Perkembangan Teknologi TRO 21 (2) Desemberi 2009 Hlm. 33-39 ISSN 1829-6289
ASPEK PENGERINGAN DALAM MEMPERTAHANKAN KANDUNGAN METABOLIT SEKUNDER PADA TANAMAN OBAT Hernani dan Rahmawati Nurdjanah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16111 (Terima tgl. 12/1/2009 - Disetujui tgl. 16/03/2009) ABSTRAK Tanaman obat telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Penggunaan tanaman obat adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan. Kandungan zat berkhasiat di dalam tanaman karena adanya senyawa metabolit sekunder, antara lain senyawa alkaloid, flavonoid, minyak atsiri, dan steroid. Tinggi rendahnya kandungan metabolit sekunder, selain pengaruh varietas dan agroklimat juga pengaruh cara pengolahan terutama proses pengeringan (suhu, aktivitas UV, kelembapan). Pemilihan metode atau cara pengeringan yang tepat akan menghasilkan simplisia dengan kualitas yang baik, terutama dalam segi bahan aktif, warna, kontaminasi mikroba, dan kandungan metabolit sekunder seperti minyak atsiri, fenol, flavonoid, dan khlorif yang tinggi. Kata kunci: pengeringan, metabolit sekunder, tanaman obat
ABSTRACT Drying Aspects in Preserving the Secondary Metabolite Content in Medicinal Plants Medicinal plants have been used for a long time in Indonesian society. The usage of medicinal plants is usually used for promoting health or disease preventive purpose. The active compound of medicinal plant is well known as secondary metabolite, such as alkaloid, flavonoid, essential oil, and steroid. The quantity of secondary metabolites is not only affected by variety of plant, and agroclimate condition of plant, but also by the method of drying process (temperature, UV activities, humidity). High quality of simplicia is indicated with high content of active compounds (essential oils, phenol, flavones, and chlorophyll), high colour intensity, and low microbial contamination. Keywords: Drying, secondary metabolite, medicinal plants
PENDAHULUAN Tanaman obat telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu alternatif pengobatan, baik untuk pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif) (Pramono dan Katno, 2002). Hal ini dikarenakan tanaman banyak mengandung senyawa-senyawa yang mempunyai khasiat, terutama untuk meningkatkan kesehatan. Sekarang sedang digalakkan trend kembali ke alam dengan memanfaatkan bahan alami untuk mengobati penyakit dan meningkatkan kesehatan. Tanaman mengandung senyawa penting yang dikenal sebagai fitokimia, kelompok senyawa alami yang bisa dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan dan mengobati penyakit (Mahanom et al.,
1999). Kelompok senyawa kimia tanaman yang memberikan efek farmakologis adalah senyawa metabolit sekunder, terdiri dari minyak atsiri, flavonoid, alkaloid, steroid dan triterpenoid yang akan memberikan aroma, bau yang spesifik serta kualitasnya (Hernani et al., 1997). Teknik penanganan pascapanen tanaman obat terdiri dari sortasi, pencucian, penirisan, perajangan, pengeringan, dan pengolahan lebih lanjut menjadi berbagai macam produk (simplisia, serbuk, minyak atsiri, ekstrak kental/kering, kapsul, tablet, dan minuman). Pengeringan merupakan salah satu cara untuk pengawetan pascapanen dari tanaman obat karena dapat menjaga kualitas dari produk yang dihasilkan. Pengeringan secara alami, yaitu menggunakan sinar matahari langsung tidak membutuhkan cost energy, tetapi hanya bisa digunakan untuk skala kecil. Tahap awal proses pengeringan, terjadi penguapan yang cepat pada ikatan fisik air (Martinov et al., 2009). Selama dalam proses pengeringan, terjadinya kehilangan bahan aktif, tergantung pada proses pengeringan yang digunakan, seperti kombinasi suhu tinggi dan atmosfer oksigen dalam lingkungan pengeringan. Hal ini merupakan salah satu faktor terjadinya oksidasi kimia senyawa aktif (Durrance et al., 1999). Untuk arah pengawetan bahan aktif, pengeringan suhu rendah lebih direkomendasikan tetapi membutuhkan waktu pengeringan cukup lama. Kondisi pengeringan yang digunakan akan mempengaruhi kandungan minyak atsiri dan warna, dan juga kebutuhan energi dan biaya (Hosseini, 2005). Pengeringan pada suhu di atas 45°C akan menekan jumlah mikroba pada produk yang dihasilkan. Proses pengurangan jumlah mikroba menggunakan uap/steam dan microwave hanya digunakan dalam pengeringan besar. Bila menggunakan suhu tinggi konsekuensinya dapat menghilangkan kandungan atsiri, akan tetapi pada suhu rendah akan meningkatkan jumlah mikroba. Secara umum, pada proses pengeringan membutuhkan biaya produksi 30 sampai 50% (Muller dan Heindl, 2006). Pemilihan proses pengeringan yang tepat menghasilkan simplisia dengan kualitas yang baik dan mempunyai kandungan bahan aktif, warna, serta metabolit sekunder yang tinggi.
33
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TRO VOL. 21 No. 2, Desember 2009: 33-39
Di negara berkembang, proses pengeringan terhadap tanaman obat masih dilakukan secara konvensional (batch dryers), sehingga menghasilkan produk berkualitas rendah dan membutuhkan energi yang tinggi. Suhu pengeringan mempengaruhi kebutuhan energi pengeringan, karena pada suhu tinggi berarti energi pengeringan rendah. Pengeringan, seperti pengeringan dengan menggunakan gelombang mikro yang dikenal dengan microwave, sangat menjanjikan, karena penggunaan energi lebih efisien dibandingkan dengan pemanasan secara konvensional (Mulyono dan Hidayat, 2007). Pemanasan dengan microwave sangat baik digunakan untuk bahan yang memiliki sifat yang dapat menyerap radiasi gelombangnya. Frekuensi dari panjang gelombang yang digunakan adalah 2.450 MHz dan output power diatur ≤1.100 W (Itaya et al., 1999). Pada metode ini ada yang menggunakan vakum dengan tekanan < 0,27 atm dan energi 12 kilowatts (kW)/kg bahan dan membutuhkan waktu 2 sampai 35 menit untuk pengurangan kadar air sampai 20% (Durrance et al., 1999). Tulisan ini akan mengkaji tentang pengaruh proses pengeringan terhadap kualitas simplisia yang dihasilkan, terutama pada kandungan bahan aktif, warna, kontaminasi mikroba, metabolit sekunder seperti minyak atsiri, flavonoid, fenolat, dan khlorofil. PENGERINGAN Faktor utama yang sangat berperan dalam pengolahan pascapanen tanaman obat adalah proses pengeringan. Pengeringan merupakan salah satu proses yang paling kritis dalam pengolahan tanaman obat. Kualitas produk yang dihasilkan biasanya sangat dipengaruhi oleh proses pengeringan yang digunakan (Mahapatra et al., 2009). Pengeringan merupakan usaha untuk menurunkan kadar air bahan sampai ke tingkat yang diinginkan dan menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut kandungan zat aktif. Pengeringan juga bertujuan untuk memudahkan dalam pengelolaan dan agar lebih tahan disimpan dalam jangka cukup lama. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengeringan, antara lain waktu pengeringan, suhu pengeringan, kelembapan udara di sekitarnya, kelembapan bahan atau kandungan air dari bahan, ketebalan bahan yang dikeringkan, sirkulasi udara, dan luas permukaan bahan. Suhu pengeringan sangat berpengaruh terhadap kualitas, terutama pada perubahan kadar fitokimia atau senyawa aktif. Hasil pengeringan pada daun sirih menunjukkan bahwa kadar hidroksikhavikol dan eugenol meningkat dengan kenaikan suhu pengeringan dari 40 ke 70°C dan terjadi dekomposisi bila suhu dinaikkan sampai 80°C (Pin et al., 2009). Hasil penelitian Huda et al.
34
(2008) menunjukkan bahwa perbedaan kondisi pengeringan mempengaruhi kandungan kurkuminoid dalam rimpang temulawak. Pengeringan oven (60°C) menghasilkan simplisia temulawak dengan warna lebih cerah, lebih getas, dan kandungan kurkuminoid lebih banyak daripada pengeringan lampu (± 20°C). Pengeringan harus disesuaikan dengan bahan tanaman yang akan dikeringkan. Jika bahan berasal dari akar, daun, bunga, dan buah, maka suhu dan metode pengeringan perlu diperhatikan. Apabila tidak ditangani secara benar akan mengakibatkan berkurangnya kadar zat berkhasiat. Bahan yang berasal dari bunga dan daun harus tidak mengubah warna dan aroma aslinya, karena daun dan bunga mudah mengalami kerusakan selama pengeringan. Bila penanganannya salah akan terjadi perubahan warna ataupun tercemar (Joyce and Reid, 1986). Daun, herba, dan bunga dapat dikeringkan dengan kisaran suhu 20-40°C, kulit batang dan akar masing-masing pada suhu 30 dan 65°C. Untuk mendapatkan produk yang berkualitas tinggi, perlu diperhatikan kandungan fitokimia atau metabolit sekunder yang sangat bervariasi, kontaminasi dengan mikroba, pencampuran dengan obat sintetik, logam berat, dan kotoran (Tanko et al., 2005). Sebagai contoh, pengeringan terhadap akar valerian menunjukkan adanya perbedaan kandungan asam valerinat. Akar yang dikeringkan secara utuh dan akar yang dipotong tidak memberikan perbedaan secara signifikan terhadap kadar asam valerinat, tetapi hanya berbeda pada lama pengeringan. Akar yang dipotong memberikan lama pengeringan yang lebih cepat dibandingkan akar yang utuh. Kehilangan asam valerinat akan terjadi sebanyak 23% bila suhu pengeringan ditingkatkan dari 15 ke 40C, sedangkan kenaikan suhu dari 40 ke 50C akan mengakibatkan kehilangan asam valerinat sebanyak 36% (Shohet and Wills, 2005). Cara Pengeringan Beberapa cara pengeringan yang dikenal, antara lain : 1. Pengeringan di udara dengan sinar matahari Bahan-bahan yang akan dikeringkan ditebar di tanah dengan dialasi tikar, kain atau di atas baki besar dari aluminium, dapat juga bambu/kayu yang dibuat berlubang-lubang. Lama pengeringan tergantung dari jenis bahan yang dikeringkan. Biasanya pengeringan dengan cara ini memerlukan waktu 1-2 minggu. Bahan tanaman yang dapat dikeringkan dengan cara ini adalah simplisia dari akar, rimpang, kulit, dan biji-bijian. Pengeringan bahan dengan sinar matahari langsung dalam keadaan terbuka, seringkali menyebabkan bahan mengalami pencemaran dan bila terjadi perubahan cuaca se-
Hernani dan Rahmawati Nurdjanah: Aspek pengeringan dalam mempertahankan kandungan metabolit sekunder pada tanaman obat
cara tiba-tiba akan merupakan suatu masalah. Pada proses pengeringan dengan matahari langsung, kemungkinan akan terjadi kontaminasi dari lingkungan seperti debu, insekta, burung, dan rodensia. Secara ekonomi, sinar matahari akan lebih menguntungkan dari alat pengering. Akan tetapi dari segi kualitas, alat pengering buatan akan memberikan produk yang lebih baik. Selain itu, pengeringan dengan matahari tidak dapat diterapkan di semua daerah karena kondisi cuaca yang tidak sama. Sinar ultra violet dari matahari juga dapat menimbulkan kerusakan kandungan kimia pada bahan yang dikeringkan (Pramono, 2006). Sebagai contoh, kurkuminoid yang terdapat pada temulawak, kunyit, dan golongan curcuma sangat peka terhadap sinar ultra violet, sehingga untuk mengeringkan simplisia sebaiknya ditutup dengan kain hitam. 2. Pengeringan di tempat teduh Pengeringan di tempat teduh biasanya digunakan untuk bahan yang berasal dari bunga dan daun, karena dapat melindungi aroma dan warna asli bahan. Suatu penelitian terhadap daun jambu biji yang dikeringkan di tempat teduh dan langsung dengan sinar matahari menunjukkan perbedaan terhadap kadar taninnya. Untuk pengeringan di tempat teduh kadar taninnya lebih tinggi (13,72%) dibandingkan pengeringan di bawah sinar matahari langsung yaitu 11,56%. Daun sambiloto sebelum dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50°C sampai berat konstan, dilayukan terlebih dahulu (Anonymous, 2008) Daun sirih yang diberi perlakuan pengeringan jemur langsung, di bawah naungan, pengeringan solar, mekanik, dan microwave memberikan waktu pengeringan yang berbeda, yaitu berturut-turut 8, 48, 5, 3, dan 10 menit dalam upaya mengurangi kadar air dari 80 % menjadi 5 % (Ramalakshmi et al., 2002). Kualitas daun sirih kering meliputi kadar air, minyak atsiri, khlorofil, dan warna menunjukkan bahwa pengering mekanik dan microwave memberikan waktu yang paling cepat, tetapi kehilangan minyak atsiri sampai 50% dan khlorofil 75% dibandingkan dengan daun segar. Untuk kualitas ternyata pengeringan secara solar, naungan, dan jemur matahari langsung mempunyai kualitas yang baik. 3. Pengeringan dengan udara panas dan kering Cara ini banyak digunakan di daerah yang mempunyai curah hujan dan kelembapan yang cukup tinggi. Alat pengering dibuat sedemikian rupa sehingga suhu dan aliran udara dapat diatur. Keuntungannya adalah pengurangan kadar air dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat. Pengaruh oksigen di udara menyebabkan bahan mudah teroksidasi, perubahan yang sangat jelas adalah perubahan warna dan bau dari simplisia tersebut.
Kondisi pengeringan dari tanaman obat sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembapan yang bisa diatur masing-masing suhu dari 30 sampai 90°C dan kelembaban dari 30 sampai 70%. Kadar air akan setimbang bila kelembaban ruang tetap di jaga di bawah 60%, apabila kelembapan di atas 70% maka mikroorganisme seperti jamur, yeast, dan bakteri akan tumbuh. Rekomendasi kelembapan yang terbaik adalah 60% (Muller et al., 2006). Penggunaan suhu tinngi dapat meningkatkan biaya produksi, selain itu terjadi perubahan biokimia sehingga mengurangi kualitas produk yang dihasilkan. PENGARUH SUHU PENGERINGAN TERHADAP KUALITAS SIMPLISIA Kualitas simplisia sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan aktif, warna, dan kontaminasi mikroba dan metabolit sekunder seperti minyak atsiri, flavonoid, fenolat dan klorofil. Pada ketentuan kualitas simplisia terbagi atas analisa secara fisik dan kimia. Secara fisik biasanya termasuk penampakannya secara visual terhadap warna, kotoran dan lainnya, sedangkan secara kimia adalah analisa kandungan bahan aktifnya Bahan aktif Untuk meningkatkan kapasitas pengeringan, suhu pengeringan harus dipilih setinggi mungkin tanpa mengurangi kualitas. Maksimal suhu yang diperbolehkan tergantung pada komposisi kimia dari bahan aktifnya. Untuk glikosida, maksimum suhu yang direkomendasikan adalah 100°C (Maltry et al., 1975). Pada pengeringan suhu 90°C, kadar minyak atsiri berkurang 10% ketika kadar air mencapai 40%. Pada pengeringan suhu 60°C, tidak terjadi kehilangan atsiri sampai kadar air 10%. Setiap bagian tanaman yang berbeda seperti daun, bunga, buah, kulit kayu dan akar memiliki kandungan bahan aktif dalam konsentrasi yang berbeda. Konsentrasi bahan aktif juga dipengaruhi oleh waktu panen dan cara pengeringan. Bahan tanaman harus langsung dikeringkan ketika telah dikecilkan ukurannya. Apabila tertunda, akan terjadi proses fermentasi, pemucatan dan dekomposisi kimia bahan aktifnya. Pengeringan menggunakan microwave dengan pengurangan tekanan akan mengurangi kadar air tetapi secara signifikan tidak akan mengurangi kadar bahan aktifnya (Durance et al., 1999) Pada pengeringan daun sambiloto dengan 3 tingkat suhu (40, 50 dan 60°C), bahan aktif andrographolid tidak berkurang lebih dari 10% (Saohin et al., 2007). Bahkan pada pengeringan suhu tinggi, yaitu 60°C kandungan andrographolid tertinggi. Andrographolid merupakan senyawa yang berbentuk kristal cukup stabil pada suhu tinggi (Lomlim et al., 2003). Suhu pengeringan sangat berpengaruh terhadap kualitas daun kering
35
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TRO VOL. 21 No. 2, Desember 2009: 33-39
terhadap perubahan kadar fitokimia, hidro-sikhavikol dan eugenol. Hasil menunjukkan bahwa kadar tersebut meningkat dengan kenaikan suhu pengeringan dari 40 ke 70°C, dan terjadi dekomposisi bila suhu ditingkatkan sampai 80°C (Pin et al., 2009). Warna Warna merupakan salah satu kriteria dari kualitas tanaman obat, karena akan berhubungan dengan penilaian konsumen. Salah satu hal terpenting secara visual yang dilihat adalah warna, khususnya warna hijau untuk herbal dari daun. Adanya perubahan warna, menunjukkan kontrol yang kurang baik pada proses pengeringan (Mahanom et al., 1999). Pengaruh suhu pengeringan dari 50 ke 55°C secara tidak langsung terhadap warna Salvia officinalis menyebabkan parameter warna (h:hue) menurun dari 112 ke 87 derajat. Hal ini berarti bahwa terjadi peristiwa pencoklatan, karena terjadi perubahan warna dari hijau ke merah. Pencoklatan terjadi sejak pertama dikeringkan sampai proses pengeringan berakhir, tetapi ketika daun dilakukan pengeringan pendahuluan pada 50°C, kemudian suhu ditingkatkan menjadi 60°C, ternyata warna daun tidak berubah. Pengeringan pendahuluan selama 3 jam secara cukup akan mencegah perubahan warna. Berdasarkan ini, maka pengeringan conveyor (ban berjalan) dapat mengontrol warna biarpun menggunakan suhu tinggi. Pengeringan menggunakan microwave vakum pada bawang putih menghasilkan warna yang lebih cerah dibandingkan menggunakan pengeringan konvensional (Figiel, 2009). Energi yang digunakan untuk menghasilkan produk yang cerah, bila menggunakan 720 W, dan warna tidak terlalu cerah bila hanya menggunakan 240 W. Kontaminasi mikroba Adanya kontaminan mikroba yang melebihi ambang batas, biasanya merupakan alasan yang cukup kuat bagi industri farmasi untuk menolak bahan baku tanaman obat yang dijual oleh petani (Baier and Bomme, 1996). Proses pengolahan pasca panen, seperti mengumpulkan bahan dari lapangan, transportasi dari lapangan dan pengeringan merupakan proses yang meningkatkan kontaminasi mikroba. Penyimpanan dalam kondisi ruangan yang tidak mempunyai ventilasi yang baik, dan adanya pemanasan dari aktivitas respirasi otomatis, menyebabkan bau dan memudahkan tumbuhnya mikroorganisme, terutama karena pengaruh suhu dan kelembapan (Bottcher and Gunther, 1995). Sebagai contoh pada Hypericum perforatum, kandungan mikrobia telah cukup tinggi sebelum dipanen (Graf et al., 2002). Pengeringan pada suhu di atas 45°C akan mengurangi jumlah mikroba (Martinov et al., 2009). Pengeringan
36
dengan uap atau microwave dapat mengurangi jumlah mikroba. Suhu tinggi (80oC) dapat mengurangi kandungan dan terjadi kehilangan minyak atsiri. Walaupun dapat mengurangi jumlah mikroba. Pada suhu tinggi (50C). Mikroorganisme, seperti jamur, dan bakteri akan meningkat pertumbuhannya pada RH > 70%. Aktivitas enzim akan meningkat dengan meningkatnya aktivitas air, ambang batas untuk dapat menjaga kualitas tanaman obat selama penyimpanan adalah pada RH 60% (Muller dan Heindl, 2006) Metabolit sekunder Metabolit sekunder merupakan hasil akhir pengolahan lebih lanjut metabolit primer, yang pada umumnya tidak dibutuhkan tanaman dalam aktifitas metabolismenya. Contoh metabolit sekunder adalah alkaloid, senyawa fenolik, minyak esensial, steroid, lignin, tanin, dan flavonoid. Keragaman struktur kimia metabolit sekunder sangat luas meliputi senyawa alifatik, heterosiklik dengan atom oksigen, nitrogen atau belerang, senyawa jenuh dan tidak jenuh, dengan berbagai macam gugus fungsional seperti hidroksil, ester, eter, amin, nitro dan karboksilat (Purwanti, 2007). Minyak atsiri Minyak atsiri merupakan salah satu komponen yang cukup penting dalam tanaman. Hernani et al., (1989) menunjukkan, bahwa lama pelayuan daun nilam berpengaruh secara signifikan terhadap kadar minyak atsiri dan rendemen. Kombinasi antara lama pelayuan dan penjemuran langsung dengan matahari berpengaruh terhadap rendemen minyak atsiri (Hernani dan Risfaheri, 1989). Rendemen tertinggi dihasilkan pada lama pelayuan 9 hari dan penjemuran 2 jam dengan rendemen 6,39%. Proses lama pelayuan pada daun gandapura ternyata berpengaruh nyata terhadap kadar minyak atsiri minyak gandapura dan kadar metil salisilat sebagai komponen utama. Kadar minyak atsiri dan metil salisilat tertinggi dihasilkan dari lama pelayuan 2 hari (0,94% dan 97,60%) dibandingkan lama pelayuan 3 dan 5 hari (Hernani, 2004). Metode pengeringan daun menta (Mentha longifolia L) ternyata memberikan total komponen kimia minyak atsiri yang berbeda, yaitu 26, 25 dan 22% berturut-turut untuk pengeringan matahari, oven (40C). Pelayuan dengan kandungan senyawa monoterpenoids berturut-turut 91,8%, 63,5% dan 93,3 % (Asekun et al., 2007). Pada pengeringan oven, banyak terjadi transformasi senyawa kimia sehingga komponen utama menton, pulegon dan sineol 1,8 berubah menjadi senyawa lainnya. Pengeringan daun kayumanis secara penjemuran dan dengan lemari pengering dengan suhu 50-60C akan
Hernani dan Rahmawati Nurdjanah: Aspek pengeringan dalam mempertahankan kandungan metabolit sekunder pada tanaman obat
memberikan kadar minyak atsiri yang berbeda, yaitu berturut-turut 0,435 dan 0,396% (Windono et al., 1996). Untuk bahan yang mengandung minyak atsiri, suhu pengeringan yang terbaik adalah 35 hingga 45°C. Pengeringan Melaleuca alternifólia pada suhu 40, 50, 60, 70 dan 80°C tidak memberikan perbedaan kadar atsiri secara senyata, tetapi terjadi penurunan kandungan minyak atsiri sampai 18,19% dibandingkan dengan daun segar (Lemos et al., 1999). Flavonoid Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang mempunyai aktivitas biologis yang cukup beragam, antara lain diuretik, analgetik, pengendur otot, antioksidan dan anti inflamasi (Hernani dan Syahid, 2001). Pada proses pelayuan terhadap daun tempuyung ternyata cara pengeringan dan lama pelayuan akan berpengaruh terhadap kadar flavonoidnya (Hernani et al., 1997). Untuk daun yang dikeringkan dengan oven, produk berwarna lebih hijau dibandingkan dengan penjemuran matahari karena suhu oven bersifat lebih stabil dibandingkan dengan suhu sinar matahari yang sangat bervariasi (35-47C). Kadar flavonoid yang tertinggi dihasilkan dari lama pelayuan 1 hari dengan pengeringan oven suhu 40C. Fenolat Senyawa fenolat adalah komponen yang terdapat dalam tumbuhan tinggi dan tersebar pada makanan seperti buah, sayuran, sereal, legumes dan minuman (anggur, teh, dan kopi) (Cheynier, 2005; Manach et al., 2004). Senyawa ini merupakan metabolit sekunder umumnya berguna untuk melawan radiasi ultraviolet atau agresi patogen. Beberapa senyawa fenolat dikelompokkan dalam beberapa struktur dasar kimia, tipe dan jumlah aromatik fenol dan ke dalam kelas yang berbeda sesuai dengan spesifik substitusi struktur yang berhubungan dengan karbohidrat dan polimer (Manach et al., 2004). Beberapa senyawa berpotensi sebagai faktor penyegah penyakit generatif kronis seperti katarak, diabetes melitus, kanker dan jantung (Scalbert et al., 2005). Beberapa senyawa fenolat dalam tumbuhan tinggi adalah golongan non flavonoid, seperti asam-asam fenolat, asam benzoate, asam hidrosinamat, dan golongan flavonoid yaitu flavonol, flavon, antosianidin dan isoflavon. Asam fenolat dapat mengurangi terbentuknya kanker yang dapat berasal dari nitrosamine dari nitrat dan nitrit. Pada pemanasan tinggi, kurkumin sebagai senyawa bioaktif dari kunyit akan hilang sebanyak 4250%, kapsaicin dari cabe merah akan hilang 18-36%, piperin dari lada hitam 27-34% (Suresh et al., 2008).
Khlorofil Selama masa pengeringan kandungan khlorofil akan berkurang sesuai dengan cara pengeringan yang digunakan. Pada pengeringan daun teh menggunakan oven pada suhu 50C selama 9 jam memberikan kehilangan khlorofil sekitar 64,63%, sedangkaan pengeringan pada suhu 70C selama 5 jam, memberikan kehilangan 21,70%. Pengeringan dengan freeze drying hanya memberikan kehilangan 19,43% (Mahanom et al., 1999). Pada daun sambiloto, pengeringan pada suhu oven 50 dan 70C serta freeze drying, masing-masing mengalami kehilangan khlorofil sebesar 64,63; 21,70; dan 19,43% (Saohin et al., 2007). Khlorofil merupakan zat warna hijau yang terdapat dalam tanaman terutama pada daun. KESIMPULAN Pengeringan tanaman obat perlu dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan kandungan bahan aktif yang ada di dalamnya. Aspek pengeringan akan berpengaruh terhadap kualitas-kualitas simplisia yang dihasilkan, antara lain kandungan bahan aktif, warna, kontaminan mikroba dan metabolit sekunder, antara lain minyak atsiri, flavonoid, fenolat, dan khlorofil. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2008. Promoting herbal drugs : Thailand. Chulabhorn Research Institute (CRI). 10 :45-56. Asekun, O.T., D.S. Grierson, and A.J. Afolayan. 2007. Effect of drying methods on the quality and quantity of the essential oil of Mentha longifolia L.subsp. Capensis. Food Chemistry Vol 101: 995-998. Baier, C. and U. Bomme, 1996. Verunreinigung von Arzneidrogen: aktuelle Situation und Zukunftsperspektiven. Zeitschrift für Arznei-und Gewürzpflanzen, Vol 1 (4): 40-48. Bert, E., K. Thile, and J. Müller. 2002. Hypericum perforatum L.: Veränderung des mikrobiologischen Status während Ernte, Transport und Trocknung. Z.Arzn.Gew.Pfl., Vol 7(1): 31-37. Bottcher, H. and I. Gunther. 1995. Nachernteverhalten und Nacherntephysiologie von Arznei-und Gewurzpflanzen. Herba Germanica, Vol 3 : 47-66 Cheynier, V. 2005. Polyphenols in foods are more complex than often thought. Am. J. Clin. Nutr. Vol 81 (suppl.):223S-229S. Durance, T. D., A. Yousif, K. Hyun-Ock, and C. Scaman. 1999. Process for drying medicinal plants
37
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TRO VOL. 21 No. 2, Desember 2009: 33-39
http://www.wipo.int/pctdb/en/wo.jsp?wo=20000746 94. Figiel, A. 2009. Drying kineticts and quality of vacuummicrowave dehydrated garlic cloves and slice. Journal of Food Engineering Vol 94:98-104. Graf, C., E. Schurbert, K. Thile, and J. Muller. 2002. Hypericum perforatum L.: Veränderung des mikrobiologischen Status Während Ernte, Transport und Trocknung. Z.Arzn.Gew.Pfl. Vol 7(1), 31-37. Hernani, S. Hardjo, N. Nurdjanah, dan Irfan. 1989. Pengaruh lama pengering-anginan dan perbandingan daun dengan tangkai terhadap rendemen dan mutu minyak nilam (Pogostemon cablin Benth.). Bulletin Littro Vol IV (2) : 80-86. Hernani dan Risfaheri. 1989. Pengaruh perlakuan bahan sebelum penyulingan terhadap rendemen dan karakteristik minyak nilam. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri Vol XV (2) : 84-87. Hernani, Sudiarto, M. Rahardjo, dan H. Muhammad. 1997. Aspek stadia pertumbuhan dan pascapanen terhadap mutu tempuyung. Warta Perhimpunan Peneliti Bahan Obat Alami (Perhipba) 5 (IV) : 14-17. Hernani dan S.F. Syahid. 2001. Kualitas daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) dari beberapa daerah. Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryoku Vol VII (2) : 1-3. Hernani. 2004. Gandapura : Pengolahan, fitokimia, minyak atsiri, dan daya herbisida. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol. XV (2) : 32-40. Hoseini, A.A.M. 2005. Quality, energy requirement, and cost of drying tarragon (Artemisia dracunulus L.). http://dbase.irandoc.ac.ir/05019/05019429.htm Huda, D.K.M., B. Cahyono, dan L. Lenawati. 2008. Pengaruh Proses Pengeringan Terhadap Kandungan Kurkuminoid Dalam Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxh). Jurnal Skripsi. UNDIP. Semarang. Itaya, Y., Okuichi, and S. Mori. 1999. Effect of healting modes on strain stress behavior during ceramic drying. Proceedings of the first Asean-Australian Drying Conference (ADC ’99), Bali Indonesia: P.396404.
on the essential oil content from Melaleuca alternifolia Cheel. CIGR – International Conference of Agricultural Engineering XXXVII Congresso Brasileiro de Engenharia Agrícola – CONBEA, Brazil. Lomlim, L., N. Jirayupong, and A. Plubrukarn. 2003. Heat-accelerated degradation of solid-state andrographolide. Chem. Pharm. Bull Vol 51: 24-26 Mahapatra, A.K. and C.N. Nguyen. 2009. Drying of medicinal plants. ISHS Acta Horticulturae 756: International Symposium on Medicinal and Nutraceutical Plants. Mahanom, H., A.H. Azizah, and M.H. Dzulkifly. 1999. Effect of different drying methods on concentrations of several phytochemicals in herbal preparation of 8 medicinal plants leaves. Mal. J. Nutr. Vol 5 : 47-54. Maltry, W., E. Potke, and B. Schneider. 1975. Landwirtschaftliche Trocknungstechnik. 2nd edn. VEB. Verlag Technik. Berlin. Manach, C., A. Scalbert, C. Morand, C. Remesy, and L. Jimenez. 2004. Polyphenols: Food Sources and bioavailability. Am. J. Clin. Nutr. Vol 79:727-747. Martinov, M., D. Adamovic, D. Ruzic, and D. Abrel. 2009. Investigation of medicinal plants drying in batch dryers–quality and energy characteristics. http:www .MEDICINAL%20PLANT5%20DRYING.pdf. Muller, J. and A. Heindl. 2006. Drying of medicinal plants In R.J. Bogers, L.E. Craker, and D. Lange (eds.), Medicinal and Aromatic Plants, Springer, The Netherlands, p.237-252 Paramita, D.I., L. Widowati, dan B. Nuratmi. 1993. Informasi khasiat, keamanan, dan fitokimia tanaman tempuyung (Sonchus arvensis L.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol 2 (3) : 21-22. Pin, K.Y., T.G. Chuah., A. Abdull Rashih, C.L. Law, M.A. Rasadah, and T.S.Y. Choong. 2009. Drying of Betel Leaves (Piper betle L.): Quality and Drying Kinetics. Drying Technology. 27 (1) : 149-155. Pramono, S., Sumarso, dan S. Wahyono. 1993. Flavonoid daun Sonchus arvensis L., senyawa aktif pembentuk kompleks dengan batu ginjal berkalsium. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol 2 (3) : 5-7.
Joyce, D. and M. Reid. 1986. Postharvest handling of fresh culinary herbs. The herb, spice, and medicinal plant digest Vol. 4(2): 1-2.
Pramono, S. dan Katno. 2002. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu, Fakultas Farmasi, UGM.
Lemos, D.R.H., R.P. Rocha, E.C. Melo, E. Visser, and A.L. Pinheiro. 1999. Influence of drying air temperature
Pramono, S. 2006. Penanganan pascapanen dan pengaruhnya terhadap efek terapi obat alami. Prosiding
38
Hernani dan Rahmawati Nurdjanah: Aspek pengeringan dalam mempertahankan kandungan metabolit sekunder pada tanaman obat
Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indoneisa XXVIII, Bogor, 15-18 Sept. 2005. Hal 1-6 Purwanti, E. 2007. Senyawa bioaktif tanaman sereh (Cymbopogon nardus) ekstrak kloroform dan etanol serta pengaruhnya terhadap mikroorganisme penyebab diare. Laporan Penelitian. Universitas Muhamadiyah Malang. (tidak dipublikasikan) Ramalakshmi, K., G. Sulochanamma, J.M. Rao., B.B. Borse, and B. Raghavan. 2002. Impact of drying on quality of betel leaf (Piper betle L.). Journal of Food Science and Technology Vol 39 (6) : 619-622. Saohin, W., P. Boonchoong, S. Iamlikitkuakoon, I. Jamnoiprom, and W. Mungdee. 2007. Effects of drying temperature and residual moisture content of FaTha-Li (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) crude powder for capsule preparation. Thai J. Pharm. Sci Vol 31: 28-35
Scalbert, A., I.T. Johnson, and M. Saltmarsh. 2005. Polyphenols, antioxidants, and beyond. Am. J. Clin. Nutr. 81 (suppl):215S-217S. Shohet, D. and B.H. Wills. 2005. Effect of post-harvest handling on valerenic acids content of fresh valerian (Valeriana officinalis) root Tanko, H., D.J. Carrier, L. Duan, and E. Clausen. 2005. Pre- and post-harvest processing of medicinal plants. Plant Genetic Resources: Characterization and Utilization Vol 3:304-313 Windono, T., M.H. Santosa, dan J.E. Tajanti. 1996. Pengaruh cara pengeringan terhadap kadar dan kualitas minyak atsiri daun kayumanis (Cinnamomum zeylanicum Garc.ex.Bl). Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami VIII. Kerjasama Perhipba dengan Balittro. Hal. 108-115.
39