dikenal sebagai fungsi produksi Cobb−Douglas dimana dalam hal ini peningkatan input sebesar t kali akan meningkakan output sebesar t kali. Apabila peningkatan input sebesar t kali dapat meningkatkan output lebih besar dari t kali maka kondisi ini dikenal sebagai increasing return to scale. Kondisi increasing return to scale inilah yang dalam tulisan ini disebut sebagai skala ekonomis. Apabila ditinjau dari sisi biaya, kondisi increasing return to scale adalah paralel dengan konsep decreasing cost.
31
Skala ekonomis dapat dicapai jika terdapat eksternalitas dalam satu industri atau jika dalam suatu perusahaan dapat melakukan apa yang dikenal sebagai mass production. Dalam hal ini, perusahaan dianggap rasional jika beroperasi dalam kondisi constant maupun increasing return to scale. Persaingan Monopolistik Struktur pasar persaingan monopolistik berada diantara spectrum pasar persaingan sempurna dan pasar monopoli Beberapa karakteristik dari pasar persaingan sempurna diantaranya adalah : 1. Output yang dijual bersifat differentiated product, yaitu barang yang sebenarnya sejenis namun produsen dapat membuat produknya berbeda dari pesaingnya dengan melakukan misalnya strategi pemasaran dengan pendekatan 4P 2. Jumlah penjual relatif sedikit (oligopoly) 3. Terdapat relatif free entry dan free exit Struktur pasar persaingan monopolistic memiliki beberapa sifat yang mirip dengan perilaku pasar persaingan sempurna, serta beberapa sifat yang mirip dengan perilaku monopolis (oligopoly). Sifat persaingan Nampak dari adanya free entry, sedangkan sifat monopoly Nampak dari adanya differentiated product.
32
Gambar 6.1 Kurva Biaya Firm Monopolistik Vs Persaingan Sempurna
33
Bab 7 Model Persaingan Monopolistik Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, Krugman menggunakan pendekatan struktur persaingan monopolistik dalam menjelaskan fenomena skala ekonomis dalam perdagangan internasional. Asumsi Beberapa asumsi dalam model Krugman dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. 2. 3.
Terdapat hanya satu faktor produksi dalam perekonomian yaitu : labor atau tenaga kerja Perekonomian dapat memproduksi beraneka jenis macam barang (barang 1 sampai barang ke n) Masyarakat diasumsikan memiliki fungsi ulitilitas yang sama yaitu:
Dalam hal ini ci adalah konsumsi untuk barang ke− i. Terkait dengan ulititas konsumen ini, Krugman mendefinisikan elastisitas permintaan yang dihadapi oleh seorang produser sebagai berikut:
Elastisitas permintaan diatas diperoleh jika kita melakukan proses 34
optimasi terhadap fungsi utilitas dengan kendala anggaran
Dalam hal ini pi adalah harga barang dan I adalah income. Masalah optimasi ulitilas dapat dipercahkan dengan pendekatan fungsi Lagrange sebagai berikut :
Turunan pertama dari fungsi Lagrange terhadap ci menyamakan dengan nol, adalah:
dan
Dari persamaan sebelumnya diperoleh :
Sehingga kita dapat menyatakan hubungan pi dengan turunan pertama fungsi ulititas, v’(ci), sebagai berikut :
Turunan pertama pi terhadap ci adalah :
35
Elastisitas permintaan dalam hal ini didefinisikan sebagai :
Subsititusikan dua persamaan terakhir terhadap formula elastisitas maka kita akan memperoleh:
4. Mengingat bahwa menurut asumsi 3 (dalam persamaan (1)) turunan kedua fungsi utilitas, v”(ci) adalah negatif maka diasumsikan :
yang menunjukkan bahwa dengan semakin banyaknya barang yang dikonsumsi maka elastisitas permintaan akan semakin mengecil. 5. Seluruh barang diproduksi dengan fungsi biaya yang sama. untuk memproduksi Tenaga kerja yang digunakan masing−masing barang merupakan fungsi linear dari output, yaitu :
Dalam hal in l adalah labor dan x adalah output
36
6. Produksi suatu barang sama dengan jumlah konsumsi individu untuk barang dimaksud. Apabila kita mengidentifikasi individu sebagai tenaga kerja, maka asumsi ini dapat dinyatakan bahwa produksi sama dengan konsumsi dari seseorang dikalikan dengan angkatan kerja atau labor force, L
7. Kita juga mengasumsikan terjadinya kondisi full− employment sehingga seluruh angkatan kerja mengisi lapangan kerja dalam produksi suatu barang
8. Selanjutnya, Krugman juga menyatakan bahwa seluruh barang diproduksi dalam kuantitas yang sama serta harga yang sama pula :
Harga Relatif dan Output Setelah mengulas beberapa asumsi pokok, maka selanjutnya kita akan membahas bagaimana menentukan tingkat harga relatif terhadap upah, pi/w; output masing−masing barang, xi ; dan banyaknya jenis barang yang akan diproduksi, n. Perlu dicacat disini bahwa variabel pi/w sebenarnya merupakan 1/MPL (Marginal Productivity of Labor). Sebagaimana difahami bahwa dalam kondisi ekuilibrium, tingkat upah harus sama dengan value MPL. Sementara itu value MPL tidak lain adalah tingkat harga, pi dikalikan dengan MPL, sehingga jelas bahwa pi/w = 1/MPL. Penentuan variabel p/w, variabel xi dan variabel n akan dilakukan dengan tiga tahap: pertama, kita akan menganalisis fungsi permintaan yang 37
dihadapi oleh masing−masing perusahaan; selanjutnya kita menentukan tingkat harga kaitannya dengan tingkat output yang menghasilkan profit optimal serta tahap ketiga adalah kita menentukan jumlah perusahaan yang beroperasi dalam pasar. Pada saat mengulas tentang penurunan elastisitas permintaan dan maksimasi utilitas di halaman sebelumnya, kita memperoleh :
Dari persamaan sebelumnya kita memperoleh ci = xi/L . Jika disubstitusikan ke dalam persamaan diatas maka kita akan memperoleh fungsi permintaan yang dihadapi oleh tiap−tiap perusahaan yaitu:
Kita telah membuktikan bahwa dengan fungsi permintaan tersebut dapat ditunjukkan bahwa elastititas permintaannya adalah : i = −v’/v”ci. Selanjutnya kita akan menentukan tingkat harga dalam kondisi maksimasi profit. Tingkat keuntungan atau profit suatu perusahaan ( i) merupakan selisih antara total revenue dengan total cost (ingat, kita hanya punya satu input, yaitu labor) yaitu :
Untuk memaksimumkan profit, kita dapat melakukan pendekatan diferensial dengan mengambil derivative pertama fungsi profit terhadap x dan menyamakan dengan nol. Fungsi profit merupakan selisih Total Revenue (TR) dan Total Cost (TC). Derivasi TR dan TC masing−masing terhadap x akan menghasilkan Marginal Revenue (MR) dan Marginal Cost (MC). Dengan demikian kita dapat menyatakan bahwa :
38
Sehingga : MR = MC Untuk mengetahui bagaimana MR dirumuskan, kita memvisualisasikan kurva permintaan dan MR sebagai berikut :
dapat
Gambar 7.1 Kurva Permintaan
Secara umum, elastisitas permintaan dapat dirumuskan sebagai berikut ;
Berdasarkan Gambar 7.1 kita dapat menyatakan elastisitas permintaan sebagai berikut :
39
Mengingat p*e = 0x* maka ;
Berangkat dari persamaan diatas dapat dinyatakan:
Sekarang kita tinjau sisi biaya. Dari persamaan sebelumnya kita tahu bahwa Total Cost dalam model ini adalah :
Dengan demikian MC dapat dinyatakan sebagai :
Selanjutnya kita kembali pada kondisi syarat maksimasi profit MR = MC yaitu
40
Persamaan terakhir ini, mengkonfirmasi persamaan dalam artikel Krugman :
Atau secara alternatif dapat ditulis :
Adanya profit akan menarik para pesaing untuk masuk dalam pasar sehingga mendorong profit menjadi nol. Proses tersebut dapat dilukiskan melalui gambar berikut : Gambar 7.2 Revenue dan Cost
41
Katakanlah, pada awalnya terdapat beberapa firm dan fungsi penerimaan masing−masing firm digambarkan dalam kurva 0R. Perusahaan tersebut akan memilih level output yang memaksimumkan keuntungannya dengan cara menyamakan marginal revenue dengan marginal cost, ditik A. Pada titik A, average revenue lebih tinggi dibandingkan average cost sehingga perusahaan akan menikmati profit. Kondisi ini mengakibatkan perusahaan lain akan masuk, sehingga kurva penerimaan menjadi 0R1 dan titik keseimbangan berada di B. Pada titik ini, marginal revenue sama dengan marginal cost sekaligus average revenue sama dengan average cost (profit sama dengan nol). Kondisi ini disebut sebagai solusi tangensi dari model Chamberlian. Dengan cara lain, Krugman menunjukkan ilustrasi bagaimana tingkat harga dan output dari sebuah perusahaan dapat diderivasi dari fungsi biaya dan fungsi utilitas. Dari persamaan sebelumnya dapat diperoleh hubungan antara harga dalam unit upah, p/w dengan tingkat konsumsi c. Persamaan sebelumnya menunjukkan hubungan negatif antara p/w dengan elastisitas permintaan.
Berdasarkan asumsi nomer 4, dengan semakin meningkatnya konsumsi, elastisitas permintaan akan semakin mengecil. Berdasarkan hubungan ini, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa antara p/w dengan c terdapat hubungan positif. Hubungan positif antara p/w dengan c diidentifikasi sebagai kurva PP oleh Krugman. Hubungan antara p/w dengan c dapat juga ditinjau dari sisi lain. Sebagaimana disinggung sebelumnya, dalam jangka panjang profit perusahaan akan sama dengan nol sehingga persamaan sebelumnya dapat dinyatakan sebagai : 42
Mengingat hubungan x = Lc, persamaan diatas dapat disusun sebagai :
Hubungan antara p/w dengan c dalam persamaan diatas adalah negatif dan digambarkan sebagai kurva ZZ. Dengan emikian, keseimbangan p/w dengan c sebagai interseksi antara kurva PP dengan kurva ZZ dapat diperhatikan melalui ilustrasi gambar sebagai berikut : Gambar 7.3 Kurva PP dengan Kurva ZZ
Selanjutnya kita akan menetukan jumlah firm, yang dapat diperoleh dari asumsi tentang full−employment (asumsi nomer 7), yaitu:
43
Karena sisi kanan dari persamaan adalah diasumsikan sama (asumsi nomer 5) untuk tiap−tiap perusahaan, maka dengan mengikuti aturan summation dalam matematika kita dapat menulis persamaan diatas sebagai:
Dalam hal ini, Krugman menyatakan hubungan n, yaitu banyaknya jenis barang yang diproduksi sebagai :
Terakhir, kita dapat menentukan jumlah barang yang diproduksi untuk tiap barang yakni x dengan menyusun kembali persamaan sebelumnya sebagai berikut:
Sehingga kita peroleh :
44
Bab 8 Perdagangan Intra Industri Model yang dikembangkan Krugman pada bagian sebelumnya merupakan model dengan satu faktor produksi dimana terdapat keuntungan skala ekonomis dalam penggunaan faktor tersebut. Sebagaimana telah dicatat bahwa keuntungan skala ekonomis adalah berupa peningkatan efisiensi jika skala produksi diperbesar (mass production). Keuntungan skala ekonomis dengan demikian dapat dicapai melalui perluasan pasar (extent of the market). Perluasan pasar oleh Krugman diidentifikasi bisa terjadi oleh karena tiga hal : pertumbuhan dalam angkatan kerja, perdagangan dan mobilitas faktor. Efek Labor Force Berbekal dengan konsep yang dijelaskan pada bagian yang sebelumnya, pada bagian ini kita akan melihat efek dari pertumbuhan angkatan kerja (sebagai penyebab adanya perluasan pasar) terhadap keseimbangan harga serta jumlah dan jenis barang yang dihasilkan. Secara teknis, kita akan menganalisis bagaimana pertumbuhan angkatan kerja dapat mempengaruhi keseimbangan p/w dengan c melalui perpotongan kurva ZZ dan kurva PP. pakah yang akan terjadi jika terdapat peningkatan dalam angkatan kerja atau L? Jika kita memulai dari keseimbangan awal p/w dan c sebagaimana digambarkan pada gambar sebelumnya maka perubahan L akan langsung tergambar melalui pergeseran kurva ZZ. Sebagaimana dicacat sebelumnya, bahwa kurva ZZ dihasilkan dari persamaan p/w = β + α / LC. Peningkatan dalam L akan menggeser kurva ZZ ke kiri bawah.
45
Gambar 8.1 Perubahan Dalam Labor Force
Misalkan pada awalnya titik keseimbangan ada di titik A. Peningkatan Labor Force, L, menurut persamaan (12), akan menggeser kurva ZZ ke kiri hingga dicapai keseimbangan baru di titik B dengan tingkat harga p/w yang lebih rendah. Penurunan p/w ditinjau dari kurva PP akan berimpliasi pada eningkatan elastisitas permintaan. Peningkatan elastisitas permintaan menunjukkan bahwa konsumsi barang, c menurun. Meskipun konsumsi barang per−capita mengalami penurunan, tapi konsumsi total (yaitu Lc= x) akan naik. Dari persamaan x =α/(p/w – β) kita dapat mengevaluasi bahwa penurunan p/w akan meningkatkan x Turunnya harga relatif, p/w menurut persamaan dimaksud akan menyebabkan jumlah barang yang diproduksi x pasti meningkat. Peningkatan L dan penurunan c menjamin bahwa jenis barang yang diproduksi akan semakin meningkat, karena :
Formulasi diatas adalah variasi dari rumus dalam persamaan sebelumnya dengan mengubah variabel x menjadi Lc.
46
Efek Perdagangan Bagaimanakah dengan dibukanya perdagangan?. Untuk menganalisis efek perdagangan, kita mulai dengan menganalisis kasus autarky terlebih dahulu. Katakanlah, ada dua negara yang identik dalam penguasaan teknologi, selera dan kepemilikan faktor produksi. Menurut Krugman, dalam kondisi seperti ini, model perdagangan konvensioal tidak bisa menjelaskan adanya keuntungan dalam perdagangan. Namun demikian, dengan pendekatan model Krugman sebagaimana dibahas sebelumnya, dibukannya perdagangan akan menuai beberapa keuntungan. Dengan dibukanya hubungan dagang, maka pasar akan semakin membesar sehingga tiap negara akan menikmati keuntungan akibat adanya skala ekonomis serta semakin banyaknya jenis pilihan barang untuk di konsumsi. Efek perdagangan akan sama halnya dengan efek peningkatan alam labor force, yaitu terjadinya peningkatan dalam produksi x, mempermurah harga barang p, mempertinggi upah relatif w/p dan memperbanyak jenis pilihan barang yang tersedia untuk dikonsumsi, n. Arah perdagangan atau direction of trade, – barang apa yang akan diekspor oleh negara mana – tidak bisa ditentukan dalam model ini. Namun demikian volume perdagangan bisa ditentukan. Untuk memperjelas, katakanlah fungsi utilitas setelah dibuka perdagangan adalah sebagai berikut;
Dimana barang 1,….., n diproduksi di negara home sedangkan n+1,…n+n* diproduksi di negara mitra. Banyaknya jenis barang yang bisa diproduksi oleh masing−masing negara adalah proporsional dengan angkatan kerjanya :
47
Jika harga seluruh barang adalah sama, maka expenditure di tiap negara akan proporsional dengan angkatan kerja yang dimilikinya. Pangsa impor dalam expenditure di negara home adalah L*/(L+L*). Adapun nilai impor untuk masing−masing negara adalah pendapatan nasional dikalikan dengan pangsa impor, yaitu ;
Hasil perhitungan dalam persamaan diatas menunjukkan perdagangan akan berimbang (trade balance) Point penting yang dapat disarikan dalam model Krugman adalah bahwa keuntungan skala ekonomis akibat dibukanya perdagangan akan menguntungkan bagi pihak yang berdagang meskipun negara yang terlibat tidak memiliki perbedaan dalam selera, teknologi maupun kepemilikan relatif factor endowment. Efek Mobilitas Faktor Kita telah menganalisis bahwa dua negara dengan tingkat teknologi dan kepemilikan faktor produksi yang sama masih dapat menarik keuntungan bersama (mutual benefit) melalui perdagangan berupa semakin besarnya skala produksi (greater scale of production) sekaligus semakin banyaknya variasi jenis konsumsi yang bisa dipilih (greater variety of goods). Keuntungan yang sama bisa dicapai tanpa melalui perdagangan, jika penduduk salah satu negara dapat berimingasi ke negara lain. Jika ada hambatan dalam perdagangan, maka akan semakin besar insentif bagi para tenaga kerja untuk pindah ke wilayah yang memiliki angkatan kerja yang lebih besar. Sebagaimana dicacat dalam seksi sebelumnya, daerah yang lebih banyak penduduknya akan menawarkan tingkat upah riil (w/p) yang lebih tinggi serta banyaknya variasi barang yang tersedia, sehingga hal ini menjadi insentif bagi adanya imigrasi. Daerah mana yang nantinya menjadi lebih padat tergantung dari adanya increasing return. 48
Adanya increasing return dari mobililitas faktor nampaknya akan menciptakan proses agglomerasi. Jika kita perluas dengan menggunakan model kasus banyak daerah (many region), penduduk akan cenderung terakumulasi di satu daerah yang disebut sebagai kota (city). Teori urban growth menyebut fenomena ini sebagai “city lights variety” : orang akan pindah ke kota karena banyaknya variasi barang konsumsi yang ditawarkan. Pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa mobilitas faktor dapat menjadi substitusi dari perdagangan. Jika ada hambatan dalam perdagangan, tenaga kerja akan terkonsentrasi pada satu wilayah (yang mana tergantung pada distribusi awal pendududuk). Proses agglomerasi bisa saja mengakibatkan penduduk terkonsentrasi pada “the wrong place”. Skala Ekonomis dan Perdagangan Dengan menggunakan pendekatan Chamberlinian, Krugman membangun sebuah model untuk menganalisis perdagangan dalam kondisi adanya skala ekonomis. Dalam model ini, perdagangan dipandang sebagai sebuah cara atau jalan untuk memperluas pasar sehingga memperbesar keuntungan akibat dari adanya proses produksi yang bersifat increasing return to scale. Daya tarik konsumen luar negeri terhadap barang impor berasal dari kenyataan bahwa barang yang diperdagangkan merupakan “differentiated product” sehingga struktur pasar yang cocok dengan kasus ini adalah monopolistic competition. Perluasan pasar juga timbul akibat pertumbuhan dari angkatan kerja maupun dari adanya mobilitas faktor atau perpindahan penduduk. Model yang dibangun Krugman ini lebih memfokuskan pada pengaruh skala ekonomis terhadap perdagangan dalam struktur monopolistic competititon dan mengabaikan adanya perbedaan dalam kepemilikan relatif faktor serta perbedaan dalam pengusaan teknologi antar negara yang berdagang. Dengan demikian (sebagaimana juga dinyatakan secara eksplisit oleh Krugman) model ini relatif cocok untuk menjelaskan fenomena perdagangan antar negara industri maju dengan tipikal barang yang bersifat differentiated product atau perdagangan intra−industri.
49
Bab 9 Riset Struktur Kinerja Penelitian sebelumnya mengenai industri otomotif dan analisis kinerja berdasarkan indikator price−cost margin telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Beberapa penelitian secara spesifik mengkaji kinerja sektor industri tertentu, sementara lainnya meninjau kinerja industri secara keseluruhan. Riset Awal Penelitian kinerja industri dengan pendekatan price−cost margin telah banyak dilakukan sejak tahun 1970−an. Diantaranya oleh Ornstein (1975) dalam kajian yang berjudul “Emprical Uses of the Price−Cost Margin” yang dipublikasikan dalam The Journal of Industrial Economics Vol. 24 No. 25 Desember 1975. Dalam jurnal tersebut peneliti menguji signifikansi market share dan intensitas kapital (capital sales ratio, KSR) terhadap indikator price−cost margin. Penggunaan variabel intensitas kapital sebelumnya dipelopori oleh Collis dan Preston (1969) sebagai variabel penjelas dari tingkat price− cost margin disamping variabel pangsa pasar. Kinerja, Market Power dan Efisiensi Pada era 1980−an, kajian kinerja ekonomi banyak menyinggung interpretasi hubungan positif antara market share dengan price−cost margin. Terdapat dua penjelasan berkaitan dengan interpretasi dimaksud. Penjelasan pertama menyatakan bahwa kinerja industri sangat ditentukan oleh kekuatan pasar (market power−hypothesis), sementara penjelasan lain menyatakan bahwa kinerja sangat berkaitan dengan efisiensi (efficiency− hypothesis). Salah satu kajian dilakukan oleh Clarke, Davies dan Waterson (1984) berjudul “The Profitability−Concentration Relation: Market Power or Eficiency?” yang dipublikasikan dalam The Journal of Industrial Economics Vol. 34 No. 4 Januari 1984. Model analisis yang digunakan oleh peneliti adalah :
50
Penelitian lain dengan semangat yang sama dilakukan oleh Martin (1988) yang berjudul “Market Power and/or Efficiency?” dalam The Review of Economics and Statistics Vol. 70 No.2 Mei 1988. Untuk memperkuat hipotesis efisiensi peneliti menggunakan variabel produktivitas tenaga kerja untuk masing−masing sektor. Hasil penelitian mendukung hipotesis market power maupun efisiensi sebagai penjelas kinerja industri. Kinerja dan Intensitas Impor Seiring meningkatnya liberalisasi perdagangan, studi mengenai kinerja industri juga dihubungkan dengan variabel perdagangan, khususnya impor. Salah satu pioneer dalam riset ini adalah Pugel (1980) yang berjudul “Foreign Trade and US Market Performance” yang dipublikasikan dalam The Journal of Industrial Economics Vol. 29 No. 2 Desember 1980. Penelitian terakhir terkait dengan lingkup ini salah satunya dilakukan oleh Goldar dan Aggarwal (2004) dalam working paper ICRIER yang berjudul “Trade Liberalization and Price−Cost Margin in Indian Industries” yang menguji kinerja industri manufaktur India kaitannya dengan penetrasi barang impor. Model analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
Dalam hal ini DCON merupakan dummy dari market share, MB merupakan intensitas impor, LP adalah produktivitas tenaga kerja dan X adalah variabel penjelas lainnya.
51
Bab 10 Struktur Perilaku Kinerja, Studi Kasus: Industri Otomotif Kajian awal mengenai industri otomotif dengan pendekatan S− C−P dan model analisis sebagaimana dijelaskan melalui persamaan price−cost margin dilakukan oleh Stephen Martin dan juga dipublikasikan dalam buku teks Industrial Economics (1989: 189). Hasil penelitian menunjukkan bahwa market share terbukti memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap price−cost margin. Penelitian ini menggunakan data industri otomotif Amerika Serikat selama periode kwartalan tahun 1973 hingga tahun 1982. Industri Otomotif Asia Penelitian mengenai industri otomotif di empat negara Asia (China, India, Thailand dan Indonesia) dengan pendekatan SCP secara deskriptif dilakukan oleh tiga peneliti asal India yaitu Nag, Banerjee dan Chatterjee (2007) dalam working paper ARTNeT yang berjudul “Changing Features of the Automobil ndustry in Asia : Comparison of Production, Trade and Market Structure in Selected Countries”. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif komparatif empat negara dimaksud dalam aspek produksi, perdagangan dan struktur pasar industri otomotif. Industri Otomotif ASEAN Kajian mengenai industri otomotif di empat negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia dan Philipina) dengan fokus pada perdagangan intra−industri dilakukan oleh dua peneliti Jepang yaitu Ito dan Umemoto (2004) dalam working paper ICSEAD yang berjudul “Intra−industry Trade in ASEAN Region : The Case of the Automotive Industry”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejumlah variabel country specific terbukti secara signifikan mempengaruhi pola perdagangan intra−industri otomotif di negara sampel terpilih.
52
Industri Otomotif Indonesia Penelitian mengenai industri otomotif Indonesia yang cukup komprehensif dilakukan oleh Haryo Aswicahyono, Titik Anas dan Yose Rizal (1999) yang diterbitkan dalam bentuk working paper series CSIS yang berjudul “The Development of the Indonesian Automotive Industry”. Penelitian ini mengupas struktur dan perilaku industri otomotif nasional. Unsur struktur industri otomotif nasional yang dibahas adalah seller concentration, product differentiation dan scale economies. Adapun unsur perilaku atau conduct yang disinggung dalam penelitian ini adalah R & D dan product choice. Penelitian menyimpulkan bahwa relatif besarnya fragmentasi dengan variasi produk yang banyak namun dengan kapasitas produksi yang terbatas menyebabkan sektor industri otomotif (utamanya kendaraan bermotor roda empat) tidak mampu mencapai skala ekonomis. Penelitian mengenai industri otomotif Indonesia dengan fokus kajian terhadap entry barrier dan regulasi pemerintah dilakukan oleh Sri Bimo Adhi Yudhono (2003) berjudul “Analisis Pengembangan Sub−Sektor Industri Otomotif Indonesia Tahun 1978−2000”. Penelitian ini mengupas dampak regulasi pemerintah terhadap pengembangan sektor industri nasional khususnya terkait dengan proteksi tarif. Hasil penelitian menyebutkan bahwa lemahnya daya saing industri otomotif nasional salah satunya diakibatkan oleh proteksi berlebihan yang dilakukan oleh pemerintah selama lebih 30 tahun industri ini dibangun. Industri OtomotifNasional : Kilas Balik Sejak awal kemerdekaan, pemerintah telah menempatkan industri otomotif sebagai industri yang memiliki peran strategis dan signifikan dalam pembanguan nasional. Intervensi pemerintah terhadap industri ini dapat dilacak sejak tahun 1950−an, pada saat pemerintah melalui Program Banteng menasionalisasi anak perusahaan General Motor yang mendirikan pabrik perakitan di Jakarta. Perusahan ini sebenarnya telah didirikan sejak tahun 1924. Pada saat itu pula pemerintah mendirikan perusahaan negara dengan nama Indonesia Service Company (ISC) yang merakit sedan dan truck dengan merek Dogde dan Jeep Willys (Yudhono, 2003). Program Banteng pada akhirnya tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena pemerintah tidak memiliki cadangan devisa yang memadai (Aswicahyono, dkk, 1999). Untuk sementara pemerintah melupakan ambisinya untuk memiliki industri otomotif nasional. 53
Pasca pergantian rezim pemerintahan, keingingan untuk membangun industri otomotif nasional kembali mengemuka. Pemerintahan Orde Baru dengan sangat jelas meletakkan pembangunan ekonomi sebagai prioritas dalam agenda nasional melalui strategi penguatan industri nasional yang kokoh dan mandiri. Dalam industri otomotif, pemerintah melalui Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional), mulai tahun 1967 memberikan keleluasaan kepada importir untuk mendatangkan kendaraan dalam segala bentuk baik berupa utuh atau completely built−up (CBU), dalam bentuk utuh teruai atau completely knocked−down (CKD) maupun dalam bentuk semi terurai semi knocked−down (SKD). Langkah pemerintah ini mengakibatkan permintaan impor kendaraan bermotor melonjak dengan cepat dan persaingan dalam industri otomotif meningkat tajam sehingga berimbas pada menurunnya secara drastis tingkat keuntungan yang bisa diraih oleh perusahaan perakitan. Disamping itu, peningkatan dalam impor mobil mengakibatkan lonjakan pengeluaran devisa sehingga pemerintah pada akhirnya merevisi mengeluarkan paket kebijakan yang lebih protektif. Dimulai pada tahun 1968, pemerintah melalui menteri perdagangan mengeluarkan surat larangan impor bagi kendaraan bermotor mewah dalam bentuk jadi (CBU). Keputusan ini diperkuat lagi melalui serangkaian kebijakan pemerintah pada tahun 1969. Dalam siaran pers Departemen Perdagangan dan Perindustrian pada 1 April 1969 dijelaskan bahwa pertimbangan yang mendasari penerbitan sejumlah surat keputusan dimaksud adalah karena pemerintah menginginkan agar perusahaan perakitan kendaraan bermotor dalam negeri akan tumbuh setapak demi setapak ke arah perindustrian kendaraan bermotor secara komplit (full manufacturing) di Indonesia. Dengan demikian, kebijakan protektif dalam industri otomotif yang dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya telah mendahului gerakan proteksi terhadap sejumlah industri oleh pemerintah yang dilancarkan pada awal 1971. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa pemerintah mulai mengadopsi strategi kebijakan berorientasi ke dalam (inward looking) atau lebih dikenal sebagai strategi kebijakan Industri Substitusi Impor (ISI). Beberapa pertimbangan yang mendasari pengembangan sektor industri otomotif nasional diantaranya adalah pertama, sektor otomotif adalah 54
penyedia (supplier) kebutuhan alat transportasi; kedua, sektor ini sangat penting peranannya terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan tenaga kerja; ketiga, sektor ini diharapkan akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi negara dalam bentuk penerimaan pajak (Aswicahyono, dkk, 1999). Untuk sementara pemerintah melupakan ambisinya untuk memiliki industri otomotif nasional. Kebijakan protektif pemerintah tidak hanya terlihat dari aturan importasi kendaraan yang melarang impor kendaraan dalam bentuk utuh (CBU) namun juga berupa batasan bagi investasi perusahaan otomotif internasional. Secara umum kebijakan protektif ini dilatarbelakangi oleh argumentasi infant industry yang menekankan pada usaha untuk melindungi industri nasional dengan menerapkan gagasan proteksi yang lebih mengutamakan pemberian lisensi pada investor domestik (Yudhono, 2003). Sikap protektif pemerintah ini pada awalnya menimbulkan keenganan perusahaan otomotif multinasional untuk melakukan investasi. Akan tetapi, penjelasan pemerintah bahwa investor asing masih dapat mengambil bagian dalam sektor ini asalkan bersedia memenuhi syarat program kandungan lokal (local content) menyebabkan perusahaan raksasa otomotif seperti Toyota, Daimler Benz, Ford dan Volkswagen berjanji akan membangun pabrik perakitan. Sikap pemerintah yang pada awalnya terkesan over−protective terhadap pengusaha swasta nasional mulai bergeser sejak diijinkannya partisipasi perusahaan transnasional. Pada tahun 1972, melalui Surat Keputusan Mentri Perindustrian No. 544/M/SK/VII/1972 dan No. 545/M/SK/VII/1972 pemerintah mengeluarkan aturan menyangkut ketentuan investasi di sektor industri otomotif dengan diberlakukannya penggabungan perusahaan perakitan dan keagenan. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ini mendorong produsen otomotif menunjuk perusahaan domestik untuk menjadi agen tunggal untuk kendaraan yang diimpor secara terurai (CKD), merakit kendaraan tersebut sekaligus mendistribusikan di Indonesia. Menindaklanjuti SK No. 545 diatas, Dirjen Industri Dasar pada tahun 1974 mengeluarkan ketentuan mengenai Agen Tunggal Pemilik Merek (ATPM) serta ketentuan mengenai aturan CKD yang dapat diterima untuk kendaraan komersial, sedan dan mobil barang.
55
Sebagai hasilnya, Aswicahyono (1999) mencatat bahwa sejak tahun 1972 telah berdiri lebih dari 22 perusahaan perakit yang memproduksi lebih dari 20 merek dengan lebih dari 50 model. Meski demikian, mengingat bahwa agen tunggal dan perusahaan perakit dulunya adalah tidak lebih hanyalah perusahaan dagang yang umumnya memiliki pengetahuan terbatas mengenai teknologi produksi kendaraan bermotor, tidak mengherankan jika tidak banyak perubahan signifikan yang terjadi dalam pengembangan industri ini Melihat perkembangan yang kurang menggembirakan ini, pemerintah melalui SK Menteri Perindustrian No. 307/SK/8/1976 mengeluarkan keputusan yang dianggap cukup ambisius. Kebijakan ini menekankan pada keharusan penggunaan komponen buatan dalam negeri dalam perakitan kendaraan bermotor. Pemerintah mengenalkan istilah program penaggalan (deletion program) terhadap tiga golongan komponen yaitu komponen utama (seperti mesin, transmisi dan gandar); komponen standar (seperti electrical hardware) dan komponen lainnya (seperti kaca, cat, kabin, ban dan aki). Keputusan pemerintah ini dipandang terlalu ambisius karena idalamnya terdapat penetapan tahun produksi keseluruhan komponen suatu kendaraan atau yang dikenal sebagai full manufacturing (Yudhono, 2003). Program penanggalan sempat ditangguhkan pelaksanaannya dua tahun kemudian (tepatnya melalui SK No. 231/M/SK/11/1978) namun setelah itu berdasarkan SK Menteri Perindustrian No.168/M/SK/1979 ketentuan mengenai program penanggalan ini kembali diberlakukan. Dengan demikian posisi pemerintah semakin jelas berkeinginan untuk sesegera mungkin merealisasikan produksi mobil nasional dengan full manufacturing. Dalam keputusan tersebut dijelaskan bahwa berdasarkan mekanisme deletion program komponen kabin, chasis, velg, roda, kerangka dan poros harus dilaksanakan pada tahun 1984; mesin harus terlaksana pada tahun 1985; stir dan kopling pada tahun 1986; dan peralatan lengkap dari produksi lokal serta bagian rakitan harus terealisasi pada tahun 1987. Dengan demikian pada akhirnya diharapkan bahwa nantinya industri otomotif nasional akan mandiri dan tidak tergantung sama sekali dengan komponen impor. Sekalipun telah direvisi berkali−kali (misalnya pada tahun 1983 dan 1987), target dalam program penanggalan untuk memenuhi syarat kandungan 56
lokal secara penuh (full local content) tidak bisa diwujudkan. Bebarapa faktor dapat diidentifikasi sebagai penyebab kegagalan program penanggalan seperti rendahnya kapabilitas teknologi yang dimiliki; tingkat keuntungan yang diperoleh sebagai distributor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan membentuk full manufacturer; rendahnya skala produksi yang diakibatkan oleh relatif banyaknya diversifikasi merek dan model yang diproduksi sehingga sulit mencapai skala ekonomis (economies of scale); prinsipal asing justru lebih senang jika agen tunggal hanya berperan sebagai distributor daripada harus membentuk industri kendaraan secara mandiri atau full manufacturer (Aswicahyono, dkk, 1999). Ujung−ujungnya hanya sebagian kecil komponen yang dapat diproduksi secara efisien seperti lampu, aki dan ban. Menyadari bahwa masa depan program penanggalan sangat jauh dari harapan semula, maka pada tanggal 9 Juni 1993 pemerintah mencabut berlakunya deletion program dan menggantinya dengan program insentif. Meski secara prinsip program baru ini tetap mendorong penggunaan kandungan lokal namun penekanan dalam program insentif agak berbeda. Melalui program insentif pemerintah akan memberikan insentif pada produsen berupa keringanan tarif bea masuk (import duty) seiring dengan semakin banyaknya kandungan lokal yang digunakan dalam produksi sebuah kendaraan. Semakin tinggi kandungan lokal yang digunakan maka semakin rendah tarif bea masuk bagi komponen lain yang masih harus diimpor. Mengutip SK No. 114/M/SK/6/1993 dikatakan bahwa insentif adalah pemberian perangsang yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk terhadap komponen, sub komponen, bahan baku dan barang setengah jadi yang masih diimpor yang dikaitkan dengan tingkat kandungan local. Melalui skema program insentif ini, pemerintah akan memberikan pembebasan bea masuk komponen impor bagi kendaraan komersial yang telah mencapai kandungan lokal 40 persen dan kendaraan penumpang yang telah mencapai kandungan lokal 60 persen; 10 persen bea masuk untuk komponen impor jika produksi kendaraan mencapai kandungan lokal sebesar 40 persen dan 15 persen bea masuk impor jika hanya mencapai kandungan lokal sebesar 30 persen. Meski insentif ini kelihatannya menarik, akan tetapi tidak banyak mengubah performa industri otomotif secara keseluruhan. Sebagai contoh, hingga tahun 1995 kandungan lokal yang dicapai oleh sedan hanya berkisar 11% dan 57
kendaraan penumpang hanya mencapai sekitar 20% (Aswicahyono, dkk, 1999). Program insentif yang diajukan pemerintah tidak mampu merangsang penggunaan kandungan lokal secara ekstensif. Pada tahun 1995 pemerintah mengeluarkan paket deregulasi menyangkut investasi di sektor otomotif serta target penurunan bea masuk impor sebagai konsekwensi dari komitmen pemerintah terhadap kesepatakan AFTA maupun APEC. SK Menteri Keuangan No. 218/KMK.01/1995 berisi tentang keringanan bea masuk dan bea masuk tambahan atas impor mesin dan peralatan serta bahan baku dan bahan penolong dalam rangka restrukturasi usaha. Melalui kebijakan ini diharapkan bahwa perusahaan di Indonesia akan mencapai efisiensi yang lebih baik sehingga nantinya mampu bersaing dalam pasar internasional. Setahun setelah meluncurkan paket kebijakan yang lebih berorientasi pasar diatas, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang oleh banyak pihak dianggap kontroversial. Pada tahun 1996 pemerintah mengumumkan adanya proyek mobil nasional dalam rangka mempercepat realisasi kendaraan yang seluruhnya diproduksi di Indonesia, dimiliki oleh pengusaha Indonesia, memiliki merek nasional sekaligus mempunyai kandungan lokal penuh. Melalui kebijakan ini pemerintah akan menunjuk perusahaan domestik yang dapat memenuhi target pencapaian kandungan lokal sebesar 20 persen, 40 persen dan 60 persen selama tiga tahun berturut−turut. Untuk mempermudah capaian target tersebut pemerintah akan memberikan fasilitas khusus berupa pembebasan bea masuk dan keringanan pajak barang mewah. Tidak lama setelah mengumumkan kebijakan tersebut, pemerintah menunjuk PT. Timor Putra Nasional (TPN) milik Tommy Soeharto sebagai perusahaan perintis mobil nasional. PT. TPN direncanakan akan memproduksi kendaraan dengan merek Timor dibawah asistensi KIA Motor Corporation dari Korea Selatan. Dalam tahap pertama, PT. TPN akan mengimpor mobil KIA dalam kondisi CBU dari Korea Selatan. Pemerintah juga menunjuk konsorsium bank untuk membiayai pabrik perakitan PT. TPN di Indonesia. Langkah pemerintah untuk memiliki mobil nasional ini akhirnya kandas oleh beberapa faktor. Pertama, protes dari negara produsen otomotif dunia seperti Jepang, AS dan beberapa negara Eropa yang membawa permasalahan ini ke sidang WTO. Kedua, krisis ekonomi 1997 yang 58
akhirnya mengundang IMF ke Indonesia secara langsung maupun tidak langsung menghentikan ambisi pemerintah dalam proyek mobil nasional ini. Reformasi penyesuaian struktural yang disyaratkan oleh IMF terkait dengan kucuran dananya mengharuskan pemerintah untuk melakukan pengurangan tarif impor, pengurangan batasan ekspor dan sejalan dengan komitmen dalam WTO, aturan kandungan lokal dalam sektor otomotif harus dihapus paling lambat pada tahun 2000. Pemerintah juga menyepakati bahwa pemberian fasilitas khusus berupa pajak, bea masuk dan pengucuran kredit bagi mobil nasional tidak dilanjutkan. Pada tanggal 22 Juni 1999, pemerintah mengeluarkan paket deregulasi di sektor otomotif yang berorientasi pada pengembangan sektor otomotif secara lebih efisien dan memperkuat daya kompetisi sektor ini dalam pasar global. Skema kandungan lokal telah dihapus sehingga bea masuk impor kendaraan dan komponen sepenuhnya dihitung berdasarkan skema tarif (tariff lines) tanpa mempertimbangkan kandungan lokal yang dicapai. Pengurangan bea masuk impor kendaraan baik dalam keadaan utuh (CBU) maupun terurai (CKD) diberlakukan sesuai dengan kesepatan AFTA dan APEC. Prosedur dan kualifikasi importasi kendaraan diperjelas. Setiap kendaraan yang diproduksi maupun diimpor harus didaftarkan tipenya. Kendaraan yang diimpor dalam keadaan utuh harus memiliki Vehicle Identification Number (VIN), memiliki sertifikat uji tipe dari negara asal serta surat pernyataan garansi terhadap mutu dan layanan purna jual. Perusahaan perakitan dan komponen yang melakukan pelatihan, penelitian dan pengembangan teknologi kendaraan bermotor mendapatkan fasilitas perpajakan. Paket kebijakan industri kendaraan bermotor pada tahun 1999 diharapkan akan mampu membawa perubahan signifikan bagi perkembangan industri kendaraan bermotor di tanah air. Pola pengembangan industri yang hanya mengandalkan strategi industri substitusi impor tidak lagi dianggap sebagai satu− satunya cara untuk membangun kemandirian industri ini. Proteksi yang berlebihan terhadap industri otomotif nasional pada akhirnya hanya akan menjadi bumerang manakala industri ini berhadapan dengan kompetisi global yang sulit untuk dicegah. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai kinerja sektor industri otomotif sejak tahun 1999, berikut disajikan hasil penelitian secara lebih mendalam.
59
Industri OtomotifNasional: Stuktur–Kinerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja industri otomotif Indonesia pasca deregulasi industri kendaraan bermotor 1999 (terutama roda empat) belum menunjukkan perubahan yang mencolok. Mengharap perbaikan kinerja industri otomotif dalam jangka pendek pasca deregulasi 1999 memang sulit untuk direalisasikan. Aswicahyono, dkk (1999) telah mengantisipasi beberapa faktor penghambat kinerja industri otomotif dalam jangka pendek. Pertama, perlu penyesuaian bagi produsen domestik yang sebelumnya menikmati keuntungan dari program insentif; kedua, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing yang belum stabil; ketiga, antisipasi krisis oleh produsen dengan menimbun stok kendaraan; keempat, tidak mudah bagi produsen baru untuk masuk dalam industri otomotif karena harus membangun saluran distrubusi (distribution channel) sekaligus jaringan jasa purna jual (after sales services) yang memadai. Selanjutnya akan dikupas faktor penentu kinerja berdasarkan hasil penelitian dan data pendukung. Struktur Industri Otomotif Konsentrasi pasar dapat ditinjau berdasarkan indikator rasio konsentrasi penjualan empat perusahaan terbesar atau Concentration Ratio 4 (CR4). Badan Pusat Statistik (BPS) secara reguler menerbitkan data CR2, CR2 dan CR8 untuk beberapa industri terpilih diantaranya industri mobil dan motor. Selengkapnya data dimaksud disajikan dalam Gambar 10.1
60
Gambar 10.1 CR4 Industri Mobil (ISIC 34100) dan Motor (35911)
Data sebelumnya menunjukkan bahwa CR4 industri mobil dan sepeda motor rata−rata diatas 80%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa industri otomotif (khususnya mobil dan sepeda motor) memiliki struktur pasar dengan tipikal oligopoly etat (tight oligopoly). Struktur oligopoli yang ketat mengakibatkan industri memiliki market power yang relatif besar sehingga kemampuannya untuk menikmati super normal profit relatif besar. Struktur pasar yang oligopolistik tersebut sangat mempengaruhi kinerja sektor industri otomotif diukur berdasarkan indikator PCM. Apabila diidentifikasi berdasarkan kelompok merk maka Toyota, Suzuki dan Mitsubishi masing−masing memiliki pangsa penjualan yang relatif besar. Data penjualan mobil apabila disusun kembali berdasarkan kelompok merek akan nampak dalam Gambar 10.2
61
Gambar 10.2 Pangsa Penjualan Mobil Berdasarkan Merk, 2006
Berdasarkan Gambar 10.2, Toyota mengusasi sekitar 35 persen pasar disusul oleh Suzuki 11 persen; Mitsubishi 10 persen; Daihatsu 7 persen serta Honda dan Isuzu masing−masing 6 persen dan 4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa hampir 80 persen mobil di Indonesia di dominasi oleh merek asal Jepang. Hasil ini konsisten dengan penelitian Nag, dkk (2007) maupun Aswicahyono, dkk (1999). Dengan demikian sejak tahun 1999 hingga tahun 2006 industri mobil di Indonesia masih sangat didominasi oleh kendaraan yang memiliki brand asal Jepang. Dominasi merek asal Jepang juga mewarnai industri kendaraan sepeda motor. Pangsa empat brand Jepang hingga saat bahkan menguasai lebih dari 90 persen pasar sepeda motor nasional. Data penjualan sepeda motor berdasarkan pangsa penjualan empat besar dapat diperhatikan dalam Tabel 10.1;
62
Tabel 10.1 Penjualan Sepeda Motor Berdasarkan Merek, 2006
Berdasarkan data diatas diketahui bahwa empat merek sepeda motor asal Jepang pada tahun 2006 menguasai sekitar 97 persen pangsa pasar sepeda motor di Indonesia. Meskipun memiliki corak struktur pasar yang bersifat oligopolistik, persaingan diantara produsen sepeda motor relatif lebih terbuka terutama antara Honda dan Yamaha. Perang iklan sepeda motor diantara keduanya seolah merekonstruksi gengsi persaingan balapan motor antara Valentino Rossi (Yamaha) dengan Nicky Hayden (Honda). Strategi promosi yang ekstensif oleh Yamaha sedikit banyak merubah peta persaingan penjualan sepeda motor. Hal ini terlihat dari data pangsa penjualan sepeda motor Yamaha pada triwulan II 2007 sebesar 42 persen yang berhasil menggerus pangsa sepeda motor Honda menjadi 44 persen pada periode yang sama. Promosi gencar juga dilakukan oleh motor Suzuki dan Kawasaki sehingga pada akhir 2007 empat merek sepeda motor tersebut menguasai sekitar 99,18 persen. Selebihnya sekitar 0,82 persen pangsa sisanya direbut oleh beberapa produsen seperti Kanzen, Kymco, Piaggio dan Bajaj. Kinerja Industri Otomotif Kebijakan industri otomotif tahun 1999 pada dasarnya membuka peluang bagi industri ini untuk berkembang. Kinerja industri otomatif diharapkan akan mampu menghasilkan kendaraan dengan harga yang lebih kompetitif. Dengan mempertimbangkan sisi biaya, level kompetitif ini akan tercapai jika margin antara harga jual dengan biaya per−unit relatif kecil. Hasil perhitungan kinerja industri otomotif berdasarkan indikator Price−Cost Margin (PCM) dapat diperhatikan dalam Tabel 10.2 63
Tabel 10.2 PCM Industri Otomotif, 1999 – 2006
Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa indikator PCM untuk industri kendaraan bermotor roda empat (ISIC 34100) selama periode penelitian adalah relatif tinggi (rata− rata sebesar 0,67). Hal sebaliknya terjadi pada industri sepeda motor (ISIC 34200) yang secara rata−rata memiliki nilai PCM yang relatif rendah (yaitu sebesar 0,29). Sementara itu industri karoseri (ISIC 34200), industri komponen mobil (ISIC 34300) dan industri komponen sepeda motor (ISIC 35912) memiliki indikator PCM yang relatif moderat. Hal menarik untuk dikaji lebih jauh adalah membandingkan kinerja industri mobil dengan industri sepeda motor. Dengan melihat hasil perhitungan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa kinerja industri sepeda motor secara rata−rata relatif baik dibandingkan dengan kinerja industri mobil. Indikator PCM yang lebih rendah mengindikasikan efisiensi secara alokatif. Secara visual, perbandingan indikator PCM industri mobil dengan industri sepeda motor dapat diperhatikan sebagai berikut.
64
Gambar 10.3 PCM Industri Mobil (ISIC 34100) dan Motor (35911)
Gambar diatas menunjukkan bahwa kecuali untuk tahun 2000 dan 2002, indikator PCM industri mobil selalu berada diatas 0,5. Sementara itu PCM untuk industri sepeda motor selalu berada dibawah 0,5. Ilustrasi diatas secara kasar menggambarkan bahwa deregulasi industri otomotif relatif lebih dirasakan dampaknya dalam industri sepeda motor. Untuk membahas lebih jauh mengenai faktor yang menentukan kinerja industri otomotif, berikut disajikan ulasan kuantitatif penentu kinerja sektor industri otomotif. Implikasi Penelitian menunjukkan bahwa secara rata−rata indikator PCM industri otomotif relatif tinggi. Dominasi Jepang masih sangat kuat peranannya sehingga sampai saat ini peran industri otomotif masih tetap menjadi perakit dari pabrikan asing. Posisi ini tentu sangat membatasi ruang gerak perkembangan industri ini dalam jangka panjang. Meskpiun Kijang, sebagai contoh, telah memiliki kandungan lokal yang relatif besar namun peran Toyota dalam menentukan standar produksi, komponen penting sekaligus aturan pemasaran masih dominan.
65
Pada sisi lain pelonggaran batasan impor membuka pintu bagi masuknya kendaraan dalam kondisi CBU untuk meramaikan persaingan. Namun demikian, nilai tukar dollar AS terhadap rupiah yang relatif tinggi menghalangi laju masuknya kendaraan asing dalam bentuk utuh tersebut ke Indonesia Kondisi ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk merealisasikan kembali keinginannya membangun industri otomotif nasional yang independen. Dalam hal pengembangan kendaraan nasional Indonesia masih sangat tertinggal dengan negara produsen lainnya. Tidak hanya dari Malaysia yang telah memiliki perusahaan nasional Proton dengan merek Saga, atau India melalui Maruti Udyog, Tata Motors, dan Hindustan Motor; industri otomotif Indonesia bahkan kalah maju oleh Iran yang telah memiliki merek lokal seperti Samand, Kodro dan Saipa. Tantangan membangun industri otomotif nasional yang independen pada era liberalisasi perdagangan ini memang tidak mudah. Proteksi berlebihan pasti akan ditentang oleh WTO sementara kesanggupan industri komponen dalam negeri untuk mendukung produksi kendaraan relatif lemah. Sebagai gambaran, Hyundai Motor saja dipasok oleh sekitar 500 pemasok utama sementara itu berdasarkan data Departemen Perindustrian jumlah perusahaan komponen kendaraan di Indonesia hanya berkisar 250 perusahaan. Akan tetapi tidak mudah bukan berarti tidak mungkin. Di samping kemauan keras, konsistensi dan sinergi perlu dilakukan oleh pelaku industri otomotif. Salah satu pelaku otomotif nasional yakni Perkasa telah mampu mengembangkan kendaraan (truk) yang mulai dari besi tuang hingga membuat blok mesin, as belakang, kruk as, gardan, gearbox hingga perseling. Perkasa bisa dikatakan utuh buatan dalam negeri karena komponen yang dibuat telah dibeli hal patennya dari berbagai negara asalnya. Begitu juga dalam industri sepeda motor, PT. Kanzen Motor Indonesia yang sahamnya dimiliki oleh bangsa Indonesia telah melahirkan sepeda motor yang dirancang dan direkayasa sepenuhnya oleh perusahaan dan tenaga ahli Indonesia (Departemen Perindustrian, 2006). Produk yang sepenuhnya buatan dalam negeri tersebut adalah type Taurus Ultima mesin 4 tax 110 cc mulai diluncurkan sejak Juni 2006.
66
Kinerja industri otmotif nasional yang belum optimal seharusnya membuka peluang bagi pemain lokal untuk lebih berperan. Apalagi pasar otomotif nasional masih cukup menjanjikan. Gaikindo memprediksi bahwa pada tahun 2010 penjualan mobil akan mencapai sekitar 1,3 juta unit. Dengan pengalaman selama lebih dari 30 tahun, industri otomotif nasional tentunya harus mampu menciptakan produk kendaraan yang seluruhnya merupakan karya anak negeri sendiri dan tidak hanya puas sekedar menjadi perakit dari kendaraan asing. Kerugian besar dengan hanya memposisikan sebagai basis produksi dari pabrikan asing adalah tidak adanya alih teknologi yang memungkinkan bangsa ini mengembangkan industri otomotif secara mandiri. Apalagi mengingat bahwa kendaraan bermotor merupakan barang yang menjadi hajat kebutuhan besar masyarakat Indonesia. Industri OtomotifNasional : AnalisisPanel Untuk menganalisis faktor penentu kinerja otomotif maka akan digunakan pendekatan regresi. Sebagaimana telah dijelaskan dalam metode penelitian bahwa terdapat beberapa pendekatan untuk mengestimasi model data panel yaitu dengan Pooled Least Square, Fixed Effect dan Random Effect. Untuk menentukan pendekatan yang lebih sesuai, terlebih dahulu akan dilakukan beberapa uji statistik. Pertama akan dibandingkan hasil perhitungan antara pendekatan Pooled Least Square (PLS) dengan Fixed Effect (FE). Pendekatan yang lebih baik antara PLS dengan FE masih akan dibadingkan lagi dengan pendekatan Random Effect (RE) untuk menentukan pendekatan yang lebih superior. Redundant Fixed Effect Pendekatan PLS pada dasarnya merupakan aplikasi Ordinary Least Square (OLS) pada data panel. Melalui pendekatan ini estimasi model hanya akan menghasilkan model tunggal yang mengabaikan kemungkinan adanya faktor spesifik yang berbeda antar unit analisis (dalam hal ini antar industri) yang diteliti. Faktor spesifik tersebut dapat ditangkap melalui perbedaan dalam koefisien intercept. Secara umum, perbedaan intersep dapat diuji dengan pendekatan dummy variables. Dengan demikian, pengujian signifikansi perbedaan intersep antar unit analisis dilakukan dengan menambah variabel baru (yakni variabel dummy). Model yang menampung perbedaan intersep antar unit tersebut dikenal sebagai Least Square Dummy Variables (LSDV) atau model FE. 67
Dengan demikian pada dasanya PLS merupakan versi restricted dari FE karena mengasumsikan bahwa restriksi dummy pada koefisien intersep adalah sama dengan nol. Untuk menguji keabsahan asumsi ini, maka dapat dilakukan uji redundant fixed effect atau juga dapat dilakukan dengan restricted F test. Hasil estimasi model PLS dan FE masing−masing selengkapnya dapat diperhatikan dalam Tabel 10.3 Tabel 10.3 Estimasi Model Pooled Least Square
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dari empat variabel yang diuji hanya terdapat dua variabel yang signifikan. Sepintas bahwa model diatas cukup baik ditinjau dari kriteria standar seperti R square, Probabilita F−statistic dan statistik Durbin Watson. Akan tetapi kriteria tersebut mungkin cukup relevan untuk dijadikan pertimbangan utama dalam model regresi biasa dengan struktur data cross−section atau time−series belaka. Untuk data dengan struktur panel, perlu diuji kemungkinan signifikansi perbedaan antar unit yang ditangkap oleh koefisien intersep. Dengan demikian sebelum dilakukan interpretasi lebih dalam atas estimasi model diatas, maka perlu disajikan model tandingan yaitu FE Model.
68
Hasil perhitungan dengan pendekatan model Fixed Effect dapat diperhatikan dalam Tabel 13.2 Tabel 10.4 Estimasi Model Fixed Effect
Hasil estimasi dengan pendekatan FE diatas sangat berbeda dengan hasil estimasi PLS sebelumnya. Terdapat kenaikan dalam Adjusted R−square, signifikansi koefisien market share dan intensitas impor namun insignikan untuk variabel intensitas kapital dan produktivitas tenaga kerja. Untuk menentukan model mana yang lebih superior antara PLS dengan FE, harus diuji signifikansi tambahan fixed effect dalam model. Dengan demikian pertimbangan untuk menentukan model terbaik tidak hanya didasarkan pada pertimbangan koefisien determinasi saja (R square) namun masih harus dilakukan pengujian perlu tidaknya unsur fixed effect atau redundant fixed effect. Hasil pengujian redundant fixed effect dapat diperhatikan secara lengkap dalam Tabel 10.5
69
Tabel 10.5 Redundant Fixed Effect : PLS vs FE
Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana disajikan dalam tabel diatas, dapat diketahui bahwa keberadaan fixed effect adalah signifikan baik dengan pengujian versi restricted F test maupun dalam versi chi−square. Asumsi tidak terdapat individual specific effect secara statistik dapat ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model Fixed Effect dalam hal ini lebih superior dibandingkan dengan model PLS yang menggunaan least square biasa. Hausman Test Selanjutnya model Fixed Effect harus dievaluasi superioritasnya dengan membandingkannya dengan model Random Effect. Perbedaan prinsip antara FE dengan RE adalah bahwa individual specific effect dalam FE adalah fixed sedangkan dalam RE diasumsikan bersifat random. Karena bersifat random, maka individual specific effect tersebut dimungkinkan berkorelasi dengan salah satu variabel penjelas. Jika korelasi semacam itu terjadi, maka estimasi dengan menggunakan pendekatan RE akan inconsistent. H asil perhitungan dengan pendekatan Random Effect dapat diperhatikan melalui Tabel 10.6
70
Tabel 10.6 Estimasi Model Random Effect
Hasil perhitungan estimasi Random Effect menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dengan estimasi Fixed Effect. Untuk menentukan model yang lebih baik terdapat beberapa kriteria yang dapat dipertimbangkan. Secara formal, pengujian secara statistik untuk menentukan estimasi yang relevan antara FE dengan RE adalah dengan menggunakan Hausman test. Uji ini dilakukan dengan cara mengevaluasi adanya korelasi antara individual specific effect dengan variabel penjelas. Model estimasi RE mengasumsikan bahwa tidak ada korelasi antara individual specific effect dengan variabel independent. Jika korelasi semacam itu ditemukan, maka penggunaan model Random Effect akan menghasilkan estimasi yang tidak konsisten sehingga penggunaan model Fixed Effect merupakan pilihan model yang lebih relevan. Berikut disajikan hasil pengujian Hausman test untuk menentukan penggunaan model yang lebih relevan antara model RE dengan FE.
71
Tabel 10.7 Hausman test : Random Effect vs Fixed Effect
Hasil pengujian Hausman test dalam tabel diatas menunjukkan bahwa terdapat bukti yang signifikan bahwa korelasi antara individual specific effect atau individual intercept dengan variabel independent tidak bisa ditolak. Dengan demikian penggunaan model Fixed Effect dapat dianggap lebih superior. Heteroskedastisitas dan Autokorelasi Model Fixed Effect sebagaimana disajikan dalam Tabel disusun berdasarkan asumsi ideal regresi klasik yaitu kondisi homoskedastik residual antar unit dan tidak terdapat korelasi antar residual. Jika kedua kondisi tersebut tidak terpenuhi dalam model, maka pendekatan Generalized Least Square (GLS) akan lebih tepat untuk diterapkan. Untuk mengakomodir kondisi heteroskedastik residual sekaligus kemungkinan korelasi antar residual (contemporaneously correlated) dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan Seemingly Unrelated Regression (SUR) atau yang dikenal sebagai Parks estimator. Hasil estimasi model FE dengan pendekatan cross−section SUR dapat diperhatikan dalam Tabel 10.8
72
Tabel 10.8 Estimasi Fixed Effect dengan SUR
Hasil perhitungan model FE dengan pendekatan SUR memberikan estimator yang lebih efisien ditunjukkan dari signifikansi F maupun signifikansi t yang semakin baik. Di samping itu terdapat peningkatan koefisien determinasi yang cukup tinggi. Kenyataan ini semakin memperkuat relevansi pendekatan GLS dalam estimasi Fixed Effect dalam kasus model yang sedang dianalisis ini. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa market share memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap indikator PCM. Peningkatan rata−rata market share sebesar 1 (persen) akan mengakibatkan peningkatan PCM sebesar 0,095 point. Bukti statistik ini mengkonfirmasi hubungan searah antara PCM dengan market share dalam industri otomotif AS (Martin, 1989). Hubungan positif antara market share dengan PCM diinterpretasikan bahwa semakin tinggi market share mengindikasikan semakin tingginya konsentrasi pasar sehingga produsen memiliki market power yang lebih
73
tinggi. Implikasinya, kinerja sektor industri otomotif ditinjau dari sisi efisiensi alokatif akan semakin rendah karena margin antara harga dengan biaya per unit relatif melebar. Berdasarkan analisis model diketahui bahwa peningkatan intensitas impor sebesar 1 persen akan mengakibatkan penurunan PCM sebesar 0,010929. Hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa fleksibilitas impor yang diatur dalam deregulasi kendaraan bermotor 1999 berpotensi untuk meningkatkan kinerja sektor industri otomotif nasional. Penetrasi impor pada satu sisi akan memperketat persaingan sehingga produsen cenderung akan menawarkan harga yang lebih kompetitif untuk mengimbangi ketatnya persaingan. Pada sisi lain, pengurangan tarif bea impor akan memperkecil biaya produksi sehingga margin antara harga dengan biaya semakin mengecil. Proteksi yang berlebihan bagi industri domestik melalui hambatan yang relatif besar terhadap produk impor tidak selamanya menguntungkan bagi industri domestik sendiri. Melalui telaah terhadap industri otomotif nasional selama tahun 1978 – 2000 Yudhono (2003) berkesimpulan bahwa tingginya proteksi yang diberikan dalam waktu yang panjang justru berimplikasi terhadap rendahnya daya saing produk otomotif lokal terhadap produk impor. Pengurangan hambatan impor dalam jangka panjang nantinya diharapkan akan memperbaiki kinerja industri otomotif nasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel intensitas kapital dan produktivitas pekerja tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja sektor industri otomotif. Pada dasarnya data kapital stok untuk industri otomotif Indonesia tidak tersedia secara langsung sehingga variabel ini kerap diproksi dengan variabel produktivitas tenaga kerja (Aswicahyono, 1999). Cara ini juga dilakukan oleh beberapa peneliti lain seperti Martin (1989) serta Goldar dan Aggarwal (2004). Dalam penelitian ini intensitas kapital diproksi dengan rasio pengeluaran untuk sewa mesin, tanah dan sebagainya terhadap penjualan (Kapital Sales Ratio, KSR) sekaligus juga digunakan variabel produktivitas tenaga kerja. Kedua variabel dimaksud dalam penelitian ini sama−sama memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap kinerja. Pengembangan sektor industri otomotif memerlukan intensitas kapital 74
yang cukup besar dan kemampuan teknologi yang memadai agar dicapai skala ekonomis. Hingga saat ini industri otomotif Indonesia belum mampu mencapai skala ekonomis baik oleh karena relatif kecilnya pasar, terlalu banyak model yang diproduksi maupun standarisasi produk yang belum mapan (Nag, dkk, 2007). Untuk mencapai skala ekonomis tentunya diperlukan intensitas kapital yang besar sekaligus kapabilitas tenaga kerja yang relatif tinggi. Kedua variabel ini t entunya sangat berkaitan erat dengan tingkat efisiensi produksi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja sektor industri otomotif Indonesia belum sepenuhnya dipengaruhi oleh efisiensi produksi namun lebih banyak dipengaruhi oleh sisi permintaan (demand side) atau sisi pasar (market driven). Faktor Lain Disamping faktor−faktor yang telah dibahas sebelumnya, terdapat beberapa faktor lain yang secara tidak langsung mempengaruhi kinerja sektor industri otomotif. Selama periode 1999 – 2006 industri otomotif memiliki perkembangan yang relatif pesat terutama ditinjau dari sisi penjualan. Puncak penjualan produk otomotif terjadi pada tahun 2005 dimana penjualan mobil menembus 533.910 unit dan sepeda motor mencapai angka penjualan diatas 5 juta unit. Akselerasi pertumbuhan penjualan produk otomotif tidak terlepas dari semakin gencarnya persaingan dalam industri multifinance yang khusus bergerak dalam pembiayaan pembelian produk otomotif. Sepuluh besar perusahaan multifinance dimaksud diurut berdasarkan aset yang dimiliki disajikan dalam Tabel 10.9. P ersaingan dalam industri pembiayaan ini relatif tinggi. Berdasarkan data pada Tabel 10.9 dapat dihitung bahwa rasio konsentrasi (CR4) menurut aset perusahaan adalah 30,55 persen. Rasio ini tidak jauh berbeda jika dihitung berdasarkan income perusahaan (yaitu 36,7 persen). Jadi meskipun struktur pasar industri otomotif sendiri cenderung bercirikan oligopolistik ketat, namun perusahaan pembiayaan untuk pembelian produk otomotif justru cenderung mengarah pada struktur persaingan.
75
Tabel 10.9 Multifinance Otomotif Menurut Aset, 2006
Mengingat pembelian kendaraan sebagian besar dilakukan melalui kredit yang sensitif terhadap perubahan tingkat suku bunga, maka tak pelak tingkat suku bunga juga menjadi salah satu variabel yang mempengaruhi penjualan (Tempo, September 2008). Tidak mengherankan apabila penurunan BI rate dari 17,62 persen (2001) menjadi 12,93 persen (2002) kemudian 8,31 persen (2003) dan menjadi 7,43 persen pada tahun 2004 dipandang telah memberikan kontribusi bagi peningkatan penjualan mobil maupun sepeda motor. Faktor lain yang tidak bisa diabaikan adalah kenaikan harga BBM. Kenaikan BBM mengubah perilaku sebagian masyarakat yang sebelumnya terbiasa menggunakan angkutan umum beralih membeli sepeda motor dengan pertimbangan ekonomis. Apalagi persaingan sengit diantara perusahaan pembiayaan yang menawarkan jasa pembelian motor berkualitas dengan angsuran terjangkau dan proses yang mudah semakin memperbesar gairah masyarakat untuk memiliki kendaraan sendiri.
76
Bab 11 Sektor Perdagangan & Industri Peran sektor perdagangan luar negeri bagi perekonomian nasional relatif signifikan terutama sejak dekade 1980−an dimana era oil boom telah berakhir. Pada awal pembangunan, Indonesia sangat mengandalkan minyak sebagai komoditas ekspor utama sekaligus sumber devisa utama pembangunan. Setelah orientasi kebijakan inward looking dengan mengandalkan kebijakan industri substitusi impor dipandang gagal memberikan kontribusi positif bagi pembangunan jangka panjang, pemerintah mulai mengalihkan strategi kebijakan yang lebih terbuka atau outward looking melalui serangkaian kebijakan promosi ekspor, termasuk kebijakan di sektor industri nasional. Sektor Perdagangan Pada pertengahan 1980−an dan memasuki dekade 1990−an, terbukti kebijakan promosi ekspor relatif berhasil menggeser peran minyak sebagai satu−satunya primadona ekspor digantikan oleh peran ekspor non−migas yang semakin meningkat. Sebagai bahan perbandingan, berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dapat ditunjukkan bahwa pada tahun 1975 ekspor total mencapai 7.102,5 juta dollar AS sementara ekspor non−migas hanya sebesar 1.791,7 juta dollar AS atau hanya sekitar 25% dari total ekspor. Menjelang akhir 1980−an, tepatnya tahun 1988 dari 19.218,5 juta dollar AS total ekspor sekitar 60% atau sebesar 11.536,9 juta dollar disumbang oleh ekspor non−migas. Lebih jauh, sepuluh tahun kemudian yakni pada tahun 1998 ekspor non− migas bahkan telah mencapai 80% dari ekspor total. Dari total ekspor sebesar 48.847,6 juta dollar AS, sebesar 40.975,5 juta dollar AS merupakan ekspor non−migas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peran sektor non−migas dalam perdagangan luar negeri Indonesia menjadi sangat penting sejak dua dekade terakhir. Pentingnya sektor perdagangan dalam perekonomian nasional dapat pula 77
dievaluasi berdasarkan kotribusinya terhadap Produk Domestik Bruto sebagai berikut: Tabel 11.1 Komposisi PDB Indonesia 1989-2006 (%)
Berdasarkan data pada tabel diatas dapat diketahui bahwa porsi ekspor maupun impor dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sejak tahun 1994 rata−rata telah mencapai lebih dari seperempat bagian. Bahkan pada saat krisis ekonomi 1998, pangsa ekspor dan impor masing−masing mencapai 53% dan 43,2% dari total PDB. Dengan demikian ketergantungan Indonesia terhadap perdagangan luar negeri dapat dikatakan sangat tinggi. Bahkan pasca krisis 1998, share ekspor dan impor dalam perekonomian nasional masih relatif besar. Peningkatan ekspor pada satu sisi mungkin memberikan kontribusi positif bagi perekonomian, namun keterbukaan perekonomian nasional juga membawa konsekwensi derasnya penetrasi barang impor ke pasar domestik. Sejak awal tahun 2000, tekanan impor ke pasar domestik dapat diilustrasikan melalui data dalam chart sebagai berikut :
78
Gambar 11.1 Perkembangan Impor, 2000 – 2006 (juta $)
Pada tahun 2001, total impor mencapai 30.962 juta dollar AS dan hanya dalam waktu lima tahun kemudian berlipatganda menjadi 61.078 juta dollar AS. Perkembangan impor yang relatif explosive selama lima tahun terakhir ini tentunya perlu diwaspadai terutama dengan memperhatikan dinamika perekonomian global saat ini yang kurang menguntungkan bagi perekonomian nasional. Menghadapi gejolak perekonomian yang tidak menentu akan sangat rentan jika ketergantungan impor justru semakin meningkat. Apabila dikaji lebih dalam maka dapat diketahui besarnya impor hingga data terakhir menunjukkan bahwa porsi terbesar impor Indonesia berupa barang industri (industrial supplies). Berikut sebagian data impor Indonesia tahun 2006 yang dipublikasikan oleh united nation melalui com−trade :
79
Tabel 11.2 Distribusi Impor Indonesia 2006 (%)
Jika dilakukan penelusuran lebih dalam maka akan dapat dideteksi bahwa impor untuk barang industri manufaktur mencapai 29,6% dari total impor. Bagi industri nasional, kenyataan ini tentunya harus disikapi dengan cermat. Terlebih jika mengingat bahwa peran sektor industri dalam lingkup perekomian nasional juga sangat signifikan.. Sektor Industri Secara umum dominasi peran sektor industri dalam produk nasional dapat diperhatikan melalui data mengenai porsi masing−masing sektor terhadap PDB. Selama periode tahun 2000 – 2006 peran sektor industri rata−rata mencapai lebih dari 40% dari total PDB nasional. Sementara itu pangsa sektor pertanian pada tahun 2006 mencapai sekitar 12,89 % dari total PDB. Data selengkapnya dapat diperhatikan dalam ilustrasi grafik sebagai berikut :
80
Gambar 11.2 Pangsa PDB Berdasarkan Produksi Sektoral (%)
Berdasarkan pengelompokan sektor ekonomi menjadi tiga sektor, dapat ditunjukkan bahwa peran sektor industri dan sektor jasa adalah relatif sama. Aggresasi ke dalam tiga kelompok besar tersebut jika lebih diperinci menurut lapangan usaha yang lebih sempit dapat dinyatakan sebagai berikut : 1. 2.
3.
Sektor pertanian Sektor industri (pertambangan, industri pengolahan, listrik, gas dan air minum, bangunan, serta pengangkutan/pergudangan dan komunikasi) Sektor jasa (perdagangan, rumah makan dan hotel, bank dan lembaga keuangan lainnya, sewa rumah, pemerintahan umum dan pertahanan serta jasa lainnya).
Apabila dihitung secara lebih rinci, ditribusi PDB Indonesia selama periode yang sama dapat diperhatikan sebagai berikut :
81
Tabel 11.3 Distribusi PDB Menurut Lapangan Usaha 2000-2006 (%)
Berdasarkan data yang yang disajikan dalam tabel diatas, diketahui bahwa peran sektor industri manufaktur mendominasi PDB hingga beberapa tahun terakhir. Selama periode tahun 2000 – 2006 peran sektor ini rata−rata mencapai diatas 27%. Dengan kata lain, lebih dari seperempat produksi nasional dihasilkan oleh sektor industri pengolahan. Meskipun memiliki peran yang sangat signifikan dalam perekonomian nasional, perkembangan sektor industri secara umum relatif tidak stabil. Pengalaman krisis ekonomi tahun 1998 menunjukkan bahwa sektor industri merupakan sektor relatif terpuruk jika dibandingkan dengan sektor pertanian. Data terakhir menunjukkan bahwa meskipun sektor industri mengalami pertumbuhan positif, namun pertumbuhan tersebut relatif berfluktuatif. Selengkapnya dapat diperhatikan melalui tampilan berikut;
82
Gambar 11.3 Pertumbuhan Sektor Industri, 2000 – 2006
Berdasarkan gambar diatas, dapat ditunjukkan bahwa setelah tahun 2000, pertumbuhan sektor industri mengalami perlambatan hingga hanya tumbuh sebesar 2,7% pada tahun 2001. Pemulihan mulai nampak pada tahun 2002, namun pada tahun berikutnya laju pertumbuhan sektor industri kembali mengalami penurunan. Selanjutnya perkembangan sektor ini relatif stagnan pada tahun 2005 dan tahun 2006. Posisi sektor industri manufaktur dalam perekonomian nasional tentunya memiliki kedudukan yang sangat strategis. Peran sektor ini juga terlihat dari kemampuannya dalam penyerapan tenaga kerja
83
Gambar 11.4 Tenaga Kerja Industri Manufaktur (ribu jiwa)
Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa penyerapan tenaga kerja untuk sektor industri manufaktur secara rata−rata mencapai diatas 11 juta pekerja. Dengan angkatan kerja Indonesia yang mencapai sekitar 100 juta orang (BPS, 2006) secara kasar dapat dinyatakan bahwa sekitar 10 % angkatan kerja terserap oleh sektor industri manufaktur. Apabila diamati secara cermat maka akan nampak bahwa terjadi penurunan yang cukup tajam dalam hal penyerapan tenaga kerja sektor industri pada tahun 2003. Gejala ini berlanjut hingga tahun 2004 meski akhirnya pada tahun 2005 terjadi lagi peningkatan penyerapan tenaga kerja. Fenomena penurunan daya serap tenaga kerja sektor industri terjadi lagi pada tahun 2006 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
84
Bab 12 Perdagangan & Kinerja Industri Bertolak pada permasalahan dalam sektor perdagangan dan industri, setidaknya ada beberapa point fenomena yang perlu digarisbawahi. 1. 2.
3.
Terjadi pertumbuhan impor yang relatif eksplosif sejak lima tahun terakhir terutama sejak tahun 2003 Terjadi penurunan kinerja sektor industri dalam periode yang sama diukur berdasarkan pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja Porsi impor Indonesia masih didominasi oleh barang manufaktur termasuk mesin dan alat transportasi.
Peningkatan impor dalam industri nasional tidak bisa begitu saja dilepaskan dari setting kebijakan pemerintah yang relatif bersifat memperlunak hambatan perdagangan. Suka atau tidak, Indonesia telah terikat dalam berbagai agenda kesepakatan regional maupun internasional seperti AFTA dan WTO yang secara sadar menginginkan adanya pengurangan atau, bahkan kalau perlu, penghapusan hambatan perdagangan internasional. Pada satu sisi, perdagangan yang semakin meluas akan memberikan efek pro−kompetitif sehingga tingkat harga diharapkan akan stabil pada level yang relatif rendah. Namun demikian efek tak terduga dari adanya deregulasi perdagangan perlu dicermati lebih mendalam terkait dengan eksistensi industri nasional. Peningkatan impor sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kinerja sektor industri tidak hanya terkait dengan pertumbuhan dan profitabilitas namun juga yang behubungan dengan penyerapan tenaga kerja. Organisasi Industri dan Perdagangan Kaitan antara organisasi industri dengan perdagangan internasional merupakan topik yang telah lama menjadi perhatian para ahli, 85
diantaranya oleh Lawrence J. White (1974) yang disarikan sebagai berikut. Secara teoritis, struktur pasar dapat memiliki pengaruh terhadap aliran dagang (trade flow). Dari sisi impor, struktur pasar monopolis cenderung memperbesar kemungkinan impor daripada struktur pasar kompetitif selama dipenuhi asumsi bahwa barang impor merupakan substitusi bagi barang domestik dan beberapa variabel (termasuk struktur harga) diketahui secara pasti (certainty). Untuk memperjelas ulasannya, Lawrence J. White menggunakan ilustrasi grafis sebagai berikut :
(1974:1015)
Gambar 12.1 Struktur Pasar dan Penetrasi Impor
Gambar 15.1 diatas menunjukkan mengilustrasikan dua struktur pasar yang berbeda yaitu pasar persaingan dan pasar monopoli. Apabila struktur pasar berupa monopoli maka tingkat harga yang memaksimumkan profit bagi monopolis adalah Pm dengan kuantitas sebesar qm. Jika struktur pasar merupakan persaingan sempurna, maka harga ditentukan sama dengan biaya marjinal yaitu Pc dengan output sebesar qc.
86
Jika importir diperkenankan memasuki pasar domestik, katakanlah menawarkan harga sebesar Pw (sudah termasuk tarif) maka reaksi pasar domestik akan sangat tergantung pada struktur pasar. Jika struktur pasar berbentuk persaingan maka barang impor tidak akan dapat meraih pangsa pasar karena harga barang impor (Pw) kalah bersaing dengan harga domestik (Pc). Apabila struktur pasar domestik cenderung bersifat monopoli, maka monopolis hanya dapat membendung impor jika tingat harga yang ditawarkan tepat berada dibawah Pw. Namun orientasi profit mengakibatkan produsen enggan beralih jauh dibawah harga monopolis, sehingga barang impor dapat memasuki pasar domestik. Persaingan impor akan mengakibatkan produsen melakukan penyesuaian sehingga tingkat keuntungannya akan mengalami penurunan. Jika hambatan impor dikurangi, misalnya melalui pengurangan tariff, maka harga impor akan turun dari level harga semula. Apabila harga impor jatuh dibawah harga persaingan (Pc) maka laju impor tidak dapat dibendung baik struktur pasar berbentuk monopolis maupun pasar persaingan. Dalam kasus ini, produsen domestik mau tidak mau harus berbagi dengan importir. Analisis ini sangat relevan apabila unsur ketidakpastian (uncertainty) tidak diperhitungkan dalam model. Apabila unsur ini dimasukkan dalam analisis, maka kesimpulan analitis menjadi sedikit berbeda yakni dengan struktur pasar yang cenderung bersifat monopolistis, maka penetrasi impor kemungkinannya akan lebih besar jika dibandingkan dengan struktur pasar yang lebih kompetitif. Struktur dan Kinerja Industri Riset awal mengenai keterkaitan antara kinerja industri dengan struktur pasar menggunakan variabel profit sebagai indikator dari kinerja. Namun berbagai penelitian menunjukkan hasil yang beragam sehingga pada akhirnya peneliti lebih terfokus untuk meninjau kinerja dari sudut perbedaan antara tingkat harga dengan biaya atau yang lebih dikenal sebagai price−cost margin. Price−cost margin didefinisikan sebagai 87
perbedaan antara tingkat harga dengan rata−rata biaya variabel (Clarkson dan Miller, 1983; 93). Perbedaan antara harga dan biaya secara teoritis akan lebih besar dalam industri yang bercorak monopoly dibandingkan dengan yang bercorak persaingan sempurna. Hubungan antara price−cost margin dengan struktur pasar dapat diturunkan dari persamaan berikut (Keith Cowling and Michael Waterson, 1976 : p. 267−274)
dalam hal ini ∏ adalah tingkat profit, p tingkat harga, X tingkat output, c adalah biaya variabel dan F adalah biaya tetap (Fixed Cost). Persamaan ini merupakan fungsi dari tingkat keuntungan (profit). Fungsi permintaan pasar inversi dapat dinyatakan sebagai :
subskrip 1, 2 hingga N mengacu pada perusahaan ke i Maksimasi profit dicapai pada saat turunan pertama fungsi profit terhadap output sama dengan nol dapat dinyatakan sebagai :
dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa :
Apabila dilakukan summasi untuk N perusahaan, maka persamaan profit dapat dinyatakan sebagai :
88
bagi persamaan diatas dengan p, maka
Sehingga dapat diperoleh :
dalam hal ini “ ” adalah elastisitas permintaan. Persamaan terakhir ini menunjukkan hubungan antara harga dengan jumlah perusahaan. Semakin sedikit jumlah perusahaan (semakin besar konsentrasi pasar) maka output dalam perusahaan akan semakin mengecil dan tingkat harga semakin tinggi. Secara ilustratif, perbandingan kinerja pasar persaingan sempurna dengan pasar monopoly dapat diperhatikan dalam gambar berikut :
89
Gambar 12.2 Struktur dan Kinerja Pasar
Pengaruh struktur pasar terhadap kinerja industri dapat dievaluasi dari kasus dua ekstrim struktur pasar yaitu pasar persaingan dan pasar monopoly. Dalam jangka panjang, produsen dalam pasar persaingan sempurna hanya dapat menikmati normal profit dengan mengambil harga berdasarkan biaya marginal. Sementara itu, monopolis dapat menentukan tingkat harga yang memaksimumkan profit dengan menetapkan harga diatas biaya marginal. Berdasarkan gambar diatas diketahui bahwa monopolis dapat menetapkan harga (Pm) diatas tingkat harga yang dapat ditentukan oleh pasar persaingan sempurna (Pc). Namun demikian, tingkat output yang dihasilkan monopolis (Ym) lebih terbatas dibandingkan pasar persaingan (Yc). Determinan Kinerja Industri Berdasarkan penelurusan teoritis yang telah dilakukan maka determinan kinerja sektor industri dapat diidentifikasi sebagai berikut. Pertama, kinerja sektor industri yang tercermin melalui nilai tambah 90
sangat dipengaruhi oleh struktur pasar. Struktur pasar dapat diidentifikasi melalui rasio konsentrasi. Selanjutnya, kinerja sektor industri dipengaruhi oleh intensitas kapital yang ditunjukkan oleh besarnya produktivitas tenaga kerja. Kemudian, kinerja sektor industri dipengaruhi juga oleh jumlah perusahaan dalam suatu industri. Jumlah perusahaan dapat dijadikan indikator dari skala ekonomis yang pada tingkat tertentu merupakan salah satu hambatan bagi industri (barrier to entry). Akhirnya, faktor yang juga penting dalam mempengaruhi kinerja industri adalah penetrasi impor. Sebagaimana dinyatakan secara teori, pengaruh impor terhadap kinerja tergantung pada struktur industri yang ada. Dengan demikian pengaruh impor terhadap kinerja bersifat interaktif dengan struktur industri. Besarnya impor sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Deregulasi perdagangan sebagai akibat berbagai kesepakatan intra maupun internasional, telah mendorong peningkatan impor secara signifikan. Masih dalam lingkup struktur−perilaku−kinerja, kinerja sektor industri dapat pula dilihat dari penyerapan tenaga kerja. Dalam makalah ini dampak deregulasi perdagangan secara langsung juga diuji keterkaitannya dengan penyerapan tenaga kerja di sektor industri. Review Riset Kajian awal mengenai dampak kompetisi impor terhadap perekonomian domestik dilakukan misalnya oleh Philips Turner (1980) dalam artikel “Import Competition and the Profitability ofUnited Kingdom Manufacturin Industries” yang dipublikasikan dalam The Journal of Industrial Economic Vol. 29. No.2 Dalam artikel tersebut peneliti menggunakan model sebagai berikut :
Dalam hal ini “ ” merupakan tingkat profitabilitas yang diukur berdasarkan nilai tambah industri. ADV merupakan variabel proxy dari product differentiation, K/L menunjukkan intensitas kapital yang diproksi dengan rasio kapital/labor dan MPC menunjukkan besarnya impor.
91
Riset yang dilandasi dengan semangat yang sama dengan penelitian sebelumnya, juga telah dilakukan oleh Katics dan Peterson (1994) dalam artikel “The Effect of Rising Import Competition on Market Power: A panel Data Study of US Manufacturing” yang dipublikasikan dalam The Journal of Industrial Economics Vol. 42. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini digunakan pendekatan data panel. Penelitian yang relatif dalam baru dan masih dalam bentuk working paper dilakukan oleh Bishwanath Goldar dan Suresh Chand Aggarwal (2004) dalam makalah yang berjudul “Trade Liberalization and Price−Cost Margin in Indian Industries”. Dalam artikel ini peneliti menguji determinan kinerja sektor industri manufakur India dengan beberapa variabel seperti: konsentrasi industri, produktivitas tenaga kerja dan tingkat impor barang industri manufaktur.
92
Bab 13 Liberalisasi Perdagangan
Dengan semangat orientasi kebijakan yang lebih bersifat keluar (outward looking) pemerintah sejak dekade 1980−an melakukan serangkaian kebijakan perdagangan luar negeri yang bersifat deregulatif. Beberapa paket kebijakan dikeluarkan sehingga pada tahun 1990 keluar Paket Kebijakan 2 Mei 1990 yang intinya menetapkan penggantian proteksi melalui tata niaga impor menjadi proteksi melalui tariff bea masuk. Selanjutnya pada tanggal 6 Juli 1992 pemerintah melonggarkan tata niaga impor sehingga setiap produsen bisa melakukan impor langsung tanpa memerlukan lagi rekomendasi dari Departemen Perindustrian. Paket kebijakan deregulatif semakin menguat sejak Indonesia bergabung dengan WTO pada tahun 1995 yang disusul dengan Paket Kebijakan Mei 1995 yang secara umum berisi jadwal penurunan tariff. Sebagai hasilnya, jika pada tahun 1994 rata− rata tariff yang ada mencapai 20% maka pada tahun 2000 telah berkurang hingga rata−rata mencapai 8%. Di samping itu, dalam lingkup yang lebih sempit pemerintah juga terikat dengan komitmen yang digagas antar negara ASEAN melalui skema CEPT−AFTA untuk membentuk kawasan bebas perdagangan utamanya bagi produk manufaktur. Realisasi kawasan bebas perdagangan ASEAN dipercepat menjadi tahun 2002 setelah sebelumnya ditetapkan berlaku efektif untuk tahun 2008. Sebagai hasilnya, pada tahun 2002 tarif bea masuk impor terhadap barang yang diperdagangakan diantara kawasan ASEAN−6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) telah diturunkan hingga mencapai rata−rata sebesar 0−5 %. Bagi Indonesia sendiri, pada tahun 2003 dibawah skema CEPT− AFTA, sekitar 99,07% tariff CEPT Indonesia berada pada kisaran 0−5%. Tidak hanya itu, komitmen AFTA tidak hanya berupa penurunan tariff namun juga penghapusan secara substanstif berbagai hambatan 93
non−tarif. Lebih jauh, pada tanggal 12 Juli 2003 telah disepakati percepatan integrasi ASEAN terhadap 11 sektor priritas (yaitu : produk kayu, otomotif, produk karet, tekstil, garmen, produk pertanian, produk perikanan, elektronik, produk kesehatan, transportasi udara dan pariwisata). Untuk masing−masing sektor prioritas tersebut, tariff akan diturunkan hingga nol, hambatan non−tarif dihapuskan dan batasan nilai tukar terhadap produk tersebut akan diharmonisasikan. Dalam kancah WTO, Indonesia telah banyak melakukan pelonggaran perdagangan baik dengan penurunan tariff maupun penghapusan seluruh hambahan non−tarif. Sebagian besar komitmen dengan WTO telah dilaksanakan oleh Indonesia termasuk pengurangan tariff untuk produk teknologi informasi sampai nol persen. Sesuai dengan jadwal penurunan tariff, sebagian besar tariff line (83,4%) sudah berada pada kisaran 0 – 10 % pada tahun 2003. Bahkan 67,9% dari tariff line telah diturunkan hingga mencapai 0 – 5% (Astiyah, dkk, 2005). Paket Kebijakan Secara lebih spesifik, beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sejak tahun 2000 terkait dengan pelonggaran impor diantaranya dapat disebutkan sebagai berikut (Tambunan, 2001): 1.
2.
3.
4.
5.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.129/MPP/KEP/4/2000 mengenai impor mesin, peralatan mesin dan barang modal dalam keadaaan bukan baru. Keputusan Menteri Keuangan RI No.98/KMK.05/2000 mengenai keringanan bea masuk impor atas bahan baku / sub komponen / bahan penolong untuk pembuatan komponen elektronika. Keputusan Menteri Keuangan RI No.99/KMK.05/2000 mengenai keringanan bea masuk impor atas bahan baku dan bagian tertentu untuk pembuatan bagian alat− alat besar serta bagian tertentu untuk perakitan alat− alat besar. Keputusan Menteri Keuangan RI No.97/KMK.05/2000 mengenai keringanan bea masuk impor atas bahan baku untuk pembuatan komponen kendaraan bermotor. Keputusan Menteri Keuangan RI No.135/KMK.05/2000 mengenai keringanan bea masuk atas impor mesin, barang, dan bahan dalam rangka pembangunan / pengembangan industri / industri jasa. 94
6.
7.
Keputusan Menteri Keuangan RI No.190/KMK.01/2001 mengenai keringanan bea masuk impor atas bahan baku / penolong dan bagian / komponen untuk perakitan mesin dan motor berputar. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.172/MPP/KEP/5/2001 mengenai impor mesin dan peralatan mesin bukan baru.
Dengan memperhatikan berbagai bentuk pelonggaran impor tersebut, maka sulit untuk mengelak bahwa peningkatan impor yang cukup impresif sejak tahun 2003 sebagian besar disumbang oleh berbagai deregulasi sebagai bentuk komitmen Indonesia dengan negara lain baik dalam lingkup regional ASEAN maupun secara luas melalui skema WTO. Dengan kata lain, deregulasi ini akan memperbesar potensi masuknya produk asing ke dalam negeri. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan kritis adalah : bagaimana pengaruh persaingan impor ini terhadap eksistensi industri nasional? Impor Manufaktur Sebagaimana telah disinggung sebelumnya pada bagian pendahuluan bahwa impor barang manufaktur relatif mendominasi jenis barang impor ke Indonesia. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh BPS dapat diketahui bahwa hampir semua item dari klasifikasi industri berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha dua digit mengalami peningkatan dalam hal impor. Hal ini berarti bahwa potensi persaingan impor tidak dapat lagi terelakkan. Kebijakan deregulasi perdagangan yang telah dilakukan pada masa sebelumnya telah merangsang perkembangan impor dengan peningkatan yang cukup besar. Dengan kata lain, perkembangan impor yang sangat taja meripakan akumulasi dari berbagai pengurangan restriksi perdagangan baik melalui tariff maupun non−tariff barrier. Selengkapnya data impor disusun berdasarkan klasifikasi industri dapat diperhatikan dalam Tabel 16.1 sebagai berikut :
95
Tabel 13.1 Impor Barang Manufaktur 2003-2006 (juta US $)
Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan impor secara total sejak tahun 2003 banyak disumbang oleh peningkatan impor dalam bentuk barang industri manufaktur.
96
Bab 14 Sektor IndustriManufaktur Selama periode 2003−2005 nilai tambah sektor industri manufaktur tidak dapat disimpulkan secara umum pergerakannya. Beberapa sub−sektor mengalami kenaikan namun beberapa sektor lainnya justru mengalami penurunan. Berikut data mengenai nilai tambah sektor industri berdasarkan klasifikasi baku BPS selama periode 2003 – 2005 : Tabel 14.1 Nilai Tambah Industri , 2003-2005 (milyar rupiah)
97
Penyerapan Tenaga Kerja Variabel lain yang juga merupakan pokok dari analisis adalah penyerapan tenaga kerja sektor industri. Sektor tertentu mengalami peningkatan selama periode kajian, akan tetapi sektor yang lain mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja. Akan tetapi baik dihitung secara rata−rata maupun secara total, penyerapan tenaga kerja pada tahun 2004 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, akan tetapi pada tahun 2005 justru mengalami penurunan. Tabel 14.2 Tenaga Kerja Sektor Industri 2003-2005 (jiwa)
Jumlah Perusahaan Secara total jumlah perusahaan industri manufaktur selama perode 2003−2005 mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2003 tercacat sejumlah 18.406 unit perusahaan, pada tahun 2004 meningkat menjadi 18.767 unit perusahaan dan pada tahun 2005 kembali meningkat menjadi 98
18.810 unit perusahaan. Secara rata−rata jumlah perusahaan tiap jenis industri pada tahun 2003 adalah sebanyak 876 unit, meningkat menjadi 893 unit pada tahun 2004 dan pada tahun 2005 kembali meningkat menjadi 895 unit untuk masing−masing klasifikasi industri. Selengkapnya data mengenai jumlah perusahaan sebagai berikut :
Tabel 14.3 Jumlah Perusahaan Industri Manufaktur 2003-2005
99
Bab 15 Kompetisi Impor Sektor Industri
& Kinerja
Analisis yang digunakan dalam buku ini bersifat deskriptif dan kuantitatif. Untuk menguji dampak deregulasi impor terhadap kinerja sektor industri baik berdasarkan nilai tambah maupun penyerapan tenaga kerja akan digunakan pendekatan model regresi. Sebagaimana penelitian sebelumnya, dampak deregulasi tercermin dalam besarnya nilai impor untuk masing− masing industri. Model Analisis Dalam buku ini industri dipilih berdasarkan kategori Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia dua digit yang dipublikasikan oleh BPS selama periode tahun 2003 – 2005 dengan pertimbangan bahwa pada tahun−tahun tersebut terjadi peningkatan impor yang cukup signifikan dalam perekonomian nasional. Variabel yang dipilih ditentukan berdasarkan landasan teori, penelitian sebelumnya dan ketersediaan data. Adapun model dasar yang digunakan dalam buku ini adalah sebagai berikut :
dalam hal ini : VA = value added CR = rasio konsentrasi Q/L = poduktivitas tenaga kerja TK = tenaga kerja IMP*C = interaksi impor dengan konsentrasi industri Untuk memperoleh koefisien elastisitas, maka variabel diestimasi dengan mengambil nilai logaritma kecuali untuk variabel yang dinyatakan dalam 100
bentuk rasio indek yakni rasio konsentrasi. Sebagaimana telah disinggung bahwa dampak deregulasi impor nantinya akan tercermin dari peningkatan impor dalam periode tertentu. Selanjutnya bagaimana efek kompetisi impor terhadap kinerja sektor industri merupakan kajian yang akan dilakukan dengan berdasarkan hasil estimasi model. Kompetisi Impor dan Nilai Tambah Berdasarkan hasil pengolahan data, maka estimasi model regresi nilai tambah industri manufaktur dapat disajikan sebagai berikut :
Berdasarkan hasil pengolahan diatas dapat dikatakan bahwa dari lima variabel bebas yang diuji, dua diantaranya yaitu variabel jumlah perusahaan dan produktivitas tidak signifikan dalam level konvensional (5% atau 1%). Sebagaimana diduga oleh teori bahwa variabel rasio konsentrasi (CR) berpengaruh signifikan dan searah dengan nilai tambah. Hal ini berarti bahwa semakin besar konsentrasi industri (mendekati oligololy) maka dalam industri tersebut akan mampu menghasilkan nilai tambah (profitabilitas) yang lebih tinggi. Hasil yang cukup mengejutkan adalah bahwa penetrasi impor pada dasarnya tidak mengurangi value added secara total. Akan tetapi jika dilakukan pengujian interaktif antara impor dengan konsentrasi (IMP*CR) maka bukti statistik tidak dapat menyangkal bahwa impor akan mengurangi nilai tambah dalam kasus industri yang terkonsentasi. 101
Hal ini sebenarnya masih relevan dengan dugaan teori yang menyatakan bahwa kompetisi impor akan semakin menguat jika struktur pasar yang melingkupi industri domestik cenderung bersifat monopolistis. Hasil perhitungan memang menunjukkan level R2 yang relatif rendah (0,415) namun dalam studi antar industri hasil yang sedemian dapat dianggap lumrah. Terlebih, fokus bahasan makalah ini memang bukan untuk meneliti secara utuh faktor− faktor yang menentukan profitabilitas atau nilai tambah industri namun lebih pada pengujian dampak kompetisi impor terhadap nilai tambah sektor industri domestik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa daya saing industri nasional dari “gempuran” produk impor sangat ditentukan oleh struktur industri yang bersangkutan. Jika stuktur industri dalam negeri sudah cukup kompetitif maka sebenarnya tidak cukup alasan bagi kita untuk takut bersaing dengan produk−produk impor. Beberapa industri yang relatif terkonsentrasi diantaranya adalah industri pengolahan tembakau (SIC 16); batu bara, pengilangan minyak dan gas (SIC 23); mesin perkantoran (SIC 30); alat medis, alat ukur, navigasi (SIC 33) dan alat transportasi (SIC 35). Kebijakan pemerintah terkait dengan pelonggaran impor dengan demikian harus mempertimbangkan struktur industri yang bersangkutan. Tanpa memperhatikan struktur industri yang ada maka deregulasi impor hanya akan membawa kerugian besar bagi eksistensi industri nasional. Dalam taraf tertentu, persaingan impor akan mengurangi profitabilitas industri terkonsentrasi. Hal ini bagi konsumen domestik akan menguntungkan karena impor berpotensi mengurangi harga produk dalam negeri. Akan tetapi keuntungan ini harus memperhitungkan konsekwensi yang terjadi dalam industri dimaksud, misalnya terhadap penyerapan tenaga kerja. Impor dan Penyerapan Tenaga Kerja Sebagaimana telah disinggung dalam bagian sebelumnya bahwa dampak kompetisi impor seyogyanya tidak hanya dipandang dari satu sudut kinerja sektor industri (misalkan nilai tambah) akan tetapi perlu diperhatikan pula dampaknya terhadap indikator kinerja sektor industri lainnya seperti penyerapan tenaga kerja. Hasil estimasi model 102
penyerapan tenaga kerja dapat diperhatikan sebagai berikut :
Hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa dengan semakin terkonsentrasinya suatu industri maka kompetisi impor cenderung akan mengurangi penyerapan tenaga kerja. Estimasi model ini dapat diinterpretasikan bahwa perilaku monopolis cenderung untuk mempertahankan tingkat profitnya (economic profit) pada level yang cukup tinggi. Sehingga pada saat terjadi desakan impor, produsen yang tingkat keuntungannya berkurang akan berupaya melakukan berbagai macam efisiensi termasuk didalamnya merasionalisasi (mengurangi) jumlah karyawan yang dimilikinya untuk memperkecil biaya. Sekali lagi, hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa kebijakan deregulasi perdagangan, khususnya impor tidak bisa dengan serta−merta mengabaikan struktur industri karena pelonggaran batasan impor pada taraf tertentu memiliki potensi merugikan bagi perekonomian nasional apabila tidak dikelola secara hati− hati dan bijaksana.
103
Referensi Astiyah, Siti dkk, 2005. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Perilaku Pembentukan Harga Produk Industri Manufaktur melalui Structure−Conduct Performance Model. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia. Aswicahyono, Haryo, dkk. 1999. The Development of the Indonesian Automotive Industry. Economic Paper Series CSIS Carlton, Dennis W. and Jeffrey M. Perloff, 2000. Modern Industrial Organization. Third Edition. Addison Wesley, New York Clarke, Davies dan Waterson, 1984. The Profitability – Concentration Relation: Market Power Or Efficiency?. The Journal of Industrial Economics Vol. 34 No. 4 Januari 1984 Clarkson, Kenneth and Roger LeRoy Miller, 1983. Industrial Organization : Theory, Evidence and Public Policy. McGraw−Hill International Book Company, Japan Cowling, Keith and Michael Waterson, 1976, “Price−Cost Margin and Market Structure”, Economica, Vol. 43, Augustus, pp.267−274 Goldar, Bishwanath and Suresh Chand Aggarwal. 2004. Trade Liberalization and Price−Cost Margin. Working Paper No. 130, ICRIER, India Gujarati, Damodar. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. McGraw−Hill, New York Ito dan Umemoto, 2004. Intra−industry Trade in ASEAN Region: The Case of Automobile Industry. Working paper ICSEAD Katics, Michelle and Bruce C. Peterson, 1994. “The Effect of Rising Import Competition on Market Power : A Panel Data Study of US Manufacturing”, The Journal of Industrial Economics, Vol, 42, September, pp. 277 − 286 Martin, Stephen, 1988. Market Power and/or Efficiency. The Review of 104
Economics and Statistics. Vol. 70. No. 2 Mei 1988 Nag, Banerjee dan Chatterjee. 2007. Changing Feature of The Automobile Industry in Asia: Comparison of Production, Trade and Market Structure in Selected Countries. Working paper ARTNeT Ornstein, Stanley, 1975. “Empirical Uses of the Price−Cost Margin”. The Journal of Industrial Economics, Vol. 24, December, pp. 105 − 117 Pugel, Thomas. 1980. Foreign Trade and US Market Performance. The Journal of Industrial Economics Vol. 29 No. 2 Desember 1980 Susanti, Hera, dkk, 1995. Indikator−Indikator Makroekonomi. LPEM−Universitas Indonesia, Jakarta. Tambunan, Tulus T.H., 2001. Perekonomian Indonesia : Teori dan Temuan Empiris. Ghalia Indonesia, Jakarta Thomas, RL. 1997. Modern Econometrics. An Introduction. Addison Wesley Longman, England Turner, Phiplis. 1980. Import Competition and the Profitability of United Kingdom Manufacturing Industries. The Journal of Industrial Economic Vol. 29. No.2 Varian, Hal R. 2003. Intermiediate Microeconomics. 7th Edition. W.W Norton & Company, New York Yoffie dan Casseres. 1994. International Trade and Competition. McGraw−Hill. New York Yudhono, Sri Bimo Adhi. 2003. Analisis Pengembangan Sub− Sektor Industri Otomotif Indonesia Tahun 1978–2000. Skripsi S1 Universitas Airlangga Surabaya. Tidak dipublikasikan.
105
Indeks alokasi, 2, 25, 26, 29, 32, 38, 39 angkatan kerja, 48, 57, 58, 60, 61, 62, 63, 115 Bain, 10 biaya, 2, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 22, 24, 26, 30, 32, 33, 35, 38, 40, 43, 48, 52, 54, 87, 101, 120, 121, 124, 144 BPS, 84, 108, 115, 132, 135, 139 Chicago, 4, 5 conduct, 1, 2, 70 Cournot, 17, 18, 22, 23, 34, 35 data panel, 93, 94, 126 differensiasi, 2 diskriminasi, 36, 37, 38, 39, 40 domestik, 19, 20, 75, 80, 83, 101, 110, 118, 120, 126, 142, 143 efisiensi, 3, 5, 14, 24, 39, 57, 66, 79, 88, 101, 103, 144 ekonomi, 1, 3, 25, 27, 29, 34, 38, 41, 66, 74, 75, 80, 109, 112, 113 ekspor, 80, 107, 108, 109 elastisitas, 8, 9, 15, 17, 20, 38, 42, 46, 47, 49, 51, 54, 59, 123, 140 harga, 2, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15, 16, 19, 22, 23, 24, 25, 26, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 46, 48, 49, 50, 54, 58, 59, 60, 87, 101, 104, 118, 119, 120, 121, 123, 124, 143 Herfindahl, 11 impor, 19, 20, 61, 63, 67, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 81, 90, 96, 101, 107, 109, 110, 111, 117, 118, 120, 121, 125, 126, 127, 129, 130, 131, 132, 133, 139, 140, 141, 142, 143, 144 industri, 1, 2, 3, 5, 11, 12, 13, 14, 24, 26, 30, 32, 33, 35, 40, 41, 42, 43, 63, 65, 66, 67, 69, 70, 71, 73, 74, 75, 77, 78, 79, 81, 83, 84, 86, 87, 88, 89, 90, 91,94, 101, 102, 103, 107, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 121, 124, 125, 126, 131, 132, 134, 135, 136, 137, 139, 140, 141, 142, 143, 144 kapital, 18, 19, 43, 65, 96, 102,125, 126 karakteristik, 2, 7, 9, 13, 29, 31,44 kebijakan, 2, 33, 74, 75, 79, 81,107, 108, 118, 125, 129, 131,144 kinerja, 1, 2, 3, 4, 5, 9, 13, 14, 21,24, 38, 65, 66, 67, 81, 83, 85,87, 88, 89, 93, 101, 102, 103, 117, 118, 121, 123, 124, 125,126, 139, 140, 143 106
kompetisi, 81, 126, 140, 142, 143, 144 komplementer, 8, 9 konsentrasi, 10, 11, 34, 84, 101, 103, 123, 125, 127, 140, 141, 142 konsumen, 25, 26, 32, 36, 37, 39,46, 63, 143 Lerner, 9, 10, 13, 14, 18 Lorenz, 11 manufaktur, 30, 67, 111, 113, 115, 117, 127, 130, 132, 134, 135, 137, 141 margin, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 24, 27, 65, 66, 69, 87, 101, 121 market power, 4, 5, 25, 27, 66, 85, 101 mikro, 4 model, 4, 5, 17, 18, 21, 25, 32,35, 41, 42, 45, 52, 54, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 69, 76, 78, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 120, 126, 139, 140, 141, 143, 144 monopoly, 4, 7, 8, 9, 12, 13, 23, 31, 32, 34, 39, 121, 123, 124 nilai tambah, 125, 126, 135, 139, 141, 142, 143 observasi, 4, 29, 33, 35 oligopoly, 8, 23, 31, 32, 33, 34, 44, 85 organisasi, 1, 118 otomotif, 65, 69, 70, 71, 73, 74, 75, 77, 79, 80, 81, 83, 84, 87, 89, 90, 91, 93, 101, 102, 103,130 output, 14, 17, 19, 20, 22, 23, 24, 25, 26, 32, 34, 35, 37, 38, 39,43, 48, 49, 53, 54, 120, 121, 122, 123, 124 pangsa, 31, 61, 66, 85, 86, 109, 111, 120 pasar, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 21, 22, 23, 25, 29, 30, 31, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 40, 42, 44, 49, 53, 57, 58, 60, 62, 66, 70, 79, 81, 84, 85, 86, 91, 101, 102, 103, 110, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125,142 PCM, 14, 85, 87, 88, 89, 101 pemerataan, 3 pemerintah, 2, 4, 5, 71, 73, 74, 75, 76, 78, 79, 80, 81, 107,118, 125, 129, 130, 131, 142 perdagangan, 41, 42, 45, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 67, 70, 74, 90, 107, 108, 109, 112, 117, 118, 125, 129, 130, 132, 144 performance, 1, 2, 9, 13 perilaku, 1, 2, 4, 5, 10, 21, 24, 29, 30, 31, 32, 33, 37, 44, 70, 104, 125, 144 persaingan, 2, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 13, 22, 23, 25, 31, 32, 33, 34, 36, 38, 39, 42, 44, 45, 74, 86, 90, 101, 103, 104, 119, 120, 121, 123, 124, 132, 143 pesaing, 4, 17, 22, 31, 32, 53 price, 7, 8, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 24, 27, 36, 65, 66, 69, 121 produk, 2, 8, 15, 26, 29, 30, 32, 35, 44, 71, 91, 101, 102, 103, 104, 111, 130, 132, 142, 143 produktivitas, 66, 67, 96, 102, 125, 127, 141 107
profit, 7, 8, 10, 15, 16, 19, 22, 24, 30, 32, 49, 50, 52, 53, 54, 85,119, 120, 121, 122, 124, 144 regresi, 93, 95, 99, 139, 141 regulasi, 2, 71 riset, 4, 67 sektor, 65, 66, 71, 75, 76, 79, 80, 81, 85, 89, 101, 102, 103, 107, 108, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 125, 126, 130,135, 136, 139, 140, 142, 143 signifikan, 34, 69, 70, 73, 75, 76, 81, 95, 97, 98, 99, 100, 102, 107, 111, 113, 125, 140, 141 Skala ekonomis, 43 statistik, 93, 95, 97, 98, 101, 142 structure, 1 struktur, 1, 2, 7, 8, 10, 22, 23, 25,29, 30, 31, 34, 42, 45, 63, 70, 84, 86, 95, 103, 118, 119, 120, 121, 124, 125, 142, 144 substitusi, 8, 9, 29, 62, 81, 107, 118 sumber daya, 2, 25, 26, 29, 32, 38 tarif, 37, 71, 78, 80, 81, 101, 120, 130 variabel, 10, 11, 29, 34, 35, 49, 59, 65, 66, 67, 70, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 102, 104, 118, 121, 126, 140, 141
108