Vol. 05 / No. 05 / Agustus 2014
Nilai Etika dan Estetika Tembang Macapat Pupuh Dhandhanggula dalam Serat Nalawasa-Nalasatya dan Pembelajarannya di SMA Oleh: Muslikhatun Solikhah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai etika dan unsur estetika serta pembelajaran nilai etika dan estetika tembang macapat pupuh dhandhanggula dalam serat Nalawasa-Nalasatya di SMA. Jenis penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian serat Nalawasa-Nalasatya dan pembelajarannya di SMA. Objek penelitian nilai etika, estetika dan pembelajarannya di SMA. Fokus penelitian nilai etika yang meliputi; etika keselarasan sosial dan etika kebijaksanaan serta unsur estetika yang meliputi; bebasan, dasanama, kerata-basa, paribasan, pepindhan, purwa kanthi, tembung garba, tembung kasok balen, dan tembung plutan. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik pustaka, teknik catat. Instrumen penelitian menggunakan kartu pencatat data berupa tabel. Teknik analisis data menggunakan sanalisis isi (content analysis). Teknik penyajian hasil analisis menggunakan metode informal. Hasil penelitian ;(1) Nilai etika pada tembang macapat pupuh dhandhanggula dalam serat Nalawasa-Nalasatya meliputi; Nilai etika keselarasan sosial dan etika kebijaksanaan, (2) Unsur estetika pada tembang macapat pupuh dhandhanggula dalam serat Nalawasa-Nalasatya meliputi; (a) purwakanthi guru swara, (b) purwakanthi guru sastra, (c) purwakanthi lumaksita, (d) dasanama, (e) sasmitaning tembang, (f) sandi asma (g) tembung garba, (h) tembung saroja, (i) tembung kereta basa, (j) tembung plutan, (k) tembung baliswara, (l) tembung kosok balen. Pembelajaran etika dan estetika tembang macapat pupuh dhandhang gula dalam serat NalawasaNalasatya di SMA sesuai Standar Kompetensi yaitu aspek mendengarkan. Metode yang digunakan adalah tanya jawab, ceramah, diskusi kelompok dan penugasan.
Kata kunci : etika, estetika, macapat, pembelajaran
Pendahuluan Karya sastra hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai sebuah hasil karya, kreasi dan kreatifitas pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Abdulah (2007: 15-19) membagi periodisasi kesusastraan Jawa menjadi empat bagian yaitu; karya sastra Jawa kuno, karya sastra Jawa tengahan, karya sastra Jawa baru dan karya sastra Jawa modern. Tembang macapat termasuk dalam karya sastra Jawa tengahan, karya sastra berupa tembang macapat biasanya dikemas atau di sajikan dalam berbagai macam media salah satunya dicarik’ditulis melalui sebuah naskah kuna yaitu serat, seperti yang ada dalam naskah serat Nalawasa-Nalasatya yang merupakan salah satu serat gubahan R. Panji Suryawijaya yang dialihaksarakan oleh Soenarko H. Poespita. Karya sastra Jawa berupa serat mengandung nilai ajaran moral sebagai gambaran kehidupan masa lampau sehingga patut dikaji dan dipelajari untuk cerminan Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
12
Vol. 05 / No. 05 / Agustus 2014
kehidupan, Seperti halnya pada serat Nalawasa-Nalasatya yang mengisahkan penghianatan seorang sahabat (Nalawasa) kepada Nalasatya hanya karena dibutakan oleh harta benda. Cerita tersebut banyak terdapat pesan moral dan nilai pendidikan yang dapat dipetik dan dipelajari, sehingga begitu penting untuk dikaji, selain nilai etika serat Nalawasa-Nalasatya juga terdapat unsur-unsur Estetikannya, seperti : purwakanthi guru swara, purwakanthi guru sastra, purwakanthi lumaksita, tembung dasanama, sasmitaning tembang, sandi asma, tembung garba, tembung saroja, tembung kereta basa, tembung plutan, tembung baliswara, dan tembung kosok balen, dan Syair-syair tembang macapat yang ada dalam serat Nalawasa-Nalasatya dimungkinkan juga terdapat unsur-unsur estetika tersebut. Masyarakat umumnya masih asing atau awam dengan naskah–naskah Jawa khususnya serat, khususnya generasi muda (pelajar) yang seharusnya menjadi generasi penerus untuk mempelajari, menjaga dan melestarikannya sebagai wari san budaya bangsa, maka perlu upaya untuk memperkenalkan karya sastra khususnya tembang macapat, yaitu melalui pendidikan formal di sekolah. Kele- bihan tembang macapat sebagai bahan pembelajaran sastra kaitanya dengan tujuan pengajaran sastra yaitu sebagai bekal pengetahuan budaya, karena tembang macapat merupakan salah satu warisan budaya yang perlu dipelajari dan dilestarikan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; (1) bagai manakah nilai etika tembang macapat pupuh dhandhanggula dalam Serat Nala wasa-Nalasatya?; (2) bagaimanakah unsur-unsur estetika tembang macapat pupuh dhandhanggula Serat Nalawasa-Nalasatya?; (3) bagaimanakah pembelaja an etika dan unsur estetika tembang macapat pupuh dhandhanggula dalam Serat Nalawaswa-Nalasatya di SMA?. Tujuan Penelitiannya adalah (1) mendeskripsikan nilai etika tembang macapat pupuh dhandhanggula dalam serat Nalawasa-Nalasatya; (2) mendeskripsikan unsur estetika tembang macapat pupuh dhandhanggula dalam serat Nalawasa-Nalasatya. 3) men deskripsikan pembelajaran nilai etika dan unsur estetika tembang macapat pupuh dhandhanggula serat Nalawasa-Nalasatya di SMA. Penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti yaitu penelitian oleh Rani Puspita Wardani (2011) dengan judul judul “Analisis Semiotik dan
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
13
Vol. 05 / No. 05 / Agustus 2014
Nilai Religius Tembang Macapat Pupuh Sinom dalam Serat Kalatidha karangan Ranggawarsita serta kemungkinan pembelajarannya di SMA”, dan penelitian dari Nuryadi (2012) dengan judul “ Etika dan Estetika tembang campursari Album “volume 1 dan Ngidam sari” oleh Manthous”. Universitas Muhammadiyah Purworejo. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori etika oleh Praja (2003:59) yang menyebutkan bahwa etika merupakan filsafat mengenai kewajiban-kewajiban manusia serta tingkah laku manusia dilihat dari segi baik buruknya tingkah laku tersebut. Selanjutnya Suseno (2011:69, 214) menambahkan salah satu kajian etika Jawa yaitu etika keselarasan sosial dan Etika Kebijaksanaan. Subalidinata (dalam Afendy, 2011: 31) menyebutkan bahwa keindahan sastra diciptakan dengan beberapa cara yaitu; 1) didukung oleh permainan bunyi atau persajakan ( purwakanth); 2) penggunaan tembung saroja, 3) penggunaan tembung entar, 4) penggunaan rura basa, 5) penggunaan tembung garba, 6) penggunaan yogyaswara, dan 7) pemilihan lelewaning basa, dan Ismawati (2013:1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengajaran sastra adalah pengajaran yang menyangkut seluruh aspek sastra, yang meliputi; teori sastra, sejarah sastra, kritik sastra, sastra perbandingan, dan apresiasi sastra.
Metode Penelitian Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini berupa naskah serat Nalawasa-Nalasatya gubahan R. Panji Suryawijaya yang dialihaksarakan oleh Soenarko H. Poespita dengan jumlah halaman serat yaitu 131 halaman, dan terdiri dari 6 pupuh dan Objek penelitian dalam penelitian ini adalah nilai etika, estetika yang terdapat dalam serat Nalawasa-Nalasatya gubahan R.Panji Suryawijaya dan dialihaksarakan oleh Soenarko H. Poespita. Jumlah halaman serat yaitu 131 halaman, dengan 6 pupuh, dan pembelajarannya di SMA. Fokus penelitian adalah nilai etika yang meliputi etika keselarasan sosial dan etika kebijaksanaan serta unsur estetika seperti bebasan, dasanama, kerata-basa, paribasan ,pepindhan,
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
14
Vol. 05 / No. 05 / Agustus 2014
purwokanthi guru-swara, purwakanthi guru-sastra, purwakanthi lumaksita, kata arkhais, tembung garba, tembung kasok balen, tembung plutan, basa rinengga, tembung saraja, wangsalan lamba, wangsalan padinan, dan parikan yang ada pada tembang macapat pupuh dhandhanggula dalam serat Nalawasa-Nalasatya. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik pustaka dan catat. Instrumen penelitian menggunakan kartu pencatat data berupa tabel. Teknik analisis data menggunakan analisis isi (content analysis). Teknik penyajian hasil analisis menggunakan metode informal.
Hasil Penelitian Nilia Etika Keselarasan Sosial “Uluk salam-Nalawasa gipih Anauri: “Ngalaekum salam Lan adhi lajua bae Nalasatya gya mlebu Jawat asta salaman nuli Nalawasa muwus Pun adhi napa raharja,” Nalasatya mangsuli: Inggih basuki.” Nalawasa ris Tanya
Terjemahan : Mengucapkan salam-Nalawasa segera Menjawab : wangalaikum salam Dan adik langsung masuk saja Nalawasya segera masuk Lalu berjabat tangan Nalawasa bertanya Apakah adik sehat Nalasatya menjawab” iya sehat” Nalawasa bertanya baik-baik Kutipan di atas menggunakan etika keselarasan sosial, yaitu terdapat pada tembang macapat pupuh dhandhanggula bait 14 baris ke 1,2,3,4,5,6,7,8, dan 9, yang tampak pada kutipan Uluk salam-Nalawasa gipih, Anyauri:“Ngalaekum salam, Lan adhi lajua bae, Nalasatya gya mlebu, Jawat asta salaman nuli, Nalawasa muwus, Pun adhi napa raharja,”, Nalasatya mangsuli: Inggih basuki.”Nalawasa ris tanya. Kata yang Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
15
Vol. 05 / No. 05 / Agustus 2014
digunakan dalam kutipan tembang tersebut menunjukkan salah satu wujud sopan santun berupa unggah-ungguh masyarakat Jawa ketika bertamu. Pada kalimat Uluk salam-Nalawasa gipih, anyauri: Ngalaekum salam artinya Nalasatya mengucapkan salam, menunjukkan etika dalam bertamu yang mula-mula mengucapkan salam, lalu masuk kedalam rumah ketika sudah dipersilahkan untuk masuk. Kalimat Lan adhi lajua bae, Nalasatya gya mlebu’dan adik langsung masuk saja, Nalasatya segera masuk. Setelah masuk Lalu berjabat tangan dan menyampaikan tujuan berkunjung, hal ini seperti pada Jawat asta salaman nuli artinya menggapai tangannya lalu berjabat tangan. Wujud sopan santun dalam bertamu inilah yang merupakan salah satu kajian etika keselarasan sosial. Etika Kebijaksanaan “Mboten ilok adhi wong ngajak ngguyoni Kadang tuwa ingajak sembrana ... ... ... ... ... ... ( bait 38a, b ) Terjemahan : Tidak sepantasnya adik mengajak bercanda Kepada orang tua bersikap tidak sopan Penggunaan etika kebijaksanaan terdapat pada tembang macapat pupuh dhandhanggula bait tiga puluh delapan baris 1 dan 2 di atas, yaitu pada syair Mbotenilok adhi wong ngajak ngguyoni, Kadang tuwa ingajak sembrana. Pada syair tersebut terdapat sebuah pesan mengenai unggah-ungguh atau sopan santun kepada orang lain khususnya kepada orang yang lebih tua atau tinggi drajadnya yaitu sikap sopan dalam bertinggkah laku. Kata “Mboten ilok adhi wong ngajak ngguyoni, Kadang tuwa ingajak sembrana, artinya tidak sepantasnya adik mengajak bercanda kepada orang yang lebih tua dan bersikap tidak sopan,hal ini menunjukkan sebuah pesan bahwa dalam bertingkah lakukita harus senantiasa menghormati kepada orang lain khususnya orang yang lebih tua atau tinggi drajadnya. Pesan tersebut merupakan pesan moral dalam bersikap dan bertingkah laku kepada orang lain dan hal tersebut
termasuk dalam etika
kebijaksanaan. Unsur Estetika Purwakanthi Guru Swara ... ... ... ... ... ...
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
16
Vol. 05 / No. 05 / Agustus 2014
Tegalanira lama Karsanira Nalasatya Acelak randuwana
Terjemahan : Ladangnya lama Keinginan Nalawasa Dekat perkebunan Kutipan Tegalanira lama, Karsanira Nalasatya, Acelak randuwana di atas menunjukkan penggunaan purwakanthi guru-swara yaitu terdapat pada tembang macapat pupuh dhandhanggula serat Nalawasa-Nalasatya bait kedelapan baris 6, dan 10. Pada kutipan di atas kata Tegalanira, lama, Karsanira, Nalasatya dan randuwana terdapat pengulangan vokal a pada suku katara, ma, ra, tya, dan na. Penyebutan unsur vokal ulang inilah yang disebut dengan purwakanthi guru swara.
Unsur Estetika Tembung Garba ... ... ... ... ... ... Jatining reh den samya pralebdeng westhi ... ... ... ... ... ... ( bait 1,baris 9 ) Terjemahan : Sejatinya hidup haruslah pintar dalam menghadapi masalah Kutipan di atas menunjukkan penggunaan tembung garba yaitu pada tembang macapat pupuh dhandhanggula dalam serat Nalawasa-Nalasatya bait pertama baris 9, dengan ditunjukkan kalimat Jatining reh den samya pralebdeng westhi. Kata pralebdeng berasal dari kata pralebda dan mendapat imbuhan –ing yang berarti “orang yang ‘mumpuni ana ing sawijining kawruh’ mempunyai kemampuan lebih/pintar dalam suatu hal. Unsur Estetika Tembung Saroja ... ... ... ... ... ... Supe ing pamong mitrane ... ... ... ... ... ... ( bait 22,c ) Terjemahan :
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
17
Vol. 05 / No. 05 / Agustus 2014
Lupa dengan sahabatnya Kutipan di atas menunjukkan penggunaan tembung saroja pada tembang macapat pupuh dhandhanggula dalam serat Nalawasa-Nalasatya yaitu bait ke dua puluh dua baris 3, yaitu Pada kalimat Supe ing pamong mitrane ditunjuukan dengn kata pamong mitra. Kata pamong dan mitra mempunyai makna yang hampir sama, kata pamong mempunyai arti wong kang ngemong’orang yang ngebimbing, mitra mempunyai arti kanca kang raket’teman dekat, dan dalam penggunaannya kedua kata ini juga sering dipasangkan atau digunakan secara bersamaan.
Unsur Estetika Tembung Dasanama ... ... ... ... ... ... “pun andhi napa raharja” Nalasatya mangsuli : “inggih basuki ... ... ... ... ... ... (bait 14, baris 8, 9) Terjemahan : Adik apa sehat Nalasatya menjawab :”iya sehat” Kutipan“pun andhi napa raharja, Nalasatya mangsuli :“inggih basuki di atas menunjukkan penggunaan dasanama yaitu terdapat pada tembang macapat pupuh dhandhanggula pada serat Nalawasa-Nalasatya bait keempat belas baris 8 dan 9. Pada bait tersebut ditemukan kata raharja yaitu pada baris pertama yang artinya selamat/sehat, kemudian pada baris kedua ditemukan kata basuki yang artinya sehat/selamat. Kata raharja dan basuki mempunyai arti yang sama dan kata tersebut dinamakan dasanama. Unsur Estetika Tembung Plutan ... ... ... ... ... ... Nalawasa ris tanya ... ... ... ... ... ... (Bait 14,baris10)
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
18
Vol. 05 / No. 05 / Agustus 2014
Terjemahan : Nalawasa bertanya dengan halus Kutipan Nalawasa ris tanya di atas menunjukkan penggunaan tembung plutan yang terdapat pada tembang macapat pupuh dhandhanggula dalam serat NalawasaNalasatya yaitu bait keempat belas, baris 10. Pada kutipan di atas terdapat kata ris. Kata ris merupakan tembung plutan, atau tembung yang sudah dirangkap digabung. Kata ris yang terdapat pada baris pertama yaitu berasal dari kata aris, di mana suku kata ar dan ris dirangkap menjadi ris yang artinya baik, hal seperti di atas yang dinamakan tembung plutan. Unsur Estetika Tembung Baliswara ... ... ... ... ... ... Ing buri pulisi pirsa ... ... ... ... ... ... ( bait 11, baris 8 ) Terjemahan : Pulisi akan mengetahuinya dibelakang Penggunaan tembung baliswara di atas terdapat pada tembang macapat pupuh dhandhanggula dalam serat Nalawasa-Nalasatya bait kesebelas baris 8. Pada kalimat ing buri pulisi pirsa termasuk dalam tembung baliswara, hal ini dapat dilihat dari susunan katanya yang menyimpang dari susunan wajar. Susunan yang seharusnya dari kalimat di atas yaitu pulisi pirsa ing buri, karena untuk memenuhi dhog-dhing (guru lagu) menjadi ing buri pulisi pirsa. Unsur Estetika Kereta Basa ... ... ... ... ... ... Gegurua saranane ( bait 2,baris 3 ) Terjemahan : Belajarlah dari keadaan Kutipan Gegurua saranane di atas menunjukkan penggunaan tembung kerata basa, yaitu pada tembang macapat pupuh dhandhanggula pada serat NalawasaNalasataya bait dua baris 3. Pada kalimat gegurua saranane terdapat kata guru yang merupakan kerata basa dari digugu lan ditiru yang berarti dipercaya dan dicontoh. Dalam kalimat tersebut menggambarkan sebuah pesan bahwa kita harus senantiasa
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
19
Vol. 05 / No. 05 / Agustus 2014
berguru/belajar mempercayai dan mencontoh dari saranane dari keadaan dan dari semua yang ada, dalam menjalani kehidupan. Kata guru termasuk dalam tembung kerata basa. Unsur Estetika tembung Kosok Balen Ing dununge kawruh ala becik ... ... ... ... ... ... ( bait 2,baris 1 ) Terjemahan : Dalam permasalahan baik dan buruk Kutipan di atas menunjukkan penggunaan tembung kosok balen atau antonim pada tembang macapat pupuh dhandhanggula bait kedua baris 1, yaitu dengan ditunjukkan kalimat Ing dununge kawruh ala becik. Dalam kalimat tersebut terdapat kata ala dan becik. Kata alaberarti “buruk” dan becik berarti “baik”. Baik dan buruk
merupakan kata yang berantonim atau kosok balen. Simpulan Nilai etika yang terdapat pada tembang macapat pupuh dhandhanggula dalam serat Nalawasa-Nalasatya meliputi nilai etika keselarasan sosial dan nilai etika kebijaksanaan. Unsur-unsur estetika yang terdapat pada tembang macapat pupuh dhandhanggula dalam serat Nalawasa-Nalasatya meliputi: purwakanthi guru swara, purwakanthi guru sastra, purwakanthi lumaksita, tembung dasanama, sasmitaning tembang, sandi asma, tembung garba, tembung saroja, tembung kereta basa, tembung plutan, tembung baliswara, dan tembung kosok balen. Pembelajaran etika dan estetika tembang macapat pupuh dhandhanggula dalam serat NalawasaNalasatya di SMA dilaksanakan sesuai dengan standar kompetensi pada aspek mendengarkan. Metode yang digunakan adalah metode tanya jawab, ceramah, diskusi kelompok dan penugasan.
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
20
Vol. 05 / No. 05 / Agustus 2014
Daftar Pustaka Praja, Juhana.S. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana Widayat, Afendy. 2011. Teori Sastra Jawa. Yogyakarta : Kanwa Publiser. Abdullah, Wakit. 2007. Bahasa Jawa Kuna: Sejarah, Struktur dan Leksikonya. Surakarta: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ismawati, Esti. 2013. Pengajaran Sastra. Surakarta: Zuma Pustaka. Suseno, Frans Margins. 2011. Etika Jawa Sebuah Analisis Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
21