ANALISIS KEPATUHAN MASYARAKAT DALAM MEMBAYAR PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI DESA RANJENG KECAMATAN CIRUAS KABUPATEN SERANG Rahmawati & Deden Muhammad Haris
Abstrak. Pendapatan dari sektor pajak masih kurang memberikan kontribusi bagi penerimaan negara. Apalagi jika kita bicara mengenai pajak daerah. Berdasarkan data APBNP 2012 penerimaan negara dari pajak daerah menyumbangkan 29.687 milliar, sementara pada APBN 2013 sebesar 27.343 milliar. Hal ini mengindikasikan masih rendahnya penerimaan negara dari sektor pajak daerah. Ada beberapa penyebab mengapa pajak daerah kurang memberikan kontribusi bagi penerimaan negara. Pertama, masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Kedua, rendahnya kesadaran masyarakat ini terkait dengan kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah (instansi pajak/dispenda). Ketiga, Administrasi pajak yang kurang/tidak sederhana sehingga menyulitkan baik bagi wajib pajak sendiri maupun bagi aparat pajak. Tulisan ini mengkaji lebih jauh tentang kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak bumi dan bangunan sebagai upaya peningkatan pendapatan daerah di Desa Ranjeng Kecamatan Ciruas Kabupaten Serang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Obyek penelitian adalah wajib pajak bumi dan bangunan di Kampung Ranjeng Desa Ranjeng Kecamatan Ciruas Kabupaten Serang. Sementara obyek sekunder adalah aparat pajak/fiskus, Kepala Desa Ranjeng, Sekretaris Desa Ranjeng, Kasie Pemerintahan, Kasie Umum, para ketua RT, ketua RW, dan Aparat pajak. Variabel dalam penelitian kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak bumi dan bangunan. Sedangkan indikator penelitian adalah Aspek yuridis, Aspek sosiologis dan Aspek psikologis.Teknik pengumpulan data menggunakan studi lapangan dan studi kepustakaan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif model interaktif dari Miles dan Hubberman. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kepatuhan masyarakat Desa Ranjeng dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan masih belum optimal. Hal dikarenakan masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat Desa Ranjeng akan pentingnya membayar PBB sebagai bentuk kewajiban kepada Negara. Sedangkan saran yang dapat disampaikan untuk penelitian tentang Kepatuhan Masyarakat dalam membayar PBB di Desa Ranjeng, pertama adalah melakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang PBB melalui kegiatan keagamaan seperti peringatan Maulid Nabi dan Isro Mi’raj dan kegiatan dalam acara peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Kedua, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan perangkat Desa Ranjeng tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang akan menjadi pajak daerah dengan melakukan studi banding ke daerah lain dimana kepatuhan masyarakat dalam membayar PBB dinilai tinggi atau berhasil. Kata Kunci : Pajak Bumi dan Bangunan, kepatuhan, aspek yudirids, Aspek sosiologis dan Aspek psikologis Abstract. Tax revenues are still less to contribute to state revenues. Especially when we are talking about local taxes. Based on data from 2012 State Budget revenues from local taxes contributed 29 687 billion, while the state budget in 2013 amounted to 27 343 billion. This indicates the low state revenues from local taxes. There are several reasons why local taxes contribute less to the state revenue. First, is the low of public awareness to pay taxes. Second, lack of public awareness is related to the lack of socialization by the local government (tax agency / Dispenda). Third, the tax administration is less / not simple, making it difficult for both taxpayers and the tax authorities themselves. This paper further examines the compliance in paying tax on land and buildings as a revenue raising efforts in the Village Ranjeng District Ciruas Serang.
This study used a qualitative approach. Object of study is compulsory property tax in Desa Ranjeng Ranjeng Ciruas Serang district. While the secondary object is the tax authorities / tax authorities, Ranjeng Village Head, Village Secretary Ranjeng, Head of Government, Head of the General Affair, the head of RT, RW, and tax authorities. Variable in this research is community compliance in paying tax on land and buildings. While the research indicators are juridical aspects, sociological aspects and aspect psikologis. Data collection using field studies and literature. Data analysis techniques used in this study is qualitative data analysis techniques and an interactive model of Miles Hubberman. It can be concluded that the villagers Ranjeng compliance in paying tax on land and building is still not optimal. It is because there is a lack of understanding and awareness of the importance of paying Ranjeng village land and building tax as a form of obligation to the State. While suggestions may be submitted for research on Community Compliance in paying tax on land and buildings in the village Ranjeng, the first is to socialize and counseling on land and building tax through religious activities such as warnings and Isro Mi'raj Prophet's Birthday and activities in commemoration of Independence Day Indonesia. Second, improve the knowledge and skills Ranjeng village on land and building tax that will become the local tax study visits to other areas where the public compliance in paying tax on land and buildings valued or managed. Keywords: land and building tax, compliance, yudirids aspects, sociological aspects and psychological aspects Sebagai warga Negara yang baik kita harus dapat memenuhi segala kewajiban yang telah ditentukan oleh Negara dan pemerintahnya, sebagai balas jasa atau imbalan atas segala fasilitas, hak-hak yang telah kita peroleh dan dinikmati dari Negara atau pemerintah. Negara dan Pemerintah menginginkan agar warga Negara yang mampu, sebagai wajib pajak mengetahui dan mengerti serta mentaati peraturan-peraturan perpajakan yang berlaku. Misalnya perihal ketentuan besarnya pajak yang harus dibayarkan dan waktu pembayarannya. Pemerintah dalam tugas pemungutan pajak tidak akan bertindak secara sewenang-wenang, pemungutannya di sesuaikan dengan kemampuan rakyat dan dengan memperhatikan rasa keadilan dan cara-cara yang mengikuti suatu proses yang terlebih dahulu ditetapkan dalam Undang-undang ataupun peraturan yang berlaku. Namun disadari bersama, bahwa pendapatan dari sektor pajak masih kurang memberikan kontribusi bagi penerimaan negara. Apalagi jika kita bicara mengenai pajak daerah. Berdasarkan data APBNP 2012 penerimaan negara dari pajak daerah menyumbangkan 29.687 milliar, sementara pada APBN 2013 sebesar 27.343 milliar. Hal ini mengindikasikan masih rendahnya penerimaan negara dari sektor pajak daerah. Ada beberapa penyebab mengapa pajak daerah kurang memberikan kontribusi bagi penerimaan negara. Pertama, masih
rendahnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Kedua, rendahnya kesadaran masyarakat ini terkait dengan kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah (instansi pajak/dispenda). Ketiga, Administrasi pajak yang kurang/tidak sederhana sehingga menyulitkan baik bagi wajib pajak sendiri maupun bagi aparat pajak. Berikut ini kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan dalam penerimaan Negara tahun 2010 – 2013 dalam milliard rupiah (Lihat Gambar 1). Sumber : Dirjen anggaran Depkeu: 2013 Terdapat ada beberapa jenis pajak yang meskipun bukan sebagai pajak daerah tetapi metode pengambilan pajak, obyek serta subyek pajaknya berada di daerah. Jenis pajak tersebut adalah pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Ketiga jenis pajak ini semuanya dikumpulkan oleh daerah untuk kemudian hasilnya dibagikan antara daerah penghasil, pemerintah pusat dan propinsi berdasarkan persentase yang sudah ditentukan dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pajak Bumi dan Bangunan terbukti merupakan suatu jenis pajak yang sangat potensial bagi sumber pendapatan daerah. Pajak Bumi dan Bangunan dianggap baik karena beberapa alasan (Kelly, 1989). Pertama, Pemilik tanah dan bangunan mendapat
Gambar 1 Tahun PBB
2010 28.580 ,6
2011 29.893, 2
keuntungan dari pelayanan yang disediakan oleh pemerintah seperti pelayanan air bersih yang disalurkan ke bangunan, pembangunan jalan di depan bangunan dan penerangan jalan. Karena itu sesuai dengan prinsip yang “menikmati sebaiknya yang membayar” dalam keuangan negara, maka pemilik bangunan yang sudah mendapatkan pelayanan tersebut sudah selayaknya ikut membayar. Kedua, Obyek pajak ini sangat jelas, yakni tanah dan bangunan yang tidak dapat dipindahpindahkan atau disembunyikan sehingga secara administrative pendapatan yang dihasilkannya jelas untuk daerah mana dan sulit untuk melakukan penghindaran pajak. Ketiga, Pajak Bumi dan Bangunan jika dirancang dengan baik dan memadai akan menghasilkan pendapatan yang memadai, stabil dan cukup elastis bagi pemerintah daerah. Keempat, PBB dapat menghindarkan spekulasi dalam pemilikan tanah dan mendorong orang untuk menjadikan tanahnya produktif. (M. Ikhsan, 2002: 193-194) Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ) perlu dimantapkan pelaksanaannya karena tidak dapat disangkal lagi bahwa bumi dan bangunan dapat memberikan keuntungan dan kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat darinya, oleh sebab itu wajar apabila kepada mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada Negara melalui pajak. Pajak bumi dan bangunan (Property Tax) adalah kewajiban orang atau badan untuk menyerahkan sebagian daripada kekayaannya kepada Negara karena secara nyata mempunyai hak atau memperoleh manfaat atau mendapatkan kenikmatan atas sebidang tanah dan atau sebuah bangunan. Dalam kurun empat atau lima tahun mendatang pengelolaan PBB khususnya sektor Pedesaan dan sektor Perkotaan akan dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah. Oleh karena itu sudah sepantasnya apabila Pemerintah Daerah harus mengetahui
2012 29.687, 5
2013 27.343, 8
bagaimana sistem pengelolaan PBB dari mulai pendataan sampai dengan masuknya uang ke Kas Negara. Kabupaten Serang merupakan daerah yang memiliki 32 kecamatan, salah satunya adalah Kecamatan Ciruas. Mayoritas penggunaan lahan di Kabupaten Serang digunakan sebagai daerah pertanian. Realisasi lahan bangunan di Kecamatan Ciruas adalah 37.722.950 dan luas bangunan sebesar 553.256, sementara itu realisasi jumlah objek pajak di Kecamatan Ciruas sebanyak 29.611 objek pajak dengan nilai pokok objek pajak sebesar 1.245.448.839. (Serang dalam angka, 2011: 351). Desa Ranjeng merupakan salah satu desa di Kecamatan Ciruas, mayoritas penggunaan lahan adalah untuk pertanian. Berdasarkan observasi awal, selama ini proses pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan masih dikolekifkan ke kantor desa. Sebagai bahan perbandingan, beberapa pemerintah daerah di pulau jawa memberika reward yang besar kepada kepala desa atau lurah yang mampu mencapai target pembayaran pajak bumi dan bangunan dengan memberikan hadiah berupa umroh atau ibadah haji gratis. Hal ini memicu banyak kelurahan atau desa untuk menalangi dulu pembayaran atau setoran PBB nya ke pemerintah dengan harapan mendapatkan hadiah. Berdasarkan paparan di atas peneliti tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak bumi dan bangunan sebagai upaya peningkatan pendapatan daerah di Desa Ranjeng Kecamatan Ciruas Kabupaten Serang yang ditinjau dari aspek yuridis, psikologis dan sosiologis Menurut Nasucha (Nasucha, 2004:148), aspek-aspek tingkat kepatuhan wajib pajak terdiri dari: (1). Aspek yuridis, yaitu kepatuhan wajib pajak dilihat dari ketaatan terhadap prosedur administrasi perpajakan yang ada. Aspek ini meliputi laporan perkembangan penyampaian SPT, laporan perkembangan penyampaian SPT secara persentase yang diisi secara benar dan tidak benar, serta laporan
perkembangan penyampaian angsuran berdasarkan perkembangan SPT masa; (2). Aspek psikologis, yaitu kepatuhan wajib pajak dilihat dari persepsi wajib pajak terhadap penyuluhan, pelayanan, dan pemeriksaan pajak; (3). Aspek sosiologis, yaitu kepatuhan wajib pajak dilihat dari aspek sosial perpajakan, antara lain kebijakan publik, kebijakan fiskal, kebijakan perpajakan, dan administrasi perpajakan. Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kepatuhan masyarakat dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan sebagai upaya peningkatan Pendapatan Daerah di Desa Ranjeng Kecamatan Ciruas Kabupaten Serang ? METODE PENELITIAN Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada (Denzin dan Lincoln, 1987). Selain itu, penelitian kualitatif ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2006: 4-5). Obyek penelitian adalah wajib pajak bumi dan bangunan di Kampung Ranjeng Desa Ranjeng Kecamatan Ciruas Kabupaten Serang. Sementara obyek sekunder adalah aparat pajak/fiskus, Kepala Desa Ranjeng, Sekretaris Desa Ranjeng, Kasie Pemerintahan, Kasie Umum, para ketua RT, ketua RW, dan Aparat pajak. Dalam penelitian kualitatif menggunakan instrument penelitian utama yaitu peneliti itu sendiri. Penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa pedoman wawancara yaitu dengan memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis mengenai variabel yang diteliti kepada responden untuk dijawab. Untuk memudahkan peneliti dalam melakukan wawancara maka dibuatlah kisi-kisi instrument penelitian yang selanjutnya akan dijadikan sebagai pedoman pertanyaan wawancara. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar pertanyaan dalam wawancara tidak menyimpang dari variabel penelitian.
Variabel dalam penelitian kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak bumi dan bangunan sebagai upaya peningkatan pendapatan daerah di Desa Ranjeng. Sedangkan indikator penelitian adalah Aspek yuridis, Aspek sosiologis dan Aspek psikologis. Teknik pengumpulan data lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi lapangan dan studi kepustakaan. Studi lapangan langsung, merupakan pengumpulan data yang dibutuhkan dengan cara turun langsung ke lokasi penelitian, yang salah satunya dengan cara melakukan observasi dan wawancara mendalam. Sedangkan Studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara memperoleh atau mengumpulkan data dari berbagai referensi yang relevan berdasarkan buku teks maupun jurnal-jurnal ilmiah. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif model interaktif dari Miles dan Hubberman (1992:15), yang mengemukakan aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas dan datanya sampai jenuh. Kegiatan analisis data dalam penelitian ini dimulai sejak Data collection, Reduksi data (data reduction), Penyajian data, dan terakhir adalah Penarikan kesimpulan / verifikasi Untuk menguji validitas data pada penelitian ini dilakukan melalui teknik triangulasi yang merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang lain di luar data itu. Untuk itu teknik triangulasi yang digunakan oleh peneliti adalah dengan menggunakan teknik triangulasi sumber. HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Yuridis Aspek yuridis melihat kepatuhan wajib pajak dari ketaatan terhadap prosedur administrasi perpajakan yang ada. Aspek ini meliputi laporan perkembangan penyampaian SPT, laporan perkembangan penyampaian SPT secara persentase yang diisi secara benar dan tidak benar, serta laporan perkembangan penyampaian angsuran berdasarkan perkembangan SPPT masa. Sistem pemungutan PBB adalah official assessment sistem yaitu sistem pemungutan
pajak dimana aparat pajak atau fiskus yang menghitung dan mengedarkan SPPT ke wajib pajak. Wajib pajak bersikap menunggu untuk menerima SPPT PBB kemudian membayar kewajiban pajak PBB mereka ke bank yang ditunjuk atau langsung ke kantor pajak. Berikut ini potensi dan realisasi penerimaan PBB Desa Ranjeng (Lihat Tabel 1). Dari tabel di bawah diketahui bahwa terdapat selisih penerimaan PBB sangat besar di Desa Ranjeng. Terlihat dari potensi yang besar sementara realisasinya sangat kecil/rendah. Realisasi penerimaan PBB berkisar antara 30% - 32%. Pada tahun 2013 memang ada kenaikan realisasi penerimaan. Hal ini berdasarkan wawancara dengan Sekretaris Desa Ranjeng Bapak Komarudin disebabkan karena adanya perumahan baru yang dibangun yaitu Bumi Ciruas Permai 2 yang merupakan pengembangan dari Bumi Ciruas Permai 1. Berarti terjadi penambahan jumlah wajib pajak PBB. Ketika ditanyakan penyebab rendahnya realisasi penerimaan PBB di Desa Ranjeng berikut pernyataan dari Kepala Desa Ranjeng Bapak Agus Supriadi “ masyarakat disini kurang sadar soal bayar pajak (PBB). Padahal bayar setahun sekali aja. Jadi kepatuhan masyarakatnya rendah. Mereka bayar pajak itu kalo ada urusan soal tanah atau rumah, baru ke kantor desa dan bayar pajaknya” Pernyataan Kades Ranjeng juga disampaikan oleh Bapak Uki Bukhari, Kasie Pemerintah “Selama saya bekerja kurang lebih 9 tahun di Desa Ranjeng, yang namanya pajak PBB ga pernah semuanya terbayarkan. Paling sekitar 30 – 32 % aja. Masyarakat disini mah susah bu, kesadarannya masih rendah. Kalo bayar PBB biasanya ada urusan aja, misalnya tanahnya dijual. Baru ke kantor desa buat ngurus PBB nya. Kalo rutin tiap tahun bayar mah, masih sedikit yang ngerti”. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Bapak Sanusi (52 tahun) ketua RT 2 bahwa: “kesadaran masyarakat dalam membayar PBB itu masih tergolong rendah. Kebanyakan masyarakat tidak mengetahui kewajiban mereka untuk membayar PBB. Ketika dijelaskana
bahwa PBB merupakan kewajiban warga Negara, masyarakat justru membandingkannya dengan RT sebelumnya. Dimana menurut masyarakat, waktu RT yang lama, ga ada bayar PBB segala. Kenapa sekarang mesti bayar PBB. Ada beberapa yang memang membayar dan ada juga yang tetap tidak mau membayar. Ketika peneliti tanyakan ke Bp Bustomi bagian PBB pegawai DPKPA Kab Serang tentang masih rendahnya penerimaan PBB di Desa Ranjeng, menjawa : “untuk menjawab hal tersebut bisa dilihat dari 3 sebab; pertama karena masyarakatnya kurang paham, kedua,karena masyarakat memang tidak patuh dan ketiga, ini yang paling penting, belum tumbuh dan berkembangnya rasa tanggung jawab sebagai masyarakat untuk membangun daerahnya. Jika secara teknis kepala desa sering melakukan penyimpangan sehingga angka membayar pajak masih rendah”. Peneliti mengcross cek jawaban dari perangkat desa tentang rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar PBB ke wajib pajak ibu Asmah menyatakan bahwa “ selama ini ibu mah bayar pajak terus tiap tahun juga. Kalo pas tagih ga ada, ya minta tempo. Karena dari dulu juga bapak saya udah bayar pajak. Jadi ibu juga bayar pajak. Jawaban juga disampaikan oleh Ibu Siti “saya taunya bayar pajak itu kewajiban. Jadi saya bayar PBB terus tiap tahun juga. Demikian juga jawaban ibu Nova ketika ditanyakan kenapa membayar pajak PBB. Menurutnya “saya tau kalo pajak itu kewajiban masyarakat. Jadi saya selalu bayar pajak PBB tiap tahun, biar pun tanah ini atas nama bapak saya” Berdasarkan hasil wawancara di atas, terdapat kontroversi jawaban. Jika pihak perangkat Desa Ranjeng menyatakan bahwa masyarakat kurang sadar dalam membayar PBB karena kurangnya pengetahuan mereka. Hal ini membuat penerimaan PBB di Desa Ranjeng rendah. Sementara dari wajib pajak diketahui bahwa membayar pajak merupakan kewajiban. Wajib pajak membayar PBB setelah SPPT PBB diterima, selama ini SPPT diantarkan ke rumah oleh ketua RT/RW.
Tahun 2010 2011 2012 2013
Tabel 1 Penerimaan PBB Desa Ranjeng Potensi (Rp) Realisasi (Rp) 72.165.293 21.649.587 (30%) Tidak ada data Tidak ada data 107.316.128 34.341.160 (32%) 105.594.437 42.237.774 (40%) Sumber : Desa Ranjeng 2013
Selama ini mekanisme pembayaran PBB di Desa Ranjeng bersifat jemput bola. SPPT PBB dari kantor pajak diserahkan ke kantor desa untuk kemudian ketua RT atau RW yang mengedarkan ke masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Uki Bukhari menyatakan bahwa secara umum pembayaran PBB Desa Ranjeng selama ini dilakukan secara kolektif dengan bantuan perangkat desa seperti RT dan RW. Hasil dari pengumpulan secara kolektif tersebut baru disetorkan ke desa, oleh desa disetorkan lewat BRI kas Ciruas. Mekanisme penarikan PBB bersifat jemput bola oleh RT/RW seperti disampaikan oleh Bapak Tb Junaeri (63 tahun) ketua RW 2 bahwa: “Masyarakat di sini mah kurang sadar, contohnya Kampung Gabral dalam membayar PBB masih kurang patuh. Terutama soal kesadaran masyarakat akan kewajibannya membayar PBB. Kebanyakan masyarakat bersifat menunggu dalam membayar pajak. Jadi kami dari aparat pemerintah diminta untuk menjemput bola soal PBB di kampong gabral ini. Pa kades meminta aparat RT dan RW untuk menagih PBB ke masyarakat. Biasanya bulan oktober sampe November. Sebagai RW saya meminta bantuan dari RT untuk keliling mengedarkan SPT PBB ke tiap rumah”. Pernyataan Bapak Tb Junaeri diperkuat oleh Bapak Sanusi (52 5ahun) Ketua Rt 03 yang menyatakan bahwa: “Soal membayar PBB masyarakat disini lebih banyak menunggu, jadi saya yang mesti keliling menyebarkan SPT PBB. Biasanya saya keliling hari minggu atau sabtu sore. Karena kebanyakan karyawan atau bapaknya libur. Jadi saya bisa langsung ketemu sama mereka. Ketika ditanya tentang dana operasional untuk menyebarkan atau mengumpulkan setoran PBB, menurut Bapak Sanusi “tiap 3 bulan sekali, ada dana dari desa sebesar Rp 150.000
untuk operasional RT, istilahnya ganti foto copi aja. Saya pernah dapet komisi 15.000 rupiah waktu saya bisa ngumpulin PBB sebesar 500.000 rupiah. Sementara itu menurut wajib pajak PBB seperti yang disampaikan oleh Ibu Asmah (53 tahun) yang tinggal di Kampung Ciruas berada di RW 2 Rt 8 tentang mekanisme jemput bola menyatakan bahwa : “Kalo soal pajak yang tiap tahun itu ya nong, ibu mah selalu bayar. Biasanya yang datang ke rumah pak RT. Biasanya ibu minta waktu buat bayarnya soale yang nempatin tanahnya kan barengan sama ade, jadi bayar PBB bagi 2. Nanti ade ibu yang nganterin langsung ke kantor desa. Tapi kalo ibu pas ada uang, ya ibu yang bayar langsung ke RT nya”. Ketika ditanyakan kenapa tidak membayar langsung ke Bank BRI atau kantor pos, ibu Asmah menjawab : “laah itu mah kemahalan ongkosnya nong, bayar pajaknya Cuma Rp 6000, ongkosnya bisa Rp 20.000. jadi ibu mah nitip aja ke RT . Pendapat senada juga disampaikan oleh Ibu Rohaeni ( 39 tahun) yang tinggal di Kampung Ciruas Desa menyatakan bahwa : “pajak yang setahun sekali itu nong? Biasanya yang nagih itu pa RT, Keliling. Ibu bayarnya ke pa RT. Nanti dikasih kertas kecilnya itu” Berikut pernyataan Bapak Bustomi tentang mekanisme jemput bola dalam pembayar PBB :” RT/RW datang kerumah warga membawa selebaran SPPT dan warga membayar. Dari beberapa pendapat di atas diketahui bahwa selama ini mekanisme pemungutan PBB di Desa Ranjeng bersifat jemput bola. Terkait mekanisme jemput bola, dimana pemungutan PBB dilakukan oleh RW/RT untuk kemudian disetorkan ke kantor desa, dinyatakan berbeda oleh Ibu Siti pemilik warung di RT 01 Kampung Ranjeng yang menyatakan :
“Kalo bayar PBB langsung ke kantor pajak, ga pernah ke desa atau lewat RT karena ga percaya. Siapa tau aja ga dibayarin. Namanya orang, banyak kebutuhan. Bayar PBB kan ga besar. Disimpen dulu trus kalo dipake atau kepake siapa yang tau. Saya bayar Pajak PBBnya langsung ke serang, kantor pajak. Biasanya suami saya. Kalo udah dapet SPPT nya dari RT saya bayar sendiri”. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Ibu Nova (40 tahun) bahwa: “biasanya RT yang ke rumah kasih SPPT PBB punya bapak, nanti saya yang bayar langsung ke kantor pos. ga pernah saya titipin atau bayar lewat RT. Takut ga dibayarin, nanti saya yang kena denda lagi.” Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Uki Bukhari bahwa Desa ranjeng sendiri dapat dikelompok menjadi 2 wilayah, yaitu wilayah perkampungan biasa dan wilayah perumahan yaitu BCP 1 dan BCP 2. Ketika ditanya apakah ada perbedaan kepatuhan atau kesadaran masyarakat antara rumah perkampungan sama masyarakat perumahan. Menurutnya, ada bedanya. Terdapat perbedaan kepatuhan masyarakat Desa Ranjeng dalam membayar PBB meskipun sama-sama dilakukan secara kolektif. Untuk masyarakat yang tinggal di daerah perumahan, tingkat kepatuhan dan ketaatan lebih besar. SPPT PBB diberikan langsung oleh RT untuk kemudian masyarakat membayar PBB melalui RT. Setelah disetorkan, bukti pembayaran diserahkan kembali ke masyarakat. Tingkat kepatuhan dinilai lebih besar karena masyarakat yang tinggal di daerah perumahan menyadari akan hal-hal yang berhubungan dengan PBB terutama jika mereka ingin menjual kembali rumah yang ditempati. Sedangkan untuk masyarakat yang tinggal di daerah perkampungan, tingkat kesadaran dan kepatuhan dalam membayar PBB dinilai rendah. Hal dikarenakan tingkat kesadaran mereka yang kurang dan adanya kebiasan yang sudah dilakukan oleh orang tua/pribumi karena bangunan yang ditempati biasanya jarang sekali dijual atau milik bersama. Sementara itu, tata cara pembayaran dan penagihan Pajak Bumi dan Bangunan dalam Mardiasmo (2006:308-309), yaitu: (1). Pajak yang terhutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya enam bulan sejak tanggal
diterimanya SPPT oleh wajib pajak; (2). Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) harus dilunasi selambat-lambatnya satu bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak; (3). Pajak terhutang pada saat jatuh tempo pembayarannya tidak dibayarkan atau kurang bayar denda administrasi sebesar 2% setiap bulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan; (4). Denda administrasi ditambah hutang pajak dengan Surat Tagihan Pajak (STP) harus dilunasi selambat-lambatnya satu bulan sejak diteimanya STP; (5). Denda adminsitrasi dan pokok pajak ditagih dengan menggunakan STP dalam waktu satu bulan sejak diterimanya STP; (6). Pajak terhutang dapat dibayar ke Bank, Kantor Pos dan Giro dan tempat lain yang ditunjuk Menteri Keuangan; (7). SPPT, surat ketetapan pajak, STP merupakan dasar penagihan pajak. Jumlah pajak terhutang berdasarkan STP yang tidak dibayar pada waktunya ditagih dengan surat paksa. Aspek Psikologis Aspek psikologis memandang kepatuhan wajib pajak dilihat dari persepsi wajib pajak terhadap penyuluhan, pelayanan, dan pemeriksaan pajak. Terkait pertanyaan tentang penyuluhan yang pernah dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar PBB, Sekdes Ranjeng menjawab “kalo penyuluhan ke masyarakat soal PBB ga pernah dilakukan. gimana ya, masyarakat itu kalo yang ngasih penyuluhan orang yang dikenal, biasanya cuek. Kurang memperhatikan gitu. Pertanyaan tentang penyuluhan PBB juga dijawab oleh Bapak Uki (Kasie Pemerintahan) : “ Kalo dari aparat desa yang sosialisasi, masyarakat itu kurang respon karena udah pada kenal sama kami. Coba kalo dari dinas yang pake seragam lengkap, misalnya di acara 17 atau acara agama, bisa jadi masyarakat bakalan lebih paham soal PBB. Dan kesadaran mereka meningkat.” Ketika ditanyakan lebih lanjut tentang penyuluhan yang pernah dilakukan oleh kantor pajak atau dinas pendapatan daerah, Sekdes Ranjeng Bapak Komarudin menjawab : “kalo penyuluhan ke perangkat desa pernah, waktu itu di kecamatan ciruas. Dari Desa Ranjeng juga datang, saya sama Pa Uki”. Senada dengan pendapat Bapak Komar, Bapak Uki menyakatn “ yang dipanggil atau yang ikut penyuluhan
aparat desa atau RT. Kalo masyarakat mah ga ikut. Untuk mendapatkan jawaban yang berimbang, peneliti bertanya tentang sosialiasi dan penyuluhan yang dilakukan ke masyarakat, Bapak Bustomi bagian PBB pegawai DPPKAD Kabupaten Serang, beliau menjawab : “ saya sendiri yang kasih penyuluhan soal PBB ke aparat desa. Waktu itu di kecamatan ciruas. Tentang PBB yang akan menjadi pajak daerah per 1 januari 2014”. Peneliti mengklarifikasi jawaban dari aparat desa kepada wajib pajak tentang apakah pernah ada penyuluhan dari kantor desa atau dari dinas soal PBB sebagian besar informan wajib pajak menjawab tidak pernah ada penyuluhan soal PBB. Hal ini jelas berpengaruh terhadap pengetahuan masyarakat dalam tentang PBB. Penyuluhan juga harus dilakukan kepada perangkat desa karena pemungutan PBB lebih banyak dilakukan oleh perangkat desa. Berdasarkan hasil wawancara di atas diketahui bahwa selama ini tidak pernah dilakukan sosialisasi dan penyuluhan PBB kepada masyarakat baik dari pihak desa maupun dari dinas pendapatan daerah Kabupaten Serang. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap pemahaman aparat desa (perangkat desa sampai ke level ketua Rw dan RT) tentang PBB dann pemahaman masyarakat tentang kewajiban membayar PBB. Tidaknya penyuluhan yang dilakukan baik oleh perangkat desa maupun dinas pendapatan daerah Kabupaten Serang terlihat ketika peneliti menanyakan bagaimana soal denda yang diberikan jika ada masyarakat yang menunda atau tidak membayar PBB. Dari tabel di atas diketahui bahwa hampir 50% PBB yang tidak terbayar, berarti ada indikasi masyarakat banyak yang terkena denda. Ketika ditanyakan kepada Bapak Uki Bukhari tentang denda bagi masyarakat yang tidak membayar PBB tepat waktu atau sebelum jatuh tempo : “emang ada dendanya ya? Saya ga tau kalo PBB ada dendanya. Secara yuridis masyarakat tidak mengetahui ada denda atau ada sanksi jiika tidak membayar PBB selama 5 tahun berturut-turut secara otomatis nama wp akan dihapus oleh kantor pajak pratama. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak terdaftar sebagai wajib pajak dan hal ini dapat
mengakibatkan terjadi sengketa tanah atau tanah tersebut dapat diklaim milik orang lain yang memiliki No NPWP. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Bapak Tb Junaeri ketua RW 2 : “Kalo ada masyarakat yang tidak bisa membayar waktu ditagih, biasanya minta tempo waktu 2-3 hari. Ya kami datang lagi ke rumah untuk menagih. Kalo masih ga bayar lagi, saya serahin SPPT nya ke desa. Urusannya sudah desa. Yang penting saya sudah kasih tau. Soal denda dan lain sebagainya, kebanyakan masyarakat tidak mengetahui adanya denda. Bahkan saya sendiri juga tidak tahu kalo PBB itu ada denda”. Ketua RT 3, Bapak Sanusi menjawab tentang denda dan surat tunggakan yang disampaikan jika wajib pajak PBB menunggak membayar, beliau menjawab : “masih cukup sering masyarakat yang meminta menunda bayar pajak. Ada saja alasannya, belum ada uang, bapaknya sedang tidak ada, dan nanti bayar sendiri kalo sudah ada uang. Biasanya mereka memberikan janji kapan mau membayar dan saya datang lagi di hari yang sudah dijanjikan. Kalo ternyata masih belum membayar atau menunda lagi, saya kasih lagi aja SPPT PBB nya ke desa. Terserah desa urusannya. Kewajiban saya menginformasikan ke masyarakat, kalo mereka mau menerima bagus, kalo tidak ya terserah. Ketika ditanya apakah ada surat tunggakan yang diberikan ke masyarakat yang menunggak PBB. Dijawab oleh pak sanusi bahwa “selama ini ga pernah ada surat tunggakan yang dikasih ke RT lewat desa apalagi surat tunggakan yang saya edarkan ke masyarakat. Saya ga tau kalo ada denda buat masyarakat yang nunggak PBB. Jumlah denda yang dikenakan kepada wajib pajak PBB yang menunggak atau terlambat membayar lewat jatuh tempo adalah sebesar 2% dari nilai yang ada di SPPT. Kurangnya informasi tentang denda dan surat tunggakan yang dikenakan kepada wajib pajak yang menunggak diperkuat dengan jawaban wajib pajak yaitu Ibu Asmah : “ ibu ga pernah tau kalo ada denda. Pokoknya kalo pas ditagih sama Pa RT ada uang ibu bayar, kalo pas enggak ada uang, biasanya ibu minta tempo waktu. Nanti ibu ato ade ibu yang bayar langsung ke kantor desa”.
Jawaban yang sama juga dinyatakan oleh Ibu Siti “Gak tau kalo ada denda soal PBB. Pokoknya kalo saya dapet SPT PBB nya, bapaknya sempet ke serang, ya bayar pajak. Ibu Nova juga menyatakan bahwa “ saya tidak tahu kalo ada denda jika telat bayar pajak. Karena selama ini saya tidak pernah telat membayar pajak. Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa baik dari pihak desa maupun dari wajib pajak tidak mengetahui akan adanya denda bagi masyarakat yang menunggak membayar PBB. Ketika peneliti melakukan wawancara dengan Bapak Uki Bukhari, Kasie pemerintah di sudut ruangannya ada setumpuk SPT PBB tahun 2012 yang belum atau tidak diedarkan oleh pihak RT. SPT PBB yang belum dibayar oleh masyarakat. Ada satu blok perumahan BCP 2 yang semua bloknya tidak atau belum membayar PBB 2012. Ketika ditanya kenapa bisa terjadi, menurut beliau karena ada RT yang tidak mau mengedarkan. untuk memeriksa kebenaran jawaban dari pihak desa, peneliti mendatangi kediaman ketua RT 08, tetapi tidak berhasil ketemu dengan ketua RT karena sedang bekerja. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di RT 08 menjelaskan bahwa terkadang ketua RT malas untuk mengedarkan SPPT PBB ke tiap rumah. Jadi masyarakat tidak mengetahui kalau tahun ini harus sudah membayar PBB dan tidak tahu pula tentang jatuh tempo dan denda yang dikenakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak N (nama disamarkan) bahwa : “RT disini malas buat ngedarin SPPT PBB ke tiap rumah. Padahal deket atau bisa nitipkan ke istrinya untuk mengedarkan. Cuma istrinya juga ga mau. Kita disini ga tau kapan harus bayar PBB, bulan apa, kapan telat bayarnya”. Tapi ada juga RT nya yang rajin. Sama-sama kerja. Cuma kalo RT yang satunya itu ngederin SPPT nya malem ato sore”. Kepatuhan masyarakat dalam membayar PBB dilihat dari aspek psikologis dapat diketahui bahwa sosialisasi dan penyuluhan tentang PBB kepada masyarakat belum dilakukan baik oleh perangkat desa maupun dari pihak dinas pendapatan dan kantor pajak Kabupaten Serang. Pemahaman masyarakat dan perangkat desa tentang denda dan sanksi jika
tidak membayar PBB berturut-turut juga masih kurang. Aspek Sosiologis Beberapa permasalahan yang peneliti temukan di Desa Ranjeng soal Pajak Bumi dan Bangunan adalah masih rendahnya realisasi penerimaan PBB, adanya SPPT PBB ganda dan masih banyak SPPT PBB dimana obyek yang kena pajak masih berupa bumi, sementara di lokasi bumi tersebut sudah ada bangunannya. Hal ini tentu saja berdampak pada besaran pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Seperti yang disampaikan oleh Bapak Sanusi ketua RT 02 : “ Jadi soal PBB itu susah masyarakatnya. Belum lagi kalo ternyata nama yang di SPPT masih nama lama, sementara tanah atau rumahnya sudah dijual. Mereka/pemilik lama tidak mau membayar karena alasan sudah bukan punyanya lagi. Tapi mereka sendiri juga tidak mengurus soal AJB. Sementara Bapak Uki Bukhari menanggapi tentang permasalahan di atas dengan menyatakan : “Untuk SPT PBB yang berupa tanah tegalan atau sawah, memiliki kesulitan dimana pemilik sawah atau tanah tersebut biasanya sudah dijual dan pembelinya bukan penduduk ranjeng dan sering kali satu petak sawah dijual per kavling kepada beberapa orang, tetapi pembeli biasanya enggan untuk melakukan balik nama. Pembeli biasanya menunggu kalo ada pemutihan aja. Jadi ketika ditagih, pemilik tanah atau sawah keberatan untuk membayar nilai PBB karena merasa tanah atau obyek pajak PBB tersebut bukan tanggung jawabnya. Persoalan PBB di Desa Ranjeng bukan cuma pemahaman masyarakat saja yang masih rendah. Ada penyebab lain kenapa di desa ranjeng realisasi PBB cenderung rendah, yaitu soal SPT PBB yang ganda. Tahun 2012 saja ada 593 SPPT PBB yang ganda. Berikut ini pernyataan Bapak Uki soal SPPT PBB ganda : “Saya sudah melaporkan ke kantor dinas dan kantor pajak. Jawab mereka Cuma ooo saja. Tidak ada tindak lanjut. Makanya saya minta ke bagian umum buat fotocopy SPT PBB yang ganda, yang diedarkan ke masyarakat yang foto copyan. Aslinya saya serahkan ke kantor dinas. Dalam hal ini DPKPAD
Kabupaten Serang. Dari SPPT PBB yang ganda saja ada sekitar Rp 20 juta.” Aspek sosiologis terkait tentang kepatuhan wajib pajak dilihat dari aspek sosial perpajakan, antara lain kebijakan publik, kebijakan fiskal, kebijakan perpajakan, dan administrasi perpajakan. Aspek sosiologis terkait tentang rencana untuk menjadikan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai pajak daerah kabupaten/kota mulai 1 Januari 2014. Terkait peralihan PBB menjadi pajak daerah, berikut hasil wawancara dengan Bapak Bustomi bagian PBB DPKPA Kabupaten Serang : “Sudah, kami sudah sering melakukan penyuluhan kepada masyarakat dibeberapa kecamatan di kabupaten serang, khusus di ciruas kebetulah saya sendiri pematerinya, kami undang seluruh kepala desa dan perangkat desa dalam mensosialisasikan mengenai peralihan PBB dari pusat ke daerah”. Mengenai kesiapan Desa Ranjeng dengan adanya perubahan PBB menjadi pajak daerah, berikut penyaataan Sekretaris Desa, yaitu Bapak Komar : “kalau sekarang PBB belum jadi pajak daerah, masih pajak pusat. Saya setuju PBB jadi pajak daerah. Soal siap tidak siap, ya kita harus siap. Ketika ditanyakan tentang alur pembayaran PBB sebelum dan setelah peralihan adakah perbedaannya, Bapak Bustomi menjawab : “perbedaanya mencakup peningkatan kinerja aparatur desa dan memutus mata rantai pihak yang seharusnya tidak dilibatkan dalam pemungutan pajak. Kami akan menggunakan sistem online, setiap UPTD yang kita bentuk di tiap kecamatan ada Banknya, banknya ikut parsipasi sehingga nanti para wajib pajak mengirimkan langsung ke kas daerah tidak secara cash of hand. Nanti kta akan kerja sama dengan bank persepsi yang sudah ada adalah bank BRI dan bank BJB. Kabupaten Serang mengambil waktu terakhir untuk pendaerah PBB yaitu 1 januari 2014.” Sementara itu Sekdes Komar menjawab tentang alur pembayar PBB setelah peralihan, yaitu : “Saya setuju PBB jadi pajak daerah, cuma sistem pemungutannya harus diubah. Sekarang ini kan desa hanya menjadi jembatan. Jembatan buat pengumpulan PBB nya, terus disetor ke BRI cabang Ciruas dalam bentuk
“gelondongan”. Kalo PBB sudah jadi pajak daerah, sistemnya harus diubah. Harus sistem online, jadi desa bukan Cuma jembatan buat pengumpulan saja, tetapi desa juga bisa mengontrol atau mengetahui siapa saja wajib pajak PBB yang membayar langsung ke kantor pos atau bank. Bayar PBB bukan Cuma satu lokasi, tapi dibuka banyak loket seperti bayar rekening listrik. Jadi potensi pajak PBB itu banyak yang tercapai”. Ketika ditanyakan upaya apa yang akan dilakukan untuk pendaerahan PBB di Kabupaten Serang, Bapak Bustomi menjawab : “Kita ada beberapa upaya yang akan dilakukan untuk pendaerahan PBB; 1) Melakukan pemetaan atau mapping dengan membuat peta digital. Dari peta digital tersebut kita bisa mengetahui siapa pemilik, no NPWP, besaran PBB tahun yang harus dibayarkan dan sudah membayar atau belum. Kedua adalah update data wajib pajak PBB. Update data ini harus dilakukan karena saat ini PBB termasuk tugas pembantuan, bukan tugas pokok daerah. Jadi daerah hanya melaksanakan saja tidak mengetahui jelas berapa jumlah wajib pajak atau berapa SPPT yang diterbitkan. Update data juga dilakukan karena saat ini banyak PBB yang dibayarkan masih berupa bumi saja, padahal sudah ada bangunannya. Dengan pemetaan ulang dan update data, maka hal-hal yang seperti tadi saya sebutkan bisa dikurangi. Saya sudah melakukan inventarisasi bahwa setelah pendaerahan PBB akan ada sekitar 1 juta SPPT PBB yang akan diterbitkan. Upaya yang ketiga adalah memberdayakan RT dan RW dengan memberikan sistem reward. Karena RT dan RW ini paling dekat dengan masyarakat dankeempat membentuk UPT PBB di tiap kecamatan. Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa peralihan PBB menjadi pajak daerah akan dilaksanakan paling lambat per 1 Januari 2014 bagi daerah yang belum memiliki kesiapan perangkatnya baik software maupun hardwarenya. Bagi daerah sendiri, khususnya Kabupaten Serang pendaerah PBB jelas sangat didukung karena akan ada peningkatan pendapatan bagi daerah dari PBB mencapai 100%, yang selama ini lebih bersifat bagi hasil dengan pusat. Oleh karena itu upaya-upaya telah dipersiapkan oleh Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah untuk
melaksanakan pemungutan PBB sebagai salah satu pajak daerah. Bagi pemerintah Desa Ranjeng sendiri mendukung perubahan PBB menjadi pajak daerah karena penerimaan daerah akan meningkat. Hanya saja perlu ada perubahan mekanisme pemungutan PBB dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi atau sistem online.
Mangkoesoebroto Guritno. 1989. Kebijakan Ekonomi Publik di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Simpulan dan Saran
Rahayu, Siti Kurnia. 2009. Perpajakan Indonesia: Konsep & Aspek Formal. Bandung: Graha Ilmu.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kepatuhan masyarakat Desa Ranjeng dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan masih belum optimal. Hal dikarenakan masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat Desa Ranjeng akan pentingnya membayar PBB sebagai bentuk kewajiban kepada Negara. Sedangkan saran yang dapat disampaikan untuk penelitian tentang Kepatuhan Masyarakat dalam membayar PBB di Desa Ranjeng, pertama adalah melakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang PBB melalui kegiatan keagamaan seperti peringatan Maulid Nabi dan Isro Mi’raj dan kegiatan dalam acara peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Kedua, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan perangkat Desa Ranjeng tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang akan menjadi pajak daerah dengan melakukan studi banding ke daerah lain dimana kepatuhan masyarakat dalam membayar PBB dinilai tinggi atau berhasil. DAFTAR PUSTAKA Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : DIA FISIP UI. Kartasapoetra, G, dkk. 1989. Pajak Bumi Dan Bangunan. Jakarta : Bina Aksara. M Ikhsan dan Roy V Salomo. 2002. Keuangan Daerah di Indonesia. STIA LAN, Jakarta
Mardiasmo. 2002. Perpajakan Edisi Revisi 2002. Bulaksumur : Penerbir Andi. Nasucha Chaizi. 2004. Reformasi Administrasi Publik. Jakarta : Grasindo.
Salamun. 1990. Pajak Citra dan Bebannya: Pokok Pemikiran Salamun AT. Jakarta : PT. Bina Rena Pariwara. Soemitro Rochmat. 1944. Dasar - dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Suandy, Erly. 2002. Hukum Pajak. Jakarta : Salemba Empat. Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta. Suharno, S.H., MPM. 2003. Potret Perjalanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Direktorat PBB dan BPHTB, Jakarta. Zain Mohammad. 2007. Manajemen Perpajakan. Bandung : Salemba Empat. Sumber lain: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Profil Desa Ranjeng 2012 Puji
Astuti. 2011. Tingkat Kepatuhan Masyarakat dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Serang Kecamatan Serang Tahun 2010. Skripsi Ilmu Administrasi Negara UNTIRTA.