BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri fashion di dunia telah mengalami evolusi dan berhasil mengubah persepsi masyarakat terhadap fungsi primer pakaian menjadi kepada sebuah alat untuk mengekspresikan identitas, menciptakan kesejahteraan dari sebuah kreativitas dan menghubungkan masyarakat global. Pratt, Borrione, Lavanga, & D’Ovidio (2012), mendeskripsikan fashion sebagai berikut: Fashion is normally characterized both as forms of everyday clothing and as luxury rather than utilitarian needs. A further defining characteristic, one which gives us the noun ‘fashion’, signifies a constant and shifting value system whereby items may be deemed in or out of fashion, and hence symbolic revaluing leads to their cultural and economic value being repeatedly and quickly transformed. Pakaian telah menjadi indikator kuat terhadap identitas sosial, kelas sosial, citra diri, dan iklim (Au et Al dalam Azuma & Fernie, 2003, p. 415). Tergantung kepada era dan desainer atau modiste yang menginterpretasikan hal tersebut, pakaian dapat menjadi ekspresi sebuah ideologi, kritik sosial, ataupun kombinasi keduanya (Muller dalam Azuma & Fernie, 2003, p. 415). Dengan demikian, fashion dianggap sebagai sebuah siklus refleksi karakteristik sosial, budaya, dan lingkungan yang unik didalam suatu masa selain memainkan peran penting dalam melengkapi citra diri seseorang (Robinson; Au et al, dalam Azuma & Fernie, 2003, p. 415). Industri fashion Muslim merupakan sub-sektor industri kreatif yang menarik untuk dikaji di Indonesia. Seiring muncul dan berkembangnya industri kreatif di Indonesia, industri fashion Muslim pun muncul sebagai sebuah industri strategis yang berpotensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Pertama, industri fashion Muslim !
1!
yang termasuk dalam industri kreatif memerlukan input berupa sumber daya kreatif dan nilai budaya dimana kedua input ini tersedia banyak di Indonesia. Masyarakat Indonesia memiliki gagasan, seni, nilai budaya, inovasi, dan kekayaan intelektual lain yang besar dan hal ini merupakan salah satu penggerak utama industri ini. Selain itu, secara tidak langsung industri fashion Muslim berpotensi besar dalam menyerap tenaga kerja. Kedua, industri fashion Muslim mampu meningkatkan pendapatan Negara dari sektor non-migas. Pertumbuhan industri fashion terbukti memiliki dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Kontribusi fashion tahun 2012 terhadap PDB mencapai Rp 164 triliun, dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 3,8 juta orang hingga tahun 2012. Sejak tahun 2009 hingga 2011, ekspor produk fashion terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu berturut-turut sebesar US$ 8,8 triliun, US$ 10,7 triliun dan US$ 13,9 triliun (Direktorat Jendral Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan Indonesia, 2013). Dari kontribusi industri fashion tersebut, industri fashion Muslim berkontribusi cukup besar. Pada semester pertama tahun 2012 industri ini mengalami peningkatan sebesar 8,5%, sedangkan selama ini pertumbuhan industri fashion nasional rata-rata hanya mencapai 7 persen per tahun (Pandasurya Wijaya, 2012). Ketiga, industri fashion Muslim di sektor kreatif ini umumnya didominasi oleh industri berskala kecil dan menengah yang dapat dijadikan benteng sektor ekonomi dalam menghadapi kemungkinan ancaman krisis. Sifat resistensi industri ini terhadap krisis disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: industri berskala kecil dan menengah umumnya tidak bergantung pada pinjaman luar negeri, dimana pinjaman ini riskan untuk terkena dampak langsung krisis ekonomi global. Faktor lainnya ialah
!
2!
industri ini umumnya menggunakan input lokal, dimana hal ini memungkinkan industri untuk tetap hidup tanpa harus bergantung pada pasokan bahan baku impor. Perkembangan industri fashion Muslim tanah air turut direspon oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, dengan mencanangkan Indonesia sebagai pusat fashion Muslim dunia pada tahun 2020 (Republika Online, 2014). Untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat fashion Muslim dunia bermakna bahwa industri ini harus siap untuk berpartisipasi dalam perdagangan internasional. Partisipasi ini perlu dilakukan dengan persiapan untuk menghadapi berbagai peluang maupun tantangan yang timbul dari adanya perdagangan internasional. Perdagangan internasional lahir dari adanya globalisasi. Industri fashion Muslim tanah air dapat mengambil keuntungan dari globalisasi untuk meraih pasar di Negara lain. Namun disisi lain, globalisasi juga membawa sejumlah tantangan bagi industri ini. Jin-Young Chung (Young Rae Kim dalam Poppy S Winanti, 2003) menyebutkan bahwa terdapat 2 tantangan yang diakibatkan oleh globalisasi. Pertama, pemenuhan standar internasional. Aktor-aktor yang terlibat dalam globalisasi harus mengadopsi dan mampu beradaptasi dengan standar-standar global. Hal ini berarti, setiap perusahaan fashion Muslim Indonesia yang ingin berpartisipasi aktif dalam perdagangan internasional harus dapat bertindak sesuai aturan dan norma yang disepakati secara global. Tantangan kedua berkenaan dengan peningkatan daya saing internasional. Aktor-aktor yang terlibat dalam globalisasi dihadapkan pada kompetisi lintas Negara yang menyebabkan mereka harus memiliki nilai kompetitif agar dapat bertahan hidup. Oleh karena itu, agar dapat menjadikan Indonesia sebagai pusat fashion Muslim dunia
!
3!
memerlukan industri yang kuat dan siap dalam menghadapi kedua tantangan globalisasi tersebut. Tren fashion Muslim tidak hanya meningkat di Indonesia namun juga secara global. Butik-butik fashion di Milan dan Paris mulai menyadari adanya potensi perdagangan untuk fashion Muslim (Couch & Meyer, 2010). Dengan adanya 3 juta umat Muslim di Inggtis, perdagangan industri ini diestimasikan bernilai sekitar 90150 milyar USD per-tahun. Dengan angka ini, 16 juta umat Muslim di Uni Eropa dapat menjadi pasar potensial yang bernilai sekitar 960 juta AS – 1,5 Milyar USD per-tahun (Abubaker, 2013). Industri fashion Muslim secara global akan bernilai 96 milyar USD jika setengah dari umat Muslim di dunia mengeluarkan 120 Dollar AS per-tahun untuk busana Muslim (Couch & Meyer, 2010). Untuk menghadapi kompetisi dari Negara-negara lain dalam meraih pasar internasional, perusahaan-perusahaan fashion Muslim Indonesia ditantang untuk berani dalam mengambil langkah untuk berekspansi dan berorientasi ekspor. Beberapa perusahaan fashion Muslim di Indonesia telah berpartisipasi dalam perdagangan internasional diantaranya CV. Miranda Moda Indonesia, CV. Karya Jenahara, dan CV. Galeri Batik Dian Pelangi. Ketiga industri fashion Muslim tersebut dinilai memiliki kelebihan dalam hal desain maupun material bahan yang dipakai, sehingga kedua label tersebut saat ini mampu menjadi market leader baik di tanah air maupun mancanegara. Sayangnya tidak semua industri fashion Muslim di Indonesia memiliki kekuatan layaknya dua label tersebut, sehingga menjadikan beberapa pelaku industri masih menjadi market follower. Sebagai market follower, industri-industri ini masih belum dapat menciptakan desain yang kuat dan mempengaruhi pasar. Padahal industri !
4!
fashion Muslim merupakan industri yang bergerak dalam ranah industri kreatif. Menurut Dirjen Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian, Euis Saedah, desain merupakan faktor yang sangat menentukan dalam peningkatan daya saing di dalam produk industri fashion Muslim. Untuk memenangkan kompetisi pasar dalam maupun luar negeri, para pelaku usaha industri busana muslim harus memperkuat kreativitas untuk menuangkan ideide baru. Desain produk busana muslim tidak semata dilihat dari fungsi semata, tapi juga penampilan desain yang sedang diburu masyarakat pengguna dan banyak laku di pasar. Selain itu, dalam mendesain perlu melihat trend yang sedang berkembang (Kementerian Perindustrian, 2011). Melihat realita permasalahan tersebut, peneliti melihat kemunculan industri fashion Muslim di Indonesia perlu mendapat perhatian serius agar dapat berpartisipasi dan berkompetisi didalam perdagangan fashion Muslim secara global. Diperlukan strategi yang dapat mengarahkan industri fashion Muslim agar memiliki kekuatan daya saing dan terintegrasi dalam jaringan fashion global. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang akan dikaji lebih lanjut dalam bab pembahasan tesis ini yakni, bagaimana rantai nilai industri fashion Muslim di Indonesia? Bagaimana strategi pelaku usaha dalam upaya peningkatan daya saing industri fashion Muslim di Indonesia? 1.3. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini akan menganalisis proses penambahan nilai yang terjadi dalam rantai nilai industri fashion Muslim Indonesia dengan menggunakan studi kasus terhadap tiga pelaku industri kreatif di dalam industri ini yang telah melakukan !
5!
internasionalisasi, yakni: CV. Galeri Batik Dian Pelangi, CV. Miranda Moda Indonesia, dan CV. Karya Jenahara. 1.4. Tujuan Penelitian Tesis ini bertujuan untuk memaparkan tiga hal utama. Pertama, memaparkan kondisi umum industri kreatif fashion Muslim Indonesia. Kedua, menganalisis proses penambahan nilai yang terjadi dalam rantai nilai industri fashion Muslim Indonesia. Ketiga, menganalisis peluang dan tantangan fashion Muslim Indonesia dalam memasuki pasar internasional. 1.5. Kegunaan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. 1. Manfaat Teoretis: Tesis ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran khususnya tentang upaya peningkatan daya saing industri kreatif di Indonesia berbasiskan analisa rantai nilai global (GVC). Selain itu, tesis ini juga diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian yang sudah ada didalam bidang yang Sama, serta dapat memberikan kontribusi keilmuan bagi disiplin ilmu Diplomasi Perdagangan Global khususnya dan seluruh disiplin keilmuan secara umum 2. Manfaat Praktis: •
Sebagai upaya untuk menawarkan sebuah rekomendasi bagi para pelaku industri kreatif fashion Muslim di Indonesia agar para pelaku usaha dapat meningkatkan daya saing produknya dan berorientasi ekspor.
!
6!
•
Sebagai upaya untuk menawarkan sebuah rekomendasi bagi para pelaku industri kreatif fashion Muslim di Indonesia agar para pelaku usaha dapat bersinergi
dengan
aktor-aktor
penting
lainnya
didalam
usaha
mengembangkan dan meningkatkan nilai produknya. •
Sebagai upaya untuk menawarkan sebuah rekomendasi bagi instansiinstansi terkait seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan Kementerian Perindustrian khususnya, serya bagi
pemerintah
pusat
dan
daerah
secara
umumnya
dalam
mengembangkan industri kreatif di sektor fashion agar memiliki daya saing bertaraf internasional, dan dapat menjadi komoditas penting perdagangan Indonesia dengan negara-negara lainnya. 1.6. Tinjauan Literatur Rantai nilai global telah menjadi fitur yang cukup penting didalam perdagangan dunia pada masa kini. Rantai nilai global mencakup seluruh kegiatan dan layanan untuk membawa suatu produk atau jasa dari tahap perencanaan hingga penjualan di pasar akhirnya dan mencakup pemasok bahan baku, produsen, pengolah, dan pembeli. Bagi negara-negara berkembang, rantai nilai global memungkinkan perusahaanperusahaan lokal untuk berpatisipasi dan bersaing dalam perdagangan internasional. Berdasarkan data OECD, WTO, dan UNCTAD (2013), pendapatan negara yang berasal dari arus perdagangan didalam rantai nilai global telah meningkat sebanyak dua kali lipat di antara tahun 1995 dan 2009. Meskipun belum ada literatur yang membahas secara spesifik tentang rantai nilai global terhadap industri kreatif fashion Muslim, namun terdapat penelitian mengenai rantai nilai industri kreatif yang sebelumnya pernah dilakukan dalam !
7!
sebuah publikasi United Nations Industrial development Organization (2005) dalam sebuah naskah publikasi yang berjudul “Creative Industries and Micro & Small Scale Enterprise Development: A Contribution to Poverty Alleviation”. Publikasi ini memperkenalkan konsep industri kreatif, karakteristik utama, signifikansi sosialekonomi, dan kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk mendukung pengembangan berkelanjutan dari industri ini untuk mengentaskan kemiskinan. Pendekatan yang digunakan dalam publikasi ini ialah perspektif rantai nilai global terhadap industri kreatif kerajinan dengan turut menggunakan studi kasus terhadap industri kreatif kerajinan di Thailand, Pakistan, dan Iran. Publikasi ini menjelaskan rantai nilai industri kerajinan yang terdiri dari tiga komponen utama, yakni input, manufaktur, dan pemasaran. Pada komponen input, kreativitas dan keterampilan sumber daya manusia memiliki peran yang penting dalam menciptakan nilai tambah produk kerajinan. Keberhasilan sebuah industri kreatif mengharuskan adanya inspirasi yang inovatif, ketersediaan produk kreatifitas, adanya pengrajin yang berbakat dan kreatif, alih teknologi dan kecakapan teknis, serta strategi pemasaran yang komprehensif. Selain itu, diperlukan adanya pelatihan, pengawasan, dan sistem pendukung yang mampu merespon kebutuhan industri tersebut (United Nations Industrial development Organization (2005, p.108). 1.7.Kerangka Konseptual Kajian ini meneliti dinamika rantai nilai dalam upaya peningkatan daya saing industri fashion Muslim Indonesia dalam melakukan internasionalisasi. Oleh karena itu, instrumen utama dalam meneliti dinamika ini ialah dengan menggunakan analisa Rantai Nilai Global (Global Value Chain – GVC). Rantai nilai medeskripsikan tentang berbagai kegiatan dimana perusahaan-perusahaan dan para pekerjanya bekerja untuk membawa produk dari konsep awalnya sampai kepada akhir dari pemakaian !
8!
dan seterusnya. Kegiatan-kegiatan dalam sebuah rantai nilai meliputi desain, produksi, pemasaran, distribusi, dan dukungan kepada konsumen akhir Terdapat empat dimensi dalam rantai nilai global secara umum: (1) sebuah struktur input-output yang menjelaskan proses transformasi bahan mentah menjadi sebuah produk final; (2) pertimbangan geografis; (3) struktur tata kelola, yang menjelaskan bagaimana rantai nilai ini dikontrol; dan (4) sebuah konteks institusi yang mana rantai nilai industri tertanam didalamnya (Gereffi, dalam Gereffi & Fernandez-Stark, 2011). Selain terdapatnya empat dimensi, rantai nilai global juga memiliki dua elemen penting yakni upgrading (peningkatan) dan governance (tata kelola). Namun pada penelitian ini, peneliti akan lebih membahas elemen upgrading yang terdapat dalam rantai nilai industri fashion Muslim Indonesia. Upgrading menggambarkan gerakan dinamis didalam rantai nilai dengan memeriksa bagaimana produsen beralih diantara tahapan-tahapan rantai nilai. Secara singkat, upgrading dapat digambarkan sebagai bentuk pergerakan didalam suatu rangkaian rantai nilai, dimana gerakan tersebut dapat meningkatkan posisi daya saing perusahaan didalam rantai nilai global. Di dalam kerangka GVC terdapat empat tipe upgrading, yakni: process upgrading, product upgrading, functional upgrading, dan chain atau inter-sectoral upgrading (Humphrey & Schmitz dalam Gereffi & Fernandez-Stark, 2011: 12). Process upgrading memungkinkan terjadinya efisiensi dalam merubah input menjadi produk akhir dengan merombak sistem produksi atau menggunakan teknologi tinggi. Product upgrading memungkinkan adanya peningkatan terhadap lini produk agar menjadi lebih mutakhir. Functional upgrading memungkinkan adanya peningkatan terhadap fungsi, yaitu dengan menerapkan fungsi baru atau meninggalkan fungsi yang !
9!
lama untuk meningkatkan keterampilan dalam aktivitas-aktivitas rantai nilai. Sementara itu, chain/inter-sectoral upgrading terjadi ketika sebuah perusahaan berpindah tipe industri kepada industri baru, namun biasanya masih terkait dengan industri yang dijalankan sebelumnya. Berbeda dengan industri-industri yang selama ini dianalisis menggunakan kerangka rantai nilai global seperti misalnya industri manufaktur, industri fashion Muslim Indonesia memiliki karakter industri yang unik. Beberapa karakteristik industri fashion Muslim diantaranya, industri ini merupakan industri kreatif, tidak diproduksi secara massal (mass production), dan merupakan industri yang termasuk buyer-driven (didorong oleh pembeli). Rantai nilai yang didorong oleh pembeli adalah jaringan dimana banyak ritel, pemasar, dan produsen bermerek memainkan peran strategis dalam menyiapkan jaringan produksi yang terdesentralisasi didalam berbagai negara-negara pengekspor yang biasanyanya merupakan negara-negara berkembang. Jaringan ini umum terjadi didalam industri padat karya dan industri yang memproduksi barang-barang konsumen, seperti industri pakaian, alas kaki, mainan, kerajinan tangan, dan elektronik konsumen. Dengan adanya perbedaan karakteristik antara industri kreatif dengan industri manufaktur, maka kerangka rantai nilai industri kreatif yang akan digunakan di dalam penelitian ini juga mengalami penyesuaian. Rantai kreatif (creative chain) didefinisikan sebagai sebuah rangkaian kegiatan dimana nilai ditambahkan ke dalam suatu produk dan jasa baru, dari mulai barang atau jasa tersebut diciptakan, sampai kepada tahap distribusi akhir. Rantai kreatif terdiri dari ide-ide kreatif awal, yang biasanya dikombinasikan dengan input-input lain untuk menghasilkan sebuah produk atau jasa yang memiliki unsur budaya. Sebuah budaya harus diciptakan, diproduksi,
!
10!
dan didistribusikan sebelum sampai ke konsumen (Botkin dan Matthews dalam Daschko, Marla W., 2011: 26).
Gambar 1.1. Rantai kreatif untuk barang atau jasa berbasis budaya Sumber: Daschko, Marla W., 2011: 26
Daschko membagi rantai kreatif ke dalam empat tahap, yakni tahap Kreasi (Creation), Produksi (Production), Diseminasi (Dissemination), dan Penggunaan (Use). Pada tahap kreasi, Daschko menyebutkan bahwa peran pembuat/pencipta produk dan jasa sangat penting dalam mendefinisikan budaya dan rantai kreatif. Pembuat/pencipta produk dan jasa inilah yang akan mengarahkan keseluruhan rantai kreatif. Kreasi orisinal seorang pembuat/pencipta merupakan suatu landasan bagi keseluruhan produk dan jasa berbasis budaya. Tahap produksi (production) mencakup keseluruhan tahapan yang membawa input kepada produk akhir, termasuk di dalamnya terdapat proses pembuatan. Tahapan-tahapan dalam proses produksi dapat berupa tahapan yang sederhana maupun kompleks (terdiri dari banyak tahapan), bergantung kepada produk yang akan dihasilkan. Tahapan ini membawa ide kreatif awal kepada produk akhir melalui beberapa tahapan pemodelan, seperti pembuatan model, maket, prototipe, maupun bentuk percontohan pemodelan lainnya. Produksi pada umumnya bergantung pada penggunaan barang atau jasa lain agar dapat menghasilkan produk akhir. Daschko mengistilahkan tahap distribusi dalam rantai nilai global menjadi tahap diseminasi dalam rantai kreatif. Diseminasi mewakili proses distribusi produk !
11!
berbasis budaya yang orisinal dan diproduksi massal kepada konsumen. Institusi yang menyebarkan produk-produk berbasis budaya menggunakan berbagai metode, seperti pusat grosir, pusat perbelanjaan, gerai ritel, pemasaran, aktivitas promosi, pameran, internet, serta melalui siaran di TV dan radio. Tahap terakhir dalam rantai kreatif ialah tahap penggunaan (use). Tahap ini merupakan tahap dimana suatu barang atau jasa yang berbasis budaya dikonsumsi oleh pembeli. Daschko mengistilahkan “konsumsi” tidak hanya terbatas pada pembelian suatu barang atau jasa, namun juga termasuk peminjaman suatu barang atau jasa, kehadiran konsumen pada pameran, dan lain sebagainya. 1.8.Argumen Utama Penelitian Argumen yang dibangun dalam penelitian ini bahwa faktor penting dalam rantai nilai industri fashion Muslim Indonesia dalam melakukan internasionalisasi adalah masalah pada nilai tambah dalam tahap input. Tahapan input ini mencakup sumber daya kreatif, desain, dan budaya. Meskipun banyak pelaku industri fashion Muslim di Indonesia, namun hanya beberapa pelaku industri yang menjadi pemain utama dalam melakukan internasionalisasi. Ketimpangan ini terjadi karena minimnya penambahan nilai maupun inovasi yang terjadi di tahapan input pada beberapa pelaku industri fashion Muslim. Para pelaku industri fashion Muslim Indonesia berperan penting dalam melakukan upgrading pada tahap input rantai nilai. Upgrading penting untuk dilakukan dalam upaya internasionalisasi, khususnya dalam hal pengembangan keterampilan (skills development) sumber daya kreatif dan standar kualitas produk yang dihasilkan. 1.9. Metode Penelitian
!
12!
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif bersifat analisis deskriptif. Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Secara garis besar penelitian kualitatif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu gejala menurut apa yang pada saat penelitian dilakukan (Moleong, 2005). Analisis deskriptif dimaksudkan untuk menyajikan atau mendeskripsikan hasil temuan lapangan. Data yang digunakan di dalam penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer yang dijadikan sebagai acuan bersumber dari hasil wawancara peneliti dengan sejumlah narasumber yang berasal dari kalangan pelaku usaha di sektor fashion Muslim Indonesia, pemerintah, dan asosiasi. Sementara data sekunder didapat dari penelusuran dalam bentuk literatur/dokumentasi baik dalam bentuk jurnal, laporan, dan hasil-hasil penelitian terdahulu. 1.10.
Sistematika Penulisan
Bab 1: Pendahuluan. Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, kajian literatur, metodologi penelitian, argumen sementara, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bab 2: Bab ini membahas mengenai karakteristik industri kreatif sub-sektor fashion Muslim Indonesia, serta potensi dan tantangan yang dihadapi oleh industri tersebut dalam melakukan internasionalisasi. Bab ini turut membahas mengenai sinergi antar aktor-aktor yang terlibat dalam industri fashion Muslim Indonesia. Bab 3: Bab ini akan menganalisis proses penambahan nilai yang terjadi dalam rantai nilai industri fashion Muslim Indonesia, serta strategi upgrading industri ini dalam
!
13!
upaya internasionalisasi. Analisis mencakup rantai hulu hingga hilir pada rantai industri kreatif (creative chains). Bab 4: Bab ini merupakan kesimpulan, yang mengulas balik inti dari penelitian ini secara singkat, dan juga menyediakan beberapa rekomendasi terkait upaya peningkatan daya saing produk butik fashion Muslim Indonesia dalam rangka internasionalisasi.
!
14!