Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan II-2006
3. Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan II-2006 Kondisi moneter pada triwulan II-2006 masih menunjukkan perkembangan yang relatif stabil. Hal ini tercermin dari nilai tukar yang masih menguat, inflasi yang terjaga dan terus menurun, serta kondisi likuiditas yang memadai. Relatif kondusifnya kondisi moneter tersebut, serta prospek inflasi kedepan yang diperkirakan akan sesuai dengan target yang ditetapkan, yaitu 8±1% dan 6±1% (y-o-y) untuk masingmasing tahun 2006 dan 2007, maka Rapat Dewan Gubernur (RDG) 9 Mei 2006, memutuskan untuk menurunkan BI Rate menjadi 12,50% atau turun 25 basis poin (bps) dari 12,75% yang ditetapkan pada bulan Desember 2005 lalu. Pada bulan berikutnya,Bank Indonesia mempertahankan BI Rate tersebut seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap kestabilan makroekonomi, terutama nilai tukar. Selain itu, kebijakan tersebut juga diperkuat dengan penyempurnaan kebijakan operasional guna menyerap likuiditas lebih optimal melalui penerapan sistem Fixed Rate Tender (FRT) dalam lelang SBI sejak 10 Mei 2006 Sinyal kebijakan moneter melalui penurunan BI Rate tersebut diikuti juga diikuti dengan penurunan suku bunga instrumen moneter seperti suku bunga FASBI overnight (O/N),FASBI 7 hari, dan suku bunga SBI Repo. Dari sisi transmisi kebijakan moneter, sinyal penurunan BI Rate pada Mei 2006 diikuti oleh penurunan suku bunga perbankan secara terbatas. Di pasar saham, perubahan BI Rate sebesar 25 bps pada awalnya berkontribusi positif pada perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang kembali mencatat indeks harga tertinggi baru, namun seiring dengan meningkatnya faktor sentimen dari perkembangan bursa global dan ekspektasi naiknya suku bunga AS, perkembangan pasar saham kemudian berbalik arah.
INFLASI Perkembangan inflasi IHK pada triwulan II-2006 terus terjaga dan terus menurun Disamping perkembangan nilai tukar rupiah yang menguat, beberapa faktor positif yang memberikan kontribusi pada penurunan inflasi IHK tersebut adalah minimalnya kenaikan harga komoditi yang ditetapkan oleh Pemerintah (administered prices) dan adanya perbaikan ekspektasi inflasi serta permintaan aggregat yang masih lemah. Sementara itu, secara triwulanan, penurunan laju inflasi IHK dibandingkan dengan triwulan sebelumnya terutama disebabkan oleh melambatnya laju inflasi kelompok volatile food akibat dampak musim panen yang masih terasa di awal triwulan dan melambatnya laju inflasi inti. Dengan perkembangan tersebut, laju inflasi triwulanan pada triwulan II-2006 cenderung menurun, mencapai 0,87% (qt-q) dibandingkan dengan triwulan II-2005 yang mencapai 1,05% (q-t-q) maupun triwulan I-2006 yang mencapai 1,98% (q-t-q). Sementara itu, laju inflasi tahunan pada akhir triwulan II-2006 juga menurun menjadi 15,53% (y-o-y), dibandingkan
15
Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan II-2006
Persen (y-o-y)
triwulan I-2006 yang mencapai 15,74% (y-o-y) (Grafik 3.1).
Persen (y-o-y) 43
25 23
38 IHK
21
Sedangkan laju inflasi kalender mencapai 2,87%, juga lebih rendah bila dibandingkan dengan laju inflasi kalender pada 2005
Inti (exclusion)
33
Volatile Food Administered (kanan)
28
yang mencapai 4,28%. Selama triwulan laporan, kelompok
23
barang yang dominan dalam menyumbang inflasi adalah
18
kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar, kelompok
9
13
7
sandang, kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan
8
19 17 15 13 11
5 3
3 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2005
2
3
4
5
tembakau, serta kelompok bahan makanan. (Grafik 3.2).
-2
6
2006
Grafik 3.1
Inflasi administered prices pada akhir triwulan II-2006 mencapai
Inflasi IHK, Administered, Inti dan Volatile Foods
0,56% (q-t-q), lebih rendah bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 1,39% (q-t-q). Dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, secara tahunan infasi kelompok administered prices juga menurun menjadi
Transportasi dan Komunikasi
30,01% dari 31.07% pada triwulan I-2006. Namun, secara
0,42
kuartalan inflasi administered prices sedikit meningkat bila
Kesehatan
1,48
dibandingkan triwulan I-2006 tersebut (0,48%, q-t-q). Secara
2,64 Sandang
umum, tekanan inflasi administered prices terus menurun sejalan
Sumbangan TW II 2006
Perumahan
0,97
dengan minimnya implementasi kebijakan administered prices
Inflasi TW II 2006
yang bersifat strategis. Selama triwulan laporan, tekanan inflasi
1,04
Rokok Bahan Makanan
kelompok administered prices terutama diakibatkan oleh
%(q-t-q)
0,62
0
1
2
3
Grafik 3.2
kenaikan HJE rokok pada April 2006 sebesar 10%. Selain itu, terdapat kenaikan harga minyak tanah yang lebih disebabkan
Inflasi dan Sumbangan Inflasi
oleh kelangkaan pasokan di beberapa daerah, kenaikan tarif air
per Kelompok Triwulan II-2006 (q-t-q)
minum PAM di kota Padang yang tinggi yaitu sekitar 52,16%1Ω, serta kenaikan harga bensin Pertamax dan Pertamax Plus ratarata sebesar 12% yang tercatat di dalam komoditas bensin pada
Tabel 3.1
Mei 2006 (Tabel 3.1 dan 3.2).
Sumbangan Inflasi Beberapa Komoditas Administered prices (%)Admistered Komoditas
Pada triwulan II-2006, inflasi volatile food mengalami penurunan penurunan, yaitu mencapai 0,62%, menurun bila dibandingkan dengan
Sumbangan
Rokok Bensin Tarif PAM Minyak Tanah
triwulan I-2006 yang mencapai 5,68%. Penurunan tersebut
0,05 0,03 0,02 0,02
terutama disebabkan oleh masih terasanya dampak musim panen sampai dengan pertengahan triwulan laporan. Namun demikian, penurunan laju inflasi volatile food sedikit tertahan sebagai akibat berakhirnya musim panen serta faktor bencana alam yang terjadi (Rp/lt)
di beberapa daerah di Indonesia.
Tabel 3.2 Harga Jual SPBU Bensin Nonsubsidi di Jawa
Laju inflasi inti pada akhir triwulan II-2006 mencapai 1,08% (qt-q), menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang
Pertamax Pertamax Plus
Feb √ Apr 2006
Mei 2006
mencapai 1,63% (q-t-q) dan juga lebih rendah bila dibandingkan
5.300 5.400
5.800 6.050
dengan laju inflasi pada triwulan II-2005 yang mencapai 1,14%
1
16
Kenaikan tarif air minum PAM yang tercatat di dalam IHK.
Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan II-2006
160
(q-t-q). Secara tahunan, laju inflasi inti pada akhir triwulan laporan
Indeks
mencapai 9,58% (y-o-y), relatif stabil bila dibandingkan dengan triwulan I-2006 sebesar 9,64% (y-o-y). Stabilnya inflasi inti
150
tersebut terkait dengan perkembangan ekspektasi inflasi 140
masyarakat yang cenderung membaik untuk jangka pendek dan menguatnya nilai tukar. Membaiknya ekspektasi inflasi tersebut
130
tercermin pada hasil Survei Konsumen (Grafik 3.3) dan Survei
120
Penjualan Eceran yang menunjukkan penurunan. Di sisi lain, 110
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6
2003
2004
2005
2006
tekanan inflasi inti dari kesenjangan permintaan dan penawaran (output gap) juga masih minimal. Indikasi tersebut ditunjukkan
Grafik 3.3
oleh pertumbuhan M1riil √ sebagai cerminan daya beli
Survei Ekspektasi Konsumen
masyarakat √ yang mengalami penurunan. Sementara itu, Indeks Penjualan Eceran (Grafik 3.4) yang dihasilkan oleh Survei
150
% (y-o-y)
Penjualan Eceran Bank Indonesia, pada triwulan II-2006 juga
125
menunjukkan perkembangan yang cenderung menurun meski
100
pada akhir triwulan mulai terlihat sedikit peningkatan.
75 50 25
NILAI TUKAR RUPIAH
0 1
2
3
4
5
6
-50 -75
7
8
9
10 11 12 1
2
3
4
5
6
2004
-25
7
8
9 10 11 12 1
2
3
2005
4
5
Selama triwulan II-2006, nilai tukar rupiah bergerak dinamis dengan
2006
Total Peralatan Rumah Tangga Makanan dan Tembakau Pakaian
adanya pembalikan tren dari menguat menjadi melemah. Adapun secara rata-rata, nilai tukar rupiah menguat dibanding triwulan
-100
Grafik 3.4
sebelumnya disertai dengan menurunnya volatilitas. Rata-rata nilai
Pertumbuhan Indeks Penjualan Eceran
tukar rupiah pada triwulan ini menguat sekitar 2% menjadi Rp 9.111/USD dari Rp 9.299/USD pada triwulan I-2006 (Grafik 3.5). Fluktuasi pergerakan rupiah juga sedikit lebih stabil, tercermin dari
menurunnya volatilitas menjadi 3,03% dari 3,86% pada triwulan I-2006 (Grafik 3.6). Sementara itu secara bulanan, tren penguatan rupiah yang terjadi sejak akhir 2005 masih berlanjut pada paro pertama triwulan ini, dan mencapai level terkuat di Rp 8.722/USD. Akan tetapi, pada pertengahan Mei rupiah melemah cukup signifikan dan sempat mencapai level Rp 9.400-an. Hal ini menyebabkan secara point to point rupiah melemah dari Rp 9.060/USD pada akhir triwulan I-2006 menjadi Rp 9.263, atau terdepresiasi sebesar 2,2%.
Rp/USD 10.500 Rata-rata Nilai tukar 1 bulan 10218 Rata-rata harian selama 1 triwulan 10003
Pelemahan rupiah lebih disebabkan oleh faktor eksternal terkait
10085 10042
10.000
dengan ekspektasi berlanjutnya kebijakan moneter ketat di AS,
9852
9810 9631
sementara kondisi fundamental ekonomi masih tidak banyak
9558 9480
9.500
9479
9377 9201
9.299 9,370 9256
9252
8,939
9.000
berubah. Setelah meningkatkan suku bunga menjadi 5% pada
9.111
9163
9,008
9 Mei 2006, Fed diperkirakan akan menahan suku bunga di level tersebut. Namun, beberapa indikator ekonomi yang dirilis setelah
8.500
itu menunjukkan besarnya tekanan inflasi AS. Hal ini 8.000
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
2005
12
1
2
3
4
2006
5
6
mengakibatkan ekspektasi pasar berubah dan memperkirakan
Grafik 3.5
Fed akan kembali menaikkan suku bunga untuk menahan laju
Perkembangan Nilai Tukar Rupiah
inflasi. Perubahan ekspektasi tersebut telah mengakibatkan terjadinya penyesuaian investasi global terutama di negara
17
Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan II-2006
emerging markets sehingga menimbulkan tekanan depresiatif
Persen 10,0
pada mata uang lainnya. Dari sisi fundamental, kondisi neraca
9,0
Volatilitas Harian Rata-rata Volatilitas Triwulanan
8,0
pembayaran masih terjaga bahkan mencatat surplus yang cukup
7,0
besar. Surplus NPI tersebut ditopang oleh terms of trade (TOT)
6,0
yang cenderung membaik dan relatif masih tingginya selisih suku
5,0 3,65
4,0
bunga dalam dan luar negeri yang mencerminkan tingginya
3,0
tingkat pengembalian potensial investasi rupiah. Dari sisi risiko,
3,03
2,0
faktor risiko cenderung mixed, tetapi indikator yield spread
1,0 0,0
4
5
6
7
8
9
10 11 12 1
2
3
4
5
2004
6
7
8
9
10 11 12
1
2
3
2005
4
5
6
2006
menunjukkan adanya peningkatan risiko. Yield spread antara
yankee bond dan UST note yang pada awal triwulan terus
Grafik 3.6
membaik mencapai level 153 bps, berbalik memburuk sampai
Volatilitas Nilai Tukar Rupiah
akhir triwulan dan ditutup di level 178 bps (Grafik 3,7). Walaupun demikian, level ini masih lebih rendah dari triwulan I 2006 yang
mencapai 196 bps. Indikator risiko lainnya, seperti premi swap (Grafik 3.8) dan
country rating justru menunjukkan adanya perbaikan. Pada triwulan II-2006 terjadi ekses permintaan valas baik oleh pelaku asing maupun dengan pihak dalam negeri. Penarikan aliran modal oleh pelaku asing terkait dengan terjadinya perkembangan eksternal. Hal ini tercermin dari net permintaan valas di transaksi spot antara perbankan domestik Rp/USD
Persen
dengan nonresiden (Grafik 3.9). Sementara itu ekses permintaan
11.000
4,0
10.500
3,5
10.000
3,0
9.500
2,5
meningkatnya permintaan valas. Permintaan valas korporasi
9.000
2,0
digunakan untuk keperluan impor, di mana hal ini relatif sejalan
valas dari transaksi antara bank dengan pihak dalam negeri (terutama korporasi) meskipun jumlahnya relatif kecil namun
8.500
1,5 IDR/USD
8.000
2
3
4
5
6
7
8
Yield Spread 9
10
11
12
1
2
2005
cukup memberikan tekanan terhadap rupiah sejalan dengan
dengan perkembangan impor nonmigas yang cenderung meningkat. Dengan perkembangan di atas, secara keseluruhan
3
4
5
6
1,0
2006
pasar valas mengalami ekses permintaan dan memberikan tekanan yang cukup berarti terhadap rupiah.
Grafik 3.7 Perkembangan Yield Spread dan Nilai Tukar Rupiah
KEBIJAKAN MONETER
Persen 18,0
Strategi Kebijakan
16,0
Setelah melakukan asesmen perekonomian secara keseluruhan
14,0 12,0 10,0
Premi 1 M
Premi 3 M
Premi 6 M Premi O/N
Premi 12 M
dan mempertimbangkan sejumlah faktor risiko yang dapat mengganggu kinerja ekonomi ke depan, periode triwulan II-2006
8,0
ditandai dengan titik balik arah kebijakan moneter yang baru.
6,0
Pada bulan Mei 2006, BI Rate untuk pertama kalinya diturunkan
4,0
25 bps menjadi 12,50% setelah dipertahankan pada level 12,75% sejak Desember 2005. Meskipun penurunan tersebut
2,0 0,0 1
2 3
4
Sumber : Reuters (diolah)
18
5
6
7
2004
8
9 10 11 12 1
2 3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
2005
1
2 3
2006
4
5 6
hanya sebesar 25 bps, namun hal tersebut telah menandai arah
Grafik 3.8
kebijakan moneter menuju siklus yang baru. Kebijakan tersebut
Premi Swap Berbagai Tenor
ditempuh dalam rangka mengarahkan ekspektasi inflasi
Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan II-2006
masyarakat pada sasaran inflasi IHK yang ditetapkan yakni
Juta USD
Rp/USD
1.400
8.000 Inflows
1.000 8.400
8.800
200 1
2
3 4 5
6 7
8 9 10 11 12 1
2
3 4 5 6 7
2004
2005
8 9 10 11 12
1
2
3 4
2006
-600
5
6
9.200
9.600
Outflows
-1.800
mendukung efektivitas BI Rate sebagai satu-satunya reference
rate. Secara umum, pelaksanaan kebijakan moneter selama triwulan II-2006 berjalan cukup optimal. Hal ini antara lain terlihat dari suku bunga PUAB yang cenderung mendekati BI Rate, mulai
-1.000 -1.400
2006 dan 2007. Langkah ini didukung dari sisi operasional di mana beberapa penyempurnaan dilakukan dalam upaya
600
-200
masing-masing sebesar 8±1% dan 6±1% (y-o-y) untuk tahun
10.000 Aliran Dana Asing (Net) dari Transaksi Spot Nilai Tukar Rp/USD (rata-rata bulanan)
10.400
Grafik 3.9 Permintaan dan Penawaran Valas Berdasarkan Transaksi Spot
turunnya suku bunga perbankan, serta kondisi likuiditas yang masih sesuai dengan perkiraan awal tahun. Di bidang nilai tukar, Bank Indonesia terus melakukan serangkaian upaya untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Upaya tersebut antara lain dilakukan dengan instrumen suku bunga, serta penyempurnaan berbagai instrumen moneter yang
diperlukan. Selain itu Bank Indonesia juga terus berupaya menjaga kecukupan cadangan devisa yang dapat digunakan sebagai penyangga apabila terjadi pembalikan modal secara mendadak, terutama pascapercepatan pelunasan utang IMF sebesar $ 3,8 juta yang dilakukan pada 30 Juni 2006. Di samping itu, Bank Indonesia juga terus memantau beberapa peraturan terkait nilai tukar terutama untuk mengendalikan tekanan terhadap melemahnya rupiah dari arus modal asing jangka pendek (khususnya dalam bentuk swap beli) dan atau transaksi valas yang tidak mempunyai transaksi ekonomi yang mendasarinya ( non-underlying
transactions). Peraturan tersebut antara lain seperti yang tertera pada ketentuan PBI 7/14/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank yang dikeluarkan pada tanggal 14 Juni 2005. Koordinasi kebijakan dengan Pemerintah terus dilakukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi. Bank Indonesia terus berupaya untuk bersinergi bersama Pemerintah dalam mengoptimalkan stimulus fiskal serta memperbaiki iklim investasi yang merupakan kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Adapun langkahlangkah untuk menuju hal itu terus disinergikan, antara lain adalah upaya untuk mempercepat belanja modal pemerintah, mempercepat realisasi anggaran terutama untuk Pemerintah daerah serta mendorong kemajuan implementasi perbaikan iklim investasi dan infrastruktur.
Suku Bunga Sejalan dengan penurunan BI Rate menjadi 12,50% pada Mei 2006, seluruh suku bunga instrumen moneter juga mengalami penurunan. Suku bunga FASBI 7 hari dan FASBI O/N menjadi berada pada level 10,50% dan 7,50%. Sementara itu suku bunga SBI Repo menjadi 15,50%. Dari sisi kebijakan operasional, per tanggal 10 Mei 2006 telah mulai dilakukan Fixed Rate Tender (FRT) pada lelang SBI 1 bulan. FRT adalah suatu prosedur lelang di mana suku bunga lelang terlebih dulu ditetapkan sebelum lelang dilaksanakan. Dalam hal ini, Bank Indonesia mengumumkan suku
19
Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan II-2006
bunga SBI yang akan diterima sebelum lelang SBI dimulai. Bersamaan dengan pelaksanaan FRT untuk lelang SBI 1 bulan tersebut telah pula untuk pertama kalinya dilakukan penjarangan lelang SBI 3 bulan menjadi tiap 3 bulan sekali. Sementara itu, per 2 Mei 2006 window FASBI 7 hari ditutup sampai waktu yang belum ditentukan. Meskipun demikian, terdapat diskresi penyediaan window fasilitas FASBI 7 hari untuk menyediakan atau mengurangi likuiditas dalam upaya memperkuat pengelolaan likuiditas pasar uang jangka pendek di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) paska pelaksanaan FRT. Menurunnya BI Rate diikuti oleh kecenderungan penurunan suku bunga deposito. Rata-rata tertimbang suku bunga deposito Rupiah berjangka waktu 1 bulan menurun dari 11,8% pada akhir triwulan sebelumnya menjadi 11,6% pada bulan Mei (Grafik 3.10). Sedangkan suku bunga deposito 1 bulan counter rate secara rata-rata stabil di sekitar 10,4%, seiring dengan masih tetapnya suku bunga penjaminan deposito Rupiah 1 bulan pada level 12,50%. Sementara itu, rata-rata tertimbang suku bunga PUAB O/N meningkat menjadi 9,7-10,4%, dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang berada pada kisaran 9,3-9,9%. Kenaikan tersebut berkaitan dengan penyesuaian manajemen likuiditas perbankan sehubungan dengan penerapan FRT pada bulan Mei 2006. Kedepan, diharapkan tingkat suku bunga PUAB akan semakin mendekati BI Rate sebagaimana yang berlaku secara umum (best practices). Kenaikan suku bunga PUAB disertai dengan naiknya volatilitas. Pada triwulan II-2006 volatilitas suku bunga PUAB O/N mencapai 2,83,1% atau naik dari triwulan sebelumnya yang mencapai 1,3-1,4%. Menurunnya BI Rate belum diikuti oleh penurunan suku bunga kredit. Selama triwulan laporan, secara rata-rata tertimbang semua jenis suku bunga kredit relatif stabil kecuali untuk suku bunga kredit konsumsi yang masih cenderung naik. Secara
weighted average, pada akhir Mei 2006 suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI) tercatat masing-masing mencapai 16,3% dan 15,9%, relatif tidak berubah dibanding akhir triwulan I-2006. Sementara itu Kredit Konsumsi (KK) tercatat sebesar 17,8%, naik dari 17,5% pada akhir triwulan I-2006 (Grafik 3.10). Dengan perkembangan suku bunga dana dan kredit yang demikian, selisih suku bunga di antara keduanya masih sedikit meningkat. Persen 21 19
Dana, Kredit, dan Uang Beredar
17
Meskipun BI Rate sudah turun namun perkembangan dana
15
masyarakat masih meningkat. Pertumbuhan deposito yang sejak
13
awal 2005 terus naik, tampak mulai melambat sejak Maret 2006.
11
Namun cukup tingginya kenaikan giro dan tabungan telah
9
mendorong naiknya laju pertumbuhan DPK secara total. Pada
7 BI Rate* Kredit Investasi
5
Depo 1 bl Kredit Konsumsi
Kredit Modal Kerja Penjaminan Depo 1 bl
3 1
3
5
7 2004
9
11
1
3
5
7 2005
9
11
1
3 5 2006
Grafik 3.10 Perkembangan Berbagai Suku Bunga
akhir Mei 2006, DPK mengalami pertumbuhan sebesar 19,4% (y-o-y), lebih tinggi dari akhir bulan sebelumnya sebesar 14,8% (y-o-y). Masih tingginya kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional dan masih menariknya suku bunga di dalam negeri menjadi penyebab masih tingginya penghimpunan dana
20
Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan II-2006
masyarakat pada perbankan nasional. Persen (y-o-y) 50
Total DPK Tabungan
40
Sementara itu, pada akhir Mei 2006 kredit perbankan mengalami
Giro Deposito
pertumbuhan yang melambat. Sampai dengan akhir Mei 2006,
30
posisi kredit perbankan mencapai Rp 747,58 triliun (Tabel 3.3)
20
atau meningkat sebesar 14,9% (y-o-y). Akan tetapi,
10
pertumbuhan tersebut melambat dibanding dengan pertumbuhan yang terjadi pada bulan sebelumnya sebesar
2005
2004
2006
16,9% (y-o-y) maupun dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 26,8% (y-o-y). Perlambatan pertumbuhan terjadi pada
(20)
seluruh jenis kredit dan hampir seluruh sektor ekonomi.
Grafik 3.11 Perkembangan Dana
Dari sisi uang beredar, likuiditas perekonomian mengalami perkembangan yang positif. Pada akhir Mei 2006 secara nominal M2 tumbuh sebesar 18,3%,
Tabel 3.3 Perkembangan Kredit Sektor OUTSTANDING KREDIT - Kredit Modal Kerja - Kredit Investasi - Kredit Konsumsi - Kredit channeling Total
Perkembangan (T Rp)
Pertumbuhan (y-t-d, %)
2004
2005
2006*
2004
289.67 118.72 151.08 35.59 595.06
354.56 134.40 206.69 34.52 730.16
360.34 136.46 208.31 42.47 747.58
25.26 25.68 38.12 (15.43) 24.70
2005 22.40 13.20 36.81 (3.02) 22.70
lebih
tinggi
dibanding pertumbuhan
2006* 1.63 1.53 0.79 23.03 2.38
bulan sebelumnya yang
Pangsa
mencapai 14,7%. Dengan
2004
2005
2006*
48.7% 20.0% 25.4% 6.0% 100.0%
48.6% 18.4% 28.3% 4.7% 100.0%
48.2% 18.3% 27.9% 5.7% 100.0%
* posisi Mei
pertumbuhan tersebut, pada akhir Mei 2006 level M2 tercatat sebesar Rp 1.237,5 triliun, meningkat sebesar Rp 42,4 triliun dari akhir triwulan I-2006. Adapun kenaikan tersebut dipengaruhi oleh
depresiasi nilai tukar (dari Rp 9.075/USD pada Maret 2006 menjadi Rp 9.220/ USD pada Mei 2006). Dari sisi komponen, kenaikan M2 disumbang oleh hampir seluruh komponennya, terutama uang giral dan uang kuasi Rupiah. Sementara itu dari sisi faktor-faktor yang mempengaruhinya, kenaikan M2 terutama disumbang oleh kenaikan posisi kredit kepada bisnis dan rumah tangga dalam denominasi rupiah dan tagihan bersih kepada pemerintah pusat (NCG). Dengan pertumbuhan demikian, secara riil uang beredar telah tumbuh PDB, M2 Riil (%)
positif (Grafik 3.12), meskipun masih jauh lebih rendah dari
Velocity
8
2,60
6
2,50
sebelum krisis. Sementara itu sepanjang tahun 2006 penciptaan
4
2,40
uang cukup stabil walaupun dengan kecenderungan yang
2
2,30
melambat (Grafik 3.13). Kondisi tersebut disumbang oleh
0
2,20
-2
2,10
-4
2,00
-6
1,90
-8
perkembangan M2 yang cenderung tumbuh selaras dengan
base money.
1,80 PDB
-10 1
2 3 2001
4
M2 Riil 1
2 3 2002
4
1
2 3 2003
4
Velocity 1
2 3 2004
4
1
2 3 2005
4
1,70
1 2* 2006
Grafik 3.12 Pertumbuhan Ekonomi dan Likuiditas Perekonomian
Pasar Keuangan Pada kurun waktu Triwulan II-2006 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat level tertinggi baru, sebelum kemudian terkoreksi dan ditutup pada level lebih rendah dari
21
Laporan Kebijakan Moneter - Triwulan II-2006
8,00
M2/M0 (%)
triwulan sebelumnya. Pada awal triwulan II-2006 hingga
M1/M0 (%) 1,90
pertengahan periode laporan, perkembangan indeks saham
1,70
menunjukkan tren yang meningkat. Hal ini juga didukung oleh
1,50
kebijakan penurunan BI Rate sebesar 25 bps pada 9 Mei 2006
1,30
yang sesuai dengan ekspektasi pasar sehingga disambut positif
1,10
oleh investor bursa saham. IHSG yang pada saat itu dalam kondisi
0,90
bullish terus berakselerasi dengan cepat hingga mencatat level
0,70
tertinggi baru pada 11 Mei 2006 di posisi 1.553,062, yang
0,50
merupakan posisi tertinggi indeks dalam sejarah perjalanan pasar
7,00
6,00
5,00 MM2 (M2/M0)
MM1 (M1/M0)
4,00 1
3
5
7 2004
9
11
1
3
5
7 2005
9
11
1
3 2006
Grafik 3.13 Perkembangan Angka Pengganda Uang
saham di Indonesia. Sejak awal April hingga 11 Mei 2006 (sebelum mengalami koreksi), IHSG meningkat sebesar 17,4% atau 230,08 poin dari posisi akhir triwulan I-2006 sebesar 1.322,974. Akan tetapi kondisi yang menggembirakan tersebut
ternyata tidak berlangsung lama karena tepat sehari setelah pencapaian level tertinggi, indeks langsung terkoreksi tajam dan terus tertekan. Indeks kemudian terkoreksi terus-menerus hingga sempat berada di level 1.234,198 lalu rebound dan kemudian secara gradual bergerak tipis di kisaran di level 1.200-1.300. Di akhir triwulan II-2006, IHSG ditutup pada level 1.310,263. Terkoreksinya IHSG dipengaruhi oleh faktor eksternal. Faktor utama yang mempengaruhi kejatuhan IHSG adalah keluarnya data ekonomi AS yang menimbulkan ekspektasi pasar akan berlanjutnya kenaikan suku bunga Fed Fund sehingga pasar saham global terkoreksi. Perkembangan ini memicu kepanikan pelaku pasar dengan melakukan penjualan yang besar untuk segera merealisasikan keuntungan maupun upaya cut loss sehingga pada gilirannya membuat IHSG terjun bebas hingga sempat menyentuh level 1.309,045 atau turun 15,71% dalam waktu sepekan. Technical correction yang terjadi di bursa saham Indonesia juga dialami beberapa bursa regional dan dunia. Di sisi lain, sentimen terkait interest rate
differential yang mempengaruhi perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS semakin menambah tekanan negatif pada perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta. Hal ini menyebabkan penurunan yang terjadi pada IHSG termasuk yang paling besar bila dibandingkan dengan beberapa bursa lainnya. Namun demikian, dari akumulasi net beli asing selama periode laporan, masih terlihat animo pemodal non residen untuk bertransaksi di pasar saham Indonesia. Hal ini tercermin dari posisi net beli asing yang mencapai Rp3,1 triliun (Grafik 3.14). Seperti pada pasar saham, perdagangan SUN di awal triwulan laporan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, namun kemudian diikuti oleh tekanan jual. Sejak awal tahun 2006, perdagangan SUN semakin marak seiring dengan stabilnya suku bunga kebijakan dan ekspektasi diturunkannya suku bunga tersebut dalam waktu dekat (lebih cepat dari perkiraan semula). Peningkatan aktivitas ini terus berlanjut pada triwulan II-2006, tercermin dari menurunnya yield SUN pada saat itu. Akan tetapi pasca pertengahan Mei tekanan jual mulai meningkat seiring dengan gejolak di pasar modal dan pasar valas. Adanya tekanan jual di pasar SUN sempat membuat yield SUN semua tenor yang mulanya berada di bawah level BI Rate
22
Perkembangan dan Kebijakan Moneter Triwulan II-2006
menjadi naik hingga pertengahan Juni. Aksi jual SUN dilakukan oleh investor asing dengan melepas sekitar Rp 8,5 triliun sejak 12 Mei hingga 29 Mei 2006, sehingga menyebabkan total net jual asing selama bulan Mei tercatat Net Foreign (Miliar Rp)
sebesar Rp 0,1 triliun dari posisi net beli rata-rata di atas Rp 3
IHSG
600.00
1600 IHSG
400.00
triliun. Namun demikian, pada akhir triwulan laporan, investor
1500
asing kembali masuk ke pasar SUN meski masih dalam jumlah
200.00
1400
yang relatif kecil sehingga posisi kepemilikan asing kembali stabil
0.00
1300
sekitar Rp 48,3 triliun.
-200.00
1200
Selanjutnya, kepanikan investor di pasar SUN menyebabkan
1100
lelang SUN di bulan Mei dan Juni kurang diminati. Pada awal
Net Beli
Net Jual
-400.00
triwulan laporan, lelang di bulan April 2006 masih menunjukkan -600.00
1000 01Apr
08Apr
15Apr
22Apr
29Apr
06May
13May
20May
27May
03Jun
10Jun
17Jun
24Jun
Sumber : BEJ
perkembangan yang cukup menguntungkan Pemerintah. Namun untuk periode dua bulan berikutnya perkembangan yang sama
Grafik 3.14
tidak terjadi. Pada periode tersebut Pemerintah melakukan
IHSG dan Net Beli Asing pada Triwulan II-2006
masing-masing 1 kali lelang reopening untuk seri FR26 dan FR37 dengan total dana yang diserap sebesar Rp 4 ,4 triliun. Pada lelang bulan Mei, dari target indikatif sebesar Rp 3,0 triliun,
Volume (Triliun Rp)
Frekuensi
100,0
4.000 Volume
Pemerintah hanya memenangkan sebesar Rp 1,3 triliun dan di bulan Juni dari target sebesar Rp 2,0 triliun hanya dimenangkan
Frekuensi
80,0
3.200
60,0
2.400
40,0
1.600
sebesar Rp 3,1 triliun (dari total bidding Rp 3,7 triliun). Relatif sedikitnya jumlah yang diserap ditengarai karena yield yang diminta oleh investor cukup tinggi dibanding pertimbangan
20,0
800
Pemerintah karena adanya faktor nilai tukar dan yield spread. Dari sisi investor, di tengah perkembangan yang terjadi, kelompok non residen tetap menunjukkan minat yang cukup besar
0,0
0 Jan-05
Mar
Mei
Jul
Sep
Nov
Jan-06
Mar
Mei
dibanding kelompok lainnya. Kondisi yang sama juga terjadi pada
Grafik 3.15
lelang debt switching di awal bulan Juni di mana Pemerintah
Aktivitas Perdagangan SUN
menyatakan tidak ada pemenang karena tingginya yield yang diminta para investor.
23