BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Perlindungan hukum menuntut adanya alat bukti yang sah (tertulis) terhadap hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Akta otentik yang dibuat oleh notaris selaku pejabat umum merupakan alat hukti yang sah terkuat dan terpenuh serta mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat.1 Kebutuhan terhadap akta otentik akan semakin meningkat sejalan dengan perkembangan hubungan kontraktual di dalam masyarakat. Akta otentik diperlukan seiring dengan tuntutan akan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum di dalam kehidupan masyarakat. Secara teoritis akta otentik adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya surat itu tujuannya adalah untuk pembuktian di kemudian hari jika terjadi sengketa.Adapun 1
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif hukum dan Etika, Yogyakarta,UII Press Yogyakarta, hlm 19.
2
yang dimaksud dengan akta otentik berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata adalah : “ Akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat”. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat disimpulkan unsur dari akta otentik, yaitu :2 1) Akta tersebut dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum; 2) Akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum dan, 3) Akta tersebut dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya ditempat akta tersebut dibuat. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tersebut tidak dikecualikan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik tersebut diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum.3 Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dinyatakan : “ Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/ atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu juga ditugaskan atau 2
Sudikno Mertokusumo, 1998,Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hlm. 142-143. 3 Gunardi dan Gunawan, 2007,Kitab Undang-Undang Hukum Kenotariatan, Himpunan Peraturan tentang Kenotariatan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. ix.
3
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang”. Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik mempunyai tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan dengan pekerjaan dalam membuat akta, ruang lingkup pertanggung jawaban notaris meliputi kebenaran materiil atas akta yang dibuat, secara perdata maupun pidana, secara yuridis perbuatan melawan hukum memiliki jangkauan yang begitu luas sehingga memungkinkan untuk menjangkau perbuatan apapun asalkan merugikan pihak lain dan kerugian tersebut memiliki hubungan kausalitas dengan jabatan notaris. Tanggung jawab menurut kamus bahasa indonesia adalah keadaan wajib menaggung segala sesuatunya. Tanggung jawab merupakan perwujudan dari kesadaran akan kewajiban seseorang. Mengenai tanggung jawab materiil terhadap akta yang dibuat oleh Notaris, menurut Abdul Gofur Anshori4 bahwa dengan kewenangan Notaris dalam pembuatan akta otentik bukan berarti Notaris dapat secara bebas sesuai dengan kehendaknya membuat akta otentik tanpa adanya para pihak yang meminta untuk dibuatkan akta. Akta Notaris dengan demikian sesungguhnya adalah akta para pihak yang berkepentingan, bukan aktanya Notaris yang bersangkutan. Notaris sebagai seorang pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah memiliki kewajiban yang diatur secara khusus dalam undang-undang tentang
jabatan notaris. Seorang notaris wajib
bertindak jujur, seksama dan tidak memihak. Kejujuran menjadi hal yang 44
Abdul Ghofur Anshori, Op.cit, hlm. 47.
4
penting bagi hubungan notaris dengan klien. Umumnya, masyarakat lebih menyoroti kejujuran dari seorang notaris, apakah notaris melaksanakan tugasnya sesuai kewenangannya, kewajibannya, sesuai dengan apa yang diminta para pihak serta tanggung jawab notaris itu sendiri. Hal ini sebagai upaya pengawasan masyarakat terhadap pejabat yang mempunyai tugas memberikan jasa kepada masyarakat. Ketidakjujuran akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Seorang notaris juga dilarang bertindak ceroboh dalam membuat akta yang dimohonkan para pihak, misalnya dalam penulisan nama seseorang, tanggal, hari akta itu dibuat. Dalam pelaksanaannya, bagaimana ketika seorang notaris tertipu oleh klien yang tidak bertanggungjawab, tidak beriktikad baik dalam memohon pembuatan akta notaris. Suatu perbuatan dapat dikatakan perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, bila seseorang dalam perbuatannya mengabaikan kepentingan orang lain lalu membiarkan kepentingan orang lain terlanggar. Oleh karena itu, dalam pembuatan akta notariil, notaris perlu kehati-hatian dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya mengenai suatu kebenaran materiil terhadap akta yang dimohonkan oleh para pihak untuk partij acte. Setiap permohonan pembuatan akta otentik haruslah didasarkan dengan iktikad baik. Pasal 1338 (3) KUH Perdata menyatakan bahwa “ suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Pengertian iktikad baik disini dapat diartikan sebagai pengertian iktikad baik secara
5
obyektif yang diartikan bahwa di dalam melaksanakan perjanjian harus didasarkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Setiap pihak dalam membuat sebuah perjanjian, diwajibkan untuk tidak menaruh curiga pada pihak lain yang akan diajak untuk mengadakan kerjasama. Biasanya sejak awal membuat perjanjian, para pihak akan menunjukkan sikap atau niat yang baik dengan menyatakan hak dan kewajiban para pihak dengan tujuan pihak lawan percaya bahwa nantinya perjanjian yang mereka buat tidak akan merugikan para pihak. Adanya iktikad baik dalam perjanjian ini sangat penting baik dalam pembuatan maupun pelaksanaan perjanjian. Pada saat pembuatan perjanjian disebut dengan iktikad baik secara subyektif dan didalam pelaksanaan perjanjian disebut dengan iktikad baik secara obyektif. Pada kenyataannya tidak mudah untuk menilai seseorang memiliki iktikad baik, khususnya menyangkut iktikad baik secara subyektif, karena terletak pada sikap batin seseorang, sehingga bersifat abstrak. Iktikad baik subyektif dalam pra kontrak, misalnya ditunjukan seorang pemohon pembuatan akta notariil dengan mempunyai sikap batin yang jujur, memberikan keterangan sebenar-benarnya, terbuka, dan tidak ada yang disembunyikan. Seseorang yang dianggap memiliki iktikad baik apabila dalam melaksanakan perjanjian, orang tersebut tidak merugikan pihak lawan atas perbuatannya. Mengingat Notaris merupakan pekerjaan dengan keahlian khusus yang menuntut pengetahuan dan tanggung jawab moral, maka untuk dapat
6
menjalankan tugasnya dengan baik seseorang Notaris dituntut memiliki sikap dan watak yang terpuji serta menjalankan pekerjaannya dengan berlandaskan perilaku profesi yang meliputi5: mempunyai keahlian yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman yang tinggi; mempunyai integritas moral yang tinggi; harus jujur dan tidak memihak; tidak sematamata berdasarkan pertimbangan uang; tetap memegang teguh etik profesinya. Keterlibatan Notaris dalam suatu perkara pada umumnya disebabkan oleh kelengahan notaris yang biasanya dimanfaatkan oleh para pihak dengan memalsukan bukti-bukti formal, seperti identitas diri dan lain sebagainya. Seperti yang terjadi di Semarang, beberapa notaris sering menjadi korban penipuan para klien. Penipuan itu misalnya ketika klien pria mengajak perempuan yang diakuinya sebagai istri yang hendak melakukan jual beli tanah.6 Pemanfaatan para pihak dengan pemalsuan bukti-bukti formal ini didasarkan pula bahwa sebenarnya para pihak tidak mengetahui konsekuensi hukum dari perbuatan mereka dikemudian hari terhadap permohonan pembuatan akta otentik kepada pejabat yang berwenang. Selain itu, bisa jadi salah satu pihak tidak beriktikad baik terhadap pihak yang lain dalam permohonan pembuatan akta notariil oleh notaris. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini di wilayah kabupaten Sleman Yogyakarta. Seorang ibu rumah tangga kehilangan sertifikat tanah seluas 5
Liliana Tedjosaputro, 1999, Etika Profesi dan Profesi Hukum, CV, Aneka Ilmu, Semarang, hlm. 95. 6 Prianggoro, “ Notaris Semarang Sering Jadi Korban Penipuan” http://jateng.tribunnews.com/2013/05/03/notaris-semarang-sering-ditipu-klien, diakses pada tanggal 11 April 2014 pukul 10.00 WIB
7
600 M² yang awalnya hanya melakukan pinjam meminjam dengan jaminan sertifikat tanah tersebut dengan bunga 2,5 % kepada seseorang dengan pinjaman sejumlah Rp. 10.000.000 (sepuluh juta). Pada hari berikutnya, seorang yang memberi pinjaman mengajak seorang ibu rumah tangga tersebut ke kantor notaris dan menyodorkan beberapa lembar kertas untuk ditandatangani. Atas dasar kepercayaan, seorang ibu rumah tangga tersebut menandatangani beberapa lembar kertas tersebut tanpa membaca isi dari lembar kertas tersebut. Angsuran pengembalian sudah dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga tersebut selama 6 bulan terakhir, namun setelah akan dilakukan pengembalian angsuran selanjutnya, beliau tidak dapat mengembalikan angsurannya karena sukar menemui kreditur tersebut Seorang ibu rumah tangga tersebut kemudian mengkhawatirkan sertifikat yang dibawa oleh kreditur. Setelah menanyakan ke Kantor Pertanahan, ternyata sertifikat sudah beralih nama atas nama kreditur tersebut. Kasus yang hampir sama terjadi pada ibu Jim, karena ketidak tahuannya (awam hukum) dan desakan ekonomi, Ibu Jim telah menjual sertifikat hak miliknya kepada orang lain, atas arahan pihak ketiga. Awalnya hanya melakukan perjanjian pinjam meminjam uang (hutang piutang) namun terjadi perikatan akta jual beli terhadap sebidang tanah seluas 344 M² milik Ibu Jim. Adanya penandatanganan Akta Jual Beli dan Surat kuasa menjual yang dibuat dihadapan Notaris Pengganti berakibat pada Notaris Pengganti ikut terlibat sebagai Turut Tergugat. Hal ini bisa
8
saja terjadi karena ketidak telitian dan kecermatan Notaris dalam mengakomodir keinginan para pihak. Ketidak tahuan notaris diluar akta pihak yang tidak ditanyakan secara detail menyangkut obyek menjadikan keterlibatan Notaris terhadap suatu kasus. Oleh karena itu, diperlukan perlindungan hukum bagi notaris itu sendiri tentang batasan tanggung jawab notaris serta upaya preventif dengan mengetahui tolok ukur seseorang beriktikad baik atau tidak dalam permohonan pembuatan akta otentik. Berdasarkan hal tersebut, untuk mengetahui tolok ukur iktikad baik seseorang dalam permohonan pembuatan akta notariil di wilayah kabupaten Sleman Yogyakarta, maka penulis menyusun penelitian ini yang berjudul “ Asas Iktikad Baik dalam Permohonan Pembuatan Akta Notariil di Wilayah Kabupaten Sleman Yogyakarta”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut diatas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Parameter apa yang digunakan notaris dalam menentukan seorang pemohon pembuatan akta notariil beriktikad baik atau tidak? 2. Bagaimana tanggung jawab notaris akibat pembuatan akta atas permintaan pemohon yang beriktikad tidak baik?
9
C. Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis, berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan pada berbagai referensi dan hasil penelitian kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, belum ada penelitian mengenai “ Iktikad Baik Dalam Pembuatan Akta Notariil di Wilayah Kabupaten Sleman Yogyakarta”. Namun sebelumnya sudah ada penelitian yang memiliki kesamaan mengenai iktikad baik dalam lingkup hukum perdata sebegai berikut: 1. Penerapan Asas Iktikad Baik dalam Pejanjian Kartu Kredit di Kota Yogyakarta, Tesis yang ditulis oleh Fathul Laela pada tahun 2008. Penelitian ini membahas tentang penerapan asas iktikad baik dalam pembuatan perjanjian kartu kredit antara bank Penerbit dengan nasabah di kota yogyakarta, penerapan asas iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian kartu kredit antara bank penerbit dengan nasabah di kota yogyakarta dan penyelesaian yang dilakukan oleh bank penerbit kartu kredit terhadap kartu kredit yang macet. Dalam penelitian tersebut lebih menekankan pada apakah sudah terlaksana penerapan asas iktikad baik dalam pembuatan maupun pelaksanaan perjanjian kartu kredit antara bank penerbit dengan nasabah di kota Yogyakarta, sedangkan dalam penelitian ini lebih menekankan pada parameter menentukan pemohon pembuatan akta notaris beriktikad baik atau tidak. Penelitian ini lebih mengarah pada asas
10
iktikad baik sejak awal pembuatan akta notaris serta tanggung jawab notaris akibat pemohon yang beriktikad tidak baik. 2. Kedudukan Asas Iktikad Baik dalam Pengertian Obyektif (Kepatutan) dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Akta Kuasa Menjual Tanah ( Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Tinggi
Negeri
Sleman
Register
Perkara
Nomor
01/Pdt.G/PN/Slmn). Tesis yang ditulis oleh Rusmiyati pada tahun 2012. Penelitian tersebut lebih menekankan pada perwujudan dan kedudukan asas kepatutan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Akta Kuasa Menjual Tanah, mengenai patut tidaknya dalam pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli tanah dan akta kuasa menjual tanah serta upaya hukum yang dilakukan oleh para pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang melanggar kepatutan. Sedangkan dalam penelitian ini lebih mengarah pada satu pihak yaitu notaris, mengenai perlindungan hukum seorang notaris jika seorang pemohon pembuatan otentik beriktikad tidak baik. Berdasarkan penelusuran lainnya, peneliti menemukan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fathul Laila, di Fakultas Hukum Universitas Muhamadiah Malang yang berjudul “ Tinjauan Asas Iktikad baik (Good Faith) dalam Pembuatan Akta Notariil ( Studi Kasus Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta). Dalam penelitian tersebut, rumusan masalah yang diteliti meliputi:
11
a) Bagaimana implementasi Asas itikad baik Notaris dalam pembuatan Akta Notariil di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta? b) Bagaimana implementasi Asas itikad baik para penghadap dalam pembuatan Akta Notariil di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta? Dalam
penelitian
tersebut
lebih
menjabarkan
mengenai
pelaksanaan penerapan asas iktikad baik baik notaris maupun penghadap dalam pembuatan akta notariil di wilayah kabupaten Sleman Yogyakarta telah diterapkan dengan baik atau belum, sedangkan dalam penelitian ini lebih mengarah pada parameter yang digunakan notaris dalam menentukan seorang pemohon pembuatan akta otentik beriktikad baik atau tidak, jadi meneliti upaya preventif dari notaris untuk menghindari pemohon yang beriktikad tidak baik. Hal ini nantinya lebih menekankan pada perlindungan notaris terhadap pemohon pembuatan akta otentik, serta mengenai tanggung jawab notaris akibat pembuatan akta atas permintaan pemohon yang beriktikad tidak baik. D. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dari penulisan hukum ini meliputi 2 (dua) hal, yaitu: 1. Tujuan Obyektif Tujuan obyektif dari penelitian ini adalah:
12
a) Untuk mengetahui parameter yang digunakan notaris dalam menentukan seorang pemohon pembuatan akta otentik beriktikad baik atau tidak. b) Untuk
mengetahui
tanggung
jawab
notaris
akibat
pembuatan akta atas permintaan pemohon yang beriktikad tidak baik. 2. Tujuan Subyektif : Untuk memperoleh data yang diperlukan sebagai bahan menyusun tesis untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat S2 dalam program studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari adannya penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Secara teoritis, sebagai bahan masukan dan kontribusi pemikiran bidang ilmu hukum untuk lebih memahami norma hukum, asas-asas hukum b) Bagi kalangan praktisi hukum diharapkan hasil penelitian ini memberikan kontribusi dalam tataran praktisi, seperti advokat, konsultan hukum, notaris maupun hakim. Bagi para advokat dan konsultan hukum diharapkan sebagai bahan menyusun pendapat hukum (legal opinion, legal memorandum), dan bagi hakim diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan
13
hukum dalam menjatuhkan putusan yang adil dan patut menurut hukum. c) Bagi masyarakat diharapkan sebagai bahan informasi bahwa dalam pembuatan suatu akta notariil pada akta pihak ada persyaratanpersyaratan tertentu, dan ada akibat hukum tertentu terhadap suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum.