1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk
optimalisasi peran yang dilakukan oleh apoteker terhadap pasien dalam melakukan terapi pengobatan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien. Apoteker berperan dalam memberikan konsultasi, informasi dan edukasi (KIE) terkait terapi pengobatan yang dijalani pasien, mengarahkan pasien untuk melakukan pola hidup sehat sehingga mendukung agar keberhasilan pengobatan dapat tercapai, dan melakukan monitoring hasil terapi pengobatan yang telah dijalankan oleh pasien serta melakukan kerja sama dengan profesi kesehatan lain yang tentunya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (ISFI, 2000). Hal tersebut menegaskan peran apoteker untuk lebih berinteraksi dengan pasien, lebih berorientasi terhadap pasien dan mengubah orientasi kerja apoteker yang semula hanya berorientasi kepada obat dan berada di belakang layar menjadi profesi yang bersentuhan langsung dan bertanggungjawab terhadap pasien. Pelayanan kefarmasian mulai berubah orientasinya dari drug oriented menjadi
patient oriented. Perubahan paradigma ini dikenal dengan nama
Pharmaceutical care atau asuhan pelayanan kefarmasian (Kemenkes RI, 2011). Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan pola pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Pola pelayanan ini bertujuan mengoptimalkan penggunaan obat secara rasional yaitu efektif, aman, bermutu
1
2
dan terjangkau bagi pasien (Depkes RI, 2008). Hal ini meningkatkan tuntutan terhadap pelayanan farmasi yang lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan pasien. Asuhan kefarmasian, merupakan komponen dari praktek kefarmasian yang memerlukan interaksi langsung apoteker dengan pasien untuk menyelesaikan masalah terapi pasien, terkait dengan obat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Kemenkes RI, 2011). Akibat dari perubahan paradigma pelayanan kefarmasian, apoteker diharapkan dapat melakukan peningkatan keterampilan, pengetahuan, serta sikap sehingga diharapkan dapat lebih berinteraksi langsung terhadap pasien. Adapun pelayanan kefarmasian tersebut meliputi pelayanan swamedikasi terhadap pasien, melakukan pelayanan obat, melaksanakan pelayanan resep, maupun pelayanan terhadap perbekalan farmasi dan kesehatan, serta dilengkapi dengan pelayanan konsultasi, informasi dan edukasi (KIE) terhadap pasien serta melakukan monitoring terkait terapi pengobatan pasien sehingga diharapkan tercapainya tujuan pengobatan dan memiliki dokumentasi yang baik (Depkes RI, 2008). Apoteker harus menyadari serta memahami jika kemungkinan untuk terjadinya kesalahan pengobatan (Medication Error) dalam proses pelayanan kefarmasian dapat terjadi sehingga diharapkan apoteker dapat menggunakan keilmuannya dengan baik agar berupaya dalam melakukan pencegahan dan meminimalkan masalah tentang obat (Drug Related Problems) dengan membuat keputusan yang tepat dan profesional agar pengobatan rasional (Depkes RI, 2008). Standar tentang pelayanan kefarmasian di apotek telah disusun pada tahun 2003 oleh Ditjen Pelayanan Farmasi Departemen Kesehatan melibatkan Ikatan
3
Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Tujuan dari penetapan standar pelayanan kefarmasian di apotek adalah digunakan acuan dalam melakukan pengawasan terhadap pelayanan kefarmasian oleh profesi apoteker, sebagai pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek, untuk melakukan perlindungan kepada pasien dari pelayanan yang tidak profesional, dan melakukan perlindungan profesi dari tuntutan pasien yang tidak wajar (Depkes RI, 2006). Berdasarkan hal tersebut, maka ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Dalam standar tersebut dipaparkan bahwa saat ini pelayanan kefarmasian mengacu pada Pharmaceutical Care (Asuhan Kefarmasian) yang menuntut apoteker untuk bertanggungjawab penuh atas mutu obat yang diberikan kepada pasien disertai dengan informasi yang lengkap tentang cara pemakaian dan penggunaan, efek samping hingga monitoring penggunaan obat
demi
meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan kefarmasian selama ini dinilai oleh banyak pengamat masih berada di bawah standar. Kuncahyo (2004) menyebutkan bahwa apoteker belum melakukan fungsinya secara optimal dan tanggungjawab penuh apoteker dalam memberikan informasi obat kepada masyarakat, ternyata masih belum dilaksanakan dengan baik. Wiryanto (2005) juga mengungkapkan bahwa apotek telah berubah menjadi semacam toko yang berisi semua golongan obat baik obat bebas, obat keras, psikotropika dan narkotika dengan pelayanan yang tidak mengacu pada kaidah-kaidah profesi, karena tidak dilakukan oleh apoteker. Seperti halnya penelitian di DKI Jakarta pada tahun 2003 menunjukkan bahwa
4
APA yang berkerja tidak penuh waktu atau kurang dari 40 jam per minggu memberikan pelayanan masih cukup besar yaitu sebanyak 76,5% dan apotek yang apotekernya bekerja penuh hanya 23,5%. Frekuensi kehadiran apoteker yang tidak bekerja penuh antara lain 12,8% yang datang 2 kali per minggu; 57,4% hadir 1 kali per minggu; 2,1% hadir 2 kali per bulan, 23,4% hadir 1 kali per bulan dan sisanya sebanyak 4,3% hadir 1 kali per dua bulan (Purwanti, dkk, 2004). Pelayanan kefarmasian masih belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Hal ini ditunjukkan dari penelitian yang menggambarkan dari 4953 sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah di Indonesia, hanya 605 yang memiliki apoteker sebagai penanggungjawab terhadap instalasi farmasinya (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Penelitian tentang gambaran pelaksanaan pelayanan kefarmasian di apotek pernah dilakukan di DKI Jakarta pada tahun 2003. Ditemukan bahwa 76,5% apotek tidak memenuhi standar pelayanan obat non resep, 98,5% apotek tidak memenuhi standar pelayanan KIE, 67,6% apotek tidak memenuhi standar pelayanan obat resep dan 5,8% apotek tidak memenuhi standar pengelolaan obat di apotek. Berdasarkan rata-rata keempat sub bidang pelayanan kefarmasian tersebut didapatkan nilai rerata 61,02 sehingga masuk dalam kategori yang kurang baik (Purwanti dkk, 2004). Penelitian serupa di Kota Padang (Monita, 2009) menemukan bahwa pelayanan kefarmasian di apotek di Kota Padang belum terlaksana baik, dengan kategori baik (≥85) sebesar 3%, sedang (65-85) 16%, dan kurang (≤65) 81%. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa beberapa faktor pendukung yang mendasari adalah: (1) motivasi apoteker dalam bekerja, (2) dukungan pemilik sarana apotik (PSA) dan staf, (3) komitmen
5
seluruh stakeholder (pembuat kebijakan/regulasi, instansi yang melakukan sosialisasi, monitoring dan pembinaan, perguruan tinggi dan organisasi profesi). Beberapa faktor penghambat yang ditemukan adalah (1) apoteker belum berperan di apotek, (2) lemahnya dukungan dan evaluasi oleh pihak manajemen apotek, (3) pengadaan sarana dan prasarana, (4) kurangnya sosialisasi, legislasi, dan lemahnya kontrol regulasi oleh aparat terkait. Belum maksimalnya pelayanan kefarmasian yang diberikan ditunjukkan pula dengan penelitian yang dilakukan di Provinsi NTB, tentang pelayanan kefarmasian pada Rumah Sakit Umum Daerah Kelas C di Propinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2012. Penelitian ini menemukan bahwa pelayanan kefarmasian di rumah sakit tersebut belum terlaksana dengan baik. Persentase pencapaian standar pelayanan kefarmasian dari ketiga rumah sakit masih kurang dari 75%, yaitu 52,17% untuk Rumah Sakit A, 54,78% untuk Rumah Sakit B dan 44,35% untuk Rumah Sakit C. Penelitian ini menemukan bahwa beberapa faktor penghambat pelaksanaan layanan kefarmasian yang optimal adalah (1) lemahnya dukungan pihak manajemen rumah sakit terhadap pelayanan farmasi, (2) pengadaan sarana dan prasarana penunjang pelayanan farmasi yang masih belum memadai, (3) kurangnya jumlah tenaga kefarmasian di instalasi farmasi, (4) sistem dokumentasi instalasi farmasi yang kurang baik, (5) kurangnya evaluasi yang terus menerus dalam upaya peningkatan kinerja instalasi farmasi dalam melaksanakan pelayanan farmasi (Sidrotullah, 2012). Penelitian di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung tentang kehadiran apoteker mendapatkan bahwa kehadiran apoteker di apotek masih sangat rendah.
6
Dari total 111 apotek wilayah Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Denpasar Barat, Kuta Utara, dan Kuta Selatan, hanya 24 apotek (26,64%) yang terdapat tenaga ahli apoteker pada saat dilakukannya survei (Gunawan dkk, 2011). Berbagai penelitian yang telah dilakukan ditemukan beberapa faktor yang berhubungan dengan kualitas pelayanan kefarmasian meliputi kepemilikan modal, kehadiran Apoteker Pengelola Apotek (APA), peran Pemilik Modal Apotek (PMA), jabatan APA di luar apotik, motivasi APA untuk melakukan pelayanan kefarmasian dan omset dan omset apotek (Harianto, dkk, 2008). Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan kepada 4 (empat) orang apoteker di wilayah Kota Denpasar dan kabupaten Badung tentang kualitas pelayanan kefarmasian di apotek, diketahui bahwa keempat apotek tersebut tergolong dalam pelayanan kefarmasian yang buruk (skor pencapaian < 65). Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi pelayanan kefarmasian di apotek tersebut meliputi peran PMA, kepemilikan apotek, kehadiran APA, motivasi kerja, pengetahuan apoteker, sikap apoteker, status apoteker, omset apotek, ketenagaan, peranan IAI (Ikatan Apoteker Indonesia Bali), fasilitas apotek, gaji, situasi kerja, dan manajemen pengelolaan obat maupun alkes di apotek. Setelah sepuluh tahun pasca pengesahan standar pelayanan kefarmasian di Apotek diberlakukan, muncul pertanyaan apakah standar ini benar-benar diimplementasikan oleh apoteker dalam melaksanakan aktifitas profesi di masyarakat khususnya pada apotek di Kota Denpasar. Pharmaceutical care menuntut apoteker untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat sehingga apoteker harus mengalokasikan waktunya lebih banyak untuk
7
memberikan pelayanan, berkomunikasi, dan memberikan jasa konsultasi atau konseling kepada pasien. Pelayanan kefarmasian yang mengacu pada Kepmenkes Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 secara optimal akan meningkatkan citra dan posisi apoteker. Apoteker tidak lagi dilihat sebagai prasyarat berdirinya suatu apotek dan tidak hanya sebagai toko obat, namun bertanggungjawab penuh dalam menjamin mutu, memberikan informasi tentang efek samping, indikasi, penggunaan terhadap obat yang dikonsumsi oleh pasien guna meningkatkan derajat kesehatan hidup pasien. Penelitian tentang kualitas pelayanan kefarmasian di apotek Kota Denpasar dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker belum pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian tentang kualitas pelayanan kefarmasian di Apotekapotek Kota Denpasar agar diketahui tingkat keberhasilannya, faktor pendorong dan faktor penghambat
yang berpengaruh terhadap kualitas pelayanan
kefarmasian di apotek. Penelitian ini dapat dipergunakan untuk kepentingan monitoring terhadap kebijakan pemerintah terkait dengan kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar ? 2. Bagaimana pengaruh faktor kehadiran APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar ?
8
3. Bagaimana pengaruh faktor motivasi APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar ? 4. Bagaimana pengaruh faktor status APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar ? 5. Bagaimana pengaruh faktor kepemilikan apotek terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar ?
1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui kualitas pelayanan kefarmasian dan faktorfaktor yang mempengaruhi pelaksanaan pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek-apotek Kota Denpasar. 1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui : 1. Gambaran kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar 2. Pengaruh faktor kehadiran APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar. 3. Pengaruh motivasi APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar. 4. Pengaruh status APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar.
9
5. Pengaruh faktor kepemilikan apotek terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi khususnya untuk ilmu manajemen farmasi terkait tentang kualitas pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek, faktor pendorong dan faktor penghambat terhadap kualitas pelayanan kefarmasian yang sesuai standar. 1.4.2 Manfaat Praktis 1. Masyarakat Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan peranan apoteker dalam melaksanan pelayanan kefarmasian di apotek sehingga masyarakat mendapatkan pelayanan yang memadai. 2. Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Mengetahui implementasi pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian pada Apotek di Kota Denpasar dan sebagai bahan pertimbangan bagi IAI khususnya IAI Bali untuk lebih memaksimalkan peran Apoteker di Kota Denpasar sehingga dapat meperbaiki dan ikut meningkatkan pelayanan sesuai dengan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
10
3. Pemerintah Bagi pemerintah khususnya Dinas Kesehatan Kota Denpasar dapat memberikan gambaran dan untuk kepentingan monitoring tentang kualitas pelayanan kefarmasian di apotek, serta dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk mengadakan pelatihan dan pembinaan pada Apotek-apotek di Kota Denpasar.
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker PP 51 Tahun 2009 menyatakan bahwa tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian. Tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Sedangkan tenaga teknis kefarmasian merupakan tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker. Dalam melakukan praktek profesinya di apotek seorang apoteker harus memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dan Surat Ijin Praktek Apoteker (SIPA). STRA adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi. SIPA adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian pada Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Berdasarkan Kepmenkes Nomor : 1027/Menkes/SK/IX/2004 standar kompetensi yang harus dimiliki oleh apoteker untuk melakukan pelayanan kefarmasian, diantaranya 1. Dapat memberi serta menyediakan pelayanan yang baik. Apoteker berkedudukan sebagai pengelola apotek diharapkan dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang profesional. Saat melakukan
11
12
pelayanan kepada
pasien,
apoteker
sebaiknya
mampu
untuk
mengintegrasikan pelayanan yang diberikan pada sistem pelayanan kesehatan secara menyeluruh. Dengan hal tersebut, diharapkan dapat dihasilkan suatu sistem pelayanan kesehatan berkesinambungan. 2. Memiliki kemampuan dalam menentukan keputusan yang profesional. Sebagai apoteker, diharapkan untuk berkompeten dalam bidangnya dan terus mau untuk belajar sesuai profesinya, sehingga apoteker tersebut dapat melakukan pengambilan keputusan yang tepat sesuai dengan efikasi, efektifitas dan efisiensi terkait pengobatan maupun perbekalan kesehatan lain. 3. Dapat melakukan komunikasi yang baik. Salah satu kemampuan penting yang harus dimiliki oleh apoteker adalah mampu untuk melakukan komunikasi yang baik dengan pasien ataupun profesi kesehatan lainnya sehingga diharapkan pengobatan yang dilakukan tepat dan tujuan pengobatan dapat tercapai. 4. Mampu menjadi pemimpin Apoteker diharapkan bisa menjadi seorang pemimpin dalam suatu organisasi atau group. Apoteker harus mampu untuk mengambil suatu keputusan yang efektif dan tepat, dapat menyebarkan informasi tersebut dan dapat melakukan pengelolaan terhadap suatu hasil keputusan. 5. Apoteker diharapkan bisa dan memiliki kemampuan dalam mengatur dan mengelola sumber daya yang ada.
13
6. Belajar sepanjang masa. Pengobatan
akan
selalu
berkembang
seiring
perkembangan
pengetahuan dan teknologi, sehingga diharapkan apoteker akan selalu belajar untuk mengikuti perkembangan tersebut, sehingga keilmuan yang dimiliki selalu berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengobatan. 7. Membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan. Berdasarkan PP 51 Tahun 2009 terkait pekerjaan kefarmasian disebutkan bahwa dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di tempat pelayanan kefarmasian seperti apotek, rumah sakit dll, seorang apoteker dapat : a. Memiliki seorang Apoteker Pendamping untuk menggantikan tugas Apoteker Pengelola yang telah di lengkapi dengan SIPA; b. Melakukan penggantian obat bermerk dagang dengan obat generic dimana zat aktif yang terkandung dalam kedua obat tersebut adalah sama dan meminta persetujuan kepada pasien/ dan dokter; dan c. Melakukan penyerahan obat keras, obat psikotropika dan obat narkotika kepada pasien atas resep dokter berdasarkan peraturan undang-undang yang berlaku. d. Berdasarkan KepMenKes RI No. 1027/MenKes/SK/IX/2004, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi yang telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku
14
dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Apoteker merupakan tenaga kesehatan professional yang banyak berhubungan langsung dengan masyarakat sebagai sumber informasi obat. Oleh karena itu, informasi obat yang diberikan pada pasien haruslah informasi yang lengkap dan mengarah pada orientasi pasien bukan pada orientasi produk. Dalam hal sumber informasi obat seorang apoteker harus mampu memberi informasi yang tepat dan benar sehingga pasien memahami dan yakin bahwa obat yang digunakannya dapat mengobati penyakit yang dideritanya dan merasa aman menggunakannya. Dengan demikian peran seorang apoteker di apotek sungguhsungguh dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat (Menkes RI, 2014).
2.2 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kep Men Kes Nomor: 1027/Menkes/SK/IX/2004 Latar belakang dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 027/Menkes/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek adalah pelayanan yang saat ini orientasinya telah bergeser dari obat kepada pasien yang disebut dengan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care). Dengan pergeseran orientasi tersebut, maka apoteker dituntut untuk lebih aktif dalam berinteraksi langsung dengan pasien dan memberikan pelayanan kefarmasian yang beriorientasi kepada pasien. Pelayanan kefarmasian antara lain pelayanan swamedikasi terhadap pasien, melakukan pelayanan obat, melaksnakan pelayanan resep, maupun pelayanan terhadap perbekalan farmasi dan kesehatan, serta
15
dilengkapi dengan pelayanan konsultasi, informasi dan edukasi (KIE) terhadap pasien serta melakukan monitoring terkait terapi pengobatan pasien sehingga diharapkan tercapainya tujuan pengobatan dan memiliki dokumentasi yang baik. Oleh karena itu, apoteker perlu untuk terus meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku sehingga diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien (Depkes RI, 2008). Ditetapkannya standar pelayanan kefarmasian bertujuan untuk digunakan sebagai pedoman oleh apoteker dalam menjalankan praktek keprofesiannya, memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, serta melindungi profesi dalam menjalankan praktek. Apoteker dituntut untuk melakukan pelayanan kefarmamsian yang bertanggungjawab dan professional sehingga tujuan pengobatan pasien dapat tercapai dan kualitas hidup pasien meningkat (Depkes RI, 2008). Pelayanan resep adalah permintaan tertulis dokter, dokter hewan, dokter gigi kepada apoteker untuk menyiapkan dan memberikan obat kepada pasien berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku. Adapaun yang termasuk dalam pelayanan resep antara lain : skrining resep, penyediaan dan penyerahan sediaan farmasi serta perbekalan kesehatan kepada pasien. Pelayanan resep terdiri dari pelayanan resep obat (golongan keras, bebas terbatas, dan obat bebas), pelayanan resep obat yang mengandung psikotropika dan obat narkotika (Depkes RI, 2008). Pelayanan informasi obat merupakan suatu pelayanan kefarmasian oleh apoteker dimana apoteker harus dapat memberikan keterangan/informasi secara
16
tepat dan jelas kepada pasien sehingga tujuan pengobatan dapat tercapai. Promosi merupakan suatu kegiatan yang memberdayakan masyarakat dengan melakukan motivasi melalui pemberian inspirasi kepada masyarakat, sehingga diharapkan masyarakat termotivasi untuk dapat melakukan peningkatan kualitas hidupnya secara mandiri. Edukasi merupakan suatu kegiatan yang memberdayakan masyarakat melalui pemberian pengetahuan terkait tentang terapi pengobatan dan mengikutsertakan pasien dalam pengambilan keputusan, yang bertujuan agar tujuan pengobatan dapat tercapai secara optimal. Sedangkan, konseling adalah suatu proses yang sistematis untuk melakukan identifikasi sehingga dapat menyelesaikan masalah pasien terkait dengan terapi pengobatan yang dijalani oleh pasien (Depkes RI, 2008). Pengelolaan sediaan farmasi maupun perbekalan kesehatan merupakan suatu kegiatan manajemen yang dimulai dari merencanakan, mengadakan, menerima, menyimpan dan menyerahkan kepada pasien. Adapun dengan pengelolaan diharapkan dapat tersedia sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan jenis, jumlah, waktunya tepat dan memiliki kualitas yang baik (Depkes RI, 2008).
2.3 Penelitian-penelitian di Indonesia tentang Pelayanan Kefarmasian Pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah pelayanan yang berorientasi kepada pasien. Pelayanan kefarmasian ini mengarahkan pasien tentang kebiasaan/pola hidup untuk mendukung tercapainya keberhasilan pengobatan, memberikan informasi tentang program pengobatan yang dijalani oleh pasien, memonitoring hasil pengobatan dan bekerja sama dengan profesi lain
17
untuk mendukung tercapainya kualitas hidup pasien yang lebih baik. Berdasarkan hal tersebut, untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat maka dikeluarkan KepMenKes Nomor : 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Dalam standar tersebut menyebutkan bahwa yang berhak melakukan pelayanan kefarmasian adalah tenaga kefarmasian yaitu asisten apoteker sebagai tenaga teknis kefarmasian dan apoteker sebagai penanggungjawab dalam pengobatan kepada pasien. Walaupun standar mutu pelayanan kefarmasian telah ditetapkan sejak tahun 2004, namun sampai saat ini mutu pelayanan kefarmasian masih dibawah standar. Penelitian di Kota Padang (Monita, 2009) menemukan bahwa standar pelayanan kefarmasian dengan kategori baik hanya mencapai 3%, kategori sedang 16% dan kategori kurang 81%. Diketahui bahwa faktor pendukung pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian yaitu (1) motivasi apoteker dalam bekerja, (2) dukungan PSA dan seluruh staf di apotek, (3) dukungan dan komitmen bersama stakeholder terkait yaitu pembuat kebijakan dan regulasi, (4) instansi yang melakukan sosialisasi, monitoring dan pembinaan, (5) perguruan tinggi, (6) organisasi profesi. Sedangkan faktor penghambat adalah (1) apoteker belum berperan di apotek, (2) lemahnya dukungan dan evaluasi oleh pihak manajemen apotek, termasuk pengadaan sarana dan prasarana, (3) kurangnya sosialisasi, legislasi, dan (4) lemahnya kontrol regulasi oleh aparat terkait. Penelitian di Provinsi NTB tahun 2012 tentang pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian pada 3 Rumah Sakit Umum Daerah Kelas C menemukan bahwa persentase pencapaian standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit
18
masih kurang dari 75%. Pencapaian standar pelayanan kefarmasian untuk Rumah Sakit A yaitu 52,17%, Rumah sakit B 54,78% dan Rumah Sakit C 44,35%. Beberapa faktor penghambat pelaksanaan pelayanan kefarmasian yang optimal adalah (1) lemahnya dukungan pihak manajemen rumah sakit terhadap pelayanan farmasi, (2) pengadaan sarana dan prasarana penunjang pelayanan farmasi yang masih belum memadai, (3) kurangnya jumlah tenaga kefarmasian di instalasi farmasi, (4) sistem dokumentasi instalasi farmasi yang kurang baik, (5) kurangnya evaluasi yang terus menerus dalam upaya peningkatan kinerja instalasi farmasi dalam melaksanakan pelayanan farmasi (Sidrotullah, 2012). Penelitian dilakukan di Jakarta tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian pada apotek di DKI Jakarta. Tujuan penelitian ini
untuk mengetahui gambaran pelaksanaan
Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SPKA) dan mengetahui hubungan antara kepemilikan apotek, omset apotek, kehadiran APA dengan perolehan skor pelaksanaan SPKA. Rancangan penelitian ini adalah cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh APA di Jakarta. Pada penelitian ini dilakukan analisis univariat tentang karakteristik subjek, analisis bivariat untuk melihat hubungan antara masing-masing variabel. dan analisis multivariate. Variabel bebas meliputi kepemilikan apotek, omset apotek, dan kehadiran APA, sedangkan variabel tergantung yaitu perolehan jumlah skor rerata pelayanan obat bebas, pelayanan KIE, pelayanan obat resep dan pengelolaan obat. Hasil penelitian ini menunjukkan rerata skor pelaksanaan SPKA pada apotek di DKI Jakarta termasuk dalam kategori kurang baik dengan skor terendah 39 dan skor tertinggi 88.
19
Terdapat hubungan bermakna antara kepemilikan apotek, omset apotek dan kehadiran APA terhadap pelaksanaan SPKA. Pelaksanaan SPKA dipengaruhi oleh kepemilikan apotek, omset apotek dan kehadiran APA. Apotek cenderung memiliki kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik apabila APA sebagai pemilik seluruh atau sebagian modal apotek. APA yang lebih sering hadir di apotek mempunyai kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik. Demikian pula pada omset apotek yang tinggi mempengaruhi perolehan skor rerata SPKA tinggi pula. Secara keseluruhan
kepemilikan dan kehadiran APA sangat
berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian apotek. Penelitian dilakukan di Kota Medan tentang Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek tahun 2008. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif dengan model penelitian survey dan bersifat cross-sectional. Data dikumpulkan dari 68 responden melalui pengisian angket, metode pengambilan sampel adalah stratifikasi sampling. Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa rata-rata skor penilaian pelayanan kefarmasian di apotek Kota Medan tahun 2008 adalah 47,63% yang termasuk dalam kategori kurang. Diketahui berdasarkan faktor kepemilikan apotek, sebesar 67,65% apotek milik PMA dan dari jumlah tersebut apoteker yang tidak hadir di apotek setiap hari sebanyak 52,94%. Persentase tertinggi kehadiran apoteker dengan status kepemilikan apotek milik APA yaitu sebesar 78,57%. Sedangkan persentase kehadiran apotek dihubungkan dengan status APA (pekerjaan lain APA), persentase kehadiran paling tinggi adalah APA dengan pekerjaan lain-lain (Ginting, 2009).
20
Berdasarkan penelitian-penelitian tentang pelayanan kefarmasian yang pernah dilakukan diketahui bahwa, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek yaitu kehadiran APA, motivasi APA, status APA dan kepemilikan apotek. a. Kehadiran APA Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker (Depkes RI, 2009). Apoteker bertanggung jawab terhadap setiap kegiatan di apotek mulai dari pelayanan obat maupun resep, dispensing obat, memberikan KIE kepada pasien, pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan, kegiatan administrasi di apotek hingga melakukan monitoring terhadap obat yang diberikan kepada pasien sehingga tujuan pengobatan dapat tercapai (IAI, 2014). Oleh karena it u, kehadir an apot eker menjad i salah sat u fakt or
pent ing
yang
me mpengaruhi
kualit as
pela yana n
kefar masian di sarana pela yan an kesehat an sepert i apot ek. AP A yang lebih ser ing hadir d i apot ek mempunya i skor pela yana n kefar masian lebih t inggi diband ingkan dengan AP A yang jar ang had ir d i apot ek. Se makin t inggi t ingkat kehad iran AP A d i apot ek,
kualit as
pe layanan
ke far mas iannya
sem akin
baik
(Har iant o, dkk., 2008). b. Motivasi APA Motivasi APA merupakan alasan yang menjadikan dorongan APA untuk hadir dan melakukan pelayanan kefarmasian di apotek. Motivasi merupakan
21
kekuatan yang dapat membangkitkan dorongan seseorang. Motivasi berupa rangsangan keinginan dan pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasaan (Hasibuan, 2007). Kurangnya motivasi karyawan dalam bekerja dapat mempengaruhi produktivitas, sehingga mengakibatkan karyawan bekerja tidak optimal dan tujuan perusahaan tidak tercapai. Dengan meningkatkan produktivitas diharapkan akan tercapai tujuan dari perusahaan serta dapat meningkatkan barang atau jasa yang dihasilkan (Adryanto, 2012). c. Status APA Status APA merupakan status pekerjaan apoteker penanggungjawab apotek dalam menjalankan praktek profesinya dalam beberapa tempat atau posisi. Status APA dapat dikategorikan menjadi status APA merangkap dan APA tidak merangkap. Status APA adalah beberapa posisi dan tanggung jawab yang diduduki oleh apoteker, misalnya sebagai pegawai negeri, apoteker di apotek lain ataupun pegawai swasta. Jika APA melakukan pekerjaan profesinya sebagai apoteker di apotek lain atau APA memiliki pekerjaan lain selain sebagai penanggungjawab apotek, maka apoteker tersebut dikategorikan sebagai APA status merangkap. Sedangkan jika APA hanya melakukan praktek kefarmasiannya pada 1 apotek tanpa ada pekerjaan lain di luar pekerjaan profesinya maka dikategorikan sebagai APA tidak merangkap. Berdasarkan PP 51 tentang pekerjaan kefarmasian dinyatakan bahwa apoteker sebagai penanggungjawab hanya dapat melaksanakan praktik
22
di 1 (satu) Apotik, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit. Sedangkan untuk apoteker pendamping dapat melaksanakan praktik paling banyak di 3 (tiga) Apotek, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit (Depkes, 2009). Kualitas pelayanan kefarmasian pada kelompok APA yang tidak merangkap lebih baik dibandingkan dengan kualitas pelayanan kefarmasian pada APA yang merangkap (Handayani, 2006). d. Kepemilikan Apotek Kepemilikan apotek merupakan status kepemilikan dari sarana dan prasarana yang ada di apotek. APA yang memiliki sebagian atau seluruh saham di apotek cenderung memiliki kualitas pelayanan kefarmasian lebih baik dibandingkan dengan apotek yang seluruhnya dimiliki olek pemilik modal (PMA) (Harianto, dkk., 2008). Struktur kepemilikan memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kinerja perusahaan. Semakin meningkat proporsi kepemilikan saham perusahaan maka semakin baik kinerja perusahaan (Ardianingsih, 2010).
2.4 Apotek sebagai Tempat Pelayanan Kefarmasian Fasilitas kesehatan merupakan sarana yang digunakan tenaga kesehatan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah apotek. Apotek merupakan salah satu fasilitas kefarmasian yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan pekerjaan dan pelayanan kefarmasian oleh apoteker atau tenaga teknis kefarmasian. Apotek adalah sarana farmasi dalam melakukan peracikan, pencampuran, pengubahan bentuk, maupun penyerahan
23
obat dan perbekalan farmasi yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata (Depkes RI, 2008). Berdasarkan PP 51 tahun 2009 pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan,
pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Sedangkan pelayanan kefarmasian merupakan pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian diperlukan sarana dan prasarana kefarmasian yang biasanya disebut fasilitas kefarmasian (PP 51, 2009). Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor:
1027/MenKes/SK/IX/2004
menyatakan bahwa apotek adalah tempat untuk melakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Yang termasuk sediaan farmasi yaitu obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Sedangkan perbekalan kesehatan adalah semua bahan selain obat dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Apotek dikelola dan dipertanggungjawabkan oleh seorang apoteker yaitu dalam hal ini adalah Apoteker Pengelola Apotek (APA). APA harus memiliki izin praktek untuk melakukan pelayanan dan pekerjaan kefarmasian di apotek. Selain memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) untuk dapat melakukan pelayanan dan pekerjaan kefamasian di apotek, apotek harus dilengkapi dengan Surat Izin
24
Apotek (SIA) yang masa berlakunya disesuaikan dengan kontrak yang dilakukan antara APA dengan PMA (Pemilik Modal Apotek).
2.5 Pekerjaan Kefarmasian oleh Asisten Apoteker Berdasarkan PP 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian. Yang termasuk dalam tenaga kefarmasian adalah apoteker dan tenaga teknis kefarmasian/Asisten Apoteker. Tenaga teknis kefarmasian terdiri atas sarjana farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi. Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian di apotek, apoteker dapat dibantu oleh Apoteker Pendamping (APING) dan atau Asisten Apoteker. Dalam menjalankan tugasnya pada fasilitas pelayanan kesehatan seorang asisten apoteker harus memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) yang merupakan bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah diregistrasi. Selain harus teregistrasi, asisten apoteker juga harus memiliki Surat Ijin Kerja Asisten Apoteker (SIKAA). SIKAA adalah bukti tertulis yang diberikan pemegang Surat Izin Kerja Asisten Apoteker untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di sarana kefarmasian. Sarana kefarmasian merupakan tempat yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian antara lain industri farmasi, instalasi farmasi, apotek dan toko obat (Depkes RI, 2009). Pekerjaan kefarmasian yang dilakukan oleh asisten apoteker adalah pembuatan termasuk
pengendalian
mutu
sediaan
farmasi,
pengamanan,
25
pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian yang dilakukan oleh Asisten Apoteker dilakukan dibawah pengawasan apoteker (Depkes RI, 2003).
2.6 Teori Perilaku Beberapa teori perilaku di bidang kesehatan diantaranya Teori ABC yang dicetuskan oleh Sulzer, Azaroff dan Mayer, Teori Reaction-action yang dicetuskan oleh Fesbein dan Ajzen, Teori Thought anf Feeling yang dirumuskan oleh WHO dan Teori Preced-Proceed yang dicetuskan oleh Lawrence Green. Dari sekian banyak teori perilaku kesehatan yang ada, Teori Lawrence Green merupakan yang paling populer dan paling banyak digunakan karena mudah dimengerti. Teori Lawrence Green membagi faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat menjadi 3 faktor utama, faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing factor) (Notoadmojo S, 2007). Untuk menelaah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek teori yang sesuai adalah Teori Lawrence Green tentang perilaku kesehatan. Pelaksanaan pelayanan kefarmasian di apotek
pada
dasarnya
merupakan
perilaku
dari
orang-orang
yang
berkompenten dalam bidang farmasi dalam hal ini adalah apoteker yang bertanggungjawab atas obat-obatan yang diserahkan kepada pasien untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Kualitas pelayanan kefarmasian di apotek
26
sangat dipengaruhi oleh perilaku dari apotekernya, yaitu sejauh mana apoteker tersebut mau dan mampu untuk melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai dengan standar sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien. Apoteker memiliki peranan yang sangat penting untuk terciptanya kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik. Apoteker yang memiliki tanggung jawab terhadap obat yang diserahkan kepada pasien. Apoteker juga berperan sentral di apotek yaitu sebagai pelaksana pelayanan resep, pelayanan obat, pelayanan KIE dan pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan (Depkes RI, 2006). Berdasarkan teori sebelumnya, disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan kefarmasian di apotek adalah kehadiran APA, status APA, motivasi APA dan kepemilikan apotek. Dari keempat faktor tersebut yang dapat dipengaruhi oleh perilaku apoteker yaitu faktor kehadiran APA, status APA dan motivasi APA. Dalam pendekatan menggunakan teori Lawrence Green, kehadiran APA dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu faktor predisposisi yang meliputi gaji, sikap APA, dan pengetahuan APA; faktor pemungkin meliputi jarak ke apotek, peran PMA, ketenagaan di apotek, situasi dan hubungan kerja di apotek dan kelengkapan apotek; dan faktor penguat meliputi peraturan dan pelatihan tentang pelayanan kefarmasian, serta peran IAI. Motivasi APA dalam memberikan pelayanan dipengaruhi juga oleh 3 faktor yaitu faktor predisposisi meliputi pengetahuan, sikap dan gaji; faktor pemungkin meliputi omzet apotek, bonus, fasilitas apotek, jumlah pasien, jumlah lembar resep (LR), situasi dan hubungan kerja
27
di apotek; faktor penguat meliputi pelatihan, peraturan dan peran IAI. Sedangkan keputusan APA untuk merangkap atau tidak merangkap (status APA) dipengaruhi oleh faktor predisposisi yang meliputi pengetahuan, sikap dan gaji; faktor pemungkin meliputi peran Pemilik Modal Apotek (PMA) dan ketenagaan; faktor penguat meliputi pelatihan dan peraturan tentang pelayanan kefarmasian.
28
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Pelayanan kefarmasian saat ini dikenal dengan Pharmaceutical Care dimana pelayanan kefarmasian yang lebih berorientasi kepada pasien. Saat ini, apoteker dituntut untuk lebih melakukan interaksi terhadap pasien. Dalam pemberian obat, harus selalu dilakukan konsultasi, informasi dan edukasi (KIE) terhadap pasien sehingga diharapkan pasien mendapatkan pengobatan yang rasional dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Namun sampai saat ini, dari berbagai studi diketahui bahwa banyak pelayanan kefarmasian yang masih dibawah standar. Penelitian di DKI Jakarta tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 76,5% apoteker yang kehadirannya kurang dari 40 jam per minggu dan 38,60% standar pelayanan di apoteknya masih dalam kategori pelayanan yang kurang baik. Di Kota Padang sebanyak 81% apotek standar pelayanan kefarmasiannya termasuk dalam pelayanan yang kurang baik. Setelah
sepuluh
tahun
pasca
pengesahan
standar
pelayanan
kefarmasian di apotek diberlakukan, muncul pertanyaan apakah standar pelayanan
ini
benar-benar
diimplementasikan
oleh
apoteker
dalam
melaksanakan aktifitas profesi di masyarakat khususnya pada apotek. Ingin diketahui bagaimana gambaran kualitas pelayanan kefarmasian di apotek Kota
28
29
Denpasar dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kualitas pelayanan tersebut. Adapun yang menjadi kerangka berfikir dari penelitian ini adalah tentang
faktor-faktor
yang
berpengaruh terhadap
kualitas pelayanan
kefarmasian oleh apoteker di apotek berdasarkan
standar pelayanan
kefarmasian di apotek yaitu Kepmenkes RI Nomor:1027/Menkes/SK/IX/2004. Yang termasuk dalam pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 adalah pelayanan resep, pelayanan obat, pelayanan KIE (konseling, informasi dan edukasi) serta pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan. Penelitian ini dibuat berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dan dikombinasikan dengan pendekatan dari teori Lawrence Green. Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek adalah kepemilikan apotek, kehadiran APA (Apoteker Pengelola Apotek), motivasi APA serta status APA.
3.2 Konsep Penelitian Konsep pada penelitian adalah untuk memberikan gambaran tentang kualitas pelayanan kefarmasian di apotek kota Denpasar dan menjelaskan tentang faktor-faktor (variabel bebas) apa saja yang memiliki pengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek sesuai dengan
Kepmenkes
RI
Nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004
(variabel
30
tergantung). Adapun untuk kerangka konsepnya dapat dilihat pada Gambar 3.1 tentang konsep penelitian. Faktor Predisposisi : 1. Gaji 2. Sikap 3. Pengetahuan Faktor Pemungkin : 1. Jarak 2. Peran PMA 3. Ketenagaan 4. Situasi dan hubungan kerja 5. Kelengkapan apotek Faktor Penguat : 1. Peraturan 2. Peran IAI 3. Pelatihan Faktor Predisposisi : 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Gaji Faktor Pemungkin : 1. Omzet Apotek 2. Bonus 3. Fasilitas apotek 4. Jumlah pasien 5. Jumlah LR 6. Situasi dan hubungan kerja Faktor Penguat : 1. Pelatihan 2. Peraturan 3. Peran IAI Faktor Predisposisi : 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Gaji Faktor Pemungkin : 1. Peran PMA 2. Ketenagaan Faktor Penguat : 1. Pelatihan 2. Peraturan
1. Kehadiran APA
2. Motivasi APA
Kualitas Pelayanan Kefarmasian di Apotek 3. Status APA (SPKA)
4. Kepemilikan Apotek Keterangan : = variabel yang diteliti
Gambar 3.1 Konsep Penelitian = variabel yang tidak diteliti
31
Berdasarkan Gambar 3.1 dapat dijelaskan yang merupakan variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek yaitu kehadiran APA, motivasi APA, status APA dan kepemilikan apotek. Variabel tergantung dalam penelitian ini yaitu kualitas pelayanan kefarmasian di apotek. Masing-masing variabel pada variabel bebas tersebut kemudiaan ditelaah kembali dengan pendekatan teori Lawrence Green untuk mengetahui secara lebih mendalam faktor-faktor yang berpengaruh terhadap variabel bebas (kepemilikan apotek, kehadiran APA, motivasi APA dan status APA). Dalam teori Lawrence Green diketahui terdapat 3 faktor meliputi : faktor predisposisi, faktor enabling dan faktor penguat.
3.3 Hipotesis Berdasarkan konsep penelitian tersebut dapat dibuat hipotesis sebagai berikut : 1. Kehadiran APA berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar. 2. Motivasi APA berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar. 3. Status APA berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar. 4. Status kepemilikan apotek berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar.
32
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat observasional dengan rancangan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung adalah cross-sectional analitik. Keuntungan dari penggunaan rancangan penelitian ini adalah waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan penelitian lebih singkat dan mengidentifikasi suatu faktor risiko. Sedangkan kelemahan dari rancangan ini adalah syarat hubungan temporal dalam mengidentifikasi faktor tidak terpenuhi karena antara variabel bebas dan tergantung diukur pada waktu yang bersamaan.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan pada apotek-apotek di Kota Denpasar dan waktu penelitian dilakukan selama 7 bulan dari Oktober tahun 2014 – April tahun 2015.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian kesehatan masyarakat khususnya pada bidang pelayanan obat-obatan (kefarmasian). Penelitian ini terbatas pada bagaimana gambaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi
32
33
kualitas pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek sehingga berdampak pada peningkatan kesehatan dan kualitas hidup pasien.
4.4 Penentuan Sumber Data Populasi pada penelitian adalah seluruh APA di apotek Kota Denpasar, Provinsi Bali. Pengambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling) dengan Systematic Random Sampling. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer yang bersumber dari wawancara terstruktur dan self-administered-questionnaires yang dilakukan terhadap APA di Kota Denpasar. Jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus besar sampel untuk uji hipotesis terhadap 2 proporsi (Sudigdo, 2011) sebagai berikut :
n
( 2 PQ P1Q1 P2Q2 ) 2 ( P1 P2 ) 2
Keterangan : n = Besar sampel untuk 1 kelompok α = Batas kemaknaan yg diinginkan (5%) 1-β = Kekuatan penelitian yg diinginkan (80%) Zα = Angka galat baku normal untuk α (1,96) Zβ = Angka galat baku normal untuk 1-β (0,84) P2 = Proporsi apotek yang nilai standar pelayanan kefarmasiannya baik sesuai
dengan
KepMenkes
Kepmenkes
RI
Nomor
34
1027/Menkes/SK/IX/2004 pada populasi. Berdasarkan penelitian Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Kota Medan oleh Fakultas Farmasi Universitas Sumatra Utara di Medan didapatkan proporsi apotek yang pelayanan kefarmasiannya baik sebesar 10%. P1 = Proporsi apotek yang standar pelayanan kefarmasiannya baik pada populasi yang mengalami faktor risiko. Dilakukan estimasi (analogi) bahwa proporsi apotek yang pelayanan kefarmasiannya baik dengan status APA yang tidak merangkap sebesar 25% lebih tinggi dibandingkan P2 sehingga didapat P1 sebesar 35%. Q =1-P Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, jumlah sampel minimal untuk satu kelompok sebanyak 34. Sehingga total sampel sebanyak 68 APA.
4.5 Variabel Penelitian Variabel
Definisi Operasional
Variabel Tergantung Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek oleh APA sesuai dengan Kepmenkes RI Kualitas Nomor pelayanan 1027/Menkes/SK/IX/2004 kefarmasian meliputi : pelayanan di apotek resep, pelayanan obat, pelayanan KIE, dan pengelolaan obat.
Cara dan Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
Penilaian skor kualitas selfpelayanan administered- kefarmasian questionnaires didasarkan , observasi pada nilai Nominal dan median, yang wawancara kemudian terstruktur dibagi menjadi 2 kategori, yaitu, untuk
35
nilai skor : 61-100 = Baik 20-60 = Buruk Variabel Bebas
Kehadiran APA
Motivasi APA
Status APA
Kepemilikan apotek
Datang atau tidaknya APA ke apotek untuk melakukan pelayanan kefarmasian di apotek yaitu pelayanan resep, pelayanan obat, pelayanan KIE, dan pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
Wawancara Testruktur, self administered quisioner dan observasi
Wawancara Terstruktur, Alasan APA melakukan self pelayanan kefarmasian di administered apotek quisioner dan observasi Beberapa posisi dan tanggung jawab yang Wawancara diduduki oleh apoteker, Terstruktur misalnya sebagai pegawai dan negeri, apoteker di apotek observasi lain. Status dari kepemilikan Wawancara sarana dan prasarana Terstruktur apotek
1 = Tidak hadir dan hadir tidak setiap hari, tidak melakukan pelayanan kefarmasian 2 = hadir tidak Nominal setiap hari, melakukan pelayanan kefarmasian 3 = hadir setiap hari, melakukan pelayanan kefarmasian 1 = Motivasi kurang Nominal 2 = Motivasi baik
1 = Merangkap 2 = Tidak merangkap
Nominal
1 = Milik PMA (Pemilik Modal Nominal Apotek) 2 = Milik APA
36
4.5.1 Identifikasi Variabel Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek yaitu kepemilikan apotek, kehadiran APA, motivasi APA dan status APA. Sedangkan variabel tergantung dalam penelitian ini yaitu kualitas pelayanan kefarmasian di apotek.
4.6 Instrumen Penelitian dan Teknik Pengambilan Data Data-data variabel tergantung dan variabel bebas dikumpulkan dengan melakukan kunjungan ke apotek. Data variabel bebas dikumpulkan dengan melakukan wawancara terstruktur terhadap APA (terlampir : Form 1), self administered quisioner terhadap pegawai apotek (terlampir : Form 2) dan observasi (terlampir : Form 3). Data variabel bebas yang didapatkan pada form 1 yaitu wawancara yang dilakukan terhadap APA dicocokkan dan digabungkan (validasi data) dengan data yang terdapat pada form 2 yang diisi oleh pegawai apotek serta disesuaikan dengan data observasi yang didapat. Data variabel tergantung dikumpulkan dengan memberikan angket penilaian
pelayanan
kefarmasian
sesuai
dengan
Kepmenkes
Nomor:
1027/Menkes/SK/IX/2004) (terlampir : Form 2) kepada pegawai apotek untuk dilakukan pengisisian sendiri (self administered
quisioner) sesuai dengan
keadaan di apotek tersebut. Data variabel tergantung yang didapatkan, disesuaikan atau dilakukan validasi data dengan mengacu pada data form 1 (wawancara terhadap APA) dan form 3 (observasi) agar sesuai dengan keadaan di apotek.
37
4.7Analisis Data Data yang dikumpulkan dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat. Analisis unvariat (deskriptif) dilakukan untuk menggambarkan karakteristik subjek penelitian. Hasil analisis univariat ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi ferkuensi. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara masing-masing variabel bebas yaitu kehadiran APA, motivasi APA, status APA dan kepemilikan apotek sedangkan variabel tergantung yaitu jumlah skor pelayanan kefarmasian di apotek. Untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel bebas dengan variabel tergantung terlebih dahulu dibuat tabulasi silang 2 x 2 dengan variabel bebas berada di row dan variabel tergantung berada di kolom. Kemudian dihitung odd ratio (OR) yang merupakan ukuran asosiasi. Interpretasi terhadap odd ratio adalah bila OR > 1 maka variabel bebas merupakan faktor yang meningkatkan resiko terjadinya variabel tergantung. Bila odd ratio < 1 maka variabel bebas merupakan faktor pencegah terjadinya variabel tergantung. Apabila odd ratio = 0, maka interpretasinya tidak ada pengaruh antara varibel bebas dengan variabel tergantung. Uji statistik yang digunakan untuk menilai apakah hubungan tersebut bermakna atau tidak secara statistik adalah chi square test. Kemaknaan secara statistik dinilai menggunakan 95% Confidence Interval (CI) dan nilai p. Bila nilai p ≤ 0,05 maka pengaruh tersebut dinyatakan bermakna secara statistik. Sedangkan apabila nilai p > 0,05 maka pengaruh tersebut dinyatakan tidak bermakna secara statistik.
38
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh murni (independent) masing-masing variabel bebas terhadap variabel tergantung. Analisis multivariat dilakukan dengan cara memasukkan semua variabel bebas secara bersama-sama ke dalam model regresi logistik. Ukuran asosiasi yang didapat dari uji regresi logistik adalah adjusted odd ratio dimana interpretasinya sama dengan odd ratio hasil uji bivariat. Kemaknaan secara statistik dinilai menggunakan 95% Confidence Interval (CI) dan nilai p. Bila nilai p ≤ 0,05 maka pengaruh tersebut dinyatakan bermakna secara statistik. Sedangkan apabila nilai p > 0,05 maka pengaruh tersebut dinyatakan tidak bermakna secara statistik.
39
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian, Kehadiran APA, Motivasi APA, Status APA, Kepemilikan Apotek dan Kualitas Pelayanan Kefarmasian Dalam penelitian ini dilakukan survey terhadap 68 Apoteker Pengelola Apotek (APA) di Apotek Kota Denpasar dari jumlah keseluruhan apotek di Kota Denpasar sebanyak 241 apotek. Namun berdasarkan data yang didapatkan dari Dinas Perijinan Kota Denpasar tahun 2014, dari 241 apotek yang terdaftar banyak apotek yang ternyata sudah tidak beroperasi. Hal ini disebabkan karena apotek yang tutup atau pindah tidak melapor kembali ke Dinas Perijinan Kota Denpasar. Sebanyak 68 APA yang digunakan sebagai sampel diambil secara acak (random sampling) dengan systematic random sampling. Karena data yang didapatkan dari Dinas Perijinan Kota Denpasar tidak sesuai dengan jumlah apotek yang beroperasi pada saat itu, sehingga sempat menyulitkan peneliti dalam melakukan survey. Beberapa kali apotek yang dikunjungi tutup, alamatnya tidak sesuai atau tidak ditemukan dan banyak juga APA yang tidak mau dijadikan sampel penelitian. Secara keseluruhan gambaran karakteristik responden penelitian disajikan pada Tabel 5.1 Uji univariat yang dilakukan terhadap karakteristik umur APA diketahui bahwa rentang umur APA di apotek Kota Denpasar yaitu 22-79 tahun. Jumlah APA paling tinggi terdapat pada kategori umur antara 20-35 tahun yaitu sebanyak 42 APA (61,8%). Sedangkan jumlah paling sedikit terdapat pada kategori umur >50 tahun, yaitu sebanyak 9 APA (13,2%). Untuk kategori umur antara 36-50
39
40
tahun terdapat sebanyak 17 APA (25%). Rata-rata umur APA 33 tahun (19%) SD (±13,4). Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Subjek, Kehadiran APA, Motivasi APA, Status APA dan Kepemilikan Apotek Karakteristik Subjek (n=68) Umur APA 20-35 tahun 36-50 tahun >50 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan S1+Profesi S1+ Profesi + S2 Lama berprofesi Apoteker ≤10 tahun 11-20 tahun 21-30 tahun >30 tahun Lama APA ≤10 tahun 11-20 tahun 21-30 tahun >30 tahun Kehadiran APA Kehadiran 1 Kehadiran 2 Kehadiran 3 Motivasi APA Kurang Baik Baik Status APA Merangkap Tidak Merangkap Kepemilikan Apotek Milik PMA Milik APA Kualitas Pelayanan Kefarmasian Baik Buruk
f
%
42 17 9
61.8 25 13.2
27 41
39.7 60.3
58 10
85.3 14.7
45 15 2 6
66.2 22.1 2.9 8.8
58 7 1 2
85.3 10.3 1.5 2.9
19 35 14
27.9 51.5 20.6
21 47
30.9 69.1
22 46
32.3 67.7
54 14
79.4 20.6
35 33
51.5 48.5
41
Distribusi terhadap karakteristik jenis kelamin APA, dimana kelompok APA yang berjenis kelamin perempuan (60,3%) lebih tinggi dibandingkan kelompok APA yang berjenis kelamin laki-laki (39,7%). Berdasarkan distribusi pendidikan APA, kelompok APA S1+Profesi (85,3%) dan kelompok APA dengan pendidikan selain itu, yaitu S2 sebanyak 14,7%. Untuk karakteristik lama berprofesi sebagai apoteker paling lama adalah 36 tahun dan paling sedikit adalah 1 tahun. Rata-rata APA yang sudah berprofesi sebagai apoteker adalah 8 tahun (14,5%) dengan SD (±9,8). Jumlah APA yang paling tinggi telah lama berprofesi sebagai apoteker adalah <10 tahun yaitu sebanyak 45 APA (66,2%). Kategori lama berprofesi sebagai apoteker 11-20 tahun sebanyak 15 APA (22,1%), 21-30 tahun sebanyak 2 APA (2,9%) dan lebih dari 30 tahun telah berprofesi sebagai apoteker sebanyak 6 APA (8,8%). Berdasarkan distribusi untuk lama menjadi APA di apotek diketahui rentangnya antara di bawah 1 tahun dan paling lama adalah 35 tahun, dengan nilai rata-rata 3,5 tahun (7%), SD (±7,2). Untuk karakteristik lama menjadi APA paling tinggi pada lama waktu ≤10 tahun yaitu 85,3% (58 APA). Paling rendah pada lama waktu antara 21-30 tahun menjadi APA di apotek, yaitu sebanyak 1 APA (1,5%). Karakteristik kehadiran APA di apotek Kota Denpasar secara keseluruhan menunjukkan masih banyak APA yang kehadirannya belum sesuai dengan standar. Kehadiran yang dianggap sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian adalah kehadiran 3 yaitu APA hadir setiap hari dan melakukan pelayanan kefarmasian. Kehadiran 1 (APA tidak hadir dan atau hadir tidak setiap hari dan
42
tidak melakukan pelayanan kefarmasian) dan kehadiran 2 (APA tidak hadir setiap hari dan melakukan pelayanan kefarmasian) masih belum memenuhi standar sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian yang baik. Namun hasil yang didapatkan, kehadiran 3 masih sangat rendah
hanya 20,6% (14 APA)
dibandingkan dengan kehadiran 1 sebanyak 27,9% (19 APA) dan kehadiran 2 sebanyak 51,5% (35 APA). Untuk karakteristik motivasi APA menunjukkan kelompok APA yang memiliki motivasi baik untuk melakukan pelayanan kefarmasian lebih tinggi yaitu 69,1% (47 APA) dibandingkan dengan APA dengan motivasi yang kurang baik yaitu 30,9% (21 APA). Distribusi berdasarkan status APA yaitu kelompok APA yang merangkap dan kelompok APA tidak merangkap, jumlah kelompok APA yang tidak merangkap lebih banyak yaitu 46 APA (67,7%) dibandingkan dengan dengan kelompok kelompok APA yang merangkap yaitu 22 (32,3%). Uji unvariat yang dilakukan terhadap karakteristik subjek berdasarkan status kepemilikan apotek diketahui distribusi apotek yang dimiliki sendiri oleh APA lebih kecil yaitu 20,6% (14 apotek) dibandingkan dengan apotek yang diberikan modal oleh PMA 79,4% (54 apotek). Distribusi kualitas pelayanan kefarmasian di apotek menunjukkan bahwa apotek yang memiliki kualitas pelayanan kefarmasian yang buruk di Kota Denpasar masih cukup tinggi sebesar 48,5% (33 apotek), walaupun apotek dengan kualitas pelayanan kefarmasian yang baik jumlahnya lebih banyak daripada apotek dengan kualitas pelayanan kefarmasian buruk yaitu 51,5% (35 apotek).
43
5.2 Uji Bivariat Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kualitas Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker di Apotek Seiring dengan terjadinya perubahan paradigma pelayanan kefarmasian dan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek, maka telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 yang mengatur tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek.
Standar ini merupakan pedoman serta praktek apoteker dalam
menjalankan profesi, melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, serta melindungi profesi dalam menjalankan praktek profesinya. Adapun kualitas pelayanan kefarmasian di apotek dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya kehadiran APA, kepemilikan apotek, motivasi APA dan status APA. Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kualitas pelayanan kefarmasian dilakukan uji bivariat. Uji bivariat dilakukan dengan terlebih dahulu membuat tabel silang kualitas pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan variabel bebas yang diteliti. Kualitas pelayanan kefarmasian berada di kolom sedangkan variabel bebas berada di row kemudian disajikan dengan dalam persentase row. Kemudian dinilai hubungan variabel bebas dengan kualitas pelayanan kefarmasian dengan cara menghitung odd ratio (OR). Adapun hasil analisis bivariat dapat dilihat pada Tabel 5.2. Dari uji bivariat yang telah dilakukan menunjukkan bahwa semakin tinggi kehadiran APA, maka APA akan lebih sering melakukan pelayanan kefarmasian di apotek sehingga kualitas pelayanan kefarmasian di apotek juga semakin baik.
44
Motivasi APA yang baik dan status APA yang dalam pekerjaanya tidak merangkap akan memberikan peluang untuk memberikan pelayanan kefarmasian yang lebih baik dibandingkan dengan motivasi APA yang kurang baik dan status APA yang merangkap dalam pekerjaannya. Untuk faktor kepemilikan, apotek yang dimiliki oleh APA sendiri, cenderung kualitas pelayanan kefarmasiannya lebih baik dibandingkan apotek yang tidak dimiliki oleh APA sendiri. Tabel 5.2 Hasil Analisis Bivariat Pengaruh Faktor Kehadiran APA, Motivasi APA, Status APA dan Kepemilikan Apotek terhadap Kualitas Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Variabel Kehadiran APA Kehadiran 1 Kehadiran 2 Kehadiran 3 Motivasi APA Kurang Baik Status APA Merangkap Tidak Merangkap Kepemilikan Apotek Milik PMA Milik APA
Kualitas Pelayanan Kefarmasian Kurang, n (%) Baik, n (%)
OR
95%CI
Nilai p
15 (79.0) 15 (42.9) 5 (35.7)
4 (21.0) 20 (57.1) 9 (64.3)
Ref 5.0 6.75
1.4 - 18.2 1.4 - 31.9
0.01 0.01
14 (66.7) 21 (44.7)
7 (33.3) 26 (55.3)
Ref 2.5
0.8 – 8.6
0.09
15 (68.2) 20 (43.5)
7 (31.8) 26 (56.5)
Ref 2.8
0.9 – 9.6
0.05
31 (57.4) 4 (28.6)
23 (42.6) 10 (71.4)
Ref 3.4
0.8 – 16.3
0.05
Berdasarkan Tabel 5.2 di atas, pada faktor kehadiran, kehadiran 1 yaitu APA tidak hadir dan atau tidak hadir setiap hari dan tidak melakukan pelayanan kefarmasian proporsi kualitas pelayanan kefarmasian baik 21,0%. Untuk kehadiran 2 yaitu APA tidak hadir setiap hari dan melakukan pelayanan kefarmasian, proporsi kualitas pelayanan kefarmasian baik 57,1%. Pada kehadiran 3 yaitu APA hadir setiap hari dan melakukan pelayanan kefarmasian, proporsi
45
kualitas pelayanan kefarmasian baik 64,3%. Semakin baik tingkat kehadiran APA maka peluang kualitas pelayanan kefarmasiannya juga semakin baik. Hal ini juga didukung dengan nilai OR-nya yang semakin meningkat. Peluang apotek untuk dapat memberikan kualitas pelayanan kefarmasian baik 5 kali lebih baik pada kehadiran 2 dibandingkan dengan kehadiran 1 dan peluang apotek untuk dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang baik 6,75 kali lebih baik pada kehadiran 3 dibandingkan dengan kehadiran 2 (p = 0,01). Pada uji bivariat pengaruh faktor motivasi APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek menunjukkan bahwa pada kelompok motivasi APA baik akan
memberikan
kualitas
pelayanan kefarmasian
lebih
baik
(55,3%)
dibandingkan pada kelompok motivasi APA kurang (33,3). Peluang apotek untuk memberikan kualitas pelayanan kefarmasian yang baik pada kelompok motivasi APA baik 2,5 kali dibandingkan dengan kelompok motivasi APA yang kurang (p = 0,09). Untuk status APA, kelompok APA yang tidak merangkap akan memberikan kualitas pelayanan kefarmasian baik (56,6%) dibandingkan dengan kelompok APA merangkap (31,8%). Peluang apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian baik pada kelompok APA yang tidak merangkap
2,8 kali
dibandingkan kelompok APA merangkap (p =0,05). Untuk pengaruh faktor kepemilikan apotek terhadap kualitas pelayanan kefarmasian menunjukkan bahwa pada apotek yang dimiliki oleh APA akan memberikan kualitas
pelayanan kefarmasian
yang
lebih
baik
(71,4%)
dibandingkan dengan kepemilikan apotek oleh PMA (42,6%). Apotek yang
46
dimiliki langsung oleh APA berpeluang untuk dapat memberikan kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik 3,4 kali dibandingkan dengan apotek milik PMA (p = 0,05).
5.3 Uji Multivariat Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kualitas Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker di Apotek Analisis multivariat dilakukan dengan cara memasukkan semua variabel bebas secara bersama-sama ke dalam model regresi logistik. Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh murni (independent) masing-masing variabel bebas yaitu kehadiran APA, kepemilikan apotek, motivasi APA dan status APA terhadap variabel tergantung yaitu kualitas pelayanan kefarmasian di apotek. Sebelum dilakukan uji multivariat, terlebih dahulu dilakukan uji multikolinieritas untuk mengetahui apakah dalam model hasil analisis multivariat yang digunakan, antara variabel bebasnya mempunyai korelasi atau tidak. Untuk melihat korelasi antar variabel bebas dilakukan dengan uji Kendalls Rank Correlation. Hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut menunjukkan bahwa nilai r < 0,7. Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan korelasi ke empat variabel lemah dan tidak ada efek multikolinieritas antara variabel bebas. Sehingga ke empat variabel bebas tersebut dapat dilakukan uji multivariat. Adapun hasil uji multivariat dapat dilihat pada Tabel 5.3.
47
Tabel 5.3 Hasil Analisis Multivariat Pengaruh Faktor Kehadiran APA, Kepemilikan Apotek, Motivasi APA dan Status APA terhadap Kualitas Pelayanan Kefarmasian di Apotek Variabel Kehadiran APA Kehadiran 2 Kehadiran 3 Motivasi APA Baik Status APA Tidak Merangkap Kepemilikan Apotek Milik APA
OR
95%CI
Nilai p
3.3 3.3
0.8-13.3 0.6-17.4
0.09 0.16
3.3
0.9-12.5
0.07
2.5
0.7-8.8
0.15
4.9
0.9-24.9
0.05
Berdasarkan analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa kehadiran APA, kepemilikan apotek, motivasi APA dan status APA berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai OR ke empat variabel bebas tersebut yang lebih besar dari 1 (OR > 1) yang berarti memiliki pengaruh atau meningkatkan peluang. Sesuai dengan Tabel 5.3 untuk faktor kehadiran, peluang apotek untuk memberikan kualitas pelayanan kefarmasian baik pada kehadiran 2 (APA tidak hadir setiap hari dan melakukan pelayanan kefarmasian) 3,3 kali dibandingkan dengan kehadiran 1 (APA tidak hadir, dan atau tidak hadir setiap hari dan tidak melakukan pelayanan kefarmasian). Hal tersebut juga berlaku pada kehadiran 3 dengan nilai OR sama yaitu 3,3. Menunjukkan bahwa peluang apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian baik pada kehadiran 3 (APA hadir setiap hari dan melakukan pelayanan kefarmasian) 3,3 kali dibandingkan dengan kehadiran 2. Pengaruh faktor motivasi APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian memiliki peluang 3,3 kali pada kelompok APA dengan motivasi baik dibandingkan dengan kelompok APA
48
dengan motivasi kurang untuk memberikan pelayanan kefarmasian yang baik. Nilai OR pada status APA yaitu 2,5 menunjukkan bahwa peluang apotek untuk memberikan kualitas pelayanan kefarmasian baik pada kelompok APA tidak merangkap 2,5 kali dibandingkan kelompok APA merangkap. Berdasarkan nilai p diketahui bahwa faktor kehadiran APA, motivasi APA dan status APA tidak bermakna secara statistik dengan nilai p > 0,05. Variabel bebas yang bermakna secara statistik adalah variabel kepemilikan apotek dengan nilai p ≤ 0,05. Nilai OR pada faktor kepemilikan apotek memberikan peluang apotek untuk memberikan kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik pada kelompok kepemilikan apotek oleh APA 4,9 kali dibandingkan dengan kelompok kepemilikan apotek oleh PMA.
49
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Kualitas Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota Denpasar Kota Denpasar merupakan kabupaten/kota yang memiliki kepadatan penduduk paling tinggi di provinsi Bali yaitu 6622,24 per km2. Jika dibandingkan dengan dengan kabupaten/kota yang kepadatan penduduknya tertinggi nomor 2 yaitu Kabupaten Badung yang hanya 1407,29 per km2. Hal ini menunjukkan jumlah kepadatan penduduk di Kota Denpasar sangat padat. Tingginya jumlah penduduk di Kota Denpasar menyebabkan kebutuhan masyarakat terhadap sarana kesehatan maupun tenaga kesehatan terus meningkat. Salah satu sarana kesehatan di Kota Denpasar yang jumlahnya selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun adalah apotek. Hal ini ditunjukkan dari data yang didapatkan dari Dinas Perijinan Kota Denpasar, dimana jumlah apotek di Kota Denpasar pada tahun 2008 sebanyak 185 apotek kemudian meningkat pesat menjadi 241 apotek pada tahun 2014 (Dinas Perijinan Kota Denpasar, 2014). Namun peningkatan jumlah apotek tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek Kota Denpasar. Pelayanan kefarmasian saat ini mengacu pada Pharmaceutical care yaitu pelayanan kefarmasian yang lebih mengacu kepada pasien (Patient oriented). Pelayanan kefarmasian ini memerlukan peranan apoteker untuk dapat berinteraksi secara langsung kepada pasien dalam melakukan terapi pengobatan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien. Apoteker berperan dalam
49
50
memberikan konsultasi, informasi dan edukasi (KIE) terkait terapi pengobatan yang dijalani pasien, mengarahkan pasien untuk melakukan pola hidup sehat sehingga mendukung agar keberhasilan pengobatan dapat tercapai, dan melakukan monitoring memonitor hasil terapi pengobatan yang telah dijalankan oleh pasien serta melakukan kerja sama dengan profesi kesehatan lain yang tentunya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (ISFI, 2000). Interaksi langsung antara apoteker dan pasien, tentunya menuntut apoteker untuk hadir dan memberikan pelayanan di apotek. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, kehadiran APA yang sesuai dengan standar masih sangat rendah yaitu hanya 20,6% sedangkan sisanya (79,4%) masih belum sesuai dengan standar. Penelitian lain yang dilakukan pada apotek di Kota Denpasar dan beberapa daerah di Badung tahun 2011 menunjukkan bahwa kesadaran apoteker masih sangat rendah untuk hadir memberikan pelayanan kefarmasian di apotek. Dari total 111 apotek di wilayah Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Denpasar Barat, Kuta Utara, dan Kuta Selatan, hanya 26,64% yang terdapat tenaga ahli apoteker di apotek pada saat dilakukannya survey (Gunawan,. dkk, 2011). Kehadiran APA berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek. Survey yang telah dilakukan pada 68 apotek di Kota Denpasar diketahui bahwa apotek yang kualitas pelayanan kefarmasian buruk masih cukup tinggi yaitu 48,5%, walaupun apotek yang kualitas pelayanan kefarmasian baik di Kota Denpasar cukup banyak yaitu 51,5% (35 apotek). Kualitas pelayanan kefarmasian buruk salah satunya disebabkan oleh kehadiran APA
yang masih sangat rendah di apotek.
51
Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor:1027/Menkes/SK/IX/2004 kualitas pelayanan kefarmasian di apotek dinilai dari pelayanan resep, pelayanan obat, pelayanan KIE, dan cara pengelolaan obat di apotek. Masih tingginya jumlah apotek yang kualitas pelayanan kefarmasiannya buruk di Kota Denpasar disebabkan oleh beberapa faktor lainnya, yaitu motivasi APA, status APA dan kepemilikan apotek. Upaya kesehatan dapat berdaya guna dan berhasil guna apabila pemenuhan sumber daya tenaga, pembiayaan dan sarana kesehatan dapat memadai dan seimbang dengan kebutuhan. Sumber daya kesehatan dapat diukur dengan beberapa indikator kecukupan diantaranya adalah tenaga kesehatan, sarana kesehatan dan pembiayaan kesehatan. Salah satu yang termasuk dalam tenaga kesehatan adalah tenaga kefarmasian yang terdiri dari tenaga apoteker dan tenaga teknik kefarmasian. Standar Ratio Tenaga Kesehatan berdasarkan Indikator Indonesia Sehat 2010 untuk tenaga apoteker adalah 10/100.000 jumlah penduduk. berdasarkan data Profil Kesehatan Provinsi Bali tahun 2013 jumlah tenaga apoteker yang tercatat pada fasilitas kesehatan milik pemerintah sebanyak 110 orang, sedangkan jumlah kebutuhan tenaga apoteker sebanyak 406 orang, sehingga untuk provinsi Bali masih kekurangan tenaga apoteker sebanyak 296 orang. Dalam perencanaan Kebutuhan dari data Provinsi Bali, menurut Kabupatennya,
menunjukan bahwa pada fasilitas kesehatan milik pemerintah
Kota Denpasar kebutuhan untuk tenaga apoteker sebanyak 85 apoteker sedangkan saat ini yang tercatat dari pemerintah di Kota Denpasar hanya 20 tenaga apoteker yang baru bisa terpenuhi sehingga kekurangannya masih sangat banyak yaitu 65 orang tenaga apoteker. Berdasarkan data diketahui bahwa Kota Denpasar
52
merupakan kabupaten/Kota yang jumlah kebutuhan maupun kekurangan tenaga apotekernya paling banyak dibandingkan kabupaten/kota di Provinsi Bali (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2014). Kualitas pelayanan kefarmasian di daerah lain seperti Kota Medan dan Nusa Tenggara barat tidak jauh berbeda dengan kondisi pelayanan kefarmasian di Kota Denpasar, dimana kualitas pelayanan kefarmasiannya masih kurang baik dan masih perlu terus adanya peningkatan kualitas pelayanan. Rata-rata skor pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Apotek di Kota Medan 47,63 yang termasuk dalam kategori pelayanan kefarmasian yang kurang baik. Pada apotek di Kota Medan, persentase terbesar yang melakukan pelayanan kefarmasian langsung dengan pasien adalah asisten apoteker sebesar 83,82%, apoteker dan tenaga non farmasi 16,18%. Hal ini disebabkan karena APA yang jarang hadir dan memberikan pelayanan di apotek, sehingga pelayanan kefarmasian lebih banyak dilakukan oleh asisten apoteker (Ginting, 2009). Kehadiran APA di apotek merupakan faktor penting dalam pelaksanaan kegiatan kefarmasian di apotek. Apoteker pengelola apotek seharusnya hadir di apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian yang dibutuhkan oleh pasien. APA dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melakukan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan pelayanan resep, pelayanan obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek dan perbekalan kesehatan lainnya juga pelayanan informasi obat dan monitoring penggunaan obat agar tujuan pengobatan sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik. APA yang lebih
53
sering hadir di apotek cenderung memiliki kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik (Harianto, dkk., 2008). Di Provinsi Nusa Tenggara Barat pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit Umum Daerah Kelas C belum terlaksana dengan baik. Persentase pencapain standar dari ke tiga rumah sakit masih kurang dari 75 %. Persentase pencapain standar dari Rumah Sakit A (52,17%), Rumah Sakit B (54,78%) dan Rumah Sakit C (44,35%). Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa faktor penghambat pelaksanaan standar pelayanan farmasi adalah belum optimalnya dukungan pihak manajemen rumah sakit terhadap pelayanan farmasi yang dilakukan, pengadaan sarana dan prasarana penunjang pelayanan farmasi yang masih belum memadai, kurangnya jumlah tenaga kefarmasian di Instalasi Farmasi, sistem dokumentasi Instalasi Farmasi yang kurang baik serta kurangnya evaluasi yang terus menerus dalam upaya peningkatan kinerja Instalasi Farmasi dalam melaksanakan pelayanan farmasi (Sidrotullah, 2012). 6.2
Faktor-faktor
yang
Berpengaruh
terhadap
Kualitas
Pelayanan
Kefarmasian pada Apotek di Kota Denpasar Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa faktor kehadiran APA, kepemilikan apotek, motivasi APA dan status APA memiliki pengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek Kota Denpasar. Faktor-faktor tersebut memiliki pengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian dengan nilai OR yang tinggi (OR > 1). Secara statistika faktor kehadiran APA, kepemilikan APA dan status APA bermakna dengan nilai p ≤ 0,05. Semakin baik tingkat kehadiran APA maka peluang kualitas pelayanan kefarmasiannya juga
54
semakin baik. Semakin tinggi tingkat kehadiran APA di apotek peluang apotek untuk dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang baik semakin meningkat. Pada kelompok APA yang statusnya tidak merangkap dalam pekerjaannya memberikan peluang apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok APA yang statusnya merangkap. Apotek yang dimiliki langsung oleh APA memberikan peluang apotek untuk dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang lebih baik dibandingkan dengan apotek yang pemiliknya bukan APA atau dimiliki oleh PMA. Walaupun faktor motivasi APA tidak bermakna secara statistika, namun faktor ini tetap memilki pengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian dilihat dari nilai OR = 2,5. Kelompok APA dengan motivasi baik akan memberikan peluang apotek untuk memberikan kualitas pelayanan kefarmasian yang baik 2,5 kali dibandingkan dengan kelompok APA dengan motivasi yang kurang baik .
6.2.1 Pengaruh Faktor Kehadiran APA terhadap Kualitas Pelayanan Kefarmasian di Apotek Faktor kehadiran APA memiliki pengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek. Hasil penelitian yang dilakukan pada apotek di Kota Denpasar menunjukkan bahwa semakin baik tingkat kehadiran APA maka peluang kualitas pelayanan kefarmasiannya juga semakin baik. Semakin tinggi tingkat kehadiran APA di apotek peluang apotek untuk dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang baik semakin meningkat. Peluang apotek untuk dapat memberikan kualitas pelayanan kefarmasian baik 5 kali lebih baik pada kehadiran
55
2 dibandingkan dengan kehadiran 1. Peluang apotek untuk dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang baik 6,75 kali lebih baik pada kehadiran 3 dibandingkan dengan kehadiran 2. Pada kehadiran 3 adalah kehadiran APA yang paling baik dimana pada kehadiran 3, APA datang setiap hari dan memberikan pelayanan kefarmasian. Kehadiran 3 adalah kehadiran APA yang paling sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian. Faktor yang menyebabkan APA tidak hadir di apotek adalah karena gaji yang diberikan masih dibawah standar dan masih dirasa kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup (Gunawan dkk, 2011). Ketidakhadiran apoteker di apotek disebabkan karena kurangnya kompensasi yang dapat diberikan pihak apotek kepada apoteker jika apoteker tersebut harus fulltime di apotek. Apoteker merasa tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup jika hanya bekerja pada 1 tempat. Oleh karena itu apoteker memilih tidak hadir di apotek untuk bisa bekerja di tempat lain sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup. Apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi maka pegawai akan menunjukkan perilaku kecewa seperti kurang menaati aturan perusahaan. Sebaliknya jika pegawai sudah merasakan kebutuhannya terpenuhi maka pegawai tersebut akan cenderung memperlihatkan perilaku gembira seperti berusaha agar dapat mengikuti aturan perusahaan yang menunjukkan rasa puasnya. Perusahaan memberikan kompensasi kepada karyawannya bertujuan untuk meningkatkan prestasi kerja. Jika kompensasi yang diberikan sesuai dengan hasil kerja yang diperoleh, maka kepuasaan karyawan akan meningkat. Seiring dengan peningkatan kepuasaan, karyawan pun akan merasa nyaman dan senang bekerja di
56
perusahaan sehingga dengan meningkatnya prestasi kerja karyawan maka berpengaruh terhadap prestasi perusahaan tersebut (Sastrohadiwiryo, 2003). Imbalan yang diberikan merupakan salah satu faktor yang berkaitan pula dengan motivasi APA untuk hadir dan melakukan pelayanan kefarmasian di apotek. Apabila imbalan yang diberikan dari pihak apotek sesuai, kemungkinan APA akan lebih termotivasi untuk hadir dan memberikan pelayanan di apotek. Hal tersebut menunjukkan bahwa kehadiran apoteker dan motivasi APA memiliki hubungan yang dikaitkan karena faktor imbalan. Selain kehadiran dan motivasi APA, yang berhubungan dengan imbalan, status APA juga memiliki keterkaitan. Imbalan apoteker yang dirasa kurang, mendorong apoteker untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan melakukan pekerjaan lain di luar APA, baik yang bersifat pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan. Status APA yang merangkap bekerja di tempat lain kemungkinan akan mempengaruhi kehadiran APA di apotek karena waktunya yang terbatas disebabkan bekerja pada 2 tempat yang berbeda. Ketidakhadiran apoteker di apotek juga dipengaruhi oleh faktor kepemilikan apotek. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada apotek di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung dari wawancara diketahui ketidakhadiran APA di apotek disebabkan karena apotek tersebut bukan milik sendiri tetapi milik PMA (pemilik modal apotek). Pada penelitian tersebut sebanyak 81,25% apotek yang dilakukan survey adalah apotek milik PMA. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara tidak langsung faktor kepemilikan apotek mempengaruhi tingkat kehadiran APA di apotek. Jika apotek tersebut merupakan langsung milik APA maka tingkat
57
kehadiran APA di apotek akan lebih tinggi dibandingkan dengan apotek milik PMA (Gunawan dkk, 2011). Hal yang senada digambarkan pada penelitian yang dilakukan pada apotek di Kota Medan tahun 2008. Penjabaran karakteristik apotek menunjukkan penerapan pelayanan kefarmasian di apotek belum dilaksanakan secara maksimal yang dipengaruhi oleh faktor kehadiran APA, dimana kehadiran APA pada apotek di Kota Medan yang cukup rendah berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Kota Medan. Kehadiran APA yang rendah juga disebabkan oleh faktor kepemilikan apotek. Secara umum apotek yang dikelola adalah apotek milik PMA dimana pemilik apotek cenderung mengutamakan untung atau sisi bisnis mereka dibandingkan dengan kualitas pelayanan yang diberikan. Selain itu, rata-rata resep yang setiap harinya kurang dari 20 lembar dan biasanya hanya ada resep pada jam tertentu sehingga pelayanan kefarmasian lebih banyak dilakukan oleh asisten apoteker (Ginting, 2009). Pergeseran fungsi apotek dari orientasi sosial semakin dominan ke orientasi bisnis. Adanya pergeseran ini mengakibatkan peranan apoteker kepada pasien dianggap tidak begitu penting, sepanjang usaha apotek yang dikelola terus berjalan sehingga kurangnya dukungan PMA dalam hal ini untuk menuntut bahwa apoteker dapat lebih berperan di apotek masih kurang. Akhirnya orientasi bisnis yang berlandaskan pelayanan tetap berjalan dengan pengeluaran jasa yang minimal serta harga obat yang murah sudah dinilai strategis untuk menuju keberhasilan bisnis bukan keberhasilan dalam memberikan pelayanan kefarmasian yang berkualitas bagi masyarakat.
58
Tidak
adanya
pengawasan
yang
ketat
dari
pemerintah tentang
implementasi KepMenKes No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek juga merupakan salah satu penyebab dengan mudahnya apoteker tidak hadir di apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian. Peraturan tersebut hanya menjadi wacana dan sekaligus tantangan besar bagi kalangan apoteker dan organisasi IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) untuk dapat berperan lebih dan profesional terhadap profesinya. Hal tersebut diungkapkan pada penelitian yang dilakukan pada apotek di DI Yogyakarta, dimana untuk mengantisipasi hal tersebut IAI DIY mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan adanya apoteker pendamping di setiap apotek. (Rachmandani, dkk., 2011). Hal tersebut dilakuakan IAI DIY untuk mewujudkan pelaksanaan KepMenKes
No.1027/MENKES/SK/IX/2004
tentang
Standar
Pelayanan
Kefarmasian di Apotek. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 juga telah ditegaskan bahwa penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker (Pasal 21 ayat 2). Dengan demikian dengan alasan apapun apoteker tidak dapat melimpahkan pekerjaan dan tanggung jawabnya kepada pihak lain. Berdasarkan survey yang dilakukan apoteker yang hadir dan memberikan pelayanan kefarmasian di apotek Kota Denpasar hanya 20,6%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran apoteker untuk melakukan interaksi langsung dengan pasien dan melakukan pengelolaan obat masih sangat rendah. Peran apoteker untuk hadir dan melakukan pelayanan langsung terhadap pasien terbukti memiliki pengaruh untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di
59
apotek.
Berdasarkan penelitian di apotek Kota Jakarta menunjukkan bahwa
interaksi langsung antara apoteker dengan pasien di apotek masih sangat kurang karena masih banyak pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh asisten apoteker sebesar 83,82% (Supardi, dkk., 2011). Apoteker seharusnya hadir dan dapat memberikan pelayanan kefarmasian di apotek. Namun, masih banyak apotek yang dalam pelayanan kefarmasian tidak dilakukan oleh apoteker. Apoteker memiliki peran sentral dalam mewujudkan pelayanan kefarmasian sesuai dengan pharmaceutical care yaitu pelayanan kefarmasian yang lebih berorientasi kepada pasien. Dalam hal ini, dibutuhkan interaksi langsung antara apoteker dengan pasien di apotek sehingga diharapkan tujuan pengobatan dapat tercapai dan kualitas hidup pasien menjadi lebih baik (Menkes RI, 2014). Untuk mewujudkan hal tersebut kehadiran apoteker di apotek menjadikan salah satu faktor penting sehingga kualitas pelayanan kefarmasian yang baik di apotek dapat terwujud.
6.2.2 Pengaruh Faktor Motivasi APA terhadap Kualitas Pelayanan Kefarmasian di Apotek Menurut Hasibuan (2007) motivasi adalah rangsangan keinginan dan pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasaan. Suatu motivasi timbul sebagai energi untuk membangkitkan dorongan diri seseorang.
60
Motivasi adalah kondisi yang berpengaruh pada perilaku seseorang yang berhubungan dengan lingkungan. Tinggi rendahnya motivasi seseorang dalam kehidupan adalah hal yang wajar, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana untuk tetap dalam kondisi termotivasi, begitu juga dalam bekerja. Tekanan pekerjaan, pikiran negatif, demotivasi antara sesama pegawai, dan banyak hal lain yang dapat menurunkan tingkat motivasi karyawan. Kurangnya motivasi karyawan
dalam
bekerja
dapat
mempengaruhi
produktivitas,
sehingga
mengakibatkan karyawan bekerja tidak optimal. Setiap perusahaan berupaya untuk mendapatkan karyawan yang dapat memberikan prestasi kerjanya dalam bentuk produktivitas kerja setinggi mungkin untuk mewujudkan tujuan perusahaan. Dengan meningkatkan produktivitas diharapkan akan tercapai tujuan dari perusahaan serta dapat meningkatkan barang atau jasa yang dihasilkan. Produktivitas karyawan perusahaan dipengaruhi oleh tiga faktor: kualitas dan kemampuan karyawan, sarana dan prasarana dan lingkungan perusahaan (Adryanto, 2012). Apotek adalah salah satu bentuk usaha yang bergerak di bidang kefarmasian. Apotek merupakan suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian (Depkes RI, 2009). Apotek sebagai bentuk usaha memiliki fungsi ekonomi dan fungsi sosial. Apotek sebagai fungsi ekonomi adalah suatu bentuk perusahaan yang
61
mengharuskan apotek tersebut memperoleh laba untuk menjaga kelangsungan usahanya. Sedangkan apotek sebagai fungsi social adalah sebagai tempat pengabdian dan pengembangan jasa pelayanan pendistribusian dan informasi obat perbekalan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan hidup pasien. Sehingga selain dituntut dari segi penjualan, apotek juga harus mengedepankan kualitas pelayanan kefarmasian yang diberikan kepada masyarakat. Apoteker berperan penting dalam pengelolaan dan pemberi pelayanan kefarmasian di apotek. Apoteker merupakan aset apotek yang sangat berharga dan harus dikelola dengan baik agar dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi apotek. Salah satu hal yang harus menjadi perhatian utama PMA sebagai pemilik apotek adalah motivasi APA dalam dalam bekerja. Jika dalam bekerja mereka tidak merasakan kenyamanan, kurang dihargai, tidak bisa mengembangkan segala potensi yang mereka miliki, maka secara otomatis mereka tidak dapat fokus dan berkonsentrasi secara penuh terhadap pekerjaannya. Kurangnya motivasi APA mengakibatkan kurangnya optimalnya apoteker dalam bekerja sehingga akan berpengaruh pada kualitas pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh apoteker kepada pasien. Motivasi yang baik perlu diciptakan sehingga berdampak pada prestasi kerja karyawan dalam bentuk produktivitas kerja setinggi mungkin untuk mewujudkan tujuan apotek. Dengan meningkatnya produktivitas diharapkan akan tercapai tujuan dari suatu perusahaan dalam hal ini adalah apotek, yaitu memberikan pelayanan kefarmasian yang baik sehingga tujuan pengobatan pasien dapat tercapai dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
62
Berdasarkan uraian di atas, sesuai dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok motivasi APA baik, dapat memberikan peluang untuk pelayanan kefarmasian yang baik 2,5 kali dibandingkan dengan kelompok motivasi APA yang kurang. Pada kelompok motivasi APA baik, proporsi pelayanan kefarmasian baik (55,3%) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok motivasi APA yang kurang (33,3%). Motivasi APA dalam memberikan pelayanan kefarmasian sebagai salah satu bentuk perilaku kesehatan berdasarkan teori Lawrence green dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat. Faktor predisposisi terdiri dari pengetahuan APA, sikap APA dan gaji. Faktor pemungkin terdiri dari omzet apotek, bonus yang diberikan perusahaan, fasilitas apotek, jumlah pasien yang berkunjung, jumlah lembar resep yang masuk per hari serta situasi dan hubungan kerja antar pegawai di apotek. Dan faktor penguat terdiri dari pelatihan yang pernah diikuti oleh APA terkait pelayanan kefarmasian, peraturan yang berhubungan dengan kualitas pelayanan kefarmasian serta peran IAI dalam mengawasi dan membimbing apoteker untuk dapat menjalankan perannya melakukan pelayanan kefarmasian yang berkualitas. Penelitian serupa pernah dilakukan yang menunjukkan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan pelayanan kefarmasian di apotek adalah motivasi APA (Harianto, dkk., 2008). Penelitian yang dilakukan pada tempat dan ruang lingkup yang berbeda menunjukkan bahwa motivasi bekerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT. AXA Financial Indonesia (Mahardika, dkk. 2012) dan terdapat korelasi positif pengaruh motivasi
63
karyawan terhadap produktivitas perusahaan tekstil PT. Unggulrejo Wasono di Purworejo (Iskandar dan Betanursanti, 2008).
6.2.3
Pengaruh
Faktor
Status
APA
terhadap
Kualitas
Pelayanan
Kefarmasian di Apotek Salah satu yang menjadi alasan apoteker jarang hadir di apotek adalah karena apoteker memiliki jabatan lain di luar apotek. Sampai saat ini masih banyak ditemukan bahwa apoteker merangkap dalam menjalankan profesinya. Menurut Riyanto (2009) pekerjaan apoteker di apotek bukanlah merupakan pekerjaan pokok mereka. Waktu kerja lebih difokuskan dan dicurahkan untuk pekerjaan pokoknya di luar apotek. Seorang apoteker bisa bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), pegawai swasta maupun berwirausaha. Oleh karena itu, jam kerja di apotek biasa dilakukan setelah waktu kerja pokok selesai dan hanya beberapa jam saja. Berdasarkan
penelitian
tentang
gambaran
pelaksanaan
pelayanan
kefarmasian di Apotek DKI Jakarta diketahui bahwa Pekerjaan APA yang bekerja tidak penuh selain apotek adalah sebagai PNS Depkes sebanyak 19 orang (36,5%), PNS non Depkes ada 10 orang ( 19,2%), pegawai swasta 15 orang (28,8%), TNI/Polri ada 4 orang (7,7%) dan yang tidak bekerja sebanyak 4 orang (7,7%) (Purwanti, dkk., 2004). Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
kefarmasian
Pasal
54
menyatakan
bahwa
apoteker
sebagai
penanggungjawab hanya dapat melakukan praktek kefarmasian pada 1 (satu)
64
apotek, atau puskesmas, atau instalasi farmasi rumah sakit. Sedangkan apoteker pendamping hanya dapat melaksanakan praktik kefarmasian paling banyak di 3 (tiga) apotek, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit (Depkes RI, 2009). Peraturan lain yang terkait dengan pekerjaan kefarmasian yang menegaskan bahwa dalam melakukan praktek keprofesiannya seorang apoteker sebagai penanggungjawab sarana pelayanan kefarmasian tidak boleh merangkap, diatur dalam Keputusan MenKes RI No.1332/MenKes/SK/X/2002 Pasal 7 dan 9 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek bahwa untuk pengajuan Surat Ijin Apotek (SIA) salah satu syarat disebutkan bahwa,
apoteker harus
melampirkan Surat Pernyataan dari APA bahwa tidak merangkap bekerja di apotek lain/Industri lain dan sanggup sebagai APA di apotek. Merangkap
atau
tidak
merangkapnya
seorang
apoteker
sebagai
penanggungjawab apotek sangat berpengaruh pada produktivitas kerja di apotek sehingga mempengaruhi kualitas pelayanan kefarmasian di apotek tersebut. Menurut Handayani dkk (2006) di Kota Jakarta, pada kelompok APA yang merangkap kegiatan yang dilakukan di apotek hanya memanajemen apotek dan melakukan pembinaan pada asisten apoteker. Sedangkan pada kelompok APA yang tidak merangkap, kegiatan yang dilakukan di apotek meliputi semua kegiatan apotek seperti pelayanan obat, pelayanan resep, pelayanan informasi obat sampai
kegiatan
pengelolaan
majerial
apotek
mulai
dari
pengadaan,
pendistribusian, penyimpanan hingga pemusnahan. Apoteker yang merangkap tidak dapat fokus pada pekerjaan di apotek sehingga tidak dapat mengambil
65
seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di apotek dibandingkan dengan apoteker yang pekerjaannya tidak merangkap. Kualitas pelayanan kefarmasian pada kelompok APA yang tidak merangkap lebih baik dibandingkan dengan kualitas pelayanan kefarmasian pada APA yang merangkap. Uji bivariat yang dilakukan pada penelitian ini, menunjukkan hal yang sejalan dimana dilihat dari nilai OR-nya dapat dinyatakan bahwa peluang apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian baik pada kelompok APA yang tidak merangkap 2,8 kali dibandingkan kelompok APA merangkap dan bermakna secara statistik. Untuk status APA, kelompok APA yang tidak merangkap proporsi pelayanan kefarmasian baik (56,6%) juga lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok APA merangkap (31,8). Sedangkan pada uji multivariat, walaupun hasil yang didapatkan tidak bermakna secara statistik, tetapi nilai OR menunjukkan adanya pengaruh yang cukup besar antara status APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian lebih baik. Peluang apotek untuk memberikan kualitas pelayanan kefarmasian baik pada kelompok APA tidak merangkap 2,5 kali dibandingkan kelompok APA merangkap. Dalam penelitian ini juga diketahui umur APA paling banyak berada pada rentang usia produktif yang dapat dikatakan masih relati muda antara 20-35 tahun (61,8%) dibandingkan dengan umur APA yang lebih dari 50 tahun yaitu hanya 13,2% . Untuk lama APA dan lama berprofesi sebagai apoteker, jumlah paling tinggi juga pada kategori APA dan apoteker yang masih baru (masih muda). Umur, lama APA dan lama berprofesi sebagai apoteker kemungkinan memiliki hubungan terhadap status APA. Umur APA yang lebih muda biasanya memiliki
66
ketaatan terhadap peraturan lebih baik dibandingkan umur APA yang tua. Begitu pula untuk lama APA dan lama menjadi apoteker, yang masih tergolong baru cenderung memiliki kepatuhan lebih tinggi terhadap peraturan yang ada dibandingkan dengan yang sudah lama berprofesi sebagai apoteker maupun menjadi APA di apotek. Kemungkinan jumlah status APA yang tidak merangkap didominasi oleh umur APA yang masih muda dan masih baru menjadi apoteker maupun APA. Secara tidak langsung status APA yang tidak merangkap memungkinkan untuk apoteker lebih sering hadir di apotek. Hal ini dapat dilihat dari apotek yang APAnya berumur masih tergolong muda dan masih baru lebih banyak yang hadir dan ada di apotek pada saat dilakukan kunjungan ke apotek dibandingkan APA yang berumur lebih dari 50 tahun (tergolong tua) karena APAnya fokus pada satu apotek dan pekerjaannya tidak merangkap. Hal lain yang mungkin dapat terjadi yang berhunbungan dengan status APA yaitu rendahnya pengawasan dari pemerintah terhadap implementasi KepMenKes
No.1027/MENKES/SK/IX/2004
Kefarmasian di Apotek. Selain penyebab
tentang
Standar
Pelayanan
rendahnya kehadiran apoteker,
rendahnya pengawasan dan kurangnya sanksi yang diberikan juga kemungkinan menjadi penyebab masih banyaknya APA yang bekerja merangkap.
6.2.4 Pengaruh Faktor Kepemilikan Apotek terhadap Kualitas Pelayanan Kefarmasian di Apotek Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada apotek yang dimiliki oleh APA, proporsi kualitas pelayanan kefarmasian baik lebih tinggi sebesar 71,4%
67
dibandingkan dengan dengan kepemilikan apotek oleh PMA yaitu 42,6%. Peluang apotek untuk dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang baik 3,4 kali pada kepemilikan apotek oleh APA dibandingkan dengan kepemilikan apotek oleh PMA dan bermakna secara statistika. Berdasarkan Classical Theory of Managerial Firm yang dikutip dari Darmawati, dkk (2005) terdapat 2 tipe kepemilikan suatu usaha atau perusahaan yaitu tipe 1 yaitu perusahaan yang dikelola oleh suatu manajemen dan tipe 2 yaitu perusahaan yang dikelola oleh pemilik langsung. Teori ini juga menjelaskan bahwa terjadi perbedaan kinerja perusahaan yang dikelola oleh manajemen dengan perusahaan yang dikelola langsung oleh pemilik perusahaan. Tipe kepemilikan berpengaruh terhadap kinerja dari perusahaan. Perusahaan yang dikontrol oleh pemiliknya akan menghasilkan kinerja perusahaan yang lebih baik dengan tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang dikelola oleh suatu manajemen. Penelitian tentang analisis pengaruh struktur kepemilikan terhadap kinerja perusahaan yang dilakukan Ardianingsih dan Komala (2010) diketahui bahwa struktur kepemilikan memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kinerja perusahaan. Semakin meningkat proporsi kepemilikan saham perusahaan maka semakin baik kinerja perusahaan. Besar kecil kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan ada kesamaan kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham atau pemilik perusahaan. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker (Menkes RI, 2014). Apotek adalah suatu usaha yang
68
bergerak dibidang pelayanan khususnya pelayanan kefarmasian. Banyak tipe kepemilikan dalam pengelolaan apotek, antara lain apotek yang dimiliki oleh PMA, apotek yang dimiliki langsung oleh APA, apotek yang kepemilikannya terdiri dari APA dan juga PMA. Di Kota Denpasar, berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui hanya terdiri dari 2 jenis kepemilikan apotek. Apotek yang dimiliki sendiri oleh APA dan apotek yang dimiliki oleh PMA. Namun sebagian besar apotek yang terdapat di Kota Denpasar tidak dimiliki langsung oleh apotekernya (79,4% apotek dimiliki oleh PMA). Apoteker dalam hal ini APA hanya berperan sebagai pihak pengelola dan penanggungjawab apotek. Apotek yang dikelola dan dimiliki langsung oleh APA memberikan kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik dibandingkan dengan apotek yang dimiliki oleh PMA. Penelitian yang dilakukan pada apotek di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam menunjukkan hasil analisis bivariat
bahwa ada hubungan yang
bermakna antara status kepemilikan sarana/prasarana apotek dengan kinerja apoteker. Dan dari analisis multivariate, status kepemilikan apotek juga merupakan variabel yang paling dominan memiliki hubungan terhadap kinerja apoteker di apotek (Nisma, 2004). Perolehan skor pelayanan dipengaruhi oleh kepemilikan modal apotek dan kehadiran APA. APA yang memiliki sebagian atau seluruh modal apotek cenderung mempunyai kualitas pelayanan yang lebih baik dan apoteker lebih sering hadir di apotek (Harianto, dkk., 2008).
69
6.3 Uji Multivariat Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kualitas Pelayanan Kefarmasian Uji multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas yang paling dominan terhadap variabel tergantung. multivariat,
dilakukan
dahulu
uji
Sebelum dianalisis dengan uji
multikolinieritas
untuk
mengetahui
hubungan/korelasi (r) antar variabel bebas. Antara keempat variabel bebas tersebut tidak boleh memiliki hubungan korelasi kuat ( r ≥ 0,7 atau r ≤ -0,7). Keempat variabel bebas tersebut memiliki korelasi yang lemah sehingga dapat dilakukan uji multivariate. Berdasarkan uji multivariat yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa keempat variabel bebas (kehadiran APA, kepemilikan apotek, motivasi APA dan status APA) memiliki pengaruh sehingga dapat meningkatkan peluang terhadap variabel tergantung (kualitas pelayanan kefarmasian di apotek) dengan nilai OR > 1. Peluang apotek untuk memberikan kualitas pelayanan kefarmasian baik pada kehadiran 2 (APA tidak hadir setiap hari dan melakukan pelayanan kefarmasian) 3,3 kali dibandingkan dengan kehadiran 1 (APA tidak hadir, dan atau tidak hadir setiap hari dan tidak melakukan pelayanan kefarmasian). Peluang apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian baik pada kehadiran 3 (APA hadir setiap hari dan melakukan pelayanan kefarmasian) 3,3 kali dibandingkan dengan kehadiran 2. Pengaruh faktor motivasi APA, pada kelompok APA dengan motivasi baik memiliki peluang 3,3 kali dibandingkan dengan kelompok APA dengan motivasi kurang untuk memberikan pelayanan kefarmasian yang baik. Pada status APA, peluang apotek untuk memberikan kualitas pelayanan
70
kefarmasian baik pada kelompok APA tidak merangkap 2,5 kali dibandingkan kelompok APA merangkap. Berdasarkan nilai p diketahui bahwa faktor kehadiran APA, motivasi APA dan status APA tidak bermakna secara statistik dengan nilai p > 0,05. Dari keempat variabel bebas, hanya variabel kepemilikan apotek yang bermakna secara statistika dengan nilai p ≤ 0,05. Faktor kepemilikan apotek adalah variabel yang paling berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek. Hal ini ditunjukkan dari nilai OR yang paling tinggi dibandingkan keempat variabel bebas yang lain (OR = 4,9) dan nilai p ≤ 0,05 yang menunjukkan faktor kepemilikan apotek bermakna secara statistika. Peluang apotek untuk memberikan kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik pada kelompok kepemilikan apotek oleh APA 4,9 kali dibandingkan dengan kelompok kepemilikan apotek oleh PMA. Hasil penelitian serupa juga ditemukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menunjukkan bahwa dari analisis multivariat yang dilakukan untuk melihat
faktor-faktor
yang
berhubungan dengan pelaksanaan pelayanan
kefarmasian oleh apoteker di apotek hanya 2 variabel yang berpotensi sebagai determinan yaitu imbalan dan status kepemilikan sarana/prasarana. Variabel yang paling dominan berhubungan dengan pelaksanaan pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek adalah status kepemilikan sarana/prasarana (Nisma, 2004). Struktur kepemilikan memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kinerja perusahaan sehingga semakin meningkat proporsi kepemilikan saham perusahaan maka semakin baik kinerja perusahaan (Ardianingsih dan Komala, 2010). Faktor kepemilikan apotek akan mempengaruhi kinerja apoteker dalam memberikan
71
pelayanan kefarmasian di apotek. Jika apotek tersebut dimiliki langsung oleh APA, tentunya apoteker tersebut akan memberikan kinerja yang lebih baik dalam melakukan pelayanan kefarmasian di apotek dibandingkan dengan apotek yang bukan milik APA sendiri (apotek milik PMA) sehingga apotek yang dimiliki sendiri oleh APA akan memiliki kualitas pelayanan kefarmasian lebih baik dibandingkan dengan apotek yang tidak dimiliki sendiri oleh APA atau dimiliki oleh PMA. Secara umum apotek yang dimiliki oleh PMA cenderung mengutamakan untung atau sisi bisnis dibandingkan dengan kualitas pelayanan kefarmasian yang seharusnya sesuai dengan standar (Ginting, 2009). Variabel kehadiran muncul sebagai faktor dominan yang berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek Kota Jakarta pada uji multivariat. Variabel kehadiran memiliki korelasi yang kuat dengan variabel kepemilikan apotek. Sehingga variabel kehadiran di dalam model sudah dapat menerangkan pula tentang variabel kepemilikan. Bila APA memiliki sebagian atau seluruh modal apotek kemungkinan APA akan lebih banyak mencurahkan waktunya di apotek. Sehingga APA sebagai pemilik apotek cenderung memiliki kehadiran APA yang tinggi di apotek (Harianto dkk., 2008). Kehadiran APA merupakan salah satu faktor penting dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian karena apoteker berperan sentral dalam seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di apotek. Bila APA lebih sering hadir, tentunya pelayanan kefarmasian juga akan lebih sering dilakukan oleh apoteker dibandingkan dengan asisten apoteker. Dimana seharusnya memang apotekerlah yang berperan penting dalam memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien di apotek. Kepemilikan apotek
72
berpengaruh terhadap kehadiran APA di apotek sehingga semakin sering APA hadir di apotek dan memberikan pelayanan kefarmasian maka kualitas pelayanan kefarmasian di apotek tersebut semakin baik. Meningkatnya kualitas pelayanan kefarmasian di apotek, diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan derajat kesehatan masyarakat. Berdasarkan uji bivariat yang telah dilakukan diketahui bahwa ada 3 faktor yang bermakna secara statistik (p ≤ 0,05) yaitu kehadiran APA, status APA dan kepemilikan apotek, sedangkan pada uji multivariat hanya faktor kepemilikan yang muncul sebagai faktor dominan yang paling berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek dengan nilai OR paling tinggi dan bermakna secara statistik (p = 0,05), hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh jumlah sampel yang sangat terbatas. Pada analisis multivariat dengan model regresi logistik memiliki beberapa keterbatasan seperti sulitnya digeneralisasi dalam keadaan nyata dan membutuhkan jumlah subjek yang besar, terutama apabila jumlah variabel bebasnya banyak. Jumlah subjek penelitian yang digunakan sebaiknya 50 kali dari jumlah variabel bebas pada penelitian tersebut (Sudigdo, 2011). Karena kurangnya jumlah sampel tersebut merupakan salah satu penyebab faktor-faktor lain tidak bermakna secara statistic pada uji multivariat.
6.4 Implikasi Hasil Penelitian terhadap Praktis dan Kebijakan yang Ada Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Kota Denpasar diketahui bahwa apotek dengan kualitas pelayanan kefarmasian yang baik jumlahnya sudah cukup banyak 51,5% (35 apotek), namun apotek yang memiliki kualitas
73
pelayanan kefarmasian buruk di Kota Denpasar jumlahnya juga masih cukup tinggi 48,5% (33 apotek). Kualitas pelayanan kefarmasian yang buruk salah satu faktor penyebabnya karena masih kurangnya kehadiran apoteker di apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian secara langsung kepada pasien. Kehadiran apoteker yang sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian hanya 20,6%. Sebanyak 79,4% APA tidak hadir dan tidak melakukan pelayanan kefarmasian di apotek. Berdasarkan PP 51 Tahun 2009 yang mengatur tentang pekerjaan kefarmasian, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Jadi, yang seharusnya melakukan pelayanan kefarmasian di apotek adalah apoteker. Apoteker memiliki peran penting dan wajib melakukan interaksi langsung dengan pasien terkait pengobatan yang diterima oleh pasien. Pelayanan kefarmasian mengarahkan pasien tentang kebiasaan/pola hidup yang mendukung tercapainya keberhasilan pengobatan, memberikan informasi tentang program pengobatan yang harus dijalani pasien, memonitor hasil pengobatan dan bekerja sama dengan profesi kesehatan lainnya untuk mencapai kualitas hidup optimal bagi pasien. Rendahnya kehadiran APA di apotek dipengaruhi oleh faktor kepemilikan apotek. Bila APA memiliki sebagian atau seluruh modal apotek, maka APA akan lebih banyak mencurahkan waktunya di apotek (Harianto., dkk, 2008). Cara lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kehadiran APA di apotek selain karena faktor kepemilikan misalnya dengan memaksimalkan peran Ikatan Profesi dalam hal ini adalah IAI, melakukan pengawasan oleh BBPOM dan rutin memberikan
74
pelatihan serta pembinaan kepada apoteker untuk meningkatkan peran apoteker di apotek sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek. IAI merupakan ikatan profesi apoteker yang menjadi wadah bagi apoteker dalam melakukan mediasi antara APA dan PMA. IAI biasanya terdapat di setiap daerah atau kabupaten, seperti halnya di Kota Denpasar yaitu IAI Kota Denpasar. Rendahnya kehadiran APA di apotek dapat disebabkan karena tidak ada kepuasan dalam hal kesepakatan perjanjian antara APA dan PMA antara hak dan kewajiban APA di apotek. Seperti halnya dari segi imbalan APA di apotek, jam kerja APA ataupun yang lainnya. Hal-hal seperti ini mungkin bisa dimediasi oleh IAI, dengan dibuatkannya peraturan kesepakatan yang didalamnya mengatur tentang hak serta kewajiban APA sebagai penanggung jawab apotek dan PMA sebagai pemilik sarana apotek yang disesuaikan dengan keadaan masing-masing daerah serta yang paling penting adalah kesepakatan tersebut harus ditaati oleh APA maupun PMA. Sebelum diberlakukan aturan tersebut sebaiknya dilakukan sosialisasi bukan hanya dari pihak APA tetapi juga PMA, agar PMA lebih memahami antara hak dan kewajiban APA sebagai penanggungjawab apotek misalnya terkait kehadiran APA di apotek, imbalan APA, tugas dan wewenang APA di apotek dan lainnya yang berkaitan dengan kegiatan apotek. Selain IAI, BPOM dan Dinas Kesehatan setempat juga berperan penting dalam melakukan pengawasan dan melakukan pembinaan kepada apoteker sehigga dapat meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di apotek. Untuk menjaga mutu pelayanan kefarmasian yang baik, salah satunya dengan melakukan pengawasan terhadap kehadiran dan peran APA di apotek. BPOM sebagai
75
institusi yang bertanggung jawab terhadap peredaran obat dan pangan di masyarakat wajib memastikan adanya kehadiran apoteker di apotek untuk memberikan pelayanan langsung kepada pasien seperti yang selama ini telah berjalan, namun pengawasan yang dilakukan diharapkan tidak hanya berfokus pada beberapa apotek seperti apotek-apotek besar, tetapi seluruh apotek yang ada sehingga ada keadilan dan kesamaan peran dan fungsi APA di apotek. Selain itu, sebaiknya pengawasan selalu dilakukan secara rutin, tidak hanya pada saat-saat tertentu atau jika ditemukan kasus tertentu baru kemudian BBPOM mengadakan sidak ke apotek. Sedangkan Dinas Kesehatan sebagai lembaga pemerintah yang menaungi keberadaan apotek, diharapkan dapat
secara rutin dan menyeluruh
memberikan pelatihan dan pembinaan terkait pelayanan kefarmasian yang harus diberikan apoteker kepada pasien sehingga tercapai tujuan pengobatan yang optimal bagi pasien dan meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek tersebut. Karena selama ini pelatihan dan pembinaan yang dilakukan tidak berkala serta yang diberikan pelatihan tidak menyasar kepada semua apotek yang ada, hanya beberapa apotek saja.
6.5 Keterbatasan Penelitian Pada penelitian tentu ada keterbatasan yang tidak bisa terpenuhi. Pembahasan tentang keterbatasan penelitian akan meliputi keterbatasan tentang jumlah sampel yang digunakan untuk penelitian dan keterbatasan tentang pemilihan sampel penelitian.
76
6.5.1 Keterbatasan dalam Besar Sampel yang Digunakan dalam Penelitian Dalam penelitian salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan oleh peneliti adalah besar sampel yang akan digunakan dalam penelitian. Perbedaan hasil klinis yang sangat kecil dapat bermakna secara statistika apabila jumlah subjeknya sangat banyak. Sebaliknya terkadang perbedaan klinik yang sebenarnya amat mencolok dapat menjadi tidak bermakna secara statistika apabila jumlah subjek yang digunakan terlalu sedikit. Banyak penelitian yang tidak dipublikasi oleh karena hasilnya tidak bermakna secara statistika meskipun sebenarnya secara klinis hasilnya sangat penting. Hal ini menimbulkan apa yang disebut dengan bias publikasi. Karena umumnya pustaka yang digunakan didominasi oleh data dari penelitian yang dipublikasi, yang biasanya bermakna secara statistika. Sebagian studi dengan hasil secara statistika tidak bermakna ini sebenarnya semata-mata hanya disebabkan oleh kurangnya jumlah subjek yang digunakan dalam penelitian (Sudigdo, 2011). Pada analisis multivariat dengan model regresi logistik memiliki beberapa keterbatasan
seperti
sulitnya
digeneralisasi
dalam
keadaan
nyata
dan
membutuhkan jumlah subjek yang besar, terutama apabila jumlah variabel bebasnya banyak. Jumlah subjek penelitian yang digunakan sebaiknya 50 kali dari jumlah variabel bebas pada penelitian tersebut (Sudigdo, 2011). Misalnya jika jumlah variabel bebas yang diujikan dalam penelitian sebanyak 4 variabel bebas, maka sebaiknya jumlah sampel yang digunakan minimal adalah 200 subjek penelitian.
77
Pada penelitian ini, menunjukan bahwa pada analisis multivariat yang dilakukan dari ke empat variabel bebas yang diujikan hanya 1 variabel bebas yang menunjukkan bermakna secara statistic, walaupun pada analisa bivariat ada 3 variabel yang bermakna secara statistika. Hal ini dimungkinkan karena besar sampel penelitian yang digunakan tidak terpenuhi sehingga mempengaruhi kemaknaan secara statistika. Ketika disadari bahwa besar sampel yang digunakan kecil maka selain nilai p, kuatnya hubungan atau kuatnya asosiasi dapat dilihat berdasarkan nilai risiko relative, rasio odds atau rasio prevalens, maka nilai rasio yang menjauhi angka 1 menunjukkan hubungan yang lebih kuat. 6.5.2 Keterbatasan dalam Pemilihan Sampel Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah seluruh APA di apotek Kota Denpasar, Provinsi Bali. Pemilihan sampel penelitian dilakukan secara acak (random sampling) dengan systematic random sampling. Pemilihan sampel yang dilakukan tidak dapat mewakili semua kecamatan yang ada di Kota Denpasar. Hal ini dikarenakan sulitnya untuk mencari sampel di lapangan, dikarenakan beberapa alasan banyak apotek yang enggan untuk dijadikan sampel karena apotekernya tidak bersedia diwawancara, apotekernya sulit ditemui, pihak pengelola apotek yang keberatan apoteknya dijadikan sampel, dari data yang didapatkan tidak sedikit apotek yang sudah tutup. Sehingga untuk mendapatkan sebaran sampel yang merata berdasarkan pembagian wilayah kecamatan di Kota Denpasar tidak dapat terpenuhi dalam penelitian ini.
78
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
2.7 SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat dibuat beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Pada faktor kehadiran, APA hadir setiap hari dan melakukan pelayanan kefarmasian, proporsi kualitas pelayanan kefarmasian baik 64,3%. Peluang apotek untuk dapat memberikan kualitas pelayanan kefarmasian baik 6,75 kali lebih baik pada apotek yang APAnya hadir sesuai dengan standar dibandingkan apotek yang APAnya tidak atau jarang hadir dan tidak melakukan pelayanan (p = 0,01). 2. Pada Motivasi APA, kelompok motivasi APA baik akan memberikan kualitas pelayanan kefarmasian lebih baik (55,3%) dibandingkan pada kelompok motivasi APA kurang (33,3). Peluang apotek untuk memberikan kualitas pelayanan kefarmasian yang baik pada kelompok motivasi APA baik 2,5 kali dibandingkan dengan kelompok motivasi APA yang kurang (p = 0,09). 3. Pada status APA, kelompok APA yang tidak merangkap akan memberikan kualitas pelayanan kefarmasian baik (56,6%) dibandingkan dengan kelompok APA merangkap (31,8%). Peluang apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian baik pada kelompok APA yang tidak merangkap 2,8 kali dibandingkan kelompok APA merangkap (p =0,05).
78
79
4. Pada kepemilikan apotek, apotek yang dimiliki oleh APA memberikan kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik (71,4%) dibandingkan dengan kepemilikan apotek oleh PMA (42,6%). Apotek yang dimiliki langsung oleh APA berpeluang untuk dapat memberikan kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik 3,4 kali dibandingkan apotek milik PMA. Faktor kepemilikan merupakan variabel yang paling dominan brpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek dengan OR = 4,9 dan p = 0,05. 5. Apotek yang memiliki kualitas pelayanan kefarmasian buruk di Kota Denpasar masih cukup tinggi yaitu 48,5% (33 apotek), sedangkan apotek yang kualitas pelayanan kefarmasian baik di Kota Denpasar sebanyak 51,5% (35 apotek).
2.8 SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terutama pembahasan implikasi hasil penelitian terhadap upaya peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek oleh apoteker dan berdasarkan simpulan yang diambil maka dapat dirumuskan saran sebagai berikut: 1. Meningkatkan kehadiran APA di apotek sebagai pemberi pelayanan kefarmasian kepada pasien dengan memaksimalkan peran IAI yang merupakan wadah bagi apoteker dalam melakukan mediasi antara APA dan PMA. Rendahnya kehadiran APA di apotek dapat disebabkan karena tidak ada kepuasan dalam hal kesepakatan perjanjian antara APA dan
80
PMA antara hak dan kewajiban APA di apotek sehingga dapat membuatkan standar kesepakatan yang didalamnya mengatur tentang hak serta kewajiban APA sebagai penanggung jawab apotek dan PMA sebagai pemilik sarana apotek yang disesuaikan dengan keadaan masing-masing daerah serta yang paling penting adalah kesepakatan tersebut harus ditaati oleh APA maupun PMA. Sebelum diberlakukan aturan tersebut sebaiknya dilakukan sosialisasi bukan hanya dari pihak APA tetapi juga PMA, agar PMA lebih memahami antara hak dan kewajiban APA sebagai penanggungjawab apotek misalnya terkait kehadiran APA di apotek, imbalan APA, tugas dan wewenang APA di apotek dan lainnya yang berkaitan dengan kegiatan apotek. 2. BPOM sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap peredaran obat dan pangan di masyarakat wajib memastikan adanya kehadiran apoteker di apotek untuk memberikan pelayanan langsung kepada pasien seperti yang selama ini telah berjalan, namun pengawasan yang dilakukan diharapkan tidak hanya berfokus pada beberapa apotek seperti apotek-apotek besar, tetapi seluruh apotek yang ada sehingga ada keadilan dan kesamaan peran serta fungsi APA di apotek. Pengawasan sebaiknya dilakukan secara rutin, tidak hanya pada saat-saat tertentu atau jika ditemukan kasus tertentu, baru kemudian BBPOM mengadakan sidak ke apotek. Sedangkan Dinas Kesehatan sebagai lembaga pemerintah yang menaungi keberadaan apotek, diharapkan dapat
secara rutin dan menyeluruh memberikan
pelatihan dan pembinaan terkait pelayanan kefarmasian yang harus
81
diberikan apoteker kepada pasien sehingga tercapai tujuan pengobatan yang optimal bagi pasien dan meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek tersebut. Karena selama ini pelatihan dan embinaan yang dilakukan tidak berkala serta yang diberikan pelatihan tidak menyasar kepada semua apotek yang ada, hanya pada beberapa apotek saja. 3. PMA sebagai pemilik sarana apotek dapat selalu melakukan diskusi dengan APA sebagai pengelola apotek terkait dengan keadaan ataupun permasalahan yang mungkin muncul di apotek atau adanya ketidakpuasan PMA maupun APA. Kepuasan kerja yang didapatkan oleh APA dapat meningkatkan motivasi APA untuk bekerja dan meningkatkan kehadiran APA di apotek sehingga meningkatkan pula mutu kualitas pelayanan di apotek tersebut. 4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat dilakukan penelitian lanjutan tentang mutu layanan kefarmasian yang dinilai dari segi ekternal, yaitu dari segi pasien salah satunya dengan mengukur waktu peracikan dan pemberian obat kepada pasien atau waktu tunggu penerimaan obat.
82
DAFTAR PUSTAKA
Adryanto, Michael. 2012. Tips and Tricks for Driving Productivity: Strategi dan Teknik Mengelola Kinerja untuk Meningkatkan Produktivitas. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Ardianingsih, Arum., dan Komala Ardiyani. 2010. Analisis Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap Kinerja Perusahaan. Jurnal Pena, Vol. 19 No. 2, September 2010 UI. Jakarta : Universitas Indonesia Darmawati, Deni, Khomsiyah, Rika G. 2005. Hubungan Corporate Governance, Kepemilikan Perusahaan terhadap Kinerja Perusahaan. Jakarta : Jurnal Riset Akuntansi Universitas Indonesia. Vol 8 No.1 Depkes RI. 2003. Kepmenkes RI Nomor 679/Menkes/SK/V/2003 tentang Registrasi dan Izin Kerja Asisten Apoteker. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2006. Standar Pelayanan Farmasi di Apotek,. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Yanfar dan Alkes, Departemen Kesehatan RI. Depkes RI. 2008. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Depkes RI. 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dinas Kesehatan Provinsi Bali. 2014. Profil Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2013. Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Dinas Perijinan Kota Denpasar. 2014. Data Permohonan Ijin Apotek. Denpasar. BPPSP dan Pemerintahan Kota Denpasar Ginting, BR Adelina. 2009. Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Kota Medan Tahun 2008 (Skripsi). Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara-Medan. Gunawan, Rai., dkk. 2011. Tingkat Kehadiran Apoteker Serta Pembelian Obat Keras Tanpa Resep di Apotek. Bali : Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.
83
Handayani, Rini Sasanti., Retno Gitawati, S.R Muktiningsih dan Raharni. 2006. Eksplorasi Pelayanan Informasi yang Dibutuhkan Konsumen Apotek dan Kesiapan Apoteker Memberi Informasi Terutama untuk Penyakit Kronik dan Degeneratif. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol.III. Puslitbang Farmasi dan Obat Tradisional Badan Litbangkes. Harianto, Angki Purwanti dan Sudibyo Supardi. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Draft Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di DKI Jakarta. Farmasi FMIPA-Universitas Indonesia. Jakarta. Hasibuan. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia, cetakan ke sembilan. Jakarta : PT Bumi Aksara IAI. 2014. Standar Praktik Apoteker. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia ISFI. 2000 Standar Pelayanan Pengabdian Profesi Apoteker di Apotek, Kongres Nasional Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia ISFI XVI, BPP ISFI, Jakarta. Iskandar, Dedi dan Ida Betanursanti. 2008. Pengaruh Motivasi Karyawan terhadap Produktivitas Perusahaan Tekstil PT. Unggulrejo Wasono di Purworejo. Program Studi Teknik Industri Sekolah Tinggi Teknologi Muhammadiyah Kebumen Kemenkes RI. 2003. Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI, Kementrian Kesehatan RI. Kemenkes RI. 2011. Profil Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2010. Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI, Kementrian Kesehatan RI. Kuncahyo, I. 2004. Dilema Apoteker dalam Pelayanan Kefarmasian. Surakarta. http://www.suarapembaruan.com/news/2004/04/29/Editor/edi04.htm Mahardika, Rangga., Djamhur Hamid dan Ika Ruhana. 2012. Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan PT. AXA FINANCIAL INDONESIA SALES OFFICE MALANG Tahun 2012. Malang : Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang Menkes RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. Menteri Kesehatan Republik Indonesia
84
Monita. 2009. Evaluasi Implementasi Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Kota Padang, Tesis. Yogyakarta : Program Pascasarjana Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Nisma, Gaizi. 2004. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kinerja Apoteker dalam Pelayanan Resep di Apotek Propinsi Nangroe Aceh Darussalam Tahun 2003 (Tesis). Jakarta : Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Notoadmojo, S. 2007. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta, Jakarta Purwanti, Angki dkk. 2004. Gambaran Pelaksanaan Standar Pelayanan Farmasi di Apotek DKI Jakarta Tahun 2003(Jurnal). Departemen Farmasi, FMIPA UI (Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol.1 No.2. Agustus 2004, 102-115). Rachmandani, Ankie Aulia.,Sampurno, dan Achmad Purnomo. 2011. Peran Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Dalam Upaya Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Magister Manajemen Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada. Riyanto, Yanuar Muncar. 2009. Peran Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dalam Melaksanakan Pengawasan Kompetensi Apoteker Dan Pelayanan Kefarmasian Apotek di Kota Semarang. Diss. Unika Soegijapranata. Sastrohadiwiryo, Siswanto. 2003. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia Pendekatan Administratif dan Operasional, Cetakan pertama. Jakarta : PT. Bumi Aksara Sidrotullah. 2012. Evaluasi Pelaksanaan Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit Umum Daerah Kelas C di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Tesis. Yogyakarta : Program Pascasarjana Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Sudigdo, Sastroasmoro. 2011. Dasar-dasar Metodelogi Penelitian Klinis. CV. Sagung Seto Supardi, Sudibyo., Rini Sasanti, Rahami, Herman, Andi Leny Susyanty. 2011. Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dan Kebutuhan Pelatihan Bagi Apotekernya. Jakarta : Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes Kemkes RI. Wiryanto. 2005. Analisis Impas: Peluang Penerapan Standar di Apotek dalam Media Farmasi. An Indonesia Pharmaceutical Journal. Jakarta : Univesitas Indonesia.
85
SURAT PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN SUBJEK PENELITIAN (INFORMED CONSENT) Saya yang bernama Made Novianita, S.Farm., Apt./ NIM 129 216 1029 adalah Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Udayana. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu kegiatan dalam menyelesaikan proses belajar mengajar pada program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Udayana. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas pelayanan kefarmasian di apotek Kota Denpasar dan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pelayanan kefarmasian tersebut. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek. Berdasarkan hal tersebut, saya memohon kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi partisipan dalam penelitian
untuk memberikan informasi yang
diperlukan untuk penelitian ini. Saya memohon
kesediaan Bapak/Ibu untuk
mengisi kuesioner dengan jujur dan apa adanya. Identitas pribadi dan apotek sebagai partisipan akan kami jaga kerahasiaannya. Semua informasi yang diberikan bersifat rahasia dan hanya akan digunakan untuk penelitian ini. Jika Bapak/Ibu bersedia, dimohon untuk dapat menandatangani persetujuan ini sebagai bukti kesukarelaan Bapak/Ibu sebagai partisipan dalam kegiatan penelitian ini. Jika ada hal yang kurang dipahami Bapak/Ibu dapat bertanya langsung ke peneliti di lapangan atau dapat menghubungi peneliti utama yaitu Made Novianita (hp : 081805348717). Atas perhatian dan kesediaan Bapak/Ibu penelitian ini saya ucapkan terima kasih.
menjadi partisipan dalam
86
Denpasar, ………………………… 2014 Peneliti
(Made Novianita )
Apoteker Pengelola Apotek (APA)
(
)
87
Form 1 PELAYANAN KEFARMAMSIAN DI APOTEK PADA APOTEK DI KOTA DENPASAR MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PASCASARJANA UNUD KODE APOTEK : DATA DASAR 1. Nama Apotek 2. Alamat dan Telp 3. Nama APA 4. Status Kepemilikan Apotek ……………. 5. Umur APA 6. Jenis Kelamin 7. Pendidikan Terakhir 8. Tahun Pendidikan Apoteker 9. Lama berprofesi sbg Apoteker 10. Lama menjadi APA di apotek ini 11. Status APA Negeri/Swasta)
: : : : Milik PSA/Milik APA/laen-laen : : : : : : : : a. Merangkap (Pegawai b. Tidak Merangkap
88
WAWANCARA TERSTRUKTUR PELAYANAN KEFARMAMSIAN DI APOTEK PADA APOTEK DI KOTA DENPASAR MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PASCASARJANA UNUD RESPONDEN ADALAH APOTEKER PENGELOLA APOTEK (APA) DI APOTEK KODE APOTEK : KEHADIRAN APOTEKER 1. Apakah anda selalu hadir setiap hari kerja di apotek? 1 Tidak 2 Ya 2. Pukul berapa anda hadir dan pulang dari apotek ? ……………s/d…………. PENGETAHUAN 3. Apakah anda tahu tentang adanya standar pelayanan kefarmasian yang ditetapkan oleh pemerintah (depkes) ? 1. Tidak Tahu (Langsung ke pertanyaan nomor 5) 2. Tahu 4. Di bawah ini peraturan mana yang isinya mengatur tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek ? 1. PP No.51 tahun 2009 2. KepMenKes RI Nomor: 1027/Menkes/SK/IX/2004 5. Apa saja yang tertuang dalam peraturan tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek ? (Jawaban boleh lebih dari satu) a. Ketenagaan di apotek b. Pelayanan informasi obat dan resep c. Pelayanan pengelolaan alkes dan sediaan farmasi d. Administrasi dan evaluasi mutu pelayanan e. Penggolongan Obat f. Aturan tentang tata letak apotek g. Hubungan kerjasama antara apoteker dengan PMA h. Pemesanan dan pemusnahan obat 6. Dalam melakukan pemusnahan obat, surat pemusnahan akan ditujukan kepada siapa saja? a. Kepala Dinas Kesehatan Kota/kabupaten b. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi c. Puskesmas setempat d. Rumah Sakit Daerah e. Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan
89
7. Berikut ini, menurut anda adalah tata pengelolaan resep yang benar yaitu.. a. Resep asli dan copy resep harus dipisahkan b. Resep yang berisi psikotropika dipisahkan dan obat yang mengandung psikotropika digaris bawah dengan tinta merah c. Resep asli dikumpulkan berdasarkan tanggal yang sama dan diurutkan sesuai nomor resep. d. Resep dibendel sesuai dengan kelompoknya. e. Resep disimpan dan setelah 5 tahun baru boleh dimusnahkan sesuai tata cara pemusnahan SIKAP 8. Apakah anda setuju dengan peraturan yang mengatur tentang pelayanan kefarmasian di apotek? 1. Tidak Setuju 2. Setuju 9. Menurut anda, siapa yang seharusnya melakukan pelayanan resep? a. Karyawan di apotek b. Tenaga farmasi (siapa saja bole, asisten apoteker atau apoteker) c. Hanya apoteker 10. Bagaimana pendapat anda tentang peraturan yang menetapkan “no pharmacys no service” ? 1. Tidak setuju 2. Setuju 3. Sangat setuju 11. Bagaimana pendapat anda tentang apoteker yang hanya memiliki ijin untuk 1 apotek ? 1 tempat sebagai APA tanpa boleh menjadi APING di tempat lain? 1. Tidak setuju 2. Setuju 3. Sangat Setuju 12. Apakah anda setuju jika setiap apotek harus dilengkapi dengan apoteker pendamping? 1. Tidak setuju 2. Setuju 3. Sangat Setuju 13. Apakah anda setuju jika pemerintah dalam hal ini BBPOM menutup apotek yang apotekernya tidak standby? 1. Tidak setuju 2. Setuju 3. Sangat setuju 14. Apakah anda setuju jika pemerintah dalam hal ini BBPOM menutup
90
apotek yang tidak memiliki APING? 1. Tidak setuju 2. Setuju 3. Sangat setuju 15. Apakah anda setuju jika pada saat penyerahan obat kepada pasien harus disertai dengan KIE yang lengkap, sehingga keberadaan ruang Konseling sangat penting? 1. Tidak setuju 2. Setuju 3. Sangat setuju 16. Apakah anda setuju jika pelayanan resep hanya boleh dilakukan oleh apoteker ? 1. Tidak setuju 2. Setuju 3. Sangat setuju 17. Apakah anda setuju, jika penyerahan obat dan pemberian KIE harus dilakukan oleh apoteker? 1. Tidak setuju 2. Setuju 3. Sangat setuju 18. Apakah anda setuju bahwa apotek harus memiliki kartu pengobatan pasien (Medication Record) ? 1. Tidak setuju 2. Setuju 3. Sangat setuju 19. Apakah setiap obat apotek ini dilengkapi dengan kartu stok? 1. Tidak 2. Ya JARAK 20. Berapa jarak antara apotek dengan tempat tinggal anda? PERAN PMA 21. Apakah PMA anda mewajibkan anda untuk hadir setiap hari (hari kerja) di apotek ? 1. Tidak 2. Ya 22. Sejauh mana PMA anda mengevaluasi kehadiran anda di apotek ? a. Tidak Pernah b. Jarang
91
c. Sering 23. Apakah anda sering melakukan diskusi dengan PMA tentang keadaan apotek ? a. Tidak Pernah b. Jarang c. Sering PERATURAN 24. Apakah anda pernah tahu tentang sanksi yang diberlakukan jika standar pelayanan kefarmasian tidak memenuhi standar? 1. Tidak Pernah 2. Pernah PERAN IAI 25. Apakah ikatan profesi anda (IAI Bali) pernah melakukan evaluasi terkait pelayanan kefarmasian di apotek ? a. Tidak Pernah b. Jarang c. Sering 26. Apakah IAI pernah melakukan pendampingan/ penyuluhan terkait pelayanan kefarmasian? a. Tidak Pernah b. Jarang c. Sering 27. Dalam setahun terakhir apakah IAI pernah melakukan penyuluhan/seminar/kegiatan lain terkait peningkatan pelayanan kefarmasian ? a. Tidak Pernah b. Pernah c. Jarang PELATIHAN 28. Apakah anda pernah mengikuti penyuluhan/seminar/pelatihan tentang pelayanan kefarmasian? a. Tidak Pernah b. Jarang c. Sering 29. Apa saja tema pelatihan/seminar/penyuluhan yang pernah anda ikuti ? a. ……………………………….. b. ……………………………….. c. ………………………………… MOTIVASI APA 30. Apakah selain gaji anda diberikan tambahan imbalan yang lain (misal :
92
uang resep, uang konsultasi, uang omzet dll) ? 1. Tidak 2. Ya 31. Apakah apotek pernah memberikan bonus atas kinerja yang anda berikan ? 1. Tidak 2. Ya OMZET APOTEK 32. Berapa omzet apotek anda per harinya? Rp …………………../hari
SITUASI APOTEK DAN HUBUNGAN KERJA 33. Terkait dengan pengelolaan sediaan farmasi, apakah menurut anda apotek ini telah melakukan sistem pengelolaan manajemen dengan baik? 1. Belum 2. Sudah 34. Apakah di apotek ini sering ditemukan obat ED? 1. Tidak Pernah 2. Jarang 3. Sering 35. Menurut anda, bagaimana hubungan kerja antar karyawan di apotek ? 1. Tidak baik 2. Baik 3. Sangat baik 36. Bagaimana perasaan anda selama bekerja di apotek ? 1. Tidak senang 2. Senang 3. Sangat senang IMBALAN 37. Apakah imbalan yang anda terima di apotek sudah sesuai dengan standar yg diberlakukan oleh IAI Bali ? 1. Masih di bawah standar 2. Sesuai standar 3. Lebih dari standar 38. Menurut anda, apakah imbalan yg anda dapatkan sudah sesuai dengan beban kerja anda di apotek ? 1. Sudah sesuai 2. Tidak sesuai
93
Form 2 DAFTAR TILIK PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK Berilah tanda (√) pada kolom sesuai dengan keadaan dan kegiatan apoteker di apotek A. KETENAGAAN 1. Frekuensi kehadiran apoteker Selama apotek buka Setiap hari pada jam tertentu 2-3 kali seminggu 1 kali seminggu 1 kali sebulan 2. Apakah apoteker pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan pelayanan kefarmasian Ya Tidak Tidak tahu
B. PELAYANAN DILAKUKAN OLEH NO
KEGIATAN
I 1 2
PEMERIKSAAN RESEP Pemeriksaan kelengkapan resep Pemeriksaan keabsahan resep Pertimbangan klinik yang dilakukan meliputi : Jumlah obat Aturan pakai Dosis obat Medikasi rangkap Kontra indikasi Interaksi obat Reaksi alergi Pemeriksaan Obat, meliputi : Memeriksa obat yang tersedia di apotek dengan permintaan pada resep Memeriksa kualitas fisik obat Memeriksa tanggal kadaluarsa obat Apabila ada hal-hal dalam resep yang meragukan, yang melakukan
3 a b c d e f g 4 a b c 5
APT
AA
TIDAK DILAKUKAN
94
II 1 2 III 1 a b c d e f 2 3 IV 1 2 3 4 5 6
konsultasi dengan dokter DISPENSING Yang melakukan dispensing obat Obat yang akan diserahkan diperiksa ulang PENYERAHAN OBAT Pada saat penyerahan obat, informasi yang diberikan kepada pasien antara lain : Dosis obat Frekuensi pemakaian obat Lama pengobatan Cara pemakaian Efek samping dan Kontra indikasi Cara penyimpanan obat Konseling kepada pasien Home Care pada pasien penyakit kronis yang terdokumentasi PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI DAN PERBEKALAN KESEHATAN Memiliki buku perencanaan pengadaan sediaan farmasi Pembelian obat dilakukan dari sumber resmi Penyimpanan obat sesuai FIFO Penyimpanan obat sesuai FEFO Penyimpanan Narkotika dalam lemari 2 pintu dan terkunci Pentimpanan psikotropika dalam lemari terkunci
YA
TIDAK
C. ADMINISTRASI NO 1
a b c d
KEGIATAN Apakah apotek ini dilengkapi dengan catatan pengobatan pasien (Medication record) untuk penyakit kronis tertentu. (Jika tidak punya, langsung ke nomor 2) Data dasar pasien Nama dan jumlah obat yang diberikan Keluhan/gejala penyakit pasien Penyakit dan obat yang pernag diderita
PUNYA
TIDAK PUNYA
95
sebelumnya Riwayat alergi obat Apakah apotek memiliki catatan pemakaian obat, seperti : Catatan pemakaian Narkotika Catatan pemakaian Psikotropika Apakah apotek ini melakukan pengarsipan khusus untuk resep yang mengandung obat, seperti berikut ini : (Jika tidak, langsung ke pertanyaan nomor 4) Resep obat Narkotika Resep obat Psikotropika Obat Generik Apakah dilakukan pelaporan yang dilakukan secara rutin, sebagai berikut : Pelaporan pemakaian narkotika Pelaporan pemakaian psikotropika
e 2 a b 3
a b c 4 a b
D. EVALUASI MUTU PELAYANAN NO 1
a b c d 2 3
KEGIATAN
PUNYA
Apakah apotek ini membuat standar operasional prosedur (SOP) untuk setiap proses di apotek secara tertulis? (Jika tidak punya, langsung ke nomor 2) SOP Pemeriksaan resep SOP Dispensing SOP Penyerahan obat SOP Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan Apakah apotek melakukan evaluasi terhadap tingkat kepuasaan konsumen melalui kotak saran Apakah apotek dilengkapi dengan informasi obat secara berupa leaflet, brosur, komputerisasi, dll
SITUASI PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK 1. Jika APA tidak hadir di apotek, apakah ada APING atau apoteker pengganti? Tidak ada
TIDAK PUNYA
96
Ada
2. Jumlah tenaga dan kualifikasi di apotek (Apoteker) APA APING
: ……… orang : ……… orang
Tenaga Teknis Kefarmasian Asisten apoteker
: ……… orang
Asisten apoteker
: ……… orang
Tenaga Non Kefarmasian
: ……… orang
3. Apakah apotek ini dilengkapi dengan dokter praktek bersama ? Ya Tidak
4. Berapa rata-rata jumlah kunjungan pasien (resep dan non resep) per hari? ……….. pasien/ hari 5. Berapa rata-rata jumlah lembar resep yang masuk ke apotek per hari ? ……………………. LR/hari
Denpasar, ………………………. 2014 PETUGAS APOTEK
(…………………………………)
97
Form 3 FORM OBSERVASI PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA DENPASAR TAHUN 2014 MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PASCASARJANA UNUD KODE APOTEK : TANGGAL OBSERVASI : WAKTU OBSERVASI : Berilah tanda (√) pada kolom dengan keadaan dan kegiatan di apotek No. KEGIATAN Jawaban 1. Apakah APA hadir di apotek ? Ya Tidak 2. Jika APA tidak hadir, apakah ada APING yang hadir Ya Tidak di apotek ? 3. APA melakukan pelayanan obat tanpa resep di apotek Ya Tidak 4. APA melakukan pemeriksaan resep di apotek Ya Tidak 5. APA melakukan peracikan obat (dispensing) Ya Tidak 6. APA melakukan penyerahan obat ke pasien disertai Ya Tidak konsultasi, indikasi dan edukasi (KIE) 7. Apakah apotek ini dilengkapi dengan fasilitas apotek berikut ini : 1. Ruang Konsultasi pasien Ya Tidak 2. Ruang Meracik Obat Ya Tidak 3. Ruang tunggu pasien Ya Tidak 4. Ruang mendisplay obat Ya Tidak 5. Ruang mendisplay brosur kesehatan Ya Tidak 6. Ruang penyimpanan obat (Gudang obat) Ya Tidak 7. Papan nama apotek Ya Tidak 8. Papan nama Apoteker Pengelola Apotek Ya Tidak (APA) 8. Siapa saja yang yang melakukan pelayanan kefarmasian (pelayanan obat, pelayanan resep, KIE) di apotek? Apoteker Asisten apoteker Apoteker dan asisten apoteker ……………………………… 9. Apakah suasana kerja di apotek tersebut terlihat baik Ya Tidak dan nyaman ? 10. Apakah kondisi di lingkungan apotek bersih dan Ya Tidak nyaman ?