ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH
OLEH LINA SULISTIAWATI H14053044
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
LINA SULISTIAWATI. Analisis Kesempatan Kerja dan Migrasi Penduduk di Provinsi Jawa Tengah pada Pra dan Era Otonomi Daerah (dibimbing oleh Manuntun Parulian Hutagaol).
Sistem pemerintahan yang sentralisasi sebelum otonomi daerah telah menyebabkan perekonomian di kota tumbuh lebih pesat dibandingkan desa sehingga berdampak pada kesempatan kerja yang cukup besar di kota. Hal ini tentunya sangat menarik bagi masyarakat desa untuk melakukan migrasi ke kota. Lokasi Jawa Tengah yang cukup strategis karena letaknya yang dekat dengan daerah pusat industri maju seperti Jakarta-Bogor-Depok-TanggerangBekasi (Jabodetabek) dan Surabaya, memberikan kemudahan bagi masyarakatnya untuk melakukan migrasi ke daerah tersebut. Migrasi keluar yang dilakukan oleh seseorang dengan motif ekonomi tanpa disertai dengan keterampilan dan keahlian yang dimiliki menyebabkan kemiskinan di daerah asal tetap meluas. Selain itu, migrasi yang dilakukan oleh seseorang dengan keahlian dan keterampilan khusus akan menyebabkan daerah asal migran kekurangan SDM yang berkualitas sehingga dapat menghambat pembangunan daerah. Dampak negatif dari migrasi ini harus segera diatasi dengan meningkatkan kesempatan kerja yang sesuai dengan keadaan angkatan kerja terutama dari sisi pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa Tengah. Melalui otonomi daerah, diharapkan pembangunan yang dirancang dan dilaksanakan oleh daerah dapat lebih efektif mendorong perekonomian daerah dengan menggunakan sumberdaya lokal seperti SDM di Jawa Tengah itu sendiri. Namun, seringkali otonomi daerah yang diterapkan tidak menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kadangkala pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan meningkatnya kesempatan kerja terutama pada bidang yang sebenarnya memiliki SDM yang potensial. Sehingga tujuan otonomi daerah yang sesungguhnya yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak sepenuhnya berhasil, bahkan sering kali dianggap gagal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis apakah kebijakan otonomi daerah dapat meningkatkan kesempatan kerja di Jawa Tengah. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis sejauh mana otonomi daerah dapat menurunkan migrasi keluar di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan kesempatan kerja yang ada. Penelitian ini menggunakan shift share sebagai alat analisis untuk mengidentifikasikan sumber pertumbuhan ekonomi dari tenaga kerja di Provinsi Jawa tengah dalam dua periode waktu yaitu pra dan era otonomi daerah. Kemudian, berdasarkan hasil perhitungan shift share ini akan dihasilkan bagaimana pertumbuhan kesempatan kerja di Jawa Tengah. Selain itu, berdasarkan data tingkat migrasi keluar dari Jawa Tengah didapatkan sejauh mana otonomi daerah dapat menurunkan tingkat migrasi keluar dengan kesempatan kerja yang ada tersebut. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder dalam bentuk time series berupa data jumlah penduduk yang bekerja pada sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Tengah untuk memproyeksikan kesempatan kerja. Periode data yang digunakan adalah periode pra otonomi daerah (Tahun 1996-2000), dimana periode ini menggambarkan kondisi kesempatan kerja sebelum otonomi daerah yang dipengaruhi oleh krisis ekonomi serta periode era otonomi daerah (Tahun 2001-2003 dan Tahun 20042007) yang menggambarkan kondisi awal diterapkannya otonomi daerah dan kondisi setelah pemerintah daerah beradaptasi dengan kebijakan otonomi daerah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan terjadi peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja di Jawa Tengah era otonomi daerah terutama pada tahun 2004-2007 yang menunjukkan pertumbuhan cukup tinggi (5 persen), walaupun peningkatan kesempatan kerja pada awal otonomi daerah (0,38 persen) lebih kecil dibandingkan saat pra otonomi daerah (1,60 persen). Namun, kesempatan kerja yang meningkat ini belum dapat menurunkan angka pengangguran di Jawa Tengah secara signifikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah belum cukup berperan dalam menurunkan angka pengangguran di Jawa Tengah. Berdasarkan data migrasi keluar, terlihat bahwa Jawa Tengah memiliki jumlah migran keluar terbesar dan selalu mengalami peningkatan khususnya pada data migrasi seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa otonomi daerah belum cukup berperan dalam menurunkan jumlah migran keluar dari Jawa Tengah. Meningkatnya jumlah migran keluar ini diindikasikan dari kesempatan kerja yang ada di Jawa Tengah, dengan menganggap motif migrasi non ekonomi cenderung konstan. Kesempatan kerja terbesar di Jawa Tengah adalah pada lapangan usaha pertanian. Namun pada era otonomi daerah pertumbuhan kesempatan kerjanya lambat dan daya saingnya kurang baik dalam hal kesempatan kerja. Artinya, sebagian besar angkatan kerja di Jawa Tengah lebih memilih bekerja di luar pertanian dan bermigrasi ke daerah lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kesempatan kerja yang tersedia di Jawa Tengah untuk angkatan kerja yang berpendidikan cenderung rendah, sedangkan rata-rata pencari kerja di Jawa Tengah memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi. Tujuan dari otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah bersama-sama dengan pemerintah pusat dapat bekerja sama untuk meningkatkan nilai tambah pertanian dari pada meningkatkan kesempatan kerja pada lapangan usaha ini. Hal ini dikarenakan jika kesempatan kerja di lapangan usaha ini ditingkatkan secara terus-menerus maka nilai tambah yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani tidak akan terwujud, bahkan akan menyebabkan timbulnya kemiskinan yang semakin bertambah di Jawa Tengah. Untuk mencegah hilangnya SDM potensial di Jawa Tengah akibat migrasi keluar, maka pemerintah sebaiknya di era otonomi daerah ini lebih meningkatkan pembangunan di sektor bangunan maupun industri pengolahan. Hal ini dikarenakan sektor-sektor tersebut tergolong sektor yang progresif pada masa otonomi daerah. Melalui pembangunan sektor-sektor tersebut, tenaga kerja akan mengalir dari sektor pertanian ke sektor bangunan atau industri pengolahan, serta dapat meningkatkan nilai tambah pada sektor pertanian.
ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH
Oleh LINA SULISTIAWATI H14053044
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi : ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH Nama
: Lina Sulistiawati
NIM
: H14053044
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D NIP: 19570904 198303 1 005
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP: 19641023 198903 2 002
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH” ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Lina Sulistiawati H14053044
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Maret 1987. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara pasangan (Alm) Bpk. Ramidi dan Ibu Sri Wardiyati. Pendidikan formal penulis diawali dari TK BPS&K V Jakarta pada tahun 1992-1993. Penulis melanjutkan pendidikannya di SDN Malaka Jaya 01 Pagi, kemudian dilanjutkan di SLTPN 139 Jakarta dan akhirnya dapat menyelesaikan sekolah menengah atas di SMUN 103 Jakarta. Pada Tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan program mayor minor. Selanjutnya, pada tahun 2006 penulis memperoleh mayor di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan organisasi dan kepanitian di IPB seperti sebagai bendahara divisi Life Academic by Learning and Education pada Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) tahun 2007-2008, panitia HIPOTEX-R (2007), panitia pelatihan penulisan karya tulis ilmiah di IPB (2007) serta panitia masa perkenalan fakultas di IPB (2007), panitia diesnatalis FEM IPB (2007).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Analisis Kesempatan Kerja dan Migrasi Penduduk di Provinsi Jawa Tengah pada Pra dan Era Otonomi Daerah”. Kesempatan kerja dan migrasi merupakan topik yang cukup menarik untuk diamati, terlebih jika dihubungkan dengan otonomi daerah. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di daerah Jawa Tengah. Selain itu, skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar
(Alm)
Ramidi
dan
Sri
Wardiyati,
Bapak
Nozirwan
dan
Sari
Kusumaningrum atas doa dan dukungannya baik secara moral maupun material selama proses belajar dan penyelesaian skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak M. Parulian Hutagaol, Ph.D sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam proses pembuatan skripsi sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Widyastutik, M.Si sebagai penguji utama dan Bapak Alla Asmara, M.Si sebagai penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan skripsi ini. Semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009
Lina Sulistiawati H14053044
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii I.
II.
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .......................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian ...........................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian .........................................................................
8
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .................................
8
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .................
9
2.1. Tinjauan Teori-Teori ......................................................................
9
2.1.1. Otonomi Daerah .................................................................
9
2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi ....................................................... 12 2.1.3. Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja................................. 14 2.1.4. Migrasi ............................................................................... 18 2.1.5. Analisis Shift Share ............................................................ 26 2.2. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 29 III.
METODE PENELITIAN ........................................................................ 33 3.1. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 33 3.2. Metode Analisis ............................................................................. 34 3.2.1. Analisis Kesempatan Kerja Jawa Tengah dengan Kesempatan Kerja Nasional ............................................... 34 3.2.2. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Tengah dan Kesempatan Kerja Nasional (Nilai ri, Ri, dan Ra) ................................. 37 3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah ....................... 39 3.2.4. Analisis Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian........... 42
IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH .......................... 44 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan ......................................... 44 4.2. Ketenagakerjaan ............................................................................. 47 4.3. Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Tengah............................... 50 V.
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 56 5.1. Analisis Pertumbuhan Kesempatan Kerja...................................... 56 5.1.1. Analisis Kesempatan Kerja Provinsi Jawa Tengah dan Nasional Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2000 dan 2003, 2004 dan 2008) ......................................... 56 5.1.2. Rasio Kesempatan Kerja Provinsi Jawa Tengah dan Nasional Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007) ......................................... 64 5.1.3. Komponen Pertumbuhan Wilayah Provinsi Jawa Tengah Pra dan Era Otonomi Daerah ............................................. 66 5.1.4. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Kesempatan Kerja di Provinsi Jawa Tengah Pra dan Era Otonomi Daerah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007)................................................................... 72 5.2. Analisis Migrasi di Provinsi Jawa Tengah ..................................... 81
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 92 6.1. Kesimpulan .................................................................................... 92 6.2. Saran............................................................................................... 93 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 94 LAMPIRAN ..................................................................................................... 96
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
4.1.
Kepadatan Penduduk di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1996-2007 .............................................................................. 45
4.2.
Kepadatan Penduduk Jawa Tengah Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2007 ....................................................................................... 46
4.3.
Kelompok Usia Produktif Jawa Tengah Tahun 2003 – 2007 ........... 47
4.4.
Banyaknya Pencari Kerja Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Jawa Tengah Tahun 2003-2007 ................................ 48
4.5.
Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Kegiatan Selama Seminggu yang Lalu di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1996-2007..................... 50
4.6.
PDRB dan Laju PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Provinsi Jawa Tengah Tahun 2001-2007 ........................................................ 52
4.7.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah Tahun 2000-2003 (Juta Rupiah) ....................................................... 53
4.8.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah Tahun 2004-2007 (Juta Rupiah) ....................................................... 55
5.1.
Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Pra dan Era Otonomi Daerah ...................................... 60
5.2.
Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Pra dan Era Otonomi Daerah ............................................................ 63
5.3.
Rasio Kesempatan Kerja Jawa Tengah dan Nasional (Nilai Ra, Ri, ri) ................................................................................ 66
5.4.
Analisis Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 .................... 68
5.5.
Analisis Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 .................... 70
5.6.
Analisis Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pangsa Wilayah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 .................... 72
.
5.7.
Pergeseran Bersih Kesempatan Kerja di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 .................... 74
5.8.
Migrasi Seumur Hidup Tahun 1995, 2000 dan 2005 ........................ 83
5.9.
Migrasi Lima Tahun Yang Lalu Tahun 1995, 2000 dan 2005.......... 84
5.10.
Arus Migrasi Seumur Hidup Antar Provinsi (SUPAS 2005) dengan Tempat Lahir di Jawa Tengah .............................................. 85
5.11.
Arus Migrasi Risen Antar Provinsi (SUPAS 2005) dengan Tempat Tinggal Lima Tahun yang Lalu di Jawa Tengah ................. 87
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1.
Fungsi Permintaan, Penawaran dan Pasar Tenaga Kerja .................. 16
2.2.
Model Migrasi Harris-Todaro ........................................................... 22
2.3.
Model Analisis Shift Share ............................................................... 27
2.4.
Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian ........................................ 28
2.5.
Diagram Alir Kerangka Pemikiran ................................................... 32
5.1.
Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha di Jawa Tengah Pra Otonomi Daerah (1996-2000)..................................................... 78
5.2.
Profil Pertumbuhan Kesempatan Kerja di Jawa Tengah Era Otonomi Daerah (2001-2003 dan 2004-2007) ........................... 79
5.3.
Distribusi Persentase Migran Masuk dari Daerah Pedesaan Menurut Golongan Umur .................................................................. 82
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Jawa Tengah Tahun 1996-2007 ........................................................ 96
2.
Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Indonesia Tahun 1996-2007 ............................................................. 97
3.
Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Pra dan Era Otonomi Daerah .................... 98
4.
Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Pra dan Era Otonomi Daerah ....................................... 98
5.
Contoh Perhitungan Rasio Kesempatan Kerja di Jawa Tengah dan Nasional (Nilai Ra, Ri, ri) ................................................................. 98
6.
Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ..... 99
7.
Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ................................................................................... 99
8.
Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pangsa Wilayah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 .................... 100
9.
Contoh Perhitungan Pergeseran Bersih Kesempatan Kerja di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ................................................................................... 100
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan harapan
bagi semua negara di dunia. Melalui pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dapat terus bertambah sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan masalah pengangguran. Terlebih Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terpadat keempat di dunia sehingga jumlah angkatan kerja yang ada tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Namun pada tahun 1997 dan 1998 perekonomian Indonesia mengalami guncangan akibat krisis moneter yang menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran oleh perusahaan kepada para karyawannya. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada masa pra otonomi daerah ini tentunya menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Tingkat pengangguran pada bulan Agustus 1997 dan Agustus 1998 adalah sebesar 4,7 persen dan 5,5 persen, artinya tingkat pengangguran meningkat sebesar 0,8 persen (BPS, 1998). Pada tahun 2000, pemerintah mulai memberlakukan otonomi daerah dengan harapan dapat memulihkan kondisi perekonomian pasca terjadinya krisis ekonomi. Namun baru pada Januari 2001 kebijakan ini mulai diterapkan di berbagai daerah. Ketentuan otonomi daerah diatur berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Selanjutnya, UU tersebut diamandemen menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU
No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kebijakan otonomi daerah ini ditujukan untuk menciptakan pemerataan pembangunan dan pendapatan antara desa dan kota sehingga pertumbuhan ekonomi dapat meningkat dengan cepat. Hal ini dikarenakan daerah paling mengetahui apa kebutuhan dan potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut. Pada pra otonomi daerah, Indonesia menganut sistem pemerintahan yang sentralisasi dimana semua keputusan berada di tangan pemerintah pusat. Hal ini menyebabkan keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat tidak sesuai dengan kebutuhan daerah. Sistem sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya pandangan tersebut memang terbukti benar. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang mantap di Indonesia sepanjang tahun 1970 dan 1980. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi telah menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan, rendahnya akuntabilitas, lambatnya pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, serta terjadinya perlambatan pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah (Mardiasmo, 2002). Sistem sentralisasi telah menyebabkan perekonomian di kota tumbuh lebih pesat dibandingkan desa. Perekonomian yang tumbuh pesat tersebut memberikan dampak pada kesempatan kerja yang cukup besar di kota. Hal ini tentunya sangat menarik bagi masyarakat desa untuk melakukan migrasi ke kota. Keahlian yang dimiliki oleh migran memungkinkan mereka memperoleh pendapatan dan kehidupan yang lebih layak di kota. Tentunya hal ini akan berdampak buruk bagi
desa atau daerah asal para migran karena pada umumnya mereka enggan untuk kembali ke desa. Akibatnya pembangunan desa terhambat karena kurangnya sumber daya manusia yang potensial. Provinsi Jawa Tengah merupakan Provinsi yang cukup strategis karena letaknya yang dekat dengan daerah pusat industri maju seperti Jakarta-BogorDepok-Tanggerang-Bekasi (Jabodetabek) dan Surabaya. Lokasi strategis tersebut memberikan dampak positif dan negatif yang terjadi secara bersamaan. Dampak positif yang diperoleh Jawa Tengah adalah adanya pelimpahan kemakmuran dari ketiga Provinsi tersebut. Namun secara bersamaan juga menerima dampak negatif karena mereka meninggalkan desanya dan menjadi pemasok tenaga kerja di daerah lain. Akibatnya kemiskinan tetap meluas dan sumber daya manusia yang dimiliki terdiri atas mereka yang tersisa dan kurang berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah berdasarkan standar 1998 yang mencapai 6,53 juta jiwa (20,49 persen) pada tahun 2005 dan meningkat pada tahun 2006 menjadi 7,10 juta jiwa (22,19 persen). Namun pada tahun 2007 terjadi penurunan dalam jumlah yang relatif kecil, yaitu menjadi 6,55 juta jiwa atau sekitar 20,43 persen (BPS Jawa Tengah, 2008). Faktor
pendorong
terjadinya
migrasi
antara
lain
adalah
makin
berkurangnya sumber-sumber kehidupan seperti daya dukung lingkungan, menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal, adanya tekanan-tekanan seperti politik, agama dan suku sehingga mengganggu hak asasi penduduk di daerah asal, alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan serta bencana alam. Sedangkan faktor penarik migrasi antara lain adalah harapan akan memperoleh kesempatan
untuk memperbaiki taraf hidup, kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik, keadaan lingkungan yang menyenangkan, serta terdapatnya aktivitasaktivitas di kota besar yang menarik orang untuk bermukim di kota besar (Prayitno, 2006). Secara umum, motif terbesar seseorang untuk melakukan migrasi dari desa ke kota adalah motif ekonomi untuk memperoleh kehidupan dan penghasilan yang lebih baik (Manning dan Effendi, 1985). Sistem desentralisasi pada masa otonomi daerah seperti sekarang ini memungkinkan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya secara lebih leluasa, sehingga menghasilkan program-program pembangunan yang lebih efektif
dan
efisien
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakatnya.
Pembangunan itu sendiri adalah wujud dari pelaksanaan visi dan misi dari pemerintah daerah setempat agar pembangunan lebih terarah dan terencana. Visi dari Jawa Tengah itu sendiri yaitu untuk menciptakan Jawa Tengah yang mandiri, berdaya saing, sejahtera, berkelanjutan dan menjadi pilar pembangunan nasional dilandasi oleh ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dengan memperkuat basis perekonomian daerah merupakan suatu langkah strategis. Hal ini dikarenakan otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia
(SDM). Selain itu, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan langkah strategis dalam menghadapi era globalisasi (Mardiasmo, 2002). Namun dalam perjalanannya, otonomi daerah mangalami berbagai hambatan. Hambatan tersebut antara lain adalah munculnya egoisme kedaerahan yang berlebihan, keleluasaan kewenangan pemerintah daerah lebih ditonjolkan dibandingkan kewajiban dalam pelayanan publik, masih rendahnya kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pembangunan dan pemerintahan serta adanya konflik antar daerah dalam penguasaan sumber daya alam dan aset ekonomi daerah. Selain itu, terdapat indikasi penggalian potensi ekonomi daerah secara berlebihan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan cenderung mengabaikan masalah kemiskinan dan pengangguran yang ada. Melalui otonomi daerah dan kebijakan pemerintah daerah yang tepat tanpa mengabaikan masalah kemiskinan dan pengangguran, memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi yang positif di Jawa Tengah sehingga kesempatan kerja dapat meningkat terutama pada lapangan usaha yang sesuai dengan keadaan atau latar belakang pendidikan masyarakat di Jawa Tengah. Keberhasilan otonomi daerah tersebut juga dapat mengurangi arus migrasi keluar Jawa Tengah sehingga tidak kehilangan sumber daya manusia potensial yang sangat diperlukan dalam pembangunan ekonomi daerah.
1.2.
Perumusan Masalah Lokasi Jawa Tengah yang strategis yaitu diantara daerah pusat industri
maju memudahkan masyarakatnya untuk melakukan migrasi ke daerah yang memiliki kondisi perekonomian yang lebih baik. Hal ini terlihat dari tingginya angka migrasi keluar di Jawa Tengah terutama pada migrasi seumur hidup. Berdasarkan hasil SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) tahun 1995, jumlah migran keluar seumur hidup dari Jawa Tengah mencapai 5.014.822 jiwa, sedangkan pada hasil Sensus Penduduk tahun 2000 terlihat adanya kenaikan jumlah migran keluar yang mencapai 5.354.459 jiwa dan meningkat kembali tahun 2005 menjadi 5.538.952 jiwa (BPS, 2006). Migrasi keluar yang dilakukan oleh seseorang dengan motif ekonomi tanpa disertai dengan keterampilan dan keahlian yang dimiliki menyebabkan kemiskinan di daerah asal tetap meluas. Selain itu, migrasi yang dilakukan oleh seseorang dengan keahlian dan keterampilan khusus akan menyebabkan daerah asal migran kekurangan SDM yang berkualitas sehingga dapat menghambat pembangunan daerah. Dampak negatif dari migrasi ini harus segera diatasi dengan meningkatkan kesempatan kerja yang sesuai dengan keadaan angkatan kerja terutama dari sisi pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa Tengah agar kemiskinan tidak semakin meluas dan pembangunan daerah dapat terus tumbuh dan berkembang. Melalui otonomi daerah, diharapkan pembangunan yang dirancang dan dilaksanakan oleh daerah dapat lebih efektif mendorong perekonomian daerah dengan menggunakan sumberdaya lokal seperti SDM di Jawa Tengah itu sendiri
dan dapat meningkatkan kesempatan kerja di Jawa Tengah. Hal ini didasarkan pemahaman yang lebih baik pada pemerintah daerah terhadap kondisi daerah dan masyarakatnya dibandingkan dengan pemerintah pusat. Namun, seringkali otonomi daerah yang diterapkan tidak menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kadangkala pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan meningkatnya kesempatan kerja terutama pada bidang yang sebenarnya memiliki SDM yang potensial. Sehingga tujuan otonomi daerah yang sesungguhnya yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak sepenuhnya berhasil, bahkan sering kali dianggap gagal. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Apakah kebijakan otonomi daerah dapat meningkatkan kesempatan kerja di Jawa Tengah? 2. Apakah kebijakan otonomi daerah dapat menurunkan migrasi keluar Jawa Tengah dengan kesempatan kerja yang ada tersebut? 1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis apakah kebijakan otonomi daerah dapat meningkatkan kesempatan kerja di Jawa Tengah. 2. Menganalisis sejauh mana otonomi daerah dapat menurunkan migrasi keluar di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan kesempatan kerja yang ada.
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua
kalangan, baik pemerintah, kalangan akademis maupun masyarakat. Bagi pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan bahan rujukan dalam melaksanakan kebijakan untuk meningkatkan kesempatan kerja pada lapangan usaha yang sesuai dengan potensi SDM yang dimiliki Jawa Tengah serta dapat mengurangi tingkat migrasi keluar. Bagi kalangan akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai kesempatan kerja. Sedangkan bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi mengenai kesempatan kerja dan migrasi penduduk terutama di Provinsi Jawa Tengah. 1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini berkisar pada pertumbuhan kesempatan
kerja di Provinsi Jawa Tengah dengan tahun analisis pra dan era otonomi daerah dan menggunakan analisis shift share. Penelitian mengenai kesempatan kerja dan migrasi penduduk di Jawa Tengah dianalisis berdasarkan data jumlah tenaga kerja yang bekerja menurut lapangan kerja utama di Jawa Tengah serta jumlah migrasi keluar dari Jawa Tengah. Berdasarkan hasil analisis tersebut kemudian dirumuskan kebijakan yang dapat dilakukan PEMDA Jawa Tengah untuk mengefektifkan otonomi daerah dalam meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja yang sesuai dengan potensi SDM yang dimiliki sehingga migrasi keluar dapat diminimalkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Tinjauan Teori-Teori
2.1.1. Otonomi Daerah Konsep otonomi daerah berawal dari UU No. 5 tahun 1974 yang merupakan koreksi atas prinsip otonomi yang seluas-luasnya karena dianggap dapat membahayakan keutuhan negara Republik Indonesia. Terdapat tiga esensi dasar otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab menurut UU No. 5 Tahun 1974 yaitu (1) otonomi harus menjamin kestabilan politik dan kesatuan nasional, (2) otonomi harus dapat menjaga hubungan harmonis antara pemerintah pusat dan daerah, (3) otonomi harus dapat menjamin pembangunan daerah (Salam, 2004). Pada masa itu, otonomi daerah pada tingkat II (kabupaten/kota) belum sepenuhnya terwujud. Hal ini dikarenakan adanya keengganan dari pemerintah pusat untuk mendelegasikan wewenang ke daerah. Kurangnya kewenangan di daerah menyebabkan kelemahan pada kreativitas daerah dalam mengatasi berbagai
masalah
dan
tantangan
dalam
pembangunan
daerah.
Sistem
pemerintahan yang sentralistik dipandang sebagai konsekuensi dari sistem negara kesatuan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan perubahan undangundang yang mengatur pemerintahan sentralistik menjadi pemerintahan yang terdesentralisasi. Perubahan UU tersebut kemudian dilakukan pada masa pemerintahan Habibie dan tertuang pada UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 (Rasyid dalam Haris, 2005).
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 ini memaknai otonomi daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Otonomi yang luas memiliki arti daerah berwenang dalam menyelenggarakan semua bidang pemerintahan kecuali di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lainnya yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Otonomi nyata diartikan sebagai keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan, tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab berarti perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan daerah untuk mencapai tujuan otonomi daerah (Salam, 2004). Terdapat tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu (1) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, (2) Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat serta (3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta dalam proses pembangunan (Mardiasmo, 2002). Penerapan otonomi daerah menyebabkan pemerintah pusat tidak lagi mendominasi pengambilan keputusan. Peran pemerintah pusat pada masa otonomi daerah antara lain adalah sebagai pemantau, pengawas serta pengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah.
Ketika otonomi daerah baru berjalan seumur jagung, pemerintah mengambil suatu kebijakan untuk mengganti UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Perbedaan makna UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 1999 adalah pada kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dari otonomi seluas-luasnya menjadi otonomi terkontrol karena didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara singkat, isi UU Otonomi dimaksudkan sebagai berikut: a). Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah. b). Peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanan publik dengan pembenahan organisasi dan institusi yang ada agar sesuai dengan lingkup kewenangannya dan sesuai dengan kondisi daerah, serta lebih responsive terhadap kebutuhan rakyatnya. c). Peningkatan penataan layanan administrasi keungan daerah, pengaturan secara jelas dan transparan atas sumber-sumber pendapatan pusat dan daerah, pengaturan pembagian pendapatan dari sumber penerimaan yang berkaitan dengan kekayaan seperti pendapatan dari kekayaan alam, pajak dan retribusi untuk keperluan pembangunan. d). Desentralisasi fiskal melalui alokasi subsidi dari pemerintah pusat, pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada
daerah
untuk
menetapkan
prioritas
pembangunan
daerahnya,
serta
mengoptimalkan SDM melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang tersedia. e). Pembinaan dan pemberdayaan terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan
nilai-nilai
daerah,
sehingga
terpelihara
secara
harmonis
serta
mengedepankan solidaritas sosial daerahnya (Damanik, 2009). Pemantapan
kemandirian
pemerintah
daerah
yang
dinamis
dan
bertanggung jawab, serta mewujudkan pemberdayaan dan otonomi daerah memerlukan
upaya-upaya
untuk
meningkatkan
efisiensi,
efektivitas,
profesionalisme sumber daya manusia dan lembaga-lembaga publik di daerah dalam mengelola sumber daya daerah. Upaya tersebut harus dilaksanakan mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga otonomi yang diberikan kepada daerah akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah dapat berjalan efektif jika disertai dengan adanya kesiapan dan kemampuan dari daerah itu sendiri dalam menghadapi otonomi daerah. Hal ini dikarenakan pada masa otonomi daerah ini, pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur keuangannya baik dalam hal pemasukan maupun pengeluaran. 2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator utama dalam mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi daerah. Indikator pertumbuhan ekonomi yang umumnya digunakan adalah berdasarkan pada data Produk Domestik regional Bruto (PDRB) riil yang terdapat pada masing-masing daerah.
Sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dapat diidentifikasi berdasarkan pada sisi penawaran dan permintaan. Berdasarkan sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi dapat terlihat dari adanya kenaikan PDRB sektoral, sedangkan dari sisi permintaan dapat diketahui dari pertumbuhan konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) maupun dari selisih bersih ekspor terhadap impor (NX). Pengetahuan akan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di suatu daerah ini sangat bermanfaat dalam pengambilan keputusan atau penyusunan kebijakan pemerintah daerah, sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi sesuai dengan yang diharapkan. Todaro dan Smith (2003) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi antara lain adalah: (1) Akumulasi modal yang mencangkup semua jenis investasi baru. Akumulasi modal ini dapat terjadi apabila pendapatan yang diterima ditabung dan diinvestasikan untuk meningkatkan jumlah output dan pendapatan yang akan diterima di kemudian hari; (2) Pertumbuhan penduduk yang akan meningkatkan jumlah angkatan kerja. Berdasarkan pemikiran tradisional, pertumbuhan penduduk yang semakin besar dapat meningkatkan jumlah tenaga kerja dan dapat memperbesar pasar domestiknya. Hal tersebut dapat terjadi jika penawaran jumlah tenaga kerja dapat diserap seluruhnya dalam pasar tenaga kerja sehingga tersedianya kesempatan kerja sesuai dengan pertumbuhan jumlah angkatan kerja di daerah tersebut; dan
(3) Kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dapat terjadi jika ditemukannya cara baru atau perbaikan cara lama dalam malakukan pekerjaan-pekerjaan secara tradisional sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Kemajuan teknologi yang tepat guna yaitu teknologi yang murah, efisien dan padat karya bagi negara berkembang seperti Indonesia sangat diperlukan dalam pembangunan jangka panjang. Hal ini dikarenakan teknologi tersebut dapat meningkatkan kesempatan kerja bagi angkatan kerja yang sangat melimpah di negara ini. 2.1.3. Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja Tenaga kerja adalah orang yang bekerja dan berumur dalam batas usia kerja. Berdasarkan definisi dari Bank Dunia batas usia kerja yaitu umur 15 hingga 64 tahun. Sedangkan tenaga kerja sendiri dibagi menjadi dua golongan yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja, sedang bekerja dan sedang mencari kerja. Sedangkan yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja tetapi tidak bekerja dan tidak sedang mencari kerja. Angkatan kerja terdiri dari dua golongan yaitu pekerja dan pengangguran. Pekerja adalah orang yang sedang bekerja atau orang yang memiliki pekerjaan namun tidak sedang bekerja untuk sementara waktu. Sedangkan definisi pengangguran di Indonesia adalah orang-orang yang belum pernah bekerja sebelumnya dan sedang mencari pekerjaan, orang-orang yang tidak bekerja pada waktu sensus, serta orang-orang yang baru berhenti bekerja dan sedang mencari pekerjaan (Manning dan Effendi, 1985).
Kesempatan kerja terkait dengan adanya pasar tenaga kerja, dimana terjadi keseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Permintaan dan penawaran tenaga kerja secara bersama-sama akan menentukan jumlah pekerja yang dipekerjakan dan tingkat upah yang akan diterima oleh pekerja. Permintaan tenaga kerja merupakan hubungan antara tingkat upah dan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. Kurva permintaan tenaga kerja menggambarkan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk dipekerjakan pada suatu tingkat upah tertentu. Pada jangka pendek, perusahaan tidak dapat menambah jumlah modal kecuali menambah jumlah tenaga kerja, sehingga permintaan tenaga kerja akan meningkat. Penawaran tenaga kerja merupakan hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja yang disediakan. Kurva penawaran tenaga kerja menggambarkan jumlah maksimum tenaga kerja yang tersedia dengan kemungkinan tingkat upah tertentu. Jumlah tenaga kerja yang tersedia dapat diketahui berdasarkan jumlah penduduk di suatu daerah, persentase jumlah angkatan kerja serta jumlah jam kerja yang ditawarkan oleh angkatan kerja. Migrasi yang terjadi dari suatu wilayah ke wilayah lainnya karena faktorfaktor tertentu, baik faktor pendorong dari daerah asal maupun faktor penarik dari daerah tujuan menyebabkan terjadinya perubahan dalam penawaran tenaga kerja. Selama permintaan tenaga kerja tumbuh lebih besar daripada penawaran tenaga kerja, maka kesempatan kerja akan terbuka bagi para migran tersebut dan akan menyebabkan upah naik. Namun jika terjadi sebaliknya, akan menyebabkan gangguan pada pasar tenaga kerja yaitu menimbulkan pengangguran.
W (Upah)
W (upah)
W (upah)
SL
VMPPL = DL = MPPL x L
SL E W* DL
L
L
L L*
Tenaga kerja Kurva Permintaan TK
Tenaga kerja
Tenaga kerja Kurva Penawaran TK
Pasar TK
Sumber: Bellante dan Jackson, 1990.
Gambar 2.1. Fungsi Permintaan, Penawaran dan Pasar Tenaga Kerja Pada Gambar di atas, fungsi permintaan tenaga kerja (DL) sama dengan nilai Value Marginal Physical Product Labour (VMPPL) yang merupakan besarnya nilai hasil marginal tenaga kerja. VMPPL diperoleh dengan mengalikan MPPL (Marginal Physical Product) yang merupakan tambahan hasil marginal dengan P (harga barang produksi per unit). Keseimbangan pasar tenaga kerja ditunjukkan dengan titik E pada fungsi pasar tenaga kerja yang merupakan perpotongan antara kurva penawaran tenaga kerja (SL) dengan kurva permintaan tenaga kerja (DL). Berdasarkan titik keseimbangan tersebut diperoleh tingkat upah (W*) dan jumlah tenaga kerja (L*) keseimbangan. Gunawati (2005) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pasar tenaga kerja di Jawa Tengah. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi keadaan penduduk, ekonomi serta pasar tenaga kerja di Jawa Tengah dan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pasar tenaga kerja di Jawa Tengah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja secara signifikan sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk (dari sisi supply), sedangkan dari sisi demand variabel yang mempengaruhi adalah PDRB
dan upah riil. Untuk upah riil, tingkat inflasi dan upah riil tahun sebelumnya memberikan pengaruh terhadap perubahan upah riil. Pada penelitian ini digunakan model persamaan simultan dengan empat persamaan termasuk satu persamaan identitas yaitu persamaan demand tenaga kerja, supply tenaga kerja, upah riil dan pengangguran, dengan persamaan pengangguran sebagai persamaan identitas. Lestari (2006) dalam penelitiannya mengenai pertumbuhan kesempatan kerja pra dan pasca otonomi daerah di DKI Jakarta menyimpulkan bahwa kebijakan otonomi daerah belum menunjukkan hasil yang signifikan dan setelah dianalisis, ternyata terjadi pertumbuhan kesempatan kerja di DKI Jakarta dengan jumlah yang tidak terlalu besar. Penelitian ini dihubungkan dengan teori perkembangan ekonomi Rostow. Hasil yang diperoleh adalah perekonomian DKI Jakarta berada diantara fase lepas landas dan fase masyarakat menuju kematangan. Adriani (2000) dalam penelitiannya tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis ekonomi menyimpulkan bahwa kesempatan kerja lebih responsif terhadap perubahan pendapatan nasional sektoral, program padat karya pedesaaan, dan pembangunan prasarana desa tertinggal di pedesaan daripada terhadap upah. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa angkatan kerja di pedesaan lebih responsif terhadap migrasi desa-kota dibandingkan angkatan kerja perkotaan. Model analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah model persamaan simultan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulunya adalah pada analisis kesempatan kerja menggunakan analisis shift share yang
dihubungkan dengan migrasi keluar di Jawa Tengah. Pada penelitian ini akan terlihat apakah otonomi daerah dapat meningkatkan kesempatan kerja di Jawa Tengah serta dapat melihat apakah otonomi daerah dapat menurunkan migrasi keluar Jawa Tengah dengan kesempatan kerja yang ada tersebut. 2.1.4. Migrasi Definisi migrasi menurut Prayitno (2006) adalah perpindahan penduduk yang relatif permanen dari suatu daerah atau negara ke daerah atau negara lain. Analisis dan perkiraan besaran dan arus perpindahan penduduk (migrasi atau mobilitas) merupakan hal yang penting bagi terlaksananya pembangunan manusia seutuhnya, terutama di era otonomi daerah. Migrasi penduduk dapat disebabkan oleh adanya perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara satu daerah dengan daerah lain. Penduduk dari daerah yang tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah akan berpindah menuju daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Jenis migrasi dibedakan menjadi dua yaitu (1) menurut dimensi ruang dan (2) menurut dimensi waktu. Migrasi yang didasarkan pada dimensi ruang terdiri dari (1) migrasi internasional (perpindahan penduduk antar negara) dan (2) migrasi internal (perpindahan penduduk dalam satu negara, seperti antarprovinsi, antarkota/kabupaten, migrasi dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan atau satuan administratif lainnya yang lebih rendah daripada tingkat kabupaten/kota, seperti kecamatan dan kelurahan/desa). Sedangkan untuk migrasi yang didasarkan pada dimensi waktu terdiri dari (1) migran sirkuler (migrasi
musiman) adalah orang yang berpindah tempat tetapi tidak bermaksud menetap di tempat tujuan. (2) migran ulang-alik (commuter) adalah orang yang pergi meninggalkan tempat tinggalnya secara teratur, (misal setiap hari atau setiap minggu untuk bekerja, berdagang, sekolah, atau untuk kegiatan-kegiatan lainnya, dan pulang ke tempat asalnya secara teratur pula. Terdapat tiga kriteria migran yang biasa digunakan dalam pengumpulan data yaitu (1) migran seumur hidup (life time migrant) adalah orang yang tempat tinggalnya pada saat pengumpulan data berbeda dengan tempat tinggalnya pada waktu lahir. (2) migran risen (recent migrant) adalah orang tempat tinggalnya pada saat pengumpulan data berbeda dengan tempat tinggalnya pada waktu lima tahun sebelumnya. (3) migran total (total migrant) adalah orang yang pernah bertempat tinggal di tempat yang berbeda dengan tempat tinggal pada waktu pengumpulan data. Beberapa teori yang menganalisis fenomena migrasi antara lain adalah teori ekonomi neoklasik (neoclassical economics) yang lebih menitikberatkan pada perbedaan upah dan kondisi kerja antardaerah atau antarnegara, serta biaya dalam keputusan seseorang untuk melakukan migrasi. Aliran ini berpendapat bahwa perpindahan penduduk merupakan keputusan pribadi yang didasarkan atas keinginan untuk mendapatkan kesejahteraan yang maksimum. Sedangkan aliran ekonomi baru migrasi (new economics of migration) beranggapan bahwa perpindahan penduduk terjadi bukan saja berkaitan dengan pasar kerja, namun juga karena adanya faktor-faktor lain. Faktor-faktor tersebut terkait dengan lingkungan sekitar termasuk juga kondisi politik, agama, dan bencana alam.
Berdasarkan kedua teori tersebut, migrasi disebabkan oleh faktor pendorong (push factor) suatu wilayah dan faktor penarik (pull factor) wilayah lainnya. Faktor pendorong suatu wilayah menyebabkan orang pindah ke tempat lain, misalnya karena di daerah itu tidak tersedia sumber daya yang memadai. Selain itu juga terkait dengan persoalan kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di suatu wilayah. Sedangkan faktor penarik suatu wilayah adalah jika wilayah tersebut mampu menyediakan fasilitas dan sumber-sumber penghidupan bagi penduduk, baik penduduk di wilayah itu sendiri maupun penduduk di sekitarnya dan daerah-daerah lain. Penduduk wilayah sekitarnya dan daerahdaerah lain tertarik dengan daerah tersebut kemudian berpindah untuk meningkatkan taraf hidup (Prayitno, 2006). Teori Lewis-Fei-Ranis mengenai migrasi dan pembangunan ekonomi menyatakan bahwa perpindahan tenaga kerja di sektor tradisional (pertanian) ke sektor modern (industri) disebabkan oleh permintaan yang cukup banyak terhadap tenaga kerja di sektor modern tersebut dengan asumsi sektor pertanian surplus tenaga kerja. Sedangkan jumlah perpindahan tenaga kerja dan pertumbuhan lapangan kerja berkaitan erat dengan perluasan industri di perkotaan. Asumsi yang menyatakan sektor pertanian surplus tenaga kerja menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja, sedangkan produktivitas tenaga kerja di sektor industri tinggi. Hal ini memotivasi tenaga kerja sektor tradisional untuk migrasi ke kota. Beberapa kritik pada asumsi teori Lewis-Fei-Ranis disampaikan oleh Todaro yang antara lain (1) Asumsi perpindahan tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja di sektor perkotaan sebanding dengan tingkat penanaman modal di
sektor perkotaan pada teori Lewis kurang tepat karena bila dari kelebihan keuntungan diinvestasikan kembali dalam bentuk peralatan modal, maka kemungkinan upah nyata dalam bentuk uang dan lapangan kerja tidak berubah sama sekali; (2) Adanya kenyataan bahwa kelebihan tenaga kerja di sektor modern perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan sektor tradisional pedesaan serta (3) Adanya kecenderungan kenaikan upah di sektor perkotaan akan terus berlangsung. Model migrasi Todaro menyatakan bahwa migrasi dari desa ke kota pada dasarnya merupakan suatu fenomena ekonomi. Model ini berlandaskan pada pemikiran bahwa arus migrasi akan terus berlangsung sampai adanya perbedaan pendapatan (penghasilan yang diharapkan) antara desa dan kota. Para migran selalu membandingkan dan mempertimbangkan bermacam-macam pasar tenaga kerja yang tersedia bagi mereka baik di pedesaan maupun di perkotaan, kemudian mereka memilih yang dapat memaksimumkan keuntungan yang diharapkan. Pada dasarnya model Todaro ini beranggapan bahwa semua angkatan kerja akan selalu membandingkan penghasilan yang diharapkan di kota (selisih antara penghasilan dan biaya migrasi) dengan rata-rata tingkat penghasilan yang dapat diperoleh di desa. Keputusan para migran untuk migrasi dilakukan jika penghasilan bersih di kota melebihi penghasilan bersih di desa. Model migrasi lainnya adalah model migrasi Harris-Todaro yang menjelaskan adanya hubungan paradoks antara lonjakan migrasi dari desa ke kota yang semakin cepat dengan adanya peningkatan jumlah pengangguran di daerah perkotaan. Model Harris-Todaro ini merupakan model migrasi yang mirip dengan
model migrasi Todaro, dimana pada model ini menyatakan bahwa pencapaian titik keseimbangan pengangguran akan tercapai jika tingkat pendapatan yang diharapkan di kota sama dengan tingkat pendapatan aktual di desa. Kondisi keseimbangan tersebut akan menghentikan arus migrasi. Hal ini berbeda dengan yang dikatakan oleh model pasar bebas neoklasik tradisional yaitu migrasi dapat dihentikan jika terdapat keseimbangan tingkat upah di desa dan di kota. Tingkat Upah di Sektor Pertanian
Tingkat Upah di Sektor Industri
A
M
q’
WM Z WA q
E
WA*
W *M
WA**
A’
M’ OA
LA
LA* LM*
LM
OM
LUS
Sumber: Todaro dan Smith, 2003.
Gambar 2.2. Model Migrasi Harris-Todaro Pada Gambar 2.2 diasumsikan bahwa dalam suatu perekonomian hanya ada dua sektor ekonomi yaitu sektor pertanian di pedesaan dan sektor industri di perkotaan. Tingkat permintaan tenaga kerja (kurva produk marginal tenaga kerja) pada sektor pertanian dilambangkan dengan garis melengkung ke bawah (AA’). Sedangkan untuk tingkat permintaan tenaga kerja (kurva produk marginal tenaga
kerja) pada sektor industri dilambangkan dengan garis lengkung MM’. Total angkatan kerja yang tersedia dilambangkan oleh OAOM. Pada pasar neoklasik dimana upah ditentukan oleh mekanisme pasar dan seluruh tenaga kerja dapat terserap, upah keseimbangan akan terjadi bila W*A=W*M dengan tenaga kerja untuk sektor pertanian sebanyak OAL*A dan untuk sektor industri sebanyak OML*M. Kondisi yang terjadi pada pasar neoklasik tersebut akan sangat berbeda dengan kondisi yang terjadi pada model Todaro. Asumsi yang digunakan pada model Todaro adalah tingkat upah tidak ditentukan berdasarkan mekanisme pasar melainkan ditentukan oleh pemerintah ( W M ) yang terletak diatas W * M . Jika diasumsikan tidak terjadi pengangguran, maka tenaga kerja sebanyak OMLM akan bekerja pada sektor industri di perkotaan sedangkan sisanya (OALM) akan bekerja pada sektor pertanian di pedesaan dengan tingkat upah sebesar OAW**A yang lebih kecil dari tingkat upah pasar (OAW*A). Hal ini menimbulkan terjadinya selisih antara tingkat upah di desa dan di kota yaitu sebanyak W M -W**A. Jika semua pekerja bebas untuk melakukan migrasi, walaupun di desa tersedia lapangan kerja sebanyak OALM, mereka akan tetap pergi ke kota untuk memperoleh tingkat upah yang lebih tinggi. Selisih antara tingkat upah di desa dan kota kemudian mendorong terjadinya arus migrasi dari desa ke kota. Titik-titik peluang tersebut digambarkan oleh garis qq’ dan titik ekuilibrium yang baru adalah Z. Sedangkan titik selisih antara pendapatan aktual di desa dan kota adalah W M -WA. Jumlah tenaga kerja yang masih ada pada sektor pertanian adalah OALA, dan tenaga kerja di sektor industri sebanyak OMLM dengan tingkat upah sebesar W M . Sedangkan sisanya
yakni LUS (OMLA-OMLM) akan menganggur atau memasuki sektor informal yang berpendapatan rendah. Hal ini menjelaskan terjadinya pengangguran di kota dan semakin bertambahnya arus migrasi dari desa ke kota. Namun, dalam model ini masih terdapat kelemahan yaitu adanya penyamarataan selera, tingkat pendidikan, keterampilan serta penalaran dari semua angkatan kerja yang tentu saja sangat tidak realistis. Terdapat empat pemikiran dasar pada model migrasi Todaro, antara lain adalah: (1)
Migrasi desa-kota didorong karena adanya pertimbangan ekonomi yang rasional dan berkaitan langsung dengan keuntungan dan biaya-biaya relatif dari migrasi;
(2)
Keputusan untuk melakukan migrasi didasarkan pada selisih antara tingkat pendapatan yang diharapkan di kota dengan tingkat pendapatan aktual di desa;
(3)
Kemungkinan memperoleh pendapatan di perkotaan berkaitan dengan tingkat lapangan pekerjaan diperkotaan;
(4)
Migrasi desa-kota dapat berlangsung terus menerus dan dalam jumlah yang besar walaupun melebihi laju pertumbuhan kesempatan kerja. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan ekspektasi pendapatan yang sangat besar, dimana para migran berupaya untuk memperoleh upah lebih tinggi yang nyata. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran karena adanya ketidakseimbangan kesempatan ekonomi atau kesempatan kerja yang sangat parah antara desa dan kota.
Teori lain yang dapat digunakan untuk menganalisis faktor pendorong seseorang untuk melakukan migrasi yaitu teori modal manusia (human capital). Teori ini terkait dengan pendidikan, kesehatan dan kapasitas manusia lainnya yang dapat meningkatkan produktivitas (keahlian, pengetahuan dan pengalaman) jika terjadi peningkatan pada hal-hal tersebut. Pada teori ini menyatakan bahwa setelah investasi awal dilakukan, maka akan dihasilkan tingkat pengembalian (aliran penghasilan) pada masa yang akan datang. Tingkat pengembalian (rate of return) dapat diperoleh dan dibandingkan dengan pengembalian dari investasi lain, yaitu dengan cara memperkirakan nilai diskonto sekarang dari aliran pendapatan yang meningkat yang mungkin dihasilkan dari investasi-investasi tersebut dan membandingkannya dengan biaya langsung dan biaya tidak langsung (Todaro dan Smith, 2003). Berdasarkan teori human capital ini, maka seseorang akan memutuskan migrasi ke tempat lain untuk memperoleh penghasilan yang lebih besar di daerah tujuan, dan asumsi ini dianalogikan sebagai tindakan melakukan investasi sumber daya manusia. Hal ini dikarenakan jika seseorang telah memutuskan untuk berpindah ke tempat lain, berarti ia telah mengorbankan sejumlah pendapatan yang seharusnya ia terima di tempat asalnya, dan akan menjadi biaya tidak langsung untuk meraih sejumlah pendapatan yang lebih besar di tempat tujuan migrasi. Disamping itu, individu tersebut juga mengeluarkan biaya langsung dalam bentuk biaya migrasi. Seluruh biaya tersebut (biaya langsung dan tidak langsung) dianggap sebagai investasi dari seorang migran. Imbalannya adalah, adanya arus pendapatan yang lebih besar di tempat tujuan. Jika present value dari
peningkatan pendapatan yang diharapkan melebihi biaya yang diinvestasikan, maka seseorang akan memilih untuk migrasi. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, maka orang tersebut akan menyimpulkan bahwa tidak ada manfaatnya untuk melakukan migrasi, meskipun pendapatan potensial pada daerah tujuan lebih tinggi daripada pendapatan di daerah mereka tinggal saat ini. Desiar (2003) dalam penelitiannya mengenai dampak migrasi terhadap pengangguran dan sektor informal di DKI Jakarta menyatakan adanya keterkaitan antara migrasi, pengangguran dan sektor informal. Keterkaitan antara ketiganya adalah migrasi masuk dapat mempengaruhi pengangguran dan kesempatan kerja sektor formal maupun informal. Migran masuk yang tergolong sebagai angkatan kerja dapat meningkatkan pengangguran dan meningkatkan sektor informal. Selain itu, tingkat pengangguran sendiri dipengaruhi oleh angkatan kerja migran dan bukan migran. Pengangguran di daerah tujuan migran inilah yang akhirnya menimbulkan kemiskinan yang semakin meluas di daerah asal migran. 2.1.5. Analisis Shift Share Analisis Shift Share digunakan untuk mengetahui perkembangan daerah dalam hal pertumbuhan ekonomi dari sisi pendapatan maupun tenaga kerja. Sebelum melakukan analisis shift share, langkah utama yang harus dilakukan antara lain adalah: (1) Menentukan wilayah yang akan dianalisis, (2) Menentukan indikator ekonomi dan periode anaslisis, (3) Menentukan sektor ekonomi yang akan dianalisis, (4) Menghitung perubahan indikator kegiatan ekonomi,
(5) Menghitung rasio indikator kegiatan ekonomi, (6) Menghitung komponen pertumbuhan wilayah. Keunggulan dari analisis ini adalah dalam hal kemampuannya untuk mengetahui atau melihat perkembangan produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu di suatu wilayah. Setelah itu, dapat dibandingkan secara relatif perkembangan suatu sektor perekonomian di suatu wilayah dengan sektor-sektor perekonomian lainnya. Pada analisis ini dapat diketahui pula perubahan tenaga kerja atau produksi di suatu wilayah antara tahun dasar dan tahun akhir analisis melalui tiga komponen pertumbuhan yaitu komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). Sedangkan apabila persentase dari PP dan PPW dijumlahkan, dapat diperoleh pergeseran hasil pembangunan perekonomian daerah tersebut. Apabila PP + PPW
0, menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah
ke j merupakan kelompok progresif (maju). Sedangkan jika PP + PPW < 0, menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor ke i pada wilayah ke j merupakan pertumbuhan yang lambat.
Komponen Pertumbuhan Nasional
Wilayah ke j (Sektor ke i)
Maju PP + PPW
0
Wilayah ke j (Sektor ke i)
Komponen Pertumbuhan Proporsional
Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah
Lambat PP + PPW < 0
Sumber : Budiharsono, 2001.
Gambar 2.3. Model Analisis Shift Share
Evaluasi profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dengan analisis Shift Share dapat dilakukan dengan 4 pendekatan kuadran. Pada kuadran I, Komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) bernilai positif. Itu berarti sektor di wilayah tersebut memiliki pertumbuhan yang cepat dan daya saing yang lebih baik dibanding wilayah lain. Kuadran II menunjukkan PP bernilai positif dan PPW bernilai negatif. Itu menandakkan bahwa sektor tersebut pertumbuhannya cepat namun daya saingnya kurang baik. Kuadran III menunjukkan PP dan PPW bernilai negatif, artinya sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang lambat dan daya saing yang kurang baik. Sedangkan pada kuadran IV menunjukkan sektor tersebut memiliki PP negatif dan PPW positif. Artinya sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang lambat namun daya saingnya baik.
PPW
Kuadran IV
Kuadran I
PP Kuadran III
Kuadran II
Sumber: Budiharsono, 2001.
Gambar 2.4. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian
Pada Gambar 2.4 diatas, terlihat adanya garis yang memotong kuadran II dan kuadran IV dan membentuk sudut 45°. Garis tersebut menunjukkan nilai pergeseran bersih (PB) dan di sepanjang garis tersebut, nilai PB=0. Jika PB diatas
garis 45° (PB>0) maka sektor-sektor tersebut pertumbuhannya maju. Sedangkan jika PB<0 maka sektor-sektor tersebut pertumbuhannya lambat. Analisis shift share memiliki berbagai kelemahan, antara lain adalah: 1. Persamaan yang dihasilkan dalam analisis hanya merupakan identity equation dan tidak memiliki implikasi perilaku. Metode ini hanya mencerminkan suatu sistem perhitungan dan tidak dianalitik. 2. Pada komponen pertumbuhan nasional (PN) laju pertumbuhan suatu wilayah hanya disebabkan oleh kebijakan nasional tanpa memperhatikan sebab laju pertumbuhan dari wilayah tersebut. 3. Komponen pertumbuhan wilayah (PP dan PPW) mengasumsikan perubahan permintaan dan penawaran. Sedangkan teknologi dan lokasi diasumsikan tidak berpengaruh pada pertumbuhan wilayah. 4. Asumsi pada metode ini adalah barang dijual secara nasional. Padahal tidak semua barang dijual secara nasional. 2.2.
Kerangka Pemikiran Pertumbuhan ekonomi yang positif dan berkelanjutan merupakan harapan
bagi semua negara khususnya negara yang sedang berkembang seperti Indonesia serta merupakan salah satu tujuan utama dari suatu pembangunan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi baik dari sisi penawaran maupun dari sisi permintaan perlu didorong untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang positif tersebut. Kenaikan PDRB sektoral di Jawa Tengah dapat memberikan gambaran mengenai pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Sedangkan dari
sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari adanya peningkatan konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan ekspor bersih (NX). Pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kesempatan kerja. Pada penelitian ini wilayah yang akan di bahas adalah Provinsi Jawa Tengah. Jika pertumbuhan ekonomi suatu daerah meningkat dan diikuti dengan meningkatnya permintaan akan barang konsumsi, maka diperlukan output yang lebih banyak untuk memenuhi permintaan tersebut. Dalam jangka pendek perusahaan akan memilih untuk meningkatkan jumlah tenaga kerja dibandingkan menambah modal. Hal ini akan berakibat pada meningkatnya kesempatan kerja yang selanjutnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Pada jangka panjang, meningkatnya upah akan meningkatkan konsumsi masyarakat dan investasi sehingga pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Sedangkan jika pertumbuhan yang meningkat akibat dari kenaikan PDRB sektoral, dimana output yang meningkat akan menyebabkan meningkatnya jumlah tenaga kerja yang diperlukan pada masing-masing sektor perekonomian sehingga kesempatan kerja juga meningkat. Kesempatan kerja sendiri terbentuk dari keseimbangan permintaan dan penawaran tenaga kerja. Jika penawaran lebih besar dari permintaan tenaga kerja maka dapat menyebabkan pengangguran di daerah tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang kemudian meningkatkan kesempatan kerja tentunya dapat mendorong tingkat migrasi dari daerah yang pertumbuhan ekonominya rendah ke daerah yang pertumbuhan ekonominya lebih tinggi. Hal ini dikarenakan salah satu faktor pendorong suatu wilayah menyebabkan orang
pindah ke tempat lain terkait dengan persoalan kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di suatu wilayah. Sedangkan faktor penarik suatu wilayah adalah jika wilayah tersebut mampu menyediakan fasilitas dan sumber-sumber penghidupan bagi penduduk, baik penduduk di wilayah itu sendiri maupun penduduk di sekitarnya dan daerah-daerah lain. Penduduk wilayah sekitarnya dan daerahdaerah lain tertarik dengan daerah tersebut kemudian berpindah untuk meningkatkan taraf hidup (Prayitno, 2006). Kebijakan otonomi daerah dengan sistem pemerintahan desentralisasi diharapkan dapat mendorong ekonomi daerah sehingga dapat meningkatkan kesempatan kerja dan menurunkan tingkat migrasi keluar Jawa Tengah dengan kesempatan kerja yang ada. Oleh karena itu, untuk mengetahui keberhasilan otonomi daerah di Jawa Tengah dalam meningkatkan kesempatan kerja dilakukan perbandingan bagaimana kesempatan kerja pada masa pra otonomi daerah (tahun 1996-2000) dengan era otonomi daerah (tahun 2001-2003 dan tahun 2004-2007). Melalui analisis shift share pada data penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha di Jawa Tengah, akan dihasilkan laju pertumbuhan kesempatan kerja pada masa pra dan era otonomi daerah. Analisis shift share ini juga menghasilkan tingkat pertumbuhan serta daya saing masing-masing lapangan usaha di Jawa Tengah dalam hal kesempatan kerja dan menunjukkan profil pertumbuhan kesempatan kerja pada masing-masing lapangan usaha. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang tepat dalam meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja di Jawa Tengah,
sehingga migrasi keluar yang cenderung menyebabkan hilangnya SDM yang potensial dan berkualitas dapat diminimalkan.
Pertumbuhan Ekonomi
Sisi Penawaran
Sisi Permintaan
Kenaikan PDRB Sektoral
Kenaikan C, I, G, NX
Kebijakan Otonomi Daerah
Kesempatan Kerja di Jawa Tengah (Laju Pertumbuhan Kesempatan Kerja, Pertumbuhan dan Daya Saing, serta Profil Pertumbuhan kesempatan kerja dengan Analisis Shift Share)
Tingkat Migrasi Keluar di Jawa Tengah (Migrasi Internal)
Rekomendasi Kebijakan Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Kesempatan Kerja di Jawa Tengah
Gambar 2.5. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Keterangan : = Alur Penelitian = Lingkup yang diteliti
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam
bentuk time series berupa data jumlah penduduk yang bekerja pada sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Tengah untuk memproyeksikan kesempatan kerja. Periode data yang digunakan terdiri dari periode pra otonomi daerah (Tahun 1996-2000), dimana periode ini menggambarkan kondisi kesempatan kerja sebelum otonomi daerah yang dipengaruhi oleh krisis ekonomi serta periode era otonomi daerah (Tahun 2001-2003 dan Tahun 2004-2007) yang menggambarkan kondisi awal diterapkannya otonomi daerah dan kondisi setelah pemerintah daerah beradaptasi dengan kebijakan otonomi daerah. Tahun 1996 merupakan tahun dasar analisis, sedangkan tahun 2000 dijadikan sebagai tahun akhir analisis pada periode pra otonomi daerah. Pada periode era otonomi daerah, tahun dasar yang digunakan adalah tahun 2001 dan tahun 2004 sedangkan tahun akhir analisisnya adalah tahun 2003 dan tahun 2007. Data yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), seperti Sensus Penduduk dan SUPAS serta data dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Sedangkan untuk referensi digunakan skripsi, tesis serta literatur yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.2.
Metode Analisis Penelitian ini menggunakan shift share sebagai alat analisis untuk
mengidentifikasikan sumber pertumbuhan ekonomi dari tenaga kerja di Provinsi Jawa tengah dalam dua periode waktu yaitu pra dan era otonomi daerah. Sedangkan pada pengolahan data kesempatan kerja setiap sektor perekonomian di Jawa Tengah menggunakan software microsoft excel. Analisis shift share dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan sektor perekonomian suatu wilayah terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas, mengidentifikasikan perkembangan sektor-sektor perekonomian dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya secara relatif, serta dapat mengetahui perkembangan suatu wilayah dibandingkan wilayah lainnya. Selain itu, dengan analisis shift share dapat dibandingkan laju sektor perekonomian suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional. Tahapan analisis shift share antara lain adalah (1) menghitung perubahan indikator kegiatan ekonomi (kesempatan kerja), (2) menghitung rasio indikator kegiatan ekonomi (kesempatan kerja), (3) menghitung komponen pertumbuhan wilayah, (4) mengevaluasi profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian. 3.2.1. Analisis Kesempatan Kerja Jawa Tengah dengan Kesempatan Kerja Nasional Analisis kesempatan kerja pada tahap ini dilakukan dengan menghitung perubahan kesempatan kerja. Jika suatu Provinsi/daerah/wilayah suatu negara sebanyak m (j = 1,2,3,..,m) dan sektor ekonomi sebanyak n (i = 1,2,3,...,n) maka
kesempatan kerja Jawa Tengah atau nasional sektor i pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis dapat dirumuskan sebagai berikut: 5. Kesempatan kerja Jawa Tengah atau nasional dari sektor i pada tahun dasar analisis (tahun 1996, 2001 dan 2004). m
Yi
Yij
(3.1)
j 1
dimana: Yi = Kesempatan kerja Jawa Tengah atau nasional sektor i pada tahun 1996,
2001 dan 2007
Yij = Kesempatan kerja pada sektor i di Jawa Tengah atau nasional pada tahun 1996, 2001 dan 2007
6. Kesempatan kerja Jawa Tengah atau nasional dari sektor i pada tahun akhir analisis (tahun 2000, 2003 dan 2007). m
Y 'i
Y 'ij
(3.2)
j i
dimana:
Y 'i = Kesempatan kerja Jawa Tengah atau nasional sektor i pada tahun 2000, 2003 dan 2007 Y 'ij = Kesempatan kerja pada sektor i di Jawa Tengah atau nasional pada tahun
2000, 2003 dan 2007
Selanjutnya kesempatan kerja Jawa Tengah atau nasional pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Kesempatan kerja Jawa Tengah atau nasional pada tahun dasar analisis (tahun 1996, 2001 dan 2004). n
m
Y ..
Yij
(3.3)
i 1 j 1
dimana:
Y .. = Kesempatan kerja Jawa Tengah atau nasional pada tahun 1996, 2001 dan 2004
Yij = Kesempatan kerja pada sektor i di Jawa Tengah atau nasional pada tahun 1996, 2001 dan 2004
2. Kesempatan kerja Jawa Tengah atau nasional pada tahun akhir analisis (tahun 2000, 2003 dan 2007). n
m
Y ' ..
Y 'ij
(3.4)
i 1 j 1
dimana:
Y ' .. =Kesempatan kerja Jawa Tengah atau nasional pada tahun 2000, 2003 dan 2007 Y 'ij = Kesempatan kerja pada sektor i di Jawa Tengah atau nasional pada tahun
2000, 2003 dan 2007
Rumus yang digunakan untuk menghitung perubahan kesempatan kerja pada sektor i di Jawa Tengah atau nasional adalah sebagai berikut: Yij
Y 'ij Yij
dimana:
Yij = Perubahan kesempatan kerja pada sektor i Jawa Tengah atau nasional
(3.5)
Y 'ij
= Kesempatan kerja pada sektor i di Jawa Tengah atau nasional pada tahun akhir analisis (tahun 2000, 2003 dan 2007)
Yij
= Kesempatan kerja pada sektor i di Jawa Tengah atau nasional pada tahun dasar analisis (tahun 1996, 2001 dan 2004)
Sedangkan rumus untuk menghitung besarnya persentase perubahan kesempatan kerja adalah sebagai berikut: % Yij
Y ' ij Yij
Yij
100%
(3.6)
dimana:
% Yij = Persentase perubahan kesempatan kerja pada sektor i di Jawa Tengah atau nasional Y 'ij
= Kesempatan kerja pada sektor i di Jawa Tengah atau nasional pada tahun akhir analisis (tahun 2000, 2003 dan 2007)
Yij
= Kesempatan kerja pada sektor i di Jawa Tengah atau nasional pada tahun dasar analisis (tahun 1996, 2001 dan 2004)
3.2.2. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Tengah dan Kesempatan Kerja Nasional (nilai ri, Ri dan Ra) Analisis rasio kesempatan kerja digunakan untuk melihat perbandingan kesempatan kerja pada sektor ekonomi di Jawa Tengah dan di tingkat nasional. Rasio kesempatan kerja ini terdiri dari ri, Ri dan Ra. 1. ri Nilai ri menunjukkan rasio dari kesempatan kerja sektor i di Jawa Tengah. Nilai ini diperoleh dari hasil selisih antara kesempatan kerja pada sektor i di Jawa
Tengah pada tahun akhir analisis (tahun 2000, 2003 dan 2007) yang diberi simbol Y 'ij dengan kesempatan kerja sektor i di Jawa Tengah pada tahun dasar analisis
(tahun 1996, 2001 dan 2004) yang diberi simbol Yij . Kemudian dibagi dengan kesempatan kerja sektor i di Jawa Tengah pada tahun dasar analisis (tahun 1996, 2001 dan 2004) dan dapat dirumuskan sebagai berikut: ri =
Y 'ij Yij Yij
(3.7)
2. Ri Nilai Ri menunjukkan rasio kesempatan kerja nasional dari sektor i. Untuk menghasilkan nilai tersebut, dapat digunakan rumus sebagai berikut:
Ri
Y 'i Yi Yi
(3.8)
dimana:
Y 'i = Kesempatan kerja nasional sektor i pada tahun 2000, 2003 dan 2007 Yi = Kesempatan kerja nasional sektor i pada tahun 1996, 2001 dan 2004
3. Ra Nilai Ra menunjukkan rasio kesempatan kerja nasional. Nilai ini diperoleh dari hasil selisih antara kesempatan kerja nasional pada akhir tahun analisis dengan kesempatan kerja nasional pada tahun dasar analisis. Kemudian dibagi dengan kesempatan kerja nasional pada tahun dasar analisis. Nilai Ra dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ra
Y '.. Y .. Y ..
dimana:
Y '.. = Kesempatan kerja nasional pada tahun 2000, 2003 dan 2007
(3.9)
Y ..
= Kesempatan kerja nasional pada tahun 1996, 2001 dan 2004
3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Komponen pertumbuhan wilayah merupakan komponen utama dalam analisis shift share. Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi perubahan kesempatan kerja pada suatu wilayah berdasarkan tahun dasar analisis dengan tahun akhir analisis. Terdapat tiga komponen pertumbuhan dalam analisis ini. Ketiga komponen tersebut adalah komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). 1. Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) Komponen pertumbuhan nasional merupakan perubahan kesempatan kerja di suatu wilayah akibat adanya perubahan kesempatan kerja nasional, perubahan dalam kebijakan pemerintah ekonomi nasional maupun perubahan yang mempengaruhi perekonomian pada semua sektor ataupun wilayah. Komponen pertumbuhan nasional dapat dirumuskan sebagai berikut:
PNij
Ra Yij
(3.10)
dimana:
PN ij = Komponen pertumbuhan nasional sektor i untuk Jawa Tengah
Ra = Rasio kesempatan kerja nasional
Yij
= Kesempatan kerja sektor i di Jawa Tengah pada tahun dasar analisis (tahun 1996, 2001 dan 2004)
2. Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam perekonomian seperti adanya perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri serta perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar dapat menimbulkan terjadinya pertumbuhan proporsional (PP). Pertumbuhan ini dapat diketahui dengan menggunakan rumus:
PPij
Ri
Ra Yij
(3.11)
dimana:
PPij = Komponen pertumbuhan proporsional sektor i di Jawa Tengah Yij
= Kesempatan kerja sektor i di Jawa Tengah pada tahun dasar analisis (1996, 2001 dan 2004)
Ri
= Rasio kesempatan kerja nasional sektor i
Ra
= Rasio kesempatan kerja nasional
Apabila:
PPij > 0 menandakan bahwa sektor i di Jawa Tengah pertumbuhannya cepat
PPij < 0 menandakan bahwa sektor i di Jawa Tengah pertumbuhannya lambat
3. Komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) Komponen pertumbuhan wilayah timbul karena adanya peningkatan atau penurunan kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan wilayah lainnya. Kecepatan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan berdasarkan keunggulan komparatif yang dimiliki, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial
ekonomi dan kebijakan yang terkait dengan ekonomi regional di wilayah tersebut (Budiharsono, 2001). Rumus PPW yang digunakan adalah sebagai berikut:
PPWij
ri Ri Yij
(3.12)
dimana:
PPWij = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i di Jawa Tengah ri
= Rasio kesempatan kerja sektor i di Jawa Tengah
Ri
= Rasio kesempatan kerja nasional sektor i
Yij
= Kesempatan kerja sektor i di Jawa Tengah pada tahun dasar analisis (1996, 2001 dan 2004)
Apabila:
PPWij > 0, maka sektor i di Jawa Tengah memiliki daya saing yang baik dibandingkan dengan sektor i di wilayah lain
PPWij < 0, maka sektor i di Jawa Tengah tidak dapat bersaing dengan sektor i di wilayah lain.
Perubahan dalam kesempatan kerja pada sektor i di Jawa Tengah dapat dirumuskan sebagai berikut:
Yij = PN ij + PPij + PPWij
(3.14)
Yij = Y 'ij - Yij
(3.15)
Rumus ketiga komponen pertumbuhan wilayah adalah sebagai berikut:
PN ij
Ra Yij
(3.16)
PPij
Ri
Ra Yij
(3.17)
ri Ri Yij
(3.18)
PPWij
Apabila dilakukan subsitusi pada persamaan (3.15), (3.16), (3.17), dan (3.18) ke persamaan (3.14), maka akan dihasilkan persamaan sebagai berikut:
Yij
= PN ij + PPij + PPWij
Y 'ij - Yij = Y 'ij - Yij + Ri Ra Yij + ri Ri Yij
Rumus persentase dari ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut adalah sebagai berikut: % PN ij = Ra % PPij
atau
% PN ij
= PNij Yij 100%
= Ri – Ra atau
% PPij
= PPij Yij 100%
% PPWij = ri - Ri
atau
% PPWij = PPWij Yij 100%
dimana: Ra
= Persentase
perubahan
kesempatan
kerja
karena
komponen
kesempatan
kerja
karena
komponen
pertumbuhan nasional Ri – Ra = Persentase
perubahan
pertumbuhan proporsional ri – Ri
= Persentase perubahan kesempatan kerja karena komponen pangsa wilayah
3.2.4. Analisis Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian Analisis ini digunakan untuk mengevaluasi profil pertumbuhan sektorsektor perekonomian di Jawa Tengah pra dan era otonomi daerah. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan 4 kuadran pada garis bilangan. Caranya adalah dengan
menggambarkan
persentase
perubahan
komponen
pertumbuhan
proporsional ( PPij ) sebagai sumbu horizontal dan persentase pertumbuhan pangsa
wilayah ( PPWij ) sebagai sumbu vertikal, sehingga terbentuk koordinat ( PPij , PPWij ). Pergeseran bersih dari sektor i di Jawa tengah dapat menggambarkan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian. Pergeseran bersih ini diperoleh dengan menjumlahkan
komponen
pertumbuhan
proporsional
dengan
komponen
pertumbuhan pangsa wilayah dan dapat dirumuskan sebagai berikut:
PBij = PPij + PPWij
(3.19)
dimana:
PBij = Pergeseran bersih sektor i di Jawa Tengah PPij
= Komponen pertumbuhan proporsional sektor i di Jawa Tengah
PPWij = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i di Jawa Tengah Apabila:
PBij > 0,
maka sektor i di Jawa Tengah termasuk dalam kelompok progresif (maju)
PBij < 0,
maka sektor i di Jawa Tengah termasuk lamban
IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH
4.1.
Keadaan Geografis dan Kependudukan Jawa Tengah merupakan salah satu Provinsi di pulau Jawa yang terletak
diantara dua Provinsi besar yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak antara 5°40' dan 8°30' Lintang Selatan dan antara 108°30' dan 111°30' Bujur Timur (termasuk pulau Karimunjawa). Luas wilayah Jawa Tengah adalah sebesar 32.544,12 km2 atau sekitar 25,04 persen dari luas pulau Jawa. Sedangkan secara administratif Provinsi Jawa Tengah terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota dan terbagi menjadi 568 kecamatan dan 8.574 desa/kelurahan. Daerah dengan wilayah terluas adalah Kabupaten Cilacap dengan luas wilayah 2.138,51 km2. Sedangkan daerah dengan luas tersempit adalah Kota Magelang yaitu sebesar 18,12 km2. Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1996 dimana pada tahun tersebut belum dilaksanakan kebijakan otonomi daerah, jumlah penduduknya mencapai 29.698.845 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 912,57 jiwa per km2. Kepadatan penduduk ini terus mengalami peningkatan hingga tahun 2005 yaitu sebesar 1.011,21 jiwa per km2 dengan jumlah penduduk sebesar 32.908.850 jiwa. Sedangkan pada tahun 2006 mengalami penurunan sebesar 731.120 jiwa sehingga menjadi 32.177.730 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 988,74 jiwa per km2, namun mengalami peningkatan kembali pada tahun 2007 menjadi 32.380.279 jiwa (Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Kepadatan Penduduk di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1996-2007 Luas Daerah Jumlah Penduduk (km2) (Jiwa) 1996 32.544,12 29.698.845 1997 32.544,12 29.907.476 1998 32.544,12 30.385.445 1999 32.544,12 30.761.221 2000 32.544,12 30.775.846 2001 32.544,12 31.063.818 2002 32.544,12 31.691.866 2003 32.544,12 32.052.840 20041) 32.544,12 32.397.431 2005 32.544,12 32.908.850 2006 32.544,12 32.177.730 2007 32.544,12 32.380.279 1) Keterangan: Proyeksi SUPAS 2005 Sumber: BPS Jawa Tengah, 1997-2008. Tahun
Kepadatan Penduduk Per km2 912,57 918,98 933,67 945,22 945,67 954,51 973,81 984,90 995,49 1.011,21 988,74 994,97
Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa penduduk di Jawa Tengah umumnya memadati daerah perkotaan. Daerah dengan kepadatan tertinggi antara lain yaitu kota Surakarta, Magelang, Tegal, Pekalongan dan Semarang dengan kepadatan penduduk secara berurutan adalah 11.754,64 km2, 7.294,54 km2, 6.954,48 km2, 6.079,67 km2, dan 3.983,85 km2. Kepadatan penduduk yang memadati daerah perkotaan juga telah terjadi sebelum ditetapkannya otonomi daerah. Namun terdapat perbedaan urutan tingkat kepadatan penduduk dimana pada tahun 2000 tingkat kepadatan penduduk yang tertinggi kedua bukan ditempati oleh kota Magelang, melainkan ditempati oleh kota Tegal dengan kepadatan penduduk sebesar 6.843,66 km2. Sedangkan kepadatan penduduk kota Magelang pada tahun 2000 adalah sebesar 6.415,29 km2. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2007 jumlah penduduk di kota Magelang mengalami peningkatan yang lebih besar dibandingkan dengan
peningkatan jumlah penduduk di kota Tegal, sehingga kepadatan penduduk kota Magelang melebihi kepadatan penduduk di kota Tegal. Tabel 4.2. Kepadatan Penduduk Jawa Tengah Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2007 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
KABUPATEN/KOTA
Kab.Cilacap Kab.Banyumas Kab.Purbalingga Kab.Banjarnegara Kab.Kebumen Kab.Purworejo Kab.Wonosobo Kab.Magelang Kab.Boyolali Kab.Klaten Kab.Sukoharjo Kab.Wonogiri Kab.Karanganyar Kab.Sragen Kab.Grobogan Kab.Blora Kab.Rembang Kab.Pati Kab.Kudus Kab.Jepara Kab.Demak Kab.Semarang Kab.Temanggung Kab.Kendal Kab.Batang Kab.Pekalongan Kab.Pemalang Kab.Tegal Kab.Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Jumlah Sumber: BPS Jawa Tengah, 2008.
LUAS WILAYAH (km2) 2.138,51 1.327,59 777,65 1.069,74 1.282,74 1.034,82 984,68 1.085,73 1.015,07 655,56 466,66 1.822,37 772,2 946,49 1.975,85 1794,4 1014,1 1491,2 425,17 1.004,16 897,43 946,86 870,23 1.002,27 788,95 836,13 1011,9 879,7 1.657,73 18,12 44,03 52,96 373,67 44,96 34,49 32.544,12
JUMLAH PENDUDUK 1.623.176 1.495.981 821.870 864.148 1.208.716 719.396 754.447 1.161.278 932.698 1.128.852 819.621 980.132 805.462 857.844 1.326.414 831.909 572.879 1.167.621 774.838 1.073.631 1.025.388 900.420 700.845 938.115 678.909 844.228 1.358.952 1.410.290 1.775.939 132.177 517.557 174.699 1.488.645 273.342 239.860 32.380.279
KEPADATAN PENDUDUK / km2 759,02 1.126,84 1.056,86 807,81 942,29 695,19 766,18 1.069,58 918,85 1.721,97 1.756,36 537,83 1.043,07 906,34 671,31 463,61 564,91 783,01 1.822,42 1.069,18 1.142,58 950,95 805,36 935,99 860,52 1.009,69 1.342,97 1.603,15 1.071,31 7.294,54 11.754,64 3.298,70 3.983,85 6.079,67 6.954,48 994,97
Pada tahun 2007, proporsi penduduk di Jawa Tengah menurut kelompok umur tahun 0 - 14 tahun bertambah bila di bandingkan dengan tahun 2006, yaitu bertambah sebesar 1,07 persen. Hal ini juga terjadi pada kelompok usia lanjut yang mengalami penambahan sebesar 0,57 persen. Sedangkan kelompok umur produktif justru mengalami penurunan di tahun 2007 dibandingkan tahun sebelumnya yaitu menurun sebesar 1,71 persen (Tabel 4.3). Tabel 4.3. Kelompok Usia Produktif Jawa Tengah Tahun 2003 – 2007 (Persen) Kelompok Usia 2003 (Tahun) 0 - 14 27,61 15 – 64 65,95 65 + 6,43 Sumber : BPS Jawa Tengah, 2008.
TAHUN 2004
2005
2006
2007
27,92 65,54 6,54
27,07 66,16 6,77
25,98 66,92 7,10
27,02 65,21 7,77
Berdasarkan jumlah penduduk menurut kelompok umur, maka angka beban tanggungan (dependency ratio) penduduk Provinsi JawaTengah tahun 2006 sebesar 49,42 dan pada tahun 2007 angka tersebut mengalami kenaikan menjadi 53,36 yang artinya dari setiap 100 penduduk usia produktif (usia 15 - 64 tahun) harus menanggung sekitar 53 penduduk usia yang tidak produktif yaitu usia 0 sampai 14 tahun dan usia 65 tahun keatas. 4.2.
Ketenagakerjaan Pada masa pembangunan saat ini, tenaga kerja terampil merupakan suatu
potensi utama yang sangat diperlukan. Terutama pada masa otonomi daerah, dimana setiap daerah membangun dan mengembangkan daerahnya sendiri sesuai dengan potensi daerah tersebut tanpa adanya campur tangan dari pemerintah pusat.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk usia kerja merupakan penduduk yang berumur 10 tahun ke atas. Namun seiring dengan perkembangan zaman, dimana rata-rata tingkat kesadaran akan pentingnya pendidikan sudah cukup tinggi maka pada tahun 1998 penduduk usia kerja merupakan penduduk yang berumur 15 tahun ke atas. Berdasarkan data pada Tabel 4.4, terlihat bahwa pencari kerja di Jawa Tengah didominasi oleh mereka yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi yaitu tamatan SMA/U, kejuruan dan sarjana dengan jumlah yang meningkat setiap tahunnya. Hal ini menandakan bahwa kualitas penduduk di Jawa Tengah dari segi pendidikan sudah cukup baik, namun mengindikasikan pula bahwa banyak pengangguran di Jawa Tengah dengan tingkat pendidikan yang tinggi yang kemungkinan tidak terserap oleh lapangan usaha yang ada di Jawa Tengah. Tabel 4.4. Banyaknya Pencari Kerja Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Jawa Tengah Tahun 2003-2007
2003 6.293
2004 11.499
Tahun 2005 12.806
2006 1.897
2007 26.468
15.421
24.295
26.780
48.669
54.710
82.444 74.184
112.094 95.952
149.718 138.349
165.013 147.511
165.192 153.277
695 3.558 8.708 70.565 261.868
2.054 6.008 13.771 75.995 341.668
2.111 8.290 17.969 89.342 445.365
4.094 9.808 27.875 86.632 508.572
3.589 11.359 27.338 90.957 532.890
Pendidikan SD Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP) Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA) a) SMA/U b) Kejuruan Diploma a) Diploma I b) Diploma II c) Diploma III/AK Sarjana Jumlah
Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah BPS Jawa Tengah, 2008.
Jumlah angkatan kerja di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 adalah sebanyak 17.664.277 jiwa. Sedangkan berdasarkan data BPS jumlah angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan mencapai 1.360.219 jiwa. Artinya jumlah angkatan kerja yang bekerja adalah 16.304.058 jiwa dan persentase jumlah pekerja terhadap angkatan kerja adalah sebesar 92,30 persen. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2006 persentase bekerja terhadap angkatan kerja adalah sebesar 91,98 persen (Tabel 4.5). Pada masa pra otonomi daerah yaitu pada tahun 1996 sampai dengan tahun 1999, persentase bekerja terhadap angkatan kerja cenderung berfluktuasi dengan persentase antara 95 sampai dengan 96 persen. Sedangkan pada tahun 2002 hingga tahun 2007 yang merupakan masa era otonomi daerah, terjadi penurunan persentase bekerja terhadap angkatan kerja yaitu berkisar antara 93 sampai dengan 91 persen. Namun pada tahun 2006 dan 2007 terjadi peningkatan persentase bekerja terhadap angkatan kerja. Penurunan persentase bekerja terhadap angkatan kerja menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah pengangguran di Provinsi Jawa Tengah. Seperti pada Tabel 5, terlihat bahwa hampir setiap tahun di Jawa Tengah terjadi peningkatan jumlah pengangguran kecuali pada tahun 1999, 2006 dan 2007. Pada masa otonomi daerah, persentase bekerja terhadap angkatan kerja menunjukkan penurunan dibandingkan dengan masa pra otonomi daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah pengangguran pada masa otonomi daerah lebih besar dibandingkan masa pra otonomi daerah.
Tabel 4.5. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Kegiatan Selama Seminggu yang Lalu di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1996-2007
Tahun
Jumlah Angkatan Kerja (Jiwa)
Jumlah Angkatan Kerja yang Bekerja (Jiwa)
1996 1997 1998 1999 2002 2003 2004 2005 2006 2007
14.822.214 14.696.503 14.944.758 15.286.070 16.236.550 16.257.270 16.827.330 16.995.013 16.924.244 17.664.277
14.262.731 14.128.038 14.186.853 14.621.149 15.154.856 15.124.082 15.528.110 15.548.609 16.657.335 16.304.058
Jumlah Angkatan Kerja yang sedang Mencari Pekerjaan (Jiwa) 559.483 568.465 757.905 664.921 1.081.694 1.133.188 1.299.220 1.446.404 1.356.909 1.360.219
% Bekerja terhadap Angkatan Kerja 96,23 96,13 94,93 95,65 93,34 93,03 92,28 91,49 91,98 92,30
Sumber: BPS, 1997-2008.
4.3.
Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Tengah Pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesejahteraan masyarakat di Jawa
Tengah merupakan tujuan dari pembangunan Jawa Tengah yang terkait dengan visi Jawa Tengah yaitu menciptakan Jawa Tengah yang mandiri, berdaya saing, sejahtera, berkelanjutan dan menjadi pilar pembangunan nasional dilandasi oleh ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan untuk mancapai visi tersebut maka dilakukan misi sebagai berikut: 1). Mewujudkan Good Governance. 2). Meningkatkan kualitas dan profesionalisme sumber daya manusia. 3). Mengembangkan kerjasama sinergis daerah dan stakeholders pembangunan daerah. 4). Mengurangi kesenjangan.
5). Mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan. 6). Meningkatkan iklim kondusif bagi kehidupan masyarakat. Melalui visi dan misi tersebut, diharapkan pembangunan lebih terarah dan terencana dengan baik agar sesuai dengan yang diharapkan dan mampu menciptakan pemerataan serta percepatan pembangunan di wilayah Jawa Tengah. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu daerah adalah dengan mengetahui nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pertumbuhan PDRB di Jawa Tengah pada periode setelah diberlakukannya otonomi daerah yaitu tahun 2001 sampai dengan tahun 2007 menunjukkan pertumbuhan yang meningkat. Pada tahun 2007, laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 mencapai 5,59 persen. Angka ini menunjukkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,33 persen pada tahun 2006. Pertumbuhan PDRB yang tinggi ini merupakan pertumbuhan yang tertinggi setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1998. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kondisi perekonomian di Jawa Tengah pada tahun 2007 relatif stabil, inflasi yang relatif kecil yaitu sekitar 6,24 persen dan tingkat suku bunga Bank Indonesia yang mencapai titik terendah yaitu 8 persen (Tabel 4.6).
Tabel 4.6. PDRB dan Laju PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Provinsi Jawa Tengah Tahun 2001-2007 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Juta Rupiah) 118.816.400,29 123.038.541,13 129.166.462,45 135.789.872,31 143.051.213,88 150.682.654,74 159.110.253,77
Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Persen) 3,59 3,55 4,98 5,13 3,54 5,33 5,59
Sumber: BPS Jawa Tengah, 2005-2008.
Berlakunya
otonomi
daerah
yang
dimulai
pada
tahun
2001
memperlihatkan adanya kenaikan PDRB di Jawa Tengah. Pada Tabel 4.7 terlihat bahwa pertumbuhan riil sektoral di Jawa Tengah hampir seluruhnya memperlihatkan adanya peningkatan dalam hal kontribusinya terhadap PDRB Jawa Tengah. Pada masa awal pemberlakuan otonomi daerah yaitu pada tahun 2001 terlihat bahwa sektor industri pengolahan memberikan kontribusi tertinggi terhadap PDRB di Jawa Tengah yaitu sebesar Rp 37.164.561,05 juta dan hal ini terus berlangsung hingga tahun 2003, dimana kontribusinya terhadap PDRB Jawa Tengah mencapai sebesar Rp 41.347.172,12 juta. Sektor pertanian yang merupakan salah satu sektor dominan di Provinsi Jawa Tengah ini memiliki peranan yang besar pula terhadap PDRB Jawa Tengah. Hal ini terlihat pada Tabel 4.7 dimana sektor pertanian menempati peringkat kedua berdasarkan kontribusinya terhadap PDRB yaitu sebesar Rp 26.417.424,36 juta pada tahun 2001 dan terus meningkat hingga tahun 2002 menjadi sebesar Rp 27.725.086,08 juta. Namun pada tahun 2003, sektor ini mengalami penurunan menjadi Rp 27.157.595.62 juta. Penurunan ini menyebabkan sektor pertanian
berada di bawah sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran berdasarkan kontribusinya terhadap PDRB Jawa Tengah. Tabel 4.7. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah Tahun 2000-2003 (Juta Rupiah) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa PDRB
2001 26.417.424,36
Tahun 2002 27.725.086,08
2003 27.157.595.62
1.190.371,57
1.227.651,53
1.295.356,44
37.164.561,05
39.193.652,64
41.347.172,12
872.603,67
975.868,80
980.306,54
5.532.343,12
6.116.817,45
6.907.250,46
25.813.343,84
26.289.742,59
27.666.472,01
5.577.204,52
5.872.915,88
6.219.922,79
4.420.388,39
4.524.128,37
4.650.861,80
11.828.159,77 118.816.400,29
11.112.677,79 123.038.541,13
12.941.524,67 129.166.462,45
Sumber: BPS Jawa Tengah, 2005.
Pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 PDRB Jawa Tengah juga terus mengalami peningkatan. Selain itu, pertumbuhan riil sektoral tahun tersebut hampir secara keseluruhan juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 hingga tahun 2007 sektor industri pengolahan masih menempati urutan pertama berdasarkan kontribusinya terhadap PDRB yaitu sebesar Rp 43.995.611,83 juta pada tahun 2004 dan terus meningkat hingga Rp 50.870.785,69 juta pada tahun 2007 (Tabel 8). Sedangkan urutan kedua ditempati oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, selanjutnya ditempati oleh sektor pertanian. Namun pada tahun 2004 sektor pertanian menempati urutan kedua karena kontribusinya terhadap PDRB Jawa Tengah yaitu sebesar Rp 28.606.237,28 juta, lebih besar dibandingkan
dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang mencapai Rp 28.343.045,24 juta. Berdasarkan data PDRB Jawa Tengah pada Tabel 4.8, laju pertumbuhan sektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi tertinggi terhadap PDRB Jawa Tengah hanya mencapai 5,56 persen pada tahun 2007. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki laju pertumbuhan sebesar 6,54 persen dan laju pertumbuhan sektor pertanian adalah sebesar 2,78 persen. Berdasarkan laju pertumbuhan PDRB di Jawa Tengah, sektor pertanian merupakan sektor perekonomian yang memiliki laju pertumbuhan terendah. Laju pertumbuhan tertinggi pada tahun 2007 dicapai oleh sektor pengangkutan dan komunikasi yaitu sebesar 8,07 persen, meskipun peranannya terhadap pembentukan PDRB hanya sebesar 5,06 persen. Sedangkan sektor bangunan menempati urutan kedua untuk laju pertumbuhan tertinggi yaitu sekitar 7,21 persen dan peranannya terhadap PDRB mencapai 5,69 persen.
Tabel 4.8. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Tengah Tahun 2004-2007 (Juta Rupiah) No.
Lapangan Usaha
1.
Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa PDRB
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
2004 28.606.237,28
Tahun 2005 2006 29.924.642,25 31.002.199,11
2007 31.862.697,60
1.330.759,58
1.454.230,59
1.678.299,61
1.782.886,65
43.995.611,83
46.105.706,52
48.189.134,86
50.870.785,69
1.065.114,58
1179.891,98
1.256.430,34
1.340.845,17
7.448.715,40
7.960.948,49
8.446.566,35
9.055.728,78
28.343.045,24
30.056.962,75
31.816.441,85
33.898.013,93
6.510.447,43
6.988.425,75
7.451.506,22
8.052.597,04
4.826.541,38
5.067.655,70
5.399.608,70
5.767.341,21
13.663.399,59 135.789.872,31
14.312.739,85 143.051.213,88
15.442.467,70 150.682.654,74
16.479.357,72 159.110.253,77
Sumber : BPS Jawa Tengah, 2008.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Analisis Pertumbuhan Kesempatan Kerja
5.1.1. Analisis Kesempatan Kerja Provinsi Jawa Tengah dan Nasional Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2000 dan 2003, 2004 dan 2008) Pada masa pra otonomi daerah, kesempatan kerja di Provinsi Jawa Tengah secara keseluruhan mengalami laju pertumbuhan sebesar 1,6 persen. Namun jika dilihat masing-masing lapangan usaha, terdapat empat lapangan usaha yang memiliki pertumbuhan negatif. Keempat lapangan usaha tersebut adalah (1) industri pengolahan, (2) bangunan, (3) jasa dan (4) lapangan usaha lainnya. Penurunan laju pertumbuhan kesempatan kerja yang tertinggi terjadi pada lapangan usaha lainnya yang terdiri dari lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta lapangan usaha listrik, gas dan air bersih yaitu sebesar 50,66 persen. Penurunan disebabkan karena lapangan usaha ini sangat tergantung dari besarnya investasi yang masuk, terlebih investasi asing. Pada masa pra otonomi daerah, krisis ekonomi yang terjadi menyebabkan para investor enggan untuk berinvestasi di sektor ini karena memerlukan modal besar dengan tingkat pengembalian pada jangka panjang. Laju pertumbuhan kesempatan kerja tertinggi terjadi pada lapangan usaha keuangan, perbankan dan jasa perusahaan, yaitu sebesar 278,39 persen. Hal ini disebabkan karena saat krisis mulai mengalami pemulihan (tahun 2000) terdapat kesadaran akan pentingnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di pedesaan, sehingga cukup banyak lembaga keuangan dan perbankan yang masuk ke pedesaan untuk menawarkan kredit. Di Jawa Tengah sendiri terdapat 909 desa
yang memiliki bank umum dan 2.342 desa yang memiliki Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Jika dilihat secara keseluruhan, lapangan usaha pertanian memiliki kesempatan kerja terbanyak dibandingkan dengan tujuh lapangan usaha lainnya walaupun laju pertumbuhannya tidak terlalu besar (7,50 persen). Hal ini disebabkan karena masyarakat kurang tertarik untuk bekerja di sektor pertanian tradisional dan adanya perubahan komposisi umur pekerja yang cenderung di dominasi oleh masyarakat yang sudah berumur. Namun berdasarkan jumlah kesempatan kerjanya, lapangan usaha ini masih memiliki peran yang cukup besar bagi kesempatan kerja di Jawa Tengah (Tabel 5.1). Era otonomi daerah seperti tampak pada Tabel 5.1, menunjukkan laju pertumbuhan kesempatan kerja yang positif di Jawa Tengah baik pada periode 2001-2003 maupun pada periode 2004-2007. Walaupun pada periode 2001-2003 laju pertumbuhan kesempatan kerja hanya mencapai 0,38 persen dan pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan pada periode pra otonomi daerah. Sedangkan pada periode 2004-2007, laju pertumbuhan kesempatan kerja di Jawa Tengah berhasil mencapai angka 5 persen. Hal ini dimungkinkan karena pada masa awal otonomi daerah terdapat banyak penyesuaian yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah dalam membuat berbagai kebijakan antara lain mengenai kebijakan dalam mengelola keuangan sendiri sehingga pemerintah daerah meningkatkan kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) melalui peningkatan sumber-sumber penerimaan pajak daerah dan retribusi yang cenderung merugikan para pelaku usaha, sehingga
mempengarui kesempatan kerja di Jawa Tengah.
Bila dilihat kesempatan kerja pada setiap lapangan usaha, pada era otonomi daerah periode 2001-2003 sebagai masa awal diberlakukannya otonomi daerah, terdapat empat lapangan usaha yang mengalami pertumbuhan kesempatan kerja yang positif. Keempat lapangan usaha tersebut adalah (1) industri pengolahan, (2) bangunan, (3) transportasi dan komunikasi serta (4) lapangan usaha lainnya dengan persentase masing-masing sebesar 14,59 persen; 26,33 persen; 9,77 persen dan 50,30 persen. Laju pertumbuhan tertinggi yang terjadi pada lapangan usaha lainnya dikarenakan pada masa awal otonomi daerah ini, terjadi pengalihfungsian pengurusan lapangan usaha pertambangan dan penggalian langsung di daerah tempat sumberdaya tersebut berada. Sebagaimana diketahui bahwa Jawa Tengah memiliki Cepu dan Cilacap sebagai daerah pertambangan
dan
penggalian
yang
potensial
sehingga
meningkatkan
pertumbuhan kesempatan kerja di Jawa Tengah. Pada periode 2004-2007 terdapat empat lapangan usaha yang mengalami peningkatan persentase pertumbuhan kesempatan kerja dibandingkan periode 2001-2003. Lapangan usaha tersebut adalah (1) pertanian, (2) perdagangan, hotel dan restoran, (3) keuangan, perbankan dan jasa perusahaan serta (4) jasa. Pada periode ini lapangan usaha keuangan, perbankan dan jasa perusahaan masih memiliki laju pertumbuhan kesempatan kerja yang tertinggi (26.50 persen) seperti pada masa pra otonomi daerah. Lapangan usaha di Jawa Tengah yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah terbesar adalah lapangan usaha pertanian, baik pada masa pra otonomi daerah maupun era otonomi daerah. Namun pertumbuhan kesempatan
kerja di sektor ini selalu mengalami fluktuasi dan pada masa era otonomi daerah selalu menunjukkan pertumbuhan yang negatif. Berbeda dengan lapangan usaha keuangan, perbankan dan jasa perusahaan yang memiliki pertumbuhan kesempatan kerja yang sangat tinggi pada masa pra otonomi daerah (278,39 persen) namun tidak diikuti dengan kemampuan yang tinggi dalam menyerap tenaga kerja.
Tabel 5.1. Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Pra dan Era Otonomi Daerah
No
1 2 3
4 5
6 7 8
Lapangan Usaha
Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya Total
Pra Otonomi Daerah Kesempatan Kerja Perubahan (Jiwa) Absolut Relatif 1996 2000 (Jiwa) (Persen) 5.707.969 6.135.828 427.859 7,50
Era Otonomi Daerah Kesempatan Kerja Kesempatan Kerja Perubahan (Jiwa) (Jiwa) Absolut Relatif 2001 2003 2004 2007 (Jiwa) (Persen) 6.730.367 6.384.700 -345.667 -5,14 6.185.850 6.147.989
Absolut Relatif (Jiwa) (Persen) -37.861 -0,61
2.454.589
-7,25
2.447.195
2.804.254
357.059
14,59
2.435.606
2.765.644
330.038
13,55
2.276.679 -177.910
Perubahan
632.195
578.584
-53.611
-8,48
687.807
868.920
181.113
26,33
954.038
1.123.838
169.800
17,80
2.755.629
3.030.564
274.935
9,98
2.826.300
2.810.632
-15.668
-0,55
3.383.520
3.417.680
34.160
1,01
563.211
644.359
81.148
14,41
592.019
649.870
57.851
9,77
732.844
738.498
5.654
0,77
34.014
128.706
94.692
278,39
120.576
55.592
-64.984
-53,89
116.940
147.933
30.993
26,50
-10,33 1.501.110 1.798.720 50,30 218.202 163.756 0,38 15.528.110 16.304.058
297.610 -54.446 775.948
19,83 -24,95 5,00
1.902.550 1.591.617 -310.933 212.574 104.885 -107.689 14.262.731 14.491.222 228.491
-16,34 1.563.961 -50,66 98.317 1,60 15.066.542
1.402.340 -161.621 147.774 49.457 15.124.082 57.540
Sumber: BPS (Data diolah, contoh perhitungan seperti pada lampiran 3). Keterangan: Lapangan Usaha lainnya terdiri dari lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta listrik, gas dan air bersih.
Pada masa pra otonomi daerah di Indonesia secara keseluruhan mengalami laju pertumbuhan kesempatan kerja yang positif yaitu sebesar 4,83 persen. Jika dilihat pada Tabel 5.2, laju pertumbuhan kesempatan kerja di Indonesia pada masing-masing lapangan usaha terdapat tiga lapangan usaha yang mengalami pertumbuhan yang negatif. Lapangan usaha tersebut adalah lapangan usaha bangunan (-7,88 persen), lapangan usaha jasa (-18,37 persen) dan lapangan usaha lainnya (-44,92 persen). Penurunan laju pertumbuhan kesempatan kerja tertinggi yang terjadi pada lapangan usaha lainnya disebabkan karena pada masa pra otonomi daerah, krisis ekonomi yang terjadi menyebabkan para investor enggan untuk berinvestasi di sektor ini karena memerlukan modal besar dengan tingkat pengembalian pada jangka panjang. Hal ini menyebabkan berkurangnya pembangunan pada sektor tersebut sehingga kesempatan kerja juga mengalami penurunan. Era Otonomi daerah yaitu pada periode 2001-2003 seperti terlihat pada Tabel 5.2, terjadi pertumbuhan kesempatan kerja yang negatif yaitu sebesar 0,02 persen. Hal ini menunjukkan adanya penurunan pertumbuhan kesempatan kerja dibandingkan pada masa pra otonomi daerah. Pertumbuhan kesempatan kerja yang negatif tersebut terjadi pada industri pengolahan (-9,59 persen); perdagangan, hotel dan restoran (-3,57 persen); jasa (-11,42 persen) dan lapangan usaha lainnya (-18,85 persen). Sedangkan pada periode 2004-2007 secara keseluruhan terjadi pertumbuhan kesempatan kerja yang cukup besar yaitu sebesar 6,62 persen. Pertumbuhan ini merupakan pertumbuhan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode 2001-2003.
Pada periode 2004-2007 hanya ada satu lapangan usaha yang mengalami pertumbuhan kesempatan kerja yang negatif, yaitu lapangan usaha lainnya yang terdiri dari lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta lapangan usaha listrik, gas dan air bersih. Hal ini menunjukkan bahwa setelah otonomi daerah berlangsung selama tujuh tahun, otonomi daerah baru berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja secara nasional pada periode 2004-2007. Laju pertumbuhan yang negatif pada lapangan usaha lainnya disebabkan karena kebijakan otonomi daerah memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengurus lapangan usaha pertambangan dan penggalian langsung di daerah tempat sumberdaya tersebut berada, sehingga pertumbuhan kesempatan kerja yang positif hanya terjadi pada daerah yang kaya sumberdaya. Secara nasional, lapangan usaha yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah tertinggi adalah lapangan usaha pertanian, baik pada masa pra otonomi daerah maupun pada masa era otonomi daerah. Hal ini sama dengan kesempatan kerja di Jawa Tengah, dimana lapangan usaha pertanian juga memiliki kemampuan dalam menyerap tenaga kerja dalam jumlah terbanyak. Namun pertumbuhan kesempatan kerja pada lapangan usaha pertanian ini relatif rendah jika dibandingkan dengan lapangan usaha keuangan, perbankan dan jasa perusahaan. Kemampuan lapangan usaha pertanian dalam menyerap banyak tenaga kerja dimungkinkan karena Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki tanah yang subur untuk bercocok tanam dan banyak masyarakat Indonesia di pedesaan yang tidak memiliki pendidikan tinggi dan hanya dapat bekerja sebagai petani.
Tabel 5.2. Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Pra dan Era Otonomi Daerah. Pra Otonomi Daerah No
Lapangan Usaha
Kesempatan Kerja (Jiwa) 1996
2000
Era Otonomi Daerah Kesempatan Kerja (Jiwa)
Perubahan Absolut (Jiwa)
Relatif (Persen)
2001
2003
Kesempatan Kerja (Jiwa)
Perubahan Absolut (Jiwa)
Relatif (Persen)
2004
2007
Perubahan Absolut (Jiwa)
Relatif (Persen)
Pertanian
37.720.251
40.676.713
2.956.462
7,84 39.743.908 42.001.437
2.257.529
5,68 40.608.019
41.206.474
598.455
1,47
11.641.756 3.497.232
868.718 -298.996
8,06 12.086.122 10.927.342 -7,88 3.837.554 4.106.597
-1.158.780 269.043
-9,59 11.070.498 7,01 4.540.102
12.368.729 5.252.581
1.298.231 712.479
11,73 15,69
16.102.552
18.489.005
2.386.453
14,82 17.469.129 16.845.995
-623.134
-3,57 19.119.156
20.554.650
1.435.494
7,51
3.942.799
4.553.855
611.056
15,50
4.448.279
4.976.928
528.649
11,88
5.480.527
5.958.811
478.284
8,73
689.733
882.600
192.867
27,96
1.127.823
1.294.832
167.009
14,81
1.125.056
1.399.490
274.434
24,39
6
Industri Pengolahan Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan
10.773.038 3.796.228
7
Jasa
11.728.495
9.574.009
-2.154.486
-18,37 11.003.482
9.746.381
-1.257.101
-11,42 10.513.093
948.717
522.560
-426.157
885.405
-205.715
85.701.813
89.837.730
4.135.917
4,83 90.807.417 90.784.917
-22.500
1 2 3 4 5
8
Lainnya Total
-44,92
1.091.120
12.019.984
1.506.891
14,33
1.265.585
1.169.498
-96.087
-7,60
-0,02 93.722.036
99.930.217
6.208.181
6,62
-18,85
Sumber: BPS (Data diolah , contoh perhitungan seperti pada lampiran 4). Keterangan: Lapangan Usaha lainnya terdiri dari lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta listrik, gas dan air bersih.
5.1.2. Rasio Kesempatan Kerja Provinsi Jawa Tengah dan Nasional Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007) Hasil perhitungan rasio kesempatan kerja pada Tabel 5.3 yang memperlihatkan nilai Ra, Ri dan ri untuk membandingkan kesempatan kerja setiap lapangan usaha di Jawa Tengah menghasilkan nilai Ra yang positif yaitu sebesar 0,05 pada masa pra otonomi daerah. Sedangkan pada masa era otonomi daerah periode 2001-2003 terjadi penurunan yaitu menjadi sebesar -0.00. Hal ini mengindikasikan bahwa selama otonomi daerah berjalan selama tiga tahun tidak terjadi perubahan terhadap pertumbuhan kesempatan kerja namun ada kecendrungan mengalami penurunan. Pada periode 2004-2007 baru terlihat adanya peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja dengan nilai Ra sebesar 0,07. Kontribusi masing-masing lapangan usaha dalam menciptakan kesempatan kerja secara nasional juga dapat diketahui berdasarkan nilai Ri yang dihasilkan dari perhitungan shift share ini. Nilai Ri pada masa pra otonomi daerah menunjukkan bahwa terdapat tiga lapangan usaha yang memiliki nilai yang negatif. lapangan usaha tersebut adalah bangunan (-0,08); jasa (-0,18) dan lapangan usaha lainnya (-0,45). Nilai Ri yang negatif tersebut dikarenakan ketiga lapangan usaha tersebut terkena dampak negatif dari krisis ekonomi dan moneter pada masa pra otonomi daerah sehingga banyak proyek bangunan yang ditangguhkan, penurunan penggunaan jasa oleh sebagian besar masyarakat dan sebagainya. Era otonomi daerah periode 2001-2003 nilai Ri yang negatif terjadi pada industri pengolahan (-0,10); perdagangan, hotel dan restoran (-0,04); jasa (-0,11) dan lapangan usaha lainnya (-0,19). Hal ini dimungkinkan terjadi karena pada
periode awal diberlakukannya otonomi daerah ini, banyak pajak baru yang dikenakan oleh pemerintah daerah terkait dengan kebijakan otonomi daerah dimana setiap daerah memiliki wewenang untuk mengurus rumah tangganya sendiri termasuk mengatur besarnya pemasukan dan pengeluaran sehingga tidak lagi tergantung pada pemerintah pusat. Banyaknya pajak yang dikenakan ini menyebabkan lapangan usaha tersebut memperkecil pengeluarannya termasuk tidak menerima tenaga kerja baru, sehingga kontribusinya dalam menciptakan kesempatan kerja secara nasional mengalami penurunan. Pada Periode 2004-2007, nilai Ri negatif hanya terjadi pada lapangan usaha lainnya yaitu sebesar -0,08. Hal ini berarti lapangan usaha lainnya yang terdiri dari lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta listrik, gas dan air bersih mengalami penurunan kontribusi dalam menciptakan lapangan kerja sebesar 0,08 secara nasional. Kontribusi masing-masing lapangan usaha dalam menciptakan kesempatan kerja di Jawa Tengah dapat dilihat dari nilai ri yang dihasilkan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, terlihat bahwa pada masa pra otonomi daerah terdapat empat lapangan usaha yang memiliki nilai ri yang negatif. Keempat lapangan usaha tersebut antara lain adalah industi pengolahan (-0,07);
bangunan (-0,08);
jasa (-0,16) dan lapangan usaha lainnya (-0,51). Nilai ri yang negatif menunjukkan bahwa pada lapangan usaha tersebut terjadi penurunan kontribusi dalam menyerap tenaga kerja di Jawa tengah. Era otonomi daerah, yaitu pada periode 2001-2003 terdapat empat lapangan usaha yang memiliki nilai ri negatif yaitu pertanian (-0,05); perdagangan, hotel dan restoran (-0,01); keuangan,
perbankan dan jasa perusahaan (-0,54) serta lapangan usaha jasa (-0,10). Pada periode 2004-2007 hanya ada dua lapangan usaha yang memiliki nilai ri negatif, yaitu lapangan usaha pertanian (-0,01) dan lapangan usaha lainnya (-0,25). Tabel 5.3. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Tengah dan Nasional (Nilai Ra, Ri, ri) Pra Otonomi Daerah No 1 2 3
4 5
6 7 8
Lapangan Usaha Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya Total
Era otonomi daerah
Tahun 1996 dan 2000 Ra Ri ri 0,05 0,08 0,07
Tahun 2001 dan 2003 Ra Ri ri -0,00 0,06 -0,05
Tahun 2004 dan 2007 Ra Ri ri 0,07 0,01 -0,01
0,05
0,08
-0,07
-0,00
-0,10
0,15
0,07
0,12
0,14
0,05
-0,08
-0,08
-0,00
0,07
0,26
0,07
0,17
0,18
0,05
0,15
0,10
-0,00
-0,04
-0,01
0,07
0,08
0,01
0,05
0,15
0,14
-0,00
0,12
0,10
0,07
0,09
0,01
0,05
0,28
2,78
-0,00
0,15
-0,54
0,07
0,24
0,27
0,05 0,05 0,05
-0,18 -0,45 0,05
-0,16 -0,51 0,02
-0,00 -0,00 -0,00
-0,11 -0,19 -0,00
-0,10 0,50 0,00
0,07 0,07 0,07
0,14 -0,08 0,07
0,20 -0,25 0,05
Sumber: BPS (Data diolah, contoh perhitungan seperti pada lampiran 5). Keterangan: Lapangan Usaha lainnya terdiri dari lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta listrik, gas dan air bersih.
5.1.3. Komponen Pertumbuhan Wilayah Provinsi Jawa Tengah Pra dan Era Otonomi Daerah Pada masa pra otonomi daerah (Tabel 5.4), bila dilihat secara keseluruhan pertumbuhan kesempatan kerja nasional mempengaruhi peningkatan kesempatan kerja di Jawa Tengah sebesar 688.311 jiwa atau sebesar 4,83 persen. Sedangkan pada masa era otonomi daerah periode 2001-2003, penurunan pertumbuhan kesempatan kerja nasional telah mempengaruhi penurunan kesempatan kerja di Jawa Tengah yaitu sebesar 3.733 jiwa atau sebesar 0,02 persen. Namun pada periode 2004-2007 baru terjadi peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja
nasional yang mempengaruhi peningkatan kesempatan kerja di Jawa Tengah sebesar 1.028.588 jiwa atau sebesar 6,62 persen. Pengaruh pertumbuhan nasional menjelaskan seberapa besar kesempatan kerja di Jawa Tengah meningkat akibat peningkatan jumlah kesempatan kerja setiap lapangan usaha dan peningkatan jumlah kesempatan kerja nasional setiap lapangan usaha dengan laju yang hampir sama dengan laju pertumbuhan nasional. Hal ini mengakibatkan nilai persentase komponen pertumbuhan nasional (PN) sama dengan laju pertumbuhan nasional. Komponen pertumbuhan nasional merupakan perubahan kesempatan kerja di Jawa Tengah yang dapat disebabkan oleh perubahan kesempatan kerja nasional, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau segala perubahan yang dapat mempengaruhi perekonomian secara nasional. Pada Tabel 5.4 terlihat bahwa lapangan usaha dengan peningkatan kontribusi PN terbesar adalah lapangan usaha pertanian yaitu pada masa pra otonomi daerah dan pada masa era otonomi daerah periode 2004-2007. Sedangkan pada masa awal otonomi daerah yaitu periode 2001-2003, lapangan usaha ini memiliki penurunan kontribusi PN terbesar. Hal ini mengindikasikan bahwa lapangan usaha pertanian sangat dipengaruhi oleh perubahan kebijakan nasional seperti kebijakan otonomi daerah yang memberikan kepada pemerintah daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Sehingga jika terjadi perubahan kebijakan nasional seperti pelimpahan kewenangan dalam hal penyuluhan pertanian kepada pemerintah daerah maka kontribusi lapangan usaha pertanian beserta subsektornya dalam menyerap tenaga kerja akan mengalami perubahan.
Lapangan usaha dengan peningkatan kontribusi PN terkecil adalah lapangan usaha keuangan, perbankan dan jasa perusahaan yaitu pada masa pra otonomi daerah dan era otonomi daerah periode 2004-2007. Sedangkan pada masa awal otonomi daerah yaitu periode 2001-2003, lapangan usaha ini memiliki penurunan kontribusi PN terkecil. Hal ini mengindikasikan bahwa lapangan usaha keuangan, perbankan dan jasa perusahaan tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan kebijakan nasional. Tabel 5.4. Analisis Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007
No
1 2 3
4 5
6 7 8
Lapangan Usaha
Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya Total
Pra Otonomi Daerah Tahun 1996 dan 2000 Perubahan Absolut Relatif (Jiwa) (Persen) 275.463 4,83
PNi (Jawa Tengah) Era Otonomi Daerah Tahun 2001 dan 2003 Tahun 2004 dan 2007 Perubahan Perubahan Absolut Relatif Absolut Relatif (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) -1.668 -0,02 409.753 6,62
118.457
4,83
-606
-0,02
161.335
6,62
30.509
4,83
-170
-0,02
63.196
6,62
132.985
4,83
-700
-0,02
224.126
6,62
27.180
4,83
-147
-0,02
48.544
6,62
1.641
4,83
-30
-0,02
7.746
6,62
91.816 10.259 688.311
4,83 4,83 4,83
-388 -24 -3.733
-0,02 -0,02 -0,02
99.434 14.454 1.028.588
6,62 6,62 6,62
Sumber: BPS (Data diolah, contoh perhitungan seperti pada lampiran 6). Keterangan: Lapangan Usaha lainnya terdiri dari lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta listrik, gas dan air bersih.
Pertumbuhan proporsional (PP) pada Tabel 5.5 menjelaskan perbedaan kenaikan kesempatan kerja tingkat nasional dan kenaikan kesempatan kerja lapangan usaha secara keseluruhan, sehingga persentase komponen PP untuk semua lapangan usaha di seluruh Provinsi di Indonesia sama besar. Perbedaannya
hanya terletak pada kontribusi masing-masing lapangan usaha dalam hal kesempatan kerja. Secara keseluruhan, pertumbuhan proporsional pada masa pra otonomi daerah mengakibatkan penurunan kesempatan kerja di Jawa Tengah yaitu sebesar 32.574 jiwa (-0,23 persen). Penurunan ini juga terjadi pada masa awal otonomi daerah yaitu pada periode 2001-2003, namun penurunan kesempatan kerjanya lebih rendah dibandingkan pada masa pra otonomi daerah yaitu sebesar 10.193 jiwa (-0,07 persen). Sedangkan pada periode 2004-2007, pertumbuhan proporsional mengakibatkan peningkatan kesempatan kerja di Jawa Tengah yaitu sebesar 43.029 jiwa (0,28 persen). Lapangan usaha lainnya pada masa pra otonomi daerah maupun era otonomi daerah selalu menunjukkan nilai PP yang negatif. Sedangkan pada lapangan usaha pertanian, terjadi perubahan pada periode 2004-2007 dimana lapangan usaha tersebut memiliki nilai yang negatif setelah pada periode sebelumnya selalu bernilai positif. PP yang bernilai negatif menandakan bahwa lapangan usaha tersebut di Jawa Tengah memiliki pertumbuhan yang lambat, sedangkan bila nilai PP menunjukkan angka yang positif maka lapangan usaha tersebut memiliki pertumbuhan yang cepat.
Tabel 5.5. Analisis Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007
No
1 2 3 4 5
6 7 8
Lapangan Usaha
Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya Total
Pra Otonomi Daerah Tahun 1996 dan 2000 Perubahan Absolut Relatif (Jiwa) (Persen) 171.920 3,01 79.477 3,24 -80.302 -12,70
PPi (Jawa Tengah) Era Otonomi Daerah Tahun 2001 dan 2003 Tahun 2004 dan 2007 Perubahan Perubahan Absolut Relatif Absolut Relatif (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) 383.965 5,70 -318.590 -5,15 -234.023 -9,56 124.287 5,10 48.391 7,04 86.522 9,07
275.409
9,99
-100.115
-3,54
29.914
0,88
60.106
10,67
70.504
11,91
15.411
2,10
7.870
23,14
17.885
14,83
20.779
17,77
-441.308 -105.745 -32.574
-23,20 -49,75 -0,23
-178.288 -18.512 -10.193
-11,40 -18,83 -0,07
115.727 -31.020 43.029
7,71 -14,22 0,28
Sumber: BPS (Data diolah, contoh perhitungan seperti pada lampiran 7). Keterangan: Lapangan Usaha lainnya terdiri dari lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta listrik, gas dan air bersih.
Komponen pangsa wilayah atau pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) pada Tabel 5.6 menunjukkan kemampuan daya saing suatu lapangan usaha bila dibandingkan dengan lapangan usaha di wilayah lainnya terutama dalam hal kesempatan kerja. Hal ini dikarenakan komponen pertumbuhan wilayah timbul karena adanya perubahan (penurunan atau kenaikan) dalam kesempatan kerja pada suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Nilai PPW yang positif menunjukkan bahwa lapangan usaha tersebut memiliki daya saing yang baik dibandingkan dengan wilayah lainnya. Sedangkan jika nilai PPW yang negatif, berarti lapangan usaha tersebut tidak dapat berdaya saing dengan baik dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Pengaruh daya saing seperti keunggulan komparatif, akses ke pasar, daya dukung lingkungan, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut secara keseluruhan menyebabkan kesempatan kerja di Jawa Tengah pada masa pra otonomi daerah mengalami penurunan sebesar 427.245 jiwa (-3,00 persen) dan mengalami peningkatan menjadi 71.467 jiwa (0,47 persen) pada periode awal otonomi daerah (2001-2003), namun mengalami penurunan kembali pada periode 2004-2007 yaitu sebesar 295.669 jiwa (-1,90 persen). Berdasarkan hasil analisis shift share komponen pangsa wilayah pada Tabel 5.6 terlihat bahwa lapangan usaha pertanian selalu memiliki nilai PPW yang negatif baik pra maupun era otonomi daerah. Hal ini menunjukkan bahwa lapangan usaha pertanian tidak dapat bersaing dengan baik dibandingkan dengan wilayah lainnya dalam hal kesempatan kerja. Berbeda dengan lapangan usaha jasa, lapangan usaha ini selalu memiliki nilai PPW yang positif baik pada pra maupun era otonomi daerah. Lapangan usaha keuangan, perbankan dan jasa perusahaan pada masa pra otonomi daerah memiliki daya saing yang baik (85.181 jiwa), namun era otonomi daerah (periode 2001-2003) tidak mampu berdaya saing dengan baik (-82.839 jiwa) dan mengalami peningkatan kembali pada periode 2004-2007 (2.468 jiwa).
Tabel 5.6. Analisis Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pangsa Wilayah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007
No
1 2 3 4 5
6 7 8
Lapangan Usaha
Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya Total
Pra Otonomi Daerah Tahun 1996 dan 2000 Perubahan Absolut Relatif (Jiwa) (Persen) -19.524 -0,34 -375.844 -15,31 -3.818 -0,60
PPWi (Jawa Tengah) Era Otonomi Daerah Tahun 2001 dan 2003 Tahun 2004 dan 2007 Perubahan Perubahan Absolut Relatif Absolut Relatif (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) -727.965 -10,82 -129.024 -2,09 591.688 24,18 44.416 1,82 132.892 19,32 20.083 2,11
-133.459
-4,84
85.148
3,01
-219.880
-6,50
-6.139
-1,09
-12.507
-2,11
-58.301
-7,96
85.181
250,43
-82.839
-68,70
2.468
2,11
38.559 -12.202 -427.245
2,03 -5,74 -3,00
17.055 67.993 71.467
1,09 69,16 0,47
82.449 -37.879 -295.669
5,49 -17,36 -1,90
Sumber: BPS (Data diolah, contoh perhitungan seperti pada lampiran 8). Keterangan: Lapangan Usaha lainnya terdiri dari lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta listrik, gas dan air bersih.
5.1.4. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Kesempatan Kerja di Provinsi Jawa Tengah Pra dan Era Otonomi Daerah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 Nilai pergeseran bersih (PB) yang positif pada suatu lapangan usaha menunjukkan bahwa lapangan usaha tersebut di Jawa Tengah tergolong mengalami pertumbuhan yang progresif dalam hal kesempatan kerja. Sedangkan untuk lapangan usaha yang memiliki nilai PB negatif, menunjukkan bahwa lapangan usaha tersebut memiliki pertumbuhan kesempatan kerja yang lamban di Jawa Tengah. Jika dilihat secara keseluruhan pada Tabel 5.7, nilai PB di Jawa Tengah menunjukkan pertumbuhan yang lamban pada masa pra otonomi daerah, sedangkan era otonomi daerah menunjukkan pertumbuhan yang progresif namun hanya berlangsung pada awal otonomi daerah (periode 2001-2003) dan mengalami pertumbuhan yang lamban kembali pada periode 2004-2007.
Kesempatan Kerja pada lapangan usaha pertanian mengalami pergeseran yang cukup signifikan, dimana pada masa pra otonomi daerah termasuk memiliki pertumbuhan yang progresif dengan nilai PB sebesar 152.396 jiwa (2,67 persen), namun era otonomi daerah memiliki pertumbuhan yang lamban dengan penurunan yang cukup drastis pada masa awal otonomi daerah (2001-2003) menjadi -343.999 jiwa (-5,11 persen) dan pada periode 2004-2007 mengalami penurunan kembali menjadi -447.614 jiwa (-7,24 persen). Lapangan usaha yang juga memiliki pergeseran cukup signifikan adalah lapangan usaha bangunan. Pada masa pra otonomi daerah, lapangan usaha ini memiliki pertumbuhan kesempatan kerja yang lamban dengan nilai PB sebesar -84.120 jiwa (-13,31 persen). Namun era otonomi daerah tergolong memiliki pertumbuhan yang progresif, dimana pada masa awal otonomi daerah menghasilkan nilai PB sebesar 181.283 jiwa (26,36 persen) dan pada periode 2004-2007, lapangan usaha ini memiliki nilai PB sebesar 106.604 jiwa (11,17 persen). Nilai PB yang negatif pada pra otonomi daerah dimungkinkan karena pada masa pra otonomi daerah terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan daya beli masyarakat akan bahan bangunan menurun. Sedangkan pada masa otonomi daerah dimana perekonomian mulai membaik, permintaan masyarakat akan bahan bangunan juga meningkat akibat dari cukup pesatnya kegiatan konstruksi di Jawa Tengah seperti untuk kantor pemerintahan, jalan, jembatan, pusat perbelanjaan, serta tempat tinggal.
Tabel 5.7. Pergeseran Bersih Kesempatan Kerja di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007
No
1 2 3
Lapangan Usaha
Pertanian Industri Pengolahan
Pra Otonomi Daerah Tahun 1996 dan 2000 Perubahan Absolut Relatif (Jiwa) (Persen) 152.396 2,67
PBi (Jawa Tengah) Era Otonomi Daerah Tahun 2001 dan 2003 Tahun 2004 dan 2007 Perubahan Perubahan Absolut Relatif Absolut Relatif (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) -343.999 -5,11 -447.614 -7,24
-296.367
-12,07
357.665
14,62
168.703
6,93
-84.120
-13,31
181.283
26,36
106.604
11,17
141.950
5,15
-14.968
-0,53
-189.966
-5,61
53.968
9,58
57.998
9,80
-42.890
-5,85
93.051
273,57
-64.954
-53,87
23.247
19,88
6
Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan
7
Jasa
-402.749
-21,17
-161.233
-10,31
198.176
13,20
Lainnya
-117.948
-55,49
49.481
50,33
-68.900
-31,58
Total
-459.820
-3,22
61.273
0,41
-252.640
-1,62
4 5
8
Sumber: BPS (Data diolah, contoh perhitungan seperti pada lampiran 9). Keterangan: Lapangan Usaha lainnya terdiri dari lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta listrik, gas dan air bersih.
Evaluasi profil pertumbuhan kesempatan kerja pada masing-masing lapangan usaha di Jawa Tengah dapat dilakukan dengan menggunakan empat kuadran yang terdapat pada garis bilangan. Gambar 5.1 dan 5.2 merupakan gambar profil pertumbuhan kesempatan kerja pada masing-masing lapangan usaha di Jawa Tengah pada masa pra otonomi daerah dan era otonomi daerah. Apabila lapangan usaha berada di kuadran I, berarti lapangan usaha tersebut memiliki pertumbuhan kesempatan kerja yang cepat dan daya saing yang baik bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Hal ini dikarenakan wilayah ini merupakan wilayah yang progresif (maju). Pada masa pra otonomi daerah, kuadran I hanya ditempati oleh lapangan usaha keuangan, perbankan dan jasa perusahaan. Namun pada awal otonomi daerah (periode 2001-2003), lapangan usaha ini mengalami
penurunan daya saing sehingga menempati kuadran II tetapi menempati kuadran I kembali pada periode 2004-2007. Kuadran II menunjukkan bahwa kesempatan kerja pada lapangan usaha tersebut memiliki pertumbuhan yang cepat namun berdaya saing kurang baik. Pra otonomi daerah, lapangan usaha yang berada di kuadran II ini antara lain adalah (1) pertanian, (2) industri pengolahan, (3) perdagangan, hotel dan restoran serta (4) transportasi dan komunikasi. Lapangan usaha industri pengolahan serta lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran bergeser ke kuadran IV era otonomi daerah periode 2001-2003. Pergeseran ke kuadran IV ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja pada lapangan usaha industri pengolahan serta lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran memiliki pertumbuhan yang lamban dan berdaya saing baik. Namun pada periode 2004-2007 lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran menempati kuadran II kembali. Sedangkan lapangan usaha industri pengolahan mengalami peningkatan yang cukup signifikan sehingga mampu menempati kuadran I. Hal ini menunjukkan bahwa era otonomi daerah pada periode ini, kebijakan pemerintah dalam mendorong industri pengolahan di Jawa Tengah yang ditopang oleh industri besar dan sedang, industri kecil dan kerajinan rumah tangga memberi pengaruh positif bagi industri pengolahan. Kesempatan kerja pada lapangan usaha pertanian masa pra otonomi daerah dan era otonomi daerah periode 2001-2003 selalu menempati kuadran II, mengalami pergeseran era otonomi daerah periode 2004-2007 menjadi kuadran III. Hal ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja pada lapangan usaha pertanian mengalami pertumbuhan yang lamban dan daya saing yang kurang baik. Berbeda
dengan lapangan usaha transportasi dan komunikasi yang selalu menempati kuadran II baik pada masa pra otonomi daerah maupun era otonomi daerah. Kuadran III pada masa pra otonomi daerah ditempati oleh lapangan usaha bangunan dan lapangan usaha lainnya yang terdiri dari pertambangan dan penggalian serta lapangan usaha listrik, gas dan air bersih. Kesempatan kerja pada lapangan usaha bangunan mengalami pergeseran yang cukup signifikan era otonomi daerah periode 2001-2003 dan periode 2004-2007 menjadi kuadran I. Berkembangnya pembangunan pusat-pusat perbelanjaan dan kantor-kantor pemerintahan di Jawa Tengah sehingga permintaan akan bahan bangunan meningkat pada masa otonomi daerah disinyalir menyebabkan lapangan usaha ini memiliki pertumbuhan yang cepat dan berdaya saing baik. Sedangkan lapangan usaha lainnya mengalami pergeseran ke kuadran IV era otonomi daerah periode 2001-2003. Hal ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja pada lapangan usaha ini memiliki pertumbuhan yang lamban dan berdaya saing baik. Namun mengalami pergeseran kembali ke kuadran III pada periode 2004-2007. Pada masa pra otonomi daerah dan era otonomi daerah periode 2001-2003, lapangan usaha jasa menempati kuadran IV yang menunjukkan bahwa kesempatan kerja pada lapangan usaha ini memiliki pertumbuhan yang lamban dan berdaya saing baik. Namun era otonomi daerah periode 2004-2007, lapangan usaha ini berhasil menempati kuadran I yang artinya memiliki pertumbuhan yang cepat dan berdaya saing baik bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Pada Gambar 5.1 dan 5.2 terlihat adanya garis diagonal 45° yang membagi kuadran II dan IV menjadi dua bagian, dimana bila terdapat lapangan usaha yang
berada di atas garis tersebut maka lapangan usaha tersebut tergolong lapangan usaha yang progresif (maju). Sedangkan jika terdapat lapangan usaha di bawah garis tersebut, maka lapangan usaha tersebut tergolong lambat dalam hal kesempatan kerja. Lapangan usaha yang tergolong progresif pada masa pra otonomi daerah adalah (1) pertanian, (2) perdagangan, hotel dan restoran, (3) transportasi dan komunikasi serta (4) keuangan, perbankan dan jasa perusahaan. Sedangkan lapangan usaha yang tergolong lambat adalah (1) industri pengolahan, (2) bangunan, (3) jasa dan (4) lapangan usaha lainnya. Era otonomi daerah periode 2001-2003, lapangan usaha yang tergolong progresif antara lain adalah (1) industri pengolahan, (2) bangunan, (3) transportasi dan komunikasi serta (4) lapangan usaha lainnya. Sedangkan lapangan usaha yang tergolong lambat adalah (1) pertanian, (2) perdagangan, hotel dan restoran, (3) keuangan, perbankan dan jasa perusahaan serta (4) jasa. Pada periode 2004-2007, lapangan usaha yang tergolong progresif adalah (1) industri pengolahan, (2) bangunan, (3) keuangan, perbankan dan jasa perusahaan serta (4) jasa. Lapangan usaha yang tergolong lambat adalah (1) pertanian, (2) perdagangan, hotel dan restoran, (3) transportasi dan komunikasi serta (4) lapangan usaha lainnya.
Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Tengah Pra Otonomi Daerah (1996 dan 2000) 300 250 200 150 100 50 PP
0
-60
-40
-20
-50
0 PPW
20
Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya
Gambar 5.1. Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha di Jawa Tengah Pra Otonomi Daerah (1996-2000)
40
Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Tengah Era Otonomi Daerah (2001-2003) Kuadran IV
80
Kuadran I
Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Tengah Era Otonomi Daerah (2004-2007) 10 Kuadran I Kuadran IV
60
5
40
-20
0
PP -30
-20
Kuadran III
-10 -20 0
0
PP
20 10
-10
-5 0
20
20
-40
-10
-60
-15
-80
10
Kuadran II
PPW Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya
Kuadran III
-20
Kuadran II
PPW Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya
Gambar 5.2. Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha di Jawa Tengah Era Otonomi Daerah (2001-2003 dan 2004-2007)
Pada Gambar 5.1 dan 5.2 dapat terlihat terdapat beberapa lapangan usaha yang mengalami pergeseran kesempatan kerja pada era otonomi daerah (periode 2001-2003 dan periode 2004-2007). Lapangan usaha tersebut adalah (1) pertanian, (2) industri pengolahan, (3) bangunan, (4) perdagangan, hotel dan restoran. Lapangan usaha yang mengalami pergeseran kesempatan kerja dari yang tergolong progresif pada pra otonomi daerah menjadi lambat pada era otonomi daerah adalah lapangan usaha pertanian serta perdagangan, hotel dan restoran, dimana pertanian mengalami penurunan pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan perdagangan, hotel dan restoran. Lapangan usaha yang mengalami pergeseran kesempatan kerja dari yang tergolong lambat pada pra otonomi daerah menjadi progresif era otonomi daerah adalah lapangan usaha bangunan dan industri pengolahan. Lapangan usaha bangunan mengalami pertumbuhan yang cukup drastis dibandingkan dengan industri
pengolahan.
Pesatnya
pertumbuhan
lapangan
usaha
bangunan
kemungkinan disebabkan dari meningkatnya permintaan masyarakat akan bahan bangunan karena Jawa Tengah membutuhkan kegiatan konstruksi yang tidak sedikit, baik untuk tempat tinggal, kantor, jalan, jembatan dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil analisis shift share, terlihat bahwa terjadi pertumbuhan yang cukup drastis pada kesempatan kerja di Jawa Tengah era otonomi daerah (tahun 2004-2007) dibandingkan dengan pertumbuhan kesempatan kerja pra otonomi daerah. Walaupun pada awal diberlakukannya otonomi daerah terlihat pertumbuhan kesempatan kerja yang lebih rendah dibandingkan pada masa pra otonomi daerah. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan otonomi daerah
yang telah berlaku selama tujuh tahun ini telah berdampak pada meningkatnya kesempatan kerja di Jawa Tengah. Namun jika dilihat kesempatan kerja pada masing-masing lapangan usaha, terdapat dua lapangan usaha yang mengalami pergeseran yang cukup signifikan dalam hal kesempatan kerja yaitu pertanian dan bangunan. Lapangan usaha pertanian mengalami penurunan pertumbuhan menjadi tergolong lambat era otonomi daerah, sedangkan lapangan usaha bangunan mengalami peningkatan pertumbuhan menjadi tergolong progresif era otonomi daerah. Pergeseran ini menunjukkan bahwa kebijakan otonomi daerah berdampak positif terhadap kesempatan kerja pada lapangan usaha bangunan dibandingkan dengan lapangan usaha pertanian. 5.2.
Analisis Migrasi di Provinsi Jawa Tengah Lucas, et al. (1984) menyatakan bahwa migrasi pada umumnya dilakukan
oleh orang yang masih muda dan berpendidikan tinggi atau mereka yang putus sekolah dan sedang mencari pekerjaan dibandingkan oleh orang yang sudah lanjut atau orang yang kurang berpendidikan. Migrasi yang dilakukan seseorang dari desa ke kota (Urbanisasi) merupakan suatu bagian dari proses modernisasi yang sulit untuk diingkari dan merupakan komponen utama dari migrasi dalam negeri. Terlebih di era globalisasi ini, transportasi dan komunikasi yang efisien mudah diperoleh sehingga lebih memudahkan seseorang untuk melakukan migrasi. Pernyataan ini sejalan dengan hasil survei urbanisasi yang dilakukan BPS tahun 1995 seperti terlihat pada Gambar 5.3. Gambar 5.3 menunjukkan bahwa komposisi umur pendatang yang berasal dari pedesaan menuju ke enam kota didominasi oleh pendatang yang berumur
muda (10-29 tahun). Persentase migran masuk yang berumur muda pada masingmasing kota adalah Medan (75,2); DKI Jakarta (77,8); Bandung (80,5); Semarang (82,8); Surabaya (81,2) dan Ujung Pandang (87,4). 60
Persentase
50 10-19
40
20-29
30
30-39
20
40-49
10
50+
0 M edan
Jakarta
Bandung Semarang Surabaya Kota
Ujung Pandang
Sumber: BPS, 1997.
Gambar 5.3. Distribusi Persentase Migran Masuk dari Daerah Pedesaan Menurut Golongan Umur Besarnya migrasi masuk dan keluar dari suatu Provinsi dapat menggambarkan keadaan mobilitas penduduk di suatu daerah. Pada Tabel 5.8 terlihat bahwa Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu Provinsi di Indonesia dengan jumlah migrasi keluar terbesar dibandingkan dengan Provinsi lainnya. Berdasarkan Hasil SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) tahun 1995, jumlah migran keluar seumur hidup dari Jawa Tengah mencapai 5.014.822 jiwa, sedangkan pada hasil Sensus Penduduk tahun 2000 terlihat adanya kenaikan jumlah migran keluar yang mencapai 5.354.459 jiwa dan meningkat kembali tahun 2005 menjadi 5.538.952 jiwa. Hal ini sangat berbeda dengan Jawa Barat dan DKI Jakarta yang memiliki jumlah migrasi masuk terbesar di Indonesia. Jawa Barat dan DKI Jakarta menjadi daerah tujuan para migran karena merupakan daerah pusat bisnis dan industri yang dikenal dengan kawasan Jabodetabek sehingga berpeluang besar dalam menyerap tenaga kerja.
Tabel 5.8. Migrasi Seumur Hidup Tahun 1995, 2000 dan 2005
Provinsi DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur
SUPAS 1995 Migran Migran Masuk Keluar 3.371.384 1.589.285 3.615.099 1.891.615 672.978 5.014.822 808.995 2.879.389
SENSUS 2000 Migran Migran Masuk Keluar 3.541.972 1.836.664 3.271.882 2.046.279 708.308 5.354.459 781.590 3.063.297
SUPAS 2005 Migran Migran Masuk Keluar 3.337.161 2.045.630 3.764.889 1.984.620 741.588 5.538.952 660.663 3.220.158
Sumber: BPS, 2006a.
Menurut Ravenstein (1885) dalam Lucas, et al. (1984), umumnya migran berpindah dari wilayah yang keadaan ekonominya kurang baik ke wilayah yang keadaan ekonominya lebih baik dalam jarak yang relatif dekat dari daerah asal migran tersebut. Letak Jawa Tengah yang cukup strategis diantara Jabodetabek dan Surabaya yang juga merupakan salah satu daerah industri terbesar di pulau Jawa ini, memberikan kemudahan bagi masyarakat Jawa Tengah untuk melakukan migrasi ke daerah tersebut. Perbedaan karakteristik pada masing-masing daerah menyebabkan adanya perbedaan karakteristik pada migran yang masuk ke daerah tujuan migran seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Sumatra Selatan dan Riau. Sebagai pusat bisnis, industri dan pemerintahan, migran yang masuk ke Jakarta mempunyai karakteristik yang khusus, terutama sebagian diantaranya mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan migran yang masuk ke daerah berbasis pertanian seperti Lampung. Masuknya migran potensial dan berkriteria khusus tersebut akan menguntungkan daerah tujuan karena memiliki sumberdaya manusia yang potensial pada pasar tenaga kerja. Namun disisi lain, terdapat kerugian di daerah asal migran tersebut karena kurangnya sumberdaya manusia
yang potensial sehingga penduduk yang tersisa hanyalah mereka yang kurang potensial dan tidak memiliki keahlian khusus. Data migrasi lima tahun yang lalu pada Tabel 5.9 menunjukkan bahwa migrasi keluar tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Tengah (Sensus 2000). Sedangkan pada SUPAS 1995 dan 2005, Jawa Tengah menempati urutan kedua dengan jumlah migran keluar sebesar 732.415 jiwa (SUPAS 1995) dan 662.193 jiwa (SUPAS 2005). Urutan pertama ditempati oleh DKI Jakarta dengan jumlah migran keluar sebesar 823.045 jiwa (SUPAS 1995) dan 734.584 jiwa (SUPAS 2005). Selain itu, pada Tabel 5.9 terlihat bahwa jumlah migran keluar dari DKI Jakarta lebih besar dibandingkan dengan jumlah migran masuknya. Berbeda dengan data pada Tabel 5.8 yang menunjukkan jumlah migasi seumur hidup, jumlah migran yang keluar dari DKI Jakarta selalu menunjukkan angka yang lebih kecil dibandingkan dengan migrasi masuknya. Lebih tingginya jumlah migran keluar pada data migrasi lima tahun yang lalu dimungkinkan selain dari faktor ekonomi (dipindah tugaskan di daerah lain) juga disebabkan dari faktor non ekonomi seperti pendidikan, karena banyak pelajar dari DKI Jakarta yang pindah ke daerah-daerah lain untuk meneruskan pendidikan terutama di tingkat perguruan tinggi. Tabel 5.9. Migrasi Lima Tahun Yang Lalu Tahun 1995, 2000 dan 2005
Provinsi DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur
Sumber: BPS, 2006a.
SUPAS 1995 Migran Migran Masuk Keluar 594.542 823.045 1.117.615 448.779 351.942 732.415 438.446 410.609
SENSUS 2000 Migran Migran Masuk Keluar 702.202 850.343 1097021 631.753 354204 1.017.494 185966 529.037
SUPAS 2005 Migran Migran Masuk Keluar 575.173 734.584 730.878 443.039 327.604 662.193 250.155 344.266
Arus migrasi seumur hidup antar Provinsi berdasarkan SUPAS 2005 menunjukkan bahwa terdapat lima daerah tujuan utama migran dari Jawa Tengah untuk migrasi seumur hidup dan dua diantaranya berada di luar Jawa yaitu DKI Jakarta (1.274.304 jiwa), Jawa Barat (1.206.544 jiwa), Lampung (529.746 jiwa), Banten (401.401 jiwa), Sumatra Selatan (349.736 jiwa). Penduduk Jawa Tengah yang melakukan migrasi paling banyak adalah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki (2.853.909 jiwa), sedangkan jumlah perempuan yang melakukan migrasi seumur hidup adalah sebesar 2.685.043 jiwa (Tabel 5.10). Tabel 5.10. Arus Migrasi Seumur Hidup Antar Provinsi (SUPAS 2005) dengan Tempat Lahir di Jawa Tengah No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tempat Tinggal Sekarang Sumatra Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Total
Sumber: BPS, 2006b.
Laki-laki 64.059 29.439 98.751 94.128 183.116 40.605 285.053 10.208 38.471 616.418 622.720 107.948 122.103 205.082 11.396 5.744 5.201 48.581 48.153 52.220 65.094 5.239 13.780 25.257 6.416 1.255 6.308 3.163 38.011 2.853.909
Perempuan 55.791 22.743 83.987 78.113 166.620 33.447 244.693 7.244 38.493 657.886 583.824 116.440 116.259 196.319 7.943 4.090 5.328 38.079 35.842 43.264 58.886 3.646 11.202 24.621 5.485 737 6.670 2.989 34.402 2.685.043
Laki-laki + Perempuan 119.850 52.172 182.738 172.241 349.736 74.052 529.746 17.452 76.964 1.274.304 1.206.544 224.388 238.362 401.401 19.339 9.834 10.529 86.660 83.995 95.484 123.980 8.885 24.982 49.878 11.901 1.992 12.978 6.152 72.413 5.538.952
Berbeda dengan hasil SUPAS 2005 pada arus migrasi seumur hidup, arus migrasi risen (migrasi lima tahun yang lalu) pada Tabel 5.11 menunjukkan bahwa terdapat lima daerah tujuan utama migran dan kelimanya berada di pulau Jawa yaitu DKI Jakarta (215.617 jiwa), Jawa Barat (145.599 jiwa), D.I. Yogyakarta (71.927 jiwa), Jawa Timur (48.860 jiwa) dan Banten (38.182 jiwa). Penduduk yang paling banyak melakukan migrasi risen ini adalah penduduk perempuan dengan jumlah 336.434 jiwa. Sedangkan jumlah laki-laki yang melakukan migrasi risen adalah 325.759 jiwa. Lebih besarnya jumlah perempuan yang melakukan migrasi risen dapat disebabkan karena alasan ikut suami pindah, pendidikan, maupun pekerjaan. Hasil SUPAS 2005 mengenai arus migrasi keluar Jawa Tengah ini sejalan dengan pernyataan Ravenstein mengenai jarak sebagai pertimbangan utama dalam menentukan daerah tujuan migrasi, dimana pada data tersebut terlihat bahwa ratarata para migran Jawa Tengah yang melakukan migrasi seumur hidup banyak menempati daerah di pulau Jawa lainnya atau luar Jawa yang jaraknya masih relatif dekat seperti Lampung dan Sumatra Selatan. Sedangkan dalam melakukan migrasi risen, para migran lebih memilih ke pulau Jawa.
Tabel 5.11. Arus Migrasi Risen Antar Provinsi (SUPAS 2005) dengan TempatTinggal Lima Tahun yang Lalu di Jawa Tengah No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tempat Tinggal Sekarang Sumatra Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Total
Laki-laki 1.805 2.177 9.525 4.459 3.906 2.607 7.557 699 7.576 88.124 79.681 32.865 30.751 16.484 3.473 1.159 2.497 2.872 3.551 6.893 6.061 356 671 4.861 354 182 1.022 687 2.904 325.759
Perempuan 1.357 1.404 6.083 3.592 2.496 2.087 5.597 566 15.114 127.493 65.918 39.062 18.109 21.698 2.869 527 1.617 2.194 2.106 3.417 5.236 173 705 4.397 266 284 271 1.796 336.434
Laki-laki + Perempuan 3.162 3.581 15.608 8.051 6.402 4.694 12.154 1.265 22.690 215.617 145.599 71.927 48.860 38.182 6.342 1.686 4.114 5.066 5.657 10.310 11.297 529 1.376 9.258 620 182 1.306 958 4.700 622.193
Sumber: BPS, 2006b.
Sebelum diimplementasikannnya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah PP No 25 tahun 2000, pengerahan atau pengendalian mobilitas penduduk menjadi wewenang pemerintah pusat sehingga berbagai masalah yang ditimbulkannya juga ditangani secara nasional. Namun sejak diberlakukannya dua undang-undang mengenai otonomi daerah, permasalahanpermasalahan tersebut akan ditanggulangi sendiri oleh daerah terutama dalam upaya pengendalian mobilitas penduduk melalui berbagai kebijakan di bidang
lainnya, misalnya di bidang kependudukan, ketenagakerjaan, ekonomi dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan PP No 25 tahun 2000 yang menyatakan bahwa daerah tidak mempunyai wewenang dalam penetapan pedoman mobilitas penduduk, maka kebijakan langsung mengenai pengendalian mobilitas penduduk tidak mungkin dilakukan. Setiap daerah memerlukan perlakuan yang berbeda-beda karena kondisi ekonomi, sosial, budaya dan kepentingan setiap daerah terhadap mobilitas penduduk yang berbeda. Daerah yang miskin dan padat penduduknya memiliki kepentingan dengan adanya migrasi keluar dalam upaya mengurangi beban daerah sekaligus mendapatkan remitan. Sebaliknya daerah yang berstatus kota besar dan metropolitan memiliki kecenderungan untuk menghambat migrasi masuk (terutama migran dengan kualitas kurang baik) karena kota tersebut akan menghadapi persoalan yang lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dari kedatangan migran tersebut. Karenanya, arus migrasi masuk ke kota-kota besar pada umumnya diarahkan pada mereka yang memiliki ketrampilan tertentu, sehingga mampu bersaing dan memiliki kontribusi terhadap pembangunan wilayah. Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnya menyebabkan penduduk terdorong atau tertarik untuk melakukan pergerakan dari satu daerah ke daerah lainnya. Oleh karena itu pembangunan daerah perlu diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan, serta mampu membuka daerah
terisolasi dan mempercepat pembangunan kawasan yang tertinggal, seperti Kawasan Timur Indonesia (Tjiptoherijanto, 2000). Penelitian ILO (2004) menyebutkan bahwa krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997-1998 telah mempengaruhi pola mobilitas tenaga kerja serta memicu mobilitas baru. Migrasi internal ke daerah-daerah perkotaan dapat dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi makro serta merupakan strategi peningkatan pendapatan bagi masyarakat miskin. Sementara itu, migrasi sementara dianggap sebagai satu cara untuk memaksimalkan pendapatan keluarga dan meminimalkan resiko (Stark, 1991 dalam ILO, 2004). Maraknya jumlah migran yang keluar dari Jawa Tengah menyebabkan berkurangnya sumberdaya manusia potensial dalam membangun Jawa Tengah. Terbukti dari data migrasi seumur hidup dan migrasi lima tahun yang lalu pada Tabel 5.8 dan 5.9 yang menunjukkan bahwa jumlah migrasi keluar dari Jawa Tengah selalu memiliki jumlah terbanyak. Berdasarkan data migrasi keluar tersebut, menunjukkan bahwa otonomi daerah belum cukup berperan dalam menurunkan jumlah migran keluar dari Jawa Tengah. Meningkatnya jumlah migran keluar ini diindikasikan dari kesempatan kerja yang ada di Jawa Tengah, dengan menganggap motif migrasi non ekonomi cenderung konstan. Kesempatan kerja terbesar di Jawa Tengah adalah pada lapangan usaha pertanian. Namun pada era otonomi daerah pertumbuhan kesempatan kerjanya lambat dan daya saingnya kurang baik dalam hal kesempatan kerja. Artinya, sebagian besar angkatan kerja di Jawa Tengah lebih memilih bekerja di luar pertanian dan bermigrasi ke daerah lainnya. Hal ini
mengindikasikan bahwa kesempatan kerja yang tersedia di Jawa Tengah untuk angkatan kerja yang berpendidikan cenderung rendah, sedangkan rata-rata pencari kerja di Jawa Tengah memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi. Pilihan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan yang dimiliki dan memperoleh pendapatan yang diharapkan menyebabkan mereka meninggalkan desa untuk bermigrasi menuju kota, terutama daerah industri seperti Jabodetabek dan Surabaya. Salah satu pertimbangannya adalah relatif dekatnya jarak yang dapat ditempuh para migran untuk menuju daerah pusat industri dan bisnis tersebut. Hasil penelitian ini relevan dengan teori migrasi Harris-Todaro yang menyatakan bahwa selisih upah desa-kota mendorong arus migrasi desa-kota. Walaupun kesempatan kerja di Jawa Tengah meningkat namun kesempatan kerja terbesar terdapat pada sektor pertanian dimana imbalan kerja pada sektor tersebut kurang menarik, sehingga migrasi keluar tetap meningkat. Pemerintah Jawa Tengah pada masa otonomi daerah ini telah merancang program pembangunan yang terdiri dari (1) perencanaan pembangunan yang bertumpu pada kapasitas daerah, (2) peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dan akuntabilitas aparatur pemerintah, (3) identifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan daerah, (4) peningkatan koordinasi dan kerjasama antar daerah, dan (5) peningkatan kerjasama antara DPRD dan Pemda berdasar atas asas kesetaraan. Sedangkan kebijakan dalam bidang ketenagakerjaan berdasarkan rencana strategis Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 antara lain adalah:
1. Mengembangkan ketenagakerjaan komprehensif yang diarahkan pada : a). Perluasan kesempatan kerja dan berusaha, b). Peningkatan kompetensi, daya saing dan kemandirian tenaga kerja, c). Peningkatan kesejahteraan tenaga kerja dan purna kerja, d). Peningkatan pengupahan, e). Peningkatan perlindungan dan pengembangan hubungan industrial, f). Pembinaan fasilitas kesejahteraan pekerja. 2. Meningkatkan kualitas dan kuantitas penempatan tenaga kerja dalam negeri melalui: a). Penyusunan
perencanaan
tenaga
kerja
daerah
(PTKD)
yang
komprehensif, b). Koordinasi penanggulangan pengangguran, c). Peningkatan relevansi pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja, d). Penyusunan master plan pelatihan, e). Peningkatan kualitas dan kuantitas penempatan tenaga kerja melalui, mekanisme Angkatan Kerja Lokal (AKL) dan Angkatan Kerja Antar Daerah (AKAD). Kebijakan pemerintah Jawa Tengah mengenai otonomi daerah dan ketenagakerjaan tersebut dapat dipandang cukup efektif dalam mengatasi masalah otonomi dan ketenagakerjaan. Namun mobilitas penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan akan terus berlangsung selama terdapat perbedaan pertumbuhan dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antar daerah pedesaan dan perkotaan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis shift share mengenai kesempatan kerja dan
migrasi pra dan era otonomi daerah di Jawa Tengah, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Secara keseluruhan terjadi peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja di Jawa Tengah era otonomi daerah terutama pada tahun 2004-2007 yang menunjukkan pertumbuhan sangat tinggi (5 persen), walaupun peningkatan kesempatan kerja pada awal otonomi daerah (0,38 persen) lebih kecil dibandingkan saat pra otonomi daerah (1,60 persen). Namun, kesempatan kerja yang meningkat ini belum dapat menurunkan angka pengangguran di Jawa Tengah secara signifikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah belum cukup berperan dalam menurunkan angka pengangguran di Jawa Tengah. 2. Jawa Tengah memiliki jumlah migran keluar terbesar dan selalu mengalami peningkatan khususnya pada data migrasi seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa otonomi daerah belum cukup berperan dalam menurunkan jumlah migran keluar dari Jawa Tengah. Meningkatnya jumlah migran keluar ini diindikasikan dari kesempatan kerja yang ada di Jawa Tengah, dengan menganggap motif migrasi non ekonomi cenderung konstan. Kesempatan kerja terbesar di Jawa Tengah adalah pada lapangan usaha pertanian. Namun pada era otonomi daerah pertumbuhan kesempatan kerjanya lambat dan daya
saingnya kurang baik dalam hal kesempatan kerja. Artinya, sebagian besar angkatan kerja di Jawa Tengah lebih memilih bekerja di luar pertanian dan bermigrasi ke daerah lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kesempatan kerja yang tersedia di Jawa Tengah untuk angkatan kerja yang berpendidikan cenderung rendah, sedangkan rata-rata pencari kerja di Jawa Tengah memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi.
6.2.
Saran
1. Tujuan dari otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah bersama-sama pemerintah pusat dapat bekerja sama untuk meningkatkan nilai tambah pertanian dari pada meningkatkan kesempatan kerja pada lapangan usaha ini. Karena jika kesempatan kerja di lapangan usaha ini ditingkatkan secara terusmenerus
maka
nilai
tambah
yang diharapkan
dapat
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat khususnya petani tidak akan terwujud, bahkan akan menyebabkan kemiskinan yang semakin bertambah di Jawa Tengah. 2. Untuk mencegah hilangnya SDM potensial di Jawa Tengah akibat migrasi keluar, maka pemerintah sebaiknya di era otonomi daerah ini lebih meningkatkan pembangunan di sektor bangunan maupun industri pengolahan. Hal ini dikarenakan sektor-sektor tersebut tergolong sektor yang progresif pada masa otonomi daerah. Melalui pembangunan sektor-sektor tersebut, tenaga kerja akan mengalir dari sektor pertanian ke sektor bangunan atau industri pengolahan, serta dapat meningkatkan nilai tambah pada sektor pertanian.
DAFTAR PUSTAKA Adriani, D. 2000. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keragaan Pasar Tenaga Kerja dan Migrasi Pada Periode Krisis Ekonomi di Indonesia [Tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik. 1996-2008. Jawa Tengah dalam Angka 1994-2008. BPS, Jawa Tengah. Badan Pusat Statistik. 1996-2008. Statistik Indonesia 1994-2008. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1997. Profil Migran Masuk di Enam Kota Besar (Medan, Bandung, Surabaya, Jakarta, Semarang, Ujung Pandang), Hasil Survei Urbanisasi 1995. BPS, Jakarta. Badan Pusat Stastisik. 2006a. Estimasi Parameter Demografi Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi Hasil SUPAS 2005. BPS, Jakarta. Badan Pusat Stastisik. 2006b. Penduduk Indonesia Hasil Survei Penduduk Antar Sensus 2005. BPS, Jakarta. Bellante, D. dan M. Jackson. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan. Lembaga Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramitha, Jakarta. Damanik, B. 2009. “Inti Undang-Undang Otonomi Daerah” [Simalungun Centre]. http://simalunguncentre.blogspot.com/2009/01/inti-undang-undangotonomi-daerah.html [8 Januari 2009]. Desiar, R. 2003. Dampak Migrasi Terhadap Pengangguran dan Sektor Informal di DKI Jakarta [Tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gunawati, T. T. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pasar Tenaga Kerja di Jawa Tengah [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Haris, S. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. LIPI Pers, Jakarta. ILO. 2004. Migrasi: Peluang dan Tantangan bagi Pengentasan Kemiskinan. Kantor Perburuhan Internasional, Jakarta. Lestari, E. F. 2006. AnalisisPertumbuhan Kesempatan Kerja Pra dan Pasca Otonomi Daerah di Propinsi DKI Jakarta [Skripsi]. Departemen Ilmu
Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lucas, D., P. McDonald, E. Young dan C. Young. 1984. Pengantar Kependudukan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Manning, C. dan T.N. Effendi. 1985. Urbanisasi, Pengangura, dan Sektor Informal di Kota. PT. Gramedia, Jakarta. Mardiasmo. 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah. www.ekonomirakyat.org. Prayitno, A. 2006. “Migrasi” [BPS Online]. http://demografi.bps.go.id/versi2/index.php?option=com_content&view =article&id=975&Itemid=139&lang=in [18 Mei 2006]. Salam, D. S. 2004. Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumberdaya. Djambatan, Jakarta. Sudrajat, I. 2005. “Prospek Ekonomi JATENG (1) Keluar Dari Pertumbuhan Stagnan” [Biro Perekonomian Provinsi Jawa Tengah]. http://biroperekonomian.jawatengah.go.id/index.php?option=com_conte nt&task=view&id=13&Itemid=43 [13 Januari 2005]. Todaro, M. P. dan Smith, S.C. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga, Jakarta. Tjiptoherijanto, P. 2000. Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi dalam Simposium Dua Hari. Kantor Mentrans dan Kependudukan/BAKMP, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Jawa Tengah Tahun 1996-2007
6
Lapangan Usaha Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan
7
Jasa
No. 1
1996 5.707.969
1997 5.615.330
1998 6.113.843
1999 6.009.557
2000 6.135.828
2001 6.730.367
2002 5.911.998
2003 6.384.700
2004 6.185.850
2005 6.339.024
2006 5.988.914
2007 6.147.989
245.589 632.195
2.224.111 848.809
2.129.703 617.762
2.580.134 676.714
2.276.679 578.584
2.447.195 687.807
2.725.958 842.184
2.804.254 868.920
2.435.606 954.038
2.551.679 902.627
2.703.414 911.843
2.765.644 1.123.838
2.755.629
2.789.653
2.917.844
2.935.487
3.030.564
2.826.300
3.179.356
2.810.632
3.383.520
3.318.128
3.408.887
3.417.680
563.211
56.096
635.529
595.236
644.359
592.019
673.970
649.870
732.844
675.111
680.223
738.498
34.014
62.560
69.579
52.835
128.706
120.576
82.436
55.592
116.940
114.426
101.919
147.933
1.902.550
1.890.946
1.619.601
1.670.944
1.591.617
1.563.961
1.648.720
1.402.340
1.501.110
1.557.398
1.625.151
1.798.720
Lainnya 212.574 131.533 82.992 100.242 104.885 98.317 90.234 147.774 Total 14.262.731 14.128.038 14.186.853 14.621.149 14.491.222 15.066.542 15.154.856 15.124.082 Sumber: BPS, 1996-2008 Keterangan: Lapangan Usaha Lainnya Termasuk Sektor Pertambangan dan Penggalian Serta Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih.
218.202 15.528.110
90.226 15.548.609
146.984 15.576.335
163.756 16.304.058
2 3
4
5
8
Lampiran 2. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menururt Lapangan Pekerjaan Utama di Indonesia Tahun 1996-2007 No. 1
Lapangan Usaha Pertanian
1996 37.720.251
1997 35.848.631
1998 39.414.765
1999 38.378.133
2000 40.676.713
2001 39.743.908
2002 40.633.627
2003 42.001.437
2004 40.608.019
2005 41.814.197
2006 40.136.242
2007 41206474
2 3
Industri Pengolahan Bangunan
10.773.038 3.796.228
11.214.822 4.200.200
9.933.622 3.521.682
11.515.955 3.415.147
11.641.756 3.497.232
12.086.122 3.837.554
12.109.997 4.273.914
10.927.342 4.106.597
11.070.498 4.540.102
11.652.406 4.417.087
11.890.170 4.697.354
12368729 5252581
16.102.552
17.221.184
16.814.233
17.529.099
18.489.005
17.469.129
17.795.030
16.845.995
19.119.156
18.896.902
19.215.660
20554650
3.942.799
4.137.653
4.153.707
4.206.067
4.553.855
4.448.279
4.672.584
4.976.928
5.480.527
5.552.525
5.663.956
5958811
689.733 11.728.495
656.724 12.637.533
617.722 12.394.273
633.744 12.224.654
882.600 9.574.009
1.127.823 11.003.482
991.745 10.360.188
1.294.832 9.746.381
1.125.056 10.513.093
1.042.786 10.576.572
1.346.044 11.35539
1399490 12019984
Lainnya 948.717 1.133.009 822.446 9140.06 522.560 1.091.120 810.081 885.405 Total 85.701.813 87.049.756 87.672.450 88.816.859 89.837.730 90.807.417 91.647.166 90.784.917 Sumber: BPS, 1996-2008 Keterangan: Lapangan Usaha Lainnya Termasuk Sektor Pertambangan dan Penggalian Serta Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih.
1.265.585 93.722.036
995.643 94.948.118
1.151.609 95.456.935
1.169.498 99930217
4
5
6 7 8
Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan Jasa
Lampiran 3. Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Pra dan Era Otonomi Daerah
No
Lapangan Usaha
1 Pertanian Total
Pra Otonomi Daerah Kesempatan Kerja (Jiwa) Perubahan Absolut Relatif 1996 2000 (Jiwa) (Persen) 5.707.969 6.135.828 427.859(1) 7,50(2) (3) 14.262.731 14.491.222 228.491 1,60(4)
Keterangan: (1) 427.859 = 6.135.828 - 5.707.969 (2) 7,50% = 427.859 100% 5.707.969
(3) 228.491 = 14.491.222 - 14.262.731 (4) 1,60% = 228.491 100% 14.262.731
Lampiran 4. Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Pra dan Era Otonomi Daerah
No
Lapangan Usaha
1 Pertanian Total
Pra Otonomi Daerah Kesempatan Kerja (Jiwa) Perubahan Absolut Relatif 1996 2000 (Jiwa) (Persen) 37.720.251 40.676.713 2.956.462(1) 7,84(2) 85.701.813 89.837.730 4.135.917(3) 4,83(4)
Keterangan: (1) 2.956.462 = 40.676.713 - 37.720.251 (2) 7,84% = 2.956.462 100% 37.720.251
(3) 4.135.917 = 89.837.730 - 85.701.813 (4) 4,83% = 4.135.917 100% 85.701.813
Lampiran 5. Contoh Perhitungan Rasio Kesempatan Kerja di Jawa Tengah dan Nasional (Nilai Ra, Ri, ri)
No
Lapangan Usaha
Pra Otonomi Daerah Tahun 1996 dan 2000
Era Otonomi Daerah Tahun 2001 dan Tahun 2004 dan 2003 2007
1 Pertanian
Ra Ri ri (1) (2) 0,05 0,08 0,07(3)
Ra -0,00
Ri 0,06
ri -0,05
Ra 0,07
Ri 0,01
ri -0,01
Total
0,05(4) 0,05(5) 0,02(6)
-0,00
-0,00
0,00
0,07
0,07
0,05
Keterangan: (1) 0,05 = 89.837.730 85.701.813 85.701.813 (2) 0,08 = 40.676.713 37.720.251 37.720.251
(3) 0,07 = 6.135.828 5.707.969 5.707.969
(4) 0,05 = 89.837.730 85.701.813 85.701.813 89 . 837 .730 85.701.813 (5) 0,05 = 85.701.813 (6) 0,02 = 14.491.222 14.262.731 14.262.731
Lampiran 6. Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 PNi (Jawa Tengah) Era Otonomi Daerah Pra Otonomi Daerah Tahun 1996 dan Lapangan Tahun 2001 dan Tahun 2004 dan No 2000 Usaha 2003 2007 Perubahan Perubahan Perubahan Absolut Relatif Absolut Relatif Absolut Relatif (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) 1 Pertanian 275.463(1) 4,83(2) -1.668 -0,02 409.753 6,62 (3) (4) Total 688.311 4,83 -3.733 -0,02 1.028.588 6,62 Keterangan: (1) 275.463 = 0,05 5.707.969 (2) 4,83% = 275.463 100% 5.707.969 (3) 688.311 = Penjumlahan nilai PNi (Jawa Tengah) pada seluruh lapangan usaha pra otonomi daerah (4) 4,83% = 688.311 100% 14.262.731
Lampiran 7. Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007
No
1
Lapangan Usaha
Pertanian Total
PPi (Jawa Tengah) Era Otonomi Daerah Pra Otonomi Daerah Tahun 1996 dan Tahun 2001 dan Tahun 2004 dan 2000 2003 2007 Perubahan Perubahan Perubahan Absolut Relatif Absolut Relatif Absolut Relatif (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) 171.920(1) 3,01(2) 383.965 5,70 -318.590 -5,15 -32.574(3) -0,23(4) -10.193 -0,07 43.029 0,28
Keterangan: (1) 171.920 = (0,08 – 0,05) 5.707.969 (2) 3,01% = 171.920 100% 5.707.969 (3) -32.574 = Penjumlahan nilai PPi (Jawa Tengah) pada seluruh lapangan usaha pra otonomi daerah 32.574 (4) -0,23% = 100% 14.262.731
Lampiran 8. Contoh Perhitungan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Komponen Pangsa Wilayah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007
No
Lapangan Usaha
1 Pertanian Total
PPWi (Jawa Tengah) Era Otonomi Daerah Pra Otonomi Daerah Tahun 1996 dan Tahun 2001 dan Tahun 2004 dan 2000 2003 2007 Perubahan Perubahan Perubahan Absolut Relatif Absolut Relatif Absolut Relatif (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) -19.524(1) -0,34(2) -727.965 -10,82 -129.024 -2,09 (3) (4) -427.245 -3,00 71.467 0,47 -295.669 -1,90
Keterangan: (1) -19.524 = (0,07 – 0,08) 5.707.969 (2) -0,34% = 19.524 100% 5.707.969 (3) -427.245 = Penjumlahan nilai PNi (Jawa Tengah) pada seluruh lapangan usaha pra otonomi daerah (4) -3,00% = 427.245 100% 14.262.731
Lampiran 9. Contoh Perhitungan Pergeseran Bersih Kesempatan Kerja di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007
No
Lapangan Usaha
1 Pertanian Total
Pra Otonomi Daerah Tahun 1996 dan 2000 Perubahan Absolut Relatif (Jiwa) (Persen) 152.396(1) 2,67(2) -459.820(3) -3,22(4)
PBi (Jawa Tengah) Era Otonomi Daerah Tahun 2001 dan Tahun 2004 dan 2003 2007 Perubahan Perubahan Absolut Relatif Absolut Relatif (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) -343.999 -5,11 -447.614 -7,24 61.273 0,41 -252.640 -1,62
Keterangan: (1) 152.396 = 171.920 + (-19.524) (2) 2,67% = 152.396 100% 5.707.969
(3) -459.820 = Penjumlahan nilai PBi (Jawa Tengah) pada seluruh lapangan usaha pra otonomi daerah (4) -3,22% = 459.820 100% 14.262.731