BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Radang atau inflamasi merupakan suatu respon dari tubuh akibat
adanya rangsangan seperti infeksi atau luka pada jaringan yang menyebabkan respon tubuh dan inisiasi untuk proses penyembuhan (Palladino et al., 2009). Adanya peradangan dalam tubuh ditandai dengan munculnya rasa nyeri, kulit kemerahan, panas dan bengkak (Cahyono, 2011). Terdapat dua macam obat yang dapat mengobati inflamasi, yaitu obat antiinflamasi steroid dan obat antiinflamasi non-steroid (NSAID). Pemberian NSAID seperti parasetamol, aspirin, ketoprofen pada inflamasi juga memiliki efek analgesik yang dapat mengurangi nyeri sehingga penggunaannya dapat dilakukan pada inflamasi akut maupun kronik (Furst, Ulrich, and Prakash, 2006). Meski demikian, pemberian NSAID memiliki efek samping yang dapat terjadi pada organ-organ penting seperti jantung, saluran pencernaan, dan ginjal (Fajriani, 2008). Karena banyaknya resiko efek samping yang ditimbulkan, diperlukan adanya obat-obatan lain yang menimbulkan efek samping seminimal mungkin sehingga penggunaan bahan alam untuk mengobati inflamasi sudah mulai diperhatikan. Tumbuhan obat tradisional masih kerap kali digunakan oleh masyarakat dalam bentuk serbuk atau seduhan. Tumbuhan obat tradisional memiliki banyak metabolit sekunder yang dapat dipergunakan oleh manusia seperti flavonoid, minyak atsiri, alkaloid. Satu jenis tumbuhan obat bisa memiliki berbagai khasiat bagi tubuh seperti antioksidan, antialergik, antikarsinogenik, antiplatelet, antiinflamasi, dan lain-lain (Calixto, Otuki, 1
and Santos, 2003). Sayangnya pengembangan obat tradisional ke dalam sediaan obat modern masih terbatas. Beberapa tumbuhan obat memiliki khasiat sebagai antiinflamasi contohnya adalah salam dan sambiloto. Salam (Syzygium polyanthum) umumnya dikenal sebagai bumbu dapur. Salam mengandung minyak atsiri (sitral dan eugenol), tannin, flavonoid, dan metachavicol (Adjirni, 1999). Sambiloto juga dapat dikembangkan sebagai obat antiinflamasi karena mengandung banyak senyawa androgafolid (Niranja, Tewari, and Lehri, 2010; Bao et al., 2009; Hidalgo et al., 2005). Penelitian sebelumnya oleh Hadisoewignyo, Ervina, dan Soegianto (2013), telah diuji secara farmakologi bahwa fraksi air dari salam-sambiloto berfungsi sebagai antiinflamasi dengan perbandingan dosis 10:1. Pada perbandingan 10:1 fraksi air daun salam dan herba sambiloto, dosis 300 mg/kgBB menghasilkan daya antiinflamasi sebesar 51,56%, sementara daya antiinflamasi pada dosis 234 mg yang merupakan dosis optimum fraksi air salam-sambiloto, diperkirakan dapat memberikan daya antiinflamasi sebesar 45,68%. Daya antiinflamasi yang dihasilkan lebih besar dibanding daya antiinflamasi ibuprofen di mana menghasilkan daya antiinflamasi sebesar 40,63%. Melanjutkan dari hasil penelitian tersebut, penulis berkeinginan mengembangkannya dengan menjadikannya sediaan tablet yang lebih praktis digunakan. Namun proses fraksinasi memiliki beberapa kerugian, yaitu biaya lebih banyak karena memerlukan berbagai macam pelarut, waktu yang diperlukan lama, serta hasil yang didapatkan terbatas sehingga sulit untuk diformulasi dalam jumlah banyak. Berdasarkan pertimbangan tersebut, bahan fraksi air selanjutnya akan diganti dengan ekstrak etanol yang juga memiliki aktivitas antioksidan di mana dengan adanya antioksidan dapat mengikat mediator-mediator inflamasi sehingga juga dapat berkhasiat sebagai antiinflamasi (Charles, 2013). Dosis ektrak 2
kering etanol didapatkan dari konversi dosis fraksi air dengan menggunakan perbandingan kadar total flavonoid sebagai acuan yaitu sebesar 5,25. Berdasarkan perbandingan tersebut, dosis fraksi air kemudian dikonversi menjadi dosis ekstrak kering etanol sehingga diperoleh dosis ekstrak kering etanol 1312,5 mg yang dalam pemakaiannya dibagi menjadi 3 tablet untuk sekali minum. Tablet merupakan salah satu sediaan solida yang paling banyak dibuat. Hal ini dikarenakan pemberiannya mudah, dosis lebih tepat dibandingkan sediaan cair, lebih stabil, dan mudah disimpan. Salah satu dasar untuk membuat tablet yang baik adalah formulasi dari tablet itu sendiri karena dapat mempengaruhi bioavailabilitas obat. Bioavailabilitas obat bergantung pada pelepasan obat yang diatur oleh bahan-bahan tambahan pada tablet sehingga salah satu cara untuk meningkatkan pelepasan obat adalah dengan optimasi formulasi sehingga didapatkan pelepasan obat sesuai keinginan (Hadisoewignyo dan Fudholi, 2013). Pengikat merupakan bahan yang ditambahkan dalam tablet untuk meningkatkan kohesifitas dari granul sehingga granul dapat terkompresi dengan baik serta membentuk tablet dengan kekerasan serta ukuran yang diinginkan (Oyi, Olayemi, and Allagah, 2009). Berdasarkan sumbernya, pengikat dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu polimer alami, polimer sintetik, dan gula. Gelatin merupakan salah satu polimer pengikat alami yang banyak digunakan dalam proses formulasi tablet. Gelatin merupakan solution binders karena harus dilarutkan terlebih dahulu dalam pelarut untuk digunakan pada proses granulasi basah, namun gelatin juga digunakan dalam bentuk padat berupa serbuk atau granul pada metode kempa langsung (Nguyen, 2003). Penggunaan polimer alami lebih menguntungkan karena toksiksitas yang rendah, murah, biodegradable, dapat memodifikasi pelepasan obat, dan lain-lain (Ngwuluka et al., 2010). 3
Selain penambahan pengikat, penghancur juga akan mempengaruhi pelepasan obat di dalam tubuh dengan membentuk proses hancurnya tablet menjadi granul yang lebih kecil sehingga mudah larut dan diserap di dalam tubuh. Amilum jagung juga berfungsi sebagai penghancur melalui beberapa mekanisme yaitu mengembang, adanya aksi kapilaritas, dan deformasi (perubahan bentuk) (Hadisoewignyo dan Fudholi, 2013; Swabrick, 2007). Amilum jagung sangat mudah diperoleh serta memiliki harga yang terjangkau. Berdasarkan hal tersebut, maka akan dilakukan penelitian “Optimasi Formula Ekstrak Etanol Salam-Sambiloto Menggunakan Gelatin sebagai Pengikat dan Amilum Jagung sebagai Penghancur”. Optimasi akan dilakukan dengan metode factorial design yang memiliki 2 faktor dengan 2 tingkat. Faktor yang digunakan yaitu konsentrasi gelatin dan konsentrasi amilum jagung yang digunakan pada formula dengan tingkat tinggi tiap faktor adalah 5% dan tingkat rendahnya 3%. Dosis bahan aktif yang digunakan adalah ekstrak kering etanol salam-sambiloto sebesar 450 mg dengan perbandingan 10 : 1 yang didapatkan dari konversi dosis fraksi air dengan menggunakan perbandingan kadar total flavonoid sebesar 5,25.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana pengaruh konsentrasi gelatin sebagai pengikat dan konsentrasi amilum jagung sebagai penghancur serta interaksinya terhadap mutu fisik tablet ekstrak kering etanol salam-sambiloto?
2.
Berapa konsentrasi gelatin sebagai pengikat dan konsentrasi amilum jagung sebagai penghancur pada ekstrak kering etanol salamsambiloto sehingga dapat dihasilkan mutu fisik tablet yang baik? 4
1.3
Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui pengaruh gelatin sebagai pengikat dan amilum jagung sebagai penghancur serta interaksinya terhadap mutu tablet ekstrak kering etanol salam-sambiloto.
2.
Mengetahui konsentrasi gelatin sebagai pengikat dan konsentrasi amilum jagung sebagai penghancur pada ekstrak kering etanol salam-sambiloto sehingga dapat dihasilkan mutu fisik tablet yang baik.
1.4
Hipotesis Penelitian
1.
Gelatin dapat berfungsi sebagai pengikat yang baik pada pembuatan tablet ekstrak salam-sambiloto sementara amilum jagung dapat berfungsi sebagai penghancur yang baik pada pembuatan tablet ekstrak kering etanol salam-sambiloto.
2.
Dapat diketahui formula optimum untuk tablet ekstrak kering salamsambiloto dengan gelatin sebagai pengikat dan amilum jagung sebagai penghancur yang menghasilkan tablet dengan mutu fisik yang diinginkan.
1.5
Manfaat Penelitian
1.
Mengembangkan formulasi pembuatan obat yang berbasis bahan alam baik dari bahan aktif berkhasiat ataupun bahan tambahan yang digunakan.
2.
Dapat mengetahui penggunaan gelatin sebagai pengikat dan amilum jagung sebagai penghancur sehingga dihasilkan tablet yang memenuhi persyaratan.
5