DINAMIKA KONSUMSI DAN INTENSITAS ENERGI DI INDONESIA
FITRI KARTIASIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Dinamika Konsumsi dan Intensitas Energi di Indonesia” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2012
Fitri Kartiasih NRP. H151104414
ABSTRACT FITRI KARTIASIH. The Dynamics of Energy Consumption and Energy Intensity in Indonesia. Under direction of YUSMAN SYAUKAT and LUKYTAWATI ANGGRAENI. This study contributes to the existing literature by examining energy consumption, energy intensity and its determinants in Indonesia’s aggregate and sectoral economy (include industrial, transportation, commercial, residential/household and others). This study uses Index Ideal Fisher to decompose two key determinants of changes in energy intensity – efficiency improvements and changes in economic activity – to analyze which determinant is more important in driving improvements in energy intensity in the past thirty four years in Indonesia. Then time series econometrics analysis are also use to provide the details of the channel through which these economic variables affect the aggregate intensity. It is found that energy intensity rose gradually in Indonesia. The main contributing factor in the national level is the changes in economic activity while in the sectoral level is efficiency effect. Thus there is considerable scope to reduce energy intensity through efficiency improvement and the structural transformation of the Indonesia economy in the future. Energy intensity has a positive respons to the shock of population growth and energy impor, in contrast has a negative respons to the shock of rising per capita income and fuel price.
Keywords: energy, energy intensity, energy consumption, energy efficiency, VAR/VECM
RINGKASAN FITRI KARTIASIH. Dinamika Konsumsi dan Intensitas Energi di Indonesia. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan LUKYTAWATI ANGGRAENI. Indonesia saat ini dihadapkan pada beberapa isu penting mengenai energi yaitu pertumbuhan konsumsi energi yang tinggi tetapi pemanfaatannya tidak efisien dan kebutuhan energi yang masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Tren konsumsi energi yang cenderung meningkat diikuti oleh fenomena penurunan cadangan sumber energi berbasis fosil yang jumlahnya terbatas. Bila kondisi ini tidak diantisipasi sedini mungkin, maka pada gilirannya dapat menimbulkan permasalahan suplai energi untuk kelangsungan hidup manusia dan pembangunan yang berkelanjutan di masa mendatang. Salah satu isu yang paling menarik adalah tentang pemanfaatan energi di Indonesia yang diindikasikan cenderung boros dan kurang efisien. Hal ini dapat dilihat dari nilai intensitas energinya. Intensitas energi merupakan indikator makro ekonomi untuk efisiensi energi yaitu mengukur seberapa besar energi yang digunakan atau diperlukan per unit output (Yanagisawa, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika konsumsi energi dan intensitas energi di Indonesia serta mengidentifikasi sektor-sektor yang lebih efisien dalam penggunaan energi, mengidentifikasi komponen yang lebih berperan dalam perubahan intensitas energi di Indonesia, serta menganalisis determinan atau faktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi di Indonesia. Ruang lingkup penelitian ini adalah wilayah Indonesia. Energi yang dicakup dalam penelitian ini meliputi semua bentuk energi final yang dikonsumsi oleh seluruh sektor dalam perekonomian antara lain: BBM, gas, LPG, listrik dan batubara, tidak termasuk biomasa. Periode analisis yaitu tahun 1977-2010. Keterbatasan penelitian ini adalah menganalisis intensitas energi agregat (nasional) dan sektoral, tidak menganalisis pada tingkat regional. Data sekunder yang digunakan diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian ESDM dan EIA (Energy Information Administration) dari tahun 1977 sampai dengan tahun 2010, terdiri dari PDB sektoral, jumlah penduduk, konsumsi energi final, suplai energi primer, harga energi dan data pendukung lainnya. Dalam penelitian ini digunakan metode dekomposisi Indeks Ideal Fisher untuk lebih memahami dinamika perubahan intensitas energi di Indonesia dan dekomposisinya. Hasil analisis dekomposisi Indeks Ideal Fisher dapat digunakan untuk mengetahui apakah tren perubahan intensitas energi dari waktu ke waktu lebih disebabkan oleh komponen efisiensi (efficiency effect) atau komponen aktivitas ekonomi (activity effect). Sektor-sektor pengguna energi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sektor industri, transportasi, komersial (jasa-jasa), rumahtangga dan sektor lainnya. Untuk mengetahui determinan intensitas energi digunakan analisis ekonometrik VAR/VECM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas energi Indonesia meningkat selama periode penelitian yaitu dari 0,19 pada tahun 1977 menjadi 0,36 ribu BOE/miliar rupiah pada tahun 2010, artinya pada tahun 1977 untuk menciptakan output (PDB) 1 miliar rupiah dibutuhkan energi sebesar 0,19 ribu BOE sedangkan pada tahun 2010 dibutuhkan 0,36 ribu BOE. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan energi pada tahun 2010 kurang efisien dibandingkan tahun 1977. Jika
dilihat intensitas per sektor, maka sektor transportasi merupakan sektor yang paling tidak efisien, kemudian sektor industri, rumahtangga dan sektor lainnya. Sektor komersial paling efisien dibandingkan dengan empat sektor lainnya. Hasil analisis dekomposisi menunjukkan bahwa komponen aktivitas ekonomi menyebabkan intensitas energi meningkat sebesar 77 persen (ceteris paribus) sedangkan komponen efisiensi energi menyebabkan intensitas energi meningkat sebesar 6 persen (ceteris paribus). Jadi perubahan struktur dalam aktivitas ekonomi merupakan komponen yang lebih besar peranannya dalam meningkatkan intensitas energi di Indonesia. Perubahan aktivitas ekonomi ini juga dapat dilihat dari perkembangan kontribusi nilai tambah sektoral terhadap PDB. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pegeseran dari kegiatan ekonomi yang less energy intensive (seperti pertanian) ke kegiatan yang more energy intensive (seperti industri manufaktur). Dekomposisi intensitas energi per sektor menunjukkan bahwa komponen efisiensi lebih berperan dalam perubahan intensitas di masing-masing sektor. Hal ini mendukung hasil dekomposisi di tingkat nasional dimana inefisiensi di tiga sektor ini menyebabkan intensitas nasional meningkat sebesar 6 persen (ceteris paribus). Respon intensitas terhadap pertumbuhan penduduk dan impor energi adalah positif sedangkan respon terhadap pendapatan per kapita dan harga energi adalah negatif. Respon yang positif terhadap impor energi disebabkan harga energi di Indonesia tidak mengikuti mekanisme pasar. Harga energi ditetapkan oleh pemerintah dengan bantuan subsidi baik subsidi BBM maupun listrik. Kondisi tersebut mengakibatkan kebijakan energy mix tidak memenuhi sasaran secara optimal dan juga kecenderungan masyarakat boros dalam menggunakan energi karena harganya yang relatif murah. Hasil analisis variance decomposition menunjukkan bahwa variabilitas intensitas energi di Indonesia sebagian besar dipengaruhi oleh intensitas itu sendiri, selanjutnya harga energi, pendapatan per kapita, pertumbuhan penduduk dan impor energi. Terkait dengan hasil penelitian yaitu struktur penggunaan energi di Indonesia yang masih tergantung pada BBM terutama sektor transportasi, peningkatan intensitas energi di beberapa sektor, inefisiensi di setiap sektor pengguna energi, serta respon intensitas energi yang positif terhadap impor energi, maka pemerintah diharapkan untuk: (1) Merasionalisasi harga energi sesuai dengan keekonomiannya melalui pengurangan subsidi secara bertahap dan pembatasan penggunaan energi bersubsidi; (2) Memberikan insentif untuk pengembangan energi alternatif non BBM atau sumber energi yang terbarukan untuk mempercepat diversifikasi sumber energi atau energy mix sesuai Kebijakan Energi Nasional (KEN); (3) Menyediakan dan memperluas infrastruktur transportasi publik berbasis gas (BBG), bahan bakar nabati (BBN/biofuel) atau listrik yang nyaman; (4) Memberikan insentif di sektor industri dan komersial; (5) Meningkatkan sosialisasi kebijakan energi nasional agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya efisiensi energi, dan (6) Menciptakan iklim investasi yang kondusif di bidang infrastruktur energi. Saran untuk penelitian lebih lanjut, penelitian ini masih dapat terus dikembangkan dalam hal pemodelan, metode analisis maupun cakupan wilayah. Kata kunci:
energi, intensitas energi, konsumsi energi, efisiensi energi, VAR/VECM
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
DINAMIKA KONSUMSI DAN INTENSITAS ENERGI DI INDONESIA
FITRI KARTIASIH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A.
Judul Tesis Nama NRP Program Studi
: : : :
Dinamika Konsumsi dan Intensitas Energi di Indonesia Fitri Kartiasih H151104414 Ilmu Ekonomi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Ketua
Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si
Tanggal Ujian : 19 Juli 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini yang berjudul “Dinamika Konsumsi dan Intensitas Energi di Indonesia”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku penguji luar komisi dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi atas saran-sarannya untuk tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si selaku ketua program studi serta seluruh dosen yang telah mengajar dan mentransfer ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman BPS batch 3 atas kebersamaan dan dukungannya selama mengikuti kegiatan perkuliahan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada suami dan anakku tercinta serta seluruh keluarga besar atas dukungan, kesabaran dan doadoa yang tercurah kepada penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini. Akhirnya, besar harapan penulis agar tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak dan juga memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan maupun pembangunan di Indonesia.
Bogor, Juli 2012
Fitri Kartiasih
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 1 April 1980. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Safiin Harjoto (Alm) dan Kartimah (Alm). Penulis menikah dengan Adi Setiawan, S.ST dan dikaruniai seorang putri bernama Farhana Syifa Syauqi. Penulis menamatkan pendidikan di SDN Ngringin I pada tahun 1992 dan kemudian melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri I Lengkong. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan di SMUN I Kertosono dan lulus tahun 1998. Setelah menyelesaikan bangku SMU, penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Tinggi Ilmu Statistik pada tahun 1999 dan berhasil memperoleh gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST) pada tahun 2003. STIS adalah sekolah tinggi kedinasan dari Badan Pusat Statistik (BPS), oleh karena itu setelah lulus kuliah penulis langsung diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) BPS dan ditempatkan di BPS Kabupaten Pasir, Provinsi Kalimantan Timur. Penulis bekerja di BPS Kabupaten Pasir selama 2 tahun 11 bulan dan kemudian dipindahkan ke BPS Provinsi Kalimantan Timur pada bulan November 2006. Sejak bulan Januari 2009 penulis bekerja di Direktorat Statistik Industri, BPS Republik Indonesia. Pada bulan Juli 2010, penulis diterima di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ilmu Ekonomi dan Manajemen IPB melalui jalur beasiswa dari BPS. Sebelum mengikuti perkuliahan pascasarjana (S2), penulis mengikuti program alih jenis IPB dan mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi (S.E.) pada tahun yang sama.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xix
I.
PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................
5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................
8
1.4 Manfaat Penelitian ..........................................................................
8
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ..................................
9
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
11
2.1 Tinjauan Teori .................................................................................
11
2.1.1 Energi ..................................................................................
11
2.1.2 Energi dan Pertumbuhan Ekonomi ......................................
13
2.1.3 Intensitas Energi ..................................................................
18
2.1.4 Kebijakan Energi .................................................................
20
2.1.5 Dekomposisi Intensitas Energi ............................................
24
2.1.6 Faktor-faktor yang Memengaruhi Intensitas Energi ............
25
2.2 Tinjauan Empiris .............................................................................
29
2.2.1 Intensitas Energi di Negara-negara OECD ..........................
29
2.2.2 Intensitas Energi di Amerika Serikat ...................................
34
2.2.3 Intensitas Energi di China ...................................................
40
2.2.4 Intensitas Energi di Indonesia .............................................
45
2.2.5 Penelitian Lain yang Mendukung ........................................
46
2.3 Kerangka Pemikiran ........................................................................
54
III. METODE PENELITIAN ......................................................................
57
3.1 Jenis dan Sumber Data ....................................................................
57
3.2 Metode Analisis ..............................................................................
57
3.2.1 Analisis Deskriptif ..............................................................
57
3.2.2 Dinamika Intensitas Energi dan Dekomposisinya ..............
57
II.
xiv
3.2.3 Analisis Model Ekonometrika .............................................
62
3.2.3.1 Vector Autoregression (VAR) .................................
63
3.2.3.2 Vector Error Correction Model (VECM) ..............
66
3.2.3.3 Pengujian Pra Estimasi ...........................................
67
3.2.3.4 Impulse Response Function (IRF) ..........................
70
3.2.3.5 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) .
71
3.2.3.6 Model Penelitian .....................................................
71
3.3 Hipotesis Penelitian .........................................................................
73
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
75
4.1 Dinamika Konsumsi dan Intensitas Energi di Indonesia ...............
75
4.1.1 Sektor Industri ......................................................................
84
4.1.2 Sektor Transportasi ..............................................................
91
4.1.3 Sektor Komersial .................................................................
97
4.1.4 Rumah tangga ......................................................................
100
4.1.5 Sektor Lainnya .....................................................................
105
4.2 Dekomposisi Intensitas Energi di Indonesia ..................................
107
4.2.1 Sektor Industri ......................................................................
111
4.2.2 Sektor Transportasi ..............................................................
115
4.2.3 Sektor Komersial .................................................................
125
4.2.4 Sektor Lainnya .....................................................................
126
4.3 Determinan Intensitas Energi di Indonesia ....................................
128
4.3.1 Analisis Impulse Response Function (IRF) .........................
131
4.3.2 Analisis Forecasting Error Variance Decomposition .........
138
V. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
141
5.1 Kesimpulan ....................................................................................
141
5.2 Implikasi Kebijakan .......................................................................
142
5.3 Saran Penelitian Lebih Lanjut ........................................................
144
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
147
LAMPIRAN ..................................................................................................
157
xv
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
2.1
Klasifikasi Sumber Energi .....................................................................
12
2.2
Jenis-jenis Energi yang Dikonsumsi Menurut Sektor ...........................
13
2.3
Perkembangan Kebijakan Energi Nasional ...........................................
23
2.4
Variabel-variabel yang Digunakan untuk Analisis Dekomposisi Intensitas Energi di Negara-negara OECD ............................................
30
Variabel-variabel yang Digunakan untuk Analisis Dekomposisi Intensitas Energi di Amerika Serikat .....................................................
35
Variabel-variabel Kegiatan Ekonomi, Efisiensi Energi dan Intensitas Energi Menurut Sektor ..........................................................................
61
Pertumbuhan Konsumsi Energi Final Menurut Sektor (Persen per Tahun) .................................................................................
79
4.2
Pertumbuhan Beberapa Indikator di Sektor Industri (persen per tahun)
90
4.3
Pertumbuhan Beberapa Indikator di Sektor Transportasi (persen per tahun) .....................................................................................................
96
4.4
Pertumbuhan Beberapa Indikator di Rumah tangga (persen per tahun)
103
4.5
Kontribusi Nilai Tambah Sektoral Terhadap PDB (Persen)..................
109
4.6
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Indonesia, 1978-2010 ..........................
110
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Industri, 1978-2010 ..................
114
4.8
Kecepatan Lalu Lintas di Wilayah Perkotaan (km/jam)........................
116
4.9
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Transportasi, 1978-2010...........
119
4.10 Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Komersial, 1978-2010 ..............
126
4.11 Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Lainnya, 1991-2010 .................
128
4.12 Rasio Konsumsi terhadap Suplai Minyak Bumi dan Olahannya ..........
134
4.13 Rasio Elektrifikasi Indonesia (Persen)...................................................
135
2.5 3.1
4.1
4.7
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Halaman
Persentase Suplai Energi Primer Menurut Sumber Energi Tahun 1991, 2000, dan 2010 ...........................................................................
2
1.2
Konsumsi Energi Final Menurut Sektor Tahun 2000-2010 (juta BOE)
3
1.3
Suplai dan Konsumsi Minyak Mentah serta Produk Olahannya Tahun 1980-2010 (Ribu Barel per Hari) .............................................
4
2.1
Sistem Jaringan Energi .........................................................................
11
2.2
Diagram Input-Output Aktivitas Ekonomi...........................................
14
2.3
Tren Intensitas Energi, Indeks Efisiensi dan Indeks Aktivitas di 16 Negara-negara OECD Tahun 1975-2007 .............................................
31
Tren Intensitas Energi, Indeks Efisiensi dan Indeks Aktivitas di Amerika Serikat Tahun 1970-2003 ......................................................
36
Tren Intensitas Energi, Indeks Efisiensi dan Indeks Struktur Ekonomi di China Tahun 1997-2007...................................................................
41
2.6
Kerangka Pemikiran .............................................................................
56
3.1
Tahapan Analisis Data Time Series dalam Penelitian ..........................
62
4.1
Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Konsumsi Energi Final di Indonesia serta Hubungan antara PDB dan Konsumsi Energi
75
4.2
Pertumbuhan PDB dan Konsumsi Energi Final, 1978-2010 (Persen) .
76
4.3
Konsumsi Energi Final Menurut Sektor Pengguna Energi Tahun 1977-2010 (Persen) ..............................................................................
78
Konsumsi Energi Final Menurut Sumber Energi Tahun 1990 dan 2010 (Persen) .......................................................................................
80
Intensitas Energi di Indonesia Menurut Sektor Tahun 1977-2010 (Ribu BOE/Miliar Rupiah)...................................................................
82
4.6
Perkembangan Indeks Intensitas Energi Agregat di Indonesia ............
84
4.7
Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Konsumsi Energi Final di Sektor Industri Tahun 1977-2010 ...........................................
85
Jumlah Industri Besar dan Sedang di Indonesia Tahun 1977-2010 (Perusahaan) .........................................................................................
86
2.4 2.5
4.4 4.5
4.8
xvii
4.9
Konsumsi Energi Final di Sektor Industri Menurut Subsektor Tahun 1990 dan 2010 (Persen) .......................................................................
87
4.10 Konsumsi Energi Final di Sektor Industri Menurut Sumber Energi Tahun 1990-2010 (Persen) ..................................................................
88
4.11 Perkembangan Indeks Intensitas Energi di Sektor Industri .................
90
4.12 Keterkaitan Sektor Transportasi dengan Sektor-sektor Lainnya .........
91
4.13 Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Konsumsi Energi Final di Sektor Transportasi Tahun 1977-2010 ...................................
92
4.14 Konsumsi Energi Final di Sektor Transportasi Menurut Subsektor Tahun 1990 dan 2010 (Persen) ............................................................
93
4.15 Perkembangan Jumlah Kendaraan di Indonesia ..................................
93
4.16 Konsumsi Energi Final di Sektor Transportasi Menurut Sumber Energi Tahun 1990-2010 (Persen) .......................................................
94
4.17 Perkembangan Indeks Intensitas Energi di Sektor Transportasi .........
96
4.18 Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Konsumsi Energi Final di Sektor Komersial Tahun 1977-2010 .....................................
97
4.19 Konsumsi Energi Final di Sektor Komersial Menurut Subsektor Tahun 1990 dan 2010 (Persen) ............................................................
98
4.20 Konsumsi Energi Final di Sektor Komersial Menurut Sumber Energi Tahun 1990-2010 (Persen) ..................................................................
99
4.21 Perkembangan Indeks Intensitas Energi di Sektor Komersial .............
99
4.22 Perkembangan Total Pengeluaran Rumah tangga dan Konsumsi Energi Final di Sektor Rumah tangga Tahun 1977-2010 ....................
101
4.23 Konsumsi Energi Final di Sektor Rumah tangga Menurut Sumber Energi Tahun 1990-2010 (Persen) .......................................................
102
4.24 Perkembangan Indeks Intensitas Energi di Sektor Rumah tangga. .....
103
4.25 Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Konsumsi Energi Final di Sektor Lainnya Tahun 1977-2010 .........................................
105
4.26 Konsumsi Energi Final di Sektor Lainnya Menurut Subsektor Tahun 1990 dan 2010 (Persen) ............................................................
106
4.27 Konsumsi Energi Final di Sektor Lainnya Menurut Sumber Energi Tahun 1990-2010 (Persen) ..................................................................
106
4.28 Perkembangan Indeks Intensitas Energi di Sektor Lainnya ................
107
xviii
4.29 Perkembangan Indeks Intensitas Energi, Indeks Aktivitas Ekonomi dan Indeks Efisiensi di Indonesia .........................................................
108
4.30 Perkembangan Indeks Intensitas Energi, Indeks Aktivitas Ekonomi dan Indeks Efisiensi di Sektor Industri ................................................
111
4.31 Perkembangan Indeks Intensitas Energi, Indeks Aktivitas Ekonomi dan Indeks Efisiensi di Sektor Transportasi .........................................
115
4.32 Tingkat Kepadatan Penduduk di 52 Kota Besar di Dunia (Orang/ Hektar)..................................................................................................
122
4.33 Perkembangan Indeks Intensitas Energi, Indeks Aktivitas Ekonomi dan Indeks Efisiensi di Sektor Komersial ............................................
125
4.34 Perkembangan Indeks Intensitas Energi, Indeks Aktivitas Ekonomi dan Indeks Efisiensi di Sektor Lainnya ................................................
127
4.35 Respon Intensitas Energi terhadap Shock Pendapatan per kapita dan Harga Energi ........................................................................................
131
4.36 Respon Intensitas Energi terhadap Shock Pertumbuhan Penduduk dan Impor Energi..................................................................................
133
4.37 Perkembangan Subsidi Energi dan Non Energi Tahun 2005-2011 (Triliun Rupiah) ...................................................................................
134
4.38 Analisis Variance Decomposition Intensitas Energi ............................
139
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Halaman
Intensitas Energi Menurut Sektor (Ribu BOE per Miliar Rupiah, 1977-2010 ............................................................................................
157
2.
Perkembangan Indeks Intensitas Energi (1977=1) ..............................
158
3.
Dekomposisi Intensitas Energi Nasional, 1977-2010 ..........................
159
4.
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Indonesia (Ribu BOE), 1978-2010 ....
160
5.
Dekomposisi Intensitas Energi di Sektor Industri, 1977-2010 ............
161
6.
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Industri (Ribu BOE), 1978-2010 ............................................................................................
162
7.
Dekomposisi Intensitas Energi di Sektor Transportasi, 1977-2010 ....
163
8.
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Transportasi (Ribu BOE), 1978-2010 ............................................................................................
164
9.
Dekomposisi Intensitas Energi di Sektor Komersial, 1977-2010 ........
165
10.
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Komersial (Ribu BOE), 1978-2010 ............................................................................................
166
11.
Dekomposisi Intensitas Energi di Sektor Lainnya, 1990-2010 ...........
167
12.
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Lainnya (Ribu BOE), 1991-2010 ............................................................................................
168
13.
Hasil Pengujian Stasioneritas Data Level ............................................
169
14.
Hasil Pengujian Stasioneritas Data First Difference ...........................
171
15.
Hasil Pengujian Panjang Lag Optimal.................................................
173
16.
Hasil Pengujian Stabilitas VAR...........................................................
174
17.
Johansen Cointegration Test (Summary) ............................................
175
18.
Johansen Cointegration Test (Asumsi 3) ............................................
176
19.
Estimasi VECM ...................................................................................
179
xx
20.
Impulse Response Function (IRF) ........................................................
181
21.
Forecast Error Decomposition of Variance (FEVD) ..........................
184
22.
Konversi SBM ......................................................................................
185
23.
Daftar Istilah.........................................................................................
186
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Energi memainkan peran yang sangat penting dan strategis dalam kehidupan
masyarakat karena energi merupakan salah satu indikator pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
suatu negara.
Meningkatnya
pembangunan akan
meningkatkan kebutuhan akan energi pula. Beberapa peranan strategis energi antara lain sebagai sumber penerimaan negara, bahan bakar dan bahan baku industri, penggerak kegiatan ekonomi dan beberapa peranan penting lainnya. Kelangsungan berbagai sektor di suatu negara seperti sektor industri, rumah tangga, transportasi, jasa dan lain-lain tidak dapat dipisahkan dari penggunaan energi. Mengingat pentingnya peran tersebut maka proses pembangunan tidak dapat dipisahkan dengan pengembangan sektor energi. Oleh karena itu perencanaan energi yang baik mutlak diperlukan untuk menjamin keberhasilan pembangunan nasional. Peranan energi yang begitu penting menyebabkan negara-negara di dunia menjadikan energi sebagai salah satu prioritas utama pembangunan disamping pangan. Terkait sifat strategis energi tersebut, maka peran besar pemerintah diharapkan mampu menjaga ketahanan energi nasional dan menjamin ketersediaan serta akses energi untuk seluruh lapisan masyarakat. Ketersediaan energi secara berkelanjutan dalam jangka panjang juga merupakan salah satu prasyarat penting bagi suatu negara untuk menjalani pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Energi yang masih banyak digunakan di Indonesia sampai saat ini adalah sumber energi fosil seperti bahan bakar minyak, gas, dan batubara yang tidak dapat diperbarui. Sumber energi fosil sebagai input produksi yang sifatnya terbatas dan pada suatu saat akan mengalami kelangkaan bahkan tidak mampu lagi
menyangga
tingkat
pertumbuhan
ekonomi
karena
pertumbuhan
penyediaannya lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan permintaan dan konsumsi sumberdaya tersebut. Pada Gambar 1.1 berikut ini dapat dilihat bahwa konsumsi energi di Indonesia sebagian besar masih disuplai oleh bahan bakar fosil yang tak
2
terbarukan. Hal ini terlihat dari suplai energi primer sebesar 94 sampai 95 persen berasal dari sumber energi tak terbarukan seperti batubara; minyak bumi dan produk olahannya; serta gas alam dan produk olahannya, tetapi komposisinya mengalami pergeseran selama dua dekade terakhir dari minyak bumi dan gas alam ke batubara. Sedangkan suplai energi terbarukan seperti tenaga air (hydropower) dan panas bumi (geothermal) tidak mengalami perubahan selama dua dekade yaitu hanya sebesar 4 sampai 5 persen.
Persentase
100%
4.62 30.02
50% 60.50 4.86 1991
0% Batubara
Minyak bumi dan olahannya
4.80 22.66
5.03 24.29
59.64
46.77
12.91 2000 Gas alam dan olahannya
23.91 2010
Tahun
Energi terbarukan
Sumber: ESDM (beberapa tahun)
Gambar 1.1
Persentase Suplai Energi Primer Menurut Sumber Energi Tahun 1991, 2000 dan 2010
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang begitu dinamis, yang ditandai dengan meningkatnya output produksi dan beragam aktivitas ekonomi lainnya, disertai dengan meningkatnya populasi penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan energi yang cukup besar dan tidak dapat dihindari. Terlihat pada Gambar 1.2 bahwa konsumsi energi terus mengalami peningkatan setiap tahun. Sektor yang paling banyak mengkonsumsi energi adalah sektor industri sebesar 312,46 juta BOE atau Setara Barel Minyak (SBM) pada tahun 2010. Konsumsi energi terbesar kedua oleh sektor transportasi yaitu 255,83 juta BOE. Kemudian konsumsi oleh rumah tangga dan komersial masing-masing sebesar 81,74 dan 31,31 juta BOE.
Konsumsi energi (juta BOE)
3
400 300 200 100 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun Industri
Rumahtangga
Komersial
Transportasi
Keterangan: tidak termasuk biomasa Sumber: KESDM, 2012
Gambar 1.2
Konsumsi Energi Final Menurut Sektor Tahun 2000-2010 (juta BOE)
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengekspor minyak dunia. Akan tetapi sejak tahun 2004, Indonesia justru menjadi negara pengimpor baik minyak mentah maupun produk olahannya karena kebutuhan minyak mentah maupun olahannya sudah melebihi dari produksi domestik walaupun untuk gas alam dan batubara masih mencukupi kebutuhan nasional bahkan masih bisa untuk diekspor. Produksi minyak mentah Indonesia terus mengalami penurunan sejak tahun 1998, karena ladang minyak bumi semakin menurun sehingga membatasi tingkat produksinya serta kegagalan eksplorasi sumber energi yang baru dan terbarukan (EIA, 2011). Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009, keanggotaan Indonesia dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) berstatus temporary suspended sehubungan dengan kondisi Indonesia yang bukan lagi sebagai negara pengekspor minyak1. Kebutuhan energi dalam negeri yang semakin meningkat menyebabkan impor minyak meningkat pula. Komponen terbesar dari impor energi adalah minyak bumi dan BBM. Dalam satu dekade terakhir, kapasitas produksi kilang BBM dalam negeri tidak bertambah, sedangkan permintaan BBM di dalam negeri meningkat dengan cepat. Pada tahun 2005 peranan minyak bumi impor untuk kebutuhan bahan baku kilang BBM sudah mencapai 40 persen sedangkan peranan
1
www.kompas.com. Indonesia Targetkan Kembali ke OPEC 2013. [ 2 Februari 2012]
4
BBM impor untuk pemakaian dalam negeri mencapai 32 persen (Kemenristek,
2000.00 1500.00 1000.00 500.00
Indonesia menjadi net importer minyak
0.00
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Ribu Barrel per Hari
2006).
Tahun Suplai
Konsumsi
Sumber: EIA, 2011
Gambar 1.3
Suplai dan Konsumsi Minyak Bumi serta Produk Olahannya Tahun 1980-2010 (Ribu Barel per Hari)
Penggunaan intensif energi konvensional berbasis fosil, selain menimbulkan permasalahan dari sisi penawaran juga mempunyai implikasi penting bagi kelestarian lingkungan hidup. Polusi dan perubahan iklim global merupakan beberapa contoh dari dampak negatif penggunaan konsumsi energi berbasis fosil di dunia. Sebagai gambaran, sektor energi memegang peranan dominan dalam masalah pemanasan global, karena 56,6 persen emisi karbondioksida (CO 2) dunia dihasilkan dari sektor energi (IPCC, 2007). Indonesia juga memiliki komitmen untuk menurunkan emisi gas-gas rumah kaca sebanyak 26 persen dari level business as usual pada tahun 2020 atau 41 persen bila ada bantuan keuangan dari negara-negara maju dan energi merupakan salah satu sektor target penurunan emisi. Hal ini memiliki konsekuensi agar menggunakan energi secara efisien dan mendorong penggunaan teknologi di bidang energi yang ramah lingkungan. Disamping itu, mengingat pola permintaan yang masih akan terus meningkat dan pola penyediaan yang belum sepenuhnya bisa mengejar laju permintaan energi, maka penghematan (peningkatan efisiensi) dan peningkatan teknologi penggunaan sumber energi terbarukan adalah hal mendesak yang harus dilakukan. Desakan untuk melakukan penggunaan energi secara efisien juga terkait dengan isu perubahan iklim untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Terkait dengan penggunaan energi, salah satu ukuran yang sering digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi energi adalah intensitas energi. Intensitas energi
5
– rasio konsumsi energi terhadap PDB – telah lama menjadi bahan yang menarik dalam penelitian energi. Intensitas energi merupakan indikator makro ekonomi untuk efisiensi energi (Yanagisawa, 2011). Penelitian tentang determinan konsumsi energi dan intensitas energi telah menjadi fokus utama dalam kegiatan para peneliti dan ekonom selama tiga puluh tahun terakhir dan salah satu pendekatan
yang
sering
digunakan
adalah
metode
dekomposisi
yang
memungkinkan untuk memisahkan komponen pergeseran struktural dalam perekonomian dan perbaikan yang mendasar dalam penggunaan energi (efisiensi energi). Dekomposisi ini berguna untuk memilah apakah perubahan tren intensitas energi lebih disebabkan oleh komponen pergeseran struktur ekonomi atau komponen perbaikan dalam penggunaan energi (Metcalf, 2008; Wu, 2011, Oseni, 2011; Song, 2011). Sebagai rasio dari konsumsi energi terhadap PDB, intensitas energi sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang berkaitan dengan tingkat konsumsi/permintaan suatu wilayah, aktivitas dan struktur ekonomi wilayah, dan juga teknologi produksi yang dikuasai. Salah satu negara yang menggunakan intensitas energi sebagai instrumen kebijakan untuk mengendalikan total konsumsi energi dan menghadapi perubahan iklim adalah China. Pemerintah China dalam rencana pembangunan lima tahunnya yang ke-11 menargetkan untuk menurunkan intensitas energi sebesar 20 persen dari intensitas energi pada tahun dasar 2005 (Song, 2011; Kahrl dan Roland-Holst, 2009).
1.2 Perumusan Masalah Saat ini Indonesia dihadapkan pada beberapa isu penting di bidang energi yaitu pertumbuhan konsumsi energi yang tinggi tetapi pemanfaatannya tidak efisien dan kebutuhan energi yang masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Tren konsumsi energi yang cenderung meningkat mengindikasikan bahwa energi merupakan komoditas penting dan strategis bagi setiap negara di masa mendatang. Tren peningkatan konsumsi energi merupakan suatu keniscayaan sebagai konsekuensi dari bertambahnya populasi penduduk, kemajuan teknologi, serta aktivitas pembangunan yang terus tumbuh dan berlanjut serta menyedot banyak energi. Di sisi lain, tren peningkatan konsumsi energi ternyata diikuti oleh
6
fenomena penurunan cadangan sumber energi berbasis fosil. Semakin terbatasnya sumber energi konvensional tersebut lebih dikarenakan sifatnya yang tak dapat diperbaharui (non-renewable). Bila kondisi ini tidak diantisipasi sedini mungkin, maka pada gilirannya dapat menimbulkan permasalahan suplai energi untuk kelangsungan hidup manusia dan pembangunan yang berkelanjutan di masa mendatang. Terkait sifat energi yang strategis serta harga keekonomian energi yang dianggap belum terjangkau oleh sebagian besar masyarakat Indonesia maka pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan untuk memberikan subsidi di bidang energi baik itu subsidi BBM maupun listrik. Dengan adanya subsidi ini maka harga jual energi kepada konsumen/masyarakat ditetapkan di bawah harga pasar. Kecenderungan permintaan energi yang terus meningkat menyebabkan beban subsidi energi yang semakin berat. Realisasi subsidi BBM pada Desember 2011 mencapai 165,2 triliun rupiah atau sebesar 127,4 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2011 yang sebesar 129,7 triliun rupiah. Dengan kenyataan tersebut, diperkirakan subsidi BBM tahun 2012 juga akan meningkat. Padahal dalam Undang-Undang APBN 2012, subsidi BBM direncanakan 123,6 triliun rupiah2. Beban subsidi menjadi semakin berat terutama ketika harga energi dunia mengalami kenaikan, biaya produksi energi meningkat dan juga pola konsumsi yang relatif boros karena harganya dianggap cukup atau relatif murah. Subsidi energi juga secara tidak langsung menghambat laju perkembangan energi terbarukan. Dalam menghadapi berbagai permasalahan energi sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka salah satu solusi pemecahan yang banyak dilakukan adalah dengan melakukan penghematan atau efisiensi energi. Ada dua ukuran efisiensi penggunaan energi, yakni intensitas energi dan elastisitas energi. Angka yang semakin besar pada dua ukuran tersebut menunjukkan semakin borosnya penggunaan energi. Menurut Nanduri (1998) dan Thaler (2011), intensitas energi dapat menjadi proksi untuk mengukur tingkat efisiensi energi. Penurunan
2
www.kompas.com. Pastikan Kebijakan BBM. [2 Februari 2012]
7
intensitas energi dari waktu ke waktu dapat menjadi indikator perbaikan dalam efisiensi energi. Semakin
rendah
angka
intensitas
energi,
maka
semakin
efisien penggunaan energi di sebuah negara. Intensitas energi primer Indonesia pada tahun 2009 adalah sebesar 565 TOE (ton oil equivalent) per 1 juta US$. Artinya untuk meningkatkan PDB sebesar 1 juta US$, Indonesia memerlukan energi sebanyak 565 TOE. Sebagai perbandingan, intensitas energi Malaysia adalah 493 TOE per 1 juta US$ dan rata-rata intensitas energi negara-negara maju (OECD) hanya sebesar 164 TOE per 1 juta US$3. Elastisitas energi adalah perbandingan antara laju pertumbuhan konsumsi energi dengan laju pertumbuhan ekonomi. Semakin kecil angka elastisitas, maka semakin efisien penggunaan energi di suatu negara. Elastisitas energi Indonesia pada
2009
masih
cukup
tinggi
yaitu
2,69.
Sebagai
perbandingan
menurut penelitian International Energy Agency (IEA) tahun 2009, angka elastisitas Thailand adalah 1,4; Singapura 1,1 dan negara-negara maju berkisar dari 0,1 - 0,6. Berdasarkan angka elastisitas dan intensitas energi tersebut menunjukkan bahwa pemakaian energi di Indonesia masih belum efisien. Selain dalam skala makro, intensitas energi juga dapat digunakan untuk skala yang lebih kecil misalnya sektor dan subsektor. Penelitian-penelitian terdahulu terkait dengan energi di Indonesia umumnya fokus pada konsumsi energi dan forecasting akan kebutuhan energi nasional. Sejauh ini belum ditemukan adanya penelitian mengenai intensitas energi agregat (nasional). Beberapa penelitian mengenai intensitas energi di Indonesia berfokus pada sektor industri khususnya industri menengah dan besar, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Pambudi (2009) dan Hartono et al. (2011). Mengingat begitu pentingnya peran energi dalam perekonomian nasional dan adanya permasalahan-permasalahan energi seperti dikemukakan di atas, serta masih sedikitnya literatur tentang intensitas energi di Indonesia, maka diperlukan penelitian lebih lanjut tentang dinamika intensitas energi dan faktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi di Indonesia.
3
www.ebtke.esdm.go.id. Intensitas Energi Indonesia Masih Tinggi. [1 Februari 2012]
8
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana dinamika konsumsi energi dan intensitas energi di Indonesia, sektor-sektor mana yang lebih efisien dan yang kurang efisien dalam penggunaan energi?
2.
Komponen apakah yang lebih berperan dalam perubahan intensitas energi di Indonesia, apakah dari komponen efisiensi (efficiency effect) atau pergeseran aktivitas ekonomi (activity effect)?
3.
Determinan atau faktor-faktor apa saja yang memengaruhi intensitas energi di Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka
penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Menganalisis dinamika konsumsi energi dan intensitas energi di Indonesia serta mengidentifikasi sektor-sektor yang lebih efisien dalam penggunaan energi.
2.
Mengidentifikasi komponen yang lebih berperan dalam perubahan intensitas energi di Indonesia, apakah dari komponen efisiensi (efficiency effect) atau pergeseran aktivitas ekonomi (activity effect).
3.
Menganalisis determinan atau faktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi di Indonesia.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
dinamika konsumsi energi dan intensitas energi di Indonesia, komponen apa yang lebih berperan dalam perubahan intensitas energi serta faktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan khususnya kebijakan energi. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memperdalam ilmu dan memperluas wawasan di bidang perekonomian. Bagi pembaca, penelitian ini dapat dijadikan bahan atau acuan untuk penelitian selanjutnya.
9
1.5
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menganalisis intensitas energi di Indonesia. Ruang lingkup
wilayah penelitian ini hanya mencakup wilayah Indonesia. Energi dalam penelitian ini mencakup semua bentuk energi final komersial (tidak termasuk biomasa) yang dikonsumsi oleh seluruh sektor dalam perekonomian, antara lain: batubara, gas, LPG, listrik dan bahan bakar minyak yang terdiri dari avgas/avtur, premium/pertamax, minyak tanah, minyak diesel (ADO), minyak solar (IDO) dan minyak bakar. Periode analisis yaitu tahun 1977 sampai dengan 2010 dengan menggunakan data sekunder dan series tahunan. Penggunaan tahun analisis tersebut mempertimbangkan ketersediaan data. Dinamika intensitas energi dan dekomposisinya dari series tahun tersebut dianalisis secara nasional dan menurut sektor pengguna energi antara lain sektor industri, transportasi, komersial (jasajasa), rumah tangga dan sektor lainnya, sedangkan determinan atau faktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi dianalisis secara agregat (nasional). Keterbatasan penelitian ini adalah menganalisis intensitas energi agregat (nasional) dan sektoral, tidak menganalisis pada tingkat regional. Keterbatasan lainnya adalah tidak membandingkan dengan negara-negara lainnya yang mempunyai karakteristik serupa.
10
Halaman ini sengaja dikosongkan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tinjauan Teori
2.1.1 Energi Energi merupakan faktor produksi yang esensial dalam proses produksi. Semua produksi melibatkan transformasi atau pergerakan material melalui beberapa tahapan yang mana keseluruhan proses tersebut memerlukan energi. Energi tidak hanya dipandang sebagai barang konsumsi semata, namun juga sebagai input yang penting bagi pengembangan serta kemajuan teknologi yang berperan signifikan bagi pembangunan ekonomi. Substitusi sarana produksi serta berbagai bentuk barang modal lainnya dengan tenaga kerja, begitu juga sebaliknya, merupakan bagian yang integral dari proses pembangunan ekonomi yang kesemuanya membutuhkan input energi. Oleh karenanya konsumsi energi dapat dipandang sebagai penyebab ataupun symptom dari pertumbuhan ekonomi (Stern, 2003). ENERGI PRIMER Ekspor
Impor
ENERGI FINAL Ekspor
PEMAKAI AKHIR
Impor Industri Transportasi Rumah Tangga Komersial Lainnya
PRODUKSI DOMESTIK
Transformasi Batubara Minyak Bumi Gas Bumi Tenaga Air Panas Bumi Biomass
Kilang Minyak Kilang LPG/LNG Pembangkit Listrik Gas Kota
Sumber: DESDM, 1996
Gambar 2.1
Sistem Jaringan Energi
Dalam jaringan sistem energi (Gambar 2.1), masing-masing bentuk energi memiliki peran dalam penggunaannya. Bentuk energi ada dua macam yaitu energi primer dan energi final (secondary/final energy). Energi sekunder merupakan bentuk transformasi dari energi primer yang dapat digunakan setelah melalui
12
beberapa proses misalnya proses di kilang minyak, kilang LPG, pembangkit listrik dan gas kota. Energi sekunder/final bisa langsung digunakan oleh pelaku ekonomi seperti sektor industri, transportasi, rumah tangga, komersial/jasa dan sektor lainnya. Energi final dapat berupa energi listrik, bahan bakar olahan (minyak tanah, solar, premium, dll), briket, LPG dan bentuk energi olahan lainnya (DESDM,1996). Tabel 2.1 Klasifikasi Sumber Energi Berdasarkan ketersediaan (stock) Dapat Diperbarui Panas bumi Tenaga air Tenaga surya Tenaga angin, dsb Tidak Dapat diperbarui Minyak bumi Gas bumi Batubara Uranium, dsb
Berdasarkan nilai komersial (commercial) Komersial Minyak bumi Gas bumi Batubara Uranium, dsb
Non Komersial Kayu bakar Limbah pertanian
Energi Baru Tenaga surya Tenaga angina Tenaga air, dsb
Berdasarkan pemakaian (use) Primer Minyak bumi Gas bumi Batubara Tenaga air Panas bumi Sekunder Listrik LPG BBM Non BBM Briket, dsb
Sumber: Yusgiantoro, 2000
Berdasarkan ketersediaannya sumber energi dibagi dua yaitu energi fosil yang tidak dapat diperbarui (non-renewable energy) seperti minyak bumi, gas bumi, batubara, uranium, dan sebagainya serta energi yang dapat diperbarui (renewable energy) seperti panas bumi, tenaga air, tenaga surya, tenaga angin dan sebagainya. Bila dilihat berdasarkan nilai komersial, maka sumber energi terdiri atas energi komersial, non komersial dan energi baru. Energi komersial adalah energi yang sudah dapat dipakai dan dapat diperdagangkan dalam skala ekonomis, sementara energi non komersial adalah energi yang sudah dipakai dan dapat diperdagangkan tetapi tidak dalam skala ekonomisnya. Energi baru adalah energi yang sudah dipakai tetapi sangat terbatas dan sedang dalam tahap pengembangan (pilot project). Energi ini belum dapat diperdagangkan karena belum mencapai skala ekonomis. Klasifikasi sumber energi ini dapat dilihat pada Tabel 2.1.
13
Energi yang terdapat dalam suatu perekonomian dikonsumsi oleh berbagai sektor ekonomi untuk menunjang aktivitasnya. Masing-masing sektor tersebut mengkonsumsi jenis energi yang berbeda-beda sesuai dengan aktivitasnya tersebut. Pada Tabel 2.2 ditampilkan jenis-jenis energi yang dikonsumsi oleh sektor-sektor dalam suatu perekonomian. Tabel 2.2 Jenis-jenis Energi yang Dikonsumsi Menurut Sektor No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Sektor Industri Batubara Briket Gas Minyak tanah ADO IDO Minyak bakar LPG Listrik
Transportasi Gas Avgas Avtur Premium Bio Premium Pertamax Bio Pertamax Pertamax plus Bio solar ADO IDO Minyak tanah Minyak bakar Listrik
Komersial Gas Minyak tanah ADO IDO LPG Listrik
Rumah tangga Gas Minyak tanah LPG Listrik Biomasa
Keterangan: ADO (Automotive Diesel Oil/Minyak Solar) , IDO (Industrial Diesel Oil/Minyak Diesel)
Sumber: KESDM, 2012
2.1.2 Energi dan Pertumbuhan Ekonomi Sebagian besar aktivitas yang sering kita saksikan atau kita lakukan sendiri dalam kehidupan sehari-hari pada dasarnya adalah aktivitas yang berkaitan dengan ekonomi, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk melakukan sebuah aktivitas tentunya diperlukan input agar aktivitas tersebut dapat berlangsung. Input aktivitas ekonomi adalah berbagai sumber daya seperti energi, sumber daya finansial, kapital (peralatan dan mesin-mesin), ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia, dan berbagai sumber daya lainnya. Output aktivitas ekonomi berupa tingkat kemakmuran yang dihasilkan. Hal ini tercermin dari berbagai indikator ekonomi baik yang sifatnya kuantitatif maupun kualitatif, seperti Produk Domestik Bruto (PDB), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan indikator ekonomi lainnya. Diantara berbagai input aktivitas ekonomi, energi merupakan elemen yang paling dominan. Banyak yang tidak menyadari bahwa setiap aktivitas, setiap gerakan, dan setiap transaksi
14
membutuhkan energi baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya lampu penerangan, alat pendingin ruangan, dan alat-alat listrik lainnya yang digunakan sehari-hari membutuhkan atau mengkonsumsi energi. Berbagai transaksi elektronik lewat mesin ATM, jaringan komputer, bahkan lewat telpon genggam juga menggunakan energi, ada yang diambil langsung dari sumber listrik dan ada yang tersimpan dalam baterai. Sumberdaya lain yang juga merupakan input aktivitas ekonomi seperti mesin-mesin juga menggunakan energi untuk menggerakkannya. Bahkan sebagian dari sumberdaya finansial digunakan untuk membeli energi. Peran energi tidak pernah lepas dalam kehidupan seharihari maupun kegiatan perekonomian pada umumnya. Input sumberdaya: Energi Finansial Kapital Manusia Iptek Sumberdaya lainnya
Output: PDB IPM Indikator Ekonomi/kesejahte raan lainnya
Aktivitas Ekonomi
Aktivitas Ekonomi Membutuhkan Input Sumberdaya, Outputnya Berupa Indikator-indikator Ekonomi
Sumber: Gamil (2010)
Gambar 2.2
Diagram Input-Output Aktivitas Ekonomi
Menurut Chontanawat et al. (2006) peranan energi terhadap perekonomian dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penawaran dan sisi permintaan. Dari sisi permintaan, energi merupakan salah satu produk yang langsung dikonsumsi oleh konsumen demi memaksimumkan utilitasnya. Sedangkan dari sisi penawaran, energi merupakan faktor kunci bagi proses produksi disamping modal, tenaga kerja, dan material lainnya. Energi merupakan input penting bagi bergeraknya roda perekonomian suatu negara. Dari aktivitas perekonomian ini, kemudian akan dihasilkan output (barang dan jasa) yang merupakan parameter penting dalam mengukur kinerja perekonomian suatu negara melalui pertumbuhan ekonomi. Ketersediaan dan konsumsi energi merupakan determinan kunci dalam proses pertumbuhan ekonomi. Penggunaan
energi
merupakan
kunci
bagi
proses
industrialisasi,
pembangunan industri serta berbagai infrastruktur di dalamnya. Pembangunan
15
jalan raya dan jaringan transportasi merupakan beberapa contoh infrastruktur yang memerlukan energi paling intensif. Dengan kata lain, energi merupakan input sentral bagi pembangunan ekonomi serta menjadi salah satu variabel kunci dalam fungsi pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan suatu negara untuk meproduksi lebih banyak barang dan jasa dari satu tahun ke tahun berikutnya. Konsep pertumbuhan ekonomi diperoleh dari perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Data PDB yang digunakan untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi adalah data PDB atas dasar harga konstan. Dengan menggunakan data PDB atas dasar harga konstan, maka pertumbuhan PDB mencerminkan pertumbuhan secara riil nilai tambah yang dihasilkan perekonomian dalam periode tertentu dengan referensi tahun tertentu. Hubungan antara energi dan output (PDB) secara sederhana dapat dituliskan dengan persamaan;
, dimana Y adalah ouput agregat ataupun
sektoral, L adalah tenaga kerja, K adalah modal atau kapital, E dan M masingmasing adalah energi dan material non-energi lainnya. Apabila faktor-faktor lain dianggap konstan, E atau energi dapat berperan dalam meningkatkan Y melalui tiga cara, yaitu (a) jumlah E yang digunakan meningkat, (b) terjadi perbaikan teknologi dalam pemanfaatan E, dan (c) terjadi peningkatan kualitas E yang digunakan. Komponen E dalam fungsi produksi di atas dapat saja memiliki hubungan komplementer (saling melengkapi) atau substitusi (saling menggantikan) dengan faktor produksi lain (non E). Seberapa besar E akan digunakan tentunya dipengaruhi oleh kondisi harga faktor produksi tersebut, produktivitas faktor produksi, disamping tentunya dipengaruhi oleh harga Y. Oleh sebab itu pemakaian E dalam suatu perekonomian ditentukan oleh kondisi permintaan dan penawaran E serta berbagai kebijakan pemerintah di bidang moneter, fiskal maupun perdagangan. Struktur pasar E umumnya jauh dari kondisi persaingan. Pelaku di sisi produsen umumnya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan pelaku di sisi permintaan. Itulah sebabnya jika E sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar dalam alokasinya, sering tidak didapatkan alokasi yang efisien. Di berbagai
16
negara, dengan derajat yang berbeda-beda, umumnya pemerintah ikut campur tangan di pasar E, baik dalam bentuk langsung (seperti penetapan harga E) dan tak langsung (aturan distribusi E). Sementara itu, Stern (2003) menggunakan persfektif fungsi produksi neoklasik untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi hubungan aturan penggunaan energi dengan aktivitas ekonomi sepanjang waktu. Secara umum fungsi produksi tersebut direpresentasikan sebagai: ( Dimana atau jasa.
)
menyatakan berbagai output seperti barang-barang manufaktur
menyatakan berbagai input seperti modal, tenaga kerja, dan lainnya.
menyatakan berbagai jenis input energi, seperti batubara, bahan bakar minyak, gas, dan lainnya, serta A menyatakan state of technology yang didefinisikan sebagai indikator total factor productitivity. Berdasarkan formula di atas dapat diturunkan hubungan antara energi dan output agregat sedemikian sehingga peningkatan PDB dapat dipengaruhi oleh: (i) substitusi antara energi dan input lainnya; (ii) perubahan teknologi (perubahan dalam A); (iii) pergeseran komposisi input energi; (iv) pergeseran komposisi output. Selain itu, pergeseran bauran input lainnya, misalnya meningkatnya capital intensive dalam perekonomian dari sebelumnya yang labor intensive dapat memengaruhi hubungan antara energi dan output. Alam (2006) mengemukakan bahwa perekonomian terdiri dari aliran energi - produksi dan energi - aktivitas. Energi merupakan pusat perekonomian karena mengendalikan semua kegiatan ekonomi. Berbicara mengenai energi selalu terkait dengan sumbernya di alam, dengan kegiatan yang mengkonversi dan mengkonversi kembali energi, dan akhirnya ke kegiatan yang menggunakan energi untuk memproduksi barang dan jasa. Dalam perekonomian, modal (capital) dan tenaga kerja (labor) memiliki peran yang mendukung dan mengubah energi untuk memproduksi barang dan jasa. Para ekonom neoklasik tidak memasukkan energi dalam perekonomian, sehingga memisahkan ekonomi dari ekologi atau sumber energi itu sendiri. Hal ini tercermin dari konsep fungsi produksi yang hanya menyertakan modal dan tenaga kerja untuk memproduksi output yang tergantung pada teknologi, sehingga para
17
ekonom neoklasik menghitung pertumbuhan berdasarkan pada pertumbuhan modal, tenaga kerja dan teknologi, dimana energi tidak memainkan peran dalam pertumbuhan dan sumber-sumber pertumbuhan. Tidak adanya energi dalam framework neoklasik membuat sulit untuk mendefinisikan tenaga kerja dan modal. Hal ini tidak mengherankan karena modal dan tenaga kerja sebenarnya hanya memainkan peran pendukung dalam perekonomian yang hanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan energi. Secara bersama-sama, mereka mengekstrak energi dari sumberdaya alam serta mengkonversinya agar dapat digunakan dalam kegiatan ekonomi dan kemudian mengarahkan semua aliran energi yang dapat digunakan untuk memproduksi barang dan jasa. Tidak adanya energi dalam fungsi produksi neoklasik juga mendistorsi analisis standar terkait pertumbuhan dan sumber pertumbuhan ekonomi karena kecepatan pertumbuhan ekonomi seringkali tergantung pada penggunaan energi. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan dalam pasokan energi merupakan sumber yang sangat diperlukan pertumbuhan ekonomi (Alam, 2006). Keterkaitan antara energi dengan perekonomian suatu negara secara umum juga dapat dilihat dalam beberapa komponen ekonomi makro seperti penerimaan pemerintah, penerimaan ekspor dan neraca pembayaran. Keterkaitan energi dengan komponen ekonomi makro tersebut jelas menunjukkan bahwa energi berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan suatu negara. Energi di Indonesia terbukti memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Peranan energi, terutama minyak dan gas bumi (migas) dapat dilihat dalam neraca perdagangan dan APBN. Migas memberi sumbangan sangat berarti dalam penerimaan rutim. Ketika terjadi oil boom pada tahun 1970an, 60 sampai 80 persen penerimaan pemerintah dari total pendapatan pajak langsung didominasi oleh komponen pajak migas. Dominasi migas terus berlangsung sampai sekitar tahun 1980-an, setelah itu mengalami penurunan. Demikian juga halnya dengan proporsi penerimaan pemerintah dari ekspor migas mencapai angka tertinggi pada tahun 1981-1982 yaitu sekitar 80 persen dari total penerimaan ekspor nasional. Karena itu peran energi di Indonesia layak disebut
18
sebagai engine of growth. Hal ini semakin dipertegas oleh tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen pada tahun 1989-1990 (Yusgiantoro, 2000). Selain penerimaan pemerintah, penerimaan ekspor dan neraca pembayaran, komponen ekonomi makro lainnya yang sangat memengaruhi pembangunan ekonomi adalah konsumsi energi nasional. Sebagai contoh, permintaan energi pada sektor industri manufaktur untuk mengoperasikan sarana produksi seperti mesin-mesin dapat dikatakan sangat tinggi, namun disamping tingginya biaya energi yang harus dikeluarkan, energi juga memiliki output yang dihasilkan bersama faktor produksi lainnya. Jadi dalam hal ini energi juga dapat dipandang sebagai sarana akumulasi modal pembangunan (Yusgiantoro, 2000). 2.1.3 Intensitas Energi Input energi digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa dalam suatu perekonomian. Barang dan jasa inilah yang kemudian diperhitungkan sebagai output yang merupakan parameter penting dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi pada sutau negara. Hubungan antara kebutuhan energi dan output biasanya direpresentasikan melalui intensitas energi. Nilai ini menyatakan besarnya konsumsi energi yang dibutuhkan untuk memperoleh satu satuan PDB. Konsep intensitas energi (rasio konsumsi energi per PDB), dan elastisitas energi (rasio persentase perubahan konsumsi energi terhadap persentase perubahan PDB) sering digunakan untuk memproyeksi kebutuhan energi, mengkomparasi efisiensi penggunaan energi antarwilayah, serta menilai dampak penggunaan energi terhadap perekonomian suatu negara (Chima dan Hills, 2007). Intensitas energi dapat dijadikan landasan untuk menunjukkan seberapa besar kemampuan negara dalam mengelola penggunaan energinya secara efektif untuk setiap satu satuan PDB yang dihasilkan. Sebelum berkembangnya studi mengenai intensitas energi, studi yang berkaitan dengan dinamika konsumsi energi pada suatu negara masih mengacu pada tingkat konsumsi energi per kapita. Ukuran tersebut sering digunakan sebagai indeks pembangunan wilayah (Ramachandra et al., 2006). Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa konsumsi energi per kapita negara-negara berkembang relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara maju. Akan tetapi,
19
pendekatan dalam studi tersebut belum mampu mengungkapkan gambaran pembangunan dan efisiensi energi yang terjadi. Dengan kata lain, konsumsi energi per kapita bukanlah tolok ukur untuk mengetahui apakah suatu negara efisien dalam menggunakan energi atau tidak. Banyak ekonom sepakat bahwa elastisitas energi dan intensitas energi merupakan dua parameter yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan energi suatu negara (Ramachandra et al. 2006, Chima dan Hills 2007, Metcalf, 2008). Elastisitas energi merupakan pertumbuhan (perubahan persentase) konsumsi energi yang diperlukan untuk mencapai satu persen pertumbuhan ekonomi (PDB), sedangkan intensitas energi adalah jumlah energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan PDB. Konsep intensitas energi sering digunakan untuk menggambarkan tingkat efisiensi energi. Intensitas energi mengacu pada energi yang digunakan atau diperlukan per unit output. Intensitas energi adalah dasar yang paling umum digunakan untuk menilai tren dalam efisiensi energi. Intensitas energi berbanding terbalik dengan efisiensi energi, semakin sedikit energi yang diperlukan untuk memproduksi satu unit output (barang dan jasa), maka semakin efisien penggunaan energi. Penurunan intensitas energi dari waktu ke waktu dapat menjadi indikator perbaikan dalam efisiensi energi (Nanduri, 1998). Ukuran intensitas energi bukan menggambarkan tentang efisiensi secara keseluruhan, tetapi setidaknya dapat menggambarkan bahwa rasio yang lebih kecil menunjukkan sebuah negara semakin bagus dalam mentransfer energi dalam produksinya. Dengan demikian, intensitas energi menjadi proksi untuk mengukur tingkat efisiensi energi (Thaler, 2011). Energi dikonsumsi untuk mendukung aktivitas ekonomi tiap negara dan kehidupan
masyarakat.
Konsumsi
energi
per
GDP
(intensitas
energi)
merepresentasikan indikator ukuran ekonomi dan seringkali digunakan sebagai indikator efisiensi. Sebagai contoh, intensitas energi China empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk meningkatkan efisiensi energi di China (Yagasinawa, 2011). Tingkat saling ketergantungan antara kegiatan ekonomi dan penggunaan energi tidaklah statis
20
maupun seragam di seluruh negara dan wilayah. Implikasinya, intensitas energi berbeda diantara berbagai negara dan berubah dari waktu ke waktu. Menurut Soile dan Balogun (2011), penggunaan energi merupakan input yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi dan juga dipengaruhi oleh pertumbuhan. Argumen konvensional tentang energi bukan sebagai barang konsumsi, tetapi energi adalah input penting dalam perbaikan teknologi. Penggantian mesin dan bentuk-bentuk kapital lainnya adalah bagian yang esensial dari proses pembangunan ekonomi yang memerlukan input energi. Dengan demikian, konsumsi sejumlah besar energi bisa dipandang sebagai penyebab atau dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: a) Intensitas energi menandakan efektivitas penggunaan energi dan pola konsumsi negara-negara yang berbeda , untuk memproyeksikan konsumsi energi, struktur dan permintaan energi, terutama menentukan jumlah permintaan energi akhir. Memahami interaksi antara konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi akan sangat membantu dalam perencanaan untuk memenuhi permintaan energi di setiap negara. b) Intensitas energi diukur sebagai penggunaan energi per unit output ditentukan dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Efisiensi energi secara keseluruhan dari negara manapun akan tergantung pada seberapa baik semua faktor ini dikoordinasikan dalam kebijakan energi negara tersebut. 2.1.4 Kebijakan Energi Pertumbuhan ekonomi biasanya diekspresikan oleh kapasitas perekonomian untuk memproduksi lebih barang dan jasa. Pertumbuhan ini direpresentasikan oleh GDP dari suatu negara. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, negara memerlukan penggunaan input energi. Aksesibilitas dan pemanfaatan energi ditujukan untuk kemajuan ekonomi. Dalam
rangka
mengoptimumkan
penggunaan
sumberdaya
energi,
pemerintah telah mengeluarkan kebijakan umum bidang energi yang meliputi kebijakan diversifikasi, intensifikasi, konservasi, harga energi, dan lingkungan. Kebijakan diversifikasi energi sudah dicanangkan sejak awal tahun 1980 dengan
21
strategi pengurangan penggunaan minyak dan menetapkan batubara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik. Kebijakan diversifikasi ini bertujuan untuk mengurangi laju pengurasan sumber energi minyak bumi, mengoptimalkan nilai tambah produksi dan pemanfaatan energi, meningkatkan keamanan dan menjaga kesinambungan pasokan energi, dan mendorong penggunaan sumber energi terbarukan. Kebijakan ini terus mengalami perbaikan sesuai dengan kondisi saat ini. Kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan energi untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi, menitikberatkan pada pemanfaatan energi alternatif dan mendorong efisiensi di sektor energi. Kebijakan energi ini dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). KEN bertujuan untuk mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Adapun sasaran dari KEN adalah: 1. Tecapainya elastisitas energi yang lebih kecil dari satu pada tahun 2025. 2. Terwujudnya energi primer mix yang optimal pada tahun 2025, yaitu peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional:
minyak bumi sebesar-besarnya 20 persen,
gas bumi minimal 30 persen,
batubara minimal 33 persen,
bahan bakar nabati (biofuel) minimal 5 persen,
panas bumi minimal 5 persen,
energi baru dan terbarukan lainnya, khususnya biomasa, nuklir, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin minimal 5 persen,
batubara yang dicairkan (liquefied coal) minimal 2 persen. KEN merupakan kebijakan pemerintah untuk melakukan diversifikasi
energi. Pemerintah akan mengurangi pangsa penggunaan minyak bumi dan meningkatkan pangsa penggunaan batubara dan gas bumi yang cadangannya relatif lebih banyak serta meningkatkan pangsa penggunaan energi terbarukan (energi air, energi panas bumi, biomasa, energi surya dan energi angin) karena potensinya melimpah dan termasuk energi bersih. Pemerintah melalui Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati pada tahun 2007 juga mengeluarkan
22
blueprint pengembangan bahan bakar nabati (BBN) dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 23 tahun 2008 tentang mandatori pemakaian BBM. Pemerintah menetapkan lima langkah kebijakan dalam rangka penghematan bahan bakar minyak (BBM) dan listrik pada tanggal 29 Mei 2012 yang akan diterapkan dengan pengawasan ketat dan terukur dan mulai diberlakukan pada bulan Juni 2012. Lima langkah kebijakan ini disebut sebagai Gerakan Nasional Hemat Energi yang terdiri dari1: 1. Pengendalian sistem distribusi di setiap Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU). Pengendalian ini dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Setiap kendaraan akan didata secara elektronik, baik data kepemilikan maupun data fisik kendaraan tersebut. Langkah ini untuk menjamin bahwa konsumsi BBM khususnya yang bersubsidi dapat dikendalikan secara transparan dan akuntabel, dan penggunaannya pun tepat sasaran. 2. Pelarangan BBM bersubsidi untuk kendaraan pemerintah, baik pusat maupun daerah, juga untuk BUMN dan BUMD. Langkah ini dilakukan dengan cara pemberian stiker khusus bagi kendaraan yang dilarang menggunakan BBM bersubsidi tersebut. 3. Pelarangan BBM bersubsidi untuk kendaraan perkebunan dan pertambangan. Pelarangan ini juga dilakukan dengan menerapkan sistem stiker. Pengawasan dilakukan oleh BPH Migas secara terpadu bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan Pemerintah Daerah. 4. Konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) untuk transportasi. Hal ini sebagai upaya Indonesia mengurangi ketergantungan pada BBM, menghemat penggunaaan BBM bersubsidi, dan pelestarian lingkungan. 5. Penghematan penggunaan listrik dan air di kantor-kantor pemerintah, baik pusat maupun daerah, BUMN dan BUMD, serta penghematan penerangan jalan-jalan.
1
www.kompas.com. Ini 5 Kebijakan SBY Soal Hemat Energi. [7 Juni 2012]
23
Tabel 2.3
Perkembangan Kebijakan Energi Nasional
1981 Kebijakan Umum Bidang Energi Kebijakan Utama 1. Intensifikasi 2. Diversifikasi 3. Konservasi 4. Indeksasi
1987 Kebijakan Umum Bidang Energi
1991 Kebijakan Umum Bidang Energi
1998 Kebijakan Umum Bidang Energi Kebijakan Utama 1. Intensifikasi 2. Diversifikasi 3. Konservasi 4. Harga Energi 5. Lingkungan
1. Intensifikasi 2. Diversifikasi 3. Konservasi
1. Intensifikasi 2. Diversifikasi 3. Konservasi
Kebijakan Penunjang 1. Penelitian dan Pengembangan 2. Industri Energi 3. Iklim Investasi
Kebijakan Penunjang 1. Industri Energi 2. Iklim Investasi 3. Harga Energi
Kebijakan Pemanfaatan Akhir 1. Industri 2. Transportasi 3. Rumah tangga
Kebijakan Pemanfaatan Akhir 1. Industri 2. Transportasi 3. Rumah tangga
Kebijakan Penunjang Kebijakan Pendukung 1. Industri Energi 1. Investasi 2. Iklim Investasi 2. Insentif & Disinsentif 3. Harga Energi 3. Standardisasi & Sertifikasi 4. Pengembangan Kebijakan Infrastruktur Pemanfaatan Akhir 5. Peningkatan kualitas 1. Industri SDM 2. Transportasi 6. Sistem Informasi 3. Rumah tangga 7. Penelitian dan Pengembangan 8. Kelembagaan 9. Pengaturan
Sumber: KESDM, 2006
2003 Kebijakan Energi Nasional Kebijakan Utama 1. Intensifikasi 2. Diversifikasi 3. Konservasi
Kebijakan Pendukung 1. Infrastruktur 2. Penetapan mekanisme harga keekonomian 3. Perlindungan kaum dhuafa 4. Lingkungan 5. Kemitraan pemerintah dan swasta 6. Pemberdayaan masyarakat 7. Litbang dan diklat 8. Koordinasi untuk optimalisasi energi mix
2006 Kebijakan Energi Nasional Kebijakan Utama 1. Intensifikasi 2. Diversifikasi 3. Konservasi 4. Efisiensi 5. Harga Energi 6. Lingkungan Kebijakan Pendukung 1. Infrastruktur & akses 2. Kemitraan pemerintah dan swasta 3. Pemberdayaan masyarakat 4. Litbang dan diklat
24
2.1.5 Dekomposisi Intensitas Energi Indeks Ideal Fisher seringkali digunakan untuk memahami dinamika perubahan intensitas energi dari waktu ke waktu dan perubahan struktur penggunaan energi maupun efisiensi energi di semua aktivitas sektor ekonomi. Indeks ini juga berguna unuk memahami tren konsumsi energi seperti halnya tren aktivitas ekonomi yang memengaruhi permintaan energi. Indeks Ideal Fisher adalah rata-rata geometik dari indeks Laspeyres dan Paasche yang memiliki sifat yang dapat digunakan untuk melakukan dekomposisi. Indeks Ideal Fisher pertama kali digunakan oleh Boyd dan Roop (2004) sebagai basis untuk mendekomposisi perubahan intensitas energi dalam dua komponen yaitu perubahan efisisensi energi dan kegiatan ekonomi. Boyd dan Roop mengadopsi Indeks Fisher modifikasi (dikenal sebagai Indeks
Ideal
Fisher)
untuk
analisis
dekomposisi
energi.
Metode
ini
mendekomposisi dengan sempurna perubahan dalam intensitas energi dalam perubahan efisiensi energi dan perubahan struktur ekonomi. Indeks Ideal Fisher mengeliminasi masalah residual yang banyak dialami oleh metode dekomposisi intensitas energi lainnya. Adanya residual yang terjadi dalam metode dekomposisi lainnya akan mempersulit dalam interpretasi hasil penelitian. Selain itu, Indeks Ideal Fisher adalah robust, properti yang diinginkan yang biasanya tidak dimiliki oleh metode dekomposisi lainnya. Karena sifat dari Indeks Ideal Fisher ini, maka banyak studi yang mengadopsinya sebagai metodologi untuk mendekomposisi intensitas energi. Metode dekomposisi Fisher berguna untuk melihat determinan mana yang lebih berperan dalam perubahan intensitas energi yang dibagi menjadi dua determinan (komponen) yaitu perubahan efisiensi dan perubahan dalam aktivitas ekonomi atau sering disebut sebagai efficiency effect dan activity effect. Efisiensi mengacu pada penurunan penggunaan energi per unit aktivitas ekonomi dalam sektor tertentu (misalnya sektor industri) sedangkan aktivitas ekonomi mengacu pada perubahan bauran aktivitas ekonomi (pergeseran dari aktivitas ekonomi yang energy intensive menuju ke aktivitas ekonomi yang non- energy intensive) dengan mempertahankan tingkat efisiensi konstan (Metcalf, 2008).
25
Song (2011) mengemukakan bahwa sebagian besar penelitian mengadopsi metode dekomposisi yang menguraikan perubahan dalam intensitas energi dalam suatu sektor (peningkatan efisiensi) dan pergeseran sektor atau perubahan struktural sepanjang waktu untuk melihat faktor mana yang paling menentukan perubahan intensitas energi. Metode dekomposisi Indeks Ideal Fisher melihat bagaimana perubahan intensitas energi didekomposisi menjadi komponen peningkatan efisiensi dan perubahan struktural. Peningkatan efisiensi mengacu pada penurunan penggunaan energi per unit aktivitas ekonomi dalam suatu sektor, sedangkan perubahan struktural mengacu pada perubahan aktivitas ekonomi yaitu pergeseran antarsektor dari aktivitas ekonomi yang energy intensive ke aktivitas ekonomi yang non-energy intensive atau sebaliknya. 2.1.6
Faktor-faktor yang Memengaruhi Intensitas Energi Memahami determinan atau faktor kunci yang memengaruhi perubahan
indeks intensitas energi menjadi penting agar dapat diimplementasikan dalam kebijakan energi yang tepat (Oseni, 2011). Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, maka beberapa variabel yang memengaruhi intensitas energi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Pendapatan per kapita Penggunaan variabel ini untuk menggambarkan kondisi permintaan
terhadap energi. Hal ini sesuai dengan Engel’s Law dimana peningkatan pendapatan perkapita meningkatkan demand terhadap energi dan hal ini pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan intensitas energi. Hasil studi yang dilakukan oleh Soile dan Balogun (2011) di empat negara berkembang menunjukkan bahwa tingkat perkembangan ekonomi yang diukur dengan PDB per kapita memiliki implikasi signifikan pada intensitas energi. Studi yang dilakukan oleh Indra (2007) tentang intensitas energi di sepuluh negara Asia Pasifik menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan cenderung meningkatkan konsumsi energi per kapita namun dengan tingkat yang semakin menurun. Sedangkan menurut Berstein et al. (2003), pendapatan per kapita memengaruhi konsumsi energi dan akhirnya berdampak pada intensitas energi. Ketika pendapatan meningkat, konsumsi dan intensitas energi diduga akan
26
meningkat juga karena meningkatnya permintaan seperti barang-barang elektronik (komputer, lemari es, AC dan perlengkapan rumah tangga lainnya), membangun rumah yang lebih besar, membeli kendaraan baru dan sebagainya. Tingkat pendapatan sebagai determinan utama dari gaya hidup masyarakat, dapat memengaruhi penggunaan energi terutama untuk tujuan non produksi baik di sektor transportasi maupun bangunan tempat tinggal. Ketika pendapatan per kapita tumbuh atau meningkat karena pembangunan ekonomi, konsumsi per kapita cenderung untuk naik. Hal ini dikarenakan peningkatan permintaan oleh industrialisasi dan meningkatnya produksi, meningkatnya kepemilikan peralatan yang mengkonsumsi energi seperti mobil, perlengkapan elektronik, meningkatnya bahan bakar untuk perluasan pembangkitan listrik, dan sebagainya. 2.
Harga energi Energi tidak hanya memainkan peranan sentral sebagai roda penggerak
perekonomian serta sebagai pemicu proses pertumbuhan ekonomi, namun fluktuasi harganya juga memberikan pengaruh yang sangat vital pada hampir setiap aktivitas perekonomian di setiap negara. Fakta menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak bumi yang merupakan salah satu sumber energi utama di dunia, berdampak langsung terhadap harga energi domestik sehingga turut memengaruhi kinerja perekonomian suatu negara. Hal ini dikarenakan minyak bumi telah menjadi sumber energi dominan dari sisi penggunaan untuk menopang proses produksi dibandingkan sumber energi lainnya sehingga fluktuasi harganya sangat sensitif terhadap kondisi perekonomian dan pertumbuhan ekonomi di setiap negara. Sesuai dengan hukum permintaan, kenaikan harga energi menyebabkan permintaan terhadap energi akan turun dan hal ini pada akhirnya akan menyebabkan penurunan intensitas energi. Dengan mahalnya harga energi diharapkan penggunaan dan pemanfaatan energi akan lebih efisien. Peningkatan harga energi akan meningkatkan biaya produksi sehingga produsen akan merespon dengan memperbaiki atau mengoreki penggunaan energi agar lebih efisien. Harga bahan bakar yang tinggi memaksa orang untuk menemukan metode transportasi alternatif, apakah itu dengan berjalan, bersepeda, naik kendaraan
27
umum, atau dengan cara lainnya. Transportasi alternatif ini lebih hemat energi, karena dapat mengurangi jumlah energi yang dikonsumsi. Dihipotesiskan bahwa harga energi yang lebih tinggi akan menyebabkan efisiensi energi yang lebih tinggi, dan dengan demikian lebih rendah intensitas energi karena negara-negara dengan harga energi yang tinggi cenderung berkurang dalam menggunakan mobil pribadi dan lebih cenderung untuk menemukan metode transportasi alternatif (Thaler, 2011). 3.
Pertumbuhan penduduk Sumberdaya manusia merupakan faktor penting dalam pertumbuhan
ekonomi, namun tidak semata-mata tergantung dari jumlah penduduknya saja, tetapi lebih ditekankan pada efisiensi dan produktivitas dari penduduk tersebut. Jumlah penduduk yang terlalu banyak atau kepadatan penduduk yang terlalu tinggi akan menjadi penghambat pembangunan ekonomi terutama di negara berkembang. Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan peningkatan intensitas energi. Pertumbuhan penduduk berakibat meningkatkan aktivitas ekonomi yang lebih energy intensive (Metcalf, 2008). Tingkat pertumbuhan populasi digunakan untuk menangkap respon intensitas terhadap perubahan populasi. Dalam penelitiannya, Oseni (2011) mengemukakan bahwa pertumbuhan populasi berdampak positif terhadap indeks intensitas, menunjukkan bahwa peningkatan intensitas energi sebagai respon terhadap pertumbuhan populasi terjadi karena negara-negara yang berkembang cepat akan menderita kemacetan sehingga menyebabkan biaya energi yang tinggi. Sedangkan Bernstein et al. (2003) mengemukakan bahwa seperti halnya peningkatan pendapatan, pertumbuhan populasi yang pesat akan meningkatkan konsumsi energi dan intensitas energi. Dengan meningkatnya jumlah penduduk maka permintaan terhadap energi akan meningkat pula. 4.
Impor energi Sebuah artikel di Majalah Forbes2 menilai 10 negara yang paling efisien
berdasarkan
nilai
intensitas
energi.
Forbes
menyatakan
bahwa
tidak
mengherankan, jika negara-negara yang paling efisien dalam hal penggunaan
2
www.forbes.com. The Most Energi-Efficient Countries. [2 Februari 2012]
28
energinya adalah mereka yang mengimpor suplai energinya, salah satunya adalah Jepang. Karena sedikitnya produksi bahan bakar domestik memaksa mereka untuk mengimpor sebagian besar bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga menciptakan insentif ekonomi yang kuat untuk menggunakan energinya secara efisien. Hasil studi Soile dan Balogun (2011) menunjukkan bahwa negara-negara seperti Arab Saudi dan Iran di Timur Tengah yang memiliki sumber daya besar dan cadangan bahan bakar fosil, terutama minyak dan gas, kurang efisien dalam menggunakan energi mereka. Walaupun demikian, negara dengan sumber daya energi yang melimpah perlu mempertimbangkan nilai penting dari sumber daya. Banyak negara seperti Jepang dan Italia tidak memiliki sumberdaya energi domestik seperti batubara dan minyak yang dibutuhkan untuk memproduksi energi mereka sendiri. Tanpa energi yang cukup, perekonomian tidak dapat beroperasi pada potensi penuh, sehingga dalam memenuhi kebutuhan energi domestiknya, kekurangan energi harus dikompensasi dengan impor dari luar negeri. Mengimpor energi lebih mahal dibandingkan dengan memproduksinya sendiri di dalam negeri, sehingga negara yang sangat bergantung pada impor harus mengambil tindakan khusus agar penggunaan energi seefisien mungkin untuk menghindari tingginya biaya energi. Diperkirakan bahwa peningkatan rasio produksi-konsumsi energi akan menyebabkan peningkatan intensitas energi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya insentif untuk memanfaatkan energi secara lebih bijaksana karena wilayah atau negara tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan energi domestiknya sendiri (Thaler, 2011). Hemmati (2006) menyatakan bahwa negara-negara yang mengandalkan melimpahnya sumberdaya energi, kemungkinan intensitas energinya relatif lebih tinggi. Harga energi yang lebih rendah dan terdistorsi biasanya berkorelasi positif dengan tingkat intensitas energi yang lebih tinggi, sebaliknya keterbatasan sumberdaya sebagai insentif bagi beberapa negara untuk memiliki intensitas energi yang lebih rendah.
29
2.2
Tinjauan Empiris Beberapa penelitian atau studi empiris mengenai intensitas energi telah
dilakukan oleh beberapa peneliti di negara-negara lain. Studi empiris ini diharapkan dapat mendukung analisis tentang intensitas energi di Indonesia. Studi-studi tersebut diantaranya sebagai berikut: 2.2.1 Intensitas Energi di Negara-negara OECD Oseni (2011) meneliti tentang faktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi di 16 negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) tahun 1975 sampai 2007. Negara-negara yang tercakup dalam penelitian ini antara lain: Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Perancis, Yunani, Irlandia, Italia, Jepang, Belanda, Norwegia, Portugal, Spanyol, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat. Penelitian ini menggunakan data permintaan energi agregat dan sektoral, harga energi, dan indikator ekonomi makro seperti PDB, nilai tambah output sektoral, pengeluaran konsumsi perseorangan agregat, populasi, dan tingkat pertumbuhan penduduk tahun 1975-2007. Variabel harga energi menggunakan indeks harga energi riil dengan tahun dasar 2000 (2000 = 100). Penelitian Oseni (2011) mencakup dua tahap yaitu yang pertama dilakukan analisis dekomposisi intensitas energi menjadi dua komponen yakni komponen aktivitas ekonomi dan komponen efisiensi energi. Hal ini bertujuan untuk melihat apakah tren perubahan intensitas energi di negara-negara OECD selama periode penelitian lebih disebabkan oleh peran komponen perubahan struktur ekonomi atau komponen efisiensi energi. Metode dekomposisi yang digunakan adalah Indeks Ideal Fisher. Tahap kedua, dilakukan analisis ekonometrik data panel dinamis untuk mengetahui faktor kunci atau determinan yang memengaruhi intensitas energi di negara-negara OECD. Variabel-variabel yang digunakan untuk analisis dekomposisi intensitas energi disajikan dalam Tabel 2.4 berikut:
30
Tabel 2.4 Variabel-variabel yang Digunakan untuk Analisis Dekomposisi Intensitas Energi di Negara-negara OECD Aktivitas Ekonomi (dalam miliar USD)
Efisiensi Energi Sektoral (dalam ktoe)
Residential (rumah tangga)
Agregat PCE
Konsumsi energi
Komersial
Nilai tambah
Konsumsi energi
Industri
Nilai tambah
Konsumsi energi
Transportasi
Nilai tambah
Konsumsi energi
GDP
Total konsumsi energi
Sektor
Total
Keterangan: Sektor industri sesuai dengan ISIC (International Standard Industrial Classification) termasuk manufaktur, pertambangan, konstruksi, listrik, gas dan air. Sektor komersial termasuk komunikasi, perdagangan, keuangan, jasa, dan pemerintah. PCE= personal consumption expenditures. ktoe = thousand tons of oil equivalent.
Tabel 2.4 menyajikan ringkasan statistik mengenai data yang digunakan untuk analisis dekomposisi intensitas energi. Variabel yang digunakan untuk permintaan energi rumah tangga (residential) adalah pengeluaran konsumsi pribadi sedangkan pada sektor lainnya digunakan variabel nilai tambah. Ukuran terbaik dari kontribusi sektor tertentu terhadap produksi akhir adalah nilai tambah. Sektor transportasi merupakan sektor yang tertinggi mengkonsumsi energi kemudian diikuti oleh sektor industri. Hal ini dikarenakan berhubungan dengan peningkatan permintaan untuk mobil di negara-negara maju pada beberapa tahun terakhir. Hal ini mungkin juga dikarenakan variasi dalam layanan transportasi, permintaan untuk mobil, dan tingkat industrialisasi negara-negara OECD. Sedangkan sektor komersial adalah sektor yang mengkonsumsi energi paling sedikit. Berdasarkan analisis dekomposisi intensitas energi dengan menggunakan tahun 1975 sebagai tahun dasar menunjukkan bahwa terdapat variasi yang besar dalam struktur intensitas energi antarnegara. Beberapa negara intensitas energinya turun signifikan, sementara beberapa negara yang lain tidak mengalami penurunan sama sekali. Begitu juga dengan indeks efisiensi dan kegiatan ekonomi bervariasi antarnegara. Diantara negara-negara tersebut dimana perbaikan dalam intensitas energi sebagian besar disebabkan oleh perbaikan mendasar dalam penggunaan energi (karena peningkatan efisiensi) adalah Austria, Belgia, Denmark dan Swedia. Sementara itu, intensitas energi agregat yang lebih disebabkan oleh perubahan dalam aktivitas ekonomi terjadi di negara OECD lainnya yaitu Kanada,
31
Perancis, Irlandia, Italia, Jepang, Belanda, Norwegia, Inggris, Yunani, Portugal, dan Spanyol.
Sumber: Oseni, 2011
Gambar 2.3
Tren Intensitas Energi, Indeks Efisiensi dan Indeks Aktivitas di 16 Negara-negara OECD, Tahun 1975-2007
Gambar 2.3 menyajikan grafik dari intensitas energi agregat, indeks efisiensi, dan indeks aktivitas di 16 negara-negara OECD. Intensitas agregat untuk 16 negara anggota OECD pada tahun 2007 adalah 55 persen dari tahun 1975. Hal ini menunjukkan bahwa secara rata-rata intensitas energi agregat di negara-negara tersebut meningkat sebesar 45 persen antara tahun 1975 dan 2007. Indeks aktivitas pada tahun 2007 adalah 66 persen dari level 1975, sementara indeks efisiensi mencapai 83 persen dari level 1975. Dengan kata lain, jika diasumsikan efisiensi energi tetap konstan antara tahun 1975 dan 2007, pergeseran aktivitas ekonomi akan menyebabkan penurunan intensitas energi sebesar 34 persen. Demikian pula, jika aktivitas/struktur ekonomi tetap konstan pada periode penelitian untuk semua sektor, maka efisiensi energi akan menyebabkan penurunan intensitas energi sekitar 17 persen. Oleh karena itu, pergeseran struktural dalam kegiatan ekonomi di negara-negara tersebut lebih besar andilnya dalam penurunan intensitas energi dibandingkan peran dari perbaikan-perbaikan mendasar dalam penggunaan energi. Dengan kata lain, perbaikan dalam intensitas energi di negara-negara OECD adalah terutama disebabkan oleh pergeseran dari kegiatan yang more energy-intensive (misalnya sektor manufaktur) menjadi kegiatan yang less energy-intensive (misalnya sektor komersial/jasa). Selanjutnya, untuk lebih memahami faktor-faktor ekonomi utama yang mendorong perubahan intensitas energi maka digunakan model ekonometrik. Variabel-variabel yang digunakan antara lain: pendapatan per kapita, harga energi
32
dan pertumbuhan penduduk. Model yang digunakan dalam penelitian ini dapat dituliskan seperti berikut:
Keterangan: = intensitas agregat, indeks efisiensi, indeks kegiatan ekonomi (semua dalam bentuk logaritma natural) untuk negara ke-i dan tahun-t = logaritma natural pendapatan (GDP) riil per kapita untuk negara ke-i dan tahun-t = logaritma natural harga energi riil untuk negara ke-i dan tahun-t = logaritma natural kuadrat pendapatan (GDP) riil per kapita = tingkat pertumbuhan penduduk untuk negara ke-i dan tahun-t = error term, diasumsikan
, dimana
dan
masing-masing
adalah unobservable individual-specific effects dan sisaan. Variabel regresi termasuk logaritma natural dari setiap indeks intensitas, harga energi riil, pendapatan riil per kapita, pendapatan riil per kapita kuadrat, dan tingkat pertumbuhan penduduk. Pendapatan riil per kapita kuadrat ditujukan untuk menangkap kemungkinan adanya hubungan yang non-linear antara intensitas energi dengan pendapatan. Tingkat pertumbuhan penduduk digunakan untuk menangkap respon dari intensitas energi terhadap perubahan populasi, misalnya, negara yang berkembang pesat dapat menambah infrastruktur yang lebih hemat energi daripada negara yang berkembang lebih lambat. Di sisi lain, negara yang berkembang pesat mungkin kurang efisien dalam penggunaan energi mereka jika investasi kapitalnya tidak dapat mengimbangi pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian berdasarkan regresi data panel dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Variabel harga energi berhubungan negatif dengan intensitas energi tepat seperti yang diperkirakan dan signifikan pada tingkat 1 persen. 2. Intensitas energi menunjukkan respon yang non-linear terhadap pendapatan, awalnya naik dan kemudian turun. Setiap 1 persen kenaikan pendapatan menyebabkan penurunan intensitas energi sebesar 0,58 persen. 3. Pertumbuhan penduduk menunjukkan hubungan yang positif dengan intensitas energi dan signifikan secara statistik pada tingkat 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa negara yang berkembang pesat memiliki intensitas energi
33
yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan negara yang berkembang pesat terjadi biaya energi yang tinggi akibat terjadinya kemacetan lalu lintas. Hal ini tidak mengherankan karena perekonomian dengan populasi yang tumbuh cepat kemungkinan akan mengurangi kegiatan padat modal (capital intensive) dan mendorong kegiatan yang padat karya (labor intensive). 4. Ketiga indeks merespon negatif terhadap harga energi dan pendapatan selama periode analisis dengan respon yang rendah terhadap perubahan pendapatan yang berasal dari negara-negara dengan intensitas energi yang tinggi. Hal ini kemungkinan sebagai akibat dari rendahnya komitmen untuk pengurangan intensitas energi di negara-negara tersebut selama rentang waktu penelitian. 5. Dampak jangka panjang dari harga energi dan pendapatan pada intensitas agregat lebih beroperasi melalui perubahan struktural daripada melalui efisiensi penggunaan energi. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan intensitas energi dalam jangka panjang sebagai akibat perubahan harga energi dan pendapatan yang sebagian besar dikarenakan karena pergeseran dari kegiatan ekonomi yang energy intensive ke sektor jasa yang non-energy intensive. 6. Dampak harga pada jangka pendek terhadap intensitas agregat beroperasi hanya melalui efisiensi penggunaan energi sedangkan pendapatan beroperasi terutama melalui perubahan struktural. Secara umum, hasil penelitian ini dapat disimpulkan menjadi tiga hal, yaitu: 1. Dari hasil analisis dekomposisi menunjukkan (secara keseluruhan) yang berperan penting dalam mengurangi intensitas energi beroperasi melalui jalur perubahan struktural dalam kegiatan ekonomi. Ini berarti bahwa negara-negara seharusnya terus menurunkan intensitas energi mereka (meskipun ada batasan sejauh mana negara dapat pindah dari kegiatan energy intensive ke non-energy intensive), sehingga diperlukan adanya promosi atau kampanye tentang efisiensi penggunaan energi. Dengan kata lain, kebijakan yang akan mendorong atau menerapkan penggunaan energi yang efisien (seperti standar bahan bakar kendaraan) perlu dilaksanakan. Dapat dikatakan bahwa beberapa negara dimana kebijakan seperti itu telah diterapkan (misalnya Amerika Serikat) telah mengalami penurunan intensitas energi yang berarti melalui jalur efisiensi energi.
34
2. Kenaikan harga energi dan pendapatan dapat menurunkan intensitas energi di negara-negara OECD. Semakin tinggi harga energi mengakibatkan intensitas energi yang lebih rendah adalah tidak mengherankan, tapi teori ekonomi tidak jelas apakah pendapatan yang lebih tinggi akan menghasilkan intensitas energi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Berdasarkan temuan penelitian ini, bahwa pemerintah yang serius dapat menurunkan intensitas energi mereka dengan menaikkan harga energi baik melalui kebijakan pajak atau cara lain, namun hal ini juga memiliki banyak implikasi terhadap kesejahteraan dan kemungkinan investor swasta beralih dari kegiatan energy intensive (misalnya manufaktur) ke sektor jasa yang kurang energy intensive. 3. Intensitas energi merupakan faktor penentu emisi karbon dikarenakan pembakaran energi bertanggungjawab terhadap emisi karbon yaitu sebesar 79 persen dari total emisi karbon dunia dan 96 persen dari total emisi karbon di OECD. Konsumsi bahan bakar fosil terkait emisi karbon dapat dikurangi melalui substitusi bahan bakar dan dengan mengurangi permintaan energi. Penurunan energi dapat dilaksanakan dengan meningkatkan kesadaran akan efisiensi
energi,
baik
dalam
produksi
atau
konsumsi,
dan
dengan
memperkenalkan teknologi yang lebih hemat energi. Selain itu, Howarth et al. (1993) juga melakukan studi mengenai struktur dan intensitas permintaan energi akhir pada lima negara OECD antara tahun 1973 sampai 1988 yaitu Amerika Serikat, Norwegia, Denmark, Jerman Barat dan Jepang. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa perubahan struktural yang terjadi pada suatu negara menyebabkan perubahan yang substansial pada rasio konsumsi energi terhadap GDP yang tidak terkait dengan perubahan dalam efisiensi teknis dari pemanfaatan energi. Perubahan intensitas energi mungkin lebih besar atau lebih kecil daripada perubahan agregat dalam rasio konsumsi energi terhadap GDP pada negara tertentu. 2.2.2 Intensitas Energi di Amerika Serikat Metcalf (2008) melakukan studi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi di Amerika Serikat pada periode tahun 1970-2003. Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu pertama, menganalisis perubahan dalam intensitas
35
energi di tingkat negara bagian (mencakup 46 negara bagian) menggunakan metodologi dekomposisi sempurna yakni Indeks Ideal Fisher. Kedua, penelitian ini menggunakan metode ekonometrik untuk mengidentifikasi faktor pendorong perubahan dalam efisiensi dan indeks aktivitas ekonomi. Metode ekonometrik yang digunakan adalah regresi data panel yang yang diinterpretasikan sebagai dari fungsi permintaan energi. Variabel-variabel yang digunakan untuk analisis dekomposisi intensitas energi disajikan dalam Tabel 2.5 berikut: Tabel 2.5 Variabel-variabel yang Digunakan untuk Analisis Dekomposisi Intensitas Energi di Amerika Serikat Sektor Residential (rumah tangga) Komersial Industri Transportasi Total
Aktivitas Ekonomi (dalam miliar USD)
Efisiensi Energi Sektoral (BTU per dollar)
Agregat PCE
Konsumsi energi/agregat PCE
Nilai tambah di sektor komersial
Konsumsi energi/nilai tambah
Nilai tambah di sektor industri
Konsumsi energi /nilai tambah
VMT ( juta mil)
Konsumsi energi/VMT (BTU per VMT)
GDP
Total konsumsi energi/GDP
Keterangan: Sektor industri termasuk manufaktur, pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan, dan konstruksi. Sektor komersial termasuk komunikasi, perdagangan, keuangan, jasa, dan pemerintah. PCE= personal consumption expenditures. VMT= Vehicle Miles Traveled. BTU = British Thermal Unit.
Gambar 2.4 menunjukkan hasil analisis dekomposisi untuk Amerika Serikat dimana tahun 1970 sebagai tahun dasar analisis. Intensitas energi agregat pada tahun 2003 adalah 53 persen dari tingkat intensitasnya pada tahun 1970. Indeks aktivitas ekonomi adalah 86 persen dari tingkat pada tahun 1970, sementara indeks efisiensi adalah 61 persen dari level 1970. Dengan kata lain, jika komposisi kegiatan ekonomi tidak berubah (konstan) antara 1970 dan 2003, intensitas energi akan menjadi 61 persen dari tingkat intensitas tahun 1970. Sebesar 39 persen penurunan intensitas energi disebabkan oleh peningkatan dalam efisiensi energi. Demikian pula, jika efisiensi energi tetap atau konstan antara tahun 1970-2003 untuk semua sektor, maka perubahan aktivitas ekonomi akan menyebabkan penurunan dalam intensitas energi sebesar 14 persen.
36
1.20 1.00 0.86
0.80
0.61 0.53
0.60 0.40 0.20 0.00 1970
1975
1980 Intensity
1985 Year Activity
1990
1995
2000
Efficiency
Sumber: Metcalf, 2008
Gambar 2.4
Tren Intensitas Energi, Indeks Efisiensi dan Indeks Aktivitas di Amerika Serikat Tahun 1970-2003
Dekomposisi intensitas energi tidak hanya dilakukan di tingkat nasional dengan empat sektor ekonomi yaitu rumah tangga, transportasi, komersial dan industri, tetapi analisis juga dilakukan di tingkat regional mencakup 46 negara bagian. Analisis regional berguna untuk melihat variasi di seluruh negara bagian sepanjang waktu dengan menjaga sektor yang sama (rumah tangga, komersial, industri, dan transportasi) yang digunakan untuk analisis di tingkat nasional. Berdasarkan analisis dekomposisi baik di pusat (nasional) maupun negara bagian menunjukkan bahwa sebagian besar pengurangan intensitas energi lebih disebabkan oleh perbaikan dalam efisiensi energi. Sedangkan pergeseran dari kegiatan yang energy intensive ke kegiatan ekonomi yang kurang energy intensive memiliki kontribusi yang lebih kecil terhadap perubahan intensitas energi selama periode penelitian. Di tingkat nasional, analisis dekomposisi menunjukkan bahwa sekitar tiga perempat pengurangan intensitas energi adalah karena peningkatan dalam efisiensi energi. Tahap yang kedua dalam penelitian ini yaitu melakukan analisis ekonometrik untuk mengetahui faktor kunci yang memengaruhi intensitas energi. Variabel-variabel yang digunakan mulai dari variabel ekonomi, seperti harga energi, perubahan aktivitas ekonomi (misalnya terjadi pergeseran struktur ekonomi agraris ke ekonomi industri), lalu variabel sosial (pertumbuhan penduduk, rasio kapital-tenaga kerja), dan juga variabel iklim (permintaan energi dipengaruhi oleh penggunaan pendingin dan penghangat baik oleh rumah tangga maupun oleh bisnis). Variabel-variabel tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
37
1. Pendapatan per kapita, variabel ini dalam bentuk logaritma natural pendapatan riil per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000. Selain itu juga digunakan kuadrat dari log pendapatan riil per kapita untuk memungkinkan respon yang non-linear antara penggunaan energi terhadap pendapatan. 2. Harga energi, variabel ini diproksi dengan rata-rata harga tertimbang di negara bagian berdasarkan bahan bakar yang digunakan seperti yang dihitung oleh EIA. Harga energi ini termasuk cukai. 3. Variabel iklim, digunakan untuk menangkap perbedaan permintaan energi untuk pendingin dan penghangat ruangan (sesuai musim yang terjadi di suatu wilayah) terutama di sektor komersial (jasa) dan rumahtangga. 4. Rasio modal-tenaga kerja, digunakan untuk menangkap kemungkinan perbedaan capital intensity dalam mempengaruhi intensitas energi. Hal ini mencerminkan bahwa modal dan energi saling bersubstitusi dalam produksi. 5. Tingkat pertumbuhan populasi. Negara bagian yang tumbuh cepat mungkin menambahkan infrastruktur yang lebih hemat energi daripada negara berkembang lambat. Di sisi lain, negara yang tumbuh cepat mungkin kurang efisien dalam penggunaan energi jika investasi modal mereka tidak dapat mengimbangi pertumbuhan ekonomi. 6. Investasi. Turn over yang lebih lambat dari capital stock berarti bahwa negara tersebut cenderung kurang efisien dalam penggunaan energi, sebaliknya negara yang berkembang pesat mungkin memiliki teknologi yang lebih baru, lebih hemat energi dan intensitas energi yang lebih rendah. Salah satu kesulitan dengan regresi adalah intensitas energi diasumsikan merespon dengan segera terhadap perubahan variabel ekonomi. Secara lebih realistis, harga energi mungkin mempengaruhi intensitas energi dengan beberapa lag. Regresi berikut memberikan hasil dari model penyesuaian parsial. Misalkan adalah intensitas energi yang diharapkan di negara bagian ke-i dan tahun ke-t. Diasumsikan intensitas yang diharapkan sebagai fungsi dari variabel-variabel seperti yang diuraikan di atas yang dimasukkan dalam vektor dituliskan sebagai:
, sehingga bisa
38
dimana
termasuk
state
fixed
effect.
(adjustment) berhubungan dengan intensitas energi aktual
Proses
penyesuaian
untuk intensitas
energi yang diharapkan mengikuti persamaan berikut:
dimana
adalah ukuran proses penyesuaian dalam perpindahan dari intensitas
energi yang diharapkan ke intensitas energi aktual. Kombinasi dari kedua persamaan tersebut dihasilkan: ̃ dimana ̃ pendek, sedangkan ̃
̃
adalah dampak perubahan x terhadap y dalam jangka adalah dampak jangka panjangnya. ̃
adalah error term. Karena adanya lag dari variabel dependen, prosedur regresi fixed effect yang standar akan menghasilkan estimasi yang bias, sehingga digunakan estimator Arrelano and Bond untuk regresi intensitas energi. Berdasarkan analisis regresi data panel, maka didapatkan hasil sebagai berikut: 1. Intensitas energi menunjukkan respon kuadratik terhadap pendapatan. 2. Peningkatan harga energi dan peningkatan pendapatan perkapita berperan besar dalam penurunan intensitas energi di negara-negara bagian di Amerika Serikat. Harga energi yang lebih tinggi menyebabkan intensitas energi yang lebih rendah adalah tidak mengherankan, tapi teori ekonomi tidak jelas apakah pendapatan yang lebih tinggi harus mengarah pada intensitas energi yang lebih tinggi atau lebih rendah. Selain itu, regresi menunjukkan bahwa perbaikan dalam intensitas energi lebih didorong melalui efisiensi daripada saluran aktivitas/struktur ekonomi. 3. Pengurangan intensitas energi ketika pendapatan naik tidak hanya karena pergeseran dari kegiatan manufaktur ke jasa (atau beberapa pergeseran lain ke teknologi yang lebih hemat energi) melainkan juga disebabkan oleh sesuatu yang lebih intrinsik untuk kegiatan dalam masing-masing sektor pengguna energi. 4. Intensitas energi lebih tinggi di negara-negara bagian dalam beberapa tahun terakhir dimana dalam hari yang memiliki suhu yang lebih tinggi (panas).
39
5. Koefisien pada variabel pertumbuhan populasi positif dan signifikan secara statistik. Negara bagian yang cepat berkembang memiliki intensitas energi yang lebih tinggi. 6. Variabel investasi memiliki dampak yang kecil dalam regresi intensitas energi. Penelitian-penelitian lainnya mengenai intensitas energi di Amerika Serikat juga dilakukan oleh Murtishaw dan Schipper (2001) yang meneliti pengaruh internet dan pertumbuhan ekonomi yang pesat pada konsumsi energi AS di tahun 1990-an pada tingkat disagregasi dengan mendekomposisikan penggunaan energi AS pada tahun 1988-1998 dan menghubungkan perubahan dalam penggunaan energi untuk tiga faktor yang mendasari yaitu aktivitas ekonomi, struktur ekonomi, dan intensitas energi. Penelitian ini menggunakan teknik bottom-up, dengan mendekomposisikan penggunaan energi di enam sektor antara lain: travel, angkutan (freight), industri manufaktur, industri non-manufaktur, perumahan dan jasa. Penurunan intensitas energi yang cepat di beberapa tahun terakhir telah digunakan untuk mendukung pernyataan bahwa internet dan teknologi informasi secara umum telah memungkinkan peningkatan efisiensi energi. Wing dan Eckaus (2004), melakukan studi tentang faktor-faktor yang menyebabkan perubahan intensitas energi pada sektor industri di Amerika Serikat selama periode 1958-1996. Penelitian dilakukan terhadap 35 industri termasuk melihat dampak dari perubahan teknologi terhadap intensitas energi. Intensitas energi merupakan isu yang telah lama diperdebatkan oleh para ekonom, dipicu oleh kenaikan harga energi belakangan ini dan bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca terkait penggunaan bahan bakar fosil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa inovasi yang terkandung dalam capital stocks teknologi informasi dan peralatan listrik memainkan peran penting dalam penurunan intensitas energi jangka panjang. Chima dan Hills (2007) meneliti hubungan energi dan PDB di Amerika Serikat dengan menggunakan konsep intensitas energi dan mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi. Penelitian ini menggunakan Kuznets Environmental Curve (EKC) dalam mengembangkan model untuk intensitas energi dan menguji model Amerika untuk periode 1949-2003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas energi menurun di Amerika Serikat
40
selama periode penelitian. Sementara itu, konsumsi energi sangat sensitif terhadap harga energi yang berimbas pada PDB. 2.2.3 Intensitas Energi di China Wu (2011) melakukan penelitian mengenai intensitas energi di China selama periode 1997-2007. Analisis dilakukan sebanyak dua tahap. Pertama dilakukan analisis dekomposisi dan kemudian dilakukan analisis ekonometrik untuk mengetahui determinan dari intensitas energi. Analisis dekomposisi dilakukan di tingkat nasional maupun regional, mencakup 27 provinsi di China. Untuk lebih memahami tren intensitas energi di China, dalam penelitian ini digunakan pendekatan dekomposisi dengan formula sebagai berikut: ∑
∑
∑
Keterangan: = intensitas energi = konsumsi energi = GDP = ukuran efisiensi penggunaan energi = ukuran kegiatan ekonomi (atau nilai tambah atas PDB di tiap sektor), untuk perumahan digunakan nilai konsumsi rumah tangga Perekonomian dibagi menjadi tiga sektor yaitu sektor primer, manufaktur dan jasa. Energi dikonsumsi oleh ketiga sektor tersebut dan perumahan (i=1,2,3 dan 4), dan t menunjukkan tahun. Berdasarkan analisis dekomposisi, perubahan intensitas energi di masingmasing wilayah dapat didekomposisi menjadi dua komponen yang mencerminkan kontribusi dari efisiensi energi dan perubahan struktural ekonomi. Dalam studi ini terlihat bahwa tren keseluruhan pergerakan intensitas energi China dalam dekade terakhir telah menurun. Kekuatan utama yang berperan dalam penurunan ini adalah peningkatan efisiensi energi, sementara dampak perubahan struktur ekonomi sangat kecil. Intensitas energi China di tingkat regional sangat bervariasi. Diantara 27 provinsi yang diteliti, intensitas energi tertinggi adalah enam atau tujuh kali lebih tinggi dari yang terendah. Selama periode 1997-2007, rata-rata intensitas energi
41
menurun. Sesuai dengan tren nasional, penurunan ini terutama disebabkan peningkatan efisiensi, sedangkan perubahan struktural ekonomi memiliki kontribusi yang kecil. Perubahan dalam intensitas energi sangat tidak merata, beberapa daerah mengalami penurunan intensitas energi yang substansial sementara beberapa daerah lain justru mengalami peningkatan selama tahun 19972007, selain itu tidak terbukti adanya konvergensi intensitas energi regional selama periode penelitian.
Sumber: Wu, 2011
Gambar 2.5
Tren Intensitas Energi, Indeks Efisiensi dan Indeks Struktur Ekonomi di China Tahun 1997-2007
Secara umum, wilayah barat memiliki intensitas energi tertinggi pada tahun 1997 kemudian diikuti oleh wilayah pusat dan wilayah pesisir. Selama dekade 1997-2007, intensitas energi menurun di 23 daerah dari 27 daerah yang dianalisis. Beberapa daerah (yaitu, Beijing, Jilin, Inner Mongolia, Guizhou, Qinghai dan Xinjiang) dicatat mengalami penurunan intensitas energi antara tahun 1997 dan 2007. Berdasarkan dua komponen tersebut, peningkatan efisiensi energi merupakan kontributor yang lebih dominan terhadap penurunan intensitas. Untuk menguji determinan variasi regional, maka indeks intensitas energi dan dua komponennya yaitu komponen efisiensi energi (EEit) dan komponen perubahan struktural (SCit) diregresikan terhadap satu set kovariat spesifik wilayah atau variabel penjelas (Xit), dengan persamaan sebagai berikut: ∑
dimana (
merepresentasikan indeks efisiensi (
), indeks perubahan struktural
) untuk wilayah i dan tahun t. Kovariat atau satu set variabel penjelas (
)
42
dipilih untuk menangkap karakteristik spesifik dari masing-masing wilayah atau provinsi. Variabel penjelas yang dimaksud adalah: 1. Pendapatan, disertakan untuk mencerminkan tingkat perkembangan ekonomi di daerah. Hal ini diukur dengan produk regional bruto per kapita (GRP per kapita atau PDRB per kapita) yang dinyatakan dalam harga konstan tahun 2000. Diduga bahwa efisiensi energi secara umum akan meningkat seiring dengan perkembangan ekonomi. Sesuai dengan argumen ini, koefisien dari variabel pendapatan diharapkan negatif. 2. Harga, dimasukkan sebagai variabel penjelas untuk mengevaluasi dampak kenaikan harga bahan bakar (BBM) terhadap intensitas energi. Dikarenakan data harga bahan bakar China tidak tersedia, maka digunakan indeks harga bahan bakar untuk setiap provinsi sebagai proksi dari harga bahan bakar yang dinyatakan dengan tahun dasar 2000. Secara umum, kenaikan harga energi meningkatkan biaya produksi. Produsen akan merespon dengan meningkatkan efisiensi energi, dengan demikian koefisien dari variabel harga diharapkan akan negatif. 3. Rasio modal-tenaga kerja (K-L ratio) dan pertumbuhan capital stock (Krate). Di satu sisi, diduga bahwa energi dan teknologi atau modal adalah bersubstitusi. K-L ratio di sini digunakan sebagai proksi dari tingkat teknologi yang terlibat, jadi variabel K-L ratio mungkin berhubungan negatif dengan intensitas energi. Artinya, intensitas energi diperkirakan menurun ketika teknologi produksi membaik. Pada sisi lain, pertumbuhan capital stock mungkin sampai batas tertentu mencerminkan kecepatan dan struktur mesin tua yang diganti dan karena itu diperkenalkan sebagai ukuran dari kapital yang sudah usang. Kapital yang baru memiliki teknologi hemat energi sehingga lebih efisien. Oleh karena itu, koefisien dari variabel K-L ratio diharapkan akan negatif. Kecenderungan waktu (time trend) juga termasuk dalam model untuk menangkap tren perubahan dari waktu ke waktu dan diharapkan memiliki koefisien negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas energi menurun ketika pendapatan naik. Dengan demikian ekonomi regional China umumnya mengikuti proses dematerialisasi sebagaimana dialami oleh negara-negara maju. Namun
43
dematerialisasi pada tahap pembangunan China saat ini bukan karena pergeseran dalam kegiatan manufaktur melainkan terutama karena peningkatan efisiensi energi di setiap sektor ekonomi. Hal ini dapat diantisipasi bahwa intensitas energi China dapat dikurangi lebih jauh jika perubahan struktural menjadi faktor utama bagi dematerialisasi. Untuk alasan ini, pandangan yang optimis adalah bahwa dalam hal intensitas energi China bahkan bisa tampil lebih baik daripada negaranegara di Asia Timur lainnya seperti Jepang dan Korea Selatan. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa intensitas energi responsif terhadap harga energi baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga mendapatkan harga energi yang tepat adalah penting untuk mengurangi konsumsi energi dan pada akhirnya dapat mengurangi emisi di China. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan non-linier antara intensitas energi dan rasio modal-tenaga kerja, namun semua wilayah China masih di sisi kiri dari kurva berbentuk U terbalik. Oleh karena itu sampel yang digunakan dianggap tidak mendukung argumen bahwa modal dan energi saling bersubstitusi di China. Penelitian ini juga menunjukkan hubungan non-linier antara intensitas energi dan pertumbuhan capital stock. Beberapa daerah di China telah melewati titik balik (turning point) dari kurva U terbalik. Intensitas energi di beberapa wilayah provinsi China dapat dikurangi karena penerapan teknologi hemat energi yang terkandung dalam pertumbuhan kapital/modal baru. Dengan demikian, teknologi baru memainkan peran dalam meningkatkan efisiensi energi sehingga mengurangi intensitas energi, pertumbuhan intensitas modal saja tidak akan membawa penurunan konsumsi energi di China, setidaknya dalam jangka pendek. Faktor-faktor lain seperti harga bahan bakar dan perubahan struktural ekonomi juga penting dan harus menjadi fokus kebijakan ekonomi dalam dekade mendatang. Senada dengan penelitian Wu (2011), penelitian Shi dan Polenske (2005) menunjukkan bahwa tren intensitas energi di China lebih dipengaruhi oleh perbaikan efisiensi dibandingkan dengan perubahan struktur ekonomi. Selain itu, ditemukan bahwa harga energi berpengaruh pada perbaikan efisiensi energi. Intensitas energi bervariasi dan harga energi signifikan secara statistik. Efek harga energi pada intensitas energi adalah persisten sepanjang periode tahun 1980-2002
44
dan elastisitas harga pada intensitas energi tidak tergantung pada apakah harga energi dikendalikan atau tidak oleh pemerintah pusat China. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sektor industri lebih sensitif terhadap perubahan harga energi dibandingkan sektor lainnya terhadap intensitas energi. Oleh karena itu pembuat kebijakan energi perlu untuk membedakan paket kebijakan energi antar sektor ekonomi. Sinton dan Levine (1994) melakukan studi mengenai perubahan intensitas energi di sektor industri China. Studi ini menganalisis relatif pentingnya pergeseran struktural (structural shift) serta perubahan intensitas energi. Sinton dan Levine meneliti tiga kelompok data nilai konsumsi energi dan output yang berbeda dengan menggunakan metode indeks Laspayres untuk menentukan tingkat relatif pergeseran struktural dan perubahan intensitas energi riil pada sektor industri di China pada periode 1980-1990. Dalam studi ini ditemukan bahwa perubahan intensitas riil, intensitas ekonomi subsektor industri yang terdiri dari perubahan intensitas fisik dan faktor-faktor non struktural lainnya merupakan penyebab utama penurunan intensitas energi di China secara signifikan pada tahun 1980-an. Intensitas riil merupakan pendorong utama perubahan intensitas energi di sektor industri. Hasil studi ini menyimpulkan bahwa penurunan intensitas energi diantara subsektor merupakan kunci menurunnya intensitas energi secara keseluruhan. Fisher-Vanden et al. (2003), meneliti faktor pendorong di balik penurunan yang mencolok pada penggunaan energi dan intensitas energi sejak reformasi ekonomi yang diberlakukan tahun 1970-an di China. Dalam studi ini digunakan dua metode analisis yaitu metode dekomposisi Divisia dan analisis regresi. Berdasarkan dekomposisi Divisia, pergeseran sektoral merupakan bagian kecil dari penurunan intensitas energi, meskipun kontribusinya meningkat sedangkan produktivitas energi subsektor berperan besar dalam penurunan intensitas energi. Penurunan penggunaan energi dan intensitas energi disebabkan oleh semakin menurunnya konsumsi batubara di sektor industri. Penelitian ini menggunakan analisis data panel dengan sampel sekitar 2500 perusahaan industri besar dan menengah yang energy intensive di China selama tahun 1997-1999. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya harga relatif, pengeluaran
45
penelitian dan pengembangan (R&D), reformasi kepemilikan di sektor usaha, serta pergeseran dalam struktur industri adalah penggerak utama dari penurunan intensitas energi dan konsumsi energi di China. Song (2011), menggunakan variabel harga energi, pendapatan, investasi, rasio kapital-tenaga kerja, rasio konsumsi energi-produksi energi (energy gap), persentase FDI terhadap total investasi serta urbanisasi untuk mengetahui pengaruh dari variabel-variabel tersebut terhadap intensitas energi di China. Menurut teori, harga energi yang lebih tinggi seharusnya menurunkan intensitas energi, tapi dalam penelitian ini harga energi tidak signifikan memengaruhi intensitas energi. Proses urbanisasi akan memperburuk produktivitas energi. Meskipun FDI menurunkan intensitas energi, tapi melalui jalur investasi yang non-energy intensive. 2.2.4 Intensitas Energi di Indonesia Sejauh ini penelitian tentang intensitas energi agregat di Indonesia belum ditemukan. Beberapa penelitian hanya fokus pada intensitas energi di sektor industri manufaktur. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Pambudi. Pambudi (2009) meneliti faktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi di sektor industri menengah besar dengan menggunakan analisis regresi data panel. Data panel dibangun pada level sektor industri (ISIC dua digit) yang terdiri dari 23 sektor industri menengah-besar pada periode 2000-2005. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pada periode penelitian beberapa industri memiliki lonjakan yang tidak normal. Industri batubara, pengilangan minyak bumi dan pengolahan gas bumi, barang-barang dari hasil pengilangan minyak bumi, dan bahan bakar nuklir memiliki nilai intensitas energi yang sangat besar pada tahun 2004. Industri logam dasar memiliki tren yang selalu naik setiap tahunnya dengan kenaikan di atas rata-rata industri lain, sedangkan pada industri kendaraan bermotor memiliki nilai intensitas yang melonjak naik pada tahun 2002. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa adanya hubungan yang negatif antara intensitas energi dengan total output suatu sektor, intensitas biaya perbaikan dan integrasi vertikalnya. Selain itu adanya hubungan positif antara intensitas energi dengan total upah dan intensitas biaya perbaikan.
46
Studi yang dilakukan oleh Hartono et al. (2011), juga melakukan studi tentang intensitas energi di sektor industri menengah besar. Studi ini menggunakan dua metode untuk menguraikan faktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi di sektor industri yaitu metode dekomposisi Indeks Ideal Fisher dan analisis regresi data panel. Penelitian dilakukan pada 13.743 perusahaan pada periode 2002-2006. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun intensitas energi di sektor industri lebih tinggi dibandingkan dengan level nasional, intensitas energi antar subsektor dalam industri itu sendiri bervariasi. Beberapa sektor memiliki intensitas energi yang rendah, sedangkan beberapa sektor lainnya intensitasnya lebih tinggi. Kondisi ini terjadi sebagai akibat tekanan dari aktivitas ekonomi, tingkat efisiensi energi maupun gabungan dari kedua faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi data panel bahwa upah tenaga kerja, umur perusahaan, capital intensity dan proporsi kapital yang dimiliki oleh pihak swasta memiliki dampak positif terhadap intensitas energi, sedangkan ukuran perusahaan, produktivitas tenaga kerja dan technology intensity memiliki dampak negatif terhadap intensitas energi. 2.2.5 Penelitian Lain yang Mendukung Studi yang dilakukan oleh Thaler (2011) mengenai determinan intensitas energi menggunakan beberapa faktor baik dari faktor geografi, industri, demografi maupun lainnya. Penelitian ini menggunakan data cross section pada tahun 2006 mencakup 160 negara di dunia, tidak termasuk Irak, Afghanistan, Taiwan, Georgia dan Puerto Rico. Hongkong dimasukkan sebagai wilayah administrasi khusus yang dipisahkan dari China. Data yang digunakan diperoleh dari US Energy Information Administration. Untuk menghindari kerancuan, dalam penelitian ini dijelaskan bahwa peningkatan intensitas energi menunjukkan penurunan dalam efisiensi energi. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: a. Standar hidup Standar hidup yang tinggi merupakan indikasi dari meningkatnya pendidikan, meningkatnya konsumsi, meningkatnya leisure, meningkatnya teknologi, dan seluruh perangkat tambahan dalam semua aspek kehidupan dalam suatu
47
negara. Dalam ilmu ekonomi, lingkungan yang lebih baik dan lebih efisien dapat dianggap sebagai barang normal. Artinya, ketika standar hidup meningkat (dan pendapatan meningkat), permintaan untuk lingkungan yang lebih baik dan efisiensi yang lebih besar akan meningkat juga. Variabel standard of living dalam hal ini didefinisikan sebagai PDB riil per pekerja (PDB dibagi dengan angkatan kerja). Diprediksikan koefisien standard of living bertanda negatif, dimana peningkatan standar hidup akan menurunkan intensitas energi. b. Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat di suatu negara seharusnya memiliki efek mendalam pada tingkat intensitas energi. Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, masyarakat diharapkan memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap lingkungan, energi, dan ekonomi. Artinya, warga negara dengan tingkat pendidikan yang tinggi seharusnya memiliki pengetahuan yang lebih besar di semua aspek akademisi, dan terlebih pengetahuan mengenai konservasi energi dan usaha efisiensi energi. Dalam studi ini, variabel education menggunakan Indeks Pendidikan tahun 2006. Dihipotesiskan bahwa peningkatan tingkat pendidikan akan mengurangi intensitas energi (meningkatkan efisiensi energi) karena penduduk suatu negara akan memiliki pemahaman yang lebih besar dan kesadaran mengenai penggunaan energi. c. Impor energi Banyak negara seperti Jepang dan Italia tidak memiliki sumber daya domestik seperti batubara dan minyak yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi mereka sendiri. Tanpa energi yang cukup perekonomian tidak dapat beroperasi pada potensi penuh, sehingga untuk menjembatani kesenjangan antara sumberdaya domestik yang tersedia dan potensi penuh maka kekurangan energi harus dikompensasikan dengan impor dari luar negeri. Mengimpor energi lebih mahal daripada memproduksinya di dalam negeri, sehingga negara yang sangat bergantung pada impor harus mengambil kebijakan khusus agar penggunaan energi mereka efisien dan untuk menghindari biaya energi tinggi. Variabel energy imports didefinisikan sebagai logaritma natural dari produksi energi suatu negara dalam BTU (British Thermal Unit) dibagi dengan
48
konsumsi energi dalam BTU atau
⁄
. Jika rasio
di bawah 1, seperti rasio Amerika Serikat 0,704 menyiratkan bahwa negara harus mengimpor energi untuk memenuhi permintaan domestik. Sebaliknya jika rasio lebih dari 1, seperti Qatar 4,798, menyiratkan bahwa sebuah negara dapat memenuhi sendiri kebutuhannya dan mengekspor sisa produksi energinya ke negara-negara lain. Oleh karena itu, diperkirakan bahwa peningkatan rasio production/consumption akan menurunkan intensitas energi, karena negara yang mampu menutupi kebutuhan energinya cenderung kurang insentif untuk lebih bijaksana dalam menggunakan energi. d. Iklim yang ekstrim Seperti pada umumnya jika cuaca panas, maka dalam rumah atau bangunan orang akan menggunakan pendingin ruangan (AC). Sebaliknya jika cuaca dingin orang akan menggunakan penghangat ruangan. Penggunaan pendingin dan penghangat ruangan memerlukan konsumsi energi yang lebih banyak. Negara-negara yang menghadapi suhu konsisten panas atau dingin harus kehilangan efisiensi karena mereka terus memompa lebih banyak energi ke dalam bangunan dan rumah. Variable extreme climate untuk mengukur variasi dari temperatur. Dihipotesiskan jika jumlah energy degree days meningkat, maka intensitas energi juga akan meningkat. e. Manufaktur Jika suatu negara meningkatkan outputnya, maka diperlukan lebih banyak energi untuk mendukung kegiatan tersebut. Negara-negara yang memiliki berbagai macam industri untuk mencapai tingkat PDB mereka, apakah itu melalui manufaktur, konstruksi, pertambangan, jasa, dan sebagainya. Dari semua jenis industri yang paling banyak mengkonsumsi energi adalah sektor manufaktur. Variabel manufacturing dihitung dengan GDP sektor manufaktur dibagi dengan total GDP negara tersebut. Hal ini diduga bahwa negara-negara yang lebih mengandalkan proses manufaktur untuk output mereka akan memiliki intensitas energi yang lebih tinggi, dan dengan demikian tanda koefisien untuk manufaktur akan positif.
49
f. Energi Terbarukan Dalam upaya untuk menjadi lebih berkelanjutan dan untuk generasi mendatang, banyak negara mengadopsi sumber energi terbarukan sebagai pengganti sumber energi tak terbarukan. Variabel independen renewable energy didefinisikan sebagai jumlah energi negara dari sumber terbarukan (angin, surya, air, panas bumi, dll) dibagi dengan total tingkat konsumsi energi (renewable energy consumption/total consumption). Dihipotesiskan jika rasio (renewable energy consumption/total consumption) meningkat, maka intensitas energi juga akan meningkat. Hal ini dikarenakan sumber energi terbarukan membutuhkan biaya yang mahal dan kurang ekonomis dibandingkan dengan sumber energi tak terbarukan. g. Harga Bahan Bakar Harga bahan bakar yang tinggi memaksa orang untuk menemukan metode alternatif transportasi, apakah itu adalah dengan berjalan, bersepeda, naik kendaraan umum, atau dalam perilaku lainnya. Metode transportasi ini lebih hemat energi, karena dapat mengurangi jumlah energi yang digunakan. Variabel fuel price didefinisikan sebagai rata-rata tertimbang harga bensin dan harga solar di setiap negara, keduanya diukur dalam sen Amerika Serikat. Penimbang harga bensin sebesar 0,60 dan 0,40 untuk harga solar. Bobot atau penimbang didasarkan pada jumlah konsumsi dunia, dimana sekitar 60 persen dari semua bahan bakar yang dikonsumsi adalah bensin. Data diambil dari German Society for Technical Cooperation (GTZ). Diduga bahwa harga energi yang lebih tinggi akan menyebabkan efisiensi energi yang lebih tinggi, dan dengan demikian lebih rendah intensitas energi karena negara-negara dengan harga energi yang tinggi akan cenderung kurang menggunakan mobil mereka dan lebih cenderung untuk menemukan metode alternatif transportasi. Metode yang digunakan adalah regresi linear berganda dengan persamaan sebagai berikut:
50
Hasil penelitian berdasarkan analisis regresi tersebut menunjukkan bahwa variabel standar hidup memiliki tanda negatif. Ini berarti bahwa peningkatan standar hidup menyebabkan penurunan intensitas energi dan dengan demikian peningkatan efisiensi energi. Pendidikan adalah satu-satunya variabel yang berlawanan dengan hipotesis. Tanda yang diprediksi adalah negatif, namun output regresi menghasilkan koefisien positif.Variabel tingkat impor energi sesuai dengan hipotesis yaitu bertanda negatif. Output regresi untuk variabel extreme climate memiliki koefisien dengan tanda positif. Variabel ini memiliki tingkat signifikansi yang tertinggi, jauh di bawah level 1 persen. Variabel manufaktur berhubungan positif dengan intensitas energi. Sedangkan variabel renewable energy menunjukkan bahwa koefisien memiliki tanda positif, yang dapat diartikan bahwa meningkatnya energi terbarukan akan menyebabkan peningkatan dalam intensitas energi. Harga energi yang meningkat menyebabkan intensitas energi turun. Hal ini terlihat dari koefisien harga energi yang negatif. Studi lainnya dilakukan oleh Elias dan Grabik (1980) dengan menggunakan data cross section antarnegara tahun 1978 dan data time series untuk periode 1950-1979, Elias dan Grabik (1980) mengevaluasi intensitas energi dan elastisitas energi di Eropa Timur dan Barat. Dalam studi ini ditemukan bahwa pola konsumsi energi yang lebih tinggi di negara-negara Eropa Timur dibandingkan dengan negara-negara Eropa Barat. Perbedaan intensitas dan elastisitas energi diantara berbagai negara tersebut dapat dijelaskan dalam konteks struktur pola konsumsi energi, tahap-tahap pembangunan ekonomi, suplai energi, kondisi iklim, dan kondisi perekonomian agregat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari struktur politik. Ang (1987) melakukan studi tentang hubungan antara konsumsi energi dan output di enam negara berkembang di Asia Tenggara yaitu menganalisis perubahan struktur permintaan energi oleh sektor pengguna energi dan efeknya pada rasio konsumsi energi terhadap output. Ditemukan bahwa rasio konsumsi energi komersial terhadap output meningkat signifikan antara tahun 1960 dan 1982. Ang mengemukakan lima faktor yang menyebabkan peningkatan ini, antara lain: (i) meningkatnya pangsa output industri dalam PDB; (ii) substitusi bahan bakar komersial ke non-komersial; (iii) tingginya permintaan energi di sektor
51
transportasi; (iv) meningkatnya permintaan listrik di rumah tangga dan sektor komersial; (v) perluasan industri-industri konversi. Negara-negara Asia Tenggara telah mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan peningkatan konsumsi energi dalam 30 tahun terakhir. Sementara hubungan antara permintaan energi dan pertumbuhan ekonomi sangat kuat, penggunaan elastisitas energi berdasarkan konsumsi energi komersial hanya menyediakan gambaran parsial dari hubungan keseluruhan antara konsumsi energi terhadap output terutama di negara berkembang dengan konsumsi energi nonkomersial yang signifikan. Miketa (2001) menganalisis perkembangan intensitas energi di sepuluh industri manufaktur menggunakan pooled data untuk 39 negara industri dan negara berkembang antara 1971 dan 1996 dengan menggunakan analisis data panel. Studi ini mencakup perkembangan intensitas energi dari waktu ke waktu dan
hubungannya
dengan
perkembangan
ekonomi
sektoral
dengan
mempertimbangkan dampak pembentukan modal tetap bruto (PMTB) sektoral dan harga energi di sektor industri terhadap intensitas energi. Studi ini menemukan bahwa PMTB memiliki efek meningkatkan intensitas energi dan efek ini lebih kuat ketika output sektoral lebih besar. Ide lompatan teknologi (technological leapfrogging) yang menurut WRI (2000) memungkinkan negara berkembang untuk memotong beberapa langkah yang dilalui oleh negara industri di masa lalu dan melompat secara langsung ke teknologi kontemporer melalui penggunaan peralatan yang sangat efisien, sistem transportasi, dan teknologi energi lainnya mendorong studi oleh Mielnik dan Goldemberg (2002) untuk melihat efek Foreign Direct Investment (FDI) dan decoupling antara energi dan PDB di negara berkembang. Dengan menggunakan sampel dari 20 negara berkembang, mereka melihat penurunan yang jelas dalam intensitas energi ketika FDI meningkat. Hasil ini mengkonfirmasi asumsi bahwa FDI masuk dengan teknologi modern dengan potensi besar untuk perbaikan efisiensi energi. Indra (2009) meneliti dinamika hubungan intensitas energi dan pendapatan per kapita di sepuluh negara Asia Pasifik. Hasil penelitian ini menemukan bahwa selama periode 1980-2005, terjadi pergeseran tren intensitas energi dari negara-
52
negara yang dikaji. Negara-negara maju dengan pendapatan per kapita relatif tinggi cenderung mengalami penurunan intensitas energi seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita. Di lain pihak, peningkatan pendapatan per kapita di negara-negara berkembang selama periode tersebut cenderung belum dapat menurunkan intensitas energinya. Intensitas energi juga konsumsi energi per kapita memiliki hubungan yang non-linier (kuadratik) dengan pendapatan per kapita. Hasil estimasi ini konsisten dengan hipotesis EKC. Hasil estimasi menunjukkan bahwa koefisien harga energi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang signifikan mempengaruhi konsumsi energi per kapita. Disini ditemukan tanda koefisien harga energi bernilai negatif dan sangat inelastis. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi energi per kapita tidak terlalu responsif terhadap perubahan harga energi. Di samping itu, juga ditemukan bahwa harga energi lebih elastis dalam jangka panjang dibandingkan dalam jangka pendek. Hal ini dikarenakan energi merupakan barang esensial seperti halnya pangan pokok yang relatif sulit dicari substitusinya dalam jangka pendek dibandingkan dalam jangka panjang. Soile dan Balogun (2011) melakukan studi untuk meneliti faktor-faktor penentu intensitas energi agregat berdasarkan kelimpahan sumberdaya alam. Menggunakan metode deskriptif dan analitis, penelitian ini menemukan bahwa intensitas
penggunaan
energi
bervariasi
anatarnegara
dan
antarwaktu.
Menariknya, hasil dari penelitian empiris menguatkan kesimpulan utama dari analisis deskriptif. Studi ini mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi intensitas energi yang diuji di empat negara-negara berkembang dari dua daerah yang berbeda dengan berbagai tingkat kelimpahan sumberdaya, yaitu Singapura dan Philipina mewakili negara yang langka sumberdaya (negara yang produksi migasnya kurang dari 10 persen konsumsinya), sedangkan Iran dan Saudi Arabia mewakili negara yang melimpah sumberdaya energinya (negara pengekspor minyak bumi). Dua kesimpulan utama dapat ditarik dari penelitian. Pertama, pola intensitas penggunaan energi di negara-negara yang langka sumberdaya berbeda dengan negara yang sumberdayanya melimpah. Kedua, pengaruh beberapa faktor seperti harga energi dan perubahan teknologi terhadap intensitas energi tergantung pada kelimpahan/anugerah sumberdaya, sedangkan faktor lainnya adalah faktor
53
spesifik untuk masing-masing negara. Selain itu, studi ini juga menyimpulkan bahwa kelimpahan sumberdaya mendorong kurang optimalnya efisiensi energi. Pertumbuhan yang cepat dalam populasi dan ekonomi jelas membutuhkan meningkatnya penggunaan energi, dan biasanya konsumsi energi tumbuh lebih cepat dari PDB di negara berkembang. Hal ini merupakan hasil dari perubahan besar yang terkait dengan pembangunan termasuk industrialisasi, meningkatnya rasio modal-tenaga kerja, energi substitusi, pertumbuhan infrastruktur, dan urbanisasi, yang semuanya menyebabkan kenaikan konsumsi energi dan rasio energi terhadap GDP. Laponche (2006) mengemukakan bahwa intensitas energi tergantung pada beberapa faktor antara lain: iklim, ukuran negara, struktur dari aktivitas ekonomi (apakah perekonomian didominasi oleh sektor industri, sektor tersier atau transportasi dan sebagainya), the way of life (misalnya antara Amerika Serikat dan Eropa Barat memiliki way of life yang berbeda), teknik dan pola konsumsi energi (dari sisi permintaan) dan dari sistem produksi energi dan transformasi (sisi penawaran). Intensitas energi mengindikasikan apakah perekonomian suatu negara atau wilayah atau dunia secara global lebih energy intensive atau kurang energy intensive. Ibrahim (2011) melakukan studi mengenai keterkaitan antara konsumsi energi, pendapatan riil dan harga energi di Saudi Arabia dengan menggunakan data tahunan untuk periode waktu 1982-2007. Metode analisis yang digunakan adalah uji unit root, model Vector Autoregressive (VAR), uji kausalitas, impulse response functions dan forecast error variance decompositions. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan kausalitas dua arah antara konsumsi energi dan pendapatan. Pendapatan riil dan konsumsi energi memengaruhi harga energi, sebaliknya harga energi tidak memengaruhi pendapatan riil maupun konsumsi energi. Pendapatan riil memainkan peran penting dalam kebijakan yang menargetkan untuk meningkatkan efisiensi energi di Arab Saudi. Penelitian mengenai hubungan kausal antara konsumsi listrik, indeks harga konsumen, total pengeluaran konsumen, GDP dan FDI di Malaysia dilakukan oleh Bekhet dan Othman (2011). Metode yang digunakan adalah vector error correction
model
(VECM).
Semua
variabel
dalam
sistem
persamaan
54
terkointegrasi, hal ini mengindikasikan adanya hubungan jangka panjang antar variabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada jangka panjang, kausalitas konsumsi listrik terhadap FDI, pertumbuhan GDP dan inflasi (IHK) adalah signifikan. Hal ini menandakan bahwa konsumsi listrik adalah elemen penting yang menentukan pertumbuhan ekonomi di Malaysia dan alat yang powerful dalam mengeksekusi kebijakan pemerintah untuk penghematan energi. Para pembuat kebijakan seharusnya mengetahui betapa pentingnya kestabilan suplai listrik untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini dilakukan analisis mengenai dinamika konsumsi dan intensitas energi di Indonesia serta faktor-faktor yang memengaruhinya dengan menggunakan dua metode yaitu metode dekomposisi Indeks Ideal Fisher (terdiri dari komponen aktivitas ekonomi dan komponen efisiensi) serta analisis ekonometrik time series (VAR/VECM). Metode dekomposisi Indeks Ideal Fisher tidak hanya digunakan untuk mendekomposisi intensitas energi di tingkat nasional, tetapi juga dilakukan di empat sektor pengguna energi yaitu sektor industri, transportasi, komersial (jasa) dan sektor lainnya. Metode analisis ekonometrik digunakan untuk mengetahui determinan atau faktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi menggunakan empat variabel ekonomi (yaitu pendapatan per kapita, pertumbuhan penduduk, harga dan impor energi) hanya dilakukan di tingkat nasional. Data yang digunakan adalah data time series tahun 1977-2010. 2.3
Kerangka Pemikiran Saat ini Indonesia dihadapkan pada beberapa isu penting di bidang energi
yaitu pertumbuhan konsumsi energi yang tinggi tetapi pemanfaatannya tidak efisien dan cenderung boros serta suplai energi yang masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Perubahan struktur ekonomi Indonesia dari pertanian ke industri, adanya peningkatan aktivitas ekonomi serta perubahan pola hidup masyarakat sangat memengaruhi laju peningkatan konsumsi energi di semua sektor. Selama ini, sekitar 90 persen kebutuhan energi dipenuhi melalui eksploitasi sumberdaya energi yang tidak terbarukan dan setengahnya berasal dari minyak bumi (KNLH, 2005).
55
Bahan bakar fosil merupakan sumber energi yang tidak terbarukan dimana keberadaannya lambat laun akan habis atau menimbulkan masalah kelangkaan energi yang tentunya akan membawa berbagai dampak negatif terhadap kehidupan manusia. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini atau paling tidak menunda terjadinya kelangkaan, salah satunya adalah dengan menggunakan atau memanfaatkan energi secara efisien. Konsep intensitas energi (rasio konsumsi energi per PDB) sering digunakan untuk menggambarkan tingkat efisiensi energi. Intensitas energi mengacu pada energi yang digunakan atau diperlukan per unit output. Penurunan intensitas energi dari waktu ke waktu dapat menjadi indikator perbaikan dalam efisiensi energi. Intensitas energi untuk setiap wilayah atau negara berbeda-beda yang dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor sosial maupun ekonomi dan karakteristik spesifik masing-masing wilayah atau negara tersebut. Pertanyaannya adalah: (i) bagaimana dengan konsumsi dan intensitas energi di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun di tingkat sektor-sektor pengguna energi seperti sektor industri, transportasi, jasa-jasa, rumah tangga, dan sektor lainnya?; (ii) sektorsektor mana saja yang menggunakan energi lebih efisien?; (iii) komponen apa yang lebih berperan dalam tren perubahan intensitas energi?; (iv) faktor-faktor apa saja yang memengaruhi intensitas energi?; dan (v) seberapa besar dampak faktorfaktor ekonomi terhadap intensitas energi?. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pertama dilakukan analisis deskriptif yang menggambarkan dinamika konsumsi dan intensitas energi di Indonesia serta mengidentifikasi sektor-sektor mana yang lebih efisien dalam menggunakan energi. Langkah selanjutnya adalah melakukan dekomposisi untuk melihat komponen (efek) apa yang paling berperan dalam tren perubahan intensitas energi apakah efek efisiensi ataukah efek aktivitas ekonomi. Lebih lanjut, diuraikan faktor-faktor yang memengaruhi intensitas energi dan merumuskan kebijakan yang diharapkan lebih efektif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi di Indonesia. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini sajikan dalam Gambar 2.6.
56
Permasalahan Energi: 1. Terbatasnya Sumber Energi Tak Terbarukan 2. Meningkatnya Konsumsi Energi 3. Penggunaan Energi Relatif Boros
-
Faktor-faktor yang Memengaruhi: Pendapatan per kapita Harga energi Pertumbuhan penduduk Impor energi
VAR/VECM
Intensitas Energi (Rasio Konsumsi Energi PDB)
Tren Perubahan
Dekomposisi Fisher
Efek Efisiensi
Efek Aktivitas Ekonomi
Determinan Intensitas Energi di Indonesia
Implikasi Kebijakan
Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran
Analisis Deskriptif
III. METODE PENELITIAN 3.1
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Energy Information Administration (EIA). Data sekunder yang digunakan antara lain PDB sektoral, jumlah penduduk, konsumsi energi akhir, suplai energi primer, harga energi dan data-data pendukung lainnya. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari tahun 1977 sampai dengan tahun 2010. Data yang dikumpulkan sudah berupa data riil atau sudah merujuk pada tahun dasar (tahun 2000). 3.2
Metode Analisis
3.2.1 Analisis Deskriptif Analisis
deskriptif
merupakan
analisis
sederhana
yang
bertujuan
mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan memberikan pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram. Fungsi analisis deskriptif adalah untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Gambaran umum ini dapat menjadi acuan untuk melihat karakteristik data yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, analisis deskriptif digunakan untuk memberikan suatu gambaran secara umum mengenai dinamika konsumsi energi dan intensitas energi di Indonesia. 3.2.2 Dinamika Intensitas Energi dan Dekomposisinya Dalam penelitian ini digunakan metode dekomposisi Indeks Ideal Fisher untuk lebih memahami dinamika perubahan intensitas energi di Indonesia dan dekomposisinya. Indeks Ideal Fisher dapat mendekomposisi intensitas energi menjadi dua komponen yaitu komponen efisiensi (efficiency effect) dan komponen aktivitas (activity effect). Dari analisis dekomposisi Indeks Ideal Fisher dapat digunakan untuk mengetahui apakah tren perubahan intensitas energi dari waktu ke waktu lebih disebabkan oleh komponen efisiensi atau komponen aktivitas ekonomi (pergeseran struktur ekonomi). Dalam penelitian ini, akan diteliti
58
intensitas energi nasional yang dibagi dalam lima sektor yaitu sektor industri, transportasi, komersial (jasa-jasa), rumah tangga dan sektor lainnya. Intensitas energi
dapat ditulis sebagai fungsi komponen efisiensi energi
dan aktivitas/kegiatan ekonomi. Secara spesifik dapat dituliskan sebagai (Oseni, 2011 ):
∑
( )( )
∑
(3.1)
Keterangan: = Intensitas energi = Total konsumsi energi pada tahun t = Konsumsi energi sektor i pada tahun t = PDB tahun t = Ukuran kegiatan ekonomi di sektor i pada tahun t = Komponen efisiensi = konsumsi energi sektor i/value added sektoral = Komponen aktivitas ekonomi = value added sektoral/PDB i
= sektor (industri, transportasi, komersial, rumah tangga, lainnya)
t
= tahun
n
= jumlah sektor Konsumsi energi di semua sektor harus sama dengan jumlah total konsumsi
energi tetapi ukuran kegiatan ekonomi tidak harus sama dengan jumlah PDB karena satuan yang digunakan bisa berbeda. Persamaan (3.1) juga menyatakan bahwa total intensitas energi adalah fungsi dari efisiensi energi ekonomi
dan aktivitas
), dengan kata lain total intensitas energi dapat didekomposisi oleh
dua komponen tersebut. Menurut Song (2011), komponen efisiensi (efficiency improvement) mengacu pada penurunan atau pengurangan penggunaan energi per unit aktivitas ekonomi di masing-masing sektor ekonomi (within a sector), sedangkan aktivitas ekonomi mengacu atau menangkap kontribusi perubahan struktur ekonomi terhadap dinamika perubahan intensitas energi. Dapat juga dikatakan bahwa aktivitas ekonomi mengacu pada perubahan struktur ekonomi atau pergeseran aktivitas ekonomi yang energy intensive ke aktivitas ekonomi yang non energy intensive antar sektor (across sectors) ataupun sebaliknya.
59
Total intensitas energi pada tahun dasar dinotasikan sebagai indeks intensitas energi dinotasikan sebagai
, sedangkan
⁄ , maka tren perubahan intensitas
energi agregat dapat diekspresikan sebagai:
∑
(3.2)
Atau dapat dituliskan dalam bentuk dua fungsi Eff dan Act, sehingga (3.3) dimana
dan
masing-masing adalah efisiensi energi dan aktivitas ekonomi
pada sektor i dan waktu t dan fungsi indeks Eff dan Act masing-masing merepresentasikan efisiensi agregat dan aktivitas ekonomi . Mengacu pada Metcalf (2008) dan Oseni (2011), indeks intensitas energi dapat didekomposisi ke dalam indeks efisiensi dan aktivitas, dengan ketentuan bahwa sektor yang menjelaskan semua penggunaan energi dalam perekonomian tidak tumpang tindih (overlap) dan tersedianya ukuran kegiatan ekonomi yang dapat digunakan untuk membangun suatu ukuran intensitas energi. Tahap pertama yaitu membangun indeks efisiensi yang merupakan komposisi Indeks Laspeyres dan Indeks Paasche. Indeks Laspeyres dapat dituliskan sebagai: ∑
(3.4)
∑ ∑
(3.5)
∑
dan Indeks Paasche dapat dituliskan sebagai: ∑
(3.6)
∑ ∑
(3.7)
∑
dimana
dan
merepresentasikan nilai efisiensi dan indeks aktivitas pada
tahun dasar sedangkan
dan
masing-masing indeks efisiensi dan aktivitas
pada tahun sekarang. Indeks Laspeyres menggunakan periode tertimbang tahun dasar, sedangkan Indeks Paasche menggunakan periode tertimbang tahun sekarang, sehingga Indeks Fideal Fisher dapat dituliskan sebagai: (3.8) (3.9)
60
Sama halnya dengan indeks intensitas energi, indeks efisiensi (Eff) dan indeks aktivitas ekonomi (Act) menghasilkan agregasi seluruh sektor untuk intensitas energi (analog dengan indeks harga) dan baik efisiensi maupun aktivitas ekonomi (analog dengan indeks kuantitas). Indeks Ideal Fisher merupakan indeks yang dapat mendekomposisi secara sempurna terhadap total intensitas energi ke dalam indeks efisiensi energi
dan indeks kegiatan ekonomi
tanpa
ada residual: (3.10) Indeks Ideal Fisher sangat bagus digunakan untuk mendekomposisi intensitas energi karena tidak mengandung residual term seperti halnya metode dekomposisi lainnya, dimana residual term akan menimbulkan sedikit kesulitan dalam interpretasi dari efek efisiensi dan efek kegiatan ekonomi. Dekomposisi ini berguna untuk melihat perubahan dalam intensitas energi lebih disebabkan oleh efek aktivitas ekonomi atau efek peningkatan efisiensi energi. Dalam penelitian ini diduga tren perubahan intensitas energi di Indonesia lebih disebabkan oleh efek atau komponen aktivitas ekonomi yaitu karena adanya pergeseran struktur ekonomi dari sektor pertanian (agraris) ke sektor industri (manufaktur). Energi yang bisa dihemat
karena perubahan intensitas energi didefinisikan sebagai:
̂
(3.11)
Keterangan: = konsumsi energi aktual ̂ = konsumsi energi yang akan terjadi jika intensitas energi tetap seperti pada tahun dasar (=1977) Hubungan antara energi yang bisa dihemat (energy savings) dengan efek efisiensi dan efek kegiatan ekonomi dapat dituliskan sebagai berikut: (
)
(
)
(3.12)
Pada level nasional, pengukuran kegiatan ekonomi terkait dengan permintaan dalam masing-masing sektor. Pada Tabel 3.1 ditampilkan variabelvariabel yang digunakan sebagai proksi untuk menghitung efek efisiensi dan efek aktivitas ekonomi untuk masing-masing sektor.
61
Tabel 3.1 Variabel-variabel Kegiatan Ekonomi, Efisiensi Energi dan Intensitas Energi Menurut Sektor No
Sektor
Komponen aktivitas ekonomi
Komponen efisiensi energi
1.
Industri
Nilai tambah di sektor 61industri/PDB
Konsumsi energi/nilai tambah di sektor industri
2.
Transportasi
Nilai tambah di sektor transportasi/PDB
Konsumsi energi/nilai tambah di sektor transportasi
3.
Komersial
Nilai tambah di sektor komersial/PDB
Konsumsi energi/nilai tambah di sektor komersial
4.
Rumah tangga
Pengeluaran konsumsi rumah tangga agregat/PDB
Konsumsi energi/pengeluaran konsumsi rumah tangga agregat
5
Lainnya
Nilai tambah di sektor lainnya/PDB
Konsumsi energi/nilai tambah di sektor lainnya
6.
Total
PDB
Total konsumsi energi/PDB
Untuk
penjelasan
lebih
lanjut,
sektor-sektor
pengguna
energi
dapat
diklasifikasikan sebagai berikut (KESDM, 2012): 1. Sektor industri terdiri dari industri pengolahan non migas yang terdiri dari sembilan subsektor yaitu: ISIC (International Standard Industrial Classification) 31= Makanan, minuman dan tembakau; 32= Tekstil, barang kulit dan alas kaki; 33= Barang kayu dan hasil hutan lainnya; 34= Kertas dan barang cetakan; 35= Pupuk, kimia dan barang dari karet; 36= Semen dan barang galian bukan logam; 37= Logam dasar besi dan baja; 38= Alat angkutan, mesin dan peralatannya; dan 39= Barang lainnya. 2. Sektor transportasi meliputi transportasi darat, laut, udara dan kereta api. 3. Sektor komersial terdiri dari: Perdagangan, hotel dan restoran; Keuangan, real estate dan jasa perusahaan; Jasa-jasa pemerintahan umum dan swasta. 4. Rumah tangga. 5. Sektor lainnya terdiri dari: pertanian, pertambangan dan konstruksi. Analisis dekomposisi Indeks Ideal Fisher di tingkat nasional dapat dilakukan dengan mendisagregasi variabel-variabel kegiatan ekonomi, efisiensi energi dan intensitas energi ke dalam lima sektor yaitu sektor industri, transportasi, komersial, rumahtangga dan sektor lainnya. Analisis dekomposisi Indeks Ideal Fisher di tingkat pengguna energi (sektoral) dilakukan di empat sektor yaitu sektor industri, transportasi, komersial dan sektor lainnya dimana sektor- sektor tersebut dapat didisagregasi ke dalam masing-masing subsektornya
62
sesuai klasifikasi tersebut di atas. Analisis dekomposisi tidak dapat dilakukan di sektor rumah tangga karena rumah tangga berdiri sendiri atau tidak terdapat subsektor di dalamnya. 3.2.3 Analisis Model Ekonometrika Analisis dekomposisi hanya menggambarkan bagaimana energi yang dikonsumsi untuk menghasilkan per unit output telah berubah dari waktu ke waktu di berbagai sektor ekonomi tapi tidak bisa memberikan informasi secara rinci mengenai kekuatan pendorong (forces driving) yang menyebabkan perubahan tersebut. Untuk lebih memahami kekuatan utama dari perubahan intensitas energi maka dalam penelitian ini akan digunakan analisis ekonometrika untuk mengestimasi dampak dari faktor-faktor ekonomi terhadap intensitas energi di Indonesia. Dalam penelitian ini, sebelum dilakukan estimasi model ekonometrik dengan data time series, maka ada beberapa tahapan yang harus dilakukan seperti pada Gambar 3.1 berikut ini: Data Time Series Pada Level
Uji Stasioneritas (Unit Root)
Stasioner
Tidak Stasioner
Uji Kointegrasi Pada Level
Uji Unit Root Pada First Difference Stasioner
Terkointegrasi
VAR
VECM
Tidak Terkointegrasi
VAR FD
Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Decomposition of Variance(FEVD)
Gambar 3.1
Tahapan Analisis Data Time Series dalam Penelitian
63
Penelitian ini menggunakan analisis vector autoregression (VAR) jika data yang digunakan stasioner atau menggunakan analisis vector error correction model (VECM) jika data yang digunakan tidak stasioner namun terkointegrasi. Jika semua variabel tidak terkointegrasi tetapi stasioner pada first difference maka akan digunakan analisis VAR first difference (VAR FD). Analisis data secara kuantitatif dengan pendekatan model VAR atau model VECM mencakup dua alat analisis utama yaitu impulse response function (IRF) dan forecast error decomposition of variance (FEDV). Sebelum dilakukan analisis VAR atau VECM ada beberapa prosedur estimasi yang akan digunakan dalam studi ini, yaitu terdiri dari: (1) uji akar-akar unit (unit root test), (2) penentuan panjang lag, dan (3) uji kointegrasi (Johansen cointegration test). Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Microsoft Excel 2010 dan program Eviews 6.0. Mengacu pada penelitian Ibrahim (2011) serta Bekhet dan Othman (2011), maka dalam penelitian ini digunakan metode analisis ekonometrik time series VAR/VECM, selain itu juga dilatarbelakangi oleh beberapa alasan antara lain: 1. Kebijakan energi di Indonesia masih dalam lingkup nasional, belum diimplementasikan dan dijabarkan dalam kebijakan energi daerah sehingga semua daerah/wilayah Indonesia hanya berpedoman atau mengacu pada kebijakan energi nasional. 2. Data konsumsi energi di Indonesia hanya tersedia dalam level nasional, belum bisa didisagregasi menjadi konsumsi energi per daerah atau provinsi sehingga tidak memungkinkan menggunakan metode analisis data panel. 3. Metode regresi linear atau Ordinary Least Square (OLS) tidak digunakan dalam penelitian ini karena pada umumnya data time series tidak stasioner pada level, sedangkan metode OLS mensyaratkan data harus stasioner. 3.2.3.1 Vector Autoregression (VAR) Model VAR dipopulerkan pertama kali oleh Sims pada tahun 1980. Model ini merupakan pengembangan dari model autoregression (AR) univariate. Model VAR merupakan sistem persamaan yang memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari variabel itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem persamaan. Jadi variabel penjelas
64
dalam VAR meliputi nilai lag seluruh variabel tak bebas dalam sistem. Metode VAR merupakan salah satu bentuk model makro-ekonometrika yang sering digunakan untuk melihat permasalahan fluktuasi ekonomi. Pendekatan VAR muncul ketika Sims mengkritik pendekatan tradisional atas permodelan struktural makro-ekonometrik karena memberikan restriksi yang berlebihan dan memperhatikan umpan balik yang terjadi antar variabel yang digunakan. Sims mengusulkan penggunaan pendekatan VAR yang memasukan pengaruh dan mengakomodasi seluruh interaksi dinamis yang terjadi antar variabel. Pada model VAR, seluruh variabel akan diperlakukan secara simetris sebagai variabel endogen (variabel yang nilainya ditentukan dalam model) dan setiap variabel endogen adalah fungsi dari nilai lag dari semua variabel endogen untuk menghindari masalah bias simultan. Selain itu, model VAR dapat dengan mudah diestimasi dengan menggunakan metode OLS, karena di sisi kanan masing-masing persamaan mengandung variabel predetermined yang sama dengan varian galat (error) yang konstan. Model VAR merupakan suatu bentuk pendekatan penyederhanaan yang tidak akan menjelaskan hubungan struktural jika sejumlah asumsi identifikasi tidak dimasukkan, hal tersebut juga membantu memecahkan masalah kerumitan proses estimasi dan inferensi yang terjadi ketika terdapat variabel endogen di kedua sisi persamaan (sisi dependen dan sisi independen). Asumsi yang harus dipenuhi dalam metode VAR yaitu semua variabel tak bebas harus bersifat stasioner (mean, variance dan covariance bersifat konstan) dan semua sisaan bersifat white noise yakni memiliki rataan nol, ragam konstan dan saling bebas. Dibandingkan dengan metode ekonometrika konvensional, metode VAR memiliki keunggulan, diantaranya yaitu: 1.
Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks (multivariate), sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan itu. Hubungan yang terdeteksi bisa bersifat langsung ataupun tidak langsung.
2.
Uji VAR yang bersifat multivariat bisa menghindari parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan.
65
3.
Metode VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel dalam sistem persamaan, yaitu dengan menjadikan seluruh variabel menjadi endogenous.
4.
Metode VAR bekerja berdasarkan data sehingga terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi.
5.
Dengan teknik VAR maka yang akan terpilih hanya variabel yang relevan untuk disinkronisasi dengan teori yang ada. Selain memiliki kelebihan, metode VAR juga memiliki kelemahan, adapun
beberapa kelemahan yang dimiliki model VAR antara lain: 1.
Model VAR lebih bersifat ateoritik karena tidak memanfaatkan informasi atau teori terdahulu. Oleh karenanya, model tersebut sering disebut model yang tidak struktural.
2.
Mengingat tujuan utama model VAR untuk peramalan, maka model VAR kurang cocok untuk menganalisis kebijakan.
3.
Pemilihan banyaknya lag yang digunakan dalam persamaaan juga dapat menimbulkan permasalahan dalam proses estimasi. Secara garis besar terdapat empat hal yang ingin diperoleh dari
pembentukan sebuah sistem persamaan yaitu deskripsi data, paramalan, inferensi struktural dan analisis kebijakan. VAR menyediakan alat analisa bagi keempat hal tersebut melalui empat macam penggunaan dalam bentuk : 1.
Forecasting, ekstrapolasi nilai saat ini dan masa depan seluruh variabel dengan memanfaatkan seluruh informasi masa lalu variabel.
2.
Impulse response functions (IRF), melacak respon saat ini dan masa depan dari setiap variabel akibat perubahan atau shock suatu variabel tertentu.
3.
Forecast error decomposition of variance (FEVD), memprediksi kontribusi persentase varian setiap variabel terhadap suatu perubahan tertentu.
4.
Granger causality test, mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel. Pemodelan VAR adalah bentuk pemodelan yang digunakan untuk
multivariate time series. Model VAR menjadikan semua variabel bersifat endogen. Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya selang (lag) yang digunakan dalam model. Variabel yang digunakan dalam persamaan VAR dipilih berdasarkan teori ekonomi yang relevan. Pemilihan selang optimal kemudian akan menggunakan kriteria informasi seperti (a) Kriteria
66
uji likelihood ratio (LR); (b) final prediction error (FPE); (c) Akaike information criterion (AIC); (d) Schwarrz information criterion (SIC); dan (e) Hannan-Quinn criterion (HQ). Model VAR secara matematis dapat diwakili oleh (Enders, 2004): ∑
(3.13)
Keterangan: adalah vektor dari variabel-variabel endogen berdimensi (n x 1),
adalah
vektor dari variabel-variabel eksogen termasuk di dalamnya konstanta (intercept) dan tren,
adalah matriks-matriks koefisien berdimensi (n x n) dan
adalah
vektor dari residual-residual yang secara kontemporer berkorelasi tetapi tidak berkorelasi dengan nilai lag mereka sendiri dan juga tidak berkorelasi dengan seluruh variabel yang ada dalam sisi kanan persamaan diatas. 3.2.3.2 Vector Error Correction Model (VECM) VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi. Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Ketika dua atau lebih variabel yang terlibat dalam suatu persamaan pada data level tidak stasioner, maka kemungkinan terdapat kointegrasi pada persamaan tersebut. Jika setelah dilakukan uji kointegrasi terdapat persamaan kointegrasi dalam model yang kita gunakan maka dianjurkan untuk memasukkan persamaan kointegrasi ke dalam model yang digunakan. Kebanyakan data time series memiliki I(1) atau stasioner pada first difference. Dalam rangka mengantisipasi hilangnya informasi jangka panjang, dalam penelitian ini akan digunakan model VECM jika ternyata data yang digunakan I(1). VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Oleh karena itu VECM disebut juga desain VAR bagi series non stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keadaan dinamisasi jangka pendek. Istilah kointegrasi dikenal juga sebagai error, karena deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui series parsial penyesuaian jangka pendek. VECM standar
67
didapat dari model VAR dikurangi dengan
.
Persamaan matematis
ditunjukkan oleh persamaan berikut (Achsani dan Nababan, 2007): ∏
∑
(3.14)
Keterangan: ∏ dan
adalah fungsi dari
berdimensi (n x r)
, matriks ∏ bisa didekomposisi ke dalam 2 matriks
dan ; ∏
sebagai vektor kointegrasi dan
, dimana
disebut matriks penyesuaian dan
adalah cointegration rank. Kerangka
kointegrasi hanya sesuai jika variabel-variabel yang berhubungan terintegrasi. Hal ini bisa diuji dengan menggunakan uji akar unit. Saat tidak bisa ditemukan akar unit, maka metode ekonometrik tradisional dapat diterapkan. 3.2.3.3 Pengujian Pra Estimasi Sebelum melakukan estimasi VAR/VECM, maka ada beberapa tahapan pengujian yang harus dilakukan. Pengujian-pengujian tersebut antara lain uji stasioneritas data, penentuan lag optimal dan pengujian kointegrasi. 1.
Uji Stasioneritas Data Hal penting yang berkaitan dengan studi atau penelitian yang menggunakan
data time series adalah stasioneritas. Data deret waktu dikatakan stasioner jika data menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu atau dengan kata lain tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data, secara kasarnya data harus horizontal sepanjang sumbu waktu. Uji akar unit (unit root) dipandang sebagai uji stasioneritas, karena pada intinya uji tersebut bertujuan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari model autoregresif yang ditaksir mempunyai nilai atau tidak. Jika data runtun waktu (time series) yang digunakan tidak stasioner, maka kesimpulan yang diperoleh akan menghasilkan pola hubungan regresi yang semu (spurious regression). Spurious regression akan menggambarkan hubungan antar dua variabel atau lebih yang secara statistik nampaknya signifikan, padahal kenyataannya tidak atau tidak sebesar hasil regresi tersebut. Penggunaan data yang tidak stasioner meningkatkan kecenderungan menolak hipotesis nol atau memberikan kesimpulan bahwa regresi yang dihasilkan signifikan secara statistik. Uji signifikansi biasanya menggunakan uji t seperti berikut ini:
68
̂
(3.15)
̂
Data yang tidak stasioner biasanya mengalami gejala autokorelasi dan apabila ̂ yang cenderung kecil. Hal
gejala ini diabaikan maka akan diperoleh nilai
ini berkaitan dengan hasil penghitungan pada uji t dimana akan memperoleh nilai t yang lebih besar daripada yang seharusnya sehingga kecenderungan untuk menolak hipotesis nol akan meningkat. Spurious regression dapat terjadi jika data time series yang digunakan mengandung unsur trend yang kuat. Tingginya R2 tidak disebabkan oleh adanya hubungan yang sebenarnya terjadi antar variabel time series, melainkan disebabkan oleh adanya unsur trend tersebut. Suatu data dikatakan bersifat stasioner jika memenuhi tiga kriteria. Enders (2004) menyebutkan bahwa stasioner untuk setiap waktu dan
jika:
a. rata-ratanya konstan sepanjang waktu (3.16) b. variannya konstan sepanjang waktu atau
(3.17)
c. kovariannya juga konstan atau (
)
(3.18)
Ada beberapa cara untuk melakukan uji akar unit root, namun yang paling banyak adalah dengan Augmented Dicky Fuller (ADF) test. Misalkan model persamaan time series sebagai berikut (Pasaribu, 2003): (3.19) Keterangan: adalah parameter yang akan diestimasi dan
diasumsikan white noise dimana
variabel yang digunakan tersebut memiliki mean dan variance yang konstan dan kovarian sama dengan nol. Jika | | stasioner, dan varian dari
, maka
adalah variabel yang tidak
akan meningkat sejalan dengan peningkatan waktu
dan cenderung untuk tak berhingga. Jika | |
, maka
adalah variabel yang
stasioner. Hipotesis trend stationarity dapat dievaluasi dengan menguji apakah
69
nilai absolut dari
lebih kecil dari satu. Pengujian umum terhadap hipotesis diatas
adalah:
(3.20) Kemudian
dengan
mengurangi
kedua
sisi
persamaan
(3.19)
dengan
didapat persamaan: (3.21) Dimana
mengidentifikasikan perbedaan pertama, sedangkan
sehingga hipotesis nol menjadi
,
, sedangkan hipotesis alternatif menjadi
. Sedangkan model umum dari ADF yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Pasaribu, 2003): (3.22) Kesimpulan menerima atau menolak hipotesis nol berdasarkan nilai statistik ADF yang didapatkan dari nilai statistik t. Jika nilai t-statistik ADF lebih kecil dari tstatistik kritis MacKinnon maka keputusannya adalah menolak
yang
menyatakan bahwa data data bersifat stasioner. 2.
Penetapan Lag Optimal Uji lag optimal dilakukan untuk mengetahui berapa jumlah lag yang sesuai
untuk model. Penetapan tingkat lag optimal dapat dilakukan dengan menggunakan fungsi kriteria informasi sebagai berikut: (a) Kriteria uji likelihood ratio (LR); (b) final prediction error (FPE); (c) Akaike information criterion (AIC); (d) Schwarrz information criterion (SIC); dan (e) Hannan-Quinn criterion (HQ). Penentuan lag optimal dalam analisis VAR sangat penting dilakukan karena variabel endogen dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen (Enders, 2004). Pengujian panjang lag optimal ini berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Dalam penelitian ini digunakan semua kriteria informasi untuk menentukan lag optimal. Model VAR diestimasi dengan lag yang berbeda-beda kemudian dibandingkan nilai kriterianya. Nilai lag yang optimum adalah nilai kriteria yang terkecil.
70
3.
Uji Kointegrasi Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam VAR adalah semua peubah
tak bebas bersifat stasioner. Apabila data tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji kointegrasi, dimana jika data yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linier antar variabel-variabel dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang stabil (Enders, 2004). Suatu deret waktu dikatakan terintegrasi pada lag ke-d atau I(d) jika data tersebut bersifat stasioner setelah pendiferensian sebanyak d kali. Peubah-peubah tidak stasioner yang terintegrasi pada tingkat yang sama dapat membentuk kombinasi linier yang bersifat stasioner. Komponen dari vektor terkointegrasi jika ada vektor
sehingga kombinasi linier
bersifat stasioner, dengan syarat ada unsur matriks nol. Vektor
dikatakan
bernilai tidak sama dengan
dinamakan vektor kointegrasi. Rank kointegrasi
adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas. Nilai
dari vektor dapat diketahui
melalui uji Johansen, hipotesisnya adalah:
Apabila rank kointegrasi lebih besar dari nol, maka model yang digunakan adalah VECM dan apabila rank kointegrasi sama dengan nol, maka model yang digunakan adalah VAR dengan pendiferensian sampai lag ke d. 3.2.3.4 Impuls Response Function (IRF) IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan dari variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. IRF digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel dependen jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu standar deviasi. Vector autoregression dapat pula direpresentasikan sebagai suatu vector moving average (VMA): ∑ keterangan :
(3.23) [
Keempat koefisien
] dan
merupakan impuls
response function. Hasil IRF tersebut sangat sensitif terhadap pengurutan
71
(ordering) variabel yang digunakan dalam perhitungan. Pengurutan variabel yang didasarkan pada faktorisasi cholesky. Variabel yang memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan di depan berdampingan satu sama lainnya. Variabel yang tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan paling belakang. 3.2.3.5 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) FEVD dapat memberikan informasi mengenai variabel inovasi yang relatif lebih penting dalam VAR. Metode ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel makro yang ditunjukkan oleh perubahan variance error yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Metode ini juga dapat mencirikan struktur dinamis dalam model VAR. Metode ini juga dapat menunjukkan
kekuatan
dan
kelemahan
masing-masing
variabel
dalam
mempengaruhi variabel lainnya pada kurun waktu yang panjang (how long/how persistent). Dekomposisi varian merinci varian dari error peramalan (forecast) menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Dengan menghitung persentase squared prediction error k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabelvariabel lain, dapat dilihat seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel itu sendiri dan variabel-variabel lainnya. Uji ini dilakukan untuk memberikan informasi mengenai bagaimana hubungan dinamis antara variabel yang dianalisis, selain itu FEVD dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh acak guncangan (random shock) dari variabel tertentu terhadap variabel endogen. FEVD menghasilkan informasi mengenai relatif pentingnya masing-masing inovasi acak (random innovation structural disturbance) atau seberapa kuat komposisi dari peranan variabel tertentu terhadap lainnya. 3.2.3.6 Model Penelitian Berdasarkan literatur-literatur sebelumnya, maka model ekonometrik yang digunakan merupakan modifikasi dari model yang digunakan oleh Metcalf (2008) dan Ibrahim (2011) dan dapat dituliskan sebagai berikut:
72
∑
(3.24)
Keterangan: = vektor variabel endogen (IE, INC, gPOP, FP, IMP) α = konstanta β = koefisien matriks untuk lag-i ε = residual Berdasarkan model diatas, dengan memasukkan lima variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini, maka persamaan VAR yang akan terbentuk sesuai variabel yang akan dianalisis adalah: ∑
∑
∑
∑ ∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑ ∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
Keterangan: 1.
adalah intensitas energi yang diukur dari total konsumsi energi dibagi dengan PDB.
2.
adalah pendapatan per kapita yang diproksi dengan PDB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000 (Rupiah).
3.
adalah pertumbuhan penduduk yang didapatkan dengan rumus ⁄
4.
adalah harga energi dihitung berdasarkan rata-rata tertimbang harga bahan bakar minyak (Rp/BOE). Penimbang yang digunakan adalah pangsa konsumsi masing-masing
jenis
bahan
bakar
minyak
yang
digunakan
dalam
perekonomian. 5.
adalah impor energi diproksi dengan rasio produksi terhadap konsumsi minyak bumi dan produk olahannya.
73
3.3
Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan teori dan tinjauan empiris sebagaimana yang telah
diuraikan pada bab sebelumnya, maka beberapa hipotesis yang akan diuji di dalam penelitian ini, yaitu: 1. Tren perubahan intensitas energi agregat di Indonesia lebih disebabkan oleh peran aktivitas ekonomi. Adanya pergeseran struktur ekonomi dari sektor pertanian yang less energy intensive ke sektor manufaktur yang more energy intensive menyebabkan intensitas energi agregat meningkat. 2. Respon intensitas energi terhadap guncangan (shock) pendapatan per kapita adalah positif. Ketika pendapatan meningkat, konsumsi dan intensitas energi diduga akan meningkat karena meningkatnya permintaan seperti barang-barang elektronik (komputer, lemari es, AC dan perlengkapan rumah tangga lainnya), membangun rumah yang lebih besar, membeli kendaraan baru dan sebagainya 3. Respon intensitas energi terhadap guncangan (shock) pertumbuhan penduduk adalah positif. Pertumbuhan jumlah penduduk akan meningkatkan demand terhadap energi sehingga pada akhirnya intensitas energi diduga akan meningkat pula. 4. Respon intensitas energi terhadap guncangan (shock) harga energi adalah negatif. Jika harga energi naik maka demand terhadap energi akan turun dan hal ini pada akhirnya akan menyebabkan intensitas energi menurun. 5. Respon intensitas energi terhadap guncangan (shock) impor energi adalah negatif. Semakin tinggi impor energi suatu negara maka akan menciptakan insentif ekonomi yang kuat bagi negara tersebut untuk menggunakan energinya secara efisien.
74
Halaman ini sengaja dikosongkan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Dinamika Konsumsi dan Intensitas Energi di Indonesia Energi memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat
karena energi merupakan parameter penting bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Apalagi bagi Indonesia yang merupakan negara berkembang, penyediaan energi adalah faktor yang sangat penting dalam membantu dan mendorong pembangunan itu sendiri. Semua sektor kehidupan (industri, rumah tangga, transportasi, jasa, dan lain-lain) tidak bisa dipisahkan dari sektor energi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya akan meningkatkan kebutuhan energi di semua sektor pengguna energi. 2500
2500
Juta BOE
1500
400 1000
200
Triliun Rupiah
2000
600
500
Tahun Konsumsi Energi
2010
2007
2004
2001
1998
1995
1992
1989
1986
1983
1980
0 1977
0
2000
PDB (Triliun Rupiah)
800
1500 1000
y = 2.4355x + 290.6 R² = 0.9564
500 0 0
PDB
(a) Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Konsumsi Energi
200
400
600
Konsumsi Energi (Juta BOE)
800
(b) Hubungan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Konsumsi Energi
Sumber: KESDM & BPS (beberapa tahun), diolah
Gambar 4.1 Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Konsumsi Energi Final di Indonesia serta Hubungan antara PDB dan Konsumsi Energi Pada Gambar 4.1(a) dapat dilihat bahwa konsumsi energi final dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yaitu dari 85,13 juta BOE (Barrel Oil Equivalent atau Setara Barel Minyak) pada tahun 1977 menjadi 792,96 juta BOE pada tahun 2010 atau meningkat sebesar 7,10 persen per tahun. Peningkatan konsumsi energi final ini seiring dengan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) pada periode waktu yang sama. Gambar 4.1(b) menunjukkan bahwa konsumsi energi dan PDB memiliki keterkaitan yang sangat erat yaitu terlihat dari nilai R2 sebesar 0,9564, artinya konsumsi energi dapat menjelaskan keragaman
76
PDB sebesar 95,64 persen. Hal ini menunjukkan sangat pentingnya peran energi dalam aktivitas perekonomian untuk menciptakan output nasional. Apabila dilihat dari laju pertumbuhannya, perekonomian Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi (PDB) dan konsumsi energi yang sangat berfluktuatif. Pada Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa secara umum laju pertumbuhan konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi memiliki arah atau dinamika yang sama. Karena adanya krisis ekonomi pada tahun 1997/1998, maka pertumbuhan ekonomi pada tahun 1998 melambat yaitu dari 7,82 pada tahun 1996 menjadi 4,70 persen pada tahun 1997 dan -13,13 persen pada tahun 1998. Demikian juga dengan pertumbuhan konsumsi energi yang melambat dari 6,87 pada tahun 1996 menjadi 6,60 pada tahun 1997 dan -1,46 pada tahun 1998. Melambatnya pertumbuhan konsumsi energi tidak selambat laju pertumbuhan ekonomi. Demikian pula halnya ketika pertumbuhan ekonomi meningkat pada tahun 1999 sebesar 0,79 persen, laju pertumbuhan konsumsi energi sangat cepat yaitu sebesar 13,15 persen. Secara umum dapat dikatakan bahwa selama periode penelitian, pertumbuhan konsumsi energi final lebih tinggi dibanding dengan pertumbuhan PDB. 20.00 15.00 5.00 0.00 -5.00 -10.00
1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Persen
10.00
-15.00 Tahun Konsumsi
PDB
Sumber: KESDM & BPS (beberapa tahun), diolah
Gambar 4.2
Pertumbuhan PDB dan Konsumsi Energi Final, 1978-2010 (Persen)
Menurut Pitt (1985), tingginya laju pertumbuhan konsumsi energi di Indonesia didorong oleh murahnya harga energi di tingkat domestik. Hampir seluruh energi komersial disubsidi oleh pemerintah. Minyak tanah misalnya, disubsidi hingga harganya menjadi 18 persen lebih rendah dari harga internasional. Demikian juga premium disubsidi hingga harganya menjadi 79
77
persen lebih rendah dari harga internasional. Secara umum, harga energi di Indonesia pada awal tahun 80-an lebih rendah 35 persen dibanding harga energi di pasar dunia, kecuali untuk bensin premium. Menurut Lembaga Kajian untuk Reformasi Pertambangan, Energi, dan Lingkungan Hidup yang sering disebut Reforminer Institute, alokasi anggaran subsidi BBM pada suatu tahun anggaran tertentu pada kondisi dasar (sesuai asumsi‐asumsi makro APBN) selalu akan menghasilkan besaran persentase tertentu harga BBM subsidi terhadap harga keekonomiannya atau harga yang berlaku di pasar internasional. Untuk APBN tahun 2011, pada kondisi dasar, angka‐angka persentase itu adalah 65,59 persen untuk premium, 64,31 persen untuk solar dan 36,41 persen untuk minyak tanah. Artinya, dengan harga premium Rp. 4.500 per liter, solar Rp. 4.500 per liter, dan minyak tanah Rp. 2.500 per liter, negara mensubsidi masing‐masingnya sebesar 34,41; 35,69 dan 63,59 persen1. Untuk subsidi listrik pada tahun 2012, PLN ditetapkan menerima anggaran subsidi sebesar Rp 64,97 triliun. Selama ini anggaran subsidi listrik yang diberikan pemerintah kepada PLN lebih untuk menutupi kekurangan biaya operasi akibat harga jual yang masih di bawah biaya pokok produksi (BPP)2. Energi digunakan oleh semua sektor dalam perekonomian untuk aktivitasnya dan dalam rangka menciptakan output nasional. Sektor-sektor pengguna energi dikelompokkan menjadi lima yaitu sektor industri, transportasi, komersial (jasa), rumah tangga dan sektor lainnya (pertanian, pertambangan dan konstruksi). Gambar 4.3 menunjukkan bahwa pada tahun 1977-1985 sektor transportasi merupakan sektor yang paling banyak mengkonsumsi energi. Pada tahun 1986 sampai sekarang, justru sektor industri yang merupakan sektor yang terbesar mengkonsumsi energi. Konsumsi energi sektor industri sebesar 34,94 persen pada tahun 1986, terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2010 konsumsinya mencapai 49,86 persen dari total konsumsi energi dalam perekonomian. Sedangkan sektor transportasi merupakan konsumen energi terbesar yang kedua dengan konsumsi sebesar 32,26 persen pada tahun 2010. Selanjutnya sektor 1
www.reforminer.com. Reforminer Institute Usulkan Kenaikan Harga BBM Subsidi Berfluktuasi. [3 Mei 2012] 2 www.antaranews.com. PLN Akan Naikkan Harga Jual Listrik. [3 Mei 2012]
78
rumah tangga merupakan sektor terbesar ketiga yang mengkonsumsi energi. Kemudian diikuti oleh sektor lainnya (pertanian, pertambangan dan konstruksi)
100% 80% 60% 40% 20% 0% 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Persen
serta sektor komersial atau jasa-jasa.
Industri
Transportasi
Tahun Komersial
Rumahtangga
Lainnya
Sumber: KESDM (beberapa tahun)
Gambar 4.3 Konsumsi Energi Final Menurut Sektor Pengguna Energi Tahun 1977-2010 (Persen) Pemakaian energi final oleh sektor industri yang semakin meningkat dari tahun ke tahun diawali oleh turunnya harga minyak pada tahun 1985-1986 yang telah menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia. Karena harga minyak yang turun, maka pemerintah tidak dapat lagi mengandalkan migas yang selama ini menjadi komoditi unggulan ekspor. Volume ekspor migas semakin menurun dari tahun ke tahun. Peran migas sebagai primadona ekspor digantikan oleh non migas terutaman sektor industri manufaktur. Selanjutnya diikuti oleh perubahan orientasi kebijakan perdagangan dan industri yang tadinya industri substitusi impor berubah menjadi industri yang berorientasi pada ekspor (outward looking). Kebijakan ini bercermin dari pengalaman negara-negara Asia Timur yang berorientasi ekspor dan berhasil tumbuh (Abimanyu, 1998). Implikasi dari serangkaian kebijakan ini adalah terjadinya transformasi dari sektor pertanian ke industri, pengenalan teknologi dan produk baru serta dorongan yang kuat terhadap pembangunan industri yang berorientasi ekspor. Dengan semakin bergairahnya sektor industri ternyata diikuti oleh pertumbuhan konsumsi energi di sektor industri. Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pertumbuhan konsumsi energi agregat (nasional) mengalami penurunan dari 9,65 persen pada periode 1978-1980 menjadi 4,68 persen satu dekade terakhir. Meskipun nilai absolut konsumsi energi
79
sepanjang tahun penelitian mengalami peningkatan tapi pertumbuhan konsumsi melambat atau menurun. Menurut Price et al.(2006), jumlah penduduk merupakan faktor pendorong penggunaan energi yang fundamental dan semua aktivitas sektoral dipengaruhi oleh tren pertumbuhan penduduk. Akan tetapi fenomena yang terjadi di Indonesia berdasarkan Tabel 4.1 terlihat bahwa pertumbuhan konsumsi energi jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penduduk selama periode penelitian. Pada periode 1978-2000 pertumbuhan konsumsi energi lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan PDB maupun pertumbuhan penduduk, tetapi selama periode 2001-2010 pertumbuhan konsumsi energi (4,68 persen) lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDB (5,27 persen). Secara rata-rata selama periode 1978-2010, pertumbuhan konsumsi energi lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan PDB. Tabel 4.1
Pertumbuhan Konsumsi Energi Final Menurut Sektor (Persen per Tahun)
Sektor
1978-1980 1981-1990 1991-2000 2001-2010 1978-2010
Industri
13,14
12,69
8,82
5,85
9,48
Transportasi Komersial
12,18 12,16
5,55 15,19
6,26 12,18
6,46 5,07
6,64 10,94
Rumah tangga
3,34
3,82
6,84
-0,69
3,33
Agregat
9,65
8,31
7,54
4,68
7,10
Pertumbuhan PDB Pertumbuhan penduduk
6,58 2,20
5,31 1,97
4,12 1,39
5,27 1,32
5,05 1,64
Sumber: KESDM dan BPS, beberapa tahun
Pertumbuhan konsumsi energi di sektor industri yang paling tinggi dibanding dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya yaitu sebesar 13,14 persen pada periode 1978-1980, tetapi pertumbuhan konsumsi di sektor industri melambat di periode tahun berikutnya, dimana pada periode 10 tahun terakhir pertumbuhannya menjadi 5,85 persen. Pertumbuhan konsumsi sektor transportasi merupakan yang tertinggi kedua yaitu sebesar 12,18 persen pada periode 19781980. Pada periode 2001-2010, pertumbuhan konsumsi energi yang tertinggi adalah sektor transportasi. Pertumbuhan konsumsi sektor komersial selama periode 1981-2000 merupakan yang tertinggi dibanding sektor lainnya, sementara itu sektor rumah tangga memiliki pertumbuhan konsumsi energi yang paling rendah bahkan pada periode 2001-2010 pertumbuhannya -0,69 persen.
80
Jika dilihat berdasarkan sumber energi, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan perekonomian nasional masih sangat tergantung pada bahan bakar minyak (BBM). Gambar 4.4 menunjukkan bahwa bahan bakar minyak (BBM) merupakan sumber energi terbesar yang dikonsumsi dalam perekonomian. Pada tahun 1990, hampir 70 persen konsumsi energi final yang digunakan dalam aktivitas ekonomi semua sektor berasal dari BBM. Akan tetapi pangsa pemakaian BBM semakin menurun selama dua dekade terakhir, sehingga pada tahun 2010 pangsa konsumsi BBM hanya sebesar 49,22 persen. Demikian juga halnya dengan pangsa konsumsi gas yang mengalami sedikit penurunan, yaitu dari 17,72 persen pada tahun 1990 menjadi 15,61 pada tahun 2010, sedangkan untuk pangsa konsumsi batubara, LPG dan listrik mengalami peningkatan selama dua dekade terakhir. Pada tahun 2010 pangsa konsumsi batubara, LPG dan listrik masingmasing sebesar 18,53 persen, 4,4 persen dan 12,24 persen. LPG Listrik 1.09% 7.58% Gas 17.72% Batubara 3.80%
BBM 69.82%
Listrik LPG 12.24% 4.40% Gas 15.61%
BBM 49.22%
Batubar a 18.53%
(a) Konsumsi Energi Tahun 1990
(b) Konsumsi Energi Tahun 2010
Sumber: KESDM, beberapa tahun
Gambar 4.4 Konsumsi Energi Final Menurut Sumber Energi Tahun 1990 dan 2010 (Persen) Kebijakan pemerintah di bidang energi yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) belum sepenuhnya berhasil menuju kearah terwujudnya energi primer mix yang optimal pada tahun 2025. KEN merupakan kebijakan pemerintah untuk melakukan diversifikasi energi. Pemerintah akan mengurangi pangsa penggunaan minyak bumi dan meningkatkan pangsa penggunaan batubara dan gas bumi yang cadangannya relatif lebih banyak serta meningkatkan pangsa penggunaan energi terbarukan (energi air, energi panas bumi, biomasa, energi surya dan energi angin) karena potensinya melimpah dan termasuk energi bersih.
81
Gambar 4.4 menunjukkan bahwa pangsa pemakaian gas yang seharusnya meningkat sesuai target dalam KEN (minimal 30 persen pada tahun 2025), justru mengalami penurunan selama periode 1990-2010. Hal ini menunjukkan masih ada peluang untuk meningkatkan pemakaian gas sesuai target energi mix pada tahun 2025. Indonesia saat ini telah mejadi negara net importer minyak. Penting bagi Indonesia untuk mengurangi porsi penggunaan BBM dalam struktur energi dan mengembangkan energi alternatif. Pada periode 1990-2010, pangsa pemakaian minyak bumi dan olahannya (BBM) mengalami penurunan sehingga target pemakaiannya menjadi 20 persen pada tahun 2025 optimis dapat terwujud. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki komitmen tinggi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Sebelum Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen (Denmark) pada tahun 2009, Indonesia telah menetapkan target reduksi emisi sebesar seperempat dari level yang ada pada saat ini sampai dengan tahun 2020. Hal ini memiliki konsekuensi pada kebutuhan untuk mengembangkan efisiensi energi dalam berbagai sektor pembangunan dan kehidupan masyarakat. Usaha untuk mencapai pemakaian energi yang efisien di Indonesia merupakan tantangan yang cukup besar, apalagi pertumbuhan PDB masih bergantung pada pertumbuhan konsumsi energi yang besar. Salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengetahui dan mengukur efisiensi dari penggunaan energi dalam suatu perekonomian adalah intensitas energi. Intensitas energi merupakan rasio dari konsumsi energi terhadap output (PDB). Nilai intensitas energi yang lebih kecil menunjukkan bahwa suatu wilayah atau sektor ekonomi lebih efisien dalam menggunakan energi. Berdasarkan Gambar 4.5 ditunjukkan bahwa intensitas energi di Indonesia tidak terlalu fluktuatif dan memiliki kecenderungan semakin meningkat dari tahun 1977 sampai 2010. Hal ini mengindikasikan selama lebih dari tiga dekade terakhir penggunaan energi kurang efisien dan cenderung boros. Intensitas energi Indonesia pada tahun 1977 sebesar 0,19 ribu BOE/miliar rupiah, artinya untuk menciptakan output (PDB) 1 miliar rupiah dibutuhkan energi sebesar 0,19 ribu BOE. Sedangkan pada tahun 2010 intensitasnya meningkat menjadi 0,36, artinya untuk menciptakan output (PDB) 1 miliar rupiah dibutuhkan energi sebesar 0,36 ribu BOE. Energi merupakan salah faktor
82
produksi atau input yang digunakan dalam perekonomian untuk menciptakan sejumlah output, dengan demikian konsumsi energi merupakan pengeluaran atau biaya yang harus dikeluarkan oleh suatu perekonomian. Jika konsumsi energi (BOE) dikonversikan ke dalam rupiah, maka pada tahun 1977 untuk menciptakan PDB 1 miliar rupiah dibutuhkan cost of energy sebesar 28 juta rupiah, sedangkan pada tahun 2010 diperlukan cost of energy sebesar 53 juta rupiah untuk menciptakan PDB yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan energi pada tahun 2010 kurang efisien dibandingkan tahun 1977. Jika dilihat intensitas per sektor, maka sektor transportasi merupakan sektor yang paling tidak efisien (intensitasnya paling tinggi), kemudian sektor industri, rumah tangga dan sektor lainnya. Sektor komersial relatif paling efisien dibandingkan dengan empat sektor
4.00 3.00
3.03 2.46
2.00 1.00
0.59 0.19 0.00 0.17
0.72 0.36 0.06
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Intensitas Energi (Ribu BOE/ Miliar Rupiah)
lainnya.
Tahun
Industri Lainnya
Gambar 4.5
Transportasi Rumahtangga
Komersial Agregat
Intensitas Energi di Indonesia Menurut Sektor Tahun 1977-2010 (Ribu BOE/Miliar Rupiah)
Dinamika intensitas energi sepanjang waktu mengindikasikan tren dalam efisiensi perekonomian secara keseluruhan atau menunjukkan tren dari produktivitas energi. Menurut Lapillonne (2006) serta Shahiduzzaman dan Alam (2012), biasanya intensitas energi akan meningkat sepanjang waktu di negaranegara yang sedang membangun (countries in development). Perekonomian suatu negara lebih dan lebih energy intensive karena proses industrialisasi, pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor, meningkatnya kesejahteraan dan sebagainya, dimana pertumbuhan konsumsi energi lebih cepat dibanding pertumbuhan PDB. Sebaliknya intensitas energi di negara-negara maju memiliki tren yang menurun.
83
Perekonomian menjadi kurang energy intensive karena perekonomian didominasi oleh sektor tersier atau jasa-jasa. Pada tahun 1977 sektor transportasi memiliki nilai intensitas energi yang tinggi yaitu sebesar 2,46 ribu BOE/miliar rupiah, artinya untuk menciptakan nilai tambah atau PDB di sektor transportasi sebesar 1 miliar rupiah dibutuhkan konsumsi energi sebesar 2,46 ribu BOE. Nilai intensitas energi ini semakin meningkat hingga pada tahun 2010 menjadi 3,03 ribu BOE/miliar rupiah. Artinya, untuk menciptakan PDB di sektor transportasi sebesar 1 miliar rupiah pada tahun 2010 dibutuhkan konsumsi energi sebesar 3,03 ribu BOE. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan energi di sektor transportasi semakin tidak efisien. Bila dibandingkan dengan empat sektor lainnya yaitu sektor industri, komersial, rumah tangga dan sektor lainnya, sektor transportasi memiliki nilai intensitas energi yang tertinggi, bahkan melebihi intensitas energi agregat (nasional). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sektor transportasi merupakan sektor yang paling tidak efisien diantara sektor-sektor lainnya dalam perekonomian. Sektor industri merupakan sektor kedua yang kurang efisien dibandingkan sektor komersial, sektor lainnya dan rumah tangga. Bahkan intensitas energi di sektor inipun lebih tinggi bila dibandingkan dengan angka nasional. Intensitas energi di sektor industri memiliki kecenderungan yang meningkat dari 0,59 menjadi 0,72 ribu BOE/miliar rupiah. Ini berarti untuk menciptakan nilai tambah atau PDB di sektor industri sebesar 1 miliar rupiah dibutuhkan konsumsi energi sebesar 0,59 ribu BOE pada tahun 1977 dan 0,72 ribu BOE pada tahun 2010. Sektor komersial, sektor lainnya dan rumah tangga memiliki nilai intensitas yang relatif kecil. Tetapi sektor rumah tangga memiliki nilai intensitas yang lebih tinggi dibandingkan kedua sektor tersebut. Intensitas energi sektor komersial selama periode penelitian mengalami peningkatan yang sangat kecil. Jika pada tahun 1977 nilai intensitasnya sebesar 0,01 ribu BOE/miliar rupiah sedangkan pada tahun 2010 sebesar 0,04 ribu BOE/miliar rupiah, begitu juga dengan sektor lainnya. Sektor rumah tangga merupakan satu-satunya sektor yang intensitas energinya menurun selama periode penelitian yaitu dari 0,17 ribu BOE/miliar rupiah pada tahun 1977 menjadi 0,06 ribu BOE/miliar rupiah pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan penggunaan energi di sektor rumah tangga
84
cenderung lebih efisien beberapa tahun belakangan ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sektor yang relatif paling efisien dibandingkan dengan sektor lainnya adalah sektor komersial. Indeks Intensitas (1977=1)
2.50 2.00
1.88
1.50 1.00
0.50 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
0.00 Tahun
Gambar 4.6
Perkembangan Indeks Intensitas Energi Agregat di Indonesia
Menurut Laponche (2006), intensitas energi mengindikasikan apakah suatu negara atau wilayah aktivitas ekonomi dan sosialnya secara umum more energy intensive atau less energy intensive. Berdasarkan Gambar 4.6 terlihat bahwa indeks intensitas energi pada tahun 2010 sebesar 1,88 sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia lebih energy intensive pada tahun 2010 dibanding tahun 1977 dimana intensitas energi selama 33 tahun meningkat sebesar 88 persen. 4.1.1 Sektor Industri Sektor industri pengolahan (manufaktur) merupakan sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia. Selain dapat mendorong pertumbuhan ekonomi juga mampu menjadi sumber devisa yang dapat diandalkan, memperluas kesempatan berusaha dan memberikan lapangan kerja baru serta menjamin kesinambungan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Industri manufaktur adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi/setengah jadi, dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir (BPS, 2011). Sektor industri pengolahan yang dicakup dalam penelitian ini adalah industri pengolahan (bukan migas) yang terdiri dari sembilan subsektor (ISIC 2 digit). Sejak tahun 1991 industri pengolahan memiliki nilai tambah sektoral yang
85
tertinggi dibanding sektor-sektor lainnya yaitu sebesar 18 persen. Dalam dua dekade terakhir, kontribusinya terhadap PDB semakin meningkat. Bahkan pada tahun 2010 kontribusinya sebesar 24,11 persen. Peran sektor industri pengolahan yang begitu besar terhadap penciptaan PDB nasional diiringi dengan tingginya konsumsi energi di sektor ini yang jumlahnya juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. 600
Juta BOE
400 400
300 200
200
100 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
-
Triliun Rupiah
500
Konsumsi Energi
Tahun
PDB Sektor Industri
Gambar 4.7 Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Konsumsi Energi Final di Sektor Industri Tahun 1977-2010 Gambar 4.7 menunjukkan bahwa konsumsi energi final sektor industri selama periode penelitian terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1977, konsumsi energi di sektor industri sebesar 22,2 juta BOE atau 26,08 persen dari total konsumsi energi nasional. Dengan nilai tambah sektoral atau PDB di sektor industri sebesar 37,57 triliun rupiah atau 8,41 persen dari PDB nasional. Seiring dengan meningkatnya konsumsi di sektor industri, nilai tambah di sektor industri pun juga meningkat. Pada tahun 2010, konsumsi energi final sektor industri sebesar 395,36 juta BOE (49,86 persen) dengan nilai tambah sebesar 549,77 triliun rupiah (24,11 persen). Konsumsi energi di sektor industri yang selalu meningkat ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah industri baru dan perluasan industri yang telah ada. Berdasarkan Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa jumlah industri besar dan sedang cenderung mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 5,65 persen. Pada tahun 1997 ketika terjadi krisis ekonomi, pertumbuhan jumlah industri melambat dari 6,71 menjadi -2,66 persen pada tahun 1998. Karena perekonomian yang belum pulih akibat krisis, maka pada tahun 2009 pertumbuhan industri semakin lambat menjadi -4,3 persen. Ketika
86
pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi pada pertengahan 2001, pertumbuhan industri manufaktur kembali melambat dengan pertumbuhan yang negatif. Hal yang sama juga terjadi ketika terjadi kenaikan harga bahan bakar bersubsidi pada tahun 2005 dan 2008, pertumbuhan industri manufaktur menjadi negatif. Kondisi ini mencerminkan peran energi yang sangat besar terhadap sektor industri dimana pertumbuhan sektor industri sangat sensitif terhadap harga energi. Energi yang digunakan dalam proses produksi merupakan input maupun biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Jika harga energi atau bahan bakar meningkat, maka pengeluaran atau cost produksi pun meningkat dan pada
40,000
30,000 20,000 10,000
7,656 7,832 8,140 7,960 8,087 8,404 8,734 9,077 9,433 9,803 12,765 13,266 14,664 14,676 14,686 16,494 17,648 18,163 19,017 21,551 22,997 22,386 21,423 22,070 22,174 21,411 21,146 20,324 20,685 20,229 29,468 27,998 25,694
Jumlah Perusahaan
50,000
38,438
akhirnya akan berdampak pada harga output yang dihasilkan.
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun Sumber: BPS, beberapa tahun
Gambar 4.8
Jumlah Industri Besar dan Sedang di Indonesia Tahun 19772010 (Perusahaan)
Populasi industri manufaktur (industri pengolahan) kategori besar dan sedang yang jumlahnya lebih dari 38.000 industri, dikelompokkan ke dalam 9 subsektor. Industri dengan populasi terbesar meliputi industri makanan dan minuman, industri tekstil, industri barang kayu dan hasil hutan lainnya serta industri pupuk. Populasi dari empat sektor industri ini mencapai 73 persen dari seluruh populasi industri. Sektor industri sangat beragam, meliputi ekstraksi sumber daya alam, konversi ke bahan baku, dan pembuatan produk jadi. Jika dilihat lebih jauh lagi menurut subsektor industri, maka industri yang mengkonsumsi energi paling banyak pada tahun 1990 adalah industri pupuk serta industri alat angkutan, mesin dan peralatannya yaitu masing-masing sebesar 22 persen. Kemudian industri makanan, minuman dan tembakau serta industri tekstil, barang kulit dan alas kaki
87
masing-masing mengkonsumsi energi sebesar 21 persen dan 17 persen. Sedangkan lima subsektor lainnya mengkonsumsi energi sebesar 18 persen. Akan tetapi pangsa konsumsi energi final oleh masing-masing subsektor mengalami pergeseran. Pada Gambar 4.8 terlihat bahwa pada tahun 2010, pangsa konsumsi industri makanan, minuman dan tembakau turun menjadi 18 persen, sedangkan konsumsi industri tekstil, barang kulit dan alas kaki meningkat menjadi 18 persen. Konsumsi energi di industri semen dan barang galian bukan logam dari 5 persen pada tahun 1990 meningkat menjadi 19 persen pada tahun 2010. Demikian pula dengan konsumsi industri kertas dan barang cetakan yang mengalami peningkatan menjadi 5 persen pada tahun 2010.
36 5%
38 22%
37 5%
38 11%
39 1% 31 21%
37 7%
39 1% 31 18%
36 19%
35 22%
32 18% 34 2%
33 5%
32 17%
(a) Konsumsi Energi Tahun 1990
35 19%
34 5%
33 2%
(b) Konsumsi Energi Tahun 2010
Sumber: KESDM dan BPS Keterangan: Kode subsektor industri: 31= Makanan, minuman dan tembakau; 32=Tekstil, barang kulit dan alas kaki; 33= Barang kayu dan hasil hutan lainnya; 34= Kertas dan barang cetakan; 35= Pupuk, kimia dan barang dari karet; 36= Semen dan barang galian bukan logam; 37= Logam dasar besi dan baja; 38= Alat angkutan, mesin dan peralatannya; dan 39= Barang lainnya.
Gambar 4.9 Konsumsi Energi Final di Sektor Industri Menurut Subsektor Tahun 1990 dan 2010 (Persen) Industri menggunakan energi dalam jumlah besar baik untuk unit proses seperti pengolahan, pengemasan maupun untuk unit utilitas pendukungnya. Unit proses umumnya menggunakan banyak mesin dan membutuhkan panas dalam jumlah besar. Jenis energi yang digunakan pada umumnya adalah energi fosil seperti minyak bumi, gas dan batubara. Konsumsi BBM oleh sektor industri senantiasa mengalami kenaikan. Peningkatan terbesar terutama terjadi pada jenis minyak solar, minyak bakar dan minyak tanah. Akan tetapi pada tahun 1998 konsumsi BBM sektor industri mengalami penurunan sebesar 4,3 persen. Hal ini berlanjut hingga tahun 1999
88
dimana konsumsinya turun sebesar 6,2 persen. Terjadinya penurunan ini merupakan efek dari krisis ekonomi yang mulai terjadi pada pertengahan tahun 1997. Sejak krisis ekonomi, banyak industri yang menghentikan produksinya, sementara yang lain walaupun tetap berproduksi namun dengan kapasitas yang lebih rendah dari sebelumnya. Kejadian seperti ini banyak terjadi pada industri makanan dan minuman, industri tekstil, pakaian jadi, industri kulit, dan barang dari kulit. Memasuki tahun 2000 konsumsi BBM di sektor industri kembali
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
100% 80% 60% 40% 20% 0% 1990
Persen
meningkat, bahkan pertumbuhannya terbilang tinggi yaitu sebesar 14,78 persen.
Tahun BBM
Batubara
Gas
LPG
Listrik
Gambar 4.10 Konsumsi Energi Final di Sektor Industri Menurut Sumber Energi Tahun 1990-2010 (Persen) BBM merupakan energi dominan yang digunakan untuk aktivitas produksi oleh sektor industri. Selama tahun 1990-2000 tingkat konsumsi BBM sektor industri terhadap total konsumsi BBM dalam negeri rata-rata sebesar 21,66 persen setiap tahunnya. Gambar 4.10 menunjukkan bahwa penggunaan sumber energi bahan bakar minyak (BBM) dan gas mendominasi penggunaan energi di sektor industri. Konsumsi BBM dan gas oleh sektor industri pada tahun 1990 masingmasing sebesar 36,98 dan 42,8 persen, sedangkan konsumsi batubara, listrik dan LPG berturut-turut sebesar 9,2; 10,2 dan 0,79 persen. Besarnya subsidi BBM yang ditanggung oleh APBN menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mendorong pengurangan penggunaan BBM di sektor industri dan meningkatkan penggunaan batubara yang cadangannya relatif lebih besar. Dari Gambar 4.10 tersebut terlihat bahwa kebijakan tersebut sudah menunjukkan hasilnya dimana pangsa konsumsi batubara meningkat menjadi 34,61 persen pada tahun 2010. Pangsa penggunaan BBM mulai menurun sejak tahun 2002. Hal ini dikarenakan pada Juni 2001
89
pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi untuk industri yaitu harga premium, minyak tanah dan minyak solar masing-masing meningkat sebesar 26,09 persen, 14,28 persen dan 50 persen. Energi non minyak yang digunakan oleh sektor industri meliputi batubara, LPG, listrik dan gas. Rata-rata tingkat pemakaian energi non minyak terhadap total energi final yang dikonsumsi di sektor industri dalam periode tahun 19902000 sekitar 67 persen per tahun. Pertumbuhan konsumsi batubara di sektor industri cukup tinggi dan terus meningkat. Pertumbuhan yang negatif pada tahun 1996 lebih disebabkan oleh terjadinya kenaikan harga batubara untuk beberapa industri yang menggunakan bahan bakar batubara cukup besar. Konsumsi LPG dan gas di sektor industri selama tahun 1990-2000 juga mengalami peningkatan yang cukup besar. Rata-rata pertumbuhan pemakaian LPG dan gas masing-masing sebesar 3 persen dan 5 persen per tahun dalam periode tersebut. Krisis ekonomi yang dimulai pertengahan tahun 1997 telah membuat collapse beberapa industri, sehingga permintaan energi pada tahun 1998 mengalami penurunan termasuk LPG dan gas (kecuali batubara tetap meningkat). Pertumbuhan pemakaian LPG yang negatif pada tahun 1998 juga terjadi karena kenaikan harga LPG untuk sektor industri sebesar 50 persen yaitu dari Rp 1.000,per kg menjadi 1.500,- per kg. Pada sektor industri, gas bumi digunakan sebagai bahan bakar dan bahan baku. Sebagai bahan bakar, gas bumi merupakan bahan bakar untuk boiler dan furnace pada berbagai jenis industri dan merupakan bahan bakar pengganti BBM yang diminati karena harganya yang lebih murah dan lebih bersih sehingga kebutuhannya cenderung meningkat. Sebagai bahan baku (pemakaian non energi) gas bumi digunakan pada industri kimia dan pupuk. Intensitas energi di sektor industri dapat diukur dengan menggunakan rasio antara konsumsi energi di sektor industri terhadap output ekonomi atau PDB di sektor industri. Gambar 4.11 menunjukkan bahwa intensitas energi sektor industri pada tahun 2010 mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun dasar (=1977). Intensitas energi pada tahun 2010 sebesar 1,22 atau meningkat sebesar 22 persen, sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan energi di tahun 2010 kurang efisien dibandingkan dengan tahun dasar.
1.40 1.20 1.00
1.22
0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Indeks Intensitas (1977=1)
90
Tahun
Gambar 4.11
Perkembangan Indeks Intensitas Energi di Sektor Industri
Peningkatan intensitas energi di sektor industri juga dikarenakan pertumbuhan konsumsi energi di sektor ini secara rata-rata lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan PDB di sektor industri selama periode penelitian. Peningkatan jumlah industri secara otomatis akan menyebabkan peningkatan konsumsi energi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut ini: Tabel 4.2
Pertumbuhan Beberapa Indikator di Sektor Industri (Persen per Tahun)
Uraian Konsumsi energi Jumlah industri PDB sektor industri
1978-1980 1981-1990 1991-2000 2001-2010 1978-2010 13,14
12,69
8,82
5,85
9,48
1,34
6,60
4,31
7,35
5,66
18,58
10,25
7,53
5,20
8,65
Sumber: KESDM dan BPS (beberapa tahun), diolah
Hasil analisis dengan menggunakan indikator intensitas energi menunjukkan bahwa kesempatan untuk melakukan perbaikan terhadap tingkat penggunaan energi melalui pendekatan dari sisi permintaan masih terbuka lebar. Industriindustri di Indonesia seharusnya bisa bercermin dari program efisiensi di negara lain seperti halnya yang dilakukan oleh industri baja di Jepang seperti Mitsubishi Heavy Industries yang telah menjadi pionir sejak tahun 1980-an. Perusahaan ini bisa mengurangi lebih dari 70 persen energi dengan menggunakan panas dari tungku peleburan baja untuk menggerakkan turbin yang menghasilkan tenaga listrik. Demikian pula dengan industri bahan kimia BASF yang baru di China memanfaatkan panas yang dihasilkan dari satu proses kimia yang dapat digunakan untuk menggerakkan proses selanjutnya atau menciptakan tenaga listrik untuk proses lainnya yang berarti mengoptimalkan efisiensi energi (Rusdiono, 2008).
91
Jenis dan tipe industri sangat beragam, oleh karena itu efisiensi energi sangat bergantung pada peralatan dan teknologi yang digunakan untuk proses produksi tersebut. Efisiensi energi pada sektor industri juga membutuhkan investasi besar dalam perubahan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan energi dapat merangsang para pelaku industri untuk mengambil langkah-langkah yang mengarah kepada penurunan intensitas energi atau peningkatan efisiensi perlu dilakukan sebagai bagian dari kebijakan energi. 4.1.2 Sektor Transportasi Sektor
transportasi
merupakan
konsumen
terbesar
kedua
yang
menggunakan energi. Sektor transportasi dalam penelitian ini mencakup empat subsektor yaitu transportasi darat, transportasi laut, transportasi udara serta kereta api. Jumlah penduduk yang semakin bertambah, dibarengi dengan meningkatnya daya beli masyarakat terhadap kendaraan bermotor memicu meningkatnya jumlah kendaraan bermotor, ditambah lagi dengan harga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh pemerintah sehingga harganya relatif murah. Hal ini yang menyebabkan konsumsi energi di sektor transportasi semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Sumber : ADB (2006)
Gambar 4.12 Keterkaitan Sektor Transportasi dengan Sektor-sektor Lainnya Penggunaan energi di sektor transportasi merupakan permintaan turunan yang ditandai dengan: (i) pergerakan volume orang dan barang yang sangat besar, serta kendaraan dengan pola yang kompleks, (ii) keterkaitan dengan sektor-sektor yang lain, dimana transportasi hanyalah sarana pelengkap suatu kegiatan atau
92
aktivitas (lihat Gambar 4.12), (iii) keterlibatan dengan beragam kegiatan dan (iv) adanya eksternalitas negatif, seperti kemacetan, emisi karbondioksida (CO2) dan polusi suara (ADB, 2006). 100
Juta BOE
80 200
60 40
100
20 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
-
Triliun Rupiah
300
Tahun Konsumsi Energi
PDB Sektor Transportasi
Gambar 4.13 Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Konsumsi Energi Final di Sektor Transportasi Tahun 1977-2010 Pada Gambar 4.13 terlihat bahwa konsumsi energi di sektor transportasi pada tahun 1977 sebesar 31,8 juta BOE terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 1995 mencapai 105,8 juta BOE. Pada saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 dan 1998, konsumsi energi di sektor transportasi terus meningkat walaupun nilai tambahnya atau PDB sektor transportasi mengalami penurunan. Konsumsi energi di sektor transportasi Indonesia tumbuh pada tingkat yang kuat yaitu 6,64 persen per tahun selama tiga dekade terakhir. Konsumsi energi sempat mengalami penurunan pada tahun 2006 dikarenakan pada tahun 2005 pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi terutama premium yang merupakan sumber energi utama di sektor transportasi. Pada tahun 2005 pemerintah dua kali meningkatkan harga BBM. Terhitung per 1 Maret 2005 harga premium menjadi Rp 2.400,-/liter atau meningkat sebesar 32,6 persen dari harga sebelumnya. Kemudian pada 1 Oktober 2005 harga premium naik lagi menjadi Rp 4.500,-/liter atau naik sebesar 87,5 persen. Pada tahun 2007 konsumsinya kembali meningkat dan pada tahun 2010, sehingga konsumsi energi telah meningkat delapan kali lipat dari konsumsi energi di tahun 1977.
93
Udara 7%
KA 1%
KA 1% Darat 80%
Laut 12%
Udara 4% Laut 7%
(a) Konsumsi Energi Tahun 1990
Darat 88%
(b) Konsumsi Energi Tahun 2010
Sumber: KESDM, Dephub, ESCAP
Gambar 4.14 Konsumsi Energi Final di Sektor Transportasi Menurut Subsektor Tahun 1990 dan 2010 (Persen) Konsumsi energi menurut subsektor transportasi seperti yang terlihat pada Gambar 4.14 menunjukkan bahwa sebagian besar konsumsi energi adalah di transportasi darat yaitu sebesar 80 persen pada tahun 1990, bahkan pangsa konsumsi energi ini meningkat menjadi 88 persen pada tahun 2010. Kemudian disusul oleh subsektor transportasi laut, udara dan kereta api. Peningkatan konsumsi energi di subsektor transportasi darat secara otomatis akan meningkatkan konsumsi energi di sektor transportasi secara umum. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan sekitar 17.000 pulau menyebabkan subsektor transportasi laut dan udara akan merupakan moda transportasi penting antar pulau. Selama periode penelitian, konsumsi energi dari subsektor transportasi laut dan udara masing-masing meningkat sebesar 4,94 dan 4,31 persen per tahun. 75,000,000
Unit
60,000,000 45,000,000 30,000,000
-
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
15,000,000
Tahun Mobil Penumpang
Bus
Truk
Sepeda Motor
Sumber: BPS, beberapa tahun
Gambar 4.15 Perkembangan Jumlah Kendaraan di Indonesia Peningkatan konsumsi di sektor transportasi salah satu penyebabnya adalah kemacetan yang terjadi di jalan raya terutama di kota-kota besar. Macet membuat
94
kendaraan membuang energi dengan percuma. Kemacetan terjadi karena tidak seimbangnya antara jumlah kendaraan yang turun ke jalan dengan panjang jalan yang ada atau sarana infrastruktur transportasi yang kurang memadai. Mudah dan murahnya penggunaan kendaraan pribadi membuat masaarakat lebih memilih kendaraan pribadi dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Perkembangan jumlah kendaraan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4.15. Pertumbuhan
pendapatan
dan
pengembangan
industri
kendaraan
menghasilkan peningkatan jumlah kendaraan penumpang yang sangat pesat dari 3 juta unit di tahun 2000 menjadi 8,8 juta unit pada tahun 2010. Sepeda motor merupakan alat transportasi yang paling banyak diminati karena harganya lebih terjangkau bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Pertumbuhan jumlah sepeda motor sangat tinggi yaitu 300,21 persen selama 10 tahun terakhir atau ratarata per tahun tumbuh sebesar 11,63 persen selama periode penelitian. Pertumbuhan jumlah bus dan truk juga tidak kalah pesat masing-masing tumbuh sebesar 13,02 dan 9,35 persen per tahun selama periode penelitian. Berbeda dengan sektor industri, sektor komersial dan sektor rumah tangga, penggunaan bahan bakar sektor transportasi hanya terbatas pada media cair (BBM) dan atau gas. Bahan bakar minyak yang utama digunakan di sektor transportasi adalah bensin premium dan pertamax, ADO atau minyak solar serta BBM untuk transportasi udara yaitu avgas dan avtur.
ADO 40.25%
Gas 0.00% Listrik 0.01%
ADO 38.81%
Avgas/Avt ur 12.00% Premium/ Pertamax 47.73%
(a) Konsumsi Energi Tahun 1990
Gas 0.03% Listrik 0.02% Avgas/Av tur 8.14%
Premium/ Pertamax 53.01%
(b) Konsumsi Energi Tahun 2010
Keterangan: ADO (Automotive Diesel Oil = Minyak Solar) Sumber: KESDM
Gambar 4.16 Konsumsi Energi Final di Sektor Transportasi Menurut Sumber Energi Tahun 1990-2010 (Persen) Berdasarkan Gambar 4.16 tampak bahwa sektor transportasi memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap BBM. Hampir 100 persen energi yang
95
digunakan di sektor transportasi adalah BBM, sedangkan penggunaan gas dan listrik selama ini kurang dari satu persen. Harga BBM yang disubsidi dimana harganya lebih murah dari harga keekonomiannya menyebabkan pengembangan energi alternatif tidak berjalan dengan mulus. Konversi BBM ke gas untuk beberapa jenis alat transportasi berjalan sangat lambat. Padahal harga gas itu sendiri lebih murah dibandingkan dengan premium dan jenis BBM lainnya. Secara umum, faktor-faktor yang memengaruhi meningkatnya pemakaian BBM pada sektor transportasi adalah sebagai berikut (Nuryanti et al., 2008): 1. Pertumbuhan ekonomi. Segala aktivitas ekonomi berkaitan dengan sektor transportasi. Jika perekonomian tumbuh maka industri barang dan jasa juga berkembang. Kondisi ini dengan sendirinya memajukan sektor transportasi karena sektor ini sangat diperlukan untuk pengangkutan bahan baku produksi, pengangkutan produk hasil industri, mobilitas para pekerja/pengusaha dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya. 2. Gaya hidup (lifestyle) dan peningkatan standar kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi sangat terkait dengan peningkatan standar kesejahteraan dan persoalan gaya hidup. Sebagai contoh, kepemilikan mobil dan motor terkadang bukan sekedar karena alasan kebutuhan tetapi juga karena alsan gaya hidup. Hal ini telah menyebabkan kepemilikan mobil dan motor mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan pada satu dekade terakhir (lihat Gambar 4.15). 3. Manajemen transportasi yang belum optimal. Kondisi ini menyebabkan pemborosan pemakaian BBM sehingga meningkatkan pangsa konsumsi BBM pada sektor ini. Beberapa faktor yang termasuk dalam kategori manajemen transportasi yang belum optimal diantaranya: a. Masih beroperasinya kendaraan bermesin tua yang tentu saja memicu pemborosan pemakaian BBM dan tingkat efisiennya rendah. b. Belum tersedianya jenis transportasi masal yang aman dan nyaman sehingga menyebabkan masyarakat lebih cenderung memilih menggunakan mobil pribadi, taksi ataupun motor. Jika pertumbuhan jumlah kendaraan yang beroperasi melebihi pertumbuhan panjang jalan maka akan menimbulkan
96
masalah baru yaitu kemacetan dimana tingkat kemacetan berbanding lurus dengan pemborosan energi. c. Persoalan budaya yaitu cara dan teknik mengemudi yang kurang baik, misalnya mengebut di jalan juga turut memicu pemborosan BBM. d. Manajemen penjadwalan perbaikan kabel atau instalasi Telkom, PAM dan PLN yang kadangkala kurang terkoordinasi dengan baik. Jika perbaikan kabel atau instalasi tersebut terjadi bersamaan tentu akan menambah tingkat kemacetan. Untuk mengantisipasi hal ini diperlukan adanya koordinasi
1.50
1.23
1.00 0.50 0.00
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Indeks Intensitas (1977=1)
antara dinas perhubungan dengan dinas terkait.
Tahun
Gambar 4.17
Perkembangan Indeks Intensitas Energi di Sektor Transportasi
Jika dilihat perkembangan intensitas energi selama periode penelitian, maka intensitas energi di sektor industri pada tahun 2010 mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun dasar (=1977). Intensitas energi pada tahun 2010 sebesar 1,23 atau meningkat sebesar 23 persen sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan energi di tahun 2010 kurang efisien dibandingkan dengan tahun dasar seperti terlihat pada Gambar 4.17. Tabel 4.3
Pertumbuhan Beberapa Indikator di Sektor Transportasi (Persen per Tahun)
Uraian
1978-1980 1981-1990 1991-2000 2001-2010 1978-2010
Konsumsi energi
12,18
5,55
6,26
6,46
6,64
Jumlah kendaraan
15,50
8,81
7,92
15,25
11,10
PDB sektor transportasi
12,77
6,48
3,48
6,10
6,03
Sumber: KESDM dan BPS (beberapa tahun), diolah
Meningkatnya intensitas energi di sektor transportasi diindikasikan sebagian besar disebabkan oleh transportasi darat dimana lebih dari 80 persen konsumsi
97
energi tersedot di subsektor ini. Menurut Dephub (2005), subsektor transportasi udara, transportasi laut termasuk ASDP memakai sarana dengan standar internasional, sehingga konsumsi di subsektor ini sudah dianggap mencapai efisiensi yang wajar. Peningkatan intensitas energi di sektor transportasi juga disebabkan pertumbuhan konsumsi energi di sektor transportasi secara rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PDB sektor transportasi selama periode penelitian. Peningkatan jumlah kendaraan diikuti oleh peningkatan konsumsi energi dengan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah daripada pertumbuhan jumlah kendaraan itu sendiri. 4.1.3 Sektor Komersial Konsumsi energi di sektor komersial (jasa-jasa) hanyalah 4 persen dari total konsumsi energi nasional, namun efisiensi energi pada sektor ini merupakan hal yang penting. Tipe-tipe gedung komersial yang menggunakan banyak energi meliputi perkantoran, pusat perbelanjaan, hotel, restoran, rumah sakit dan sebagainya. Umumnya energi yang digunakan oleh gedung komersial adalah untuk pengaturan suhu dan pencahayaan. Potensi penghematan yang dapat dicapai tentunya bergantung pada besarnya investasi perubahan yang dilakukan pada
40
1000
30
800 600
20
400
10
200 0 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
0
Triliun Rupiah
Juta BOE
gedung.
Tahun Konsumsi Energi
PDB Sektor Komersial
Gambar 4.18 Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Konsumsi Energi Final di Sektor Komersial Tahun 1977-2010 Gambar 4.18 menunjukkan bahwa konsumsi energi final sektor komersial selama periode penelitian terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1977, konsumsi energi di sektor komersial sebesar 1,07 juta BOE atau 1,26 persen dari
98
total konsumsi energi nasional. Dengan nilai tambah sektoral atau PDB di sektor komersial sebesar 138,96 triliun rupiah atau 31,1 persen dari PDB nasional. Seiring dengan meningkatnya konsumsi energi di sektor komersial, nilai tambah di sektor komersial pun juga meningkat. Pada tahun 2010, konsumsi energi final sektor komersial sebesar 31,3 juta BOE (3,95 persen) dengan nilai tambah sebesar 839 triliun rupiah (37,84 persen). Jika dilihat lebih jauh lagi menurut sektor yang termasuk dalam sektor komersial
(jasa),
maka
sektor
perdagangan,
hotel
dan
restoran
yang
mengkonsumsi energi paling tinggi yaitu sebesar 66 persen pada tahun 1990 dan proporsinya meningkat menjadi 76 persen pada tahun 2010 (dapat dilihat pada Gambar 4.19). Sektor jasa-jasa seperti gedung perkantoran pemerintah dan swasta merupakan sektor kedua terbesar yang mengkonsumsi energi yaitu sebesar 31 persen pada tahun 1990 dan proporsinya turun menjadi 22 persen pada tahun 2010. Sektor ketiga yaitu keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, konsumsi energinya paling kecil hanya sekitar 2-3 persen.
Perdagang an, Hotel dan Restoran 66%
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaa n 3%
Jasa-jasa 31%
(a) Konsumsi Energi Tahun 1990
Perdagang an, Hotel dan Restoran 76%
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaa n 2% Jasa-jasa 22%
(b) Konsumsi Energi Tahun 2010
Sumber: KESDM, beberapa tahun
Gambar 4.19 Konsumsi Energi Final di Sektor Komersial Menurut Subsektor Tahun 1990 dan 2010 (Persen) Penggunaan sumber energi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik mendominasi penggunaan energi di sektor komersial, hal ini ditunjukkan oleh Gambar 4.20. Konsumsi BBM dan listrik oleh sektor komersial pada tahun 1990 masing-masing sebesar 38,5 dan 44,77 persen. Pada tahun 2010, pangsa penggunaan BBM turun menjadi 22,44 persen, sedangkan pangsa penggunaan listrik meningkat menjadi 71,44 persen.
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
100% 80% 60% 40% 20% 0% 1990
Konsumsi Energi (Persen)
99
Tahun Gas
BBM
LPG
Listrik
Gambar 4.20 Konsumsi Energi Final di Sektor Komersial Menurut Sumber Energi Tahun 1990-2010 (Persen) Intensitas energi di sektor komersial merupakan yang paling kecil dibandingkan dengan empat sektor lainnya. Akan tetapi jika dilihat perkembangan intensitas energi di sektor komersial itu sendiri dibandingkan dengan tahun dasar, maka intensitasnya meningkat cukup tajam yaitu menjadi 4,83 persen. Selama periode penelitian memiliki kecenderungan meningkat setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2010, intensitas energi meningkat sebesar 383
6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
4.83
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Indeks Intensitas (1977=1)
persen dibandingkan dengan tahun dasar.
Tahun
Gambar 4.21
Perkembangan Indeks Intensitas Energi di Sektor Komersial
Sebagian besar energi di sektor komersial digunakan untuk penerangan, pendingin ruangan (AC) dan komputer. Jenis dan tipe peralatan menentukan tingkat efisiensi energi. Penerangan dengan menggunakan lampu pijar misalnya, sebagian besar energi yang dikonsumsinya untuk menghasilkan panas yang tidak diperlukan sehingga konsumsi energinya besar dan cenderung boros. Penggunaan lampu TL (neon) berefisiensi tinggi dapat menggantikan lampu pijar dengan potensi penghematan energi sebesar 80 persen. Jika dibandingkan dengan lampu pijar, lampu TL tidak hanya menggunakan listrik 75 hingga 80 persen lebih
100
sedikit untuk menghasilkan jumlah cahaya yang sama, tetapi lampu TL juga tahan 10 kali lebih lama. Penggunaan Air Conditioner (AC) berefisiensi tinggi dengan Coeficient of Performance (COP) di atas 3 dapat menggantikan AC yang kebanyakan saat ini masih memiliki COP sekitar 2 dengan potensi penghematan energi sekitar 50 persen (KESDM, 2012a). Efisiensi energi di sektor komersial juga sangat tergantung pada jenis dan konstruksi bangunan itu sendiri. Kebiasaan perilaku hemat energi bagi para penghuni gedung juga turut menentukan tingkat efisiensi energi. 4.1.4 Rumah tangga Konsumsi energi sektor rumah tangga adalah seluruh konsumsi energi untuk keperluan rumah tangga tidak termasuk konsumsi untuk kendaraan pribadi. Konsumsi energi untuk kendaraan pribadi dimasukkan ke dalam kelompok penggunaan oleh sektor transportasi. Sektor rumah tangga mengkonsumsi sekitar 11 persen dari total energi di Indonesia. Berdasarkan fakta tersebut, upaya efisiensi energi di sektor ini sangatlah penting, bukan hanya untuk menghemat biaya pemakaian energi di rumah tangga tersebut, namun juga untuk mengerem konsumsi energi secara keseluruhan. Sebagai langkah awal upaya efisiensi energi di rumah tangga, penghuni rumah harus mengetahui jenis peralatan yang paling banyak mengkonsumsi energi. Di Indonesia alat-alat rumah tangga seperti pendingin ruangan, lemari es, lampu, pompa air serta peralatan elektronik lainnya merupakan sumber utama konsumsi listrik di sektor rumah tangga. Seiring dengan ukuran populasi, faktor pendorong konsumsi energi di sektor rumah tangga adalah jumlah rumah tangga, luas tempat tinggal per kapita serta jumlah orang per tempat tinggal. Tingkat konsumsi energi juga tergantung pada fitur-fitur bangunan atau jenis konstruksi bangunan seperti tingkat isolasi, efisiensi energi dari jendela rumah, jumlah peralatan rumah tangga yang menggunakan energi serta bagaimana peralatan-peralatan tersebut digunakan (frekuensi penggunaan). Gambar 4.22 menunjukkan bahwa konsumsi energi di sektor rumah tangga mengalami peningkatan selama periode penelitian. Peningkatan konsumsi energi di sektor rumah tangga disebabkan adanya perubahan pola penggunaan energi dari
101
energi tradisional dan non komersial seperti kayu bakar dan arang, beralih ke energi komersial, seperti minyak tanah, LPG dan listrik. 1500
Juta BOE
80 1000
60 40
500
20
0 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
0
Triliun Rupiah
100
Konsumsi Energi
Tahun
Total Pengeluaran Rumahtangga
Gambar 4.22 Perkembangan Total Pengeluaran Rumah tangga dan Konsumsi Energi Final di Sektor Rumah tangga Tahun 1977-2010 Sektor rumah tangga walaupun tidak melakukan aktivitas produksi yang bersifat komersial akan tetapi merupakan sektor pemakai energi final terbesar ketiga setelah sektor industri dan transportasi. Pada tahun 1990, sektor rumah tangga mengkonsumsi 18,55 persen dari total energi final. Memasuki tahun 2000 proporsi pemakaiannya mulai menurun menjadi 17,29 persen dan kecenderungan penurunan ini terus berlangsung, bahkan pada tahun 2010 tingkat pemakaian energi final oleh rumah tangga menjadi 10,31 persen. Penurunan pangsa pemakaian energi final di sektor rumah tangga ini bukan dikarenakan penurunan pemakaian energi di rumah tangga, namun lebih disebabkan oleh terjadi pertumbuhan sektor industri dan transportasi yang pesat sehingga menyebabkan besaran konsumsi energi final menjadi bertambah besar. Di kawasan ASEAN, pemakaian energi oleh rumah tangga Indonesia merupakan yang terbanyak bila dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya. Berdasarkan data ASEAN Energi Review, pada tahun 1993 rumah tangga dan sektor komersial Indonesia mengkonsumsi energi sebesar 52 persen dari konsumsi energi total yang dikonsumsi oleh rumah tangga dan sektor komersial di ASEAN. Sementara konsumsi energi negara lainnya seperti Thailand sebesar 20,9 persen, Malaysia 11,2 persen, Philipina 10,6 persen, Singapura 4,7 persen, dan Brunei hanya 0,8 persen (Hidayat, 2005).
100% 50%
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
0% 1990
Konsumsi Energi (Persen)
102
Tahun Gas
Minyak tanah
LPG
Listrik
Keterangan: tidak termasuk biomasa Sumber: KESDM dan BPS
Gambar 4.23 Konsumsi Energi Final di Sektor Rumah tangga Menurut Sumber Energi Tahun 1990-2010 (Persen) Minyak tanah merupakan jenis energi yang paling banyak dikonsumsi oleh sektor rumah tangga. Untuk mengurangi ketergantungan energi rumah tangga terhadap BBM khususnya minyak tanah, maka sejak akhir tahun 2006 pemerintah memutuskan untuk melakukan pengalihan minyak tanah ke LPG. Program ini cukup berhasil menurunkan konsumsi minyak tanah dan menurunkan beban subsidi harga minyak tanah. Hal ini terlihat dari Gambar 4.23 bahwa pangsa penggunaan minyak tanah mulai menurun pada tahun 2006 dan pangsa penggunaan LPG meningkat. Jenis energi yang dikonsumsi oleh rumah tangga selain minyak tanah, adalah briket, LPG, gas kota dan listrik. Sebenarnya pola konsumsi untuk energi non minyak di sektor rumah tangga lebih terkonsentrasi pada penggunaan kayu bakar. Dalam penelitian ini tidak dicakup dan tidak dianalisis penggunaan jenis energi biomasa seperti arang, kayu bakar, limbah pertanian dan sebagainya yang sebenarnya masih banyak digunakan oleh rumah tangga di Indonesia. Batubara (briket) yang sudah diperkenalkan untuk konsumsi rumah tangga pada tahun 1993 ternyata tingkat penggunaan masih sangat kecil hingga tahun 2000 tingkat penggunaan briket hanya sebesar 0,03 persen. Jika dilihat nilai intensitas energinya (Gambar 4.24), sektor rumah tangga merupakan salah satu sektor yang intensitas energinya mengalami penurunan. Pada tahun 2010, intensitas energi di rumah tangga hanya sebesar 0,37, artinya telah terjadi penurunan intensitas energi sebesar 63 persen. Hal ini
103
mengindikasikan penggunaan energi di sektor rumah tangga semakin lebih efisien
1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
0.37 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Indeks Intensitas (1977=1)
dibandingkan dengan tahun 1977.
Tahun
Gambar 4.24
Perkembangan Indeks Intensitas Energi di Sektor Rumah tangga
Konversi minyak tanah ke gas (LPG) yang dilakukan pemerintah cukup berhasil. Bahan bakar LPG menghasilkan suhu yang lebih panas dibandingkan dengan minyak tanah sehingga memasak lebih cepat matang. Hal ini menyebabkan biaya yang dikeluarkan rumah tangga lebih sedikit dan penggunaan energi lebih efisien. Penggunaan LPG disamping dapat menghemat konsumsi energi juga termasuk jenis energi yang bersih dan ramah lingkungan. Penurunan intensitas energi di sektor rumah tangga juga dikarenakan pertumbuhan konsumsi energi di rumah tangga jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan total pengeluaran rumah tangga selama periode penelitian. Peningkatan jumlah rumah tangga diikuti oleh peningkatan konsumsi energi dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi daripada pertumbuhan jumlah rumah tangga. Tabel 4.4
Pertumbuhan Beberapa Indikator di Rumah tangga (Persen per Tahun)
Uraian
1978-1980 1981-1990 1991-2000 2001-2010 1978-2010
Konsumsi energi
3,34
3,82
6,84
-0,69
3,33
Jumlah rumah tangga
2,59
2,73
2,74
1,71
2,41
11,34
6,12
7,28
4,56
6,47
Total pengeluaran
Sumber: KESDM dan BPS (beberapa tahun), diolah
Penurunan intensitas energi di sektor rumah tangga tidak lepas dari peran technology improvement yang semakin berkembang beberapa tahun belakangan ini dimana peralatan rumah tangga mengedepankan fitur hemat energi seperti
104
teknologi yang terdapat pada peralatan memasak, penerangan, peralatan elektronik seperti lemari es, TV, AC, komputer dan sebagainya. Peningkatan pendapatan per kapita menyebabkan meningkatnya tingkat pendidikan masayarakat pada umumnya. Kesadaran akan penggunaan energi secara efisien semakin meningkat. Peralatan rumah tangga seperti lemari es, TV, pendingin ruangan (AC) dan sebagainya sebagian besar diimpor dari negaranegara maju, dimana teknologi yang terkandung di dalamnya lebih hemat energi. Persaingan dalam perdagangan internasional membuat negara-negara eksportir barang-barang elektronik berusaha membuat produknya lebih kompetitif dengan model yang bagus, teknologi canggih dan konsumsi energi yang relatif kecil. Masyarakat dewasa ini lebih cerdas dalam memilih produk yang konsumsi energinya lebih kecil, karena dengan demikian pengeluaran rumah tangga akan energi juga lebih sedikit. Struktur bangunan atau rumah juga menentukan seberapa besar energi yang digunakan. Rumah dengan ventilasi yang cukup bagus, bisa menghemat penggunaan energi misalnya untuk penerangan. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk efisiensi penggunaan energi di sektor rumah tangga adalah memilih peralatan elektronik yang konsumsi listriknya kecil, tepat dan sesuai kebutuhan, termasuk memilih peralatan yang memenuhi standar efisiensi energi. Selain itu kebiasaan perilaku anggota rumah tangga yang hemat energi juga sangat menentukan, hal ini dapat dilakukan antara lain dengan menyalakan peralatan yang menggunakan listrik hanya pada saat diperlukan. Lokasi dan bentuk desain rumah memainkan peran penting dalam efisiensi energi, khususnya dalam hal pengaturan suhu dan pencahayaan, misalnya bukaan dalam sebuah bangunan rumah seperti pintu dan jendela diatur sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi panas yang masuk ke dalam rumah khususnya pada siang hari. Dengan memasang lebih banyak jendela, maka cahaya alami dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin sehingga menghemat penggunaan lampu. Sirkulasi udara yang baik di dalam rumah dapat dihasilkan oleh langitlangit yang lebih tinggi atau sistem ventilasi yang efektif sehingga akan mengurangi beban pendingin ruangan (AC).
105
4.1.5 Sektor Lainnya Sektor lainnya yang dicakup dalam penelitian ini meliputi sektor pertanian, konstruksi dan pertambangan. Sektor pertanian dan pertambangan merupakan sektor yang paling penting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia karena mempunyai sumbangan yang paling besar terhadap penciptaan output nasional (PDB) terutama pada tahun 1980-an yaitu sekitar 44 persen. Pangsa kontribusi kedua sektor tersebut sangat jauh menurun pada tiga dekade terakhir karena meningkatnya peran sektor industri maupun jasa-jasa. Pada tahun 2010 peran sektor pertanian dan pertambangan hanya sebesar 22 persen. Sektor kontruksi memiliki kontribusi yang relatif kecil terhadap PDB yaitu sekitar 5 sampai 6 persen selama periode penelitian. Gambar 4.25 menunjukkan bahwa konsumsi energi final sektor lainnya selama periode penelitian cenderung berfluktuasi. Pada tahun 1977, konsumsi energi di sektor lainnya sebesar 1,62 persen dari total konsumsi energi nasional dengan nilai tambah sektoral atau PDB di sektor lainnya sebesar 257,35 triliun rupiah atau 57,59 persen dari PDB nasional. Seiring dengan meningkatnya konsumsi energi di sektor lainnya, nilai tambah di sektor lainnya juga meningkat walaupun pangsanya mengalami menurun. Pada tahun 2010, konsumsi energi final di sektor lainnya sebesar 28,75 juta BOE (3,62 persen) dengan nilai tambah
700 600 500 400 300 200 100 -
Triliun Rupiah
35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 -
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Juta BOE
sebesar 743,9 triliun rupiah (33,55 persen).
Tahun Konsumsi Energi
PDB Sektor Lainnya
Gambar 4.25 Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Konsumsi Energi Final di Sektor Lainnya Tahun 1977-2010 Jika dilihat lebih jauh lagi menurut sektor yang termasuk dalam sektor lainnya, maka sektor konstruksi yang mengkonsumsi energi paling tinggi yaitu sebesar 49 persen pada tahun 1990 tetapi proporsinya menurun menjadi 40 persen
106
pada tahun 2010. Sektor pertambangan merupakan sektor kedua terbesar yang mengkonsumsi energi yaitu sebesar 42 persen pada tahun 1990 dan proporsinya meningkat menjadi 50 persen pada tahun 2010. Sektor ketiga yaitu sektor pertanian, konsumsi energinya paling kecil hanya sekitar 9-10 persen selama dua puluh tahun terakhir. Pertania n 9% Konstruk si 49%
Pertania n 10%
Konstruk si 40%
Pertamb angan 42%
(a) Konsumsi Energi Tahun 1990
Pertamb angan 50%
(b) Konsumsi Energi Tahun 2010
Sumber: KESDM, beberapa tahun
Gambar 4.26 Konsumsi Energi Final di Sektor Lainnya Menurut Subsektor Tahun 1990 dan 2010 (Persen) Konsumsi energi di sektor lainnya hanya sekitar 4 persen dari total konsumsi energi nasional. Energi pada sektor pertanian terutama digunakan untuk alat mesin pertanian (alsintan) yang meliputi traktor untuk mengolah tanah, pompa air (untuk mengairi lahan pertanian) dan power sprayer (penyemprot hama bermesin) untuk pemeliharaan tanaman, dan rice milling unit (RMU) untuk mengolah hasil pertanian. Penggunaan energi di sektor pertambangan dan
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
100% 80% 60% 40% 20% 0% 1990
Konsumsi Energi (persen)
konstruksi terutama digunakan untuk mengoperasikan alat-alat berat.
Tahun Mogas
Minyak Tanah
ADO
IDO
Minyak Bakar
Gambar 4.27 Konsumsi Energi Final di Sektor Lainnya Menurut Sumber Energi Tahun 1990-2010 (Persen) Energi yang dikonsumsi oleh sektor lainnya hanya energi BBM. Hal ini terjadi karena data konsumsi energi selain BBM untuk sektor pertanian,
107
pertambangan dan konstruksi belum tersedia. Gambar 4.27 menunjukkan bahwa penggunaan minyak solar (ADO) mendominasi penggunaan energi di sektor lainnya. Konsumsi minyak solar (ADO) oleh sektor lainnya pada tahun 1990 sebesar 67,63 persen. Pada tahun 2010, pangsa penggunaan minyak solar (ADO) meningkat menjadi 76,3 persen. Penggunaan mogas atau bensin di sektor ini menempati urutan kedua terbesar yaitu sebesar 14 persen, sedangkan penggunaan minyak bakar, minyak tanah serta minyak diesel (IDO) pada tahun 2010 relatif
1.50
0.96
1.00 0.50
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
0.00 1990
Indeks Intensitas (1990=1)
kecil yakni masing-masing kurang dari 8 persen.
Tahun
Gambar 4.28
Perkembangan Indeks Intensitas Energi di Sektor Lainnya
Intensitas energi di sektor lainnya relatif kecil dibandingkan dengan tiga sektor lainnya yaitu sektor industri, transportasi dan rumahtangga. Nilai intensitas energi di sektor lainnya memiliki nilai yang hampir sama dengan nilai intensitas energi di sektor komersial. Berbeda dengan analisis intensitas energi di empat sektor sebelumnya, analisis intensitas energi di sektor lainnya hanya dilakukan pada periode waktu tahun 1990-2010 dikarenakan keterbatasan data. Jika dilihat perkembangan intensitas energi di sektor lainnya dibandingkan dengan tahun dasar (=1990), maka intensitas energi pada tahun 2010 mengalami penurunan yaitu menjadi 0,96 atau turun sebesar 4 persen. Penurunan nilai intensitas energi ini menunjukkan bahwa pada tahun 2010, penggunaan energi di sektor lainnya lebih efisien dibandingkan dengan tahun dasar. 4.2
Dekomposisi Intensitas Energi di Indonesia Dalam penelitian ini digunakan metode dekomposisi Indeks Ideal Fisher
untuk melihat lebih jauh mengenai penyebab dari perubahan intensitas energi sepanjang waktu. Indeks Ideal Fisher dapat digunakan untuk melihat perubahan
108
intensitas energi dengan cara mendekomposisinya menjadi dua komponen yaitu komponen aktivitas ekonomi (activity effect) dan komponen efisiensi energi (efficiency effect).
Indeks (1977=1)
2.50 2.00
1.88 1.77
1.50
1.06
1.00 0.50
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
0.00
Intensitas Energi
Gambar 4.29
Tahun Aktivitas Ekonomi
Efisiensi
Perkembangan Indeks Intensitas Energi, Indeks Aktivitas Ekonomi dan Indeks Efisiensi di Indonesia
Gambar 4.29 menunjukkan hasil dari analisis dekomposisi intensitas energi di Indonesia dengan menggunakan tahun 1977 sebagai tahun dasar dalam analisis. Intensitas energi agregat Indonesia pada tahun 2010 adalah 1,88 atau 188 persen dari tingkat pada tahun 1977. Dapat dikatakan bahwa intensitas energi agregat meningkat sebesar 88 persen antara tahun 1977 sampai dengan 2010. Indeks aktivitas ekonomi pada tahun 2010 adalah 1,77 atau 177 persen dari tingkat pada tahun 1977, sementara indeks efisiensi adalah 1,06 atau 106 persen dari tingkat pada tahun 1977. Artinya, jika efisiensi energi tetap konstan seperti pada tahun 1977, maka intensitas energi akan sebesar 177 persen pada tahun 2010. Jadi komponen atau efek pergeseran aktivitas ekonomi akan menyebabkan intensitas energi meningkat sebesar 77 persen. Sementara itu, jika aktivitas ekonomi tidak berubah antara tahun 1977 sampai dengan 2010, maka intensitas energi pada tahun 2010 sebesar 106 persen. Artinya, komponen atau efek efisiensi energi akan menyebabkan intensitas energi meningkat sebesar 6 persen. Dengan demikian, efek perubahan struktur dalam aktivitas ekonomi merupakan efek atau komponen yang lebih besar peranannya dalam meningkatkan intensitas energi di Indonesia daripada perubahan mendasar dalam penggunaan energi di masingmasing sektor pengguna energi atau komponen efisiensi. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pegeseran dari kegiatan ekonomi yang less energy intensive
109
(seperti pertanian) ke aktivitas yang more energy intensive (seperti industri manufaktur). Terjadinya pergeseran kegiatan ekonomi dari yang less energy instensive menuju ke kegiatan ekonomi yang more energy intensive dapat juga dilihat dari perkembangan kontribusi nilai tambah sektoral terhadap PDB nasional berikut ini: Tabel 4.5 Kontribusi Nilai Tambah Sektoral Terhadap PDB (Persen) Sektor Ekonomi Sektor Primer 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian Sektor Sekunder 3. Industri Pengolahan a. Industri M i g a s b. Industri Bukan Migas 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Konstruksi 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran Sektor Tersier 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan 9. Jasa-jasa Total Sumber: BPS, beberapa tahun
1980 44,11 22,25 21,86 34,10 14,24 3,00 11,20 0,16 5,25 14,45 21,80 3,72 7,62 10,46 100,00
1990 31,49 18,53 12,96 44,30 21,58 4,22 17,38 0,31 5,65 16,75 24,21 4,21 9,37 10,63 100,00
2000 27,67 15,60 12,07 50,01 27,75 3,91 23,84 0,60 5,51 16,15 22,32 4,68 8,31 9,34 100,00
2010 20,21 13,35 6,86 51,04 26,10 2,00 24,11 0,79 6,58 17,56 28,76 9,53 9,67 9,55 100,00
Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa kontribusi nilai tambah sektor pertanian yang merupakan sektor primer yang less energy instensive mengalami penurunan selama tiga dekade terakhir. Pada tahun 1980 kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sebesar 22,25 persen turun menjadi 13,35 persen pada tahun 2010. Kegiatan ekonomi yang more energy instensive seperti industri pengolahan bukan migas (manufaktur) mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada periode yang sama yaitu dari 11,2 persen pada tahun 1980 meningkat menjadi 24,11 persen pada tahun 2010, bahkan sektor industri manufaktur merupakan sektor yang memiliki kontribusi tertinggi terhadap penciptaan PDB sejak tahun 1991. Seperti diketahui bahwa sektor industri banyak membutuhkan input energi pada aktivitasnya, sehingga dengan adanya pergeseran aktivitas atau kegiatan ekonomi ini menyebabkan konsumsi energi sepanjang tahun penelitian mengalami peningkatan dan pada akhirnya menyebabkan intensitas energi juga meningkat. Meningkatnya intensitas energi di Indonesia dibandingkan dengan tahun dasar (=1977), mengindikasikan bahwa penggunaan energi yang kurang efisien
110
dan cenderung boros. Pada Tabel 4.6 ditampilkan berapa besar energi yang diboroskan karena peningkatan intensitas energi tersebut dan kontribusi atau peran dari komponen aktivitas ekonomi dan komponen efisiensi. Perubahan konsumsi energi (relatif terhadap konsumsi energi jika intensitas energi tetap konstan seperti pada tahun dasar) dapat didistribusikan ke dalam komponen aktivitas ekonomi dan komponen efisiensi. Tabel 4.6 Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Indonesia, 1978-2010 Tahun
Energi yang Diboroskan (Ribu BOE)
(1)
(2)
1978 1980 1990 2000 2010
6.190 9.086 75.546 256.048 370.552
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi Efisiensi (Ribu BOE) (Persen) (Ribu BOE) (Persen) (3)
7.591 20.484 79.340 199.243 335.681
(4)
122,63 225,44 105,02 77,81 90,59
(5)
-1.401 -11.398 -3.794 56.805 34.871
(6)
-22,63 -125,44 -5,02 22,19 9,41
Keterangan: tanda negatif menunjukkan energi yang bisa dihemat Sumber: KESDM (beberapa tahun), diolah
Berdasarkan Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa jika intensitas energi tetap konstan seperti pada tahun dasar (=1977) maka telah terjadi pemborosan energi antara tahun 1978 sampai dengan 2010. Dengan mempertahankan intensitas energi yang sama seperti pada tahun dasar, maka pada tahun 1978 diperlukan konsumsi energi sebesar 90.440 ribu BOE, akan tetap konsumsi energi aktual sebesar 96.630 ribu BOE sehingga terjadi pemborosan energi sebesar 6.190 ribu BOE. Artinya, penggunaan energi kurang efisien sehingga hal ini menyebabkan meningkatnya intensitas energi. Demikian pula yang terjadi selama tiga dekade terakhir. Untuk mempertahankan intensitas energi tetap konstan seperti pada tahun dasar, konsumsi energi aktual lebih besar dibandingkan konsumsi energi yang seharusnya. Sehingga terjadi pemborosan energi atau penggunaan energi yang kurang efisien, dimana pemborosan energi yang terjadi dari tahun ke tahun semakin besar, bahkan pada tahun 2010 terjadi pemborosan energi sebesar 370.552 ribu BOE atau 59 kali lebih besar dibandingkan pada tahun 1978. Penggunaan energi yang kurang efisien atau pemborosan energi ini lebih dikarenakan oleh peran aktivitas ekonomi. Dengan kata lain komponen aktivitas ekonomi lebih dominan berperan dalam pemborosan energi (peningkatan
111
intensitas energi) dibandingkan oleh komponen efisiensi. Pada tahun 1978, 1980 dan 1990, komponen efisiensi justru bisa menghemat penggunaan energi masingmasing sebesar 1.401, 11.398 dan 3.794 ribu BOE. Pada tahun 1978, komponen aktivitas ekonomi memiliki kontribusi sebesar 122,63 persen terhadap peningkatan intensitas energi, sedangkan komponen efisiensi memiliki kontribusi sebesar 22,63 persen terhadap penurunan intensitas energi. Pada tahun 2010, kedua komponen baik aktivitas ekonomi maupun efisiensi masing-masing berkontribusi sebesar 90,59 dan 9,41 persen dalam meningkatkan intensitas energi. 4.2.1 Sektor Industri Dalam lingkup mikro perlu diwaspadai bahwa peningkatan pemakaian energi di sektor industri dalam beberapa tahun terakhir bukan hanya terjadi karena proses transformasi struktural yang cepat dari pertanian ke industri saja, namun lebih jauh dari itu diduga karena terjadi pemborosan pemakaian energi di sektor ini. Krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 telah membuat kurs rupiah terdepresiasi sangat tajam. Keadaan ini sangat memukul industri dalam negeri yang selama ini masih memiliki ketergantungan yang besar terhadap mesin-mesin produksi impor, sehingga banyak diantara mereka yang tidak mampu untuk mengupgrade mesin-mesin produksinya. Sehingga banyak yang beroperasi hanya mengandalkan mesin-mesin tua yang tentu saja sangat boros bahan bakar.
1.50
1.33 1.22 0.92
1.00 0.50 0.00
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Indeks (1977=1)
2.00
Intensitas Energi
Gambar 4.30
Tahun Aktivitas Ekonomi
Efisiensi
Perkembangan Indeks Intensitas Energi, Indeks Aktivitas Ekonomi dan Indeks Efisiensi di Sektor Industri
Gambar 4.30 menunjukkan hasil dari analisis dekomposisi intensitas energi di sektor industri dengan menggunakan tahun 1977 sebagai tahun dasar dalam analisis. Intensitas energi di sektor industri pada tahun 2010 adalah 1,22 atau 122
112
persen dari tingkat pada tahun 1977. Dapat dikatakan bahwa intensitas energi di sektor industri meningkat sebesar 22 persen antara tahun 1977 sampai dengan 2010. Indeks aktivitas ekonomi pada tahun 2010 adalah 0,92 atau 92 persen dari tingkat pada tahun 1977, sementara indeks efisiensi adalah 1,33 atau 133 persen dari tingkat pada tahun 1977. Dengan kata lain, jika efisiensi energi tetap konstan seperti pada tahun 1977, maka intensitas energi akan menjadi 92 persen pada tahun 2010. Jadi komponen atau efek pergeseran aktivitas ekonomi akan menyebabkan intensitas energi turun sebesar 8 persen. Sementara itu, jika aktivitas ekonomi tidak berubah antara tahun 1977 sampai dengan 2010, maka intensitas energi pada tahun 2010 sebesar 133 persen. Artinya, komponen atau efek efisiensi energi akan menyebabkan intensitas energi meningkat sebesar 33 persen. Dengan demikian, komponen atau efek efisiensi energi merupakan efek atau komponen yang lebih besar peranannya dalam meningkatkan intensitas energi di sektor industri. Dapat dikatakan bahwa penggunaan energi di sektor ini semakin tidak efisien karena inefisiensi sedangkan efek aktivitas ekonomi justru memiliki efek yang sebaliknya. Karena efek inefisiensi lebih besar, maka secara umum intensitas energi di sektor industri meningkat selama periode penelitian. Hasil penelitian ini sejalan dengan Hartono et al. (2011) yang melakukan studi tentang intensitas energi di sektor industri selama tahun 2002-2006 di tingkat perusahaan yang mencakup industri besar dan sedang. Sektor industri more energy intensive pada tahun 2006 relatif terhadap tahun 2002, dimana peningkatan intensitas energi sebagian besar dikarenakan kurangnya peningkatan efisiensi energi atau dapat dikatakan terjadi inefisiensi di sektor industri. Walaupun intensitas energi di sektor industri lebih tinggi dibandingkan intensitas energi nasional, akan tetapi kondisi intensitas industri di Indonesia bervariasi antar subsektor. Beberapa subsektor mengalami penurunan intensitas energi dan beberapa lainnya mengalami peningkatan. Semua kondisi ini merupakan hasil dari tekanan aktivitas ekonomi, tingkat efisiensi energi atau gabungan dari kedua faktor tersebut. Penelitian oleh Hartono et al. (2011) juga melakukan analisis dekomposisi intensitas energi berdasarkan jenis industri (besar dan sedang) menunjukkan
113
bahwa keragaan intensitas energi di industri besar adalah cermin dari data tingkat nasional. Akan tetapi keragaan intensitas energi di industri besar sangat berbeda dengan keragaan intensitas energi di industri sedang. Terdapat lima subsektor industri yang intensitas energi meningkat atau kurang efisien selama periode 2002-2006 yaitu subsektor industri tekstil, barang kulit dan alas kaki (ISIC 32); barang kayu dan hasil hutan lainnya (ISIC 33); kertas dan barang cetakan kertas dan barang dari plastik (ISIC 34); pupuk, kimia dan barang dari karet (ISIC 35) serta industri semen dan barang galian bukan logam (ISIC 36). Pemerintah seharusnya lebih fokus pada industri besar terutama pada subsektor industri semen dan barang galian bukan logam (ISIC 36) dimana subsektor ini memiliki intensitas energi yang paling tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Irawan et al. (2010) mengenai peran industri manufaktur terhadap keragaan perekonomian Indonesia menggunakan analisis Input-Output menunjukkan bahwa tidak ada perubahan teknologi yang digunakan di sektor industri. Jika tidak ada peningkatan teknologi, maka industri di Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan daya saingnya atau kurang kompetitif dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Penggunaan teknologi yang relatif tidak berubah atau dapat dikatakan stagnan, diindikasikan boros energi. Hal inilah yang menyebabkan intensitas energi sektor industri mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun dasar. Inefisiensi di sektor industri lebih dikarenakan proses produksi dan sebagainya yang menggunakan mesin-mesin tua dan kurang mengadopsi teknologi modern yang lebih hemat energi. Faktor penggunaan bahan bakar minyak yang digunakan di sektor ini juga berpengaruh. Total konsumsi energi merupakan salah satu biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Semakin besar atau mahal energi yang digunakan maka semakin besar juga biaya produksi. Seperti diketahui, biaya produksi akan berpengaruh terhadap produk-produk industri itu sendiri. Walaupun pangsa penggunaan BBM di sektor ini sudah menurun, tetapi jumlahnya masih relatif besar. Sektor industri harus lebih cerdas menyiasati penggunaan energi. Penggunaan sumber energi seperti gas dan batubara perlu ditingkatkan selain karena harganya yang lebih murah, cadangan untuk dua sumber energi ini juga
114
banyak sehingga bisa meringankan beban pemerintah dalam hal subsidi energi terutama subsidi BBM. Meningkatnya intensitas energi di Indonesia dibandingkan dengan tahun dasar mengindikasikan bahwa penggunaan energi yang kurang efisien dan cenderung boros. Berdasarkan Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa jika intensitas energi tetap konstan seperti pada tahun dasar (=1977) maka telah terjadi pemborosan energi antara tahun 1978 sampai dengan 2010. Dengan mempertahankan intensitas energi yang sama seperti pada tahun dasar, maka pada tahun 1978 terjadi pemborosan energi sebesar 1.150 ribu BOE. Dapat dikatakan bahwa penggunaan energi kurang efisien sehingga hal ini menyebabkan meningkatnya intensitas energi. Demikian pula yang terjadi selama tiga dekade terakhir. Untuk mempertahankan intensitas energi tetap konstan seperti pada tahun dasar, konsumsi energi aktual lebih besar dibandingkan konsumsi energi yang seharusnya. Sehingga terjadi pemborosan energi atau penggunaan energi yang kurang efisien. Pemborosan energi yang terjadi dari tahun ke tahun semakin besar, bahkan pada tahun 2010 terjadi pemborosan energi sebesar 70.480 ribu BOE atau 61 kali lebih besar dibandingkan pada tahun 1978. Tabel 4.7 Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Industri, 1978-2010 Tahun
Energi yang Diboroskan (Ribu BOE)
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi Efisiensi (Ribu BOE) (Persen) (Ribu BOE) (Persen)
(1)
(2)
(3)
1978 1980 1990 2000 2010
1.150 -5.064 4.965 37.520 70.480
857 5.825 16.987 12.922 -31.352
(4)
74,48 -115,02 342,14 34,44 -44,48
(5)
293.42 -10.889 -12.022 24.597 101.832
(6)
25,52 215,02 -242,14 65,56 144,48
Keterangan: tanda negatif menunjukkan energi yang bisa dihemat Sumber: KESDM (beberapa tahun), diolah
Agar penggunaan energi di sektor industri lebih efisien sebaiknya digunakan penggunaan teknologi proses yang hemat energi. Penelitian American Council for Energi Efficient Economy menemukan metode konvensional yang menghasilkan panas dan energi secara terpisah memiliki efisiensi terpadu sebesar 45 persen, sementara sistem CHP efisiensi energinya dapat mencapai 80 persen. Sistem CHP (combined heat and power) merupakan suatu pendekatan dalam penerapan
115
teknologi dimana energi listrik dan energi panas dihasilkan dalam satu sistem terintegrasi. Industri juga dapat meningkatkan efisiensi pada motor-motor yang digunakan. Karena motor digunakan konstan tanpa henti, maka sedikit saja perbaikan dalam efisiensinya akan sangat berpengaruh dalam efisiensi energi dan dapat membawa banyak keuntungan bagi industri melalui penghematan biaya. Efisiensi peralatan industri juga dapat ditingkatkan melalui proses kontrol dan pemeliharaan yang baik. Peralatan yang rusak, aus atau bocor selain tidak aman bagi karyawan industri juga sangat boros energi. 4.2.2 Sektor Transportasi Hasil dari analisis dekomposisi intensitas energi di sektor transportasi dengan menggunakan tahun 1977 sebagai tahun dasar dalam analisis ditampilkan pada Gambar 4.31. Intensitas energi di sektor transportasi pada tahun 2010 adalah 1,23 atau 123 persen dari tingkat pada tahun 1977, artinya intensitas energi di sektor transportasi meningkat sebesar 23 persen antara tahun 1977 sampai dengan 2010.
1.50
1.46 1.23
1.00
0.84
0.50 0.00 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Indeks (1977=1)
2.00
Intensitas Energi
Gambar 4.31
Tahun Aktivitas Ekonomi
Efisiensi
Perkembangan Indeks Intensitas Energi, Indeks Aktivitas Ekonomi dan Indeks Efisiensi di Sektor Transportasi
Indeks aktivitas ekonomi pada tahun 2010 adalah 0,84 atau 84 persen dari tingkat pada tahun 1977, sementara indeks efisiensi adalah 1,46 atau 146 persen dari tingkat pada tahun 1977. Artinya, jika efisiensi energi tetap konstan seperti pada tahun 1977, maka intensitas energi akan sebesar 84 persen pada tahun 2010. Jadi komponen atau efek pergeseran aktivitas ekonomi akan menyebabkan intensitas energi turun sebesar 16 persen. Sementara itu, jika aktivitas ekonomi tidak berubah antara tahun 1977 sampai dengan 2010, maka intensitas energi pada
116
tahun 2010 sebesar 146 persen. Sehingga dapat dikatakan bahwa komponen atau efek efisiensi energi akan menyebabkan intensitas energi meningkat sebesar 46 persen. Dengan demikian, efek efisiensi merupakan efek atau komponen yang lebih besar peranannya dalam meningkatkan intensitas energi di sektor transportasi daripada efek aktivitas ekonomi. Inefisiensi di sektor transportasi salah satunya disebabkan oleh kemacetan. Tingkat konsumsi bahan bakar juga dipengaruhi oleh kecepatan perjalanan. Kecepatan yang terlalu rendah cenderung mengkonsumsi BBM lebih banyak. Konsumsi BBM paling rendah adalah pada kecepatan antara 60-65 km/jam. Pada kecepatan yang lebih rendah (umumnya dalam kondisi macet) konsumsi BBM akan cenderung lebih boros, demikian pula pada kecepatan yang terlalu tinggi (Dephub, 2005). Walaupun kecepatan pada saat lengang/arus bebas dapat mencapai lebih dari 40 km/jam, namun yang terjadi, sebagai akibat kemacetan, kecepatan lalu lintas hanya berkisar kurang dari 30 km/jam, dan kecepatan rata-rata angkutan umum hanya berkisar pada 20 km/jam. Berikut ini adalah gambaran kecepatan rata-rata lalu lintas di wilayah perkotaan. Tabel 4.8 Kecepatan lalu lintas di wilayah perkotaan (km/jam) Jakarta Diluar jam sibuk Sepanjang hari Jam sibuk
Kota Kota Besar Metropolitan Kecepatan rata-rata
41,1 38,3 35,3 27,7 27,9 26,7 18,2 22,4 23,4 Kecepatan rata-rata angkutan umum Diluar jam sibuk 28,2 27,3 25,8 Sepanjang hari 19,4 20,2 19,8 Jam sibuk 15,5 16,3 17,4 Sumber: Urban Transport Policy and Program dalam Dephub, 2005
Kota Sedang
Kota Kecil
33,8 27,6 24,2
32,0 26,2 23,0
25,2 20,8 18,4
24,4 20,1 17,8
Dengan adanya tingkat pertumbuhan kendaraan yang tinggi tetapi tidak diikuti oleh pembangunan infrastruktur transportasi yang memadai seperti pembangunan jalan serta pengendalian penggunaan yang ketat, terutama untuk jenis kendaraan pribadi, akan berdampak pada tidak mampunya prasarana jalan menampung arus kendaraan yang pada akhirnya menimbulkan kemacetan. Saat ini kemacetan merupakan permasalahan serius di hampir seluruh pusat kota-kota
117
besar dan kemacetan inilah yang mendorong konsumsi energi di sektor transportasi meningkat, energi terbuang dengan begitu saja. Pertumbuhan kendaraan yang cepat tetapi ketersediaan ruang jalan yang tidak memadai menyebabkan kemacetan di kota-kota negara berkembang di Asia cenderung lebih buruk dibandingkan dengan kota-kota di negara maju dengan ukuran kota yang setara. Kemacetan yang terjadi di sektor transportasi akan mempengaruhi produktivitas di sektor industri yaitu melalui (i) upah tenaga kerja dan biaya operasi kendaraan yang lebih tinggi serta terjadinya kerusakan barang, (ii) biaya untuk menperoleh input produksi lebih tinggi, (iii) mengurangi keandalan dalam pengiriman input dan distribusi barang jadi, dan (iv) mengurangi akses dan skala ekonomi sehingga meningkatkan biaya produksi (ADB, 2006). Di Indonesia, rendahnya keberpihakan pemerintah kepada pengguna kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki menyebabkan moda perjalanan ini perlahan-lahan menghilang dari sistem transportasi perkotaan. Hal yang sama juga dialami oleh sistem angkutan publik. Walaupun terbukti sangat hemat dalam penggunaan ruang jalan karena tingkat hunian yang tinggi per kendaraan (occupancy rate) dan efisiensi konsumsi energi per penumpang, akan tetapi sistem ini justru menjadi bagian yang terabaikan dalam sektor transportasi. Hal ini terlihat dari semakin buruknya tingkat pelayanan angkutan publik di daerah perkotaan. Jika dilihat dari jenis energi yang digunakan di sektor transportasi, maka pemanfaatan gas bumi baik dalam bentuk CNG, LPG dan LNG dapat juga digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti BBM. Gas dapat digunakan untuk moda transportasi darat seperti mobil, truk dan bus, juga kereta api. Hal ini merupakan peluang yang perlu didorong sehingga penerapannya bisa meluas. Di Indonesia penggunaan BBG sebagai energi alternatif di sektor transportasi sudah dirintis sejak tahun 1986 yaitu dengan memanfaatkan Compressed Natural Gas (CNG) atau bahan bakar gas (BBG) sebagai pengganti bensin atau minyak solar. Program ini belum dilaksanakan secara nasional, tapi masih dalam bentuk pilot project yang khusus digunakan pada taksi dan mikrolet di DKI Jakarta. Selain CNG, pada tahun 1995 ditetapkan juga pemanfaatan Liquid Petroleum Gas (LPG) untuk sektor transportasi. Pada tahun 1996 pemerintah
118
melaksanakan Program Langit Biru dalam rangka mengendalikan pencemaran udara, untuk sektor transportasi program ini diimplementasikan dengan melakukan diversifikasi energi yaitu dengan penggunaan CNG dan LPG, serta penggunaan bahan bakar bersih yaitu penggunaan bensin tanpa timbal dan solar yang berkadar sulfur rendah. Pemerintah menyiapkan sarana dan prasarana bagi penggunaan CNG maupun LPG di seluruh Indonesia, khususnya di kota-kota besar antara lain untuk 10.000 kendaraan angkutan umum/taksi dan 500 bis. Program diversifikasi penggunaan CNG dan LPG untuk sektor transportasi tersebut kurang berhasil karena harga converter kit yang cukup mahal serta pengembangan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) yang kurang memadai. Oleh karena itu perlu upaya penggunaan berbagai opsi dalam mengembangkan penggunaan BBG di sektor transportasi yang berkelanjutan (Sugiyono dan Rahardjo, 2007). Sebenarnya jika dilihat dari sisi harga, bahan bakar gas ini relatif lebih murah sekitar Rp 450 per LSP (Liter Setara Premium) dibandingkan dengan premium. Jika dilihat dari kegunaannya, BBG juga lebih irit daripada premium. Bila diasumsikan bahwa satu LSP BBG memberikan manfaat yang sama dengan satu liter premium, maka ada selisih harga sekitar Rp 4.050 per liter, karena saat ini premium dijual dengan harga sekitar Rp 4.500 per liter. Bisa kita bayangkan berapa besar penghematan pemakaian bahan bakar di sektor transportasi jika upaya diversifikasi pemakaian BBG ini berjalan sukses. Namun selama ini yang menjadi masalah adalah peralatan pendukung yang relatif mahal dan juga keamanan belum sepenuhnya terjamin, ketersediaan stasiun BBG juga masih terbatas serta proses pengisian yang membutuhkan waktu lama. Hal ini merupakan beberapa penyebab mengapa pemakai BBG dan LPG di sektor transportasi masih sedikit (Abdulkadir, 2000). Ketergantungan sektor transportasi terhadap pemakaian BBM juga sangat tinggi sehingga penyediaan bahan bakar cair alternatif (non konvensional) perlu ditingkatkan agar target KEN dapat tercapai. Dari berbagai bahan bakar alternatif yang ada saat ini hanya bahan bakar nabati (BBN) yang sudah siap dikembangkan berdasarkan teknologi penyediaannya. Oleh karena itu, untuk mengurangi pemakaian minyak bumi perlu ditingkatkan pemakaian BBN hingga lebih dari 5
119
persen terutama di sektor transportasi. Jenis bahan bakar yang termasuk BBN adalah bioetanol dan biodiesel yang dikembangkan dengan memanfaatkan tanaman seperti jarak pagar, kelapa sawit, singkong, tebu dan sebagainya. Pilihan lain dalam mengurangi konsumsi BBM adalah dengan penggunaan teknologi transportasi yang efisien dalam penggunaan bahan bakar. Saat ini telah dikembangkan kendaraan dengan teknologi hibrid yang mampu menggunakan bensin dengan sangat irit (mencapai 30 km untuk penggunaan 1 liter bensin). Pengembangan teknologi masih diperlukan karena teknologi ini baru diterapkan untuk kendaraan penumpang yang tidak memerlukan torsi yang besar, sedangkan untuk kendaraan berat seperti bus dan truk yang memerlukan torsi besar masih dalam tahap pengembangan. Diproyeksikan bahwa dimasa mendatang teknologi ini akan bertambah andal dan kemampuannya meningkat sehingga penerapannya perlu diberi insentif agar bisa meluas (BPPT, 2009). Penggunaan kendaraan hibrid maupun transportasi masal, baik untuk transportasi dalam kota (intra-city) maupun antar kota (inter-city) sebaiknya dikembangkan karena lebih efisien dalam penggunaan energi untuk per satuan penumpang-km atau per satuan ton-km barang untuk transportasi barang antar kota. Untuk itu, penggunaan transportasi masal perlu didorong terutama untuk kota-kota yang padat dengan aktifitas perpindahan orang dan barang yang tinggi untuk mengurangi konsumsi BBM. Tabel 4.9 Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Transportasi, 1978-2010 Tahun
Energi yang Diboroskan (Ribu BOE)
(1)
(2)
1978 1980 1990 2000 2010
-1.510 -585 -8.634 24.351 48.538
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi Efisiensi (Ribu BOE) (Persen) (Ribu BOE) (Persen) (3)
27 5 -2.777 -15.405 -38.852
(4)
(5)
-1,78 -0,85 32,16 -63,26 -80,04
-1.537 -590 -5.857 39.756 87.390
(6)
101,78 100,85 67,84 163,26 180,04
Keterangan: tanda negatif menunjukkan energi yang bisa dihemat Sumber: KEDSM (beberapa tahun), diolah
Berdasarkan Tabel 4.9 dapat dilihat bahwa jika intensitas energi tetap konstan seperti pada tahun dasar (=1977) maka telah terjadi pemborosan energi pada tahun 2010. Dengan mempertahankan intensitas energi yang sama seperti
120
pada tahun dasar, maka pada tahun 2010 terjadi pemborosan energi sebesar 48.538 ribu BOE. Artinya, penggunaan energi kurang efisien sehingga hal ini menyebabkan meningkatnya intensitas energi. Ketidakefisienan di sektor transportasi selain disebabkan oleh kemacetan juga disebabkan oleh jumlah kendaraan pribadi yang sangat banyak dan kendaraan-kendaraan yang ada di jalan-jalan saat ini ‘berumur’ tua. Untuk mengantisipasi hal tersebut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat menyusun strategi-strategi yang disingkat dengan ASI: Avoid, Shift, Improve (Sinaga, 2006). Avoid yaitu mengurangi kebutuhan perjalanan terutama di daerah perkotaan (manajemen permintaan perjalanan) melalui kontrol penggunaan lahan dan informasi teknologi. Shift yaitu pergeseran dari pengguna mobil pribadi ke angkutan umum masal dan menyediakan fasilitas pendukungnya. Sedangkan improve yaitu meningkatkan teknologi kendaraan bermotor dan menggunakan bahan bakar rendah emisi. Walaupun strategi tersebut telah disusun, namun memang harus diakui bahwa penerapannya tidak mudah. Avoid misalnya, agak susah untuk diterapkan, karena hal ini ada hubungannya dengan tata ruang kota. Seharusnya pada saat membangun kota, konsep yang diberlakukan adalah compact city, dimana fasilitas-fasilitas publik, seperti sekolah, harusnya dekat dengan permukiman. Strategi shifting dari mobil pribadi ke kendaraan umum atau jalan kaki, merupakan strategi yang tidak mudah untuk diterapkan. Di Indonesia, berjalan kaki tidak seperti di luar negeri, dimana berjalan kaki adalah salah satu dari hak manusia. Trotoar-trotoar di Indonesia lebih banyak dibuat untuk berjualan bagi para pedagang kaki lima daripada untuk para pejalan kaki. Menurut Abdulkadir (2000) bahwa efisiensi dalam pemakaian BBM di sektor transportasi sangat tergantung pada hal-hal sebagai berikut: (1) pengaturan dan disiplin lalu lintas yang baik, (2) kondisi teknis mesin dan peralatan kendaraan sebagai fungsi pemeliharaan dan penggantian suku cadang yang tepat, (3) cara dan teknik mengemudi, (4) kondisi dan lebar jalan yang menentukan kecepatan rata-rata kendaraan, dan (5) kepadatan lalu lintas yang berlebihan. Terdapat tiga pilar dalam penyelesaian permasalahan transportasi di kotakota besar di dunia antara lain (Sani, 2008):
121
1. Land use planning, perencanaan penggunaan lahan yang memiliki tata guna lahan campuran dan efisien serta memiliki konsep compact city sehingga pergerakan masyarakat untuk bekerja dan usaha pemenuhan kebutuhan lainnya dapat dilakukan dalam suatu kawasan sekaligus dengan perjalanan yang lebih singkat sehingga tidak boros energi. 2. Restriction of privat car traffic, penggunaan kendaraan pribadi dibatasi dengan berbagai regulasi, larangan atau pajak yang mengikat sehingga volume lalu lintas kendaraan berkurang. 3. Promotion of public transport, peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan sarana transportasi masal. Dalam hal ini transportasi masal atau angkutan umum lebih banyak diberi hak pada penggunaan ruas jalan. Bepergian dengan transportasi umum akan lebih aman, nyaman, murah dan efisien sehingga masyarakat akan lebih memilih menggunakan kendaraan umum daripada kendaraan pribadi. Jika dilihat sistem transportasi di Indonesia terutama ibukota negara yaitu di Jakarta, bus merupakan sarana transportasi umum yang penting disamping sarana transportasi yang lain sejak dihentikannya pengoperasian trem oleh pemerintah DKI Jakarta pada tahun 1970-an. Porsi penggunaan bus semakin menurun dibandingkan dengan kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor, dimana jumlah kendaraan pribadi sebesar 92 persen dan kendaraan umum hanya 8 persen menjadi semakin lebar perbedaannya, sehingga share kendaraan umum menurun dari sekitar 70 persen pada tahun 1970-an menjadi 57 persen pada tahun 1985 dan 45 persen pada tahun 2000 (Sutomo dan Ammari, 2008). Angkutan kereta hanya mengangkut sekitar 3 persen penumpang dan angka penumpang yang tidak membayar (free rider) mencapai 67 persen. Motorisasi mencapai puncaknya dengan pertumbuhan tertinggi 16 persen per tahun. Pada tahun 2004, angka penjualan mobil mencapai 500 ribu unit dan sepeda motor 4,5 juta unit tanpa pertumbuhan pembangunan dan perbaikan kualitas jalan sehingga memperburuk kondisi transportasi di Jakarta. Pelayanan sarana transportasi publik sangat minim kualitas, supervisi dan monitoring yang lemah serta sarana penunjang (terminal) yang tidak nyaman. Menurunnya public transport share, pertumbuhan jumlah pengguna kendaraan pribadi, kualitas dan kuantitas sarana
122
jalan yang kurang optimal inilah yang diyakini menjadi penyebab utama masalah transportasi di Jakarta. Adanya isu premanisme di sektor transportasi dan rendahnya kualitas udara perkotaan (urban air quality) semakin menambah kompleksitas masalah di sektor transportasi, dimana efektivitas koordinasi antar lembaga terkait dan berwenang untuk pemecahan masalah ini belum terlihat hasilnya secara signifikan.
Sumber: Bertaud dan Malpezzi, 2003
Gambar 4.32 Tingkat Kepadatan Penduduk di 52 Kota Besar di Dunia (Orang/Hektar) Berdasarkan Gambar 4.32 terlihat bahwa kota-kota di Amerika termasuk kota dengan kepadatan penduduk rendah. Kota-kota di Eropa, Afrika dan Amerika Latin memiliki kepadatan penduduk yang sedang, sedangkan kota-kota di Asia tingkat kepadatan penduduknya tinggi. Kepadatan penduduk kota Singapura adalah 107 orang/hektar sedangkan kepadatan penduduk kota Jakarta adalah 127 orang/hektar. Kepadatan penduduk kedua kota ini tidak jauh berbeda tetapi sistem
123
transportasi di kota Singapura jauh lebih baik dibandingkan dengan Jakarta. Menurut Litman dan Laube (2002), sistem transportasi yang berbeda-beda antar wilayah merupakan hasil dari kebijakan publik yang pada akhirnya akan memengaruhi pilihan transportasi dan pola penggunaan lahan pada suatu wilayah. Penelitian dalam lima belas tahun terakhir oleh Newman dan Kenworthy tentang pembangunan kota yang berkelanjutan menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang tinggi antara tingkat kepadatan perkotaan dan transportasi berhubungan dengan konsumsi energi. Kota yang memiliki kepadatan penduduk rendah menunjukkan dominasi penggunaan mobil, dimana konsumsi energi untuk transportasi cukup besar yaitu lebih dari 65.000 mega joule/orang/tahun. Kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi memiliki penekanan yang jelas pada transportasi umum (40 sampai 60 persen dari perjalanan). Konsumsi energi di sektor transportasinya empat sampai tujuh kali lebih sedikit daripada di kota-kota dengan kepadatan rendah. Kota-kota di Eropa memiliki tingkat kepadatan penduduk sedang tetapi penggunaan mobil masih sangat dominan, terutama di daerah perifer kepadatan rendah pinggiran kota. Total konsumsi energi untuk transportasi adalah dua sampai empat kali lebih rendah daripada di kota-kota dengan kepadatan rendah (Lefèvre, 2009). Sistem transportasi di Indonesia terutama di ibukota Jakarta seharusnya bisa bercermin dari sistem transportasi yang ada di Singapura. Singapura memiliki sistem transportasi terbaik di dunia dimana kebijakan transportasinya sangat komprehensif . Singapura menyediakan transportasi masal yang sangat nyaman, lengkap dan terintegrasi antar moda satu dengan lainnya, sehingga membuat masyarakat tidak berpikir panjang untuk menggunakan kendaraan umum. Jika dibandingkan dengan kondisi transportasi di Jakarta saat ini, tercatat luas jalan di Jakarta hanya sekitar 6 persen dari total luas wilayah sedangkan rasio jumlah kendaraan mencapai 178 mobil per 1.000 orang. Luas jalan di Singapura mencapai 12 persen dari luas wilayahnya, sementara rasio jumlah kendaraannya ada yaitu 100 mobil per 1.000 orang (Sani, 2008). Pemerintah Singapura sangat jeli karena menyadari bahwa masyarakatnya telah memiliki daya yang tinggi. Negara Singapura adalah negara yang maju dengan pendapatan per kapita yang tinggi sehingga membeli mobil bukan hal
124
yang sulit secara ekonomi, namun untuk memiliki mobil dan memakainya sangat merepotkan karena adanya pajak kendaraan yang sangat tinggi. Adanya keterbatasan luas lahan yang tersedia menyebabkan Singapura mengalami kesulitan untuk menambah luas jalan sehingga pemerintah Singapura melalui LTA (Land Transport Authority) mengeluarkan beberapa kebijakan untuk membatasi pemakaian kendaraan pribadi, antara lain: 1. Pengenaan bea impor kendaraan yang sangat tinggi melalui Departemen Bea dan Cukai, dimana bea impor 31 persen untuk mobil, 12 persen untuk sepeda motor, 7 persen untuk taxi dan 31 persen untuk bus dengan delapan kursi atau kurang. 2. Sistem kuota kendaraan yang diberlakukan sejak 1 Mei 1990. Melalui sistem ini, LTA menentukan jumlah kendaraan bermotor baru yang diijinkan untuk didaftarkan pada saat pasar menentukan harga kepemilikan kendaraan. Dalam menentukan jumlah kendaraan, LTA mengalokasikan tiap jenis kendaraan dengan total jumlah kendaraan yang ada dengan mempertimbangkan kondisi jalan. Kuota yang diberikan kepada pemilik kendaraan diberikan dalam bentuk surat ijin yang disebut Certificates of Entitlement (COE). Setiap calon pembeli mobil harus membeli surat izin kepemilikan dari negara yang terbatas dan sangat mahal melalui penawaran terbuka untuk membolehkan kepemilikan kendaraan yang berlaku selama 10 tahun. 3. Electronic Road Pricing (ERP) untuk kendaraan pribadi. ERP ini telah sukses diterapkan di beberapa kota seperti di London, Trondheim, Durham, Sthocholm dan juga Singapura. ERP adalah sistem elektronik untuk pembayaran penggunaan jalan berdasarkan prinsip ‘membayar yang Anda pakai’. Sistem ini dirancang secara adil agar pengguna kendaraan dikenai biaya ketika masuk ke ruas jalan di pusat kota pada jam-jam sibuk. Sistem ini ternyata efektif untuk mengurangi kemacetan di pusat kota. Kendaraan harus dilengkapi alat khusus berisikan kartu bayar ERP ketika membeli kendaraan. Kartu bayar ERP akan berkurang otomatis setiap kali melewati gerbang ERP. Gerbang ERP dilengkapi dengan sistem sensor untuk memotong jumlah nilai kartu ERP yang bisa diisi ulang dan menggunakan kamera sensitif yang bisa memotret nomor kendaraan yang melanggar.
125
4. Pembatasan lahan parkir, hanya pertokoan dan hotel besar yang memiliki lahan parkir dengan tarif yang mahal. Selebihnya hanya tersedia tempat untuk menurunkan penumpang. 5. Kontrol waktu penggunaan operasional kendaraan diberlakukan dengan mengeluarakan pola Weekend Car (WEC). Mobil-mobil ini dibatasi penggunaannya hanya
pada akhir pekan
atau di
luar jam
sibuk.
Kompensasinya, setiap pemilik kendaraan WEC akan memperoleh potongan biaya tambahan pendaftaran kendaraan atau potongan biaya pajak. 4.2.3 Sektor Komersial Hasil dari analisis dekomposisi intensitas energi di sektor komersial Indonesia dengan menggunakan tahun 1977 sebagai tahun dasar dalam analisis dapat dilihat pada Gambar 4.33. Intensitas energi di sektor komersial pada tahun 2010 adalah 4,83 atau 483 persen dari tingkat pada tahun 1977. Dapat dikatakan bahwa intensitas energi di sektor komersial meningkat sebesar 383 persen antara tahun 1977 sampai dengan 2010. 4.91 4.83
4.00 2.00
0.98 0.00 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Indeks (1977=1)
6.00
Intensitas Energi
Gambar 4.33
Tahun Aktivitas Ekonomi
Efisiensi
Perkembangan Indeks Intensitas Energi, Indeks Aktivitas Ekonomi dan Indeks Efisiensi di Sektor Komersial
Indeks aktivitas ekonomi pada tahun 2010 adalah 0,98 atau 98 persen dari tingkat pada tahun 1977, sementara indeks efisiensi adalah 4,91 atau 491 persen dari tingkat pada tahun 1977. Dengan kata lain, jika efisiensi energi tetap konstan seperti pada tahun 1977, maka intensitas energi akan sebesar 98 persen pada tahun 2010. Jadi komponen atau efek pergeseran aktivitas ekonomi akan menyebabkan intensitas energi turun sebesar 2 persen. Sementara itu, jika aktivitas ekonomi tidak berubah antara tahun 1977 sampai dengan 2010, maka intensitas energi pada
126
tahun 2010 sebesar 491 persen. Artinya, komponen atau efek efisiensi energi akan menyebabkan intensitas energi meningkat sebesar 391 persen. Dengan demikian, efek efisiensi merupakan efek atau komponen yang lebih besar peranannya dalam meningkatkan intensitas energi di sektor komersial daripada efek aktivitas ekonomi. Tabel 4.10
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Komersial, 1978-2010
Tahun
Energi yang Diboroskan (Ribu BOE)
(1)
(2)
1978 1980 1990 2000 2010
60 110 3.525 15.590 24.824
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi Efisiensi (Ribu BOE) (Persen) (Ribu BOE) (Persen) (3)
-11 -12 -102 -18 -278
(4)
(5)
-18,81 -10,89 -2,89 -0,11 -1,12
71 122 3.627 15.608 25.103
(6)
118,81 110,89 102,89 100,11 101,12
Keterangan: tanda negatif menunjukkan energi yang bisa dihemat Sumber: KESDM (beberapa tahun), diolah
Berdasarkan Tabel 4.10 dapat dilihat bahwa jika intensitas energi tetap konstan seperti pada tahun dasar (=1977) maka telah terjadi pemborosan energi antara tahun 1978 sampai dengan 2010. Dengan mempertahankan intensitas energi yang sama seperti pada tahun dasar, maka pada tahun 1978 terjadi pemborosan energi sebesar 60 ribu BOE atau dapat dikatakan penggunaan energi kurang efisien sehingga hal ini menyebabkan meningkatnya intensitas energi. Demikian pula yang terjadi selama tiga dekade terakhir. Jika intensitas energi dipertahankan tetap konstan seperti pada tahun dasar, maka konsumsi energi aktual lebih besar dibandingkan konsumsi energi yang seharusnya dan terjadi pemborosan energi atau penggunaan energi yang kurang efisien. Dimana pemborosan energi yang terjadi dari tahun ke tahun semakin besar, bahkan pada tahun 2010 terjadi pemborosan energi sebesar 24.824 ribu BOE. 4.2.4 Sektor Lainnya Hasil dari analisis dekomposisi intensitas energi di sektor lainnya dengan menggunakan tahun 1990 sebagai tahun dasar dalam analisis dapat dilihat pada Gambar 4.34. Berbeda dengan tiga sektor lainnya, analisis dekomposisi untuk sektor lainnya dilakukan selama periode waktu 1990-2010 dikarenakan keterbatasan data. Intensitas energi di sektor lainnya pada tahun 2010 adalah 0,96
127
atau 96 persen dari tingkat pada tahun 1990. Dapat dikatakan bahwa intensitas energi di sektor lainnya menurun sebesar 4 persen antara tahun 1990 sampai dengan 2010. Indeks (1990=1)
1.50 1.08 0.96 0.89
1.00 0.50 0.00
Intensitas
Gambar 4.34
Tahun Aktivitas Ekonomi
Efisiensi
Perkembangan Indeks Intensitas Energi, Indeks Aktivitas Ekonomi dan Indeks Efisiensi di Sektor Lainnya
Indeks aktivitas ekonomi pada tahun 2010 adalah 1,08 atau 108 persen dari tingkat pada tahun 1990, sementara indeks efisiensi adalah 0,89 atau 89 persen dari tingkat pada tahun 1990. Dengan kata lain, jika efisiensi energi tetap konstan seperti pada tahun 1990, maka intensitas energi akan sebesar 108 persen pada tahun 2010. Jadi komponen atau efek pergeseran aktivitas ekonomi akan menyebabkan intensitas energi meningkat sebesar 8 persen. Sementara itu, jika aktivitas ekonomi tidak berubah antara tahun 1990 sampai dengan 2010, maka intensitas energi pada tahun 2010 sebesar 89 persen. Artinya, komponen atau efek efisiensi energi akan menyebabkan intensitas energi menurun sebesar 11 persen. Dengan demikian, efek efisiensi merupakan efek atau komponen yang lebih besar peranannya dalam meningkatkan intensitas energi di sektor lainnya daripada efek aktivitas ekonomi. Berdasarkan Tabel 4.11 dapat dilihat bahwa jika intensitas energi tetap konstan seperti pada tahun dasar (=1990) maka telah terjadi pemborosan energi antara tahun 1991 sampai dengan 2010. Dengan mempertahankan intensitas energi yang sama seperti pada tahun dasar, maka pada tahun 1991 terjadi pemborosan energi sebesar 620 ribu BOE atau dapat dikatakan penggunaan energi kurang efisien sehingga hal ini menyebabkan meningkatnya intensitas energi. Demikian pula yang terjadi selama dua dekade terakhir.
128
Tabel 4.11
Tahun
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Lainnya, 1991-2010 Energi yang Diboroskan (Ribu BOE)
(1)
1991 1995 2000 2005 2010
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi Efisiensi (Ribu BOE) (Persen) (Ribu BOE) (Persen)
(2)
(3)
620 7.192 6.642 3.512 -1.163
665 3.146 1.358 1.932 2.170
(4)
107,18 43,74 20,45 55,01 -186,60
(5)
-45 4.047 5.284 1.580 -3.332
(6)
-7,18 56,26 79,55 44,99 286,60
Keterangan: tanda negatif menunjukkan energi yang bisa dihemat Sumber: KESDM (beberapa tahun), diolah
Apabila intensitas energi dipertahankan tetap konstan seperti pada tahun dasar, maka konsumsi energi aktual lebih besar dibandingkan konsumsi energi yang seharusnya dan terjadi pemborosan energi atau penggunaan energi yang kurang efisien. Pada tahun 2010 komponen aktivitas menyebabkan terjadinya pemborosan energi sebesar 2.170 ribu BOE, sedangkan komponen efisiensi bisa menghemat energi sebesar 3.332 ribu BOE. 4.3
Determinan Intensitas Energi di Indonesia Tahap awal dalam analisis data time series adalah melakukan pengujian-
pengujian pra-estimasi. Pengujian-pengujian tersebut meliputi uji akar unit (unit root test), pengujian stabilitas VAR dan pengujian lag optimal. Pengujianpengujian ini penting karena dalam model multivariate time series kebanyakan data yang digunakan mengandung akar unit sehingga akan membuat hasil estimasi menjadi semu dan tidak valid (Gujarati, 2006). Metode pengujian yang digunakan untuk melakukan uji stasioneritas data dalam penelitian ini adalah metode ADF (Augmented Dickey Fuller) dengan menggunakan taraf nyata 5 persen. Jika t-ADF lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon, maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan adalah stasioner (tidak mengandung akar unit). Pengujian akar-akar unit ini dilakukan pada tingkat level sampai dengan first difference. Hasil uji stasioneritas dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Hasil pengujian akar unit menunjukkan bahwa variabel-variabel yang digunakan pada penelitian ini tidak seluruhnya stasioner pada tingkat level.
129
Ketidakstasioneran data dapat dilihat dari nilai t-ADF yang lebih besar dari nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 5 persen. Oleh karena itu, pengujian akar unit ini perlu dilanjutkan pada tingkat first difference. Setelah dilakukan pengujian pada first difference, hasilnya semua data stasioner pada taraf nyata 5 persen. Artinya data yang digunakan pada penelitian ini terintegrasi pada ordo satu atau I(1). Data pada tingkat first difference tidak dapat menyajikan informasi jangka panjang. Oleh karena itu, untuk menganalisis informasi jangka panjang digunakan data level sehingga model VAR dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan atau model VECM. Tahap selanjutnya adalah menentukan panjang lag optimal. Penentuan lag optimal sangat penting dalam pendekatan VAR karena lag dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen. Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR, sehingga dengan digunakannya lag optimal diharapkan tidak muncul lagi masalah autokorelasi. Penetapan lag optimal digunakan nilai dari likelihood ratio (LR), final prediction error (FPE), Akaike information criterion (AIC), Schwarz information criterion (SC), dan HannanQuin criterion (HQ). Besarnya lag yang dipilih berdasarkan lag terpendek. Berdasarkan lima kriteria informasi yang tersedia maka lag yang dipilih adalah lag 1 sebagai lag optimal. Hasil penentuan lag optimal terdapat pada Lampiran 15. Stabilitas VAR perlu diuji sebelum melakukan analisis lebih jauh, karena jika hasil estimasi VAR yang dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan tidak stabil, maka impulse response function (IRF) dan forecasting error variance decomposition (FEVD) menjadi tidak valid. Pengujian stabil atau tidaknya estimasi VAR yang telah dibentuk, maka dilakukan VAR stability condition check berupa roots of characteristic polynomial. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari 1. Hasil pengujian stabilitas VAR dapat dilihat pada Lampiran 16. Hasil pengujian menunjukkan bahwa persamaan VAR memiliki nilai modulus kurang dari satu, sehingga dapat disimpulkan bahwa model VAR yang dibentuk sudah stabil pada lag optimalnya. Implikasinya dari sisi ekonomi, penggunaan lag 1 sebagai lag optimal artinya
130
semua variabel yang ada dalam persamaan saling mempengaruhi satu sama lain bukan saja pada periode yang sama namun variabel-variabel tersebut saling terkait satu periode sebelumnya. Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel yang tidak stasioner terkointegrasi atau tidak. Jika terjadi terkointegrasi antar variabel dalam sistem persamaan maka dapat dikatakan terjadi keseimbangan dalam jangka panjang, yaitu terdapat kesamaan pergerakan dan stabilitas hubungan diantara variabel-variabel di dalam penelitian ini. Konsep kointegrasi ini dikemukakan oleh Engle dan Granger pada tahun 1987 sebagai fenomena kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menjadi stasioner. Variabel yang saling terkointegrasi dikatakan dalam kondisi keseimbangan jangka panjang (long run equilibrium). Hubungan kointegrasi dalam sebuah sistem persamaan menandakan bahwa dalam sistem tersebut terdapat error correction model yang mengambarkan adanya dinamisasi dalam jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya seperti diungkapkan oleh Verbeek (2008). Metode pengujian kointegrasi penelitian ini didasarkan pada metode Johansen’s Cointegration Test. Terdapat lima asumsi deterministic trend dalam uji kointegrasi, untuk menentukan pilihan trend yang digunakan bisa dilihat dari hasil summary, serta pilihan lag yang digunakan adalah lag optimal. Pemilihan asumsi dengan summary disesuaikan berdasarkan Schwarz information criterion (SC). Berdasarkan summary didapatkan bahwa asumsi yang digunakan adalah asumsi ketiga yaitu intercept (no trend) in CE and test VAR untuk linear deterministic trend. Tahapan selanjutnya adalah menentukan jumlah kointegrasi, dimana kriteria pengujiannya didasarkan pada Max-Eigen Statistics dan Trace test. Hasil pengujian kointegrasi menunjukkan bahwa diantara lima variabel dalam penelitian ini terdapat satu kointegrasi pada tingkat signifikansi 5 persen, artinya diantara lima variabel tersebut memiliki hubungan stabilitas/keseimbangan dan kesamaan pergerakan dalam jangka panjang. Dapat dikatakan bahwa pada periode jangka pendek, seluruh variabel cenderung saling menyesuaikan untuk mencapai ekuilibrium jangka panjangnya. Menurut Enders (2004), jika terdapat hubungan
131
kointegrasi diantara variabel penelitian, maka estimasi dilakukan dengan VECM, sedangkan jika tidak ada kointegrasi diantara kelima variabel di atas maka estimasi dilakukan dengan VAR first difference. Jadi dalam penelitian ini digunakan analisis VECM karena terdapat satu kointegrasi. 4.3.1 Analisis Impulse Response Function (IRF) Analisis impulse response dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan suatu variabel endogen terhadap variabel endogen yang lain. Hasil analisis dapat memperlihatkan dampak saat ini dan masa depan shock suatu variabel terhadap variabel endogen yang lain. Pada model ini respon dari perubahan masing-masing variabel dengan adanya informasi baru diukur dengan satu standar deviasi. Sumbu horizontal merupakan waktu dalam periode (tahun) ke depan setelah terjadinya shock, sedangkan sumbu vertikal adalah nilai respon. Secara mendasar dalam analisis ini akan diketahui respon positif atau negatif dari suatu variabel terhadap
2.00
2.00
0.00 -2.00
-2.00
-4.00 Periode (tahun)
(a) Respon terhadap Pendapatan per kapita
Gambar 4.35
0.00
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29
4.00 Persen
4.00
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29
Persen
variabel lainnya.
-4.00 Periode (tahun)
(b) Respon terhadap Harga Energi
Respon Intensitas Energi terhadap Shock Pendapatan per kapita dan Harga Energi
Respon intensitas energi terhadap guncangan pendapatan per kapita, pertumbuhan penduduk, harga maupun impor energi memiliki respon yang berbeda-beda. Pada periode pertama, ketika ada guncangan dari empat variabel di atas, intensitas energi belum memiliki respon. Baru pada periode atau tahun kedua, intensitas energi merespon guncangan dari masing-masing variabel. Respon intensitas energi terhadap guncangan atau shock pendapatan per kapita memiliki respon yang negatif. Pada periode kedua, ketika ada kenaikan pendapatan perkapita sebesar satu standar deviasi, maka intensitas energi akan menurun sebesar -1,03 persen. Sampai dengan periode ke-4, respon intensitas
132
energi merupakan puncaknya yaitu -1,75 persen. Angka ini berfluktuasi hingga pada periode ke-19 dan selanjutnya respon intensitas relatif stabil. Respon intensitas energi yang negatif terhadap shock pendapatan per kapita tidak sesuai dengan yang dihipotesiskan sebelumnya bahwa jika pendapatan per kapita meningkat maka intensitas energi akan meningkat. Ketika pendapatan meningkat, konsumsi dan intensitas energi diduga akan meningkat juga karena meningkatnya permintaan seperti barang-barang elektronik (komputer, lemari es, AC dan perlengkapan rumah tangga lainnya), membangun rumah yang lebih besar, membeli kendaraan baru dan sebagainya (Berstein et al., 2003). Meskipun tidak sesuai dengan hipotesis awal, akan tetapi hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Thaler (2011), dimana meningkatnya pendapatan per kapita mengindikasikan meningkatnya standard of living dari masyarakat, meningkatnya tingkat pendidikan, teknologi dan semua aspek kehidupan dalam suatu
negara.
Meningkatnya
pendidikan
mengindikasikan
meningkatnya
pengetahuan masyarakat akan pentingnya efisiensi penggunaan energi, kepedulian terhadap lingkungan dan perekonomian negara. Efek yang berlawanan dari meningkatnya permintaan terhadap barang-barang elektronik, kendaraan dan sebagainya dapat diatasi oleh hal-hal tersebut di atas. Harga energi domestik yang rendah dan kurangnya insentif untuk perbaikan efisiensi energi telah menghasilkan intensitas energi yang tinggi Indonesia. Respon intensitas energi terhadap shock harga energi memiliki respon yang paling besar dibanding tiga variabel lainnya dan negatif sesuai dengan yang dihipotesiskan sebelumnya. Tingginya harga energi menyebabkan demand terhadap energi menjadi turun sehingga intensitas energi juga mengalami penurunan. Pada periode ke-2, shock kenaikan harga energi direspon oleh penurunan intensitas energi sebesar 1,73 persen dan mencapai puncaknya pada periode ke-3 yaitu sebesar -2,54 persen. Respon intensitas energi yang negatif ini cenderung berfluktuasi pada periode ke-4 hingga periode ke-17. Pada akhirnya respon relatif stabil mulai periode ke-18 yaitu sebesar -2,23 persen.
2.00
2.00
0.00
-2.00
-2.00 -4.00
-4.00 Periode (tahun)
(a) Respon terhadap Pertumbuhan Penduduk
Gambar 4.36
0.00
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29
4.00 Persen
4.00
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29
Persen
133
Periode (tahun)
(b) Respon terhadap Impor Energi
Respon Intensitas Energi terhadap Shock Pertumbuhan Penduduk dan Impor Energi
Respon intensitas energi terhadap pertumbuhan penduduk adalah positif sesuai dengan yang dihipotesiskan sebelumnya (lihat Gambar 4.36). Pada periode ke-2, ketika ada shock pertumbuhan penduduk sebesar satu standar deviasi, maka intensitas energi akan meningkat sebesar 0,6 persen. Pada periode ke-3 dan ke-4, respon intensitas energi meningkat yaitu sebesar 1,77 persen dan 2,02 persen. Kemudian pada periode ke-5 sampai ke-8 respon intensitas energi sedikit berfluktuasi. Respon intensitas energi akibat shock pertumbuhan penduduk relatif stabil mulai periode ke-9 yaitu sebesar 1,53 persen. Respon intensitas energi terhadap shock impor energi memiliki respon yang positif dan paling kecil dibandingkan dengan respon intensitas energi akibat shock ketiga variabel lainnya. Respon yang positif ini berlawanan dengan yang dihipotesiskan sebelumnya. Pada periode ke-2 dan ke-3, shock kenaikan impor energi sebesar satu standar deviasi direspon dengan meningkatnya intensitas energi sebesar 0,68 persen dan 1,14 persen. Respon terhadap shock kenaikan impor energi mulai menurun pada periode ke-4 yaitu sebesar 1,08 persen. Respon mulai relatif stabil pada periode ke-15 yakni sekitar 1,01 persen. Jumlah impor minyak bumi dan olahannya di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Sejak tahun 2004, posisi Indonesia yang sebelumnya sebagai negara eksportir minyak berubah menjadi negara net importer minyak dimana rasio konsumsi terhadap suplai minyak bumi dan olahannya kurang dari 100 (lihat Tabel 4.12). Seharusnya dengan meningkatnya impor, penggunaan energi di dalam negeri bisa lebih efisien atau intensitas energi menurun, akan tetapi hal ini tidak berlaku di Indonesia.
134
Tabel 4.12
Rasio Konsumsi terhadap Suplai Minyak Bumi dan Olahannya
Tahun
Rasio
Tahun
Rasio
Tahun
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Rasio (6)
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990
407 376 299 308 319 297 303 278 261 254 236
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
240 223 208 204 196 191 171 178 163 148
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
133 119 109 96 90 87 85 82 79 76
Sumber: EIA, 2011
Respon intensitas energi yang positif terhadap shock impor energi disebabkan harga energi di Indonesia tidak mengikuti mekanisme pasar. Semakin tinggi impor energi tidak berdampak langsung terhadap harga energi di dalam negeri. Kondisi ini terjadi karena harga energi domestik ditetapkan oleh pemerintah dengan bantuan subsidi baik melalui subsidi BBM maupun listrik. Kondisi tersebut mengakibatkan kebijakan energy mix tidak memenuhi sasaran secara optimal dan juga kecenderungan masyarakat boros dalam menggunakan energi karena harganya yang relatif murah. Triliun Rupiah
300 200 100 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
BBM
Listrik
Pangan
Pertanian
Lainnya
Sumber: Kemenko Perekonomian (2011)
Gambar 4.37
Perkembangan Subsidi Energi dan Non Energi Tahun 2005-2011 (Triliun Rupiah)
Anggaran subsidi energi saat ini telah memberatkan APBN karena secara rata-rata telah menguras anggaran belanja pemerintah pusat sebesar 23 persen. Rata-rata subsidi energi dalam sepuluh tahun terakhir menyedot 80 persen dari
135
total anggaran subsidi. Pada Gambar 4.37 ditunjukkan bahwa pada APBN 2011 anggaran untuk subsidi BBM sebesar 96 triliun rupiah dan subsidi listrik sebesar 41 triliun rupiah sedangkan subsidi pangan, subsidi pertanian dan subsidi lainnya masing-masing sebesar 15, 16 dan 19 triliun rupiah. Berdasarkan fenomena ini, kebijakan subsidi energi membuat berkurangnya anggaran pembangunan di sektor lain (Kemenko Perekonomian, 2011). Di sisi lain, pembangunan infrastruktur jaringan transmisi listrik terutama di luar Jawa masih belum dapat memenuhi semua permintaan energi listrik masyarakat. Terdapat 19-20 juta atau sekitar 33 persen rumah tangga di Indonesia terutama di Indonesia bagian Timur belum menikmati listrik dan beberapa daerah lainnya sering mengalami pemadaman listrik karena kurangnya pembangkitan listrik dan fasilitas transmisi. Hal ini dapat dilihat dari rasio elektrifikasi pada Tabel 4.13. Angka rasio elektrifikasi yaitu perbandingan antara jumlah pelanggan listrik sektor rumah tangga terhadap total rumah tangga di Indonesia. Tabel 4.13
Rasio Elektrifikasi Indonesia (Persen)
Tahun
Jumlah Rumah tangga
Jumlah Pelanggan rumah tangga
Rasio Elektrifikasi (persen)
(1)
(2)
(3)
(4)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
46.233.049 47.618.873 49.046.878 50.526.451 50.943.594 51.819.109 52.568.669 55.376.391 56.088.255 58.194.473 59.118.900
26.796.675 27.885.612 28.903.325 29.997.554 31.095.970 32.174.485 33.118.262 35.630.074 37.419.257 38.573.465 39.696.415
57,96 58,56 58,93 59,37 61,04 62,09 63,00 64,34 66,71 66,28 67,15
Keterangan: tahun 2006 angka KESDM sampai dengan triwulan III 2005 Sumber: DJLPE, KESDM (2011)
Ketersediaan listrik merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi, namun ketersediaan listrik di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan sebagian besar negara-negara di ASEAN. Pada tahun 2008, rasio elektrifikasi Singapura sudah mencapai 100 persen; Brunei 99,7 persen; Malaysia 99,4 persen; Thailand 99,3 persen; Vietnam 89 persen; Filipina 86 persen; Laos 55 persen; Kamboja 24 persen; dan Myanmar 13 persen. Indonesia
136
menduduki peringkat ke tujuh dimana rasio elektrifikasinya pada tahun 2010 baru mencapai 67,15 persen. PT PLN (Persero) memiliki target rasio elektrifikasi bisa mencapai 100 persen pada tahun 2020 nanti (Meilani dan Wuryandari, 2010). Di Indonesia, selama lebih dari 40 tahun, usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Terbentuknya monopoli tersebut selain karena karakteristik industrinya juga disebabkan oleh penugasan penyediaan listrik untuk masyarakat dari pemerintah. Terbitnya Undang-Undang No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan didorong oleh semangat liberalisasi dengan memangkas monopoli usaha kelistrikan oleh PLN serta desentralisasi tanggungjawab dan kewenangan dengan cara membuka kesempatan seluasluasnya bagi BUMN, BUMD, badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat (UU pasal 4 ayat 1 dan 2), untuk jenis usaha pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan tenaga listrik (pasal 10 ayat 1), serta pendelegasian kewenangan kepada pemerintah propinsi dan kabupaten/kota untuk pemberian ijin usaha dan penetapan tarif listrik (pasal 21 dan pasal 34). Pelaksanaan UU No. 30 tahun 2009 dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. Semakin pesatnya pertumbuhan permintaan listrik menyebabkan penyediaan pasokan tenaga listrik tidak dapat seluruhnya dipenuhi oleh PLN sendiri karena keterbatasan kemampuan finansialnya. PLN selama ini belum bisa melakukan efisiensi dimana penggunaan bahan bakarnya masih berupa solar dan minyak tanah. Solar dan minyak tanah merupakan bahan bakar yang mahal dan tidak efisien. Hal inilah yang kemudian selalu menjadikan PLN mengalami kerugian. PLN harus melakukan transformasi ke energi yang murah serta energi yang berdaya tinggi untuk memenuhi permintaan listrik yang besar. Jaringan listrik yang baru harus dikembangkan karena selama ini untuk mengembangkan dan menembus daerah baru PLN mengalami kesulitan. Masih banyak daerah yang belum teraliri listrik sehingga masyarakat mengalami kesulitan dalam menjalankan aktivitasnya. Daerah yang belum teraliri listrik biasanya memiliki tingkat kemajuan yang rendah. Masyarakat yang tidak dapat mengakses listrik atau belum bisa menikmati listrik harus menggunakan generator
137
set (genset) untuk menunjang aktivitas ekonominya, sehingga kebutuhan solar pun menjadi meningkat. Undang-Undang No. 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan telah membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk membangun pembangkit listrik. Pada kurun waktu 1990-1997 terdapat 25 proyek listrik swasta, beberapa diantaranya bahkan memiliki kontrak penjualan tenaga listrik hingga lebih dari 30 tahun dengan PLN. Pasca krisis ekonomi tahun 1997, partisipasi swasta menurun sampai tahun 2003 dan kembali mengalami kenaikan pada tahun 2004. Pada prakteknya pembangkit listrik swasta menjual listriknya kepada PLN melalui kontrak jangka panjang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak yang tertuang dalam perjanjian pembelian tenaga listrik (power purchase agreement) atau penjualan energi (energy sales contract) atau konsep sewa (leasing) pembangkit atau dengan skema kemitraan publik dan swasta, dimana pihak swasta membangun pembangkit listrik dengan insentif pemerintah yang kemudian listriknya dibeli atau pembangkitnya dioperasikan oleh PLN. Peraturan yang ada sudah memungkinkan pihak swasta membangun transmisi dan distribusi listrik, tetapi sedikit sekali investor swasta yang tertarik membangun jaringan listrik. Pembangunan transmisi membutuhkan biaya yang relatif besar tetapi dengan tingkat keuntungan yang rendah sehingga secara hitungan ekonomi kurang menarik bagi pengembang swasta, selain itu proyek transmisi akan berhadapan dengan resiko ketersediaan lahan dan ganti ruginya. Pada umumnya rate of return bisnis pembangkitan listrik sekitar 15-22 persen sedangkan transmisi listrik sekitar 5-6 persen3. Jika dilihat dari sisi investasi di bidang energi terutama investasi minyak dan gas maka investasi minyak dan gas (migas) di Indonesia merupakan salah satu yang terburuk di dunia. Berdasarkan survei Global Petroleum pada 2010, investasi migas di Indonesia menduduki peringkat ke-111 dari 133 negara. Bahkan, di kawasan Oceania, investasi migas di Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Timor Leste dan lebih buruk dari Papua Nugini, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Australia dan Selandia Baru4.
3 4
Mingguan Bisnis dan Investasi KONTAN No. 21-XVI. Listrik Swasta. [20 Juni 2012] www.tempo.co.id. Kurtubi: Investasi Migas di Indonesia Terburuk di Dunia. [22 Juni 2012]
138
Pasca pemberlakuan Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001, investasi migas di Indonesia menjadi cenderung stagnan. Selama sepuluh tahun terakhir tidak ada pembukaan lapangan minyak baru di Indonesia disebabkan berbelitnya proses investasi. Proses investasi bisa menghabiskan waktu 5 tahun sebelum akhirnya bisa melakukan pengeboran. Sementara itu jika dengan UU migas yang lama, yaitu UU 8 Tahun 1971, hanya dibutuhkan waktu 3 bulan. Melihat kondisi ini seharusnya pemerintah berusaha agar investasi di bidang energi bisa meningkat sehingga dapat meningkatkan penyediaan energi secara lebih baik. Salah satu faktor yang membuat pembangunan infrastruktur energi terhambat adalah subsidi energi yang selalu membengkak dari perhitungan semula. Penetapan subsidi bahan bakar minyak dan listrik jumlahnya selalu membengkak dan selalu direvisi dari jumlah semula sehingga menghambat kemampuan negara membiayai infrastruktur yang lebih strategis bagi bangsa, padahal investasi infrastruktur energi sangat penting untuk menghasilkan energi yang lebih ekonomis, terjangkau dan berkelanjutan. Selama infrastruktur kurang memadai dan tidak dikembangkan, maka selama itu pula beban subsidi energi negara akan terus membengkak5. 4.3.3 Analisis Forecasting Error Variance Decomposition Analisis dekomposisi varian atau Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) menggambarkan relatif pentingnya setiap variabel di dalam sistem karena adanya shock. Analisis ini berguna untuk memprediksi kontribusi persentase dari setiap variabel tertentu di dalam sistem sehingga akan diketahui sumber variasi dari model yang dibentuk. Hasil analisis dapat menunjukkan seberapa besar perubahan suatu variabel berasal dari dirinya sendiri dan seberapa besar berasal dari pengaruh variabel lain. Dekomposisi varian dalam penelitian ini untuk melihat seberapa besar peranan perubahan pendapatan per kapita, pertumbuhan penduduk, harga dan impor energi dalam menjelaskan perubahan intensitas energi di Indonesia.
5
www.tempo.co. Kebijakan Energi Indonesia Diganjal Kalangan Tertentu. [18 Juni 2012]
139
Simulasi analisis ini diproyeksikan selama 30 periode (tahun) agar dapat dianalisis efek jangka panjangnya. Gambar 4.38 menunjukkan bahwa variabilitas intensitas energi di Indonesia sebagian besar dipengaruhi oleh intensitas itu sendiri, selanjutnya harga energi, pendapatan per kapita, pertumbuhan penduduk dan impor energi. Pada periode pertama variabilitas intensitas energi 100 persen dijelaskan atau dipengaruhi oleh intensitas energi itu sendiri. Pada periode ke-2 sebagian besar variabilitas intensitas energi dipengaruhi oleh dirinya sendiri sebesar 92,84 persen. Sebagian yang lain dipengaruhi oleh harga energi sebesar 4,39 persen, pendapatan per kapita sebesar 1,57 persen, kemudian pertumbuhan penduduk sebesar 0,53 persen, dan impor energi berkontribusi sebesar 0,68 persen. 100% 80% 60% 40%
0%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
20%
Intensitas
Gambar 4.38
Pendapatan per kapita
Periode (tahun) Impor Energi Pertumbuhan Penduduk
Harga Energi
Analisis Variance Decomposition Intensitas Energi
Pada periode-periode selanjutnya variabilitas intensitas energi sebagian besar dipengaruhi oleh dirinya sendiri akan tetapi proporsinya semakin menurun dan relatif stabil mulai periode ke-12 yaitu sekitar 77 persen. Di sisi lain, kontribusi pendapatan per kapita cenderung mengalami peningkatan dari satu periode ke periode berikutnya. Pada periode ke-3 kontribusi pendapatan per kapita sebesar 2,28 persen meningkat menjadi 4,29 persen pada periode ke-4. Mulai periode ke-7 kontribusinya relatif stabil yakni berkisar 5 persen. Kontribusi terbesar ketiga adalah pertumbuhan penduduk. Kontribusi pertumbuhan penduduk terhadap variabilitas intensitas energi cenderung mengalami peningkatan. Pada periode ke-3 kontribusi pertumbuhan penduduk terhadap variabilitas intensitas energi sebesar 2,78 persen. Pada periode ke-4 dan ke-5 kontribusinya meningkat masing-masing sebesar 4,21 dan 4,84 persen. Mulai periode ke-4 kontribusi pertumbuhan penduduk relatif stabil yakni berkisar 4 persen.
140
Harga energi memiliki kontribusi yang paling besar terhadap variabilitas intensitas energi dibandingkan dengan tiga variabel lainnya, sedangkan variabel yang paling kecil memengaruhi intensitas energi adalah impor energi. Pada awal periode pengaruh harga dan impor energi masing-masing sebesar 4,39 dan 0,68 persen. Pengaruh harga energi cenderung meningkat, begitu juga dengan pengaruh impor energi terhadap intensitas energi. Pengaruh harga energi meningkat perlahan-lahan dari 7,48 persen pada periode ke-3 menjadi 8,65 persen pada periode ke-4 hingga pada periode ke-16 pengaruh harga energi sebesar 10 persen. Kontribusi impor energi terhadap variabilitas intensitas energi meningkat dari 1,4 persen pada periode ke-3 menjadi 2 persen pada periode ke-12 dan terus mengalami peningkatan secara perlahan-lahan pada periode-periode berikutnya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang diuraikan pada bab sebelumnya
serta merujuk pada tujuan penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsumsi energi selama periode 1977-2010 mengalami peningkatan. Peningkatan konsumsi energi seiring dengan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) dan keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Hal ini menunjukkan sangat pentingnya peran energi dalam aktivitas perekonomian untuk menciptakan output nasional. Konsumen terbesar energi adalah sektor industri, kemudian transportasi, rumah tangga, sektor lainnya dan sektor komersial. Bila dilihat intensitas energinya, maka sektor transportasi merupakan sektor yang paling tidak efisien dengan nilai intensitas energi tertinggi, kemudian sektor industri, rumah tangga, sektor lainnya dan sektor komersial. 2. Hasil analisis dekomposisi Indeks Ideal Fisher menunjukkan bahwa komponen aktivitas
ekonomi
(activity
effect)
lebih
berperan
dalam
perubahan
(peningkatan) intensitas energi agregat di Indonesia dibanding komponen efisiensi (efficiency effect). Hasil analisis dekomposisi menurut sektor pengguna energi baik sektor transportasi, industri, komersial maupun sektor lainnya menunjukkan bahwa komponen efisiensi lebih berperan dalam perubahan intensitas energi di masing-masing sektor. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan intensitas energi di level nasional selain disebabkan oleh terjadinya pegeseran dari kegiatan ekonomi yang less energy intensive (seperti pertanian) ke kegiatan yang more energy intensive (seperti industri manufaktur), juga disebabkan oleh inefisiensi penggunaan energi di setiap sektor pengguna energi. 3. Intensitas energi memiliki respon negatif terhadap shock pendapatan per kapita dan harga energi. Meningkatnya pendapatan per kapita mengindikasikan meningkatnya standard of living dari masyarakat, meningkatnya tingkat
142
pendidikan, teknologi, meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya efisiensi penggunaan energi, kepedulian terhadap lingkungan dan sebagainya. Peningkatan harga energi akan menurunkan demand terhadap energi sehingga intensitas energi juga akan mengalami penurunan. Intensitas energi memiliki respon positif terhadap shock pertumbuhan penduduk dan impor energi. Meningkatnya jumlah penduduk akan meningkatkan demand terhadap energi, sedangkan meningkatnya impor energi justru tidak menurunkan intensitas energi disebabkan harga energi domestik disubsidi oleh pemerintah melalui subsidi BBM maupun listrik. 5.2
Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diuraikan sebelumnya,
maka beberapa arah kebijakan yang bisa disarankan dalam penelitian ini adalah: 1. Terkait dengan (i) struktur penggunaan energi di Indonesia masih tergantung pada bahan bakar fosil (sumber energi yang tak terbarukan) terutama minyak bumi dan olahannya, padahal Indonesia saat ini telah menjadi negara net importer minyak, (ii) meningkatnya intensitas energi di sektor transportasi dimana hampir 100 persen jenis energi yang digunakan adalah bahan bakar minyak (BBM), dan salah satu faktor penyebabnya adalah murahnya harga BBM domestik (relatif terhadap harga internasional) karena adanya subsidi dari pemerintah, (iii) respon intensitas energi terhadap impor energi yang positif menunjukkan bahwa kenaikan impor energi justru meningkatkan intensitas energi, maka pemerintah diharapkan untuk: a. Merasionalisasi harga BBM agar sesuai dengan harga keekonomiannya melalui pengurangan subsidi secara bertahap dan pembatasan penggunaan energi bersubsidi. Harga BBM yang murah karena adanya subsidi dari pemerintah, selain dapat menguras dana pemerintah untuk subsidi harga BBM juga memanjakan pengguna BBM sehingga pemanfaatannya kurang efisien, serta dapat menghambat pengembangan energi alternatif non BBM. b. Memberikan insentif untuk pengembangan energi alternatif non BBM atau sumber energi yang terbarukan, misalnya bahan bakar nabati (BBN/biofuel) untuk mempercepat diversifikasi sumber energi atau energy mix sesuai
143
Kebijakan Energi Nasional (KEN). Pengembangan industri bahan bakar nabati selain untuk memenuhi kebutuhan energi nasional juga dapat membuka lapangan kerja baru, menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Faktanya energi alternatif non BBM selama ini kurang berkembang karena pengguna energi lebih memilih BBM karena harganya yang relatif lebih murah. Padahal untuk memenuhi kebutuhan domestik, Indonesia masih mengimpor minyak bumi dan BBM yang jumlahnya semakin meningkat setiap tahunnya. Kebijakan subsidi BBM merupakan suatu hal yang bertolak belakang dengan KEN yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 yang memiliki sasaran untuk mengurangi pangsa penggunaan minyak bumi dan bahan bakar olahannya serta meningkatkan pangsa penggunaan energi terbarukan (energi air, energi panas bumi, biomasa termasuk BBN, energi surya dan energi angin) karena potensinya melimpah dan termasuk energi bersih. 2. Sektor transportasi merupakan sektor yang paling tidak efisien dalam penggunaan energi dimana nilai intensitas energinya paling tinggi bahkan di atas intensitas energi agregat (nasional). Beberapa faktor penyebabnya adalah kemacetan lalu lintas terutama di kota-kota besar, murahnya harga energi domestik yang secara tidak langsung mendorong meningkatnya pertumbuhan kendaraan terutama kendaraan pribadi yang tidak seimbang dengan pertumbuhan panjang jalan. Terkait hal tersebut hendaknya pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah menyediakan dan memperluas infrastruktur transportasi publik terutama yang berbasis gas (BBG), BBN atau listrik yang murah, aman dan nyaman sehingga ada insentif bagi pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke sarana transportasi publik. 3. Peningkatan intensitas energi di sektor industri disebabkan oleh tidak adanya perubahan teknologi yang digunakan di sektor industri. Penggunaan teknologi yang relatif tidak berubah atau dapat dikatakan stagnan diindikasikan boros energi. Terkait hal ini pemerintah seharusnya memberikan insentif agar industri-industri yang ada mampu meng-upgrade mesinnya menjadi lebih hemat energi dan ramah lingkungan.
144
4. Peningkatan intensitas energi di sektor komersial disebabkan oleh inefisiensi penggunaan energi. Terkait hal ini seharusnya pemerintah bisa memberikan insentif bagi pengusaha property yang membangun perumahan maupun gedung perkantoran yang memiliki konsep ramah lingkungan seperti halnya yang telah dilakukan oleh pemerintah Singapura. 5. Meningkatkan sosialisasi kebijakan energi nasional agar terbangun persepsi yang sama di masyarakat dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya efisiensi energi. 6. Menciptakan iklim investasi yang kondusif di bidang infrastruktur energi untuk meningkatkan suplai energi secara berkelanjutan. Secara umum, usaha efisiensi energi tidak mungkin bisa dicapai hanya dengan mengandalkan peran pemerintah pusat dan daerah maupun stakeholder terkait saja, namun harus menjadi gerakan seluruh masyarakat secara bersamasama. 5.3
Saran Penelitian Lebih Lanjut Penelitian ini masih dapat terus dikembangkan dalam hal pemodelan,
metode analisis maupun cakupan wilayah. Terkait ruang lingkup dan keterbatasan dalam penelitian ini, maka saran untuk penelitian lebih lanjut adalah: 1. Energi yang dicakup dalam penelitian ini hanya energi final komersial tidak termasuk biomasa. Untuk memperluas dan memperkaya penelitian ini, dapat dilakukan komparasi antara intensitas energi dengan menggunakan biomasa dan tanpa biomasa. 2. Cakupan wilayah dalam penelitian ini hanya wilayah Indonesia, sehingga untuk penelitian selanjutnya dapat dikembangkan dengan menambah cakupan wilayah atau melakukan komparasi dengan negara lainnya misalnya negaranegara di ASEAN. 3. Beberapa penelitian sebelumnya menggunakan variabel-variabel ekonomi seperti tingkat pendidikan, kontribusi PDB sektor industri dan Foreign Direct Investment (FDI) untuk mengetahui determinan intensitas energi di suatu wilayah, sehingga dalam penelitian selanjutnya bisa dicoba dengan
145
menambahkan ketiga variabel tersebut karena tidak menutup kemungkinan bisa menjelaskan lebih jauh mengenai perubahan intensitas energi di Indonesia. 4. Determinan intensitas energi per sektor pengguna energi tidak hanya dilakukan dengan metode dekomposisi tetapi dapat dikembangkan dengan menggunakan metode ekonometrik. 5. Intensitas energi sektoral sejauh ini hanya dilakukan pada sektor industri manufaktur. Perlu dikembangkan penelitian di sektor lainnya baik sektor transportasi, komersial, rumah tangga maupun sektor lainnya secara terpisah agar bisa diteliti secara lebih mendalam.
146
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir A. 2000. Pedoman Hitungan Dampak Kenaikan Harga BBM dan TDL Tahun 2000. KADIN. Jakarta. Abimanyu A. 1998. Dampak Globalisasi terhadap Perekonomian dan Sektor Energi Indonesia. Jurnal Energi, No.1: 8-17. Achsani NA dan Nababan HF. 2007. Dampak Perubahan Kurs (Pass-Through Effect) terhadap Tujuh Kelompok Indeks Harga Konsumen di Indonesia. Bogor: InterCAFE. Alam MS. 2006. Economic Growth with Energy. MPRA Paper 1260, University Library of Munich, Germany. Ang BW. 1987. Energy – Output Ratios and Selected Energy Use: The Case of Southeast Asian Countries. Energy Policy, Vol. 15 (3): 267-291. APERC. 2006. APEC Energy Demand and Supply Outlook 2006: Indonesia. Asia Pacific Energy Research Centre, Institute of Energy Economics, Japan. www.ieej.or.jp/aperc/2006pdf/Outlook2006/Whole_Report.pdf. Asian Development Bank (ADB). 2006. Urban Transport Energy Efficiency. Regional and Sustainable Development Department, Asian Development Bank. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2009. Outlook Energy Indonesia 2009: Teknologi Energi untuk Mendukung Keamanan Pasokan Energi. Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi BPPT, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Industri Besar dan Sedang 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Industri Besar dan Sedang 2009. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Baksi S and C Green. 2007. Calculating Economy-Wide Energy Intensity Decline Rate: The Role Of Sectoral Output And Energy Shares. Energy Policy, Vol. 35 (12) : 6457–6466. Bekhet HA dan NS Othman. 2011. Causality Analysis Among Electricity Consumption, Consumer Expenditure, Gross Domestic Product (GDP) and Foreign Direct Investment (FDI): Case Study of Malaysia. Journal of Economics and International Finance, Vol. 3 (4): 228-235. Bernstein M, K Fonkych, S Loeb and D Loughran. 2003. State- Level Changes in Energy Intensity and Their National Implications. Dept. of Energy,
148
Science and Technolocy Policy Institute (RAND Corporation). Pittsburgh. Bertaud A and S Malpezzi. 2003. The Spatial Distribution of Population in 48 World Cities: Implications for Economies in Transition. University of Wisconsin. Biro Pusat Statistik. 1991. Neraca Energi Indonesia 1986-1990. Biro Pusat Statistik, Jakarta. Boyd GA and Roop JM. 2004. Note on the Fisher Ideal Index Decomposition for Structural Change in Energy Intensity. The Energy Journal, Vol. 25 (1): 87-101. Chima CM and D Hills. 2007. Intensity of Energy Use in the USA: 1949-2003. Journal of Business & Economic Research, Vol. 5 (11): 17-30. Chontanawat J, Hunt LC and Pierse R. 2006. Causality between Energy Consumption and GDP: Evidence from 30 OECD and 78 non-OECD Countries. Surrey Energy Economics Discussion Paper Series 113. Currie C. 1996. Energy Efficiency and Energy Intensity Fiji 1981–1990. Journal of Pacific Studies, Vol. 19: 83-98. Darmstadter J. 2004. Energy and Population. Resources for the Future. Issue Brief 04–01. Departemen Perhubungan. 2005. Beberapa Kebijakan Sektor Transportasi Darat dalam Upaya Penghematan Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Departemen Perhubungan, Jakarta. Departemen Pertambangan dan Energi. 1985. 40 Tahun Peranan Pertambangan dan Energi di Indonesia, 1945-1985. Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta. Departemen Pertambangan dan Energi. 1985a. Buku Tahunan Pertambangan Indonesia 1984. Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta. Departemen Pertambangan dan Energi. 1988. Laporan untuk Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekuin tanggal 8 Juni 1988. Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta. Departemen Pertambangan dan Energi. 1989. Buku Tahunan Pertambangan dan Energi Indonesia 1989. Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 1996. Buku Tahunan Pertambangan dan Energi Indonesia 1996. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
149
Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE). 2011. Statistik Ketenagalistrikan dan Energi 2011. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Jakarta. Effendi H dan H Prawoto. 1982. Konsumsi Energi Spesifik pada Beberapa Industri di Indonesia. Diskusi Ilmiah IV Beberapa Hasil Penelitian Teknologi Proses dan Aplikasi Minyak dan Gas Bumi. Pusat Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “Lemigas”, Jakarta. Elias J and Grabik W. 1980. A Comparison of Energy Consumption in Eastern and Western Europe. Energy Economics, Vol. 2 (4): 237-242. Enders W. 2004. Applied Econometrics Time Series Second Edition. New York: John Wiley and Sons, Inc. Fisher-Vanden, Jefferson GH, Liu H and Tao Q. 2003. What is Driving China’s Decline in Energy Intensity. Resources and Energy Economics, Vol. 26 (1): 77-79. Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. IPB Press, Bogor. Gamil A. 2010. Konsumsi Energi Indonesia: Seberapa Boros. http://gamilopinion.blogspot.com/2010/06/konsumsi-energi-indonesiaseberapa.html Government of Indonesia in Cooperation with the Economic and Social Comission for Asia and the Pacific. 1989. Sectoral Energy Demand in Indonesia. Regional Energy Development Programme (RAS/86/136). Gujarati D. 2006. Basic Econometrics Fourth Edition. The McGraw-Hills, New York. Hartono D, Irawan T and Achsani NA. 2011. An Analysis of Energy Intensity in Indonesian Manufacturing. International Research Journal of Finance and Economics, Vol. 62 (8): 77-84. Hemmati A. 2006. A Change in Energy Intensity: Test of Relationship between Energy Intensity and Income in Iran. Iranian Economic Review, Vol. 11(15): 123-130. Hidayat AS. 2005. Konsumsi BBM dan Peluang Pengembangan Energi Alternatif. Inovasi Online, Vol. 5 (17). http:// io.ppijepang.org/article.php?id=103. Howarth RB, L Schipper, B Andersson. 1993. The Structure and Intensity of energy Use: Trends in Five OECD Nations. The Energy Journal, Vol. 14 (2): 27-45.
150
Ibrahim MA. 2011. Energy Consumption, Income and Price Interactions in Saudi Arabian Economy: A Vector Autoregression Analysis. Advances in Management & Applied Economics, Vol.1 (2): 1-21. Indra. 2009. Analisis Hubungan Intensitas Energi dan Pendapatan Per Kapita: Studi Komparatif di Sepuluh Negara Asia Pasifik. [Tesis]. Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2007. The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Paris. http://www. ipcc.ch/publications_and_ data/ar4/wg1/en/contents.html. Irawan T, Anggraeni L and Oktaviani R. 2010. The Role of Manufacturing Industry to Indonesian Economic Performance: Input-Output Analysis. http://ekonomi.fem.ipb.ac.id/doc/10.pdf Kahrl F and D Roland-Holst. 2009. Growth and Structural Change in China’s Energy Economy. Energy, Vol. 34 (7): 894-903. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2006. Statistik Ekonomi Energi Indonesia 2006. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Jakarta. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2006a. Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006 – 2025. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Jakarta. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2012. Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2011. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Jakarta. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2012a. Kerangka Kebijakan dan Instrumen Regulasi Konservasi dan Efisiensi Energi. Workshop: Membuka Potensi Investasi untuk Efisiensi Energi di Indonesia. Jakarta. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Kebijakan dan Program Peningkatan Ketahanan Energi Nasional. Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Mensinergikan Pembangunan Ekonomi, Vol.1 (5): 9-13. Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia. 2006. Buku Putih Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Energi Baru dan Terbarukan untuk Mendukung Keamanan Ketersediaan Energi Tahun 2005 – 2025. Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Jakarta.
151
Lapillonne B. 2006. Simple Macro-Economic Indicators: Energy Intensities. Training Seminar Evaluation of Energy Efficiency Trends and Potentials, Grenoble, 30 January – 10 February 2006. Laponche B. 2006. World Energy Efficiency for Energy Security and A Sustainable Development. 1st Seminar EE 21 Project Steering Committee. Lefèvre B. 2009. Urban Transport Energy Consumption: Determinants and Strategies for its Reduction. Surveys and Perspectives Integrating Environment & Society (SAPIENS), Vol. 2 (3). http:// sapiens. revues. org/914. Litman T and F Laube. 2002. Automobile Dependency and Economic Development. Transport Policy Institute, Victoria. Ma C and Stern DI. 2006. China’s Changing Energy Intensity Trend: A Decomposition Analysis. Working Papers in Economics. No. 0615. Ma H. 2009. China’s Energy Economy: Reforms, Market Development, Factor Substitution and the Determinants of Energy Intensity. A thesis submitted in partial fulfillment of the requirements for the Degree of Doctor of Philosophy at the University of Canterbury New Zealand. Ma H, L Oxley and J Gibson. 2009. Substitution Possibility and Determinants of Energy Intensity for China. Energy Policy, Vol. 37 (5): 1793-1804. Mankiw NG. 2007. Teori Makroekonomi, Edisi ke-6 Liza F, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Macroeconomics Theory. Markandya A, Pedroso-Galinato S and Streikmikiene D. 2006. Energy Intensity in Transition Economies: Is there Convergence towards the EU Average?. Energy Economics, Vol. 28 (1): 121-145. Martin JR and Cerdà MO. 2003. Non-Linear Relationship between Energy Intensity and Economic Growth. Paper submitted to the ESEE Conference Frontiers 2. Spain, 12-15 February 2003. Masayuki M. 2011. Population Density and Efficiency in Energy Consumption: An Empirical Analysis of Service Establishments. RIETI Discussion Paper Series 11-E-058. Meilani H dan D Wuryandari. 2010. Potensi Panas Bumi Sebagai Energi Alternatif Pengganti Bahan Bakar Fosil untuk Pembangkit Tenaga Listrik di Indonesia. Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 1 (1): 47-74.
152
Metcalf GE. 2008. An Empirical Analysis of Energy Intensity and Its Determinants at the State Level. The Energy Journal, Vol. 29 (3): 1-26. Mielnik O and Goldemberg J. 2002. Foreign Direct Investment and Decoupling between Energy and Gross Domestic Product in Developing Countries. Energy Policy, Vol. 30 (2): 87-89. Miketa A. 2001. Analysis of Energy Intensity Developments in Manufacturing Sectors in Industrialized and Developing Countries. Energy Policy, Vol. 29 (10): 769-775. Murtishaw S and Schipper L. 2001. Disaggregated Analysis of U.S. Energy Consumption in the 1990’s: Evidence of the Effects of the Internet and Rapid Economic Growth. Energy Policy, Vol. 29 (15): 1335-1356. Nachrowi DJ dan H Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta. Nanduri M. 1998. An Assessment of Energy Intensity Indicators and Their Role as Policy - Making Tools. Research Project Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Master of Natural Resources Management in the School of Resource and Environmental Management Report No. 232. Simon Fraser University. Nuryanti, Herdinie SS dan Amitayani ES. 2008. Analisis Konsumsi Energi pada Sektor Transportasi di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir. Pusat Pengembangan Energi Nuklir, BATAN. Jakarta. Oseni MO. 2011. Analysis of Energy intensity and Its determinants in 16 OECD Countries. The Journal of Energy and Development, Vol. 35 (1): 101140. Pambudi HG. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Energi Industri Menengah-Besar Indonesia. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pasaribu SH. 2003. Eviews untuk Analisis Runtun Waktu (Times Series Analysis). Modul Pelatihan (Paket C). Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Permana EA. 1997. Pengaruh Pendapatan dan Harga Energi Terhadap Konsumsi Energi di Indonesia. Tesis. Program Pascasarjana Bidang Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta.
153
Pitt MM. 1985. The Equity, Externalities and Energy Subsidies: The Case of Kerosene in Indonesia. Journal of Development Economies, Vol.17 (3): 201-217. Price L, L Michaelis, E Worrell and M Khrushch. 1998. Sectoral Trends and Driving Forces of Global Energy Use and Greenhouse Gas Emissions. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, Vol. 3 (2-4): 263-319. Ramachandra TV, Loerincik Y and Shruthi BV. 2006. Intra and Inter Country Energy Intensity Trends. The Journal of Energy and Development, Vol. 31 (1): 43-84. Rusdiono M. 2008. Konservasi Energi dan Lingkungan. Materi Diklat Fisika Terapan. Jakarta. Sahu S and K Narayanan. 2009. Determinants of Energy Intensity in Indian Manufacturing Industries: A Firm Level Analysis. Eurasian Journal of Business and Economics, Vol. 4 (8): 13-30. Shahiduzzaman Md and Alam K. 2012. Changes in Energy Efficiency in Australia: A Decomposition of Aggregate Energy Intensity Using Logarithmic Mean Divisia approach. MPRA Paper No. 36250.http://mpra.ub.uni-muenchen.de/36250/ Shi X and Polenske KR. 2006. Energy Prices and Energy Intensity in China A Structural Decomposition Analysis and Econometrics Study. Working Paper No. 0606. Cambridge, Mass.: Center for Energy and Environmental Policy Research, Massachusetts Institute of Technology. Sinaga EA. 2006. Kebijakan dan Program untuk Mewujudkan Efisiensi Energi di Transportasi Darat. Direktorat Jendral Perhubungan Darat. Jakarta. Sinton JE and Levine MD. 1994. Changing Energy Intensity in Chinese Industry: The Relative Importance of Structural Shift and Intensity Change. Energy Policy, Vol. 22 (3): 239-255. Sitompul RF. 2006. Energy-Related CO2 Emissions in the Indonesian Manufacturing Sector, Unpublished Ph.D. Thesis, University of New South Wales, Sydney. Soile IO and Balogun B. 2011. Resource Abundance and Energy Intensity: A Cross Country Analysis. Middle Eastern Finance and Economics. Issue 13: 165-180. http://www.eurojournals.com/MEFE_13_14.pdf Song F. 2011. What is Driving the Change of China’s Energy Intensity?. PACE 2011 Workshop. July 15th, 2011. School of Economics Renmin University of China.
154
Stern DI. 2003. Energy and Economic Growth. http:// www.localenergy.org/ pdfs/Document Libary/Stern Energy and Economic Growth.pdf Sugiyono A dan Rahardjo I. 2007. Pengembangan Moda Transportasi BBG untuk Sektor Transportasi di Pantura. BPPT Karya Ilmiah, Vol.19 (10): 733742. Sugiyono A. 2009. Dampak Kebijakan Energi terhadap Perekonomian di Indonesia: Model Komputasi Keseimbangan Umum. Kolokium Nasional Program Doktor 2009. Yogyakarta. Sutomo H dan Ammari F. 2008. Sistem Transportasi yang Berkesinambungan di DKI Jakarta. Inovasi, Vol. 10 (20): 3-7. Tabti MT and Mandi W. 1985. Energy Indicators. OPEC Review, Vol. 9: 417455. Thaler DR. 2011. The Determinants of Energy Intensity. Honors Thesis. University Of Florida. The Economic and Social Comission for Asia and the Pasicif (ESCAP). 1991. Sectoral Energy Demand Studies in Asia. Proceedings of a Regional Workshop in Bangkok, November 1989. The United Nations. Udah EB. 2010. Industrial Development, Electricity Crisis and Economic Performance in Nigeria. European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences. Issue 18: 105-121. Verbeek M. 2008. A Guide to Modern Econometrics Third Edition. New York: John Wiley & Sons, Ltd. Wing IS and RS Eckaus. 2004. Explaining Long-Run Changes in the Energy Intensity of the U.S. Economy. MIT Joint Program on the Science and Policy of Global Change. Report No. 116 World Resource Institute (WRI). 2000. Energy and the Challenge of Sustainability. UNDP. New York. Wu Y. 2011. Energy Intensity and Its Determinants in China's Regional Economies. Energy Policy, Vol. 41: 703–711. Yanagisawa A. 2011. Trade-off in Energy Efficiencies and Efficient Frontier: Relationship between GDP Intensity and Energy Consumption per Capita and what it means. The Institute of Energy Economics, Japan.
155
Yusgiantoro P. 2000. Ekonomi Energi: Teori dan Praktek. LP3ES. Jakarta. http://www.eia.gov/ http://www.esdm.go.id/ http://www.ebtke.esdm.go.id/
156
Halaman ini sengaja dikosongkan
LAMPIRAN
Lampiran 1
Tahun
Industri
Intensitas Energi Menurut Sektor (Ribu BOE per Miliar Rupiah), 1977-2010
Transportasi
Komersial
Lainnya
Rumah tangga
Agregat (Nasional)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
0,591 0,617 0,586 0,510 0,486 0,558 0,580 0,566 0,501 0,591 0,570 0,550 0,569 0,621 0,588 0,590 0,574 0,526 0,507 0,468 0,472 0,537 0,657 0,704 0,707 0,657 0,703 0,666 0,617 0,640 0,659 0,576 0,588 0,719
2,456 2,360 2,397 2,425 2,407 2,401 2,281 2,027 2,265 2,378 2,460 2,542 2,310 2,206 2,230 2,239 2,179 2,078 2,091 2,153 2,173 2,730 2,957 2,977 2,982 2,892 2,719 2,854 2,687 2,403 2,461 2,633 2,858 3,031
0,008 0,008 0,008 0,008 0,009 0,009 0,010 0,011 0,012 0,013 0,015 0,016 0,017 0,018 0,020 0,021 0,023 0,024 0,022 0,026 0,027 0,033 0,035 0,041 0,041 0,040 0,039 0,042 0,040 0,038 0,038 0,037 0,037 0,037
0,005 0,006 0,007 0,008 0,009 0,012 0,015 0,019 0,025 0,029 0,034 0,038 0,044 0,048 0,050 0,050 0,058 0,060 0,063 0,067 0,068 0,056 0,055 0,061 0,062 0,059 0,054 0,059 0,051 0,043 0,039 0,038 0,037 0,039
0,168 0,161 0,146 0,134 0,119 0,120 0,116 0,115 0,118 0,120 0,120 0,118 0,118 0,109 0,105 0,105 0,103 0,090 0,081 0,078 0,078 0,088 0,088 0,105 0,100 0,094 0,093 0,090 0,085 0,077 0,076 0,071 0,065 0,063
0,191 0,204 0,210 0,207 0,207 0,225 0,225 0,221 0,230 0,251 0,258 0,263 0,264 0,274 0,272 0,278 0,281 0,271 0,270 0,268 0,273 0,312 0,352 0,383 0,386 0,367 0,375 0,379 0,352 0,338 0,337 0,311 0,317 0,358
158
Lampiran 2
Perkembangan Indeks Intensitas Energi (1977=1)
Tahun
Industri
Transportasi
Komersial
Rumah tangga
Agregat (Nasional)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1,00 1,04 0,99 0,86 0,82 0,94 0,98 0,96 0,85 1,00 0,96 0,93 0,96 1,05 0,99 1,00 0,97 0,89 0,86 0,79 0,80 0,91 1,11 1,19 1,20 1,11 1,19 1,13 1,04 1,08 1,12 0,97 0,99 1,22
1,00 0,96 0,98 0,99 0,98 0,98 0,93 0,83 0,92 0,97 1,00 1,04 0,94 0,90 0,91 0,91 0,89 0,85 0,85 0,88 0,88 1,11 1,20 1,21 1,21 1,18 1,11 1,16 1,09 0,98 1,00 1,07 1,16 1,23
1,00 1,05 1,09 1,08 1,11 1,19 1,31 1,42 1,58 1,71 1,89 2,08 2,24 2,31 2,53 2,72 3,00 3,07 2,91 3,35 3,48 4,25 4,59 5,29 5,28 5,12 5,01 5,40 5,22 4,91 4,86 4,77 4,79 4,83
1,00 0,96 0,87 0,80 0,71 0,71 0,69 0,69 0,70 0,72 0,71 0,70 0,71 0,65 0,62 0,63 0,62 0,54 0,48 0,47 0,47 0,53 0,52 0,63 0,60 0,56 0,55 0,54 0,51 0,46 0,45 0,42 0,39 0,37
1,00 1,07 1,10 1,09 1,09 1,18 1,18 1,16 1,21 1,32 1,35 1,38 1,39 1,44 1,43 1,46 1,47 1,42 1,42 1,41 1,43 1,64 1,85 2,01 2,03 1,93 1,97 1,99 1,85 1,77 1,77 1,63 1,67 1,88
159
Lampiran 3 Tahun
Dekomposisi Intensitas Energi Nasional, 1977-2010 Intensitas Energi
Aktivitas Ekonomi
Efisiensi
(1)
(2)
(3)
(4)
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1,00 1,07 1,10 1,09 1,09 1,18 1,18 1,16 1,21 1,32 1,35 1,38 1,39 1,44 1,43 1,46 1,47 1,42 1,42 1,41 1,43 1,64 1,85 2,01 2,03 1,93 1,97 1,99 1,85 1,77 1,77 1,63 1,67 1,88
1,00 1,08 1,16 1,21 1,27 1,31 1,32 1,35 1,37 1,37 1,39 1,40 1,42 1,46 1,48 1,50 1,52 1,57 1,61 1,61 1,63 1,66 1,70 1,72 1,75 1,75 1,80 1,81 1,80 1,83 1,81 1,74 1,73 1,77
1,00 0,99 0,95 0,90 0,86 0,90 0,89 0,86 0,88 0,96 0,97 0,98 0,98 0,98 0,97 0,97 0,97 0,91 0,88 0,87 0,88 0,99 1,08 1,17 1,16 1,10 1,09 1,10 1,02 0,97 0,98 0,94 0,96 1,06
160
Lampiran 4 Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Indonesia (Ribu BOE), 1978-2010 Tahun
Energi yang Diboroskan
(1)
(2)
1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
6.190 9.514 9.086 9.772 20.220 20.783 19.778 26.268 42.178 49.616 56.297 61.973 75.546 79.166 90.825 100.174 96.252 103.209 108.424 120.554 153.021 203.863 256.048 270.466 254.766 279.287 299.800 272.468 263.414 279.032 244.166 268.158 370.552
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi Efisiensi (3)
7.591 14.531 20.484 27.470 33.011 35.207 40.008 43.382 48.186 53.847 59.167 66.251 79.340 86.838 97.459 107.618 122.940 139.983 150.971 163.709 156.887 177.028 199.243 213.036 217.189 242.027 258.255 261.584 278.201 290.176 275.718 288.142 335.681
Keterangan: tanda negatif menunjukkan energi yang bisa dihemat
(4)
(1.401) (5.017) (11.398) (17.698) (12.791) (14.424) (20.230) (17.113) (6.007) (4.231) (2.869) (4.277) (3.794) (7.672) (6.634) (7.443) (26.687) (36.774) (42.547) (43.155) (3.866) 26.834 56.805 57.429 37.577 37.259 41.545 10.885 (14.786) (11.144) (31.552) (19.983) 34.871
161
Lampiran 5
Dekomposisi Intensitas Energi di Sektor Industri, 1977-2010
Tahun
Intensitas Energi
Aktivitas Ekonomi
Efisiensi
(1)
(2)
(3)
(4)
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1,00 1,04 0,99 0,86 0,82 0,94 0,98 0,96 0,85 1,00 0,96 0,93 0,96 1,05 0,99 1,00 0,97 0,89 0,86 0,79 0,80 0,91 1,11 1,19 1,20 1,11 1,19 1,13 1,04 1,08 1,12 0,97 0,99 1,22
1,00 1,03 1,06 1,18 1,11 1,10 1,23 1,30 1,46 1,42 1,50 1,45 1,38 1,19 1,16 1,14 1,11 1,09 1,10 1,08 1,05 1,00 1,00 1,06 1,04 1,10 1,09 1,08 1,07 1,06 0,97 0,94 0,94 0,92
1,00 1,01 0,94 0,73 0,74 0,86 0,80 0,74 0,58 0,70 0,64 0,64 0,70 0,89 0,86 0,88 0,87 0,81 0,78 0,74 0,76 0,91 1,11 1,12 1,15 1,01 1,09 1,04 0,97 1,02 1,15 1,04 1,06 1,33
162
Lampiran 6 Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Industri (Ribu BOE), 1978-2010 Tahun
Energi yang Diboroskan
(1)
(2)
1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1.150 (231) (5.064) (7.410) (2.347) (784) (2.043) (8.404) 42 (2.430) (5.367) (3.239) 4.965 (578) (246) (3.803) (16.723) (24.292) (39.819) (41.090) (15.982) 20.316 37.520 40.187 24.341 43.498 31.525 11.393 22.975 33.611 (7.701) (1.687) 70.480
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi Efisiensi (3)
857 1.679 5.825 4.096 3.797 8.964 12.741 19.353 21.717 27.448 27.590 27.230 16.987 16.136 15.386 14.097 12.930 14.451 12.788 9.676 46 926 12.922 9.688 21.660 22.707 21.168 18.529 16.088 (10.041) (19.705) (19.744) (31.352)
Keterangan: tanda negatif menunjukkan energi yang bisa dihemat
(4)
293 (1.910) (10.889) (11.506) (6.144) (9.748) (14.784) (27.757) (21.675) (29.879) (32.958) (30.469) (12.022) (16.713) (15.632) (17.900) (29.652) (38.743) (52.606) (50.766) (16.028) 19.390 24.597 30.499 2.681 20.791 10.357 (7.136) 6.887 43.651 12.003 18.057 101.832
163
Lampiran 7
Dekomposisi Intensitas Energi di Sektor Transportasi, 19772010
Tahun
Intensitas Energi
Aktivitas Ekonomi
Efisiensi
(1)
(2)
(3)
(4)
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1,00 0,96 0,98 0,99 0,98 0,98 0,93 0,83 0,92 0,97 1,00 1,04 0,94 0,90 0,91 0,91 0,89 0,85 0,85 0,88 0,88 1,11 1,20 1,21 1,21 1,18 1,11 1,16 1,09 0,98 1,00 1,07 1,16 1,23
1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 0,99 0,99 0,99 0,98 0,98 0,98 0,97 0,97 0,96 0,95 0,96 0,96 0,95 0,95 0,96 0,93 0,91 0,89 0,88 0,88 0,87 0,85 0,85 0,84 0,84 0,85 0,85 0,84
1,00 0,96 0,97 0,99 0,98 0,98 0,94 0,83 0,93 0,98 1,02 1,06 0,97 0,93 0,95 0,96 0,92 0,88 0,89 0,92 0,92 1,20 1,33 1,37 1,38 1,34 1,28 1,37 1,29 1,16 1,19 1,26 1,37 1,46
164
Lampiran 8 Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Transportasi (Ribu BOE), 1978-2010 Tahun
Energi yang Diboroskan
(1)
(2)
1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(1.510) (1.002) (585) (993) (1.207) (3.981) (10.609) (4.761) (2.018) 111 2.462 (4.651) (8.634) (8.389) (8.838) (12.287) (17.858) (18.481) (16.362) (16.031) 12.377 21.808 24.351 26.134 22.832 15.097 24.877 15.353 (3.758) 358 13.257 31.744 48.538
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi Efisiensi (3)
27 72 5 (61) (185) (362) (477) (722) (986) (1.307) (1.728) (2.202) (2.777) (3.536) (4.548) (3.847) (4.226) (5.482) (6.303) (5.621) (8.526) (11.393) (15.405) (17.186) (18.158) (21.471) (26.667) (28.570) (29.919) (30.498) (30.786) (33.785) (38.852)
Keterangan: tanda negatif menunjukkan energi yang bisa dihemat
(4)
(1.537) (1.074) (590) (932) (1.022) (3.619) (10.132) (4.039) (1.032) 1.419 4.190 (2.449) (5.857) (4.853) (4.289) (8.440) (13.631) (12.999) (10.059) (10.410) 20.903 33.201 39.756 43.320 40.989 36.568 51.544 43.923 26.161 30.856 44.043 65.530 87.390
165
Lampiran 9
Dekomposisi Intensitas Energi di Sektor Komersial, 19772010
Tahun
Intensitas Energi
Aktivitas Ekonomi
Efisiensi
(1)
(2)
(3)
(4)
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1,00 1,05 1,09 1,08 1,11 1,19 1,31 1,42 1,58 1,71 1,89 2,08 2,24 2,31 2,53 2,72 3,00 3,07 2,91 3,35 3,48 4,25 4,59 5,29 5,28 5,12 5,01 5,40 5,22 4,91 4,86 4,77 4,79 4,83
1,00 0,99 0,99 0,99 0,99 0,99 0,99 0,97 0,97 0,97 0,97 0,98 0,98 0,98 0,97 0,97 0,97 0,96 0,95 0,95 0,95 0,98 1,00 1,00 0,99 0,99 0,98 0,98 0,98 0,99 0,99 0,98 0,98 0,98
1,00 1,06 1,10 1,09 1,12 1,20 1,33 1,47 1,63 1,76 1,95 2,12 2,28 2,37 2,61 2,81 3,11 3,19 3,06 3,51 3,66 4,33 4,61 5,30 5,32 5,18 5,08 5,50 5,30 4,98 4,92 4,85 4,91 4,91
166
Lampiran 10 Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Komersial (Ribu BOE), 1978-2010 Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi Efisiensi
Tahun
Energi yang Diboroskan
(1)
(2)
(3)
1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
60 117 110 175 301 524 760 1.094 1.434 1.923 2.490 3.126 3.525 4.369 5.258 6.610 7.300 7.260 9.492 10.586 11.437
(11) (9) (12) (9) (18) (29) (65) (70) (90) (87) (59) (67) (102) (146) (180) (205) (269) (346) (379) (421) (162)
71 126 122 184 319 553 825 1.164 1.524 2.010 2.549 3.193 3.627 4.514 5.438 6.814 7.569 7.606 9.872 11.008 11.600
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
12.480 15.590 16.215 16.344 16.778 19.543 20.060 19.738 21.040 22.039 22.951 24.824
(35) (18) (75) (129) (163) (229) (204) (183) (178) (232) (347) (278)
12.516 15.608 16.290 16.473 16.941 19.771 20.264 19.921 21.218 22.271 23.299 25.103
Keterangan: tanda negatif menunjukkan energi yang bisa dihemat
(4)
167
Lampiran 11 Dekomposisi Intensitas Energi di Sektor Lainnya, 1990-2010
Tahun
Intensitas
Aktivitas Ekonomi
Efisiensi
(1)
(2)
(3)
(4)
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1,00 1,03 1,03 1,20 1,26 1,33 1,41 1,42 1,17 1,17 1,29 1,33 1,26 1,17 1,29 1,14 0,98 0,90 0,90 0,90 0,96
1,00 1,04 1,04 1,07 1,11 1,13 1,16 1,18 1,06 1,04 1,05 1,06 1,06 1,06 1,06 1,07 1,08 1,09 1,10 1,10 1,08
1,00 1,00 0,99 1,12 1,13 1,17 1,21 1,21 1,11 1,12 1,23 1,26 1,19 1,10 1,21 1,06 0,90 0,82 0,82 0,82 0,89
168
Lampiran 12 Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi dan Efisiensi Terhadap Perubahan Intensitas Energi di Sektor Lainnya (Ribu BOE), 1991-2010 Tahun
Energi yang Diboroskan
(1)
(2)
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
620 634 3.892 5.302 7.192 9.518 10.244 3.768 3.614 6.642 7.568 6.205 4.085 7.035 3.512 -630 -2.729 -2.936 -2.988 -1.163
Kontribusi Komponen Aktivitas Ekonomi Efisiensi (3)
665 787 1.408 2.409 3.146 4.093 4.720 1.279 920 1.358 1.446 1.543 1.537 1.667 1.932 2.139 2.344 2.477 2.761 2.170
Keterangan: tanda negatif menunjukkan energi yang bisa dihemat
(4)
-45 -152 2.484 2.893 4.047 5.424 5.524 2.489 2.694 5.284 6.122 4.662 2.549 5.368 1.580 -2.769 -5.073 -5.413 -5.749 -3.332
169
Lampiran 13 Hasil Pengujian Stasioneritas Data Level
No
Variabel
(1)
(2)
1 2 3 4 5
ln (IE) ln (INC) gPOP ln (FP) IMP
ADF Statistic t-statistik Probability (3)
-1,075500 -0,628878 -3,621086 -0,799738 -3,610849
Hasil
(4)
(5)
0,7132 0,8506 0,0106* 0,8061 0,0111
tidak stasioner tidak stasioner stasioner tidak stasioner tidak stasioner
Keterangan: * signifikan pada taraf nyata 5 %
Output Eviews 6.0 Null Hypothesis: LOG_IE has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob,*
-1,075500 -3,653730 -2,957110 -2,617434
0,7132
t-Statistic
Prob,*
-0,628878 -3,646342 -2,954021 -2,615817
0,8506
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LOG_INC has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
170
Null Hypothesis: GPOP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob,*
-3,621086 -3,646342 -2,954021 -2,615817
0,0106
t-Statistic
Prob,*
-0,799738 -3,646342 -2,954021 -2,615817
0,8061
t-Statistic
Prob,*
-3,610849 -3,653730 -2,957110 -2,617434
0,0111
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: LOG_FP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: IMP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
171
Lampiran 14 Hasil Pengujian Stasioneritas Data First Difference
No
Variabel
(1)
(2)
1 2 3 4 5
ln (IE) ln (INC) gPOP ln (FP) IMP
ADF Statistic t-statistik Probability (3)
(4)
-3,394144 -4,147178 -5,747862 -4,561968 -5,648377
(5)
0,0187* 0,0029* 0,0000* 0,0010* 0,0000*
Keterangan: * signifikan pada taraf nyata 5 %
Output Eviews 6.0 Null Hypothesis: D(LOG_IE) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob,*
-3,394144 -3,653730 -2,957110 -2,617434
0,0187
t-Statistic
Prob,*
-4,147178 -3,653730 -2,957110 -2,617434
0,0029
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LOG_INC) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Hasil stasioner stasioner stasioner stasioner stasioner
172
Null Hypothesis: D(GPOP) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob,*
-5,747862 -3,670170 -2,963972 -2,621007
0,0000
t-Statistic
Prob,*
-4,561968 -3,653730 -2,957110 -2,617434
0,0010
t-Statistic
Prob,*
-5,648377 -3,653730 -2,957110 -2,617434
0,0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: DLOG_FP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D_IMP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Kesimpulan: Semua variabel stasioner pada first difference pada taraf nyata 5%.
173
Lampiran 15
Hasil Pengujian Panjang Lag Optimal
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LOG_IE LOG_INC GPOP LOG_FP IMP Exogenous variables: C Sample: 1 34 Included observations: 32 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2
-156,8256 12,74593 36,43842
NA 275,5537* 31,09639
0,016989 2,07e-06* 2,54e-06
10,11410 1,078379* 1,160099
10,34312 2,452507* 3,679332
10,19001 1,533864* 1,995154
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LOG_IE LOG_INC GPOP LOG_FP IMP Exogenous variables: C Sample: 1 34 Included observations: 31 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3
-144,4823 13,71983 37,64511 58,77132
NA 255,1648* 30,87133 20,44472
0,010617 2,02e-06* 2,48e-06 4,69e-06
9,644021 1,050333* 1,119670 1,369592
9,875309 2,438063* 3,663841 5,070204
9,719415 1,502699* 1,949006 2,575899
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Kesimpulan: Berdasarkan 5 kriteria di atas , tanda * berada pada lag 1 sehingga lag 1 yang dipilih sebagai lag optimal.
174
Lampiran 16
Hasil Pengujian Stabilitas VAR
Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: LOG_IE LOG_INC GPOP LOG_FP IMP Exogenous variables: C Lag specification: 1 2 Root 0,984722 0,818743 0,616681 - 0,294868i 0,616681 + 0,294868i 0,382319 - 0,403577i 0,382319 + 0,403577i -0,109093 - 0,543087i -0,109093 + 0,543087i -0,426028 0,199683
Modulus 0,984722 0,818743 0,683551 0,683551 0,555916 0,555916 0,553935 0,553935 0,426028 0,199683
No root lies outside the unit circle, VAR satisfies the stability condition.
Kesimpulan: Model VAR yang dibentuk sudah stabil, hal ini ditunjukkan oleh nilai modulus yang kurang dari satu.
175
Lampiran 17 Johansen Cointegration Test (Summary)
Sample: 1 34 Included observations: 32 Series: LOG_IE LOG_INC GPOP LOG_FP IMP Lags interval: 1 to 1
Selected (0,05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type Trace Max-Eig
None No Intercept No Trend 3 3
None Intercept No Trend 2 2
Linear Intercept No Trend 1 1
Linear Intercept Trend 2 1
Quadratic Intercept Trend 2 1
Information Criteria by Rank and Model None None Linear Linear No Intercept Intercept Intercept Intercept No Trend No Trend No Trend Trend
Quadratic Intercept Trend
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999)
Data Trend: Rank or No, of CEs
0 1 2 3 4 5
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) -17,24947 -17,24947 -3,256828 -3,256828 2,462927 2,414414 2,824146 14,97615 16,22749 21,38152 17,42390 21,02581 28,48829 31,05265 33,71325 27,43129 31,41525 32,34168 41,95313 44,56496 29,41058 35,15450 35,96640 45,80287 48,40053 30,69312 36,43842 36,43842 49,40578 49,40578
0 1 2 3 4 5
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 2,640592 2,640592 2,078552 2,078552 2,033567 2,036599 2,073491 1,563991 1,548282 1,476155 1,723506 1,623387 1,344482 1,309210 1,330422 1,723044 1,661547 1,728645 1,315430 1,277190* 2,224339 2,115344 2,127100 1,762320 1,662467 2,769180 2,722599 2,722599 2,224638 2,224638
0 1 2 3 4 5
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 3,785698 3,785698 3,452679 3,452679 3,636716 3,639748 3,722444 3,396161* 3,426256 3,537346 3,784697 3,776186 3,634694 3,691030 3,849655 4,242278 4,318193 4,476900 4,201097 4,254466 5,201615 5,275837 5,333397 5,151835 5,097786 6,204499 6,386939 6,386939 6,117999 6,117999
176
Lampiran 18
Johansen Cointegration Test (Asumsi 3)
Sample (adjusted): 3 34 Included observations: 32 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: LOG_IE LOG_INC GPOP LOG_FP IMP Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No, of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0,05 Critical Value
Prob,**
None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4
0,680041 0,570232 0,214030 0,202717 0,029070
79,39049 42,92454 15,90026 8,193477 0,944034
69,81889 47,85613 29,79707 15,49471 3,841466
0,0071 0,1344 0,7193 0,4449 0,3312
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0,05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0,05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No, of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0,05 Critical Value
Prob,**
None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4
0,680041 0,570232 0,214030 0,202717 0,029070
36,46595 27,02428 7,706782 7,249443 0,944034
33,87687 27,58434 21,13162 14,26460 3,841466
0,0240 0,0588 0,9208 0,4601 0,3312
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0,05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0,05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): LOG_IE 8,424018 -6,091540 -1,906053 -10,37390 -1,724513
LOG_INC 7,575021 2,994124 11,81083 -0,199494 -3,784661
GPOP 4,155733 2,724692 -0,334483 0,016642 -1,755075
LOG_FP -1,101353 -1,585240 -0,607501 0,372088 -2,465027
IMP 0,009837 -0,038079 0,019742 -0,008610 -0,030014
-0,003093 -0,009224 -0,026320 -0,012749 9,183018
0,006045 -0,006961 0,189462 0,001341 -2,037287
0,015997 -0,004011 -0,021264 -0,043311 -0,810912
Log likelihood
14,97615
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(LOG_IE) D(LOG_INC) D(GPOP) D(LOG_FP) D(IMP)
-0,003921 -0,010510 -0,181876 0,041205 -7,956506
1 Cointegrating Equation(s):
0,002482 -0,003081 -0,005098 0,020886 -0,086799
177
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LOG_IE LOG_INC GPOP LOG_FP 1,000000 0,899217 0,493320 -0,130740 (0,23917) (0,08260) (0,05225)
IMP 0,001168 (0,00075)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LOG_IE) -0,033035 (0,06883) D(LOG_INC) -0,088535 (0,04864) D(GPOP) -1,532124 (0,72977) D(LOG_FP) 0,347110 (0,26826) D(IMP) -67,02575 (23,8603)
2 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
28,48829
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LOG_IE LOG_INC GPOP LOG_FP 1,000000 0,000000 -0,114856 0,122056 (0,08327) (0,06014) 0,000000 1,000000 0,676339 -0,281128 (0,10181) (0,07353)
IMP 0,004455 (0,00083) -0,003655 (0,00101)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LOG_IE) -0,014194 -0,038966 (0,08470) (0,06636) D(LOG_INC) -0,032348 -0,107229 (0,05688) (0,04456) D(GPOP) -1,371795 -1,456517 (0,89891) (0,70432) D(LOG_FP) 0,424772 0,273955 (0,32998) (0,25855) D(IMP) -122,9645 -32,77560 (22,4159) (17,5634)
3 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
32,34168
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LOG_IE LOG_INC GPOP LOG_FP 1,000000 0,000000 0,000000 0,082448 (0,05288) 0,000000 1,000000 0,000000 -0,047896 (0,09312) 0,000000 0,000000 1,000000 -0,344845 (0,17551) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LOG_IE) -0,025715 0,032425 -0,026746 (0,08516) (0,11560) (0,04013) D(LOG_INC) -0,019080 -0,189447 -0,066479 (0,05592) (0,07591) (0,02635) D(GPOP) -1,732920 0,781190 -0,890912 (0,82147) (1,11513) (0,38711)
IMP 0,003494 (0,00061) 0,001999 (0,00108) -0,008360 (0,00204)
178
D(LOG_FP) D(IMP)
0,422217 (0,33547) -119,0813 (22,3790)
4 Cointegrating Equation(s):
0,289788 (0,45539) -56,83766 (30,3789)
0,136050 (0,15809) -7,362781 (10,5459)
Log likelihood
35,96640
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LOG_IE LOG_INC GPOP LOG_FP 1,000000 0,000000 0,000000 0,000000 0,000000
1,000000
0,000000
0,000000
0,000000
0,000000
1,000000
0,000000
0,000000
0,000000
0,000000
1,000000
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LOG_IE) -0,191665 0,029234 (0,10951) (0,10610) D(LOG_INC) 0,022525 -0,188647 (0,07745) (0,07504) D(GPOP) -1,512335 0,785431 (1,14934) (1,11357) D(LOG_FP) 0,871524 0,298429 (0,45223) (0,43815) D(IMP) -110,6690 -56,67589 (31,2657) (30,2926)
-0,026480 (0,03683) -0,066546 (0,02605) -0,891266 (0,38653) 0,135330 (0,15209) -7,376276 (10,5150)
IMP 0,001596 (0,00028) 0,003102 (0,00035) -0,000418 (0,00138) 0,023029 (0,00371)
0,011502 (0,01521) 0,028933 (0,01076) 0,119022 (0,15968) -0,042101 (0,06283) -4,858442 (4,34386)
.8 .6 .4 .2 .0 -.2 -.4 -.6 -.8 5
10
15
20
25
30
Cointegrating relation 1
Kesimpulan: Berdasarkan Trace test dan Max-eigenvalue test maka terdapat 1 kointegrasi pada taraf nyata 5 % .
179
Lampiran 19 Estimasi VECM Vector Error Correction Estimates Sample (adjusted): 3 34 Included observations: 32 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
LOG_IE(-1)
1,000000
LOG_INC(-1)
0,899217 (0,23917) [ 3,75969]
IMP(-1)
0,001168 (0,00075) [ 1,55577]
GPOP(-1)
0,493320 (0,08260) [ 5,97213]
LOG_FP(-1)
-0,130740 (0,05225) [-2,50232]
C
-5,515870
Error Correction:
D(LOG_IE)
D(LOG_INC)
D(IMP)
D(GPOP)
D(LOG_FP)
CointEq1
-0,033035 (0,06883) [-0,47994]
-0,088535 (0,04864) [-1,82030]
-67,02575 (23,8603) [-2,80909]
-1,532124 (0,72977) [-2,09946]
0,347110 (0,26826) [ 1,29394]
D(LOG_IE(-1))
-0,138138 (0,27287) [-0,50624]
0,116887 (0,19282) [ 0,60620]
-149,3889 (94,5916) [-1,57930]
2,422729 (2,89309) [ 0,83742]
1,308081 (1,06348) [ 1,23000]
D(LOG_INC(-1))
-0,941496 (0,41973) [-2,24310]
0,334194 (0,29659) [ 1,12678]
-369,2732 (145,500) [-2,53796]
7,209049 (4,45013) [ 1,61996]
2,375617 (1,63584) [ 1,45224]
D(IMP(-1))
-0,000125 (0,00053) [-0,23735]
8,21E-05 (0,00037) [ 0,22058]
-0,121564 (0,18268) [-0,66543]
-0,001735 (0,00559) [-0,31045]
-0,001499 (0,00205) [-0,72996]
D(GPOP(-1))
0,018076 (0,02528) [ 0,71499]
-0,003521 (0,01786) [-0,19711]
24,61221 (8,76381) [ 2,80839]
-0,019738 (0,26804) [-0,07364]
-0,111211 (0,09853) [-1,12870]
D(LOG_FP(-1))
-0,147713 (0,06851) [-2,15602]
0,037622 (0,04841) [ 0,77712]
-22,11224 (23,7499) [-0,93105]
0,810064 (0,72639) [ 1,11519]
0,409250 (0,26702) [ 1,53268]
C
0,073061 (0,02570) [ 2,84271]
0,014448 (0,01816) [ 0,79555]
4,439405 (8,90935) [ 0,49829]
-0,442897 (0,27249) [-1,62535]
-0,027779 (0,10017) [-0,27733]
180
R-squared Adj, R-squared Sum sq, resids S,E, equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S,D, dependent
0,352023 0,196509 0,053409 0,046221 2,263605 56,92214 -3,120134 -2,799504 0,017613 0,051564
Determinant resid covariance (dof adj,) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
0,441738 0,307755 0,026668 0,032661 3,296974 68,03425 -3,814640 -3,494011 0,032297 0,039255 9,27E-07 2,70E-07 14,97615 1,563991 3,396161
0,305699 0,139066 6418,056 16,02255 1,834571 -130,2242 8,576512 8,897142 -12,83862 17,26820
0,524494 0,410373 6,003741 0,490051 4,595928 -18,63238 1,602024 1,922654 -0,018572 0,638193
0,186038 -0,009313 0,811251 0,180139 0,952326 13,39258 -0,399536 -0,078907 0,157726 0,179306
181
Lampiran 20
Impulse Response Function (IRF)
Period
LOG_INC
IMP
GPOP
LOG_FP
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
0,000000 -0,010321 -0,017513 -0,018978 -0,017151 -0,016523 -0,016878 -0,017090 -0,017015 -0,016939 -0,016947 -0,016973 -0,016976 -0,016969 -0,016966 -0,016968 -0,016969 -0,016969 -0,016968 -0,016968 -0,016968 -0,016968 -0,016968 -0,016968 -0,016968 -0,016968 -0,016968 -0,016968 -0,016968 -0,016968
0,000000 0,006784 0,011442 0,010826 0,010070 0,010091 0,010230 0,010208 0,010153 0,010152 0,010171 0,010176 0,010172 0,010169 0,010170 0,010170 0,010170 0,010170 0,010170 0,010170 0,010170 0,010170 0,010170 0,010170 0,010170 0,010170 0,010170 0,010170 0,010170 0,010170
0,000000 0,006014 0,017704 0,020213 0,016111 0,014092 0,014755 0,015499 0,015486 0,015278 0,015241 0,015293 0,015314 0,015302 0,015294 0,015296 0,015298 0,015299 0,015298 0,015298 0,015298 0,015298 0,015298 0,015298 0,015298 0,015298 0,015298 0,015298 0,015298 0,015298
0,000000 -0,017269 -0,025351 -0,024822 -0,022355 -0,021728 -0,022153 -0,022382 -0,022311 -0,022241 -0,022252 -0,022275 -0,022276 -0,022269 -0,022267 -0,022269 -0,022270 -0,022269 -0,022269 -0,022269 -0,022269 -0,022269 -0,022269 -0,022269 -0,022269 -0,022269 -0,022269 -0,022269 -0,022269 -0,022269
Cholesky Ordering: LOG_IE LOG_INC IMP GPOP LOG_FP
182
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LOG_IE to LOG_INC
Response of LOG_IE to IMP
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01
-.02
-.02
-.03
-.03 5
10
15
20
25
30
5
Response of LOG_IE to GPOP
10
15
20
25
30
Response of LOG_IE to LOG_FP
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01
-.02
-.02
-.03
-.03 5
10
15
20
25
30
5
10
15
20
25
30
183
Lampiran 21 Forecast Error Decomposition of Variance (FEVD)
Period
S,E,
LOG_IE
LOG_INC
IMP
GPOP
LOG_FP
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
0,046221 0,082449 0,112169 0,134162 0,150640 0,165109 0,178813 0,191718 0,203752 0,215062 0,225812 0,236087 0,245935 0,255398 0,264523 0,273344 0,281890 0,290184 0,298247 0,306098 0,313752 0,321224 0,328527 0,335670 0,342665 0,349519 0,356242 0,362840 0,369321 0,375689
100,0000 92,83703 85,05281 81,20663 80,00414 79,52002 79,10482 78,72875 78,44469 78,23495 78,06522 77,92054 77,79760 77,69336 77,60366 77,52522 77,45602 77,39463 77,33982 77,29057 77,24606 77,20564 77,16877 77,13501 77,10398 77,07535 77,04887 77,02430 77,00143 76,98011
0,000000 1,567051 3,284415 4,296761 4,704377 4,917426 5,083554 5,216775 5,316153 5,392042 5,454137 5,506562 5,550880 5,588548 5,621035 5,649432 5,674463 5,696669 5,716498 5,734319 5,750424 5,765049 5,778387 5,790602 5,801829 5,812185 5,821766 5,830656 5,838929 5,846644
0,000000 0,676969 1,406332 1,634190 1,743068 1,824466 1,882812 1,921354 1,949426 1,972602 1,992120 2,008270 2,021722 2,033196 2,043149 2,051849 2,059503 2,066291 2,072355 2,077807 2,082733 2,087206 2,091285 2,095021 2,098455 2,101622 2,104552 2,107271 2,109801 2,112161
0,000000 0,532082 2,778491 4,212025 4,484720 4,461630 4,484864 4,554932 4,610475 4,642957 4,666947 4,689164 4,708905 4,725373 4,739274 4,751452 4,762271 4,771878 4,780436 4,788121 4,795070 4,801383 4,807140 4,812412 4,817257 4,821726 4,825861 4,829698 4,833268 4,836598
0,000000 4,386866 7,477956 8,650396 9,063695 9,276458 9,443947 9,578185 9,679257 9,757454 9,821580 9,875461 9,920889 9,959527 9,992884 10,02204 10,04774 10,07053 10,09089 10,10918 10,12571 10,14073 10,15442 10,16696 10,17848 10,18911 10,19895 10,20808 10,21657 10,22449
Cholesky Ordering: LOG_IE LOG_INC IMP GPOP LOG_FP
184
Variance Decomposition Percent LOG_IE variance due to LOG_IE
Percent LOG_IE variance due to LOG_INC
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
0 5
10
15
20
25
5
30
Percent LOG_IE variance due to IMP
10
15
20
25
30
Percent LOG_IE variance due to GPOP
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
0 5
10
15
20
25
30
Percent LOG_IE variance due to LOG_FP 100
80
60
40
20
0 5
10
15
20
25
30
5
10
15
20
25
30
185
Lampiran 22 Konversi SBM
No
Jenis Energi
Satuan
Konversi (BOE/SBM)
(1)
(2)
(3)
(4)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Aviation Gasoline (Avgas) Kiloliter Aviation Turbine (Avtur) Kiloliter Bensin Kiloliter Minyak Solar (ADO) Kiloliter Minyak Diesel (IDO) Kiloliter Minyak Tanah Kiloliter Minyak Bakar Kiloliter Batubara Metrik Ton Briket Batubara Ton Gas Kota Ribu KKal LPG Ton Minyak Bumi Barel Listrik MWh 1 barrel of oil = 158,9873 liter = 42,0123 US gallons 1 US gallon = 3,7843 liter
Sumber: KESDM (2006)
5,5530 5,8907 5,8275 6,4871 6,6078 5,9274 6,9612 4,2882 3,5638 0,0007 8,5246 1,0000 0,6130
186
Lampiran 23 Daftar Istilah
Avgas (Aviation Gasoline), merupakan bahan bakar pesawat terbang; khusus untuk motor torak pesawat terbang yang nilai oktannya tinggi, stabilitasnya tinggi, titik bekunya rendah serta trayek sulingnya lebih datar. Avtur (Aviation Turbine), merupakan bahan bakar untuk pesawat jet/turbin gas; jenis kerosin/minyak tanah yang trayek didihnya berkisar antara 150oC250oC. Batubara, merupakan batuan sedimen yang terbentuk dari tumpukan kayu jutaan tahun yang lalu. BBM (Bahan Bakar Minyak), merupakan produk kilang minyak yang dapat digunakan untuk energi, terdiri dari: avgas, avtur, mogas (motor gasoline atau premium), minyak solar, minyak diesel, minyak bakar dan minyak tanah. Bensin atau Mogas (motor gasoline), merupakan minyak hidrokarbon ringan yang digunakan untuk mesin pembakaran dalam seperti kendaraan bermotor, tidak termasuk pesawat terbang. Di pasar Indonesia, mogas dipisahkan menjadi tiga jenis yaitu premium, premix dan super TT. Premium mempunyai nilai oktan sekitar 89 RON, premix dan pertamax mempunyai nilai oktan sekitar 94 RON, sedangkan super TT dan pertamax plus mempunyai nilai oktan sekitar 98 RON dan bebas timbal. Biomasa, terdiri atas limbah hutan (kayu bakar dan limbah kayu), limbah pertanian dan perkebunan (sekam, batang padi, tandan kelapa sawit, tempurung kelapa), limbah industri (pengolahan kayu dan gula) dan limbah rumah tangga (municipal solid waste) yang merupakan bahan buangan yang nilai ekonomisnya nol atau sangat rendah. BOE (Barrel Oil Equivalent atau Setara Barel Minyak/SBM), yaitu nilai kesetaraan kalor dengan satu barel minyak bumi. Briket, adalah komposisi bahan bakar yang dibuat dengan briketisasi batubara sub-bitumious, lignit atau gambut melalui karbonisasi atau bubuk. Briket lebih mudah digunakan dan mempunyai kualitas yang lebih baik daripada bahan bakunya. CNG (Compressed Natural Gas atau gas alam terkompresi) adalah alternatif bahan bakar selain bensin atau solar. Di Indonesia, CNG dikenal sebagai bahan bakar gas (BBG). Bahan bakar ini dianggap lebih 'bersih' bila dibandingkan dengan bahan bakar minyak karena emisi gas buangnya yang ramah lingkungan. CNG dibuat dengan melakukan kompresi
187
metana (CH4) yang diekstrak dari gas alam. CNG disimpan dan didistribusikan dalam bejana tekan, biasanya berbentuk silinder. Energi final, merupakan energi yang dapat dikonsumsi langsung oleh pemakai/konsumen. Energi primer, energi dalam bentuk asli yang diperoleh melalui proses penambangan, pembuatan dam dan pemanfaatan sumber energi terbarukan. Energi tak terbarukan, energi yang cadangannya tak dapat kembali ke keadaan semula, umumnya jenis energi fosil. Energi terbarukan, energi yang cadangannya dapat kembali ke keadaan semula. Gas, terdiri dari gas bumi dan gas kota. Gas bumi, semua jenis hidrokarbon berupa gas yang dihasilkan dari sumur; campuran gas dan uap hidrokarbon yang terjadi secara alamiah yang komponen utamanya adalah metana, etana, propana, butana, pentana dan heksana; ditambang dari perut bumi secara langsung atau sebagai gas ikutan dalam penambangan minyak maupun penambangan batubara bawah tanah. Gas kota, adalah semua jenis gas termasuk gas dari karbonisasi, gasifikasi BBM, ataupun gas yang dihasilkan melalui konversi kimia dari bahan bakar fosil hidrokarbon. Industri, kelompok pemakai energi yang menggunakan energi untuk proses industri seperti ketel uap, pemanasan langsung, lampu penerangan dan alat-alat mekanis, ataupun energi yang digunakan untuk membangkitkan listrik di dalam lingkungan industri (captive power). Pemakai energi yang termasuk dalam kelompok ini adalah industri besi dan baja, kimia, logam bukan besi, mesin dan peralatannya, industri tekstil, kertas dan sebagainya. Komersial, kelompok pemakai energi yang menggunakan energi untuk keperluan lampu penerangan, pendingin ruangan, alat-alat mekanis, peralatan memasak dan pemanas air akan tetapi tidak termasuk pemakaian untuk kendaraan/transportasi. Pemakai energi yang termasuk dalam kelompok ini adalah usaha komersial dan umum seperti: perdagangan, hotel, restoran, lembaga keuangan, kantor pemerintahan, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya. Listrik, tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik seperti: PLT Air, PLT Panas bumi, PLTGas, PLT Gas Uap, PLT batubara, PLTD dan sebagainya.
188
LNG (Liquefied Natural Gas atau gas alam cair) adalah gas alam yang telah diproses untuk menghilangkan ketidakmurnian dan hidrokarbon berat dan kemudian dikondensasi menjadi cairan pada tekan atmosfer dengan mendinginkannya sekitar -160o Celcius untuk memudahkan pengangkutan pada jarak yang sangat jauh. LPG (Liquefied Petroleum Gas) adalah hidrokarbon ringan fraksi dari minyak bumi, dihasilkan dari proses kilang minyak dan pemurnian (purification) gas bumi yang terdiri dari propana dan butana atau campuran dari keduanya. Minyak bakar (Fuel Oil/FO), adalah minyak orde terendah hasil pengilangan minyak bumi; sulingan berat, residu dan campuran keduanya yang dipergunakan sebagai bahan bakar tungku industri atau pembangkit listrik. Minyak bumi (Crude Oil), adalah campuran berbagai hidrokarbon yang terdapat dalam fase cair dalam reservoir di bawah permukaan tanah dan yang tetap cair pada tekanan atmosfer. Minyak diesel (Industrial Diesel Oil/IDO), adalah salah satu jenis bahan bakar minyak yang digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel dan jenis mesin industri (mesin kapal) yang mempunyai kecepatan rendah dan sedang. Minyak solar (High Speed Diesel/HSD atau Automotive Diesel Oil/ADO), adalah salah satu jenis bahan bakar minyak untuk mesin diesel putaran tinggi. Minyak tanah (kerosene), adalah salah satu jenis bahan bakar minyak yang dihasilkan dari proses destilasi dengan volatility diantara mogas dan gasoil; dipakai untuk bahan bakar lampu, kompor atau motor tempel. Rumah tangga, kelompok pemakai energi yang menggunakan energi untuk keperluan memasak, lampu penerangan dan peralatan rumah tangga akan tetapi tidak termasuk pemakaian untuk kendaraan pribadi. Transportasi, kelompok pemakai energi yang menggunakan energi untuk keperluan transportasi terdiri dari transportasi darat (motor, mobil, bus, truk), laut, udara maupun kereta api.