BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Ketahanan pangan menjadi salah satu isu permasalahan penting pada skala
global, apalagi jika dihubungkan dengan isu perubahan iklim yang secara langsung mengancam pola pemenuhan kebutuhan pangan di beberapa negara. Dalam (Carletto, Zezza, & Banerjee, 2012), FAO mengumumkan secara resmi, bahwa pencapaian progres pertama dalam Millennium Development Goals (MDGs) di Tahun 2015 terancam gagal, karena kondisi kekurangan pangan global masih ada. Pencapaian ketahanan pangan juga menjadi fokus dari program pembangunan nasional. Hal ini bisa dilihat dari diterbitkannya Undang-undang No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, selain itu untuk menjaga produksi pangan tetap terjaga demi ketersediaan pangan terpenuhi, melalui Undang-undang No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, pemerintah berupaya melindungi lahan pertanian produktif dari ancaman konversi lahan untuk pemanfaatan non pertanian. Fokus ketahanan pangan di Indonesia seyogyanya tidak lagi hanya pada akses penyediaan pangan melalui usaha swasembada pangan, tetapi pada upaya mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga untuk mengurangi masyarakat rawan pangan (Hanani, 2012). Menurut (Hanani, 2012) bahwa suatu negara yang mampu mencapai ketahanan pangan pada skala nasional, tidak mengharuskan negara tersebut mencapai swasembada pangan karena hal ini memang dipengaruhi oleh sumberdaya yang dimiliki. Sejalan dengan hal itu, pada skala wilayah yang mampu meraih predikat tahan terhadap pangan pun tidak mewajibkan wilayah itu juga swasembada pangan. Meskipun sumberdaya yang dimiliki terbatas, wilayah tetap bisa memasok kebutuhan bahan pangan dari wilayah sekitarnya. Di lain sisi, Stevans et al (2000, dalam Hanani, 2012) menerangkan jika ada wilayah yang mampu swasembada terhadap produksi bahan pangan, namun tetap ada masyarakat di bagian wilayah tersebut mengalami kondisi rawan terhadap pangan
1
karena terdapat hambatan akses dan distribusi pangan. Sepaham dengan itu, Darwanto (2011) menyebutkan bahwa lemahnya produksi, konsumsi dan distribusi (sistem pangan) sangat rentan dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, politik dan alam daerah setempat. Kabupaten Sleman sebagai salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kondisi alam yang cocok untuk pertanian dalam mewujudkan ketahanan pangan seharusnya tidak banyak menemukan kendala. Perda DIY Nomor 10 Tahun 2011 juga menyebutkan bahwa Kabupaten Sleman harus memiliki Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sekurang-kurangnya 12.377,59 Hektar. Sebagai langkah implementasi peraturan tersebut, maka penentuan lokasi lahan pertanian pangan berkelanjutan di Sleman tersebar di Kecamatan Godean, Seyegan, Moyudan, dan Kecamatan Minggir. Adanya lokasi dengan penetapan sebagai lumbung padi kabupaten, BPS (2013b) mencatat jika produksi padi sawah dan padi ladang di Kabupaten Sleman sebanyak 312.815 Ton (gabah kering). Angka tersebut termasuk meningkat dari tahun sebelumnya dengan produksi 232.715 Ton (gabah kering). Menurut informasi dari website pemerintah daerah, Kabupaten Sleman (http://www.slemankab.go.id yang diakses diakses pada 18 April 2013) telah mendapatkan penghargaan ketahanan pangan tingkat nasional dari tahun 2008 sampai tahun 2010 secara berturut-turut. Kabupaten secara wilayah memiliki capaian ketahanan yang baik, namun ditemukan beberapa kondisi kontradiktif yang berpotensi mengancam ketahanan pangan daerah tersebut, seperti jumlah rumah tangga tani yang menurun, perkembangan Kota Yogyakarta yang mengarah ke Utara yaitu Kabupaten Sleman, serta kondisi alam Kabupaten Sleman yang fisiografisnya beragam. Hasil catatan BPS (2013a) jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Sleman sebanyak 110.402 rumah tangga. Angka ini menurun jauh dibandingkan pada Tahun 2003 (144.698 rumah tangga), yaitu mengalami penurunan 23,70 persen. Selama kurun waktu 10 tahun di DIY, Kabupaten Sleman menempati peringkat kedua dalam hal penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian setelah Kota Yogyakarta yang angkanya 64,02 persen. Penurunan
2
rumah tangga yang bergerak di sektor pertanian ini bisa berakibat pada produksi dan keterbatasan akses bahan pangan masyarakat. Kota Yogyakarta yang terus mengalami perkembangan juga memiliki dampak negatif terhadap kondisi pangan Kabupaten Sleman. Menurut Harini (2012b) bahwa perkembangan Kota Yogyakarta mengarah ke Kabupaten Sleman dengan penurunan lahan pertanian dari Tahun 1987-2007 paling tinggi (-0,68 persen) diantara kabupaten lainnya di D.I Yogyakarta. Lahan pertanian per kapita di Kabupaten Sleman juga mengalami penurunan dari 3,62 persen di Tahun 1987 menjadi 2,24 persen di Tahun 2007. Menurutnya, hal ini disebabkan karena konversi lahan yang tinggi dari lahan pertanian ke lahan non pertanian, serta jumlah penduduk yang terus meningkat. Alasan ini juga diindahkan oleh Suhardjo (1996) yang menyebutkan jka kecilnya lahan per kapita dikarenakan pertambahan penduduk yang sangat cepat. Perkembangan kawasan perkotaan yang terjadi cenderung mengarah ke Utara dan Timur yang secara langsung dapat berdampak pada kemampuan produksi pertanian dan lebih membahayakan dapat mengancam ketahanan pangan di Kabupaten Sleman. Kabupaten Sleman juga tidak seutuhnya memiliki wilayah yang produktif terhadap pertanian pangan yang baik. Hal ini dikarenakan kondisi topografi wilayah Sleman yang beragam, seperti di sebelah Utara, yaitu Kecamatan Cangkringan, Pakem dan Kecamatan Turi yang merupakan lereng terjal. Bagian Tengah dan Selatan seperti Kecamatan Ngaglik, Ngemplak, Kalasan, dan Kecamatan Mlati berupa dataran yang terhampar lahan pertanian dan kawasan perkotaan, selain itu ada di bagian Barat yaitu Kecamatan Godean, Seyegan, Meinggir, dan Kecamatan Moyudan yang menjadi lumbung padi kabupaten dengan ditetapkan sebagian area untuk lahan pertanian pangan berkelanjutan. Selanjutnya, bagian Tenggara terdapat pegunungan di Kecamatan Prambanan. Kondisi fisiografis yang berbeda ini akan menentukan kemampuan lahan dalam memproduksi tanaman pangan (Kusumawati, 2009). Hal senada diungkapkan oleh Banowati dan Sriyanto (2013), bahwa kesuburan lahan dari topografi yang berbeda menentukan produktivitas tanaman, lahan yang subur berpotensi
3
menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dari pada lahan yang tingkat kesuburannya rendah. Wilayah Kabupaten Sleman khususnya yang berada di perdesaan, sektor pertanian masih menjadi sumber penghidupan bagi sebagian besar rumah tangga baik secara sosial, budaya serta ekonomi. Sayogya (1982, dalam Banowati dan Sriyanto, 2013) berpendapat bahwa pendapatan lebih dari 70 persen rumah tangga di perdesaan bersumber dari kegiatan pertanian. Kondisi ini bisa saja mulai tergeser oleh adanya kegiatan sektor lain seperti perdagangan, perhotelan dan perumahan, dan jasa. Menurut catatan BPS (2013a). disebutkan bahwa Kabupaten Sleman terus mengalami perkembangan pesat pada sektor Perhotelan, dan Perumahan serta Sektor Jasa-jasa yaitu kontribusi terhadap PDRB menempati peringkat pertama dan kedua. Fenomena ini secara tidak langsung akan mengancam regenerasi petani. Catatan BPS (2013b) bahwa proporsi penduduk yang memiliki lapangan usaha di sektor pertanian di Kabupaten Sleman sebesar 18,58 persen, secara keseluruhan jumlah profesi petani sudah tidak lagi pada posisi pertama sebagai matapencaharian masyarakat di Sleman. Produktivitas padi yang berpengaruh pada ketersediaan pangan rumah tangga petani sangat bergantung pada kondisi fisiografis. Selain itu akses terhadap pangan bagi rumah tangga pertanian bergantung juga pada kemampuan finansial rumah tangga, maka kondisi fisiografis, terkonversi lahan pertanian, serta termarginalkannya sektor pertanian di wilayah Sleman bisa menjadi gambaran awal yang perlu dikaji tentang bagaimana kondisi ketahanan pangan rumah tangga pertanian serta strategi mereka dalam pemenuhan pangan rumah tangganya. 1.2
Perumusan Masalah Kabupaten Sleman memiliki kondisi pertanian yang subur, dan secara
wilayah juga mampu menyediakan bahan pangan pokok. Sebaliknya, jumlah rumah tangga berprofesi petani berkurang selama 2003-3013, konversi lahan pertanian di Sleman akibat dari perkembangan Kota Yogyakarta, dan kondisi fisiografis pada wilayah ini akan berpengaruh pada kemampuan wilayah dalam memenuhi kebutuhan pangan. Kabupaten Sleman yang berupa hamparan di
4
bagian Tengah dan Barat, wilayah lereng yaitu lereng Merapi di bagian utara, dan lereng Prambanan di bagian Tenggara tentunya akan memiliki kondisi pertanian yang beragam, serta berpengaruh pada ketersediaan bahan pangan rumah tangga bermatapencaharian bidang pertanian. Berdasarkan perbedaan fisiografis desa-desa pada Kabupaten Sleman, peneliti berasumsi bahwa produksi pertanian bagi setiap petani di masing-masing wilayah tersebut berbeda. Suhardjo (1996) menyatakan bahwa produksi pertanian yang rendah di negara berkembang dapat menjadi salah satu penyebab sulitnya perbaikan gizi masyarakat. Hal tersebut menjadi bukti bahwa permasalahan pangan bukanlah hal yang sederhana, masalah yang multikompleks ini menyangkut beberapa faktor, seperti produksi pangan, distribusi, dan pemanfaatan pangan bagi pelaku rumah tangga khususnya yang bergerak di usaha pertanian. Kondisi ini berdampak pada kemampuan petani dalam pencapaian kondisi ketahanan pangan. Dalam upaya untuk mencapai ketahanan pangan, masingmasing petani juga akan muncul strategi yang berbeda-beda. Hal ini akan menentukan strategi petani dalam mengakses pangan yang berbeda karena masing-masing wilayah memiliki kondisi perekonomian dan jarak dengan pusat kegiatan (perkotaan)yang bervariasi. Gambaran permasalahan yang telah diuraikan memunculkan pertanyaanpertanyaan yang perlu adanya jawaban setelah dilakukannya penelitian ini. Adapun pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kondisi ketahanan pangan pada rumah tangga tani di Kabupaten Sleman? 2. Seperti apakah strategi yang dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan pangan pada rumah tangga tani Kabupaten Sleman?
5
1.3
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan 1. Mengukur ketahanan pangan pada rumah tangga tani di Kabupaten Sleman. 2. Mendeskripsikan strategi rumah tangga tani di Kabupaten Sleman dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Kegunaan Penelitian 1. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan mengetahui kemampuan pangan rumah tangga tani di Kabupeten Sleman. 2. Strategi pemenuhan pangan dari rumah tangga yang berada di Kabupaten Sleman di seluruh wilayah nantinya bisa ketahui, sehingga strategi yang dilakukan dengan melihat kondisi fisiografis maupun sosial dan ekonomi yang bervariasi. 3. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan pembuatan kebijakan dan penguatan koordinasi dalam mengatasi kebutuhan pangan skala wilayah sekaligus rumah tangga di Kabupaten Sleman.
6