BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar belakang Kebanyakan manusia sekarang dapat berkomunikasi secara jarak jauh dengan menggunakan komputer dan mampu menerima informasi dengan waktu yang sangat singkat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan adanya internet, yang menyebabkan internet menjadi sebuah kebutuhan sehari-hari bagi kebanyakan orang (Bargh & McKenna, 2004). Perkembangan pengguna internet di Indonesia bisa dibilang sangat cepat, Menurut data yang diambil dari internetworldstats.com Jumlah pengguna internet di Indonesia menduduki peringkat ke-4 di Asia pada tahun 2011 dengan jumlah pengguna sekitar 55 juta dengan populasi sekitar 245 juta jiwa. Sedangkan pada tahun 2014 jumlah pengguna sekitar 88,1 juta dengan populasi sekitar 253 juta jiwa (Nistanto, 2015). Dapat dikatakan pertumbuhan pengguna internet Indonesia sangat signifikan, dibandingkan dengan tahun 1998 yang hanya mencapai 500 ribu pengguna, menurut data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dipresentasikan Direktur Eksekutif ICT Watch Donny Budhi Utoyo di Seminar Internet Sehat dan Aman. (Banggawan, 2012). Hasil riset memperlihatkan bahwa pertumbuhan penggunaan Internet di Indonesia terus meningkat. Jika di tahun 2010 lalu rata-rata penetrasi penggunaan Internet di kota urban Indonesia masih 30-35 persen, di tahun 2011 ini ditemukan oleh MarkPlus Insight bahwa angkanya sudah di kisaran 40-45 persen. Angka pertumbuhan pengguna Internet di Indonesia masih didominasi oleh anak muda dari kelompok umur 15-30 tahun. Di masing-masing kota yang disurvei oleh MarkPlus Insight, sekitar 50 persen hingga 80 persen dari pengguna Internet
1
merupakan kaum muda (Wahyudi, 2011). Sedangkan pada tahun 2014 Berdasarkan usia pengguna, mayoritas pengguna internet di Indonesia berusia 18-25 tahun, yaitu sebesar hampir setengah dari total jumlah pengguna internet di Indonesia (49%). Artinya, dapat dikatakan bahwa segmen pengguna internet di Indonesia adalah mereka yang termasuk ke dalam kategori ‘digital natives’, dan dari keseluruhan penduduk Indonesia, 10,1% menggunakan internet untuk bermain game online. (Triastuti, Primaldhi & Rakhmani, 2014). Namun beberapa laporan dari media menekankan potensi aspek negatif dari internet (seperti meningkatkan perasaan kesepian) yang membuat orangorang menjadi khawatir mengenai konsekuensi psikologis, sosial dan emosi dari penggunaan internet (Hafner, 2003). Meskipun beberapa penelitian mendukung tentang potensi negatif dari penggunaan internet (Kraut, Patterson, Lundmark, Kiesler, Mukopadhyay & Scherlis, 1998; Nie, 2001; Caplan, 2007), beberapa penelitian juga menemukan beberapa efek positif (seperti peningkatan dalam jaringan sosial) (Gross, Juvonen & Gable, 2002). Selain itu, berbagai macam penelitian lebih fokus terhadap penggunaan internet secara umum, bukan dalam bentuk yang lebih spesifik dari aplikasi yang disediakan internet (seperti, interaktif, game online dengan dasar komunitas) yang mungkin menunjukkan individu tertentu lebih rentan terhadap konsekuensi negatif dari penggunaan yang berlebihan (Ward & Tracey, 2004). Young (2009) berpendapat bahwa internet sendiri tidak bersifat adiktif namun aplikasi yang ada dalam internet yang justru memiliki potensi untuk menyebabkan adiksi, khususnya pada aplikasi dengan interaksi yang tinggi seperti online chatting, dating, atau game online. Berdasarkan penelitian terdahulu, kecemasan sosial, social support, self esteem, dan kepribadian traits secara signifikan berhubungan dengan aplikasi
2
online yang digunakan oleh partisipan. Sebagian besar penelitian yang meneliti tentang dampak potensial dalam penggunaan internet lebih mengeksplorasi penggunaan internet secara keseluruhan (seperti lama penggunaan internet dalam seminggu, tanpa menjelaskan penggunaan yang seperti apa) (Ward & Tracey, 2004). Salah satu aplikasi internet yang popularitasnya meningkat dalam beberapa tahun belakangan dan mendapatkan perhatian yang lebih adalah permainan online atau permainan komputer bersama orang lain dengan menggunakan internet (Griffiths, Davies, & Chappell, 2004). Awal 2000-an adalah dimulainya internet digunakan sebagai forum game. Munculnya berbagai macam permainan baru yang memungkinkan penggunanya untuk mencari lawan dari individu lain agar dapat bersaing satu sama lain (disebut Stand Alone Games atau SAGs), memungkinkan individu untuk menghubungkan komputer secara bersama untuk bermain bersama-sama sebagai sebuah tim (disebut Local Area Network Games atau LANs), atau memungkinkan individu untuk mengeksplorasi, lebih detail, atau lingkungan yang berkembang melalui suatu game server (disebut Massively Multiplayer Online Role-Playing Games atau MMORPGs). MMORPGs telah mengalami peningkatan popularitas dalam keanggotaan online seperti dalam World of Warcraft dan Everquest yang mengalami peningkatan sebesar 500% dalam kurun waktu 2004 hingga 2007 (Cole & Griffiths, 2007). Peningkatan popularitas ini menarik beberapa peneliti untuk mencari tahu bagaimana game online menjadi sangat populer. Karena anonymus dan interaksi langsung yang ada pada game online dapat membawa hubungan virtual dalam sebuah komunitas online yang terorganisir, dapat memiliki suatu daya tarik yang tinggi bagi indvidu yang mencari stimulasi sosial (Taylor, 2003). Pengguna dapat membangun
3
organisasi virtual mereka sendiri berdasarkan saling percaya, tujuan, ketertarikan, atau berbagai faktor lainnya (Yee, 2007). Semua aktifitas tersebut dapat dilakukan secara anonim, tanpa ketakutan akan dinilai atau diakui oleh yang lain. Fitur yang membedakan individu satu dengan yang lainnya seperti fisik yang menarik, kelas sosial ekonomi, tingkat pendidikan, level sosial, atau faktor personal lainnya menjadi tidak berarti dalam online game. Dalam online game pemain dapat menciptakan karakter mereka sendiri dari awal dan mengkustomisasi karakter tersebut berdasarkan keinginan pemain. Hubungan interpersonal yang rusak dapat dikesampingkan atau dihiraukan dengan log in dengan identitas yang berbeda atau baru (Griffiths, Davies & Chappell, 2004). Sekalipun demikian, banyak juga terjadi hal-hal menyimpang pada pengguna game online. Game online adalah aktifitas yang menyita banyak waktu dan menguras emosi. Untuk dapat menciptakan banyak waktu dalam game online, para pecandu game online menolak untuk tidur, melakukan olahraga, hobi, dan bersosialisasi. Mereka membiarkan kesehatan mereka menurun karena tidak mendapatkan istirahat maupun nutrisi yang mereka butuhkan (Young, 2004). Di Solo, tiga orang anak dibawah umur, B (8), M (9) dan Al (12) terpaksa ditangkap Polisi karena mencuri hand phone (HP) di sebuah counter milik Budiharjo kawasan Karangasem Laweyan Solo. Mereka mencuri HP lantaran tak punya duit untuk main game online yang belakangan ini digandrunginya. (Aditya, 2011). Di Gresik, Jawa Timur, empat anak dan seorang dewasa diringkus polisi karena diduga mencuri tiga unit mesin diesel. Mereka mengaku mencuri mesin diesel karena untuk memenuhi hobinya bermain game online (Ismanto, 2013). Hal serupa juga dilakukan oleh dua orang remaja asal Wates dengan mencuri tabung gas agar dapat bermain game online di warnet. (Susmayanti, 2012).
4
Berdasarkan
penelitian
terdahulu,
game
online
memang
dapat
menyebabkan kecanduan (Young, 2009). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Blinka, Ledabyl & Smahel (2008), pemain game online dibawah 27 tahun memiliki skor yang lebih tinggi untuk kecanduan. Dikatakan juga bahwa gender merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kecanduan (Dauriat, Zermatten, Billieux, Thorens, Bondolfi, Zullino & Khazaal, 2011). Beberapa penelitian melihat konsekuensi negatif dari bermain game online yang berlebihan. Salah satunya, Lo, Wang dan Fang (2005) yang meneliti mengenai kecemasan sosial dan relationship satisfication pada non-, light-,dan heavy-online gamers. Pada 174 pelajar Taiwan, 32 di identifikasi sebagai “heavy” gamers (sekitar 5 jam per hari, 7 hari per minggu) dan 22 diidentifikasi sebagai “light” gamers (sekitar 2.45 jam per hari, 1-3 hari per minggu). Mayoritas dari pemain game adalah laki-laki (80%), meskipun gender ditemukan hanya berpengaruh secara signifikan terhadap apakah seseorang memainkan game online dan bukan berapa banyak dia benar-benar bermain (gamer perempuan menghabiskan kira-kira jumlah waktu yang sama sebagai game gamer laki-laki) (Lo dkk, 2005). Survey study menemukan bahwa heavy gamers dilaporkan secara signifikan memiliki kepuasan hubungan interpersonal yang rendah dibandingkan dengan light gamers dan non gamers. Dan light gamers dilaporkan secara signifikan memiliki kepuasan hubungan interpersonal yang lebih rendah daripada non- gamers. Hal ini dapat dikatakan bahwa peningkatan dalam bermain online game dapat menurunkan kepuasan relasi, penelitian juga menemukan bahwa heavy gamers memiliki kecemasan sosial yang lebih tinggi daripada light gamers atau non gamers secara signifikan (Lo dkk, 2005). Dari ketiga grup tersebut, light
5
gamers dilaporkan memiliki rata-rata rating kecemasan sosial yang terendah, mungkin menyimbolkan bahwa orang-orang tersebut memiliki kenyamanan dalam bersosialisasi dengan menggunakan berbagai media. Lo dkk. (2005) berpendapat bahwa meskipun online game dapat mengurangi perasaan akan kecemasan sosial secara sementara, mereka tidak melakukan apa-apa untuk meningkatkan kecemasan sosial atau hubungan dengan dunia nyata secara keseluruhan. Peneliti mengatakan bahwa banyak pemain yang mungkin masuk kedalam siklus dimana mereka mengalami kecemasan sosial berdasarkan rendahnya atau kurangnya hubungan interpersonal,
dan mengarah kepada peningkatan
penggunaan waktu untuk online yang menyebabkan kemerosotan hubungan interpersonal dalam dunia nyata (Lo dkk. 2005). Beberapa studi mengungkapkan bahwa motivasi bermain game online juga memliki pengaruh terhadap kecanduan game online. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yee (2001), ada dua faktor yang mempengaruhi seseorang untuk bermain game secara obsesif, yaitu attraction (hadiah yang diberikan, hubungan secara virtual, lingkungan virtual yang mendalam) dan motivation (tekanan di dunia nyata atau masalah yang membuat seseorang bermain sebagai pelarian). Yee (2006) juga mengatakan bahwa motivasi untuk bermain game online dapat dibagi menjadi 3 komponen utama yang pertama achievement, dimana seseorang bermain game online agar dapat meningkatkan statusnya; yang kedua social, dimana seseorang bermain game online karena hubungan interpersonal; dan yang ketiga immersion, dimana seseorang bermain game online karena melarikan diri dari dunia nyata. Dari ketiga komponen tersebut terdapat 10 sub-komponen dimana advancement, mechanics dan competition termasuk dalam komponen acheivement. Socializing, relationship dan teamwork termasuk dalam komponen
6
social, dan yang termasuk dalam komponen immersion adalah discovery, roleplaying, customization, dan escapism yang dapat dilihat pada tabel 1 (Yee, 2006). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Dauriat, dkk (2011) mangatakan bahwa ada lima motivasi untuk bermain game online yang teridentifikasi pada gamers yaitu achievement, socializing, immersion, relaxing and escaping. Tabel 1.Sub-komponen hasil faktor analisis yang dikelompokan berdasarkan komponen utama (Yee, 2006). Achievement
Social
Advancement Kemajuan, kekuatan, pengumpulan, status
Socializing chatting, menolong, membuat teman
Mechanics
Relationship
Jumlah, optimisasi, templating, analisis
Personal, self-disclosure, mencari dan memberikan support
Competition Menantang pemain lain, provokasi, dominasi
Teamwork kolaborasi, kelompok, pencapaian kelompok.
Immersion Discovery Eksplorasi, pengetahuan, menemukan hal-hal yang tersembunyi Role-playing Jalan cerita, sejarah karakter, peran, fantasi Customization Penampilan, aksesoris, style, tema warna Escapism Relax,lari dari dunia nyata, menghindari masalah dunia nyata
Faktor escapism dan advancement menurut Yee (2006) adalah prediktor terbaik yang berkorelasi dengan penggunaan bermasalah pada pemain game online (Yee, 2006). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Dauriat, dkk (2011) dimana achievment, escapism dan motif sosial adalah prediktor utama kenapa seseorang kecanduan game online (Dauriat, dkk, 2011). Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Wan dan Chiou (2006) mengatakan bahwa seseorang kecanduan game online bisa disebabkan oleh kebutuhan psikologis
7
dan motivasi yang dikategorikan menjadi tujuh tema, yaitu (1) hiburan dan waktu senggang, (2) emotional coping, (3) melarikan diri dari kenyataan, (4) memuaskan hasrat interpersonal dan kebutuhan sosial, (5) need for achievement¸ (6) kebutuhan untuk kesenangan dan tantangan, dan (7) kebutuhan untuk power. Berbeda dari hasil penelitian sebelumnya hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Wan dan Chiou (2006) ini diperoleh bahwa need of power dan need for achievement bukanlah penyebab utama seseorang menjadi kecanduan game online, melainkan hiburan dan waktu senggang, emotional coping, melarikan diri dari kenyataan, kebutuhan untuk kesenangan dan tantangan, dan aktifitas hubungan interpersonal, yang merupakan faktor utama orang mengalami kecanduan game online. Selain kecemasan sosial dan motivasi. Wood (2008) mengatakan bahwa variabel biologis dan psikososial pada individu merupakan prediktor yang penting untuk CGA (computer game addiction). Pemain game online secara umum di indikasikan lebih open, conscientious dan extraverted dari pada non-players (Teng, 2008; Yee, 2001). Individu yang mengalami kecanduan game komputer memiliki skor yang tinggi pada neuroticism (Huh & Bowman, 2008; Mehroof & Griffiths, 2010; Peters & Malesky, 2008) dan openness (Jeng, 2008) tetapi rendah pada extraversion (Charlton & Danforth, 2010; Huh & Bowman, 2008; Peters & Malesky, 2008; Walther, Morgenstern & Hanewinkel, 2012) dan agreeableness (Charlton & Danforth, 2010; Collins, Freeman, & Chamarro-Premuzic, 2012; Huh & Bowman, 2008; Peters & Malesky, 2008). Collins dkk (2012) menemukan tidak ada relasi antara CGA dan extraversion, neuroticism, conscientiousness, dan openness to experiences. Dari hasil penelitian yang meneliti mengenai aspek
8
kepribadian pada pemain game online tersebut, terlihat adanya inkonsistensi pada hasil penelitian yang satu dengan yang lainnya. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini “apakah motivasi bermain game online, ciri kepribadian dan kecemasan sosial memiliki peranan terhadap kecanduan game online pada pengguna game online?” C. Tujuan dan manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini ingin mengkaji peranan motivasi bermain game online, ciri kepribadian dan kecemasan sosial terhadap kecanduan game online pada pengguna game online Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi kepentingan ilmu pengetahuan psikologi maupun kepentingan praktis. a. Teoritis Penelitian ini secara teoritis dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan mengenai hubungan antara kecemasan sosial, motivasi dan kepribadian terhadap kecanduan game online b. Praktis Selain memberikan informasi kepada masyarakat umum penelitian ini bermanfaat untuk memberikan saran kepada orang-orang terdekat yang bermain game online mengenai faktor-faktor yang dapat menyebabkan kecanduan pada game online.
9