BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Endometriosis adalah suatu kelainan ginekologi jinak yang didefinisikan sebagai adanya jaringan endometrium yang terletak di tempat selain dalam kavum uteri. Endometriosis biasanya ditemukan dalam rongga pelvis, sering terdapat pada ovarium, dinding uterus, ligamen sakrouterina, dan kavum Douglas (kavum rekto-uterina). Endometriosis mengandung kelenjar dan stroma yang secara fungsional serupa dengan endometrium
normal dalam kavum uteri atau
endometrium eutopik yaitu dapat merespons stimulus hormon lokal, eksogen, serta endogen 1. Sejak lama
berbagai etiologi dan patofisiologi endometriosis banyak
dikemukakan, seperti regurgitasi darah haid, abnormalitas duktus Müller yang menetap, teori metaplasia coelomic dan teori implantasi sel punca, namun semuanya masih diperdebatkan
2–4
. Endometriosis mempunyai manifestasi klinis
yang bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali sampai dengan nyeri hebat sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari 5. Angka kejadian endometriosis diperkirakan sekitar 10-20 % pada wanita usia reproduksi
6
. Pada wanita
dismenorea prevalensinya sekitar 40-60%, sedangkan pada wanita tanpa gejala sama sekali prevalensinya bervariasi mulai dari 2% sampai 50%
7,8
. Di RSUPN.
Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) angka prevalensi endometriosis pasien subfertil pada tahun 2009 sebanyak 63% 9, kemudian pada penelitian petanda tumor ovarium di RSCM selama periode 6 bulan tahun 2010 ditemukan angka kejadian endometriosis diantara semua tumor jinak ovarium cukup banyak yaitu 42,62 %
10
. Salah satu masalah klinis endometriosis adalah tingginya angka
kekambuhan dan tidak dapat dicegah, sehingga kerap membutuhkan pembedahan ulang pada tahun ke-2, ke-5 dan ke-7 sesudah pembedahan konservatif pertama sebanyak 21,6%, 46,7% dan 55,4% 11. Endometriosis dapat menyebar ke organ sekitar seperti rektum, vagina dan serviks maupun ke organ jauh seperti ke dinding abdomen, traktus urinarius dan rongga dada4,12, kemampuan penyebaran yang juga disertai kemampuan untuk menempel, menghancurkan dan invasi pada jaringan lain serupa dengan 1 Universitas Indonesia
karakteristik kanker12,13, selanjutnya kelainan ini dapat berubah menjadi kanker1,14,15. Penderita endometriosis mempunyai resiko keseluruhan (overall risk) menderita kanker ovarium 4,2 kali dibandingkan bukan penderita endometriosis16. Pada penderita kanker ovarium yang berhubungan dengan endometriosis atau endometriosis associated ovarian cancer (EAOC) sering didapatkan endometriosis atipik. Perubahan ini sedikit sekali ditemukan pada endometriosis tanpa karsinoma. Endometriosis atipik dianggap sebagai bentuk transformasi maligna endometriosis ovarium menjadi EAOC oleh karena sering ditemukan bersama dengan kanker ovarium13,17. Kanker ovarium epitelial yang berhubungan dengan endometriosis atau EAOC, terutama terdiri dari subtipe histopatologi ovarian clear cell carcinoma (CCC) dan endometrioid ovarian carcinoma (EnOC)18,19, dengan persentase masing-masing 3-10% dan 10-20%20. Miyamoto melaporkan di National Cancer Hospital Tokyo Jepang persentase CCC mencapai 22% dari semua kanker ovarium epitelial21. Di RSCM sendiri dari 50 tumor ovarium ganas terdapat sekitar 14 kasus EnOC dan 7 kasus CCC 10. Telah dilaporkan bahwa jalur karsinogenesis dalam transformasi maligna endometriosis dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan antara lain genetik, hormonal, imunologi, inflamasi dan stres oksidatif 22. Kekhasan pada endometriosis yaitu terbentuknya zat oksidan atau reactive oxygen species (ROS) akibat terlepasnya zat besi dan heme sel darah merah lisis karena perdarahan siklik yang sejalan dengan siklus menstruasi 3. Zat besi dan heme yang dilepaskan sel darah merah merupakan penyebab utama stres oksidatif pada endometriosis yang merupakan pro-oksidan kuat
23,24
.
Zat besi
menimbulkan stres oksidatif melalui reaksi Fenton yang menghasilkan ROS, selanjutnya ROS berperan kembali dalam reaksi Fenton tersebut untuk mereduksi besi, ferri (Fe3+) menjadi ferro (Fe2+), sehingga membentuk lebih banyak hidroksi radikal (oksidan kuat). Dalam menghadapi oksidan atau radikal bebas, sel berespons melalui pertahanan antioksidan yaitu molekul yang menstabilisasi atau deaktivasi radikal bebas sebelum radikal bebas merusak sel. Antioksidan endogen penting salah satunya adalah manganese superoxide dismutase (MnSOD), karena berada di dalam mitokondria yang merupakan sumber ROS terbanyak dalam sel. Superoksida yang merupakan salah satu ROS 2 Universitas Indonesia
kuat terbentuk dari enzim rantai pernafasan dalam mitokondria 25, akan direduksi menjadi H2O2. Selain sebagai suatu antioksidan penting, dalam sel kanker diduga MnSOD berfungsi sebagai tumor supresor 26. Secara
fisiologis
antioksidan
akan
mengimbangi
ROS
dengan
mengkonversinya menjadi tidak aktif, tetapi bila ROS bertambah terus, lama kelamaan tidak terimbangi lagi oleh ketersediaan antioksidan. ROS yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan antioksidan menimbulkan stres oksidatif yang selanjutnya dapat menimbulkan kerusakan komponen sel antara lain protein, lipid dan asam deoksiribonukleat (DNA). Kerusakan oksidatif pada lipid dapat dibuktikan dengan terbentuknya malondialdehyde (MDA), yang merupakan salah 27
satu produk peroksidasi lipid
, pada protein dibuktikan dengan terbentuknya
protein karbonil 28 dan pada DNA terbentuk 8-oxoG. Kerusakan DNA akibat stres oksidatif yang berhubungan dengan karsinogenesis adalah timbulnya ketidakstabilan genomik yang antara lain dapat berupa loss of heterozigosity (LOH), haploinsufficiency, quasi-insufficiency, obligate haploinsufficiency menimbulkan
aktivasi
29
.
yang dapat menginaktivasi gen supresor dan
onkogen
sehingga
terjadi
transformasi
menjadi
kanker14,18,22,30–33. Contoh supresor tumor yang mengalami inaktivasi antara lain tumor protein p53 (TP53), PTEN dan ARID1A18,34. Kelainan genetik berupa mutasi gen supresor tumor yang sering didapatkan pada EAOC antara lain mutasi gen phosphatase and tensin homolog (PTEN) dan AT-rich interactive domain 1A (ARID1A), sedangkan mutasi p53 tidak ditemukan pada EAOC melainkan pada kanker ovarium yang tidak berhubungan dengan endometriosis atau non-endometriosis associated ovarian cancer (non-EAOC).
Mutasi gen ARID1A paling tinggi frekuensinya pada
EAOC yaitu 46-57% pada CCC dan 30% pada EnOC. Mutasi gen ini ternyata juga didapatkan pada endometriosis atipik yang ditemukan bersamaan dengan EnOC dan CCC masing-masing sebanyak 20% dan 8,3%
35
. Mutasi yang
mengakibatkan inaktivasi gen supresor tumor ARID1A diduga sebagai awal transformasi maligna endometriosis
36
. Diketahui mutasi yang banyak terjadi
adalah somatic truncating mutation atau missense mutation ini mengakibatkan hilangnya fungsi supresi tumor yang diperankannya37,38. 3 Universitas Indonesia
ARID1A dalam fungsinya sebagai supresor tumor, bekerja sinergis dengan p53.
ARID1A
berikatan
dalam
suatu
kompleks
bersama
p53
dalam
mengendalikan pembelahan sel. ARID1A dan p53 masing-masing tak dapat berfungsi
sendirian
dalam
menghentikan
siklus
sel.
Keduanya
saling
membutuhkan dalam menghentikan siklus sel yang merupakan tahap awal dalam mengendalikan proliferasi. Ikatan ARID1A dengan p53, memungkinkan p53 tersebut untuk bekerja dalam fungsinya sebagai check point. Fungsi p53 sebagai check point dapat diaktifkan salah satunya oleh stres oksidatif. Stres oksidatif yang dapat menyebabkan ketidakstabilan genomik belum diketahui jelas hubungannya dengan inaktivasi ARID1A dalam proses transformasi maligna. Penelitian ini mengkaji peran salah satu faktor yaitu peran stres oksidatif terhadap perubahan ekspresi gen supresor tumor ARID1A yang mungkin terjadi pada transformasi maligna endometriosis.
Untuk tujuan tersebut penelitian
dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama dengan judul: Ekspresi ARID1A dan Stres Oksidatif pada Endometriosis dan Kanker Ovarium, tahap kedua dengan judul: Ekspresi gen supresor tumor ARID1A pada Sel Kultur Endometrium Eutopik dan Endometriosis yang diberi perlakuan H2O2
1.2. Rumusan Masalah Endometriosis dapat mengalami transformasi menjadi
kanker dengan
mekanisme yang belum jelas. Transformasi maligna endometriosis dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain genetik, imunologi, inflamasi dan stres oksidatif. Stres oksidatif
sebagai salah satu faktor yang dianggap berperan dalam
transformasi, merupakan keadaan yang makin berat dengan lepasnya heme dan besi secara terus menerus pada lesi endometriosis diduga berperan
dalam
transformasi menjadi kanker, yang melibatkan inaktivasi gen supresor tumor ARID1A.
1.3. Pertanyaan Penelitian Apakah stres oksidatif berperan terhadap ekspresi gen ARID1A dalam transformasi maligna endometriosis menjadi kanker ovarium?
4 Universitas Indonesia
1.4. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mendapat hasil analisis peran stres oksidatif terhadap gen supresor tumor ARID1A pada sel endometriosis.
1.4.1. Tujuan penelitian tahap pertama Judul: Ekspresi ARID1A dan Stres Oksidatif pada Endometriosis dan Kanker Ovarium 1. Mendapatkan gambaran ekspresi gen supresor tumor ARID1A pada endometriosis dan kanker ovarium 2. Mendapatkan gambaran MDA dan aktivitas MnSOD sebagai gambaran stres oksidatif pada jaringan endometriosis dan kanker ovarium 1.4.2. Tujuan penelitian tahap kedua Judul: Ekspresi ARID1A pada Sel Kultur Endometrium Eutopik dan Endometriosis yang diberi perlakuan H2O2 1. Mendapatkan hasil analisa efek induksi H2O2 terhadap ketahanan hidup kultur sel endometrium eutopik dan endometriosis. 2.
Mendapatkan hasil analisa efek induksi H2O2 terhadap ekspresi gen supresor tumor ARID1A
pada
sel endometrium eutopik dan
endometriosis
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat penelitian dalam ilmu pengetahuan 1. Mendapatkan gambaran pengaruh stres oksidatif terhadap profil ekspresi gen supresor tumor ARID1A pada endometriosis dan kanker ovarium yang merupakan dasar bagi penelitian selanjutnya 2. Turut serta memberikan kontribusi data dalam usaha menjelaskan mekanisme transformasi keganasan endometriosis. 3. Turut serta memberikan kontribusi data dalam usaha pengembangan manajemen kasus endometriosis yang lebih baik dikemudian hari
5 Universitas Indonesia
1.5.2. Manfaat aplikatif penelitian Ikut berkontribusi memberikan dasar biologi untuk penelitian ilmu dasar dalam rangka pengembangan manajemen terapi pada endometriosis maupun EAOC yang lebih baik di masa yang akan datang.
6 Universitas Indonesia
BAB 2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Endometriosis Endometriosis adalah suatu kelainan ginekologi yang didefinisikan sebagai adanya jaringan serupa endometrium yang terletak di tempat selain dalam kavum uteri, terutama pada peritoneum pelvis, ovarium dan septum rektovaginal. Penyakit ini diderita pada kurang lebih pada 5-10% wanita usia reproduksi, dengan gejala klinis yang sangat bervariasi antara lain: dismenorea, dispareunia, nyeri pelvis kronik dan perdarahan uterus iregular atau dapat juga tanpa gejala sama sekali39. Pola reproduksi dan menstruasi wanita saat ini sudah berbeda dengan wanita zaman dahulu. Bertambah mudanya usia menarche, relatif lebih sedikitnya jumlah kehamilan, durasi menyusui ASI, dan penundaan kehamilan pertama, semuanya mengacu pada peningkatan jumlah total ovulasi dan menstruasi yang dimiliki seseorang sepanjang usia reproduktifnya, yang semuanya memperbesar kemungkinan untuk mendapatkan penyakit yang diakibatkan langsung dari menstruasi, seperti endometriosis 2. Sebagai suatu lesi yang dianggap jinak endometriosis mempunyai beberapa sifat serupa dengan kanker invasif,
yaitu kemampuannya dalam
menyebar, menempel, invasi dan merusak jaringan yang letaknya jauh, seperti dinding depan perut, kulit dan paru-paru. Endometriosis dapat mengalami transformasi menjadi ganas dengan mekanisme yang belum diketahui 22.
2.1.1. Patogenesis Terdapat beberapa teori patogenesis endometriosis yaitu teori menstruasi retrograd, teori implantasi sel punca endometrium, teori abnormalitas sisa duktus Müller, teori metaplasia sel coelomic, teori sumsum tulang dan teori metastasis benigna. Teori menstruasi retrograd, sel endometrium dari lapisan endometrium yang terlepas saat menstruasi oleh kontraksi uterus didorong memasuki ruang
7 Universitas Indonesia
peritoneum, berimplantasi dan tumbuh di tempatnya yang baru dalam rongga pelvis22. Pada teori implantasi sel punca endometrium, sel progenitor epitel endometrium dan sel punca mesenkimal terdorong ke peritoneum ketika terjadi menstruasi retrograd, dan menyebabkan implantasi ektopik, teori ini berhubungan dengan teori menstruasi retrograd 2. Teori abnormalitas sisa duktus Müller ini menjelaskan kejadian endometriosis di daerah kavum Douglasi dan ligamen uterosakral. Ketika terjadi migrasi duktus Müller, terjadi penyebaran sel pada jaras migrasi dari organogenesis fetal sepanjang dasar panggul. Namun, telah diketahui bahwa ovarium dan duktus Müller berasal dari epitel coelomic 40. Secara tidak langsung, teori ini mengindikasikan bahwa endometriosis berasal dari metaplasia in situ dari sel serosa mesotelial yang bersifat totipoten. Namun karena endometriosis kebanyakan ditemukan pada wanita dengan endometrium, dan tidak pada pria, kekuatan teori tentang metaplasia sisa duktus Müller melemah 41. Teori Metaplasia sel coelemic menjelaskan bahwa lapisan peritoneum kavum pelvis yang terdiri dari sel mesotel dapat mengalami metaplasia atau perubahan morfologis menjadi sel kelenjar endometrium, yang merupakan endometriosis 42 Teori Sumsum Tulang merupakan teori baru dimana sel progenitor ekstra uterin yang berasal dari sumsum tulang dapat berdiferensiasi menjadi jaringan endometriosis. Teori ini dibuktikan dari ditemukannya jaringan endometrium secara histologi pada pasien tanpa menstruasi, seperti pada pasien dengan sindrom Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser, suatu kelainan dimana terjadi agenesis uterus salah satunya 43 . Teori Metastasis Benigna beranggapan bahwa implantasi ektopik endometrium berasal dari penyebaran melalui pembuluh darah ataupun limfe. Hal ini didukung dengan ditemukannya aliran limfe dari uterus ke ovari. Bukti paling kuat yang mendukung teori ini adalah ditemukannya endometriosis pada organ yang jauh dari uterus seperti tulang, paru-paru dan otak43. .
8 Universitas Indonesia
2.1.2. Faktor genetik, estrogen dan inflamasi pada endometriosis Endometriosis merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, dengan resiko herediter 51%
44
. Beberapa gen yang dianggap
berperan antara lain Wnt4, CDKN2B-AS dan GREB1. Gen-gen tersebut banyak didapatkan
mengalami
single
nucleotide
polymorphism
(SNP)
pada
endometriosis. Wnt4 adalah gen yang berperan dalam perkembangan traktus reproduktif wanita dan steroidogenesis. CDKN2B-AS1 yang dikenal juga sebagai Anril atau antisense non-coding RNA in the INK4 locus merupakan RNA noncoding yang panjang terletak pada cluster gene p15/CDKN2B-p16/CDKN2Ap14/ARF, dengan arah antisense. Gen ini mengkode p15 dan p16 yang merupakan tumor supresor. GREB1 (growth regulation by estrogen in breast cancer 1) mengkode sebuah protein respon cepat pada jaras yang diatur oleh reseptor estrogen2, GREB1 sendiri merupakan target gen reseptor estrogen dan fungsinya pada endometriosis masih belum jelas, sedangkan pada kanker payudara GREB1 berfungsi dalam proliferasi sel 45. Estrogen memicu pertumbuhan endometrium ektopik. Estradiol tersebut dihasilkan oleh organ steroidogenik yang normal seperti ovarium misalnya dan dan juga dihasilkan dari endometriosis atau endometrium ektopik itu sendiri dengan aromatisasi hormon androgen menjadi estrogen
46
. Perbandingan ekspresi
estrogen receptor β (Erβ) dan ERα berbeda antara endometriosis dengan endometrium normal. Ekspresi ERβ jauh lebih tinggi dari ekspresi ERα baik pada tingkat mRNA maupun protein, ERβ akan mensupresi ERα, dan rasio ERβ/ ERα yang tinggi tersebut menurunkan mRNA reseptor progesterone
47
dan
meningkatkan cyclo-oxygenase-2(COX2) yang juga menyebabkan inflamasi 48. Progesteron berfungsi untuk inhibisi proliferasi sel endometrium, maturasi kelenjar, dan transformasi sel-sel stroma menjadi desidua. Resistensi terhadap progesteron karena kurangnya reseptor progesteron pada endometriosis membuat proliferasi tidak terkontrol. Sel desidua pada sel yang resisten terhadap progesteron pun menjadi sulit terbentuk. 47,49. Inflamasi sebagai suatu reaksi sistem imun terhadap lesi endometriosis makin memicu resistensi progesteron, melalui mekanisme epigenetik antara lain melalui asidosis ekstraseluler dan deposit substansi reaktif. Mekanisme ini dapat 9 Universitas Indonesia
mengakibatkan perubahan metilasi DNA sehingga terjadi gene silencing
50
. Lesi
endometriosis menunjukkan adanya perubahan ekspresi hormon steroid seperti kenaikan rasio Erβ terhadap ERα yang juga ikut meningkatkan COX2 sehingga meningkatkan inflamasi yang sudah terjadi. Inflamasi, aktifitas MMP dan dipicunya respon angiogenik pada endometriosis turut berperan dalam perlengketan jaringan 51,52. Inflamasi akibat adanya lesi endometriosis di rongga peritoneal mengakibatkan berlebihnya produksi prostaglandin, sitokin dan kemokin. Infiltrasi makrofag ke dalam lesi merupakan tanda perkembangan lesi dan angiogenesis.
53,54
Makrofag memiliki kemampuan untuk menginternalisasi dan
mendaur ulang besi dari pemecahan eritrosit, yang berasal dari refluks darah di pelvis. Besi katalitik yang dihasilkan kemudian meningkatkan ROS, yang lebih lanjut lagi memicu perkembangan 55.
2.1.3. Stres Oksidatif pada Endometriosis Stres oksidatif pada endometriosis bersumber dari adanya perdarahan siklik dimana darah akan melepaskan heme dan besi yang merupakan prooksidan. Besi yang dilepaskan mempunyai aktivitas katalitik akan memperbanyak pembentukan ROS. Besi bebas tersebut makin lama makin banyak hingga stres oksidatif pun makin berat.18,56 Pada lesi endometriosis dapat terjadi kerusakan genetik akibat stres oksidatif terutama karena dilepasnya besi bebas. Selain mengakibatkan kerusakan genetik melalui mekanisme oksidasi, stres oksidatif juga dapat mengakibatkan perubahan bermakna dalam metilasi DNA dan modifikasi histon yang mengakibatkan tertekannya atau sebaliknya teraktivasinya ekspresi suatu gen57. Senyawa besi pertama kali dilaporkan menginduksi terjadinya sarcoma pada tikus18,58. Adanya jalur sinyal endometriosis yang dipengaruhi heme/besi memberikan pandangan baru peran pengaturan inflamasi, detoksifikasi dan survival endometriosis dan proses genetika molekular perkembangan CCC yang berhubungan dengan endometriosis 58.
10 Universitas Indonesia
2.2 STRES OKSIDATIF DAN ANTIOKSIDAN
Stres oksidatif adalah suatu keadaan yang tidak seimbang antara produksi radikal bebas atau oksidan yang lebih dominan efeknya dibandingkan kemampuan badan melawan atau menetralisirnya efek oksidan tersebut. Stres oksidatif banyak didapatkan
pada
kondisi
patologis
seperti
kanker,
kelainan
neurologi,
aterosklerosis, hipertensi, gangguan perfusi, diabetes, sindroma gangguan pernafasan akut, fibrosis paru idiopatik dan penyakit paru kronik obstruktif dan asma. Reactive oxygen species (ROS) adalah suatu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan sejumlah molekul reaktif dan radikal bebas yang berasal dari molekul yang mengandung oksigen 7. ROS merupakan produk sampingan (by-product) selama transport elektron mitokondria. ROS dibentuk sebagai bentuk antara dari reaksi katalisasi oksidasi metal. Atom oksigen mempunyai 2 elektron tak berpasangan dalam orbit yang berbeda. Reaksi reduksi oksigen melalui penambahan elektron berakibat terbentuknya sejumlah ROS termasuk diantaranya: superoksida, hidrogen peroksida, radikal hidroksil dan oksida nitrit 59. Secara umum terdapat 2 sumber ROS yaitu yang berasal dari dalam tubuh sendiri yang merupakan hasil metabolisme tubuh atau endogen dan yang berasal dari luar tubuh atau eksogen (asap rokok, logam berat, radiasi dan sebagainya).
2.2.1. ROS ROS yang merupakan produk sampingan metabolisme normal dibagi menjadi 2 grup: radikal bebas dan non-radikal. Molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tak berpasangan sehingga molekul tersebut reaktif disebut sebagai radikal bebas. Bila 2 radikal bebas berbagi elektron tak berpasangan, maka bentuk nonradikal akan terbentuk. Tiga jenis ROS utama yang berperan dalam fisiologi adalah anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (OH) dan hidrogen peroksida (H2O2)27. Anion superoksida dibentuk oleh penambahan satu elektron pada molekul oksigen. Proses ini dapat dimediasi oleh nikotin adenin dinukleotid fosfat 11 Universitas Indonesia
[NAD(P)H] oksidase, xanthine oksidase dan sistem transport elektron mitokondria. Tempat utama produksi anion superoksida adalah mitokondria, mesin sel yang memproduksi adenosin trifosfat. Secara fisiologis, elektron ditransfer melalui rantai transport elektron mitokondria untuk reduksi oksigen menjadi air, tetapi kurang lebih 1-3% dari elektron bocor dari sistem dan membentuk superoksida. NAD(P)H oksidase ditemukan dalam lekosit PMN, monosit dan makrofag. Setelah fagositosis sel ini menghasilkan superoksida yang mengakibatkan aktivitas bakterisidal. Superoksida dikonversi menjadi hidrogen peroksida oleh superoksida dismutase. Hidrogen peroksida dapat berdifusi menyebrangi membran plasma dengan mudah. Hidrogen peroksida juga diproduksi oleh oksidase xanthine, asam mino oksidase dan NAD(P)H oksidase dan dalam peroksisom oleh konsumsi molekul oksigen dalam reaksi metabolik 30,60
. Dalam suatu rentetan reaksi Haber Weiss dan Fenton (gambar 2.1.), H2O2
dapat terurai menjadi OH- dengan keberadaan metal transmisi Fe2+ atau Cu2+.
Gambar 2.1 Reaksi Fenton dan Haber Weis 61
Radikal hidroksil adalah ROS yang paling reaktif yang dapat menghancurkan protein, lipid dan karbohidrat dan DNA57. Radikal hidroksil dapat memulai peroksidasi lipid dengan mengambil elektron dari asam lemak jenuh. Enzim granulositik merupakan enzim yang dapat memperluas reaktivitas H2O2 melalui peroksidase eosinofil dan myeloperoksidase (MPO). Dalam mengaktivasi neutrofil, H2O2 dikonsumsi oleh MPO. Dalam netrofil aktif H2O2 dikonversi menjadi asam hipoklorid (HOCl). HOCl sangat oksidatif sifatnya dan memainkan peranan penting dalam memusnahkan patogen di saluran nafas. HOCl dapat bereaksi dengan DNA, lipid, kolesterol dan protein. Reaksi HOCl dengan DNA dapat mengakibatkan perubahan baik struktural maupun kimia. HOCl 12 Universitas Indonesia
dengan cincin grup NH heterosiklik guanosin dan timidin lebih reaktif dibandingkan dengan grup NH5 eksosiklik guanosin, adenosin dan sitidin. Reaksi dengan grup-grup ini dapat membentuk kloramin 62,63. Radikal bebas turunan oksigen lain adalah peroksil radikal (ROO.). Bentuk paling sederhana dari radikal ini adalah radikal hidroperoksil (HOO.) dan mempunyai suatu peran dalam peroksidasi asam lemak. Radikal bebas dapat men”trigger” reaksi rantai peroksidase lipid dengan mengacak suatu atom hidrogen dari suatu sisi rantai metilen karbon. Radikal lipid lalu bereaksi dengan oksigen untuk memproduksi radikal peroksil. Radikal peroksil menginisiasi suatu rantai reaksi dan mentransformasi asam lemak jenuh menjadi hidroperoksida lipid. Hidroperoksida lipid sangat tidak stabil dan mudah didekomposisi menjadi produk
sekunder
seperti
aldehid
(misal
4-hidroksi-2,3-nonenal)
dan
malondialdehide (MDA). Isoprostan adalah grup lain produk peroksida lipid yang dibangkitkan melalui peroksidasi asam arakidonat dan juga ditemukan meningkat dalam plasma dan udara napas pasien asma. Peroksidasi lipid mengganggu integritas membran sel dan dapat menyebabkan ketidakteraturan struktur membran64. Hidrogen peroksida, radikal superoksida, glutation teroksidasi (GSSG), MDA, isoprostan, karbonil dan nitrotirosin dapat dengan mudah diukur dari plasma, darah atau cairan bilasan bronkoalveolar sebagai biomarker oksidasi oleh pemeriksaan yang terstandarisasi 65. Efek yang terjadi pada proses seluler tergantung dari besar dan lamanya pendedahan terhadap stres oksidatif. Dalam keadaan stres sel yang berada dalam siklus sel akan menghentikan siklusnya. Dengan berlanjutnya stres oksidatif apoptosis dimulai. Dalam siklus sel, p21 diaktifkan dalam respons terhadap stres oksidatif dan memblok progresi siklus sel, p27 menahan sel yang sedang berada dalam fase G1 pada siklusnya untuk tidak masuk ke dalam fase S. Dalam siklus sel, p53 dan p21 merespons oksidan dengan induksi defosforilasi retinoblastoma (Rb). Paparan terhadap oksidan seperti hidrogen peroksida atau nitrit oksida juga mengakibatkan defosforilasi Rb yang tidak tergantung pada p53 dan p21. Ekspresi p27 juga dikontrol oleh faktor transkripsi Foxo, yang diketahui mengontrol ekspresi gen yang terlibat dalam progresi siklus sel, metabolisme dan respons 13 Universitas Indonesia
terhadap stres oksidatif. Foxo3a melindungi sel dalam keadaan stres oksidatif dengan menginduksi terbentuknya antioksidan misalnya katalase dan MnSOD 65,66
.
2.2.2. Antioksidan Secara umum terdapat 2 bentuk antioksidan: enzim dan non enzim. Antioksidan yang merupakan enzim antara lain adalah SOD, catalase dan GSHPx. Enzim antioksidan lainnya adalah heme oksigenase-1 dan redox protein seperti misalnya tioredoksin, peroksiredoksin dan glutaredoksin, yang juga ditemukan berperan penting untuk pertahanan. Superoksida adalah ROS utama yang diproduksi oleh berbagai sumber, sehingga dismutasinya oleh SOD sangat penting dan terdapat disemua sel. Terdapat 3 bentuk SOD, yaitu CuZn-SOD, MnSOD dan EC-SOD yang sangat banyak diekspresikan pada paru manusia. MnSOD terletak di dalam matriks mitokondria.
EC-SOD
atau
extra-celullar
SOD
terletak
pada
matriks
ekstraseluler, terutama dalam area yang mengandung serat kolagen tipe 1 dalam jumlah yang besar dan disekitar pembuluh darah pulmonal dan sistemik. Selain itu EC-SOD juga banyak dideteksi dalam epitel bronkial, epitel alveolar dan makrofag alveolar. Secara keseluruhan CuZn-SOD dan MnSOD berfungsi sebagai scavenger utama radikal superoksida. Kadar EC-SOD yang relatif tinggi di paru dengan ikatan spesifiknya pada komponen matriks ekstraseluler mewakili suatu komponen penting untuk perlindungan matriks paru65. Hidrogen peroksida yang diproduksi oleh SOD atau xanthine oksidase direduksi menjadi air oleh catalase dan GSH-Px. Catalase berada sebagai suatu tetramer yang terdiri dari 4 monomer identik, yang masing-masing mengandung suatu grup heme pada bagian aktifnya. Hidrogen peroksida sekali terbentuk harus direduksi menjadi air untuk mencegah terbentuknya radikal hidroksil. Katalase banyak terdapat di peroksisom dan sitosol. Aktivitas katalase paling tinggi ditemukan di ginjal dan hati. Pada sistem imun catalase berfungsi untuk melindungi sel sistem imun dari stres oksidatif yang timbul pada reaksi imunologi67.
14 Universitas Indonesia
Enzim-enzim pada siklus redoks berperan penting dalam reduksi H2O2 dan lipid hidroperoksida (yang timbul sebagai akibat peroksidase lipid membran) termasuk didalamnya enzim GSH-Px. GSH-Px adalah suatu keluarga enzim tetramerik yang mengandung asam amino selenosistein unik dalam bagian yang aktif dan memakai thiol yang memiliki berat molekul rendah seperti GSH, untuk mereduksi H2O2 dan peroksida lipid menjadi bentuk alkohol yang berhubungan. Terdapat empat GSH-Px yang masing-masing dikode oleh gen yang berbeda. GSH-Px-1 (GSH-Px seluler) terdapat dimana-mana dan berfungsi mereduksi dan peroksida asam lemak, tetapi tidak berfungsi pada peroksil lipid teresterifikasi. Lipid yang teresterifikasi direduksi oleh GSH-Px-4 yang terikat pada membran (hidroperoksida fosfolipid GSH-Px). Enzim ini dapat menggunakan beberapa thiol dengan berat molekul rendah yang berbeda sebagai penyeimbang reduksinya.
GSH-Px-2 (GSH-Px gastrointestinal) terletak di sel epitelial
gastrointestinal yang berfungsi untuk mereduksi peroksida dari makanan. GSHPx-3 (GSH-Px ekstraseluler) adalah satu-satunya anggota keluarga GSH-PX yang berada di kompartemen ekstraseluler68. Eliminasi H2O2 juga berhubungan erat dengan beberapa enzim yang mengandung thiol, misalnya TRX (TRX1 dan TRX2), thiredoxin reduktase (TRR), PRS (yang merupakan peroksidase tioredoksin dan glutaredoksin. Dua TRX dan TRR sudah diketahui karakteristiknya pada sel manusia, berada baik pada sitosol maupun mitokondria. Pada paru, TRX dan TRR diekspresikan dalam epitel bronkial dan alveolar serta dalam makrofag. Terdapat 6 PRX yang telah ditemukan pada sel manusia, berbeda dalam ultrastruktur kompartemennya. PRX VI penting dalam
melindungi sel
epitel alveolar. Paru-paru manusia
mengekspresikan semua PRX dalam epitel bronkial, alveolar dan makrofag. PRX V berfungsi sebagai reduktase peroksinitrit, yang berarti berfungsi sebagai senyawa pelindung kerusakan paru terhadap ROS65,69,70. Glutathion S-transferase (GST) adalah suatu enzim antioksidan yang berfungsi untuk menghalangi aktivasi metabolit sekunder, seperti aldehid tak jenuh, epoksida dan hidroperoksida. Tiga keluarga utama GST telah diketahui yaitu: GST sitosolik, GST mitokondria dan GST mikrosomal yang berhubungan dengan membran yang merupakan membrane associated proteins in eicosanoid 15 Universitas Indonesia
and glutathione metabolism (MAPEG). Terdapat 7 kelas GST yang telah diidentifikasi pada mamalia disebut sebagai Alpha, Mu, Pi, Sigma, Theta, Omega dan Zeta. Dalam keadaan tidak terdapat stres oksidatif kelas Mu dan Pi menginhibisi aktivitas enzim kinase Ask1 (apoptosis signal-regulating kinase 1) dan JNK (c-Jun N-terminal kinase) 65,71,72. Dalam reaksi reduksi oleh antioksidan terdapat suatu kofaktor atau koenzim yang diperlukan oleh zat-zat antioksidan ini sebagai penyeimbang reduksi yaitu Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH). NADPH memelihara catalase dalam bentuk aktif dan digunakan sebagai kofaktor oleh TRX dan glutathione (GSH) reduktase, yang mengkonversi glutathione disulfide (GSSG) menjadi GSH, suatu ko substrat untuk glutathione peroxidase (GSH-Px). NADPH intraseluler, timbul akibat reduksi NADP+ oleh glukosa-6-fosfat dehidrogenase, yang merupakan enzim pertama dan terbatas dalam jalur pentosafosfat, selama konversi gluokosa-6-fosfat menjadi 6-fosfoglukonolakton. Dengan menimbulkan NADPH, glukosa-6-fosfat dehidrogenase adalah suatu determinan penting dari kapasitas buffer GSH sitosol (GSH/GSSG) dan karena itu dapat dianggap sebagai suatu enzim antioksidan regulator yang penting73. Rasio GSH/GSSG merupakan indikator keadaan redoks sel. Rasio ini merupakan perbandingan antara GSH tereduksi dengan GSH teroksidasi (GSSG) 68. Selain antioksidan yang merupakan enzim juga terdapat antioksidan yang bukan enzim misalnya: vitamin C, D, glutation (GSH) dan karotenoid. Vitamin C atau asam askorbat merupakan jenis vitamin yang larut dalam air dan memberikan kapasitas antioksidan fase air intra dan ekstra-seluler. Fungsinya adalah sebagai scavenger untuk radikal bebas oksigen, dan mengkonversi radikal bebas vitamin E untuk kembali menjadi vitamin E. Vitamin E ( -tokoferol) adalah suatu vitamin yang larut dalam lemak, terkonsentrasi dalam bagian interior yang hidrofobik pada membran sel. Fungsi utama vitamin E adalah mempertahankan membran sel dari kerusakan oksidatif. Vitamin E mendonasikan elektron pada radikal peroksil, yang diproduksi selama peroksidasi lipid. -Tokoferol adalah bentuk paling aktif vitamin E dan merupakan antioksidan utama membran sel74. 16 Universitas Indonesia
GSH sebagai kofaktor beberapa enzim detokfikasi seperti GSH-Px dan transferase berperan dalam mengkonversi vitamin C dan E kembali menjadi bentuk aktifnya. GSH terdapat didalam semua kompartemen sel dalam jumlah besar dan merupakan zat terlarut utama antioksidan melindung sel dari apoptosis dengan berinteraksi dengan jalur sinyal proapoptosis dan antipoptosis68. Karotenoid ( β-karoten) adalah pigmen yang ditemukan dalam tumbuhan. Terutama karoten yang diketahui bereaksi dengan peroksil (ROO), hidroksil (OH) dan radikal superoksida(O2-). Karotenoid mempunyai efek antioksidan dalam tekanan parsial oksigen yang rendah tetapi dapat mempunyai efek prooksidan pada konsentrasi oksigen yang lebih tinggi. Baik karotenoid dan asam retinoid (RA) mempunyai kapasitas untuk meregulasi faktor transkripsi65.
2.2.3. Stres oksidatif pada lipid, protein dan DNA ROS menginduksi peroksidasi lipid dan menghancurkan pengaturan membran lipid bilayer yang dapat menginaktivasi reseptor yang terikat membran dan enzim serta meningkatkan permeabilitas sel.
Gambar 2.2 Jalur peroksidasi lipid, dimodifikasi dari 75,76.
Produk peroksidasi lipid seperti MDA dan aldehide tak jenuh berkemampuan untuk menginaktivasi banyak protein seluler dengan membentuk ikatan silang protein. 4-Hidroksi-2-nonenal (HNE) mengakibatkan berkurangnya 17 Universitas Indonesia
GSH intraseluler dan menginduksi reduksi peroksida, mengaktivasi reseptor epidermal growth faktor dan menginduksi produksi fibronektin. Produk peroksida lipid seperti isoprostan dan substansi reaktif (gambar 2.2.) asam tiobarbiturat juga merupakan tanda tidak langsung stres oksidatif 65,77. Pada protein, ROS dapat menyebabkan fragmentasi rantai peptida yang disebabkan karena terbentuknya protein-protein cross linkages dan oksidasi protein backbone, oksidasi rantai residu asam amino (amino acid residue side chains). Residu sistein dan metionin dalam protein lebih rentan terhadap oksidasi. Oksidasi grup sulfhidril atau residu methionin protein dapat menyebabkan perubahan konformasi atau bentuk, terlepasnya lipatan protein dan degradasi protein. Enzim yang mengandung metal atau dekat dengan situs aktifnya lebih sensitif
terhadap
oksidasi
katalisasi
metal.
Modifikasi
oksidasi
enzim
menyebabkan inhibisi aktivitas enzim tersebut 77. Dalam beberapa hal, oksidasi spesifik dari protein dapat terjadi. Misalnya metionin dapat teroksidasi oleh metionin sulfoksida, fenilalanin menjadi 0-tirosin dan grup sulfhidril dapat dioksidasi untuk membentuk ikatan disulfida. Sinar gamma, oksidasi yang dikatalisasi metal, HOCl dan ozone dapat menyebabkan pembentukan grup karbonil 68. Efek stres oksidatif dapat memodifikasi DNA dengan beberapa cara yang melibatkan degradasi basa, putusnya rantai DNA (DNA-breaks) baik tunggal maupun ganda, modifikasi purin, pirimidin maupun ikatan glukosa DNA, mutasi, delesi atau translokasi dan DNA-protein cross-links (Cooke). Kebanyakan modifikasi DNA sangat berhubungan dengan karsinogenesis, aging, penyakit neurodegeneratif, kardiovaskular dan autoimun. Asap rokok, logam redoks dan logam nonredoks, seperti besi, kadmium, krom dan arsen juga terlibat dalam karsinogenesis dan aging dengan timbulnya radikal bebas atau ikatan dengan grup tiol (Wang).
Superoksida dan hidrogen peroksida tidak merusak DNA secara
langsung, tetapi melalui akumulasi radikal hidroksil. Mekanisme terjadinya kerusakan DNA oleh radikal bebas terutama radikal hidroksil terjadi melalui mekanisme bertambahnya ikatan ganda basa-basa DNA dan dilepaskannya atom hidrogen dari gugus metil pada timin serta atom hidrogen dari tiap ikatan C-H pada 2’deoksiribosa. Kerusakan oksidatif DNA menyebabkan lesi yang luas pada 18 Universitas Indonesia
DNA, dengan terutama kerusakan pada guanin karena potensial redoks nya yang rendah. Lesi DNA ini sering terbentuk akibat ROS adalah 7,8-dihidro-8oksoguanin , seperti pada gambar 2.3. (8-oksoguanin;8-oksoG) 57.
Gambar 2.3. Pembentukan 8-OxoG78
8-oxoG dapat berakibat terjadinya transversi guanin menjadi timin, dimana adenin dapat secara bebas berpasangan dengan 8-oxoG dalam bentuk konformasi syn selama replikasi, sedangkan 8-oxoG berpasangan dengan Sitosin yang dikenali sebagai pasangan yang tidak teratur. Meskipun 8-oxoG adalah lesi yang paling dideskripsikan, radikal hidroksil dapat berinteraksi dengan adenin, sitosin dan timin. Lesi utama DNA yang berhubungan dengan kerusakan oksidatif termasuk diantaranya: 5-hidroksisitosisn, urasil glikol, 5-hidroksiurasil, 8hidroksiadenin dan 2-hidroksi adenin, diantara sejumlah besar lesi lainnya. Mutasi yang diakibatkan lebih banyak terjadi pada DNA mitokondria dibandingkan dengan DNA inti57. DNA yang dirusak oleh ROS mempunyai resiko terganggu stabilitas gennya. Karena DNA mudah rusak oleh stres oksidatif, oleh karena itu berbagai sistem repair terlibat dalam melindungi sel dari lesi yang secara potensial berbahaya. Kerusakan oksidatif DNA dapat diperbaiki melalui berbagai proses perbaikan DNA, termasuk diantaranya base excision repair (BER), nucleotide excision repair (NER), dan nucleotide incision repair (NIR). BER merupakan mekanisme utama yang digunakan untuk perbaikan kerusakan DNA inti dan mitokondria79. Selama masa repair DNA oleh jalur BER, pengenalan awal lesi dilakukan dengan suatu glikosilase mono atau bifungsional, yang dapat memotong basa
yang
rusak.
Glikosilase
bifungsional
mempunyai
aktivitas
apurinik/apirimidinik (AP) lyase , sedangkan glikosilase monofungsional bekerja 19 Universitas Indonesia
memperbaiki bagian DNA yang tidak memiliki basa (AP-site). Proses ini diikuti oleh pengisian basa bagian rantai DNA yang kosong (gap) dan ligasi DNA untuk memperbaiki kerusakan oksidatif yang ada. AP-site bila ditinggalkan tanpa perbaikan akan bersifat mutagenik dan dapat berakibat putusnya rantai DNA (DNA strand breaks) dan berakibat apoptosis68. Endonuklease AP manusia, APE1 (disebut juga APEX, APE, HAP1 dan Ref-1) adalah enzim penting yang berperan untuk perbaikan BER yang memotong ikatan fosfodiester 5’ yang posisinya bersebelahan dengan AP site. APE-1 juga mempunyai aktivitas fosfodiesterase, yang dapat digunakan untuk memperbaiki 3’-blocking damage, suatu kerusakan satu rantai DNA yang disebabkan juga dari ROS. APE-1 tidak selalu dibutuhkan; NEIL1 dapat melakukan β𝛿-eliminasi dari AP site. BER dapat dibagi menjadi 2 jalur, yaitu jalur pendek dan panjang BER. Jalur pendek BER bertanggung jawab untuk repair nukleotida tunggal, sedangkan jalur panjang untuk perbaikan 2 atau lebih nukleotida. Pengenalan basa yang rusak tunggal atau 2 atau lebih dilakukan dengan cara yang sama, tetapi protein yang terlibat dalam jalur pendek dan panjang berbeda. Ligase 1 (LIG1) berperan untuk BER jalur panjang sedangkan ligase 3 (LIG3) untuk BER jalur pendek. Bila lesi yang terjadi adadalah 8-oxoG, maka yang berperan adalah glikosilases 8-oxoG DNA (OGG1) yang secara spesifik mengenali 8-oxoG yang berpasangan dengan sitosin untuk membuang pasangan basa yang teroksidasi. Menariknya pengenalan kapasitas protein ini bergantung dalam kemampuannya untuk berinteraksi dengan proton pada N7, dibandingkan mengenali sifat 8-oxo-carbonyl. Terdapat beberapa protein lain dapat mengenali lesi 8-oxoG yaitu NEIL1, NEIL2 dan OGG2 57.
2. 3. KANKER
2. 3. 1. Karakteristik Kanker (Hallmarks of Cancer) Hallmarks of Cancer atau karakteristik kanker terdiri dari 6 kemampuan biologis yang diperoleh selama tahapan multipel karsinogenesis (multistep carcinogenesis). Enam kemampuan tersebut terdiri dari mempertahankan sinyal proliferasi
(sustaining
proliferative
signal),
menghindar
dari
supresor
pertumbuhan (evading growth suppressor), aktivasi invasi dan metastasis 20 Universitas Indonesia
(activating invasion and metastasis), menjadikan replikasi yang imortal (enabling replicative immortality), induksi angiogenesis (inducing angiogenesis) dan tahan terhadap kematian sel (resisting cell death). Karakteristik ini membedakan kanker dari sel-sel yang normal, yang membuatnya dapat tumbuh dan menyebar atau metastasis. Selain keenam kemampuan tersebut diatas terdapat dua sifat yang mempermudah hidup dan berkembangnya kanker (enabling characteristics) dan munculnya karakteristik baru yang meningkatkan kemampuan perkembangan kanker (emerging hallmark capabilities) 80,81.
2. 3. 1. 1. Enam kemampuan biologis Sel kanker mempunyai kemampuan mempertahankan dan mengatur sinyal proliferasi (sustaining proliferative signal) dan menentukan nasibnya sendiri dengan beberapa alternatif. Sel kanker dapat memproduksi ligan untuk dirinya sendiri, sehingga terjadi transmisi sinyal secara autokrin
82–84
. Sel kanker dapat
juga mengirim sinyal ke sel normal dalam lingkungan stroma tumor atau tumorassociated stroma, dengan respons berupa sinyal pertumbuhan yang dimanfaatkan oleh sel kanker 85,86. Sel tumor mempunyai kemampuan dalam menghindar dari supresor pertumbuhan (evading growth suppressor), misalnya pada populasi sel normal kontak antara sel dalam jaringan yang padat, berefek inhibisi terhadap proliferasi akan tetapi sel kanker dapat menghindari inhibisi ini sehingga sel tetap dapat berproliferasi
87,88
. Sel kanker juga menghindari efek anti proliferasi TGF-β,
bahkan memanfaatkannya
untuk
program transisi perubahan dari sel epitel
menjadi mesenkim atau epithelial mesenchymal transition (EMT), yang berguna untuk perkembangan tumor 89–91. Sel tumor mempunyai berbagai mekanisme dalam ketahanan terhadap proses kematian sel (resisting sel death) seperti membatasi apoptosis, dengan hilangnya fungsi supresor tumor TP53, yang berfungsi menginduksi apoptosis apabila mendapatkan suatu kerusakan dalam siklus sel. Alternatif lain dengan meningkatkan ekspresi regulator antiapoptosis seperti Bcl-2, Bcl-xl dan Igf1/2 atau sebaliknya dengan menurunkan faktor-faktor pro-apoptosis seperti Bax, Bim dan Puma
92–94
. Sel kanker juga memanfaatkan autofagi (Autophagy), yang 21 Universitas Indonesia
merupakan respons fisiologis pada keadaan kekurangan zat makanan. Pada autofagi organel sel seperti ribosom dan mitokondria pecah dan mengeluarkan zat-zat yang dipergunakan kembali untuk biosintesis dan metabolisme
94
.
Mekanisme lain yang dimanfaatkan adalah nekrosis dimana sel membengkak, pecah dan mengeluarkan zat-zat
yang menimbulkan inflamasi. Faktor
pertumbuhan pada reaksi inflamasi dimanfaatkan sel tumor untuk promosi angiogenesis, proliferasi dan invasi 95. Sel kanker dapat menghindari proses penuaan atau senescence dan keadaan krisis yang mengakibatkan apoptosis. Hal ini menyebabkan terjadinya replikasi sel dan perubahan sel menjadi imortal (enabling replicative immortality) 80
. Sel kanker setelah melepaskan diri dari krisis dan terhindar dari apoptosis, sel
ber replikasi dan terbebas dari senescence. Sel kanker juga memanfaatkan telomer untuk melindungi kromosom dan mendukung kemampuan proliferasinya
96
.
Keadaan imortal dapat dicapai dengan terus mempertahankan panjang telomer DNA yang cukup untuk menghindari rangsangan senescence atau apoptosis. Tumor memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien yang meningkat melalui kemampuannya menginduksi angiogenesis (Inducing Angiogenesis) aliran darah, kebutuhan ini dipenuhi oleh pembentukan pembuluh darah baru atau neovaskularisasi. Proses ini dikenal dengan angiogenesis yang dalam keadaan normal juga berlangsung, misalnya pada embriogenesis. Dalam keadaan normal angiogenesis ini juga dibutuhkan selama remodeling jaringan dan penyembuhan luka. Pada sel kanker proses angiogenesis selalu aktif sehingga pembentukan pembuluh-pembuluh baru berlangsung terus 97. Aktivitas invasi dan metastasis (activating invasion dan metastasis) sel kanker dimulai dari perubahan bentuk sel dari epitel menjadi mesenkim atau dikenal dengan epithelial to mesenchymal transition (EMT).
Sel harus
melepaskan diri dari ikatannya terhadap sel maupun matriks ekstraseluler disekitarnya (extracellular matrix /ECM). Sel tersebut juga kehilangan molekul adhesi yang disebut dengan E-cadherin. Penurunan ekspresi E-cadherin menunjukkan aktivitas invasi dan metastasis 98,99.
22 Universitas Indonesia
2. 3. 1. 2. Karakteristik yang mempermudah hidup dan berkembangnya kanker (enabling characteristic) Instabilitas genomik yang terjadi bersamaan dengan berbagai mutasi (genomic instability and mutation)merupakan suatu karakteristik dalam tahapan karsinogenesis. Progresi keganasan multistep merupakan gambaran terdapatnya mutasi berulang. Perubahan fenotip, misal inaktivasi gen supresor tumor, dapat disebabkan oleh mutasi maupun faktor epigenetik seperti metilasi dan modifikasi histon selain mutasi 100–102. Secara fisiologis sel tumor akan diserang oleh sistem imun dan menimbulkan inflamasi. Molekul bioaktif yang terbentuk selama inflamasi dimanfaatkan oleh sel kanker sebagai faktor pertumbuhan yang menginduksi pembelahan, survival, invasi, angiogenesis serta penyebaran, hal inilah yang disebut sebagai tumor promoting inflammation 95,103.
2. 3. 1. 3. Karakteristik tambahan (emerging hallmark capabilities) Sel kanker mampu mereprogram metabolisme energi (Reprogramming energy metabolism). Pada sel kanker, energi yang dibutuhkan terutama dihasilkan dari proses glikolisis saja, apalagi dalam keadaan kurang oksigen. Proses pengadaan energi menjadi kurang efisien dibandingkan sel normal meskipun prosesnya cepat. Dibandingkan dengan proses respirasi oksidatif mitokondria efisiensi pengadaan energi glikolisis sampai menjadi laktat hanya 1/18 kalinya 104,105
. Sel kanker mampu menghindar dari serangan sistem imun (Evading
immune destruction) yang merupakan benteng pertahanan pada manusia termasuk terhadap sel tumor. Sejak mulai terjadi displasia atau prekanker, sudah mulai dilakukan intervensi sistem imun terhadap kanker106. Sel kanker mempunyai beberapa mekanisme menghindari sistem imun antara lain dengan mensekresikan TGF-β yang dapat melumpuhkan CTL dan NK, sehingga tidak dapat berfungsi, merekrut sel-sel inflamasi yang aktif menekan sistem imun misalnya regulatory T cells dan myeloid-derived suppressor cells (MDSCs), keduanya dapat mensupresi CTL107–109.
23 Universitas Indonesia
2. 3. 1. 4. Lingkungan mikro kanker Suatu jaringan tumor mempunyai berbagai jenis sel di dalam lingkungan mikronya (microenvironment) antara lain: sel kanker dan sel puncanya, sel endotelial, perisit (pericytes), sel-sel sistem imun, sel punca dan progenitor stroma tumor (gambar 2.4.). Sel kanker, sebagai unsur utama tumor, sering mengalami mutasi pada onkogen dan gen supresor tumor. Sel kanker dalam pertumbuhannya saat mengalami proliferasi berlebihan juga mengalami instabilitas genetik dan mutasi berulang sehingga melahirkan subpopulasi sel yang berbeda. Variasi jenis sel dalam jaringan tumor juga didapatkan dalam derajat diferensiasi dan proliferasinya.
Gambar 2.4. Jenis sel yang terdapat pada lingkungan mikro sekitar sel tumor 80
Dalam jaringan tumor ini juga terdapat kelompok sel neoplasma yang disebut sebagai sel punca kanker atau cancer stem cell (CSC). CSC ini tampaknya merupakan komponen yang hampir selalu ditemukan pada kebanyakan tumor, meskipun jumlahnya bervariasi
110,111
. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pada tumor glioblastoma, sel glioblastoma dan sub-populasi sel tumor yang merupakan CSC dapat berdiferensiasi menjadi sel endotelial dan berfungsi layaknya sebagai sel endotel pada neovaskularisasi baru. 24 Universitas Indonesia
Cancer-associated fibroblasts (CAFs) yang merupakan hasil konversi proses Epithelial to mesenchymal transition (EMT). EMT merupakan proses yang mengubah sel karsinoma epitelial menjadi sel mesenkimal. Sel hasil transisi ini bentuknya mirip sel fibroblas dan pada beberapa tumor didapatkan sebagai circulating tumor cell (CTC) yang berperan dalam penyebaran tumor
112–115
.
Sel pericytes adalah sel yang berada pada lapisan luar pembuluh darah tepat di lapisan luar sel endotel mempunyai fungsi yang penting. Sel ini memberikan sinyal parakrin pada endotel pembuluh darah, yang penting dalam menjaga integritas dan fungsi vaskular 116,117. Sel-sel dalam sistem imun yang berada di lingkungan mikro sekitar tumor sering menimbulkan inflamasi. Mediator inflamasi yang dihasilkan oleh sel-sel inflamatory ini dimanfaatkan untuk induksi pertumbuhan, invasi dan metastasis bagi sel kanker 118. Sel punca dan progenitor pada stroma sekitar sel kanker diperkirakan bersumber dari bone marrow. Sel sel ini merupakan sel yang dapat berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel 119–121.
2. 3. 2. Karsinogenesis Karsinogenesis
adalah
istilah
umum
yang
menandakan
suatu
perkembangan neoplasia dan merupakan fenomena aktif yang diinduksi oleh satu atau beberapa variasi penyebab, seperti kimia, fisik, biologis atau genetik. Dalam proses karsinognesis terdapat beberapa istilah pengelompokan gen yang dianggap berperan, antara lain protoonkogen dan onkogen, anti onkogen atau gen supresor tumor 122, DNA repair gene 123dan gen antiapoptosis 124. Protoonkogen berfungsi mengatur proliferasi dan diferensiasi sel normal. Protoonkogen ini bila mendapatkan hit dapat berubah menjadi onkogen. Contohnya adalah ras dipermukaan membran yang berfungsi mengaktivasi tyrosine kinase yang akan diteruskan sinyalnya oleh guanine nucleotide binding protein ke dalam sitoplasma dan ke dalam inti sel. Bila ras berubah menjadi onkogen maka akan terjadi proliferasi abnormal yang berlebihan dan tak terkendali125.
25 Universitas Indonesia
Anti onkogen atau gen supresor tumor misalnya TP53 yang pada tumor ovarium ganas subtipe histologi high serous carcinoma mengalami inaktivasi sehingga menyebabkan tidak terkontrolnya pertumbuhan sel. Gen ini bekerja menginduksi gen penyebab apoptosis yaitu Bax 125. Gen repair memperbaiki kerusakan gen akibat faktor-faktor endogen maupun eksogen. Perbaikan gen biasanya dilakukan antara lain melalui mekanisme pemotongan dan pembuangan daerah DNA yang mengalami kerusakan. Contoh gen repair yang banyak terdapat adalah ATM yang berfungsi untuk menghalangi perkembangan sel dari yang cacat 125. Gen antiapoptosis adalah gen yang berfungsi dalam mencegah terjadinya kematian sel secara terprogram, misalnya protein ABL yang berada dalam nukleus 124.
2. 3. 2. 1 Karsinogen Karsinogen adalah suatu zat yang dianggap sebagai penyebab kanker, atau setidaknya menghasilkan peningkatan insidens kanker122. Karsinogen ini terdiri dari berbagai bentuk antara lain: senyawa kimiawi yang berperan sebagai onkogen, misalnya hidrokarbon polisiklik, logam berat, asbes; onkogen radiasi, misalnya radiasi ultraviolet, X-ray, nuklir; onkogen viral misalnya HIV, HPV, EBV; onkogen hormonal, misalnya estrogen, DES, steroid; onkogen genetik.
2. 3. 2. 2. Hipotesis Knudson dan Loss of heterozygosity (LOH) Penyakit kanker pada dasarnya merupakan akumulasi kerusakan materi genetik yang antara lain dapat menimbulkan proliferasi berlebihan. Knudson menyatakan bahwa proses ini memerlukan dua serangan atau “hit” terhadap materi genetik, sehingga disebut sebagai two-hit hypothesis. Hit pertama menyangkut inisiasi dimana karsinogen penyebab disebut inisiator. Hit kedua menyangkut promosi sehingga mulai terjadi pertumbuhan neoplastik dimana agennya disebut promoter. Pada kenyataannya diketahui hit dapat terjadi berkalikali disebabkan oleh berbagai faktor, dimana setiap hit dapat membuat perubahan genetik yang dapat diwariskan ke sel turunannya sehingga muncul klon sel kanker yang baru. Teori ini berhubungan dengan loss of heterozygosity (LOH) pada suatu 26 Universitas Indonesia
gen, misalnya pRb, dimana bila kerusakan materi genetik belum terjadi menyeluruh pada sepasang allel atau dengan kata lain tingkat ekspresi tumor supresor gen belum 100 % terganggu, maka belum terjadi kanker 29. LOH sering menjadi penyebab hilangnya fungsi gen supresor tumor pada kanker. 125.
2. 5. 3. Haploinsufficiency, Quasi-insuficiency dan obligate haploinsuficiency Sejalan dengan perkembangan pengetahuan tentang karsinogenesis, selain two-hit hypothesis terdapat mekanisme lain perubahan genetik pada gen supresor tumor. Penelitian tentang gen supresor tumor banyak menemukan mekanisme perubahan genetik selain two-hit hypothesis. Mekanisme tersebut antara lain: haploinsuficiency, quasi-sufficiency dan obligate haploinsufficiency
29
.
Two-hit hypothesis didasarkan pada adanya mutasi materi genetik pada kedua
alel
sehingga
gen
tersebut
tidak
berfungsi,
berbeda
dengan
haploinsufficiency bila mutasi terjadi pada satu satu alel saja gangguan fungsi sudah dapat terjadi. Dengan mekanisme ini perubahan fenotip menjadi kanker tidak harus melalui mutasi yang terjadi pada kedua alel. Mutasi pada satu alel saja atau penurunan 50% tingkat ekspresi gen supresor tumor sudah dapat menyebabkan terjadi kanker. Pada quasi-insufficiency terjadi bila penurunan ekspresi gen kurang dari 50% sudah dapat menyebabkan terjadi kanker (gambar 2.5.). Obligat haploinsufficiency terjadi bila penurunan tingkat ekspresi gen supresor tumor antara 50% sampai kurang dari 100% dapat menyebabkan kanker, tetapi bila gangguan tersebut mencapai 100% justru akan menginduksi proses penuaan atau senescence misal pada PTEN 29,126,127.
27 Universitas Indonesia
Gambar 2.5. Haploinsufficiency, quasi-sufficiency dan obligate haplo-insufficiency 29.
2. 5. 4. Onkogen yang berperan dalam kanker ovarium Terdapat beberapa onkogen dan tumor supresor gen yang dianggap mempunyai peranan penting dalam tumor ganas ovarium. Onkogen yang penting dalam tumor ovarium antara lain adalah PIK3CA, BRAF dan KRAS. PIK3CA ditemukan mengalami banyak mutasi pada kanker ovarium. Secara genetik PIK3CA sangat penting dalam perkembangan kanker ovarium tipe II atau high grade serous. BRAF yang juga dianggap penting pada kanker ovarium tipe II, merupakan anggota keluarga dari serine threonine protein kinases, dimana mutasinya sering ditemukan juga pada melanoma, colorectal cancer dan kanker tiroid 128 . KRAS merupakan anggota gen RAS yang telah diidentifikasi sebagai homologi dari onkogen Kirsten rat sarcoma virus. KRAS banyak ditemukan pada tipe 1 tumor ovarium epitelial 129.
2. 5. 5. Gen tumor supresor pada kanker ovarium Terdapat beberapa gen supresor tumor yang penting pada kanker ovarium diantaranya adalah TP53. TP53 merupakan gen supresor tumor yang paling banyak mengalami mutasi sampai mencapai kurang lebih 95% pada kanker ovarium epitelial, subtipe high grade serous. Gen supresor tumor lain yang juga berperan adalah PTEN (phosphatase and tensin homolog deleted on chromosome ten). Gen supresor tumor ini secara negatif meregulasi jalur sinyal PI3K/AKT 28 Universitas Indonesia
melalui defosforilasi fosfatidilinositol (3,4,5)-triphoshpate (PIP3) pada membran sel, PTEN ini banyak dijumpai bermutasi pada kanker ovarium epitelial tipe 1128. Berikutnya ARID1A, merupakan gen supresor tumor yang banyak ditemukan mengalami
inaktivasi
pada kanker ovarium
yang dianggap
berhubungan dengan endometriosis, terutama adalah dari subtipe histologis clear cell
carcinoma
(CCC)
dan
endometrioid
ovarian
carcinoma
(EnOC).
Mekanismenya sebagai gen supresor tumor belum diketahui dengan jelas.
2. 5. 6. Transformasi maligna endometriosis Pada tahun 1925 Sampson pertama kali mendeskripsikan transformasi maligna endometriosis menjadi karsinoma ovarium130, kemudian sekitar 70 tahun kemudian barulah didapatkan bukti molekular yang mendukung adanya transformasi tersebut22. Jiang dkk. tidak menemukan mutasi supresor tumor seperti TP53 dan RASK pada 40 kasus endometriosis, akan tetapi menemukan adanya loss of heterozygosity (LOH) pada lokus supresor tumor ovarium pada lengan kromosom 6q, 9p, 11q, 17p, 17q dan 22q pada 11 dari 40 kasus (28%)131. Pada penelitian yang serupa Sato dkk. mengevaluasi supresor tumor PTEN/MMAC1 berlokasi pada lengan kromosom 10q. LOH terjadi pada 8 dari 19 kasus EnOC, 6 dari 22 CCC dan 13 dari 23 kista endometriosis soliter. Mutasi pada PTEN didapatkan pada 4 dari 20 EnOC, 2 dari 24 CCC dan 7 dari 34 kista endometriosis 131. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa secara histologi lesi endometriosis jinak mungkin sudah mulai mempunyai kerusakan genetik yang berperan sebagai salah satu faktor dalam transformasi menjadi ganas. Transformasi ini dapat berjalan perlahan melalui suatu tahap lesi endometriosis antara atau intermediat, atau disebut juga lesi prekursor untuk EAOC. Penelitian untuk mengkaji bentuk lesi antara ini dilakukan terutama pada endometriosis yang didapatkan bersamaan dengan adanya EAOC. Sato dkk mendapatkan 3 dari 5 kasus EnOC dan 3 dari 7 kasus CCC yang bersamaan dengan endometriosis menunjukkan adanya LOH 35.
29 Universitas Indonesia