ANALISIS PERAN PENDIDIKAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DALAM MENGURANGI TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA
DIAN RAHMADHANI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Peran Pendidikan dan Distribusi Pendapatan dalam Mengurangi Tingkat Kemiskinan di Indonesia adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2015 Dian Rahmadhani NIM H14110009
ABSTRAK DIAN RAHMADHANI. Analisis Peran Pendidikan dan Ditribusi Pendapatan dalam Mengurangi Tingkat Kemiskinan di Indonesia.Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI. Tingkat kemiskinan Indonesia selama periode tahun 2005 sampai tahun 2013 menunjukan tren yang menurun, namun tidak diiringi pendistribusian pendapatan yang merata. Hal ini dijelaskan pada data yang diperoleh dari BPS bahwa indeks gini Indonesia dari tahun 2005 sampai tahun 2013 meningkat, sehingga menunjukan terjadinya ketimpangan disaat kemiskinan menurun. Pendidikan menjadi salah satu cara selain distribusi pendapatan dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Penelitian ini melihat perkembangan indeks gini dan indikator-indikator pendidikan pada 33 provinsi di Indonesia mulai tahun 2005 sampai 2013.Indikator pendidikan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan angka partisipasi sekolah.Ketiga indikator pendidikan ini menunjukan peningkatan selama tahun 2005 sampai tahun 2013.Hasil penelitian ini menunjukan bahwa indeks gini berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Angka melek huruf memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia, sedangkan rata-rata lama sekolah dan angka partisipasi sekolah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Kata Kunci : angka melek huruf, angka partisipasi sekolah, indeks gini, tingkat kemiskinan, rata-rata lama sekolah.
ABSTRACT DIAN RAHMADHANI. The Role of Education and Income Distribution Analysis on Poverty Alleviation in Indonesia.Supervised by WIWIEK RINDAYATI. The poverty of Indonesia during the period from 2005 to 2013 showed the downward trend, but not accompanied by the equality of income distribution. It is described on the data obtained from BPS that the gini index of Indonesia from 2005 to 2013 incereased, so that shows the inqualty when the poverty declined. Education became one of method the alleviation poverty beside income distribution. This research show the expansion of gini index and indicators of education in 33 province in Indonesia start from 2005 to 2013. In this research, indicators of education are literacy rate, mean years of schooling and school enrollment rate. The third indicators shows the improvment of education during 2005 to 2013. This research indicate that the gini index has a significant negative effect to Indonesian poverty rates. The literacy rate has a negative effect and unsignificant effect to Indonesian poverty, while the meanyears of schooling and school enrollment rates have a significant and negative effect to Indonesian poverty rates. Keyowords: gini index, literacy rates, mean years of schooling, school enrollment rates, the poverty rate.
ANALISIS PERAN PENDIDIKAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DALAM MENGURANGI TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA
DIAN RAHMADHANI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi :Analisis Peran Pendidikan dan Distribusi Pendapatan dalam Mengurangi Tingkat Kemiskinan di Indonesia Nama : Dian Rahmadhani NIM : H14110009
Disetujui oleh
Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tak lupa salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi dan Rasul termulia Muhammad SAW beserta keluarganya dan sahabatnya yang setia hingga akhir zaman. Skripsi yang berjudul “Analisis Peran Pendidikan dan Distribusi Pendapatan dalam Mengurangi Tingkat Kemiskinan di Indonesia”, ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penulisan skripsi ini untuk menganalisis peran pendidikan dan distribusi pendapatan dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Syafwan Enedi, S.E dan Ibu Vera Andriani serta ketiga adik tercinta dari penulis, Dwi Kartikayani, Rizqi Hidayat, dan Maulidya Maharani atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, MS selaku dosen penguji utama dan Ibu Dr. Eka Puspitawati selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis. 4. Teman satu bimbingan, Dodo, Vina, Runis, dan Mei yang telah memberikan masukan dan doa. 5. Teman-teman Ilmu Ekonomi 48, Siska, Zulva, Tika, Aulia, Dita, Etik, Khodijah, Rhealin, Widya G, Rahmi, Feri, Faisal, Faris, Randy, Rachmat, Dijeh, Deny, dan yang lainnya atas dukungan dan motivasinya. 6. Keluarga OMDA Padang dan Sumedang, Taofik, Angga, Agus, Rizky, Paguyuban KSE IPB, Keluarga XLFL Batch III,dan Keluarga HIPOTESA yang telah memberikan motivasi dan doa. 7. Semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2015 Dian Rahmadhani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
4
Kemiskinan
4
Distribusi Pendapatan
5
Pendidikan
7
Mekanisme Hubungan Kinerja Pendidikan dan Distribusi Pendapatan dengan Tingkat Kemiskinan 7 Kerangka Pemikiran
8
Penelitian Terdahulu
10
Hipotesis Penelitian
11
METODE PENELITIAN
11
Metode Analisis dan Pengolahan Data
11
Analisis Deskriptif
12
Analisis Kuantitaif
12
Metode Pemilihan Model
13
Uji Kesesuaian Model
14
Model Penelitian
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
16
Perkembangan Kemiskinan di Indonesia
16
Perkembangan Distribusi Pendapatan di Indoensia
19
PerkembanganPendidikan di Indonesia
20
Analisis Peran Pendidikan dan Distribusi Pendapatan dalam Mengurangi Tingkat Kemiskinan di Indonesia
26
SIMPULAN DAN SARAN
33
Simpulan
33
Saran
33
DAFTAR PUSTAKA
35
LAMPIRAN
37
RIWAYAT HIDUP
39
DAFTAR TABEL 1 Hasil estimasi panel data peran pendidikan dan distribusi pendapatan dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia
27
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 2005-2013 Indeks gini Indonesia tahun 2005-2013 Lingkaran kemiskinan menurut G. Myrdall Kurva Lorenz Kurva Kuznets “U-Terbalik” Kerangka pemikiran Perkembangan tingkat kemiskinan per-provinsi tahun 2005 dan 2013 Rata-rata tingkat kemiskinan empat provinsi terendah dan tertinggi tahun 2005-2013 Indeks gini per provinsi di Indonesia tahun 2005 dan 2013 Rata-rata indeks gini empat provinsi terendah dan tertinggi tahun 20052013 Persentase angka melek huruf per-provinsi di Indonesia tahun 2005 dan 2013 Rata-rata persentase angka melek huruf empat provinsi terendah dan tertinggi tahun 2005-2013 Rata-rata lama sekolah per-provinsi di Indonesia tahun 2005 dan 2013 Rata-rata lama sekolah empat provinsi terendah dan tertinggi tahun 2005-2013 Persentase angka partisipasi sekolah per-provinsi di Indonesia tahun 2005 dan 2013 Rata-rata persentase angka partisipasi sekolah empat provinsi terendah dan tertinggi tahun 2005-2013
1 2 5 6 7 9 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Hasil estimasi FEM Hasil uji Chow Hasil uji Heteroskedastisitas Korelasi antar variabel Uji normalitas
37 37 38 38 38
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi tidak hanya melalui pertumbuhan ekobomi, tetapi juga melihat adanya pemerataan, peningkatan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dan pengentasan kemiskinan.Hal ini dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data BPS pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa kondisi tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2005 sampai 2013 menunjukan rata-rata yang menurun. Namun pada tahun 2006 terjadi peningkatan sebesar 17.75% dibandingkan tahun 2005 sebesar 15.97%. Peningkatan ini disebabkan oleh tingginya inflasi akibat kombinasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan gejolak harga pangan, terutama beras TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan)dalam Nugroho (2012).Target APBN untuk tingkat kemiskinan di tahun 2013 adalah sebesar 9.5%-10.5%, namun hal ini tidak tercapai karena tingkat kemiskinan pada bulan September 2013 sebesar 11.47%.Kenaikan tingkat kemiskinan ini disebabkan terutama karena tingkat inflasi yang lebih tinggi.Tingginya tingkat inflasi ini salah satu penyebabnya adalah kenaikan harga bahan pokok makanan akibat dampak kenaikan BBM pada bulan Juni 2013. 18
15.97
17.75 16.58
Persentase
15
15.42
14.15
12
13.33
12.36
11.66 11.47
9 Tingkat Kemiskinan
6 3 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun
Sumber: BPS, 2013
Gambar 1 Tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 2005-2013 Salah satu upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan ini adalah dengan distribusi pendapatan yang merata.Namun pada saat tingkat kemiskinan yang menurun, ketimpangan di Indonesia cenderung meningkat artinya distribusi pendapatannya tidak merata, yang mana hal ini direpresentasikan oleh indeks gini.Dapat dilihat pada Gambar 2 bahwa indeks gini yang semakin meningkat semenjak tahun 2008 hingga 2013. Beberapa penyebab meningkatnya indeks gini ini adalah ketimpangan dalam distribusi aset, rendahnya kredit untuk UMKM, besarnya pekerja di sektor informal dengan pendapatan yang rendah dan tidak ada jaminan dalam kepastian usaha, salahnya sasaran kebijakan pemerintah terkait subsidi BBM dan listrik.
2 0.41
0.420 0.400 0.380
0.363
0.37
0.364
0.41
0.413
0.38
0.35
0.360
Indeks Gini
0.340 0.320 0.300 2005
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun
Sumber:BPS,2013
Gambar 2 Indeks gini Indonesia tahun 2005-2013 Upaya lain dalam mengurangi tingkat kemiskinan adalah memperbaiki kualitas SDM lewat tingkat pendidikan. Dengan adanya pendidikan, masyarakat bisa meningkatkan asksesnya terhadap lapangan pekerjaan yang lebih produktif. Meningkatnya produktivitas ini maka masyarakat akan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi sehingga dampak positif dari hal ini adalah kemiskinan yang berkurang. Pentingnya peran pendidikan ini juga didukung oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2003.Undang-undang ini menyatakan bahwa pemerintah harus mengalokasikan anggaran di sektor pendidikan formal minimal 20% dari APBN (Anggaran Pendaatan Belanja Nasional) dan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) selain gaji pendidik dan biaya kedinasan. Keseriusann pemerintah unutk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia juga tercantum dalam Pasal 34 UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) yang menjelaskan bahwa wajib belajar merupakan program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh seluruh warga Indonesia. Undang-undang ini juga didukung dengan adanya program pemerintah sejak bulan Juli 2005 yaitu program Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Perumusan Masalah Kondisi tingkat kemiskinan di Indonesia yang menunjukan tren menurun dari tahun ke tahun belum merepresentasikan kesejahteraan di masing-masing provinsi merata.Secara keseluruhan memang tingkat kemiskinan menurun di Indonesia.Namun masih terdapat beberapa provinsi memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, hal ini menunjukan masih kurangnya upaya dalam pengentasan kemiskinan di wilayah tersebut.Masih terdapat pula beberapa program pemerintah yang belum sukses, seperti bantuan subsidi untuk masyrakat miskin yang dinikmati oleh golongan menengah atas. Beberapa cara dalam mengurangi tingkat kemiskinan yaitu distribusi pendapatan yang merata, peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan program-program pemerintah lainnya seperti RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional). Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, kemiskinan di Indonesia sudah mulai
3 menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.Namun masih terjadi ketimpangan pendapatan disaat tingkat kemiskinan yang menurun itu, sedangkan distribusi pendapatan diharapkan dapat mengurangi kemiskinan di Indonesia.Kondisi ini terjadi karena bantuan yang diberikan kepada masyarakat terkait mengurangi tingkat kemiskinan hanya lebih besar dirasakan oleh masyarakat golongan menengah atas, sedangkan masyarakat golongan bawah mendapatkan porsi yang lebih sedikit. Hal ini yang menyebabkan kemiskinan di Indonesia menurun, namun untuk tingkat kesejahteraan pada golongan bawah masih belum merata. Salah satu cara lainnya dalam mengurangi tingkat kemiskinan yaitu peningkatan kualitas SDM melalui Pendidikan. Pada asumsi awal ini, pendidikan berperan penting dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia dalam jangka panjang apabila masuk kedalam sektor tenaga kerja, karena pendidikan dapat memberikan pendapatan yang lebih bagi seseorang.Tidak hanya distribusi pendapatan yang timpang antar daerah, pendidikan pun juga mengalami ketimpangan antar provinsi di Indonesia. Tentunya hal ini menjadi tanda tanya bagi masyarkat, melihat kondisi bahwa distribusi pendapatan dan pendidikan pun masih belum merata di setiap provinsi di Indonesia. Oleh karena itu permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan pendidikan, distribusi pendapatan, dan tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 2005-2013? 2. Apakah pendidikan dan distribusi pendapatan sangat mempengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia?
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui perkembangan pendidikan, distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 2005-2013 2. Menganalisis peran pendidikan dan distribusi pendapatan dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia
Manfaat Penelitian 1. Bahan untuk mengetahui pentingnya peran pendidikan dan distribusi pendapatan dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia, sehingga akan tercapai masyarakat yang lebih sejahtera. 2. Bahan masukan untuk pemerintah dalam menentukan kebijakan terkait dengan pengurangan kemiskinan, serta mendorong pemerintah untuk lebih memerhatikan tingkat pendidikan dan berupaya untuk mengurangi ketimpangan pendapatan di Indonesia.
4 Ruang Lingkup Penelitian Pengurangan tingkat kemiskinan merupakan hal yang ingin dicapai disetiap negara terutama di Indonesia. Adanya pemerataan baik dari pendidikan maupun pendapatan dan faktor-faktor lainnya, tentu akan berpengaruh dalam mengurangi tingkat kemiskinan tersebut. Peneltian ini mengidentifikasi perkembangan pendidikan, ketimpangan distribusi pendapatan, kemiskinan serta pengaruh pendidikan dan distribusi pendapatan terhadap kemiskinan di Indonesia.Pada penelitian ini difokuskan pada 33 provinsi di Indonesia mulai tahun 2005 sampai tahun 2013. Ruang lingkup distribusi pendapatan yaitu melalui indeks gini 33 provinsi di Indonesia untuk mengetahui besarnya suatu ketimpangan, sedangkan ruang lingkup pendidikan yang diteliti adalah indikatorindikator pendidikan seperti: angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan angka partisipasi sekolah.
TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan Setiap negara memiliki aspek kemiskinan yang berbeda-beda. Menurut Baldwin dan Meier ada enam sifat ekonomis yang terdapat di negara-negara miskin atau sedang berkembang yaitu: 1. Produsen Barang-barang Primer Negara sedang berkembang identik dengan penduduknya yang bekerja di sektor pertanian dan produksi primer non-pertanian.Yang dimaksud dengan produksi primer adalah produksi dari sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Pada umumnya penduduk di negara sedang berkembang yang bekerja di sektor produksi primer meliputi jumlah lebih dari 60%, di sektor produksi sekunder kurang dari 20%, dan di sektor produksi tersier kurang lebih sejumlah 20%. Konsentrasi pada produksi primer ini disebabkan karena negara-negara sedang berkembang itu memiliki faktor-faktor produksi tanah dan tenaga kerja yang relatif banyak. 2. Masalah Tekanan Penduduk a. Adanya “pengangguran” di desa-desa b. Kenaikan jumlah penduduk yang pesat c. Tingkat kelahiran yang tinggi. 3. Sumber-sumber Alama Belum Banyak Diolah 4. Penduduk Masih terbelakang. 5. Kekurangan Kapital 6. Orientasi ke Perdagangan Luar Negeri Permasalahan mengenai kemiskinan juga dijelaskan dalam teori lingkaran kemiskinan yang dikembangkan oleh Gunnar Myrdall dan Nurke dan membagi kedalam dua konsep yang berbeda. Lingkaran Kemiskinan merupakan suatu rangkaian kekuatan-kekuatan yang saling mempengaruhi satu sama lainnya, sehingga menimbulkan keadaan di mana suatu negara akan tetap miskin. Teori lingkaran kemiskinan Nurke menjelaskan bahwa dalam lingkaran kemiskinan yang terpenting adalah keadaan-keadaan yang menyebabkan timbulnya hambatan
5 dalam pembentukan modal yang tinggi. Menurut Nurke terdapat dua jenis lingkaran kemiskinan yang menghalangi negara-negara berkembang untuk mencapai tingkat pembangunan yang pesat, yaitu dari sisi penawaran modal dan sisi permintaan modal (Damanhuri 2010) Teori lingkaran kemiskinan menurut Gunnar Myrdall sangat bertentangan dengan teori yang dijelaskan oleh Nurke.Menurut Myrdall kemiskinan bukan terletak pada persoalan modal semata, namun lebih dikarenakan lewat kurangnya gizi, pendidikan dan kebutuhan dasar lainnya.Myrdall menjelaskan bahwa kondisi kemiskinan itu diawali dari pendapatan yang rendah mengakibatkan gizi yang buruk, sehingga menyebabkan kesehatan yang juga buruk. Hal ini tentu akan menyebabkan rendahnya produktivitas yang juga akan berdampak lagi kepada pendapatan yang rendah, dan akhirnya menyebabkan kemiskinan seperti pada Gambar 3. Pemikiran Myrdall ini pun menjadi strategi pemenuhan kebutuhan dasar (basic need strategy) yang diterapkan oleh ILO (International Labour Organication) untuk memecahkan masalah kemiskinan di negara berkembang. Pendapatan Penduduk Rendah
Negara Miskin
Produktivitas Penduduk Rendah
Pendapatan Daerah
Kualitas Kesehatan Penduduk Rendah
Kualitas Gizi Penduduk Rendah
Sumber: Damanhuri, 2010
Gambar 3 Lingkaran kemiskinan menurut G. Myrdall Distribusi Pendapatan Distribusi Pendapatan lebih tidak merata di negara sedang berkembang daripada di negara maju. Penelitian yang dilakukan Bank Dunia dan Institute of Development Studiesdari Universitas Sussex, menghasilkan analisis Ahluwalia yang menjelaskan adanya distribusi pendapatan relatif dan mutlak. Distribusi pendapatan relatif adalah perbandingan jumlah pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan penerima pendapatan, dan penggolongan ini didasarkan kepada besarnya pendapatan yang diterima.Distribusi pendapatan mutlak adalah persentase jumlah penduduk yang pendapatannya mencapai suatu tingkat pendapatan tertentu atau kurang dari itu. Analisis ini juga menggolongkan para penerima pendapatan dalam tiga golonga, yaitu: 40 persen penduduk yang
6 menerima pendapatan paling rendah, 40 persen penduduk berpendapatan menengah, dan 20 persen penduduk berpendapatan paling tinggi. Kurva Lorenz merupakan kurva yang menghubungkan persentase penduduk dengan persentase pendapatan.Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal (garis pemerataan sempurna) maka distribusi pendapatan semakin tidak merata.Kurva Lorenz yang semakin melengkung mendekati sumbu horizontal menunjukan ketidakmerataan distribusi pendapatan, dan semakin mendekati garis diagonal maka distribusi pendapatannya merata. Beberapa ukuran ketimpangan yang sering digunakan adalah Indeks Gini, Indeks Theil dan ukuran ketimpangan dari Bank Dunia, namun dalam penelitian ini ukuran ketimpangan yang digunakan adalah indeks gini. Perhitungan indeks gini bisa melalui kurva Lorenz seperti pada penjelasan sebelumnya dan dapat dilihat pada Gambar 4.
Persentase Pendapatan
Indeks Gini =
D
A
Persentase Populasi Persentase B Populasi
C
Sumber: Todaro dan Smith, 2006
Gambar 4 Kurva Lorenz Menurut Todaro dan Smith (2006), hubungan pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan diteliti oleh Simon Kuznets yang menjelaskan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatan akan membaik. Hipotesis ini pun dikenal dengan kurva Kuznets “U-Terbalik” seperti terlihat pada Gambar 5, karena perubahan longitudinal (time series) dalam distribusi pendapatan, misalnya indeks gini- tampak seperti kurva berbentuk U-terbalik, seiring dengan naiknya GNI (Gross National Income) per kapita. Pada kurva Kuznets menjelaskan bahwa proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern, seiring dengan perkembangan sebuah negara dari perekonomian tradisional ke perekonomian modern. Imbalan yang diperoleh dari investasi di sektor pendidikan mungkin akan meningkat terlebih dahulu, karena sektor modern yang muncul memerlukan tenaga kerja terampil, namun imbalan ini akan menurun karena penawaran tenaga kerja terdidik meningkat dan penawaran tenaga kerja tidak terdidik menurun. Walaupun Kuznets tidak
7 menyebutkan mekanisme yang dapat menghasilkan kurva U-terbalik ini, secara prinsip hipotesis tersebut konsisten dengan proses bertahap dalam pembangunan ekonomi. Indeks Gini
0
GNI per kapita
Sumber: Todaro dan Smith (2006)
Gambar 5 Kurva Kuznets “U-Terbalik” Pendidikan Negara-negara yang sedang berkembang (non-OECD/non- Organization for Economic Co-operation and Development) perhatian terhadap pendidikan sebagai upaya pengembangan sumberdaya manusia relatif kurang. Hal ini disebabkan oleh beberapa (1) rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai sarana pengembangan sumber daya manusia, (2) peralatan dan faisilitas pendidikan serta sarana pendukung lainnya masih relatif terbatas baik kuantitas maupun kualitasnya, (3) masih terbatasnya tenaga-tenaga ahli pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia. (4) bersifat jangka panjang, karena hasilnya baru bisa dilihat setelah satu atau dua dasawarsa kemudian, sehingga cenderung diabaikan, dan (5) terbatasnya dana yang dialokasikan untuk anggaran pendidikan. Todaro (2006) menyatakan bahwa sumber daya modal bukanlah yang sepenuhnya menentukan laju perkembangan ekonomi suatu negara melainkan sumberdaya manusia.Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) kualitas pendidikan suatu negara itu dapat diukur melalui angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan angka partisipasi sekolah.Todaro dan Smith (2006) juga menjelaskan bahwa pendidikan merupakan tujuan pembangunan yang mendasar.Yang mana pendidikan memainkan peranan kunci dalam membentuk kemampuasn sebuah negara dalam menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Mekanisme Hubungan Kinerja Pendidikan dan Distribusi Pendapatan dengan Tingkat Kemiskinan Salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) adalah melalui pendidikan. Pendidikan menjadi cara yang cukup efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Namun hal ini memiliki batasan, dimana pendidikan dapat mengurangi tingkat kemiskinan apabila pendidikan ini masuk kedalam sektor ketenagakerjaan. Masyarakat yang memanfaatkan pendidikannya
8 pada sektor tenaga kerja, maka dia akan memperoleh pendapatan yang lebih baik yang mana akan mengurangi kemiskinan. Pendidikan yang dimaksud disini adalah mereka yang memiliki kemampuan atau soft skillsehingga dapat lebih berperan dalam dunia kerja. Hal ini sesuai dengan Teori Fungsi Sosial yang dikemukakan oleh Bowles dan Gintis (1975) bahwa masyarakat mempunyai satu set pekerjaan yang membutuhkan skill tinggi yang berkaitan dengan besarnya renumerasi, tetapi persediaan tenaga kerja diatur melalui sistem pendidikan dimana yang mempunyai kecakapan lebih akan memperoleh pekerjaan yang lebih menantang. Artinya adalah seseorang yang memiliki soft skill atau kemapuan yang berbeda dari yang lain, maka akan memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Teori ini juga sesuai dengan Teori Crediantialism yang dikemukakan oleh Ivan Berg (1970), bahwa pengusaha tidak memperoleh informasi yang pasti tentang kinerja karyawan dari latar belakang pendidikan. Bagi pengusaha, pendidikan hanya merupakan indikasi statistik yang secara umu menggambarkan bahwa pendidikan kemampuan kinerjanya. Pengusaha menggunakan ijazah pendidikan sebagai basis untuk melakukan seleksi. Teori ini juga didukung oleh Teori Screening oleh Kenneth Arrow (1974) bahwa yang dicari pengusaha adalah karyawan yang produktif dan tinggi kinerjanya, sedangkan pendidikan hanya dianggap sebagai salah satu intrumen untuk menyeleksi dan bukan menggambarka kemampuan pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu, pada penelitian ini pendidikan yang dimaksud adalah mereka yang bisa masuk kedalam sektor tenaga kerja sehingga mampu memberikan pendapatan yang lebih dengan hasil akhir mengurangi tingkat kemiskinan. Setiap negara mengupayakan peningkatan GNI (Gross National Income), namun masalah dasarnya bukan hanya bagaimana untuk menumbuhkan GDP, tetapi juga siapa yang akan menumbuhkan GNI, sejumlah besar masyarakat yang ada dalam sebuah negara atau hanya segelintir orang didalamnya (Todaro dan Smith 2006). Artinya adalah dibutukan adanya pemerataan distribusi pendapatan. Terkait dengan distribusi pendapatan, variabel ini sangat berperan terhadap kesejahteraan masyarakat. Distribusi pendapatan yang merata tentu akan meningkatkan kesejateraan masyarakat, karena mereka mendapatkan hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Namun manfaat GNI hanya dirasakan oleh segelintir orang, hal ini mengindikasikan terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Tentunya ketimpangan ini akan membawa kemiskinan bagi masyarakat karena tingkat kesejateraan mereka tidak sama dengan masyarakat lainnya. Oleh karena itu diperlukannya upaya atau program-program pemerintah untuk mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan ini agar tingkat kemiskinan menjadi turun. Kerangka Pemikiran Suatu perekonomian nasional selalu ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang meningkat.Pertumbuhan ekonomi ini ditandai dengan berhasilnya pembangunan, ketersediaan lapangan pekerjaan, rendahnya tingkat kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi, ketimpangan pendapatan yang rendah, yang mana hal ini berujung kepada kesejahteraan masyarakat. Salah satu tujuan inti yang harus dimiliki dari proses pembangunan adalah peningkatan
9 standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan (Todaro dan Smith 2006). Membentuk SDM yang baik bisa melalui jenjang pendidikan. Melalui pendidikan, maka seseorang akan mendapatkan keahlian dan penguasaan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Terkait dengan pendidikan ini terdapat berbagai indikator yaitu: angka putus sekolah, rata-rata lama sekolah, rasio anggaran belanja pendidikan, PDRB perkapita, serta produktivitas tenaga kerja. Pendidikan merupakan salah satu indikator yang akan menentukan meningkatnya suatu produktivitas yang mana akan mengurangi tingkat kemiskinan. Memberantas kemiskinan juga bisa dilakukan melalui pemerataan distribusi pendapatan.Perekonomian yang meningkat tetapi masih terjadi ketimpangan khusunya pada pendapatan, maka perekonomian di negara tersebut belum bisa dikatakan berhasil.Upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi ini, juga harus diiringi dengan pendistribusian pendapatan yang merata. Ketika distribusi pendapatan yang sudah merata maka tingkat kemiskinan di Indonesia pun akan berkurang lewat adilnya pembagian pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Pertumbuhan Ekonomi
Peningkatan Sumber Daya Manusia
Peningkatan Kesejahteraan
Pendidikan
Distribusi Pendapatan
Peran Pendidikan dalam mengurangi kemiskinan
Peran Distribusi Pendapatan dalam mengurangi kemiskinan
Angka Melek Huruf Rata-Rata Lama Sekolah Angka Partisipasi Sekolah
Indeks Gini
Mengurangi Kemiskinan di Indoneisa Gambar 6 Kerangka Pemikiran
10 Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Janjua dan Kamal (2011) terkait dengan peran pendidikan dan pendapatan dalam mengurangi kemiskinan di 40 negara sedang berkembang berkesimpulan bahwa, pertama pertumbuhan pendapatan perkapita memiliki peran secara keseluruhan dalam mengurangi kemiskinan selama periode penelitiannya yaitu 1999 sampai 2007. Kedua, penurunan ketimpangan pendapatan memiliki peran yang sangat kuat dalam mengurangi kemiskinan di negara berpendapatan perkapita yang tinggi.Ketiga, pendidikan menengah muncul sebagai kontribusi untuk mengurangi kemiskinan.Hasil dari penelitian ini juga menyarankan bahwa pemerintah dalam membuat kebijakan harus memperhatiakan pertumbuhan pendapatan, distribsi pendapatan, dan fokus dalam mempromosikan pendidikan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Barro terkait dengan pendidikan dan pertumbuhan ekonomi menjelaskan bahwa sumberdaya manusia dengan indikator pendidikan menjadi faktor penentu dalam pertumbuhan ekonomi.Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah pertumbuhan berhubungan positif dengan tingkat rata-rata lama sekolah laki-laki pada tingkat pendidikan menengah dan tinggi. Kemampuan dalam menggunakan teknologi menjadi pelengkap pendidikan sehingga akan berperan penting dalam proses pembangunan. Pertumbuhan ekonomi berhubungan negatif dengan rata-rata lama sekolah perempuan pada pendidikan menengah dan tinggi.Hal ini menjelaskan untuk beberapa negara dalam penelitian ini, lama pendidikan yang dimiliki oleh perempuan tidak mempengaruhi dalam pasar tenaga kerja sehingga tidak terjadi pertumbuhan ekonomi.Tingkat pendidikan dasar laki-laki berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi, sedangkan tingkat pendidikan dasar perempuan berhubungan positif dengan pertumbuhan, hal ini dikarenakan pendidikan dasar bagi perempuan dapat mengurangi tingkat kelahiran. Abdullah et al. (2011) melakukan penelitian terkait dengan pendidikan dan ketimpangan pendapatan.Hasil dari penelitian ini adalah pertama, pendidikan memiliki pengaruh yang besar dalam distribusi pendapatan, mengurangi ketimpangan antara golongan menengah ke atas dengan golongan bawah.Kedua, distribusi pendidikan sangat penting, karena dapat mengurangi ketimpangan pendapatan.Tingkat pendidikan menengah beperan dalam mengurangi ketimpangan pendapatan.Ketiga, pada wilayah tertentu, pedidikan di Afrika sangat efektif dalam mengurangi ketimpangan dibandingkan di Asia. Pada penelitian yang dilakukan oleh Puspitaningrum (2013) terkait dengan peran pendidikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia menjelaskan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) tergolong rendah dan sedang. Selama tahun 2006-2011 ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia cenderung meningkat dengan ketimpangan yang lebih besar di KTI.Terkait dengan indikator pendidikan angka putus sekolah, rasio anggaran belanja pendidikan, rata-rata lama sekolah berpengaruh dalam mengurangi ketimpangan pendapatan di Indonesia. Indikator rata-rata lama sekolah berhubungan positif dengan ketimpangan pendapatan, hal ini didukung dengan hipotesis Kuznets karena pada saat rata-rata lama sekolah akan memberikan upah yang lebih tinggi
11 sedangkan masih terdapat golongan bawah yang tidak mampu bersekolah sehingga ketimpangan semakin besar lalu akan ada titik balik dimana akan terjadi perbaikan ketimpangan distribusi pendapatan di masa mendatang. Rizal (2012) menjelaskan bahwa jenjang pendidikan dasar tidak cukup berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia, tetapi justru berperan menambah tingkat kemiskinan, sehingga kebijakan nasional waji belajar pendidikan dasar sembilan tahun tidak cukup dalam konteks menanggulangi kemiskinan. Penelitian ini menjelaskan dalam mengurangi tingkat kemiskinan secara nasional maka jenjang pendidikannya harus di atas sembikang tahun yang dimulai dari jenjang pendidikan menengah ke atas, dan semakin besar pula perannya dalam mengurangi kemisikinan.Dalam perspektif kawasan, untuk wilayah barat Indonesia jenjang pendidikan tinggi berperan dalam mengurangi kemiskinan, sedangkan pada wilayah timur Indonesia, jenjang pendidikan menengah masih berperan besar dalam mengurangi kemiskinan. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian yang sebelumnya.Perbedaan tersebut terletak pada variabel yang mempengaruhi kemiskinan yaitu pendidikan dan distribusi pendapatan dengan menganalisis 33 provinsi di Indonesia selama tahun 2005 sampai 2013.Indikator pendidikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan angka partisipasi sekolah.Pemilihan ketiga indikator pendidikan karena angka melek huruf merepresentasikan kualitas pendidikan di suatu wilayah, sedangkan rata-rata lama sekolah menunjukan semakin tingginya pendidikan formal yang dicapai, dan angka partisipasi sekolah merupakan indikator untuk melihat akses pada pendidikan. Hipotesis Penelitian Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel pendidikan yaitu angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan angka partisipasi sekolah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. 2. Ketimpangan ditribusi pendapatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia.
METODE PENELITIAN Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan kuantitatif berupa regresi data panel.Model regresi panel ini diolah dengan menggunakan software Eviews 6.1 yang merupakan program analisis data dan digunakan dalam bidang ekonometrik (ekonomi dan statistika).
12 Analisis Deskriptif Analisis deskriptf merupakan analisis sederhana yang ebrtujuan untuk mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Pada penelitian ini analisis deksriptif digunakan untuk mengetahui perkembangan tingkat kemeskinan, distribusi pendapatan, dan beberapa variabel pendidikan pada 33 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia selama periode penelitian tahun 2005 sampai 2013. Namun pada tahun 2005 belum ada provinsi Kalimantan Utara sehingga pada penelitian ini hanya menganalisis 33 provinsi saja. Analisis Kuantitatif Analisis kuantitatif digunakan untuk melihat pengaruh tingkat pendidikan dan distribusi pendapatan dalam mengurangi kemiskinan di 33 provinsi di Indonesia selama periode penelitian yaitu tahun 2005 hingga 2013.Dalam penelitian ini metode kuantitatif yang digunakan adalah analisis regresi data panel. Data panel merupakan data yang diperoleh dari data deret waktu yang diobservasi berulang pada unit individu (objek) yang sama pada waktu yang berbeda. Keuntungan menggunakan model data panel dibandingan dengan data time series atau cross section adalah dengan menggunakan data panel akan memberikan variasi sumber yang akan lebih efisien dalam mengestimasikan paramater. Selain itu, data yang lebih informatif, seseorang bisa mendapatkan estimasi yang lebih handal dan pengujian model lebih canggih dengan asumsi yang lebih longgar. Keuntungan lain dari data panel adalah kemampuan dalam mengontrol heterogenitas individu. Data panel juga mampu dalam mengidentifikasikan dan mengestimasikan efek yang tidak terdeteksi dalam data cross section atau dalam data time series (Baltagi 2008). Terdapat tiga pendekatan umum yang diaplikasikan data panel, yaitu: 1. Metode Pooled Least Square (PLS) Metode ini menggunakan metode OLS biasa. Pendekatan ini menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled). Metode PLS ini merupakan metode yang paling sederhana. Model yang digunakan yaitu: Yit = αi + Xitβ + uit Dimana αi bersifat konstan untuk semua observasi. Namun pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias yang disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda (Firdaus 2012). 2. Metode Fixed Effect Model (FEM) Metode ini muncul ketika antara efek individu dan peubah penjelas memiliki korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak.Asumsi metode ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep. Dalam membedakan intersepnya dapat digunakan peubah dummy, sehingga metode ini juga dikenal dengan model Least Square Dummy Variable (LSDV).Model yang digunakan dalam metode FEM yaitu: Yit= β0i + β1X1it + β2X2it + ... + βnXnit + uit
13 Dimana βoi merupakan intersep dan β1 β2 merupakan slope sedangkan i menunjukan banyaknya data yang diobservasi pada cross section.Berdasarkan model tersebut diketahui bahwa intersep yang berbeda antar variabel namun intersep masing-masing variabel tidak berbeda antar waktu yang disebut time invariant. 3. Metode Random Effect Model (REM) Metode REM muncul ketika antara efek individu dan regresor tidak ada korelasi.Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error.Metode REM berbeda dengan metode FEM, pada metode REM βoitidak lagi dianggap konstan, namun dianggap sebagai peubah acak dengan suatu nilai rata-rata dari β1.Model yang digunakan pada metode REM adalah Yit= β0i + β1X1it + β2X2it + ... + βnXnit + wit Komponen wit terdiri atas dua komponen yaitu sebagai komponen error dari masing-masing cross section dan sebagai error yang merupakan gabungan atas error dari data time series dan cross section. Oleh karena itu metode REM dikenal juga sebagai Error Components Model (ECM).
Metode Pemilihan Model 1. Uji Chow (Chow Test) Uji ini digunakan untuk mengetahui model FEM lebih baik dibandingkan model PLS dapat dilakukan dengan melihat signifikansi model FEM dapat dilakukan dengan uji F-statistik. Pengujian ini dikenal juga sebagai Uji Chow atau Likelihood Test Ratio. Hipotesis dalam pengujian ini yaitu: H0 : model Pooled Least Square (PLS) H1 : model fixed effect (FEM) Jika nilai F-statistik lebih besar dari tabel F pada signifikansi tertentu, maka hipotesi nol (H0) akan ditolak sehingga teknikk regresi data penel yangdipilih adalah metode FEM. 2. Uji Haussman (Haussman Test) Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah model FEM lebih baik daripada model REM. Dengan mengikuti kriteria Wald, nilai statistik Haussman akan mengikuti ditribusi chi-square. Hipotesis dalam pengujian ini yaitu: H0 : REM H1 : FEM Uji Haussman mengikuti distribusi chi-square dengan derajat bebas sebanyak jumlah peubah bebas. H0 ditolak jika nilai statistik Haussman lebih besar daripada nilai kritis statistik chi-square, sehingga model yang tepat untuk regresi data panel yaitu model FEM.
14 Uji Kesesuaian Model 1. Kriteria Statistik a. Uji-F Digunakan untuk membuktikan secara statistik bahwa seluruh variabel indepenedent berpengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependent. Hipotesis yang digunakan dalam uji F yaitu: H0 : β0 = β1 = β2 = ... βt H1 : minimal ada satu βt ≠ 0 Jika Prob (F-statistik) <α maka tolak H0, maksudnya adalah minimal terdapat satu variabel independent yang mempengaruhi variabel dependent-nya dan bila Prob (F-statistik) > α maka terima H0, maksudnya adalah tidak terdapat variabel independentyang mempengaruhi variabel dependent-nya. b.
Uji-t Digunakan untuk menunjukan besarnya pengaruh masing-masing-masing variabel independent dalam menjelaskan variabel dependent. Hipotesis yang digunakan dalam uji t yaitu: H0 : βt = 0 H1 : βt ≠ 0 Jika t-statistik > t-tabel maka tolak H0.Hal ini menunjukan variabel dependent berpengaruh nyata terhadap variabel independent dan bila t- statistik < t-tabel maka terima H0.Hal ini menunjukan variabel dependen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel independent-nya. Uji Koefisien Determinasi (R2) Merupakan angka yang memberikan persentase variasi total dalam variabel total dalam variabel tak bebas (Y) yang dijelaskan oleh variabel bebas (X). Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui seberapa besar variabel independent dapat menerangkan variabel independen.Nilai R2 berkisar antara 0 hingga 1. Nilai R2 yang mendekati 0 menyatakan bahwa kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel sangat terbatas, sedangkan nilai R 2 yang mendekati 1 menyatakan bahwa kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel tidak terbatas dan model tersebut dikatakan semakin baik. 2. Kriteria Ekonometrika a. Uji Heteroskedastisitas Dalam panel data untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran heteroskedastisitas bisa dilihat dari grafik residual. Apabila grafik residualnya tidak membentuk pola tertentu (acak) berarti tidak terjadi heteroskedastisitas (homoskedastisitas) c.
b.
Uji Multikolinearitas Menurut Gujarati (2006), multikolinearitas adalah situasi dimana dua variabel atau lebih bisa sangat berhubungan linear. Adanya suatu multikolinearitas bisa dilihat dari:
15 R2 tinggi tapi sedikit rasio t signifikan. Korelasi berpasangan yang tinggi di antara variabel-variabel penjelas Pengujian korelasi parsial Regresi subsider, atau tambahan. Mendeteksi multikolinearitas dalam suatu model dapat diketahui melalui: melakukan uji koefisien korelasi sederhana, jika korelasi antar peubah-peubah bebas sangat tinggi dan nyata dapat diakatakan terjadi multikolinearitas.Batas terjadinya korelasi antar variabel bebas antar variabel bebas adalah tidak boleh lebih dari tanda mutlak 0.8, dan juga multikolinearitas dapat terdeteksi dengan melihat VIF (Variance Inflation Factor). Jika VIF lebih besar dari 5 atau 10 maka dapat dikatakan terjadi multikolinearitas. Cara mengatasi multikolinearitas yaitu: melakukan transformasi terhadap peubah-peubah dalam model menjadi bentuk first difference serta penambahan data baru.
1. 2. 3. 4.
c.
Autokorelasi Menurut Maurice dan William dalam Gujarati (2006), autokorelasi merupakan korelasi di antara anggota observasi yang diurut menurut waktu (seperti data deret berkala) atau ruang (seperti data lintas-sektoral). Hal ini disebabkan oleh observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu dengan yang lainnya dan juga karena adanya kesalahan residual tidak bebas satu observasi lainnya.Mendeteksi autokorelasi dengan melihat nilai DW (Durbin-Watson) statistik dalam model dibandingkan dengan DW pada tabel. Hipotesis dalam pengujian autokorelasi: H0 : tidak terdapat autokorelasi H1 : terdapat autokorelasi Dalam pengujian autokorelasi: 0 < d
Uji Normalitas Uji asumsi ini dilakukan untuk melihat apakah error term mengikuti distribusi normal atau tidak. Uji normalitas ini dilakukan dengan uji JarqueBera atau dengan melihat plot dari sisaan. Hipotesis dalam pengujian normalitas yaitu: H0 : Residual berdistribusi normal H1 : Residual tidak berdistribusi normal Penolakan H0 yaitu dengan membandingkan nilai probabilitas dengan taraf nyata α sebesar 0.05, bila nilai uji ini lebih besar dari taraf nyata α 0.05 maka terima H0 dan residual berdistribusi normal sedangkan bila uji nya lebih kecil dari taraf nyata α 0.05 maka tolak H0 dan residual tidak berdistribusi normal.
16 Model Penelitian Kemiskinan yang sering terjadi di negara sedang berkembang biasanya diakibatkan oleh rendahnya kualitas SDM, distribusi pendapatan yang tidak merata, SDA yang tidak terkelola dengan baik, dan lain-lain. Pada penelitian ini variabel yang akan dimasukkan kedalam model adalah indikator kemiskinan seperti angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan angka partisipasi sekolah untuk melihat kualitas SDM yang ada, indeks gini untuk melihat distribusi pendaatan apakah sudah merata atau belum. Dalam penelitian ini menggunakan model yang mengacu pada penelitian Puspitaningrum (2013) dengan melakukan beberapa perubahan pada variabel. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah TK dan variabel independennya adalah IND, AMH, RTS, dan APS.Penelitian ini menganalisis peran pendidikan dan distribusi pendapatan dalam mengurangi kemiskinan yang mencakup 33 provinsi di Indonesia. TK = α0 + α1INDit + α2AMHit + α3LNRTSit + α4APSit + Uit Keterangan: TK IND AMH LNRATLS APS α0 α1- α4 i t Uit
: Tingkat Kemiskinan : Indeks Gini : Angka melek huruf (persen) : Rata-rata lama sekolah (tahun) : Angka Partisipasi Sekolah (persen) : Intersep : Parameter yang diduga : Cross sectiondari 33 provinsi di Indonesia : Time series (2005-2013) : Error term
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kemiskinan di Indonesia Negara sedang berkembang biasanya identik dengan jumlah penduduk yang sangat banyak.Peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya menjadikan Indonesia peringkat ke- 4 sebagaipenduduk terbanyak setelah Cina, India, dan Amerika Serikat.Berdasarkan data BPS tahun 2005 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 220 926 000 jiwa, dan jumlah ini terus mengalami peningkatan terlihat pada tahun 2013 jumlahnya sebanyak 248 818 000 jiwa.Kepadatan penduduk ini menjadi salah satu penyebab kemiskinan di Indonesia, karena masyarakat bersaing dalam memperoleh pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial lainnya.Namun pemerintah terus berupaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan ini.
17 Berdasarkan data BPS terlihat bahwa masyarakat miskin di Indonesia pada tahun 2005 sekitar 16.69%, dan terjadi penurunan pada tahun 2013 sekitar 10.96%. Pada tahun 2005 provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah adalah DKI Jakarta sebesar 3.61% dan tertinggi adalah Papua Barat sebesar 41.34%, sedangkan tahun 2013 provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah adalah DKI Jakarta sebesar 3.72% dan tertinggi adalah Papua sebesar 31.53%. Kondisi kemiskinan di masingmasing provinsi di Indonesia pun berbeda-beda, hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti tingkat pendidikan, dan distribusi pendapatan yang tidak merata.Berdasarkan Gambar 7 terlihat bahwa persentase penduduk miskin untuk masing-masing provinsi di Indonesia cenderung mengalami penurunan di tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2005. Tren tingkat kemiskinan di Indonesia yang cenderung menurun ini juga merupakan dampak positif dari program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah. Beberapa program yang dilakukan oleh pemerintah yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009, dengan Srategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), terdapat tiga klaster program Penanggulangan Kemiskinan. Pertama, bantuan sosial terpadu berbasis keluarga, berupa Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Siswa Miskin (BSM), program Jaminan Kesehatan masyarakat (Jamkesmas), dan program Beras Miskin (raskin).Kedua, penanggulanan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat, berupa Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja (Padat Karya Produktif).Ketiga, penanggulangan kemiskinan berbasis pemeberdayaan usaha mikro dan makro, berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Usaha Bersama (KUBE).Program ini dilanjutkan dengan RPJMN 2010-2014 Kemkominfo dalam Rizal (2012). 30
Persentase
25 20 15
Tahun
10
2005 5
\ Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
0
2013
Provinsi
Sumber: BPS, 2013
Gambar 7 Perkembangan persentase penduduk miskin per provinsi tahun 2005 dan 2013
18
Persentase
Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa untuk provinsi-provinsi yang berada di wilayah timur Indonesia cenderung mengalami tingkat kemiskinan yang lebih besar dari pada wilayah barat Indonesia. Empat provinsi yang termasuk dalam rata-ratatingkatkemiskinan terendah selama tahun 2005 sampai tahun 2013 adalah DKI Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan dan Banten. DKI Jakarta memiliki rata-rata tingkat kemiskinan sebesar 3.91%, Provinsi Bali sebesar 5.51%, Kalimantan Selatan sebesar 6.05%, dan Banten sebesar 7.61%. Empat provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi dari tahun 2005-2013 adalah Papua, Papua Barat, Maluku, dan Gorontalo. Dengan masing-masing rata-rata persentasenya adalah Papua sebesar 36.44%, Papua Barat sebesar 34.49%, Maluku sebesar 27.17% dan Gorontalo 23.54%. Berdasarkan data BPS pada Gambar 8 tersebut terlihat bahwa banyaknya kemiskinan terjadi di daerah wilayah timur Indonesia.Hal ini bisa disebabkan oleh masih tertinggalnya kualitas infrastruktur sehingga menyebabkan sulitnya akses transportasi, pendidikan, kesehatan, dan memperoleh air bersih. Alasan lain yang menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan di wilayah timur Indonesia adalah belum adanya prioritas pembangunan di wilayah tersebut karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung dan juga belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini (Harefa 2010). Salah satu program mengatasi permasalahan kemiskinan di Indonesia, pemerintah membuat MDG’s (Millennium Development Goal’s) yang mana tujuan utamanya adalah mengurangi jumlah penduduk miskin. Program MDG’s ini menjelaskan cara untuk mengatasi kemiskinan secara langsung yaitu dengan menciptakan lapangan kerja yang lebih baik, atau menyediakan jaring pengaman sosial bagi penduduk termiskin. 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Provinsi
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
Gambar 8 Rata-rata tingkat kemiskinan empat provinsi terendah dan tertinggi tahun 2005-2013
19
Perkembangan Distribusi Pendapatan di Indonesia Salah satu faktor yang mempengaruhi besar atau rendahnya tingkat kemiskinan adalah distribusi pendapatan. Ketimpangan distribusi pendapatan akan mengakibatkan tingkat kemiskinan yang semakin besar. Kemiskinan akibat dari ketimpangan ini tentunya akan berdampak kepada ketimpangan sumber daya manusia (SDM) sehingga akan mempengaruhi proses pembangunan. Ketimpangan distribusi pendapatan dapat diukur dengan menggunakan indeks gini (Puspitaningrum 2013). Menurut Todaro (2006) indeks gini yang berada antara 0.20 sampai 0.35 menyatakan ketimpangan distribusi pendapatan yang rendah, sedangkan indeks gini yang berada antara 0.36 sampai 0.50 menyatakan ketimpangan yang sedang, dan ketimpangan yang tinggi ketika indeks gini nya antara 0.51 sampai lebih dari 0.7. Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui bahwa kondisi ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2005. Pada tahun 2005 indeks gini Indonesia hanya 0.363, sedangkan pada tahun 2013 indeks gini Indonesia sebesar 0.413. Hal ini juga terlihat di masing-masing provinsi bahwa tahun 2013 indeks gini nya lebih besar dari pada tahun 2005.Pada tahun 2005 provinsi yang memiliki indeks gini terendah adalah Maluku sebesar 0.258, sedangkan tertinggi adalah DI Yogyakarta sebesar 0.415.Pada tahun 2013 provinsi yang memiliki indeks gini terendah Bangka Belitung sebesar 0.313, sedangkan tertinggi adalah Papua sebesar 0.442.Tingginya angka indeks gini di Papua bisa disebabkan oleh kurangnya akses bantuan dari pemerintah, buruknya infrastruktur, rendahnya tingkat pendidikan, dan lain-lain.Oleh karena itu diharapkan intensif nya peran pemerintah untuk memajukan Papua agar distribusi pendapatannya dapat merata.
0.4
Tahun
0.3
2005
0.2
2013
0.1 0
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Koefisien Gini
0.5
Provinsi
Sumber: BPS, 2013
Gambar 9 Indeks gini per-provinsi di Indonesia tahun 2005 dan 2013 Ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi di provinsi Indonesia selama tahun 2005 sampai tahun 2013 juga dapat digolongkan kedalam empat provinsi dengan indeks gini terendah dan tertinggi berdasarkan rata-rata indeks gini nya dari tahun 2005-2013 seperti pada Gambar 10. Empat provinsi yang
20
Indeks Gini
memiliki rata-rata indeks gini terendah adalah Aceh sebesar 0.265, Kepualauan Bangka Belitung 0.287, Kalimantan Tengah 0.310, Kepulauan Riau sebesar 0.311, sedangkan untuk empat provinsi yang memiliki rata-rata indeks gini tertinggi adalah Papua sebesar 0.412, Gorontalo sebesar 0.400, DI Yogyakarta 0.400 sebesar, dan Sulawesi Barat sebesar 0.390. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui untuk provinsi yang memiliki indeks gini tertinggi banyak dari wilayah timur Indonesia.Sama halnya dengan tingkat kemiskinan, kondisi tingginya ketimpangan pendapatan juga masih berada di wilayah timur Indonesia.Tentunya ini menjadi alasan kuat bahwa kurangnya perhatian pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan di wilayah tersebut, dan rendahnya akses bantuan dari pemerintah.Faktor jarak yang jauh dari pusat pemerintahan, mengakibatkan kurangnya perhatian pemerintah kepada wilayah timur Indonesia. 0.450 0.400 0.350 0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 0.050 0.000
Tahun 2005 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Provinsi
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
Gambar 10 Rata-rata indeks gini empat provinsi terendah dan tertinggi tahun 2005-2013 Perkembangan Pendidikan di Indonesia Pendidikan mengambil perananan penting dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.Hal ini sejalan dengan tujuan MDG’s terkait dengan pemenuhan hak dasar warga negara yang dilihat berdasarkan indikator MDG’s yang didasarkan pada Human Development Index (HDI).Todaro dan Smith (2006) juga menjelaskan bahwa salah satu tujuan inti dari pembangunan, yaitu peningkatan standar hidup tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja dan perbaikan kualitas pendidikan.Dengan pendidikan yang baik, maka setiap orang memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan, mempunyai pilihan untuk mendapat pekerjaan, dari menjadi lebih produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan (Ustama 2009).Oleh karena itu pendidikan dapat mengentaskan kemiskinan dan menghilangkan ketimpangan sosial, sehingga dapat meningkatkan kualiltas hidup
21 dan tercapainya kesejahteraan masyarakat. Tingkat pendidikan dapat diukur melalui beberapa indikator antara lain, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan angka partisipasi sekolah. Angka Melek Huruf Angka melek huruf menunjukan tinggi atau rendahnya masyarakat di suatu wilayah yang memiliki kemampuan membaca atau tidak buta huruf.Indikator ini juga menjadi ukuran untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat. Angka melek huruf merupakan perbandingan antar jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis dengan jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas. Berdasarkan data BPS tahun 2005 persentase angka melek huruf di Indonesia 91.42% dan terjadi peningkatan di tahun 2013 sebesar 94.63%. Dapat dilihat pada Gambar 11 provinsi yang memiliki persentase angka melek huruf terendah pada tahun 2005 adalah Papua sebesar 71.4%, sedangkan yang tertinggi adalah Sulawesi Utara sebesar 98.9%. Pada tahun 2013 provinsi yang memiliki persentase angka melek huruf yang terendah adalah Papua sebesar 75.92%, sedangkan yang tertinggi juga dimiliki oleh Sulawesi Utara sebesar 99.56%. Berdasarkan data ini dapat diketahui bahwa provinsi Papua baik untuk tahun 2005 dan 2013 persentase angka melek hurufnya selalu menjadi persentase terendah di Indonesia. Hal ini terjadi bisa disebabkan oleh buruknya infratruktur di wilayah tersebut sehingga akan menghambat proses pemberian pendidikan di Papua. 120 80 60
Tahun
40 20
2005
0
2013
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Persentase
100
Sumber: BPS 2013
Provinsi
Gambar 11 Persentase Angka Melek Huruf Per-Provinsi di Indonesia Tahun 2005 dan 2013 Perkembangan angka melek huruf di Indonesia dapat juga dianalisis berdasarkan empat provinsi terendah persentasenya dan empat provinsi tertinggi seperti pada Gambar 12. Selama tahun 2005 hingga 2013, empat provinsi yang memiliki rata-rata persentase terendah adalah Papua sebesar 70.18%, Nusa Tenggara Barat sebesar 81.36%, Sulawesi Selatan sebesar 87.21%, dan Sulawesi Barat sebesar 87.35%. Sedangkan empat provinsi dengan rata-rata persentase angka melek huruf tertinggi adalah Sulawesi Utara sebesar 99.08, DKI Jakarta sebesar 98.81%, Riau sebesar 97.81%, dan Kalimantan Tengah sebesar 97.20%.
22
Persentase
Sama halnya dengan tingkat kemiskinan dan indeks gini yang tinggi, angka melek huruf yang terendah pun dimiliki oleh wilayah Indonesia bagian timur.Hal ini dikarenakan kurangnya pemerataan pendidikan di wilayah tersebut, sehingga tingginya rata-rara persentase angka melek huruf hanya di wilayah yang dekat dengan pusat pemerintahan.Oleh karena itu diperlukannya pemerataan pendidikan agar kondisi pendidikan di Indonesia dapat menjadi lebih baik. 100
Tahun
80
2005
60
2006
40
2007
20
2008
0
2009 2010 2011 2012 2013 Provinsi
Sumber: BPS 2013 (diolah)
Gambar 12 Persentase angka melek huruf empat provinsi terendah dan tertinggi tahun 2005-2013 Rata Rata Lama Sekolah Rata-rata lama sekolah melihat tingginya pendidikan yang dicapai oleh masyarakat di suatu wilayah. Menurut Tobing dalam Hastarini (2005), orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, diukur dengan lamanya waktu untuk sekolah akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding dengan orang yang pendidikannya lebih rendah. Pada Gambar 13 menunjukan kondisi rata-rata lama sekolah pada 33 provinsi di Indonesia tahun 2005 dan tahun 2013. Pada tahun 2005 rata-rata lama sekolah di Indonesia sebesar 7.5 tahun dan pada tahun 2013 terjadi peningkatan yaitu sebesar 8.3 tahun. Walaupun adanya peningkatan rata-rata lama sekolah, namun hanya beberapa provinsi yang bisa mencapai target dari program pemerintah yaitu wajib belajar sembilan tahun. Pada tahun 2005 provinsi yang memiliki rata-rata lama sekolah yang tinggi adalah DKI Jakarta sebesar 9.85 tahun, sedangkan terendah adalah provinsi Sulawesi Barat sebesar 5.97 tahun. Provinsi yang memiliki rata-rata lama sekolah tertinggi di tahun 2013 adalah DKI Jakarta sebesar 11 tahun, sedangkan provinsi terendah adalah Papua sebesar 6.87 tahun. Hasil data ini berturut-turut DKI Jakarta memilki rata-rata lama sekolah yang tinggi, tentunya hal ini dikarenakan mudahnya akses pendidikan di provinsi tersebut dibandingkan dengan Sulawesi Barat dan Papua yang wilayahnya sulit terjangkau pendidikan akibat permasalahan infratruktur, rendahnya dana pemerintah, rendahnya minat masyarakat akan pendidikan, dan lain-lain
12
Tahun
10
2005
8
2013
6 4 2 0
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Lama Sekolah (Tahun)
23
Provinsi
Sumber: BPS 2013 Gambar 13 Rata-rata lama sekolah per-provinsi di indonesia tahun 2005 dan tahun 2013 Menganalisis kondisi rata-rata lama sekolah ini juga dibagi menjadi empat provinsi dengan rata-rata total lama sekolah terendah dan tertinggi. Berdasarkan Gambar 14 dapat diketahui bahwa untuk tahun 2005 sampai tahun 2013 empat provinsi yang rata-ratanya terendah adalah Papua sebesar 6.2 tahun, Nusa Tenggara Timur sebesar 6.66 tahun, Nusa Tenggara Barat sebesar 6.66 tahun, dan Kalimantan Barat sebesar 6.69 tahun. Hasil menunjukan bahwa rata-rata jenjang pendidikan yang ditamatkan oleh masyarkat di provinsi tersebut hanya pada tingkat dasar. Empat provinsi dengan rata-rata total lama sekolah tertinggi adalah DKI Jakarta sebesar 10.33 tahun, Kepulauan Riau sebesar 9.08 tahun, DI Yogyakarta sebesar 8.85 dan Sulawesi Utara sebesar 8.82 tahun. Wilayah barat Indonesia masih mendominasi untuk kualitas pendidikan yang lebih bagus dibandingkan dengan wilayah timur Indonesia. Hal ini dikarenakan pengalokasian anggaran pemerintah dalam belanja pendidikan untuk wilayah timur lebih kecil daripada wilayah barat Indonesia, untuk wilayah timur dananya sebesar 6.24% dari APBD sedangkan wilayah barat dananya sebesar 9.22% dari APBD. Jelas dari data tersebut masih terjadi ketimpangan pendidikan untuk wilayah timur Indonesia. Secara keseluruhan provinsi yang memiliki rata-rata lama sekolah yang sesuai dengan target pemerintah wajib belajar sembilan tahun adalah DKI Jakarta sebesar 11 tahun pada tahun 2013, hal ini dikarenakan rata-rata alokasi anggaran belanja pendidikannya sebesar 16.14% dari APBD, sehingga di provinsi ini banyak terdapat jenjang pendidikan SD dan SMP yang gratis.
Lama Sekolah (Tahun)
24
12 10
Tahun 2005
8
2006
6
2007
4
2008
2
2009
0
2010 2011 2012 2013 Provinsi
Sumber: BPS 2013 (diolah)
Gambar 14 Rata-rata lama sekolah empat provinsi terendah dan tertinggi tahun 2005-2013 Angka Partisipasi Sekolah Angka partisipasi sekolah merupakan salah satu indikator pendidikan yang cukup penting. Angka partisipasi sekolah didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah murid kelompok usia sekolah tertentu yang bersekolah pada berbagai jenjang pendidikan dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Angka partisipasi sekolah berkaitan dengan aktivitas formal dan non-formal seseorang (BPS 2010).Angka partisipasi sekolah juga dapat digunakan untuk melihat struktur kegiatan penduduk yang berkaitan dengan sekolah.Gambar 15 menunjukan kondisi angka partisipasi sekolah di 33 provinsi Indonesia pada tahun 2005 dan 2013. Pada tahun 2005 persentase angka partisipasi sekolah sebesar 62.31% dan meningkat sebesar 69.01% di tahun 2013. Peningkatan ini menunjukan adanya upaya pemerintah untuk meningkatkan jumlah masyarakat yang ikut merasakan pendidikan dan upaya untuk mengurangi ketidakmerataan akses pendidikan. Provinsi dengan angka pasrtisipasi sekolah terendah di tahun 2005 adalah Gorontalo sebesar 53.33%, sedangkan tertinggi adalah provinsi DI Yogyakarta sebesar 77.57%. Pada tahun 2013 provinsi dengan angka partisipasi sekolah terendah adalah Papua sebesar 54.64%, sedangkan yang tertinggi masih dimiliki oleh DI Yogyakarta 81.01%. Hal ini dikarenakan DI Yogyakarta memiliki lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian yang memadai, sehingga memungkinkan partisipasi sekolah di provinsi menjadi tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya.
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Tahun 2005 2013
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Persentase
25
Provinsi
Sumber: BPS 2013
Gambar 15 Persentase angka partisipasi sekolah per-provinsi tahun 2005 dan tahun 2013 Angka partisipasi sekolah di Indonesia pada tahun 2005 sampai 2013 dapat dikelompokkan menjadi empat provinsi dengan rata-rata persentase terendah dan tertinggi. Berdasarkan Gambar 16 dapat diketahui bahwa empat rata-rata persentase angka pasrtisipasi sekolah terendah adalah provinsi Papua sebesar 54.63%, Sulawesi Barat sebesar 58.72%, Bangka Belitung sebesar 58.98%, dan Gorontalo sebesar 60.35%. Sedangkan empat provinsi dengan rata-rata persentase angka pasrtisipasi sekolah tertinggi adalah provinsi DI Yogyakarta sebesar 78.05%, Aceh sebesar 72.94%, Maluku sebesar 70.59%, dan Sumatera Barat sebesar 69.48%. Salah satu penyebab rendahnya angka partisipasi sekolah adalah masyarakat yang kondisi ekonomi nya miskin sehingga tidak memiliki semangat untuk mendapatkan pendidikan, selain itu juga terdapat permasalahan pendistribusian dana bantuan dalam bidang pendidikan. Tentunya permasalahan ini menyebabkan tidak meratanya angka partisipasi sekolah antar provinsi.
Persentase
26
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Provinsi
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
Gambar 16 Rata-rata persentase angka partisipasi sekolah empat provinsi terendah dan tertinggi tahun 2005-2013 Analisis Peran Pendidikan dan Distribusi Pendapatan dalam Mengurangi Tingkat Kemiskinan di Indonesia Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis peran pendidikan dan distribusi pendapatan dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Pada penelitian ini mencakup 33 provinsi dalam periode 9 tahun, yang dimulai tahun 2005 sampai tahun 2013 yang diestimasi dengan menggunakan regresi data panel. Dalam menganalisa penelitian ini, variabel dependent adalah tingkat kemiskinan, sedangkan variabel independent dari distribusi pendapatan menggunakan indeks gini, dan variabel independent dari pendidikan adalah angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan angka partisipasi sekolah. Alasan menggunakan data panel dalam penelitian ini karena data panel dapat memberikan data yang dengan estimasi yang lebih handal, lebih informatif, dan mampu dalam mengontrol heterogenitas individu. Pemilihan model-model dalam data panel dilakukan dengan tiga tahap, yaitu: membandingkan pooled model dengan fixed effect model menggunakan uji Chow, membandingkan fixed effect model dengan random effect model menggunakan uji Hausman, dan membuat estimasi model dengan menentukan koefisien masing-masing variabel bebas.
27 Tabel 1 Hasil estimasi panel data peran pendidikan dan distribusi pendapatan dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia Variable Indeks Gini Angka Melek Huruf Ln Rata- Rata Lama Sekolah Angka Partitisipasi Sekolah Constantsa
Coefficient -12.31076
Std. Error 2.731551
t-Statistic -4.506874
Prob. 0.0000*
-0.029758
0.105811
-0.281235
0.7788
-28.73681
3.404641
-8.440481
0.0000*
-0.170270 92.18077
0.046682 6.469522
-3.647408 14.24847
0.0003* 0.0000*
*Keterangan: siginifikan pada taraf nyata 5% (0.05)
Pada saat memilih hasil estimasi yang lebih baik membandingkan hasil model pooled least square dengan fixed effect model (FEM). Berdasarkan hasil uji Chow pada penelitian ini menunjukan probabilitas yang dihasilkan adalah 0.0000 lebih kecil dari 5% (0.005) sehingga H0 dapat ditolak, sehingga FEM lebih baik dibandingkan dengan model pooled least square. Tahap selanjutnya adalah membandingkan hasil estimasi FEM dengan random effect model (REM), dan dipilih model yang terbaiknya. Pengujian REM ini melalui hasil uji Haussman, dan menunjukan probabilitas yang dihasilkan sebesar 0.0006 lebih kecil dari probabilitas taraf nyata 5% sehingga H0 dapat ditolak artinya FEM lebih baik dibandingkan dengan REM. Setelah diuji melalui tiga tahap diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini menggunakan fixed effect model (FEM) dengan pembobotan cross section weight yang bertujuan untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas, multikolinearitas, dan autokorelasi. Tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2005 sampai 2013 memiliki R2 sebesar 0.967987 (Lampiran 1) artinya 96.79% keragaman yang terdapat dalam variabel dependent yaitu tingkat kemiskinan di Indonesia dapat dijelaskan melalui variabel independent dalam model yaitu indeks gini, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan angka partisipasi sekolah, sedangkan sisanya sebesar 3.21% dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Probabilitas Fstatistik dalam model ini sebesar 0.0000 lebih kecil dibandingkan dengan taraf nyata α 5% (0.05).Hasil tersebut menunjukan bahwa model dapat menjelaskan peran pendidikan dan distirbusi pendapatan dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia dengan baik. Langkah setelah mendapatkan model yang baik adalah mendeteksi terjadi atau tidaknya permasalahan uji asumsi klasik dalam model ini.Masalah Heteroskedastisitas tidak terjadi dalam model, hal ini dapat di lihat pada Lampiran3 bahwa grafik residual tidak membentuk pola tertentu (acak) sehingga dapat disimpulkan bahwa ragam residual telah homogen.Pada model ini juga tidak terjadi masalah multikolinearitas yang dapat dilihat pada Lampiran4 bahwa batas terjadinya korelasi antar variabel bebas tidak ada yang melewati tanda mutlak 0.8.Model ini tidak terdapat masalah normalitas yang dapat dilihat pada Lampiran5.Mendekteksi masalah normalitas dilihat dari probabilitas uji normalitasnya.Dalam model ini nilai probabilitasnya sebesar 0.125389 lebih besar
28 dari taraf nyata 5% (0.05), yang artinya error term terdistribusi dengan normal.Pelanggaran asumsi autokorelasi juga tidak terjadi dalam model ini.Hal ini dapat diketahui dari nilai DW-stat nya sebesar 1.079834 yang mana nilai DW nya sudah cukup untuk mendekati 2, sehingga dapat diketahui bahwa model ini tidak terjadi masalah autokorelasi. Hasil estimasi model pada Tabel 1 menunjukan bahwa tingkat signifikansi pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat yang dilakukan dalam uji-t.Pengujian ini diketahui dari nilai probabilitas masingmasing variabel bebas terhadap terikat. Apabila nilai probabilitasnya semakin kecil maka akan terbukti bahwa variabel bebas tersebut dapat secara signifikan berpengaruh kepada variabel terikat. Dalam model ini taraf nyata yang digunakan adalah 5%, maka dapat diketahui bahwa untuk semua variabel bebas kecuali angka melek huruf memiliki nilai probabilitas yang lebih kecil dari 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel bebas kecuali angka melek huruf berpengaruh signifikan kepada variabel terikatnya. Interpretasi Model Berdasarkan hasil model estimasi pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa variabel bebas yaitu indeks gini, rata-rata lama sekolah, dan angka partisipasi sekolah secara signifikan mempengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia pada taraf nyata 5% (0.05), sedangkan variabel bebes angka melek huruf tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia pada taraf nyata 5% (0.05). 1. Indeks Gini Salah satu indikator yang dapat menunjukan tingkat kemiskinan adalah distribusi pendapatan. Apabila terjadi ketimpangan ditribusi pendapatan maka kesejahteraan masyarakat Indonesia akan bekurang. Indeks gini merupakan nilai yang menunjukan tingginya ketimpangan di suatu wilayah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia, indeks gini di Indonesia meningkat sebesar 11% antara tahun 2000 dan 2013. Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa ketimpangan yang terjadi di Indonesia berada pada tingkat yang jauh lebih tinggi dibanding perkiraan sebagian besar masyarakat.Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa masyarakat tidak menyadari besarnya bagian dari pendapatan nasional yang dinikmati oleh kaum kelas menengah keatas.Oleh karena itu program pemerintah yang harus dilakukan menurut Laporan Bank Dunia dalam mengatasi masalah ketimpangan ini adalah prioritas kebijakan utama mencakup peningkatan akses ke sumber nafkah produktif, penjaminan akses ke pendidikan dasar, kesehatan, air dan sanitasi yang berkualitas bagi seluruh penduduk, serta perluasan perlindungan sosial. Hubungan Distribusi Pendapatan dengan Tingkat Kemiskinan di Indonesia Hasil estimasi pada penelitian ini menunjukan bahwa indeks gini berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% (0.05) terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Secara teori indeks gini seharusnya berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan. Jika tingkat kemiskinan di suatu wilayah besar, indeks gini di
29 daerah tersebut juga akan besar. Pada penelitian ini terjadi hasil yang tidak sesuai teori dimana indeks gini berhubungan negatif dengan tingkat kemiskinan di Indonesia, yang artinya ketika tingkat kemiskinan menurun, indeks gini di Indonesia meningkat. Nilai koefesien regresi dari variabel ini sebesar 12.31 dengan probabilitas (p-value) sebesar 0.0000, artinya adalah setiap peningkatan indeks gini sebesar 1% maka akan menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 12.31%. Hal ini tidak sesuai dengan teori dikarenakan yang terjadi di Indonesia menunjukan kondisi dimana tingkat kemiskinan menurun dan ketimpangan distribusi pendapatan meningkat dalam periode waktu 2005 sampai 2013.Kondisi di Indonesia pada saat ini adalah terjadinya kemajuan yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan, namun laju pengentasan kemiskinan tersebut cukup lamban.Maksudnya adalah kemajuan dalam pengentasan kemiskinan ini sebagian besar hanya dinikmati oleh golongan menengah atas, sedangkan golongan bawah juga ikut menikmati upaya tersebut namun hanya sedikit.Hal tersebut yang menyebabkan laju pengentasan kemiskinan di Indonesia cukup lamban.Kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin yang semakin melebar, sehingga terjadi ketimpangan pendapatan disaat kemiskinan yang menurun, karena yang menikmati program pemerintah dalam mengatasi kemiskinan itu hanya dirasakan oleh kelompok kaya sehingga untuk kelompok miskin semakin miskin.Hal ini juga didukung oleh penelitian terdahulu bahwa menurut Country Director ADB untuk Indonesia pertumbuhan ekonomi yang cepat menjadi penyebab utama dari peningkatan ketidakmerataan tersebut. Penelitian yang juga dilakukan oleh Arifianto dan Setiyono (2013) menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi diiringi dengan ketimpangan yang tinggi pula dikarenakan penyebabnya adalah subsidi yang salah sasaran, rendahnya pemerataan tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi serta faktor kelembagaan seperti institusi yang “korup” dan kebijakan yang tidak prorakyat. Peningkatan ketimpangan ini mencerminkan keterbatasan akses kesempatan kerja yang baik, sehingga membatasi pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan yang tengah berlangsung. Dalam mengatasi permasalahan ini, maka Indonesia diharapkan dapat membuat kebijakan yang saling menguntungkan, tidak hanya upaya pengentasan kemiskinan saja, tetapi juga mendukung upaya memberantas ketimpangan pendapatan, melalui peningkatan akses terhadap pendidikan berkualitas dan meningkatkan mobilitas pasar tenaga kerja. 2. Angka Melek Huruf Variabel angka melek huruf adalah salah satu indikator yang menunjukan kualitas dari pendidikan di suatu wilayah.Angka melek huruf merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, mengkomunikasikan, membuat, dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi UNESCO dalam Nugroho (2012). Angka melek huruf menjadi salah satu indikator baiknya kualitas pendidikan di suatu wilayah dikarenakan indikator ini menggambarkan mutu dari SDM, karena semakin tinggi angka kecakapan baca tulis maka akan semakin tinggi pula mutu dan kualitas SDM (BPS 2011). Angka melek huruf juga bisa dihitung dengan cara 100% dikurangi dengan angka buta huruf.
30 Hubungan Angka Melek Huruf dengan Tingkat Kemiskinan di Indonesia Berdasarkan hasil estimasi dalam penelitian ini menunjukan bahwa angka melek huruf tidak berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% (0.05) terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia dengan nilai probabilitas sebesar 0.029.Hal ini tidak signifikan karena nilai probabilitasnya sebesar 0.7788 lebih besar dari pada taraf nyata 5% (0.05). Angka melek huruf berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.029 yang artinya setiap peningkatan angka melek huruf sebesar 1% maka akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0.36%. Hasil yang tidak signifikan ini menunjukan bahwa peningkatan angka melek huruf tidak terlalu mempengaruhi penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia.Hasil ini juga dikuatkan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Nirwana (2013), menjelaskan bahwa seseorang untuk dapat membaca tidak harus mengeluarkan biaya, artinya seseorang itu tidak harus memasuki pendidikan formal. Alasan lainnya menjelaskan bahwa diduga masih banyak penduduk di Indonesia yang dapat membaca tetapi belum memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, mengomunikasikan, dan mengolah isi dari rangkai teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Kemampuan membaca yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia belum menunjukan pembelajaran yang berkelanjutan, oleh karena itu menyebabkan masih banyak penduduk yang belum mencapai tujuannya.Dapat disimpulkan bahwa ketika penduduk itu belum mendapatkan tujuannya, maka kesejahteraannya belum tercapai sehingga kemiskinan juga masih terjadi.Oleh karena itu angka melek huruf tidak terlalu mempengaruhi tingkat kemiskinan pada 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2005 sampai 2013. Persentase angka melek huruf yang cukup tinggi di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 94.63%, belum menunjukan kulitas pendidikan yang cukup baik di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih terdapat buta huruf yang cukup besar di tahun 2013 yaitu 6.08% untuk umur 15 tahun ke atas, 1.61% untuk umur 15-44 tahun, dan 15.15% untuk umur 45 tahun ke atas. Dengan kondisi yang semakin modern seharusnya persentase buta huruf dapat diturunkan, namun yang terjadi di Indonesia masih terdapat masyarakat yang belum melek akan huruf. Oleh karena itu, diperlukannya upaya pemerintah untuk mengatasi buta huruf di Indonesia agar seluruh masyarakat dapat menikmati kualitas dari pendidikan. 3. Rata-Rata Lama Sekolah Rata-rata lama sekolah merupakan variabel dari salah satu indikator pendidikan yang menunjukan semakin tingginya pendidikan formal yang dicapai oleh masyarakat suatu daerah.Apabila rata-rata lama sekolah semakin tinggi berarti semakin tinggi jenjang pendidikan yang dijalaninya. Oleh karena itu ratarata lama sekolah merupakan rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang diikuti. Semakin tinggi tingkat pendidikan atau rata-rata lama sekolah seseorang maka akan semakin cepat pula peningkatan penghasilan yang diharapkannya, lebih besar dari biaya-biaya pribadi yang harus dikeluarkannya.
31 Rata-rata lama sekolah merupakan indikator pendidikan yang diformulasikan oleh UNDP pada tahun 1990 untuk menyusun Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Hal ini sesuai dengan target pemerintah melalui program wajib sembilan tahun yang dicanangkan sejak tahun 1994, rata-rata lama sekolah penduduk diharapkan dapat mencapai sebesar 9 tahun, yaitu minimal tamat jenjang pendidikan dasar atau tamat SMP (Nirwana 2013). Dalam selisih antara keuntungan yang diharapkan dengan biaya-biaya yang diperkirakan, maka strategi optimal bagi seseorang adalah berusaha menyelesaikan pendidikan setinggi mungkin (Todaro dalam Nugroho 2012). Rata-rata lama sekolah juga bisa dihitung menggunakan rumus: RLS = Tahun Konversi + Kelas Tertinggi yang pernah diduduki – 1 Dimana tahun konversi dari pendidikan yang ditamatkan adalah SD 6 tahun; SMP 9 tahun; SMA 12 tahun; Diploma I 13 tahun; Diploma II 14 tahun; Diploma III 15 tahun; Sarjana 16 tahun; Pasca Sarjana 18 tahun; Doktor 21 tahun. Hubungan Rata-Rata Lama Sekolah dengan Tingkat Kemiskinan di Indonesia Hasil estimasi dalam penelitian ini menunjukan bahwa rata-rata lama sekolah berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% (0.05) terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia dengan nilai probabilitasnya 0.0000. Rata-rata lama sekolah berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan dengan nilai koefisien regresinya sebesar 28.73 yang artinya setiap penurunan rata-rata lama sekolah sebesar 1%, maka tingkat kemiskinan di Indonesia akan meningkat sebesar 28.73%. Kondisi ini sesuai dengan teori, ketika rata-rata lama sekolah meningkat, maka tingkat kemiskinan akan menurun begitu juga dengan sebaliknya. Artinya kondisi yang terjadi di Indonesia untuk periode tahun 2005 sampai 2013 menunjukan hubungan yang seperti itu. Adanya hubungan negatif rata-rata lama sekolah terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia ini juga didukung oleh beberapa penelitian terdahulu.Penelitian yang telah dilakukan oleh Suhartini (2011) menjelaskan bahwa rata-rata lama sekolah berpengaruh negatif terhadap jumlah penduduk miskin. Hal ini juga dijelaskan oleh Klasen bahwa peningkatan kepemilikan aset dasar bagi penduduk miskin akan berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan. Aset dasar yang dimaksud ini adalah modal manusia, dalam hal ini adalah pendidikan penduduk miskin. Penelitian yang dilakukan oleh Nirwana (2013) juga menjelaskan bahwa rata-rata lama sekolah berhubungan negatif dengan tingkat kemiskinan, hasil dari penelitiannya adalah rata-rata lama sekolah menyebabkan PPM (Persentase Penduduk Miskin) semakin menurun karena ratarata lama sekolah memiliki manfaat yang meningkat seiring dengan bertambahnya lama sekolah (return to education). Hal ini terkait dengan meningkatnya upah atau pendapatan yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
32 4. Angka Partisipasi Sekolah Angka partisipasi sekolah juga merupakan salah satu indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses pada pendidikan, khususnya pada penduduk usia sekolah. Angka partisipasi sekolah meuapakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. Partisipasi sekolah berkaitan dengan asktivitas pendidikan formal dan non formal seseorang (BPS 2010). Biasanya angka partisipasi sekolah ini dibagi kedalam kelompok usia 7-12 tahun, usia 1315 tahun, usia 16-18 tahun, dan usia 19-24 tahun, namun pada penelitian ini untuk angka partisipasi sekolah sudah dijumlahkan dari kelompok-kelompok usia tersebut. Angka partisipasi sekolah juga bisa dihitung dengan menggunakan rumus: APS 7-12 =
P7-12 Masih sekolah P7-12
X 100%
Dimana APS 7-12 adalah Angka Partisipasi Sekolah penduduk usia 7-12 tahun; P7-12 Masih sekolah adalah jumlah penduduk usia 7-12 tahun masih sekolah; P7-12 adalah jumlah penduduk usia 7-12 tahun. Hubungan Angka Partisipasi Sekolah dengan Tingkat Kemiskinan di Indonesia Penelitian ini menunjukan hasil estimasi yang signifikan dari angka partisipasi sekolah terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia.Nilai probabilitasnya sebesar 0.0003 yang berarti signifikan pada taraf nyata 5% (0.05). Angka partisipasi sekolah berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan dengan nilai koefisien regresinya sebesar 0.17, yang artinya setiap penurunan angka partisipasi sekolah sebesar 1% maka akan meningkatkan tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 0.17%. Hasil dari estimasi ini juga sesuai teori, dikarenakan ketika suatu wilayah itu angka partisipasinya tinggi, maka akan membantu dalam mengurangi tingkat kemiskinan berarti tingkat kemiskinan tersebut akan menjadi turun. Oleh karena itu pemerintah Indonesia selalu berupaya untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah seperti yang telah tercantum dalam program MDG’s (Millennium Development Goals) yang salah satu programnya adalah memastikan bahwa semua anak menerima pendidikan dasar. Hal ini mencermati angka partisipasi di sekolah dasar tercatat bahwa dengan angka 94.7% Indonesia hampir mewujudkan target memasukan anak ke sekolah dasar. Program ini tentunya bertujuan untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.
33
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Pada tahun 2005 sampai 2013 tingkat kemsikinan di Indonesia mengalami penurunan, namun masih terdapat beberapa provinsi yang memiliki tingkat kemiskinannya masih tinggi terutama pada wilayah timur Indonesia. 2. Indeks gini Indonesia selama tahun 2005 sampai 2013 menunjukan terjadinya peningkatan yang menandakan adanya ketimpangan, yang manaketimpangan distribusi pendapatan yang tertinggi pada umumnya terjadi pada wilayah timur Indonesia. 3. Pendidikan memiliki peran dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Namun indikator pendidikan yang sangat mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah rata-rata lama sekolah dan angka partisipasi sekolah. 4. Indikator pendidikan dalam penelitian ini yaitu angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan angka partisipasi sekolah selama tahun 2005 sampai 2013 menunjukan adanya peningkatan persentase. Hal ini merupakan dampak positif dari program pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia seperti wajib belajar sembilan tahun, program MDG’s, penyaluran dana BOS, dan lain-lain. 5. Indeks gini berhubungan negatif dan signifikan dengan tingkat kemiskinan. Hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis penelitian dikarenakan kondisi di Indonesia selama tahun 2005 sampai 2013 yang juga ikut menikmati bantuan untuk masyarakat miskin adalah golongan menengah atas, sehingga ketimpangan tetap terjadi namun kemiskinan secara keseluruhan menurun. 6. Angka melek huruf menunjukan hubungan negatif dan tidak signifikan dengan tingkat kemsikinan. Hal ini dikarenakan kemampuan membaca yang telah dipelajari oleh masyarakat belum dimanfaatkan dengan baik, sehingga kondisi kemiskinan tidak terlalu terpengaruh dengan masyarakat yang sudah melek huruf. 7. Rata-rata lama sekolah dan angka partisipasi sekolah berpengaruh negatif dan signifikan dengan tingkat kemiskinan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan hipotetsis penelitian, sehingga kedua indikator pendidikan ini dapat berperan dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.
Saran 1. Ketimpangan distribusi Pendapatan di Indonesia masih cukup besar, oleh karena itu diperlukannya upaya dalam mengurangi ketimpangan ini dan pengawasan terhadap program-program pemerintah agar tepat sasaran. 2. Tingkat kemiskinan yang berbeda-beda antar provinsi sebaiknya diatasi dengan pemerataanbantuan dana atau program terkait pengurangan tingkat kemiskinan serta upaya meningkatkan kualitas pendidikan antar provinsi di Indonesia. 3. Pada hasil penelitian angka melek huruf tidak berpengaruh signifikan, sehingga perlu adanya program peningkatan soft skill atau kemampuan masyarakat agar upaya peningkatan melek huruf di masyarakat dapat berpengaruh dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.
34 4. Pada penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan teori labour Market untuk lebih mengetahui peran pendidikan terhadap pengurangan kemiskinan, dan diharapkan dapat menganalisis pengaruh infratruktur pendidikan terhadap kualitas pendidikan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah AJ, Doucouliagos H, Manning E. 2011. Education and Income Inequality: A Meta- Regression Analysis. Deakin University. Alkautsar, Masyithoh. 2014. Analisis dampak kebijkan upah minimum terhadap tingkat kemiskinan Indonesia. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Arifianto Wildan, Setiyono. 2013. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Distribusi Pendapatan di Indonesia [Working Paper 2013]. Surabaya (ID): Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya. Atmanti, Hastarini Dwi. 2005. Investasi sumber daya manusia melalui pendidikan. Jurnal dinamika pembanguna 2(1):30-39. Baltagi, Badi H. 2008. Econometric Analysis of Panel Data. Ed ke-4. John Wiley & Sons. [Bappenas]. 2009. Angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah [internet]. [diunduh pada 2015 Mar 20] tersedia pada: http//www.data.go.id. [Bappenas, UNDP]. 2008. Millenium development goals [internet]. [diunduh pada 2015 Maret 3] tersedia pada; http//www.id.undp.org. Barro, Robert J. Education and Economic Growth. Harvard University. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2008. Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi indonesia [internet]. [diunduh pada 2015 Februari 13] tersedia pada; http//www.bps.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2009. Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi indonesia [internet]. [diunduh pada 2015 Februari 13] tersedia pada; http//www.bps.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2010. Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi indonesia [internet]. [diunduh pada 2015 Februari 13] tersedia pada; http//www.bps.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2011. Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi indonesia [internet]. [diunduh pada 2015 Februari 13] tersedia pada; http//www.bps.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2012. Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi indonesia [internet]. [diunduh pada 2015 Februari 13] tersedia pada; http//www.bps.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2014. Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi indonesia [internet]. [diunduh pada 2015 Februari 13] tersedia pada; http//www.bps.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistika. Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut provinsi tahun 2003-2013 [internet]. [diunduh pada 2015 Februari 13] tersedia pada; http//www.bps.go.id
35 [BPS] Badan Pusat Statistika. Gini ratio menurut provinsi tahun 1996,1999,2002,2005,2007-2013 [internet]. [diunduh pada 2015 Februari 13] tersedia pada; http//www.bps.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistika. Jumlah dan persentase penduduk miskin [internet]. [diunduh pada 2015 Februari 14] tersedia pada; http//www.bps.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistika. Indeks pembangunan manusia 2013 [internet]. [diunduh pada 2015 Maret 25] tersedia pada; http//www.bps.go.id. Damanhuri, Didin. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan. Bogor (ID): IPB Press Firdaus M. 2012. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID): IPB Press. Gujarati D.N. 2006. Dasar-dasar Ekonometrika. Ed Ke-3. Julius A Mulyadi [penerjemah]. Jakarta (ID): Erlangga. Harefa, Mandala. 2010. Kebijakan pembangunan dan kesenjangan ekonomi antar wilayah [internet]. [diunduh pada 2015 Februari 20] tersedia pada; http://berkas.dpr.go.id. Irwan, Suparmoko M. 1987. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta (ID): Liberty. Janjua PZ, Kamal UA. 2011. The role of education and income in poverty alleviation: a cross-country analysis. The Lahore Journal of Economics 16(1): 143-172. Nirwana Indah Dewi. 2013. Pengaruh variabel pendidikan terhadap persentase penduduk miskin (studi pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar pulau Jawa pada tahun 2006-2011)[internet]. [diunduh pada 2015 Maret 10] tersedia pada; http//www.portalgaruda.org. Nugroho, Widiatama. 2012. Analisis Pengaruh Pdrb, Agrishare, Rata-Rata Lama Sekolah, dan Angka Melek Huruf Terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia [internet]. [diunduh pada 2015 Februari 20] tersedia pada; http//www.eprints.undip.ac.id. Puspitaningrum, Nadya Astrid. 2013. Analisis Peran Pendidikan dalam Mengatasi Ketimpangan Distribusi Pendapatan Indonesia. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rizal, Rofiq Nur. 2012. Peran Pendidikan Terhadap Pengurangan Kemiskinan di Indonesia. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suhartini, Atik Mar’atis. 2011. Pro poor growth tingkat provinsi di Indonesia. [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sukirno, Sadono. 2006. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, Dan Dasar Kebijakan. Ed ke-2. Jakarta (ID): Prenada Media Group. Tobing, Elwin. 2005. Pendidikan sebagai investasi jangka panjang [internet]. [diunduh pada 2015 Februari 20] tersedia pada; http:// www.theindonesiainstiture.org. Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Ed ke-9, Jilid 1. Munandar H, Puji AL, penerjemah; Barnadi D, Saat S, Jardani W, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Economic Development, 9th Ed. [UNICEF]. 2012. Laporan tahunan Indonesia [internet]. [diunduh pada 2015 Mar 10] tersedia pada; http//www.unicef.org Ustama, Dicky Djatnika. 2009. Peranan pendidikan dalam pengentasan kemiskinan. Jurnal ilmu administrasi dan kebijakan publik 6(1): 1-12.
36 [World Bank]. 2014. Perkembangan triwulan perekonomian Indonesia [internet]. [diunduh pada 2015 Mar 10] tersedia pada: http//www.worldbank.org.
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Estimasi FEM Dependent Variable: TK Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 04/03/15 Time: 12:19 Sample: 2005 2013 Periods included: 8 Cross-sections included: 33 Total panel (unbalanced) observations: 261 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
IND AMH LNRTS APS C
-12.31076 -0.029758 -28.73681 -0.170270 92.18077
2.731551 0.105811 3.404641 0.046682 6.469522
-4.506874 -0.281235 -8.440481 -3.647408 14.24847
0.0000 0.7788 0.0000 0.0003 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.967987 0.962842 1.520541 188.1437 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
18.35947 9.655841 517.8981 1.079834
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.961486 636.2676
Mean dependent var Durbin-Watson stat
Lampiran 2 Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests Equation: FEM
14.69203 1.057855
37 Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
Cross-section F
132.650676
d.f.
Prob.
(32,224)
0.0000
Hasil uji Chow dari model FEM memiliki nilai prob. 0.0000 < alpha 5% maka menunjukan tolak H0 artinya model FEM yang terpilih. Lampiran 3 Uji Heteroskedastisitas 3
2
1
0
-1
-2
293
274
256
237
219
201
183
165
147
129
111
93
75
57
39
21
3
-3
Standardized Residuals
Lampiran 4 Korelasi antar variabel
IND AMH LNRTS APS
IND 1.000000 -0.242230 0.055666 0.137891
AMH -0.242230 1.000000 0.698436 0.392427
LNRTS 0.055666 0.698436 1.000000 0.715741
Lampiran 5 Uji Normalitas
APS 0.137891 0.392427 0.715741 1.000000
38
24
Series: Standardized Residuals Sample 2005 2013 Observations 261
20
16
12
8
4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-3.40e-17 0.019683 3.165734 -3.264053 1.411352 0.090792 2.409338
Jarque-Bera Probability
4.152676 0.125389
0 -3
-2
-1
0
1
2
3
Nilai prob 0.125389 > 5% maka diasumsikan menyebar normal.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 23 Februari 1994 dari ayah Syafwan Enedi, S.E dan ibu Vera Andriani. Penulis adalah putri pertama dari 4 bersaudara. Tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 12 Padang dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama kegiatan perkuliahan, penulis pernah aktif dalam organisisasi Himpunan Profesi Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) sebagai ketua divisi Discussion and Analysis- Regional (DNA) dan PSDM di Paguyuban KSE IPB. Bulan Juli- Agustus 2014 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) sebagai praktik lapang dari Departemen Ilmu Ekonomi di Kabupaten Sukabumi. Penulis juga aktif dalam mengikuti beberapa lomba karya tulis ilmiah tingkat mahasiswa baik nasional maupun internasional. Beberapa prestasi yang pernah diraih oleh penulis antara lain Paper Presentationpada Konferensi Pelajar Indonesia di Korea tahun 2013, Juara 2 pada Economics Championship tahun 2013, dan menjadi Mahasiswa Berprestasi Bidang Ekstrakurikuler tahun 2013. Selain itu, penulis juga aktif dalam beberapa perlombaan olahraga yang diselenggarakan oleh Fakultas dan Departemen. Penghargaan yang pernah diraih ialah Juara 1 Badminton dan Juara 2 Voli Putri pada acara IE Cup tahun 2014. Penulis juga merupakan salah satu Beaswan Karya Salemba Empat (KSE).