ASPEK ETIK DALAM KOMIK DAN PEMANFAATAN KOMIK DALAM PEMBELAJARAN Oleh : Kuswara ABSTRAK Pembaca umumnya memberi tanggapan atas pelanggaran etika yang menonjol dan sangat bertentangan dengan norma sosial serta agama, seperti sopan santun anak kepada orang tua dan guru, memaksa kehendak kepada orang lain, perilaku mabuk, serta perilaku dan gambar porno. Pelanggaran EPK seperti aspek kekerasan, bahasa yang kasar, dan lainnya dianggap hal yang wajar dan lucu oleh sebagian besar pembaca komik. Pembaca komik belum memberi perhatian terhadap etika dalam kedisiplinan, cinta budaya sendiri, dan perilaku kepada lingkungan/hewan. Padahal, peneliti berpendapat bahwa ketiga bentuk etika tersebut dapat dijadikan bahan pendidikan yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya dari kegiatan membaca komik. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan didapat bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pelanggaran EPK dalam unsur cerita, gambar, dan bahasa pada komik terjemahan serta komik Indonesia. Kata Kunci : Etika Penulisan Komik (EPK)
A. Pendahuluan Komik sebagai bahan bacaan sampai saat ini masih belum diterima keberadaannya secara menyeluruh oleh masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan. Pada masa tahun 70-an, komik dianggap sebagai “buah terlarang” seperti diungkapkan oleh Bonneff (1998 : 3). Kalangan pendidik masih ada yang beranggapan bahwa membaca komik tidak mempertajam daya kreativitas dan imajinasi anak. Komik kita sendiri pun pernah mengalami perlakuan yang buruk, yakni dituduh sebagai biang kemalasan dan merusak jiwa anak. Kenyataan yang penulis temukan adalah walaupun komik tidak begitu “akrab” dengan dunia pendidikan, tetapi penulis dapat menjumpai digunakannya unsur-unsur komik dalam pelajaranpelajaran tertentu di sekolah. Dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD dan SLTP misalnya, dapat kita jumpai adanya materi mengarang berdasarkan rangkaian gambar-gambar suatu kejadian. Rangkaian gambar-gambar tersebut tentulah komik karena unsur utama sebuah
komik adalah gambar. Jadi, pemanfaatan unsur komik dalam dunia pendidikan sudah lama terjadi walaupun dunia pendidikan di Indonesia “alergi” dengan komik. Penelitian yang penulis lakukan bertujuan mendeskripsikan komik-komik yang banyak dibaca oleh anak SLTP dan aspek Etika Penulisan Komik (EPK) dalam komik-komik tersebut. Selanjutnya, berdasarkan hasil angket dan kajian aspek EPK dalam komik, penulis akan membandingkan aspek EPK dalam komik terjemahan dan komik Indonesia yang banyak dibaca oleh anak-anak. Selain itu dalam penelitian ini penulis mendeskripsikan model pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dengan memanfaatkan komik sebagai media pembelajaran. Ada tiga unsur dalam komik yang dikaji dalam penelitian ini, yakni unsur cerita (kejadian), gambar, dan bahasa (dialog) komik. B. Komik Beberapa istilah digunakan para ahli untuk komik. Bonneff menyebutkannya dengan istilah sastra gambar (1998 : 7), sedangkan McCloud mengacu kepada 12
Jurnal Edukasi
pendapat ahli komik Amerika lainnya – Will Eisner – menggunakan istilah sequential art (seni berturutan) (2001 : 5). Selain itu, beberapa ahli dan sumber lain menggunakan istilah comic strip (Franz & Meir, 1994 : 54; Bundhowi, KIPBIPA : 1999; The Enciclopedia Americana, 1986 : 370). Istilah komik strip umumnya digunakan untuk membedakan komik (satu seri gambar) dengan kartun (satu gambar lucu). Sumber dan ahli lain (Ensiklopedi Indonesia, tanpa tahun : 1838; Ajidarma, Kalam : Juni 2000) menggunakan istilah cerita bergambar untuk komik. McCloud memberi definisi yang luas tentang komik, yakni Juxtaposed pictorial and other images in deliberate sequence intended to convey information and/or to produce an aesthetic response in the vieuwer (1993 : 9). McCloud menyatakan bahwa komik adalah gambar-gambar serta lambang-lambang lain yang terjukstaposisi dalam turutan tertentu, untuk menyampaikan informasi dan/atau mencapai tanggapan estetis dari pembacanya. Dari batasan di atas McCloud membagi komik atas dua komponen, yakni pictorial images (citraan gambar) dan other images (citraan lain, seperti huruf dan kata). Kedua komponen tersebut ditampilkan secara statis dan diletakkan sebelahmenyebelah berurutan (juxtaposed). Ditampilkan statis maksudnya bahwa gambar komik bukanlah gambar yang bergerak seperti dalam sebuah film animasi, sedangkan sebelah-menyebelah mengandung makna bahwa gambar itu diurutkan sehingga membentuk satu rangkaian cerita. Definisi McCloud bila dikaji memiliki kesamaan dengan batasan komik dalam Ensiklopedi Indonesia (tanpa tahun : 1838), yaitu “Cerita berupa rangkaian gambar yang terpisah-pisah, tetapi berkaitan dalam isi; dapat dilengkapi dengan maupun tanpa naskah”. Ciri-ciri komik yang diungkapkan dalam Ensiklopedi Indonesia memiliki kesamaan dengan batasan McCloud, tetapi terdapat perbedaan dalam keberadaan komponen selain gambar. Definisi terakhir tidak
mensyaratkan keharusan keberadaan teks dalam komik. Definisi komik dalam buku Groot Woordenboek van de Nederlandse Taal (1984 : 2800) adalah “cerita bergambar yang terdiri dari tiga atau empat kotak gambar yang diletakkan berdampingan, seperti banyak terdapat dalam harian atau mingguan” . Dua hal yang terdapat dalam definisi tersebut, yaitu bentuk komik dan media terbitnya. Definisi komik di atas senada dengan definisi komik yang terdapat dalam The Encyclopedia Americana (1986: 370) , yakni cartoons arranged either in a single panel or in several boxes (in which case they are called “comics strip”), which are popular feature of most American newspapers. Apabila dikaji tampak bahwa kedua definisi di atas sangat terbatas pada komik yang diterbitkan di media massa. Hal ini memang dapat dimaklumi karena pada awal keberadaannya adalah di surat kabar dan merupakan salah satu upaya penerbit untuk meningkatkan oplah. Sumber lain – Kamus Besar Bahasa Indonesia – memberi definisi komik yang mencakup berbagai media komik, seperti seperti majalah, koran, dan buku, tetapi memberikan pembatasan pada isi komik. Komik adalah “Cerita bergambar (dl majalah, surat kabar, atau berbentuk buku) yg umumnya mudah dicerna dan lucu” (1997 : 515). Batasan tersebut lebih mengacu pada pemahaman masyarakat luas tentang komik sebagai hiburan melalui cerita-cerita lucunya. Definisi ini kurang memperhatikan perkembangan cerita-cerita komik yang tidak hanya berisi kelucuan, tetapi juga hal-hal yang serius, seperti cerita dalam komik remaja, komik petualangan, komik sejarah. Jenis-jenis komik terakhir ini menceritakan masalah secara serius bahkan menegangkan dan menyeramkan. Bonneff (1998 : 48) membedakan komik menjadi beberapa jenis, yaitu komik buku, komik majalah, komik bersambung di harian dan majalah, serta buku pelajaran bergambar, dan brosur propaganda. Berdasarkan media yang digunakan komik dan pembedaan komik menurut Bonneff di 13
Jurnal Edukasi
atas, penulis dapat membaginya menjadi dua macam, yakni komik buku (sebuah buku komik yang berisi cerita) dan komik koran/majalah (komik yang terdiri atas beberapa kotak gambar). Pembahasan bentuk komik selanjutnya akan mengacu pada komik yang berbentuk buku. Bahasa yang digunakan komik memberikan sejarah sendiri bagi budaya Indonesia. Bonneff berpendapat (1998 : 131-132) bahwa komik, khususnya komik wayang, memberi andil yang cukup besar dalam menyebarkan bahasa Indonesia baku di kalangan anak-anak. Lebih lanjut Bonneff menerangkan bahwa dua peranan komik yang penting dalam budaya masyarakat Indonesia adalah dalam pembentukan kebiasaan membaca dan keberadaan komik sebagai alat penyebarluasan bahasa Indonesia, seperti karya sastra lain di wilayah yang bahasa ibu penduduknya bukan bahasa Melayu. Meskipun demikian, sejak dulu hingga sekarang kritik masyarakat terhadap bahasa komik tetap gencar. Bahasa komik dikritik karena menggunakan bahasa Indonesia yang sembarangan. Selanjutnya Bonneff (1998 : 131132) menyatakan bahwa bahasa dalam komik memiliki karakter sebagai berikut : 1) fungsi bahasa untuk memberi komentar action, 2) fungsi bahasa dalam dialog yang repliknya ditempatkan dalam balon (atau di samping), 3) fungsi bahasa dalam mengungkapkan perasaan (interjeksi), 4) fungsi bunyi-bunyian, terkadang gambar pun mengungkapkan bunyi. Seperti yang telah penulis paparkan pada poin 4 di atas bahwa teks atau other images dapat berupa simbol, huruf, tanda baca, kata, atau kalimat. Ada beberapa bentuk simbol (McCloud menggunakan istilah ikon) yang digunakan dalam komik. Dialog dalam komik dimuat dalam wadah berbentuk bingkai. Ahli lain menggunakan istilah balon kata (Bonneff, 1998 : 8; McCloud, 2001 : 134). C. Pembahasan Masalah Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa bentuk komik yang umumnya
beredar di Indonesia umumnya dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yakni komik ukuran pocket book (12 x 17 Cm) dan ukuran kuarto (20 x 27,5 Cm). Bentuk pocket book umumnya digunakan oleh komik-komik Jepang yang saat ini membanjiri pasar komik di Indonesia. Komik ukuran kuarto dan folio umumnya berasal dari Amerika atau Perancis. Berdasarkan hasil jawaban angket didapat fakta bahwa komik sudah menjadi bacaan bagi hampir seluruh responden. Hanya sepuluh anak (1,9 %) dari 512 responden yang menyatakan belum pernah membaca komik. Lima judul komik yang paling banyak dibaca dan disenangi responden, yakni : 1) Doraemon (nomor 45) karya Fujiko F. Fujio 2) Detektif Conan (nomor 28) karya Aoyama Gosho dan Yamagishi Eiichi 3) Crayon Sinchan (nomor 17) karya Yoshito Usui 4) Dragon Ball (nomor 42) karya Akira Toriyama, dan 5) Kobo Chan (nomor 52) karya Masashi Ueda. Komik Indonesia tidak dapat diperhitungkan kemunculannya karena angka yang muncul sangat kecil dari jawaban responden. Untuk komik Indonesia yang akan dikaji, penulis berpedoman pada judul-judul komik dari hasil angket dan dipadukan dengan data komik Indonesia dari Toko Buku Gramedia Bandung sehingga dihasilkan judul-judul berikut: 1) Kisah Nabi Muhammad SAW : Perang di Jalan Allah karya Nur Wahidin, 2) Sangkuriang karya R.A. Kosasih, 3) Aladdin : Jango Telah Tiada karya Eka Wardhana, 4) Si Lender karya P-Project, dan 5) Ophir : Sic Transit Gloria Mundi (nomor 4) karya Andriani. Tema-tema cerita yang diangkat dalam seluruh komik terjemahan yang banyak dibaca responden seluruhnya mengambil tema sederhana yang berasal dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh-tokoh yang ditampilkan 14
Jurnal Edukasi
pun tokoh bukan tokoh yang “istimewa”. Hanya pada komik Detektif Conan dan Dragon Ball ditampilkan tokoh yang istimewa karena memiliki kelebihan dalam menganalisis fakta-fakta kejadian (Detektif Conan) dan kemampuan supranatural (Dragon Ball). Hal ini berbeda sekali dengan komik Indonesia yang seluruhnya menampilkan peristiwa-peristiwa “besar” dengan tokoh-tokoh yang “istimewa”. Kreativitas dalam penciptaan cerita komik pada komikus Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan komikus Jepang, seperti yang tampak pada perbandingan jumlah halaman untuk komik Jepang dan komik Indonesia. Selain itu tampaknya komikus Indonesia selalu membutuhkan “peristiwa besar” dan tokoh “istimewa” untuk menulis sebuah komik. Selain komik Kisah Nabi Muhammad SAW : Perang di Jalan Allah, seluruh profil tokoh utama yang ditampilkan dalam komik-komik Indonesia masih sangat terpengaruh oleh gambaran tokoh dari cerita rakyat Indonesia, yakni tampan, gagah, baik, dan memiliki kemampuan yang istimewa. Selain itu, seluruh tokoh utama dalam komik Indonesia adalah orang dewasa dengan problematika yang ada pada manusia dewasa. Tidak seperti komik Jepang yang banyak menampilkan tokoh utamanya sebagai anak-anak yang memiliki berbagai kelemahan dengan masalah seputar kehidupan anak-anak. Berkenaan dengan gambar komik, seluruh komik yang banyak dibaca oleh anak-anak menggunakan model bahasa atau kartun dalam menggambarkan tokohtokohnya. Model ini mendukung cerita komik-komik tersebut yang pada umumnya berupa cerita humor. Penulis berpendapat bahwa model bahasa atau kartun ini cocok dengan dunia anak-anak. Penulis berpendapat bahwa kualitas gambar komik kurang berpengaruh terhadap minat baca anak-anak terhadap komik tersebut sebab terbukti pada komik Crayon Sinchan yang kualitas gambarnya kurang bagus, tetapi
menduduki peringkat ketiga dari juduljudul komik yang banyak dibaca responden. Dari lima judul komik yang paling banyak dibaca oleh responden, komik yang paling banyak melakukan pelanggaran EPK adalah komik Crayon Sinchan, sedangkan komik yang paling sedikit melakukan pelanggaran EPK adalah komik Kobo Chan. Dari sepuluh juduk komik yang penulis kaji, bentuk pelanggaran EPK yang paling banyak terjadi pada unsur gambar, terutama dalam penggambaran kejadian sadis dan kekerasan yang berlebihan dan gambar tokoh telanjang ataupun memperlihatkan aurat tokoh. Tampaknya kenyataan ini relevan dengan salah satu kritik yang dilontarkan masyarakat selama ini terhadap komik, yaitu banyak menampilkan kekerasan dan kebrutalan dalam adegan cerita. Pelanggaran EPK pada unsur kejadian menduduki peringkat kedua dengan bentuk pelanggaran yang paling banyak terjadi pada aspek kejadian yang bertentangan dengan norma yang telah ada dalam masyarakat saat ini, seperti hormat dan santun kepada orang tua serta guru. Pelanggaran EPK pada unsur bahasa paling banyak berupa dialog yang berisi sumpah serapah dan dialog yang mengarah pada kekerasan yang berlebihan. Banyaknya sumpah serapah dalam dialog komik memang merupakan salah satu kritik dan keluhan yang disampaikan kalangan orang tua dan pendidik terhadap bahasa komik sejak dahulu. Komik-komik terjemahan secara umum telah memperhatikan pembacanya, yakni kalangan anak-anak. Hal ini dapat diperhatikan pada tokoh dan peristiwa yang diangkat dalam komik terjemahan. Sedangkan komik-komik Indonesia kurang memperhatikan pembaca dari kalangan anak-anak karena tokoh dan peristiwa yang diangkat tidak dari kehidupan anak-anak. Peneliti dapat mencatat ada tiga aspek pendidikan yang ditampilkan dalam komik terjemahan, yakni pendidikan kedisiplinan, cinta budaya sendiri, dan melestarikan lingkungan/hewan. Ketiga aspek pendidikan ini tidak penulis temukan 15
Jurnal Edukasi
dalam komik Indonesia. Komik-komik terjemahan sangat memperhatikan aspek kedisiplinan dan budaya dalam ceritaceritanya. Penegakkan disiplin diri (dalam belajar, tugas, kebersihan, sopan santun di rumah, dsb.) sangat ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anaknya dalam cerita komik (dalam komik Doraemon, Crayon Sinchan, Kobo Chan). Etika dalam kedisiplinan diri yang digambarkan dalam komik terjemahan (Jepang) sesuai dengan etika masyarakat Indonesia dan patut ditiru oleh pembaca komik tersebut. Hal ini menggambarkan upaya masyarakat Jepang menanamkan kedisiplinan pada anak-anak sejak usia kecil. Tidak ada toleransi dalam hal penegakkan disiplin, seperti yang digambarkan dalam komik Doraemon dan Crayon Sinchan. Komik-komik Indonesia tidak memperhatikan sama sekali aspek kedisiplinan diri karena tidak ada satu pun peristiwa yang menampilkan aspek tersebut. Malahan, terdapat dua kejadian yang tidak sesuai dengan etika kedisiplinan, yakni kejadian tokoh yang kencing di jalan dalam komik Si Lender. Tampaknya komikus Indonesia hanya menggunakan komik untuk sumber hiburan pembaca semata tanpa berupaya menjadikan komik sebagai salah satu media pembelajaran bagi pembaca, khususnya anak-anak. Komikkomik Indonesia lebih memperhatikan pembaca dewasa daripada anak-anak. Kenyataan dalam komik Indonesia tersebut tampak sama dengan hasil penelitian Damly (PPS UI, 1991) terhadap komik-komik di Republik Federasi Jerman yang umumnya bukan untuk konsumsi anak-anak, tetapi lebih tepat untuk orang dewasa. Selain aspek etika disiplin, komikkomik Jepang telah berupaya memperkenalkan dan menanamkan cinta budaya sendiri pada pembacanya. Hal ini tampak dari berbagai perayaan tradisional Jepang yang dijadikan latar peristiwa dalam komik. Kebanggaan akan budaya sendiri telah ditanam sejak usia anak-anak. Tidak ada kejadian atau pun dialog yang berisi ejekan atau kecaman oleh tokoh dalam komik atas budaya mereka sendiri. Selain
menanamkan kecintaan akan budaya sendiri, komik Jepang telah berupaya memupuk budaya untuk maju, yakni melalui benda-benda modern yang dikeluarkan dari kantong tokoh Doraemon. Penanaman rasa cinta budaya sendiri tidak peneliti temukan dalam komik Indonesia. Malah komikus Indonesia bangga dengan budaya luar, seperti yang ditampilkan dalam komik Si Lender (tokoh penyanyi Amerika, Jennefer Lofez, dan film Armageddon). Etika terhadap lingkungan dan hewan telah ditampilkan dalam komik Doraemon, Kobo Chan, dan Detektif Conan. Komik-komik tersebut menampilkan kejadian yang mengajak pembaca untuk melestarikan lingkungan dan tidak membunuh hewan dengan semena-mena. Kepedulian terhadap lingkungan hidup ini belum tampak ditampilkan oleh komikus Indonesia. Karena komik-komik terjemahan umumnya mengangkat peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, maka komikus memiliki kesempatan yang luas untuk memaparkan konsepnya tentang etika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak sulit dilakukan oleh komikus Indonesia karena peristiwa yang dijadikan latar cerita adalah “peristiwa besar” yang jarang dijumpai dalam keseharian. Komik-komik terjemahan umumnya telah menampilkan kejadian yang sesuai dengan etika berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan keluarga. Prinsip-prinsip perilaku dan bicara yang ditampilkan tokoh dalam komik terjemahan secara umum telah meneguhkan norma yang telah ada dalam masyarakat, kecuali pada komik Crayon Sinchan peneliti temukan banyak kejadian yang tidak etis. Terdapat perbedaan pandangan antara komikus Jepang dan Indonesia dalam etika penokohan pelaku dalam komik. Komikus Indonesia berpegang pada etika bahwa tokoh dalam cerita adalah tokoh yang dapat dijadikan teladan dari segi perilaku, sifat, bicara, dan sebagainya, seperti yang dapat dijumpai pada tokoh16
Jurnal Edukasi
tokoh komik Kisah Nabi Muhammad SAW : Perang di Jalan Allah, tokoh Aladdin, Si Lender (Sutawangsa), Rainor (Ophir). Kreativitas dalam menampilkan aspek pendidikan dalam komik Indonesia masih rendah dibandingkan dengan komik Jepang. Komik-komik terjemahan tidak terlalu memperhatikan aspek etik dalam penokohan sehingga banyak ditampilkan tokoh-tokoh yang sifatnya tidak bisa diteladani, seperti di antaranya Nobita (malas, cepat putus asa, lemah, dsb.), Giant (egois dan nakal), dan Sinchan (nakal). Akan tetapi, komikus Jepang menyajikan aspek pendidikan dari tokoh-tokoh yang berperilaku tidak baik tersebut sehingga pembaca dapat melihat akibat buruk dari perilaku tokoh-tokoh tersebut (dalam komik Doraemon). Berkenaan dengan etika pergaulan dengan orang lain (guru, teman, orang yang lebih tua) pada komik terjemahan, peneliti dapat menyimpulkan bahwa umumnya komik-komik terjemahan menampilkan halhal yang tidak etis. Dalam komik-komik terjemahan yang dikaji banyak ditampilkan kejadian yang tidak etis yang dilakukan tokoh terhadap guru atau teman sejawat. Perilaku yang tidak etis ini tidak peneliti temukan dalam komik Indonesia karena komik-komik Indonesia umumnya menampilkan kejadian-kejadian yang sesuai dengan etika berkenaan dengan perilaku tokoh kepada orang lain. Para pembaca umumnya memberi tanggapan pada aspek-aspek etika yang terkait dengan pelanggaran norma kemasyarakatan dan agama, sedangkan aspek-aspek etika lainnya (cerita, disiplin, budaya, berbicara, gambar, dsb.) dalam komik kurang diperhatikan. Pembaca paling banyak menyoroti aspek etika perilaku dan bicara tokoh lain, terutama kepada orang tua dan guru. Pembaca menyatakan ketidaksetujuannya dengan perilaku yang tidak etis kepada orang tua dan guru seperti yang ditampilkan dalam komik Doraemon dan Crayon Sinchan. Sosok guru dalam komik-komik terjemahan (terdapat dalam komik Doraemon dan Crayon Sinchan)
disajikan secara kurang etis karena guru digambarkan sebagai sosok yang harus ditakuti dan dapat dipermainkan seenaknya oleh siswa. Aspek etika lainnya yang banyak disoroti pembaca adalah berkenaan dengan kejadian-kejadian yang terkait dengan agama, seperti kebiasaan mabuk, hal-hal yang porno, penciptaan bumi, dan menghidupkan orang mati. Pembaca komik menyatakan bahwa tidaklah etis komik menyajikan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama, dalam hal ini agama Islam. Masih minimnya kajian pembaca atas isi sebuah komik dapat peneliti maklumi karena sebagian besar tujuan responden membaca komik adalah untuk mencari hiburan. Pembaca kurang menyadari bahwa banyak aspek pendidikan yang dapat diperoleh dari sebuah komik seperti yang telah peneliti paparkan pada bagian di atas. Walaupun komik Crayon Sinchan banyak menyajikan hal-hal yang tidak etis, tetapi komik ini sangat kuat menyajikan aspek penanaman kedisiplinan diri yang dilakukan tokoh Ibu kepada Sinchan. Penulis komik Indonesia tampaknya mengacu pada pendapat bahwa komik hanyalah media hiburan sehingga komikkomik Indonesia jarang dipergunakan sebagai media pendidikan bagi pembacanya, khususnya kalangan anakanak. Penanaman norma disiplin, belajar, cinta lingkungan, cinta budaya sendiri, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, dan lainnya hampir tidak peneliti jumpai disajikan dalam komik Indonesia. Berdasarkan peringkat teratas lima judul komik yang banyak disenangi dan dibaca responden, penulis melihat terdapat kesamaan ciri pada judul-judul komik yang akan peneliti kaji. Berkenaan dengan bentuk buku komik, responden menyenangi buku komik berukuran pocket book (12 x 17 Cm). Ukuran pocket book memang memudahkan pembaca untuk membawa dan memegang komik tersebut. Penulis berpendapat bahwa alasan kepraktisan 17
Jurnal Edukasi
dalam memegang dan menyimpan buku komik dapat menjadi salah satu penentu pemilihan buku komik yang disenangi responden. Umumnya buku-buku komik yang banyak dibaca responden menggunakan kertas tipis dan gambar isinya tidak berwarna sehingga harga komik tersebut cukup murah, sedangkan dua komik Indonesia (Si Lender dan Ophir) menggunakan kertas tebal dan linen serta seluruh gambar berwarna mengakibatkan harga kedua komik tersebut cukup mahal. Masalah harga tampaknya menjadi salah satu pertimbangan penting agi responden untuk membeli komik. Berkenaan dengan asal komik, seluruh komik terjemahan yang akan peneliti kaji berasal dari Jepang. Kepopuleran judul-judul komik tersebut tidak lepas dari penayangan film kartun komik tersebut di televisi sampai saat ini. Akan tetapi, tidak berarti setiap film kartun komik menyebabkan komik tersebut banyak dibaca anak-anak sebab banyak film-film kartun yang buku komiknya tidak masuk kategori komik yang banyak dibaca oleh responden. Oleh karena seluruh komik yang banyak dibaca oleh responden berasal dari Jepang, maka budaya Jepang sangat dominan dalam cerita-cerita tersebut. Beberapa budaya masyarakat Jepang yang ditampilkan dalam komik-komik tersebut tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia, seperti kebiasaan minum sake (Kobo Chan, Crayon Sinchan, Doraemon, Detektif Conan), mandi telanjang bersama anak dan orang tua (Kobo Chan, Crayon Sinchan), nilai-nilai kesantunan kepada orang tua (Doraemon, Crayon Sinchan), dan lainnya. Akan tetapi, ada pula nilainilai budaya yang ditampilkan dalam komik-komik Jepang yang patut ditiru oleh anak-anak Indonesia, seperti kebiasaan menjaga kebersihan diri dengan cara mencuci kaki, tangan, dan berkumur setelah bermain di luar rumah (Crayon Sinchan, Kobo Chan), menyayangi binatang (Doraemon, Kobo Chan), menjaga
kebersihan di dalam dan di luar rumah (Kobo Chan). Berkenaan dengan cerita dan jenis komik, dari judul-judul komik yang banyak dibaca responden, komik jenis humor menempati urutan pertama untuk jenis komik yang paling banyak dibaca oleh responden (Doraemon, Crayon Sinchan, Kobo Chan, Aladdin, dan Si Lender), diikuti oleh komik cerita rakyat/sejarah (Sangkuriang, Kisah Nabi Muhammad SAW), komik silat (Dragon Ball dan Ophir), dan komik detektif/misteri (Detektif Conan). Tema-tema yang diangkat komikkomik yang banyak dibaca responden umumnya sesuai dengan EPK karena berpihak pada kebenaran. Akan tetapi, komik Crayon Sinchan banyak menampilkan tema yang tidak sesuai dengan EPK – baik unsur cerita, gambar, maupun bahasa – sehingga komik tersebut menurut peneliti tidak baik dibaca oleh anak-anak. Penerbit komik Crayon Sinchan tampaknya telah menyadari hal ini sehingga pada nomor 17 komik ini ditulis “untuk 15 tahun ke atas”, sedangkan pada nomor 1 komik ini tulisan tersebut tidak ada. Tanggapan pembaca atas Etika Penulisan Komik (EPK) berkenaan cerita komik lebih ditujukan pada kejadiankejadian yang melanggar sopan santun kepada orang tua dan guru (EPK Bagian A nomor 14), sedangkan pelanggaran butirbutir lain dari EPK tersebut kurang diperhatikan pembaca dan dianggap hal yang biasa saja dalam komik. Tanggapan pembaca atas EPK berkenaan gambar komik terfokus pada gambar-gambar yang porno (EPK bagian B nomor 6), sedangkan bentuk-bentuk pelanggaran lain, seperti aspek kekerasan berlebihan, tidak dianggap suatu pelanggaran oleh pembaca komik. Tanggapan pembaca atas EPK berkenaan dengan bahasa komik sama dengan EPK dalam cerita komik, yakni hanya memberi tanggapan atas kejadian yang melanggar sopan santun kepada orang tua dan guru. Tuntutan secara hukum atas komik yang banyak melanggar EPK dapat dilakukan oleh masyarakat apabila 18
Jurnal Edukasi
masyarakat menganggap isi komik tersebut melanggar aspek sosiologis (norma-norma masyarakat) ataupun agama, sedangkan pengaduan oleh aparat pemerintah dapat dilakukan apabila cerita komik bertentangan dengan falsafah bangsa Indonesia. Tuntutan secara hukum ditujukan kepada pemegang hak cipta atas judul komik tersebut, bukanlah kepada pengarang komiknya, seperti kasus yang dialami H.B Jassin akibat cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin yang dimuat dalam majalah Sastra pada akhir tahun 60-an. D. Penutup Selama ini masyarakat berpendapat bahwa komikus Indonesia lebih memper-hatikan aspek etik dalam komik-komiknya dibandingkan dengan komik-komik terjemahan. Apabila penulis melihat frekuensi pelanggaran yang terdapat pada unsur cerita, gambar, dan bahasa antara komik terjemahan dan komik Indonesia, maka asumsi di atas tampaknya benar. Akan tetapi, apabila frekuensi pelanggaran tersebut dihitung secara proporsional dan diuji dengan menggunakan teknik statistik test-t, penulis menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara komik terjemahan dan komik Indonesia dalam penerapan Etika Penulisan Komik pada unsur cerita, gambar, dan bahasa komik. Selama ini buku-buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia telah memanfa-atkan bentuk komik sebagai media pembelajaran untuk keterampilan menulis dan berbicara. Akan tetapi, sesungguhnya bentuk komik dapat dimanfaatkan untuk tujan-tujuan lain dengan bentuk pembelajaran yang beragam pula. Penulis menyajikan model pembelajaran yang mengelaborasikan beberapa tujuan pembelajaran dengan fokus model pada model Role Playing. Dalam penerapan model ini siswa dilatih untuk mampu menyusun dialog dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dengan memperhatikan aspek santun
berbahasa. Siswa juga berlatih berargumen atas penafsiran mereka terhadap alur cerita, aspek budaya dalam komik, cara menampilkan laku dramatik adegan dalam komik. Dengan memanfaatkan komikkomik yang banyak dibaca dan disenangi oleh anak-anak, pembelajaran ini akan menyenangkan mereka dan akan melatih beragam kemampuan berbahasa siswa dalam satu kegiatan pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Bonneff, M. (1998). Komik Indonesia (terj. Rahayu S. Hidayat). Jakarta : Gramedia. Bundhowi, M. (1999). Komik Strip dan Kartun : Upaya untuk Memadukan Unsur Kesigapan dan Kepekaan Budaya yang Tinggi pada Pengajaran BIPA. Bandung : KIPBIPA III IKIP BANDUNG. Depdiknas, (2006). Mode Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs. Jakarta : BNSP. Franz, K. dan Meir, B. (1994). Membina Minat Baca. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. Kuswara. (2002). Aspek Etik dalam Komik Terjemahan dan Komik Indonesia serta Tanggapan Pembaca Atas Etika Penulisan Komik (Studi Deskriptif-Analitis-Komparatif terhadap Unsur Cerita, Gambar, dan Bahasa dalam Komik Terjemahan dan Komik Indonesia). Hasil Penelitian McCloud, S. (2001). Understanding Comics : Memahami Komik (terj. S. Kinanti). Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia. Data Penulis : Kuswara, Drs., M.Pd. adalah tenaga pengajar DPK di Prodi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah STKIP Sebelas April Sumedang.
19 Jurnal Edukasi