ISSN 1978 - 2365 Ketenagalistrikan Dan Energi Terbarukan, Vol. 9 No. 2 Desember 2010 : 109-124
DINAMIKA INTENSITAS CO2 SUBSEKTOR KELISTRIKAN INDONESIA I Made Agus Dharma Susila Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan dan Energi Baru Terbarukan Jl. Ciledug Raya Kav. 109 Telp.(021)7203530, Cipulir Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
[email protected]
ABSTRAK Telah dilakukan studi untuk mengevaluasi dan menganalisis intensitas CO2 dari subsektor kelistrikan Indonesia dengan menggunakan formula IPCC. Simulasi intensitas CO2 masa depan juga dilakukan dengan menggunakan model ImPACT yang sudah dimodifikasi. Dalam simulasi intensitas CO2 ini, ada tiga skenario yang digunakan yaitu skenario referensi, kebijakan saat ini dan kebijakan baru (mitigasi) dan perbedaan ketiganya hanya pada aspek teknologi pembangkitan. Penerapan skenario mitigasi menghasilkan penurunan nilai intensitas CO2 di semua wilayah Indonesia di tahun 2030; intensitas terrendah terjadi di wilayah Papua dan Nusa Tenggara yaitu sekitar 0,41 kg/kWh, sedangkan intensitas CO2 tertinggi terjadi di wilayah Jawa-Bali yaitu sekitar 0,7 kg/kWh. Kata kunci: intensitas CO2, formula IPCC, model ImPACT ABSTRACT This study has done to evaluate and analyze the historical CO2 intensity of Indonesia’s electricity subsector. This study also simulated the future of CO2 intensity using IPCC formula to estimate the future of CO2 emission emitted by the subsector. In order to assess the CO2 intensity and CO2 emission reduction potential, there are three scenarios which is based on the ImPACT model to simulate the different paths in the subsector. Scenarios of reference, current policy and new policy (mitigation) seek to gradually increase the extent of industrial restructuring and technical advancement. The results imply that intensity of CO2 in all regions of Indonesia in 2030 decrease through implementing of mitigation scenario, while the lowest CO2 intensity of about 0.41 kg of CO2/kWh in Papua and Nusa Tenggara regions, the highest is about 0.7 kg of CO2/kWH in Java-Bali region. Keywords: CO2 intensity, IPCC formula, ImPACT model PENDAHULUAN
Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa gas
Latar Belakang
rumah kaca (GRK) antropogenik merupakan
Saat ini, perubahan iklim merupakan masalah
lingkungan
yang
faktor utama dari perubahan iklim tersebut.
mengancam
Dalam laporannya, IPCC menyebutkan bahwa
masyarakat dunia, karena akibat-akibat yang
konsentrasi gas karbon dioksida (CO2), metana
merusak dari perubahan ini telah terjadi di
(CH4) dan nitrogen oksida (NOx) meningkat
seluruh dunia dengan intensitas yang semakin
secara tajam sebagai akibat aktivitas manusia
meningkat. Suatu kesepakatan ilmiah yang
sejak tahun 1750 dan saat ini nilainya jauh
diwakili oleh Intergovernmental Panel on
melebih nilai sebelum revolusi industri [1].
109
Ketenagalistrikan Dan Energi Terbarukan, Vol. 9 No. 2 Desember 2010 : 109 – 124
110
Di antara GRK antropogenik yang
melimpah yaitu batubara. Sumber energi
memiliki waktu tinggal lama di atmosfir adalah
terbarukan dan nuklir juga dipertimbangkan
gas CO2, karena itu gas CO2 merupakan
gas
tetapi dalam proporsi kecil[6]. Dengan kebijakan
yang paling penting. Lebih dari 75% dari emisi
pemerintah saat ini yang mempromosikan
GRK antropogenik adalah CO2 dan sumber
batubara sebagai bahan bakar utama dan
utama
tingginya hambatan penggunaan energi baru
dari
emisi
gas
ini
berasal
dari
pembakaran bahan bakar fosil [2].
terbarukan serta penolakan terhadap energi nuklir
Sebagai
bagian
dari
sektor
energi,
subsektor kelistrikan merupakan salah satu
maka
subsektor
diprediksi
kelistrikan
emisi
CO2
dari
akan
cenderung
menunjukkan peningkatan yang tinggi.
sumber utama dari emisi CO2 dunia. Pada tahun
2005,
sekitar
dunia
Untuk melihat berapa besar emisi CO2
diproduksi oleh pembangkit listrik berbahan
yang dihasilkan oleh subsektor kelistrikan
bakar fosil[3]. Badan energi internasional,
Indonesia di masa depan maka perlu dilakukan
International
(IEA),
studi untuk mengetahui faktor-faktor yang
memperkirakan bahwa kebutuhan listrik dunia
berperan dalam emisi yang dihasilkan oleh
akan meningkat dua kali lipat di tahun 2030
subsektor ini.
Energy
67%
listrik
Agency
dan subsektor ini akan berkontribusi sekitar 45% dari peningkatan emisi CO2 pada tahun
Emisi CO2 Subsektor Kelistrikan Ada beberapa studi pada subsektor
tersebut[4]. Selanjutnya disebutkan bahwa salah satu kontributor penting dari peningkatan ini adalah
negara-negara
sedang
berkembang
dimana kebutuhan akan listrik tumbuh secara cepat karena pertumbuhan ekonomi dan atau karena
kebijakan
pemerintah
untuk
meningkatkan akses listrik kepada warganya.
kelistrikan Indonesia tetapi tujuan utamanya bukan untuk memprediksi emisi CO2. Adi dkk. mengkaji sistem energi Indonesia dengan menggunakan model MARKAL[7]. Shrestha dan Marpaung menggunakan model integrated resource planning (IRP) menganalisa implikasi target
Pada tahun 2005, sektor energi Indonesia
pengurangan
perencanaan
emisi
kelistrikan
CO2
khususnya
terhadap bauran
sendiri mengemisikan sekitar 340,98 juta ton
pembangkitan, bauran kapasitas, demand-side
CO2 atau sekitar 1% dari emisi dunia[3]. Dan
management (DSM), efisiensi termal secara
kontribusi subsektor kelistrikan sekitar 78 juta
keseluruhan
ton atau sekitar 27% dari emisi nasional. Nilai
[8]
kelistrikan . Shrestha dan Marpaung juga
ini dua kali lipat dari emisi di tahun 1995[5].
mempelajari peranan dari faktor-faktor kunci
dan
reliabilitas
dari
sistem
seperti struktur, bauran dan kebutuhan bahan Berdasarkan Rencana Umum Kelistrikan Nasional (RUKN) 2006-2026, pengembangan kelistrikan Indonesia di masa depan umumnya akan didasarkan pada bahan bakar murah tetapi
bakar pada perubahan-perubahan ekonomi dalam emisi CO2, SO2 and NOx dengan pendekatan
model
(IRP)
menggantikan
traditional supply-based electricity planning
Dinamika Intensitas CO2 Subsektor Kelistrikan Indonesia
111
(TEP)[9]. Rachmatullah dkk. mengaplikasikan
variabel utama yaitu penduduk (populasi)
metode
untuk
affluence (konsumsi atau produksi per kapita)
menganalisa pengembangan sistem kelistrikan
dan teknologi (akibat per unit konsumsi atau
Java-Madura-Bali [10].
produksi). Model tersebut selanjutnya dapat
perencanaan
skenario
ditulis: Tujuan Studi
ini
menganalisis
dimaksudkan
dinamika
untuk
intensitas
CO2
subsektor kelistrikan Indonesia di masa lampau dan melakukan simulasi intensitas CO2 di masa depan. Studi ini difokuskan pada peranan faktor teknologi pembangkitan listrik melalui simulasi bauran
bahan
bakar
untuk
menentukan
intensitas CO2. studi
ini
adalah
untuk
memprediksi emisi CO2 subsektor kelistrikan di masa
Dalam model ini, variabel I (emisi CO2), dihitung sebagai emisi nasional (ton CO2), populasi
depan
dengan
model
ImPACT
berdasarkan simulasi sejumlah skenario.
P
(habitat)
yang
umumnya
terdokumentasi dengan baik, dan affluence A dihitung sebagai produksi domestik bruto (PDB) per kapita. Variabel T (pengaruh teknologi)
Tujuan
……..………... (2.1)
I=P*A*T
yang
disebut
efisiensi
emisi,
dihitung sebagai ton CO2 per PDB dan umumnya dipecahkan melalui persamaan ini. Persamaan lain yang mirip dengan IPAT adalah model ImPACT juga telah digunakan
METODOLOGI
oleh beberapa penulis[11]. Secara umum, model
Model Umum Emisi CO2
ini terdiri dari beberapa indikator dan dapat
Pada mengacu
dasarnya, pada
model
emisi
CO2
perhitungan
emisi
CO2
berdasarkan data mentah faktor emisi; tetapi pada kenyataannya, model emisi merupakan
diuraikan sebagai berikut: Emisi CO2 = Populasi* [(PDB/Populasi)* (Energi/PDB)]* (CO2/Energi) ......... (2.2)
persamaan yang kompleks. Variabel di dalam kurung [*] dalam Meskipun telah banyak usaha untuk
model ini mewakili affluent A yang dihitung
mengerti dan memodelkan emisi CO2, tetapi
sebagai konsumsi energi per kapita (intensitas
masih banyak pertanyaan tentang hubungan
energi) sedangkan variabel dalam tanda kurung
faktor-faktor di balik emisi CO2 antropogenik.
terakhir adalah pengaruh teknologi T yang
Model pertama untuk menganalisis faktor
diukur dalam ton CO2 per konsumsi energi
utama dari perubahan lingkungan diusulkan
(intensitas emisi). Variabel terakhir ini sering
oleh Commoner dkk. (1971) and Ehrlich and
disebut sebagai Kaya identity.
Holdren (1971)
[11]
(kependekan Affluence
dan
. Model yang disebut IPAT
dari
Impact,
Technlogy)
Population, mendefinisikan
perubahan lingkungan sebagai hasil dari tiga
Kekurangan dari model ini adalah bahwa semua variabel diasumsikan sebagai variabel bebas. Walaupun demikian, model ini sudah
Ketenagalistrikan Dan Energi Terbarukan, Vol. 9 No. 2 Desember 2010 : 109 – 124
112
mencakup faktor-faktor utama dari pengaruh aktivitas manusia terhadap lingkungan[11]. Model Emisi CO2 Indonesia Model yang digunakan dalam studi ini adalah modifikasi dari model ImPACT karena tidak ada model spesifik yang digunakan untuk menghitung
emisi
CO2
dari
subsektor
kelistrikan. Modifikasi dilakukan karena model ini umumnya digunakan untuk menghitung emisi
CO2
sedangkan sendiri
berdasarkan
konsumsi
energi
emisi CO2 subsektor kelistrikan
merupakan
produk
samping
dari
produksi listrik. Modifikasi tersebut dilakukan untuk menentukan hubungan antara konsumsi dan produksi listrik . Seperti ditunjukkan pada Gambar 1,
Gambar 1. Kerangka model emisi CO2 dari subsektor kelistrikan Indonesia Untuk
memenuhi
konsumsi
listrik,
konsumsi listrik dipengaruhi oleh dua faktor
sejumlah listrik harus diproduksi agar produksi
penting yaitu dinamika populasi dan intensitas
listrik tersebut dapat didefinisikan sebagai
listrik
dapat
fungsi dari konsumsi listrik. Hubungan antara
didefinisikan sebagai fungsi dari populasi dan
kedua variabel tersebut dapat dirumuskan
intensitas listrik. Hubungan tersebut dapat
sebagai berikut:
sehingga
konsumsi
listrik
dirumuskan sebagai berikut: Konsumsi = ∫(Populasi, P) (intensitas listrik, ie) Konsumsi = P * ie
…........……..…………(2.3)
Produksi
= ∫ (Konsumsi)
Produksi
= Konsumsi * α
Produksi
= P * ie * α ……......….... (2.4)
Variabel
α
adalah
rasio
produksi-
Intensitas listrik ie dalam persamaan di
konsumsi listrik. Umumnya, produksi listrik
atas adalah affluent dari model ImPACT yang
selalu lebih besar dari konsumsi sehingga nilai
didefinisikan sebagai konsumsi listrik per
α lebih besar dari 1.
kapita. Karena
emisi
CO2
adalah
produk
samping dari pembangkitan listrik, maka hubungan antara keduanya dapat dirumuskan sebagai berikut: Emisi CO2
= ∫ Produksi
Emisi CO2
= Produksi * iCO2 .............. (2.5)
Dinamika Intensitas CO2 Subsektor Kelistrikan Indonesia
113
Variabel iCO2 adalah efek teknologi T atau
konsumsi bahan bakar dalam metode IPCC
Kaya identity pada model ImPACT yang
sedangkan
dihitung sebagai emisi CO2 per produksi listrik.
disederhanakan dan sering disebut dengan
kurung
kurawal
kedua
dapat
faktor emisi sehingga persamaan 2.4 dapat Sejalan dengan pertumbuhan penduduk
ditulis sebagai berikut:
dan ekonomi, maka bisa dipastikan bahwa konsumsi listrik dari tahun ke tahun akan selalu
Intensitas CO2
n
=
meningkat dan akan diikuti pula dengan
∑ {proporsi produksii n : efisiensi termali}*
peningkatan produksi listrik. Dari persamaan
faktor emisi CO2 emissioni …............ (2.7)
2.3 jelas terlihat bahwa faktor teknologi pembangkitan yang diwakili oleh intensitas CO2
sangat
berperan
dalam
menentukan
besarnya emisi CO2 dari subsektor kelistrikan. Simulasi Intensitas CO2 Simulasi
ini
dimaksudkan
untuk
mengetahui pengaruh bauran bahan bakar dan efisiensi termal dari pembangkit terhadap intensitas CO2. Simulasi ini dilakukan setelah proyeksi produksi listrik dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.2. Pada dasarnya, simulasi intensitas CO2 ini dilakukan dengan menggunakan persamaan metoda IPCC. Hanya saja dalam simulasi ini, variabel konsumsi bahan
bakar pembangkit
diperoleh melalui pembagian proporsi produksi listrik dengan efisiensi termal pembangkit. Secara singkat, persamaan tersebut dapat ditulis
Tabel 1. Efisiensi beberapa pembangkit listrik[12] Faktor Efisiensi (%) Bahan kapasitas Ket bakar Lama Baru (%) Batu33.7 37 80 PC+ bara FGD 41.8 80 IGCC BBM 33.7 35 80 GT Gas 33.7 40 80 CC alam Air 20 38 50 Panas 29.2 38.5 80 bumi Nuklir 35 80 Angin 30 30 Solar 29 30 On PV grid Sampah 37 80 Keterangan: PC: pulverized coal; FGD: flue gas desulfurization; GT: gas turbine; GTCC: gas turbine combined cycle; PV: photovoltaic Parameter efisiensi termal beberapa jenis pembangkit baik yang lama maupun yang baru
sebagai berikut:
disajikan pada Tabel 1. Faktor emisi CO2 Intensitas CO2 n
=
∑{proporsi produksii n : efisiensi
didasarkan pada penelitian sebelumnya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.
termali}*{faktor karboni *rasio oksidasii * (44/12)} ………..…… (2.6)
dimana subskrip i mengindikasikan jenis bahan bakar tertentu dan n menunjukkan tahun tertentu. Kurung kurawal pertama adalah
Tabel 2. Faktor emisi beberapa bahan bakar fosil[3] Bahan bakar Faktor emisi CO2 (t/TJ) Batubara Diesel RFO*
94.15 73.33 76.59
Ketenagalistrikan Dan Energi Terbarukan, Vol. 9 No. 2 Desember 2010 : 109 – 124
114
listrik di tahun 2030 sama dengan proporsi di
Gas alam
56.10 *RFO: residual fuel oil
tahun 2005.
Listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan tidak sepenuhnya bebas dari emisi CO2. Tabel 3 menyajikan faktor emisi CO2 dari
Tabel 4. Deskripsi skenario Skenario Skenario 1: Referensi
Kebijakan Mengikuti kecenderungan di tahun 2005 tanpa perencanaan jangka menengah-panjang.
Skenario 2: Kebijakan saat ini
Perencanaan dan pengembangan kelistrikan didasarkan pada RUKN 2005-2026
Skenario 3: Kebijakan baru (mitigasi)
Tekanan untuk mengurangi emisi mendesak implementasi kebijakan yang mempromosikan energi terbarukan.
beberapa energi terbarukan. Tabel 3. Faktor emisi CO2 pembangkit listrik berbahan energi terbarukan[13] Faktor emisi CO2 Pembangkit (t/TJ) Hidro 5.0 Panas bumi 4.2 PLTN 4.7 Biodiesel 15.8 PLT Bayu 3.9 Solar PV 10.8 PLT Sampah 12.8
RANCANGAN SKENARIO
Diskripsi Ini adalah proyeksi pengembangan yang konservatif dimana proporsi pembangkitan di tahun 2030 sama dengan proporsi tahun 2005. Komposisi energi primer untuk pembangkitan listrik di tahun 2010 dan 2025 secara detail di Tabel 3.3. PLTA dan PLTP akan mempunyai rasio yang lebih besar. Detail komposisi pada Tabel 3.4.
Rancangan Skenario Ada tiga skenario yang dirancang dalam studi ini yaitu referensi, kebijakan saat ini dan kebijakan baru (mitigasi). Beberapa asumsi juga
dibuat
untuk
mejustifikasi
hasil
perhitungan. Rentang waktu analisis dari ketiga skenario ini adalah dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2030, di mana tahun 2005 ditetapkan
sebagai
teknologi
khususnya
pencapaian
target
persentase energi terbarukan dan nuklir dalam pembangkitan
listrik
di
tahun
tertentu
dinyatakan secara jelas. Skenario terakhir yang disebut juga skenario mitigasi mengasumsikan penerapan
menguraikan secara detail kebijakan-kebijakan
target penurunan emisi CO2 yang lebih
yang mengarahkan tujuan dari setiap teknologi
ambisius melalui optimalisasi pemanfaatan
yang dikembangkan pada setiap skenario.
energi terbarukan yang tersedia di setiap
referensi
hanya
Tabel
ini diadopsi dari RUKN 2006-2026. Komposisi
4
Skenario
baseline.
Skenario kedua, skenario kebijakan saat
mengikuti
kebijakan-kebijakan yang diambil sebelum tahun 2005 dan perubahan komposisi teknologi hanya didasarkan pada kebijakan tersebut dengan
perbaikan-perbaikan
yang
bersifat
alami. Proporsi energi primer pembangkitan
wilayah. Komposisi teknologi pada skenario ini didasarkan
pada
skenario
kedua
dan
memberikan penetrasi yang lebih besar dari energi terbarukan. Untuk mendukung sistem kelistrikan wilayah Java-Bali, kebijakan khusus untuk mengembangkan PLTN dilaksanakan di tahun 2017.
Dinamika Intensitas CO2 Subsektor Kelistrikan Indonesia
Perbedaan ketiga skenario dibatasi pada
diasumsikan
115
bahwa
proporsi
teknologi
proporsi bahan bakar dari pembangkit listrik.
pembangitan listrik di semua wilayah adalah
Disamping
sama.
beberapa
parameter
yang
disebutkan sebelumnya, beberapa parameter tambahan juga digunakan dan sebagian dari
Table 6. Komposisi energi primer pada skenario 1 dan skenario 2
parameter tersebut didasarkan pada beberapa
Referensi 2005 2030 Energi
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Java-Bali
Lainnya
asumsi.
Batubara BBM Gas Panas bumi Air Nuklir Lainnya
41 30 16 5 8 -
41 30 16 5 8 -
41 30 16 5 8 -
58 3 27 4 4 4 -
62 3 27 4 4 -
Asumsi Asumsi pertama yang digunakan dalam
di setiap wilayah adalah sama. Proyeksi produksi listrik dilakukan sebelum simulasi intensitas CO2 untuk mengetahui seberapa besar listrik yang harus diproduksi di setiap wilayah. Proyeksi produksi listrik sendiri dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.2
Table 7. Komposisi energi primer pada skenario mitigasi (dalam %)
Asumsi kedua, komposisi teknologi di semua wilayah pada ketiga skenario pada tahun 2005 adalah sama. Pengembangan kebijakan yang menyebabkan perubahan gradual
pada
Maluku
Papua
NT
1,17
Sulawesi
7,61
Batubara BBM Gas Panas bumi Air Nuklir
Kalimantan
1,52
Rasio produksikonsumsi 1,20 1,26 1,21 1,20 1,16 1,16
Sumatera
Jawa-Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi Maluku Papua Nusa Tenggara
Laju pertumbuhan Intensitas Populasi listrik 1,23 5,58 1,11 7,37 1,34 6,28 1,43 7,74 3,50 9,70 2,59 6,16
Java-Bali
Wilayah
Indonesia
Tabel 5. Laju pertumbuhan penduduk dan intensitas listrik serta rasio produksi-konsumsi
Energi
2005
dengan variabel-variabel pada Tabel 5.
2030
studi ini adalah bahwa proyeksi produksi listrik
Kebijakan saat ini 2005 2030
41
57
42
50
30
40
45
45
30 16
3 27
3 27
3 27
3 27
3 27
3 27
3 27
5
7
14
-
20
15
-
15
8 -
2 4
14 -
20 -
20 -
15 -
25 -
10 -
Komposisi energi untuk pembangkitan listrik
di
tahun
2005
dan
2030
yang
diaplikasikan pada semua skenario disajikan pada Tabel 6 dan 7.
komposisi teknologi terjadi dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2030. RUKN 2006-2026
Diskripsi Data
sebagai dasar dari skenario kedua, berkaitan
Data yang digunakan dan dianalisis
dengan energi primer untuk pembangkitan
dalam studi ini berupa data sekunder yang
listrik
dipublikasikan oleh beberapa instansi seperti
disusun
secara
nasional
sehingga
Ketenagalistrikan Dan Energi Terbarukan, Vol. 9 No. 2 Desember 2010 : 109 – 124
116
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
tahun 2030 meningkat lima sampai sepuluh kali
(KESDM), Perusahaan Listrik Negara (PLN)
lipat produksi tahun 2005. Hasil proyeksi
dan Biro Pusat Statistik (BPS). Data dalam
secara detail disajikan pada Tabel 8.
rentang waktu 1995 sampai dengan 2005 Seperti ditunjukkan pada Gambar 2,
tersebut meliputi data penduduk, intensitas listrik, konsumsi bahan bakar, produksi dan
diprediksi bahwa Jawa-Bali dan Sumatera adalah dua wilayah yang memproduksi listrik
konsumsi listrik dan lain-lainnya.
di atas 100 TWh di 2030. Sebaliknya, wilayah Karena kondisi kelistrikan dan potensi energi terbarukan di setiap wilayah berbeda-
lainnya memproduksi listrik kurang dari 50 TWh di tahun yang sama.
beda, maka analisa terhadap intensitas dan emisi CO2 dilakukan secara terpisah di setiap
Dinamika Intensitas CO2 Dinamika
wilayah. Dalam studi ini, sistem kelistrikan Indonesia
dikelompokkan
menjadi
tujuh
wilayah yaitu Jawa-Bali, Sumatera, Kalimantan,
intensitas
CO2
subsektor
kelistrikan Indonesia dalam kurun waktu tahun 1995-2005 yang diperoleh melalui perhitungan produksi listrik dan emisi CO2 tahunan
Sulawesi, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara.
disajikan secara detail pada Tabel 4.2. Emisi HASIL DAN ANALISIS
CO2 sendiri diperoleh melalui perhitungan
Proyeksi Produksi Listrik
dengan persamaan IPCC. Grafik dinamika
Diproyesikan bahwa produksi listrik di semua wilayah di tahun 2030 akan meningkat
intensitas CO2 di setiap wilayah diilustrasikan pada Gambar 3.
secara tajam dan bervariasi. Produksi listrik di
Tabel 8. Proyeksi produksi listrik Indonesia PRODUKSI LISTRIK (TWh) Tahun
JawaBali
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua
Nusa Tenggara
Indonesia
2005
101.0
16.5
4.3
3.9
0.3
0.5
0.8
127.4
2010
145.0
26.3
6.4
6.7
0.8
0.8
1.4
187.2
2015
203.8
40.1
9.4
10.5
1.5
1.2
2.1
268.7
2020
286.5
61.3
13.7
16.7
2.9
1.9
3.4
386.3
2025
402.7
93.7
20.1
26.4
5.6
2.9
5.3
556.6
2030
566.0
143.2
29.4
41.7
10.8
4.5
8.4
804.0
Dinamika Intensitas CO2 Subsektor Kelistrikan Indonesia
117
Gambar 2. Grafik proyeksi produksi listrik berbagai wilayah Indonesia
Tabel 9. Intensitas CO2 subsektor kelistrikan Indonesia tahun 1995-2005
Jawa-Bali
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua
NT
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
0.59 0.66 0.67 0.69 0.73 0.67 0.77 0.76 0.83 0.79 0.85
0.82 0.81 0.87 0.78 0.76 0.76 0.75 0.80 0.72 0.73 0.51
0.70 0.70 0.75 0.76 0.72 0.70 0.92 0.93 0.92 0.88 0.89
0.32 0.33 0.44 0.51 0.53 0.33 0.38 0.40 0.49 0.44 0.46
0.76 0.76 0.76 0.77 0.89 0.82 0.83 0.89 0.68 0.82 0.77
0.58 0.76 0.76 0.73 0.73 0.71 0.73 0.74 0.75 0.76 0.57
0.78 0.78 0.76 0.74 0.73 0.74 0.75 0.45 0.72 0.76 0.77
Indonesia
Tahun
Intensitas CO2 (kg CO2 / kWh)
0.67 0.77 0.75 0.71 0.74 0.68 0.77 0.76 0.78 0.80 0.81
118
Ketenagalistrikan Dan Energi Terbarukan, Vol. 9 No. 2 Desember 2010 : 109 – 124
Gambar 3. Dinamika intensitas CO2 subsektor kelistrikan Indonsia kurun waktu 1995 – 2005
119
Dinamika Intensitas CO2 Subsektor Kelistrikan Indonesia
Tabel 10. Hasil simulasi intensitas CO2 di berbagai wilayah Indonesia Referensi Tahun
JawaBali
2005 2010 2015 2020 2025 2030
0.84 0.81 0.78 0.78 0.77 0.77
0.72 0.68 0.65 0.63 0.62 0.62
2005 2010 2015 2020 2025 2030
0.84 0.86 0.83 0.77 0.75 0.74
0.72 0.76 0.75 0.74 0.74 0.74
2005 2010 2015 2020 2025 2030
0.84 0.83 0.78 0.72 0.68 0.70
0.72 0.74 0.70 0.61 0.52 0.42
Sumatera Kalimantan Sulawesi Maluku
Papua
Nusa Tenggara
0.82 0.78 0.75 0.73 0.71 0.70
Indonesia
0.52 0.76 0.74 0.76 0.49 0.71 0.70 0.72 0.48 0.68 0.68 0.70 0.47 0.67 0.67 0.68 0.46 0.67 0.66 0.67 0.46 0.66 0.65 0.67 Kebijakan Saat ini 0.82 0.52 0.76 0.74 0.76 0.77 0.74 0.73 0.73 0.73 0.76 0.73 0.73 0.73 0.73 0.75 0.73 0.73 0.73 0.73 0.74 0.73 0.73 0.73 0.73 0.74 0.73 0.73 0.73 0.73 Mitigasi 0.82 0.52 0.76 0.74 0.76 0.81 0.60 0.72 0.77 0.73 0.71 0.55 0.68 0.68 0.68 0.62 0.51 0.58 0.59 0.59 0.52 0.46 0.52 0.50 0.50 0.43 0.42 0.68 0.41 0.41 peningkatan terjadi secara gradual di
Simulasi Intensitas CO2
0.79 0.78 0.75 0.74 0.73 0.72 0.79 0.83 0.81 0.76 0.74 0.74 0.79 0.81 0.76 0.69 0.65 0.65 wilayah
Jawa-Bali, peningkatan secara tajam terjadi di
Menggunakan persamaan 2.5, intensitas CO2 dapat ditentukan seperti disajikan pada Tabel 10.
wilayah Kalimantan terutama pada periode tahun 2000-2001. Nampaknya peningkatan intensitas di kedua wilayah ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaaan batubara dalam
Analisis mengindikasikan
pembangkitan listrik. Di wilayah Kalimantan
seberapa bersih energi listrik dibangkitkan dan
sendiri, pembangkit listrik berbahan bakar
nilainya mengekspresikan berapa banyak emisi
batubara mulai beroperasi pada tahun 2001.
Intensitas
CO2
CO2 yang dihasilkan per satuan energi listrik.
Wilayah Sulawesi juga menunjukkan
Singkatnya, semakin kecil semakin baik.
peningkatan nilai intensitas CO2 akan tetapi
Walaupun
nilai ini turun secara tajam di tahun 2000 dan
semua
wilayah
menunjukkan
kondisi intensitas CO2 yang fluktuatif, tetapi
kemudian
ada tiga kecenderungan yang dapat diamati.
sampai
Wilayah adalah
dua
peningkatan
Jawa-Bali wilayah intensitas
dan
yang CO2.
Kalimantan
meningkat dengan
diperkirakan
lagi
tahun
terjadi
secara gradual 2005.
karena
Hal
ini
menurunnnya
menunjukkan
konsumsi bahan bakar minyak. Walaupun nilai
Sementara
intensitas CO2 meningkat setelah tahun 2000
Ketenagalistrikan Dan Energi Terbarukan, Vol. 9 No. 2 Desember 2010 : 109 – 124
120
tetapi nilainya masih lebih kecil dari 0,5
mengakibatkan turunnya intensitas CO2 di
kg/kWh. Nampaknya, hal ini disebabkan
tahun
karena tidak adanya peranan batubara dalam
mempunyai intensitas CO2 yang paling tinggi
pembangkitan listrik di wilayah ini.
yaitu 0,77 kg/kWh dan sebaliknya wilayah
Wilayah Sumatera adalah satu-satunya wilayah
yang
menunjukkan
2030.
Wilayah
Jawa-Bali
tetap
Sulawesi mempunyai intensitas CO2 terendah
penurunan
yaitu 0,46 kg/kWh. Hal in disebabkan karena
intensitas CO2, dari 0,82 kg/kWh di tahun
wilayah Jawa-Bali didominasi oleh pembangkit
1995 menjadi 0,51 kg/kWh di tahun 2005. Hal
listrik berbahan bakar batubara dan di Sulawesi
ini nanmpaknya disebabkan meningkatnya
peranan batubara kecil.
peranan pembahngkit listrik tenaga air (PLTA). Di tahun 2005, sekitar 20% energi listrik dibangkitkan dari PLTA, sedangkan di tahun 1995 hanya sekitar 10%. Wilayah Maluku, Papua dan Nusa Tenggara mempunyai kondisi yang hampir sama dimana intensitas CO2 di ketiga wilayah ini cenderung konstan yaitu sekitar 0,75 kg/kWh. Di ketiga wilayah ini, hampir 100% energi listrik dihasilkan oleh pembangkitpembangkit listrik berbahan bakar minyak.
Gambar 4. Proyeksi intensitas CO2 Skenario Referensi Melalui penerapan kebijakan saat ini,
Intensitas CO2 yang fluktuatif dapat diamati pada periode tahun 1998 – 2004. Kasus yang
intensitas
sama terjadi di wilayah Nusa Tenggara dimana
menunjukkan
pada tahun 2002 terjadi penurunan intensitas
wilayah Jawa-Bali, Sumatera dan Sulawesi
CO2 yang tajam terjadi di daerah ini. Penyebab
(Gambar 4). Walaupun demikian, intensitas
terjadinya kasus ini tidak jelas karena tidak
CO2 di semua wilayah di tahun 2030 berkisar
dijumpai
antara
adanya
perubahan
komposisi
pembangkitan listrik di kedua wilayah ini. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4,
0,73
CO2
di
sedikit
–
0,74
beberapa
wilayah
penurunan
kecuali
kg/kWh.
meningkatnya peranan batubara
Dengan di wilayah
Jawa-Bali dan Sumatera maka intensitas CO2 di
referensi di semua
kedua wilayah tersebut sedikit meningkat di
wilayah menunjukkan kecenderungan yang
tahun 2010. Peningkatan nilai intensitas CO2
sama dimana intensitas CO2 di tahun 2030
yang cukup tajam dalam periode yang sama
lebih kecil dibandingkan intensitas di tahun
dijumpai di wilayah Sulawesi. Intensitas CO2
2005. Dengan proporsi teknologi pembangkitan
di ketiga wilayah ini kemudian sedikit turun
yang sama dengan proporsi di tahun 2005 dan
pada tahun 2015 dan stabil sampai tahun 2030
dengan dibangunnya pembangkit-pembangkit
di kisaran 0,73-0,74 kg/kWh.
implementasi skenario
listrik baru yang memiliki efisiensi lebih tinggi
Dinamika Intensitas CO2 Subsektor Kelistrikan Indonesia
121
Emisi CO2 dari subsektor kelistrikan Indonesia meningkat dari tahun 1995 sampai dengan 2005 dan berlanjut hingga tahun 2030. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7, wilayah Jawa-Bali diprediksi tetap menjadi penghasil emisi CO2 tertinggi di Indonesia diikuti oleh wilayah Sumatera di tahun 2030. Gambar 5. Proyeksi intensitas CO2 Skenario Kebijakan saat ini
Wilayah
lain,
walaupun
menunjukkan
peningkatan, tetapi mengemisikan kurang dari 50 juta ton CO2 di tahun tersebut.
Gambar 6. Proyeksi intensitas CO2 Skenario Mitigasi Dengan beberapa variasi, penerapan
Gambar 7. Grafik proyeksi emisi CO2 subsektor kelistrikan per wilayah di Indonesia
skenario mitigasi di semua wilayah umumnya mengakibatkan penurunan nilai intensitas CO2 (Gambar 5). Ditahun 2030, nilai intensitas CO2 di wilayah Jawa-Bali dan Maluku berkisar 0,68-0,7 kg/kWh sedangkan di wilayah lain berkisar 0,41-0,43 kg/kWh. Di wilayah JawaBali, Kalimantan, Maluku dan Nusa Tenggara, nilai intensitas CO2 langsung turun hingga tahun 2030 kecuali di wilayah Maluku yang kembali meningkat setelah tahun 2025. Hal ini
Di
terbarukan
(EBT)
dalam
subsektor
wilayah,
implementasi
skenario mitigasi akan menguntungkan secara lingkungan. Utilisasi EBT akan menurunkan emisi CO2 yang bervariasi di setiap wilayah karena potensi EBT di setiap daerah berbeda. Secara nasional, realisasi skenario mitigasi dapat menurunkan emisi CO2 sebesar 78 juta ton. Penurunan ini umumnya dijumpai di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera.
disebabkan karena turunnya peranan energi baru
semua
Implementasi skenario kebijakan saat ini di beberapa wilayah tidak menguntungkan bagi
kelistrikan di wilayah ini. Di wilayah Sumatera,
lingkungan.
Sulawesi dan Papua, nilai intensitas CO2 naik
didominasi oleh pembangkit listrik berbahan
di tahun 2010 dan kemudian turun sampai
bakar
dengan tahun 2030.
emisi CO2 menjadi sekitar 596.1 juta ton di
Penerapan
batubara
tahun 2030.
skenario
menyebabkan
yang
peningkatan
Ketenagalistrikan Dan Energi Terbarukan, Vol. 9 No. 2 Desember 2010 : 109 – 124
122
Berdasarkan studi ini, akan sangat
Penyesuaian
struktur
komposisi
menarik untuk membandingkan hasil prediksi
teknologi pembangkitan akan berpengaruh
dari skenario kebijakan saat ini dan skenario
pada nilai intensitas CO2 dari subsektor
mitigasi untuk memahami peranan EBT dalam
kelistrikan dimana semakin besar peranan EBT,
mengurangi
dari
subsektor
semakin kecil nilai intensitas CO2. Melalui
Secara
nasional,
penerapan kebijakan saat ini dimana kontribusi
dengan
EBT turun dari 13% di tahun 2005 menjadi
proporsi EBT sekitar 50% dari total energi
sekitar 12% di wilayah Jawa-Bali dan 8% di
pembangkitan, dapat menurunkan sekitar 97.2
wilayah lainnya, nilai intensitas CO2 subsektor
juta ton emisi CO2 atau sekitar 16% dari total
kelistrikan Indonesia di tahun 2030 di beberapa
emisi pada skenario kebijakansaat ini. Skenario
wilayah umumnya sedikit menurun sekitar 1%
kebijakaan saat ini sendiri mengindikasikan
– 4%. Penurunan ini akibat peremajaan atau
peranan EBT sekitar 15% (Gambar 8).
pembangunan pembangkit-pembangkit baru.
kelistrikan implementasi
emisi
CO2
Indonesia. skenario
mitigasi
Sebaliknya, nilai intensitas CO2 meningkat sekitar 12%-40% di wilayah Jawa-Bali dan Sulawesi. Melalui penerapan skenario mitigasi dimana kontribusi EBT sekitar 13-40%, nilai intensitas CO2 di semua wilayah di Indonesia menunjukkan
penurunan
di
tahun
2030
dibandingkan nilai di tahun 2005. Penurunan Gambar 8. Proyeksi emisi CO2 subsektor kelistrikan Indonesia
mencolok terjadi di wilayah Nusa Tenggara, Papua, Sumatera dan Kalimantan yaitu sekitar 35%-46%.
KESIMPULAN DAN SARAN Studi ini menujukkan bahwa wilayah
Kesimpulan Subsektor kelistrikan Indonesia akan terus berkembang secara cepat sampai dengan tahun 2030 sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka emisi CO2 dari subsektor ini pun akan meningkat secara signifikan. Melalui penyesuaian pembangkitan
struktur pada
komposisi subsektor
teknologi kelistrikan
Indonesia dan melalui penerapan beberapa kebijakan teknis, beberapa target penurunan emisi CO2 akan bisa dicapai.
Jawa-Bali
dan
Sumatera
merupakan
dua
wilayah yang menghasilkan emisi CO2 pada subsektor kelistrikan Indonesia dan ini akan berlanjut di masa depan. Studi ini juga menunjukkan bahwa EBT khususnya energi hidro,
panas
bumi
dan
energi
nuklir
memainkan peranan yang signifikan dalam penurunan emisi CO2 pada subsektor ini. Saran Dari kenyataan bahwa sumberdaya EBT adalah terbatas di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera,
sementara
implementasi
dari
Dinamika Intensitas CO2 Subsektor Kelistrikan Indonesia
teknologi-teknologi
pembangkitan
berbasis
Working
123
Group
III
to
the
Fourth
of
the
EBT kadang-kadang mengalami hambatan-
Assessment
Report
hambatan baik berupa lingkungan maupun
Intergovernmental
sosial. Karena itu pengembangan dan adopsi
Change [B. Metz, O.R. Davidson, P.R.
teknologi pembangkitan berbasis EBT lain
Bosch, R. Dave, L.A. Meyer (eds.)],
perlu dilakukan.
Cambridge University Press, Cambridge,
Panel
on
Climate
United Kingdom and New York, NY, Karena kondisi geografi dan kelistrikan
USA.
serta potensi EBT di setiap wilayah berbedabeda,
maka
pembangkitan
pengembangan berbasis
EBT
teknologi pun
harus
berbeda-beda pula.
[3] IEA, 2007. Key World Energy Statistic 2007. Diakses tanggal 11 November 2007 dari www.iea.org [4] IEA, 2004. World Energy Outlook 2004.
DAFTAR ACUAN
Diakses tanggal 28 February 2008 dari [1] IPCC, 2007: Summary for Policymakers.
www.iea.org
In: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working
[5] MEMR, 2006a. Handbook Energy and
Group I to the Fourth Assessment Report
Economic Statistics of Indonesia 2006 (In
of the Intergovernmental Panel on Climate
Indonesia). Diakses tanggal 11 November
Change [Solomon,
2007 dari www.esdm.go.id
S., D. Qin, M.
Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor, and H.L. Miller (eds.)],
Cambridge
University
Press,
United Kingdom and New York, NY, USA. [2] Barker T., I. Bashmakov, L. Bernstein, J.E. Bogner, P.R. Bosch, R. Dave, O.R. Davidson, B.S. Fisher, S. Gupta, K. Halsnæs, G.J. Heij, S. Kahn Ribeiro, S. Kobayashi, M.D. Levine, D.L. Martino, O. Masera, B. Metz, L.A. Meyer, G.-J.
[6] MEMR,
2006b.
Rencana
Umum
Ketenagalistrikan Nasional 2006-2026. Diakses tanggal 11 November 2007 dari www.esdm.go.id [7] Adi, A.C., C.L. Malik, A. Nurrohim, R.T.M. Sutamihardja, M.N. Hidajat, I.B. Santoso, Amirrusdi, A. Suwarto, 1997. Mitigation Indonesia’s
of
Carbon
Energy
Dioxide
System.
from
Applied
Energy Vol 56, pp. 253-263.
Nabuurs, A. Najam, N. Nakicenovic, H.-
[8] Shrestha, R.M. and C.O.P. Marpaung.
H. Rogner, J. Roy, J. Sathaye, R. Schock,
2002. Supply- and demand-side effects of
P. Shukla, R.E.H. Sims, P. Smith, D.A.
power
Tirpak, D. Urge-Vorsatz and D. Zhou,
mitigation constraints in a developing
2007. Technical Summary. In: Climate
coutry. Energy 27, pp. 271-286
Change 2007: Mitigation. Contribution of
sector
planning
with
CO2
Ketenagalistrikan Dan Energi Terbarukan, Vol. 9 No. 2 Desember 2010 : 109 – 124
124
[9] Shrestha, R.M. and C.O.P. Marpaung. 2006. Integrated resorce planning in the power sector and economy-wide changes in environmental emissions. Energy Policy Vol. 34, pp. 3801-3811 [10] Rachmatullah, C., L. Aye, R.J. Fuller, 2006. Skenario Planning for the electricity generation in Indonesia. Energy Policy, Vol 35, pp 2352 -2359 [11] Puliafito, S.E., J.L. Puliafito, and M.C. Grand,
2008.
Modeling
population
and
economic
growth
dynamics
a
competing species: An application to CO2 global emission. Ecological Economic, Vol. 65, pp 602-615 [12] MEMR, 2006c. Study on Blueprint of National Energy Management 2005-2025 (In Indonesia). Diakses tanggal 8 Agustus 2007 dari www.esdm.go.id [13] World
Nuclear
Environment,
Assocciation,
Health
and
2008.
Safety
in
Electricity Generation. Diakses tanggal 28 Februari nuclear.org
2008
dari
www.world-