1
PENGARUH NILAI ESTETIKA EROPA DI ERA VICTORIAN DAN ROCOCO PADA LOLITA-KEI SEBAGAI BENTUK KAWAII FASHION Indah Febriyanti , Diah Madubrangti Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Sebagai sebuah nilai estetika, kawaii memiliki banyak manifestasi. Salah satu manifestasi nilai estetika kawaii tersebut adalah dalam aspek fashion. Dalam kawaii fashion, genre yang paling dikenal luas adalah Lolita-kei . Lolita-kei adalah genre kawaii fashion yang terinspirasi dari gaun bangsawan di Eropa pada era Victorian dan Rococo. Nilai-nilai estetika Eropa pada era Victorian dan Rococo ini diadaptasi ke dalam Lolita-kei lewat nilai-nilai kawaii. Pada akhir skripsi akan terlihat perpaduan nilai estetika Victorian, Rococo dan kawaii menyebabkan lahirnya subgenre dalam Lolita-kei yang masing-masing memiliki porsi nilai estetika Eropa dan kawaii yang berbeda-beda. Nilai-nilai estetika ini tampak dalam warna dan potongan pakaian, aksesoris, tata rias dan tata rambut. Kata kunci: kawaii, fashion, Rococo, Victorian, Lolita-kei. The Influence of Victorian and Rococo Era Aesthetics Towards Lolita-kei as a Kawaii Fashion Abstract As an aesthetic value, kawaii has a lot of manifestations. One of those manifestations is in the fashion aspect. Among other genres in the kawaii fashion, Lolita-kei is the most well known. Lolita-kei is a genre of kawaii fashion that is heavily influenced by Europe's aristocrats clothing during Victorian and Rococo times. The classic Victorian and Rococo aesthetics are adapted into Lolita-kei through the kawaii aesthetics. In the end of the research, it is apparent that the mix between the Victorian, Rococo, and kawaii aesthetics caused the birth of subgenres in Lolita-kei, in which each of the subgenres have different proportions of European and kawaii aesthetics. The mix of these aesthetics will be apparent in the color and cut of the clothings, accessories, makeup and hairdressing.
1. Pendahuluan Masyarakat di seluruh dunia terbagi menjadi berbagai bangsa yang terdiri dari beragam suku, ras, dan bahasa. Masing-masing bangsa memiliki identitas budayanya sendiri-sendiri. Ada beragam faktor yang membentuk budaya suatu bangsa, antara lain sejarah, tradisi dan aturan yang
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014
2
berlaku di masyarakat, seni, juga paham atau pemikiran. Perpaduan antara sejarah, tradisi, seni, dan pemikiran yang berlaku di masyarakat suatu bangsa memiliki kontribusi dalam menentukan nilai-nilai estetika yang berlaku. Estetika adalah istilah yang digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan keindahan. Herbert Read1 mendefinisikan keindahan sebagai suatu kesatuan hubungan bentuk yang terdapat di dalam pencitraan indrawi manusia. Menurut Berleant (1970)2, keterlibatan persepsi karena pengaruh budaya dan preferensi personal adalah faktor-faktor yang mempersatukan konsep estetika. Dari definisi-definisi di atas, dapat diketahui bahwa budaya membentuk preferensi personal yang mempengaruhi persepsi pengindrawian seseorang
atas
apa yang dianggap sebagai
keindahan. Implementasinya antara lain dalam bentuk literatur, musik, arsitektur, lukisan, dan lain-lain. Leonard Koren (2010) mendeskripsikan bahwa kegiatan estetis juga dapat melingkupi hal-hal yang paling mendasar dan utama dalam kehidupan manusia. Cara berpakaian, gaya rambut, menghiasi rumah- juga termasuk dalam kategori kegiatan estetis. Dalam tulisan ini, nilai estetika yang dikaji adalah implementasi perpaduan antara nilai estetika klasik Eropa pada era Victorian dan Rococo, dan kawaii sebagai konsep nilai estetika kontemporer Jepang dalam Lolita-kei sebagai sebuah kawaii fashion. Secara definitif, fashion adalah cara berlaku atau melakukan sesuatu yang secara umum diterima
dan digunakan oleh anggota suatu komunitas pada suatu masa tertentu, tanpa
mempedulikan besar kecilnya komunitas tersebut3. Dalam konteks ini, fashion dapat mencakup cara berpakaian, gaya rambut, cara bicara, dan lain-lain. Kawaii berasal dari kanji 可愛, dengan kanji 可 yang berarti "bisa" atau "mungkin", dan 愛 yang berarti "cinta" atau "kasih sayang". 4 Kanji tersebut diterjemahkan langsung dengan artian lovable (mudah dicintai). Imaji kawaii lekat dengan hal yang bersifat rapuh, manis, lembut, menggemaskan, dan lovable (mudah dicintai). Sehingga kawaii fashion adalah jenis fashion yang mengadaptasi nilai-nilai kawaii tersebut. Lolita-kei sendiri adalah salah satu genre di dalam kawaii fashion yang mengadaptasi nilainilai estetika klasik Eropa pada era Victorian dan Rococo dengan nilai estetika kawaii. Kata "Lolita" sendiri pertama kali muncul pada tahun 1955 dari novel karangan Vladimir Nabokov 1
Read, Herbert.2004. The Meaning of Art. Faber&Faber. Berleant, Arnold. 1970. The Aesthetics Field, A Phenomenology of Aesthetic Experience. Illinois : Springfield. 3 Yurchisin, Jennifer. Kim K.P Johnson. 2010 . Fashion and the Consumer. Berg Publishers. 4 Younker, Teresa. Lolita: Dreaming, Despairing, Defying. http://www.stanford.edu/group/sjeaa/journal111/Japan5.pdf (diakses 3 Juni 2013 pukul 17:39). New York University. 2
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014
3
dengan judul yang sama. Karena adanya perpaduan dua konsep nilai estetika tersebut, Lolita-kei memiliki banyak subgenre dengan porsi antara nilai estetika klasik Eropa dan kawaii yang berbeda-beda. Motivasi pembahasan mengenai kawaii adalah karena pada tahun-tahun belakangan ini, kawaii telah menjadi aspek yang menonjol di dalam dunia budaya populer Jepang. Misalnya dalam dunia hiburan, makanan, pakaian, penampilan, hingga cara berlaku. Motivasi pemilihan Lolita-kei sebagai objek yang dibahas di dalam tulisan adalah karena Lolita-kei adalah genre kawaii fashion yang memiliki basis massa terbesar, dan dianggap paling mampu merepresentasikan nilai-nilai estetika yang diusung di dalam kawaii fashion secara umum. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan pemahaman mengenai
asal usul Lolita-kei
dan
pengaruh serta adaptasi nilai-nilai estetika Eropa di dalamnya sehingga menjadi sesuatu yang kawaii, serta dapat memberikan gambaran mengenai tren dan preferensi nilai estetika kawaii di kalangan masyarakat muda Jepang pada usia 18-40 tahun sebagai demografi pegiat Lolita-kei pada era 2000an hingga kini.
2. Masalah Penelitian Masalah penelitian adalah pengaruh nilai estetika budaya Eropa pada era Victorian dan Rococo terhadap Lolita-kei sebagai bagian dari Kawaii Fashion di Jepang pada era 2000an.
3. Tinjauan Teoritis Penulisan jurnal ini menggunakan teori Read yang memaparkan bahwa keindahan adalah suatu kesatuan hubungan bentuk yang terdapat di dalam pencitraan
indrawi manusia, dan teori
Berleant yang memaparkan mengenai keterlibatan persepsi karena pengaruh budaya dan preferensi personal sebagai faktor-faktor yang mempersatukan konsep estetika . Kedua teori ini digunakan untuk menganalisa mengenai pengaruh hubungan bentuk dalam pencitraan indrawi manusia sebagai hal yang membentuk estetika dan bagaimana budaya serta preferensi personal membentuk opini dalam pengindrawian sehingga suatu hubungan bentuk tertentu dianggap sebagai sesuatu yang indah atau estetis. Penulisan jurnal ini juga menggunakan konsep kawaii yang dikemukakan oleh Yomota Inuhiko (2006) mengenai kawaii yang memaparkan kawaii sebagai konsep sesuatu yang mungil,
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014
4
rapuh, dan terlihat seperti harus dilindungi. Kawaii adalah sesuatu yang kekanak-kanakan dan memiliki sisi romantisme nostalgia yang memiliki nilai imajinasi atau fantasi terhadap seseorang, mudah disukai, dan cantik. Teori ini digunakan untuk menganalisis nilai estetika Eropa yang dianggap kawaii dan menjadi aspek penting dalam Lolita-kei sebagai bagian dari kawaii fashion.
4. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan induktif. Menurut Sugiyono (2012;13), definisi penelitian kualitatif yaitu: "Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme,digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alalmiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci,teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian lebih menekankan makna generalisasi."
Sementara metode deskriptif menurut Sugiyono (2012; 35) adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui keberadaan variable mandiri, baik hanya pada satu variable atau lebih (variabel yang berdiri sendiri) tanpa membuat perbandingan dan mencari hubungan variabel itu dengan variabel yang lain. Pendekatan yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan induktif. Adapun pendekatan induktif menurut Erliana Hasan (2011 :174) adalah Pendekatan yang dimulai dari fakta di lapangan,dianalisis ,dinuat pertanyaan kemudian dihubungkan dengan teori,dalil,hukum,yang sesuai kemudian pernyataan hingga kesimpulan. Dari ketiga definisi di atas, dapat ditark kesimpulan bahwa metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan induktif digunakan dengan tujuan untuk menggambarkan situasi nyata di lapangan dengan menggunakan data yang saling terkait dan interpretasi yang tepat secara sistematis . Jenis data yang digunakan dalam penilitian ini berupa dokumen dan data sekunder. Data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh orang lain untuk kepentingan selain untuk mengkaji masalah yang tengah dihadapi. Menurut Sugiyono (2012 : 308) definisi data sekunder yaitu: "data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data,misalnya lewat dokumen atau orang lain". Dokumen yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini berupa literatur seperti Kawaii Ron, The Aesthetics Field: A Phenomenology of Aesthetic Experience, The Meaning of Art, dan Cuties in Japan. Data sekunder yang digunakan antara lain video kawaii ambassador Jepang, majalah
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014
5
KERA dan Gothic Lolita Bible, serta sumber internet yang memuat data mengenai latar belakang estetika Eropa dan tren di era Victorian dan Rococo.
5. Pembahasan Definisi estetika yang dinyatakan Hebert Read (1930) adalah suatu kesatuan hubungan bentuk yang terdapat di dalam pencitraan indrawi manusia. Keterlibatan persepsi karena pengaruh budaya dan preferensi personal adalah faktor-faktor yang mempersatukan konsep estetika. Budaya memiliki sejarah, sehingga sejarah juga termasuk kedalam faktor yang mempengaruhi nilai-nilai estetika yang dianut oleh sekelompok masyarakat yang hidup di suatu daerah pada suatu waktu tertentu. Peristiwa, letak geofrafis, pola kehidupan, juga tokoh ikonik adalah contoh beberapa aspek dari sejarah yang dapat mempengaruhi konsep estetika. Perkembangan nilai estetika Eropa berakar jauh dari masa Plato. Plato (est. 427 - 347 SM) adalah seorang filsuf Yunani kuno yang sangat menghargai nilai-nilai estetika. Plato dikenal mengecam banyak penyair dan pelukis dari negaranya dengan indikasi plagiarisme produk estetis, dan menganggap imitasi atau plagiarisme sebagai sesuatu yang tidak bermoral.5 Berangkat dari pemikiran Plato mengenai plagiarisme, dapat ditarik kesimpulan bahwa keaslian ide dalam suatu produk estetis adalah hal yang sangat penting. Hal ini menyebabkan kebudayaan Eropa bersifat progresif karena munculnya banyak gerakan-gerakan kesenian. Beberapa contoh dari gerakan kebudayaan yang paling terkenal ini antara lain Rococo dan Victorian. Rococo adalah gerakan kesenian yang muncul di Perancis pada akhir era Baroque (1600-1700), pada saat raja Louis XV berkuasa. Louis XV wafat pada 1774 dengan meninggalkan hutang dan krisis ekonomi yang dahsyat pada Perancis. Meskipun terkena krisis, Perancis pada saat itu mendominasi kebudayaan Eropa Barat. Perancis menjadi tolak ukur di bidang sastra, filsafat, seni dekoratif dan fashion. Dapat dikatakan bahwa gerakan kesenian Rococo adalah gerakan yang mendominasi Eropa pada saat itu. Gaya kesenian Rococo dikenali dengan warna-warna yang ringan, kesan yang halus dan maraknya penggunaan ornamen. Tidak jelas persisnya kapan dan dari mana asal muasal gerakan kesenian ini, namun diduga gerakan ini dipelopori oleh desainer Perancis Pierre Lepautre yang
5
Scruton, Roger. Thomas Munro. 2003. Aesthetics : The development of western aesthetics. http://www.compilerpress.ca/Competitiveness/Anno/Anno%20Scruton%20Aesthetics%20EB%202003%20c.htm diakses 2 Mei 2014 pukul 21:54
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014
6
memperkenalkan gaya arabesque 6 kedalam desain interior dan pelukis Jean-Antoine Watteau yang dikenal dengan warna lukisannya yang terang dan halus.7 Tokoh yang menjadi ikon dari gerakan kesenian ini adalah permaisuri Louis XVI yang terkenal, Marie Antoinette. Marie Antoinette sangat berpengaruh pada Rococo sehingga seringkali Rococo dikaitkan dengan tren yang dipopulerkan olehnya. Contoh tren yang dipopulerkan oleh Marie Antoinette dalam segi pakaian contohnya adalah Robe à la Française, yaitu gaun yang memiliki kerah berbentuk segi empat, memiliki lipit atau kerut di sekitar daerah kerah, memiliki bagian dada yang penuh, dan bagian rok yang berbentuk segi empat. Pita, renda, brukat, kerutan, bunga dan ornamen kupu-kupu palsu dari sutera menjadi aksen yang menghiasi Robe à la Française.8 Bagian rok pada Robe à la Française ditopang dengan sebuah pannier.9 Lebarnya pannier yang digunakan tergantung pada acara yang dihadiri. Pannier yang lebar digunakan untuk acara-acara formal, sementara untuk pakaian sehari-hari digunakan pannier yang ukurannya lebih kecil. Ukuran pannier yang lebar memiliki tujuan untuk menimbulkan kesan pinggang yang ramping.10
Gambar 1. Robe à la Française (sumber: http://images.metmuseum.org/CRDImages/ci/web-large/66.169.1a-b_front_CP4.jpg, diakses 2 Juni 2014 pukul 18:18)
6
Gaya dekoratif yang ditandai dengan motif lengkung abstrak atau tanaman yang saling jalin-menjalin.
7
"Rococo Style." Microsoft® Encarta® Online Encyclopedia 2000. http://encarta.msn.com. diakses (4 Mei 2014 pukul 20:16) 8 Takeda, Sharon Sadako. 2010. Fashioning Fashion : European Dress in Detail, 1700-1915. Pretzel Publishing. 9 Sejenis kerangka berbentuk segi empat yang terbuat dari kayu dan besi untuk menopang gaun agar terlihat mengembang dan mewah 10 Panniers. http://www.fashionencyclopedia.com/fashion_costume_culture/European-Culture-18thCentury/Panniers.html (diakses 12 Juni 2014)
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014
7
Gambar 2. Pannier (sumber: http://media-cache-ak0.pinimg.com/736x/b6/e2/dc/b6e2dc6ff321f67c29ddfd5792b6611e.jpg, diakses 5 Mei 2014 pukul 21:23)
Pada era 1760an, wig ini ditata tinggi di sekeliling wajah. Tren ini kemudian bergeser menjadi ikal ketat sepanjang telinga satu ke telinga lainnya. Pada 1770, gaya wig yang populer memiliki tinggi lebih satu kaki (30.48 cm) dan ditopang oleh berbagai macam perhiasan dan aksesoris rambut. Hiasan-hiasan kepala yang biasa dipakai antara lain hiasan bulu, batu permata atau mutiara, pita, dan bunga-bunga. Pada zaman ini digunakan juga stoking dari bahan katun, wol atau sutera setinggi lutut dengan motif bordiran sepanjang mata kaki hingga betis yang disangga oleh garters
11
untuk
membungkus bagian betis hingga lutut. Untuk sepatu, model yang digunakan memiliki ujung yang lancip, hak yang tinggi, dan dikencangkan dengan tali pengikat (latchet) di kedua sisinya.
Gambar 3 Sepatu Marie Antoinette (sumber: http://www.coutaubegarie.auction.fr/photos/d/1/7/1352387921239317.jpeg, diakses 12 Mei 2014 pukul 18:43)
Setelah era Rococo di Perancis berakhir dengan dipenggalnya Marie Antoinette pada 1793, di Inggris muncul gerakan Victorianisme pada era Victorian. Victorian adalah masa yang berlangsung pada tahun 1837-1901 selama 64 tahun pada masa berkuasanya ratu Inggris, Victoria. 11
Penyangga yang dikenakan di pinggul dan memiliki penjepit di bagian paha untuk menjepit kaus kaki atau stoking agar tidak merosot saat dipakai.
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014
8
Pada era ini, ratu Victoria menyerukan perubahan di bidang sosial. Perubahan di bidang sosial ini berupa perubahan tata krama dan nilai moral kelas menengah yang kemudian dikenal sebagai Victorianisme. Aspek yang menonjol dari Victorianisme adalah nilai-nilai kesederhanaan, penghematan, kepatuhan terhadap tugas dan karakter masyarakat yang berkembang di masyarat kelas menengah. Ratu Victoria adalah figur yang paling berpengaruh pada perubahan sosial ini. Sebagai ikon dari Victorianisme, ratu Victoria dikenal sebagai figur yang ketat dalam soal moral dan tata krama. Terkait dengan perbaikan nilai moral dan tata krama di kalangan masyarakat, nilai-nilai kesopanan juga sangat dijunjung. Nilai-nilai kesopanan ini tidak hanya dijunjung dalam soal perilaku, moral dan tata krama, namun juga hingga etika berpakaian. Berbanding terbalik dengan Rococo yang mengutamakan ornamen dan motif kain, nilai estetika berpakaian Victorian lebih mengutamakan kesederhanaan dan kelas lewat penggunaan potongan pakaian yang lebih sederhana namun dibuat dengan menggunakan material yang berkualitas dan mahal. Rok dalaman atau petticoat12 digunakan untuk menggantikan penggunaan pannier Petticoat digunakan karena lebih menghemat ruang gerak. Petticoat digunakan bersama dengan korset sebagai dalaman sekaligus penyangga gaun pada era Victorian. Warna pakaian pada era Victorian untuk wanita umumnya berwarna lebih pekat. Meskipun begitu, warna hitam umumnya khusus dipakai untuk menghadiri pemakaman sebagai simbol kedukaan. Untuk gadis yang lebih muda, warna pakaian yang dikenakan lebih cerah dan lembut. Anak-anak biasanya mengenakan versi lebih pendek dari gaun-gaun ini dengan rok yang jatuh tepat dibawah lutut. Rok untuk gadis berumur 16 tahun berukuran lebih panjang dan jatuh sekitar dua inci di atas mata kaki.
Gambar 4 Gaun Victorian (sumber: http://lab.sekaimon.com/img/fetch/i/220957074037, diakses 6 Mei 2014 pukul 15:39)
12
Rok dalaman yang dipakai beberapa lapis untuk mengembangkan bagian rok pada gaun. Pada awal kemunculannya petticoat menggunakan untuk memberi bentuk pada rok.
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014
9
Aksesoris yang paling banyak dipakai pada zaman ini antara lain adalah topi dan bonnet. Bonnet adalah sejenis topi lebar yang tertutup di bagian belakang namun terbuka di bagian depan yang dikencangkan dengan tali atau pita di bagian dagu. Bonnet terbuat dari anyaman jerami atau kain katun keras (buckram) yang dibungkus dengan menggunakan kain yang umumnya adalah sutra. Bonnet yang dikenakan oleh kaum bangsawan umumnya memiliki hiasan seperti pita, renda, atau bunga. Untuk anak-anak dan remaja, hiasan kepala umumnya tidak berbeda dengan orang dewasa. Namun untuk anak-anak juga umum digunakan pita rambut. Pita rambut ini ada yang dipakai sebagai pengikat rambut, juga ada yang dipakai di puncak kepala dengan posisi tegak berdiri. Sarung tangan juga merupakan salah satu aksesori yang umum dipakai. Selain sebagai barang fashion, sarung tangan juga digunakan untuk menunjukkan status sosial dan pemakaian sarung tangan sangat disarankan pada masa itu. Sarung tangan yang digunakan panjangnya berbeda berdasarkan waktu pemakaian. Untuk siang hari, umumnya digunakan sarung tangan sepanjang pergelangan tangan yang cenderung ketat. Sementara untuk malam hari digunakan sarung tangan panjang hingga melewati siku dan umumnya dikenakan bersama gaun malam. Sarung tangan yang digunakan pada malam hari terbuat dari bahan yang sama dengan sarung tangan yang dikenakan pada siang hari. Karena konsep kesederhanaan yang diusung oleh Victorian, maka tata rias pada era tersebut juga mengusung konsep yang sama. Hal ini menyebabkan penggunaan make up yang mencolok adalah hal yang tabu dan wanita dihimbau untuk tampil alami
dengan memakai make up
secukupnya. Tata rias yang mencolok pada bagian mata dan bibir identik dengan pekerja prostitusi, sehingga wanita terhormat dihimbau untuk berpenampilan sopan dengan tata rias seperlunya. Lolita-kei sebagai genre fashion yang terinspirasi dari nilai-nilai estetika klasik Eropa pada era Victorian dan Rococo tidak begitu saja mengadaptasi langsung nilai-nilai tersebut, melainkan melalui penyesuaian dengan adanya konsep kawaii. Menurut Yomota (2006) pengertian mengenai kawaii adalah konsep sesuatu yang mungil, rapuh, dan terlihat mudah hancur sehingga harus dilindungi. Kawaii adalah sesuatu yang kekanak-kanakan dan memiliki sisi romantisme nostalgia yang memiliki nilai imajinasi atau fantasi terhadap seseorang, mudah disukai, dan cantik. Kinsella (1995) memaparkan bahwa esensi yang penting di dalam kawaii adalah sesuatu yang mungil, berwarna pastel, lembut, berbentuk bundar, dan bersifat loveable dalam konteks
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014
10
yang kebarat-baratan (khususnya Amerika atau Eropa). Sesuatu yang kelihatan berenda, empuk dan dreamy (seperti khayalan). Perpaduan nilai estetika klasik Eropa dan kawaii menyebabkan Lolita-kei sebagai genre kawaii fashion yang kaya representasi. Representasi-representasi dari perpaduan kedua nilai estetika tersebut menyebabkan Lolita-kei memiliki banyak subgenre dengan porsi antara nilai estetika klasik Eropa dan kawaii yang berbeda-beda. Kawamura (2013) 13 membagi Lolita-kei menjadi 11 kategori, antara lain Ama-Loli (sweet lolita), classical lolita, Ero-Loli (erotic lolita), Futago-Loli (twin lolita), Gosu-Loli (Gothic & Lolita), Hime-Loli (Princess Lolita), Kuro-Loli & Pinku-Loli , Ouji (Prince for Lolita) , Punk Loli, Qi & Wa Loli, dan Sailor-Loli (sailor lolita). Walaupun memiliki banyak sub-genre, yang akan dibahas dalam tulisan ini hanya berkisar pada sweet lolita, classical lolita, gothic lolita dan hime lolita, karena keempat sub-genre diatas dianggap sebagai grup sub-genre yang paling populer dengan basis massa yang paling besar. Sweet lolita adalah subgenre yang memiliki penekanan pada imaji kekanakan, ceria dan mungil yang kawaii dengan penggunaan warna-warna pastel yang lembut dan terkesan manis.. Pakaian sweet lolita umumnya memiliki corak kain yang bersifat kekanakan, seperti dongeng, mainan, bunga, atau kue dan dihias dengan renda yang dibordir dengan corak serupa, mutiara dan pita-pita.
Gambar 5. Sweet Lolita (Sumber: KERA Oktober 2009 hal. 35) 13
Kawamura, Yuniya. 2013. Fashioning Japanese Subculture. Bloomsbury. hal. 72
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014
11
Classical lolita adalah subgenre Lolita-kei yang lebih menekankan pada kesan anggun dan antik, tanpa meninggalkan karakteristik nilai kawaii. Dibandingkan dengan subgenre lainnya, classical lolita adalah yang paling mendekati nilai estetika Rococo dan Victorian yang asli 14. Hal ini dapat dilihat dari potongan pakaian, corak kain, tata rambut dan aksesori yang digunakan. Kerah tinggi atau berbentuk segi empat, bustle (kerut di bagian belakang), dan lengan yang menjuntai adalah model yang populer. Untuk aksesoris rambut, dibanding pita rambut classical lolita lebih banyak mengenakan bonnet, topi bowler, atau korsase untuk menonjolkan kesan antik dan elegan. Warna-warna yang digunakan dalam classical lolita lebih bervariasi dibanding yang digunakan di dalam sweet lolita. Classical lolita menggunakan warna-warna pastel yang lembut namun memiliki kesan berdebu seperti warna putih gading, dusty pink, dan hijau pucat. Namun, classical lolita juga menggunakan warna-warna yang lebih gelap seperti merah anggur, biru tua, cokelat dan hitam. Corak yang digunakan di dalam classical lolita umumnya adalah bunga (terutama mawar), garis-garis, segi empat-segi empat, polkadot, atau original print yang melibatkan ilustrasi yang berkesan antik dengan aksen mahkota atau ornamen ukir ala Victorian dan Rococo.
Gambar 6. Classic Lolita (sumber: Gothic & Lolita Bible vol.39, 2011 hal 23)
14
Aoki, Misako. 2014. Lolita Fashion Book. Mynavi. Tokyo.
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014
12
Gothic lolita adalah subgenre yang sangat populer pada awal munculnya Lolita-kei di awal era 2000an. Gothic lolita menekankan imaji yang suram seperti sedang berkabung dan identik dengan simbol religius seperti salib dan ornamen gereja lainnya. Kesan suram ini yang menyiratkan kerapuhan, kesedihan karena kematian seseorang. Kesatuan bentuk yang memiliki kesan suram dan rapuh inilah yang dianggap kawaii di dalam gothic lolita. Gothic lolita secara estetis lebih mendekat kepada classical lolita dan lebih berfokus pada penampilan aristokratis. Warna-warna yang digunakan dalam gothic lolita adalah warna-warna suram seperti putih, hitam, merah darah, hijau zamrud dan biru safir. Warna-warna ini mendominasi keseluruhan penampilan gothic lolita, mulai dari pakaian, sepatu, hingga aksesoris. Karena sifatnya yang lebih dekat kepada classical lolita, gothic lolita memiliki potongan pakaian yang mirip-mirip dengan classic lolita. Penampilan gothic lolita yang cenderung lebih sederhana tanpa penggunaan terlalu banyak renda menunjukkan kecenderungan gothic lolita untuk condong kepada nilai-nilai estetika Victorian.
Gambar 7 . Gothic Lolita (sumber: Gothic & Lolita Bible vol.31, 2008)
Hime lolita adalah subgenre Lolita-kei yang berpenampilan seperti puteri kerajaan, dan secara estetis lebih dekat kepada nilai estetika Rococo dibandingkan dengan Victorian. Kesan yang ditonjolkan antara lain dreamy (seperti khayalan), seperti puteri raja dalam kisah-kisah dongeng.
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014
13
Hime lolita adalah genre paling mewah dalam Lolita-kei dengan desain gaun yang paling mendetail, dan penuh dengan aksen-aksen seperti mutiara, pita, renda dan bunga. Gaun-gaun hime lolita mendapat pengaruh yang kuat dari Rococo dan kebanyakan mirip dengan model Robe à la Française, yaitu memiliki kerah berbentuk segi empat yang memperlihatkan bagian leher dengan kerut di sekelilingnya, garis pinggang yang rendah dan memiliki banyak hiasan pita, renda, dan mutiara sehingga menonjolkan kesan mewah.
Gambar 8. Hime lolita (sumber: http://img.i-colle.jp/kera/img_b/32249005/main.jpg, diakses 21 Juli 2014 pukul 6:03)
Walau memiliki perbedaan dari segi karakteristik dan imaji yang ditampilkan, namun pada umumnya Lolita-kei tetap diikat oleh aturan estetis tertentu yang menentukan apakah penampilan seseorang dapat disebut lolita atau bukan. Aturan-aturan tersebut antara lain dari segi pakaian, aksesoris, tata rias dan tata rambut. Lolita-kei mengusung konsep kesopanan dalam berpakaian seperti yang diusung oleh Inggris pada era Victorian. Dalam Lolita-kei, semakin sedikit bagian kulit yang ditunjukkan akan semakin baik. Jenis pakaian yang dipakai di dalam Lolita-kei antara lain adalah jumperskirt (JSK), one piece, dan rok atau skirt. Jumperskirt adalah jenis dress tanpa lengan yang disangga dengan strap (tali) di kedua sisinya. One piece adalah jenis dress yang memiliki lengan, baik panjang maupun pendek. Jumperskirt dan rok tidak dapat dikenakan sendiri, maka diharuskan memakai blus atau cardigan untuk melaipisinya agar penampilan tertutup.
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014
14
Mirip seperti yang dilakukan pada era Victorian, petticoat dan drawers juga merupakan suatu keharusan di dalam Lolita-kei. Petticoat digunakan untuk mengembangkan bagian rok, dan drawers dikenakan sebagai pakaian dalam untuk menghindari tereksposnya kulit jika bagian rok tersingkap karena angin, dan lain-lain. Di dalam Lolita-kei, tata rias yang digunakan umumnya sama, yaitu make up natural yang tidak menggunakan warna-warna pekat dan memiliki kesamaan imaji dengan bisque doll , boneka porselen yang populer pada era Victorian sehingga make up Lolita-kei umumnya dikenal dengan istilah doll make up (ドールメイク). Poin yang penting antara lain pipi yang membulat dan merah merona, bulu mata yang panjang, mata yang besar, dan bibir yang mungil. Sedangkan untuk tata rambut, jenis yang populer adalah potongan hime cut, yaitu poni yang menutupi alis dan dipotong rata dengan poni yang lebih panjang di kedua sisi wajah sehingga memberi kesan membingkai wajah agar terlihat mungil dan kawaii.
Gambar 9 Contoh Make-up Lolita-kei dan model rambut hime cut (sumber: Gothic & Lolita Bible 2011 Vol. 42, hal.93)
6. Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa era Rococo dan Victorian memiliki pengaruh terhadap Lolita-kei dalam segi aturan estetika dalam berpakaian, aksesoris, tata rias, dan tata rambut. Aspek-aspek nilai estetika klasik Rococo dan Victorian ini diadaptasi kedalam Lolita-kei dengan konsep kawaii sehingga Lolita-kei memiliki dua tolak ukur nilai estetika, antara lain dari nilai estetika klasik Eropa pada era Rococo dan Victorian, dan dari nilai estetika kawaii. Perpaduan kedua nilai ini juga menyebabkan Lolita-kei memiliki beberapa subgenre dengan porsi antara nilai estetika klasik Eropa dan kawaii yang berbeda-beda walau masih terikat dalam sebuah aturan estetis utama.
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014
15
Sweet lolita lebih menekankan pada aspek kekanakan pada konsep kawaii dengan warnawarna pastel dan corak berupa mainan atau kue. Classical lolita yang lebih bertumpu pada nilai kawaii yang romantis dan mengandung nilai nostalgia mengenai kehidupan bangsawan pada era Rococo dan Victorian lewat penampilan yang berkesan antik dan klasik. Gothic lolita lebih menekankan pada aspek rapuh dan mudah hancur lewat penampilan yang terkesan suram, murung dan bersedih. Sementara hime lolita lebih menekankan sisi yang bersifat dreamy (seperti khayalan), lewat penampilan yang mirip seperti puteri kerajaan.
7. Kesimpulan Lolita-kei mengimplementasikan nilai-nilai estetika pada zaman Victorian dan Rococo lewat potongan pakaian, aksesori, hingga ke corak pakaian dan diadaptasi dengan nilai estetika kawaii. Nilai estetika kawaii antara lain memiliki aspek kekanak-kanakan dan memiliki sisi romantisme nostalgia yang memberi nilai imajinasi atau fantasi terhadap seseorang, mudah disukai, dan cantik. Berpadunya dua nilai estetika menyebabkan Lolita-kei memiliki banyak subgenre dengan porsi antara nilai estetika klasik Victorian dan Rococo dengan kawaii yang berbeda-beda. Sweet lolita lebih menekankan pada aspek kekanakan pada kawaii dengan warna-warna pastel dan corak berupa mainan atau kue. Classical lolita yang lebih bertumpu pada nilai kawaii yang romantis dan mengandung nilai nostalgia mengenai kehidupan bangsawan pada era Rococo dan Victorian lewat penampilan yang berkesan antik dan klasik. Gothic lolita lebih menekankan pada aspek rapuh dan mudah hancur lewat penampilan yang terkesan suram, murung dan bersedih. Sementara hime lolita lebih menekankan sisi yang bersifat dreamy (seperti khayalan), lewat penampilan yang mirip seperti puteri kerajaan. Perbedaan karakteristik antar-subgenre ini mengimplikasikan bahwa dalam Lolita-kei, nilai kawaii sendiri sangat tergantung pada bagian mana dari aspek kawaii yang lebih ingin ditonjolkan oleh si pemakai. Perbedaan aspek kawaii yang ingin ditonjolkan ini juga menunjukkan perbedaan jati diri dari si pemakai lewat preferensi personal atas apa yang dianggap lebih kawaii dibanding yang lain. Karena sifatnya yang mengakomodasi berbagai aspek dari nilai estetika kawaii tersebut, Lolita-kei dewasa ini dapat menjaring berbagai kalangan dengan preferensi nilai estetika yang berbeda sehingga Lolita-kei dapat menjadi genre kawaii fashion yang paling luas dikenal dan memiliki basis massa yang besar baik di dalam maupun luar Jepang.
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014
16
Daftar Referensi Aoki, M. 2014. Lolita Fashion Book. Jepang: Mynavi. Berleant, A. (1970). The Aesthetics Field, A Phenomenology of Aesthetic Experience. Illinois : Springfield. Hasan, E. (2011). Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan. Jakarta:Ghalia Indonesia Kawamura, Y. 2013. Fashioning Japanese Subculture. Bloomsbury Kinsella, S. (1995) : Cuties in Japan. In: Skov, Lise and Brian Moeran. (eds): Woman, Media, and Consumption in Japan. Honolulu: University of Hawaii Press. Koren, L. (2010). Which Aesthetics Do You Mean?: Ten Definitions. California: Imperfect Publishing. Read, H. (2004). The Meaning of Art. Faber&Faber. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Yurchisin, J. Kim K.P Johnson. (2010) . Fashion and the Consumer. Berg Publishers. Yomota,I. (2006). Kawaii Ron. Jepang: Chikuma Sinsho. Publikasi Elektronik "Panniers". Fashion Encyclopedia http://www.fashionencyclopedia.com/fashion_costume_culture/European-Culture-18thCentury/Panniers.html. (diakses 12 Juni 2014) "Rococo Style." Microsoft® Encarta® Online Encyclopedia 2000. http://encarta.msn.com. (diakses 4 Mei 2014 pukul 20:16) Younker, Teresa. Lolita: Dreaming, Despairing, Defying. 12 Mei, 2012 http://www.stanford.edu/group/sjeaa/journal111/Japan5.pdf . (diakses 3 Juni 2013 pukul 17:39)
Pengaruh nilai..., Indah Febriyanti, FIB UI, 2014