BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pengelolaan tata ruang sebagai sebuah hasil akulturasi antara budaya dan logika tercermin dalam proses penempatan posisi-posisi bangunan. Dasar budaya adalah faktor kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Perbedaan kondisi topologikal daerah menjadi tinjauan yang diperhatikan oleh masyarakat dalam penempatan posisi bangunan. Selain itu fungsionalitas bangunan juga banyak mempengaruhi penempatan posisi bangunan. Keadaan daerah pegunungan akan berbeda dengan keadaan daerah di sekitar pantai. Walaupun tidak banyak perbedaannya, tetapi ditinjau dari segi budaya dan kebiasaan, hal tersebut perlu mendapat perhatian dalam hal penentuan kajian. Untuk daerah pegunungan, karena cuaca yang cukup dingin maka posisi penempatan bangunan tempat memasak dibuat lebih dekat dengan posisi bangunan tempat tidur, bahkan menyatu. Hal tersebut dilakukan agar penghuni rumah tidak perlu harus keluar bangunan jika ingin mempersiapkan masakan, sehingga cuaca yang dingin tidak terlalu menghalangi niat untuk memasak. Faktor budaya tersebut tetap dihargai oleh budaya di tempat lain. Meskipun sebenarnya ada aturan dalam arsitektur tradisional bali yang dipakai untuk menentukan posisi bangunan sejenis dapur tersebut. Untuk aspek logika, penempatan beberapa bangunan memerlukan kajian logika yang memang benar dapat diterima secara logika, tanpa unsur mistis. Seperti misalnya penempatan aling-aling (tembok kecil penghalang). Aling-aling ditempatkan di belakang kori (pintu masuk area rumah) untuk memberikan privasi pada sang pemilik rumah. Tembok kecil tersebut dibangun untuk menghalangi pandangan secara langsung ke dalam rumah dari jalan atau lingkungan luar rumah. Kedua unsur tersebut di atas kiranya belum cukup untuk mewakili dasar kajian pengaturan tata ruang bangunan di Bali. Namun, secara umum ada beberapa
1
sumbu-sumbu yang dipakai oleh undagi (tukang bangunan tradisional Bali). Sumbusumbu itu adalah: •
Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)
•
Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari)
•
Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut) Inti dari semua sumbu yang digunakan ini adalah mulai dari orientasi utama
ke nista, baik orientasi vertikal maupun horisontal. Secara universal, dalam konsepsi orang Bali elemen-elemen alam yang dijadikan kerangka landasan dalam logika klasifikasi simbolik seperti pertentangan antara arah matahari terbit dengan matahari terbenam, pertentangan antara gunung dengan laut, dan unsur-unsur lainnya yang memiliki prinsip pertentangan. Hal ini misalnya: tinggi rendah, api dengan air, warna, dan lain sebagainya. Dengan demikian, dalam banyak aspek kegiatan kebudayaannya, orang Bali bersandarkan kepada konsepsi tersebut termasuk pedoman atau ketentuan dalam arsitektur tradisionalnya yang disebut “Asta Kosala Kosali” dan “Asta Bhumi”. Sebagai implementasi kajian budaya dan logika diperlukan sebuah objek yang dapat merepresentasikan sejarah. Puri menjadi pilihan pertama, sebab dari segi golongan masyarakat penghuninya (golongan ksatria), puri memegang tanggung jawab yang sangat besar dalam upaya untuk melestarikan budaya secara nyata (real). Tindakan nyata tersebut dapat dimulai dari ketaatan dalam melaksanakan ajaran agama, ketaatan penataan puri disesuaikan dengan kearifan budaya lokal. Selain itu, diharapkan juga dapat memberikan pengayoman masyarakat dalam segala hal, misalnya: pengetahuan sejarah, pencarian hari baik (dewasa), dan memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian dalam hal pengkajian sejarah. Selain alasan tersebut, juga karena kompleks bangunan puri merupakan kompleks bangunan peninggalan sejarah, meskipun telah ada perombakan bahkan sampai pengurangan bangunan sesuai dengan perjalanan perkembangan puri dan keluarga Puri itu sendiri. Namun, beberapa aturan yang masih digunakan dapat terlihat pada penempatan posisi beberapa bangunan Puri.
2
Puri merupakan suatu kompleks bangunan-bangunan dalam satu pekarangan yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan pemerintahan dalam suatu wilayah. Dalam hal ini pemegang kekuasaan tersebut adalah Raja. Puri merupakan pusat pemerintahan pada zaman sejarah Bali. Masyarakat puri merupakan golongan keluarga
pemegang
kekuasaan
atas
teritorial
tertentu
sehingga
mendapat
penghormatan yang lebih dari masyarakatnya. Kekuasaan atas puri adalah kekuasaan yang dihitung dari ketersebaran masyarakat yang masih mengabdi pada Puri tersebut, bukan atas luas daerah yang dimiliki Puri. Selain menjadi pusat perilaku pemerintahan, kompleks puri juga digunakan sebagai tempat hunian masyarakat Puri. Jadi, menurut fungsinya Puri memiliki dua peranan. Karena dualisme peran tersebut, maka bangunan yang ada dalam kompleks Puri tersebut juga bukan hanya bangunan untuk hunian, tetapi juga bangunan untuk melakukan
pekerjaan
pemerintahan,
seperti
loji
(kantor).
Namun
seiring
perkembangan dan perubahan sistem pemerintahan di Bali, bangunan puri berubah fungsi menjadi bangunan hunian keluarga Puri dan bangunan fungsional untuk upacara keagamaan. Pertambahan anggota keluarga Puri membutuhkan pertambahan jumlah bangunan untuk hunian. Pertambahan bangunan hunian membutuhkan ruang untuk melakukan pembangunan. Dengan tipikal bangunan puri yang sifatnya terbuka seperti bentuk pendopo, maka diperlukan adanya bangunan yang tertutup tembok agar dapat dipergunakan untuk bangunan hunian. Pertambahan bangunan hunian ini menyebabkan perubahan pola penataan tata ruang di dalam kompleks puri. Meskipun tidak banyak perubahan, namun beberapa bangunan yang awalnya dapat dikatakan taat mengikuti aturan tata ruang arsitektur tradisional Bali, kini menjadi berubah kajian karena ada penyesuaian bangunan awal dengan bangunan baru sesuai dengan fungsinya. Telah banyak yang mendokumentasikan posisi bangunan-bangunan puri, bahkan ada yang mendokumentasikan secara lengkap bangunan yang ada, meskipun bangunan yang dimaksud sudah tidak ada. Hal ini dapat dilakukan setelah mendapat keterangan-keterangan dari penglingsir Puri (orang yang dituakan, berkompeten
3
untuk itu). Kajian tersebut ditambah juga dengan kajian tentang sejarah. Sehingga jika dirangkum, semuanya akan menjadi sebuah kesatuan sejarah yang dapat digunakan sebagai bahan kajian lanjut tentang makna puri dan perilaku arsitektural Puri. Geografi adalah salah satu bidang ilmu yang dapat dibantu dengan teknologi komputer. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan teknologi di bidang gografis yang sangat pesat perkembangannya saat ini. Teknologi SIG mengintegrasikan operasi pengolahan data berbasis database. Salah satu aplikasinya adalah peta yang sifatnya digital. Proses untuk membuat (menggambar) peta dengan SIG jauh lebih fleksibel, bahkan dibanding dengan menggambar peta secara manual, atau dengan pendekatan kartografi yang serba otomatis. Untuk mendukung proses pendokumentasian tersebut, SIG mampu untuk mengitegrasikan data spasial dari posisi masa-masa bangunan puri dengan data atribut atau keterangan dari masa-masa bangunan tersebut.
1.2 Perumusan Masalah Berangkat dari indikasi yang secara dimensional tampak menentukan pola karakteristik kesadaran budaya tentang tata ruang, maka apabila dirumuskan ke dalam kategori yang hakiki dijumpai dua hakekat pokok. Pertama, kesadaran budaya yang menjamin eksistensi dan kesinambungan prinsip-prinsip kemutlakan yang telah tertanam
ke
dalam
tradisi
yang
baku.
Kedua,
kesadaran
budaya
yang
memperhitungkan perkembangan dan melakukan adaptasi terhadap perkembangan di sekitarnya. Terlepas dari idealisme untuk me-mutlak-kan pengaturan tata ruang Puri, ketiga sample Puri yang diambil tetap menselaraskan tata ruang dengan perkembangan yang terjadi di wilayah tersebut. Dengan kata lain, perubahan posisi bangunan yang sampai saat ini terjadi merupakan kesadaran budaya yang bersifat reaktif terhadap perkembangan lingkungan sekitar. Perubahan terjadi dalam bentuk perwujudan bangunan fisik yang disesuaikan dengan fungsinya.
4
Berdasarkan landasan berfikir tersebut, maka akan dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana untuk mendapatkan pemetaan posisi bangunan Puri di dalam satu area (pelebahan). Posisi bangunan, yang walaupun terpisah tetapi secara dimensional memiliki kaitan erat dengan bangunan lainnya. Selain itu juga adalah sangat penting untuk tidak hanya mendapatkan gambar posisi bangunan tetapi juga beberapa keterangan bangunan yang ada hubungannya dengan proses pengkajian lebih lanjut. Data itu antara lain: nama bangunan, luas bangunan, kategori bangunan, dan kajian kesesuaian dengan aturan arsitektur tradisional Bali.
2.
Bagaimana pengaturan posisi area (pelebahan) di dalam kompleks Puri tersebut. Atas dasar kesesuaian dengan konsep “Sanga Mandala” diharapkan dapat diketahui area yang masih dipertahankan dalam Puri tersebut. Beberapa keterangan tentang area tersebut adalah luas area dan nama area (pelebahan).
3.
Bagaimana untuk mendapatkan bahan kajian tentang orientasi pengaturan tata ruang untuk mendapatkan ruang terbuka (open court) di antara bangunan-bangunan yang ada, dengan memperhatikan arah hadap bangunan.
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian dan pembuatan Pemetaan Posisi Bangunan Puri Di Bali Berdasarkan Asta Kosala Kosali Berbasis Sistem Informasi Geografis adalah sebagai berikut : a. Memetakan kondisi bangunan Puri dalam sebuah peta digital, yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk melakukan kajian lanjut tentang kesesuaian posisi bangunan ditinjau dari aturan Arsitektur Tradisional Bali.
5
b. Menginventarisasi keadaan bangunan Puri pada tahun 2006, yang dapat digunakan sebagai bahan pelengkap mengenai perubahanperubahan yang terjadi pada bangunan Puri dari waktu ke waktu. c. Mengaplikasikan teknologi pada perilaku tradisi sejarah. Sehingga memperbaharui cara penampilan sebuah obyek yang bernilai arsitektural.
1.4 Batasan Masalah Berdasarkan permasalahan yang ada, pemetaan posisi bangunan Puri di Bali memiliki batasan masalah sebagai berikut a. Obyek penelitian adalah tiga lokasi Puri yang berada pada tiga kabupaten berdeda di Bali. Puri yang diteliti adalah: Puri Agung Payangan di Kabupaten Gianyar, Puri Agung Klungkung di Kabupaten Klungkung, dan Puri Gede Karangasem di Kabupaten Karangasem. Keadaan Puri yang diteliti adalah keadaan bangunan Puri pada bulan Juli – Desember 2006. b. Menggambarkan posisi area (pelebahan) dengan masa-masa bangunan di dalam area tersebut. Ditambah dengan penunjukkan arah hadap bangunan, dan sebagai bahan analisa menggunakan buffer untuk menunjukkan batas daerah minimal di sekitar bangunan yang ada yang boleh ditambahi dengan bangunan baru. c. Satuan koordinat yang dipakai pada waktu pengukuran adalah decimal degree, yang kemudian dikonversikan ke dalam sistem UTM (Universal Transverse Mercator), untuk mendapatkan posisi dan orientasi Puri di dalam koordinat Cartesian. d. Menyajikan informasi atribut berupa keterangan nama bangunan, luas bangunan, keterangan nama area (pelebahan), luas area. Arah hadap bangunan dan informasi perbandingan kesesuaian Puri untuk memenuhi konsep “Sanga Mandala” sebagai area (pelebahan) Puri.
6
1.5 Sistematika Penulisan a. Bab 1. Pendahuluan Berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan. b. Bab 2. Tinjauan Pustaka Berisi tentang teori pendukung yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini dan metodelogi penelitian yang telah dilakukan. c. Bab 3. Pengembangan Sistem Berisi tentang perancangan sistem yang akan dibuat seperti struktur data, aliran dan penyimpanan data, serta rancangan interface. d. Bab 4. Hasil dan Pembahasan Berisi tentang implementasi sistem serta pembahasan sistem yang dibuat, lengkap dengan hasil capture dan penjelasannya. e. Bab 5. Kesimpulan dan Saran Berisi tentang kesimpulan dari sistem yang dibuat serta saran-saran untuk pengembangan sistem lebih lanjut.
7