ARAHAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI RAWA LEBAK KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA KALIMANTAN SELATAN
EVA AGUSTINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap di Rawa Lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2012 Eva Agustina NRP A156100184
ABSTRACT EVA AGUSTINA. The Direction for Catch Fishery Development at the Nontidal Swamps in Hulu Sungai Utara Regency, South Kalimantan. Under direction of ATANG SUTANDI and KUKUH NIRMALA The declining trend of catch fishery production and increasing demand for fishery products, requires efforts to increase production by taking into account aspects of sustainable living. Hulu Sungai Utara Regency has a swamp land reached 63% of the potential total area that can developed for marsh fishing activities. The purpose of this study are: (1) to identify areas of fishery activities on the basis of comparative advantage, (2) to identify the causes of decline in fishery production, (3) to identify the fishery reserves to sustain fishing activities, (4) to identify the perceptions of stakeholders about the direction of the development potential nontidal swamps fishery, and (5) to formulate strategies and policy priorities as the development direction of nontidal swamps fishing potential in Hulu Sungai Utara Regency. The data analysis were used descriptive analysis, analysis of the technical criteria of fishery reserves, spatial analysis, Location Quotient (LQ), Analytical Hierarchy Process (AHP) and SWOT analysis. The results showed that the basis of fishing activities based on comparative advantage is Danau Panggang district, Sungai Pandan district, Amuntai Selatan district, Amuntai Utara district dan Sungai Tabukan district. Decline in fish production due to low utilization of the potential of fishery resources. The fishery reserves located in sub district Tampakang, Pal Batu, Pandamaan, Baru, Pajukungan Hilir, Sungai Dalam, Teluk Limbung, Sungai Durait Hilir, Sungai Durait Tengah, Danau Cermin, Pulau Tambak dan Banyu Hirang. The perception of stakeholders on the nontidal swamps fishery management’s is the priority of physical factors followed by social and institutional factors and the recent economic factors. Based on the SWOT analysis, the recommended policy priorities to be implemented is the use of natural resources, fish resources, human resources, facilities and infrastructure, market potential and capital to increase production and profits. The fishery area which can be exploited area 24.790 hectares scattered throughout the district, while the fishery reserves covering 1.775,6 hectares. Keywords: regional development, nontidal swamps land, fishing area, fishery reserve
RINGKASAN EVA AGUSTINA. Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap di Rawa Lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh ATANG SUTANDI dan KUKUH NIRMALA. Salah satu sektor yang potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kab. HSU) adalah sektor perikanan khususnya perikanan rawa lebak. Potensi besar ini berupa rawa lebak seluas 56.452 ha atau 63% dari luas wilayah kabupaten. Potensi perikanan rawa lebak meliputi luas areal 35.511,2 ha atau 65% dari luas rawa lebak namun baru tergarap sebesar 20.332,3 ha atau 57,2% dari potensi perikanan rawa lebak yang ada (Diskan Kab. HSU, 2011). Adanya kecenderungan penurunan produksi perikanan tangkap dan peningkatan permintaan produk perikanan, memerlukan upaya peningkatan produksi untuk mengimbanginya dengan memperhatikan aspek ruang secara berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi daerah basis kegiatan perikanan berdasarkan keunggulan komparatif, (2) mengidentifikasi penyebab penurunan produksi perikanan tangkap, (3) mengidentifikasi kawasan suaka perikanan untuk menjaga keberlanjutan kegiatan perikanan, (4) mengidentifikasi persepsi stakeholder tentang arahan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak, dan (5) merumuskan strategi dan prioritas kebijakan sebagai arahan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif, analisis kriteria teknis kawasan suaka perikanan, analisis spasial, Location Question (LQ), Analytical Hierarchy Process (AHP), dan analisis SWOT. Dari hasil analisis LQ berdasarkan produksi perikanan terdapat lima kecamatan yang mempunyai nilai LQ>1 untuk kegiatan perikanan tangkap. Ini berarti kecamatan tersebut merupakan kecamatan basis untuk kegiatan perikanan tangkap, produksinya tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan di kecamatan bersangkutan tetapi juga dapat diekspor ke luar kecamatan. Lima kecamatan lain memiliki nilai LQ<1 untuk kegiatan perikanan tangkap namun memiliki nilai LQ>1 untuk kegiatan budidaya. Dari sepuluh kecamatan yang ada, lima kecamatan merupakan kecamatan basis kegiatan perikanan tangkap yaitu Kecamatan Danau Panggang, Sungai Pandan, Amuntai Selatan, Amuntai Utara dan Sungai Tabukan. Lima kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Babirik, Amuntai Tengah, Banjang, Haur Gading dan Paminggir merupakan basis kegiatan budidaya. Dari analisis deskriptif tentang penurunan produksi perikanan tangkap, dapat diketahui penurunan produksi perikanan tangkap yang terjadi di Kab. HSU disebabkan oleh pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan yang masih rendah. Berdasarkan hasil kajian stok ikan yang dilakukan, secara umum stok ikan yang ada di perairan rawa lebak Kab. HSU berada pada kondisi underfishing artinya produksi hasil tangkapan masih rendah nilainya dibandingkan potensi yang dimiliki. Kawasan calon lokasi suaka perikanan ditetapkan di desa Tampakang, Pal Batu, Pandamaan, Baru, Pajukungan Hilir, Sungai Dalam, Teluk Limbung,
Sungai Durait Hilir, Sungai Durait Tengah, Danau Cermin, Pulau Tambak dan Banyu Hirang. Prioritas pengelolaan diketahui melalui nilai (skor) yang didapatkan melalui Analytic Hierarchy Process (AHP). Semakin tinggi nilai yang diperoleh menandakan bahwa variabel atau faktor tersebut lebih prioritas dibandingkan faktor lain yang memiliki nilai lebih rendah. Sesuai persepsi masing-masing stakeholders, bobot nilai setiap faktor juga berbeda-beda. Menurut persepsi stakeholders, dalam pengelolaan perikanan tangkap rawa lebak aspek yang harus diutamakan berturut-turut yaitu aspek fisik, sosial dan kelembagaan, serta ekonomi. Aspek fisik dengan prioritas pilihan secara berturut-turut adalah sumber daya alam, sarana dan prasarana serta kawasan konservasi. Pada aspek sosial dan kelembagaan, yang diprioritaskan adalah partisipasi masyarakat dan lembaga pembina. Aspek ekonomi, yang diprioritaskan berturut-turut adalah sumberdaya manusia, modal, produktivitas dan pemasaran. Untuk menyusun strategi dalam pengembangan perikanan tangkap rawa lebak di Kabupaten Hulu Sungai Utara digunakan analisis SWOT. Dalam penentuan prioritas strategi pengembangan perikanan tangkap berdasarkan analisis peringkat kepentingan, maka prioritas kebijakan yang direkomendasi untuk dilaksanakan berurutan sebagai berikut: (1) memanfaatkan SDA, SDI, SDM, sarana dan prasarana, potensi pasar serta permodalan untuk meningkatkan produksi dan keuntungan usaha, (2) meningkatkan nilai tambah produk perikanan melalui teknologi pasca panen, (3) penyediaan benih ikan lokal untuk kegiatan budidaya, (4) memperkuat permodalan nelayan untuk meningkatkan kemampuan usaha dan (5) meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap penangkapan ilegal. Kawasan potensi perikanan di Kab. HSU memiliki luas areal 24.790 ha dan kawasan suaka perikanan seluas 1.775,6 ha. Berdasarkan hasil overlay antara peta wilayah potensi perikanan tangkap dan peta RTRW Kab. HSU diperoleh peta arahan pengembangan perikanan tangkap Kab. HSU. Kata kunci: pengembangan wilayah, lahan rawa lebak, kawasan perikanan tangkap, kawasan suaka perikanan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ARAHAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI RAWA LEBAK KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA KALIMANTAN SELATAN
EVA AGUSTINA
TESIS sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER SAINS pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Tesis
:
Nama NRP Program Studi
: : :
Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap di Rawa Lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan Eva Agustina A156100184 Ilmu Perencanaan Wilayah
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Atang Sutandi, M.Si., Ph.D. Ketua
Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian : 28 Maret 2012
Tanggal Lulus :
Tulisan ini kupersembahkan untuk: Kedua orang tua tercinta Ayahanda Muhammad Yusuf dan Ibunda Jawiah saudara-saudaraku Yudi Mahyudi & Maya Pradina Fitri, Winda Aprida & Sulisanto keponakan-keponakanku Malfino, Muhammad dan Kheynas serta keluarga besarku yang senantiasa memberi bantuan, dukungan serta doa dan kasih sayang secara tulus ikhlas Kakak-kakakku Sri Jamiatul Khairah dan Erva Noorrahmah yang telah berbagi suka, duka, kisah dan inspirasi dalam melintasi masa bersama Saudara-saudaraku Mahasiswa PWL 2010 terimakasih atas segala dukungan, kebersamaan dan persaudaraan yang indah
PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap di Rawa Lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan dapat diselesaikan. Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Ir. Atang Sutandi, M.Si.,Ph.D. dan Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini. 2. Dr. Ir. Untung Sudadi, M.Sc. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. 3. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. 4. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis. 5. Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini. 6. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun Reguler angkatan 2010 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Akhirnya, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi yang berguna bagi kita.
Bogor, April 2012
Eva Agustina
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Barabai pada tanggal 07 Agustus 1982 dari pasangan orang tua Bapak Muhammad Yusuf dan Ibu Jawiah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar hingga menengah penulis tempuh di Barabai. Tahun 2000 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Barabai dan kemudian melanjutkan pendidikan ke Universitas Lambung Mangkurat melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis diterima di jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan menyelesaikan studi pada jenjang sarjana pada tahun 2004. Pada Tahun 2005, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara pada Dinas Perikanan Kabupaten Hulu Sungai Utara hingga saat ini. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah pascasarjana pada tahun 2010 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB dengan bantuan pembiayaan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas).
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Untung Sudadi, M.Sc.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……...………………………………………………….
iii
DAFTAR GAMBAR …...………………………………………………….
iv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….
vii
I.
PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Latar Belakang……………………………………………………. Perumusan Masalah………………………………………………. Tujuan Penelitian…………………………………………………. Manfaat Penelitian ……………………………………………….. Kerangka Pemikiran………………………………………………
1 3 4 4 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
Sumber Daya Ikan…….………………………………………….. Perikanan Tangkap….……………………………………………. Pengembangan Wilayah………………………………………….. Rawa Lebak…...….………………………………………………. Fungsi Kawasan…………..………………………………………. Kawasan dan Suaka Perikanan……………………………………
6 7 8 9 11 12
III. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………... Bahan dan Alat……………………………………………………. Metode Pengumpulan Data……………………………………….. Metode Analisis Data…………………………………………….. 3.4.1 Analisis Location Quotient (LQ) …………………………. 3.4.2 Analisis Deskriptif ………………………………………... 3.4.3 Analisis Kriteria Teknis Kawasan Suaka Perikanan ……… 3.4.4 Analisis Spasial …………………………………………… 3.4.5 Analytical Hierarchy Process (AHP)……………………... 3.4.6 Analisis SWOT……………………………………………. 3.5. Diagram Alir Penelitian……………………………………………
3.1 3.2 3.3 3.4
15 15 15 16 17 18 19 21 22 23 25
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
Geografis………………………………………………………….. Demografi………………………………………………………… Fisik Wilayah……………..………………………………………. Ekonomi Wilayah………………………………………………… Potensi Perikanan………………………………………………….
26 28 29 31 34
ii
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6
Kondisi dan Potensi Perikanan Tangkap…………………………. Daerah Basis Kegiatan Perikanan Tangkap dan Budidaya……….. Identifikasi Penyebab Penurunan Produksi Tangkap….…………. Identifikasi Kawasan Suaka Perikanan…………………………… Persepsi Stakeholder..…………………………………………….. Strategi dan Arahan Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap ...………………………………………………………...
38 49 53 61 66 69
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan…………………………….…………………………. 6.2 Saran………………………………………………………………
85 86
DAFTAR PUSTAKA.....…………………………………………………...
87
LAMPIRAN………………………………………………………………...
91
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Matriks Analisis Penelitian ………………………………………………
16
2
Matrik SWOT…………………………………………………………….
24
3
Kecamatan dalam Wilayah Administrasi Kab. HSU…………………….. 26
4
Jumlah Rumah Tangga dan Penduduk Kab. HSU Tahun 2010…… ……. 28
5
Kondisi Genangan di Kab. HSU Tahun 2010.…………………………..
30
6
Penggunaan Lahan di Kab. HSU Tahun 2010.…………………………..
31
7
Pertumbuhan PDRB Kab. HSU Tahun 2006-2010…. …………………... 32
8
PDRB Kab. HSU Tahun 2010 Atas Dasar Harga Berlaku (Ribuan 33 Rupiah)……………………………………………………………………
9
Perkembangan Produksi Perikanan Kab. HSU Tahun 2006-2010……….
10
Perbandingan Penggunaan Lahan Sawah dan Rawa di Kab. HSU Tahun 38 2010 (Musim Hujan) dan Tahun 2011 (Musim Kemarau)……………….
11
Produksi Perikanan Kab. HSU Tahun 2010 (Ton)……………………….
12
Nilai Location Quotient (LQ) Sub Sektor-Sub Sektor pada Sektor 48 Pertanian Per Kecamatan berdasarkan PDRB Tahun 2010 Atas Dasar Harga Berlaku…………………………………………………………….
13
Nilai LQ Produksi Perikanan Kab. HSU Tahun 2010……………………
49
14
Produksi Perikanan Kab. HSU Tahun 2006-20101..…..…………………
53
15
Perbandingan RTP dan Produksi Kegiatan Perikanan Tangkap dan Budidaya Tahun 2006 dan Tahun 2010…………………………………..
55
16
Jumlah Pelaku Penyetruman yang Tertangkap Tahun 2006-2010……….
57
17
Kriteria Kualitas Air Berdasarkan Nilai Kualitas Air (KA)……………...
58
18
Hasil Perhitungan Environmental Quality Index (EQI) Kualitas Air..….
58
19
Luas Kawasan Suaka Perikanan di Kab. HSU ….……………………….. 62
20
Lokasi dan Posisi Calon Lokasi Suaka Perikanan .…….….…………….
34
46
62
iv
21
Penilaian Tingkat Kepentingan SWOT…………………………………..
22
Matriks SWOT…………………………………………………………… 73
23
Pemilihan Analisis Prioritas yang Diunggulkan …………………………
24
Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap di Kab. HSU...……………... 76
25
Arahan Penggunaan Lahan untuk Pengembangan Perikanan Tangkap….. 82
72
74
v
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka Pikir Penelitian.……………………………………………...
5
2
Diagram Alir Penelitian…………………………………………………
25
3
Peta Administrasi Kab. HSU…………………………………………….
27
4
Lahan Rawa di Kab. HSU.………………………………………………
29
5
Grafik Nilai PDRB Kab. HSU Tahun 2006-2010……………………….
32
6
Grafik Peranan Sub Sektor-Sub Sektor pada Sektor Pertanian PDRB Tahun 2010 Berdasarkan Harga Berlaku………………………………..
33
7
Alat Tangkap dan Ikan Betok (Anabas testudineus) Hasil Tangkapan di Rawa Lebak…………………………………………………………….. 35
8
Kegiatan Budidaya Kolam, Karamba dan Fish Pen….…………………
36
9
Dermaga Apung dan Dermaga Tambat…………………………………
37
10
Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Sawah dan Rawa..…………….
39
11
Peta Penggunaan Lahan Kab. HSU Tahun 2010………………………..
40
12
Peta Penggunaan Lahan Kab. HSU Tahun 2011………………………..
41
13
Keadaan Rawa Lebak pada Saat Musim Hujan dan Musim Kemarau….
42
14
Vegetasi di Rawa Lebak Kab. HSU ……………………………………
45
15
Ikan Toman (Channa micropeltes) dan Belut (Monopterus albus Zeiew) Hasil Tangkapan di Rawa Lebak………………………………
45
16
Peta Wilayah Potensi Perikanan Tangkap..……………………………..
47
17
Peta Kecamatan Basis Kegiatan Perikanan….…………………………..
51
18
Alat Tangkap yang Digunakan Nelayan Penangkap Ikan..……………..
52
19
Pola Pemasaran Ikan Segar Hasil Tangkapan….………………………..
53
20
Perkembangan Produksi Perikanan Tahun 2006-2010………………….
54
vi
21
Kondisi Lokasi Suaka Perikanan (a) Hambuku Lima, (b) Longkong, (c) Putat Atas, dan (d) Tampakang…………………..………………….
61
22
Peta Usulan Calon Lokasi Suaka Perikanan……………………………..
62
23
Hasil AHP dalam Penentuan Pengembangan Potensi Perikanan Tangkap Rawa Lebak di Kab. HSU …………………………………….
69
24
Peta Sebaran Desa Tempat Sarana Pendaratan Ikan dan Cold Storage…………………………………………………………………... 78
25
Peta Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap..….…………………...
83
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Kuesioner Kondisi dan Potensi Perikanan Tangkap……………………..
91
2
Kuesioner AHP…………………………………………………………..
93
3
Data Kondisi dan Potensi Perikanan Tangkap pada Desa Sampel ……..
102
4
Perhitungan Bobot dalam Analisis AHP………………………………… 114
1
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sumber daya perikanan dapat dipandang sebagai suatu komponen dari
ekosistem perikanan yang berperan sebagai faktor produksi untuk menghasilkan suatu output yang bernilai ekonomi masa kini maupun masa mendatang. Pengembangan dan pembangunan perikanan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani nelayan melalui peningkatan produksi perikanan secara menyeluruh. Oleh karena itu perlu dipacu untuk mempercepat pencapaian tingkat pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal dalam rangka pemanfaatan sumber daya perikanan secara berkesinambungan, dengan tetap menjaga kelestarian sebagai sumber kehidupan dan penghidupan masyarakat. Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kab. HSU) dengan luas wilayah 89.270 ha (892,7 km²) merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan. Dari luas keseluruhan wilayah, ± 56.452 ha atau 63% terdiri atas dataran rendah yang digenangi oleh rawa lebak baik yang tergenang secara permanen maupun yang tergenang secara periodik dengan luas perairan umum berupa rawa lebak ± 54.129 ha dan sungai 2.323 ha (Diskan Kab. HSU, 2011). Dari luas keseluruhan rawa lebak, 35.511,2 ha atau 65% merupakan potensi perikanan, namun baru tergarap seluas 20.332,3 ha atau 57,2% dari luas potensi perikanan untuk seluruh sektor perikanan. Pemanfaatan sumber daya perairan pada sektor perikanan masih didominasi oleh kegiatan perikanan tangkap dengan produksi hasil tangkapan pada tahun 2010 sebesar 12.503,8 ton dan tahun 2009 sebesar 12.514,7 ton. Jumlah ini menunjukkan produksi perikanan tahun 2010 menurun sebesar 0,1 % dari produksi tahun 2009. Demikian juga produksi tahun 2009 menunjukkan penurunan rata–rata 3% dari tahun 2008 yaitu sebesar 12.891,2 ton (Diskan Kab.HSU, 2011). Menurut BPS (2011b) pada tahun 2010 sub sektor perikanan memberikan kontribusi sebesar 7,4% pada PDRB Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan produksi dominan dari perikanan tangkap. Kegiatan penangkapan ikan di perairan rawa lebak adalah kegiatan langsung memungut hasil alam tanpa kegiatan menanam terlebih dahulu. Tanpa disadari tidak pernah ada rencana nelayan menjaga kelestarian sumber daya ikan selama
2
rawa lebak masih menghasilkan ikan, walaupun menunjukkan kecenderungan penurunan produksi. Pemanfaatan langsung seperti penangkapan ikan, eksploitasi dengan tanpa memperhatikan daya dukung, nilai ekologis dan ekosistemnya serta pengelolaan potensi sumber daya perikanan yang belum optimal akan berdampak pada keberlanjutan ketersediaan sumber daya perikanan. Masyarakat Kab.HSU hidup dan tergantung pada keberadaan rawa lebak sehingga rawa lebak menjadi potensi yang perlu dikelola dan dimanfaatkan secara arif dan bijaksana dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sumber daya ikan merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources). Sumber daya ikan mempunyai batas-batas tertentu sesuai dengan daya dukungnya (carrying capacity). Hanya lingkungan perairan yang baik, dengan keadaan fisik dan kimia yang kondusif untuk pertumbuhan ikan yang mampu menghasilkan produktivitas ikan yang optimal. Lingkungan yang terganggu secara fisik dan kimia secara berlebihan tidak memberi kesempatan ikan untuk berkembang biak. Apabila pemanfaatannya dilakukan secara bertentangan dengan kaedah-kaedah pengelolaan, maka akan berakibat terjadinya kepunahan.
Pendekatan optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan dapat
dilakukan dengan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan yaitu aktivitas untuk menjaga kelanjutan manfaat dari sumber daya perikanan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa menganggu kebutuhan generasi yang akan datang. Pemanfaatkan dan pengelolaan sumber daya ikan perlu dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Peraturan-peraturan lebih mengarah kepada
upaya menjaga kelestarian sumber daya perikanan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 02 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan. Sumber daya perikanan dapat dikelola berdasarkan fungsi kawasan perikanan tangkap dan kawasan suaka perikanan. Dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, fungsi utama kawasan dalam penataan ruang dibedakan menjadi kawasan lindung dan budidaya. Dengan menentukan fungsi rawa lebak di Kab. HSU sebagai kawasan perikanan tangkap dan kawasan suaka perikanan berdasarkan kriteria yang ada,
3
maka akan dapat diketahui luas lahannya sehingga akan memudahkan dalam arahan pengelolaan dan pemanfaatannya. 1.2
Perumusan Masalah Dari gambaran di atas dapat diketahui bahwa Kabupaten Hulu Sungai Utara
mempunyai potensi perikanan yang cukup besar. Pengelolaan sumber daya perikanan di rawa lebak tetap harus memperhatikan keseimbangan ekosistem yang ada agar keberlanjutan dan pemanfaatan lainnya tetap terjaga. Keseimbangan ekosistem
merupakan
fungsi
lingkungan
yang
harus
dipertahankan.
Keseimbangan ekosistem memberikan ketersediaan sumber daya alam secara memadai, yang dapat diandalkan sebagai sumber kehidupan masyarakat agar tidak dirugikan secara ekonomi maupun ekologi. Keterkaitan antara fungsi produksi untuk kepentingan ekonomi dan fungsi lingkungan untuk kelestarian ekologi sangat erat. Penurunan fungsi lingkungan akan diikuti oleh penurunan produksi dari sumber lingkungan tersebut. Penurunan produksi perikanan tangkap dan adanya laju permintaan produk perikanan yang meningkat memerlukan upaya peningkatan produksi sekaligus tetap menjaga kelestarian sumber daya ikan. Dalam hal ini dilakukan upaya peningkatan produksi perikanan untuk mengimbangi peningkatan permintaan produk perikanan yang terus bertambah. Agar pengembangan rawa lebak untuk kegiatan perikanan sesuai dengan daya dukungnya untuk keberlanjutan, maka diperlukan arahan pengembangan yang memperhatikan kepentingan ekonomi maupun ekologi.
Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan
mengembangkan potensi kawasan rawa lebak berdasarkan fungsi kawasan. Berdasarkan uraian permasalahan di atas disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Daerah mana yang merupakan basis kegiatan perikanan berdasarkan keunggulan komparatif?
2.
Hal-hal apa yang menyebabkan penurunan produksi perikanan tangkap?
3.
Kawasan mana yang harus tetap dipertahankan sebagai kawasan suaka perikanan untuk menjaga keberlanjutan kegiatan perikanan?
4.
Bagaimana persepsi stakeholder tentang arahan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak?
4
5.
Bagaimana strategi dan prioritas kebijakan sebagai arahan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak di Kab. HSU?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1.
Mengidentifikasi daerah basis kegiatan perikanan berdasarkan keunggulan komparatif.
2.
Mengidentifikasi penyebab penurunan produksi perikanan tangkap.
3.
Mengidentifikasi kawasan suaka perikanan untuk menjaga keberlanjutan kegiatan perikanan.
4.
Mengidentifikasi persepsi stakeholder tentang arahan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak.
5.
Merumuskan strategi dan prioritas kebijakan sebagai arahan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak di Kab. HSU.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini diantaranya adalah :
1.
Sebagai masukan dalam penatagunaan lahan di Kab. HSU.
2.
Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kab. HSU dalam perencanaan pembangunan, khususnya pengembangan kegiatan perikanan di rawa lebak.
3.
Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat yang bergerak dalam usaha pengembangan kegiatan perikanan di Kab. HSU.
1.5
Kerangka Pemikiran Pembangunan yang dilaksanakan di suatu wilayah merupakan kegiatan yang
dilaksanakan dalam rangka mengelola sumber daya yang dimiliki. Untuk itu dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan kondisi eksisting, permasalahan dan potensi wilayah yang ada. Salah satu sektor yang potensial untuk dikembangkan di Kab. HSU adalah sektor perikanan khususnya perikanan tangkap rawa. Potensi besar ini berupa rawa lebak seluas 56.452 ha atau 63% dari luas wilayah kabupaten. Potensi perikanan rawa lebak meliputi luas areal 35.511,2 ha atau 65% dari luas rawa lebak namun secara aktual baru tergarap sebesar 20.332,3 ha atau 57,2% dari potensi perikanan rawa lebak yang ada (Diskan Kab.HSU, 2011).
5
Adanya kecenderungan penurunan produksi perikanan tangkap memerlukan upaya peningkatan produksi untuk mengimbanginya dengan memperhatikan aspek ruang secara berkelanjutan.
Selain itu, belum adanya peta kawasan
perikanan tangkap dan kawasan suaka perikanan menyebabkan belum ada batasan yang jelas bagi masyarakat yang bergerak di sektor perikanan tangkap. Untuk itu diperlukan pengembangan perikanan tangkap berdasarkan fungsi kawasan perikanan tangkap dan kawasan suaka perikanan dengan tujuan untuk peningkatan produksi dan terjaganya kelestarian sumber daya. Secara skematik kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Kondisi Eksisting Tergarap seluas 20.332,3 ha atau 57,2% dari potensi perikanan Produksi tangkapan tahun 2009 menurun 3% dari tahun 2008
Masalah Potensi Belum ada peta Potensi rawa lebak kawasan perikanan lebak seluas 56.452 ha tangkap atau 63% luas wilayah Belum ditetapkan Potensi perikanan kawasan suaka seluas 35.511,2 ha atau perikanan 65% luas rawa lebak
Peningkatan produksi dan terjaganya kelestarian sumber daya perikanan
Pustaka
Kajian: Lingkungan Perikanan Peraturan
Survei
Kondisi: Sosial ekonomi perikanan Biofisik lahan
Analisis data
Peta dan Arahan pengembangan perikanan tangkap
Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian
Kuesioner
Persepsi stakeholder
II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Sumber Daya Ikan Sama seperti sumber daya pertambangan, sumber daya perikanan ada
batasnya, namun berbeda dengan sumber daya pertambangan seperti minyak bumi, sumber daya perikanan memiliki daya reproduksi yang bersifat dapat diperbaharui (renewable) atau mempunyai sifat dapat pulih, sehingga apabila dikelola dengan baik akan dapat digunakan secara berkelanjutan. Dengan kata lain, apabila dilakukan pengelolaan secara tepat, maka sumber daya perikanan akan dapat memasok protein (hewani) secara stabil. Pada saat yang sama juga memiliki kontribusi ekonomi dan sosial yang besar seperti pengembangan sektor produk perikanan dan penciptaan lapangan kerja. Yang jelas akan memberikan dampak pada pengurangan jumlah kemiskinan. Di sini makna tentang pentingnya pengelolaan sumber daya perikanan. Ikan adalah sumber daya hayati yang dapat diperbaharui.
Meskipun
demikian, eksploitasi yang tidak terkendali tetap akan menimbulkan risiko kelangkaan dan atau kepunahan spesies ikan. Selain itu, siklus hidup ikan sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya yang merupakan tempat ikan berlindung, menyimpan telur, mencari makan dan berkembang biak sehingga jika lingkungan tersebut rusak maka akan sangat mempengaruhi stok ikan. Menurut Widodo dan Hakim (2002), sumber daya ikan pada umumnya dianggap bersifat open access dan common property yang artinya pemanfaatannya bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat sumber daya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain : 1.
Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebih (over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment).
2.
Perlu adanya hak kepemilikan (property rights) misalnya oleh Negara, masyarakat atau swasta. Sifat-sifat sumber daya seperti di atas menjadikan sumber daya ikan bersifat
unik dan setiap orang seakan-akan mempunyai hak untuk memanfaatkan sumber daya tersebut dalam batas-batas kewenangan hukum suatu Negara. Kondisi ini
7
memungkinkan setiap orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk dan mengambil manfaatnya.
Dengan demikian secara prinsip sumber daya milik
bersama dicirikan oleh pengambilan secara bebas maupun akibat lain yang ditimbulkan seperti biaya eksternalitas tinggi (tidak ekonomis) sehingga akan menimbulkan kecenderungan pengelolaan secara deplesi (Suparmoko, 1997). Deplesi adalah suatu cara pengambilan sumber daya alam secara besar-besaran, yang biasanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan mentah. Dalam kaitannya dengan sumber daya perikanan yang sifatnya dapat diperbaharui, tindakan deplesi walaupun dapat diimbangi dengan kegiatan konservasi akan tetap melekat dampaknya terhadap lingkungan dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkannya. 2.2
Perikanan Tangkap Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor Per.05/Men/2008, usaha perikanan tangkap adalah usaha perikanan yang berbasis pada kegiatan penangkapan ikan. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, danatau mengawetkannya. Perikanan tangkap merupakan salah satu sektor yang memegang peran penting dalam menggerakkan perekonomian. Dalam pengembangan dan pengelolaannya dibutuhkan adanya informasi mengenai kegiatan perikanan tangkap di wilayah tersebut (Kurnia et al., 2004). Menurut Nababan et al. (2007), pengelolaan perikanan tangkap perlu terencana dengan baik agar dapat berkelanjutan. Keberlanjutan perikanan tangkap dilihat dari dimensi keberlanjutan yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum kelembagaan. Salah satu isu pembangunan perikanan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah menyeimbangkan antara tujuan ekonomi, sosial, teknologi, hukum kelembagaan dengan keberlangsungan sumber daya perikanan (ekologi). Menurut Kusumastanto (2000) dalam Nababan et al. (2007), rumusan perencanaan pengelolaan sumber daya perikanan harus komprehensif dan memenuhi kriteria pembangunan terpadu berkelanjutan yaitu secara ekonomi
8
harus efisien dan optimal, secara sosial budaya berkeadilan dan dapat diterima, dan secara ekologis tidak melampaui daya dukung lingkungan (environmentally friendly).
Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan semestinya
dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan perikanan berkelanjutan, yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan dan perbaikan kualitas lingkungan. Perencanaan pengelolaan dilakukan dengan mengakomodasi seluruh kepentingan stakeholder, menghimpun informasi yang lengkap, akurat dan terbaru serta dilakukan dengan prosedur dan pendekatan yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu masalah pokok yang menjadi penghambat dari keberlanjutan perikanan tangkap adalah adanya pemahaman dari nelayan bahwa perairan adalah milik bersama atau umum (common property) sehingga nelayan menangkap sebanyak-banyaknya dengan menggunakan alat tangkap baik yang ramah lingkungan maupun yang dapat merusak lingkungan misalnya bom dan racun sehingga menimbulkan kerusakan ataupun penurunan kualitas lingkungan (Patanda, 2005). 2.3 Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumber daya yang dimilikinya secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat terpadu dan komprehensif. Keterpaduan mencakup bidang ilmu, sektoral, wilayah dan hirarki pemerintahan dan komprehensif terhadap aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup (Djakapermana, 2010). Pengembangan wilayah mencakup banyak aspek yang saling berinteraksi. Interaksi antar komponen dalam pengembangan wilayah sangat dinamis. Peningkatan satu komponen secara langsung berdampak terhadap komponen lainnya. Misalnya pembangunan infrastruktur jalan diyakini dapat mendorong pergerakan barang, jasa, dan orang yang pada akhirnya menciptakan pergerakan ekonomi dan pembangunan aspek lainnya. Namun demikian, di samping manfaat tersebut, terdapat pula dampak negatif yang ditimbulkan oleh interaksi antar komponen tersebut.
Pergerakan barang, jasa dan orang dapat menimbulkan
9
pencemaran, kemacetan dan konflik sosial.
Pembangunan infrastruktur yang
mengabaikan prinsip berkelanjutan, tidak memperhatikan dan menjaga pelestarian lingkungan akan memberikan dampak kontraproduktif yang pada gilirannya tidak lagi memberikan manfaat pertumbuhan ekonomi wilayah, karena akan disibukkan oleh biaya-biaya mengatasi bencana dan ongkos sosial ekonomi yang besar (Djakapermana, 2010). Di masa sekarang dan yang akan datang diperlukan adanya pendekatan perencanaan wilayah yang berbasis pada hal-hal berikut: (1) sebagai bagian dari upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan, (2) menciptakan keseimbangan pembangunan antar wilayah, (3) menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumber daya di masa sekarang dan masa yang akan datang (pembangunan berkelanjutan), dan (4) disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasi perencanaan yang disusun (Rustiadi et al., 2009). 2.4 Rawa Lebak Lahan rawa lebak, menurut terminologi landform adalah backswamp atau rawa belakang yang merupakan suatu land facet cekungan. Posisinya berada di belakang tanggul sungai (levee). Dari aspek lingkungan, keberadaan rawa lebak sangat penting sebagai pengendali luapan air, baik pada waktu kejadian banjir maupun pascabanjir. Dari aspek sumber daya lahan, rawa lebak merupakan lahan tercadang untuk pertanian dan perikanan (Djaenudin, 2009). Perairan umum rawa merupakan penghasil ikan air tawar utama bagi kebutuhan masyarakat (Nasution, 2008). Rawa memiliki nilai karena fungsinya telah terbukti berguna untuk manusia baik untuk hidrologis maupun biologis (Mitsch et al., 2000). Menurut Noor (2007), rawa lebak diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Lahan rawa lebak memiliki topografi berupa cekungan dan merupakan dataran banjir dengan masa genangan lebih panjang. Pengaruh arus pasang surut dari air laut sangat lemah bahkan hampir nihil. Ketentuan umum untuk dikategorikan sebagai rawa lebak adalah apabila genangan air minimal 50 cm dan lamanya
10
genangan minimal 3 bulan. Bentang alam (landscape) wilayah rawa lebak meliputi wilayah tanggul sungai, dataran banjir (flood-plain) sampai lahan burit (hinterland), termasuk sebagian wilayah rawa pedalaman atau rawa belakang (back swamp). Luas lahan rawa lebak di Indonesia ditaksir sekitar 13,27 juta hektar atau 40% dari luas keseluruhan rawa yang luasnya sekitar 33,43 juta hektar (Nugroho et. al., 1992 dalam Noor, 2007). Lahan rawa lebak ini utamanya tersebar di tiga pulau besar yaitu Sumatra, Kalimantan dan Papua. Sisanya tersebar di Pulau Sulawesi dan sebagian kecil Pulau Jawa. Namun dari luasan rawa lebak 13,27 juta hektar tersebut baru 730 ribu hektar yang telah direklamasi dan dimanfaatkan umumnya untuk pertanian, sisanya masih berupa lahan hutan atau rawa monoton (Balittra, 2001 dalam Noor, 2007). Ditinjau dari aspek potensi, secara umum lahan lebak sebenarnya lebih baik dari lahan pasang surut, oleh karena tanah lahan lebak tersusun dari endapan sungai (fluviatil), yang tidak mengandung bahan sulfidik atau pirit. Terkecuali tentunya pada zona peralihan antara lahan lebak dan lahan pasang surut. Bagian yang potensial untuk pertanian dari lahan lebak adalah pematang (atau lebak dangkal), dan lebak tengahan, yang umumnya dijadikan persawahan lebak dengan pertanaman palawija dan sayuran pada galengan sawah, atau di bagian guludan/bedengan pada sistem surjan, terutama pada lebak pematang. Lebak dalam, karena bentuknya mirip suatu cekungan, kondisi airnya relatif masih tetap dalam walaupun di musim kemarau, sehingga lebih sesuai untuk budidaya perikanan tawar (Subagyo, 2006). Selain sebagai sumber pertumbuhan produksi pertanian secara umum, rawa lebak juga mempunyai fungsi lingkungan, antara lain sebagai pengendali banjir, pengendali kekeringan, penyimpan dan pendaur air, penawar pencemaran lingkungan, dan penghasil bahan bakar (kayu arang, gambut). Manfaat rawa ini sebagai penyangga lingkungan, sehingga rawa sejatinya harus ditempatkan dalam suatu rancangan pengelolaan terpadu antara dua kepentingan yang saling menguntungkan, antara kepentingan produksi dengan kepentingan ekologi atau lingkungan sehingga tercapai upaya pengembangan yang seimbang dan berkelanjutan (Noor, 2007).
11
Rawa lebak yang dimanfaatkan sebagai pengembangan perikanan termasuk rawa lebak tengahan, rawa lebak dalam sampai rawa lebak sangat dalam. Jenis ikan yang hidup pada ekosistem rawa lebak ini terdiri atas tidak kurang 100 jenis. Perikanan lebak bersifat tangkap sehingga ke depan sangat tergantung pada habitat alamnya. Perubahan dari kegiatan tangkap menjadi budidaya menetap diperlukan untuk meningkatkan sumbangan sektor perikanan dalam pembangunan pertanian secara luas (Noor, 2007). Pemeliharaan ikan introduksi di lahan lebak dangkal dapat dilakukan dengan sistem kolam di pekarangan atau sistem keramba (Alihamsyah, 2005). Daerah rawa lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara mempunyai potensi besar dalam sektor perikanan terutama perikanan tawar.
Inventarisasi potensi dan
sistem budidaya perikanan dilakukan oleh LP IPB dengan pengumpulan data sekunder dari Dinas Perikanan dan peninjauan lapang di sentra produksi atau tempat-tempat penangkapan ikan rawa di lahan rawa lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara. Hal-hal yang diperhatikan dalam inventarisasi ini adalah jumlah produksi ikan pada berbagai musim, jenis-jenis ikan yang ditangkap, teknikteknik penangkapan, jenis-jenis ikan yang langka, teknik pengolahan hasil perikanan, teknik budidaya dan pengamatan sistem pemasaran hasil-hasil perikanan (LP IPB, 2002). 2.5 Fungsi Kawasan Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, fungsi utama kawasan dalam penataan ruang dibedakan menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Kawasan lindung merupakan
kawasan yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekologi kawasan sekitarnya. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya termasuk peruntukan hutan produksi, hutan rakyat, pertanian, perikanan, pertambangan, pemukiman, industri, pariwisata, tempat ibadah, pendidikan dan pertahanan keamanan.
12
Peraturan perundangan yang saat ini digunakan dalam penetapan kawasan lindung gambut antara lain adalah Keppres No.32 tahun 1990. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut kawasan lindung gambut merupakan kawasan yang memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya atau kawasan sekitarnya.
Selanjutnya dinyatakan bahwa perlindungan terhadap kawasan
bergambut ini dilakukan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi sebagai penghambat air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan bersangkutan. Kriteria lindung untuk kawasan bergambut adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa. 2.6 Kawasan Suaka Perikanan Menurut Ostrom et al. (1994) dalam Rustiadi et al. (2009), sungai, pantai, padang gembala, saluran air, air tanah dan hutan tropis termasuk common pool resources (CPRs). Salah satu masalah dan sekaligus penciri dari sumber daya CPRs
adalah
kecenderungan
pemanfaatan
yang
berlebih
(overuse).
Kecenderungan overuse dapat menyebabkan congestion yang terjadi akibat ketidakseimbangan antara supply dan demand.
Sumber daya yang dipanen
dengan laju melebihi kemampuan regenerasi alamiahnya di alam akan punah seperti ikan yang ditangkap nelayan dengan penangkapan ilegal (illegal fishing). Menurut PP Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.
Dalam rangka pemanfaatan sumber daya perikanan secara optimal,
bertanggung jawab agar tetap lestari dan berkesinambungan perlu dilaksanakan dan ditetapkan kawasan konservasi pada daerah yang potensi penangkapannya besar dan optimal, berdaya guna dan berhasil guna bagi nelayan atau masyarakat setempat, terjaminnya usaha serta pengelolaan yang serasi antar sektor yang berkepentingan. Menurut Abrahamsz et al. (2005), sebagai upaya untuk mengelola wilayah secara berkelanjutan, maka telah banyak dirumuskan dan dilakukan langkah-
13
langkah antisipatif, salah satunya dengan menerapkan konsep konservasi untuk memberikan perlindungan bagi sumber daya wilayah.
Menurut Cooke et al.
(2005), strategi konservasi harus memasukkan penelitian, pendidikan, dan sosialisasi karena dengan pemahaman pentingnya konservasi akan meningkatkan dukungan terhadap konservasi. Pengelolaan perikanan tangkap di rawa lebak mengatur kegiatan penangkapan ikan di perairan dalam rangka menjamin kesinambungan produktivitas sumber daya dan tujuan perikanan lainnya. Tujuan pengelolaan perikanan tangkap
dapat ditetapkan meliputi: (1) menjamin keberlanjutan
perikanan dan keadilan dalam distribusi manfaat sumber daya perikanan, (2) memelihara lingkungan tempat hidup stok ikan, dan (3) meningkatkan produksi lebih tinggi dari apa yang dapat diperoleh hanya oleh proses alami (Hartoto, 2003). Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan dengan strategi memaksimalkan hasil tangkapan dan melakukan tindakan konservasi. Adanya kecenderungan penurunan produksi perikanan tangkap dan peningkatan permintaan produk perikanan, memerlukan upaya peningkatan produksi untuk mengimbanginya dengan memperhatikan aspek ruang secara berkelanjutan. Hal ini menjadi tantangan untuk mengharmoniskan antara kebutuhan ekonomi dan ekologi. Sumber daya ikan pada suatu perairan, akan bertambah jika laju pertumbuhan dan laju peremajaan ditingkatkan. Sebaliknya akan berkurang jika ditangkap nelayan atau mengalami kematian alami. Agar sumber daya ikan lestari maka laju pertumbuhan dan peremajaan harus lebih besar dari pada ikan yang ditangkap nelayan atau mengalami kematian alami. Untuk meningkatkan stok ikan tangkapan nelayan maka laju pertumbuhan dan laju peremajaan harus diperbesar dengan menetapkan suaka perikanan atau dengan kegiatan restoking jenis ikan yang sesuai dengan kondisi perairan. Alternatif langkah untuk melestarikan plasma nuftah perikanan adalah dengan penyediaan suaka perikanan. Penyediaan suaka perikanan merupakan salah satu cara pengelolaan sumber daya perikanan yang efektif dan efisien,
14
karena secara langsung dapat melindungi dan meningkatkan sumber daya perikanan (Utomo et al., 2005 dalam Sugianti et al., 2009). Suaka perikanan merupakan suatu kawasan perairan tertentu baik perairan daratan atau bahari yang mempunyai bagian-bagian tertentu sebagai tempat perlindungan dimana ikan tidak boleh ditangkap dengan cara apapun, kapanpun, oleh siapapun.
Suaka perikanan akan berfungsi sebagai badan air dimana
komunitas ikan di dalamnya dapat melangsungkan daur hidupnya, dan dapat memasok benih maupun calon induk ikan ke daerah penangkapan di sekitarnya. Suaka perikanan diharapkan dapat memulihkan kembali daya dukung badan air sekitarnya,
sehingga
dapat
memberikan
manfaat
yang
optimal
dan
berkesinambungan bagi kemaslahatan nelayan dan masyarakat sekitarnya. Dengan pulihnya populasi ikan di perairan sekitar suaka perikanan, maka potensi sumber daya ikan dapat lestari dan dapat berfungsi secara optimal seperti yang diharapkan (DKP, 2009).
15
III. 3.1
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kab. HSU)
Provinsi Kalimantan Selatan pada bulan Oktober 2011 sampai dengan Januari 2012. Secara geografis Kab. HSU terletak pada posisi 2o17’ sampai 2o33’ Lintang Selatan dan antara 114o52’ sampai 115o24’ Bujur Timur dengan batas-batas administrasi sebagai berikut: Sebelah Utara : Kabupaten Tabalong dan Provinsi Kalimantan Tengah Sebelah Timur : Kabupaten Balangan Sebelah Selatan : Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan Sebelah Barat 3.2
: Kabupaten Barito Selatan (Provinsi Kalimantan Tengah).
Bahan dan Alat Data yang digunakan terdiri atas data primer yaitu data hasil survei lapangan
dan wawancara, serta data sekunder yaitu data penunjang berupa peta-peta tematik dan data berupa Podes Kab. HSU (data kependudukan, data produksi ikan dan lain-lain). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa laptop yang dilengkapi dengan software ArcGIS versi 9.3 dan Excell 2007.
Peralatan
penunjang lainnya adalah GPS dan kamera. 3.3
Metode Pengumpulan Data Sumber data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini didapatkan
dengan cara menginventarisasi dan penelusuran data baik pada buku, peta, internet, perundang-undangan, penelitian terdahulu maupun dari beberapa instansi terkait baik instansi pemerintah di daerah maupun pusat atau instansi atau lembaga independen lainnya. Sumber data primer diperoleh dari pengamatan lapangan, wawancara, dan pengisian kuesioner. Data sekunder tersebut meliputi data peta administrasi, peta penggunaan lahan tahun 2010 (peta penggunaan lahan musim hujan) dan tahun 2011 (peta penggunaan lahan musim kemarau), data curah hujan, PDRB Kabupaten per sektor tahun 2008-2010,
RTRW Kab. HSU, data penduduk, data kondisi
16
genangan, produksi perikanan tahun 2006-2010, dan data rumah tangga produksi (RTP) nelayan tahun 2009-2010. Dalam penelitian ini, data primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner untuk mengetahui pendapat responden mengenai kondisi dan potensi perikanan tangkap, prioritas pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak di Kab. HSU dan penentuan faktor pengendali internal dan eksternal. Responden merupakan seluruh stakeholder yang terlibat dalam pengembangan perikanan tangkap yang terdiri atas: unsur pemerintah daerah meliputi Bappeda, Dinas Perikanan dan Peternakan, dan Bagian Ekonomi Sumber Daya Alam Setda Kab. HSU, unsur masyarakat meliputi nelayan dan tokoh nelayan serta unsur swasta meliputi masyarakat yang bergerak di bidang pemasaran hasil perikanan. 3.4
Metode Analisis Data Untuk mengetahui arahan kawasan pengembangan potensi rawa lebak
dalam menunjang kegiatan perikanan, terlebih dahulu mengetahui gambaran umum potensi dan karakteristik daerah berdasarkan data-data sekunder yang terkumpul. Dari data yang terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian sehingga akan menjawab permasalahan yang diangkat. Matriks analisis penelitian disajikan pada Tabel 1, sedangkan diagram alir penelitian tertera pada Gambar 2. Tabel 1 Matriks Analisis Penelitian No 1.
2.
Tujuan Mengidentifikasi daerah basis perikanan tangkap rawa lebak berdasarkan keunggulan komparatif Mengidentifikasi penyebab penurunan produksi perikanan tangkap
Data
Metode Analisis
Produksi perikanan LQ tangkap dan perikanan budidaya per kecamatan tahun 2010
Hasil survei
Deskriptif
Output Mengetahui daerah basis perikanan tangkap rawa lebak dan perikanan budidaya eksisting Identifikasi penyebab penurunan produksi perikanan tangkap
17
Tabel 1 (lanjutan) No
Tujuan
Data Peta Administrasi Data Curah Hujan Peta Penggunaan Lahan Eksisting musim kemarau Peta Kawasan Lindung, Sempadan Sungai dan Danau Peta Penggunaan Lahan Musim Kemarau dan Peta Penggunaan Lahan Musim Hujan Kuesioner
3.
Mengidentifikasi kawasan suaka perikanan
4.
Mengidentifikasi persepsi stakeholder tentang arahan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak Merumuskan Kuesioner strategi dan Keluaran tujuan 3 prioritas kebijakan point 2 sebagai arahan Peta RTRW pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak
5.
Metode Analisis Analisis Kriteria Teknis Kawasan Suaka Perikanan dan Analisis Spasial
Output 1. Peta calon lokasi kawasan suaka perikanan 2. Peta wilayah potensi perikanan tangkap
AHP
Persepsi stakeholder tentang arahan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak
SWOT, Deskriptif dan Analisis Spasial
1. Merumuskan alternatif kebijakan 2. Arahan pengembangan perikanan tangkap rawa lebak 3. Peta arahan pengembangan perikanan tangkap rawa lebak
Beberapa analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut: 3.4.1
Analisis Location Quotient (LQ) Analisis LQ digunakan untuk mengetahui lokasi pemusatan atau basis
aktivitas dan menunjukkan peranan sektor dan mengetahui kapasitas ekspor perekonomian wilayah serta tingkat kecukupan barang atau jasa dari produksi suatu wilayah. Menurut Pribadi et al. (2010), untuk memetakan komoditas unggulan wilayah data yang digunakan berupa data produksi atau produktivitas
18
sedangkan untuk memetakan sektor unggulan dapat digunakan data PDRB per sektor atau data jumlah tenaga kerja per sektor. Untuk komoditas yang berbasis lahan seperti perikanan perhitungannya didasarkan pada luas areal, produksi atau produktivitas (Hendayana, 2003). Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah (1) kondisi geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktivitas bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Nilai LQ diketahui dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan: = Nilai LQ untuk aktivitas ke-j di kecamatan ke-i = derajat aktivitas ke –j pada kecamatan ke-i = derajat aktivitas total pada kecamatan ke-i = derajat aktivitas ke-j pada total wilayah = derajat aktivitas total wilayah i
= kecamatan yang diteliti
j
= aktivitas ekonomi yang dilakukan
Metode LQ pada penelitian ini digunakan untuk mengidentifikasi keunggulan komparatif sebagai daerah basis kegiatan perikanan di tiap wilayah (kecamatan) dari aspek jumlah produksi. Interpretasi hasil analisis adalah sebagai berikut : Jika nilai
> 1, wilayah ke-i memiliki keunggulan komparatif untuk
dikembangkan sebagai basis kegiatan perikanan. Jika nilai
< 1, wilayah ke-i tidak memiliki keunggulan komparatif
untuk dikembangkan sebagai basis kegiatan perikanan. 3.4.2 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab penurunan produksi perikanan tangkap dan arahan pengembangan perikanan tangkap di rawa lebak Kab. HSU. Analisis ini berdasarkan pada hasil survei yang dilakukan terhadap produksi perikanan tangkap.
Data yang dianalisis kemudian
dihubungkan dengan kondisi aktual untuk mengetahui penyebab kecenderungan penurunan produksi perikanan tangkap di rawa lebak Kab. HSU. Kondisi aktual
19
keadaan rawa lebak dianalisis dari data produksi hasil perikanan, sarana dan prasarana pendukung serta data lain yang mencerminkan keragaan rawa lebak. Hasil
analisis
terhadap
kondisi
perikanan
tersebut
selanjutnya
dihubungkan dengan daya dukung dan peluang serta faktor-faktor lain yang berpengaruh, sehingga diperoleh keadaan rawa lebak secara umum. Kegiatan penangkapan masih berpeluang untuk dikembangkan apabila potensi sumber daya perikanan yang tersedia lebih besar dari tingkat produksi aktualnya. Untuk mencapai tingkat pengelolaan yang berkelanjutan, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah sebesar 80% dari total potensi sumber daya perikanan yang tersedia. Arahan pengembangan perikanan tangkap di Kab. HSU disusun berdasarkan hasil dari analisis sebelumnya yang meliputi hasil analisis kondisi dan potensi perikanan tangkap, analisis Location Quotient (LQ) analisis SWOT dan
analisis Analytical Hierarchy Process (AHP). Selanjutnya hasil analisis
tersebut dipadukan dengan peta wilayah potensi perikanan tangkap dan peta RTRW Kab. HSU sehingga diperoleh peta arahan pengembangan perikanan tangkap dan arahan pengembangan perikanan tangkap di rawa lebak Kab. HSU. 3.4.3
Analisis Kriteria Teknis Kawasan Suaka Perikanan Analisis ini mengidentifikasi fungsi kawasan rawa lebak sebagai kawasan
suaka perikanan.
Identifikasi kawasan suaka perikanan berdasarkan syarat
lingkungan hidup ikan dengan kriteria-kriteria yang mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 02 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan).
Pengolahan data kemudian dilakukan dengan analisis spasial
menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk menghasilkan peta kawasan suaka perikanan. Suaka perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung atau berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan. Untuk memfungsikan suatu lokasi sebagai suaka perikanan, maka lokasi tersebut haruslah memenuhi persyaratan lingkungan hidup ikan di habitat tersebut, yang dikelola secara baik. Menurut Diskan Kab. HSU (2009a) beberapa
20
kriteria penting suaka perikanan yang ada di daerah rawa lebak banjiran (floodplain), agar dapat berfungsi sebagai sumber benih untuk melestarikan dan meningkatkan produksi ikan di sekitarnya, yaitu: 1.
Kedalaman yang cukup dan tidak mengalami kekeringan pada musim kemarau.
2.
Kualitas air harus baik atau tidak ada pencemaran yang melebihi ambang batas untuk kehidupan ikan.
3.
Banyak tersedia pakan alami seperti: perifiton, serangga air, benthos, plankton, sehingga ikan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
4.
Di sekitar suaka harus terdapat hutan rawa dan vegetasi air lainnya sebagai tempat mencari pakan (feeding ground), tempat berkembang biak (spawning ground) dan perlindungan terutama bagi anak ikan (nursery ground).
5.
Mempunyai fluktuasi air yang besar (2-4 m), saat air besar pada musim penghujan ikan dapat menyebar ke segala penjuru perairan mengikuti gerakan air menuju hutan rawa untuk melakukan pemijahan, sedangkan pada saat air surut musim kemarau ikan kembali ke suaka.
6.
Suaka harus berhubungan dengan perairan umum, tidak tertutup, terdapat jalur berupa kanal, sehingga benih ikan dapat menyebar ke perairan sekitarnya.
7.
Dalam pengelolaan suaka harus ada partisipasi masyarakat setempat. Ada beberapa tipe suaka perikanan, yaitu:
1.
Tipe lebung (cekungan tanah di rawa lebak), luas ideal ≥ 0,5 ha, namun jumlahnya harus banyak dan menyebar.
2.
Tipe danau rawa lebak (oxbow-lake), luas ideal 20 ha.
3.
Tipe sungai, panjang minimal 1 km dan harus ada lubuk sungai dan goa tempat persembunyian induk ikan. Secara spasial, identifikasi kawasan calon lokasi suaka perikanan
menggunakan peta penggunaan lahan musim kemarau berdasarkan kawasan yang masih tergenang air pada musim kemarau. Kawasan calon lokasi suaka perikanan diutamakan memiliki sifat: (1) selalu tergenang sepanjang tahun, (2) terhubung dengan daerah tangkapan atau berada di dekat sungai, (3) adanya vegetasi. Setelah calon lokasi diidentifikasi, dilakukan wawancara dengan masyarakat
21
sekitarnya untuk mengetahui karakteristik perairan.
Hasil wawancara yang
dilakukan terhadap masyarakat juga menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan calon lokasi berdasarkan kriteria yang ada. Masyarakat setempat lebih mengetahui keadaan perairan di sekitar mereka. Setelah calon lokasi ditetapkan, maka dilakukan pengamatan langsung ke lapangan (ground check) untuk mengetahui kondisi aktual di lapangan. Penentuan calon lokasi dilakukan dengan deliniasi terhadap peta penggunaan lahan musim kemarau pada areal yang sesuai dengan sifat-sifat tersebut. Untuk mengidentifikasi kawasan perikanan tangkap menggunakan peta penggunaan lahan musim hujan.
Kawasan ini ditentukan dengan melakukan
query pada kelas penggunaan lahan berupa rawa lebak, belukar rawa, hutan rawa sekunder dan tubuh air. Hutan rawa merupakan tempat pemijahan, mencari pakan alami dan perlindungan (Utomo et al., 2009). Produksi ikan pada ekosistem hutan rawa lebih tinggi dari pada perairan yang tidak berhutan rawa (Utomo et al., 1999). Potensi perikanan di perairan rawa lebak cukup besar, diperkirakan tidak kurang dari 100 jenis ikan terdapat di perairan rawa lebak. Jenis ikan yang adaptif hidup pada ekosistem rawa lebak bersifat spesifik lokasi dan cukup beragam tergantung pada keadaan ekologi habitatnya. Jenis-jenis ikan yang umum didapati di rawa lebak disebut ikan hitam antara lain betok, gabus, sepat, biawan, patin, belut dan toman. Ikan putih yang umum terdapat di perairan sungai atau danau juga dapat ditemukan di rawa lebak sebagai ikan pendatang yang masuk karena banjir atau terikut saat luapan sungai (Noor, 2007). 3.4.4
Analisis Spasial (Spatial Analysis) Dalam Sistem Informasi Geografis (SIG), selain pembuatan atau digitasi
peta dengan input data spasial maupun atribut, hal lain yang juga sering dilakukan adalah analisis data, yang diharapkan akan dapat memberikan informasi yang diperlukan dari peta yang dibuat. Pengolahan data spasial seperti ini menjadi sangat penting karena ada banyak pengguna peta yang keperluannya berbeda-beda dan terkadang sangat spesifik. Untuk itu perlu dilakukan geoprocessing, dengan memanfaatkan fasilitas dari ArcToolbox sebagai alat untuk menganalisis. Analisis spasial yang dilakukan pada penelitian ini menggabungkan antara data spasial (peta) dengan hasil survei
22
di lapangan untuk melihat keterkaitan atau hubungan antara fenomena secara spasial dengan menggunakan teknik: 1.
Overlay atau tumpang susun antara data spasial sehingga dihasilkan suatu wilayah baru dengan karakteristik yang merupakan gabungan nilai antar data spasial.
2.
Dissolve untuk meringkas atau menggabungkan antar kelas yang sama.
3.
Union digunakan untuk menggabungkan poligon-poligon yang kurang sempurna hasil dissolve menjadi poligon yang sempurna.
4.
Intersection untuk melakukan overlay, (menggabungkan dua atau beberapa fitur) outputnya merupakan fitur overlap yang memiliki seluruh atribut dari seluruh fitur.
5. Buffer merupakan jarak di sekeliling garis atau poligon sebuah fitur. 3.4.5 Analytical Hierarchy Process (AHP) Salah satu model analisis data yang dapat digunakan untuk menelaah kebijakan adalah AHP.
Analisis kebijakan merupakan analisis yang
menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan landasan bagi para pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan. Metode AHP dapat digunakan dengan cukup mengandalkan intuisi atau persepsi sebagai masukan utamanya, namun intuisi atau persepsi tersebut harus datang dari orang yang mengerti permasalahan, pelaku dan pembuat keputusan yang memiliki cukup informasi dan memahami masalah keputusan yang dihadapi. Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah responden sebanyak 7 orang yang merupakan stakeholder terkait kegiatan perikanan terdiri atas unsur-unsur pemerintah daerah (4 orang), tokoh masyarakat nelayan (2 orang), dan pihak swasta (1 orang). Pemilihan responden dilakukan sedemikian rupa terhadap pihak-pihak yang memiliki pemahaman baik terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Menurut Marimin (2008) dasar dari prinsip kerja AHP adalah sebagai berikut : 1.
Penyusunan Hierarki Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki.
23
2.
Penilaian Kriteria dan Alternatif Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty mulai dari nilai bobot 1 sampai dengan 9. Nilai bobot 1 menggambarkan sama penting, ini berarti bahwa atribut yang sama skalanya nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang paling absolut dibandingkan yang lainnya.
3.
Penentuan Prioritas Setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif.
Baik kriteria
kualitatif, maupun kriteria kuantitatif dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan memanipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. 4.
Konsistensi Logis Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
3.4.6
Analisis SWOT Analisis SWOT dilakukan untuk merumuskan prioritas kebijakan dalam
arahan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength)
dan
peluang
(opportunity),
namun
secara
bersamaan
dapat
meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threat). Analisis ini membandingkan antara faktor eksternal (peluang dan ancaman) dengan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) sehingga dari matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki (Rangkuti, 2009). Menurut Marimin (2008) proses yang dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat melalui berbagai tahapan sebagai berikut:
24
1. Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal. 2. Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal dan matriks SWOT. 3. Tahap pengambilan keputusan. Tahapan pengambilan data digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dapat dilakukan dengan wawancara terhadap orang yang memiliki keahlian ataupun melakukan analisis secara kuantitatif. Setelah mengetahui berbagai faktor maka tahap selanjutnya adalah membuat matrik internal eksternal. Matrik SWOT digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis yang menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matrik ini menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis seperti pada Tabel 2.
Tabel 2 Matriks SWOT INTERNAL
STRENGTHS (S) Tentukan faktor-faktor kekuatan internal
WEAKNESSES (S) Tentukan faktor-faktor kelemahan internal
OPPORTUNIES (P) Tentukan faktor-faktor peluang eksternal
STRATEGI SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
STRATEGI WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
THREATHS (T) Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal
STRATEGI ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
STRATEGI WT Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
EKSTERNAL
25
Diagram alir penelitian pada Gambar 2. 3.5
Diagram Alir Penelitian
Data Primer
AHP
Analisis SWOT
Data-data Pendukung (lindung gambut, sempadan sungai dan danau)
- Peta Administrasi - Data Curah Hujan
Peta Calon Lokasi Kawasan Suaka Perikanan
Peta Penggunaan Lahan Musim Kemarau
Peta Penggunaan Lahan Musim Hujan
Analisis LQ
Sentra Produksi Perikanan Tangkap Peta Wilayah Potensi Perikanan Tangkap
Peta Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap Arahan Pengembangan Kegiatan Perikanan Tangkap
Gambar 2 Diagram Alir Penelitian
Peta RTRW
26
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1
Geografis Kabupaten Hulu Sungai Utara terletak di bagian utara Provinsi Kalimantan
Selatan yaitu pada posisi 2o17’ sampai 2o33’ Lintang Selatan dan antara 114o52’ sampai 115o24’ Bujur Timur. Batas-batas wilayahnya administrasinya adalah sebagai berikut: Sebelah Utara
: Kabupaten Tabalong dan Provinsi Kalimantan Tengah
Sebelah Timur
: Kabupaten Balangan
Sebelah Selatan
: Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan
Sebelah Barat
: Kabupaten Barito Selatan (Provinsi Kalimantan Tengah)
Kabupaten ini memiliki luas wilayah 89.270 ha (892,7 km²) atau hanya 2,38% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Kab. HSU dengan ibukota Amuntai secara administrasi wilayah terbagi dalam 10 kecamatan, dengan 219 desa dan 5 kelurahan yang ada seperti terlihat pada Tabel 3 dan Peta Administrasi Kab. HSU pada Gambar 3. Tabel 3 Kecamatan dalam Wilayah Administrasi Kab. HSU No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jumlah Luas Desa/ Wilayah Kelurahan (km2) Danau Panggang Danau Panggang 16 224,49 Paminggir Paminggir 7 156,13 Babirik Babirik 23 77,44 Sungai Pandan Alabio 33 45,00 Sungai Tabukan Sungai Tabukan 17 29,24 Amuntai Selatan Telaga Silaba 30 183,16 Amuntai Tengah Amuntai 29 57,00 Banjang Banjang 20 41,00 Amuntai Utara Sungai Turak 26 45,09 Haur Gading Haur Gading 18 34,15 JUMLAH 219 892,70 Kecamatan
Ibukota Kecamatan
Persentase (%) 25,15 17,49 8,67 5,04 3,28 20,52 6,39 4,59 5,05 3,83 100,00
Sumber: BPS Kab. HSU (2011)
Dari Tabel 3 terlihat bahwa, berdasarkan luas wilayah yang dimilikinya, Kec. Danau Panggang merupakan kecamatan terluas yang mencakup 25,15% dari luas wilayah Kab. HSU. Kecamatan yang memiliki luas terkecil adalah Kec. Sungai Tabukan yang luasnya 17,5 km2 atau hanya 3,28% dari luas wilayah Kab. HSU.
Sumber : Bappeda (2010)
Gambar 3 Peta Administrasi Kab. HSU
27
28
4.2
Demografi Berdasarkan data BPS Kab. HSU tahun 2011, jumlah penduduk di Kab.
HSU berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 sebanyak 209.246 jiwa yang tersebar pada 10 kecamatan, 219 desa atau kelurahan dan terdiri atas 53.742 rumah tangga. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin pada tahun 2010 terbanyak adalah penduduk perempuan yaitu 106.895 jiwa, sisanya laki-laki sebanyak 102.351 jiwa. Pada Tabel 4 dapat dilihat penyebaran penduduk di Kab. HSU berdasarkan masing-masing kecamatan. Tabel 4 Jumlah Rumah Tangga Dan Penduduk Kab. HSU Tahun 2010 Kecamatan
Danau Panggang Babirik Sungai Pandan Amuntai Selatan Amuntai Tengah Banjang Amuntai Utara Haur Gading Sungai Tabukan Paminggir Jumlah
Rumah Tangga 4.766 4.299 6.963 6.965 12.297 4.257 4.976 3.624 3.629 1.966 53.742
Jenis Kelamin Laki-laki 9.560 8.846 12.543 12.937 23.800 8.182 9.350 6.714 6.701 3.718 102.351
Perempuan 10.033 8.987 13.362 13.529 24.161 8.003 10.605 7.456 7.100 3.659 106.895
Jumlah Penduduk (jiwa) 19.593 17.833 25.905 26.466 47.961 16.185 19.955 14.170 13.801 7.377 209.246
Sumber: BPS Kab. HSU (2011a)
Jika dilihat dari persebaran penduduk per kecamatan pada Tabel 4, maka Kec. Amuntai Tengah merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar dibandingkan kecamatan lainnya, yaitu sebanyak 47.961 jiwa. Daya tarik sebagai ibukota kabupaten merupakan salah satu faktor penyebab banyaknya penduduk yang bermukim di daerah ini. Kec. Amuntai Selatan merupakan kecamatan berpenduduk padat kedua dengan jumlah penduduk sebesar 26.466 jiwa dan diikuti Kec. Sungai Pandan sebanyak 25.905 jiwa. Kecamatan yang jumlah penduduknya paling sedikit yaitu Kec. Paminggir berjumlah 7.377 jiwa. Dari keseluruhan luas wilayah di Kab. HSU, kepadatan penduduk rata-rata per km2 adalah sebesar 234 jiwa. Komposisi umur penduduk didominasi oleh penduduk usia dewasa yaitu sekitar 66% yang berumur 15-55 tahun. Dengan demikian menunjukkan besarnya angkatan kerja yang memerlukan lapangan pekerjaan.
29
4.3
Fisik Wilayah Secara morfologi, Kab. HSU pasca pemekaran wilayah dengan Kab.
Balangan merupakan wilayah yang terdiri atas dataran rendah dengan ketinggian berkisar antara 0-25 meter dari permukaan laut. Daerah yang tersisa dari pemekaran wilayah didominasi oleh lahan rawa lebak baik yang tergenang secara permanen maupun tergenang secara periodik seperti pada Gambar 4.
Gambar 4 Lahan Rawa Lebak di Kab. HSU Dari kisaran ketinggian dari permukaan laut tersebut, seluruh kecamatan di Kab. HSU berada pada kemiringan 0–2% dan di kelas ketinggian 0–7 m dari permukaan air laut. Dengan demikian, terdapat luasan lahan sebesar 89.270 ha yang landai dan nyaris tanpa gelombang pada seluruh wilayahnya yang berada pada ketinggian 0–7 meter dari permukaan laut. Geologi wilayah yang merupakan dataran rendah ini menyebabkan 98,48% (87.916 ha) dari luas wilayah Kab. HSU umumnya tergenang secara periodik. Sisanya, 1,38% dari luas wilayah atau 1.239 ha tergenang secara terus menerus dan 0,13% atau 115 ha merupakan kawasan yang tidak pernah tergenang. Kondisi genangan di Kab. HSU dapat dilihat pada Tabel 5.
30
Tabel 5 Kondisi Genangan di Kab. HSU Tahun 2010 Kondisi Genangan (ha) Tidak Tergenang Tergenang No. Kecamatan pernah secara secara terustergenang periodik menerus 1. Danau Panggang 22.449 2. Paminggir 14.953 669 3. B a b i r i k 7.744 4. Sungai Pandan 4.500 5. Sungai Tabukan 2.924 6. Amuntai Selatan 17.746 570 7. Amuntai Tengah 5.699 8. B a n j a n g 4.101 9. Amuntai Utara 115 4.385 10. Haur Gading 3.415 Jumlah
115
87.916
1.239
Jumlah 22.449 15.622 7.744 4.500 2.924 18.316 5.699 4.101 4.500 3.415 89.270
Sumber: BPS Kab. HSU (2011a)
Berdasarkan dari kondisi genangan yang dimiliki, ada 3 (tiga) kategori kondisi genangan yang terdapat di Kab. HSU, yakni tidak pernah tergenang, tergenang periodik, dan tergenang secara terus-menerus. Yang paling dominan adalah tergenang secara periodik. Wilayah yang tergenang secara terus menerus dan merupakan area rawa lebak permanen terdapat di sebagian wilayah Kec. Paminggir, dan Kec. Amuntai Selatan, sedangkan kecamatan lain adalah daerah yang wilayahnya tergenang secara periodik yang tersebar pada semua kecamatan dan wilayah yang tidak pernah tergenang di Kec. Amuntai Utara.
Dengan karateristik yang demikian, maka
pemanfaatan lahan untuk kegiatan perekonomian, khususnya di bidang pertanian, memerlukan pengelolaan drainase yang cermat. Lahan berupa hutan rawa, rumput rawa, dan danau yang belum sepenuhnya dimanfaatkan secara ekonomis di Kab. HSU terbilang cukup luas, yaitu meliputi kawasan seluas 54.279 ha atau 60,8% dari luas Kab. HSU (Tabel 6). Lahan rawa lebak yang ada ini sebagian besar merupakan sumber daya air yang ditumbuhi oleh tanaman eceng gondok dan hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan untuk areal budidaya dan penangkapan ikan.
31
Tabel 6 Penggunaaan Lahan di Kab. HSU Tahun 2010 No.
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 1 0.
Danau Panggang Paminggir Babirik Sungai Pandan Sungai Tabukan Amuntai Selatan Amuntai Tengah Banjang Amuntai Utara Haur Gading
Kampung Sawah 399 200 656 745 300 423 441 218 605
3.761 4.802 27.28 907 2.903 4.116 3.561 1.835
298
879
Luas penggunaan tanah (ha) Kebun Hutan Rumput LainDanau campuran rawa rawa lain 648 1.926 5.646 525 445 - 11.902 8.949 375 324 73 86 958 800 25 864 1.702 79 32 438 75 30 797 12.049 858 100 270 316 450 2.519 175 33 288 2.477 2.211 165 30 116 24
Jumlah 4.285 25.492 Sumber: BPS Kab. HSU (2011a)
1.627
821
5.051
29.711
252
82
11
23.095 2.492 1.224
Lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan usaha berupa sawah dan kebun berjumlah 28.904 ha atau 32,38%. Lahan dimaksud tersebar hampir pada semua kecamatan yang ada. Sisanya, seluas 4.285 ha digunakan untuk perkampungan dan 1.802 ha termasuk untuk penggunaan lain-lain. Dari total 23.853 ha lahan yang digunakan untuk sawah, keseluruhannya adalah merupakan area sawah non irigasi. Areal persawahan yang relatif besar terdapat di Kec. Babirik, yaitu seluas 4.802 ha, diikuti Kec. Amuntai Utara, Danau Panggang, dan Sungai Pandan masing-masing dengan luas 3.955 ha,
3.761 ha, dan 3.410 ha. Untuk areal
perkebunan, yang relatif luas terdapat di Kec. Amuntai Utara dan Kec. Sungai Pandan, masing-masing 1.627 ha dan 1.302 ha. 4.4
Ekonomi Wilayah Pertumbuhan ekonomi regional Kabupaten Hulu Sungai Utara selama lima
tahun terakhir (2006-2010) mengalami peningkatan besarannya. Hal ini dapat dilihat dari besaran nominal Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) selama periode 2006-2010 yang selalu mengalami peningkatan. Ini menunjukkan bahwa kinerja ekonomi berada dalam situasi yang membaik. Secara regional, PDRB digunakan untuk mengukur kekuatan ekonomi suatu wilayah dari sisi kemampuan produksi barang dan jasa serta faktor pendorong berkembangnya ekonomi dari sisi permintaan. PDRB Kabupaten Hulu Sungai Utara selama periode 2006-2010 tertera pada Tabel 7 dan Gambar 5.
32
Tabel 7 Pertumbuhan PDRB Kab. HSU Tahun 2006-2010 Tahun
2006 2007 2008 2009 2010
Harga Berlaku Harga Konstan Persentase Persentase (ribuan rupiah) pertumbuhan (ribuan rupiah) pertumbuhan (%) (%) 951.218.420 8,06 700.956.621 4,06 1.026.829.221 7,36 735.480.562 4,69 1.168.733.186 12,14 790.475.137 6,96 1.338.032.527 12,65 832.029.106 4,99 1.486.093.953 9,96 868.050.707 4,15
Sumber: BPS Kab. Hulu Sungai Utara (Berbagai tahun)
Dari Tabel 7 dapat diketahui berdasarkan harga berlaku, PDRB mengalami kenaikan tertinggi pada tahun 2009 dengan persentase pertumbuhan 12,65%. Pertumbuhan tertinggi atas dasar harga konstan terjadi pada tahun 2008 dengan persentase pertumbuhan 6,96%. Nilai PDRB Kab. Hulu Sungai Utara Tahun 2006-2010 1,600
(Milyar Rupiah)
1,400 1,200 1,000 800
Harga Berlaku
600
Harga Konstan
400 200 2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Gambar 5 Grafik Nilai PDRB Kab. HSU Tahun 2006-2010 Menurut BPS (2011b) PDRB atas dasar harga berlaku, berarti semua agregat pendapatan dinilai atas dasar harga tahun berjalan, baik pada saat menilai produksi dan biaya antara maupun pada penilaian komponen pengeluaran produk domestik regional bruto. PDRB atas dasar harga konstan berarti semua agregat pendapatan dinilai atas dasar harga tetap yang terjadi pada tahun dasar, baik pada saat menilai produksi dan biaya antara maupun pada penilaian komponen
33
pengeluaran produk domestik regional bruto. PDRB Kab. HSU tahun 2010 atas dasar harga berlaku dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8
PDRB Kab. HSU Tahun 2010 Atas Dasar Harga Berlaku (Ribuan Rupiah) 2010
Sektor I
Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Hortikultura c. Perkebunan d. Peternakan e. Perikanan II Pertambangan dan Penggalian III Industri Pengolahan IV Listrik, Gas dan Air Minum V Kontruksi VI Perdagangan, Restoran dan Perhotelan VII Pengangkutan dan Komunikasi VIII Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan IX Jasa-jasa Jumlah
435.055.977 (208.461.822) (20.144.588) (2.799.347) (93.700.790) (109.949.430) 466.713 127.416.463 9.070.151 97.284.591 269.215.633 114.974.571 62.997.789 369.612.065 1.486.093.953
% 29,29 (48) (5) (1) (21) (25) 0,03 8,57 0,61 6,55 18,11 7,74 4,24 24,87 100,00
Sumber: BPS Kab. HSU (2011b)
Pada tahun 2010 sektor pertanian dengan sub sektor tanaman bahan makanan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan memberikan kontribusi 29,29% pada PDRB. Sektor ini memberikan kontribusi terbesar pada PDRB. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor dominan sebagai penggerak roda perekonomian di Kab. HSU. Peranan masing-masing sub sektor pertanian disajikan pada Gambar 6.
PDRB Sektor Pertanian Perikanan 25%
Tanaman Bahan Makanan 48%
Peternakan 21% Perkebunan Hortikultura 5% 1%
Gambar 6 Grafik Peranan Sub Sektor-Sub Sektor pada Sektor Pertanian terhadap PDRB Tahun 2010 Berdasarkan Harga Berlaku
34
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa sub sektor perikanan mempunyai peranan cukup penting setelah sub sektor tanaman bahan makanan.
Peranan
sektor perikanan sangat tergantung pada alam yaitu lahan rawa lebak. 4.5
Potensi Perikanan Kab. HSU memiliki sumber daya hayati perikanan dengan luas potensi
56.452 ha berupa perairan umum yang terdiri atas rawa lebak, sungai dan perairan lainnya. Sebagian besar perairan umum merupakan perairan rawa lebak yang terkandung flora dan fauna akuatik sebagai bahan pangan yang berpotensi besar. Pemanfaatan sumber daya perairan pada sektor perikanan masih didominasi oleh kegiatan perikanan tangkap dengan produksi hasil tangkapan pada tahun 2010 sebesar 12.503,8 ton dan tahun 2009 sebesar 12.514,7 ton. Jumlah ini menunjukkan penurunan produksi perikanan tahun 2010 sebesar 0,1 % dari produksi tahun 2009.
Demikian juga produksi tahun 2009 menunjukkan
penurunan rata–rata 3% dari tahun 2008 yaitu sebesar 12.891,2 ton (Diskan Kab. HSU, 2011). Produksi perikanan selama periode 2006-2010 tertera pada Tabel 9. Tabel 9 Perkembangan Produksi Perikanan di Kab. HSU Tahun 2006 – 2010 No
Tahun (Ton) 2007 2008 2009 12.858,0 12.891,2 12.514,7
1.
Kegiatan Perikanan Penangkapan
2.
Budidaya
1.077,8
1.314,8
1.344,3
1.413,0
5.994,8
Jumlah
13.903,2
14.172,8
14.235,5
13.927,7
18.498,6
2006 12.825,4
2010 12.503,8
Sumber: Dinas Perikanan (Berbagai tahun)
Tabel di atas menunjukkan peningkatan jumlah produksi perikanan dalam lima tahun terakhir. Puncak peningkatan produksi perikanan tangkap terjadi pada tahun 2008 dengan jumlah produksi mencapai 12,825,4 ton atau mengalami kenaikan sebesar 0,3% dari produksi tahun 2007. Namun kegiatan perikanan tangkap cenderung mengalami penurunan produksi pada dua tahun terakhir yaitu tahun 2009 dan 2010. Lahan rawa mempunyai potensi untuk usaha penangkapan dan budidaya ikan selain itu dengan produktivitas tanahnya yang subur dapat meningkatkan hasil pertanian dan perkebunan.
Pada musim kemarau daerah rawa dapat
35
berfungsi sebagai ladang tanaman pangan dan palawija sehingga dengan demikian rawa memiliki banyak manfaat bagi masyarakat setempat. Hasil tangkapan ikan di perairan umum Kab. HSU berupa ikan lokal yang bernilai ekonomis cukup tinggi dan digemari oleh masyarakat Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Jenis ikan lokal tersebut antara lain: betok (papuyu), gabus (haruan), toman, betutu, sepat Siam, tambakan, belida, lais, belut dan udang galah. Produksi ikan perairan umum Kabupaten Hulu Sungai Utara, selain untuk memenuhi konsumsi dalam kabupaten juga dikirim ke luar kabupaten.
Gambar salah satu alat tangkap dan ikan hasil
tangkapan dapat dilihat pada Gambar 7. Keperluan kebutuhan pangan dari ikan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan kesadaran mengkonsumsi protein hewani berasal dari ikan. Konsumsi ikan perkapita penduduk Kabupaten Hulu Sungai Utara adalah 39 kg/kapita/tahun, melebihi ketentuan Widya Karya Gizi Nasional sebesar 26,55 kg/kapita/tahun. Keterbatasan produksi ikan dari hasil penangkapan di perairan umum terutama pada saat bukan musim tangkap ikan, produksi ikan hasil budidaya menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dari komoditi hasil budidaya ikan patin, nila, mas, toman dan bawal. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan perikanan budidaya yang cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kegiatan budidaya di kolam, budidaya karamba di sungai dan budidaya fish pen dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 7 Alat Tangkap dan Ikan Betok (Anabas testudineus) Hasil Tangkapan di Rawa lebak
36
Gambar 8 Kegiatan Budidaya Kolam, Karamba dan Fish Pen
Sarana pendukung kegiatan distribusi hasil perikanan tangkap di perairan umum di Kab. HSU terdapat 2 (dua) unit tempat pendaratan ikan yang berlokasi di Desa Rintisan Kec. Danau Panggang, dan Desa Simpang Empat Kec. Amuntai Selatan dengan fasilitas relatif terbatas sebagai tempat untuk tambat kapal atau perahu dengan kondisi sederhana seperti terlihat pada Gambar 9. Tempat Pendaratan Ikan (TPI) yang berada di Desa Rintisan Kec. Danau Panggang pada saat ini berfungsi sebagai tempat pendaratan dan distribusi ikan hasil tangkapan di perairan umum (segar dan olahan). Setiap hari, antara 20-40 buah kapal yang berukuran panjang 6–12 meter mendaratkan hasil tangkapan di sarana pemasaran terapung, dengan kapasitas produksi 1,5–2,5 ton perhari (tergantung musim) ikan hasil tangkapan di perairan umum. Tempat Pendaratan Ikan (TPI) di Desa Simpang Empat Kec. Amuntai Selatan setiap harinya rata-rata dimanfaatkan oleh 10–15 unit kapal dengan ukuran panjang 9–12 meter yang bertambat terutama pada musim puncak penangkapan untuk mendistribusikan
37
hasil produksi perikanan yang berkisar 5-10 ton perhari (tergantung musim) untuk memenuhi kebutuhan ikan dalam wilayah Kab. HSU atau luar wilayah Kab. HSU.
Gambar 9 Dermaga Apung dan Dermaga Tambat
38
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Kondisi dan Potensi Perikanan Tangkap Di Kab. HSU, pada umumnya nelayan penangkap ikan merangkap sebagai
petani, tergantung dari ketersediaan sumber daya alam. Pada saat musim hujan mereka melakukan kegiatan menangkap ikan dan pada musim kemarau mereka bertani. Kegiatan pertanian yang dilakukan meliputi sawah dan tanaman palawija. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan penggunaan lahan (landuse) eksisting untuk sawah dan rawa pada musim hujan dan musim kemarau di Kab. HSU dan perbandingan persentasenya dibandingkan dengan luas seluruh wilayah kabupaten (89.270 ha). Penggunaan lahan pada musim hujan dan musim kemarau dapat dilihat pada Tabel 10, Gambar 10-12. Tabel 10 Perbandingan Penggunaan Lahan Sawah dan Rawa di Kab. HSU Tahun 2010 (Musim Hujan) dan Tahun 2011 (Musim Kemarau) Musim Hujan
Musim Kemarau
Perubahan Lahan
No. Kelas Luas Persentase Luas Persentase Luas Persentase Penggunaan (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) Lahan 1. Sawah 24.014 26,9 28.388 31,8 4.374 4,9 2. Rawa 10.355 11,6 9.998 11,2 (357) (0,4) Sumber : Khairah (2011)
Dari Tabel 10 dapat diketahui penggunaan lahan eksisting pada musim hujan untuk sawah seluas 24.014 ha atau 26,9% dari luas wilayah kabupaten sedangkan pada musim kemarau menjadi 28.388 ha atau mencapai 31,8% dari luas wilayah. Pada musim kemarau, luasan sawah bertambah 4.374 ha atau 4,9%. Hal ini terjadi karena pada musim kemarau, daerah yang tidak tergenang air menjadi lebih luas dan dimanfaatkan menjadi areal persawahan. Penggunaan lahan rawa pada musim hujan seluas 10.355 ha atau 11,6% sedangkan pada musim kemarau menjadi 9.998 ha atau 11,2% dari luas wilayah kabupaten. Luasan rawa menjadi berkurang 357 ha atau 0,4% pada musim kemarau. Karena itu, kegiatan perikanan lebih berkembang pada musim hujan, pada saat daerah yang tergenang menjadi lebih luas. Perbandingan kedua penggunaan lahan tersebut hanya untuk menunjukkan bahwa terjadi perubahan luasan lahan pada masing-masing penggunaan lahan
39
akibat perubahan musim.
Perbandingan dilakukan bukan untuk menghitung
jumlah luasan lahan yang seharusnya berubah dari kedua penggunaan lahan, karena luas penggunaan lahan yang lain tidak diperhitungkan.
Perbandingan
hanya untuk menggambarkan adanya perubahan luasan lahan sawah dan rawa. Grafik perbandingan luas penggunaan lahan rawa dan sawah pada musim hujan dan musim kemarau ditunjukkan pada Gambar 10.
Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Sawah dan Rawa di Kab. HSU 30000
Luas (ha)
25000 20000 15000
Musim Hujan
10000
Musim Kemarau
5000 0
Sawah
Rawa
Penggunaan Lahan Gambar 10 Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Sawah dan Rawa Dari grafik di atas menggambarkan perbandingan sawah dan rawa. Dapat diketahui bahwa areal sawah menjadi lebih luas pada musim kemarau berbanding terbalik pada saat musim hujan, arealnya menjadi lebih kecil. Sebaliknya, rawa menjadi lebih luas pada musim hujan dibandingkan pada musim kemarau. Pada musim kemarau, daerah yang tidak tergenang menjadi lebih luas.
Areal ini
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian sehingga luasan sawah meningkat karena itu sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani maupun buruh tani. Pada musim hujan daerah yang digenangi air menjadi daerah tangkapan ikan bagi nelayan penangkap yang hidupnya tergantung dengan alam.
Jadi mata pencaharian penduduk berhubungan erat dengan kondisi dan
potensi alamnya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 13.
Sumber: Khairah (2011)
Sumber : Khairah, 2011 Gambar 11 Peta Penggunaan Lahan Kab. HSU Tahun 2010
40
Sumber: Hasil Analisis (2011)
Gambar 12 Peta Penggunaan Lahan Kab. HSU Tahun 2011
41
42
Gambar 13 Keadaan Rawa lebak pada Musim Hujan dan Musim Kemarau Menurut Noor (2007) lahan rawa lebak di Kalimantan Selatan dipilah dalam istilah watun I, II, III dan IV. Rawa lebak yang mempunyai hidrotopografi lebih tinggi dengan genangan dangkal (<50 cm) disebut dengan watun I, sementara untuk lahan rawa lebak yang lebih rendah disebut watun II, III dan IV. Watun I dan II dimanfaatkan untuk pertanian sedangkan watun III dan IV dimanfaatkan untuk perikanan. Berkenaan dengan keadaan alami di atas, maka kegiatan
43
perikanan di lahan rawa lebak khususnya kegiatan perikanan tangkap dilakukan pada musim hujan. Perubahan tinggi genangan pada lahan rawa lebak di Indonesia umumnya mencapai kisaran 3-4 meter, sehingga peningkatan muka air genangan pada musim hujan akan memperluas areal wilayah rawa lebak. Laju kenaikan muka air genangan dan besarnya debit air umumnya sukar diprediksi. Perbedaan turun naiknya air pada setiap rawa lebak berbeda-beda, tergantung luas dan kondisi DAS yang meliputnya. Periode genangan ditentukan oleh kondisi lingkungan fisik (bentuk wilayah, tipologi lahan) dan iklim. Rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah atau agak basah dengan jumlah bulan basah antara 6-7 dan 3-4 bulan kering.
Bulan basah merupakan bulan yang mempunyai curah hujan
bulanan > 200 mm, sedangkan bulan kering adalah bulan yang memiliki curah hujan < 100 mm. Musim kemarau secara umum berlangsung antara bulan Juni sampai dengan Oktober sedangkan musim hujan pada bulan November sampai bulan Mei. Adanya pengaruh iklim global menyebabkan ketidakpastian pada penentuan awal musim. Hal ini sangat mempengaruhi kegiatan pertanian yaitu penentuan awal masa tanam padi. Jika musim hujan terlalu cepat datang, maka areal pertanian yang masih belum siap panen akan tergenang air sehingga menimbulkan kerugian bagi petani. Begitu juga sebaliknya, jika musim kemarau terlalu lama maka akan terjadi kekeringan lahan pertanian. Kab. HSU secara umum termasuk wilayah yang beriklim tropis basah tergolong pada golongan tipe B. Pada tahun 2010, terjadi 6 bulan basah dan 3 bulan kering. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret dengan curah hujan 412,82 mm sedangkan yang terendah pada bulan Juli memiliki curah hujan 35 mm (BPS, 2011). Iklim dan musim merupakan faktor yang sangat penting bagi usaha pertanian, perikanan, perkebunan dan sektor lainnya. Bagi kehidupan ikan dan biota perairan, kondisi pada musim kemarau dapat menghambat tergantung jenis dan macam ikan. Suhu yang tinggi memerlukan oksigen dalam air dan akibatnya banyak ikan dan biota air yang mengalami kepayahan bahkan kematian karena kekurangan oksigen. Ikan dan biota air khas rawa lebak atau disebut ikan hitam
44
seperti belut, gabus, betok dan lele memiliki kemampuan jelajah yang sangat jauh sehingga ketika masih basah dapat pergi menjauh menghindari kekeringan. Selain itu ikan-ikan hitam mempunyai daya tahan bersembunyi dalam lumpur yang pekat dalam waktu cukup lama sampai berbulan-bulan dan bersifat buas karena dapat membunuh jenis ikan lainnya. Musim hujan merupakan masa berkembang biak ikan sehingga dapat menyediakan stok ikan di rawa lebak. Lahan rawa lebak memiliki peranan yang penting sebagai tempat ikan mencari makan, selain peranannya sebagai tempat pembesaran dan pemijahan ikan. Pada pertengahan musim hujan, banyak ikan sungai yang masuk rawa lebak untuk aktivitas makan dan pemijahan. Fluktuasi air baik kuantitas maupun kualitas yang terlampau besar pada awal musim hujan sering menentukan kehidupan ikan yang dikenal dengan istilah air bangai yang dapat menyebabkan kematian ikan yang cukup tinggi. Air bangai dicirikan oleh perubahan sifat fisik dan kimia air rawa seperti air berwarna hitam kecoklatan dan kadang-kadang berbau busuk, pH menjadi lebih asam dan kadar oksigen terlarut yang rendah, sebaliknya kadar karbon dioksida, kadar sulfur dan ion besi yang tinggi serta padatan tersuspensi tinggi. Kondisi air bangai adalah suatu fenomena akuatik yang spesifik di daerah rawa. Sisa air yang tersimpan di daerah rawa selama musim kemarau kualitasnya telah menurun untuk keperluan kehidupan organisme akuatik. Perubahan ini terjadi akibat proses biologi dan kimia oleh berbagai aspek limnologis dalam ekosistem rawa. Fenomena limnologis terjadi jika curah hujan tidak normal, sehingga jumlah air yang diperlukan untuk menaikkan kualitas air tidak mencukupi, bercampur dengan air bangai. Kondisi ini meluas ke berbagai areal di rawa lebak dan sekitarnya yang merupakan daerah perlindungan ikan-ikan selama musim kemarau, sehingga menjadi daerah “jebakan” yang menimbulkan kematian banyak ikan. Pada saat itu populasi ikan sungai menurun di perairan rawa lebak, tetapi setelah satu atau dua bulan “air bangai” yang berwarna hitam berakhir sehingga banyak ikan sungai yang bermigrasi ke perairan rawa lebak (Chairuddin, 1989). Menurut Noor (2007), pada ekosistem rawa lebak lebak umumnya didapati empat vegetasi yaitu: (1) vegetasi di bawah permukaan yang mempunyai akar di
45
dasar perairan, termasuk jenis ini antara lain Hydrilla verticilata, (2) tipe berdaun terapung, misalnya teratai rawa lebak, (3) vegetasi terapung bebas, misalnya eceng gondok dan kayu apu, dan (4) berbagai jenis rumput. Sebagian vegetasi merupakan sumber pakan atau hara bagi ikan dan biota air lainnya. Jenis vegetasi yang hidup di rawa lebak seperti pada Gambar 14.
Gambar 14 Vegetasi di Rawa Lebak Kab. HSU Potensi perikanan di perairan rawa lebak diperkirakan tidak kurang dari 100 jenis ikan. Jenis ikan yang adaptif hidup bersifat spesifik lokasi dan cukup beragam tergantung pada keadaan ekologi habitatnya. Jenis-jenis ikan di rawa lebak disebut ikan hitam (Gambar 15). Ikan putih yang umum terdapat di perairan sungai atau danau juga dapat ditemukan di rawa sebagai ikan pendatang yang masuk karena banjir atau terikut saat luapan sungai (Noor, 2007).
Gambar 15
Ikan Toman (Channa micropeltes) dan Belut (Monopterus albus Zeiew) Hasil Tangkapan di Rawa Lebak
Kegiatan usaha penangkapan ikan di wilayah perairan Kab. HSU didominasi perairan rawa lebak dan sungai.
Musim penangkapan dapat
berlangsung sepanjang tahun dengan produksi tangkapan yang beragam antara
46
2–25 kg/orang per hari dengan frekuensi penangkapan 4 – 5 kali per minggu. Pada puncak musim tangkapan berlangsung selama 1 (satu) bulan pada saat menjelang akhir musim hujan dengan produksi 20 – 50 kg per hari/orang dengan frekuensi penangkapan 6 – 7 kali per minggu. Produksi perikanan per kecamatan di Kab. HSU pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Produksi Perikanan Kab. HSU Tahun 2010 (Ton) No Kecamatan
Perikanan Tangkap Rawa lebak 1.953,80
1. Danau Panggang 2. Babirik 674,30 3. Sungai 388,40 Pandan 4. Amuntai 1.594,10 Selatan 5. Amuntai 496,40 Tengah 6. Banjang 395,40 7. Amuntai 356,60 Utara 8. Haur Gading 297,50 9. Sungai 252,50 Tabukan 10. Paminggir 1.358,70 Jumlah 7.767,70 Sumber: Diskan Kab.HSU (2011)
Perikanan Budidaya Budidaya Budidaya Tangkap Jumlah Kolam Karamba Fish Pen Sungai 1.191,30 13,73 658,90 6,67 3.824,40 411,10 236,80
68,64 41,18
654,24 66,44
28,99 1.837,27 75,12 807,94
972,00
164,73
91,97
31,46 2.854,26
302,70
343,18
639,14
241,10 217,40
35,69 13,73
378,32 10,98
15,15 1.065,66 598,71
181,40 153,90
274,54 1.123,98 8,24 16,47
- 1.877,42 0,08 431,19
828,40
32,95 1.157,09
43,24 3.420,38
4.736,10
996,61 4.797,53
200,71 18.498,65
-
1.781,42
Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa Kec. Danau Panggang merupakan kecamatan yang memiliki produksi perikanan tangkap tertinggi sebesar 3.145,1 ton kemudian diikuti Kec. Amuntai Selatan (2.566,1 ton) dan Kec. Paminggir (2.187,1 ton). Untuk perikanan budidaya, produksi tertinggi di Kec. Haur Gading sebesar 1.398,52 ton. Disusul oleh Kec. Paminggir (1.233,28 ton) dan Kec. Amuntai Tengah (982,32 ton). Berdasarkan peta penggunaan lahan musim hujan, dapat dilihat wilayahwilayah yang merupakan potensi kegiatan perikanan tangkap seperti pada Gambar 16. Wilayah-wilayah ini ditentukan berdasarkan pada kelas penggunaan lahan berupa rawa lebak, belukar rawa, hutan rawa sekunder dan tubuh air.
Gambar 16 Peta Wilayah Potensi Perikanan Tangkap
47
48
Dari Tabel 11 dan Gambar 16, dapat diketahui bahwa potensi sumber daya alam merupakan faktor dominan dalam produksi perikanan tangkap.
Tiga
kecamatan tertinggi produksi perikanan tangkap juga merupakan kecamatan yang memiliki areal rawa lebak yang luas sebagai wilayah potensi perikanan tangkap. Berdasarkan nilai PDRB tahun 2010 atas dasar harga berlaku, sub sektor perikanan memberikan kontribusi senilai Rp.109.949.430.000,00 atau 25% untuk sektor pertanian dan 7,4% untuk PDRB Kab. HSU.
Dengan menggunakan
analisis LQ, data PDRB per sektor dapat digunakan untuk mengidentifikasi sektor unggulan berdasarkan nilai tambah yang dihasilkan (Pribadi et al., 2010). Untuk itu dengan menggunakan data PDRB tahun 2010 atas dasar harga berlaku, maka dapat diidentifikasi sub sektor unggulan pada sektor pertanian per kecamatan seperti pada Tabel 12. Tabel 12 Nilai Location Quotient (LQ) Sub Sektor-Sub Sektor pada Sektor Pertanian Per Kecamatan Berdasarkan PDRB Tahun 2010 Atas Dasar Harga Berlaku No.
Kecamatan
1. Danau Panggang 2. Paminggir 3. B a b i r i k 4. Sungai Pandan 5. Sungai Tabukan 6. Amuntai Selatan 7. Amuntai Tengah 8. B a n j a n g 9. Amuntai Utara 10. Haur Gading Sumber: BPS (2011b)
Tanaman HortiBahan kultura Makanan 0,04 0,80 0,00 0,23 1,36 1,25 1,35 0,74 0,84 2,57 1,24 0,10 1,30 0,89 1,24 1,27 1,01 1,20 0,34 1,68
Perkebunan
Peternakan
Perikanan
0,22 0,13 0,22 0,20 0,25 1,15 0,70 1,06 8,03 1,38
0,83 3,04 0,76 0,51 0,35 1,15 1,24 0,88 1,36 0,56
3,02 1,91 0,98 0,27 0,55 1,23 0,70 0,36 0,60 1,91
Dari Tabel 12 terlihat bahwa kisaran nilai LQ tanaman bahan makanan berdasarkan nilai PDRB terdapat enam kecamatan yang mempunyai LQ>1, yang artinya sub sektor itu merupakan sektor unggulan pada kecamatan tersebut. Sub sektor holtikultura merupakan sektor unggulan di lima kecamatan. Untuk sub sektor perkebunan, di Kec. Amuntai Utara dan tiga kecamatan lainnya menjadi sektor unggulan. Demikian juga sub sektor peternakan menjadi sektor unggulan di empat kecamatan. Terdapat empat kecamatan yang memiliki sektor unggulan sub sektor perikanan.
49
Untuk sub sektor perikanan, empat kecamatan yang memiliki nilai LQ>1 yaitu Kec. Danau Panggang, Paminggir, Amuntai Selatan dan Haur Gading merupakan empat kecamatan dengan produksi ikan tertinggi baik dari kegiatan perikanan tangkap maupun budidaya. Kec. Danau Panggang, Paminggir dan Amuntai Selatan merupakan tiga kecamatan yang memiliki produksi perikanan tangkap tertinggi sedangkan Kec. Haur Gading memiliki produksi tertinggi untuk perikanan budidaya. 5.2
Daerah Basis Kegiatan Perikanan Tangkap dan Budidaya Untuk memetakan kecamatan basis perikanan berdasarkan jenis kegiatan,
dari aspek jumlah produksi maka dapat dilihat dari adanya pemusatan kegiatan yang tinggi pada suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lain pada satu titik tahun. Analisis LQ dapat digunakan sebagai metode untuk menentukan kegiatan perikanan basis berdasarkan jumlah produksi menurut wilayah kecamatan yang ada.
LQ didasarkan pada pertimbangan bahwa ketersediaan dan kapabilitas
sumber daya (alam, modal dan manusia) untuk menghasilkan suatu produk di suatu wilayah relatif terbatas. Karena pada penelitian ini data produksi yang digunakan, maka identifikasi yang dilakukan berdasarkan kapasitas aktual dari aktivitas produksi.
Dari hasil produksi perikanan tahun 2010, dapat diketahui
nilai LQ untuk kegiatan perikanan tangkap dan budidaya perkecamatan seperti pada Tabel 13. Tabel 13 Nilai LQ Produksi Perikanan Kab. HSU Tahun 2010 No. Kecamatan 1. Danau Panggang 2. Babirik
Produksi Kegiatan Perikanan (Ton) Tangkap
Budidaya
Nilai LQ Tangkap Budidaya
3.145,1 1.085,4
679,3 751,9
1,22 0,87
0,55 1,26
625,2
182,7
1,14
0,70
2.566,1 799,1
288,2 982,3
1,33 0,66
0,31 1,70
6. Banjang
636,5
429,2
0,88
1,24
7. Amuntai Utara
574,0
24,7
1,42
0,13
8. Haur Gading 9. Sungai Tabukan
478,9 406,4
1.398,5 24,8
0,38 1,39
2,30 0,18
10. Paminggir 2.187,1 Jumlah 12.503,8 Sumber: Diskan Kab.HSU (2011)
1.233,3 5.994,9
0,95
1,11
3. Sungai Pandan 4. Amuntai Selatan 5. Amuntai Tengah
50
Dari Tabel 13 terlihat bahwa berdasarkan produksi perikanan terdapat lima kecamatan yang mempunyai nilai LQ>1 untuk kegiatan perikanan tangkap yang artinya kecamatan tersebut merupakan kecamatan basis untuk kegiatan perikanan tangkap. Produksinya tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan
di kecamatan
bersangkutan tetapi juga dapat diekspor ke luar kecamatan. Lima kecamatan lainnya memiliki nilai LQ<1 untuk kegiatan perikanan tangkap namun memiliki nilai LQ>1 untuk kegiatan budidaya. Dengan demikian, dari sepuluh kecamatan yang ada, lima kecamatan merupakan kecamatan basis kegiatan perikanan tangkap yaitu Kec. Danau Panggang, Sungai Pandan, Amuntai Selatan, Amuntai Utara dan Sungai Tabukan. Lima kecamatan lainnya yaitu Kec. Babirik, Amuntai Tengah, Banjang, Haur Gading dan Paminggir merupakan basis kegiatan budidaya. Secara spasial wilayah basis kegiatan perikanan dapat dilihat pada Gambar 17. Dari gambar terlihat bahwa kecamatan-kecamatan yang merupakan basis kegitan perikanan tangkap merupakan kecamatan yang saling berdekatan dan merupakan satu hamparan areal penangkapan kecuali Kec. Amuntai Utara. Kecamatan-kecamatan tersebut memiliki sumber daya alam berupa areal rawa lebak yang menyimpan potensi sumber daya perikanan. Untuk Kec. Paminggir, walaupun memiliki lahan rawa lebak yang luas tetapi kegiatan perikanan budidaya yang lebih berkembang khususnya budidaya karamba yang dilakukan di sepanjang sungai dengan jenis ikan yang tahan terhadap kondisi perairan rawa lebak seperti ikan toman. Namun dari Tabel 13 dapat diketahui bahwa nilai LQ Kec. Paminggir untuk kegiatan perikanan tangkap nilainya mendekati satu (1) yaitu 0,95. Hal ini berarti bahwa kecamatan ini juga memiliki potensi perikanan tangkap walaupun bukan sebagai daerah basis. Kec. Haur Gading memiliki nilai LQ>1 sebagai kecamatan basis kegiatan budidaya. Di kecamatan ini budidaya karamba memiliki nilai produksi tertinggi kedua setelah Kec. Paminggir. Budidaya karamba dilakukan petani pembudidaya di sungai yang melintasi kecamatan ini.
Gambar 17 Peta Kecamatan Basis Kegiatan Perikanan
51
52
Pemanfaatan wilayah perairan untuk kegiatan perikanan masih didominasi penangkapan dengan beragam alat tangkap yang dioperasikan secara terbatas dan bersifat tradisional. Berbagai alat tanggap yang digunakan sesuai dengan lokasi penangkapan dan jenis ikan yang tertangkap. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan setempat diantaranya lukah, tempirai dan hampang, pangilar, kabam, temburu, anco, jambih, lunta, pancing, rengge, serapang, tangguk, sesuduk dan lalangit (Gambar 18).
Gambar 18 Alat Tangkap yang Digunakan Nelayan Penangkap Ikan Produksi ikan perairan umum Kab. HSU, selain untuk memenuhi konsumsi dalam Kab. HSU juga dikirim ke luar Kab. HSU.
Kegiatan distribusi hasil
produksi perikanan tangkap dari nelayan penangkap sebagai produsen ke konsumen berlangsung dalam dua pola pemasaran. Pola pemasaran ikan segar yang ada dapat dilihat pada Gambar 19, dapat dibagi dalam dua pola, yaitu : a) Pola I, yaitu ikan hasil tangkapan langsung dijual kepada pedagang pengumpul yang kemudian diteruskan ke pedagang pengencer hingga akhirnya sampai ke konsumen yang ada di dalam kabupaten maupun di luar kabupaten. Jika nelayan menjual ikan ke pedagang pengumpul dengan harga Rp.14.000,00 maka pedagang pengumpul menjual ikan ke pedagang pengecer berkisar antara Rp.16.000,00-Rp.18.000,00. Harga ikan ini ditingkat konsumen bisa menjadi Rp.20.000,00. Pada pola seperti ini konsumen mendapatkan harga yang jauh lebih mahal karena panjangnya rantai pemasaran. b) Pola II, yaitu ikan hasil tangkapan langsung dijual ke konsumen yang ada di desa atau konsumen lokal, sehingga harga di tingkat konsumen lebih rendah
53
dari pola II karena konsumen langsung mendapatkan ikan dari nelayan sebagai produsen. II I Nelayan
Pedagang pengumpul
Pedagang pengecer
Konsumen
Gambar 19 Pola pemasaran ikan segar hasil tangkapan 5.3 Identifikasi Penyebab Penurunan Produksi Tangkap Dari perkembangan produksi perikanan tangkap di Kab. HSU menunjukan penurunan 3% pada tahun 2009 dan 0,1% pada tahun 2010, yang diperkirakan karena penangkapan yang berlebihan (overfishing).
Produksi perikanan Kab.
HSU dapat dilihat pada Tabel 14 dan Gambar 20. Tabel 14 Produksi Perikanan Kab. HSU Tahun 2006 – 2010 No
Tahun (Ton) 2007 2008 2009 12.858,0 12.891,2 12.514,7
1.
Kegiatan Perikanan Penangkapan
2.
Budidaya
1.077,8
1.314,8
1.344,3
1.413,0
5.994,8
Jumlah
13.903,2
14.172,8
14.235,5
13.927,7
18.498,6
2006 12.825,4
2010 12.503,8
Sumber: Diskan Kab. HSU (berbagai tahun)
Dari Tabel 14 dan Gambar 20 menunjukkan puncak peningkatan produksi perikanan tangkap terjadi pada tahun 2008 dengan jumlah produksi mencapai 12,825,4 ton atau mengalami kenaikan sebesar 0,3% dari produksi tahun 2007. Namun kegiatan perikanan tangkap cenderung mengalami penurunan produksi pada dua tahun terakhir yaitu tahun 2009 dan 2010.
54
Produksi (Ton)
Produksi Perikanan 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 -
Tangkap Budidaya 2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Gambar 20 Perkembangan Produksi Perikanan Tahun 2006-2010 Dari hasil wawancara dengan nelayan penangkap ikan di Kab. HSU mengenai keadaan rawa lebak di Kab. HSU dapat diketahui bahwa ukuran ikan yang tertangkap cenderung lebih kecil dari beberapa tahun yang lalu. Ikan–ikan berukuran besar sudah sangat jarang tertangkap. Begitu juga dengan jenis ikan yang tertangkap. Ikan belida atau pipih sudah sangat jarang ditemukan. Hal ini memberi asumsi sementara bahwa terjadi overfishing yang menyebabkan penurunan produksi perikanan tangkap. Overfishing atau penangkapan berlebihan merupakan kondisi dimana tingkat pemanfaatan sumber daya ikan melebihi batasan yang ditetapkan sehingga dapat menyebabkan penurunan stok (deplesi) sumber daya ikan. Berdasarkan keadaan aktual perikanan tangkap di Kab. HSU yang memiliki lahan rawa lebak sebagai potensi perikanan seluas 35.511,2 ha dan RTP tangkap tahun 2010 sebanyak 8.650 unit, maka rata-rata pemanfaatan lahan rawa lebak per RTP adalah 4,1 ha per unit (Diskan Kab.HSU, 2011). Ini menunjukkan masih besarnya potensi lahan rawa lebak yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penangkapan ikan, sehingga mematahkan asumsi terjadinya overfishing. Selain itu, penggunaan alat tangkap yang masih sederhana dan jumlah yang terbatas tidak
memungkinkan
terjadinya
eksploitasi
besar-besaran
yang
dapat
menyebabkan overfishing. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian kajian stok ikan tahun 2008 di perairan umum oleh Bappeda Kab. HSU.
Dengan membandingkan tingkat
tangkapan tahun terakhir (tahun 2007) dan MSY, maka stok ikan di Kab. HSU
55
berada dalam kondisi underfishing dengan tingkat pemanfaatan sebesar 29,45%. Kondisi underfishing berarti tingkat pengusahaan yang rendah, hasil tangkapan hanya merupakan sebagian kecil dari potensinya. Hasil Tangkapan Maksimum Lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield) merupakan upaya yang menghasilkan tangkapan maksimum yang lestari tanpa berdampak pada produktivitas stok jangka panjang yang berada pada angka 436.675,09 ton pertahun dan bila dirupiahkan sebesar Rp. 3.949.695.913.538,00. Meskipun demikian untuk proses restoking secara alamiah, total produksi pengembangan yang dicapai harus memenuhi ketentuan Maximum Allowed Yield (MAY) sebesar 80% dari MSY yaitu 349.340 ton/pertahun. Pemanfaatan potensi perikanan tangkap juga dipengaruhi oleh jumlah RTP nelayan tangkap. Penurunan jumlah RTP dapat menyebabkan penurunan jumlah produksi karena jumlah hasil tangkapan tiap nelayan relatif tetap bahkan cenderung menurun setiap tahun karena tergantung dari alam. Berbeda dengan perikanan tangkap, produksi kegiatan perikanan budidaya tergantung pada pembesaran benih yang ditebar dan teknologi yang digunakan. Idealnya, semakin banyak benih yang ditebar maka semakin tinggi jumlah produksi.
Ini dapat
dilihat dari perbandingan RTP dan produksi perikanan tangkap dan budidaya tahun 2006 dan 2010 yang disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Perbandingan RTP dan Produksi Kegiatan Perikanan Tangkap dan Budidaya Tahun 2006 dan Tahun 2010 No.
Kegiatan Perikanan
1.
Penangkapan
2.
Budidaya
Tahun 2006 RTP (unit) Produksi (Ton)
Tahun 2010 RTP (unit) Produksi (Ton)
16.472
12.825,4
14.986
12.503,8
1.360
1.077,8
1.464
5.994,8
Sumber: Diskan HSU (berbagai tahun)
Pada tahun 2006 jumlah RTP tangkap berjumlah 16.472 unit dengan jumlah produksi 12.825,4 ton dan pada tahun 2010 terjadi penurunan RTP tangkapan menjadi 14.986 unit sehingga produksi tangkap menjadi 12.503,8 ton. Sebaliknya RTP kegiatan perikanan budidaya tahun 2010 meningkat dari tahun 2006. Hal ini diikuti juga dengan peningkatan jumlah produksi. Pada tahun 2006 dengan RTP sebanyak 1.360 unit menghasilkan produksi sebanyak 1.077,8 ton. Jumlah ini
56
meningkat pada tahun 2010 menjadi 1.464 unit dengan produksi sebanyak 5.994,8 ton. Berkembangnya kegiatan budidaya disebabkan karena meningkatnya kemampuan modal usaha petani pembudidaya.
Berbeda dengan kegiatan
perikanan tangkap yang tergantung dengan hasil alam dan hanya membutuhkan modal sarana penangkapan, kegiatan budidaya memerlukan modal usaha yang besar sehingga selama ini kurang berkembang.
Melalui Usaha Pelayanan
Pengembangan Usaha Perikanan (UPP-UP) sebagai wadah penyaluran dan pemanfaatan serta penguatan modal dengan mekanisme pinjaman, petani pembudidaya menjadi terbantu dalam hal modal usaha.
Adanya kemudahan
dalam memperoleh modal merupakan salah satu penyebab kegiatan budidaya menjadi semakin berkembang.
Hal ini juga menjadi daya tarik bagi nelayan
tangkap untuk beralih kegiatan menjadi petani pembudidaya khususnya budidaya karamba atau fish pen yang dapat dilakukan di rawa lebak atau di sungai. Menurunnya jumlah RTP nelayan penangkap menyebabkan penurunan produksi perikanan tangkap.
Ini berarti jumlah RTP mempengaruhi jumlah produksi.
Semakin tinggi jumlah RTP maka semakin tinggi produksi, sebaliknya semakin rendah jumlah RTP maka semakin rendah produksi. Produksi perikanan juga dipengaruhi alat tangkap yang digunakan. penggunaan alat tangkap yang berbahaya (illegal fishing) misalnya alat setrum dan racun menyebabkan kematian benih ikan sehingga menghambat regenerasi stok ikan di wilayah tersebut. Di Kab. HSU penggunaan alat setrum di beberapa wilayah mulai dikontrol oleh masyarakat setempat. Apabila ada yang melakukan penyetruman, pelaku ditangkap langsung oleh masyarakat untuk diserahkan ke polisi. Bahkan pemerintah daerah menyediakan hadiah uang tunai bagi yang dapat menangkap pelaku pengguna setrum atau bahan peledak. Tidak semua wilayah mempunyai kontrol masyarakat yang kuat. Petugas keamanan tidak dapat setiap waktu mengawasi sehingga masih banyak pelaku penyetruman yang masih bebas beroperasi. Tabel 16 menunjukkan bahwa masih ada pelaku penyetruman yang tertangkap setiap tahun. Hal ini berarti kegiatan penyetruman masih tetap dilakukan, walaupun diancam dengan tindak pidana hukum.
57
Tabel 16 Jumlah Pelaku Penyetruman yang Tertangkap Tahun 2006–2010 Pelaku penyetruman Tertangkap(orang) Diproses hukum (orang) 1. 2006 7 4 2. 2007 6 6 3. 2008 15 15 4. 2009 11 11 5. 2010 6 6 Sumber: Dinas Perikanan Kab.Hulu Sungai Utara (2011) No.
Tahun
Hasil penelitian dari berbagai lokasi lahan rawa lebak di Kalimantan menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan oleh nelayan dalam sepuluh tahun terakhir dalam setiap tahunnya menurun (LP IPB, 2002). Penurunan produktivitas perikanan rawa lebak sangat erat kaitannya dengan kualitas air.
Penurunan
kualitas air akan mempengaruhi ketersediaan pakan alami (nutrisi) bagi ikan dan biota air seperti plankton, bentos, tanaman air dan ikan-ikan kecil atau seranggaserangga kecil yang menjadi sumber pakan yang tersedia secara alami terhambat perkembangannya dengan menurunnya kualitas air. Kualitas perairan rawa lebak berubah-ubah setiap tahunnya, tergantung pada kondisi lingkungannya termasuk kerusakan lahan atau hutan di kawasan hulunya. Berdasarkan hasil pengamatan kondisi kualitas air yang dilakukan oleh Bappeda Kab. HSU pada tahun 2008 di kawasan sampling, maka dapat diketahui keadaan umum
daya
dukung lingkungan
perairan melalui
pendekatan
Environmental Quality Index (EQI). Hasil perhitungan EQI berdasarkan hasil pengamatan kualitas air meliputi derajat keasaman (pH), total alkalinitas (CaCO3), Nitrogen Amoniak dan Nitrit (NH3-N dan NO2-N), kadar oksigen terlarut (DO), kecerahan dan kedalaman, suhu, COD, BOD, fosfat (PO4) dan padatan tersuspensi (TSS). Penentuan kualitas air dengan EQI dengan menggunakan rumus (Canter,1979 dalam Bappeda, 2008): ∑ K
= Konstanta
PIU = Nilai Parameter Impact Unit EQI = Nilai EQI dengan maksimum: (K x PIU atau 10 x 5 = 50) KA = Nilai Kualitas Air
58
Berdasarkan nilai KA yang diperoleh, maka dapat ditentukan kualitas suatu perairan dengan kriteria seperti pada Tabel 17. Tabel 17 Kriteria Kualitas Air Berdasarkan Nilai Kualitas Air (KA) Kelas Kisaran Nilai KA
Kriteria
I
0,00 – 0,20
Sangat buruk
II
0,21 – 0,40
Buruk
III
0,41 – 0,60
Sedang
IV
0,61 – 0,80
Baik
V
0,81 – 1,00
Sangat baik
Tabel 18 Hasil Perhitungan Environmental Quality Index (EQI) Kualitas Air No. Lokasi/Desa 1. Danau Terate 2. Kayakah 3. Sungai Durait Hulu 4. Kelumpang Dalam 5. Sungai Papuyu 6. Tampakang 7. Pal Batu 8. Pararain 9. Nelayan 10. Palimbangan 11. Waringin 12. Pinang Habang 13. Danau Cermin Sumber: Bappeda (2008)
Kecamatan Banjang Amuntai Selatan Babirik Babirik Babirik Paminggir Paminggir Danau Panggang Sungai Tabukan Haur Gading Haur Gading Amuntai Tengah Amuntai Tengah
KA 0,37 0.40 0,33 0,32 0,36 0,49 0,45 0,44 0,50 0,49 0,56 0,60 0,50
Kriteria Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
Keterangan: KA Kriteria
= nilai indeks kualitas air = kriteria kondisi kualitas air secara umum
Dari Tabel 18, secara keseluruhan kondisi kualitas lingkungan perairan berada dalam kriteria sedang hingga buruk. Nilai indeks kualitas air tertinggi terdapat di desa Pinang Habang (Amuntai Tengah), sedangkan nilai indeks kualitas yang terendah terdapat di desa Kalumpang Dalam (Babirik). Kondisi kualitas lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh ekosistem di sekitarnya.
Pada lingkungan sungai, kontribusi aktivitas di bagian hulu dan
sekitarnya beserta limbah yang dibuang ke badan air akan sangat berpengaruh. Begitu pula pada lingkungan perairan rawa lebak yang relatif tergenang. Kondisi
59
ini dapat lebih buruk dibandingkan lingkungan perairan sungai, karena rawa lebak yang tergenang kaya akan bahan organik dan sulitnya proses difusi oksigen dari udara ke badan air. Hasil pengamatan ini mencerminkan kondisi kualitas lingkungan perairan pada suatu periode pengamatan, ini berarti bahwa musim sangat berpeluang mempengaruhi hasil pengamatan. Pengamatan dilakukan pada saat pergantian musim antara musim kemarau ke musim hujan. Dalam kondisi ini lingkungan perairan dipengaruhi proses degradasi alamiah yang biasa disebut bangai. Kondisi kualitas air yang relatif buruk juga merupakan salah satu karakteristik perairan rawa lebak, akibat kondisi tergenang dan kontribusi bahan organik dari lingkungan rawa lebak. Pengamatan hanya dilakukan pada satu titik waktu dan tidak adanya pemantauan kualitas air secara berkala, belum menggambarkan kondisi kualitas air secara komprehensif sehingga belum diketahui pengaruhnya secara pasti terhadap penurunan produksi ikan. Kondisi alamiah lainnya yaitu air bangai.
Peristiwa bangai merupakan
peristiwa alamiah yang terjadi akibat adanya musim kemarau yang menyebabkan keringnya sebagian kawasan perairan dan sebagian lagi masih digenangi air meskipun relatif dangkal. Pada lahan yang masih digenangi air dangkal kandungan oksigen terlarut rendah karena arus dari sungai sangat kecil karena pada sungaipun terjadi pendangkalan.
Arus sungai
dapat menimbulkan
pengadukkan air sehingga menaikkan kadar oksigen. Pada lahan yang kering ditumbuhi berbagai macam tumbuhan seperti rerumputan dan tanaman palawija oleh petani. Pada saat awal musim hujan, untuk sementara perairan menjadi subur karena masuknya unsur hara yang terlarut beserta arus air sungai. Pada saat itu ikan-ikan berdatangan untuk melakukan pemijahan dan lahan tergenang air. Tumbuhan kering yang tadinya hidup lambat laun akan mati karena terendam air beserta jerami tanaman petani dan terjadilah proses penguraian atau perombakan oleh bakteri atau organisme pengurai (decomposer). Dalam proses tersebut bakteri maupun organisme pengurai memerlukan energi yang besar dengan cara mengkonsumsi oksigen yang besar pula. Hal ini mengakibatkan oksigen yang terlarut dalam air menjadi berkurang. Besarnya energi yang dikeluarkan menyebabkan peningkatan hasil respirasi yang
60
diikuti oleh peningkatan ekskresi seperti suhu, karbondioksida dan kadar amoniak dalam air sehingga pH menurun yang mengakibatkan air menjadi asam dan terbentuk senyawa H2S yang menimbulkan bau. Pada keadaan ini kualitas air menurun drastis dan pada akhirnya ikan-ikan yang tidak dapat beradaptasi dengan kondisi air akan mati. Peristiwa berlangsung setiap tahun, sehingga jenis-jenis biota penghuni ekosistem rawa lebak memiliki toleransi yang cukup kuat atas penurunan kualitas air setempat mampu bertahan hidup. Kondisi alamiah lain yang terjadi di rawa lebak adalah perubahan luasan lahan akibat perubahan musim yang dapat mempengaruhi luas areal kawasan penangkapan. Musim hujan yang terlalu lama menyebabkan areal yang digenangi air akan semakin luas. Daerah penyebaran ikan juga semakin luas, sedangkan jangkauan nelayan umumnya terbatas sehingga produksi juga terbatas. Penggunaan pestisida untuk kegiatan pertanian juga mempengaruhi kualitas perairan dan akhirnya berpengaruh pada produksi perikanan. Kondisi alamiah yang ada tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan produksi karena ikan rawa lebih toleran terhadap pengaruh air bangai, dan pengaruh pestisida juga mencakup areal yang tidak terlalu luas. Dari analisis deskriptif tentang penurunan produksi perikanan tangkap, dapat diketahui penurunan produksi perikanan tangkap yang terjadi di Kab. HSU disebabkan oleh pemanfaatan potensi perikanan yang masih rendah. Berdasarkan hasil kajian stok ikan yang dilakukan, secara umum stok ikan yang ada di perairan rawa lebak Kab. HSU berada pada kondisi underfishing artinya produksi hasil tangkapan masih rendah nilainya dibandingkan potensi yang dimiliki. menggambarkan
bahwa
adanya
penurunan
produksi
perikanan
Ini
tangkap
disebabkan rendahnya pemanfaatan potensi sumber daya perikanan yang ada. Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan jumlah RTP tangkap, trip penangkapan yang rendah atau penggunaan alat tangkap yang masih sederhana dan terbatas jumlahnya akibat keterbatasan modal usaha yang dimiliki oleh nelayan. Keterbatasan
ekonomi
juga
menyebabkan
kecenderungan
dilakukannya
penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang berbahaya dan tidak selektif demi memperoleh hasil besar sesaat.
61
Untuk meningkatkan produksi tangkapan dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya perikanan dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain: (1) peningkatan trip penangkapan dan daya jelajah dengan memperhatikan fishing ground dan jenis alat tangkap yang dioperasikan, (2) pemberian bantuan permodalan, dan (3) penetapan lokasi dan pengelolaan suaka perikanan. 5.4
Identifikasi Kawasan Suaka Perikanan Pada saat penelitian ini dilaksanakan, Pemerintah Daerah melalui Bappeda
dan Dinas Perikanan dan Peternakan melakukan pengambilan titik lokasi suaka perikanan sebagai bahan revisi RTRW Kab. HSU. Gambar 21 menunjukkan kondisi lokasi suaka perikanan. Luasan kawasan suaka perikanan yang ada di Kab. HSU dapat dilihat pada Tabel 19.
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 21 Kondisi Lokasi Suaka Perikanan (a) Hambuku Lima, (b) Longkong, (c) Putat Atas, dan (d) Tampakang
62
Tabel 19 Luas Kawasan Suaka Perikanan di Kab. HSU No. Desa 1. 2. 3. 4.
Longkong Hambuku Lima Putat Atas Tampakang
Luas Kawasan Suaka Perikanan (ha)
Kecamatan Danau Panggang Babirik Sungai Pandan Paminggir Jumlah
0,93 0,06 0,30 1,27 2,57
Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui kawasan suaka perikanan yang berada pada empat kecamatan seluas 2,57 ha. Lokasi suaka perikanan berada di Desa Hambuku Lima, Longkong, Putat Atas dan Tampakang. Luas keseluruhan ini masih kurang dibandingkan luas rawa lebak sebagai potensi perikanan (35.511,2 ha), sehingga perlu dilakukan penambahan suaka perikanan. Berdasarkan kriteria teknis yang ada, diidentifikasi lokasi yang berpotensi menjadi calon lokasi suaka perikanan. Secara spasial calon lokasi suaka perikanan dapat ditunjukkan pada Gambar 22, sedangkan lokasi dan posisi calon lokasi suaka perikanan seperti pada Tabel 20. Tabel 20 Lokasi dan Posisi Usulan Calon Lokasi Suaka Perikanan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Lokasi Calon Lokasi Suaka Perikanan Nama Desa Nama Kecamatan Tampakang Paminggir Pal Batu Paminggir Pandamaan Danau Panggang Baru Danau Panggang Pajukungan Hilir Babirik Sungai Dalam Babirik Teluk Limbung Babirik Sungai Durait Hilir Babirik Sungai Durait Tengah Babirik Danau Cermin Amuntai Tengah Pulau Tambak Amuntai Selatan Banyu Hirang Amuntai Selatan
Posisi Bujur Timur Lintang Selatan 115o05’ 2 o 18’ o 115 01’ 2 o 21’ o 115 10’ 2 o 25’ o 115 12’ 2 o 22’ o 115 08’ 2 o 29’ o 115 11’ 2 o 30’ 115 o11’ 2 o 33’ o 115 17’ 2 o 33’ o 115 18’ 2 o 32’ o 115 23’ 2 o 31’ o 115 20’ 2 o 23’ o 115 20’ 2 o 22’
Gambar 22 Peta Usulan Calon Lokasi Suaka Perikanan
63
64
Karena adanya keterbatasan peneliti, maka identifikasi calon lokasi suaka perikanan lebih diutamakan dengan menggunakan Peta Penggunaan Lahan Tahun 2011 (musim kemarau).
Calon-calon lokasi suaka perikanan (Tabel 20)
merupakan wilayah-wilayah yang selalu tergenang sepanjang tahun dan memiliki fluktuasi air yang besar (2-4 m), terhubung dengan daerah tangkapan atau dekat sungai, serta memiliki vegetasi. Fluktuasi air pada suaka perikanan memegang peranan
penting agar
ikan dapat
menyebar ke
perairan
sekitar
dan
menyumbangkan benih secara alami, sehingga produksi perikanan tangkap di perairan umum sekitar suaka perikanan meningkat. Kanal merupakan bagian yang penting sebagai jalur ruaya, pada saat air mulai naik (awal musim penghujan) ikan cepat menyebar lewat kanal, sedangkan saat mulai surut (awal musim kemarau) ikan cepat menuju suaka lewat kanal. Tumbuhan merupakan bagian yang penting bagi suaka perikanan karena merupakan tempat pemijahan dan mencari makanan bagi ikan. Salah satu kriteria penting untuk menentukan suatu lokasi menjadi suaka perikanan agar dapat berfungsi sebagai sumber benih adalah ketersediaan pakan alami seperti plankton, bentos, perifiton, serangga air dan buah pepohonan vegetasi reparian (Sugianti et al., 2009). Secara ekologis, produktivitas sumber daya perikanan banyak tergantung pada keberadaan fitoplankton dalam suatu perairan.
Keberadaannya sangat berperan dalam menjamin keberlangsungan
hidup organisme perairan lainnya secara berkelanjutan. Fitoplankton merupakan sumber pangan dan bahan organik serta mata rantai utama dalam suatu sistem rantai makanan di perairan (Sachoemar, 2006). Selain itu, karena respon yang cepat terhadap perubahan lingkungan, menyebabkan fitoplankton dapat digunakan sebagai indikator kualitas air. Hanya jenis fitoplankton yang mempunyai daya toleransi tinggi yang dapat hidup di dalam ekosistem yang tercemar (Sugianti et al., 2009). Rawa lebak yang memiliki hutan rawa merupakan habitat yang produktif karena banyak tersedia pakan alami (serangga air, perifiton dan lain-lain), merupakan daerah pemijahan dan lindungan bagi anak-anak ikan. Hutan rawa
65
juga merupakan sumber nutrien di perairan yang berasal dari penguraian daundaun yang jatuh (Utomo et al., 2009). Selama ini belum ada aturan yang baku tentang luas ideal suaka perikanan pada suatu perairan, hal ini disebabkan karena setiap perairan memiliki kondisi yang berbeda. Menurut Kartamihardja et al. (2010), sebaran juvenile (ikan muda) akan menentukan luasan kawasan suaka perikanan.
Semakin tinggi sebaran
juvenile, maka semakin luas suaka perikanan yang diperlukan sebagai daerah perlindungan ikan. Menurut Nuitja (2010), faktor-faktor penentu penyebaran ikan pada suatu perairan adalah suhu, kelembaban serta faktor fisik dan kimia. Faktor lain yang menentukan penyebaran terbatas bagi ikan antara lain: adanya pemangsaan dan persaingan. Ikan akan bertahan di suatu lingkungan perairan jika memiliki cukup makanan, mampu berkembang biak dan terhindar dari pemangsa. Jika dari kondisi-kondisi tersebut tidak didapatkan, maka ikan akan migrasi ke daerah yang diinginkan. Penentuan
luas
suaka
perikanan
di
rawa
lebak
juga
perlu
mempertimbangkan kondisi stok ikan. Pada perairan dengan kondisi overfishing, luas suaka perikanan dapat lebih kecil karena hanya berfungsi sebagai daerah lindungan induk ikan. Fungsi suaka perikanan sebagai pemasok benih dapat dilakukan dengan campur
manusia melalui hatchery.
Hatchery atau tempat
produksi benih akan berperan sebagai pemasok benih sehingga terjadi efisiensi lahan dan waktu. Di hatchery, waktu produksi dan jumlah benih yang dihasilkan akan lebih terkontrol. Diharapkan produksi benih di hatchery dapat memenuhi permintaan benih di daerah penangkapan di sekitarnya pada perairan dengan kondisi stok ikan yang overfishing. Pada kondisi stok ikan underfishing, suaka perikanan dapat lebih luas dari perairan yang overfishing. Kawasan suaka perikanan sebagai daerah perlindungan akan dapat berfungsi sebagai daerah pemijahan, asuhan dan pembesaran ikan sehingga dapat memasok benih maupun calon induk ikan ke daerah penangkapan di sekitarnya untuk keperluan peremajaan stok ikan (recruitment). Atas dasar pertimbangan keadaan kondisi stok ikan yang masih underfishing, maka luas suaka perikanan di Kab. HSU ditentukan seluas 5% dari luas wilayah atau seluas 1.775,6 ha. Penentuan ini belum mempertimbangkan
66
sebaran juvenile karena belum ada data yang tersedia. Penentuan ini berdasarkan data dari Diskan Kab.HSU tentang usulan wilayah kawasan suaka perikanan di Kab. HSU. Kawasan suaka perikanan ini tersebar di 5 kecamatan dan 12 desa (Tabel 20). Luasan suaka perikanan yang ditentukan merupakan luas keseluruhan suaka perikanan di Kab. HSU. Luasan suaka perikanan pada setiap perairan desa belum ditentukan karena harus di lakukan pengamatan secara lebih detail di semua calon lokasi suaka perikanan. Mengingat peran dan fungsinya yang sangat penting, maka suaka perikanan harus terlindung dari dampak negatif akibat kegiatan di luar perikanan yang dilakukan di sekitarnya. Sebagai solusi alternatif dalam mempertahankan dan mengembangkan status kawasan dibutuhkan penetapan aturan formal tingkat daerah, strategi pengelolaannya secara terpadu, serta monitoring dan evaluasi secara intensif. Dengan adanya pengembangan potensi rawa lebak berdasarkan fungsi kawasan tangkap dan kawasan suaka perikanan diharapkan terjadi peningkatan produksi dan terjaganya kelestarian sumber daya. Luasnya potensi perikanan yang dimiliki memerlukan pengelolaan sumber daya perikanan secara tepat dan bijaksana sehingga tujuan peningkatan produksi dan terjaganya kelestarian sumber daya perikanan dapat tercapai. Pengelolaan sumber daya perikanan yang bijaksana dengan melibatkan berbagai stakeholder akan menjadikan sektor perikanan mampu memberikan kontribusi secara berkelanjutan. 5.5 Persepsi Stakeholder Prioritas pengelolaan diketahui melalui nilai (skor) yang didapatkan melalui Analytic Hierarchy Process (AHP). Semakin tinggi nilai yang diperoleh menandakan bahwa variabel atau faktor tersebut lebih prioritas dibandingkan faktor lain yang memiliki nilai lebih rendah. Sesuai persepsi masing-masing stakeholder, bobot nilai setiap faktor juga berbeda-beda. Stakeholder yang diminta persepsinya terdiri atas Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Perikanan Dan Peternakan, pihak swasta, dan masyarakat perikanan (nelayan). Stakeholder tersebut dianggap cukup mewakili karena mengerti terhadap permasalahan, sebagai pelaku dan pembuat keputusan yang memiliki informasi dan memahami permasalahan perikanan.
67
Berdasarkan hasil wawancara dengan stakeholder, maka dapat diketahui persepsi seluruh stakeholder terhadap tiga aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak yaitu: (1) fisik, (2) ekonomi, dan (3) sosial dan kelembagaan. Berdasarkan aspek fisik, hal yang perlu dipertimbangkan seperti sumber daya alam, kawasan konservasi serta sarana dan prasarana.
Aspek ekonomi meliputi sumber daya manusia,
modal, produktivitas dan pemasaran.
Aspek sosial kelembagaan terdiri atas
partisipasi masyarakat dan lembaga pembina. Ketiga aspek tersebut merupakan kriteria pemilihan sedangkan hal yang perlu dipertimbangkan pada setiap aspek merupakan alternatif pilihan. Berdasarkan kriteria pemilihan, stakeholder menentukan aspek fisik yang paling penting dengan skor penilaian 0,382. Aspek berikutnya adalah sosial dan kelembagaan dengan skor 0,310 dan terakhir adalah aspek ekonomi dengan skor 0,308. Dari alternatif pilihan pada aspek fisik, yang harus diprioritaskan adalah sumber daya alam. Hal ini berarti sumber daya perikanan harus mendapat perhatian untuk dapat dipelihara dengan baik sehingga pemanfaatannya dapat berkelanjutan. Alternatif pilihan pada aspek fisik yaitu pentingnya sarana dan prasarana yang menempati prioritas kedua yang harus dipertimbangkan. Beberapa tahun terakhir,
penyediaan sarana dan prasarana kegiatan perikanan tangkap melalui dana DAK dianggap cukup memadai dalam menunjang kegiatan penangkapan. Kawasan konservasi belum memberikan hasil yang nyata sehingga menjadi prioritas terakhir pada aspek fisik dalam pengelolaan perikanan tangkap menurut persepsi stakeholder. Aspek kedua yang harus diprioritaskan adalah aspek sosial dan kelembagaan.
Alternatif pilihan dalam penentuan pengembangan potensi
perikanan rawa lebak menempatkan partisipasi masyarakat sebagai prioritas utama yang harus dipertimbangkan pada aspek sosial dan kelembagaan. Hal ini berarti sebagai stakeholder terbesar dalam proses perencanaan, maka keterlibatan kelompok masyarakat harus diutamakan, karena masyarakat yang akan terkena dampak langsung dari perencanaan tersebut, sehingga perencanaan bukan hanya menjadi domain pemerintah.
68
Lembaga
pembina
menempati
urutan
kedua
prioritas
yang
harus
dipertimbangkan menurut persepsi stakeholder. Mayoritas masyarakat perikanan
merupakan nelayan penangkap ikan yang berarti kegiatan penangkapan merupakan kegiatan yang dominan dilakukan sehingga diperlukan lembaga pembina agar mereka menyadari dan memahami arti pentingnya konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan yang lestari karena perairan rawa lebak merupakan tempat mereka berusaha dan menggantungkan hidupnya. Hal ini memperkuat simpulan Adger et al. (2000) bahwa pada dasarnya keberhasilan konservasi di lahan basah ditentukan oleh lembaga dan hak kepemilikan dan berhubungan dengan pengelolaan sumber daya. Pada aspek ekonomi yang merupakan aspek terakhir yang diprioritaskan, sumber daya manusia dan modal masing-masing menempati urutan pertama dan kedua sebagai alternatif pilihan. Nelayan telah melakukan kegiatan secara turun temurun sehingga aspek ekonomi menempati urutan terakhir aspek yang diprioritaskan. Begitu juga dengan modal, adanya kemudahan akses pinjaman melalui Usaha Pelayanan Pengembangan Usaha Perikanan (UPP-UP) sebagai wadah penyaluran dan pemanfaatan dan penguatan modal melalui mekanisme pinjaman bagi pelaku usaha perikanan skala kecil sehingga alternatif pilihan ini tidak diprioritaskan. Prioritas terakhir yaitu produktivitas dan pemasaran. Hal ini diduga karena produktivitas yang cenderung tetap dan pemasaran yang sudah memiliki jaringan distribusi yang tetap sehingga hal ini bukan menjadi prioritas yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan perikanan tangkap. Gambar 23 menampilkan ringkasan persepsi seluruh stakeholder dalam penentuan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak di Kab. HSU. Perhitungan skor untuk analisis AHP pada Lampiran 4.
69
Pengembangan Potensi Perikanan Tangkap Rawa Lebak
Fisik (0,382)
Ekonomi (0,308)
Sosial dan Kelembagaan (0,310)
Sumber daya Alam (0,156) Sarana dan Prasarana (),116) Kawasan Konservasi (0,111)
Sumber daya Manusia (0,086) Modal (0,081) Produktivitas (0,076) Pemasaran (0,064)
Partisipasi Masyarakat (0,164) Lembaga Pembina (0,146)
Gambar 23. Hasil AHP dalam Penentuan Pengembangan Potensi Perikanan Tangkap Rawa Lebak di Kab. HSU 5.6 Strategi dan Arahan Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap Untuk menyusun strategi dalam pengembangan perikanan tangkap rawa lebak di Kab. HSU digunakan analisis SWOT.
Tahapan-tahapan yang telah
dilakukan dalam melakukan analisis SWOT sehingga didapatkan prioritas strategi pengembangan perikanan tangkap rawa lebak adalah sebagai berikut: a.
Tahap Pengambilan Data Pengambilan data internal dan eksternal dapat dilakukan dengan berbagai
metode misalnya wawancara, kuisioner maupun pengambilan data kuantitatif secara langsung. Pada penelitian ini pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara dan kuisioner. Dari hasil pengambilan data, teridentifikasi faktorfaktor yang menjadi faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan serta faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman. berikut:
Faktor-faktor tersebut yaitu sebagai
70
1.
Faktor Internal Merupakan faktor yang terdiri atas kekuatan dan kelemahan. Kekuatan
merupakan faktor strategis yang dapat mendukung pengembangan perikanan tangkap,
sedangkan kelemahan adalah faktor yang menjadi kendala dalam
pengembangan perikanan tangkap. a). Kekuatan (Strength) 1). Sumber daya alam (luasan areal, vegetasi) 2). Sumber daya ikan (stok ikan dengan jenis yang beragam) 3). Sumber daya manusia (jumlah nelayan) 4). Ketersediaan sarana dan prasarana produksi (TPI) 5). Budaya masyarakat lokal 6). Tingkat keuntungan usaha 7). Aksesibilitas kegiatan penangkapan b). Kelemahan (Weakness) 1). Penangkapan ilegal 2). Kemampuan modal usaha (alat tangkap sederhana dan jumlah terbatas) 3). Pengetahuan nelayan 4). Pengawasan dan penegakan hukum 2.
Faktor Eksternal Terdiri dari peluang yang dimanfaatkan dan ancaman yang harus dihindari.
a). Peluang (Oppurtunity) 1). Potensi pasar 2). Teknologi pasca panen 3). Ketersediaan kredit atau permodalan 4). Kegiatan budidaya perikanan 5). Teknologi yang ramah lingkungan 6). Sarana dan prasarana pemasaran 7). Kebijakan otonomi daerah b). Ancaman (Threat) 1). Teknologi tidak ramah lingkungan 2). Tingkat suku bunga 3). Fluktuasi harga
71
4). Persaingan penggunaan lahan b. Tahap Analisis Pada tahap ini dilakukan perhitungan bobot faktor internal dan faktor eksternal
untuk menentukan faktor-faktor strategis dalam pengembangan
perikanan tangkap rawa lebak.
Masing-masing faktor kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman diberi bobot penilaian sesuai dengan bobot kepentingan (Tabel 21). Penilaian ini berdasarkan pada pengamatan lapangan dan analisis yang dilakukan. Setelah itu faktor internal dan faktor eksternal dibuat dalam matriks SWOT. Untuk memperoleh strategi yang tepat dalam upaya menentukan prioritas kebijakan pengembangan perikanan tangkap dilakukan analisis kecocokan dengan mencocokkan faktor-faktor yang terdapat dalam matriks SWOT.
Matriks ini
dapat dilihat pada Tabel 21. Berdasarkan faktor internal dan eksternal maka dapat disusun alternatif strategi sebagai berikut: 1. Strategi Strength-Oppurtunity, yaitu strategi dengan menggunakan kekuatan untuk meraih peluang. 2. Strategi Weakness-Oppurtunity, yaitu menggunakan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan. 3. Strategi Strength-Threat, yaitu menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. 4. Strategi Weakness- Threat, yaitu meminimalkan kelemahan yang ada dan menghindari ancaman.
72
Tabel 21 Penilaian Tingkat Kepentingan SWOT Strategi
Bobot
S1
Sumber daya alam (luasan areal, vegetasi)
4
S2
Sumber daya ikan (stok ikan dengan jenis yang beragam)
4
S3
Sumber daya manusia (jumlah nelayan)
4
S4
Ketersediaan sarana dan prasarana produksi(TPI)
3
S5
Budaya masyarakat lokal
3
S6
Tingkat keuntungan usaha
3
S7
Aksesbilitas kegiatan penangkapan
3
W1 Penangkapan ilegal
2
W2 Kemampuan modal usaha
2
W3 Pengetahuan nelayan
2
W4 Pengawasan dan penegakan hukum
2
O1
Potensi pasar
4
O2
Teknologi pasca panen
3
O3
Ketersediaan kredit atau permodalan
3
O4
Kegiatan budidaya perikanan
3
O5
Teknologi yang ramah lingkungan
3
O6
Sarana dan prasarana pemasaran
3
O7
Kebijakan otonomi daerah
3
T1
Teknologi tidak ramah lingkungan
2
T2
Tingkat suku bunga
2
T3
Fluktuasi harga
2
T4
Persaingan penggunaan lahan
2
73
Tabel 22 Matrik SWOT Faktor Internal
Faktor Eksternal Peluang (O) 1. Potensi pasar 2. Teknologi pasca panen 3. Ketersediaan kredit atau permodalan 4. Kegiatan budidaya perikanan 5. Teknologi yang ramah lingkungan 6. Sarana dan prasarana pemasaran 7. Kebijakan otonomi daerah 8. Pengawasan dan penegakan hukum Ancaman (T)
Kekuatan (S) 1. Sumber daya alam (luasan areal, vegetasi) 2. Sumber daya ikan (stok ikan dengan jenis yang beragam) 3. Sumber daya manusia (jumlah nelayan) 4. Ketersediaan sarana dan prasarana produksi 5. Budaya masyarakat lokal 6. Tingkat keuntungan usaha 7. Aksesbilitas kegiatan penangkapan
Strategi SO 1. Memanfaatkan SDA, SDI, SDM, sarana dan prasarana, potensi pasar serta permodalan untuk meningkatkan produksi dan keuntungan usaha 2. Meningkatkan nilai tambah produk perikanan melalui teknologi pasca panen 3. Penyediaan benih ikan lokal untuk kegiatan budidaya Strategi ST
1. Teknologi tidak ramah 1. Meningkatkan kapasitas lingkungan sarana dan prasarana 2. Tingkat suku bunga produksi untuk 3. Fluktuasi harga meningkatkan produksi 4. Persaingan penggunaan 2. Membangun kemitraan lahan pemasaran yang saling menguntungkan
Kelemahan (W) 1. Penangkapan illegal 2. Kemampuan modal usaha 3. Pengetahuan nelayan
Strategi WO 1. Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap penangkapan ilegal 2. Memperkuat permodalan untuk meningkatkan kemampuan usaha
Strategi WT 1. Memperkuat
permodalan dengan suku bunga yang rendah 2. Adanya kebijakan pemerintah dalam penggunaan lahan
74
c. Tahap Pengambilan Keputusan Dalam penentuan prioritas strategi pengembangan perikanan tangkap, berdasarkan analisis pengambilan keputusan dengan memilih keputusan yang terbaik untuk dilaksanakan. Setiap alternatif strategis pada matriks SWOT diberi nilai sesuai dengan tingkat kepentingannya, kemudian diberi ranking. Pemberian nilai berdasarkan penjumlahan nilai-nilai dari faktor-faktor yang membangun alternatif strategi. Pemberian ranking berdasarkan pada point nilai tertinggi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Pemilihan Analisis Prioritas yang Diunggulkan No. Alternatif Strategi
Keterkaitan
Kepentingan
Ranking
1.
Memanfaatkan SDA, SDI, SDM, sarana dan prasarana, potensi pasar serta permodalan untuk meningkatkan produksi dan keuntungan usaha
(S 1,2,3,4,5,6,7 O 1,2,5,6)
37
1
2.
Meningkatkan nilai tambah produk perikanan melalui teknologi pasca panen
(S 2,3,4,5,6 O 1,2,3,6)
30
2
3.
Penyediaan benih ikan lokal (S 1,2,3,4,6 O 1,4,6) untuk kegiatan budidaya
28
3
4.
Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap penangkapan ilegal
(W 1,3,4 O 3,4,5)
15
5
5.
Memperkuat permodalan untuk meningkatkan kemampuan usaha
(W 2 O 1,2,3,4,6)
18
4
Dari hasil analisis di atas, maka prioritas kebijakan yang menempati ranking pertama yang merupakan kebijakan yang pertama dilaksanakan. Prioritas utama adalah kebijakan pada kuadran I dan II, selanjutnya kuadran III dan IV. Berdasarkan Tabel 23 di atas, maka prioritas kebijakan yang direkomendasikan berturut-turut adalah sebagai berikut: 1. Memanfaatkan SDA, SDI, SDM, sarana dan prasarana, potensi pasar serta permodalan untuk meningkatkan produksi dan keuntungan usaha.
75
2. Meningkatkan nilai tambah produk perikanan melalui teknologi pasca panen. 3. Penyediaan benih ikan lokal untuk kegiatan budidaya. 4. Memperkuat permodalan untuk meningkatkan kemampuan usaha. 5. Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap penangkapan ilegal. Pertimbangan dalam penyusunan arahan pengembangan perikanan tangkap rawa di Kab.HSU berdasarkan kondisi eksisting dan potensi aktual perikanan serta persepsi stakeholder dan peta RTRW Kab. HSU.
Potensi perikanan seluas
35.511,2 ha dan RTP tangkap tahun 2010 sebanyak 8.650 unit, maka rata-rata pemanfaatan lahan rawa lebak per RTP adalah 4,1 ha per unit. Berdasarkan kajian stok ikan tahun 2008, stok ikan Kab. HSU berada pada kondisi underfishing dengan tingkat pemanfaatan 29,45%. Dari luas keseluruhan potensi perikanan rawa lebak yang ada, baru tergarap sebesar 20.332,3 ha atau 57,2%. Ini menunjukkan masih besarnya potensi lahan rawa lebak yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penangkapan ikan. Adanya kecenderungan penurunan produksi perikanan tangkap memerlukan upaya peningkatan produksi untuk mengimbanginya dengan memperhatikan aspek ruang secara berkelanjutan. Penggunaan alat tangkap yang masih sederhana dan jumlah yang terbatas oleh nelayan serta kondisi perairan yang dinamis menjadi kendala dalam upaya peningkatan produksi. Belum adanya peta kawasan perikanan tangkap dan penetapan kawasan suaka perikanan menyebabkan belum ada batasan yang jelas bagi masyarakat yang bergerak di sektor perikanan tangkap. Diperlukan arahan pengembangan perikanan tangkap dengan tujuan untuk peningkatan produksi dan terjaganya kelestarian sumber daya. Penentuan arahan pengembangan perikanan tangkap juga harus melibatkan keseluruhan stakeholder yang terkait dan dianggap cukup mewakili karena mengerti terhadap permasalahan, sebagai pelaku maupun pembuat keputusan. Dengan persepsi stakeholder dapat memberikan landasan dalam arahan pengembangan perikanan tangkap rawa di Kab. HSU. Pengelolaan sumber daya perikanan yang bijaksana dengan melibatkan berbagai stakeholder akan menjadikan sektor perikanan mampu memberikan kontribusi secara berkelanjutan.
76
Secara spasial, arahan pengembangan perikanan tangkap rawa lebak harus memperhatikan peta RTRW Kab. HSU yang merupakan aturan Pemerintah Daerah tentang penggunaan ruang agar sesuai dengan perencanaan yang ada. Peta wilayah potensi perikanan tangkap dipadukan dengan peta RTRW Kab. HSU sehingga diperoleh peta arahan pengembangan perikanan tangkap. Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap kondisi dan potensi perikanan tangkap, analisis LQ untuk mengetahui daerah basis kegiatan perikanan tangkap, analisis spasial untuk melihat potensi pengembangan perikanan tangkap, serta AHP untuk melihat persepsi stakeholder dan analisis SWOT dalam penentuan prioritas pengembangan perikanan tangkap lebak, digunakan untuk menyusun suatu arahan dalam pengembangan perikanan tangkap di Kab. HSU.
Arahan
pengembangan perikanan tangkap di rawa lebak Kab. HSU dapat digambarkan pada Tabel 24. Tabel 24 Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap di Kab. HSU No. Analisis Kondisi Eksisting 1. Deskriptif a. Stok ikan pada kondisi underfishing b. Pemanfaatan masih rendah c. Alat tangkap sederhana dan terbatas jumlahnya d. Daerah basis perikanan tangkap dan basis kegiatan budidaya
Arahan Pengembangan a. Meningkatkan jumlah produksi dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan b. Penegakkan hukum terhadap illegal fishing c. Penyediaan sarana dan prasarana produksi penangkapan dan pemasaran
2.
Teknis
3.
AHP
a. Penangkapan ikan di kawasan potensi perikanan tangkap b. Penetapan dan pengelolaan suaka perikanan a. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan perikanan tangkap melalui perencanaan partisipatif b. Perlindungan dan pengawasan terhadap sumber daya alam dari pengrusakan
a. Kondisi lingkungan perairan yang dinamis. b. Belum ditetapkannya kawasan suaka perikanan. a. Aspek fisik berupa SDA, kawasan lindung serta sarana dan prasarana b. Aspek ekonomi, yaitu SDM, modal, produktivitas dan pemasaran c. Aspek sosial dan kelembagaan meliputi lembaga Pembina dan partisipasi masyarakat
77
Tabel 24 (lanjutan) No. Analisis 4. SWOT
Kondisi Eksisting a. SDA, SDI,SDM, sarana dan prasarana produksi b. Budaya masyarakat lokal c. Tingkat keuntungan usaha d. Aksesbilitas penangkapan e. Potensi pasar f. Teknologi pasca panen g. Permodalan h. Kebijakan otonomi daerah
Arahan Pengembangan a. Memanfaatkan SDA, SDI, SDM, sarana dan prasarana, potensi pasar serta permodalan untuk meningkatkan produksi dan keuntungan usaha b. Meningkatkan nilai tambah produk perikanan melalui teknologi pasca panen c. Meningkatkan pengawasan dan penegakkan hukum terhadap penangkapan ilegal
Arahan pengembangan perikanan tangkap berdasarkan analisis deskriptif terhadap kondisi dan potensi perikanan Kabupaten Hulu Sungai Utara adalah dengan memanfaatkan potensi sumber daya perikanan yang tersedia, sehingga mampu meningkatkan jumlah produksi dengan tetap mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Upaya yang dapat dilakukan antara lain adalah dengan penegakan hukum atas usaha perikanan yang dilarang (illegal fishing), meningkatkan sarana dan prasarana pemasaran dan penangkapan baik untuk daerah basis perikanan tangkap maupun daerah basis perikanan budidaya. Untuk daerah basis perikanan tangkap misalnya Kecamatan Danau Panggang,
dapat dilakukan rehabilitasi
tempat pendaratan ikan. Sedangkan untuk daerah basis perikanan budidaya dan memiliki potensi perikanan tangkap misalnya Kecamatan Paminggir, upaya yang dilakukan dapat berupa bantuan pinjaman modal berupa sarana dan prasarana penangkapan yang ramah lingkungan dan sesuai dengan kondisi wilayah. Untuk mendukung kegiatan perikanan tangkap maka dibangun sarana dan prasarana penunjang seperti tempat pendaratan ikan yang terdapat di desa Danau Panggang, Telaga Silaba, Pinang Habang dan Tapus Dalam. Selain itu, untuk menunjang kegiatan pemasaran hasil perikanan dibangun sarana cold storage yang difungsikan sebagai ruang dingin.
Sarana ini dibangun untuk
memperpanjang masa simpan produk olahan hasil perikanan berupa ikan kering sehingga produk perikanan dapat bertahan lebih lama. Peta sebaran desa sarana penunjang ini dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24 Peta Sebaran Desa Tempat Sarana Pendaratan Ikan dan Cold Storage
78
79
Berdasarkan analisis teknis, kawasan rawa lebak dibedakan menjadi kawasan perikanan tangkap dan kawasan suaka perikanan. Berdasarkan hasil kajian stok ikan, maka peningkatan produksi tangkapan melalui pemanfaatan potensi stok ikan yang ada masih mungkin untuk dilakukan sehingga memberi nilai manfaat ekonomis yang layak bagi nelayan. Namun pemanfaatan ini harus dikelola dengan menjamin kesinambungan produktivitas sumber daya perikanan. Berbagai kegiatan yang mendukung hal ini antara lain: (1)
penghentian
penggunaan alat tangkap dan cara penangkapan yang berbahaya (illegal fishing), (2) pengaturan ukuran ikan yang boleh ditangkap, pengaturan ukuran alat dan pengaturan waktu tangkapan, (3) kegiatan restoking yang sesuai dengan kondisi wilayah, dan (4) penetapan dan pengelolaan suaka perikanan.
Pengelolaan
perikanan tangkap ini harus diikuti dengan penegakan hukum yang konsekuen. Pengelolaan perikanan tangkap perlu melibatkan berbagai stakeholders sehingga tujuan peningkatan produksi dan terjaganya kelestarian sumber daya perikanan dapat tercapai.
Dari hasil analisis AHP, faktor-faktor yang paling
berpengaruh terhadap pengelolaan perikanan tangkap rawa lebak di Kabupaten Hulu Sungai Utara berturut-turut adalah aspek fisik yang paling penting, kemudian aspek sosial dan kelembagaan dan terakhir adalah aspek ekonomi. Prioritas pilihan pada aspek fisik berturut-turut adalah sumber daya alam, sarana dan prasarana serta kawasan konservasi. Aspek sosial dan kelembagaan, yang diprioritaskan adalah partisipasi masyarakat dan lembaga pembina. Pada aspek ekonomi, yang diprioritaskan berturut-turut adalah sumber daya manusia, modal, produktivitas dan pemasaran. Oleh karena itu, arahan kebijakan yang diperlukan adalah: (1) aspek fisik yaitu dengan cara melakukan perlindungan serta pengawasan terhadap sumber daya alam dari gangguan dan tindakan perusakan, peningkatan kapasitas sarana dan prasarana perikanan, serta penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi, (2) aspek sosial kelembagaan dengan meningkatkan peran serta masyarakat perikanan melalui perencanaan partisipatif, dan penataan kelembagaan, pembinaan serta sosialisasi tentang pentingnya pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan, dan (3) aspek ekonomi dengan cara peningkatan kapasitas SDM, membuka akses permodalan (pembiayaan) bagi nelayan, meningkatkan produktivitas perikanan
80
tangkap dengan memperhatikan kelestarian sumber daya perikanan, dan membuka akses terhadap pasar. Dalam perencanaan pengembangan perikanan tangkap rawa lebak di Kab. HSU juga harus mengutamakan partisipasi masyarakat dengan pola pendekatan partisipatif. Pendekatan ini dapat meningkatkan peran serta masyarakat, karena mereka ikut merencanakan program tersebut dan memang itulah program yang diharapkan oleh masyarakat, karena ide dasar dari pembangunan partisipatif adalah partisipasi masyarakat. Perencanaan seperti ini dilakukan dengan asumsi bahwa masyarakatlah yang paling tahu kebutuhannya, karena itu masyarakat mempunyai hak untuk mengidentifikasi dan menentukan kebutuhan pembangunan di daerahnya. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dapat dilihat dalam pengelolaan dan pengawasan suaka perikanan. Tanpa dukungan masyarakat setempat, suaka perikanan tidak dapat berfungsi sesuai dengan fungsinya sebagai penyedia benih dan induk ikan bagi perairan sekitarnya. Untuk mendukung kegiatan pelestarian sumber daya perikanan, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan cara membentuk kelompok pelestari sumber daya ikan dan lingkungan berbasis masyarakat. Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas) merupakan kelompok pelestari sumber daya ikan dan lingkungan berbasis masyarakat. Untuk membantu kegiatan mereka, diberikan bantuan operasional berupa penyediaan alat tangkap ikan sesuai ketentuan, baik untuk masyarakat nelayan pengawas perikanan maupun nelayan kecil. Selain itu, juga pemberian bantuan berupa peralatan serta pembangunan pos-pos jaga untuk membantu kegiatan pengelolaan dan pengawasan suaka perikanan.
Inilah bentuk partisipasi aktif mereka dalam
mendukung pembangunan perikanan di daerah mereka karena menyadari bahwa alam telah memberi penghidupan sehingga mereka juga akan berusaha menjaga alam. Partisipasi ini diharapkan dapat memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat, serta membangun kemandirian masyarakat. Musrenbang sebagai salah satu wadah menggali aspirasi masyarakat harus benar-benar menjadi kendaraan masyarakat untuk turut
81
berpartisipasi aktif dalam kemasan perencanaan partisipatif yang berkelanjutan dan menghasilkan daftar kebutuhan prioritas bukan keinginan prioritas. Oleh karena itu, partisipasi dalam pembangunan harus melalui penumbuhan kemauan, kemampuan, dan rasa percaya diri masyarakat. Pada dasarnya secara umum kelompok masyarakat akan menjadi kelompok yang kreatif apabila diberi keleluasaan untuk mengembangkan inovasi dan kreatifitasnya sesuai kebutuhan dan kemampuan mereka. Pendekatan yang sesuai dan menghasilkan kelompok kreatif akan menunjang keberhasilan proses perencanaan dan pembangunan. Hal tersebut di atas dapat dilihat sebagai partisipasi masyarakat dalam membuat perencanaan, khususnya perencanaan jangka pendek. Tanpa partisipasi nelayan, pembangunan sektor perikanan akan mengalami kendala, sehingga sudah sewajarnya apabila pengelolaan perikanan tangkap di perairan umum daratan diarahkan ke arah pembangunan ekonomi kerakyatan. Kegiatan ekonomi perikanan penangkapan di rawa lebak adalah suatu kegiatan ekonomi yang berwatak kerakyatan. Pada skala lokal atau daerah, nilai ekonomi yang digerakkan oleh perikanan tangkap cukup berarti. Sebagai contoh, nilai PDRB sub sektor perikanan tahun 2010 yang didominasi oleh kegiatan perikanan tangkap mencapai Rp. 109.949.430.000,00 dengan produksi 18.499 ton. Nilai tersebut hanya beredar di antara sesama rakyat yang terkait dengan sub sektor perikanan tangkap dan kurang atau bahkan belum punya sumbangan berarti dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Jika dari jumlah produksi tersebut dikenakan retribusi Rp.200 per kg, maka PAD yang akan masuk ke kas daerah adalah Rp. 3.699.730.000,00. Harus ada regulasi yang jelas tentang penetapan retribusi sehingga tidak memberatkan nelayan. Perikanan tangkap sudah menjadi gerak ekonomi dengan input kecil bagi nelayan di rawa lebak. Sulitnya untuk mendapatkan masukan finansial untuk PAD disebabkan perhatian dan investasi pemerintah (pusat atau daerah) untuk mengembangkan sektor ini sangat minim. Berdasarkan analisis SWOT, didapatkan prioritas strategi pengembangan perikanan tangkap rawa dengan memanfaatkan sumber daya alam, sumber daya ikan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, potensi pasar serta permodalan untuk meningkatkan produksi dan keuntungan usaha. Kekuatan-kekuatan yang dimiliki harus dimanfaatkan dengan optimal sehingga dapat mencapai tujuan
82
untuk meningkatkan produksi dan peningkatan keuntungan usaha. Keuntungan usaha juga bisa diperoleh dengan meningkatkan nilai tambah produk perikanan melalui teknologi pasca panen.
Selain itu, kegiatan budidaya bisa menjadi
alternatif untuk meningkatkan produksi walaupun memerlukan modal usaha yang lebih besar.
Untuk itu perlu memperkuat permodalan untuk meningkatkan
kemampuan usaha.
Masih maraknya kegiatan illegal fishing memerlukan
peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap penangkapan illegal. Dari seluruh potensi yang dimiliki dan adanya kawasan konservasi maka peta arahan pengembangan perikanan tangkap berdasarkan fungsi kawasan dengan memperhatikan RTRW Kabupaten Hulu Sungai Utara dapat ditetapkan seperti pada Gambar 25.
Analisis spasial digunakan untuk melihat potensi
pengembangan perikanan tangkap dengan melakukan overlay antara Peta Wilayah Potensi Perikanan Tangkap dengan Peta RTRW Kab. HSU. Dari hasil overlay didapatkan Peta Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap. Tabel 25 Arahan Penggunaan Lahan untuk Pengembangan Perikanan Tangkap No. Arahan Penggunaan Lahan 1. Kawasan non potensi perikanan tangkap 2. Kawasan lindung gambut, sempadan sungai dan danau 3. Suaka perikanan 4. Kawasan potensi perikanan tangkap Jumlah
Luas (ha) 30.465,5
Persentase (%) 34,1
32.238,9
36,1
1.775,6 24.790,0 89.270,0
1,9 27,9 100,0
Pada Tabel 25 penggunaan lahan untuk potensi perikanan memiliki luas 24.790,0 ha atau 27,9% dan kawasan suaka perikanan memiliki luas 1.775,6 ha atau 1,9% dari seluruh luas wilayah. Penggunaan lahan tertinggi untuk kawasan lindung gambut lindung, sempadan sungai dan danau (332.238,9 ha atau 36,11%). Untuk kawasan non potensi perikanan tangkap seluas 30.465,5 ha atau 34,13%. Secara spasial peta arahan penggunaan lahan untuk pengembangan perikanan tangkap dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25. Peta Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap
83
84
Dalam penentuan daerah potensi perikanan tangkap digunakan Peta Penggunaan Lahan Tahun 2010 yang merupakan kondisi eksisting musim hujan, pada saat kegiatan perikanan tangkap dilakukan oleh masyarakat.
Kondisi
eksisting daerah potensi perikanan tangkap berupa belukar rawa, rawa lebak, hutan rawa sekunder, sawah, kebun campuran dan perkebunan. Pada saat musim kemarau penggunaan lahan rawa lebak untuk sawah dan kebun campuran merupakan hal yang lumrah terkait kondisi alam, sehingga kegiatan pertanian berkembang pada wilayah tertentu. Potensi perikanan yang ada tersebar di beberapa kecamatan dan yang terbesar berada di kecamatan Paminggir dan Danau Panggang.
Dengan
memperhatikan potensi yang ada maka perencanaan penggunaan lahan untuk pengembangan perikanan tangkap juga harus memperhatikan daerah basis kegiatan perikanan tangkap. Hal ini dilakukan karena kegiatan perikanan tangkap merupakan kegiatan yang telah biasa dilakukan oleh masyarakat setempat. Penggunaan suatu lahan seharusnya sesuai dengan kemampuan atau sesuai daya dukungnya. Untuk pemanfaatan lahan yang baik, maka diperlukan suatu perencanaan yang baik.
Untuk itulah diperlukan perencanaan ruang yang
diletakkan dalam peta RTRW, di dalamnya terdapat ruang yang direncanakan untuk penggunaan tertentu. Perencanaan penggunaan ruang yang baik adalah perencanaan yang berbasis kemampuan, yang berarti berbasis daya dukung. Kemampuan lahan juga dapat dipakai untuk keperluan bahan petunjuk untuk pemanfaatan atau untuk pengendalian ruang. Di peta RTRW, kawasan yang merupakan potensi perikanan termasuk dalam penggunaan lahan HPK (Hutan Produksi Konversi), gambut, perkebunan kelapa sawit, rawa lebak dan
sawah.
Kondisi eksisting kegiatan perikanan
tangkap yang memanfatkan rawa lebak, belukar rawa dan hutan rawa sekunder sebagian besar berada pada penggunaan lahan HPK. Kawasan perikanan tangkap belum termasuk dalam rencana penggunaan lahan dalam peta RTRW Kab. HSU sehingga diharapkan dengan adanya peta arahan pengembangan perikanan tangkap dapat memberi masukan dalam penatagunaan lahan di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Selain itu dengan adanya peta ini sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan pengelolaan perikanan tangkap di rawa lebak.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 1.
Kesimpulan Basis kegiatan perikanan tangkap berdasarkan keunggulan komparatif adalah kecamatan Danau Panggang, Sungai Pandan, Amuntai Selatan, Amuntai Utara dan Sungai Tabukan.
2.
Penurunan produksi perikanan tangkap yang terjadi di Kab. HSU disebabkan oleh pemanfaatan yang rendah terhadap potensi sumberdaya perikanan yang dimiliki. Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan jumlah RTP tangkap, trip penangkapan yang rendah serta penggunaan alat tangkap yang masih sederhana dan terbatas jumlahnya akibat keterbatasan modal usaha yang dimiliki oleh nelayan.
3.
Kawasan calon lokasi suaka perikanan ditetapkan di desa Tampakang, Pal Batu, Pandamaan, Baru, Pajukungan Hilir, Sungai Dalam, Teluk Limbung, Sungai Durait Hilir, Sungai Durait Tengah, Danau Cermin, Pulau Tambak dan Banyu Hirang dengan luas kawasan suaka perikanan 1.775,6 ha.
4.
Pengembangan perikanan tangkap rawa lebak menurut persepsi stakeholder, aspek yang harus diutamakan secara berturut-turut adalah aspek fisik, sosial dan kelembagaan dan ekonomi. Aspek fisik dengan prioritas pilihan secara berturut-turut adalah sumber daya alam, sarana dan prasarana serta kawasan konservasi. Pada aspek sosial dan kelembagaan, yang diprioritaskan adalah partisipasi masyarakat dan lembaga pembina. diprioritaskan
berturut-turut
adalah
Aspek ekonomi, yang
sumberdaya
manusia,
modal,
produktivitas dan pemasaran. 5.
Berdasarkan analisis SWOT, arahan dan
prioritas kebijakan
yang
direkomendasi untuk dilaksanakan berurutan sebagai berikut: memanfaatkan SDA, SDI, SDM, sarana dan prasarana, potensi pasar serta permodalan untuk meningkatkan produksi dan keuntungan usaha; meningkatkan nilai tambah produk perikanan melalui teknologi pasca panen; penyediaan benih ikan lokal untuk
kegiatan
budidaya;
memperkuat
permodalan
nelayan
untuk
meningkatkan kemampuan usaha; dan meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap penangkapan ilegal. Kawasan potensi perikanan
86
di Kab. HSU memiliki luas areal 24.790 ha dan kawasan suaka perikanan seluas 1.775,6 ha. Berdasarkan hasil overlay antara peta wilayah potensi perikanan tangkap dan peta RTRW Kab. HSU diperoleh peta arahan pengembangan perikanan tangkap Kab. HSU.
5.2 Saran 1.
Perlunya dilakukan upaya peningkatan pemanfaatan potensi perikanan yang ada misalnya dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan dan sesuai dengan kondisi wilayah.
2.
Perlu dilakukan sosialisasi hasil penelitian yang terkait dengan kondisi dan potensi perikanan yang dimiliki Kab. HSU misalnya kondisi stok ikan.
3.
Menetapkan kawasan perikanan tangkap dan kawasan suaka perikanan sebagai bagian dari perencanaan ruang dalam RTRW Kab. HSU.
DAFTAR PUSTAKA Abrahamsz, J dan Tuapattinaja, MA. 2005. Evaluasi Kawasan Konservasi Hutan Mangrove di Desa Passo. Jurnal Ichthyos 4(2):93-98. Adger, NW and Luttrell, C. 2000. Property Rights and the Utilisation of Wetland. Ecological Economics 35:75 – 89. Anonim. 2007a. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Anonim. 2007b. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan. Anonim. 2008. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan. Anonim. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan. Alihamsyah, T. 2005. Pengembangan Lahan Rawa Lebak untuk Usaha Pertanian.. Banjarbaru: Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa [Balittra] Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. 2001. 40 Tahun Balittra 19612001 Perkembangan dan Program Penelitian ke Depan. Banjarbaru: Balittra. [Bappeda] Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara. 2008. Laporan Penelitian Kajian Stok Ikan di Perairan Umum Kabupaten Hulu Sungai Utara. Amuntai: Bappeda. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Hulu Sungai Utara. 2009. Kabupaten Hulu Sungai Utara Dalam Angka. Amuntai: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Hulu Sungai Utara. 2010. Kabupaten Hulu Sungai Utara Dalam Angka. Amuntai: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Hulu Sungai Utara. 2011a. Kabupaten Hulu Sungai Utara Dalam Angka. Amuntai: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Hulu Sungai Utara. 2011b. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun 20082010. Amuntai: BPS.
88
Chairuddin, T. 1989. Keberadaan dan Konservasi Lahan Basah Kalimantan Selatan: Peranannya sebagai Feeding Ground dan Keanekaragaman Jenis Ikan. Workshop Conservation of Sungai Negara Wetlands. Barito Basin, South Kalimantan. Kerjasama UNLAM, Kompas Borneo, Ditjen PHPA dan Asian Wetland Bureau. Banjarbaru, 6-8 March 1989. Cooke SJ, Bunt CM, Hamilton SJ, Jennings CA, Pearson MP, Cooperman MS, and Markle DF. 2005. Threats, Conservation Strategies, and Prognosis for Suckers (Catostomidae) in North America: Insights from Regional Case Studies of A Diverse Family of Non Game Fishes. Biological Conservation 121:317-331. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Kebijakan dan Strategi Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya di Perairan Daratan. Jakarta : DKP. [Diskan] Dinas Perikanan Kabupaten Hulu Sungai Utara. 2008. Rencana Strategis Pembangunan Perikanan Tahun 2008-2012 Dinas Perikanan Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun 2008. Amuntai : Diskan. [Diskan] Dinas Perikanan Kabupaten Hulu Sungai Utara. 2009a. Amuntai : Diskan.
Reservaat.
[Diskan] Dinas Perikanan Kabupaten Hulu Sungai Utara. 2009b. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun 2008. Amuntai : Diskan. [Diskan] Dinas Perikanan Kabupaten Hulu Sungai Utara. 2010a. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun 2009. Amuntai : Diskan. [Diskan] Dinas Perikanan Kabupaten Hulu Sungai Utara. 2010b. Rencana Kerja Dinas Perikanan Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun 2011. Amuntai : Diskan. [Diskan] Dinas Perikanan Kabupaten Hulu Sungai Utara. 2011. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun 2010. Amuntai : Diskan. Djaenudin, UD. 2009. Prospek Penelitian Potensi Sumber Daya Lahan di Wilayah Indonesia. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 2(4):243-257. Djakapermana, RD. 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Kesisteman. Bogor: Penerbit IPB Press. Hartoto, D.I. 2003. Paradigma Baru Pengelolaan Perikanan Tangkap di Perairan Umum Daratan Indonesia Seri Rujukan untuk Pengelolaan Perikanan Umum Modern. Bogor: Pusat Penelitian Limnologi LIPI.
89
Hendayana, R. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Jurnal Informatika Pertanian 12:1-21. Kartamihardja ES, Nurhakim S dan Umar C. 2010. Laporan Akhir Pengembangan Indikator Ekologis dan Analisis Efektivitas Kawasan Konservasi Sumber Daya Ikan di Perairan Sungai Musi dan Rawa Banjirannya. Jakarta: Dewan Riset Nasional, Kementerian Negara Riset dan Teknologi . Kurnia, Anjang, Setyohadi, Daduk, dan Sukandar. 2004. Studi Pemetaan Kegiatan Perikanan Tangkap di Wilayah Perairan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan 7(2):13-16. Khairah, S.J. 2011. Potensi Pengembangan Lahan Rawa Lebak untuk Perluasan Lahan Padi di Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [LP IPB] Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. 2002. Laporan Final Pelaksanaan Pekerjaan Studi Pengembangan Lahan Rawa Lebak di Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Bogor : LP IPB. Marimin. 2008. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Mitsch WJ and Gosselink JG. 2000. The Value of Wetlands: Importance of Scale and Landscape Setting. Ecological Economics 35:25-33. Nababan BO, Sari YD, dan Hermawan H. 2007. Analisis Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah: Teknik Pendekatan Rapfish. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan 2(2):137-158. Nasution, Z. 2008 Perkembangan Ekonomi Masyarakat Nelayan Perairan Umum Lebak Lebung. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia 2(2):249-264. Noor, M. 2007. Rawa Lebak Ekologi, Pemanfaatan, dan Pengembangannya. Jakarta: Rajawali Pers. Noorrahmah, E. 2011. Strategi Pengembangan Wilayah Berbasis Peternakan Itik (Studi Kasus di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nuitja, I N.S. 2010. Manajemen Sumber Daya Perikanan. Bogor: Penerbit IPB Press.
90
Patanda, M. 2005. Kajian Manfaat Penetapan Kawasan Konservasi Terhadap Perikanan Tangkap di Taman Wisata Laut Kepulauan Kapoposang [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pribadi DO, Panuju DR, Rustiadi E, dan Pravitasari, AE. 2010. Permodelan Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bahan Kuliah Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. [Tidak dipublikasikan]. Rustiadi E, Saefulhakim S, dan Panudju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Rangkuti, F. 2009. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sachoemar, S.I. 2006. Pemanfaatan Data Satelit Adeos untuk Pemantauan Kesuburan Perairan dan Identifikasi Daerah Penangkapan Ikan. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 8 (3):105-142. Subagyo, H. 2006. Lahan Rawa Lebak. Dalam: Irsal Las, pengarah. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Hlm 99-115. Sugiarti, Y, Krismono ASN, dan Warsa, A. 2009. Keanekaragaman Fitoplankton pada Perairan Calon Suaka Perikanan di Waduk Koto Panjang, Riau. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 15(1): 23-32. Suparmoko, M. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. (Suatu Pendekatan Teoritis). Yogyakarta : BPFE Utomo, AD dan Asyari. 1999. Peranan Ekosistem Hutan Rawa Air Tawar Bagi Kelestarian Sumber Daya Perikanan di Sungai Kapuas Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 5(3):1-14. Utomo, AD dan Adjie, S. 2009. Pendugaan Stok Ikan di Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 15(1):33-48. Widodo, J dan Nurhakim, S. 2002. Konsep Pengelolaan Surnberdaya Perikanan. Disampaikan dalam Training of Trainers on Fisheries Resource Management. Hotel Golden Clarion. Jakarta 28 Oktober s.d. 2 November 2002.
91
Lampiran 1 Kuesioner Kondisi dan Potensi Perikanan Tangkap
Nama
:
Desa/Kec.
:
1.
Kegiatan Perikanan yang dilakukan: a. Musim penangkapan
: bulan……… s.d. ……
b. Puncak musim penangkapan
: bulan …………
c. Tangkapan terendah
: bulan………….
d. Alat tangkap yang digunakan
:
e. Jenis ikan yang tertangkap
:
f. Ukuran ikan yang tertangkap
:
g. Jumlah tangkapan (kg/hari)
:
h. Frekuensi penangkapan (kali/minggu)
:
i. Daerah tangkapan
:
j. Pemasaran (sendiri/pengumpul)
:
k. Harga ikan di produsen (ikan yang tertangkap) : l. Produk olahan pada saat musim tangkapan : m. Produksi masing-masing jenis olahan
:
2.
Cara penangkapan yang berkembang di masyarakat :
3.
Kegiatan Pertanian : a. Musim tanam padi b. Daerah pertanian
4.
: bulan ……s.d. ……… :
Keadaan Perairan : a. Rawa : 1) Kedalaman pada saat musim hujan
:
2) Kedalaman pada saat musim kemarau
:
3) Pengaruh “air bangai” (hari)
:
92
b. Danau : 1) Kedalaman pada saat musim hujan
:
2) Kedalaman pada saat musim kemarau
:
3) Pengaruh “air bangai” (hari)
:
c. Sungai : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau
: :
3) Nama sungai untuk kegiatan penangkapan di musim kemarau : 4) Pengaruh “air bangai” (hari) 5.
:
Perubahan yang terjadi di rawa: a. Air (rasa, bau, warna, kekeruhan, kedalaman)
:
b. Daerah penangkapan (berkurang/tetap/bertambah)
:
c. Daerah pemukiman (berkurang/tetap/bertambah)
:
d. Luas areal yang memiliki kedalaman ± 2 m pada
:
musim kemarau e. Ada /tidak tempat hidup ikan pada saat musim kemarau : f. Bila ada : - Di daerah mana (rawa/sungai/danau) - Luas area Pengamatan Jenis-jenis ikan yang tertangkap Jumlah tangkapan atau jumlah produksi (kg/musim) Ukuran ikan yang tertangkap (kecil/besar)
: :
Dulu
Sekarang
93
Lampiran 2 Kuesioner AHP
PENGEMBANGAN POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI RAWA LEBAK KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA KALIMANTAN SELATAN
SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2011
94
PENDAHULUAN Dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PS PWL), Institut Pertanian Bogor (IPB), maka saya : Nama
: Eva Agustina
NRP
: A156100184
Program Studi
: Ilmu Perencanaan Wilayah
mengajukan tugas akhir tesis dengan judul : Arahan Pengembangan Potensi Perikanan Tangkap di Rawa Lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Berkenaan dengan tugas akhir tersebut, saya menyusun kuisioner yang berkaitan dengan upaya pengembangan potensi perikanan tangkap di rawa lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Untuk itu saya mohon kepada Bapak/Ibu untuk menjawab seluruh pertanyaan yang ada dalam kuisioner ini dengan jawaban yang benar dan akurat agar data tersebut dapat diolah atau dianalisa, sehingga menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu serta kesediaan dalam meluangkan waktu untuk mengisi kuisioner ini, saya ucapkan terima kasih.
Hormat Saya,
Eva Agustina
95
BAGIAN I IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama
: ……………………………………………
2. Tempat/Tgl. Lahir/Umur
: ……………………………………………
3. Alamat
: …………………………………………… ……………………………………………
4. No. Tel/HP
: ……………………………………………
5. Pekerjaan
: ……………………………………………
6. Jabatan
: ……………………………………………
7. Pendidikan Terakhir
: ……………………………………………
8. Apakah Bapak/Ibu mengetahui potensi perikanan tangkap di Kab. HSU? a. Tidak Tahu b. Tahu (mohon Bapak/Ibu memberikan penjelasan secara singkat) ..……………………………………………………………………… ..……………………………………………………………………… 9. Apakah Bapak/Ibu mengetahui peran komoditas perikanan di Kab. HSU? a. Tidak Tahu b. Tahu (mohon Bapak/Ibu memberikan penjelasan secara singkat) ………………………………………………………………………… ..……………………………………………………………………… 10. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tentang kawasan sentra perikanan tangkap di Kab. HSU? a. Tidak Tahu b. Tahu (mohon Bapak/Ibu memberikan penjelasan secara singkat) ………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………
96
11. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tentang kawasan konservasi perikanan (reservat) di Kab. HSU? a. Tidak Tahu b. Tahu (mohon Bapak/Ibu memberikan penjelasan secara singkat) ………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………
12. (jika pertanyaan No. 11 dijawab tahu) Apakah Bapak/Ibu mengetahui fungsi dan manfaat kawasan konservasi perikanan (reservat) di
Kab.
HSU? a. Tidak Tahu b. Tahu (mohon Bapak/Ibu memberikan penjelasan secara singkat) ………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………… 13. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tentang strategi kebijakan pembangunan sektor perikanan khususnya perikanan tangkap di Kab. HSU? a. Tidak Tahu b. Tahu (mohon Bapak/Ibu memberikan penjelasan secara singkat) ………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………
14. (jika pertanyaan No. 12 dijawab tahu) Dalam perumusan kebijakan pembangunan sektor perikanan khususnya perikanan tangkap apakah memperhatikan potensi lokal yang ada? a. Tidak Tahu b. Tahu (mohon Bapak/Ibu memberikan penjelasan secara singkat) ………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………
97
15. Apakah menurut Bapak/Ibu kebijakan pembangunan perikanan tangkap sudah cukup baik dan kondusif untuk mendukung perkembangan wilayah di Kab. HSU? a. Sudah b. Belum 16. (jika pertanyaan No. 15 dijawab belum) Kebijakan apa saja yang dibutuhkan untuk mendorong peranan sektor perikanan
khususnya
perikanan tangkap dan bagaimana prioritasnya ? ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………
17. Menurut Bapak/Ibu apa saja kelemahan kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kab. HSU dan bagaimana cara mengatasinya? ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………
98
BAGIAN II
Petunjuk umum : a. Pengisian kuisioner dilakukan secara langsung dan tertulis oleh responden. b.
Jawaban merupakan pendapat pribadi dari masing-masing responden.
c.
Dalam mengisi kuisioner, responden diharapkan melakukannya secara sekaligus (tidak menunda/sebahagian) untuk menghindari inkonsistensi jawaban.
Cara Menjawab Kuisioner :
Responden hanya menentukan urutan aspek / kriteria dan nilai skor antara 19. Ketentuan pembobotan masing-masing nilai seperti pada tabel di bawah ini : Nilai
Penjelasan
1
Kedua elemen sama pentingnya
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain
5
Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain
7
Elemen yang satu jelas lebih penting dari elemen yang lain
9
Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain
2,4,6,8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
99
Contoh : Dalam penentuan Pengembangan Potensi Perikanan Tangkap Rawa Lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara terdapat 3 aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu : (1) Fisik; (2) Ekonomi ; (3) Sosial dan Kelembagaan. Menurut Bapak/ Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan ketiga aspek urutannya dengan skala 1-9 berapa perbandingan bobot dari masing-masing kriteria tersebut seharusnya? Urutan
Bobot/Skor (1-9)
Kriteria
1
9
Fisik
2
7
Ekonomi
3
5
Sosial dan Kelembagaan
DAFTAR PERTANYAAN 1. Dalam penentuan Pengembangan Potensi Perikanan Tangkap di Rawa Lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara, terdapat 3 aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu : (1) Fisik; (2) Ekonomi; dan (3) Sosial dan Kelembagaan. Menurut Bapak/ Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan ketiga aspek urutannya dengan skala 1-9, berapa perbandingan bobot dari masing-masing kriteria tersebut seharusnya? Urutan
Bobot/Skor (1-9)
Kriteria Fisik Ekonomi Sosial dan Kelembagaan
100
2. Dalam pengembangan potensi perikanan tangkap di rawa lebak, berdasarkan aspek Fisik terdiri dari tiga kriteria yang perlu dipertimbangkan yaitu : (1) Sumberdaya Alam (SDA); (2) Kawasan Konservasi; dan (3) Sarana dan Prasarana. Menurut Bapak/ Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan
dan
dibandingkan
urutannya
dengan
skala
1-9,
berapa
perbandingan skor dari masing-masing kriteria tersebut seharusnya? Urutan
Skor (1-9)
Kriteria Sumberdaya Alam Kawasan Konservasi Sarana dan Prasarana
3. Dalam pengembangan potensi perikanan tangkap di rawa lebak, berdasarkan aspek Ekonomi terdiri dari empat kriteria yaitu: (1) Sumberdaya Manusia (SDM); (2) Modal; (3) Produktivitas dan (4) Pemasaran. Menurut Bapak/ Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9, berapa perbandingan skor dari masing-masing kriteria tersebut seharusnya? Urutan
Skor (1-9)
Kriteria Sumberdaya Manusia Modal Produktivitas Pemasaran
101
4. Dalam pengembangan potensi perikanan tangkap di rawa lebak, berdasarkan aspek Sosial dan Kelembagaan terdiri dari dua kriteria yaitu: (1) Lembaga Pembina, dan (2) Partisipasi Masyarakat. Menurut Bapak/ Ibu ditinjau dari tingkat kepentingannya jika diurutkan dan dibandingkan urutannya dengan skala 1-9, berapa perbandingan skor dari masing-masing kriteria tersebut seharusnya? Urutan
Skor (1-9)
Kriteria Lembaga Pembina Partisipasi Masyarakat
102
Lampiran 3 Data Kondisi dan Potensi Perikanan Tangkap pada Desa Sampel
1. Desa Teluk Limbung Kecamatan Babirik (9 orang responden) 1.
Kegiatan Perikanan yang dilakukan: n. Musim penangkapan o. Puncak musim penangkapan p. Tangkapan terendah q. Alat tangkap yang digunakan
: : : :
r. Jenis ikan yang tertangkap
:
s. t. u. v. w. x.
Ukuran ikan yang tertangkap Jumlah tangkapan (kg/hari) Frekuensi penangkapan (kali/minggu) Daerah tangkapan Pemasaran (sendiri/pengumpul) Harga ikan di produsen (ikan yang tertangkap) y. Produk olahan pada saat musim tangkapan z. Produksi masing-masing jenis olahan
: : : : : :
Bulan Juni s.d. Agustus Bulan Juli Bulan Januari s.d. April Rengge, tampirai, lukah, lalangit, pangilar, lunta, pancing, rempa Puyau, sepat Siam, betok, gabus, sepat rawa, lais, baung, saluang Beragam 2-4 kg per hari per orang 7 kali per minggu Rawa dan sungai Dipasarkan sendiri Rp.6.000,00-Rp.25.000,00
:
Ikan kering asin
:
-
2.
Cara penangkapan yang berkembang di masyarakat
:
Tradisional
3.
Kegiatan Pertanian : c. Musim tanam padi d. Daerah pertanian
: :
Bulan Juli s.d. September Rawa
: :
2-3 m Kering
:
7-10 hari
: :
-
:
-
: :
6-7 m 2m
:
Sungai Negara
:
-
4.
Keadaan Perairan : d. Rawa : 4) Kedalaman pada saat musim hujan 5) Kedalaman pada saat musim kemarau 6) Pengaruh “air bangai” (hari) e. Danau : 4) Kedalaman pada saat musim hujan 5) Kedalaman pada saat musim kemarau 6) Pengaruh “air bangai” (hari) f. Sungai : 5) Kedalaman pada saat musim hujan 6) Kedalaman pada saat musim kemarau 7) Nama sungai untuk kegiatan penangkapan di musim kemarau 8) Pengaruh “air bangai” (hari)
103
5.
6.
Perubahan yang terjadi di rawa: g. Air (rasa, bau, warna, kekeruhan, kedalaman) h. Daerah penangkapan (berkurang/tetap/bertambah) i. Daerah pemukiman (berkurang/tetap/bertambah) j. Luas areal yang memiliki kedalaman ± 2 m pada musim kemarau k. Ada atau tidak tempat hidup ikan pada saat musim kemarau l. Bila ada, di daerah mana (rawa/sungai/danau) dan luas area Perbandingan kondisi perikanan a. Keadaan dulu 1) Jenis -jenis ikan yang tertangkap
:
Bau
:
Berkurang
:
Bertambah
:
-
:
Ada
:
Sungai
:
Puyau, sepat Siam, betok, gabus, sepat rawa, toman 5-10 kg per hari per orang Besar
2) Jumlah produksi 3) Ukuran ikan yang tertangkap b. Keadaan sekarang 1) Jenis -jenis ikan yang tertangkap
: :
2) Jumlah produksi 3) Ukuran ikan yang tertangkap
: :
:
Puyau, sepat Siam, betok, gabus, sepat rawa 2-4 kg per hari per orang Lebih kecil
104
Lampiran 1 (lanjutan)
Desa Hambuku Lima Kecamatan Babirik (9 orang responden) 1.
Kegiatan Perikanan yang dilakukan: a. Musim penangkapan b. Puncak musim penangkapan c. Tangkapan terendah d. Alat tangkap yang digunakan
: : : :
e. Jenis ikan yang tertangkap
:
f. g. h. i. j. k.
Ukuran ikan yang tertangkap Jumlah tangkapan (kg/hari) Frekuensi penangkapan (kali/minggu) Daerah tangkapan Pemasaran (sendiri/pengumpul) Harga ikan di produsen (ikan yang tertangkap) l. Produk olahan pada saat musim tangkapan m. Produksi masing-masing jenis olahan
: : : : : :
Bulan April s.d. September Bulan Juli Bulan Nopember Rengge, tampirai, lukah, lalangit, lunta, pancing,tamburu Puyau, sepat Siam, betok, gabus, sepat rawa, baung, biawan Beragam 3-4 kg per hari per orang 6-7 kali per minggu Rawa dan sungai Dipasarkan sendiri Rp.10.000,00-Rp.25.000,00
:
Ikan kering asin
:
-
2.
Cara penangkapan yang berkembang di masyarakat
:
Tradisional
3.
Kegiatan Pertanian : a. Musim tanam padi b. Daerah pertanian
: :
Bulan Juli s.d. September Rawa lebak
: :
2-2,5 m Kering
:
7 hari
: :
-
:
-
: :
5-6 m 1m
:
Sungai Negara
:
-
4.
Keadaan Perairan : a. Rawa : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau 3) Pengaruh “air bangai” (hari) b. Danau : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau 3) Pengaruh “air bangai” (hari) c. Sungai : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau 3) Nama sungai untuk kegiatan penangkapan di musim kemarau 4) Pengaruh “air bangai” (hari)
105
5.
6.
Perubahan yang terjadi di rawa: a. Air (rasa, bau, warna, kekeruhan, kedalaman) b. Daerah penangkapan (berkurang/tetap/bertambah) c. Daerah pemukiman (berkurang/tetap/bertambah) d. Luas areal yang memiliki kedalaman ± 2 m pada musim kemarau e. Ada atau tidak tempat hidup ikan pada saat musim kemarau f. Bila ada, di daerah mana (rawa/sungai/danau) dan luas area Perbandingan kondisi perikanan a. Keadaan dulu 1) Jenis -jenis ikan yang tertangkap
:
Bau
:
Berkurang
:
Bertambah
:
-
:
Ada
:
Sungai
:
Puyau, sepat Siam, betok, gabus, sepat rawa, toman, pipih 5-10 kg per hari per orang Besar
2) Jumlah produksi 3) Ukuran ikan yang tertangkap b. Keadaan sekarang 1) Jenis -jenis ikan yang tertangkap
: :
2) Jumlah produksi 3) Ukuran ikan yang tertangkap
: :
:
Puyau, sepat Siam, betok, gabus, sepat rawa 1-5 kg per hari per orang Lebih kecil
106
Lampiran 1 (lanjutan)
Desa Pararain Kecamatan Danau Panggang (8 orang) 1.
Kegiatan Perikanan yang dilakukan: a. Musim penangkapan b. Puncak musim penangkapan c. Tangkapan terendah d. Alat tangkap yang digunakan
: : : :
e. Jenis ikan yang tertangkap
:
f. Ukuran ikan yang tertangkap g. Jumlah tangkapan (kg/hari)
: :
h. i. j. k.
Frekuensi penangkapan (kali/minggu) Daerah tangkapan Pemasaran (sendiri/pengumpul) Harga ikan di produsen (ikan yang tertangkap) l. Produk olahan pada saat musim tangkapan m. Produksi masing-masing jenis olahan
: : : :
Bulan Januari s.d. September Bulan Agustus Bulan Oktober s.d. Nopember Rengge, tampirai, lukah, lalangit, anco, hampang, tamburu Puyau, sepat Siam, betok, gabus, sepat rawa, baung, biawan, udang Beragam 1-5 kg/ hari per orang (tidak musim) 30-50 kg/hari per orang (musim) 6-7 kali per minggu Rawa dan sungai pengumpul Rp.6.000,00-Rp.25.000,00
:
-
:
-
2.
Cara penangkapan yang berkembang di masyarakat
:
Tradisional
3.
Kegiatan Pertanian : a. Musim tanam padi b. Daerah pertanian
: :
Bulan Mei s.d. Agustus Rawa lebak
: :
2,5 m Kering
:
1 bulan
: :
-
:
-
: :
5-6 m 2m
:
-
:
1 bulan
4.
Keadaan Perairan : a. Rawa : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau 3) Pengaruh “air bangai” (hari) b. Danau : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau 3) Pengaruh “air bangai” (hari) c. Sungai : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau 3) Nama sungai untuk kegiatan penangkapan di musim kemarau 4) Pengaruh “air bangai” (hari)
107
5.
6.
Perubahan yang terjadi di rawa: a. Air (rasa, bau, warna, kekeruhan, kedalaman) b. Daerah penangkapan (berkurang/tetap/bertambah) c. Daerah pemukiman (berkurang/tetap/bertambah) d. Luas areal yang memiliki kedalaman ± 2 m pada musim kemarau e. Ada atau tidak tempat hidup ikan pada saat musim kemarau f. Bila ada, di daerah mana (rawa/sungai/danau) dan luas area Perbandingan kondisi perikanan a. Keadaan dulu 1) Jenis -jenis ikan yang tertangkap
:
Bau
:
Berkurang
:
Bertambah
:
-
:
Ada
:
Sungai
:
Puyau, sepat Siam, betok, gabus, jelawat, toman, pipih, sanggang 20-30 kg per hari per orang Besar
2) Jumlah produksi 3) Ukuran ikan yang tertangkap b. Keadaan sekarang 1) Jenis -jenis ikan yang tertangkap
: :
2) Jumlah produksi 3) Ukuran ikan yang tertangkap
: :
:
Puyau, sepat Siam, betok, gabus, sepat rawa 10-15 kg per hari per orang Lebih kecil
108
Lampiran 1 (lanjutan)
Desa Pal Batu Kecamatan Paminggir (8 orang responden) 1.
Kegiatan Perikanan yang dilakukan: a. Musim penangkapan b. Puncak musim penangkapan c. Tangkapan terendah d. Alat tangkap yang digunakan
: : : :
e. Jenis ikan yang tertangkap
:
f. g. h. i. j. k.
Ukuran ikan yang tertangkap Jumlah tangkapan (kg/hari) Frekuensi penangkapan (kali/minggu) Daerah tangkapan Pemasaran (sendiri/pengumpul) Harga ikan di produsen (ikan yang tertangkap) l. Produk olahan pada saat musim tangkapan m. Produksi masing-masing jenis olahan
: : : : : :
Bulan April s.d. Juli Bulan Juni s.d. Juli Bulan Desember s.d. Pebruari Rengge, tampirai, lukah, lalangit, hampang, tamburu, pangilar Puyau, sepat Siam, betok, gabus, sepat rawa, baung, biawan, lais Beragam 5-10 kg/ hari per orang (tidak musim) 7 kali per minggu Rawa dan sungai pengumpul Rp.5.000,00-Rp.15.000,00
:
-
:
-
2.
Cara penangkapan yang berkembang di masyarakat
:
Tradisional
3.
Kegiatan Pertanian : a. Musim tanam padi b. Daerah pertanian
: :
-
: :
2m Kering
:
1 bulan
: :
-
:
-
: :
5m 2m
:
Awang Utar
:
1 bulan
4.
Keadaan Perairan : a. Rawa : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau 3) Pengaruh “air bangai” (hari) b. Danau : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau 3) Pengaruh “air bangai” (hari) c. Sungai : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau 3) Nama sungai untuk kegiatan penangkapan di musim kemarau 4) Pengaruh “air bangai” (hari)
109
5.
6.
Perubahan yang terjadi di rawa: a. Air (rasa, bau, warna, kekeruhan, kedalaman) b. Daerah penangkapan (berkurang/tetap/bertambah) c. Daerah pemukiman (berkurang/tetap/bertambah) d. Luas areal yang memiliki kedalaman ± 2 m pada musim kemarau e. Ada atau tidak tempat hidup ikan pada saat musim kemarau f. Bila ada, di daerah mana (rawa/sungai/danau) dan luas area Perbandingan kondisi perikanan a. Keadaan dulu 1) Jenis -jenis ikan yang tertangkap
:
Bau
:
Berkurang
:
Bertambah
:
-
:
Ada
:
Sungai
:
Karandang, kihung, betok, kalui, jelawat, toman, pipih, sanggang 10-20 kg per hari per orang Besar
2) Jumlah produksi 3) Ukuran ikan yang tertangkap b. Keadaan sekarang 1) Jenis -jenis ikan yang tertangkap
: :
2) Jumlah produksi 3) Ukuran ikan yang tertangkap
: :
:
Puyau, sepat Siam, betok, gabus, sepat rawa 5-15 kg per hari per orang Lebih kecil
110
Lampiran 1 (lanjutan)
Desa Banyu Hirang Kecamatan Amuntai Selatan (8 orang responden) 1.
Kegiatan Perikanan yang dilakukan: a. Musim penangkapan b. Puncak musim penangkapan c. Tangkapan terendah d. Alat tangkap yang digunakan
: : : :
e. Jenis ikan yang tertangkap
:
f. g. h. i. j. k.
Ukuran ikan yang tertangkap Jumlah tangkapan (kg/hari) Frekuensi penangkapan (kali/minggu) Daerah tangkapan Pemasaran (sendiri/pengumpul) Harga ikan di produsen (ikan yang tertangkap) l. Produk olahan pada saat musim tangkapan m. Produksi masing-masing jenis olahan
: : : : : :
Bulan Januari s.d. Agustus Bulan Juli Bulan Oktober s.d. Nopember Rengge, tampirai, lukah, lalangit, rawai Puyau, sepat Siam, betok, gabus, sepat rawa, baung, biawan Beragam 2-6 kg/ hari per orang (tidak musim) 6-7 kali per minggu Rawa Dipasarkan sendiri Rp.6.000,00-Rp.15.000,00
:
-
:
-
2.
Cara penangkapan yang berkembang di masyarakat
:
Tradisional
3.
Kegiatan Pertanian : a. Musim tanam padi b. Daerah pertanian
: :
Bulan Juli s.d. September Rawa lebak
: :
3-5 m 1m
:
15 hari
: :
-
:
-
: :
-
:
-
:
-
4.
Keadaan Perairan : a. Rawa : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau 3) Pengaruh “air bangai” (hari) b. Danau : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau 3) Pengaruh “air bangai” (hari) c. Sungai : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau 3) Nama sungai untuk kegiatan penangkapan di musim kemarau 4) Pengaruh “air bangai” (hari)
111
5.
6.
Perubahan yang terjadi di rawa: a. Air (rasa, bau, warna, kekeruhan, kedalaman) b. Daerah penangkapan (berkurang/tetap/bertambah) c. Daerah pemukiman (berkurang/tetap/bertambah) d. Luas areal yang memiliki kedalaman ± 2 m pada musim kemarau e. Ada /tidak tempat hidup ikan pada saat musim kemarau f. Bila ada, di daerah mana (rawa/sungai/danau) dan luas area Perbandingan kondisi perikanan a. Keadaan dulu 1) Jenis -jenis ikan yang tertangkap
:
Bau
:
Berkurang
:
Bertambah
:
-
:
Ada
:
rawa
:
Puyau, sepat Siam, betok, gabus, jelawat, toman, pipih, sanggang 5-10 kg per hari per orang Besar
2) Jumlah produksi 3) Ukuran ikan yang tertangkap b. Keadaan sekarang 1) Jenis -jenis ikan yang tertangkap
: :
2) Jumlah produksi 3) Ukuran ikan yang tertangkap
: :
:
Puyau, sepat Siam, betok, gabus, sepat rawa 2-5 kg per hari per orang Lebih kecil
112
Lampiran 1 (lanjutan)
Desa Kayakah Kecamatan Amuntai Selatan (8 orang responden) 1.
Kegiatan Perikanan yang dilakukan: a. Musim penangkapan b. Puncak musim penangkapan c. Tangkapan terendah d. Alat tangkap yang digunakan
: : : :
e. Jenis ikan yang tertangkap
:
f. g. h. i. j. k.
Ukuran ikan yang tertangkap Jumlah tangkapan (kg/hari) Frekuensi penangkapan (kali/minggu) Daerah tangkapan Pemasaran (sendiri/pengumpul) Harga ikan di produsen (ikan yang tertangkap) l. Produk olahan pada saat musim tangkapan m. Produksi masing-masing jenis olahan
: : : : : :
Bulan Januari s.d. Agustus Bulan Juli Bulan Oktober Rengge, tampirai, lukah, lalangit, anco, hampang, tamburu, lunta Puyau, sepat Siam, betok, gabus, sepat rawa, baung, pipih, udang Beragam 1-5 kg/ hari per orang (tidak musim) 6-7 kali per minggu Rawa dan sungai Dipasarkan sendiri Rp.6.000,00-Rp.35.000,00
:
-
:
-
2.
Cara penangkapan yang berkembang di masyarakat
:
Tradisional
3.
Kegiatan Pertanian : a. Musim tanam padi b. Daerah pertanian
: :
Bulan agustus s.d. Oktober Rawa lebak
: :
2-2,5 m Kering
:
5-7 hari
: :
-
:
-
: :
8-10 m 4m
:
Teluk Maut
:
-
4.
Keadaan Perairan : a. Rawa : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau 3) Pengaruh “air bangai” (hari) b. Danau : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau 3) Pengaruh “air bangai” (hari) c. Sungai : 1) Kedalaman pada saat musim hujan 2) Kedalaman pada saat musim kemarau 3) Nama sungai untuk kegiatan penangkapan di musim kemarau 4) Pengaruh “air bangai” (hari)
113
5.
6.
Perubahan yang terjadi di rawa: a. Air (rasa, bau, warna, kekeruhan, kedalaman) b. Daerah penangkapan (berkurang/tetap/bertambah) c. Daerah pemukiman (berkurang/tetap/bertambah) d. Luas areal yang memiliki kedalaman ± 2 m pada musim kemarau e. Ada /tidak tempat hidup ikan pada saat musim kemarau f. Bila ada, di daerah mana (rawa/sungai/danau) dan luas area Perbandingan kondisi perikanan a. Keadaan dulu 1) Jenis -jenis ikan yang tertangkap
:
Bau
:
Berkurang
:
Bertambah
:
-
:
Ada
:
Sungai
:
Puyau, sepat Siam, betok, gabus, jelawat, toman, pipih, sanggang 3-8 kg per hari per orang Besar
2) Jumlah produksi 3) Ukuran ikan yang tertangkap b. Keadaan sekarang 1) Jenis -jenis ikan yang tertangkap
: :
2) Jumlah produksi 3) Ukuran ikan yang tertangkap
: :
:
Puyau, sepat Siam, betok, gabus, sepat rawa 1-3 kg per hari per orang Lebih kecil
114
Lampiran 4 Perhitungan Bobot dalam Analisis AHP 1. Aspek dalam penentuan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa Rataan geometrik Kriteria Fisik Ekonomi Sosial dan Kelembagaan
Fisik 1 0,804 0,811
Ekonomi 1,243 1 1,008
Kriteria
Fisik
Ekonomi
Fisik Ekonomi Sosial dan Kelembagaan
0,382 0,308 0,310
0,382 0,308 0,310
Sosial dan Kelembagaan 1,233 0,992 1
Sosial dan Kelembagaan 0,382 0,308 0,310
Bobot 0,382 0,308 0,310
1,147152 0,922681 0,930167
3 3 3 3 0
2. Kriteria dalam aspek fisik Rataan geometrik Kriteria SDA Konservasi Sapras
Kriteria SDA Konservasi Sapras
SDA 1 0,713 0,745
SDA 0,407 0,290 0,303
Konservasi 1,403 1 1,045
Konservasi 0,407 0,290 0,303
Sapras 1,343 0,957 1
Sapras 0,407 0,290 0,303
Skor 0,407 0,290 0,303
1,220808 0,870009 0,909183
3 3 3 3 0
3. Kriteria dalam aspek ekonomi Rataan geometrik Kriteria SDM Modal Produktivitas Pemasaran
SDM 1 0,946 0,888 0,746
Modal 1,057 1 0,939 0,789
Produktivitas 1,126 1,065 1 0,840
Pemasaran 1,340 1,268 1,190 1
115
Kriteria SDM Modal Produktivitas Pemasaran
SDM 0,279 0,264 0,248 0,208
Modal 0,279 0,264 0,248 0,208
Produktivitas 0,279 0,264 0,248 0,208
Pemasaran 0,279 0,264 0,248 0,208
Skor 0,279 0,264 0,248 0,208
1,117337 1,056893 0,992245 0,833526
4. Kriteria dalam aspek sosial dan kelembagaan Rataan geometrik Kriteria Lembaga Pembina Partisipasi masyarakat
Kriteria Lembaga Pembina Partisipasi masyarakat
Lembaga pembina 1 1,118
Lembaga pembina 0,472 0,528
Partisipasi masyarakat 0,894 1
Partisipasi masyarakat 0,472 0,528
Bobot 0,472 0,528
0,944163 1,055837
2 2 2 0
5.
Perhitungan bobot kriteria pada tiap aspek
Aspek fisik Kriteria Bobot SDA 0,156
Aspek ekonomi Kriteria Bobot SDM 0,086
Konservasi
0,111
Modal
0,081
Sapras
0,116
Jumlah
0,382
Produktivitas Pemasaran Jumlah
0,076 0,064 0,308
Aspek sosial kelembagaan Kriteria Bobot Lembaga 0,146 Pembina Partisipasi 0,164 masyarakat
Jumlah
0,310
4 4 4 4 4 0