ANALISIS PERAN PENDIDIKAN DALAM MENGATASI KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN INDONESIA
NADYA ASTRID PUSPITANINGRUM
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Peran Pendidikan Dalam Mengatasi Ketimpangan Distribusi Pendapatan Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2013 Nadya Astrid Puspitaningrum NIM H14090099
ABSTRAK NADYA ASTRID PUSPITANINGRUM. Analisis Peran Pendidikan Dalam Mengatasi Ketimpangan Distribusi Pendapatan Indonesia. Dibimbing oleh WIWIK RINDAYATI Ketimpangan distribusi pendapatan adalah salah satu permasalahan utama pembangunan yang dapat diatasi dengan pengembangan sumberdaya manusia. Hal itu dilakukan dengan cara perbaikan kualitas modal manusia melalui tingkat pendidikan. Penelitian ini bertujuan menjelaskan perkembangan ketimpangan distribusi pendapatan dan pendidikan di Indonesia serta menganalisis peran pendidikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan dengan menggunakan metode panel data. Data penelitian ini mencakup 33 provinsi di Indonesia mulai tahun 2006 hingga 2011 dengan variabel yang digunakan yaitu: indeks gini, ratarata lama sekolah, angka putus sekolah menurut tingkat pendidikan, PDRB per kapita, rasio anggaran belanja pemerintah sektor pendidikan, serta produktivitas tenaga kerja Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah, angka putus sekolah tingkat SMP dan SMA serta PDRB per kapita berpengaruh positif sedangkan variabel lainnya berpengaruh negatif terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Pemerintah perlu membuat kurikulum pendidikan yang dapat meningkatkan keterampilan sehingga kemandirian ekonomi dan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Kata kunci: pendidikan, ketimpangan distribusi pendapatan, panel data ABSTRACT NADYA ASTRID PUSPITANINGRUM. The Role of Education Inequality to Overcome Income Distribution in Indonesia. Supervised by WIWIK RINDAYATI Income inequality is one of the major development problem that can be solved through development of human resources. It was done by improving the quality of human capital through education. This study aims to explain the income inequality and the development of education in Indonesia and also to analize the role of education towards the reduction of income inequality by using panel data method. The data of this study includes 33 provinces in Indonesia during the years 2006 until 2011 is using variables : gini index, average length of school, the number of dropouts by level of education, GDP per capita, the ratio of government expenditure from education sector, and labor productivity. This study finds that school enrollment rates, average length of schools, the number of school dropouts in senior and junior high school, and GDP per capita have positive effect whereas other variables have negative effect with income inequality. The government needs to create the educational curriculum that can improve the skills thus economic independence and social welfare can be increased. Keywords: education, income inequality, panel data
ANALISIS PERAN PENDIDIKAN DALAM MENGATASI KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN INDONESIA
NADYA ASTRID PUSPITANINGRUM
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Analisis Peran Pendidikan Dalam Mengatasi Ketimpangan Distribusi Pendapatan Indonesia Nama : Nadya Astrid Puspitaningrum NIM : H14090099
Disetujui oleh
Dr. Ir. Wiwik Rindayati Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Analisis Peran Pendidikan Dalam Mengatasi Ketimpangan Distribusi Pendapatan Indonesia. Terima kasih penulis ucapkan kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Didin Syamsuddin dan Ibu Retno Kusumo atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan. Selain itu ucapan terima kasih juga ditujukan kepada: 1. Ibu Dr Wiwiek Rindayati selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dengan sabar dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si selaku dosen penguji utama dan Ibu Laily Dwi Arsyianti, M.Sc selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik dan saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 3. Staff badan pusat statistik (BPS), staff kementerian keuangan, serta staff kementerian pendidikan dan kebudayaan yang telah membantu selama pengumpulan data. 4. Para dosen, staf dan seluruh civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan berbagai bantuan. 5. Teman-teman satu bimbingan, Meilani Putri, Manda Khairatul, dan Alfi Gusmanandri, yang telah banyak memberikan bantuan, saran, kritik, motivasi dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Sahabat penulis Farhana, Friska, Nina, Maria, dan Rezka yang telah membantu dan memberi dukungan atas penyelesaian skripsi ini. 7. Teman-teman kosan putri Sinabung Ines, Nadia, Shelly, Della, Lina, Anin, dan Ayu atas dukungannya untuk menyelesaikan skripsi ini. 8. Teman-teman asrama tercinta Riana, Rahma, Liza, Icha, Vita atas perhatian dan dukungan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. 9. Seluruh keluarga Ilmu Ekonomi 46, 47 dan 48 atas doa dan dukungannya yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013 Nadya Astrid Puspitaningrum
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
7
TINJAUAN PUSTAKA
7
METODE PENELITIAN
17
Jenis dan Sumber Data
17
Metode Pengolahan dan Analisis Data
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
23
Hasil
23
Pembahasan
47
SIMPULAN DAN SARAN
52
Simpulan
52
Saran
52
DAFTAR PUSTAKA
53
LAMPIRAN
55
RIWAYAT HIDUP
61
DAFTAR TABEL 1 Hasil Estimasi Panel Data KBI 2 Hasil Estimasi Panel Data KTI
44 45
DAFTAR GAMBAR 1 Persentase Perkembangan Pembagian Pendapatan Nasional Indonesia 2 Perkembangan rata-rata lama sekolah KBI dan KTI 3 Perkembangan rata-rata rasio alokasi anggaran belanja sektor pendidikan KBI dan KTI 4 Angka Putus Sekolah Kelompok Usia 7-12 Tahun Menurut Provinsi Tahun 2007 5 Perkembangan Disparitas APK Perguruan Tinggi 6 Kurva Lorentz 7 Lingkaran Kemiskinan 8 Kurva Kuznets “U-Terbalik” 9 Kerangka Pemikiran 10 Perkembangan Indeks Gini KBI dan KTI Tahun 2006-2011 11 Perkembangan Indeks Gini Provinsi- Provinsi KBI Tahun 2009-2011 12 Perkembangan Indeks Gini Provinsi- Provinsi KTI Tahun 2009-2011 13 Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah KBI dan KTI Tahun 2006-2011 14 Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah Provinsi-Provinsi KBI Tahun 2009-2011 15 Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah Provinsi-Provinsi KTI Tahun 2009-2011 16 Perkembangan Rasio Anggaran Belanja Pendidikan KBI dan KTI Tahun 2006-2011 17 Perkembangan Rasio Anggaran Belanja Pendidikan Provinsi-Provinsi KBI Tahun 2009-2011 18 Perkembangan Rasio Anggaran Belanja Pendidikan Provinsi-Provinsi KTI Tahun 2009-2011 19 Perkembangan PDRB per Kapita ADHK 2000 KBI dan KTI Tahun 2006-2011 20 Perkembangan PDRB per Kapita ADHK 2000 Provinsi-Provinsi KBI Tahun 2009-2011 21 Perkembangan PDRB per Kapita ADHK 2000 Provinsi-Provinsi KTI Tahun 2009-2011 22 Perkembangan Produktivitas Tenaga Kerja KBI dan KTI Tahun 20062011 23 Perkembangan Produktivitas Tenaga Kerja Provinsi-Provinsi KBI Tahun 2009-2011 24 Perkembangan Produktivitas Tenaga Kerja Provinsi-Provinsi KTI Tahun 2009-2011 25 Perkembangan Angka Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan KBI Tahun 2006-2011
1 4 4 5 6 8 12 13 16 24 25 25 26 27 28 29 30 30 32 32 33 34 35 36 37
26 Perkembangan Angka Putus Sekolah KTI Menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2006-2011 27 Angka Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan Provinsi-Provinsi KBI Tahun 2011 28 Angka Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan Provinsi-Provinsi KTI Tahun 2011 29 Perkembangan Rasio Guru Murid Menurut Jenjang Pendidikan KBI Tahun 2006-2011 30 Perkembangan Rasio Guru Murid Menurut Jenjang Pendidikan KTI Tahun 2006-2011 31 Perkembangan Rasio Guru Murid Menurut Jenjang Pendidikan Provinsi-Provinsi KBI Tahun 2011 32 Perkembangan Rasio Guru Murid Menurut Jenjang Pendidikan Provinsi-Provinsi KTI Tahun 2011
37 38 39 40 41 42 42
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Uji Chow pada model KBI Uji Haussman pada model KBI Hasil Estimasi dengan model fixed effect pada model KBI Uji Normalitas-Residual Test-Histogram pada model KBI Uji Chow pada model KTI Uji Haussman pada model KTI Hasil Estimasi dengan model fixed effect pada model KTI Uji Normalitas-Residual Test-Histogram pada model KTI
55 55 56 57 58 58 59 60
PENDAHULUAN
Latar Belakang
persentase pendapatan nasional
Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan salah satu tujuan utama dari suatu negara. Secara luas pembangunan diartikan sebagai proses yang berkesinambungan dari suatu masyarakat secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik. Saat ini, upaya mewujudkannya tidaklah mudah apalagi untuk negara berkembang seperti Indonesia karena permasalahan utama yang dihadapi dari pembangunan adalah masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Hal tersebut berkaitan dengan upaya untuk memperbaiki kualitas kehidupan manusia. Kualitas hidup yang baik memang mensyaratkan adanya pendapatan yang lebih tinggi namun yang dibutuhkan bukan hanya itu, tetapi juga pemerataan kesempatan, pemberantasan kemiskinan, peningkatan standar kesehatan dan nutrisi, peningkatan kebebasan individual, pelestarian ragam kehidupan budaya, serta pendidikan yang lebih baik (World Bank, 1991). Ketimpangan distribusi pendapatan terjadi di seluruh negara di dunia, baik negara maju ataupun negara berkembang. Negara maju mengalami ketimpangan distribusi pendapatan yang lebih rendah sehingga kesejahteraan penduduk pun lebih baik sedangkan negara-negara berkembang mengalami ketimpangan distribusi pendapatan yang lebih tinggi sehingga tingkat kesejahteraan penduduk lebih rendah. Hal tersebut terlihat dari koefisien gini yang dihasilkan . Pada tahun 2008, berdasarkan data dari Unicef, negara sub-Saharan Afrika memiliki koefisien gini 0.44 , Asia termasuk Indonesia sebesar 0.41, Middle East dan Afrika Utara sebesar 0.39, Eropa Timur dan Asia Tengah sebesar 0.35, dan negara berpendapatan tinggi (High-income Countries) sebesar 0.31. 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
40% terendah 40% menengah 20% tinggi
2008 18.72 36.43 44.45
2009 18.96 36.13 44.91
2010 18.05 36.48 45.47
Sumber : BPS, 2011 (diolah)
Gambar 1. Persentase Perkembangan Pembagian Pendapatan Nasional Indonesia.
2 Kriteria ketimpangan menurut Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yaitu: 40% berpendapatan rendah, 40% berpendapatan menengah, dan 20% berpendapatan tinggi. Seperti yang terlihat pada Gambar 1, berdasarkan kriteria Bank Dunia, ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia tergolong rendah karena 40% penduduk berpendapatan terendah menikmati lebih dari 17% pendapatan nasional, akan tetapi yang menarik adalah porsi terbesar pendapatan nasional tetap dinikmati oleh 20% penduduk berpendapatan tinggi dan 40% penduduk berpendapatan menengah. Pada tahun 2010, kelompok 20% berpendapatan tinggi mengalami peningkatan hingga mencapai 45.47% sedangkan 40% penduduk berpendapatan rendah hanya menikmati 18.05 % pendapatan nasional dan mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2009. Kesenjangan ketimpangan distribusi pendapatan terjadi antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hal ini disebabkan perbedaan laju pembangunan antar daerah yang ditentukan oleh kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimilki. Kualitas SDM yang berbeda disebabkan adanya perbedaan pencapaian pendidikan antara kedua wilayah tersebut yang dapat terlihat dari kinerja berbagai indikator pendidikan, salah satunya adalah rata-rata lama sekolah yang dapat mencerminkan tingginya tingkat pendidikan yang dijalani oleh seseorang. Setiap tahun rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia mengalami peningkatan., akan tetapi dari Gambar 2 dapat terlihat tidak terjadinya pemerataan pendidikan antara KBI dan KTI. Rata-rata lama sekolah KBI lebih tinggi dan selalu mengalami peningkatan sedangkan ratarata lama sekolah di KTI sempat mengalami penurunan di tahun 2011. 8 7.8
Tahun
7.6 7.4
KBI
7.2
KTI
7 6.8 6.6 2006 Sumber : BPS, 2011 (diolah)
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 2 Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah KBI dan KTI Besarnya anggaran belanja yang dialokasikan pemerintah dalam sektor pendidikan menunjukkan keseriusan pemerintah untuk memajukan kualitas pendidikan penduduknya yang tercermin dari kinerja indikator pendidikan. Keseriusan pemerintah ini dibuktikan dengan adanya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yang sekaligus mengganti dan menyempurnakan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas). Undangundang tersebut menyatakan bahwa pemerintah harus mengalokasikan anggaran
3 di sektor pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) selain gaji pendidik dan biaya kedinasan. Pada tingkat nasional, pemerintah mulai dapat memenuhi UU Sisdiknas sejak tahun 2009 yaitu sebesar 20.8% dari APBN. Akan tetapi, pelaksanaan pada tingkat provinsi, pendidikan masih belum mendapatkan tempat yang utama sebagai prioritas program pembangunan provinsi tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan rasio anggaran belanja pendidikan yang masih rendah 12 10
Persen
8 6 KBI
4
KTI 2 0 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun Sumber : BPS, 2011 (diolah)
Gambar 3 Perkembangan Rasio Alokasi Anggaran Belanja Sektor Pendidikan KBI dan KTI Terlihat dari Gambar 2 bahwa kinerja indikator pendidikan KTI lebih rendah dibandingkan dengan KBI. Kinerja pendidikan yang rendah di wilayah timur Indonesia mengisyaratkan pemerintah daerah perlu meningkatkan alokasi anggaran untuk pendidikan akan tetapi faktanya alokasi anggaran pemerintah di KBI selalu lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah KTI sehingga menyebabkan semakin timpangnya distribusi pendapatan antara Kawasan Barat dan Timur Indonesia. Kesenjangan pencapaian pendidikan yang semakin melebar di kedua kawasan tersebut turut menyebabkan kesenjangan kesejahteraan ekonomi dan kesenjangan sosial yang semakin tinggi. Hal ini dikarenakan tingkat penguasaan informasi dan teknologi yang berbeda dari sumber daya manusia yang dimilikinya sehingga distribusi pendapatan akan semakin timpang. Kualitas SDM KTI yang masih rendah dibuktikan oleh rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dimiliki. Menurut BPS, pada tahun 2010 sebelas diantara dua belas provinsi di KTI memiliki IPM di bawah rata-rata nasional dengan rata-rata IPM Indonesia sebesar 72.27. Kesenjangan kesejahteraan ekonomi terlihat dari perbedaan pendapatan per kapita kedua wilayah. Pada tahun 2011, penduduk KBI memiliki pendapatan per kapita sebesar 12.7 juta rupiah sedangkan penduduk KTI hanya sebesar 9.8 juta rupiah. Begitu pula kesenjangan dalam bidang sosial, 80% penduduk Indonesia tinggal di KBI dan hanya sekitar 12% dari penduduk KBI yang tergolong miskin,
4 dibandingkan dengan 20% penduduk Indonesia yang tinggal di KTI dan sebanyak 14% penduduk KTI tergolong miskin. Kesenjangan pencapaian pendidikan merupakan awal dari terjadinya berbagai kesenjangan tersebut yang mengakibatkan distribusi pendapatan semakin timpang. Pada tahun 2011, ketimpangan distribusi pendapatan wilayah barat sebesar 0.37 sedangkan untuk kawasan timur mencapai 0.39. Pemerataan pendidikan merupakan cara yang dapat digunakan untuk mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Dalam laporannya, Bank Dunia juga menyebutkan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan cara yang dapat digunakan untuk mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Pengembangan SDM dapat dilakukan dengan perbaikan kualitas modal manusia yang mengacu pada pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang fundamental untuk membentuk kualitas sumberdaya manusia yang lebih baik dan memainkan peran utama dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan (Todaro & Smith, 2006). Pendidikan diklasifikasikan menjadi barang normal karena semakin tingginya pendapatan yang dihasilkan maka anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan akan semakin besar tetapi untuk kalangan tidak mampu pendidikan dianggap sebagai barang mewah sehingga pemerintah wajib untuk membiayai pendidikan. Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan bahkan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan untuk itu pemerintah wajib membiayainya. Pemerataan pendidikan akan tercapai dan ketimpangan distribusi pendapatan akan semakin menurun karena semakin tinggi tingkat pendidikan, pendapatan yang dihasilkan akan lebih baik dan produktivitas yang dihasilkan pun menjadi lebih besar. Dengan penghasilan yang lebih baik maka kehidupan menjadi lebih sejahtera. Perumusan Masalah Pendidikan merupakan salah satu investasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang penting. Dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi, maka akan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak sehingga pendapatan yang dihasilkan pun dapat lebih tinggi, Pemerintah menyadari pentingnya pendidikan bagi bangsa ini sehingga mereka mencanangkan program-program untuk memajukan kualitas pendidikan, salah satunya adalah program wajib belajar sembilan tahun yang telah dicanangkan sejak tahun 1994. Pemerataan pendidikan merupakan strategi lain yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Semakin tingginya disparitas (kesenjangan) pendidikan maka distribusi pendapatan akan semakin timpang. Hal ini dapat terlihat dari berbagai indikator pendidikan, seperti: angka putus sekolah dan angka partisipasi sekolah. Indikator pendidikan yang mengalami disparitas yaitu angka putus sekolah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009, setiap tahunnya angka putus sekolah mengalami penurunan dan pelajar yang mengalami putus sekolah mayoritas berasal dari golongan miskin (tidak mampu). Dari Gambar 4 dapat terlihat bahwa angka putus sekolah yang berasal dari golongan miskin pada tiap
5 provinsi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka putus sekolah yang berasal dari golongan mampu (tidak miskin). Menurut data BPS tahun 2009, angka putus sekolah yang berasal dari golongan miskin tertinggi berada di provinsi Sulawesi Barat dan Gorontalo yaitu sebesar 7.20% dan 6.28% sedangkan angka putus sekolah yang berasal dari golongan mampu hanya sebesar 0.92% dan 0.56%. Menurut Todaro dan Smith (2006) hal tersebut disebabkan biaya imbangan tenaga kerja anak yang berasal dari keluarga miskin jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang dipikul oleh anak yang berasal dari keluarga mampu. Pelajar yang berasal dari golongan miskin akan mengalami putus sekolah pada awal tahun pendidikannya dan sebagian besar lebih banyak putus sekolah berada di tingkat pendidikan dasar, seperti Sekolah Dasar (SD).
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Kep. Babel Kep. Riau DKI Jakarta Jabar Jateng DI Yogyakarta Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultengra Gorontalo Sulbar Maluku Malut Papua Barat Papua
Persen
8 7 6 5 4 3 2 1 0
Provinsi miskin tidak miskin Sumber : BPS, 2009
Gambar 4 Angka Putus Sekolah Kelompok Usia 7-12 Tahun Menurut Provinsi Tahun 2007 Adanya disparitas sistem pendidikan terlihat juga dari angka partisipasi kasar (APK) baik dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Akan tetapi, disparitas sistem pendidikan lebih terlihat “mencolok” pada tingkat perguruan tinggi. Pada tingkat tersebut angka partisipasi pelajar dari golongan miskin jauh lebih kecil dibandingkan dengan pelajar yang berasal dari golongan mampu. Hal itu terlihat dari Gambar 5. Angka partisipasi kasar pelajar yang berasal dari golongan miskin jauh lebih kecil dibandingkan yang berasal dari golongan mampu. Mulai tahun 2007 hingga tahun 2009, APK dari pelajar miskin mengalami peningkatan yang signifikan. Hal tersebut membuktikan bahwa setiap tahunnya partisipasi pelajar dari golongan miskin meningkat sehingga diharapkan suatu hari, mereka akan mendapatkan penghidupan yang lebih baik melalui tingkat pendidikan yang lebih tinggi yang mereka telah lalui.
6
35
persen
30 25 20 15 10 5 0 miskin tidak miskin
2007 0.98
2008 4.19
2009 6.31
35
32.4
32.6
Sumber : Kemendikbud, 2010
Gambar 5 Perkembangan Disparitas APK Perguruan Tinggi Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu : 1. Bagaimanakah perkembangan pendidikan dan ketimpangan distribusi pendapatan setiap provinsi Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI)? 2. Bagaimanakah peran pendidikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan setiap provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI)?
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu : 1. Menganalisis perkembangan pendidikan dan ketimpangan distribusi pendapatan setiap provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). 2. Menganalisis peran pendidikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan setiap provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI)
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Sebagai bahan dan masukan informasi bagi pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat dalam mengkaji kebijakan mengenai pendidikan sehingga sesuai dengan apa yang direncanakan dan tepat pada sasaran kebijakan tersebut. 2. Sebagai sumber wawasan bagi pembaca mengenai perkembangan pendidikan dan ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia,serta pentingnya peran pendidikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan.
7 3. Sebagai sumber referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan membahas terkait dengan pendidikan dan ketimpangan distribusi pendapatan.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini untuk mengidentifikasi perkembangan pendidikan dan ketimpangan distribusi pendapatan serta menganalisis pengaruh pendidikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Penelitian ini difokuskan pada 33 provinsi di Indonesia yaitu 21 provinsi termasuk wilayah barat dan 11 provinsi termasuk wilayah timur Indonesia mulai tahun 2006 hingga tahun 2011. Ruang lingkup pendidikan yang akan diteliti meliputi indikator-indikator pendidikan seperti: angka putus sekolah, rata-rata lama sekolah, selain itu PDRB per kapita, rasio anggaran belanja pendidikan serta produktivitas tenaga kerja dapat digunakan untuk melihat peran pendidikan terhadap pembangunan ekonomi. Ketimpangan distribusi pendapatan dapat dilihat dari koefisien gini 33 provinsi di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA Distribusi Pendapatan Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya (Dumairy 1996). Pendapatan yang diterima individu berasal dari penghasilan yang diterimanya pada saat bekerja. Pendapatan tersebut mencerminkan tingkat produktivitas mereka, semakin produktif bekerja maka pendapatan yang dihasilkan akan semakin besar. Para ekonom umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan yaitu distribusi pendapatan perseorangan dan distribusi pendapatan fungsional. (Todaro dan Smith 2006 ) Distribusi pendapatan perseorangan merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu tanpa memperhatikan sumber penghasilannya, baik itu dari hasil bekerja ataupun hanya dari warisan. Selain itu lokasi (desa atau kota) serta sektor sumber penghasilan (pertanian, manufaktur, jasa, perdagangan) juga tidak diperhatikan sedangkan distribusi pendapatan fungsional melihat persentase penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan dan membandingkannya dengan persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga dan laba. Ukuran lain yang sering digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan adalah, indeks gini, kriteria Bank Dunia, dan indeks theil Bank Dunia mengelompokkan penduduk menjadi tiga lapisan, yaitu: 40% penduduk berpendapatan rendah, 40% penduduk berpendapatan menengah serta 20% penduduk berpendapatan tinggi. Kriteria ketidakmerataan Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yaitu : 1. Ketimpangan dinyatakan tinggi apabila 40% penduduk berpendapatan terendah menikmati kurang dari 12% pendapatan nasional.
8 2. Ketimpangan dinyatakan sedang apabila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati 12% hingga 17%. 3. Ketimpangan dinyatakan rendah apabila 40% penduduk berpendapatan terendah menikmati 17% pendapatan nasional. Indeks gini adalah suatu koefisien yang berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna), semakin besar koefisiennya (mendekati satu) maka dapat dinyatakan pendapatan semakin timpang begitu pula sebaliknya apabila koefisien semakin kecil (mendekati nol) maka dapat dinyatakan pendapatan semakin merata. Indeks gini dapat dihitung dengan menggunakan kurva Lorentz. Kurva ini menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di lapisan penduduk suatu negara. Semakin jauh jarak kurva Lorentz dari garis diagonal (garis pemerataan sempurna) maka distribusi pendapatan semakin tidak merata. Ketimpangan distribusi pendapatan yang tinggi dapat terlihat dari bentuk kurva Lorentz yang akan semakin melengkung mendekati sumbu horizontal seperti yang terlihat pada gambar sedangkan jika kurva Lorentz semakin mendekati garis diagonal (garis pemerataan sempurna) maka distribusi pendapatan dinyatakan semakin merata seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
Sumber : Todaro dan Smith, 2006
Gambar 6 Kurva Lorenz Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan dinyatakan rendah apabila koefisien gini berada antara 0.20 sampai 0.35, Ketimpangan dinyatakan sedang apabila koefisien gini berada antara 0.36 sampai 0.50, dan ketimpangan dinyatakan tinggi apabila koefisien gini berada antara 0.51 sampai lebih dari 0.7. Koefisien gini merupakan salah satu ukuran yang memenuhi empat kriteria yang dibutuhkan, yaitu: 1. Prinsip anonimitas mengemukakan bahwa ukuran ketimpangan seharusnya tidak tergantung pada siapa yang mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi 2. Independensi skala merupakan ukuran ketimpangan tidak tergantung pada ukuran perekonomian suatu negara.
9 3. Independensi populasi menyatakan bahwa pengukuran ketimpangan seharusnya tidak didasarkan pada jumlah pendapatan (jumlah penduduk) 4. Prinsip transfer sering disebut juga dengan prinsip Pigou-Dalton yang mengasumsikan semua pendapatan yang lain konstan jika mentransfer sejumlah pendapatan orang kaya ke orang miskin tetapi tidak banyak hingga mengakibatkan orang miskin itu justru lebih kaya daripada orang yang awalnya kaya maka akan dihasilkan pendapatan baru yang lebih merata. Indeks Theil merupakan salah satu ukuran dalam mengukur ketimpangan distribusi pendapatan. Nilai indeks Theil berkisar antara 0 dan ∞, semakin mendekati nilai 0 maka distribusi pendapatan semakin merata dan semakin tinggi indeks Theil berarti ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi semakin besar.
Peran Pendidikan Terdapatnya kegagalan-kegagalan dalam mengembangkan berbagai program di negara-negara berkembang menimbulkan kesadaran ahli-ahli ekonomi dan berbagai kalangan lainnya bahwa kemampuan suatu masyarakat untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan tergantung kepada taraf pendidikan masyarakatnya. Todaro (2006) menyatakan bahwa sumberdaya modal bukanlah yang sepenuhnya menentukan laju perkembangan ekonomi suatu negara melainkan sumberdaya manusia. Setiap masyarakat mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menciptakan pembangunan ekonomi dan salah satu cara untuk mempertinggi kemampuan tersebut adalah dengan mempertinggi taraf pendidikan masyarakatnya. Kualitas sumberdaya manusia merupakan faktor terpenting dalam pembangunan ekonomi suatu negara dan untuk meningkatkannya maka diperlukan mutu pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan suatu negara dapat diukur melalui indikator-indikator pendidikan seperti yang telah dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS), antara lain: angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan angka partisipasi sekolah. Kualitas sumber daya manusia juga ditandai oleh semakin tingginya tingkat pendidikan yang ditempuh. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memperluas pengetahuan masyarakat dan mempertinggi rasionalitas mereka sehingga memungkinkan masyarakat dalam mengambil langkah yang bijaksana dalam mengambil keputusan selain itu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi ditandai oleh kemampuan seseorang dalam menyerap dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang dapat memicu penciptaan teknologi-teknologi terbaru dalam kehidupan masyarakat serta memiliki keterampilan yang memadai. Malalui penguasaan IPTEK, kemampuan suatu negara akan lebih maju dan berkembang sehingga dapat meningkatkan daya saing suatu wilayah baik di tingkat lokal, nasional, ataupun global. Dengan demikian tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan dapat menjamin perbaikan yang terus berlangsung dalam tingkat teknologi yang digunakan masyarakat. Dalam melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas dibutuhkan pendidikan, terutama di tingkat menengah dan tinggi sehingga penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi dapat lebih baik. Pendidikan akan berpengaruh terhadap penawaran tenaga kerja, seseorang dengan tingkat
10 pendapatan yang lebih tinggi akan mendapatkan gaji yang lebih tinggi dengan kata lain tingkat pendidikan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan seseorang. Dengan meningkatkan tingkat pendidikan maka tingkat pengetahuan dan keterampilan juga akan meningkat. Hal tersebut mengakibatkan produktivitas kerja seseorang meningkat sehingga akan berpengaruh positif dengan tingkat pendapatannya. Seseorang yang memiliki tingkat pendapatan yang lebih baik maka tingkat kesejahteraannya juga akan meningkat. Tenaga kerja dari kalangan tidak mampu dianggap rendah dalam produktivitas, hal itu dikarenakan kurangnya kemampuan dalam mengakses pendidikan. Peran pemerintah sangat dibutuhkan melalui program bantuan pendidikan, seperti beasiswa sehingga kesempatan memperoleh tingkat pendidikan dapat diperoleh oleh seluruh kalangan. Pendidikan merupakan satusatunya cara untuk memutus rantai kemiskinan. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan memperbaiki kehidupan seseorang sehingga ia menjadi lebih sejahtera dan dapat terlepas dari tingkat kemiskinan.
Mekanisme Hubungan Kinerja Pendidikan dengan Ketimpangan Distribusi Pendapatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) terkait erat dengan kualitas pendidikan karena pendidikan merupakan cara terefektif dalam pengembangan SDM yang dapat menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan. Akan tetapi yang dibutuhkan bukanlah hanya kualitas pendidikan yang baik melainkan disertai adanya pemerataan untuk memperoleh pendidikan sehingga semua kalangan dapat mengenyam pendidikan yang seharusnya. Menurut Todaro dan Smith (2006) terdapat korelasi yang positif antara tingkat pendidikan seseorang dengan tingkat penghasilan yang akan diterimanya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula kemampuan seseorang untuk menyerap dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Peningkatan pengetahuan dan keterampilan akan meningkatkan produktivitas kerja seseorang yang berimplikasi pada peningkatan pendapatan yang akan diperoleh. Dengan pendapatan yang lebih baik maka akan mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik sehingga penduduk yang termasuk golongan kurang mampu dapat memperbaiki kehidupannya dan ketimpangan distribusi pendapatan semakin lama akan semakin menurun. Schultz (1966) juga mengemukakan bahwa pendidikan berkontribusi langsung terhadap kesejahteraan dan berfokus pada kemampuan tidak langsung untuk meningkatkan utilitas dengan meningkatkan pendapatan.
Teori Human Capital Konsep antara sumberdaya manusia harus dibedakan dengan konsep modal manusia. Sumberdaya manusia dapat berubah menjadi modal manusia melalui nilai-nilai pendidikan, kesehatan, dan moral. Perubahan sumberdaya manusia yang masih mentah menjadi sumberdaya manusia yang produktif melalui pendidikan, kesehatan, dan moral merupakan proses pembentukan modal manusia.
11 Modal manusia (human capital) merupakan istilah yang sering digunakan oleh para ekonom untuk pendidikan, kesehatan, dan kapasitas manusia yang lain yang dapat meningkatkan produktivitas jika hal-hal tersebut ditingkatkan. Pentingnya modal manusia dalam pembangunan dimulai pada tahun 1960-an oleh pemikiran Theodore Schultz mengenai investment in human capital. Schultz menyatakan bahwa pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi melainkan investasi dalam pembentukan modal manusia yang sebanding dengan modal fisik dan akan diikuti dengan pertumbuhan yang signifikan. Pengeluaran konsumsi pendidikan merupakan investasi dalam modal manusia karena mengharapkan pengembalian berupa penghasilan yang akan diperoleh masa depan. Pendidikan berkontribusi langsung terhadap kesejahteraan namum pendekatan pendidikan juga berfokus pada kemampuan tidak langsung untuk meningkatkan utilitas dengan meningkatkan pendapatan. investasi tersebut memperhitungkan biaya langsung dan biaya tidak langsung dalam mengambil sebuah keputusan, biaya langsung merupakan biaya yang langsung terlihat pada waktu itu juga seperti biaya sekolah, seragam sekolah, buku-buku, dan sebagainya sedangkan biaya tidak langsung adalah biaya yang akan terlihat di waktu yang akan datang, yaitu penghasilan yang hilang apabila ia bekerja. Schultz (1966) melihat hubungan antara pendidikan dan produktivitas. Ia memperlihatkan bahwa sumberdaya manusia yang berkualitas dapat diwujudkan dengan membangun sektor pendidikan. Pembentukkan SDM yang berkualitas merupakan fokus dalam pembangunan ekonomi yang telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat tercapai melalui penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) serta keterampilan sehingga produktivitas tenaga kerja akan meningkat. Konsep yang dikemukakan oleh Schultz menganggap pendidikan merupakan faktor penting dalam mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Semakin produktif masyarakat melalui penguasaan IPTEK maka pendapatan yang diterima mereka akan meningkat sehingga mereka dapat hidup lebih sejahtera
Teori Lingkaran Kemiskinan Gunnar Myrdall merupakan salah satu intelektual peraih nobel bidang ekonomi karena gagasan utamanya mengenai ketimpangan. Ia menyatakan bahwa ketimpangan dalam struktur kekuasaan politik dan pembagian kekayaan yang tidak merata dalam masyarakat merupakan kendala utama bagi terwujudnya keadilan masyarakat maupun terhadap efisiensi dalam pertumbuhan ekonomi. Myrdall juga mengemukakan kritik yang ia tulis dalam bukunya berjudul Asian Drama kepada sebagian negara berkembang yang dianggap sebagai negara yang berstruktur lembek (soft states). Hal tersebut mengacu kepada sikap pemerintah dan elite politik yang tidak memiliki niat dan tekad dalam mewujudkan sasaran kebijaksanaan. Myrdall juga memiliki teori tersendiri mengenai kemiskinan yang disebut dengan lingkaran setan kemiskinan/keterbelakangan. Teori lingkaran kemiskinan adalah suatu rangkaian yang saling memengaruhi satu sama lain sehingga akan menimbulkan keadaan dimana suatu negara akan tetap miskin dan mengalami kesulitan untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi.
12 Teori lingkaran kemiskinan terbagi menjadi dua konsep, yaitu teori yang dicetuskan oleh Gunnar Myrdall dan Nurkse. yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Teori lingkaran kemiskinan Nurkse mengemukakan bahwa dalam lingkaran kemiskinan yang terpenting adalah keadaan-keadaan yang menyebabkan timbulnya hambatan kepada terciptanya tingkat pembentukan modal yang tinggi. Menurutnya, tingkat produktivitas rendah diakibatkan oleh tingkat pendapatan masyarakat yang rendah menyebabkan kemampuan masyarakat untuk menabung juga rendah. Ini akan menyebabkan tingkat pembentukan modal yang rendah yang akan menyebabkan negara kekurangan modal dan tingkat produktivitas akan tetap rendah. (Didin Damanhuri 2010) Teori yang dikemukakan oleh Myrdall yaitu pentingnya basic needs untuk mengurangi kemiskinan. Menurutnya kemiskinan terjadi bukan karena hanya modal saja melainkan lebih dipengaruhi oleh pendidikan, kurangnya gizi, dan basic needs lainnya. Menurut Myrdall, keadaan miskin bermula dari pendapatan yang rendah sehingga kualitas gizi menjadi kurang. Rendahnya kualitas gizi tersebut menyebabkan rendahnya kesehatan penduduk yang rendah yang kemudian menyebabkan rendahnya produktivitas. Produktivitas rendah ini menyebabkan pendapatan yang rendah sehingga mengakibatkan kemiskinan, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 7.
Pendapatan penduduk rendah
Negara miskin
Pendapatan daerah
Produktivitas Penduduk rendah
Kualitas Kesehatan Penduduk Rendah
Kualitas Gizi Penduduk Rendah
Sumber : Didin Damanhuri, 2010
Gambar 7 Lingkaran kemiskinan Pemikirannya telah diterapkan oleh International Labour Organization (ILO) dalam memecahkan kemiskinan yang terjadi di negara berkembang. Strategi ini dikenal dengan strategi pemenuhan kebutuhan dasar (basic need strategy) sebagai strategi pembangunan yang tepat bagi negara berkembang. Strategi tersebut menjadi inspirasi untuk Indonesia dalam hal mengurangi kemiskinan melalui strategi yang dikenal dengan strategi delapan jalur pemerataan. Delapan jalur pemerataan yang dibuat oleh Presiden Soeharto pada tahun 1978 merupakan bagian dari konsep trilogi pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang
13 tinggi tidak akan berarti bagi kesejahteraan masyarakat apabila masih terdapat ketimpangan distribusi pendapatan di kalangan penduduknya. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan delapan jalur pemerataan, yaitu pemerataan dalam memenuhi kebutuhan pokok, kesempatan memperoleh pendidikan dan kesehatan, pembagian pendaptan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, kesempatan berpatisipasi dalam pembangunan khususnya bagi kaum wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan di tanah air, dan kesempatan memperoleh keadilan. Hipotesis Kuznets Keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan telah diteliti oleh Simon Kuznets. Ia menyebutkan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk namun pada tahap selanjutnya distribusi pendapatan akan membaik yang kemudian dikenal sebagai Hipotesis Kurva Kuznets “U-Terbalik” (Inverted U-curve Hypothesis). Ketimpangan pendapatan yang besar pada fase awal pertumbuhan ekonomi ini disebabkan proses perubahan menjadi masyarakat industri. Menurut Todaro dan Smith (2006) Kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern, seiring dengan perkembangan sebuah negara dari perekonomian tradisional ke perekonomian modern. Perekonomian tradisional dapat dilambangkan dari sektor pertanian sedangkan perekonomian modern dapat dilambangkan dengan sektor industri. Ketika peranan sektor industri meningkat maka produktivitas sektor industri juga akan meningkat yang akan mengakibatkan pendapatan per kapita sektor industri lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian. Ketimpangan yang terjadi di kedua sektor tersebut akan semakin tinggi pada fase awal pertumbuhan dan kemudian akan ada suatu titik balik yang akan membuat ketimpangan akan terus semakin menurun.
Sumber : Todaro dan Smith (2006)
Gambar 8 Kurva Kuznets “U-Terbalik”
14 Tinjauan Empiris Penelitian mengenai peran pendidikan telah dilakukan sebelumnya, yaitu terhadap kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan ketimpangan pendapatan. Dari penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa terdapat hubungan kausalitas antara peran pendidikan dengan distribusi pendapatan. Pendidikan akan mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan, tanpa adanya pendidikan maka distribusi pendapatan akan semakin timpang. Rasidin Karo-Karo Sitepu (2007) menganalisis mengenai dampak investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak investasi sumberdaya manusia sektoral dan transfer pendapatan rumah tangga terhadap indikator makroekonomi, output, penyerapan tenaga kerja, tingkat harga di sektoral, pendapatan, distribusi pendapatan serta tingkat kemiskinan kelompok rumah tangga. Penelitian ini menggunakan model computable general equilibrium (CGE), model ekonometrik, serta metoda FGT dan Beta Distribution Function. Penelitian ini menggunakan metode Beta Distribution Function untuk mengevalusai ketimpangan distribusi pendapatan dan untuk mengevaluasi kemiskinan digunakan model ekonomi keseimbangan umum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permintaan tenaga kerja sektoral meningkat sebagai akibat dari peningkatan investasi sumberdaya manusia untuk pendidikan, distribusi pendapatan cenderung menjadi lebih merata dan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan lebih berkurang karena peningkatan investasi sumberdaya manusia. Selain itu ia juga mengemukakan bahwa peningkatan investasi sumberdaya manusia lebih efektif menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia dibandingkan dengan transfer pendapatan yang dilakukan pemerintah kepada kelompok rumahtangga pedesaan. Ajid Hajiji (2010) menganalisis mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, dan pengentasan kemiskinan di provinsi Riau. Penelitian ini menggunakan data sekunder mulai tahun 2002 hingga 2008 dengan analisis regresi data panel Hasil penelitian dengan metode fixed effect menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau ternyata juga meningkatkan ketimpangan pendapatan. Peningkatan ketimpangan pendapatan tersebut mengurangi efektivitas pertumbuhan ekonomi dalam pengentasan kemiskinan. Rofiq Nur Rizal (2012) menganalisis mengenai peran pendidikan terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis jenjang pendidikan yang berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia serta peran pendidikan dasar dalam mengurangi kemiskinan. Penelitian yang dilakukannya menggunakan data sekunder dari tahun 2007 hingga 2010 dengan analisis regresi data panel. Hasil penelitian dengan metode fixed effect menghasilkan kesimpulan yaitu jenjang pendidikan dasar tidak cukup berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia tetapi justru berperan menambah tingkat kemiskinan sehingga kebijakan nasional wajib pendidikan dasar sembilan tahun tidak cukup dalam menanggulangi kemiskinan. selain itu penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon jenjang pendidikan terhadap pengurangan kemiskinan dimana jenjang pendidikan tinggi lebih berperan besar terhadap pengurangan kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sementara
15 jenjang pendidikan menengah masih berperan besar terhadap pengurangan kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Kerangka Pemikiran Pembangunan ekonomi diartikan sebagai proses yang berkesinambungan dari suatu masyarakat secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik. Menurut Todaro dan Smith (2006) salah satu tujuan inti yang harus dimiliki dari proses pembangunan adalah peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan. Tujuan pembangunan tersebut sulit terpenuhi apalagi untuk negara berkembang seperti Indonesia, dalam mewujudkan tujuan tersebut lebih memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dibandingkan kuantitas Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki oleh suatu negara. Hal tersebut karena SDA memiliki kuantitas yang terbatas sehingga semakin lama persediaan yang tersedia akan semakin sedikit sedangkan SDM yang berkualitas tidak memiliki kuantitas yang terbatas dan akan berkembang sepenjang waktu. Pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk SDM yang berkualitas melalui penguasaan IPTEK dan keterampilan Hal tersebut dapat terlihat dari berbagai indikator yang berkaitan dengan pendidikan, seperti: angka putus sekolah, rata-rata lama sekolah, rasio anggaran belanja pendidikan, PDRB per kapita, serta produktivitas tenaga kerja. Pendidikan dianggap sebagai barang mewah untuk penduduk yang bergolongan tidak mampu (miskin), karena keterbatasan dalam mengakses hal tersebut serta terkait biaya imbangan yang dikorbankan mereka lebih tinggi dibandingkan dengan pelajar yang bergolongan mampu. Ketika mereka bersekolah, mereka tidak dapat bekerja untuk membantu kedua orangtua mereka dalam meringankan biaya hidup sehingga tidak heran banyak yang mengalami putus sekolah di awal pendidikan. Apabila pembenahan terhadap hal ini tidak segera dilakukan maka kesempatan untuk memperoleh pendidikan lanjut hanya akan didasarkan oleh tinggi rendahnya tingkat pendapatan keluarga sehingga di masa mendatang pendapatan yang lebih baik akan didapatkan oleh kalangan yang berpendidikan tinggi yang merupakan golongan orang mampu maka semakin lama ketimpangan distribusi pendapatan akan semakin melebar. Oleh karena itu dibutuhkan sikap pemerintah yang serius untuk mencegah semakin melebarnya ketimpangan distribusi pendapatan tersebut.
16 Pembangunan ekonomi
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas
PENDIDIKAN
Perkembangan kondisi pendidikan dan ketimpangan distribusi pendapatan 33 provinsi di KBI dan KTI
Analisis Data Panel
Angka putus sekolah menurut jenjang pendidikan Rata-rata lama sekolah Rasio anggaran belanja pendidikan PDRB per kapita Produktivitas tenaga kerja
KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Rekomendasi Kebijakan Gambar 9 Kerangka Pemikiran Keterangan Alur analisis panel data Alur hubungan
Analisis Deskriptif
17
Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian sebelumnya maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu : 1. Rasio anggaran belanja sektor pendidikan diduga berpengaruh negatif terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. 2. PDRB per kapita sebagai proksi dari pertumbuhan ekonomi diduga berpengaruh negatif terhadap ketimpangan distribusi pendapatan 3. Indikator pendidikan seperti rata-rata lama sekolah berpengaruh negatif terhadap ketimpangan distribusi pendapatan sedangkan angka putus sekolah menurut jenjang pendidikan diduga berpengaruh positif terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. 4. Peningkatan modal manusia direpresentasikan dengan produktivitas tenaga kerja yang diduga berpengaruh negatif terhadap ketimpangan distribusi pendapatan.
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang mencakup 33 provinsi di Indonesia dengan menggunakan data panel yaitu menggabungkan data time series atau data deret waktu dengan kurun waktu tahunan yaitu periode tahun 2006 hingga tahun 2011 dan data cross section yang didapatkan dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu), serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud). Data yang digunakan dalam penlitian ini meliputi : 1. Indeks gini 33 provinsi di Indonesia tahun 2006 hingga 2011 yang bersumber dari badan pusat statistik (BPS). 2. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita 33 provinsi di Indonesia tahun 2006 hingga 2011 yang bersumber dari BPS. 3. Rata-rata lama sekolah 33 provinsi di Indonesia tahun 2006 hingga 2011 yang bersember dari BPS. 4. Jumlah tenaga kerja dan PDRB atas dasar harga konstan (ADHK) 2000 yang bersumber dari BPS. 5. Indikator pendidikan berupa angka putus sekolah menurut jenjang pendidikan 33 provinsi di Indonesia tahun 2006 hingga 2011 yang bersumber dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud). 6. Alokasi anggaran belanja pendidikan 33 provinsi di Indonesia tahun 2006 hingga 2011 yang bersumber dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu).
18 Metode Analisis dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode analisis deskriptif dan metode analisis kuantitatif berupa regresi data panel . Model regresi panel diolah dengan menggunakan software Eviews 6.1 yang merupakan program analisis data dan digunakan dalam bidang ekonometrik. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk melihat perkembangan kualitas pendidikan dan ketimpangan distribusi pendapatan 33 provinsi di Indonesia selama periode penelitian yaitu tahun 2006 hingga 2011. Analisis Kuantitatif Analisis kuantitatif dalam penelitian ini digunakan untuk melihat peran pendidikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan 33 provindi di Indonesia selama periode penelitian yaitu tahun 2006 hingga 2011. Metode analisis kuantitatif yang digunakan adalah analisis regresi data panel (pooled data). Data panel adalah data yang diperoleh dari data cross section yang diobservasi berulang pada unit individu (objek) yang sama pada waktu yang berbeda. Terdapat dua keuntungan penggunaan model data panel dibandingkan data time series atau cross section. Dengan mengombinasikan data time series dan cross section dalam data panel membuat jumlah observasi menjadi lebih besar sehingga parameter yang diestimasi akan lebih akurat dibandingkan dengan model lain dan keuntungan yang lebih penting yaitu dapat mengurangi masalah identifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja (Verbeek dalam Firdaus 2012). Data panel juga mampu mengontrol heterogenitas individu dan lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Hal ini berkaitan dengan observasi pada cross section yang sama secara berulang sehingga data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. Dengan mengombinasikan data time series dan cross section, data panel memberikan data yang lebih informatif, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas peubah, memperbesar derajat kebebasan, dan lebih efisien. Terdapat tiga pendekatan umum yang diaplikasikan data panel, yaitu: 1. Metode Pooled Least Square (PLS) Metode PLS ini menggunakan metode OLS biasa. Pada prinsipnya, pendekatan ini adalah menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled) Metode ini merupakan metode yang paling sederhana. Model yang digunakan yaitu :
Dimana i bersifat konstan untuk semua observasi. Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter akan bias yang disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode
19 yang sama atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda. 2. Metode Fixed Effect Model (FEM). Metode FEM muncul ketika antara efek individu dan peubah penjelas memiliki korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Pada metode ini, intersep pada regresi dapat dibedakan antar individu karena setiap individu dianggap mempunyai karakter tersendiri. Dalam membedakan intersepnya dapat digunakan peubah dummy, sehingga metode ini juga dikenal dengan model Least Square Dummy Variable (LSDV). Model yang digunakan dalam metode FEM yaitu: Yit = β0i + β1X1it + β2X2it + ……. + βnXnit + uit Dengan β0i merupakan intersep dan β1 β2 merupakan slope sedangkan i menunjukkan banyaknya data yang diobservasi pada cross section. Dari model tersebut terlihat bahwa intersep yang berbeda antar variable namun intersep masing-masing variable tidak berbeda antar waktu yang disebut time invariant. 3. Metode Random Effect Model (REM) Metode REM berbeda dengan metode FEM, pada metode REM β0i tidak lagi dianggap konstan, namun dianggap sebagai peubah random atau acak dengan suatu nilai rata-rata dari β1. Model yang digunakan dalam metode REM, yaitu : Yit = β0i + β1X1it + β2X2it + ……. + βnXnit + wit Komponen wit terdiri atas dua komponen yaitu sebagai komponen error dari masing-masing cross section dan sebagai error yang merupakan gabungan atas error dari data time series dan cross section. Berdasarkan hal tersebut, metode random ini dikenal juga dengan sebutan Error Components Model (ECM). Metode Pemilihan Model. 1. Uji Chow (Chow Test). Untuk mengetahui apakah model FEM lebih baik dibandingkan model PLS dapat dilakukan dengan melihat signifikansi model FEM dapat dilakukan dengan uji statistic F. Pengujian seperti ini dikenal juga dengan istilah Uji Chow atau Likelihood Test Ratio. Hipotesis dalam pengujian ini yaitu : H0 : model Pooled Least Square (PLS) H1 : model fixed effect (FEM) Jika nilai statistic F lebih besar dari nilai F tabel pada signifikansi tertentu, maka hipotesis nol (H0) akan ditolak sehingga teknik regresi data panel yang dipilih adalah metode FEM.
20 2. Uji Haussman. Untuk mengetahui apakah model fixed effect lebih baik dari model random effect digunakan uji Haussman. Dengan mengikuti kriteria Wald, nilai statistik Haussman akan mengikuti distribusi chi-square. Hipotesis dalam pengujian ini yaitu: H0: Random Effect Model (REM) H1 : Fixed Effect Model (FEM). Statistik uji Haussman mengikuti distribusi chi-square dengan derajat bebas sebanyak jumlah peubah bebas. Hipotesis nol (H0) ditolak jika nilai statistik Haussman lebih besar daripada nilai kritis statistik chisquare. Hal ini berarti model yang tepat untuk regresi data panel yaitu model FEM. Uji Kesesuaian Model 1. Kriteria Statistik a. Uji-F Uji F adalah statistik uji yang digunakan untuk membuktikan secara statistik bahwa seluruh variable independen berpengaruh secara bersama-sama terhadap variable dependen. Hipotesis yang digunakan dalam uji F yaitu : H0 : β0 = β1 = β2 = …. = βt = 0 H1 : minimal ada satu βt ≠ 0 Apabila Prob ( F-statistic) < α maka tolak H0. Hal ini berarti minimal terdapat satu variabel independen yang mempengaruhi variabel dependennya dan bila Prob ( F-statistic) > α maka terima Ho. Hal ini berarti tidak terdapat variabel indipenden yang mempengaruhi variabel dependennya. b. Uji-t Uji t adalah statistik uji yang digunakan untuk menunjukkan besarnya pengaruh masing-masing variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen. Hipotesis yang digunakan dalam dalam uji t yaitu : H0: βt = 0 H1 :βt ≠ 0 Jika t-statistik > t-tabel maka tolak H0. Hal ini berarti variabel dependen berpengaruh nyata terhadap variabel independen dan bila tstatistik < t-tabel maka terima H0. Hal ini berarti variabel dependen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel independennya. c. Uji Koefisien Determinasi (R2) Koefisien Determinasi (R2) merupakan angka yang memberikan persentase variasi total dalam variabel tak bebas (Y) yang dijelaskan oleh variabel bebas (X). Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui seberapa besar variabel independen dapat menerangkan variabel independen. Nilai R2 berkisar antara 0 hingga 1. Nilai R2 yang
21 mendekati 0 menyatakan bahwa kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel sangat terbatas, sedangkan nilai R2 yang mendekati 1 menyatakan bahwa kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel tidak terbatas dan model tersebut dikatakan semakin baik. 2. Kriteria Ekonometrika. a. Uji Heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas terjadi jika ragam sisaan tidak konstan. Gujarati (2006) menyatakan heteroskedasitisitas memiliki beberapa konsekuensi, yaitu: 1. Dugaan parameter koefisien regresi tetap tidak bias dan masih konsisten tetapi standar errornya dapat bias ke bawah. 2. Perhitungan standar error tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya karena varians tidak minimum sehingga dapat menghasilkan estimasi regresi yang tidak efisien. 3. Uji hipotesis yang didasarkan pada uji F-statistic dan t-statistic tidak dipercaya. Untuk mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas dalam metode data panel dapat dilakukan dengan menggunakan metode Generalized Least Square (GLS) yaitu dengan membandingkan sum square residual pada weighted statistic dengan sum square residual pada unweighted statitic. Jika sum square residual pada weighted statistic lebih kecil dari sum square residual pada unweighted statistic maka heteroskedastisitas terjadi. b. Uji Multikolinearitas. Multikolinearitas berarti terdapat hubungan linier sempurna antara peubah bebas dalam suatu model regresi. Gujarati (2006) menyatakan indikasi terjadinya multikolinearitas dapat terlihat melalui : 1. Nilai R2 yang tinggi tetapi sedikit rasio yang signifikan. 2. Korelasi berpasangan yang tinggi antara variabel-variabel independennya. 3. Melakukan regresi tambahan (auxiliarry) dengan memberlakukan variabel independen sebagai salah satu variabel dependen dan variabel independen lainnya tetap diberlakukan sebagai variabel independen. Adanya multikolinearitas di dalam suatu model dapat terdeteksi, yaitu : dengan melakukan uji koefisien korelasi sederhana (Pearson correlation cefficient), jika korelasi antar peubah-peubah bebas sangat tinggi dan nyata dapat dikatakan terjadi multikolinearitas.Hal tersebut merupakan syarat cukup (sufficient condition) dalam mendeteksi multikolinearitas. Batas terjadinya korelasi antar variabel bebas antar variabel bebas adalah tidak boleh lebih dari tanda mutlak 0.8 selain itu multikolinearitas dapat terdeteksi juga dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF). Apabila nilai VIF lebih besar dari 5 atau 10 maka dapat dikatakan terjadi multikolinearitas. Masalah multikolinearitas serius apabila tujuan dari penelitian yang dilakukan yaitu melihat pengaruh variabel dependen terhadap variabel
22 independen. Cara mengatasi permasalahan multikolinearitas, antara lain: melakukan transformasi terhadap peubah-peubah dalam model menjadi bentuk first difference serta penambahan data baru. c. Uji Autokorelasi. Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu seperti dalam data time series atau dirutkan menurut ruang seperti data cross section. Autokorelasi disebabkan observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu dengan yang lainnya dan juga karena adanya kesalahan residual tidak bebas satu observasi ke observasi lainnya. Adanya autokorelasi dalam suatu model dapat terdeteksi, yaitu dengan melihat nilai Durbin-Watson (DW) statistic dalam model dan dibandingkan dengan nilai Durbin-Watson (DW) pada tabel. Model terbebas dari masalah autokorelasi apabila nilai DW terletak di area nonautokorelasi. Penentuan area tersebut dibantu dengan tabel DL dan DU. Hipotesis dalam pengujian autokorelasi, yaitu: H0 : tidak terdapat autokorelasi H1 : terdapat autokorelasi. Selang pengujian dalam autokorelasi, yaitu : 0 < d < DL : Tolak H0, ada autokorelasi positif D L ≤ d ≤ DU : daerah ragu-ragu, tidak ada keputusan DU < d < 4-DU : terima H0 tidak ada autokorelasi 4-DU ≤ d ≤ 4-DL : daerah ragu-ragu, tidak ada keputusan : tolak H0, ada autokorelasi negatif 4-DL < d < 4 d. Uji Normalitas Pengujian asumsi normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term mengikuti distribusi normal atau tidak. Pengujian uji normalitas dilakukan dengan uji Jarque-Bera atau dengan melihat plot dari sisaan. Hipotesis dalam pengujian normalitas yaitu : H0 : Residual berdistrtibusi normal H1 : Residual tidak berdistribusi normal Dasar penolakan H0 yaitu dengan membandingkan nilai Jarque Bera dengan taraf nyata α sebesar 0.05, bila nilai uji Jarque Bera lebih besar dari taraf nyata α 0.05 maka terima H0 dan residual berdistribusi normal sedangkan bila uji Jarque Bera lebih besar dari taraf nyata α 0.05 maka tolak H0 dan residual tidak berdistribusi normal. Perumusan Model Penelitian Ketimpangan distribusi pendapatan terjadi akibat tidak meratanya aset yang dimiliki oleh penduduk, yaitu berupa modal, tanah/bangunan, dan kesempatan dalam memperoleh basic needs yang dibutuhkan seperti pendidikan dan kesehatan. Dalam penelitian ini, perbedaan aset tersebut dapat terproksi dari berbagai variabel yaitu: indikator pendidikan seperti angka putus sekolah menurut
23 jenjang pendidikan dan rata-rata lama sekolah dalam melihat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada, begitu pula dengan produktivitas tenaga kerja yang juga memperlihatkan kualitas SDM dari suatu wilayah, PDRB per kapita untuk melihat tingkat kesejahteraan penduduk, serta rasio anggaran belanja sektor pendidikan untuk melihat tingkat keseriusan pemerintah di sektor pendidikan. Model yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Rofiq Nur Rizal (2012) dengan melakukan beberapa modifikasi pada variabel. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu IND dan variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu REDU, PDRBK, RATLS, DOSD, DOSMP,DOSMA,PDTV. Penelitian ini menganalisis peran pendidikan dalam mengatasi ketimpangan distribusi pendapatan yang mencakup 33 provinsi di Indonesia di Kawasan Barat dan Timur Indonesia. Kedua kawasan tersebut dianalisis dengan menggunakan model dalam persamaan ini yaitu : INDit = α0 + α1REDUit + α2 LNPDRBKit + α3DOSD it + α4DOSMPit + α5DOSMA it + α6LNRATLS it + α7LNPDTV it + uit Keterangan : IND REDU LNPDRBK LNRATLS DOSD DOSMP DOSMA LNPDTV α0 α1- α7 i t uit
= Indeks Gini = Rasio anggaran belanja fungsi pendidikan terhadap APBD = PDRB per kapita berdasarkan Atas Harga Konstan (AHK) 2000 = Rata-rata lama sekolah (tahun) = Angka Putus Sekolah Tingkat SD = Angka Putus Sekolah Tingkat SMP = Angka Putus Sekolah Tingkat SMA = Produktivitas Tenaga Kerja = intersept = parameter yang diduga = indeks dari 33 provinsi di Indonesia = indeks waktu (2006 hingga 2011) = error term
HASIL DAN PEMBAHASAN Ketimpangan Distribusi Pendapatan Tantangan utama dari pembangunan adalah memperbaiki kualitas kehidupan manusia. Kualitas hidup yang lebih baik ditandai dengan peningkatan pendapatan yang diperoleh dan pemerataan kesempatan, baik dalam hal pendidikan maupun kesehatan. Tidak meratanya kesempatan yang diperoleh akan mengindikasikan di masa mendatang kualitas kehidupan manusia akan menjadi semakin menurun salah satunya ditandai dengan distribusi pendapatan yang
24 semakin timpang. Ketimpangan distribusi pendapatan merupakan inti dari masalah pembangunan. Ketimpangan distribusi pendapatan dapat diukur dengan menggunakan indeks gini. Todaro (2006) menyatakan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan dinyatakan rendah apabila koefisien gini berada antara 0.20 sampai 0.35, sedang apabila koefisien gini berada antara 0.36 sampai 0.50, dan ketimpangan dinyatakan tinggi apabila koefisien gini berada antara 0.51 sampai lebih dari 0.7. Ketimpangan distribusi pendapatan terlihat jelas pada Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pada tahun 2006, indeks gini KBI dan KTI sama-sama sebesar 0.32 yang dikategorikan sebagai ketimpangan rendah kemudian pada tahun 2011 meningkat menjadi 0.37 untuk wilayah KBI dan 0.39 untuk wilayah KTI yang terkategorikan ketimpangan sedang. Adanya perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh adanya kesenjangan pencapaian pendidikan di kedua wilayah yang berakibat terjadinya kesenjangan kesejahteraan ekonomi dan kesenjangan sosial sehingga kesenjangan ketimpangan di antara keduanya semakin meningkat. 0.45 0.4
Koefisien Gini
0.35 0.3 0.25 0.2 0.15
KBI
0.1
KTI
0.05 0 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun Sumber : BPS, 2011
Gambar 10 Perkembangan Indeks Gini KBI dan KTI Tahun 2006-2011 Pada tahun 2009 hingga 2011, ketimpangan distribusi pendapatan di wilayah KBI memiliki tren yang meningkat. Pada tahun 2009, 16 provinsi dari 22 provinsi di wilayah KBI terkategorikan sebagai ketimpangan rendah dan pada tahun 2011, hanya sebanyak tujuh provinsi yang masih dinyatakan sebagai ketimpangan sedang. Provinsi tersebut adalah Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Selama tiga tahun tersebut provinsi yang memiliki perubahan indeks gini terbesar adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Pada tahun 2010 ketimpangan DKI Jakarta dan Jawa Barat sama-sama sebesar 0.36 dan meningkat menjadi 0.44 untuk DKI Jakarta dan 0.4 untuk Jawa Barat sedangkan provinsi dengan indeks gini terendah adalah provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan provinsi Riau yaitu masingmasing sebesar 0.3 dan 0.32 di tahun 2011.
25
Gini Ratio
0.5 0.4 0.3 0.2
2009 2010 2011
Kaltim
Kalteng
Kalbar
Bali
Banten
Jatim
Jateng
Jabar
DI Yogyakarta
Provinsi
DKI Jakarta
Kep. Riau
Kep. Babel
Lampung
Bengkulu
Sumsel
Jambi
Riau
Sumbar
Sumut
NAD
Gambar 10 Perkembangan Indeks Gini KBI Tahun 2009-2011
Kalsel
0.1 Sumber : BPS, 2012 0
Sumber : BPS, 2011
Gambar 11 Perkembangan Indeks Gini Provinsi-Provinsi KBI Tahun 2009-2011
Gini Ratio
Ketimpangan distribusi pendapatan di wilayah KTI juga mengalami tren yang meningkat selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2011, Provinsi NTB, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara mengalami penurunan indeks gini dengan indeks gini terendah adalah provinsi Maluku Utara sebesar 0.33. Pada tahun 2009 hingga 2011, provinsi Papua selalu memiliki indeks gini tertinggi dari provinsi lainnya yaitu sebesar 0.38 pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 0.42 di tahun 2011. Hal ini disebabkan Papua merupakan provinsi dengan jumlah penduduk yang tidak pernah bersekolah tertinggi. Pada tahun 2011 penduduk di Papua yang tidak pernah mengenyam pendidikan mencapai 38% dari total penduduk yaitu sebesar 579 913 orang. Pendidikan memiliki peran penting dalam memperbaiki kualitas dan kesejahteraan hidup seseorang. Banyaknya penduduk yang tidak mengenyam pendidikan mengindikasikan bahwa pendapatan yang diperoleh juga rendah sehingga ketimpangan distribusi pendapatan pun semakin meningkat. . 0.5 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
Sumber : BPS, 20112009
Provinsi
2010 Gambar 11 Perkembangan Indeks Gini Provinsi-Provinsi KBI Tahun 2009-2011 2011
Sumber : BPS, 2011
Gambar 12 Perkembangan Indeks Gini Provinsi-Provinsi KTI Tahun 2009-2011
26 Perkembangan Kondisi Pendidikan di Indonesia Pembangunan merupakan proses berkesinambungan dari suatu masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Menurut Todaro dan Smith (2006) salah satu tujuan inti dari pembangunan, yaitu peningkatan standar hidup tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja dan perbaikan kualitas pendidikan. Pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk kemampuan suatu negara untuk menyerap pengetahuan dan teknologi sehingga dapat meningkatkan produktivitas yang berakibat daya saing suatu negara akan semakin meningkat sehingga pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan dapat tercipta. Tingkat keberhasilan pendidikan dapat diukur dari berbagai indikator yang berhubungan dengan fungsi pendidikan, antara lain indikator pendidikan (rata-rata lama sekolah, angka putus sekolah), rasio anggaran belanja pendidikan, PDRB per kapita, serta produktivitas tenaga kerja. 1. Rata-rata Lama Sekolah Rata-rata lama sekolah yaitu rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang diikuti. Semakin tinggi rata-rata lama sekolah maka semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh. Indikator ini mencerminkan struktur dan kinerja dari sistem pendidikan dan dampaknya terhadap pembentukan akumulasi modal manusia (Unesco 2009). Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia, salah satunya dengan program wajib belajar sembilan tahun yang telah dicanangkan sejak tahun 1994, dengan program ini pemerintah mengharapkan jenjang pendidikan penduduk Indonesia minimal dapat menamatkan jenjang pendidikan SLTP. 8 7.8
Tahun
7.6 7.4
KBI
7.2
KTI
7 6.8 6.6 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber : BPS, 2011 (diolah)
Gambar 13 Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah KBI dan KTI Tahun 20062011 Setiap tahun rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia mengalami peningkatan,akan tetapi dari Gambar 13 dapat terlihat tidak terjadinya pemerataan pendidikan antara KBI dan KTI. Rata-rata lama sekolah KBI lebih tinggi dan selalu mengalami peningkatan sedangkan rata-rata lama sekolah di KTI sempat mengalami penurunan di tahun 2011. Faktanya, adanya peningkatan rata-rata lama sekolah tetap saja tidak dapat memenuhi target dari program pemerintah yaitu
27 minimal sembilan tahun untuk menempuh pendidikan sehingga diindikasikan bahwa jenjang pendidikan yang ditamatkan oleh pelajar di Indonesia mayoritas hanya pada tingkat dasar. Hal ini dikarenakan pengalokasian anggaran pemerintah dalam belanja pendidikan masih rendah sehingga tidak memungkinkan untuk membiayai semua anak usia sekolah secara gratis mulai dari SD hingga tamat SMP. Pada tahun 2006, rata-rata lama sekolah di KBI sebesar 7.4 tahun dan meningkat menjadi 7.9 tahun di 2011 sedangkan KTI memiliki rata-rata lama sekolah lebih rendah yaitu sebesar 7.1 tahun pada 2010 dan meningkat menjadi 7.6 tahun pada 2011. Hal ini dikarenakan anggaran belanja yang dialokasikan untuk sektor pendidikan provinsi-provinsi di KTI hanya sebesar 6.24% dari APBD sedangkan rata-rata provinsi di KBI lebih tinggi yaitu sebesar 9.22% dari APBD. 12
Tahun
10 8 6 4 2
Kaltim
Kalsel
Kalteng
Kalbar
Bali
Banten
Jatim
Jateng
Jabar
DKI Jakarta
Kep. Riau
Kep. Babel
Lampung
Bengkulu
Sumsel
DI Yogyakarta
2009 2010 2011
Jambi
Riau
Sumbar
Sumut
NAD
0
Provinsi
Sumber : BPS, 2011
Gambar 14 Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah Provinsi-Provinsi KBI Tahun 2009-2011 Rata-rata lama sekolah masing-masing provinsi di KBI dan KTI tergolong rendah walaupun selama tahun 2009 hingga tahun 2011 provinsi-provinsi di wilayah KBI ataupun KTI mayoritas mengalami peningkatan. Provinsi DKI Jakarta memiliki rata-rata lama sekolah tertinggi selama tiga tahun terakhir yaitu sebesar 10.3 tahun pada 2009 dan 2010 kemudian meningkat menjadi 10.4 tahun pada tahun 2011. Provinsi DKI Jakarta adalah satu-satunya provinsi yang berhasil melaksanakan program pemerintah wajib belajar sembilan tahun, hal ini dikarenakan rata-rata alokasi anggaran belanja pendidikan provinsi ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya yaitu mencapai 16.14% dari APBD sehingga dapat memungkinkan untuk membiayai semua anak secara gratis pada jenjang pendidikan SD dan SLTP. Provinsi lainnya yang memiliki rata-rata lama sekolah tertinggi yaitu provinsi Kepulauan Riau, DI Yogyakarta dan Kalimantan timur yaitu masing-masing sebesar 10 tahun dan 9.1 tahun pada tahun 2011.
Tahun
28 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
2009 2010 2011
Provinsi
Sumber : BPS, 2011
Gambar 15 Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah Provinsi-Provinsi KTI Tahun 2009-2011 Rata-rata lama sekolah provinsi-provinsi yang berada di wilayah Timur Indonesia lebih tertinggal dibandingkan dengan kawasan barat seperti dapat terlihat pada Gambar 15. Provinsi Papua memiliki rata-rata lama sekolah terendah, tidak hanya untuk wilayah KTI tetapi untuk wilayah di seluruh Indonesia selama tahun 2009 hingga 2011 yaitu sebesar 6.4 tahun di 2009 dan menurun menjadi 5.8 tahun pada tahun 2011. Hal tersebut mengindikasikan rata-rata penduduk di provinsi tersebut hanya tamat pada jenjang pendidikan dasar, yaitu SD. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas SDM di provinsi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan provinsi lainnya. Hal ini dikarenakan rata-rata anggaran yang dialokasikan Papua selama tahun 2009 hingga 2011 untuk pendidikan hanya sebesar 5.1% dari APBD. 2. Anggaran Fungsi Pendidikan Pendidikan merupakan barang mewah bagi masyarakat golongan miskin (tidak mampu) sehingga dalam mengakses pendidikan tidaklah mudah bagi mereka. Pemerintah wajib untuk menjamin hak-hak sosial masyarakat,salah satunya di sektor pendidikan. Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan,bahkan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan untuk itu pemerintah bertanggung jawab membiayainya. Tanggung jawab pemerintah dibuktikan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menyebutkan bahwa bahwa pemerintah harus mengalokasikan anggaran di sektor pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) selain gaji pendidik dan biaya kedinasan. Kebutuhan anggaran yang harus disediakan oleh pemerintah tergantung dari proses perumusan program pendidikan yang akan dilakukan. Rasio anggaran belanja pendidikan merupakan rasio pengeluaran pemerintah pusat dan daerah di sektor pendidikan terhadap APBN dan APBD. Angka ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang
29 dimilki. Semakin tinggi persentase anggaran pendidikan yang dikeluarkan maka diharapkan semakin tinggi kualitas SDM nya. Keberhasilan tingkat pendidikan di Indonesia juga dapat terlihat dari besar kecilnya anggaran yang dialokasikan pemerintah di sektor pendidikan. 12 10
Persen
8 6 KBI
4
KTI 2 0 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun Sumber : Kementerian Keuangan, 2011 (diolah)
Gambar 16 Perkembangan Rasio Anggaran Belanja Pendidikan KBI dan KTI Tahun 2006-2011 Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Keuangan, rasio anggaran belanja di KBI dan KTI mengalami fluktuasi. Selama tahun 2006 hingga 2011, anggaran yang disediakan pemerintah sempat mengalami penurunan di tahun 2008 sebesar 0.71% untuk KBI dan 1.06% untuk KTI lalu kembali meningkat sehingga menjadi 10.53% untuk KBI dan 6.95% dari APBD untuk KTI. Anggaran yang dialokasikan KBI lebih tinggi dibandingkan dengan KTI akan tetapi alokasi anggaran tersebut jauh dari alokasi anggaran yang seharusnya untuk pendidikan seperti yang ditetapkan oleh UU Sisdiknas yaitu sebesar 20% dari APBD yang mengindikasikan masih rendahnya kesadaran pemerintah daerah tentang pentingnya peran pendidikan Rasio anggaran belanja sektor pendidikan provinsi-provinsi di wilayah KBI lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah KTI. Alokasi anggaran pendidikan tertinggi yaitu provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Riau. Pada tahun 2010 dan 2011, Jakarta telah berhasil mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan sebesar 26.21% dari APBD dan 29.11% dari APBD dan merupakan provinsi dengan pengalokasian anggaran pendidikan tertinggi baik di wilayah KBI ataupun KTI, seperti yang terlihat pada Gambar 17. Hal ini memperlihatkan bahwa hanya Jakarta saja yang mampu menjalankan ketetapan UU Sisdiknas tersebut.
30 30.0
Persen
25.0 20.0 15.0 10.0 5.0
2009 2010 2011
Kaltim
Kalsel
Kalteng
Kalbar
Bali
Banten
Jatim
DI Yogyakarta
Jateng
Jabar
DKI Jakarta
Kep. Riau
Lampung
Bengkulu
Sumsel
Kep. Babel
.
Jambi
Riau
Sumbar
Sumut
NAD
0.0
Provinsi
Sumber : Kementerian Keuangan, 2011 (diolah)
Gambar 17 Perkembangan Rasio Anggaran Belanja Pendidikan Provinsi-Provinsi KBI Tahun 2009-2011 Selama tahun 2009 hingga tahun 2011, alokasi anggaran belanja pendidikan provinsi-provinsi di KTI tidak ada yang dapat memenuhi ketetapan UU Sisdiknas yaitu sebesar 20% dari APBD. Pada tahun 2011, sebagian besar provinsi-provinsi di KTI mengalokasikan anggaran belanja pendidikan kurang dari 10% dari APBD, hanya provinsi Maluku dan Gorontalo yang mengalokasikan anggaran lebih dari 10% untuk pendidikan yaitu masing-masing sebesar 12.9 % dan 11.4% dari APBD sedangkan alokasi anggaran pendidikan terendah adalah provinsi Nusa Tenggara Barat. Provinsi NTB memiliki rasio anggaran belanja pendidikan terendah di Indonesia selama tahun 2009 hingga 2011. Provinsi ini mengalokasikan anggaran sebesar 13.3% dari APBD untuk sektor ekonomi di tahun 2011 sedangkan untuk sektor pendidikan hanya sebesar 2.4% dari APBD lebih tinggi 10.9%.
Persen
16.0 14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
2009 2010 2011
Provinsi
Sumber : Kementerian Keuangan, 2011 (diolah)
Gambar 18 Perkembangan Rasio Anggaran Belanja Pendidikan Provinsi-Provinsi KTI Tahun 2009-2011
31 Pada tahun 2011, provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang dapat mengalokasikan anggaran belanja pendidikan di atas 10% dari APBD adalah provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Jambi, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah sedangkan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) hanya provinsi Gorontalo dan Maluku sedangkan provinsi lainnya baik di KBI ataupun KTI hanya mengalokasikan anggaran belanja pendidikan di bawah 10% dari APBD 3. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita Pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan hal tersebut diukur dengan pendapatan per kapita yang merupakan pendapatan rata-rata penduduk. Bank Dunia mengelompokkan tinggi rendahnya pendapatan per kapita suatu negara ke dalam empat kelompok. Setiap tahun pada tanggal 1 juli Bank Dunia merevisi klasifikasi ekonomi dunia didasarkan pada perkiraan pendapatan per kapita pada tahun sebelumnya. Pada 1 juli 2012, Bank Dunia mengklasifikasikan pendapatan dengan PDB perkapita sebagai berikut : 1. Negara berpendapatan rendah (low income) yaitu negara yang memiliki PDB perkapita $1 025 atau kurang 2. Negara berpendapatan Menengah rendah (Lower middle Income) yaitu negara yang memiliki PDB perkapita $1 026 hingga $ 4 035 3. Negara berpendapatan menengah tinggi ( Upper middle income) yaitu negara yang memiliki PDB perkapita $ 4 036 hingga $ 12 475 4. Negara berpendapatan tinggi (High Income) yaitu negara yang memiliki PDB perkapita $12 476 atau lebih Pendapatan per kapita juga merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menganalisis kesenjangan dalam pembangunan ekonomi selain itu pendapatan per kapita juga dapat digunakan untuk melihat laju perkembangan ekonomi yang dicapai oleh suatu daerah atau negara. Di tingkat nasional dikenal dengan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dan di tingkat daerah dikenal dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. Pendapatan per kapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan dari suatu negara atau daerah dengan jumlah penduduk wilayah tersebut. Pada tahun 2006, Indonesia memiliki PDB per kapita sebesar 8.1 juta rupiah dan terus meningkat menjadi 10.1 juta rupiah di tahun 2011. Tambunan (2003) menyebutkan bahwa jika PDRB per kapita diatas dua juta rupiah maka dianggap tinggi dan jika dibawah dua juta rupiah maka dianggap rendah. Dari gambar 19, dapat terlihat bahwa baik KBI maupun KTI memiliki PDRB per kapita di atas dua juta rupiah. Selama tahun 2006 hingga 2011, PDRB per kapita KBI jauh lebih tinggi dibandingkan PDRB per kapita KTI, hal ini dikarenakan perekonomian wilayah barat Indonesia jauh lebih produktif dibandingkan dengan perekonomian timur Indonesia. Kawasan Barat Indonesia (KBI) memiliki SDM dan infrastruktur yang jauh lebih baik dengan kualitas yang lebih baik pula dibandingkan KTI. Pada tahun 2006, PDRB per kapita KBI sebesar 11.5 juta rupiah meningkat menjadi 12.7 juta rupiah di tahun 2011 sedangkan PDRB per kapita KTI sebesar 6.9 juta rupiah dan meningkat menjadi 9.9 juta rupiah di tahun 2011.
32 .
14
Juta rupiah
12 10 8 6 KBI
4
KTI
2 0 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun Sumber : BPS, 2011
Gambar 19 Perkembangan PDRB Per Kapita ADHK 2000 KBI dan KTI Tahun 2006-2011 PDRB per kapita provinsi-provinsi di KBI memiliki tren yang meningkat selama tahun 2009 hingga 2011. Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, dan Riau memiliki PDRB perkapita lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya. Provinsi DKI Jakarta memiliki PDRB per kapita sebesar 39.2 juta rupiah di tahun 2010 dan meningkat menjadi 41.2 juta rupiah di tahun 2011. Provinsi Kalimantan Timur memiliki PDRB per kapita kedua tertinggi yaitu sebesar 31.2 juta rupiah di tahun 2011. Hal ini dikarenakan kedua provinsi tersebut memiliki kekayaan sumber daya, Jakarta memiliki SDM yang berkualitas dan Kalimantan Timur merupakan provinsi penghasil migas. Provinsi dengan PDRB per kapita terendah adalah provinsi Lampung yaitu sebesar 5.04 juta rupiah di tahun 2011.
Juta rupiah
50.00 40.00 30.00 20.00 10.00
Kaltim
Kalsel
Kalteng
Kalbar
Bali
Banten
Jatim
Jateng
Jabar
DKI Jakarta
Kep. Riau
Kep. Babel
Bengkulu
Sumsel
Lampung
Provinsi
DI Yogyakarta
2009 2010 2011
Jambi
Riau
Sumbar
Sumut
NAD
0.00
Sumber :BPS, 2011
Gambar 20 Perkembangan PDRB per Kapita ADHK 2000 Provinsi-Provinsi KBI Tahun 2009-2011
33
Juuta rupiah
Provinsi-provinsi di KTI memiliki PDRB per kapita lebih rendah dibandingkan dengan provinsi-provinsi di KBI, hanya Provinsi Papua Barat saja yang memiliki PDRB per kapita lebih tinggi dibandingkan dengan provinsiprovinsi di wilayah KBI sedangkan provinsi dengan PDRB per kapita terendah adalah provinsi NTT dan Gorontalo yaitu sebesar 2.9 juta rupiah di tahun 2011. Hal ini dikarenakan perekonomian provinsi tersebut kurang produktif dibandingkan dengan provinsi lainnya. Provinsi NTT memiliki SDM dan infrastruktur dengan kualitas yang kurang baik dibandingkan dengan provinsi lainnya. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
2009 2010 2011
Provinsi
Sumber :BPS, 2011
Gambar 21 Perkembangan PDRB per Kapita ADHK 2000 Provinsi-Provinsi KTI Tahun 2009-2011 4. Produktivitas Tenaga Kerja Produktivitas tenaga kerja mencerminkan tingkat produktivitas dari suatu wilayah. Produktivitas tenaga kerja terlihat dari perbandingan antara input dan output yang dihasilkan oleh suatu wilayah. Sumber Daya Manusia (SDM) mencerminkan tingkat produktivitas, SDM dengan kualitas yang lebih baik maka akan menghasilkan tingkat produktivitas yang lebih tinggi yang berkaitan pula dengan tingkat pendapatan yang diterima oleh penduduk tersebut. Produktivitas yang tinggi di suatu wilayah mencerminkan semakin baiknya SDM yang dimiliki.Tingkat produktivitas dapat dinaikkan salah satunya dengan cara investasi di bidang pendidikan dan pelatihan untuk menambah keterampilan pengelolaan setiap orang (tenaga kerja) yang terlibat. Produktivitas tenaga kerja di negara-negara berkembang termasuk Indonesia tergolong rendah. Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan lemahnya kekuatan dan kesehatan fisik para pekerja akibat rendahnya tingkat pendapatan yang diterima. Pendapatan yang rendah menyebabkan kesulitan bagi mereka untuk mengonsumsi makanan sehat yang mengandung gizi yang baik. Kualitas maupun kuantitas makanan tersebut mempengaruhi kesehatan tenaga kerja sehingga berakibat pada produktivitas tenaga kerja. Produktivitas yang rendah menyebabkan pendapatan yang rendah dan selanjutnya akan menyebabkan ketidakmampuan dalam penyediaan makanan bergizi yang dapat menyebabkan
34 rendahnya kapasitas untuk bekerja sehingga produktivitas menjadi semakin rendah. Hal tersebut seperti apa yang telah dikemukakan oleh Gunnar Myrdall. Selama tahun 2006 hingga tahun 2011, produktivitas tenaga kerja Indonesia baik di wilayah barat ataupun timur memiliki tren yang semakin meningkat. Hal ini menyiratkan bahwa perekonomian Indonesia telah semakin membaik. Akan tetapi, seperti yang terlihat pada Gambar 22 terjadinya kesenjangan perekonomian yang tercermin dari perbedaan produktivitas tenaga kerja antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) sangat jelas terlihat. Produktivitas tenaga kerja KBI pada tahun 2011 mencapai 26.2 juta rupiah sedangkan wilayah KTI hanya sebesar 13.2 juta rupiah yaitu hanya sebesar 51% dari wilayah KBI. Hal ini dikarenakan kualitas SDM di wilayah KTI jauh tertinggal dibandingkan dengan wilayah KBI akibat adanya ketidakmerataan pendidikan yang diterima dantara kedua wilayah tersebut. 30
Juta rupiah
25 20 15 KBI
10
KTI
5 0 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun Sumber : BPS, 2011
Gambar 22 Perkembangan Produktivitas Tenaga Kerja KBI dan KTI Tahun 20062011 Selama tahun 2009 hingga 2011, produktivitas tenaga kerja provinsiprovinsi di wilayah barat Indonesia mayoritas memiiki tren yang meningkat. Peningkatan produktivitas tenaga kerja tertinggi adalah provinsi DKI Jakarta dengan peningkatan hingga 7.6 juta rupiah menjadi 92 juta rupiah pada tahun 2011. Provinsi lainnya yang memiliki produktivitas tenaga kerja tertinggi adalah provinsi Kalimantan Timur sebesar 72.4 juta rupiah , Kepulauan Riau sebesar 56 juta rupiah di tahun 2011 dimana pada tahun 2010 hanya sebesar 53.4 juta rupiah, dan Riau sebesar 42.3 juta rupiah pada tahun 2011. Provinsi DKI Jakarta memiliki SDM dan infrastruktur yang lebih banyak dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan provinsi lainnya sehingga produktivitas tenaga kerja di provinsi tersebut jauh lebih tinggi,
35
juta rupiah
100.0 80.0 60.0 40.0 20.0
2009 2010 2011
Kaltim
Kalsel
Kalteng
Kalbar
Bali
Banten
Jatim
DI Yogyakarta
Jateng
Jabar
DKI Jakarta
Kep. Riau
Kep. Babel
Lampung
Bengkulu
Sumsel
Jambi
Riau
Sumbar
Sumut
NAD
0.0
Provinsi
Sumber :BPS, 2011
Gambar 23 Perkembangan Produktivitas Tenaga Kerja Provinsi-Provinsi KBI Tahun 2009-2011 Mayoritas provinsi-provinsi di KTI juga mengalami peningkatan produkvitas tenaga kerja selama tahun 2009 hingga tahun 2011. Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara mengalami peningkatan produktivitas tenaga kerja tertinggi yaitu sebesar 0.7 juta rupiah menjadi sehingga masing-masing menjadi sebesar 16.3 juta rupiah dan 12.3 juta rupiah akan tetapi produktivitas tenaga kerja tertinggi selama tiga tahun terakhir adalah provinsi Sulawesi Utara. Produktivitas tenaga kerja provinsi ini pada tahun 2011 sebesar 19.9 juta rupiah sedangkan produktivitas tenaga kerja terendah berada di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu sebesar 5.5 juta rupiah di tahun 2009 dan meningkat menjadi 5.9 juta rupiah di tahun 2011 walaupun mengalami peningkatan, produktivitas tenaga kerja provinsi ini masih tetap yang terendah. Produktivitas tenaga kerja tertinggi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) hanya sekitar 20% dari produktivitas tenaga kerja tertinggi di Kawasan Barat Indonesia (KBI). Produktivitas tenaga kerja diharapkan semakin dapat mendekati bahkan menyamai produktivitas tenaga kerja KBI. Hl ini mungkin dilakukan apabila provinsi-provinsi di wilayah KTI dapat memperbaiki kualitas pendidikannya sehingga SDM yang dihasilkan dapat lebih berkualitas sehingga tingkat produktivitas tenaga kerja kian meningkat.
Juta rupiah
36 20.0 18.0 16.0 14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
2009 2010 2011
Provinsi
Sumber :BPS, 2011
Gambar 24 Perkembangan Produktivitas Tenaga Kerja Provinsi-Provinsi KTI Tahun 2009-2011 5. Angka Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari tingginya tingkat pendidikan yang ditempuh. Adanya putus sekolah mencerminkan masih terdapatnya pelajar yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Putus sekolah adalah proses berhentinya siswa dari lembaga pendidikan formal tempatnya belajar. Angka putus sekolah yang semakin sedikit mengindikasikan bahwa kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dari suatu negara semakin baik karena semakin tingginya jenjang pendidikan yang dijalani oleh penduduk suatu negara. Angka putus sekolah merupakan salah satu indikator pendidikan yang dapat memperlihatkan adanya kesenjangan pendidikan pada setiap tingkat pendidikan yang dijalani. Pada tahun 2006, di wilayah KBI angka putus sekolah pada jenjang pendidikan menengah pertama (SMP) lebih tinggi dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya akan tetapi pada tahun 2011 jenjang pendidikan menengah atas (SMA) memiliki angka putus sekolah tertinggi. Pada tahun 2006, angka putus sekolah tingkat SD sebesar 2% , SMP sebesar 4.5% dan tingkat SMA sebesar 2.6% kemudian pada tahun 2011 menurun menjadi 0.6% di tingkat SD, 1.7% tingkat SMP, dan 2% untuk tingkat SMA.
Persen
37 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
SD SMP SMA
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Sumber :BPS, 2011
Gambar 24 Perkembangan Angka Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan KBI Tahun 2006-2011 Angka putus sekolah di kawasan timur Indonesia sama seperti di kawasan barat Indonesia yaitu di tahun 2006 angka putus sekolah tertinggi berada pada tingkat menengah pertama (SMP) sedangkan pada tahun 2011, angka putus tertinggi yaitu pada tingkat menengah atas (SMA). Hal ini dikarenakan alokasi anggaran belanja sektor pendidikan di kedua wilayah masih sangat jauh sesuai dengan ketetapan UU Sisdiknas dan anggaran BOS (Bantuan Operasional Sekolah) hanya untuk membiayai secara gratis semua anak usia sekolah pada jenjang pendidikan SD dan SMP saja. Angka putus sekolah SD di kedua wilayah lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas penduduk Indonesia telah menamatkan jenjang pendidikan dasar (SD) dan hal itu dinilai masih sangat tidak cukup untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka di masa mendatang.
Persen
6 5
SD
4
SMP SMA
3 2 1 0 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun Sumber :BPS, 2011
Gambar 24 Perkembangan Angka Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan KTI Tahun 2006-2011
38
9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
SMA SMP
Kaltim
Kalsel
Kalteng
Kalbar
Bali
Jatim
Banten
DI Yogyakarta
Jateng
Jabar
DKI Jakarta
Kep. Riau
Kep. Babel
Lampung
Bengkulu
Jambi
Sumsel
Riau
Sumbar
Sumut
SD NAD
Persen
Fakta yang ada saat ini, angka putus sekolah tingkat menengah atas (SMA) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat dasar (SD) dan menengah pertama (SMP). Angka putus sekolah yang tinggi mayoritas berasal dari keluarga miskin, menurut data BPS tahun 2007 angka putus sekolah yang berasal dari keluarga miskin untuk jenjang pendidikan dasar (SD) sebesar 1.78% dan berasal dari golongan mampu sebesar 0.38%. hal ini disebabkan tingginya biaya oportunitas tenaga kerja jika anaknya bersekolah. Anak-anak dari keluarga miskin umumnya dibutuhkan tenaganya untuk membantu keluarga. Jika waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk bekerja dipakainya untuk bersekolah maka akan menimbulkan kerugian bagi keluarga yaitu kehilangan input tenaga kerja yang diperlukannya. Akibat dari tingginya biaya oportunitas, kehadiran dan prestasi di sekolah cenderung lebih rendah dibandingkan dengan keluarga yang lebih mampu. Menurut Todaro dan Smith (2006), prestasi yang buruk tidak ada kaitannya dengan kecerdasan anak tersebut melainkan hal tersebut hanya menunjukkan kondisi lingkungan dan daya dukung ekonomi keluarga mereka yang kurang menguntungkan.
Provinsi Sumber :BPS, 2011
Gambar 25 Angka Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan KBI Tahun 2011 Pada tahun 2011, angka putus sekolah tingkat SMA untuk seluruh provinsi di KBI jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Angka putus sekolah tertinggi yaitu provinsi Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sumatra Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung. Kalimantan Barat memiliki angka putus sekolah tertinggi yaitu sebesar 4.62% dan Sumatera Utara sebesar 4.55%. Angka putus sekolah tingkat SMP lebih rendah dibandingkan dengan angka putus sekolah tingkat SMA. Provinsi dengan angka putus sekolah SMP tertinggi adalah provinsi Kepulauan Bangka Belitung yaitu sebesar 3.24% dan provinsi Kalimantan Selatan yaitu sebesar 3.04%. Angka putus sekolah tingkat SD memiliki jumlah paling rendah dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya, pada tingkat SD, angka putus sekolah tertinggi berada di provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar 1.66% dan provinsi Kalimantan Barat sebesar 1.19% sedangkan provinsi DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan
39 Indonesia memiliki angka putus sekolah masing-masing sebesar 0.56%, 0.25%, 0.55% untuk setiap jenjang pendidikan mulai SD hingga SMA. 12.00
Persen
10.00 8.00 6.00 SMA
4.00
SMP
2.00
SD
0.00
Provinsi Sumber :BPS, 2011
Gambar 26 Angka Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan KTI Tahun 2011 Angka putus sekolah tertinggi provinsi-provinsi di KTI juga terdapat pada jenjang pendidikan tingkat menengah atas (SMA). Provinsi-provinsi di KTI memiliki angka putus sekolah lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi di KBI. Pada tingkat SMA, angka putus sekolah tertinggi adalah provinsi Sulawesi Tengah yaitu sebesar 6.58% dan Sulawesi Utara sebesar 6.11%. Provinsi Papua Barat dan Sulawesi Utara memiliki angka putus sekolah tertinggi pada jenjang pendidikan SMP yaitu sebesar 2.87% dan 1.88%. Angka putus sekolah terendah berada pada jenjang pendidikan dasar (SD) dengan provinsiSulawesi Barat dan Kepulauan Bangka Belitung memiliki angka putus sekolah tertinggi sebesar 2.37% dan 1.88%. Setiap tahunnya jumlah putus sekolah di Indonesia mengalami penurunan, akan tetapi angka putus sekolah tersebut dinilai masih tinggi oleh Menteri Pendidikan. Penelitian yang dilakukan BPS tahun 2009 terhadap anak usia 7 sampai 18 tahun yang tidak sekolah dan putus sekolah menunjukan terdapat lima faktor utama penyebab anak putus sekolah yaitu : masalah finansial (56.4%), harus membantu orang tua bekerja (9.8%), perasaan puas dengan tingkat pendidikan yang sudah diraih (5.1 %), Harus menikah dan mengurus anak (3.0%), dan Jarak sekolah yang jauh (2.7% ). Tingginya angka putus sekolah di Indonesia menyebabkan peringkat indeks pembangunan Indonesia rendah yakni peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index yang dikeluarkan dalam laporan Education for All Global Monitoring Report yang dirilis oleh UNESCO tahun 2011. Pemerintah sangat menyadari akan hal tersebut, oleh karena itu mereka berusaha untuk mengurangi angka putus sekolah dengan mengikutsertakan pemerintah daerah untuk membuka posko gerakan anti putus sekolah dan melalui pemberian bantuan dana dengan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
40 6. Rasio Guru-Murid Kementerian Pendidikan Nasional menerbitkan Rencana Strategis (Renstra) nasional tahun 2010-2014 yang disusun berdasarkan UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasonal, UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian Pendidikan 2010). Salah satu pilar utama dalam mewujudkan renstra tersebut adalah peningkatan kualitas pendidikan. Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak terlepas dari peran strategis guru. Guru merupakan bagian yang paling penting dalam satuan pendidikan. Pemerintah pun menerbitkan Undang-Undang No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang mengamanatkan bahwa pada tahun 2015 semua guru dan dosen telah memiliki sertifikat sebagai pendidik. Peningkatan profesionalisme dan kinerja tenaga kependidikan melalui reformasi birokrasi dan manajemen pembinaan kepegawaian diharapkan akan mampu mendukung pembangunan pendidikan . Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan. Tetapi selain pentingnya kualitas guru, kuantitas guru di sekolah juga harus diperhatikan. Kuantitas guru harus seimbang dengan kuantitas murid yang diajar di sekolah untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang lebih baik. . 25
Persen
20 15 SD 10
SMP SMA
5 0 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun Sumber :BPS, 2011 (diolah)
Gambar 27 Perkembangan Rasio Guru Murid Menurut Jenjang Pendidikan KBI Tahun 2006-2011 Pada tahun 2006, rasio guru murid di SD lebih tinggi dibandingkan jenjang pendidikan lainnya akan tetapi pada tahun 2011 rasio guru murid SMA meningkat sehingga menjadi tertinggi dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Pada tahun 2011, pada jenjang pendidikan SD rasio guru terhadap murid sebesar 17 siswa per guru, di tingkat SMP sebesar 16 siswa per guru dan SMA mencapai 21 siswa per guru. Pada tahun 2011 hanya jenjang pendidikan SMA saja yang mengalami peningkatan rasio guru terhadap murid sedangkan jenjang pendidikan lainnya rasio guru terhadap murid mengalami penurunan. Semakin tinggi nilai rasionya, maka akan semakin berkurang perhatian guru terhadap murid sehingga kualitas pengajaran akan cenderung semakin rendah. Hal ini umumnya
41 diasumsikan bahwa rasio guru-murid yang rendah menandakan kelas yang lebih kecil yang memungkinkan para guru untuk lebih memperhatikan individu siswa, yang mungkin dalam jangka panjang menghasilkan performa yang lebih baik dari murid. 25
Persen
20 15 SD
10
SMP SMA
5 0 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun Sumber :BPS, 2011 (diolah)
Gambar 28 Perkembangan Rasio Guru Murid Menurut Jenjang Pendidikan KTI Tahun 2006-2011 Seperti pada Kawasan Barat Indonesia (KBI), di Kawasan Timur Indonesia (KTI) rasio guru murid tertinggi juga berada pada jenjang pendidikan SD, walaupun setiap tahunnya mengalami penurunan akan tetapi pada tahun 2011 jenjang pendidikan SD tetap memiliki rasio guru murid tertinggi dibandingkan jenjang pendidikan lainnya.. Pada tahun 2011, jenjang pendidikan SD rasio guru terhadap murid sebesar 18 siswa per guru, pada jenjang pendidikan SMP sebesar 15 siswa per guru dan SMA mencapai 15 siswa per guru. Selama tahun 2006 hingga tahun 2011 jenjang pendidikan SMP dan SMA mengalami peningkatan rasio guru murid. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan di KTI lebih tertinggal dibandingkan KBI karena KTI mengalami kekurangan tenaga pengajar di jenjang pendidikan menengah selain itu guru-guru di KTI mengajar lebih banyak murid sehingga kualitas menjadi lebih berkurang.
42 70 60
Persen
50 40 30 20
SMA
10
SMP SD
Kalsel Kaltim
Kalteng
Kalbar
Banten Bali
Jatim
DI Yogyakarta
Jabar Jateng
DKI Jakarta
Kep. Riau
Lampung Kep. Babel
Bengkulu
Sumsel
Riau Jambi
Sumut
Sumbar
NAD
0
Provinsi Sumber :BPS, 2011 (diolah)
Gambar 29 Perkembangan Rasio Guru Murid Menurut Jenjang Pendidikan Provinsi-Provinsi KBI Tahun 2011 Terjadinya disparitas pendidikan berupa jumlah guru yang tidak merata terlihat dari provinsi-provinsi di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI). Pada tahun 2011, rasio guru murid tertinggi di jenjang pendidikan SD adalah provinsi Banten sebesar 25 murid per guru dan Jawa Barat sebesar 24 murid per guru. Untuk SMP provinsi Kalimantan Selatan, Banten, dan Jawa Barat memiliki rasio guru murid tertingggi yaitu masing-masing sebesar 28 murid per guru dan 22 murid per guru. Pada jenjang pendidikan SMA, rasio murid guru di provinsiprovinsi KBI semuanya terlihat hamper sama, akan tetapi rasio murid guru terendah adalah provinsi DI Yoyakarta sebesar 10 murid per guru. 70 60
Persen
50 40 30
SMA
20
SMP
10
SD
0
Provinsi Sumber :BPS, 2011 (diolah)
Gambar 30 Perkembangan Rasio Guru Murid Menurut Jenjang Pendidikan Provinsi-Provinsi KTI Tahun 2011
43 Adanya disparitas pendidikan yang terlihat dari indikator rasio guru murid juga terdapat di wilayah KTI. Pada tahun 2011, provinsi Papua dan Papua Barat memiliki rasio guru murid tertinggi pada jenjang pendidikan SD sebesar 29 murid dan 26 murid per guru. Begitu pula, pada jenjang pendidikan SMP dan Papua sebesar 19 murid per guru sedangkan untuk jenjang pendidikan SMA tertinggi berada di provinsi NTT 18 murid per guru. Oleh karena itu, kualitas pendidikan provinsi Papua, Papua Barat, maupun NTT termasuk tergolong rendah, hal tersebut dapat terlihat dari produktivitas tenaga kerja pada ketiga provinsi tersebut. Provinsi Papua Barat memiliki produktivitas tenaga kerja terendah di tahun 2011 yaitu sebesar 5.8 juta rupiah sedangkan provinsi NTT dan Papua sebesar 6.9 juta rupiah dan 8.8 juta rupiah Berdasarkan Gambar 30, maka dapat terlihat bahwa disparitas pendidikan tidak hanya terjadi antara provinsi-provinsi yang berada pada satu kawasan melainkan antar kawasan juga jelas terlihat. Rasio guru murid di KTI jauh lebih tinggi dibandingkan kawasan KBI untuk semua jenjang pendidikan. Keterbatasan jumlah guru di tiap jenjang pendidikan dapat berakibat pada jumlah siswa yang dapat diterima pada sekolah tersebut. Semakin tinggi nilai rasionya, maka guru akan lebih sulit untuk memerhatikan murid-muridnya sehingga kualitas pengajaran akan cenderung semakin rendah.
Analisis Peran Pendidikan Terhadap Ketimpangan Pendapatan Indonesia Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran pendidikan terhadap ketimpangan pendapatan di Indonesia yang meliputi Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan periode waktu selama 6 tahun, yaitu mulai tahun 2006 hingga tahun 2011 yang diestimasi menggunakan regresi data panel. Penelitian ini menggunakan indeks gini sebagai variabel dependent dan variabel independent berupa angka putus sekolah menurut jenjang pendidikan, rata-rata lama sekolah, PDRB per kapita, rasio anggaran belanja pendidikan terhadap APBD, serta tingkat produktivitas tenaga kerja. Penelitian ini menggunakan data panel karena data panel memberikan data yang lebih informatif, mampu mengontrol heterogenitas individu,dan lebih efisien Pemilihan model regresi terbaik dilakukan untuk mendapatkan hasil estimasi yang sesuai. Pemilihan model dalam data panel dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: membandingkan pooled model dengan fixed effect model menggunakan uji Chow, membandingkan fixed effect model dengan random effect model menggunakan uji Hausman, membuat estimasi model dengan menentukan koefisien masing-masing variabel bebas.
44 Tabel 1 Hasil Estimasi Panel Data KBI Variable DOSD DOSMP DOSMA LNPDRBK REDU LNRATLS LNPDTV C
Coefficient Std. Error t-Statistic -2.376388 0.259765 -9.148229 0.011700 0.059242 0.197490 0.021470 0.110746 0.193868 0.044662 0.023134 1.930554 0.029907 0.039899 0.749576 0.027565 0.030757 0.896232 -0.005307 0.002193 -2.419637 0.067599 0.196901 0.343316 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared Adjusted R squared S.E of regression F-statistic Prob (F-statistic) R-squared Sum squared resid
Weighted Statistics 0.833166 Mean dependent var 0.787202 S.D dependent var 0.020009 Sum squared resid 18.12636 Durbin-Watson stat 0.000000 Unweighted Statistic 0.771013 Mean dependent var 0.039588 Durbin-Watson stat
Prob 0.0000 * 0.8439 0.8467 0.0564 * 0.4553 0.3723 0.0174 * 0.7321
0.389069 0.126366 0.039233 1.840776
0.332698 1.713795
Keterangan : *) signifikan pada taraf nyata 10 %. Hasil dari uji Chow menunjukkan probabilitas yang dihasilkan sebesar 0.0000 lebih kecil dari taraf nyata sebesar 10% sehingga H0 dapat ditolak. Maka dapat dikatakan bahwa model fixed effect lebih baik dibandingkan model pooled least square. Setelah dibandingkan pada tahap pertama maka dilanjutkan tahap kedua yaitu membandingkan antara fixed effect model dengan random effect model. Hasil dari uji Haussman menunjukkan probabilitas yang dihasilkan sebesar 0.0597 lebih kecil dari probabilitas taraf nyata sebesar 10% sehingga H0 dapat ditolak artinya model fixed effect lebih baik dibandingkan dengan model random effect. Menurut hasil uji di atas, maka model yang dipilih adalah fixed effect model dengan pembobotan cross section weight dan koefisien covariance white period method dengan tujuan dapat mengoreksi masalah heteroskesdastisitas, multikolinearitas, dan autokorelasi, seperti yang terlihat pada tabel 2. Berdasarkan tabel di atas, persamaan ketimpangan pendapatan selama tahun 2006 hingga 2011 memiliki R2 sebesar 0.833166 yang berarti sebesar 83.31% keragaman yang terdapat dalam variabel dependent yaitu ketimpangan distribusi pendapatan dapat dijelaskan melalui variabel independent dalam model
45 ini sedangkan sisanya sebesar 16.69% dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Model ini memiliki probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.0000 yang lebih kecil dibandingkan dengan taraf nyata yang digunakan yaitu α sebesar 10% (0.10) sehingga hasil tersebut mampu menjelaskan peran pendidikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan baik. Tabel 2 Hasil Estimasi Panel Data KTI Variable DOSD DOSMP DOSMA LNPDRBK REDU LNRATLS LNPDTV C
R-squared Adjusted Rsquared S.E of regression F-statistic Prob (F-statistic) R-squared Sum squared resid
Coefficient Std. Error t-Statistic -1.463873 0.570863 -2.564314 0.094355 0.052485 1.797748 0.839715 0.271349 3.094590 -0.036544 0.027793 -1.314875 0.196260 0.111268 1.763849 0.340113 0.121077 2.809060 -0.010089 0.050570 -0.199516 -0.109828 0.589464 -0.186318 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics 0.735255 Mean dependent var
Prob 0.0132 * 0.0779 * 0.0031 * 0.1942 0.0835 * 0.0069 * 0.8426 0.8529
0.49629
0.645341 S.D dependent var 0.035890 Sum squared resid 8.177361 Durbin-Watson stat 0.000000 Unweighted Statistic 0.612967 Mean dependent var
0.26740 0.06827 1.72017
0.092204
1.30252
Durbin-Watson stat
0.34653
Keterangan : *) signifikan pada taraf nyata 10 %. Pada Kawasan Timur Indonesia (KTI) ,hasil dari uji Chow menunjukkan probabilitas yang dihasilkan sebesar 0.0000 lebih kecil dari taraf nyata sebesar 10% sehingga H0 dapat ditolak. Maka pada model KTI ini juga dapat dikatakan bahwa model fixed effect lebih baik dibandingkan model pooled least square. Setelah dibandingkan pada tahap pertama maka dilanjutkan tahap kedua yaitu membandingkan antara fixed effect model dengan random effect model. Hasil dari uji Haussman menunjukkan probabilitas yang dihasilkan sebesar 0.1880 lebih besar dari probabilitas taraf nyata sebesar 10% maka model random
46 seharusnya dapat terpilih akan tetapi pada model random menghasilkan R2 yang lebih kecil dibandingkan pada model fixed yaitu sebesar 0.285624 yang berarti hanya sebesar 28.56% keragaman yang terdapat dalam variabel dependent yaitu ketimpangan distribusi pendapatan dapat dijelaskan melalui variabel independent dalam model ini selain itu pada model random, variabel yang signifikan dan sesuai dengan hipotesis lebih sedikit dibandingkan pada model fixed sehingga model fixed yang terpilih. Persamaan ketimpangan pendapatan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) selama tahun 2006 hingga 2011 memiliki R2 sebesar 0.735255, seperti yang terlihat dari Tabel 3. Hal ini berarti sebesar 73.52% keragaman yang terdapat dalam variabel dependent yaitu ketimpangan distribusi pendapatan wilayah timur Indonesia dapat dijelaskan melalui variabel independent. Sama seperti KBI, Model KTI ini memiliki probabilitas F-statistik sebesar 0.0000 lebih kecil dibandingkan dengan taraf nyata yang digunakan yang berarti hasil ini mampu menjelaskan peran pendidikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan baik. Dari hasil uji model Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) didapatkan hasil bahwa pada KBI dan KTI tidak terdapat masalah normalitas dan multikolinearitas. Hal ini terbukti bahwa pada wilayah KBI nilai Jarque Bera yang dihasilkan sebesar 3.50 dan pada wilayah KTI dihasilkan sebesar 0.36. Kedua nilai Jarque Bera yang dihasilkan lebih besar dari taraf nyata 10% (0.10). Hal ini berarti error term terdistribusi dengan normal. Adanya pelanggaran asumsi multikolinearitas dapat terdeteksi dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF). Apabila nilai VIF lebih besar dari 5 atau 10 maka dapat dikatakan terjadi multikolinearitas. Nilai VIF yang didapat dari model KBI yaitu sebesar 0.73 dan untuk penelitian pada wilayah KTI sebesar 0.83 yang berarti tidak terjadi multikolinearitas dalam penelitian ini. Dari hasil kedua model didapatkan bahwa kedua model tersebut memiliki masalah heteroskedastisitas. Terjadinya masalah heteroskedastisitas kedua model terlihat dari nilai sum squared resid pada Weighted Statistic yang lebih kecil dari Sum squared resid pada Unweighted Statistic. Pada model KBI, sum squared resid pada Weighted Statistic sebesar 0.039233 lebih kecil dari Sum squared resid pada Unweighted Statistic yaitu sebesar 0.039588 sedangkan untuk wilayah KTI sum squared resid pada Weighted Statistic sebesar 0.06827 lebih kecil dari Sum squared resid pada Unweighted Statistic yaitu sebesar 0.092204. Pelanggaran asumsi autokorelasi dalam suatu model dapat dilihat dari nilai Durbin-Watson (DW) statistic dalam model. Pada model KBI menunjukkan bahwa nilai DW-stat sebesar 1.840776, pada tabel Durbin-Watson dengan taraf nyata 10%, jumlah observasi (n) sebesar 126, dengan jumlah variabel independen (k) sebesar 7 , maka DL sebesar 1.6081 dan DU sebesar 1.80986. Nilai statistik Durbin-Watson berada pada daerah tolak H0 (Du< DW < 4-Du) berarti tidak ada autokorelasi sedamgkan untuk wilayah KTI didapatkan nilai DW-stat sebesar 1.720173, jumlah observasi (n) sebesar 72, dengan jumlah variabel independen (k) sebesar 7 , maka DL sebesar 1.44300 dan DU sebesar 1.80187. Nilai statistik Durbin-Watson berada pada daerah tolak H0 (Du< DW < 4-Du) maka juga tidak terdapat adanya masalah autokorelasi.
47 Untuk mengatasi masalah heterosledastisitas maka penelitian ini menggunakan pembobotan Generalized Least Square (GLS) cross section weight dengan coefficient white period untuk KBI dan pembobotan Generalized Least Square (GLS) cross section weight dengan coefficient white cross section untuk KTI. Pengujian variabel dependent dalam memengaruhi variabel independent dilakukan melalui uji-t. Uji tersebut dilakukan dengan melihat nilai probabilitas dari masing-masing variabel independent terhadap variabel dependent, semakin kecil nilai probabilitasnya maka akan semakin terbukti bahwa variabel independent dapat secara signifikan digunakan terhadap variabel dependent. Apabila variabel independent memiliki probabilitas kurang dari taraf nyata 10% (0.1) maka variabel independent tersebut signifikan dalam memengaruhi variabel dependent. Interpretasi Model Berdasarkan hasil pengolahan data di atas maka dapat dilihat bahwa variabel independent yang secara signifikan memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan pada wilayah KBI di taraf nyata 10% (0.1) yaitu angka putus sekolah tingkat SD, rata-rata lama sekolah, dan tingkat produktivitas tenaga kerja sedangkan variabel independent yang tidak berpengaruh signifikan yaitu angka putus sekolah tingkat SMP dan SMA, rasio anggaran belanja pendidikan, dan PDRB per kapita. Pada wilayah KTI maka variabel independent yang secara signifikan memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan di taraf nyata 10% (0.1) yaitu rata-rata lama sekolah, rasio angaran belanja pendidikan, dan angka putus sekolah tingkat SD, SMP, SMA sedangkan variabel independent yang tidak berpengaruh signifikan yaitu produktivitas tenaga kerja dan PDRB per kapita. Angka Putus Sekolah SD, SMP, dan SMA Variabel angka putus sekolah merupakan salah satu indikator terpenting dalam menunjukkan kualitas pendidikan. Keseriusan pemerintah dalam pendidikan terlihat dari berbagai program yang dijalankan pemerintah, antara lain seperti: program wajib belajar sembilan tahun dan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang bertujuan agar semua golongan dapat mengakses pendidikan dan diharapkan tidak adanya lagi pelajar yang putus sekolah terutama di tingkat dasar (SD) selain itu beberapa waktu terakhir ini pemerintah pusat telah mengikutsertakan pemerintah daerah untuk membuka posko gerakan anti putus sekolah untuk mencegah bertambahnya penduduk yang mengalami putus sekolah. Pada penelitian di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), hasil dari estimasi yang dilakukan menunjukkan bahwa angka putus sekolah di tingkat SD berpengaruh signifikan pada taraf nyata 0.1 terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Angka putus sekolah di tingkat SD berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Nilai koefisien regresi dari variabel ini sebesar 2.37 dengan probabilitas (p-value) sebesar 0.0000 artinya setiap penurunan jumlah putus sekolah di tingkat SD sebesar 1% maka akan meningkatkan ketimpangan distribusi pendapatan sebesar 2.37% sedangkan untuk wilayah KTI nilai koefisien regresi yang dihasilkan
48 sebesar 1.46 dengan probabilitas (p-value) sebesar 0.0132. Hal ini disebabkan pendidikan tingkat dasar (SD) ternyata belum cukup untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan dari penduduk tersebut sehingga ketimpangan distribusi pendapatan belum dapat diturunkan. Oleh karena itu diperlukanlah kurikulum pendidikan yang dapat meningkatkan keahlian dan keterampilan sehingga dapat meningkatkan kemandirian dalam pekerjaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka selain itu kuantitas guru pada jenjang pendidikan SD masih sedikit untuk masing-masing provinsi baik di kawasan barat ataupun timur Indonesia sehingga walaupun angka putus sekolah berkurang apabila jumlah guru tidak ditambah maka kualitas pendidikan akan tetap memburuk dan ketimpangan distribusi pendapatan akan tetap meningkat. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian Rofiq Nur Rizal (2012) yang menyebutkan bahwa jenjang pendidikan dasar tidak cukup berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia tetapi justru berperan menambah tingkat kemiskinan. Penyerapan tenaga kerja di Indonesia masih mengandalkan tenaga kerja murah. Pada tahun 2011, menurut data yang dilansir oleh BPS, jumlah tenaga kerja tidak tamat SD masih lebih tinggi dibandingkan lulusan universitas yaitu sebesar 16 775 864 jiwa dan mayoritas bekerja sebagai buruh tidak tetap dan buruh tidak dibayar yaitu sebesar 4 382 535 jiwa. Rendahnya tingkat pendapatan pekerja yang tidak tamat SD hanya akan berpeluang meningkatkan kemiskinan sehingga ketimpangan distribusi pendapatan pun tidak dapat menurun. Hasil estimasi yang dilakukan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) terhadap angka putus sekolah di tingkat SMP menunjukkan bahwa variabel tersebut berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Nilai koefisien regresi dari variabel ini yaitu sebesar 0.094355 dengan probabilitas (p-value) sebesar 0.0779. Setiap peningkatan angka putus sekolah tingkat SMP sebesar 1% maka akan meningkatkan ketimpangan distribusi pendapatan sebesar 0.094355% sedangkan pada Kawasan Barat Indonesia (KBI) angka putus sekolah di tingkat SMP menunjukkan bahwa variabel tersebut berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Nilai koefisien regresi dari variabel ini sebesar 0.011700 dengan probabilitas (p-value) sebesar 0.8439. Hal ini disebabkan pada KBI lulusan SMP dianggap belum terlalu cukup untuk menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan sedangkan pada KTI dianggap sudah cukup karena dinilai telah memiliki keterampilan yang cukup. Tingginya jenjang pendidikan yang ditempuh seseorang maka akan mengindikasikan tingginya pendapatan yang akan didapatkannya nanti sehingga dapat mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2012) yang menghasilkan kesimpulan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mengurangi jumlah penduduk miskin. Pada wilayah KBI, variabel angka putus sekolah tingkat SMA menunjukkan koefisien positif dan tidak signifikan memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan, yaitu semakin tingginya angka putus sekolah di tingkat SMA justru tidak memberikan pengaruh nyata pada ketimpangan distribusi pendapatan. Hal tersebut dikarenakan pelajar yang telah putus sekolah di tingkat SMA dianggap memiliki keterampilan dan sudah dapat menyerap pengetahuan dan teknologi yang ada sehingga upah yang diberikan pun akan lebih tinggi dibandingkan lulusan SD dan SMP akan tetapi para pemilik usaha akan lebih
49 memilih untuk memekerjakan lulusan universitas karena pengetahuan dan keterampilan mereka jauh lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA selain itu para pelajar yang putus sekolah di tingkat SMA akan memilih untuk bekerja karena sudah memiliki pendidikan dasar dan sudah memenuhi program wajib belajar sembilan tahun sedangkan pada wilayah KTI variabel angka putus sekolah tingkat SMA menunjukkan koefisien positif dan signifikan memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.839715 dengan probabilitas (p-value) sebesar 0.0031. Hal ini dikarenakan pada wilayah KTI jumlah penduduk yang dapat mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk di wilayah KBI sehingga lebih dapat memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan. Rata-rata Lama Sekolah Rata-rata lama sekolah menunjukkan makin tingginya pendidikan formal yang dicapai oleh masyarakat suatu wilayah. Rata-rata lama sekolah yaitu ratarata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang diikuti. Tingginya tingkat pendidikan seseorang diukur dengan lamanya waktu untuk bersekolah sehingga akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah. Pada penelitian di wilayah KTI, variabel rata-rata lama sekolah memiliki koefisien positif sebesar 0.340113 dan berpengaruh signifikan pada taraf nyata 0.1 dengan probabilitas (p-value) sebesar 0.069 terhadap ketimpangan distribusi pendapatan yang berarti kenaikan 1% rata-rata lama sekolah maka akan meningkatkan ketimpangan distribusi pendapatan sebesar 0.340113 sedangkan Pada penelitian di wilayah KBI, variabel ini memiliki koefisien positif sebesar 0.027565 tetapi tidak berpengaruh signifikan pada taraf nyata 0.1 terhadap ketimpangan distribusi pendapatan yang berarti kenaikan 1% rata-rata lama sekolah justru tidak memberikan pengaruh nyata terhadapap ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini dapat dijelaskan melalui hipotesis Kuznets. Pada awalnya, rata-rata lama sekolah yang dijalani oleh penduduk dan kesenjangan distribusi pendapatan rendah kemudian kesenjangan distribusi pendapatan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya rata-rata lama sekolah karena dengan rata-rata lama sekolah yang semakin meningkat maka akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan upah yang dihasilkan akan lebih tinggi sedangkan masih terdapat golongan miskin yang tidak mampu bersekolah sehingga ketimpangan semakin besar lalu akan ada titik balik dimana akan terjadi perbaikan ketimpangan distribusi pendapatan di masa mendatang. Rasio Anggaran Belanja Pendidikan Pada penelitian di wilayah KBI, variabel rasio anggaran pendidikan memiliki koefisien positif dan tidak signifikan terhadap variabel ketimpangan distribusi pendapatan yang berarti setiap peningkatan rasio anggaran pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah justru tidak memberikan pengaruh nyata terhadap ketimpangan distribusi pendapatan sedangkan pada penelitian di wilayah KTI variabel ini memiliki koefisien positif dan signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan yaitu sebesar 0.196260 dan berpengaruh signifikan pada
50 taraf nyata 0.1 dengan probabilitas (p-value) sebesar 0.0835. Hal ini disebabkan pada wilayah KBI, jumlah sekolah swasta lebih banyak dibandingkan dengan wilayah KTI. Adanya sekolah swasta membuat anggaran belanja yang dialokasikan pemerintah tidak terlalu berpengaruh pada wilayah tersebut sedangkan pada wilayah KTI jumlah sekolah swasta jauh lebih sedikit dibandingkan sekolah negeri. Sekolah negeri sangat membutuhkan anggaran pendidikan dari pemerintah sehingga apabila ada perubahan anggaran maka akan mempengaruhi kinerjanya. Adanya hubungan positif antara kedua variabel tersebut disebabkan ketidaktepatan sasaran dalam mengalokasikan anggaran pendidikan tersebut sehingga memungkinkan adanya ketidakefisienan dalam pengalokasiannya. World Bank (2001) menyatakan bahwa nilai-nilai tes yang dapat diperbandingkan secara internasional juga memperlihatkan bahwa pengeluaran publik yang besar tidak menjamin pendidikan yang tinggi kualitasnya. Pengeluaran publik memiliki hubungan yang lemah dalam pencapaian pendidikan dan juga kurang dapat memberikan perubahan dalam kesejahteraan masyarakat yang disebabkan oleh kurangnya kualitas, distribusi yang merata, dan kesetaraan modal manusia. Sylwester (2000) menyebutkan bahwa anggaran pendidikan yang dialokasikan terutama pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, biasanya akan menguntungkan kalangan menengah ke atas dibandingkan dengan kalangan miskin yang merupakan target utama dalam kebijakan distribusi yang utama oleh pemerintah. hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Ravikumar (2003) juga menyatakan bahwa anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah tidak sepenuhnya dapat mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Semakin tinggi anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah maka akan memperbesar ketimpangan distribusi pendapatan antara golongan miskin (tidak mampu) dengan golongan kaya (mampu) walaupun semua kalangan dapat mengakses pendidikan dengan adil, hal ini dikarenakan pendidikan tidak akan menguntungkan golongan miskin apabila mereka tidak memiliki cukup penghasilan apabila memilih untuk datang ke sekolah. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita PDRB per kapita dapat mengukur pendapatan suatu wilayah. Semakin tinggi PDRB per kapita suatu wilayah maka menandakan semakin tingginya pendapatan dari masyarakat wilayah tersebut. Indikator ini dapat digunakan sebagai indikator pembangunan dalam melihat tingkat pertumbuhan ekonomi dengan cara mengukur tingkat output total ekonomi terhadap jumlah penduduk dalam suatu wilayah. Dalam penelitian ini, untuk wilayah KBI variabel PDRB per kapita memiliki koefisien positif sebesar 0.044662 dan berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan pada taraf nyata 0.1 dengan probabilitas (pvalue) sebesar 0.0564 yang berarti kenaikan 1% PDRB per kapita maka akan meningkatkan ketimpangan distribusi pendapatan sebesar 0.044662. Hal ini dapat dijelaskan melalui teori pertumbuhan Harrod-Domar, menurutnya pertumbuhan yang tinggi tersebut disebabkan oleh kemampuan menabung (Marginal Propensity to Save) yang relatif lebih tinggi yang dimiliki oleh golongan kaya (mampu) sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya ketimpangan dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ajid Hajiji (2010) melakukan
51 penelitian tentang keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, dan pengentasan kemiskinan di provinsi Riau tahun 2002 hingga 2008. Hasil yang didapatkan yaitu pertumbuhan ekonomi di provinsi Riau dapat meningkatkan ketimpangan distribusi pendapatan. Peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan tersebut mengurangi efektivitas pertumbuhan ekonomi dalam pengentasan kemiskinan. Pada wilayah KTI variabel PDRB per kapita memiliki koefisien negatif sebesar 0.036544 dan tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan pada taraf nyata 0.1 dengan probabilitas (p-value) sebesar 0.1942 yang berarti penurunan 1% PDRB per kapita tidak berpengaruh nyata terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini juga dapat dijelaskan melalui teori pertumbuhan Harrod-Domar, pertumbuhan yang tinggi dapat disebabkan oleh kemampuan menabung (Marginal Propensity to Save) yang relatif lebih tinggi yang dimiliki oleh golongan kaya (mampu) sedangkan pada Kawasan Timur Indonesia golongan orang-orang kaya tidaklah banyak. Menurut data yang dilansir oleh BPS, sebanyak 20% dari golongan orang-orang terkaya di Indonesia tinggal di Jakarta dan golongan miskin di KTI lebih tinggi dibandingkan dengan KBI selain itu di wilayah KBI mayoritas bermukim orang-orang kaya di Indonesia dengan penghasilan minimal $100 000 per tahun. Produktivitas Tenaga Kerja Produktivitas tenaga kerja merupakan perbandingan antara input dengan output suatu daerah yaitu antara PDRB dengan jumlah orang yang bekerja Produktivitas tenaga kerja mencerminkan pendapatan daerah yang diterimanya. Peningkatan modal manusia dapat direpresentasikan dengan produktivitas tenaga kerja. Pada wilayah KBI, variabel ini memiliki koefisien negatif sebesar 0.005307 dengan probabilitas signifikan pada taraf nyata 0.1 yaitu sebesar 0.0174 artinya penurunan 1% produktivitas tenaga kerja akan menaikkan ketimpangan distribusi pendapatan sebesar 0.0174 sedangkan Pada wilayah KTI, variabel ini memiliki koefisien negatif sebesar 0.005307 tetapi tidak signifikan pada taraf nyata 0.1 artinya semakin tingginya produktivitas tenaga kerja justru tidak memberikan pengaruh nyata pada ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini disebabkan produktivitas kerja yang lebih tinggi mayoritas berada di sektor industri yang lebih banyak dimiliki oleh kawasan KBI dibandingkan dengan kawasan KTI dan penduduk yang bekerja di sektor industri juga lebih banyak sehingga produktivitas tenaga kerja lebih berpengaruh di wilayah KBI dibandingkan dengan wilayah KTI. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rasidin Karo Karo Sitepu (2007) yaitu peningkatan investasi sumberdaya manusia berdampak pada peningkatan produktivitas tenaga kerja yang akan mendorong pada peningkatan output agregat sedangkan transfer pendapatan ke rumah tangga pedesaan hanya berdampak kecil pada kenaikan output agregat. Pengetahuan dan keahlian yang semakin tinggi akan mendorong peningkatan produktivitas tenaga kerja seseorang. Produktivitas tenaga kerja yang tinggi akan membuat perusahaan bersedia memberikan upah yang lebih tinggi karena laba yang diterima perusahaan juga akan semakin tinggi. Dengan tingkat upah yang lebih tinggi maka akan meningkatkan kesejahteraan yang lebih baik dan dapat terlepas dari kemiskinan.
52
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis mengenai peran pendidikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia maka dapat disimpulkan : 1. Ketimpangan distribusi pendapatan di Kawasan Barat Indonesia ( KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) tergolong rendah dan sedang. Setiap tahunnya ketimpangan pendapatan pada 33 provinsi di Indonesia mayoritas mengalami peningkatan. Selama tahun 2006 hingga 2011, indeks gini KTI lebih tinggi dibandingkan indeks gini KBI 2. Selama periode 2006 hingga 2011 angka putus sekolah setiap tahunnya mengalami penurunan walaupun angka tersebut masih tergolong tinggi, angka putus sekolah tertinggi pada wilayah barat dan timur Indonesia adalah pada jenjang pendidikan Menengah Atas (SMA) 3. Rasio anggaran belanja pendidikan masih tergolong rendah, secara nasional pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar 20% dari APBN namun dilihat dari masing-masing provinsi hanya DKI Jakarta saja yang mengalokasikan 20% dari APBD. 4. Pada hasil estimasi KBI hanya PDRB per kapita yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan sedangkan pada KTI rata-rata lama sekolah, rasio anggaran belanja sektor pendidikan, angka putus sekolah tingkat SMP dan SMA yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan 5. Angka putus sekolah tingkat SD, dan produktivitas tenaga kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan pada wilayah KBI sedangkan hanya angka putus sekolah tingkat SD saja yang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan 6. Angka putus sekolah tingkat SMP,SMA, rata-rata lama sekolah dan rasio anggaran belanja sektor pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan pada wilayah KBI sedangkan PDRB per kapita dan produktivitas tenaga kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan untuk wilayah KTI. SARAN Berdasarkan kesimpulan yang telah diberikan di atas maka beberapa saran yang dapat direkomendasikan oleh penulis, yaitu : 1. Rasio anggaran belanja pendidikan baik tingkat daerah ataupun nasional perlu ditingkatkan lagi serta diperlukannya pengawasan agar tujuan dari program-program pemerintah dapat tepat sasaran.
53 2. Pemerintah perlu lebih memerhatikan kuantitas serta kualitas pendidikan yang disertai dengan adanya pemerataan pendidikan sehingga distribusi pendapatan semakin merata. 3. Program kebijakan pemerintah terutama bidang pendidikan seharusnya memperhatikan perbedaan kemampuan antara satu provinsi dengan provinsi lainnya, provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua serta kawasan tertinggal lainnya hendaknya mendapatkan prioritas dalam program pemerintah sehingga dapat menghasilkan kualitas SDM yang lebih baik dan dapat meningkatkan distribusi pendapatan yang lebih merata. 4. Pemerintah perlu lebih mengembangkan program-program yang dapat menurunkan angka putus sekolah sehingga ketimpangan distribusi pendapatan pun juga dapat menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini. Nita 2012. Hubungan Kausalitas dari Tingkat Pendidikan, Pendapatan, dan Konsumsi Terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah [skripsi]. Fakultas Ekonomi. Universitas Diponegoro, Semarang. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia,Berbagai Edisi. Jakarta (ID) : BPS _____________________________. 2012. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia, Berbagai Edisi. Jakarta (ID): BPS _____________________________. 2012. Statistik Indonesia, Berbagai Edisi. Jakarta (ID): BPS Damanhuri Didin. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan. Bogor (ID) :IPB Press Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta (ID): Erlangga. Firdaus M. 2012. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID): IPB Press. Glomm Gerhard and Ravikumar, B. 2003. Public Education and Income Inequality. European Journal of Political Economy. 19 : 289-300 Gujarati D.N. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika Ed Ke-3. Julius A Mulyadi [penerjemah]. Jakarta (ID): Erlangga. Hajiji Ajid. 2010. Keterkaitan Antara Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan, dan Pengentasan Kemiskinan di Provinsi Riau 2002-2008 [disertasi].Program Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor, Bogor. [IPB] Institut Pertanian Bogor. 2012. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Ed Ke-3. Bogor (ID): IPB Press. Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Press. [Kemdiknas] Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014. Jakarta: Depdiknas.
54 ___________. 2012.Perkembangan Angka Putus Sekolah Tiap Provinsi. Jakarta: Depdiknas. [Kemenkeu] Kementerian Keuangan. Data Keuangan Daerah 2007-2010. [terhubung berkala]. http://www.djpk.depkeu.go.id/datadjpk/131/ [20 Februari 2013]. __________. 2012. Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi. Jakarta (ID) : Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Anggaran. Rizal Rofiq Nur. 2012. Peran Pendidikan Tehadap Pengurangan Kemiskinan [tesis].Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sitepu RK. 2007. Dampak investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia [disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,Bogor. Schultz Theodore W. 1961. Investment in Human Capital. The American Economic Review 51(1) : 1-17. Sylwester Kevin. 2000. Income Inequality, Education Expenditures, and Growth. [Jurnal], Journal of Development Economics. 63 : 379-398 Todaro MP, Stephen CS. 2006. Pembangunan Ekonomi Ed Ke-9. Haris Munandar [penerjemah]. Jakarta (ID): Erlangga. Tambunan TH. 2003. Perekonomian Indonesia. Jakarta (ID) : Ghalia Indonesia. World Bank. 1992. World Development Report. New York : Oxford Universities Press World Bank. 2001. The Quality of Growth. Kualitas Pertumbuhan. Marcus P.W. [Penerjemah]. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Ortiz Isabelle, Cummins Matthew. 2011. Global Inequality: Beyond The Bottom Billion. UNICEF Social and Economic Policy Working Paper [UNESCO] United Nations on Educational, Scientific and Cultural Organization. 2009. Education Indicators:Technical guidelines. Brusells:UNESCO _________. 2011. The hidden crisis: Armed conflict and education. Paris : UNESCO
55
Hasil Model KBI
Lampiran 1. Uji Chow Pada Persamaan Peran Pendidikan Terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Wilayah KBI.
Redundant Fixed Effects Tests Equation: KBI Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F Cross-section Chi-square
Statistic
d.f.
Prob.
10.056812 140.607391
(20,98) 20
0.0000 0.0000
Lampiran 2 Uji Hausman Pada Persamaan Peran Pendidikan Terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Wilayah KBI
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KBI Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic 13.552557
Chi-Sq. d.f.
Prob.
7
0.0597
56 Lampiran 3 Hasil Estimasi Pada Persamaan Peran Pendidikan Terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Wilayah KBI dengan model Fixed Effect Dependent Variable: INDEKSGINI Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 07/05/13 Time: 10:18 Sample: 2006 2011 Periods included: 6 Cross-sections included: 21 Total panel (balanced) observations: 126 Linear estimation after one-step weighting matrix White period standard errors & covariance (d.f. corrected) WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
DOSD DOSMP DOSMA LNPDRBK REDU LNRATLS LNPDTV C
-2.376388 0.011700 0.021470 0.044662 0.029907 0.027565 -0.005307 0.067599
0.259765 0.059242 0.110746 0.023134 0.039899 0.030757 0.002193 0.196901
-9.148229 0.197490 0.193868 1.930554 0.749576 0.896232 -2.419637 0.343316
0.0000 0.8439 0.8467 0.0564 0.4553 0.3723 0.0174 0.7321
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.833166 0.787202 0.020009 18.12636 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.389069 0.126366 0.039233 1.840776
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.332698 1.713795
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.771013 0.039588
57 Lampiran 4 Normalitas – Residual Test – Histogram
10
Series: Standardized Residuals Sample 2006 2011 Observations 126
8
6
4
2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
1.32e-18 -0.000293 0.037594 -0.035928 0.017716 0.083501 2.200663
Jarque-Bera Probability
3.500851 0.173700
0 -0.025
0.000
0.025
Hasil Model KTI Lampiran 5 Uji Chow Pada Persamaan Peran Pendidikan Terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Wilayah KTI
Redundant Fixed Effects Tests Equation: KTI Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F Cross-section Chi-square
Statistic 5.835669 57.133783
d.f.
Prob.
(11,53) 11
0.0000 0.0000
58 Lampiran 6 Uji Hausman Pada Persamaan Peran Pendidikan Terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Wilayah KTI
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: KTI Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
10.009884
7
0.1880
59 Lampiran 7 Hasil Estimasi Pada Persamaan Peran Pendidikan Terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Wilayah KTI dengan model Fixed Effect
Dependent Variable: INDEKSGINI Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 07/05/13 Time: 10:37 Sample: 2006 2011 Periods included: 6 Cross-sections included: 12 Total panel (balanced) observations: 72 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank Variable DOSD DOSMP DOSMA LNPDRBK REDU LNRATLS LNPDTV C
Coefficient Std. Error -1.463873 0.094355 0.839715 -0.036544 0.196260 0.340113 -0.010089 -0.109828
0.570863 0.052485 0.271349 0.027793 0.111268 0.121077 0.050570 0.589464
t-Statistic
Prob.
-2.564314 1.797748 3.094590 -1.314875 1.763849 2.809060 -0.199516 -0.186318
0.0132 0.0779 0.0031 0.1942 0.0835 0.0069 0.8426 0.8529
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.735255 0.645341 0.035890 8.177361 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.496289 0.267397 0.068268 1.720173
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.612967 0.092204
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.346528 1.302515
60 Lampiran 8 Normalitas-Residual Test-Histogram 9
Series: Standardized Residuals Sample 2006 2011 Observations 72
8 7 6 5 4 3
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
1.45e-18 0.003582 0.068230 -0.075972 0.031008 -0.120684 2.749142
Jarque-Bera Probability
0.363566 0.833782
2 1 0 -0.075
-0.050
-0.025
0.000
0.025
0.050
61
RIWAYAT HIDUP Penulis memiliki nama lengkap Nadya Astrid Puspitaningrum, lahir pada tanggal 28 Agustus 1991 di Jakarta. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak Didin Syamsuddin dan Ibu Retno Kusumo. Pada tahun 2003 penulis menamatkan jenjang pendidikan SD di SD Angkasa IV Jakarta kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 81 Jakarta. Pada tahun 2009 penulis menamatkan jenjang pendidikan di SMA Negeri 48 Jakarta.kemudian penulis berkesempatan mengikuti seleksi masuk Ujian Talenta Mandiri (UTM) IPB dan diterima sebagai mahasiswi Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif mengikuti kegiatan kepanitaan ataupun organisasi kampus. Penulis dipercaya untuk menjadi staff divisi Research and Development (Re-D) HIPOTESA pada kepengurusan periode 2010-2011 kemudian pada periode selanjutnya penulis juga dipercaya sebagai staff DISTRO HIPOTESA. Selain itu pada tahun 2013 penulis lolos dalam Program Kreativitas Mahasiswa dan didanai oleh Dikti untuk kategori PKM Penelitian.