BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rentang masa pada tahun 1945 – 1949, dimana Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda merupakan masa teramat buruknya kondisi perekonomian yang dialami. Meskipun Belanda saat itu telah mengakui secara de jure kedaulatan Republik Indonesia, tetapi usaha-usaha mengontrol dan mengintervensi ekonomi Indonesia masih menjadi tujuan strategis mereka ketika berada di wilayah kedaulatan. Ini terbukti dari langkah-langkah mereka dalam menguasai sebagian wilayah Indonesia dan Indonesia beberapa kali mengalami pergantian penguasa dan pusat Negara (Ibukota) yang disebabkan penculikan yang dilakukan kepada penguasa saat itu (Soekarno). Selama masa itu, perkembangan perekonomian Indonesia amat sangat menyedihkan. Seluruh indikator makro ekonomi dengan tiada kecualinya dengan jelas bahwa kondisi jatuhnya ekonomi teramat dalam. Penurunan produksi yang penyebab utamanya adalah hancurnya faktor-faktor produksi akibat perang. Deficit neraca perdagangan terjadi beberapa tahun, deficit anggaran belanja Republik Indonesia dan Pemerintahan Hindia Belanda (pemeintahan buatan Belanda yang dibentuk di Indonesia) juga terjadi karena sebagian besar dipergunakan untuk bidang militer yang masing-masing kepentingannya untuk berperang diantara keduanya. Sehingga saat itu penambahan volume peradaran uang yang berlebihan akibat pencetakan yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan excess demand (permintaan berelebih) dari jumlah penawaran yang tetap dan terjadi inflasi yang sangat tinggi. Duswara mengatakan bahwa data saat itu menunjukkan bahwa volume peredaran uang telah mencapai Rp. 6 miliar untuk wilayah yang dikuasai Indonesia, sedangkan pada wilayah penguasaan Belanda jumlahnya mencapai Rp. 3,7 miliar (tahun 1949).1 Pada tahun yang sama terdapat berbagai jenis mata uang yang beradar dalam masyarakat yang berbeda-beda nilai tukarnya mengakibatkan 1
Ahmad Duswara. Bank Sentral dan Kebijakan Moneter. (Jakarta: Rajawali Press. 2005).
Hal. 6
1
situasi moneter menjadi teramat kacau (chaos) dan membigungkan. Kebijakankebijakan keuangan Negara di daerah tidak banyak perbedaan dengan kebijakan daerah pendudukan Belanda. Anggaran belanja kedua pemerintahan terusmenerus deficit hanya untuk memenuhi kebutuhan perang dengan tanpa memperbaiki kondisi perekonomian yang saat itu inflasi terlampau tinggi. Kendati demikian, pada tahun itu, Amerika Serikat dalam rangka melaksanakan program ‘Marshal Plan’ telah bersedia menyediakan dana bagi negara-negara eropa untuk membantu memulihkan perkonomiannya. Nah, karena Indonesia merupakan ‘dependent territory’ dari Belanda (Nederland), maka berhak menerima baik langsung atau pada kondisi tertentu. Yang menjadi syarat pemberian bantuan tersebut adalah bahwa nilai lawan dalam mata uang Indonesia (pendudukan Belanda) harus disetor ke dalam sebuah rekening ‘E.C.A. Counterpart Fund’, yang mulai diberlakukan untuk tujuan selektif. Akibat hal itu, lalu lintas pembayaran antara Indonesia dengan luar negeri berlangsung di bawah suatu ‘rezim devisa’, yang telah diberlakukan pada pertengahan 1940. Pangkal pokoknya dari ‘rezim devisa’ tersebut adalah bahwa devisa dan emas pada prinsipnya hanya diperkenankan dimiliki oleh negara. Dampak selanjutnya adalah valuta asing yang telah diperoleh dari hasil ekspor harus diserahkan kepada dana devisa. Ekonomi moneter daerah kekuasaan Indonesia dengan secara langsung mengalami keadaan yang pasif, dimana hanya mampu memberikan akomodasi kepada keperluan-keperluan polotik dan militer serta mengusahakan jaminal yang sangat minimal untuk kehidupan rakyat. Setelah berdirinya Bank Indonesia pada tanggal 5 juli 1946, kebijakan moneter di Indonesia secara umum ditetapkan oleh Dewan Moneter dan pemerintah bertanggung jawab atasnya. Mengingat buruknya perekonomian pasca perang, yang ditempuh pertama kali dalam bidang moneter adalah upaya perbaikan posisi cadangan devisa melalui kegiatan ekspor dan impor. Pada periode ekonomi terpimpin, pembiayaan deficit spending keuangan negara terus meningkat, terutama untuk membiayai proyek politik pemerintah. Laju inflasi terus membumbung tinggi sehingga dilakukan dua kali pengetatan moneter, yaitu tahun 1959 dan 1965. Lepas dari periode tersebut pemerintah memasuki masa
2
pemulihan ekonomi melalui program stabilisasi dan rehabilitasi yang kemudian diteruskan dengan kebijakan deregulasi bidang keuangan dan moneter pada awal 1980-an. Di tengah pasang surutnya kondisi perekonomian, lahirlah berbagai paket
kebijakan
ekonomi
yang
bertujuan
untuk
memperkuat
struktur
perekonomian Indonesia. Mulai pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi moneter menerpa Indonesia. Nilai tukar rupiah melemah, sistem pembayaran terancam macet, dan banyak utang luar negeri yang tak terselesaikan. Lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya. Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri
3
yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. Namun semua kelemahan ini masih mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang badai yang sangat besar, yang tidak mampu dibendung oleh tembok penahan yang ada,yang selama bertahuntahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang datang mengancam. B. Rumusan Masalah 1. 2. 3. 4. 5.
Bagaimana kebijakan Moniter? Bagaimana Target Kebijakan Kebijakan Moneter? Bagaimana Indikator Kebijakan Moneter? Apa Kebijakan Moniter yang diambil pemerintah Indonesia? Bagaimana Dampat kebijakan Moniter?
4
BAB II PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Ekonomi 1.
Arti Pertumbuhan Ekonomi Tambunan menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi secara singkat
merupakan proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, pengertian ini menekankan pada tiga hal, yaitu proses, output per kapita dan jangka panjang. 2 Proses menggambarkan perkembangan perekonomian dari waktu ke waktu yang lebih bersifat dinamis, output per kapita mengaitkan aspek output total (GDP) dan aspek jumlah penduduk, sedangkan jangka panjang menunjukkan kecenderungan perubahan perekonomian dalam jangka tertentu yang didorong oleh proses intern perekonomian (self generating). Pertumbuhan ekonomi juga diartikan secara sederhana sebagai kenaikan output total (PDB) dalam jangka panjang tanpa memandang apakah kenaikkan itu lebih kecil atau lebih besar dari laju pertumbuhan penduduk atau apakah diikuti oleh pertumbuhan struktur perekonomian atau tidak. Teori pertumbuhan ekonomi menjelaskan faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi serta bagaimana keterkaitan antara faktor-faktor tersebut sehingga terjadi proses pertumbuhan. Terdapat banyak teori pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak ada satupun yang komprehensif yang dapat menjadi standar yang baku, karena masing-masing teori memiliki kekhasan sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang teori tersebut. 2.
Konsep Pendapatan Nasional Pendapatan Nasional pada dasarnya merupakan total nilai tambah yang
diperoleh dari seluruh aktivitas ekonomi di suatu Negara selama periode tertentu. Berdasarkan ruang lingkup pencatatan pendapatan nasional dikenal dua istilah yaitu Gross National Product (GNP) dan Gross Domestic Product (GDP). GNP memfokuskan pencatatan berdasarkan kewarganegaraan yaitu seluruh nilai 2
Tulus Tambunan. Pengantar Ilmu Ekonomi. (Jakarta: Rajawali Press. 2002) Hal. 39
5
tambah yang dihasilkan seluruh warga negara dan perusahaan baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri, sedangkan GDP mencatat seluruh aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh seluruh penduduk di suatu negara tanpa membedakan apakah warga Negara dan perusahaan domestik maupun warga negara dan perusahaan asing. Sehingga angka yang dihasilkan dalam GNP lebih mencerminkan hasil aktivitas yang benar-benar dihasilkan warga negara tersebut, sedangkan angka GDP tidak hanya murni dihasilkan warga negara saja tetapi terdapat sumbangan dari pihak asing. Perhitungan pendapatan nasional jika dilihat dari metode perhitungannya pada dasarnya mencakup tiga metode yaitu metode produksi, metode penggunaan dan metode pendapatan. Metode produksi juga dikenal dengan metode nilai tambah memperhitungkan pendapatan nasional dengan cara menjumlahkan seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh semua sektor-sektor ekonomi dalam suatu negara. Di Indonesia metode ini mencakup nilai tambah 9 sektor yaitu sektor perikanan; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; listrik, gas dan air minum; bangunan; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa. Di Indonesia, komponen pengeluaran yang dicatat mencakup konsumsi swasta
(baik
rumah
tangga
maupun
perusahaan),
belanja
pemerintah,
pembentukan modal tetap domestik, ekspor barang dan jasa, serta pengurang impor barang dan jasa. Untuk kepentingan penyeimbang adanya selisih Badan Pusat Statistik menambahkan komponen perubahan dalam stock atau inventaris. Metode yang terakhir adalah metode pendapatan, yang menjumlahkan seluruh pendapatan yang diterima atas penggunaan faktor-faktor produksi antara lain upah, sewa, laba yang telah disesuaikan dengan besaran penyusutan. Pada akhirnya ketiga metode perhitungan tersebut akan menghasilkan angka yang sama, di Indonesia hasil ini dapat dilihat pada tabel Input-Output yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik.
6
B. Jumlah Uang Beredar 1.
Mekanisme Uang Beredar Teori ekonomi mempunyai perlakuan yang sama terhadap barang atau jasa
maupun uang. Meskipun analisis permintaan dan penawaran uang lebih kompleks namun kerangka berpikir pada pasar barang dapat diterapkan. Mekanisme transaksi dalam pasar uang pada dasrnya tidak jauh beda dengan transaksi barang atau jasa. Dalam pasar uang juga terdapat permintaan dan penawaran selayaknya transaksi pada pasar barang atau jasa. Uang merupakan komponen utama dalam penentuan arah kebijakan moneter, di mana uang dimainkan oleh otoritas moneter sebagai upaya pengendalian ekonomi suatu Negara. Teori penawaran uang pada mulanya berkembang dari teori permintaan uang, para ekonom klasik (Irving Fisher, Cambridge) dan Keynesian telah memberikan pandangan tentang pola permintaan dan penawaran uang. Otoritas moneter memainkan peranannya menaikturunkan jumlah uang beredar di masyarakat adalah upaya untuk mengendalikan perekonomian negera. Pratomo mengatakan, keseimbangan pasar uang tercapai ketika terjadi keseimbangan antara permintaan uang dengan penawaran uang (Md = Ms). Dari keseimbangan tersebut akan terbentuk kurva LM yang mencerminkan titik keseimbangan bunga dengan pendapatan nasional pada pasar uang.3 2.
Konsep Penawaran Uang Uang dalam pengertian ekonomi adalah penawaran uang atau disebut
jumlah uang beredar. Uang adalah segala sesuatu yang diterima secara umum untuk pembayaran barang atau jasa maupun dalam pembayaran hutang. Jumlah uang beredar di masyarakat berupa penjumlahan dari uang kartal dan uang giral. Terdapat beberapa definisi jumlah uang beredar. a.
M1, yaitu uang yang terdapat dalam sirkulasi ditambah noninterest bearing demand deposit (rekening giro) M1 = C + DD
3
Agung Pratomo. Uang dan Perbankan Edisi Kedua. (Jakarta: Erlangga. 2006) Hal. 75
7
Demand deposit terbentuk dari cadangan bank (R). Jadi dengan adanya cadangan bank (R), bank dapat menciptakan uang giral berupa rekening Koran (giro). M1 merupakan uang yang paling likuid, sebab proses uang kontan (cash) sangat cepat.4 b.
M2, yaitu M1 ditambah dengan interest bearing demand deposit M2 = M1 + QM Uang kuasi terdiri dari time deposite (deposito berjangka) dan saving deposit (tabungan). Uang luas ini tingkat likuiditasnya lebih rendah dibandingkan uang M1, karena untuk merubahnya menjadi uang kontan membutuhka waktu yang lebih lama. Uang dekat dapat digunakan secara langsung untuk bertransaksi, sedangkan uang luas tidak dapat digunakan secara langsung. Tabungan dapat dirubsh menjadi uang kontan setelah kita melakukan penarikan uang tunai di bank atau ATM.5
c.
M3, yaitu M2 ditambah deposito yang tidak selalu dapat digunakan sebagai alat pembayaran (time deposit).6
C. Inflasi 1.
Pengertian Inflasi Pada dasarnya, inflasi didefinisikan sebagai gejala kenaikan harga secara
umum. Manurung mendefinisikan inflasi sebagai .kenaikan harga umum secara terus-menerus dan persisten dari suatu perekonomian.7 Sedangkan Taylor menyatakan “Economist use the term inflation to describe a situation in which the economy.s overall price level is rising.”8 Sedangkan untuk mengukur tingkat inflasi suatu negara, bisa digunakan tiga indikator yaitu:
4 5
Ibid. Hal. 81 Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008)
Hal. 62 6
Ibid. Hal. 63 Mandala Manurung. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia). (Jakarta: Erlangga. 2000) Hal. 102 8 John Taylor. The Role of Exchange Rate in MonetaryPolicy Rules. (Chicago: University of Chicago Press. 1999) Hal. 118 7
8
1. Perubahan Indek Harga Konsumen (IHK) atau Indek Biaya Hidup (IBH). 2. Perubahan Indek Harga Perdagangan Besar (IHPB). 3. Perubahan Deflator GDP/GDY. Masing-masing indikator punya kelebihan dan kekurangan, namun yang utama adalah kita bagaimana menggunakan jenis indikator sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pengukuran. Di Indonesia, indikator yang sering digunakan untuk mengukur inflasi ini adalah IHK. Selanjutnya Pohan mengatakan inflasi adalah kecenderungan dari hargaharga untuk naik secara umum dan terus menerus. Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barangbarang. Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama.9 Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus menerus dan kenaikan harga yang terajadi pada seluruh kelompok barang dan jasa. Bahkan mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidak bersamaan. Yang penting kenaikan harga umum barang secara terus menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan harga barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar, bukanlah merupakan inflasi Atau dapat dikatakan, kenaikan harga barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan menyebabkan inflasi. Dari kutipan di atas diketahui bahwa inflasi adalah keadaan di mana terjadi kelebihan
permintaan
(Excess
Demand)
terhadap
barang-barang
dalam
perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). 2.
Sebab-sebab Timbulnya Inflasi Sebab-sebab timbulnya inflasi dikelompokkan kedalam dua sebab, yaitu
sebagai berikut:
9
Aulia Pohan. Kerangka Kebijakan Moneter dan Implikasinya di Indonesia. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002) Hal. 66
9
a. Demand pull inflation dapat disebabkan oleh sektor riil dan moneter. Berasal dari sektor riil terjadi akibat adanya kenaikan permintaan agregat pada saat perekonomian dalam keadaan full employment. Adanya kenaikan permintaan agregatif akan menggeser kurva permintaan agregatif ke kanan (dari AD1 ke AD) sebagaimana terlihat pada gambar 2.1. Akhirnya kenaikan AD akan menaikkan P (harga). Kenaikan harga satu atau dua kali belum dikatakan inflasi. Apabila kondisi kenaikan permintaan agregat tersebut meningkat terus dan tidak bisa terpenuhi, maka yang akan terjadi adalah kenaikan harga secara terus menerus dengan jumlah output yang dihasilkan tetap. Kondisi inilah yang disebut inflasi.
Gambar 2.1 : Inflasi karena dorongan permintaan a. Cost Push Inflation terjadi karena adanya kenaikan harga dari pemilik faktor produksi. Kondisi ini terjadi karena jumlah penawaran lebih rendah dibandingkan permintaannya. Penawaran agregat semakin turun karena semakin mahalnya biaya produksi. Kenaikan biaya produksi yang mendorong terjadinya cost push inflation, antara lain tuntutan kenaikan upah dari pekerja, kenaikan bahan baku, adanya industri monopolis, pengaruh alam, dan inflasi luar negeri. Proses terjadi inflasi karena semakin meningkat, maka dorongan biaya produksi ini dapat dilihat pada gambar 2.2.
10
Gambar 2.2 : Inflasi karena kenaikan harga Misalkan kondisi full employement terjadi pada saat Y1 dan P1. Bila serikat buruh memaksa adanya kenaikan upah, maka produsen menananggapinya dengan menaikkan harga. Kenaikan harga akan menyebabkan penawaran barang/jasa berkurang untuk setiap tingkat harga. Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus, maka harga akan terus bergerak dari P1 ke P2, kemudian ke P3 sedangkan output semakin berkurang dari Y1 ke Y2 dan ke Y3. 3.
Jenis-jenis Inflasi Jenis-jenis inflasi dapat digolongkan berdasarkan beberapa bagian sebagai
berikut: a. Penggolongan berdasarkan sifatnya Berdasarkan sifatnya, jenis-jenis inflasi adalah sebagai berikut: -
Inflasi ringan (< 10% setahun), ditandai dengan kenaikan harga berjalan secara lambat dengan persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang relative.
-
Inflasi sedang (10%-30% setahun), ditandai dengan kenaikan harga yang relatif cepat atau perlu diwaspadai dampaknya terhadap perekonomian.
-
Inflasi berat (30%-100% setahun), ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar dan kadang-kadang berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi yang artinya harga-harga minggu atau bulan ini lebih tinggi dari minggu atau bulan sebelumnya. 11
-
Hiperinflasi (>100% setahun), dimana inflasi ini paling parah akibatnya. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan uang, nilai uang merosot dengan tajam, sehingga ditukar dengan barang. Harga-harga naik lima sampai enam kali. Biasanya keadaan ini timbul oleh adanya perang yang dibelanjai atau ditutupi dengan mencetak uang.
b. Berdasarkan sebab terjadinya Berdasarkan sebab terjadinya, inflasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: -
Demand pull inflation Adalah inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat terhadap akan berbagai barang terlalu kuat. Demand pull inflation terjadi karena kenaikan permintaan agregat dimana kondisi perekonomian telah berada pada kesempatan kerja penuh. Jika kondisi produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh. Jika kondisi produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh, maka kenaikan permintaan tidak lagi mendorong kenaikan output ataupun produksi tetapi hanya mendorong kenaikan harga-harga yang disebut inflasi murni. Kenaikan permintaan yang melebihi produk domestik bruto akan menyebabkan inflationary gap yang menyebabkan inflasi.
-
Cost Push Inflation Adalah inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Pada Cost Push Inflation tingkat penawaran lebih rendah dibandingkan tingkat permintaan. Karena adanya kenaikan harga faktor produksi sehingga produsen terpaksa mengurangi produksinya sampai pada jumlah tertentu. Penawaran agregat terus menurun karena adanya kenaikan biaya produksi.
-
Mixed Inflation Merupakan gejala kombinasi antara unsur inflasi yang disebabkan karena kenaikan permintaan dan kenaikan biaya produksi. Pada umumnya bentuk yang sering terjadi adalah inflasi campuran, yaitu kombinasi dari kenaikan permintaan dan kenaikan biaya produksi, dan sering sekali keduanya saling memperkuat satu sama lain.
12
D. Kebijakan Moneter 1.
Pengertian Kebijakan Moneter Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang. Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas. Nopirin mengatakan bahwa kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter (monetary aggregates) untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan. Kebijakan moneter merupakan bagian integral kebijakan ekonomi makro yang dilakukan dengan mempertimbangkan siklus kegiatan ekonomi, sifat perekonomian suatu negara, serta faktor-faktor fundamental ekonomi lainnya.10 Selanjutnya Indrawati mengatakan bahwa kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.11 Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila 10
Nopirin. Ekonomi Moneter. (Bandung: Refika Aditama. 2000) Hal. 47 Yuli Indrawati. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia. (Malang: Bayumedia. 2002) Hal. 23 11
13
kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil. Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan. 2.
Target Kebijakan Moneter Target akhir sebuah kebijakan moneter adalah suatu kondisi ekonomi
makro yang ingin dicapai. Target akhir tersebut tidak sama dari satu negara dengan negara lainnya serta tidak sama dari waktu ke waktu. Target kebijakan moneter tidak statis, namun bersifat dinamis karena selalu disesuaikan dengan kebutuhan perekonomian suatu negara. Akan tetapi, kebanyakan negara menetapkan empat hal yang menjadi ultimate target dari kebijakan moneter, yaitu: a. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan, b. Kesempatan kerja, c. Kestabilan harga, dan d. Keseimbangan neraca pembayaran. Idealnya, semua sasaran perekonomian tersebut dapat dicapai secara serentak dan optimal. Namun, karena usaha-usaha untuk mencapai sasaransasaran tersebut dapat menimbulkan dampak yang kontradiktif, sangat sulit untuk mencapai semua sasaran dengan serempak san optimal. Menyadari adanya hal yang bertolak belakang tersebut, otoritas moneter biasanya harus memilih berbagai alternatif yang memungkinkan dan menguntungkan. Alternatif pertama adalah memilih salah satu sasaran untuk dicapai secara optimal dan mengabaikan sasaran lainnya. Alternatif kedua adalah mengupayakan untuk mencapai semua target dengan resiko tidak ada satupun yang tercapai secara optimal. Alternatif ini dipilih dengan alasan karena semua indikator yang menjadi target kebijakan
14
ekonomi itu sama pentingnya. Betapa pentingnya semua target itu membuat kebijakan moneter yang diambil oleh suatu negara bukanlah sebuah langkah mudah. Namun, tujuan Bank Indonesia telah bersifat tunggal, yaitu menjaga kestabilan harga atau inflasi. 3.
Indikator Kebijakan Moneter Di dalam proses pencapaian sasaran kebijakan moneter, sering dihadapkan
dengan gejolak perkembangan perekonomian yang menghambat sasaran yang ditetapkan. Sehubungan dengan itu, diperlukan indikator (sasaran antara) yang dapat memberi petunjuk apakah perkembangan moneter tetap terarah pada usaha pencapaian sasaran akhir yang ditetapkan atau tidak. Indikator tersebut umumnya dua hal, yakni suku bunga dan atau uang beredar. Dengan demikian, kedua variabel tersebut mempunyai dua fungsi, yakni sebagai sasaran menengah dan indikator. 1.
Tingkat Suku Bunga Kebijakan moneter yang menggunakan suku bunga sebagai sasaran antara akan menetapkan tingkat suku bunga yang ideal untuk mendorong kegiatan investasi. Apabila suku bunga menunjukkan kenaikan melampaui angka yang ditetapkan, bank sentral akan segera melakukan ekspansi moneter agar suku bunga turun sampai pada tingkat yang ditetapkan tersebut, dan begitu sebaliknya.
2.
Uang Beredar (Monetary Aggregate) Kebijakan moneter yang menggunakan monetary aggregate atau uang beredar sebagai sasaran menengah mempunyai dampak positif berupa tingkat harga yang stabil. Apabila terjadi gejolak dalam jumlah besaran moneter, yaitu melebihi atau kurang dari jumlah yang ditetapkan, bank sentral akan melakukan kontraksi atau ekspansi moneter sedemikian rupa sehingga besaran moneter akan tetap pada suatu jumlah yang ditetapkan. (Aulia Pohan, 2008)
4.
Instrumen Kebijakan Moneter
15
Di dalam pelaksanaan kebijakan moneter, bank sentral biasanya menggunakan berbagai piranti sebagai instrumen dalam mencapai sasaran. Secara umum, instrumen yang biasa digunakan dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni instrumen langsung dan instrumen tidak langsung.12 1.
Instrumen Langsung Disebut sebagai instrumen langsung karena otoritas moneter dapat secara
langsung menggunakan instrumen tersebut ketika dibutuhkan, ini juga disebut kebijakan moneter yang bersifat kualitatif, diantaranya adalah a.
Penetapan Suku Bunga Penetapan suku bunga merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan bank sentral dalam rangka kebijakan moneter. Teknisnya, bank sentral menetapkan tingkat suku bunga, baik suku bunga simpanan maupun suku bunga pinjaman. Dengan penetapan suku bunga ini, bank sentral dapat melakukan ekspansi dan kontraksi moneter sesuai kebutuhan. Akan tetapi, dengan makin mengglobalnya perekonomian dunia, penetapan suku bunga makin hari makin tidak effektif. Lagi pula, efektivitas penetapan suku bunga akan sangat tergantung pada penegakan aturan dari pihak regulator, dalam hal ini bank sentral. Di masa lalu, Indonesia pernah menggunakan instrumen ini sebagai salah satu langkah dalam kebijakan moneternya. Namun, kini sudah tidak lagi. Besaran suku bunga, baik simpanan maupun pinjaman, dilepas ke mekanisme pasar.
b.
Pagu Kredit Selain menetapkan suku bunga, bank sentral juga dapat menjaga likuiditas di pasar dengan menetapkan besaran maksimum kredit perbankan yang dapat disalurkan, yang lazim disebut sebagai pagu kredit. Berapa maksimum bank menyalurkan kreditnya diatur oleh otoritas moneter. Dengan pembatasan kredit ini, jumlah uang beredar dapat dikendalikan. Pagu kredit inilah yang dinaikturunkan sesuai kebutuhan. 12
Rahmat Hidayat. Pasar Keuangan dan Lembaga Keuangan Bank dan Bukan Bank. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002). Hal. 127
16
c.
Kredit Langsung Pada era prakrisis kita mengenal apa yang disebut dengan kredit likuiditas di mana Bank Indonesia memberikan kredit untuk keperluan proiritas tertentu. Misalnya terkait dengan program atau proyek tertentu yang tengah digalakkan oleh pemerintah. Kredit langsung ini merupakan salah satu bentuk instrumen langsung yang dapat dikendalikan bank sentral. Namun, kini instrumen langsung ini tidak lagi digunakan karena dianggap tidak efektif dan sangat mahal.
d.
Moral Suasion Selain instrumen diatas, bank sentral juga dapat melakukan inbauan moral. Instrumen ini tidak menuntut bank umum untuk menaatinya. Biasanya imbauan moral merupakan pernyataan bank sentral (misalnya oleh Gubernur Bank Indonesia) yang bersifat mengarahkan atau memberi informasi yang lebih bersifat makro untuk dijadikan masukan bagi bank-bank umum dalam pengelolaan asset dan kewajibannya.
2.
Instrumen Tidak Langsung Disebut instrumen tidak langsung karena instrumen tidak secara langsung
mempengaruhi uang beredar. Akan tetapi, melalui instrumen inilah, pada akhirnya jumlah uang beredar dapat dikendalikan, atau disebut kebijakan moneter yang bersifat kuantitatif, diantaranya adalah : a.
Cadangan Wajib Minimum Cadangan wajib minimum adalah ketentuan bank sentral yang mewajibkan bank-bank untuk memelihara sejumlah alat-alat likuid (reserve) sebesar persentase tertentu dari kewajiban lancarnya. Semakin kecil persentase tersebut semakin besar kemampuan bank memanfaatkan reservenya untuk memberikan pinjaman dalam jumlah yang lebih besar. Sebaliknya semakin besar persentase semakin berkurang kemampuan bank untuk memberikan pinjaman.
17
Memberikan cadangan ini bisa dijaga dalam bentuk kas atau dalam bentuk rekening giro di bank sentral. Biasanya cadangan dibedakan dalam dua bentuk yakni cadangan primer dan cadangan sekunder. Yang dimaksud dengan cadangan wajib minimum lebih mengacu kepada cadangan primer. Sementara itu, cadangan sekunder merupakan tambahan, biasanya terdiri atas surat-surat berharga. Boediono mengatakan persentase cadangan wajib minimum mempengaruhi daya ekspansi kredit. Jika bank sentral menurunkannya maka daya ekspansi kredit bank umum akan meningkat, sehingga jumlah uang beredar bertambah. Sebaliknya, jika persentasenya dinaikkan maka daya ekspansi kredit bank umum menurun dan jumlah uang beredar juga berkurang.13 b.
Fasilitas Diskonto Fasilitas diskonto adalah kebijakan moneter dalam mempengaruhi jumlah uang beredar melalui pengaturan suku bunga pemberian kredit bank sentral kepada bank-bank. Apabila bank sentral menetapkan tingkat diskonto lebih tinggi, bank-bank akan mengurangi permintaan kredit dari bank sentral yang pada gilirannya akan mengurangi kemampuan bank-bank memberikan pinjaman sehingga jumlah uang beredar menurun. Sebaliknya, apabila bank sentral menetapkan diskonto lebih rendah bank-bank akan meningkatkan permintaan kredit ke bank sentral untuk disalurkan lebih lanjut berupa pemberian pinjaman, sehingga jumlah uang beredar meningkat.
c.
Operasi Pasar Terbuka Operasi Pasar Terbuka adalah kegiatan bank sentral melakukan jual beli surat-surat berharga jangka pendek dalam rangka mengatur jumlah uang beredar atau suku bunga jangka pendek. Di Indonesia, salah satu sekuritas yang sering digunakan Bank Indonesia untuk mengendalikan jumlah uang beredar adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dikeluarkan BI. Kepada setiap pemilik SBI Bank Indonesia memberikan balas jasa berupa pendapatan bunga.
13
Boediono. Ekonomi Moneter. (Yogyakarta: BPFE. 2000) Hal. 84
18
Jika bank sentral bermaksud mengurangi jumlah uang yang beredar, bank sentral akan menjual surat-surat berharga kepada bank-bank agar reserve bank-bank berkurang sehingga kemampuan bank-bank memberikan pinjaman menurun. Tindakan ini disebut kontraksi moneter. Sebaliknya, untuk menambah jumlah uang beredar, bank sentral akan membeli surat-surat berharga untuk meningkatkan kemampuan bank-bank memberikan pinjaman sehingga jumlah uang beredar meningkat. Pembelian atau penjualan suratsurat berharga tersebut dapat pula dilakukan oleh bank sentral dari/kepada masyarakat agar langsung dapat menambah/mengurangi jumlah uang beredar. 5.
Kebijakan Moneter yang diambil Pemerintah Indonesia Tirani menjelaskan bahwa Bank Indonesia (BI) mengeluarkan empat paket
kebijakan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat stabilitas moneter di tengah bergejolaknya nilai tukar rupiah seperti yang terjadi sekarang. Sesuai kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) BI, nilai tukar rupiah turun 53 poin ke level RpRp10.848/US$ dari posisi kemarin sebesar Rp10.795/US$. Sepanjang sepekan ini, rupiah telah tergerus 456 poin.14 Pertama, BI mengeluarkan instrumen sertifikan deposito Bank Indonesia (SDBI). Surat berharga ini bertenor 3-9 bulan. Instrumen ini dapat diperdagangkan antar bank. Akan tetapi, SDBI ini tidak bisa diperdagangkan kepada pihak asing. Modelnya adalah lelang. Ini perangkat alat likuid. Ini untuk memperlancar instrumen antar bank. Untuk memperkuat likuiditas antar bank. Bisa dipindahtangankan kapan saja. Instrumen ini melengkapi reverse repo dan SBI yang masing-masing instrumen itu punya ciri khas masing-masing. Kedua, BI memperluar jangka waktu term deposit (TD) Valas menjadi 1 hari-12 bulan. Sebelumnya, TD valas bertenor 7,14 dan 30 hari. Ketiga, instrumen reswap. Instrumen ini berkaitan dengan transaksi derivatif bank terkait dengan pada nasabah bank atau pihak terkait. Selama ini, transaksi derivatif bank tidak boleh menanggung risiko transaksi derivatif sendiri. 14
Edwin Tirani. Kebijakan Moneter BI. http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/08/23/2/176869/BI-Keluarkan-5-KebijakanMoneter. Diakses tanggal 10 Januari 2014
19
Oleh karena itu, bank harus membagi risiko kepada bank lain. Akan tetapi, bank sulit mendapatkan bank rekanannya (counter party) karena kurang dalamnya pasar keuangan dalam negeri. Sehingga, bank dapat datang ke BI dalam lelang fx swap. Contohnya, pemegang saham A melakukan instrumen derivatif di bank tersebut. Oleh karena tidak boleh menanggung risiko sendiri, bank A melelangnya kepada bank B atau C. Kini, bank A bisa langsung datang ke BI dalam lelang swap. Keempat, BI melakukan perluasan underlying pembelian valas bagi eksportir berupa dokumen penjualan hasil ekspor. Jangka waktu underlying itu maksimal 6 bulan dan batas maksimum pembelian valas US$200 juta. Selama ini eksportir
enggan
menukarkan
valas
hasil
ekspornya
karena
khawatir
mendapatkannya kembali. Oleh karena itu, BI menjamin ketersediaan valas bagi eksportir. Caranya adalah surat penjualan valas eksportir dijadikan underlying bila membutuhkan valas dikemudian hari. Underlying itu dapat digunakan lebih dari satu kali. Selama ini hanya bisa dipake sekali. Sekarang bisa lebih dari sekali karena kita tak mau eksportir yang butuh valas karena masalah underlying nabrak valas dimana-mana. Bank Indonesia merelaksasi peraturan BI No.13/7/PBI/2011 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank bahwa Bank wajib memenuhi ketentuan pembatasan Utang Luar Negeri (ULN) jangka pendek sebesar 30% dari modal. Bank sentral menambah jenis pengecualian ULN berupa giro milik bukan penduduk yang menampung dana hasil divestasi. 6.
Dampak Kebijakan Moneter Dampak kebijakan moneter dapat dilihat pada jangka pendek dan jangka
menengah. Pembedaan ini sangat diperlukan untuk mengetahui pemahaman yang benar tentang apa yang dapat dilakukan oleh kebijakan moneter. Pada kondisi jangka pendek, pergerakan tingkat harga dan output terlihat sangat kompleks dibandingkan pada kondisi jangka menengah/panjang. Pohan menjelaskan dampak kebijakan moneter dibagi kedalam dua kelompok, yaitu:15 15
Aulia Pohan. Potret Kebijakan Moneter Indonesia, Cetakan Pertama (Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2008) Hal. 69
20
1) Jangka menengah atau panjang
Teori moneter memberikan penjelasan mengenai hubungan antara inflasi, pertumbuhan output dan pertumbuhan uang. Ekspansi moneter akan meningkatkan pertumbuhan output dan kemudian meningkatkan tingkat harga umum. Secara rata-rata, tingkat inflasi akan sama dengan kelebihan ekspansi moneter atas biaya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan potensial dalam perekonomian. Pada jangka menengah tidak terdapat trade off bahwa otoritas dapat mengeksploitasi untuk meningkatkan output pada tingkat inflasi yang tinggi. Pernyataan tersebut berdasarkan dua alasan, yaitu (1) pada jangka pendek para pelaku ekonomi belajar dari kesalahan yang telah dibuat di masa lalu dan mengakhirinya dengan prediksi yang baik tentang bagaimana perekonomian bekerja; (2) selanjutnya harga dan upah menjadi fleksibel dan diikuti oleh pasar barang dan pasar tenaga kerja yang sempurna. Hal tersebut berimplikasi bahwa pada jangka menengah inflasi dianggap sebagai fenomena moneter, otoritas moneter tidak bisa menggerakkan perekonomian melalui inflasi yang tinggi sehingga inflasi yang tinggi pada akhirnya akan memperburuk perekonomian. 2) Jangka pendek
Pada pembahasan mengenai dampak kebijakan moneter dalam jangka pendek muncul adanya kekompleksitasan. Secara umum, jika harga dan upah sangat fleksibel, maka pasar barang dan pasar tenaga kerja akan sempurna, setiap agen ekonomi akan memiliki informasi penuh tentang kondisi perekonomian dan kebijakan yang akan diterapkan oleh otoritas moneter. Pada kondisi ini, baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek kebijakan moneter hanya akan mempengaruhi harga tapi perekonomian riil tidak terimbas (money just a veil). Aliran pemikiran ekonomi yang mempercayai bahwa harga dan upah sangat
fleksibel
pada
jangka
pendek
adalah
berdasarkan
adanya
missperception dari masyarakat. Pada saat masyarakat membuat ekspektasi berdasarkan seluruh informasi yang tersedia, maka kebijakan moneter akan
21
mempunyai efek riil hanya jika kebijakan moneter tidak diantisipasi. Kebijakan moneter yang tidak diantisipasi akan menimbulkan missperception tentang perubahan harga sebagai perubahan pada harga relatif. Pada jangka pendek tidaklah mencukupi untuk melakukan penyesuaian, namun ketika masyarakat mulai belajar dan memperbaiki ekspektasinya sepanjang waktu, maka harga akan menyesuaikan secara sempurna dan output akan berada pada keseimbangan ketika jangka menengah. Pada sisi lain, jika kebijakan moneter diantisipasi secara sempurna oleh masyarakat, maka agen akan menggunakan informasi yang dimiliki dalam perhitungan dan dalam membuat keputusan ekonomi. Sehingga kebijakan moneter akan secara penuh dan cepat menggerakkan harga tanpa memiliki dampak jangka pendek terhadap output. Implikasi kebijakan dari kondisi di atas adalah: (1) hanya kebijakan moneter yang tidak sistematik yang mempunyai efek jangka pendek terhadap output, (2) kebijakan yang sistematik atau diantisipasi oleh masyarakat hanya akan mempengaruhi harga dan tidak mempengaruhi output. Sehingga kebijakan moneter yang bersifat ‘rules’ tidak akan mempunyai efek jangka pendek terhadap perkembangan output. Realitas yang ada di dunia nyata adalah seringkali terjadi imperfect information sehingga harga dan upah tidak fleksibel penuh (nominal rigidities). Pada kondisi terjadi kekakuan harga dan upah dan diikuti kebijakan moneter yang sistematik maupun tidak sistematik, maka kebijakan moneter memiliki efek temporer terhadap output. Sehingga, pilihan kebijakan dari otoritas moneter untuk jangka pendek dapat berupa target harga (inflasi) maupun output.
22
BAB III PENUTUP A.
Kesimpulan Kebijakan moneter adalah kebijakan pemerintah yang menyangkut tentang
pengaturan jumlah uang yang beredar dan penawaran uang pada suatu negara. Terdapat dua jenis kebijakan moneter, yaitu kebijakan moneter ekspansif (easy moneter policy) dan kebijakan moneter konstraktif (tight moneter policy). Dalam penerapan kebijakan moneter, pemerintah memakai beberapa instrumen antara lain politik diskonto, politik cash ratio, politik kredit selektif, politik pasar terbuka, politik saneering, revaluasi, dan devaluasi. Tujuan utama kebijakan moneter adalah menjaga kestabilan ekonomi suatu negara. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia bersama pemerintah membuat keputusan dengan menggunakan instrumen kebijakan moneter dalam mengatasi masalah perekonomian yang ada di Indonesia. Semua itu diupayakan agar tercapainya stabilisasi ekonomi, antara lain kesempatan kerja, kestabilan harga, dan neraca pembayaran Internasional. B.
Saran Indonesia mengalami krisis ekonomi karena mekanisme perekonomian
yang dilakukan oleh pemerintah yang terlalu memaksakan pinjaman terhadap luar negri.sehingga terjadinya inflasi yang mengakibatkan turunnya nilai tukar rupiah terhadap nilai tukar mata uang asing. Oleh karena itu, penulis menyarankan pemerintah untuk memberlakukan / mengubah semua tatanan perekonomian di Indonesia agar perekonomian di Indonesia dapat pulih / masyarakat Indonesia dapat kembali sejahtera.
23
DAFTAR PUSTAKA Boediono. 2000. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE. Duswara, Ahmad. 2005. Bank Sentral dan Kebijakan Moneter. Jakarta: Rajawali Press. Edwin Tirani. Kebijakan Moneter BI. http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/08/23/2/176869/BIKeluarkan-4-Kebijakan-Moneter. Diakses tanggal 10 Januari 2014 Hidayat, Rahmat. 2002. Pasar Keuangan dan Lembaga Keuangan Bank dan Bukan Bank. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Indrawati, Yuli. 2002. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia. Malang: Bayumedia. Kasmir. 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Manurung, Mandala. 2000. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia). Jakarta: Erlangga. Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter. Bandung: Refika Aditama. Pohan, Aulia. 2002. Kerangka Kebijakan Moneter dan Implikasinya di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. . 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia, Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Pratomo, Agung. 2006. Uang dan Perbankan Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. Tambunan, Tulus. 2002. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta: Rajawali Press. Taylor, John. 1999. The Role of Exchange Rate in MonetaryPolicy Rules. Chicago: University of Chicago Press.
24