Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2012
Analisis Kebutuhan dan Penyediaan Energi Di Sektor Industri - OEI 2012 Ira Fitriana1 1
Perencanaan Energi – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi E-mail:
[email protected]
Abstract The industrial sector, especially energy intensive industries have a large contribution to the GDP, up to 25% in 2010. Industrial growth will affect the economic growth therefore it becomes urgent to sustain its energy supply. The pulp and paper industry, cement industry, fertilizer industry and metal industry are amongst the energy intensive type. In line with efforts by the Government to promote New and Renewable Energy (NRE) in the future to support of energy security, the purpose of this study is to provide view on challenge, and issues related to industrial energy supply in the future. Keywords: energy intensity, industry, useful energy, final energy
1. Pendahuluan Sektor industri merupakan sektor penting yang berkontribusi terhadap PDB dalam perekonomian nasional. Berangkat dari berbagai permasalahan energi terkait dengan sektor industri, kajian ini berupaya memberikan gambaran kondisi energi secara total yang dianalisis dari beberapa jenis industri, yaitu industri pemakai energi secara intensif yang terdiri dari industri semen (non logam), industri kertas, industri kimia (termasuk pupuk), dan industri logam, serta industri non intensif yang berupa industri makanan, tekstil, kayu, permesinan dan lainnya. Kajian ini memberikan gambaran kondisi energi di sektor industri dimasa mendatang dan melihat kemungkinan penetrasi teknologi energi yang menciptakan kondisi pemanfaatan EBT secara maksimal.
2.
Intensitas Industri
Energi
Pada
Sektor
Gaya hidup dari pengguna energi sangat mempengaruhi produk yang dihasilkan oleh suatu jenis industri. Hal ini mengakibatkan perubahan penggunaan jenis teknologi/ peralatan yang efisiensinya sangat berpengaruh pada kebutuhan energi untuk motor fuel dan peralatan listrik dan kebutuhan energi untuk pemanas (heat) yang dibedakan atas pemanasan langsung (tungku) dan tidak langsung (ketel uap). Kebutuhan energi untuk motor fuel dan peralatan listrik diperkirakan dalam kebutuhan energi final, sedangkan kebutuhan energi untuk pemanas baik yang secara langsung maupun yang tidak langsung diperkirakan dalam kebutuhan energi useful. Kebutuhan energi useful akan berbanding lurus dengan kebutuhan energi final dan efisiensi peralatan. 2.1. Persamaan
Dalam kajian ini, yang dikatagorikan pada sektor industri adalah kelompok industri pengolahan/manufaktur yang terdiri dari industri pupuk kimia & barang dari karet;
1
Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2012
Kebutuhan energi final = IPE * NIPM (1) Keterangan : IPE = Intensitas Pemakaian Energi [SBM/juta Rp] NIPM = Nilai Tambah per Jenis industri pengolahan/manufactur (Juta Rp)
Intensitas energi adalah kebutuhan energi persatuan produksi. Intensitas energi ini sangat dipengaruhi pemanfaatan teknologi peralatan dan perlakuan terhadap peralatan yang digunakan. Sedangkan nilai tambah per jenis industri diperhitungkan berdasarkan PDRB sektoral per wilayah dengan mengambil harga konstan pada tahun 2010 dan karakteristik pemakaian energi per tahun yang diambil dari statistik industri 2009. Berdasarkan PDRB tersebut dapat diperkirakan jumlah output akhir dari aktifitas produksi, sedangkan selisih antara nilai output dan nilai input sektoral yang diperoleh dari statistik industri dan PDRB dapat diperhitungkan besarnya nilai tambah industri. Kebutuhan energi pada sektor ini dibedakan atas kebutuhan energi untuk motor fuel dan peralatan listrik dan kebutuhan energi untuk pemanas (heat) yang dibedakan atas pemanasan langsung (tungku) dan tidak langsung (ketel uap). Kebutuhan energi untuk motor fuel dan peralatan listrik diperkirakan dalam kebutuhan energi final, sedangkan kebutuhan energi untuk pemanas baik yang
2
secara langsung maupun yang tidak langsung diperkirakan dalam kebutuhan energi useful. Kebutuhan energi useful akan berbanding lurus dengan kebutuhan energi final dan efisiensi peralatan. Perkembangan intensitas energi sektor industri dalam 3 tahun yaitu 1999, 2000 dan 2010 dapat dilihat pada Grafik 1 berikut ini. 4.00 3.50 SBM/Milliar Rupiah (konstan2000)
semen dan barang galian bukan logam; logam dasar & baja; alat angkut, serta mesin & peralatan, selain itu juga berupa industri makanan, minuman dan tembakau; tekstil; barang kayu & hasil hutan;. Perkiraan kebutuhan energi 2010-2030 di sektor industri pengolahan/manufactur ini diperkirakan dalam bentuk energi termanfaatkan kemudian dituangkan sebagai demand driven program perencanaan energi sehingga dapat diproyeksikan pemanfaatan energi sektor industri sebagai energi final. Parameter utama yang dibutuhkan dalam memperkirakan kebutuhan energi di sektor industri adalah intensitas energi dan kegiatan ekonomi yang dinyatakan dalam nilai tambah per jenis industri (Persamaan 1) :
3.00
1999 2000 2010
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 Semen
Baja
Keramik
Kertas
Kimia
Tekstil
Makanan Lainnya
Sumber : TNA 2009 dan BPS
Grafik 1. Perkembangan Intensitas Energi Per Jenis Industri Tahun 1999, 2000 dan 2010
3.
Energi Termanfaatkan Energy) Sektor Industri
(Useful
Dalam Outlook Energi Indonesia 2012, kebutuhan energi diproyeksikan berdasarkan indikator ekonomi yang digunakan, yang berupa perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) dan populasi yang dilakukan dengan pendekatan 2 skenario yaitu skenario Dasar dan MP3EI. Untuk skenario Dasar menggunakan laju pertumbuhan rata-rata 7,6% per tahun, sedangkan pada skenario MP3EI adalah mengikuti pertumbuhan ekonomi program MP3EI yang sedang dicanangkan oleh Pemerintah yang mencapai laju pertumbuhan lebih dari 12% pada tahun 2025 dan terus diproyeksikan mengalami laju pertumbuhan yang sama hingga tahun 2030. Sektor industri merupakan konsumen energi terbesar. Di sektor industri selain dibutuhkan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga listrik dan panas, juga diperlukan bahan baku (non-energi) misalnya pada industri pupuk. Tenaga listrik yang diperlukan oleh suatu Industri dapat diperoleh dari PLN atau dibangkitkan sendiri dengan
Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2012 menggunakan captive power. Pembangkitan listrik dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan bahan bakar diesel maupun secara tidak langsung melalui pembangkitan uap yang merupakan daya gerak turbin uap (indirect heat) yang menggerakkan generator listrik. Pembangkitan uap dapat menggunakan bahan bakar fosil atau menggunakan energi terbarukan, dimana bahan bakar fossil yang dimanfaatkan adalah batubara, BBM, dan gas, sedangkan energi terbarukan yang telah banyak dimanfaatkan adalah hidro dan panas bumi sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Listrik hanya dimanfaatkan pada beberapa industri tertentu. Berlainan dengan tenaga listrik yang dihasilkan dari captive power dan pembangkit dari PLN, panas untuk proses di industri diperoleh dari pemanfaatan tungku atau berupa panas langsung (direct heat). Bahan bakar tungku bisa berupa batubara, BBM, gas, atau biomasa. Dalam hal ini, biomasa hanya dimanfaatkan oleh industri yang berlokasi dekat dengan sumber biomasa atau industri yang menggunakan bahan baku biomasa. Konsumen utama dalam pemakaian listrik di sektor industri adalah motor listrik. Motor listrik terutama digunakan untuk menggerakan pompa, kompresor dan kipas. Motor standar beroperasi dengan efisiensi sebesar 70% untuk peralatan kecil dan sebesar 92% untuk motor besar sekitar 100 kW atau lebih. Motor beroperasi dengan efisiensi sekitar 83% sampai dengan 95%. Perbaikan efisiensi ini dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi motor, sistem koneksi poros (shaft) dan tali penggerak. Pemanfaatan energi untuk keperluan panas dan listrik di industri dapat ditingkatkan efisiensinya hingga 80% melalui penerapan teknologi kogenerasi. Ada dua pendekatan untuk mengimplementasikan kogenerasi yaitu dengan topping cycle dan bottoming cycle. Pada kogenerasi topping cycle, energi primer (panas dengan temperatur tinggi) digunakan untuk menghasilkan listrik dan panas dengan temperatur rendah yang dilepaskan dari generator akan digunakan untuk proses atau
3
pemanas ruangan (misalnya pada industri pulp dan kertas). Pada kogenerasi bottoming cycle energi primer (panas dengan temperatur tinggi) digunakan untuk menghasilkan panas dan panas sisa digunakan untuk menghasilkan listrik. Banyaknya jenis teknologi pada sektor industri menyebabkan dalam perkembangan teknologi pada sektor ini dapat dilakukan konservasi energi pada beberapa jenis industri. Pada Tabel 1 dapat dilihat peluang penghematan energi yang dapat dilakukan melalui penerapan beberapa teknologi pada beberapa jenis industri. Tabel 1. Peluang Pemanfaatan Teknologi Hemat Energi Pada Beberapa Jenis Industri No
Kelompok Industri
1
Makanan dan Minuman Tekstil
3
Pulp dan Kertas Keramik dan Gelas
2
4 5 6 7
Semen
Petrokimia Baja
Sumber : TNA 2009
Peluang Pemanfaatan Teknologi Hemat Energi Diversifikasi energi
Restrukturisasi mesin (ganti) dan perbaikan kapasitor Pemanfaatan gas buang pada kogenerasi Pemanfaatan gas buang (waste heat recovery) untuk preheating Diversifikasi energi, waste heat recovery, dan campuran material setelah kiln Pemanfaatan waste heat recovery Pemanfaatan gas buang (waste heat recovery) untuk preheting
Perbandingan proyeksi energi termanfaatkan (useful energy) industri intensif energi dan industri non intensif energi untuk scenario dasar dan MP3EI yang diolah dari BPPT MEDI (Model of Energy Demand for Indonesia) ditunjukkan pada Grafik 2.
Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2012
Grafik 2. Proyeksi energi termanfaatkan (useful energy) untuk industri intensif energi dan non intensif energi skenario Dasar dan MP3EI (2010 – 2030). Jika ditinjau dari pemanfaatan teknologi, pemakaian energi pada sektor industri adalah untuk teknologi turbin uap (boiler), tungku (furnace), motor penggerak, alat angkut dan penerangan. Pada tahun 2010 teknologi turbine uap (boiler) merupakan teknologi pengguna energi final terbesar pada sektor ini yaitu sekitar 82%, kemudian diikuti dengan teknologi tungku (furnace) 17% lalu motor penggerak, penerangan dan alat angkut dengan pangsa yang cukup sekitar 1% dari seluruh energi termanfaatkan. Pada industri logam, industri kimia, industri pupuk, industri kertas dan industri lainnya memanfaatkan kedua teknologi (tungku dan boiler) selain memanfaatkan bahan bakar sebagai bahan baku dan motor penggerak (motor drive). Pemakaian teknologi tungku banyak digunakan pada jenis industri yang memanfaatkan tungku seperti industri semen. Dari hasil olahan BPPT MEDI diperoleh hasil proyeksi pada tahun 2030, kebutuhan energi termanfaatkan untuk skenario Dasar untuk industri intensif energi mengalami laju pertumbuhan 7,6% per tahun, sedangkan laju pertumbuhan untuk industri non intensif
4
energi sebesar 4,1% per tahun. Secara total perkembangan energi termanfaatkan sektor industri untuk skenario Dasar adalah sebesar 6,6% per tahun. Pada skenario MP3EI besarnya perkembangan pangsa industri intensif energi dan nonintensif energi mengalami kecenderungan yang sama, namun pada skenario ini laju pertumbuhan energi termanfaatkan meningkat dengan laju pertumbuhan 9,4% per tahun (Grafik 2). Pesatnya laju pertumbuhan industri intensif energi disebabkan oleh makin tingginya laju pertumbuhan ekonomi yang ditunjang dengan meningkatnya pembangunan dan perkembangan infrastruktur energi. Hal ini diwujudkan dengan majunya sektor penunjang ekonomi lainnya seperti sektor transportasi dan komersial, sehingga mendorong aktifitas industri logam, industri semen, dan industri intensif lainnya.
3. Energi Final Sebagai Pemenuhan Kebutuhan Energi Sektor Industri Berdasarkan hasil proyeksi energi termanfaatkan pada sektor industri, selanjutnya dalam OEI 2012 dilakukan analisis
Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2012 dengan menggunakan model perencanaan energi sehingga dihasilkan energi final untuk memenuhi kebutuhan energi termanfaatkan. Pada skenrio dasar kebutuhan energi final 2500
pada sektor industri mengalami laju pertumbuhan rata-rata sebesar 5,8% per tahun, sedangkan pada skenario MP3EI sebesar 8,5% per tahun. 2.042
2000
Biomasa Biodiesel
Juta SBM
1500
1.258
1000 500
398
398
LPG Batubara
689
526
Listrik Gas Bumi
917
805 550
1.239
BBM Total Dasar Total MP3EI
0 2010
2015
2020
2025
2030
Sumber : Diolah dari OEI 2012
Grafik 3. Proyeksi energi final untuk pada skenario Dasar dan MP3EI (2010 – 2030). Pangsa pemakaian energi final sektor industri terhadap total pemakaian energi nasional adalah 39,1% pada tahun 2010, dan pada tahun 2030 pangsanya meningkat menjadi 46,4%terhadap total total kebutuhan energi final. Secara total kebutuhan energi final pada sektor ini di tahun 2030 meningkat sebesar lebih 3 kali lipat pada skenario Dasar dan menjadi 5 kali lipat pada skenario MP3EI. Akibatnya, selisih kebutuhan energi dari kedua skenario pada sektor ini akan mencapai 803 juta SBM pada tahun 2030. Terkait dengan tingginya laju pertumbuhan PDB, maka kebutuhan energi final sektor industri pada scenario dasar meningkat dengan laju pertumbuhan 5,8% per tahun, dimana pada tahun 2010 kebutuhan finalnya mencapai 397,9 juta SBM kemudian meningkat menjadi 1.238,6 juta SBM pada tahun 2030. Sedangkan pada skenario MP3EI kebutuhan energi final sektor ini mengalami laju pertumbuhan 8,5% per tahun. Jenis energi yang digunakan terkait dengan teknologi pada setiap jenis industri. Dalam pengkajian energi final tanpa biomasa pada sektor industri, jenis energi final yang dipertimbangkan adalah BBM, gas bumi, LPG, 2
batubara, listrik, dan biofuel yang berkontribusi pada energi terbarukan. Pertimbangan pemakaian biofuel pada sektor ini adalah untuk mensubstitusi pemakaian minyak diesel yang didukung dengan adanya mandatori pemakaian biofuel pada program pemerintah. (Lihat Grafik 3). Perubahan laju pertumbuhan MP3EI menyebabkan kebutuhan final sektor industri meningkat sebesar 46,4% terhadap total kebutuhan energi final. Di tahun 2030 pada pertumbuhan PDB tinggi menyebabkan pemakaian BBM pada sektor ini meningkat dari 24% menjadi 30% dan menurunkan pangsa pemakaian gas bumi dari 25% menjadi 20%. Hal ini disebabkan pemakaian gas bumi pada sektor industri sudah terbatas, sehingga kebutuhannya pada PDB tinggi digantikan dengan teknologi berbahan bakar BBM Pada tahun 2010 pada sektor industri, pangsa terbesar adalah gas bumi kemudian diikuti oleh pemanfaatan batubara. Hal ini terjadi karena gas bumi dan batubara banyak dimanfaatkan untuk teknologi boiler dan furnace. Selain itu gas bumi juga dimanfaatkan sebagai bahan baku yaitu pada industri pupuk. Kemudian untuk scenario dasar pada tahun
Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2012 2025 pangsa gas bumi meningkat menjadi 20,4% terhadap total kebutuhan energi final sektor industri, dan bahan bakar minyak (BBM) hanya 13,5%. Akan tetapi pada tahun 2030, pangsa gas bumi menurun menjadi 16,9% digantikan dengan pemakaian bahan bakar minyak (BBM) yang meningkat menjadi 20%. Hal ini terjadi karena pasokan gas bumi terbatas dan sebagian besar sudah merupakan kontrak ekspor. Maka kebutuhan gas bumi sebagian besar digantikan oleh teknologi berbahan bakar minyak diesel yang lebih efisien. Pada tahun 2025 besarnya Bahan Bakar Nabati (BBN) yang berupa biodiesel sebagai substitusi minyak diesel adalah sebesar 43 Juta SBM. Kemudian pangsanya meningkat menjadi 4,7% atau 58,5 Juta SBM seiring dengan meningkatnya kebutuhan minyak diesel pada industri pada tahun 2030. Untuk skenario MP3EI, dengan pasokan gas bumi dalam negeri yang terbatas serta minimnya produsen gas bumi sebagai negara pengimpor menyebabkan pangsa pemakaian gas bumi pada sektor ini menurun. Gas bumi meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata yang cukup rendah yaitu 3,3% per tahun. Perkembangan minyak diesel cukup tinggi 10.8% 0.0% 7.8% 0.2%
BBM
13.5%
2010 34.8%
Batubara
32.9%
Listrik Biodiesel Biomasa
5.5%
20.0% 7.2% 17.5% 4.7%
15.5%
15.2% 0.2%
0.2%
4.8% 15.9%
21.5% 7.4% 18.6% 4.7%
15.4%
2025
20.4%
5.7%
2030
4.7%
Gas Bumi LPG
yaitu sebesar 8,7% per tahun. Hal ini mendorong meningkatnya pangsa minyak diesel pada tahun 2030 menjadi sebesar 21,5%. Pertumbuhan batubara cukup tinggi yaitu sebesar 9,4%, mengingat belum adanya pembatasan ekplorasi batubara untuk kebutuhan ekspor dan pasokan domestik. Maka pada tahun 2030 pangsa batubara terhadap total kebutuhan energi final pada sektor industri tidak berubah. Akibatnya, konsumsi energi final termasuk biomasa di sektor industri yang didominasi oleh gas bumi dan batubara pada tahun 2010, pada akhir studi yaitu tahun 2030 selain didominasi batubara dan gas bumi, peranan BBM juga cukup besar. Peranan BBN pada skenario ini tidak banyak mengalami perubahan jika dibandingkan skenario dasar. Besarnya peranan BBN dapat diwujudkan apabila harga BBN dapat bersaing dengan bahan bakar fosil , khususnya minyak diesel. Perbandingan pemakaian jenis bahan bakar pada skenario dasar dengan skenario MP3EI serta pangsa tahun 2010, 2025 dan tahun 2030 di sektor industri dapat dilihat pada Grafik 4.
0.2%
34.7% 37.2%
16.9%
12.9%
0.2% 18.2%
2030
2025 35.4% 39.0%
Skenario Dasar
Skenario MP3EI
Grafik 4. Pangsa energi final per jenis pada skenario Dasar dan MP3EI (2010, 2025 dan 2030). .
4. Kesimpulan dan Saran Sektor industri merupakan sektor penting yang berkontribusi terhadap PDB dalam perekonomian nasional. Pesatnya laju pertumbuhan industri intensif energi disebabkan oleh makin tingginya laju pertumbuhan ekonomi yang ditunjang dengan meningkatnya pembangunan dan 2
perkembangan infrastruktur energi. Besarnya bahan bakar yang dimanfaatkan pada sektor ini sangat tergantung pada jenis teknologi yang digunakan. Saat ini energi baru dan terbarukan yang dipertimbangkan sebagai bahan bakar pada sektor industri adalah bahan bakar nabati (BBN) berupa biodiesel yang mensubstitusi pemakaian minyak diesel. Diperkirakan peranan BBN
Prosiding Seminar dan Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2012
akan terus meningkat hingga 4,7% pada tahun 2030. Hal ini dapat diwujudkan apabila harga BBN dapat bersaing dengan bahan bakar fosil , khususnya minyak diesel.
[5] Untuk tulisan dari situs internet: nama penulis, tahun, judul situs, alamat URL situs.
Daftar Pustaka
[1] 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) [2] 2010, Outlook Energi Indonesia 2010, BPPT, Jakarta. [3] 2012 Outlook Energi Indonesia 2012, BPPT, Jakarta. [4] 2009, Technology Needs Assessments Kementrian Lingkungan Hidup (TNA)
3