BALABA Vol. 9, No. 02, Desember 2013 : 63-69
pengendalian vektor (penyemprotan rumah) memerlukan biaya sangat tinggi karena diperlukan cakupan satu kesatuan epidemiologi yang dapat meliputi area yang sangat luas. Pada saat ini dimana dengan diberlakukannya otonomi daerah, campur tangan pemerintah pusat sudah sangat terbatas, dan semua biaya dibebankan pada anggaran pemerintah daerah, untuk kegiatan pengobatan dan terutama pengendalian vektor menjadi sangat terbatas. Dengan dana yang terbatas, penemuan dan pengobatan penderita untuk memutus atau mengurangi sumber penularan merupakan pilihan yang lebih rasional. Pengobatan penderita sebagai upaya utama, harus dilakukan secara intensif dengan penemuan kasus intensif, pengobatan cepat dan cakupan yang cukup. Untuk itu, intensifikasi penemuan dan pengobatan penderita dengan memberdayakan masyarakat merupakan salah satu cara untuk memperluas cakupan jangkauan. Hal ini sesuai dengan kebijakan Global Strategi for Malaria Control -WHO dimana salah satu elemennya adalah penemuan penderita secara dini, pengobatan cepat serta memobilisasi sumber sumber di masyarakat. Pada tahun 2000 pemerintah telah mengadopsi program Roll Back Malaria yang dicanangkan oleh WHO, menjadi Gebrak Malaria dimana salah satu inisiatifnya adalah pemberdayaan masyarakat dalam upaya pemberantasan. Hasil wawancara mendalam terhadap penderita malaria menunjukkan adanya keterlambatan diagnosis oleh tenaga kesehatan, tidak ditemukannya gejala klinis (sakit kepala, demam, menggigil) menjadi salah satu faktor alasan keterlambatan diagnosis tersebut. Seperti halnya di daerah endemis malaria lainnya di Kabupaten Purbalingga nyamuk Anopheles aconitus, An. maculatus, An. balabacensis merupakan vektor potensial di daerah ini. 5 Hasil pengamatan lingkungan menunjukkan kondisi geografis yang mendukung untuk tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles sebagai vektor malaria, mengakibatkan penularan malaria terus terjadi, sementara perilaku masyarakat dalam pengobatan malaria belum optimal. Hal ini dibuktikan banyaknya proporsi Plasmodium dalam stadium gametocyte yang merupakan stadium infektif untuk penularan malaria. Adanya stadium tersebut menunjukkan penderita sudah terlambat ditemukan dan pengobatan. Perilaku penderita yang buruk (minum obat tidak dihabiskan) juga mendukung penularan
68
malaria terus berlangsung, meskipun pengetahuan dan sikap penderita malaria cenderung baik akan tetapi kalau tidak didukung oleh perilaku yang baik upaya pengendalian malaria tidak berjalan optimal. Menurut Notoadmodjo untuk mewujudkan sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan diantaranya adanya sarana prasarana yang mendukung serta dukungan dari pihak lain.6 Upaya pemberantasan malaria sampai sekarang masih menggunakan pendekatan pasif dengan menunggu pasien datang berobat ke unit pelayanan kesehatan. Padahal peran petugas pelayanan kesehatan ataupun juru malaria desa sangat besar dalam mendeteksi penderita penyakit malaria dengan mendatangi warga yang mengeluh gejala klinis malaria. Kondisi lingkungan yang mendukung untuk tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles sebagai vektor malaria, mengakibatkan penularan malaria terus terjadi, sementara perilaku masyarakat dalam pengobatan malaria belum optimal. Hal ini dibuktikan banyaknya proporsi Plasmodium dalam stadium gametocyte yang merupakan stadium 7 infektif untuk penularan malaria. Adanya stadium tersebut menunjukkan penderita sudah terlambat ditemukan dan pengobatan yang tidak tuntas. Perilaku penderita tersebut mendukung penularan malaria terus berlangsung, meskipun pengetahuan dan sikap penderita malaria cenderung baik akan tetapi kalau tidak didukung oleh perilaku yang baik upaya pengendalian malaria tidak berjalan optimal. Menurut Notoadmodjo untuk mewujudkan sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan diantaranya adanya saran prasarana yang 6 m e nd u ku n g s er ta s up p or t d ar i pihak lain. Berdasarkan hasil FGD, upaya pengendalian malaria sampai sekarang masih menggunakan pendekatan pasif dengan menunggu pasien datang berobat ke unit pelayanan kesehatan. Padahal peran petugas pelayanan kesehatan ataupun juru malaria desa (kader) sangat besar dalam mendeteksi penderita penyakit malaria dengan mendatangi warga yang mengeluh gejala klinis malaria. Tingkat pengetahuan dan sikap mengenai penyakit malaria sudah tinggi, akan tetapi perilaku masih rendah, hal ini dapat dilihat partisipasi masyarakat yang kurang aktif dalam upaya mencegah penyakit malaria dan banyaknya tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles sp. seperti genangan air di tepi sungai
Analisis Spasial Kejadian ....................(Rahmawati)
ANALISIS SPASIAL KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) KASUS LEPTOSPIROSIS DI KABUPATEN KULONPROGO TAHUN 2011 LEPTOSPIROSIS OUTBREAK SPATIAL ANALYSIS IN KULONPROGO DISTRICT, 2011 Rahmawati* *Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Jl. Selamanik No. 16A Banjarnegara E_mail:
[email protected] Accepted:11/3/2013 Reviewed:4/4/2013 Reviewed:8/10/2013 Revised:22/10/2013
ABSTRAK Pada tahun 2011 terjadi KLB di Kulonprogo dengan jumlah kasus 273 dan jumlah kematian 18 orang (CFR = 6,59%). Oleh sebab itu sangat penting untuk mengetahui gambaran penyebaran leptospirosis. Analisis ini merupakan studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan cross sectional menggunakan subjek berjumlah 249 kasus yang terdata di Dinas Kabupaten Kulonprogo selama bulan Januari-November 2011. Titik koordinat rumah penderita ditentukan dengan GPS. Data ditampilkan dengan peta digital Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 25000 menggunakan software ArcView 3.3. Analisis spasial dilakukan dengan skoring pada variabel curah hujan, penggunaan lahan dan ketinggian tempat. Analisis spasial besarnya curah hujan dengan kejadian leptospirosis pada masa tersebut menunjukkan angka korelasi 0,179, dengan demikian korelasi antara curah hujan dengan kasus leptospirosis sangat lemah. Kasus leptospirosis di Kabupaten Kulonprogo banyak terjadi di penggunaan lahan kebun dan permukiman dengan ketinggian antara 0-100 mdpl. Analisis spasial menunjukkan 55,7% kasus leptospirosis terjadi di zona kerawanan sedang dan 31,79% terjadi di zona kerawanan rendah. Kata kunci: analisis spasial, curah hujan, penggunaan lahan, ketinggian ABSTRACT Indonesia's case totally rate of leptospirosis was ranked third in the world. There were outbreak of leptospirosis in 2011 with 273 cases with 18 deaths (CFR = 6.59%). Therefore it was necessary to describe the spread of leptospirosis. This research was descriptive study that using cross-sectional design with 249 leptospirosis cases recorded by Kulonprogo District Health Office during January to November 2011. The coordinates of the patients was determined by GPS. The data is displayed with digital maps Indonesian RBI (RBI) scale 1: 25,000 using ArcView 3.3 software. Spatial analysis is done by scoring the following variable i.e. rainfall, land use and altitude. The results showed correlation of rainfall with leptospirosis cases is 0.179, most of cases occured in plantation and residential land use with altitude 0-100asl. Rainfall concluded weak relationship with leptospirosis. Spatial analysis shows 55.7% of cases of leptospirosis occur in moderate vulnerability zone and 31.79% occur in low vulnerability. Key words: spatial analysis, rainfall, land use, altitude PENDAHULUAN Indonesia mempunyai peringkat mortalitas ketiga tertinggi di dunia untuk kasus leptospirosis. Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu daerah dengan masalah leptospirosis, dimana terjadi peningkatan kasus dari tiga kasus tanpa kematian di tahun 2009 menjadi 55 kasus di tahun 2010 dengan
jumlah kematian mencapai 8 orang (Case Fatality Rate/CFR =14,54%). Sedangkan tahun 2011 terjadi peningkatan kasus secara signifikan dengan jumlah kasus 273 dan jumlah kematian 18 orang (CFR = 6,59%) sehingga ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
53
BALABA Vol. 9, No. 02, Desember 2013 : 53-57
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis disebabkan oleh bakteri Leptospira sp. Bakteri ini berbentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya bengkok seperti kait. Bakteri ini hidup pada ginjal hewan yang terinfeksi Leptospira sp. dan dikeluarkan melalui urin.1 Hewan yang menjadi reservoir utama penularan penyakit ini adalah rodensia dan beberapa mamalia lainnya seperti anjing, sapi, babi dan kucing. Penularan pada manusia dapat terjadi secara langsung melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi atau tidak langsung melalui lingkungan seperti genangan air, tanah basah dan tanaman yang terkontaminasi urin hewan yang terinfeksi. Kasus leptospirosis di beberapa negara mengalami peningkatan. Hal ini dipengaruhi oleh curah hujan, banjir, populasi rodensia dan juga angka insidensi infeksi leptospirosis pada hewan. Penyebaran penyakit ini juga dipengaruhi oleh musim. Di negara tropis puncak insidensi terjadi 1 pada musim hujan. Distribusi leptospirosis lebih banyak di daerah tropis daripada daerah yang 2 mempunyai empat musim. Hal ini dikarenakan perbedaan iklim di daerah tropis tidak terlalu ekstrim sehingga lebih mendukung berkembangnya bakteri Leptospira. Bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh manusia melalui kulit yang terluka atau membran mukosa. Kebanyakan infeksi pada manusia berupa asimptomatis, spektrum kesakitan sangat luas, mulai dari demam sampai dengan beberapa sindrom infeksi multi organ dengan angka kematian yang tinggi.3 Gejala klinis yang khas dari penyakit ini adalah jaundice (warna kuning pada kulit dan bagian putih mata karena tingginya kadar bilirubin), demam dan nyeri betis. Secara umum analisis sebaran kasus masih terbatas dalam bentuk tabular dan grafik, belum dalam bentuk pemetaan sehingga tidak diketahui sebaran kasus berdasarkan lokasi individual. Dengan menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dilakukan pemetaan kasus menggunakan Global Positioning System (GPS) sebagai penentu titik koordinat kasus secara individual. Analisis spasial dilakukan dengan cara tumpang susun peta faktor risiko leptospirosis sehingga didapat peta baru berupa peta zona kerawanan leptospirosis. Sistem Informasi Geografis di bidang kesehatan memiliki arti suatu perangkat geografis
54
pada komputer dan data kesehatan yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk suatu keutuhan keterangan (informasi) dalam bentuk visualisasi/gambaran peta yang memudahkan petugas kesehatan untuk menganalisis data situasi kesehatan pada ruang/tempat/wilayah dan waktu 4 tertentu. Data yang diperoleh dari pemetaan GPS dihubungkan dengan faktor penggunaan lahan, curah hujan, dan ketinggian tempat untuk mengetahui sebaran kasus leptospirosis berdasarkan variabel-variabel tersebut. Setelah itu, peta penggunaan lahan, curah hujan, dan ketinggian tempat di-overlay sehingga didapat peta zona kerawanan leptospirosis. METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan April – November 2011, dengan desain penelitian cross sectional dan termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Populasi dalam penelitian ini juga merupakan sampel, yaitu penderita leptospirosis yang tercatat pada Dinkes Kabupaten Kulonprogo dengan kriteria eksklusi berupa alamat kasus yang tidak jelas atau tidak dapat ditemukan. Jumlah sampel sebanyak 249 kasus. Titik koordinat rumah penderita tersebut ditentukan dengan menggunakan GPS. Data tersebut selanjutnya ditampilkan dengan peta digital Rupa Bumi Indonesia (RBI)skala1 : 25000 yang berisi batas administrasi, penggunaan lahan dan kontur dengan menggunakan software ArcView3.3. Analisis spasial dilakukan dengan skoring masing-masing variabel yaitu curah hujan, penggunaan lahan dan ketinggian tempat. Pemberian angka skoring berupa angka nominal yang merupakan nilai fungsi dari tingkatan besarnya pengaruh variabel tersebut terhadap kenaikan jumlah kasus leptospirosis.Skor tersebut terbagi atas tiga kategori, yaitu pengaruh besar (skor 30), pengaruh sedang (skor 20) dan pengaruh rendah (skor 10). HASIL Hasil penelitian didapatkan bahwa proporsi penderita leptospirosis pada laki-laki (76,1%), lebih tinggi dari perempuan (23,9%). Hal ini disebabkan adanya perbedaan aktivitas laki-laki dan perempuan di masyarakat sehingga laki-laki lebih rentan terpapar faktor risiko leptospirosis, seperti aktivitas mencangkul, membajak sawah, mencari rumput dan kegiatan gotong-royong.
Gambaran Peningkatan ...............(Tri Ramadhani et al)
Gambar 4. Distribusi Kasus Malaria Berdasarkan Stadium Plasmodium di Desa Tetel Kecamatan Pengadegan Tahun 2012
PEMBAHASAN Kejadian malaria di Kecamatan Pengadegan Kabupaten Purbalingga lebih banyak terdistribusi di Desa Tetel, dimulai sejak tahun 2009 hingga 2012. Tidak adanya upaya pengendalian yang komprehensif menjadikan kasus malaria terus berlangsung setiap bulannya (Gambar 3). Kondisi ini yang menjadi dasar pemilihan lokasi penelitian untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan kejadian malaria. Desa Tetel merupakan salah satu wilayah di Puskesmas Pengadegan yang cukup tinggi angka kejadian malaria. Daerah ini merupakan daerah perkebunan (ladang) dengan tanaman dominan ketela pohon, sawah sangat sedikit jumlahnya, dimana pada musim kemarau air sangat susah didapatkan. Akan tetapi timbulnya genangan air dalam waktu lama menjadi tempat potensial nyamuk untuk berkembangbiak. Tahun 2012 kasus malaria di Desa Tetel terus berlangsung setiap bulannya, hal ini menunjukkan kurang optimalnya upaya pengendalian malaria yang sudah berjalan. Pola kasus malaria terjadi setiap tiga bulan sekali, kemudian mengalami kenaikan, turun, meningkat demikian seterusnya. Hal ini menunjukkan upaya pengendalian hanya ditujukan pada pengobatan penderita saja, sedangkan aspek entomologi dan perilaku masyarakat belum tersentuh. Plasmodium malaria di dalam tubuh manusia memerlukan waktu sekitar 1 bulan untuk siap melanjutkan siklus hidupnya ke dalam tubuh nyamuk dan menularkan pada orang sehat. Kejadian malaria di Desa Tetel lebih banyak terjadi pada penduduk laki-laki, hal ini dapat
dimengerti sehubungan dengan aktivitasnya pada malam hari tanpa melakukan perlindungan diri, misalnya menghadiri pertemuan, pengajian, sekedar bercakap-cakap di pangkalan ojek dan menengok orang sakit. Hasil pengamatan masyarakat di Desa Tetel, pada malam hari masih ada sebagian penduduk laki-laki maupun perempuan yang melakukan aktivitas di luar rumah. Kebiasaan kaum perempuan keluar rumah pada malam hari menggunakan pakaian panjang dan penutup kepala (jilbab), menjadikan kemungkinan tergigit nyamuk relatif kecil. Hasil survei entomologi dari Balai Litbang P2B2 Banjarnegara menunjukkan aktivitas nyamuk Anopheles sp. menggigit orang berlangsung 4 di luar rumah. Kejadian malaria yang terus berlangsung di Desa Tetel, dengan fluktuasi yang relatif sama, dimana setiap 3 bulan turun kemudian meningkat demikian seterusnya. Kondisi ini menunjukkan parasit malaria masih ada dan siap untuk menularkan kepada orang lain. Hal ini di dukung stadium parasit malaria yang ditemukan, Plasmodium falciparum lebih dominan dibandingkan Plasmodium vivax, dengan stadium bentuk tropozoit (Pf). Hal ini menunjukkan penularan masih terus berlangsung, demikian juga stadium bentuk gametocyte (Pfg/Prg) hampir setiap bulan ditemukan. Hal ini menunjukkan kejadian penularan malaria terus berlangsung, meskipun sudah dilakukan upaya penanggulangan berupa penyelidikan epidemiologi, pengobatan, penanganan kasus, akan tetapi hasilnya belum optimal. Kondisi ini diperkuat dengan selalu ditemukan stadium tropozoit dan gametocyte pada penderita malaria, stadium tropozoit menunjukkan telah terjadi penularan baru sementara stadium gametocyte menunjukkan keterlambatan penemuan dan pengobatan (tidak tuntas), sehingga Plasmodium yang ada dalam darah terus dapat melanjutkan siklusnya di dalam tubuh penderita, dan siap untuk menularkan kepada orang lain. Seperti daerah - daerah endemis malaria lain di Jawa Tengah, program pengendalian malaria dilakukan melalui PCD (passive case detection) di Puskesmas atau Pustu untuk penemuan dan pengobatan penderita serta pengendalian vektor. Upaya ini kurang efektif mengingat terbatasnya sarana dan tenaga serta cakupan Puskesmas/Pustu dalam upaya penemuan kasus untuk pengobatan penderita. Sedangkan biaya untuk kegiatan
67
BALABA Vol. 9, No. 02, Desember 2013 : 63-69
Gambar 3 menunjukkan pada tahun 2012 kasus malaria di Desa Tetel terus berlangsung setiap bulannya.
dari bulan Januari sampai November 2012 dilaporkan 109 kasus dengan laki-laki (54,1%) dan perempuan (45,9%). Menurut kelompok umur, malaria di Desa Tetel lebih banyak didistribusikan pada kelompok umur > 15 tahun, diketahui paling banyak melakukan kegiatan di luar rumah pada malam hari (Tabel 2).
Survei darah malaria (MBS=Mass Blood Survei) Survei pengambilan sediaan darah malaria dilakukan pada masyarakat di desa Tetel Kecamatan Pengadegan. Hasil survei darah di desa Tetel didapatkan 299 sediaan dan 59 positif parasit malaria (SPR 20,07%). Distribusi kasus malaria 2008
Berdasarkan data WHO, di Indonesia kelompok yang mempunyai risiko terbesar terkena 5 leptospirosis adalah petani. Penyebaran penyakit ini terkait dengan pekerjaan petani, peternak dan 6 penjagalan hewan serta sanitasi yang buruk dan pemukiman yang tidak teratur.7 Hal ini sesuai dengan kondisi yang terjadi di Kulonprogo, 79 % penderita mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Sebaran lengkap kasus leptospirosis terkait faktor pekerjaan dapat dilihat pada Gambar 1.
2011
2010
2009
Analisis Spasial Kejadian ....................(Rahmawati)
Gambar 3.
20 15
Peta Sebaran Leptospirosis di Kabupaten KulonprogoTahun 2011Berdasarkan Curah hujan
10 5 0 -5
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
Gambar 2. Distribusi kasus malaria perbulan di Desa Tetel Kecamatan Pengadegan Tahun 2008 – 2011
Gambar 1. Sebaran Kasus Leptospirosis Berdasarkan Jenis Pekerjaan
\
Gambar 4. Peta Sebaran Leptospirosis di Kabupaten KulonprogoTahun 2011 Berdasarkan Penggunaan Lahan
Gambar 3. Distribusi Kasus Malaria Per Bulan di Desa Tetel Kecamatan Pengadegan Kabupaten Purbalingga Tahun 2012
Gambar 2.
Tabel 2. Distribusi Kasus Malaria Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
No 1 2 3 4 5
66
Jenis Kelamin
Golongan umur
\
Total
%
<1 1-5 6-10 11-14 >15
Laki-Laki 0 5 7 3 44
% 0.0 71.4 77.8 37.5 51.8
Perempuan 0 2 2 5 41
% 0 28.6 22.2 62.5 48.2
0 7 9 8 85
0 6.4 8.3 7.3 78.0
Jumlah
59
54.1
50
45.9
109
100
Grafik Hubungan Curah Hujan dan Jumlah Kasus Leptospirosis di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2011
Gambar 5. Peta Sebaran Leptospirosis di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2011 Berdasarkan Ketinggian
55
BALABA Vol. 9, No. 02, Desember 2013 : 53-57
Gambar 6. Peta Kerawanan Leptospirosis di Kabupaten Kulonprogo
PEMBAHASAN Populasi tikus memegang peranan penting dalam sebaran leptospirosis. Beberapa jenis tikus yang habitatnya berada di sekitar tempat tinggal manusia merupakan reservoir yang potensial untuk menularkan penyakit leptospirosis. Berdasarkan 8 hasil survei yang dilakukan Ramadhani, spesies tikus yang berhasil ditangkap di Kulonprogo adalah Rattus tanezumi, R. tiomanicus, Mus musculus dan Nitiventer fluvescens. Dari studi literatur diketahui spesies R. tanezumi menjadi reservoir utama terjadinya penularan leptospirosis di Indonesia9 dan 10 Amerika. Curah hujan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi sebaran leptospirosis. Berdasarkan data curah hujan selama satu tahun, Kabupaten Kulonprogo berada pada musim penghujan dengan intensitas yang cukup tinggi mulai Januari sampai Mei, namun dengan fluktuasi curah hujan yang berbeda. Kemudian pada bulan Juni-Agustus terjadi intensitas curah hujan rendah. Hubungan curah hujan dengan kasus leptospirosis dapat dilihat pada Gambar 2. Angka korelasi curah hujan dengan kasus leptospirosis adalah 0,1786 yang artinya setiap kenaikan 100 mm curah hujan akan terjadi kenaikan 18 kasus leptospirosis.Nilai 2 R : 0,031 menunjukkan bahwa curah hujan berpengaruh 3% terhadap angka kejadian leptospirosis sedangkan 97% dipengaruhi oleh faktor lain. Dengan demikian korelasi antara curah hujan bulanan dengan kasus leptospirosis lemah. Namun, jika dilihat dari kumulatif hujan tahunan di suatu wilayah maka curah hujan berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3 dimana 52,4% kasus terjadi di daerah dengan curah hujan tinggi.
56
Pola peningkatan kasus saat musim hujan di Kabupaten Kulonprogo berbeda dengan pola peningkatan kasus di daerah rawan banjir. Biasanya kasus di daerah banjir terjadi selang beberapa hari pasca banjir, sedangkan peningkatan kasus di Kabupaten Kulonprogo terjadi seiring dengan penggunaan penampungan air hujan untuk keperluan sehari-hari. Berdasarkan hasil observasi lingkungan terlihat bahwa talang yang digunakan untuk mengalirkan air hujan tersebut menjadi tempat pergerakan tikus. Diduga dari penggunaan air inilah leptospirosis menyebar kepada manusia. Hal ini diperkuat dengan adanya pemeriksaan sampel air penampungan. Hasil pemeriksaan menunjukkan 8% positif bakteri Leptospira dari 128 sampel yang 8 diperiksa. Sebaran penyakit leptopsirosis juga dipengaruhi oleh faktor penggunaan lahan. Peta sebaran leptospirosis berdasarkan penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 4. Leptospirosis banyak terjadi pada penggunaan lahan permukiman (48%) dan kebun (28%). Hal ini dikarenakan tingginya populasi tikus yang hidup di sekitar rumah (R. tanezumi dan Mus musculus) dan tikus pohon (R. tiomanicus dan N. fluvescens) yang hidup di sekitar kebun. Kabupaten Kulonprogo merupakan daerah perbukitan yang membujur dari utara ke selatan. Bagian utara dan bagian selatan berbukit-bukit, sementara bagian tengah relatif landai, sedangkan timur dan barat dibatasi tebing-tebing curam. Hasil interpretasi peta (Gambar 5) diketahui bahwa 45,9% kasus terdapat pada ketinggian 0-100 mdpl. Mayoritas kasus terjadi di dataran rendah karena banyaknya air permukaan yang menggenang sehingga menjadi media transmisi leptospirosis. Sedangkan kasus yang terjadi di dataran tinggi (21,1%) hampir semuanya terdapat di Kecamatan Samigaluh, Kalibawang, Girimulyo dan Kokap yang merupakan Perbukitan Menoreh. Penelitian menunjukkan Mus musculus yang tertangkap pada ketinggian di atas 500mdpl merupakan reservoir utama leptospirosis.11 Banyaknya kasus yang terjadi di perbukitan terkait dengan penggunaan air tampungan hujan. Zona kerawanan leptospirosis didapatkan dari overlay peta penggunaan lahan, peta ketinggian dan peta curah hujan. Hasil overlay berupa peta zona kerawanan leptospirosis dapat dilihat pada Gambar 6. Peta zona kerawanan menunjukkan 31,7 % kasus
Gambaran Peningkatan ...............(Tri Ramadhani et al)
dilakukan dengan metode Giemsa 5%, kemudian dilakukan identifikasi dengan pemeriksaan mikroskop. Hasil survei dilakukan analisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi.
Purwokerto. Batas wilayah Kabupaten Purbalingga dengan Kabupaten Banjarnegara di sebelah timur, Kabupaten Banyumas di sebelah barat, Kabupaten Pemalang di sebelah utara, Kabupaten Banyumas dan Banjarnegara.3
HASIL
Kecamatan Pengadegan merupakan daerah endemis malaria yang dimulai tahun 2009 hingga tahun 2011 dengan jumlah kasus malaria yang mengalami kenaikan (Gambar 1).
Gambaran lokasi penelitian Kabupaten Purbalingga merupakan salah satu kabupaten yang ada di provinsi Jawa Tengah dengan ibukotanya Kota Purbalingga, dengan luas 2 wilayah 777,65 km . Terletak pada 101° 11" BT 109°35" BT dan 7°10" LS - 7°29 LS" terbentang pada ketinggian ± 40 – 1.500 meter diatas permukaan laut dengan dua musim yaitu musim hujan antara bulan April – September dan musim kemarau antara Oktober – Maret. Secara umum Purbalingga termasuk dalam iklim tropis dengan rata-rata curah hujan 3,739 mm – 4,789 mm per tahun. Jumlah curah hujan tertinggi berada di Kecamatan Karangmoncol, sedangkan curah hujan terendah di Kecamatan Kejobong. Suhu udara di wilayah Kabupaten Purbalingga antara 23.20° C – 32.88° C dengan rata-rata 24.49° C. Geografis Kabupaten Purbalingga berada di cekungan yang diapit beberapa rangkaian pegunungan. Di sebelah utara merupakan rangkaian pegunungan (Gunung Slamet dan Dataran Tinggi Dieng). Bagian selatan merupakan Depresi Serayu, yang dialiri dua sungai besar Kali Serayu dan anak sungainya, Kali Pekacangan. Anak sungai lainnya yaitu seperti Kali Klawing, Kali Gintung, dan anak sungai lainnya. Ibu kota Kabupaten berada di Purbalingga, sekitar 21 km sebelah timur laut
120 100 80 60 40 20 0 2008
2009
2010
2011
Gambar 1. Distribusi Kasus Malaria Pertahun di Puskesmas Pengadegan Tahun 2008 – 2011
Kejadian malaria di wilayah Kecamatan Pengadegan terdistribusi di tiga desa yaitu desa Pengadegan, Tegalpingen dan Tetel . Selama tiga tahun terakhir kasus malaria semakin bertambah, khususnya di desa Tetel, hal ini ditunjukkan pada tahun 2009 terjadi 32 kasus, tahun 2010 sebanyak 33 kasus dan tahun 2011 sebanyak 98 kasus (Tabel 1). Gambar 2 menunjukkan kejadian malaria di Desa Tetel wilayah Puskesmas Pengadegan dimulai pada bulan September 2009, kondisi ini terus mengalami kenaikan hingga Desember 2010, kemudian berangsur-angsur menurun, dan akan berulang lagi pada tahun berikutnya. Peningkatan kejadian malaria mulai terlihat peningkatan pada awal bulan Januari setiap tahunnya dan akan menurun setelah bulan Maret.
Tabel 1. Distribusi Kasus Malaria per Desa di Kecamatan Pengadegan Tahun 2009 – NO 1
PUSKESMAS Pengadegan
DESA 1. Panunggalan 2. Larangan 3. Pasunggingan 4. Pengadegan 5. Karangjobo 6. Bedagas 7. Tumanggal 8. Tegalpingen 9. Tetel Jumlah
2009
2010
2011
0 0 0 2 0 0 0 10 32
0 0 0 9 0 0 0 1 33
0 0 0 2 0 0 0 5 98
44
43
105
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten
65
BALABA Vol. 9, No. 02, Desember 2013 : 63-79
PENDAHULUAN Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Jawa Tengah. Kasus Malaria cenderung meningkat dalam 2 (dua) tahun terakhir, angka kesakitan Malaria (API = Annual Parasite Incidence) di Jawa Tengah tahun 2010 = 0,101 ‰ (3.300 kasus), tahun 2011 = 0,106 ‰ (3.467 kasus) dan tahun 2012 (sampai Juli) = 0,045 ‰ (1.668 kasus). Berdasarkan tingkat endemisitas, pada tahun 2011 masih terdapat 4 (empat) kecamatan endemis tinggi, 7 (tujuh) kecamatan endemis sedang dan 63 kecamatan endemis rendah. Dilaporkan bahwa 29 desa termasuk endemis tinggi, 58 desa sedang dan 189 desa rendah. Pada tahun 2012, kejadian luar biasa (KLB) terjadi di beberapa kabupaten endemis seperti Purworejo, Banjarnegara dan Banyumas. Sedangkan kasus malaria import juga cenderung meningkat di beberapa kabupaten yang sebelumnya tidak pernah dilaporkan kasus 1 malaria. Kabupaten Purbalingga termasuk wilayah dengan masalah malaria. Pencarian penderita dilakukan dengan kegiatan PCD (Passive Case Detection) di Puskesmas atau Pustu, untuk penemuan dan pengobatan penderita serta pengendalian vektor. Sejak otonomi daerah tenaga juru malaria desa (JMD) bertugas untuk membantu penemuan penderita lewat ACD (Active Case Detection) sudah tidak ada lagi. Upaya pengendalian malaria menjadi tanggung jawab Puskesmas, sehingga kurang efektif mengingat terbatasnya cakupan upaya penemuan kasus untuk pengobatan penderita. Kegiatan pengendalian vektor (penyemprotan rumah, pemakaian kelambu, serta larviciding) memerlukan biaya tinggi karena diperlukan cakupan satu kesatuan wilayah epidemiologi meliputi wilayah yang sangat luas. Terbatasnya dana, maka penemuan dan pengobatan penderita untuk memutus atau mengurangi sumber penularan malaria merupakan pilihan tepat. Pengobatan penderita sebagai upaya utama, harus dilakukan secara intensif dengan penemuan kasus, pengobatan tepat waktu dan cakupan yang cukup. Kendala yang dihadapi dalam pengobatan malaria di Kabupaten Purbalingga, diawali dengan kesulitan mendapatkan diagnosis dini, keterlambatan mendapat pengobatan bagi penderita dikarenakan beberapa wilayah kecamatan dan desa di Kabupaten Purbalingga merupakan wilayah terisolir, tidak tepatnya regimen dan dosis, resistensi
64
terhadap obat anti malaria dan belum adanya obat anti malaria yang ideal. Kecamatan Karangmoncol merupakan bagian dari daerah endemis malaria di Kabupaten Purbalingga.2 Tahun 2010 terjadinya peningkatan kasus malaria di Kabupaten Purbalingga. Sehubungan dengan itu, pada bulan Nopember – Januari 2011 dan permintaan bantuan survei vektor malaria di Dusun Candi, Desa Panusupan, Kecamatan Rembang oleh Loka Litbang P2B2 Banjarnegara bersama dengan staf dari Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga dan Puskesmas Rembang. Kegiatan yang dilaksanakan adalah pengambilan sediaan darah malaria, diagnosis malaria melalui pemeriksaan mikroskopis serta wawancara pada penderita malaria. Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan peningkatan kejadian malaria pada masyarakat Desa Tetel Kecamatan Pengadegan Kabupaten Purbalingga. METODE Penelitian dilakukan di Desa Tetel Kecamatan Pengadegan Kabupaten Purbalingga dengan pertimbangan kasus malaria selama tahun 2012 mengalami peningkatan. Waktu penelitian bulan April – November 2012, jenis penelitian observasional dengan desain cross sectional. Survei parasitologi dilakukan dengan metode MFS (Mass Fever Survey) dimana masyarakat pada suatu area, yang menunjukkan gejala klinis diperiksa diambil darahnya untuk dibuat sediaan darah tebal sesuai dengan standar WHO. Jari manis/tengah tangan kiri pasien dipegang dan dibersihkan dengan kapas beralkohol 70% sampai bersih dan ditusuk dengan menggunakan jarum lancet. Pada bayi umur 6 – 12 bulan pada bagian ujung jempol kaki dan bayi yang kurang dari 6 bulan bagian tumit kakinya. Tetes darah pertama yang masih di ujung jari diusap dengan kapas kering untuk menghilangkan sel darah pembeku (trombosit) agar tidak terbawa pada SD dan terbebas dari alkohol. Darah ditempelkan pada permukaan bawah kaca sediaan sebanyak 2 – 3 tetes darah. Kaca sediaan yang sudah berisi darah diletakkan di atas meja dan jari pasien dibersihkan dengan kapas kering. Dengan ujung kaca sediaan lain, 2 –3 tetes darah itu diputar perlahan-lahan dan teratur mulai dari luar ke dalam sehingga menyatu merupakan bulatan dengan diameter + 1 cm kemudian dikeringkan secara alami. Pewarnaan
Analisis Spasial Kejadian ....................(Rahmawati)
leptospirosis terjadi pada zona kerawanan rendah, 55,7 % terjadi pada zona kerawanan sedang dan sisanya 12,6% terjadi pada zona kerawanan tinggi (Gambar 6). Ketidaktepatan pembagian zona kerawanan dengan kasus yang terjadi disebabkan banyaknya zona kerawanan rendah yang terdapat di perbukitan, sedangkan banyak kasus yang terjadi di perbukitan terkait penggunaan air tampungan hujan untukkeperluan sehari-hari. Serta adanya mobilitas penduduk dari zona kerawanan tinggi ke zona kerawanan rendah atau sedang. Tindakan preventif yang dapat dilakukan untuk mengatasi kasus yang terjadi dapat dilakukan dengan mengontrol jumlah populasi tikus baik secara perorangan (rumah) maupun kelompok (lingkungan, misalnya menangkap tikus di sawah), menjaga kebersihan, serta mengurangi risiko terkena paparan lingkungan yang terinfeksi1 dengan cara memakai sepatu boot saat berkebun atau melintas di daerah banjir, memakai sarung tangan bagi pekerja pemotongan hewan, serta membiasakan diri mencuci tangan dengan sabun setelah beraktifitas. Peta kerawanan leptospirosis setelah dicocokkan dengan sebaran kasus yang ada tidak menunjukkan pola yang linier/sejalan. Pengambilan skoring berdasarkan penggunaan lahan dan curah hujan tidak tepat diterapkan untuk wilayah Kabupaten kulonprogo. Apabila peta kerawanan berdiri sendiri tanpa ditunjang data penelitian lain tentang leptospirosis di Kulonprogo tidak dapa meramalkan kejadian leptospirosis. Hal ini karena adanya kondisi bahwa leptospirosis banyakterjadi di dataran tinggi yang berhubungan dengan penampungan air.8 KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan curah hujan bulanan berkorelasi lemah dengan kasus leptospirosis, namun secara kumulatif distribusi kasus terbanyak saat curah hujan tinggi. Mayoritas kasus berada di ketinggian antara 0-100mdpl, namun banyak juga kasus yang berada di dataran tinggi karena adanya penampungan air hujan. Analisis spasial menunjukkan 55,7% kasus leptospirosis terjadi di zona kerawanan sedang, yang mengindikasikan adanya mobilitas penduduk dari zona kerawanan tinggi ke zona kerawanan sedang atau rendah.
SARAN Untuk menentukan zona kerawanan leptospirosis diperlukan penelitian secara komprehensif meliputi survei lingkungan dan survei tikus sehingga dapat diketahui pola sebaran leptospirosis yang akurat. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo beserta Staf dan Kepala Balai Litbang P2B2 Banjarnegara serta rekan-rekan Balai Litbang P2B2 Banjarnegara yang telah membantu kegiatan pengumpulan data. DAFTAR PUSTAKA 1. Faine S. Guidelines for the control of leptospirosis. Genewa: World Health Organitation; 1982. 2. Levett PN. Leptospirosis. Clinical Microbiologi Review.2001; 296–326. 3. Z a v i t s o n o u A a n d B a b a t s i k o u F. Leptospirosis: epidemiologi dan preventive measures. Healh Sciences Journal. 2008; 2 (2): 75-82. 4. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Menggunakan ArcView SIG (program pengguna sistem informasi geografis untuk program survailans dan pemberantasan penyakit). Jakarta: Ditjen P2M&PL; 2001. 5. WHO. Leptospirosis worlwide. Weakly Epidemiologi Record; 1999. 6. Tassinari W, Pellegrini D. Detection and modelling of case cluster for urban leptospirosis. 7. Lau C. Leptospirosis : an emergencing disease in travellers. Travel medicine and infectios disease. 2010; (8). 8. Ramadhani T. Pengembangan model rapid assessment pasca KLB leptospirosis di Kabupaten Kulonprogo Provinsi DIY. Laporan penelitian Balai Litbang P2B2 Banjarnegara; 2011. 9. Sarkar U. Population-based case control investigation of risk faktors for leptospirosis during an urban epidemic. American Journal Tropical Medicine and Hygiene. 2002; 66 (5): 605–10. 10. Yunianto B. Studi epigeografi kejadian leptospirosis di Kabupaten Gresik Provinsi Jawa timur. Laporan penelitian Balai Litbang P2B2 Banjarnegara; 2010. 11. Pereira M. Rodent and Leptospira transmission risk in Terceira Island (Azores). Europan Journal of Epidemiology. 2000: 16.
57