Vol. 7, No. 2, Hal 106 - 200, Juli 2015, ISSN 2085-1979
Implementasi Kegiatan Corporate Social Responsibility “Go Green Economic” Berbasiskan Kearifan Lokal Aat Ruchiat Nugraha , Suwandi Sumartias , Evi Novianti dan Kokom Komariah Konflik Budaya Dalam Konstruksi Kecantikan Wanita Indonesia (Analisis Semiotika Dan Marxist Iklan Pond’s White Beauty Versi Gita Gutawa) Wulan Purnama Sari Posisi Keris Pada Masyarakat Jogja Modern Endah Endrawati
Pola Komunikasi Antara Pedagang Dan Pembeli Di Desa Pare, Kampung Inggris Kediri Suzy Azeharie
Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya Lusia Savitri Setyo Utami
Analisi Isi Kekerasan Seksual Dalam Pemberitaan Media Online Detik.Com Ayu Erivah Rossy dan Umaimah Wahid
Analisis Semiotik Fashion Ines Ariani Sebagai Bentuk Presentasi Diri Monica Stella Angelina dan Pingkey Triputra
Model Komunikasi Transaksional Dalam Konteks Komunikasi Antar Budaya Di Sekolah(Studi Fenomenologi Pengalaman Komunikasi Antara Guru Dan Murid Di International School) Muhammad Adi Pribadi
JURNAL KOMUNIKASI UNIVERSITAS TARUMANAGARA Volume 7, Nomor 2, Juli 2015
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara terbit 3 (tiga) kali setahun, diterbitkan oleh Program Studi S.1 Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, Jakarta. Penanggung Jawab : Dr. Eko Harry Susanto, M.Si Penyunting Kehormatan (Mitra Bestari) Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, MA, Ph.D (Universitas Indonesia) Hermin Indah Wahyuni, Ph.D (Universitas Gajah Mada) Dr. Puji Lestari, S.I.P.,M.Si (Univeritas UPN Veteran Yogyakarta) Dr. Adi Nugroho, M.Si (Universitas Diponegoro) Dr. Suprawoto, SH, M.Si (KEMKOMINFO) Wina Armada Sukardi, SH, MBA Ketua Penyunting Drs. Widayatmoko, MM Wakil Ketua Penyunting Dr.(Can) Riris Loisa, M.Si Anggota Penyunting Drs. Suherman Kusniadji, MM, M.I.Kom Dra. Suzy S Azeharie, MA., M.Phil Ahmad Junaidi, S.S., M.Si Sinta Paramita, S.I.P., M.A Sekretariat Administrasi Ady Sulistyo Purwanti
Alamat Jl. S Parman No.1 Gedung Utama Lantai 11. Jakarta Barat 11440 Telepon : 021-56960586, Fax : 021-56960584 Hp : 081 8653 538 email :
[email protected] Website : http://journal.tarumanagara.ac.id/index.php/FIKOM
Vol. 7, No. 2, Hal 106 - 200, Juli 2015, ISSN 2085-1979
Implementasi Kegiatan Corporate Social Responsibility “Go Green Economic” Berbasiskan Kearifan Lokal Aat Ruchiat Nugraha , Suwandi Sumartias , Evi Novianti dan Kokom Komariah Konflik Budaya Dalam Konstruksi Kecantikan Wanita Indonesia (Analisis Semiotika Dan Marxist Iklan Pond’s White Beauty Versi Gita Gutawa) Wulan Purnama Sari
Posisi Keris Pada Masyarakat Jogja Modern Endah Endrawati
Pola Komunikasi Antara Pedagang Dan Pembeli Di Desa Pare, Kampung Inggris Kediri Suzy Azeharie
Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya Lusia Savitri Setyo Utami
Analisi Isi Kekerasan Seksual Dalam Pemberitaan Media Online Detik.Com Ayu Erivah Rossy dan Umaimah Wahid
Analisis Semiotik Fashion Ines Ariani Sebagai Bentuk Presentasi Diri Monica Stella Angelina dan Pingkey Triputra
Model Komunikasi Transaksional Dalam Konteks Komunikasi Antar Budaya Di Sekolah(Studi Fenomenologi Pengalaman Komunikasi Antara Guru Dan Murid Di International School) Muhammad Adi Pribadi
DAFTAR ISI
Implementasi Kegiatan Corporate Social Responsibility “Go Green Economic” Berbasiskan Kearifan Lokal Aat Ruchiat Nugraha , Suwandi Sumartias , Evi Novianti dan Kokom Komariah …………………………………………………………………………….
106-115
Konflik Budaya Dalam Konstruksi Kecantikan Wanita Indonesia (Analisis Semiotika Dan Marxist Iklan Pond’s White Beauty Versi Gita Gutawa) Wulan Purnama Sari ……………………………...…………..………………...….
116-123
Posisi Keris Pada Masyarakat Jogja Modern Endah Endrawati ...............................................................................................
124-136
Pola Komunikasi Antara Pedagang Dan Pembeli Di Desa Pare, Kampung Inggris Kediri Suzy Azeharie …………………………………………………………….…………
137-151
Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya Lusia Savitri Setyo Utami .......................….......................................................
152-167
Analisi Isi Kekerasan Seksual Dalam Pemberitaan Media Online Detik.Com Ayu Erivah Rossy dan Umaimah Wahid …………...……………………………..
168-179
Analisis Semiotik Fashion Ines Ariani Sebagai Bentuk Presentasi Diri Monica Stella Angelina dan Pingkey Triputra ……...………………..…..............
180-193
Model Komunikasi Transaksional Dalam Konteks Komunikasi Antar Budaya Di Sekolah(Studi Fenomenologi Pengalaman Komunikasi Antara Guru Dan Murid Di International School) Muhammad Adi Pribadi ……………………………....………………..…..............
194-200
Aat Ruchiat Nugraha , Suwandi Sumartias , Evi Novianti Dan Kokom Komariah: Implementasi Kegiatan Corporate Social Responsibility “Go Green Economic” Berbasiskan Kearifan Lokal
IMPLEMENTASI KEGIATAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY “GO GREEN ECONOMIC” BERBASISKAN KEARIFAN LOKAL Aat Ruchiat Nugraha, Suwandi Sumartias, Evi Novianti dan Kokom Komariah Program Studi Hubungan Masyarakat Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstract Concern and responsibility for company/industry is one concrete manifestation of external relations in the form of community development programs through Corporate Social Responsibility (CSR) in the form of intensive training to entrepreneurs, small and micro enterprises (UKMM) Traditional Batik craftsmen. In one implementation of CSR programs PT. Indocement Tunggal Perkasa is doing activities to educate, train and provide capital to the rural artisans of traditional batik Cirebon palimanan Ciwaringin districts by utilizing renewable natural resources. The results of this CSR program showed to significan an increase in economic aspect, social aspect and environmental aspect awareness to the community about the PT. Indocement Tunggal Perkasa Tbk. Key Words: Implementation, Corporate Social Responsibility, and Local Wisdom Abstrak Kepedulian dan tanggung jawab perusahaan/industri merupakan salah satu wujud nyata dari eksternal relations berupa program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam bentuk pembinaan intensif terhadap pelaku usaha kecil mikro menengah (UKMM) Pengrajin Batik Tradisional. Dalam implementasi salah satu program CSR PT. Indocement Tunggal Perkasa yaitu melakukan kegiatan mendidik, melatih dan memberikan modal kepada para pengrajin batik tradisional di desa Ciwaringin kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon dengan memanfaatkan sumber daya alam yang terbarukan. Hasil program CSR ini menunjukkan adanya peningkatan secara yang cukup signifikan pada aspek ekonomis, sosial dan kesadaran lingkungan bagi masyarakat sekitar PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. Kata Kunci: Implementasi, Tanggungjawab Sosial Perusahaan, dan Kearifan Lokal
Pendahuluan Kemajuan dan potensi industri di Jawa Barat memerlukan keberlanjutan dalam upaya meningkatkan pendapatan bagi warga Jawa Barat, terutama yang berada di lingkungan sekitar perusahaan. Wilayah Cirebon sebagai bagian dari wilayah Timur Jawa Barat memiliki beberapa potensi secara sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun peradabannya yang dapat menghasilkan dan menguntungkan bagi warganya. Kabupaten Cirebon sebagai daerah yang memiliki kawasan industri dan kelembagaan secara komprehensif telah menjadi bagian penting dalam mendukung sektor pembangunan nasional dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini dilakukan oleh pemerintah pusat sebagai upaya mendorong dan menyangga tingkat percepatan pembangunan pemerintah pusat dalam memberdayakan masyarakatnya melalui pembentukan beberapa kawasan tertentu yang dijadikan sebagai pusat industri, perdagangan, bisnis maupun pusat pemerintahan. Konsep desain pencitraan wilayah 106
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 106 - 115
ISSN 2085-1979
ini merupakan dampak langsung pembangunan yang berskala nasional dan berorientasi pada konsep era globalisasi yang harus segera terwujud dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara mandiri. Faktanya, hal ini menjadi satu komitmen yang terus menerus diwacanakan dan dikawal oleh elemen masyarakat sekitar perusahaan yang wilayahnya dijadikan daerah operasional/ekspolitasi pemanfaatan sumber daya alam agar selalu mendapatkan perhatian dan bantuan dari pihak pemerintah dan perusahaan. Bentuk hubungan timbal balik yang baik dari perusahaan terhadap warga sekitar perusahaan, biasanya pimpinan perusahaan melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang diimplementasikan dalam bentuk program Corporate Social Responsibility (CSR). Program CSR ini merupakan wujud kepedulian dan tanggung jawab perusahaan atau industri dalam menata pola pembangunan di masyarakat guna menjadi lebih baik lagi secara ekonomi sebagai bentuk modal sosial yang diharapkan perusahaan. Salah satu bentuk sinergisitas antara pemegang kepentingan tersebut adalah dengan melakukan pembinaan yang intensif terhadap pelaku usaha kecil mikro menengah (UKMM), melalui berbagai kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) serta Program Kemitraan & Bina Lingkungan (PKBL) dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat, baik perusahaan BUMN maupun perusahaan swasta nasional. Sesuai dengan tujuannya, kegiatan-kegiatan CSR dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) tersebut dimaksudkan untuk menciptakan dan memelihara hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekitar lokasi produksi yang bekerjasama dengan stakeholder untuk memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat sekitar. Perusahaan juga harus memiliki komitmen untuk melaksanakan tanggung jawab perusahaan di bidang sosial serta lingkungan sesuai dengan prinsip pengembangan lingkungan yang berkelanjutan, baik secara ekonomi, sosial maupun lingkungan. Di balik kemajuan yang sangat pesat secara empiris, ternyata masih menyisakan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Cirebon yaitu dampak dari pembentukan satu kawasan baru (pemerintahan, pendidikan, bisnis perdagangan dan industri) yang meliputi perubahan sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, dan komunikasi. Perubahan yang terjadi tersebut di satu sisi membawa dampak positif, namun di sisi lain membawa dampak negatif yang sulit dihindari. Dampak negatif yang ada berdasarkan observasi di lapangan terhadap lokasi suatu wilayah yang dijadikan daerah operasional kawasan industri menunjukkan bahwa perubahan pola interaksi dan pergaulan yang berubah secara drastis; meningkatnya kecemburuan sosial, perubahan orientasi gaya hidup, meningkatnya angka kriminalitas, pola kepemilikan dan mata pencaharian, pencemaran lingkungan dan lain sebagainya. Guna menyeimbangkan akan keberadaan perusahaan dengan wilayah operasional perusahaan di kabupaten Cirebon, PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pemanfaatan sumber daya alam berupa bahan baku semen (kapur putih) telah melakukan pemberdayaan masyarakat melalui beberapa kegiatan CSR. Hal ini dilakukan sebagai bentuk komitmen dan tanggungjawab perusahaan dalam memajukan masyarakat sekitar perusahaan dengan tujuan agar masyarakat memiliki daya saing secara mandiri dalam mencapai dan meningkatan kesejahteraan mereka. Adapun bentuk kegiatan implementasi kebijakan CSR yang dilakukan oleh PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. meliputi beberapa sektor pembangunan, salah satunya yaitu melalui program pemberdayaan green economic bagi masyarakat sekitar perusahaan. Program green economicini berupa program pemberdayaan masyarakat yang memanfaatkan potensi-potensi alam sekitar masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. Program tersebut diperuntukkan bagi warga sekitar perusahaan PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. 107
Aat Ruchiat Nugraha , Suwandi Sumartias , Evi Novianti Dan Kokom Komariah: Implementasi Kegiatan Corporate Social Responsibility “Go Green Economic” Berbasiskan Kearifan Lokal
yaitu khususnya bagi masyarakat wilayah Ciwaringin yang memiliki kemampuan dalam hal membatik (komunitas batik) dengan memanfaatkan pewarna alami yang beasal dari ekstrak-esktrak pepohonan yang ada di masyarakat. Adapaun hasil yang diharapkan dari CSR program green economic batik ini yaitu masyarakat menjadi terampil dalam memanfaatkan sumber daya alam sebagai bahan alami pewarna pencelupan batik setelah mendapatkan pembinaan yang intensif dan komprehensif dari pihak perusahaan. Target lain dari green economic CSR PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. yaitu pengoptimalan kearifan budaya Kacirebonan dalam proses pra produksi, produksi dan pascaproduksi pembuatan batik tradisional. Sehingga dengan demikian, wilayah Caringin Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon dapat terkenal dengan jenis batik yang ramah lingkungan (go green). Dengan adanya konsep brand batik Ciwaringin yang diusung oleh program CSR PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. Cabang Cirebon ini, sudah menunjukkan pada perkembangan yang signifikan secara ekonomi dan sosial. Dalam perkembangan selanjutnya, kearifan lokal Kecirebonan bergantung pada komunitas batik yang berada di desa Ciwaringin dan anggota komunitas pengrajin batik dalam melestarikan budaya dan peradaban brand Cirebon di pasaran batik tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan uraian latar belakang penelitian tersebut, maka rumusan masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Incocement Tunggal Perkasa, Tbk. berbasiskan kearifan lokal di Kabupaten Cirebon dapat meningkatkan perekonomian komunitas batik Ciwaringin?” Metode Penelitian Metode penelitian kualitatif, pada hakekatnya mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya (Nasution, 2003). Dengan menggunakan sifat data deskriptif. Deskriptif kualitatif yaitu salah satu jenis penelitian yang tujuannya untuk menyajikan gambaran lengkap mengenai seting sosial atau hubungan antara fenomena yang diuji. Dalam penelitian ini peneliti telah memiliki definisi jelas tentang subyek penelitian dan akan menggunakan pertanyaan siapa dalam menggali informasi yang dibutuhkan. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menghasilkan gambaran akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan mekanisme sebuah proses atau hubungan, memberikan gambaran lengkap baik dalam bentuk verbal atau numerical, menyajikan informasi dasar atas suatu hubunganmenciptakan seperangkat kategori dan mengklasifikasikan subjek penelitian, menjeleaskan seperangkat tahapan atau proses serta untuk menyimpan informasi yang bersifat kontradiktif mengenai subyek penelitian. Hasil Penemuan dan Diskusi 1. Kegiatan Komunikasi dalam program CSR PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. adalah perusahaan yang memproduksi semen, yang juga memiliki beberapa anak perusahaan yang memproduksi beton siappakai (Ready-Mix Concrete/RMC) serta mengelola tambang agregat dan trass. Berdiri sejak 16 Januari 1985, Perseroan merupakan penggabungan dari enam perusahaan semen yang saat itu memiliki delapan pabrik. Pabrik pertama Indocement resmi beroperasi sejak 4 Agustus 1975. Selama 37 tahun pabrik beroperasi, 108
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 106 - 115
ISSN 2085-1979
Indocement terus meningkatkan kapasitas produksinya dan merupakan salah satu produsen semen terbesar di Indonesia. Indocement terus menambah jumlah pabrik hingga saat ini mencapai 12 pabrik, yang sebagian besar berada di Jawa. Sembilan pabrik berada di Kompleks Pabrik Citeureup, Bogor, Jawa Barat, dan merupakan salah satu kompleks pabrik semen terbesar di dunia. Dua pabrik berada di Kompleks Pabrik Palimanan, Cirebon, Jawa Barat dan satu pabrik di Kompleks Pabrik Tarjun, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Sebagaimana diketahui bahwa pada hakekatnya masalah kesejahteraan masyarakat sesungguhnya menjadi kewajiban negara (pemerintah). Namun, demikian sebagai bagian warga negara yang baik, perusahaan merasa perlu untuk membantu mensejahterakan masyarakat, khususnya yang berada di sekitar perusahaan sebagai wujud tanggungjawab sosial secara etika bisnis, harmonisasi dan aspek legalitas. PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. cabang Cirebon yang merupakan perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang industri semen merasa berkewajiban dan berkepentingan dalam mengimplementasikan konsep CSR untuk dapat dilakukan di wilayah operasional produksi dimana perusahaan itu berada. Dalam menjalankan usahanya, Indocement bertekad memperhatikan pembangunan berkelanjutan, melalui komitmen untuk mengurangi emisi karbon dioksida dalam proses pembuatan semen. Indocement adalah perusahaan pertama di Asia Tenggara yang menerima Emisi Reduksi yang Disertifikasi (Certified Emission Reduction/CER) untuk proyek bahan bakar alternatif dalam kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Program CSR pada dasarnya erat kaitan dengan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan merupakan isu global yang saat ini seharusnya dipahami dan diimplementasikan. Pengertian dari pembangunan berkelanjutan sendiri yaitu: Kata “pembangunan berkelanjutan” merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu sustainable development, yang dapat diartikan sebagai proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dan sebagainya) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”(Brundtland Report dari PBB, 1987) (Rachman, Efendi dan Wicaksana, 2011). Adapun kegiatan CSR PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk diarahkan pada sebuah model bisnis yang berkelanjutan yang memampukan perusahaan untuk menciptakan dan menambah nilai keuntungan secara materi maupun immateri bagi para pemegang saham karyawan, masyarakat dan lingkungan.Model bisnis yang berbasiskan CSR ini tentunya berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan dengan triple bottom line yang menjadi pedoman bagi perusahaan dalam menjalankan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR). Konsep tersebut diterjemahkan oleh PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk dengan menekankan pada tiga hal utama, yaitu: (1) melestarikan lingkungan; (2) memberikan manfaat kepada masyarakat setempat; dan (3) mempertahankan pertumbuhan Perseroan. Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga hal kebijakan, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan. John Elkington dalam bagan triple bottom line sebagai pertemuan dari pilar pembangunan yaitu “orang, planet, dan keuntungan” yang merupakan tujuan pembangunan, merupakan: 1. Tanggung jawab perusahaan agar menjaga kemampuan lingkungan dalam mendukung keberlanjutan kehidupan bagi generasi berikutnya (planet); 2. Bentuk tanggung jawab perusahaan pada pemegang saham (profit); 3. Kehadiran perusahaan harus memberikan manfaat pada stakeholder dan masyarakat luas (people); 109
Aat Ruchiat Nugraha , Suwandi Sumartias , Evi Novianti Dan Kokom Komariah: Implementasi Kegiatan Corporate Social Responsibility “Go Green Economic” Berbasiskan Kearifan Lokal
4. Pengembangan berkelanjutan harus didukung oleh komitmen yang seimbang atara ekonomi, sosial, dan lingkungan (sustainability development) (Rachman, Efendi dan Wicaksana, 2011)
Gambar 1. Media Komunikasi/Publikasi CSR PT. Indocement Cabang Cirebon (Sumber: data peneliti)
Triple bottom line merupakan konsep sustainable development yang secara eksplisit telah mengaitkan antara dimensi tujuan dan tanggungjawab, baik kepada shareholder, stakeholder dan planet. Konsep profit, merupakan satu bentuk tanggungjawab yang harus dicapai perusahaan, bahkan mainstream ekonomi yang dijadikan pijakan filosofis operasional perusahaan. Namun tidak hanya profit saja yang menjadi prioritas, tapi perusahaan juga harus memenuhi tanggung jawabnya terhadap aspek lain seperti people dan plannet, guna tercapainya pembangunan berkelanjutan. Adapun bentuk komunikasi CSR yang dilakukan oleh pihak PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk Cirebon yaitu membentuk publikasi-publikasi yang bisa tersebar di daerah binaan perusahaan. Seperti untuk CSR pada komunitas batik maka perusahaan membuatkan sarana publikasi melalui pintu gerbang yang bertuliskan Kampung Batik Tulis Ciwaringin. Selain itu juga, bentuk komunikasi lainnya yaitu berupa lambang perusahaan selalu ada di setiap tempat maupun produk yang dihasilkan melalui kegiatan CSR perusahaan. Berikut contoh-contoh media publikasi CSR PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk Cirebon
2. Implementasi Kearifan Lokal dalam program CSR PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. PT Indocement memiliki kesadaran terhadap aspek-aspek mendasar bagi kelangsungan usaha secara jangka panjang serta keinginan untuk mewujudkan perusahaan sebagai perusahaan terbesar dan terbaik yang mementingkan nilai-nilai tanggung jawab sosial. Karena itu, PT Indocement melihat masyarakat sebagai unsur mitra yang saling menguntungkan dan melindungi serta membangun komitmen dimana comunity development yang dilakukan akan mengoptimalkan seluruh potensi dan budaya yang ada, sehingga masyarakat bisa mandiri serta dapat merasakan 110
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 106 - 115
ISSN 2085-1979
manfaat adanya perusahaan di wilayah Kabupaten Cirebon. Wilayah kabupaten Cirebon yang memiliki potensi secara alami sangat mendukung pada pengembangan perkeonomian masyarakat setempat, khususnya bagi pengrajin batik yang berada di sentra batik Ciwaringin. Berdasarkan wawancara dengan General Affairs Departement Head PT. Indocement Tunggal Pekasa, Tbk Cirebon menunjukkan bahwa secara kajian lingkungan dan potensi budaya lokal masyarakat Cirebon termasuk kategori yang adaptif terhadap perubahan yang dilakukan oleh perusahaan, khususnya yang dilakukan oleh PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. Adapun bentuk program CSR yang ditawarkan oleh PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. kepada warga masyarakat sekitar perusahaan yaitu dengan pola pemanfaatan nilai-nilai lokal (adat kebiasaan) budaya Kecirebonan dalam menunjang kehidupan masyarakat, seperti dalam sektor budaya, masyarakat (pengrajin batik tradisional) diberi pembinaan dan pemahaman tentang motif-motif batik identitas Kecirebonan, mengikutsertakan hasil karya batik tradisional Kecirebonan pada event-event tingkat lokal, nasional maupun internasional yang diikuti oleh PT. Indocement, dan lain sebagainya. Program yang dilakukan PT. Indocement tersebut secara praktis dapat membantu program pemerintah yang dicanangkan melalui program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL) yang disosialisasikan oleh pihak pemerintah. PKBL merupakan upaya nyata yang tumbuh dari kesadaran perusahaan akan pentingnya dukungan lingkungan yang kondusif untuk mendorong peningkatan profit perusahaan secara tidak langsung serta terbentuknya citra positif perusahaan. Berbicara tentang ranah tanggung jawab sosial (social responsibility) mengundang berbagai dimensi yang sangat kompleks. Dimana tanggung jawab sosial mengandung interpretasi yang sangat berbeda, khususnya bila dikaitkan dengan kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder). Upaya untuk memudahkan pemahaman, banyak para ahli mencoba menggaris bawahi prinsip dasar yang terkandung dalam tanggung jawab sosial (social responsibility). Program Corporate Social Responsibility memiliki tiga karakter utama yaitu berbasis masyarakat (community based), berbasis sumber daya setempat (local resource based) dan berkelanjutan (sustainable). Keberhasilan program CSR tidak diperoleh hanya dalam yang singkat, tetapi butuh waktu dan proses yang lebih lama yang dilakukan secara terus-menerus, terencana dan terukur. Dalam hal ini yang diperlukan adalah adanya komunikasi antara korporat dan masyarakat lokal: Korporat. Langkah-langkah komunikasi korporat dalam program CSR adalah (1) memberikan informasi secara luas kepada komunitas yang ada di lingkungannya tentang kegiatan CSR dan kegiatan korporat lainnya serta bagaimana korporat menjalankan usahanya. (2) memberikan informasi secara luas kepada komunitas tentang adanya kesempatan berkompetisi dalam membuat program CSR. (3) Melakukan interaksi dan tindakan pemantauan bersama-sama dengan komunitas sehingga membuat kerja sama berjalan efektif. (4) sosialisasi tentang pentingnya bertanggung jawab terhadap lingkungan fisik dan mengurangi dampak negatif berupa kemerosotan sumber daya alam atau ekses perusakan hutan dan timbulnya bencana banjir. Pemerintah. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam program CSR adalah: (1) melakukan kegiatan dalam pemberian aturan administrasi yang jelas dan prosedur monitoring terhadap perusahaan dalam kaitannya dengan lingkungan dan persetujuan sosial. (2) melakukan jaminan terhadap masyarakat untuk tetap mempunyai akses. (3) dapat jaminan adanya monitoring dengan melalui jasa komunitas. Menjamin keseimbangan dalam pembagian keuntungan dan kebijakan 111
Aat Ruchiat Nugraha , Suwandi Sumartias , Evi Novianti Dan Kokom Komariah: Implementasi Kegiatan Corporate Social Responsibility “Go Green Economic” Berbasiskan Kearifan Lokal
desentralisasi. (4) menolong komunitas menyiapkan jasa dalam memonitor kegiatankegiatan perusahaan. Komunitas. Langkah-langkah yang harus dilakukan komunitas dalam program CSR adalah: (1) mempelajari kegiatan korporat, menyiapkan usulan-usulan apabila diperlukan. (2) mengorganisir anggota komunitas dan menciptakan konsensus, membangun mekanisme untuk memecahkan masalah perbedaan dan konflik. (3) anggota komunitas dapat membangun kapasitas komunitasnya untuk tetap pada jalurnya, menghindari ketergantungan mental dan membangun infrastruktur, berpartisipasi dalam monitoring proyek serta membangun kerja sama dengan komunitas lain. (4) melakukan kegiatan persiapan menghadapi situasi penutupan proyek, memonitor rehabilitasi sumber daya akibat aktivitas perusahaan, dan membangun jasa pasca-konstruksi perusahaan (Budimanta dalam Ardianto, 2011:114-115). 3. Strategi implementasi program CSR PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. melalui Program Go Green Economic Dalam kerangka tujuan pencapaian pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs), program CSR Indocement Tunggal Perkasa, Tbk cabang Cirebon terutama berfokus pada tujuan pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan dan lingkungan di sekitar wilayah operasional perusahaan. Dalam program pengembangan komunitas secara pembangunan fisik diantaranya pemberian bantuan peralatan sekolah, program puskesmas keliling, pembangunan infrastruktur (jalan dan jembatan), renovasi rumah tidak layak huni, serta pembangunan tempat ibadah. Sedangkan program pembangunan yang bersifat berkelanjutan seperti pihak perusahaan menjalin kerjasama dengan bank pemerintah untuk memfasilitasi kredit mikro kepada usaha kecil (komunitas pengrajin batik). Kegiatan CSR ini menjadi kegiatan mayoritas disebabkan kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan selalu berkaitan dengan beberapa tujuan dari perusahaan itu berada dalam memenuhi aspek bisnisnya yaitu pemanfatan dengan mengandalkan potensi alam yang ada di wilayah yang menjadi domisili masyarakat binaannya. Maka, daripada itu kegiatan CSR sering memanfaatkan sumber daya alam yang ada di wilayah masyarakat tersebut agar mudah memperoleh bahan bakunya untuk diproses dalam tahapan selanjutnya. PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. memiliki komitmen dan kesadaran bahwa perusahaannya tersebut bergerak di bidang eksploitasi alam yang tentunya dapat mengakibatkan hilangnya keseimbangan ekosistem di wilayah operasi perusahaannya. Maka, untuk mengembalikan keadaan tersebut perusahaan berupaya untuk membuat suatu kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan dengan memanfaatkan aspek lingkungan yang ada dalam memajukan tingkat perekonomiannya. Bentuk kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh PT. Indocement Tunggal Perkas, Tbk. di Kabupaten Cirebon, khususnya bagi para pengrajin batik tulis Ciwaringin yaitu berupa pelatihan batik tulis dengan memanfaatkan pewarna alami dengan pementornya berasal dari LSM yang bergerak di bidang kerajinan dan budaya selama kurang lebih tiga bulan berturut-turut. Menurut Rofaah, pewarna alam dapat dihasilkan dari daun-daun yang ada di sekeliling lingkungan seperti ekstrak daun pisang, ekstrak daun sirsak, ekstrak daun mangga, bahkan ekstrak buah dan kulit jengkol sekali pun dapat dijadikan warna yang sangat menakjubkan. Dari hasil pelatihan ekstrak bagi pengrajin batik tulis tradisional, maka banyak masyarakat pengrajin batik yang kini pandai membuat warna-warna batik dari alam. Warna-warna alam yang digunakan oleh para pengrajin 112
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 106 - 115
ISSN 2085-1979
batik tulis menyebabkan secara ekonomis harga batik tersebut menjadi lebih mahal dibandingkan dengan batik cetak dengan pewarna sintetis. Ibu rumah tangga menjadi dominan dalam sasaran pelaksanaan program CSR ini dikarenakan berdasarkan observasi dan wawancara maka seorang ibu rumah tangga paling banyak memiliki waktu luang dalam mengikuti program-program CSR yang diselenggarakan oleh pihak perusahaan. Selain itu juga, kerajinan batik tulis tradisional ini memang profesi sebagian besar para ibu-ibu di desa Ciwaringin. Dalam hal ini, yaitu kelompok pengrajin batik yang berada yang terdiri dari 9 kelompok pengrajin, dengan setiap kelompok pengrajinnya terdiri dari 10 sampai 15 orang. Selain itu juga, kegiatan CSR yang dilakukan oleh PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk yaitu berupa Pelatihan Pendidikan Manajemen dan Organisasi Koperasi. Tujuan diselenggarakannya pelatihan ini, agar masyarakat atau komunitas pengrajin batik mampu secara mandiri untuk mengelola dan memasarkan produk-produk karya pengrajin batik melalui suatu badan ekonomi kerakyatan yang dikelola bersama dalam bentuk koperasi. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Nurasalim Syarqoni yang telah mengikuti pelatihan pendidikan manajemen dan organisasi koperasi yang mengatakan bahwa dengan adanya pelatihan dari pihak PT.Indocement, masyarakat pengrajin batik menjadi lebih produktif karena merasa dibantu oleh koperasi yang kini sudah terwujud. Aktivitas CSR ini menunjukkan bahwa program CSR yang diselenggarakan oleh perusahaan sangat memperhatikan potensi alam yang dimiliki oleh masyarakat tersebut dan sekaligus telah menjadi komoditas andalan dalam menunjang pekerjaan mereka sehari-harinya. Dengan memanfaatkan aspek potensi alam yang ada di lingkungan masyarakat tersebut tentunya lebih memudahkan bagi masyarakat dalam mengembangkan inovasi dari hasil pelatihan maupun pembinaan yang dilakukan dalam melaksanakan kegiatan program CSR tersebut agar lebih bernilai.Menurut Moore, “Lebih dari 40 persen bantuan perusahaan diilhami oleh keinginan untuk mengembalikan sesuatu (cashback) kepada komunitas yang telah membantunya” (dalam Ardianto dan Machfudz, 2011). Bukti lain, yang dilakukan masyarakat yang terus menjalankan usaha (bekerja) dari hasil pelatihan atau pembinaan yang telah diberikan pada program CSR perusahaan dijadikan sebagai sokoguru dalam mencapai tingkat kesejahteraan hidupnya. Dengan kata lain, perusahaan telah melakukan pemetaan potensi sosial yang dimiliki oleh masyarakat dalam pelaksanaan program CSR tersebut agar dapat memberdayakan masyarakat secara mandiri. Manfaat program CSR tidak hanya dirasakan oleh masyarakat (stakeholder) semata, namun dirasakan juga oleh perusahaan itu sendiri. Setidaknya Susanto menyebutkan ada enam manfaat program CSR, yakni sebagai berikut: Helps cushion and vaccinate during time of crisis yaitu berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis. Demikian pula ketika perusahaan diterpa kabar miring atau bahkan ketika perusahaan melakukan kesalahan, masyarakat lebih mudah memahami dan memaafkannya. Enhances employee engagement and pride yaitu keterlibatan dan kebanggaan karyawan. Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang memiliki reputasi baik, yang secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat, serta lingkungan sekitarnya. Kebanggaan ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas, sehingga mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras demi kemajuan perusahaan. Hal ini akan berujung pada peningkatan kinerja dan produktivitas. Improve relations with stakeholder yaitu CSR yang dilakukan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan mempererat hubungan antara perusahaan 113
Aat Ruchiat Nugraha , Suwandi Sumartias , Evi Novianti Dan Kokom Komariah: Implementasi Kegiatan Corporate Social Responsibility “Go Green Economic” Berbasiskan Kearifan Lokal
dengan stakeholder-nya. Pelaksanaan CSR secara konsisten menunjukan bahwa perusahaan memiliki kepedulian terhadap pihak-pihak yang selama ini berkontribusi terhadap lancarnya berbagai aktivitas serta kemajuan yang mereka raih. Hal ini mengakibatkan para stakeholder senang dan merasa nyaman dalam menjalin hubungan dengan perusahaan Sales increase yaitu meningkatkan penjualan seperti yang terungkap dalam riset Roper Search Worldwide, yaitu bahwa konsumen akan lebih menyukai produkproduk yang dihasilkan oleh perusahaan yang konsisten menjalankan tanggung jawab sosialnya sehingga memiliki reputasi yang baik. Other incentive (tax, preferred treatment) yakni inisiatif-inisiatif lainnya, seperti inisiatif pajak dan berbagai perlakuan khusus lainnya. Hal ini perlu dipikirkan guna mendorong perusahaan agar lebih giat lagi menjalankan tanggung jawab sosialnya. (Susanto, 2009:14). Simpulan Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penelitian tentang implementasi CSR yang berbasiskan kearifan lokal di Cirebon dapat disimpulkan. Kegiatan komunikasi CSR PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. telah dilakukan secara intensif dan terbuka sehingga stakeholdersdengan sendiriny mengetahui tentang kegiatan CSR apa saja yang dilakukan oleh pihak perusahaan.Sarannya yaitu sebaiknya kegiatan komunikasi yang dijalin oleh pihak perusahaan bukan hanya sekedar yang berkaitan dengan kegiatan CSR saja, namun alangkah lebih bijaknya perusahaan menjalin komunikasi dengan berbagai media dan lintas program CSR. Kearifan lokal Kecirebonan dalam kegiatan CSR yang dilakukan oleh PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. sudah menjadi pondasi dasar dalam membina dan melaksanakan program CSR lainnya yang akan dilakukan oleh perusahaan. Tetapi, dalam implementasi CSR, sebaiknya nilai kearifan lokal ini bisa disosialisasikan dan terus dibina oleh perusahaan yang bekerjasama dengan pihak pemerintah maupun tokoh-tokoh budaya lokal setempat sehingga kearifan lokal tersebut betul-betul menjadi budaya yang mengakar di segala aspek kegiatan CSR nya PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk Cirebon. Strategi implementasi CSR PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. menggunakan konsep development with community (bersama-sama membangun pembinaan pembangunan yang masyarakat dijadikan rekanan kegiatan CSR). Sarannya yaitu sebaiknya strategi CSR yang dilakukan oleh PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk. agar dapat lebih bervariatif lagi sehingga masyarakat yang lainnya terfasilitasi dalam kegiatan-kegiatan CSR lainnya yang diselenggarakan oleh pihak perusahaan dengan tetapberdasarkan pada potensi latar belakang pendidikan, aspirasi dan tingkat kemampuan yang ada di masyarakat. Daftar Pustaka Ambadar, Jackie. (2008). CSR dalam Praktik di Indonesia. Jakarta: PT. Elek Media Komputindo Kompas Gramedia Ardianto dan Dindin M. Machfudz. (2011). Efek Kedermawanan Pebisnis dan CSR. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Budimanta, Arif. Dkk. (2004) .Corporate Social Responsibility: Jawaban Bagi model Pembangunan Indonesia Masa Kini. Jakarta. ICSD. Hadi, Nor. (2011). Corporate Social Responsibility. Yogyakarta: Graha Ilmu 114
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 106 - 115
ISSN 2085-1979
Kartini, Dwi. (2009).Corporate Social Responsibility: Transformasi Konsep Sustainability Management Dan Implementasi Di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama Nursahid, Fajar. (2008).CSR bidang Kesehatan & Pendidikan: Mengembangkan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Indonesia Business Links. Solihin, Ismail. (2008). Corporate Social Responsibility From Charity to Sustainability. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Susanto, A.B. (2009). Reputation-Driven Corporate Social Responsibility Pendekatan Strategic Management dalam CSR. Jakarta: Penerbit Erlangga. Suyono, Eko. (2010). Corporate Social Responsibility antara Harapan dan Realitas. Bandung: UNPAD PRESS
115
Wulan Purnama Sari Jaya Putra: Konflik Budaya Dalam Konstruksi Kecantikan Wanita Indonesia (Analisis Semiotika Dan Marxist Iklan Pond’s White Beauty Versi Gita Gutawa)
KONFLIK BUDAYA DALAM KONSTRUKSI KECANTIKAN WANITA INDONESIA (ANALISIS SEMIOTIKA DAN MARXIST IKLAN POND’S WHITE BEAUTY VERSI GITA GUTAWA) Wulan Purnama Sari Jaya Putra Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jakarta Email:
[email protected] Abstract This study will explore the cultural conflict that is displayed in the advertisements Pond's White Beauty Gita version Velasquez with pretty white theme flushed like korea. Where this ad makes the construction of beauty in women Indonesia becomes opaque, just for the sake of following the trend that there are women in Indonesia made into a false consciousness of the concept of beauty. This research was conducted by using the method of semiotic analysis and Marxist analysis. The conclusion that can be derived from these studies is advertising Pond's creates a cultural conflict in terms of the meaning of beauty for women in Indonesia. Semiotic analysis shows that advertising Pond's White Beauty featuring stereotypes about the picture of beauty for women in Indonesia. Beautiful woman is a white female Korean people while for the people of Indonesia who have different genetic, it is becoming a benchmark that can not be equated. Pond's ad showing false consciousness, in which Indonesian women can have white skin like Korea only by using Pond's products. Based on Marxist analysis can be seen that ad Pond's is made for the benefit of the capitalists, which in this case is the product manufacturer Unilever. Unilever as capitalist menghegomoni Indonesian women to buy Pond's beauty products using advertising media to create false consciousness in the minds of Indonesian women about the picture of beauty. Keywords: beauty, Marxist, flase consciousness Abstrak Penelitian ini akan menggali konflik budaya yang ditampilkan dalam iklan Pond’s White Beauty versi Gita Gutawa dengan tema cantik putih merona seperti korea. Dimana iklan ini menjadikan konstruksi kecantikan pada wanita Indonesia menjadi buram, hanya demi mengikuti trend yang ada wanita di Indonesia dibuat menjadi memiliki kesadaran palsu akan konsep kecantikan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis semiotik dan juga analisis Marxist. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari studi ini adalah iklan Pond’s menciptakan konflik budaya dalam hal makna kecantikan bagi perempuan Indonesia. Analisis semiotik menunjukkan bahwa iklan Pond’s White Beauty menampilkan stereotip mengenai gambaran kecantikan bagi perempuan Indonesia. Perempuan yang cantik merupakan perempuan yang putih seperti orang Korea padahal bagi orang Indonesia yang memiliki genetik berbeda, hal ini menjadi tolak ukur yang tidak dapat disamakan. Iklan Pond’s ini menampilkan kesadaran palsu, dimana perempuan Indonesia dapat memiliki kulit putih seperti Korea hanya dengan menggunakan produk Pond’s. Unilever sebagai kapitalis menghegomoni para perempuan Indonesia untuk membeli produk kecantikan Pond’s dengan menggunakan media iklan untuk menciptakan kesadaran palsu dalam pikiran para perempuan Indonesia tentang gambaran kecantikan. Katakunci: kecantikan, Marxist, kesadaran palsu
116
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 116 - 123
ISSN 2085-1979
Pendahuluan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 05 Mei 2015 kemarin merilis sebuah berita tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I tahun 2015. Berita yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa perekonomian Indonesia pada triwulan pertama tahun 2015 mengalami pertumbuhan sebesar 4,71 persen. Angka ini melambat bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2014 sebesar 5,1 persen. Pada triwulan pertama ini pertumbuhan tertinggi dicapai oleh lapangan usaha informasi dan komunikasi sebesar 10,53 persen. (Pertumbuhan ekonomi, 2015). Walaupun dikatakan angka pertumbuhan ekonomi menurun dibanding tahun lalu, tetapi tingkat komsumsi masyarakat mengalami pertumbuhan sebesar 15 persen diawal tahun 2015 ini. Fanny Murhayati selaku New Business Development Director Kantar Worldpanel Indonesia menyatakan bahwa tingkat komsumsi masyarakat di Indonesia terbilang memiliki potensi yang luar biasa untuk negara di Asia. (Praditya, 2015) Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan walaupun Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi, tetapi tingkat komsumsi masyarakat Indonesia masih tetap tinggi. Tingginya tingkat komsumsi masyarakat ini tidak dapat dipisahkan dari peran periklanan yang mempengaruhi pikiran masyarakat untuk terus membeli barang atau jasa tertentu. Periklanan sendiri merupakan sebuah bentuk komunikasi yang kompleks yang beroperasi untuk mengejar tujuan dan menggunakan strategi untuk mempengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakan konsumen. Periklanan termasuk dalam komunikasi pemasaran, yang merupakan istilah umum yang mengacu kepada semua bentuk teknik komunikasi yang digunakan pemasar untuk menjangkau konsumennya dan menyampaikan pesannya (Moriarty et al., 2011). Pemahaman lebih jauh mengenai periklanan sebagai komunikasi dapat dimulai dari pemahaman tentang model komunikasi dasar yang meliputi, sumber, pesan, saluran, dan penerima. Model komunikasi ini dapat diterjemahkan ke dalam periklanan dengan mempertimbangkan bahwa sumber adalah pengiklan dan agensinya, pesan adalah iklan, saluran adalah sarana untuk menyampaikan iklan, dan penerima adalah komsumen. Seperti komunikasi yang terkadang mengalami gangguan dalam penyampaian pesan, dalam periklanan gangguan dapat berupa trend di masyarakat dan gangguan dalam bauran pemasaran (Moriarty et al., 2011). Berikut adalah model komunikasi periklanan yang menggambarkan bagian – bagian standar dalam model komunikasi ke dalam konteks periklanan. Lebih lanjut Moriarty et al (2011) menjelaskan bahwa iklan yang efektif adalah iklan yang mampu menimbulkan respon yang diinginkan oleh pengiklan. Efektivitas sebuah iklan juga bergantung pada saluran atau media yang digunakannya untuk menyampaikan pesannya. Salah satu media yang paling sering digunakan sebagai saluran iklan adalah televisi. Televisi dipilih karena memiliki daya jangkau yang luas, dan memiliki efek yang besar pada persepsi khalayaknya. Televisi sendiri memiliki keterbatasan karena biayanya pemasangan iklannya yang mahal. Tapi terlepas dari kendala biaya yang mahal, para pengiklan dan agensinya tetap menjadikan televisi sebagai saluran utama. Untuk menjadikan sebuah iklan efektif, seringkali iklan menampilkan stereotip gender agar pesannya lebih mudah tersampaikan kepada target konsumennya, seperti contohnya menampilkan wanita sebagai ibu rumah tangga. Stereotip mengenai wanita dalam iklan sangat erat kaitannya dengan industri kecantikan beserta produknya. Setiap tahunnya para wanita menghabiskan banyak uang untuk membeli produk – produk kecantikan. (David Gauntlett, 2008) 117
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli, 2015, Hal 116 - 123
ISSN 2085-1979
Germaine Greer (1999) seperti dikutip dalam (David Gauntlett, 2008) menyatakan bahwa wanita terjangkiti dengan kebutuhan untuk memenuhi gambaran tertentu tentang kecantikan. Kecantikan yang ideal seringkali memberi tekanan pada wanita, yang kemudian akan menimbulkan obsesi untuk mencapai gambaran ideal tentang menjadi cantik. Hal ini juga berlaku tidak hanya bagi wanita tetapi juga bagi pria. Greer menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan dampak budaya yang menekan setiap orang saat ini. Berdasarkan penjalasan ini dapat disimpulkan bahwa stereotip dalam iklan, yang terjadi akibat pengaruh budaya, dapat memunculkan efek negatif bagi pihak yang terkena stereotip. Stereotip mengenai wanita dalam iklan juga terjadi di Indonesia. Iklan produk – produk kecantikan selalu menggambarkan bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang berkulit putih, halus, dan langsing. Gambaran mengenai kecantikan ini semakin bertambah kuat dengan adanya trend korea (musik, film, drama, dll). Adanya trend korea ini membuat wanita Indonesia menjadikan para artis korea sebagai role model, termasuk kedalamnya mengenai gambaran kecantikan. Pada akhirnya seperti yang telah dituliskan oleh David Gauntlett, para wanita Indonesia menghabiskan banyak uangnya untuk membeli beragam produk kecantikan yang dapat membuat para wanita ini semakin dekat dengan gambaran kecantikan ideal yang putih, seperti para artis korea. Disini dapat dilihat adanya konflik budaya yang disebabkan oleh budaya pop Korean Wave yang menjadi trend di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya para wanita. Para wanita Indonesia berlomba untuk menjadikan dirinya semakin mirip dengan idolanya, yang mempunyai kulit putih bersih merona. Padahal secara genetik hal ini tidak mungkin dilakukan, karena mayoritas wanita Indonesia berasal dari ras melayu yang memiliki ciri berkulit coklat. Oleh karena itu, produk pemutih kulit di Indonesia sangat banyak dan laris. Para produsen produk pemutih kulit dengan gencar melakukan kampanye pemasaran, salah satunya dalam bentuk iklan. Salah satu produk kecantikan pemutih kulit yang terkenal di Indonesia adalah produk dengan merek Pond’s. Pada September 2013 kemarin, Pond’s mengeluarkan iklan untuk salah satu produknya Pond’s White Beauty yang mengambil tema menjadi cantik putih bersih merona seperti Korea. Untuk melihat konflik budaya seperti yang telah dituliskan diatas akan dilakukan analisis semiotik terhadap iklan Pond’s White Beauty tersebut. Penelitian ini akan menggali konflik budaya yang ditampilkan dalam iklan Pond’s White Beauty versi Gita Gutawa dengan tema cantik putih merona seperti korea. Dimana iklan ini menjadikan konstruksi kecantikan pada wanita Indonesia menjadi buram, hanya demi mengikuti trend yang ada wanita di Indonesia dibuat menjadi memiliki kesadaran palsu akan konsep kecantikan. Metode Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dengan metode analisis kualitatif dengan menggunakan analisis semiotik dan analisis Marxist sebagai teknik pengolahan data. Objek pada penelitian ini adalah iklan Pond’s White Beauty versi Gita Gutawa dengan tema cantik putih merona seperti korea. Dimana analisis semiotik yang digunakan adalah semiotik Charles Sanders Peirce yang mengembangkan model triadik yang disebut juga sebagai “triangle meaning semiotics”. Fiske (2007) secara sederhana menjelaskan model tersebut sebagai tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda merujuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara atau suatu tanda yang lebih berkembang, tanda yang diciptakannya dinamakan 118
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 116 - 123
ISSN 2085-1979
interpretant dari tanda pertama. Tanda itu menunjukkan sesuatu, yakni objeknya. (Nawiroh Vera, 2014).
Gambar 1. Model Semiotik Pierce (Sumber: Nawiroh Vera, 2014) Metode analisi Marxist dilakukan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Artur Asa Berger (2005) yang membahas konsep – konsep dari Karl Marx yang dapat digunakan untuk menganalisi pesan-pesan dari media, khususnya adalah media massa tentang bagaimana media massa mempengaruhi khalayak dan penerimaan khalayak terhadap pesan dari media. Hasil Penemuan dan Diskusi Studi tentang bagaimana masyarakat memproduksi makna dan nilai-nilai dalam sebuah sistem komunikasi disebut semiotika, yang berasal dari kata seemion, istilah Yunani, yang berarti tanda. Disebut juga sebagai semeiotikos, yang berarti teori tanda (Nawiroh Vera, 2014). Analisis semiotik merupakan sebuah studi yang mempelajari tentang bagaimana tanda mengkomunikasi maknanya (Jonathan Bignell, 2002). Semiotika modern dimulai dari pemikiran dua tokoh, yaitu: Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce yang mempelajari simbol dalam linguistik (Berger, 2005). Secara singkat semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Kemudian penelitian ini akan menggunakan semiotika untuk menganalisis iklan Pond’s White Beauty yang dibintangi oleh Gita Gutawa dengan tema cantik putih merona seperti Korea. Iklan ini menggambarkan sang model Gita Gutawa yang memiliki kulit wajah putih merona dengan menggunakan produk kecantikan Pond’s White Beauty. Dimana dengan memiliki kulit wajah seperti tersebut sang model dikatakan cantik di negeri Korea tempat iklan digambarkan. Dalam iklan tersebut juga terdapat teks yang tertulis pada bagian-bagian gambar yang diiringi oleh lagu berbahasa Korea sebagai backsound untuk iklan ini.
119
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli, 2015, Hal 116 - 123
ISSN 2085-1979
Tabel 1. Analisis Iklan Sign
Object
Interpretant
Seorang orang perempuan Indonesia (Gita Gutawa) sedang berjalan di sebuah pusat perbelanjaan di Korea bersama temannya. Dimana kehadiran perempuan tersebut menarik perhatian pengunjung lainnya untuk menoleh kepadanya. Perempuan tersebut merupakan perempuan modern dilihat dari cara berpakainnya. Terlihat dari gambar perempuan Indonesia yang sudah modern terlihat cantik di negeri Korea.
Sign
Object Interpretant
Seorang Perempuan Korea menoleh ke belakang sambil berbicara dalam bahasa korea dan terdapat teks “wajahnya”. Gambar 5 ini menunjukkan wanita korea terpesona dengan wajah seseorang yang dilihatnya.
Sign
Object Interpretant
Dua orang pria Korea terkesima sambil berbicara dalam bahasa korea. Dan terdapat teks “sangat jernih”. Dua pria Korea terlihat terpesona dengan wajah sangat jernih seseorang.
Berdasarkan gambar-gambar tersebut dapat terlihat makna-makna tersirat. Pertama pada gambar terdapat makna bahwa perempuan Indonesia yang modern pada masa sekarang ini memiliki kecantikan yang dapat memukau orang-orang di negeri Korea, yang pada dasarnya memiliki genetika kulit putih. Kedua pada gambar terlihat bahwa orang-orang Korea yang melihat perempuan Indonesia terpesona dengan kecantikan wajahnya yang sangat jernih melebihi orang-orang Korea. Atribut seperti bendera Korea, papan nama toko dengan menggunakan tulisan Korea, dan pengunjung berbahasa korea dibuat untuk meyakinkan khalayak seakan iklan tersebut dibuat di Korea, dan bahwa para pengunjung lain yang merupakan orang asli Korea dapat terpesona dengan kecantikan Gita Gutawa yang berasal dari Indonesia. Teks iklan pada gambar 4 dan 5 juga semakin menegaskan fokus iklan pada wajah sang model yang sangat jernih sehingga dapat mempesona orang-orang disekelilingnya.
120
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 116 - 123
ISSN 2085-1979
Tabel 2. Analisis Iklan Sign
Object Interpretant
Gambar Korean ginseng dan bunga saffron. Warna lingkaran pink menunjukkan simbol untuk Pond’s dan gingseng korea dipercaya merupakan obat yang memiliki banyak manfaat dan sangat baik untuk tubuh.
Sign
Object Interpretant
Model iklan Gita Gutawa memegang produk Pond’s White Beauty. Kulit wajah sang model menjadi putih bersih merona karena menggunakan produk Pond’s White Beauty.
Pada gambar menunjukkan gambar kandungan dalam produk Pond’s White Beauty, dimana menggunakan ginseng korea dan bunga saffron. Negara korea merupakan negara penghasil ginseng terbesar yang diyakini merupakan obat yang memiliki banyak manfaat bagi tubuh. Bunga saffron juga memiliki banyak manfaat untuk kecantikan, seperti untuk mencerahkan dan juga menghilangkan jerawat. Hal ini ditampilkan dalam iklan untuk menunjukkan bahwa produk Pond’s White Beauty merupakan produk yang memiliki kualitas tinggi sehingga konsumen akan dapat merasakan hasil seperti yang digambarkan dalam iklan. Pada gambar terlihat model (Gita Gutawa) tersenyum memegang produk Pond’s White Beauty, dan pada bagian bawahnya terdapat teks “putih, cerah, dan berseri”. Gambar ini dimaknai bahwa untuk mendapatkan kulit wajah putih, cerah, dan berseri seperti Gita Gutawa harus memakai produk kecantikan Pond’s White Beauty. Disini Pond’s menyampaikan pesan pada target konsumennya, para wanita untuk membeli produk Pond’s White Beauty dan mendapatkan hasil kulit wajah putih, cerah, dan berseri, cantik seperti Korea. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari analisis semiotik terhadap iklan Pond’s White Beauty versi Korea Gita Gutawa adalah iklan tersebut memiliki tanda – tanda yang menyampaikan makna bahwa seorang wanita Indonesia dapat dikatakan cantik apabila memiliki kulit jernih, putih, merona, yang didapat dengan menggunakan produk Pond’s White Beauty, yang pada akhirnya membuat target konsumen membeli produk dan menjadi komsumeris. Iklan ini juga terbukti menampilkan gambaran stereotip tentang kecantikan ideal yang seharusnya dimiliki wanita Indonesia. Analisis semiotik yang dilakukan terhadap iklan Pond’s White Beauty telah membuktikan bahwa iklan ini membujuk target konsumen untuk membeli produknya atau dengan kata lain menjadi komsumeris. Melalui analisis Marxist ini akan diketahui bagaimana para kapitalis memegang kekuasaan dan menciptakan masyarakat konsumer. Berger (2005) menuliskan bahwa kapitalisme bukan hanya merupakan sebuah sistem ekonomi tetapi juga sesuatu yang mempengaruhi sikap, nilai, jenis kepribadian, dan kebudayaan secara umum. Hal ini sesuai dengan pemikiran Marxist tentang base dan superstructure, tentang bagaimana base 121
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli, 2015, Hal 116 - 123
ISSN 2085-1979
mempengaruhi superstructure. Base yang dimaksud Marx adalah sistem ekonomi yang ada dalam masyarakat, dan superstructure adalah institusi, agama, ide, dan kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Berger (2005) menyebutkan bahwa periklanan merupakan institusi esensial yang ada dalam masyarakat dan merupakan kalangan kapitalis dikarenakan iklan penting untuk memotivasi orang agar bekerja keras sehingga dapat menghasilkan uang, yang dapat digunakan untuk membeli barang. Tetapi agar hal tersebut terwujud, orang harus didorong untuk menjadi komsumtif, harus dibuat gila untuk mengkomsumsi. Tidak ada hal yang tidak akan dilakukan oleh iklan, digunakan, atau diajak kerjasama untuk mencapai tujuannya. Periklanan meningkatkan kecemasan, menciptakan ketidakpuasan, dan secara umum menumbukan alienasi yang sudah ada dalam masyarakat kapitalis untuk menjaga kebudayaan konsumen, kebudayaan yang konsumeris. Unilever sebagai perusahaan induk Pond’s merupakan perusahaan besar yang telah menguasai pasar Indonesia dengan berbagai bentuk produknya mulai dari produk kecantikan sampai bahan keperluan dapur. Keberhasilan produk Pond’s sendiri sebagai produk kecantikan perawatan wajah paling laris tidak terlepas dari dukungan iklan yang gencar lakukan. Pond’s selalu memiliki iklan yang berbeda, iklan Pond’s pernah dibuat berseri dan memiliki konsep cerita cinta, dan selalu memilih bintang iklan yang memiliki wajah cantik atau para artis muda yang sesuai dengan citra produknya. Semua hal tersebut dilakukan untuk semakin menarik minat konsumen untuk terus membeli produk Pond’s, belum lagi sekarang produk Pond’s semakin beragam dan dibalut dengan berbagai fungsi yang berbeda. Produsen produk Pond’s sebagai kapitalis melakukan semua hal tersebut untuk membuat target konsumennya semakin menjadi komsumeris yang pada akhirnya menciptakan masyarakat Indonesia yang komsumtif. Pihak kapitalis, seperti Unilever melakukan berbagai cara agar masyarakat memiliki ide sesuai dengan apa yang diinginkannya. Disinilah peran media massa dan perikalanan berperan penting untuk menyebarkan ide para kaum kapitalis ini sehingga masyarakat umum memiliki pemikiran tertentu. Hal ini dikemukakan oleh Marx sebagai suatu bentuk kesadaran palsu, dimana kelas yang berkuasa mempropagandakan sebuah ideologi yang membenarkan statusnya dan membuatnya sulit bagi masyarakat umum untuk menyadari bahwa dirinya sedang dieksploitasi dan dijadikan korban. (Berger, 2005). Melalui analisis Marxist ini dapat dilihat pula adanya hegemoni dalam masyarakat Indonesia, dimana kaum kapitalis, yang dalam penelitian ini adalah Pond’s dan Unilever, yang mendominasi dan menguasai kaum rakyat bawah atau yang dalam istilah Marxist disebut kaum proletar. Para kapitalis menggunakan iklan sebagai sarana untuk terus mengambil keuntungan dari masyarakat bawah. Kapitalis memberikan pekerjaan dan memberikan upah kepada masyarakat bawah agar nanti uang hasil kerjanya dapat dipergunakan untuk membeli barang yang diproduksi oleh para kapitalis, sehingga pada akhirnya uang akan kembali kepada kapitalis. Hal ini terjadi tanpa disadari para kaum proletar sehingga kaum proletar tidak merasa dirugikan dan menolak pemikiran-pemikiran kaum kapitalis. Simpulan Kesimpulan yang dapat diperoleh dari studi ini adalah iklan Pond’s White Beauty versi Gita Gutawa dengan tema cantik putih merona seperti korea menciptakan konflik budaya dalam hal makna kecantikan bagi perempuan Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan melakukan analisis semiotik pada iklan Pond’s White Beauty dengan metode semiotik Pierce. Analisis semiotik menunjukkan bahwa iklan 122
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 116 - 123
ISSN 2085-1979
Pond’s White Beauty menampilkan stereotip mengenai gambaran kecantikan bagi perempuan Indonesia. Perempuan yang cantik merupakan perempuan yang putih seperti orang Korea padahal bagi orang Indonesia yang memiliki genetik berbeda, hal ini menjadi tolak ukur yang tidak dapat disamakan. Iklan Pond’s ini menampilkan kesadaran palsu, dimana perempuan Indonesia dapat memiliki kulit putih seperti Korea hanya dengan menggunakan produk Pond’s. Berdasarkan analisis Marxist dapat dilihat bahwa iklan Pond’s ini dibuat untuk kepentingan kaum kapitalis, yang dalam hal ini produsen produk yaitu Unilever. Unilever sebagai kapitalis menghegomoni para perempuan Indonesia untuk membeli produk kecantikan Pond’s dengan menggunakan media iklan untuk menciptakan kesadaran palsu dalam pikiran para perempuan Indonesia tentang gambaran kecantikan. Daftar Pustaka Berger, Arthur Asa. (2005). Media analysis techniques (3rd Ed.). USA: Sage Publication,Inc. Bignell, Jonathan. (2002). Media semiotics an introduction (2nd Ed.). USA: Manchester University Press. Vera, Nawiroh. (2014). Semiotika dalam riset komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia. Gauntlett, David. (2008). Media, gender, and identity an introduction (2nd Ed.). USA: Rautlegde. Moriarty, Sandra., et al. (2011). Advertising (8 ed.). Jakarta: Kencan Prenada Media Group. Sumber online BPS (2015, Mei 05). Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I 2015 tumbuh 4,71 persen. Juli 29, 2015. http://www.bps.go.id/brs/view/id/1143#accordion-daftar-subjek2 Praditya, Ilyas Istianur. (2015). Ekonomi ri melambat namun tingkat komsumsi masih tumbuh. Juli 29, 2015. http://bisnis.liputan6.com/read/2235606/ekonomi-ri-melambat-namun-tingkatkonsumsi-masih-tumbuh
123
Endah Endrawati: Posisi Keris Pada Masyarakat Jogja Modern
POSISI KERIS PADA MASYARAKAT JOGJA MODERN Endah Endrawati Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Email:
[email protected] Abstract Keris supposedly as a status symbol of nobility, is now confronted by alternative culture (mass culture) as an alternative preservation. Dagger that is said as magical objects and sacred believed to be heirlooms. Now, as kris is an alternative object of merchandise ready for sale and waiting buyers. Kris phenomenon in modern times, its development was encouraging. Keris enthusiasts and observers began to shift from elders to young people, students or youth. The values of humanism on the kris, Religious Values, their belief in the power of man. Value Philosophy of the keris lajer (straight) people live should have a clear direction or purpose. Keris Luk, in achieving the purpose of life, human beings should not be sakleg flexible. History values, the height of science and technology owned civilization wrought iron bangsaatau ancestors of our ancestors. Economic value, collections are becoming increasingly scarce, the higher the price (investment), also overcome unemployment for furniture craftsmen keris. In addition, the value of Psychology, generating confidence and a spirit of confidence for success. Keywords: Keris, Traditional Communication, Meaning Abstrak Keris yang konon sebagai lambang status kebangsawanan, kini dihadapkan oleh budaya alternatif (budaya massa) sebagai salah satu alternatif pelestarian. Keris yang konon sebagai benda bertuah dan dikeramatkan diyakini sebagai pusaka. Kini keris merupakan benda alternatif seolah barang dagangan siap jual dan menunggu pembelinya. Fenomena keris di zaman modern, perkembangannya cukup menggembirakan. Peminat dan pemerhati keris mulai bergeser dari sesepuh kepada generasi muda, mahasiswa atau pemuda. Nilai-nilai humanisme pada keris yakni, Nilai Religi, adanya kepercayaan akan kekuatan manusia. Nilai Filosofi adanya keris lajer (lurus) manusia hidup harus punya arah atau tujuan yang jelas. Keris Luk, dalam meraih tujuan hidup, manusia harus luwes tidak sakleg. Nilai Histori, ketinggian ilmu pengetahuan dan teknologi tempa besi yang dimiliki peradaban nenek moyang bangsaatau leluhur kita. Nilai Ekonomi, koleksi yang semakin lama semakin langka akan semakin tinggi harganya (investasi), juga mengatasi pengangguran bagi perajin perabot keris. Selain itu, Nilai Psikologi, pembangkit kepercayaan diri dan semangat keyakinan untuk sukses. Kata Kunci: Keris, Komunikasi Tradisiona, Makna
Pendahuluan Hampir setiap suku bangsa/etnik di dunia ini mempunyai senjata tradisional yang khas dan merupakan ciri khas serta bagian dari kebudayaan dan jati diri bangsa tersebut. Demikianlah maka etnis Naori mempunyai boomerang, Indian mempunyai tomahawk, Jepang mempunyai samurai, Romawi mempunyai fascio. Sedangkan bagi bangsa Indonesia sendiri suku bangsa Aceh mempunyai rencong, Sunda mempunyai kujang, Dayak mempunyai mandau, Bugis mempunyai badik, dan orang Jawa mempunyai senjata tradisional yang disebut keris. Keris merupakan salah satu peninggalan budaya yang sangat bernilai. Bukan hanya sebuah senjata, 124
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 124 - 136
ISSN 2085-1979
keris juga merupakan suatu hasil karya spiritual di masa lampau. Berbicara soal keris, tentu tidak akan lepas dari sejarah keris itu sendiri. Keris dianggap sebagai tanda perjalanan suatu peradaban, dan suatu kebudayaan dalam suatu bangsa dalam kurun waktu yang sangat lama. Bahkan mencapai ribuantahun. Keris juga kerap dikaitkan sebagai simbol-simbol, mulai simbol kewibawaan, simbol kebijaksanaan, hingga simbol kehidupan. Tak hanya itu, keris yang multifungsi ini rupanya pada jaman dahulu juga diposisikan sebagai penglaris, dan suatu simbol kebesaran. Lihat saja gambaran raja-raja Jawa, dan pahlawanpahlawan Jawa, yang selalu membawa keris. Saat ini keris telah mengalami pergeseran pada beberapa fungsinya. Keris yang dulunya digunakan sabagai senjata tajam, kini lebih kerap hanya digunakan sebagai kelengkapan pakaian adat di beberapa daerah. Penggunaan keris saat ini memang banyak diakui hanya sebagai suatu upaya pelestarian kebudayaan dan kecintaan terhadap seni. Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memperdalam pengetahuan terhadap penggunaan keris yang sesungguhnya oleh masyarakat, khususnya masyarakat Jawa modern. Rumusan Masalah pada penelitian ini adalah bagaimana posisi keris pada masyarakat Jogja modern saat ini? Keris adalah senjata tradisional Jawa sebagai senjata tusuk yang terdiri dari bahan besi, baja, dan pamor dibuat oleh seorang empu bukan pande besi. Meskipun keris merupakan senjata tradisional orang jawa, namun keris tersebar diberbagai pelosok nusantara dan kawasan Asia Tenggara yang dahulu pernah dikuasai kerajaan Majapahit (1293-1478). Seperti kita ketahui bahwa wilayah Majapahit meliputi hasta dwipa nusantara (delapan pulau nusantara) yakni Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sunda kecil, Gurun (Irian) dan Malaka. Dengan demikian keris dikenal juga dikawasan tersebut walaupun dengan bentuk penampilan yang tidaksama persis dengan keris jawa. Sebelum membahas masalah keris dan budayanya, sebaiknya ditentukan dahulu batasan-batasan mengenai apa yang disebut keris. Hal ini perlu karena dalam masyarakat sering dijumpai pengertian yang keliru dan kerancuan mengenai apa yang disebut keris. Sebuah benda dapat digolongkan sebagai keris bilamana benda itu memenuhi kriteria. Keris harus terdiri dari dua bagian utama, yakni bagian bilah keris (termasuk pesi) dan bagian ganja. Bagian bilah dan pesi melambangkan ujud lingga, sedangkan bagian ganja melambangkan ujud yoni. Dalam falsafah Jawa, yang bisa dikatakan sama dengan falsafah Hindu, persatuan antara lingga dan yoni merupakan perlambang akan harapan atas kesuburan, keabadian (kelestarian), dan kekuatan. Bilah keris harus selalu membuat sudut tertentu terhadap ganja. Bukan tegak lurus. Kedudukan bilah keris yang miring atau condong ini adalah perlambang dari sifat orang Jawa, dan juga suku bangsa Indonesia lainnya, bahwa seseorang, apa pun pangkat dan kedudukannya, harussenantiasa tunduk dan hormat bukan saja pada Sang Pencipta, juga pada sesamanya. Ilmu padi, kata pepatah, makin berilmu seseorang, makin tunduklah orang itu. Ukuran panjang bilah keris yang lazim adalah antara 33 - 38 cm. Beberapa keris luar Jawa bisa mencapai 58 cm, bahkan keris buatan Filipina Selatan, panjangnya ada yang mencapai 64 cm. Yang terpendek adalah keris Buda dan keris buatan Nyi Sombro Pajajaran, yakni hanya sekitar 16 18 cm saja.Tetapi keris yang dibuat orang amat kecil dan pendek, misalnya hanya 12 cm, atau bahkan ada yang lebih kecil dari ukuran fullpen, tidak dapat digolongkan sebagai keris, melainkan semacam jimat berbentuk keris-kerisan. Keris yang baik harus dibuat dan ditempa dari tiga macam logam,- minimal dua, yakni besi, baja dan bahan pamor. Pada keris-keris tua, semisal keris Buda, tidak menggunakan baja. Dengan demikian, keris yang dibuat dari kuningan, seng, dan bahan logam lainnya, tidak dapat digolongkan sebagai keris. Begitu juga "keris" yang dibuat bukan dengan cara ditempa, melainkan dicor, atau yang dibuat dari 125
Endah Endrawati: Posisi Keris Pada Masyarakat Jogja Modern
guntingan drum bekas aspal tergolong bukan keris, melainkan hanya keris-kerisan. Meskipun masih ada beberapa kriteria lain untuk bisa mengatakan sebuah benda adalah keris, empatketentuan di atas itulah yang terpenting. Keris dan tosan aji serta senjata tradisional lainnya menjadi khasanah budaya Indonesia, tentunya setelah nenek moyang kita mengenal besi. Berbagai bangunan candi batu yang dibangun pada zaman sebelum abad ke-10 membuktikan bahwa bangsa Indonesia pada waktu itu telah mengenal peralatan besi yang cukup bagus, sehingga mereka dapat menciptakan karya seni pahat yang bernilai tinggi. Namun Bahasa yang dipakai adalah bahasa Sanskerta. Prasasti itu menyebutkan tentangadanya sebuah mata air yang bersih dan jernih. Di atas tulisan prasasti itu ada beberapa gambar, di antaranya: trisula, kapak, sabit kudi, dan belati atau pisau yang bentuknya amat mirip dengan keris buatan Nyi Sombro, seorang empu wanita dari zaman Pajajaran. Ada pula terlukis kendi, kalasangka, dan bung teratai. Kendi, dalam filosofi Jawa Kuno adalah lambang ilmu pengetahuan, kalasangkamelambangkan keabadian, sedangkan bunga teratai lambang harmoni dengan alam. Teori Tentang Keris, Sudah banyak ahli kebudayaan yang membahas tentang sejarah keberadaan dan perkembangan keris dan tosan aji lainnya. G.B. GARDNER pada tahun 1936 pernah berteori bahwa keris adalah perkembangan bentuk dari senjata tikam zaman prasejarah, yaitu tulang ekor atau sengat ikan pari dihilangkan pangkalnya, kemudian dibalut dengan kain pada tangkainya. Dengan begitu senjata itu dapat digenggam dan dibawa-bawa. Maka jadilah sebuah senjata tikam yang berbahaya, menurut ukuran kala itu. Sementara itu GRIFFITH WILKENS pada tahun 1937 berpendapat bahwa budaya keris baru timbul pada abad ke-14 dan 15. Katanya, bentuk keris merupakan pertumbuhan dari bentuk tombak yang banyak digunakan oleh bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan antara Asia dan Australia. Dari mata lembing itulah kelak timbul jenis senjata pendek atau senjata tikam, yang kemudian dikenal dengan nama keris. Alasan lainnya, lembing atau tombak yang tangkainya panjang, tidak mudah dibawa kemana-mana. Sukar dibawa menyusup masuk hutan. Karena pada waktu itu tidak mudah orang mendapatkan bahan besi, maka mata tombak dilepas dari tangkainya sehingga menjadi senjata genggam. Lain lagi pendapat A.J. BARNET KEMPERS. Pada tahun 1954 ahli purbakala itu menduga bentuk prototipe keris merupakan perkembangan bentuk dari senjata penusuk pada zaman perunggu. Keris yang hulunya berbentuk patung kecil yang menggambarkan manusia dan menyatu dengan bilahnya, oleh Barnet Kempers bukan dianggap sebagai barang yang luar biasa. Katanya, senjata tikam dari kebudayaan perunggu Dong-son juga berbentuk mirip itu. Hulunya merupakan patung kecil yang menggambarkan manusia sedang berdiri sambil berkacak pinggang (malang- kerik, bahasa Jawa). Sedangkan senjata tikam kuno yang pernah ditemukan di Kalimantan, pada bagian hulunya juga distilir dari bentuk orang berkacak pinggang. Perkembangan bentuk dasar senjata tikam itu dapat dibandingkan dengan perkembangan bentuk senjata di Eropa. Di benua itu, dulu, pedang juga distilir dari bentuk menusia dengan kedua tangan terentang lurus ke samping. Bentuk hulu pedang itu, setelah menyebarnya agama Kristen, kemudian dikembangkan menjadi bentuk yang serupa salib. Dalam kaitannya dengan bentuk keris di Indonesia, hulu keris yang berbentuk manusia (yang distilir), ada yang berdiri, ada yang membungkuk, dan ada pula yang berjongkok, Bentuk ini serupa dengan patung megalitik yang ditemukan di Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dalam perkembangan kemudian, bentuk126
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 124 - 136
ISSN 2085-1979
bentuk itu makin distilir lagi dan kini menjadi bentuk hulu keris (Di Pulau Jawa disebut deder, jejeran, atau ukiran) dengan ragam hias cecek, patra gandul, patra ageng, umpak-umpak, dlsb. Dalam sejarah budaya kita, patung atau arca orang berdiri dengan agak membungkuk, oleh sebagian ahli, diartikan sebagai lambang orang mati. Sedangkan patung yang menggambarkan manusia dengan sikap sedang jongkok dengan kaki ditekuk, dianggap melambangkan kelahiran, persalinan, kesuburan, atau kehidupan. Sama dengan sikap bayi atau janin dalam kandunganibunya. Ada sebagian ahli bangsa Barat yang tidak yakin bahwa keris sudah dibuat di Indonesia sebelum abad ke-14 atau 15. Mereka mendasarkan teorinya pada kenyataan bahwa tidak ada gambar yang jelas pada relief candi-candi yang dibangun sebelum abad ke-10. SIR THOMAS STAMFORD RAFFLES dalam bukunya History of Java (1817) mengatakan, tidak kurang dari 30 jenis senjata yang dimiliki dan digunakan prajurit Jawa waktu itu, termasuk juga senjata api. Tetapi dari aneka ragam senjata itu, keris menempati kedudukan yang istimewa. Disebutkan dalam bukunya itu, prajurit Jawa pada umumnya menyandang tiga buah keris sekaligus. Keris yang dikenakan di pinggang sebelah kiri, berasal dari pemberian mertua waktu pernikahan (dalam budaya Jawa disebut kancing gelung). Keris yang dikenakan di pinggang kanan, berasal dari pemberian orang tuanya sendiri. Selain itu berbagai tata cara dan etika dalam dunia perkerisan juga termuat dalam buku Raffles itu. Sayangnya dalam buku yang terkenal itu, penguasa Inggris itu tidak menyebut-nyebut tentang sejarah dan asal usul budaya keris. Sementara itu istilah ‘keris’ sudah dijumpai pada beberapa prasasti kuno. Lempengan perunggu bertulis yang ditemukan di Karangtengah, berangka tahun 748 Saka, atau 842 Masehi, menyebut-nyebut beberapa jenis sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak, sesaji itu antara lain berupa ‘kres’, wangkiul, tewek punukan, wesi penghatap. Kres yang dimaksudkan pada kedua prasasti itu adalah keris. Sedangkan wangkiul adalah sejenis tombak, tewek punukan adalah senjata bermata dua, semacam dwisula. Pada lukisan gambar timbul (relief) Candi Borobudur, Jawa Tengah, di sudut bawah bagian tenggara, tergambar beberapa orang prajurit membawa senjata tajam yang serupa dengan keris yang kita kenal sekarang. Di Candi Prambanan, Jawa Tengah, juga tergambar pada reliefnya, raksasa membawa senjata tikam yang serupa benar dengan keris. Di Candi Sewu, dekat Candi Prambanan, juga ada. Arca raksasa penjaga, menyelipkan sebilah senjata tajam, mirip keris. Sementara itu edisi pertama dan kedua yang disusun oleh Prof. P.A VAN DER LITH menyebutkan, sewaktu stupa induk Candi Borobudur, yang dibangun tahun 875 Masehi, itu dibongkar, ditemukan sebilah keris tua. Keris itu menyatu antara bilah dan hulunya. Tetapi bentuk keris itu tidak serupa dengan bentuk keris yang tergambar pada relief candi. Keris temuan ini kini tersimpan di Museum Ethnografi, Leiden, Belanda. Keterangan mengenai keris temuan itu ditulis oleh Dr. H.H. JUYNBOHL dalam Katalog Kerajaan (Belanda) jilid V, Tahun 1909. Di katalog itu dikatakan, keris itu tergolong ‘keris Majapahit‘, hulunya berbentuk patung orang, bilahnya sangat tua. Salah satu sisi bilah telah rusak. Keris, yang diberi nomor seri 1834, itu adalah pemberian G.J. HEYLIGERS, sekretaris kantor Residen Kedu, pada bulan Oktober 1845. Yang menjadi residennya pada waktu itu adalah Hartman. Ukuran panjang bilah keris temuan itu 28.3 cm, panjang hulunya 20,2 cm, dan lebarnya 4,8 cm. Bentuknya lurus, tidak memakai luk. Mengenai keris ini, banyak yang menyangsikan apakah sejak awalnya memang telah diletakkan di tengah lubang stupa induk Candi Borobudur. Barnet Kempres sendiri menduga keris itu diletakkan oleh seseorang pada masa-masa kemudian, jauh hari setelah Candi Borobudur 127
Endah Endrawati: Posisi Keris Pada Masyarakat Jogja Modern
selesai dibangun. Jadi bukan pada waktu pembangunannya. Ada pula yang menduga, budaya keris sudah berkembang sejak menjelang tahun 1.000 Masehi. Pendapat ini didasarkan atas laporan seeorang musafir Cina pada tahun 922 Masehi. Jadi laporan itu dibuat kira-kira zaman Kahuripan berkembang di tepian Kali Brantas, Jawa Timur. Menurut laporan itu, ada seseorang Maharaja Jawa menghadiahkan kepada Kaisar Tiongkok "a short swords with hilts of rhinoceros horn or gold (pedang pendek dengan hulu terbuat dari dari cula badak atau emas). Bisa jadi pedang pendek yang dimaksuddalam laporan itu adalah protoptipe keris seperti yang tergambar pada relief Candi Borobudur dan Prambanan. Sebilah keris yang ditandai dengan angka tahun pada bilahnya, dimiliki oleh seorang Belanda bernama Knaud di Batavia (pada zaman Belanda dulu). Pada bilah keris itu selain terdapat gamabar timbul wayang, juga berangka tahun Saka 1264, atau 1324 Masehi. Jadi kira-kira sezaman dengan saat pembangunan Candi Penataran di dekat kota Blitar, Jawa Timur. Pada candi ini memang terdapat patung raksasa Kala yang menyandang keris pendek lurus. Gambar yang jelas mengenai keris dijumpai pada sebuah patung siwa yang berasal dari zaman Kerajaan Singasari, pada abad ke-14. Digambarkan dengan Dewa Siwa sedang memegang keris panjang di tangan kanannya. Jelas ini bukan tiruan patung Dewa Siwa dari India, karena di India tak pernah ditemui adanya patung Siwa memegang keris. Patung itu kini tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Pada zaman-zaman berikutnya, makin banyak candi yang dibangun di Jawa Timur, yang memiliki gambaran keris pada dinding reliefnya. Misalnya pada Candi Jago atau Candi Jajagu, yang dibangun tahun 1268 Masehi. Di candi itu terdapat relief yang menggambarkan Pandawa (tokoh wayang) sedang bermain dadu. Punakawan yang terlukis di belakangnya digambarkan sedang membawa keris. Begitu pula pada candi yang terdapat di Tegalwangi, Pare, dekat Kediri, dan Candi Panataran. Pada kedua candi itu tergambar relief tokoh-tokoh yang memegang keris. Cerita mengenai keris yang lebih jelas dapat dibaca dari laporan seorang musafir Cina bernama Ma Huan. Dalam laporannya Yingyai Sheng-lan di tahun 1416 Masehi ia menuliskan pengalamannya sewaktu mengunjungi Kerajaan Majapahit. Ketika itu ia datang bersama rombongan Laksamana Cheng-ho atas perintah Kaisar Yen Tsung dari dinasti Ming. Di Majapahit, Ma Huan menyaksikan bahwa hampir semua lelaki di negeri itu memakai pulak, sejak masih kanak-kanak, bahkan sejak berumur tiga tahun. Yang disebut pulak oleh Ma Huan adalah semacam belati lurus atau berkelok-kelok. Jelas yang dimaksud adalah keris. Kata Ma Huan dalam laporan itu: These daggers have very thin stripes and within flowers and made of very best steel; the handle is of gold, rhinoceros, or ivory, cut into the shapeof human or devil faces and finished carefully. Manusia memiliki bermacam–macam wujud kesatuan kolektif. Hal tersebut menyebabkan kita untuk memerlukan beberapa istilah untuk memebeda-bedakan berbagai macam kesatuan manusia tadi. Istilah yang paling lazim, yaitu masyarakat, ada istilahistilah khusus untuk menyebut kesatuan-kesatuan khusus yang merupakan unsurunsur dari masyarakat, yaitu; kategori sosial, golongan sosial, komunitas,kelompok, dan perkumpulan. Masyarakat. Seperti yang telah disinggung sebelumnya merupakan istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau saling berinteraksi. Namun tidak semua kesatuan manusia yang bergaul atau berinteraksi itu merupakan masyarakat. Suatu masyarakat harus memiliki suatu ikatan lain yang khusus. Ikatan tersebut yaitu; pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu. Lagipula, pola itu harus bersifat mantap 128
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 124 - 136
ISSN 2085-1979
dan kontinyu (berkelanjutan). Dengan kata lain, pola khas itu harus sudah menjadi adatistiadat yang khas. Kemudian, Koentjaraningrat dalam bukunya “Pengantar Ilmu Antropologi” mendefinisikan masyarakat secara khusus yang dirumuskan sebagai berikut: “Masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasaidentitas bersama”. Seiring perkembangan zaman, masyarakat inipun ikut berkembang. Dengan segala unsur teknologi dan pengetahuan, masyarakat mengalami perubahan ke arah yang lebih maju. Dari sinilah kemudian dikenal dengan istilah masyarakat modern. Menurut Koentjaraningrat,masyarakat modern merupakan kesatuan manusia dengan berbagai macam prasarana, yang memungkinkan para warganya untuk berinteraksi secara intensif, dengan frekuensi yang tinggi. Hal ini ditandai dengan terdapatnya jaringan komunikasi, jaringan jalan raya, jaringan jalan kereta api, jaringan perhubungan udara, jaringan telekomunikasi, sistem radio dan TV, berbagai macam surat kabar di tingkat nasional, suatu sistem upacara pada hari-hari raya nasional, dsb. Perkembangan-perkembangan tersebut tentunya tidak lepas dari teknologi. Teknologi sejak awal mulai berkembang di dunia barat, sehingga kerap kali negara- negara barat (khususnya Eropa Barat) dinyatakan sebagai pelopor modernisasi. Namun, pernyataan itu sering ditampik oleh banyak orang, salah satunya pakar dunia barat, Giddens. Giddens (1995), mengatakan “modernity is taken by most who use it, including myself, to refer to an historically specific socioeconomic and cultural formation whose claims to universality are questionable”. Dari situ, kemudian muncul suatu pemikiran oleh beberapa pakar negara barat bahwa masyarakat modern memiliki ciri utama yang dimiliki oleh semua masyarakat modern di manapun ia berada. Ciri tersebut merupakan derajat nasionalitas yang tinggi. Dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan dalam masyarakat demikian terselenggara berdasarkan nilai-nilai dan dalam pola-pola yang objektif (impersonal) dan efektif (utilitarian), ketimbang yang sifatnya primordial, seremonial, dan tradisional. Derajat rasionalitas yang tinggi itu digerakkan oleh perkembangan-perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi seringkali disebut sebagai kekuatan pendorong (driving force) bagi proses modernisasi. Untuk lebih memberikan pemahaman mengenai masyarakat modern, Alex Inkeles dan David H. Smith. (1974) menyebutkan sembilan ciri manusia modern, yaitu. Terbuka terhadap inovasi, perubahan, penanggungan risiko, dan terhadap gagasan gagasan baru. Tertarik dan memiliki kemampuan membentuk pandangan-pandangan mengenai isu-isu yang berada di luar lingkungannya; Lebih demokratis, terutama dalam hal pengakuan dan toleransi terhadap perbedaan pendapat. Lebih berorientasi terhadap masa kini dan masa depan daripada masa lalu. Menempatkan masa depan dirinya ke dalam suatu perencanaan, visualisasi, dan pengorganisasian untuk mewujudkannya. Cenderung tidak menerima keadaan sebagai nasib dan berpandangan bahwa keadaan dunia ini dapat diperkirakan dan terbuka untuk kendali manusia. Menghargai hak-hak orang lain tanpa memandang status tradisionalnya sehingga pandangannya terhadap peran wanita dan anak-anak menjadi positif. Karateristk Budaya Masyarakat Jogjakarta. Karakter Yogyakarta yang penting untuk menjadi dasar keistimewaan Jogja, yaitu kemampuan Jogja mengelola kemajemukan. Masyarakat Jogja meski mempunyai tingkat kemajemukan yang tinggi sejauh ini belum mengalami konflik kekerasan yang signifikan. Inilah substansi dari keistimewaan Jogja di saat banyak daerah lain di Indonesia rentan konflik dan kekerasan. 129
Endah Endrawati: Posisi Keris Pada Masyarakat Jogja Modern
Sebagai salah satu pusat pendidikan di Indonesia, tingkat literacy atau budaya intelektual masyarakat Jogja tidak hanya terjadi di kalangan akademis dan aktifis, tetapi juga pada masyarakat. Etik menggambarkan, bahkan tukang becak di Jogja tiap hari membaca koran. Tidak heran ide-ide besar banyak datang dari kampungkampung di Jogja. Masyarakat Jogja bangga dengan ndeso-nya, tetapi tetap mempunyai karakter terbuka. Terbuka sebenarnya sudah menjadi karakter bangsa Indonesia, terutama masyarakat Jogja. Keterbukaan sudah merasuk dihati para warga Jogja. Masyarakat Jogja bisa menerima orang asing tanpa prasangka. Masyarakat asli Jogja sampai sekarang masih mempercayai spiritualitas keraton keraton sebagai pelindung dari bencana. Masyarakat menerapkan nilai luhur keraton Jogja dalam kehidupan sehari-hari maupun secara simbolik dalam ritual tertentu. Tata krama masih dijunjung tinggi masyarakat, salah satunya dengan “mengejawantahkan” (memakai dengan sepenuh hati) bahasa Jawa dalam pergaulan atau keseharian mereka. Keramahtamahan yang tulus dari masyarakat jogja merupakan karakter khas dari masyarakat Jogja itu sendiri yang akan membawa kesan mendalam bagi wisatawan yang berkunjung ke Jogja. Metode Penelitian Lokasi Penelitian, Penelitian ini dilaksanakan di Perpustakaan Keraton Jogjakarta, Jogja Keris, Perpustakaan Unit II UGM, dan daerah-daerah di sekitaran Kota Jogjakarta. Objek penelitian ini adalah masyarakat Jogja yang memiliki pengetahuan tentang keris. Teknik Pengambilan Data Untuk memperoleh data atau informasi dalam penelitian tentu perlu dilakukan kegiatan pengumpulan data. Data sebagai informasi awal yang dibutuhkan sebagai penunjang suatu penelitian. Dalam proses pengumpulan data tentu diperlukan sebuah alat atau instrument pengumpul data. Alat pengumpul data dapat dibedakan menjadi dua yaitu pertama alat pengumpul data dengan menggunakan metode test dan metode non test. Namun, metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode non test, yaitu:Studi pustaka merupakan pengumpulan data dan teori yang relevan dalam penelitian ini yang menggunakan bahan-bahan tertulis sebagai dasar penelitian. Adapun sumber bukti yang dapat dijadikan fokus bagi pengumpulan data studi kasus melalui studi pustaka ini adalah buku, surat kabar, majalah, newsletter dan sumber informasi penunjang lain yang relevan dengan penelitian ini seperti website yang berkaitan dengan penelitian ini. Riset penelitian keris menggunakan studi literatur dari buku-buku yang membahas secara mendalam mengenai keris. Selain penggunaan referensi dari buku, informasi mengenai keris juga bersumber dari artikel- artikel yang ada di situs internet. Wawancara adalah salah satu bagian yang terpenting dari setiap riset. Wawancara yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden. Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi. Dalam proses ini, hasil wawancara ditentukan oleh beberapa faktor yang berinteraksi dan mempengaruhi arus informasi. Faktor-faktor tersebut ialah: pewawancara, responden, topik, penelitian yang tertuang dalam daftar pertanyaan, dan situasi wawancara. Wawancara informasi merupakan salah satu metode pengumpulan data untuk memperoleh data dan informasi secara lisan. Proses wawancara dilakukan dengan cara tatap muka secara langsung. Selama proses wawancara, pewawancara mengajukan pertanyaan, meminta penjelasan dan jawaban dari pertanyaan yang diberikan dan membuat catatan mengenai hal-hal yang diungkapkan kepadanya. 130
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 124 - 136
ISSN 2085-1979
Responden dalam wawancara mengenai keris dalam masyarakat Jogja modern ini adalah pengageng atau kepala KHP Widya Budaya Keraton, Pemilik galeri Jogja Keris, serta salah satu masyarakat Jogja yang memiliki koleksi keris yang masih mempergunakan dan mempercayai keris sampai sekarang. Observasi diartikan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Penulis melakukan pengamatan secara langung mengenai bentuk, pamor, dan semua hal yang ada pada sebuah keris dengan mengunjungi suatu galeri keris yang menjual berbagai macam keris serta mengamati secara langsung keris- keris yang ada di galeri tersebut. Selain itu, penulis juga mengamati secara langsung koleksi keris milik salah seorang masyarakat yang memiliki banyak koleksi keris dan meminta penjelasan secara langsung pada pemiliknya Hasil Penemuan dan Diskusi Berikut ini akan diuraikan anatomi keris satu per satu. Anatomi keris dikenal juga dengan istilah ricikan keris. Ricikan merupakan detail-detail dari satuan hias kelengkapan keris. Pesi, merupakan besi yang bundar dan memanjang antara lima sampai delapan cm, yang menjadi tangkai keris yang masuk ke dalam pegangan atau ukiran. Ganja, merupakan bagian pangkal, dasar atau alas dari sebuah kerangkan bangun suatu bilah keris. Secara fisik terlihat bagaikan kerangka bawah yang berfungsi sabagai pilar dasar dari bilah keris, yang bentuknya lebih melebar ke depan dan ke belakang untuk memberi perlindungan kepada tangan si pemegang keris 1. Buntut Mimi, merupakan bentuk meruncing pada ujung ganja 2. Gunungan, yaitu bentuk menonjol atau membukit sebelum buntut 3. Greneng/Polos, merupakan ornamen berbentuk huruf Jawa Dha yang berderet dan letaknya di bagian bawah ujung ganja, dan sering dibuat rangkap sehingga terletak sampai ujung bilah keris 4. Thingil, merupakan tonjolan kecil pada greneng atau pada dasar huruf Jawa Dha 5. Ri pandhan, merupakan bentuk ujung yang meruncing menyerupai duri pada huruf Jawa Dha yang letaknya di bagian belakang ganja 6. Ron Dha Nunut, yaitu ornamen yang ada pada huruf Jawa Dha 7. Sraweyan, merupakan bagian keris yang bentuknya melandai bagaikan gusen yang terletak di belakang sogokan belakang sampai ke greneng, dan tempatnya di bagian bawah ganja belakang 8. Bungkul, bentuknya seperti bawang, terletak di tangah-tengah dasar bilah dan diatas ganja 9. Pejetan atau blumbangan, merupakan tekana terhadap bilah (seperti bekas tekanan ibu jari) yang melodok ke dalam, dan terletak di balakang gandhik 10. Lambe Gajah, merupakan besi kecil yang menonjol menempel di gandhik, yang bentuknya seperti bibir gajah bagian bawah. Biasanya dapat berjumlah satu, atau rangkap dua 11. Gandhik, merupakan besi yang menggemuk (menebal) atau menonjol di bagian depan sor-soran kerisdan bentuknya seperti gandhik (penggilas ramuan untuk pelembut jamu). Gandhik juga merupakan bagian yang dianggap sebagai raut muka dari bilah keris 12. Kembang kacang, sekar kacang, atau telate gajah, merupakan besi yang melengkung ke depan (atas) seperti lung-lungan atau belalai gajah dan hampir menempel ke lambe gajah, dan tempatnya berada di bawah gandhik, jalu memet, lambe gajah, dan jalen 13. Jalen, menyerupai taji ayam jago yang menempel di ghandik 131
Endah Endrawati: Posisi Keris Pada Masyarakat Jogja Modern
14. Greneng / Polos, yaitu ornamen berbentuk huruf Jawa Dha yang berderet 15. Tikel Alis, terletak di atas pejetan dan bentuknya mirip alis mata 16. Janur, bentuk lingir diantara dua sogokan 17. Sogokan depan, bentuk alur dan merupakan kepanjangan dari pejetan 18. Sogokan belakang, bentuk alur yang terletak pada bagian belakang 19. Pudhak Sategal, yaitu sepasang bentuk menajam yang keluar dari bilah bagian kiri dan kanan 20. Pudhak Sategal. 21. Poyuhan, bentuk yang menebal di ujung sogokan 22. Landep, yaitu bagian yang tajam pada bilah keris 23. Gusen, terletak di bagian belakang landep, bentuknya memanjang dari 24. sor-soran sampai pucuk 25. Gula Milir, bentuk yang meninggi antara gusen dan kruwingan 26. Kruwingan, dataran yang terletak di kiri dan kanan adha-adha 27. Adha-adha, penebalan pada pertengahan bilah dari bawah sampai ke atas Gagang atau hulu keris dinamakan ukiran, dalam bahasa Jawa krama inggil lazim disebut jejeran. Bahan yang dipakai untuk membuat ukiran antara lain kayu, gading, tanduk, dan lain-lain. kayu-kayu yang akan dibuat ukiran direndam dalam ramuan tertentu sampai berbulan-bulan. Kayu-kayu pilihan yang dapat dibuat ukiran antara lain kayu kemuning, kayu cukila, kayu trikancu, kayu tayuman dan lain- lain.
Gambar 1 Struktur Keris Bentuk ukiran mengandung maksud dan makna tertentu sesuai asal daerah pembuatannya. Ada ukiran yang menyerupai manusia, bintang, atau lambanglambang tertentu. Bagian paling bawah dari ukiran dan agak menonjol disebut bungkul. Bungkul tersebut dilubangi untuk menancapkan pesi dan untuk menguatkan dilem dalam jabung. Bungkul biasanya dibalut dengan selut, yaitu cincin logam. Ukiran zaman Majapahit adalah berupa patung orang tua atau petapa, dan terbuat dari logam terusan dari wilahan (bilah keris). Ukiran dari Jawa umumnya dibuat dari kayu. Bentuknya sederhana, tetapi untuk keris yang berpenampilan mewah biasanya ukirannya dilengkapi dengan batu permata yang mahal pada bagian mendaknya. 132
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 124 - 136
ISSN 2085-1979
Ukiran keris Bali bermacam-macam; ada yang mempunyai bentuk patung dewa, patung pedanda, penari, raksasa, kepala kuda, dan sebagainya. Bentuk khas ukiran Bali adalah patung raksasa dengan wajah yang berseri-seri. Meskipun wajah raksasa, tetapi tampak riang dan ramah. Bantuk patung dianggap melambangkan kesaktian dan menambah kharisma keris. Ukiran keris Sulawesi menggambarkan burung laut karena masyarakat Sulawesi adalah pelaut. Ukiran itu melambangakan keselamatan dan memberi tuah kepada pemiliknya. Gaya ukiran patungnya sangat bungkuk dan sangat miring. Ukiran gaya Jogjakarta berbentuk tegak dan sederhana; sedangakan gaya Surakarta berbentuk besar dan bagian kepala melengkung ke depan. Mendak dan Selut, Mendak Keris dianggap belum lengkap apabila tidak memakai mendak. Oleh karena itu, mendak merupakan keharusan sebagai busana keris. Mendak adalah hiasan yang menghubungkan ukir dengan ganja, yang dikenakan atau dipasang melingkar pada pesi yang menancap ke dalam ukir. Bentuknya seperti bokor atau mangkuk yang berlubang. Sementara, permukaan bentuk bokor terdiri atas dua bagian, yakni ; bentuk yang lebih lebar menopang ukir dan yang sempit terletak di bagian ganja. Bahan mendak berasal dari logam seperti perak, kuningan dan emas. Dan sesuai dengan niat untuk membuat semuanya menjadi lebih bagus, orang seringkali menghiasi mendak dengan intan permata. Mendak yang diukir dan dihiasi dengan intan pemata atau batu berharga disebut mendak kendit. Sedangkan yang polos tanpa ukiran atau hiasan permata disebut mendak lugas. Bentuk Ukiran dan Macamnya, Bentuk ukiran pada mendak yang menyerupai butiran-butiran beras disebut meniran. Meniran ini terbagi lagi menjadi meniran klawang, yaitu bentuk ukiran butiran-butirannya melingkari permukaan mendak yang lebar. Sedangkan yang menghiasi bagian dasar atau bawah disebut meniran sor-soran. Ukiran-ukiran yang tedapat di antara meniran klawang dan menirang sor-soran disebut ungkat- ungkatan, untu walang, wideng kendit, damping, tumpang sari, dan ri pandan. Macam-macam mendak antara lain mendak angkup randu, mendak parijoto, mendak segara muncar, mendak pecen yang bentuknya seperti peci atau kopiah. Selut juga merupakan busana keris, tetapi bukan suatu keharusan. Selut hanya merupakan tambahan kemewahan karena biasanya terbuat dari logam atau emas yang dihiasi batu permata. Selut dipasang diantara ukir dengan mendak. Selut juga berfungsi sebagai pengunci atau pengikat antara bungkul dan mendak. Warangka adalah salah satu busana keris. Karena berfungsi sebagai tempat menyimpan senjata tajam yang terbuat dari besi atau baja, kayunya pun harus kayu pilihan. Persyaratan antara lain: Kayu tidak mudah menyebabkan keris berkarat. Untuk itu diperlukan kayu yang mengandung minyak. Kayu tidak mudah menyusut atau memuai akibat panas atau dingin yang disebabkan oleh pengaruh suhu. Serat kayu harus halus sehingga mudah dibentuk, tidak mudah patah atau retak. Serat yang jelas dan warnanya lebih dari satu (doreng) akan menjadikan rangka lebih indah. Kayu pilihan yang lazim digunakan untuk membuat rangka ialah kayu cendana, kayu timoho, kayu trembalo, kayu kemuning, kayu jati (gembol), kayu sawo, kayu mentaos, dan lain-lain. Ada berbagai macam warangka, yaitu. Bentuk ladrang atau branggah. Warangka ini dikenakan pada upacara-upacara resmi untuk melengkapi busana adat. Upacara-upacara tersebut misalnya menghadap raja, menghadiri upacara resmi di keraton atau upacara yang sifatnya penghormatan. Bentuk ladrang lebih indah dan bervariasi, kedua ujungnya melengkung seperti perahu kuno. Bentuk gayaman. Bentuk warangka gayaman dikenakan oleh raja pada upacara atau acara inspeksi, atau sebagai pelengkap berpakaian apada acara- acara tak resmi. Bentuknya sederhana, sehingga zaman dahulu dalam peperangan orang menggunakan keris dengan rangka gayaman agar mudah menarik dan memasukkan 133
Endah Endrawati: Posisi Keris Pada Masyarakat Jogja Modern
keris dari rangkanya. Sedangkan fungsi rangka itu sendiri dalam peperangan adalah sebagai perisai, penangkis, dan penyodok. Saat ini keris bukan lagi merupakan barang kebutuhan primer sebagaimana kesaksian terhadap keadaan masyarakat di Jawa pada abad ke- 16 hingga 19, yang pada waktu itu keris dibutuhkan oleh semua segmen dan kelompok-kelompok yang ada pada seluruh lapisan sosial. Dengan demikian keberadaan keris pada waktu itu menjadi penting sebagai alat pertahanan atau keamanan masyarakat, di samping juga digunakan oleh hampir setiap laki-laki, yang pada umumnya mereka itu memiliki otoritas di dalam fungsi- fungsi sosial dan lingkungan keluarganya. Pentingnya peran keris dalam kehidupan masyarakat yang demikian itu, telah menyebabkan ia memiliki tempat yang begitu prestisius. Sehingga di dalam pelbagai kesaksian yang dituliskan dalam karya-karya sastra seperti penulisan babad, keris merupakan sebuah persoalan tersendiri yang sangat strategis, dan tidak jarang pula mempengaruhi dan tidak jarang menjadi simbol dari kekuatan sosial dan politik suatu kelompok masyarakat dalam sistem kekuasaan. Dengan semakin merosotnya fungsi keris sebagai senjata tajam yang diperlukan oleh setiap keluarga dalam masyarakat memasuki abad ke 20, maka semakin merosot pula kebutuhan setiap keluaraga akan sebilah keris. Peran sanjata tajam telah ditukar dengan peralatan lainnya yang lebih variatif dan memiliki fungsi yang lebih banyak atau lebih efektif untuk keperluan yang ada, misalnya pedang, parang, bahkan senjata api. Dilihat dari fungsinya sebagai senjata tajam, keris yang fungsi utamanya hanya sebagai tikam tidak lagi dapat menjadi piranti andalan bagi banyak orang guna menjaga keamanan fisik di lingkungan tempat hidupnya. Model interaksi, konflik, dan penyelesaian masalah serta ketentuan hukum yang berlaku saat ini sudah banyak berubah. Orang tidak lagi dibenarkan secara hukum untuk menyelesaikan konflik dan dendam mereka dengan cara duel misalnya, yang menggunakan senjata semacam keris untuk menikam lawannya. Keris masih mampu bertahan dalam masyarakat, justru terletak pada fungsifungsinya yang diluar senjata tajam. Apakah itu fungsi simbolik dan warisan dalam keluarga, kepercayaan masyarakat terhadap keberadannya sebagai simbol kekuatan mistis dan sifat kandel, barang antik maupun fungsi-fungsi sosial lainnya. Salah satu diantaranya adalah digunakan sebagai kelengkapan dari pakaian adat di berbagai daerah. Kecenderungan terakhir, keris lebih banyak digunakan sebagai simbol sosial dalam masyarakat di kalangan menengah keatas sektor moderen (sejalan dengan berlangsungnya kesadaran baru retradisionalisasi di tengah perkembangan yang moderen selama Orde Baru). Juga kecenderungan munculnya kesadaran baru akan fungsi keris di kalangan kelompok praksis untuk kepentingan pendukung “non fisik“ terhadap usaha-usaha dalam persaingan politik dan perdagangan, maupun untuk koleksi dalam jumlah banyak. Yang juga menjadi fenomenal di lingkungan pasar keris adalah larinya keriskeris kuno ke luar negeri, baik untuk pemasaran di negeri- negeri yang masih menempatkan keris sebagai bagian dari kebutuhan resmi dan simbol nasional (Malaysia, Brunai, Thailand),sebagai barang antik, maupun digunakan untuk kepentingan studi dan pengembangan ilmu pengetahuan, seperti Jepang dan sejumlah negara di Eropa dan Amerika. Untuk kasus yang terakhir terdapat gejala berlangsungnya pengumpulan keris-keris kuno langsung dari berbagai daerah di Jawa Tengah, seperti Temanggung, Wonosobo, Banjarnegara dan sekitarnya, untuk dibawa ke negara-negara tersebut. Fungsi dari keris yang menonjol dalam kehisupan sehari-hari masyarakat Jawa, adalah untuk kepentingan pakaian resmi kejawen jangkep. Pada masa-masa yang terdahulu seperti zaman Majapahit, pakaian demikian selalu digunakan di dalam upacara-upacara pernikahan, termasuk di dalam memboyong pengantin puteri ke 134
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 124 - 136
ISSN 2085-1979
tempat pengantin laki-laki, yang biasanya dikawal oleh para kaum pria yang berpakaian adat dengan menyelipkan keris di pinggangnya. Hingga tahun 1960-an, sebenernya masih banyak kaum laki- laki yang menggunakan pakaian seperti itu (dengan ragam yang lebih sederhana), terutama ketika sedang memiliki hajat tertentu. Namun ketika memasuki masa Orde Baru, di sebagaian besar daerah yang berada di sekitar wilayah pesisir dan daerah pedalaman yang jauh dari pusat-pusat kebudayaan Jawa, seperti Surakarta dan Yogyakarta, tampak semakin jarang dari anggota masyarakat yang laki-lakinya menggunakan busana adat Jawa di dalam pelbagai aktifitasnya itu, kecuali pada saat sedang menjadi pengantin. Itu saja jika mempelai memang di persiapkan dengan pakaian Jawa, karena banyak pengantin yang juga telah menggantikan pakainnya dengan model pengantin Barat dan lain sebagainya. Namun sejak masa akhir Orde Baru, di berbagai daerah mulai muncul kembali pengguanaan pakaian adat Jawa jangkem dalam hajat mantu, terutama bagi anggota keluarga dekat dari si empunya hajat. Terutama di kalangan kelompok ini yang umumnya mereka itu memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri atau pengusaha menegah keatas. Meski demikian, pengaruhnya tehadap distribusi keris dan perkebangan terhadap pasar keris juga begitu berpengaruh secara signifikan, karena pada umumnya keris-keris yang dipakai sebagai alat kelengkapan hanyalah “keriskerisan“ yang terbuat dari logam seng, yang biasanya disediakan oleh pengusaha persewaan pakaian pengantin. Akhirnya pekembangan seperti itu, keris memang tidak banyak dibutuhkan dalam fungsi sehari-hari, namun karena sumbenya dalam masyarakat mengering dan juga dikumpulkan untuk di bawa ke luar negeri, atau menjadi barang koleksi (yang kecil kemungkinannya beredar kembali ke masyarakat), maka keris (keris kuno) akhirnya juga menjadi langka. Kelangkaan keris kuno yang dibarengi dengan meningkatnya proses retradisionalisasi gaya hidup di kalangan keluarga Jawa perkotaan tingkat menengah keatas, telah menimbulkan kecenderungankecenderungan yang menempatkan keris kadang menjadi tidak seimbang antara permintaan dan penawaran. Pada perkembangan yang sekarang, keris lebih dibutuhkan sebagai bagian dari gaya hidup kelas menengah (kelompok-kelompok tertentu). Disini, keris diperlakukan sebagai suatu benda pusaka. Orang memiliki sebilah keris atau lebih banyak lagi, karena bendanya itu dianggap memiliki nilai budaya yang tinggi, tingkat keindahan, atau latar historis tertentu. Keris juga dianggap memiliki kekuatan isoteris yang berupa angsar atau tuah, yang dianggap sangat diperlukan oleh para pemiliknya. Sedangkan pada saat diperlukan, dapat pula digunakan untuk kelengkapan acaraacara di dalam masyarakat seperti mantenan misalnya. Kemudian juga dipakai sebagai bagian dari kelengkapan di dalam busana yang dapat menampilkan tampakan sadar budaya dan status sosial dari pemakainya. Ataupun dapat pula, orang yang bersangkutan memang berminat terhadap keris-keris dengan alasan untuk dikoleksi. Simpulan Keris, dari jaman dahulu hingga sekarang telah menjadi suatu benda yang menarik untuk dimiliki sebagai benda koleksi, dipandang sebagai suatu bentuk karya seni dan spiritual yang sangat indah maupun diperbincangkan dari berbagai aspek. Bukan saja pada aspek fisik maupun non fisik, tetapi juga aspek sejarah dan evolusi perkembangannya. Pada umumnya orang jawa pada awal abad ke-21 ini sedang berubah statusnya dari masyarakat peralihan menjadi masyarakat modern. Oleh karena itu, sikap dan cara hidupnya pun dalam beberapa aspek sudah mengacu ke cara berpikir 135
Endah Endrawati: Posisi Keris Pada Masyarakat Jogja Modern
modern. Dalam perkerisan sikap peralihan tersebut, antara lain, tampak bahwa sebagian orang jawa masih tetap membudayakan keris itu sebagai kelengkapan busana adat atau pusaka, tetapi sebagian lain sudah mulai menempatkannya sebaga benda seni, cinderamata, atau bahkan menjadi investasi komersial. Demikian pula satu kalangan masih percaya pada tuah dalam sebilah keris, tetapi kalangan lain sudah melakukan penelititan keris dengan cara mengorbankan bilah keris, misalnya dibelah atau dipotong. Bagi orang masa kini, cara yang paling mudah untuk mendapat pengetahuan perkerisan adalah dengan menghayati keris-keris yang masih ada sekarang. Sudah tentu bahwa untuk mempelajarinya masih tetap harus mempertimbangkan kaidahkaidah tradisional, namun menggunakan cara analisis modern. Oleh karena itu diperlukan sikap mental yang berani merumuskan penalaran-penalaran baru, dan sedapat mungkin menghindari perbenturannya dengan tata nilai lama yang masih berlaku. Cara mempelajari pengetahuan perkerisan dapat juga dilakukan pada kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan sesama penggemar keris, atau dengan mengadakan ceramah, seminar, sarasehan, pameran, diskusi dan lokakarya. Bisa juga dengan pertemuan berkala. Yang paling efektif adalah dialog antara tiga atau empat orang penggemar yang sekaligus kolektor, baik pemula maupun kolektor senior. Keris yang konon sebagai lambang status kebangsawanan, kini dihadapkan oleh budaya alternatif (budaya massa) sebagai salah satu alternatif pelestarian. Keris yang konon sebagai benda bertuah dan dikeramatkan diyakini sebagai pusaka. Kini keris merupakan benda alternatif seolah barang dagangan siap jual dan menunggu pembelinya. Fenomena keris di zaman modern, perkembangannya cukup menggembirakan. Peminat dan pemerhati keris mulai bergeser dari sesepuh kepada generasi muda, mahasiswa atau pemuda. Nilai-nilai humanisme pada keris yakni, Nilai Religi, adanya kepercayaan akan kekuatan manusia. Nilai Filosofi adanya keris lajer (lurus) manusia hidup harus punya arah atau tujuan yang jelas. Keris Luk, dalam meraih tujuan hidup, manusia harus luwes tidak sakleg. Nilai Histori, ketinggian ilmu pengetahuan dan teknologi tempa besi yang dimiliki peradaban nenek moyang bangsaatau leluhur kita. Nilai Ekonomi, koleksi yang semakin lama semakin langka akan semakin tinggi harganya (investasi), juga mengatasi pengangguran bagi perajin perabot keris. Selain itu, Nilai Psikologi, pembangkit kepercayaan diri dan semangat keyakinan untuk sukses. Daftar Pustaka Arifin,MT.2006.Keris Jawa, Bilah Latar Sejarah hingga Pasar.Jakarta:Hajied Pustaka Giddens, Anthony. Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age. Cambridge : Polity Press, 1991. Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York : Simon & Schuster, 1996. Inkeles, Alex and Smith, David H. Becoming Modern. Cambridge : Harvard University Press, 1974. Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Radar Jaya-Aksara Baru, 1983.
136
Suzy Azeharie: Pola Komunikasi Antara Pedagang Dan Pembeli Di Desa Pare, Kampung Inggris Kediri
POLA KOMUNIKASI ANTARA PEDAGANG DAN PEMBELI DI DESA PARE, KAMPUNG INGGRIS KEDIRI Suzy Azeharie Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Email:
[email protected] Abstract This study will examine the patterns of communication used between merchants with shoppers, teachers and students, as well as in rural communities or village English Pare Kediri regency in East Java. Methodology used is a qualitative methodology with data collection through interviews, direct observation Pare village, and through the study of literature. The theories used are the theory of verbal and nonverbal communication, interpersonal communication, the theory of acculturation and assimilation of culture. The conclusion from this study is the communication patterns merchants with shoppers, teachers and students, as well as in rural communities Pare take place in the primary, which means face to face and in English. Basic English Course in operation since 1976 turned out to be a big impact in the lives of people in the village, such changes include the shift of the livelihoods of residents who are traditionally farmers have become the owner of an English language course, rent boarding houses, kiosks drinks and food, open rental bike, copy, etc. Keywords: English Village, Interpersonal Communication, The Primary Communication Abstrak Penelitian ini akan mengupas mengenai pola komunikasi yang digunakan antara pedagang dengan pembeli, guru dengan siswa, serta komunitas masyarakat di desa Pare atau kampung Inggris Kabupaten Kediri Jawa Timur. Metodelogi yang digunakan adalah metodologi kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi langsung ke desa Pare, dan melalui studi literatur. Teori-teori yang digunakan adalah teori komunikasi verbal dan non verbal, komunikasi interpersonal, teori akulturasi dan asimilasi budaya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pola komunikasi pedagang dengan pembeli, guru dengan siswa, serta komunitas masyarakat di desa Pare berlangsung secara primer, artinya bertatap muka dan menggunakan bahasa Inggris. Basic English Course yang beroperasi sejak tahun 1976 ternyata membawa pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat di desa tersebut, perubahan tersebut antara lain beralihnya mata pencaharian penduduk yang secara tradisional adalah petani menjadi pemilik kursus bahasa Inggris, menyewakan rumah kos, membuka warung minuman dan makanan, membuka rental sepeda, fotocopy, dll. Kata kunci: Kampung Inggris, Komunikasi Interpersonal, Komunikasi Primer
Pendahuluan Kampung Inggris merupakan sebuah atau komunitas yang berbasis Bahasa Inggris cukup terkenal di Pulau Jawa bahkan di Indonesia. Terletak di Desa Pelem dan Tulungrejo Kecamatan Pare Kabupaten Kediri Jawa Timur. Kampung Inggris didirikan oleh Mohammad Kalend pada tahun 1976. Sejarah berdirinya Kampung Inggris ini diawali ketika Mohammad Kalend yang merupakan seorang santri asal Kutai Kartanegara tengah menimba ilmu di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Menginjak tahun kelima ia belajar di Pondok Pesantren Gontor ia terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena tidak mampu menanggung biaya pendidikan
137
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 137 - 151
ISSN 2085-1979
lebih lanjut. Bahkan keinginannya pulang kembali ke kampungnya yang ia tinggalkan sejak tahun 1972 tidak dapat terlaksana karena ketiadaan biaya. Dalam situasi yang sulit itu seorang teman memberitahukan adanya seorang guru yang baik hari dan pintar bernama Achmad Yazid di Desa Pare yang menguasai delapan bahasa asing. Mohammad Kalend muda (ketika itu sudah berusia 31 tahun) kemudian berniat berguru pada Achmad Yazid dengan harapan paling tidak dapat menguasai Bahasa Inggris. Ia cukup tahu diri dengan kemampuannya yang dirasa tidak mungkin menguasai banyak bahasa asing. Maka pergilah Mohammad Kalend ke Desa Pare dan tinggal diselasar sebuah mesjid kecil dan belajar Bahasa Arab dan Bahasa Inggris pada Achmad Yazid (Wawancara dengan Mohammad Kalend di Desa Pare, Sabtu 24 April 2015 jam 8 WIB). Kalend, begitulah sapaan akrabnya, terus belajar Bahasa Inggris hingga dalam sebuah kesempatan datang dua orang tamu mahasiswa dari Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya. Kedatangan dua mahasiswa itu adalah untuk belajar Bahasa Inggris kepada Achmad Yazid sebagai persiapan menghadapi ujian negara yang akan dihelat dua pekan berikutnya di kampus mereka di Surabaya. Kebetulan saat itu Achmad Yazid tengah bepergian ke Majalengka untuk suatu urusan sehingga kedua mahasiswa itu hanya ditemui oleh istri Achmad Yazid. Oleh istri Achmad Yazid, kedua mahasiswa itu lalu diarahkan untuk belajar kepada Kalend yang baru saja nyantri. Dua mahasiswa itu kemudian menyodorkan beberapa lembaran kertas yang berisi 350 soal berbahasa Inggris. Setengah ingin tahu Kalend memeriksa soal-soal itu dan setelah membacanya merasa yakin dapat mengerjakan soal soal itu lebih dari 60 persen. Hal tersebut disebabkan buku yang kedua mahasiswa itu bawa yaitu Buku Bahasa Inggris Nine Hundreds yang sama dengan buku Bahasa Inggris yang Kalend pelajari di Pondok Pesantren Gontor mereka akhirnya terlibat proses belajar mengajar yang dilakukan di sebuah serambi masjid area pesantren. Pembelajarannya cukup singkat dan dilakukan secara intensif selama lima hari. Ketika kedua mahasiswa itu kembali ke Surabaya dan berhasil lulus ujian bahasa Inggris di kampusnya maka keberhasilan mereka tersebut tersebar di kalangan mahasiswa IAIN Surabaya sehingga akhirnya banyak dari mahasiswa IAIN yang mengikuti jejak seniornya dengan datang ke Desa Pare dan belajar Bahasa Inggris belajar kepada Kalend. Promosi dari mulut ke mulut ini akhirnya menjadi cikal bakal terbentuknya kelas Bahasa Inggris pertama. Sejak saat itulah Kalend merintis sebuah tempat kursus Bahasa Inggris bernama Basic English Course (BEC) yang diresmikan pada tanggal 15 Juni 1977 dengan peserta sebanyak enam siswa. Para siswa tersebut terus dibina dan dididik tidak hanya dalam kemampuan bahasa Inggris saja namun juga ilmu agama serta kecakapan akhlak. Tahun tahun setelahnya Kalend berjuang sendirian untuk menghidupkan lembaga kursusnya itu dan mengatasi berbagai rintangan karena ia tidak memungut biaya belajar dari siswanya. Hingga pada sekitar tahun 1979 setelah tiga tahun mengajar secara pro bono, dua orang muridnya mendorong Kalend untuk memungut biaya kursus. Ketika itu setiap anak dipungut biaya Rp.100. Memungut biaya kursus juga dilakukan agar selain Kalend terikat secara resmi di lembaga kursus itu juga untuk mengatasi berlimpahnya siswa yang datang ke Desa Pare dan tidak tertampung lagi di Basic English Course. Lambat laun lembaga kursus di Desa Pare semakin bertambah jumlahnya. Saat ini ada sekitar 150 buah kursus Bahasa Inggris yang tersebar di seantero desa tersebut. Namun demikian lembaga kursus tersebut relatif mampu berjalan seirama tanpa diwarnai kompetisi negatif. Hal tersebut disebabkan para pendiri lembaga 138
Suzy Azeharie: Pola Komunikasi Antara Pedagang Dan Pembeli Di Desa Pare, Kampung Inggris Kediri
lembaga kursus itu mempunyai ikatan sejarah yang sama yaitu sama-sama belajar dari satu guru yaitu Mohammad Kalend. Eksistensi Basic English Course pun hingga kini juga relatif tetap terjaga. Tahun 2011 alumni nya ada 18.000 siswa dari berbagai penjuru nusantara. Dan tahun 2015 ini jumlah lulusan Basic English Course sudah sekitar 22.000 orang. Dan dalam meluluskan siswa Basic English Course juga dikenal cukup ketat.Sejalan dengan makin besarnya Basic English Course dan bertambah banyaknya jumlah siswa yang mengikuti kursus ditempat itu Mohammad Kalend mempraktikkan bercakap dalam Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari kepada siapapun. Kebiasaannya menggunakan Bahasa Inggris tersebut mengakibatkan hampir seluruh masyarakat di Kampung Inggris dari berbagai kalangan juga familiar dalam menggunakan Bahasa Inggris. Dan pola komunikasi yang terbentuk dengan menggunakan Bahasa Inggris tersebut membentuk cara masyarakat berkomunikasi misalnya topik apa yang dibicarakan atau media komunikasi yang digunakan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Deddy Mulyana yang menegaskan bahwa pola komunikasi membawa berbagai implikasi karena merupakan sebuah proses yang dinamis. Ada yang menurut Mulyana berubah dari konteks pengetahuannya atau prilaku. Ada juga yang mengalami perubahan sedikit demi sedikit, dari waktu kewaktu akan tetapi perubahan itu cukup signifikan. Tapi ada juga yang berubah secara tiba tiba dan tidak dalam waktu lama misalnya melalui cuci otak atau konvensi agama misalnya dari Hindu menjadi Kristen atau Muslim (Mulyana,2006:111). Maka secara perlahan kehidupan masyarakat Desa Pare menjadi berubah. Masyarakat mulai paham bahwa menguasai Bahasa Inggris itu merupakan hal yang sangat penting. Terutama jika ada warga yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi ataupun untuk mendapatkan pekerjaan yang rata rata mesyaratkan kemampuan berbahasa Inggris. Sehingga penguasaan Bahasa Inggris menjadi sangat penting dikalangan penduduk Desa. Selain itu struktur kehidupan sosial warga pun mulai berubah seiring menjamurnya tempat kursus Bahasa Inggris. Dari yang umumnya bertani maka rata rata penduduk Desa Pare saat ini hidup dari membuka Kursus Bahasa Inggris, membuka rumah kos atau berjualan untuk memenuhi kebutuhan ribuan siswa yang datang ke Desa tersebut. Perkembangan hubungan manusia dewasa ini memberikan dampak pada cara manusia berkomunikasi. Kedekatan seseorang dengan yang lain bukan saja tergantung dari aspek bagaimana pesan disampaikan tetapi juga dari proses dan cara berkomunikasi yang diterapkan pada setiap individu. Proses penyampaian pesan dari pemberi pesan (komunikator) kepada penerima pesan (komunikan) disebut dengan komunikasi. Menurut Deddy Mulyana (2005:4) kata “komunikasi” atau communication dalam Bahasa Inggris berawal dari bahasa Latin “communicare” yang memiliki arti “membuat sama”. Secara harafiah arti membuat sama ini dimaknai sebagai membuat sama antara apa yang dimaksudkan atau apa yang diutarakan komunikator dengan lawan bicaranya yaitu komunikan. Sehingga terjadi persamaan makna antara komunikator dengan komunikan. Persamaan makna yang terjadi antara dua orang dikenal dengan komunikasi interpersonal atau yang lebih umum didengar adalah komunikasi antar pribadi. Deddy Mulyana (2000) memaparkan bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara langsung tatap muka yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal. Sementara DeVito (2007) mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai kemampuan untuk melakukan komunikasi secara efektif dengan orang lain. 139
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 137 - 151
ISSN 2085-1979
Sedangkan menurut Wiryanto (2004) komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka antara dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun pada kerumunan orang. Komunikasi interpersonal dapat dimaknai sebagai komunikasi antara dua orang atau lebih yang disebut dengan komunikasi diadik. Komunikasi antar pribadi yang terus berkesinambungan ini dapat membentuk sebuah pola berkomunikasi beserta komponen lainnya. Pola komunikasi adalah suatu gambaran yang sederhana dari proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya (Soejanto, 2001). Oleh karena itu pola komunikasi dapat diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman, dan penerimaan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Komunikasi antar pribadi mempunyai pola yang menghubungkan antara komunikator dengan komunikan. Begitu pula dengan proses komunikasi antara pedagang dan pembeli dalam proses jual beli, guru dan siswa dalam kegiatan interaksi belajar mengajar dan kehidupan masyarakat dalam berinteraksi yang menjadi rutinitas sehari-hari. Cara berkomunikasi dalam konteks ini dapat berupa komunikasi verbal maupun nonverbal. Begitu pula dengan Desa Pare. Bila pada masa Kerajaan Kediri dan periode berikutnya masyarakat terbiasa menggunakan Bahasa Jawa yang mengenal strata sesuai klasifikasi kasta dalam masyarakat Hindu maka setelah Desa Pare berkembang menjadi Kampung Inggris maka masyarakat menerima masuknya Bahasa Inggris di Desa Pare dan terbiasa menggunakan Bahasa Inggris dalam kehidupannnya sehari hari. Padahal Bahasa Inggris sangat egaliter, tidak mengenal tingkatan atau strata pemakaian. Hal ini menjadikan peneliti tertarik untuk melihat dari sisi kajian budaya. Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti akan mengupas mengenai pola komunikasi yang digunakan pedagang dan pembeli, guru dan siswa serta komunitas masyarakat di Desa Pare atau Kampung Inggris Kabupaten Kediri Jawa Timur. Pola komunikasi yang difokuskan disini adalah komunikasi interpersonal atau komunikasi tatap muka yang terjadi antara pedagang dan pembeli, antara guru dengan siswa serta di dalam komunitas masyarakat Desa Pare. Selain itu akan diteliti tentang akulturasi budaya yang terjadi pada masyarakat di Desa Pare, Kampung Inggris Kediri. Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merumuskan masalah “Bagaimana Pola Komunikasi antara pedagang dan pembeli, guru dan siswa dan masyarakat di Kampung Inggris, serta akulturasi budaya pada masyarakat di Desa Pare?” Kebalikan dari komunikasi verbal maka komunikasi non verbal merupakan proses komunikasi saat pesan tidak diekspresikan melalui katakata. Komunikasi verbal memainkan peranan yang cukup penting karena sebuah komunikasi verbal yang disampaikan tidak akan berlangsung efektif apabila tidak disertai komunikasi non verbal yang tepat pada waktu yang bersamaan. Di tempat lain Jalaludin Rakhmat menambahkan bahwa tidak semua informasi dapat diperoleh seseorang dari komunikasi verbal saja (Rakhmat 2004). Karena menurut Stewart L.Tubbs dan Sylvia Moss dalam bukunya yang berjudul “Human Communication : Prinsip Prinsip Dasar”, kesan seseorang juga dapat dibentuk dari aspek kinesika yaitu semua ekspresi yang diungkapkan wajah, gestures dan aspek proksimika misalnya dengan mempertahankan jarak, seperti jarak intim, jarang sosial atapun jarak publik publik. Tubbs dan Moss juga menambahkan dengan aspek haptika yaitu sentuhan dan proksimity yang artinya kedekatan secara geografis (2008). Selanjutnya Jalaludin Rakhmat mengelompokan pesan-pesan non verbal sebagai berikut: Pesan Kinesika yaitu pesan non verbal yang menggunakan gerakan tubuh berarti dan terdiri dari tiga komponen utama yaitu pesan facial, pesan gestural 140
Suzy Azeharie: Pola Komunikasi Antara Pedagang Dan Pembeli Di Desa Pare, Kampung Inggris Kediri
dan pesan postural. Pesan Facial adalah pesan yang menggunakan mimik wajah guna menyampaikan sebuah makna. Misalnya ekspresi ketakutan, kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, rasa muak, kecaman, rasa takjub, tekad, ekspresi minat dan ekspresi terkejut. Pesan Gestural adalah pesan yang menunjukan gerakan sebagian anggota badan seperti tangan guna mengkomunikasikan sebuah makna. Pesan Postural dapat dibagi lagi menjadi tiga yaitu: Immediacy yaitu ungkapan kesukaan atau ketidak sukaan terhadap lawan bicara. Misalnya bila tubuh cenderung condong ke lawan bicara maka menunjukan rasa suka dan memberikan penilaian yang baik. Power yaitu mengungkapkan status yang tinggi pada diri komunikator. Responsiveness postur tubuh dapat menunjukan sikap yang responsif atau sebaliknya. Pesan Proksemika Yaitu pesan yang disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Secara umum dapat dikatakan semakin seseorang dekat dengan orang lain maka semakin dekat jarak fisik diantara keduanya. Pesan Paralinguistik adalah pesan komunikasi non verbal yang berkaitan dengan cara mengungkapkan pesan verbal. Sebuah pesan verbal dengan tatanan kata yang sama dapat memiliki arti yang sanagat berbeda bila diucapakan secara berbeda. Pesan Sentuhan dan Bau Bauan sentuhan kulit merupakan indra ragawi yang mampu membedakan emosi seseorang. Misalnya rasa sayang, rasa takut atau bergurau.Sementara hidung digunakan dalam mencium bau bauan. Karena bau yang enak dan wangi dapat menyampaikan pesan misalnya untuk pencitraan ataupun menarik lawan jenis. Lebih lanjut Mark L. Knapp masih dalam buku Jalaluddin Rakhmat mengkategorikan fungsi pesan non verbal kedalam lima kategori yaitu: 1. Repetisi yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah diungkapkan secara verbal. Misalnya mengangkat telunjuk ketika dalam sebuah latihan musik yang bertanda satu kali lagi. 2. Substitusi yaitu menggantikan lambang verbal misalnya menutup mulut dengan jari telunjuk tanda harus diam. 3. Kontradiksi yaitu menolak pesan verbal, misalnya dengan melambai-lambaikan kelima jari sebagai tanda tidak setuju dengan satu pembicaraan. 4. Komplementari yaitu melengkapi dan memperkaya pesan komunikasi verbal, misalnya menggebrak meja sebagai tanda sangat marah. 5. Aksentuasi yaitu menegaskan pesan verbal. Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa baik komunikasi verbal maupun non verbal keduanya memainkan peranan penting dan bersifat saling mendukung satu pada yang Pola komunikasi adalah suatu gambaran yang sederhana dari proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya (Soejanto, 2001). Pola Komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman, dan penerimaan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. DeVito (1997) kemudian membagi macam-macam pola komunikasi sebagai berikut: Pola komunikasi primer merupakan suatu proses penyampaian oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan suatu simbol sebagai media atau saluran. Dalam pola ini terbagi menjadi dua lambang yaitu lambang verbal dan nonverbal. Lambang verbal yaitu, bahasa yang paling sering digunakan karena bahasa mampu mengungkapkan pikiran komunikator. Sedangkan lambang nonverbal yaitu lambang yang digunakan dalam berkomunikasi yang bukan bahasa, namun merupakan isyarat dengan menggunakan anggota tubuh antara lain; mata, kepala, bibir, tangan dan lain sebagainya. Pola komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang pada media pertama. Komunikator yang 141
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 137 - 151
ISSN 2085-1979
menggunakan media kedua ini karena yang menjadi sasaran komunikasi yang jauh tempatnya atau banyak jumlahnya. Dalam proses komunikasi secara sekunder ini semakin lama akan semakin efektif dan efisien, karena didukung oleh teknologi informasi yang semakin canggih. Linear di sini mengandung makna lurus yang berarti perjalanan dari satu titik ke titik yang lain secara lurus yang berarti penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan sebagai titik terminal. Jadi dalam proses komunikasi ini biasanya terjadi dalam komunikasi tatap muka (face to face) tetapi juga adakalanya komunikasi bermedia. Dalam proses komunikasi ini pesan yang disampaikan akan efektif apabila ada perencanaan sebelum melaksanakan komunikasi. Sirkular secara harafiah berarti bulat, bundar atau keliling. Dan dlam proses sirkular itu terjadinya feedback atau umpan balik yaitu terbentuknya arus dari komunikan ke komunikator merupakan penentu utama keberhasilan komunikasi. Dalam pola komunikasi seperti ini proses komunikasi berjalan terus yaitu adanya umpan balik antara komunikator dan komunikan. Dari pengertian di atas maka suatu pola komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses mengkaitkan dua komponen yaitu gambaran atau rencana yang menjadi langkah-langkah pada suatu aktifitas dengan komponen-komponen yang merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan antar organisasi ataupun juga manusia. Dan hal yang dikatakan oleh DeVito tersebut, pada hakekatnya sama dengan konsep Komunikasi Interpersonal. Redding seperti yang dikutip (Muhammad, 2004) mengembangkan klasifikasi komunikasi interpersonal menjadi: 1. Interaksi Intim 2. Percakapan Sosial 3. Interogasi atau pemeriksaan 4. Wawancara Interaksi intim termasuk komunikasi di antara teman baik, anggota family, dan orang-orang yang sudah mempunyai ikatan emosional yang kuat. Percakapan sosial adalah interaksi untuk menyenangkan seseorang secara sederhana. Tipe komunikasi tatap muka penting bagi pengembangan hubungan informal dalam organisasi. Misalnya, dua orang atau lebih bersama-sama dan berbicara tentang perhatian, minat di luar organisasi seperti isu politik, teknologi, dan sebagainya. Interogasi atau pemeriksaan adalah interaksi antara seseorang yang ada dalam kontrol, yang meminta atau bahkakn menuntut informasi dari yang lain. Misalnya, seorang karyawan dituduh mengambil barang-barang organisasi maka atasannya akan menginterogasinya untuk mengetahui kebenarannya. Wawancara adalah salah satu bentuk komunikasi interpersonal di mana dua orang terlibat dalam percakapan yang berupa tanya jawab. Misalnya atasan yang mewawancarai bawahannya untuk mencari informasi mengenai suatu pekerjaannya. Berdasarkan penjelasan di atas maka komunikasi interpersonal merupakan suatu tindakan komunikasi dua arah baik secara verbal manapun nonverbal yang melibatkan rasa kedekatan emosional sehingga dapat mencapai tujuan pesan yang disampaikan. Sehingga ketika keberhasilan pesan yang disampaikan tercapai maka dalam aktivitas komunikasi interpersonal akan membuka sebuah konsep diri. Konsep diri merupakan pesan yang mencakup hal-hal yang dianggap “rahasia” dalam diri seseorang. Hal ini menimbulkan adanya rasa “keharusan” untuk berani mengungkapkan diri mengenai “rahasia” tersebut. Konsep diri memiliki keterkaitan dengan pengungkapan diri karena ketika seseorang memutuskan untuk mengungkapkan sebuah “rahasia” dalam dirinya maka 142
Suzy Azeharie: Pola Komunikasi Antara Pedagang Dan Pembeli Di Desa Pare, Kampung Inggris Kediri
konsep diri tersebut akan berkembang semakin kuat. Artinya pengungkapan diri membuat seseorang memiliki pandangan positif sehingga ia dapat menempatkan dirinya dalam lingkungannya dan merasa nyaman. Tidak berbeda dengan manusia sebagai mahluk sosial yang pada hakekatnya akan selalu berubah maka kebudayaan pun bersifat dinamis dan akan senantiasa mengalami perubahan secara perlahan lahan. Kenapa manusia senantiasa berubah? Sebab apabila manusia tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah maka ia diperkirakan tidak akan bertahan. Demikian juga terjadi pada budaya lokal yang telah ada selama beratus tahun. Secara perlahan tapi pasti langsung maupun tidak langsung sebuah kebudayaan akan mengalami perubahan akibat masuknya unsur unsur budaya baru. Oleh karena itu berikut ini akan dibahas beberapa konsep penting yang berhubungan dengan akuturasi budaya atau percampuran dan konsep pembauran budaya atau pembauran budaya. Akulturasi budaya atau percampuran budaya, istilah akulturasi budaya secara epistemologis berasal dari bahasa inggris yaitu acculturation. Menurut koentjaraningrat (1990:91) konsep akulturasi merujuk pada suatu proses sosial yang terjadi apabila terdapat sekelompok manusia yang telah memiliki budaya tertentu dan dihadapkan pada elemen elemen kebudayaan asing. Sebagai akibatnya menurut koentjaraningrat lebih lanjut unsur unsur kebudayaan asing tersebut diterima oleh individu dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri. Akan tetapi proses sosial ini tidak sampai menghilangkan kepribadian kebudayaan asli. Terdapat unsur-unsur universal yang merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini, adalah: Pembauran budaya atau asimilasi budaya. Konsep pembauran budaya berakar dari bahasa inggris yaitu assimilation. Secara harafiah pembauran budaya dapat diartikan sebagai proses perubahan kebudayaan secara total akibat membaurnya dua kebudayaan atau lebih sehingga ciri-ciri kebudayaan yang asli atau lama tidak tampak lagi (koentjaraningrat, 1996: 140-160). Menurut koentjaraningrat lebih lanjut pembauran adalah terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar kebudayaan yang berbeda. Setelah manusia tersebut berinteraksi secara intensif maka sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan masing-masing berubah menjadi unsur kebudayaan campuran. Proses pembauran budaya baru dapat berlangsung jika ada persyaratan tertentu yang mendukung berlangsungnya proses tersebut. Harsojo menyatakan bahwa dalam pembauran dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah sebagai berikut: a. Toleransi yaitu saling menghargai dan membiarkan perbedaan diantara setiap pendukung kebudayaan yang saling melengkapi sehingga masing masing pihak akan saling membutuhkan. b. Simpati adalah kontak yang dilakukan dengan masyarakat lainnya didasari oleh rasa saling menghargai dan menghormati. Misalnya dengan saling menghargai orang asing dan kebudayaan nya serta saling mengakui kelemahan dan kelebihannya sehingga akan mendekatkan masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan tersebut. c. Adanya sikap terbuka dari golongan yang berkuasa di dalam masyarakat. Misalnya dapat diwujudkan dalam kesempatan untuk menjalani pendidikan yang sama bagi golongan-golongan minoritas, pemeliharaan kesehatan ataupun penggunaan tempat-tempat rekreasi. Metode Penelitian Menurut Bogdan dan Taylor dalam Deddy Mulyana (2006), metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang digunakan untuk mendekati problem dan 143
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 137 - 151
ISSN 2085-1979
mencari jawaban. Bogdan dan Taylor menyatakan bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dengan mengarahkan latar dan individu secara holistic (Moleong, 2009). Sementara itu Rosady Ruslan menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang menghasilkan data abstrak atau tidak terukur tetapi menjelaskan dengan kata-kata. Penelitian kualitatif bertujuan untuk melakukan penafsiran terhadap fenomena sosial. Pengertian tersebut memberi makna bahwa dalam penelitian ini, individu ataupun organisasi tidak boleh diisolasi ke dalam variabel atau hipotesis tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Menurut Kriyantono (2006) riset kualitatif adalah riset yang menggunakan cara berpikir induktif yaitu cara berpikir yang berangkat dari hal-hal khusus (fakta empiris) menuju hal-hal yang umum (tataran konsep). Daymond dan Holloway menjelaskan karakteristik penelitian kualitatif (2001:5-6) yaitu: 1. Kata-kata (words). Penelitian kualitatif mempunyai fokus pada kata-kata daripada angka. 2. Keterlibatan peneliti (researcher involment). Dalam hal ini peneliti terlibat langsung dengan orang-orang di dalam organisasi maupun lapangan yang menjadi tujuan dalam penelitian. 3. Pandangan/opini partisipan (participant viewpoints). Sebuah keinginan untuk mengembangkan dan memberikan pandangan-pandangan subjektif partisipan yang digabungkan dengan penelitian kualitatif. Informasi yang diperoleh dari partisipan akan mempengaruhi pandangan peneliti dalam menulis sebuah penelitian. 4. Studi skala kecil (small case study). Penelitian kualitatif tertarik dalam penelitian mendalam, detail dan mendukung penjelasan holistik. 5. Fokus holistik (holistic focus). Penelitian kualitatif mengarah pada tingkatan yang luas pada hubungan aktivitas, pengalaman, kepercayaan dan nilai masyarakat dalam konteks dimana masyarakat berada. 6. Fleksibel (flexible). Prosedur penelitian kadang tidak terstruktur, dapat beradaptasi, namun juga spontan. Disinilah peneliti dituntut untuk bersikap fleksibel. 7. Proses. Lamanya proses penelitian berarti bahwa penelitian kualitatif bisa saja berubah akibat peristiwa dan tindakan serta perubahan budaya. 8. Natural setting (lingkungan yang alami). Investigasi kualitatif dilakukan dengan mengatur lingkungan yang alami seperti di dalam kantor partisipan, atau dimana partisipan berada. Natural setting dapat dilakukan dengan meneliti bangaimana mereka melakukan aktivitas mereka. 9. Induktif dan deduktif. Penelitian kualitatif diawali dengan alasan deduktif. Ini berarti bahwa ide pertama dari pengumpulan data dan menganalisis data. Kemudian ide-ide tersebut diuji dengan menghubungkan pada literatur dan pada kumpulan data dan analisa yang lebih lengkap (deduktif). Secara substansial ciri utama penelitian kualitatif yaitu di dalam analisis data terkandung muatan pengumpulan dan interpretasi data. Analisis data dalam penelitian kualitatif terdapat dalam beberapa model, yaitu: Model penelitian yang bersifat lapangan (field research). model penelitian yang bersifat bibliografis atau kepustakaan (library research). Penelitian bersifat bibliografis atau kepustakaan biasanya menekankan kekuatan analisis datanya pada sumber-sumber dokumentasi dan teori, atau hanya mengandalkan teori-teori saja untuk kemudian dianalisis dan 144
Suzy Azeharie: Pola Komunikasi Antara Pedagang Dan Pembeli Di Desa Pare, Kampung Inggris Kediri
diinterpretasikan secara luas, dalam, dan tajam. Metode yang digunakan peneliti berupa pengumpulan data, penggolongan data, penyimpulan data, dan penyajian data tersebut secara sistematis, jelas, dan akurat. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan model penelitian lapangan, observasi dan juga penelitian kepustakaan. Peneliti mengamati setiap kegiatan komunikasi yang menjadi pola antara pedagang dan pembeli serta proses akulturasi dan/atau asimilasi yang terjadi diantara keduanya. Data yang diperoleh di lapangan dipadukan dengan teori dan pendapat ahli kemudian ditarik kesimpulan dari hasil penelitian tersebut. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara mendalam kepada beberapa narasumber yang peneliti yakini dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Mereka adalah sebagai berikut. Pedagang dan pembeli menjadi informan dalam penelitian ini karena mempunyai pola komunikasi yang sejalan dengan Komunikasi Interpersonal. Proses penyampaian pesan seorang pedagang diharapkan dapat membantu peneliti dalam melaksanakan wawancara mendalam mengenai Pola Komunikasi. Peneliti mewawancarai seorang pedagang batagor bernama Toto usia 41 tahun yang secara aktif menggunakan Bahasa Inggris kepada pembeli hingga terjadi proses akulturasi diantara keduanya. Guru dan siswa juga menjadi pemberi informasi mendalam pada penelitian ini. Peneliti mewawancarai guru dan siswa di Basic English Course untuk mengetahui Pola Komunikasi yang terjadi diantara keduanya. Guru dan siswa merupakan responden yang terlibat dalam komunikasi dua arah dan dapat pula dilihat dari proses akulturasi saat kegiatan belajar mangajar Bahasa Inggris berlangsung. Masyarakat Kampung Inggris, Desa Pare, merupakan sebuah perkumpulan kelompok kecil yang menjadi bagian dari komunitas. Pola Komunikasi yang digunakan serta gaya hidup masyarakat dalam proses akulturasi juga menjadi bagian terpenting dalam penelitian ini. Hasil Penemuan dan Dikusi Kampung Inggris merupakan sebuah atau komunitas yang berbasis Bahasa Inggris. Terletak di Desa Pelem dan Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kampung Inggris didirikan oleh Mohammad Kalend pada tahun 1976. Sejarahnya diawali ketika tahun 1976 Mohammad Kalend (ketika itu berusia 27 tahun) seorang santri asal Kutai Kartanegara tengah menimba ilmu di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Di tahun kelima ia “nyantri” karena ketiadaan biaya Mohammad Kalend terpaksa meninggalkan bangku Pondok Pesantren Gontor. Dalam situasinya yang serba sulit itu seorang temannya memberitahukan adanya seorang guru yang baik dan pintar bernama Achmad Yazid di Desa Pare yang menguasai delapan bahasa asing. Kalend kemudian berniat berguru pada Achmad Yazid dengan harapan paling tidak dapat menguasai satu bahsa asing. Dalam wawancara bulan April 2015 yang dilakukan dengan Mohammad Kalend ia mengatakan cukup tahu diri untuk menguasai bahasa asing mengingat kemampuan dirinya yang relatif terbatas. Maka pergilah Mohammad Kalend ke Desa Pare dan tinggal di sebuah selasar mesjid kecil di Pesantren Darul Falah Desa Singgahan dan belajar pada Achmad Yazid (Wawancara dengan Mohammad Kalend, di Desa Pare Sabtu 24 April 2015 jam 08 WIB). Mohammad Kalend terus belajar Bahasa Inggris hingga pada satu hari datang dua orang tamu mahasiswa dari Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Kedatangan dua mahasiswa itu untuk belajar bahasa Inggris kepada Achmad Yazid 145
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 137 - 151
ISSN 2085-1979
sebagai persiapannya menghadapi ujian negara yang akan dihelat dua pekan berikutnya di kampus IAIN. Kebetulan saat itu Achmad Yazid tengah bepergian ke Majalengka selama satu bulan untuk suatu urusan sehingga kedua mahasiswa itu hanya ditemui oleh istri Achmad Yazid. Agar tidak mengecewakan kedua tamu yang telah datang dari jauh tersebut maka istri Achmad Yazid kemudian meminta kedua tamunya tersebut untuk belajar pada Mohammad Kalend. Kedua mahasiswa itu kemudian menyodorkan beberapa lembaran kertas yang berisi 350 soal berbahasa Inggris pada Mohammad Kalen dan lalu Kalend memeriksa soal-soal itu dan meyakini dapat mengerjakannya lebih dari 60 persen. Kalend menyanggupi permintaan istri Achmad Yazid dan akhirnya ia dan kedua mahasiswa IAIN tersebut mulai terlibat proses belajar mengajar yang dilakukan di serambi masjid area pesantren. Proses belajarnya pun tergolong relatif singkat yaitu hanya lima hari. Kebetulan buku pelajaran Bahasa Inggris yang digunakan kedua mahasiswa itu sama dengan buku pelajaran Bahasa Inggris yang dipakai oleh Mohammad Kalend yaitu buku “Nine Hundreds”. Ketika kedua mahasiswa ini kembali ke Surabaya dan berhasil lulus dalam ujian Bahasa Inggris maka keberhasilan dua mahasiswa itu tersebar di kalangan mahasiswa IAIN Surabaya. Akhirnya banyak dari mereka yang mengikuti jejak seniornya dengan belajar pada Mohammad Kalend. Promosi dari mulut ke mulut ini akhirnya menjadi awal terbentuknya kelas pertama Bahasa Inggris di Desa Pare dan cikal bakal terbentuknya Kampung Inggris. Sejak tahun 1976 itulah Mohammad Kalend merintis sebuah tempat kursus Bahasa Inggris yang dinamakan Basic English Course dan resmi berdiri tanggal 15 Juni 1977 dengan peserta sebanyak enam siswa. Para siswa di Basic English Course tersebut terus dibina dan dididik tidak hanya dalam kemampuan Bahasa Inggris namun juga ilmu agama serta kecakapan akhlak. Setelah sekitar tiga tahun mengajar Bahasa Inggris secara pro bono maka baru tahun 1990 didorong oleh dua orang muridnya Mohammad Kalend mulai menarik iuran belajar Bahasa Inggris dari setiap muridnya sebesar Rp.100 rupiah setiap anak setiap bulannya. Mohammad Kalend juga mendorong alumni Basic English Course untuk membuat lembaga kursus Bahasa Inggris guna menampung pelajar yang tidak mendapat tempat belajar di Basic English Course akibat semakin melubernya calon siswa yang datang untuk belajar Bahasa Inggris ke Desa Pare. Lambat laun lembaga kursus di Desa Pare semakin bertambah banyak jumlahnya. Saat ini ada sekitar 150 buah lembaga kursus Bahasa Inggris yang berlokasi di desa Pare. Yang menarik semua lembaga kursus tersebut mampu berjalan dengan relative harmonis tanpa ada gesekan yang berarti. Hal tersebut disebabkan antara lain para pendiri lembaga kursus itu rata-rata adalah alumni Basic English Course dan mempunyai ikatan sejarah yang sama yaitu sama-sama belajar dari satu guru yaitu Mohammad Kalend. Hingga tahun 2015 jumlah lulusan Basic English Course berjumlah 22.000 orang. Sejalan dengan berkembangnya kursus Bahasa Inggris di tempatnya maka Mohammad Kalend mulai mempraktikkan bercakap dalam Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari dengan masyarakat sekitar. Dari kebiasaan Mohammad Kalend bercakap menggunakan Bahasa Inggris maka secara perlahan masyarakat di Kampung Inggris terbiasa bercakap dalam Bahasa Inggris juga dalam kehidupan sehari hari mereka. Ketika peneliti melakukan penelitian di Kampung Inggris Desa Pare maka seorang pedagang batagor bernama Toto diwawancarai dan diamati. Toto adalah seorang pedagang batagor berusia 41 tahun. Gerobak batagornya diletakan tepat 146
Suzy Azeharie: Pola Komunikasi Antara Pedagang Dan Pembeli Di Desa Pare, Kampung Inggris Kediri
diseberang gerbang Basic English Course. Ia mulai berjualan di tempat itu sejak tahun 2012. Toto yang memiliki dua orang anak masing masing sudah di tingkat Sekolah Dasar dan yang bungsu di Taman Kanak Kanak. Sejak hampir 11 bulan yang lalu ia belajar Bahasa Inggris yang diadakan oleh Basic English Course khusus untuk pedagang. Selama wawancara berlangsung Toto menggunakan Bahasa Inggris yang meskipun sederhana akan tetapi tampak jelas bahwa ia mengerti isi pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dalam Bahasa Inggris. Menurut Toto sejak ia belajar Bahasa Inggris maka ia menganut tag line “no English no service” untuk membiasakan pelanggan maupun dirinya sendiri berbahasa Inggris. Hal itu terbukti karena ketika wawancara berlangsung beberapa siswa laki laki mendatangi Toto dan berbicara dalam Bahasa Inggris seperti “I want two batagor”. Dan sejak ia ikut kursus Bahasa Inggris maka setiap pelanggan yang datang semuanya berbicara dalam Bahasa Inggris. Bila dikaitkan dengan teori komunikasi maka yang dilakukan Toto adalah bentuk komunikasi verbal yaitu seperti yang dikatakan oleh Deddy Mulyana interaksi antara manusia dengan menggunakan kata kata lisan (Mulyana, 2002). Komunikasi verbal yang dilakukan oleh Toto adalah dengan menanyakan dalam Bahasa Inggris kabar pelanggan dan berapa buah batagor yang diinginkan serta menyebut jumlah yang harus dibayar oleh pembeli. Ketika Toto kemudian mengatakan dalam Bahasa Inggris bahwa ia tidak memiliki uang kembalian dan meminta pelanggannya membayar lain waktu, maka pelanggannya mencari cari uang pas dari saku kemeja yang ia kenakan dan kemudian memberikan uang pas yang sesuai dengan harga batagor. Interaksi dalam komunikasi verbal ini juga dilakukan Toto seiring dengan penggunaan komunikasi non verbal yaitu berupa ekspresi wajah maupun sikap tubuh misalnya ketika ia menyapa pelanggan maka senyum lebar terkembang di wajah Toto dan sikap tubuh yang sigap melayani pelanggannya dengan mengambil batagor sesuai jumlah yang diinginkan dan kemudian memasukkannya kedalam kantong plastik dan lalu menyiramnya dengan saus kacang. Hal tersebut sejalan dengan pengelompokan pesa pesan komunikasi non verbal yang dikemukakan oleh Jalaludin Rakhmat (2004:287) yaitu: Pesan Kinesika yang menggunakan gerakan tubuh dan terdiri dari tiga komponen utama yaitu: facial kemudian pesan gestural dan pesan postural. Pesan facial adalah pesan yang menggunakan mimik wajah untuk mengekspresikan sebuah makna. Toto misalnya tampak bahagia dan bersemangat ketika pagi itu diobservasi melayani pelanggannya. Sementara pesan gestural adalah adalah pesan yang menunjukan gerakan sebagian anggota badan seperti tangan. Toto ketika melayani pelanggannya bersikap sangat tangkas mencapit beberapa buah batagor menggunakan pencapit khusus, memasukan batagor kedalam kantung plastik dan menyiram dengan kuah kacang. Sementara pesan Postural yang dilakukan Toto adalah dengan menunjukan kesukaannya terhadap lawan bicara dengan cara mencondongkan badannya mendekati pelanggan (immediacy). Sementara postur tubuh Toto juga jelas menunjukan sikap yang sangat responsive (responsiveness). Apabila dikaitkan dengan konsel. Pola Komunikasi maka bentuk komunikasi yang dilakukan Toto dapat dimasukan kedalam Pola Komunikasi Primer yang menurut DeVito (1997: 30) berarti proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan simbol sebagai saluran. Dalam Pola Komunikasi Primer simbol dibagi dua yaitu simbol verbal dan simbol nonverbal. Simbol verbal adalah penggunaan bahasa yang digunakan oleh Toto dan kedua pelanggannya karena pemakaian bahasa dianggap mampu untuk mengungkapkan pikiran komunikator. Selain bahasa menurut DeVito juga digunakan 147
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 137 - 151
ISSN 2085-1979
simbol yang bukan merupakan bahasa misalnya dengan pemakaian anggota tubuh seperti mata, kepala, tangan dan gestures. Dalam konteks konsep komunikasi interpersonal maka bentuk komunikasi yang dilakukan antara Toto dengan dua pelanggannya menurut Danny DeVito dapat dikategorikan kedalam komunikasi interpersonal. Menurut DeVito dalam buku Onong Uchyana Effendy, komunikasi interpersonal merupakan penyampaian pesan oleh satu orang kepada orang lain dengan peluang memberikan umpan balik segera. Ketika pelanggan datang dan ingin membeli batagor maka Toto segera menyiapkan batagor sesuai dengan yang diinginkan pelanggan. Diantara keduanya pun terjadi percakapan yang hangat disertai mimik wajah keduanya yang bersahabat dan dipenuhi senyum. Tujuan Toto maupun kedua pelanggannya bersikap hangat dan bersahabat karena salah satu tujuan komunikasi interpersonal menurut Widjaja adalah untuk menciptakan dan memelihara hubungan dekat dengan orang lain (2000:12). Karena apabila Toto tidak bersikap ramah maka pelanggannya akan pergi membeli makanan dari pedagang lain yang banyak sekali terdapat di Kampung Inggris Desa Pare. Sebaliknya apabila pelanggannya bersikap dingin maka kemungkinan besar Toto akan bersikap separuh hati. Untuk belajar di Basic English Course yang beralamat di jalan Anyelir no 8, RT/RW 02/XII Singgahan Desa Pelem, maka seorang calon siswa harus lulus ujan seleksi terlebih dahulu. Karena kuota setiap kali penerimaan cukup ketat yaitu hanya menerima 400 siswa terdiri dari 200 siswi dan 200 siswa. Setiap siswa yang sudah lolos ujian masuk maka wajib menempuh Basic Training Class yang lamanya satu bulan. Materi yang diberikan dalam Bahasa Indonesia dan yang diajarkan adalah : English in Use Grammar yang meliputi 16 tenses, pronoun, conditional sentence dan no-any. Kemudian ada program tambahan berupa Study Club yang berlangsung empat kali dalam satu minggu yaitu pada hari Senin sampai Kamis. Kemudian ada lagi program tambahan Nightly Speaking yang dilaksanakan dua kali seminggu yaitu hari Senin dan Rabu atau hari Selasa dan Kamis. Selanjutnya terdapat Bimbingan Guru yang berlangsung empat kali dalam seminggu yaitu dari hari Senin sampai Kamis. Selanjutnya Basic English Course masih menyiapkan Extra Program yang meliputi: Speaking and Pronounciation, Grammar and Structure ditambah Vocabulary. Untuk mengevaluasi kemajuan siswa maka setiap minggu pihak Basic English Course mengadakan evalusi mingguan berupa ujian tulis harian setiap seminggu sekali atau Daily Exercise dan pada setiap hari Jumat dilaksanakan ujian lisan atau Oral Exam dengan guru kelas. Pada akhir program akan diadakan ujian akhir yaitu ujian tulis untuk naik program berikutnya yaitu ke kelas Candidate of Training Class atau CTC. Untuk tingkatan ini program tambahan yang dilaksanakan adalah sebagai berikut: Study Club yang dilangsungkan empat kali seminggu yaitu mulai hari Senin sampai Kamis. Kemudian ada Night Speaking yang berlangsung dua kali seminggu yaitu hari Senin dan Rabu atau hari Selasa dan Kamis. Kemudian ada Bimbingan Guru berupa Extra Program yang dilaksanakan empat kali seminggu yaitu hari Senin sampai Kamis. Materi yang diberikan dalam Extra Program ini adalah Speaking and Pronounciation, Grammar and Structure ditambah Vocabulary. Pada hari Jumat sebelum atau sesudah ujian lisan atau Oral Exam maka diadakan Weekly Meeting dengan guru kelas. Lalu untuk mengevalusi kemajuan siswa maka diadakan evaluasi yaitu ujian tulis harian setiap seminggu sekali atau dikenal dengan Daily Exercise. Kemudian ada ujian lisan atau Oral Exam setiap hari Jum’at dengan guru kelas. Dan di akhir program akan diadakan ujian akhir atau ujian tulis untuk naik program berikutnya. Diikuti oleh pemberian pengarahan naik 148
Suzy Azeharie: Pola Komunikasi Antara Pedagang Dan Pembeli Di Desa Pare, Kampung Inggris Kediri
program oleh Direktur Basic English Course. Ketika peneliti datang melakukan penelitian di Basic English Course pada hari Jumat 24 April 2015 sekitar jam 8 malam ternyata kampus Basic English Course telah tutup. Demikian juga warung warung makanan yang ada disekitar Jalan Anyelir di Singgahan. Baru keesokan harinya hari Jumat 25 April 2015 pagi hari sejak jam 7.30 pagi peneliti kembali mengunjungi basic English Course dan bertemu dengan Lina seorang pengajar di Basic English Course. Karena materi pembelajaran secara formal tidak diberikan pada hari Sabtu maka peneliti melakukan observasi bagaimana kelas hari Sabtu yang merupakan kelas tambahan bagi siswa. Pada satu kelas siswa diminta untuk melakukan pidato singkat dalam Bahasa Inggris dihadapan beberapa siswa lainnya. Meskipun berpidato tidak dapat dimasukan sebagai bentuk komunikasi interpersonal akan tetapi berbicara dihadapan sejumlah orang menurut DeVito masih masuk dalam komunikasi verbal. Dan menurut DeVito dapat dikategorikan sebagai bentuk Rhetorical Speech yaitu bentuk komunikasi verbal yang berfokus pada sifat konatif atau perilaku. Gaya bicara Rhetorical Speech mencoba untuk membentuk perilaku pendengar sesuai dengan yang diinginkan oleh pembicara. Selain itu ketika seorang siswa berpidato maka ia menggunakan tiga komponen utama komunikasi non verbal yaitu penggunaan pesan facial, penggunaan pesan gestural dan penggunaan pesan postural yaitu dengan antara lain menunjukan responsiveness yaitu postur tubuh yang menunjukan sikap yang responsive terhadap pendengar. Menurut Lina guna membuat siswa semakin cepat menguasai Bahasa Inggris maka metode pengajaran dikombinasikan antara pemberian materi sesuai kurikulum dan simulasi yaitu mengharuskan siswa berpidato dalam Bahasa Inggris, kemudian membuat sebuah drama dalam Bahasa Inggris dan dengan menyanyikan lagu lagu popular. Dengan demikian siswa terbiasa tampil di depan umum dan berpidato dalam Bahasa Inggris. Secara keseluruhan terlihat bahwa siswa umumnya sangat antusias dan bersemangat dalam mengikuti pelajaran. Siswa juga sangat responsif ketika tiba waktu tanya jawab dengan guru maupun dengan penyaji pidato. Yang menjadi perhatian peneliti juga adalah pemilik Basic English Course mencoba menerapkan moral etika Islami di lingkungan kampus terutama bagi siswi perempuan. Hal tersebut tampak jelas karena kewajiban bagi siswi perempuan yang beragama Islam adalah untuk menutup kepalanya dengan kerudung dan berbaju rok panjang. Sementara bagi siswi non muslim diwajibkan untuk berbusana panjang menutupi kaki. Seperti telah dikemukakan di atas sejak tanggal 15 Juni 1977 Basic English Course dengan pemrakarsanya Mohammad Kalend berdiri secara resmi di Desa Pare. Desa ini yang dulu merupakan sebuah lahan subur dan luas dengan sekitar 18,000 petani yang bekerja mengolah lahannya sekarang lebih dikenal sebagai Kampung Inggris. Meskipun Mohammad Kalend pribadi kurang menyukai sebutan “Kampung Inggris” tersebut karena seolah memiliki konotasi bahwa setiap orang di Desa Pare tersebut dapat bercakap dalam Bahasa Inggris namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa sejak sekitar tahun 2000an Desa Pare telah berubah menjadi sebuah kampung yang berbasis agrikultur menjadi kampung industri. Karena saat ini ada sekitar 150 buah kursus Bahasa Inggris yang terdapat di Desa ini. Dan sekitar 10 ribu siswa yang datang ke Desa Pare ini ketika musim libur sekolah tiba yaitu antar periode bulan Juni sampai Juli. Untuk memenuhi kebutuhan siswa sebanyak itu maka berbagai industri skala rumah tangga bermunculan. Misalnya yang pasti adalah tempat kost atau asrama. Nyaris setiap rumah di sepanjang Jalan Anyelir menyiapkan tempat kost baik bagi 149
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 137 - 151
ISSN 2085-1979
siswa maupun siswi. Lalu yang menyolok lagi adalah munculnya berbagai warung makanan yang menjual berbagai makanan seperti pecel sayur, nasi rawon, mie rebus atau sekadar tempat kopi. Ada juga yang mencuri perhatian yaitu menjamurnya tempat penyewaan sepeda. Sepeda bisa disewa dengan biaya Rp. 70 ribu rupiah perbulan. Kemudian banyak rumah yang membuka bisnis penatu dan fotocopy. Bahkan juga toko buku kecil dan sederhana. Yang menarik adalah ketika menyusuri Jalan Anyelir di Desa Pare maka hampir tidak ditemui warung makanan Barat seperti hamburger atau hotdog atau fried chicken. Yang ada adalah warung warung makanan tradisional atau jajanan sederhana. Apabila fenomena ini dikaitkan dengan konsep akulturasi menurut Koentjaraningrat (1990:91) maka yang terjadi di Desa Pare adalah terjadinya suatu proses sosial masuknya budaya baru pada sekelompok individu yang telah memiliki budaya tersendiri. Dan sebagai akibatnya menurut Koentjaraningrat unsur unsur kebudayaan asing tersebut diterima oleh individu dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri. Akan tetapi proses sosial ini tidak menghilangkan kepribadian kebudayaan asli. Tampaknya penduduk Desa Pare menerima Bahasa Inggris sebagai bagian dari kebudayaan baru masyarakat. Menyadari pula bahwa dengan penguasaan Bahasa Inggris maka kesempatan bagi anak anak muda Pare untuk bekerja dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik terbuka luas. Akan tetapi tampaknya juga akulturasi budaya yang terjadi hanya sebatas pada penggunaan Bahasa Inggris secara meluas dan dalam pada masyarakat Desa tersebut. Namun penggunaan Bahasa Jawa sebagai Bahasa Ibu masyarakat masih tetap kental di pakai di rumah dengan sesama anggota keluarga. Hal tersebut terbukti dari wawancara dengan Toto pedagang batagor, ibu penjual pecel di seberang kampus Basic English Course maupun dengan Ibu Iin seorang pengajar Bahasa Inggris yang mengungkap bahwa dengan sesame anggota keluarga mereka masih bercakap dalam Bahasa Inggris dan memasak makanan tradisional Jawa. Sementara sesama siswa menggunakan Bahasa Inggris hampir 24 jam dalam sehari selama satu minggu. Simpulan Basic English Course yang ebroperasi secara resmi sejak tahun 1977 ternyata membawa pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat di Desa Pare. Perubahan itu antara lain: berlalihnya mata pencaharian penduduk yang secara tradisional adalah petani menjadi pemilik khusus bahasa inggris, menyewakan rumah kos, membuka warung minuman dan makanan, membuka rental sepeda, membuka tempat fotocopy, tempat fitness, dsb. Pola komunikasi yang terjadi antara pedangan dan pembeli di Desa Pare khususnya pedagang batagor dan ibu pecel berlangsung secara primer, yang artinya slaing bertatap muka akan tetapi menggunakan bahasa inggris dalam berkomunikasi. Penggunaan bahasa inggris membuat masyarakat Desa Pare menjadi sadar betapa pentingnya penguasaan bahasa inggris guna mencari pekerjaan yang lebih baik atau untuk memasuki dunia perguruan tinggi. Untuk penelitian berikutnya akan menarik bila melihat bagaimana proses akulturasi budaya terjadi di kalangan masyarakat Desa Pare dan bagaimana akulturasi tersebut membawa perubahan pada pola piker masyarakat, misalnya apakah masyarakat ingin menyelohkan anaknya setinggi mungkin atau apakah usia pernikahan menjadi semakin tinggi, apakah sektor agrikultur masih menjadi pilihan utama masyarakat, bagaimana pola pengasuhan anak.
150
Suzy Azeharie: Pola Komunikasi Antara Pedagang Dan Pembeli Di Desa Pare, Kampung Inggris Kediri
Daftar Pustaka Arni, Muhammad. (2004). Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Daymond, Christine, dan Immy Holloway. (2001). Metode-Metode Riset Kualitatif: Dalam Public Relations dan Marketing Communications. Yogyakarta: Penerbit Bentang. DeVito, J.A. (1997). Human Communicationn. New York: Harper Collinc College Publisher. DeVito, J.A. (2007). The Interpersonal Communications Book. USA: Pearson Education. Effendy, Onong Uchjana. (2003). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Cetakan Kesembilan Belas. Bandung: Remaja Rosdakarya. Effendy, Onong Uchana. (2006). Hubungan Masyarakat. Bandung: Remaja Rosdakarya. Harsojo. (1967). Pengantar Antropologi. Bandung: Bina Cipta. Koentjaraningrat. (1990). Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesia. Koentjaraningrat. (1996.) Pengantar Ilmu Antropologi. Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta. Kriyantono, Rachmat. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. L. Tubbs, Stewart, dan Moss, Sylvia. (2008). Human Communication: Prinsip-Prinsip Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Liliweri, Alo. (1997). Komunikasi Antar Pribadi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Liliweri, Alo. (2003). Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moleong, Lexy J. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. (2000). Ilmu Komunikasi, Pengantar. Bandung: Remaja Rosadakarya. Mulyana, Deddy. (2002). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nasution, S. (1996). Metode Penelitian Naturalistik - Kualitatif. Bandung: Tarsito Rakhmat, Jalaludin. (1998). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rakhmat, Jalaludin. (2000). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rakhmat, Jalaludin. (2004). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ruslan, Rosady. (2006). Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi: Konsepsi dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sendjaja, S. Djuarsa. (2005). Teori Komunikasi. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Soerjono, Soekanto. (2001). Sosiologi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Suyanto, Bagong., dan Sutinah. (2011). Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan. Edisi Revisi. Jakarta: Kencana. Umar, Husein. (2008). Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Edisi Kedua. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. West, Richard.,& Turner, Lynn H. (2008). Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika. Widjaja. (2000). Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
151
Lusia Savitri Setyo Utami: Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya
TEORI-TEORI ADAPTASI ANTAR BUDAYA Lusia Savitri Setyo Utami Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, Jakarta Email :
[email protected] Abstract This paper is a literature review of the theories of Intercultural Adaptation. The theory was included in the study Intercultural Communication (KAB). Adaptation is a problem that needs to be solved when a person or group of people communicate with others from different cultures. Cross-cultural adaptation process is an interactive process that evolves through communication activities between individual entrants with new socio-cultural environment. This paper uses a qualitative approach with descriptive analysis method. Through a case study, this paper presents how the theories of inter-cultural adaptations are implemented in the pattern of intercultural communication in everyday life when someone does adaptation, especially with a different culture from them. In this paper described five inter-cultural adaptation theory, namely Integrative Communication Theory, Anxiety / Uncertainty Management Theory, Uncertainty Reduction Theory, Theory of Acculturation and Culture Shock, and Co-cultural Theory. Theories of Intercultural Adaptation explains that adaptation is a collaboration of migrants effort and local environmental acceptance. Achieving maximum intercultural adaptation is when each individual entrants and individual local culture accept their culture of each other. Keywords: KAB, Adaptation, Culture, Theory, Acculturation Abstrak Tulisan ini merupakan sebuah literature review mengenai teori-teori Adaptasi Antar Budaya. Teori ini termasuk di dalam kajian Komunikasi Antar Budaya (KAB). Adaptasi merupakan suatu problema yang perlu dipecahkan ketika seseorang ataupun sekelompok orang berkomunikasi dengan pihak lain yang berbeda budaya. Proses adaptasi antar budaya merupakan proses interaktif yang berkembang melalui kegiatan komunikasi individu pendatang dengan lingkungan sosial budayanya yang baru. Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis deskriptif. Melalui sebuah contoh kasus, tulisan ini menghadirkan bagaimana teori-teori adaptasi antar budaya tersebut diimplementasikan dalam pola komunikasi antar budaya sehari-hari ketika seseorang melakukan adaptasi, terutama dari sebuah budaya yang berbeda darinya. Di dalam tulisan ini dideskripsikan lima buah teori adaptasi antar budaya, yaitu Integrative Communication Theory, Anxiety/Uncertainty Management Theory, Uncertainty Reduction Theory, Teori Akulturasi dan Culture Shock, dan Co-cultural Theory. Teori-teori Adaptasi Antar Budaya tersebut menjelaskan bahwa adaptasi merupakan kolaborasi dari usaha pendatang dan penerimaan lingkungan setempat. Tercapainya adaptasi antar budaya yang maksimal adalah ketika masing-masing individu pendatang dan individu budaya setempat saling menerima budaya mereka satu sama lain. Kata Kunci: KAB, Adaptasi, Budaya, Teori, Akulturasi
Pendahuluan Sebagai salah satu topik kajian dalam komunikasi antar budaya, adaptasi merupakan suatu problema yang perlu dipecahkan ketika seseorang ataupun sekelompok orang berkomunikasi dengan pihak lain yang berbeda budaya. Adaptasi dalam kajian komunikasi antar budaya ini pada umumnya dihubungkan dengan 152
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 152 - 167
ISSN 2085-1979
perubahan dari masyarakat atau bagian dari masyarakat. Seseorang yang memilih strategi adaptif cenderung memiliki kesadaran yang tinggi terhadap harapan dan tuntutan dari lingkungannya, sehingga siap untuk mengubah perilaku. Gudykunts dan Kim (2003) menyatakan bahwa motivasi setiap orang untuk beradaptasi berbeda-beda. Kemampuan individu untuk berkomunikasi sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang baru tergantung pada proses penyesuaian diri atau adaptasi mereka. Walaupun demikian, setiap orang harus menghadapi tantangan beradaptasi agar dapat bermanfaat bagi lingkungan barunya. Lebih lanjut Gudykunts dan Kim (2003) menegaskan bahwa setiap individu harus menjalani proses adaptasi di kala bertemu ataupun berinteraksi dengan lingkungan dan budaya yang berbeda dengannya. Berdasarkan penelitian, Kim menemukan ada dua tahap adaptasi, yaitu cultural adaptation dan cross-cultural adaptation. Cultural adaptation merupakan proses dasar komunikasi yaitu di mana ada penyampai pesan, medium dan penerima pesan, sehingga terjadi proses encoding dan decoding. Proses ini didefinisikan sebagai tingkat perubahan yang terjadi ketika individu pindah ke lingkungan yang baru. Terjadi proses pengiriman pesan oleh penduduk lokal di lingkungan baru tersebut yang dapat dipahami oleh individu pendatang, hal ini dinamakan enculturation. Enculturation terjadi pada saat sosialisasi.
Gambar 1. Hubungan antara istilah kunci dalam Adaptasi Antar Budaya (Sumber: Kim, 2001) Tahap yang kedua adalah cross-cultural adaptation. Cross-cultural adaptation meliputi tiga hal yang utama. Pertama, acculturation. Proses ini terjadi ketika individu pendatang yang telah melalui proses sosialisasi mulai berinteraksi dengan budaya yang baru dan asing baginya. Seiring dengan berjalannya waktu, pendatang tersebut mulai memahami budaya baru itu dan memilih norma dan nilai budaya lokal yang dianutnya. Walaupun demikian, pola budaya terdahulu juga mempengaruhi proses adaptasi. Pola budaya terdahulu yang turut mempengaruhi ini disebut deculturation yang merupakan hal kedua dari proses adaptasi. Perubahan akulturasi tersebut mempengaruhi psikologis dan perilaku sosial para pendatang dengan identitas baru, norma dan nilai budaya baru. Inilah yang kemudian memicu terjadinya resistensi terhadap budaya baru. Sehingga bukannya tidak mungkin pendatang akan mengisolasi diri dari penduduk lokal. Namun, harus kembali dipahami bahwa dalam proses adaptasi ada yang berubah dan ada yang tidak berubah. Gudykunts dan Kim (2003) menyatakan bahwa 153
Lusia Savitri Setyo Utami: Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya
kemungkinan individu untuk mengubah lingkungan sangatlah kecil. Hal tersebut dikarenakan dominasi dari budaya penduduk lokal yang mengontrol kelangsungan hidup sehari-hari yang dapat memaksa para pendatang untuk menyesuaikan diri. Hal yang ketiga adalah tahap paling sempurna dari adaptasi, yaitu assimilation (Gudykunts dan Kim, 2003). Assimilation adalah keadaan dimana pendatang meminimalisir penggunaan budaya lama sehingga ia terlihat seperti layaknya penduduk lokal. Secara teori telihat asimilasi terjadi setelah adanya perubahan akulturasi, namun pada kenyataanya asimilasi tidak tercapai secara sempurna. Menurut Kim, proses adaptasi antar budaya merupakan proses interaktif yang berkembang melalui kegiatan komunikasi individu pendatang dengan lingkungan sosial budayanya yang baru. Adaptasi antar budaya tercermin pada adanya kesesuaian antara pola komunikasi pendatang dengan pola komunikasi yang diharapkan atau disepakati oleh masyarakat dan budaya lokal/setempat. Begitupun sebaliknya, kesesuaian pola komunikasi inipun menunjang terjadinya adaptasi antar budaya. Tulisan ini merupakan sebuah literature review mengenai teori-teori komunikasi antar budaya terutama dalam konteks adaptasi antar budaya. Melalui sebuah contoh kasus, tulisan ini menghadirkan bagaimana teori-teori adaptasi antar budaya tersebut diimplementasikan dalam pola komunikasi antar budaya sehari-hari ketika seseorang melakukan adaptasi, terutama dari sebuah budaya yang berbeda darinya. Metode Penelitian Tulisan literature review ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis deskriptif. Literature review berisi ulasan, rangkuman, dan pemikiran tentang beberapa sumber pustaka (artikel, buku, slide, informasi dari internet, dan sebagainya) sesuai dengan topik yang dibahas. Landasan teori, tinjauan teori, dan tinjauan pustaka merupakan beberapa cara untuk melakukan literature review. Literature review merupakan suatu cara untuk menemukan, mencari artikelartikel, buku-buku dan sumber-sumber lain seperti tesis, disertasi, prosiding, yang relevan pada suatu isu tertentu atau teori atau riset yang menjadi ketertarikan penulis. Dalam melakukan review terhadap literatur, yang perlu dilihat adalah perlunya menganalisis, mensintesis, meringkas, atau membandingkan literatur yang satu dengan yang lainnya. Literature review membantu penulis untuk menguraikan bagaimana landasan-landasan yang digunakan dalam sebuah riset. Tujuan literature review adalah sebagai berikut: 1. Memaparkan hubungan dari setiap bahan tulisan satu dengan yang lainnya yang terkait dengan topik tulisan 2. Mengidentifikasi cara baru dalam menterjemahkan dan mempersempit jarak yang ada dalam penelitian sebelumnya 3. Menyelesaikan konflik antara studi sebelumnya yang saling kontradiksi 4. Memandu langkah lanjutan untuk penelitian selanjutnya 5. Menempatkan pekerjaan original dalam konteks literatur yang ada Lebih digambarkan secara jelas juga di dalam contoh kasus yang diambil di dalam pembahasan.
154
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 152 - 167
ISSN 2085-1979
Hasil Penelitian dan Diskusi Dalam rangka mencapai adaptasi antar budaya, ataupun mencapai penyesuaian diri pada budaya dan lingkungan baru, atau bahkan sampai akulturasi, dapat dianalisis dengan menggunakan teori-teori yang membahas tentang adaptasi antar budaya. Terdapat beberapa teori yang juga telah dibahas sebelumnya, sehubungan dengan adaptasi antar budaya. Selanjutnya, di dalam tulisan ini akan dideskripsikan terlebih dahulu masing-masing teori tersebut. Integrative Communication Theory. Teori ini dikemukakan oleh Kim Young Yun yang sekarang adalah pengajar di Oklahoma University. Kim melakukan penelitian kepada para pendatang yang menetap di Chicago, Amerika Serikat, khususnya yang berasal dari Korea untuk disertasi doktoralnya pada 1977.
Gambar 2. Model ICT (Sumber: Kim) Kim dalam bukunya Becoming Intercultural: An Integrative Theory and Cross Cultural Adaptation (sebelumnya berjudul Cross Cultural Adaptation: An Integrative Theory) menyatakan bahwa sebagai makhluk sosial sudah selayaknya terjadi interaksi di antara masyarakat. Namun, kemampuan individu untuk berkomunikasi sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai budaya lokal tergantung pada proses penyesuaian diri atau adaptasi para pendatang (Gudykunts dan Kim, 2003). Dari penelitiannya tersebut kemudian Kim mengidentifikasi lima hal yang menjadi faktor dalam adaptasi yaitu personal communication, host social communication, ethnic social communication, environment, dan predisposition. Faktor-faktor ini mempunyai dampak pada apa yang disebut dengan transformasi antar budaya (intercultural transformation), yang merupakan proses untuk mencapai functional fitness, psychological health, dan intercultural identity. Secara jelas, kelima faktor penting dalam proses adaptasi tersebut digambarkan dalam model berikut : Personal Communication, atau komunikasi personal terjadi apabila seseorang merasakan adanya hal-hal yang terdapat dalam lingkungannya, kemudian memberi makna serta mengadakan reaksi terhadap obyek maupun orang lain yang terdapat 155
Lusia Savitri Setyo Utami: Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya
dalam lingkungannya tersebut. Dalam tahap ini terjadi proses penyesuaian dengan menggunakan kompetensi komunikasi pribadi yang diturunkan menjadi tiga bagian yaitu kognitif, afektif, dan operasional. Hal ini terjadi di dalam diri pribadi individu. Aspek kognitif dari kompetensi komunikasi dipisahkan ke dalam pengetahuan individu tentang sistem komunikasi, pemahaman kultural, dan kompleksitas kognitif. Aspek afektif dalam kompetensi komunikasi di sini merupakan komposisi dari motivasi adaptasi individu, fleksibilitas identitas, dan estetika orientasi bersama. Selanjutnya, aspek operasional atau kemampuan untuk mengekspresikan kognitif dan pengalaman afektif individu secara terlihat melalui aspek perilakunya atau secara spesifik menunjukkan kompetensi komunikasinya itu. Pencapaian kompetensi komunikasi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan umum manusia, yaitu mengatasi lingkungannya terutama jika itu adalah lingkungan baru. Kompetensi komunikasi adalah kemampuan untuk secara efektif berhubungan dengan orang-orang lain. Selanjutnya, ada host social communication dan ethnic social communication. Keduanya sama-sama terdiri dari dua macam komunikasi yaitu komunikasi interpersonal dan komunikasi massa. Komunikasi interpersonal mengacu pada interaksi antara individu yang satu dengan yang lain pada level interpersonal, bedanya jika host social communication terjadi antara individu pendatang dengan individu dari budaya setempat sehingga ada perbedaan budaya antara keduanya, sedangkan ethnic social communication terjadi antara individu-individu dengan latar belakang budaya yang sama, misalnya individu pendatang berinteraksi dengan individu yang mempunyai asal dan budaya yang sama dengannya. Adapun komunikasi massa di sini sehubungan dengan sarana-sarana yang digunakan dalam mendistribusikan dan mengabadikan budaya. Hal tersebut meliputi baik media seperti radio, televisi, suratkabar, dan internet; dan juga non media yang berbasis institusi seperti sekolah, agama, kantor, bioskop ataupun tempat umum apapun di mana komunikasi terjadi dalam bentuk ritual budaya. Komunikasi massa ini berfungsi sebagai tenaga dalam proses adaptasi dengan melakukan transmisi topik peristiwa-peristiwa, nilai-nilai sosial, norma perilaku, perspektif interpretasi lingkungan tradisional. Komunikasi massa ini berarti adanya interaksi antara individu dengan massa baik melalui media maupun non media, bedanya jika host social communication interaksi terjadi antara individu pendatang dengan budaya setempat yang baru baginya, sedangkan ethnic social communication interaksi terjadi antara individu pendatang dengan budaya asalnya atau yang sudah dikenalnya. Faktor berikutnya yaitu environment yang dibagi menjadi penerimaan tuan rumah, tekanan akan adanya kesesuaian dari tuan rumah, dan kekuatan kelompok etnis. Penerimaan tuan rumah mengacu pada kemauan dari budaya setempat untuk menerima dan mengakomodasi pendatang melalui kesempatan ikut berperan serta dalam komunikasi sosial. Dari perspektif pendatang, hal ini dapat dianggap akses untuk masuk, atau kesempatan untuk mendapatkan kontak. Tekanan akan adanya kesesuaian dari tuan rumah merupakan kombinasi dari tekanan yang sadar maupun tidak sadar terhadap pendatang untuk mengadopsi praktek-praktek budaya setempat, dan toleransi tuan rumah dalam menghormati praktek-praktek budaya yang berbeda dari budaya mereka. Salah satu faktor yang penting di sini adalah adanya perbedaan antara ideologi asimilatif atau pluralis. Ideologi asimilatif mendorong adanya kesesuaian, sedangkan ideologi pluralis mendorong adanya kekhasan etnis. Hal tersebut membawa kepada kekuatan kelompok etnis yang merujuk pada kekuatan kelompok dari budaya atau etnis yang sama dengan asal individu pendatang. Terakhir, predisposition mengacu pada keadaan pribadi pendatang ketika mereka tiba dalam kelompok budaya setempat, jenis latar belakang yang mereka miliki, dan apa jenis pengalaman yang mereka punya sebelum bergabung dengan 156
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 152 - 167
ISSN 2085-1979
budaya setempat. Gabungan dari faktor-faktor tersebut memberi keseluruhan potensi adaptasi individu pendatang. Telah dikatakan pula sebelumnya bahwa faktor-faktor di atas membawa dampak pada proses transformasi antar budaya (intercultural transformation) yang meliputi tiga aspek yaitu (1) Increased Functional Fitness, dalam aspek ini dijelaskan bahwa melalui aktivitas yang berulang-ulang dan pembelajaran terhadap budaya baru, pendatang akhirnya mencapai sinkronisasi antara respon internal dalam dirinya dengan permintaan eksternal yang ada di lingkungan barunya atau dapat juga disebut mencapai perceptual mutuality. (2) Psychological Health, aspek ini berfokus pada keadaan emosional individu pendatang. Sangatlah jelas bahwa kebahagiaan psikologis pendatang agaknya akan bergantung juga pada anggota masyarakat di lingkungan barunya. Maksudnya adalah, jika pendatang merasa diterima oleh masyarakat setempat, secara lebih cepat mereka akan merasa lebih nyaman. Namun, jika masyarakat tuan rumah mengesankan seakan-akan si pendatang kurang bisa diterima, penyesuaian diri secara psikologis menjadi jauh lebih sulit. (3) Intercultural Identity, dalam aspek ini identitas budaya asli mulai kehilangan kekhasan dan kekakuannya, sementara itu definisi identitas yang lebih luas dan lebih fleksibel dari diri pendatang juga mulai muncul. Jika ketiga aspek tersebut tercapai maka muncullah hasil dari adaptasi antar budaya yang telah dibicarakan sebelumnya. 1. Anxiety/Uncertainty Management Theory Anxiety/Uncertainty Management Theory (AUM) adalah teori yang dikembangkan oleh William Gudykunst melalui penelitiannya pada tahun 1985 dengan menggunakan teori yang ada sebagai titik awal. Teori yang digunakan secara khusus dalam penelitian Gudykunst adalah Teori Pengurangan Ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory) oleh Charles Berger dan Richard Calabrese. Gudykunst merupakan profesor komunikasi dari California University. AUM merupakan sebuah teori yang berbicara mengenai keefektifan komunikasi antar budaya. Teori tersebut mengatakan bahwa dasar untuk dapat mencapai komunikasi secara efektif dengan orang asing (stranger) atau orang yang berbeda budaya adalah kemampuan untuk mengontrol perasaan ketidaknyamanan (anxiety) dan ketidakpastian (uncertainty). Stephan & Stephan (1985) mendefinisikan anxiety sebagai perasaan tak enak, tegang, khawatir, gelisah yang dirasakan seseorang terhadap apa yang akan terjadi pada diri orang tersebut. Anxiety merupakan sebuah respon afektif, bukan kognitif seperti uncertainty. Anxiety ini dapat menciptakan motivasi untuk berkomunikasi dan apabila dikelola dengan baik dapat menciptakan suatu komunikasi yang efektif. Dalam kondisi intergroup communication, anxiety cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi interpersonal communication. Namun, Anxiety bersifat dinamis dan cenderung menurun apabila kita telah merasa nyaman dengan orang tersebut. Uncertainty atau ketidakpastian terjadi ketika kita berada di antara dua kondisi: di satu sisi, kita sangat percaya pada perdiksi kita, sedangkan di sisi lain, apa yang akan terjadi bisa sangat tidak terprediksi (Marris, 1996 dalam Gudykunst dan Kim, 2003). Uncertainty ini bersifat kognitif dan mengurangi keefektifan komunikasi sehingga harus dikelola dengan baik. Apabila situasi tidak dapat mengurangi ketidakpastian tersebut, maka kita harus dapat menguranginya sendiri. Ketidakpastian akan dirasakan dengan lebih besar apabila berkomunikasi dengan orang asing dibandingkan dengan anggota ingroup kita sendiri. Menurut Gudykunst komunikasi yang efektif disebabkan oleh adanya mindfulness dan uncertainty/anxiety management. Mindfulness adalah keadaan 157
Lusia Savitri Setyo Utami: Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya
kognitif yang diperlukan sebagai proses moderasi dalam pengelolaan anxiety dan uncertainty agar menciptakan komunikasi yang efektif. Mindfulness membuat prediksi kita terhadap perilaku seseorang menjadi lebih baik dari sekedar menggunakan prasangka dan stereotip. Ketika berhadapan dengan orang asing dan kita merasakan adanya uncertainty dan anxiety, kedua hal tersebut harus dikelola dengan baik untuk berada di dalam ambang batas. Salah satu cara adalah dengan menjadi mindful sehingga kita dapat memberikan respon yang benar dan menciptakan keefektifan komunikasi. Teori AUM Gudykunst menampilkan 37 aksioma yang terpisah yang dikelompokkannya dalam enam kategori. Setiap aksioma menjelaskan variabel spesifik yang mempengaruhi level anxiety dan uncertainty. Di bawah ini akan dijelaskan 10 aksioma Gudykunst yang paling berpengaruh, yaitu. Aksiom 5: kenaikan dalam self-esteem (kebanggaan) dalam diri kita ketika kita berinteraksi dengan orang lain akan menaikkan pula kemampuan kita dalam mengatur anxiety kita. Symbolic interactionism dari Mead menawarkan self-image dengan memperhatikan bagaimana orang lain melihat kita (the looking glass self). Dasar itulah yang terlihat dalam aksioma di atas. Ketika kita merasa bangga pada diri kita, rasa percaya diri juga akan tumbuh. Di saat kita merasa percaya pada diri kita, kegelisahan kita ketika mnghadapi orang lain, akan berkurang. Aksiom 7: kenaikan dalam kebutuhan merasa diterima dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan menaikkan anxiety kita. Ketika kita begitu ingin diterima dalam suatu kelompok, kita akan makin gelisah dan pikiran kita akan dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana harus bersikap, apa yang harus dikatakan agar kita bisa diterima di kelompok itu. Aksiom 12: kenaikan dalam keterampilan kita untuk secara kompleks memproses informasi tentang orang asing akan menaikkan kemampuan kita dalam memprediksi perilaku mereka secara akurat. Teori constructivism dari Delia menggagas bahwa orang dengan kemampuan kognitif yang kompleks memiliki kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Aksiom 15: semakin tinggi kemampuan kita untuk mentolerir ambiguitas ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan meningkatkan kemampuan kita dalam mengontrol anxiety kita dan meningkatkan kemampuan kita untuk secara akurat, memprediksi perilaku orang asing. Aksiom 16: semakin tinggi kemampuan kita untuk berempati kepada orang asing akan semakin tinggi pula kemampuan kita untuk memprediksi perilaku orang lain secara akurat. Aksiom 20: semakin tinggi persamaan personal yang kita rasakan antara kita dengan orang asing, semakin tinggi pula kemampuan kita untuk mengontrol anxiety dan kemampuan kita dalam memprediksi perilakunya. Boundary condition: mengerti perbedaan kelompok itu kritikal hanya jika ketika seorang asing benar-benar punya banyak persamaan dengan kelompok. Aksiom 25: semakin tinggi kewaspadaan kita terhadap pelanggaran orang asing terhadap keinginan positif kita atau penegasan terhadap keinginan negatif kita, semakin tinggi pula anxiety kita dan semakin menurun rasa percaya diri kita untuk memprediksi perilaku mereka. Aksiom 27: peningkatan situasi informal ketika kita berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan anxiety kita dan peningkatan kepercayaan diri kita dalam memprediksi perilaku orang asing. Aksiom 31: peningkatan ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan penurunan anxiety kita dan peningkatan kepercayaan diri kita dalam memprediksi perilakunya. 158
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 152 - 167
ISSN 2085-1979
Aksiom 37: peningkatan network (jaringan) yang kita bagi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan anxiety dan peningkatan kepercayaan diri kita dalam memprediksi perilakunya. 2. Teori Pengurangan Ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory) Teori ini dikemukakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese (1975) dan mengasumsikan pentingnya interaksi karena tujuan dari komunikasi adalah untuk mengurangi ketidakpastian mengenai lawan bicara kita. Inti dari teori Pengurangan Ketidakpastian adalah untuk mengurangi ketidakpastian antara orang asing saat pertama kali bertemu dan melakukan percakapan. Menurut Berger dan Calabrese, ketika orang-orang asing pertama kali bertemu, mereka akan meningkatkan kemampuan untuk bisa memprediksi hal yang akan orang lain lakukan dan apa yang akan kita lakukan kepada lawan bicara. Prediksi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memperkirakan pilihan perilaku yang mungkin bisa dipilih dari kemungkinan pilihan yang tersedia bagi diri sendiri atau bagi pasangan relasi. Penjelasan adalah usaha untuk menginterpretasikan makna yang diberikan oleh orang asing berdasarkan pengalaman masa lalu. Teori ini menyatakan bahwa ada dua tipe dari ketidakpastian dalam perjumpaan pertama yaitu ketidakpastian kognitif dan ketidakpastian perilaku. Ketidakpastian kognitif adalah tingkatan ketidakpastian yang dihubungkan dengan keyakinan dan sikap. Ketidakpastian perilaku adalah berkenaan dengan luasnya perilaku yang dapat diprediksikan dalam situasi yang diberikan. Terdapat dua proses dalam mengurangi ketidakpastian, yaitu proaktif dan retroaktif. Pengurangan ketidakpastian proaktif terjadi ketika seseorang berpikir sebelum melakukan komunikasi dengan orang lain. Contohnya ketika kita melihat orang asing di terminal, kita kemudian berpikir untuk mengajak orang asing tersebut berkenalan dan menyusun apa yang akan kita katakana saat berkenalan dengan orang tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketidakpastian kita kepada orang asing yang kita temui. Pengurangan ketidakpastian retroaktif terjadi ketika menjelaskan perilaku setelah perjumpaan. Contohnya ketika kita dan orang asing yang bertemu di terminal tadi telah berkenalan, kita kemudian berpikir apakah orang asing tersebut menyukai kita, atau senang berkenalan dengan kita, atau apakah dia mau bertemu dan berbicara dengan kita lagi, dan sebagainya. Teori Pengurangan Ketidakpastian memiliki beberapa asumsi dasar, yaitu: 1) Orang mengalami ketidakpastian dalam latar interpesonal. Sebelum kita berinteraksi, kita memiliki berbagai harapan kepada lawan bicara kita. 2) Ketidakpastian adalah keadaan yang tidak mengenakkan, menimbulkan stress secara kognitif. 3) Ketika orang asing bertemu, perhatian utama mereka adalah untuk mengurangi ketidakpastian mereka atau meningkatkan prediktabilitas. Ketika bertemu dengan orang baru, seseorang akan membuat harapan awal berdasar persepsinya. 4) Komunikasi interpersonal adalah sebuah proses perkembangan yang terjadi melalui tahapan-tahapan. Komunikasi interpersonal terbagi menjadi tiga fase, yaitu fase awal, fase personal, dan fase akhir. Contoh dari fase awal adalah ketika seseorang mengucapkan hai, apa kabar, selamat pagi, dan lain-lain. Pada fase personal, ketika dua orang mulai saling berinteraksi secara spontan dan terbuka. Ketiga adalah fase akhir, yaitu fase dimana kita dapat membuat keputusan apakah melanjutkan interaksi atau tidak. 5) Komunikasi interpersonal adalah alat yang utama untuk mengurangi ketidakpastian. Semakin sering kita berinteraksi, maka ketidakpastian dalam diri akan berkurang. 159
Lusia Savitri Setyo Utami: Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya
6) Kuantitas dan sifat informasi yang dibagi oleh orang lain akan berubah seiring berjalannya waktu. 7) Sangat mungkin untuk menduga perilaku orang dengan menggunakan cara seperti hukum. Terdapat juga beberapa aksioma dalam teori Pengurangan Ketidakpastian. Aksioma merupakan kebenaran yang ditarik dari penelitian sebelumnya. Dalam aksioma ini terdapat hubungan kausal, yaitu hubungan sebab akibat antara ketidakpastian dengan konsep lainnya. Aksioma-aksioma dalam teori ini adalah: 1)
2) 3)
4) 5)
6)
7) 8) 9)
Aksioma 1: semakin sering berkomunikasi dengan lawan bicara dan berusaha untuk saling mengenal satu dengan yang lainnya, ketidakpastian akan semakin berkurang. Aksioma 2: semakin kita mengekspresikan nonverbal kita kepada orang lain, maka itu akan dapat mengurangi ketidakpastian kita. Aksioma 3: semakin ketidakpastian kita tinggi maka kita akan lebih banyak untuk mencari informasi yang menurut kita belum lengkap guna mengurangi ketidakpastian kita. Aksioma 4: semakin ketidakpastian kita meningkat, maka tingkat keintiman dan isi komunikasi kita akan menurun. Aksioma 5: semakin tinggi ketidakpastian kita terhadap lawan bicara, maka tingkat resiprositas kita juga tinggi. Resiprositas menyatakan bahwa jika kita memberikan informasi kepada lawan bicara kita, maka lawan bicara kita juga akan sama memberikan informasinya kepada kita. Misalnya, A menanyakan nama kepada B dan B juga menanyakan nama kepada A. Aksioma 6: jika kita sama-sama memiliki kemiripan berupa kemiripan konteks dengan lawan bicara, maka itu akan dapat mengurangi ketidakpastian kita terhadap orang itu. Aksioma 7: semakin tinggi ketidakpastian kita, kesukaan kita pada lawan bicara akan menurun. Aksioma 8: makin sering kita berinteraksi dengan teman dan anggota keluarga dari mitra hubungan kita, maka ketidakpastian kita makin sedikit. Aksioma 9: semakin kita tidak pasti dengan orang lain, kita tidak akan merasa nyaman ketika berbicara dengan lawan bicara kita maka kita tidak akan merasa puas.
Menurut Berger, ada tiga kondisi pendahulu untuk mengurangi ketidakpastian, yaitu kondisi pertama, kondisi kedua dan kondisi ketiga. Kondisi pertama terjadi ketika lawan bicara mempunyai potensi untuk memberikan hukuman atau penghargaan (di aspek kita). Kondisi pendahulu kedua adalah ketika lawan bicara memberikan perilaku yang berkebalikan dari yang kita harapkan. Kondisi ketiga, terjadi ketika seseorang mengharapkan interaksi yang lebih lanjut dengan orang lain. Dalam mengurangi ketidakpastian, ada tiga strategi yang dapat ditempuh. Pertama, Strategi Pasif adalah mengurangi ketidakpastian dengan sebatas mengamati sesuatu yang dianggap tidak pasti. Kedua, Strategi Aktif adalah mengurangi ketidakpastian dengan menggunakan orang ketiga. Ketiga, Strategi Interaktif adalah mengurangi ketidakpastian dengan melakukan pendekatan pada sasaran. Meskipun strategi-strategi ini sangat penting untuk mengurangi ketidakpastian. Namun, untuk menanyakan pertanyaan sesuatu yang sensitif akan membuat semakin tingginya ketidakpastian dan orang pun membutuhkan strategi tambahan. Strategi tambahan ini merujuk pada strategi pasif. Strategi ini dibagi menjadi dua yaitu pencarian reaktivitas dan pencarian ketidakterbatasan. Pencarian reaktivitas yaitu strategi pasif ketika 160
ISSN 2085-1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 152 - 167
mengamati seseorang dalam melakukan sesuatu. Strategi pasif yang kedua, pencarian ketidakterbatasan yaitu strategi pasif ketika kita mengamati perilaku alami. Gudykunst dan Nishida (1984) mengatakan bahwa teori ini sangat umum untuk menjelaskan komunikasi antar budaya dan antara orang-orang yang berbeda budaya. Teori ini didukung oleh teori-teori yang ada sebelumnya dan beberapa penelitian yang dilakukan. Beberapa penelitian menemukan bahwa hubungan yang melibatkan perbedaan budaya menggunakan strategi pengurangan ketidakpastian. Teori ini sangat baik digunakan untuk interaksi awal dan mengakibatkan perubahan perilaku seseorang saat memulai suatu hubungan (Gudykunst, 1985). Teori ini kemudian menjadi dasar dan awal dari teori yang dikemukakan oleh Gudykunst yaitu teori uncertainty/anxiety management yang telah dijelaskan di atas. 3. Teori Akulturasi dan Culture Shock Teori Akulturasi dikemukakan oleh Berry (1987) dan Teori Culture Shock dikemukakan oleh Oberg (1960). Akulturasi adalah sebuah proses dimana kita mengadopsi budaya baru dengan mengadopsi nilai-nilainya, sikap, dan kebiasaannya. Akulturasi adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang terjadi disaat orang yang berasal dari suatu budaya masuk ke dalam budaya yang berbeda. Akulturasi selalu ditandai dengan perubahan secara fisik dan psikologi yang terjadi sebagai hasil dari adaptasi yang dipersyaratkan untuk memfungsikan dalam konteks budaya yang baru atau budaya yang berbeda. Dalam akulturasi terdapat teori Stres Akulturatif. Stres Akulturatif adalah tingkat Stres yang dihubungkan dengan perubahan, yang ditandai dengan penurunan dalam kesehatan fisik dan mental. Miranda dan Matheny menggariskan bahwa stres akulturatif berhubungan dengan penurunan harapan kemujaraban diri, mengurangi cita-cita dalam berkarir, depresi, dan ideasi dengan bunuh diri (terutama pada Hispanic diusia remaja). Hovey menemukan bahwa disfungsi keluarga, terpisah dari keluarga, harapan-harapan negatif untuk masa depan, dan tingkat pendapatan yang rendah secara signifikan berhubungan pada level akulturatif stres yang lebih tinggi. Nwadiora dan McAdoo melaporkan bahwa gender dan ras tidak mempunyai dampak yang signifikan pada stres akulturatif. Berry berpendapat bahwa tingkat pengalaman stres akulturatif oleh orang yang beradaptasi dengan variasi budaya baru berdasarkan pada persamaan dan ketidaksamaan diantara “host cultura” dan imigran native cultural. Tingkat dimana identitas budaya pribumi/asli dipertahankan
High
Separasi
Integrasi
Marginalisasi
Asimilasi
low
High Tingkat dimana kontak dengan budaya tuan rumah dan kelompok mikrobudaya
Gambar 3. Model Akulturasi (Sumber: Berry, 1987) 161
Lusia Savitri Setyo Utami: Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya
Akulturasi bukan hanya mempengaruhi satu pihak saja, namun akulturasi adalah proses interaktif antara sebuah kebudayaan dan kelompok tertentu. Syarat terjadinya akulturasi harus ada kontak diantara dua anggota yaitu budaya tuan rumah dan pendatang. Efek Akulturasi sangat bervariasi menurut tujuan terjadinya kontak (kolonilisasi, perbudakan, perdagangan, kontrol militer, pendidikan, dan lain-lain) dan lamanya kontak. Berry menunjukkan level akulturasi setiap individu tergantung pada dua proses independen. Yang pertama adalah derajat di mana individu berinteraksi dengan budaya tuan rumah, mendekati atau menghindar (out group contact and relation). Dan yang kedua adalah derajat di mana individu mempertahankan atau melepaskan atribut budaya pribuminya (ingroup identity and maintenance). Berdasarkan kedua faktor tersebut, Berry mengidentifikasikan model akulturasi sebagai berikut: asimilasi, integrasi, separasi, dan marginalisasi. Yang dimaksudkan dengan Asimilasi adalah ketika individu kehilangan identitas budaya aslinya disaat dia mendapat identitas baru di budaya tuan rumahnya. Sedangkan Integrasi yaitu ketika individu mempertahankan identitas budaya aslinya saat berinteraksi dengan budaya tuan rumahnya. Pada mode ini, individu membangun sejenis oritasi bicultural yang sukses bercampur dan menyatukan dimensi budaya dari kedua kelompok untuk saling berinteraksi tanpa halangan sosial hirarki. Model lain menyebutnya dengan pluralism atau multikulturalisme. Berikutnya, Separasi yaitu di mana individu lebih memilih level interaksi dengan budaya tuan rumah pada level yang rendah, menghendaki hubungan yang tertutup dan kecenderungan untuk menegarkan kembali budaya kepribumiannya. Disini individu menolak akulturasi dengan budaya dominan dan memilih untuk tidak mengidentifikasi dengan kelompok budaya tuan rumah. Pada saat yang bersamaan orang lain menguasai identitas budaya pribuminya. Orang memilih separation/pemisahan karena pemusuhan terhadap budaya tuan rumah sebagai hasil dari faktor sosial atau sejarah. Separation juga disebut dengan model segragation. Terakhir adalah Marginalisasi. Marginalisasi ini terjadi di saat individu memilih untuk tidak mengidentifikasi dengan budaya pribumi atau dengan budaya tuan rumah. Pada banyak kasus, orang-orang marginalisasi meninggalkan budaya pribumi mereka hanya untuk menemukan bahwa mereka tidak diterima oleh budaya tuan rumah, dan akan berakulturasi jika diberikan kesempatan. Dari pengalaman orang yang mengalami keterasingan dari kedua budaya tersebut, mereka sering merasa tertinggal (contoh, pemabuk, pengguna narkotika, pengidap HIV Aids). Hasil dari berbagai macam pengalaman dan berbagai hal yang berhubungan dengan stres saat memasuki budaya baru disebut dengan kondisi Culture Shock. Hal ini akan menghasilkan disorientasi, kesalahpahaman, konflik, stres dan kecemasan. Kalervo Oberg mengaplikasikan culture shock untuk efek yang dihubungkan dengan tekanan dan kecemasan saat memasuki budaya baru yang dikombinasikan dengan sensasi kerugian, kebingungan, dan ketidakberdayaan sebagai hasil dari kehilangan norma budaya dan ritual sosial. Model culture shock digambarkan dengan curve, atau Lysgaard menyebutnya “U-Curve Hypothesis”. Kurva ini diawali dengan perasaan optimis dan bahkan kegembiraan yang akhirnya memberi jalan kepada frustrasi, ketegangan, dan kecemasan sebagai individu tidak dapat berinteraksi secara efektif dengan lingkungan baru mereka. Secara spesifik Kurva U ini melewati empat tingkatan, yaitu: (1) Fase optimistik, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. Fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. (2) Masalah kultural, fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, sistem lalu lintas baru, sekolah baru, dan sebagainya. Fase ini biasanya 162
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 152 - 167
ISSN 2085-1979
ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustrasi dan mudah tersinggung, bersikap bermusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten. (3) Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan. (4) Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, adaptasi khusus, pola komunikasi, keyakinan, dan lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hal menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam dua budaya tersebut, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang W Curve, yaitu gabungan dari dua U Curve.
Gambar 4. Kurva W (Sumber: Oberg, 1960) Ketika orang-orang kembali ke rumah setelah tinggal lama di budaya asing, mereka akan mengalami putaran lain dari culture shock, kali ini dalam budaya asli mereka. Contohnya seperti pelajar yang kembali dari belajar di luar negeri, mereka akan berbeda dan memiliki perpektif yang berbeda dan melihat dunia dengan perspektif yang berbeda. Pelajar mengeluh, mengkomunikasikan pengalaman mereka di luar negeri kepada teman dan keluarga mereka sering sulit dilakukan. Inilah yang kemudian terjadi dalam tahapan Kurva W. 4. Co-cultural Theory Co-cultural Theory (teori ko-kultural) dikemukakan oleh Mark Orbe. Cocultural merupakan pemikiran teoritik yang menjelaskan tentang perlunya kesetaraan budaya. Mark Orbe dan kawan-kawan memilih kata co-cultural daripada terminologi subcultural, subordinate, dan minority, karena istilah co-cultural ingin menunjukkan bahwa tidak ada satu pun budaya dalam masyarakat yang lebih unggul terhadap budaya yang lain. Teori Co-cultural dilandasi oleh pemikiran teoritik Muted Group (Cheris Kramarae) dan Standpoint. Teori Muted Group (Miller, West & Turner, 2007) menjelaskan bahwa bahasa memberikan kepada para penciptanya (dan orang yang mempunyai kelompok yang sama seperti penciptanya) kondisi yang lebih baik daripada orang dari kelompok lain yang harus mempelajari menggunakan bahasa sebaik yang mereka bisa. Kelompok yang dibisukan menciptakan bahasa mereka sendiri untuk mengkompensasikan persoalan-persoalan mereka. 163
Lusia Savitri Setyo Utami: Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya
Teori ini dikembangkan dari perspektif fenomenologi serta didasarkan pada muted group theory dan standpoint theory. Dua teori ini mengasumsikan adanya kelompok underrepresented. Dalam muted group theory, kelompok ini merupakan muted group, sementara dalam standpoint theory, kelompok underrepresented adalah kelompok yang termarjinalkan. Sebagai teori yang berdasar pada muted group theory dan standpoint theory, teori co-cultural mengacu pada komunikasi dan interaksi di antara kelompok underrepresented dan kelompok dominan. Fokus dari teori Cocultural adalah memberikan sebuah kerangka dimana para anggota co-cultural menegosiasikan usaha-usaha untuk menyampaikan suara diam mereka dalam struktur masyarakat dominan. Ada dua premis teori, yaitu pertama, para anggota kelompok co-cultural termarjinalkan di dalam struktur masyarakat dominan. Kedua, para anggota kelompok ko-kultural memakai gaya komunikasi tertentu untuk mencapai keberhasilan ketika dihadapkan pada struktur masyarakat dominan yang opresif. Pada umumnya para anggota co-cultural memiliki satu dari tiga tujuan ketika berinteraksi dengan para anggota kelompok dominan, yaitu assimilation (menjadi bagian dari kultur dominan), accommodation (berusaha agar para anggota kelompok dominan dapat menerima para anggota co-cultural), dan separation (menolak kemungkinan ikatan bersama dengan para anggota kelompok dominan). Ada tujuan fungsional ketika mereka beradaptasi antar budaya. Sesuai dengan proposisi-proposisi teori adaptasi antar budaya, maka komunikasi yang beradaptasi secara fungsional dan setara dalam adaptasi dapat memberi fasilitas pada penyelesaian tugas. Sementara, komunikasi yang tidak adaptif fungsional membawa pada invokasi perbedaan kultural dan memperlambat penyelesaian tugas. Ketika para komunikator harus bekerjasama, ada kesetaraan dalam mengadaptasi komunikasi. Penggunaan strategi persuasif dapat membawa pada adaptasi komunikasi. Ketika situasi mendukung salah satu komunikator atau satu komunikator lebih berkuasa, maka komunikator lainnya akan memiliki beban untuk beradaptasi. Sementara itu, ketika lebih banyak perilaku adaptif para komunikator, maka lebih banyak keyakinan kultural (Gudykunst, 2002). Tujuan beradaptasi tentunya adalah untuk bisa menyesuaikan diri yang mana akhirnya dapat memperoleh kenyamanan berada dalam suatu lingkungan yang baru. Kelima teori yang telah dijelaskan di atas merupakan teori yang dapat membantu terjadinya proses adaptasi antar budaya di mana mengharapkan tercapainya keefektifan komunikasi pada akhirnya antara individu yang berbeda budaya. Meskipun kelima teori tersebut dapat digunakan dalam menjelaskan proses adaptasi antar budaya, namun dalam prosesnya, masing-masing teori memiliki perbedaan satu sama lain. Jika kesemua faktor dalam teori-teori adaptasi tersebut telah berjalan dengan baik maka tujuan dalam proses adaptasi antar budaya dapat tercapai. Jadi, sesungguhnya kelima teori tersebut saling melengkapi satu sama lainnya dalam melakukan proses adaptasi. Untuk mengambil contoh dari implementasi adaptasi antar budaya, penulis mengangkat contoh kasus dalam program Summer School di Inha University, Korea Selatan. Program tersebut diikuti oleh mahasiswa dari berbagai Negara termasuk Indonesia. Mahasiswa Indonesia sendiri juga terdiri dari berbagai universitas yang ada di Indonesia seperti Universtas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Sebelas Maret, Universitas Bina Nusantara, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan sebagainya. Tentunya, mahasiswa Indonesia selain bertemu dengan teman baru sesama dari Indonesia dengan latar belakang budaya yang berbeda, juga bertemu dengan teman-teman dari berbagai Negara lain yang sangat berbeda budayanya. Belum lagi, juga harus menghadapi perbedaan budaya dan bahasa dengan masyarakat asli Korea Selatan. Latar belakang budaya yang berbeda ini masing-masing dibawa 164
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 152 - 167
ISSN 2085-1979
oleh setiap mahasiswa peserta program Summer School, inilah yang disebut dengan faktor predisposition seperti yang dikatakan Kim. Sebagian mahasiswa Indonesia yang mengikuti program ini telah cukup mengenal budaya dan bahasa Korea. Hal ini mungkin terjadi sebagai salah satu hasil dari terpaan budaya pop Korea atau Korean wave yang cukup menggemparkan di Indonesia. Menurut penulis, dalam tataran tersebut dapat dikatakan bahwa sebagian mahasiswa asal Indonesia yang sudah cukup mengenal budaya dan bahasa Korea ini telah melakukan faktor personal communication atau komunikasi personal. Komunikasi personal ini, seperti telah dikatakan sebelumnya, berhubungan dengan kompetensi komunikasi pribadi individu yang terdiri dari aspek kognitif, afektif, dan operasional. Aspek-aspek tersebut membawa individu untuk menambah kompetensi komunikasinya dengan memahami ataupun menambah pengetahuannya mengenai budaya dan bahasa setempat, dalam hal ini budaya Korea. Meskipun program Summer School ini hanya berlangsung kurang dari satu bulan, namun proses adaptasi tetap dibutuhkan, terlebih karena mahasiswa peserta Summer School juga harus berinteraksi dengan banyak orang yang berbeda latar belakang budaya dengan mereka. Jika di lingkungan kampus dan asrama, peserta masih dimudahkan karena panitia menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, namun tidak demikian dengan lingkungan luar kampus. Kebanyakan orang Korea kurang menguasai bahasa Inggris, sehingga pendatang yang harus beradaptasi untuk mengetahui dan memahami bahasa mereka. Kompetensi komunikasi individu tadi menjadi sangat berguna jika digunakan dalam tataran komunikasi sosial ini, terutama jika kita harus berinteraksi dengan masyarakat budaya setempat/lokal. Inilah yang termasuk dalam faktor komunikasi interpersonal dalam host social communication. Interaksi dengan masyarakat setempat juga menambah tingkat proses adaptasi pendatang. Misalnya saja, semakin sering peserta dari Indonesia berinteraksi dengan penduduk lokal semakin mereka terbiasa dengan budaya yang berbeda tersebut. Sebagai contohnya, terdapat peserta yang hanya mengerti sedikit dari bahasa Korea, semakin sering peserta tersebut berinteraksi dengan penduduk lokal (terutama yang kurang bisa berbahasa Inggris), peserta tersebut semakin memahami yang mereka katakan meskipun hanya dapat menangkap sedikit dari kata-kata yang diucapkan penduduk lokal tersebut. Kompetensi komunikasi individu sendiri, menurut penulis juga turut mempengaruhi individu dalam mengontrol perasaan ketidaknyamanannya (anxiety) dan ketidakpastiannya (uncertainty) dalam berinteraksi dengan orang asing atau orang yang berbeda budaya dengannya. Dengan memahami dan mengetahui tentang budaya dan bahasa Korea, tentu sebagian besar mahasiswa Indonesia dapat mengontrol ketidaknyamanan dan ketidakpastian yang mereka rasakan ketika berkomunikasi dengan penduduk lokal. Contohnya, mereka tidak perlu bingung dan merasa tidak nyaman lagi karena mereka sudah mengetahui jika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua di Korea harus menggunakan bahasa yang formal, berbeda jika berkomunikasi dengan orang yang seumuran atau lebih muda. Hal ini dapat disebut juga dengan mindfulness di mana kita menjadi bisa mengkategorikan seseorang dengan lebih spesifik, lebih memikirkan apa respon perilaku yang tepat untuk orang tersebut, dan lebih menyadari bahwa orang lain bisa memiliki perspektif yang berbeda dari kita. Faktor environment juga merupakan faktor yang penting dalam proses adaptasi menurut Kim. Bagaimana budaya dan masyarakat setempat menerima pendatang, menekan pendatang agar cepat menyesuaikan diri dengan budaya setempat, juga adanya kekuatan dari kelompok yang berbudaya sama dengan pendatang sangatlah berpengaruh terhadap motivasi adaptasi pendatang. Penerimaan 165
Lusia Savitri Setyo Utami: Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya
tuan rumah, dalam contoh ini penduduk Korea yang cukup bersahabat berpengaruh terhadap proses adaptasi mahasiswa Indonesia. Terutama beberapa mahasiswa Indonesia penggemar K-pop yang menjadi peserta dalam Summer School ini, ingin sekali kembali dan bahkan menetap di Korea, misalnya dengan melanjutkan kuliah. Hal ini terjadi mungkin juga karena mereka sebagai penggemar K-pop menemukan lingkungan baru yang sesuai dengan kesukaan dan keinginannya sehingga mereka lebih cepat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan budaya dan masyarakat setempat. Untuk teori akulturasi dan culture shock, baru sebagian yang dapat digunakan. Seperti akulturasi, dalam jangka waktu satu bulan yang terlihat hanya di level integrasi, karena pada waktu itu para peserta masih melakukan adaptasi, sehingga mereka berusaha untuk menyatukan kedua dimensi budaya, yaitu budaya mereka dan budaya Korea. Level asimilasi, separasi dan marginalisasi belum terlalu terlihat. Untuk culture shock, tentu saja biar bagaimanapun juga para peserta tetap mengalaminya ketika memasuki budaya yang baru. Culture shock ini terutama dalam hal makanan yang cukup berbeda rasanya dengan di Indonesia (Indonesia kaya akan bumbu). Selain itu juga dalam hal kebiasaan memakai toilet, di mana tidak terdapat bidet untuk membersihkan dan hanya menggunakan tissue toilet, padahal jika di Indonesia meskipun toilet kering tetapi tetap menggunakan bidet. Teori Co-cultural digunakan oleh para peserta untuk menyampaikan usulanusulannya dan pendapatnya kepada masyarakat budaya setempat (Korea). Hal ini terutama terjadi di kampus dan asrama. Hal ini dapat terjadi juga karena penyelenggara Summer School meminta masukan dari para peserta untuk kemajuan dan perbaikan program Summer School di tahun-tahun berikutnya. Dalam program ini interaksi antara kelompok co-cultural yaitu peserta Summer School dengan kelompok dominan (orang Korea) terjalin dengan baik karena berusaha saling memahami satu sama lain. Jangka waktu satu bulan mungkin tidak cukup membuktikan berhasilnya atau tercapainya tujuan dari adaptasi antar budaya dan keefektifan komunikasi yang terjadi dengan orang asing. Namun, dalam jangka waktu tersebut, proses adaptasi antar budaya juga telah berjalan, karena pada dasarnya setiap individu pasti akan melakukan adaptasi ketika berhadapan dengan lingkungan yang baru. Seperti dikatakan Kim dan Gudykunts, proses adaptasi merupakan hal yang sudah dimiliki oleh setiap individu secara alami dan universal. Hal paling penting dalam melakukan adaptasi adalah keterbukaan, kekuatan dan kemampuan berpikir positif dari pendatang maupun lingkungan setempat. Simpulan Kemampuan individu untuk berkomunikasi sesuai dengan norma dan nilai budaya setempat, tergantung kepada hasil proses adaptasi yang dilakukan. Pada dasarnya setiap individu akan melakukan adaptasi dengan budaya atau kebiasaan yang berbeda dengannya, untuk membuat dirinya nyaman. Hal tersebut terjadi karena Adaptasi Antar Budaya merupakan hal yang sudah dimiliki oleh individu secara alami dan universal. Terdapat beberapa hal penting dalam melakukan adaptasi yaitu keterbukaan, kekuatan dan kemampuan berpikir positif dari pendatang maupun dari lingkungan budaya setempat. Teori-teori Adaptasi Antar Budaya yang telah dideskripsikan di atas menjelaskan bahwa adaptasi merupakan kolaborasi dari usaha pendatang dan penerimaan lingkungan setempat. Tercapainya adaptasi antar budaya yang maksimal adalah ketika masing-masing individu pendatang dan individu budaya setempat saling menerima budaya mereka satu sama lain. 166
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 152 - 167
ISSN 2085-1979
Daftar Pustaka Asante, Molefi Kete & William B. Gudykunts. (1994). Hand Book of International and Intercultural Communication. USA: Sage Publication. Berry, John W. (2003). “Conceptual Approaches to Acculturation” dalam Acculturation: Advances in Theory, Measurement and Applied Research, ed. Kevin M. Chun, Pamela B. Organista, and Gerardo Marín (pp. 17-37). Washington, DC: American Psychological Association. Berry, John W. (2006). “Acculturative Stress” dalam Handbook of Multicultural Perspectives on Stress and Coping: International and Cultural Psychology Series, ed. Paul T. P. Wong and Lillian C. J. Wong (pp. 287-298). New York: Springer. Griffin, Em. (2006). A First Look At Communication Theory, 6th Edition. New York: McGraw-Hill. Gudykunst, William B. (2003). Cross-Cultural and Intercultural Communication. Thousand Oaks: Sage. Gudykunts, William B dan Kim, Young Y. (2003). Communicating with Stranger, 4 Edition. USA: Mc-Graw Hill Companies, Inc. Holliday, Adrian, Hyde, Martin dan Kullman, John. (2004). Intercultural Communication : An Advanced Resource Book. London: Routledge. Kim, Young Yun. (2001). Becoming Intercultural: An Integrative Communication Theory and Cross-Cultural Adaptation. USA: Sage Publication. Lee, Kwang kyu & Joseph P. Linskey (ed.). (2003). Korean Traditional Culture. Seoul: Jimoondang. Littlejohn, S.W. & Foss, K.A. (2008). Theories of human communication. California, USA: Sage Publications. Martin, Judith N dan Nakayama, Thomas K. 2007. Intercultural Communication in Contexts, 4th Edition. USA. Mc-Graw Hill International Edition. Mulyana, Deddy. (2005). Komunikasi Antarbudaya. Bandung, Indonesia: PT Remaja Rosdakarya. Harvey, Benjamin. (2007). Testing the Integratif Theory of Cross Cultural Adaptation (A Student’s Experience in Italy and Spain). USA: Kansas State University. Oberg, Kalervo. (1960). “Culture Shock: Adjustment to New Cultural Environments” dalam Practical Anthropology 7: 177-182. Samovar, L.A. & Porter. 2004. Communication between Cultures, 5th edition. USA: Thompson Wardsworth. Rejeki, MC Ninik Sri. (2007). “Perbedaan Budaya dan Adaptasi Antar Budaya dalam Relasi Kemitraan Inti-Plasma”. Jurnal Ilmu Komunikasi, volume 4, nomor 2, Desember (2007). Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Sunarwinadi, Prof. DR. Ilya Revianti Sudjono. (1993). Komunikasi Sosial dalam Adaptasi Antar Budaya (Suatu Studi mengenai Peranan Penggunaan Media Massa dan Faktor-Faktor Lain yang Menentukan Kemampuan Komunikasi Antar Pribadi Warga Masyarakat Indonesia di Tokyo, Jepang). Disertasi Universitas Indonesia. Ting-Toomey, Stella. (1999). Communicating Across Cultures. New York, London: The Guilford Press. West, Richard & Lynn H. Turner. (2007). Introducing Communication Theory, Analysis, and Application. New York: McGraw-Hill. Winkelman, Michael. (1994). “Cultural Shock and Adaptation” dalam Journal of Counseling and Development 73 (2): 121-126. Yang, Seung Yoon. (1995). Seputar Kebudayaan Korea. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 167
Ayu Erivah Rossy Dan Umaimah Wahid: Analisi Isi Kekerasan Seksual Dalam Pemberitaan Media Online Detik.Com
ANALISI ISI KEKERASAN SEKSUAL DALAM PEMBERITAAN MEDIA ONLINE DETIK.COM Ayu Erivah Rossy dan Umaimah Wahid Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur Email:
[email protected] dan
[email protected] Abstract This research implements a quantitative content analysis using descriptive approach and focus on the content of rape report in Detik.com online media. Sexual violence cases, especially rape case always be interesting news in media. In that context, the readers are presented bad news with the way of writing tending to vulgar and alienating the rape victims. The news tendency becomes the reason of research focus. In this research, researcher focuses on rape report content that appears in accordance with the principle of Holsti content analysis. Formulation of problem in this research is a question what is the tendency of rape report content published in Detik.com online media? And the objective of this research is to know the tendency of rape report content published in Detik.com online media. The instrument to analyze data is using Holsti content analysis techniques with referential analysis unit. The research result obtained by the inter-coder shows the tendency of rape report content as follows: news writing using chronological theme is 51.5%; type of rape action reported as the rape action of sexual intercourse is 80%; the male as suspect is 93.3%; the female as rape victim is 93.2%; the rape committed by foreigners is 46.7%; the rape agent less than 5 people is 53.3%; the rape victims less than 5 people is 93.3%. Keywords: Sexual Violence-Rape, Content Analysis, Report-Online Abstrak Penelitian ini menggunakan metode analisis isi kuantitatif dengan pendekatan deskriptif dan menfokuskan pada isi (content) mengenai pemberitaan perkosaan pada media online Detik.com. Kasus-kasus kekerasan seksual khususnya tindak perkosaan selalu menjadi pemberitaan menarik bagi oleh media. Dalam pemberitaannya media, media sering mengambil keuntungan dari kejadian mengenaskan tersebut dengan tujuan untuk menaikkan tirasnya, dengan melakukan pornographizing, yaitu mengeksploitasi berita sedemikian rupa sehingga yang ditampilkan justru rangsangan atau imaji seksual pembaca dan bahkan tidak memandang apa yang akan dirasakan oleh korban. Wajar saja jika ada ‘pernyataan’ bad news is a good news,menjadi pertimbangan utama dalam menyajikan berita. Dalam konteks tersebut, pembaca disuguhkan berita-berita yang buruk, dengan penulisannya cenderung vulgar dan cenderung memojokkan korban pemerkosaan. Kecenderungan pemberitaan tersebut yang menjadi alasan focus penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada konten pemberitaan perkosaan yang tampak sesuai dengan prinsip analisis isi Holsti. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah berupa pertanyaan bagaimana kecenderungan konten pemberitaan perkosaan dimuat di media online Detik. com? Dan tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui kecenderungan konten pemberitaan perkosaan dimuat di Detik. com. Pisau analisis atau instrumen analisis datanya menggunakan teknik analisis isi holsti dengan unit analisis referensial. Adapun hasil penelitian yang diperoleh oleh antar koder menunjukan kecenderungan konten pemberitaan perkosaan sebagai berikut: penulisan berita dengan tema kronologis 51,5 %; jenis tindak perkosaan yang diberitakan adalah jenis tindak perkosaan untuk bersetubuh 80%; jenis kelamin tersangkanya laki-laki 93,3 %; jenis kelamin korban perkosaannya perempuan 93,2 %; tindak perkosaan dilakukan oleh orang asing sebesar 46,7 %; pelaku tindak perkosaan bejumlah <5 orang sebesar 53,3 %; korban tindak perkosaan bejumlah <5 orang sebesar 93,3%.
168
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 168 - 179
ISSN 2085-1979
Kata Kunci: Analisis Isi, Kekerasan Seksual-Pemerkosaan, Pemberitaan-Online
Pendahuluan Kekerasan terjadi ketika seseorang bertindak dengan cara-cara yang tidak patut dan menggunakan kekuatan fisik yang melanggar hukum dan melukai diri sendiri atau lingkungannya. Menurut Mansour Fakih sebagaimana dikutip Ety Nurhayati, kekerasan (violance) adalah serangan atau invansi terhadap fisik atau integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan lahir karena adanya otoritas kekuasaan dimana kelompok masyarakat yang dalam posisi sub ordinat akan selalu menjadi korban kekerasan (Ridwan, 2006). Pada dasarnya kekerasan adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun nonverbal, yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga efek negatif secara fisik, emosional dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya (Hayati, 2000). Salah satu bentuk kekerasan adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap perempuan karena ada dimensi yang sangat khas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa yang dimaksud adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban.
Gambar 1. Jumlah Kasus Kekerasan Seksual Tahun 1998 – 2010 )Sumber : CATAHU Komnas Perempuan) Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka tentang pesoalan ini. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. 169
Ayu Erivah Rossy Dan Umaimah Wahid: Analisi Isi Kekerasan Seksual Dalam Pemberitaan Media Online Detik.Com
Pandangan semacam ini bahkan didukung oleh negara melalui muatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata (www.komnasperempuan.or.id diunduh pada tanggal 14 Maret 2013, pukul 15:37 WIB). Komnas Perempuan mencatat dalam waktu 13 tahun terakhir kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat dari total kasus kekerasan, atau 93.960 kasus dari seluruh kasus kekerasan terhadap perempuan dilaporkan mencapai 400.93 9. Artinya setiap hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Data ini merupakan hasil dokumentasi yang berasal dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan. Pada gambar terlihat bahwa lebih dari 50% kasus kekerasan seksual adalah perkosaan. Selanjutnya disusul perdagangan perempuan sebesar 15%, pelecehan seksual 12%. Sisanya secara berturut-turut kurang dari 10%. Berita tentang peristiwa kekerasan khususnya kekerasan seksual yang menimpa perempuan, seringkali dinilai oleh media sebagai berita yang menarik. Karena berita ini mengandung salah satu unsur yang dapat menaikkan tiras berita yaitu seks. Tidaklah heran jika hadir pameo yang mengatakan bad news is a good news (berita buruk adalah berita yang baik). Hal ini terjadi dikarenakan berita kekerasan adalah berita yang paling banyak diminati khalayak. Sebagai pengingat, salah satu kasus pemerkosaan yang pernah terjadi di dalam mikrolet M26 jurusan Kampung Melayu – Bekasi. Korban pemerkosaan ini berprofesi sebagai tukang sayur sedang menaiki mikrolet M26 yang dikendarai pelaku untuk berbelanja sayuran ke Pasar Kemiri Muka, Depok. Namun, di tengah jalan justru diperkosa, dirampok, lalu dibuang di tengah jalan oleh para pelaku. Yang terlibat dalam kasus ini berjumlah tiga orang yang berinisial YBR alias R (18), DR alias D (18), dan seorang perempuan yang merupakan kekasih YBR yakni AI (19). Keterlibatan perempuan ini ternyata korban ancaman kekasihnya agar membantu pelarian pelaku (http://megapolitan.kompas.com/ diunduh pada 1 Juli 2013 pukul 19:36). Tingginya antusiasme masyarakat pada berita kekerasan tersebut, akan membuat media terus mengangkat berita seputar kekerasan, terlebih jika kekerasan tersebut menyangkut pihak atau tokoh terkenal. Hal seperti ini secara tidak langsung membuat khalayak ingin mengetahui dan mengakui perkembangan dari kasus yang menimpa tokoh itu. Dalam hal ini media selain memberikan informasi kepada masyarakat, namun juga dalam pemberitannya mengenai kekerasan, media seringkali mengambil keuntungan untuk maikkan tirasnya, dengan cara mengeksploitasi berita sedemikian rupa sehingga pada akhirnya yang ditampilkan justru menyudutkan pihak korban kekerasan. Penulisan berita semacam ini yang kesannya tidak adil bagi korban, tidak ada keprihatinan terhadap dampak kekerasan yang dialaminya, bahkan tidak jarang media melakukan pemberitaan dengan menyalahkan korban. Tampaknya, penulis berita tidak memusingkan tentang apa yang terjadi pada perempuan korban, penderitaan yang dialaminya, konsekuensi yang harus ditanggung, dan stigma sosial yang akan dilekatkan sepanjang hidup. Tak hanya itu, dampak psikologis yang harus dirasakan pun tak diperdulikan, hal ini akan membawa hal buruk pada kelangsungan hidup sang korban kedepannya. Nampaknya, pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengontrol pemberitaan semacam ini, agar tidak lagi terjadi ketidak adilan dalam pemberitaan media,. Sebagaimana diketahui, media online termasuk dalam media jurnalistik karena jenis media ini pun melakukan aktivitas jurnalistik. Surat kabar jaringan 170
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 168 - 179
ISSN 2085-1979
berbasis internet atau lebih dikenal dengan istilah online, membuka banyak peluang untuk bersaing dengan media massa lainnya dalam menyediakan layanan berita yang fleksibel terhadap waktu. Kemudahan yang diberikan melalui dunia online ini terutama dalam hal pengolahan dan distribusi berita. Berikut merupakan beberapa formula dalam pemberitaan jurnalisme online yang berbeda dengan media konvensional antara lain: Pertama, berita cepat tayang dan bahkan real time karena internet mampu memperpendek jarak antara peristiwa dan berita. Pada saat peristiwa berlangsung, beritanya bisa dipublikasikan secara luas. Kedua, berita ditayangkan kapan saja, dari mana saja, tanpa memperhitungkan luas halaman dan durasi, karena internet memang tidak memiliki problem ruang dan waktu dalam mempublikasikan informasi. Ketiga, berita diformat dalam bentuk singkat dan padat karena informasi terus mengalir dan berubah sewaktu-waktu. Namun kelengkapan informasi tetap terjaga karena antara berita yang satu dengan berita yang lain bisa dikaitkan (linkage) hanya dengan satu klik. Keempat, untuk menjaga kepercayaan pembaca, ralat, update, dan koreksi dilakukan secara periodik dan konsisten. Ini sekaligus memanfaatkan kekuatan interaktif internet (Supriyanto dan Yusuf, 2007). Internet menciptakan peluang berita yang bersifat online atau dikenal dengan new media. Situs berita online saat ini dominate oleh pembaca karena kecepatan, kemudahan diakses dan kedekatan dengan pembaca, yang meruapak implikasi logis dari perkembangan teknologi komunikasi. Salah satu situs berita online yang terkenal adalah Detik.com. Alasan pemilihan situs berita online detik.com adalah karena situs ini termasuk situs pemberitaan yang banyak diakses oleh pembeca. Berdasarkan data yang dihimpun dari www.alexa.com, menyatakan bahwa Detik.com menepati posisi pertama untuk kategori portal berita di Indonesia dan Kompas.com menempati posisi kedua. Tak hanya itu yang menjadi pertimbangan lainnya adalah faktor kuantitas berita perkosaan yang dimuat. Setelah melakukan pra-riset yang dilakukan di Detik.com dan Kompas.com pada periode tersebut berita perkosaan lebih banyak ditemui di Detik. com. Maka peneliti memutuskan untuk memilih berita-berita perkosaan yang dimuat di Detik.com sebagai subjek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis isi Holsti yang mencoba melihat suatu teks yang tampak dengan pendekatan deskriptif yang dimaksudkan untuk menggambarkan suatu teks secara detail. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud untuk mengetahui kecenderungan konten dengan memfokuskan pada pemberitaan perkosaan di media online Detik.com periode 1 Maret – 20 April. Karena pada bulan tersebut dapat ditemui banyak berita-berita bertema perkosaan ditambah lagi berita ini cukup ada kedekatan dengan masyarakat khususnya para perempuan yang saat ini marak terjadi yaitu kekerasan seksual pada perempuan yang berakibat pada kesengsaraan dan penderitaan-penderitaan tak hanya fisik melainkan pula mental (psikologis). Rumusan permalahan pada penelitian ini adalah b agaimana kecenderungan pemberitaan mengenai berita perkosaan yang dimuat di media online Detik. com? Dengan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menggambarkan kecenderungan konten pemberitaan perkosaan dimuat di media online Detik. com. Adapun manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan manfaat untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu komunikasi, serta dijadikan acuan bagi penelitian lanjutan mengenai pemberitaan media massa, khususnya bagi yang menggunakan metode analisis isi pemberitaan di media online. Komunikasi Massa menurut Bittner dalam buku Riswandi, Komunikasi massa adalah pesanpesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Batasan komunikasi massa ini lebih menitikberatkan pada komponen-komponen dari komunikasi massa yang mencakup pesan-pesan, dan media massa (seperti Koran, 171
Ayu Erivah Rossy Dan Umaimah Wahid: Analisi Isi Kekerasan Seksual Dalam Pemberitaan Media Online Detik.Com
majalah, TV, radio, dan film), serta khalayak (Riswandi, 2009). Denis McQuail mengenai komunikasi massa adalah komunikasi massa bukanlah proses yang terbatas pada media massa. Teknologi media baru (media online) juga membawa aktivitas komunikasi massa. Meskipun tidak secara langsung mendukung komunikasi massa, kemungkinan baru untuk pembuatan media secara pribadi (camcorder, komputer pribadi, printen, kamera, telepon genggam,dll) telah memperluas lingkungan media dan menjembatani antara komunikasi publik dan pribadi, dan antara ranah profesional dengan amatir (McQuail, 2011) Sedangkan menurut Jalaludin Rakhmat dalam buku Psikologi Komunikasi, komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat (Rakhmat, 2008). Menurut Joseph A. Devito, first, mass comunication addressed to audience includes all people or every one who watches television, rather it means an audience that is large and generally rather poorly defined. Second, mass communication is communication mediated by audio and or visual transmitter. Mass communication is perhaps most logically defined by it forms, television, radio, newspaper, magazines, films, etc. Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan pada massa, pada khalayak yang sangat banyak. Ini tidak berarti khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang membaca atau semua orang yang menonton televisi, agaknya ini tidak berarti pula bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan dalam bentuk audio dan atau visual. Komunikasi massa mungkin akan lebih mudah difenisiskan menurut bentuknya, televisi, radio, surat kabar, majalah, film, dll (dalam Vera, 2008). Media online meski terbilang baru, namun memiliki perkembangan yang terbilang sangat pesat. Bahkan saat ini dapat dikatakan, hampir semua orang telah menikmati akses internet. Internet adalah salah satu bentuk dari media baru (new media). Kelebihan internet sebagai medium komunikasi adalah jangkauannya yang global, kecepatannya dalam menyampaikan sebuah informasi masih belum ada penanding dengan media massa lainnya sehingga informasinya besifat up to date (senantiasa baru). Menurut McQuail dalam bukunya Teori Komunikasi massa menyebutkan ciriciri utama intenet sebagai media baru, yaitu: Dari sekian banyaknya portal berita online (New Media) yang bisa jadi media komunikasi, kini muncul gebrakan baru dari para jurnalis-jurnalis untuk menyampaikan beritanya lewat media internet yakni jurnalisme online. Jurnalisme online adalah kegiatan penyampaian informasi melalui media online atau internet. Ciri khusus jurnalisme online dapat dilihat dari kecepatan penyajian informasinya, dan dapat di publikasikan pada saat kejadian sedang berlangsung. Sedangkan karakteristik tulisan berita biasanya berbentuk langsung pada intinya (straight news) ringkas, pendek, padat. Dalam buku berjudul Online Journalism. Principles and Practices of News for the Web (Holcomb Hathaway Publishers, 2005), keunggulan jurnalistik online meliputi : 1. Audience Control; jurnalistik online memungkinkan audience untuk lebih leluasa dalam memilih berita yang ingin didaptkan. 2. Nonlinearity; jurnalisik online memunginkan setiap berita yang disampaikan dapat berdiri sendiri sehingga audience tidak harus membaca secara berurutan untuk memahami. 3. Storage and retrieval; jurnalistik online memungkinkan berita tersimpan dan diakses kembali dengan mudah oleh audience.Unlimited space: jurnalistik online 172
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 168 - 179
ISSN 2085-1979
memungkinkan jumlah berita yang dipublikasikan untuk audience menjadi jauh lebih lengkap ketimbang media lainnya. 4. Immediacy; jurnalistik online memungkinkan bagi tim redaksi untuk menyertakan teks, suara, gambar, video dan komponen lainnya di dalam berita yang akan diterima oleh audience. 5. Interactivity; jurnalistik online memungkinkan adanya peningkatan partisipasi audience dalam setiap berita (Suryawati, 2011). Analisis Isi secara garis besar, analisis isi dapat didefinisikan sebagai suatu teknik penelitian ilmiah yang ditujukan untuk mengetahui gambaran karakteristik isi dan menarik inferensi dari isi. Analisis isi ditujukan untuk mengidentifikasi secara sistematis isi komunikasi yang tampak (manifest), dan dilakukan secara objektif, valid, reliabel, dapat direplikasi (Eriyanto, 2011). Dalam pandangan Riffe, Lacy, dan Fico (1998), analisis isi adalah pengujian yang sistematis dan dapat direplikasi dari simbol-simbol komunikasi, dimana simbol ini diberikan nilai numerik berdasarkan pengukuran yang valid, dan analisis menggunakan metode statistik untuk menggambarkan isi komunikasi, menarik kesimpulan dan memberikan konteks, baik produksi ataupun konsumsi (dalam Eriyanto, 2011). Analisis isi merupakan salah satu metode yang dapat menganalisis hampir semua bentuk komunikasi, yaitu dengan memperlajari isi media baik itu surat kabar, radio, film, televisi maupun semua bentuk-bentuk dokumentasi lainnya. Lewat analisis isi, peneliti dapat menganalisa gambaran isi, karakterisik pesan, dan perkembangan dari suatu isi (Eriyanto, 2011). Banyak bidang studi yang memanfaatkan dan menggunakan dokumen sebagai bahan penelitian. Maka penggunaan analisis isi terdapat dalam tiga aspek. Pertama, analisis isi ditempatkan sebagai metode utama. Kedua, analisis isi dipakai sebagai salah satu metode saja dalam penelitian. Peneliti menggunakan banyak metode (survei, ekspeimen) dan analisis isi menjadi salah satu metode. Ketiga, analisis isi dipakai sebagai bahan pembanding untuk menguji kesahihan dari kesimpulan yang telah didapat dari metode lain. Peneliti telah memperoleh data yang diperoleh dari metode lain dan menggunakan anaisis isi untuk mengecek apakah kesimpulan yang dibuat oleh peneliti sahih atau tidak (Eriyanto, 2011). Menurut Holsti, analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi yang dilakukan secara objektif dan identifikasi sistematis dari karakteristik pesan (Eriyanto, 2011). Fokus riset dan analisis adalah isi yang tersurat (tampak) bukan makna yang dirasakan periset. Perkara hasil akhir dari analisis nanti menunjukan adanya sesuatu yang tersembunyi, hal itu sah-sah saja. Namun semuanya bermula dari analisis terhadap isi yang tampak (Kriyantono, 2010). Adapun terdapat deskripsi mengenai tujuan dari analisis isi menurut Wimmer & Dominick (2000) Menggambarkan Isi Komunikasi (Describing communication content) Yaitu mengungkapkan kecenderungan yang ada pada isi komunikasi, baik melalui media cetak maupun elektronika. 2) Menguji hipotesis tentang karakteristik pesan (Testing hypotheses of message characteristic) yaitu peneliti berusaha menghubungkan karakteristik tertentu dari komunikator (sumber) dengan karakteristik pesan yang dihasilkan. 3) Membandingkan isi media dengan dunia nyata. 3) Peneliti mencari tahu mengenai hubungan antara pesan media massa contohnya tayangan kriminal di televisi dengan perilaku kekerasan di masyarakat. 4) Memperkirakan gambaran media terhadap kelompok tertentu di masyarakat (Assessing the image of particular groups in in society) Peneliti mencoba untuk melihat gambaran media terhadap suatu kelompok, misalnya bagaimana orang kulit hitam ditampilkan di film-film Amerika. 5) Mendukung 173
Ayu Erivah Rossy Dan Umaimah Wahid: Analisi Isi Kekerasan Seksual Dalam Pemberitaan Media Online Detik.Com
studi efek media massa (Establishing a starting point for studies of media effects) dan 6) Penggunaan analisis isi ini digunakan sebagai sarana untuk memulai riset efek media. Seperti dalam riset Cultivation analysis, dimana pesan yang dominan dan tema-tema isi media yang terdokumentasi melalui prosedur yang sistematik dan dikorelasi dengan studi lain. Berita atau dalam istilah Inggris news, berasal daLi Gata Lnew” (baru) dengan konotasi kepada hal-hal yang baru. Dalam hal ini segala yang baru meupakan informasi bagi semua orang yang memerlukannya (Suhandang, 2010). Berita adalah laporan ataau pemberitahuan tentang segala peristiwa aktual yang menarik, peristiwa yang dilaporkan melibatkan fakta dan data, dan aktual atau hangat dibicirakan orang (Suhandang, 2010). Menurut Dr. Willard G. Bleyer mendefinisikan berita sebagai segala sesuatu yang hangat dan menarik perhatian sejumlah pembaca, dan berita yang terbaik ialah berita yang paling menarik perhatian bagi jumlah pembaca yang paling besar (dalam Suhandang, 2010). Menurut Kamus Bahasa Indonesia karja W.J.S. Poerwodarminta, berita diartikan sebagai kabar atau warta. Dengan demikian dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa berita adalah laporan yang disampaikan dengan muatan informasi yang aktual atau terbaru, menarik perhatian banyak pembaca, kejadian yang dilaporkan tidak lain adalah suatu fakta yang dapat dipertanggung jawabkan serta dikemas secara rapi dan disebarkan dalam waktu yang sesegera mungkin. Kekerasan SeksualUntuk mengkonsepsi kekerasan seksual masih agak sulit karena banyak yang menganggap bahwa kekerasan sesksual adalah perkosaan semata. Meski telah banyak kasus kekerasan seksual terjadi namun masih belum ada yang secara terang mendefinisikan kata kekerasan seksual. Dalam penjelasan UU No. 23 tahun 2004 pasal 8 huruf a Kata 'pemaksaan hubungan seksual' dijelaskan secara global yaitu setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual dan pemaksaan hubungan sekual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai. Sedangkan Komnas Perempuan mengenali 14 bentuk kekerasan seksual yakni: perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, prostitusi seksual, pemaksaan kehamilan, pemaksaan; aborsi, pemaksaan perkawinan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, kontrol seksual (pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan), penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, dan praktik tradisi bernuansa seksua yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan. Komplesitas persoalan kekerasan seksual menuntut kita untuk selalu mengasah kepekaan untuk mengenali dan memahami masing-masing jenis kekerasan seksual. Pemahaman yang dimaksud bukan hanya atas elemen-elemen dari tindakan kekerasan seksual, tetapi juga atas dampak pada korbannya. Metode Penelitian Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma positivisme. Paradigma positivisme melihat interaksi sosial sebagai proses dimana satu orang berhubungan dengan orang lain, memberikan stimulus dan mempengaruhi, baik sikap maupun perilaku (Eriyanto, 2002). Menurut Lincoln & Guba (1988) yang dikutip oleh Creswell, paradigma positivisme dari sudut ontologi memandang relita sebagai sesuatuyang terlepas dari peneliti. Sesuatu yang dapat diukur secara obyektif dengan menggunakan daftar pertanyaan atau instrumen (dalam Creswell, 2000). Jika dikaitkan, penelitian ini menggunakan indikator-indikator yang akan diteliti ataupun diperiksa oleh dua coder, satu coder adalah peneliti dan satu coder 174
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 168 - 179
ISSN 2085-1979
merupakan orang yang diluar penelitian ini agar tingkat obyektivitas penelitian ini cukup tinggi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yang berorientasi pada hasil yang bersifat pasti dan jelas. Menurut Rachmat Kriyantono, penelitian kuantitatif adalah riset yang menggambarkan atau menjelaskan masalah yang hasilnya dapat digeneralisirkan. Dengan demikian tidak terlalu mementingkan aspek keluasan data, sehingga data atau hasil riset dianggap merupakan representasi dari seluruh populasi (Kriyantono, 2007). Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis). Menurut Holsti, analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi yang dilakukan secara objektif dan identifikasi sistematis dari karakteristik pesan (Eriyanto, 2011). Dalam hal ini, karateristik pesan yang identifikasi merupakan karakteristik yang manifest (tampak) secara kasat mata maka dari itu teori ini sehubungan dengan penelitian yang dilakukan. Karena Holsti melakukan identifikasi terhadap karakteristik isi pesan yang manifest dan dilakukan dengan objektif serta sistematis maka peneliti memutuskan untuk menggunakan analisis isi Holsti ini untuk mengetahui dan menggambarkan kecenderungan konten pemberitaan perkosaan dimuat di media online Deti k.com. Pada penelitian ini menggunakan analisis isi deskriptif, yang dimaksudkan untuk menggambarkan suatu pesan atau teks tertentu. Desain analisis isi ini tidak dimaksudkan untuk menguji suatu hipotesis tertent, atau menguji hubungan diantara variabel. Analisis isi ini semata untuk deskripsi, menggambarkan aspek-aspek dan karakteristik dari suatu pesan (Eriyanto, 2011). Objek penelitian ini adalah kecenderungan konten-konten pemberitaan perkosaan. Kemudian subjek penelitiannya adalah berita-berita perkosaan yang dimuat di Detik.com pada periode 1 Maret – 20 April 2013. Pada periode ini, peneliti menemukan 30 berita tentang perkosaan yang muncul di Detik.com. Validitas memastikan apakah alat ukur yang digunakan oleh penelitian sahih (valid) dan karenanya dapat menjamin bahwa temuan-temuan dalam penelitian juga dihasilkan dari pengukuran yang tepat (Eriyanto, 2011). Penelitin ini menggunakan validitas isi (Content Validity), karena penelitian ini memasukan semua indicator secara menyeluruh dari onsep yang hendak diukur. Hal ini terkaot dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui dan menggambarkan kecenderungan konten pemberitaan perkosaan dimuat di media online Detik.com. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan rumus Ole R. Holsty (1969). Reliabilitas ditunjukan dalam presentase persetujuan berapa besar presentase persamaan antar-coder ketika menilai suatu isi. Jumlah reliabilitasnya diambil dari berita perkosaan, periode 1 Maret - 30 April 2013 terdiri dari 15 berita di Detik.com di tinjau dari aspek kekerasan yang mengacu pada pasal 285 dan 289 KUHP tentang tindak perkosaan. Berikut adalah hasil uji reliabilitas yang dilakukan oleh 2 (dua) coder Hasil Penemuan dan Diskusi Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitiannya adalah berita-berita perkosaan yang dimuat di Detik.com dan objek penelitiannya adalah, kecenderungan konten-konten pemberitaan perkosaan, jumlah sampel berita yang diteliti sebanyak 15 sampel berita. Sehubungan dengan tujuan penelitian ini yaitu mengetahui dan menggambarkan kecenderungan konten pemberitaan perkosaan dimuat di media online Detik.com, maka peneliti membuat kategorisasi penelitian yang akan diteliti pada sampel berita perkosaan. Berdasarkan hasil pengumpulan data dengan membaca sampel data yang telah dipilih kemudian melakukan pengkodingan dengan memasukkan 175
Ayu Erivah Rossy Dan Umaimah Wahid: Analisi Isi Kekerasan Seksual Dalam Pemberitaan Media Online Detik.Com
data dalam coding sheet, sesuai dengan kategorisasi yang telah ditentukan, maka akan dilanjutkan dengan analisis data secara kuantitatif dan diinterpretasikan sesuai dengan teknik analisis data yang disebutkankan dalam metode penelitian. Untuk memperoleh frekuensi kecenderungan konten pemberitaan pada indikator yang telah dibuat, peneliti melakukan pencatatan atau pengodingan bersama coder 2 pada setiap berita yang menjadi sampel penelitian, yaitu sebanyak 15 sampel berita perkosaan pada Detik.com periode 1 Maret – 20 April 2013. Disimpulkan bahwa penulisan berita kekerasan seksual di Detik.com periode 1 Maret – 20 April 2013 adalah 51,5 % beritanya menceritakan kronologis tindakan kekerasan seksual, 22,8 % beritanya memuat tentang jerat atau proses hukum yang tengah berlangsung, dan 25,7 % menyajikan berita yang mengandung unsur human interest. Disimpulkan dalam pemberitaan kekerasan seksual di Detik.com periode 1 Maret – 20 April 2013, 80 % jenis tindak perkosaan yang diberitakan adalah jenis tindak perkosaan untuk bersetubuh. Dan 20 % merupakan tindak perkosaan untuk tujuan pencabulan. Disimpulkan bahwa dalam pemberitaan kekerasan seksual di Detik.com periode 1 Maret – 20 April 2013, 93,3 % tersangkanya adalah laki-laki, dan 5,7 % tersangkanya adalah perempuan. Disimpulkan bahwa dalam pemberitaan kekerasan seksual di Detik.com periode 1 Maret – 20 April, 93,2 % korban kekerasan seksual adalah perempuan, dan 6,8 % korbannya adalah laki-laki. Disimpulkan butir hubungan keluarga antara pelaku dengan korban sebesar 13,3 %, kemudian tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang yang dikenal non keluarga sebesar 40 %, dan yang dilakukan oleh orang asing sebesar 46,7 %. Disimpulkan bahwa dalam pemberitaan perkosaan di Detik.com periode 1 Maret – 20 April, pelaku atas tindak perkosaan yang berjumlah >5 orang sebesar 46,7 %, dan 53,3 % untuk pelaku tindak perkosaan yang bejumlah <5 orang. Disimpulkan bahwa dalam pemberitaan kekerasan seksual di Detik.com periode 1 Maret – 20 April, korban atas tindak kekerasan seksual yang berjumlah >5 orang sebesar 6,7 %, dan 93,3 % untuk korban tindak perkosaan yang bejumlah <5 orang. Hasil temuan terhadap indikator yang terakhir yaitu berdasarkan cara melakukan tindak kekersan seksual. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa sebesar 29,2 % kekerasan seksual ini dilakukan dengan memberikan janji-janji, penipuan ataupun rayuan. 20,8 % menggunakan ancaman halus, kemudian 29,2 % menggunakan paksaan fisik, serta yang terakhir 20,8 % dilakukan dengan menggunakan pengaruh tertentu (penggunaan obat-obatan, hipnotis, dll). Berdasarkan hasil penelitian pemberitan kekerasan seksual pada Detik.com, menunjukan bahwa tema yang paling banyak muncul dalam penulisan berita kekerasan seksual adalah mengenai kronologis peristiwa kekerasan seksual yang terjadi. Frekuensi yang didapatkan pada 15 sampel berita oleh dua Coder berdasarkan tema kronologis sebanyak 18 frekuensi atau sebesar 51,5 %. Kemudian disusul oleh berita-berita yang mengandung unsur human interest, sebesar 25,7 % dan 22,8 memberitakan mengenai jerat hukum atau proses hukum yang tengah berjalan pada kasus kekerasan seksual. Acuan pasal 285 dan 289 KUHP dihasilkan analisis pada indikator jenis tindak perkosaan pada berita-berita perkosaan di Detik.com, menunjukan bahwa yang paling dominan diberitakan adalah jenis tindak perkosaan untuk tujuan bersetubuh dengan jumlah frekuensi 24 dari 30 frekuensi atau jika dipersenkan sebesar 80 %, hasil ini didapatkan melalui proses pengkodingan oleh dua coder. Dan untuk tindak perkosaan untuk cabul hanya ditemukan 6 frekuensi dari total 30 frekuensi atau sebesar 20 % 176
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 168 - 179
ISSN 2085-1979
Pada indikator jenis kelamin tersangka kasus perkosaan, paling banyak dilakukan oleh laki-laki yaitu sebanyak 28 frekuensi dari total 30 frekuensi atau sebesar 93,3 %. Sedangkan yang dilakukan oleh perempuan sebanyak dua frekuensi atau sebesar 5,7 %. Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa dapat ditemui persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Dalam hal ini ketimpangan relasi kuasa yang dimaksud adalah antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan analisis jenis kelamin korban pada berita-berita perkosaan, ditemukan bahwa paling cenderung yang menjadi korban adalah perempuan sebanyak 27 frekuensi dari total 29 frekuensi atau sebesar 93,2 %. Sedangkan korban dengan jenis kelamin laki-laki ditemukan sebanyak 2 frekuensi atau sebesar 6,8 %. Tidak semua berita menyebutkan dengan jelas jenis kelamin korban, maka dari itu jumlah keseluruhan frekuensi berbeda-beda antara indikator lainnya. Berita-berita di Detik.com,tindak perkosaan paling sering muncul dilakukan oleh orang asing atau tidak dikenal oleh korban yaitu sebanyak 14 frekuensi dari total 30 frekuensi atau jika dalam bentuk persentase sebesar 46,7 %. Sedangkan yang dilakukan oleh orang yang dikenal non anggota keluarga sebesar 40 % dan 13,3 % dilakukan oleh anggota keluarga inti. Pada analisis berita di Detik.com berdasarkan indikator jumlah pelaku perkosaan, paling cenderung tindak perkosaan dilakukan oleh <5 orang sejumlah 16 frekuensi dari total 30 frekuensi atau 53,3 % dalam bentuk persen. Sedangkan julah pelaku >5 orang berjumlah 14 frekuensi atau sebesar 46,7 %. Dan untuk jumlah korban, diberitakan bahwa lebih dominan korban kekerasan berjumlah >5 orang yaitu sebanyak 28 frekuensi dari total 30 frekuensi atau 93,3 % dalam bentuk persentase. Sedangkan korban yang berjumlah <5 orang ditemukan sebanyak 2 frekuensi atau 6,7 %. Pada indikator terakhir yaitu dari segi cara melakukan tindak perkosaan yang dianalisis pada berita-berita perkosaan di Detik.com, ditemukan bahwa paling dominan dilakukan dengan memberikan janji-janji, penipuan, ataupun rayuan serta dilakukan dengan paksaan fisik yang masing-masing berjumlah 7 frekuensi dari 24 frekuensi atau sebesar 29, 2 %. Sedangkan untuk butir ancaman halus dan penggunaan pengaruh obat-obatan masing-masing berjumlah 5 frekuensi atau sebersan 20,8 %. Simpula Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan hitungan frekuensi kemunculan dari kategorisasi yang ada pada unit analisis yang berdasarkan tema, jenis tindak perkosaan, jenis kelamin tersangka, jenis kelamin korban, hubungan pelaku dengan korban, jumlah pelaku, jumlah korban, dan cara melakukan tindak perkosaan didapatkan hasil penelitian sebagai berikut : 1) Pada dasarnya berita perkosaan yang disajikan oleh Detik.com lebih menonjolkan unsur informasi. Hal ini dapat dilihat dari hasil yang didapatkan bahwa penulisan tema kronologis tindak perkosaan yang terjadi mendominasi dalam pemberitaan perkosaan di Detik.com yaitu sebesar 51,5 %. Tema kronologis ini bermaksud untuk menjelaskan atau menceritakan dengan detil tindak perkosaan, dengan kata lain penggunaan konsep 5w + 1H cukup lengkap. 2) Berdasarkan jenis tindak perkosaan yang bersumber pada KUHP tindak pidana perkosaan, menunjukkan bahwa tindak perkosaan untuk tujuan bersetubuh adalah yang paling dominan diberitakan yaitu sebesar 80 %. Meski telah ada KUHP yang mengatur namun tindak perkosaan masih saja marak terjadi. Media, dalam hal ini Detik.com pun dapat membantu dalam mensosialisasikan KUHP terkait melalui pemberitaan-pemberitaanya kepada para pembaca. 3) Berdasarkan indikator jenis kelamin pelaku dan korban menghasilkan laki-laki cenderung menjadi pelaku perkosaan yang diberitakan di Detik.com sebesar 93,3 %. Dan jenis kelamin perempuan cenderung menjadi korban perkosaan dalam pemberitaan perkosaan di 177
Ayu Erivah Rossy Dan Umaimah Wahid: Analisi Isi Kekerasan Seksual Dalam Pemberitaan Media Online Detik.Com
Detik.com sebesar 93,2 %. Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa dapat ditemui persoalan ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dengan perempuan. 4) Hasil analisis berita perkosaan pada Detik.com berdasarkan jumlah pelaku dan korban ditemukan kecenderungan pelaku perkosaan berjumlah <5 orang yaitu sebesar 53,3 %. Dan untuk jumlah korban dominan berjumlah <5 orang sebesar 93,3 %. 5) Pada indikator cara pelaku melakukan tindak perkosaan sehingga frekuensi yang didapatkan pada butir melakukan dengan janji-janji, penipuan, dan rayuan serta butir melakukannya dengan paksaan fisik mendominasi masing-masing sebesar 29,2%. Dan 6) Dari indikator hubungan pelaku dengan korban dihasilkan kecenderungan tindak perkosaan dilakukan oleh orang asing atau sama sekali tidak dikenal yaitu sebesar 46,7 %. Daftar Pustaka Assegaf, Dja‘Iar, ULH. (1991). Jurnalistik Masa Kini (Pengantar Praktek Kewartawanan). Jakarta: Ghalia Indonesia. Barus, Sedia Willing. (2012). Jurnalistik: Petunjuk Teknis Menulis Berita. Jakarta: Erlangga. Bungin, Burhan. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif : Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana. Creswell, John W. (1994). Desain Penelitian: Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif. (Nur Khabibah., et. all, Penerjemah). Jakarta : KIK Press. Eriyanto. (2011). Analisis Isi : Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media. Hamzah, Andi. (20090. Delik-delik tertentu di dalam KUHP. Jakarta: Sinar Grafika. Hayati, Elli Nur. 2000. Panduan untuk Pendamping Korban Kekerasan. Yogyakarta: Rifka Anisa. Ishwara, Luwi. (2007). Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara. Kriyantono, Rachmat. (2010). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. McQuail, Denis. (2011). Teori Komunikasi Massa Mc Quail Edisi 6. Jakarta: Salemba Humanika. Mondry. (2008). Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik. Bogor: Ghalia Indonesia. Muda, Deddy Iskandar. (2006). Jurnalistik Televisi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Mustofa, Muhammad. (2007). Kriminologi. Depok: FISIP UI PRESS. Nazir, Moh. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Ngefanan, Mohammad. (1991). Kamus Jurnalistik. Semarang : Effhar & Dahara Prize Semarang. Nurudin. (2007). Pengantar Komuinikasi Massa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Prasetyo, Bambang & Lina Miftahul Jannah. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif : Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo. Prodjodikoro, Wirjono. (1980). Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung:Eresco. Rakhmat, Jalaludin. 2008. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Ridwan. (2008). Kekerasan Berbasis Gender. Yogyakarta: Fajar Pustaka. Suhandang, Kustadi. Pengantar Jurnalistik : Sep utar Organisasi, Produk dan Kode Etik. Bandung: Nuansa. Suparmoko, M. (2007). Metode Penelitian Praktis (Untuk Ilmu-ilmu Sosial, Ekonomi dan Bisnis). Yogyakarta: BPFE. 178
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 168 - 179
ISSN 2085-1979
Suryawati, Indah. 2011. Jurnalistik Suatu Pengantar : Teori dan Praktik. Bogor: Ghalia Indonesia. Vera, Nawiroh. (2008). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Renata Pratama Media.
179
Monica Stella Angelina Dan Pingkey Triputra: Analisis Semiotik Fashion Ines Ariani Sebagai Bentuk Presentasi Diri
ANALISIS SEMIOTIK FASHION INES ARIANI SEBAGAI BENTUK PRESENTASI DIRI Monica Stella Angelina dan Pingkey Triputra Praktsi Blogger dan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia Email:
[email protected] Abstract Fashion can be seen from the side semoitikanya that denotation and connotation. Like the black color that has connotations mysterious, bold, independent, and stylish, yellow color that symbolizes joy and a sense of spirit. Tiger spotted pattern connotes bold. Clothes that show the shape of the body shape connotes the online, open-minded, and confident. Denotation and connotation of this it can be concluded that Ines presenting himself as someone who is brave, open, cheerful, and stylish. Fashion and clothing are included in it has a deeper function than as body armor and kesopan that as the way a person communicates where fashion clothing is non-verbal communication that is artifactual. It can be seen that one can judge others simply on appearances alone. Even generally someone will first see the appearance of others before making conversation. This conversation function to verify whether the accepted meaning when just looking at clothes only in accordance with the meaning of a conversation or when it is doing the opposite. Although a person can wear to present themselves as it is, but nonetheless in reality there is an element of performance in it. It is also likely to be experienced by Ines, where in addition wants to present himself, Ines also wants the fashion that he was wearing viewed and became the center of attention of the crowd. Keywords: Fashion, semiotic, Blogger Abstrak Fashion dapat dilihat secara semoitikanya yaitu dari sisi denotasi dan konotasinya. Seperti warna hitam yang memiliki konotasi misterius, berani, mandiri, dan stylish, warna kuning yang melambangkan keceriaan dan rasa semangat. Pattern totol harimau yang berkonotasi berani. Bentuk pakaian yang memperlihatkan bentuk tubuh berkonotasi daring, open-minded, dan percaya diri. Dari denotasi dan konotasi inilah dapat diambil kesimpulan bahwa Ines mempresentasikan dirinya sebagai seseorang yang berani, terbuka, ceria, dan stylish. Fashion dan pakaian yang termasuk di dalamnya memiliki fungsi yang lebih mendalam selain sebagai pelindung tubuh dan kesopan yakni sebagai cara seseorang berkomunikasi dimana fashion pakaian merupakan komunikasi non-verbal yaitu artifaktual. Hal ini dapat dilihat bahwa seseorang dapat menilai orang lain hanya dari penampilannya saja. Bahkan umumnya seseorang akan terlebih dahulu melihat penampilan orang lain sebelum melakukan percakapan. Fungsi percakapan ini untuk membuktikan apakah makna yang diterima saat hanya melihat pakaiannya saja sesuai dengan makna ketika sudah melakukan percakapan ataukah berlawanan. Meski seseorang dapat mengenakan pakaian untuk mempresentasikan diri apa adanya, tapi tetap saja dalam kenyataannya ada unsur pertunjukan di dalamnya. Hal ini jugalah yang dialami oleh Ines, dimana selain ingin mempresentasikan dirinya, Ines juga menginginkan agar fashion yang ia kenakan dilihat dan menjadi pusat perhatian orang banyak. Kata Kunci: Fashion, semiotik, Blogger
Pendahuluan Dewasa kini, fashion merupakan salah satu industri kreatif yang mengalami perkembangan pesat setiap tahunnya. Hal ini tidak hanya dapat dilihat dengan 180
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 180 - 193
ISSN 2085-1979
perkembangan dari tren fashion itu sendiri dari masa ke masa, tetapi juga dapat dilihat dengan banyaknya industri kreatif bertemakan fashion serta banyaknya pagelaran busana di dunia. Desainer-desainer muda dan para penikmat fashion juga menjadi bagian dari perkembangan fashion dunia. Fashion dan segala euphoria-nya tidak hanya digemari oleh masyarakat luar tetapi juga oleh masyarakat tanah air. Hal ini dapat dilihat dengan sejarah fashion Indonesia melalui penggunaan kebaya sekitar abad ke-15 atau ke-16 Masehi dan penggunaan batik sejak akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 Masehi. Kebaya dan batik selain sebagai bagian dari fashion masyarakat Indonesia, juga dianggap sebagai suatu ciri khas dan konstruksi dari kebudayaan Indonesia sendiri. Perkembangan teknologi informasi dengan segala kemudahan, kecepatan, dan tanpa batasan tertentu dalam proses pengaksesannya menjadikan penyebaran informasi mengenai fashion dari luar negara sebagai hal yang umum dan semakin dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Hal ini jugalah yang menjadi alasan mengapa industri fashion Indonesia mengalami suatu kemajuan di beberapa dekade terakhir. Fashion bahkan menjadi pelopor peningkatan ekonomi Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Harry Waluyo selaku Director General for Creative Economy Based on Media, Design, Science, and Technology berdasarkan hasil riset dan data Badan Pusat Statistik (BPS). Fashion Indonesia tidak lagi selalu diartikan sebagai suatu konstruksi kebudayaan asli Indonesia seperti dahulu. Kebaya, batik, dan pakaian adat lainnya kini hanya digunakan disaat atau momen tertentu saja. Fashion Indonesia terutama di kota-kota besar dengan masyarakatnya yang urban sekarang memiliki pengertian yang berbeda, bahkan tidak jarang masyarakat urban menganggap bahwa fashion adalah cara seseorang mempresentasikan dirinya di hadapan khalayak. Hal inilah yang mengakibatkan fashion Indonesia terutama di kota-kota besar terlihat lebih berwarna, unik, dan berani. Sudah sejak lama, fungsi fashion tidak hanya sebagai pelindung atau penutup tubuh demi kesopanan seseorang, tetapi sebagai suatu cara berkomunikasi. Hal ini persis seperti yang diungkapkan oleh Umberto Eco (1973) “I speak through my clothes”. Komunikasi menggunakan fashion dan pakaian sebagai penyampai pesan inilah yang dapat disebut sebagai komunikasi non-verbal, dimana tidak menggunakan bahasa ucapan sebagai cara penyampai pesannya. Seiring dengan berjalannya waktu, fashion yang sekarang ini dianggap sebagai trend yang berubah secara konstan dan lebih merupakan kesenangan ternyata memiliki makna yang lebih dalam dan pengaruh yang lebih besar di dalam kehidupan seorang manusia. Fashion telah menjadi bagian dari kesadaran diri setiap orang dan bukan lagi hanya mengenai tampilan luar. Style seseorang tergantung oleh siapa yang menggunakan, oleh karenanya fashion menjadi bagian dari refleksi seseorang yang membawa kita kepada kesimpulan bahwa fashion telah menjadi salah satu cara bagi seseorang untuk mempresentasikan dirinya sendiri di tengah khalayak luas. Goffman menjelaskan bahwa mempresentasikan diri kepada khalayak luas dengan salah satu caranya yaitu tampilan dapat dianggap sebagai suatu ‘pertunjukan’. Hal inilah yang menjadi perdebatan bahwa apakah presentasi diri seseorang yang dilakukan dengan tampilan fashion pakaian yang dikenakannya benar mencerminkan dirinya secara apa adanya atau hanyalah sebuah panggung pertunjukan yang ingin dipertontonkan kepada khalayak luas. Tidak hanya itu, bagaimanakah cara seseorang mempresentasikan dirinya melalui fashion pakaiannya juga menjadi hal yang selalu diperdebatkan. Berdasarkan beberapa definisi komunikasi menurut para ahli yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan yang dapat berupa pesan informasi, ide, emosi, keterampilan dan 181
Monica Stella Angelina Dan Pingkey Triputra: Analisis Semiotik Fashion Ines Ariani Sebagai Bentuk Presentasi Diri
sebagainya melalui simbol atau lambang yang dapat menimbulkan efek berupa tingkah laku yang dilakukan dengan menggunakan media sebagai penghubungnya. Komunikasi berdasarkan jenis pesannya dapat terbagi menjadi komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal. Komunikasi verbal sendiri dijelaskan sebagai komunikasi yang menggunakan kata-kata baik secara lisan maupun tulisan, sedangkan komunikasi non-verbal diartikan sebagai komunikasi yang pesannya dikemas tanpa kata-kata (Hardjana, 2003). Komunikasi non-verbal merupakan komunikasi yang terlihat dari ekspresi atau mimik wajah, gerakan mata, gerakan tangan dan gerakan tubuh lainnya. Mehrabian (1972) berpendapat bahwa 93 persen dari semua makna sosial dalam komunikasi tatap muka diperoleh dari isyarat-isyarat non-verbal, dan Birdwhistell (1970) memperkirakan bahwa 65 persen dari komunikasi semacam itu adalah nonverbal (Tubbs dan Moss, 2005). Industri fashion dewasa ini begitu diminati oleh khalayak. Hal ini dapat dilihat dengan perkembangan dari industri fashion itu sendiri dari masa ke masa. Sudah sejak lama fashion hadir di tengah masyarakat walau fungsinya kini mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan berjalannya waktu. Pakaian yang merupakan bagian dari fashion tidak lagi hanya digunakan sebagai pelindung dan penutup tubuh demi kesopanan saja, tetapi juga sebagai bentuk identitas dan presentasi diri seseorang. Berdasarkan definisi-definisi mengenai fashion yang telah dituliskan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa fashion merupakan gaya pada suatu masa yang diminati oleh masyarakat. Fashion sendiri merupakan suatu tindakan melakukan dimana fashion tidak dapat dipisahkan dengan pakaian, busana, dan aksesoris dalam kajiannya. Kesamaan, kemiripan, dan saling terkait inilah yang menjadikan pengertian fashion dewasa kini jauh berbeda dengan pengertian fashion dalam arti yang sesungguhnya. Pengertian fashion sekarang lebih menekankan pada apa yang dikenakan oleh seseorang seperti busana dan aksesoris. Fashion memiliki beberapa fungsi seperti perlindungan, kesopan, komunikasi, ekspresi individualistik, nilai sosial, peran sosial, ritual sosial, rekreasi, kondisi magis, dan symbol politis. Kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta terkenal dengan masyarakatnya yang urban. Oleh karenanya tidak jarang yang menganggap bahwa masyarakat urban berarti masyarakat perkotaan. Pengertian masyarakat (society) mengacu pada sekelompok orang yang menempati wilayah tertentu dan hidup bersama dalam waktu yang relatif lama. Pengertian urban sendiri dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang bersifat kekotaan baik secara langsung ataupun tidak, terkait dengan urbanisasi yatu perpindahan penduduk dari desa ke kota (Setijowati, 2010). Budaya masyarakat urban merupakan budaya masyarakat perkotaan yang umumnya terbilang serba gemelap, modernitas, industrialisasi, sosialita dan konsumsi gaya hidup berlebihan. Pola pikir masyarakat urban yang lebih rasional dan mandiri juga menjadikan budaya masyarakat urban sebagai budaya mandiri dan berpikiran rasional. Identitas pribadi terdiri dari karakteristik yang membuat seseorang berbeda dari orang lain di kelompoknya, karakteristik yang membuatnya unik dan bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri (Samovar, Porter, dan Mcdaniel, 2010). Fearon dalam papernya berjudul What is Identity (1999) merangkum berbagai pengertian identitas diri dari beberapa ahli yakni sebagai konsep yang digunakan oleh orangorang untuk menyatakan tentang siapakah mereka, merujuk pada cara yang digunakan oleh individu dilihat dari hubungan sosial dengan orang lain, sebagai pengertian dan harapan yang stabil tentang diri, komitmen yang menyediakan kerangka yang memungkinkan seseorang untuk mencoba memilih dan mengevaluasi 182
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 180 - 193
ISSN 2085-1979
apa yang baik dan pantas, serta cara yang digunakan seseorang dalam menampilkan dirinya sebagai individu yang berbeda. Dalam proses presentasi diri biasanya individu akan melakukan pengelolaan kesan (impression management), yakni teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan tertentu dalam situasi tertentu dengan tujuan tertentu (Mulyana, 2008). Pada saat ini, individu melakukan suatu proses dimana dia akan menseleksi dan mengontrol perilaku mereka sesuai dengan situasi dimana perilaku itu dihadirkan serta memproyeksikan pada orang lain suatu image yang diinginkannya. Pendekatan Dramaturgis Erving Goffman, Melalui istilah “Pertunjukan Teater”, teori Goffman (Mulyana, 2008) membagi dua wilayah kehidupan sosial yaitu: Merujuk kepada peristiwa sosial yang memungkinkan individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Mereka seperti sedang memainkan suatu peran di atas panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton. Wilayah ini juga disebut front stage (panggung depan) yang ditonton oleh khalayak. Goffman kembali membagi wilayah depan ini menjadi front pribadi (personal front), dan setting. Front pribadi terdiri dari alat-alat yang dapat dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting. Back Region (wilayah belakang), Tempat untuk individu-individu mempersiapkan perannya di wilayah depan, biasa juga disebut back stage (panggung belakang) atau kamar rias untuk mempersiapkan diri atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan. Umumnya perilaku front stage dengan back stage akan berbeda oleh karenanya menurut Goffman, khalayak tidak diperbolehkan untuk masuk ke panggung belakang. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif. Metode ini dipilih oleh penulis karena dinilai dapat memperlihatkan fenomena secara utuh serta dapat memberikan uraian mendalam mengenai fashion sebagai bentuk presentasi diri masyarakat urban yang diwakilkan oleh Ines Ariani, fashion blogger Indonesia. Pemilihan metode kualitatif ini penulis putuskan atas pengertian penelitian kualitatif menurut Moleong (2006) dimana menjelaskan bahwa penelitian kualitatif bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya secara holistik (menyeluruh, tidak dapat dipisah-pisahkan). Hal ini membuat peneliti kualitatif tidak akan menetapkan penelitiannya hanya berdasarkan variabel penelitian, tetapi keseluruhan situasi sosial yang diteliti yang meliputi aspek tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Penelitian kualitatif sendiri adalah penelitian yang memiliki tingkat kritisme yang lebih dalam dari semua proses penelitian. Kekuatan kritisme peneliti menjadi senjata utama menjalankan semua proses penelitian. Pandangan-pandangan Kant bahwa kritisme adalah buah kerja rasio dan empiris sesorang, akan sangat membantu penelitian kualitatif ini dalam membuka medan misteri seluas-luasnya, dengan demikian filsafat kritisme menjadi dasar yang kuat dalam seluruh proses penelitian kualitatif ( Bungin, 2007). Keberadaan subjek penelitian dalam penelitian kualitatif akan memberikan gambaran mengenai apa atau siapa yang menjadi bahan rujukan untuk diketahui kompleksitasnya melalui penelitian lebih lanjut. Subjek dalam penelitian kualitatif bisa berupa individu, kelompok, institusi, ataupun komunitas. Menurut Ruslan (2010), subjek adalah pelaku yang bertindak sebagai profesional. Penentuan subjek ditentukan berdasarkan fokus penelitian. Subjek dapat mewakili dan menggambarkan 183
Monica Stella Angelina Dan Pingkey Triputra: Analisis Semiotik Fashion Ines Ariani Sebagai Bentuk Presentasi Diri
fenomena yang ingin diteliti. Oleh sebab itu dalam pemilihan subjek penelitian haruslah memiliki standar, dimana subjek penelitian haruslah berkredibilitas tinggi dan sesuai dengan tema penelitian. Subjek dari penelitian ini adalah Ines Ariani yang merupakan salah satu fashion blogger Indonesia sebagai perwakilan dari masyarakat urban dengan cara pandang yang lebih terbuka. Penulis memilih Ines Ariani sebagai subjek penelitian karena kredibilitas dan kesesuaian Ines dengan tema yang penulis buat, dimana Ines adalah bagian dari masyarakat urban dengan fashion yang berani dan menarik. Adapun objek penelitian ini adalah fashion dari Ines Ariani itu sendiri. Disini penulis memberikan batasan dimana fashion yang dimaksudkan hanya mencakup pakaian yang dikenakan oleh Ines. Tampilan fashion Ines ini penulis dapatkan dengan mengumpulkan 5 buah foto yang diambil dari blog Ines sendiri yaitu aii-ness.com, dimana kelima tampilan fashion dalam foto tersebut merupakan tampilan yang paling Ines sukai.Adapun selama melakukan penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data yang terdiri dari: Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau responden (Sugiyono, 2012). Data primer berkaitan langsung dengan keperluan penelitian, artinya bahwa data tersebut dikumpulkan untuk mencapai tujuan penelitian, seperti wawancara, observasi, dan kuesioner. Data primer yang penulis tetapkan pada penelitian ini adalah 5 buah foto tampilan fashion Ines Ariani yang penulis dapatkan dari blognya yaitu aii-ness.com, dimana kelima tampilan tersebut merupakan tampilan Ines yang Ines sendiri sukai dan dianggap paling sesuai dengan dirinya. Foto menghasilkan data deskriptif yang cukup berharga dan sering digunakan untuk menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya sering dianalisis secara induktif (Moleong, 2006). Ada dua kategori foto yang dapat dimanfaatkan dalam penelitian kualitatif, yaitu foto yang dihasilkan orang dan foto yang dihasilkan oleh peneliti sendiri. Pada penelitian ini, foto yang didapatkan dari foto yang dihasilkan oleh orang lain. Selain itu, pengumpulan data primer juga dilakukan dengan melalui wawancara mendalam dengan narasumber. Wawancara sendiri dapat diartikan sebagai percakapan dengan maksud tertentu, dimana dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2006). Wawancara secara garis besar dibagi menjadi dua yakni wawancara tak terstruktur dan wawancara terstruktur (Mulyana, 2008). Wawancara tidak terstruktur sering disebut sebagai wawancara mendalam. Wawancara tidak terstruktur mirip dengan percakapan informal. Metode ini bertujuan memperoleh bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua responden, tetapi susunan kata dan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri setiap responden. Wawancara tak terstruktur bersifat luwes, susunan pertanyaannya dan susunan katakata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara. Biasanya pertanyaan wawancara tidak berstruktur dimulai dengan kata tanya bersifat terbuka seperti “bagaimana”, “apakah”, dan “mengapa”. Data sekunder adalah cara memperoleh data dalam bentuk yang sudah jadi (tersedia) melalui publikasi dan informasi yang dikeluarkan di berbagai organisasi atau perusahaan, termasuk majalah jurnal, khusus pasar modal, perbankan, dan keuangan ( Ruslan, 2010). Pada penelitian ini, penulis mengumpulkan data sekunder berupa studi keputakaan dan riset kepustakaan, dimana penulis mencari dan mengumpulkan datadata serta informasi dengan membaca buku-buku referensi, bahan-bahan serta dokumen-dokumen publikasi yang tersedia di perpustakaan. Selain itu, penulis juga 184
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 180 - 193
ISSN 2085-1979
mengumpulkan data-data sekunder dari sumber online yang mendukung penelitian ini. Unit analisis biasanya juga merupakan unit pengamatan. Terkadang, kita melakukan pengamatan unit analisis penelitian secara tidak langsung. Unit analisis adalah hal-hal yang kita kaji dalam rangka menciptakan suatu deskripsi dan ringkasan untuk menjelaskan atau memahami perbedaan di antara hal yang kita amati tersebut (Leslie dan Earl, 2004). Unit analisis pada penelitian ini adalah foto. Dimana foto ini penulis dapatkan dari blog Ines Ariani, salah seorang fashion blogger Indonesia. Hasil Penemuan dan Diskusi Penelitian ini menggunakan metode pendekatan deskriptif kualitatif yang dapat lebih menjelaskan suatu fenomena yang terjadi sevara lebih dalam, tidak hanya itu metode ini digunakan untuk menjelaskan secara lebih lengkap mengenai permasalahan yang diangkat sebagai topic utama. 1. Strip My Bone Foto tampilan Ines berikut ini berjudul Strip My Bone, dimana Ines menggugahnya ke blog pada 14 Januari 2014. Berikut tampilan fashion Ines di blognya.
Gambar 1. Pantone 1895 – Light Pink Denotasi, seorang perempuan berambut biru dikuncir 2 dengan bibir berwarna biru gelap bergaya seolah membenarkan topinya. Perempuan itu terlihat mengenakan choker yang menyerupai warna darah yang telah beku dan kalung tulang. Perempuan pada gambar di atas mengenakan pakaian berwarna pink salem dengan garis hitam putih horizontal. Dirinya juga mengenakan rok berwarna putih yang memiliki aksen garis hitam pada bagian bawah roknya dan karet berwarna hitam. Tidak lupa dirinya mengenakan stocking berwarna hitam dengan detail gambar tulang pada stocking-nya. Perempuan itu juga menyelaraskan warna dengan sepatu berwarna putih dan tas selempang berwarna hitam. Konotasi, terlihat dari pakaiannya, terdapat tiga unsur warna yakni, merah muda, hitam, dan putih. Untuk warna merah mudanya sendiri termasuk ke dalam bagian merah muda yang ringan atau light, atau bisa juga digolongkan sebagai warna Pantone 1895. Menurut Leatrice (2006), light pink memiliki dua pengertian positif dan negatif. Makna positif dari light pink adalah romantis, perhatian, berjiwa muda, lembut, dan polos. Leatrice mengungkapkan dalam gereja kriten, warna putih melambangkan surga, kehadiran yang suci, dan Tuhan sendiri dianggap menggunakan jubah putih dan memiliki janggut putih (Eiseman, 2006). Oleh karenanya warna putih memiliki makna suci, bersih, polos, pendiam, simple, dan terang. Sedangkan warna hitam diartikan sebagai berkuasa, elegan, misterius, berat, berani, kuat, mahal, modern, dan stylish sebagai sisi positifnya. Pada gambar di atas terlihat jelas bahwa warna hitam yang dikenakan oleh Ines lebih dominan dibandingkan dengan warna light pink dan putihnya. Disini dapat diartikan Ines adalah seorang yang berani, kuat, modern, dan stylish dengan sedikit 185
Monica Stella Angelina Dan Pingkey Triputra: Analisis Semiotik Fashion Ines Ariani Sebagai Bentuk Presentasi Diri
sifat romantis, polos, dan bersih. Namun warna light pink yang mengambil tempat di tengah menegaskan dirinya sebagai seorang yang berjiwa muda. Tulang sendiri dapat diartikan sebagai rancangan dasar seperti plot sebuah buku. Hal ini bisa menggambarkan bahwa fashion sendiri sudah seperti hal mendasar yang berarti bagi Ines layaknya fondasi rumah dan bagian dari dirinya. Menurut Sonny Muchlison, seorang pengamat fashion, pada tampilan ini, Ines berusaha untuk menjelaskan dirinya out of fashion yang artinya dia tidak menganut jenis fashion tertentu yang sedang dalam masanya atau in. Muchlison mendeskripsikan tampilan Ines pada gambar di atas dapat termasuk sebagai tema Gothic Lolita (perpaduan busana antara gaya lolita, gothic, feminine , dan elegan) dengan rok tutunya. Dapat diambil kesimpulan bahwa Ines memiliki kepribadian yang berani, kuat, modern, stylish, dan berjiwa muda dengan sedikit sifat romantis dan polos dan bagi Ines fashion telah menjadi bagian dari dirinya yang tidak dipisahkan layaknya tulang. 2. The Champion Foto tampilan Ines berikut ini berjudul The Champion dimana Ines mempublikasikannya melalui blog pada 19 Februari 2014. Berikut tampilan The Champion melalui blog-nya.
Gambar 2. The Champion (Sumber: aii-ness.com) Denotasi, gambar di atas memperlihatkan seorang gadis berambut hijau tosca dengan topi berwarna merah mengenakan crop tee bergambar cartoon dipadu padan dengan celana kotak-kotak merah. Dirinya juga mengenakan sepatu wedges berwarna kuning, senada dengan warna tas ransel dan list kacamata bulat yang dikenakannya. Dirinya juga terlihat mengenakan aksesoris gelang sederhana berwarna merah. Konotasi, melihat pakaiannya terdapat satu unsur warna yang menonjol yakni merah dengan hitam dan kuning sebagai tambahan. Warna merah ini termasuk ke dalam merah terang.
Gambar 3. Pantone 186 – Bright Red Menurut Leatrice (2006), warna merah terang dapat memiliki artian menarik, berenergi, seksi, bergairah, dinamis, provokatif, dramatis, memiliki kekuatan, 186
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 180 - 193
ISSN 2085-1979
petualang, spontan, menuntut, dan memotivasi. Merah terang juga memiliki makna berkonotasi negatif yakni terlalu agresif, kekerasan, berbahaya, gampang emosi, dan antagonis. Sedangkan warna hitam dapat berarti berani, kuat, dan stylish. Sedangkan untuk kuning sendiri dapat menggambarkan keceriaan. Dengan kata lain, melihat dari warnanya saja dapat terlihat bahwa Ines adalah seorang yang energic, berani mengeksplor dirinya sendiri, ceria dan memiliki style yang dibentuk agar tetap terlihat sederhana dengan unsur hitam yang tidak terlalu banyak. Ines sendiri menggunakan potongan pakaian crop yang memperlihatkan bagian perutnya, hal ini dapat menandakan bahwa dirinya adalah seorang yang terbuka dan tidak bermasalah dengan body expose melalui pakaian. Hal ini juga menggambarkan bahwa Ines merasa percaya diri dengan bentuk tubuhnya terbukti dengan tidak menutupnutupinya. Menurut Muchlison, Ines ini dapat menggambarkan siklus global dimana atasannya menggambarkan globalisasi dengan banyaknya gambar seperti lambang nazi, dan icon McDonald sedangkan bawahannya yaitu tartan (pola menyilang baik secara horizontal ataupun vertikal dengan berbagai warna. Tartan selalu dihubungkan dengan Scotlandia tetapi bukti awal mengatakan bahwa tartan ditemukan dekat dengan Inggris) menggambarkan British. Melalui tampilan fashion pakaian Ines pada gambar di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Ines adalah orang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi, berani untuk tampil, memiliki sifat ekstrovert, dan memiliki pemikiran yang terbuka perihal globalisasi terlihat dari pattern pilihannya. Ines juga dapat dikatakan sebagai seseorang yang terlihat menarik dan seksi dengan berani mengekspos tubuhnya. 3. Wild Jakarta City Foto tampilan Ines selanjutnya berjudul Wild Jakarta City dimana Ines mempublikasikannya melalui blog pada 17 Mei 2014. Berikut tampilan Wild Jakarta City melalui blog-nya.
Gambar 4. Wild Jakarta City (Sumber: aii-ness.com) Denotasi, erempuan dengan rambut yang seperti warna pelangi berpose dengan mengenakan dress kuning tutul macan hitam berbelahan dengan tulisan Jakarta City di bagian tengahnya. Tidak hanya itu perempuan tersebut juga mengenakan luaran yang tembus pandang atau see through dengan warna hitam sebagai dasarnya. Sepatu platform wedges berwarna hitam, tas selempang hologram, dan kalung dream catcher juga menjadi pelengkap penampilan. Konotasi, pada gambar pakaian di atas terdapat dua unsur warna yang dominan yakni kuning dan hitam. Menurut Leatrice (2006), kuning adalah warna yang paling tepat dalam mengekspresikan esensi cahaya, rasa penasaran, dan rasa butuh untuk cahaya. Kuning merupakan salah satu warna terpenting dalam kehidupan 187
Monica Stella Angelina Dan Pingkey Triputra: Analisis Semiotik Fashion Ines Ariani Sebagai Bentuk Presentasi Diri
manusia karena warna kuning akan selalu membuat orang lain merasa tertarik untuk melihat. Bahkan anak-anak mengenali hadirnya cahaya matahari dan mengekspresikannya dengan warna kuning. Kuning sendiri memiliki makna yakni cerah, kecerdasan, originalitas, sumber dari pikiran yang terbuka, kesenangan, harapan, dan rasa optimis. Pada gambar di atas, Ines menggunakan warna kuning terang.
Gambar 5. Pantone 116 – Bright Yellow Kuning terang sendiri memiliki makna rasa senang, panas, bersahabat, bersemangat, matahari, merangsang, kejutan, dan inovatif. Menurut Leatrice kehadiran warna kuning akan semakin mencolok apabila dipadu padankan dengan warna seperti hitam. Baju luaran yang dikenakan oleh Ines ialah mesh bomber jacket dimana tembus pandang menunjukkan bahwa Ines adalah seorang yang tidak bermasalah perihal body exposure. Terlebih terlihat ketika melihat dress yang dikenakannya memiliki belahan yang memperlihatkan kakinya. Pattern tutul macan yang ada di dress-nya mendeskripsikan diri Ines yang seperti macan, yaitu berani dan kuat. Tidak hanya itu Tulisan Jakarta City pada dressnya mendeskripsikan Ines sebagai masyarakat urban kota Jakarta yang memiliki fashion style yang berbeda. Dapat diambil kesimpulan bahwa dalam tampilan ini Ines Ariani adalah seorang yang berenergi, ceria, berani, percaya diri dan berpikiran terbuka karena dirinya tidak merasa canggung mengekspresikan fashion-nya walau harus memperlihatkan beberapa bagian tubuhnya. 4. Martinioue Foto tampilan Ines selanjutnya berjudul Martinioue dimana Ines mempublikasikannya melalui blog pada 1 Juni 2014. Berikut tampilan Martinioue melalui blog-nya.
Gambar 6. Martinioue (Sumber: aii-ness.com) Denotasi, perempuan dengan rambut berwarna-warni berpose menggunakan pakaian yang didominasi oleh warna ungu muda dengan aksen putih. Pada atasan 188
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 180 - 193
ISSN 2085-1979
yang digunakannya terdapat tulisan Martinioue. Untuk bawahannya perempuan tersebut menggunakan rok berwarna biru keunguan dengan garis-garis horizontal yang panjangnya hampir semata kaki. Dirinya juga melengkapi penampilan dengan kaos kaki berwarna putih ungu, sepatu yang didominasi warna ungu muda dan hijau serta tas ransel berwarna putih. Konotasi, pada gambar diatas terdapat dua warna yang mendominasi yakni warna ungu muda dengan biru tua dengan sedikit aksen putih. Ungu pada tampilan di atas dapat termasuk dalam warna lavender.
Gambar 7. Pantone 264- Lavender Lavender memiliki pengertian romantis, rasa nostalgia, ringan, dan fantastis. Sedangkan warna biru yang digunakan adalah warna biru terang.
Gambar 8. Pantone 285 – Bright Blue Warna biru terang sendiri memiliki arti cepat, bersemangat tinggi, dan mengesankan. Warna putih yang hanya sebagai pelengkap dapat diartikan sebagai kepolosan. Warna putih sebagai detailnya memberikan gambaran bahwa Ines adalah orang yang peduli pada detail dan memiliki sisi pure di dalam dirinya. Gambaran pada pakaian atasnya terlihat seperti kebun yang luas dengan adanya satu pohon utama dan beberapa pohon lainnya seperti menggambarkan kebebasan dan petualangan. Sedangkan untuk tulisan martinioue sendiri tidak memiliki arti. Sehingga dapat ditarik kesimpulan pada penampilan ini, Ines ingin menunjukkan dirinya yang ringan dan bersahabat dengan semangat yang tinggi tapi tetap menampilkan sisi dirinya yang romantis dan polos. 5. Camo in the Mesh Foto tampilan Ines yang terakhir berjudul Camo in the Mesh dimana Ines mempublikasikannya melalui blog pada 15 September 2014. Berikut tampilan Martinioue melalui blog-nya.
Gambar 9. Camo in the Mesh (Sumber: aii-ness.com)
189
Monica Stella Angelina Dan Pingkey Triputra: Analisis Semiotik Fashion Ines Ariani Sebagai Bentuk Presentasi Diri
Denotasi, seorang perempuan berambut ungu dengan Genius beanie hat berwarna birunya sedang bergaya dengan mengenakan pakaian brand Adidas dengan logo Adidas berwarna biru dan tulisan Adidasnya yang juga berwarna biru dimana pakaian itu memiliki warna dasar kuning dan didampingi pattern tidak beraturan berwarna hijau, putih, dan biru. Terlihat bagian lengannya sdeperti dilipat. Perempuan tersebut juga mengenakan rok pendek berwarna putih yang juga ditutupi dengan semacam jaring berwarna putih. Di pinggangnya terikat kemeja kotak-kotak dengan warna-warna campuran seperti merah, biru, hijau, kuning dan ungu. Dirinya juga mengenakan sepatu sport berwarna biru dengan tali berwarna ungu dan tas ransel berwarna campuran ungu dan biru dan sedikit merah. Konotasi, pada pakaian yang digunakannya tertera logo Adidas. Logo Adidas yang ditampilkan adalah logo yang lama yaitu logo 1972 dengan menggunakan ‘trefoil logo’, yaitu logo dengan tiga daun terangkai. Konsep tiga daun ini mempunyai makna semangat Olimpiade yang menghubungkan 3 benua. Walau logo lama telah berubah pada 1996, produk dengan logo Adidas yang lama tetap beredar di pasaran. Penggunaan pakaian dengan logo Adidas tidak hanya menggambarkan diri Ines yang menyukai brand tersebut tetapi juga menggambarkan Ines yang mempunyai semangat layaknya semangat Olimpiade. Terdapat beberapa warna yang dapat dilihat pada penampilan ini namun terdapat tiga warna dominan yakni kuning terang, biru terang, dan putih. Kuning terang sendiri dapat menjelaskan rasa senang, panas, bersahabat, bersemangat, matahari, merangsang, kejutan, dan inovatif sedangkan biru terang dapat menjelaskan cepat, bersemangat tinggi, dan mengesankan. Warna putih melambangkan suci, bersih, polos, pendiam, simple, dan terang. Oleh karenanya Ines pada penampilan ini dapat diartikan sebagai seorang yang suka ceria, bersahabat, memiliki semangat yang tinggi dan mengesankan serta memiliki kepolosan di balik tampilannya yang terlihat mencolok. Tidak hanya itu, pada baju yang diikatkan di pinggangnya mengandung unsur warna merah, hijau, biru, kuning dan ungu yang secara garis besar menggambarkan kecerian yang berani dengan tabrak warna. Adanya pattern tidak beraturan dengan warna seperti hijau, biru, dan putih pada pakaian atasnya memberikan rasa segar, playful, dan ceria. Apabila melihat pakaian Ines yang digulung bagian lengannya menggambarkan sisi dirinya yang memberontak dan melawan aturan yang ada. Rok mini yang dirinya kenakan dengan jaring sebagai padananan menjelaskan dirinya yang body expose dan tidak memiliki aturan pasti dalam style-nya. Muchlison menjelaskan bahwa pada tampilan ini bisa dikatakan sebagai gaya Hip-Hop. Muchlison juga mengatakan bahwa pada tampilan ini, Ines dapat dikategorikan sebagai seornag yang anti-fashion karena dirinya memiliki gaya tersendiri dan bukannya gaya yang sedang digemari sekarang ini. Secara garis besar, tampilan fashion Ines Ariani dilihat dari denotasi dan konotasinya dengan pemilihan warna yang terang dan saling bertabrakan serta potongan-potongan pakaian yang unik dengan tidak jarang memperlihatkan bagian tubuhnya menggambarkan dirinya yang berani, percaya diri, terbuka, open minded, rebel dan aneh. Hal ini dapat terlihat dari pandangan beberapa orang mengenai tampilan fashion Ines Ariani. Pandangan orang terhadap fashion Ines Ariani ternyata sesuai dengan karakteristik dari Ines Ariani sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan pendapat beberapa orang yang memiliki hubungan dekat dengan Ines Ariani dan pernah bekerja sama dengan Ines Ariani. Walau apa yang ditunjukkan oleh Ines Ariani merupakan bagian dari dirinya yang sesungguhnya, ternyata Ines Ariani tetaplah melakukan suatu pertunjukan agar dirinya menarik untuk 190
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 180 - 193
ISSN 2085-1979
dilihat oleh orang lain, terlebih dirinya yang telah dikenal sebagai seorang fashion blogger. Simpulan Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah diuraikan dalam Bab IV maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Fashion dan pakaian yang termasuk di dalamnya memiliki fungsi yang lebih mendalam selain sebagai pelindung tubuh dan kesopan yakni sebagai cara seseorang berkomunikasi dimana fashion pakaian merupakan komunikasi non-verbal yaitu artifaktual. Hal ini dapat dilihat bahwa seseorang dapat menilai orang lain hanya dari penampilannya saja. Bahkan umumnya seseorang akan terlebih dahulu melihat penampilan orang lain sebelum melakukan percakapan. Fungsi percakapan ini untuk membuktikan apakah makna yang diterima saat hanya melihat pakaiannya saja sesuai dengan makna ketika sudah melakukan percakapan ataukah berlawanan. Fashion dapat dilihat secara semoitikanya yaitu dari sisi denotasi dan konotasinya. Seperti warna hitam yang memiliki konotasi misterius, berani, mandiri, dan stylish, warna kuning yang melambangkan keceriaan dan rasa semangat. Pattern totol harimau yang berkonotasi berani. Bentuk pakaian yang memperlihatkan bentuk tubuh berkonotasi daring, open-minded, dan percaya diri. Dari denotasi dan konotasi inilah dapat diambil kesimpulan bahwa Ines mempresentasikan dirinya sebagai seseorang yang berani, terbuka, ceria, dan stylish. Fashion pakaian dapat mempresentasikan diri seseorang yang mengenakannya. Baik itu memprentasikan diri seseorang sebenarnya atau diri seseorang yang dibuat demi sebuah keuntungan belaka. Hal ini juga terjadi pada diri Ines Ariani, seorang fashion blogger Indonesia Meski seseorang dapat mengenakan pakaian untuk mempresentasikan diri apa adanya, tapi tetap saja dalam kenyataannya ada unsur pertunjukan di dalamnya. Hal ini jugalah yang dialami oleh Ines, dimana selain ingin mempresentasikan dirinya, Ines juga menginginkan agar fashion yang ia kenakan dilihat dan menjadi pusat perhatian orang banyak. Berdasarkan dari hasil penelitian dan kesimpulan diatas, maka penulis ingin menyampaikan beberapa saran. Pandangan masyarakat mengenai cara berpakaian seseorang diharapkan lebih terbuka. Tidak jarangnya Ines Ariani mendapatkan sindiran dan cibiran dari orang lain karena style pakaiannya membuat penulis sadar bahwa masyarakat bahkan masyarakat urban yang dianggap mempunyai wawasan yang lebih luas sekalipun selalu menghakimi seseorang hanya dari sudut pandangnya. Seandainya kita melihat dari sudut pandang objektif, dapat terlihat bahwa cara berpakaian selain sebagai bentuk komunikasi juga adalah seni. Dikarenakan pakaian dapat mempresentasikan diri seseorang baik dirinya yang sesungguhnya ataupun bukan, maka berhati-hatilah dalam memilih pakaian yang akan dikenakan. Jangan sampai salah dalam menampilkan kesan. Hal ini dilakukan agar khalayak tidak memberikan makna yang tidak dimaksudkan. Memang seperti yang penulis katakana bahwa pakaian adalah cara seseorang mempresentasikan dirinya, sehingga seseorang dapat bebas mengenakan apa yang dirinya inginkan, tetapi perlu juga diingat ada baiknya kita menyesuaikan pakaian kita dengan situasi dan kondisi. Sama seperti ketika Ines yang membatasi dirinya di tempat-tempat yang dianggap suci. Daftar Pustaka Argyle, Michale. (2001). Psychology of Happiness. Routledge. 191
Monica Stella Angelina Dan Pingkey Triputra: Analisis Semiotik Fashion Ines Ariani Sebagai Bentuk Presentasi Diri
Bernard, Malcolm. (2011). Fashion sebagai Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Brochers, Timothy A. (2006). Persuasion in the Media Age. Waveland Press. Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group. Effendy, Onong Uchjana. (2013). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remsaja Rosdakarya. Eiseman, Leatrice. (2006). Color: Messages and Meaning, A Pantone Color Resource. Hand Books Press. Fearon, James D. (1999). What is Identity. Standford: Stanford University. Hadi, Sutrisno. (2001). Metodologi Research untuk Penulisan Paper, Skripsi, Thesis dan Disertasi. Yogyakarta: Andi. Hardjana, Agus M. (2003). Komunikasi Intrapersonal & Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius. Hoed, Benny H. Hoed. (2011). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu. Lury, Celia. (2011). Budaya Konsumen. Jakarta: Yayasan Obor. Moleong, Lexy J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Morreale, Sherwin P., Brian, Spitzberg H., dan Barge, J. Kevin. (2007). Human Communication: Motivation, Knowledge, and Skills. Belmont: Thomson Wadsworth. Mulyana, Deddy. (2008). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remsaja Rosdakarya. Nazir, Moh. (2011). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Psuporini, Trigustia. (2009). Analisis Semiotika Rubrik Fashion Sytle Majalah Kawanku. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Metode Penelitian Komunikasi: Dilengkapi Dengan Contoh Analistik Statistik. Bandung: PT Remsaja Rosdakarya. _________. (2007). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remsaja Rosdakarya. Ruslan, Rosady. (2010). Metode Penelitian: Public Relations dan Komunikasi. Jakarta: PT Rsajagrafindo Persada. Samovar, Larry A, Porter, Richard E, Mcdaniel, Edwin R. (2010). Communication Between Cultures. Edisi 7. Jakarta: Salemba Humanika. Setijowati, Adi. (2010). Sastra dan Budaya Urban dalam Kajian Lintas Media. Surabaya: Airlangga University Press. Sherwyn P, Morreale, Brian H, Spitzberg, dan Kevin, Barge J. (2007). Human Communication: Motivation, Knowledge, and Skills. Cengage Learning, Sobur, Alex. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remsaja Rosdakarya. Stone, Elaine. (2008). The Dynamics of Fashion. Fair Child Books. Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Tubbs, Stewart L. dan Moss, Sylvia. (2005). Human Communication Prinsip-Prinsip Dasar. Bandung: PT Remsaja Rosdakarya West, Richard dan Turner, Lynn H. (2008). Understanding Interpersonal Communication: Making Choices in Changing Time. Cengange Learning. Sumber Online Sukma Inspirasi. Perkembangan Fashion Dunia. http://sukmainspirasi.com/recentupdate/item/2292-perkembangan-fashion-dunia (diakses pada 3 Oktober 2014 pukul 19:17). Desain Busana. Sejarah Fashion Indonesia. http://www.desainbusana.com/2012/09/sejarah-fashion-indonesia.html (diakses pada 5 Oktober 2014 pukul 21:10). 192
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 180 - 193
ISSN 2085-1979
Raiza Andini. Hebat, Pertumbuhan Industri Fashion di Indonesia Paling Pesat. http://lifestyle.okezone.com/read/2014/06/24/29/1003559/hebat-pertumbuhanindustri-fashion-di-indonesia-paling-pesat (diakses pada 8 Oktober 2014 pukul 10:01). Aliyah Muthoharoh. Budaya Urban. http://aliyahmuthoharohfib09.web.unair.ac.id/artikel_detail-70801-UmumBUDAYA%20URBAN.html (diakses pada 10 November 2014 pukul 14.05).
193
Muhammad Adi Pribadi: Model Komunikasi Transaksional Dalam Konteks Komunikasi Antar Budaya Di Sekolah (Studi Fenomenologi Pengalaman Komunikasi Antara Guru Dan Murid Di International School)
MODEL KOMUNIKASI TRANSAKSIONAL DALAM KONTEKS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DI SEKOLAH (STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN KOMUNIKASI ANTARA GURU DAN MURID DI INTERNATIONAL SCHOOL) Muhammad Adi Pribadi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Email:
[email protected] Abstract Intercultural communication occurs at the schools because of the cultural differences between a teacher with students in the classroom. The teacher who teaches foreign students needs communication style to understand his students' cultures so teaching and learning activities can be achieved. Transactional communications is the way of the teacher to learn the culture of students. Communication with the students' parents is the way to know their cultures since parents are the very first agent in forming the students' cultures. The method used in this research is phenomenology. With this method, researcher can find experiences of the teacher in communicating with foreign student in class. The communication model, which describes the experience of the teacher, is the results of this study. Key Words: Teachers, Schools, Communication Abstrak Komunikasi antarbudaya terjadi di sekolah karena perbedaan budaya yang dimiliki oleh guru dengan para muridnya di kelas. Guru yang mengajar murid berasal dari luar negeri memerlukan gaya komunikasi tersendiri untuk memahami budaya yang dimiliki oleh para murid sehingga kegiatan belajar dan mengajar bisa tercapai. Komunikasi transaksional menjadi jalan pilihan guru untuk mempelajari budaya yang dimiliki oleh muridnya. Komunikasi dengan para orang tua menjadi jalan untuk mengetahui budaya yang dimiliki para murid karena orang tua adalah pembentuk awal budaya para murid. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Dengan metode ini, peneliti bisa menggali pengalaman guru dalam berkomunikasi dengan para murid dari luar negeri di kelas. Model komunikasi yang menggambarkan pengalaman guru menjadi hasil dari penelitian ini. Kata Kunci: Guru, Sekolah, Komunikasi
Pendahuluan Kegiatan komunikasi dibutuhkan oleh para guru dalam murid dalam kegiatan mengajar dan belajar. Kemampuan guru dalam berkomunikasi secara verbal dan nonverbal kepada murid menjadi hal penting agar murid mendapatkan ilmu yang dibutuhkan. Namun keberhasilan guru dalam berkomunikasi dengan para muridnya ditentukan oleh pengetahuan guru terhadap perbedayaan budaya yang dimiliki oleh para muridnya (Samovar, Porter, dan McDaniel, 2010). Pada kenyataanya, para guru tidak hanya berkomunikasi dengan murid yang memiliki kesamaan budaya dengannya tetapi mereka juga berhadapan dengan para murid yang berbeda budaya. Seperti di Indonesia yang penduduknya memiliki ragam budaya yang berbeda menjadi tantangan para guru untuk berkomunikasi dengan para murid. Walaupun terdapat perbedaan budaya antara guru dan murid di Indonesia, para guru Indonesia sudah terbiasa hidup sejak kecil dengan masyarakat dari ragam 194
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 194 - 200
ISSN 2085-1979
budaya di Indonesia sehingga mereka memiliki sedikit gambaran budaya yang berbeda dengan dirinya. Namun tidak semua guru dari Indonesia berkomunikasi dengan para murid yang berasal dari Indonesia. beberapa guru di Indonesia harus berkomunikasi dengan para muridnya yang berasal dari berbagai macam negara seperti sekolah yang masuk dalam kategori International School. Menurut Curless dan Burns (dalam Pribadi, 2015) international school adalah sekolah yang didirikan oleh komunitas pekerja dari luar negeri (seperti diplomat, militer, pengusaha, dan pekerja) untuk anak-anak, yang mengikuti orang tuanya ke luar negeri. Situasi seperti ini tidak bisa disamakan dengan kondisi guru yang menghadapi para murid yang ada di Indonesia karena pada international school, guru-guru Indonesia mendidik para murid dari negara lain dengan penyampaian pesan menggunakan bahasa asing. Selain itu, para guru tidak mengenal budaya yang dimiliki para muridnya karena mereka tidak pernah tinggal di negara – negara tempat para murid berada. Penelitian ini bertujuan untuk membuat sebuah model yang memberikan gambaran pengalaman komunikasi seorang guru asal Indonesia, yang mengajar para muridnya dari luar negeri. Melalui model ini akan diketahui pengalaman komunikasi antarbudaya yang dilakukan oleh guru dengan para muridnya. Penelitian ini berdasarkan pada hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Muhammad Adi Pribadi (2015) dengan judul “Konstruksi Makna Mengajar di Sebuah Sekolah Internasional Bagi Seorang Guru Yang Berasal dari Indonesia”. Penelitian ini juga merevisi hasil penelitian sebelumnya yang terdapat pada proceeding dengan judul “Adaptasi Dan Kompetensi Antarbudaya”. Pada penelitian ini terdapat dua pertanyaan yaitu bagaimana pengalaman komunikasi transaksional yang dilakukan oleh guru tersebut dengan para murid dan orang tua yang berbeda kewarganegaraan? Dan bagaimana model komunikasi yang terjadi diantara mereka?. Menurut George Herbert Mead, keberhasilan manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya ditentukan oleh kemampuannya untuk menggunakan simbol significant, yang artinya pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi mengetahui simbol dan makna yang digunakan dalam komunikasi (West dan Turner, 2010). Hal ini menjadi menarik ketika guru dan murid berasal dari negara yang berbeda maka mereka harus memilih significant symbol agar kegiatan belajar dan mengajar bisa berjalan.Salah satu model dalam komikasi adalah komunikasi transaksional. Komunikasi transaksional adalah komunikasi yang terjadi diantara manusia namun kedua belah pihak memiliki kewajiban yang sama dalam menentukan keberhasilan komunikasi. Untuk tercapainya keberhasilan komunikasi diperlukan pengetahuan individu atas latarbelakang yang dimiliki oleh orang yang diajak komunikasi (West dan Turner, 2010) Komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna diantara pihak-pihak yang terlibat komunikasi tetapi mereka berasal dari budaya yang berbeda (Mulyana, 2005; West dan Turner, 2010). komunikasi antarbudaya adalah konteks yang tepat untuk mempelajari komunikasi yang terjadi antara guru dan murid yang berasal dari negara yang berbeda. Aktivitas komunikasi tidak terlepas dengan budaya yang dimiliki oleh individu-individu yang terlibat dalam komunikasi karena kegiatan komunikasi membutuhkan bahasa, dimana bahasa dihasilkan dari budaya (West dan Turner, 2010). Menurut George Herbert mead, bahasa atau significant symbols diperoleh manusia sejak kecil dari kedua orang tuanya dimana bahasa tercipta dari budaya yang dimiliki oleh orang tuanya untuk mempelajari dan memahami lingkungannya (West dan Turner, 2010). Menjadi suatu hal yang wajar jika para guru terpengaruh budayanya saat berkomunikasi dengan para muridnya. 195
Muhammad Adi Pribadi: Model Komunikasi Transaksional Dalam Konteks Komunikasi Antar Budaya Di Sekolah (Studi Fenomenologi Pengalaman Komunikasi Antara Guru Dan Murid Di International School)
Budaya yang dimiliki oleh guru berpengaruh dalam proses mengajar anak didiknya. Menurut Hofstede, Hofstede, Minkov, guru yang berasal dari negara-negara high power distance memiliki kecendrungan untuk minta dihormati oleh para siswa dan siswi dimana guru menjaga jarak dengan para murid. guru yang berada pada low power distance memiliki kecendrungan untuk terbuka dengan para murid karena guru merasa dirinya sejajar dengan anak didiknya. Para guru yang hidup pada feminine cultures akan mendorong para siswa-siswi lemah untuk maju sedangkan mereka yang berprestasi akan diumumkan didepan publik tanpa memberikan hadiah (Pribadi 2015). Kroeger dan Bauer (dalam Pribadi, 2015) memaparkan kopentensi yang perlu dimiliki oleh para guru dalam berkomunikasi dengan para murid di sekolah Para guru perlu mengerti dan mengidentifikasi keragaman cara mengajar dan kemampuan berfikir Para guru perlu membuat rencana instruksi mengajar berdasarkan pada kemampuan murid Para guru perlu memahami proses belajar siswa-siswi berdasar pengalaman belajar, sosial, budaya, dan keluarga Para guru memahami budaya dan hubungan sosial dari budaya asing Para guru menghormati para murid dan orang tua dari keluarga yang berbeda, kemampuan, ketertarikan dan hobi. Para guru sensitive atas norma yang ada pada komunitas dan budaya Para guru menghargai para murid sebagai manusia yang berportensi dan membantu mereka untuk menghargai nilai-nilai yang berbeda. Guru memiliki keinginan untuk mempelajari kondisi keluarga dari anak didik. Para guru memahamai perbedaan pandagan yang dimiliki murid, orang tua , lingungan dan budayanya Para guru bersedia menciptakan kondisi belajar sesuai dengan nilai-niali yang dimiliki anak didik. Metode Penelitian Metode penelitian ini adalah fenomenologi. Metode ini digunakan untuk mengungkap pengalaman dari satu-satunya guru yang berasal dari Indonesia yang mengajar di salah satu international school di Jakarta. Fenomenologi adalah metode yang digunakan dalam penelitian untuk memperoleh pengalaman-pengalaman individu dalam mempelajari lingkungannya (Kuswarno, 2009). Penelitian dengan menggunakan fenomenologi bisa menghasilkan sebuah model yang menunjukkan pengalaman individu dalam menjalani kehidupan pada lingkungannya (Kuswarno, 2009). Model adalah gambaran dari fenomena secara nyata maupun abstrak yang memperlihatkan unsur-unsur terpenting dari fenomena tersebut (Mulyana, 2012). Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan guru tersebut. Wawancara mendalam dilaksanakan selama satu jam setiap pertemuannya. Pertemua dilakukan sebanyak dua kali dimana wawancara pertama untuk menggali informasi dari narasumber sedangkan wawancara kedua diperlukan untuk melakukan konfirmasi atas hasil dari wawancara pertama kepada narasumber. Selama proses wawancara berlangsung, peneliti merekam wawancara tersebut sebagai dokumetasi. Peneliti tidak mencantumkan nama narasumber dan nama sekolah agar narasumber memiliki keberanian untuk mengungkap pengalaman mengajarnya di sekolah tersebut. Penelitian ini juga dilengkapi dengan informasi dari beberapa buku untuk melengkapi teori yang digunakan sebagai rujukan peneliti untuk melakukan penelitian komunikasi. 196
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 194 - 200
ISSN 2085-1979
Hasil Penemuan dan Diskusi Daalam wawancara, narasumber memiliki pengalaman mendidik dari international school sebelumnya sehingga ia bisa beradaptasi dengan cepat pada lingkungan sekolah yang baru. Berikut ini adalah kutipannya (Pribadi, 2015) “Sebelumnya saya mengajar di dua sekolah yang berbeda. pertama di Bandung International School selama Sembilan tahun. Kemudian pindah ke sinar mas school academy…..” “Kalo Saya pribadi berdasarkan dari pengalaman Saya tidak diberikan training tentang bagaimana berhadapan dengan siswa ……..” “Saya beradaptasi dengan cepat bagaimana berhadapan dengan berbagai macam karakter itu satu. Kemudian sekolah inikan mempunyai kurikulum dan common agreement gitu, apa yang bisa diterima dan apa yang tidak bisa diterima ada tercatat dari segi behavior dan dalam akademisnya jadi itu jadi standar-standar yang secara tidak langsung mempengaruhi bagaimana cara saya beradaptasi dengan siswa ataupun dengan teman-teman kerja juga itu yang secara lambat laun untuk membentuk saya untuk berhubungan dengan mereka sehari-harinya.”
Pola mengajar yang diterapkan oleh narasumber adalah komunikasi transaksional dengan para murid sehingga ia bisa menyesuaikan diri dalam berkomunikasi dengan anak didiknya. Berikut ini adalah kutipannya (Pribadi, 2015) “Jadi kalo misalkan metode saya selalu berpidato kan enggak semua anak suka dengan mendengarkan. Sebagai seorang kinestetik, dia ingin mengerjakan apa yang kita perintahkan. Sebagai contoh saya menggunakan metode bercerita saat mengajar murid (kelas 3). Agar setiap anak aktif, maka mereka diberikan boneka kemudian mereka harus berperan sebagai boneka itu sendiri. Tanpa mereka sadari sebetulnya yang saya uji itu adalah bagaimana mereka berbicara tentang mereka sendiri tapi mereka berfikir sebagai media untuk boneka itu sendiri, jadi mereka lebih berani karena mereka tidak berfikir bahwa yang mereka expose itu dia sendiri tapi boneka ini. At the same time, Saya sebetulnya memperhatikan bagaimana kemampuan dia berbahasa.” “Contoh mengajar yang lain disekolah saya adalah setiap anak diberikan white board yang kecil seukuran ipad, yang fungsinya untuk menulis sesuatu mungkin ini kok tradisional banget tapi ternyata fungsinya bagus sekali. Jadi inget nggak jika kita bertanya tentang sesuatu, orang yang cenderung untuk menjawab adalah orang yang aktif, sehingga dia menjadi orang yang mempunyai kesempatan mengekspresikan apa yang dia tahu, sedangkan yang dia kan tidak berani seperti itu tapi coba kalo kita bertnya siapa presiden Indonesia tapi semua orang harus menulis presiden itu sendiri apa namanya didalam white board itu sendiri kemudian kita minta satu, dua, tiga orang anak menjawabnya ok tapi sebetulnya ini balance, a fair karena mereka sudah mengekspresikannya itu dalam bentuk tulisan sehingga saaat kita meminta 197
Muhammad Adi Pribadi: Model Komunikasi Transaksional Dalam Konteks Komunikasi Antar Budaya Di Sekolah (Studi Fenomenologi Pengalaman Komunikasi Antara Guru Dan Murid Di International School)
ketiga orang itu menjawab secara langsung dia akan berfikir oh ya saya juga sama gitu right. Jadi itu metode-metode yang bisa kita lakukan supaya kita bisa mengekspresikan apa yang apa namanya yang dia harus expresikan itu adalah beberapa cara yang kita lakukan supaya terjadi proses belajar mengajar dengan baik.” untuk memahami budaya yang dimiliki para murid, narasumber melakukan komunikasi dengan para orang orang agar ia bisa memahami budaya yang dimiliki anak didiknya (Pribadi, 2015) “sekolah itu memberikan kesempatan buat orang tua dan guru untuk berbicara dengan cara-cara formal itu satu semester satu kali, itu namanya parent conference… Jadi dalam waktu Lima menit, hanya sebentar, secara formal antara guru dan orang tua bisa bicara tentang anaknya, itu formal. Menurut saya itu penting sekali karena kadang-kadang kita bisa minta bantuan orang tua untuk bagaimana supaya bisa anak belajar dengan baik dirumah, kemudian orang tuapun punya feedback bagaimana orang tuanya disekolah itu cara perlu diteruskan. Dari pengalaman saya, itu formal itu cuma lima menit, tapi informalnya itu yang kadang-kadang lebih dari itu jadi terjadi interaksi seperti itu.” “Pada intinya sih mereka memiliki tuntutan yang sama, agar anaknya itu mempunyai nilai akademis yang bagus, cuma kalo Saya perhatikan pressurenya itu tidak seperti orang-orang (orang tua) asia. Bahkan kalo saya lihat orang (orang tua) eropa itu lebih berfikir secara balance, jadi tidak hanya sekedar akademis apa yang bisa dikuasai oleh anak saja tapi kemampuan sosialnyapun harus tinggi jadi bener-bener membuat anak itu lebih balance, (dimana) dia tidak hanya mampu dibidang akademis tapi sosialpun bagus, dia bisa bermain musik dengan bagus seperti itu. Sedangkan asia kan pernah kita dengar istilah tiger mom yg bener bener hmm harus ini! harus ini!. Asia memang orang tuanya lebih nge-push pada akademis . bahkan hampir semua murid-murid saya yang korea itu setelah pulang dari sekolah masih tetep sekolah les ini les itu sampai jam 9 (malam).” Dari hasil wawancara dengan narasumber, model pengalaman komunikasi transaksional yang dilakukan olehnya melibatkan murid dan orang tua untuk memahami latarbelakang anak didik sehingga guru bisa berkomunikasi dengan baik pada murid di kelas. Gambar 1 adalah model komunikasi transaksional yang dilakukan oleh guru disekolah.
198
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Vol. 7, No. 2, Juli 2015, Hal 194 - 200
ISSN 2085-1979
Bagan 1. Model Komunikasi Transaksional Guru untuk Mempelajari Budaya Para Murid
Simpulan Dari hasil wawancara dengan narasumber, seorang guru yang mengajar di sekolah internasional perlu memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi transaksional dengan para murid dan orang tua (pribadi, 2015) Seorang Guru memiliki pengetahuan berdasar tingkat pendidikan yang dimilikinya dan pengalaman kerja.
199
Muhammad Adi Pribadi: Model Komunikasi Transaksional Dalam Konteks Komunikasi Antar Budaya Di Sekolah (Studi Fenomenologi Pengalaman Komunikasi Antara Guru Dan Murid Di International School)
1. Seorang Guru memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan kurikulum dan peraturang mengajar yang menjadi bagian dari budaya organisasi di sekolah internasional 2. Seorang guru punya strategi komunikasi interaktif para murid. Persiapan strategi tersebut diantaranya adalah membuat modul kurikulum atau rencana pengajaran, menyiapakan media pendukung belajar dan mengajar, melakukan observasi selama kegiatan mengajar di kelas, serta empati selam proses interaksi terjadi. 3. Seorang guru perlu tidak boleh menyamakan kemampuan anak didik secara umum di kelas tetapi seorang guru perlu mengenal pola komunikasi anak pada saat belajar sehingga saat anak menghadapi kesulitan belajar maka guru bisa mendorong anak untuk belajar dengan pendekatan komunikasi yang bisa dipahami anak didik. 4. Seorang guru perlu berkomunikasi dengan para orang tua untuk mengetahui budaya yang dimiliki oleh para murid. budaya yang dimiliki para anak didik dibangun oleh para orang tua membentuk karakter mereka. Peneliti melihat dari pengalaman narasumber bahwa komunikasi transaksional diperlukan oleh guru dalam memperkecil perbedaan diantara guru dan murid. perbedaan guru dan murid tidak hanya dari segi bahasa tetapi budaya, sehingga guru perlu berkomunikasi dengan orang tua untuk memahami budaya yang dimiliki oleh para murid yang telah terbentuk oleh orang tuanya. Hasil penelitian ini memiliki banyak kesamaan dengan kriteria guru yang dibuat oleh Kroeger dan Bauer (Pribadi, 2015). Keterbatasan dari penelitian ini adalah jumlah narasumber yang diwawancara hanya satu. Idealnya, peneliti melakukan wawancara dengan lebih dari satu orang. Kendala utama yang dihadapi peneliti adalah warga negara Indonesia yang menjadi guru di sekolah internasional tersebut hanya satu orang sedangkan sisanya berasal dari luar negeri. Daftar Pustaka Kuswarno, Engkus. 2013. Fenomenologi. Widya Padjadjaran Mulyana, Deddy. 2005. Komunikasi Efektif: Suatu Pendekatan Lintas Budaya. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Mulyana, Deddy. 2012. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Pribadi, Muhammad Adi. 2015. Konstruksi Makna Mengajar di Sebuah Sekolah Internasional Bagi Seorang Guru Yang Berasal dari Indonesia. dalam proceeding “Adaptasi Dan Kompetensi Antarbudaya”. Universitas Multimedia Nusantara. Banten Samovar, Larry A., Porter, Richard E., McDaniel, Edwin, (2010). Communication Between Culture. Wadsworth Cengage Learning. Canada. West, Richard. & Turner, Lynn H. 2010. Introducing Communication Theory: Analysis and Application. New York : McGraw-Hill.
200
Muhammad Adi Pribadi: Model Komunikasi Transaksional Dalam Konteks Komunikasi Antar Budaya Di Sekolah (Studi Fenomenologi Pengalaman Komunikasi Antara Guru Dan Murid Di International School)
KETENTUAN PENULISAN JURNAL KOMUNIKASI UNIVERSITAS TARUMANAGARA
Jurnal Komunikasi terbit 3 (tiga) kali setahun. Penyunting menerima sumbangan naskah artikel dari berbagai kalangan akademisi, praktisi, dan pemerhati ilmu komunikasi.
Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan memperhatikan ketentuan penulisan karya ilmiah yang lazim. Artikel dapat berupa ringkasan laporan penelitian, kajian pustaka, analisis peraturan perundang-undangan, dan timbangan buku dalam konteks ilmu komunikasi.
Penulis harus menjamin bahwa naskah yang dikirimkan kepada penyunting bukan merupakan karya plagiarisme. Apabila karya tersebut sudah pernah dipresentasikan di tempat lain (kuliah umum, seminar) maka penulis wajib memberikan catatan tentang waktu dan tempat presentasi tersebut.
Penulisan abstrak maksimum 250 kata, untuk artikel bahasa Indonesia, abstrak ditulis dalam bahasa Inggris, demikian pula sebaliknya, dengan mencantumkan kata kunci dari artikel.
Naskah diketik dengan menggunakan program Microsoft word, dengan jumlah 20 s.d. 25 halaman, di atas kertas ukuran A4 dengan font "Tahoma" 12 poin, berspasi 1,5. Naskah dikirimkan ke alamat penyunting dalam bentuk hard copy dan soft copy.
Penulisan sumber kutipan dan daftar pustaka menggunakan sistem nama-tahun, yang diletakkan dalam badan karangan. Tata cara penulisannya dapat mengacu pada sistem APA atau Chicago Manual.
Artikel yang diterima penyunting akan diseleksi, dengan kemungkinan untuk diedit atau dikembalikan untuk deperbaiki/dilengkapi. Artikel yang telah diterima oleh penyunting tidak akan dikembalikan. Isi artikel di luar tanggung jawab redaksi.
Penulis dari luar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, dapat mengirimkan naskah menggunakan email.
Redaksi Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Jl. Letjen. S Parman No. 1, Jakarta Barat 11140 Kampus I Gedung Utama Lantai 11 Telp : 021-56960586 Fax 021-56960584 email :
[email protected] Website : www.untar.ac.id/fikom
136
Redaksi Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara Jl. Letjen. S Parman No.1 Gedung Utama Lantai 11. Jakarta Barat 11440 Telepon : 021-56960586, Fax : 021-56960584 email :
[email protected] Website : www.untar.ac.id/fikom