ANALISIS KONSUMSI DAN PENYEDIAAN ENERGI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA
ELINUR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SURAT PERYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi
PENYEDIAAN
saya
yang
ENERGI
berjudul: ” ANALISIS DALAM
KONSUMSI
PEREKONOMIAN
DAN
INDONESIA”
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di perguruan tinggi lainnya. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2012
ELINUR NRP. H 363070041
ABSTRACT ELINUR. The Analysis of Energy Consumption and Supply in Indonesian Economy (D.S PRIYARSONO as Chairman, MANGARA TAMBUNAN and MUHAMMAD FIRDAUS as the members of the Advisory Committee)
The general objective of this study develop a model of energy consumption by users and the energy supply by energy type in the Indonesian economy. The model used is a simultaneous equation model with two stage least square method. The design of this model uses the assumption that along with economic progress the need for energy has increased so that the necessary supply of energy is greater, and vice versa. The main findings of this study are: First, world oil prices, domestic energy prices, GDP, and exchange rates are the main factors that influence the consumption and supply of energy in Indonesia. Second, the increase in world oil prices and declining goverment expenditure of oil subsidies decrease consumption and supply of energy in Indonesia. The apresiation of the IDR to US Dollar increase consumption and supply of energy in Indonesia. And third, the results of forecasting analysis show overall energy consumption by all sectors tend to increase, except for biomass consumption by the industrial and total of biomass consumption. In addtion, supply of energy tends to increase with smaller rate the increasing of energy consumption. In the short term, it should be an effort to increase energy utilization efficiency and productivity through conversion using fuel oil by gas and the reduction of subsidies oil in energy prices gradually, accompanied by efforts to increase economic growth, among others, by applying a low interest rate policy and maintain stable exchange rates. In the medium term, some efforts are required to increase investment from the aspect of production, processing, and distribution of fossil energy, and effort-based energy conversion using fuel oil by industry sector into other energy types. Along with that, efforts to increase the number and capacity of oil refineries, gas and electricity generation are required to be done to reduce the level of dependence on the final energy that comes from imports. In the long term, the implemention of green energy development strategy, which shifts the energy use sourced from unrenewable resources to energy use that are renewable resources, such as utilization of water energy, wind, biomass, biodiesel, biogas and other sources of sustainable energy.
Keywords: Energy, Consumption, Supply
RINGKASAN ELINUR. Analisis Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia (D.S. PRIYARSONO sebagai Ketua, MANGARA TAMBUNAN dan MUHAMMAD FIRDAUS sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Data fakta menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia diiringi dengan peningkatan konsumsi energi dan sebaliknya. Pada periode 1993-2008, Produk Domestik Bruto (PDB) sektor industri, sektor transportasi, sektor pertanian, dan sektor lainnya cenderung mengalami peningkatan. Sejalan dengan peningkatan PDB, konsumsi energi empat sektor tersebut juga mengalami peningkatan. Sebaliknya peningkatan konsumsi energi berbagai sektor tersebut juga dapat meningkatkan PDB. Masalah utama yang dihadapi adalah ketergantungan konsumsi energi terhadap energi fosil yang bersifat unrenewable resources, sementara konsumsi energi yang relatif boros mempercepat habisnya cadangan energi fosil yang tersedia. Dalam memenuhi kebutuhan konsumsi energi saat ini, khususnya kebutuhan terhadap bahan bakar minyak (BBM), Indonesia telah melakukan impor. Oleh karenanya sangat penting bagi Indonesia untuk memperhatikan ketersediaan energi yang cukup dan berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi energi untuk dapat melaksanakan aktivitas ekonomi berbagai sektor secara optimal. Dengan kata lain diperlukan suatu kondisi yang senantiasa memperhatikan keseimbagan antara pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan energi sebagai salah satu prasyarat untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang lebih maju. Oleh karena itu penelitian tentang konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia sangat penting dan menarik untuk dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) mengestimasi faktor-faktor dominan yang mempengaruhi konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia, (2) menganalisis dampak kebijakan ekonomi dan faktor eksternal lainnya terhadap konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia, (3) melakukan peramalan terhadap konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia menurut pengguna, (4) menganalisis efisiensi energi dalam penggunaan energi di Indonesia, dan (5) merumuskan implikasi kebijakan penyediaan yang efektif dan konsumsi energi yang efisien dalam perekonomian Indonesia. Model yang dibangun dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan yang terdiri dari 5 blok persamaan (blok konsumsi enegi, blok transformasi energi, blok penyediaan energi, blok harga energi dan blok output perekonomian) dengan 54 persamaan (36 persamaan struktural dan 18 persamaan identitas). Metode pendugaan model menggunakan Two Stage Least Squares (2SLS) karena setiap persamaan struktural bersifat overidentified. Hasil temuan utama dari penelitian ini untuk blok konsumsi energi menunjukkan: Pertama, konsumsi energi sektor industri dipengaruhi oleh harga batubara, listrik, PDB sektor industri, dan konsumsi energi sektor industri tahun sebelumnya. Konsumsi energi sektor industri responsif terhadap perubahan harga batubara dan listrik dalam jangka pendek dan panjang, serta responsif terhadap perubahan PDB sektor industri dalam jangka panjang. Kedua, Konsumsi energi sektor rumahtangga dipengaruhi oleh harga listrik, PDB, jumlah penduduk dan
konsumsi energi sektor rumahtangga tahun sebelumnya. Konsumsi energi sektor rumahtangga responsif terhadap perubahan jumlah penduduk dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Ketiga, Konsumsi energi sektor transportasi dipengaruhi oleh PDB sektor transportasi dan konsumsi energi sektor transportasi tahun sebelumnya. Konsumsi energi sektor transportasi responsif terhadap perubahan PDB sektor transportasi dalam jangka panjang. Keempat, Konsumsi energi sektor pertanian dipengaruhi oleh konsumsi energi sektor pertanian tahun sebelumnya. Kelima, Konsumsi energi sektor lainnya dipengaruhi harga gas, trend dan konsumsi energi sektor lainnya tahun sebelumnya. Pada blok transformasi energi, hasil temuan utama menunjukkan: Pertama, Seluruh transformasi energi baik transformasi energi kilang minyak, gas dan pembangkit listrik dipengaruhi total konsumsi akhir energi BBM, gas dan listrik. Transformasi energi responsif terhadap perubahan total konsumsi akhir energi BBM, gas dan listrik. Kedua, Input listrik untuk pembangkit listrik dipengaruhi oleh transformasi energi listrik. Input listrik untuk pembangkit listrik responsif terhadap perubahan transformasi energi listrik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Kelima, Input gas untuk pembangkit listrik dipengaruhi oleh transformasi gas dan input gas untuk pembangkit listrik tahun sebelumnya. Keenam, Input BBM untuk pembangkit listrik dipengaruhi oleh transformasi energi kilang minyak dan input BBM untuk pembangkit listrik tahun sebelumya. Input BBM untuk pembangkit listrik responsif terhadap perubahan transformasi energi kilang minyak dalam jangka panjang. Pada blok penyediaan energi, hasil temuan utama menunjukkan: Pertama, Pemanfaatan kilang minyak dipengaruhi oleh PDB dan pemanfaatan kilang tahun sebelumnya. Kedua, Impor minyak mentah dipengaruhi oleh konsumsi akhir BBM, harga minyak dunia dan impor minyak mentah tahun sebelumnya. Impor minyak mentah responsif terhadap perubahan konsumsi akhir BBM dalam jangka pendek dan panjang. Ketiga, Impor BBM dipengaruhi oleh konsumsi akhir BBM dan jumlah transportasi darat. Impor BBM responsif terhadap perubahan konsumsi akhir BBM dalam jangka pendek dan jangka panjang. Temuan utama pada blok harga energi menunjukkan: Pertama, Harga BBM dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap US Dollar. Kedua, Harga gas dipengaruhi oleh harga gas tahun sebelumnya. Ketiga, Harga batubara dipengaruhi oleh harga BBM dan harga batubara tahun sebelumnya. Keempat, Harga listrik dipengaruhi oleh harga listrik tahun sebelumnya. Pada blok output perekonomian, temuan utama dari penelitian ini menunjukkan: Pertama, PDB sektor industri dipengaruhi oleh PDB sektor industri tahun sebelumnya. Kedua, PDB sektor transportasi dipengaruhi oleh total konsumsi energi sektor transportasi, pengeluaran pemerintah dan PDB sektor transportasi tahun sebelumnya. PDB sektor transportasi responsif terhadap perubahan total konsumsi energi sektor transportasi dalam jangka panjang. Ketiga, PDB sektor pertanian dan sektor lainnya dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah. Berdasarkan hasil simulasi diperoleh informasi: Pertama, kenaikan harga minyak dunia dan penurunan subsidi BBM secara parsial berdampak terhadap penurunan konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia. Apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar berdampak terhadap peningkatan konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia. Kedua, alternatif kombinasi simulasi kenaikan
harga minyak dunia dan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar memberikan dampak dengan arah yang sama dengan dampak yang ditimbulkan oleh simulasi kenaikan harga minyak dunia. Namun demikian dampak negatif simulasi ini lebih kecil dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh simulasi kenaikan harga minyak dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar mampu mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh kenaikan harga minyak dunia. Ketiga, alternatif kombinasi simulasi kenaikan harga minyak dunia, apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar dan penurunan pengeluaran subsidi BBM memperlihatkan pola yang sama dengan alternatif simulasi kenaikan harga minyak dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa dampak negatif yang ditimbulkan oleh kenaikan harga minyak dunia dan penurunan pengeluaran subsidi BBM tidak mampu dieleminir oleh dampak positif yang ditimbulkan oleh apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar. Hasil analisis efisiensi pemakaian energi menunjukkan bahwa pemakaian energi Indonesia periode lima tahunan dari tahun 1990-2005 cenderung hemat. Pada periode 2006-2010 pemakaian energi total inefisien (boros) dan pada masa mendatang pemakaian energi total cenderungan efisiens. Hal ini terjadi karena penerapan teknologi yang hemat energi seiring dengan berjalannya waktu. Dari sisi penyediaan, cadangan energi fosil khususnya minyak semakin menipis sehingga berbagai upaya perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Untuk jangka pendek, berbagai upaya perlu dilakukan sehubungan dengan upaya untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan energi antara lain dengan cara konversi minyak tanah ke gas untuk rumahtangga, dan pengurangan subsidi BBM. Disamping itu kebijakan nilai tukar rupiah yang stabil perlu dilakukan untuk menangkal dampak negatif dari kenaikan harga minyak dunia yang dapat menyebabkan konsumsi dan penyediaan energi menurun. Untuk jangka menengah, perlu upaya untuk meningkatkan investasi dari aspek produksi, pengolahan, dan distribusi energi fosil, dan upaya konversi penggunaan energi berbasis bahan bakar minyak oleh sektor industri ke jenis energi lainnya. Seiring dengan itu, upaya peningkatan jumlah dan kapasitas kilang (minyak dan gas) perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap energi akhir yang bersumber dari impor. Upaya peningkatan jumlah dan kapasitas pembangkit listrik juga perlu dilakukan untuk mengeleminir defisit energi listrik yang semakin meningkat seiring dengan kemajuan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk. Pengembangan pembangkit listrik hendaknya difokuskan pada penggunaan energi selain BBM, seperti pembangkit listrik menggunakan energi batubara dan gas. Selanjutnya untuk jangka panjang, upaya untuk menggeser penggunaan energi yang bersumber dari unrenewable resources kepada penggunaan energi yang bersifat renewable resources, seperti pemanfaatan energi air, angin, bahan bakar nabati (biomas, biodiesel, biogas dan lainnya), dan sumber-sumber energi berkelanjutan lainnya.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor
ANALISIS KONSUMSI DAN PENYEDIAAN ENERGI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA
ELINUR
DISERTASI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup 1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Yusman Syaukat. MEc Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka 1. Dr. Harianto Staf Pengajar Departemen Manajemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Hanggono Tjahjo Nugroho Angota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi
Judul Disertasi
: Analisis Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia
Nama Mahasiswa
: Elinur
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Nomor Pokok
: H 363070041
Menyetujui 1. Komisi Pembimbing :
Ir. D.S. Priyarsono, Ph.D Ketua
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc Anggota
Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D Anggota
Mengatahui, 2. Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian,
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A
Tanggal Ujian : 5 Oktober 2011
3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Pengesahan :
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah Subhana Wata’ala yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan Disertasi dengan judul: Analisis Konsumsi dan Penyediaan Energi Dalam Perekonomian. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun suatu model dinamika konsumsi energi menurut pengguna dan penyediaan energi menurut jenis energi dalam perekonomian Indonesia dengan menggunakan pendekatan neraca energi. Secara spesifik bertujuan untuk: (1) mengestimasi faktor-faktor dominan yang mempengaruhi konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia, (2) menganalisis dampak kebijakan ekonomi dan faktor eksternal terhadap konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia, (3) melakukan peramalan terhadap konsumsi dan penyediaan (4) menganalisis
energi di Indonesia menurut pengguna,
efisiensi energi dalam
penggunaan energi di Indonesia, dan
(5) merumuskan implikasi kebijakan penyediaan yang efektif dan konsumsi energi yang efisien dalam perekonomian Indonesia. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak: Ir. D.S Priyarsono, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc dan Muhammad Firdaus, SP., M.Si, Ph.D selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus disampaikan kepada suami tercinta, Dr. Djaimi Bakce atas segala keikhlasan, pengertian dan dorongan moril dan materil yang tiada henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Selanjutnya, penulis mengucapan terima kasih juga kepada: 1. Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor. 2. Bapak Prof. Dr. Ir Bonar M. Sinaga, MA sebagai Ketua Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah memberikan masukan, arahan dan bimbingan sejak penulis diterima menjadi mahasiswa baru di Institut Pertanian Bogor.
3. Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Nasional yang telah memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S3. 4. Saudara Fifi selaku staf Pusat Data dan Informasi Kementrian Energi Sumberdaya dan Mineral yang telah membantu dalam memperoleh data dan bahan kepustakaan di Kementrian Energi Sumberdaya dan Mineral 5. Ibunda terkasih dan ananda tercinta Lailla Fitria Djaimi yang telah memberikan dorongan moril dan doa yang tulus yang selalu dipanjatkan untuk penulis. 6. Mbak Rubi Garniwan, Mbak Yani, Bu Kokom dan Bapak Husen selaku staf di Mayor Program Studi di Ilmu Ekonomi Pertanian. 7. dan kepada pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas bantuan dalam penyelesaian disertasi ini.
Akhirnya, penulis mengharapkan dukungan dari berbagai pihak agar pemikiran yang tertuang dalam Disertasi ini dapat disempurnakan dan bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya..
Bogor, Januari 2012 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau pada
tanggal
13 September 1970. Penulis anak ke tujuh dari delapan bersaudara dari Ayah Nursin (Almarhum) dan Ibu Nurmina. Penulis menyelesaikan sekolah dasar (SD) di SD Negeri 022 Pekanbaru tahun 1984. Tiga tahun kemudian penulis melanjutkan ke sekolah menengah pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Pekanbaru. Tahun 1990, penulis lulus SMA Negeri 2 Pekanbaru. Selanjutnya, tahun 1991 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Sarjana di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Riau. Alhamdullilah tahun 1995 penulis berhasil memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Riau. Pada tahun 1998 penulis menikah dengan Djaimi Bakce dan pindah ke Bogor. Penulis dikaruniai seorang putri yang bernama Laila Fitria Djaimi. Tahun 2001 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 (Magister) Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian di Institut Pertanian Bogor yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah Provinsi Riau selama 2 tahun. Alhamdulillah tahun 2004 penulis berhasil memperolah gelar Magister of Sains, Institut Pertanian Bogor. Tiga tahun setelah menyelesaikan pendidikan S2, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang S3 Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis memulai karir sebagai dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Nasional Jakarta sejak tahun 2003 sampai sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ........................................................................................
iii
DAFTAR TABEL ...............................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
xii
I. PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ............................................................................
1
1.2. Permasalahan ..............................................................................
6
1.3. Tujuan Studi ................................................................................
12
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ..............................
13
II. TINJ AUAN PUSTAKA ..............................................
15
2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi .....................................................
15
2.1.1. Model Pertumbuhan Solow ..................................
15
2.1.2. Teori Pertumbuhan Endogen ...............................
18
2.1.3. Model Pertumbuhan dengan Sumberdaya Alam ....
23
2.2. Energi dan Pertumbuhan Ekonomi .............................................
29
2.3. Kebijakan Energi Nasional .........................................................
34
2.4. Tinjauan Studi Empiris ...............................................................
45
2.4.1. Studi Konsep Pertumbuhan Ekonomi dan Energi ..........
45
2.4.2. Studi Pertumbuhan Ekonomi dan Energi di Indonesia ...
55
2.4.3. Studi Pertumbuhan Ekonomi dan Energi pada Beberapa Negara .............................................................................
68
III. KERANGKA TEORITIS ....................................................................
81
3.1. Kedudukan Energi dalam Output Perekonomian .......................
81
3.2. Konsep Permintaan Energi .........................................................
83
3.3. Konsep Penyediaan dan Transformasi Energi ............................
91
3.4. Konsep Efisiensi Pemakaian Energi ..........................................
98
3.5. Kerangka Pemikiran ...................................................................
100
IV. METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................
104
4.1. Spesifikasi Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia .............................................................
104
4.1.1. Blok Persamaan Konsumsi Energi ..................................
108
4.1.2. Blok Persamaan Transformasi Energi .............................
124
4.1.3. Blok Persamaan Penyediaan Energi ...............................
128
4.1.4. Blok Persamaan Harga Energi ........................................
133
4.1.5. Blok Persamaan Output Perekonomian ..........................
136
4.2. Prosedur Analisis ........................................................................
140
4.2.1. Identifikasi Model ...........................................................
140
4.2.2. Metode Pendugaan Model ...............................................
141
4.2.3. Validasi Model ................................................................
143
4.2.4. Simulasi Model dan Peramalan ......................................
144
4.3. Jenis dan Sumber Data ................................................................
146
V. GAMBARAN UMUM PENYEDIAAN DAN KONSUMSI ENERGI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA ...................
147
5.1. Penyediaan Energi Dalam Perekonomian Indonesia ...................
147
5.1.1. Batubara ..........................................................................
149
5.1.2. Minyak Mentah ...............................................................
150
5.1.3. Bahan Bakar Minyak .......................................................
153
iv
5.1.4. Gas Alam .........................................................................
154
5.1.5. Biomas .............................................................................
156
5.1.6
Listrik ..............................................................................
158
5.2. Transformasi Energi dalam Perekonomian Indonesia .................
160
5.2.1. Transformasi Energi Minyak Bumi .................................
161
5.2.2. Transformasi Energi Gas Alam ......................................
163
5.3. Konsumsi Energi Dalam Perekonomian Indonesia ......................
164
5.3.1. Konsumsi Energi Sektor Industri ....................................
164
5.3.2. Konsumsi Energi Sektor Rumahtangga ..........................
166
5.3.3. Konsumsi Energi Sektor Transportasi ............................
168
5.3.4. Konsumsi Energi Sektor Pertanian .................................
169
5.3.5. Konsumsi Energi Sektor Lainnya ...................................
170
VI. HASIL PENDUGAAN MODEL KONSUMSI DAN PENYEDIAAN ENERGI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA .......................................................................................
172
6.1. Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model ..................................
172
6.2. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas .................................
174
6.2.1. Konsumsi Energi dalam Perekonomian Indonesia .........
175
6.2.2. Transformasi Energi Dalam Perekonomian Indonesia ...
196
6.2.3. Penyediaan Energi Dalam Perekonomian Indonesia ......
204
6.2.4. Harga Energi Dalam Perekonomian Indonesia ...............
210
6.2.5. Output Dalam Perekonomian Indonesia .........................
214
VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP KONSUMSI DAN PENYEDIAAN ENERGI DI INDONESIA ........................................
222
7.1. Hasil Validasi Model ..................................................................
222
v
7.2. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Perubahan Faktor Eksternal Terhadap Konsumsi dan Penyediaan Energi di Indonesia .........
225
7.2.1. Dampak Alternatif Kebijakan dan Perubahan Faktor Eksternal ..........................................................................
225
7.2.2. Dampak Alternatif Kombinasi Kebijakan dan Perubahan Faktor Eksternal ............................................
234
7.3. Peramalan Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia Periode 2012 -2025 ............................
242
VIII. EFISIENSI ENERGI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA ...
250
8.1. Efisiensi Pemakaian Energi Menurut Sektor ..............................
255
8.2. Strategi Penghematan dan Pemanfaatan Energi ..........................
258
8.2.1. Strategi Penghematan Energi ..........................................
259
8.2.2. Strategi Pemanfaatan Energi ...........................................
264
IX. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN PENELITIAN LANJUTAN ...............................................................
267
9.1. Kesimpulan .................................................................................
267
9.2. Implikasi Kebijakan ....................................................................
270
9.3. Saran Penelitian Lanjutan ............................................................
272
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
273
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................
279
vi
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Perkembangan Kebijakan Energi Nasional, Tahun 1981 – 2003 ..
38
2.
Potensi Energi Terbarukan Untuk Pembangkit Listrik Tahun 2006 .............................................................................................
142
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi BBM Sektor Industri .............................................................................
175
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Listrik Sektor Industri .............................................................................
177
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Batubara Sektor Industri .............................................................................
177
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Gas Sektor Industri .............................................................................
178
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Biomas Sektor Industri .............................................................................
179
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi BBM Sektor Rumahtangga ...................................................................
181
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Listrik Sektor Rumahtangga ...................................................................
182
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Gas Sektor Rumahtangga ...................................................................
183
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Biomas Sektor Rumahtangga ...................................................................
184
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi BBM Sektor Transportasi Darat ...........................................................
185
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi BBM Sektor Transportasi Lainnya .......................................................
186
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Transportasi Darat Non Penumpang ................................................................
187
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Transportasi Darat Penumpang ........................................................................
188
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
16.
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi BBM Sektor Pertanian ..........................................................................
190
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi BBM Sektor Lainnya ............................................................................
191
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Gas Sektor Lainnya ............................................................................
192
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Listrik Sektor Lainnya ............................................................................
193
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Biomas Sektor Lainnya ............................................................................
193
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Transformasi Energi Kilang Minyak .................................................................
196
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Transformasi Energi Listrik ...............................................................................
197
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Transformasi Energi Gas ...................................................................................
198
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Input Listrik untuk Pembangkit Listrik ......................................................................
200
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Input Gas untuk Pembangkit Listrik ......................................................................
201
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Input BBM untuk Pembangkit Listrik ......................................................................
202
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Input Batubara untuk Pembangkit Listrik ............................................................
203
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Pemanfaatan Kilang Minyak .........................................................................................
205
29.
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Produksi Batubara ..
207
30.
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Impor Minyak Mentah .........................................................................................
208
31.
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Impor BBM ............
209
32.
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Harga BBM ............
210
33.
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Harga Listrik ..........
211
34.
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Harga Batubara .......
212
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
viii
35.
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Harga Gas ...............
213
36.
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Indeks Harga Biomas .........................................................................................
213
37.
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas PDB Sektor Industri
215
38.
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas PDB Sektor Transportasi .................................................................................
215
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas PDB Sektor Pertanian ......................................................................................
217
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas PDB Sektor Lainnya ........................................................................................
217
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Pengeluaran Subsidi BBM ............................................................................................
219
Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Penerimaan Pemerintah ...................................................................................
220
Hasil Pengujian Validasi Model Konsumsi dan Penyediaan Energi Dalam Perekonomian Indonesia ......................................
223
Dampak Alternatif Kebijakan Ekonomi dan Perubahan Faktor Eksternal Terhadap Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia Periode 1990 – 2008 ..........................
226
Dampak Alternatif Kombinasi Kebijakan Ekonomi dan Perubahan Faktor Eksternal Terhadap Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia Periode 1990 – 2008 .................................................................................
235
Hasil Peramalan Konsumsi dan Penyediaan Energi Tanpa Alternatif Kebijakan Periode 2012 – 2025 .................................
242
39. 40. 41. 42. 43. 44.
45.
46.
ix
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Trend PDB Empat Sektor Ekonomi, Tahun 1993-2008 ..............
4
2.
Trend Konsumsi Energi Akhir Empat Sektor Ekonomi, Tahun 1993-2008 .........................................................................
5
Perbandingan Elastisitas Pemakaian Energi Sejumlah Negara, Tahun 1998 – 2003 ......................................................
7
Perbandingan Intensitas Penggunaan Energi Primer Beberapa Negara .........................................................................................
8
Intensitas Konsumsi Energi akhir Per Kapita di Indonesia, Tahun 2000-2008 ........................................................................
8
6.
Model Pertumbuhan Solow ............................................................
16
7.
Elastisitas Substitusi Antara Faktor Produksi Kapital dan Sumberdaya ...................................................................................
26
8.
Gambaran Model Energi Dunia ..................................................
54
9.
Struktur Modul Penyediaan Energi Fosil ....................................
91
10.
Struktur Modul Kilang dan Transformasi Energi .......................
94
11.
Struktur Modul Pembangkitan Listrik ........................................
96
12.
Struktur Modul Pembangkit Listrik Energi Terbarukan .............
97
13.
Kerangka Pemikiran Studi Analisis Konsumsi dan Penyediaan Energi Dalam Perekonomian Indonesia .....................................
101
Simplifikasi Model Konsumsi dan Penyediaan Energi Dalam Perekonomian Indonesia .............................................................
106
Diagram Simplifikasi Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomi Indonesia ......................................................
107
16.
Peramalan Berdasarkan Ruang Waktu ........................................
145
17.
Penyediaan Energi Batubara Tahun 1990-2008 ..........................
150
18.
Penyediaan Energi Minyak Mentah Indonesia Tahun 1990-2008 ....................................................................................
151
3. 4. 5.
14. 15.
19.
Penyediaan Energi BBM Indonesia Tahun 1990-2008 ..............
153
20.
Penyediaan Energi Gas Alam Indonesia Tahun 1995-2008 ........
155
21.
Penyediaan Energi Biomas Tahun 1990-2008 ............................
158
22.
Penyediaan Listrik Indonesia Tahun 1990-2008 .........................
159
23.
Tranformasi Energi Minyak Mentah Indonesia Tahun 1990-2008 ...................................................................................
162
24.
Transformasi Energi Gas Bumi Tahun 1990-2008 .....................
164
25.
Konsumsi Energi Sektor Industri Tahun 1990-2008 ...................
165
26.
Konsumsi Energi Sektor Rumahtangga Tahun 1990-2008 .........
166
27.
Konsumsi Energi Sektor Transfortasi Tahun 1990-2008 ............
168
28.
Konsumsi Energi Sektor Pertanian Tahun 1990-2008 ................
170
29.
Konsumsi Energi Sektor Lainnya Tahun 1990-2008 ..................
171
30.
Perkembangan Rata-Rata Elastisitas Pemakaian Energi Total Periode Lima Tahunan ................................................................
251
Perkembangan Rata-Rata Elastisitas Pemakaian Energi Sektor Industri Periode Lima Tahunan ...................................................
253
Perkembangan Rata-Rata Elastisitas Pemakaian Energi Sektor Rumahtangga Periode Lima Tahunan .........................................
255
Perkembangan Rata-Rata Elastisitas Pemakaian Energi Sektor Transportasi Periode Lima Tahunan ...........................................
256
Perkembangan Rata-Rata Elastisitas Pemakaian Energi Sektor Pertanian Periode lima tahunan ...................................................
256
Perkembangan Rata-Rata Elastisitas Pemakaian Energi Sektor Lain Periode Lima Tahunan .......................................................
257
31. 32. 33. 34. 35.
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
8. 9. 10. 11.
Halaman Data Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia .....................................................................................
280
Program Pendugaan Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia ...................................
289
Hasil Pendugaan Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia ..................................................
297
Program Simulasi Dasar Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia .......................................
319
Hasil Simulasi Dasar Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia .................................................
324
Program Simulasi Faktor Eksternal dan Kebijakan Pemerintah pada Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia .............................................................
330
Hasil Simulasi Faktor Eksternal dan Kebijakan Pemerintah pada Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia .............................................................
335
Program Peramalan Peubah Eksogen pada Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia ............
341
Hasil Peramalan Peubah Eksogen pada Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia ....................
306
Program Peramalan Peubah Endogen pada Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia ............
345
Hasil Peramalan Peubah Endogen pada Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia ..................
350
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketersediaan energi dalam jumlah yang cukup dan kontinu sangat penting dalam menjalankan aktivitas ekonomi suatu negara. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya perekonomian suatu negara maka kebutuhan akan energi baik untuk kebutuhan konsumsi (rumahtangga) maupun untuk menjalankan aktivitas produksi (sektor ekonomi) akan cenderung mengalami
peningkatan.
Secara
keseluruhan,
negara-negara
di
dunia
menggunakan energi fosil yang bersifat unrenewable resources untuk memenuhi kebutuhan energinya. Oleh karenanya diperlukan upaya optimalisasi pasokan energi dan efisiensi dalam pemanfaatannya. Perkembangan terkini pemanfaatan energi di Indonesia menunjukkan telah terjadi perubahan status dari negara pengekspor menjadi pengimpor khususnya minyak yang disebabkan oleh beberapa faktor: (1) penekanan konsumsi minyak fosil bagi
rumahtangga dan industri telah mempercepat habisnya produksi,
(2) setelah krisis ekonomi, Indonesia tidak melakukan investasi yang memadai dalam eksplorasi sumber atau ladang minyak baru, dan (3) investasi penyulingan minyak (oil refinery) juga terlambat dilakukan. Ketiga faktor inilah telah menyebabkan adanya kelangkaan minyak berbasis fosil di Indonesia. Pada masa mendatang, energi fosil tetap akan dominan walaupun harga minyak cenderung meningkat. Pada tahun 2005 pemerintah Indonesia menaikkan harga minyak yang didorong oleh meningkatnya harga minyak dunia. Akan tetapi kenaikan harga minyak ini tidak dapat mencegah status Indonesia dari net importer minyak mentah yang telah terjadi sejak tahun 2000 hingga sekarang.
2
Diperkirakan impor minyak mentah akan meningkat, sementara itu persaingan di pasar dunia (karena masuknya China secara agresif) telah menaikkan harga minyak pada tingkat yang tidak terbayangkan sebelumnya. Bagi Indonesia, sumber energi alternatif terhadap minyak adalah dua sumber
energi tidak
terbarukan, yaitu batubara dan gas alam (natural gas). Dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025 dinyatakan sejumlah persoalan terkait dengan kondisi keenergian di Indonesia, yaitu: (1) struktur APBN masih tergantung penerimaan migas dan dipengaruhi subsidi bahan bakar minyak (BBM), (2) industri energi belum optimal, (3) infrastruktur energi terbatas, (4) harga energi belum mencapai keekonomian, dan (5) pemanfaatan energi belum efisien. Kondisi tersebut mengakibatkan: (1) bauran energi primer timpang, diperlihatkan oleh pemanfaatan gas dan batubara dalam negeri belum optimal, (2) pengembangan energi alternatif terhambat karena adanya subsidi BBM, (3) Indonesia menjadi net importer minyak, dan (4) subsidi BBM membengkak. Indonesia menjadi net importir minyak bumi, tidak hanya disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, industrialisasi, dan keterbatasan investasi, juga disebabkan kegagalan pemerintah dalam mengatasi menipisnya cadangan minyak melalui kebijakan harga energi murah dengan memberikan subsidi yang besar. Sebagai pembanding, harga retail gas pada tahun 2005 US$1.0 di Kenya, tetapi hanya $ 0.50 di Indonesia. Sifat dari kebijakan harga energi murah berkembang semakin mendalam dalam pasar minyak (energi), konsumen menjadi terbiasa menerima harga minyak bersubsidi. Akar dari permasalahan di sini adalah: Pertama, Pasar 33 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa seluruh
3
sumberdaya alam dikuasai oleh Negara dan digunakan oleh pemerintah dengan sebesar-besarnya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Interpretasi pertama dari undang-undang ini adalah pasar energi dikendalikan oleh pemerintah, dengan kekuatan intervensi pemerintah di pasar minyak. Rendahnya kinerja perusahaan milik negara PERTAMINA dan jaminan harga oleh pemerintah merefleksikan kegagalan intervensi Negara. Kedua, berdasarkan alasan dari sisi undang-undang tersebut, kegagalan pasar terbesar ditemukan pada sektor ekonomi yang berbasis produksi energi sumberdaya alam. Hasilnya, kebijakan harga sumberdaya alam ditetapkan melalui intervensi pemerintah, bukan dikendalikan oleh mekanisme pasar. Sebagai konsekuensinya, secara umum pasar energi adalah pasar persaingan tidak sempurna (Tambunan, 2006). Ini sejalan dengan pendapat Titenberg’s (2003) yang menyatakan bahwa pemerintah mengontrol dengan memberlakukan harga yang cenderung tetap, sebaliknya melalui mekanisme pasar persaingan sempurna yang paling diharapkan oleh para ekonom. Lebih lanjut Tambunan (2006) menyatakan bahwa kebijakan harga energi murah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin hanya dapat diimplementasikan jika negara memiliki surplus penerimaan. Status monopoli pada PERTAMINA, dikombinasikan dengan harga minyak murah, memberikan implikasi yang lebih luas daripada pengakuan publik. Menciptakan konsumsi minyak fosil yang lebih cepat, hal tersebut akan memberikan lima dampak: (1) ketergantungan yang tinggi pada minyak fosil sebagai sumber energi utama, (2) “salah didik” pada masyarakat untuk menggunakan minyak secara berlebihan, (3) inefisiensi dalam pemanfaatan energi, (4) gagal untuk melakukan diversifikasi
4
sumber-sumber energi, dan (5) gagal menarik investasi pada industri hilir, seperti retail pasar minyak. Selanjutnya, hipotesis penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan konsumsi energi dan sebaliknya. Dengan demikian ada hubungan antara konsumsi energi dengan perkembangan perekonomian. Kasus di Indonesia menunjukkan bahwa peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) diiringi dengan peningkatan konsumsi energi akhir. Gambar 1 dapat dilihat bahwa Produk Domestik Bruto yang didisagregasi dalam empat sektor ekonomi pada periode 1993-2008 seluruhnya cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan urutan menurut besarnya nilai PDB, sektor yang memberikan kontribusi tertinggi adalah sektor lainnya (pertambangan, konstruksi, listrik, gas, air bersih, perdagangan, hotel, restoran, komunikasi, dan jasa), diikuti secara berturut-turut oleh sektor industri, sektor pertanian dan sektor transportasi. 3,500
PDB (Tr i li un Rupiah)
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Industri
Transportasi
Pertanian
Sektor Lainnya
Sumber: BPS (diolah) Gambar 1. Trend PDB Empat Sektor Ekonomi, Tahun 1993-2008 Dengan memperhatikan Gambar 2, terlihat bahwa trend konsumsi energi akhir meningkat. Pada periode 1993-2008 sektor ekonomi dengan konsumsi
5
energi akhir mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah, secara berturut-turut adalah sektor industri, sektor transportasi, sektor lainnya dan sektor pertanian. Dengan melihat trend PDB yang meningkat seperti pada Gambar 1 dan membandingkannya dengan trend konsumsi energi akhir yang juga meningkat seperti Gambar 2, memperkuat hipotesis bahwa seiring dengan berkembangnya
K ons um si E nergi F inal (Juta SB M)
perekonomian maka kebutuhan terhadap energi juga mengalami peningkatan. 400.00 350.00 300.00 250.00 200.00 150.00
c
100.00 50.00 0.00 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Industri
Transportasi
Pertanian
Sektor lainnya
Sumber: Kementrian ESDM, 2006 dan 2009 Gambar 2. Trend Konsumsi Energi 1993-2008
Akhir Empat Sektor Ekonomi, Tahun
Mengacu pada penjelasan di atas adalah sangat penting bagi Indonesia untuk memperhatikan masalah ketersediaan energi yang baik untuk kebutuhan konsumsi rumahtangga maupun untuk aktivitas ekonomi sektor pertanian, pertambangan, konstruksi, transportasi, industri pengolahan, dan sektor ekonomi lainnya.
Dengan
mempertahankan
kata
lain
diperlukan
keseimbangan
antara
suatu
kondisi
pertumbuhan
yang ekonomi
senantiasa dengan
ketersediaan energi sebagai salah satu prasyarat untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang lebih maju. Oleh karenanya sangat menarik untuk melakukan suatu
6
studi yang menganalisis konsumsi dan penyediaan energi dalam perekonomian Indonesia. Untuk itu akan digunakan
pendekatan konsumsi dan penyediaan
energi dengan analisis ekonometrika yang dinamis.
1.2. Permasalahan Mencermati perkembangan terkini sektor energi di Indonesia ditemukan berbagai permasalahan dari aspek konsumsi, harga dan produksi. Dari aspek konsumsi dan harga, permasalah utama yang ditemukan adalah pemanfaatan energi yang relatif boros, diperlihatkan oleh tingkat elastisitas pemakaian energi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Kenyataan adanya masyarakat tidak mampu yang mempunyai daya beli yang rendah untuk memenuhi konsumsinya disikapi pemerintah dengan memberlakukan kebijakan harga energi murah. Tidak hanya masyarakat yang tidak mampu memperoleh manfaat dari penerapan kebijakan harga energi murah ini, masyarakat golongan atas dan dunia usaha juga menikmatinya. Dengan kata lain kebijakan yang diberlakukan pemerintah selama ini adalah salah satu pemicu terjadinya pemborosan pemanfaatan energi di Indonesia. Dampak negatif lainnya dari penerapan kebijakan harga energi murah ini juga mendorong maraknya penyelundupan khususnya BBM ke luar negeri. Walaupun saat ini pemerintah telah menaikkan harga BBM namun masih lebih rendah dari harga minyak dunia, oleh karenanya praktek-praktek penyelundupan ke luar negeri masih tetap terjadi. Data Statistik Ekonomi Energi Departemen Energi Sumberdaya Dan Mineral (DESDM) menggambarkan bahwa elastisitas pertumbuhan konsumsi energi terhadap Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) rata-rata dalam rentang
7
tahun 1991-2005 mencapai 2,02. Angka tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB masih bergantung pada pertumbuhan konsumsi energi yang besar. Elastisitas energi yang diharapkan kurang dari 1, yang menunjukkan tingkat efisiensi tinggi. Angka ini sangat jauh bila dibandingkan dengan elastisitas energi negara-negara maju. Bahkan Jerman dapat mencapai elastisitas (-0.12) dalam kurun waktu 1998–2003 (DESDM 2006). Energi di Indonesia masih banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak menghasilkan, tercermin dari tingginya elastisitas energi Indonesia. Perbandingan elastisitas dan intensitas pemakaian energi sejumlah negara periode tahun 1998-2003 disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Sumber: DESDM, 2006 Gambar 3. Perbandingan Elastisitas Tahun 1998 – 2003
Pemakaian Energi Sejumlah Negara,
8
Sumber: Kementerian ESDM, 2009 Gambar 4. Perbandingan Intensitas Penggunaan Energi Primer Beberapa Negara Lebih lanjut pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa intensitas konsumsi energi akhir per kapita di Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2000, intensitas konsumsi energi akhir per kapita sebesar 2.26 SBM per kapita kemudian meningkat menjadi 2.82 pada tahun 2008. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam kurun waktu 8 tahun, terjadi peningkatan pemborosan penggunaan energi sebesar 24.78 persen.
Sumber: Kementerian ESDM, 2009 Gambar 5. Intensitas Konsumsi Energi akhir Per Kapita di Indonesia, Tahun 2000-2008
9
Dari aspek harga energi menunjukkan harga energi di Indonesia relatif murah dan belum menjacapai harga keekonomiannya. Rendah harga energi di Indonesia disebabkan harga energi masih disubsidi oleh pemerintah. Menurut Tambunan (2006) menyatakan bahwa rendahnya harga BBM membawa dampak negatif: (1) tingginya ketergantungan pada sumber energi minyak bumi yang ditunjukkan oleh dominasi minyak bumi dalam kombinasi pasokan sumber energi domestik (energy mix). Sinyal harga yang rendah tersebut menjadi disinsentif bagi usaha diversifikasi maupun konservasi (penghematan) energi, (2) Subsidi BBM di APBN mengancam keberlangsungan fiskal (fiscal sustainability) pemerintah, (3) tidak optimalnya pemanfaatan sumber energi lain, baik fosil energi seperti gas alam dan batu bara yang cadangannya jauh lebih besar dari minyak bumi maupun energi baru dan terbarukan, (4) maraknya penyelundupan BBM ke luar negeri sehingga tingkat permintaan lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan nyata di sektor transportasi,
industri,
dan
rumahtangga,
(5) maraknya
kegiatan
pengoplosan BBM yang merugikan negara dan konsumen umum, dan (6) sinyal harga mendistorsi kelayakan investasi di sektor hilir migas. Lebih lanjut Tambunan (2006) menyatatakan terdapat dua permasalahan utama yang dihadapi dari aspek penyediaan energi, yaitu terbatasnya teknologi eksplorasi sumber-sumber energi dan investasi. Karena keterbatasan dalam penguasaan teknologi eksplorasi, sebagian besar aktivitas eksplorasi minyak di Indonesia dilakukan kontraktor perusahaan minyak asing dengan sistem kontrak produksi sharing (KPS) dengan skema pembagian 85 persen untuk pemerintah pusat dan 15 persen untuk kontraktor. Kondisi ini mengindikasikan bahwa tidak sepenuhnya hasil eksplorasi minyak dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan
10
domestik, sebagian diantaranya diekspor oleh kontraktor untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik karena harga minyak dunia yang lebih tinggi dari harga domestik. Sementara itu investasi energi masih terbatas. Hal ini terlihat dengan jumlah kilang minyak yang berproduksi di Indonesia. Berdasarkan data Kementrian Energi Sumber Daya Mineral tahun 1990-2008 menunjukkan pertumbuhan rata-rata jumlah kilang minyak sebesar 1.39 persen dari 8 kilang minyak tahun 1990-2003 menjadi 10 kilang minyak tahun 2007- 2008. Rendahnya investasi di sektor energi ini disebabkan oleh beberapa permasalahan (Tambunan, 2006): (1) regulatory environment problem, karena berbagai peraturan menciptakan ketidakpastian dan inkonsistensi sehingga menciptakan regulatory risk yang besar sehingga menjadi disensentif bagi investor dalam dan luar negeri, (2) pricing policy problem, kecenderung penetapan harga di dalam negeri yang rendah sehingga tidak menarik bagi investor dan ini mensyaratkan agar harga energi menjadi masalah strategik, (3) high cost economy, dengan proses pasar energi yang menyangkut perencanaan proyek di Indonesia perlu dibangun suatu proses menyeluruh yang dapat dipertanggungjawabkan dan terbuka sehingga para investor dapat menghemat biaya dan efisien dalam melakukan proses eksplorasi, (4) inconsistency tax system, ada inkonsistensi di bidang perpajakan yang berkaitan dengan implementasi regulasi baru, dan (5) limited infrastructure, infrastruktur jalan, transmisi, transportasi, dan pelabuhan yang menghubungkan wilayah eksplorasi dan distribusi dirasakan sangat kurang sehingga menghambat investasi.
11
Seiring dengan ketersediaan energi fosil yang semakin langka, karena merupakan energi yang tidak dapat diperbaharui, dewasa ini berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, kembali menggalakkan penggunaan energi biomass sebagai salah satu energi yang dapat diperbaharui. Biomass merupakan seluruh bahan organik, berasal dari kayu, tumbuhan, kotoran hewan, dan sumber-sumber organik lainnya, yang dapat didigunakan sebagai sumber energi. Hal ini senada dengan ungkapan Reksowardoyo dan Soeriawidjaja (2006) yang menyatakan bahwa biomass adalah semua bahan-bahan organik yang berasal dari tumbuhan dan hewan, produk dan limbah industri budidaya pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan, yang dapat diproses menjadi bioenergi. Sampai saat ini tiga jenis sumber energi: minyak, gas alam dan listrik merupakan sumber utama energi bagi fungsi pemanasan, mesin pendingin, memasak, penerangan dan transportasi. Pada umumnya, energi dilihat sebagai faktor input dalam dunia industri
pengolahan, sektor pertanian dan sektor
ekonomi lainnya. Secara agregat, energi selalu dilihat (dikaitkan) dengan kegiatan ekonomi penduduk dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Permintaan terhadap energi pada masa mendatang akan masih tetap dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk, meningkatnya jumlah ekonomi (income per capita) dan meningkatkan mobilitas hidup. Sering terjadi di negara berkembang, pada saat efisiensi energi tercapai, hasil efisiensi tersebut tetap dikonsumsi oleh pertambahan penduduk. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa seiring dengan perkembangan perekonomian, konsumsi energi oleh berbagai sektor cenderung meningkat, hal ini memicu kenaikan harga energi. Perkembangan perekonomian domestik, dinamika
12
perekonomian dunia juga cenderung mendorong kenaikan harga energi domestik. Walaupun sejumlah negara, termasuk Indonesia, mengalami kontraksi ekonomi akibat dilanda krisis ekonomi global sejak tahun 2008, namun Indonesia masih mengalami pertumbuhan positif tertinggi ketiga setelah China dan India. Secara perlahan perekonomian Indonesia pulih, yang diperlihatkan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengalami pergerakan positif dan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar cenderung menguat. Dalam rangka mendorong pertumbuhan sektor riil, termasuk di bidang energi, Pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia memberlakukan kebijakan penurunan suku bunga sehingga mendorong investor semakin termotivasi untuk menanamkan modalnya. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan empat permasalahan yang perlu dijawab dalam studi ini, yaitu: 1. Apa saja faktor-faktor yang dominan mempengaruhi konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia? 2. Bagaimana dan seberapa besar dampak kebijakan ekonomi dan faktor eksternal lainnya terhadap konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia? 3. Berapa besar konsumsi dan penyediaan energi pada masa mendatang sehubungan dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian Indonesia? 4. Kebijakan penyediaan dan konsumsi energi bagaimana yang efektif dalam perekonomian Indonesia?
1.3. Tujuan Studi Secara umum tujuan dari studi ini adalah untuk membangun suatu model konsumsi energi menurut pengguna dan penyediaan energi menurut jenis energi
13
dalam perekonomian Indonesia dengan menggunakan pendekatan neraca energi. Secara spesifik studi ini bertujuan untuk: 1. Menduga faktor-faktor
dominan
yang mempengaruhi
konsumsi
dan
penyediaan energi di Indonesia. 2. Menganalisis dampak kebijakan ekonomi dan faktor eksternal lainnya terhadap konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia. 3. Melakukan peramalan terhadap konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia menurut pengguna pada masa mendatang. 4. Merumuskan implikasi kebijakan penyediaan energi yang efektif dan konsumsi energi yang efesien dalam perekonomian Indonesia.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan konsumsi dan penyediaan energi Indonesia yang memaparkan aliran energi dimulai dari sumber energi, diikuti dengan transformasi energi, sampai dengan konsumsi energi akhir oleh konsumen akhir. Jenis energi yang dianalisis dengan model persamaan simultan ini terdiri dari minyak mentah, batubara, BBM, gas, listrik, dan biomas. Transformasi energi, sesuai dengan neraca energi Indonesia, terdiri dari penyulingan minyak dan pembangkit listrik. Sementara itu, konsumen akhir energi akhir yang dianalisis terdiri dari 5 sektor, yaitu sektor: industri, transportasi, rumahtangga (pemukiman), pertanian, dan sektor lainnya. Untuk menganalisis konsumsi dan penyediaan energi dalam perekonomian Indonesia, sejumlah peubah dari luar data neraca energi dimasukkan ke dalam model. Peubah-peubah
yang dimaksud terutama sekali adalah peubah harga
14
berbagai jenis energi, jumlah penduduk, produk domestik bruto (PDB), dan peubah-peubah pendukung lainnya. Mencermati ruang lingkup yang telah dikemukakan, penelitian ini memiliki sejumlah keterbatasan terutama terkait dengan agregasi jenis energi dan konsumen akhir. Pada studi ini jenis energi batubara, BBM, gas, dan biomass dianalisis secara agregat, padahal keempat jenis energi ini memiliki spesifikasi yang lebih rinci. Tidak dilakukannya disagregasi terhadap keempat jenis energi tersebut, khususnya terkait dengan sumber (penyediaan) energi, disebabkan data yang terdapat dalam neraca energi Indonesia tidak secara detail merinci spesifikasi berbagai jenis energi tersebut. Demikian juga halnya dengan jenis energi listrik tidak dirinci menurut status kepemilikan pembangkit listrik dan sumber energi listrik. Menurut status kepemilikan, pembangkit energi listrik terdiri dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan perusahaan listrik swasta atau pembangkit listrik milik pribadi. Menurut sumbernya, energi listrik berasal dari pembangkit listrik tenaga diesel, pembangkit tenaga uap, tenaga air, dan sumber lainnya. Selanjutnya, analisis terhadap konsumen akhir energi juga dilakukan secara agregat mengacu pada data yang tersedia dalam neraca energi Indonesia. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, konsumen akhir yang dianalisis terdiri dari sektor industri, transportasi, rumahtangga (pemukiman), pertanian, dan sektor lainnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Basis model pertumbuhan ekonomi adalah teori yang dirumuskan oleh Solow (1956), seorang penerima hadiah Nobel, namun dalam model tersebut belum memasukkan faktor sumberdaya secara keseluruhan. Model ini kemudian diperluas dengan memasukkan faktor sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dan sumberdaya yang dapat diperbaharui, dan jasa-jasa dalam mendapatkan dan pengelolannya. Namun demikian, model-model yang diperluas ini hanya diaplikasikan dalam konteks debat tentang ekonomi berkelanjutan, bukan dalam bentuk aplikasi makro ekonomi (Stern, 2003).
2.1.1. Model Pertumbuhan Solow Model-model pertumbuhan ekonomi menguji evolusi dari perekonomian secara hipotesis selamanya sebagai kuantitas dan/atau kualitas berbagai input dalam perubahan proses produksi. Disini akan dijabarkan model pertumbuhan Solow (1956) mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh Stern (2003). Dalam model ukuran angkatan kerja konstan menyatakan bahwa kapital merupakan faktor produksi utama untuk menghasilkan output, dalam hal ini adalah pendapatan nasional. Model Neoklasik mengasumsikan output meningkat dengan tingkat yang semakin menurun apabila jumlah kapital yang digunakan meningkat seperti Gambar 6. Apabila penduduk diasumsikan konstan, maka hasil kali antara angkatan kerja dan tabungan merupakan proporsi konstan dari pendapatannya. Sehingga tabungan digunakan untuk menciptakan barang-barang kapital baru merupakan
16
proporsi konstan dari penyusutan stok kapital yang ada (dan menjadi kurang produktif) dalam setiap periode waktu.
Sumber: Stern, 2003 Gambar 6. Model Pertumbuhan Solow
Stok kapital dalam keadaan keseimbangan ketika tabungan sama dengan penyusutan. Ini juga digambarkan dalam Gambar 6 kurva Solow. Catatan bahwa kurva tabungan mempunyai bentuk yang sama seperti kurva output, tetapi lebih rendah untuk setiap nilai K (kapital). Ini disebabkan tabungan merupakan proporsi konstan, s, dari pendapatan. Dinamika yang digambarkan pada gambar kurva Solow sangat sederhana. Pada bagian sebelah kiri K, dimana kapital per tenaga kerja adalah langka, investasi kapital menghasilkan pendapatan yang relatif lebih besar pada masa mendatang, dan akan menawarkan tingkat pengembalian yang tinggi. Lebih lanjut dapat dilihat posisi relatif kurva S (stok kapital) dan D (depresiasi) disebelah kiri K yang menambah stok kapital lebih besar daripada depresiasi dan juga meningkatkan kapital. Namun (digambarkan
demikian, oleh
tingkat
tingkat
pengembalian
penurunan
dari
kapital
peningkatan
yang kurva
menurun output)
17
mengimplikasikan bahwa kenaikan berturut-turut dari kapital menghasil tambahan pendapatan yang menurun pada masa mendatang, sehingga tingkat pengembalian investasi turun. Oleh karenanya insentif untuk akumulasi kapital melemah. Ketika stok kapital menyentuh K, akan terjadi keadaan stationer atau keseimbangan. Penambahan kapital dengan tabungan untuk menutupi kerugian
dalam
pengurangan kapital karena depresiasi dan tingkat pengembalian investai akan jatuh ke titik dimana tidak ada insentif untuk akumulasi kapital yang lebih banyak. Dalam model ini, perekonomian akan lebih cepat atau lebih lambat menyentuh keadaan stationer apabila tidak ada (tambahan) investasi bersih, dan pertumbuhan ekonomi pada akhirnya harus terhenti. Dalam suatu proses transisi, pada saat suatu negara bergerak melewati keadaan stationer ini, pertumbuhan dapat dan akan terjadi. Pada perekonomian terkebelakang, dengan stok kapital per tenaga kerja yang kecil, dapat mencapai pertumbuhan yang cepat dengan membangun stok kapitalnya. Tetapi seluruh perekonomian pada akhirnya akan menuju pertumbuhan keseimbangan nol jika tingkat tabungan konstan. Tidak ada negara dapat tumbuh secara kekal hanya dengan mengakumulasi kapital. Jika angkatan kerja tumbuh pada tingkat yang tetap sepanjang waktu, total stok kapital dan total kuantitas output akan meningkat tetapi kapital per tenaga kerja dan output per tenaga kerja akan tetap konstan apabila suatu perekonomian telah mencapai keseimbangannya. Hanya perlu penyesuaian pada gambar kurva Solow bahwa seluruh unit sekarang diukur dalam bentuk per kapita. Mengacu pada teori pertumbuhan Neoklasik, pertumbuhan ekonomi hanya akan terjadi dengan adanya kemajuan teknologi. Kuantitas dan kualitas output yang lebih baik dapat diproduksi dari sejumlah input yang sama. Dalam
18
model Solow yang telah dijelaskan, kemajuan teknologi secara kontinu menggeser fungsi output ke atas, sehingga meningkatkan keseimbangan stok kapital per kapita dan level output. Secara intuitif, peningkatan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi akan meningkatkan tingkat pengembalian kapital, sehingga dapat dinyatakan bahwa pengembalian kapital yang menurun sebaliknya akan menghambat pertumbuhan.
2.1.2. Teori Pertumbuhan Endogen Model Solow yang telah diuraikan tidak menjelaskan bagaimana perbaikan teknologi terjadi. Model tersebut mengasumsikan perubahan teknologi terjadi secara eksogen, sehingga disebut juga dengan model perubahan teknologi eksogen. Model yang lebih terkini memberlakukan perubahan teknologi secara endogen, yakni menjelaskan kemajuan teknologi yang masuk dalam model sebagai keluaran dari keputusan yang diambil oleh perusahaan atau individual. Dalam model pertumbuhan endogen, hubungan antara kapital dan output dapat ditulis dalam bentuk Y = AK. Kapital, K, didefenisikan lebih luas daripada model Neoklasik, yaitu gabungan pabrik/mesin dan pengetahuan berbasis kapital. Teori pertumbuhan endogen ini telah menempatkan asumsi-asumsi yang rasional, unsur A diekspresikan sebagai konstanta, dan pertumbuhan dapat terjadi tidak terhingga sebagai akumulasi kapital. Poin kunci dari model pertumbuhan endogen adalah ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk kapital yang terakumulasi melalui research and development (R&D)
dan proses penciptaan pengetahuan lainnya. Ilmu
pengetahuan dan teknologi mempunyai dua sifat khusus. Pertama, stok kapital
19
tidak habis karena digunakan, yang mengimplikasikan bahwa stok pengetahuan dapat dihasilkan sepanjang waktu, walaupun sedang digunakan. Kedua, menghasilkan eksternalitas positif dalam produksi: perusahaan yang melakukan R&D memperoleh benefit dari mendapatkan pengetahuan, perusahaan yang lain juga memperoleh manfaat. Ada beneficial spillovers (limpahan manfaat) bagi perekonomian dari proses R&D sehingga manfaat sosial dari inovasi melebihi manfaat swasta kepada innovator awal (Stern, 2003). Menurut Romer (1994) bahwa ide dasar dari teori pertumbuhan endogen adalah investasi kapital baik dalam bentuk mesin maupun manusia mampu menciptakan eksternal positif. Artinya investasi tidak hanya meningkatkan kapasitas produktif dari perusahaan yang melakukan investasi atau tenaga kerja, tetapi juga kapasitas produktif dari perusahaan-perusahaan atau tenaga kerja lainnya yang terkait. Singkatnya, dalam teori pertumbuhan endogen bahwa inovasi teknologi dan pembentukan modal manusia dilihat sebagai sumber utama dari pertumbuhan produktivitas, dan pertumbuhan tersebut pada gilirannya merupakan motor penggerak dari pertumbuhan ekonomi (engine of growth). Teori pertumbuhan endogen mengasumsikan hanya terdapat satu sektor produksi atau semua sektor bersifat simetris (Todaro, 2000). Seiring dengan itu, Sachs dan Larrain (1993)
menyatakan bahwa model pertumbuhan endogen
memiliki asumsi increasing return to scale yang menyatakan bahwa ekonomi skala hasil yang meningkat tidak harus dicapai pada stedy state growth rate yang sama dengan laju pertumbuhan penduduk ditambah dengan labor autmenting technical progress. Pertumbuhan pada tingkat yang lebih tinggi harus bisa berlangsung secara berkesinambungan (self-sustaining). Dan teori pertumbuhan
20
endogen menolak asumsi penyusutan imbalan marginal atas investasi modal (diminishing marginal returns to capital investments) yang dipegang teguh oleh teori Neokalsik. Selanjutnya, Todaro (2000) mengatakan model pertumbuhan endogenus menekankan bahwa investasi dalam modal fisik dan modal manusia akan dapat ekonomi eksternal dan perningkatan produktivitas yang melebihi keuntungan pihak swasta yang melakukan investasi itu, dan kelebihan itu cukup untuk mengimbangi penurunan skala hasil. Pada saat selanjutnya, hal tersebut menciptakan peluang-peluang investasi baru yang nantinya juga membuahkan ekonomi eksternal sehingga αpada persamaan Solow sama dengan 1. Itu berarti persamaan persamaan pertumbuhan neoklasik Y AK L1, diubah menjadi sebuah persamaan persamaan pertumbuhan endogen yaitu Y AK . Hasil akhirnya adalah peningkatan skala hasil yang mampu menciptakan proses pembangunan yang berkesinambungan dalam jangka panjang. Terciptanya hasil akhir dari teori pertumbuhan Endogenous justru tidak dipercaya oleh para penganut teori pertumbuhan Neoklasik Tradisonal. Model pertumbuhan endogen juga menekankan pentingnya tabungan dan investasi modal manusia dalam rangka mamacu pertumbuhan diberbagai negara berkembang. Namun teori ini mengemukakan beberapa implikasi tabungan terhadap pertumbuhan ekonomi yang bertolak belakang dengan teori pertumbuhan Neoklasik Tradisional. Pertama, teori pertumbuhan endogen menyatakan tidak ada kekuatan khusus yang menghadirkan suatu proses pemerataan tingkat pertumbuhan ekonomi antar negara, khususnya bagi negara-negara yang menganut sistem perekonomian tertutup. Tingkat pertumbuhan ekonomi nasional
21
masing-masing negara akan tetap konstan, dan satu sama lainnya akan tetap berbeda, karena hal itu sepenuhnya tergantung pada tingkat tabungan dan kemajuan teknologi yang dimiliki oleh masing-masing negara. Lebih lanjut dikemukan oleh Todaro (2000), sekalipun memiliki tingkat tabungan yang sama besarnya, negara-negara miskin tidak tidak akan mampu untuk mengejar ketinggalannya dalam hal pendapatan per kapita dari negara-negara kaya. Hal ini menimbulkan
konsekuensi
yakni
terjadinya
resesi
suatu
negara
akan
mengakibatkan peningkatan permanen atas kesenjangan pendapatan antar negara yang bersangkutan dengan negara-negara lain yang lebih kaya. Kedua, kemampuan untuk menjelaskan perilaku aneh atas arus permodalan
internasional
yang
cenderung
memperlebar
ketimpangan
kesejahteraan atar negara-negara Dunia Pertama dan negara-negara Dunia Ketiga. Bertolak dari model ini dapat diketahui bahwa potensi dari keuntungan investasi yang tinggi di negara berkembang yang rasio modal-tenaga kerja masih rendah, ternyata terkikis oleh rendahnya tingkat investasi komplementer (complenetary investments) dalam modal sumber daya manusia (terutama melalui pengembangan fasilitas dan pendidikan, sarana infrastruktur, serta aneka kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D). Negara-negara miskin juga tidak banyak mendapatkan manfaat dari keuntungan-keuntungan sosial yang lebih luas yang muncul dari penyediaan modal untuk menggarap bidang-bidang tersebut. Karena individuindividu di negara-negara miskin tidak memperoleh keuntungan personal dari serangkaian eksternal positif yang diciptakan oleh investasi yang dilakukan oleh mereka sendiri. Oleh karena itu pemberlakukan mekanisme pasar bebas justru akan menjauhkan upaya pendayagunaan investasi komplementer dari tingkat yang
22
optimal. Kontras dengan teori neoklasik, model pertumbuhan endogen menyarankan peran aktif dari kebijakan pemerintah dalam mempromosikan pembangunan ekonomi melalui investasi langsung dan tidak langsung dalam formasi mutu modal manusia dan mendorong investasi swasta dalam industri yang membutuhkan teknologi tinggi. Dari beberapa keunggulan teori pertumbuhan endogen, muncul beberapa kritikan terhadap teori tersebut. Pertama, teori pertumbuhan endogen memiliki asumsi yang tidak cocok untuk diterapkan di negara berkembang. Sebagai contoh, teori pertumbuhan ini mangsumsikan hanya terdapat satu sektor produksi atau semua sektor bersifat simetris. Situasi ini tidak menghasilkan pertumbuhan yang memunculkan realokasi tenaga kerja dan modal diantara sektor-sektor yang ditransformasikan selama proses perubahan struktural. Kedua, toeri ini tidak mampu untuk menguraikan sebab-sebab modal yang sangat langka tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Pertumbuhan di negara berkembang terhambat oleh serangkaian inefisiensi yang bersumber dari kelemahan infrastruktur, struktur kelembagaan yang tidak memadai, serta pasar barang dan pasar modal yang jauh dari sempurna. Faktor-faktor yang sangat berpengaruh ini ternyata kurang diperhatikan oleh teori pertumbuhan endogen. Itulah sebabnya aplikasi teori pertumbuhan ini dalam studi pembangunan ekonomi sangat terbatas, apalagi jika studi tersebut melibatkan perbandingan antar negara. Struktur insentif yang lemah di negara berkembang merupakan penyebabnya. Struktur insentif yang buruk tidak memungkinkan terciptanya akumulasi tabungan dan investasi yang tinggi, sehingga tidak mengherankan apabila pertumbuhan ekonomi di berbagai negara berkembang senantiasa tersendar-sendat. Inefisiensi alokasi sumberdaya ditemui
23
di berbagai perekonomian yang tengah mengalami transisi dari pasar tradisional ke pasar komersial. Teori-teori ini terlalu banyak memberikan perhatikan kepada faktor-faktor penyebab pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dan Ketiga, serangkaian studi empiris terhadap nilai atau bobot prediktif teori-teori pertumbuhan endogen tidak mampu memberikan prediksi yang cukup akurat. Eksternalitas menciptakan momentum dalam proses pertumbuhan karena perusahaan-perusahaan memasang kapital baru. Pertumbuhan kapital berarti pertumbuhan dari gabungan stok kapital dan terpisah dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karenanya output dapat meningkat dengan proporsi konstan (A) dari gabungan stok kapital, dan tidak terjadi diminishing returns seperti yang digambarkan dalam gambar kurva Solow. Jadi dalam model pertumbuhan endogen tingkat pertumbuhan dapat tetap tumbuh konstan dalam kondisi tingkat pengembalian kapital yang menurun sebagai dampak eksternal pertumbuhan teknologi. Tingkat pertumbuhan secara permanen dipengaruhi oleh tingkat tabungan. Tingkat tabungan yang lebih tinggi meningkatkan pertumbuhan tidak hanya pada level keseimbangan pendapatan.
2.1.3. Model Pertumbuhan dengan Sumberdaya Alam Model-model pertumbuhan yang telah dijelaskan di atas tidak memasukkan variabel sumberdaya alam termasuk energi. Seluruh sumberdaya alam yang ada pada umumnya dalam jumlah terbatas walaupun beberapa diantaranya seperti sinar matahari ketersediaannya sangat besar. Beberapa sumberdaya lingkungan bersifat tidak dapat direproduksi dan banyak sumberdaya yang dapat diperbaharui berpotensi habis terpakai. Kelangkaan dan habis terpakainya sumberdaya menimbulkan masalah notasi pertumbuhan ekonomi tidak terhingga.
24
Ketika ada lebih dari satu input kapital dan sumberdaya alam, ada banyak alternatif bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi. Alternatif yang diambil ditentukan oleh kesiapan kelembagaan yang menanganinya. Para analis melihat pada modelmodel pertumbuhan optimal yang bertujuan untuk memaksimalkan jumlah kesejahteraan dalam horizon waktu tertentu (selalu dinyatakan horison infinitif) atau mencapai keberlanjutan (social welfare yang tidak menurun) dan modelmodel ditekankan untuk menjelaskan perekonomian riil dengan mengasumsikan pasar persaingan sempurna atau aturan-aturan lainnya. Literatur Neoklasik tentang pertumbuhan dan sumberdaya memusatkan pada kondisi apa saja yang memungkinkan pertumbuhan keberlanjut, atau paling tidak konsumsi atau utilitas tidak menurun. Kondisi teknis dan kelembagaan menentukan kemungkinan berlanjut atau tidaknya suatu perekonomian. Kondisi teknis mengarahkan pada sesuatu seperti campuran antara sumberdaya yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui, kekayaan awal dari kapital dan sumberdaya alam, dan pengurangan substitusi antara input. Institusi mencakup sesuatu seperti stuktur pasar (kompetisi versus perencanaan terpusat), sistem hak kepemilikan (milik swasta versus publik), dan sistem nilai untuk generasi akan datang. Solow (1974) menggambarkan keberlanjutan dicapai dalam model dengan suatu keterbatasan dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dengan tidak menambah biaya dan kapital tidak menyusut. Namun demikian, model perekonomian dalam kondisi persaingan sempurna akan mengalami kesulitan sumberdaya dan konsumsi, sehingga kesejahteraan sosial pada akhirnya turun ke nol (Stiglitz, 1974). Dasgupta and Heal (1979) menggambarkan bahwa dengan
25
tingkat diskonto konstan yang disebut juga dengan jalur pertumbuhan optimal juga menyebabkan sumberdaya alam pada akhirnya habis dan perekonomian collapse. Interpretasi umum dari teori pertumbuhan standar adalah bahwa substitusi dan perubahan teknis dapat secara efektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari sumberdaya dan lingkungan. Habisnya sumberdaya atau degradasi lingkungan dapat digantikan dengan faktor lainnya dalam bentuk modal yang dibuat manusia (orang, mesin-mesin, pabrik, dsb). Tetapi terjadi interpretasi yang salah di sini. Para ekonom Neoklasik sebagian besar tertarik dengan kesiapan institusi, dan tidak pada kesiapan teknis, akan mempengaruhi keberlanjutan, sehingga mereka secara tipikal mengansumsi secara a priori bahwa keberlanjutan adalah kelayakan teknis dan kemudian menyelidiki apakah kesiapan institusi mempengaruhi keberlanjutan jika layak secara teknis. Berarti, bagaimanapun, secara relatif asumsi kelayakan secara teknis belum diuji (Stern, 2003). Lebih lanjut Stern (2003) menyatakan bahwa elastisitas substitusi antara apa yang disebut para ekonomi adalah kapital (pabrik, mesin dan lainnya) dan input dari lingkungan (sumberdaya alam, asimilasi sampah, jasa ekosistem) adalah unsur teknis kritikal yang mengindikasikan bahwa berapa banyak satu input harus ditingkatkan untuk menghasilkan tingkat yang sama produksi ketika penggunaan input lainnya dikurangi. Hal ini mengimplikasikan bahwa dampak biaya dalam meningkatkan harga suatu input dapat secara mudah dihilangkan dengan mengalihkan ke suatu teknik produksi yang menggunakan input lainnya, katakanlah kapital. Gambar 7 menggambarkan perbedaan kombinasi dua input yang dapat menghasilan tingkat output tertentu untuk nilai yang berbeda.
26
Modal
σ= 0 σ= 1
Sumber: Stern, 2003
σ= ~
Sumberdaya Alam
Gambar 7. Elastisitas Substitusi Antara Faktor Produksi Modal dan Sumberdaya Alam
Produk marginal adalah tambahan kontribusi terhadap produksi dengan menggunakan lebih dari satu unit input dengan anggapan bahwa input lainnya konstan (yaitu turunan parsial dari fungsi produksi terhadap input). Elastisitas subsitusi unitary, menjelaskan “substitusi sempurna”, berarti rasio dua input berubah dengan persentase tertentu dengan anggapan output konstan, perubahan rasio produk marginal dua input tersebut dengan persentase yang sama (dalam arah yang berlawanan). Hubungan ini digambarkan oleh kurva (dikenal dengan isoquant) dalam Gambar 7, yang asymptotic pada kedua aksis. Ketika sumberdaya yang digunakan nol, produksi dapat dihasilkan dengan meningkatkan penggunaan kapital secara tidak terhingga. Hal ini juga mengimplikasikan bahwa total biaya produksi konstan disepanjang kurva isoquant. Substitusi sempurna tidak berarti bahwa sumberdaya dan kapital memiliki manfaat yang sama, dalam kenyatannya ketersediaan sumberdaya menurunkan produktivitas marginalnya tidak terhingga.
27
Gambar tersebut juga mengilustrasikan kasus dimana tidak ada substitusi adalah tidak mungkin dan dua input bersubstitusi tidak terhingga. Dalam kasus terdahulu dua input harus digunakan dalam rasio tetap dan kasus berikutnya produsen tidak berbeda pandangan antara input dan penggunaan sesuatu yang paling murah. Seperti diskusikan dibawah ini, substitusi sempurna merupakan asumsi tidak realistik dari perspektif biofisik, paling tidak jika diasumsikan untuk mengaplikasikan seluruh rasio kapital dan sumberdaya. Elastisitas permintaan untuk energi, yang didalam teori dihubungkan dengan elastisitas substitusi mengindikasikan bahwa elastisitas substitusi antara energi dan input lainnya dan antara bahan bakar yang berbeda bias menjadi antara nol dan satu. Lebih lanjut, jika elastisitas substitusi lebih besar dari satu, kemudian isoquant menyilang aksis dan input nonesensil untuk produksi dan sebaliknya. Ekonom seperti Solow (1974) secara eksplisit menyelesaikan kasus-kasus dimana untuk sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dan kapital lebih besar atau kecil dari satu. Dalam kasus sebelumnya kemungkinan substitusi adalah besar dan oleh karenanya kemungkinan tidak bersubstitusi bukan suatu isu. Dalam kasus terakhir, substitusi
tidak layak jika suatu perekonomian hanya
menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Ekonomi Neoklasik berargumen bahwa model-model pertumbuhan yang memasukkan
sumberdaya
dapat
menghitung
keseimbangan
massa
dan
keterbatasan thermodinamika dengan “kondisi esensial”. Jika lebih besar dari satu, maka sumberdaya adalah “non esensial”. Jika kurang atau sama dengan satu, maka
sumberdaya adalah “esensial”. Esensial dalam kasus ini berarti bahwa
memberikan input non sumberdaya positif, output hanya nol ketika input
28
sumberdaya adalah nol, dan sebaliknya sangat tegas positif (strictly positive). Fungsi produksi Cobb-Douglas, bentuk paling sering digunakan dalam modelmodel pertumbuhan. Para ekonom berargumen bahwa hal ini paling tidak digunakan untuk menghitung pada kondisi dimana beberapa dari energi dan material dibutuhkan untuk memproduksi barang dan jasa. Tetapi ketika elastisitas subsitusi adalah unity, ini “esensial” karena jumlahnya dapat menjadi tidak terhingga jika kapital pabrik digunakan. Para ekonom juga mencatat bahwa sumberdaya-sumberdaya dan kapital saling tergantung (dalam model-model neoklasik) dengan sumberdaya lainnya untuk menghasilkan asset-aset kapital. Oleh karenanya, stok kapital tidak dapat ditingkatkan tanpa mengurangi stok kapital. Beberapa ekonom menyatakan bahwa suatu asumsi nilai sama atau lebih besar dari satu antara energi dan input lainnya melanggar hukum thermodinamika (Dasgupta dan Heal, 1979). Substitusi secara teknis mungkin akan terjadi jika tidak ada investasi masyarakat dalam jumlah yang cukup sepanjang waktu untuk menggantikan berkurangnya sumberdaya alam dan ekosistem. Berapa banyak investasi yang diperlukan tergantung pada penetapan institusi dalam perekonomian. Sebagai contoh, dalam suatu perekonomian dimana keberlanjutan secara teknis layak (dan hanya ada sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui) tidak akan terjadi dalam perekonomian kompetitif atau perencanaan terpusat, dimana keputusan yang ditetapkan adalah maksimisasi aliran utilitas terdiskonto dari gererasi masa depan menggunakan tingkat diskonto konstan dan positif. Konsumsi per kapita pada akhirnya akan menurun ke nol setelah periode awal pertumbuhan ekonomi karena sumberdaya dan ekosistem berkurang lebih cepat daripada akumulasi
29
kapital untuk menggantikannya (Stiglitz, 1974; Dasgupta and Heal, 1979). Keberlanjutan dicapai dibawah penetapan institusi yang pasti (Solow, 1974). Jika utilitas individual ditetapkan sama besar tanpa pertimbangan ketika mereka terjadi untuk hidup dan bertujuan untuk memaksimumkan jumlah utilitas sepanjang waktu, maka pertumbuhan dalam konsumsi dapat terjadi secara tidak terhingga. Ini ekivalen untuk memaksimumkan net present value dengan tingkat diskonto nol. Dengan jelas, level konstan dari konsumsi sepanjang waktu juga layak. Suatu hasil yang penting dalam konteks ini adalah aturan Hartwick (Hartwick, 1977) yang menggambarkan bahwa jika keberlanjutan secara teknis layak, level konstan dari konsumsi dapat dicapai dengan melakukan re-investasi sumberdaya dalam bentuk kapital, yang dapat mensubstitusi sumberdaya. Dixit et al. (1980) memperluas aturan untuk mengalikan stok kapital pada saat Hartwick (1995) memperluas aturan untuk perekonomian terbuka. Faktor kunci lainnya yang memungkinkan pertumbuhan dalam pandangan berbasis sumberdaya terbatas adalah perubahan teknologi. Perbaikan teknologi didefenisikan sebagai keuntungan (gain) dalam total produktivitas faktor yang mengimplikasikan bahwa output meningkat pada saat jumlah tertimbang inputinput dianggap konstan.
2.2. Energi dan Pertumbuhan Ekonomi Reproduksi merupakan suatu konsep kunci dalam ilmu ekonomi produksi. Sementara itu ada sejumlah barang bersifat tidak dapat direproduksi, namun dapat diolah dengan mengeluarkan sejumlah biaya yang masuk dalam sistem ekonomi produksi. Dalam satu proses produksi memerlukan input atau faktor produksi.
30
Faktor produksi dapat dibagi menjadi faktor produksi (input) primer dan input intermediate (antara). Para Ekonom Aliran Utama (mainstream) berpikir bahwa kapital, tenaga kerja, dan lahan sebagai faktor produksi primer, sedangkan barangbarang seperti bahan bakar dan bahan baku sebagai input antara. Harga-harga yang dibayarkan untuk berbagai jenis input akhir dipandang sebagai pembayaran untuk pemilik input primer sebagai balas jasa secara langsung untuk memproduksi input antara (Stern, 1999). Pendekatan ini fokus pada teori pertumbuhan terhadap input primer, khususnya kapital dan lahan, serta memperlakukan energi berperan tidak langsung dalam proses pertumbuhan. Input energi primer merupakan stok sumberdaya seperti cadangan minyak. Namun demikian, hal ini tidak ditetapkan secara eksplisit dalam teori-teori pertumbuhan standar yang hanya fokus pada tenaga kerja dan kapital. Oleh karenanya ide-ide tentang peranan energi dalam aliran utama teori pertumbuhan ekonomi cenderung agak kusut (Stern 2003). Kapital dan tenaga kerja dalam jangka waktu lebih panjang merupakan faktor produksi yang dapat direproduksi, sedangkan energi merupakan faktor produksi yang bersifat tidak dapat direproduksi. Oleh karenanya, para ahli sumberdaya dan sejumlah ekonom lingkungan memberikan perhatian yang besar terhadap peranan energi dan ketersediaannya dalam ekonomi produksi dan proses pertumbuhan (Stern, 1999). Hukum Termodinamika I (Hukum Konservasi) mengimplikasikan prinsip keseimbangan massa (Ayres dan Kneese, 1969). Mengacu pada hukum tersebut, Stern (2003) menyatakan bahwa dalam rangka memperoleh material output dengan kuantitas yang lebih besar atau paling tidak sama dengan input yang
31
digunakan dalam suatu proses produksi, maka residual sebagai polutan atau sisa produk hendaknya sekecil mungkin. Oleh karenanya material input yang minimal dipersyaratkan dalam proses menghasilkan material output. Lebih lanjut Stern (2003) mengacu pada Hukum Termodinamika II (Hukum Efisiensi) menyatakan bahwa hukum tersebut mengimplikasikan kuantitas energi minimum dibutuhkan untuk mengatasi persoalan transformasi. Oleh karenanya harus membatasi substitusi penggunaan energi dengan faktor produksi lainnya dalam proses produksi. Seluruh proses ekonomi membutuhkan energi, melalui sejumlah aktivitas pelayanan yang tidak membutuhkan pengolahan material secara langsung. Namun demikian, hal ini benar hanya pada level mikro, sedangkan pada level makro seluruh proses ekonomi membutuhkan penggunaan material tidak langsung, termasuk didalamnya mengelola tenaga kerja atau memproduksi kapital (Stern 2003). Energi juga merupakan faktor produksi esensial (Stern, 1997). Seluruh produksi melibatkan transformasi atau perubahan zat dengan sejumlah cara dan seluruh transformasi seperti itu memerlukan energi. Berapa aspek sehubungan dengan pengaturan/pengorganisasian, yaitu informasi, juga perlu dipertimbangkan menjadi input non-reproduksi. Beberapa analis (seperti Spreng, 1993; Chen, 1994; Stern, 1994; Ruth, 1995) berargumen bahwa informasi merupakan faktor produksi yang bersifat non-reproduksi sama halnya dengan energi, dan ilmu ekonomi lingkungan harus mempertimbangkan informasi dan akumulasinya sebagai pengetahuan yang dibayarkan untuk energi. Energi memerlukan informasi tentang lingkungan karena tidak dapat diaktifkan penggunaannya tanpa informasi dan terakumulasi dalam bentuk pengetahuan. Tidak seperti energi, informasi dan
32
pengetahuan tidak mudah dikuantifikasikan. Tetapi faktor-faktor ini merupakan satu kesatuan dengan mesin, tenaga kerja dan material-material yang dibuat menjadi bermanfaat. Justifikasi biofisik ini memperlakukan kapital, tenaga kerja dan faktorfaktor lainnya hanya sebagai faktor kapital dan tenaga kerja karena lebih mudah diukur daripada informasi dan teknologi, ukuran-ukuran ini sangat tidak sempurna dibandingkan energi (Stern, 1999). Dalam pendekatan mainstream ilmu ekonomi Neoklasik, kuantitas ketersediaan energi terhadap ekonomi pada berbagai tahun diperlakukan sebagai endogenous, melalui pembatasan dengan batasan biofisik seperti tekanan pada penyimpanan minyak dan keterbatasan ekonomi seperti jumlah ekstraksi terpasang, penyulingan, dan kapasitas pembangkit, serta kemungkinan percepatan dan efisiensi dalam proses ini dapat diproses. Namun demikian, pendekatan analisis ini kurang digunakan untuk menganalisis peranan energi sebagai pengendali pertumbuhan produksi dan ekonomi (Stern, 2003). Sebagai alternatif, model-model ekonomi biofisik mengusulkan bahwa energi merupakan faktor produksi primer. Ini dapat dipahami karena ada stok energi tertentu yang didegradasi dalam proses penyediaan jasa-jasa untuk perekonomian. Tetapi ini berarti bahwa ketersediaan energi dalam setiap periode ditentukan secara exogenous (Stern, 1999). Dalam beberapa model biofisik (seperti Gever et al., 1986) batasan geologi merupakan tingkat yang tetap dari ekstraksi energi. Kapital dan tenaga kerja diperlakukan sebagai aliran konsumsi kapital dan jasa tenaga kerja, bukan stok. Aliran ini dihitung dengan cara memasukkan penggunaan energi besama-sama dengan input lainnya. Seluruh nilai tambah dalam perekonomian dianggap sebagai nilai sewa dari penggunaan energi dalam
33
perekonomian. Alternatif lainnya adalah teori distribusi produktivitas marginal Neoklasik seperti yang dikemukan oleh Kaufmann (1987). Kemudian, dalam ilmu ekonomi Marxist dinyatakan distribusi aktual dari surplus tergantung pada daya tawar relatif dari perbedaan kelas-kelas sosial (Kaufmann, 1987; Hall et al., 1986) dan pemasok bahan bakar luar negeri. Surplus energi diambil oleh pemilik modal, lahan dan tenaga kerja. Dan model input-output menyajikan suatu perekonomian dimana ada faktor produksi primer tunggal dengan harga yang tidak ditentukan oleh produktivitas marginal. Produk marginal adalah nol, namun vektor harga keseimbangan positif. Ada teknik produksi dengan proporsi yang tetap untuk setiap komoditi dalam bentuk aliran komoditas atau kebutuhan jasa-jasa (Stern, 1999). Para ekonom ekologi berargumen bahwa penggunaan energi untuk menghasilkan input-input antara seperti bahan bakar meningkat ketika kualitas sumberberdaya seperti penyimpanan minyak menurun. Oleh karenanya biaya energi meningkat sebagai representasi dari peningkatan kelangkaan dalam nilai penggunaannya (Cleveland dan Stern, 1999). Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa ada paradoks antara perlakuan energi hanya sebagai faktor produksi primer dan perhatian terhadap kualitas
sumberdaya-sumberdaya
lainnya.
Perubahan
kualitas
sumberdaya
diperlakukan dalam model sebagai perubahan koefisien input-output, yaitu sebuah bentuk perubahan teknis. Dalam pendekatan Costanza dan pendekatan Energi (Brown dan Herendeen, 1996), sumberdaya dinyatakan sebagai input energi solar dan geologi. Oleh karenanya perubahan kualitas sumberdaya dinyatakan dengan perubahan dalam energi daripada perubahan dalam koefisien input-output. Jika stok
34
sumberdaya dinyatakan secara spesifik, energi tidak akan lebih jauh dari sekedar faktor produksi primer. Model neo-Ricardian yang dibangun oleh Perrings (1987) dan O'Connor (1993), seperti halnya model Neo Ricardian lainnya, menyatakan bahwa proporsi teknologi tetap dalam bentuk stok kapital daripada aliran dalam model Leontief. Mereka tidak membedakan antara faktor produksi primer dan intermediate. Namun pendekatan tersebut masih menempatkan batasan biofisik seperti keseimbangan massa dan konservasi energi dalam neraca (Stern, 1999). Jika perekonomian dapat direpresentasikan sebagai model input-output dimana tidak ada substitusi antara faktor produksi, faktor pengetahuan dalam faktor produksi dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa penggunaan energi dan ilmu pengetahuan dalam mendapatkan dan pemanfaatannya harus diabaikan. Perhitungan akurat untuk seluruh penggunaan energi untuk mendukung produksi final adalah penting. Tetapi kontribusi pengetahuan terhadap produksi tidak dapat diasumsikan proporsional terhadap biaya energi. Melalui ilmu Thermodinamika menempatkan batasan terhadap substitusi, derajat substitusi aktual antara stok kapital memasukkan pengetahuan dan energi merupakan sebuah pertanyaan secara empiris (Stern, 2003).
2.3. Kebijakan Energi Nasional Kebijakan energi nasional merupakan bagian kebijakan publik. Menurut Suharto (2005) bahwa kebijakan publik segala yang berkaitan dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupana warganya. Dengan demikian kebijakan publik menunjukkan suatu konsep untuk menentukan suatu pilihan-pilihan
35
tindakan tertentu yang spesifik, yang meliputi berbagai bidang-bidang seperti bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, keamanan dan lingkungan. Dalam hal ini kebijakan energi merupakan kebijakan publik dalam ekonomi yang lebih luas dan berkaitan dengan berbagai isu seperti lingkungan, sosial, politik, pertahanan dan keamanan nasional (Gunawan, 2009). Menurut Undang-Undang Energi Nomor 30 tahun 2007 dinyatakan bahwa kebijakan energi nasional (KEN) adalah kebijakan pengelolaan energi berdasarkan prinsip keadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan guna menciptakan kemandirian dan ketahanan nasional. Dalam UU ini kebijakan energi nasional
bertujuan
untuk
tercapainya
kemandirian
pengelolaan
energi;
terjaminnya ketersediaan energi dan sumber energi dari dalam negeri dan/atau luar negeri, terjaminnya pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan;. termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor; tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat
secara
adil
dan
merata,tercapainya
pengembangan
kemampuan industri energi dan jasa energi dalam negeri agar mandiri dan meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia; dan terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup. Berdasarkan sejarahnya, menurut Yusgiantoro (2001) disebutkan bahwa kebijakan energi di Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1976. Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya energi. Pemerintah kemudian membentuk Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) yang setingkat dengan departemen dan bertanggung jawab
36
memformulasikan kebijakan energi serta mengkoordinasikan implementasi kebijakan ini. BAKOREN untuk pertama kalinya mengeluarkan Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE) pada tahun 1984. Kebijakan ini terus menerus diperbarui sesuai dengan perkembangan strategis lingkungan yang mempengaruhi pembangunan energi di Indonesia. KUBE 1984 diperbarui pada tahun 1990 yang berisikan kebijakan pemerintah untuk melakukan intensifikasi, diversifikasi dan konservasi energi. Upaya intensifikasi dilakukan melalui peningkatan kegiatan survei dan eksplorasi sumber daya energi untuk mengetahui potensinya secara ekonomis. Diversifikasi merupakan upaya untuk penganekaragaman penggunaan energi non-minyak bumi melalui pengurangan penggunaan minyak dan menetapkan batubara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik dan industri semen. Konservasi dilakukan melalui penggunaan peralatan pembangkit maupun peralatan pengguna energi yang lebih efisien. Selanjutnya, KUBE tahun 1998 yang dikeluarkan oleh BAKOREN bertujuan untuk menciptakan iklim yang mendukung terlaksananya strategi pembangunan bidang energi dan memberikan kepastian kepada pelaku ekonomi dalam kaitannya dengan pengadaan, penyediaan dan penggunaan energi. Dalam KUBE ini mulai diindikasikan adanya keterbatasan sumber daya energi, terutama minyak bumi. Minyak bumi diarahkan secara bertahap untuk digunakan dalam negeri sebagai bahan bakar dan bahan baku industri yang dapat meningkatkan nilai tambah yang tinggi. Dalam KUBE 1998 kebijakan energi yang perlu ditempuh mencakup lima kebijakan utama dan sembilan kebijakan pendukung (Sugiyono, 2004). Kebijakan utama tersebut adalah: (1) Diversifikasi yaitu penganekaragaman pemanfaatan
37
energi, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan, (2) Intensifikasi yaitu pencarian sumber energi melalui kegiatan survei dan eksplorasi agar dapat meningkatkan cadangan baru terutama energi fosil, (3) Konservasi energi adalah penggunaan energi secara efisien dan rasional tanpa mengurangi penggunaan energi yang memang benar-benar diperlukan, (4) Penetapan harga rata-rata energi yang
secara
bertahap
diarahkan
mengikuti
mekanisme
pasar,
dan
(5)
Memperhatikan aspek lingkungan dalam pembangunan di sektor energi termasuk didalamnya memberikan prioritas dalam pemanfaatan energi bersih. Sementara itu, kebijakan pendukung meliputi: meningkatkan investasi, memberikan insentif dan disinsentif, standardisasi dan sertifikasi, pengembangan infrastruktur, peningkatan kualitas SDM, pengelolaan sistem infomasi, penelitian dan pengembangan, serta pengembangan kelembagaan dan pengaturan. Pada tahun 2004 pemerintah dalam hal ini Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) sudah menyusun Rancangan Kebijakan Energi Nasional (DESDM 2004). Rancangan kebijakan ini merupakan pembaruan dari KUBE tahun 1998 yang penyusunannya dilakukan bersama-sama dengan stake holders di bidang energi. Selain itu, juga diharapkan menjadi acuan utama dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang energi yang sedang dipersiapkan. Kebijakan yang ditempuh masih serupa dengan KUBE sebelumnya yaitu intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi dengan menambah instrumen legislasi dan kelembagaan. Hal ini tertuang di dalam blue print energi nasional mengenai perkembangan kebijakan energi nasional. Perkembangan kebijakan energi nasional dapat ditunjukan pada Tabel 1.
38
Tabel 1. Perkembangan Kebijakan Energi Nasional, Tahun 1981 – 2003 1981 Kebijakan Umum Energi 1. Intensifikasi 2. Divesifikasi 3. Konservasi 4. Indeksasi
1987 Kebijakan Umum Energi 1. Intensifikasi 2. Divesifikasi 3. Konservasi
Kebijakan Kebijakan Pendukung Pendukung 1. Penelitian dan pengem,bangan. 1. Industri energi 2. Industri energi 2. Iklim Investasi 3. Iklim Investasi 3. Harga Energi
1991 Kebijakan Umum Energi 1.Intensifikasi 2.Divesifikasi 3.Konservasi
1998 Kebijakan Umum Energi 1. Divesifikasi 2. Intensifikasi 3. Konservasi 4. Harga Energi 5. Lingkungan
2003 Kebijakan Umum Energi 1. Intensifikasi 2. Diversifikasi 3. Konservasi
Kebijakan Pendukung 1. Industri energi 2. Iklim Investasi 3. Harga Energi
Kebijakan Pendukung 1. Investasi 2. Insentif & disinsentif 3. Standarisasi & sertifikasi 4. Pengembangan Infrastruktur 5. Peningkatan Kualitas SDM 6. Sistem Informasi 7. Penelitian dan Pengembangan 8. kelembagaan 9. Pengaturan
Kebijakan Pendukung 1. Infrastruktur 2. Penetapan mekanisme harga keekonomian 3. Perlindungan kaum duafa 4. Lingkungan 5. Kemitraan Pemerintah dan swasta 6.Pemberdayaan masyarakat 7. Litbang dan diklat 8. Koodinasi untuk optimalisasi energi Mix
Kebijakan Pemanfaatan Akhir
Kebijakan Pemanfaatan Akhir
Kebijakan Pemanfaatan Akhir
1. Industri 2.Transportasi 3. Rumahtangga
1. Industri 2.Transportasi 3. Rumahtangga
1. Industri 2.Transportasi 3. Rumahtangga
Sumber: Kementrian ESDM, 2006. Perkembangan selanjutnya, kebijakan energi nasional saat ini mengacu pada Undang-Undang Energi Nomor 30 tahun 2007 tentang energi. Dalam UndangUndang tersebut dinyatakan bahwa kebijakan energi nasional (KEN) dirancang dan dirumuskan oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Dewan Energi Nasional (DEN) adalah suatu lembaga bersifat nasional, mandiri, dan tetap, yang bertanggung jawab atas kebijakan energi nasional. Dalam hal ini DEN adalah Menteri Energi Sumber Daya dan Minareal (ESDM). Dalam Undang-Undang Energi tahun 2007 tentang energi menyatakan bahwa kebijakan energi nasional meliputi: (1) ketersediaan energi untuk kebutuhan
39
nasional, (2) prioritas pengembangan energi, (3) pemanfaatan sumber daya energi nasional, dan (4) cadangan penyangga energi nasional. Tujuan yang ingin dicapai dalam Undang-Undang ini seperti yang tercamtum dalam pasal 3 yang secara ringkas
meliputi
tercapainya
kemadirian
penglolaan
energi; terjaminnya
ketersediaan energi dan sumber energi dalam dan luar negeri; terjaminnya pengelolaan sumberdaya energi secara optimal, terpadu dan berkelanjutan; termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor; tercapainya peningkatan akses energi ke seluruh lapisan masyarakat; tercapainya pengembangan kemampuan industri dan jasa energi; dan terjaganya kelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan hasil rapat antara Dewan Energi Nasional (DEN) dengan komisi VII DPR RI memaparkan pokok-pokok Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang meliputi arah kebijakan energi minyak dan gas bumi, batubara, energi terbarukkan, energi terbarukkan bahan bakar nabati (BBN), panas bumi, energi terbarukan surya, PLT tenaga laut dan arah kebijakan energi terbarukan nuklir. Secara rinci pokok-pokok Kebijakan Energi Nasional (KESDM, 2010) yaitu:
I. Arah Kebijakan Energi Minyak dan Gas Bumi 1. Perlu sistem fiskal untuk minyak, gas bumi dan CBM (coal bed methane) yang lebih menjamin keuntungan atau mengurangi resiko kontraktor dengan memberikan bagian pemerintah atau GT (government take) yang kecil untuk R/C (revenue/cost) yang kecil dan GT yang besar untuk R/C yang besar. 2.
Perlu segera membangun infrastruktur gas termasuk LNG (liquefied natural gas) receiving terminal, pipa transportasi, SPBG (stasiun pengisi
40
bahan bakar gas), infrastruktur gas kota dan lain-lain. Perlu harga gas dosmetik yang menarik. 3.
Perlu peningkatan kualitas informasi untuk wilayah kerja yang ditawarkan melalui perbaikan ketersediaan data antara lain data geofisika dan geologi.
4. Perlu peningkatan kemampuan nasional migas dengan keberpihakan pemerintah misalnya untuk kontrak-kontrak migas yang sudah habis maka pengelolaannya
diutamakan
untuk
perusahaan
nasional
dengan
mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan. 5.
Perlu mendorong perbankan nasional untuk memberikan pinjaman guna membiayai kegiatan produksi energi nasional.
6.
Dana depletion premium dari energi tak terbarukan sangat diperlukan guna meningkatkan kualitas informasi untuk penawaran konsesi-konsesi migas baru, peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan penelitian, infrastruktur pendukung migas, serta untuk pengembangan energi nonmigas dan energi di pedesaan.
7.
Perlu dikaji segera kemungkinan impor gas (LNG), karena lebih baik/murah mengimpor gas daripada mengimpor minyak dan BBM. Di sektor rumah tangga, pemakaian LPG lebih murah dari pemakaian minyak tanah. Di sektor transportasi, penggunaan BBG lebih murah dan lebih bersih daripada BBM.
8. Perlu diperbaiki sistem birokrasi dan informasi serta kemitraan di lingkungan ESDM di samping koordinasi antar institusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan fiskal, perijinan, tanah, tumpang tindih lahan, lingkungan, permasalahan desentralisasi dan lain-lain.
41
II. Arah Kebijakan Batubara 1. Mengutamakan kebutuhan dalam negeri dan melakukan pembatasan ekspor. 2. Melakukan pengaturan harga domestik dan kebutuhan internasional (ekspor). 3. Mengatur tatalaksana produksi dan pasar mulai dari hulu sampai hilir termasuk pembentukan badan pengatur yang independen. 4.
Mengembangkan infrastruktur, transportasi, stockpiling dan blending.
5. Menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan pada pertambangan batubara antara lain memasukkan biaya lingkungan, good mining practices, pembatasan open surface mining, mengutamakan tambang dalam, prioritas tata ruang, konservasi lingkungan dan pemanfaatan teknologi bersih. 6. Melakukan regionalisasi batubara termasuk mine mouth power plant. 7. Meningkatkan eksplorasi sumber daya (laju produksi seimbang dengan laju penambahan sumber daya dan cadangan).
III. Arah Kebijakan Energi Terbarukan 1. Pengembangan
energi
terbarukan
difokuskan
pada
panas
bumi
(geothermal), energi biomass, surya (solar) dan bahan bakar nabati. 2. Penyediaan dana khusus untuk penelitian dan pengembangan energi terbarukan guna menurunkan biaya produksi. 3. Pengaturan dan pemberlakuan harga khusus untuk energi terbarukan.
42
4. Peningkatan pengembangan industri peralatan produksi energi terbarukan dalam negeri (peralatan penyulingan BBN, solar cell dan panel harus menggunakan produksi dalam negeri). 5. Pengalokasian dana dengan skema khusus (smart funding) untuk pengembangan energi terbarukan diluar BBN, khususnya untuk skala kecil. 6. Pemerintah melakukan pengaturan dan pengalokasian dana dari program Clean Development Mechanism (CDM), sehingga insentif karbon kredit dapat memberi manfaat pada publik.
IV. Arah Kebijakan Energi Terbarukan Bahan Bakar Nabati (BBN) 1. Pengembangan BBN untuk menggantikan sebagian BBM. 2. Pada tahap awal pengembangan BBN dilakukan oleh beberapa perusahaan besar yang dipilih untuk mencapai nilai keekonomian. 3. Pengaturan quota mandatory BBN bagi perusahaan penyedia listrik. 4. Penyempurnaan penetapan besaran quota mandatory dalam penggunaan BBN untuk sektor transportasi.
V. Arah Kebijakan Energi Terbarukan Panas Bumi 1. Meningkatkan ekplorasi panas bumi dan membuat perkiraan biaya yang layak pada lokasi yang berbeda-beda. 2. Memastikan status tataguna lahan di hutan-hutan yang memiliki potensi panas bumi.
43
3. Mengkaji implementasi peraturan perundang-undangan di sektor panas bumi untuk mendekatkan sektor hulu dan hilir. 4. Melakukan penyempurnaan di dalam pengelolaan dan persyaratan tender panas bumi, yang antara lain meliputi : Pendelegasian kepada PLN untuk melaksanakan tender, pembagian resiko yang menguntungkan antara PLN dan pengembang, harga jual dan mekanismenya serta pembinaan untuk skala kecil dan penyehatan BUMN. 5. Meningkatkan kemampuan dalam negeri untuk mendukung kegiatan eksplorasi dan industri pendukung kelistrikan.
VI. Arah Kebijakan Energi Terbarukan Surya 1. Penerapan mandatory penggunaan solar cell pada pemakai tertentu (industri besar, gedung komersial dan rumah mewah, PLN). 2. Mensinergikan mandatory dan penerapan feed in tarrif. 3. Penerapan audit teknologi terhadap komponen/peralatan instalasi PLTS. 4. Mengembangkan industri komponen/peralatan instalasi PLTS. 5. Mentargetkan pencapaian keekonomian PLTS ke grid connected tarrif dalam waktu 10 tahun. 6. Mengembangkan penguasaan teknologi PLTS dalam negeri baik melalui pembelian license atau meningkatkan penelitian dan pengembangannya.
VII. Arah Kebijakan Energi Terbarukan PLT Tenaga Laut 1. Meningkatkan ekplorasi sumberdaya energi berbasis arus, gelombang dan perbedaan suhu air laut.
44
2. Meningkatkan kemampuan nasional untuk peningkatan pemanfaatan energi arus, gelombang dan perbedaan suhu air laut, baik skala industri maupun domestik di seluruh kawasan laut Indonesia yang potensial. 3. Meningkatkan kemampuan penelitaan dan pengembangan di bidang energi laut menuju pemanfaatannya secara ekonomis.
VIII. Arah Kebijakan Energi Terbarukan Nuklir 1. Krisis listrik nasional sudah berlangsung cukup lama, yang telah mengakibatkan terganggunya kehidupan sosial, pertumbuhan industri, ekonomi, dan sebagainya. Salah satu diantaranya adalah banyak angkatan kerja yang tidak dapat tertampung. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di samping ramah lingkungan juga dapat mengatasi krisis listrik dalam waktu yang relatif cepat untuk kapasitas yang sangat besar. Oleh sebab itu, PLTN merupakan solusi untuk mengatasi krisis listrik nasional. 2. Pemerintah meningkatkan kegiatan eksplorasi sumberdaya nuklir nasional. 3. Pemerintah harus konsisten dalam menerapkan kebijakan pemanfaatan energi nuklir sesuai dengan UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJP, dimana pada Bab. IV.2.3. RPJM ke-3 (2015–2019), dinyatakan: “... mulai dimanfaatkannya tenaga nuklir untuk
pembangkit
listrik
dengan
mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat,...”. 4.
Pemerintah perlu segera membentuk lembaga atau BUMN khusus yang ditugaskan untuk mengimplementasikan program PLTN sesuai dengan UU No. 17 tahun 2007. Studi kelayakan PLTN yang lebih komprehensif,
45
termasuk penetapan waktu pembangunan PLTN pertama, sebagaimana amanat Sidang DEN yang ke-4, dikoordinasikan oleh lembaga tersebut. 5. Pengembangan nuklir untuk energy security of supply dan lingkungan. 6. Perlu peningkatan sosialisasi dengan data dan informasi yang obyektif (teknis, ekonomis, keamanan/kendala dan sebagainya) dengan dana yang memadai, baik itu untuk generasi muda maupun untuk unsur masyarakat lainnya. (SF) Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum kebijakan energi nasional meliputi kebijakan diversifikasi, intensifikasi dan konservasi energi. Ketiga dari kebijakan tersebut dapat dijalan secara simultan agar sasaran dari kebijakan tersebut dapat tercapai. Menurut Sugiyono (2004), secara umum sasaran dari kebijakan energi, yaitu mengurangi ketergantungan pada minyak bumi sebagai sumber energi melalui diversifikasi dan intensifikasi sumber daya energi sudah cukup berhasil. Namun sasaran efisiensi penggunaan melalui konservasi dapat dikatakan gagal. Hal ini disebabkan adanya kontradiksi antara kebijakan konservasi dengan kebijakan pemberian subsidi BBM.
2.4. Tinjauan Studi Empiris 2.4.1. Studi Konsep Pertumbuhan Ekonomi dan Energi Peranan energi dalam pertumbuhan ekonomi secara jelas dipaparkan dalam artikel yang ditulis oleh Stern (2003), Alam (2006), Momete (2007), dan Ramos-Martini dan Ortega-Cerdà (2003). Pada prinsipnya keempat penulis ini memaparkan tentang peranan penting dari energi dalam mendorong pertumbuhan energi suatu negara. Rumusan dari artikel tersebut dijelaskan berikut ini.
46
Artikel yang ditulis Stern (2003) menjelaskan hubungan antara energi dan pertumbuhan ekonomi dan menjelaskan peranan energi dalam produksi perekonomian. Ketika ilmuan bisnis dan keuangan memberikan perhatian yang signifikan terhadap dampak harga minyak dan harga energi lainnya terhadap aktivitas perekonomian, teori pertumbuhan eknomi Neoklasik tidak memberikan perhatian (perhatian yang kecil) terhadap peranan energi atau sumber-sumber energi natural dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Para ilmuan ekonomi sumberdaya dan ekologi mengkritik teori tersebut, khusunya sehubungan dengan implikasi termodinamika untuk produksi ekonomi dan prospek perekonomian jangka panjang. Ketika model alternatif menjelaskan bahwa proses pertumbuhan tidak bekerja dalam ekonomi Neoklasik, hasil studi empiris menunjukkan peranan energi dalam proses pertumbuhan. Hasil temuan utama menunjukkan bahwa adalah penggunaan energi per unit output ekonomi menurun, tetapi terjadi pergeseran energi yang besar dari penggunaan secara langsung bahan bakar fosil seperti batubara ke penggunaan bahan bakar yang berkualitas lebih tinggi, khususnya listrik. Ketika pergeseran ini terjadi dalam komposisi penggunaan energi final ditempatkan dalam penggunaan neraca energi dan level aktivitas ekonomi ditemukan masalah ganda. Ketika hal ini dan trend lainnya ditempatkan dalam neraca, prospek pengurangan penggunaan energi dalam aktivitas ekonomi menjadi terbatas (Stern, 2003). Berangkat dari teori ekonomi Neoklasik,
Alam (2006) membangun
sebuah alternatif konsep ekonomi yang memasukkan energi bersama-sama dengan kapital, tenaga kerja, dan teknologi sebagai faktor produksi. Dinyatakan bahwa
47
konstruk ekonomi Neoklasik dibangun berdasarkan tiga faktor produksi: kapital, tenaga kerja dan teknologi. Produksi pada awal setiap periode menggunakan kapital, tenaga kerja dan teknologi dalam tertentu. Kapital pada priode-periode awal merupakan proporsi dari output perekonomian
ditentukan oleh priode
sebelumnya. Para ilmuan Neoklasik secara umum tidak tegas tentang bagaimana tenaga
kerja
diproduksi
atau
direproduksi;
mereka
mengasumsikan
pertumbuhannya eksogen. Teknologi digambarkan sebagai cadangan ketersediaan ilmu pengetahuan untuk suatu perekonomian. Pengetahuan diwujudkan dalam mesin-mesin, keahlian manusia, atau ditempatkan dalam bentuk kode-kode dan tatanan sosial. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kekosongan dari neraca perekonomian Neoklasik adalah tidak dimasukkannya energi sebagai kekuatan primer yang mengendalikan seluruh aktivitas ekonomi. Cukup meyakinkan, energi masuk dalam ekonomi neoklasik sebagai effort dari tenga kerja, tetapi sumberdaya energi telah mengalami penurunan secara tajam selama dua decade terakhir. Energi dari sumberdaya non manusia, seperti batubara, minyak, listrik, pangan atau pupuk, masuk dalam perekonomian hanya sebagai input intermediet, dan masuk dalam neraca pendapatan nasional suatu negara sebagai nilai tambah dalam sektor energi. Cukup sederhana, energi bukan merupakan faktor produksi. Dengan kata lain, ilmu ekonomi Neoklasik membangun ketidakseimbangan antara ekonomi dan ekologi. Ekonomi neoklasik berada dalam kondisi isolasi yang baik sekali dari sifat alamiah dan terbebas dari energi. Diantara sejumlah ilmuan ekonomi, Georgescu-Roegen (1972 dan 1976) adalah yang pertama kali memberikan komentar terhadap diabaikannya energi
48
dalam teori ekonomi. Dia menyatakan bahwa ilmuan ekonomi Marxists dan Neoklasik tersamar dari sifat alamiah; mereka menempatkan aliran sumberdaya dan energi sebagai suatu yang pasti dan terhindar dari pemborosan output perekonomian. Georgescu-Roegen (1976) berargumen bahwa dalam ilmu ekonomi standar tidak dikenal apa yang disebut dengan “terrestrial resources of energy and materials are irrevocably used up and the harmful effects of pollution on the environment accumulate.” Para ahli ekonomi optimis tentang peluang tiada akhir dari pertumbuhan yang mengabaikan sifat alamiah dari kalkulusnya. Mengacu pada pendapatan Georgescu-Roegen dan lainnya, wajah baru dari ilmu ekonomi ekologi dijabarkan dengan cara yang berbeda dengan memasukkan sejumlah batasan terhadap pertumbuhan. Paper yang ditulis Alam (2006) bertujuan untuk menempatkan sifat-sifat dasar dari suatu perekonomian dengan energi sebagai kekuatan pengendali dibalik seluruh aktivitas ekonomi. Dengan fokus terhadap energi, perekonomian harus dipandang sebagai suatu sistem aliran energi, sebuah kesuksesan dalam mengkonversi energi, yang masuk dalam proses produksi barang dan jasa. Dengan adanya pemikiran ini diharapkan dapat mengubah pemahaman kita tentang tenaga kerja dan kapital sebagai sumber pertumbuhan. Gambaran yang difokuskan pada energi mampu menfasilitasi pemahaman yang lebih baik tentang revolusi industri dan pencetusan dalam pertumbuhan ekonomi telah dihasilkan sejak abad ke-19. Sebagai resume utama dari artikel ini, Alam (2006) menyatakan bahwa: Pertama, sketsa perekonomian sebagai suatu sistem energi akan membantu memecahkan perbedaannya dengan pendekatan ekonomi Neoklasik dalam fungsi produksi agregat. Ekonomi berisikan aliran produksi energi dan aktivitas-aktivitas
49
penggunaan energi. Energi adalah sentral untuk perekonomian tersebut karena mengendalikan seluruh aktivitas ekonomi. Ini menfokuskan pada energi sebagai sumber yang bersifat mendasar, untuk aktivitas konversi dan mengkonversi kembali energi tersebut, dan terakhir untuk aktivitas-aktivitas yang menggunakan energi untuk memproduksi barang dan jasa. Sampai abad ke-19, seluruh perekonomian menggunakan energi yang bersumber dari sumber-sumber organik. Setelah dua dekade berlalu, terjadi transisi sumber energi dari sumber-sumber organik menjadi anorganik, terutama sekali bahan bakar fosil. Kedua, para ilmuan ekonomi Neoklasik mengabaikan energi dalam perekonomian, yang memisahkan ekonomi dari ekologi atau sumber-sumber energi. Ini ditangkap dalam konsep fungsi produksi, sebuah pemetaan dari faktorfaktor yang hanya memasukkan tenaga kerja dan kapital untuk menghasilkan output, serta teknologi. Sebagai hasilnya, neraca pertumbuhan ekonomi Neoklasik disajikan dalam bentuk pertumbuhan kapital, tenaga kerja, dan teknologi. Energi tidak memainkan peranan dalam pertumbuhan dan sumber-sumber pertumbuhan. Ketiga, pengabaian energi dalam kerangka pemikiran Neoklasik membuatnya sulit untuk mendefenisikan tenaga kerja dan kapital. Buku teks-buku teks ilmu ekonomi yang ada tidak membantu dan tidak konsisten mendefenisikan ilmu ekonomi. Hal ini tidak mengejutkan ketika tenaga kerja dan kapital memainkan peranan pendukung dalam perekonomian yang hanya dapat dipamahami dalam kaitannya dengan energi. Bersama-sama, mereka menguraikan energi dari sumber-sumber natural, mengkonversi dan mengkonversi kembali sumber-sumber tersebut untuk digunakan dalam aktivitas perekonomian, dan kemudian arah dari aliran penggunaan energi ini untuk memproduksi dan mengkonsumsi barang dan jasa.
50
Keempat,
pengabaian
energi
dalam
fungsi
produksi
Neoklasik
menyimpang dari analisis standar dari pertumbuhan dan sumber-sumber pertumbuhan. Para ilmuan Neoklasik gagal untuk memperkenalkan hal tersebut dalam banyak kasus, pertumbuhan merupakan kecepatan dari aktivitas; jika aktivitas ini menggunakan mesin, jumlahnya dipengaruhi oleh kecepatan mesin. Ini menentukan sebuah arah keterkaitan antara energi dan pertumbuhan: ketika kecepatan selalu tergantung pada penggunaan energi. Ini berarti bahwa pertumbuhan menempatkan penawaran energi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi yang sangat diperlukan. Kelima, pengabaian energi dari kerangka pemikiran ekonomi Neoklasik, dan kegagalannya untuk mengubah hubungan antara energi dan pertumbuhan, berarti mereka tidak menguraikan hubungan dinamik antara penggunaan energi yang lebih besar dan perubahan teknis yang berhubungan dengan ketersediaan energi. Pengenalan energi baru seperti kincir air, kincir angin, mesin penyemprot atau peledak menciptakan suatu kekuatan daya dorong untuk membuat alat bagi pertumbuhan yang bermanfaat dan penyediaan energi yang lebih murah menggantikan energi anorganik untuk lahan dan tenaga kerja. Kerangka pemikiran produksi Neoklasik tidak menjelaskan hubungan ini. Keenam, analisis standar dari sumber-sumber pertumbuhan bermasalah karena mengasumsikan tenaga kerja homogen. Tenaga kerja seharusnya dipandang memiliki dua fungsi, yaitu penyediaan energi dan pengawasan aliran energi. Apabila proporsi rata-rata tenaga kerja dikombinasikan dengan energi sebagai fungsi dari pertumbuhan ekonomi, tidak dapat diasumsikan bahwa tenaga kerja adalah faktor homogen dalam konteks pertumbuhan.
51
Terakhir, para ilmuan ekonomi Neoklasik juga mengalami kekosongan pemikiran yang signifikan dalam hal pembedaan antara perekonomian organik dan perkonomian fosil. Tanpa suatu pemahaman tentang regim energi, mereka gagal untuk membangun sebuah apresiasi yang patut dari sumber-sumber tesebut, waktu dan kecepatan transpormasi ekonomi yang terjadi sejak awal dekade abad ke-19. Malahan mereka mencoba untuk menjelaskan revolusi industri dalam bentuk perubahan teknis yang menstimulasi temuan-temuan ilmiah. Demikian juga, mereka gagal untuk menguraikan keterbatasan penyediaan energi, yang dihasilkan dari bahan bakar fosil, dalam menstimulasi keberhasilan inovasi dan pertumbuhan kapital dan keahlian. Untuk alasan yang sama, para ilmuan ekonomi Neoklasik tidak menjelaskan ketidakseimbangan pembangunan dari dua perekonomian dengan keterbatasan energi yang berbeda dalam ekologi mereka. Senada dengan Stern (2003) dan Alam (2006), artikel yang ditulis oleh Momete
(2007)
memberikan
perhatian
pada
pentingnya
energi
untuk
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia, serta dampaknya terhadap pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan Trinomial dan analisis trend, dapat dinyatakan bahwa konsumsi energi berdampak negatif terhadap lingkungan, dan pada waktu yang sama berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sehubungan dengan upaya untuk mengidentifikasi dampak energi secara keseluruhan, dapat dinyatakan bahwa konsumsi energi berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi dan emisi CO2. Lebih lanjut dari paper ini dapat dinyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan harus dirasakan sebagai dimensi lain dari pertumbuhan ekonomi yang hanya dapat dicapai dengan produksi dan penggunaan energi berkelanjutan.
52
Ramos-Martini dan Ortega-Cerdà (2003) melakukan studi yang didasarkan pada pendapat bahwa wujud dari perekonomian thermodinamika membuka sistem lebih jauh dari keseimbangan, dan ilmu ekonomi lingkungan Neoklasik bukanlah cara yang terbaik untuk menggambarkan perilaku sistem seperti itu. Analisis ekonomi
standar
melakukan
pengembangan,
pendekatan
prediktif
dan
deterministik, yang mendorong untuk melakukan kebijakan prediktif untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan. Hal ini secara aktual menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi pada kondisi hipotesis dematerialisasi, yang dikenal dengan kurva lingkungan Kuznet atau kurva yang berbentuk huruf U terbalik. Ini memperlihatkan kepada kita bahwa karakteristik dari sistem ekonomi mengikuti perilaku yang kompleks, suatu analisis ex-post dalam kerangka ilmu ekonomi ekologi yang lebih tepat, yang menggambarkan perekonomian sebagai sistem non-kontinu dan non-prediktif dan yang memperlihatkan kebijakan sebagai mekanisme pengendalian. Mengacu pada latar belakang tersebut, Ramos-Martini dan Ortega-Cerdà (2003) menyajikan sejumlah data empiris tentang evolusi intensitas energi untuk negara maju dan negara berkembang. Dalam rangka menguji hipotesis tidak adanya hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan penggunaan energi, disajikan diagram fase intensitas penggunaan energi dari data deret waktu. Temuan utama dari hasil kajian Ramos-Martini dan Ortega-Cerdà (2003) menyebutkan bahwa dalam kenyataannya perekonomian memperlihatkan perilaku non-linier pada variabel-variabel kunci dan tahapan pembangunan pada level hirarki yang berbeda membentuk hipotesis ‘punctuated equilibrium’ yang bermanfaat pada skala yang lebih tinggi, mengindikasikan suatu sistem
53
perekonomian yang lebih terbuka pada masa mendatang. Tahapan perilaku intensitas energi menegaskan bahwa hanya dengan mempertimbangkan energi sebagai barang konsumsi dan faktor produksi tidak cukup untuk memahami evolusi perekonomian. Intensitas energi adalah variabel kunci yang dapat digunakan sebagai indikator perubahan struktur sosial ekonomi, struktur keuangan atau hubungan ekonomi-lingkungan. Hal tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator dari struktur yang baru. Ketersediaan data dan dukungan teknik analisis konsumsi energi dapat dipandang sebagai persyaratan dan kompleksitas hubungan sistem ekonomi pada masa mendatang. International Energy Association (IEA) sejak tahun 1993 telah menyediakan proyeksi energi dalam jangka menengah sampai jangka panjang dengan menggunakan World Energy Model (WEM). WEM merupakan konstruk secara matematik skala besar yang dirancang untuk menggambarkan tentang fungsi pasar energi sebagai alat utama yang digunakan untuk menjabarkan secara detail proyeksi sektor per sektor dan wilayah per wilayah untuk kedua referensi skenario dan berbagai skenario kebijakan alternatif. Model yang telah dibangun selama ini dibuat dalam enam modul utama, yaitu: permintaan energi akhir; pembangkit listrik; kilang dan transformasi lain; suplai bahan bakar fosil, emisi CO2, dan investasi seperti pada Gambar 8. Dari Gambar 8 dapat dinyatakan bahwa asumsi-asumsi eksogen yang utama menekankan pada pertumbuhan ekonomi, demografi, harga bahan bakar fosil internasional, dan perkembangan teknologi. Konsumsi listrik dan harga listrik berhubungan secara dinamis dengan modul permintaan energi final dan pembangkit listrik. Model kilang minyak menproyeksikan keluaran dan
54
persyaratan kapasitas berdasarkan permintaan minyak global. Permintaan utama bahan bakar fosil berfungsi sebagai input untuk modul penawaran. Neraca energi lengkap dikompilasi di tingkat regional dan emisi CO2 masing-masing daerah kemudian dihitung menggunakan penurunan faktor-faktor karbon.
Asumsi-Asumsi Eksogen
ModulModul Regional
Permintaan Energi Akhir
Pembangki Listrik, Kilang Minyak
Suplai Energi Fosil
Neraca Energi Regional
Emisi CO2
Investasi
Sumber: IEA, 2008 Gambar 8. Gambaran Model Energi Dunia
Dari aspek teknis, parameter dari modul-modul persamaan permintaan diduga dengan menggunakan pendekatan ekonometrika. Untuk memperhitungkan perubahan yang diharapkan secara struktural, kebijakan atau teknologi, penyesuaian
parameter-parameter
dibuat
selama
periode
pengamatan,
menggunakan model dan teknik ekonometrika. Modul permintaan dapat diisolasi dan simulasi dijalankan secara terpisah. Hal ini sangat berguna dalam proses penyesuaian dan analisis sensitivitas yang terkait dengan faktor tertentu. Dalam WEM, sejumlah asumsi makroekonomi dan kependudukan digunakan sebagai referensi dan skenario kebijakan alternatif. Proyeksi-proyeksi
55
dilakukan berdasarkan pada rata-rata harga eceran dari setiap bahan bakar yang digunakan oleh pengguna akhir, pembangkit listrik dan sektor transformasi lainnya. Harga-harga pengguna akhir diturunkan dari asumsi tentang harga internasional bahan bakar fosil. Harga bahan bakar fosil cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
2.4.2. Studi Pertumbuhan Ekonomi dan Energi di Indonesia Telah terdapat banyak studi yang membahas tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan energi di Indonesia. Berbagai penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif maupun metode kualitatif dan kombinasi diantaranya. Berikut ini dipaparkan tentang sejumlah studi tentang pertumbuhan ekonomi dan energi di Indonesia. Sugiyono
(1999)
membangun
model
energi
Indonesia
dengan
menggunakan dua paradigma, yaitu paradigma model top-down dan model bottom-up. Model top-down menyajikan analisis perilaku perekonomian secara makro berdasarkan harga dan elastisitas. Model bottom-up mempertimbangkan berbagai pilihan teknologi untuk penyediaan energi dan sektor pengguna energi dalam terminologi biaya, bahan bakar dan karakteristik emisi. Namun demikian untuk keperluan proyeksi permintaan dan penyedia energi menggunakan paradigma gabungan top-down dan bottom-up. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah untuk membuat proyeksi permintaan dan penyediaan energi di Indonesia. Proyeksi permintaan dan penyediaan energi ini dilakukan untuk dua kondisi perekonomian di Indonesia yaitu sebelum dan setelah krisis ekonomi.
56
Model yang digunakan Sugiyono (1999) adalah model direpresentasikan sebagai persamaan matematik dalam bentuk nonlinear programming dengan menggunakan software General Algebraic Modeling System(GAMS). Model dibuat dengan tahun dasar 1995 dan untuk memproyeksikan permintaan dan penyediaan energi di Indonesia sampai tahun 2030. Periode proyeksi diambil 5 tahun untuk 1 periode, sehingga ada 7 periode dalam model. Data yang berkaitan dengan kondisi makroekonomi diperoleh dari International
Monetary Fund
(IMF) dan Biro Pusat Statistik (BPS) dari tahun 1980 sampai tahun 1996. Sedangkan data yang berhubungan dengan energi diperoleh dari beberapa publikasi dari institusi yang berhubungan dengan bidang energi seperti Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi (DJLPE), Komite Nasional Indonesia, World Energy Council (KNI-WEC), PT PLN Persero, BPPT, dan Pertamina. Data setelah terjadi krisis ekonomi diperoleh dari berbagai artikel di surat kabar dan majalah yang terbit selama tahun 1997 sampai dengan awal tahun 1999. Skenario yang digunakan untuk dianalisis yaitu skenario bila tidak terjadi krisis ekonomi dan skenario base line yang merupakan kondisi seperti saat ini setelah terjadi krisis ekonomi. Skenario bila tidak terjadi krisis ekonomi merepresentasikan studi yang dilakukan sebelum terjadinya krisis ekonomi. Disamping itu juga dilakukan analisis sensitivitas terhadap discount rate untuk melihat pengaruhnya terhadap permintaan energi dan pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian Sugiyono (1999) menunjukkan bahwa permintaan energi akan tumbuh sebesar 4.3 persen
per tahun seandainya tidak terjadi krisis
ekonomi. Dalam kondisi krisis ekonomi, pertumbuhan permintaan energi diproyeksikan hanya sebesar 2.9 persen per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan
57
energi tersebut batubara menjadi primadona sebagai sumber energi primer bila tidak terjadi krisis. Dengan adanya krisis ekonomi yang mengakibatkan permintaan energi tidak mengalami banyak kenaikan maka gas alam dan batubara yang berperan besar sebagai sumber energi primer. Dengan berperannya bahan bakar fosil sebagai energi di masa depan maka emisi CO2 dari penggunaan energi juga akan meningkat. Dalam model ini hanya emisi CO2 yang diperhitungkan. Untuk pengembangan studi selanjutnya, model dapat dikembangkan untuk menganalisis emisi seperti SO2, NO2, dan debu. Disamping itu, Sugiyono (2004) juga menulis artikel tentang Perubahan Paradigma Kebijakan Energi Menuju Pembangunan yang Berkelanjuta. Artikel yang ditulis ini dilatarbelakangi oleh sumberdaya energi yang digunakan di Indonesia adalah energi fosil (minyak bumi, gas bumi, dan batubara) yang tidak dapat diperbaharui dan energi yang dapat diperbaharui (tenaga air dan tenaga panas bumi). Kondisi minyak bumi saat ini sudah cukup kritis. Laju penemuan cadangan energi lebih rendah dari laju konsumsi energi. Bila tidak diketemukan cadangan baru, Indonesia menjadi negara pengimpor minyak. Berbagai kebijakan telah diterapkan selama ini dengan penekanan pada intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi. Namun untuk sektor transportasi, penggunaan minyak bumi dan subsitusi ke penggunaan batubara tidak memungkinkan. Penggunaan tenaga listrik dan gas untuk sektor transportasi masih relatif mahal apalagi dengan menggunakan energi terbarukan. Sehingga ketergantungan akan minyak bumi untuk sektor transportasi tidak dapat dihindari. Kebijakan energi yang ada saat ini belum tanggap terhadap rentannya pasokan minyak bila Indonesia menjadi negara pengimpor minyak. Untuk mengatasinya perlu paradigma baru dalam membuat
58
kebijakan. Dengan demikian tulisan ini bertujuan untuk membahas kebijakan energi yang diperlukan serta proses pembuatannya supaya dapat memenuhi kriteria yang diharapkan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Sugiyono (2004), untuk mewujudkan pembangunan energi berkelanjutan, yakni pembangunan energi yang memenuhi kriteria ekonomis, bermanfaat secara sosial, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup, diperlukan kebijakan yang kondusif yang didukung dengan kemandirian finansial, teknologi dan sumber daya manusia. Kemandirian finansial dapat dicapai bila mampu secara mandiri membiayai operasional penyediaan dan penggunaan energi nasional. Kemandirian teknologi harus dilakukan melalui tahapan yang panjang. Tahap awal adalah meningkatkan kemampuan teknologi nasional dalam penyediaan barang dan jasa di sektor energi sehingga kandungan lokal teknologi nasional dalam barang atau jasa tersebut semakin besar. Sedangkan kemandirian sumberdaya manusia (SDM) dapat dicapai dengan terus meningkatkan kemampuan SDM dalam negeri di sektor energi yang melibatkan masyarakat secara aktif. Lebih lanjut dinyatakan bahwa secara umum sasaran dari kebijakan energi, yakni mengurangi ketergantungan pada minyak bumi sebagai sumber energi melalui diversifikasi dan intensifikasi sumberdaya energi, sudah cukup berhasil. Namun sasaran efisiensi penggunaan energi melalui konservasi dapat dikatakan gagal karena adanya kontradiksi antara kebijakan konservasi dengan kebijakan pemberian subsidi BBM. Strategi pengembangan energi jangka pendek dan jangka panjang juga belum tersusun dengan jelas. Kebijakan-kebijakan yang ada masih terkesan sebagai kebijakan parsial yang tidak ada aliran strategis terhadap
59
program jangka panjangnya. Oleh karenanya pada masa mendatang perlu suatu paradigma baru yang terkait dengan: (a) Proses pembuatan kebijakan harus transparan dan terbuka bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat berpartisipasi untuk menyempurnakan kebijakan tersebut; (b) Kebijakan sebaiknya bersifat kualitatif dan kuantitatif sehingga dampaknya dapat dengan mudah dievaluasi; dan (3) Perlu dipikirkan adanya kebijakan tentang keamanan energi (energy security). Sugiyono (2005) juga menulis artikel tentang Pemanfaatan Biofuel dalam Penyediaan Energi Nasional Jangka Panjang. Artikel yang tulis oleh Sugiyono (2005) diawali dengan permasalahan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi dan populasi dengan segala aktivitasnya akan meningkatkan kebutuhan energi di semua sektor pengguna energi. Konsumsi energi final meningkat dari 221,33 juta Setara Barel Minyak (SBM) pada tahun 1990 menjadi 489,01 juta SBM pada tahun 2003 atau meningkat sebesar 6,3 persen per tahun. Berdasarkan jenis energinya, konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan konsumsi energi final terbesar. Pada tahun 2003 konsumsi BBM sebesar 329 juta SBM (67,7 persen), Bahan Bakar Gas (BBG) sebesar 63 juta SBM (13,0 persen), listrik sebesar 55 juta SBM (11,3 persen), batubara sebesar 31 juta SBM (6,4 persen), dan LPG sebesar 8 juta SBM (1,6 persen). Sebagian besar konsumsi BBM digunakan untuk sektor transportasi. Peningkatan kebutuhan energi tersebut tidak didukung oleh pasokan energi jangka panjang secara berkesinambungan, terintegrasi, dan ramah lingkungan. Sementara itu, pasokan energi berasal dari sumber energi dalam negeri dan dari impor dari negara lain. Apabila pasokan energi dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri dan
60
Indonesia harus mengimpor BBM dari Negara lain. Impor yang tinggi tentu akan membahayakan negeri ini. Kondisi ini juga didukung oleh potensi sumberdaya minyak bumi dan kemampuan kapasitas kilang di dalam negeri yang terbatas. Oleh karena itu perlu dicarikan bahan bakar alternatif untuk substitusi BBM. Dengan demikian tujuan dari penulisan ini membahas peluang pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif untuk mesin diesel dan bioethanol sebagai bahan bakar alternatif untuk mesin bensin di sektor transportasi. Pengembangan dalam pemanfaatan biofuel menjadi lebih menarik dengan semakin meningkatnya harga minyak mentah dunia yang mencapai US$70 per barel pada akhir tahun 2005. Selanjutnya metodologi yang digunakan oleh Sugiyono (2005) adalah menggunakan model reference energy system (RES) yang diformulasi dalam bentuk linear programming. Model akan mengalokasikan penyediaan energi primer dan sekunder dengan fungsi obyektif meminimumkan total biaya penyediaan energi dan dengan kendala berbagai pilihan sumber dan teknologi energi untuk memenuhi kebutuhan energi final maupun energi bermanfaat. Analisis dilakukan dengan tahun dasar 2003 dan periode analisis sampai dengan tahun 2025. Proyeksi kebutuhan energi merupakan masukan model MARKAL dan diproyeksikan dengan mempertimbangkan pertumbuhan sektor ekonomi dan populasi. Proyeksi kebutuhan energi diperhitungkan dengan menggunakan model Model for Analysis of Energy Demand (MAED). Skenario yang akan ditinjau ada dua yaitu kasus dasar dan kasus harga minyak mentah tinggi. Kasus dasar menganggap bahwa perkembangan perekonomian sesuai dengan kondisi saat ini. Asumsi yang digunakan pada kasus dasar adalah discount rate sebesar 10 persen,
61
harga minyak bumi tahun 2003 – 2004 sebesar 28 US $/barel dan mulai tahun 2005 sebesar 40 US$/barel. Sedangkan harga bahan baku biofuel adalah untuk CPO sebesar 60,2 US$/SBM dan untuk ubi kayu sebesar 60,8 US$/SBM. Dengan mempertimbangkan bahan bakau tersebut maka biaya produksi biodiesel dari CPO dengan kapasitas 100.000 ton/tahun adalah Rp. 4.240/liter dan biaya produksi bioethanol dari ubi kayu dengan kapasitas 60 kl/hari adalah sebesar Rp. 4.720/liter. Sedangkan untuk kasus harga minyak mentah yang tinggi digunakan asumsi harga minyak mentah sebesar 50 US$/barel dan 60 US$/barel mulai tahun 2005. Masing-masing kasus dilakukan optimasi untuk melihat peluang pemanfaatan biofuel. Hasil penelitian Sugiono (2005) menunjukkan dengan harga minyak mentah sebesar 40 US$/barel (kasus dasar), diperoleh biaya total sistem energi Indonesia (discounted total cost) adalah sebesar 590,7 milyar US$. BBM merupakan bahan bakar yang paling dominan digunakan di sektor transportasi. Biofuel baik berupa biodiesel maupun bioethanol belum dapat bersaing dengan BBM. Pada harga tersebut, teknologi transportasi berbasis minyak solar dan bensin ternyata masih tetap lebih ekonomis dibanding dengan BBG, apalagi dibandingkan dengan menggunakan biodiesel atau bioethanol. Biaya pemanfaatan biodiesel dan bioethanol masih lebih tinggi dibanding bahan bakar konvensional. Selanjutnya, harga minyak mentah sebesar 50 US$/barel dan 60 US$/barel akan meningkatkatkan biaya total sistem energi Indonesia masing-masing adalah sebesar 610,8 milyar US$ dan 627,4 milyar US$. Pada harga minyak mentah sebesar 50 US$/barel, pola pemakaian energi final di sektor transportasi masih relatif tetap seperti pada kasus dasar. Hal tersebut disebabkan biaya produksi
62
biodiesel berbahan baku dan biaya produksi bioethanol berbahan baku ubi kayu masih lebih mahal dari biaya produksi BBM di kilang minyak. Sedangkan dengan harga minyak 60 US$/barel maka biodiesel dan bioethanol berpotensi untuk dimanfaatkan di sektor transportasi. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa pada harga minyak mentah sebesar 55 US$/barel maka biodiesel dan bioethanol sudah dapat bersaing dengan BBM. Sehingga pada harga minyak mentah di atas 55 US$/barel maka sebagian besar penggunaan minyak solar dan bensin digantikan dengan biodiesel dan bioethanol. Pemanfaatan biodiesel dan bioethanol terus meningkat hingga pada tahun 2025 mencapai 47 juta SBM untuk biodiesel dan 103 juta SBM untuk bioethanol, sehingga kenaikan penggunaan minyak solar dan bensin di sektor ini dari tahun 2003 hingga tahun 2025 relatif kecil. Penggunaan minyak solar meningkat dari sebesar 72 juta SBM pada tahun 2003 menjadi 82 juta SBM pada tahun 2025 dan penggunaan bensin meningkat dari 81 juta SBM pada tahun 2003 menjadi 114 juta SBM pada tahun 2025. Pemakaian avtur yang tidak dapat digantikan oleh bahan bakar lain relatif tetap pertumbuhannya yaitu sekitar 6.8 persen per tahun. Selain biodiesel dan bioethanol, diperkirakan BBG juga dapat bersaing dengan minyak solar dan bensin, sehingga pada tahun 2025 kontribusi BBG di sektor transportasi meningkat menjadi 20.6 persen terhadap total pemakaian energi di sektor transportasi. Berkolaborasi dengan Sugiyono, Jamin (2009) kemudian menulis artikel tentang Pengembangan Kelistrikan Nasional. Artikel yang ditulis oleh Jamin dan Sugiyono diawali dengan peningkatan tenaga listrik di Indonesia sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, dimana peningkatannya rata-rata sebesar 9.2
63
persen
per
tahun.
Peningkatan
penggunaan
tenaga
listrik
perlu
mempertimbangkan ketersediaan sumber daya energi dan penggunaan teknologi yang tepat. Oleh karena itu makalah ini bertujuan memberikan gambaran tentang pengembangan kelistrikan nasional dengan mempertimbangkan berbagai faktor, baik aspek teknis maupun ekonomis. Selain itu juga dipaparkan target-target pemerintah dalam pengembangan teknologi untuk mendukung pengembangan kelistrikan nasional. Jamin dan Sugiyono (2009) memaparkan pembangkit tenaga listrik di Indonesia dapat dikelompokkan berdasarkan kepentingannya, yaitu untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan sendiri. Pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagian besar dipasok oleh PT PLN (Persero) dan sebagian lagi dipasok oleh perusahaan tenaga listrik swasta, dalam istilah umum disebut IPP (Independent Power Producer), serta koperasi. Sedangkan pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri (captive power) diusahakan oleh swasta untuk kepentingan operasi perusahaan sendiri dan biasanya tidak terjangkau oleh jaringan PLN atau karena alasan keandalan sistem. Kapasitas terpasang pembangkit listrik PLN sampai tahun 2006 sebesar 24.8 GW. Sedangkan kapasitas pembangkit tenaga listrik milik swasta yang sudah mempunyai ijin sampai dengan tahun 2006 mencapai 3.7 GW. Penyedian tenaga listrik tahun 2006 sebesar 133.1 TWh yang terdiri atas produksi tenaga listrik PLN sebesar 104.5 TWh dan pembelian sebesar 28.6 TWh. Penjualan tenaga listrik PLN tahun 2006 sebesar 112.6 TWh. Penjualan untuk sektor industri sebesar 43.6 TWh, sektor rumah tangga sebesar 43.8 TWh, sektor komersial atau usaha sebesar 18.4 TWh dan sektor publik atau umum sebesar 6.8 TWh.
64
Selanjutnya dalam kerangka restrukturisasi sektor ketenagalistrikan, Pemerintah telah memberlakukan UU No. 15 Tahun 1985 tentang usaha penyediaan tenaga listrik untuk umum diselenggarakan oleh PT PLN (Persero) sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dan Pemegang Ijin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum (PIUKU). Peran PIUKU sangat penting karena keterbatasan finansial pemerintah untuk pendanaan sektor ketenagalistrikan. Kebijakan pemerintah tentang tarif dasar listrik adalah bahwa tarif listrik secara bertahap dan terencana diarahkan untuk mencapai nilai keekonomiannya sehingga tarif listrik rata-rata dapat menutup biaya yang dikeluarkan. Kebijakan ini diharapkan akan dapat memberikan sinyal positif bagi investor dalam berinvestasi di sektor ketenagalistrikan. Untuk
memenuhi
kebutuhan
tenaga
listrik
tersebut
perlu
mempertimbangkan ketersediaan sumber daya energi dan penggunaan teknologi yang tepat. Pembangkit tenaga listrik skala besar yang mungkin dikembangkan adalah menggunakan batubara, gas bumi, dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara menjadi prioritas pertama dan disusul PLTGU, PLTN dan PLTU Mulut Tambang Provinsi Sumatera Selatan. Disamping itu untuk energi terbarukan yang dapat dikembangkan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Kemudian
Sugiono
dan
Suarna
(2006) menulis
artikel
dengan
dilatarbelakangi oleh pengamatan tentang peranan energi dalam pembangunan sebagai bahan bakar dan bahan baku untuk penggerak perekonomian. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, diperkirakan permintaan energi akan terus
65
meningkat. Namun
disisi lain terjadi keterbatasan sumber daya energi. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengoptimalkan penggunaan energi melalui perencanaan energi terpadu. Untuk menganalisis penggunaan energi secara terpadu digunakan model MARKAL. Dari hal diatas maka tujuan dari penulisan ini adalah membahas konsep dan aplikasi dari model MARKAL untuk optimasi penyediaan energi. Lebih jauh Sugiyono dan Suarna
(2006) memaparkan bahwa model
MARKAL merupakan model untuk optimasi penyediaan energi dengan menggunakan teknik LP untuk mengalokasikan penyediaan energi dengan fungsi obyektif meminimumkan total biaya penyediaan energi dan dengan kendala teknologi serta sumber daya energi untuk memenuhi kebutuhan energi. Dalam aplikasi, model MARKAL sudah merupakan perangkat lunak terintegrasi dengan user interface yang disebut ANSWER dan dapat dijalankan dengan menggunakan PC. Perangkat lunak GAMS merupakan salah satu modul ANSWER yang digunakan untuk optimasi. Dengan menggunakan PC yang berbasis Windows maka proses optimasi dan analisis menjadi lebih interaktif dan relatif mudah untuk dikerjakan. Di Indonesia model MARKAL digunakan sejak tahun 1980 dengan dibentuknya tim perencanaan energi antar institusi dengan BPPT sebagai koordinator dan bekerja sama dengan KFA Jerman. Saat ini ada empat institusi yang mempunyai lisensi untuk menggunakannya, yaitu: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), ASEAN Centre for Energy (ACE), Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM).
66
Selanjut Sugiyono dan Suarna (2006) membagi wilayah penelitiannya menjadi empat wilayah, yaitu: Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Pulau-pulau lain. Studi dimulai dengan tahun dasar 2000 dan dianalisis sampai tahun 2030. Asumsi yang digunakan adalah discount rate sebesar 10 persen, harga minyak bumi tahun 2000-2004 sebesar 28 US $/barel dan mulai tahun 2005 sebesar 40 US$/barel. Database untuk Indonesia mempunyai lebih dari 280 teknologi dengan lebih dari 160 energy carrier. Matriks LP mempunyai lebih dari 22.000 variabel dan 22.000 persamaan. Hasil yang ditampilkan di sini hanya untuk pembangkit tenaga listrik pada kasus dasar yang menganggap bahwa perkembangan perekonomian sesuai dengan kondisi saat ini. Lebih dari 80 macam teknologi pembangkit tenaga listrik digunakan dalam model ini, baik yang sudah komersial saat ini maupun teknologi baru. Untuk lebih mempermudah analisis, teknologi pembangkit tenaga listrik digabung menjadi 4 macam sesuai dengan bahan bakarnya, yaitu: (1) Batubara, (2)Bahan bakar minyak (BBM) termasuk di dalamnya minyak bakar dan minyak diesel, (3) Gas termasuk turbin gas dan turbin kombinasi gas-uap, dan (4) Energi terbarukan dan energi nuklir termasuk pembangkit listrik tenaga air, tenaga panas bumi, biomasa dan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyediaan tenaga listrik akan didominasi oleh pembangkit listrik batubara, diikuti oleh pembangkit listrik gas dan penggunaan energi terbarukan. Pembangkit tenaga listrik batubara mengalami pertumbuhan sebesar 9.7 persen per tahun. Pada akhir periode analisis, batubara merupakan bahan bakar terbanyak dengan pangsa sebesar 58 persen. Energi terbarukan mempunyai pangsa 20 persen dan pangsa penggunaan gas hanya sebesar 19 persen.
67
Tambunan (2006) menulis artikel dengan tujuan untuk menjelaskan alasan, tantangan, dan opsi kebijakan sehubungan dengan siklus harga minyak kedua tertinggi tahun 2005, dibandingkan dengan siklus tertinggi pertama tahun 1974. Tidak seperti siklus harga minyak pertama, yang dihadapkan pada masalah utama dari aspek suplai, siklus kedua terjadi lebih dasyat karena kombinasi antara faktor suplai dan deman. Faktor suplai meliputi:(1) terbatasnya investasi pada industri minyak, baik pada sektor hulu (upstream) maupun pada sektor hilir (downstream), (2) masalah-malasah geopolitik di Timur Tengah, Negeria dan wilayah lainnya, dan (3) produksi minyak di negara-negara non-OPEC yang menurun, dan OPEC juga tidak dapat mengontrol jumlah cadangan minyak dunia. Dari sisi deman, percepatan pertumbuhan ekonomi China dan India, dan pemulihan ekonomi di Asia telah ikut mendorong siklus harga yang tinggi. Sumber utama dari ketidakpastian harga minyak dunia adalah (1) perseteruan goopolitik di Timur Tengah yang tidak kunjung selesai, (2) factor “oil boom” di Rusia, (3) terbatasnya rekayasa teknologi dalam industri minyak, dan (4) pergeseran permintaan dari minyak fosil. Menurut Tambunan (2006) tantangan ke depan adalah harga minyak yang cenderung meningkat, dengan frekuensi peningkatan harga dalam rentang waktu yang relatif singkat. Tidak ada bukti empiris yang kuat untuk menyatakan sebaliknya. Jika prediksi tersebut benar, ini dapat menjadi pendorong merosotnya pertumbuhan ekonomi, khususnya menyerang ekonomi energi, baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Berdasarkan kausus Indonesia sebagai negara penghasil minyak kecil: kenaikan harga minyak dan pergeseran dari negara pengekspor menjadi pengimpor menciptakan tekanan fiskal yang kuat,
68
sehingga pada tahun 2005 Pemerintah Indonesia secara mendasar mengurangi subsidi harga minyak, menyebabkan harga minyak domesik meningkat 125 persen. Dampak siklus kedua ini memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang tetap stagnan pada level 5.2 persen, yang diperkirakan bimencapai 6.2 bisa persen pada tahun 2005. Opsi kebijakan dunia yang terbaik untuk setiap negara, dan untuk kelompok (kerjasama) dunia, sehubungan dengan siklus kenaikan harga minyak menurut Tambunan (2006) adalah mengembangkan “green energy plan” yang berisikan lima pilar dasar: (1) membangun suatu rencana unuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan energi, (2) konservasi dan mengurangi polusi, (3) meningkatkan investasi dari aspek produksi, pengolahan, dan distribusi minyak, (4) mengembangkan akses energi yang sama untuk wilayah pedesaan (khususnya listrik), dan (5) secara bertahap mengembangkan pasar swasta untuk energi.
2.4.3. Studi Pertumbuhan Ekonomi dan Energi pada Beberapa Negara Seperti halnya dengan sejumlah studi tentang pertumbuhan ekonomi dan energi yang telah dilakukan di Indonesia, telah banyak studi sejenis yang dilakukan pada berbagai negara dengan menggunakan berbagai model. Modelmodel yang digunakan mulai dari yang menggunakan analisis deskriptif, model kuantitatif sederhana sampai yang kompleks. Berikut ini dipaparkan sejumlah studi tentang pertumbuhan ekonomi dan energi pada beberapa negara. Khan (2008) melakukan studi dengan menggunakan pendekatan regional dan global untuk memecahkan masalah ketahanan energi dan ketidakseimbangan
69
ekologi, dengan tujuan sepesifik terhadap masalah-masalah ketahanan energi Cina. Pertumbuhan ekonomi Cina yang tergantung pada energi telah menjadi perhatian utama para pengambil kebijakan di negara tersebut terkait dengan ekonomi dan ketahanan nasional. Berambisi untuk mencapai tujuan modernisasi ekonomi yang setara dengan perekonomian negara-negara industri baru lainnya di Asia telah berhasil diraih Cina dengan sangat baik, namun mengalami kesulitan untuk melakukan reorientasi prioritas-prioritas ekonomi. Jika diuji secara teliti, dengan menggunakan asumsi strategis dapat dilihat bahwa tujuan sesungguhnya adalah untuk menciptakan kemajuan teknologi pada masa mendatang. Tepatnya, Cina berkeinginan untuk menjadi benar-benar berusaha untuk menciptakan sistem inovasi bagi kebutuhan sendiri secara besar-besaran sebagai bagian dari perekonomian berbasiskan ilmu pengetahuan pada masa mendatang. Sistem inovasi seperti itu dikenal dengan positive feedback loop innovation systems (POLIS), telah diciptakan oleh negara-negara maju dan negara-negara industri baru di Asia seperti Korea Selatan dan Taiwan yang telah terlebih dahulu mewujudkannya dengan baik. Tetapi ini akan menambah beban energinya dan kemudian tergantung pada Amerika Serikat sebagai kekuatan yang menjadi kontrol kunci jalur laut. Hanya dengan strategi reorientasi untuk membangun POLIS bagi memenuhi kebutuhan sendiri dan kerjasama kelembagaan regional yang tepat menjadi jalan keluar untuk mengatasi dilema yang dihadapi Cina saat ini. Model POLIS yang sensitif terhadap lingkungan dan distribusinya dapat dibangun untuk Cina dan diaplikasikan secara strategik untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
70
Menurut Khan (2008), bagaimanapun waktu adalah hal yang pokok. Dalam menentukan jalur ketergantungan pembangunan, apabila tidak dicarikan strategi alternatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi dalam jangka waktu 5 tahun kedepan, mungkin akan terlambat. Hasil temuan awal mengkonfirmasikan prediksi-prediksi berdasarkan penggunaan bahan bakar fosil dan menjadi pertimbangan serius dari sumber-sumber energi alternatif. Pencapaian tujuan kembar yakni ketahanan energi dan keseimbangan ekologi merupakan tantangan tetapi sulit diwujudkan untuk Cina. Keseriusan riset kebijakan dapat digunakan secara efektif jika ada kemauan politik untuk melakukannya. Tujuan kerjasama regional juga dapat dicapai jika negosiasi untuk membangun kepercayaan dimulai lebih awal. Tepatnya, kerjasama perekonomian dengan negara-negara Asia, khususnya Jepang, Indonesia, Vietnam dan India menjadi krusial. Paper ini memperlihatkan kompleksitas kerjasama dan konflik antara Cina dan Jepang. Pada masa mendatang Cina juga harus melakukan kerjasama regional dengan Asia Timur, Selatan, dan Tenggara, demikian juga dengan negara-negara Afrika dan Amerika Latin. Ghader et al. (2006) membangunan model dan meramalkan permintaan listrik di Iran. Studi ini dilatarbelakangi oleh upaya untuk merealisasikan suatu perekonomian yang stabil, produksi dan eksploitasi energi perlu diprogramkan, sama pentingnya dengan faktor sumberdaya manusia, bahan baku, sumber-sumber keuangan dan input lainnya. Mempertimbangkan kondisi energi saat ini banyak negara lebih fokus pada ketersediaan energi yang terbatas. Untuk mewujudkan listrik sebagai salah satu sumber energi bersih, maka penyelarasan antara penawaran dan permintaan menjadi sebuah tantangan bagi para pengambil
71
kebijakan. Produktivitas industri dari sisi permintaan dan mekanisme harga dari sisi penawaran dapat dipertimbangkan sebagai alat yang tangguh dalam mengambil keputusan, mengelola dan mengawasi permintaan konsumsi listrik untuk industri. Dalam studi ini, sektor yang mengkonsumsi listrik dibagi dalam sektor pertanian dan sektor industri. Mengacu pada keberagaman industri dari sisi peralatan, produk, teknologi, proses dan konsumsi energi, maka sektor industri dalam mengkonsumsi listrik dibagi dalam dua kelompok, yaitu industri dengan konsumsi energi tinggi dan industri dengan konsumsi energi rendah, dan model permintaan disajikan untuk setiap sektor secara terpisah. Tiga jenis industri yang ditempatkan dalam kelompok pertama (industri dengan konsumsi energi tinggi), yaitu industri kimia, logam dasar, dan mineral bukan logam. Kemudian yang termasuk dalam kelompok kedua (industri dengan konsumsi energi rendah) adalah industri pangan, tekstil, kertas, dan industri-industri penghasil mesin. Metode analisis Ordinary Least Squares (OLS) digunakan untuk menduga dan meramalkan ketiga persamaan tersebut secara terpisah. Data yang digunakan adalah data time series pada periode 1979-2003. Temuan utama dari studi ini menyebutkan: (1) untuk model permintaan listrik pada industri dengan konsumsi listrik tinggi, intensitas listrik dan harga substitusi berpengaruh positif; (2) pada industri dengan konsumsi listrik rendah, jumlah pelanggan, berpengaruh positif dan signifikan; dan (3) pada sektor pertanian, jumlah konsumsi listrik peride yang lalu berpengaruh positif dan signifikan. Tubss (2008) membangun model simulasi permintaan dan penawaran energi di Kanada. Studi yang dilakukan oleh Tubss (2008) dimotivasi oleh
72
keinginannya
untuk
menggunakan
model
regresi
berganda dan
model
perdagangan antarwilayah ketika mengevaluasi kebijakan iklim di Kanada. Suatu model penawaran dan permintaan energi yang terintegrasi antara Kanada dan Amerika Serikat secara khusus penting untuk menganalisis kebijakan iklim Kanada karena perekonomian Kanada terintegrasi secara mendalam dengan perekonomian Amerika Serikat. Spesialisasi Kanada dalam komoditas membuat perekonomiannya mudah dipengaruhi oleh perubahan harga komoditas serta perubahan biaya produksi domestik yang diakibatkan oleh kebijakan iklim. Suatu model Kanada-Amerika Serikat yang terintegrasi dapat digunakan untuk menganalisis manfaat dari koordinasi kebijakan antara Kanada dan Amerika Serikat. Studi ini bertujuan untuk: (1) membangun model simulasi penggunaan energi Kanada dan Amerika Serikat, (2) menghubungkan model permintaan energi dengan model penawaran energi menggunakan model perdagangan energi internasional, dan (3) menggunakan model terintegrasi untuk melakukan simulasi terhadap sejumlah skenario terhadap kebijakan iklim Kanada dan Amerika Serikat pada masa mendatang. Model CIMS Kanada digunakan sebagai langkah awal untuk membangun dua model baru sektor perekonomian Kanada dan Amerika Serikta. Data dari Energy Information Administration (EIA) Amerika Serikat dan National Energy Modelling System (NEMS) digunakan dalam konstruksi model sektor Amerika Serikat. Data teknologi dari Model Kanada digunakan dalam model Amerika Serikat untuk sebuah perluasan yang besar, dengan penyesuaian untuk mencocokkan penggunaan dan emisi energi Amerika Serikat. Referensi EIA dari
73
Annual Energy Outlook 2006 digunakan untuk merumuskan skenario output perekonomian dan harga energi. Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa peramalan efektivitas dan dampak perekonomian dari kebijakan-kebijakan publik untuk mengatasi masalah perubahan iklim membutuhkan model ekonomi energi yang tepat. Studi ini merupakan langkah awal integrasi model teknologi bottom-up dan model makroekonomi top-down. Hasil temuan utama dari studi ini menyebutkan bahwa output pada masa mendatang menurut sektor energi akan berkurang ketika ditetapkan harga terhadap emisi di Kanada. Kebijakan iklim Amerika Serikat juga menentukan pengurangan emisi di Kanada. Nondo dan Kahsai (2009) mempresentasikan hubungan antara konsumsi energi dan pertumbuhan energi untuk sejumlah negara di Afrika. Latar belakang dilakukan studi oleh Nondo dan Kahsai (2009) ini adalah fakta bahwa SubSaharan Africa pada dasarnya diberkahi dengan sejumlah sumberdaya energi natural seperti angin, batubara, minyak, kayu dan sinar matahari, namun sumbersumber dalam jumlah besar ini tidak dieksploitasi untuk beberapa dekade. Konsekuensinya banyak negara-negara Afrika mengalami defisit energi yang serius karena miskinnya investasi pada infrastruktur energi. Ketidakseimbangan persediaan pelayanan energi di Sub-Saharan Africa disebut oleh the United Nations Economic Commission for Africa (UNECA, 2004) sebagai keterbatasan faktor untuk pertumbuhan ekonomi dan usaha pengentasan kemiskinan. Terutama sekali pada penduduk desa dan penduduk miskin perkotaan yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan energi moderen. Dalam rangka untuk memenuhi konsumsi energi sehari-hari, mayoritas penduduk menggunakan sumber-sumber
74
biomass tradisional seperti kayu, sisa-sisa pertanian, dan sumber-sumber energi premitif lainnya dan oleh karenanya menyebabkan masalah degradasi lingkungan dan lahan. Pasca periode kemerdekaan di benua Afrika mulai akhir 1960-an, banyak pimpinan negara-negara Afrika membentuk integrasi wilayah sebagai sebagai elemen sentral dari strategi pembangunan mereka. Pembentukan Regional Economic Communities (RECs) di Afrika bertujuan untuk mendorong persatuan, mewujudkan pembangunan berkelanjutan, meningkatkan daya saing dan mengintegrasikan negara-negara Afrika dalam perekonomian global melalui kerjasama yang menguntungkan antara negara-negara anggota. Mengacu pada penyediaan energi, banyak negara-negara Afrika membentuk kerjasama regional untuk mengatasi masalah defisit energi. Sebagai contoh, Common Market for Eastern and Southern Africa (COMESA) yang beranggotakan 20 negara, dengan tujuan mendorong integrasi regional melalui pembangunan perdagangan. Mayoritas negara-negara anggota COMESA adalah negara sedang berkembang dan juga sejumlah negara miskin. Dengan dibentuknya COMESA, belum cukup investasi pada sektor energi untuk membangun infrastruktur energi sehingga masih tetap terkebelakang. Namun demikian, kebijakan ini mampu meningkatkan konsumsi energi per kapita sehingga dapat membantu pencapaian pembangunan sosial dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa untuk merumuskan kebijakan energi dengan tepat, maka penting untuk menentukan hubungan kausalitas antara konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi untuk COMESA.
75
Mengacu pada latar belakang di atas, studi ini menggunakan data panel untuk menganalisis hubungan jangka panjang antara konsumsi energi dan Produk Domestik Bruto (PDB) terhadap 19 negara Afrika berdasarkan data tahunan untuk periode 1980-2005. Pada tahap awal, dilakukan pengujian derajat integrasi antara konsumsi energi dan PDB dengan menggunakan tiga panel unit roots tests dan ditemukan bahwa variabel-variabel terintegrasi satu sama lain. Pada tahap kedua, dilakukan pengujian hubungan jangka panjang antara konsumsi energi dan PDB. Hasilnya memperlihatkan bahwa konsumsi energi dan PDB bergerak bersamasama dalam jangka panjang. Pada tahap ketiga, dilakukan pendugaan hubungan jangka panjang dan uji kausalitas menggunakan panel-based error correction models. Hasilnya mengindikasikan bahwa kausalitas jangka pendek dan jangka panjang
tidak
searah,
bergerak
dari
konsumsi
energi
ke
PDB.
Ini
mengimplikasikan bahwa berkurangnya konsumsi energi dapat menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi. Aqeel dan Butt. (2001), juga melakukan studi tentang hubungan antara konsumsi energi dan pertumbuhan energi, untuk kasus di Pakistan. Tujuan umum dari artikel yang ditulis Aqeel dan Butt (2001) adalah untuk mengetahui arah hubungan kausalitas antara konsumsi dan aktivitas perekonomian di Pakistan. Secara spesifik tujuannya adalah untuk menganalisis hubungan kausal antara konsumsi energi dan pertumbuhan PDB. Dapat ditambahkan bahwa untuk menjelaskan berbagai peluang terhadap arah kausalitas sebagai informasi lanjutan, konsumsi
energi
didisagregasi
kedalam
komponen-komponen
petroleum,
konsumsi gas dan listrik. Tujuan spesifik selanjutnya adalah untuk mengetahui arah hubungan kausalitas antara konsumsi energi dan kesempatan kerja. Uji
76
kausalitas Granger dengan menggunakan teknik kointegrasi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya kointegrasi antara variable-variabel yang menjadi perhatian utama. Kemudian untuk menyeleksi panjangnya lag optimum, uji Granger versi Hsia digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan data dan menggunakan kriteria FPE. Dari hasil pendugaan dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi mempengaruhi konsumsi energi total. Hasil investigasi lanjutan mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi menyebabkan konsumsi energi petroleum meningkat, sedangkan dalam kasus sektor gas, pertumbuhan ekonomi tidak mempengaruhi konsumsi gas. Namun demikian, untuk sektor pembangkit listrik, konsumsi energi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Terakhir, konsumsi energi juga secara langsung mempengaruhi kesempatan kerja. Berdasarkan hasil temuan utama tersebut dapat dirumuskan sejumlah implikasi kebijakan. Ketika Pakistan harus mengeluarkan dana yang tinggi untuk mengimpor minyak, impor petroleum menurun menjadi $1.53 milyar pada tahun 1999/2000 dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar $1.57 milyar. Pada tahun 2000/2001 impor petroleum mencapai $2.5 milyar atau sekitar 25 persen dari total impor. Oleh karena itu, dengan penggunaan minyak secara lebih efisien dan menggantikan minyak dengan gas merupakan kebijakan yang baik. Implikasi dari studi ini menegaskan bahwa kebijakan konservasi energi sehubungan dengan konsumsi petroleum tidak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Pakistan. Sebaliknya untuk kebijakan pertumbuhan energi dalam kasus gas dan konsumsi listrik, pertumbuhan dalam sektor ini menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan seperti ini akan memperluas kesempatan kerja di dalam negeri.
77
Kemudian Krichene (2005) membangun model persamaan simultan untuk pasar dunia minyak mentah dan gas alam. Artikel yang ditulis oleh Krichene (2005) dilatarbelakangi oleh fenomena pasar minyak mentah dan gas alam merupakan subjek goncangan dan memiliki konsekuensi perubahan/penguapan yang sangat tinggi di Amerika Serikat. Goncangan penawaran dan permintaan menyebabkan pergerakan yang besar pada harga minyak dan gas alam, yang diikuti respon dinamik penawaran dan permintaan energi, serta dalam eksplorasi energi dan aktivitas-aktivitas pembangunan. Oleh karenanya pemodelan pasar minyak mentah dan gas alam sangat penting, tidak hanya karena pengaruhnya terhadap aktivitas ekonomi makro, tetapi juga karena peranan energi dalam perencanaan investasi perusahaan dan rumahtangga. Biaya dan efisiensi energi telah menjadi perhatian utama dalam perencanaan investasi tersebut. Krichene
(2005)
membangun
model
persamaan
simultan
yang
menghubungkan antara harga minyak, perubahan nilai tukar efektif nominal dollar Amerika Serikat, dan suku bunga, yang kemudian mengidentifikasi goncangan kebijakan moneter terhadap peningkatan permintaan minyak mentah. Untuk tujuan pendugaan jangka pendek, model tersebut diduga dengan metode Two Stage Least Squares (2SLS). Untuk memperkuat keyakinan terhadap hasil pendugaan, model tersebut diduga kembali dengan Error Correction Model (ECM). Kemudian elastisitas jangka panjang diduga dengan bantuan analisis ECM dan kointegrasi. Temuan utama dari artikel tersebut menyebutkan bahwa penawaran dan permintaan minyak mentah dan gas alam terhadap harga sangat inelastis dalam jangka pendek, berarti terjadi perubahan/penguapan yang sangat tinggi pada pasar
78
minyak mentah dan gas alam. Permintaan minyak mentah mengalami perubahan struktural yang dalam pada periode 1973-2004. Sebagai catatan, lompatan harga minyak, ketika pajak energi di negara-negara pengimpor minyak tinggi, menyebabkan elastisitas permintaan berkurang secara signifikan, melalui substitusi dan penghematan energi, permintaan minyak jangka panjang tidak elastis, dengan permintaan terhadap bahan bakar cair meningkat secara terbatas untuk transportasi. Elastisitas pendapatan tinggi untuk permintaan minyak mentah dan gas alam. Elastisitas penawaran minyak mentah mengalami penurunan yang tajam setelah goncangan minyak, merefleksikan perubahan struktur pasar kompetitif menjadi tidak kompetitif. Demikian pula halnya dengan elastisitas gas alam dengan menggunakan model VECM, merefleksikan respon penawaran sebagai pendorong permintaan gas alam. Hasil analisis dampak kebijakan moneter terhadap harga minyak menunjukkan bahwa perubahan suku bunga dan nilai tukar nominal Amerika Serikat memberikan dampak yang signifikan terhadap harga minyak. Penurunan suku bunga dan depresiasi nilai tukar menyebabkan harga minyak meningkat tajam, dan sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa harga minyak dan gas alam akan tetap tinggi selama suku bunga menurun dan nilai tukar dollar terdepresiasi. Sebagai implikasinya, koordinasi kebijakan moneter antara negara-negara industri harus dilakukan untuk memasukkan perubahan/penguapan pasar minyak secara terpisah dalam target inflasi. Studi pertumbuhan ekonomi dan energi yang lebih kompleks dilakukan oleh Adams et al. (2006). Mencermati kondisi Thailand sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pengimpor energi, Adams et al. (2000)
79
membangun suatu model keseimbangan energi untuk Thailand, melakukan proyeksi kebutuhan energi pada masa mendatang, dan menguji berbagai strategi alternatif untuk mengatasi masalah ketergantungan energi. Kunci untuk memproyeksi keseimbangan energi adalah hubungan antara komponen-komponen yang terkait dengan pembangunan ekonomi dan struktur keterkaitan internal yang membentuk keseimbangan. Model persamaan simultan dengan pendekatan analisis Two Stages Least Squares (2SLS), terhadap data neraca keseimbangan energi
Thailand
pada
periode
1978-1993,
digunakan
untuk
menduga,
memproyeksi dan mensimulasi model keseimbangan energi yang dibangun. Model keseimbangan energi yang dibangun terdiri dari 3 (tiga) blok. Blok 1 adalah blok kebutuhan energi total menurut sektor. Kebutuhan energi total terhadap masing-masing bahan bakar sekunder (secondary fuels) dibangun dalam persamaan-persamaan secara terpisah. Total permintaan sektoral terhadap bahan bakar menyatakan kebutuhan energi sekunder menurut bahan bakar. Blok berikutnya adalah transformasi. Kebutuhan produk dipenuhi dengan transformasi domestik atau impor. Jumlah listrik yang dihasilkan secara langsung berhubungan dengan kebutuhan jumlah konsumsi domestik. Diasumsikan bahwa kecukupan kapasitas pembangkit terpenuhi, yaitu konsumsi tenaga listrik (electrical power) tidak dibatasi oleh kapasitas, dan tidak ada impor yang signifikan. Kebutuhan bahan bakar untuk pembangkit listrik thermal merefleksikan kebutuhan tenaga thermal (setelah diberikan kepada bentuk-bentuk tenaga listrik lainnya) dan parameter efisiensi eksogen. Input minyak mentah (crude oil input) untuk penyulingan (refining) ditentukan oleh kesediaan kapasitas kilang minyak (refinery) dan pemanfaatan kapasitas. Output kilang minyak kemudian ditentukan oleh input minyak mentah dan parameter kehilangan sebuah kilang minyak.
80
Blok yang terakhir adalah blok penyediaan energi primer yang terdiri dari produksi domestik, ekspor dan impor. Produksi domestik diproyeksikan berdasarkan suplai saat ini dan proyeksi dari sumber-sumber domestik. Ekspor ditetapkan sebagai variabel eksogen karena volumenya relatif kecil kecuali untuk produk-produk
petroleum
(industri
perminyakan)
yang
merefleksikan
ketidakseimbangan antara konsumsi dan spektrum penyulingan. Kebutuhan impor minyak mentah petroleum dan produk-produk petroleum, yang menjadi target analisis, dihitung sebagai selisih antara kebutuhan domestik (plus ekspor) dan produksi domestik. Dengan demikian keseimbangan energi menyajikan suatu kerangka pemikiran dan menyajikan identitas dasar dari sistem yang dibangun. Persamaan perilaku menyatakan keterkaitan antara aktivitas dalam perekonomian dan respon terhadap harga energi relatif dan penggunaan teknologi. Persamaan-persamaan tersebut juga menggambarkan peranan penting dari stok minyak yang dikonsumsi peralatan, kendaraan, dan kapasitas penyulingan. Temuan utama dari studi ini menyebutkan bahwa negara-negara seperti Thailand yang berada pada kondisi kekurangan energi dan sedang tumbuh dengan sangat cepat akan terbebani, ceteris paribus, dengan biaya impor energi yang besar. Pertumbuhan energi relatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan produk-produk industri, tidak tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan ekspor. Oleh karenanya peningkatan produksi energi domestik atau perbaikan efisiensi dapat membantu mengurangi kecenderungan impor energi yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi, namun memberikan dampak terhadap pajak energi lebih besar, khusus terhadap bensin dan gasoline relatif kecil.
III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Kedudukan Energi dalam Output Perekonomian Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 2, ada paradoks antara perlakuan energi hanya sebagai faktor produksi primer dan perhatian terhadap kualitas sumberdayasumberdaya lainnya. Perubahan kualitas sumberdaya cenderung diperlakukan dalam model sebagai perubahan koefisien input-output, yaitu sebuah bentuk perubahan teknis. Menurut Stern (2003), jika perekonomian dapat direpresentasikan sebagai model input-output dimana tidak ada substitusi antara faktor produksi, faktor pengetahuan dalam faktor produksi dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa penggunaan energi dan ilmu pengetahuan dalam mendapatkan dan pemanfaatannya harus diabaikan. Perhitungan akurat untuk seluruh penggunaan energi untuk mendukung produksi final adalah penting. Tetapi kontribusi pengetahuan terhadap produksi tidak dapat diasumsikan proporsional terhadap biaya energi. Melalui ilmu Thermodinamika menempatkan batasan terhadap substitusi, derajat substitusi aktual antara stok kapital memasukkan pengetahuan dan energi merupakan sebuah pertanyaan secara empiris. Senada dengan pendapat Stern (2003), Reksohadiprodjo dan Pradono (1999) menyatakan bahwa energi merupakan salah satu sumberdaya alam penting yang mempengaruhi output/produksi nasional. Sumberdaya yang dapat menjadi kendala dalam pembangunan ekonomi meliputi sumberdaya lahan, manusia, modal, teknologi, informasi, dan energi. Sumberdaya ini merupakan faktor produksi atau input dalam suatu proses produksi. Faktor tenaga keja, modal, dan teknologi berasal dari manusia, sedangkan sumberdaya alam dan energi lebih bersifat pemberian alam. Fungsi
82
produksi yang menyatakan hubungan antara keluaran (output) dengan jumlah masukan (input) dapat dinyatakan sebagai berikut: Y = f(L, K, N, E, T) ................................................................................
(1)
dimana: Y = Output/produksi nasional L = Jumlah tenaga kerja K = Kapital N = Sumberdaya alam E = Enterpreneuship T = Teknologi Secara empiris, dengan menggunakan prinsip dualitas dalam produksi, peubah-peubah fisik yang dimasukkan ke dalam model dapat difomulasikan ke dalam nilai uang. Peubah output/produksi nasional menggunakan data PDB, peubah tenaga kerja dapat menggunakan proksi upah dan peubah kapital menggunakan proksi suku bunga. Peubah sumberdaya alam, dalam studi ini adalah energi, tetap menggunakan kuantitas konsumsi energi. Peubah enterpreneuship (kewirausahaan) tidak digunakan karena tidak tersedianya data enterpreneuship pada data deret waktu. Sementara itu peubah teknologi dapat menggunakan proksi trend. Walaupun dalam suatu studi yang ideal seluruh peubah tersebut perlu dimasukkan, namun kendala ketersediaan data dan masalah teknis pendugaan memungkinkan sejumlah peubah tidak dapat dimasukkan ke dalam persamaan. Disamping itu, setiap peubah dapat didisagregasi sesuai kebutuhan. Dalam studi ini dilakukan disagregasi, yaitu
83
sektor industri, sektor transportasi, sektor pertanian, dan sektor lainnya. Secara umum, dalam studi ini fungsi output/produksi nasional dirumuskan sebagai berikut; PDB i
= f(Wi, r, Cei, T, PDB it-1) ..........................................................
(2)
dimana: PDB i
= Poduk Domestik Bruto sektor ke i
Wi
= Upah tenaga kerja sektor ke i
r
= Suku bunga
Cei
= Konsumsi energi sektor ke i
T
= Trend
LPDBit-1 = Lag PDB 3.2. Konsep Permintaan Energi Permintaan energi berasal dari permintaan terhadap suatu barang dan jasa, yaitu keinginan untuk menggunakannya bagi memenuhi kepuasan konsumen. Secara teoritis, permintaan seorang konsumen terhadap suatu barang dapat diturunkan dari fingsi kegunaan (utility function), dengan pembatasan angaran belanja dari konsumen tersebut (Varian, 1992; Koutsoyiannis,1982; dan Henderson dan Quandt, 1980). Oleh sebab itu fungsi permintaan energi untuk konsumsi langsung juga dapat diturunkan dari fungsi kegunaan konsumen energi (energy user). Secara matematis fungsi kegunaan
konsumen energi dapat dituliskan sebagai berikut:
U = f(Ce,Cne) ........................................................................................ dimana: U
= Tingkat utilitas konsumen
Ce
= Jumlah konsumsi energi
Cne
= Jumlah konsumsi barang lain (non energi)
(3)
84
Dengan menggunakan fungsi permintaan Marshallian yang mengasumsikan konsumen bersikap rasional, maka konsumen akan memaksimumkan kegunaannya dalam mengkonsumsi barang-barang tersebut pada tingkat harga dan pendapatan tertentu. Pada tingkat harga energi Pe dan harga barang selain energi Pne, serta pendapatan konsumen Y, maka fungsi anggaran konsumen dapat dinyatakan sebagai berikut: Y = Pe * Ce + Pne * Cne ......................................................................... Fungsi
permintaan
Marshallian
merumuskan
bahwa
(4)
konsumen
memaksimumkan kepuasannya dengan kendala anggaran. Dengan menggunakan prinsip tersebut, rumus pemecahan maksimisasi kegunaan energi dengan pembatas pendapatan konsumen menggunakan fungsi lagrange (L) dan lagrange multiplier (λ ) sebagai berikut: L = f(Ce, Cne) + λ(Y - Pe * Ce - Pne * Cne) ........................................
(5)
Fungsi permintaan energi akan diperoleh jika persamaan (5) memenuhi syarat First Order Condition (FOC) dan Second Order Condition (SOC), yaitu turunan pertama sama dengan nol dan determinan matrik Hessian bernilai positif. Selain itu, dari FOC diperoleh: L
L
Ce * Pe = 0 atau Ce = λ* Pe ..........................................
(6)
Cne * Pne atau Cne = λ*Pne .....................................
(7)
Y Pj *Cj Pnj * Cnj ..............................................................
(8)
Ce
Cne
L
85
dengan mensubstitusikan persamaan (7) ke persamaan (8) maka akan diperoleh: Ce' Cne' ....................................................................................... Pj Pne'
atau
(9)
Ce' Pe ........................................................................................... (10) Cne' Pne
Ce' adalah marginal utility dari konsumsi energi, sedangkan Cne' adalah tambahan marginal utility dari konsumsi barang lain atau non-energi. Makna dari persamaan (10) adalah bahwa kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi sejumlah barang akan maksimum jika rasio tambahan kepuasan yang dihasilkan oleh barang tersebut sama dengan rasio harganya. Menurut Hendersond and Quandt (1980) dengan menyelesaikan Ce dan Cne, yaitu dengan mensubstitusikan persamaan (6) dan (7) ke dalam persamaan (8) akan menghasilkan fungsi permintaan energi dan barang non energi berikut: Ce = (Pe, Pne, Y) .................................................................................... (11) Cne = f(Pe, Pne, Y).................................................................................. (12) Ini berarti permintaan konsumen terhadap energi dan barang konsumsi lainnya ditentukan oleh harga energi, harga barang konsumsi lainnya dan pendapatan konsumen. Persamaan (11) dan (12) digunakan untuk permintaan energi pada sektor rumahtangga. Untuk sektor selain rumahtangga, seperti sektor industri, transportasi, pertanian dan sektor lainnya, permintaan energi merupakan permintaan input antara yang digunakan untuk menghasil output. Dengan demikian konsep teori permintaan energi pada sektor tersebut mengunakan konsep teori permintaan input.
86
Secara teoritis, fungsi permintaan input dibangun dari pendekatan penurunan fungsi keuntungan atau fungsi biaya. Pendekatan pertama dikenal dengan pendekatan maksimisasi laba, dan pendekatan kedua dikenal dengan minimisasi biaya, sehingga kedua pendekatan tersebut dikenal dengan pendekatan dualitas dalam produksi. Kedua pendekatan tersebut menghasil pemecahan sama (Henderson dan Quandt,1980 dan Hartono, 2004) Dengan demikian untuk menurunkan fungsi permintaan input dapat dilakukan dengan menurunkan fungsi keuntungan. Fungsi produksi yang menyatakan hubungan antara keluaran (output) dengan jumlah masukan (input) tenaga kerja (L), modal (K), sumberdaya alam (N) dan input lainnya (Z). Hubungan antara output dan input tersebut dapat dilihat dalam bentuk fungsi produksi sebagai berikut: Y = f(L,K,N,Z) .......................................................................................
(13)
Selanjutnya dari fungsi produksi tersebut dapat ditentukan fungsi keuntungan sebagai berikut: Л= Pq*f(L,K,N,Z) – λ (Pl*L + Pk*K + Pn*N +Pz*Z) ...............................(14) dimana: Л= keuntungan produsen Pq= harga output Y Pl = harga input L (upah) Pk = harga input K Pn = harga input N Pz = harga input lain Z.
87
Fungsi permintaan input diperoleh jika dipenuhi syarat First Order Condition (FOC) dan Second Order Condition (SOC). Dimana FOC mensyaratkan bahwa turunan pertama dari fungsi keuntungan tersebut harus sama dengan nol, dan SOC mensyaratkan nilai determinan matrik Hessian harus positif (Koutsoyiannis, 1979; Henderson dan Quandt, 1980 dan Hartono, 2004). Bila kedua persyaratan tersebut dipenuhi maka dari FOC akan diperoleh:
= Pq * L’- Pl = 0 atau Pa = Pq * L' .................................................... L
(15)
= Pq * K’ - Pk = 0 atau Pk = Pq * K’ .................................................... (16) K
= Pq * N' - Pn = 0 atau Pn = Pq * N' ..................................................... (17) N = Pq * Z' - Pz = 0 atau Pz = Pq * Z' ...................................................... Z
(18)
Penyelesaian terhadap persamaan( 15) hingga (18) akan menghasilkan fungsi permintaan input sebagai berikut: L = f(Pl, Pk, PN, Pz, Pq) .........................................................................
(19)
K = f(Pk, PN, Pl, Pz, Pq) ........................................................................
(20)
N = f(Pn, Pl, Pk, Pz, Pq) .......................................................................... (21) Z = f(Pz, Pl Pk, Pn, Pq) ........................................................................... dimana: L = permintaan tenaga kerja K = permintaan modal N = permintaan sumberdaya Z = permintaan terhadap input Iainnya.
(22)
88
Secara empiris,
permintaan energi sektoral (sektor industri, transportasi,
pertanian dan sektor lainnya) meliputi permintaan energi BBM, listrik, batubara, gas dan biomas. Mengacu pada persamaan (19) sampai (22) maka permintaan energi per jenis energi dipengaruhi oleh harga energi itu sendiri, harga energi lainnya (bersifat subsitusi atau komplemen), harga output dan peubah bedakalanya. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan makroekonomi, harga output yang digunakan adalah PDB sektoral. Dengan demikian permintaan energi sektoral per jenis energi dapat dirumuskan: Ceij = f(P i, Pz, PDBj, Ceijt-1)
...............................................................
(23)
dimana: Ceij
= Konsumsi energi ke i sektor ke j
Pi
= Harga energi ke i
Pz
= Harga energi lainnya
PDB
= PDB sektor ke j
Ceijt-1 = Lag konsumsi energi ke i sektor ke j Permintaan energi yang oleh konsumen dalam bentuk energi akhir (Final Energy) yang diklasifikasikan berdasarkan sektoral. Dalam World Energi Model (WEM) yang dibangun Oleh IEA sejak tahun 1993 bahwa permintaan energi dapat dibagi menurut sektoral yang terdiri dari permintaan energi final sektor industri, sektor rumahtangga, sektor jasa dan sektor transportasi (IEA, 2008). Namun dalam data neraca energi Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementrian Energy Sumberdaya
89
Mineral bahwa permintaan energi akhir terdiri dari beberapa sektor yaitu sektor industri, transportasi, rumahtangga, komersial dan sektor lainya. Menurut IEA (2008) Wilayah-wilayah yang termasuk dalam Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) dan non-OECD permintaan energi akhir dimodelkan dalam cakupan sektoral dan pengguna energi akhir secara rinci, yakni: (1) Industri dipisahkan ke dalam lima sub-sektor, sehingga memungkinkan analisis yang lebih rinci mengenai trend dan pengendalian di sektor industri; (2) Permintaan energi residensial (pemukiman) dipisahkan menjadi lima pengguna akhir menurut bahan bakar; (3) Permintaan jasa-jasa; dan (4) Permintaan energi sektor transportasi dimodelkan secara rinci menurut moda angkutan dan bahan bakar. Permintaan energi akhir dimodelkan pada tingkat sektoral untuk setiap wilayah WEM, tetapi dilakukan pemisahan pada tingkat pengguna akhir. Dalam penelitian ini permintaan energi sektor industri tidak dirinci dalam sub-sektor dan permintaan energi akhir sektor transportasi tidak dirinci berdasarkan moda angkutan secara detail karena keterbatan data. Total permintaan energi akhir adalah jumlah konsumsi energi di setiap sektor pengguna akhir. Pada setiap sub-sektor atau pengguna akhir, setidaknya enam jenis energi ini akan ditampilkan: batubara, minyak, gas, listrik, energi panas bumi dan energi-energi terbarukan. Namun, tingkat agregasi ini masih terlalu agregat, sehingga ada sejumlah aspek yang tidak bisa dimunculkan secara gamblang. Sebagai contoh, produk-produk minyak yang berbeda dimodelkan secara terpisah sebagai input ke model kilang minyak. Dalam setiap sub-sektor atau pengguna akhir, permintaan energi diduga sebagai hasil dari peubah intensitas energi dan peubah aktivitas.
90
Pada persamaan-persamaan penting, permintaan energi adalah fungsi dari peubah-peubah berikut: 1. Peubah aktivitas. Peubah aktivitas yang biasa digunakan adalah peubah PDB atau PDB per-kapita. Dalam banyak kasus, peubah aktivitas yang banyak digunakan adalah PDB total maupun PDB sektoral. PDB total maupun PDB sektoral kemudian digunakan sebagai peubah penjelas baik secara langsung ataupun sebagai peubah bedakala. 2. Harga pengguna akhir. Peubah harga yang digunakan dalam bentuk data historis time-series untuk batubara, minyak, gas dan harga listrik. Untuk setiap sektor digunakan harga perwakilan (atau harga rata-rata tertimbang) yang diturunkan dengan memperhatikan bauran produk dalam konsumsi akhir dan perbedaan antarwilayah (jika studi mendisagregasi wilayah). Harga pengguna akhir ini kemudian digunakan sebagai peubah penjelas baik secara langsung ataupun sebagai peubah bedakala. 3. Peubah lain. Peubah lainnya yang dapat dimasukkan ke dalam model adalah peubah yang digunakan untuk memperhitungkan perubahan struktural dan teknologi, efek-efek saturasi atau pengendali penting lainnya. Dari sisi penggunaan akhir, model dapat dikembangkan menurut pengguna yang dapat dibagi menjadi pengguna industri, transportasi, rumahtangga, jasa, dan sektor ekonomi lainnya. Masing-masing sektor pengguna dapat didisagregasi sesuai dengan tujuan penelitian yang diharapkan dan data yang tersedia. Untuk sektor industri misalnya dapat didisagregasi menjadi agroindustri dan non agroindustri. Sektor transportasi didisagregasi menurut mode transportasi seperti penggunaan
91
sarana transportasi publik dan transportasi pribadi, disagregasi menurut roda, jenis bahan bakar dan lainnya. Dan untuk rumahtangga dapat diagregasi menurut jenis peralatan
rumahtangga
yang menggunakan
energi, rumahtangga
desa-kota,
rumahtangga pertanian-non pertanian dan lainnya.
3.3. Konsep Penyediaan dan Transformasi Energi Dalam WEM yang dibangun oleh IEA (2008) modul penyediaan energi fosil bertujuan untuk memproyeksikan tingkat produksi energi fosil (khususnya minyak) di setiap negara. Tingkat energi fosil disetiap negara melalui pendekatan parsial bottomup. Pendekatan tersebut disajikan pada Gambar 9. Identified y et-to -be Developed fields
Onshore Shelf Deepwater Non-Conv.
Available cast constraints
Potential greenfield project s
Reserves
Selected projects ’ gross capacities New fields production
Technical and drilling costs
Standart production prifiles Total production
Price threshold for economic analysis
Existing field s (from start of projection) Total cash Existing fields Net Output
Decline rate (aggregate)
Industry cash flow s
Developments investments
Realised market price Industry total investments
Industry’s share of cash-flow (after government take)
Industry investment policy (re-investment rate)
New discoveries
Creaming curves base on USGS estimates of ultimately recoverable resources
Number of exploration wells
Sumber: IEA, 2008 Gambar 9. Struktur Modul Penyediaan Energi Fosil
Producing fields investments
Exploration investments
92
Berdasarkan Gambar 9 dapat dijelaskan bahwa struktur modul suplai energi fosil berdasarkan pada: 1. Review statistik yang lengkap dari rangkaian sejarah panjang semua negara produsen, mencakup produksi di darat maupun produksi lepas pantai, data-data penemuan dan pengeboran. 2. Pengembangan daftar penemuan-penemuan masa lalu. 3. Perincian data lapangan berdasarkan pada profil standar produksi dan perkiraan tingkat penurunan pada level lapangan dan level negara. 4. Perluasan survei dari proyek-proyek hulu yang diduga, direncanakan dan diumumkan dalam jangka pendek dan jangka menengah oleh negara-negara OPEC dan Non-OPEC, mencakup cadangan konvensional dan non-konvensional. 5. Metodologi baru dalam WEO-2008 yang bertujuan untuk meniru sedapat mungkin keputusan modus dari industri dalam mengembangkan cadangan baru dengan menggunakan kriteria Net Present Value dari arus kas masa depan. 6. Satu set asumsi ekonomi dibahas dan disahkan oleh industri termasuk tingkat diskonto dan harga ambang batas yang digunakan dalam analisis ekonomi proyek-proyek potensial, biaya pengeboran, tingkat pengembalian investasi arus kas industri dan pangsa eksplorasi total investasi. 7. Perluasan survei regim fiskal diterjemahkan ke dalam perkiraan pemerintah masing-masing dalam bentuk arus kas yang dihasilkan oleh proyek-proyek. 8. Menduga nilai akhir dari pemulihan cadangan. Setiap negara memproyeksikan profil produksi bahan bakar fosil terdiri dari enam komponen:
93
1. Proyeksi produksi dari produksi saat ini: tingkat penurunan yang diproyeksikan dari produksi di darat maupun di lepas pantai berdasarkan hasil analisis lapangan. 2. Produksi dari perkembangan temuan lapangan yang diduga, direncanakan dan diumumkan. 3. Produksi dari ladang-ladang yang menunggu pengembangan. 4. Produksi dari ladang yang belum diketahui. 5. Perkiraan potensi dari proyek-proyek tambahan. 6. Produksi gas alam cair dan lainnya. Transformasi energi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan konsep penyediaan energi dalam rangka menghasilkan energi yang siap dikonsumsi. Transformasi energi adalah proses perubahan energi dari satu bentuk ke bentuk lain. Dengan kata lain transformasi energi merupakan perubahan energi primer seperti batubara, minyak mentah, gas dan lain-lain menjadi energi akhir (Energy Final) seperti BBM, listrik, LPG (Liquefied Petroleum Gas), LNG (Liquefied Natural Gas) dan lain-lain. Energi akhir inilah yang dapat dikonsumsi oleh penggunanya, seperti energi yang dikonsumsi oleh sektor industri, transportasi, rumahtangga, pertanian, dan sektor lainnya. Dengan demikian transformasi energi merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam proses penyediaan dan konsumsi energi. WEM membangun model permintaan kilang global di antara daerah utama: OECD, transisi ekonomi, Cina, India, Timur Tengah, Afrika Utara dan daerah-daerah berkembang lainnya. Kapasitas kilang dipisahkan menurut produksi, permintaan, ekspor minyak mentah dan produk olahan, dan biaya. Gambar 10 menunjukkan struktur dari modul kilang dan transformasi energi.
94
Sumber: IEA, 2008 Gambar 10. Struktur Modul Kilang dan Transformasi Energi
Setelah menentukan output dan kapasitas kilang, kemudian dihitung neraca produk minyak global. Total permintaan produk minyak (tidak termasuk penggunaan langsung minyak mentah) disesuaikan dengan total pasokan produk minyak, termasuk produk dari NGLs dan GTLs. Dengan demikian, pada tingkat global: Total output kilang = total permintaan produk minyak - (produk NGLs + produk GTL) + (penggunaan sendiri kilang) Model neraca penawaran dan permintaan melalui proses pengoptimalan. Kelebihan permintaan dibagi menurut sebuah matriks pengoptimalan yang memperhitungkan biaya unit, lingkungan dan kendala politik dan kendala kapasitas. Ada tiga jenis kapasitas penyulingan tambahan: kilang baru (biaya tertinggi); menambahkan kapasitas kilang yang ada dan kapasitas secara perlahan-lahan (biaya terendah). Kapasitas penyulingan mengacu pada kapasitas hari kalender. Persyaratan investasi dipisahkan antara investasi tambahan dan investasi konversi. Penambahan
95
investasi didasarkan pada biaya saat ini yang bervariasi antar wilayah/negara. Untuk penambahan
investasi,
model
tersebut
memproyeksikan
pangsa
kapasitas
penyulingan tambahan untuk masing-masing daerah/negara dan mengalokasikan biaya yang sesuai. Investasi konversi didasarkan pada perkiraan biaya memodifikasi kapasitas yang ada untuk memenuhi permintaan baru (produk yang lebih ringan) atau pembatasan lingkungan baru pada produk (mengandung belerang). Permintaan produk dibagi menjadi tiga: ringan, menengah dan berat. Model menggunakan rincian sektoral dan spesifikasi wilayah/negara untuk memproyeksikan permintaan produk. Modul kilang memproyeksikan kebutuhan kapasitas konversi, didasarkan pada proyeksi permintaan produk-produk ringan, menengah dan berat, dan mengantisipasi peraturan lingkungan. Proyeksi yang digunakan untuk menghitung biaya investasi per juta barel per hari dikonversi. Dilakukan penghitungan rata-rata tertimbang biaya teknologi, dengan memperhitungkan biaya masing-masing teknologi yang berbeda seperti catalytic crackers and hydro-skimmers, dari sumbersumber industri. Investasi kilang tidak termasuk biaya pemeliharaan. Disamping membangun Modul Kilang, WEM juga membangun modul pembangkit listrik yang menghitung: (1) Permintaan listrik, (2) Jumlah listrik yang dihasilkan oleh setiap jenis pembangkit untuk memenuhi permintaan listrik, (3) Jumlah kapasitas pembangkit baru yang diperlukan, (4) Jenis pembangkit baru yang akan dibangun, (5) Konsumsi bahan bakar dari sektor pembangkit listrik, dan (6) Harga listrik. Untuk setiap wilayah, permintaan listrik dihitung dalam modul permintaan berdasarkan sektor. Berbagai faktor yang mempengaruhi permintaan layanan listrik,
96
mencakup harga listrik, pendapatan rumahtangga, dan kemungkinan beralih ke sumber energi lain untuk menyediakan layanan yang sama. PDB per kapita sebagai proksi pendapatan. Modul struktur pembangkit listrik ini dijelaskan pada Gambar 11.
Sumber: IEA, 2008 Gambar 11. Struktur Modul Pembangkitan Listrik Untuk setiap wilayah, pembangkit listrik dihitung dengan menambahkan proyeksi permintaan listrik, listrik yang digunakan oleh pembangkit listrik sendiri dan kerugian/kehilangan jaringan. Kapasitas yang ada didasarkan pada database dari seluruh pembangkit listrik dunia. Untuk setiap wilayah, diasumsikan beban terpenuhi.
97
Kapasitas pembangkit baru dihitung sebagai selisih antara total kapasitas listrik yang dibutuhkan dan realisasi. Kapasitas untuk pembangkit listrik tenaga nuklir dan pembangkit listrik energi terbarukan didasarkan pada asumsi-asumsi, yang pada gilirannya didasarkan pada penilaian terhadap rencana pemerintah dan daya saing relatif teknologi ini dengan
teknologi pembangkit listrik berbahan bakar
fosil. Pada kondisi
keseimbangan pasar, berlaku asumsi bahwa harga yang berlaku adalah harga bahan bakar fosil internasional. Modul pembangkit listrik energi terbarukan (energi biomassa, angin, sinar matahari, air, gelombang pasang dan surut dan lainnya) dapat dilihat pada Gambar 12.
Sumber: IEA, 2008 Gambar 12. Struktur Modul Pembangkit Listrik Energi Terbarukan
98
3.4. Konsep Efisiensi Pemakaian Energi Hipotesis penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang erat antara konsumsi energi dengan pertumbuhan ekonomi (PDB). Dari hubungan ini dapat diperkirakan berapa kenaikan konsumsi energi yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat pertumbuhan PDB tertentu. Besarnya kenaikan konsumsi energi yang dibutuhkan untuk menaikkan PDB dapat diketahui dengan menghitung elastisitas pemakaian energi. Elastisitas pemakaian energi dirumuskan (Yusgiantoro, 2000; dan KESDM, 2006):
( EC / EC) ................................................................................ (PBD / PDB )
(24)
dimana: ε
= Elastisitas pemakaian energi
ΔEC
= Incremental konsumsi energi pada tahun tertentu (EC2-EC1)
EC
= Konsumsi energi pada tahun tertentu
ΔPDB = Incremental PDB pada tahun tertentu (PDB2-PDB1) PDB
= Produk Domestik Bruto pada tahun tertentu
Selain untuk melihat hubungan antara konsumsi energi dengan PDB, Beberapa manfaat elastisitas pemakaian energi yang digunakan yaitu sebagai indikator dalam proses pengambilan keputusan strategi pembangunan dan untuk mengukur tingkat efisiensi pemakaian energi pada suatu negara. Elastisitas pemakaian energi yang besar dari satu (ε>1) menunjukkan pemakaian energi suatu
99
negara tersebut tergolong boros. Sebaliknya, elastisitas pemakaian energi yang kecil dari satu (ε< 1) menunjukkan pemakaian energi pada negara tersebut efisien. Namun elastisitas bukanlah satu-satunya konsep yang digunakan untuk pengetahui peranan energi dalam pembangunan. Beberapa negara tertentu menggunakan konsep perhitungan selain elastisitas pemakaian energi, yiatu konsep intensitas energi. Konsep intensitas energi dapat dirumuskan: I = EC/PDB .............................................................................................
(25)
dimana: I
= Intensitas energi
EC
= Konsumsi energi pada waktu tertentu
Yusgiantoro (2000) mengatakan bahwa intensitas energi tidak dapat menggambarkan efisiensi pemakaian energi. Hal ini disebabkan konsep yang digunakan dalam intensitas energi adalah konsep rata-rata (average), bukan konsep marjinal (marginal) seperti elastisitas pemakaian energi. Penjelasan intensitas energi terbatas pada besar pemakaian energi dalam pembangunan suatu negara. Dengan membandingkan keduanya dapat diketahui keunggulan konsep elastisitas pemakaian energi. Efisiensi penggunaan energi dapat diketahui dari elastisitas energi, tetapi tidak dapat diketahui dari intensitas energi. Oleh karena itu dalam penelitian ini, untuk mengetahui efisiensi pemakaian energi digunakan konsep elastisitas pemakaian energi. Elastisitas pemakaian energi yang akan dipaparkan pada Bab VIII dengan menampilkan elastisitas pemakaian energi berbagai sektor (sektor industri, rumahtangga, transportasi, pertanian dan sektor lainnya).
100
3.5. Kerangka Pemikiran Berdasarkan konsep dan penelitian empiris yang telah diuraikan pada bagian tinjauan pustaka dan mengacu pada perumusan masalah dan tujuan penelitian, ada hubungan yang erat antara konsumsi energi dengan perkembangan perekonomian suatu negara, termasuk di Indonesia (Gambar 13). Merujuk pada hasil ulasan terhadap sejumlah literatur yang telah dipaparkan pada bagian pendahuluan dan tinjauan pustaka dapat dinyatakan bahwa permasalahan konsumsi dan penyediaan energi dalam kaitannya dengan perkembangan perekonomian Indonesia dapat dilihat dari sisi konsumsi (permintaan) dan dari sisi penyediaan (penawaran). Dari sisi konsumsi, sektor energi di Indonesia paling tidak dihadapkan pada tiga permasalahan. Pertama, pemanfaatan energi di Indonesia yang relatif boros, diperlihatkan oleh tingkat elastisitas dan intensitas pemakaian energi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Elastisitas konsumsi energi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa persentase peningkatan PDB menyebabkan persentase peningkatan konsumsi energi lebih tinggi dari persentase peningkatan PDB. Selain elastisitas pemanfaatan energi, intesitas konsumsi energi di Indonesia juga tinggi, yang ditunjukkan oleh jumlah konsumsi energi per PDB yang tinggi dan jumlah konsumsi energi per kapita yang juga tinggi dan cenderung meningkat. Kedua, harga energi, khususnya BBM, yang rendah karena disubsidi oleh pemerintah sehingga belum mencapai harga keekonomiannya. Dari sisi penyediaan, sektor energi di Indonesia dihadapkan pada tiga permasalahan utama yang menyebabkan masih terbatasnya penyediaan energi di Indonesia. Pertama, terbatasnya teknologi eksplorasi yang ditunjukkan oleh sebagian
101
Hubungan Antara Konsumsi dan Penyediaan Energi dengan Perkembangan Perekonomian Indonesia
Pemasalahan dari Sisi Konsumsi: Pemanfaatan energi yang relatif boros Harga BBM yang rendah, belum mencapai harga keekonomiannya
Pemasalahan dari Sisi Penyediaan: Terbatasnya teknologi eksplorasi Investasi yang terbatas
Studi Analisis Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia
Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia Blok Konsumsi Energi
Blok Transformasi Energi
Blok Penyediaan Energi
Peramalan Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia Tahun 2025
Kejutan Eksternal: Harga minyak dunia Nilai tukar Suku bunga Subsidi BBM Kombinasi diantaranya
Analisis Efisiensi Energi Mengunakan Rumus Elastisitas Pemakaian Energi
Blok Harga Energi
Blok Output Perekonomian
Metode Pendugaan: Two Stages Least Squares (2SLS)
Hasil Pendugaan: Koefisien Pendugaan Nilai Elastisitas
Rumusan Implikasi Kebijakan Konsumsi dan Penyediaan Energi yang Efektif dalam Perekonomian Indonesia
Gambar 13. Kerangka Pemikiran Studi Konsumsi dan Penyediaan Energi Dalam Perekonomian Indonesia
102
besar aktivitas eksplorasi minyak di Indonesia dilakukan kontraktor perusahaan minyak asing sehingga tidak sepenuhnya hasil eksplorasi minyak dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik. Dan kedua, investasi dibidang energi masih terbatas dan cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh masalah ketidakpastian dan inkonsistensi regulasi, kebijakan penetapan harga yang rendah sehingga tidak menarik bagi investor, ekonomi biaya tinggi, inkonsistensi di bidang perpajakan, dan keterbatasan infrastruktur. Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan dan gambar di atas adalah sangat menarik untuk melakukan studi ”Analisis Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia”. Data utama yang digunakan merupakan data neraca energi Indonesia yang bersumber dari Kementrian Energi Sumberdaya Mineral Model yang dibangun dalam studi ini mencakup lima blok persamaan, yaitu blok persamaan konsumsi, blok persamaan transformasi energi, blok persamaan sumber (penyediaan) energi, blok persamaan harga energi, dan blok persamaan output perekonomian. Blok-blok persamaan ini berhubungan antara satu dengan yang lainnya sehingga akan dianalisis dengan metode persamaan simultan, yakni Two Stage Least Squares (2SLS). Lebih detail hubungan antara blok-blok persamaan ini dijelaskan pada Bab IV, yakni sub-bab spesifikasi model. Lebih lanjut dari gambar kerangka pemikiran di atas dapat dinyatakan bahwa disamping dilakukan pendugaan terhadap koefisien pendugaan dan elastisitas berdasarkan data historis juga dilakukan pendugaan terhadap data peramalan (forcasting). Peramalan dilakukan sampai tahun 2025 dengan pertimbangan bahwa pada tahun tersebut sesuai dengan rancangan kebijakan energi nasional yang berlaku
103
pada tahun 2025. Dari data historis dan data peramalan kemudian dilakukan perhitungan elastisitas pemakaian energi untuk mengetahui tingkat efisiensi pemakaian energi berdasarkan data historis dan tingkat efisiensi pemakaian energi pada masa mendatang. Disamping itu juga dilakukan simulasi terhadap external shocks (kejutan eksternal) seperti peningkatan harga minyak dunia, nilai tukar rupiah terhadah US Dollar, penurunan suku bunga dan subsidi BBM sebagai faktor yang diduga paling menentukan konsumsi dan penyediaan energi dalam kaitannya dengan dinamika perkembangan perekonomian di Indonesia.
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Spesifikasi Model Konsumsi Perekonomian Indonesia
dan
Penyediaan
Energi
dalam
Merujuk kembali pada World Energy Model (WEM) yang dikembangkan oleh IEA (2008), telah dibangun enam modul utama, yaitu modul: permintaan energi akhir; pembangkit listrik; kilang dan transformasi lain; suplai bahan bakar fosil, emisi CO2; dan modul investasi. Pada dasarnya modul-modul tersebut dibangun dan dianalisis secara parsial untuk suatu kawasan yang terdiri dari beberapa negara maupun analisis pada suatu negara tertentu. Sementara Adam et al. (2000) membangun model keseimbangan energi (energy balance) yang kompleks, mengambil kasus di Thailand. Model yang dibangun oleh Adam et al. (200) ini mencakup empat modul dalam WEM, yakni modul: permintaan energi akhir; pembangkit listrik; kilang dan transformasi lain; dan suplai bahan bakar fosil. Dua modul WEM lainnya tidak dipertimbangkan dalam model keseimbangan energi di Thailand. Hal ini dapat dipahami karena tujuan dari studi tersebut adalah untuk melihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan energi. Dalam studi ini model yang dibangun mengadopsi model keseimbangan energi yang dibangun oleh Adam et al. (2000) dengan memasukkan sektor pertanian yang terpisah secara eksplisit dengan sektor ekonomi lainnya. Pada model yang dibangun oleh Adam et al. (2000) digunakan asumsi bahwa sektor pertanian merupakan bagian dari sektor ekonomi lainnya yang memiliki pangsa
105
terbesar dalam mengkonsumsi energi, sehingga sektor lainnya identik dengan sektor pertanian. Walaupun pangsa kebutuhan sektor ekonomi lainnya (di luar sektor pertanian) relatif kecil, namun hasil pendugaan yang terkait dengan sektor pertanian menjadi tidak sepenuhnya tepat (bias) dengan menggunakan asumsi bahwa sektor ekonomi lainnya identik dengan sektor pertanian. Oleh karenanya, model keseimbangan energi di Indonesia yang dibangun memisahkan secara eksplisit
sektor
pertanian
dengan
sektor
ekonomi
lainnya,
disamping
mengharapkan hasil pendugaan yang benar-benar bersih, juga karena hubungan antara pertumbuhan ekonomi sektor pertanian dan kebutuhan energi menjadi fokus dalam studi ini. Dengan melakukan modifikasi terhadap model yang dibangun oleh Adam et al. (2000), dikombinasikan dengan World Energi Model (IEA, 2008), dan pemikiran yang disampaikan oleh Stern (2003) dapat dirumuskan simplifikasi Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia sebagaimana disajikan pada Gambar 14. Dari Gambar 14 dapat dilihat bahwa ada enam jenis energi yang dianalisis dalam model konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia, yaitu batubara, minyak mentah, bahan bakar minyak (BBM), gas, biomas, dan listrik. Analisis yang dilakukan mencakup penyediaan energi primer, transformasi energi, penyediaan energi akhir, dan permintaan (konsumsi). Konsumsi energi mencakup konsumsi energi sektor industri, transportasi, rumahtangga, pertanian dan sektor lainnya.
106
Batubara Minyak Mentah
BBM
Gas
Biomass
Listrik
Total
Penyediaan energi primer Produksi Domestik
Impor
Ekspor
Transformasi Energi Kilang Minyak
Input minyak mentah Kapasitas penyulingan
Kilang Gas
Total konsumsi akhir gas
Pembangkit Listrik
Tingkat kekuatan Jumlah input
Penyediaan energi akhir (bahan bakar sekunder)
Permintaan Industri
PDB Harga energi Konsumsi thn lalu
Transportasi
Penduduk Jumlah transportasi Konsumsi thn lalu
Rumahtangga (Pemukiman)
Harga energi Konsumsi thn lalu
Pertanian
PDB Harga energi
Lainnya
PDB Konsumsi thn lalu
Sumber: Adam et al. (2000), dimodifikasi Gambar 14. Simplifikasi Model Konsumsi dan Penyediaan Energi Dalam Perekonomian Indonesia Sementara itu, diagram spesifikasi model konsumsi dan penyediaan energi dalam perekonomian Indonesia yang menyatakan hubungan antara blok disajikan pada Gambar 15. Dan hubungan antara peubah dalam persamaan dan antara persamaan dapat dilihat dari persamaan (26) hingga persamaan (88).
107
Bok Konsumsi Energi Sektor Industri Sektor Rumahtangga
Blok Transformasi Energi Pengilangan Minyak
Listrik
Sektor Transportasi Sektor Pertanian
Gas
Sektor Lainnya
Input Energi untuk Pembangkit Listrik
Blok Harga Energi
Blok Penyediaan Energi
Harga BBM Harga Listrik
Jumlah Kilang Minyak
Produksi Energi Domestik
Harga Batubara Impor Energi Harga Gas Harga Biomas
Ekspor Energi
Blok Output Perekonomian
Peubah Eksogen
PDB Total
PDB Sektoral
Pengeluaran Pemerintah
Harga Minyak Dunia Nilai Tukar Suku Bunga Jumlah Penduduk Jumlah Rumahtangga Pajak Upah sektoral Trend
Penerimaan Pemerintah
Gambar 15. Diagram Simplifikasi Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia
108
4.1.1. Blok Persamaan Konsumsi Energi Blok konsumsi (permintaan) energi meliputi konsumsi energi sektor industri, sektor rumahtangga, sektor transportasi, sektor pertanian dan permintaan energi oleh sektor lainnya. Sektor industri merupakan sektor yang terbesar mengkonsumsi energi dan berbagai jenis energi. Sebaliknya, sektor pertanian merupakan sektor yang mengkonsumsi energi paling sedikit. Konsumsi energi sektor industri meliputi konsumsi energi BBM, listrik, batubara, gas dan biomas. Konsumsi energi sektor rumahtangga dan sektor lainnya meliputi konsumsi BBM, listrik, gas dan biomas. Sektor transportasi mengkonsumsi energi BBM, listrik dan gas, sedangkan sektor pertanian hanya mengkonsumsi BBM.
1. Konsumsi Energi Sektor Industri Konsumsi BBM Sektor Industri Konsumsi BBM sektor industri dipengaruhi oleh harga BBM tahun sebelumnya, pertumbuhan harga gas, harga listrik, pertumbuhan PDB sektor industri dan peubah bedakalanya (lag konsumsi BBM sektor industri). Persamaan konsumsi energi BBM sektor industri dapat dirumuskan: IDOLt
= a0 + a 1RPOILt-1 + a2PRPGASt + a3RPEL + a4PINDPt + a5IDOLt-1 + U1
....................................................... (26)
dimana: IDOLt
= Konsumsi BBM sektor industri (Ribu SBM)
RPOILt-1 = Lag harga BBM (Rupiah per SBM) PRPGASt = Pertumbuhan harga gas (Rupiah per SBM) RPELt
= Harga listrik (Rupiah per SBM)
109
PINDPt
= Pertumbuhan PDB sektor industri (Rupiah Triliun)
IDOLt-1
= Lag konsumsi BBM sektor industri (Rupiah per SBM)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: a1 < 0; a 2, a3,a4 > 0 dan 0 < a5 <1 Konsumsi Listrik Sektor Industri Selain energi BBM, sektor industri juga mengkonsumsi energi listrik. Konsumsi energi listrik sektor industri dipengaruhi oleh harga listrik tahun sebelumnya, harga BBM, gas, batubara, PDB sektor sektor industri tahun sebelumnya dan peubah bedakalanya (lag konsumsi energi listrik sektor industri) . Konsumsi energi listrik sektor industri dirumuskan dalam bentuk persamaan struktural yang dinyatakan: IDELt
= b0 + b1 RPELt-1 + b2 RPOILt + a3RPGAS + a4RPCOALt a5INDPt-1 + b6IDELt-1 + U2
+
..................................... (27)
dimana: IDELt
= Konsumsi listrik sektor industri (Ribu SBM)
RPGASt = Harga gas sektor industri (Rupiah per SBM) RPCOALt = Harga batubara sektor industri (Rupiah per SBM) INDPt-1
= Lag PDB sektor industri (Rupiah Triliun)
IDELt-1
= Lag konsumsi listrik sektor industri (Rupiah per SBM)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: b1, b2 < 0; b3, b4, b5 > 0 dan 0 < b6 < 1 Konsumsi Batubara Sektor Industri Selain energi BBM dan listrik sektor industri juga mengkonsumsi energi batubara. Konsumsi batubara sektor industri dipengaruhi oleh harga batubara,
110
harga BBM, listrik, PDB sektor industri dan peubah bedakalanya. Persamaan konsumsi energi batubara sektor industri dapat dirumuskan: IDCOt
= c0 + c1RPCOALt + c2RPOILt + c3RPELt + c4INDPt + c5T + U3 ...............................................................................
(28)
dimana: IDCOt
= Konsumsi batubara sektor industri (Ribu SBM)
INDPt
= PDB sektor industri (Rupiah Triliun)
Tt
= Trend
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: c1, c 2 < 0 dan c 3, c4, c 5 > 0 Konsumsi Gas Sektor Industri Selain energi
BBM,
listrik dan batubara, sektor industri juga
mengkonsumsi energi gas. Konsumsi gas sektor industri dipengaruhi oleh harga gas tahun sebelumnya, harga BBM, batubara, listrik, PDB sektor industri tahun sebelumnya dan peubah bedakalanya. Persamaan konsumsi energi gas sektor industri dapat dirumuskan: IDGt
= d0 + d1RPGASt-1 + d 2RPOIL + d3RPCOAL + d4RPELt + d5INDPt-1+ d6IDGt-1 + U 4 ......................................
dimana: IDGt
= Konsumsi gas alam sektor industri (Ribu SBM)
RPGASt-1 = Lag harga gas (Rupiah per SBM) IDGt-1
= Lag konsumsi gas alam sektor industri (Ribu SBM)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: d1 < 0; d2, d3, d4, d5 >0 dan 0< d6 <1
(29)
111
Konsumsi Biomas Sektor Industri Selain, mengkonsumsi energi fosil, sektor industri juga mengkonsumsi biomas. Konsumsi biomas sektor industri dipengaruhi oleh indeks harga biomas, harga BBM, pertumbuhan PDB sektor industri dan peubah bedakala konsumsi biomas sektor industri. Persamaan Konsumsi energi biomas sektor industri dirumuskan: IDBIOt = e0 + e1 IHBt + e2RPOILt + e3PINDPt + e 4IDBIOt-1 + U5
(30)
dimana: IDBIOt
= Konsumsi biomas sektor industri (Ribu SBM)
IHBt
= Indeks harga biomas
IDBIOt-1 = Lag konsumsi biomas sektor industri (Ribu SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: e1, e 2 < 0; e3 > 0 dan 0< e4 <1 Total Konsumsi Energi Sektor Industri Total konsumsi energi sektor industri merupakan penjumlahan konsumsi BBM, konsumsi listrik, konsumsi batubara, konsumsi gas dan konsumsi biomas sektor industri. Persamaan total konsumsi energi sektor industri dapat dirumuskan: IDTOt
= IDOLt +IDELt +IDCOt + IDGt +IDBIOt ..................... (31)
dimana: IDTOt
= Total konsumsi energi sektor industri (ribu SBM)
112
2. Konsumsi Energi Sektor Rumahtangga Selain sektor industri yang membutuhkan energi, sektor rumahtangga juga membutuhkan energi. Energi digunakan oleh sektor rumahtangga untuk penerangan, pendinginan/pemanasan, memasak, dan lain-lain. Konsumsi BBM Sektor Rumahtangga Konsumsi BBM sektor rumahtangga dipengaruhi oleh harga BBM, pertambahan harga gas, harga listrik, konsumsi biomas sektor rumahtangga, jumlah rumahtangga dan peubah bedakala konsumsi BBM sektor rumahtangga. Persamaan konsumsi BBM sektor rumahtangga dapat dirumuskan dengan persamaan struktural: REOLt
= f0 + f1 RPOILt-1 + f2DRPGASt + f3RPELt + f 4REBIOt + f5JRTt + f6REOLt-1 + U6 .........................................
(32)
dimana: REOLt
= Konsumsi BBM sektor rumahtangga (Ribu SBM)
DRPGASt = Pertambahan harga gas (Rupiah per SBM) REBIOt
= Konsumsi biomas sektor rumahtangga (Ribu SBM)
REOLt-1 = Lag konsumsi BBM sektor rumahtangga (Ribu SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: f1, f4 < 0; f2, f3, f5 > 0 dan 0 < f6 < 1 Konsumsi Listrik Sektor Rumahtangga Selain BBM, rumahtangga juga membutuhkan listrik. Konsumsi listrik sektor rumahtangga dipengaruhi oleh harga listrik tahun sebelumnya, harga BBM, pertambahan PDB, jumlah rumahtangga, dan peubah bedakala konsumsi listrik
113
sektor rumahtangga. Persamaan konsumsi listrik sektor rumahtangga dapat dirumuskan: REELt
= g0 + g1RPELt-1
+ g2RPOIL
+g3DPDBt
+ g4JRTt
g5REELt-1 + U7 ...........................................................
+
(33)
dimana: REELt
= Konsumsi listrik sektor rumahtangga (Ribu SBM)
RPELt-1 = Lag harga listrik (Rupiah per SBM) PDBt
= PDB total (Triliun Rupiah)
JRTt
= Jumlah rumahtangga (Ribu rumahtangga)
REELt-1 = Lag konsumsi listrik sektor rumahtangga (Ribu SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: g1 < 0; g2, g3, g4 > 0 dan 0 <, g5 < 1 Konsumsi Gas Sektor Rumahtangga Konsumsi gas sektor rumahtangga dipengaruhi oleh harga gas, harga BBM, harga listrik, konsumsi biomas, PDB, jumlah rumahtangga dan konsumsi gas sektor rumahtangga. Persamaan konsumsi energi gas sektor rumahtangga dapat dirumuskan: REGt
= h0 + h1RPGASt + h2RPOILt + h3RPELt + h4REBIOt + h5PDBt + h6JRTt + h7REGt-1 +U8 ...............................
dimana: REGt
= Konsumsi gas sektor rumahtangga (Ribu SBM)
REBIOt
= Konsumsi biomas sektor rumahtangga (Ribu SBM)
REGt-1
= Lag konsumsi gas sektor rumahtangga (Ribu SBM)
(34)
114
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: h1, h4 < 0; h2, h3, h5, h6 > 0 dan 0 < h7 < 1 Konsumsi Biomas Sektor Rumahtangga Konsumsi biomas sektor rumahtangga dipengaruhi oleh indeks harga biomas, harga BBM, harga gas, PDB, jumlah rumahtangga dan peubah bedakala konsumsi biomas sektor rumahtangga. Persamaan konsumsi energi biomas sektor rumahtangga dapat dirumuskan: REBIOt
= i0 + i1IHBt + i 2RPOILRt + i3RPGASt-1 + i4PDB + i5JRT + i6REBIOt-1 + U9 .........................................................
(35)
dimana : REBIOt
= Konsumsi biomas sektor rumahtangga (Ribu SBM)
REBIOt-1 = Lag konsumsi biomas sektor rumahtangga (Ribu SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: i1 < 0; i 2, i3, i4 > 0 dan 0 < i 6 < 1 Total Konsumsi Energi Sektor Rumahtangga Total konsumsi energi sektor rumahtangga merupakan penjumlahan konsumsi BBM, konsumsi listrik, konsumsi gas dan konsumsi biomas sektor rumahtangga. Persamaan total konsumsi energi sektor rumahtangga dapat dirumuskan: RETOt
= REOLt +REELt + REGt + REBIOt .............................
dimana: RETOt
= Total konsumsi energi sektor rumahtangga (Ribu SBM)
(36)
115
3. Konsumsi Energi Sektor Transportasi Disamping
industri
dan
rumahtangga,
sektor
transportasi
juga
membutuhkan energi. Energi yang terbesar yang dikonsumsi sektor transportasi adalah BBM. Selain itu, energi listrik dan gas juga digunakan oleh sektor ini. Namun konsumsi energi listrik dan gas yang digunakan oleh sektor transportasi nilai sangat kecil, sehingga peubah konsumsi listrik dan gas sektor transportasi sebagai peubah eksogen. Konsumsi BBM Sektor Transportasi Konsumsi BBM sektor transportasi dibagi menjadi konsumsi BBM transportasi darat dan konsumsi BBM transportasi lainnya. Konsumsi BBM transportasi darat dipengaruhi oleh harga BBM, harga gas, jumlah kendaraan, PDB sektor transportasi tahun sebelumnya dan peubah bedakala konsumsi BBM transportasi darat. Konsumsi BBM transportasi lainnya dipengaruhi oleh harga BBM, harga gas, PDB sektor transportasi dan peubah bedakala konsumsi BBM transportasi lainnya. Persamaan konsumsi BBM transportasi darat dan transportasi lainnya dapat dirumuskan: TRRTOt
= j0 + j 1RPOILt-1 + j2RPGASt + j 3PVEHIt + j 4TRPt-1 + j2TRRTOt-1+ U10 ................................................. ...
TROTTOt
= k0 +
k1 RPOILt-1 + k2RPGASt + k3TRPt
+ k4Tt +
k3TROTTOt-1 + U11 .............................................. dimana: TRRTOt
= Konsumsi BBM transportasi darat (Ribu SBM)
PVEHIt
= Pertumbuhan jumlah transportasi darat (Unit)
TRPt-1
= Lag PDB sektor transportasi (Rupiah Trilliun)
TRRTOt-1 = Lag konsumsi BBM transportasi darat (Ribu SBM) TROTTOt
= Konsumsi BBM transportasi lainnya (Ribu SBM)
TRPt
= PDB sektor transportasi (Rupiah Trilliun)
(37)
(38)
116
TROTTOt-1 = Lag konsumsi BBM transportasi lainnya (Ribu SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: j1, k1, k4 < 0; j 2, j3, j4,k2 , k3 > 0 dan 0 < j 5, k5 < 1 Total Konsumsi Energi Sektor Transportasi Penggunaan BBM sektor transportasi merupakan penjumlahan konsumsi BBM transportasi darat dengan konsumsi BBM transportasi lainnya. Dan total konsumsi energi sektor transportasi merupakan penjumlahan konsumsi BBM sektor transportasi, konsumsi listrik dan konsumsi gas sektor transportasi. Persamaan konsumsi BBM dan total konsumsi energi sektor transportasi dapat dirumuskan: TROLt = TRRTOt + TROTTOt .....................................................
(39)
TRTOt = TROLt + TRELt + TRGt .................................................
(40)
dimana: TROLt = Total konsumsi BBM sektor transport (Ribu SBM) TRTOt = Total konsumsi energi sektor transport (Ribu SBM) TRELt = Total konsumsi listrik sektor transport (Ribu SBM) TRGt
= Total konsumsi gas sektor transport (Ribu SBM)
Jumlah Transportasi Darat Non Penumpang dan Penumpang Penggunaan energi sektor transportasi, khususnya BBM juga ditentukan oleh jumlah transportasi darat. Jumlah transportasi darat meliputi jumlah transportasi darat non penumpang dan jumlah transportasi darat penumpang. Jumlah kendaraan non penumpang terdiri dari kendaraan pribadi, truk dan sepeda motor. Jumlah kendaraan penumpang terdiri dari angkutan kota, minibus, bus, dan taxi. Jumlah kendaraan non penunpang dipengaruhi oleh harga BBM, PDB sektor transportasi, suku bunga dan peubah bedakala jumlah transportasi darat non penumpang. Hal yang sama juga mempengaruhi jumlah transportasi darat
117
penumpang. Persamaan jumlah transportasi darat non penumpang dan penunpang dapat dirumuskan: VEHICOMt
= l 0 + l1RPOILt + l2TRPt + l 3PSKBRt + l 4VEHICOMt-1 + U12 ......................................................................
VEHIPASt
= m0 + m1RPOILt + m 2TRPt
(41)
+ m3PSKBRt +
m4VEHIPASt-1 + U13 ............................................
(42)
dimana: VEHICOMt
= Jumlah transportasi darat non penumpang (unit)
PSKBRt
= Pertumbuhan suku bunga (persen)
VEHICOMt-1 = Lag jumlah transportasi darat non penumpang VEHIPASt
= Jumlah transportasi darat penumpang (unit)
VEHIPASt-1 = Lag jumlah transportasi darat penumpang (unit) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: l1, l 3, m1, m3 < 0; l2, m2 > 0 dan 0 < l4, m 4 <1 < 0; Total Jumlah Transportasi Darat Jumlah transportasi darat
menentukan pemakaian
BBM. Jumlah
transportasi darat meliputi jumlah kendaraan penumpang dan non penumpang, sehingga jumlah transportasi darat dapat dirumuskan. Jumlah transportasi darat sektor transportasi merupakan penjumlahan dari jumlah transportasi darat non penumpang dan transportasi darat penumpang. Persamaan jumlah transportasi darat dapat dirumuskan: VEHIt
= VEHICOMt + VEHIPASt ................................................ (43)
dimana: VEHIt
= Jumlah transportasi darat (unit)
118
4. Konsumsi Energi Sektor Pertanian Selain sektor industri, rumahtangga dan transportasi, sektor pertanian juga membutuhkan energi. Namun energi yang dikonsumsi oleh sektor pertanian hanya energi BBM. Hal ini terjadi karena data konsumsi energi selainnya BBM untuk sektor pertanian belum tersedia. Energi yang digunakan sektor pertanian untuk pengoperasian alat-alat pertanian. Sementara itu, tenaga manusia yang digunakan dalam pengoperasian alat-alat pertanian tidak diperhitungkan, karena dalam penelitian ini energi akhir (final energy) yang dianalisis adalah energi BBM, listrik, batubara, gas dan biomas. Konsumsi BBM Sektor Pertanian Konsumsi BBM sektor pertanian digunakan untuk penggunaan alat-alat pertanian. Konsumsi BBM sektor pertanian dipengaruhi oleh pertambahan harga BBM, harga listrik, pertumbuhan PDB sektor pertanian, pertumbuhan suku bunga perbankan dan peubah bedakalanya. Persamaan konsumsi BBM untuk sektor pertanian dapat dirumuskan: AGROLt
= n0 + n1DRPOILt + n2RPELt + n3PAGRPt + n4PSKBRt + n5AGROLt-1 + U 14......................................................
dimana: AGROLt
= Konsumsi BBM oleh sektor pertanian (Ribu SBM)
PAGRPt
= Pertumbuhan PDB sektor pertanian (Rupiah Trilliun)
PSKBRt
= Pertumbuhan suku bungan perbankan (persen)
AGROLt-1 = Lag konsumsi BBM oleh sektor pertanian (Ribu SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: n1, n4 < 0; n2, n3 > 0 dan 0 < n5 <1
(44)
119
Total Konsumsi Energi Sektor Pertanian Oleh karena sektor pertanian hanya mengkonsumsi energi BBM, sehingga total konsumsi untuk sektor pertanian adalah sama dengan konsumsi BBM untuk sektor tersebut. Persamaan total konsumsi BBM oleh sektor pertanian dapat dirumuskan: AGRTOt = AGROLt ......................................................................
(45)
dimana: AGRTOt = Total konsumsi energi oleh sektor pertanian (Ribu SBM)
5. Konsumsi Energi Sektor Lainnya Sektor- sektor yang belum disebutkan pada bagian terdahulu termasuk kedalam sektor lainnya, seperti sektor komersial, sektor jasa, perdagangan dan lain-lain. Sektor lainnya juga mengkonsumsi energi. Energi yang dikonsumsi oleh sektor lainnya adalah energi BBM, listrik, gas dan biomas. Konsumsi BBM Sektor lainnya Konsumsi BBM untuk sektor lainnya dipengaruhi oleh harga BBM, harga gas, harga listrik, harga batubara, pertumbuhan PDB sektor lainnya dan peubah bedakalanya. Persamaan konsumsi BBM sektor lainnya dapat dirumuskan: OCOLt = o0 + o1RPOILt-1 + o2RPGASt + o3RPELt + o4 RPCOALt + o5POCPt + o6OCOLt-1 +U1 5
.......................................
dimana: OCOLt = Konsumsi BBM oleh sektor lainnya (Ribu SBM) POCPt = Pertumbuhan PDB sektor lainnya (Rupiah Trilliun) OCOLt-1= Lag konsumsi BBM oleh sektor lainnya (Ribu SBM)
(46)
120
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: o1, o2 < 0; o3, o4, o5 > 0 dan 0 < o6 <1 Konsumsi Gas Sektor lainnya Selain BBM, sektor lainnya juga mengkonsumsi gas. Konsumsi gas sektor lainnya dipengaruhi oleh indeks harga gas, harga BBM, PDB sektor lainnya, dan peubah bedakalanya. Persamaan konsumsi gas sektor lainnya dapat dirumuskan: OCGt
= q0 + q1 IHGt + q2RPOILt + q3OCPt + q4OCGt-1 + U17 (47)
dimana: OCGt
= Konsumsi gas sektor lainnya (Ribu SBM)
IHGt
= Indeks harga gas
OCPt
= PDB sektor lainnya (Rupiah Trilliun)
OCGt-1 = lag konsumsi gas sektor lainnya (Ribu SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: q1, q2 < 0; q3, q4 > 0 dan 0 < q 5 < 1 Konsumsi Listrik Sektor Lainnya Konsumsi listrik sektor lainnya dipengaruhi oleh harga listrik, harga BBM, harga gas, harga batubara, PDB sektor lainnya, trend dan peubah bedakalanya. Persamaan konsumsi listrik untuk sektor lainnya dapat dirumuskan: OCELt = p0 + p1RPELt + p2RPOILt + p3RPGASt + p4RPCOALt + p5IHBt + p6OCPt + p7OCELt-1+ U16 .............................. dimana: OCELt = Konsumsi listrik oleh sektor lainnya (Ribu SBM) OCELt-1= Lag konsumsi BBM oleh sektor lainnya (Ribu SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan:
(48)
121
p1, p2 < 0; p3, p4, p5, p6>0 dan 0 < p7 < 1 Konsumsi Biomas Sektor lainnya Konsumsi biomas sektor lainnya dipengaruhi oleh indeks harga biomas, harga BBM, pertumbuhan harga gas, pertumbuhan PDB sektor lainnya dan peubah bedakalanya. Persamaan konsumsi biomas sektor lainnya dapat dirumuskan: OCBIOt
= r0 + r1IHBt + r2RPOILt
+ r3DRPGAS + r4POCPt +
r5OCBIOt-1 + U 18 .......................................................
(49)
dimana: OCBIOt
= Konsumsi biomas sektor lainnya (Ribu SBM)
OCBIOt-1 = Lag konsumsi biomas sektor lainnya (Ribu SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: r1, r3 < 0; r2, r4 > 0 dan 0 < r5 < 1 Total Konsumsi Sektor lainnya Total konsumsi energi sektor lainnya merupakan penjumlahan konsumsi BBM, listrik, gas dan biomas oleh sektor tersebut. Persamaan total konsumsi energi sektor lainnya dapat dirumuskan: OCTOt = OCOLt + OCELt + OCGt + OCBIOt ............................
(50)
dimana: OCTOt = Konsumsi semua jenis energi oleh sektor lainnya (Ribu SBM)
6. Total Konsumsi Energi Konsumsi akhir semua jenis energi merupakan penjumlahan total konsumsi energi sektor industri, total konsumsi energi sektor rumahtangga, total
122
konsumsi energi sektor transportasi, total konsumsi energi sektor pertanian dan total konsumsi energi sektor lainnya serta konsumsi bukan untuk energi. Persamaan total konsumsi akhir semua jenis energi dapat dirumuskan: FCTOt = IDTOt + RETOt + TRTOt + AGRTOt + OCTOt +NEUt
(51)
dimana: FCTOt = Total konsumsi akhir energi semua sektor (Ribu SBM) NEUt
= Konsumsi bukan energi (Ribu SBM)
Konsumsi Akhir BBM Konsumsi akhir BBM merupakan penjumlahan
konsumsi BBM oleh
sektor industri, rumahtangga, transportasi, pertanian dan sektor lainnya serta konsumsi bukan untuk energi. Persamaan konsumsi akhir BBM dapat dirumuskan: FCOLt = IDOLt +REOLt +TRTOt +AGROLt +OCOLt + NEUt ..
(52)
dimana: FCOLt = Konsumsi akhir BBM semua sektor (Ribu SBM) Konsumsi Akhir Listrik Konsumsi akhir listrik merupakan penjumlahan konsumsi listrik oleh sektor industri, rumahtangga, transportasi, pertanian, dan sektor lainnya. Persamaan konsumsi akhir listrik dapat dirumuskan: FCELt
= IDELt + REELt + TRELt + OCELt ...............................
dimana: FCELt
= Konsumsi akhir listrik semua sektor (Ribu SBM)
(53)
123
Konsumsi Akhir Batubara Konsumsi akhir batubara adalah sama dengan konsumsi energi batubara oleh sektor industri. Hal ini dikarenakan hanya sektor industri yang mengkonsumsi batubara. Persamaan konsumsi akhir batubara dapat dirumuskan: FCCOt = IDCOt .............................................................................
(54)
dimana: FCCOt = Konsumsi akhir batubara semua sektor (Ribu SBM) Konsumsi Akhir Gas Konsumsi akhir dari gas merupakan penjumlahan konsumsi gas oleh sektor industri, rumahtangga, dan sektor lainnya. Persamaan konsumsi akhir gas alam dapat dirumuskan: FCGt
= IDGt + REGt + TRGt + OCG t .......................................
(55)
dimana: FCGt
= Konsumsi akhir gas alam semua sektor (Ribu SBM)
Konsumsi Akhir Biomas Selanjutnya, konsumsi akhir biomas merupakan penjumlahan konsumsi biomas sektor industri, sektor rumahtangga dan sektor lainnya. Sedangkan sektor transportasi dan pertanian tidak mengkonsumsi biomas. Persamaan konsumsi akhir biomas dapat dirumuskan: FCBIOt = IDBIOt + REBIOt + OCBIOt ....................................... dimana: FCBIOt = Konsumsi akhir biomas semua sektor (Ribu SBM)
(56)
124
4.1.2. Blok Persamaan Transformasi Energi Transformasi energi adalah proses perubahan energi dari satu bentuk ke bentuk energi lainnya. Tansformasi energi merupakan proses perubahan energi dari sumber energi (batubara, minyak mentah, gas dan lain-lain) sampai ke pengguna energi untuk dikonsumsi. Energi yang telah melewati proses transformasi merupakan energi yang siap dikonsumsi (Final Energy). Dalam penelitian ini, blok transformasi energi terdiri dari persamaan transformasi energi kilang minyak, transformasi energi pembangkit listrik dan transformasi energi kilang gas. Transformasi Kilang Minyak Transformasi kilang minyak merupakan proses tempat perubahan minyak mentah menjadi BBM. Transformasi energi kilang minyak dipengaruhi oleh harga minyak dunia, pertambahan input minyak mentah untuk kilang minyak, kapasitas kilang minyak dan peubah bedakalanya. Persamaan Transfomasi energi untuk kilang dapat dirumuskan: OTPPt
= s0 + s1POILWDt + s2DRFCRt + s3RCCRt + s4OTPPt-1 + U19 ............................................................................
(57)
dimana: OTPPt
= Transformasi energi kilang minyak (Ribu SBM)
POILWDt = Harga minyak dunia ( USD per SBM) DRFCRt = Pertambahan input minyak mentah untuk kilang (Ribu SBM) RCCRt
= Kapasitas kilang minyak (Ribu SBM)
OTPPt
= Lag transformasi energi kilang minyak (Ribu SBM)
125
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: s1, s2, s3> 0 dan 0 < s4 < 1 Transformasi Pembangkit Listrik Selain transformasi energi kilang minyak, ada juga proses transformasi energi pembangkit listrik. Transformasi energi pembangkit listrik dipengaruhi pertumbuhan harga listrik, total input untuk pembangkit listrik, pertambahan kapasitas pembangkit listrik dan peubah bedakalanya. Persamaan transformasi energi pembangkit listrik dapat dirumuskan: OTELt = t0 + t1DRPELt + t 2EGTOt + t3DCPLNt + t4OTELt-1 + U20 (58) dimana: OTELt = Transformasi energi pembangkit lisrik (Ribu SBM) EGTOt = Total input untuk pembangkit listrik (Ribu SBM) CPLNt = Kapasitas pembangkit listrik negara (Ribu SBM) OTELt-1= Lag transformasi energi untuk pembangkit listrik (Ribu SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: t1, t 2, t3 > 0 dan 0 < t4 <1 Transformasi Kilang Gas Transformasi energi kilang gas dipengaruhi oleh harga gas, pertumbuhan cadangan gas, pertumbuhan konsumsi akhir gas oleh semua sektor, trend dan peubah bedakalanya. Persamaan transformasi gas dapat dirumuskan: OTGt
= u0 + u1RPGASt-1 + u2 PCADGAS + u3PFCGt + u4Tt + u5OTGt-1 + U21 ..............................................................
dimana: OTGt
= Transformasi energi kilang gas (Ribu SBM)
(59)
126
PFCGt = Pertumbuhan konsumsi akhir gas semua sektor (Ribu SBM) OTGt-1 = Lag transformasi gas (Ribu SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: u1, u2, u3 > 0; u4 < 0 dan 0 < u5 < 1 Input Listrik untuk Pembangkit listrik Persamaan input listrik untuk pembangkit listrik dipengaruhi oleh harga BBM, harga listrik dan peubah bedakalanya. Persamaan input listrik untuk pembangkit listrik dapat dirumuskan: EGELt = v0 + v1 RPELt + v2RPCOAL + v3RPOIL + v4OTEL + v5Tt + v6EGELt-1 + U22 ..........................................................
(60)
dimana: EGELt = Input listrik untuk pembangkit listrik (Ribu SBM) EGELt-1 = Lag input listrik untuk pembangkit listrik Tanda parameter dugaan yang diharapkan: v1, v2, v3, v5 < 0; v4 > 0 dan 0 < v6 < 1 Input Gas untuk Pembangkit listrik Disamping membutuhkan listrik, pembangkit listrik juga membutuhkan gas dalam menghasilkan energi lisrik yang dikonsumsi oleh berbagai sektor. Persamaan input gas untuk pembangkit listrik dipengaruhi oleh harga gas, harga batubara, indeks harga biomas, pertumbuhan ekspor gas, transformasi energi gas dan peubah bedakalanya. Persamaan-persamaan tersebut dapat dirumuskan: EGGt
= w0 + w1RPGASt-1 + w2RPCOALt + w3IHBt + w4 PXGAS + w5OTG + w6EGGt-1 + U 23 ......................................
(61)
127
dimana: EGGt
= Input gas untuk pembangkit listrik (Ribu SBM)
PXGASt = Ekspor gas (Ribu SBM) EGGt-1
= Lag input gas untuk pembangkit listrik
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: w1, w4 < 0; w2, w3, w5 > 0 dan 0 < w6 < 1 Input BBM untuk Pembangkit listrik Energi BBM selain digunakan oleh sektor perekonomian, juga digunakan sebagai input untuk pembangkit listrik. Input BBM untuk pembangkit listrik dipengaruhi oleh harga BBM, harga batubara, harga gas, indeks harga biomas dan peubah bedakalanya. Persamaan input BBM untuk pembangkit listrik dapat dirumuskan: EGOLt = x0 + x1RPOILt + x 2RPCOALt-1 + x3RPGASt + x4IHBt-1 + x5EGOLt-1 + U24 .........................................................
(62)
dimana: EGOLt = Input BBM untuk pembangkit listrik (Ribu SBM) EGOLt-1 =Lag input BBM untuk pembangkit listrik (Ribu SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: x1 < 0; x2, x3, x4, > 0 dan 0 < x5 < 1 Input Batubara untuk Pembangkit listrik Selain listrik, BBM dan gas, batubara juga digunakan sebagai input untuk pembangkit listrik. Hampir 60 persen batubara digunakan untuk pembangkit listrik. Input batubara untuk pembangkit listrik dipengaruhi oleh pertambahan
128
harga batubara, harga gas dan produksi batubara. Persamaan input batubara untuk pembangkit listrik dapat dirumus: EGCOt
= y0 + y1DRPCOAL + y2 RPGAS + y3 YCOAL + U2 5
EGCOt
= Input batubara untuk pembangkit listrik (Ribu SBM)
(63)
dimana:
DRPCOAL = Pertambahan harga batubara (Rupiah per SBM) XCOALt
= Ekspor batubara (Ribu SBM)
EGCOLt-1 = Lag input batubara untuk pembangkit listrik (Ribu SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: y1 < 0 dan y2, y3 > 0 Total Input untuk Pembangkit Listrik Dari uraian diatas terlihat bahwa pembangkit listrik membutuhkan input listrik, gas, BBM, batubara dan air, maka dapat rumuskan persamaan total input energi untuk pembangkit listrik. Persamaan total input energi untuk pembangkit listrik dapat dinyatakan dalam persamaan: EGTOt = EGELt + EGGt + EGOLt + EGCOt + EGHYt ..............
(64)
dimana: EGTO = Total input energi utnuk pembangkit listrik (Ribu SBM)
4.1.3. Blok Persamaan Penyediaan Energi Penyediaan energi (pasokan energi) yang dikonsumsi oleh sektor industri, sektor rumahtangga, sektor transpotasi, sektor pertanian
dan sektor lainnya
berasal dari produksi domestik ditambah impor dikurangi ekspor. Blok persamaan penyediaan energi meliputi persamaan pemanfaatan kilang minyak, input minyak mentah untuk kilang, produksi BBM, produksi batubara, produksi gas, impor
129
minyak mentah, impor BBM, total impor minyak dan total penyediaan energi yang terdiri dari penyediaan energi BBM, batubara dan gas. Pemanfaatan Kilang Minyak Pemanfaatan kilang minyak merupakan jumlah kilang minyak yang digunakan untuk menghasilkan BBM. Pemanfaatan kilang minyak dipengaruhi oleh PDB, pertumbuhan suku bunga dan peubah bedakalanya. Persamaan pemanfaatan kilang minyak dapat dirumuskan: RFUTt = z0 + z1PDBt + z2 PSKBRt + z3RFUTt-1 + U26 ...............
(65)
dimana: RFUTt = Pemanfaatan kilang minyak (unit per tahun) RFUTt-1= Lag pemanfaatan kilang minyak (unit per tahun) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: z1 > 0; z2 <0 dan 0 < z 3 <1 Input Minyak Mentah untuk Kilang Minyak Input minyak mentah untuk kilang merupakan pemanfaatan kilang minyak dikali dengan kapasitas pengilangan. Persamaan input minyak mentah untuk kilang minyak dapat dinyatakan dengan persamaan identitas: RFCRt = RFUTt * RCCRt .............................................................
(66)
dimana: RFCRt
= Input minyak mentah domestik untuk kilang (Ribu SBM)
RCCRt
= Kapasitas kilang (Ribu SBM)
Produksi BBM Domestik Produksi BBM domestik dihasil dari proses transformasi energi kilang minyak. Transformasi kilang minyak merubah minyak mentah menjadi BBM,
130
sehingga produksi BBM domestik sama dengan transformasi kilang minyak. Persamaan produksi BBM domestik dapat dirumuskan: YBBMt = OTPPt .............................................................................
(67)
dimana: YBBMt = Produksi BBM domestik (Ribu SBM) Produksi Batubara Produksi batubara domestik dipengaruhi oleh harga batubara, upah sektor pertambangan, suku bunga perbankan tahun sebelumnya. Persamaan produksi batubara domestik dirumuskan sebagai berikut: YCOALt
= aa0 + aa1RPCOALt-1 + aa2PWMININGRt + aa3SKBRt-1 + U27 .....................................................................
(68)
dimana: YCOALt
= Produksi batubara domestik (Ribu SBM)
PWMININGR= Pertumbuhan upah sektor pertambangan (Rupiah per tahun) SKBRt-1
= Lag suku bunga (persen per tahun)
YCOALt-1
= Lag produksi batubara domestik (Ribu SBM)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: aa1 > 0; dan aa2 , aa3 < 0 Produksi Gas Produksi gas domestik dihasil dari proses transformasi energi kilang gas. Transformasi kilang gas merubah gas bumi menjadi gas yang siap digunakan oleh konsumen, sehingga produksi gas domestik sama dengan transformasi kilang gas. Persamaan produksi gas domestik dapat dirumuskan: YGASt
= OTGt
.....................................................................
(69)
131
dimana: YGASt
= Produksi gas domestik (Ribu SBM)
Impor Minyak Mentah Sumber energi lain selain produksi domestik adalah impor. Impor terdiri dari impor minyak mentah dan impor BBM. Impor minyak mentah dipengaruhi oleh konsumsi akhir BBM, produksi minyak mentah domestik, harga minyak mentah dunia, nilai tukar rupiah terhadap US Dollar dan peubah bedakalanya. Persamaan impor minyak mentah dapat dirumuskan: IMCRt
= ab0 + ab1FCOLt+ ab2IPOLt-1+ ab3POILWDt + ab4EXCHRt + ab5IMCRt-1 +U28 ......................................................... (70)
dimana: IMCRt
= Impor minyak mentah (Ribu SBM)
IPOLt
= Produksi domestik minyak mentah (Ribu SBM)
POILWDt = Harga produk BBM (USD/ SBM) EXCHt
= Nilai tukar Rupiah tarhadap US Dollar (Rupiah/USD)
IMCRt-1 = Lag impor minyak mentah (Ribu SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: ab1 > 0; ab2, ab3, ab4< 0 dan 0 < ab5 < 1 Impor BBM Impor BBM dipengaruhi oleh konsumsi akhir BBM, jumlah transportasi darat, dan peubah bedakalanya. Ketiga persamaan tersebut dapat dirumuskan: IMPPt
= ac0 + ac1 FCOLt + ac2VEHIt + ac3EXCHRt + ac 4IMPPt-1 +U29 .................................................................................
(71)
132
dimana: IMPPt
= Impor BBM (Ribu SBM)
IMPPt-1 = Lag impor BBM Tanda parameter dugaan yang diharapkan: ac1 , ac2, > 0; ac 3 < 0 dan 0 < ac4 < 1 Total Impor Total impor BBM merupakan penjumlahan impor minyak mentah dengan impor BBM. Persamaan total impor dapat dirumuskan: IMOLt
= IMPPt + IMCRt
........................................................
(72)
dimana: IMCRt
= Impor minyak mentah (ribu SBM per tahun)
Penyediaan Energi BBM Penyediaan energi BBM merupakan produksi BBM domestik ditambah impor BBM dikurangi ekspor BBM. Persamaan penyedian energi BBM dapat dirumuskan: SOILt
= YBBMt +IMPPt – XBBMt ...........................................
(73)
dimana: SOILt
= Penyediaan energi BBM (Ribu SBM)
XBBMt
= Ekspor BBM (Ribu SBM)
Penyediaan Energi Batubara Penyediaan energi batubara merupakan produksi batubara domestik ditambah impor batubara dikurangi ekspor batubara. Persamaan penyedian energi batubara dapat dirumuskan: SCOALt = YCOALt + IMCOALt –XCOALt ..............................
(74)
133
dimana: SCOALt = Penyediaan energi batubara (Ribu SBM) YCOALt = Produksi batubara (Ribu SBM) IMCOALt = Impor batubara (Ribu SBM) XCOALt = Ekspor batubara (Ribu SBM) Penyediaan Energi Gas Penyediaan energi gas merupakan produksi gas domestik ditambah impor gas dikurangi ekspor gas. Persamaan penyedian energi batubara dapat dirumuskan: SGASt
= YGASt + IMGASt – XGASt ......................................
(75)
dimana: SGASt
= Penyediaan energi gas (Ribu SBM)
YGASt
= Produksi gas (Ribu SBM)
IMGASt
= Impor gas (Ribu SBM)
XGASt
= Ekspor gas (Ribu SBM)
4.1.4. Blok Persamaan Harga Energi Pada blok persamaan harga energi domestik terdiri dari persamaan harga BBM, harga listrik, harga gas, harga batubara dan indeks harga biomas. Indeks harga biomas digunakan sebagai pendekatan harga biomas, karena series data harga biomas belum ada. Harga BBM Harga BBM dipengaruhi oleh konsumsi akhir BBM, penyediaan energi BBM, pengeluaran subsidi BBM dan harga minyak mentah dunia. Persamaan harga BBM dapat dirumuskan:
134
RPOILt
= ado+ ad1FCOLt+ ad2SOILt + ad3GEXPSOLt+ ad4POILWDt + U30 ............................................................................
(76)
dimana: RPOILt
= Harga BBM (Rupiah per SBM)
RPOILt-1 = Lag Harga BBM (Rupiah per SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: ad1, ad 4 > 0; ad2, ad3 < 0, dan 0 < ad4 <1 Harga Listrik Selain harga BBM, harga listrik penting untuk dirumuskan. Harga listrik dipengaruhi oleh konsumsi akhir listrik, transformasi energi pembangkit listrik, dan peubah bedakalanya. Persamaan harga listrik dapat dirumuskan sebagai berikut: RPELt
= ae0 + ae 1FCELt + ae 2OTELt + ae3Tt + ae4RPELt-1 + U31 (77)
dimana: RPELt
= Harga listrik (Rupiah per SBM)
RPELt-1 = Lag harga listrik (Rupiah per SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: ae1 > 0; ae2 ae3 < 0 dan 0 < ae4 < 1 Harga Batubara Harga batubara dipengaruhi oleh konsumsi akhir batubara, penyediaan energi batubara, dan peubah bedakalanya. Persamaan harga batubara dapat dirumuskan sebagai berikut: RPCOALt
= af0 +af1FCCOt+ af2DSCOALt+ af3RPCOAL t-1 + U32 (78)
135
dimana: RPCOALt
= Harga gas (Rupiah per SBM)
DSCOALt = Pertambahan penyediaan energi batubara (Ribu SBM) RPCOALt-1 = Lag harga gas (Rupiah per SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: af1> 0; af2 < 0 dan 0 < af3< 1 Harga Gas Disamping harga BBM, listrik dan harga batubara, harga gas juga dapat dirumuskan. Harga gas dipengaruhi oleh konsumsi akhir gas, penyediaan energi gas dan peubah bedakalanya. Persamaan harga gas dapat dirumuskan: RPGASt
= ag0 + ag1FCGt +ag2DSGASt + ag3RPGASt-1 + U33 ..
(79)
dimana: RPGASt
= Harga gas (Rupiah per SBM)
DSGASt
= Pertambahan penyediaan energi gas (Ribu SBM)
RPGASt-1 = Lag harga gas (Rupiah per SBM) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: ag1, ag3 > 0 dan ag2 < 0 Indeks Harga Biomas Selain harga energi domestik yang dipaparkan sebelumnya, harga biomas pun perlu dirumuskan. Namun data harga biomas tidak tersedia maka digunakan indeks harga biomas. Indeks harga biomas dipengaruhi oleh konsumsi akhir biomas semua sektor tahun sebelumnya, penyediaan energi biomas semua sektor dan trend. Persamaan indeks harga biomas dapat dirumuskan: IHBt
= ah0 + ah1FCBIOt-1 + ah2SBIOt + ah 3Tt + U 34....................... (80)
136
dimana: IHBt
= Indeks harga biomas
FCBIOt-1 = konsumsi akhir biomas tahun sebelumnya (Ribu SBM) SBIOt
= Penyediaan energi biomas (Ribu SBM)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: ah1, > 0 dan ah2, ah3 < 0
4.1.5. Blok Persamaan Output Perekonomian Penelitian ini diawali dari hipotesis umum yang menyatakan kemajuan perekonomian suatu negara akan mempengaruhi konsumsi dan penyediaan energi. Dan konsumsi energi mempengaruhi PDB, melalui PDB sektoral. demikian
Dengan
penelitian ini dirumuskan PDB yang mempengaruhi konsumsi dan
penyediaan energi baik secara langsung maupun tidak langsung dan juga sebaliknya. Sehingga blok persamaan output perekonomian terdiri dari persamaan PDB dalam bentuk persamaan identitas dan
PDB sektoral dalam bentuk
persamaan struktural. PDB Total PDB total merupakan penjumlahan semua PDB sektoral, yaitu penjumlahan PDB sektor industri, transportasi, pertanian dan sektor lainnya. Persamaan PDB total dapat dirumuskan: PDBt
= INDPt + TRPt + AGRPt +OCPt .................................
dimana: PDBt
= PDB harga konstan (Rupiah Triliun)
INDPt
= PDB sektor industri (Rupiah Triliun)
TRPt
= PDB sektor transportasi (Rupiah Triliun)
(81)
137
AGRPt
= PDB sektor pertanian (Rupiah Triliun)
OCPt
= PDB sektor lainnya (Rupiah Triliun)
PDB Sektor Industri PDB sektor industri dipengaruhi oleh total konsumsi energi sektor industri, total pengeluaran pemerintah dan peubah bedakalanya. Persamaan PDB sektor industri dapat dirumuskan: INDPt
= ai0 + ai 1IDTOt + ai2GEXPt + ah3INDPt-1 + U 35 .......
(82)
dimana: INDPt
= PDB sektor industri (Rupiah Triliun)
GEXPt
= Total pengeluaran pemerintah (Rupiah Triliun)
INDPt-1
= Lag PDB sektor industri (Rupiah Triliun)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: ai 1, ai2 >0 dan 0
= aj0 + aj 1TRTOt + aj 2GEXPt + aj3TRPt-1 + U 36 ..........
dimana: TRPt
= PDB sektor transportasi (Rupiah Triliun)
TRPt-1
= Lag PDB sektor transportasi (Rupiah Triliun)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: aj 1, aj2 > dan 0 < aj 3< 0
(83)
138
PDB Sektor Pertanian PDB sektor pertanian dipengaruhi oleh upah sektor pertanian, total konsumsi energi sektor pertanian, total pengeluaran pemerintah dan peubah bedakala. Persamaan PDB sektor pertanian dapat dirumuskan: AGRPt
= ak0 + k1WAGRRt + ak2AGRTOt + ak3GEXPt + ak4AGRPt-1 + U37 ............................................................................
(84)
dimana: AGRPt
= PDB sektor pertanian (Rupiah Triliun)
WAGRRt = Upah sektor pertanian (Rupiah per tahun) AGRPt-1 = Lag PDB sektor pertanian Tanda parameter dugaan yang diharapkan: ak1 <0; ak2, ak3 > 0 dan 0 < ak4 < 0 PDB Sektor Lainnya PDB sektor lainnya dipengaruhi oleh total konsumsi energi sektor lainnya, total pengeluaran pemerintah dan peubah bedakala.. Persamaan PDB sektor pertanian dapat dirumuskan: OCPt
= al0 +al 1OCTO +al 2GEXP +al 3OCPt-1 + U38
dimana: OCPt
= PDB sektor lainnya (Rupiah Triliun)
OCPt-1 = PDB sektor lainnya (Rupiah Triliun) Tanda parameter dugaan yang diharapkan: al 1, al2, al3 > 0
...............
(85)
139
Pengeluaran Pemerintah Selain persamaan output total dan sektoral, persamaan pengeluaran pemerintah perlu untuk dirumuskan. Persamaan pengeluaran pemerintah dibentuk dalam persamaan identitas yang dapat dirumuskan: GEXPt
= GEXPNSt + GEXPSOLt + GEXPSNOLt ................ ..
(86)
dimana: GEXPt
= Total pengeluaran pemerintah (Rupiah Triliun)
GEXPNSt
= Pengeluaran pemerintah non subsidi (Rupiah Triliun)
GEXPSOLt
= Pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM (Rupiah Triliun)
GEXPSNOLt
= Pengeluaran pemerintah Triliun)
subsidi non BBM (Rupiah
Pengeluaran Subsidi BBM Pengeluaran
subsidi
BBM
merupakan
pengeluaran
pemerintah.
Pengeluaran subsidi BBM dipengaruhi oleh penerimaan pemerintah, nilai tukar rupiah terhadap US Dollar tahun sebelumnya, konsumsi akhir BBM dan peubah bedakalanya. Persamaan pengeluaran subsidi BBM dapat dirumuskan: GEXPSOLt
= am0 + am1REVGOVt + am 2EXCHt-1 + am3FCOLt + am4GEXPSOLt-1 +U 39 ...................................... (87)
dimana: GEXPSOLt
= Pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM (Rupiah Triliun)
REVGOVt
= Penerimaan pemerintah ((Rupiah Triliun)
EXCHt-1
= Lag nilai tukar rupiah terhadap US Dollar (Rp/USD)
GEXPSOLt-1
= Lag pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: am 1, am3 > 0; am2 < 0 dan 0 < am4 <1
140
Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah merupakan salah satu faktor yang menentukan adanya pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM. Oleh karena itu persamaan penerimaan pemerintah perlu dirumuskan. Persamaan penerimaan pemerintah dapat dirumuskan: REVGOVt
= an0 + an1DPDBt + an2 TAXt + U40 .......................
(88)
dimana: REVGOVt
= Penerimaan pemerintah (Rupiah Triliun)
DPDBt
= Pertambahan PDB (Rupiah Triliun)
TAX
= Pajak (Rupiah Triliun)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan: an1, an2 > 0
4.2.Prosedur Analisis 4.2.1. Identifikasi Model Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia yang dikembangkan dalam studi ini merupakan model persamaan simultan. Dengan demikian perlu dilakukan identifikasi model terlebih dahulu sebelum memilih metode untuk menduga parameter pada setiap persamaan dalam model tersebut. Koutsoyiannis (1977), mengemukakan bahwa untuk dapat diduga parameternya, suatu model persamaan simultan harus teridentifikasi. Rumus identifikasi model berdasarkan order condition adalah: (K – M) (G – 1) ..............................................................................
(89)
141
dimana: K
= total peubah dalam predetermined)
M
= jumlah peubah endogen dan eksogen yang dimasukkan ke dalam suatu persamaan tertentu dalam model
G
= total persamaan (jumlah peubah endogen).
Kriteria
identifikasi
model
model (peubah endogen dan peubah
dengan
menggunakan
order
condition
dinyatakan: Jika (K-M)=(G-1), maka persamaan dalam model dinyatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified) Jika (K-M)<(G-1), maka persamaan dalam model dikatakan tidak teridentifikasi (unidentified) Jika (K-M)>(G-1), maka persamaan dalam model dikatakan teridentifikasi berlebih (overidentified). Dalam studi ini, pada Model Konsumsi dan Penyediaan Energi Indonesia terdapat 63 persamaan (G), yang terdiri dari 40 persamaan struktural dan 23 persamaan identitas. Dalam model ini terdapat 63 peubah endogen dan 71 peubah predetermined, sehingga total peubah dalam model (K) adalah 134 peubah. Jumlah peubah endogen dan eksogen terbanyak yang dimasukkan dalam suatu persamaan tertentu (M) adalah 7 peubah. Dengan demikian, berdasarkan kriteria order condition, maka model konsumsi dan penyediaan energi dalam perekonomian Indonesia adalah over identified karena setiap persamaan struktural dalam model over identified.
4.2.2. Metode Pendugaan Model Untuk model persamaan simultan dengan kondisi setiap persamaannya yang teridentifikasi berlebih (over identified), maka pendugaan parameter dapat
142
menggunakan
beberapa metode yang ada seperti Two Stage Least Squares
(2SLS), 3SLS (Three Stage Least Squares), LIML (Limited Information Maximum Likelihood) atau FIML (Full Information Maximum Likehood). Dalam penelitian ini metode pendugaan model yang digunakan adalah 2SLS, dengan beberapa pertimbangan, yaitu penerapan 2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah, sedangkan metode 3SLS dan FIML menggunakan informasi yang lebih banyak dan lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model (Gujarati, 1999; Sumodiningrat, 1999). Untuk menguji apakah peubah-peubah penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen pada masing-masing persamaan digunakan uji statistik F. Kemudian untuk menguji apakah masingmasing peubah penjelas secara individual berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen pada masing-masing persamaan digunakan uji statistik t. Selanjutnya karena model mengandung persamaan simultan dan peubah bedakala (lag endogenous variable), maka uji serial korelasi dengan menggunakan statistik dw (Durbin-Waston Statistics) tidak valid untuk digunakan. Sebagai penggantinya untuk mengetahui apakah terdapat serial korelasi (autocorelation) atau tidak dalam setiap persamaan maka digunakan statistik dh (Durbin-h statistics):
1 n h 1 d .………………………………………….(90) 2 1 n[(var )] dimana: d
= dw statistik,
143
n
= jumlah observasi
var () = varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable. Jika ditetapkan taraf α= 0.05 maka nilai hhitung berkisar antara -1.96 < hhitung < 1.96 tidak mengalami serial korelasi. Apabila hhitung < -1.96 maka terdapat outokorelasi negatif. Apabila hhitung > 1.96 maka terdapat outokorelasi positif (Pindyck dan Rubinfeld, 1998)
4.2.3. Validasi Model Validasi model dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah suatu model cukup baik (valid) digunakan untuk analisis simulasi. Validasi model yang dilakukan dalam studi ini menggunakan kriteria statistik, yaitu RMSPE (Root Mean Squares Percent Error) dan U- Theil’s (Theil’s Inequality Coefficient). Kriteria-kriteria tersebut dirumuskan (Pindyck and Rubinfeld, 1998): 100 * (1 / n) * {( Pi Ai ) / Ai ] 2
RMSPE =
....................................................
(91)
...................................................
(92)
(1 / n ) * ( P i Ai )
U=
( 1 / n * ( P i ) 2 ( 1 / n ) * ( Ai ) 2
dimana: n
= jumlah observasi
Pi
= nilai pendugaan model (predicted)
Ai = nilai pengamatan contoh (actual) Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur tingkat penyimpangan nilai hasil pendugaan peubah-peubah endogen dari nilai aktual masing-masing peubah endogen tersebut dalam ukuran relatif (persen), atau mengukur kedekatan nilai
144
dugaan tersebut dengan nilai aktualnya. Sementara itu, statistik U digunakan untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil’s (U) berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna, jika U =1 maka pendugaan model naif. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R²). Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s dan makin besar nilai R², maka pendugaan model semakin baik.
4.2.4. Simulasi Model dan Peramalan Setelah model divalidasi dan memenuhi kriteria statistik, maka model tersebut dapat dijadikan sebagai model dasar simulasi dan peramalan. Beberapa skenario simulasi yang akan dilakukan dalam studi ini, adalah: (1) Peningkatan harga minyak dunia sebesar 10 persen, (2) Nilai tukar rupiah terhadap US Dollar naik 5 persen, (3) Penurunan pengeluaran subsidi BBM sebesar 10 persen, (4) Kombinasi harga minyak dunia naik 10 persen dengan aprsiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar 5 persen, dan (5) Kombinasi harga minyak dunia naik 10 persen, apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar 5 persen, dan pengeluaran subsidi BBM turun 10 persen. Peramalan berdasarkan ruang waktu, yang dibedakan menjadi ex post forecasting, ex ante forecasting dan backcasting, sebagaimana disajikan pada Gambar 12. Dari Gambar 12 dapat dijelaskan bahwa periode t1 menunjukkan batas waktu dari model yang dihitung dengan data yang ada. Simulasi yang dibuat diantara t1 ke t2 disebut dengan ex-post simulation atau simulasi historis. Data
145
simulasi historis dimulai dari tahun t1 dan berakhir tahun t2 dengan menggunakan peubah eksogen dan endogen. Forecasting
Historical simulation
backcasting
Ex-post forecasting
Ex-ante forecasting Time (t)
Estimation Period
t1
t3 (today)
t2
Sumber: Pindyck dan Rubinfeld, 1998 Gambar 16. Horison Waktu Simulasi Ex-post forecasting menunjukkan bahwa apabila periode dugaan adalah t2 < t3, maka peramalan dapat dilakukan diakhir periode. Sementara itu, Ex-ante forecasting yang dimulai dari t3 merupakan simulasi atau perkiraan nilai variabel endogen yang didasarkan pada variabel eksogen dan dapat diteruskan hingga pada tahun-tahun berikutnya. Dalam studi ini dilakukan simulasi historis, yaitu tahun 2000-2008 dan ex-post/ex-ante forecasting, yaitu dari tahun 2009 -2025. Metode yang digunakan dalam peramalan ini adalah metode stepwise autoregression (STEPAR) yang merupakan kombinasi model time trend dengan model auto-regressive. Metode stepwise autoregression adalah metode peramalan yang
melakukan peramalan peubah-peubah eksogen lebih dahulu dengan
menggunakan trend linear. Setelah mendapatkan nilai peubah-peubah eksogen kemudian dilakukan peramalan terhadap perkembangan peubah-peubah endogen dengan
menggunakan
model
konsumsi
dan
penyediaan
perekonomian Indonesia yang telah dibangun sebelumnya.
energi
dalam
146
4.3. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder berupa data deret waktu pada periode 1990-2008. Data tersebut diperoleh dari Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, Direktorat Jenderal Perhubungan Angkutan Darat dan data-data dari sumber lain yang mendukung penelitian ini.
V. GAMBARAN UMUM PENYEDIAAN DAN KONSUMSI ENERGI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA 5.1. Penyediaan Energi Dalam Perekonomian Indonesia Penyediaan energi (Energy Supply) sangat diperlukan dalam menjalankan aktivitas dalam perekonomian suatu negara. Ketersedianan energi yang cukup dan berkesinambungan merupakan permasalahan yang senantiasa mendapat perhatian semua bangsa karena kesejahteraan manusia dalam kehidupan modern sangat terkait dengan jumlah dan mutu energi yang dimanfaatkan. Bagi Indonesia yang merupakan salah satu negara sedang berkembang, penyediaan energi merupakan faktor yang sangat penting dalam mendorong pembangunan. Seiring dengan meningkatnya
pembangunan
terutama
pembangunan
diberbagai
sektor,
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan energi terus meningkat. Sampai saat ini, minyak bumi masih merupakan sumber energi yang utama dalam memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Selain untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri, minyak bumi juga berperan sebagai komoditi penghasil penerimaan negara dan devisa. Peranan minyak bumi yang besar tersebut terus berlanjut, sedangkan cadangan semakin menipis. Di lain pihak harga minyak bumi sangat sulit untuk diperkirakan, sebagai akibat banyaknya faktor tak menentu yang berpengaruh. Selain itu, produksi bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan melalui teknologi transformasi di dalam negeri, tidak mencukupi kebutuhannya. Menyadari ketergantungan yang sangat besar terhadap minyak bumi tersebut, maka sejak beberapa waktu yang lalu telah dilakukan upaya untuk
148
menekan pertumbuhan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan menggunakan bahan bakar non-minyak untuk memenuhi energi di dalam negeri, seperti batubara, gas dan biomass. Penyediaan energi non-minyak untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri terus dikembangkan, namun sampai saat ini belum banyak berperan. Pemanfaatan energi non minyak yang sudah berhasil antara lain adalah batubara dan gas bumi, dan biomass sebagai bahan bakar di pembangkit listrik, dan keperluan sektor lainnya. Dalam neraca energi Indonesia, penyediaan energi terbagi atas penyediaan energi primer (Primary Energy Supply) dan energi akhir (Final Energi Supply). Penyediaan energi primer adalah energi yang disediakan langsung dari alam dan belum dapat dikonsumsi langsung oleh penggunanya, harus melalui proses transformasi energi. Seperti batubara, minyak mentah, gas alam, biomass, dan lain-lain. Penyediaan energi primer di dalam neraca energi merupakan penjumlahan produksi dengan impor dan dikurangi oleh ekspor.Sedangkan energi akhir adalah energi yang dapat digunakan langsung oleh penggunanya, seperti energi BBM, LPG (Liquefied Petroleum Gas), listrik dan lain-lain. Penyediaan energi akhir merupakan penjumlahan penyediaan energi primer dengan transformasi energi dikurangi oleh penggunaan sendiri atau rugi laba. Dalam penelitian ini penyediaan energi mencakup penyediaan energi batubara, minyak mentah, bahan bakar minyak (BBM), gas alam, biomas dan listrik. Dalam penyajiannya penyediaan energi meliputi produksi domestik, impor dan ekspor. Namun ada beberapa energi seperti gas tidak memiliki nilai impor, biomas dan listrik tidak memiliki nilai impor dan ekspor karena Indonesia tidak mengimpor atau mengekspor energi tersebut.
149
5.1.1. Batubara Salah satu penyediaan energi yang telah dimanfaatkan sebagai bahan bakar adalah batubara. Batubara memiliki peranan yang penting dalan pemenuhan kebutuhan energi dan jaminan ketersediaan energi bagi masyarakat. Menurut Miranti (2008) batubara banyak dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Saat ini sekitar 71,1 persen dari konsumsi batubara domestik diserap oleh pembangkit listrik, 17 persen untuk industri semen dan 10,1% untuk industri tekstil dan kertas. Disamping itu juga batubara juga digunakan oleh rumahtangga sebagai bahan bakar untuk memasak. Pemanfaatan batubara sebagai sumber energi disebabkan cadangan batubara masih tersedia dan harganya yang relatif lebih murah dari bahan bakar minyak (BBM) dan LNG. Untuk menghasilkan 1 MGW/h listrik dari batubara dibutuhkan biaya sebesar US$ 12.98 (asumsi harga batubara US$ 90 per ton), lebih besar dibandingkan minyak yang sebesar $ 30 (asumsi harga minyak US$ 54 per barrel), dan LNG yang sebesar US$ 20.47 (asumsi harga LNG $ 6/Mmbtu). Besarnya peranan batubara sebagai sumber energi selain BBM tidak terlepas dari ketersediaan batubara yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat sebagai salah satu sumber energi. Gambar 17 menunjukkan bahwa produksi batubara cenderung meningkat. Selama 19 tahun terakhir (1990-2008) produksi batubara telah meningkat sebesar 19.03 persen per tahun, impor sebesar 13.49 persen per tahun dan ekspor sebesar 25.01 persen per tahun. Jika diperhatikan lebih lanjut, pada periode 1990-2008 total produksi batubara 7,159.25 Juta SBM dan total ekspor batubara sebesar 5,176.68 Juta SBM, hanya 0.28 persen yang dikonsumsi dalam negeri dan sisa 72.31 persen yang diekspor. Dengan demikian
150
produksi batubara domestik lebih banyak diekspor daripada digunakan untuk keperluan domestik.
Jumlah (Juta SBM)
1200.00 1000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 0.00
1990
1995
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
46.10 175.74 323.57 388.67 433.98 479.97 555.88 639.26 813.80 913.12 961.80
Produksi Impor
0.00
Ekspor
18.39 131.54 245.53 274.18 311.55 359.86 393.79 446.07 603.26 674.03 672.00
2.70
Penyediaan Energi
27.71
38.67
0.59
0.13
0.08
0.16
0.41
0.41
0.47
0.28
0.45
93.83 115.03 122.88 128.76 151.52 193.60 209.33 220.57 290.25 Produksi
Impor
Ekspor
Penyediaan Energi
Sumber: Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 dan 2009 Gambar 17. Penyediaan Energi Batubara Tahun 1990-2008
Negara tujuan ekspor batubara Indonesia adalah negara-negara di Asia seperti Jepang, China, Taiwan, India, Korea Selatan, Hongkong, Malaysia, Thailand dan Filipina. Negara tujuan ekspor lainnya adalah Eropa seperti Belanda, Jerman dan Inggris, serta negara-negara di Amerika. Importir terbesar batubara Indonesia adalah Jepang (22,8%), dan Taiwan (13,7%). Berikutnya adalah India dan Korea Selatan yang diperkirakan mencapai 28%. Jenis batubara yang dieskpor Indonesia adalah jenis ketel uap (Steam Coal).
5.1.2. Minyak Mentah Minyak mentah atau minyak bumi (Crude Oil) digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan bahan bakar, seperti bensin (premium), solar, minyak diesel, minyak tanah dan pelumas. Dengan demikian minyak mentah memiliki peranan dalam mencukupi kebutuhan energi. Minyak mentah bersumber dari cadangan alam yang tidak dapat diperbaharui, sehingga makin hari cadangannya
151
makin menipis sejalan dengan tuntutan kebutuhan energi yang semakin meningkat. Gambar 18 menunjukkan produksi minyak mentah Indonesia cenderung menurun selama periode 1990-2008 dengan tingkat penurunan rata-rata sebesar 1.93 persen per tahun dari 533.56 Juta SBM pada tahun 1990 menjadi 357.50 Juta SBM pada tahun 2008. Menurut BP Migas produksi minyak Indonesia menurun disebabkan kapasitas pengkilangan yang tidak dapat menampung kebutuhan minyak domestik dan berusia sudah tua (+30 tahun), sehingga membutuhkan investasi yang cukup besar untuk menahan laju penurunan alamiahnya. Sementara upaya untuk menyangga produksi melalui produksi lapangan baru sangat tergantung kepada kinerja kontraktor kontrak kerjasama (KKKS), karena dalam industri perminyakan membutuhkan modal sangat besar dan teknologi yang
Jum lah (J uta SB M )
tinggi. 800.00 600.00 400.00 200.00 0.00
1990
1995
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Produksi
533.56
586.26
517.49
489.31
456.03
419.26
400.55
386.48
Impor
46.23
69.29
78.62
117.17
124.15
137.13
148.49
164.01
2006
2007
2008
367.05
435.24
357.50
116.23
115.81
83.98
Ekspor
288.32
301.81
223.50
241.61
218.12
189.10
178.87
159.70
134.96
135.27
134.87
Penyediaan
291.47
353.74
372.60
364.86
362.06
367.29
370.18
390.79
348.32
311.55
306.61
Produksi
Impor
Ekspor
Penyediaan
Sumber: Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 dan 2009 Gambar 18. Penyediaan Energi Minyak Mentah Indonesia Tahun 1990-2008
Penurunan produksi minyak mentah Indonesia akan berdampak terhadap kebutuhan bahan bakar domestik yang semakin meningkat. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan domestik maka perlu impor minyak mentah. Gambar 18
152
menunjukkan impor minyak mentah pada periode 1990-2008 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 4.75 persen per tahun dari 46.23 Juta SBM menjadi 83.98 Juta SBM, atau hampir 20– 30 persen kebutuhan minyak mentah dalam negeri harus diimpor dari luar negeri. Kebutuhan impor minyak mentah ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat dan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri yang diharapkan semakin membaik. Disisi lain, ekspor minyak mentah Indonesia yang ditunjukkan pada Gambar 18 mengalami penurunan selama tahun 1990-2008. Selama periode tersebut ekpor minyak mentah menurun sebesar 3.67 persen per tahun. Penurunan ekspor minyak mentah disebabkan menurunnya produksi domestik minyak mentah Indonesia. Dengan adanya produksi, impor dan ekspor minyak mentah akan mempengaruhi penyediaan energi minyak mentah. Peningkatan impor minyak mentah akan menambah penyediaan energi minyak mentah sebagai sumber energi. Sebaliknya peningkatan ekspor akan menurunkan penyediaan energi minyak mentah. Gambar 18 menunjukkan penyediaan energi minyak mentah menunjukkan trend yang meningkat. Selama rentang tahun 1990-2008 penyediaan energi minyak mentah meningkat sebesar 0.79 persen per tahun dari 291.47 Juta SBM menjadi 306.61 Juta SBM. Peningkatan ini sangat kecil sekali dalam rentang 18 tahun. Hal ini di karenakan ekspor minyak mentah lebih besar dibandingkan impornya sehingga ekspor yang lebih besar akan mengurangi penyediaan energi minyak mentah.
153
5.1.3. Bahan Bakar Minyak Selain batubara dan minyak mentah, bahan bakar minyak (BBM) juga digunakan sebagai sumber energi. BBM sebagai sumber energi merupakan energi yang paling besar dikonsumsi oleh masyarakat dibandingkan energi yang lainnya. Besarnya konsumsi BBM akan memerlukan penyediaan energi BBM yang besar pula, agar kebutuhan masyarakat terpenuhi. Gambar 19 menunjukkan produksi BBM mengalami trend yang menurun. Dalam rentang tahun 1990-2008 produksi BBM menurun sebesar 0.78 persen dari 271.10 Juta SBM menjadi 268.62 Juta SBM. Penurunan produksi BBM disebabkan oleh produksi minyak mentah sudah mulai menurun, karena minyak mentah adalah bahan baku untuk menghasilkan BBM.
Jumlah (Juta SBM)
500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00
1990
1995
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Produksi BBM
271.10 309.77 274.24 329.52 307.44 305.71 307.55 295.35 271.12 264.84 268.62
Impor
16.91
28.48 62.86
59.23 71.09
75.10 101.74 144.26 120.80 143.46 152.27
Ekspor
0.00
48.35
0.00
19.58
0.00
22.65
34.39 23.56
2.15
12.61
0.00
Penyediaan Energi 288.01 289.90 337.10 388.75 355.89 361.23 374.90 416.05 389.77 395.69 420.89 Produksi BBM
Impor
Ekspor
Penyediaan Energi
Sumber: Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 dan 2009 Gambar 19. Penyediaan Energi BBM Indonesia Tahun 1990-2008
Rendahnya produksi BBM seiring dengan
permintaan BBM untuk
domestik semakin meningkat maka impor BBM diperlukan. Gambar 19 menunjukkan impor BBM meningkat selama tahun 1990-2008. Selama selang tahun tersebut impor BBM meningkat sebesar 16.86 persen per tahun dari 16.91
154
Juta SBM menjadi 152.27 Juta SBM. Peningkatan impor ini lebih besar dari peningkatan produksi BBM. Selain impor BBM, Indonesia juga mengekspor BBM. Gambar 19 menunjukkan ekspor BBM mengalami penurunan. Ekspor BBM tidak stabil, dimulai tahun 1994 sampai 1997 dengan jenis minyak bakar (Fuel Oil), premium, minyak tanah (Karosene), minyak solar (Automotive Diesel Oil/ADO) dan minyak diesel (Industrial Diesel Oil/ IDO) dan dalam jumlah yang kecil (4.33 persen dari total produksi). Selanjutnya ekspor dimulai lagi tahun 2002 sampai 2007 dan tahun 2008 Indonesia tidak mengekspor BBM, karena kebutuhan dalam negeri yang besar tidak terpenuhi oleh produksi domestik dan malahan harus mengimpor BBM. Dengan adanya produksi, impor dan ekspor BBM akan mempengaruhi penyediaan energi BBM. Gambar 19 menunjukkan penyediaan energi BBM mengalami peningkatan dari tahun 1990-2008. Selama rentang tahun tersebut penyediaan energi meningkat sebesar 3.01 persen per tahun dari 288.01 Juta SBM menjadi 420.89 Juta SBM. Peningkatan penyediaan energi BBM disebabkan oleh peningkatan impor BBM.
5.1.4. Gas Alam Dengan meningkatnya kebutuhan energi dan disisi lain terdapat keterbatasan cadangan energi konvensional, maka pemerintah mencanangkan kebijakan efisiensi dan diversifikasi energi. Kebijakan tersebut mendorong penggunaan sumber energi lain diluar minyak bumi, antara lain peggunaan gas alam. Kebijakan tersebut mendukung ketersediaan sumber gas alam yang besar
155
dibandingkan dengan minyak bumi. Kondisi tahun 2008 cadangan gas bumi sebesar 170.10 TSCF (Triliun Standard Cubic Feet), produksi gas alam sebesar 2.89 TSCF sehingga gas alam dapat diproduksi lagi 58.95 tahun.
(Kementrian
Energi dan Sumbedaya Mineral, 2009). Disamping itu juga penggunaan gas alam berdampak positif terhadap kelestarian lingkungan
seperti tidak terjadi
pencemaran udara dibandingkan penggunaan BBM atau batubara. Penggunaan gas alam didukung oleh ketersediaan sumber gas alam. Gambar 20 menunjukkan produksi gas alam selama tahun 1990-2008 mengalami penurunan. Selama periode tersebut gas alam mengalami penurunan sebesar 1.19 persen per tahun dari 507.95 Juta SBM menjadi 385.07 Juta SBM. Rendahnya produksi gas alam ini karena terbatasnya kapasitas produksi gas. Kilang-kilang produksi gas sudah berumur tua dan investasi pada aktivitas eksplorasi untuk membangun sumur-sumur gas dan minyak baru semakin rendah. 600.00
J um lah (J uta S BM )
500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00
1990
1995
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Produksi
507.95
538.66
521.09
498.42
531.48
545.47
520.98
503.62
501.54
377.87
385.07
Ekspor Penyediaan Energi
0
0
0
5.74
14.84
21.21
23.23
32.55
29.02
57.36
59.17
507.95
538.66
521.09
504.16
546.32
566.68
544.21
536.17
530.56
435.24
444.24
Produksi
Ekspor
Penyediaan Energi
Sumber: Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 dan 2009 Gambar 20. Penyediaan Energi Gas Alam Indonesia Tahun 1995-2008
Menurut Anwar dan Muyanja (2007) rendahnya investasi dibidang perminyakan dan gas disebabkan oleh sejumlah ketidakpastian, diantaranya isu
156
keamanan, tingginya pajak, dan ketidakpastian seputar implementasi UndangUndang Minyak dan Gas yang baru yaitu No.22 Tahun 2001, ketidakpastian posisi pemerintah dalam pengembangkan sumur-sumur gas minyak baru dan pembaharuan kontrak-kontrak di sumur-sumsur minyak yang ada. Implikasinya, beberapa perusahaan minyak dan gas menangguhkan rencana investasi mereka sepanjang tahun 2002 -2004. Disisi lain, ekspor gas alam menunjukkan peningkatan dari tahun 19902008 dari 5.74 Juta SBM menjadi 59.17 Juta SBM, dengan rata-rata peningkatan sebesar 48.72 persen per tahun. Gas alam yang dieskpor hanya sebagian kecil (2.54 persen) dari jumlah produksi total, sedangkan sisanya dikonsumsi oleh dalam negeri (97.46 persen). Peningkatan ekspor gas alam disebabkan oleh kemajuan teknologi, peningkatan permintaan gas dan harga gas yang relatif lebih murah dari harga BBM, serta pemanfaatan gas lebih ramah lingkungan. Dengan adanya produksi gas alam akan mendukung penyediaan energi gas alam. Gambar 20 menunjukkaan penyediaan energi gas alam menurun dalam rentang tahun 1990-2008. Dalam periode tersebut penyediaan energi gas alam menurun sebesar 0.49 persen dari 507.95 Juta SBM menjadi 444.24 Juta SBM. Penurunan penyediaan energi gas alam disebabkan penurunan produksi gas alam dan tidak adanya impor gas alam sehingga kedua komponen tersebut adalah pendukung penyediaan energi gas alam.
5.1.5. Biomas Ketegantungan Indonesia terhadap sumber energi fosil terutama minyak sangat tinggi. Kebutuhan energi minyak mengalami peningkatan seiiring
157
meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Produksi minyak dalam negeri tidak dapat mencukupi kebutuhan, sehingga Indonesia harus mengimpor minyak dari negara lainnya. Disisi lain, harga minyak dunia di pasar internasional mengalami peningkatan yang terus menerus yang menyebabkan posisi Indonesia makin kritis. Mencermati kondisi tersebut Pemerintah Indonesia pada awal tahun 2006 menerbitkan berberapa peraturan yang terkait dengan pengembangan energi alternatif. Kebijakan tersebut tertuang dalam 2 ketentuan, yaitu Perpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Inpres Nomor 1 tahun 2006 tentang Bahan Bakar Nabati (BBN). Dengan kebijakan tersebut, Pemerintah ingin mendorong peran dunia usaha dalam pengembangan bahan bakar alternatif sebagai substitusi terhadap bahan bakar minyak. Salah satunya adalah pengembangan energi biomas. Pengembangan energi biomass di Indonesia sangat memungkinkan dilakukan karena sumber bahan bakunya melimpah dan ramah lingkungan. Gambar 21 menunjukkan produksi biomas mengalami peningkatan dalam tahun 1990-2008. Selama periode tersebut produksi biomas meningkat rata-rata sebesar 2.15 persen per tahun dari 193.20 Juta SBM menjadi 277.96 Juta SBM. Peningkatan produksi biomas berpeluang untuk dijadikan bahan bakar pengganti minyak, dengan menghasilkan biomas berupa bioetanol sebagai bahan bakar substitusi bensin dan untuk menghasilkan biodiesel. Produksi biomas yang tinggi akan mendukung penyediaan energi nasional, yang diharapkan pada tahun 2025 energi biomas dan energi baru yang terbarukan (EBT) meningkat menjadi 17 persen di dalam bauran energi nasional.
158
300.00
Ju ml ah (J uta SBM )
250.00
200.00
150.00
100.00
50.00
0.00 Produksi
1990
1995
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
193.20
250.70
269.05
268.97
270.23
272.01
271.81
270.04
276.34
275.20
277.96
Produksi
Sumber: Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 dan 2009 Gambar 21. Penyediaan Energi Biomas Tahun 1990-2008
5.1.6 Listrik Listrik salah satu energi yang digunakan dalam menjalankan aktivitas perekonomian berbagai sektor. Oleh karena itu listrik merupakan faktor penting dalam menunjang pembangunan nasional. Penggunaan listrik mengalami peningkatan yang pesat seiring dengan berkembangnya perekonomian negara, pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kwalitas hidup masyarakat. Dalam hal memenuhi kebutuhan perlu diperhatikan ketersediaan sumber daya energi listrik dan penggunaan teknologi yang tepat dalam memenuhi permintaan listrik. Penyediaan tenaga listrik harus diusahakan agar dapat mencukupi semua lapisan masyarakat dengan harga yang wajar dan mempunyai keandalan yang tinggi. Pemenuhan kebutuhan tenaga listrik untuk rumah tangga pedesaaan juga terus dikembangkan. Hal ini berkaitan dengan usaha untuk meningkatkan standar hidup masyarakat.
159
Jamin dan Sugiyono (2009) mengatakan pembangkit listrik Indonesia dikelompokkan berdasarkan kepentingan, yaitu untuk umum dan untuk kepentingan sendiri. Pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagian besar dipasok oleh PT PLN (Persero) dan sebagian lagi dipasok oleh perusahaan tenaga listrik swasta (Non PLN), dalam istilah umum disebut IPP (Independent Power Producer), serta koperasi. Sedangkan pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri (captive power) diusahakan oleh swasta untuk kepentingan operasi perusahaan sendiri dan biasanya tidak terjangkau oleh jaringan PLN. Gambar 22 menunjukkan
produksi listrik nasional meningkat pada
perionde 1990 -2008. Selama periode tersebut produksi listrik listrik nasional meningkat rata-rata sebesar 8.85 persen per tahun yang terdiri dari produksi listrik PLN dan non PLN. Produksi listri PLN dan Non PLN meningkat sebesar 7.62 dan 25.65 persen per tahun selama periode tahun tersebut. Dari total listrik yang diproduksi 13.61 persen (persentase rata-rata) yang digunakan oleh kepentingan sendiri dan 86.39 persen digunakan untuk kepentingan umum. 100.00 90.00 80.00 Jumlah (Juta SBM)
70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
1990
1995
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Listrik PLN
19.80
32.39
51.19
53.69
54.74
56.69
58.97
62.09
64.04
68.19
72.36
Listrik Non PLN Prod.Listrik
0.50 20.30
0.79 33.18
5.60 56.79
8.16 61.85
11.60 66.34
13.48 70.17
15.99 74.96
15.99 78.08
17.56 81.60
19.13 87.32
19.24 91.61
Penyediaan Energi
17.11
29.09
50.17
53.49
55.42
58.32
65.29
69.07
69.77
74.77
80.93
Listrik PLN
Listrik Non PLN
Prod.Listrik
Penyediaan Energi
Sumber: Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 dan 2009 Gambar 22. Penyediaan Listrik Indonesia Tahun 1990-2008
160
Dengan meningkatnya produksi total listrik maka secara otomatis penyediaan energi listrik juga meningkat. Gambar 22 menunjukkan penyediaan energi listrik meningkat rata-rata sebesar 9.15 persen per tahun. Peningkatan penyediaan energi listrik didorong oleh penemuan energi listrik yang bersumber dari energi terbarukan, seperti energi tenaga air, panas bumi, mikro hidro, biomass, matahari dan angin. Tabel 2 menunjukkan energi terbarukan yang dapat menghasilkan energi listrik. Dari tabel tersebut hanya ± 3.32 persen energi terbarukan yang dapat dimanfaatkatkan menjadi energi listrik, sisanya belum dapat digunakan dengan optimal karena keterbatasan teknologi yang dimiliki oleh Negara Indonesia. Tabel 2. Potensi Energi Terbarukan Untuk Pembangkit Listrik Tahun 2006. No. 1 2 3 4 5 6
Energi Terbarukan Tenaga air Panas bumi Mini/Micro Hydro Biomass Matahari Angin
Potensi 75.67 GW 27 GW 458.75 MW 49.81 GW 4.8 KWh/m2/hari 9.29 GW
Kapasitas Pembangkit Yang Sudah Terpasang 4200 MW 800 MW 84 MW 302.40 MW 8 MW 0.5 MW
Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006
5.2. Transformasi Energi dalam Perekonomian Indonesia Transformasi energi adalah proses perubahan energi dari satu bentuk ke bentuk lain. Dengan kata lain transformasi energi merupakan perubahan energi primer seperti batubara, minyak mentah, gas dan lain-lain menjadi energi akhir (Energy Final) seperti BBM, listrik, LPG (Liquefied Petroleum Gas), LNG (Liquefied Natural Gas) dan lain-lain. Energi akhir inilah yang dapat dikonsumsi oleh penggunanya, seperti energi yang dikonsumsi oleh sektor industri,
161
transportasi, rumahtangga, pertanian, dan sektor lainnya. Dengan demikian transformasi energi merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam proses penyediaan dan konsumsi energi. Dalam neraca energi, tranformasi energi ditempatkan pada bagian kedua setelah penyediaan energi primer (Primary Energy Supply). Komponen transformasi energi didalam neraca energi terdiri dari kilang minyak (Refinery), kilang LPG (Liquefied Petroleum Gas Plant), kilang LNG (Liquefied Natural Gas Plant), Kilang pemrosesan batubara (Coal Processing Plant) dan Pembangkit listrik (Power Plant). Namun dalam neraca energi Indonesia kilang pemrosesan batubara belum berfungsi, sehingga masih bernilai nol.
5.2.1. Transformasi Energi Minyak Bumi Tranformasi energi minyak bumi merupakan proses pengubahan minyak bumi yang hasil eksplorasi sebagai energi primer menjadi energi minyak mentah. Transformasi energi minyak bumi dalam neraca energi hanya dilakukan oleh kilang minyak (Refinery), tidak dilakukan oleh kilang LPG, LNG, kilang prosesing batubara dan pembangkit listrik. Jadi transformasi energi minyak mentah yang dilakukan di kilang minyak dapat dikatan sama dengan transformasi energi kilang minyak. Gambar 23 menunjukkan tranformasi energi minyak bumi memiliki kecenderungan meningkat dari tahun 1990-2007. Selama periode tersebut transformasi energi minyak bumi meningkat rata-rata sebesar 1 persen dari 273.84 Juta SBM menjadi 307.02 Juta SBM. Peningkatan transformasi energi minyak bumi ini didukung oleh peningkatan produksi minyak bumi.
Jumlah (Juta SBM)
162
500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00 1990 1995 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Transformasi Energi Minyak Bumi
Sumber: Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 dan 2009 Gambar 23. Tranformasi Energi Minyak Mentah Indonesia Tahun 1990-2008
Di Indonesia kilang minyak yang masih beroperasi ada 10 kilang minyak, baik yang dimiliki oleh PT Pertamina (Persero) maupun oleh Badan Usaha Swasta dengan kapasitas pengolahan kilang minyak sebsar 1 156 juta barrel per hari. Jumlah kilang minyak tersebut berasal dari Kilang yang dimiliki PT Pertamina (Persero), yaitu Pangkalan Brandan berkapasitas pengolahan 4,5 ribu barrel per hari (sudah tidak beroperasi sejak 2007), Dumai (127 ribu barrel per hari), Sungai Pakning (50 ribu barrel per hari), Musi (127,3 ribu barrel per hari), Cilacap (348 ribu barrel per hari), Balikpapan (260 ribu barrel per hari), Balongan (125 ribu barrel per hari), serta Kasim (10 ribu barrel per hari). Selain itu terdapat kilang minyak yang dikelola Pusdiklat Migas Cepu berkapasitas 3,8 ribu barrel per hari. Sementara itu, kilang minyak yang dimiliki badan usaha swasta yaitu PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) berlokasi di Tuban dengan kapasitas 100 ribu barrel per hari (KESDM, 2009).
163
5.2.2. Transformasi Energi Gas Alam Transformasi energi gas alam berbeda dengan transformasi minyak bumi. Transformasi gas alam dalam neraca energi berasal dari oleh kilang minyak, LPG, kilang LNG dan pembangkit listrik. Hal menunjukkan bahwa proses perubahan gas alam menjadi gas yang dapat dikonsumsi langsung (energi akhir) dilakukan oleh kilang minyak, LPG dan LNG, sementara itu gas alam yang ada di pembangkit listrik digunakan sebagai input pembangkit listrik. Gambar 24 menunjukkan tranformasi energi gas alam mengalami trend yang menurun namun masih memiliki pertumbuhan positif. Dalam periode 19902008 transformasi gas alam meningkat rata-rata sebesar 1.20 persen per tahun dari 234.38 Juta SBM menjadi 278.50 Juta SBM. Gas alam yang dibutuhkan oleh kilang minyak, kilang LPG, LNG dan pembangkit listrik juga mengalami peningkatan masing-masing sebesar 1.99 persen per tahun, 7.83 persen per tahun, 0.29 persen per tahun dan 29.15 persen per tahun. Apabila diperhatikan lebih lanjut, kilang LNG yang lebih besar menggunakan gas alam dibandingkan dengan kilang yang lain, namun memiliki pertumbuhan rata-rata yang lebih kecil (sebesar 0.29 persen per tahun). Sementara dalam perkembangannya, pembangkit listrik lebih banyak menggunakan gas alam dengan pertumbuhan rata-rata yang lebih besar dari kilang-kilang tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pembangkit listrik mulai mengurangi input BBM dan meningkatkan penggunaan gas, seiring dengan peningkatan harga BBM.
164
jumlah (Juta SBM)
400.00 300.00 200.00 100.00 0.00
1990 1995 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Transformasi Energi 234.3 337.7 338.1 316.2 343.9 353.7 345.4 308.6 305.8 282.3 278.5 Kilang Minyak
5.90 6.18 5.80 5.29 5.55 4.09 3.74 2.90 2.72 4.49 5.34
Kilang LPG
0.00 5.18 5.72 2.30 4.83 4.39 5.15 4.41 8.47 6.30 2.37
Kilang LNG
226.1 286.1 284.5 267.5 297.5 307.7 301.9 271.4 257.9 233.5 228.2
Pembangkit Listrik 2.32 40.26 42.10 41.09 36.01 37.53 34.57 29.88 36.70 38.01 42.55 Transformasi Energi Kilang Minyak Kilang LPG Kilang LNG Pembangkit Listrik
Sumber: Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 dan 2009 Gambar 24. Transformasi Energi Gas Bumi Tahun 1990-2008
5.3. Konsumsi Energi Dalam Perekonomian Indonesia Konsumsi energi di Indonesia dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan sektor pengguna energi yang meliputi sektor industri, rumahtangga, transportasi, pertanian dan sektor lainnya. Sektor komersial dan publik tidak dimasuk kedalam sektor
tersendiri
(dimasukkan
kedalam
sektor
lainnya)
disebabkan
ketidaktersediaan data pada sektor tersebut. Energi yang dikonsumsi oleh pengguna energi merupakan energi akhir (Final Energy).
5.3.1. Konsumsi Energi Sektor Industri Seiring dengan berkembangnya sektor industri menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi energi dalam proses produksi untuk menghasil suatu produk. Gambar 25 menunjukkan konsumsi energi sektor industri meningkat selama tahun 1990-2008. Selama rentang tahun tesebut, konsumsi energi sektor industri meningkat sebesar 5.57 persen per tahun dari 151.91 juta SBM menjadi 372.55 juta SBM.
165
Jenis energi yang dikonsumsi oleh sektor industri adalah energi batubara, BBM, biomas, gas dan listrik. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa selama periode 1990-2005 jenis energi tertinggi yang dikonsumsi oleh sektor industri adalah energi BBM dan konsumsi yang terendah adalah listrik. Namun pada periode 2006-2008 terjadi perubahan komposisi teratas hingga terendah adalah energi batubara, gas, BBM, biomas dan listrik.
Jumlah (Juta SBM)
400.00 350.00 300.00 250.00 200.00 150.00 100.00 50.00 0.00
1990
1995
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
9.41
16.60
36.22 37.51
38.80
40.14
55.34
72.55
89.04 121.80 159.70
BBM
37.84
61.53
85.24 87.51
87.36
79.43
77.82
77.82
57.77 52.42
Gas
44.61
21.26
40.14 84.35
48.05
46.85
54.25
54.25
95.29 56.08
90.36
Biomas
49.57
56.02
58.98 54.94
51.84
49.50
46.09
42.95
46.68 42.11
44.24
Listrik
10.48
15.01
21.87 21.82
22.58
22.37
26.02
26.02
28.08 28.08
29.41
Total
151.91 170.41 242.44 286.12 248.63 238.29 259.52 273.59 316.85 300.48 372.55
Batubara
Batubara
BBM
Gas
Biomas
Listrik
48.86
Total
Sumber: Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 dan 2009 Gambar 25. Konsumsi Energi Sektor Industri Tahun 1990-2008
Dalam perkembangannya, konsumsi energi batubara, gas dan listrik mengalami peningkatan selama periode 1990-2008. Konsumsi energi batubara, gas dan listrik mengalami peningkatan rata-rata per tahun berturut-turut sebesar 18.01 persen, 12.24 persen dan 6.10 persen. Konsumsi BBM selama periode 1990-2008 menunjukkan peningkatan rata-rata per tahun sebesar 1.95 persen, namun pada perode 2002-2008 menunjukkan pertumbuhan yang menurun. Sementara itu, konsumsi energi biomas menunjukkan pertumbuhan yang menurun dengan rata-rata per tahun sebesar 0.51 persen.
166
5.3.2. Konsumsi Energi Sektor Rumahtangga Energi sangat dibutuhkan oleh rumahtangga untuk keperluan penerangan, memasak, pemanasan/pendinginan ruangan, dan berbagai kegiatan rumahtangga yang lain. Energi yang dikonsumsi oleh rumahtangga berupa batubara, BBM, gas, biomas dan listrik. Jenis energi batubara yang dikonsumsi oleh rumahtangga adalah briket batubara yang jumlah sangat kecil dan jenis BBM yang dikonsumsi adalah minyak tanah (karosene). Energi biomass yang dikonsumsi oleh rumahtangga berupa kayu bakar, arang, dan lain yang digunakan untuk memasak. Secara total Gambar 26 menunjukkan konsumsi rumahtangga meningkat selama periode 1990-2008. Selama periode tersebut konsumsi energi rumahtangga meningkat sebesar 1.87 persen per tahun dari 227.49 juta SBM menjadi 316.80 juta SBM. Peningkatan konsumsi di sektor ini disebabkan oleh peningkatan jumlah anggota keluarga dan jumlah rumahtangga.
J um la h (J uta SBM )
350 300 250 200 150 100 50 0
1990
1995
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Batubara 0.00
0.02
0.09
0.09
0.09
0.10
0.10
0.11
0.15
0.00
0.00
BBM
39.49 42.66
63.22
62.33
59.26 59.64 60.11 57.70 50.86
50.23
40.10
Gas
0.99
3.93
4.12
4.32
8.48
13.70
Biomas Listrik Total
3.26
4.43
4.58
4.58
6.85
181.50 193.16 208.61 212.32 216.47 220.38 223.43 225.76 228.19 230.86 232.24 5.52
10.46
18.74
20.44
20.84 21.92 23.66 25.25 26.82
29.01
30.76
227.49 249.55 294.57 299.30 300.98 306.46 311.87 313.39 312.87 318.58 316.80 Batubara
BBM
Gas
Biomas
Listrik
Total
Sumber: Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 dan 2009 Gambar 26. Konsumsi Energi Sektor Rumahtangga Tahun 1990-2008
167
Selanjutnya, Gambar 26 menunjukkan jenis energi yang dikonsumsi oleh rumahtangga mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah adalah biomass, BBM, listrik, gas dan batubara . Selama periode 1990-2008 konsumsi biomas menunjukkan peningkatan namun memiliki pertumbuhan rata-rata per tahun yang rendah yaitu sebesar 1.38 persen. Hal ini menunjukkan bahwa rumahtangga sudah mulai mengurangi penggunaan energi biomas, karena ada energi alternatif lain yang lebih mudah dan murah untuk digunakan. Dengan meningkatnya konsumsi energi biomas di sektor rumahtangga memperlihatkan bahwa sebagian besar rumahtangga di Indonesia masih menggunakan kayu bakar untuk memasak terutama rumahtangga di perdesaan. Hal ini terjadi karena pasokan kayu bakar di perdesaan cukup besar. Selain itu, harga ekonomi untuk mendapatkan kayu bakar ralatif murah. Hasil studi ini senada dengan hasil penelitian Nuryati dan Scorpio (2007) yang menyatakan bahwa jenis konsumsi energi oleh rumahtangga di Indonesia Indonesia sebagian besar adalah energi non komersial (kayu bakar dan arang) yang sebagian besar dari rumahtangga miskin. Sementara itu, rumahtangga kaya mengkonsumsi energi komersial seperti gas, listrik dan minyak tanah. Selain energi biomas, energi gas dan listrik selama periode 1990-2008 menunjukkan pertumbuhan yang meningkat. Selama periode 1990-2008 konsumsi energi gas dan listrik menunjukkan peningkatan rata-rata per tahun sebesar 17.02 persen dan 10.09 persen. Peningkatan konsumsi gas dan listrik oleh rumahtangga disebabkan harga gas dan listrik yang lebih murah dibandingkan dengan harga BBM (minyak tanah). Sementara itu konsumsi BBM oleh rumahtangga menunjukkan trend yang menurun, namun masih memiliki pertumbuhan rata-rata per tahun yang positif yaitu sebesar 0.44 persen
168
5.3.3. Konsumsi Energi Sektor Transportasi Sarana transportasi sangat diperlukan dalam rangka memobilisasi barang maupun orang dari suatu tempat ke tampat lain. Sehubungan dengan konsumsi energi, sektor transportasi yang dimaksud mencakup sarana transportasi yang digerakkan oleh mesin atau kendaraan bermotor. Terdapat tiga jenis energi yang dikonsumsi oleh sektor transportasi yaitu BBM, gas dan listrik. Dari Gambar 27 dapat dilihat bahwa konsumsi energi sektor transportasi menunjukkan trend yang meningkat selama periode 1990-2008. Selama periode tersebut konsumsi energi total sektor transportasi meningkat dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 5.31 persen. Jenis energi yang dikonsumsi oleh sektor transportasi mulai yang terbesar hingga terkecil berturut-turut adalah BBM, gas dan listrik. Dalam perkembangannya konsumsi BBM dan listrik menunjukkan trend yang meningkat, sedangkan konsumsi gas berfluktuasi. Pada periode 19902001 konsumsi gas mengalami peningkatan, namun tahun 2002-2004 mengalami penurunan. Selanjutnya pada periode 2004-2008
konsumsi gas
kembali
Jumlah (JutaSBM)
menunjukkan peningkatan. 220 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
1990
1995
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
BBM
76.170 105.781 137.275 144.856 150.906 157.963 175.469 175.469 171.458 179.035 191.083
Gas
0.003
0.074
0.138
0.139
0.099
0.097
0.037
0.037
0.042
0.049
0.124
Listrik 0.010
0.012
0.027
0.030
0.033
0.033
0.034
0.034
0.041
0.052
0.050
BBM
Gas
Listrik
Sumber: Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 dan 2009 Gambar 27. Konsumsi Energi Sektor Transfortasi Tahun 1990-2008
169
Besarnya penggunaan BBM oleh sektor transportasi disebabkan semakin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan BBM, baik kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. Selain itu, perjalanan dengan kendaraan kurang efisien karena infrastruktur jalan yang buruk sehingga membutuhkan waktu tempuh yang lama. Waktu perjalanan yang lama akan meningkatkan konsumsi BBM.
5.3.4. Konsumsi Energi Sektor Pertanian Sektor pertanian adalah salah satu sektor yang menghasil energi seperti energi biomass. Energi biomas adalah energi yang dihasil dari tumbuhan dan kotoran hewan, atau sisa dari hasil pengolahan industri seperti industri tebu. Bahan baku dari biomas adalah yang dihasil oleh sektor pertanian dan sangat berlimpah. Energi inilah yang bakal dapat mengganti energi fosil yang semakin langka. Disisi lain sektor ini merupakan sektor yang mengkonsumsi energi paling rendah dibandingkan sektor-sektor yang lain (sektor industri, rumahtangga dan transportasi). Disinilah letak peranan sektor pertanian dalam penyediaan energi nasional. Dalam penelitian ini, jenis konsumsi energi sektor pertanian adalah BBM. Sedangkan jenis energi selain BBM tidak dapat disajikan dalam penelitian ini karena tidak tersedianya data. Gambar 28 dapat dilihat bahwa selama periode 1990-2008 konsumsi BBM oleh sektor pertanian meningkat sebesar 2.66 persen per tahun. Namun dalam perkembangan menunjukkan trend yang menurun.
170
35.00 Jumlah (Juta SBM)
30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
1990
1995 2000
2001 2002 2003 2004 2005
2006 2007 2008
BBM 17.24 29.31 29.22 30.59 30.00 28.45 31.69 29.10 25.94 24.91 24.84 BBM
Sumber: Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 dan 2009 Gambar 28. Konsumsi Energi Sektor Pertanian Tahun 1990-2008
5.3.5. Konsumsi Energi Sektor Lainnya Sektor lainnya dalam penelitian termasuk ke dalam sektor-sektor yang tidak disebut pada bagian terdahulu, seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran, komersial dan lain-lain. Alasan dimasukkannya sektor-sektor tersebut ke dalam sektor lainnya karena sektor-sektor tersebut memiliki komposisi yang kecil dalam mengkonsumsi energi. Sektor lainnya mengkonsumsi jenis energi BBM, gas, biomas dan listrik. Gambar 29 dapat dilihat bahwa konsumsi energi total sektor lainnya cenderung meningkat dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 8.72 persen. Berdasarkan jenis energi, sektor lainnya mengkonsumsi energi listrik yang terbesar diikuti oleh energi biomas, BBM dan gas masing-masing dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 11.30 persen, 7.65 persen, 7.57 persen dan 2.90 persen. Dalam perkembangannya, konsumsi energi listrik oleh sektor lainnya menunjukkan trend yang meningkat, sedangkan
konsumsi BBM dan
171
biomas menunjukkan trend yang menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa energi listrik memengang peranan penting dalam menjalankan aktifvitas ekonomi oleh
Jumla h (Juta SBM)
sektor lainnya. 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
1990
1995
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
BBM
2.39
5.96
8.89
9.17
8.90
8.71
9.54
8.96
7.87
7.65
7.31
Gas
1.04
1.22
1.39
1.29
1.44
1.10
1.46
1.51
1.45
1.61
1.38
Biomas
0.45
1.53
1.45
1.44
1.44
1.43
1.42
1.42
1.41
1.40
1.40
Listrik
2.78
4.89
8.94
9.56
9.97
11.15
12.99
14.34
15.47
17.24
18.92
Total
6.66
13.59
20.67
21.45
21.75
22.40
25.41
26.24
26.20
27.90
29.01
Gas
Biomas
BBM
Listrik
Total
Sumber: Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2009. Gambar 29. Konsumsi Energi Sektor Lainnya Tahun 1990-2008
VI. HASIL PENDUGAAN MODEL KONSUMSI DAN PENYEDIAAN ENERGI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA 6.1. Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model Hasil pendugaan model konsumsi dan penyediaan energi dalam perekonomian Indonesia cukup baik. Semua peubah yang dimasukkan ke dalam persamaan struktural memiliki tanda dan besaran parameter dugaan sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang ekonomi. Pada umumnya peubah yang dimasukkan ke dalam persamaan struktural ada yang signifikan secara statistik. Namun persamaan harga BBM domestik (RPOIL) tidak satupun peubah di dalam persamaan tersebut yang signifikan secara statistik. Hal ini dapat dijelaskan bahwa harga BBM domestik masih disubsidi, tidak mengikuti harga pasar, sehingga variasi data relatif rendah. Nilai koefisien determinasi (R2) pada model ini berkisar antara 0.21542 sampai 0.99775. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa secara keseluruhan peubah-peubah eksogen yang dimasukkan pada setiap persamaan dalam model mampu menjelaskan dengan baik peubah endogennya. Sebagai contoh, pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai koefisien determinasi pada persamaan konsumsi BBM oleh Sektor Industri sebesar 0.85707, artinya variasi peubah-peubah eksogen yang dimasukkan dalam persamaan mampu menjelaskan peubah konsumsi BBM sebesar 85.707 persen dan 14.293 persen sisanya dijelaskan oleh peubah-peubah lain yang tidak dimasukkan ke dalam persamaan. Persamaan yang memiliki nilai R2 yang terendah adalah persamaan indeks harga biomas. Persamaan indeks harga biomas digunakan sebagai pendekatan terhadap harga biomas, dimana series data harga biomas belum ada. Persamaan
173
harga tersebut harus ada untuk melihat keterkaitan antar peubah, antar persamaan dan antar blok, walaupun persamaan tersebut memiliki R2 yang rendah. Berdasarkan hasil uji F menunjukkan bahwa sebagian persamaanpersamaan dalam model berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 10 persen. Hal ini berarti variasi peubah-peubah penjelas dalam setiap persamaan perilaku secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya, pada taraf nyata paling tidak 10 persen. Namun persamaan indeks harga biomas tidak berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 10 persen. Secara rinci program dan hasil analisis pendugaan model konsumsi dan penyediaan energi dalam perekonomian Indonesia dapat diamati pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab IV, pada model yang mengandung persamaan simultan dan peubah bedakala endogen (lag endogenous variable), maka uji serial korelasi dengan menggunakan statistik Durbin-Waston (dw) tidak valid untuk digunakan. Sebagai penggantinya untuk mengidentifikasi terdapat serial korelasi atau tidak dalam setiap persamaan maka digunakan statistik Durbin-h (dh). Dari hasil analisis yang telah dilakukan dapat dinyatakan bahwa ada 6 persamaan struktural yang tidak dapat dideteksi ada atau tidak masalah serial korelasi karena dalam persamaan-persamaan tersebut tidak mempunyai varian dari peubah bedakala endogen (lag endogenous variables) ataupun memiliki nilai akar negatif. Persamaan-persamaan yang dimaksud adalah konsumsi batubara sektor industri (IDCO), produksi batubara (YCOAL), harga BBM (RPOIL), harga gas (RPGAS), indeks harga biomas (IHB) dan penerimaan pemerintah (REVGOV). Sementara itu, untuk statistik Durbin-h untuk persamaan-persamaan
174
struktural lainnya memiliki nilai berkisar antara 2.2777 sampai 69.5652. Nilainilai statistik Durbin-h tersebut lebih besar dari nilai kritis distribusi normal pada level 5 persen (nilai kritis untuk uji satu arah pada level 5 persen = 1.645), sehingga dapat dinyatakan terjadi masalah serial korelasi. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1991), masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi. Oleh karenanya hasil dalam pendugaan model dalam penelitian ini dapat dinyatakan cukup representatif dalam menggambarkan konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia. Untuk menguji taraf nyata pengaruh masing-masing peubah eksogen terhadap peubah endogennya digunakan Statistik uji t. Dalam studi ini, taraf nyata yang digunakan sampai pada batas toleransi 20 persen. Dengan kata lain, taraf nyata di atas 20 persen dinyatakan tidak berbeda nyata dengan nol. Pemaparan tentang hasil pendugaan parameter dan nilai elastisitas untuk masing-masing persamaan disajikan pada bagian berikutnya.
6.2. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Setelah melakukan serangkaian tahapan dan sejumlah respesifikasi model, diperoleh hasil analisis yang cukup baik untuk dapat diinterpretasikan karena telah memenuhi kriteria ekonomi maupun kriteria statistik yang dipersyaratkan. Pada bagian ini secara berturut-turut akan dijelaskan hasil pendugaan parameter dan elastisitas sehubungan dengan konsumsi energi, transformasi energi, penyediaan energi, harga energi, dan output dalam perekonomian Indonesia.
175
6.2.1. Konsumsi Energi dalam Perekonomian Indonesia Pembagian konsumsi menurut sektor dan jenis energi mengacu pada neraca energi Indonesia dan tujuan penelitian yang diharapkan. Pada bagian ini konsumsi energi dibagi menjadi lima sektor, yaitu konsumsi energi oleh sektor industri, rumahtangga, transportasi, pertanian dan sektor lainnya. Sementara itu, jenis energi yang dianalisis meliputi BBM, listrik, batubara, gas, dan biomas.
6.2.1.1. Konsumsi Energi oleh Sektor Industri Sektor industri merupakan sektor dalam perekonomian Indonesia yang mengkonsumsi berbagai jenis energi yang terlengkap. Untuk dapat melaksanakan aktivitas produksi, sektor industri mengkonsumsi jenis energi BBM, listrik, batubara, gas, dan biomas. Berturut-turut pada bagian ini akan dipaparkan hasil pendugaan parameter dan elastisitas konsumsi berbagai jenis energi oleh sektor industri. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas pada persamaan konsumsi BBM sektor industri (IDOL) disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 3. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi BBM Sektor Industri Parameter Elastisitas t hitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 32760.29 1.03 0.3223 - Intercept LRPOIL -0.2656 -1.35 0.2020 - Lag RPOIL PRPGAS 4364.05 0.95 0.3620 - Pertumbuhan harga gas LRPEL 0.038419 0.52 0.6128 - Lag RPEL PINDP 761.6358 0.28 0.7870 - Pertumbuhan INDP LIDOL 0.80496 5.86 <.0001 - Lag IDOL 2 R = 0.84827, Fhitung =13.42, Pr > F= 0.0001, Dw = 2.26873, Dh= -0.580 Peubah
176
Dari lima peubah eksogen yang dimasukkan ke dalam persamaan konsumsi BBM sektor industri, hanya peubah bedakala konsumsi BBM sektor industri yang berpengaruh nyata. Nilai parameter dugaan peubahan bedakala konsumsi BBM sektor industri sebesar 0.8050. Ini mengandung pengertian bahwa apabila konsumsi BBM sektor industri tahun sebelumnya meningkat 1000 SBM maka konsumsi BBM sektor industri tahun berjalan akan meningkat sebesar 805 SBM. Sementara itu, peubah bedakala harga BBM, pertumbuhan harga gas, bedakala harga listrik dan pertumbuhan PDB sektor industri tidak berpengaruh nyata secara statistik terhadap konsumsi BBM sektor industri. Selain BBM, sektor industri juga mengkonsumsi energi listrik, batubara, gas dan biomas baik secara parsial maupun secara simultan tergantung pada jenis dan kebutuhan industri. Dengan kata lain berbagai jenis energi yang digunakan dapat bersifat saling melengkapi (komplementer) ataupun bersifat saling menggantikan (substitusi). Hasil pendugaan parameter dan elastisitas pada persamaan konsumsi listrik sektor industri (IDEL) disajikan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan, namun hanya peubah bedakala konsumsi listrik sektor industri yang berbeda nyata dengan nol terhadap konsumsi listrik sektor industri. Hal ini mengandung pengertian bahwa apabila konsumsi listrik sektor industri tahun yang lalu cenderung meningkat maka konsumsi listrik sektor industri akan meningkat. Sementara itu, peubah bedakala harga listrik, BBM, gas, batubara dan bedakala PDB sektor industri tidak berpengaruh nyata secara statistik terhadap konsumsi BBM sektor industri.
177
Tabel 4. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Listrik Sektor Industri Parameter Elastisitas thitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 337.0924 0.02 0.9843 - Intercept LRPEL -0.00971 -0.84 0.4198 - Lag RPEL RPOIL -0.00225 -0.05 0.9641 - Harga BBM RPGAS 0.002283 0.53 0.6046 - Harga gas RPCOAL 0.157715 0.29 0.7779 - Harga batubara LINDP 0.240903 0.07 0.9432 - Lag INDP LIDEL 0.904678 6.35 <.0001 - Lag IDEL R2 = 0.97907, Fhitung = 85.75, Pr > F =0.0001, Dw = 2.5135, Dh =-1.10781893 Peubah
Untuk hasil pendugaan parameter dan elastisitas pada persamaan konsumsi batubara sektor industri (IDCO) disajikan pada Tabel 5. Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa seluruh peubah eksogen yang dimasukkan ke dalam persamaan memiliki tanda sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 5. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Batubara Sektor Industri Peubah
Parameter Dugaan
thitung
Pr > |t|
Elastisitas
ESR
Nama Peubah
ELR
Intercept -1.01E+07 -1.82 0.0942 - Intercept RPCOAL -16.299 -1.43 0.1787 -12.3920 - Harga batubara RPOIL -0.49424 -0.48 0.6377 - Harga BBM RPEL 0.393855 1.40 0.1872 2.9240 - Harga listrik INDP 149.8988 1.59 0.1370 0.8700 - PDB sektor industri Year 5314.61 1.89 0.0830 233.6090 - Trend R2 = 0.80759, Fhitung = 10.07, Pr > F =0.0006, Dw = 1.00475, Dh = -
Dari Tabel 5 menunjukkan bahwa peubah harga batubara berpengaruh negatif, sedangkan peubah harga listrik, PDB sektor industri, dan trend berpengaruh positif terhadap konsumsi batubara sektor industri. Harga listrik yang berpengaruh positif terhadap konsumsi batubara sektor industri mengindikasikan bahwa energi batubara dan listrik sektor industri bersifat saling menggantikan (bersubstitusi).
178
Seiring hal tersebut, Tabel 5 menunjukkan peubah trend berpengaruh positif terhadap konsumsi batubara sektor industri pada taraf nyata 10 persen, mengindikasikan
bahwa
konsumsi
batubara
sektor
lainnya
memiliki
kecenderungan meningkat. Nilai elastisitas konsumsi batubara sektor industri terhadap harga batubara, harga listrik dan trend yang lebih besar dari satu (dalam nilai absolut) dalam jangka pendek. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi batubara sektor industri responsif terhadap perubahan harga batubara, harga listrik dan trend. Nilai elastisitas konsumsi batubara sektor industri terhadap PDB sektor industri sebesar 0.870 dalam jangka pendek. Hal ini mengandung pengertian bahwa apabila PDB sektor industri tahun yang lalu meningkat 1 persen maka konsumsi batubara sektor industri akan meningkat 0.870 persen untuk jangka pendek. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa konsumsi batubara sektor industri tidak responsif terhadap perubahan PDB sektor industri. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas pada persamaan konsumsi gas sektor industri (IDG) disajikan pada Tabel 6. Dari Tabel 6 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 6. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Gas Sektor Industri Parameter Elastisitas thitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept -102592 -0.63 0.5388 - Intercept LRPGAS -0.02908 -0.83 0.4222 - Lag RPGAS RPOIL 0.049008 0.14 0.8926 - Harga BBM RPCOAL 2.891274 0.48 0.6418 - Harga batubara RPEL 0.063423 0.53 0.6043 - Harga listrik LINDP 21.13887 0.86 0.4080 - Lag INDP LIDG 0.693232 1.82 0.0968 - Lag IDG R2 = 0.87577, Fhitung = 12.92, Pr > F=0.0002, Dw= 2.252349, Dh=-0.50830868 Peubah
179
Dari Tabel 6 dapat diungkapkan bahwa peubah bedakala konsumsi gas sektor industri berpengaruhi positif terhadap konsumsi gas sektor industri dan berbeda nyata dengan no pada taraf nyata 10 persen. Nilai parameter konsumsi gas sektor industri tahun sebelumnya sebesar 0.6932, mengandung pengertian apabila konsumsi gas sektor industri tahun sebelumnya meningkat maka konsumsi gas sektor industri tahun berjalan akan meningkat. Selain mengkonsumsi energi fosil, sektor industri juga mengkonsumsi energi biomas. Biomas merupakan energi yang cukup besar dikonsumsi oleh sektor industri setelah BBM dan batubara. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas pada persamaan konsumsi biomas sektor industri (IDBIO) disajikan pada Tabel 7. Dari Tabel 7 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 7. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Biomas Sektor Industri Parameter Elastisitas Nama Peubah t hitung Pr > |t| Dugaan ESR ELR Intercept 19326.31 1.57 0.1413 - Intercept IHB -7.83427 -0.96 0.3559 - Indeks harga biomas RPOIL -0.12179 -1.65 0.1219 -0.2970 -6.7870 Harga BBM PINDP 559.1243 0.39 0.6995 - Pertumbuhan INDP LIDBIO 0.956225 8.36 <.0001 0.0000 0.0000 Lag IDBIO R2 = 0.87682, Fhitung = 23.13, Pr > F =<.0001, Dw=2.371036, Dh=-0.80334419 Peubah
Dari Tabel 7 menunjukkan bahwa konsumsi biomas sektor industri dipengaruhi oleh peubah harga BBM dan peubah bedakala konsumsi biomas sektor industri pada taraf nyata masing-masing 15 persen dan 1 persen. Nilai elastisitas konsumsi biomas sektor industri terhadap harga BBM sebesar -0.297 dalam jangka pendek dan -6.787 dalam jangka panjang. Nilai tersebut meningidikasikan bahwa konsumsi biomas sektor industri tidak responsif terhadap
180
perubahan harga BBM dalam jangka pendek, namun responsif dalam jangka panjang. Terhadap total konsumsi lima jenis energi utama oleh sektor industri, yaitu konsumsi BBM, listrik, batubara, gas, dan biomas dalam studi ini dirumuskan dalam persamaan identitas. Secara matematik persamaan identitas tersebut ditulis sebagai berikut: IDTO = IDOL + IDEL + IDCO + IDG + IDBIO Persamaan ini menunjukkan bahwa apabila terjadi gangguan atau terjadi perubahan kebijakan yang berhubungan dengan konsumsi BBM, konsumsi listrik, batubara, gas, dan konsumsi biomas oleh sektor industri akan mempengaruhi total konsumsi energi oleh sektor industri. Selanjutnya perubahan terhadap total konsumsi energi oleh sektor industri ini akan mempengaruhi peubah endogen lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung.
6.2.1.2. Konsumsi Energi oleh Sektor Rumahtangga Hasil pendugaan parameter dan elastisitas pada persamaan konsumsi BBM sektor rumahtangga (REOL) disajikan pada Tabel 8. Dari Tabel 8 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Peubah konsumsi biomas sektor rumahtangga, jumlah rumahtangga dan lag konsumsi BBM sektor rumahtangga berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 10 persen. Sementara itu, peubah harga BBM, pertambahan harga gas dan harga listrik tidak berpengaruh nyata secara statistik terhadap konsumsi BBM sektor rumahtangga.
181
Tabel 8. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi BBM Sektor Rumahtangga Parameter Elastisitas Nama Peubah t hitung Pr > |t| Dugaan ESR ELR Intercept 51756.11 1.96 0.0756 - Intercept LRPOIL -0.14298 -0.84 0.4202 - Lag RPOIL DRPGAS 0.00318 0.29 0.7794 - Pertam.harga gas RPEL 0.03572 0.83 0.4255 - Harga listrik REBIO -0.56055 -2.24 0.0466 -2.3330 -13.2920 Kons. biomas RT JRT 1.573206 1.79 0.1005 1.5940 9.0820 Jumlah RT LREOL 0.824462 3.10 0.0101 - Lag REOL 2 R = 0.86444, Fhitung = 11.69, Pr > F= 0.0003, Dw=2.449608, Dh=-0.9446657 Peubah
Sektor rumahtangga juga mengkonsumsi energi listrik, gas dan biomas baik secara parsial maupun secara simultan tergantung pada kebutuhan masingmasing rumahtangga. Dengan kata lain berbagai jenis energi yang digunakan dapat bersifat saling melengkapi (komplementer) ataupun bersifat saling menggantikan (bersubstitusi).
Dari Tabel 8, konsumsi biomas sektor
rumahtangga berpengaruhi negatif terhadap konsumsi BBM sektor rumahtangga. Apabila konsumsi biomas meningkat maka konsumsi BBM akan turun. Hal ini menunjukkan bahwa antara energi BBM dan biomas pada sektor rumahtangga dapat saling menggantikan. Nilai elastisitas konsumsi BBM sektor rumahtangga terhadap konsumsi biomas sektor rumahtangga dan jumlah rumahtangga elastis dalam jangka pendek dan panjang. Hal ini menunjukkan bahwa apabila ada perubahan terhadap konsumsi biomas sektor rumahtangga dan jumlah rumahtangga akan memberikan pengaruh yang besar terhadap konsumsi BBM rumahtangga. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas pada persamaan konsumsi listrik sektor rumahtangga (REEL), sebagaimana disajikan pada Tabel 9, dapat dilihat bahwa seluruh peubah eksogen yang dimasukkan ke dalam persamaan
182
memiliki tanda sesuai dengan yang diharapkan dan berbeda nyata dengan nol paling tidak pada taraf nyata 20 persen. Peubah bedakala harga listrik berpengaruh negatif, sedangkan peubah pertambahan PDB total dan lag konsumsi listrik sektor rumahtangga berpengaruh positif terhadap konsumsi listrik sektor rumahtangga. Tabel 9. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Listrik Sektor Rumahtangga Parameter Elastisitas t hitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 1078.499 0.37 0.7153 - Intercept LRPEL -0.01445 -2.37 0.0354 -0.275 -5.279 Lag RPEL RPOIL 0.010238 0.51 0.6203 - Harga BBM DPDB 3.177952 1.72 0.1119 0.016 0.299 Pertambahan PDB JRT 0.087252 1.22 0.2463 - Jumlah rumahtangga LREEL 0.947897 16.28 <.0001 - Lag REEL R2 = 0.99775, Fhitung = 1065.16, Pr > F= <.0001, Dw= 1.428277, Dh= 1.243926446 Peubah
Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai elastisitas konsumsi listrik sektor rumahtangga terhadap harga listrik tahun yang lalu sebesar 0.275 dalam jangka pendek dan 5.279 dalam jangka panjang. Nilai tersebut memiliki arti apabila harga listrik tahun lalu meningkat sebesar 10 persen maka konsumsi listrik sektor rumahtangga turun sebesar 2.75 persen dalam jangka pendek dan 52.79 persen dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasi bahwa konsumsi listrik sektor rumahtangga tidak responsif terhadap perubahan harga listrik dalam jangka pendek, namun responsif dalam jangka panjang. Sementara itu, nilai elastisitas konsumsi listrik sektor rumahtangga terhadap pertambahan PDB lebih kecil dari 1 (satu) baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi listrik sektor rumahtangga tidak responsif terhadap perubahan pertambahan PDB baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
183
Untuk hasil pendugaan parameter dan elastisitas pada persamaan konsumsi gas sektor rumahtangga (REG) disajikan pada Tabel 10. Dari Tabel 10 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Peubah harga gas bertanda negatif dan peubah harga listrik dan lag konsumsi gas sektor rumahtangga bertanda positif berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 20 persen dan 10 persen. Tabel 10. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Gas Sektor Rumahtangga Parameter Elastisitas thitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 14904.42 0.78 0.4542 - Intercept RPGAS -0.00697 -1.79 0.1030 -0.328 -2.859 Harga gas RPOIL 0.002546 0.06 0.9554 - Harga BBM RPEL 0.033367 2.95 0.0145 2.157 18.813 Harga listrik REBIO -0.18014 -1.11 0.2932 - Konsumsi biomas RT PDB 7.434226 1.84 0.0956 0.896 7.816 PDB total JRT 0.182129 0.48 0.6411 - Jumlah rumahtangga LREG 0.885334 1.22 0.2505 - Lag REG R2 = 0.93759, Fhitung = 21.46, Pr > F= <.0001, Dw= 1.99972, Dh= 0.000419861 Peubah
Dari Tabel 10 menunjukkan nilai elastisitas konsumsi gas sektor rumahtangga terhadap harga gas dan PDB inelastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi gas sektor rumahtangga tidak responsif terhadap perubahan harga gas dan PDB dalam jangka pendek, namun responsif dalam jangka panjang. Nilai elastisitas konsumsi gas sektor rumahtangga terhadap harga listrik elastis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Selanjutnya, hasil pendugaan parameter dan elastisitas pada persamaan konsumsi biomas sektor rumahtangga (REBIO) disajikan pada Tabel 11. Dari Tabel 11 menunjukkan bahwa konsumsi biomas sektor rumahtangga dipengaruhi oleh peubah jumlah rumahtangga dan peubah bedakala konsumsi biomas sektor
184
rumahtangga pada taraf nyata 1 persen. Nilai elastisitas konsumsi biomas sektor rumahtangga terhadap peubah jumlah rumahtangga inelastis dalam jangka pendek dan panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan jumlah rumahtangga memberikan dampak yang kecil terhadap konsumsi biomas sektor rumahtangga dalam jangka pendek dan panjang. Tabel 11. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Biomas Sektor Rumahtangga Parameter Elastisitas thitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 14171.44 0.64 0.5335 - Intercept IHB -0.12262 -0.05 0.9639 - Indeks harga biomas RPOIL 0.002981 0.06 0.9496 - Harga BBM LRPGAS 0.001715 0.50 0.6299 - Lag RPGAS PDB 0.378476 0.10 0.9202 - PDB total JRT 0.366602 1.52 0.1557 0.089 0.593 Jumlah rumahtangga LREBIO 0.849451 5.13 0.0003 - Lag REBIO R2 = 0.99739, Fhitung = 700.13, Pr > F= <.0001, Dw= 2.046614, Dh= -0.10018994 Peubah
Terhadap total konsumsi empat jenis energi utama oleh sektor rumahtangga, yaitu konsumsi BBM, listrik, gas, dan biomas dalam studi ini dirumuskan dalam persamaan identitas. Secara matematik persamaan identitas tersebut ditulis sebagai berikut: RETO = REOL + REEL + REG + REBIO Persamaan ini menunjukkan bahwa apabila terjadi gangguan atau terjadi perubahan kebijakan yang berhubungan dengan konsumsi BBM, konsumsi listrik, konsumsi gas,
dan
konsumsi
biomas
oleh
sektor
rumahtangga
akan
mempengaruhi total konsumsi energi oleh sektor rumahtangga. Selanjutnya perubahan terhadap konsumsi keempat jenis energi utama oleh sektor rumahtangga ini akan mempengaruhi peubah endogen lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung.
185
6.2.1.3. Konsumsi Energi oleh Sektor Transportasi Hasil pendugaan parameter dan elastisitas pada persamaan konsumsi BBM transportasi darat (TRRTO) disajikan pada Tabel 12. Dari Tabel 12 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 12. Hasil Pendugaan Transportasi Darat Peubah Intercept LRPOIL RPGAS PVEHI
Parameter Dugaan 31005.38 -0.06418 0.033288 8334.102
Parameter
thitung
Pr > |t|
1.03 -0.26 1.84 0.27
0.3248 0.8025 0.0911 0.7884
dan
Elastisitas
Elastisitas ESR ELR 0.066 0.256 -
Konsumsi
BBM
Nama Peubah
Intercept Lag RPOIL Harga gas Pertumbuhan jumlah transportasi darat LTRP 82.52406 1.01 0.3309 - Lag TRP LTRRTO 0.741802 5.44 0.0002 - Lag TRRTO R2 = 0.97974, Fhitung = 116.04, Pr > F= <.0001, Dw= 1.924327, Dh=`0.163382698
Tabel 12 menunjukkan peubah harga gas dan lag konsumsi BBM transportasi darat berngaruh positif terhadap konsumsi BBM transportasi darat dan berbeda nyata pada taraf 10 persen. Harga gas yang berpengaruh positif terhadap konsumsi BBM transportasi darat mengindikasikan bahwa energi BBM dan gas oleh sektor industri bersifat saling menggantikan (bersubstitusi). Nilai elastisitas konsumsi BBM transportasi darat terhadap harga gas inelastis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan harga gas memberikan dampak yang kecil terhadap perubahan konsumsi BBM transportasi darat dalam jangka pendek dan panjang. Untuk hasil pendugaan parameter dan elastisitas pada persamaan konsumsi BBM sektor transportasi lainnya (TROTTO) disajikan pada Tabel 13. Dari Tabel
186
13 dapat dilihat bahwa seluruh peubah eksogen yang dimasukkan ke dalam persamaan memiliki tanda sesuai dengan yang diharapkan Tabel 13. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi BBM Sektor Transportasi Lainnya Parameter Elastisitas thitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 947926.7 1.05 0.3143 - Intercept LRPOIL -0.06419 -0.61 0.5501 - Lag RPOIL RPGAS 0.001676 0.2 0.8434 - Harga gas TRP 68.2944 1.58 0.1404 0.331 0.501 PDB transportasi Year -467.981 -1.03 0.3223 - Trend LTROTTO 0.339053 1.07 0.3064 - Lag TROTTO R2 = 0.49675, Fhitung = 2.37, Pr > F= 0.1026, Dw=1.665325, Dh=0.691694296 Peubah
Dari Tabel 13 dapat diungkapkan bahwa peubah PDB sektor transportasi berpengaruh positif terhadap konsumsi BBM transportasi lainnya dan berbeda nyata secara statistik pada taraf nyata 15 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan PDB sektor transportasi akan meningkatkan konsumsi BBM transportasi lainnya. Nilai elastisitas konsumsi BBM transportasi lainya terhadap PDB sektor transportasi inelastis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Untuk konsumsi BBM (TROL)
dan total konsumsi energi sektor
transportasi (TRTO) dirumuskan dalam persamaan identitas. Total konsumsi BBM transportasi (TROL) merupakan penjumlahan dari konsumsi BBM transportasi darat (TRRTO) dengan konsumsi BBM transportasi darat lainnya (TROTTO). Total konsumsi energi sektor transportasi merupakan penjumlahan total konsumsi BBM, konsumsi listrik dan konsumsi gas sektor transportasi. Secara matematik persamaan identitas ini ditulis sebagai berikut: TROL = TRRTO + TROTTO TRTO = TROL + TREL + TRG
187
Persamaan ini menunjukkan bahwa apabila terjadi gangguan atau terjadi perubahan kebijakan yang berhubungan dengan konsumsi BBM oleh transportasi darat dan transportasi lainnya akan mempengaruhi total konsumsi BBM oleh sektor transportasi. Selanjutnya perubahan terhadap konsumsi BBM oleh sektor transportasi akan mempengaruhi peubah endogen lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketersediaan energi, khususnya BBM sangat mempengaruhi jumlah transportasi darat, baik transportasi darat non penumpang (kendaraan bermotor milik pribadi maupun kendaraan bermotor non penumpang lainnya) maupun transportasi darat penumpang (angkutan kota, minibus dan bus). Oleh karenanya penting untuk melihat pengaruh ketersediaan BBM baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap jumlah transportasi darat sebagai sarana transportasi utama dalam mobilisasi masyarakat. Untuk hasil pendugaan parameter dan elastisitas pada persamaan jumlah transportasi darat non penumpang disajikan pada Tabel 14. Dari Tabel 14 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 14. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Transportasi Darat Non Penumpang Parameter Elastisitas thitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 6342.108 0.90 0.3831 - Intercept RPOIL -0.05315 -0.96 0.3532 - Harga BBM TRP 75.2085 2.04 0.0627 0.227 2.596 PDB trans PSKBR -0.5113 -1.11 0.2877 - Pertum. suku bunga LVEHICOM 0.912679 5.97 <.0001 - Lag VEHICOM R2 = 0.99364, Fhitung = 507.43, Pr > F= <.0001, Dw= 2.614477, Dh= -1.32345549 Peubah
188
Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa peubah PDB sektor transportasi darat dan peubah lag jumlah transportasi darat non penumpang berpengaruh positif terhadap jumlah transportasi darat non penumpang, masing-masing pada taraf nyata dibawah 10 persen. Nilai elastisitas jumlah transportasi darat non penumpang terhadap PDB sektor transportasi sebesar 0.227 untuk jangka pendek dan 2.596 untuk jangka panjang. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti bahwa apabila PDB sektor transportasi meningkat sebesar 10 persen maka jumlah transportasi darat non penumpang akan meningkat sebesar 2.27 persen dalam jangka pendek dan akan meningkat sebesar 25.96 persen dalam jangka panjang. Oleh karenanya dapat dinyatakan bahwa jumlah transportasi darat non penumpang tidak responsif terhadap perubahan PDB sektor transportasi untuk jangka pendek, namun responsif untuk jangka panjang. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas pada persamaan jumlah transportasi darat penumpang disajikan pada Tabel 15. Dari Tabel 15 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 15. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Transportasi Darat Penumpang Parameter Elastisitas thitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 2134.524 1.20 0.2509 - Intercept RPOIL -0.01711 -1.21 0.2468 - Harga BBM TRP 17.40695 2.41 0.0312 0.2929 1.6867 PDB trans PSKBR -0.07217 -0.59 0.5650 - Pertum. suku bunga LVEHIPAS 0.82637 4.79 0.0004 - Lag VEHIPAS R2 = 0.98515, Fhitung = 215.64, Pr > F = <.0001, Dw= 2.416528, Dh= 0.89420018 Peubah
Hasil pendugaan parameter persamaan jumlah transportasi darat penumpang mirip dengan hasil pendugaan parameter persamaan jumlah
189
transportasi darat non penumpang. Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa peubah PDB sektor transportasi dan peubah bedakala jumlah transportasi darat penumpang berpengaruh positif terhadap jumlah transportasi darat penumpang pada taraf nyata dibawah10 persen. Nilai elastisitas jumlah transportasi darat penumpang terhadap PDB sektor transportasi sebesar 0.2929 untuk jangka pendek dan 1.6867 untuk jangka panjang. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti bahwa apabila PDB sektor transportasi meningkat sebesar 10 persen maka jumlah transportasi darat penumpang akan meningkat sebesar 2.929 persen dalam jangka pendek dan akan meningkat sebesar 16.867 persen dalam jangka panjang. Oleh karenanya dapat dinyatakan bahwa jumlah transportasi darat penumpang tidak responsif terhadap perubahan PDB sektor transportasi untuk jangka pendek, namun responsif untuk jangka panjang. Terhadap jumlah transportasi darat dirumuskan dalam bentuk persamaan identitas. Jumlah transportasi darat merupakan penjumlahan jumlah transportasi darat non penumpang (VEHICOM) dan transportasi darat penumpang (VEHIPAS). Secara matematik persamaan identitas ini ditulis sebagai berikut: VEHI = VEHICOM + VEHIPAS Persamaan ini menunjukkan bahwa apabila terjadi gangguan atau terjadi perubahan kebijakan yang berhubungan dengan jumlah transportasi darat non penumpang dan jumlah transportasi darat penumpang akan mempengaruhi jumlah transportasi darat. Selanjutnya perubahan terhadap jumlah transportasi darat akan mempengaruhi peubah endogen lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung.
190
6.2.1.4. Konsumsi Energi Sektor Pertanian Berdasarkan data energi, sektor pertanian hanya mengkonsumsi BBM dalam aktivitasnya. Dengan kata lain total konsumsi energi oleh sektor pertanian sama dengan konsumsi BBM oleh sektor ini. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas pada persamaan konsumsi BBM oleh sektor pertanian disajikan pada Tabel 16. Dari Tabel 16 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 16. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi BBM Sektor Pertanian Parameter Elastisitas t hitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 1017.113 0.11 0.9166 - Intercept DRPOIL -0.00255 -0.03 0.9733 - Pertam. harga BBM RPEL 0.010495 0.43 0.6721 - Harga listrik PAGRP 1137.275 0.58 0.5743 - Pertumbuhan AGRP PSKBR -3.16964 -3.05 0.0102 -0.019 -0.131 Pertum. suku bunga LAGROL 0.854752 6.02 <.0001 - Lag AGROL 2 R = 0.76559, Fhitung = 7.84, Pr > F =0.0017, Dw= 1.251256, Dh= 1.615309878 Peubah
Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa konsumsi BBM sektor pertanian dipengaruhi oleh peubah pertumbuhan suku bunga dan lag konsumsi BBM sektor pertanian pada taraf nyata 1 persen. Nilai elastisitas konsumsi BBM sektor pertanian terhadap pertumbuhan suku bunga inelastis dalam jangka pendek dan panjang. Hal ini menujukkan bahwa pertumbuhan suku bunga memberikan dampak yang kecil terhadap konsumsi BBM sektor pertanian.
6.2.1.5. Konsumsi Energi oleh Sektor Lainnya Hasil pendugaan parameter dan elastisitas konsumsi BBM sektor lainnya (OCOL) disajikan pada Tabel 17. Dari Tabel 17 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang
191
diharapkan. Peubah harga batubara dan lag konsumsi BBM sektor lainnya berpengaruh nyata positif terhadap konsumsi BBM sektor lainnya dan berbeda nyata pada taraf nyata 20 persen dan 1 persen. Tabel 17. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi BBM Sektor Lainnya Parameter Elastisitas thitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept -16842.2 -1.29 0.2227 - Intercept LRPOIL -0.01765 -0.45 0.6597 - Lag RPOIL RPGAS -0.00187 -0.55 0.5926 - Harga gas RPEL 0.009607 0.99 0.3419 - Harga listrik RPCOAL 0.541421 1.40 0.1881 2.691 8.183 Harga batubara POCP 204.9089 0.36 0.7287 - Pertumbuhan OCP LOCOL 0.671141 3.57 0.0044 - Lag OCOL R2 = 0.88413, Fhitung = 13.99, Pr > F= 0.0001, Dw= 1.395181, Dh= 1.294667902 Peubah
Tabel 17 menunjukkan nilai elastisitas konsumsi BBM sektor lainnya terhadap harga batubara sebesar 2.691 dalam jangka pendek dan 8.183 dalam jangka panjang. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti bahwa apabila harga batubara meningkat sebesar 10 persen maka jumlah konsumsi BBM sektor lainnya akan meningkat sebesar 26.91 persen dalam jangka pendek dan akan meningkat sebesar 81.83 persen dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi BBM sektor lainnya responsif terhadap perubahan harga batbara dalam jangka pendek dan jangka panjang. Untuk hasil pendugaan parameter dan elastisitas konsumsi gas sektor lainnya (OCG) disajikan pada Tabel 18. Dari Tabel 18 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Peubah indeks harga gas berpengaruh negatif terhadap konsumsi gas sektor lainnya pada taraf nyata 20 persen dan peubah PDB sektor lainnya
192
berpengaruh positif terhadap konsumsi gas sektor lainnya pada taraf nyata 10 persen. Tabel 18. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Gas Sektor Lainnya Parameter Elastisitas thitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 2488.707 2.11 0.0548 - Intercept IHG -2.67311 -1.47 0.1657 -1.812 -2.396 Indeks harga gas RPOIL -0.01223 -1.32 0.2081 - Harga BBM OCP 6.533856 1.78 0.0985 0.304 0.403 PDB sektor lainnya LOCG 0.243814 0.92 0.3731 - Lag OCG R2 = 0.39902, Fhitung = 2.16, Pr > F = 0.1313, Dw= 1.911091, Dh= 0.18688073 Peubah
Dari Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai elastisitas konsumsi gas sektor lainnya terhadap indek harga gas sebesar -1.812 dalam jangka pendek dan -2.396 jangka panjang. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti bahwa apabila harga gas meningkat sebesar 10 persen maka jumlah konsumsi gas sektor lainnya akan menurun sebesar 18.12 persen jangka pendek dan akan menurun sebesar 23.96 persen dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi gas oleh sektor lainnya responsif terhadap perubahan harga gas jangka pendek dan jangka panjang. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas konsumsi listrik sektor lainnya (OCEL) disajikan pada Tabel 19. Dari Tabel 19 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Dari tujuh peubah eksogen yang dimasukkan ke dalam persamaan konsumsi listrik sektor lainnya hanya peubah bedakala konsumsi listrik sektor lainnya yang berpengaruh nyata terhadap konsumsi listrik sektor lainnya, yakni berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 1 persen.
193
Tabel 19. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Listrik Sektor Lainnya Parameter Elastisitas thitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 1701.134 0.28 0.7845 - Intercept RPEL -0.00430 -0.99 0.3458 - Harga listrik RPOIL -0.00157 -0.09 0.9289 - Harga BBM RPGAS 0.000264 0.13 0.8997 - Harga gas RPCOAL 0.004413 0.02 0.9833 - Harga batubara IHB 0.011662 0.01 0.9914 - Indeks harga biomas OCP 3.785705 0.28 0.7847 - PDB sektor lainnya LOCEL 1.046248 5.88 0.0002 - Lag OCEL R2 = 0.99678, Fhitung = 442.31, Pr > F= <.0001, Dw= 2.232695, Dh= -0.49906498 Peubah
Selanjutnya hasil pendugaan parameter dan elastisitas konsumsi biomas sektor lainnya, sebagaimana disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 menunjukkan bahwa peubah pertumbuhan PDB sektor lainnya dan lag konsumsi biomas sektor lainnya berpengaruh positif terhadap konsumsi biomas sektor lainnya pada taraf nyata 1 persen. Tabel 20. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Konsumsi Biomas Sektor Lainnya Peubah Intercept IHB RPOIL DRPGAS POCP
Parameter Dugaan 391.2614 -0.07217 0.00023 -0.00002 102.0585
t hitung
Pr > |t|
0.90 -0.29 0.06 -0.06 1.37
0.3858 0.7764 0.9529 0.9504 0.1971
Elastisitas ESR ELR 0.017 0.061
Nama Peubah
Intercept Indeks harga biomas Harga BBM Pertambahan harga gas Pertumbuhan PDB sektor lainnya LOCBIO 0.720385 7.83 <.0001 - Lag OCBIO R2 = 0.87518, Fhitung = 16.83, Pr > F= <.0001, Dw= 1.778204, Dh= 0.481344894
Dari Tabel 20 dapat dilihat bahwa nilai elastisitas konsumsi biomas sektor lainnya terhadap pertumbuhan PDB sektor lainnya sebesar 0.017 dalam jangka pendek dan 0.061 dalam jangka panjang. Nilai memiliki arti apabila PDB sektor lainnya meningkat sebesar 10 persen maka konsumsi biomas akan meningkat sebesar 0.17 persen dalam jangka pendek dan 0.61 persen dalam jangka panjang.
194
Terhadap total konsumsi energi sektor lainnya (OCTO) dinyatakan sebagai persamaan indentitas, yang merupakan penjumlahan konsumsi BBM, konsumsi gas, konsumsi listrik, dan konsumsi biomas sektor lainnya. Secara matematik persamaan identitas ini ditulis sebagai berikut: OCTO = OCOL + OCG + OCEL + OCBIO Persamaan ini menunjukkan bahwa apabila terjadi gangguan atau terjadi perubahan kebijakan yang berhubungan dengan konsumsi BBM, konsumsi listrik, konsumsi gas, dan konsumsi biomas sektor lainnya akan mempengaruhi total konsumsi energi sektor lainnya. Selanjutnya perubahan terhadap total konsumsi energi oleh sektor lainnya akan mempengaruhi peubah endogen lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung.
6.2.1.6. Konsumsi Energi Total Sebagaimana telah diungkapkan pada awal sub-bab 5.2.1, analisis dalam studi ini dilakukan dengan membagi konsumsi energi menurut sektor dan jenis energi mengacu pada ketersediaan data dan tujuan penelitian yang diharapkan. Menurut sektor, konsumsi energi dibagi menjadi lima sektor, yaitu konsumsi energi oleh sektor industri, sektor rumahtangga, sektor transportasi, sektor pertanian dan sektor lainnya. Sementara itu, jenis energi yang dianalisis meliputi BBM, listrik, batubara, gas dan biomas. Persamaan total konsumsi akhir energi semua sektor (FCTO), total konsumsi BBM (FCOL), total konsumsi listrik (FCEL), total konsumsi batubara (FCCO), total konsumsi gas (FCG), dan persamaan total konsumsi biomas
195
(FC_BIO) dirumuskan dalam persamaan identitas. Secara matematik, persamaanpersamaan tersebut ditulis sebagai berikut: FCTO
= IDTO + RETO + TRTO + AGRTO + OCTO + NEU
FCOL
= IDOL + TROTO + REOL + AGR_OL + OCOL + NEU
FCEL
= IDEL + REEL + TREL + OCEL
FCCO
= IDCO
FCG
= IDG + REG + TRG + OCG
FCBIO = IDBIO + REBIO + OCBIO Berdasarkan data energi Indonesia
yang diterbitkan oleh Kementerian
Energi dan Sumberdaya Mineral (KESDM), seluruh sektor mengkonsumsi BBM, yakni sektor industri, sektor transportasi, sektor rumahtangga, sektor pertanian, dan sektor lainnya, dan sektor-sektor konsumsi non minyak. Untuk sektor yang mengkonsumsi listrik dan gas, meliputi sektor industri, sektor rumahtangga, sektor trasportasi, dan sektor lainnya, sedangkan data konsumsi listrik dan gas oleh sektor pertanian belum tersedia. Selanjutnya untuk sektor yang mengkonsumsi batubara, dalam neraca energi Indonesia hanya tercatat sektor industri. Dengan kata lain, total konsumsi batubara sama dengan total konsumsi batubara oleh sektor industri. Untuk memperoleh hubungan antara persamaan yang saling terkait (simultan), persamaan total konsumsi biomass dirumuskan sebagai penjumlahan konsumsi biomas sektor industri, konsumsi biomas sektor rumahtangga, dan konsumsi biomas sektor lainnya.
196
6.2.2. Transformasi Energi Dalam Perekonomian Indonesia Transformasi energi merupakan suatu proses mengolah/mengubah energi primer menjadi energi sekunder (final enegy) . Energi sekunder merupakan energi yang siap untuk digunakan/dikonsumsi oleh berbagai sektor dalam perekonomian. Oleh karena itu transformasi energi menjadi penting dalam ketersediaan energi dan mengacu pada neraca energi Indonesia. Analisis dalam studi ini mencakup pendugaan parameter dan elastisitas transformasi energi untuk kilang minyak (OTPP), transformasi energi listrik (OTEL), dan transformasi energi gas (OTG). Hasil pendugaan parameter dan elastisitas transformasi energi untuk kilang minyak (OTPP) disajikan pada Tabel 21. Dari Tabel 21 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 21. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Transformasi Energi Kilang Minyak Parameter Elastisitas t hitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept -32060.6 -1.17 0.2635 - Intercept POILWD 465.3787 2.22 0.0452 0.060 0.118 Harga minyak dunia DRFCR 0.05021 0.27 0.7918 - Pertambahan RFCR RCCR 3.613918 2.81 0.0149 0.587 1.148 Kapasitas kilang LOTPP 0.489065 3.18 0.0072 - Lag OTPP R2 = 0.9490, Fhitung = 60.48, Pr > F = <.0001, Dw= 1.550319, Dh= 0.968416578 Peubah
Dari Tabel 21 dapat dilihat peubah harga minyak dunia dan kapasitas kilang minyak berpengaruh positif terhadap transformasi energi untuk kilang minyak dan berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata dibawah 5 persen. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa apabila harga minyak dunia dan kapasitas kilang minyak meningkat maka transformasi energi untuk kilang minyak akan meningkat.
197
Nilai elastisitas transformasi energi untuk kilang minyak terhadap harga minyak dunia inelastis dalam jangka pendek dan panjang. Sementara itu, nilai elastistas transformasi energi untuk kilang minyak terhadap kapasitas kilang minyak inelastis dalam jangka pendek, namun elastis dalam janagka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan terhadap harga minyak dunia memberikan pengaruh yang kecil terhadap perubahan transformasi energi kilang minyak dalam jangka pendek dan panjang. Sebaliknya, perubahan kapasitas kilang minyak memberikan pengaruh yang besar terhadap transformasi energi kilang minyak dalam jangka panjang. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas transformasi energi untuk listrik (OTEL) disajikan pada Tabel 22. Dari Tabel 22 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 22. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Transformasi Energi Listrik Parameter Elastisitas t hitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept -23164.6 -1.93 0.0754 - Intercept DRPEL 0.103414 0.39 0.7050 - Pertambahan harga listrik EGTO 0.259542 2.93 0.0116 0.928 2.494 Input total untuk listrik DCPLN 0.98384 0.63 0.5402 - Pertambahan CPLN LOTEL 0.627809 3.26 0.0062 - Lag OTEL R2 = 0.92158, Fhitung = 38.19, Pr > F= <.0001, Dw= 1.53308, Dh= 0.998541675 Peubah
Dari Tabel 22 dapat dilihat bahwa peubah input total untuk pembangkit listrik dan peubah lag transformasi energi untuk pembangkit listrik berpengaruh positif terhadap transformasi energi untuk pembangkit listrik berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 1 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila total input untuk pembangkit listrik dan transformasi energi untuk pembangkit listrik
198
tahun sebelumnya cenderung meningkat, maka transformasi energi untuk listrik akan meningkat. Nilai elastisitas transformasi energi untuk pembangkit listrik terhadap total input untuk pembangkit listrik sebesar 0.928 dalam jangka pendek dan 2.494 dalam jangka panjang. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti bahwa apabila total input untuk pembangkit listrik meningkat sebesar 10 persen maka transformasi energi untuk listrik akan meningkat sebesar 9.28 persen dalam jangka pendek dan 24.94 persen dalam jangka panjang. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa transformasi energi untuk pembangkit listrik tidak responsif terhadap perubahan total input untuk pembangkit listrik dalam jangka pendek, namun responsif dalam jangka panjang. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas transformasi energi gas (OTG) disajikan pada Tabel 23. Dari Tabel 23 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 23. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Transformasi Energi Gas Elastisitas Nama Peubah ESR ELR Intercept 3.11 0.0090 - Intercept LRPGAS 1.55 0.1475 0.046 0.251 Lag RPGAS PCADGAS 2.14 0.0532 0.010 0.057 Pertumbuhan Cadangan Gas PFCG 48623.96 1.68 0.1196 15028.321 81887.498 Pertumbuhan FCG Year -2965.47 -3.08 0.0096 -23.701 -129.144 Trend LOTG 0.816476 7.64 <.0001 - Lag OTG 2 R = 0.87966, Fhitung = 17.54, Pr > F= <.0001, Dw= 1.386976, Dh= 1.455328358 Peubah
Parameter Dugaan 5958428 0.051454 83724.51
thitung
Pr > |t|
Dari Tabel 23 dapat dilihat peubah harga gas tahun lalu, pertumbuhan cadangan gas, pertumbuhan total konsumsi gas dan lag transformasi energi gas berpengaruh positif terhadap transformasi energi gas dan berbeda nyata dengan
199
nol pada taraf nyata 15 persen dan 1 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila harga gas tahun lalu, pertumbuhan cadangan gas, pertumbuhan total konsumsi gas dan lag transformasi energi gas meningkat, maka transformasi energi gas akan meningkat. Sebaliknya trend berpengaruh negatif terhadap transformasi energi gas. Nilai elastisitas transformasi energi gas terhadap harga gas tahun lalu dan cadangan gas inelastis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Sebaliknya nilai elastisitas transformasi energi gas terhadap pertumbuhan total konsumsi gas dan trend elastis dalam jangka pendek dan panjang. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan harga gas tahun lalu dan cadangan gas memberikan dampak yang kecil terhadap transformasi energi gas dalam jangka pendek dan panjang. Sebaliknya perubahan pertumbuhan total konsumsi gas dan trend memberikan pengaruh yang besar terhadap transformasi energi gas dalam jangka pendek dan panjang. Disamping transformasi energi yang mengubah energi primer menjadi energi
yang
siap
dikonsumsi,
sehubungan
dengan
pembangkit
listrik
menggunakan energi sekunder. Energi sekunder adalah energi yang digunakan untuk membangkit energi yang siap untuk dikonsumsi, yaitu energi dalam bentuk input listrik, input gas, input BBM, input batubara dan air untuk pembangkit listrik. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas input listrik untuk pembangkit listrik (EGEL) disajikan pada Tabel 24. Dari Tabel 24 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Peubah harga barubara berpengaruh negatif terhadap input listrik untuk pembangkit listrik dan berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 10 persen.
200
Transformasi energi listrik berpengaruhi positif terhadap input listrik untuk pembangkit listrik dan berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 1 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila harga batubara meningkat maka input listrik untuk pembangkit listrik akan menurun. Sebaliknya, apabila transformasi energi listrik meningkat, maka input listrik untuk pembangkit listrik akan meningkat. Tabel 24. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Input Listrik untuk Pembangkit Listrik Parameter thitung Dugaan Intercept 1444288 1.19 RPEL -0.00088 -0.02 RPCOAL -6.30893 -3.01 RPOIL -0.26149 -1.18 OTEL 1.209699 23.97 Year -612.357 -0.97 LEGEL 0.007778 0.16 R2 = 0.99717, Fhitung = 646.23, Pr Peubah
Elastisitas Nama Peubah ESR ELR 0.2594 - Intercept 0.9875 - Harga listrik 0.0120 -3.499 -3.526 Harga batubara 0.2627 - Harga BBM <.0001 1.506 1.517 Transformasi listrik 0.3535 - Trend 0.8751 - Lag EGEL > F= <.0001, Dw= 2.058531, Dh= -0.12741616 Pr > |t|
Pada Tabel 24 dapat dilihat nilai elastisitas input listrik untuk pembangkit listrik terhadap harga batubara sebesar -3.499 dalam jangka pendek dan -3.526 dalam jangka panjang. Dan nilai elastisitas input listrik untuk pembangkit listrik terhadap transformasi energi lisrik sebesar 1.506 dalam jangka pendek dan 1.517 dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa input listrik untuk pembangkit listrik terhadap harga batubara dan transformasi energi listrik elastis dalam jangka pendek dan panjang. Perubahan terhadap harga batubara dan transformasi energi listrik memberikan dampak yang besar terhadap perubahan input listrik untuk pembangkit listrik. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa input listrik untuk pembangkit listrik responsif terhadap perubahan harga batubara dan transformasi energi listrik dalam jangka pendek dan jangka panjang.
201
Hasil pendugaan parameter dan elastisitas input gas untuk pembangkit listrik (EGG) disajikan pada Tabel 25. Dari Tabel 25 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 25. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Input Gas untuk Pembangkit Listrik Parameter Elastisitas Nama Peubah thitung Pr > |t| Dugaan ESR ELR Intercept -312390 -1.42 0.1826 - Intercept LRPGAS -0.06897 -1.32 0.2125 - Lag RPGAS RPCOAL 8.432169 1.37 0.1982 8.237 18.680 Harga batubara IHB 13.81275 0.40 0.6957 - Indeks harga biomas PXGAS -4681.1 -0.08 0.9407 - Pertumbuhan Ekspor gas OTG 0.199092 0.91 0.3813 - Transformasi gas LEGG 0.559031 1.97 0.0750 - Lag EGG R2 = 0.71878, Fhitung = 4.69, Pr > F= 0.0132, Dw= 1.709625, Dh= 0.606747508 Peubah
Pada Tabel 25 dapat dilihat peubah harga batubara dan peubah lag input gas untuk pembangkit listrik berpengaruh positif terhadap input gas untuk pembangkit listrik, masing-masing berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 20 persen dan 10 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila harga batubara meningkat dan input gas untuk pembangkit listrik tahun sebelumnya cenderung meningkat maka input gas untuk pembangkit listrik akan meningkat. Nilai elastisitas input gas untuk pembangkit listrik terhadap harga batubara sebesar 8.237 dalam jangka pendek dan 18.680 dalam jangka panjang. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti bahwa apabila transformasi energi gas meningkat sebesar 10 persen maka input gas untuk pembangkit listrik akan meningkat sebesar 82.37 persen dalam jangka pendek dan 186.80 persen dalam jangka panjang. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa input gas untuk pembangkit
202
listrik tidak responsif terhadap perubahan transformasi energi gas dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas input BBM untuk pembangkit listrik (EGOL) disajikan pada Tabel 26. Dari Tabel 26 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 26. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Input BBM untuk Pembangkit Listrik Parameter Elastisitas Nama Peubah thitung Pr > |t| Dugaan ESR ELR Intercept -96635.4 -0.89 0.3920 - Intercept RPOIL -0.97689 -2.73 0.0196 -3.289 -3.419 Harga BBM LRPCOAL 5.456666 1.62 0.1342 4.962 5.159 Lag RPCOAL RPGAS 0.005131 0.16 0.8729 - Harga gas LIHB 10.73523 0.61 0.5515 - Lag IHB SOIL 0.199567 2.52 0.0286 1.740 1.809 Penyediaan BBM LEGOL 0.038099 0.19 0.8540 - Lag EGOL 2 R = 0.88054, Fhitung = 13.51, Pr > F= 0.0002, Dw= 2.188825, Dh= -0.40303663 Peubah
Dari Tabel 26 dapat dilihat peubah harga BBM berpengaruh negatif terhadap input BBM untuk pembangkit listrik berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 10 persen. Dan peubah harga batubara tahun lalu dan penyediaan energi BBM berpengaruh positif terhadap input BBM untuk pembangkit listrik, secara berturut-turut berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 20 persen dan 5 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila harga BBM meningkat maka input BBM untuk pembangkit listrik akan menurun. Sebaliknya, apabila harga batubara dan penyediaan energi BBM meningkat maka input BBM untuk pembangkit listrik akan meningkat. Harga gas berpengaruh positif terhadap input BBM untuk pembangkit listrik menunjukkan bahwa antara BBM dan gas bersubsitusi pada input BBM untuk pembangkit listrik. Artinya, apabila harga BBM meningkat
203
maka input BBM untuk pembangkit listrik menurun dan input gas untuk pembangkit listrik meningkat. Dari Tabel 26 menunjukkan nilai elastisitas input BBM untuk pembangkit listrik terhadap harga BBM, batubara dan penyediaan energi berturut-turut sebesar -3.289, 4.962 dan 1.740 dalam jangka pendek dan -3.419, 5.159 dan 1.809 dalam jangka panjang. Nilai elastisitas tersebut lebih besar dari 1 (dalam nilai absolut) sehingga input BBM untuk pembangkit listrik terhadap harga BBM, batubara dan penyediaan energi elastis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini berarti perubahan terhadap harga BBM, batubara dan penyediaan energi memberikan dampak yang lebih besar terhadap input BBM untuk pembangkit listrik. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas input batubara untuk pembangkit listrik (EGCO) disajikan pada Tabel 27. Dari Tabel 27 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 27. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Input Batubara untuk Pembangkit Listrik Parameter Elastisitas Nama Peubah thitung Pr > |t| Dugaan ESR ELR Intercept 11794.14 1.05 0.3114 - Intercept DRPCOAL -4.02955 -0.41 0.6859 - Pertam. harga batubara RPGAS 0.14282 2.37 0.0326 0.567 - Harga gas YCOAL 0.039394 1.10 0.2891 - Produksi batubara R2 = 0.67443, Fhitung = 9.67, Pr > F= 0.001, Dw= 2.891963, Dh= -1.94274548 Peubah
Dari Tabel 27 dapat dilihat peubah harga gas berpengaruh positif terhadap input batubara untuk pembangkit listrik, berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 10 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila harga gas meningkat maka input batubara untuk pembangkit listrik akan meningkat. Nilai elastisitas input batubara untuk pembangkit listrik terhadap harga gas sebesar 0.567 dalam
204
jangka pendek. Nilai tersebut memiliki arti bahwa apabila harga gas meningkat sebesar 10 persen maka input batubara untuk pembangkit listrik akan meningkat sebesar 5.67 persen. Untuk nilai elastisitas jangka panjang tidak dapat dihitung karena pada persamaan ini tidak memasukkan peubah lag input batubara untuk pembangkit listrik. Terhadap total input energi untuk pembangkit listrik dirumuskan dalam bentuk persamaan identitas. Secara matematik persamaan identitas ini ditulis sebagai berikut: EGTO
= EGEL + EGG + EGOL + EGCO + EGHY
Total input energi untuk pembangkit listrik merupakan penjumlahan dari input listrik untuk pembangkit listrik, input gas untuk pembangkit listrik, input BBM untuk pembangkit listrik, input batubara untuk pembangkit listrik dan input air untuk pembangkit listrik. Berdasarkan persamaan tersebut dapat dinyatakan bahwa apabila terjadi gangguan atau terjadi perubahan kebijakan yang berhubungan dengan peubah input listrik untuk pembangkit listrik, input gas untuk pembangkit listrik, input BBM untuk pembangkit listrik, input batubara untuk pembangkit listrik dan input air untuk pembangkit listrik akan mempengaruhi peubah total input energi untuk pembangkit listrik. Selanjutnya perubahan terhadap kelima input tersebut akan mempengaruhi peubah endogen lainnya baik secara langsung dan tidak langsung.
6.2.3. Penyediaan Energi Dalam Perekonomian Indonesia Dalam rangka untuk memenuhi konsumsi energi domestik, penyediaan energi baik yang berasal dari produksi domestik maupun dari impor dalam jumlah
205
yang cukup menjadi sangat penting. Seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian maka aspek penyediaan energi menjadi suatu keniscayaan. Dalam studi ini aspek penyediaan energi yang dianalisis mencakup 4 persamaan struktural, yaitu persamaan pemanfaatan kilang minyak (RFUT), produksi batubara (YCOAL), impor minyak mentah (IMCR), dan impor produk-produk industri perminyakan (IMPP). Disamping itu dirumuskan 7 persaamaan identitas, yaitu: persamaan input minyak mentah untuk kilang minyak (RFCR), produksi BBM domestik (YBBM), produksi gas domestik (YGAS), impor BBM (IMOL) dan total penyediaan energi BBM (SOIL), total penyediaan energi batubara (SCOAL) serta total penyediaan energi gas (SGAS). Hasil pendugaan parameter dan elastisitas pemanfaatan kilang minyak (RFUT) disajikan pada Tabel 27. Dari Tabel 27 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan, kecuali peubah net konsumsi BBM yang tandanya tidak sesuai harapan. Tabel 28. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Pemanfaatan Kilang Minyak Parameter Elastisitas thitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 2.163305 1.32 0.2077 - Intercept PDB 0.000545 2.16 0.0486 0.041 0.142 PDB PSKBR -0.00002 -0.14 0.8886 - Pertumbuhan suku bunga LRFUT 0.710956 3.35 0.0048 - Lag RFUT R2 = 0.84287, Fhitung = 25.03, Pr > F= <.0001, Dw= 2.405471, Dh= -0.86353435 Peubah
Dari Tabel 28 dapat dilihat peubah PDB dan lag pemanfaatan kilang minyak berpengaruh positif terhadap pemanfaatan kilang minyak, berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 10 persen dan 1 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila PDB total meningkat dan pemanfaatan kilang minyak tahun sebelumnya cenderung meningkat maka pemanfaatan kilang minyak akan
206
meningkat. Nilai elastisitas pemanfaatan kilang minyak terhadap PDB total sebesar 0.041 untuk jangka pendek dan 0.142 untuk jangka panjang. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti bahwa apabila PDB total meningkat sebesar 10 persen maka pemanfaatan kilang minyak akan meningkat sebesar 0.41 persen dalam jangka pendek dan sebesar 1.42 persen dalam jangka panjang. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pemanfaatan kilang minyak tidak responsif terhadap perubahan PDB untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang. Untuk input minyak mentah untuk kilang, produksi BBM, produksi gas dan total impor dirumuskan dalam persamaan identitas. Input minyak mentah untuk kilang rmerupakan pemanfaatan kilang minyak dikali dengan kapasitas pengilangan minyak. Produksi BBM sama dengan transformasi energi kilang minyak dan produksi gas sama dengan transformasi gas. Secara matematis persamaan-persamaan identitas tersebut dirumuskan: RFCR = RFUT * RCCR YBBM = OTPP YGAS = OTG Berdasarkan persamaan tersebut dapat dinyatakan bahwa apabila terjadi gangguan atau terjadi perubahan kebijakan yang berhubungan dengan peubah pemanfaatan kilang minyak, kapasitas kilang minyak, transformasi energi kilang minyak dan gas akan mempengaruhi peubah input minyak mentah untuk kilang minyak, produksi BBM dan produksi gas. Selanjutnya perubahan terhadap keempat persamaan identitas tersebut akan mempengaruhi peubah endogen lainnya baik secara langsung dan tidak langsung.
207
Produksi energi domestik sangat menentukan dalam ketersediaan energi domestik. Ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi produksi energi domestik. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas produksi baatubara (YCOAL) disajikan pada Tabel 29. Dari Tabel 29 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 29. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Produksi Batubara Elastisitas Nama Peubah ESR ELR Intercept -2.81 0.0139 - Intercept LRPCOAL 3.26 0.0057 11.356 Lag RPCOAL PWMININGR -1.29 0.2173 - Pertumbuhan upah pertambangan LSKBR -451.603 -0.15 0.8798 - Lag suku bunga R2 = 0.73567, Fhitung = 12.99, Pr > F= 0.0002, Dw= 0.681523, Dh= Peubah
Parameter Dugaan -4006689 130.3389 -53562
t hitung
Pr > |t|
Dari Tabel 29 dapat dilihat peubah harga batubara berpengaruh positif terhadap produksi batubara, berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 1 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila harga batubara meningkat maka produksi batubara akan meningkat. Nilai elastisitas produksi batubara terhadap harga batubara sebesar 11.356 dalam jangka pendek. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti bahwa apabila harga batubara meningkat sebesar 1 persen maka produksi batubara akan meningkat sebesar 11.356 persen dalam jangka pendek. Dengan demikian perubahan terhadap harga batubara memberikan dampak yang besar terhadap perubahan produksi batubara. Selain mengandal produksi energi domestik, impor minyak mentah juga dibutuhkan dalam rangka memenuhi kebutuhan energi domestik. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas impor minyak mentah (IMCR) disajikan pada Tabel 30.
208
Dari Tabel 30 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 30. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Impor Minyak Mentah Parameter Elastisitas thitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 129967.2 2.13 0.0545 - Intercept FCOL 0.153864 1.05 0.3161 - Konsumsi BBM total LIPOL -0.23389 -2.89 0.0136 -1.252 -3.524 Lag IPOL POILWD -669.296 -3.6 0.0036 -0.229 -0.645 Harga minyak dunia EXCHR -0.04782 -0.04 0.9687 - Nilai tukar LIMCR 0.644621 3.77 0.0027 - Lag IMCR R2 = 0.92036, Fhitung = 27.74, Pr > F= <.0001, Dw= 2.961557, Dh= -2.06481755 Peubah
Dari Tabel 30 dapat dilihat bahwa peubah produksi minyak mentah domestik tahun sebelumnya dan harga minyak dunia berpengaruh negatif terhadap impor minyak mentah dan berbeda nyata pada taraf nyata 10 persen dan 1 persen. Sementara itu, lag impor minyak mentah berpengaruh negatif terhadap impor minyak mentah berbeda nyata pada taraf 1 persen. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa apabila produksi minyak mentah domestik dan harga minyak mentah dunia meningkat maka impor minyak mentah akan menurun. Sebaliknya, apabila impor minyak mentah tahun sebelumnya meningkat cenderung meningkat maka impor minyak mentah akan meningkat. Nilai elastisitas impor minyak mentah terhadap produksi minyak mentah domestik sebesar 1.252 dalam jangka pendek dan 3.524 dalam jangka panjang. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti bahwa apabila produksi minyak mentah domestik meningkat sebesar 1 persen maka impor minyak mentah akan menurun sebesar 1.252 persen dalam jangka pendek dan menurun sebesar 3.524 persen dalam jangka panjang. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa perubahan terhadap produksi minyak mentah domestik memberikan dampak yang besar terhadap impor minyak mentah dalam jangka pendek dan panjang. Sebaliknya,
209
perubahan harga minyak dunia memberikan dampak yang kecil terhadap impor minyak mentah, karena nilai elastisitasnya yang kecil dari satu (inelastis). Hasil pendugaan parameter dan elastisitas impor BBM (IMPP) disajikan pada Tabel 31. Dari Tabel 31 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 31. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Impor BBM Parameter Elastisitas thitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept -78215.4 -2.34 0.0359 - Intercept FCOL 0.477773 2.61 0.0216 1.576 1.922 Konsumsi akhir BBM VEHI 1.226847 2.06 0.0597 0.356 0.433 Jumlah transportasi darat EXCHR -1.64715 -0.91 0.3773 - Nilai tukar LIMPP 0.179878 0.76 0.4633 - Lag IMPP R2 = 0.88691, Fhitung = 25.49, Pr > F= <.0001, Dw= 1.731711, Dh= 0.567917691 Peubah
Dari Tabel 31 dapat dilihat peubah konsumsi akhir BBM dan jumlah transportasi darat berpengaruh positif terhadap impor BBM dan berbeda nyata pada taraf nyata 10 persen. Hal ini mengindikasikan apabila konsumsi akhir BBM dan jumlah transportasi darat meningkat, maka impor BBM akan meningkat. Nilai elastisitas impor BBM terhadap konsumsi akhir BBM sebesar 1.576 dalam jangka pendek dan 1.922 dalam jangka panjang. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti bahwa apabila konsumsi akhir BBM meningkat sebesar 1 persen maka impor BBM akan meningkat 1.3670 persen untuk jangka pendek dan 1.5632 persen untuk jangka panjang. Sementara itu, nilai elastisitas impor BBM terhadap jumlah transportasi darat sebesar 0.356 dalam jangka pendek dan 0.433 dalam jangka panjang. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa impor BBM responsif terhadap perubahan konsumsi akhir BBM baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang, sedangkan terhadap jumlah transportasi darat tidak responsif baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang.
210
Dengan menjumlahkan impor BBM dengan impor minyak mentah diperoleh total impor minyak Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila terjadi gangguan atau perubahan kebijakan yang berhubungan dengan impor produk-produk
industri
perminyakan
dan
impor
minyak
mentah
akan
mempengaruhi total impor minyak Indonesia. Persamaan identitas ini dirumuskan sebagai berikut: IMOL = IMPP + IMCR
6.2.4.
Harga Energi Dalam Perekonomian Indonesia Sebagaimana telah diformulasikan pada Bab 3, blok harga energi
merupakan transmisi yang menghubungkan antara blok konsumsi energi, transformasi energi, penyediaan energi, dan output dalam perekonomian. Dengan kata lain, seluruh faktor (peubah eksogen) yang mempengaruhi harga energi baik secara total maupun secara parsial akan mempengaruhi blok konsumsi energi, transpormasi energi, penyediaan energi, dan output dalam perekonomian. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas harga BBM (RPOIL) disajikan pada Tabel 32. Dari Tabel 32 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 32. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Harga BBM Parameter Elastisitas thitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 92136.15 6.87 <.0001 - Intercept FCOL 0.146071 0.95 0.3577 - Konsumsi BBM total SOIL -0.02459 -0.17 0.8695 - Penyediaan BBM GEXPSOL -0.07191 -0.70 0.4934 - Peng. subsidi minyak POILWD 154.9732 0.91 0.3811 - Harga minyak R2 = 0.53295, Fhitung = 3.71, Pr > F = 0.0317, Dw= 1.277621, Dh= Peubah
211
Dari Tabel 32 dapat dilihat bahwa peubah-peubah yang dimasukkan kedalam persamaan harga BBM tidak satupun yang signifikan secara statistik. Hal ini disebabkan harga BBM di Indonesia masih disubsidi, tidak mengikuti harga pasar, sehingga variasi data relatif rendah. Namun demikian persamaan ini penting untuk dirumuskan agar ada keterkaitan atar peubah, antar persamaan maupun antar blok. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas harga listrik (RPEL) disajikan pada Tabel 33. Dari Tabel 33 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 33. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Harga Listrik Parameter Elastisitas t hitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 42141698 1.65 0.1231 - Intercept FCEL 6.565599 1.55 0.1443 0.914 2.431 Kons. listrik total OTEL -0.06379 -0.32 0.7566 - Transf. listrik Year -21163.4 -1.64 0.1243 -125.311 -333.327 Trend LRPEL 0.62406 2.92 0.0119 - Lag RPEL 2 R = 0.45958, Fhitung = 2.76, Pr > F= 0.073, Dw= 1.592341, Dh= 0.867996453 Peubah
Dari Tabel 33 dapat dilihat bahwa peubah konsumsi akhir listrik berpengaruh positif terhadap harga listrik, berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 15 persen. Sementara itu, peubah trend berpengaruh negatif terhadap harga listrik pada taraf nyata 15 persen. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa apabila konsumsi akhir listrik meningkat maka harga listrik akan akan turun. Sebaliknya, apabila transformasi listrik meningkat maka harga listrik akan turun. Nilai elastisitas harga listrik terhadap konsumsi akhir listrik sebesar 0.914 dalam jangka pendek dan 2.431 dalam jangka panjang. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti bahwa apabila konsumsi akhir lisrik meningkat sebesar 1 persen maka harga listrik akan meningkat 0.914 persen dalam jangka pendek dan 2.431
212
persen dalam jangka panjang. Sementara itu, nilai elastisitas harga listrik terhadap trend sebesar -125.311 dalam jangka pendek dan -333.327 dalam jangka panjang. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa harga listrik tidak responsif terhadap perubahan konsumsi akhir listrik dalam jangka pendek, namun responsif dalam jangka panjang, sedangkan terhadap trend responsif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas harga batubara (RPCOAL) disajikan pada Tabel 34. Dari Tabel 34 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 34. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Harga Batubara Elastisitas Nama Peubah ESR ELR Intercept 0.89 0.3873 - Intercept FCCO 0.76 0.4576 - Kons. akhir batubara DSCOAL -0.48 0.6358 - Pertambahan penyediaan batubara LRPCOAL 0.841483 4.56 0.0004 - Lag RPCOAL R2 = 0.80807, Fhitung = 19.65, Pr > F= <.0001, Dw= 1.767448, Dh= 0.498114729 Peubah
Parameter Dugaan 5483.973 0.004888 -0.00654
t hitung
Pr > |t|
Dari Tabel 34 dapat dilihat bahwa peubah harga batubara tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap harga batubara, berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata masing-masing 1 persen. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa harga batubara tahun sebelumnya cenderung meningkat maka harga batubara akan meningkat. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas harga gas (RPGAS) disajikan pada Tabel 35. Dari Tabel 35 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Peubah konsumsi akhir gas berpengaruh positif terhadap harga gas dan berbeda nyata
213
dengan nol pada taraf nyata 1 persen. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa apabila konsumsi akhir gas dan meningkat maka harga gas akan meningkat. Tabel 35. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Harga Gas Parameter Elastisitas thitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept -2059644 -0.11 0.9157 - Intercept FCG 7.536527 3.01 0.0094 2.372 - Konsumsi listrik total DSGAS -0.00795 -0.25 0.8040 - Pertam. Penyediaan Gas Year 862.2858 0.09 0.9300 - Trend R2 = 0.84421, Fhitung = 25.29, Pr > F= <.0001, Dw= 2.060651, Dh= Peubah
Dari Tabel 35 dapat dilihat bahwa nilai elastistas harga gas terhadap konsumsi akhir gas sebesar 2.372 dalam jangka pendek. Nilai tersebut memiliki arti bahwa apabila konsumsi akhir gas meningkat sebesar 1 persen maka harga gas akan meningkat 2.372 persen dalam jangka pendek. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa harga gas responsif terhadap perubahan konsumsi akhir gas dalam jangka pendek. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas indeks harga biomas (IHB) disajikan pada Tabel 36. Dari Tabel 36 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 36. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Indeks Harga Biomas Parameter Elastisitas t hitung Pr > |t| Dugaan ESR ELR Intercept 63173.19 1.50 0.1548 LFCBIO 0.015543 1.39 0.1849 16.149 SBIO -0.00054 -0.19 0.8493 Year -33.4157 -1.51 0.1537 -268.009 R2 = 0.21542, Fhitung = 1.28, Pr > F= 0.3192, Dw= 2.503808, Dh= Peubah
Nama Peubah Intercept Lag FCBIO Penyediaan biomas Trend
Dari Tabel 36 dapat dilihat bahwa peubah konsumsi akhir biomas tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap indeks harga biomas dan berbeda nyata
214
dengan nol pada taraf nyata 20 persen. Sebaliknya, peubah trend berpengaruh negatif terhadap indeks harga biomas dan berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 20 persen. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa apabila konsumsi akhir biomas tahun sebelumnya meningkat maka indeks harga biomas akan meningkat. Sebaliknya, trend menunjukkan bahwa indeks harga biomas cederung menurun. Nilai elastistas indeks harga biomas terhadap konsumsi akhir biomas tahun sebelumnya sebesar 16.149 dalam jangka pendek. Nilai tersebut memiliki arti bahwa apabila konsumsi akhir biomas meningkat sebesar 1 persen maka indeks harga biomas akan meningkat 16.149 persen dalam jangka pendek. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa indeks harga biomas responsif terhadap perubahan konsumsi akhir biomas tahun sebelumnya dalam jangka pendek.
6.2.5. Output Dalam Perekonomian Indonesia Sebagaimana telah dipaparkan pada perumusan masalah dan kerangka pemikiran penelitian bahwa studi ini berangkat dari hipotesis umum bahwa kemajuan ekonomi (output perekonomian) mempengaruhi konsumsi dan penyediaan energi, dan sebaliknya. Oleh karenanya dalam studi ini dirumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi PDB merupakan faktor-faktor mempengaruhi konsumsi dan penyediaan energi, sebaliknya faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi dan penyediaan energi juga mempengaruhi PDB. Dalam studi ini PDB terdiri dari PDB sektor industri (INDP), PDB sektor transportasi (TRP), PDB sektor pertanian (AGRP), dan PDB sektor lainnya (OCP).
215
Hasil pendugaan parameter dan elastisitas PDB sektor industri disajikan pada Tabel 37. Dari Tabel 37 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 37. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas PDB Sektor Industri Parameter Elastisitas Nama Peubah thitung Pr > |t| Dugaan ESR ELR Intercept -115.18 -0.77 0.4551 - Intercept IDTO 0.000777 0.99 0.3377 - Konsumsi total industri GEXP 0.000067 0.35 0.7342 - Pengeluaran pemerintah LINDP 0.697663 3.74 0.0022 - Lag INDP R2 = 0.90773, Fhitung = 45.91, Pr > F= <.0001, Dw= 1.93156, Dh= 0.146538 Peubah
Dari Tabel 37 dapat dilihat bahwa peubah lag PDB sektor industri berpengaruh positif terhadap PDB sektor industri dan berbeda nyata dengan nol sampai dengan taraf nyata 1 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila PDB sektor industri tahun sebelumnya cenderung meningkat akan menyebabkan PDB sektor industri meningkat. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas PDB sektor transportasi (TRP) disajikan pada Tabel 38. Dari Tabel 38 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 38. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas PDB Sektor Transportasi Parameter thitung Dugaan Intercept -15.2731 -1.63 LTRTO 0.000207 2.09 GEXP 0.000052 1.76 LTRP 0.660879 3.45 R2 = 0.98972, Fhitung = 449.39, Pr Peubah
Elastisitas Nama Peubah ESR ELR 0.1255 - Intercept 0.0549 0.426 1.255 Lag TRTO 0.0994 0.250 0.738 Pengeluaran pemerintah 0.0039 - Lag TRP > F= <.0001, Dw= 1.646201, Dh= 0.75678 Pr > |t|
Dari Tabel 38 dapat dilihat bahwa peubah total konsumsi energi sektor transportasi tahun sebelumnya, total pengeluaran pemerintah dan lag PDB sektor
216
transportasi berpengaruh positif terhadap PDB sektor transportasi dan berbeda nyata dengan nol sampai dengan taraf nyata 10 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila total konsumsi energi sektor transportasi tahun sebelumnya, total pengeluaran pemerintah dan PDB sektor industri tahun sebelumnya cenderung meningkat maka PDB sektor transportasi meningkat. Nilai elastisitas PDB sektor transportasi terhadap total konsumsi energi sektor transportasi tahun yang lalu sebesar 0.426 dalam jangka pendek dan 1.255 dalam jangka panjang. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti bahwa apabila total konsumsi sektor transportasi tahun sebelumnya meningkat sebesar 1 persen maka PDB sektor transportasi akan meningkat 0.426 persen untu dalam jangka pendek dan 1.255 persen dalam jangka panjang. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa PDB sektor transportasi tidak responsif terhadap perubahan total konsumsi energi sektor transportasi tahun sebelumnya dalam jangka pendek, namun responsif dalam jangka panjang. Sebaliknya, PDB sektor transportasi tidak responsif terhadap perubahan total pengeluaran pemerintah dalam jangka pendek, dan jangka panjang. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas PDB sektor pertanian disajikan pada Tabel 39. Dari Tabel 39 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Peubah pengeluaran pemerintah dan PDB sektor pertanian tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap PDB sektor pertanian dan berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 1 persen dan 15 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila total pengeluaran pemerintah dan PDB sektor pertanian tahun sebelumnya meningkat maka PDB sektor pertanian akan meningkat.
217
Tabel 39. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas PDB Sektor Pertanian Elastisitas Nama Peubah ESR ELR Intercept 0.56 0.5875 - Intercept Upah sektor WAGRR -4.64E-06 -1.31 0.2128 - pertanian Kons BBM sektor AGRTO 0.000676 0.47 0.6431 - pertanian Pengeluaran GEXP 0.000509 4.34 0.0008 0.653 0.987 pemerintah LAGRP 0.337909 1.66 0.1209 - Lag AGRP R2 = 0.99172, Fhitung = 389.5, Pr > F= <.0001, Dw= 1.269904, Dh= 1.557884 Peubah
Parameter Dugaan 22.66735
t hitung
Pr > |t|
Dari Tabel 39 menunjukkan nilai elastisitas PDB sektor pertanian terhadap pengeluaran pemerintah sebesar 0.653 dalam jangka pendek dan 0.987 dalam jangka panjang. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti bahwa apabila pengeluaran pemerintah meningkat sebesar 1 persen maka PDB sektor pertanian akan meningkat 0.653 persen dalam jangka pendek dan 0.987 persen dalam jangka panjang. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa PDB sektor pertanian tidak responsif terhadap perubahan pengeluaran pemerintah untuk jangka pendek dan jangka panjang. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas PDB sektor lainnya disajikan pada Tabel 40. Dari Tabel 40 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 40. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas PDB Sektor Lainnya Parameter thitung Dugaan Intercept -2.80468 -0.38 OCTO 0.000579 0.96 GEXP 0.000058 1.79 LOCP 0.690559 3.09 R2 = 0.98733, Fhitung = 363.68, Pr Peubah
Elastisitas Nama Peubah ESR ELR 0.7072 - Intercept 0.3545 - Kons. total sektor lainnya 0.0952 0.279 0.903 Pengeluaran pemerintah 0.0080 - Lag OCP > F= <.0001, Dw= 1.744778, Dh= 0.542152 Pr > |t|
218
Dari Tabel 40 dapat dilihat bahwa peubah pengeluaran pemerintah dan PDB sektor lainnya tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap PDB sektor lainnya dan berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 10 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila total pengeluaran pemerintah dan PDB sektor lainnya tahun sebelumnya meningkat maka PDB sektor pertanian akan meningkat. Nilai elastisitas PDB sektor lainnya terhadap pengeluaran pemerintah sebesar 0.279 dalam jangka pendek dan 0.903 dalam jangka panjang. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti bahwa apabila pengeluaran pemerintah meningkat sebesar 1 persen maka PDB sektor lainnya akan meningkat 0.279 persen dalam jangka pendek dan 0.903 persen dalam jangka panjang. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa PDB sektor lainnya tidak responsif terhadap perubahan pengeluaran pemerintah untuk jangka pendek dan jangka panjang. Terhadap PDB total (PDB) dirumuskan dalam bentuk persamaan identitas. Demikian juga dengan total pengeluaran pemerintah (GEXP) dirumuskan dalam bentuk persamaan indentitas. PDB total merupakan penjumlahan dari PDB sektor industri, PDB sektor transportasi, PDB sektor pertanian, dan PDB sektor lainnya. Total pengeluaran pemerintah merupakan penjumlahan dari pengeluaran pemerintah non subsidi (GEXPNS), pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM (GEXPSOL),
dan
pengeluaran
pemerintah
untuk
subsidi
non
BBM
(GEXPSNOL). Secara matematis kedua persamaan indentitas tersebut dinyatakan sebagai berikut: PDB
= INDP + TRP + AGRP + OCP
GEXP = GEXPNS + GEXPSOL + GEXPSNOL
219
Berdasarkan persamaan-persamaan identitas tersebut dapat dinyatakan bahwa apabila terjadi gangguan atau terjadi perubahan kebijakan yang berhubungan dengan peubah-peubah eksogen pada kedua persamaan identitas tersebut akan mempengaruhi peubah PDB total dan peubah total pengeluaran pemerintah. Selanjutnya perubahan terhadap PDB total dan total pengeluaran pemerintah akan mempengaruhi peubah endogen lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas pengeluaran subsidi BBM disajikan pada Tabel 41. Dari Tabel 41 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 41. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Pengeluaran Subsidi BBM Elastisitas Nama Peubah ESR ELR Intercept -1.71 0.1102 - Intercept REVGOV 2.85 0.0138 0.683 0.766 Penerimaan pemerintah LEXCHR -0.5061 -0.27 0.7889 - Lag nilai tukar FCOL 0.244409 1.65 0.1225 1.711 1.919 Kons BBM total LGEXPSOL 0.108441 0.33 0.7432 - Lag GEXPSOL 2 R = 0.85372, Fhitung = 18.97, Pr > F= <.0001, Dw= 1.721399, Dh= 0.574449 Peubah
Parameter Dugaan -55158.2 0.098334
t hitung
Pr > |t|
Dari Tabel 41 menunjukkan bahwa peubah penerimaan pemerintah dan total konsumsi akhir BBM berpengaruh positif terhadap pengeluaran subsidi BBM dan berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 10 persen dan 15 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila penerimaan pemerintah dan total konsumsi akhir BBM meningkat maka pengeluaran subsidi BBM akan meningkat. Hasil analisis yang ditunjukkan oleh Tabel 41 menunjukkan bahwa nilai elastisitas pengeluaran subsidi BBM terhadap penerimaan pemerintah sebesar
220
0.683 dalam jangka pendek dan 0.766 dalam jangka panjang. Sementara itu, nilai elastisitas pengeluaran subsidi BBM terhadap total konsumsi akhir BBM sebesar 1.711 dalam jangka pendek dan 1.919 dalam jangka panjang. Dari nilai tersebut elastisitas pengeluaran subsidi BBM inelastis terhadap penerimaan pemerintah dalam jangka pendek dan panjang, namun elastis terhadap total konsumsi akhir BBM dalam jangka pendek dan panjang. Perubahan terhadap penerimaan pemerintah memberikan dampak yang kecil terhadap pengeluaran subsidi BBM dalam jangka pendek dan jangka panjang, sebaliknya perubahan total konsumsi akhir BBM memberikan dampak yang besar terhadap pengeluaran subsidi BBM dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hasil pendugaan parameter dan elastisitas penerimaan pemerintah disajikan pada Tabel 42. Dari Tabel 42 dapat diungkapkan bahwa secara keseluruhan tanda parameter dugaan peubah eksogen sesuai dengan yang diharapkan. Tabel 42. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Penerimaan Pemerintah Parameter Elastisitas t hitung Pr > |t| Nama Peubah Dugaan ESR ELR Intercept 2507.373 0.47 0.6459 - Intercept DPDB 86.80253 1.82 0.0892 0.027 - Pertambahan PDB total TAX 1.442488 60.27 <.0001 0.964 - Pajak 2 R = 0.99731, Fhitung = 2784.17, Pr > F= <.0001, Dw= 2.381336, Dh= Peubah
Dari Tabel 42 menunjukkan bahwa peubah pertambahan PDB total dan pajak berpengaruh positif terhadap penerimaan pemerintah dan berbeda nyata dengan nol pada taraf nyata 10 persen dan 1 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila pertambahan PDB dan pajak meningkat maka penerimaan pemerintah akan meningkat.
221
Hasil analisis yang ditunjukkan oleh Tabel 42 menunjukkan bahwa nilai elastisitas penerimaan pemerintah terhadap pertambahan PDB sebesar 0.027 dalam jangka pendek. Sementara itu, nilai elastisitas penerimaan pemerintah terhadap pajak sebesar 0.964 dalam jangka pendek. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti apabila pertambahan PDB total dan pajak meningkat sebesar 10 persen maka penerimaan pemerintah akan meningkat sebesar 0.27 persen dan 9.64 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa penerimaan pemerintah tidak responsif terhadap perubahan pertambahan PDB dan pajak.
VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP KONSUMSI DAN PENYEDIAAN ENERGI DI INDONESIA 7.1. Hasil Validasi Model Untuk melihat dampak kebijakan ekonomi dan guncangan eksternal terhadap konsumsi dan penyediaan energi dalam perekonomian Indonesia dilakukan analisis simulasi. Namun demikian sebelum melakukan berbagai analisis alternatif simulasi terlebih dahulu perlu dilakukan analisis validasi model untuk mengetahui apakah model yang dibangun cukup baik (valid) digunakan untuk analisis simulasi. Menurut Pindyck dan Rubinfield (1991), simulasi kebijakan bertujuan untuk menganalisis dampak berbagai alternatif kebijakan dengan cara mengubah nilai peubah kebijakannya. Akan tetapi sebelum melakukan alternatif simulasi kebijakan terlebih perlu dilakukan validasi model untuk melihat apakah nilai dugaan sesuai dengan nilai aktual masing-masing peubah endogen. Salah satu indikator pengujian validasi model yang digunakan adalah Root Mean Square Percent Error (RMSPE). RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa dekat nilai masing-masing peubah endogen hasil pendugaan mengikuti nilai data aktualnya, atau seberapa jauh penyimpangan nilai hasil penduga atas nilai aktualnya dalam ukuran persen. Selain itu digunakan statistik proporsi bias (UM), proporsi regresi (UR), proporsi distribusi (UD) dan juga statistik theil’s inequality coefficient (U), yang bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan model bagi analisis simulasi. Pada dasarnya semakin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s, maka pendugaan model semakin baik. Nilai koefisien U-Theil berkisar antara 0
223
dan 1. Apabila U = 0 maka pendugaan model sempurna, namun apabila U = 1, maka pendugaan model naif. Hasil pengujian validasi model konsumsi dan penyediaan energi dalam perekonomian Indonesia dapat dilihat pada Tabel 43. Secara rinci program dan hasil analisis validasi model ini dapat diamati pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Tabel 43. Hasil Pengujian Validasi Model Konsumsi dan Penyediaan Energi Dalam Perekonomian Indonesia Nama Peubah
RMS % Error Konsumsi BBM sektor industri 12.53 Konsumsi listrik sektor industri 6.73 Konsumsi batubara sektor industri 24.34 Konsumsi gas sektor industri 12.21 Konsumsi biomas sektor industri 12.72 Total konsumsi energi sektor industri 8.08 Konsumsi BBM sektor rumahtangga 16.09 Konsumsi listrik sektor rumahtangga 2.37 Konsumsi gas sektor rumahtangga 17.97 Konsumsi biomas sektor rumahtangga 1.12 Tot. konsumsi energi sektor rumah tangga 3.73 Konsumsi BBM transp. darat 5.09 Konsumsi BBM transp. lain 10.67 Konsumsi BBM sektor transportasi 17.50 Total konsumsi sektor transportasi 4.63 Jumlah transp.darat non penumpang 10.89 Jumlah transportasi darat penumpang 15.03 Jumlah transportasi darat 11.44 Konsumsi BBM sektor pertanian 10.36 Total konsumsi energi sektor pertanian 10.36 Konsumsi BBM sektor lainnya 18.79 Konsumsi gas sektor lainnya 4.65 Konsumsi listrik sektor lainnya 11.80 Konsumsi biomas sektor lainnya 1.35 Total konsumsi energi sektor lainnya 6.15 Total konsumsi BBM 19.73 Total konsumsi listrik 2.90 Total konsumsi batubara 24.34 Total konsumsi listrik 11.85 Total konsumsi biomas 1.32 Total konsumsi energi akhir 5.00 Transformasi energi kilang minyak 52.82 Transformasi energi pembangkit listrik 43.19 Transformasi energi gas 16.61 Input listrik untuk pembangkit listrik 102.4 Input gas untuk pembangkit listrik 25.52 Input BBM untuk pembangkit listrik 31.86 Input batubara utk pembangkit listrik 5.50
Bias (UM) 0.01 0.82 0.66 0.66 0.66 0.66 0.47 0.21 0.11 0.82 0.67 0.44 0.03 0.05 0.40 0.44 0.32 0.42 0.36 0.36 0.60 0.26 0.57 0.02 0.39 0.69 0.60 0.66 0.64 0.42 0.69 0.43 0.11 0.37 0.17 0.13 0.41 0.05
Reg (UR) 0.31 0.12 0.07 0.23 0.27 0.11 0.36 0.04 0.01 0.03 0.28 0.09 0.57 0.35 0.04 0.18 0.16 0.18 0.17 0.17 0.31 0.01 0.03 0.68 0.44 0.26 0.10 0.07 0.21 0.44 0.19 0.16 0.19 0.02 0.22 0.50 0.00 0.25
Dist (UD) 0.68 0.06 0.27 0.11 0.07 0.22 0.17 0.75 0.88 0.15 0.05 0.47 0.40 0.00 0.56 0.38 0.53 0.41 0.46 0.46 0.09 0.73 0.40 0.30 0.17 0.05 0.30 0.27 0.15 0.14 0.12 0.42 0.69 0.61 0.61 0.37 0.59 0.00
Var Covar (US) (UC) 0.65 0.33 0.13 0.05 0.10 0.24 0.04 0.30 0.31 0.03 0.06 0.28 0.51 0.01 0.02 0.77 0.04 0.85 0.04 0.14 0.23 0.10 0.03 0.53 0.71 0.27 0.35 0.00 0.00 0.60 0.21 0.35 0.22 0.47 0.21 0.37 0.48 0.16 0.48 0.16 0.03 0.37 0.16 0.58 0.04 0.38 0.42 0.56 0.39 0.22 0.08 0.23 0.12 0.28 0.10 0.24 0.06 0.30 0.33 0.25 0.16 0.15 0.09 0.49 0.40 0.49 0.24 0.39 0.43 0.41 0.78 0.09 0.12 0.47 0.25 0.01
U 0.05 0.04 0.11 0.06 0.06 0.04 0.09 0.01 0.09 0.01 0.02 0.03 0.04 0.13 0.02 0.04 0.05 0.04 0.06 0.06 0.11 0.05 0.02 0.01 0.03 0.09 0.02 0.11 0.06 0.01 0.02 0.18 0.13 0.12 0.18 0.16 0.10 0.14
224
Lanjutan Tabel 43 Nama Peubah Total input untuk pembangkit listrik Pemanfaatan kilang minyak Input minyak mentah untuk kilang Produksi BBM domestik Produksi batubara domestik Produksi gas domestik Impor minyak mentah Impor BBM Total impor minyak Penyediaan BBM Penyediaan gas Penyediaan batubara Harga BBM Harga gas Harga batubara Harga listrik Indeks harga batubara PDB total PDB sektor industri PDB sektor transportasi PDB sektor pertanian PDB sektor lainnya Tot. pengeluaran pemerintah Pengeluaran subsidi BBM Penerimaan pemerintah
RMS % Error 26.06 6.12 6.12 8.59 28.20 13.40 50.16 27.03 34.26 21.40 20.60 16.50 1.57 9.61 2.02 24.71 20.40 13.48 35.44 8.79 5.53 9.26 0.00 10.50 15.30
Bias (UM) 0.24 0.46 0.46 0.02 0.06 0.02 0.65 0.64 0.66 0.09 0.02 0.06 0.08 0.00 0.65 0.55 0.08 0.58 0.54 0.00 0.00 0.00 . 0.07 0.01
Reg (UR) 0.11 0.31 0.36 0.11 0.24 0.38 0.09 0.13 0.14 0.31 0.34 0.24 0.92 0.54 0.35 0.03 0.06 0.03 0.02 0.44 0.02 0.01 . 0.23 0.01
Dist (UD) 0.65 0.23 0.18 0.07 0.00 0.00 0.25 0.22 0.19 0.00 0.04 0.00 0.00 0.46 0.00 0.42 0.05 0.39 0.44 0.56 0.98 0.99 . 0.00 0.18
Var Covar (US) (UC) 0.26 0.50 0.41 0.12 0.24 0.30 0.07 0.11 0.24 0.00 0.35 0.03 0.00 0.35 0.04 0.31 0.03 0.31 0.30 0.01 0.30 0.08 0.24 0.00 0.91 0.01 0.72 0.28 0.35 0.00 0.15 0.30 0.01 0.11 0.01 0.41 0.01 0.45 0.52 0.48 0.00 0.99 0.04 0.96 . . 0.21 0.02 0.09 0.10
U 0.09 0.03 0.03 0.04 0.13 0.13 0.17 0.12 0.14 0.11 0.05 0.18 0.01 0.05 0.01 0.16 0.11 0.06 0.14 0.04 0.03 0.04 0.00 0.17 0.30
Berdasarkan Tabel 43 dapat dilihat bahwa terdapat 51 persamaan dalam model mempunyai nilai RMSPE lebih kecil dari 50 persen, 2 persamaan mempunyai nilai RMSPE antara 50 sampai 100 persen dan sisanya 1 persamaan lagi mempunyai nilai RMSPE lebih besar dari 100 persen. Sedangkan berdasarkan kriteria nilai U-Theil’s semua persamaan mempunyai nilai U lebih kecil dari 0.31. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
model ini cukup baik digunakan
sebagai model pendugaan, oleh karena itu model struktural yang telah dirumuskan juga dapat digunakan untuk simulasi alternatif kebijakan, baik pada simulasi historis, maupun untuk peramalan periode 2009-2025.
225
7.2. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Perubahan Faktor Eksternal Terhadap Konsumsi dan Penyediaan Energi di Indonesia Kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah maupun perubahanperubahan faktor eksternal yang terjadi dapat menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif terhadap setiap peubah endogen yang dimasukkan dalam suatu sistem persamaan simultan. Namun demikian, perubahan-perubahan yang terjadi dapat juga tidak mempunyai dampak terhadap peubah endogen lainnya. Sebagaimana telah diungkapkan pada Bab IV, dalam studi ini ini dilakukan 5 skenario simulasi, yaitu simulasi: (1) harga minyak dunia naik 10 persen, (2) nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar turun (apresiasi) 5 persen, (3) pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM turun 10 persen, (4) kombinasi harga minyak dunia naik 10 persen dan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar apresiasi 5 persen, (5) harga minyak dunia naik 10 persen, nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar turun 5 persen, dan pengeluaran subsidi BBM turun 10 persen. Hasil analisis simulasi tersebut disajikan pada Tabel 44 secara berturut-turut hasil analisis simulasi masing-masing kebijakan dan faktor eksternal dipaparkan pada sub-bab 7.2.1 dan hasil analisis alternatif kombinasi simulasi kebijakan dipaparkan pada sub-bab 7.2.2.
7.2.1. Dampak Alternatif Kebijakan dan Perubahan Faktor Eksternal Untuk mempermudah dan memperlihatkan secara lugas aliran dampak penerapan alternatif kebijakan terhadap konsumsi dan penyediaan energi dalam perekonomian Indonesia, pembahasan untuk setiap alternatif kebijakan mengacu pada blok-blok persamaan yang telah dirumuskan dalam model. Dampak alternatif kebijakan terhadap peubah endogen dimulai dari blok harga sebagai
226
transmisi yang menghubungkan blok-blok persamaan yang telah dibangun, diikuti dengan dampak terhadap blok output perekonomian, blok konsumsi, blok transformasi energi, dan blok penyediaan energi. Hasil analisis dampak alternatif kebijakan dan perubahan faktor eksternal dinyatakan dalam skenario simulasi 1 sampai skenario simulasi 3 pada Tabel 44. Tabel 44. Dampak Alternatif Kebijakan Ekonomi dan Perubahan Faktor Eksternal Terhadap Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia Periode 1990 – 2008 Nama Peubah
Satuan
Konsumsi BBM sektor industri Konsumsi listrik sektor industri Konsumsi batubara sektor industri Konsumsi gas sektor industri Konsumsi biomas sektor industri Tot konsumsi energi sektor industri Konsumsi BBM rumahtangga Konsumsi listrik rumahtangga Konsumsi gas rumahtangga Konsumsi biomas rumahtangga Total kons. energi rumahtangga Konsumsi BBM transp. darat Konsumsi BBM transp. lainnya Konsumsi BBM sektor transportasi Total konsumsi sektor transportasi Jml transp. darat non penumpang Jml transportasi darat penumpang Jml transportasi darat Konsumsi BBM sektor pertanian Tot. konsumsi energi sektor pertanian Konsumsi BBM sektor lainnya Konsumsi gas sektor lainnya Konsumsi listrik sektor lainnya Konsumsi biomas sektor lainnya Tot. kons. energi sektor lainnya Total konsumsi BBM Total konsumsi listrik Total konsumsi batubara Total konsumsi gas Total konsumsi biomas Total konsumsi energi akhir Transform energi kilang minyak Transform energi pembkit listrik Transform energi gas Input listrik utk pembangkit listrik Input gas utk pembangkit listrik Input BBM utk pembangkit listrik
Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Unit Unit Unit Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM
Nilai Dasar 164692.00 173311.00 12529911.00 1531307.00 7525.00 14406746.00 85155.90 47354.00 494231.00 304803.00 931544.00 1292042.00 70474.50 1362516.00 1362652.00 77914.50 13284.70 91199.20 76904.00 76904.00 136738.00 4873.10 537.80 881.20 143030.00 1886451.00 225576.00 12529911.00 2026174.00 313209.00 16981321.00 285605.00 4573055.00 1827696.00 4610987.00 1270249.00 785181.00
Perubahan (%) 1 2 3 -0.1797 0.0206 -0.0024 -0.0046 0.0012 0.0000 -0.0034 0.0004 -0.0001 0.0004 0.0000 -0.0001 -2.5515 0.2751 -0.0226 -0.0064 0.0007 -0.0001 -0.1975 0.0213 -0.0022 0.0285 0.0008 0.0004 -0.0049 0.0022 -0.0008 0.0013 0.0003 0.0000 -0.0189 0.0032 -0.0006 -0.0068 0.0019 -0.0005 -0.0630 0.0138 -0.0023 -0.0097 0.0026 -0.0006 -0.0098 0.0025 -0.0007 -0.1381 0.0331 -0.0069 -0.2145 0.0437 -0.0075 -0.1492 0.0346 -0.0070 0.0001 -0.0004 -0.0003 0.0001 -0.0004 -0.0003 -0.0139 0.0007 -0.0007 -0.1149 0.0451 -0.0062 -1.6921 0.2417 -0.0186 0.0681 0.0000 0.0113 -0.0231 0.0035 -0.0007 -0.0326 0.0047 -0.0008 -0.0004 0.0018 -0.0004 -0.0034 0.0004 -0.0001 -0.0014 0.0006 -0.0002 -0.0597 0.0067 -0.0006 -0.0074 0.0010 -0.0002 1.2241 0.0004 0.0000 -0.0066 0.0126 -0.0005 -0.0004 0.0004 -0.0003 -0.0108 0.0154 -0.0007 -0.0075 0.0007 0.0000 -0.0008 0.0419 -0.0010
227
Lanjutan Tabel 44 Nama Peubah Input batubara utk pembkit listrik Total input utk pembangkit listrik Pemanfaatan kilang minyak Input m mentah domes utk kilang Produksi BBM domestik Produksi batubara domestik Produksi gas domestik Impor minyak mentah Impor BBM Total impor minyak Penyediaan BBM Penyediaan gas Penyediaan batubara Harga BBM Harga listrik Harga batubara Harga gas Indeks harga biomas PDB total PDB sektor industri PDB sektor transportasi PDB sektor pertanian PDB sektor lainnya Total pengeluaran pemerintah Peng. pemerintah subsidi BBM Penerimaan pemerintah
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
Nilai Dasar 2638211.00 9332709.00 43.98 1668619.00 285605.00 15093271.00 1827696.00 582005.00 1062171.00 1644176.00 1345981.00 2319625.00 14651351.00 303650.00 1951947.00 171698.00 14932257.00 863.60 28633.30 27079.90 494.30 754.10 305.00 974683.00 531398.00 869989.00
Perubahan (%) 1 2 3 -0.0015 0.0006 -0.0002 -0.0068 0.0114 -0.0005 -0.0043 0.0018 -0.0005 -0.0041 0.0019 -0.0005 1.2241 0.0004 0.0000 -0.0024 0.0003 -0.0001 -0.0004 0.0004 -0.0003 -1.0926 0.0170 -0.0010 -0.0500 0.1262 -0.0016 -0.4191 0.0876 -0.0014 0.2202 0.0996 -0.0013 -0.0003 0.0003 -0.0002 -0.0024 0.0003 -0.0001 0.1897 -0.0155 0.0010 0.0019 -0.0009 -0.0002 -0.0023 0.0006 0.0000 -0.0014 0.0006 -0.0002 -0.2663 0.0232 -0.0116 -0.0059 0.0024 -0.0003 -0.0055 0.0011 0.0000 0.0000 0.0202 0.0000 -0.0133 0.0398 0.0000 -0.0328 0.0000 0.0000 -0.0172 0.0381 -0.0062 -0.0316 0.0698 -10.00 -0.0046 0.0008 -0.0001
Keterangan: Simulasi 1 : Harga minyak dunia naik 10 persen Simulasi 2 : Apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar 5 persen Simulasi 3 : Pengeluaran Subsidi BBM turun 10 persen
7.2.1.1. Dampak Kenaikan Harga Minyak Dunia Sebagaimana disajikan pada Tabel 44 dapat dilihat bahwa kenaikan harga minyak dunia sebesar 10 persen akan berdampak terhadap peningkatan harga BBM dan harga listrik masing-masing sebesar 0.1897 persen dan 0.0019 persen. Peningkatan harga BBM dan listrik berdampak terhadap penurunan konsumsi seluruh jenis energi sektor industri kecuali konsumsi gas sektor industri. Peningkatan konsumsi gas oleh sektor industri sebesar 0.0004 persen disebabkan
228
energi gas merupakan energi pengganti (subsitusi) BBM bagi sektor industri, sehingga kenaikan harga minyak dunia menyebabkan konsumsi BBM sektor industri menjadi turun dan konsumsi gas sektor industri menjadi meningkat. Simulasi kenaikan harga minyak dunia juga berdampak terhadap penurunan konsumsi BBM dan gas sektor rumahtangga, transportasi dan konsumsi sektor lainnya, kecuali konsumsi listrik dan biomas
sektor
rumahtangga, konsumsi biomas sektor lainnya dan konsumsi BBM sektor pertanian. Peningkatan konsumsi listrik dan gas sektor rumahtangga masingmasing sebesar 0.0285 persen dan 0. 0013 persen. Hal ini disebabkan oleh energi BBM yang digunakan oleh sektor rumahtangga dapat digantikan dengan energi listrik dan biomas, sehingga kenaikan harga minyak dunia berdampak positif terhadap konsumsi listrik dan biomas sektor rumahtangga. Hal sama juga terjadi pada konsumsi biomas sektor lainnya. Kenaikan konsumsi BBM sektor pertanian sebesar 0.0001 disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia yang menyebabkan kenaikan harga BBM domestik dapat dieliminir oleh PDB sektor pertanian. Apabila diperhatikan menurut jenis energi, simulasi ini berdampak terhadap penurunan total
konsumsi BBM, listrik, batubara, gas dan biomas
berturut-turut sebesar 0.0326 persen, 0.0004 persen, 0.0034 persen, 0.0014 persen dan 0.0597 persen. Penurunan seluruh jenis energi berdampak terhadap penurunan total konsumsi energi akhir. Penurunan total konsumsi energi akhir sebesar 0.0074. Selanjutnya, kenaikan harga minyak dunia berdampak terhadap penurunan transformasi energi listrik dan gas sebesar 0.0066 persen dan 0.0004 persen.
229
Namun kenaikan harga minyak dunia berdampak terhadap peningkatan transformasi kilang minyak sebesar 1.2241 persen. Pada blok penyediaan energi, simulasi ini berdampak terhadap penurunan produksi batubara dan gas, penurunan total impor minyak (minyak mentah dan BBM) dan penyediaan energi batubara dan gas. Namun simulasi ini berdampak terhadap peningkatan produksi BBM sebesar 1.2241 persen.
Peningkatan
produksi BBM berdampak terhadap peningkatan penyediaan energi BBM meningkat sebesar 0.2202 persen. Apabila harga minyak dunia naik 100 persen (ceteris paribus) maka produksi BBM akan meningkat sebesar 12.241 persen dan penyedian energi akan meningkat sebesar 2.02 persen. Secara langsung atau tidak langsung, simulasi ini berdampak terhadap perekonomian Indonesia. PBD sektor industri, pertanian dan sektor lainnya mengalami penurunan berturut-turut sebesar 0.0055 persen, 0.0133 persen, 0.0328 persen, sehingga PDB total mengalami penurunan. Sebaliknya,
sektor
transportasi tidak mengalami perubahan. Hal ini terjadi karena PDB sektor transportasi elastis terhadap total konsumsi energi sektor transportasi (ELR = 1.255). Apabila total konsumsi energi menurun sebesar 1 persen maka PDB akan turun sebesar 1.255 persen. Sementara itu, kenaikan harga minyak dunia sebesar 10 persen
berdampak terhadap penurunan total konsumsi energi sektor
transportasi sebesar 0.0098 ( lebih kecil dari 1 persen), sehingga kenaikan harga minyak dunia dapat dieliminir oleh konsumsi energi sektor transportasi. Selain PDB sektoral yang mengalami penurunan akibat kenaikan harga minyak dunia sebesar 10 persen, penerimaan pemerintah juga mengalami penurunan sebesar 0.0046 persen. Hal ini disebabkan oleh penurunan PDB total
230
sebesar 0.0059 persen. Total pengeluaran pemerintah dan pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM juga mengalami penurunan berturut-turut sebesar 0.0172 persen dan 0.0316 persen. Penurunan ini terjadi karena penurunan total konsumsi energi akhir dan penerimaan pemerintah. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga minyak dunia sebesar 10 persen berdampak negatif terhadap total konsumsi akhir, transformasi energi listrik dan gas, serta penyediaan energi. Namun kenaikan harga minyak dunia berdampak positif terhadap penyedian energi dari aspek penyediaan BBM.
7.2.1.2. Dampak Apresiasi Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar Apresiasi (menguat) nilai tukar rupiah terhadap US Dollar sebesar 5 persen akan berdampak terhadap peningkatan konsumsi energi sektoral pada umumnya. Selain itu juga simulasi ini berdampak terhadap peningkatan pada transformasi energi dan penyediaan energi di Indonesia. Pada Tabel 44 menunjukkan bahwa apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar berdampak terhadap peningkatan harga batubara, gas dan indeks harga biomas. Namun simulasi ini berdampak terhadap penurunan harga BBM dan listrik berturut-turut sebesar 0.0155 persen dan 0.0009 persen. Walaupun harga batubara, gas dan indeks harga biomas mengalami peningkatan, sementara harga BBM dan listrik mengalami penurunan, secara total harga energi di Indonesia mengalami penurunan sebesar 0.008 persen. Penurunan harga energi domestik secara total berdampak terhadap peningkatan konsumsi energi sektoral, meliputi total konsumsi energi sektor industri, rumahtangga, transportasi dan sektor lainnya dengan peningkatan
231
dibawah 0.004 persen. Namun simulasi ini berdampak terhadap penurunan total konsumsi energi sektor pertanian. Hal ini terjadi karena apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar memberikan dampak negatif terhadap harga BBM. Dampak negatif harga BBM terakumulasi oleh dampak negatif sukubunga yang lebih besar dari harga BBM pada total konsumsi BBM sektor pertanian, sehingga total konsumsi energi sektor pertanian mengalami penurunan. Simulasi ini memberikan dampak terhadap peningkatan pada transformasi energi. Transformasi energi kilang minyak, listrik dan gas mengalami peningkatan dibawah 0.02 persen. Hal ini terjadi karena apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar menyebabkan penyediaan input minyak mentah untuk kilang, pemanfaatan kilang minyak dan total input untuk pembangkit listrik mengalami meningkat. Peningkatan transformasi energi memberikan dampak lanjutan terhadap peningkatan penyediaan energi di Indonesia. Produksi BBM, batubara dan gas meningkat berturut-turut sebesar 0.0004,
persen, 0.0003 persen dan 0.0004
persen. Total impor meningkat sebesar 0.0876 dan penyediaan energi BBM, gas dan batubara juga mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 0.0334 persen. Apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar juga berdampak terhadap perekonomian Indonesia. PDB sektor industri, transportasi dan pertanian mengalami peningkatan, kecuali PDB sektor lainnya yang tidak mengalami perubahan. Peningkatan PDB sektoral pada umum menyebabkan PDB total juga mengalami peningkatan. Selain itu, total pengeluaran pemerintah, pengeluaran subsidi BBM dan penerimaan pemerintah juga mengalami peningkatan berturutturut sebesar 0.0381 persen, 0.0698 persen, dan 0.0008 persen. Hal terjadi karena
232
apresiasi nilai tukar berdampak terhadap peningkatan PBD. Peningkatan PDB berdampak
terhadap
peningkatan
penerimaan
pemerintah.
Peningkatan
penerimaan pemerintah berdampak terhadap peningkatan pengeluaran subsidi BBM. Peningkatan pengeluaran subsidi BBM berdampak terhadap peningkatan total pengeluaran pemerintah.
7.2.1.3. Dampak Penurunan Pengeluaran Subsidi BBM Hasil simulasi kebijakan penurunan subsidi BBM sebesar 10 persen memperlihatkan dampak perubahan terhadap konsumsi dan penyediaan energi dalam perekonomian Indonesia. Penurunan pengeluaran subsidi BBM berdampak negatif terhadap total pengeluaran pemerintah dan konsumsi energi seluruh sektor perekonomian. Dampak negatif
yang ditimbulkan oleh penurunan pengeluaran
subsidi BBM sebesar 10 persen lebih kecil dari dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga minyak dunia sebesar 10 persen. Selain itu, simulasi ini berdampak negatif terhadap transformasi energi, sehingga penyediaan energi juga mengalami hal yang sama. Pada Tabel 44 menunjukkan bahwa penurunan subsidi BBM berdampak terhadap peningkatan harga energi BBM sebesar 0.001 persen, namun berdampak terhadap penurunan harga listrik, gas dan indeks harga biomas berturut-turut sebesar 0.0002 persen, 0.0002 persen dan 0.0116 persen. Penurunan harga listrik, gas dan biomas disebabkan oleh penurunan total konsumsi akhir listrik, gas dan biomas lebih besar dari pada penurunan penyediaan energi tersebut. Sementara itu, harga batubara tidak mengalami perubahan. Hal ini terjadi karena penurunan konsumsi batubara sebanding dengan penurunan penyediaan batubara.
233
Simulasi ini berdampak terhadap penurunan total konsumsi energi akhir sektoral, seperti total konsumsi energi sektor industri, rumahtangga, transportasi, pertanian dan sektor lainnya berturut-turut sebesar 0.0001 persen, 0.0006 persen, 0.0007 persen, 0.0003 persen dan 0.0007 persen. Penurunan total konsumsi energi akhir sektoral disebabkan oleh kenaikan harga BBM akibat dari penurunan pengeluaran subsidi BBM. Penurunan konsumsi energi di Indonesia berdampak terhadap penurunan PDB Total sebesar 0.0003 persen, namun PDB sektoral (PDB sektor industri, transportasi, pertanian dan sektor lainnya) tidak mengalami perubhan. Hal ini terjadi karena dampak negatif yang ditimbulkan oleh penurunan pengeluaran subsidi dieliminir oleh total pengeluaran pemerintah, sehingga PDB sektoral tidak berubah. Dengan demikian penurunan subsidi BBM tidak memberikan dampak terhadap penurunan PDB sektoral. Alternatif simulasi ini juga memberikan dampak terhadap proses transformasi energi di Indonesia. Pada Tabel 44 menunjukkan simulasi ini berdampak terhadap penurunan transformasi energi pembangkit listrik dan gas, berturut-turut sebesar 0.0005 persen dan 0.0003 persen. Hal ini disebabkan oleh input listrik, BBM dan batubara untuk pembangkit listrik menurun berturut-turut sebesar 0.0007 persen, 0.001 persen dan 0.0.0002 persen, sehingga total input untuk pembangkit listrik mengalami penurunan. Sementara itu, transformasi kilang minyak tidak mengalami perubahan akibat penurunan pengeluaran subsidi BBM. Hal ini terjadi karena dampak negatif yang ditimbulkan oleh penurunan pengeluaran subsidi BBM terhadap input minyak mentah domestik untuk kilang
234
dieliminir oleh kapasitas kilang minyak dan harga minyak dunia yang berpengaruh positif terhadap transformasi energi kilang minyak. Secara langsung maupun tidak langsung, alternatif kebijakan penurunan subsidi BBM berdampak terhadap penyediaan energi di Indonesia. Pada Tabel 44 simulasi ini berdampak terhadap penurunan penyediaan BBM, batubara dan gas domestik berturut-turut sebesar 0.0013 persen, 0.0002 persen, dan 0.0001 persen. Penurunan penyediaan BBM disebabkan oleh penurunan impor minyak mentah dan impor BBM, masing-masing sebesar 0.0010 persen dan 0.0016 persen. Penurunan penyediaan batubara dan gas disebabkan oleh penurunan produksi batubara dan gas domestik berturut-turut sebesar 0.0001 persen dan 0.0003 persen. Simulasi ini selain berdampak terhadap transformasi dan penyediaan energi juga berdampak terhadap penerimaan pemerintah. Tabel 44 menunjukkan penerimaan pemerintah menurun sebesar 0.0001 persen. Hal terjadi karena PDB total mengalami penurunan sebesar 0.0003 peersen.
7.2.2.
Dampak Alternatif Kombinasi Kebijakan dan Perubahan Faktor Eksternal Berdasarkan hasil evaluasi alternatif kebijakan dan perubahan faktor
eksternal yang telah dikemukakan dalam sub-bab 7.2.1 dapat dinyatakan bahwa kenaikan harga minyak dunia berdampak negatif terhadap konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia. Apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar dampak positif terhadap konsumsi dan penyediaan energi
di Indonesia.
Sementara itu penurunan pengeluaran subsidi BBM memberikan dampak negatif terhadap konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia.
235
Pada bagian ini akan dibahas alternatif kombinasi kebijakan dan perubahan faktor eksternal terhadap konsumsi dan penyediaan energi dalam perekonomian Indonesia. Dua kombinasi alternatif kebijakan dan perubahan faktor eksternal yang dianalisis, meliputi: (1) dampak kenaikan harga minyak dunia dan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar, (2) dampak kenaikan harga minyak dunia, apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar dan penurunan pengeluaran subsidi BBM. Hasil evaluasi alternatif kombinasi kebijakan dan perubahan faktor eksternal dinyatakan dalam skenario simulasi 4 dan 5 yang ditunjukkan oleh Tabel 45. Tabel 45. Dampak Alternatif Kombinasi Kebijakan Ekonomi dan Perubahan Faktor Eksternal Terhadap Konsumsi dan Penyediaan Energi Dalam Perekonomian Indonesia Periode 1990 – 2008 Nama Peubah Konsumsi BBM sektor industri Konsumsi listrik sektor industri Konsumsi batubara sektor industri Konsumsi gas sektor industri Konsumsi biomas sektor industri Total konsumsi energi sektor industri Konsumsi BBM sektor rumahtangga Konsumsi listrik sektor rumahtangga Konsumsi gas sektor rumahtangga Konsumsi biomas rumahtangga Total kons. energi rumahtangga Konsumsi BBM transp. darat Konsumsi BBM transp. lainnya Konsumsi BBM sektor transportasi Total Konsumsi sektor transportasi Jumlah transp. darat non penumpang Jumlah transportasi darat penumpang Jumlah transportasi darat Konsumsi BBM sektor pertanian Tot. konsumsi energi sektor pertanian Konsumsi BBM sektor lainnya Konsumsi gas sektor lainnya Konsumsi listrik sektor lainnya Konsumsi biomas sektor lainnya Total konsumsi energi sektor lainnya Total konsumsi BBM Total konsumsi listrik Total konsumsi batubara
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Unit Unit Unit Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM
Nilai Dasar 164692.00 173311.00 12529911.00 1531307.00 7525.00 14406746.00 85155.90 47354.00 494231.00 304803.00 931544.00 1292042.00 70474.50 1362516.00 1362652.00 77914.50 13284.70 91199.20 76904.00 76904.00 136738.00 4873.10 537.80 881.20 143030.00 1886451.00 225576.00 12529911.00
Perubahan (%) 4 5 -0.1585 -0.1609 -0.0035 -0.0035 -0.0031 -0.0031 0.0003 0.0003 -2.2764 -2.3003 -0.0057 -0.0058 -0.1764 -0.1786 0.0294 0.0296 -0.0026 -0.0032 0.0013 0.0013 -0.0156 -0.0162 -0.0049 -0.0054 -0.0492 -0.0514 -0.0071 -0.0078 -0.0072 -0.0078 -0.1049 -0.1118 -0.1716 -0.1792 -0.1146 -0.1217 -0.0003 -0.0004 -0.0003 -0.0004 -0.0124 -0.0132 -0.0718 -0.0780 -1.4689 -1.4875 0.0567 0.0567 -0.0196 -0.0203 -0.0279 -0.0287 0.0018 0.0013 -0.0031 -0.0031
236
Lanjutan Tabel 45 Nama Peubah Total konsumsi gas Total konsumsi biomas Total konsumsi energi akhir Transformasi energi kilang minyak Transf energi pembangkit listrik Transformasi energi gas Input listrik untuk pembangkit listrik Input gas untuk pembangkit listrik Input BBM untuk pembangkit listrik Input batubara untuk pembangkit listrik Total input untuk pembangkit listrik Pemanfaatan kilang minyak Input myk mentah domestik utk kilang Produksi BBM domestik Produksi batubara domestik Produksi gas domestik Impor minyak mentah Impor BBM Total impor minyak Penyediaan BBM Penyediaan gas Penyediaan batubara Harga BBM Harga listrik Harga batubara Harga gas Indeks harga biomas PDB total PDB sektor industri PDB sektor transportasi PDB sektor pertanian PDB sektor lainnya Total pengeluaran pemerintah Peng. pemerintah subsidi BBM Penerimaan pemerintah
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
Nilai Dasar 2026174.00 313209.00 16981321.00 285605.00 4573055.00 1827696.00 4610987.00 1270249.00 785181.00 2638211.00 9332709.00 43.98 1668619.00 285605.00 15093271.00 1827696.00 582005.00 1062171.00 1644176.00 1345981.00 2319625.00 14651351.00 303650.00 1951947.00 171698.00 14932257.00 863.60 28633.30 27079.90 494.30 754.10 305.00 974683.00 531398.00 869989.00
Perubahan (%) 4 5 -0.0008 -0.0010 -0.0533 -0.0540 -0.0064 -0.0066 1.2241 1.2241 0.0059 0.0054 0.0000 -0.0003 0.0046 0.0039 -0.0068 -0.0068 0.0413 0.0404 -0.0010 -0.0012 0.0046 0.0041 -0.0025 -0.0030 -0.0022 -0.0026 1.2241 1.2241 -0.0020 -0.0021 0.0000 -0.0003 -1.0756 -1.0765 0.0762 0.0745 -0.3315 -0.3329 0.3198 0.3185 0.0000 -0.0002 -0.0021 -0.0022 0.1745 0.1752 0.0010 0.0008 -0.0017 -0.0017 -0.0008 -0.0010 -0.2316 -0.2316 -0.0035 -0.0042 -0.0044 -0.0048 0.0000 0.0000 0.0265 0.0133 0.0000 0.0000 0.0209 -0.0148 0.0382 -10.000 -0.0038 -0.0038
Keterangan: Simulasi 4 : Harga minyak dunia naik 10 persen dan Apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar 5 persen Simulasi 5 : Harga minyak dunia naik 10 persen, apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar 5 persen dan pengeluaran subsidi BBM turun 10 persen
7.2.2.1. Dampak Kenaikan Harga Minyak Dunia dan Apresiasi Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dollar Alternatif kombinasi simulasi kenaikan harga minyak dunia sebesar 5 persen dan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar (simulasi 4) akan
237
berdampak negatif terhadap total konsumsi energi sektoral dan harga batubara, gas dan biomas. Alternatif kombinasi simulasi ini sebagian besar memberikan dampak dengan arah yang sama dengan dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga minyak dunia sebesar 10 persen (simulasi 1) terhadap konsumsi energi sektoral, harga batubara, gas dan biomas. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh alternatif kombinasi simulasi ini pada umumnya lebih kecil dibandingkan dengan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kenaikan harga minyak dunia (simulasi 1). Sementara itu, alternatif simulasi ini memberikan dampak positif terhadap transformasi dan penyediaan energi. Dampak positif yang ditimbulkan oleh alternatif simulasi lebih besar dari dampak yang ditimbulkan oleh kenailkan harga minyak dunia (simulasi 1). Hal ini terjadi karena apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar mampu mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh harga minyak dunia, dan dampak positif yang ditimbulkan oleh kenaikan harga minyak dunia terakumulasi oleh dampak yang ditimbulkan oleh apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar. Dari Tabel 45 dapat dilihat bahwa kombinasi simulasi kenaikan harga minyak dunia sebesar 10 persen dan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar 5 persen (simulasi 5) akan berdampak terhadap peningkatan harga BBM dan listrik meningkat sebesar 0.1745 persen dan 0.001 persen, kecuali harga batubara, gas dan biomas. Peningkatan harga BBM dan listrik disebabkan oleh dampak positif yang ditimbulkan oleh kenaikan harga minyak dunia yang tidak mampu dieliminir oleh dampak negatif yang ditimbulkan oleh apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar.
238
Alternatif kombinasi simulasi ini berdampak terhadap penurunan konsumsi energi sektoral. Tabel 45 menunjukkan bahwa konsumsi energi sektor industri, rumahtangga, transportasi, pertanian, dan sektor lainnya mengalami penurunan, kecuali konsumsi gas sektor industri, konsumsi biomas sektor rumahtangga dan sektor lainnya. Hal ini terjadi karena harga BBM yang ditimbulkan oleh simulasi ini menjadi lebih mahal, dan harga gas dan biomas menjadi lebih murah, sehingga sektor-sektor tersebut cenderung menggunakan energi yang lebih murah sebagai pengganti energi yang mahal harganya. Secara tidak langsung, kenaikan harga minyak dunia dan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar juga mempengaruhi proses transformasi energi di Indonesia. Alternatif kombinasi simulasi ini akan
berdampak terhadap
peningkatan transformasi energi kilang minyak dan pembangkit listrik. Peningkatan transformasi energi kilang minyak dan pembangkit listrik disebabkan oleh peningkatan harga BBM dan listrik, serta peningkatan total input untuk pembangkit listrik. Peningkatan transformasi energi berdampak terhadap peningkatan penyediaan energi di Indonesia. Pada Tabel 45 menunjukkan bahwa penyediaan energi BBM meningkat sebesar 0.3198 persen. Peningkatan penyedian energi BBM disebabkan oleh peningkatan produksi BBM dan impor BBM berturut-turut sebesar 1.2241 persen dan 0.0762 persen. Sebaliknya, penyediaan energi batubara mengalami penurunan sebesar 0.0021 persen. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan produksi batubara. Selain itu, penyediaan energi gas tidak mengalami perubahan disebabkan oleh produksi gas juga tidak mengalami perubahan. Baik secara langsung maupun tidak langsung, alternatif kombinasi simulasi ini akan menyebabkan penurunan PDB sektor industri sebesar 0.0044 persen. Sebaliknya, PDB sektor pertanian meningkat sebesar 0.0265 persen. Hal
239
ini terjadi karena PBD sektor industri tidak responsif terhadap total pengeluaran pemerintah, sebaliknya PDB sektor pertanian responsif terhadap total pengeluaran pemerintah. Total pengeluaran pemerintah secara tidak langsung dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap US Dollar. Jadi, nilai tukar rupiah terapresiasi terhadap US Dollar sebesar 5 persen maka total pengeluaran pemerintah
meningkat
sebesar 0.0209 persen. Seiring hal tersebut, sektor transportasi dan sektor lainnya tidak mengalami perubahan. Selain itu, alternatif kombinasi simulasi ini berdampak terhadap peningkatan pengeluaran subsidi BBM sebesar 0.0382 persen. Peningkatan ini terjadi karena dampak yang ditimbulkan oleh apresiasi nilaai tukar rupiah terhadap US Dollar dan peningkatan konsumsi akhir BBM. Peningkatan pengeluaran subsidi BBM berdampak terhadap peningkatan total pengeluaran pemerintah sebesar 0.0382. Sebaliknya, penerimaan pemerintah menurun sebesar 0.0038 persen. Hal ini terjadi karena PDB total turun sebesar 0.0035 persen.
7.2.2.2. Dampak Kenaikan Harga Minyak Dunia, Apresiasi Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dollar dan Penurunan Pengeluaran Subsidi BBM Alternatif kombinasi simulasi kenaikan harga minyak dunia sebesar 10 persen, apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar 5 persen dan penurunan subsidi BBM 10 persen (simulasi 5) memberikan perubahan terhadap konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia. Alternatif kombinasi simulasi ini memiliki pola yang sama dengan alternatif kombinasi kenaikan kenaikan harga minyak dunia sebesar 10 persen dan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar 5 persen (simulasi 4), namun memiliki dampak negatif lebih besar dan dampak positif yang lebih kecil dibandingkan dengan simulasi 4. Hal ini terjadi karena
240
dampak negatif yang ditimbulkan oleh kenaikan harga minyak sebesar 10 persen terakumulasi oleh dampak negatif yang ditimbulkan oleh penurunan pengeluaran subsidi BBM sebesar 10 persen. Dan dampak positifnya ditimbulkan oleh apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar. Alternatif kombinasi simulasi ini akan merubah harga energi di Indonesia. Pada Tabel 45 menunjukkan bahwa harga BBM dan listrik meningkat sebesar 0.01752 persen dan 0.0008 persen. Sebaliknya, harga batubara, gas dan biomas menurun berturut-turut sebesar 0.0017 persen, 0.0010 persen dan 0.2316 persen. Kenaikan harga BBM dan listrik disebabkan oleh dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga minyak dunia dan penurunan pengeluaran subsidi BBM. Dampak lanjutan yang timbulkan oleh alternatif kombinasi simulasi ini adalah kenaikan konsumsi energi sektoral. Dari Tabel 45 dapat dijelaskan konsumsi BBM, listrik, batubara dan biomas sektor industri menurun, kecuali konsumsi gas sektor industri. Hal ini terjadi karena harga gas lebih murah daripada harga BBM dan listrik, sehingga sektor industri mengkonsumsi gas lebih banyak. Dengan demikian antara BBM dan gas merupakan energi yang bersubsitusi bagi sektor industri. Walaupun konsumsi gas sektor industri meningkat, namun total konsumsi energi sektor industri menurun sebesar 0.0058. Hal yang sama terjadi pada total konsumsi energi sektor rumahtangga, transportasi, pertanian dan sektor lainnya menurun berturut-turut sebesar 0.0162 persen, 0.0078 persen, 0.0004 persen dan 0.0203 persen. Simulasi ini berdampak terhadap proses transformasi dan penyediaan energi di Indonesia. Dari Tabel 45 menunjukkan bahwa transformasi energi kilang minyak dan pembangkit listrik meningkat sebesar 1.2241 persen dan 0.0054
241
persen. Hal ini terjadi karena peningkatan harga BBM dan listrik, serta peningkatan total input untuk pembangkit listrik. Peningkatan transformasi energi mendorong peningkatan penyediaan energi. Dari Tabel 45 memperlihatkan bahwa penyediaan energi BBM meningkat sebesar 0.3185 persen. Peningkatan penyedian energi BBM disebabkan oleh peningkatan produksi BBM dan impor BBM berturut-turut sebesar 1.2241 persen dan 0.0745 persen. Sebaliknya, penyediaan energi gas dan batubara mengalami penurunan sebesar 0.0002 persen dan 0.0022 persen. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan produksi gas dan batubara masing-masing sebesar 0.0003 persen dan 0.0021 persen. Baik secara tidak langsung, simulasi ini menyebabkan penurunan PDB sektor industri sebesar 0.0048 persen. Sektor transportasi dan sektor lainnya tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, PDB sektor pertanian meningkat sebesar 0.0133 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor industri lebih peka terhadap dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak dunia menyebabkan harga BBM meningkat. Peningkatan harga BBM menyebabkan konsumsi BBM sektor industri turun lebih besar dibandingkan konsumsi energi lainnya, sehingga total konsumsi energi turun. Turunnya konsumsi energi sektor industri berdampak terhadap penurunan PDB sektor industri. Selain itu, alternatif kombinasi simulasi ini berdampak terhadap penurunan penerimaan pemerintah sebesar 0.0038.
Penurunan penerimaan pemerintah
terjadi karena PDB total turun sebesar 0.0042 persen.
242
7.3. Peramalan Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia Periode 2012 -2025 Peramalan (forecasting) konsumsi dan penyediaan energi
dalam
perekonomian Indonesia perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang kondisi masa depan sehingga bermanfaat dalam perencanaan dan pengembangan ekonomi energi Indonesia. Peramalan dilakukan mulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2025. Batas peramalan tahun 2025 mengacu pada Blue Print Pengembangan Energi Indonesia yang telah disusun sampai dengan tahun 2025. Sebelum melakukan peramalan (forecasting) terhadap peubah-peubah endogen maka terlebih dahulu dilakukan peramalan terhadap peubah-peubah eksogen. Untuk memperoleh nilai peramalan peubah eksogen dilakukan menggunakan model kecenderungan linier (trend linier model). Setelah mendapatkan nilai peubah-peubah eksogen maka kemudian dilakukan peramalan terhadap perkembangan peubah-peubah endogen dengan menggunakan model konsumsi dan penyediaan energi dalam perekonomian Indonesia yang telah dibangun sebelumnya. Program dan hasil peramalan peubah eksogen secara lengkap disajikan pada Lampiran 8 dan 9. Hasil peramalan peubah endogen disajikan pada Tabel 46 dan secara lengkap disajikan pada Lampiran 10 dan 11. Tabel 46. Hasil Peramalan Konsumsi dan Penyediaan Energi Tanpa Alternatif Kebijakan Periode 2012 – 2025 Nama Peubah Konsumsi BBM sektor industri Konsumsi listrik sektor industri Konsumsi batubara sektor industri Konsumsi gas sektor industri Konsumsi biomas sektor industri Total konsumsi energi sektor industri Konsumsi BBM sektor rumahtangga Konsumsi listrik sektor rumahtangga Konsumsi gas sektor rumahtangga Kons. biomas sektor rumahtangga
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM
2012 108927.41 126786.45 12795546.81 1306199.80 44018.66 14352519.28 58605.05 35510.29 405853.16 291290.12
2025 36542.84 737840.39 12380065.29 3306711.05 38077.04 16011220.17 72755.23 53946.17 1194310.20 680189.30
Pertum. (%)
-5.70 16.39 0.21 9.57 -1.07 1.39 1.87 3.32 11.33 6.93
243
Lanjutan Tabel 46 Nama Peubah Tot kons. energi sektor rumahtangga Konsumsi BBM sektor transp. darat Konsumsi BBM transp. lainnya Konsumsi BBM sektor transportasi Tot. konsumsi energi sek transportasi Jumlah transp. darat non penumpang Jumlah transportasi darat penumpang Jumlah transportasi darat Konsumsi BBM sektor pertanian Tot. konsumsi energi sektor pertanian Konsumsi BBM sektor lainnya Konsumsi listrik sektor lainnya Konsumsi gas sektor lainnya Konsumsi biomas sektor lainnya Total konsumsi energi sektor lainnya Total konsumsi BBM Total konsumsi listrik Total konsumsi batubara Total konsumsi gas Total konsumsi biomas Total konsumsi energi akhir Transformasi energi kilang minyak Transformasi energi pembangkit list Transformasi energi gas Input listrik untuk pembangkit listrik Input gas untuk pembangkit listrik Input BBM untuk pembangkit listrik Input batubara utk pembangkit listrik Total input untuk pembangkit listrik Pemanfaatan kilang minyak Input m mentah domestik utk kilang Produksi BBM domestik Produksi batubara domestik Produksi gas domestik Impor minyak mentah Impor BBM Total impor minyak Penyediaan BBM Penyediaan gas Penyediaan batubara Harga BBM Harga listrik Harga batubara Harga gas Indeks harga biomas PDB total PDB sektor industri PDB sektor transportasi PDB sektor pertanian PDB sektor lainnya Total pengeluaran pemerintah Peng. pemerintah subsidi BBM Penerimaan pemerintah
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Unit Unit Unit Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
2012 895926.63 930082.90 52248.84 982331.74 982519.22 93837.44 15042.80 108880.24 59463.46 59463.46 112169.94 21656.62 2263.98 1674.36 137155.82 1459587.51 234353.46 12795546.81 1714448.48 307414.21 16511350.47 296037.78 2923984.10 953278.17 2769233.01 1047282.65 730173.21 2349638.78 6927348.99 38.89 1446792.19 296037.78 14288602.81 953278.17 374871.11 837745.25 1212616.36 1131972.58 2222699.81 13534651.83 256719.27 1784016.86 146206.61 12592565.29 437.25 27767.32 26083.11 370.03 958.39 355.79 1243396.51 458778.61 1268620.82
2025 1029982.91 4746049.37 329583.77 5075633.14 5075891.50 1083592.00 173619.07 1257211.07 215386.13 215386.13 362349.09 24600.16 2745.24 2122.40 389405.77 5178902.84 549603.98 12380065.29 4503938.65 229961.18 22842471.94 325265.11 26144558.35 7682946.52 29706908.09 3804628.95 2354256.44 6320969.40 42223331.04 95.26 3780703.90 325265.11 39367348.33 7682946.52 2091658.32 4705190.66 6796848.97 5028781.72 10122287.89 38180074.41 635224.91 3296010.20 343771.64 33627349.97 -939.40 48075.55 41607.63 3037.64 2294.11 1136.17 2749933.28 1494029.99 1370168.92
Pertum. (%)
2.76 16.14 16.76 16.17 16.17 20.53 20.40 20.51 11.87 11.87 10.79 1.01 1.20 1.94 9.28 12.25 7.56 0.21 9.98 -1.85 3.14 0.94 22.13 21.50 25.98 10.07 13.54 11.98 18.31 8.78 9.54 0.94 13.24 21.50 16.91 16.18 16.40 13.38 13.57 13.95 8.23 6.65 6.83 10.21 20.99 5.60 5.02 19.20 7.26 10.09 6.63 10.88 0.33
244
Dari
hasil
peramalan
konsumsi
dan
penyediaan
energi
dalam
perekonomian Indonesia seperti disajikan pada Tabel 46 dapat dilihat bahwa perkembangan total konsumsi energi sektor industri dari tahun 2012 hingga tahun 2025 cenderung meningkat. Pada tahun 2012 total konsumsi energi sektor industri mencapai 14 352 519.28 juta SBM dan pada tahun 2025 mencapai 16 011.22 juta SBM, dengan rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar 1.39 persen. Jika dilihat menurut jenis energi yang dikonsumsi oleh sektor industri, konsumsi listrik, batubara dan gas cenderung meningkat berturut-turut sebesar 16.39 persen, 0.21 persen dan
9.57 persen. Sebaliknya, konsumsi BBM dan biomas cenderung
menurun sebesar 5.70 persen dan 1.07 persen. Hal ini diduga karena harga BBM yang cenderung meningkat, dan ketersediaan energi biomas semakin terbatas. Lebih lanjut dari Tabel 46 dapat dilihat bahwa perkembangan total konsumsi energi rumahtangga dari tahun 2012 hingga tahun 2025 cenderung meningkat. Pada tahun 2012 total konsumsi energi sektor rumahtangga mencapai 895.93 juta SBM dan pada tahun 2025 mencapai 1 029.98 juta SBM, dengan ratarata tingkat pertumbuhan sebesar 2.76 persen. Jika dilihat dari jenis energi yang dikonsumsi oleh sektor rumahtangga, BBM, listrik, gas dan biomas cenderung meningkat. Hal ini terjadi karena peningkatan penduduk yang menyebabkan peningkatan jumlah rumahtangga. Peningkatan jumlah rumahtangga mendorong peningkatan konsumsi energi. Konsumsi gas merupakan konsumsi energi terbesar sektor rumahtangga dibandingkan dengan jenis energi yang lain. Hal ini disebabkan gas untuk rumahtangga masih disubsidi oleh pemerintah. Sementara itu, total konsumsi energi sektor transportasi mengalami peningkatan dengan tingkat pertumbuhan sebesar 16.17 persen yang terdiri konsumsi BBM, listrik dan gas. Konsumsi BBM merupakan konsumsi energi
245
terbesar yang dikonsumsi oleh sektor industri. Bila dibandingkan dengan sektor lain, sektor transportasi merupakan sektor yang mengkonsumsi energi paling besar. Kecenderungan
peningkatan
konsumsi
energi
sektor
transportasi
disebabkan meningkatnya konsumsi BBM sektor transportasi. Hal ini terjadi karena semakin meningkatnya jumlah transportasi darat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Khusus untuk jumlah transportasi darat sebagai sarana transportasi utama dalam mobilisasi penduduk, perkembangannya cukup pesat. Secara keseluruhan, jumlah transportasi darat cenderung meningkat, yakni sebesar 20.51 persen. Kecenderungan peningkatan ini terjadi baik karena peningkatan jumlah transportasi darat non penumpang maupun jumlah transportasi darat penumpang, berturut-turut sebesar 20.53 persen dan 20.40 persen. Konsumsi BBM sektor pertanian dan sektor lainnya juga cenderung mengalami peningkatan, berturut-turut sebesar 11.87 persen dan 10.79 persen. Tidak hanya konsumsi BBM sektor lainnya yang cenderung meningkat, konsumsi listrik, gas dan biomas sektor lainnya juga cenderung meningkat, berturut-turut sebesar 1.20 persen, 1.01 persen dan 1.94 persen, sehingga total konsumsi energi sektor lainnya meningkat, yakni sebesar 9.28 persen. Dengan meningkatnya konsumsi pada semua sektor maka total konsumsi energi
akhir
cenderung
meningkat. Pada
periode
2012-2015,
rata-rata
pertumbuhan total konsumsi energi akhir sebesar 3.14 persen. Pertumbuhan positif total konsumsi akhir energi ini sebagai akumulasi dari total konsumsi akhir seluruh jenis energi yang memiliki kecenderungan meningkat, kecuali total konsumsi biomas. Rata-rata pertumbuhan total konsumsi akhir BBM, listrik, batubara dan gas secara berturut-turut sebesar 12.25 persen, 7.56 persen, 0.21 persen dan 9.98 persen. Sebaliknya, total konsumsi biomas menurun sebesar 1.85
246
persen. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam perekonomian Indonesia energi
biomas belum berpengaruh besar dalam pasar energi nasional. Padahal energi biomas sangat diperlukan sebagai diversifikasi, efisiensi dan konservasi energi. Ini disebabkan oleh ketersediaan energi biomas masih terbatas. Seiring dengan konsumsi energi yang cenderung meningkat, transformasi energi juga cenderung meningkat. Transformasi energi untuk kilang, transformasi energi untuk pembangkit listrik, dan transformasi energi untuk gas cenderung meningkat, berturut-turut dengan rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar 0.94 persen, 22.13 persen, dan 21.50 persen. Dalam proses transformasi energi ini membutuhkan input, sehingga kebutuhan input juga mengalami peningkatan. Input minyak mentah untuk kilang minyak meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 9.54 persen (lihat Lampiran 9). Untuk pembangkit listrik digunakan input listrik, input gas, input BBM, batubara dan input air, juga cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan berturut-turut sebesar 25.98 persen, 10.07 persen, 13.54 persen, 11.98 persen dan 1.28 persen, sehingga ratarata total input untuk pembangkit listrik meningkat sebesar 18.31 persen. Untuk dapat melakukan transformasi energi diperlukan peningkatan kapasitas kilang minyak dan kapasitas pembangkit listrik. Berdasarkan hasil peramalan seperti disajikan pada Lampiran 9 dapat dilihat bahwa kapasitas kilang minyak dan pembangkit listrik cenderung mengalami peningkatan, begitu juga dengan jumlah pemanfaatan kilang minyak cenderung mengalami peningkatan. Dari Lampiran 9 dan Tabel 46, tahun 2012 kapasitas kilang minyak mencapai 36.20 juta SBM dan pada tahun 2025 menjadi 39.69 juta SBM, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0.65 persen. Jumlah pemanfaatan kilang minyak meningkat dari 39 unit pada tahun 2011 menjadi 95 unit pada tahun 2025, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 8.78 persen.
247
Kecenderungan meningkatnya transformasi energi yang didukung oleh peningkatan input-inputnya, menyebabkan penyediaan energi juga cenderung meningkat. Berdasarkan hasil peramalan yang disaji pada Tabel 46 menunjukkan penyediaan energi BBM, gas dan batubara mengalami peningkatan berturut-turut dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 13.38 persen, 13.57 persen dan 13.95 persen. Peningkatan penyediaan energi ini didukung oleh peningkatan produksi energi dan impor. Produksi BBM, batubara dan gas domestik juga cenderung meningkat dengan rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar 0.94 persen, 13.24 persen dan 21.50 persen. Namun produksi minyak mentah mengalami cenderung menurun. Penurunan ini terjadi karena kondisi sumur minyak yang sudah tua (+ 30 thn) sehingga perlu dilakukan pencarian sumber-sumber minyak baru untuk mengatasi kekurangan energi tersebut. Menurunnya produksi minyak mentah domestik mendorong peningkatan impor minyak mentah sebagai input pada kilang minyak. Tabel 46 menunjukan impor minyak mentah cenderung meningkat dengan rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar 16.91 persen. Selain impor minyak mentah meningkat, impor BBM dan impor gas juga cenderung meningkat dengan rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar 16.18 persen dan 4.62 persen. Namun impor batubara cenderung menurun dg tingkat pertumbuhan sebesar 1.53 persen. Hal ini terjadi karena produksi batubara cenderung meningkat sehingga kebutuhan domestik dapat terpenuhi. Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukan sebelumnya dapat dinyatakan bahwa konsumsi energi di Indonesia didominasi oleh energi fosil yang merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources). Semakin langkanya penyediaan energi fosil pada suatu sisi, sementara disisi lain konsumsi energi semakin meningkat mendorong harga-harga energi cenderung meningkat. Harga BBM, listrik, gatubara, gas dan indeks harga biomas cenderung
248
meningkat berturut-turut dengan rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar 8.23 persen, 6.65 persen, 6.83 persen, 10.21 persen dan 20.99 persen. Seiring dengan peningkatan konsumsi energi akan mendorong peningkatan PDB sektoral dan PDB total. Dari Tabel 46 hasil peramalan menunjukkan bahwa PDB sektor industri, transportasi, pertanian dan sektor lainnya cenderung meningkat berturut-turut dengan pertumbuhan sebesar 5.02 persen, 19.20 persen, 7.26 persen dan 10.09 persen. Peningkatan PDB sektoral akan meningkatkan PBD total. PDB total cenderung meningkat dengan pertumbuhan sebesar 5.60 persen. Kecenderungan peningkatan jumlah konsumsi dan penyediaan energi serta perekonomian Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh sejumlah indikator sosialekonomi, meliputi nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar, suku bunga, upah, pajak, jumlah penduduk dan jumlah rumahtangga. Nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar cenderung melemah, dengan rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar 2.63 persen. Melemahnya nilai tukar rupiah ini mendorong terjadinya peningkatan impor minyak mentah, BBM dan gas. Di sisi lain, suku bunga nominal perbankan cenderung menurun, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 4.04 persen. Penurunan suku bunga ini memberikan iklim investasi yang semakin membaik dalam pembangunan ekonomi, termasuk dalam upaya meningkatkan penyediaan energi di Indonesia. Indikator ekonomi lainnya seperti upah dan pajak dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari Lampiran 9 menunjukkan upah sektor pertambangan cenderung meningkat dengan tingkat pertumbuhan sebesar 3.86 persen. Sebaliknya, upah sektor pertanian dan sektor lainnya menurun dengan tingkat pertumbuhan berturut-turut sebesar 0.75 persen dan 21.39 persen. Sementara itu, pajak memiliki kecenderungan meningkat. Pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa pajak cenderung meningkat dengan tingkat pertumbuhan
249
sebesar 3.58 persen. Dengan meningkatnya pajak akan meningkatkan penerimaan pemerintah. Dari Tabel 46 menunjukkan bahwa penerimaan pemerintah meningkat dengan tingkat pertumbuhan sebesar 0.62 persen. Jumlah penduduk dan jumlah anggota rumahtangga cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1.07 persen dan 1.61 persen. Pajak dan upah sektor pertambangan cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3.58 persen dan 3.86 persen. Sebaliknya, upah sektor pertanian dan sektor lainnya cenderung menurun dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0.75 persen dan 21.39 persen.
VIII. EFISIENSI DAN STRATEGI ENERGI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA Pada bagian ini dibahas efisiensi energi dalam perekonomian Indonesia, yang rinci menjadi efisiensi energi menurut sektor. Disamping itu, juga dibahas strategi penghematan dan pemanfaatan energi dalam rangka mewujudkan ketahanan energi pada masa mendatang. Pembahasan dilakukan berdasarkan hasil analisis yang telah dipaparkan pada bagian-bagian terdahulu dikombinasikan dengan hasil studi empiris yang dilakukan oleh peneliti lain maupun oleh lembaga/badan yang berkompeten. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, indikator yang digunakan untuk menghitung efisiensi energi, yaitu indikator elastisitas pemakaian (konsumsi) energi. Elastisitas pemakaian energi didefenisikan sebagai perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi akhir dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Elastisitas pemakaian energi dikatakan efisien apabila nilai elastistas pemakaian energi sama dengan satu. Sedangkan nilai elastisitas pemakaian lebih besar dari satu dikatakan inefisien (DESDM, 2006 dan Yusgiatoro, 2000). Pada bagian ini, pembahasan tentang efisiensi energi menggunakan indikator elastisitas pemakaian energi. Elastisitas pemakaian energi yang ditampilkan adalah elastisitas pemakaian energi periode lima tahunan menggunakan data historis tahun 1990-2008 dan data hasil peramalan tahun 20092025 berdasarkan model yang dibangun. Berdasarkan perkembangan elastisitas pemakaian energi total periode 5 tahunan sebagaiman yang disajikan pada Gambar 30, elastisitas pemakaian energi total pada periode 1991-1996, 1996-2000, dan 2001-2005 2011-2015 kecil dari
251
satu. Nilai elastisitas pemakaian energi pada periode 1991-1995, 1996-2000 dan 2001-2005 berturut-turut sebesar 0.09, 0.33 dan 0.21,. Nilai-nilai elastisitas tersebut mengandung pengertian bahwa peningkatan PDB sebesar 1 persen akan meningkatkan konsumsi energi total pada periode 1991-1995, 1996-2000 dan periode 2001-2005 berturut-turut sebesar 0.09 persen, 0.33 persen dan 0.21 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pemakaian energi total pada periode 1991-1995, 1996-2000 dan 2001-2005 adalah hemat (efisien).
2.00
Elastisitas (%)
1.18
0.65 0.51
0.48 0.33 0.21 0.09 0.00 1991-1995 1996-2000
2001-2005
2006-2010
2011-2015
2016-2020
2021-2025
Elastistas Pemakaian Energi Total
Sumber: Data Kementerian ESDM Tahun 1990-2008 dan Data Hasil Peramalan Tahun 2009-2025, diolah Gambar 30. Perkembangan Rata-Rata Elastisitas Pemakaian Energi Total Periode Lima Tahunan Sebaliknya, nilai elastisitas pemakaian energi tahun 2006-2010 sebesar 1.18. Nilai ini elastisitas tersebut memiliki arti peningkatan PDB sebesar 1 persen akan meningkatkan konsumsi energi total sebesar 1.18 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pemakaian energi total periode 2006-2010 boros (inefisien). inefisiensi pemakaian energi periode
ini disebabkan oleh krisis
252
ekonomi. Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008, dampaknya baru terasa pada tahun 2009. Hal ini menyebabkan rata-rata pertambahan PDB pada periode tersebut lebih kecil daripada pertambahan konsumsi energi, sehingga ratarata elastisitas energi pada periode tersebut lebih besar dari satu (inefisien). Krisis ekonomi global ini dimulai dari masalah Subprime Mortgage di Amerika Serikat, yaitu masalah kredit macet perumahan. Kondisi ini memberikan dampak negatif yang semakin meluas pada perekonomian Amerika Serikat yang kemudian berdampak negatif terhadap perekonomian global. Menurut Soros (2008) dalam Hoesada (2009), krisis ekonomi Amerika Serikat tahun 2008 ditandai turun nilai tukar USD, kegagalan pembayaran cicilan kredit rumah dan penyitaan, indeks saham jatuh dan perbankan bangkrut. Kemudian muncul krisis kepercayaan antara investor dan pialang, sesama pialang dan sesama perbankan. Selanjutnya, pada Gambar 30 menunjukkan bahwa nilai elastisitas pemakaian energi periode 2011-2015, 2016-2020 dan 2021-2025 lebih kecil dari satu, yaitu sebesar 048, 0.65 dan 0.51. Nilai elastisitas tersebut memiliki arti peningkatan PDB sebesar 1 persen akan meningkatkan konsumsi energi total berturut-turut sebesar 048 persen, 0.65 persen dan 0.51 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pemakaian energi total periode 2011-2015, 2016-2020 dan 2021-2025
hemat (efisien). Hal ini terjadi karena program pengurangan
subsidi
secara
energi
bertahap
yang diterapkan
oleh
pemerintah
dan
pengembangan teknologi berbagai jenis peralatan dan mesin yang hemat energi mendorong pemakaian energi yang efisien. Untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci tentang efisiensi pemakaian energi, perlu dilihat hasil analisis elastisitas pemakaian energi menurut sektor.
253
Elastisitas pemakaian energi menurut sektor adalah perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi akhir sektoral dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sektoral. Hasil analisis elastisitas pemakaian energi menurut sektor disajikan pada sub-bab 8.1. Selanjutnya pada sub-bab 8.2. akan dibahas strategi penghematan dan pemanfaatan energi dalam rangka mewujudkan ketahanan energi pada masa mendatang.
8.1.
Efisiensi Pemakaian Energi Menurut Sektor Perkembangan rata-rata elastisitas pemakaian energi sektor industri
periode lima tahunan dapat dilihat pada Gambar 31.
Pada Gambar 31 dapat
dililihat bahwa rata-rata elastisitas pemakaian energi sektor industri pada periode 1996-2000, 2001-2005 dan periode 5 tahunan di atas tahun 2011 lebih kecil dari satu. Sebaliknya pada periode 1996-2000 dan 2006-2010 lebih kecil dari satu. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pemakaian energi sektor industri tidak efisien pada periode 1996-2000 dan 2006-2010. 11.69 12.00 10.00
Elastisit as (%)
8.00 6.00 4.00 1.34 2.00
0.14 0.24
0.29
0.17
0.00 -2.00
-3.26
-4.00 1991-1995 1996-2000 2001-2005 2006-2010 2011-2015 2016-2020 2021-2025 Elastistas Pemakaian Energi Sektor Industri
Sumber: Data Kementerian ESDM Tahun 1990-2008 dan Data Hasil Peramalan Tahun 2009-2025, diolah Gambar 31. Perkembangan Rata-Rata Elastisitas Pemakaian Energi Sektor Industri Periode Lima Tahunan
254
Inefisiensi pemakaian energi sektor industri pada periode 1996-2000 terjadi lebih disebabkan oleh krisis ekonomi sejak pertengahan 1997 yang sangat dirasakan dampaknya pada tahun 1998. Krisis ekonomi ini menyebabkan PDB sektor industri mengalami penurunan lebih besar daripada penurunan konsumsi energi sektor industri. Penurunan PDB sektor industri tidak secara langsung direspon oleh penurunan konsumsi energi sektor industri, karena walaupun sektor industri mengalami penurunan pendapatan (mengalami kerugian) akibat krisis ekonomi, aktivitas produksi sektor industri masih terus berjalan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (konsumen) sesuai dengan kontrak yang telah disepakati. Inefisiensi pemakaian energi sektor industri pada periode 2006-2010 disebabkan oleh krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008. Krisis ekonomi global ini berdampak terhadap peningkatan PDB sektor industri yang lebih kecil daripada peningkatan PDB tahun sebelumnya pada satu sisi, sedangkan peningkatan konsumsi energi sektor industri mengalami peningkatan. Pada periode-periode berikutnya pemakaian energi sektor industri cenderung semakin efisien yang ditunjukkan oleh nilai elasitas pemakaian energi di bawah satu. dan cenderung menurun. Untuk sektor rumahtangga, elastisitas pemakaian energi dapat dilihat pada Gambar 32. Dari Gambar 32 menunjukkan nilai elastisitas pemakaian energi periode 5 tahunan pada periode 1991-1995 sampai dengan periode 2006-2010 lebih kecil dari satu. Hal ini mengindikasikan bahwa pemakaian energi sektor rumahtangga efisien selama periode-periode tersebut. Sementara itu, pada periode 2011-2015 nilai elastisitas pemakaian energi sektor rumahtangga lebih besar dari satu. Hal ini mengindikasikan bahwa pemakaian energi sektor rumahtangga
255
cenderung tidak efisien. Dan selanjutnya pada periode 2011-2015 nilai elastisitas pemakaian energi sektor rumahtangga lebih kecil dari satu dan cenderung menurun.
2.00
1.09
1.00
0.03
0.25
0.11
0.06
0.13
Elast is it as (%)
0.00 -1.00 -2.00 -3.00 -4.00 -5.00 -6.00
-6.60
-7.00 1991-1995
1996-2000
2001-2005
2006-2010
2011-2015
2016-2020
2021-2025
Elastistas Pemakaian Energi Sektor Rumahtangga
Sumber: Data Kementerian ESDM Tahun 1990-2008 dan Data Hasil Peramalan Tahun 2009-2025, diolah Gambar 32. Perkembangan Rata-Rata Elastisitas Pemakaian Energi Sektor Rumahtangga Periode Lima Tahunan Sehubungan
dengan
pemakaian
energi
sektor
transportasi,
hasil
perhitungan nilai elastisitas yang disajikan pada Gambar 33 menunjukkan nilai elastisitas periode lima tahunan yang pada periode 1991-1995 sampai dengan periode 2001-2005 lebih kecil dari satu. Namun pada periode 2006-2010 nilai elastisitas pemakaian energi sektor transportasi lebih besar dari satu. Inefisiensi pemakaian energi sektor transportasi pada periode ini lebih disebabkan oleh peningkatan jumlah trasportasi darat, karena dalam model analisis yang dibangun pemberlakuan
kebijakan
penghapusan
subsidi
BBM
belum
sepenuhnya
diterapkan. Pada periode-periode berikutnya, nilai elastisitas pemakaian energi efisien dan cenderung menurun.
256
2.71
3.00
Elastisitas (%)
2.50 2.00 1.50
0.99 0.64
1.00 0.50
0.32 0.10
0.62
0.21
0.00 1991-1995 1996-2000 2001-2005 2006-2010 2011-2015 2016-2020 2021-2025 Elastistas Pemakaian Energi Sektor Transportasi
Sumber: Data Kementerian ESDM Tahun 1990-2008 dan Data Hasil Peramalan Tahun 2009-2025, diolah Gambar 33. Perkembangan Rata-Rata Elastisitas Pemakaian Energi Sektor Transportasi Periode Lima Tahunan Perkembangan nilai elastisitas pemakaian energi sektor pertanian periode lima tahunan dapat dililihat pada Gambar 34. Dari Gambar 34 menunjukkan bahwa nilai elastisitas pemakaian energi sektor pertanian periode 5 tahunan pada periode 1991-2010 lebih kecil dari satu. Hal ini mengindikasikan bahwa periodeperiode tersebut pemakaian energi sektor pertanian efisien.
0.25
0.46
0.23
2.45
1.41
1.00
Elas tisitas (%)
0.20 0.15 0.10 0.05
-0.08
-0.13
0.00 -0.05 -0.10 -0.15 1991-1995 1996-2000 2001-2005 2006-2010 2011-2015 2016-2020 2021-2025 Elastistas Pemakaian Energi Sektor Pertanian
Sumber: Data Kementerian ESDM Tahun 1990-2008 dan Data Hasil Peramalan Tahun 2009-2025, diolah Gambar 34. Perkembangan Rata-Rata Elastisitas Pemakaian Energi Sektor Pertanian Periode lima tahunan
257
Sebaliknya, periode 2011-2015 dan 2016-2020 nilai elastisitas pemakaian energi berturut-turut sebesar 2.45 dan 1.41. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian energi sektor pertanian pada periode-periode tersebut tidak efisien. Dan pada periode berikut elastisitas pemakaian energi cenderung efisien karena pertambahan konsumsi energi cenderung menurun dengan tingkat penurunan yang lebih besar daripada tingkat penurunan PDB sektor tersebut. Perkembangan elastisitas pemakaian energi sektor lainnya disajikan pada Gambar 35. Pada Gambar 35 menunjukkan rata-rata elastisitas pemakaian energi periode lima tahunan pada periode 1990-2005 berturut-turut sebesar 0.27, 0.56, dan 0.23. Nilai elastisitas ini mengandung arti bahwa peningkatan PDB sektor lainnya sebesar 1 persen akan meningkatkan konsumsi energi total sektor lainnya periode lima tahun pada periode 1990-2005 berturut-turut sebesar 0.27 persen, 0.56 persen, dan 0.23 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pemakaian energi sektor lainnya pada periode tersebut hemat (efisien). 2.81
3.00
2.00 1.06 1.00
0.79
0.56 0.27
0.81
0.23
0.00 1991-1995 1996-2000 2001-2005 2006-2010 2011-2015 2016-2020 2021-2025 Elastistas Pemakaian Energi Sektor Lain
Sumber: Data Kementerian ESDM Tahun 1990-2008 dan Data Hasil Peramalan Tahun 2009-2025, diolah Gambar 35. Perkembangan Rata-Rata Elastisitas Pemakaian Energi Sektor Lain Periode Lima Tahunan
258
Sebaliknya, Gambar 35 menunjukkan periode 2006-2010 dan 2011-2015 nilai elastistas pemakaian energi sektor lainnya sebesar 2.81 dan 1.06. Nilai elastistas ini memiliki arti bahwa peningkatan PDB sektor lainnya sebesar 1 persen akan meningkatkan konsumsi energi total sektor lainnya periode 20062010 dan 2011-2015 sebesar 2.81 persen dan 1.06 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pemakaian energi sektor lainnya pada periode tersebut boros (inefisien) karena memiliki nilai elastisitas pemakaian energi lebih besar dari satu. Inefisiensi terjadi karena periode tersebut peningkatan PDB sektor lainnya direspon dengan peningkatan konsumsi energi lebih besar dari peningkatan PDB sektor tersebut. Selanjutnya, pada periode 2016-2025 nilai elastisitas pemakaian energi kecil dari satu. Hal ini mengindikasi pemakaian energi sektor lainnya pada masa mendatang akan efisien. Penggunaan energi yang efisien pada sektor lainnya pada mendatang didukung oleh pengoperasian peralatan memasak, penerangan dan pendinginan yang lebih mudah dan hemat energi.
8.2. Strategi Penghematan dan Pemanfaatan Energi Mencermati data fakta, hasil analisis yang telah dilakukan dan hasil studi empiris lainnya, ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam rangka mewujudkan ketahanan energi Indonesia pada masa depan. Aspek yang pertama adalah pemakaian energi yang relatif boros. Walaupun rata-rata nilai elasitistas pemakaian energi pada masa mendatang lebih kecil dari satu (efisien), namun nilai elastisitas tersebut mendekati satu. Seiring dengan berjalannya waktu,
259
konsumsi energi cenderung mengalami peningkatan karena jumlah penduduk bertambah dan kebutuhan energi dalam pelaksanaan pembangunan meningkat. Oleh karenanya berbagai upaya melalui penerapan strategi yang tepat untuk mewujudkan penghematan energi oleh berbagai sektor pengguna perlu dirumuskan. Aspek lainnya adalah penyediaan energi khususnya cadangan energi fosil, sebagai
unrenewable resources, ketersediaannya semakin terbatas
yang
diperlihatkan oleh harga energi, terutama minyak yang cenderung meningkat. Pada masa mendatang ketersediaan energi fosil akan habis, sehingga pemanfaatan energi yang bersumber dari renewable resources merupakan pilihan yang harus dilakukan. Sebagai negara agraris yang beriklim tropis Indonesia kaya akan renewable resources, seperti pemanfaatan energi air, angin, biomas, biodiesel, biogas dan sumber-sumber energi berkelanjutan lainnya. Dengan menerapkan strategi yang tepat dan selaras dari kedua aspek tersebut diyakini Indonesia akan dapat mewujudkan ketahanan energi, yakni dengan menerapkan strategi energi berkelanjutan. Berturut-turut strategi penghematan dan strategi pemanfaatan energi di Indonesia dibahas berikut ini.
8.2.1. Strategi Penghematan Energi Tujuan dari penghematan energi ialah mengurangi penggunaan energi untuk menekan biaya energi, serta mengurangi dampak lingkungan baik lokal maupun global yang disebabkan oleh penggunaan energi. Penghematan (konservasi) energi memberikan banyak manfaat. Menurut Nugroho (2005) dengan penghematan energi seolah-oleh menemukan sumber energi baru. Bila
260
Indonesia dapat menghemat konsumsi BBM sekitar 10 persen, berarti menemukan lapangan minyak baru yang dapat memproduksi sekitar 150 000 barrel per hari, yang
dalam
kenyataannya
membutuhkan
biaya
yang
besar
dalam
memproduksinya. Penghematan energi dilihat dari sumber pengguna energinya meliputi penghematan di sisi pengguna (demand side) dan di sisi penyedia (supply side). Penghematan energi juga dapat dilihat dari sisi penerapan teknologi meliputi penggantian teknologi dengan teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan, penambahan teknologi (retrofitting) pada unit produksi sehingga bekerja lebih efisien (BPPT, 2010). Dari sisi pengguna, peluang penghematan energi dapat dilakukan melalui penggunaan, pengoperasian, dan perawatan alat dan mesin secara efisien oleh masing-masing pengguna. Menurut BPPT (2010) peluang penghematan yang dilakukan berbeda untuk masing-masing sektor pengguna energi. Peluang penghematan paling besar adalah pada sektor komersial dan rumah tangga, dan yang terkecil adalah pada sektor lainnya. Hal ini terjadi karena pada sektor rumahtangga (dan juga sektor komersial) sebagai konsumen langsung energi yang dapat mengurangi penggunaan energi secara langsung. Pada sektor industri dan transportasi yang berhubungan dengan penggunaan alat dan mesin, peluang penghemantan relatif terbatas. Untuk sektor pertanian dan sektor lainnya, teknologi yang digunakan terkait dengan produk akhir dengan menggunakan jenis peralatan tertentu seperti mesin pompa air, traktor dan lainnya. Oleh karena itu peluang penghematan yang dilakukan pada sektor pertanian dan sektor lainnya menjadi terbatas dengan tidak mengurangi produk yang dihasilkan.
261
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam penghematan energi untuk sektor rumahtangga. Pertama, melakukan kampaye hemat energi dengan menekankan pada penggunaan peralatan rumahtangga dan peralatan lainnya yang benar-benar sesuai kebutuhan. Misalnya menyalakan lampu yang benar-benar dibutuhkan untuk penerangan, menonaktifkan peralatan elektronik apabila tidak dioperasikan, dan lainnya. Kedua, menggunakan peralatan rumahtangga dan peralatan lainnya yang hemat energi, seperti lampu dan peralatan memasak rumahtangga hemat energi. Dan ketiga, merancang bangunan yang efisien energi dalam hal pengaturan suhu dan pencahayaan. Disamping pemanfaatan alat dan mesin sesuai dengan kebutuhan, pemanfaatan energi pada sektor industri dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi industri yang hemat energi. Menurut BPPT (2010) akan berkembang dan dapat diterapkan teknologi hemat energi pada industri pada masa yang akan datang. Pertama, pemanfaatan teknologi dengan menerapkan cogeneration technology yang menghasilkan jenis energi listrik dan panas untuk proses produksi. Penggunaan teknologi yang menggabungkan dua buah proses produksi energi ini secara umum akan meningkatkan efisiensi thermal dari rata-rata 50 persen menjadi 60-80 persen tergantung dari jenis teknologi kogenerasi yang digunakan. Teknologi kogenerasi yang paling efisien ialah dengan memanfaatkan panas buang gas turbin pembangkit listrik untuk membangkitkan uap yang dipergunakan untuk proses produksi. Teknologi ini akan sangat efisien bila kebutuhan uap tinggi, dan target produksi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan uap tersebut, sehingga kemungkinan akan terjadi kelebihan produksi listrik (excess power) yang dapat dijual ke masyarakat atau PLN dengan harga yang
262
sangat bersaing. Dan kedua, perubahan pemanfaatan bahan bakar (fuel switching). Perubahan pemanfaatan bahan bakar ini diarahkan untuk memperoleh harga energi yang lebih murah atau lebih bersih. Pada beberapa industri seperti tekstil, semen, kertas dan lain-lain terjadi perubahan dari penggunaan minyak ke batubara, gas bumi dan biomasa. Pengalihan pemanfaatan dari minyak ke batubara pada pembangkit uap kecil membutuhkan penerapan teknologi baru karena karakteristik yang sama sekali berbeda. Pada industri semen yang menggunakan minyak untuk pengeringan semen dengan mengggunakan furnace skala besar, dapat dilaksanakan perubahan pemanfaatan bahan bakar dengan menerapkan sistem pembakaran dual fuel (minyak-batubara/biomasa atau minyak-gas). Pola perubahan yang terbaru adalah menggantikan penggunaan minyak dan gas ke batubara atau biomasa dengan menerapkan teknologi gasifikasi. Gas yang dihasilkan selain dapat digunakan secara langsung juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri kimia atau pupuk. Sektor transportasi merupakan sektor yang paling dominan dalam mengkonsumsi BBM. Pemakaian energi yang boros oleh sektor ini lebih disebabkan oleh masalah kemacetan dan banyaknya penggunaan kendaraan pribadi. Menurut BPPT (2010), pada saat ini sistem transportasi di Indonesia masih kurang baik yang dibuktikan oleh seringnya terjadi kemacetan di jalan raya. Untuk mengatasi permasalah tersebut sehubungan dengan upaya penghematan energi, setidaknya ada dua cara utama yang dapat dilakukan. Pertama, menyusun rencana tata kota dan tata wilayah secara terintegrasi, meliputi aktifitas ekonomi utama wilayah, penyediaan sarana telepon, air minum dan transportasi sehingga menghemat energi. Kedua, membangun transportasi masal dalam kota dan
263
antarkota yang efisien seperti kereta listrik, dan/atau monorail sebagai tulang punggung yang didukung oleh sistem angkutan seperti bus, mikrolet dan lain-lain yang aman dan nyaman. Dan ketiga, pemanjangan jalur kereta rel listrik dalam kota besar sampai ke kota di sekitarnya dengan jaringan kereta rel listrik atau kereta diesel akan dapat mengurangi kepadatan jalan raya dan menurunkan kerugian dalam waktu tempuh maupun biaya pengangkutan. Untuk sektor pertanian dan sektor lainnya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa peluang penghematan yang dapat dilakukan menjadi terbatas karena sektor-sektor ini menggunakan energi relatif kecil. Walaupun demikian, penghematan masih dapat dilakukan dengan pemanfaatan alat dan mesin sesuai dengan kebutuhan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penghematan energi disamping dapat dilakukan dari sisi pengguna (demand), juga dapat dilakukan dari sisi penyedia (supply). Dari sisi penyedia, penghematan energi dapat dilakukan setidaknya dengan tiga cara. Pertama, pendataan dan penyusunan sistem informasi yang akurat menurut jenis energi dan pengguna oleh suatu unit atau satuan tugas. Data dan informasi tersebut dapat digunakan untuk memantau dan memberikan informasi, petunjuk serta konsultasi kepada industri tentang kemungkinan penerapan teknologi yang lebih efisien untuk jenis industri tertentu. Kedua, membangun dan menerapkan teknologi transformasi dan distribusi energi yang efisien sehingga dapat mengurangi kebocoran (energy loss). Penghematan melalui penerapan teknologi transformasi misalnya lebih banyak menggunakan input air untuk pembangkit listrik. Sementara itu, penghematan melalui penerapan sistem distribusi yang efisien menurut BPPT (2010) misalnya dengan melakukan
264
pengembangan jaringan gas bumi yang lebih luas baik dari sumber gas buminya maupun wilayah yang dipasok hingga menjangkau wilayah industri di Sumatera, Jawa maupun Kalimantan. Dan ketiga, menerapkan strategi pemanfaatan energi yang tepat. Melalui penerapan strategi pemanfaatan energi yang tepat dengan melihat ketersediaan energi fosil dan potensi pengembangan energi alternatif dapat dirumuskan upayaupaya lainnya dalam melakukan pengehematan energi dari sisi penyediaan. Lebih detail tentang hal ini dijelaskan pada sub-bab 8.2.2.
8.2.2. Strategi Pemanfaatan Energi Seiring dengan berjalannya waktu, konsumsi energi cenderung mengalami peningkatan karena jumlah penduduk bertambah dan kebutuhan energi dalam pelaksanaan pembangunan meningkat. Sementara itu, cadangan energi fosil, sebagai
unrenewable
resources, ketersediaannya semakin terbatas
yang
diperlihatkan oleh harga energi, terutama harga minyak yang cenderung meningkat. Mengingat semakin menipisnya cadangan energi fosil, khususnya minyak, maka berbagai upaya perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, berbagai upaya perlu dilakukan sehubungan dengan upaya untuk meningkatkan produktivitas pemanfaatan energi antara lain dengan cara konversi minyak tanah ke gas untuk rumahtangga, pengurangan subsidi BBM, dan peningkatan kemampuan kilang yang ada. Disamping itu kebijakan nilai tukar rupiah yang stabil perlu dilakukan
265
untuk menangkal dampak negatif dari kenaikan harga minyak dunia yang dapat menyebabkan konsumsi dan penyediaan energi menurun. Sehubungan dengan upaya peningkatan kemampuan kilang, menurut BPPT (2010) kemampuan kilang yang ada dapat ditingkatkan dalam jangka pendek, sehingga dapat diperoleh produk kilang baik BBM maupun non BBM dengan volume yang lebih baik dan bernilai tinggi. Untuk itu perlu penambahan kapasitas tangki timbun minyak mentah di kilang minyak yang ada, sehingga kilang tersebut dapat bekerja dengan hasil yang lebih optimal. Untuk jangka menengah, perlu upaya untuk meningkatkan investasi dari aspek produksi, pengolahan, dan distribusi energi fosil, dan upaya konversi penggunaan energi berbasis bahan bakar minyak oleh sektor industri ke jenis energi lainnya. Seiring dengan itu, upaya peningkatan jumlah dan kapasitas kilang (minyak dan gas) perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap energi akhir yang bersumber dari impor. Upaya peningkatan jumlah dan kapasitas pembangkit listrik juga perlu dilakukan untuk mengeleminir defisit energi listrik yang semakin meningkat seiring dengan kemajuan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk. Pengembangan pembangkit listrik hendaknya difokuskan pada penggunaan energi selain BBM, seperti pembangkit listrik menggunakan energi batubara dan gas. Menurut BPPT (2010) bahan bakar pengganti minyak dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan terhadap energi fosil lainnya seperti seperti gasifikasi batubara, pencairan batubara, gas to liquid, semaksimal mungkin. Pemanfaatan bahan bakar alternatif tersebut bertujuan untuk mencukupi
266
kebutuhan energi sektor transportasi, sektor rumahtangga, dan sektor industri yang saat ini sebagian besar dipenuhi oleh bahan bakar minyak. Dalam jangka panjang, upaya untuk menggeser penggunaan energi yang bersumber dari unrenewable resources kepada penggunaan energi yang bersifat renewable resources, seperti pemanfaatan energi air, angin, bahan bakar nabati (biomas, biodiesel, biogas dan lainnya), dan sumber-sumber energi berkelanjutan lainnya. Sejumlah jenis energi alternatif tersebut telah mulai dikembangkan, namun pemanfaatannya belum optimal karena biaya produksi yang masih tinggi sehingga harganya lebih mahal dari harga energi fosil.
IX. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN PENELITIAN LANJUTAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diuraikan pada bagian-bagian terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia adalah: a. Konsumsi energi sektor industri dipengaruhi oleh harga batubara, harga listrik, harga BBM, PDB sektor industri, trend dan konsumsi energi sektor industri tahun sebelumnya. Konsumsi energi sektor industri responsif terhadap perubahan harga batubara, harga listrik dan trend dalam jangka pendek dan responsif terhadap perubahan harga BBM dalam panjang. b. Konsumsi energi sektor rumahtangga dipengaruhi oleh harga listrik, harga gas, konsumsi biomas sektor rumahtangga, PDB, jumlah penduduk, jumlah rumahtangga dan konsumsi energi sektor rumahtangga tahun sebelumnya. Konsumsi energi sektor rumahtangga responsif terhadap perubahan harga gas dan PDB dalam jangka panjang, dan responsif terhadap perubahan harga listrik, konsumsi biomas sektor rumahtangga, jumlah penduduk dan jumlah rumahtangga dalam jangka pendek maupun jangka panjang. c. Konsumsi energi sektor transportasi dipengaruhi oleh harga gas dan PDB sektor transportasi dan konsumsi energi sektor transportasi tahun sebelumnya. Konsumsi energi sektor transportasi responsif terhadap perubahan PDB sektor transportasi dalam jangka panjang.
268
d. Konsumsi energi sektor pertanian dipengaruhi oleh suku bunga perbankan dan konsumsi energi sektor pertanian tahun sebelumnya. Konsumsi energi sektor pertanian tidak responsif terhadap perubahan suku bunga perbankan dalam jangka pendek dan panjang. e. Konsumsi energi sektor lainnya dipengaruhi harga gas, harga batubara, PDB sektor lainnya dan konsumsi energi sektor lainnya tahun sebelumnya. Konsumsi energi sektor lainnya responsif terhadap harga gas dan batubara dalam jangka pendek dan panjang. f. Transformasi energi kilang minyak dipengaruhi oleh harga minyak dunia dan kapasitas kilang minyak. Transformasi energi kilang minyak responsif terhadap perubahan kapasitas kilang minyak dalam jangka panjang. Transformasi pembangkit listrik dipengaruhi oleh total input untuk pembangkit listrik dan transformasi pembangkit listrik tahun sebelumnya. Transformasi energi pembangkit listrik responsif terhadap perubahan input untuk pembangkit listrik dalam jangka panjang. Transformasi energi gas dipengaruhi oleh harga gas tahun sebelumnya, pertumbuhan harga gas, pertumbuhan konsumsi akhir gas, trend dan transformasi energi gas tahun sebelumnya. Transformasi energi gas responsif terhadap perubahan pertumbuhan konsumsi akhir gas dan trend dalam jangka pendek dan panjang. g. Pemanfaatan kilang minyak dipengaruhi oleh PDB dan pemanfaatan kilang tahun sebelumnya. Produksi batubara dipengaruhi oleh harga batubara. Produksi batubara responsif terhadap harga batubara dalam jangka pendek. Impor minyak mentah dipengaruhi oleh produksi
269
minyakmentah domestik, harga minyak dunia dan impor minyak mentah tahun sebelumnya. Impor minyak mentah responsif terhadap perubahan produksi minyak mentah domesstik dalam jangka pendek dan panjang. Impor BBM dipengaruhi oleh konsumsi akhir BBM dan jumlah transportasi darat. Impor BBM responsif terhadap perubahan konsumsi akhir BBM dalam jangka pendek dan jangka panjang. h. Harga listrik dipengaruhi konsumsi akhir listrik, trend dan harga listrik tahun sebelumnya. Harga listrik responsif terhadap perubahan konsumsi akhir listrik dalam jangka panjang. Harga batubara dipengaruhi oleh harga batubara tahun sebelumnya. Harga gas dipengaruhi oleh konsumsi akhir gas. Harga gas responsif terhadap
konsumsi akhir gas dalam jangka
pendek. Indeks harga biomas dipengaruhi oleh konsumsi akhir biomas dan trend. Indek harga biomas responsif terhadap perubahan konsumsi akhir biomas dan trend dalam jangka pendek. i.
PDB sektor industri dipengaruhi oleh PDB sektor industri tahun sebelumnya. PDB sektor transportasi dipengaruhi oleh total konsumsi energi sektor transportasi, total pengeluaran pemerintah dan PDB sektor transportasi tahun sebelumnya. PDB sektor transportasi responsif terhadap perubahan total konsumsi energi sektor transportasi dalam jangka panjang. PDB sektor pertanian dan sektor lainnya dipengaruhi oleh total pengeluaran pemerintah dan PDB sektor pertanian tahun sebelumnya. PDB sektor lainnya dipengaruhi oleh total pengeluaran pemerintah dan PDB sektor pertanian tahun sebelumnya. PDB sektor pertanian dan sektor
270
lainnya tidak responsif terhadap perubahan total pengeluaran pemerintah dalam jangka pendek dan panjang. 2. Kebijakan efektif yang mendorong peningkatan konsumsi dan penyediaan energi adalah kebijakan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar. Apresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar mampu mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh kenaikan harga minyak dunia. 3. Dimasa yang akan datang secara keseluruhan konsumsi energi seluruh sektor cenderung meningkat, kecuali total konsumsi biomas. Peningkatan konsumsi energi terbesar adalah total konsumsi BBM. Sejalan dengan itu, penyediaan energi fosil cenderung mengalami peningkatan.
Namun peningkatan
penyediaan energi BBM yang bersumber pada produksi domestik lebih kecil daripada peningkatan konsumsinya. Hal ini menyebabkan impor minyak mentah dan BBM cenderung mengalami peningkatan dalam memenuhi konsumsi energi dalam negeri. 4. Hasil analisis efisiensi pemakaian energi menggunakan data historis pada periode 1990-2008 dan data peramalan tahun 2009-2025 menunjukkan bahwa pemakaian energi Indonesia pada periode 5 tahunan dari tahun 1991-2005 adalah hemat (efisien). Pada periode 2006-2010 pemakaian energi total inefisien (boros) dan pada masa mendatang pemakaian energi total cenderungan efisiens. Hal ini terjadi karena penerapan teknologi yang hemat energi seiring dengan berjalannya waktu.
9.2. Implikasi Kebijakan Seiring dengan berjalannya waktu, konsumsi energi cenderung mengalami peningkatan karena jumlah penduduk bertambah dan kebutuhan energi dalam
271
pelaksanaan pembangunan meningkat. Sementara itu, cadangan energi fosil, sebagai
unrenewable resources, ketersediaannya semakin terbatas
yang
diperlihatkan oleh harga energi, terutama harga minyak yang cenderung meningkat. Dari sisi penyediaan, cadangan energi fosil khususnya minyak semakin menipis sehingga berbagai upaya perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Upaya-upaya yang dapat dilakukan meliputi: 1. Dalam jangka pendek, berbagai upaya perlu dilakukan sehubungan dengan upaya untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan energi antara lain dengan cara konversi minyak tanah ke gas untuk rumahtangga, dan pengurangan subsidi BBM secara bertahap. Disamping itu kebijakan apresiasi nilai tukar yang stabil perlu dilakukan untuk menangkal dampak negatif dari kenaikan harga minyak dunia yang dapat menyebabkan konsumsi dan penyediaan energi menurun. 2. Untuk jangka menengah, perlu upaya untuk meningkatkan investasi dari aspek produksi, pengolahan, dan distribusi energi fosil, dan upaya konversi penggunaan energi berbasis bahan bakar minyak oleh sektor industri ke jenis energi lainnya. Seiring dengan itu, upaya peningkatan jumlah dan kapasitas kilang (minyak dan gas) perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap energi akhir yang bersumber dari impor. Upaya peningkatan jumlah dan kapasitas pembangkit listrik juga perlu dilakukan untuk mengeleminir defisit energi yang semakin meningkat seiring dengan kemajuan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk. Pengembangan pembangkit listrik hendaknya difokuskan pada penggunaan energi selain BBM, seperti pembangkit listrik menggunakan energi batubara dan gas.
272
3. Dalam jangka panjang, upaya untuk menggeser penggunaan energi yang bersumber dari unrenewable resources kepada penggunaan energi yang bersifat renewable resources, seperti pemanfaatan energi air, angin, bahan bakar nabati (biomas, biodiesel, biogas dan lainnya), dan sumber-sumber energi berkelanjutan lainnya.
9.3. Saran Penelitian Lanjutan Pada studi ini jenis energi batubara, minyak mentah, BBM, gas, listrik dan biomas dianalisis secara agregat, padahal
keenam jenis energi ini memiliki
spesifikasi yang lebih rinci. Untuk memperoleh gambaran yang lebih detail tentang konsumsi dan penyediaan energi maka perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang konsumsi dan penyediaan energi menurut jenis energi secara parsial.
DAFTAR PUSTAKA Adams, F.G., Y. Ichino, and P.A. Prazmowski. 2000. Economic Growth and Energy Import Requirements: An Energy Balance Model of Thailand. Journal of Policy Modelling, 22(2):219–254. Agung H., Sardjono, T.W. Widodo, P. Nugroho dan Cicik S.P. 2006. Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian: Bioenergi dan Mekanisasi Pertanian untuk Pembangunan Industri Pertanian, Bogor. Alam, M.S. 2006. Economic Growth With Energy. http://www.economics.neu. edu/papers/documents/06-003.pdf, downloaded 22 Oktober 2009. Anwar, R.P dan M Senyonga. 2007. Mengembangkan Hubungan Industri yang Baik di Industri Minyak dan Gas Indonesia. Kertas Kerja No.254: International Labour Organization, Jakarta. Aqeel, A. and M.S. Butt. 2001. The Relationship between Energy Consumption and Economic Growth in Pakistan. Asia-Pacific Development Journal, 8(2): 101-110. Ayres, R. and I. Nair. 1984. Thermodynamics and Economics. Physics Today 35: 62-71. Badan Pusat Statistik.1997. Indikator Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2010. Outlook Energi Indonesia 2010: Teknologi untuk Mendukung Keandalan Pasokan Energi Listrik. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta. Brown, M.T. and R.A. Herendeen. 1996. Embodied Energy Analysis and Energy Analysis: A Comparative View, Ecological Economics, 19 (3): 219-236. Chen, X. 1994. Substitution of Information for Energy: Conceptual Background, Realities and Limits. Energy Policy, 22 (1): 15-28. Cleveland, C.J. and D.I. Stern .1993. Productive and Exchange Scarcity: An Empirical Analysis of the U.S. Forest Products Industry. Canadian Journal of Forest Research, 23 (8): 1537-1549. Dasgupta, P.S. and G.M. Heal. 1979. Economic Theory and Exhaustible Resources. Cambridge University Press, Oxford. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2004. Kebijakan Energi Nasional 2003-2020. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
274
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2006. Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta. Dixit, A., P. Hammond, and M. Hoel. 1980. On Hartwick's Rule for Regular Maximin Paths of Capital Accumulation and Resource Depletion. Review of Economic Studies, 47 (3): 551-556. Georgescu-Roegen, N. 1979. Energy and Matter in Mankind's Technological Circuit. Journal of Business Administration, 10 (2): 107-127. Gever, J., R.K. Kaufmann, D. Skole, and C. Vörösmarty. 1986. Beyond Oil: The Threat to Food and Fuel in the Coming Decades, Ballinger, Cambridge MA. Ghader, S.F., M.A. Azadeh, and Sh. Mohammad Zadeh. 2006. Modeling and Forecasting the Electricity Demand for Major Economic Sectors of Iran. Information Technology Journal, 5(2): 260-266. Gujarati, D. 1999. Ekonometrika Dasar (Terjemahan). Erlangga, Jakarta. Hartono, J. 2004. Teori Ekonomi Mikro: Analisis Matematis. Edisi Ketiga. Penerbit Andi, Yogyakarta. Henderson, J. M. and R. E. Quant. 1980. Microeconomics Theory: A Mathematical Approach. Third Edition. International Student Edition. McGraw-Hill Book Company, Singapura. Hartwick J.M. 1977. Intergenerational Equity and the Investing of Rents from Exhaustible Resources. American Economic Review, 66 (5): 972-974. Hartwick, J.M. 1995. Constant Consumption Paths in Open Economies with Exhaustible Resources. Review of International Economics, 3(3): 275-283. Hoesada, J. 2009. Krisis Ekonomi 2008 dan Imbasnya pada 2009. Akuntan Indonesia, Edisi No.14/Tahun III/Februari 2009. http://www.iaiglobal. or.id/data/referensi/ai_edisi_14.pdf, downloaded 14 Mei 2011. International Energy Association. 2008. World Energy Model: Methodology and Assumptions.http://www.iea.org/docs/weo2008/WEM_Methodology_08. pdf, downloaded 18 October 2009. Intriligator, M.D. 1978. Econometric Model, Techniques, and Applications. Prentice Hall Inc., New Jersey. Jamin, M. dan A. Sugiyono. 2009. Pengembangan Kelistrikan Nasional. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir II. Pusat Pengembangan Energi Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta.
275
Kaufmann, R.K. 1987. Biophysical and Marxist Economics: Learning from Each Other. Ecological Modeling, 38 (2): 91-105. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2009. Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia. Center for Data and Information on Energy and Mineral Resources. Ministry Energy and Mineral Resources, Jakarta. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2009. Rencana Pengembangan Kilang Minyak di Indonesia. Siaran Pers Nomor 60/humas DESDM/2009, tanggal 31 Agustus 2009. http://www.esdm.go.id/berita/migas/40migas/2785-rencana-pengembangan-kilang-minyak-di-indonesia.html, downloaded 21 April 2011 Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2010. Pokok-Pokok Kebijakan Energi Nasional. http://www.esdm.go.id/news-archives/56-artikel/3342pokok-pokok-kebijakan-energi-nasional.html/, downloaded 18 April 2011. Khan, H.A. 2008. China’s Development Strategy and Energy Security: Growth, Distribution and Regional Cooperation. UNU-WIDER, Research Paper No. 56. Koutsyiannis, A 1982. Modern Microekonomic. Second Edition. The Macmillan Press Ltd, Hongkong. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. Second Edition. The MacMillan Press Ltd., London. Krichene, N. 2005. A Simultaneous Equations Model for World Crude Oil and Natural Gas Markets. International Monetary Fund, African Department, Working Paper 5(32), http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2005/wp0532.pdf., downloaded 18 October 2009. Miranti, E. 2008. Prospek Industri Batubara di Indonesia. Analisis Riset Bisnis dan Ekonomi pada Bank BUMN. Economic Review, Edisi Desember (24). Momete, D.C. 2007. The Trinomial Sustainable Development–Economic Growth–Energy in European Context. RECENT 8, 3a(21a): 325-330. Mulyono, S. 2000. Peramalan Bisnis dan Ekonometrika. Edisi Pertama. Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Nondo, C. and K. Mulugeta. 2009. Energy Consumption and Economic Growth: Evidence from COMESA Countries. Selected Paper Prepared for Presentation at the Southern Agricultural Economics Association Annual Meeting, Atlanta, Georgia, January 31 - February 3, 2009.
276
Nugroho, H. 2005. Konservasi Energi Sebagai Keharusan Yang Terlupakan Dalam Manajemen Energi Nasional Indonesia: Belajar dari Jepang dan Muangthai. Lokakarya Konservasi Energi di Yokohama serta Kunjungan ke Berbagai Proyek Konservasi Energi di Jepang, Yokohama. O'Connor, M.P. 1993. Entropic Irreversibility and Uncontrolled Technological Change in the Economy and Environment. Journal of Evolutionary Economics, 34(2): 285-315. Perrings, C.A. 1987. Economy and Environment: A Theoretical Essay on the Interdependence of Economic and Environmental Systems. Cambridge University Press, Cambridge. Pindyck, R.S. and D.L. Rubinfield. 1998. Econometric Model and Economic Forecast. Fourth Edition. McGraw-Hill International, New York. Ramos-Martini, J. and M. Ortega-Cerdà. 2003. Non-Linear Relationship between Energy Intensity and Economic Growth. Paper submitted to the ESEE Conference Frontiers 2, held in Tenerife, Spain, 12-15 February 2003. Reksohadiprodjo, S. dan Pradono. 1999. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Energi. Edisi Kedua. BPFE, Yogyakarta. Romer, P.M. 1994. Increasing Return and Long-run Growth. Journal of Economic Perspective, 3 (4): 51-77. Ruth, M. 1995. Information, Order and Knowledge in Economic and Ecological Systems: Implications for Material and Energy Use. Ecological Economics, 13 (2): 99-114. Sachs, J., and F.B. Larrain. 1993. Macroeconomics in the Global Economy. Prentice-Hill Inc., New Jersey. Solow, R.M. 1956. A Contribution to the Theory of Economic Growth. Quarterly Journal of Economics, 70(1): 65-94. Solow, R.M. 1974. Intergenerational Equity and Exhaustible Resources. Review of Economic Studies. Symposium on the Economics of Exhaustible Resources: 29-46. Spreng, D. 1993. Possibilities for Substitution between Energy. Time and Information. Energy Policy, 21(1): 13-23. Stern, D.I. 1994. Natural Resources as Factors of Production: Three Empirical Studies. Ph.D. Dissertation. Department of Geography, Boston University, Boston. ________. 1997. Limits to Substitution and Irreversibility in Production and Consumption: a Neoclassical Interpretation of Ecological Economics. Ecological Economics, 21 (3): 197-215.
277
_______. 1999. Is Energy Cost an Accurate Indicator of Natural Resource Quality? Ecological Economics, 31 (3): 381-394. _______. 2003. Energy and Economic Growth. http://www.localenergy.org/pdfs/ Document%20Library/Stern%20Energy%20and%20Economic%20Growt h.pdf, downloaded 22 October 2009. Stiglitz, J.E. 1974. Growth with Exhaustible Natural Resources: The Competitive Economy. Review of Economic Studies. Symposium on the Economics of Exhaustible Resources: 139-152. Sugiyono, A. 1999. Permintaan dan Penyedia Energi Berdasarkan Kondisi Perekonomian di Indonesia Menggunaakan Model Nonlinear Programming. www.geocities.com/Athens/Academy/1943/paper.htm, downloaded 17 October 2009. ___________. 2004. Perubahan Paradigma Kebijakan Energi Menuju Pembangunan yang Berkelanjutan. Makalah dipresentasikan pada Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Pascasarjana FEUI dan ISEI, Hotel Nikko, Jakarta, 8-9 Desember 2004. www.geocities.com/Athens/Academy/1943/paper.htm, downloaded 17 October 2009. ___________. 2005. Pemanfaatan Biofuel Dalam Penyediaan Energi Nasional Jangka Panjang. Dipresentasikan pada Seminar Teknologi Untuk Negeri, Jakarta. Sugiyono, A. dan E. Suarna. 2006. Optimasi Penyediaan Energi Nasional: Konsep dan Aplikasi Model Markal. Makalah diipresentasikan pada Seminar Nasional Matematika, Statistika, dan Pendidikan Matematika, Jurusan Matematika, Universitas Padjajaran, Bandung. Suharto, E. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Alfabeta, Bandung. Sumodiningrat, G. 1999. Ekonometrika: Pengantar. Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tambunan, M. 2006. The Second High Cycle of World Oil (Energy) Price Crisis: Challenges and Option. Global Dialogue on Natural Resources, Washington DC. Todaro, M.P. 2000. Economic Development. Seventh Edition. Pearson Education Limited, New York. Tubss, W.J. 2008. A Simulation Model of Energy Supply and Demand for Climate Policy Analysis. http://www.bill.tubbs.name/thesis2008/USAEE paper_BTubbs .pdf., downloaded 20 October 2009.
278
Varian, H.R. 1992. Intermediate Microeconomic: A Modern Approach. Third Edition. W.W. Norton and Companny, New York. Yusgiantoro, P. 2000. Ekonomi Energi: Teori dan Praktik. Pustaka LP3ES, Jakarta.
295
Lampiran 2. Program Model Konsumsi Perekonomian Indonesia
dan Penyediaan Energi dalam
OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA ENERGI; SET DATA; /* Create New Variables 1*/ NFCOL = FCOL-EGOL; RPOIL = (POIL/IHO)*100; RPGAS = (PGAS/IHG)*100; RPCOAL = (PCOAL/IHC)*100; RPEL = (PEL/IHE)*100; SKBR = SKB-INF; EXCHR = (EXCH/IHK)*100; GEXP = GEXPNS + GEXPSOL + GEXPSNOL; WAGRR = (WAGR/IHK)*100; WOCR = (WOC/IHK)*100; WINDPR = (WINDP/IHK)*100; WMININGR = (WMINING/IHK)*100; /* Identity IDTO = RETO = TROL = TRTO = AGRTO = OCTO = FCTO = EGTO = RFCR = YBBM = YGAS = ICR = IMOL = PDBCAP = SOIL = SCOAL = SGAS = PDB = GEXP =
/* Create LAGROL LAGRTO LAGRP LEGEL LEGG LEGOL LIDBIO LIDCO LIDEL LIDG LIDOL LIDTO LIDTO
*/ IDOL + IDEL + IDCO + IDG + IDBIO; REOL + REEL + REG + REBIO; TRRTO + TROTTO; TROL + TREL +TRG ; AGROL; OCOL + OCG + OCEL + OCBIO; IDTO + RETO + TRTO + AGRTO + OCTO + NEU; EGEL + EGG + EGOL + EGCO + EGHY; RFUT * RCCR; OTPP; OTG; RFCR + IMCR; IMPP + IMCR; PDB/POP; YBBM + IMPP - XBBM; YCOAL + IMCOAL - XCOAL; YGAS + IMGAS - XGAS; INDP + TRP + AGRP + OCP; GEXPNS + GEXPSOL + GEXPSNOL;
Lag Variables */ = Lag(AGROL); = Lag(AGRTO); = Lag(AGRP); = Lag(EGEL); = Lag(EGG); = Lag(EGOL); = Lag(IDBIO); = Lag(IDCO); = Lag(IDEL); = Lag(IDG); = Lag(IDOL); = Lag(IDTO); = Lag(IDTO);
290
LIMCR LIMPP LINDP LOCBIO LOCEL LOCG LOCOL LOCOL LOCTO LOCP LOTEL LOTG LOTPP LPDB LPDBCAP LREBIO LREEL LREG LREOL LRETO LRFUT LRPCOAL LRPEL LRPGAS LRPOIL LTRTO LTRRTO LTROTTO LTRP LTRRTO LVEHICOM LVEHIPAS LWAGR LWAGRR LWINDPR LWOCR LWMININGR LSKBR LRFUT LYCOAL LYGAS LEGCO LGEXPSOL LIHB LVEHI LWMININGR LIPOL LFCEL LFCCO LPOILWD LEXCH LREVGOV LXGAS LSOIL LFCOL LFCBIO LSBIO LYBBM LCADGAS
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Lag(IMCR); Lag(IMPP); Lag(INDP); Lag(OCBIO); Lag(OCEL); Lag(OCG); Lag(OCOL); Lag(OCOL); Lag(OCTO); Lag(OCP); Lag(OTEL); Lag(OTG); LAG(OTPP); Lag(PDB); Lag(PDBCAP); Lag(REBIO); Lag(REEL); Lag(REG); Lag(REOL); Lag(RETO); Lag(RFUT); Lag(RPCOAL); Lag(RPEL); Lag(RPGAS); Lag(RPOIL); Lag(TRTO); Lag(TRRTO); Lag(TROTTO); Lag(TRP); Lag(TRRTO); Lag(VEHICOM); Lag(VEHIPAS); Lag(WAGR); Lag(WAGRR); Lag(WINDPR); Lag(WOCR); Lag(WMININGR); Lag(SKBR); Lag(RFUT); Lag(YCOAL); Lag(YGAS); Lag(EGCO); = Lag(GEXPSOL); = Lag(IHB); = Lag(VEHI); = Lag(WMINING); = Lag (IPOL); = Lag (FCEL); = Lag (FCCO); = Lag (POILWD); = Lag (EXCH); = Lag (REVGOV); = Lag (XGAS); = Lag (SOIL); = Lag (FCOL); = Lag (FCBIO); = Lag (SBIO); = Lag (YBBM); = Lag (CADGAS);
291
LFCG LREVGOV LGEXPSNOL LGEXPSOL LGEXP LEGOL LEGCO LSCOAL LRFCR LSGAS LEXCHR LCPLN
/* Create DINDP PINDP DPDB PPDB POCP DSKBR PSKBR DPDBCAP DRPOIL DGEXPSOL DVEHI PVEHI PRPOIL DOCP DIMCR DEGOL DEGCO DRPCOAL PRPCOAL DWMININGR PWMININGR DFCEL PFCEL DFCCO PFCCO DPOILWD PPOILWD DEXCH PEXCH DRPEL PRPEL DRPGAS PRPGAS DXGAS PXGAS POCBIO DSOIL PSOIL DSBIO DFCBIO PFCBIO DFCOL PFCOL DYBBM
= = = = = = = = = = = =
Lag Lag Lag Lag Lag Lag Lag Lag Lag Lag Lag Lag
(FCG); (REVGOV); (GEXPSNOL); (GEXPSOL); (GEXP); (EGOL); (EGCO); (SCOAL); (RFCR); (SGAS); (EXCHR); (CPLN);
New Variables 2*/ =(INDP - LINDP); =(INDP-LINDP)/LINDP; =(PDB-LPDB); =(PDB-LPDB)/LPDB; =((OCP-LOCP)/LOCP); =(SKBR-LSKBR); =(SKBR-LSKBR)/LSKBR; =(PDBCAP-LPDBCAP); =(RPOIL-LRPOIL); =(GEXPSOL-LGEXPSOL); =(VEHI-LVEHI); =(VEHI-LVEHI)/LVEHI; =(RPOIL-LRPOIL)/LRPOIL; =(OCP-LOCP); =(IMCR-LIMCR); =(EGOL-LEGOL); =(EGCO-LEGCO); =(RPCOAL-LRPCOAL); =(RPCOAL-RPCOAL)/LRPCOAL; =(WMININGR-LWMININGR); =(WMININGR-LWMININGR)/LWMININGR; =(FCEL-LFCEL); =(FCEL-LFCEL)/LFCEL; =(FCCO-LFCCO); =(FCCO-LFCCO)/LFCCO; =(POILWD-LPOILWD); =(POILWD-LPOILWD)/LPOILWD; =(EXCH-LEXCH); =(EXCH-LEXCH)/LEXCH; =(RPEL-LRPEL); =(RPEL-LRPEL)/LRPEL; =(RPGAS-LRPGAS); =(RPGAS-LRPGAS)/LRPGAS; =(XGAS-LXGAS); =(XGAS-LXGAS)/LXGAS; =(OCBIO-LOCBIO)/LOCBIO; =(SOIL-LSOIL); =(SOIL-LSOIL)/LSOIL; =(SBIO-LSBIO); =(FCBIO-LFCBIO); =(FCBIO-LFCBIO)/LFCBIO; =(FCOL-LFCOL); =(FCOL-LFCOL)/LFCOL; =(YBBM-LYBBM);
292
DFCG DOTEL POTEL DIHB PIHB DAGRP PAGRP DGEXPSNOL PGEXPSNOL DGEXPSOL PGEXPSOL DGEXP PGEXP DEGOL PEGOL DEGCO PEGCO DEGG PEGG PFCG DOTPP POTPP DSCOAL PSCOAL DRFCR PRFCR DSGAS PSGAS DWOCR PWOCR DREVGOV PREVGOV DOCBIO POCBIO DCPLN PCPLN DCADGAS PCADGAS
=(FCG-LFCG); =(OTEL-LOTEL); =(OTEL-LOTEL)/LOTEL; =(IHB-LIHB); =(IHB-LIHB)/LIHB; =(AGRP-LAGRP); =(AGRP-LAGRP)/LAGRP; =(GEXPSNOL-LGEXPSNOL); =(GEXPSNOL-LGEXPSNOL)/LGEXPSNOL; =(GEXPSOL-LGEXPSOL); =(GEXPSOL-LGEXPSOL)/LGEXPSOL; =(GEXP-LGEXP); =(GEXP-LGEXP)/LGEXP; =(EGOL-LEGOL); =(EGOL-LEGOL)/LEGOL; =(EGCO-LEGCO); =(EGCO-LEGCO)/LEGCO; =(EGG-LEGG); =(EGG-LEGG)/LEGG; =(FCG-LFCG)/LFCG; =(OTPP-LOTPP); =(OTPP-LOTPP)/LOTPP; =(SCOAL-LSCOAL); =(SCOAL-LSCOAL)/LSCOAL; =(RFCR-LRFCR); =(RFCR-LRFCR)/LRFCR; =(SGAS-LSGAS); =(SGAS-LSGAS)/LSGAS; =(WOCR-LWOCR); =(WOCR-LWOCR)/LWOCR; =(REVGOV-LREVGOV); =(REVGOV-LREVGOV)/LREVGOV; =(OCBIO-LOCBIO); =(OCBIO-LOCBIO)/LOCBIO ; =(CPLN-LCPLN); =(CPLN-LCPLN)/LCPLN ; =(CADGAS-LCADGAS); =(CADGAS-LCADGAS)/LCADGAS;
Label IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO TROTTO TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCG
=’Kons BBM ind' ='Kons lis ind' ='Kons BB ind' ='Kons gas ind' ='Kons bio ind' ='Kons tot ind' ='Kons BBM rt' ='Kons lis rt' ='Kons gas rt' ='Kons bio rt' ='Kons tot rt' ='Kons BBM trandar' ='Kons BBM tranln' ='Kons BBM tot trn' ='Jml transdar kom' ='Jml transdar pen' ='Jml transdar' ='Kons BBM pert' ='Kons BBM tot pert' ='Kons BBM seklain' ='Kons gas seklain'
293
OCEL OCBIO OCTO FCTO FCOL FCEL FCCO FCG FCBIO OTPP OTEL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO NFCOL RFUT RFCR YBBM YCOAL YGAS IMCR IMPP IMOL SOIL SCOAL SGAS DSGAS RPOIL RPGAS RPCOAL RPEL PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP DINDP DPDB DRPOIL PSKBR DGEXPSOL YEAR WINDPR WAGRR WOCR WMININGR POILWD EGHY EGCO EXCHR GEXPNS GEXPSNOL GEXPSOL IPOL NEU POCP POP JRT SKBR TREL TRG
='Kons lis seklain' ='Kons bio seklain' ='Kons tot seklain' ='Kons eng tot' ='Kons BBM tot' ='Kons lis tot' ='Kons BB tot' ='Kons lis tot' ='Kons bio tot' ='Transf kilang BBM' ='Transf lis' ='Transf gas' ='Inp lis utk lis' ='Inp gas utk lis' ='Inp BBM utk lis' ='Inp BB utk lis' ='Inp tot utk lis' ='Net kons BBM' ='Utilitas kilang' ='MM dom utk kilang' ='Prod BBM domestik' ='Prod BB domestik' ='Prod gas domestik' ='Impor MM' ='Impor BBM' ='Impor tot minyak' ='Penyediaan BBM' ='Penyediaan BB' ='Penyediaan gas' ='Pertam Penyed Gas' ='Harga BBM' ='Harga gas' ='Harga BB' ='Harga lis' ='PDB tot' ='PDB ind' =’PDB trans' ='PDB pert' ='PDB seklain' ='Pengeluaran Gov' ='Pertam PDB ind' ='Pertam PDB tot' ='Pertam harga BBM' ='Pertum suku bunga' ='Pertam subsidi BBM' ='Trend' ='Upah ind' ='Upah pert' ='Upah Seklain' ='Upah Pertamb' ='Harga minyak dunia' ='Inp air utk lis' ='Inp BB utk lis' ='Nilai tukar' ='Govexp non subsidi' ='Govexp non subsidi' ='Govexp sub minyak' ='Prod MM domestik' ='Pemanf non energi' ='pertum PDB seklain' ='Jml penduduk' ='Jml rumahtangga' ='Suku bunga' ='Kons lis trans' ='Kons gas trans'
294
TROL CPLN XBBM XCOAL XGAS YCOAL YGAS SOIL SCOAL SGAS IMCOAL IMGAS REVGOV IHB LAGROL LAGRP LEGEL LEGG LEGOL LIDBIO LIDCO LIDEL LIDG LIDOL LIMCR LIMPP LINDP LOCBIO LOCEL LOCG LOCOL LOTEL LOTG LREBIO LREEL LREG LREOL LRFUT LRPCOAL LRPEL LRPGAS LRPOIL LTRTO LTROTTO LTRP LTRRTO LVEHICOM LVEHIPAS LYCOAL LYGAS LEGCO LGEXPSOL LIHB LVEHI PVEHI IHO LWMININGR SBIO LSOIL RCCR NTAX TAX LREVGOV PSGAS CADGAS
='Kons BBM trans' ='Kapasitas PLN' ='Ekspor BBM' ='Ekspor batubara' ='Ekspor gas' ='Produksi batubara' ='Produksi gas' ='Penyediaan BBM' ='Penyediaan BB' ='Penyediaan gas' ='Impor batubara' ='Impor gas' ='Penerimaan Gov' ='Ideks biomas' ='Lag AGROL' ='Lag AGRP' ='Lag EGEL' ='Lag EGG' ='Lag EGOL' ='Lag IDBIO' ='Lag IDCO' ='Lag IDEL' ='Lag IDG' ='Lag IDOL' ='Lag IMCR' ='Lag IMPP' ='Lag INDP' ='Lag OCBIO' ='Lag OCEL' ='Lag OCG' ='Lag OCOL' ='Lag OTEL' ='Lag OTG' ='Lag REBIO' ='Lag REEL' ='Lag REG' ='Lag REOL' ='Lag RFUT' =’Lag RPCOAL' ='Lag RPEL' ='Lag RPGAS' ='Lag RPOIL' ='Lag TRTO' ='Lag TROTTO' ='Lag TRP' ='Lag TRRTO' ='Lag VEHICOM' ='Lag VEHIPAS' ='Lag YCOAL' ='Lag YGAS' ='Lag EGCO' ='Lag GEXPSOL' = 'Lag IHB' = 'Lag VEHI' = 'Pert jml transdar' ='Indeks hrg BBM' ='Lag WMININGR' ='Penyediaan bio' ='Lag SOIL' ='Kapasitas kilang' ='Non pajak' ='Pajak' ='Lag REVGOV' ='Pertumb Peny gas' ='Cad gas';
295
PROC SYSLIN 2SLS DATA=ENERGI OUTEST=HASIL SIMPLE; ENDOGENOUS IDOL REOL TRRTO VEHI OCBIO FCCO OTG NFCOL IMOL PDB GEXPSOL
IDEL REEL TROTTO AGROL OCTO FCG EGEL RFUT RPOIL INDP IHB
INSTRUMENTS DINDP DPDB REVGOV XCOAL LEGG LEGOL LIDG LIDOL LOCBIO LOCEL LOTPP LREBIO LRPCOAL LRPEL LTROTTO LTRP NEU POCP XGAS TREL YEAR JRT LIHB LVEHI CADGAS;
IDCO YCOAL TRTO AGRTO SOIL FCBIO EGG RFCR RPGAS TRP REVGOV;
IDG REG VEHICOM OCOL FCTO OTPP EGOL YBBM RPCOAL AGRP
IDBIO REBIO VEHIPAS OCG FCOL OTEL EGCO IMCR RPEL OCP
IDTO RETO YGAS OCEL FCEL SCOAL EGTO IMPP SGAS GEXP
EGHY IPOL LIDBIO LIMCR LOCG LREEL LRPGAS LTRRTO POILWD TRG IMCOAL IHO
EXCHR LAGROL WMININGR LIMPP LOCOL LREG RCCR LVEHICOM POP TROL IMGAS SBIO
GEXPNS LAGRP LIDCO LINDP LOTEL LREOL LRPOIL LVEHIPAS RETO WAGRR WINDPR TAX
GEXPSNOL LEGEL LIDEL XCOAL LOTG LRFUT LTRTO CPLN SKBR WOCR LEGCO NTAX
/* BLOK KONSUMSI ENERGI SEKTOR INDUSTRI */ MODEL IDOL = LRPOIL PRPGAS LRPEL PINDP LIDOL /DW; MODEL IDEL = LRPEL RPOIL RPGAS RPCOAL LINDP LIDEL /DW; MODEL IDCO = RPCOAL RPOIL RPEL INDP YEAR /DW; MODEL IDG = LRPGAS RPOIL RPCOAL RPEL LINDP LIDG /DW; MODEL IDBIO = IHB RPOIL PINDP LIDBIO /DW; IDENTITY IDTO = IDOL + IDEL + IDCO + IDG + IDBIO; /*KONSUMSI ENERGI MODEL REOL MODEL REEL MODEL REG MODEL REBIO IDENTITY RETO
RUMAHTANGGA*/ = LRPOIL DRPGAS RPEL REBIO JRT LREOL /DW; = LRPEL RPOIL DPDB JRT LREEL /DW; = RPGAS RPOIL RPEL REBIO PDB JRT LREG /DW; = IHB RPOIL LRPGAS PDB JRT LREBIO /DW; = REOL + REEL + REG + REBIO;
/*KONSUMSI ENERGI MODEL TRRTO MODEL TROTTO IDENTITY TROL IDENTITY TRTO MODEL VEHICOM MODEL VEHIPAS IDENTITY VEHI
TRANSPORTASI*/ = LRPOIL RPGAS PVEHI LTRP LTRRTO /DW; = LRPOIL RPGAS TRP YEAR LTROTTO /DW; = TRRTO + TROTTO; = TROL + TREL +TRG ; = RPOIL TRP PSKBR LVEHICOM /DW; = RPOIL TRP PSKBR LVEHIPAS /DW; = VEHICOM + VEHIPAS;
/*KONSUMSI ENERGI PERTANIAN*/ MODEL AGROL = DRPOIL RPEL PAGRP PSKBR LAGROL/DW; IDENTITY AGRTO = AGROL; /*KONSUMSI ENERGI SEKTOR LAINNYA*/
296
MODEL OCOL Model OCG Model OCEL Model OCBIO IDENTITY OCTO
= = = = =
LRPOIL RPGAS RPEL RPCOAL POCP LOCOL /DW; IHG RPOIL OCP LOCG /DW; RPEL RPOIL RPGAS RPCOAL IHB OCP LOCEL /DW; IHB RPOIL DRPGAS POCP LOCBIO /DW; OCOL + OCG + OCEL + OCBIO;
/*TOTAL KONSUMSI ENERGI TOTAL*/ IDENTITY FCTO = IDTO + RETO IDENTITY FCOL = IDOL + TROL IDENTITY FCEL = IDEL + REEL IDENTITY FCCO = IDCO; IDENTITY FCG = IDG + REG + IDENTITY FCBIO = FCTO - FCOL
+ TRTO + AGRTO + OCTO + NEU; + REOL + AGROL + OCOL + NEU; + TREL + OCEL; TRG + OCG; - FCCO - FCEL - FCG;
/*TRANSFORMASI ENERGI*/ MODEL OTPP = POILWD DRFCR RCCR LOTPP/DW; MODEL OTEL = DRPEL EGTO DCPLN LOTEL /DW; MODEL OTG = LRPGAS PCADGAS PFCG YEAR LOTG /DW; MODEL EGEL = RPEL RPCOAL RPOIL OTEL YEAR LEGEL /DW; MODEL EGG = LRPGAS RPCOAL IHB PXGAS OTG LEGG /DW; MODEL EGOL = RPOIL LRPCOAL RPGAS LIHB SOIL LEGOL /DW; MODEL EGCO = DRPCOAL RPGAS YCOAL/DW; IDENTITY EGTO = EGEL + EGG + EGOL + EGCO + EGHY;
/*PENYEDIAAN ENERGI*/ MODEL RFUT = PDB PSKBR LRFUT /DW; IDENTITY RFCR = RFCR + 0; IDENTITY YBBM = OTPP; MODEL YCOAL = LRPCOAL PWMININGR LSKBR/DW; IDENTITY YGAS = OTG; MODEL IMCR = FCOL LIPOL POILWD EXCHR LIMCR /DW; MODEL IMPP = FCOL VEHI EXCHR LIMPP /DW; IDENTITY IMOL = IMPP + IMCR; /*TOTAL PENYEDIAAN ENERGI*/ IDENTITY SOIL = YBBM + IMPP - XBBM; IDENTITY SCOAL = YCOAL + IMCOAL - XCOAL; IDENTITY SGAS = YGAS + IMGAS - XGAS; /*HARGA ENERGI*/ MODEL RPOIL MODEL RPEL MODEL RPCOAL MODEL RPGAS MODEL IHB
= = = = =
FCOL SOIL GEXPSOL POILWD /DW; FCEL OTEL YEAR LRPEL/DW; FCCO DSCOAL LRPCOAL /DW; FCG DSGAS YEAR /DW; LFCBIO SBIO YEAR /DW;
/*OUTPUT PEREKONOMIAN*/ IDENTITY PDB = INDP + TRP + AGRP + OCP; MODEL INDP = IDTO GEXP LINDP /DW; MODEL TRP = LTRTO GEXP LTRP /DW; MODEL AGRP = WAGRR AGRTO GEXP LAGRP /DW; MODEL OCP = OCTO GEXP LOCP/DW; IDENTITY GEXP = GEXPNS + GEXPSOL + GEXPSNOL; MODEL GEXPSOL = REVGOV LEXCHR FCOL LGEXPSOL/DW ; MODEL REVGOV = DPDB TAX /DW; RUN;
Lampiran 3. Hasil Pendugaan Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia
Variables Intercept DINDP DPDB EGHY EXCHR GEXPNS GEXPSNOL REVGOV XCOAL IPOL LAGROL LAGRP LEGEL LEGG LEGOL LIDBIO WMININGR LIDCO LIDEL LIDG LIDOL LIMCR LIMPP LINDP XCOAL LOCBIO LOCEL LOCG LOCOL LOTEL LOTG LOTPP LREBIO LREEL LREG LREOL LRFUT LRPCOAL LRPEL LRPGAS RCCR LRPOIL LTRTO LTROTTO LTRP LTRRTO LVEHICOM LVEHIPAS CPLN NEU POCP POILWD POP RETO SKBR XGAS TREL TRG TROL
Sum 18.0000 528.8 1549.4 461350 173992 4412978 370722 5055899 5158283 8925088 482923 3603.7 908886 593966 645827 945726 4.1602E8 668356 344567 1224295 1115868 1645005 1414360 4222.1 5158283 24018.8 149911 24226.8 120328 1193162 4509395 4378987 3692713 290788 81308.0 898737 149.0 619745 6015416 4037335 720526 2286368 2353298 229616 979.8 2121797 331881 59489.0 354617 862212 4.1709 576.7 3685592 5052855 -4.8835 4640975 470.0 1576.0 2467487
The SAS System The SYSLIN Procedure Descriptive Statistics Uncorrected Mean SS 1.0000 18.0000 29.3753 100235 86.0754 279997 25630.6 1.202E10 9666.2 1.9469E9 245165 1.827E12 20595.7 2.684E10 280883 2.681E12 286571 2.176E12 495838 4.496E12 26829.1 1.334E10 200.2 1131416 50493.7 1.06E11 32998.1 2.677E10 35879.3 2.795E10 52540.3 5.013E10 23112238 1.743E16 37130.9 4.173E10 19142.6 7.08E9 68016.4 8.85E10 61992.7 7.189E10 91389.2 1.725E11 78575.6 1.458E11 234.6 1685267 286571 2.176E12 1334.4 33928651 8328.4 1.591E9 1345.9 33784385 6684.9 8.8627E8 66286.8 1.319E11 250522 1.139E12 243277 1.079E12 205151 7.62E11 16154.9 5.659E9 4517.1 4.5792E8 49929.8 4.61E10 8.2778 1239.0 34430.3 2.137E10 334190 2.022E12 224296 1.345E12 40029.2 2.915E10 127020 2.914E11 130739 3.281E11 12756.4 3.0547E9 54.4350 86397.1 117878 2.696E11 18437.8 8.3491E9 3304.9 2.6268E8 19700.9 7.6696E9 47900.7 4.781E10 0.2317 3.2013 32.0362 28014.3 204755 7.582E11 280714 1.436E12 - 0.2713 3912.7 257832 1.2E12 26.1111 15358.0 87.5556 175308 137083 3.588E11
Variance 0 4982.5 8625.6 11712860 15594104 4.38E10 1.1295E9 7.419E10 4.102E10 4.1309E9 22828166 24114.3 3.5381E9 4.2172E8 2.8133E8 25917145 4.594E14 9.9511E8 28476746 3.0776E8 1.5968E8 1.3058E9 2.042E9 40877.0 4.102E10 110504 20143255 69219.3 4817194 3.104E9 5.7368E8 8.2893E8 2.6258E8 56547052 5332117 72012776 0.3301 1983793 6.653E8 2.588E10 17827874 58044459 1.2043E9 7388448 1944.7 1.1455E9 1.3117E8 3886693 40192575 3.8278E8 0.1315 561.2 2.0977E8 1.0271E9 230.1 2.0094E8 181.5 2195.3 1.2073E9
Std Deviation 0 70.5870 92.8743 3422.4 3948.9 209289 33607.6 272378 202542 64272.4 4777.9 155.3 59482.0 20535.9 16773.0 5090.9 21434565 31545.4 5336.4 17543.1 12636.6 36135.4 45188.0 202.2 202542 332.4 4488.1 263.1 2194.8 55713.5 23951.7 28791.2 16204.4 7519.8 2309.1 8486.0 0.5745 1408.5 25793.4 160863 4222.3 7618.7 34703.3 2718.2 44.0989 33845.6 11453.0 1971.5 6339.8 19564.7 0.3626 23.6899 14483.6 32048.7 15.1684 14175.2 13.4728 46.8542 34746.1
298
WAGRR WOCR Year JRT IMCOAL IMGAS WINDPR LEGCO LIHB LVEHI IHO SBIO TAX NTAX CADGAS PRPGAS PINDP DRPGAS PVEHI PSKBR DRPOIL PAGRP IHG DRFCR DRPEL DCPLN PCADGAS PFCG PXGAS DRPCOAL PWMININGR LSKBR LIPOL DSCOAL DSGAS LFCBIO LOCP LEXCHR LGEXPSOL XBBM IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL YCOAL REG REBIO RETO TRRTO TROTTO TRTO VEHICOM VEHIPAS YGAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCG OCEL OCBIO OCTO SOIL FCTO
1.0069E8 1.6573E8 35991.0 911326 10118.0 6744953 1.3444E8 978307 4385.5 391370 4742.0 4541176 3380464 1669619 277868 2.6113 4.8834 385055 2.1426 2936.6 7707.1 4.3739 2078.4 33185.0 63005.1 16650.5 0.5626 0.9271 0.1955 2756.8 28.7962 2.1525 9009427 262541 3520840 4662457 979.8 170632 592520 41473.0 1126884 363497 818797 1271652 940391 4521221 899343 316032 7113146 94019.5 3743460 5052855 2231251 236236 2469533 379719 68035.7 4503211 447754 490525 490525 125246 24568.4 166049 24968.0 340830 5942160 13737177
5593988 9207172 1999.5 50629.2 562.1 374720 7468898 54350.4 243.6 21742.8 263.4 252288 187804 92756.6 15437.1 0.1451 0.2713 21391.9 0.1190 163.1 428.2 0.2430 115.5 1843.6 3500.3 925.0 0.0313 0.0515 0.0109 153.2 1.5998 0.1196 500524 14585.6 195602 259025 54.4350 9479.5 32917.8 2304.1 62604.7 20194.3 45488.7 70647.3 52243.9 251179 49963.5 17557.4 395175 5223.3 207970 280714 123958 13124.2 137196 21095.5 3779.8 250178 24875.2 27251.4 27251.4 6958.1 1364.9 9224.9 1387.1 18935.0 330120 763176
6.134E14 1.644E15 71964489 4.671E10 14904536 1.544E13 1.377E15 7.335E10 1326539 1.157E10 2889929 1.16E12 1.219E12 2.84E11 4.398E9 2.3491 9.4659 1.727E11 0.3345 8643647 1.1664E9 3.0100 366872 2.8267E9 1.033E10 3.0516E8 0.1126 0.2169 0.0688 7609805 80.4824 3951.7 4.576E12 8.8274E9 7.528E12 1.211E12 86397.1 1.8912E9 3.887E10 2.4341E8 7.285E10 7.8349E9 6.72E10 9.497E10 4.963E10 1.195E12 4.615E10 6.5749E9 4.152E12 6.4461E8 7.83E11 1.436E12 2.96E11 3.2343E9 3.594E11 1.136E10 3.5818E8 1.137E12 1.575E10 1.366E10 1.366E10 9.34E8 34611877 1.9412E9 35675954 7.1904E9 2.03E12 1.086E13
2.948E12 6.956E12 28.5000 33703938 542182 7.598E11 2.191E13 1.1871E9 15178.9 1.8006E8 96510.0 8.5241E8 3.435E10 7.5939E9 6383155 0.1159 0.4789 9.6751E9 0.00467 480267 68416702 0.1145 7463.4 1.6268E8 5.9475E8 17044864 0.00559 0.00995 0.00393 422799 2.0244 232.4 3.9436E9 2.9401E8 4.023E11 2.0309E8 1944.7 16099410 1.139E9 8697275 1.3512E8 29081516 1.7619E9 3.0196E8 29362701 3.5033E9 71288813 60363197 7.886E10 9030474 2.6443E8 1.0271E9 1.1422E9 7873396 1.209E9 1.9718E8 5942144 6.0361E8 2.7142E8 17464532 17464532 3678306 63423.2 24083968 61329.2 43337578 4.0195E9 2.21E10
1717104 2637500 5.3385 5805.5 736.3 871646 4680386 34454.3 123.2 13418.8 310.7 29196.0 185331 87143.1 2526.5 0.3404 0.6920 98362.1 0.0684 693.0 8271.4 0.3384 86.3910 12754.6 24387.4 4128.5 0.0747 0.0997 0.0627 650.2 1.4228 15.2459 62798.2 17146.6 634288 14250.9 44.0989 4012.4 33749.6 2949.1 11624.2 5392.7 41974.8 17376.9 5418.7 59189.0 8443.3 7769.4 280818 3005.1 16261.4 32048.7 33795.9 2806.0 34771.4 14042.0 2437.7 24568.4 16474.9 4179.1 4179.1 1917.9 251.8 4907.5 247.6 6583.1 63399.4 148662
299
FCOL FCEL FCCO FCG FCBIO OTPP OTEL SCOAL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO NFCOL RFUT RFCR YBBM IMCR IMPP IMOL RPOIL RPGAS RPCOAL RPEL SGAS PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP GEXPSOL IHB REVGOV
5098438 846048 818797 1391816 4708819 4438468 1397234 1964981 4503211 1122569 637214 681476 1113011 4015621 4416962 151.0 6009043 4438468 1682762 1545165 3227927 2294075 4422390 622502 6078421 6607189 11334.8 4750.9 1144.7 4294.6 1144.7 5512021 728321 4486.7 5055899
283247 47002.7 45488.7 77323.1 261601 246582 77624.1 109166 250178 62365.0 35400.8 37859.8 61833.9 223090 245387 8.3889 333836 246582 93486.8 85842.5 179329 127449 245688 34583.5 337690 367066 629.7 263.9 63.5924 238.6 63.5924 306223 40462.3 249.3 280883
1.487E12 4.529E10 6.72E10 1.145E11 1.235E12 1.105E12 1.826E11 3.216E11 1.137E12 1.571E11 2.884E10 3.125E10 9.659E10 1.131E12 1.109E12 1275.0 2.017E12 1.105E12 1.774E11 1.692E11 6.77E11 2.934E11 1.562E12 2.156E10 2.064E12 1.494E13 11140871 1995527 115667 1639701 115667 2.979E12 5.821E10 1366932 2.681E12
2.5116E9 3.248E8 1.7619E9 4.0333E8 1.7243E8 6.44E8 4.359E9 6.2981E9 6.0361E8 5.1246E9 3.6932E8 3.2085E8 1.6335E9 1.38E10 1.4532E9 0.4869 6.2712E8 6.44E8 1.1844E9 2.1505E9 5.7718E9 59756937 2.794E10 2008134 6.5089E8 7.364E11 235481 43622.6 2522.1 36179.4 2522.1 7.596E10 1.6905E9 14621.3 7.419E10
50115.5 18022.2 41974.8 20083.1 13131.4 25377.2 66023.1 79360.4 24568.4 71586.1 19217.8 17912.2 40417.0 117492 38120.3 0.6978 25042.3 25377.2 34414.4 46373.8 75972.1 7730.3 167163 1417.1 25512.6 858111 485.3 208.9 50.2202 190.2 50.2202 275607 41115.6 120.9 272378
300
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model IDOL Dependent Variable IDOL Label Kons BBM ind Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 5 1.9486E9 3.8971E8 12 3.4854E8 29044846 17 2.2971E9
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept LRPOIL PRPGAS LRPEL PINDP LIDOL
DF 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 32760.29 -0.26560 4364.050 0.038419 761.6358 0.804960
5389.32706 62604.6667 8.60851
F Value 13.42
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 31733.54 1.03 0.196779 -1.35 4605.209 0.95 0.073932 0.52 2756.249 0.28 0.137325 5.86
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F 0.0001
0.84827 0.78505
Pr > |t| 0.3223 0.2020 0.3620 0.6128 0.7870 <.0001
Variable Label Intercept Lag RPOIL Lag RPEL Lag IDOL
2.26873 18 -0.17783
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model IDEL Dependent Variable IDEL Label Kons lis ind
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept LRPEL RPOIL RPGAS RPCOAL LINDP LIDEL
DF 1 1 1 1 1 1 1
Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 6 4.8404E8 80672889 11 10348446 940767.8 17 4.9439E8 969.93186 20194.2778 4.80300
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Parameter Standard Estimate Error t Value 337.0924 16703.16 0.02 -0.00971 0.011587 -0.84 -0.00225 0.048941 -0.05 0.002283 0.004283 0.53 0.157715 0.545493 0.29 0.240903 3.303985 0.07 0.904678 0.142567 6.35 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
F Value 85.75
Pr > F <.0001
0.97907 0.96765
Pr > |t| 0.9843 0.4198 0.9641 0.6046 0.7779 0.9432 <.0001 2.513548 18 -0.27325
Variable Label Intercept Lag RPEL Harga BBM Harga gas Harga BB Lag INDP Lag IDEL
301
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model IDCO Dependent Variable IDCO Label Kons BB ind Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 5 2.419E10 4.8378E9 12 5.763E9 4.8025E8 17 2.995E10
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept RPCOAL RPOIL RPEL INDP Year
DF 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -1.013E7 -16.2990 -0.49424 0.393855 149.8988 5314.610
21914.6097 45488.7222 48.17592
F Value 10.07
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 5572085 -1.82 11.41023 -1.43 1.023033 -0.48 0.281547 1.40 94.06140 1.59 2810.699 1.89
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F 0.0006
0.80759 0.72742
Variable Label Intercept Harga BB Harga BBM Harga lis PDB ind Trend
Pr > |t| 0.0942 0.1787 0.6377 0.1872 0.1370 0.0830 1.00475 18 0.344112
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model IDG Dependent Variable IDG Label Kons gas ind
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept LRPGAS RPOIL RPCOAL RPEL LINDP LIDG
DF 1 1 1 1 1 1 1
Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 6 4.4956E9 7.4927E8 11 6.3768E8 57971238 17 5.1333E9 7613.88453 70647.3333 10.77731
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Parameter Standard Estimate Error t Value - 102592 161718.0 -0.63 -0.02908 0.034884 -0.83 0.049008 0.354531 0.14 2.891274 6.045706 0.48 0.063423 0.118867 0.53 21.13887 24.56998 0.86 0.693232 0.381841 1.82 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
F Value 12.92
Pr > F 0.0002
0.87577 0.80802
Pr > |t| 0.5388 0.4222 0.8926 0.6418 0.6043 0.4080 0.0968 2.252349 18 -0.15119
Variable Label Intercept Lag RPGAS Harga BBM Harga BB Harga lis Lag INDP Lag IDG
302
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model IDBIO Dependent Variable IDBIO Label Kons bio ind Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 4 4.3768E8 1.0942E8 13 61485401 4729646 17 4.9917E8
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept IHB RPOIL PINDP LIDBIO
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 19326.31 -7.83427 -0.12179 559.1243 0.956225
2174.77499 52243.9444 4.16273
F Value 23.13
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 12338.58 1.57 8.184306 -0.96 0.073596 -1.65 1416.724 0.39 0.114411 8.36
Durbin-Watson Number of Observations First -Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.87682 0.83892
Pr > |t| 0.1413 0.3559 0.1219 0.6995 <.0001
Variable Label Intercept Ideks biomas Harga BBM Lag IDBIO
2.371036 18 -0.26695
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model REOL Dependent Variable REOL Label Kons BBM rt Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 6 1.0476E9 1.746E8 11 1.6429E8 14935026 17 1.2119E9
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept LRPOIL DRPGAS RPEL REBIO JRT LREOL
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 51756.11 -0.14298 0.003180 0.035720 -0.56055 1.573206 0.824462
3864.58612 49963.4779 7.73482
F Value 11.69
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 26382.14 1.96 0.170730 -0.84 0.011076 0.29 0.043159 0.83 0.250083 -2.24 0.877420 1.79 0.265739 3.10
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F 0.0003
0.86444 0.79050
Pr > |t| 0.0756 0.4202 0.7794 0.4255 0.0466 0.1005 0.0101 2.449608 18 -0.38315
Variable Label Intercept Lag RPOIL Harga lis Kons bio rt Jml rumahtangga Lag REOL
303
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model REEL Dependent Variable REEL Label Kons lis rt Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square Model 5 1.0239E9 2.0477E8 Error 12 2306965 192247.1 Corrected Total 17 1.0262E9 Root MSE 438.45988 R-Square Dependent Mean 17557.3507 Adj R-Sq Coeff Var 2.49730
Variable Intercept LRPEL RPOIL DPDB JRT LREEL
DF 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimates Parameter Standard Estimate Error t Value 1078.499 2888.087 0.37 -0.01445 0.006097 -2.37 0.010238 0.020133 0.51 3.177952 1.852324 1.72 0.087252 0.071583 1.22 0.947897 0.058239 16.28 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
F Value 1065.16
Pr > F <.0001
0.99775 0.99682
Pr > |t| 0.7153 0.0354 0.6203 0.1119 0.2463 <.0001 1.428277 18 0.27056
Variable Label Intercept Lag RPEL Harga BBM Pertam PDB tot Jml rumahtangga Lag REEL
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model REG Dependent Variable REG Label Kons gas rt Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 7 1.4394E8 20562323 10 9581796 958179.6 17 1.5352E8
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept RPGAS RPOIL RPEL REBIO PDB JRT LREG
DF 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 14904.42 -0.00697 0.002546 0.033367 -0.18014 7.434226 0.182129 0.885334
978.86649 5223.30522 18.74037
F Value 21.46
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 19141.43 0.78 0.003882 -1.79 0.044444 0.06 0.011299 2.95 0.162375 -1.11 4.040929 1.84 0.378926 0.48 0.725693 1.22
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.93759 0.89389
Pr > |t| 0.4542 0.1030 0.9554 0.0145 0.2932 0.0956 0.6411 0.2505 1.99972 18 -0.11539
Variable Label Intercept Harga gas Harga BBM Harga lis Kons bio rt PDB tot Jml rumahtangga Lag REG
304
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model REBIO Dependent Variable REBIO Label Kons bio rt Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 6 4.4836E9 7.4727E8 11 11740650 1067332 17 4.4954E9
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept IHB RPOIL LRPGAS PDB JRT LREBIO
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 14171.44 -0.12262 0.002981 0.001715 0.378476 0.366602 0.849451
1033.11754 207970.026 0.49676
F Value 700.13
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 22043.34 0.64 2.648917 -0.05 0.046059 0.06 0.003460 0.50 3.692400 0.10 0.240513 1.52 0.165613 5.13
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.99739 0.99596
Pr > |t| 0.5335 0.9639 0.9496 0.6299 0.9202 0.1557 0.0003
Variable Label Intercept Ideks biomas Harga BBM Lag RPGAS PDB tot Jml rumahtangga Lag REBIO
2.046614 18 -0.08922
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model TRRTO Dependent Variable TRRTO Label Kons BBM transdar
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept LRPOIL RPGAS PVEHI LTRP LTRRTO
DF 1 1 1 1 1 1
Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 5 1.902E10 3.8047E9 12 3.9344E8 32786454 17 1.942E10 5725.94572 123958.389 4.61925
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Parameter Standard Estimate Error t Value 31005.38 30195.50 1.03 -0.06418 0.250905 -0.26 0.033288 0.018124 1.84 8334.102 30368.38 0.27 82.52406 81.43090 1.01 0.741802 0.136460 5.44 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
F Value 116.04
Pr > F <.0001
0.97974 0.97129
Pr > |t| 0.3248 0.8025 0.0911 0.7884 0.3309 0.0002 1.924327 18 0.015736
Variable Label Intercept Lag RPOIL Harga gas Pert jml transdar Lag TRP Lag TRRTO
305
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model TROTTO Dependent Variable TROTTO Label Kons BBM translain Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 5 66489001 13297800 12 67358728 5613227 17 1.3385E8
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept LRPOIL RPGAS TRP Year LTROTTO
DF 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 947926.7 -0.06419 0.001676 68.29440 -467.981 0.339053
2369.22505 13124.2222 18.05231
F Value 2.37
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 902661.1 1.05 0.104399 -0.61 0.008305 0.20 43.25768 1.58 453.3113 -1.03 0.317386 1.07
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F 0.1026
0.49675 0.28706
Pr > |t| 0.3143 0.5501 0.8434 0.1404 0.3223 0.3064
Variable Label Intercept Lag RPOIL Harga gas PDB trans Trend Lag TROTTO
1.665325 18 0.142873
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model VEHICOM Dependent Variable VEHICOM Label Jml transdar kom Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 4 3.3307E9 8.3267E8 13 21332205 1640939 17 3.352E9
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept RPOIL TRP PSKBR LVEHICOM
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 6342.108 -0.05315 75.20850 -0.51130 0.912679
1280.99135 21095.4786 6.07235
F Value 507.43
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 7025.866 0.90 0.055204 -0.96 36.93915 2.04 0.461256 -1.11 0.152992 5.97
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.99364 0.99168
Pr > |t| 0.3831 0.3532 0.0627 0.2877 <.0001 2.614477 18 -0.35203
Variable Label Intercept Harga BBM PDB trans Pertum suku bunga Lag VEHICOM
306
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model VEHIPAS Dependent Variable VEHIPAS Label Jml transdar pen Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 4 99516601 24879150 13 1499841 115372.3 17 1.0102E8
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept RPOIL TRP PSKBR LVEHIPAS
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 2134.524 -0.01711 17.40695 -0.07217 0.826370
339.66505 3779.76111 8.98642
F Value 215.64
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 1776.296 1.20 0.014111 -1.21 7.210398 2.41 0.122214 -0.59 0.172457 4.79
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.98515 0.98058
Variable Label Intercept Harga BBM PDB trans Pertum suku bunga Lag VEHIPAS
Pr > |t| 0.2509 0.2468 0.0312 0.5650 0.0004 2.416528 18 -0.24082
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model AGROL Dependent Variable AGROL Label Kons BBM pert Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 5 2.273E8 45460516 12 69594472 5799539 17 2.969E8
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept DRPOIL RPEL PAGRP PSKBR LAGROL
DF 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 1017.113 -0.00255 0.010495 1137.275 -3.16964 0.854752
2408.22328 27251.3889 8.83707
F Value 7.84
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 9509.926 0.11 0.074578 -0.03 0.024187 0.43 1969.232 0.58 1.040458 -3.05 0.142016 6.02
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F 0.0017
0.76559 0.66792
Pr > |t| 0.9166 0.9733 0.6721 0.5743 0.0102 <.0001 1.251256 18 0.353386
Variable Label Intercept Pertam harga BBM Harga lis Pertum AGRP Pertum suku bunga Lag AGROL
307
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model OCOL Dependent Variable OCOL Label Kons BBM seklain Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 6 55285689 9214281 11 7245513 658683.0 17 62531202
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept LRPOIL RPGAS RPEL RPCOAL POCP LOCOL
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -16842.2 -0.01765 -0.00187 0.009607 0.541421 204.9089 0.671141
811.59287 6958.08889 11.66402
F Value 13.99
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 13031.38 -1.29 0.039013 -0.45 0.003396 -0.55 0.009671 0.99 0.385786 1.40 575.9641 0.36 0.188001 3.57
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F 0.0001
0.88413 0.82093
Pr > |t| 0.2227 0.6597 0.5926 0.3419 0.1881 0.7287 0.0044
Variable Label Intercept Lag RPOIL Harga gas Harga lis Harga BB pertum PDB seklain Lag OCOL
1.395181 18 0.243367
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model OCG Dependent Variable OCG Label Kons gas seklain Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 4 430221.6 107555.4 13 647973.2 49844.10 17 1078195
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept IHG RPOIL OCP LOCG
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 2488.707 -2.67311 -0.01223 6.533856 0.243814
223.25791 1364.91111 16.35696
F Value 2.16
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 1179.264 2.11 1.820243 -1.47 0.009233 -1.32 3.671120 1.78 0.264328 0.92
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F 0.1313
0.39902 0.21410
Pr > |t| 0.0548 0.1657 0.2081 0.0985 0.3731 1.911091 18 -0.05791
Variable Label Intercept IHG Harga BBM PDB seklain Lag OCG
308
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model OCEL Dependent Variable OCEL Label Kons lis seklain Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square Model 7 4.0811E8 58301334 Error 10 1318121 131812.1 Corrected Total 17 4.0943E8 Root MSE 363.05942 R-Square Dependent Mean 9224.91667 Adj R-Sq Coeff Var 3.93564
Variable Intercept RPEL RPOIL RPGAS RPCOAL IHB OCP LOCEL
DF 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimates Parameter Standard Estimate Error t Value 1701.134 6056.209 0.28 -0.00430 0.004344 -0.99 -0.00157 0.017113 -0.09 0.000264 0.002044 0.13 0.004413 0.205370 0.02 0.011662 1.060258 0.01 3.785705 13.48765 0.28 1.046248 0.177816 5.88 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
F Value 442.31
Pr > F <.0001
0.99678 0.99453
Pr > |t| 0.7845 0.3458 0.9289 0.8997 0.9833 0.9914 0.7847 0.0002 2.232695 18 -0.11981
Variable Label Intercept Harga lis Harga BBM Harga gas Harga BB Ideks biomas PDB seklain Lag OCEL
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model OCBIO Dependent Variable OCBIO Label Kons bio seklain Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 5 912460.0 182492.0 12 130135.8 10844.65 17 1042596
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept IHB RPOIL DRPGAS POCP LOCBIO
DF 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 391.2614 -0.07217 0.000230 -0.00002 102.0585 0.720385
104.13766 1387.11047 7.50752
F Value 16.83
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 434.7453 0.90 0.248395 -0.29 0.003816 0.06 0.000291 -0.06 74.74136 1.37 0.091960 7.83
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.87518 0.82317
Pr > |t| 0.3858 0.7764 0.9529 0.9504 0.1971 <.0001 1.778204 18 0.083519
Variable Label Intercept Ideks biomas Harga BBM pertum PDB seklain Lag OCBIO
309
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model OTPP Dependent Variable OTPP Label Transf kilang BBM Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 4 1.039E10 2.5974E9 13 5.5832E8 42947534 17 1.095E10
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept POILWD DRFCR RCCR LOTPP
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -32060.6 465.3787 0.050210 3.613918 0.489065
6553.43677 246581.556 2.65772
F Value 60.48
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 27432.82 -1.17 210.0745 2.22 0.186360 0.27 1.288279 2.81 0.153667 3.18
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.94900 0.93331
Pr > |t| 0.2635 0.0452 0.7918 0.0149 0.0072
Variable Label Intercept Harga minyak dunia Kapasitas kilang
1.550319 18 0.165093
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model OTEL Dependent Variable OTEL Label Tr ansf lis Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 4 6.829E10 1.707E10 13 5.8112E9 4.4701E8 17 7.41E10
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept DRPEL EGTO DCPLN LOTEL
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -23164.6 0.103414 0.259542 0.983840 0.627809
21142.7247 77624.1045 27.23732
F Value 38.19
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 11987.48 -1.93 0.267243 0.39 0.088450 2.93 1.563958 0.63 0.192771 3.26
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.92158 0.89745
Pr > |t| 0.0754 0.7050 0.0116 0.5402 0.0062 1.53308 18 0.187364
Variable Label Intercept Inp tot utk lis Lag OTEL
310
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model OTG Dependent Variable OTG Label Transf gas Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square Model 5 9.0265E9 1.8053E9 Error 12 1.2348E9 1.029E8 Corrected Total 17 1.026E10 Root MSE 10144.0418 R-Square Dependent Mean 250178.389 Adj R-Sq Coeff Var 4.05472
Variable Intercept LRPGAS PCADGAS PFCG Year LOTG
DF 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimates Parameter Standard Estimate Error t Value 5958428 1914627 3.11 0.051454 0.033236 1.55 83724.51 39044.22 2.14 48623.96 29017.48 1.68 -2965.47 963.0676 -3.08 0.816476 0.106869 7.64 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
F Value 17.54
Pr > F <.0001
0.87966 0.82952
Pr > |t| 0.0090 0.1475 0.0532 0.1196 0.0096 <.0001 1.386976 18 0.304873
Variable Label Intercept Lag RPGAS
Trend Lag OTG
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 6 8.687E10 1.448E10 11 2.4645E8 22404494 17 8.712E10
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept RPEL RPCOAL RPOIL OTEL Year LEGEL
DF 1 1 1 1 1 1 1
EGEL EGEL Inp lis utk lis
Parameter Estimate 1444288 -0.00088 -6.30893 -0.26149 1.209699 -612.357 0.007778
4733.33862 62364.9630 7.58974
F Value 646.23
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 1214581 1.19 0.055153 -0.02 2.099432 -3.01 0.221520 -1.18 0.050472 23.97 632.1717 -0.97 0.048350 0.16
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.99717 0.99563
Pr > |t| 0.2594 0.9875 0.0120 0.2627 <.0001 0.3535 0.8751 2.058531 18 -0.03597
Variable Label Intercept Harga lis Harga BB Harga BBM Transf lis Trend Lag EGEL
311
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model EGG Dependent Variable EGG Label Inp gas utk lis Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square Model 6 4.5128E9 7.5214E8 Error 11 1.7657E9 1.6051E8 Corrected Total 17 6.2785E9 Root MSE 12669.4016 R-Square Dependent Mean 35400.8018 Adj R-Sq Coeff Var 35.78846
Variable Intercept LRPGAS RPCOAL IHB PXGAS OTG LEGG
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimates Parameter Standard Estimate Error t Value - 312390 219624.9 -1.42 -0.06897 0.052113 -1.32 8.432169 6.157394 1.37 13.81275 34.40033 0.40 -4681.10 61524.22 -0.08 0.199092 0.218280 0.91 0.559031 0.284276 1.97 Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
F Value 4.69
Pr > F 0.0132
0.71878 0.56538
Pr > |t| 0.1826 0.2125 0.1982 0.6957 0.9407 0.3813 0.0750 1.709625 18 0.01455
Variable Label Intercept Lag RPGAS Harga BB Ideks biomas Transf gas Lag EGG
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model EGOL Dependent Variable EGOL Label Inp BBM utk lis Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 6 4.8028E9 8.0047E8 11 6.5158E8 59234402 17 5.4544E9
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept RPOIL LRPCOAL RPGAS LIHB SOIL LEGOL
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -96635.4 -0.97689 5.456666 0.005131 10.73523 0.199567 0.038099
7696.38889 37859.7929 20.32866
F Value 13.51
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 108445.6 -0.89 0.358014 -2.73 3.375082 1.62 0.031332 0.16 17.47390 0.61 0.079285 2.52 0.202169 0.19
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F 0.0002
0.88054 0.81538
Pr > |t| 0.3920 0.0196 0.1342 0.8729 0.5515 0.0286 0.8540 2.188825 18 -0.12697
Variable Label Intercept Harga BBM Lag RPCOAL Harga gas Lag IHB Penyediaan BBM Lag EGOL
312
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model EGCO Dependent Variable EGCO Label Inp batubara utk lis Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 3 1.873E10 6.243E9 14 9.0411E9 6.4579E8 17 2.777E10
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept DRPCOAL RPGAS YCOAL
DF 1 1 1 1
Parameter Estimate 11794.14 -4.02955 0.142820 0.039394
25412.4877 61833.9444 41.09796
F Value 9.67
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 11229.54 1.05 9.758167 -0.41 0.060206 2.37 0.035752 1.10
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F 0.0010
0.67443 0.60466
Pr > |t| 0.3114 0.6859 0.0326 0.2891
Variable Label Intercept Harga gas Produksi batubara
2.891963 18 -0.51986
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model RFUT Dependent Variable RFUT Label Utilitas kilang Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 3 6.977123 2.325708 14 1.300654 0.092904 17 8.277778
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept PDB PSKBR LRFUT
DF 1 1 1 1
Parameter Estimate 2.163305 0.000545 -0.00002 0.710956
0.30480 8.38889 3.63339
F Value 25.03
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 1.637615 1.32 0.000252 2.16 0.000108 -0.14 0.212429 3.35
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.84287 0.80920
Pr > |t| 0.2077 0.0486 0.8886 0.0048 2.405471 18 -0.21637
Variable Label Intercept PDB tot Pertum suku bunga Lag RFUT
313
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model YCOAL Dependent Variable YCOAL Label Produksi batubara Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 3 9.862E11 3.287E11 14 3.544E11 2.531E10 17 1.341E12
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept LRPCOAL PWMININGR LSKBR
DF 1 1 1 1
Parameter Estimate -4006689 130.3389 -53562.0 -451.603
159096.201 395174.778 40.25971
F Value 12.99
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 1425749 -2.81 39.98127 3.26 41455.50 -1.29 2931.325 -0.15
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F 0.0002
0.73567 0.67903
Pr > |t| 0.0139 0.0057 0.2173 0.8798
Variable Label Intercept Lag RPCOAL
0.681523 18 0.540389
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model IMCR Dependent Variable IMCR Label Impor MM Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 5 1.853E10 3.7061E9 12 1.6034E9 1.3362E8 17 2.013E10
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept FCOL LIPOL POILWD EXCHR LIMCR
DF 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 129967.2 0.153864 -0.23389 -669.296 -0.04782 0.644621
11559.2559 93486.7778 12.36459
F Value 27.74
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 61000.45 2.13 0.147089 1.05 0.080963 -2.89 185.7014 -3.60 1.191682 -0.04 0.170946 3.77
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.92036 0.88718
Pr > |t| 0.0545 0.3161 0.0136 0.0036 0.9687 0.0027 2.961557 18 -0.50713
Variable Label Intercept Kons BBM tot Harga minyak dunia Nilai tukar Lag IMCR
314
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model IMPP Dependent Variable IMPP Label Impor BBM Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 4 3.242E10 8.1061E9 13 4.1346E9 3.1805E8 17 3.656E10
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept FCOL VEHI EXCHR LIMPP
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -78215.4 0.477773 1.226847 -1.64715 0.179878
17833.8546 85842.5000 20.77509
F Value 25.49
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 33435.74 -2.34 0.183135 2.61 0.594648 2.06 1.801765 -0.91 0.238019 0.76
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.88691 0.85211
Pr > |t| 0.0359 0.0216 0.0597 0.3773 0.4633
Variable Label Intercept Kons BBM tot Jml transdar Nilai tukar Lag IMPP
1.731711 18 0.117373
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model RPOIL Dependent Variable RPOIL Label Harga BBM Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 4 5.414E8 1.3535E8 13 4.7447E8 36497389 17 1.0159E9
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept FCOL SOIL GEXPSOL POILWD
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 92136.15 0.146071 -0.02459 -0.07191 154.9732
6041.30691 127448.598 4.74019
F Value 3.71
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 13408.13 6.87 0.153180 0.95 0.146713 -0.17 0.102037 -0.70 170.9432 0.91
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F 0.0317
0.53295 0.38924
Pr > |t| <.0001 0.3577 0.8695 0.4934 0.3811 1.277621 18 0.19357
Variable Label Intercept Kons BBM tot Penyediaan BBM Govexp sub minyak Harga minyak dunia
315
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model RPEL Dependent Variable RPEL Label Harga lis Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 4 5.0854E9 1.2713E9 13 5.9798E9 4.5999E8 17 1.107E10
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept FCEL OTEL Year LRPEL
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 42141698 6.565599 -0.06379 -21163.4 0.624060
21447.2889 337690.075 6.35118
F Value 2.76
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 25556934 1.65 4.226603 1.55 0.201503 -0.32 12879.66 -1.64 0.213450 2.92
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F 0.0730
0.45958 0.29330
Variable Label Intercept Kons lis tot Transf lis Trend Lag RPEL
Pr > |t| 0.1231 0.1443 0.7566 0.1243 0.0119 1.592341 18 0.203162
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model RPCOAL Dependent Variable RPCOAL Label Harga BB Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 3 27586075 9195358 14 6552200 468014.3 17 34138275
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept FCCO DSCOAL LRPCOAL
DF 1 1 1 1
Parameter Estimate 5483.973 0.004888 -0.00654 0.841483
684.11570 34583.4575 1.97816
F Value 19.65
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 6145.169 0.89 0.006398 0.76 0.013510 -0.48 0.184705 4.56
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.80807 0.76694
Pr > |t| 0.3873 0.4576 0.6358 0.0004 1.767448 18 0.107466
Variable Label Intercept Kons BB tot Lag RPCOAL
316
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 3 4.01E11 1.337E11 14 7.401E10 5.2863E9 17 4.75E11
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept FCG DSGAS Year
RPGAS RPGAS Harga gas
DF 1 1 1
Parameter Estimate -2059644 7.536527 -0.00795
1
862.2858
72706.7426 245688.326 29.59308
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 19101555 -0.11 2.505687 3.01 0.031441 -0.25 9643.093
F Value 25.29
0.84421 0.81082
Pr > |t| 0.9157 0.0094 0.8040
0.09
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.9300
Variable Label Intercept Kons lis tot Pertam Penyediaan Gas Trend
2.060651 18 -0.06355
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model IHB Dependent Variable IHB Label Ideks biomas Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 3 53544.40 17848.13 14 195017.9 13929.85 17 248562.2
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
118.02477 249.26222 47.34964
F Value 1.28
R-Square Adj R-Sq
Pr > F 0.3192
0.21542 0.04729
Parameter Estimates
Variable Intercept LFCBIO SBIO Year
DF 1 1 1 1
Parameter Estimate 63173.19 0.015543 -0.00054 -33.4157
Standard Error 42002.99 0.011147 0.002771 22.15277
t Value 1.50 1.39 -0.19 -1.51
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > |t| 0.1548 0.1849 0.8493 0.1537 2.503808 18 -0.25973
Variable Label Intercept Penyediaan bio Trend
317
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model INDP Dependent Variable INDP Label PDB ind Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 3 673160.4 224386.8 14 68423.16 4887.369 17 741583.6
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept IDTO GEXP LINDP
DF 1 1 1 1
Parameter Estimate -115.180 0.000777 0.000067 0.697663
69.90972 263.93853 26.48712
F Value 45.91
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 149.9319 -0.77 0.000782 0.99 0.000192 0.35 0.186713 3.74
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.90773 0.88796
Pr > |t| 0.4551 0.3377 0.7342 0.0022
Variable Label Intercept Kons tot ind Pengeluaran Gov Lag INDP
1.93156 18 0.008925
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model TRP Dependent Variable TRP Label PDB trans Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 3 42434.50 14144.83 14 440.6609 31.47578 17 42875.16
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept LTRTO GEXP LTRP
DF 1 1 1 1
Parameter Estimate -15.2731 0.000207 0.000052 0.660879
5.61033 63.59239 8.82233
F Value 449.39
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 9.373593 -1.63 0.000099 2.09 0.000029 1.76 0.191743 3.45
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.98972 0.98752
Pr > |t| 0.1255 0.0549 0.0994 0.0039 1.646201 18 0.17574
Variable Label Intercept Lag TRTO Pengeluaran Gov Lag TRP
318
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model AGRP Dependent Variable AGRP Label PDB pert Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 4 609960.2 152490.0 13 5089.566 391.5051 17 615049.8
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept WAGRR AGRTO GEXP LAGRP
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 22.66735 -4.64E- 6 0.000676 0.000509 0.337909
19.78649 238.58974 8.29310
F Value 389.50
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 40.74718 0.56 3.538E-6 -1.31 0.001425 0.47 0.000117 4.34 0.203582 1.66
Durbin-Watson Number of Observations First -Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.99172 0.98918
Pr > |t| 0.5875 0.2128 0.6431 0.0008 0.1209
Variable Label Intercept Upah pert Kons BBM tot pert Pengeluaran Gov Lag AGRP
1.269904 18 0.261424
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model OCP Dependent Variable OCP Label PDB seklain Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 3 42331.97 14110.66 14 543.1912 38.79937 17 42875.16
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept OCTO GEXP LOCP
DF 1 1 1 1
Parameter Estimate -2.80468 0.000579 0.000058 0.690559
6.22891 63.59239 9.79506
F Value 363.68
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 7.316857 -0.38 0.000604 0.96 0.000033 1.79 0.223665 3.09
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.98733 0.98462
Pr > |t| 0.7072 0.3545 0.0952 0.0080 1.744778 18 0.111064
Variable Label Intercept Kons tot seklain Pengeluaran Gov
319
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model GEXPSOL Dependent Variable GEXPSOL Label Govexp sub minyak Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 4 2.453E10 6.1336E9 13 4.2038E9 3.2337E8 17 2.874E10
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept REVGOV LEXCHR FCOL LGEXPSOL
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -55158.2 0.098334 -0.50610 0.244409 0.108441
17982.5124 40462.2778 44.44266
F Value 18.97
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 32179.48 -1.71 0.034552 2.85 1.851340 -0.27 0.147960 1.65 0.323970 0.33
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.85372 0.80871
Pr > |t| 0.1102 0.0138 0.7889 0.1225 0.7432
Variable Label Intercept Penerimaan Gov Kons BBM tot Lag GEXPSOL
1.721399 18 0.093247
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model REVGOV Dependent Variable REVGOV Label Penerimaan Gov Analysis of Variance Sum of Mean DF Squares Square 2 1.258E12 6.289E11 15 3.3884E9 2.2589E8 17 1.261E12
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Variable Intercept DPDB TAX
DF 1 1 1
Parameter Estimate 2507.373 86.80253 1.442488
15029.6894 280883.250 5.35087
F Value 2784.17
R-Square Adj R-Sq
Parameter Estimates Standard Error t Value 5347.576 0.47 47.75889 1.82 0.023933 60.27
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
Pr > F <.0001
0.99731 0.99696
Pr > |t| 0.6459 0.0892 <.0001 2.381336 18 -0.20375
Variable Label Intercept Pertam PDB tot Pajak
Lampiran 4. Program Simulasi Dasar Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA ENERGI; SET DATA; * POILWD = POILWD * 1.10; * EXCHR = EXCHR * 0.95; * GEXPSOL = GEXPSOL * 0.90; Run; PROC SIMNLIN SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS IDOL IDEL REG REBIO VEHIPAS VEHI OCTO FCOL OTEL OTG RFCR YBBM SGAS SCOAL INDP TRP
IDCO RETO AGROL FCEL EGEL YCOAL RPOIL AGRP
IDG TRRTO AGRTO FCCO EGG YGAS RPEL OCP
INSTRUMENTS CPLN EGHY JRT NEU SKBR TAX XBBM XCOAL
EXCHR POILWD TREL XGAS
GEXPNS GEXPSNOL IMCOAL IMGAS TREL TRG RCCR SBIO TRG WAGRR WMININGR WOCR YEAR;
LAGROL LEGEL LEGOL LFCCO LFCG LGEXPSOL LIDCO LIDG LIHB LIMPP LIPOL LOCEL LOCOL LOTEL LOTPP LPOILWD LREEL LREOL LRPCOAL LRPGAS LSCOAL LTROTTO
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Lag(AGROL) ; Lag(EGEL); Lag(EGOL); Lag(FCCO); Lag(FCG); Lag(GEXPSOL); Lag(IDCO); Lag(IDG); Lag(IHB); Lag(IMPP); Lag(IPOL); Lag(OCEL); Lag(OCOL); Lag(OTEL); Lag(OTPP); Lag(POILWD); Lag(REEL); Lag(REOL); Lag(RPCOAL); Lag(RPGAS); Lag(SCOAL); Lag(TROTTO);
IDBIO TROTTO OCOL FCG EGOL IMCR RPCOAL GEXP
LAGRP LEGG LFCBIO LFCEL LFCOL LIDBIO LIDEL LIDOL LIMCR LINDP LOCBIO LOCG LOCP LOTG LPDB LREBIO LREG LRFUT LRPEL LRPOIL SKBR LTRP
IDTO TROL OCEL FCBIO EGCO IMPP RPGAS GEXPSOL
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
REOL TRTO OCG FCTO EGTO IMOL IHB REVGOV;
Lag(AGRP); Lag(EGG); Lag(FCBIO); Lag(FCEL); Lag(FCOL); Lag(IDBIO); Lag(IDEL); Lag(IDOL); Lag(IMCR); Lag(INDP); Lag(OCBIO); Lag(OCG); Lag(OCP); Lag(OTG); Lag(PDB); Lag(REBIO); Lag(REG); Lag(RFUT); Lag(RPEL); Lag(RPOIL); Lag(SKBR); Lag(TRP);
REEL VEHICOM OCBIO OTPP RFUT SOIL PDB
321
LTRRTO LVEHI LVEHIPAS LRFCR LSGAS LWOCR LCADGAS
= = = = = = =
Lag(TRRTO); Lag(VEHI); Lag(VEHIPAS); Lag(RFCR); Lag(SGAS); Lag(WOCR); Lag(CADGAS);
LTRTO LVEHICOM LWMININGR LXGAS LEXCHR LCPLN
= = = = = =
Lag(TRTO); Lag(VEHICOM); Lag(WMININGR); Lag(XGAS); Lag(EXCHR); Lag(CPLN);
parm a0 32760.29 a1 -0.26560 a2 4364.050 a3 0.038419 a4 761.6358 a5 0.804960 b0 337.0924 b1 -0.00971 b2 -0.00225 b3 0.002283 b4 0.157715 b5 0.240903 b6 0.904678 c0 -1.013E7 c1 -16.2990 c2 -0.49424 c3 0.393855 c4 149.8988 c5 5314.610 d0 -102592 d1 -0.02908 d2 0.049008 d3 2.891274 d4 0.063423 d5 21.13887 d6 0.693232 e0 19326.31 e1 -7.83427 e2 -0.12179 e3 559.1243 e4 0.956225 f0 51756.11 f1 -0.14298 f2 0.003180 f3 0.035720 f4 -0.56055 f5 1.573206 f6 0.824462 g0 1078.499 g1 -0.01445 g2 0.010238 g3 3.177952 g4 0.087252 g5 0.947897 h0 14904.42 h1 -0.00697 h2 0.002546 h3 0.033367 h4 -0.18014 h5 7.434226 h6 0.182129 h7 0.885334 i0 14171.44 i1 -0.12262 i2 0.002981 i3 0.001715 i4 0.378476 i5 0.366602 i6 0.849451 j0 31005.38 j1 -0.06418 j2 0.033288 j3 8334.102 j4 82.52406 j5 0.741802 k0 947926.7 k1 -0.06419 k2 0.001676 k3 68.29440 k4 -467.981 k5 0.339053 l0 6342.108 l1 -0.05315 l2 75.20850 l3 -0.51130 l4 0.912679 m0 2134.524 m1 -0.01711 m2 17.40695 m3 -0.07217 m4 0.826370 n0 1017.113 n1 -0.00255 n2 0.010495 n3 1137.275 n4 -3.16964 n5 0.854752 o0 -16842.2 o1 -0.01765 o2 -0.00187 o3 0.009607 o4 0.541421 o5 204.9089 o6 0.671141 p0 2488.707 p1 -2.67311 p2 -0.01223 p3 6.533856 p4 0.243814 q0 1701.134 q1 -0.00430 q2 -0.00157 q3 0.000264 q4 0.004413 q5 0.011662 q6 3.785705 q7 1.046248 r0 391.2614 r1 -0.07217 r2 0.000230 r3 -0.00002 r4 102.0585 r5 0.720385 s0 -32060.6 s1 465.3787 s2 0.050210 s3 3.613918 s4 0.489065 t0 -23164.6 t1 0.103414 t2 0.259542 t3 0.983840 t4 0.627809 u0 5958428 u1 0.051454 u2 83724.51 u3 48623.96 u4 -2965.47 u5 0.816476 v0 1444288 v1 -0.00088 v2 -6.30893 v3 -0.26149 v4 1.209699 v5 -612.357 v6 0.007778 w0 -312390 w1 -0.06897 w2 8.432169 w3 13.81275 w4 -4681.10 w5 0.199092 w6 0.559031 x0 -96635.4 x1 -0.97689 x2 5.456666 x3 0.005131 x4 10.73523 x5 0.199567 x6 0.038099 y0 11794.14 y1 -4.02955 y2 0.142820 y3 0.039394 z0 2.163305 z1 0.000545 z2 -0.00002 z3 0.710956 aa0 -4006689 aa1 130.3389 aa2 -53562.0 aa3 -451.603
322
ab0 129967.2 ab1 ab5 0.644621 ac0 -78215.4 ac1 ad0 92136.15 ad1 ae0 42141698 ae1 af0 5483.973 af1 ag0 -2059644 ag1 ah0 63173.19 ah1 ai0 -115.180 ai1 aj0 -15.2731 aj1 ak0 22.66735 ak1 al0 -2.80468 al1 am0 -55158.2 am1 an0 2507.373 an1
0.153864 ab2 -0.23389 ab3 -669.296 ab4 -0.04782 0.477773 0.146071 6.565599 0.004888 7.536527 0.015543 0.000777 0.000207 -4.64E-6 0.000579 0.098334 86.80253
ac2 1.226847 ad2-0.02459 ae2 -0.06379 af2 -0.00654 ag2 -0.00795 ah2 -0.00054 ai2 0.000067 aj2 0.000052 ak2 0.000676 al2 0.000058 am2 -0.50610 an2 1.442488
ac3 ad3 ae3 af3 ag3 ah3 ai3 aj3 ak3 al3 am3 ;
-1.64715 -0.07191 -21163.4 0.841483 862.2858 -33.4157 0.697663 0.660879 0.000509 0.690559 0.244409
ac4 0.179878 ad4 154.9732 ae4 0.624060
ak4 0.337909 am4 0.108441
/* BLOK KONSUMSI ENERGI SEKTOR INDUSTRI */ IDOL = a0 + a1*LRPOIL + a2*((RPGAS-LRPGAS)/LRPGAS) + a3*LRPEL + a4*((INDP-LINDP)/LINDP) + a5*LIDOL ; IDEL = b0 + b1*LRPEL + b2*RPOIL + b3*RPGAS +b4*RPCOAL + b5*LINDP + b6*LIDEL; IDCO = c1 +c1*RPCOAL + c2*RPOIL + c3*RPEL + c4*INDP + c5*YEAR; IDG = d0 + d1*LRPGAS + d2*RPOIL + d3*RPCOAL + d4*RPEL + d5*LINDP + d6*LIDG ; IDBIO = e0 + e1*IHB + e2*RPOIL + e3*((INDP-LINDP)/LINDP) + e4*LIDBIO; IDTO = IDOL + IDEL + IDCO + IDG + IDBIO; /*KONSUMSI ENERGI RUMAHTANGGA*/ REOL = f0 + f1*LRPOIL + f2*(RPGAS-LRPGAS) + f3*RPEL + f4*REBIO + f5*JRT + f6*LREOL; REEL = g0 + g1*LRPEL + g2*RPOIL + g3*(PDB-LPDB) + g4*JRT + g5*LREEL; REG = h0 + h1*RPGAS + h2*RPOIL + h3*RPEL + h4*REBIO + h5*PDB + h6*JRT + h7*LREG; REBIO = i0 + i1*IHB + i2*RPOIL + i3*LRPGAS + i4*PDB + i5*JRT + i6*LREBIO; RETO = REOL + REEL + REG + REBIO; /*KONSUMSI ENERGI TRANSPORTASI*/ TRRTO = j0 + j1*LRPOIL + j2*RPGAS + j3*((VEHI-LVEHI)/LVEHI) + j4*LTRP + j5*LTRRTO; TROTTO = k0 + k1*LRPOIL +k2*RPGAS +k3*TRP +k4*YEAR + k5*LTROTTO; TROL = TRRTO + TROTTO; TRTO = TROL + TREL + TRG; VEHICOM = l0 + l1*RPOIL + l2*TRP + l3*((SKBR-LSKBR)/LSKBR) + l4*LVEHICOM; VEHIPAS = m0 + m1*RPOIL + m2*TRP + m3*((SKBR-LSKBR)/LSKBR) + m4*LVEHIPAS; VEHI = VEHICOM + VEHIPAS; /*KONSUMSI ENERGI PERTANIAN*/ AGROL = n0 + n1*(RPOIL-LRPOIL)+ n2*RPEL + n3*((AGRPLAGRP)/LAGRP) + n4*((SKBR-LSKBR)/LSKBR) + n5*LAGROL; AGRTO = AGROL;
323
/*KONSUMSI ENERGI SEKTOR LAINNYA*/ OCOL = o0 + o1*LRPOIL + o2*RPGAS + o3*RPEL + o4*RPCOAL + o5*((OCP-LOCP)/LOCP) + O6*LOCOL; OCG = p0 + p1*IHG + p2*RPOIL + p3*OCP + p4*LOCG; OCEL = q0 + q1*RPEL + q2*RPOIL + q3*RPGAS + q4*RPCOAL + q5*IHB + q6*OCP + q7*LOCEL ; OCBIO = r0 + r1*LIHB + r2*RPOIL + r3*RPGAS + r4*((OCPLOCP)/LOCP) + r5*LOCBIO; OCTO = OCOL + OCG + OCEL + OCBIO; /*TOTAL KONSUMSI ENERGI TOTAL*/ FCTO = IDTO + RETO + TRTO + AGRTO + OCTO + NEU; FCOL = IDOL + TROL + REOL + AGROL + OCOL + NEU; FCEL = IDEL + REEL + TREL + OCEL; FCCO = IDCO; FCG = IDG + REG + TRG + OCG; FCBIO = FCTO - FCOL - FCCO - FCEL - FCG; /*TRANSFORMASI ENERGI*/ OTPP = s0 + s1*POILWD + s2*(RFCR-LRFCR) + s3*RCCR + s4*LOTPP; OTEL = t0 + t1*(RPEL-LRPEL) + t2*EGTO + t3*(CPLN-LCPLN) + t4*LOTEL ; OTG = u0 + u1*LRPGAS + u2*((CADGAS-LCADGAS)/LCADGAS)+ u3*((FCG-LFCG)/LFCG) + u4*YEAR + u5*LOTG; EGEL = v0 + v1*RPEL + v2*RPCOAL + v3*RPOIL + v4*OTEL + v5*YEAR + v6*LEGEL; EGG = w0 + w1*LRPGAS + w2*RPCOAL + w3*IHB + w4*((XGASLXGAS)/LXGAS) + w5*OTG + w6*LEGG; EGOL = x0 + x1*RPOIL + x2*LRPCOAL+ x3*RPGAS + x4*LIHB + x5*SOIL + x6*LEGOL; EGCO = y0 + y1*(RPCOAL-LRPCOAL) + y2*RPGAS + y3*YCOAL; EGTO = EGEL + EGG + EGOL + EGCO + EGHY; /*PENYEDIAAN ENERGI*/ RFUT = z0 + z1*PDB + z2*((SKBR-LSKBR)/LSKBR)+ z3*LRFUT; RFCR = RFUT * RCCR; YBBM = OTPP; YCOAL = aa0 + aa1*LRPCOAL+ aa2*((WMININGR-LWMININGR)/LWMININGR) + aa3*LSKBR; YGAS = OTG; IMCR = ab0 + ab1*FCOL + ab2*LIPOL+ ab3*POILWD + ab4*EXCHR + ab5*LIMCR; IMPP = ac0 + ac1*FCOL + ac2*VEHI + ac3*EXCHR + ac4*LIMPP; IMOL = IMPP + IMCR; /*TOTAL PENYEDIAAN ENERGI*/ SOIL = YBBM + IMPP - XBBM; SCOAL = YCOAL + IMCOAL - XCOAL; SGAS = YGAS + IMGAS - XGAS; /*HARGA ENERGI*/ RPOIL = ad0 + ad1*FCOL + ad2*SOIL + ad3*GEXPSOL + ad4*POILWD ; RPEL = ae0 + ae1*FCEL + ae2*OTEL + ae3*YEAR + ae4*LRPEL ; RPCOAL = af0 + af1*FCCO + af2*(SCOAL-LSCOAL) + af3*LRPCOAL;
324
RPGAS IHB
= ag0 + ag1*FCG + ag2*(SGAS-LSGAS) + ag3*YEAR; = ah0 + ah1*LFCBIO + ah2*SBIO + ah3*YEAR ;
/*OUTPUT PEREKONOMIAN*/ PDB = INDP + TRP + AGRP + OCP; INDP = ai0 + ai1*IDTO + ai2*GEXP + ai3*LINDP; TRP = aj0 + aj1*LTRTO + aj2*GEXP + aj3*LTRP; AGRP = ak0 + ak1*WAGRR + ak2*AGRTO + ak3*GEXP + ak4*LAGRP; OCP = al0 + al1*OCTO + al2*GEXP + al3*LOCP; GEXP = GEXPNS + GEXPSOL + GEXPSNOL; GEXPSOL = am0 + am1*REVGOV + am2*LEXCHR +am3*FCOL + am4*LGEXPSOL; REVGOV = an0 + an1*(PDB-LPDB) + an2*TAX ; range year=2000 to 2008; RUN;
325
Lampiran 5. Hasil Simulasi Dasar Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Range Variable Equations Number of Statements Program Lag Length
63 63 220 Year 63 120 1
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
ENERGI
Solution Summary Variables Solved Simulation Lag Length Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
63 1 Year 2000 2008 NEWTON 1E- 8 4.25E-14 1 9 1
Observations Processed Read Lagged Solved First Last
10 1 9 11 19
326
The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Year = 2000 To 2008 Descriptive Statistics
Variable IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO TROTTO TROL TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCEL OCG OCBIO OCTO FCOL FCEL FCCO FCG FCBIO FCTO OTPP OTEL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO RFUT RFCR YBBM YCOAL YGAS IMCR IMPP IMOL SOIL SGAS SCOAL RPOIL RPEL
N Obs
N
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
Actual Mean Std Dev 66069.9 24730.9 74734.6 85985.6 48943.9 300465 55937.9 24158.0 7546.4 221995 309637 153174 13660.3 166835 166970 30758.9 5392.4 36151.3 28302.8 28302.8 8554.6 13175.6 1404.3 1423.1 24557.6 324565 62101.6 74734.6 95034.3 272362 890377 264764 119139 239396 99904.8 39667.1 51096.5 91104.1 309854 8.7778 347999 264764 612227 239396 120620 121355 241975 384324 731325 170307 132970 346203
10956.5 3009.6 42392.7 3891.6 5655.7 32425.8 7486.7 4107.9 2423.6 8300.9 7707.9 14755.0 2949.1 17589.4 17566.3 14204.0 2548.0 16745.8 2502.7 2502.7 759.0 3563.4 144.3 19.3549 3051.4 14168.1 10669.3 42392.7 5415.9 3287.6 74318.6 14067.3 72977.5 24062.9 87752.4 14462.2 13449.3 36788.4 102342 0.8333 19939.5 14067.3 234478 24062.9 27625.1 36845.7 52496.5 26921.1 1125246 68657.9 8.2473 34332.3
Predicted Mean Std Dev 164692 173311 12529911 1531307 7525.0 14406746 85155.9 47354.0 494231 304803 931544 1292042 70474.5 1362516 1362652 77914.5 13284.7 91199.2 76904.0 76904.0 136738 4873.1 537.8 881.2 143030 1886451 225576 12529911 2026174 313209 16981321 285605 4573055 1827696 4610987 1270249 785181 2638211 9332709 43.9771 1668619 285605 15093271 1827696 582005 1062171 1644176 1345981 2319625 14651351 303650 1951947
5848.0 113937 869385 840571 78694.6 1706281 44555.0 29447.2 294596 76790.9 333150 891159 48222.3 939238 939217 70897.1 12480.9 83375.8 38108.5 38108.5 72161.3 3662.7 734.3 495.8 67401.1 1040629 88259.9 869385 1133824 4493.9 3054316 20436.3 3631495 1291995 4008903 468626 452772 1588875 6464502 20.7941 614733 20436.3 8795608 1291995 358788 713768 1072328 697482 2301575 8637181 117926 868263
Label IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO TROTTO TROL TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCEL OCG OCBIO OCTO FCOL FCEL FCCO FCG FCBIO FCTO OTPP OTEL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO RFUT RFCR YBBM YCOAL YGAS IMCR IMPP IMOL SOIL SGAS SCOAL RPOIL RPEL
327
RPCOAL RPGAS IHB PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP GEXPSOL REVGOV
Variable IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO TROTTO TROL TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCEL OCG OCBIO OCTO FCOL FCEL FCCO FCG FCBIO FCTO OTPP OTEL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO RFUT RFCR YBBM YCOAL YGAS IMCR IMPP IMOL
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
Mean N Error 9 826.9 9 -1606.2 9 -14374.0 9 -8619.7 9 4620.1 9 -19152.9 9 -6320.3 9 -229.5 9 -475.4 9 -2279.0 9 -9304.1 9 -5272.8 9 186.9 9 1195682 9 -5085.9 9 1730.9 9 362.1 9 2093.0 9 -1867.5 9 -1867.5 9 -1314.8 9 380.7 9 71.3894 9 -2.8426 9 -865.5 9 51769.3 9 -1454.9 9 -14374.0 9 -9023.6 9 2338.3 9 -35275.9 9 123763 9 11838.0 9 -25090.0 9 19383.6 9 -4345.2 9 7057.9 9 2547107 9 22096.3 9 -0.3983 9 -14065.5 9 20840.8 9 14481044 9 1588300 9 38418.6 9 27507.5 9 65926.0
35960.6 396135 279.9 1033.1 445.1 101.4 385.3 101.4 514838 71552.4 485814
0.4082 80907.2 162.7 348.2 134.0 44.4330 156.0 44.4330 243714 34524.1 248461
Statistics of Mean % Mean Abs Error Error 3.0324 5710.7 -6.2741 1 606.2 -20.8200 14374.0 -9.9213 9395.9 10.2429 4980.6 -6.5480 19152.9 -9.7003 8291.6 -1.0315 393.5 -5.2317 1261.5 -1.0190 2279.0 -3.0418 10306.5 -3.4785 6491.1 3.2987 942.0 675.3 1195682 -3.0339 6126.4 8.0128 2308.8 9.9175 560.3 8.2737 2869.2 -5.8925 2781.1 -5.8925 2781.1 -14.4146 1441.6 3.2709 383.7 5.9165 92.7433 -0.2058 15.8466 -3.9507 1182.4 16.1792 51769.3 -2.2373 1711.5 -20.8200 14374.0 -9.4636 9982.8 0.8523 2833.4 -4.1197 35275.9 36.4374 159199 24.9618 31659.4 -11.0825 26141.0 69.1374 42779.4 -2.8262 9476.4 19.0219 7057.9 3935.0 2547107 15.6291 36364.0 -4.1680 0.4548 -4.1680 16599.9 7.8149 20840.8 2166.2 14501028 718.3 1588300 36.8057 38418.6 22.8755 28204.8 28.0695 65926.0
171698 14932257 863.6 28633.3 27079.9 494.3 754.1 305.0 974683 531398 869989
61544.1 8542142 222.9 11008.6 10099.4 422.5 387.4 180.3 503872 289863 115436
fit Mean Abs RMS % Error Error 9.5050 7059.4 6.2741 1768.7 20.8200 17686.8 10.8800 10614.6 10.8540 5672.1 6.5480 23517.1 14.6167 9176.9 1.7627 501.1 16.6360 1435.1 1.0190 2514.7 3.3582 11388.9 4.2491 7931.5 8.0356 1152.6 675.3 1478894 3.6329 8039.9 9.1580 2603.8 12.0835 643.6 9.5746 3239.3 9.5411 3094.3 9.5411 3094.3 16.1416 1697.2 3.3041 502.2 7.3257 140.9 1.1068 19.3989 5.0753 1392.7 16.1792 62317.3 2.6998 1874.5 20.8200 17686.8 10.5164 11269.3 1.0363 3611.7 4.1197 42475.7 41.0961 189756 34.8586 35427.5 11.8052 41457.3 80.1300 47316.2 22.4839 12021.4 19.0219 11059.9 3935.0 2949095 19.8516 44734.6 4.8752 0.5855 4.8752 20715.0 7.8149 22980.3 2172.4 16583625 718.3 2014671 36.8057 47505.9 23.3015 34345.8 28.0695 80863.7
RPCOAL RPGAS IHB PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP GEXPSOL REVGOV
RMS % Error 12.5300 6.7259 24.3425 12.2069 12.7153 8.0829 16.0898 2.3741 17.9707 1.1211 3.7296 5.0896 10.6661 17.5000 4.6300 10.8916 15.0269 11.4444 10.3632 10.3632 18.7938 4.6458 11.8027 1.3476 6.1450 19.7331 2.8987 24.3425 11.8483 1.3206 4.9973 52.8164 43.1916 16.6057 102.4 25.5154 31.8617 5.5000 26.0616 6 .1244 6.1244 8.5912 28.2000 13.4000 50.1620 27.0260 34.2597
R -Square 0.5330 0.6115 0.8042 -7.370 -.1315 0.4082 -.6903 0.9833 0.6056 0.8968 -1.456 0.6749 0.8282 -7952 0.7650 0.9622 0.9282 0.9579 -.7198 -.7198 -4.625 0.9777 -.0731 -.1301 0.7656 -20.76 0.9653 0.8042 -3.871 -.3577 0.6326 -1.385 0.7349 0.1083 0.6729 0.2227 0.2392 -7229 0.7098 0.4446 -.2142 -2.002 -5626 -7885 -2.327 -.5477 -2.266
328
SOIL SGAS SCOAL RPOIL RPEL RPCOAL RPGAS IHB PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP GEXPSOL REVGOV
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
961658 1588300 14481044 -577.0 -557.9 -587.3 -86643.9 583.7 -87.9115 -88.4349 -0.4700 0.9471 0.0463 0 459845 384174
244.1 724.8 7766.1 -0.4339 0.7338 -1.6333 -19. 2629 245.7 -8.2857 -13.0834 2.3923 -0.2217 1.7617 0 687.1 118.6
961658 1588300 14501028 1833.2 28548.9 587.3 91201.3 583.7 102.3 107.7 7.0233 16.2511 6.6724 0 459845 384174
244.1 1869.4 7791.5 1. 3787 8.1290 1.6333 20.7069 245.7 11.6992 29.4516 7.6774 4.3663 7.0448 0 687.1 118.6
1155967 2014671 16583625 2086.7 34586.7 727.6 116715 621.2 115.1 120.5 8.3614 20.9886 8.1425 0 523473 426038
21.4000 20.6000 16.5000 1.5693 9.6115 2.0232 24.7102 20.4000 13.4778 35.4445 8.7943 5.5279 9.2604 0 1 0.5000 15.3000
-2073 -2.606 -65633 -72017 -.1417 -357E4 -1.341 - 15.40 0.8770 0.0899 0.9602 0.9796 0.9622 1.0000 -257.6 -2.308
Theil Forecast Error Statistics
Variable
N
MSE
IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO TROTTO TROL TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCG OCEL OCBIO OCTO FCOL FCEL FCCO FCG FCBIO FCTO OTPP OTEL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
49835050 3128268 3.1282E8 1.1267E8 32172829 5.5305E8 84215783 251074 2059545 6323785 1.2971E8 62908921 1328388 2.187E12 64640498 6779915 414218 10493351 9574838 9574838 2880353 19851.4 252232 376.3 1939684 3.8835E9 3513765 3.1282E8 1.27E8 13044526 1.8042E9 3.601E10 1.2551E9 1.7187E9 2.2388E9 1.4451E8 1.2232E8 8.697E12 2.0012E9
Corr (R) 0.83 0.99 0.97 0.22 0.96 0.93 0.85 0.99 0.81 0.99 0.93 0.92 0.96 0.92 0.93 0.99 0.98 0.99 -0.45 -0.45 -0.70 0.47 1.00 0.81 0.98 -0.08 0.99 0.97 0.53 0.90 0.98 -0.08 0.90 0.67 0.89 0. 84 0.74 0.34 0.90
MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar (UM) (UR) (UD) (US) (UC) 0.01 0.82 0.66 0.66 0.66 0.66 0.47 0.21 0.11 0.82 0.67 0.44 0.03 0.05 0.40 0.44 0.32 0.42 0.36 0.36 0.60 0.26 0.57 0.02 0.39 0.69 0.60 0.66 0.64 0.42 0.69 0.43 0.11 0.37 0.17 0.13 0.41 0.05 0.24
0.31 0.12 0.07 0.23 0.27 0.11 0.36 0.04 0.01 0.03 0.28 0.09 0.57 0.35 0.04 0.18 0.16 0.18 0.17 0.17 0.31 0.01 0.03 0.68 0.44 0.26 0.10 0.07 0.21 0.44 0.19 0.16 0.19 0.02 0.22 0.50 0.00 0.25 0.11
0.68 0.06 0.27 0.11 0.07 0.22 0.17 0.75 0.88 0.15 0.05 0.47 0.40 0.00 0.56 0.38 0.53 0.41 0.46 0.46 0.09 0.73 0.40 0.30 0.17 0.05 0.30 0.27 0.15 0.14 0.12 0.42 0.69 0.61 0.61 0.37 0.59 0.00 0.65
0.65 0.13 0.10 0.04 0.31 0.06 0.51 0.02 0.04 0.04 0.23 0.03 0.71 0.35 0.00 0.21 0.22 0.21 0.48 0.48 0.03 0.16 0.04 0.42 0.39 0.08 0.12 0.10 0.06 0.33 0.16 0.09 0.40 0.24 0.43 0.78 0.12 0.25 0.26
0.33 0.05 0.24 0.30 0.03 0.28 0.01 0.77 0.85 0.14 0.10 0.53 0.27 0.00 0.60 0.35 0.47 0.37 0.16 0.16 0.37 0.58 0.38 0.56 0.22 0.23 0.28 0.24 0.30 0.25 0.15 0.49 0.49 0.39 0.41 0.09 0.47 0.01 0.50
Inequality Coef U1 U 0.1056 0.0711 0.2087 0.1233 0.1152 0.0779 0.1628 0.0205 0.1820 0.0113 0.0368 0.0516 0.0827 8.8210 0.0480 0.0776 0.1090 0.0821 0.1090 0.1090 0.1977 0.0999 0.0369 0.0136 0.0563 0.1918 0.0298 0.2087 0.1184 0.0133 0.0476 0.4131 0.2575 0.2139 0.3648 0.2866 0.2101 30.2524 0.1912
0.0527 0.0368 0.1147 0.0649 0.0552 0 .0402 0.0866 0.0103 0.0942 0.0057 0.0187 0.0262 0.0413 0.1250 0.0243 0.0382 0.0535 0.0404 0.0564 0.0564 0.1072 0.0488 0.0182 0.0068 0.0286 0.0887 0.0151 0.1147 0.0621 0.0066 0.0243 0.1843 0.1281 0.1154 0.1821 0.1553 0.0992 0.1418 0.0928
329
RFUT RFCR YBBM YCOAL YGAS IMCR IMPP IMOL SOIL SGAS SCOAL RPOIL RPEL RPCO AL RPGAS IHB PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP GEXPSOL REVGOV
Variable IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO TROTTO TROL TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCG OCEL OCBIO OCTO FCOL FCEL FCCO FCG FCBIO FCTO OTPP OTEL
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
0.3429 4.2911E8 5.2809E8 2.75E14 4.059E12 2.2568E9 1.1796E9 6.5389E9 1.336E12 4.059E12 2.75E14 4354259 1.1962E9 529354 1.362E10 385927 13255.5 14520.7 69.9133 440.5 66.2996 0 2.74E11 1.815E11
0.93 0.88 0.89 0.95 -0.94 0.39 0.81 0.61 0.65 0.93 0.95 -0.44 -0.69 -0.22 0.14 0.35 0.98 0.77 0.99 0.99 0.98 . 0.74 0. 64
Theil Relative Relative Change Corr N MSE (R) 9 0.0141 0.03 9 0.00503 0.63 9 0.1191 0.59 9 0.0165 0.56 9 0.0148 0.52 9 0.00723 0.74 9 0.0259 0.21 9 0.000687 0.62 9 0.0563 0.52 9 0.000129 0.71 9 0.00147 0.47 9 0.00301 0.64 9 0.0135 0.54 9 71.8639 -0.19 9 0.00255 0.66 9 0.0154 0.48 9 0.0287 0.47 9 0.0170 0.48 9 0.0118 0.38 9 0.0118 0.38 9 0.0461 0.62 9 0.00900 0.90 9 0.00250 0.47 9 0.000176 -0.54 9 0.00464 0.50 9 0.0381 0.19 9 0.000973 0.65 9 0.1191 0.59 9 0.0158 0.60 9 0.000175 0.45 9 0.00269 0.77 9 0.2667 0.31 9 0.2389 0.34
0.46 0.46 0.02 0.06 0.02 0.65 0.64 0.66 0.09 0.02 0.06 0.08 0.00 0.65 0.55 0.08 0.58 0.54 0.00 0.00 0.00 . 0.07 0.01
Change MSE Bias (UM) 0.04 0.87 0.63 0.65 0.66 0.64 0.43 0.19 0.13 0.83 0.66 0.47 0.09 0.68 0.42 0.53 0.43 0.52 0.33 0.33 0.56 0.25 0.50 0.03 0.41 0.68 0.60 0.63 0.63 0.42 0.68 0.38 0.27
0.31 0.36 0.11 0.24 0.38 0.09 0.13 0.14 0.31 0.34 0.24 0.92 0.54 0.35 0.03 0.06 0.03 0.02 0.44 0.02 0.01 . 0.23 0.01
0.23 0.18 0.07 0.00 0.00 0.25 0.22 0.19 0.00 0.04 0.00 0.00 0.46 0.00 0.42 0.05 0.39 0.44 0.56 0.98 0.99 . 0.00 0.18
0.41 0.24 0.07 0.24 0.35 0.00 0.04 0.03 0.30 0.30 0.24 0.91 0.72 0.35 0.15 0.01 0.01 0.01 0.52 0.00 0.04 . 0.21 0.09
0.12 0.30 0.11 0.00 0.03 0.35 0.31 0.31 0.01 0.08 0.00 0.01 0.28 0.00 0.30 0.11 0.41 0.45 0.48 0.99 0.96 . 0.02 0.10
0.0664 0.0594 0.0867 25.4773 8.3781 0.3850 0.2681 0.3238 3.0013 1.5635 91.0217 0.0157 0.0995 0.0202 0.2893 1.9464 0.1062 0.2604 0.0762 0.0509 0.0742 0.0000 6.6593 0.7899
0.0340 0.0303 0.0417 0.1279 0.1267 0.1671 0.1206 0.1427 0.1138 0.0512 0.1787 0.0079 0.0499 0.0102 0.1634 0.1143 0.0551 0.1439 0.0386 0.0254 0.0372 0.0000 0.1742 0.3009
Forecast Error Statistics Decomposition Proportions Reg Dist Var Covar Inequality Coef (UR) (UD) (US) (UC) U1 U 0.62 0.34 0.05 0.91 1.3816 0.6425 0.02 0.11 0.00 0.13 1.2302 0.7768 0.01 0.36 0.04 0.32 0.9803 0.6420 0.10 0.26 0.00 0.35 1.5706 0.6504 0.20 0.14 0.06 0.29 2.0077 0.7233 0.13 0.23 0.03 0.33 1.1569 0.5583 0.10 0.4 7 0.06 0.51 1.4025 0.6170 0.00 0.80 0.15 0.66 0.3348 0.1843 0.07 0.80 0.06 0.81 0.7725 0.4567 0.06 0.12 0.01 0.17 0.7524 0.5005 0.05 0.29 0.01 0.33 1.3654 0.7231 0.02 0.51 0.04 0.50 0.8135 0.5051 0.53 0.38 0.15 0.76 0.9800 0.3956 0.32 0.00 0.31 0.01 123.1093 0.9881 0.01 0.56 0.05 0.53 0.7327 0.4550 0.22 0.24 0.03 0.43 0.7287 0.2865 0.30 0.27 0.06 0.52 0.9385 0.3554 0.24 0.2 5 0.04 0.45 0.7613 0.2974 0.17 0.49 0.00 0.66 1.3169 0.6016 0.17 0.49 0.00 0.66 1.3169 0.6016 0.00 0.44 0.06 0.38 1.1591 0.5945 0.01 0.74 0.10 0.65 0.4960 0.2692 0.17 0.33 0.00 0.49 0.4745 0.2035 0.81 0.17 0.02 0.95 1.3660 0.5937 0.06 0.53 0.03 0.56 0.8224 0.5192 0.24 0.08 0.07 0.25 3.5029 0.7596 0.01 0.39 0.03 0.36 0.4277 0.2571 0.01 0.36 0.04 0.32 0.9803 0.6420 0.09 0.28 0.00 0.37 1.4165 0.6301 0.21 0.38 0.01 0.58 1.2509 0.4761 0.14 0.19 0.05 0.28 0.9969 0.5250 0.34 0.27 0.04 0.57 1.8159 0.6503 0.31 0.42 0.01 0.72 1.2074 0.4782
330
OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO RFUT RFCR YBBM YCOAL YGAS IMCR IMPP IMOL SOIL SGAS SCOAL RPOIL RPEL RPCOAL RPGAS IHB PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP GEXPSOL REVGOV
9 0.0859 9 1.4261 9 0.0660 9 0.0522 9 4714.0 9 0.0775 9 0.00428 9 0.00361 9 0.00714 9 716.5 9 83.0153 9 0.1586 9 0.0769 9 0.1056 9 8.6373 9 2909.6 9 9602.9 9 0.000256 9 0.0102 9 0.000446 9 0.1301 9 6.6305 9 0.0321 9 0.4159 9 0.0111 9 0.00393 9 0.0122 9 0 9 79.8096 9 33.4212
0.91 0.27 0.68 0.86 0.95 0.38 0.41 0.75 0.38 0.47 0.06 0.35 0.69 0.38 -0.22 0.87 0.33 0.96 0.38 0.91 0.74 0.62 0.82 0.76 0.35 0.87 0.34 . 0.63 0.99
0.36 0.40 0.06 0.45 0.38 0.34 0.46 0.46 0.83 0.86 0.58 0.66 0.74 0.74 0.71 0.05 0.86 0.07 0.00 0.63 0.54 0.85 0.37 0.17 0.06 0.00 0.03 . 0.79 0.24
0.27 0.35 0.09 0.00 0.62 0.36 0.07 0.37 0.06 0.14 0.42 0.08 0.04 0.10 0.29 0.86 0.14 0.59 0.32 0.11 0.03 0.07 0.01 0.06 0.55 0.39 0.62 . 0.20 0.76
0.37 0.25 0.85 0.55 0.00 0.30 0.47 0.17 0.11 0.00 0.00 0.27 0.2 2 0.17 0.00 0.09 0.00 0.34 0.68 0.26 0.42 0.07 0.62 0.77 0.39 0.61 0.35 . 0.00 0.00
0.43 0.05 0.01 0.05 0.61 0.05 0.03 0.21 0.00 0.14 0.42 0.01 0.00 0.00 0.26 0.71 0.14 0.47 0.00 0.20 0.19 0.02 0.13 0.32 0.10 0.17 0.14 . 0.19 0.75
0.21 0.6267 0.56 1.6895 0.93 0.7894 0.50 0.6500 0.00 36.6700 0.61 1.3597 0.51 1.1729 0.33 1.5518 0.17 2.6731 0.00 1 76.4765 0.01 147.7199 0.34 1.8047 0.26 1.3245 0.26 2.0782 0.03 42.0920 0.23 1.5643 0.00 439.8515 0.46 0.4588 1.00 1.1064 0.17 0.7629 0.27 0.9470 0.13 2.7904 0.50 0.5788 0.51 0.6829 0.84 0.5760 0.83 0.3563 0.83 0.6047 . 0.0000 0.02 15.2338 0.00 4.4520
0.4157 0.5656 0.4134 0.3096 0.9505 0.4896 0.6735 0.4938 0.7774 0.9893 0.9962 0.6498 0.4615 0.6128 0.9721 0.4792 0.9960 0.2016 0.5475 0.4591 0.5990 0.6723 0.3523 0.4405 0.2610 0.1711 0.2757 0.0000 0.9024 0.6911
331
Lampiran 6. Program Simulasi Faktor Eksternal dan Kebijakan Pemerintah pada Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA ENERGI; SET DATA; /* Skenario POILWD = * EXCHR = * GEXPSOL =
1: Kenaikan Harga Minyak Dunia 10 Persen */ POILWD * 1.10; EXCHR * 0.95; GEXPSOL * 0.90;
/* Skenario 2: Apresiasi Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar 5 Persen */ * POILWD = POILWD * 1.10; EXCHR = EXCHR * 0.95; * GEXPSOL = GEXPSOL * 0.90; /* Skenario * POILWD = * EXCHR = GEXPSOL =
3: Pengeluaran Subsidi BBM Turun 10 Persen */ POILWD * 1.10; EXCHR * 0.95; GEXPSOL * 0.90;
/* Skenario 4: Kombinasi Harga Minyak Dunia 10 Persen dan Apresiasi Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar 5 Persen */ POILWD = POILWD * 1.10; EXCHR = EXCHR * 0.95; * GEXPSOL = GEXPSOL * 0.90; /* Skenario 5: Kombinasi Harga Minyak Dunia 10 Persen, Apresiasi Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar 5 Persen dan Pengeluaran Subsidi BBM Turun 5 Persen*/ POILWD = POILWD * 1.10; EXCHR = EXCHR * 0.95; GEXPSOL = GEXPSOL * 0.90; Run;
PROC SIMNLIN SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS IDOL IDEL REG REBIO VEHIPAS VEHI OCTO FCOL OTEL OTG RFCR YBBM SGAS SCOAL INDP TRP
IDCO RETO AGROL FCEL EGEL YCOAL RPOIL AGRP
IDG TRRTO AGRTO FCCO EGG YGAS RPEL OCP
IDBIO TROTTO OCOL FCG EGOL IMCR RPCOAL GEXP
IDTO TROL OCEL FCBIO EGCO IMPP RPGAS GEXPSOL
REOL TRTO OCG FCTO EGTO IMOL IHB REVGOV;
REEL VEHICOM OCBIO OTPP RFUT SOIL PDB
332
INSTRUMENTS CPLN EGHY JRT NEU SKBR TAX XBBM XCOAL LAGROL LEGEL LEGOL LFCCO LFCG LGEXPSOL LIDCO LIDG LIHB LIMPP LIPOL LOCEL LOCOL LOTEL LOTPP LPOILWD LREEL LREOL LRPCOAL LRPGAS LSCOAL LTROTTO LTRRTO LVEHI LVEHIPAS LRFCR LSGAS LWOCR LCADGAS
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
EXCHR POILWD TREL XGAS
Lag(AGROL); Lag(EGEL); Lag(EGOL); Lag(FCCO); Lag(FCG); Lag(GEXPSOL); Lag(IDCO); Lag(IDG); Lag(IHB); Lag(IMPP); Lag(IPOL); Lag(OCEL); Lag(OCOL); Lag(OTEL); Lag(OTPP); Lag(POILWD); Lag(REEL); Lag(REOL); Lag(RPCOAL); Lag(RPGAS); Lag(SCOAL); Lag(TROTTO); Lag(TRRTO); Lag(VEHI); Lag(VEHIPAS); Lag(RFCR); Lag(SGAS); Lag(WOCR); Lag(CADGAS);
parm a0 32760.29 a1 a5 0.804960 b0 337.0924 b1 b5 0.240903 c0 -1.013E7 c1 c5 5314.610 d0 -102592 d1 d5 21.13887 e0 19326.31 e1 f0 51756.11 f1 f5 1.573206 g0 1078.499 g1 g5 0.947897 h0 14904.42 h1 h5 7.434226 i0 14171.44 i1 i5 0.366602
GEXPNS GEXPSNOL IMCOAL IMGAS TREL TRG RCCR SBIO TRG WAGRR WMININGR WOCR YEAR; LAGRP LEGG LFCBIO LFCEL LFCOL LIDBIO LIDEL LIDOL LIMCR LINDP LOCBIO LOCG LOCP LOTG LPDB LREBIO LREG LRFUT LRPEL LRPOIL SKBR LTRP LTRTO LVEHICOM LWMININGR LXGAS LEXCHR LCPLN
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Lag(AGRP); Lag(EGG); Lag(FCBIO); Lag(FCEL); Lag(FCOL); Lag(IDBIO); Lag(IDEL); Lag(IDOL); Lag(IMCR); Lag(INDP); Lag(OCBIO); Lag(OCG); Lag(OCP); Lag(OTG); Lag(PDB); Lag(REBIO); Lag(REG); Lag(RFUT); Lag(RPEL); Lag(RPOIL); Lag(SKBR); Lag(TRP); Lag(TRTO); Lag(VEHICOM); Lag(WMININGR); Lag(XGAS); Lag(EXCHR); Lag(CPLN);
-0.26560 a2 4364.050 a3 0.038419 a4 761.6358 -0.00971 b2 -0.00225 b3 0.002283 b4 0.157715 b6 0.904678 -16.2990 c2 -0.49424 c3 0.393855 c4 149.8988 -0.02908 d2 0.049008 d6 0.693232 -7.83427 e2 -0.12179 -0.14298 f2 0.003180 f6 0.824462 -0.01445 g2 0.010238
d3 2.891274 d4 0.063423 e3 559.1243 e4 0.956225 f3 0.035720 f4 -0.56055 g3 3.177952 g4 0.087252
-0.00697 h2 0.002546 h3 0.033367 h4 -0.18014 h6 0.182129 h7 0.885334 -0.12262 i2 0.002981 i3 0.001715 i4 0.378476 i6 0.849451
333
j0 31005.38 j1 -0.06418 j2 0.033288 j3 8334.102 j4 82.52406 j5 0.741802 k0 947926.7 k1 -0.06419 k2 0.001676 k3 68.29440 k4 -467.981 k5 0.339053 l0 6342.108 l1 -0.05315 l2 75.20850 l3 -0.51130 l4 0.912679 m0 2134.524 m1 -0.01711 m2 17.40695 m3 -0.07217 m4 0.826370 n0 1017.113 n1 -0.00255 n2 0.010495 n3 1137.275 n4 -3.16964 n5 0.854752 o0 -16842.2 o1 -0.01765 o2 -0.00187 o3 0.009607 o4 0.541421 o5 204.9089 o6 0.671141 p0 2488.707 p1 -2.67311 p2 -0.01223 p3 6.533856 p4 0.243814 q0 1701.134 q1 -0.00430 q2 -0.00157 q3 0.000264 q4 0.004413 q5 0.011662 q6 3.785705 q7 1.046248 r0 391.2614 r1 -0.07217 r2 0.000230 r3 -0.00002 r4 102.0585 r5 0.720385 s0 -32060.6 s1 465.3787 s2 0.050210 s3 3.613918 s4 0.489065 t0 -23164.6 t1 0.103414 t2 0.259542 t3 0.983840 t4 0.627809 u0 5958428 u1 0.051454 u2 83724.51 u3 48623.96 u4 -2965.47 u5 0.816476 v0 1444288 v1 -0.00088 v2 -6.30893 v3 -0.26149 v4 1.209699 v5 -612.357 v6 0.007778 w0 -312390 w1 -0.06897 w2 8.432169 w3 13.81275 w4 -4681.10 w5 0.199092 w6 0.559031 x0 -96635.4 x1 -0.97689 x2 5.456666 x3 0.005131 x4 10.73523 x5 0.199567 x6 0.038099 y0 11794.14 y1 -4.02955 y2 0.142820 y3 0.039394 z0 2.163305 z1 0.000545 z2 -0.00002 z3 0.710956 aa0 -4006689 aa1 130.3389 aa2 -53562.0 aa3 -451.603 ab0 129967.2 ab1 0.153864 ab2 -0.23389 ab3 -669.296 ab4 -0.04782 ab5 0.644621 ac0 -78215.4 ac1 0.477773 ac2 1.226847 ac3 -1.64715 ac4 0.179878 ad0 92136.15 ad1 0.146071 ad2-0.02459 ad3 -0.07191 ad4 154.9732 ae0 42141698 ae1 6.565599 ae2 -0.06379 ae3 -21163.4 ae4 0.624060 af0 5483.973 af1 0.004888 af2 -0.00654 af3 0.841483 ag0 -2059644 ag1 7.536527 ag2 -0.00795 ag3 862.2858 ah0 63173.19 ah1 0.015543 ah2 -0.00054 ah3 -33.4157 ai0 -115.180 ai1 0.000777 ai2 0.000067 ai3 0.697663 aj0 -15.2731 aj1 0.000207 aj2 0.000052 aj3 0.660879 ak0 22.66735 ak1 -4.64E-6 ak2 0.000676 ak3 0.000509 ak4 0.337909 al0 -2.80468 al1 0.000579 al2 0.000058 al3 0.690559 am0 -55158.2 am1 0.098334 am2 -0.50610 am3 0.244409 am4 0.108441 an0 2507.373 an1 86.80253 an2 1.442488 ; /* BLOK KONSUMSI ENERGI SEKTOR INDUSTRI */ IDOL = a0 + a1*LRPOIL + a2*((RPGAS-LRPGAS)/LRPGAS) + a3*LRPEL + a4*((INDP-LINDP)/LINDP) + a5*LIDOL ; IDEL = b0 + b1*LRPEL + b2*RPOIL + b3*RPGAS +b4*RPCOAL + b5*LINDP + b6*LIDEL; IDCO = c1 +c1*RPCOAL + c2*RPOIL + c3*RPEL + c4*INDP + c5*YEAR; IDG = d0 + d1*LRPGAS + d2*RPOIL + d3*RPCOAL + d4*RPEL + d5*LINDP + d6*LIDG ; IDBIO = e0 + e1*IHB + e2*RPOIL + e3*((INDP-LINDP)/LINDP) + e4*LIDBIO; IDTO = IDOL + IDEL + IDCO + IDG + IDBIO;
334
/*KONSUMSI ENERGI RUMAHTANGGA*/ REOL = f0 + f1*LRPOIL + f2*(RPGAS-LRPGAS) + f3*RPEL + f4*REBIO + f5*JRT + f6*LREOL; REEL = g0 + g1*LRPEL + g2*RPOIL + g3*(PDB-LPDB) + g4*JRT + g5*LREEL; REG = h0 + h1*RPGAS + h2*RPOIL + h3*RPEL + h4*REBIO + h5*PDB + h6*JRT + h7*LREG; REBIO = i0 + i1*IHB + i2*RPOIL + i3*LRPGAS + i4*PDB + i5*JRT + i6*LREBIO; RETO = REOL + REEL + REG + REBIO; /*KONSUMSI ENERGI TRANSPORTASI*/ TRRTO = j0 + j1*LRPOIL + j2*RPGAS + j3*((VEHI-LVEHI)/LVEHI) + j4*LTRP + j5*LTRRTO; TROTTO = k0 + k1*LRPOIL +k2*RPGAS +k3*TRP +k4*YEAR + k5*LTROTTO; TROL = TRRTO + TROTTO; TRTO = TROL + TREL + TRG; VEHICOM = l0 + l1*RPOIL + l2*TRP + l3*((SKBR-LSKBR)/LSKBR) + l4*LVEHICOM; VEHIPAS = m0 + m1*RPOIL + m2*TRP + m3*((SKBR-LSKBR)/LSKBR) + m4*LVEHIPAS; VEHI = VEHICOM + VEHIPAS; /*KONSUMSI ENERGI PERTANIAN*/ AGROL = n0 + n1*(RPOIL-LRPOIL)+ n2*RPEL + n3*((AGRPLAGRP)/LAGRP) + n4*((SKBR-LSKBR)/LSKBR) + n5*LAGROL; AGRTO = AGROL; /*KONSUMSI ENERGI SEKTOR LAINNYA*/ OCOL = o0 + o1*LRPOIL + o2*RPGAS + o3*RPEL + o4*RPCOAL + o5*((OCP-LOCP)/LOCP) + O6*LOCOL; OCG = p0 + p1*IHG + p2*RPOIL + p3*OCP + p4*LOCG; OCEL = q0 + q1*RPEL + q2*RPOIL + q3*RPGAS + q4*RPCOAL + q5*IHB + q6*OCP + q7*LOCEL ; OCBIO = r0 + r1*LIHB + r2*RPOIL + r3*RPGAS + r4*((OCPLOCP)/LOCP) + r5*LOCBIO; OCTO = OCOL + OCG + OCEL + OCBIO; /*TOTAL KONSUMSI ENERGI TOTAL*/ FCTO = IDTO + RETO + TRTO + AGRTO + OCTO + NEU; FCOL = IDOL + TROL + REOL + AGROL + OCOL + NEU; FCEL = IDEL + REEL + TREL + OCEL; FCCO = IDCO; FCG = IDG + REG + TRG + OCG; FCBIO = FCTO - FCOL - FCCO - FCEL - FCG; /*TRANSFORMASI ENERGI*/ OTPP = s0 + s1*POILWD + s2*(RFCR-LRFCR) + s3*RCCR + s4*LOTPP; OTEL = t0 + t1*(RPEL-LRPEL) + t2*EGTO + t3*(CPLN-LCPLN) + t4*LOTEL ; OTG = u0 + u1*LRPGAS + u2*((CADGAS-LCADGAS)/LCADGAS)+ u3*((FCG-LFCG)/LFCG) + u4*YEAR + u5*LOTG; EGEL = v0 + v1*RPEL + v2*RPCOAL + v3*RPOIL + v4*OTEL + v5*YEAR + v6*LEGEL;
335
EGG EGOL EGCO EGTO
= w0 + w1*LRPGAS + w2*RPCOAL + w3*IHB + w4*((XGASLXGAS)/LXGAS) + w5*OTG + w6*LEGG; = x0 + x1*RPOIL + x2*LRPCOAL+ x3*RPGAS + x4*LIHB + x5*SOIL + x6*LEGOL; = y0 + y1*(RPCOAL-LRPCOAL) + y2*RPGAS + y3*YCOAL; = EGEL + EGG + EGOL + EGCO + EGHY;
/*PENYEDIAAN ENERGI*/ RFUT = z0 + z1*PDB + z2*((SKBR-LSKBR)/LSKBR)+ z3*LRFUT; RFCR = RFUT * RCCR; YBBM = OTPP; YCOAL = aa0 + aa1*LRPCOAL+ aa2*((WMININGR-LWMININGR)/LWMININGR) + aa3*LSKBR; YGAS = OTG; IMCR = ab0 + ab1*FCOL + ab2*LIPOL+ ab3*POILWD + ab4*EXCHR + ab5*LIMCR; IMPP = ac0 + ac1*FCOL + ac2*VEHI + ac3*EXCHR + ac4*LIMPP; IMOL = IMPP + IMCR; /*TOTAL PENYEDIAAN ENERGI*/ SOIL = YBBM + IMPP - XBBM; SCOAL = YCOAL + IMCOAL - XCOAL; SGAS = YGAS + IMGAS - XGAS; /*HARGA ENERGI*/ RPOIL = ad0 + ad1*FCOL + ad2*SOIL + ad3*GEXPSOL + ad4*POILWD ; RPEL = ae0 + ae1*FCEL + ae2*OTEL + ae3*YEAR + ae4*LRPEL ; RPCOAL = af0 + af1*FCCO + af2*(SCOAL-LSCOAL) + af3*LRPCOAL; RPGAS = ag0 + ag1*FCG + ag2*(SGAS-LSGAS) + ag3*YEAR; IHB = ah0 + ah1*LFCBIO + ah2*SBIO + ah3*YEAR ; /*OUTPUT PEREKONOMIAN*/ PDB = INDP + TRP + AGRP + OCP; INDP = ai0 + ai1*IDTO + ai2*GEXP + ai3*LINDP; TRP = aj0 + aj1*LTRTO + aj2*GEXP + aj3*LTRP; AGRP = ak0 + ak1*WAGRR + ak2*AGRTO + ak3*GEXP + ak4*LAGRP; OCP = al0 + al1*OCTO + al2*GEXP + al3*LOCP; GEXP = GEXPNS + GEXPSOL + GEXPSNOL; GEXPSOL = am0 + am1*REVGOV + am2*LEXCHR +am3*FCOL + am4*LGEXPSOL; REVGOV = an0 + an1*(PDB-LPDB) + an2*TAX ; range year=2000 to 2008; RUN;
336
Lampiran 7. Hasil Simulasi Faktor Eksternal dan Kebijakan Pemerintah pada Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia Skenario 1: Kenaikan Harga Minyak Dunia 10 Persen Descriptive Statistics
Variable IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO TROTTO TROL TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCEL OCG OCBIO OCTO FCOL FCEL FCCO FCG FCBIO FCTO OTPP OTEL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO RFUT RFCR YBBM YCOAL
N Obs 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
N 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
Actual Mean Std Dev 66069.9 10956.5 24730.9 3009.6 74734.6 42392.7 85985.6 3891.6 48943.9 5655.7 300465 32425.8 55937.9 7486.7 24158.0 4107.9 7546.4 2423.6 221995 8300.9 309637 7707.9 153174 14755.0 13660.3 2949.1 166835 17589.4 166970 17566.3 30758.9 14204.0 5392.4 2548.0 36151.3 16745.8 28302.8 2502.7 28302.8 2502.7 8554.6 759.0 13175.6 3563.4 1404.3 144.3 1423.1 19.3549 24557.6 3051.4 324565 14168.1 62101.6 10669.3 74734.6 42392.7 95034.3 5415.9 272362 3287.6 890377 74318.6 264764 14067.3 119139 72977.5 239396 24062.9 99904.8 87752.4 39667.1 14462.2 51096.5 13449.3 91104.1 36788.4 309854 102342 8.7778 0.8333 347999 19939.5 264764 14067.3 612227 234478
Predicted Mean Std Dev 164396 5934.2 173303 113929 12529480 869191 1531313 840560 7333.0 78820.6 14405824 1705730 84987.7 44633.2 47367.5 29438.8 494207 294575 304807 76792.6 931368 333023 1291954 891096 70430.1 48193.5 1362384 939146 1362519 939125 77806.9 70819.5 13256.2 12461.6 91063.1 83278.9 76904.1 38108.8 76904.1 38108.8 136719 72148.7 4867.5 3667.3 528.7 739.1 881.8 495.4 142997 67379.7 1885836 1040189 225575 88257.8 12529480 869191 2026146 1133787 313022 4571.7 16980058 3053492 289101 18658.6 4572752 3631267 1827688 1291973 4610490 4008564 1270154 468558 785175 452795 2638171 1588826 9332072 6464069 43.9752 20.7925 1668551 614687 289101 18658.6 15092913 8795326
Label IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO TROTTO TROL TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCEL OCG OCBIO OCTO FCOL FCEL FCCO FCG FCBIO FCTO OTPP OTEL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO RFUT RFCR YBBM YCOAL
337
YGAS IMCR IMPP IMOL SOIL SGAS SCOAL RPOIL RPEL RPCOAL RPGAS IHB PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP GEXPSOL REVGOV
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
239396 120620 121355 241975 384324 731325 170307 132970 346203 35960.6 396135 279.9 1033.1 445.1 101.4 385.3 101.4 514838 71552.4 485814
24062.9 27625.1 36845.7 52496.5 26921.1 1125246 68657.9 8.2473 34332.3 0.4082 80907.2 162.7 348.2 134.0 44.4330 156.0 44.4330 243714 34524.1 248461
1827688 575646 1061640 1637286 1348945 2319617 14650993 304226 1951984 171694 14932046 861.3 28631.6 27078.4 494.3 754.0 304.9 974515 531230 869949
1291973 354843 713378 1067977 699141 2301553 8636899 118217 868270 61541.4 8541867 222.6 11007.4 10098.3 422.5 387.4 180.2 503749 289742 115423
YGAS IMCR IMPP IMOL SOIL SGAS SCOAL RPOIL RPEL RPCOAL RPGAS IHB PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP GEXPSOL REVGOV
Skenario 2: Apresiasi Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar 5 Persen Descriptive Statistics
Variable IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO TROTTO TROL TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCEL OCG OCBIO OCTO FCOL FCEL FCCO
N Obs 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
N 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
Actual Mean Std Dev 66069.9 10956.5 24730.9 3009.6 74734.6 42392.7 85985.6 3891.6 48943.9 5655.7 300465 32425.8 55937.9 7486.7 24158.0 4107.9 7546.4 2423.6 221995 8300.9 309637 7707.9 153174 14755.0 13660.3 2949.1 166835 17589.4 166970 17566.3 30758.9 14204.0 5392.4 2548.0 36151.3 16745.8 28302.8 2502.7 28302.8 2502.7 8554.6 759.0 13175.6 3563.4 1404.3 144.3 1423.1 19.3549 24557.6 3051.4 324565 14168.1 62101.6 10669.3 74734.6 42392.7
Predicted Mean Std Dev 164726 5837.3 173313 113938 12529956 869393 1531307 840574 7545.7 78689.7 14406848 1706316 85174.0 44554.9 47354.4 29447.2 494242 294603 304804 76791.4 931574 333166 1292067 891172 70484.2 48224.9 1362551 939254 1362686 939233 77940.3 70910.0 13290.5 12483.1 91230.8 83390.9 76903.7 38107.7 76903.7 38107.7 136739 72161.8 4875.3 3661.2 539.1 734.3 881.2 495.8 143035 67403.0 1886539 1040668 225580 88263.0 12529956 869393
Label IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO TROTTO TROL TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCEL OCG OCBIO OCTO FCOL FCEL FCCO
338
FCG FCBIO FCTO OTPP OTEL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO RFUT RFCR YBBM YCOAL YGAS IMCR IMPP IMOL SOIL SGAS SCOAL RPOIL RPEL RPCOAL RPGAS IHB PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP GEXPSOL REVGOV
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
95034.3 272362 890377 264764 119139 239396 99904.8 39667.1 51096.5 91104.1 309854 8.7778 347999 264764 612227 239396 120620 121355 241975 384324 731325 170307 132970 346203 35960.6 396135 279.9 1033.1 445.1 101.4 385.3 101.4 514838 71552.4 485814
5415.9 3287.6 74318.6 14067.3 72977.5 24062.9 87752.4 14462.2 13449.3 36788.4 102342 0.8333 19939.5 14067.3 234478 24062.9 27625.1 36845.7 52496.5 26921.1 1125246 68657.9 8.2473 34332.3 0.4082 80907.2 162.7 348.2 134.0 44.4330 156.0 44.4330 243714 34524.1 248461
2026186 313230 16981491 285606 4573630 1827703 4611696 1270258 785510 2638226 9333771 43.9779 1668651 285606 15093321 1827703 582104 1063511 1645616 1347322 2319632 14651401 303603 1951929 171699 14932347 863.8 28634.0 27080.2 494.4 754.4 305.0 975054 531769 869996
1133834 4493.3 3054385 20436.6 3631737 1292003 4009192 468629 452731 1588887 6464771 20.7946 614747 20436.6 8795639 1292003 358809 713588 1072170 697302 2301584 8637212 117938 868262 61544.4 8542218 222.9 11008.8 10099.5 422.5 387.4 180.3 503848 289837 115435
FCG FCBIO FCTO OTPP OTEL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO RFUT RFCR YBBM YCOAL YGAS IMCR IMPP IMOL SOIL SGAS SCOAL RPOIL RPEL RPCOAL RPGAS IHB PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP GEXPSOL REVGOV
Skenario 3: Pengeluaran Subsidi BBM Turun 10 Persen Descriptive Statistics
Variable IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO
N Obs 9 9 9 9 9
N 9 9 9 9 9
Actual Mean Std Dev 66069.9 10956.5 24730.9 3009.6 74734.6 42392.7 85985.6 3891.6 48943.9 5655.7
Predicted Mean Std Dev 164688 5849.4 173311 113936 12529904 869391 1531306 840570 7523.3 78693.3
Label IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO
9 9 9 9 9 9 9
9 9 9 9 9 9 9
300465 55937.9 24158.0 7546.4 221995 309637 153174
14406732 85154.0 47354.2 494227 304803 931538 1292035
IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO
32425.8 7486.7 4107.9 2423.6 8300.9 7707.9 14755.0
1706288 44554.0 29447.1 294596 76790.8 333151 891159
339
TROTTO TROL TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCEL OCG OCBIO OCTO FCOL FCEL FCCO FCG FCBIO FCTO OTPP OTEL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO RFUT RFCR YBBM YCOAL YGAS IMCR IMPP IMOL SOIL SGAS SCOAL RPOIL RPEL RPCOAL RPGAS IHB PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP REVGOV
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
13660.3 166835 166970 30758.9 5392.4 36151.3 28302.8 28302.8 8554.6 13175.6 1404.3 1423.1 24557.6 324565 62101.6 74734.6 95034.3 272362 890377 264764 119139 239396 99904.8 39667.1 51096.5 91104.1 309854 8.7778 347999 264764 612227 239396 120620 121355 241975 384324 731325 170307 132970 346203 35960.6 396135 279.9 1033.1 445.1 101.4 385.3 101.4 514838 485814
2949.1 17589.4 17566.3 14204.0 2548.0 16745.8 2502.7 2502.7 759.0 3563.4 144.3 19.3549 3051.4 14168.1 10669.3 42392.7 5415.9 3287.6 74318.6 14067.3 72977.5 24062.9 87752.4 14462.2 13449.3 36788.4 102342 0.8333 19939.5 14067.3 234478 24062.9 27625.1 36845.7 52496.5 26921.1 1125246 68657.9 8.2473 34332.3 0.4082 80907.2 162.7 348.2 134.0 44.4330 156.0 44.4330 243714 248461
70472.9 1362508 1362643 77909.1 13283.7 91192.8 76903.8 76903.8 136737 4872.8 537.7 881.3 143029 1886436 225575 12529904 2026169 313207 16981291 285605 4573031 1827691 4610957 1270249 785173 2638206 9332666 43.9769 1668611 285605 15093260 1827691 581999 1062154 1644153 1345963 2319620 14651339 303653 1951944 171698 14932223 863.5 28633.2 27079.9 494.3 754.1 305.0 974623 869988
48223.1 939239 939218 70896.6 12481.0 83375.4 38108.7 38108.7 72161.5 3662.8 734.2 495.8 67401.3 1040633 88260.1 869391 1133823 4493.5 3054325 20436.2 3631491 1291992 4008900 468626 452778 1588874 6464504 20.7942 614735 20436.2 8795604 1291992 358788 713768 1072329 697483 2301573 8637177 117921 868264 61544.1 8542140 222.8 11008.7 10099.4 422.5 387.5 180.3 503949 115434
TROTTO TROL TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCEL OCG OCBIO OCTO FCOL FCEL FCCO FCG FCBIO FCTO OTPP OTEL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO RFUT RFCR YBBM YCOAL YGAS IMCR IMPP IMOL SOIL SGAS SCOAL RPOIL RPEL RPCOAL RPGAS IHB PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP REVGOV
340
Skenario 4: Kombinasi Harga Minyak Dunia 10 Persen dan Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar 5 Persen
Apresiasi
Descriptive Statistics
Variable IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO TROTTO TROL TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCEL OCG OCBIO OCTO FCOL FCEL FCCO FCG FCBIO FCTO OTPP OTEL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO RFUT RFCR YBBM YCOAL YGAS IMCR IMPP IMOL SOIL
N Obs 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
N 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
Actual Mean Std Dev 66069.9 10956.5 24730.9 3009.6 74734.6 42392.7 85985.6 3891.6 48943.9 5655.7 300465 32425.8 55937.9 7486.7 24158.0 4107.9 7546.4 2423.6 221995 8300.9 309637 7707.9 153174 14755.0 13660.3 2949.1 166835 17589.4 166970 17566.3 30758.9 14204.0 5392.4 2548.0 36151.3 16745.8 28302.8 2502.7 28302.8 2502.7 8554.6 759.0 13175.6 3563.4 1404.3 144.3 1423.1 19.3549 24557.6 3051.4 324565 14168.1 62101.6 10669.3 74734.6 42392.7 95034.3 5415.9 272362 3287.6 890377 74318.6 264764 14067.3 119139 72977.5 239396 24062.9 99904.8 87752.4 39667.1 14462.2 51096.5 13449.3 91104.1 36788.4 309854 102342 8.7778 0.8333 347999 19939.5 264764 14067.3 612227 234478 239396 24062.9 120620 27625.1 121355 36845.7 241975 52496.5 384324 26921.1
Predicted Mean Std Dev 164431 5923.2 173305 113931 12529525 869199 1531312 840563 7353.7 78815.7 14405926 1705765 85005.7 44633.2 47367.9 29438.8 494218 294581 304807 76793.1 931399 333039 1291979 891109 70439.8 48196.1 1362419 939163 1362554 939142 77832.8 70832.4 13261.9 12463.8 91094.7 83294.0 76903.8 38108.0 76903.8 38108.0 136721 72149.1 4869.6 3665.8 529.9 739.1 881.7 495.4 143002 67381.7 1885925 1040227 225580 88260.8 12529525 869199 2026158 1133797 313042 4571.0 16980229 3053560 289101 18659.0 4573327 3631509 1827696 1291982 4611199 4008853 1270163 468562 785505 452754 2638185 1588838 9333134 6464339 43.9760 20.7930 1668583 614701 289101 18659.0 15092963 8795357 1827696 1291982 575745 354864 1062980 713199 1638725 1067818 1350286 698961
Label IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO TROTTO TROL TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCEL OCG OCBIO OCTO FCOL FCEL FCCO FCG FCBIO FCTO OTPP OTEL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO RFUT RFCR YBBM YCOAL YGAS IMCR IMPP IMOL SOIL
341
SGAS SCOAL RPOIL RPEL RPCOAL RPGAS IHB PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP GEXPSOL REVGOV
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
731325 170307 132970 346203 35960.6 396135 279.9 1033.1 445.1 101.4 385.3 101.4 514838 71552.4 485814
1125246 68657.9 8.2473 34332.3 0.4082 80907.2 162.7 348.2 134.0 44.4330 156.0 44.4330 243714 34524.1 248461
2319625 14651042 304180 1951966 171695 14932136 861.6 28632.3 27078.7 494.3 754.3 305.0 974887 531601 869956
2301562 8636931 118229 868269 61541.6 8541942 222.7 11007.6 10098.5 422.5 387.4 180.2 503726 289716 115422
SGAS SCOAL RPOIL RPEL RPCOAL RPGAS IHB PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP GEXPSOL REVGOV
Skenario 5: Kombinasi Harga Minyak Dunia 10 Persen, Apresiasi Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar 5 Persen dan Pengeluaran Subsidi BBM Turun 5 Persen Descriptive Statistics
Variable IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO TROTTO TROL TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCEL OCG OCBIO OCTO FCOL FCEL FCCO FCG FCBIO
N Obs 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
N 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
Actual Mean Std Dev 66069.9 10956.5 24730.9 3009.6 74734.6 42392.7 85985.6 3891.6 48943.9 5655.7 300465 32425.8 55937.9 7486.7 24158.0 4107.9 7546.4 2423.6 221995 8300.9 309637 7707.9 153174 14755.0 13660.3 2949.1 166835 17589.4 166970 17566.3 30758.9 14204.0 5392.4 2548.0 36151.3 16745.8 28302.8 2502.7 28302.8 2502.7 8554.6 759.0 13175.6 3563.4 1404.3 144.3 1423.1 19.3549 24557.6 3051.4 324565 14168.1 62101.6 10669.3 74734.6 42392.7 95034.3 5415.9 272362 3287.6
Predicted Mean Std Dev 164427 5924.6 173305 113931 12529517 869205 1531311 840563 7351.9 78814.4 14405911 1705773 85003.8 44632.2 47368.0 29438.7 494215 294581 304807 76793.0 931393 333040 1291972 891109 70438.3 48196.9 1362410 939163 1362546 939142 77827.4 70831.9 13260.9 12463.9 91088.2 83293.6 76903.7 38108.2 76903.7 38108.2 136720 72149.3 4869.3 3665.9 529.8 739.0 881.7 495.4 143001 67381.9 1885910 1040231 225579 88260.9 12529517 869205 2026153 1133797 313040 4570.6
Label IDOL IDEL IDCO IDG IDBIO IDTO REOL REEL REG REBIO RETO TRRTO TROTTO TROL TRTO VEHICOM VEHIPAS VEHI AGROL AGRTO OCOL OCEL OCG OCBIO OCTO FCOL FCEL FCCO FCG FCBIO
342
FCTO OTPP OTEL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO RFUT RFCR YBBM YCOAL YGAS IMCR IMPP IMOL SOIL SGAS SCOAL RPOIL RPEL RPCOAL RPGAS IHB PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP REVGOV
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
890377 264764 119139 239396 99904.8 39667.1 51096.5 91104.1 309854 8.7778 347999 264764 612227 239396 120620 121355 241975 384324 731325 170307 132970 346203 35960.6 396135 279.9 1033.1 445.1 101.4 385.3 101.4 514838 485814
74318.6 14067.3 72977.5 24062.9 87752.4 14462.2 13449.3 36788.4 102342 0.8333 19939.5 14067.3 234478 24062.9 27625.1 36845.7 52496.5 26921.1 1125246 68657.9 8.2473 34332.3 0.4082 80907.2 162.7 348.2 134.0 44.4330 156.0 44.4330 243714 248461
16980200 289101 4573302 1827691 4611169 1270163 785498 2638180 9333091 43.9758 1668575 289101 15092951 1827691 575740 1062962 1638702 1350268 2319620 14651031 304182 1951962 171695 14932102 861.6 28632.1 27078.6 494.3 754.2 305.0 974827 869956
3053569 18658.9 3631505 1291980 4008850 468562 452760 1588838 6464341 20.7930 614703 18658.9 8795354 1291980 354864 713199 1067818 698962 2301560 8636927 118224 868271 61541.6 8541940 222.7 11007.7 10098.5 422.5 387.4 180.2 503803 115420
FCTO OTPP OTEL OTG EGEL EGG EGOL EGCO EGTO RFUT RFCR YBBM YCOAL YGAS IMCR IMPP IMOL SOI SGAS SCOAL RPOIL RPEL RPCOAL RPGAS IHB PDB INDP TRP AGRP OCP GEXP REVGOV
Lampiran 8. Program Peramalan Peubah Eksogen pada Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA ENERGI; SET DATA; proc forecast data=energi method=stepar trend=2 out=n_exo outdata lead=17; id year; var CPLN IMCOAL TREL SKB WOCR POP;
EGHY IMGAS TRG INF XBBM
EXCHR JRT RCCR TAX XCOAL
GEXPNS GEXPSNOL NEU POILWD SBIO SKBR WAGRR WMININGR XGAS IPOL
run; proc print data=n_exo (firstobs=1); run;
343
Lampiran 9. Hasil Peramalan Peubah Eksogen pada Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia Nama Peubah Kapasitas PLN Input Air untuk pembangkit listrik Nilai tukar rupiah Pengeluaran pemerintah non subsidi Pengeluaran non subsidi BBM Impor batubara Impor gas Jumlah rumahtangga Konsumsi bukan energi Harga minyak dunia Konsumsi listrik sektor transportasi Konsumsi gas sektor transportasi Kapasitas pengilangan minyak Penyediaan biomas Suku bunga riil Suku bunga nominal Inflasi Pajak Upah sektor pertanian Upah sektor pertambangan Upah sektor lainnya Ekspor BBM Ekspor batubara Ekspor gas Produksi minyak mentah domestik Jumlah penduduk
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Rp/US Dollar Rp Miliar Rp Miliar Ribu SBM Ribu SBM Ribu rumahtangga Ribu SBM US Dollar/SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Persen Persen Persen Rp miliar Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu jiwa
2009 29625.66 29741.30 11842.06 686857.22 60520.16 469.21 1265931.52 59065.31 75269.28 86.26 50.48 125.32 33165.22 287432.61 -2.16 9.59 11.76 598157.63 7802044.79 66162780.19 5810558.03 999.04 685454.31 266491.35 406975.89 230416.18
2010 30669.87 30167.98 13018.83 683522.19 64619.61 462.88 1357024.91 60697.13 78101.54 81.09 51.92 127.07 34956.00 295603.07 -2.39 9.31 11.70 574699.93 7133869.35 64181495.95 5451554.82 1481.02 704602.09 267590.92 397954.75 233116.53
2011 31714.08 30594.66 13829.73 693369.56 68719.06 456.55 1448118.31 62131.65 80933.80 78.96 53.82 129.17 36258.10 302847.05 -2.61 9.03 11.64 572998.30 6696973.26 65053196.44 5092551.60 1708.42 727951.39 268690.49 388933.60 235816.88
Lanjutan Lampiran 9 Nama Peubah Kapasitas PLN Input Air untuk pembangkit listrik Nilai tukar rupiah Pengeluaran pemerintah non subsidi Pengeluaran non subsidi BBM Impor batubara Impor gas Jumlah rumahtangga Konsumsi bukan energi Harga minyak dunia Konsumsi listrik sektor transportasi Konsumsi gas sektor transportasi Kapasitas pengilangan minyak Penyediaan biomas Suku bunga riil Suku bunga nominal Inflasi Pajak Upah sektor pertanian Upah sektor pertambangan Upah sektor lainnya Ekspor BBM Ekspor batubara Ekspor gas Produksi minyak mentah domestik Jumlah penduduk
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Rp/US Dollar Rp Miliar Rp Miliar Ribu SBM Ribu SBM Ribu rumahtangga Ribu SBM US Dollar/SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Persen Persen Persen Rp miliar Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu jiwa
2012 32758.29 31021.34 14446.88 711799.38 72818.52 450.22 1539211.71 63437.45 83766.06 78.76 55.94 131.54 37204.88 309430.85 -2.84 8.75 11.58 584059.72 6413014.32 67266685.27 4733548.39 1810.46 754401.20 269790.07 379912.46 238517.24
2013 33802.50 31448.02 14961.41 735816.86 76917.97 443.88 1630305.10 64659.31 86598.32 79.79 58.18 134.13 37893.31 315544.21 -3.06 8.46 11.52 602608.50 6230187.51 70111231.10 4374545.17 1850.77 783139.06 270889.64 370891.32 241217.59
2014 34846.71 31874.70 15421.59 763472.20 81017.42 437.55 1721398.50 65826.40 89430.58 81.60 60.47 136.89 38393.91 321322.34 -3.28 8.18 11.46 625549.70 6114235.92 73252569.58 4015541.96 1860.69 813565.39 271989.21 361870.17 243917.95
344
Lanjutan Lampiran 9 Nama Peubah Kapasitas PLN Input Air untuk pembangkit listrik Nilai tukar rupiah Pengeluaran pemerintah non subsidi Pengeluaran non subsidi BBM Impor batubara Impor gas Jumlah rumahtangga Konsumsi bukan energi Harga minyak dunia Konsumsi listrik sektor transportasi Konsumsi gas sektor transportasi Kapasitas pengilangan minyak Penyediaan biomas Suku bunga riil Suku bunga nominal Inflasi Pajak Upah sektor pertanian Upah sektor pertambangan Upah sektor lainnya Ekspor BBM Ekspor batubara Ekspor gas Produksi minyak mentah domestik Jumlah penduduk
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Rp/US Dollar Rp Miliar Rp Miliar Ribu SBM Ribu SBM Ribu rumahtangga Ribu SBM US Dollar/SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Persen Persen Persen Rp miliar Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu jiwa
2015 35890.92 32301.37 15852.99 793496.00 85116.87 431.22 1812491.90 66957.78 92262.84 83.91 62.79 139.78 38757.94 326861.60 -3.51 7.90 11.40 651067.68 6042506.64 76533492.73 3656538.74 1855.64 845237.72 273088.78 352849.03 246618.30
2016 36935.13 32728.05 16269.14 825061.78 89216.33 424.89 1903585.29 68065.85 95095.10 86.53 65.12 142.79 39022.67 332230.63 -3.73 7.61 11.34 678097.31 6000020.06 79880064.00 3297535.52 1843.22 877829.54 274188.35 343827.89 249318.66
2017 37979.34 33154.73 16677.23 857631.48 93315.78 418.56 1994678.69 69158.72 97927.36 89.35 67.46 145.88 39215.21 337478.37 -3.95 7.33 11.29 706013.74 5976870.68 83257510.26 2938532.31 1827.18 911099.92 275287.93 334806.74 252019.01
Lanjutan Lampiran 9 Nama Peubah Kapasitas PLN Input Air untuk pembangkit listrik Nilai tukar rupiah Pengeluaran pemerintah non subsidi Pengeluaran non subsidi BBM Impor batubara Impor gas Jumlah rumahtangga Konsumsi bukan energi Harga minyak dunia Konsumsi listrik sektor transportasi Konsumsi gas sektor transportasi Kapasitas pengilangan minyak Penyediaan biomas Suku bunga riil Suku bunga nominal Inflasi Pajak Upah sektor pertanian Upah sektor pertambangan Upah sektor lainnya Ekspor BBM Ekspor batubara Ekspor gas Produksi minyak mentah domestik Jumlah penduduk
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Rp/US Dollar Rp Miliar Rp Miliar Ribu SBM Ribu SBM Ribu rumahtangga Ribu SBM US Dollar/SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Persen Persen Persen Rp miliar Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu jiwa
2018 39023.55 33581.41 17081.03 890854.79 97415.23 412.23 2085772.09 70241.68 100759.62 92.31 69.80 149.04 39355.25 342639.68 -4.18 7.05 11.23 734450.41 5966508.34 86649477.35 2579529.09 1809.34 944871.02 276387.50 325785.60 254719.36
2019 40067.76 34008.09 17482.57 924503.64 101514.68 405.89 2176865.49 71318.17 103591.88 95.34 72.14 152.25 39457.13 347739.40 -4.40 6.77 11.17 763192.27 5964601.62 90048273.74 2220525.88 1790.63 979011.65 277487.07 316764.46 257419.72
2020 41111.97 34434.77 17882.92 958429.53 105614.14 399.56 2267958.88 72390.44 106424.14 98.43 74.48 155.50 39531.25 352795.23 -4.63 6.48 11.11 792113.17 5968286.33 93450282.01 1861522.66 1771.48 1013424.96 278586.64 307743.31 260120.07
345
Lanjutan Lampiran 9 Nama Peubah Kapasitas PLN Input Air untuk pembangkit listrik Nilai tukar rupiah Pengeluaran pemerintah non subsidi Pengeluaran non subsidi BBM Impor batubara Impor gas Jumlah rumahtangga Konsumsi bukan energi Harga minyak dunia Konsumsi listrik sektor transportasi Konsumsi gas sektor transportasi Kapasitas pengilangan minyak Penyediaan biomas Suku bunga riil Suku bunga nominal Inflasi Pajak Upah sektor pertanian Upah sektor pertambangan Upah sektor lainnya Ekspor BBM Ekspor batubara Ekspor gas Produksi minyak mentah domestik Jumlah penduduk
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Rp/US Dollar Rp Miliar Rp Miliar Ribu SBM Ribu SBM Ribu rumahtangga Ribu SBM US Dollar/SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Persen Persen Persen Rp miliar Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu jiwa
2021 42156.18 34861.45 18282.62 992535.79 109713.59 393.23 2359052.28 73459.97 109256.40 101.55 76.83 158.79 39585.20 357819.78 -4.85 6.20 11.05 821139.10 5975668.45 96853800.87 1502519.45 1752.12 1048039.50 279686.21 298722.17 262820.43
2022 43200.39 35288.12 18682.00 1026759.48 113813.04 386.90 2450145.68 74527.69 112088.67 104.69 79.17 162.10 39624.48 362822.05 -5.07 5.92 10.99 850226.65 5985495.54 100258030.18 1143516.23 1732.66 1082802.54 280785.79 289701.03 265520.78
2023 44244.60 35714.80 19081.19 1061059.63 117912.49 380.57 2541239.07 75594.25 114920.93 107.85 81.52 165.44 39653.10 367808.44 -5.30 5.63 10.93 879350.35 5996939.41 103662593.61 784513.02 1713.14 1117675.17 281885.36 280679.88 268221.14
Lanjutan Lampiran 9 Nama Peubah Kapasitas PLN Input Air untuk pembangkit listrik Nilai tukar rupiah Pengeluaran pemerintah non subsidi Pengeluaran non subsidi BBM Impor batubara Impor gas Jumlah rumahtangga Konsumsi bukan energi Harga minyak dunia Konsumsi listrik sektor transportasi Konsumsi gas sektor transportasi Kapasitas pengilangan minyak Penyediaan biomas Suku bunga riil Suku bunga nominal Inflasi Pajak Upah sektor pertanian Upah sektor pertambangan Upah sektor lainnya Ekspor BBM Ekspor batubara Ekspor gas Produksi minyak mentah domestik Jumlah penduduk
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Rp/US Dollar Rp Miliar Rp Miliar Ribu SBM Ribu SBM Ribu rumahtangga Ribu SBM US Dollar/SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Persen Persen Persen Rp miliar Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu jiwa
2024 45288.81 36141.48 19480.29 1095409.56 122011.95 374.24 2632332.47 76660.04 117753.19 111.01 83.86 168.79 39673.96 372783.51 -5.52 5.35 10.87 908495.25 6009452.40 107067314.19 425509.80 1693.60 1152628.66 282984.93 271658.74 270921.49
2025 46333.02 36568.16 19879.34 1129791.89 126111.40 367.91 2723425.87 77725.33 120585.45 114.18 86.20 172.16 39689.18 377750.52 -5.74 5.07 10.81 937652.59 6022672.36 110472108.67 66506.58 1674.04 1187641.83 284084.50 262637.59 273621.85
346
Lampiran 10. Program Peramalan Peubah Endogen pada Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia
OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA ENERGI; SET DATA; proc simnlin data=ENERGI dynamic simulate out=hasil; ENDOGENOUS IDOL IDEL REG REBIO VEHIPAS VEHI OCTO FCOL OTEL OTG RFCR YBBM SGAS SCOAL INDP TRP
IDCO RETO AGROL FCEL EGEL YCOAL RPOIL AGRP
IDG TRRTO AGRTO FCCO EGG YGAS RPEL OCP
EXOGENOUS CPLN EGHY JRT NEU SKBR TAX XBBM XCOAL
EXCHR POILWD TREL XGAS
GEXPNS GEXPSNOL IMCOAL IMGAS TREL TRG RCCR SBIO TRG WAGRR WMININGR WOCR YEAR;
LAGROL LEGEL LEGOL LFCCO LFCG LGEXPSOL LIDCO LIDG LIHB LIMPP LIPOL LOCEL LOCOL LOTEL LOTPP LPOILWD LREEL LREOL LRPCOAL LRPGAS LSCOAL LTROTTO LTRRTO LVEHI LVEHIPAS LRFCR LSGAS LWOCR LCADGAS
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Lag(AGROL); Lag(EGEL); Lag(EGOL); Lag(FCCO); Lag(FCG); Lag(GEXPSOL); Lag(IDCO); Lag(IDG); Lag(IHB); Lag(IMPP); Lag(IPOL); Lag(OCEL); Lag(OCOL); Lag(OTEL); Lag(OTPP); Lag(POILWD); Lag(REEL); Lag(REOL); Lag(RPCOAL); Lag(RPGAS); Lag(SCOAL); Lag(TROTTO); Lag(TRRTO); Lag(VEHI); Lag(VEHIPAS); Lag(RFCR); Lag(SGAS); Lag(WOCR); Lag(CADGAS);
IDBIO TROTTO OCOL FCG EGOL IMCR RPCOAL GEXP
LAGRP LEGG LFCBIO LFCEL LFCOL LIDBIO LIDEL LIDOL LIMCR LINDP LOCBIO LOCG LOCP LOTG LPDB LREBIO LREG LRFUT LRPEL LRPOIL SKBR LTRP LTRTO LVEHICOM LWMININGR LXGAS LEXCHR LCPLN
IDTO TROL OCEL FCBIO EGCO IMPP RPGAS GEXPSOL
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
REOL TRTO OCG FCTO EGTO IMOL IHB REVGOV;
REEL VEHICOM OCBIO OTPP RFUT SOIL PDB
Lag(AGRP); Lag(EGG); Lag(FCBIO); Lag(FCEL); Lag(FCOL); Lag(IDBIO); Lag(IDEL); Lag(IDOL); Lag(IMCR); Lag(INDP); Lag(OCBIO); Lag(OCG); Lag(OCP); Lag(OTG); Lag(PDB); Lag(REBIO); Lag(REG); Lag(RFUT); Lag(RPEL); Lag(RPOIL); Lag(SKBR); Lag(TRP); Lag(TRTO); Lag(VEHICOM); Lag(WMININGR); Lag(XGAS); Lag(EXCHR); Lag(CPLN);
347
parm a0 32760.29 a1 -0.26560 a2 4364.050 a3 0.038419 a5 0.804960 b0 337.0924 b1 -0.00971 b2 -0.00225 b3 0.002283 b5 0.240903 b6 0.904678 c0 -1.013E7 c1 -16.2990 c2 -0.49424 c3 0.393855 c5 5314.610 d0 -102592 d1 -0.02908 d2 0.049008 d3 2.891274 d5 21.13887 d6 0.693232 e0 19326.31 e1 -7.83427 e2 -0.12179 e3 559.1243 f0 51756.11 f1 -0.14298 f2 0.003180 f3 0.035720 f5 1.573206 f6 0.824462 g0 1078.499 g1 -0.01445 g2 0.010238 g3 3.177952 g5 0.947897 h0 14904.42 h1 -0.00697 h2 0.002546 h3 0.033367 h5 7.434226 h6 0.182129 h7 0.885334 i0 14171.44 i1 -0.12262 i2 0.002981 i3 0.001715 i5 0.366602 i6 0.849451 j0 31005.38 j1 -0.06418 j2 0.033288 j3 8334.102 j5 0.741802 k0 947926.7 k1 -0.06419 k2 0.001676 k3 68.29440 k5 0.339053 l0 6342.108 l1 -0.05315 l2 75.20850 l3 -0.51130 m0 2134.524 m1 -0.01711 m2 17.40695 m3 -0.07217 n0 1017.113 n1 -0.00255 n2 0.010495 n3 1137.275 n5 0.854752 o0 -16842.2 o1 -0.01765 o2 -0.00187 o3 0.009607 o5 204.9089 o6 0.671141 p0 2488.707 p1 -2.67311 p2 -0.01223 p3 6.533856 q0 1701.134 q1 -0.00430 q2 -0.00157 q3 0.000264 q5 0.011662 q6 3.785705 q7 1.046248 r0 391.2614 r1 -0.07217 r2 0.000230 r3 -0.00002 r5 0.720385 s0 -32060.6 s1 465.3787 s2 0.050210 s3 3.613918 t0 -23164.6 t1 0.103414 t2 0.259542 t3 0.983840 u0 5958428 u1 0.051454 u2 83724.51 u3 48623.96 u5 0.816476 v0 1444288 v1 -0.00088 v2 -6.30893 v3 -0.26149 v5 -612.357 v6 0.007778 w0 -312390 w1 -0.06897 w2 8.432169 w3 13.81275 w5 0.199092 w6 0.559031 x0 -96635.4 x1 -0.97689 x2 5.456666 x3 0.005131 x5 0.199567 x6 0.038099 y0 11794.14 y1 -4.02955 y2 0.142820 y3 0.039394 z0 2.163305 z1 0.000545 z2 -0.00002 z3 0.710956 aa0 -4006689 aa1 130.3389 aa2 -53562.0 aa3 -451.603 ab0 129967.2 ab1 0.153864 ab2 -0.23389 ab3 -669.296 ab5 0.644621 ac0 -78215.4 ac1 0.477773 ac2 1.226847 ac3 -1.64715 ad0 92136.15 ad1 0.146071 ad2-0.02459 ad3 -0.07191 ae0 42141698 ae1 6.565599 ae2 -0.06379 ae3 -21163.4 af0 5483.973 af1 0.004888 af2 -0.00654 af3 0.841483 ag0 -2059644 ag1 7.536527 ag2 -0.00795 ag3 862.2858 ah0 63173.19 ah1 0.015543 ah2 -0.00054 ah3 -33.4157 ai0 -115.180 ai1 0.000777 ai2 0.000067 ai3 0.697663 aj0 -15.2731 aj1 0.000207 aj2 0.000052 aj3 0.660879 ak0 22.66735 ak1 -4.64E-6 ak2 0.000676 ak3 0.000509 al0 -2.80468 al1 0.000579 al2 0.000058 al3 0.690559 am0 -55158.2 am1 0.098334 am2 -0.50610 am3 0.244409 an0 2507.373 an1 86.80253 an2 1.442488 ;
a4 761.6358 b4 0.157715 c4 149.8988 d4 0.063423 e4 0.956225 f4 -0.56055 g4 0.087252 h4 -0.18014 i4 0.378476 j4 82.52406 k4 -467.981 l4 0.912679 m4 0.826370 n4 -3.16964 o4 0.541421 p4 0.243814 q4 0.004413 r4 102.0585 s4 0.489065 t4 0.627809 u4 -2965.47 v4 1.209699 w4 -4681.10 x4 10.73523
ab4 -0.04782 ac4 0.179878 ad4 154.9732 ae4 0.624060
ak4 0.337909 am4 0.108441
348
/* BLOK KONSUMSI ENERGI SEKTOR INDUSTRI */ IDOL = a0 + a1*LRPOIL + a2*((RPGAS-LRPGAS)/LRPGAS) + a3*LRPEL + a4*((INDP-LINDP)/LINDP) + a5*LIDOL ; IDEL = b0 + b1*LRPEL + b2*RPOIL + b3*RPGAS +b4*RPCOAL + b5*LINDP + b6*LIDEL; IDCO = c1 +c1*RPCOAL + c2*RPOIL + c3*RPEL + c4*INDP + c5*YEAR; IDG = d0 + d1*LRPGAS + d2*RPOIL + d3*RPCOAL + d4*RPEL + d5*LINDP + d6*LIDG ; IDBIO = e0 + e1*IHB + e2*RPOIL + e3*((INDP-LINDP)/LINDP) + e4*LIDBIO; IDTO = IDOL + IDEL + IDCO + IDG + IDBIO; /*KONSUMSI ENERGI RUMAHTANGGA*/ REOL = f0 + f1*LRPOIL + f2*(RPGAS-LRPGAS) + f3*RPEL + f4*REBIO + f5*JRT + f6*LREOL; REEL = g0 + g1*LRPEL + g2*RPOIL + g3*(PDB-LPDB) + g4*JRT + g5*LREEL; REG = h0 + h1*RPGAS + h2*RPOIL + h3*RPEL + h4*REBIO + h5*PDB + h6*JRT + h7*LREG; REBIO = i0 + i1*IHB + i2*RPOIL + i3*LRPGAS + i4*PDB + i5*JRT + i6*LREBIO; RETO = REOL + REEL + REG + REBIO; /*KONSUMSI ENERGI TRANSPORTASI*/ TRRTO = j0 + j1*LRPOIL + j2*RPGAS + j3*((VEHI-LVEHI)/LVEHI) + j4*LTRP + j5*LTRRTO; TROTTO = k0 + k1*LRPOIL +k2*RPGAS +k3*TRP +k4*YEAR + k5*LTROTTO; TROL = TRRTO + TROTTO; TRTO = TROL + TREL + TRG; VEHICOM = l0 + l1*RPOIL + l2*TRP + l3*((SKBR-LSKBR)/LSKBR) + l4*LVEHICOM; VEHIPAS = m0 + m1*RPOIL + m2*TRP + m3*((SKBR-LSKBR)/LSKBR) + m4*LVEHIPAS; VEHI = VEHICOM + VEHIPAS; /*KONSUMSI ENERGI PERTANIAN*/ AGROL = n0 + n1*(RPOIL-LRPOIL)+ n2*RPEL + n3*((AGRPLAGRP)/LAGRP) + n4*((SKBR-LSKBR)/LSKBR) + n5*LAGROL; AGRTO = AGROL; /*KONSUMSI ENERGI SEKTOR LAINNYA*/ OCOL = o0 + o1*LRPOIL + o2*RPGAS + o3*RPEL + o4*RPCOAL + o5*((OCP-LOCP)/LOCP) + O6*LOCOL; OCG = p0 + p1*IHG + p2*RPOIL + p3*OCP + p4*LOCG; OCEL = q0 + q1*RPEL + q2*RPOIL + q3*RPGAS + q4*RPCOAL + q5*IHB + q6*OCP + q7*LOCEL ; OCBIO = r0 + r1*LIHB + r2*RPOIL + r3*RPGAS + r4*((OCPLOCP)/LOCP) + r5*LOCBIO; OCTO = OCOL + OCG + OCEL + OCBIO; /*TOTAL KONSUMSI ENERGI TOTAL*/ FCTO = IDTO + RETO + TRTO + AGRTO + OCTO + NEU; FCOL = IDOL + TROL + REOL + AGROL + OCOL + NEU; FCEL = IDEL + REEL + TREL + OCEL; FCCO = IDCO; FCG = IDG + REG + TRG + OCG; FCBIO = FCTO - FCOL - FCCO - FCEL - FCG;
349
/*TRANSFORMASI ENERGI*/ OTPP = s0 + s1*POILWD + s2*(RFCR-LRFCR) + s3*RCCR + s4*LOTPP; OTEL = t0 + t1*(RPEL-LRPEL) + t2*EGTO + t3*(CPLN-LCPLN) + t4*LOTEL ; OTG = u0 + u1*LRPGAS + u2*((CADGAS-LCADGAS)/LCADGAS)+ u3*((FCG-LFCG)/LFCG) + u4*YEAR + u5*LOTG; EGEL = v0 + v1*RPEL + v2*RPCOAL + v3*RPOIL + v4*OTEL + v5*YEAR + v6*LEGEL; EGG = w0 + w1*LRPGAS + w2*RPCOAL + w3*IHB + w4*((XGASLXGAS)/LXGAS) + w5*OTG + w6*LEGG; EGOL = x0 + x1*RPOIL + x2*LRPCOAL+ x3*RPGAS + x4*LIHB + x5*SOIL + x6*LEGOL; EGCO = y0 + y1*(RPCOAL-LRPCOAL) + y2*RPGAS + y3*YCOAL; EGTO = EGEL + EGG + EGOL + EGCO + EGHY; /*PENYEDIAAN ENERGI*/ RFUT = z0 + z1*PDB + z2*((SKBR-LSKBR)/LSKBR)+ z3*LRFUT; RFCR = RFUT * RCCR; YBBM = OTPP; YCOAL = aa0 + aa1*LRPCOAL+ aa2*((WMININGRLWMININGR)/LWMININGR) + aa3*LSKBR; YGAS = OTG; IMCR = ab0 + ab1*FCOL + ab2*LIPOL+ ab3*POILWD + ab4*EXCHR + ab5*LIMCR; IMPP = ac0 + ac1*FCOL + ac2*VEHI + ac3*EXCHR + ac4*LIMPP; IMOL = IMPP + IMCR; /*TOTAL PENYEDIAAN ENERGI*/ SOIL = YBBM + IMPP - XBBM; SCOAL = YCOAL + IMCOAL - XCOAL; SGAS = YGAS + IMGAS - XGAS; /*HARGA ENERGI*/ RPOIL = ad0 + ad1*FCOL + ad2*SOIL + ad3*GEXPSOL + ad4*POILWD ; RPEL = ae0 + ae1*FCEL + ae2*OTEL + ae3*YEAR + ae4*LRPEL ; RPCOAL = af0 + af1*FCCO + af2*(SCOAL-LSCOAL) + af3*LRPCOAL; RPGAS = ag0 + ag1*FCG + ag2*(SGAS-LSGAS) + ag3*YEAR; IHB = ah0 + ah1*LFCBIO + ah2*SBIO + ah3*YEAR ; /*OUTPUT PEREKONOMIAN*/ PDB = INDP + TRP + AGRP + OCP; INDP = ai0 + ai1*IDTO + ai2*GEXP + ai3*LINDP; TRP = aj0 + aj1*LTRTO + aj2*GEXP + aj3*LTRP; AGRP = ak0 + ak1*WAGRR + ak2*AGRTO + ak3*GEXP + ak4*LAGRP; OCP = al0 + al1*OCTO + al2*GEXP + al3*LOCP; GEXP = GEXPNS + GEXPSOL + GEXPSNOL; GEXPSOL = am0 + am1*REVGOV + am2*LEXCHR +am3*FCOL + am4*LGEXPSOL; REVGOV = an0 + an1*(PDB-LPDB) + an2*TAX ; range year = 2009 to 2025; Run; proc print data=hasil; var IDOL IDEL IDCO REOL REEL REG
IDG REBIO
IDBIO RETO
IDTO TRRTO
350
TROTTO AGROL OCTO FCTO EGOL YCOAL SGAS IHB GEXP run;
TROL AGRTO FCOL OTPP EGCO YGAS SCOAL PDB GEXPSOL
TRTO OCOL FCEL OTEL EGTO IMCR RPOIL INDP REVGOV;
VEHICOM OCEL FCCO OTG RFUT IMPP RPEL TRP
VEHIPAS OCG FCG EGEL RFCR IMOL RPCOAL AGRP
VEHI OCBIO FCBIO EGG YBBM SOIL RPGAS OCP
351
Lampiran 11. Hasil Peramalan Peubah Endogen pada Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia Nama Peubah Konsumsi BBM sektor industri Konsumsi listrik sektor industri Konsumsi batubara sektor industri Konsumsi gas sektor industri Konsumsi biomas sektor industri Total konsumsi energi sektor industri Konsumsi BBM sektor rumahtangga Konsumsi listrik sektor rumahtangga Konsumsi gas sektor rumahtangga Kons. biomas sektor rumahtangga Tot kons. energi sektor rumahtangga Konsumsi BBM sektor transp. darat Konsumsi BBM transp. lainnya Konsumsi BBM sektor transportasi Tot. konsumsi energi sek transportasi Jumlah transp. darat non penumpang Jumlah transportasi darat penumpang Jumlah transportasi darat Konsumsi BBM sektor pertanian Tot. konsumsi energi sektor pertanian Konsumsi BBM sektor lainnya Konsumsi listrik sektor lainnya Konsumsi gas sektor lainnya Konsumsi biomas sektor lainnya Total konsumsi energi sektor lainnya Total konsumsi BBM Total konsumsi listrik Total konsumsi batubara Total konsumsi gas Total konsumsi biomas Total konsumsi energi akhir Transformasi energi kilang minyak Transformasi energi pembangkit list Transformasi energi gas Input listrik untuk pembangkit listrik Input gas untuk pembangkit listrik Input BBM untuk pembangkit listrik Input batubara utk pembangkit listrik Total input untuk pembangkit listrik Pemanfaatan kilang minyak Input m mentah domestik utk kilang Produksi BBM domestik Produksi batubara domestik Produksi gas domestik Impor minyak mentah Impor BBM Total impor minyak Penyediaan BBM Penyediaan gas Penyediaan batubara Harga BBM Harga listrik Harga batubara Harga gas Indeks harga biomas PDB total PDB sektor industri PDB sektor transportasi PDB sektor pertanian PDB sektor lainnya Total pengeluaran pemerintah Peng. pemerintah subsidi BBM Penerimaan pemerintah
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Unit Unit Unit Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
2009 79175.15 42629.09 10733333.56 267207.12 44378.39 11172158.59 47700.80 31696.37 75924.30 238197.84 426518.62 244213.74 21712.76 265926.49 266102.30 62995.86 10951.60 73947.46 28874.35 28874.35 36308.50 20337.61 2304.50 1486.39 60340.03 539074.75 121892.68 10733333.56 345561.25 289400.92 12029263.16 258599.84 348071.92 217875.95 27785.90 486055.92 73538.54 148509.60 765631.26 14.82 491365.86 258599.84 686486.01 217875.95 106510.81 278377.72 384888.52 535978.52 1217316.12 1500.91 153465.80 630615.50 90096.93 2295323.88 204.83 10170.40 9021.19 189.30 752.01 207.90 992142.28 244764.90 1608106.73
2010 85943.64 60984.80 11866324.24 547349.60 44368.41 12603826.90 52720.16 32864.80 174330.21 249729.11 575182.96 389735.56 28346.14 418081.70 418260.69 70937.84 11980.87 82918.71 36025.25 36025.25 55223.58 21182.24 2510.11 1560.34 80250.65 746953.77 159764.55 11866324.24 724316.99 294288.46 13791648.00 272643.19 981173.71 347122.14 765011.19 661642.05 389944.75 1036503.60 2883269.56 22.13 773491.21 272643.19 7739026.33 347122.14 163471.56 409017.58 572489.14 680179.75 1436556.13 7034887.12 176187.79 983166.79 93303.25 5130642.08 346.17 17304.50 16041.34 218.93 796.76 247.48 1038754.44 290612.64 1450763.02
2011 96608.94 92412.52 12058253.21 971630.90 44239.58 13250595.84 56150.76 34155.66 285800.29 267135.63 736591.54 633109.70 39232.91 672342.61 672525.60 80324.43 13141.34 93465.78 46455.92 46455.92 89418.18 21704.37 2432.01 1621.81 114769.97 1083678.14 199907.63 12058253.21 1259992.37 300041.31 14901872.67 285509.66 1764890.64 578237.08 1410820.49 1007687.01 445787.48 1452723.59 4347613.23 30.37 1101104.28 285509.66 8154704.95 578237.08 255496.20 604998.59 860494.79 888799.83 1757664.90 7427210.11 214650.28 1395586.63 140372.02 9167826.44 384.81 22887.11 21447.42 274.54 865.31 299.85 1125891.58 363802.96 1313634.93
352
Lanjutan Lampiran 11 Nama Peubah Konsumsi BBM sektor industri Konsumsi listrik sektor industri Konsumsi batubara sektor industri Konsumsi gas sektor industri Konsumsi biomas sektor industri Total konsumsi energi sektor industri Konsumsi BBM sektor rumahtangga Konsumsi listrik sektor rumahtangga Konsumsi gas sektor rumahtangga Kons. biomas sektor rumahtangga Tot kons. energi sektor rumahtangga Konsumsi BBM sektor transp. darat Konsumsi BBM transp. lainnya Konsumsi BBM sektor transportasi Tot. konsumsi energi sek transportasi Jumlah transp. darat non penumpang Jumlah transportasi darat penumpang Jumlah transportasi darat Konsumsi BBM sektor pertanian Tot. konsumsi energi sektor pertanian Konsumsi BBM sektor lainnya Konsumsi listrik sektor lainnya Konsumsi gas sektor lainnya Konsumsi biomas sektor lainnya Total konsumsi energi sektor lainnya Total konsumsi BBM Total konsumsi listrik Total konsumsi batubara Total konsumsi gas Total konsumsi biomas Total konsumsi energi akhir Transformasi energi kilang minyak Transformasi energi pembangkit list Transformasi energi gas Input listrik untuk pembangkit listrik Input gas untuk pembangkit listrik Input BBM untuk pembangkit listrik Input batubara utk pembangkit listrik Total input untuk pembangkit listrik Pemanfaatan kilang minyak Input m mentah domestik utk kilang Produksi BBM domestik Produksi batubara domestik Produksi gas domestik Impor minyak mentah Impor BBM Total impor minyak Penyediaan BBM Penyediaan gas Penyediaan batubara Harga BBM Harga listrik Harga batubara Harga gas Indeks harga biomas PDB total PDB sektor industri PDB sektor transportasi PDB sektor pertanian PDB sektor lainnya Total pengeluaran pemerintah Peng. pemerintah subsidi BBM Penerimaan pemerintah
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Unit Unit Unit Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
2012 108927.41 126786.45 12795546.81 1306199.80 44018.66 14352519.28 58605.05 35510.29 405853.16 291290.12 895926.63 930082.90 52248.84 982331.74 982519.22 93837.44 15042.80 108880.24 59463.46 59463.46 112169.94 21656.62 2263.98 1674.36 137155.82 1459587.51 234353.46 12795546.81 1714448.48 307414.21 16511350.47 296037.78 2923984.10 953278.17 2769233.01 1047282.65 730173.21 2349638.78 6927348.99 38.89 1446792.19 296037.78 14288602.81 953278.17 374871.11 837745.25 1212616.36 1131972.58 2222699.81 13534651.83 256719.27 1784016.86 146206.61 12592565.29 437.25 27767.32 26083.11 370.03 958.39 355.79 1243396.51 458778.61 1268620.82
2013 122179.28 169858.09 12803303.69 1678383.30 43726.37 14766278.53 60459.40 36898.13 522864.98 319733.16 1039700.43 1278616.46 68854.91 1347471.37 1347663.68 113689.95 18119.70 131809.65 74464.01 74464.01 145078.52 21335.18 2052.61 1720.54 169356.89 1895120.07 269025.16 12803303.69 2203435.01 313177.92 17484061.86 303684.21 4153619.52 1429071.78 4000549.02 1267205.23 801464.08 2767818.57 8868484.92 47.06 1783142.34 303684.21 15048734.76 1429071.78 520232.77 1114980.32 1635213.10 1416813.77 2788487.24 14266039.58 305546.29 2154459.32 186313.62 16277886.79 515.13 31645.05 29648.03 504.52 1071.40 421.10 1382022.74 569287.91 1208359.90
2014 133578.18 213607.21 13257709.12 1945886.60 43378.78 15515700.58 61945.07 38303.27 636761.19 352077.43 1162498.37 1641116.58 87451.40 1728567.98 1728765.34 142272.43 22859.82 165132.25 90509.02 90509.02 167535.02 20645.23 1861.81 1762.17 190751.68 2319326.09 298267.34 13257709.12 2584646.48 317706.53 18777655.56 309182.33 5646077.47 1998748.94 5759789.88 1307168.07 1052540.70 3518442.14 11669815.48 54.74 2101717.58 309182.33 20276204.92 1998748.94 680083.18 1407646.75 2087729.93 1714968.39 3448158.23 19463077.08 352194.29 2461262.77 193078.77 19151013.21 568.18 35086.62 32727.28 676.61 1195.63 487.10 1528711.84 684222.22 1203592.52
353
Lanjutan Lampiran 11 Nama Peubah Konsumsi BBM sektor industri Konsumsi listrik sektor industri Konsumsi batubara sektor industri Konsumsi gas sektor industri Konsumsi biomas sektor industri Total konsumsi energi sektor industri Konsumsi BBM sektor rumahtangga Konsumsi listrik sektor rumahtangga Konsumsi gas sektor rumahtangga Kons. biomas sektor rumahtangga Tot kons. energi sektor rumahtangga Konsumsi BBM sektor transp. darat Konsumsi BBM transp. lainnya Konsumsi BBM sektor transportasi Tot. konsumsi energi sek transportasi Jumlah transp. darat non penumpang Jumlah transportasi darat penumpang Jumlah transportasi darat Konsumsi BBM sektor pertanian Tot. konsumsi energi sektor pertanian Konsumsi BBM sektor lainnya Konsumsi listrik sektor lainnya Konsumsi gas sektor lainnya Konsumsi biomas sektor lainnya Total konsumsi energi sektor lainnya Total konsumsi BBM Total konsumsi listrik Total konsumsi batubara Total konsumsi gas Total konsumsi biomas Total konsumsi energi akhir Transformasi energi kilang minyak Transformasi energi pembangkit list Transformasi energi gas Input listrik untuk pembangkit listrik Input gas untuk pembangkit listrik Input BBM untuk pembangkit listrik Input batubara utk pembangkit listrik Total input untuk pembangkit listrik Pemanfaatan kilang minyak Input m mentah domestik utk kilang Produksi BBM domestik Produksi batubara domestik Produksi gas domestik Impor minyak mentah Impor BBM Total impor minyak Penyediaan BBM Penyediaan gas Penyediaan batubara Harga BBM Harga listrik Harga batubara Harga gas Indeks harga biomas PDB total PDB sektor industri PDB sektor transportasi PDB sektor pertanian PDB sektor lainnya Total pengeluaran pemerintah Peng. pemerintah subsidi BBM Penerimaan pemerintah
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Unit Unit Unit Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
2015 142019.70 262788.34 13142713.87 2229000.15 42988.35 15708938.29 63204.19 39717.41 740453.49 386057.48 1258602.00 2018420.85 108865.57 2127286.42 2127488.99 180903.01 29451.47 210354.48 106987.80 106987.80 197040.63 19897.24 1695.52 1800.54 219160.30 2753008.17 327428.62 13142713.87 2971288.94 319000.62 19513440.21 312770.36 7171948.67 2607606.48 7394312.44 1536012.90 1131579.91 3861462.64 13955669.26 61.68 2390606.02 312770.36 21158069.54 2607606.48 850398.77 1722262.76 2572661.53 2033177.48 4147009.60 20313263.04 399763.14 2725689.03 226637.85 22065505.33 602.16 37795.85 35035.73 877.02 1325.29 557.81 1678430.16 799817.29 1176832.41
2016 146095.61 311195.93 13393865.11 2423137.89 42564.70 16170612.34 64324.09 41136.25 835471.71 421362.08 1327895.76 2384356.38 131454.82 2515811.20 2516019.11 230655.21 38050.62 268705.83 123156.56 123156.56 217421.59 19058.57 1586.11 1836.58 238422.91 3146510.54 352451.10 13393865.11 3260338.50 318036.54 20471201.78 315246.07 8891972.86 3249177.28 9434073.06 1646370.97 1351512.28 4453489.25 16918173.62 67.92 2650477.48 315246.07 25532280.28 3249177.28 1021067.44 2037762.79 3058830.22 2351165.63 4878574.22 24654875.63 441942.86 2924110.71 233270.94 24244537.34 585.96 40194.70 37014.71 1099.56 1454.21 626.22 1823772.60 909494.49 1188880.81
2017 145741.13 362740.91 13203341.88 2628025.93 42115.33 16197164.99 65358.44 42557.53 917495.78 456311.34 1369342.41 2743365.34 155595.45 2898960.79 2899174.13 291590.68 48558.07 340148.75 138633.88 138633.88 242779.15 18391.70 1523.97 1870.96 262894.76 3522957.80 377819.86 13203341.88 3547191.56 313826.42 20965137.52 316787.09 10626490.04 3881706.77 11362792.60 1915785.94 1432789.84 4711932.21 19456455.32 73.36 2876884.01 316787.09 26397008.10 3881706.77 1189205.41 2361347.98 3550553.39 2676307.89 5601097.53 25486326.74 481975.32 3082690.64 260877.74 26407347.39 534.73 42034.76 38425.35 1334.31 1579.37 695.73 1963321.98 1012374.72 1180646.00
354
Lanjutan Lampiran 11 Nama Peubah Konsumsi BBM sektor industri Konsumsi listrik sektor industri Konsumsi batubara sektor industri Konsumsi gas sektor industri Konsumsi biomas sektor industri Total konsumsi energi sektor industri Konsumsi BBM sektor rumahtangga Konsumsi listrik sektor rumahtangga Konsumsi gas sektor rumahtangga Kons. biomas sektor rumahtangga Tot kons. energi sektor rumahtangga Konsumsi BBM sektor transp. darat Konsumsi BBM transp. lainnya Konsumsi BBM sektor transportasi Tot. konsumsi energi sek transportasi Jumlah transp. darat non penumpang Jumlah transportasi darat penumpang Jumlah transportasi darat Konsumsi BBM sektor pertanian Tot. konsumsi energi sektor pertanian Konsumsi BBM sektor lainnya Konsumsi listrik sektor lainnya Konsumsi gas sektor lainnya Konsumsi biomas sektor lainnya Total konsumsi energi sektor lainnya Total konsumsi BBM Total konsumsi listrik Total konsumsi batubara Total konsumsi gas Total konsumsi biomas Total konsumsi energi akhir Transformasi energi kilang minyak Transformasi energi pembangkit list Transformasi energi gas Input listrik untuk pembangkit listrik Input gas untuk pembangkit listrik Input BBM untuk pembangkit listrik Input batubara utk pembangkit listrik Total input untuk pembangkit listrik Pemanfaatan kilang minyak Input m mentah domestik utk kilang Produksi BBM domestik Produksi batubara domestik Produksi gas domestik Impor minyak mentah Impor BBM Total impor minyak Penyediaan BBM Penyediaan gas Penyediaan batubara Harga BBM Harga listrik Harga batubara Harga gas Indeks harga biomas PDB total PDB sektor industri PDB sektor transportasi PDB sektor pertanian PDB sektor lainnya Total pengeluaran pemerintah Peng. pemerintah subsidi BBM Penerimaan pemerintah
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Unit Unit Unit Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
2018 140777.35 412571.54 13315692.80 2762436.49 41646.02 16448199.88 66340.22 43980.09 988892.99 490828.21 1385743.98 3077995.90 179817.78 3257813.68 3258032.52 363561.75 60865.33 424427.08 152980.93 152980.93 260402.03 17866.85 1525.14 1904.16 279859.69 3848894.65 400369.93 13315692.80 3753003.66 307615.58 21625576.61 317948.75 12502975.91 4505014.82 13601036.68 2089709.70 1624562.18 5162801.10 22511691.07 78.11 3073957.33 317948.75 29995432.80 4505014.82 1347854.17 2678009.17 4025863.33 2994148.58 6314399.41 29050974.01 515560.92 3188844.29 266782.47 27959391.40 433.09 43647.49 39613.27 1575.53 1697.60 761.09 2093349.65 1105079.63 1201931.76
2019 131913.08 463855.01 13088281.34 2906686.16 41161.26 16365980.55 67289.70 45403.31 1047232.06 523761.21 1378583.93 3394672.03 204358.59 3599030.62 3599255.01 445686.16 74694.40 520380.56 166062.45 166062.45 281633.89 17677.72 1574.69 1936.50 300838.04 4147804.80 423622.64 13088281.34 3955645.16 298957.93 21914311.87 318769.90 14376404.59 5090628.50 15735059.18 2383185.04 1704610.04 5345106.65 25201969.00 82.13 3240606.57 318769.90 30765230.93 5090628.50 1496173.44 2994839.59 4491013.03 3311818.86 6990006.92 29786625.17 545887.84 3267089.09 289141.25 29487766.50 300.38 44835.23 40386.27 1815.52 1808.04 825.40 2214452.36 1188434.04 1206502.13
2020 119641.63 512775.14 13112969.24 2996635.85 40664.53 16475999.52 68219.32 46826.87 1095256.98 555232.48 1351859.85 3681941.90 228059.20 3910001.11 3910231.09 537029.06 89799.57 626828.63 177691.72 177691.72 296461.39 17780.61 1679.99 1968.23 315784.69 4397262.98 444957.62 13112969.24 4093728.33 289072.83 22337991.00 319601.79 16345452.40 5643515.50 18095662.68 2590965.30 1871250.59 5679010.27 28271323.61 85.55 3381878.54 319601.79 33679627.69 5643515.50 1630190.48 3300950.86 4931141.34 3618781.16 7632887.74 32666602.29 570039.91 3309226.53 294052.56 30529556.51 129.67 45863.32 41018.45 2050.52 1909.48 884.87 2325022.95 1260979.28 1234362.34
355
Lanjutan Lampiran 11 Nama Peubah Konsumsi BBM sektor industri Konsumsi listrik sektor industri Konsumsi batubara sektor industri Konsumsi gas sektor industri Konsumsi biomas sektor industri Total konsumsi energi sektor industri Konsumsi BBM sektor rumahtangga Konsumsi listrik sektor rumahtangga Konsumsi gas sektor rumahtangga Kons. biomas sektor rumahtangga Tot kons. energi sektor rumahtangga Konsumsi BBM sektor transp. darat Konsumsi BBM transp. lainnya Konsumsi BBM sektor transportasi Tot. konsumsi energi sek transportasi Jumlah transp. darat non penumpang Jumlah transportasi darat penumpang Jumlah transportasi darat Konsumsi BBM sektor pertanian Tot. konsumsi energi sektor pertanian Konsumsi BBM sektor lainnya Konsumsi listrik sektor lainnya Konsumsi gas sektor lainnya Konsumsi biomas sektor lainnya Total konsumsi energi sektor lainnya Total konsumsi BBM Total konsumsi listrik Total konsumsi batubara Total konsumsi gas Total konsumsi biomas Total konsumsi energi akhir Transformasi energi kilang minyak Transformasi energi pembangkit list Transformasi energi gas Input listrik untuk pembangkit listrik Input gas untuk pembangkit listrik Input BBM untuk pembangkit listrik Input batubara utk pembangkit listrik Total input untuk pembangkit listrik Pemanfaatan kilang minyak Input m mentah domestik utk kilang Produksi BBM domestik Produksi batubara domestik Produksi gas domestik Impor minyak mentah Impor BBM Total impor minyak Penyediaan BBM Penyediaan gas Penyediaan batubara Harga BBM Harga listrik Harga batubara Harga gas Indeks harga biomas PDB total PDB sektor industri PDB sektor transportasi PDB sektor pertanian PDB sektor lainnya Total pengeluaran pemerintah Peng. pemerintah subsidi BBM Penerimaan pemerintah
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Unit Unit Unit Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
2021 104954.96 561893.85 12877806.75 3096367.54 40158.52 16334475.78 69136.74 48250.61 1131749.44 584500.06 1308038.51 3946963.50 251164.42 4198127.92 4198363.54 636202.84 105840.01 742042.84 187905.07 187905.07 313979.24 18309.14 1825.33 1999.53 333908.08 4619235.24 467057.18 12877806.75 4230101.09 277747.11 22471947.37 320399.30 18292059.52 6145495.68 20350069.33 2883162.28 1947812.46 5799036.72 31014942.24 88.37 3498120.53 320399.30 34319936.67 6145495.68 1750736.19 3602757.73 5353493.93 3921404.91 8224861.75 33272290.40 590950.63 3335282.22 311909.72 31558600.50 -60.10 46576.46 41356.35 2275.47 2002.32 942.32 2426573.78 1324324.40 1248892.82
2022 88521.59 608223.64 12852666.84 3154880.59 39645.32 16358748.72 70046.67 49674.45 1159468.79 611821.48 1251176.39 4182343.80 272835.01 4455178.81 4455420.08 741911.24 122536.84 864448.08 196674.46 196674.46 326270.76 19210.28 2013.86 2030.52 347243.37 4798406.27 487727.23 12852666.84 4316525.34 266025.99 22721351.68 321381.69 20292439.50 6604707.05 22758341.41 3096658.36 2092143.45 6040292.69 34022724.03 90.71 3594220.07 321381.69 36647588.72 6604707.05 1855999.06 3892163.89 5748162.95 4211812.92 8774066.94 35565173.08 606605.72 3338486.11 315779.09 32211141.48 -272.26 47187.15 41617.11 2488.57 2086.42 995.06 2518606.33 1378033.81 1281958.50
2023 71253.40 653858.75 12629258.85 3223072.65 39126.55 16194739.26 70951.99 51098.33 1177895.57 636751.05 1183778.12 4395215.87 293359.93 4688575.80 4688822.76 852623.50 139566.83 992190.34 204125.28 204125.28 340602.40 20575.33 2231.31 2061.29 363129.10 4954111.01 509013.90 12629258.85 4403364.98 253766.72 22749515.45 322466.14 22250970.01 7010237.27 25053426.91 3367520.01 2163784.06 6112644.94 36733090.71 92.58 3671046.46 322466.14 37152081.91 7010237.27 1947790.31 4174675.89 6122466.20 4495428.89 9269590.98 36034787.31 619564.85 3334147.20 329867.25 32866899.78 -490.55 47572.52 41677.24 2686.99 2162.72 1045.56 2602891.52 1423919.40 1304410.28
356
Lanjutan Lampiran 11 Nama Peubah Konsumsi BBM sektor industri Konsumsi listrik sektor industri Konsumsi batubara sektor industri Konsumsi gas sektor industri Konsumsi biomas sektor industri Total konsumsi energi sektor industri Konsumsi BBM sektor rumahtangga Konsumsi listrik sektor rumahtangga Konsumsi gas sektor rumahtangga Kons. biomas sektor rumahtangga Tot kons. energi sektor rumahtangga Konsumsi BBM sektor transp. darat Konsumsi BBM transp. lainnya Konsumsi BBM sektor transportasi Tot. konsumsi energi sek transportasi Jumlah transp. darat non penumpang Jumlah transportasi darat penumpang Jumlah transportasi darat Konsumsi BBM sektor pertanian Tot. konsumsi energi sektor pertanian Konsumsi BBM sektor lainnya Konsumsi listrik sektor lainnya Konsumsi gas sektor lainnya Konsumsi biomas sektor lainnya Total konsumsi energi sektor lainnya Total konsumsi BBM Total konsumsi listrik Total konsumsi batubara Total konsumsi gas Total konsumsi biomas Total konsumsi energi akhir Transformasi energi kilang minyak Transformasi energi pembangkit list Transformasi energi gas Input listrik untuk pembangkit listrik Input gas untuk pembangkit listrik Input BBM untuk pembangkit listrik Input batubara utk pembangkit listrik Total input untuk pembangkit listrik Pemanfaatan kilang minyak Input m mentah domestik utk kilang Produksi BBM domestik Produksi batubara domestik Produksi gas domestik Impor minyak mentah Impor BBM Total impor minyak Penyediaan BBM Penyediaan gas Penyediaan batubara Harga BBM Harga listrik Harga batubara Harga gas Indeks harga biomas PDB total PDB sektor industri PDB sektor transportasi PDB sektor pertanian PDB sektor lainnya Total pengeluaran pemerintah Peng. pemerintah subsidi BBM Penerimaan pemerintah
Satuan Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Unit Unit Unit Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Ribu SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp/SBM Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
2024 53704.44 696486.20 12580317.43 3260239.46 38603.47 16173210.01 71854.48 52522.24 1189564.49 659621.44 1109353.13 4580895.84 312168.39 4893064.23 4893316.88 966994.73 156681.88 1123676.61 210310.22 210310.22 350697.13 22350.57 2479.10 2091.90 375236.08 5075507.24 529109.79 12580317.43 4452451.84 241793.20 22879179.51 323791.75 24227194.91 7371682.70 27440680.29 3567043.30 2288375.65 6283057.26 39615297.98 94.09 3732893.18 323791.75 38988477.87 7371682.70 2025613.27 4444149.59 6469762.85 4766247.74 9721030.24 37836223.45 628388.52 3316154.27 332772.85 33238057.03 -717.19 47901.49 41707.60 2870.42 2231.59 1091.89 2679437.87 1462016.36 1341556.86
2025 36542.84 737840.39 12380065.29 3306711.05 38077.04 16011220.17 72755.23 53946.17 1194310.20 680189.30 1029982.91 4746049.37 329583.77 5075633.14 5075891.50 1083592.00 173619.07 1257211.07 215386.13 215386.13 362349.09 24600.16 2745.24 2122.40 389405.77 5178902.84 549603.98 12380065.29 4503938.65 229961.18 22842471.94 325265.11 26144558.35 7682946.52 29706908.09 3804628.95 2354256.44 6320969.40 42223331.04 95.26 3780703.90 325265.11 39367348.33 7682946.52 2091658.32 4705190.66 6796848.97 5028781.72 10122287.89 38180074.41 635224.91 3296010.20 343771.64 33627349.97 -939.40 48075.55 41607.63 3037.64 2294.11 1136.17 2749933.28 1494029.99 1370168.92