Analisis Sejarah
Volume 03 Tahun 2013
Manuskrip “Fiqh Perempuan” Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi: Oase Baru dalam Khasanah Naskah-Naskah Klasik Minangkabau Sumatera Barat
Novi Yulia*
Abstrak Dalam keseharian, fiqh Islam tidak dikotomis memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Meski pada satu kondisi ada diantara aturan atau hukum-hukum Islam itu mengatur hal tentang lelaki atau perempuan, namun tidak ada kitab yang dikarang yang menghususkan diri pada salah satu diantaranya, terkhusus di Sumatera Barat. Manuskrip Fiqh Perempuan dalam artikel ini merupakan hal menarik untuk ditelusuri. Manuskrip ini ditulis Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi, Pariaman. Di dalamnya Syech Abdurrahman menulis berbagai aturan bagi perempuan dalam berhaji, namun di balik penulisannya terdapat makna cinta pada istrinya.
* Novi Yulia, alumnus Sastra Daerah Minangkabau.
96 |
Analisis Sejarah A. Latar Belakang “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” merupakan falsafah hidup masyarakat Minangkabau. Artinya, mereka menjalankan kehidupan dengan berpedoman kepada ajaran agama Islam (religion) dan konvensi adat (cultural). Adat mengatur tentang hablumminannas dan agama mengatur tentang hablumminallah. Dalam hal agama, ulama merupakan tokoh yang memiliki peran penting dalam perkembangan agama Islam di Minangkabau. Melihat sejarah perkembangan pemikiran Islam dan ulama di Minangkabau, tidak bisa dilepaskan dari karya-karya yang dihasilkannya, yaitu berupa naskah atau manuskrip. Karyakarya ini juga telah menambah tradisi penulisan di Minangkabau dari periode abad 16-19 M, serta membalikan paradigma tradisi lisan di negeri ini. Penemuan ratusan manuskrip dalam kurun 10 tahun terakhir di Sumatera Barat makin menguatkan paradigma baru dalam hal sejarah tradisi penulisan ini. Kegiatan menulis dan menyalin naskah-naskah banyak ditemukan di daerah Darek—pedalaman Sumatera Barat, Rantau, maupun di daerah Pesisir. Tradisi penulisan dan penyalinan naskah ini dilakukan dalam rangka membumikan khasanah keilmuan yang terkait dengan ajaran agama Islam dan adat istiadat. Naskahnaskah tersebut banyak menggunakan tulisan Arab dalam bahasa Arab, dan menggunakan tulisan Arab-Melayu ejaan bahasa Melayu. Penggunaan penulisan itu disebut dengan tradisi
Volume 03 Tahun 2013
manuskrip.1 Dengan kata lain manuskrip merupakan penulisan sesuatu secara manual atau menggunakan tangan, tanpa bantuan teknologi canggih, kecuali kertas dan alat tulis biasa. Setelah dilakukan penelusuran, ternyata manuskrip-manuskrip ini biasanya disimpan pada suatu tempat yang disebut dengan skriptorium. Skriptorium dapat berupa rumah para kolektor atau milik pribadi, museum, sekolah-sekolah keagamaan, dan yang paling sering dijumpai di Sumatera Barat adalah di surau. Bagi masyarakat Minangkabau, surau selain sebagai rumah bagi orang muda yang belum menikah atau tua, tempat ini juga merupakan lembaga pendidikan penting ilmu keislaman dan budaya, terutama silat. Sejak abad ke-18 surau sebagai lembaga pendidikan Islam utama di Minangkabau tidak saja menjadi locus pentransformasian ilmu keislaman, seperti ilmu Alquran, sejarah, fiqh, dan sebagainya. Akan tetapi juga menjadi pusat pembentukan ulama berpengaruh dalam masyarakat di sekitar Sumatera Barat dan bahkan Asia Tenggara.2 Dalam konteks transformasi itulah naskah atau manuskrip menjadi penting sebagai “buku teks” yang akan diajarkan oleh guru/ seorang ulama surau. Para guru pada sebuah surau biasanya memperoleh naskah atau manuskripmanuskrip itu dari gurunya yang terdahulu, dan ditulis oleh para guru
1
Kajian terhadap naskah biasanya disebut dengan filologi. Filologi adalah ilmu yang mempelajari naskah-naskah lama beserta isinya. 2 Lihat Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003).
97 |
Analisis Sejarah atau tetua-tetua yang ada di surau tersebut. Secara umum, di Minangkabau atau Sumatera Barat, manukripmanuskrip tersebut lebih banyak membahas ajaran tarekat Syattariyah, Sammaniyah, dan Naksyabandiyah.3 Selain itu, penulisan-penulisan itu juga dilakukan sebagai aset penyimpanan ide intelektual kaum surau. Meskipun demikian, perhatian masyarakat Minangkabau terhadap keberadaan manuskrip-manuskrip tersebut jauh dari harapan. Perhatian terhadap kekayaan khasanah intelektual dan budaya Minangkabau itu ternyata lebih banyak dilakukan oleh masyarakat di luar Minangkabau, seperti Belanda, Inggris, Malaysia, dan banyak lagi. Saat ini terdapat 261 manuskrip Minangkabau yang berada di negeri orang, diantaranya, 255 naskah disimpan di perpustakaan Universitas Leiden dan 6 naskah disimpan di perpustakaan KITLV; di Inggris terdapat 12 naskah; 5 naskah disimpan di Jhon Rylands University Library Manchester dan 7 naskah disimpan di SOAS, dan 1 kumpulan manuskrip di Malaysia. Selain itu hanya 78 manuskrip berada di Indonesia yakninya di perpustakaan Nasional Jakarta, dan di tangan masyarakat Minangkabau sendiri. Naskah-naskah yang dimiliki masyarakat Minangkabau itu merupakan koleksi pribadi, maupun sebagai koleksi lembaga resmi seperti
Volume 03 Tahun 2013
museum dan tidak resmi berupa surau. 4 Hal ini jelas sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan, selain karena naskah yang merupakan aset kekayaan keilmuan Minangkabau tidak dijaga dan kini banyak berada di luar negeri, dimana digunakan untuk kepentingan keilmuan mereka sendiri. Naskah-naskah yang berada di tangan masyarakat itu pun tidak mendapatkan perawatan yang baik. Banyak naskah ditemukan sudah dalam keadaan rusak, bercerai-berai dari kurasnya, dan bolong-bolong karena dimakan rayap. Kondisi ini terutama ditemukan pada naskah-naskah yang terdapat di surau-surau yang kurang atau belum diketahui oleh para filolog, seperti Surau Syech Abdurrahman di Bintungan Tinggi Kabupaten Padangpariaman, Sumatera Barat. Naskah “Fiqh Perempuan” merupakan salah satu dari banyak naskah keagamaan yang belum mendapat perhatian dari para filolog karena baru saja ditemukan (2004). Naskah ini terdapat di Surau Bintuangan Tinggi, milik Syech Abdurrahman. Kondisi naskahnya sudah mengalami kerusakan-kerusakan karena dimakan rayap mengingat umurnya yang sudah puluhan tahun. Naskah “Fiqh Perempuan” di Surau Bintuangan Tinggi menggunakan bahasa Arab-Melayu, dengan alihan halaman, mulai halaman 2 sampai dengan 306, sementara halaman selanjutnya tanpa penomoran. Alas naskah memakai kertas Eropa. Menggunakan Watermark CRESCENT.
3
Oman Fathurrahman, “Kearifan Lokal Dalam Tradisi pernaskahan keagamaan di Sumatera Barat”, Makalah Seminar Internasional Minangkabau, di Padang (23-25 Agustus. 2004).
3
Zuriati, Undang-Undang Minangkabau dalam Perspektif Ulama Sufi (Padang: Fak. Sastra Unand, 2007), hlm. 2.
98 |
Analisis Sejarah Terdiri dari 37 kuras; 1 kuras = 10 lembar. Dua kuras terakhir sudah hancur dimakan rayap. Kajian tentang surau, pernaskahan dan dinamikanya sudah banyak dilakukan oleh sejumlah peneliti dan filolog. Beberapa kajian tersebut seperti yang dilakukan oleh Azra (2003); Yusuf dkk. (2004); Fathurrahman (2003 dan 2004); Pramono (2003, 2008); Putra (2004); Ramzul (2005); Suryadi (2000, 2001 dan 2004); Amir (2001 dan 2003). Penelitian yang dilakukan Azra (2003) yaitu Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Tulisan Azra dalam bentuk buku ini mengungkapkan tentang dinamika penerimaan masyarakat Minangkabau terhadap modernisasi yang menimbulkan kemerosotan dan disfungsi surau. Pada awalnya buku itu adalah hasil penelitian untuk tesisnya di Colombia University dengan judul The Rise and Decline of the Minangkabau Surau: A Traditional Islamic Educational Institution in West Sumatra during the Dutch Colonial Government. Penelitian yang dilakukan oleh Yusuf dkk. (2004) yang berjudul Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau, menghasilkan katalogus dari naskahnaskah yang terdapat di Minangkabau. Proses kerjanya yaitu mendeskripsikan naskah-naskah hasil salinan tangan syech-syech di Minangkabau terutama di daerah Padang, Padang Pariaman dan Kec. Matur yang juga meliputi daerah darek dan rantau. Penelitian ini sekaligus mendata dan membahas skriptoriumnya. Dalam disertasinya yang berjudul Tarekat Syattariah di dunia MelayuIndonesia: Kajian Atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-naskah
Volume 03 Tahun 2013
di Sumatra Barat, Fathurrahman (2004) menelaah naskah-naskah tentang tarekat Syattariyah di Sumatra Barat dengan pendekatan filologis dan sejarah sosial intelektual. Buku ini mengungkap perkembangan dan dinamika Tarekat Syattariyah di Sumatra Barat. Fathurrahman (2004) dalam makalahnya yang berjudul Kearifan Lokal dalam Tradisi Pernaskahan Keagamaan di Sumatra Barat. Fathurrahman melihat bahwa multikulturalisme dan tradisi naskah di Minangkabau memiliki potensi perekat dan potensi konflik. Menurutnya kearifan lokal ini dapat menjadi perekat dan potensi untuk menciptakan tradisi multikulturali, dimana para pengkaji dari berbagai etnis dan budaya lain menjadi terlibat dalam pemaknaan naskah-naskah, sehingga Mingangkabu menjadi sangat kosmopolit dan tempat bertemunya beragam tradisi. Putra (2004) dalam skripsinya yang berjudul “Transliterasi dan Analisis Teks Sejarah Ringkas Syaikh Passeban Assyatari Rahimahullah Ta’ala Anhu”. Skripsi ini menganalisis teks yang berisikan tentang pemikiran ajaran agama Islam yang dipahami Syaikh Paseban. Naskah ini merupakan salinan Imam Maulana Abdul Manaf Amin Alkhatib. Ramzul (2005) dalam skripsinya yang berjudul “Haji Katik Deram dan Karya-karyanya”, mengungkapkan presos kreatif Haji Katik Deram sebagi penyalin naskah-naskah yang ada di Padang Pariaman, sekaligus dinamika perdagangan naskah. Naskah itu dimaksudkannya kepada para pengikut tarekat Syatarriyah. Dari penelitian yang telah dilakukan di atas, ternyata masih banyak 99 |
Analisis Sejarah yang harus diungkapkan dari dunia pernaskahan di Minangkabau. Terutama mendata dan menganalisis naskahnaskah yang berisikan tentang perempuan. Bagaimanapun Minangkabau sangat terkenal dengan sistem matrilinealnya. Selama ini para peneliti atau filolog lebih banyak memusatkan perhatian kepada naskah-naskah yang ada di surau Syech Burhanuddin Ulakan, yang bagi masyarakat Minangkabau merupakan pembawa dan pengembang pertama ajaran Islam di wilayah ini. Selain itu masyarakat umumnya banyak mengikuti ajaran Syech Burhanuddin, dan ini bisa diikuti dengan adanya perayaan maulid Nabi atau tradisi basyafa (bersafar) yang menjadikan kuburan sang Syech sebagai pusat ribuan orang dari berbagai daerah seperti Padang, Agam, Pesisir Selatan, bahkan dari luar provinsi. Praktis kondisi ini menenggelamkan ajaranajaran Syech Abdurrahman yang memang secara geografi tidak terlalu jauh letaknya dari Ulakan. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan warisan Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi dalam bentuk naskah tidak terurus dan lapuk dimakan waktu. Naskah-naskah atau manuskrip Minangkabau ini sebagian besar berisikan tentang keagamaan, filsafat, sejarah, kesusasteraan, persoalanpersoalan adat istiadat, perundangundangan, perjanjian, dan sebagainya5. Adapun naskah “Fiqh Perempuan” dari Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi ini berkemungkinan dijual atau hancur 5
M Yusuf, dkk., ”Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau”, Laporan Penelitian, (Padang: Fakultas Sastra Unand, 2004), hlm. 3.
Volume 03 Tahun 2013
tanpa ada yang mau mendokumentasikan atau merawatnya lagi. Naskah “Fiqh Perempuan” dari Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi merupakan satu-satunya naskah fiqh yang membahas tentang perempuan yang ditemukan di Padangpariaman. Selain itu belum ada ditemukan naskah fiqh laki-laki. Maka kajian terhadap naskah ini sangat penting setidaknya untuk menjawab dan menjelaskan beberapa pertanyaan; pertama, apa substansi yang diuraikan dalam naskah figh perempuan? Kedua, apa nilai-nilai sosio-kultural yang dikandung oleh naskah tersebut? Ketiga, bagaimana latar belakang sejarah penulisan naskah fiqh perempuan? B. Bintungan Tinggi Tempat Lahir Syech Abdurrahman Pada abad ke-19 masyarakat Minangkabau masih menganut substratum kepercayaan animistik.6 Masyarakat percaya kepada roh-roh. Segala kejadian pada masyarakat dikaitkan dengan keberadaan kekuatan roh, kepada dukun atau pawang masyarakat biasanya meminta perlindungan dari marabahaya. Dukun atau pawang adalah orang yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan roh. Kepercayaan ini mulai memudar seiring masuknya Islam pada abad ke-16 melalui Tiku, pelabuhan utama di Pantai Barat, kemudian ke Ulakan.7 Pada tahun 1070 H Islam mengalami 6 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi,Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847. (Jakarta: Komunitas Bambu. 2008), hlm.185. 7 Ibid., hlm. 189.
100 |
Analisis Sejarah perkembangan yang pesat seiring kepulangan Syech Burhanuddin dari Aceh.8 Syech Burhanuddin mengembangkan agama Islam di Minangkabau dan memusatkannya di Ulakan. Ulakan terletak ditepi pantai samudera Indonesia. Nagari ini berbatas: sebelah Utara dengan kecamatan Nan Sabaris; sebelah Selatan dengan kecamatan Batang Anai; sebelah Barat dengan Samudra Indonesia; sebelah Timur dengan kecamatan Perwakilan Lubuk Alung dan Sintuk. Sekarang nagari Ulakan termasuk ke dalam wilayah kecamatan Ulakan Tapakis yang terdiri dari 12 desa.9 Ulakan merupakan daerah penting dalam sejarah Islamisasi di Minangkabau. Sejak paroh pertama abad ke-17 Ulakan sudah menjadi pusat penyebaran Islam di rantau Pesisir Minangkabau yang dipimpin oleh Syech Burhanuddin atau Tuanku Ulakan.10 8
Adriyetti Amir, ”Sejarah Ringkas Aulia Allah Al-Shalihin”. Padang: Fakultas Sastra Unand. 2001), hlm. 4. 9 Suryadi. ”Syair Sunur Teks dan Konteks Seorang Ulama Minangkabau Abad ke-19.” (Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau 2004), hlm. 86. 10 Ibid., hlm. 87. Syech Burhanuddin adalah ulama pertama yang mempelopori penggunaan surau untuk mengajarkan agama Islam (religious center) di Minangkabau dan selanjutnya memainkan peran penting dalam menguatkan Islamisasi di kalangan penduduk Padang Pariaman yang kemudian meluas ke Darek. Institusi surau telah lama ada di Minangkabau jauh sebelum masuknya Islam. Pada masa pra-Islam, surau berfungsi sebagai tempat berkumpul, rapat dan tempat tidur kaum laki-laki.10 Sistem mantrilinial di Minangkabau secara konvensional tidak menyediakan kamar bagi laki-laki dirumah ibunya. Sebelum menikah laki-laki tidur di surau. Kamar dan rumah hanya milik perempuan. Setelah menikah laki-laki
Volume 03 Tahun 2013
Pengaruh Ulakan dan Syech Burhanuddin sangat kuat terhadap perkembagan Islam di Minangkabau khususnya di Bintuangan Tinggi. Sampai sekarang masih diungkapkan masyarakat ungkapan yang berbunyi “Salareh Sunua Kurai Taji, Pauah Kamba jo bintuang Tinggi, pucuak bajampuan di Ulakan”. Artinya bahwa Ulakan merupakan pusat perkembangan Islam dengan mulai berkembang ke daerah Sunua Kurai Taji, Pauah Kamba dan Bintungan Tinggi, dan berlanjut ke daerah-daerah lain di Minangkabau, seperti Padang dengan surau Batang Kabung Tabing dan surau Paseban. Desa Bintungan Tinggi, tempat tinggal dan hidup Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi termasuk ke dalam wilayah administrasi kecamatan Nan Sabaris Nagari Padang Bintungan.11 Salah satu manuskrip yang ditulis oleh ahli waris sang Syech menyebutkan bahwa ranji ilmu dan keturunan Syech Abdurrahman ditelusuri dari Syech Burhanuddin Ulakan. Salah seorang murid dari ulama yang belajar agama tinggal di rumah kaum istri sebagai urang sumando. Posisinya pun tidak kuat, yaitu ibarat abu di atas tunggul. Jika terjadi perceraian atau ditinggal meninggal oleh istrinya, laki-laki kembali menginap di surau. Surau merupakan bangunan peninggalan kebudayaan masyarakat setempat sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kaum, suku atau indu. Ia didirikan oleh suatu kaum tertentu sebagai bangunan pelengkap rumah gadang, di sini beberapa keluarga yang Saparuik (berasal dari satu perut / keturunan) di bawah pimpinan seorang datuk (penghulu kepala suku berdiam. Ia berfungsi sebagai tempat bertemu, brkumpul, rapat dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil balig dan orang tua yang telah uzur. Lihat juga Azra, op.cit., hlm. 8. 11 Pemda daerah tingkat I Sumatera Barat (1975), hlm. 9.
101 |
Analisis Sejarah kepada Syech Burhanuddin Ulakan adalah Syech Tabad Yada. Beliau merupakan kakek dari Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi. Syech Abdurrahman lahir pada tahun 1243 H atau 1827 M. Beliau meninggal pada tanggal 17 Rabiul-awal tahun 1342 H atau 1923 M. Ayahnya bernama Syech Ibnu Muttaqin dan ibunya bernama Pik Manah bersuku Sikumbang. Semasa hidupnya Syech Abdurrahman menjadi panutan bagi masyarakat Bintungan Tinggi. Ketika masyarakat Bintungan Tinggi mengalami bencana seperti padi di sawah mereka dimakan tikus maka, mereka akan melakukan tolak bala. Kegiatannya dimulai dari pintu gobah atau kuburan Syech Abdurrahman, selanjutnya berputar mengelilingi kampung sambil berzikir. Sampai saat ini pun masyarakat masih percaya jika ada getaran di gobah Syech Abdurrahman maka akan terjadi sesuatu yang tidak baik. Misalnya, ada salah seorang anggota kaum yang akan meninggal atau bencana lainnya.12 C. Fiqh Cinta untuk Malai Naskah “Fiqh Perempuan” Syech Abdurrahman tidak bisa dilepaskan dari situasi sosial-budaya yang mengitari kelahirannya. Untuk itu bisa dijelaskan bahwa naskah “Fiqh Perempuan” ini dipengaruhi oleh dua hal; pertama, secara struktural, kedua, secara kultural. Sejak abad ke-19 tekanan kolonial belanda terhadap umat Islam Minangkabau secara politik dan ekonomi sangat kuat. Di sisi lain, ide-ide
Volume 03 Tahun 2013
pembaharuan keagamaan di segala bidang semakin gencar masuk ke Minangkabau.13 Kondisi ini secara perlahan telah mengubah sistem keluarga batih ke sistem keluarga inti. Proses ini, menurut Taufik Abdullah, memperlemah hubungan mamak kemenakan yang dalam sisitem kekerabatan matrilinial Minangkabau merupakan salah satu aspek penting. Dalam kelurga inti perantau, setahap demi setahap ayah mengambil peran mamak yang selama ini bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Pengalihan tanggung jawab anak-anak dari mamak kepada ayah ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan surau.14 Naskah Fiqh Perempuan ini merupakan hasil dari perubahan yang terjadi di Minangkabau. Syeh Abdurrahman, mengambil alih peran saudara laki-laki istrinya dalam mendidik anak dan keluarganya. Naskah Fiqh Perempuan ini diperuntukan bagi anak dan istrinya. Namun, sulit untuk menelusuri dasar-dasar pemikiran dan tahun lahirnya naskah “fiqh perempuan” ini. Dalam kitab “fiqh perempuan” ini pun tidak dapat ditemukan kapan ditulis atau diakhiri sebagaimana sering ditemukan dalam naskah-naskah klasik Minangkabau lainnya, misalnya, Syair Syech Sunur. Namun dari sejumlah data-data yang ditemukan di lapangan, kemungkinan naskah ini ditulis ketika istrinya, Malai menunaikan haji ke Makkah. Tampaknya Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi 13
12
2009.
Wawancara, dengan Asril Maaz, 14 Juni
Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan...., op.cit., hlm. 17. 14 Ibid., hlm. 18.
102 |
Analisis Sejarah berusaha memberikan bimbingan praktis kepada sang istri. Pada tahun 1337 H/1917 M Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi menunaikan haji terakhirnya bersama istri tercinta Siti Malai dan anak perempuannya Ummy Asiah.15 Jadi sebelum keberangkatan itu naskah fiqh perempuan ini sudah terlebih dahulu diajarkan beliau kepada istri dan anak perempuannya. Naskah ini juga menjadi acuan bagi perempuan-perempuan Minangkabau daerah Pesisir Pantai Barat yang naik haji. Karena Syech Abdurrahman juga bertugas sebagai kepala jamaah haji di kawasan tersebut. Dalam Fiqh Perempuan ini Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi menulis beberapa permasalahan haji bagi perempuan, yaitu tawaf, sai, ihram, dan dua adab berhias bagi perempuan yang menunaikan haji. Syech Abdurrahman menulis bahwa tawaf dengan kebaikan dan membaca do’a dihantarkan kedua tangan. Selain itu, dia juga menjelaskan apa itu sai dan wukuf dan bermalam di Mina merupakan rukun dari pada rukun haji. Dalam hal melontar jumrah dilakukan tujuh kali, harus dalam keadaan yakin menggunakan kedua tangannya. Tidak boleh menggunakan kaki karena menggunakan kaki berarti menghina akan sesuatu. Hendaklah menngunakan batu yang suci, besar batu itu kira-kira sebesar biji kacang polong. Sunat jika mambasuh batu itu. Wajib dam bila kekurangan melontar atau 15
Asril Maaz, ”Sekilas Sejarah Syeh Abdurrahman Bintungan TInggi dan Gobah Syeh Bintungan Tinggi sebagai Makam Syeh Bintungan Tinggi dan Istrinya Hj. Siti Malai Keluarga dan Keturunan”,. Manuskrip (Pariaman: 2009), hlm. 5.
Volume 03 Tahun 2013
mengulang kembalai melontar pada hari tasrik berikutnya. Dalam kitabnya ini Syech Abdurrahman menjelaskan dua adab penting bagi perempuan, yakni berhias dan berpakaian yang pantas. Dalam hal berhias, ia menjelaskan bahwa Tiada haram bagi perempuan memakai kain yang berwarna. Salahlah jika memakai kain yang ada baunya. Haram memakai haruman kebadan dan kepakaian. Tidak haram mencium baun air mawar dan kasturi. Sementara untuk berpakaian, Syech Abdurrahman menjelaskan, wajib bagi perempuan menutup auratnya. Jika tidak, lebih baik dia menyelam ke dalam air yang kumuh sekalipun, maka yang sekalian tersebut tidaklah haram. Tidak haram bagi perempuan menutup kepalanya karena akan menjaganya dari panas atau dingin atau karena mengobati luka pada kepalanya. Janganlah menutup muka saat ihram dan jika ditutup maka wajiblah membayar fidiyah. Selain itu, haram baginya mencabut sehelai rambut atau bulu mata, untuk menghias walaupun menggunakan minyak zaitun. Wajib atasnya dam dan makruh baginya menggaruk rambutnya dengan kukunya. Awal abad ke-20 mulai terjadi perubahan pendidikan surau kepada pendidikan pesantren atau sekolah umum seiring kemunculan gerakan pemikiran Islam yang dipelopori oleh Haji Abdul Karim Amrulah (Haji Rasul), Abdullah Ahmad, Zainudin Labai dan banyak lagi. Sistem halaqah tidak dipakai lagi. Masyarakat mulai menganggap pendidikan ilmu penegetahuan umum dan teknologi lebih penting dari pada ilmu agama dan adat. Zainuddin Labai, salah seorang ulama 103 |
Analisis Sejarah muda yang terpandai dan murid dari Haji Rasul, menjadikan sekolah pemerintah (kolonial Belanda) sebagai model untuk sekolah agama dasarnya sendiri. Sekolah tersebut adalah sekolah Diniyah, bahkan di sekolah ini pun diperbolehkan perempuan mengikutinya.16 Selain itu, wafatnya Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi pada tahun 1923 M menjadi simbol keterpurukan surau seiring makin menguatnya gerakan Kaum Muda di awal abad ke-20 ini. Gerakan ini secara garis besar lebih banyak menggunakan buku-buku rujukan dari pemikiran Muhammad Abduh dan Jalaludin Al Afghani yang secara jelas menganjurkan sebuah modernisme Islam. Para pembaru tahun ini juga menganjurkan sebuah pencapaian umat yang linear dengan Barat. Secara perlahan tapi pasti, surau mulai ditinggalkan dan naskah tidak lagi dijadikan rujukan dalam pengajaran. Pendidikan pesantren memakai buku-buku dari Arab, sehingga, naskah-naskah mengalami kehancuran dan banyak yang dibeli dan diambil oleh para peneliti luar negeri seperti Malaysia. D. Kesimpulan Pengalihbahasaan yang telah dilakukan terhadap naskah Fiqh Perempuan Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi ditemukan bahwa kitab ini lebih banyak memfokuskan terhadap persoalan haji bagi perempuan. Tampaknya bagi Syech Abdurrahman, penulisan kitab khusus tentang fiqh 16
Lihat, Taufik Abdullah, School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera (1927-1933). Tesis, (Ithaca: Cornell University, 1971), hlm. 71.
Volume 03 Tahun 2013
perempuan ini diperlukan ketika tingginya para perempuan Pariaman menunaikan rukun Islam kelima ke Makkah. Namun kajian lebih lanjut terhadap karya dan pribadi Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi sangat dibutuhkan dan belum ada yang menulisnya secara tuntas, termasuk puluhan karyanya yang lain. Saat ini para peneliti Islam dan naskah di Sumatera Barat terlalu menitikberatkan pada ulama-ulama surau di wilayah sekitar Ulakan, atau yang terkait dengan Syech Burhanuddin Ulakan. Maka dari itu, penelitian ini bisa dijadikan pijakan awal bagi penelitian lebih lanjut menyangkut naskah-naskah atau manuskrip Syech Bintungan Tinggi dan perannya dalam sejarah dinamika Islam di Sumatera Barat. Selain itu naskah dan sejarah Syech Abdurrahman mestinya bisa menjadi acuan dalam pembuatan dan penerapan perda-perda syariah di Sumatera Barat. Dahulu masyarakat Minangkabau patuh kepada peraturan pemerintah dan menjalankan fatwafatwa ulama. Namun pada saat ini ulama tidak lagi mendapat posisi yang tepat. Semua aturan sudah diambil alih oleh pemerintah. Semestinya pemerintah memerintah dalam ranah politik dan ulama mengendalikan ruang keberagamaan. Kalau pun tidak demikian, sekurang-kurangya pemikiran ulama dibutuhkan dalam menetapkan perda-perda syariah tesebut. Contohnya dalam menetapkan wajibnya bagi siswa SD, SMP dan SLTA sederajat memakai pakaian muslim. Perda ini sampai sekarang masih meninggalkan masalah karena pemerintah memerintah semua siswa memakai pakaian muslim 104 |
Analisis Sejarah termasuk siswa non muslim. Jika sebelum perda ini ditetapkan pemerintah
Volume 03 Tahun 2013
mengikutsertakan ulama tentu tidak akan terjadi konflik. []
Daftar Pustaka Abdullah, Taufik. 1971. School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera (1927-1933). Ithaca: Cornell University. Amir, Adriyetti. 2001. Sejarah Ringkas Aulia Allah Al-Shalihin. Padang: Fakultas Sastra Unand. Azra, Azyumardi. 2003. Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847. Jakarta: Komunitas Bambu. Fathurahman, Oman. 2003. ”Tarekat Syatarriyah di Dunia Melayu-Indonesia: Kajian Atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah di Sumatera Barat.” Disertasi. Jakarta: Pasca Sarjana UI. Fathurrahman, Oman. 2004. ”Kearifan Lokal Dalam Tradisi Pernaskahan Keagamaan di Sumatera Barat”. Makalah Seminar Internasional Minangkabau, di Padang (23-25 Agustus). Ma’az, Asril. 2009. ”Sekilas Sejarah Syech Abdurrahman Bintungan Tinggi dan Gobah Syech Bintungan Tinggi sebagai Makam Syech Bintungan Tinggi dan Istrinya Hj. Siti Malai Keluarga dan Keturunan”. Manuskrip. Suryadi. 2004. Syair Sunur Teks dan Konteks Seorang Ulama Minangkabau Abad ke-19. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. Yusuf, M, dkk.. 2004. ”Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau.” Laporan Penelitian, Kelompok Kajian Puitika. Padang: Fakultas Sastra Unand. Zuriati. 2004. Rekonstruksi Mata Kuliah Diktat Telaah Naskah. Padang: Jurusan Sastra Daerah Prodi Bahasa dan Sastra Minangkabau. -------. 2007. Undang-Undang Minangkabau Dalam Perspektif Ulama Sufi. Padang: Fakultas Sastra Unand. Wawancara, dengan Asril Maaz 14 Juni 2009.
105 |