BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab pertama, akan terdapat pemaparan mengenai latar belakang permasalahan dan fenomena yang terkait. Berikutnya, rumusan masalah dalam bentuk petanyaan dan tujuan dilakukannya penelitian ini.
1.1 Latar Belakang Sumber daya manusia mempunyai peran penting untuk mencapai tujuan organisasi. Peran penting tersebut, menurut Cahyono (2013) adalah sebagai pilar utama sekaligus penggerak roda organisasi dalam usaha mewujudkan visi, misi, dan tujuannya. Organisasi tentu mengharapkan sumber daya manusia atau karyawan yang berkontribusi di dalamnya, yaitu dengan memberikan kinerja yang semaksimal mungkin agar tujuan organisasi dapat tercapai. Kinerja yang baik menuntut karyawan untuk berperilaku sesuai harapan organisasi. Perilaku yang dimaksud idealnya tidak hanya mencakup in-role behavior yaitu bekerja sesuai dengan standar job description saja namun juga mencakup extra-role behavior yaitu memberikan perusahaan lebih dari pada yang diharapkan. Menurut Wright (dalam Andriani, Djalali, dan Sofiah, 2012) extra-role behavior merupakan elemen penting yang perlu lebih diperhatikan dalam organisasi dibandingkan dengan inrole behavior. Namun, extra-role behavior nampaknya luput dari perhatian organisasi. Pada umumnya organisasi hanya berfokus pada hasil dari tugas-tugas yang diberikan. Begitu pula yang terjadi di salah satu unit kerja BINUS University, yaitu Building Management. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa karyawan Building Management, peneliti menemukan perilaku-perilaku karyawan yang mengindikasikan pada extra-role behavior. Di antaranya perilaku membantu rekan kerja, dimana menurut salah satu narasumber perilaku ini sudah menjadi kebiasaan bagi karyawan. Selain itu, karyawan juga berinisiatif membuat kegiatan-kegiatan yang bertujuan meningkatkan kedekatan antar karyawan, dan bersedia mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Building Management
1
2
ataupun BINUS University walaupun tidak diwajibkan, seperti berolahraga bersama di luar jam kerja atau mengikuti lomba antar divisi yang rutin diadakan oleh pihak kampus. Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu usaha untuk menjaga keakraban antar karyawan agar terhindar dari konflik yang dianggap dapat mengganggu suasana saat bekerja. Akan tetapi organisasi tidak menyadari bahwa perilaku tersebut merupakan perilaku ekstra yang diberikan oleh karyawan. Penilaian secara berkala yang dilakukan pun hanya berfokus pada in-role behavior. Ketidakpedulian organisasi terhadap extra-role behavior dapat merugikan organisasi itu sendiri mengingat sebuah organisasi dapat menjadi kurang efektif apabila hanya mengandalkan pada perilaku-perilaku yang ada dalam in-role behavior. Menurut Katz (dalam Cho, 2008) terdapat tiga perilaku karyawan yang diperlukan agar organisasi berfungsi dengan efektif, yaitu: (a) karyawan harus berada dalam sistem, (b) karyawan harus melaksanakan peran dan tugasnya sesuai standar yang ditetapkan, (c) menunjukkan perilaku inovatif dan spontan melampaui deskripsi perannya. Jika dianalisa, poin pertama dan kedua di atas termasuk ke dalam in-role behavior, sedangkan poin yang terakhir termasuk ke dalam extra-role behavior. Pendapat tersebut menunjukkan kehadiran extra-role behavior menjadi hal penting dalam organisasi. Dalam beberapa teminologi, extra-role behavior disebut juga organizational citizenship behavior (OCB) (Wibowo & Susilowati, 2010; Slamet, 2011). Menurut Organ, (dalam Podsakoff, dkk 2000), “Organizational citizenship behavior merupakan suatu perilaku individu, yang secara tidak langsung atau eksplisit diakui oleh sistem reward, dan memberi kontribusi pada keefektifan dan keefisienan fungsi organisasi”. Sedangkan Robbins dan Judge (2013) pada bukunya yang berjudul Organizational Behavior mengungkapkan bahwa organizational citizenship behavior merupakan perilaku yang bukan merupakan bagian dari persyaratan kerja karyawan, yang memberikan kontribusi untuk lingkungan dan sosial di tempat kerja. Jadi dapat disimpulkan bahwa organizational citizenship behavior merupakan perilaku melebihi perannya sebagai karyawan yang memberikan kontribusi pada keefektifan organisasi.
3
Baron dan Greenberg (2003) mengemukakan bahwa organizational citizenship behavior memiliki, lima dimensi yaitu: altruism, atau perilaku membantu rekan kerja, kemudian conscientiousness, yaitu melakukan hal-hal di atas standar minimum yang diatur; sportmanship, kemauan untuk menerima kondisi-kondisi tertentu dalam perusahaan yang ternyata masih di bawah standar, tanpa mengeluh, dan courtesy, yaitu bersikap santun dan menahan diri untuk tidak bersitegang atau konflik dengan karyawan lain, serta civic virtue, yaitu perilaku karyawan yang menunjukkan adanya perhatian pada kehidupan organisasi. Istilah organizational citizenship behavior pertama kali dikembangkan oleh Organ dan Bateman pada tahun 1983 (Lo, dan Ramayah, 2009). Semenjak itu, penelitian mengenai organizational citizenship behavior semakin banyak. Salah satunya yang dilakukan oleh Alizadeh, Darvishi, Nazari dan Emami (2012) yang meneliti tentang variabel-variabel yang dapat mendahului dan menjadi konsekuensi organizational citizenship behavior. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa organizational citizenship behavior dapat didahului oleh beberapa variabel seperti, comprehensive perspective, kejelasan peran, kepemimpinan, komitmen organisasi, keadilan organisasi, dan trait individu. Variabel-variabel tersebut juga terbukti secara empiris memiliki korelasi dengan penurunan turnover dan ketidakhadiran, kepuasan dan loyalitas karyawan, serta kepuasan dan loyalitas konsumen. Robbins dan Judge (2013) mengungkapkan sebuah fakta yang menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai karyawan yang memiliki organizational citizenship behavior yang baik, akan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan organisasi lain. Dasar pemikiran munculnya organizational citizenship behavior tidak terlepas dari fenomena yang disebut sebagai good citizen. Dalam konteks perusahaan, bentuk good citizen dapat berupa karyawan yang mematuhi semua aturan yang berlaku di perusahaan dan menampilkan perilaku sukarela bahkan ketika tidak ada seorang pun yang mengawasi (Podsakoff, dkk, 2000). Fenomena lain yang juga terdapat dalam Building Management BINUS University adalah tidak adanya wadah bagi karyawan untuk mengemukakan pendapatnya terkait berbagai aspek dalam pekerjaan, sehingga organisasi tidak memiliki infomasi mengenai aspek pekerjaan mana yang harus ditingkatkan atau
4
dipertahankan. Salah satu metode yang dapat mengukur berbagai aspek dalam pekerjaan adalah kepuasan kerja. Menurut Spector (2008), kepuasan kerja merupakan sikap karyawan yang mencerminkan bagaimana perasaannya tentang pekerjaan mereka, baik dari setiap aspek pekerjaan maupun secara keseluruhan. Pendapat lain mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan menyenangkan karyawan yang diperoleh dari keuntungan dan pengalaman selama menjalankan pekerjaan (Swaminathan & Jawahar, 2013). Jadi kepuasan kerja merupakan perasaan positif dan negatif yang diperoleh dari pengalaman selama menjalankan pekerjaan dan evaluasi dari karakteristik pekerjaan. Kepuasan kerja diyakini dapat mendorong dan memengaruhi semangat kerja karyawan sehingga mereka akan berupaya untuk bekerja sebaik-baiknya dan memberikan kontribusi yang maksimal bagi perusahaan. Dengan kata lain, tingginya kepuasan kerja karyawan diharapkan dapat berimplikasi secara positif baik terhadap produktivitas karyawan itu sendiri maupun perusahaan secara keseluruhan.Kepuasan kerja akan membawa karyawan pada tingkat organizational citizenship behavior yang lebih tinggi, karena seorang karyawan akan lebih rela melakukan sesuatu demi perusahaan tempat mereka bernaung jika mereka menyukai dan puas akan tempat kerja mereka (Arif & Chohan, 2012). Kepuasan kerja juga merupakan salah satu prediktor yang baik untuk mengukur organizational citizenship behavior (Alidzaeh, dkk, 2012). Hal tersebut dikuatkan oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Organ & Lingl (dalam Swaminathan & Jawahar, 2013) bahwa terdapat 15 penelitian independen yang telah menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan organizational citizenship behavior. Menurut Schnake,dkk kepuasan kerja akan berkorelasi dengan organizational citizenship behavior karena dua alasan utama (Andriani, Djalali, dan Sofiah, 2012). Salah satunya adalah norma timbal balik, karyawan cenderung untuk membalas organisasi yang membantu atau menguntungkan mereka. Karyawan yang mengalami situasi positif dengan pekerjaan mereka akan cenderung terlibat dalam perilaku prososial. Pernyataan Schnake,dkk sejalan dengan yang dikemukakan oleh social exchange theory bahwa sikap dan perilaku karyawan terhadap organisasi ditentukan oleh persepsinya terhadap atasan dan organisasi (Lee, Kim, & Kim, 2013). Jika karyawan merasa
5
hal-hal yang diberikan oleh atasan dan organisasi sesuai dengan persepsinya, maka menurut konsep timbal balik (reciprocity), karyawan tersebut akan memberikan respon positif yang dapat menguntungkan organisasi, begitu pula sebaliknya. Selain beberapa argumen yang telah dikemukakan di atas, empat dari lima penelitian yang diperoleh menyatakan bahwa kepuasan kerja berhubungan positif yang signifikan dengan organizational citizenship behavior. Penelitian tersebut yakni Rahman, Shahrazad, Nasir, dan Omar (2014) yang meneliti tentang peran kepuasaan kerja sebagai mediator dalam hubungan self efficacy dan organizational citizenship behavior pada guru Indonesia. Sebanyak 208 guru dari beberapa provinsi di Pulau Sulawesi menjadi responden. Hasil penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja dan organizational citizenship behavior. Artinya, semakin tinggi kepuasan kerja maka perilaku organizational citizenship behavior pada karyawan juga semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Arif dan Chohan (2012) melakukan penelitian untuk memeriksa bagaimana kepuasan kerja mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior. Data diambil dari 350 karyawan bank yang bekerja di Pakistan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja memiliki korelasi positif yang signifikan dengan organizational citizenship behavior. Metode penghitungan menggunakan multiple regression, kedua variabel tersebut memiliki nilai korelasi sebesar 57,2%. Hasil yang tidak jauh berbeda ditunjukkan dalam penelitian Nida Qamar (2012) yang mengungkapkan bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi memiliki dampak yang signifikan dengan organizational citizenship behavior, serta semua dimensi organizational citizenship behavior berhubungan positif dan signifikan dengan kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Hasil tersebut diperoleh dari penelitian yang dilakukan untuk menyelidiki hubungan kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan organizational citizenship behavior. Begitu pula yng dikemukakan dalam penelitian David A. Foote dan Thomas Li-Ping Tang (2008) tentang Job Satisfaction and Organizational Citizenship Behavior: Does Team Commitment Make a Different in Self Direct Teams. Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa kepuasan kerja dan organizational citizenship behavior memiliki hubungan positif dan signifikan. Hubungan ini juga di moderator oleh
6
komitmen tim, semakin tinggi komitmen tim hubungan kedua variabel tersebut akan semakin kuat. Sedangkan penelitian Mehboob dan Bhutto (2012) menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 84 anggota fakultas di tiga institusi bisnis. Hasil penelitian yang berjudul Job Satisfaction As A Predictor of Organizationsl Citizenship Behavior: A Study of Faculty Members at Business Institutes menyatakan bahwa kepuasan kerja dan organizational citizenship behavior memiliki hubungan yang lemah. Kepuasan kerja juga merupakan prediktor organizational citizenship behavior yang lemah dan kepuasan kerja hanya mempengaruhi beberapa dimensi organizational citizenship behavior yaitu Couretsy dan Altruism. Balzer, dkk (dalam Robbins & Judge, 2013) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu: pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan untuk promosi, pengawasan dan rekan kerja. Banyaknya faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja dapat membuat perusahaan sulit untuk memenuhi semua keinginan karyawan karena setiap karyawan tentu memiliki pendapat masing-masing mengenai faktor apa yang dianggap paling penting untuk memenuhi kepuasan kerjanya. Untuk itu, perusahaan perlu mengetahui faktor kepuasan mana yang paling penting bagi karyawan. Ketika perusahaan mengetahui faktor kepuasan mana yang paling penting bagi karyawan, perusahaan dapat memenuhi kepuasan kerja karyawan yang akan meningkatkan tingkat perilaku organizational citizenship behavior karyawan. Karyawan yang merasa puas akan lebih sering mengatakan hal positif tentang perusahaan, membantu rekan kerja, dan bekerja melebihi ekspektasi pekerjaannya (Robbin & Jugde, 2013). Oleh karena itu, dengan adanya fenomena yang telah dijabarkan dan didorong dengan pengembangan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka peneliti memutuskan untuk meneliti tentang "Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Organizational Citizenship Behavior pada Karyawan Building Management BINUS University Kampus Syahdan dan Kijang".
7
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan penjabaran latar belakang yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya, rumusan masalah dalam penelitian ini ialah “Apakah terdapat pengaruh kerpuasan kerja terhadap organizational citizenship behavior pada karyawan Building Management BINUS University Kampus Syahdan dan Kijang?.”
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini betujuan untuk mengetahui adanya pengaruh kerpuasan kerja terhadap organizational citizenship behavior pada karyawan Building Management BINUS University Kampus Syahdan dan Kijang.