Seminar Nasional PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS BERORIENTASI KESEJAHTERAAN PETANI Bogor, 14 Oktober 2009
Analisis Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia oleh
Maria
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2009
ANALISIS KEBIJAKAN TATANIAGA GULA TERHADAP KETERSEDIAAN DAN HARGA DOMESTIK GULA PASIR DI INDONESIA Maria Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga
ABSTRACT As far as histories, sugar-trading in Indonesia is never free from government. Government has make policy to manage of sugar-trading and it is has impact at the national production, marketing/distribution, availability, import, sugar price in country, etc. Sugar-trading is not only of technical problem, but there are a system which many component. It can make influence and influenced of sugar-trading. This studies will give a description about role of sugar-trading policy in Indonesia with forecast in the future. It is used time series data from 1970 untill 2005 and Shazam for Windows Profesional to analysis the data. Results of the research with analysis regression and trend showed land area, quantity of sugar factory, and difference between the domestic price with world price are influence stock of sugar. While the trading policy in each and every period, production, consumption, world price, and rupiah exchange value are influence domestic price. Sugar trading policy has the direct influence toward of domestic price but it’s not to sugar stock in Indonesia With the analysis trend, in the future of sugar price can keep increasing and decreasing at the production of sugar. Key words : sugar-trading policy, production, domestic price
ABSTRAK Sepanjang sejarah, perdagangan gula di Indonesia tidak pernah lepas dari intervensi pemerintah. Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang mengatur perdagangan gula yang tentunya berdampak pada produksi nasional, pemasaran/distribusi, ketersediaan, impor, harga gula dalam negeri dan sebagainya. Hal ini karena perdagangan gula bukan hanya masalah teknis, melainkan suatu sistem yang didalamnya banyak komponen yang mempengaruhi dan terpengaruh olehnya. Kajian ini hendak memberi gambaran peranan kebijakan tataniaga gula terhadap ketersediaan dan harga gula domestik gula pasir di Indonesia serta proyeksi (trend) dimasa yang akan datang. Data yang digunakan berupa data time series dengan range tahun 1970 – 2005 yang dianalisis dengan program Shazam for Windows Profesional. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan analisis regresi dan trend didapatkan bahwa ketersediaan gula pasir secara signifikan dipengaruhi oleh luas area, jumlah pabrik gula, dan selisih harga domestik dengan harga dunia. Sedangkan faktor yang harga gula domestik secara signifikan dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga disetiap periode, produksi, konsumsi, harga gula dunia, dan nilai tukar rupiah/US$.Kebijakan tataniga gula berpengaruh secara langsung terhadap harga domestik tetapi terhadap ketersediaan gula di Indonesia kebijakan ini tidak berpengaruh secara langsung. Dengan mengikuti trend eksponensial maka pada beberapa tahun mendatang harga gula domestik (eceran) terus mengalami peningkatan. Dilain pihak, melalui model trend kuadratik produksi gula akan kembali mengalami penurunan. Kata kunci : kebijakan tataniaga gula, produksi, harga domestik
1
PENDAHULUAN Gula pasir merupakan salah satu dari sembilan bahan makanan pokok yang berfungsi sebagai sumber energi/kalori bagi yang mengkonsumsinya. Di Indonesia gula pasir ini merupakan komoditas pangan strategis kedua setelah beras. Masyarakat mengkonsumsi gula sebagai sumber kalori atau lebih utamanya sebagai pemanis maupun pengawet. Upaya untuk menjaga ketersediaan gula dalam negeri diwujudkan dalam salah satu program ketahanan pangan (revitalisasi pertanian). Ketahanan pangan pada tatanan nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor. Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh Presiden RI tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, Jawa Barat menyatakan perlunya Indonesia membangun ketahanan pangan yang mantap dengan memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis, yaitu padi, jagung, tebu, kedelai, dan daging sapi. Harga merupakan salah satu pertimbangan bagi petani untuk memilih komoditas apa yang bakal dipilih. Dalam situasi harga cenderung kurang menguntungkan atau lebih rendah dibanding biaya produksi, sangat besar kemungkinan petani untuk tidak memilih komoditas tersebut. Dalam konteks gula, sejak gula menjadi komoditas dengan akses ke pasar global sedemikian luasnya, perubahan sekecil apapun pada lingkungan eksternal akan berdampak terhadap terbentuknya harga gula di pasar domestik. Perlindungan petani dan industri gula menjadi sangat penting untuk menghindari perangkap harga gula yang sangat distortif (Sabil, 2004). Krisis moneter tidak hanya mempengaruhi produksi tetapi juga konsumsi gula. Pada saat krisis konsumsi gula mengalami penurunan bahkan mencapai 23,56%. Rerata konsumsi gula dalam jangka waktu lima belas tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 1,43% setiap tahunnya. Penurunan konsumsi gula yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor meningkatnya harga yang menurunkan daya beli masyarakat. Seiring dengan pemulihan atau perbaikan kondisi perekonomian yang terkait dengan pendapatan masyarakat, komsumsi gula juga mengalami peningkatan kembali meskipun masih dibawah nilai konsumsi pada tahun sebelum krisis. Dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir ternyata produksi dalam negeri baru mampu mencukupi 67,02% kebutuhan konsumsi nasional, bahkan mulai krisis moneter sampai tahun 2003 produksi hanya 50% dari total konsumsi. Dengan demikian masih memerlukan impor sekitar 33% untuk mencukupi konsumsi masyarakat. Kebutuhan impor gula tersebut belum termasuk untuk persediaan (stok) jika terjadi lonjakan 2
permintaan menjelang lebaran, terjadi bencana alam, dan sebagainya sekalipun tidak sepenting stok pada komoditas beras. Tabel. 1. Konsumsi Gula Nasional Tahun 1991 – 2005 Tahun 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Konsumsi Nasional (ton) 2.519.732 2.435.166 2.691.856 2.929.123 3.170.936 3.067.483 3.366.944 2.724.953 2.889.171 2.989.171 3.150.866 3.300.808 3.300.811 3.388.808 3.439.640
% Kenaikan Konsumsi -3,47 9,54 8,10 7,63 -3,37 8,89 -23,56 5,68 3,35 5,13 4,54 0,00 2,60 1,48
% Produksi terhadap Konsumsi 89,40 94,76 92,23 83,60 66,12 68,27 65,04 54,74 51,52 56,56 54,76 53,18 49,44 60,54 65,17
Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia 2006, diolah
PERUMUSAN MASALAH Indonesia pernah mengalami masa gemilang sebagai negara utama penghasil gula pasir yaitu sekitar tahun 1930-1932 ketika mampu memproduksi gula pasir hampir 3 juta ton. Pada saat itu, di Indonesia terdapat 179 buah pabrik gula yang menguasai areal tanaman tebu hanya 196,65 ribu Ha. Dengan kemampuan ekspor gula pasir antara 1,5 – 2,0 juta ton, Indonesia saat itu tercatat sebagai negara pengekspor gula terbesar kedua setelah Kuba (Birowo dan Winarno, 1988). Namun sejak perusahaan gula diambil alih oleh pemerintah Indonesia (setelah kemerdekaan RI) secara perlahan kinerja industri gula menurun. Meskipun demikian industri gula masih bertahan hidup dan merupakan industri yang dapat memberikan penghidupan yang terhormat bagi banyak pihak karena industri gula banyak mendapatkan proteksi dan subsidi dari pemerintah. Laju peningkatan produksi masih lebih rendah dari konsumsi gula sehingga kebutuhan impor makin besar (Masyuhuri, 2005). Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, maka permintaan akan gula ini juga mengalami peningkatan. Konsumsi yang semakin bertambah ini harus segera direspon pemerintah tentang bagaimana penyediaannya (dari produksi dalam negeri, impor ataukah keduanya). Untuk memenuhi kebutuhan gula pasir yang terus meningkat, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong peningkatan produksi 3
dalam negeri melalui berbagai kebijakan antara lain TRI, rehabilitasi pabrik-pabrik gula, penetapan harga provenue, dan sebagainya yang bertujuan menjaga ketersediaan gula dengan melindungi produsen dalam negeri dengan tidak merugikan konsumen. Kondisi dan permasalahan pergulaan nasional memang sangat kompleks dari sisi produksi, konsumsi, impor maupun perdagangannya. Keseluruhan sisi tersebut tidak terlepas dari kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Mengingat gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dibutuhkan oleh seluruh kalangan masyarakat. Menurut Kholifah (1995), aktivitas intervensi pemerintah ini dilakukan bukan tanpa alasan yang kuat. Pemerintah berkepentingan sekali terhadap stabilitas harga dan stok gula di pasaran. Kondisi yang tidak memungkinkan menciptakan stabilitas menjadi sasaran perubahan. Selama ini pemerintah menjadi kekuatan superior yang tidak dapat dipengaruhi oleh kelompok lain. Kondisi ini tercermin dalam setiap kali pemerintah memformulasikan kebijakan gula, khususnya kebijakan perdagangan gula. Disamping kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan harga gula di pasar domestik. Bahkan dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan jauh lebih intensif dibandingkan kebijakan produksi dan input. Diantara kebijakan tersebut, Keppres No 43/1971 merupakan salah satu contoh intervensi pemerintah dalam hal pemasaran gula. Keppres tersebut pada dasarnya memberi wewenang kepada Bulog untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir (Susila, 2002). TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula dalam negeri. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik. 3. Mengetahui proyeksi (trend) kondisi pergulaan Indonesia mendatang. 4. Mengetahui pengaruh kebijakan tataniaga terhadap ketersediaan, produksi, impor, dan harga domestik gula pasir di Indonesia METODE PENELITIAN Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan dari Dewan Gula Indonesia, Departemen Pertanian, Badan Pusat Statistik, P3GI, berbagai terbitan / publikasi lain yang terkait dengan pergulaan baik cetak maupun elektronik (internet). Data yang digunakan berupa data time series dengan range tahun 1970-2005 yang dianalisis dengan program Shazam for Windows Profesional. Data kuantitatif yang diperlukan meliputi data : produksi gula (hablur), konsumsi, stok/persediaan, impor, rendemen, luas areal tebu, produktivitas tebu, jumlah pabrik gula, harga gula domestik, harga gula dunia, IHK, GDP, nilai tukar rupiah, populasi penduduk Indonesia, dan 4
sebagainya. Sedangkan data kualitatif yang dibutuhkan adalah sejarah/perkembangan kebijakan pergulaan yang pernah diterapkan Indonesia khususnya kebijakan tataniaga gula. Hipotesis 1 Q = a + b1L + b2R + b3PG + b4D1 + b5D2 + b6D3 + u Keterangan : Q = produksi gula (ton) a = intersep b1-b6 = koefisien regresi L = luas areal (ha) R = rendemen (%) PG = jumlah pabrik gula D1 = dummy, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode Bulog, lainnya 0 D2 = dummy, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pasar bebas, lainnya 0 D3 = dummy, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pengendalian impor, lainnya 0 u = residual Hipotesis 2 Pd = a + b1Pi + b2ER + b3I + b4Q + b5C + b6D1 + b7D2 + b8D3 + u Keterangan : Pd = harga gula domestik (Rp/ton) a = intersep b1-b8 = koefisien regresi Q = produksi gula (ton) C = konsumsi gula (ton) Pi = harga dunia (US$/ton) ER = nilai tukar rupiah terhadap dollar (Rp/US$) I = impor gula (ton) D1 = dummy, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode Bulog, lainnya 0 D2 = dummy, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pasar bebas, lainnya 0 D3 = dummy, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pengendalian impor, lainnya 0 u = residual Analisis Trend Analisis Trend merupakan analisis regresi sederhana terhadap waktu untuk memproyeksikan data time series di masa mendatang, apakah memiliki kecenderungan 5
meningkat atau menurun. Setiap variabel memiliki pola sendiri-sendiri yang bisa digambarkan dalam bentuk kurva maupun dengan persamaan trend. Beberapa bentuk persamaan trend antara lain (Granger, 1980) : a. Linier (garis lurus), Y(t) = a + bt b. Eksponensial, Y(t) = exp (a + bt), maka log Y(t) = a + bt c. Kuadratik (parabolic curve), Y(t) = a + bt + ct2 d. Kurva modifikasi eksponensial, Y(t) = a + brt e. Kurva Gompertz, log Y(t) = a + brt, dengan 0 < r < 1 f. Kurva logistik, Y(t) = 1/(a+brt), dengan 0 < r < 1, sehingga 1/Y(t) = 1/(a+brt) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Produksi Gula Nasional Jika di breakdown komponen penyusun ketersediaan adalah produksi, net stock, dan impor. Hasil estimasi produksi menunjukkan salah satu variabel yang significan mempengaruhi produksi gula nasional adalah kebijakan tataniaga pada periode pengendalian impor. Net stock merupakan selisih antara stock awal dan stock akhir pada tahun tertentu karena adanya konsumsi. Sedangkan hasil estimasi impor ysng signifikan salah satunya adalah kebijakan tataniaga pada periode Bulog. Hal ini menunjukkan secara tidak langsung kebijakan tataniaga mempengaruhi ketersediaan gula. Produksi gula diestimasi sebagai fungsi dari kebijakan tataniaga (tiga periode), luas area, rendemen, dan jumlah pabrik gula. Ketepatan model ini ditunjukkan dengan nilai R2 yang disesuaikan yaitu sebesar 0,8893. Artinya 88,93% variasi produksi dapat dijelaskan oleh variabel independen yang ada dalam model, sedangkan 11,07% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model tersebut. Hasil uji F yang signifikan (99%) menunjukkan bahwa kebijakan tataniaga (tiga periode), luas area, rendemen, dan jumlah pabrik gula secara bersama-sama mempengaruhi produksi gula. Untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel independen dilakukan uji t. Pada tabel dibawah ini diketahui bahwa dari ketiga periode kebijakan tataniaga selama 36 tahun (1970 – 2005) ternyata hanya kebijakan pada periode pengendalian impor (setelah 2002) yang berpengaruh signifikan terhadap produksi gula. Kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor antara lain Kepmenperindag No.643/MPP/Kep/9/2002 yang membatasi importir (hanya Importir Produsen dan Inportir Terdaftar) yang diijinkan melakukan impor untuk melindungi/menjaga harga domestik dan pendapatan petani. Walaupun pembatasan tersebut disisi lain memberi peluang akan adanya impor gula ilegal yang otomatis merusak harga gula domestik. Kebijakan tersebut kemudian direvisi dalam bentuk penetapan harga gula ditingkat petani sebesar Rp 3.410/kg (Kepmenperindag No 6
527/MPP/Kep/9/2004), Rp 3.800/kg (Peraturan Menteri Perdagangan No. 08/MDag/Per/4/2005), dan Rp 4.800/kg (Permendag No. 19/M-Dag/Per/4/2006). Tabel 2. Hasil Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7
Variabel Independen D1 D2 D3 Luas Rendemen Jumlah PG Konstantan
Adj R2 = 0,8893 F Hitung = 47,853*** F Tabel(1%) = 3,50
Koefisien 18786 -56589 277760* 2,9772** 48985 49824** -2,77.106
Error 1,46.105 1,56.105 1,63.105 0,9352 3,81.104 1,64.104 9,75.105
T hitung 0,1286 -0,3634 1,708 3,183 1,286 3,041 -2,842
Elastisitas ratarata 0,0086 -0,0048 0,0188 0,578 0,2322 1,8636 -1,689
DW test = 1,7344 D h stat = 1,1371
Dari sisi tataniaga kebijakan penetapan harga diatas memberikan iklim positif bagi produsen. Kebijakan pembatasan impor dilakukan agar harga domestik meningkat (karena harga gula dunia relatif lebih rendah daripada harga domestik) sehingga produsen mendapat insentif untuk meningkatkan produksinya. Dalam kurun waktu tersebut, kebijakan tataniaga didukung oleh kebijakan lainnya yaitu pada tahun 2002 Departemen Pertanian mencetuskan program akselerasi (peningkatan produksi gula) nasional. Program tersebut dilaksanakan dengan mengoptimalkan kinerja pabrik gula yang ada melalui penataan dan rehabilitasi tanaman, peralatan/mesin pabrik, manajemen pabrik gula, maupun penyehatan lembaga penelitian yang ada (P3GI). Kebijakan tataniaga pada periode Bulog dan perdagangan bebas tidak signifikan pengaruhnya terhadap produksi. Kebijakan tataniaga gula pada periode Bulog berdampak positif terhadap produksi meskipun tidak signifikan. Pada periode ini kebijakan yang lebih berperan terhadap peningkatan produksi adalah kebijakan TRI berdasarkan Inpres No. 9 tahun 1975 yang berlaku sampai dikeluarkannya UU No. 12 tahun 1992. Walaupun sebenarnya peningkatan produksi bukan dikarenakan peningkatan produktivitas maupun rendemen tetapi lebih dikarenakan oleh perluasan area perkebunan tebu baik TRIS (lahan sawah) maupun TRIT (lahan tegal). Sementara porsi produksi yang dikuasai Bulog dari PG PNP semakin kecil (60-70%) karena Bulog hanya diijinkan untuk membeli gula yang menjadi bagian dari PG PNP. Gula (TRI) dari non PNP bebas dipasarkan (30-40%). Akibatnya terjadi fluktuasi harga akibat spekulasi pedagang disamping stok gula Bulog yang semakin berkurang. Pada tahun 1990-an produksi gula semakin menurun, apalagi setelah dikeluarkannya UU No. 12 Tahun 1992. Banyak petani tebu yang mengganti komoditas usahataninya dengan komoditas lain terutama beras sebagai bahan makanan pokok 7
masyarakat Indonesia. Disamping itu, semakin terpencarnya lokasi perkebunan tebu yang berpengaruh terhadap produktivitas dan rendemen, kondisi PG yang sudah tua (inefisiensi), biaya pokok produksi mahal terutama pada saat krisis moneter turut memberikan pengaruh negatif terhadap produksi gula. Kebijakan tataniaga pada periode perdagangan bebas berdapak negatif terhadap produksi gula dalam negeri meskipun tidak signifikan. Pembebasan bea masuk impor gula mengakibatkan impor gula tidak terkendali. Hal ini diperparah dengan tingginya biaya produksi gula dalam negeri akibat krisis moneter tahun 1998. Dari sisi pergulaan dunia pada saat itu terjadi surplus gula dunia (harga dunia rendah) sehingga gula dalam negeri tidak mampu bersaing dalam hal harga. Kondisi demikian mengakibatkan produsen tidak mendapat insentif untuk kebelanjutan produksinya. Luas area merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi produksi dengan tingkat kepercayaan 95%. Pada tingkat rata-rata (1970-2005) kenaikan 1% luas area tebu menyebabkan kenaikan produksi hablur (gula) sebesar 57,8%. Bertambahnya luas area merupakan faktor utama terjadinya peningkatan produksi gula. Namun demikian, peningkatan luas harus disertai dengan peningkatan produktivitasnya (intensifikasi) mengingat semakin terbatasnya lahan untuk pertanian terutama di Jawa serta kemampuan bersaing dengan komoditas lain. Rendemen menunjukkan kandungan gula yang ada dalam satuan berat tebu. Waktu panen, sistem tebang, lokasi jarak ke PG, iklim serta pengelolaan usahatani sangat mempengaruhi besar kecilnya rendemen. Contoh kasus kemarau panjang akhir tahun 2006 menyebabkan penurunan produksi mencapai 15% (perhitungan P3GI). Rendemen tebu yang dihasilkan cukup bervariasi, begitu pula tingkat akurasi pengukurannya. Pabrik gula yang mengukur rendemen dengan akurat mendorong petani untuk memasok tebu dengan kualitas yang baik, sehingga rendemen pabrik gula juga tinggi. Mengingat gula tidak diproduksi di pabrik melainkan di tanaman. Namun demikian dalam kurun waktu 1970 – 2005 ternyata rendemen tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produksi hablur. Selain luas area, faktor lain yang signifikan mempengaruhi produksi adalah jumlah pabrik gula yang masih giling (tingkat kepercayaan 95%). Sekarang ini di Indonesia PG yang masih giling ada 58 buah (46 di Jawa dan 12 di luar Jawa) dengan kapasitas giling rata-rata 195.810 ton tebu/hari. Masa giling biasanya pada bulan Mei sampai Oktober. Rata-rata 1% kenaikan jumlah PG menyebabkan produksi gula meningkat 186,36%. Pengaruh ini cukup besar, namun perlu dipertimbangkan besarnya biaya investasi pabrik, payback period, dan ketersediaan bahan bakunya. Mengingat luas area perkebunan tebu di Jawa yang semakin berkurang, sementara di luar Jawa banyak kendala yang membatasi (jenis tanah, cuaca, kondisi infrastruktur, faktor sosial ekonomi, dan sebagainya). Dengan demikian lebih baik mengoptimalkan kinerja pabrik gula pada kapasitas terpasang sebagai langkah untuk mengatasi iddle capacity. 8
Selama ini produksi gula (hablur) mengikuti model trend kuadratik. Dengan model trend tersebut pada tahun mendatang (proyeksi) produksi gula akan kembali mengalami penurunan. Hasil estimasi produksi gula dalam negeri sampai tahun 2010 dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Agar penurunan produksi tidak kembali terjadi maka pemerintah diharapkan mampu melindungi produsen dengan berbagai kebijakan yang terkait dengan harga ditingkat petani dan pembatasan impor gula, disamping kebijakan ditingkat hulu (usahatani). Hal ini penting karena sebagian besar konsumsi gula dipenuhi dari produksi dalam negeri. Tabel 3. Hasil Proyeksi Indeks dan Produksi Hablur di Indonesia Tahun 2006 – 2010 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Indeks 3,018 2,970 2,916 2,856 2,790
Produksi (ton) 2.137.695 2.103.696 2.065.447 2.022.948 1.976.199
Sumber : Analisis Data Sekunder
Pertumbuhan produksi gula relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsinya, apalagi pertumbuhan konsumsi tidak stabil. Produksi gula bersifat musiman (produksi sekali dalam setahun dengan bulan giling pada bulan sekitar Mei-Oktober), sementara konsumsi gula setiap saat yang semakin bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Kondisi demikian mendorong pemerintah untuk melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan. B. Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia Dalam sejarahnya kebijakan tataniaga gula yang paling sering dikeluarkan pemerintah adalah mengatur tentang impor dan harga. Harga domestik yang diestimasi merupakan harga eceran yang berlaku yang diriil-kan dengan indeks harga konsumen khusus makanan (IHK makanan) untuk menghindari pengaruh inflasi. Harga dunia tidak diriil-kan karena dalam satuan US$/ton. Harga domestik diestimasi sebagai fungsi dari kebijakan tataniaga (periode Bulog, perdagangan bebas, dan pengendalian impor), produksi, impor, konsumsi, harga dunia, dan nilai tukar rupiah/US$. Hasil regresi model tersebut memiliki koefisien determinasi 0,9826. Artinya 98,26% variasi variabel independen dalam model tersebut mampu menjelaskan variasi harga domestik dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang belum dimasukkan dalam model. Nilai F hitung sebesar 92,815 signifikan dengan tingkat kepercayaan 99%. Berarti secara bersama-sama kebijakan tataniaga (periode Bulog, perdagangan bebas, dan pengendalian impor), produksi, impor, konsumsi, harga dunia, dan nilai tukar rupiah/US$ mempengaruhi harga domestik gula pasir di Indonesia. 9
Tabel 4. Hasil Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia No Variabel Independen D1 1 D2 2 D3 3 Produksi 4 Impor 5 Harga Dunia 6 Konsumsi 7 Nilai Tukar (Rp/US$) 8 Konstanta 9 Adj R2 = 0,9826 F Hitung = 92,8158 F Tabel(1%) = 3,45
Koefisien Error T hitung Elastisitas rata-rata -2,67.105** -0,495 1,05.105 -2,538 5 4 -0,0524 -1,3.10 ** 5,19.10 -2,501 0,0648 4,503 2,01.105*** 4,96.104 0,4111 2,857 9,3.10-2*** 3,26.10-2 -0,0157 -0,2792 4,2.10-2 -1,17.10-2 0,1295 2,349 136,62** 58,17 0,3281 1,825 5,49.10-2* 3,01.10-2 0,525 4,348 61,575*** 14,16 0,0973 0,3701 38896 1,05.105 DW test = 1,7091 D h stat = 0,50376
Setelah dilakukan uji t ternyata variabel kebijakan tataniaga (periode Bulog, perdagangan bebas, dan pengendalian impor), produksi, konsumsi, harga dunia, dan nilai tukar rupiah/US$ berpengaruh signifikan terhadap harga domestik. Satu-satunya variabel yang tidak signifikan pengaruhnya terhadap harga domestik adalah kuantitas impor gula. Jadi yang mempengaruhi harga domestik bukan kuantitas gula yang diimpor tapi lebih cenderung ke harga gula dunia dan nilai tukar rupiah/US$. Kebijakan tataniaga gula yang mengatur tentang harga dilakukan untuk menjaga stabilitas harga domestik dengan tetap melindungi produsen atau industri pergulaan pada umumnya. Kebijakan tataniaga yang dikeluarkan pada periode Bulog berkorelasi negatif dengan tingkat kepercayaan 95%. Adanya kebijakan ini (misal : Kebijakan penetapan harag provenue) menyebabkan penurunan harga domestik turun sebesar 49,5%. Kebijakan tentang harga dikeluarkan untuk melindungi produsen (jika harga di pasar terlalu rendah) atau melindungi konsumen jika terjadi gejolak harga sebagai pengaruh inflasi dan sebagainya. Kebijakan tataniaga gula periode Bulog merupakan barrier non tarif (impor dan distribusi) yang mengisolasi pasar domestik dari pasar gula dunia. Harga cenderung stabil baik ditingkat konsumen maupun produsen. Namun hal ini menyebabkan inefisiensi karena margin atau selisih harga yang terjadi antara harga tingkat produsen dengan tingkat konsumen cukup besar. Kebijakan tataniaga gula pada periode perdagangan bebas jelas berpengaruh negatif terhadap harga gula domestik. Dengan diserahkannya tataniaga gula ke mekanisme pasar, gula impor bebas masuk ke Indonesia. Kebijakan ini tidak efektif memproteksi industri gula nasional. Gula dunia yang terdistorsi akibat proteksi yang dilakukan oleh negara-negara produsen dengan subsidi dan sebagainya mengakibatkan harga gula dunia relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga gula domestik. Apalagi dalam kurun waktu periode kebijakan ini terjadi surplus gula dunia. Dengan adanya kebijakan ini harga gula domestik pada tingkat rata-rata turun 5,24% dengan tingkat 10
kepercayaan 95%. Kondisi demikian memyebabkan penurunan produksi hablur (gula) dalam negeri meskipun pengaruhnya tidak signifikan. Tidak semua kebijakan memiliki hubungan negatif terhadap harga domestik. Kebijakan tataniaga yang dikeluarkan pada periode pengendalian impor ternyata memiliki pengaruh positif terhadap harga domestik dan pengaruhnya paling signifikan (tingkat kepercayaan 99%). Kebijakan ini mampu meningkatkan harga domestik 6,48%. Kebijakan tataniaga yang dikeluarkan pada periode ini antara lain : pengendalian impor dengan membatasi hanya Importir Terdaftar (IT) dan Importir Produsen (IP) yang diijinkan melakukan impor gula (Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002) dengan berbagai revisi terkait dengan penetapan harga gula ditingkat petani. Kebijakan terakhir (Peraturan Menteri Perdagangan No.19/M-DAG/PER/4/2006) menetapkan harga gula putih di tingkat petani Rp 4.800/kg. Pembatasan impor dan dukungan positif terhadap harga domestik memberikan insentif bagi produsen gula maupun pelaku industri gula untuk meningkatkan produksinya menuju swasembada gula khususnya untuk konsumsi langsung. Produksi gula memberikan pengaruh cukup signifikan (99%) terhadap harga domestik. Setiap 1% peningkatan produksi rata-rata meningkatkan harga domestik 41,11%. Kondisi demikian merupakan anomali dari teori penawaran yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah barang yang ditawarkan maka harga yang terjadi semakin menurun. Tetapi hal ini tidak terjadi pada harga domestik gula pasir di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan ketersediaan gula pasir yang ada sebagian besar dari produksi dalam negeri yang pertumbuhan produksinya relatif lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi. Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir rata-rata produksi gula hanya mampu memenuhi 67,02% dari total konsumsi gula. Disamping itu suplai gula dunia pada tahun 2004 menurun akibat kenaikan harga BBM dan reformasi kebijakan pergulaan dunia di Uni Eropa membuat negara-negara produsen gula di Eropa mengkonversi produksi gula menjadi etanol. Hal itulah yang menyebabkan kondisi pergulaan dunia defisit sehingga harga gula dunia meningkat (lebih kompetitif). Meningkatnya hara gula dunia berpengaruh juga pada peningkatan harga domestik, seperti pada hasil penelitian sebelumnya yang membuktikan adanya keterkaitan antara harga gula domestik dengan harga gula dunia. Meskipun produksi beberapa tahun terakhir menunjukkan perkembangan positif, tetapi impor masih tetap dilakukan karena belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi (langsung maupun tidak langsung) dan stok. Semakin banyak kuantitas impor gula yang dilakukan maka harga domestik semakin turun meskipun pengaruh ini tidak signifikan. Harga domestik lebih dipengaruhi oleh harga dunia dan nilai tukar /US$. Kinerja pergulaan Indonesia tidak terlepas dari kondisi pergulaan dunia dan kebijakannya. Harga gula dunia mempengaruhi harga gula domestik dengan tingkat 11
kepercayaan 95%. Pada tingkat rata-rata 1% kenaikan harga gula dunia (US$/ton) meningkatkan harga gula domestik sebesar 12,95% (Rp/ton). Disamping adanya peningkatan efektifitas proteksi pasca Kepmenrindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, kebijakan harga dan harga dunia yang lebih kompetitif menyebabkan peningkatan harga gula domestik. Hal ini menunjukkan adanya transimisi harga gula dunia dengan harga domestik dan integrasi pasar gula domestik dan pasar gula dunia. Dalam perdagangan internasional nilai tukar berpengaruh terhadap harga terkait dengan besarnya nilai impor maupun ekspor yang dilakukan antar negara. Nilai tukar rupiah /US$ berpengaruh signifikan terhadap harga domestik gula pasir di Indonesia dengan tingkat kepercayaan 99%. Rata-rata 1% peningkatan nilai tukar rupiah/US$ atau rupiah melemah menyebabkan harga gula domestik meningkat 52,25%. Kondisi melemahnya rupiah terhadap US$ menjadikan pertimbangan importir karena untuk melakukan impor membutuhkan lebih banyak rupiah (harga impor dalam rupiah lebih mahal). Dengan demikian harga domestik yang terjadi pada komoditas gula ini juga meningkat. Harga yang diterima konsumen (harga eceran) mempengaruhi besar kecilnya tingkat konsumsi terhadap suatu barang dan sebaliknya. Namun besar kecilnya pengaruh harga tergantung jenis barang, elastisitas harga, dan sebagainya. Besarnya konsumsi gula dalam analisis ini juga mempengaruhi harga gula domestik dengan tingkat kepercayaan 90%. Peningkatan konsumsi gula pada tingkat rata-rata menyebabkan kenaikan harga domestik sebesar 32,81%. Hal ini sesuai dengan teori permintaan, yaitu semakin banyak jumlah barang yang diminta maka harga akan meningkat. Kenaikan konsumsi gula ini dikarenakan kenaikan konsumsi langsung akibat peningkatan populasi (jumlah penduduk) maupun kenaikan konsumsi tidak langsung akibat peningkatan industri makanan, minuman, farmasi, dan sebagainya. Walaupun tidak menutup kemungkinan penggunaan pemanis lain (gula non tebu maupun gula sintetis) juga mengalami peningkatan seiring dengan diversifikasi kebutuhan konsumen. Dengan mengikuti trend eksponensial maka pada beberapa tahun mendatang harga gula domestik (eceran) terus mengalami peningkatan. Hasil proyeksi sampai tahun 2010 dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Dengan membaiknya harga gula domestik diharapkan bisa menjadi insentif bagi produsen baik petani tebu maupun pelaku industri gula untuk meningkatkan produksi gula menuju swasembada khususnya konsumsi langsung.
12
Tabel 5. Hasil Proyeksi Indeks dan Produksi Hablur di Indonesia Tahun 2006 – 2010 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Indeks 3,018 2,970 2,916 2,856 2,790
Produksi (ton) 2.137.695 2.103.696 2.065.447 2.022.948 1.976.199
Sumber : Analisis Data Sekunder
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Ketersediaan gula pasir secara signifikan dipengaruhi oleh luas area, jumlah pabrik gula, dan selisih harga domestik dengan harga dunia. Pengaruh faktor produksi dalam negeri lebih elastis daripada impor. 2. Faktor yang signifikan mempengaruhi produksi gula (hablur) adalah kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor, luas area, dan jumlah pabrik gula yang masih giling. 3. Harga gula domestik secara signifikan dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga disetiap periode, produksi, konsumsi, harga gula dunia, dan nilai tukar rupiah/US$. 4. Kebijakan tataniaga gula berpengaruh secara langsung terhadap harga domestik tetapi terhadap ketersediaan gula di Indonesia kebijakan ini tidak berpengaruh secara langsung. Kebijakan tataniaga pengaruhnya lebih kepada produksi dan impor gula yang merupakan komponen dari ketersediaan gula nasional. 5. Kebijakan tataniaga gula periode Bulog cenderung untuk stabilisasi (menekan impor dan harga domestik untuk menjaga stabilisasi harga). Kebijakan tataniaga pada periode perdagangan bebas hanya signifikan mempengaruhi harga domestik dengan korelasi negatif. Sedangkan kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor signifikan berpengaruh positif baik terhadap produksi maupun harga gula domestik. Saran 1. Peningkatan intensifikasi dan ekstensifikasi usahatani tebu, efisiensi pabrik gula yang ada dan stabilisasi perekonomian (moneter yang terkait dengan nilai tukar rupiah terhadap US$) sangat diperlukan untuk memperbaiki kondisi pergulaan nasional menuju swasembada gula. 2. Perlunya dukungan terhadap produsen/industri gula untuk meningkatkan produksinya dengan jaminan harga yang kompetitif mengingat pengaruh produksi terhadap
13
ketersediaan gula lebih elastis daripada impor (sinergi antara kebijakan tataniaga dengan kebijakan produksi (on farm)). 3. Kebijakan tataniaga pada periode pengendalian impor masih bisa dilanjutkan untuk membatasi impor dan proteksi terhadap produsen/industri gula nasional. Impor gula diupayakan dalam bentuk raw sugar sebagai bahan baku industri khususnya pabrik gula rafinasi maupun untuk memanfaatkan iddle capacity yang ada di beberapa pabrik gula saat ini. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1997. Studi tentang Pemasaran dan Prospek Industri Gula Indonesia. PT. International Contact Business System Inc. Anonim, 2005. Road Map Swasembada Gula 2005. Dirjenbun/Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Jakarta. Anonim, 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Badan Penelitian & Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Jakarta. Anonim, 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2009. Departemen Pertanian. Jakarta. Anonim, 2006. Road Map Swasembada Gula 2006. Dirjenbun/Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Jakarta. Anonim, 2006. Laporan Penyusunan Pengembangan Agribisnis Gula Berbasis Tebu di Jawa Tahun 2005. Kerjasama antara DGI dengan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan. Granger, C.W.J, 1980. Forecasting in Business and Economics. Academic Press Inc. USA Kholifah, E. 1995. Ekonomi Politik Perdagangan Gula di Indonesia. Tesis. Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Masyhuri, 2005. Analisis Kebijakan Pergulaan Nasional. Dalam Konsolidasi Kebijakan Pergulaan Nasional. Fakultas Pertanian. UGM. Yogyakarta. Sabil, H.M.A, 2004. Industri Gula dalam Perspektif Bisnis : Produksi dan Harga Gula. Mid Kongres IKAGI. Yogyakarta. Susila, W.R, 2002. Kebijakan Pergulaan di Beberapa Negara Produsen dan Alternatif Kebijakan Pergulaan Nasional. Prosiding Pertemuan Teknis P3GI. Pasuruan. Winarno, F.G dan Birowo, A.T, 1988. Gula dan Pemanis Buatan di Indonesia. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Jakarta.
14