Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan III 2005
3. Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan III-2005 Laju inflasi IHK pada triwulan III-2005 mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan tersebut terutama berasal dari kenaikan harga kelompok bahan makanan tertentu yang berfluktuasi (volatile foods), terkait dengan pasokan yang tidak sebaik tahun sebelumnya dan adanya gangguan distribusi pada kelompok barang tersebut. Dari sisi fundamental, ekspektasi inflasi masih tinggi sehubungan dengan rencana penerapan kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM dan melemahnya nilai tukar rupiah. Sementara itu, inflasi inti cenderung menurun walau masih dalam level yang tinggi, sejalan dengan kuatnya ekspektasi inflasi masyarakat dan melemahnya nilai tukar. Pelemahan nilai tukar ini terus terjadi sepanjang triwulan III-2005, sejalan dengan melemahnya kinerja sektor eksternal dan adanya sentimen negatif dari pelaku domestik yang semakin memicu perilaku ikutan pembelian valas, serta penguatan US Dollar sebagai dampak peningkatan suku bunga Fed Fund di AS. Dalam upaya mengendalikan tekanan inflasi dan sebagai upaya merespon potensi tekanan inflasi ke depan, kebijakan moneter cenderung ketat (tight bias) terus dilanjutkan dalam triwulan III-2005. Dalam triwulan laporan, BI Rate dinaikkan sebanyak 3 kali (kumulatif sebesar 150 bps) yang dibarengi oleh langkah-langkah untuk semakin mengoptimalkan upaya penyerapan ekses likuiditas. Kenaikan BI Rate tersebut direspon dengan kenaikan suku bunga deposito sementara suku bunga kredit mulai meningkat secara terbatas. Di sisi lain, langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah terus dilanjutkan untuk mengurangi tekanan inflasi ke depan yang bersumber dari pelemahan nilai tukar. Berbagai kebijakan yang telah ditempuh BI dan pemerintah dalam menstabilkan rupiah berdampak cukup signifikan dalam menahan pelemahan nilai tukar rupiah. Sementara itu, kinerja pasar keuangan diwarnai dengan kelesuan yang terjadi di pasar modal maupun pasar reksadana.
INFLASI Persen
Inflasi IHK selama triwulan III-2005 meningkat dibandingkan
12
triwulan sebelumnya. Inflasi IHK pada akhir triwulan III-2005 10
mencapai 9,06% (y-o-y), lebih tinggi dibandingkan pada akhir triwulan sebelumnya sebesar 7,42% (y-o-y). Kenaikan laju inflasi
8
IHK tersebut terutama disebabkan oleh tingginya kenaikan
6
4
2
1
2
3
IHK
harga kelompok barang makanan tertentu yang berfluktuasi
Inti Non Inti
(volatile foods) akibat produksi beras yang tidak sebaik tahun
4
5
6
7
2003
16
8
9 10 11 12 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 1
2004
2
3
4
5
2005
6
7
8
9
sebelumnya dan hambatan distribusi kebutuhan pokok di sejumlah daerah akibat kelangkaan BBM. Selain itu,
Grafik 3.1
peningkatan inflasi IHK juga disebabkan oleh meningkatnya
Disagregasi Inflasi
harga-harga yang diatur pemerintah (administered prices)
Volatile
Administered
Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan III-2005
sehubungan dengan kenaikan cukai rokok, tarif tol dan tarif 2,37 2,57
Sumbangan
PAM. Sementara itu, inflasi inti mencapai 6,73% (y-o-y) atau 11,57
Inflasi
relatif sama dibandingkan triwulan sebelumnya, 6,78% (y-o-y).
12,65
Tekanan terhadap inflasi inti terutama masih berasal dari
1,06
Sumbangan
2,50
peningkatan ekspektasi inflasi seiring dengan rencana penerapan
5,16
Inflasi
12,46 4,00 3,98
2,00
melemahnya nilai tukar rupiah. Sementara itu, tekanan inflasi
TW III
6,78 6,67
Inflasi 0,00
kebijakan administered prices, khususnya harga BBM serta
TW II
Inti
Sumbangan
4,00
6,00
Persen 8,00
10,00
12,00
14,00
inti dari sisi kesenjangan ouput dan pelemahan nilai tukar rupiah diperkirakan masih relatif belum besar. Dengan perkembangan tersebut, inflasi IHK masih berada di atas sasaran inflasi yang
Grafik 3.2
ditetapkan Pemerintah sebesar 6% +/- 1%.
Sumbangan Disagregasi Inflasi
Tingginya tekanan inflasi IHK terutama berasal dari kenaikan harga
volatile food dan harga administered. Selama periode laporan, kelompok barang makanan volatile mencatat inflasi sebesar 12,46% (y-o-y) atau jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang hanya mencapai 5,16% (y-o-y). Lonjakan kenaikan harga tersebut terutama disebabkan oleh pasokan beras dan bumbubumbuan akibat kondisi produksi yang tidak sebaik tahun lalu serta gangguan distribusi yang dipicu oleh kelangkaan BBM di Jumlah Responden 60,0 50,0
sejumlah daerah. Sementara itu, pada triwulan III-2005 inflasi
Proyeksi inflasi 2005 5,1 - 6,0 6,1 - 7,0 7,1 - 8,0 > 8,0
administered mencapai 12,65% (y-o-y), meningkat dari triwulan
53
II-2005 sebesar 11,57%. Meningkatnya inflasi administered pada
43
40,0 34,5
34
triwulan laporan antara lain disebabkan oleh kenaikan harga
33 31
rokok, tarif PAM (Juli) dan tarif tol (Agustus). Inflasi administered
30,0 24
prices juga disebabkan oleh kenaikan harga minyak tanah di
20,0 14,5
tingkat pengecer meskipun harga patokannya di tingkat agen
12
11,8
10,0 3
2
tidak mengalami perubahan.
0,0 Survei Tw. IV-2004
Survei Tw. I-2005
Survei Tw. II-2005
Inflasi inti cenderung menurun meskipun masih pada level yang
Grafik 3.3
relatif tinggi. Pada triwulan III-2005 inflasi inti mencapai 6,73%
Ekspektasi Inflasi Pengamat Ekonomi
(y-o-y), sedikit menurun dari triwulan sebelumnya (6,78%). Tekanan inflasi inti ini terutama karena ekspektasi inflasi masyarakat dan melemahnya nilai tukar, sementara faktor kesenjangan output belum memberikan tekanan cukup berarti
Indeks 170 160
pada inflasi. Rencana kenaikan harga BBM oleh Pemerintah dan
150
depresiasi rupiah telah memicu kenaikan ekspektasi inflasi
140
masyarakat sebagaimana diindikasikan oleh hasil Survei
130
Konsumen dan Survei Penjualan Eceran. Selain itu, sejalan dengan
120
melemahnya nilai tukar, tekanan inflasi yang berasal dari
110
Ekspektasi harga 6 bl ke depan
100 Survei Konsumen - BI 90
4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2001
passthrough nilai tukar menunjukkan peningkatan. Kendati demikian, besarnya passthrough terhadap inflasi IHK relatif
2002
2003
2004
Grafik 3.4 Ekspektasi Inflasi Konsumen
2005
minimal terkait dengan perilaku pengusaha yang menahan kenaikan harga barang dengan mengurangi profit margin. Kondisi tersebut tercermin dari peningkatan imported inflation (inflasi IHPB impor) yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan
17
Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan III 2005
dengan peningkatan inflasi IHK. Sementara itu, interaksi
%, y-o-y 21
permintaan dan penawaran belum memberikan tekanan cukup
16
berarti mengingat kesenjangan output yang masih negatif
11
meskipun cenderung menyempit.
6 1 -4
NILAI TUKAR RUPIAH
-9
IHK IHPB Impor Depresiasi/Apresiasi USD/IDR
-14 1
2
4
6
8
9
11 1
3
4
2002
6
8
Dalam triwulan III-2005, pelemahan nilai tukar masih berlanjut
10 12 1
3
2003
5
6
8
10 12 1
3
2004
5
7
disertai dengan peningkatan volatilitas volatilitas. Rata-rata nilai tukar
8
2005
Rupiah selama triwulan III-2005 tercatat sebesar Rp10.013/USD
Grafik 3.5
atau terdepresiasi sebesar 4,78 % dibandingkan triwulan
Inflasi IHK, IHPB Impor dan Nilai Tukar
sebelumnya. Sementara itu, nilai tukar rupiah sempat menyentuh level Rp11.880/USD sebelum akhirnya ditutup di level Rp 10.290/ USD atau secara point to point terdepresiasi 5,4% dibandingkan
Persen
periode sebelumnya. Depresiasi yang terjadi juga diikuti oleh
9,0 Volatilitas Harian Rata-rata Volatilitas Triwulanan
8,0
meningkatnya volatilitas dari 1,38% menjadi 2,72% pada
7,0
triwulan laporan.
6,0
Pelemahan nilai tukar Rupiah dipicu oleh faktor internal dan
5,0 3,92
4,0
eksternal. Di sisi internal, pelemahan rupiah tidak terlepas dari
2,72
3,0 2,0
kondisi defisit neraca pembayaran yang semakin membesar.
1,38 1,38
1,29
0,83
1,0
0,90
Peningkatan defisit tersebut disebabkan antara lain oleh
0,0 1 2
3
4
5 6
7 8
9 10 11 12
1 2
3
4
5 6
2003
7 8
9 10 11 12
1 2
3
4
2004
5 6
7
8 9
2005
peningkatan permintaan valas domestik guna memenuhi kebutuhan impor maupun pembayaran ULN yang belum dapat
Grafik 3.6
diimbangi oleh peningkatan pasokan valas dari hasil ekspor dan
Volatilitas Nilai Tukar Rupiah
FDI. Di sisi eksternal, berlanjutnya tightening cyle di AS sebagai respon atas perkiraan meningkatnya laju inflasi negara tersebut telah mendorong penguatan mata uang US dollar secara global.
Rp/USD 10.500 TW II-2005 9.556
Rata-rata Nilai tukar 1 bulan Rata-rata harian selama 1 triwulan
10.000
TW III-2005 10.013 10218
TW IV-2004 9.120
TW I-2005 9.279
Selain itu, meningkatnya harga minyak dunia turut memberi dampak negatif terhadap mata uang negara-negara net-oil
10003 9810
importer termasuk Indonesia.
9.500
Tingginya permintaan valas selama triwulan III-2005 masih dipicu oleh tingginya kebutuhan impor untuk memenuhi kebutuhan
9.000
ekspansi ekonomi domestik. Selama triwulan III-2005 pembelian
8.500
valas oleh sektor korporasi secara kumulatif masih tinggi yaitu 8.000
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
2004
1
2
3
4
5
6
7
8
9
tercatat sebesar USD9,8 miliar. Pembelian valas sempat mencatat
2005
Grafik 3.7
level tertinggi pada pertengahan triwulan yaitu mencapai USD
Rata-rata Nilai Tukar Rupiah
200 juta/hari. Kendati demikian, untuk keseluruhan triwulan rata-rata pembelian valas mencapai sekitar USD160 juta/hari atau relatif sama dengan triwulan sebelumnya. Selain untuk keperluan impor minyak, kelompok korporasi lainnya yang bergerak di bidang industri otomotif, industri makanan, industri baja/logam serta consumer goods dan barang elektronik juga mencatat kenaikan pembelian valas untuk memenuhi kebutuhan impor bahan baku. Selain itu, menguatnya ekspektasi depresiasi sempat mendorong fenomena
18
Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan III-2005
bandwagon dari kelompok korporasi domestik lainnya maupun
Persen 8,0
nasabah individu baik untuk motif berjaga-jaga maupun
Global Bond R '14 (jatuh tempo 2014)
7,5
spekulatif.
7,0 6,5
Sementara itu, indikator premi risiko sepanjang triwulan ketiga
6,0 5,5
Spread = 261 bps
Yield Spread (2014)
cenderung memburuk dibandingkan triwulan sebelumnya. Yield
spread antara Global bond dan US T-Notes masih tetap tinggi
5,0 4,5
yaitu sekitar 261 bps bahkan pernah mencapai 336 bps,
4,0
US T. Note (jatuh tempo 2014)
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 280 bps.
3,5 Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
2005
Sementara itu, premi swap berbagai tenor mengalami peningkatan yang cukup tajam sehingga biaya untuk melakukan
Grafik 3.8
Yield Spread Global Bond RI14
hedging menjadi lebih mahal. Kondisi ini mencerminkan bahwa
Dengan US T-Notes Jatuh Waktu 2014
pelemahan rupiah yang terjadi dilatarbelakangi pula oleh faktor risiko yang meningkat. Dari sisi penawaran, aliran modal masuk sempat mengalami
Persen
16,0
penurunan meskipun meningkat kembali pada akhir periode
14,0 12,0
laporan. Sampai dengan bulan Agustus 2005, pasar valas dalam
Premi 1 M
Premi 3 M
Premi 6 M
Premi 12 M
negeri diwarnai oleh kecenderungan pembalikan arus modal
10,0 8,0
asing (capital reversal) yang didorong oleh meningkatnya
6,0
ekspektasi depresiasi. Penempatan dana asing di berbagai
4,0
instrumen pasar keuangan seperti SBI, SUN, saham serta obligasi
2,0
korporasi sempat mengalami penurunan. Namun, pada bulan
0,0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
2004
4
5
6
7
8
9*
2005
September 2005 aliran dana asing dalam bentuk portfolio
investment, terutama SUN dan saham, kembali mengalami
Grafik 3.9
peningkatan. Membaiknya minat investor asing tersebut
Perkembangan Berbagai Premi Swap
didorong oleh turunnya harga instrumen keuangan menyusul
redemption besar-besaran reksadana dan jatuhnya indeks saham, di tengah kondisi nilai tukar rupiah yang mulai stabil. Disamping itu, menariknya imbal hasil rupiah di pasar uang dari interest rate differential yang mencapai sekitar 7,8% menyebabkan aliran modal masuk tersebut. Dengan perkembangan ini, kepemilikan asing pada SUN meningkat sekitar Rp9,6 triliun hingga mencapai Rp24,1 triliun pada akhir triwulan III-2005. Di Rp/USD
Juta USD 1.500
8.000 Excess Supply
pasar saham, investor asing mencatat posisi net beli hingga Rp8,2 triliun. Sementara itu, meski sempat diwarnai adjustment secara
1.000 8.500 500
umum posisi asing pada portofolio SBI meningkat Rp4,6 triliun
0
9.000
dibanding triwulan lalu hingga mencapai Rp8,7 triliun.
-500 9.500
-1.000 -1.500 Excess Demand -2.000 -2.500
Net S(+)/D(-) dari Pelaku LN Net S(+)/D(-) dari Pelaku DN Net S(+)/D(-) Total Pelaku DN+LN Rp/USD
10.000
Strategi Kebijakan
5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2002
2003
2004
KEBIJAKAN MONETER
2005
10.500
Dalam upaya mengendalikan tekanan inflasi dan sebagai upaya
Grafik 3.10
merespons potensi tekanan inflasi ke depan, kebijakan moneter
Permintaan dan Penawaran Valas
cenderung ketat (tight bias) terus dilanjutkan dalam triwulan III-
Berdasarkan Transaksi Spot
2005 2005. Dalam kaitan ini, selama triwulan III-2005 BI Rate
19
Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan III 2005
mengalami peningkatan sebanyak 3 kali,1 dengan kumulatif
Persen 14,00
kenaikan sebesar 150 bps, yaitu dari 8,50% pada saat
12,00
Suku Bunga Covered = JIBOR 1 M - (SIBOR 1 M + yield spread)
10,00
Suku Bunga Uncovered = JIBOR 1 M - SIBOR 1 M
pencanangannya sebagai reference rate di awal Juli 2005 menjadi 10% pada akhir triwulan laporan. Upaya ini dilakukan untuk
8,00
7,82 6,00
mengendalikan tekanan inflasi yang berasal dari meningkatnya ekspektasi inflasi dan melemahnya nilai tukar. Kebijakan ini
5,21
4,00
ditempuh dengan disertai penerapan beberapa langkah, yaitu : (1) Menaikkan BI Rate, (2) Menaikkan GWM, (3) Meningkatkan
2,00 0,00 12 2004
1
2
3
4
5 2005
6
7
8
9
suku bunga FASBI 7 hari dan maksimum suku bunga penjaminan. Langkah-langkah ini juga dibarengi dengan upaya meningkatkan
Grafik 3.11 Suku Bunga Uncovered dan Covered
efektivitas pengelolaan likuiditas dengan mengaktifkan instrumen FTK O/N dan pemberlakuan intervensi swap valas sebagai instrumen OPT untuk jangka waktu 1 s.d. 7 hari. Upaya
pengendalian inflasi ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menurunkan harga akibat kenaikan harga BBM. Terkait dengan kenaikan harga BBM pada bulan Maret 2005, paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terutama berwujud kebijakan di bidang perpajakan dan kepabeanan, terutama pembebasan bea masuk dan penurunan tarif serta pajak atas impor. Terkait dengan kenaikan harga BBM yang kedua kalinya di tahun 2005, pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi 31 Agustus 2005 disamping melanjutkan implementasi paket kebijakan sebelumnya. Secara umum paket kebijakan 31 Agustus 2005 tersebut memuat: -
Kebijakan kenaikan harga BBM dan program kompensasi pengurangan subsidi BBM
-
Kebijakan pengamanan APBN 2005
-
Kebijakan konversi dan diversifikasi energi
-
Kebijakan moneter.
Langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah juga terus dilanjutkan untuk mengurangi tekanan inflasi ke depan yang bersumber dari pelemahan nilai tukar. Berbagai kebijakan yang telah ditempuh BI dan pemerintah dalam menstabilkan rupiah berdampak cukup signifikan dalam menahan ekspektasi depresiasi lebih lanjut. Di samping berbagai kebijakan moneter seperti disebutkan di atas, terus dilanjutkannya langkah sterilisasi valas dan manajemen permintaan valas BUMN juga berperan signifikan dalam menahan pelemahan nilai tukar rupiah. Namun demikian, langkah ini disadari bersifat temporer terutama karena adanya kebutuhan untuk mempertahankan kecukupan cadangan devisa dalam tingkat yang tetap mendukung terpeliharanya kepercayaan pasar. Untuk dapat menstabilkan dan menahan depresiasi rupiah lebih lanjut diperlukan kebijakan yang lebih bersifat struktural agar dapat menambah pasokan valas secara berkesinambungan. Pasokan 1
20
25 bps pada RDG Bulanan Agustus 2005, 75 bps pada RDG Mingguan 30 Agustus 2005, dan 50 bps pada RDG Bulanan September 2005.
Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan III-2005
yang diharapkan tersebut bersumber dari aliran dana FDI dan peningkatan kinerja ekspor.
Suku Bunga Penerapan kebijakan moneter yang cenderung ketat diperkuat dengan upaya untuk memperbaiki struktur suku bunga. Seiring dengan langkah menaikkan BI Rate sebanyak 3 kali, suku bunga FASBI 7 hari juga telah dinaikkan sebesar 100 bps2 menjadi 8,50% dan suku bunga penjaminan simpanan pihak ketiga rupiah dan valas pada bulan September dinaikkan masing-masing menjadi 10,50% dan 4,25% 3 . Selain itu, dalam upaya mengurangi potensi likuiditas yang dapat memfasilitasi kegiatan spekulasi valas, fasilitas SBI repo pada tanggal 22 Agustus 2005 dihapus untuk waktu yang tidak ditentukan. Penerapan kebijakan moneter yang cenderung ketat diikuti pula dengan langkah mengoptimalkan penyerapan ekses likuiditas. Terkait dengan ini, pada bulan tanggal 25 Agustus 2005, Bank Indonesia menggunakan kembali instrumen FTK O/N melalui mekanisme variable rate tender dengan multiple price allotment4 . Dalam periode 25 Agustus s.d. akhir September 2005 FTK O/N berhasil menyerap likuiditas dalam jumlah yang signifikan antara Rp3,6 √Rp18,1 triliun, atau secara rata-rata mencapai sekitar Rp11,0 triliun, jauh lebih tinggi dari rata-rata penyerapan likuiditas melalui FASBI 7 hari pada periode yang sama (rata-rata Rp2,5 triliun). Selanjutnya, guna menyediakan alternatif penempatan sekaligus mendorong perbaikan manajemen likuiditas dari sisi perbankan, sejak 20 September 2005 FTK ditambah dengan jangka waktu 3 dan 5 hari dengan mekanisme variable rate tender. Pelaksanaan FTK tersebut dilakukan pada pukul 10.00 √12.00 WIB dengan variasi pilihan tenor yang bersifat diskresi. Upaya peningkatan efektivitas penyerapan ekses likuiditas ini juga dilakukan melalui kenaikan GWM yang diberlakukan secara efektif sejak 8 September 2005. Kenaikan GWM ini dilakukan secara proporsional terhadap kondisi LDR dari masingmasing bank 5 setelah memperhitungkan ketentuan GWM tahun lalu yang didasarkan pada kepemilikan Dana Pihak Ketiga6 .
2 3
4 5
6
50 bps pada RDG Mingguan 30 Agustus dan 50 bps per 7 September 2005. Siaran Pers No. 7/87/PSHM/Humas tanggal 30 Agustus 2005 tentang Langkah-langkah Lanjutan Kebijakan di Bidang Moneter untuk Meredam Gejolak Nilai Tukar dan dipertegas melalui SE No. 7/41/DPM tanggal 1 September 2005 perihal Marjin Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank. Dengan diterbitkannya PBI No 7/32/PBI/2005 tanggal 22 September 2005 tentang Pencabutan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 6/11/PBI/2004 tentang ≈Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank Sebagaimana telah diubah Terakhir Dengan PBI No.7/28/PBI/2005∆, maka SE No. 7/41/DPM yang menggunakan PBI dimaksud sebagai dasar hukum otomatis tidak berlaku lagi. Mekanisme penawaran lelang dengan menggunakan harga beragam yang penentuan pemenangnya disesuaikan dengan (atau berdasarkan) harga yang ditawarkan. LDR di atas 90% dikenakan tambahan 0%, LDR 75% - 90% dikenakan tambahan 1%, LDR 60% - 75% dikenakan tambahan 2%, LDR 50% - 60% dikenakan tambahan 3%, LDR 40% - 50% dikenakan tambahan 4%. RDG Mingguan 30 Agustus juga memutuskan untuk menaikkan imbalan jasa giro dari semula 3% menjadi 5,5% untuk seluruh tambahan GWM Rupiah di atas 5%. Imbalan jasa giro tersebut dihitung atas dasar tingkat bunga efektif tahunan (effective annual rate) yang ditentukan bedasarkan periode compounding harian selama 360 (tiga ratus enam puluh) hari atau sama dengan 0.0149% perhari. PBI No.7/29/PBI/2005 tanggal 6 September 2005 perihal ≈Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing. SE No. 7/42/DPNP tanggal 6 September 2005 perihal ≈Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing.
21
Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan III 2005
11,0 10,6 10,2 9,8 9,4 9,0 8,6 8,2 7,8 7,4 7,0 6,6 6,2 5,8 5,4
Kenaikan BI Rate direspon oleh kenaikan suku bunga perbankan.
Persen SBI 1 bln/BI Rate*
Jam.Dep.1
Dep 1 WA
SBI 3 bln
Seiring dengan kenaikan BI Rate dan suku bunga penjaminan, suku bunga deposito juga mengalami peningkatan. Pada bulan Agustus7 , suku bunga deposito 1 dan 3 bulan tercatat sebesar
SBI3 < SBI1
7,55% dan 7,71% atau masing-masing meningkat 57 dan 52
realignment
bps dari akhir Juni. Suku bunga kredit masih relatif stabil, kecuali modal kerja yang dibandingkan triwulan sebelumnya cenderung Depo1 < SBI1
mengalami peningkatan. Pada bulan Agustus 2005, suku bunga 5
6
7
8
9 10 11 12 1
2
3 4
5
2003
6
7
8
9 10 11 12 1
2
3 4
2004
5
6
7
8
kredit tercatat masing-masing 13,40% (KMK), 13,62% (KI), dan
9
2005
15,96% (KK). Dalam kondisi ini selisih suku bunga antara kredit
Grafik 3.12
dan deposito secara umum cenderung menyempit, kendati masih
Perkembangan Suku Bunga SBI dan Deposito
cukup lebar yaitu berkisar antara 5,85 √ 8,41%. Sementara itu, dengan digunakannya kembali FTK O/N, suku bunga PUAB O/N menjadi relatif stabil meskipun sempat mengalami kenaikan cukup
Persen 23
signifikan pada masa awal penggunaan instrumen tersebut. Secara
21
umum, kenaikan BI Rate tersebut belum mempengaruhi secara
19
signifikan terhadap kinerja intermediasi perbankan. Demikian pula,
17 15
stabilitas sistem perbankan secara umum masih cukup terjaga.
13 11 9 7
Dana, Kredit, dan Uang Beredar
5 BI Rate*
Depo 1 bl
KMK
KI
Peningkatan BI Rate dan suku bunga penjaminan yang diikuti
KK
3 1
3
5
7
9
11 1
3
5
2001
7
9 11
1
2002
3
5
7
9 11
1
3
2003
5
7
9 11
1
2004
3
5
7
9
dengan kenaikan suku bunga deposito mendorong kenaikan
2005
Grafik 3.13
simpanan dana masyarakat di perbankan. Setelah mengalami
Perkembangan Berbagai Suku Bunga
penurunan pada tahun 2003 dan 2004, sejak awal 2005 simpanan berjangka (deposito) terus menunjukkan peningkatan. Selain dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga, peningkatan
simpanan dana masyarakat pada perbankan juga berkaitan perpindahan dana yang sebelumnya ditanamkan dalam bentuk reksa dana ke perbankan sehubungan dengan penurunan NAB reksa dana yang cukup signifikan mulai Maret 2005. Dalam periode akhir Maret sampai dengan Agustus 2005, deposito milik perorangan pada perbankan nasional meningkat sekitar Rp40,6 triliun yang 35 30
Total DPK
Giro
Tabungan
Deposito
(%, y-o-y)
diperkirakan sebagian berasal dari redemption reksadana.
25
Sinyal suku bunga BI Rate belum sepenuhnya ditransmisikan ke
20
suku bunga kredit sehingga belum tampak mempengaruhi
15 10
volume kredit perbankan. Pada bulan Agustus 2005, volume
5
kredit perbankan mengalami peningkatan sekitar Rp37,9 triliun
-
dari akhir Juni. Kredit tersebut terutama tersalur ke sektor
(5)
perdagangan, perindustrian, dan jasa dunia usaha.
(10)
sumber: DPNP
(15) Feb
Mei
Ags
2002
Nov
Feb
Mei
Ags
Nov
Feb
2003
Mei
Ags
Nov
Feb
2004
Grafik 3.14
Mei
2005
Ags
Uang beredar secara nominal mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi. Secara nominal,
Pertumbuhan Simpanan Pihak Ketiga 7
22
Angka sementara.
Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan III-2005
pertumbuhan M2 pada periode yang sama tercatat mencapai Persen 51 48 45 42 39 36 33 30 27 24 21 18 15 12 9 6 3 0
Triliun Rp 800
11,62% menjadi Rp1.088,4 triliun atau meningkat Rp14,6 triliun
700
dari akhir Juni. Peningkatan tersebut terutama disumbang oleh
600
kenaikan komponen M1 terutama uang giral, dan kuasi Rupiah
500
dalam bentuk deposito, serta simpanan valas. Dilihat dari faktor
400 300
meningkatnya kredit Rupiah yang terutama digunakan untuk
200
1
3
Total KREDIT (RHS)
gKMK (%)
gKK (%)
g Total KREDIT (%)
5
7
9
11
1
3
2003
gKI (%)
5
7
100 9
11
1
3
2004
5
7
-
modal kerja dan konsumsi. Meskipun demikian, pada bulan Agustus pertumbuhan M2 riil masih berada di bawah pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini menunjukkan masih tingginya
2005
Grafik 3.15
ekses likuiditas di perbankan yang belum mampu diserap secara
Pertumbuhan Kredit
8
yang mempengaruhi, peningkatan M2 terutama disumbang oleh
optimal oleh sektor riil.
Pasar Modal
Persen
6
Dalam triwulan III-2005, perdagangan saham di Bursa Efek
4
Jakarta (BEJ) diwarnai oleh penjualan saham oleh investor asing
2
sehingga indeks harga saham mengalami penurunan. Pada awal
0
triwulan laporan perdagangan saham di BEJ menunjukkan
-2 -4
peningkatan yang disertai dengan kenaikan indeks hingga
-6
mencapai level tertinggi dalam sejarah bursa Indonesia yakni
-8 PDB -10
I
II
III
2001
IV
1.192. Namun, dalam bulan Agustus 2005 IHSG menurun
M2 Riil I
II
III
IV
I
2002
II
2003
III
IV
I
II
III
2004
kembali dan sempat berada di bawah 1.000 yang dipicu oleh penjualan saham secara besar-besaran oleh investor asing
Grafik 3.16 Pertumbuhan Ekonomi dan Likuiditas Perekonomian
sehubungan dengan kekhawatiran investor terhadap perkembangan ekonomi nasional maupun internasional. Kondisi eksternal yang mempengaruhi penurunan kinerja bursa saham
Jakarta antara lain adalah kenaikan harga minyak dunia yang memberikan dampak negatif bagi perdagangan bursa utama dunia dan bursa kawasan Asia Tenggara. Sementara faktor internal yang mempengaruhi melemahnya pasar saham adalah depresiasi nilai tukar rupiah, peningkatan suku bunga, dan kekhawatiran terhadap kesinambungan fiskal yang tertuang dalam RAPBN 2006. Penurunan harga saham yang cukup besar telah mendorong kembali sejumlah investor asing untuk melakukan selective buying pada saham-saham kapitalisasi besar yang sudah mencapai undervalue. Dengan pembelian tersebut, net beli asing pada periode laporan masih lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya dan IHSG secara bertahap menguat kembali mencapai 1.044. Perdagangan SUN mengalami kelesuan dan diwarnai penjualan oleh kelompok reksa dana. Peningkatan BI Rate sejak awal triwulan III memicu aksi penjualan khususnya di kelompok investor reksa dana. Hal ini sekaligus tercermin dari perkembangan Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana yang terus mengalami penurunan. Sebagai akibat dari aksi jual ini, harga SUN mengalami penurunan drastis dan bahkan sudah berada di bawah harga par-nya. Untuk mencegah berlanjutnya kelesuan di pasar SUN dan dalam rangka penyediaan stok SUN sebagai instrumen moneter, Bank Indonesia
23
Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan III 2005
kembali melakukan tiga kali pembelian SUN di pasar sekunder dengan total pembelian sebesar Rp4,0 triliun sehingga posisi akhir triwulan III-2005 Bank Indonesia sudah memiliki Rp10,5 triliun. Di pasar perdana, pemerintah telah melakukan tiga kali lelang SUN berjangka 5 dan 13 tahun dengan menyerap total dana sebesar Rp2,6 triliun triliun. Dalam lelang dimaksud, respon yang diberikan oleh investor cukup baik, terbukti dari jumlah
bidding yang oversubscribe dan yield yang relatif menguntungkan yaitu 15,97% (kupon 15,00%) dan 15,08% (kupon 14,50%). Dengan perkembangan ini, sampai dengan September pemerintah telah menerbitkan SUN sebesar Rp22,0 triliun di pasar domestik USD1 miliar di pasar internasional. Pencairan reksa dana terus terjadi hingga menyebabkan Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana bulan September 2005 anjlok lebih dari 50% menjadi Rp32,7 triliun dibandingkan NAB bulan Juni yang mencapai Rp80,2 triliun triliun. Selama triwulan laporan, total redemption telah mencapai Rp77,1 triliun sementara subscription hanya sebesar Rp37,4 triliun, dengan demikian net redemption selama triwulan laporan mencapai Rp39,7 triliun. Penurunan NAB tersebut ditengarai terkait erat dengan perkembangan suku bunga yang mengalami peningkatan serta kurangnya edukasi terhadap investor retail mengenai potensi risiko yang mungkin timbul atas investasi di reksa dana. Guna mengatasi pencairan reksa dana dalam jumlah besar serta dalam rangka mengembangkan produk reksa dana, pada bulan akhir Juli 2005 Bapepam mengeluarkan ketentuan produk baru reksa dana, yaitu Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks. Meskipun demikian, jenis reksa dana baru ini tidak lepas dari risiko default dari obligasi korporasi yang menjadi portofolionya. Pembiayaan aktivitas ekonomi melalui pasar modal mengalami penurunan. Dalam triwulan III-2005, jumlah dana yang diperoleh perusahaan dari pasar modal lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya maupun triwulan yang sama tahun sebelumnya. Selain bersifat siklikal dimana dalam triwulan III tidak banyak emiten yang melakukan IPO, penurunan tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi yang mengalami tekanan terutama pelemahan nilai tukar. Secara keseluruhan, dalam triwulan III tercatat 6 perusahaan melakukan IPO obligasi dengan nilai sebesar Rp2,2 triliun dan 1 perusahaan melakukan IPO saham dengan nilai sebesar Rp63,4 miliar. Dengan perkembangan tersebut, secara kumulatif dana yang berhasil diperoleh dari pasar modal selama periode Januari - September 2005 tercatat sebesar Rp9,6 triliun, masing-masing dari penerbitan obligasi sebesar Rp9,0 triliun (19 perusahaan) dan penerbitan saham sebesar Rp0,6 triliun (dari 5 perusahaan). Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp16,5 triliun. Ditambah dengan peningkatan pembiayaan dari kredit perbankan sebesar Rp107,2 triliun8 , total peningkatan pembiayaan perekonomian mencapai Rp116,7 triliun, atau meningkat lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya yakni sebesar Rp70,4 triliun. 8 Angka kredit perbankan untuk periode Januari-Agustus 2005.
24