PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH JAWA TIMUR SERTA KAITANNYA DENGAN MIGRASI PENDUDUK
OLEH KATRIN NADA H14050967
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
KATRIN NADA. Pertumbuhan Kesempatan Kerja pada Pra dan Era Otonomi Daerah Jawa Timur serta Kaitannya dengan Migrasi Penduduk (dibimbing oleh MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL). Jawa Timur adalah kawasan penting pertumbuhan industri dan perdagangan (bisnis) di Indonesia. Letaknya yang strategis yaitu antara pulau Bali dan Yogyakarta menjadi simpul penting yang menghubungkan kota-kota pertumbuhan di wilayah tengah dan timur Indonesia, sekaligus jembatan penghubung dengan wilayah barat Indonesia (Pusdatin Pertanian, 2003). Pada saat krisis ekonomi melanda, kontribusi sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) di Jawa Timur terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) mengalami penurunan. Krisis ekonomi ini merupakan salah satu dampak negatif dari sistem pemerintahan yang sentralistik. Melihat kondisi tersebut, pemerintah mengeluarkan UU No. 22/1999 yang direvisi menjadi UU No. 32/2004 mengenai sistem pemerintahan desentralistik. Sistem yang desentralistik mengindikasikan bahwa daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, dan peningkatan penerimaan daerah. Hal ini dimaksudkan agar daerah otonom lebih mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial dan kesempatan kerja. Otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Kondisi perekonomian pada suatu daerah erat kaitannya dengan arus migrasi karena pada hakekatnya migrasi merupakan refleksi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat seberapa efektif pelaksanaan otonomi daerah terutama dalam meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja dan mengurangi migrasi keluar. Untuk bisa melihat seberapa besar pertumbuhan kesempatan kerja, digunakan alat analisis Shift Share. Setelah mengetahui efektivitas pelaksanaan otonomi daerah, maka akan dapat dihasilkan suatu rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas tersebut. Peraturan mengenai otonomi sebenarnya telah ada sejak zaman Orde Baru dengan sistemnya yang sentralistik. Dengan terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, pemerintah sadar bahwa sistem sentralistik kurang baik bagi Indonesia yang sangat majemuk kondisi wilayah dan masyarakatnya. Oleh karena itu, diberlakukan lah otonomi daerah yang desentralistik. Namun, pada awal pelaksanaan otonomi daerah terjadi penyalahgunaan wewenang yang sangat besar oleh pemerintah daerah. Salah satunya adalah penyalahgunaan dana pembangunan. Pemerintah pun melakukan revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 2004. Selain itu pemerintah juga menetapkan banyak aturan mengenai otonomi daerah.
Dampak dari penyalahgunaan wewenang ini tercermin dari hasil analisis yang menunjukkan bahwa pada awal pelaksanaan otonomi daerah pertumbuhan kesempatan kerja secara keseluruhan mengalami penurunan. Kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam membangun perekonomian daerah terutama terhadap pertumbuhan sektor-sektor usaha menjadi salah satu faktor penyebab turunnya pertumbuhan kesempatan kerja. Beberapa peneliti dari LIPI menyatakan bahwa pada awal pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah lebih berkonsentrasi terhadap pembangunan gedung-gedung dan fasilitas lainnya. Hal ini bisa dapat dilihat dari meningkatnya pertumbuhan kesempatan kerja secara signifikan pada sektor bangunan. Melihat hal yang demikian, pemerintah lebih meningkatkan lagi aturanaturan pelaksanaan otonomi daerah. Ditengah pertumbuhan industri dan bisnis yang semakin pesat, pertumbuhan kesempatan kerja pun (2004-2007) secara agregat terlihat mengalami peningkatan walaupun tidak terlalu besar. Namun, masih terdapat beberapa sektor yang mengalami penurunan pertumbuhan kesempatan kerja seperti sektor bangunan; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor pertambangan dan galian serta sektor listrik, gas, dan air bersih. Seharusnya peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja dapat mengurangi migrasi keluar. Namun, jumlah migran keluar seumur hidup di Jawa timur (absolut dan relatif) pada era otonomi daerah ternyata lebih banyak jika dibandingkan pada saat belum diberlakukannya otonomi daerah. Hal ini dikarenakan faktor penarik dari daerah tujuan lebih besar dibandingkan faktor pendorongnya. Sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Namun, kondisinya sudah mengalami excess supply di mana jumlahnya hampir mencapai tiga kali lipat sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Padahal sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor dengan jumlah tenaga kerja terbesar kedua di Jawa Timur. Adapun sektor-sektor yang selalu mempunyai kontribusi positif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja adalah sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor yang kurang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan kesempatan kerja adalah sektor pertambangan dan galian, serta sektor listrik,gas dan air bersih. Pertumbuhan kesempatan kerja yang tinggi menjadi prioritas pelaksanaan otonomi daerah. Namun, pertumbuhan kesempatan kerja pada sektor pertanian membuat produktivitas pertanian semakin berkurang. Agar pertumbuhan kesempatan kerja dapat meningkatkan produktivitas dan nilai tambah petani, maka pertumbuhan kesempatan kerja lebih diprioritaskan kepada sektor-sektor usaha yang mempunyai kontribusi positif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja dan dapat memberikan nilai tambah para petani. Adapun salah satu sektor yang dapat memberikan nilai tambah kepada para petani adalah industri pengolahan produk-produk pertanian.
PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH JAWA TIMUR SERTA KAITANNYA DENGAN MIGRASI PENDUDUK
Oleh KATRIN NADA H14050967
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi : PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH JAWA TIMUR SERTA KAITANNYA DENGAN MIGRASI PENDUDUK Nama
: Katrin Nada
NIM
: H14050967
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D NIP. 19570904 198303 1 005
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
Agustus 2009
Katrin Nada H14050967
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Desember 1988 dari pasangan Saiful Bachri dan Sofiawati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah Pancoran Jakarta pada tahun 1993 sampai dengan tahun 1999, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 104 Jakarta pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 55 Jakarta pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis diterima dan mengikuti program Tingkat Persiapan Bersama (TPB) di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pada tahun 2006 penulis diterima di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani masa pendidikan formal, penulis telah mengikuti beberapa lomba sains tingkat provinsi dan mendapat beberapa penghargaan. Selama menjalani masa perkuliahan, penulis berpartisipasi dalam organisasi kemahasiswaan di Fakultas Ekonomi dan Manajemen yaitu SES-C (Sharia Economic Study Club), menjadi anggota asosiasi asisten dosen departemen, menjadi panitia di beberapa kegiatan kampus, dan mengikuti beberapa seminar serta pelatihan.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Pertumbuhan Kesempatan Kerja pada Pra dan Era Otonomi Daerah Jawa Timur serta Kaitannya dengan Migrasi Penduduk”. Otonomi daerah merupakan topik yang masih ramai diperbincangkan, terutama mengenai efektifitas pelaksanaannya. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian dengan topik tersebut. Penulis mengucapkan terima kasih kepada M. Parulian Hutagaol, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Alla Asmara, M.Si dan Syamsul H. Pasaribu, M.Si. selaku dosen penguji dan Komisi Pendidikan atas kritik dan sarannya yang sangat bermanfaat. Penulis juga berterima kasih kepada kedua orang tua (Saiful Bachri dan Sofiawati) dan sanak saudara yang telah mencurahkan kasih sayangnya selama ini dan selalu berdoa untuk penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak Badan Pusat Statistik yang membantu dalam perolehan data. Terakhir kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi yang nyata untuk berbagai pihak.
Bogor, Agustus 2009
Katrin Nada H14050967
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ......................................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ v DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... vi I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................................. 4 1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6 1.4. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 7 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 7 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ............................ 9 2.1. Tinjauan Teori ............................................................................................ 9 2.1.1. Konsep Otonomi Daerah ................................................................ 9 2.1.2. Definisi Tenaga Kerja, Kesempatan Kerja, dan Pengangguran ........................................................................ 12 2.1.3. Konsep Pasar Tenaga Kerja ........................................................... 13 2.1.4. Migrasi .......................................................................................... 17 2.1.5. Korelasi Otonomi Daerah dan Kesempatan Kerja ........................ 22 2.1.6. Korelasi Otonomi Daerah dan Migrasi Keluar (Urbanisasi) ......... 24 2.1.7. Konsep Shift Share ....................................................................... 26 2.2. Kerangka Pemikiran ................................................................................ 30 III. METODE PENELITIAN ................................................................................. 33 3.1. Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 33 3.2. Metode Analisis Data ............................................................................. 33 3.2.1. Analisis Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional .................. 34 3.2.2. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Kesempatan Kerja Nasional (nilai ri, Ri dan Ra) ............................................. 36 3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah .................................. 38
3.2.4. Analisis Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian ..................... 41 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR ....................................... 44 4.1. Wilayah Kependudukan .......................................................................... 44 4.2. Ketenagakerjaan ..................................................................................... 46 4.3. Kondisi Perekonomian Propini Jawa Timur ............................................. 48 4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur .............. 48 4.3.2. Pendapatan Regional Provinsi Jawa Timur .................................. 49 4.3.3. Kemiskinan ................................................................................... 51 V. ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA .............................. 53 5.1. Analisis Kesempatan Kerja Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah (1996-2000, 2001-2003, 2004-2007) ........................................ 53 5.2. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional pada Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007) ...... 62 5.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah pada Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007) ..................... 65 5.4. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Kesempatan Kerja Jawa Timur padaPra dan Era Otonomi Daerah (I dan II) Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 .................................................... 71 5.5. Peran Pertumbuhan Kesempatan Kerja dalam Mengurangi Jumlah Migrasi Keluar ....................................................................................... 78 VI. PENUTUP ...................................................................................................... 81 6.1. Kesimpulan ............................................................................................ 81 6.2. Saran ...................................................................................................... 82 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 84 LAMPIRAN ......................................................................................................... 87
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
4.1. Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Termasuk Angkatan Kerja di Provinsi Jawa Timur (2005-2007) ................................................. 47 4.2. PDRB Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003-2007 ............................................... 49 4.3. Rencana dan Realisasi Anggaran Pendapatan Menurut Jumlah Penerimaan Provinsi Jawa Timur Tahun 2006 ............................................ 50 4.4. Rencana dan Realisasi Pendapatan Jawa Timur (2002-2006) ..................... 51 5.1. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah I Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003 .................... 53 5.2
Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Indonesia pada Pra dan Era Otonomi Daerah I Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003 .......................................... 56
5.3. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur pada Era Otonomi Daerah I dan II Tahun 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ................ 58 5.4. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Indonesia pada Era Otonomi Daerah I dan II Tahun 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ................ 60 5.5. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional (Nilai Ra, Ri, dan ri) ..................................................................................... 62 5.6
Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 .......................................... 66
5.7. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 .............................. 68 5.8. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ............................... 70 5.9. Pergeseran Bersih Provinsi Jawa Timur Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007 ..................................................................... 72
5.10. Jumlah Migrasi (Absolut) Provinsi Jawa Timur ......................................... 79 5.11. Jumlah Migrasi (Relatif) Provinsi Jawa Timur ........................................... 79
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Fungsi Permintaan, Penawaran, dan Pasar Tenaga Kerja ............................ 15 2.2. Dampak Pertumbuhan Populasi pada Tingkat Modal Per Pekerja ............. 23 2.3. Model Analisis Shift Share ......................................................................... 27 2.4. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian .................................................. 29 2.5. Kerangka Pemikiran .................................................................................... 32 4.1. Grafik Kepadatan Penduduk di Sejumlah Daerah di Jawa Timur Tahun 2007 .................................................................................................. 45 4.2. Grafik Pertumbuhan Kepadatan Penduduk Jawa Timur (1996 - 2007) ....... 46 4.3. Grafik Jumlah Angkatan Kerja Tiap Kabupaten/Kota di Jawa Timur (2005-2007) ................................................................................................. 46 4.4. Grafik Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Jawa Timur Bulan Maret 2008 ....................... 52 5.1. Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Timur pada Pra Otonomi Daerah (1996 dan 2000) ........................................................................................... 74 5.2. Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Timur pada Era Otonomi Daerah I (2001 dan 2003) ............................................................................ 75 5.3. Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Timur pada Era Otonomi Daerah II (2004 dan 2007) ........................................................................... 76
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah ......................................... 87 2. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah ......................................... 87 3. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional (Nilai Ra, Ri, ri) ......................................................................................... 88 4. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional pada Pra dan Era Otonomi Daerah ..................................................................... 88 5. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional pada Pra dan Era Otonomi Daerah ..................................................................... 89 6. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah padaPra dan Era Otonomi Daerah ............................................... 89 7. Pergeseran Bersih Provinsi Jawa Timur Pra dan Era Otonomi Daerah ..... 90
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Konsep otonomi menurut UU No. 5 tahun 1974 tentang otonomi
dipandang sebagai penyebab dari berbagai kekurangan yang menyertai perjalanan pemerintahan dua dekade terakhir. Pendekatan sentralistik yang dipakai seringkali dilandaskan kepada argumentasi seolah-olah pendekatan sentralistik merupakan suatu konsekuensi dari sistem negara kesatuan. Padahal, UUD 1945 sangat menghargai hak-hak otonom dan hak-hak daerah yang bersifat istimewa. Selain itu, kebhinekaan budaya masyarakat Indonesia, keanekaragaman kondisi geografis, dan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara satu daerah dengan daerah lainnya, akan sulit untuk menerapkan pendekatan yang seragam dalam proses pemerintahan daerah. Penerapan pendekatan yang terpusat juga menyebabkan semakin kuatnya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat. Hal ini kemudian mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas pemeritah dan masyarakat daerah. Pendekatan sentralistik menambah beban pemerintah pusat dan menambah masalah yang semakin kompleks sehingga pemerintah sulit membuat kebijakankebijakan yang secara cepat merespon dinamika dan tantangan yang dihadapi. Misalnya saja pada saat Thailand terkena serangan krisis moneter di bulan Juli 1997, pemerintah bersifat optimistik karena pemerintah merasa fundamental ekonomi negara cukup kuat dan cadangan devisa masih mampu merespon kebutuhan transaksi berjalan. Namun, ketika serangan itu datang pada bulan Agustus 1997 keadaan ekonomi Indonesia bahkan lebih parah dibandingkan
Thailand. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS merosot tajam dari 40 persen di awal krisis ke 80 persen di bulan Mei 1998. Banyak perusahaan yang tutup dan jumlah pengangguran meningkat. Pemerintah daerah juga sudah lama kehilangan kreativitas sehingga mereka tidak bisa langsung tanggap untuk menangani krisis moneter. Dari kejadian tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah gagal memahami dan mengantisipasi gejala krisis ekonomi dan keuangan global. Hal ini disebabkan, dalam waktu yang cukup lama pemerintah pusat telah menggunakan terlalu banyak waktu untuk mengurus masalah-masalah domestik. Jawa Timur adalah kawasan penting pertumbuhan industri dan perdagangan (bisnis) di Indonesia. Letaknya yang strategis yaitu antara pulau Bali dan Yogyakarta menjadi simpul penting yang menghubungkan kota-kota pertumbuhan di wilayah tengah dan timur Indonesia, sekaligus jembatan penghubung dengan wilayah barat Indonesia (Pusdatin Pertanian, 2003). Pada saat krisis ekonomi melanda, kontribusi sektor sekunder (industri) di Jawa Timur terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) mengalami penurunan yaitu sebesar 38,16 persen pada tahun 1997 menjadi 35,11 persen pada tahun 1998 dan 33,89 persen pada tahun 1999. Kontribusi sektor tersier terhadap PDRB juga mengalami penurunan yaitu dari 43,5 persen pada tahun 1997 menjadi 42,72 persen pada tahun 1998 dan 42,64 persen pada tahun 1999. Adapun kontribusi sektor primer terhadap PDRB justru mengalami peningkatan yaitu dari 18,24 persen pada tahun 1997 menjadi 22,1 persen pada tahun 1998 dan 27,43 persen pada tahun 1999 (Susilowati, 2003).
Terjadinya krisis ekonomi semakin menguatkan argumen bahwa sistem sentralistik tidak cocok diterapkan di Indonesia. Sistem yang sentralistik hanya akan membuat pemerintah pusat kurang fokus mengurusi masalah perekonomian nasional dan kurang memantau perekonomian dunia. Dengan demikian pemerintah memberlakukan kebijakan desentralisasi melalui UU No. 22 tahun 1999. Namun, peraturan ini mengalami revisi yang tertera pada UU No. 32 tahun 2004. Hal ini dikarenakan banyak penyalagunaan wewenang dan penyalahartian konsep yang tertera pada UU No. 22 tahun 1999 oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu, UU No. 32 tahun 2004 diberlakukan untuk lebih mengikatkan penggunaan wewenang pemerintah daerah pada aturan undang-undang. Hakekat mendasar dari diberlakukannya kebijakan desentralistik adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) melalui prinsip demokrasi, peran
serta
masyarakat,
pemerataan,
keadilan
dengan
potensi
dan
keanekaragaman. Berkaitan dengan itu, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, dan peningkatan penerimaan daerah. Hal ini dimaksudkan agar daerah otonom lebih mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial dan kesempatan kerja (Dirjen PMD Depdagri dalam Widjaja, 2003) Sebenarnya tujuan utama pemberlakuan kebijakan otonomi daerah ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun tujuan lainnya dari kebijakan desentralisasi tersebut adalah membebaskan pemerintah pusat dari
beban-beban yang tidak perlu dalam
menangani urusan domestik sehingga
diharapkan dapat lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis.di bidang ekonomi. Otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian, unit-unit lapangan usaha dapat ditingkatkan sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja. Pertumbuhan kesempatan kerja yang berhasil ditingkatkan seharusnya dapat mendorong masyarakat untuk tidak melakukan migrasi keluar. Hal ini berkaitan dengan salah satu alasan terjadinya migrasi yaitu ingin mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pada hakekatnya migrasi penduduk merupakan refleksi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pengurangan migrasi keluar yang terjadi di Jawa Timur ini secara tidak langsung akan menurunkan laju urbanisasi ke DKI Jakarta dan Jawa Barat. Jika migrasi keluar dapat dikurangi berarti selain peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja, otonomi daerah juga berhasil mengurangi migrasi keluar.
1.2.
Perumusan Masalah Pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk mengubah kebijakan sentralisasi menjadi desentralisasi karena kebijakan sentralisasi tersebut telah terjadi selama
32 tahun. Banyak sekali terjadi konflik kepentingan agar kondisinya tidak berubah secara radikal (Mawardi, 2009) Asas desentralisasi pada dasarnya adalah memberikan kesempatan dan kekuasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pemerintah daerah lebih mengetahui kondisi daerah dan masyarakatnya sehingga diharapkan pembangunan daerah dapat berjalan lebih baik lagi. Namun, dalam pelaksanaan otonomi daerah, dibutuhkan suatu tolok ukur keberhasilan. Salah satunya adalah membandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat sebelum dan sesudah otonomi daerah. Adapun seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan pertumbuhan
ekonomi
yang
disertai
dengan
peningkatan
pertumbuhan
kesempatan kerja. Kesejahteraan masyarakat di suatu daerah itulah yang menjadi salah satu faktor penentu seseorang melakukan migrasi atau tidak. Untuk lebih spesifiknya, poin-poin yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain : (1) Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di berbagai pelosok daerah. Peningkatan kesejahteraan masyarakat diupayakan melalui
peningkatan
pertumbuhan
ekonomi
daerah
tersebut.
Agar
pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah, maka peningkatan pertumbuhan ekonomi harus dapat meningkatkan kesempatan kerja di daerah tersebut. Sejauh mana otonomi daerah berhasil meningkatkan kesempatan kerja di Jawa Timur dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya?
(2) Pertumbuhan yang diiringi peningkatan kesempatan kerja di Jawa Timur akan memiliki daya tarik tersendiri bagi para penduduknya untuk tidak melakukan migrasi
keluar.
Sampai
sejauh
mana
hasil
yang
dicapai
selama
penyelenggaraan otonomi daerah ini dapat mengurangi jumlah migrasi keluar? (3) Kebijakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai keberhasilan yang lebih baik lagi dalam penyelenggaraan otonomi daerah terutama untuk mencapai pemerataan pembangunan Jawa Timur?
1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut : (1) Menelaah
pengaruh
dilaksanakannya
otonomi
daerah
terhadap
laju
pertumbuhan kesempatan kerja, pertumbuhan lapangan usaha dan daya saing lapangan usaha di Jawa Timur. (2) Menelaah sejauh mana otonomi daerah dapat mengurangi jumlah migrasi di Jawa Timur. (3) Menelaah kebijakan yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai keberhasilan yang lebih baik lagi dalam penyelenggaraan otonomi daerah terutama agar kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Jawa Timur.
1.4.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
(1) Menjadi sumber informasi dan sebagai bahan rujukan untuk memikirkan strategi terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan daerah yang dapat meningkatkan kesempatan kerja. (2) Memecahkan masalah kesempatan kerja dimana masalah tersebut menjadi salah satu prioritas dilakukannya otonomi daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (3) Bagi ekonom, penelitian ini dapat dijadikan rujukan analisis perekonomian dan analisis strategi kebijakan dalam meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja yang terbaik dan pada akhirnya mengurangi angka migrasi keluar di Jawa Timur. (4) Menjadi bahan referensi di kalangan akademisi untuk penelitian selanjutnya.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini berkisar pada pertumbuhan kesempatan kerja
di Provinsi Jawa Timur sebelum dan setelah otonomi daerah. Besarnya kesempatan kerja nantinya akan dihubungkan dengan jumlah migrasi keluar (urbanisasi). Kedua kondisi tersebut yang akan menjadi tolok ukur keberhasilan otonomi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kurun waktu penelitian adalah 1996- 2007 yang dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama adalah tahun 1996-2000 (pra otonomi daerah), periode kedua adalah tahun 2001-2003 (era otonomi daerah I), periode ketiga adalah tahun 2004-2007 (era otonomi daerah II). Pembagian periode pasca otonomi daerah
ditujukan untuk menjaga kefektivitasan hasil analisis Shift Share. Selain itu adanya revisi undang-undang otonomi daerah juga menjadi alasan pembagian periode tersebut. Pada periode era otonomi daerah I (2001-2003) berlandaskan UU No.22/1999, sedangkan pada periode era otonomi daerah II (2004-2007) berlandaskan pada UU No.32/2004.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Tinjauan Teori
2.1.1. Konsep Otonomi Daerah Peraturan tentang otonomi telah ada sejak zaman Orde Baru yang tertera dalam UU No. 5 tahun 1974. Menurut undang-undang tersebut otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur serta mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, pelaksanaannya masih mengarah kepada sistem sentralistik. Mengingat kemampuan pemerintah pusat mensubsidi daerah dan membiayai proyek-proyek pemerintah di daerah semakin menurun maka pemerintah memberlakukan suatu peraturan mengenai otonomi daerah yang mengarah kepada sistem desentaralisasi. Peraturan mengenai otonomi daerah ini tertera pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Berdasarkan Undang-Undang No 22 tahun 1999, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas daerah tertentu yang berwenang mengelola, mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Sedangkan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Namun, ada perubahan terhadap UU No. 22/1999. Perubahan itu tercermin pada UU No. 32 tahun 2004. Berdasarkan UU No. 32/2004 pasal 10 ayat 3 otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut undang-undang tersebut, otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah dalam konteks nasional adalah memelihara keutuhan negara dan bangsa, melembagakan proses seleksi kepemimpinan nasional dan mempercepat pencapaian kemakmuran rakyat. Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah serta melindungi hak-hak masyarakat lokal (LIPI, 2002). Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada tahap awal telah menimbulkan masalah baru. Karena otonomi daerah dilandaskan atas nilai-nilai kebebasan dimana kebebasan tersebut tidak mampu dikendalikan oleh pihak yang menjalankan kebebasan itu sendiri dan lemahnya penegakan hukum banyak mendatangkan dampak negatif. Polemik pun timbul di kalangan masyarakat. Pemerintah beranggapan bahwa UU No. 22 tahun 1999 memberikan otonomi daerah yang terlalu luas dan tidak jelas sehingga memberikan kesempatan bagi daerah-daerah untuk mengambil langkah-langkah yang merugikan pelaksanaan otonomi daerah. Menurut tinjauan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ada tiga alasan pemerintah meninjau ulang pelaksanaan otonomi daerah
dengan mengadakan revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999. Ketiga alasan tersebut adalah sebagai berikut : (1) Kewenangan yang besar dari DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) sebagai akibat berubahnya DPRD yang semula merupakan bagian dari pemerintah daerah menjadi lembaga legislatif di daerah. Praktek money politics (tawarmenawar dalam memperoleh dana) di antara aparat pemerintahan pun mudah terjadi. (2) Kecenderungan banyak pemerintah kebupaten dan kota untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan sumber-sumber penghasil dana dengan cara menaikkan retribusi dan pajak. Dalam jangka panjang, peningkatan retribusi dan pajak justru akan merugikan daerah yang bersangkutan karena menyulitkan para pedagang dan pengusaha serta menjauhkan para calon investor. Di negara maju, menaikkan pajak adalah langkah terakhir yang ditempuh pemerintah untuk menaikkan pendapatan negara karena merugikan rakyat banyak. (3) Adanya masalah hierarki antara pemerintah daerah pada tingkat Provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Kewenangan yang besar yang diberikan kepada kabupaten/kota menimbulkan persepsi di kalangan pejabat pemerintah daerah bahwa mereka tidak lagi terikat dan tunduk kepada pemerintah pusat tingkat Provinsi. Padahal kenyataannya peran gubernur masih tetap penting dalam mengkoordinir para bupati dan walikota agar tercipta kerjasama yang baik dan dikuranginya benturan-benturan di antara mereka.
Terkait dengan ketiga alasan tersebut pada akhirnya revisi terhadap undang-undang otonomi daerah pun dilakukan. Dengan demikian keluarlah UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai revisi dari UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai revisi dari UU No. 25 tahun 1999.
2.1.2. Definisi Tenaga Kerja, Kesempatan Kerja, dan Pengangguran Konsep yang berkaitan dengan tenaga kerja yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik sesuai dengan Konversi ILO (International Labor Organization) Nomor 138. Konsep tersebut membagi penduduk menjadi dua kelompok yaitu penduduk usia kerja dan penduduk bukan usia kerja. Penduduk usia kerja adalah penduduk berumur 15 tahun atau lebih. Penduduk usia kerja ini dibedakan menjadi dua yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang bekerja atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran. Sedangkan penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang masih sekolah, mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainnya. Kesempatan kerja adalah lapangan pekerjaan yang dapat diisi oleh penawaran tenaga kerja atau permintaan tenaga kerja yang tersedia. Kesempatan kerja diproyeksikan melalui gambaran penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut lapangan usaha yang tersedia. Lapangan usaha yang terdapat Provinsi Jawa Timur terdiri dari sembilan sektor, yaitu (1) pertanian, (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4)
listrik, gas dan air bersih, (5) bangunan, (6) perdagangan, hotel dan restoran, (7) transportasi dan komunikasi, (8) keuangan, perbankan dan jasa perusahaan, dan (9) jasa-jasa. Kesempatan kerja juga menunjukkan persentase penduduk bekerja terhadap angkatan kerja (Sakernas BPS, 2002). Mengingat kesempatan kerja adalah proyeksi dari penduduk usia kerja yang bekerja selama seminggu yang lalu sesuai dengan lapangan usaha yang tersedia maka penduduk usia kerja yang sudah diterima namun selama seminggu yang
lalu
belum
mulai
bekerja
dikategorikan
sebagai
pengangguran.
Pengangguran erat kaitannya dengan kesempatan kerja dan jumlah lapangan kerja. Pertumbuhan lapangan usaha yang tidak sebanding dengan pertumbuhan angkatan kerja akan sulit mengurangi pengangguran. Pengangguran menggambarkan adanya ketidakseimbangan pada pasar tenaga kerja.
2.1.3. Konsep Pasar Tenaga Kerja Pasar tenaga kerja meliputi permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja (Bellante, 1990). Permintaan tenaga kerja menjelaskan berapa banyak perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja dengan berbagai tingkat upah pada periode tertentu. Permintaan tenaga kerja ini bertujuan untuk membantu proses produksi. Jadi besarnya permintaan tenaga kerja tergantung dari output yang dihasilkan. Permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (Simanjuntak, 1998). Pada teori neoklasik disebutkan bahwa asumsi seorang pengusaha dalam ekonomi pasar tidak dapat mempengaruhi harga.
Adapun fungsi permintaan tenaga kerja didasarkan pada : (1) Tambahan hasil marjinal yaitu tambahan hasil yang diperoleh pengusaha dengan penambahan seorang pekerja. (2) Penerimaan marjinal yaitu jumlah uang yang akan diperoleh pengusaha dengan tambahan hasil marjinal tersebut, dimana penerimaan marjinal merupakan besarnya tambahan hasil marjinal dikalikan harga outputnya. (3) Biaya
marjinal
yaitu
biaya
yang
dikeluarkan
pengusaha
dengan
mempekerjakan tambahan seorang karyawan, biaya marjinal adalah upah itu sendiri. Jika penerimaan marjinal lebih besar dibandingkan biaya marjinal maka pengusaha akan terus meningkatkan jumlah karyawan selama penerimaan marjinal lebih besar dari upah (Simanjuntak, 1998). Penawaran tenaga kerja tergantung dari jumlah penduduk, persentase jumlah penduduk yang memilih masuk angkatan kerja, jumlah jam kerja yang ditawarkan oleh angkatan kerja dan upah pasar. Bagi pekerja upah adalah salah satu alat untuk meningkatkan daya beli dan meningkatkan kesejahteraan. Namun, bagi perusahaan upah mempengaruhi biaya produksi dan tingkat harga yang pada akhirnya berakibat pada pertumbuhan produksi, perluasan pasar, dan kesempatan kerja.
Fungsi Permintaan Tenaga Kerja W upah
VMPPL = DL = MPPL = P
Fungsi Penawaran Tenaga Kerja W upah
SL
Fungsi Pasar Tenaga Kerja W upah
SL
W* E
DL L Tenaga Kerja
L Tenaga Kerja
L L * Tenaga Kerja
Sumber : Bellante, 1990
Gambar 2.1. Fungsi Permintaan, Penawaran, dan Pasar Tenaga Kerja Berdasarkan Gambar 2.1. VMPPL (Value Marginal Physical Product of Labour) yaitu besarnya nilai hasil marjinal tenaga kerja dan VMPPL sendiri sama dengan upah. MPPL (Marginal Physical Product of Labour) adalah tambahan hasil marjinal. Nilai dari MPPL adalah jumlah uang yang diperoleh pengusaha dengan tambahan hasil marjinal tersebut atau disebut dengan penerimaan marjinal. Jadi, jika dirumuskan secara matematis, maka akan diperoleh : MR = VMPPL = MPPL x P Dimana : MR
= Marginal Revenue (penerimaan marjinal),
VMPPL = Value Marginal Physical Product of Labour, MPPL
= Marginal Physical Product of Labour,
P
= Harga jual barang yang diproduksi tiap unitnya.
Titik E sebagai titik ekuilibrium dari fungsi permintaan dan penawaran tenaga kerja menentukan besarnya penempatan atau jumlah orang yang bekerja (L) dan tingkat upah (W). Jika terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja maka akan timbul masalah dalam pasar tenaga kerja.
Masalah di dalam pasar tenaga kerja yang sampai ini belum pernah terselesaikan adalah pengangguran. Pengangguran yang meningkat menunjukkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya menurun. Oleh karena itu, pelaksanaan otonomi daerah yang bersifat desentralistik sesuai UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 sebagai revisi dari UU No. 22 tahun 1999 ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan
seluruh
lapisan
masyarakat.
Peningkatan
kesejahteraan tersebut dapat diupayakan dengan meningkatkan pertumbuhan yang dapat meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran. Berdasarkan penelitian Lestari (2006) dengan judul Analisis Pertumbuhan Kesempatan Kerja Pra dan Pasca Otonomi Daerah di Provinsi DKI Jakarta (19992004), kebijakan otonomi daerah di DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan perekonomian nasional yang baru berjalan selama lima tahun belum dapat menunjukkan pengaruh yang signifikan. Tetapi, karena terdapat peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja walaupun tidak terlalu besar, maka terdapat optimisme bahwa kebijakan otonomi daerah tersebut akan membawa banyak perubahan ke arah yang lebih baik, termasuk dalam penciptaan kesempatan kerja di masa yang akan datang. Jadi dalam penelitian tersebut, otonomi daerah di DKI Jakarta dapat membawa keadaan ekonomi Jakarta ke arah yang lebih baik. Berdasarkan penelitian Prihartini (2007) yang berjudul Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri di Kota Bogor, variabel-variabel yang memberikan kontribusi positif terhadap penyerapan tenaga kerja adalah PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan jumlah investasi, sedangkan tingkat upah riil yang meningkat akan mengurangi
penyerapan tenaga kerja. Menurut penelitian Rahman (2008) yang berjudul Eksistensi Persistensi Pengangguran di Indonesia, persistensi pengangguran yang terjadi di Indonesia bukan karena peningkatan keseimbangan atau karena pasar tenaga kerja terlalu lamban untuk melakukan penyesuaian. Jadi, walaupun pada tahun 2007 Indonesia pengangguran berkurang, tetapi hal tersebut masih sangat rentan terhadap goncangan kondisi perekonomian. Hal ini terbukti setelah terjadinya
guncangan
akibat
krisis
global
baru-baru
ini.
Peningkatan
pengangguran di Indonesia sulit untuk dicegah. Dari penelitian-penelitian di atas tentang masalah kesempatan kerja dan pengangguran, maka hasil penelitian tersebut dapat menjadi rujukan untuk penelitian ini dalam meneliti kondisi kesempatan kerja di Provinsi Jawa Timur sebelum dan sesudah otonomi daerah. Kondisi kesempatan kerja ini akan dihubungkan dengan jumlah migrasi keluar di Jawa Timur.
2.1.4. Migrasi Istilah umum bagi gerak penduduk dalam demografi adalah population mobility atau secara lebih khusus territorial mobility yang biasanya mengandung makna gerak spasial, fisik dan geografis (Shryllock dan Siegel, 1973 dalam Emalisa, 2003). Ke dalamnya termasuk baik dimensi gerak penduduk permanen maupun dimensi non-permanen. Definisi lain, migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas administrasi/batas bagian dalam suatu negara (Munir, 2000)
Migrasi sukar diukur karena migrasi dapat didefinisikan dengan berbagai cara dan merupakan suatu peristiwa yang mungkin berulang beberapa kali sepanjang hidupnya. Hampir semua definisi menggunakan kriteria waktu dan ruang, sehingga perpindahan yang termasuk dalam proses migrasi setidaknya dianggap semi permanen dan melintasi batas-batas geografis tertentu. (Young, 1984 dalam Emalisa, 2003). Ada beberapa jenis migrasi, yaitu: (1) Migrasi Masuk : masuknya penduduk ke suatu daerah tempat tujuan. (2) Migrasi Keluar: perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah asal. (3) Migrasi Neto : merupakan selisih antara jumlah migrasi masuk dan migrasi keluar. Apabila migrasi yang masuk lebih besar dari pada migrasi keluar maka disebut migrasi neto positif sedangkan jika migrasi keluar lebih besar dari pada migrasi masuk disebut migrasi neto negatif. (4) Migrasi Semasa/Seumur Hidup : mereka yang pada waktu pencacahan sensus bertempat tinggal di daerah yang berbeda dengan daerah tempat kelahirannya tanpa melihat waktu pindahnya. (5) Migrasi Risen : mereka yang tempat tinggalnya pada saat pengumpulan data berbeda dengan tempat tinggalnya pada waktu lima tahun sebelumnya. (6) Urbanisasi : bertambahnya proporsi penduduk yang berdiam di daerah kota yang disebabkan oleh proses perpindahan penduduk ke kota dan/atau akibat dari perluasan daerah kota dan pertumbuhan alami penduduk kota. Definisi urban berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya tetapi biasanya pengertiannya berhubungan dengan kota-kota atau daerah-daerah pemukiman
lain yang padat. Klasifikasi yang dipergunakan untuk menentukan daerah kota biasanya dipengaruhi oleh indikator mengenai penduduk, indikator mengenai kegiatan ekonomi, indikator jumlah fasilitas urban atau status administrasi suatu pemusatan penduduk. (7) Transmigrasi : salah satu bagian dari migrasi. Istilah ini memiliki arti yang sama dengan 'resettlement' atau 'settlement'. Transmigrasi adalah pemindahan dan/kepindahan penduduk dari suatu daerah untuk menetap ke daerah lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan pembangunan negara atau karena alasan-alasan yang dipandang perlu oleh pemerintah berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Transmigrasi ini diatur oleh Undang-Undang No.3 Tahun 1972. Transmigrasi yang diselenggarakan dan diatur pemerintah disebut transmigrasi umum, sedangkan transmigrasi yang biaya perjalanannya dibiayai sendiri tetapi ditampung dan diatur oleh pemerintah disebut transmigrasi spontan atau transmigrasi swakarsa. Penyebab migrasi dikategorikan sebagai faktor push dan pull. Push-pull theory (Ravenstein, 1987 dalam Erwidodo, 1992) menyatakan bahwa sebagian orang bermigrasi akibat tarikan oleh insentif yang tersedia di tempat tujuan dan sebagian
lain
akibat
dorongan
kondisi
sosial-ekonomi
yang
kurang
menguntungkan di desa atau daerah asal. Menurut Bogue yang menjadi faktor penarik adalah : (1) Adanya rasa superior di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki lapangan kerja yang cocok,
(2) Kesempatan untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik, (3) Kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, (4) Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, (5) Tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat berlindung, (6) Adanya aktivitas di kota besar, tempat hiburan, pusat kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang desa. Adapun faktor pendorongnya adalah sebagai berikut: (1) Berkurangnya sumber-sumber alam, (2) Lapangan kerja yang sempit di daerah asal, (3) Adanya tekanan atau diskriminasi, (4) Tidak cocok dengan adat/budaya/kepercayaan, (5) Alasan pekerjaan atau perkawinan, (6) Bencana alam baik berupa banjir, kebakaran, gempa, penyakit. Teori Lewis menyatakan bahwa perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri karena sektor industri membutuhkan tenaga kerja dengan asumsi sektor pertanian mengalami surplus tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja di sektor industri lebih tinggi dari pada sektor pertanian. Inilah yang menjadi motivasi penduduk untuk melakukan migrasi. Teori tersebut dapat diperjelas dengan Todaro Migration model. Model ini menjelaskan migrasi desakota sebagai proses ekonomi yang rasional, meskipun angka pengangguran di kota-kota sudah sedemikian tinggi. Kebanyakan negara sedang berkembang mengabaikan sektor pertanian untuk mendapatkan sumber daya dalam upaya meningkatkan usaha industrialisasi dan urbanisasi. Kebijakan ini sangat
mengutamakan urban bias (kecenderungan mengutamakan kota) yang sudah mendarah daging dalam kehidupan ekonomi di banyak negara sedang berkembang. Keadaan ini mendorong tetap berlangsungnya tingkat migrasi yang tinggi meskipun pengangguran di kota meningkat terus. Berdasarkan penelitian Desiar (2003) yang berjudul Dampak Migrasi terhadap Pengangguran dan Sektor Informal di DKI Jakarta, peluang migran dalam memperoleh pekerjaan ternyata jauh lebih besar dari pada peluang penduduk bukan migran (penduduk lokal). Tetapi, penduduk migran yang tingkat pendidikan tertingginya adalah SLTP lebih banyak berusaha di sektor informal. Adapun dampak dari migrasi yang masuk ke Jakarta adalah meningkatnya pengangguran dan orang bergerak di sektor informal. Faktor dominan yang mempengaruhi penduduk untuk bermigrasi adalah sulitnya mereka dalam memperoleh pekerjaan di daerah asal. Selain itu tingkat PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) DKI Jakarta sebagai daerah tujuan migrasi merupakan faktor penarik. Berdasarkan penelitian Darmawan (2007) yang berjudul Pengaruh FaktorFaktor Ekonomi terhadap Pola Migrasi Antar Provinsi di Indonesia, ternyata penduduk bermigrasi dari daerah yang memiliki Upah Minimum Regional (UMR) tinggi ke daerah yang memiliki UMR rendah. Hal ini dikarenakan UMR tidak sebanding dengan KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) dan tidak semua migran melakukan migrasi karena alasan pekerjaan, misalnya: alasan pernikahan, pendidikan, keluarga. Berdasarkan penelitian tersebut faktor penarik penduduk melakukan migrasi adalah tingkat PDRB daerah tujuan migrasi yang lebih tinggi
dibandingkan daerah asal. Penelitian tersebut tidak mengelompokkan migran menurut kelompok umur.
2.1.5. Korelasi Otonomi Daerah dan Kesempatan Kerja Kebijakan sentralisasi dirasa kurang cocok diterapkan di Indonesia. Indonesia yang memiliki masyarakat dan kondisi alam yang berbeda-beda tiap daerahnya, membutuhkan kebijakan yang berbeda pula untuk membangun berbagai daerah di Indonesia. Kebijakan sentralisasi juga hanya akan membuat pemerintah pusat lebih terfokus pada perekonomian domestik dan kurang fokus terhadap perekonomian dunia. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dapat tersebar merata sampai ke pelosok daerah, pemerintah memberlakukan kebijakan otonomi daerah. Pengalihan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah ini dikarenakan
pemerintah
daerah
lebih
mengenal
kondisi
wilayah
dan
masyarakatnya masing-masing. Sistem yang desentralistik ini mengindikasikan bahwa daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, dan peningkatan penerimaan daerah. Hal ini dimaksudkan agar daerah otonom lebih mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial dan kesempatan kerja. Selain itu pula dengan adanya otonomi daerah dapat lahir berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi.
Adapun alasan diprioritaskannya pertumbuhan kesempatan kerja pada program otonomi daerah adalah agar pertumbuhan ekonomi daerah bisa berkelanjutan. Hal ini dapat dijelaskan dengan model Solow di mana untuk dapat menjelaskan pertumbuhan yang berkelanjutan perlu menganalisis pertumbuhan populasi penduduk. Peningkatan populasi penduduk menandakan angkatan kerja yang semakin meningkat. Peningkatan angkatan kerja ini akan mengurangi persediaan tingkat modal per pekerja. Gambar 2.2. menunjukkan bahwa kenaikan tingkat pertumbuhan populasi dari n1 ke n2 mengurangi tingkat modal per pekerja pada kondisi mapan dari k1* ke k2*. Karena k* lebih rendah, dan karena y* = f(k*) maka tingkat output per pekerja y* juga lebih rendah. Jadi peningkatan pertumbuhan populasi akan menurunkan GDP per kapita dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Investasi, investasi pulang – pokok
Kenaikan pertumbuhan populasi (n)
(δ+n2)k (δ+n1)k
investasi pulang pokok
sf(k) investasi
k2*
k1* Modal per
Persediaan modal pada kondisi mapan turun
pekerja, k
Sumber : Mankiw, 2000
Gambar 2.2. Dampak Pertumbuhan Populasi pada Tingkat Modal Per Pekerja
Pertumbuhan populasi yang semakin meningkat menyebabkan modal per pekerja dan output per pekerja turun. Namun, dengan teknologi yang semakin maju, output per pekerja dapat ditingkatkan. Hal ini dikarenakan kemajuan teknologi dapat meningkatkan efektivitas para pekerja. Walaupun demikian, pertumbuhan populasi akan terus meningkat. Jika penambahan output hanya dikarenakan kemajuan teknologi tanpa menyerap angkatan kerja yang terus meningkat, maka pengangguran akan bertambah. Peningkatan pengangguran akan mengurangi tingkat konsumsi masyarakat. Permintaan domestik yang menurun akan menurunkan pula total produksi. Penurunan output nasional akan menurunkan GDP dan dengan demikian pertumbuhan ekonomi pun melambat. Jadi dapat disimpulkan bahwa masalah pertumbuhan kesempatan kerja ini sangat penting. Hal ini dikarenakan pertumbuhan kesempatan kerja inilah yang akan membuat pertumbuhan ekonomi dapat terus tumbuh berkelanjutan. Dengan demikian semakin jelas terlihat bahwa program otonomi daerah dalam meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
adalah
dengan
meningkatkan
pertumbuhan kesempatan kerja.
2.1.6. Korelasi Otonomi Daerah dan Migrasi Keluar Salah satu tujuan otonomi daerah adalah menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah serta melindungi hak-hak masyarakat lokal. Dalam konteks ekonomi, otonomi daerah bertujuan memeratakan pembangunan. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah lebih mengetahui kondisi daerahnya masing-masing. Dengan begitu, pembangunan
ekonomi akan lebih merata dirasakan seluruh lapisan masyarakat yang sesuai dengan kebudayaan dan kondisi masyarakat daerah tersebut. Salah satu tolok ukur keberhasilan otonomi daerah adalah besarnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang dapat dicapai. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besar pertumbuhan kesempatan kerja yang dapat ditingkatkan. Pertumbuhan kesempatan kerja yang meningkat ini dapat menjadi faktor penarik untuk migran masuk dan dapat mengurangi migran keluar. Oleh karena itu, secara teoritis otonomi daerah yang berhasil meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja seharusnya dapat mengurangi migrasi keluar. Pertumbuhan kesempatan kerja yang meningkat bisa jadi tidak dapat mengurangi arus migrasi keluar. Jika dilihat dari segi ekonomi, harapan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi menjadi faktor penarik seseorang melakukan migrasi keluar. Sedangkan faktor pendorongnya adalah lapangan pekerjaan yang sempit di daerah asal. Jika faktor penarik kekuatannya lebih besar dibandingkan faktor pendorong, maka pertumbuhan kesempatan kerja yang terjadi belum dapat mengurangi arus migrasi keluar. Selain itu pula, peningkatan arus migrasi keluar ditengah peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja juga dapat diakibatkan oleh sektor pertanian yang mengalami excess supply tenaga kerja. Kondisi excess supply akan mengurangi tingkat produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian. Keinginan untuk bermigrasi keluar pun semakin tinggi walaupun di daerah tujuan migrasi memiliki angka pengangguran yang tinggi.
2.1.7. Konsep Shift Share Analisis Shift Share pertama kali diperkenalkan oleh Perloff et all pada tahun 1960. Analisis Shift Share digunakan untuk mengidentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi tenaga kerja pada suatu wilayah tertentu. Jadi, melalui analisis Shift Share dapat diketahui dampak kebijakan wilayah ketenagakerjaan dan dapat dianalisis besarnya kontribusi pertumbuhan dari tenaga kerja dan pendapatan pada masing-masing sektor di wilayah tertentu. Adapun manfaat analisis Shift Share adalah untuk melihat : (1) perkembangan sektor perekonomian di suatu wilayah terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas, (2) perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya, (3) perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah, (4) perbandingan laju sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan nasional serta sektor-sektornya. Secara umum ada tiga komponen utama dalam analisis Shift Share (Budiharsono, 2001) yaitu komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). Berdasarkan komponen ketiga wilayah tersebut dapat ditentukan dan didentifikasikan perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah. Apabila
PP + PPW > maka disimpulkan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sedangkan jika PP + PPW < 0 maka pertumbuhan sektor i pada wilayah ke j dikategorikan pertumbuhan lambat.
Komponen Pertumbuhan Nasional
Wilayah ke j Sektor ke i
Wilayah ke j Sektor ke i
Komponen Pertumbuhan Proporsional
Maju PP + PPW > 0 Lamban PP + PPW < 0
Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah
Sumber : Budiharsono, 2001
Gambar 2.3. Model Analisis Shift Share Menurut Soepono (1993), kelebihan analisis Shift Share antara lain: (1) Analisis Shift Share dapat melihat perkembangan produksi atau kesempatan kerja di suatu wilayah hanya pada dua titik tertentu, yang mana satu titik waktu dijadikan sebagai dasar analisis dan satu titik lainnya sebagai akhir analisis. (2) Perubahan indikator kegiatan ekonomi di suatu wilayah antara tahun dasar analisis dengan tahun akhor analisis dapat dilihat melalui tiga komponen pertumbuhan wilayah yaitu komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). (3) Berdasarkan komponen PN, dapat diketahui laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dibandingkan laju pertumbuhan nasional.
(4) Komponen PP dapat digunakan utuk mengetahui pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah. (5) Komponen PPW dapat digunakan untuk melihat daya saing sektor-sektor ekonomi dibandingkan dengn sektor ekonomi pada wilayah lainnya. (6) Jika persentase PP dan PPW dijumlahkan maka dapat ditujukkan adanya pergeseran (shift) hasil pembangunan perekonomian daerah. Analisis Shift Share ini juga memiliki kelemahan yaitu : (1) Persamaan Shift Share hanyalah identity equation dan tidak mempunyai implikasi-implikasi keperilakuan. Metode Shift Share tidak untuk menjelaskan mengapa, misalnya pengaruh keunggulan positif di beberapa wilayah, tetapi negatif di daerah-daerah lain. Metode Shift Share merupakan teknik pengukuran yang mencerminkan suatu sistem perhitungan semata dan tidak bersifat analitik. (2) Komponen pertumbuhan nasional (PN) secara implisit mengemukakan bahwa laju pertumbuhan suatu wilayah hanya disebabkan oleh kebijakan nasional tanpa memperhatikan sebab-sebab laju pertumbuhan yang bersumber dari wilayah tersebut. (3) Komponen PP dan PPW mengasumsikan bahwa perubahan penawaran dan permintaan, teknologi dan lokasi diasumsikan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan
wilayah.
Di
samping
itu,
analisis
Shift
Share
juga
mengasumsikan bahwa semua barang dijual secara nasional padahal tidak semua demikian.
Rasio kesempatan kerja digunakan untuk engidentifikasi pertumbuhan kesempatan kerja dalam negeri suatu wilayah. Rasio kesempatan kerja terbagi menjadi tiga yaitu nilai ri, Ri, dan Ra. Nilai ri mengidentifikasikan rasio kesempatan kerja di sektor tertentu pada wilayah tertentu. Nilai Ri mengidentifikasikan rasio kesempatan kerja nasional pada sektor tertentu. Nilai Ra mengidentifikasikan rasio kesempatan kerja nasional. Profil pertumbuhan digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan sektor perekonomian di wilayah yang bersangkutan dengan cara mengekspresikan persen perubahan komponen pertumbuhan proporsional (PPij) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPWij). Profil pertumbuhan digambarkan pada suatu sumbu koordinat, dimana sumbu horizontal adalah PP sebagai absis dan sumbu vertikal adalah PPW sebagai ordinat. Kuadran IV
Kuadran I
PP
Kuadran III
Kuadran II PPW
Sumber : Busiharsono, 2001
Gambar 2.4. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian
Keterangan : (1) Kuadran I menunjukkan bahwa sektor-sektor di wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang cepat (PP bernilai positif) dan daya saing yang baik jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya (PPW bernilai
positif). Pada kuadran I ini menunjukkan bahwa wilayah atau sektor tersebut merupakan wilayah atau sektor yang maju. (2) Kuadran II menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut cepat (PP bernilai positif), namun daya saing yang dimiliki kurang baik dibandingkan wilayah lainnya (PPW bernilai negatif). (3) Kuadran III menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut lambat (PP bernilai negatif) dan daya saing yang kurang baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya (PPW bernilai negatif). (4) Kuadran IV menunjukkan bahwa pertumbuhan wilayah atau sektor tersebut lambat (PP bernilai negatif), namun daya saing sektor-sektornya baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya (PPW bernilai positif). (5) Pada Kuadran II dan Kuadran IV terdapat garis miring yang membentuk sudut 450 dan memotong kedua kuadran tersebut. Bagian atas tersebut menunjukkan bahwa sektor atau wilayah yang bersangkutan termasuk sektor atau wilayah yang maju sedangkan yang berada di bawah garis menunjukkan sektor atau wilayah yang lamban.
2.2.
Kerangka Pemikiran Kebijakan sentralistik yang telah berjalan selama 32 tahun ternyata
mendatangkan masalah bagi perekonomian nasional maupun Jawa Timur. Jawa Timur sebagai kawasan penting pertumbuhan industri dan perdagangan (bisnis) di Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan pada sektor sekunder dan tersiernya pasca saat krisis ekonomi tahun 1997. Penurunan tersebut terjadi karena pemerintah daerah juga sudah lama kehilangan kreativitas sehingga mereka tidak
bisa langsung tanggap untuk menangani krisis moneter. Dari kejadian tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah gagal memahami dan mengantisipasi gejala krisis ekonomi dan keuangan global. Hal ini disebabkan, dalam waktu yang cukup lama pemerintah pusat telah menggunakan terlalu banyak waktu untuk mengurus masalah-masalah domestik. Oleh karena itu, kebijakan yang sentralistik diubah menjadi otonomi daerah yang desentralistik. Alasan lainnya pemerintah memberlakukan otonomi daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam menilai kondisi daerah dan masyarakatnya masing-masing dapat mempercepat laju pembangunan daerah. Dengan kata lain, dengan adanya otonomi daerah kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Besarnya perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat ini yang akan menjadi tolok ukur efektif tidaknya pelaksanaan otonomi daerah. Kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja. besarnya pertumbuhan kesempatan kerja merupakan salah satu faktor yang menentukan seseorang melakukan migrasi atau tidak. Kondisi pertumbuhan kesempatan kerja dan arus migrasi yang terjadi pada saat kebijakan otonomi daerah diberlakukan akan dibandingkan dengan kondisi pada saat otonomi daerah belum diberlakukan. Dengan demikian akan diketahui apakah otonomi daerah dapat meningkatkan kesempatan kerja serta mengurangi migrasi atau tidak. Selain itu juga, hasil perbandingan antara kondisi pra dan pasca otonomi daerah dapat menunjukkan apakah pelaksanaan otonomi daerah dapat memberikan hasil yang lebih baik dari pelaksanaan kebijakan yang
sentralistik atau tidak. Rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas otonomi daerah pun dihasilkan.
Kondisi Jawa Timur sebelum otonomi daerah
Kebijakan sentralistik diubah menjadi kebijakan otonomi daerah yang desentralistik
Perlu ada tolok ukur keberhasilan yang menunjukkan efektivitas otonomi daerah
Besarnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang dicapai pada era pelaksanaan otonomi daerah dan dibandingkan dengan sebelum otonomi daerah diberlakukan
Pertumbuhan Kesempatan Kerja
Migrasi Keluar (Pertumbuhan kesempatan kerja yang meningkat seharusnya dapat mengurangi migrasi keluar)
Rekomendasi Kebijakan untuk Meningkatkan Efektivitas Otonomi Daerah
Keterangan : : menunjukkan alur yang berkesinambungan dan berurutan Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan berupa data sekunder. Data tersebut diperoleh
dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Selain itu penulis juga melakukan studi pustaka dengan membaca jurnal, artikel internet serta literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Referensi tersebut diperoleh dari instansi terkait seperti : Lembaga Sumberdaya Informasi Institut Pertanian Bogor (LSI IPB), perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), perpustakaan BPS pusat, media cetak, media elektronik dan melalui download dari website internet. Adapun kurun waktu penelitian adalah 1996- 2007 di mana kurun waktu tersebut dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama adalah periode sebelum otonomi daerah (1996-2000). Periode kedua adalah periode era otonomi daerah I yaitu tahun 2001-2003. Sedangkan periode ketiga adalah periode era otonomi daerah II yaitu tahun 2004-2007. Periode era otonomi daerah dibagi menjadi dua periode bertujuan agar hasil analisisnya efektif. Hal ini dikarenakan analisis Shift Share akan memiliki hasil yang efektif jika periode yang digunakan tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
3.2.
Metode Analisis Data Untuk mendukung penelitian ini, maka digunakan metode analisis Shift
Share dengan bantuan software Microsoft Excel 2007. Shift Share digunakan sebagai
alata
analisis
dalam
mengidentifikasikan
pertumbuhan
sektor
perekonomian pada suatu wilayah tertentu. Dengan analisis Shift Share dapat diketahui pertumbuhan suatu sektor dalam satu wilayah jika dibandingkan secara realtif dengan sektor-sektor lainnya, dapat menunjukkan pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, dan membandingkan laju sektor perekonomian di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional.
3.2.1. Analisis Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional Pertumbuhan kesempatan kerja pada lapangan usaha i di Provinsi Jawa Timur dan skala nasional dapat diketahui dengan menggunakan analisis Shift Share. Adapun definisi operasional dari kesempatan kerja adalah lapangan kerja yang dapat diisi oleh penawaran tenaga kerja atau permintaan tenaga kerja yang tersedia. Apabila dalam suatu negara terdapat m daerah/wilayah/Provinsi (j = 1,2,3,…,m) dan n sektor perekonomian (i = 1,2,3,…,n) maka kesempatan kerja dari lapangan usaha i pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis dapat dirumuskan sebagai berikut : (1) Kesempatan kerja Jawa Timur/nasional dari lapangan usaha i pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004). (3.1) di mana : Yi = kesempatan kerja Jawa Timur/nasional dari lapangan usaha i pada tahun 1996, 2001, 2004. Yij = kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun 1996, 2001, 2004.
(2) Kesempatan kerja Jawa Timur/nasional dari lapangan usaha i pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007). (3.2) di mana : Y’i = kesempatan kerja Jawa Timur/nasional dari lapangan usaha i pada tahun 2000, 2003, 2007, Y’ij = kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun 2000, 2003, 2007. Selanjutnya akan dirumuskan kesempatan kerja di Jawa Timur/nasional pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis sebagai berikut : 1. Total kesempatan kerja di Jawa Timur/nasional pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004)
(3.3)
(3.3) Di mana : Y.. = total kesempatan kerja Jawa Timur/nasional dari pada tahun 1996, 2001, 2004. Yij = kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional (3.5) pada tahun 1996, 2001, 2004. 2. Total kesempatan kerja di Jawa Timur/nasional pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007) (3.4) (3.3)
(3.6)
di mana : Y’.. = total kesempatan kerja Jawa Timur/nasional pada tahun 2000, 2003, 2007. Y’ij = kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun 2000, 2003, 2007. Perubahan kesempatan kerja lapangan usaha i di Jawa Timur/nasional dapat dirumuskan sebagai berikut : (3.5) di mana :
ΔYij =
Perubahan
kesempatan
kerja
lapangan
usaha
i
di
Jawa
Timur/nasional,
Yij
=
Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004),
Y’ij =
Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007).
Rumus persentase perubahan kesempatan kerja adalah sebagai berikut : (3.6) di mana : =
Persentase perubahan kesempatan kerja lapangan usaha i di Jawa Timur/nasional,
Yij
(3.6) = Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004),
Y’ij
=
Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007).
3.2.2. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Kesempatan Kerja Nasional (nilai ri, Ri dan Ra) Analisis rasio kesempatan kerja Jawa Timur dan kesempatan kerja nasional berguna untuk melihat perbandingan kesempatan kerja di Jawa Timur maupun kesempatan kerja nasional pada lapangan usaha. Adapun rasio kesempatan kerja terbagi atas ri, Ri dan Ra. (1) ri ri menunjukkan selisih antara kesempatan kerja dari lapangan usaha i di Jawa Timur pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007) dengan kesempatan kerja dari lapangan usaha i di Jawa Timur pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004). Adapun rumusnya adalah sebagai berikut : (3.7) di mana : ri =
Yij
Rasio kesempatan kerja sektor i di Jawa Timur, =
Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004),
Y’ij
=
Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007).
(2) Ri Ri menunjukkan selisih antara kesempatan kerja nasional dari lapangan usaha i pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007) dengan kesempatan kerja
(3.8)
nasional dari lapangan usaha i pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004). Adapun rumusnya adalah sebagai berikut :
di mana : Ri = Rasio kesempatan kerja nasional sektor i,
Yi’ =
Kesempatan kerja nasional dari lapangan usaha i di wilayah pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004),
Y’i. =
Kesempatan kerja nasional dari lapangan usaha i pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007).
(3) Ra Ra menunjukkan selisih antara kesempatan kerja nasional pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007) dengan kesempatan kerja nasional pada tahun dasar analisis (1996, 2000, dan 2004). Adapun rumusnya adalah sebagai berikut :
di mana : Ra
(3.9)
= Rasio kesempatan kerja nasional, = Kesempatan kerja nasional pada tahun 2000, 2003, 2007, = Kesempatan kerja nasional pada tahun 1996, 2001, 2004.
3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Analisis
komponen
pertumbuhan
wilayah
ini
digunakan
untuk
mengidentifikasi perubahan kesempatan kerja suatu wilayah antara tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004) dengan tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007). Analisis ini terdiri atas komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen
pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). (1) Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) adalah perubahan kesempatan kerja nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua lapangan usaha dan wilayah. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut : (3.10) di mana : = Komponen pertumbuhan nasional lapangan usaha i di Jawa Timur, = Rasio kesempatan kerja nasional, = Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di Jawa Timur pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004).
(2) Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) Pertumbuhan proporsional disebabkan
oleh perbedaan sektor dalam
permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan kebijakan industri, serta perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. Adapun rumus PP adalah sebagai berikut : (3.11) di mana : = Komponen pertumbuhan proporsional lapangan usaha i di Jawa Timur = Rasio kesempatan kerja nasional, = Rasio kesempatan kerja dari lapangan usaha i,
= Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di Jawa Timur pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004). Apabila : < 0, menunjukkan bahwa pertumbuhan lapangan usaha di Jawa Timur lambat. > 0, menunjukkan bahwa pertumbuhan lapangan usaha di Jawa Timur cepat. (3) Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) Pertumbuhan pangsa wilayah timbul karena adanya peningkatan atau penurunan kesempatan kerja pada suatu lapangan usaha atau wilayah lainnya. Adapun rumus PPW adalah sebagai berikut : (3.12) di mana : = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah lapangan usaha i di Jawa Timur, = Rasio kesempatan kerja lapangan usaha i di Jawa Timur, = Rasio kesempatan kerja dari lapangan usaha i, = Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di Jawa Timur pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004).
Apabila : < 0, berarti lapangan usaha i di Jawa Timur tidak dapat bersaing dengan baik dibandingkan dengan lapangan usaha i di wilayah lainnya, > 0, berarti lapangan usaha i di Jawa Timur mempunyai daya saing yang baik dibandingkan dengan lapangan usaha i di wilayah lainnya. Adapun perubahan dalam kesempatan kerja lapangan usaha i di Jawa Timur dapat dirumuskan sebagai berikut : (3.12) (3.13) Rumus ketiga komponen pertumbuhan wilayah adalah : (3.14) (3.15) (3.16) Apabila persamaan (3.13), (3.14), (3.15) dan (3.16) disubstitusikan ke persamaan (3.12) maka akan didapatkan :
=
+
+
Persentase ketiga pertumbuhan wilayah dapat dirumuskan sebagai berikut :
di mana : = Persentase perubahan kesempatan kerja yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan nasional, = Persentase perubahan kesempatan kerja yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan nasional, = Persentase perubahan kesempatan kerja yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan nasional.
3.2.4. Analisis Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian Analisis ini digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan lapangan usaha di Jawa Timur baik pada sebelum otonomi daerah maupun setelah otonomi daerah. Caranya adalah dengan mengekspresikan persen perubahan komponen pertumbuhan proporsional
) dan pertumbuhan pangsa wilayah
disajikan dalam bentuk koordinat
yang
. Dengan begitu, pertumbuhan
suatu lapangan usaha di Jawa Timur pada sebelum dan setelah otonomi daerah dapat dinilai. Apabila komponen pertumbuhan proporsional dan pangsa wilayah dijumlahkan maka akan diperoleh pergeseran bersih yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan suatu sektor perekonomian. Adapun perumusannya adalah sebagai berikut: (3.17) di mana : = Pergeseran bersih lapangan usaha i di Jawa Timur,
= Komponen pertumbuhan proporsional lapangan usaha i di Jawa Timur, = Komponen pertumbuhan pagsa wilayah lapangan usaha i di Jawa Timur. Apabila : > 0, maka pertumbuhan lapangan usaha i di Jawa Timur termasuk ke dalam kelompok progresif (maju), < 0, maka pertumbuhan lapangan usaha i di Jawa Timur termasuk
lamban.
IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR
4.1.
Wilayah dan Kependudukan Jawa Timur terletak di sebelah selatan Pulau Jawa. Provinsi ini terletak
pada 111,0' hingga 114,4' Bujur Timur dan 7,12' hingga 8,48' Lintang Selatan. Di sebelah utara Jawa Timur berbatasan dengan pulau Kalimantan. Di sebelah timur berbatasan dengan Pulau Bali. Di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Secara umum, wilayah Jawa Timur dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan dan Kepulauan Madura. Luas wilayah Jawa Timur daratan hampir mencakup 90 persen dari seluruh luas wilayah provinsi Jawa Timur, sedangkan luas Kepulauan Madura hanya sekitar 10 persen. Luas wilayah provinsi Jawa Timur yang mencapai 46.428 km2 yang terdiri dari 29 kabupaten dan 9 (sembilan) kota. Ada perbedaan dalam kewilayahan pada saat sebelum otonomi daerah dan setelah otonomi daerah. Setelah otonomi daerah dilakukan (pada tahun 2001) terjadi pemekaran wilayah yaitu lahirnya Kota Batu sebagai hasil pemekaran dari wilayah Kabupaten Malang. Namun, kota Batu ini merupakan kota dengan kepadatan penduduk terendah dibandingkan dengan kota-kota lain di Jawa Timur. Pada tahun 2007, kepadatan penduduk kota Batu sebesar 2.070 jiwa/km 2 dengan jumlah penduduk sebesar 192.059 jiwa. Berbeda dengan Surabaya, pada tahun yang sama Surabaya memiliki kepadatan penduduk sebesar 8.335 jiwa/km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 2.720.156 jiwa. Adapun wilayah kabupaten
yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi adalah kabupaten Sidoarjo dan yang terendah adalah kabupaten Banyuwangi. Pada tahun 2007 jumlah penduduk kabupaten Sidoarjo sebanyak 1.896.350 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 2.989 jiwa/km2. Dan pada tahun yang sama jumlah penduduk kabupaten Banyuwangi sebanyak 1.580.441 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 273 jiwa/km2 yang merupakan kepadatan terendah di seluruh daerah di Jawa Timur (BPS, 2008). Melihat data tersebut dapat dikatakan bahwa penduduk Jawa Timur lebih banyak bermukim di kota daripada di kabupaten. Jika dilihat secara keseluruhan kepadatan penduduk Jawa Timur semakin lama semakin meningkat
9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 01. Pacitan 03. Trenggalek 05. Blitar 07. Malang 09. Jember 11. Bondowoso 13. Probolinggo 15. Sidoarjo 17. Jombang 19. Madiun 21. Ngawi 23. Tuban 25. Gresik 27. Sampang 29. Semenep 72. Blitar 74. Probolinggo 76. Mojokerto 78. Surabaya
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
walaupun peningkatannya tidak begitu cepat (BPS, 2008).
Sumber : BPS, 2008
Gambar 4.1. Grafik Kepadatan Penduduk di Sejumlah Daerah di Jawa Timur Tahun 2007
kepadatan penduduk (jiwa/km2)
1000 800 600 400 200 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Sumber : BPS, 2008
Gambar 4.2. Grafik Pertumbuhan Kepadatan Penduduk Jawa Timur (1996 - 2007) 4.2.
Ketenagakerjaan Sebaran angkatan kerja tidak tersebar secara merata di tiap kabupaten/kota
di Jawa Timur. Hal ini dapat dilihat dari jumlah angkatan kerja yang lebih banyak bermukim di Surabaya, Malang dan Jember dimana jumlahnya lebih dari satu juta jiwa. Malang dan Jember memiliki kepadatan penduduk dibawah 1000 jiwa/km2. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Malang dan Jember adalah penduduk yang tergolong angkatan kerja. Sedangkan di Blitar, Probolinggo, Pasuruan, Mojokerto, Madiun, dan Batu jumlah angkatan kerjanya kurang dari seratus ribu jiwa.
Gambar 4.3. Grafik Jumlah Angkatan Kerja Tiap Kabupaten/Kota di Jawa Timur (2005-2007)
Di Jawa Timur angkatan kerja yang bekerja paling banyak berkecimpung pada sektor pertanian. Dengan kata lain mayoritas masyarakatnya bekerja pada sektor pertanian. Namun, jumlahnya yang sangat banyak ini menunjukkan bahwa sektor pertanian mengalami excess supply tenaga kerja. Jika dilihat di sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran, jumlah tenaga kerja pada masing-masing sektor tersebut hanya sepertiga dari jumlah tenaga kerja di sektor pertanian. Adapun rincian data angkatan kerja yang bekerja menurut lapangan usaha (2005-2007) dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1.
Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Termasuk Angkatan Kerja di Provinsi Jawa Timur (2005-2007) (Jiwa) Lapangan Kerja 2005 2006 2007 Pertanian 8.188.438 7.918.615 8.391.655 Industri Pengolahan Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan,
Persewaan
dan
Jasa
2.356.939
2.404.589
2.458.401
822.520
893.881
955.072
3.354.316
3.498.271
3.718.384
796.519
770.032
865.652
162.960
182.309
191.047
1.845.462
1.847.984
2.023.634
141.163
153.979
147.576
Perusahaan Jasa-jasa Pertambangan
dan
Penggalian
/
Listrik,Gas, dan Air bersih Total Penduduk yang Bekerja Pengangguran Total Angkatan Kerja
17.668.317 17.669.660 18.751.421 1.529.882
1.575.299
1.366.503
19.298.199 19.244.959 20.117.924
Sumber : BPS, 2008.
Pada tabel di atas tertera pula jumlah pengangguran di Jawa Timur. Pada tahun 2007 pengangguran berkurang sebanyak 208.796 jiwa dari tahun 2006.
Padahal pada saat itu pula terjadi peningkatan angkatan kerja sebesar 872.965 jiwa dari tahun sebelumnya. Jadi, jika dilihat berdasarkan data tersebut pada tahun 2007 upaya mengurangi pengangguran membuahkan hasil.
4.3.
Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Timur
4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi suatu Provinsi adalah besarnya PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Setelah diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, Jawa Timur mengalami peningkatan PDRB yang cukup signifikan pada setiap sektornya. Akhir-akhir ini PDRB Jawa Timur menjadi penyumbang pendapatan nasional terbesar kedua setelah Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 4.2. pada tahun 2003 sampai 2007 ada dua sektor yang memberikan kontribusi yang besar untuk PDRB Jawa Timur. Kedua sektor tersebut adalah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor pertanian yang paling banyak menyerap tenaga kerja hanya menjadi penyumbang terbesar ketiga. Hal ini dikarenakan kurang luasnya rute distribusi produk-produk pertanian. Jawa Timur bagian selatan sangat potensial dalam menghasilkan produk-produk pertanian. Namun, kurangnya infrastruktur yang memadai seperti akses jalan menyulitkan pendistribusian hasil-hasil pertanian tersebut. Kurang gencarnya pendistribusian produk-produk pertanian ini ternyata masih tetap bisa memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap PDRB Jawa Timur walaupun tidak sebanyak sektor industri dan perdagangan.
Tabel 4.2.
PDRB Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003-2007 (dalam milyar Rupiah)
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Galian
2003 42.143,44 4.512,70
2004
2005
2006
2007
46.486,28
47.942,97
5.024,24
5.455,16
6.024,79
67.520,43 70.635,87
72.786,97
76.163,92
43.331,49 44.700,98 4.595,92
Industri Pengolahan
64.133,63
Listrik, Gas, dan Air
3.631,94
4.171,62
4.429,54
4.610,04
5.154,63
Bangunan
8.447,77
8.604,40
8.903,50
9.030,29
9.139,60
62.512,78
68.295,97 74.546,74
81.715,96
88.570,61
12.953,46
13.830,44 14.521,81
15.504,94
16.710,21
Keuangan
11.122,63
11.783,34 12.666,39
13.611,23
14.763,62
Jasa Lainnya
19.426,12
20.095,27 20.945,65
22.048,44
23.343,81
PDRB
228.884,47 242.228,89
Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi
256.374,72 271.249,31 287.814,16
Sumber : BPS Jawa Timur, 2008.
4.3.2. Pendapatan Regional Provinsi Jawa Timur Sumber penerimaan tiap daerah terdiri dari beberapa komponen yaitu : Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan (bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, Dana Alokasi Umum), sumbangan dan bantuan, dan pinjaman pemerintah daerah. Berdasarkan Tabel 4.3. pada tahun 2006 sumber pendapatan terbesar yang diperoleh Jawa Timur berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) terutama pendapatan dari pajak daerah. Jumlah pendapatan yang terealisasi lebih besar dari yang direncanakan.
Tabel 4.3. Rencana dan Realisasi Anggaran Pendapatan Menurut Jumlah Penerimaan Provinsi Jawa Timur Tahun 2006 (dalam juta Rupiah) Uraian Pendapatan
Rencana
Realisasi
1
Pendapatan
4.548.973,34
5.103.267,67
1.1
Pendapatan Asli Daerah
3.275.245,30
3.703.283,58
2.907.000,00
3.703.283,58
228.014,20
261.613,79
1.1.3 Bagian Laba Usaha Daerah
55.292,54
61.252,02
1.1.4 Lain2 Pendapatan yang Sah
84.538,56
123.514,4
1.251.033,04
1.376.784,10
1.2.1 Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
430.260,04
555.975,00
1.2.2 Dana Alokasi Umum
820.773,00
820.773,00
1.2.3 Dana Alokasi Khusus
-
-
22.695,00
23.235,98
-
124,63
22.695.000
23.111,35
1.1.1 Pajak Daerah 1.1.2 Retribusi Daerah
1.2
1.3 1.3.1
Dana Perimbangan
Pendapatan Lain-Lain yang Sah Bantuan Dana dari Pemerintah Pusat
1.3.2 Sumbangan / Bantuan Sumber : BPS Jawa Timur, 2008.
Berdasarkan Tabel 4.3. pada tahun 2002 sampai tahun 2006 realisasi pendapatan daerah Provinsi Jawa Timur selalu lebih besar dibandingkan rencana pendapatannya. Namun, dalam kurun waktu 2002-2006 realisasi pendapatan daerah Jawa Timur tidak selalu mengalami kenaikan. Hal ini terjadi pada tahun 2004 dimana jumlah realisasi pendapatannya turun dari Rp. 4.035.234,92 juta menjadi Rp. 3.953.714,57 juta.
Tabel 4.4. Rencana dan Realisasi Pendapatan Jawa Timur (2002-2006) (dalam juta Rupiah) Tahun Rencana Realisasi 2006 2005 2004 2003 2002
4.548.973,34 3.736.074,33 3.337.221,13 3.738.092,80 3.321.097,08
5.103.267,67 4.609.953,81 3.953.714,57 4.035.234,92 3.655.138,52
Sumber : BPS Jawa Timur, 2008.
4.3.3. Kemiskinan Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang sampai saat ini belum dapat diselesaikan oleh pemerintah. Masalah kemiskinan bukan hanya mengukur jumlah dan persentase penduduk miskin tetapi juga perlu mengukur tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Dengan kata lain dalam mengukur tingkat kemiskinan selain mengukur jumlah dan persentase penduduk miskin, perlu juga mengukur Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) merupakan ukuran ratarata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan. Indeks Keparahan kemiskinan (Poverty Severity Indeks-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per bulan di bawah Garis Kemiskinan (BPS Jawa Timur, 2009).
(%)
7 6 5 4 3 2 1 0
72. Blitar
71. Kediri
29. Semenep
27. Sampang
25. Gresik
23. Tuban
21. Ngawi
19. Madiun
17. Jombang
15. Sidoarjo
13. Probolinggo
11. Bondowoso
09. Jember
07. Malang
05. Blitar
03. Trenggalek
01. Pacitan
P1 P2
Sumber : BPS Jawa Timur, 2009
Keterangan : P1 : Indeks Kedalaman Kemiskinan
P2 : Indeks Keparahan Kemiskinan
Gambar 4.4. Grafik Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Jawa Timur Bulan Maret 2008 Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan masyarakat Jawa Timur tinggi. Berdasarkan data dari BPS Jawa Timur, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan Jawa Timur tinggi dengan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 3,49 persen dan tingkat keparahan kemiskinan sebesar 0,75 persen. Tingkat kedalaman kemiskinan yang tinggi menunjukkan pengeluaran penduduk miskin masih jauh dari garis kemiskinan. Sedangkan tingkat keparahan kemiskinan yang tinggi menunjukkan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin tinggi.
V. ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA
5.1.
Analisis Kesempatan Kerja Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah (1996-2000, 2001-2003, 2004-2007) Berdasarkan data kesempatan kerja, ternyata awal pelaksanaan otonomi
daerah mengalami perubahan negatif yaitu sebesar negatif 2,17 persen. Penurunan laju pertumbuhan kesempatan kerja tersebut terjadi pada empat sektor usaha yaitu sektor pertanian; sektor industri pengolahan; sektor petambangan dan penggalian; sektor listrik, gas dan air bersih. Hal ini menunjukkan otonomi daerah dalam tiga tahun pertama belum menunjukkan perbaikan dalam bidang ketenagakerjaan, terlebih lagi penyerapan tenaga kerja justru mengalami penurunan. Tabel 5.1.
Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Propinsi Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah I Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003
1
Pra Otonomi Daerah Kesempatan Kerja Perubahan (Jiwa) (Jiwa) 1996 2000 7.024.431 7.610.521 586.090
3
2.178.758
2.275.380
5
712.200
688.023
6
3.216.257
3.416.451
7
844.648
8 9
Lapangan Usaha
2/4 TOTAL
Persen
Era Otonomi Daerah I Kesempatan Kerja Perubahan (Jiwa) (Jiwa) 2001 2003
Persen
8,34
8.138.385
7.782.113
-356.272
-4,38
96.622
4,43
2.131.722
1.983.499
-148.223
-6,95
-24.177
-3,39
667.217
728.938
61.721
9,25
200.194
6,22
3.086.099
3.095.259
9.160
0,30
894.262
49.614
5,87
834.462
876.273
41.811
5,01
94.910
179.190
84.280
88,80
185.806
202.420
16.614
8,94
2.188.291
1.725.976
-462.315
-21,13
1.709.432
1.732.967
23.535
1,38
154.783
114.953
-39.830
-25,73
138.505
124.229
-14.276
-10,31
16.414.278 16.789.803
490.478
2,99 16.891.628 16.525.698
-365.930
-2,17
Sumber : BPS (Data diolah, contoh perhitungan pada Lampiran 1). Keterangan : 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Transportasi, dan Komunikasi 8. Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa
Pada awal pelaksanaan otonomi daerah, besarnya penurunan pertumbuhan kesempatan kerja di 4 (empat) sektor usaha tersebut tidak dapat diimbangi oleh besarnya kenaikan pertumbuhan di 5 (lima) sektor lainnya. Penurunan kesempatan kerja ini ditunjukkan oleh meningkatnya pengangguran terbuka di Jawa Timur yaitu dari 1.176.928 jiwa di tahun 2001 dan 1.168.461 jiwa di tahun 2002 menjadi 1.571.420 jiwa di tahun 2003. Pengangguran yang meningkat pada tahun 2003 semakin signifikan jumlahnya karena pada tahun 2003 angkatan kerja di Jawa Timur justru berkurang 82.855 jiwa dari total angkatan kerja tahun 2002 (BPS, 2004). Sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang paling banyak jumlah tenaga kerjanya juga mengalami penurunan jumlah tenaga kerja pada periode tersebut. Hal ini dikarenakan biaya produksi yang semakin mahal seiring kenaikan harga BBM. Adapun pelaksanaan kebijakan pemerintah berupa Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2002 tentang kenaikan harga gabah yang dimulai pada 1 Januari 2003 belum dapat memberikan hasil yang efektif. Kenaikan harga tersebut juga baru bisa dinikmati dua sampai tiga bulan setelahnya. Padahal pada saat itu harga barang-barang kebutuhan hidup juga semakin meningkat. Oleh karena itu, penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian semakin merosot pada tahun 2003 (Suwandi, 2003). Pertumbuhan negatif yang terjadi pada periode tiga tahun pertama pasca diberlakukannya otonomi daerah (era otonomi daerah I) justru tidak terjadi pada periode lima tahun terakhir sebelum diberlakukannya otonomi daerah (pra otonomi daerah). Pada saat belum diberlakukannya otonomi daerah, Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1997. Pasca krisis ekonomi, pengangguran tahun
1998 mengalami peningkatan sebesar 21 persen dari tahun sebelumnya. Satusatunya sektor usaha yang dapat bertahan bahkan penyerapan tenaga kerjanya meningkat pasca krisis ekonomi tahun 1997 adalah sektor pertanian. Banyak tenaga kerja yang beralih ke sektor pertanian. Namun, setelah perekonomian berangsur-angsur pulih jumlah tenaga kerja di sektor pertanian kembali berkurang. Pada tahun 2000 pemulihan ekonomi terutama dalam menangani masalah ketenagakerjaan semakin jelas terlihat. Pengangguran pada tahun 2000 berkurang sebesar 7,9 persen dari total pengangguran tahun 1998. Jika dibandingkan tahun 1996, penyerapan tenaga kerja pada tahun 2000 meningkat sebesar 2,99 persen. Hal ini dikarenakan pada tahun 2000 sektor keuangan, perbankan dan jasa perusahaan menyerap tenaga kerja lebih banyak 88,80 persen dari penyerapan tenaga kerja pada tahun 1996. Karena pada saat krisis ekonomi kondisi sektor perbankan sangat terpuruk, pemerintah segera memberikan suntikan dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) terhadap bank-bank yang hampir collapse. Dengan kata lain, sektor ini lah yang menjadi sasaran utama pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi saat itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pasca krisis ekonomi tersebut penyerapan tenaga kerja pada sektor keuangan, perbankan dan jasa perusahaan meningkat pesat sebesar 135,8 persen di tahun 1999 dan 230,5 persen di tahun 2000 (BPS, 2004). Sama halnya dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor keuangan Propinsi Jawa Timur, pada tahun 2000 sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan nasional dapat menambah tenaga kerjanya sebanyak 27,96 persen
dari total tenaga kerja tahun 1996. Walaupun tidak setinggi pada Propinsi Jawa Timur, penambahan tenaga kerja di sektor keuangan, perbankan dan jasa perusahaan di tingkat nasional tersebut merupakan penambahan dengan jumlah terbanyak dibandingkan sektor-sektor lainnya pada periode yang sama. Sedangkan untuk sektor yang paling banyak mengurangi tenaga kerjanya pada periode yang sama di tingkat nasional adalah sektor pertambangan dan galian dan sektor listrik, gas, dan air bersih yang penyerapan tenaga kerjanya turun sebesar 45,15 persen. Tabel 5.2. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Indonesia pada Pra dan Era Otonomi Daerah I Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003
1
Pra Otonomi Daerah Kesempatan Kerja Perubahan (Jiwa) (Jiwa) 1996 2000 37.720.251 40.676.713 2.956.462
3
10.773.038 11.641.756
Lap. Usaha
868.718
Era Otonomi Daerah I Kesempatan Kerja Perubahan (Jiwa) Persen (Jiwa) 2001 2003 7,84 39.743.908 42.001.437 2.257.529 8,06 12.086.122 10.927.342
5
3.796.228 3.497.232
-298.996
6
16.102.552 18.489.005
2.386.453
7
3.942.799 4.553.855
611.056
15,50
4.448.279
882.600
192.867
27,96
11.728.495 9.574.003
-2.154.492
8 9 2/4 TOTAL
689.733 952.717
522.560
-430.157
85.705.813 89.837.724
4.131.911
-7,88
5,68 -9,59
4.106.597
269.043
7,01
14,82 17.469.129 16.845.995
-623.134
-3,56
4.976.928
528.649
11,88
1.127.823
1.294.832
167.009
14,80
-18,37 11.003.482
9.746.381
-1.257.101
-11,43
885.405
-205.715
-18,85
4,82 90.807.417 90.784.917
-22.500
-0,03
-45,15
3.837.554
-1.158.780
Persen
1.091.120
Sumber : BPS (Data diolah, contoh perhitungan pada Lampiran 2). Keterangan : 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Transportasi, dan Komunikasi 8. Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa
Secara keseluruhan pada era 5 (lima) tahun sebelum dicanangkannya otonomi daerah ini (pra otonomi daerah), ternyata Indonesia mengalami pertumbuhan kesempatan kerja yang positif.
Seperti halnya Jawa Timur,
Indonesia juga segera melakukan pemulihan pasca terjadinya krisis ekonomi terutama pada sektor keuangan. Oleh karena itu, tidak heran jika sektor keuangan pasca krisis ekonomi justru dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. Pada era tiga tahun setelah diberlakukannya otonomi daerah (era otonomi daerah I), kesempatan kerja nasional mengalami pertumbuhan yang negatif yaitu sebesar
negatif 0,3 persen. Namun, ada yang berbeda dengan kondisi Jawa
Timur. Sebagai salah satu penyerap tenaga kerja terbesar, sektor pertanian Jawa Timur justru mengalami pertumbuhan kesempatan kerja yang negatif. Namun, dalam tingkat nasional pertumbuhan kesempatan kerja bernilai positif. Pertumbuhan yang positif ini memang tidak menunjukkan peningkatan antara tahun 2000 ke tahun 2001 atau dengan kata lain kesempatan kerja di sektor pertanian menurun dari tahun 2000 ke tahun 2001. Namun demikian, permasalahan yang terjadi di sektor pertanian Jawa Timur tidak mengurangi pertumbuhan kesempatan kerja nasional di sektor pertanian. Adapun sektor keuangan pertumbuhannya selalu meningkat setiap tahunnya. Selama tiga tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah, sektor keuangan kembali menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbanyak dengan nilai pertumbuhannya sebesar 14,8 persen. Pertumbuhan kesempatan kerja yang positif pada sektor keuangan, perbankan dan jasa perusahaan di Jawa Timur dan di tingkat nasional ternyata tidak hanya terjadi pada era lima tahun sebelum otonomi daerah dan tiga tahun pertama setelah otonomi daerah. Pertumbuhan positif tersebut juga terjadi di era
setelah tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah baik di tingkat Propinsi Jawa Timur maupun di tingkat nasional. Tabel 5.3.
Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Propinsi Jawa Timur pada Era Otonomi Daerah I dan II Tahun 2001 dan 2003, 2004 dan 2007
1
Pasca Otonomi Daerah I Kesempatan Kerja Perubahan (Jiwa) (Jiwa) 2001 2003 8.138.385 7.782.113 -356.272
3
2.131.722 1.983.499
Lapangan Usaha
5
667.217
6
728.938
3.086.099 3.095.259
-148.223 61.721
-6,95 2.265.182 2.458.401
Persen 9,50
193.219
8,53
955.072
24.032
2,58
0,30 3.531.652 3.718.384
9,25
931.040
186.732
5,29
7
834.462
876.273
41.811
5,01
872.948
865.652
-7.296
-0,84
8
185.806
202.420
16.614
8,94
105.143
191.047
85.904
81,70
1.709.432 1.732.967
23.535
1,38 1.807.678 2.023.634
215.956
11,95
-50.437
-25,47
17.374.955 18.603.845 1.426.903
8,21
9 2/4
138.505
TOTAL
124.229
9.160
Era Otonomi Daerah II Kesempatan Kerja Perubahan (Jiwa) Persen (Jiwa) 2004 2007 -4,38 7.663.299 8.391.655 728.356
-14.276
-10,31
16.891.628 16.525.698 -365.930
-2,17
198.013
147.576
Sumber : BPS (Data diolah, contoh perhitungan pada Lampiran 1). Keterangan : 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Transportasi, dan Komunikasi 8. Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa
Seperti yang tertera pada Tabel 5.3. pada periode tiga tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah, pertumbuhan kesempatan kerja di Jawa Timur yang terjadi pada sektor keuangan mencapai 8,94 persen. Namun, jika kesempatan kerja pada tahun 2003 dibandingkan dengan tahun 2004 maka akan terlihat penurunan jumlah tenaga kerja pada sektor keuangan Jawa Timur. Jika dilihat dari Tabel 5.3. jumlah tenaga kerja di Jawa Timur yang paling banyak diserap pada tahun 2004 terjadi pada sektor perdagangan yaitu meningkat sebesar 436.393 jiwa dari tahun 2003 atau meningkat sebesar 14 persen. Hal ini dikarenakan pada tahun 2004 aktivitas ekspor dan impor Jawa Timur sebagai salah satu aktivitas sektor
perdagangan meningkat. Nilai ekspor pada tahun 2004 meningkat 12,25 persen dari tahun 2003. Sedangkan nilai impor dari tahun 2003 ke tahun 2004 juga meningkat sebesar 35,04 persen (BPS Jatim, 2009). Peningkatan penyerapan tenaga kerja dari tahun 2003 ke 2004 sebesar 14 persen di sektor perdagangan ternyata tidak sama pesatnya dengan penyerapan tenaga kerja dari tahun 2004 ke 2007 yang hanya meningkat sebesar 5,29 persen. Untuk peningkatan penyerapan tenaga kerja terbanyak pada tahun 2007 terjadi di sektor keuangan, perbankan, jasa perusahaan yang mencapai 81,70 persen dari tahun 2004. Secara keseluruhan, periode pasca tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah mengalami banyak peningkatan penyerapan tenaga kerja di berbagai sektor kecuali di sektor pertambangan dan penggalian; sektor listrik, gas, dan air bersih; sektor transportasi dan komunikasi. Total tenaga kerja yang diserap pada tahun 2007 meningkat sebesar 8,21 persen dari total tenaga kerja yang diserap pada tahun 2004. Peningkatan yang terjadi pada periode tersebut menandakan pelaksanaan otonomi daerah berangsurangsur mengalami kemajuan, dalam hal ini adalah masalah penyerapan tenaga kerja. Walaupun pada periode tersebut Jawa Timur terjadi tragedi lumpur lapindo yang merugikan banyak pihak, perekonomian Jawa Timur tidak mengalami kemerosotan. Seperti yang telah diketahui bahwa tragedi lumpur lapindo ini penyelesaiannya masih belum rampung. Penggunaan jalan raya Porong yang biasa dijadikan sebagai jalur lalu lintas penjualan komoditi antar wilayah juga terganggu. Walaupun tidak mengalami kemerosotan, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur tetap mengalami hambatan. Kemungkinan besar jika tragedi lumpur
Lapindo tidak terjadi, pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kesempatan kerja yang dicapai bisa lebih tinggi lagi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi dan besarnya pertumbuhan kesempatan kerja yang dicapai pada saat itu bersamaan dengan matinya beberapa industri di Sidoarjo, Probolinggo, dan Pasuruan akibat tragedi lumpur Lapindo (Bappeprop Jatim, 2008). Tabel 5.4. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Indonesia pada Era Otonomi Daerah I dan II Tahun 2001 dan 2003, 2004 dan 2007
1
Pasca Otonomi Daerah I Era Otonomi Daerah II Kesempatan Kerja Kesempatan Kerja Perubahan Perubahan (Jiwa) (Jiwa) Persen (Jiwa) (Jiwa) 2001 2003 2004 2007 39.743.908 42.001.437 2.257.529 5.,68 40.608.019 41.206.47.4 598.455
3
12.086.122
5
3.837.554
6
17.469.129
7
4.448.279
4.976.928
528.649
11,88
5.480.527
5.958.811
478.284
8,73
8
1.127.823
1.294.832
167.009
14,81
1.125.056
1.399.490
274.434
24,39
9
11.003.482
9.746.381 -1.257.101
-11,42 10.513.093 12.019.984
1506.891
14,33
2/4
1.091.120
885.405 -205.715
1.169.498
-96.087
-7,59
TOTAL
90.807.417
-0,03 93.722.036 99.930.217
6208.181
6,62
Lap. Usaha
10,927.342 -1.158.780 4,106.597
269.043
16.845.995 -623.134
90.784.917
-22.500
-9,59 11.070.498 12.368.729
Persen 1,47
1298.231
11,73
5.252.581
712.479
15,69
-3,57 19.119.156 20.554.650
1435.494
7,51
7,01
-18,85
4.540.102
1.265.585
Sumber : BPS (Data diolah, contoh perhitungan pada Lampiran 2). Keterangan : 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan
Seperti
yang
telah
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Transportasi, dan Komunikasi 8. Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa
disebutkan
sebelumnya
bahwa
pertumbuhan
kesempatan kerja nasional pada periode tiga tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah bernilai negatif. Jika mengacu pada Tabel 5.4. kesempatan kerja nasional tumbuh sangat signifikan pada periode pasca tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah yaitu mencapai 6,62 persen. Sama seperti Jawa Timur, sektor yang paling
banyak memberikan kontribusi dalam pertumbuhan kesempatan kerja nasional adalah sektor keuangan, perbankan, jasa perusahaan yang meningkat sebesar 24,34 persen. Selama tiga periode (pra otonomi daerah, era otonomi daerah I dan II) sektor keuangan, perbankan dan jasa perusahaan dapat memberikan kontribusi yang cukup besar dalam hal penyerapan tenaga kerja baik di Jawa Timur sendiri maupun di tingkat nasional. Sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan akan terus maju selama kepercayaan masyarakat sebagai pengguna jasa sektor tersebut masih ada dan mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan pertambahan modal sektor tersebut sebagian besar mengalir dari masyarakat pengguna jasa sektor itu sendiri. Semakin lama pengguna jasa sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan semakin meningkat karena kelancaran transaksi keuangan menjadi salah satu syarat penting kemajuan suatu usaha. Sektor usaha yang selama tiga periode kurang berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja baik di Jawa Timur maupun di tingkat nasional adalah gabungan sektor pertambangan dan galian dengan sektor listrik, gas, dan air bersih. Daya tarik pertambangan Indonesia berdasarkan minat investor ternyata masih sangat rendah, yakni berada pada urutan ke 62 dari 68 negara. Padahal potensi pertambangan Indonesia cukup besar karena kekayaan alamnya. Namun, arah hukum di Indonesia tidak jelas serta persetujuan ekonomi sosialnya masih banyak yang belum jelas. Kondisi politik dan keamanannya juga kurang kondusif di mata para investor (Siregar, 2009). Sedangkan khusus Propinsi Jawa Timur, melihat kondisinya yang sangat rentan terhadap bencana alam membuat sektor
pertambangan tidak cocok untuk dikembangkan. Jika dipaksakan, hal tersebut akan mengundang bencana ekologi yang sangat parah. Hal ini dikarenakan pertambangan mineral maupun minyak di Jawa Timur justru banyak dilakukan di kawasan hutan ataupun kawasan lindung. Salah satu akibat dari eksplorasi dan eksploitasi di Jawa Timur yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan adalah terjadinya semburan lumpur Lapindo yang secara ekonomi menimbulkan kerugian sebesar Rp. 33,27 trilyun (Bachtiar, 2006).
5.2.
Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional pada Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007) Dalam melihat perbandingan kesempatan kerja di Jawa Timur maupun
kesempatan kerja nasional pada lapangan usaha digunakan suatu rasio kesempatan kerja. Rasio kesempatan kerja tersebut terbagi atas nilai Ra, Ri, dan ri. Tabel 5.5. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional (Nilai Ra, Ri, ri) Lap. Usaha 1 3 5 6 7 8 9 2/4 TOTAL
Pra Otonomi Daerah
Era Otonomi Daerah I
Ra 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
Ra -0,00 -0,00 -0,00 -0,00 -0,00 -0,00 -0,00 -0,00 -0,00
Ri 0,08 0,08 -0,08 0,15 0,16 0,28 -0,18 -0,45 0,05
ri 0,08 0,04 -0,03 0,06 0,06 0,89 -0,21 -0,26 0,02
Ri 0,06 -0,10 0,07 -0,04 0,12 0,15 -0,11 -0,19 -0,00
ri -0,04 -0,07 0,09 0,00 0,05 0,09 0,01 -0,10 -0,02
Era Otonomi Daerah II Ra Ri ri 0,07 0,02 0,10 0,07 0,12 0,09 0,07 0,16 0,03 0,07 0,08 0,05 0,07 0,09 -0,01 0,07 0,24 0,82 0,07 0,14 0,12 0,07 -0,08 -0,25 0,07 0,07 0,07
Sumber : BPS (Data diolah, contoh perhitungan pada Lampiran 3). Keterangan : 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Transportasi, dan Komunikasi 8. Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa
Berdasarkan Tabel 5.5. secara keseluruhan pertumbuhan kesempatan kerja nasional yang paling tinggi terjadi pada saat pasca tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah dengan nilai Ra sebesar 0,07. Nilai ra tersebut menunjukkan selisih kesempatan kerja nasional tahun 2004 dan 2007. Pada periode sebelum otonomi daerah pertumbuhan kesempatan kerja juga bernilai positif seperti pada periode pasca tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah. Namun, nilai Ra pada periode pra otonomi daerah ini hanya sebesar 0,05. Memiliki selisih yang cukup jauh dari nilai Ra pasca tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah. Namun, seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa pada periode tiga tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah pertumbuhannya negatif sehingga nilai Ra juga negatif. Namun, nilai Ra tersebut sangatlah kecil bahkan mendekati nol (-0,00 persen). Hal ini menunjukkan bahwa pada periode tiga tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah tidak ada perubahan yang signifikan dalam pertumbuhan kesempatan kerja nasional. Jadi dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan pelaksanaan otonomi daerah dalam tiga tahun pertama belum memberikan kemajuan yang berarti. Ketidaksiapan perubahan dalam kubu pemerintahan ini menjadi salah satu pemicu kurang berhasilnya pemerintah daerah dalam meningkatkan kesempatan kerja. Nilai Ri menunjukkan kontribusi masing-masing lapangan usaha dalam menciptakan kesempatan kerja nasional. Dalam tiga periode analisis (1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007) gabungan dari sektor pertambangan dan penggalian dengan sektor listrik, gas, air bersih selalu memiliki nilai Ri negatif. Hal ini menunjukkan gabungan kedua sektor tersebut belum memberikan
kontribusi yang berarti dalam meningkatan kesempatan kerja nasional. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kurang berkontribusinya sektor pertambangan di Jawa Timur dikarenakan pertambangan di Jawa Timur dapat mengundang kerusakan bencana alam yang parah. Sedangkan pertambangan nasional kurang menarik minat investor. Kondisi listrik Indonesia juga sangat memprihatinkan. Krisis listrik di Indonesia terjadi karena pada saat krisis ekonomi 1997 tidak ada investor yang menanamkan modalnya untuk membangun pembangkit listrik. Selain terbatasnya pembangkit, perseroan juga menghadapi keterbatasan kemampuan membeli energi. Pertumbuhan penggunaan listrik, kurangnya investor untuk meningkatkan pembangkit, disertai dengan mahalnya harga bahan bakar membuat rentang harga jual listrik dengan biaya produksi makin jauh. Sementara itu, anggaran untuk membeli bahan bakar dibatasi (Zack, 2008). Oleh karena itu, kontribusi sektor listrik dalam menciptakan lapangan kerja sangatlah kecil. Periode pasca tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah merupakan periode terbaik dalam meningkatkan kesempatan kerja nasional. Semua sektor memiliki nilai Ri positif kecuali gabungan dari sektor pertambangan dan penggalian dengan sektor listrik, gas, air bersih. Nilai kontribusi gabungan kedua sektor tersebut yang bernilai negatif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja nasional ternyata dialami juga oleh tenaga kerja di Jawa Timur. Dalam tiga periode analisis, nilai ri gabungan kedua sektor tersebut adalah negatif. Kondisi ini berbeda sekali dengan sektor keuangan, perbankan dan jasa perusahaan yang selalu memiliki nilai Ri dan ri positif. Kontribusi sektor keuangan terhadap peningkatan kesempatan kerja
Jawa Timur dan nasional selalu tinggi bahkan selalu memiliki nilai paling tinggi di antara sektor-sektor lainnya. Sektor keuangan, perbankan dan jasa perusahaan ini memang banyak diminati banyak angkatan kerja. Selain memiliki banyak peminat, sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja. Membanjirnya lembaga keuangan di berbagai daerah baik di Jawa Timur maupun di Indonesia menjadi salah satu faktor pendukung dalam memperluas kesempatan kerja.
5.3.
Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah pada Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007) Besarnya nilai komponen pertumbuhan nasional (PN) memperlihatkan
seberapa besar pengaruh kesempatan kerja nasional terhadap peningkatan kesempatan kerja di Jawa Timur. Pengaruh pertumbuhan nasional menjelaskan seberapa besar peningkatan kesempatan kerja di Jawa Timur bila jumlah kesempatan kerja Jawa Timur tiap sektor dan jumlah kesempatan kerja nasional tiap sektor bertambah dengan laju yang sama dengan laju pertumbuhan nasional. Hal ini lah yang menyebabkan persentase komponen PN sama dengan laju pertumbuhan nasional. Perubahan pertumbuhan nasional ini dapat dipengaruhi oleh adanya perubahan kebijakan nasional menyangkut ketenagakerjaaan. Salah satunya adalah kebijakan mengenai upah minimum. Berdasarkan Tabel 5.6. dapat diketahui bahwa persentase pertumbuhan nasional yang bernilai negatif terjadi pada periode tiga tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah (era otonomi daerah I). Walaupun bernilai negatif, perubahan pertumbuhannya sangat lah kecil. Dengan kata lain, besarnya pengaruh
pertumbuhan negatif kesempatan kerja nasional terhadap penyerapan kesempatan kerja di Jawa Timur sebesar negatif 4.204 jiwa (-0,03 persen). Tabel 5.6. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Propinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007
Lapangan Usaha 1 3 5 6 7 8 9 2/4 TOTAL
Pra Otonomi Daerah PNi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) 338.650 4,82 105.038 4,82 34.335 4,82 155.057 4,82 40.720 4,82 4.575 4,82 105.498 4,82 7.462 4,82 791.338 4,82
Era Otonomi Era Otonomi Daerah Daerah I II PNi(Jawa Timur) PNi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) -2.016 -0,03 507.619 6,62 -532 -0,03 150.046 6,62 -166 -0,03 61.672 6,62 -771 -0,03 233.937 6,62 -208 -0,03 57.824 6,62 -46 -0,03 6.964 6,62 -427 -0,03 119.741 6,62 -34 -0,03 13.116 6,62 -4.204 -0,03 1.150.923 6,62
Sumber : BPS (Data diolah, contoh perhitungan pada Lampiran 4). Keterangan : 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Transportasi, dan Komunikasi 8. Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa
Pada periode pra otonomi daerah dan pasca tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah, besarnya pengaruh pertumbuhan positif kesempatan kerja nasional terhadap penyerapan kesempatan kerja di Jawa Timur masing-masing sebesar 791.338 jiwa (4,82 persen) dan 1.150.923 jiwa (6,62 persen). Pada periode pra otonomi daerah serta periode era otonomi daerah I dan II, sektor keuangan, perbankan dan jasa keuangan memiliki nilai PN yang rendah. Hal ini mengidentifikasikan bahwa setiap terjadi perubahan pertumbuhan nasional, maka
sektor tersebut mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kemampuannya menyerap tenaga kerja. Kondisi tersebut berbeda dengan sektor pertanian yang memiliki nilai PN tertinggi selama tiga periode tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian sangat mudah terpengaruh pada perubahan pertumbuhan nasional. Kebijakan pemerintah yang bersifat nasional seperti kebijakan penetapan harga gabah sangat berpengaruh terhadap kondisi sektor pertanian. Penetapan harga gabah yang sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan para petani sangat mempengaruhi kelangsungan hidup para petani ditengah kenaikan harga. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa harga barang-barang kebutuhan hidup yang semakin tinggi disertai tingginya biaya produksi membuat sektor pertanian ini sempat mengalami pertumbuhan yang lambat. Instruksi Presiden No. 9 tahun 2002 mengenai penetapan harga gabah yang semakin meningkat membuat pertumbuhan tenaga kerja pada sektor pertanian di tahun-tahun berikutnya semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan nasional akibat perubahan kebijakan sangat mempengaruhi kondisi sektor pertanian. Selain komponen pertumbuhan nasional, ada pula komponen pertumbuhan proporsional (PP) yang akan menggambarkan pengaruh dari pertumbuhan kesempatan kerja nasional. PP menjelaskan perbedaan kenaikan kesempatan kerja nasional dan kenaikan kesempatan kerja sektor usaha secara keseluruhan. PP yang bernilai negatiif mengidentifikasikan bahwa pertumbuhan lapangan usaha tersebut di Jawa Timur tergolong lambat. Begitu pula sebaliknya jika PP bernilai positif
maka pertumbuhan sektor usaha tersebut tergolong cepat. Secara keseluruhan, pertumbuhan proporsional kesempatan kerja sektor usaha nasional mengakibatkan pertumbuhan kesempatan kerja di Propinsi Jawa Timur pada saat pra otonomi daerah sebesar semua sektor usaha Jawa Timur pada periode pra otonomi daerah sebesar 41.059 jiwa (0,25 persen), pasca otonomi daerah I sebesar 104.608 jiwa (0,62 persen), dan pasca otonomi daerah II sebesar negatif 15.181 jiwa (0,09%). Tabel 5.7. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Propinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007
Lapangan Usaha 1 3 5 6 7 8 9 2/4 TOTAL
Pra Otonomi Daerah PPi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) 211.915 3,02 70.652 3,24 -90.429 -12,70 321.603 10,00 90.183 10,68 21.964 23,14 -507.481 -23,19 -77.348 -49,97 41.059 0,25
Era Otonomi Daerah I PPi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) 464.292 5,70 -203.850 -9,56 46.944 7,04 -109.311 -3,54 99.379 11,91 27.561 14,83 -194.868 -11,40 -26.079 -18,83 104.068 0,62
Era Otonomi Daerah II PPi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) -394.683 -5,15 115.590 5,10 84.436 9,07 31.224 0,88 18.358 2,10 18.683 17,77 139.362 7,71 -28.150 -14,22 -15.181 -0,09
Sumber : BPS (Data diolah, contoh perhitungan pada Lampiran 5). Keterangan : 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Transportasi, dan Komunikasi 8. Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa
Sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan dan sektor transportasi dan komunikasi memiliki nilai PP yang positif di semua periode baik pra otonomi daerah, era otonomi daerah I maupun era otonomi daerah II. Namun persentase pertumbuhan tertinggi dimiliki oleh sektor keuangan, perbankan, jasa perusahaan
dengan nilai persentase PP berturut-turut sebesar 23,14 persen, 14,83 persen, 17,77 persen. Seperti yang telah diketahui bahwa sektor keuangan, perbankan dan jasa perusahaan ini semakin banyak membuka cabang di berbagai daerah. Saat ini saja salah satu bank di Indonesia memiliki 829 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia dan 6 (enam) cabang yang terdapat di luar negeri. Tidak mengherankan jika semakin lama sektor perbankan semakin mampu untuk menyerap tenaga kerja lebih banyak. Sedangkan nilai PP yang selalu positif pada sektor transportasi dan komunikasi dapat disebabkan semakin maraknya penggunaan telepon seluler yang menumbuhkembangkan banyak provider telepon seluler dan semakin maraknya penggunaan kendaraan bermotor. Gabungan sektor pertambangan dan galian dengan sektor listrik, gas, dan air bersih selalu memiliki laju pertumbuhan yang lambat dalam tiga periode (pra otonomi daerah, era otonomi daerah I, era otonomi daerah II) dengan nilai PP berturut-turut sebesar negatif 77.348 jiwa (-49.97 persen), negatif 194.868 (-18.83 persen), negatif 28.150 jiwa (-14.22 persen). Sektor pertambangan Indonesia kurang menarik para investor. Sektor pertambangan Jawa Timur rentan terhadap bencana alam. Sektor listrik memiliki masalah dalam hal penyediaan energi ditengah kenaikan harga dan terbatasnya anggaran untuk membeli bahan bakar energi. Ketiga hal tersebut yang membuat sektor pertambangan dan sektor listrik memiliki laju pertumbuhan yang lambat dalam menyerap tenga kerja. Selain mengukur pertumbuhan nasional dan pertumbuhan proporsional, untu mengetahui perubahan kesempatan kerja di Jawa Timur perlu juga mengukur pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). PPW menunjukkan kemampuan daya saing
suatu lapangan usaha dibandingkan dengan lapangan usaha di wilayah lain. Apabila PPW bernilai positif maka dapat dikatakan bahwa lapangan usaha tersebut berdaya saing baik. Namun, apabila PPW bernilai negatif berarti lapangan usaha tersebut tidak dapat berdaya saing dengan baik. Pengaruh besarnya daya saing yang dimiliki masing-masing sektor di Jawa Timur menyebabkan secara keseluruhan kesempatan kerja di Jawa Timur menurun sebesar 341.919 jiwa (-2,08 persen) pada periode pra otonomi daerah dan sebesar 465.793 jiwa (-2,76 persen) pada periode pasca otonomi daerah I. Sedangkan pada periode pasca otonomi daerah II pengaruh daya saing tersebut dapat meningkatkan kesempatan kerja sebesar 240.724 jiwa (1,39 persen). Tabel 5.8. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Propinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007
Lapangan Usaha 1 3 5 6 7 8 9 2/4 TOTAL
Pra Otonomi Daerah PPWi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) 35.525 0,51 -79.069 -3,63 31.917 4,48 -276.466 -8,60 -81.290 -9,62 57.741 60,84 -60.332 -2,76 30.055 19,42 -341.919 -2,08
Era Otonomi Daerah I PPWi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) -818.548 -10,06 56.160 2,63 14.944 2,24 119.243 3,86 -57.359 -6,87 -10.900 -5,87 218.830 12,80 11.837 8,55 -465.793 -2,76
Era Otonomi Daerah II PPWi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) 615.419 8,03 -72.418 -3,20 -122.076 -13,11 -78.430 -2,22 -83.478 -9,56 57.741 57,31 -43.147 -2,39 -35.403 -17,88 240.724 1,39
Sumber : BPS (Data diolah, contoh perhitungan pada Lampiran 6). Keterangan : 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Transportasi, dan Komunikasi 8. Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa
Daya saing yang paling baik ditunjukkan oleh sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan selama dua periode yaitu periode pra otonomi daerah dan periode pasca otonomi daerah II yang memiliki nilai PPW berturutturut sebesar 57.741 jiwa (60,84 persen) dan 57.741 jiwa (57,31 persen). Namun, pada periode pasca otonomi daerah I (tiga tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah) sektor ini sempat mengalami penurunan pada daya saingnya dengan nilai PPW sebesar negatif 10.900 jiwa (-5,87 persen). Jadi, dari hasil perhitungan PP dan PPW, otonomi daerah dapat dikatakan menuju ke arah yang lebih baik. Hal ini dapat diindikasikan dari jumlah pertumbuhan kesempatan kerja yang secara keseluruhan mengalami peningkatan dari kondisi awal pelaksanaan otonomi daerah yang mengalami penurunan pertumbuhan kesempatan kerja.
5.4.
Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Kesempatan Kerja Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah (I dan II) Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007
Nilai pergeseran bersih (PB) merupakan penjumlahan antara PP dan PPW. Jika PB bernilai positif maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan lapangan usaha Jawa Timur tergolong ke dalam kelompok progresif (maju). Sedangkan nilai PB yang negatif menunjukkan bahwa pertumbuhan lapangan usaha di Jawa Timur tergolong lamban. Pertumbuhan yang progresif sektor-sektor usaha Jawa Timur secara keseluruhan hanya terjadi pada era otonomi daerah II (pasca tiga tahun pelaksanaan otonomi daerah) dengan nilai PB sebesar 225.543 jiwa (1,30 persen). Sedangkan pada periode pra otonomi daerah dan era otonomi daerah I nilai PB
negatif yang masing-masing bernilai sebesar negatif 300.861 jiwa (-1,83 persen) dan negatif 361.725 jiwa (-2,14 persen). Berdasarkan Tabel 5.8. sektor yang mengalami pergeseran bersih paling signifikan pada saat peralihan dari periode pra otonomi daerah ke periode pasca otonomi daerah I adalah sektor jasa-jasa dengan nilai PB dari negatif 567.813 jiwa menjadi 23.962 jiwa. Pergeseran nilai PB tersebut menunjukkan bahwa sektor jasa-jasa bergeser dari sektor usaha yang pertumbuhannya lamban pada pra otonomi daerah menjadi sektor usaha yang progresif pada era otonomi daerah I (tiga tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah). Tabel 5.9. Pergeseran Bersih Propinsi Jawa Timur Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007
Lapangan Usaha 1 3 5 6 7 8 9 2/4 TOTAL
Pra Otonomi Daerah PBi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) 247.439 3,52 -8.417 -0,39 -58.512 -8,22 45.137 1,40 8.893 1,05 79.704 83,98 -567.813 -25,95 -47.292 -30,55 -300.861 -1,83
Era Otonomi Daerah Era Otonomi Daerah I II PBi(Jawa Timur) PBi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) -354.255 -4,35 220.736 2,88 -147.690 -6,93 43.173 1,91 61.888 9,28 -37.640 -4,04 9.932 0,32 -47.206 -1,34 42.020 5,04 -65.120 -7,46 16.660 8,97 78.939 75,08 23.962 1,40 96.215 5,32 -14.241 -10,28 -63.553 -32,10 -361.725 -2,14 225.543 1,30
Sumber : BPS (Data diolah, contoh perhitungan pada Lampiran 7). Keterangan : 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Transportasi, dan Komunikasi 8. Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa
Sektor usaha jasa-jasa banyak dilakukan pihak swasta berupa jasa sosial kemasyrakatan, jasa hiburan, rekreasi, jasa perorangan dan rumah tangga. Nilai
PB sektor jasa yang sangat menurun pada periode pra otonomi daerah dikarenakan pada periode tersebut terjadi krisis ekonomi di mana pada saat itu banyak orang yang mengurangi penggunaan atas sektor jasa. Kondisi inilah yang membuat pendapatan yang diperoleh sektor jasa menurun. Dengan demikian, biaya produksinya pun harus diturunkan yang salah satu caranya adalah dengan mengurangi penyerapan tenaga kerja. Sektor keuangan, perbankan dan jasa perusahaan merupakan satu-satunya sektor yang menjadi sektor usaha yang progresif selama tiga periode (pra otonomi daerah, pasca otonomi daerah I, dan pasca otonomi daerah II) dengan nilai PB berturut-turut sebesar 79.704 jiwa, 16.660 jiwa, dan 78.939 jiwa. Hal ini dikarenakan pendapatan yang dimiliki sektor tersebut sangat besar mengingat semakin banyaknya masyarakat yang menjadi nasabah dan menggunakan jasa perbankan untuk keberlangsungan usahanya. Peningkatan pengguna jasa perbankan ini membuat sektor ini membutuhkan banyak tenaga kerja. Adapun sektor yang pertumbuhannya tergolong lamban selama tiga periode (pra otonomi daerah, era otonomi daerah I dan II) adalah gabungan sektor pertambangan dan penggalian dengan sektor listrik, gas, air bersih dengan nilai PB berturut-turut sebesar negatif 300.861 jiwa, negatif 361.725 jiwa, negatif 63.553 jiwa. Nilai PB yang dimiliki sektor ini menunjukkan bahwa sektor ini memang kurang kompetitif dalam menyerap tenaga kerja. Gambar 5.1. merupakan gambar profil pertumbuhan lapangan usaha di Propinsi Jawa Timur yang terbagi menjadi empat kuadran yaitu Kuadran I, II, III, IV. Sektor usaha yang berada pada Kuadran I menunjukkan bahwa sektor tersebut
mempunyai pertumbuhan yang cepat dengan daya saing yang baik pula (sektor progresif). Adapun sektor yang terdapat pada Kuadran II menunjukkan bahwa sektor tersebut memiliki perumbuhan yang cepat namun tidak dapat berdaya saing dengan baik. Untuk sektor yang terdapat pada Kuadran III menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor tersebut lamban dan tidak dapat berdaya saing dengan baik. Sektor yang terdapat pada Kuadran IV menujukkan bahwa sektor tersebut memiliki daya saing yang baik namun pertumbuhannya lamban. Garis diagonal 450 membagi Kuadran II dan IV menjadi dua bagian. Tiap lapangan usaha yang berada di atas garis termasuk ke dalam sektor usaha progresif dan yang berada di bawah garis tersebut menunjukkan bahwa sektor tersebut tergolong lamban. Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Timur pada Pra Otonomi Daerah (1996 dan 2000) 70
Kuadran IV
Kuadran I
60 50 Pertambangan dan Galian ; Listrik, Gas, dan Air Bersih
40 30
Keuangan, Perbankan, dan Jasa Perusahaan
20 Bangunan %PP -60 Kuadran III
Jasa-jasa -40 -20
10
Pertanian Industri Pengolahan 20 -10 0 0
Perdagangan,
-20 Hotel dan %PPW Restoran
40 Kuadran II
Pengangkutan dan Komunikasi
Sumber : BPS (Data diolah) Gambar 5.1. Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Timur pada Pra Otonomi Daerah (1996 dan 2000) Berdasarkan Gambar 5.1. dapat diketahui bahwa pada masa pra otonomi daerah sektor pertanian dan sektor keuangan, perusahaan, dan perbankan berada
pada Kuadran I. Hal ini menunjukkan bahwa kedua sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang cepat dan dapat berdaya saing dengan baik. Namun, selain kedua sektor tersebut, sektor-sektor lainnya yang juga termasuk ke dalam sektor progressif adalah sektor perdagangan hotel dan restoran; sektor transportasi dan komunikasi. Berdasarkan Gambar 5.2. yang termasuk kelompok sektor usaha yang progresif (maju) pada periode tiga tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah (era otonomi daerah I) adalah sektor usaha bangunan; sektor transportasi dan komunikasi; sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan; sektor jasa-jasa; sektor perdagangan, hotel dan restoran. Adapun sektor yang pertumbuhannya tergolong lamban adalah sektor pertanian; industri pengolahan; sektor pertambangan dan galian; sektor listrik, gas, dan air bersih. Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Timur pada Era Otonomi Daerah I (2001 dan 2003) Pertambangan dan Galian ; Listrik, Gas, dan Air Bersih
Kuadran IV
Jasa-jasa
Kuadran I
Perdagangan, 10 Hotel dan Restoran
Industri Pengolahan
Pengangkutan dan Komunikasi
5
Bangunan
0
%PP -30
15
-20
-10
-5
0
10
-10 Kuadran III -15 %PPW
Pertanian
20 Keuangan, Perbankan, dan Jasa Perusahaan Kuadran II
Sumber : BPS (Data Diolah).
Gambar 5.2. Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Timur pada Era Otonomi Daerah I (2001 dan 2003)
Jika Gambar 5.1. dan 5.2. dibandingkan, maka akan didapatkan pergeseran yang cukup signifikan yang terjadi hampir pada semua sektor usaha. Perubahan yang paling signifikan terjadi pada sektor bangunan, sektor jasa-jasa, dan sektor pertanian. Sektor bangunan dan jasa-jasa bergeser dari yang semula lamban menjadi progresif. Adapun sektor pertanian justru menurun dari sektor yang progresif menjadi sektor yang pertumbuhannya lamban. Adapun sektor keuangan hanya sedikit mengalami penurunan pada daya saingnya namun tetap menjadi sektor usaha yang progresif. Sektor perdagangan, hotel dan restoran tetap menjadi sektor progresif walaupun mengalami penurunan pada pertumbuhannya. Sektor transportasi dan komunikasi mengalami kemajuan dalam hal daya saing dan menjadikannya sektor progresif. Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Timur pada Era Otonomi Daerah II (2004 dan 2007) 70
Keuangan, Perbankan, dan Jasa Perusahaan
60 50 40 Kuadran IV
Kuadran I
30 20
Pertanian
10 0
%PP -20 Pertambangan dan Galian ; Listrik, Gas, dan Air Bersih
Kuadran III
-10 -20
Perdagangan, Hotel dan Industri Restoran PengolahanJasa-jasa
0
20 Bangunan
Pengangkutan dan Komunikasi
-30 %PPW
Kuadran II
Sumber : BPS (Data diolah)
Gambar 5.3. Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Timur pada Era Otonomi Daerah II (2004 dan 2007)
Berdasarkan Gambar 5.3. dapat diketahui bahwa pada periode era otonomi daerah II sektor pertanian kembali menjadi sektor yang progresif walaupun pertumbuhannya masih lambat. Adapun sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan dapat berdaya saing kembali dengan baik pada periode tersebut. Lain halnya dengan sektor bangunan dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Pada periode era otonomi daerah II kedua sektor tersebut justru mengalami penurunan pertumbuhan yang cukup besar sehingga membuat mereka menjadi sektor yang tidak progresif. Dari hasil analisis di atas, dapat dikatakan bahwa pada awal pelaksanaan otonomi daerah pertumbuhan kesempatan kerja Jawa Timur justru mengalami penurunan. Beberapa peneliti meyakini bahwa masa transisi masih berlangsung hingga sekarang. Selain itu pula, otonomi daerah masih terlihat seperti peralihan kekuasaan, bukan peralihan tanggung jawab. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang pun banyak terjadi pada kubu pemerintah daerah. Program-program pembangunan belum dilaksanakan secara optimal. Walaupun demikian, pelaksanaan otonomi daerah setelah tiga tahun kemudian telah mengalami peningkatan dalam hal ketenagakerjaan. Pembatasan wewenang pemerintah daerah melalui revisi undang-undang otonomi daerah (UU No.32/2004) ternyata cukup memberi pengaruh yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja yang terlihat pada era otonomi daerah II.
5.5.
Peran Pertumbuhan Kesempatan Kerja dalam Mengurangi Jumlah Migrasi Keluar Sumber
daya
manusia
sangat
dibutuhkan
dalam
mempercepat
pembangunan di suatu wilayah. Namun, dalam proses pembangunan ini juga banyak terjadi arus urbanisasi. Berdasarkan konteks secara umum urbanisasi adalah proses dimana penduduk keluar dari wilayah asalnya untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di daerah lain. Dengan kata lain, urbanisasi ini justru membuat suatu wilayah kekurangan sumber daya manusia untuk membangun wilayah tersebut. Apalagi umumnya penduduk yang berpendidikan tinggi justru melakukan migrasi keluar. Salah satu alasan penduduk melakukan migrasi adalah alasan ekonomi. Kurangnya kesempatan kerja di daerah asal dan ingin mendapat penghasilan lebih baik itulah yang menjadi alasan ekonomis para migran. Berdasarkan analisis pertumbuhan kesempatan kerja yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya menunjukkan bahwa pertumbuhan kesempatan kerja di Jawa Timur meningkat pada periode pra otonomi daerah dan era otonomi daerah II. Adapun sektor usaha yang paling menjanjikan dalam menyerap tenaga kerja di Jawa Timur adalah sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan. Sektor tersebut selalu mengalami pertumbuhan yang cepat walaupun pada saat periode pasca otonomi daerah I mengalami penurunan daya saing. Sedangkan sektor yang kurang baik dalam menyerap tenaga kerja adalah gabungan sektor pertambangan dan galian dengan sektor listrik, gas, dan air bersih.
Tabel 5.10. Jumlah Migrasi (Absolut) Propinsi Jawa Timur Kategori Migrasi
Tahun
Migrasi Keluar (jiwa) 529.037
Migrasi Bersih (jiwa)
2000
Migrasi Masuk (jiwa) 185.966
Migrasi risen (migrasi lima tahun yang lalu) Migrasi seumur hidup
2005 2000 2005
250.155 781.590 660.663
344.266 3.063.297 3.219.658
-94.111 -2.281.707 -2.558.995
-343.071
Sumber : BPS, 2008.
Tabel 5.11. Jumlah Migrasi (Relatif) Propinsi Jawa Timur Kategori Migrasi Tahun Migrasi Migrasi Masuk (%) Keluar (%) Migrasi risen 2000 0,53 1,50 (migrasi lima tahun yang lalu) 2005 0,68 0,93 Migrasi seumur 2000 2,21 8,67 hidup 2005 1,78 8,69
Migrasi Bersih (%) - 0,97 - 0,25 - 6,46 - 6,91
Sumber : BPS, 2008.
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa jumlah migran keluar lebih kecil pada periode pasca otonomi daerah. Pada analisis PP (Pertumbuhan Proporsional) dan PPW (Pertumbuhan Pangsa Wilayah), di saat pasca otonomi daerah sektor-sektor Jawa Timur secara keseluruhan memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dan daya saing yang lebih baik jika dibandingkan pada periode pra otonomi daerah. Jumlah migrasi risen memang telah berkurang pada pasca otonomi daerah (2005), tetapi jumlah migrasi permanen jutru bertambah. Masyarakat Jawa Timur mayoritas bekerja di sektor pertanian. Sektor pertanian memang banyak menyerap tenaga kerja. Namun, sektor pertanian mengalami excess supply dalam menampung tenaga kerja. Excess supply yang terjadi pada sektor pertanian membuat seseorang ingin bermigrasi ke wilayah industri.
Todaro Migration model menjelaskan migrasi desa-kota sebagai proses ekonomi yang rasional, meskipun angka pengangguran di kota-kota sudah sedemikian tinggi. Kebanyakan negara sedang berkembang mengabaikan sektor pertanian untuk mendapatkan sumber daya dalam upaya meningkatkan usaha industrialisasi dan urbanisasi. Kebijakan ini sangat mengutamakan urban bias (kecenderungan mengutamakan kota) yang sudah mendarah daging dalam kehidupan ekonomi di banyak negara sedang berkembang. Keadaan ini mendorong tetap berlangsungnya tingkat migrasi yang tinggi meskipun pengangguran di kota meningkat terus. Berdasarkan penelitian Desiar (2003), peluang migran dalam memperoleh pekerjaan ternyata jauh lebih besar dari pada peluang penduduk bukan migran (penduduk lokal). Tetapi, penduduk migran yang tingkat pendidikan tertingginya adalah SLTP lebih banyak berusaha di sektor informal. Jadi, fenomena migrasi yang terus meningkat di tengah peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja bisa jadi dikarenakan lapangan pekerjaan di Jawa Timur lebih banyak ditempati oleh migran.
VI. PENUTUP
6.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
yaitu antara lain : 1. Pelaksanaan otonomi daerah mengalami kemajuan dalam pertumbuhan kesempatan kerja dari yang bersifat lamban pada awal diberlakukannya otonomi daerah menjadi progresif bahkan lebih baik daripada sebelum dilaksanakannya otonomi daerah. Dengan demikian, program otonomi daerah ini baik untuk diteruskan pelaksanaannya. 2. Sektor yang paling baik pertumbuhan kesempatan kerjanya adalah sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan. Adapun sektor yang paling kecil kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja adalah sektor pertambangan dan galian, serta sektor listrik, gas dan air bersih. 3. Sektor pertanian adalah sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dan dapat dikatakan telah mengalami excess supply. Namun, sektor ini tidak bisa diprioritaskan untuk peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja. Hal ini dikarenakan produktivitas pertanian akan menurun jika tenaga kerjanya ditambah lagi. 4. Migrasi keluar risen memang berkurang, namun migrasi keluar seumur hidup masih mengalami peningkatan. Pertumbuhan kesempatan kerja yang meningkat ternyata belum dapat membuat migrasi keluar seumur hidup menurun. Ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, lapangan pekerjaan di Jawa Timur justru didominasi oleh migran. Kemungkinan kedua, excess
supply tenaga kerja yang terjadi pada sektor pertanian membuat keinginan untuk bermigrasi ke wilayah industri semakin tinggi walaupun angka pengangguran di sana tinggi.
6.2.
Saran Pertumbuhan kesempatan kerja yang tinggi menjadi prioritas pelaksanaan
otonomi daerah. Namun, pertumbuhan kesempatan kerja pada sektor pertanian membuat produktivitas pertanian semakin berkurang. Hal ini dapat diatasi dengan pengalihan surplus tenaga kerja pada sektor pertanian ke beberapa sektor lainnya yang memiliki kontribusi positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Dengan demikian produktivitas petani bisa meningkat. Selain produktivitas, nilai tambah petani juga harus ditingkatkan. Salah satunya dengan memberlakukan kebijakan yang membangun seperti penetapan kebijakan harga dasar gabah yang dapat menutup biaya produksi tanpa merugikan konsumen. Selain itu, sektor ini juga perlu diberikan fasilitas-fasilitas yang dapat menunjang aktivitas pertanian seperti pemberian bibit unggul, peningkatan infrastruktur, penyuluhan pertanian, pengawasan di lapangan (untuk mengurangi sistem ijon), pemberdayaan KUD (Koperasi Unit Desa), memperpendek rantai distribusi. Sektor pertambangan dan galian serta sektor listrik, gas dan air bersih kurang memberikan kontribusi dalam menyerap tenaga kerja. Oleh karena itu, penyerapan tenaga kerja lebih baik difokuskan ke sektor-sektor yang progresif seperti sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan; sektor industri pengolahan; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor bangunan; sektor transportasi dan komunikasi. Pendirian industri pengolahan hasil pertanian sangat
membantu peningkatan penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan nilai tambah pertanian. Pada kubu pemerintah daerah, agar pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dengan efektif, keterlibatan masyarakat perlu ditingkatkan lagi. Hal tersebut dapat diwakili dengan kehadiran civil society atau organisasi nonpemerintah. Dengan demikian, pemimpin daerah mendapat tekanan agar berbagi kepentingan untuk semua masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, A. 2006. Masih Layakkah Pulau Jawa Dijadikan Basis Migas. [Jaringan Advokasi Tambang]. http://www.jatam.org/componen/option [9 Juni 2009]. Badan Perencanaan Pembangunan Propinsi Jawa Timur. 2008. “Waspada, Pertumbuhan Jatim Terus Merosot”. [Bappeprop Jatim Online]. http://www.bappeprop-jatim.go.id./index.php [14 Maret 2009]. Badan Pusat Statistik. 1997-2008. Statistik Indonesia 1997-2008. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2000. Jawa Timur Dalam Angka 2000. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2005. Jawa Timur Dalam Angka 2005. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2008. Jawa Timur Dalam Angka 2008. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik Jawa Timur. 2009. “Jumlah Angkatan Kerja Usia 15 Tahun Keatas di Jawa Timur Tahun 2005-2007”. [BPS Jatim, Online]. http://jatim.bps.go.id [14 Maret 2009]. Badan Pusat Statistik Jawa Timur. 2009. “Rencana dan Realisasi Anggaran Pendapatan Jawa Timur Tahun 2006”. [BPS Jatim, Online]. http://jatim.bps.go.id [14 Maret 2009]. Badan Pusat Statistik Jawa Timur. 2009. “Profil Kemiskinan Jawa Timur Maret 2008”. [BPS Jatim, Online]. http://jatim.bps.go.id [26 Mei 2009]. Bellante, D. dan M.Jackson. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan. Lembaga Penerbit Universitas Indonesia Jakarta. Budiharsono, S. 1996. Transformasi Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi Antar Daerah di Indonesia 1967-1989 [disertasi]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Darmawan, B. 2007. Pengaruh Faktor-Faktor Ekonomi Terhadap Pola Migrasi Antar Propinsi di Indonesia [tesis]. Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Depok.
Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2003. Perekonomian Umum Jawa Timur. [Pusdatin Deptan]. http://gis.deptan.go.id/../JAWATIMUR.htm [15 Juli 2009]. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2004. Profil Sumber Daya Manusia Indonesia. Badan Penelitian Pengembangan dan Informasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta. Desiar, R. 2003. Dampak Migrasi Terhadap Pengangguran dan Sektor Informal di DKI Jakarta [tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Emalisa. 2003. Pola dan Arus Migrasi di Indonesia [skripsi]. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara. [USU Digital Library]. http://digital.lib.usu.edu [16 Maret 2009]. Erwidodo. 1992. Dinamika Keterkaitan Desa-Kota di Jawa Barat. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Jakarta. Lestari, E. F. 2006. Analisis Pertumbuhan Kesempatan Kerja Pra dan Pasca Otonomi Daerah di Propinsi DKI Jakarta (1996-2004) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mankiw,G. 2000. Teori Makroekonomi. Erlangga, Jakarta. Mawardi, M. Sulton. 2009. Pro Otonomi Daerah. [Jawa Pos]. http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=42204 [15 Juli 2009]. Munir, R. 2000. Migrasi. dalam Lembaga Demografi FEUI. Dasar-dasar Demografi: edisi 2000. Lembaga Penerbit UI, Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Otonomi Daerah (Baru). Pustaka Pergaulan, Jakarta. Prihartini, E. D. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri di Kota Bogor [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahman, A. 2008. Analisis Eksistensi Persistensi Pengangguran di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Salamm, A. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Lipi Press, Jakarta.
Siregar, A. S. 2009. Daya Tarik Pertambangan Indonesia Sangat Rendah. [ANTARA News]. http://antara.sulawesiselatan.com/Daerah/ [9 Juni 2009]. Susilowati, D. 2003. Analisis Perubahan Struktural Pada Perekonomian Jawa Timur (Studi Tahun 1993-2001). [ITB Digital Library]. http://digilib.itb.ac.id/gdl.php [15 Juli 2009]. Suwandi, A. 2003. Kondisi Petani Jawa Timur Semakin Terpuruk. [Kompas Online]. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0301/14/jatim/ [9 Juni 2009]. Syukur, I. 2003. Energi Jatim. http://www.google.co.id/gwt/n?u [28 Juni 2009]. Todaro, M. P., C. S. Stephen. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Jilid 2. H. Munandar [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Widjaja, HAW. 2003. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat, dan Utuh. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Zack. 2008. Krisis Listrik di Tanah Air Mulai Meresahkan. [Paguyuban Prodi Manajemen Wina Madiun]. http://www.manajemenwima.ewebsite.com/ [9 Juni 2009].
Lampiran 1. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah Pra Otonomi Daerah Lapangan Usaha Pertanian TOTAL
Kesempatan Kerja (Jiwa) 1996 7.024.431 16.414.278
2000 7.610.521 16.904.756
Perubahan (Jiwa) 586.090(1) 490.478(3)
Persen 8,34(2) 3,00(4)
Keterangan : (1) 586.090 = 7.610.521 - 7.024.431
(3) 490.478 = 16.904.756 - 16.414.278
Lampiran 2. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Indonesia pada Pra dan Era Otonomi Daerah Lapangan Usaha Pertanian TOTAL
Pra Otonomi Daerah Kesempatan Kerja (Jiwa) Perubahan (Jiwa) 1996 2000 37.720.251 40.676.713 2.956.462 85.705.813 89.837.724 4.131.911
Keterangan : (1) 2.956.462 = 40.676.713 - 37.720.251
(3) 4.131.911 = 89.837.724 - 85.705.813
Persen 7,84 4,82
Lampiran 3. Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional (Nilai Ra, Ri, ri) Era Otonomi Era Otonomi Pra Otonomi Daerah Lapangan Daerah I Daerah II Usaha Ra Ri ri Ra Ri ri Ra Ri ri Pertanian 0,05(1) 0,08(2) 0,08(3) -0,00 0,06 -0,04 0,07 0,02 0,10 TOTAL 0,05(4) 0,05(5) 0,02(6) -0,00 -0,00 -0,02 0,07 0,07 0,07 Keterangan :
Lampiran 4. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional pada Pra dan Era Otonomi Daerah
Lapangan Usaha
Pra Otonomi Daerah
PNi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) (1) Pertanian 338.650 4,82(2) TOTAL 791.338(3) 4,82(4)
Era Otonomi Era Otonomi Daerah Daerah I II PNi(Jawa Timur) PNi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) -2.016 -0,03 507.619 6,62 -4.204 -0,03 1.150.923 6,62
Keterangan : (1) 338.561 = 0,048 *
(3) Penjumlahan nilai PNi(Jawa Timur) pada semua lapangan usaha pada pra otonomi daerah
Lampiran 5. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional pada Pra dan Era Otonomi Daerah
Pra Otonomi Daerah PPi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) Pertanian 211.915(1) 3,02(2) TOTAL 41.059(3) 0,25(4)
Lapangan Usaha
Era Otonomi Daerah I PPi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) 464.292 5,70 104.068 0,62
Era Otonomi Daerah II PPi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) -394.683 -5,15 -15.181 -0,09
Keterangan : (1) 211.915 = (0,078 - 0,048) *
(3) Penjumlahan nilai PPi(Jawa Timur) pada semua lapangan usaha pra otonomi daerah
Lampiran 6. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah pada Pra dan Era Otonomi Daerah Era Otonomi Era Otonomi Daerah Daerah I II Lapangan Usaha PPWi(Jawa Timur) PPWi(Jawa Timur) PPWi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) (1) (2) Pertanian 35.525 0,51 -818.548 -10,06 615.419 8,03 (3) (4) TOTAL -341.919 -2,08 -465.793 -2,76 240.724 1,39 Pra Otonomi Daerah
Keterangan : (1) 35.525 = (0,083 - 0,078) *
(3) Penjumlahan nilai PPWi(Jawa Timur) pada semua lapangan usaha pada pra otonomi daerah
Lampiran 7. Pergeseran Bersih Provinsi Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah
Lapangan Usaha Pertanian TOTAL
Pra Otonomi Daerah PBi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) 247.439(1) 3,52(2) -300.861(3) -1,83(4)
Era Otonomi Daerah Era Otonomi I Daerah II PBi(Jawa Timur) PBi(Jawa Timur) (Jiwa) (Persen) (Jiwa) (Persen) -354.255 -4,35 220.736 2,88 -361.725 -2,14 225.543 1,30
Keterangan : (1) 247.440 = 211.915 + 35.525
(3) Penjumlahan nilai PBi(Jawa Timur) pada semua lapangan usaha pada pra otonomi daerah