BAB 1 PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Masyarakat pada umumnya sudah mengetahui beberapa tindak pidana, khususnya
yang berhubungan dengan dunia perbankan. Beberapa di antara mereka juga sudah menyadari bahwa tindak pidana tersebut sudah berkembang dari zaman ke zaman mengingat semakin majunya teknologi dan akses untuk mendapatkan suatu informasi. Tindak pidana yang berhubungan dengan dunia perbankan dimulai dengan perampokan uang di bank, ketika kejahatan pada umumnya dilakukan oleh orangorang berasal dari kalangan rakyat bawah, golongan orang miskin, tidak mampu, pengangguran yang ingin mendapatkan penghidupan yang layak. Cara perampokan biasanya dengan menggunakan senjata tajam, pistol, senapan, dan lainnya. Tak jarang di antara mereka yang memakai sandera sebagai alat untuk meminta tebusan dari pihak bank. Kejahatan semacam ini disebut sebagai Blue Collarship
Crime5
yang
merupakan
kejahatan-kejahatan
klasik
(kejahatan
konvensional yang diatur dalam KUHP), yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari golongan ekonomi bawah dan tidak berpendidikan. Cara merampok bank seperti ini sudah tidak efektif lagi, mengingat sistem keamanan bank yang sudah semakin canggih dan juga banyaknya aparat-aparat kepolisian yang sudah terlatih dengan kejahatan-kejahatan seperti ini, membuat para pelaku tindak pidana 5
Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 56.
1
perbankan mencari cara yang lebih efektif agar dapat menambah kekayaan mereka. Akhirnya, muncul beberapa tindak pidana yang menggunakan cara berbeda dengan cara klasik. Para pelaku mencuri uang di bank dengan cara menjadi “orang dalam” di bank tersebut, misalnya menjadi pegawai bank atau pimpinan bank. Setelah mereka mendapat jabatan penting di bank, maka barulah mereka dapat melakukan perbuatan kejinya. Kejahatan-kejahatan seperti ini yang disebut dengan White Collarship Crime,6 yang merupakan kejahatan modern yang pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki pekerjaan strategis, terhormat dan berpendidikan tinggi. Salah satu kejahatan modern di bidang perbankan yang paling terkenal adalah tindak pidana pencucian uang atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan money laundering.7 Dalam artian yang sederhana, money laundering merupakan suatu proses yang menjadikan uang dari hasil kejahatan (dirty money), misalkan uang hasil kejahatan narkoba, korupsi, perdagangan gelap, prostitusi, penggelapan pajak, judi dan lainnya dikonversikan ke dalam bentuk yang sah dengan cara misalnya memasukkan uang-uang tersebut ke dalam sektor perekonomian yang sah atau menyimpannya di bank agar uang hasil kejahatan dapat digunakan dengan aman.8 Munculnya istilah money laundering dimulai di negara Amerika Serikat sejak tahun 1930. Ketika itu, kelompok mafia legendaris asal negara Paman Sam yang bernama Al Capone melalui Meyer Lansky, sang bendahara kelompok tersebut yang 6
Ibid., hlm. 57. Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 19. 8 Yenti Garnasih, 2009, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 1. 7
2
diberi julukan sebagai bapak money laundering9 menggunakan cara dalam rangka memutihkan uang tidak sah kelompoknya dengan mengembangkan pusat perjudian, prostitusi, serta bisnis liburan malam di Las Vegas.10 Meyer Lansky juga membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai salah satu strateginya. Perusahaan yang banyak dibeli dengan uang tidak sah mereka adalah perusahaan pencucian pakaian (Laundromat) yang ketika itu terkenal di Amerika. Usaha tersebut berkembang pesat dan berbagai perolehan uang hasil kejahatan misalnya hasil kejahatan minuman keras ilegal, perjudian, prostitusi masuk ke dalam perusahaan tersebut. Cara ini digunakan oleh Al Capone guna menyembunyikan hasil kejahatannya.11 Pada tahun 1980-an, bisnis seperti perdagangan narkotika dan obat bius yang hasilnya mencapai jutaan dollar berkembang pesat, maka munculah istilah narco dollar atau drug money, yang berasal dari hasil perdangangan narkotika.12 Perkembangan selanjutnya dari metode pemutihan uang tidak sah ini adalah dengan menggunakan institusi perbankan atau pihak perantara finansial yang sah. Uang tidak sah tersebut nantinya dimasukkan ke dalam sistem perbankan dan sistem penanaman modal, sehingga uang tersebut membaur dan bercampur aduk dengan uang lainnya. Hal ini membuat sulitnya pelacakan dan pengidentifikasian dalam rangka mencari barang bukti guna mengungkap uang hasil kejahatan kelompok Al Capone yang tersebar dalam kegiatan offshore banking yang berkembang di Havana dan Bahama. 9
J.E. Sahetapy, 2003, Business Uang Haram, Jurnal, Jakarta, hlm. 2. Yenti Garnasih, Op. Cit., hlm. 45-46. 11 Ibid. 12 H. As. Mahmoeddin, 1997, Analisis Kejahatan Perbankan, Penerbit Rafflesia, Jakarta, hlm. 291292. 10
3
Bahkan sampai sekarang, tempat-tempat offshore banking meluas hingga ke berbagai negara, contohnya di Swiss, dimana para koruptor menyimpan uang hasil tindak pidana mereka di sana dalam bentuk simpanan dan deposito. Contoh beberapa negara yang dicurigai sebagai tempat menyembunyikan hasil pencucian uang antara lain Singapura, Amerika, Australia dan Swiss.13 Berkembangnya teknologi dan globalisasi di bidang perbankan, menjadikan bank sebagai sasaran utama dari kegiatan pencucian uang. Hal ini dikarenakan bank banyak menawarkan jasa instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul suatu dana, sehingga dana hasil kejahatan mengalir melampaui batas yurisdiksi negara dengan memanfaatkan faktor kerahasiaan bank yang pada umumnya dijunjung tinggi oleh pihak perbankan. Melalui mekanisme ini, dana hasil kejahatan bergerak dari satu negara ke negara lain yang belum mempunyai sistem hukum yang cukup kuat untuk menanggulangi kegiatan pencucian uang atau bahkan bergerak ke negara yang menerapkan ketentuan kerahasiaan bank yang ketat.14 Berdasarkan data statistik IMF (International Monatory Fund),15 uang hasil kejahatan yang telah “dicuci” melalui bank-bank diperkirakan hampir mencapai nilai sebesar US $ 1.500 miliar per tahun. Sementara itu menurut Associated Press, kegiatan pencucian uang hasil perdagangan ilegal lainnya, yakni narkotika, obat bius, 13
Seminar Kerjasama Kemenkumham dan FH-UGM dengan tema “Praktek dan Permasalahan dalam Penyusunan Mutual Legal Assistence (MLA) dan Implementasi Strategi Asset Recovery”, dilaksanakan pada tanggal 08-05-2013. 14 Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 18. 15 Ibid.
4
prostitusi, korupsi dan kejahatan lainnya sebagian besar diproses melalui perbankan untuk kemudian diubah atau dikonversikan menjadi dana legal dan diperkirakan kegiatan ini mampu menyerap nilai US $ 600 miliar per tahun. Jumlah nominal tersebut sama dengan prosentase 5% dari Gross Domestic Product (GDP) di seluruh dunia. Namun, menurut Michael Camdessus yang pada waktu itu menjabat sebagai Managing Director International Monatory Fund, memperkirakan bahwa volume dari cross-border money laundering adalah antara 2% sampai dengan 5% dari Gross Domestic Product (GDP) dunia. Bahkan batas terbawah dari kisaran tersebut, yaitu jumlah uang yang dihasilkan dari kegiatan narcotics, trafficking, arms trafficking, bank fraud, securities fraud, counterfeiting, dan kejahatan yang sejenis itu, mencapai hampir US $ 600 miliar.16 Negara
Indonesia
adalah
negara
yang
memiliki
banyak
faktor
yang
menguntungkan untuk melakukan money laundering, sehingga tidak ragu jika pada tahun 2001, Negara Indonesia dianggap tidak koperatif memerangi jenis kejahatan pencucian uang, dikarenakan negara Indonesia menganut sistem devisa bebas, sistem kerahasiaan bank, beberapa bank di Indonesia masih membutuhkan likuiditas atau belum adanya perangkat yuridis yang tegas bagi anti pencucian uang. Oleh karena itu pada tahun 2001 tepatnya tanggal 22 Juni 2001 Financial Action Task Force (FATF) memasukkan Indonesia di samping 19 negara lainnya ke dalam daftar hitam Non Cooperative Countries or Territories (NCCTs) atau kawasan yang tidak koperatif dalam menangani kasus money laundering. Kesembilan belas negara lain itu adalah 16
Ibid.
5
Mesir, Rusia, Hongaria, Israel, Lebanon, Filipina, Myanmar, Nauru, Nigeria, Niue, Cook Island, Republik Dominika, Guatemala, St. Kitts and Nevis, St. Vincent dan Grenadines serta Ukraina.17 Dilihat juga dari beberapa kasus tindak pidana perbankan di Indonesia, seperti kasus tindak pidana pencucian uang yang pernah terjadi di Bank Rakyat Indonesia Cabang Panakkukang, Makassar pada tanggal 26 Januari 2011 lalu. Tindak pidana tersebut dilakukan oleh (eks) asisten manager operasional bank tersebut dengan cara melakukan transfer uang milik nasabah BRI sebesar Rp. 30.000.000.000,00 (tiga puluh milyar rupiah) ke rekening PT. Indosave di Jakarta yang dimaksudkan untuk membeli valuta asing sebesar US $ 2.000.000,00 (dua juta dollar AS) dengan cara dikirim sebanyak 30 kali ke rekening PT. Indosave. Pembelian valuta asing tersebut sangat mencurigakan, karena saat itu kurs rupiah berada di kisaran Rp 9.050,00 per dollar, tetap saat transaksi disetujui pembelian Rp 9.500,00 per dollar.18 Selain itu, beberapa kasus lainnya di bidang perbankan seperti kasus pembobolan BNI, semakin membuktikan akan rendahnya etika profesionalitas pengelola industri perbankan dan lemahnya sistem pengawasan bank terutama sistem pengawasan internal.19 Pentingnya penguatan di sektor ini agar bank tidak lagi “dirampok” oleh pemilik dan pengelola bank sendiri. Kegiatan pencucian uang dalam sistem perbankan biasanya
17
N.H.T. Siahaan, 2005, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Cetakan Kedua (Edisi- Revisi), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 2. 18 Antara News, “Terdakwa Pencucian Uang Rp. 30 Milyar Divonis Penjara”, diakses dari http://makassar.antaranews.com/berita/34038/terdakwa-pencucian-uang-rp30-miliar-divonis-penjara, pada tanggal 25 September 2016, pukul 18.35 WIB. 19 Zulkarnain Sitompul, 2003, “Tindak Pidana Perbankan dan Pencucian Uang (Money Laundering)”, Makalah, Padang, hlm. 1.
6
datang dari transaksi-transaksi khas perbankan, yakni volume transaksi sangat besar, likuid, mudah dipalsukan dan melibatkan jumlah uang yang besar serta seringkali melintasi batas negara. Masing-masing faktor ini mempermudah terjadinya kejahatan pencucian uang yang pelakunya biasanya adalah oleh orang dalam bank (insider). Volume transaksi yang besar seperti kredit perumahan dan kredit konsumsi yang disalurkan oleh bank sangat sulit dimonitor, dengan demikian mudah untuk melakukan penipuan pada salah satu transaksi ditengah banyaknya jumlah transaksi yang sah. Jumlah transaksi yang besar juga dapat membuat upaya pelacakan dan pendeteksian kasus kejahatan pencucian uang menjadi sulit.20 Padahal, bank memegang peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian negara, yaitu memegang fungsi perantara atau intermediary, di mana bank menghimpun dana masyarakat yang kelebihan dana dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada mereka yang kekurangan uang dalam bentuk pinjaman atau kredit serta memberikan jasa-jasa lainnya yang lazim dilakukan bank dalam lalu lintas pembayaran.21 Agar fungsi bank sebagai lembaga perantara dapat berjalan dibutuhkan adanya kepercayaan masyarakat. Pentingnya kepercayaan masyarakat bagi bank paling tidak karena dua alasan, pertama, meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi, dan kedua, memelihara stabilitas industri perbankan dan membangun kerjasama antara pihak bank dan otoritas yang terlibat dalam pengaturan dan pengawasan bank dalam mewujudkan 20
Ibid., hlm. 2. Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, Penebit Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 136.
21
7
kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan22 guna mencegah terjadinya bank runs and bank panics.23 Kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan sebenarnya bisa dicegah dengan sistem pengawasan aktif perbankan berdasarkan salah satu prinsip perbankan yaitu prinsip mengenal nasabah (know your customer principle). Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh bank seperti menetapkan kebijakan mengenai penerimaan nasabah, prosedur identifikasi nasabah, prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah khusunya transaksi mencurigakan, prosedur manajemen risiko, dan pembaruan data tiap nasabah.24 Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat persoalan hukum mengenai kejahatan pencucian uang dalam kegiatan perbankan, dikarenakan pelaku kejahatan mampu menggunakan berbagai cara untuk menyamarkan uang hasil kejahatannya ke dalam sektor usaha yang sah, sehingga mengakibatkan upaya pelacakan dan pendeteksian kasus kejahatan pencucian uang menjadi sulit. Maka, agar tindak pidana pencucian uang tidak terjadi kembali, PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. berkomitmen untuk mencegah tindak pidana pencucian uang dengan melakukan segala upaya pencegahannya pada tahap proses penerimaan nasabah, identifikasi nasabah, pemantauan rekening nasabah serta pemutakhiran data nasabah dan melakukan perlindungan hukum terhadap para nasabahnya, sehingga uang yang berada di bank 22
Dahlan Siamat, 2005, Manajemen Lembaga Keuangan: Kebijakan Moneter dan Perbankan, Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 177. 23 Zulkarnain Sitompul, 2002, Perlindungan Dana Nasabah Bank Suatu Gagasan tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, Program Pascasarjana FH UI, Jakarta, hlm. 2. 24 Zulkarnain Sitompul, “Tindak Pidana Perbankan dan Pencucian Uang (Money Laundering)”, Makalah, Padang, hlm. 14.
8
dapat tersalurkan dengan tepat sesuai dengan fungsi intermediasi bank. Oleh karena itu, dipilih judul penelitian, yaitu “Tinjauan Terhadap Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle) oleh PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. dalam Upaya Mencegah dan Menanggulangi Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering).
B.
Rumusan Masalah 1.
Bagaimana penerapan kebijakan dan prosedur sesuai dengan prinsip mengenal nasabah (know your customer principle) yang dilakukan oleh PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. sebagai upaya untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana pencucian uang (money laundering)?
2.
Apa kendala yang dihadapi pihak bank dalam penerapan prinsip mengenal nasabah (know your customer principle) sebagai upaya mencegah dan menanggulangi kejahatan pencucian uang (money laundering)?
C.
Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif a.
Untuk mengetahui penerapan kebijakan dan prosedur sesuai dengan prinsip mengenal nasabah (know your customer principle) yang dilakukan oleh PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. sebagai 9
upaya untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana pencucian uang (money laundering). b.
Untuk mengetahui tentang kendala yang dihadapi pihak bank dalam penerapan prinsip mengenal nasabah (know your customer principle) sebagai upaya mencegah dan menanggulangi kejahatan pencucian uang (money laundering).
2. Tujuan Subjektif Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh bahan dan data guna penyusunan penulisan hukum sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D.
Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis selama melakukan penelitian kepustakaan di
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, sudah ada penulisan hukum dan tesis yang mengangkat topik tentang prinsip mengenal nasabah dan praktik pencucian uang dalam dunia perbankan. Adapun penulisan hukum dan tesis tersebut adalah sebagai berikut: 1) Penulisan hukum yang ditulis oleh Malikus S.W dengan Nomor Induk Mahasiswa 09/128307/HK/15363 yang mengambil program kekhususan Hukum Dagang. Judul penulisan hukum milik Malikus S.W adalah “Transaksi Perbankan Berkaitan dengan Prinsip Mengenal Nasabah berdasarkan Peraturan Perundang10
Undangan Tentang Pencucian Uang”. Namun, fokus permasalahannya berbeda dengan penelitian ini. Adapun penulisan hukum tersebut mempunyai rumusan masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah profil dan karakteristik dari transaksi perbankan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pencucian uang di Indonesia ?
2.
Apa upaya-upaya lembaga perbankan dalam menjalankan prinsip mengenal nasabah sebelum dan sesudah terjadinya transaksi yang mencurigakan pada lembaganya ?
2) Tesis yang ditulis oleh Listyaningsih dengan Nomor Induk Mahasiswa 07/262588/PHK/04644 yang mengambil Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan Judul Tesis adalah “Peranan Perbankan dalam Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang”. Adapun penulisan hukum tersebut mempunyai rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana peranan perbankan dalam menerapkan prinsip mengenal nasabah untuk pencegahan tindak pidana pencucian uang (money laundering)? 2. Apa kendala-kendala yang dihadapi perbankan dalam menerapkan prinsip mengenal nasabah untuk mencegah tindak pidana pencucian uang (money laundering) dan bagaimana cara mengatasinya?
11
Penulis beranggapan bahwa penelitian yang dilakukan penulis mempunyai perbedaan dengan penulisan hukum dan tesis yang ada di atas. Adapun perbedaannya terdapat pada : a.
Peraturan Perundang-undangan Dalam penelitian sebelumnya, penulis (Malikus S.W. dan Listyaningsih)
menggunakan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 jo. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 jo. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 jo. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan peraturan terbaru, yakni Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum. Adanya perbedaan penggunaan peraturan perundang-undangan ini akan berpengaruh terhadap perbedaan substansi pembahasan dengan penelitian sebelumnya. Apabila ditemukan penelitian yang serupa, maka diharapkan penelitian ini dapat digunakan untuk melengkapi penelitian yang telah ada sebelumnya. b.
Lokasi penelitian Lokasi penelitian dalam penelitian ini mengambil tempat di Bank Rakyat
Indonesia Kantor Wilayah Yogyakarta dan Kantor Otoritas Jasa Keuangan Yogyakarta, sedangkan penelitian (Malikus S.W) sebelumnya mengambil lokasi penelitian di Bank Central Asia Jakarta dan PPATK dan penelitian (Listyaningsih) di Kantor PT. Permata Bank, Tbk. Adanya perbedaan lokasi 12
penelitian tersebut mengakibatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis akan berbeda dengan penelitian sebelumnya.
E.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis a.
Untuk memberi masukan kepada pihak penegak hukum terutama jaksa dan penyidik dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan kepada para pihak yang berkecimpung di dunia ekonomi agar bisa lebih waspada terhadap modus operandi dari praktik pencucian uang.
b.
Bermanfaat bagi peneliti karena menambah pengetahuan dan meningkatkan keterampilan di bidang penelitian.
2. Manfaat Teoretis a.
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan terutama untuk Hukum Dagang dan Hukum Pidana.
b.
Untuk memberikan pencerahan wawasan kepada masyarakat Indonesia mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang.
13