BAB 1 Pendahuluan
A. JUDUL Pengaruh Tingkat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Terhadap Tingkat Eksistensi Koperasi Pada Koperasi Persatuan Pedagang Kaki Lima Yogyakarta.
B. ALASAN PEMILIHAN JUDUL 1. Orisinalitas Sejauh yang peneliti ketahui bahwa penelitian mengenai kedua hubungan antara pelayanan simpan pinjam koperasi dengan eksistensi koperasi belum ada yang membahasnya. Namun, penelitian yang hampir sama/ sejenis membahas mengenai pelayanan koperasi, yaitu: Penelitian yang dilakukan oleh Siswi Tri Handayani, Edy Wahyudi dan Poerwanto, Program Studi Administrasi Bisnis FISIP Universitas Jember (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Variabel – Variabel Kualitas Pelayanan terhadap Kepuasan Anggota Unit Pertokoan Koperasi Pegawai Republik Indonesia Universitas Jember”. Mereka menyimpulkan bahwa ada pengaruh variabel kualitas pelayanan KPRI Universitas Jember yang terdiri atas daya tanggap, kehandalan, jaminan, empati dan bukti fisik terhadap kepuasan anggota. Variabel yang berpengaruh paling besar terhadap kepuasan anggota ialah daya tanggap (responsiveness) dan yang berpengaruh paling kecil terhadap kepuasan anggota ialah jaminan (assurance). Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Alfiyan Najib, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kepuasan Anggota Terhadap Penggunaan Jasa Koperasi
Simpan Pinjam”. Ia menyimpulkan bahwa ada pengaruh kualitas pelayanan, kepercayaan dan citra merek terhadap kepuasan anggota. 2. Relevansi dengan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Dalam penelitian ini, peneliti ingin mendapatkan informasi terkait dengan kegiatan usaha simpan pinjam di dalam koperasi dan sejauh mana keterkaitannya dengan eksistensi koperasi yang berlangsung di Koperasi Persatuan Pedagang Kaki Lima Yogyakarta (PPKL-Y). Penelitian ini memiliki keterkaitan yang cukup erat dengan disiplin ilmu (Prodi) yang dipelajari yakni Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Di dalam Prodi tersebut terdapat mata kuliah Ekonomi Kerakyatan yang mana dapat peneliti gunakan sebagai salah satu dasar dalam melakukan penelitian ini. Institusi Koperasi sebagai salah satu pijakan yang diarahkan dalam konteks mata kuliah Ekonomi Kerakyatan yang dikenal sebagai wadah kaum/ golongan ekonomi lemah. Eksistensi koperasi memang merupakan sebagai fenomena tersendiri, karena tak ada satupun bentuk
lembaga manajemen yang menyamainya, namun sekaligus diharapkan sebagai
penyeimbang dalam pilar ekonomi lainnya. Dalam rangka untuk menumbuhkembangkan koperasi Indonesia sebagai wadah ekonomi rakyat maupun sebagai suatu alat kebijakan, salah satu koperasi yang berkembang yakni Koperasi PPKL-Y dengan sejarah pendiriannya dilatarbelakangi oleh perjuangan para Pedagang Kaki Lima yang notabene hingga saat ini terus tegak berdiri dengan mengusahakan kegiatan simpan pinjam. Kegiatan simpan pinjam koperasi ini merupakan kegiatan usaha yang dirasa sesuai dengan kebutuhan anggota pedagang kaki lima masa kini, setelah sekian lama digabungkan dengan berbagai kegiatan usaha lain yang tidak bisa dikembangkan dalam Koperasi PPKL-Y. 3. Aktualitas Menjelang akhir triwulan III-2008, perekonomian dunia dihadapkan pada runtuhnya stabilitas ekonomi global. Krisis keuangan dunia tersebut telah berimbas ke perekonomian
Indonesia sebagaimana tercermin dari gejolak di pasar modal dan pasar uang (Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, 2009). Perekonomian Indonesia yang sedang terpuruk ditengah kepungan penurunan perekonomian negara - negara lain membutuhkan aktor penunjang dalam menunjang perekonomian di sektor mikro. Sektor perekonomian mikro yang diharapkan pemerintah sebagai penunjang dan menjadi penting dalam mempertahankan keberlangsungan perekonomian di masyarakat, antara lain: PKL dan Koperasi. Maka PKL dengan Institusi Koperasi sebagai salah satu sektor perekonomian mikro yang diharapkan pemerintah sebagai soko guru perekonomian nasional koperasi masih penting untuk dikaji, diteliti dan menarik untuk mengetahui hasilnya.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh antara pelayanan simpan pinjam koperasi dengan eksistensi koperasi. 2. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai: 1. Sumbangan kepada pemerintah setempat dalam upaya untuk
membangun
perkoperasian yang tangguh dengan memperhatikan beberapa point/ aspek penting yang dapat dijadikan dasar/ pijakan dalam upaya peningkatan kemajuan koperasi pada umumnya 2. Sumber referensi penelitian kedepan tentang pengaruh tingkat pelayanan simpan pinjam koperasi terhadap tingkat eksistensi koperasi 3. Bahan pertimbangan bagi Pemerintah setempat serta instansi-instansi terkait dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan keberadaan/ eksistensi pedagang kaki lima 4. Masukan dan evaluasi bagi pihak pengurus Koperasi PPKL-Y untuk semakin memperhatikan pelayanan dan pengembangan unit usaha simpan pinjam
D. LATAR BELAKANG MASALAH Studi pembangunan berkembang dengan kemajuan aspek ekonomi di berbagai negara berkembang termasuk di Indonesia. Pembangunan berideologi developmentalism pada awalnya dilaksanakan dengan tujuan pencapaian pertumbuhan ekonomi secara cepat dengan menggunakan konsep trickle down effect. Konsep tersebut mengasumsikan bahwa : “Jika kebijakan ditujukan untuk memberi keuntungan bagi kelompok orang-orang kaya, maka keuntungan itu akan menetas ke bawah kepada golongan miskin melalui perluasan kesempatan kerja, distribusi pendapatan melalui upah dan perluasan pasar” (Abidin, 2011). Pelaksanaan pembangunan tersebut tentunya senantiasa diharapkan membawa angin segar dan kemajuan bagi para pelakunya. “Kemajuan suatu sektor bidang dalam pembangunan diharapkan akan berimbas pada sektor lain, begitu juga dengan pembangunan di kota dan pemekarannya yang diharapkan membuka peluang-peluang kepada setiap anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus berkembang” (Hartanti, 2003). Akan
tetapi
pembangunan
yang
menganut
rezim
ekonomi
kapitalistik
dan
developmentalism tersebut melalaikan segi aspek sosial masyarakat, sehingga peningkatan pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak dapat dinikmati oleh setiap lapisan masyarakat. Realitas yang ada memperlihatkan bahwa kesejahteraan sosial lebih banyak dirasakan oleh kaum pemodal maupun dari golongan orang kaya. Abidin (2011) mengemukakan bahwa pengalaman di negara berkembang menunjukkan bahwa aplikasi konsep trickle down effect tersebut tidak dapat memberi manfaat bagi golongan bawah. Perluasan kesempatan kerja sebagai salah satu obyek konsep tersebut justru menyimpang jauh dari apa yang diharapkan. Fakta yang dikemukakan oleh Mc.Gee (dalam Chris Manning dan Tadjudin Noer Effendi, 1985), bahwa walaupun kota-kota di Dunia Ketiga telah berkembang secara besar-besaran, perkembangan kota ternyata tidak disertai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat untuk menyediakan kesempatan kerja bagi pertambahan penduduk kota yang makin meningkat, sehingga kondisi kesempatan kerja yang terbatas merupakan masalah pokok yang dapat mengganggu stabilitas struktur perekonomian dan struktur politik di kota. Dalam
masyarakat terdapat kesenjangan antara pemberi kerja dengan pencari kerja. Berdasarkan data tabel Informasi Pasar Kerja (IPK) D.I.Yogyakarta Tahun 2014, pencari kerja yang bisa diserap lowongan pasar kerja sejumlah 9.296 orang dari 80.589 orang. Padahal lowongan pasar kerja yang belum dipenuhi pada akhir Desember 2014 hanya sebanyak 1.871 lowongan (Pemerintah Daerah DIY Dinas Nakertrans, 2014). Kondisi ini mengisyaratkan masih adanya kesenjangan antara jumlah tenaga kerja dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Ditambah dengan kebijakan pembangunan yang disusun pemerintah kurang mampu mendorong penciptaan lapangan kerja, serta industrialisasi yang cenderung menutup akses tenaga kerja yang tidak mempunyai keterampilan akan menciptakan jumlah pengangguran yang besar. Masalah tersebut memberikan dampak yang cukup berarti bagi munculnya kemiskinan dan keterbelakangan. Sehingga masalah kemiskinan dan pengangguran merupakan permasalahan yang sering dialami oleh negara berkembang. Sektor Informal mempunyai peran besar dalam mengatasi masalah pengangguran di negara Indonesia. Sektor informal merupakan unit usaha masyarakat di luar intitusi formal yang telah melembaga pada kegiatan ekonomi yang muncul sebagai akibat dari keterbatasan yang
dilakukan
negara
dalam
menyeimbangkan
struktur
produksi
dan
struktur
ketenagakerjaan yang ada. S.V Sethuraman (dalam Nurimaniwati, 2014) mengemukakan bahwa sektor informal lebih merupakan suatu manifestasi dari situasi dan pertumbuhan kerja di negara berkembang karena mereka yang memasuki sektor ini terutama bertujuan untuk memperoleh pekerjaan daripada keuntungan. Sektor formal yang kurang mampu dalam menampung seluruh tenaga kerja Indonesia, turut mendukung perkembangan sektor informal. Sektor informal dan sektor formal adalah komplementer satu sama lain. Sektor informal memproduksi barang dan jasa bagi sektor formal. Sementara sektor formal dapat meningkatkan ragam dan volume pekerjaan serta keuntungan bagi kaum miskin perkotaan dan migran dalam bentuk kegiatan sektor informal. Sektor informal memainkan peran
penting dalam menyerap tenaga kerja miskin perkotaan atau migran rural-urban yang tidak terserap oleh sektor formal. Sehingga aktivitas sektor informal bukanlah fenomena temporer yang terpisah dari perkembangan sektor formal. Sektor informal merupakan kegiatan ekonomi yang mampu memberikan penghasilan bagi sebagian besar masyarakat golongan menengah ke bawah. Meskipun hanya menyediakan jumlah pendapatan yang terbatas, tetapi sektor informal mampu memberikan jaminan terhadap kesejahteraan dalam arti sebagai usaha untuk mempertahankan hidup. Secara umum, sektor informal memegang peranan penting dalam perekonomian daerah. Di bidang penyerapan tenaga kerja, sektor informal ini telah berhasil mengatasi pengangguran akibat PHK, dengan beralihnya profesi pegawai swasta dan buruh. Berdasarkan data ketenagakerjaan di Indonesia per Februari 2014, sebanyak 47,5 juta orang (40,19 persen) bekerja pada kegiatan formal dan 70,7 juta orang (59,81 persen) bekerja pada sektor informal (BPS Keadaan Ketenagakerjaan Februari, 2014). Dengan kata lain data tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan informal memiliki andil yang besar dalam menopang perekonomian masyarakat di Indonesia. Sektor informal pada hakekatnya terbagi - bagi ke dalam beberapa tipe, salah satu alternatif sektor informal ialah : Pedagang Kaki Lima (PKL) yang melakukan kegiatan komersial di daerah milik jalan (damija) yang strategis sebagai tempat berjualan mereka untuk menjajakan dagangan berupa barang atau makanan/ kuliner dengan harga umumnya relatif lebih murah daripada toko, supermarket maupun kafe (Hartanti, 2003). Biro Pusat Statistik (dalam Ridwan, 2007) menerangkan bahwa Pedagang Kaki Lima adalah unit usaha kecil yang biasanya melakukan kegiatan distribusi barang dan jasa untuk menciptakan lapangan kerja baru bagi mereka sendiri. Pedagang Kaki Lima merupakan peluang kerja sektor informal yang sangat khas, muncul di berbagai kota termasuk kota Yogyakarta yang menjadi objek penelitian bagi penulis. Kekhasan kota Yogyakarta tersebut karena tertampungnya tenaga kerja pada sektor informal sehingga daripada mereka menganggur dan tidak mendapatkan pekerjaan yang layak, maka sebagian tenaga kerja di
kota tersebut beralih kepada peluang tenaga kerja di sektor informal dan banyak berkecimpung sebagai Pedagang Kaki Lima. Walaupun Pedagang Kaki Lima (PKL) dipandang sebagai usaha kecil ternyata mampu menunjukkan bahwa secara mandiri mereka tetap dapat bertahan karena usaha yang dilakukan dapat menopang kehidupan dirinya seharihari dengan bermodalkan peralatan yang sederhana untuk menggelar dagangannya. Sementara dalam menggelar dagangannya, mereka tidak asal menggelar saja namun memilih tempat yang strategis dan waktu yang efektif guna mendapat penghasilan yang lumayan. Keberadaan/ eksistensi Pedagang Kaki Lima di Kota Yogyakarta sebagai bagian dari sektor informal terutama di pusat keramaian maupun lokasi strategis lainnya saat ini mempunyai potensi yang tidak dapat diabaikan, baik secara ekonomis maupun sosial. Pertama, secara ekonomis mampu memenuhi kebutuhan masyarakat level menengah ke bawah dan memberikan ruang bagi pemberdayaan ekonomi rakyat; kedua, mereka membentuk jalinan relasi sosial-ekonomi yang di dalamnya terbangun nilai-nilai untuk saling percaya, saling menghormati, dan perasaan empati terhadap sesama pedagang lainnya; ketiga, secara alami terbangun suatu komunikasi dengan sesama pedagang kaki lima, pemasok barang dan para pembeli. Dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin berkembang pesat, eksistensi para pedagang kaki lima memiliki kekhawatiran dan resiko dalam mempertahankan dan mengembangkan status pekerjaannya yang disebabkan kondisi sosial ekonomi maupun tingkat pendapatan yang rendah. Salah satu kekhawatiran utama ialah rendahnya tingkat kesejahteraan maupun usaha yang tidak pasti disebabkan rawan akan penggusuran yang dilakukan pemerintah daerah karena tak ada perlindungan hukum yang memadai bagi mereka. Tuntutan pedagang kaki lima yang berada dalam kehidupan masyarakat perkotaan saat ini menjadi semakin kompleks bukan hanya sekedar untuk bertahan hidup yang diliputi
ketakutan penggusuran dari pemerintah namun juga pada pengembangan aktivitas usaha, kondisi ekonomi pasar dan ekistensi mereka pada struktur masyarakat perkotaan. Didasarkan pada kondisi inilah, para Pedagang Kaki Lima membutuhkan adanya suatu Institusi yang mampu mewadahi mereka dalam mengatasi persoalan-persoalan keberadaan usaha mereka. Salah satunya ialah Institusi Koperasi sebagai suatu wadah yang ditujukan untuk menyatukan sesama para pedagang kaki lima. Koperasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Untuk mencapai tujuan itu, koperasi menyelenggarakan berbagai usaha yang bermanfaat dan menguntungkan para anggotanya. Di Indonesia, keberadaan koperasi merupakan alat demokrasi ekonomi dan alat pembangunan masyarakat, yang dilandasi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, kedudukannya mendapat tempat yang penting sebagaimana dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya penjelasan pasal 33 antara lain menyatakan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan merupakan orang seorang dan bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan koperasi sebagai soko guru perekonomian sekaligus sebagai bagian integral tata perekonomian nasional. Dalam Kebijakan Perkoperasian, pengembangan dan pemberdayaan koperasi harus mencerminkan nilai dan prinsip Koperasi sebagai wadah usaha bersama untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi anggota koperasi sehingga tumbuh menjadi kuat, sehat, mandiri dan tangguh dalam menghadapi perkembangan ekonomi nasional dan global yang semakin dinamis dan penuh tantangan (Undang-Undang No.17 tahun 2012). Koperasi dituntut untuk mempertinggi taraf hidup anggotanya, meningkatkan produksi dan mewujudkan pendapatan yang adil dan kemakmuran yang merata. Koperasi di
Indonesia secara eksplisit sebagai salah satu instrumen pembangunan yang bertujuan pada pemerataan dan pengurangan kemiskinan (Sinuraya, 2011). Koperasi - koperasi yang ada semakin berkembang mengikuti situasi dan kondisi kebutuhan masyarakat Indonesia, begitu juga koperasi di Provinsi D.I.Yogyakarta. Pembangunan koperasi di Kota Yogyakarta diarahkan pada penguatan kelembagaan dan usaha agar koperasi menjadi sehat, kuat, mandiri, tangguh dan berkembang melalui peningkatan kerjasama, potensi dan kemampuan ekonomi anggota, serta peran yang nyata dalam perekonomian nasional. Berdasarkan rekapitulasi data koperasi di Indonesia yang membidangi Koperasi UMKM
sampai 31 Desember 2014, total koperasi di Provinsi
D.I.Yogyakarta yang ada sebanyak 2610 unit koperasi, dengan pembagian menurut keaktifan koperasi antara lain: 2269 unit koperasi yang masih aktif, sisanya sebanyak 341 unit koperasi yang non-aktif (http://www.depkop.go.id). Secara umum, keberadaan koperasi di Yogyakarta disinyalir banyak yang mengalami kebangkrutan. Tahmidaten (2009) mengemukakan bahwa di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat saat ini, banyak koperasi yang enggan bergerak aktif untuk mengembangkan bisnisnya. Kebanyakan malah terjebak pada hal-hal yang kontraproduktif, seperti sibuk memperebutkan kepentingan dan keuntungan pribadi. Ketidakmampuan manajemen koperasi untuk menerjemahkan nilai-nilai koperasi dalam kehidupan, seperti semangat kebersamaan, kemandirian, dan kepedulian pada masyarakat menjadikan koperasi kesulitan untuk bertransformasi menjadi organisasi modern yang profesional. Keterpurukan koperasi di tengah persaingan ekonomi saat ini dipicu oleh mulai hilangnya nilai-nilai dan semangat koperasi. Salah satu koperasi yang masih tetap eksis berdiri dan sekaligus menjadi wadah bagi para Pedagang Kaki Lima (PKL) yaitu Koperasi Persatuan Pedagang Kaki Lima Yogyakarta atau lebih disingkat sebagai Koperasi PPKL-Y yang berada di Jln. Janti No. 60 A Yogyakarta.
Berdirinya Koperasi PPKL-Y ini atas dasar inisiatif para pendiri yang mempunyai tujuan yang sama berjuang untuk mempertahankan keberadaan/ eksistensi usaha maupun meningkatkan kesejahteraan anggota Pedagang Kaki Lima (PKL). Pada pembentukan awal sebelum menjadi Lembaga Koperasi yang berbadan hukum, koperasi PPKL-Y hanya merupakan kumpulan dari para pedagang kaki lima yang saat itu belum ada suatu perhatian dari pemerintah, karena keberadaan usaha pedagang dinilai bersifat ilegal (tidak resmi) dan lokasi usaha yang dipakai oleh pedagang bertebaran secara sembarang dan dimana-mana. Saat itu banyak terjadi konflik antara pemerintah dengan para pedagang, karena pemerintah dalam hal ini sebagai badan eksekutif hanya menjalankan peraturan untuk menggusur PKL dengan berbagai alasan. Agar keberadaan pedagang pada saat itu diakui oleh pemerintah, beberapa tokoh PKL mencoba membentuk suatu paguyuban/ persatuan yang bisa menjembatani kepentingan antara pedagang kaki lima dengan pemerintah. Akhirnya, dibentuklah suatu kelembagaan bernama Persatuan Pedagang Kaki Lima. Pada perkembangan berikutnya, untuk memperkuat keberadaan/ eksistensi kelembagaan tersebut, atas dasar gagasan/ ide dari para pendiri, maka dibentuklah suatu Koperasi yang mempunyai badan hukum dan disepakati dengan nama Koperasi Persatuan Pedagang Kaki Lima atau singkatnya, Koperasi PPKL-Y yang berpusat di Kota Yogyakarta. Keberadaan/ eksistensi Koperasi PPKL-Y ini menjadikan koperasi sebagai salah satu koperasi yang berkembang mengikuti arah perkembangan perkoperasian yang disesuaikan dengan kebutuhan salah satu lapisan masyarakat yang rawan akan kelangsungan eksistensi usahanya, yaitu para pedagang kaki lima. Hingga tahun 2014 koperasi ini memiliki jumlah anggota sebesar 3956 orang sesuai yang tercatat dalam dokumen Laporan Pertanggung Jawaban Kepengurusan KPPKL-Y Tutup Buku Tahun 2014. Koperasi ini berdiri pada tanggal 27 Januari 1982 sekaligus mendapat pengesahan menjadi Lembaga Ekonomi yang berbadan hukum karena mendapat legalitas oleh Pemerintah melalui Departemen Koperasi
Wilayah D.I. Yogyakarta yang saat itu jumlah anggota koperasi masih berjumlah ratusan anggota. Pada saat itu sekretariat koperasi masih berada di Jln. Abu Bakar Ali, Yogyakarta dengan jenis usaha yang dikelola ialah serba usaha. Usaha pada saat itu mencakup usaha simpan pinjam, pengadaan sembako dan perdagangan buku. Lambat laun perkembangan usaha pada koperasi PPKL-Y direduksi dan hanya mencakup unit usaha simpan pinjam karena keterbatasan SDM pengurus pada saat itu dan disesuaikan dengan kebutuhan anggota pada masa sekarang. Usaha simpan pinjam dinilai layak dipertahankan karena usaha tersebut sangat vital dalam menunjang sektor riil yang diusahakan oleh anggota pedagang kaki lima. Perkembangan eksistensi koperasi PPKL-Y sejalan dengan perkembangan dinamika yang terjadi pada para pedagang kaki lima sampai saat ini. Sejarah pendirian koperasi ini diwarnai dengan persaingan politis antara pedagang kaki lima dengan pemerintah. Pada tahun 19821984 PPKL-Y masih belum ada kesamaan pendapat dengan Pemerintah tentang permasalahan keberadaan PKL sehingga masih banyak terjadi penggusuran dan penertiban dimana-mana. Pada tahun 1983, beberapa Pengurus PPKL-Y mencoba menyampaikan kepada Walikota Yogyakarta pada saat itu, (Alm) Kolonel Soegiarto bahwa pentingnya eksistensi PKL. Mulai pada tahun 1984 sudah terjadi kesepakatan antara PPKL-Y dengan Pemerintah tentang bagaimana mensinergikan antara Undang-Undang dengan keberadaan PKL dalam mencari nafkah. Mereka menekankan bahwa keberadaan PKL banyak dalam membantu program-program Pemerintah, seperti dukungan promosi PPKL-Y dalam pencapaian program Keluarga Berencana yang dicanangkan oleh BKKBN, penyelenggaraan Pekan Olahraga Pedagang Kaki Lima se-Yogyakarta, penyelenggaraan Kerja Bakti Massal, penciptaan lapangan kerja mandiri, dan berbagai kegiatan lainnya. PPKL-Y juga melahirkan suatu lembaga nasional yang bernama Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) dengan para pendirinya berasal dari Pengurus PPKL-Y itu sendiri.
Eksistensi koperasi ini menjadi sarana advokasi yang kuat untuk menjalin relasi dengan Pemerintah maupun dengan masyarakat sekitarnya. Tanpa adanya eksistensi koperasi tersebut, maka para pedagang kaki lima tidak mempunyai posisi tawar-menawar yang kuat dengan Pemerintah maupun dengan lembaga lainnya. Eksistensi koperasi ini ikut mempengaruhi corak perkembangan usaha pedagang kaki lima itu sendiri dengan menyampaikan informasi tentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan kepada para anggota koperasi melalui pertemuan maupun pembinaan terhadap anggota koperasi. Eksistensi Koperasi PPKL-Y memberikan kontribusi besar dalam peningkatan usaha para pedagang kaki lima yang tergabung sebagai anggota koperasi di dalamnya. Dalam rangka mempertahankan eksistensi koperasi, maka keberlangsungan kegiatan unit usaha yang berada di dalam koperasi perlu dilanjutkan maupun dikembangkan dan disesuaikan dengan kebutuhan anggota koperasi. Kegiatan usaha koperasi harus dikelola dengan baik sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dan manfaat yang sebesar-besarnya kepada anggota. Kegiatan utama walaupun bukan termasuk program usaha dalam Koperasi PPKL-Y ialah pelayanan advokasi bagi para pedagang kaki lima karena memang sesuai dengan tujuan awal pembentukan Lembaga Koperasi. Koperasi menjadi badan negosiator kepada pemerintah dalam rangka memperjuangkan kepentingan pedagang kaki lima. Mengenai kegiatan usaha yang dimiliki Koperasi PPKL-Y saat ini hanya ada unit usaha simpan pinjam, karena disesuaikan dengan perkembangan maupun kondisi saat ini agar koperasi tetap dapat melayani kebutuhan para anggota Pedagang Kaki Lima. Seperti para pelaku usaha pada umumnya, keadaan ekonomi atau tingkat penghasilan setiap pedagang kaki lima berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor: tingkat kebutuhan, keterampilan dan kesempatan yang berbeda-beda dari para pedagang itu sendiri. Bagi para pedagang kaki lima yang mempunyai banyak kebutuhan, mereka memerlukan biaya yang lebih dan tak jarang biaya pengeluaran tersebut lebih besar nilainya daripada
tingkat penghasilannya agar dapat memenuhi kebutuhannya. Bahkan karena terlalu banyak kebutuhan, mereka terpaksa berhutang atau meminjam uang. Jika mereka meminjam uang di bank, banyak sekali persyaratan pengajuan maupun bunga yang relatif tinggi. Jika mereka meminjam uang pada rentenir, mereka akan terjerat pada bunga yang terlalu tinggi. Sehingga eksistensi koperasi dengan unit usaha simpan pinjam dinilai sangat sesuai dengan kebutuhan saat ini karena pemberian kredit/ pinjaman di koperasi dengan bunga rendah, proses yang cepat/ tak berbelit-belit dan persyaratan yang cukup mudah. Sejatinya, anggota koperasi merupakan pemilik sekaligus pelanggannya. Mengenai besarnya jumlah pinjaman, tinggi bunga, jangka waktu pengembalian ditentukan dan disepakati dalam RAT (Rapat Anggota Tahunan). Pemberian kredit/ pinjaman di koperasi merupakan manifestasi pelayanan koperasi khususnya Koperasi PPKL-Y kepada anggota dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan anggota. Bentuk pelayanan simpan pinjam yang dilakukan oleh Koperasi PPKL-Y berupa penghimpunan dana dari anggota dan penyaluran dana kepada anggota maupun non anggota yang membutuhkan. Kegiatan penghimpunan dana dilakukan oleh koperasi PPKL-Y untuk bisa menjalankan usaha simpan pinjam maupun kelancaran kegiatan operasional. Bentuk penghimpunan dana ini bisa berupa tabungan atau simpanan dari anggota. Simpanan dalam hal ini merupakan dana yang dipercayakan oleh anggota, calon anggota, koperasi lain dan atau anggotanya kepada koperasi yang bersangkutan. Simpanan tersebut ada yang merupakan hutang bagi koperasi simpan pinjam sebagaimana yang dinyatakan dalam PP tersebut dan ada sebagai kekayaan bersih sebagaimana tercantum dalam laporan keuangan Koperasi PPKL-Y. Jenis simpanan tersebut meliputi simpanan pokok, simpanan wajib maupun simpanan sukarela dari anggota koperasi. Kegiatan penghimpunan dana berupa simpanan oleh anggota sesuai dengan ketentuan serta kesepakatan yang tertuang dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT). Sedangkan dalam kegiatan penyaluran dana, koperasi PPKL-Y dapat menyalurkan
dana dalam bentuk pinjaman. Kegiatan penyaluran dana lebih diutamakan dalam bentuk pinjaman dikarenakan kegiatan ini merupakan sumber utama pendapatan koperasi simpan pinjam untuk menutupi seluruh pengeluarannya. Pinjaman merupakan penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara koperasi dengan pihak peminjam (anggota) yang mewajibkan untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu disertai dengan pembayaran sejumlah imbalan. Adanya hak dan kewajiban dalam kesepakatan simpan pinjam masing-masing pihak (koperasi dengan anggota maupun non anggota) merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam pengembangan koperasi, karena berarti koperasi tersebut dapat melayani kebutuhan anggota sebagaimana yang diharapkan dalam hal pinjaman dana. Tingkat bunga pinjaman yang diterapkan berbeda antara anggota dengan non anggota dengan mengedepankan tingkat bunga yang lebih rendah kepada anggota koperasi sebagai pengutamaan pelayanan yang lebih kepada anggotanya. Adanya perbedaan perlakuan tingkat bunga terhadap anggota dan non anggota dengan pertimbangan agar diharapkan dapat mendorong partisipasi anggota dalam meminjam serta merangsang calon anggota untuk bergabung menjadi anggota di koperasi PPKL-Y. Peranan koperasi dalam unit usaha simpan pinjam dalam melayani permintaan pinjaman para anggotanya dapat dikatakan sangat membantu para anggotanya, dalam hal: 1) proses untuk mendapatkan pinjaman relatif cepat, 2) jaminan yang dibutuhkan relatif ringan, 3) biaya administrasi yang relatif murah, 4) memberi keringanan dalam cara membayar angsuran pengembalian pinjaman. Seiring dengan kemajuan zaman, perkembangan eksistensi koperasi PPKL-Y juga mengalami perubahan sesuai dengan dinamika yang terjadi pada koperasi umumnya. Tetapi di dalam perkembangan tersebut pasti diwarnai oleh beragam permasalahan yang berpotensi mempengaruhi aktivitas operasional koperasi. Serangkaian permasalahan yang muncul dalam unit usaha simpan pinjam koperasi yaitu: Pertama, di ranah regulasi bahwa pengelolaan/
manajemen usaha simpan pinjam di Koperasi PPKL-Y tidak mengacu pada standar nasional berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor: 96/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Pedoman Standar Operasional Manajemen Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam Koperasi. Ini dapat dimaklumi karena pendirian koperasi PPKL-Y tersebut bukan dari binaan Pemerintah melainkan atas dasar insiatif dan perjuangan para Pedagang Kaki Lima untuk dapat mempertahankan keberadaan usahanya. Sehingga campur tangan Pemerintah hanya sebatas pada relasi dan negosisasi dengan koperasi tersebut. Kedua, di ranah nasabah/ anggota bahwa sebagian besar anggota yang bergabung dalam Institusi Koperasi tersebut lebih berorientasi pada pinjaman dana, bukan pada rasa ikatan kekeluargaan yang dibangun untuk membesarkan nama Koperasi PPKL-Y. Mereka hanya mengambil keuntungan pinjaman dana yang mudah dan rendah setelah bergabung menjadi anggota koperasi. Padahal, tujuan awal berdirinya koperasi tersebut yaitu sebagai wadah persatuan, konsultasi dan koordinasi untuk menyelesaikan permasalahan diantara mereka untuk mempererat rasa kekeluargaan. Kegiatan unit usaha simpan pinjam hanyalah sebagai penopang dana maupun kelancaran kegiatan operasional sehingga koperasi dapat memberikan manfaat secara ekonomi bagi kebutuhan anggotanya. Sehingga masalah diatas merupakan masalah bagaimana menyadarkan mereka untuk memiliki rasa “handarbeni” terhadap Koperasi PPKL-Y sehingga bisa membesarkan kelembagaan koperasi dan menyatukan solidaritas. Permasalahan lain di tingkat anggota ialah permasalahan kejujuran dan kesportifan dalam membayar angsuran. Bila anggota sportif, maka tak ada permasalahan pinjaman dana, namun bila ia tidak sportif maka akan terjadi permasalahan pinjaman. Beragam sikap tidak sportif dari anggota yang masih terjadi ialah masalah pembayaran angsuran tidak tetap, angsuran macet/ tidak membayar angsuran pada jatuh tempo, tidak bisa mengembalikan pinjaman karena adanya kebijakan pemerintah atau
kebijakan sepihak yang bersifat merugikan. Beragam permasalahan tersebut akan menghambat kelancaran pinjaman dana maupun aliran kas koperasi. Dari serangkaian permasalahan koperasi diatas, maka latar belakang penelitian ini dapat dirumuskan dengan menunjukkan sejauh mana pengaruh keterlibatan kedua hubungan antara pelayanan simpan pinjam koperasi dengan eksistensi/ keberadaan koperasi. Di satu sisi, agar kelangsungan eksistensi koperasi tetap bertahan maka kegiatan operasional/ unit usaha pelayanan simpan pinjam perlu dilakukan. Namun di sisi lain, pelayanan simpan pinjam tersebut mengubah orientasi sebagian anggota yang lebih mengedepankan keuntungan akan adanya kemudahan pinjaman dana daripada membesarkan nama Institusi Koperasi untuk menguatkan eksistensi/ keberadaan koperasi itu sendiri. Koperasi sebagai badan usaha sekaligus sebagai institusi ekonomi yang berwatak sosial mempunyai 2 ciri utama. Sebagai badan usaha tentunya berorientasi pada keuntungan sehingga tidak boleh merugi. Sebagai institusi sosial, koperasi mengutamakan pelayanan kepada anggota koperasi sesuai dengan tujuan awal koperasi tersebut, yaitu mempersatukan ikatan kekeluargaan yang erat diantara mereka dan tentunya dalam rangka untuk menyejahterakan anggotanya. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, maka aspek pelayanan koperasi pada bidang simpan pinjam dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan serta pengembangan aktivitas usaha anggotanya. Permasalahan pada pelayanan simpan pinjam koperasi ini tentunya akan berdampak negatif pada pemenuhan kebutuhan anggota yang juga mempengaruhi citra eksistensi pada koperasi PPKL-Y sebagai wadah persatuan PKL itu sendiri. Kegiatan unit usaha khususnya pada aspek pelayanan simpan pinjam yang dimiliki oleh Koperasi PPKL-Y saat ini dapat ditentukan sejauh mana pengaruhnya dengan eksistensi institusi koperasi sehingga dapat memberi kesan citra pada koperasi yang dapat memberikan kontribusi bagi kesejahteraan anggota tentunya.
E. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Sejauh mana pengaruh tingkat pelayanan simpan pinjam koperasi terhadap tingkat eksistensi koperasi ?
F. KERANGKA TEORI 1. Landasan Teori Teori merupakan serangkaian proposisi antar konsep-konsep yang saling berhubungan. Teori menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep. Teori menerangkan fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya (Masri Singarimbun & Sofian Effendi, 1995). Teori merupakan gambaran tentang hubungan antara 2 atau lebih proposisi yang bersifat sangat umum dan abstrak. Jika dikaitkan dengan ilmu sosial maka setiap teori sosial merupakan pencerminan dari kenyataan dengan sosial tetapi tidak pernah atau jarang teori sosial tersebut cocok seratus persen dengan kenyataan (Liliweri dalam Wijayanti, 2007). Maka dalam merumuskan teori diperlukan beberapa cara diantaranya : mengkaji dan menelusuri literatur yang relevan, mengamati dan menemukan fenomena-fenomena sosial, mengkritisi dan mempertanyakan suatu kejadian, mempelajari teori-teori yang sudah ada, merumuskan konsep-konsep secara jelas, menyusun beberapa proposisi-proposisi serta melakukan deduksi dan induksi atas proposisi-proposisi dan konsep-konsep yang ada.
2. Definisi Koperasi Koperasi merupakan sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang-bidang usaha tertentu yang berorientasi pada profit tanpa mengesampingkan aspek sosial dalam upaya peningkatan kesejahteraan anggota. Seperti diketahui bersama, koperasi merupakan suatu bentuk organisasi dimana pemilik adalah sekaligus merupakan pelanggan koperasi. Dasar hukum keberadaan koperasi di Indonesia adalah pasal 33 UUD 1945 dan UU No.25 tahun 1992 tentang Perkoperasian. Menurut UU No.25 tahun 1992 pada pasal 1 memberikan definisi koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Beberapa definisi tentang koperasi yang dikemukakan oleh para pakar yang termuat oleh Pachta W.et al (dalam Wijayanti, 2007) sebagai berikut: 1. Menurut R.M. Margono Djojohadikoesoemo, koperasi adalah perkumpulan manusia seorang - seorang yang dengan sukanya sendiri hendak bekerja sama untuk memajukan ekonominya. 2. Menurut Soeriaatmaja, koperasi adalah suatu perkumpulan dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat sebagai manusia dengan tidak memandang haluan agama dan politik dan secara sukarela masuk untuk sekedar memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat kebendaan atas tanggungan bersama 3. Menurut Wirjono Prodjodikoro, koperasi adalah bersifat suatu kerja sama antara orangorang yang termasuk golongan kurang mampu, yang ingin bersama untuk meringankan beban hidup atau beban kerja
Sedangkan dalam UU No.12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian mendefinisikan koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang-orang, atau badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan Koperasi adalah suatu perkumpulan atau organisasi ekonomi yang beranggotakan orangorang atau badan-badan, yang memberikan kebebasan masuk dan keluar sebagai anggota menurut peraturan yang ada, dengan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan suatu usaha, dengan tujuan mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggotanya (Nindyo Pramono dalam Wijayanti, 2007). Koperasi didefinisikan sebagai suatu organisasi usaha yang para pemilik/ anggotanya adalah juga pelanggan utama/ kliennya (Ropke, 2003). Selanjutnya menurut Hendar dan Kusnadi (2005) sendiri, koperasi adalah organisasi otonomi yang berada di dalam lingkungan sosial ekonomi dan sistem ekonomi yang memungkinkan setiap individu dan setiap kelompok orang yang merumuskan tujuantujuannya secara otonom dan mewujudkan tujuan-tujuan itu melalui aktivitas-aktivitas ekonomi yang dilaksanakan secara bersama. Maka koperasi mempunyai peranan yang cukup besar dalam menyusun usaha bersama dari orang-orang yang mempunyai kemampuan ekonomi terbatas. Usaha ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan bersama, yang pada akhirnya mengangkat harga diri meningkatkan kedudukan serta kemampuan untuk mempertahankan diri dan membebaskan diri dari kesulitan. Usaha koperasi dengan demikian adalah usaha-usaha yang bisa menunjang atau meningkatkan daya beli anggotanya. Dengan usaha yang menunjang usaha anggota itulah Koperasi memilih usaha yang akan dikelolanya. Oleh karena itu semua kebutuhan modal untuk membuka dan mengelola usaha koperasi dipikul bersama-sama oleh seluruh anggota, dengan jalan menabung secara teratur dan tertib (Widiyanti, 2002).
Bidang usaha koperasi mencerminkan jenis jasa yang ditawarkan koperasi kepada para anggotanya. Berdasarkan bidang usaha ini, koperasi dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok yaitu: Koperasi Konsumsi, Koperasi Produksi, Koperasi Pemasaran dan Koperasi Kredit (Baswir, 2000 dalam Wijayanti, 2007). Sedangkan menurut Anoraga dan Widiyanti (dalam Najib, 2014), pembagian jenis koperasi dibagi menjadi 5 golongan, yaitu :1) Koperasi Konsumsi 2) Koperasi Kredit [Koperasi Simpan Pinjam] 3). Koperasi Produksi 4) Koperasi Jasa 5) Koperasi Serba Usaha/ Koperasi Unit Desa.
3. Prinsip Koperasi Secara tegas dalam Undang Undang No. 25 Tahun 1992 menyatakan bahwa koperasi disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Karena itu, koperasi perlu lebih membangun dirinya dan dibangun menjadi kuat dan mandiri berdasarkan prinsip koperasi, sehingga mampu berperan sebagai soko guru perekonomian nasional. Sayangnya dewasa ini, koperasi lebih dimengerti sebagai salah satu bentuk badan usaha. Pengalaman menunjukkan bahwa koperasi lebih dipahami dengan pendekatan ilmu manajemen. Ilmu ini merupakan cabang dari ilmu ekonomi mikro (liberal) konvensional. Akibatnya, masalah koperasi sering (kalau tidak “selalu”) dianggap semata-mata sebagai masalah manajemen. Sehingga yang dipersoalkan berkisar pada bagaimana mengelola organisasi koperasi agar efisien, dan sebagai organisasi ekonomi dapat memperoleh keuntungan (profit) yang sebesar-besarnya. Jika demikian, apa dan dimana bedanya koperasi dengan organisasi perusahaan lain yang dikenal, seperti PT ataupun BUMN. Dimaklumi bahwa sekalipun koperasi berkembang pesat, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua anggota mengetahui secara utuh tentang jati diri koperasi. Bahkan tidak jarang ditemui bahwa ada para pengurus yang bertugas mengembangkan koperasi tetapi tidak memahaminya. Prinsip koperasi menurut Sinuraya (2011) diperlukan untuk :
1. Sebagai pedoman (guidance) bagi pengurus koperasi dalam menjalankan aktivitasnya. Karena prinsip merupakan perilaku dan kebenaran dasar maka prinsip itu akan menjadi amanat bermanfaat bagi pengambilan keputusan agar tujuan koperasi dapat tercapai. 2. Untuk membandingkan dan mengelompokkan koperasi. Dengan merujuk pada prinsip tertentu akan memudahkan mengidentifikasi filosofi seperti kaitannya dengan kebijakan dan praktek keseharian. Akan dengan mudah dilihat apakah suatu gerakan bisnis merupakan “koperasi yang sebenarnya” atau hanya masuk dalam kelompok “mirip koperasi”. Penjabaran prinsip koperasi di Indonesia dalam Undang Undang No.25 Pasal 05 Tahun 1992 menurut Hudiyanto (dalam Sinuraya, 2011), yakni: 1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka Keanggotaan bersifat sukarela dan terbatas mengandung makna bahwa menjadi anggota koperasi tidak boleh dipaksakan oleh siapapun. Sifat sukarela juga mengandung makna bahwa seseorang menjadi anggota koperasi dapat mengundurkan diri dari koperasi sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam anggaran dasar. Sedangkan sifat terbuka memiliki arti bahwa dalam keanggotaan tidak dilakukan pembatasan dan diskriminasi dalam bentuk apapun. 2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis Pengelolaan secara demokratis, prinsip demokratis menunjukkan bahwa pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para anggota. Para anggota yang memegang dan melaksanakan kekuasaan tertinggi
3. Pembagian SHU dilakukan secara adil dan sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing usaha. Pembagian SHU kepada anggota dilakukan tidak semata-mata berdasarkan modal yang disetor dalam koperasi tetapi juga berdasarkan perimbangan jasa usaha anggota terhadap koperasi. Hal ini wujud dari nilai kekeluargaan dan keadilan. 4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal Balas jasa terbatas atas modal. Modal dalam koperasi pada dasarnya dipergunakan untuk kemanfaatan anggota bukan untuk sekedar mencari untung. Oleh karena itu balas jasa terhadap modal yang diberikan kepada anggota juga terbatas, dan tidak didasarkan semata-mata atas besarnya modal yang diberikan. Terbatas dimaksudkan sebagai wajar, tidak melebihi suku bunga yang di pasar. 5. Kemandirian dan otonomi. Koperasi adalah organisasi yang otonom dan mandiri yang diawasi oleh anggota. Dalam setiap perjanjian dengan pihak luar ataupun dalam syaratanya harus tetap menjamin
adanya
upaya
pengawasan
demokratis
dari
anggota
dan
tetap
mempertahankan otonomi koperasi
4. Koperasi Kredit/ Simpan Pinjam Koperasi kredit didirikan untuk memberikan kesempatan kepada anggota-anggotanya memperoleh pinjaman dengan mudah dan dengan ongkos (bunga) yang ringan. Untuk dapat memberikan pinjaman atau kredit maka Koperasi memerlukan modal. Modal Koperasi yang utama adalah simpanan anggota sendiri. Dari uang simpanan yang dikumpulkan bersamasama itu diberikan pinjaman kepada anggota yang perlu dibantu. Dalam memberikan pelayanan-pelayanan itu pengurus Koperasi Simpan Pinjam selalu berusaha supaya ongkos (bunga) ditetapkan serendah mungkin agar dirasakan ringan oleh para anggotanya.
Koperasi Kredit ialah Koperasi yang bergerak dalam lapangan usaha pembentukan modal melalui tabungan para anggota secara teratur dan terus-menerus untuk kemudian dipinjamkan kepada para anggota dengan cara mudah, murah, cepat dan tepat untuk tujuan produktif dan kesejahteraan (Parjimin N dan Djabaruddin Dj, 1986 dalam Wijayanti, 2007) Koperasi Kredit termasuk koperasi dengan sistem single purpose atau dapat dikatakan bahwa koperasi bekerja atas dasar spesialisasi karena koperasi ini hanya pada 1 lapangan usaha saja. Koperasi ini hanya menyimpan uang, menyediakan dan mengusahakan pinjaman atau kredit bagi anggota-anggotanya saja. Koperasi ini adalah salah satu jenis koperasi yang bergerak dalam jasa keuangan yang menjalankan usahanya yaitu dengan cara menghimpun dana dalam bentuk tabungan, deposito dan menyalurkan dengan prosedur yang mudah dan cepat. Dapat dikatakan bahwa Koperasi Simpan Pinjam ialah koperasi yang memiliki kegiatan yang dilakukan untuk menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk anggota, calon anggota koperasi yang bersangkutan, koperasi lain dan atau anggotanya. Tujuan Koperasi Kredit ialah : 1. Membantu keperluan kredit para anggota yang sangat membutuhkan dengan syaratsyarat yang ringan 2. Mendidik kepada para anggota supaya giat menyimpan secara teratur sehingga membentuk modal sendiri 3. Mendidik anggota hidup berhemat, dengan menyisihkan sebagian dari pendapatan mereka 4. Menambah pengetahuan tentang perkoperasian
5. Teori Pelayanan 5.1. Pelayanan Tjiptono (2007) mendefinisikan pelayanan sebagai tindakan atau perbuatan seseorang atau organisasi untuk memberikan kepuasan pelanggan yang membutuhkan secara luas mencakup baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Pelayanan adalah sarana untuk mencapai kepuasan dan ikatan, sedangkan Rangkuti (2006) mendefinisikan layanan atau service sebagai nilai yang berkaitan dengan pemberian jasa pelayanan kepada konsumen. Dari definisi diatas dapat diartikan pelayanan merupakan kegiatan organisasi atau individu yang memiliki karakteristik jasa yang tidak dapat dirasakan secara fisik tetapi berupaya untuk memenuhi kepuasan dan permintaan pelanggan. Service quality adalah suatu instrumen yang digunakan oleh pelanggan untuk menilai pelayanan atau jasa yang diberikan oleh perusahaan. Kualitas pelayanan dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mencapai keunggulan bersaing dan menentukan keberhasilan serta kualitas perusahaan. Tjiptono dan Chandra (2005) mendefinisikan kualitas jasa sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan ekspektasi pelanggan. Kotler (dalam Najib, 2014) mengemukakan bahwa kualitas pelayanan (service quality) harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan, persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu pelayanan. 5.2 Dimensi – Dimensi Pelayanan Tjiptono (2007) mendefinisikan 5 dimensi dari kualitas pelayanan yaitu: 1. Keandalan (realibility) adalah kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan fungsi yang ditawarkan 2. Ketanggapan atau daya tanggap (responsiveness) adalah kesiagapan karyawan dalam membantu konsumen dan memberikan pelayanan informasi dengan cepat
3. Jaminan (assurance) adalah untuk mengukur kemampuan dan kesopanan karyawan serta sifat yang dapat dipercaya yang dimiliki oleh karyawan 4. Bukti langsung (tangibles) yang meliputi penampilan fisik, kebersihan dan kerapihan karyawan serta kelengkapan komunikasi 5. Empathy adalah tata cara yang digunakan penyelenggara pelayanan untuk menunjukkan rasa peduli dan perhatian kepada konsumen Sedangkan menurut Garvin (dalam Tjiptono dan Chandra, 2009), beliau mengembangkan delapan dimensi kualitas pelayanan sebagai berikut : 1. Kinerja adalah mengenai karakteristik operasi pokok dari produk inti 2. Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan adalah karakteristik sekunder atau pelengkap 3. Kehandalan adalah kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau gagal dipakai 4. Kesesuaian dengan spesifikasi adalah sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan sebelumnya 5. Daya tahan adalah berkaitan dengan berapa lama produk tersebut dapat terus digunakan 6. Kemampuan melayani, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah direparasi, penanganan keluhan yang memuaskan 7. Estetika adalah daya tarik produk terhadap panca indera 8. Kualitas yang dipersepsikan, yaitu citra dan reputasi produk serta tanggung jawab perusahaan terhadapnya Adapun menurut Johnston dan Silvestro (dalam Tjiptono dan Chandra, 2009) mengelompokkan dimensi kualitas pelayanan ke dalam tiga kategori sebagai berikut : 1. Hygiene factors, yakni atribut-atribut jasa yang mutlak dibutuhkan demi terciptanya persepsi kualitas jasa yang bagus/ positif.
Ketiadaan atau ketidaktepatan
penyampaian faktor ini akan menimbulkan persepsi negatif terhadap kualitas jasa
2. Quality-enhacing factors, yakni atribut-atribut jasa yang bila tingkat kinerjanya tinggi akan berdampak postif pada persepsi kualitas, namun bila kinerjanya sudah mencapai tingkat rendah tertentu, tidak ada dampak negatif signifikan 3. Dual threshold factors, yaitu atribut-atribut jasa yang bila tidak ada atau tidak tepat penyampaiannya akan membuat pelanggan mempersepsikan kualitas jasa secara negatif namun bila penyampaiannya mencapai tingkat tertentu yang bisa diterima, maka akan menyebabkan pelanggan puas dan persepsinya terhadap jasa menjadi positif 5.3. Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 1995 yang tertuang dalam lampiran Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor: 96/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Pedoman Standar Operasional Manajemen Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam Koperasi menyatakan bahwa
yang dimaksud
dengan pelayanan KSP/USP Koperasi adalah pelayanan jasa keuangan berupa: (1) penghimpunan dana dan (2) penyaluran dana. Kegiatan penghimpunan dana dalam usaha simpan pinjam koperasi meliputi tabungan dan simpanan dari anggota. Kegiatan penyaluran dana dalam usaha simpan pinjam koperasi meliputi pinjaman yang diberikan kepada anggota. Oleh karena itu, pengertian pelayanan simpan pinjam koperasi adalah pelayanan yang berupa pelayanan simpanan anggota dan pelayanan pinjaman dana kepada anggota. 5.4 Variabel Tingkat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Tindakan/ upaya institusi koperasi yang memiliki unit usaha simpan pinjam untuk memberikan kepuasan baik kepada anggota maupun non anggota koperasi yang membutuhkan dana simpan pinjam melalui penghimpunan dana dan penyaluran dana. Tindakan pelayanan tersebut sebagai sarana perhubungan koperasi dalam rangka memenuhi kebutuhan anggota dan non anggota. Pemberian kebutuhan dana oleh koperasi dilakukan
melalui pelayanan yang memiliki beberapa aspek pelayanan, yakni : keandalan, ketanggapan, jaminan, bukti langsung dan empati.
6. Teori Institusional 6.1. Konsep Dasar Teori Berkenaan dengan studi organisasi, secara umum teori institusional menyajikan pemahaman konseptual tentang bagaimana dan mengapa pemikiran dan tindakan individu dalam organisasi secara signifikan dipengaruhi oleh norma organisasi, nilai, budaya dan sejarah. Teori ini telah banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena serta memberikan pandangan yang kompleks dan kaya dalam lingkungan organisasi sektor publik (Van Helden, 2005 dalam Gudono, 2014). Menurut Dacin et al. (dalam Sofyani, Hafiez dan Rusdi Akbar, 2013), teori institusional merupakan penjelasan populer dan kuat untuk tindakan individu dan organisasi. Teori insitusional memaknai keberadaan organisasi dipengaruhi oleh tekanan normatif yang kadang – kadang timbul dari sumber eksternal seperti lingkungan, namun bisa juga timbul dari dalam (internal) organisasi itu sendiri. Menurut Di Maggio dan Powell (dalam Roen, 2011), ide/ gagasan utama dari teori ini adalah bahwa organisasi dibentuk oleh lingkungan institusional yang mengitarinya. Ide - ide yang berpengaruh kemudian diinstitusionalkan dan dianggap sah dan diterima sebagai cara berpikir ala organisasi tersebut. Proses legitimasi sering dilakukan oleh organisasi melalui tekanan negara-negara dan pernyataan - pernyataan. Zukler (dalam Roen, 2011) menyatakan bahwa ide atau gagasan pada lingkungan institusional yang membentuk bahasa dan simbol yang menjelaskan keberadaan organisasi dan diterima (taken for granted) sebagai norma-norma dalam konsep organisasi. Gagasan kunci di balik institusionalisasi adalah bahwa banyak tindakan organisasi menceriminkan suatu pola dalam
melakukan hal – hal yang berkembang dari waktu ke waktu dan disahkan dalam sebuah organisasi dan lingkungan (Pfeffer, 1982, dalam Sofyani, Hafiez dan Rusdi Akbar, 2013). Eksistensi organisasi terjadi pada cakupan organisasi yang luas dimana setiap organisasi saling mempengaruhi bentuk organisasi lainnya lewat proses pengadopsian (isomorphism) atau institusionalisasi (pelembagaan). Di Maggio dan Powell (dalam Roen, 2011) menyebutnya sebagai proses imitasi atau adopsi mimetic sebuah organisasi terhadap elemen organisasi lainnya. Mereka mengidentifikasi ada tiga mekanisme untuk perubahan atau upaya yang dilakukan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan (institutional isomorphic), yaitu : 1. coersif isomorphis, yang menunjukkan bahwa organisasi mengambil beberapa bentuk atau melakukan adopsi terhadap organisasi lain karena tekanan-tekanan (keterpaksaan) negara dan organisasi lain atau masyarakat yang lebih luas 2. mimesis isomorphis, imitasi/ peniruan sebuah organisasi oleh organisasi yang lain 3. normatif isomorphis, karena adanya tuntutan profesional 6.2. Eksistensi Koperasi dalam Teori Institusional Pada konteks koperasi sebagai suatu organisasi, koperasi juga memenuhi semua ketiga mekanisme isomorphis yang didefinisikan oleh Di Maggio dan Powell, dengan penjabarannya sebagai berikut : 1. Secara struktural, untuk dapat berdiri secara sah sebagai badan hukum, maka organisasi koperasi harus mengikuti aturan-aturan pemerintah sesuai dengan UU Perkoperasian. Tatanan legal tersebut dapat menyebabkan adanya suatu kepatuhan organisasi koperasi yang berada pada satu subyek yaitu kewajiban legal untuk mendapatkan legitimasi dari pemerintah. 2. Secara prosedural, organisasi koperasi mengadopsi organisasi lain, dengan melihat cara manajemen dari organisasi badan usaha lain. Pola ini memfokuskan pada organisasi-
organisasi yang terlihat „lebih sukses‟ dan lebih mendapat legitimasi dari organisasi koperasi yang menirunya karena adanya ketidakpastian mengenai cara memproses atau beroperasi. 3. Secara normatif, organisasi koperasi dapat dikatakan sebagai system of belief. Para aktor berfungsi sebagai anggota asosisasi profesi atau corp daripada sebagai mahluk kalkulatif dan selalu memaksimalkan kepuasan pribadinya. Sehingga koperasi yang dibangun merupakan cara mereka memberikan legitimasi dan otonomi profesi mereka. Koperasi sebagai salah satu organisasi, maka eksistensi koperasi dapat digunakan dengan melihat sudut pandang eksistensi organisasi dalam teori institusional. Dalam pandangan teori institusional disebutkan bahwa organisasi dibentuk/ dipengaruhi oleh lingkungan institusional yang mengitarinya. Lingkungan institusional dalam konteks organisasi koperasi dimaknai sebagai dimensi – dimensi koperasi dari pandangan beberapa pakar koperasi. Sehingga eksistensi organisasi khususnya dalam organisasi koperasi dapat diturunkan menjadi variabel eksistensi koperasi. 6.3 Dimensi - Dimensi Eksistensi Koperasi Secara umum, eksistensi koperasi dipengaruhi sekurang-kurangnya oleh tiga faktor yaitu legal, kinerja usaha dan kepercayaan. Lebih lanjut dimensi-dimensi yang digunakan untuk menjelaskan eksistensi koperasi, sebagai berikut : Bayu Krisnamukti (dalam Sukidjo, 2008) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor fundamental yang mempengaruhi eksistensi koperasi, yakni: 1. Koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri. 2. Koperasi akan berkembang apabila terdapat kebebasan (independency) dan otonomi untuk berorganisasi. 3. Keberadaan koperasi akan ditentukan oleh proses pemahaman nilai-nilai koperasi.
4. Adanya kesadaran dan kejelasan tentang keanggotaan. 5. Koperasi akan eksis apabila mampu mengembangkan kegiatan usaha. Terdapat tiga bentuk dimensi eksistensi koperasi bagi masyarakat yang dikemukakan dalam Pusat Studi Pembangunan (PSP) Institut Pertanian Bogor (IPB) (dalam Amalia, 2012) yaitu: 1. Koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat. 2. Koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga lain 3. Koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya Wahyu Sukoco (dalam Kadir, Hainim dan Yusbar Yusuf, 2012) menerangkan bahwa terdapat tiga faktor untuk menentukan besar, kekuatan dan dampak eksistensi koperasi sebagai soko guru perkonomian, yakni : 1. Co-operative growth (pertumbuhan koperasi) 2. Co-operative share (sumbangan dan bagian serta peran koperasi) 3. Co-operative effect (dampak koperasi) 6.4 Variabel Tingkat Eksistensi Koperasi Proses suatu organisasi koperasi menjadi ada sebagai gerakan ekonomi rakyat dengan berdasarkan asas kekeluargaan dan melandaskan kegiatannya sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi. Proses dari lembaga koperasi tersebut ditentukan melalui : adanya kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi, adanya kebebasan dan otonomi koperasi untuk berorganisasi, pemahaman nilai - nilai koperasi, serta adanya kesadaran dan kejelasan mengenai keanggotaan. Proses tersebut merupakan wujud dari koperasi untuk menjadi ada kemudian melakukannya untuk mempertahankan keberadaan organisasi.
7. Hubungan Antar Vriabel Hubungan antara variabel tingkat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi terhadap variabel tingkat Eksistensi Koperasi. Kaitannya dengan pelayanan simpan koperasi adalah bahwa menjadi mungkin dapat ditemukan aspek-aspek yang mendukung dan menghambat tercapainya tujuan organisasi koperasi, dalam hal ini sebagai eksistensi koperasi, yang distimulus dengan melihat salah satu aspek yaitu pelayanan koperasi. Menurut Hasan (2012), dalam penelitiannya di Koperasi Pegawai Negeri Praja Kantor Gubernur Bali (dalam Winata, 2013), persaingan berbagai jenis lembaga keuangan dewasa ini menyebabkan koperasi tersebut dapat mempertahankan eksistensi di dunia lembaga keuangan indonesia, salah satu caranya yaitu dengan meningkatkan kualitas pelayanan. Hubungan pelayanan simpan pinjam dengan eksistensi koperasi mempunyai pengaruh positif. Semakin baik kualitas pelayanan yang diberikan oleh koperasi maka eksistensi koperasi juga akan semakin tinggi. Dan jika kualitas pelayanan yang diberikan koperasi buruk maka eksistensi koperasi juga akan semakin rendah. Oleh karena itu, pelayanan simpan pinjam koperasi di Koperasi PPKL-Y dapat dihubungkan dengan eksistensi koperasi PPKLY.
8. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran menggambarkan hubungan dari variabel independen, dalam hal ini adalah Tingkat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi (X) terhadap variabel dependen yaitu Tingkat Eksistensi Anggota (Y). Atas dasar tinjauan landasan teori, maka dapat disusun kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini, seperti tersaji dalam gambar berikut :
9. Hipotesis Hipotesis merupakan dugaan sementara yang paling memungkinkan yang masih harus dicari kebenarannya. Hubungan antar variabel dalam penelitian ini memiliki hipotesis sebagai berikut : H : tingkat pelayanan simpan pinjam koperasi berpengaruh positif dan signifikan dengan tingkat eksistensi koperasi
G. DEFINISI OPERASIONAL Berdasarkan dari serangkaian teori diatas, maka variabel-variabel dalam penelitian ini dapat didefinisikan secara operasional sebagai berikut : Variabel
Indikator
bukti langsung (tangibles)
Sub-Indikator koperasi dalam memberikan pelayanan memiliki peralatan yang memadai dan baik kebersihan, kerapian dan kenyamanan ruangan pengurus/karyawan yang memberikan pelayanan berpakaian bersih dan berpenampilan rapi koperasi menyediakan fasilitas yang dapat menunjang pengetahuan anggota prosedur pelayanan cepat dan tepat sesuai keinginan prosedur pelayanan tidak berbelit
keandalan (reliability)
Tingkat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi
daya tanggap (responsiveness)
jaminan (assurance)
empati (emphaty)
kesadaran dan kejelasan tentang keanggotaan kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi Tingkat Eksistensi Koperasi
kebebasan dan otonomi untuk berorganisasi
jadwal pelayanan dilakukan tepat waktu pengurus/karyawan menanggapi dengan simpatik dan bijaksana ketika anggota mempunyai masalah pengurus/karyawan memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti pengurus/karyawan mempunyai kesadaran yang tinggi untuk membantu anggota jumlah pengurus/karyawan yang memadai sehingga dapat melayani anggota pengurus/ karyawan mampu merespon keinginan anggota dengan baik pengurus/karyawan bersikap sopan dan ramah pengurus/ karyawan memberikan pelayanan secara menyeluruh dan tuntas pengurus/karyawan mampu menjaga mutu pelayanan dengan baik pengurus mempunyai wawasan yang luas sehingga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi anggota pengurus/karyawan memberikan perhatian khusus kepada setiap orang yang dilayani pengurus/karyawan berlaku adil dalam memberikan pelayanan pengurus/ karyawan mampu menghargai anggota dengan baik pengurus/karyawan tidak mengesampingkan kepentingan anggota kesadaran tentang keanggotaan kejelasan tentang keanggotaan kebutuhan kolektif secara fisik kebutuhan kolektif secara non fisik bebas mengadakan kesepakatan dengan perkumpulan/ instansi lain bebas memperoleh modal dari sumber-sumber luar bebas dalam pengambilan keputusan bebas dalam menentukan AD/ART Koperasi
proses pemahaman nilainilai koperasi
nilai yang mendasari kegiatan koperasi nilai yang diyakini anggota koperasi