ANALISIS KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PESISIR BERBASIS MANGROVE COMPONENT 11. Advocate for The Implementation of Mangrove‐Based Coastal Defense Strategies as Alternative to Hard Engineering Approach. Apri Susanto, Etwin Kuslati Sabarini Wetlands International Indonesia Programme
0 – Wetlands International Indonesia Programme
KATA PENGANTAR Hutan mangrove sebagai sebuah ekosistem di wilayah pesisir memiliki salah satu fungsi ekologis yang berperan penting dalam perlindungan pesisir yaitu sebagai pelindung pantai dari erosi dan abrasi. Struktur akar mangrove yang unik selain berfungsi untuk mengambil unsur hara, juga berfungsi untuk memperkokoh pohon dan menahan sedimen yang secara tidak langsung juga melindungi pantai dari pasang surut dan gelombang. Karena begitu pentingnya fungsi ini, pemerintah mewajibkan setiap daerah yang memiliki pantai untuk mempunyai sempadan pantai sebagaimana termaktub dalam UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil. Dokumen ini berusaha untuk menyajikan gambaran terkini dari kebijakan nasional dan lokal mengenai ekosistem mangrove sebagai perlindungan pesisir, serta pelaksanaan dan kendala dalam penerapan kebijakan‐kebijakan tersebut. Informasi yang terdapat dalam dokumen ini selanjutnya akan digunakan sebagai bahan acuan oleh Wetlands International Indonesia Programme (WIIP) khususnya program “Mangrove Capital” untuk (a) memahami peran ekosistem mangrove sebagai alternatif perlindungan pesisir di Indonesia dan (b) memandu pengembangan program advokasi kebijakan perlindungan pesisir berbasis mangrove. Harapan dari program ini adalah dapat berkontribusi dalam mengubah persepsi terhadap mangrove, yang selama ini dinilai sebagai hutan bernilai ekonomi rendah menjadi pandangan bahwa ekosistem mangrove sebagai faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, terdapat integrasi yang lebih baik antara pelestraian ekosistem mangrove dalam rencana pembangunan, tata ruang dan sistem produksi. Hasil analisis dalam dokumen analisis kebijakan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik sangat dibutuhkan guna perbaikan dan penyempurnaan tulisan. Kami berharap dokumen ini dapat bermanfaat khususnya bagi para pengambil kebijakan perlindungan pesisir berbasis mangrove, dan umumnya bagi semua pihak yang membutuhkan informasi mengenai kebijakan terkait perlindungan pesisir berbasis mangrove.
1 – Wetlands International Indonesia Programme
DAFTAR ISI Kata Pengantar .................................................................................................................... 1 Daftar Isi............................................................................................................................... 2 I.
Pendahuluan ................................................................................................................ 3 1.1. Latar Belakang ...................................................................................................... 3 1.2. Tujuan dan Manfaat ............................................................................................. 4 1.3. Ruang Lingkup ...................................................................................................... 5
II.
Kebijakan Perlindungan Pesisir di Indonesia ............................................................... 6 2.1. Pengembangan Produk Kebijakan ......................................................................... 6 2.2. Kebijakan Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove ......................................... 7 2.3. Kebijakan Perlindungan Pesisir di Tingkat Daerah ................................................ 9
III. Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove sebagai Perlindungan Pesisir di Indonesia ................................................................. 15 3.1. Kelembagaan Pengelola Mangrove ..................................................................... 15 3.2. Muatan Kebijakan Pengelolaan Mangrove sebagai Perlindungan Pesisir .......... 16 3.2.1. Definisi Sempadan Pantai dan Pantai Berhutan Bakau/Mangrove .......... 16 3.2.2. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Konservasi .................................. 18 3.2.3. Kewenangan Pengelolaan Ekosistem Mangrove ...................................... 19 3.2.4. Ekosistem Mangrove dalam Penataan Ruang .......................................... 20 3.2.5. Ekosistem Mangrove dan Kerusakan Lingkungan ..................................... 22 3.2.6. Ekosistem Mangrove sebagai Bagian dari Mitigasi Bencana .................... 23 3.2.7. Rehabilitasi Ekosistem Mangrove .............................................................. 24 3.2.8. Ekosistem Mangrove dalam Dokumen Perencanaan ............................... 24 3.3. Instrumen Kebijakan Pengelolaan Mangrove sebagai Perlindungan Pesisir ..... 32 3.4. Kendala Pelaksanaan Kebijakan ......................................................................... 35 3.5. Implementasi Strategi Perlindungan Pesisir Berbasis Mangrove ...................... 36 IV. Kesimpulan ................................................................................................................ 38 DAFTAR TABEL Tabel 1. Peraturan Perundangan Pengelolaan Mangrove dalam Perlindungan Pesisir ... 26 Tabel 2. Instrumen Kebijakan Pengelolaan Mangrove sebagai Perlindungan Pesisir ...... 32 Tabel 3. Intervensi Kebijakan Perlindungan Pesisir Berbasis Mangrove .......................... 39 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Ilustrasi Penentuan Lebar Sempadan Pantai Berdasarkan Peraturan Perundang‐Undangan .......................................................................................................... 8 Gambar 2. Ilustrasi Perubahan Garis Pantai di Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak Pada Periode Tahun 2003‐2012 ......................................................... 11
2 – Wetlands International Indonesia Programme
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove di Indonesia merupakan hutan mangrove yang paling luas di dunia, dimana luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75 persen dari total mangrove di kawasan Asia Tenggara, atau sekitar 27 persen dari total luas mangrove yang ada di dunia. Ekosistem mangrove di Indonesia juga memiliki keunikan tersendiri yaitu memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove yang utama di Indonesia terletak di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Akan tetapi, kondisi mangrove di Indonesia baik secara kualitatif maupun kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun hingga sekarang. Saat ini, Indonesia memiliki hutan mangrove dengan luas sekitar 9,36 juta hektar yang tersebar di seluruh Indonesia, dimana sekitar setengah dari jumlah tersebut dalam kondisi rusak sedang dan seperempat lainnya rusak berat. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia, diantaranya yaitu kegiatan konversi kawasan mangrove menjadi kawasan pemanfaatan lainnya seperti permukiman, industri, rekreasi, budidaya perikanan dan lain sebagainya. Dampak ekologis dari berkurangnya dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya beberapa fungsi ekologis dari mangrove seperti perubahan garis pantai karena erosi dan abrasi serta hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Dalam jangka panjang kerusakan ini akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya, serta secara tidak langsung juga akan berdampak bagi manusia yang beraktivitas di kawasan pesisir. Sebagai salah satu ekosistem di wilayah pesisir, hutan mangrove merupakan sebuah ekosistem yang unik dan rawan dengan fungsi ekologis dan ekonomisnya. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain sebagai pelindung garis pantai, mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta berperan dalam pengaturan iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonomisnya antara lain sebagai sumber penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri dan penghasil bibit. Salah satu fungsi ekologisnya yaitu sebagai pelindung garis pantai dari erosi dan abrasi. Salah satu bentuk adaptasi mangrove terhadap tanah yang kurang stabil serta adanya pasang surut dan gelombang adalah dengan cara mengembangkan struktur akar yang ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Struktur akar yang unik ini selain berfungsi untuk mengambil unsur hara, juga berfungsi untuk memperkokoh pohon dan menahan sedimen yang secara tidak langsung juga melindungi pantai dari pasang surut dan gelombang. Karena begitu pentingnya fungsi ini, pemerintah mewajibkan setiap daerah yang memiliki pantai untuk mempunyai sempadan pantai sebagaimana termaktub dalam UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil. Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, serta berjarak minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
3 – Wetlands International Indonesia Programme
Arti penting dari keberadaan hutan mangrove di daerah pesisir sudah diyakini secara luas di Indonesia, namun pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove saat ini masih belum didasarkan pada data dasar yang komprehensif dari sumberdaya mangrove tersebut, hingga mengakibatkan banyak hutan mangrove yang terdegradasi atau bahkan hilang sama sekali. Kurangnya data dan pengetahuan mengenai ekosistem mangrove merupakan salah satu masalah utama yang penting dalam pengelolaan mangrove di Indonesia. Sudah banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ekosistem mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Ekosistem mangrove tidak hanya menyediakan berbagai jenis produk hutan, tetapi juga beberapa fungsi lain yang sangat bermanfaat bagi manusia dan kelestarian lingkungan. Pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia dapat dilakukan atas dasar tiga isu utama yaitu isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan implementasi. Isu ekologi yang paling utama meliputi dampak ekologis akibat dari intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia dalam memanfaatkan sumber daya mangrove. Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove, dan koordinasi antar kementerian/lembaga yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah faktor penting untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan/kebijakan dan undang‐undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Kondisi saat ini adalah sudah cukup banyak perangkat hukum tersebut dibuat akan tetapi penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut yang masih belum maksimal. Terdapat dua konsep utama dalam pengelolaan dan pelestarian mangrove yang dapat diterapkan yaitu perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Salah satu upaya yang dapat dilakukan sebagai bentuk perlindungan hutan mangrove adalah dengan menunjuk kawasan hutan mangrove sebagai kawasan lindung, baik itu sebagai kawasan konservasi atau sabuk hijau di sempadan pantai dan sungai. Sementara itu dalam program rehabilitasi hutan mangrove, pemerintah lebih berperan sebagai mediator dan fasilitator (mengalokasikan dana melalui mekanisme yang ditetapkan), sementara masyarakat sebagai pelaksana yang mampu mengambil inisiatif. Saat ini, pola pengelolaan dengan melibatkan masyarakat cukup banyak dikembangkan, karena dengan memberdayakan masyarakat secara langsung, tentunya masyarakat juga akan merasa bertanggungjawab dengan program rehabilitasi tersebut. 1.2. Tujuan dan Manfaat Tujuan dari pembuatan tulisan ini secara umum adalah untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove yang berkaitan dengan salah satu fungsi ekosistem mangrove yaitu sebagai pelindung pantai. Adapun tujuan khusus dari pembuatan tulisan ini antara lain : 1) Mengidentifikasi kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove terkait fungsi ekosistem mangrove sebagai perlindungan pantai. 2) Mengidentifikasi celah dan faktor penghambat implementasi kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove terkait fungsi ekosistem mangrove sebagai perlindungan pantai. 4 – Wetlands International Indonesia Programme
3) Mengidentifikasi peluang intervensi terhadap kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove terkait fungsi ekosistem mangrove sebagai perlindungan pantai dan implementasinya. Isi dari tulisan ini selanjutnya akan digunakan oleh Proyek Mangrove Capital yang dikelola oleh Wetlands International untuk meningkatkan ketertarikan dan kesadaran pemerintah baik pusat maupun daerah dalam hal perlindungan pantai dengan berbasis pada ekosistem mangrove. 1.3. Ruang Lingkup Selaras dengan tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dalam pembuatan tulisan ini, maka tulisan ini dibuat dengan ruang lingkup sebagai berikut : 1) Mengkaji kebijakan nasional dan daerah terkait perlindungan pantai berbasis ekosistem mangrove. Kebijakan daerah yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Demak. 2) Kajian akan difokuskan kepada produk kebijakan dan dokumen perencanaan di tingkat nasional dan daerah yang terkait dengan perlindungan pantai berbasis ekosistem mangrove. 3) Tinjauan kebijakan diarahkan untuk melihat efektivitas implementasi kebijakan perlindungan pantai berbasis ekosistem mangrove, baik di tingkat nasional maupun daerah.
5 – Wetlands International Indonesia Programme
II. KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PESISIR DI INDONESIA 2.1. Pengembangan Produk Kebijakan Kebijakan memiliki fungsi penting dalam sebuah pemerintahan. Kebijakan merupakan suatu keputusan yang diambil untuk menghadapi situasi atau permasalahan, mengandung nilai‐nilai tertentu, memuat tentang tujuan, cara dan sarana untuk mencapainya. Terwujudnya sebuah kebijakan yang cepat, tepat dan memadai sangat tergantung pada proses pengembangan kebijakan itu sendiri. Kebijakan dibuat dan untuk dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, sehingga tanggung jawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya. Proses pembuatan sebuah kebijakan terdiri dari berbagai aktivitas yang cukup kompleks. Para ahli mengembangkan sejumlah kerangka untuk mempermudah dalam pemahaman proses kebijakan termasuk proses pembuatan kebijakan yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia. Berikut adalah proses pengembangan sebuah produk kebijakan di Indonesia seperti Undang‐Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah : 1) Penyusunan agenda : proses ini memiliki posisi yang sangat strategis dalam pengembangan sebuah kebijakan. Inti dari proses ini adalah memilih permasalahan publik yang paling mendesak diantara banyak permasalahan lain yang mendapat perhatian serius dari pejabat publik. Selanjutnya yaitu menentukan masalah‐ masalah apa yang akan diputuskan, masalah apa yang akan dibahas/ditangani oleh pemerintah. 2) Perumusan kebijakan : pengembangan usulan kebijakan untuk menyelesaikan dan memperbaiki masalah. Pemecahan masalah tersebut harus dipilih yang terbaik dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada serta dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. 3) Adopsi/legitimasi kebijakan : memilih usulan, mengembangkan dukungan untuk usulan terpilih, menetapkannya menjadi peraturan hukum, memutuskan konstitusionalnya. Termasuk dalam proses ini adalah implementasi dengan cara mengorganisasikan departemen dan badan, menyediakan semua kebutuhan untuk terlaksananya sebuah kebijakan. 4) Penilaian/evaluasi kebijakan : mengevaluasi substansi, implementasi dan dampak kebijakan kepada kelompok sasaran dan bukan bukan sasaran, apakah sebuah kebijakan efektif, mengusulkan perubahan bila kebijakan tidak efektif. Selain kebijakan yang berupa Undang‐Undang dan sejenisnya, di Indonesia juga terdapat kebijakan berupa dokumen perencanaan. Dokumen ini merupakan produk turunan dari kebijakan‐kebijakan lainnya. Sebagai contoh, UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menurunkan beberapa kebijakan berupa dokumen perencanaan seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana Strategis (Renstra), Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja). Selain itu, juga terdapat dokumen perencanaan tata ruang yang merupakan turunan dari UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). 6 – Wetlands International Indonesia Programme
2.2. Kebijakan Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove Landasan utama yang dijadikan sebagai bahan pemikiran dalam penetapan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove adalah 1) ekosistem mangrove yang memiliki fungsi sebagai sumber plasma nutfah, tempat pemijahan, pengasuhan dan tempat larva biota perairan, serta berfungsi juga sebagai perlindungan kawasan pesisir dari kerusakan dan pencemaran, dimana telah mengalami tekanan yang luar biasa sehingga mengalami degradasi yang sistematis; 2) sehingga diperlukan langkah lanjut dan upaya pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan untuk menjamin kelestarian ekosistem mangrove guna mendukung pelestarian lingkungan pesisir, kegiatan perikanan yang berkelanjutan, perlindungan pantai, wisata bahari dan keperluan ekonomi lainnya. Pada masa tahun 1980‐an hingga 1990‐an, perencanaan pembangunan di Indonesia memiliki persepsi yang salah mengenai nilai penting ekosistem mangrove yang dianggap mempunyai nilai instrinsik rendah. Kesalahan tersebut menyebabkan adanya kebijakan yang kurang tepat, dimana ekosistem mangrove lebih diarahkan untuk konservasi sebagai lahan produktif. Akan tetapi, saat ini paradigma pengelolaan mangrove telah berubah. Masyarakat dan pemerintah telah menyadari manfaat dari ekosistem mangrove yang sangat produktif dan bernilai ganda serta tidak tergantikan. Respon pemerintah terkait masalah ini adalah dengan mengeluarkan beberapa peraturan dalam berbagai tingkat yang terkait dengan pengelolaan pesisir. Berikut adalah beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan pesisir : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12)
UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 UU No.5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan‐Ketentuan Pokok Agraria UU No.5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan‐Ketentuan Pokok Kehutanan UU No.11 Tahun 1974 Tentang Perairan UU No.9 Tahun 1985 Tentang Perikanan UU No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU No.9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan UU No.7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah UU No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang UU No.27 Tahun 2007 Tentang Pesisir dan kelautan
13) 14) Selain itu, juga terdapat beberapa peraturan perundangan yang terkait khusus dengan pengelolaan mangrove. Peraturan yang paling relevan diantaranya adalah yang terkait dengan aturan mengenai kebijakan jalur hijau serta sistem areal perlindungan. Jalur hijau adalah sebuah zona perlindungan mangrove yang dipertahankan di sepanjang pantai dan dilarang untuk ditebang. Pada prinsipnya, jalur hijau ini difungsikan untuk mempertahankan pantai dari ancaman erosi serta untuk mempertahankan fungsi ekologis dari ekosistem mangrove, seperti sebagai tempat berkembangbiak dan berpijah berbagai biota perairan termasuk ikan. 7 – Wetlands International Indonesia Programme
Keebijakan peemerintah terkait jalur hijau dimu ulai pada tahun 1975 ssaat dikeluaarkannya SK K Dirjen Perikanan No. H.I/4 4/2/18/197 75 yang mengatur m tentang perlunya p m mempertaha ankan areall di sepanjaang pantai dengan leebar 400 m meter dari rata‐rata r paasang rendah. Kemudian diikuti oleh Dirjen n Kehutanaan yang meengeluarkan n SK No. 60 0/KPTS/DJ/I/1978 men ngenai pand duan silvikultur di perairan payau. Jalur hijau pada SK teersebut diteetapkan deengan lebarr 10 meterr di sepanjjang sungai dan 50 meter m di seepanjang paantai pada p pasang tereendah. Peerkembangaan berikutn nya yaitu pada p tahun n 1984, meenteri Pertaanian dan Menteri Keehutanan mengeluark m an Surat Keeputusan Bersama B No o. KB 550/2 246/KPTS/1984 dan No. 082/KPTTS‐II/1984 yang y mengaanjurkan un ntuk melesttarikan jalur hijau sele ebar 200 m meter sepan njang panttai, melarang penebaangan man ngrove di pulau Jawa, serta m menjaga keleestarian seeluruh ekossistem man ngrove yangg berada di pulau‐pullau kecil (lu uas pulau kurang dari 1 1.000 ha). Paada tahun 1 1990, pemeerintah men ngeluarkan UU No. 5 Taahun 1990 tentang Ko onservasi Su umber Dayya Alam Haayati dan Ekosistemny E ya yang diijadikan sebagai dasar dalam peembentukan sebuah kawasan menjadi m kaawasan kon nservasi. K Kawasan ekkosistem m mangrove ad dalah salah h satu dari kawasan yang y dapatt ditetapkan n sebagai kawasan k ko onservasi. P Pada tahun yang sama,, pemerintaah juga men ngeluarkan SK Presiden n No. 32 Taahun 1990 0 tentang Pengelolaan Kawasan n Lindung yang men nggantikan seluruh peeraturan seebelumnya mengenai jalur j hijau. Peraturan ini membeerikan perlin ndungan yaang lebih memadai terhadap t z zona jalur hijau, dimana disebu utkan bahw wa jalur m mangrove pa antai adalah h minimal 1 130 kali ratta‐rata pasaang yang diiukur ke araah darat daari titik tereendah pada saat surut.
n lebar semp padan panttai berdasarrkan peratu uran Gambarr 1. Ilustrasii penentuan peerundang‐un ndangan. Peeraturan berikutnya yang y secarra khusus mengatur mengenai jalur hijau u adalah In nmendagri N No. 26 Tahu un 1997 ten ntang Penettapan Jalur Hijau Hutan n Mangrove e. Dalam peeraturan in ni, penetap pan lebar jalur hijau u hutan mangrove m d diserahkan kepada gu ubernur daan bupati/w walikota di seluruh In ndonesia seesuai dengaan ketentuan yang beerlaku dan kkarakteristik di daerahnya masingg‐masing. Seelanjutnya, pada tahun n 2007 pem merintah menetapkan dua peratu uran yang berfokus b paada penataan ruang yaitu y UU No o. 26 Tahun n 2007 tenttang Penataan Ruang dan UU No. 27 Tahun 2007 ten ntang Pengeelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau u‐Pulau Keccil. Pada UU No. 26/2 2007, disebutkan bahw wa kawasan n pantai beerhutan bakkau dan sempadan paantai termaasuk dalam kategori kaawasan lind dung. Sementara, UU N No. 27/2007 secara 8 – Wetlands Internaational Indonesiaa Programme
detil memuat tentang batasan sempadan pantai yang memperkuat Keppres No. 32/1990. Selain itu, disebutkan pula mengenai kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan batas sempadan pantai yang disesuaikan dengan karakteristik daerah serta ketentuan mengenai fungsi perlindungan pantai dari erosi atau abrasi serta perlindungan terhadap ekosistem mangrove. Dalam UU No. 27/2007, secara jelas telah diatur pelarangan kegiatan merusak dan konversi ekosistem mangrove. Hal ini berarti kebijakan ini menjadi payung hukum untuk melawan kegiatan yang mengganggu dan merusak ekosistem mangrove. Terakhir, disebutkan pula bahwa mangrove dapat digunakan sebagai salah satu bagian dari kegiatan mitigasi bencana nonstruktur/nonfisik untuk melindungi wilayah pesisir. Pemerintah kembali mengeluarkan peraturan terkait penataan ruang pada tahun 2008 sebagai turunan dari UU No. 26 Tahun 2007, yaitu Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional. PP ini merupakan penegasan lebih lanjut dari kebijakan terdahulu mengenai kawasan sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau, yaitu Keppres No. 32/1990, UU No. 26/2007 dan UU No. 27/2007. Dalam kebijakan ini diatur mengenai status dari sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau sebagai kawasan lindung nasional serta kriteria penetapan kedua kawasan tersebut. Selain itu kebijakan ini juga mengatur arahan pengendalian pemanfaatan ruang melalui sistem zonasi, perijinan, pemberian insentif/disinsentif, dan sanksi. Pada tahun yang sama, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17 Tahun 2008 tentang Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil. Kebijakan kementerian ini menegaskan bahwa ekosistem pesisir dan sempadan pantai sebagai sebuah kawasan konservasi yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil secara berkelanjutan. Terkait dengan fungsi ekosistem mangrove sebagai bagian dari mitigasi bencana, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil menempatkan mangrove sebagai bagian penting dari mitigasi bencana pesisir. Vegetasi pantai termasuk mangrove dinilai memiliki peran yang cukup strategis dalam kebijakan ini, karena ditempatkan sebagai salah satu struktur/fisik untuk berbagai mitigasi bencana pesisir seperti tsunami, gelombang ekstrim, kenaikan paras muka air laut, erosi/abrasi pantai dan angin puting beliung. 2.3. Kebijakan Perlindungan Pesisir di Tingkat Daerah Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah selama ini sudah cukup terkoordinasi dan tersinkronisasi dengan baik, dimana dalam UU No. 27 Tahun 2007 diamanahkan agar pemerintah daerah mengeluarkan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota serta Peraturan Daerah yang sesuai dengan amanah undang‐undang tersebut dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil di daerahnya masing‐masing. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu melibatkan ekosistem dan sumber daya di darat, pesisir dan laut. Sejauh ini di Jawa Tengah, pemanfaatan sumber daya yang ada 9 – Wetlands International Indonesia Programme
di darat telah sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan tidak berbenturan dengan pemanfaatan yang ada di pesisir dan laut. Demikian juga pemanfaatan sumber daya yang ada di pesisir telah sesuai dengan UU No. 27 Tahun 2007 dan tidak bertentangan dengan pemanfaatan yang ada di darat dan laut. Terkait dengan pengelolaan di wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 9 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil di Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, sesuai amanah dari UU No. 27 Tahun 2007 telah disusun pula Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil Provinsi Jawa Tengah dengan Peraturan Gubernur No. 1 Tahun 2011. Terakhir, saat ini pemerintah provinsi Jawa Tengah sedang menyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil Provinsi Jawa Tengah dimana pada tahun 2013 akan ditindaklanjuti dengan penyusunan Peraturan Daerahnya. Dalam pemanfaatan sumber daya pesisir di Provinsi Jawa Tengah lebih diarahkan ke pemanfaatan sumber daya yang berwawasan lingkungan serta berpedoman pada peraturan‐peraturan pengelolaan wilayah pesisir. Hal ini telah ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah di kabupaten/kota di Jawa Tengah terkait pengelolaan sumber daya di wilayah pesisir dengan menyusun Renstra dan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil. Dengan tersusunnya dua dokumen tersebut diharapkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil tidak terjadi tumpang tindih pemanfaatan serta tetap terjaga kelestarian lingkungannya. Berikut adalah beberapa kebijakan terkait pengelolaan wilayah pesisir di Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Demak : 1) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 9 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil di Provinsi Jawa Tengah. 2) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009‐2029. 3) Peraturan Gubernur No. 1 Tahun 2011 tentang Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013‐2032. 4) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013‐2032. 5) Rencana Strategis Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008‐ 2013. 6) Peraturan Daerah Kabupaten Demak No. 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Demak Tahun 2011‐2031. 7) Rencana Strategis Wilayah Pesisir Kabupaten Demak Tahun 2011‐2031. Pantai utara Jawa Tengah dengan panjang garis pantai mencapai 591 km merupakan salah satu wilayah di Provinsi Jawa Tengah dengan beraneka ragam aktivitas di sektor perikanan dan kelautan. Seiring dengan perkembangan pembangunan di wilayah pesisir serta perubahan iklim yang terjadi, ekosistem wilayah pesisir mengalami degradasi yang cukup signifikan. Kerusakan di wilayah pesisir tersebut memberikan dampak yang nyata bagi kehidupan masyarakat pesisir. Berkurangnya ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang turut berperan dalam mengakibatkan
10 – Wetlands International Indonesia Programme
abrasi/erosi yang berdampak negatif bagi masyarakat seperti hilangnya lahan tambak, lahan pertanian, area permukiman dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil kajian Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011, diketahui bahwa total luas kerusakan pantai akibat abrasi/erosi di pantai utara Jawa Tengah adalah sebesar 6.566,97 ha. Abrasi/erosi paling besar di daerah tersebut terjadi di Kabupaten Brebes dengan luas mencapai 2.115,39 ha dan Kabupaten Demak dengan luas 1.016,22 ha. Data juga menunjukkan bahwa kecamatan dengan tingkat kerusakan tertinggi akibat abrasi/erosi di pantai utara Jawa Tengah adalah Kecamatan Sayung dengan luas mencapai 935,18 ha.
Gambar 2. Ilustrasi perubahan garis pantai di Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak pada periode tahun 2003 – 2012. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah memiliki beberapa kebijakan terkait perlindungan pesisir, khususnya mengenai sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau/mangrove. Melalui Perda No. 9 Tahun 2009, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menetapkan batas sempadan pantai minimal 100 meter dari titik garis pantai saat pasang tertinggi ke arah darat dengan mengacu pada karakteristik wilayahnya. Penetapan juga diatur untuk memperhatikan faktor rawan bencana, perlindungan ekosistem pesisir, akses publik, fungsi dan pengelolaan/pemanfaatan sempadan pantai. Pada salah satu pasal mengenai perizinan, disebutkan bahwa pemanfaatan daerah sempadan pantai tidak boleh dilakukan kecuali terkait langsung dengan pemanfaatan perairan pesisir.
11 – Wetlands International Indonesia Programme
Sementara itu dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009‐ 2029, kawasan sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau/mangrove yang termasuk dalam kategori kawasan perlindungan setempat ditetapkan sebagai kawasan lindung. Kabupaten/kota yang memiliki kawasan sempadan pantai di Provinsi Jawa Tengah antara lain Cilacap, Kebumen, Purworejo, Wonogiri, Rembang, Pati, Jepara, Demak, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Kota Semarang, Kota Pekalongan dan Kota Tegal. Sedangkan untuk daerah yang memiliki kawasan pantai berhutan bakau/mangrove tidak disebutkan secara spesifik, hanya tertulis tersebar di Kabupaten/Kota di wilayah pesisir. Penetapan kawasan sempadan pantai dan kawasan berhutan bakau/mangrove di Provinsi Jawa Tengah juga diperkuat melalui dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil Provinsi Jawa Tengah yang rencananya akan ditetapkan pada tahun 2013 ini. Pada bagian arahan pemanfaatan pola ruang, terdapat pembagian peran antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam kewenangan dan pengelolaan kawasan sempadan pantai. Pemerintah provinsi memiliki kewenangan untuk menetapkan pedoman penyelenggaraan penanganan abrasi, erosi, sedimentasi, produktifitas lahan pada daerah aliran sungai lintas kabupaten/kota hingga kawasan pesisir/pantai. Sementara itu, pemerintah kabupaten/kota diharapkan untuk menyelenggarakan pengendalian pemanfaatan sempadan pantai melalui penetapan larangan pemanfaatan kawasan dan persyaratan teknis ekologis budidaya yang diijinkan sesuai peraturan perundangan yang berlaku, serta pemantauan, pengawasan dan penertiban pemanfaatan kawasan yang berdampak pada penurunan fungsi perlindungan pantai. Untuk kawasan pantai berhutan bakau, dalam arahan pemanfaatan pola ruang zonasi wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil Provinsi Jawa Tengah, pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk menetapkan zonasi kawasan pantai berhutan bakau dan melakukan pembinaan dan pengawasan serta peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan perlindungan dari pencemaran. Sedangkan, pemerintah kabupaten/kota memiliki peran untuk mengumumkan kepada seluruh pelaku pembangunan di kawasan pantai berhutan bakau/mangrove dan melakukan pengawasan pemanfaatan ruang dan sumber daya di kawasan pantai berhutan bakau/mangrove. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah dalam dokumen Rencana Strategisnya untuk periode tahun 2008‐2013 menyusun beberapa program yang terkait dengan kawasan sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau/mangrove. Program tersebut berfokus pada perlindungan, konservasi, rehabilitasi dan pemulihan sumber daya alam wilayah pesisir. Beberapa sasaran yang ingin dicapai dari program tersebut antara lain 1) rehabilitasi wilayah pesisir yang terkena abrasi dengan pemasangan APO (alat pemecah ombak) dan penanaman mangrove, 2) rehabilitasi dan konservasi ekosistem vital di wilayah pesisir melalui penanaman mangrove dan transplantasi karang, dan 3) terbentuknya alternatif usaha yang tidak bertumpu pada eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan. Pemerintah Kabupaten Demak telah menetapkan lokasi kawasan sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau sebagai bagian dari kawasan perlindungan setempat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Demak No. 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Demak Tahun 2011‐2031. Pada pasal 40, disebutkan lokasi 12 – Wetlands International Indonesia Programme
kawasan sempadan pantai yang telah ditetapkan yaitu Kecamatan Sayung (luas 46 ha), Kecamatan Karangtengah (luas 24 ha), Kecamatan Bonang (luas 33 ha) dan Kecamatan Wedung (luas 157 ha). Sementara itu, kawasan pantai berhutan bakau/mangrove yang ditetapkan terletak di sepanjang pesisir Kecamatan Sayung (luas 22 ha), Kecamatan Karangtengah (luas 12 ha), Kecamatan Bonang (luas 14 ha) dan Kecamatan Wedung (luas 45 ha). Untuk kawasan sempadan pantai, pemerintah Kabupaten Demak mengarahkan perlindungan sempadan pantai melalui penetapan batas sempadan pantai, pengelolaan kawasan tanah timbul, penetapan batas kawasan pasut dan penghijauan. Sedangkan untuk kawasan pantai berhutan bakau/mangrove melalui pemeliharaan kawasan hutan bakau/mangrove dan penghijauan. Secara lebih rinci, dalam dokumen RTRW tersebut terdapat peraturan zonasi pada kawasan sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau/mangrove. Berikut adalah ketentuan peraturan zonasi pada kawasan sempadan pantai : 1) Diizinkan melakukan penghijauan hutan bakau di kawasan sempadan pantai yang telah rusak 2) Diizinkan melakukan kegiatan yang mampu melindungi atau memperkuat perlindungan kawasan sempadan pantai dari abrasi dan infiltrasi air laut ke dalam tanah, dan 3) Mengatur kegiatan dan/atau usaha‐usaha kelautan yang diperbolehkan di kawasan sempadan pantai meliputi pelabuhan, tempat pelelangan ikan, tower penjaga keselamatan pengunjung pantai dan/atau kegiatan lain yang membutuhkan lokasi di tepi pantai. Sementara itu, peraturan zonasi pada kawasan pantai berhutan bakau disusun dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut : 1) Diizinkan melakukan penanaman bibit bakau 2) Dilarang melakukan alih fungsi lahan baik untuk kawasan budidaya tambak maupun permukiman 3) Dilarang penebangan liar hutan bakau dan memfasilitasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam melestarikan hutan bakau, dan 4) Dilarang melakukan pembuangan limbah industri yang dapat merusak wilayah pesisir. Pemerintah Kabupaten Demak juga secara khusus memperhatikan pengelolaan ekosistem mangrove sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Strategis Wilayah Pesisir Kabupaten Demak. Dalam dokumen tersebut, isu pengelolaan ekosistem mangrove termasuk ke dalam beberapa isu pengelolaan yang menjadi strategi pengelolaan dan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Demak. Berikut adalah isu terkait pengelolaan mangrove dalam Renstra pesisir Kabupaten Demak : 1) Rendahnya penataan dan penegakan hukum. Beberapa masalah yang sering timbul berkaitan dengan rendahnya ketaatan dan penegakan hukum, antara lain banyaknya nelayan yang menangkap ikan dengan alat yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak dan racun, serta perambahan hutan mangrove secara illegal di daerah jalur hijau (green belt). Salah satu strategi yang dilakukan untuk isu ini adalah mengintensifkan 13 – Wetlands International Indonesia Programme
sosialisasi/konsultasi publik terhadap produk hukum dengan sasaran untuk mengurangi jumlah kasus perusakan lingkungan dan pelanggaran hukum terkait pemanfaatan sumber daya alam wilayah pesisir. 2) Degradasi habitat mangrove dan permasalahan tata ruang. Mangrove merupakan salah satu habitat penting di sepanjang pantai Kabupaten Demak. Penurunan luas hutan mangrove di Demak disebabkan oleh konversi lahan, pengelolaan tambak tidak ramah lingkungan, tidak ada kebijakan mengenai penguasaan dan pemanfaatan lahan pesisir di desa, dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mangrove. Beberapa strategi yang dikembangkan terkait masalah ini adalah mengembangkan pola pemanfaatan hutan mangrove berwawasan lingkungan dan pengembangan program pengelolaan tambak rakyat yang berwawasan lingkungan. Sasaran yang ingin dicapai dari strategi ini adalah terwujudnya pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari dan berkelanjutan dalam upaya menunjang kehidupan dan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. 3) Erosi/abrasi yang cukup parah di wilayah pesisir barat Kabupaten Demak. Pemerintah Kabupaten Demak menyadari bahwa beberapa penyebab utama dari tingginya tingkat erosi/abrasi di pesisir Demak adalah makin menipisnya sabuk hijau/mangrove sebagai perisai pantai dan adanya konversi lahan mangrove dan sempadan pantai untuk kegiatan pertambakan. Beberapa strategi yang disiapkan pemerintah untuk menangani masalah ini antara lain pengkajian tingkat kekritisan lahan dan abrasi di kawasan pantai yang terkena bencana, membangun bangunan pelindung pantai yang sesuai dengan karakter dan kondisi setempat, penegakan hukum tentang pemanfaatan lahan sempadan pantai yang tidak sesuai dengan tata ruang, dan mengkombinasikan bangunan pantai dengan penanaman mangrove. Sasaran utama dari strategi ini adalah adanya bangunan pelindung pantai untuk menangkap sedimen dan tertatanya kembali hutan mangrove di kawasan pantai yang terdegradasi. Kebijakan di tingkat daerah di Kabupaten Demak sudah mencapai tingkat pemerintah desa. Di tahun 2013 ini, pemerintah Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak sedang menyusun draft Peraturan Desa Timbulsloko mengenai Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut Desa Timbulsloko. Dalam rancangan Perdes tersebut, dijelaskan bahwa wilayah sepanjang pesisir pantai Desa Timbulsloko adalah lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan perlindungan pantai. Pada kawasan tersebut, diatur larangan yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan, salah satu diantaranya yaitu larangan menebang pohon mangrove di kawasan Desa Timbulsloko. Pelaksanaan dari peraturan itu sendiri menjadi tanggung jawab dari Pemerintah Desa Timbulsloko dimana setiap anggota masyarakat desa memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk terlibat dalam pelaksanaan dan pengawasan dari peraturan tersebut.
14 – Wetlands International Indonesia Programme
III. ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE SEBAGAI PERLINDUNGAN PESISIR DI INDONESIA Sebagai salah satu negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang di dunia dan sekitar seperempat penduduknya berdomisili di wilayah pesisir, menjadikan wilayah pesisir Indonesia sebagai salah satu pusat kegiatan ekonomi yang paling produktif bila ditinjau dari sumber daya alamnya baik hayati maupun non hayati. Setelah dikeluarkannya Undang‐Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengelola wilayah laut, pesisir dan pulau‐ pulau kecil dalam radius 12 mil di garis pantai di wilayah administrasinya. Adanya kewenangan pengelolaan di masing‐masing daerah ini memunculkan potensi terjadinya pemanfaatan yang berlebihan sehingga dapat merusak wilayah laut, pesisir dan pulau‐pulau kecil bila pengelolaannya tidak diatur secara khusus melalui undang‐ undang. Oleh karena itu, pada tahun 2007 diterbitkan Undang‐Undang No. 27 Tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil. Berdasarkan beberapa literatur, terdapat ketentuan dan peraturan dari tingkat internasional hingga nasional yang telah memberikan perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil. Secara khusus, konsep dasar perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil menurut UU No. 27/2007 adalah memberikan perlindungan mulai dari perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasan dan pengendalian. Undang‐undang tersebut telah memberikan batas yang jelas dan tegas mengenai berbagai definisi ruang lingkup pengelolaan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil. Kewenangan pemerintah terhadap wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil telah dilandasi dengan berbagai asas mulai dari prinsip dasar perlindungan secara umum sampai dengan asas‐asas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil. Hal ini menunjukkan bahwa secara normatif peraturan perundang‐undangan di Indonesia telah memberikan perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil, serta telah memberikan batasan kewenangan yang jelas antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. 3.1. Kelembagaan Pengelola Mangrove Kelestarian ekosistem mangrove sebagai bagian penting dari keberlangsungan wilayah pesisir di Indonesia saat ini masih terus terancam. Beberapa kebijakan terkait pengelolaan mangrove sudah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Akan tetapi, seiring dengan lahirnya beberapa kebijakan tersebut, sejumlah masalah terkait perusakan ekosistem mangrove masih terus berlangsung. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh adanya tumpang tindih kebijakan pada sektor yang sama, sehingga kebijakan tidak dapat diimplementasikan dengan baik. Seperti diketahui, selama ini terjadi tumpang tindih kewenangan antar instansi pemerintah dalam pengelolaan hutan mangrove. Kementerian Dalam Negeri memberi perhatian kepada kawasan mangrove dari sisi kelembagaan pemerintah yang mengelola kawasan. Kementerian Kehutanan melihat hutan mangrove dari sudut pandang kehutanan. Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki tugas pokok dan fungsi yang menyangkut sumber daya pesisir, termasuk di dalamnya adalah mangrove. Di sisi lain, Kementerian Lingkungan Hidup ikut terlibat karena
15 – Wetlands International Indonesia Programme
kerusakan mangrove menjadi salah satu kriteria baku kerusakan ekosistem dan merupakan instrumen pencegahan dan indikator pencemaran. Akan tetapi, akhir‐akhir ini cara pandang terhadap pengelolaan mangrove di Indonesia mulai berubah. Ekosistem mangrove sudah dilihat sebagai sesuatu yang sangat bermanfaat, produktif, bernilai dan tidak tersulihkan. Menyadari hal tersebut, beberapa instansi pemerintah seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, BAPPENAS, serta lembaga lain dari unsur perguruan tinggi dan LSM memberikan perhatian lebih terhadap mangrove. Saat ini, instansi‐instansi dan lembaga‐lembaga tersebut telah membentuk tim Kelompok Kerja Mangrove Nasional (KKMN) untuk menyikapi segala hal yang terkait dengan mangrove, seperti isu dan masalah yang sedang menonjol dan mendesak untuk dicari solusinya, serta koordinasi antar instansi dan kelembagaan yang perlu diperkuat. 3.2. Muatan Kebijakan Pengelolaan Mangrove Sebagai Perlindungan Pesisir Kebijakan pemerintah terkait pengelolaan mangrove dan perlindungan pesisir di Indonesia saat ini sudah cukup banyak tersedia, baik itu berupa Undang‐Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri maupun dokumen Rencana Strategis Pemerintah/Kementerian. Kebijakan‐kebijakan tersebut mengkaji isu pengelolaan mangrove dan perlindungan pesisir dari berbagai sisi diantaranya yaitu definisi sempadan pantai dan pantai berhutan bakau, kawasan konservasi, kewenangan pengelolaan, penataan ruang, lingkungan, mitigasi bencana, rehabilitasi dan rencana strategis. 3.2.1. Definisi Sempadan Pantai dan Pantai Berhutan Bakau/Mangrove Seperti sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa dimulai pada tahun 1970an telah dikeluarkan kebijakan yang terkait dengan jalur hijau atau sempadan pantai dan pantai berhutan bakau. Kebijakan‐kebijakan dimaksud antara lain adalah SK Dirjen Perikanan No. H.I/4/2/18/1975, SK No. 60/KPTS/DJ/I/1978, serta Surat Keputusan Bersama No. KB 550/246/KPTS/1984 dan No. 082/KPTS‐II/1984. Pada tahun 1990 melalui Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, pemerintah menetapkan definisi sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau secara jelas dan spesifik, serta menggantikan definisi pada kebijakan‐kebijakan sebelumnya. Berikut adalah definisi dari sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau menurut Keppres No. 32/1990 : Pasal 14 : kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Pasal 27 : kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata‐ rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. Selain itu, dalam Keppres 32/1990 juga diatur mengenai bentuk perlindungan bagi sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau. Perlindungan sempadan pantai bertujuan untuk menjaga pantai sehingga fungsi pantainya tetap lestari. Hal ini memberikan batasan yang jelas bahwa kebijakan ini melindungi sempadan pantai dari 16 – Wetlands International Indonesia Programme
semua bentuk kegiatan yang dapat menyebabkan perubahan dari fungsi pantai baik secara ekologis maupun ekonomisnya. Sementara itu, salah satu tujuan spesifik dari perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau adalah untuk menjaga fungsi kawasan ini sebagai pelindung pantai dan pengikisan laut (erosi/abrasi). Definisi dan penetapan sempadan pantai juga terdapat dalam Undang‐Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil. Kebijakan ini memperkuat definisi sempadan pantai yang sudah disebutkan pada Keppres No. 32/1990, bahkan menambahkan beberapa kriteria yang sangat spesifik diantaranya yaitu pengukuran lebar sempadan pantai harus memperhatikan bentuk dan kondisi fisik pantai dan fungsinya sebagai perlindungan pantai dari erosi atau abrasi. Berikut adalah definisi sempadan pantai berdasarkan UU No. 27/2007 : Pasal 1 : sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Pasal 31 ayat 1 : pemerintah daerah menetapkan batas sempadan pantai yang disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidro‐oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain. Pasal 31 ayat 2 : penetapan batas sempadan pantai mengikuti ketentuan : a) perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami; b) perlindungan pantai dari erosi atau abrasi; c) perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari badai, banjir, dan bencana alam lainnya; d) perlindungan terhadap ekosistem pesisir seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria dan delta; e) pengaturan akses publik; serta f) pengaturan untuk saluran air dan limbah. UU No. 27/2007 sudah lebih jelas dalam mendefinisikan sempadan pantai dan penetapan batasnya secara lebih spesifik. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki misi yang jelas dalam perlindungan ekosistem mangrove. Disamping itu, kebijakan ini menjadi payung hukum yang jelas karena memuat pengaturan larangan terhadap kegiatan merusak ekosistem mangrove, konversi ekosistem mangrove dan penebangan mangrove di kawasan konservasi. Munculnya undang‐undang ini juga sebagai bentuk antisipasi pemerintah terhadap Undang‐Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam di daerahnya masing‐masing. Implikasi negatif dari otonomi ini adalah apabila daerah berlomba untuk mengeksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan prinsip‐prinsip pembangunan yang berkelanjutan maka tekanan bagi wilayah pesisir termasuk ekosistem mangrove akan semakin meningkat. Kebijakan berikutnya yang mengatur tentang definisi dan penetapan sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau adalah Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Definisi yang tertuang dalam PP No. 26/2008 tersebut memperkuat definisi sebelumnya yang terdapat pada Keppres No. 32/1990 dan UU No. 27/2007. Berikut adalah pasal‐pasal terkait sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau dalam PP No. 26/2008 :
17 – Wetlands International Indonesia Programme
Pasal 56 ayat 1 : sempadan pantai ditetapkan dengan kriteria : a) daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau b) daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai. Pasal 57 ayat 5 : kawasan pantai berhutan bakau ditetapkan dengan kriteria koridor di sepanjang pantai dengan lebar paling sedikit 130 (seratus tiga puluh) kali nilai rata‐rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan, diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya kebijakan‐kebijakan tersebut di atas juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya yaitu : 1) Kebijakan tidak dapat diterapkan pada area yang saat ini tidak lagi ditumbuhi oleh mangrove karena adanya pemanfaatan atau konversi lahan. Sehingga perlu disesuaikan menjadi area yang pada awalnya memiliki vegetasi mangrove. 2) Penentuan jalur hijau di pantai‐pantai yang relatif datar atau dataran lumpur yang luas berdasarkan kebijakan ini tidak dapat digunakan secara efektif. Hal ini disebabkan karena lebar jalur hijau yang dihitung dari titik terendah saat air surut hanya akan berupa dataran lumpur saja dan tidak mencakup ke hutan mangrovenya. Hal ini dapat diantisipasi dengan menentukan definisi pengukuran dari hutan mangrove terluar dan paling dekat laut. 3) Bentuk perlindungan terhadap mangrove masih mengesampingkan adanya ikatan ekologis ekosistem mangrove dengan komponen sekitarnya seperti mangrove daratan, kawasan rawa dan sumber air tawar. Perlindungan terhadap ekosistem pendukung secara terpadu akan lebih menjamin kelangsungan hidup jalur hijau tersebut. 3.2.2. Ekosistem Mangrove Sebagai Kawasan Konservasi Kebijakan pemerintah yang melihat ekosistem mangrove sebagai sebuah kawasan konservasi telah dimulai pada tahun 1990 ketika dikeluarkannya Undang‐Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kebijakan tersebut digunakan sebagai dasar dalam pembentukan sebuah kawasan menjadi kawasan konservasi dimana ekosistem mangrove adalah salah satu kawasan yang banyak ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Akan tetapi, UU No. 5/1990 ini lebih berfokus pada sumber daya alam dan ekosistem di kawasan daratan, dan hanya sedikit yang di kawasan pesisir dan laut, termasuk mengenai kawasan ekosistem mangrove. Pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Terdapat perbedaan klasifikasi bagi kawasan pantai berhutan bakau dan sempadan pantai dalam Keppres No. 32/1990 dengan UU No. 5/1990. Dalam UU No. 5/1990 kedua kawasan tersebut dikategorikan sebagai kawasan konservasi, sementara di dalam Keppres No. 32/1990 dimasukan sebagai kawasan lindung sebagaimana tertulis pada pasal‐pasal berikut : Pasal 3 : kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 meliputi 1) kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, 2) kawasan perlindungan
18 – Wetlands International Indonesia Programme
setempat, 3) kawasan suaka alam dan cagar budaya, 4) kawasan rawan bencana alam. Pasal 5 : kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari 1) sempadan pantai, 2) sempadan sungai, 3) kawasan sekitar danau/waduk, 4) kawasan sekitar mata air. Pasal 6 : kawasan suaka alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari 1) kawasan suaka alam, 2) kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, 3) kawasan pantai berhutan bakau, 4) taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, 5) kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. Pengklasifikasian yang sama dengan Keppres No. 32/1990 juga tertuang dalam Undang‐Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam kebijakan yang mengatur penataan ruang ini, kawasan pantai berhutan bakau dan sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan lindung serta dimanatkan untuk dijadikan sebagai bagian dalam penataan ruang suatu wilayah. Pada tahun 2007, diterbitkan kebijakan berupa Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 mengenai Konservasi Sumber Daya Ikan. Kebijakan tersebut mendeskripsikan bahwa konservasi ekosistem dilakukan pada semua tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan, dimana salah satunya adalah ekosistem mangrove. Karena itulah, bersama dengan ekosistem lainnya yang terkait dengan sumber daya ikan, ekosistem mangrove dapat juga ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan. Hal ini menunjukkan bahwa mangrove memiliki nilai penting sehingga diatur dalam kebijakan untuk dilindungi dalam konservasi ekosistem mangrove itu sendiri atau terintegrasi dalam kawasan konservasi perairan. Kebijakan pemerintah yang khusus mengatur tentang kawasan konservasi di wilayah pesisir adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17 Tahun 2008 mengenai Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil. Kebijakan ini menegaskan bahwa ekosistem pesisir dan sempadan pantai sebagai sebuah kawasan konservasi yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil secara berkelanjutan. Permen KP No. 17/2008 ini juga menyebutkan pengajuan usulan kawasan konservasi dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok masyarakat, perguruan tinggi, lembaga penelitian, badan hukum, pemerintah atau pemerintah daerah kepada Bupati/Walikota, Gubernur atau Menteri. Pada prosesnya, kawasan konservasi akan dicadangkan oleh pemerintah daerah dan ditetapkan sebagai kawasan konservasi nasional oleh Kementerian. Pada pasal 4 peraturan ini, pembagian kawasan konservasi pesisir dan pulau‐pulau kecil dibagi menjadi Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau‐ Pulau Kecil (KKP3K), Kawasan Konservasi Maritim (KKM), Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan sempadan pantai. 3.2.3. Kewenangan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pengelolaan ekosistem mangrove sebagai jalur hijau telah diamanatkan kepada pemerintah daerah melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 1997 tentang penetapan jalur hijau mangrove. Kebijakan tersebut menginstruksikan kepada seluruh gubernur dan bupati/walikota di Indonesia untuk melakukan penetapan jalur hijau 19 – Wetlands International Indonesia Programme
hutan mangrove di wilayahnya masing‐masing. Penetapan kawasan jalur hijau oleh pemerintah daerah ini dapat mengikuti Keppres No. 32/1990 atau pemerintah daerah dapat menentukan sendiri sesuai karakteristik daerahnya dengan tetap mengacu kepada peraturan perundangan yang berlaku. Secara umum, kewenangan dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam pemanfaatan sumber daya alam telah diatur dalam Undang‐Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 17 dalam undang‐undang ini menyebutkan bahwa kewenangan pemerintah daerah dalam pemanfaatan sumber daya alam meliputi pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, pelestarian dan perijinan. Sementara itu, di Pasal 18 didefinisikan bahwa wilayah kelola laut kewenangan provinsi adalah 12 mil laut dari garis pantai ke arah laut lepas, dan sepertiganya adalah wilayah kelola laut kewenangan kabupaten/kota. UU 32/2004 menegaskan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan dan tanggungjawab dalam pengelolaan sumber daya alam dimana salah satunya adalah pelestarian. Terkait dengan wilayah pesisir, kebijakan ini mengatur bahwa daerah pesisir sebagian besar termasuk ke dalam wilayah pengelolaan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Implikasi negatif dari otonomi ini adalah apabila daerah berlomba untuk mengeksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan prinsip‐prinsip pembangunan yang berkelanjutan maka tekanan bagi wilayah pesisir akan semakin meningkat. Kondisi ini juga memunculkan peluang terjadinya konflik normatif pengelolaan dengan Undang‐Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil. Pasal 31 UU No.27 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pemerintah daerah dapat menetapkan batas sempadan pantai yang disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidro‐oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain. Salah satu ketentuan dalam penetapan batas sempadan pantai yaitu perlindungan pantai dari erosi atau abrasi dan perlindungan terhadap ekosistem pesisir seperti mangrove. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah memiliki misi yang jelas dalam perlindungan pantai dan mangrove, dan sudah seharusnya kebijakan ini dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah daerah yang memiliki wewenang di wilayah administrasinya masing‐masing. 3.2.4. Ekosistem Mangrove dalam Penataan Ruang Penataan ruang adalah suatu sistem proses yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Definisi tersebut dituangkan dalam Undang‐Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian dalam tata ruang adalah proses yang saling terkait satu sama lain dan tahapan yang diatur untuk mencapai pengelolaan ruang secara bijaksana, berdaya guna dan berhasil guna sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya. UU No. 26/2007 mengklasifikasikan penataan ruang berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan dan nilai strategis kawasan. Kawasan pantai berhutan bakau dan sempadan pantai tidak disebutkan secara khusus dalam undang‐undang ini, akan tetapi kedua kawasan tersebut termasuk dalam kategori kawasan lindung, dimana kawasan lindung bersama dengan kawasan budidaya termasuk dalam klasifikasi penataan ruang berdasarkan fungsi utama 20 – Wetlands International Indonesia Programme
kawasan. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan merupakan komponen dalam penataan ruang baik yang dilakukan berdasarkan wilayah administratif, kegiatan kawasan, maupun nilai strategis kawasan. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan pantai berhutan bakau dan sempadan pantai yang termasuk dalam kategori hutan lindung diamanatkan oleh kebijakan ini untuk dijadikan sebagai bagian dalam penataan ruang sebuah wilayah. Khusus untuk penataan ruang di wilayah pesisir dan lautan, pemerintah mengaturnya melalui Undang‐Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil. Seperti halnya penataan ruang, proses pengelolaan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil juga meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau‐pulau kecil. Dalam kaitannya dengan ekosistem mangrove sebagai bagian dari ekosistem pesisir dan pulau‐pulau kecil, UU No. 27 Tahun 2007 mengisyaratkan bahwa untuk kepentingan konservasi maka sebagian wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil dengan kategori tertentu dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Di Pasal 35, undang‐ undang ini secara tegas melarang kegiatan yang berpotensi mengganggu ekosistem mangrove seperti menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil; melakukan konversi ekosistem mangrove di kawasan atau zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis pesisir dan pulau‐pulau kecil; menebang mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain. Kebijakan ini menjadi payung hukum yang jelas bagi kegiatan‐ kegiatan yang mengganggu atau merusak kawasan ekosistem mangrove. Dalam pedoman perencanaan tata ruang kawasan reklamasi pantai yang diatur melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 40 Tahun 2007, pada dasarnya kegiatan reklamasi pantai tidak dianjurkan, namun dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa ketentuan dimana salah satunya adalah berada di luar kawasan hutan bakau yang merupakan bagian dari kawasan lindung. Pada tahun 2008, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Dalam peraturan tersebut, sempadan pantai termasuk dalam kawasan perlindungan setempat dan kawasan pantai berhutan bakau termasuk dalam kategori kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya. Kawasan perlindungan setempat dan kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya adalah salah satu kategori dari kawasan lindung nasional. Hal ini menegaskan status dari sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau sebagai bagian dari kawasan lindung nasional. PP No. 26/2008 secara khusus mengatur zonasi untuk sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau pada Pasal 100 dan 101. Peraturan zonasi untuk sempadan pantai disusun dengan memperhatikan : a) pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; b) pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi; c) pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai; d) ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c; dan e) ketentuan pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan. Sementara itu, peraturan zonasi untuk kawasan pantai 21 – Wetlands International Indonesia Programme
berhutan bakau disusun dengan memperhatikan : pemanfaatan ruang untuk kegiatan pendidikan, penelitian, dan wisata alam; ketentuan pelarangan pemanfaatan kayu bakau; dan ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat mengubah mengurangi luas dan/atau mencemari ekosistem bakau. Kebijakan ini juga mengatur arahan pengendalian pemanfaatan ruang melalui sistem zonasi, perijinan, pemberian insentif/disinsentif dan sanksi. Terkait peraturan zonasi untuk sempadan pantai, salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ini sudah memberikan perhatian lebih terhadap fungsi sempadan pantai sebagai pelindung dari abrasi/erosi. Dalam peraturan zonasi juga ditekankan untuk melarang semua bentuk kegiatan yang dapat mengubah luas, nilai ekologis dan estetika serta mencemari kawasan. 3.2.5. Ekosistem Mangrove dan Kerusakan Lingkungan Dari sisi lingkungan, terdapat beberapa kebijakan pemerintah terkait ekosistem mangrove yang melihat fungsi atau jasa ekosistem mangrove terhadap lingkungan di sekitarnya. Beberapa diantaranya yaitu terkait kegiatan reklamasi pantai, pencegahan kerusakan lingkungan, ganti rugi kerusakan lingkungan dan analisis dampak lingkungan. Reklamasi pantai merupakan sebuah proses membuat daratan baru pada suatu daerah perairan/pesisir pantai. Kegiatan reklamasi di wilayah pantai dapat menimbulkan dampak negatif bagi kondisi lingkungan di sekitar area reklamasi. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 40 Tahun 2007 mengenai Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai mengatur bahwa apabila akan dilakukan kegiatan reklamasi pantai maka kegiatan tersebut harus dilaksanakan di luar kawasan hutan mangrove yang menjadi bagian dari kawasan lindung. Melalui Undang‐Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah telah menyiapkan salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup, yaitu kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Kebijakan ini mengatur instrumen‐instrumen yang digunakan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah salah satu bentuk instrumen dari pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup dalam rangka pelestarian lingkungan hidup. Kriteria baku kerusakan ekosistem yang salah satunya adalah kriteria baku kerusakan mangrove dapat dijadikan sebagai bagian dari faktor penentuan status kerusakan lingkungan hidup. UU No. 32/2009 menghasilkan kebijakan turunan yang masih terkait dengan lingkungan dan ekosistem mangrove. Beberapa diantaranya yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup dan No. 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Menurut Permen LH No. 13/2011, salah satu jenis kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup adalah kerugian ekosistem. Saat lingkungan hidup menjadi tercemar dan/atau rusak, maka akan muncul berbagai dampak 22 – Wetlands International Indonesia Programme
lingkungan hidup yang merupakan akibat dari tercemarnya ekosistem dan/atau kerusakan ekosistem. Semua dampak pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan tersebut harus dihitung nilai ekonominya, sehingga diperoleh nilai kerugian lingkungan secara lengkap. Kerusakan ekosistem hutan mangrove mengakibatkan fungsi sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak berkurang, kapasitas hutan sebagai tempat pemijahan dan pengusaha ikan menurun, serapan karbon oleh hutan mangrove juga berkurang. Kerusakan ekosistem hutan mangrove harus dihitung nilainya untuk kemudian diajukan sebagai biaya ganti rugi akibat kerusakan ekosistem. Kebijakan ini bertujuan memberikan pedoman bagi para pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup untuk mencapai kesepakatan dalam melakukan penghitungan dan pembayaran ganti kerugian serta untuk melaksanakan tindakan tertentu akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Sementara itu, Permen LH No. 5/2012 memberikan batasan bagi jenis usaha atau kegiatan yang dapat menimbulkan perubahan terhadap rona lingkungan dan menyebabkan dampak terhadap lingkungan hidup. Batasan tersebut berupa kewajiban melakukan AMDAL sebelum keputusan penyelenggaraan usaha/kegiatan. Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup di bidang perikanan dan kelautan diantaranya adalah budidaya tambak ikan/udang. Salah satu alasan kenapa kegiatan tersebut harus memiliki amdal adalah rusaknya ekosistem mangrove yang menjadi tempat pemijahan dan pertumbuhan ikan (nursery areas) akan mempengaruhi tingkat produktivitas daerah setempat. 3.2.6. Ekosistem Mangrove sebagai Bagian dari Mitigasi Bencana Indonesia merupakan salah satu negara dengan intensitas bencana alam yang cukup tinggi. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa langkah mitigasi bencana yang diharapkan mampu mencegah atau mengurangi dampak dari bencana alam yang mungkin terjadi. Ekosistem mangrove juga turut berperan dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir. Kebijakan pemerintah mengenai peran ekosistem mangrove dalam mitigasi bencana terdapat pada Undang‐Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil dan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil. Dalam UU No. 27/2007 diatur mengenai kegiatan mitigasi bencana terhadap kegiatan yang berpotensi merusak wilayah pesisir, dimana mangrove dapat dijadikan sebagai salah satu kegiatan mitigasi bencana yang nonstruktur/nonfisik. Penjelasan mengenai kegiatan struktur/fisik untuk mitigasi bencana terhadap jenis bencana pesisir yang melibatkan mangrove sebagai salah satu vegetasi pantai, dijelaskan lebih lanjut melalui PP No. 64/2010. Vegetasi pantai termasuk mangrove memiliki peran yang cukup strategis dalam kebijakan ini karena ditempatkan sebagai salah satu struktur/fisik untuk berbagai mitigasi bencana pesisir seperti bencana tsunami, bencana gelombang ekstrim, bencana kenaikan paras muka air laut, erosi pantai, dan bencana angin puting beliung. Selain itu, pembangunan bangunan pelindung pantai juga dapat dijadikan sebagai alternatif dalam mitigasi bencana pesisir khususnya bencana erosi pantai dan bencana gelombang ekstrim. 23 – Wetlands International Indonesia Programme
3.2.7. Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove merupakan salah satu kawasan ekosistem yang tidak luput dari kerusakan baik secara alami maupun karena ulah tangan manusia. Kegiatan rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem mangrove pada keadaan semula menjadi penting untuk mempertahankan fungsi dan nilai yang diberikan oleh ekosistem tersebut kepada manusia dan lingkungan. Melalui Undang‐Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dapat diselenggarakan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif. Hutan mangrove/bakau tidak disebutkan secara spesifik dalam kebijakan ini. Akan tetapi, pada penjelasan pasal 41 disebutkan bahwa kegiatan rehabilitasi sebagaimana disebut pada pasal 40 dan 41 juga berlaku bagi rehabilitasi hutan bakau dan hutan rawa, serta perlu mendapatkan perhatian yang sama dengan hutan lainnya. Secara teknis, pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. 70 Tahun 2008 yang diperbaharui dengan No. 26 Tahun 2010. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa rehabilitasi hutan mangrove dapat dilakukan pada lahan dengan tegakan mangrove yang mengalami degradasi/deforestasi sehingga terganggu fungsi ekologis, sosial dan ekonominya. Kegiatan rehabilitasi tersebut dilakukan sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap kawasan untuk melestarikan hutan bakau. Kebijakan ini bersifat teknis mengenai rehabilitasi hutan dan lahan. Rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai mendapatkan porsi tersendiri dalam pedoman teknis tersebut. Dalam pedoman tersebut, dibahas secara detil mengenai sasaran lokasi, penyediaan bibit, penanaman hingga pemeliharaannya. 3.2.8. Ekosistem Mangrove Dalam Dokumen Perencanaan Saat ini pemerintah Indonesia sudah mulai melihat arti penting dan peran besar yang dimiliki oleh ekosistem mangrove bagi manusia dan lingkungan di sekitarnya baik secara ekonomi, ekologi maupun sosial. Hal ini terlihat dari beberapa dokumen perencanaan terkait ekosistem mangrove yang disusun oleh pemerintah seperti Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 6 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010‐2014, Peraturan Menteri Kehutanan No. 51 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010‐2014, dan Peraturan Presiden No. 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Salah satu sasaran kegiatan pembangunan di Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam Renstra KKP Tahun 2010‐2014 adalah terkelolanya 20% kawasan ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove. Melalui program pengelolaan dan pengembangan konservasi kawasan dan jenis, dalam renstranya KKP menentukan sasaran terkelolanya 20% kawasan ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove. Yang menjadi indikatornya adalah dikelolanya kawasan konservasi laut dan kawasan konservasi perairan tawar dan payau secara berkelanjutan seluas 4,5 juta ha. Target luas wilayah terkelola hingga tahun 2014 adalah 900 ha.
24 – Wetlands International Indonesia Programme
Melalui Renstra Kementerian Kehutanan Tahun 2010‐2014, rehabilitasi hutan mangrove dan pantai menjadi salah satu prioritas pembangunan sektor kehutanan melalui program peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan. Salah satu program untuk mengimplementasikan kebijakan prioritas pembangunan kehutanan adalah peningkatan fungsi dan daya dukung daerah aliran sungai berbasis pemberdayaan masyarakat. Indikator utama dari program ini adalah tanaman rehabilitasi hutan dan lahan kritis termasuk hutan mangrove, pantai, gambut dan rawa pada DAS prioritas seluas 2,5 juta ha. Beberapa kegiatan dari program ini antara lain penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan dan reklamasi hutan; perencanaan, penyelenggaraan RHL, pengembangan kelembagaan dan evaluasi DAS; serta perencanaan, pengembangan kelembagaan dan evaluasi hutan mangrove. Sementara itu, strategi nasional pengelolaan ekosistem mangrove yang selanjutnya disingkat SNPEM adalah upaya dalam bentuk kebijakan dan program untuk mewujudkan pengelolaan ekosistem mangrove lestari dan masyarakat sejahtera berkelanjutan berdasarkan sumber daya yang tersedia sebagai bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan nasional. Salah satu arah kebijakan dalam SNPEM adalah peningkatan fungsi ekosistem mangrove dalam perlindungan keanekaragaman hayati, perlindungan garis pantai dan sumber daya pesisir serta peningkatan produk yang dihasilkan sebagai sumber pendapatan bagi negara dan masyarakat. Dalam kebijakan ini diatur mengenai peran pemerintah dan keterlibatan masyarakat dan stakeholder lainnya dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.
25 – Wetlands International Indonesia Programme
Tabel 1. Peraturan Perundangan Pengelolaan Mangrove dalam Perlindungan Pesisir Kebijakan
Isu Utama Terkait Perlindungan Pesisir
Ulasan
UU No.5/1990, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
• Dasar pembentukan sebuah kawasan menjadi kawasan konservasi. Kawasan ekosistem mangrove menjadi salah satu kawasan yang telah banyak ditetapkan sebagai kawasan konservasi di Indonesia.
Tujuan dari konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya. Kawasan ekosistem mangrove dapat dijadikan sebagai kawasan konservasi karena salah satu fungsinya sebagai pelindung pantai dapat ikut berperan dalam menjaga kelestarian sumber daya alam hayati dan keseimbangan ekosistem di sekitarnya.
Keppres No.32/1990, Pengelolaan Kawasan Lindung
• Sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau sebagai kawasan lindung.
Sebuah kebijakan yang tegas dalam memberikan perlindungan terhadap kawasan ekosistem mangrove dan sempadan pantai melalui status kawasan lindung bagi kedua kawasan tersebut. Definisi dan kriteria penetapan sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau/mangrove dalam kebijakan ini sudah sangat jelas dan spesifik serta menggantikan definisi dan kriteria yang disebutkan pada kebijakan‐kebijakan sebelumnya. Perlindungan terhadap kawasan sempadan pantai dan kawasan ekosistem mangrove dilakukan karena fungsi kedua kawasan tersebut dalam memberikan perlindungan kawasan pesisir seperti pelindung pantai dan pengikisan oleh air laut (erosi/abrasi).
• Definisi sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau. • Fungsi kawasan sebagai pelindung pantai dan pengikisan air laut.
Inmendagri No.26/1997, Penetapan Jalur Hijau Hutan Mangrove
• Kewenangan penetapan jalur hijau hutan mangrove oleh pemerintah daerah.
Pemerintah daerah dalam hal ini adalah gubernur dan bupati/walikota telah diberikan kewenangan dalam menetapkan jalur hijau hutan mangrove di daerahnya masing‐masing. Penetapan mengikuti peraturan yang berlaku atau sesuai dengan karakteristik wilayahnya.
UU No.41/1999, Kehutanan
• Rehabilitasi hutan termasuk hutan mangrove
Hutan mangrove/bakau tidak disebutkan secara khusus dalam kebijakan ini, akan tetapi kegiatan rehabilitasi juga berlaku bagi rehabilitasi hutan mangrove, serta harus mendapatkan perhatian yang sama dengan hutan lainnya apabila hutan mangrove 26 – Wetlands International Indonesia Programme
mengalami degradasi/deforestasi. UU No.32/2004, Pemerintahan Daerah
• Kewenangan dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam pemanfaatan sumber daya alam, salah satunya yaitu pelestarian
Dalam kebijakan ini, pemanfaatan sumber daya alam tidak selalu mengenai pemanfaatan atau eksploitasi sumber dayanya, tetapi juga harus disertai dengan pemeliharaan, pengendalian dampak serta pelestariannya. Walaupun tidak disebutkan secara spesifik, mangrove sebagai salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, tetapi juga harus diperhatikan kelestariannya oleh pemerintah daerah.
UU No.26/2007, Penataan Ruang
• Sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau sebagai kawasan lindung.
Undang‐undang ini menempatkan kawasan lindung sebagai bagian dari klasifikasi penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan. Fungsi utama kawasan merupakan komponen penataan ruang yang dilakukan berdasarkan wilayah administratif, kegiatan kawasan dan nilai strategis kawasan. Hal ini berarti bahwa sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan mangrove/bakau yang termasuk dalam kategori hutan lindung harus menjadi bagian dalam penataan ruang sebuah wilayah.
UU No.27/2007, Pengelolaan • Definisi sempadan pantai. Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau • Kewenangan penetapan batas Kecil sempadan pantai oleh pemerintah daerah. • Penyusunan dokumen pengelolaan. • Larangan merusak ekosistem mangrove. • Mangrove sebagai bagian mitigasi bencana. • Sanksi dan ketentuan pidana bagi pelaku perusakan ekosistem mangrove.
Kebijakan ini menguatkan beberapa kebijakan sebelumnya mengenai definisi dan kriteria sempadan pantai, dan kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan batas sempadan pantai di daerahnya. Pengelolaan wilayah pesisir meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumber daya. Kebijakan ini mengamanatkan pemerintah daerah untuk menyusun perencanaan pengelolaan yang meliputi rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan dan rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil. Undang‐undang ini dapat dijadikan sebagai payung hukum untuk pelanggaran yang terjadi terkait dengan kegiatan yang merusak 27 – Wetlands International Indonesia Programme
ekosistem mangrove. Selain itu, menurut kebijakan ini mangrove dapat dijadikan sebagai salah satu kegiatan mitigasi bencana yang non struktur/non fisik untuk mengurangi resiko bencana yang mungkin terjadi di wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil. PP No.60/2007, Konservasi Sumber Daya Ikan
• Ekosistem mangrove sebagai salah satu tipe ekosistem terkait sumber daya ikan.
Kebijakan ini memperkuat kebijakan sebelumnya mengenai ekosistem mangrove sebagai kawasan konservasi. Dalam kebijakan ini, konservasi ekosistem dilakukan pada semua tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan, dimana ekosistem mangrove adalah salah satunya. Nilai penting yang dilihat dari ekosistem mangrove sehingga perlu dijadikan sebagai kawasan konservasi dalam kebijakan ini adalah selain berperan penting bagi sumber daya ikan (feeding ground, nursery ground), juga dari fungsinya sebagai pelindung pantai dari abrasi/erosi.
PP No.26/2008, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
• Sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau sebagai kawasan lindung nasional.
Kebijakan ini merupakan penegasan lebih lanjut dari kebijakan terdahulu mengenai kawasan sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau, yaitu Keppres No.32/1990, UU No.26/2007 dan UU No.27/2007. Dalam kebijakan ini diatur mengenai status dari sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau dalam penataan ruang yaitu sebagai kawasan lindung nasional serta kriteria penetapan kedua kawasan tersebut. Salah satu arahan pengendalian pemanfaatan ruang yang diatur dalam kebijakan ini adalah melalui sistem zonasi. Terkait peraturan zonasi untuk sempadan pantai, salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah pengembangan struktur alami (termasuk mangrove) dan struktur buatan untuk mencegah abrasi. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ini sudah memberikan perhatian lebih terhadap fungsi sempadan pantai sebagai pelindung dari abrasi/erosi.
• Definisi sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau. • Peraturan zonasi sempadan pantai dan kawasan pantai berhutan bakau.
28 – Wetlands International Indonesia Programme
Permen KP No.17/2008, Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil
• Definisi sempadan pantai.
UU No.32/2009, Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
• Kriteria baku kerusakan mangrove.
Kebijakan ini menyiapkan instrumen yang digunakan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah salah satu dari instrumen tersebut, dimana kriteria baku kerusakan mangrove dapat dijadikan sebagai bagian dari faktor penentuan status kerusakan lingkungan hidup.
PP No.64/2010, Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil
• Mangrove dan vegetasi pantai sebagai kegiatan struktur/fisik untuk mitigasi bencana pesisir.
Mangrove dan vegetasi pantai lainnya berperan sangat strategis dalam kebijakan ini karena menjadi salah satu struktur/fisik untuk mitigasi bencana pesisir. Mangrove dapat dikombinasikan dengan bangunan pelindung pantai sebagai alternatif dalam mitigasi bencana pesisir khususnya untuk menanggulangi erosi, abrasi dan gelombang ekstrim.
• Kawasan konservasi pesisir dan pulau‐pulau kecil yang meliputi sempadan pantai dan ekosistem mangrove.
Permen KP No.6/2010, Rencana • Terkelolanya 20% kawasan ekosistem Strategis Kementerian Kelautan terumbu karang, lamun dan dan Perikanan Tahun 2010‐2014 mangrove menjadi salah satu sasaran kegiatan pembangunan KKP tahun 2010‐2014.
Kebijakan ini secara khusus mengatur tentang kawasan konservasi di wilayah pesisir dan menegaskan bahwa ekosistem pesisir dan sempadan pantai sebagai kawasan konservasi yang dilindungi, dilestarikan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Proses pengajuan usulan ekosistem mangrove menjadi kawasan konservasi dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok, perguruan tinggi, lembaga penelitian, badan hukum atau pemerintah. Mengacu pada hal ini berarti proses pengajuan dapat dilakukan oleh siapa pun selama kawasan yang diajukan sudah memenuhi ketentuan untuk diusulkan menjadi kawasan konservasi.
Pengelolaan kawasan ekosistem pesisir dan laut, termasuk ekosistem mangrove, dijadikan sebagai salah satu sasaran kegiatan pembangunan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2010‐2014. Melihat hal tersebut dituangkan dalam rencana strategis KKP, menunjukkan bahwa pengelolaan ekosistem mangrove sudah menjadi prioritas utama di sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. 29 – Wetlands International Indonesia Programme
Permenhut No.26/2010, Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan
• Rehabilitasi sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap kawasan untuk melestarikan hutan mangrove, dilakukan pada lahan dengan tegakan mangrove yang mengalami degradasi/deforestasi.
Hutan mangrove yang mengalami degradasi atau deforestasi akan terganggu fungsi ekologis, sosial dan ekonominya. Sebagai bentuk perlindungan hutan mangrove terhadap masalah tersebut, maka kebijakan ini mengatur teknis rehabilitasi yang dapat dilakukan pada hutan mangrove. Rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai mendapatkan porsi tersendiri dalam pedoman teknis ini. Pedoman secara detil membahas mengenai sasaran lokasi rehabilitasi, penyediaan bibit, penanaman dan pemeliharaanya.
Permenhut No.51/2010, Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010‐2014
• Rehabilitasi hutan mangrove dan pantai menjadi salah satu prioritas pembangunan sektor kehutanan melalui program peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan.
Kementerian kehutanan menempatkan rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai sebagai salah satu prioritas dalam rencana strategisnya pada tahun 2010‐2014. Program yang diupayakan untuk melaksanakan prioritas tersebut adalah melalui peningkatan fungsi dan daya dukung daerah aliran sungai, karena hutan dan lahan kritis termasuk hutan mangrove, hutan pantai, gambut dan rawa banyak terdapat pada sekitar daerah aliran sungai.
Perpres No.73/2012, Strategi • Salah satu arah kebijakan dalam Nasional Pengelolaan Ekosistem SNPEM adalah peningkatan fungsi Mangrove (SNPEM) ekosistem mangrove dalam perlindungan keanekaragaman hayati, perlindungan garis pantai dan sumber daya pesisir serta peningkatan produk yang dihasilkan sebagai sumber pendapatan bagi negara dan masyarakat. Permen LH No.13/2011, Ganti Rugi Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup
• Kerusakan ekosistem hutan mangrove mengakibatkan fungsi sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak berkurang, kapasitas hutan sebagai tempat pemijahan dan pengusaha ikan
Peningkatan fungsi ekosistem mangrove dalam perlindungan garis pantai menjadi salah satu arah kebijakan dalam SNPEM. Fungsi perlindungan pesisir yang diberikan oleh ekosistem mangrove sudah dilihat oleh pemerintah sebagai keberadaan dan peran yang sangat strategis dari ekosistem mangrove yang lestari. Melalui kebijakan ini diatur pula mengenai peran pemerintah, masyarakat dan pihak terkait lainnya untuk bersama‐sama berperan aktif dalam pengelolaan ekosistem yang berkelanjutan. Kebijakan ini dapat dijadikan sebagai salah satu payung hukum bagi pelanggaran yang mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan mangrove. Peraturan menteri ini bertujuan memberikan pedoman bagi para pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup untuk mencapai kesepakatan dalam melakukan penghitungan dan 30 – Wetlands International Indonesia Programme
menurun, serapan karbon oleh hutan pembayaran ganti kerugian serta untuk melaksanakan tindakan mangrove juga berkurang. Kerusakan tertentu akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. ekosistem hutan mangrove harus dihitung nilainya untuk kemudian diajukan sebagai biaya ganti rugi akibat kerusakan ekosistem. Permen LH No.5/2012, Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
• Budidaya tambak adalah salah satu jenis rencana kegiatan yang wajib memiliki AMDAL karena berpotensi merusak ekosistem mangrove yang menjadi tempat pemijahan dan pertumbuhan ikan sehingga mempengaruhi tingkat produktivitas daerah setempat.
Pemerintah membatasi beberapa jenis usaha atau kegiatan yang dapat menimbulkan perubahan rona lingkungan dan atau menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Batasan tersebut berupa AMDAL sebelum dilaksanakannya usaha/kegiatan. Kegiatan budidaya tambak yang tidak ramah lingkungan berpeluang mengakibatkan ekosistem mangrove di sekitarnya, sehingga menjadi wajib hukumnya bagi pelaksana kegiatan untuk melakukan AMDAL sebelum melakukan kegiatan budidayanya.
31 – Wetlands International Indonesia Programme
3.3. Instrumen Kebijakan Pengelolaan Mangrove sebagai Perlindungan Pesisir Tabel 2. Instrumen Kebijakan Pengelolaan Mangrove sebagai Perlindungan Pesisir Kebijakan Nasional • UU No.5/1990 • Keppres No.32/1990 • UU No.26/2007 • UU No.27/2007 • PP No.60/2007 • PP No.26/2008 • Permen KP No.17/2008
Instrumen Kebijakan Provinsi • Perda No.9/2009 • Rencana Tata Ruang Wilayah • Rencana Strategis • Rencana Zonasi
Kabupaten • Rencana Tata Ruang Wilayah • Rencana Strategis • Perdes
Isu • Definisi dan kriteria pantai berhutan bakau/mangrove
Solusi Alternatif
Peluang Mempengaruhi
Batasan definisi dan kriteria penetapan pantai berhutan bakau/mangrove secara detil • Ekosistem mangrove telah diatur dalam kebijakan hingga tingkat pemerintah sebagai kawasan kabupaten. konservasi dan Penetapan kawasan yang kawasan lindung memiliki pantai berhutan • Kawasan mangrove bakau/mangrove dan sempadan sebagai bagian dari fungsi utama kawasan pantai sebagai kawasan lindung dalam penataan ruang dalam RTRW dan Rencana Zonasi Provinsi Jawa Tengah serta RTRW • Pengelolaan kawasan Kabupaten Demak. ekosistem mangrove RTRW Kabupaten Demak mengatur hingga peraturan zonasi pada kawasan pantai berhutan bakau/mangrove dan sempadan pantai. Pelarangan kegiatan yang merusak kawasan ekosistem mangrove. Pola pemanfaatan hutan mangrove dan pengelolaan tambak yang berwawasan lingkungan.
Kebijakan tentang penguasaan dan pemanfaatan lahan pesisir di desa. Kebijakan pengelolaan kawasan ekosistem mangrove dan tambak yang berkelanjutan. Penegakan hukum tentang pemanfaatan kawasan pantai berhutan bakau/mangrove dan sempadan pantai yang tidak sesuai dengan tata ruang.
32 – Wetlands International Indonesia Programme
• Inmendagri No.26/1997
• Perda No.9/2009
• UU No.32/2004
• Rencana Zonasi
• UU No.32/2009
• Rencana Zonasi
• Permen LH No.13/2011 • Permen LH No.5/2012
• Rencana Tata Ruang Wilayah
• Kewenangan penetapan dan pengelolaan ekosistem mangrove
Kewenangan penetapan batas kawasan pantai berhutan bakau/mangrove dan sempadan pantai sudah diatur melalui kebijakan hingga tingkat daerah sebagai kewenangan dari pemerintah daerahnya masing‐ masing. Dalam rencana zonasi Provinsi Jawa Tengah, terdapat pembagian peran antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam kewenangan dan pengelolaan kawasan sempadan pantai dan pantai berhutan bakau/mangrove.
Penetapan kawasan ekosistem mangrove yang tidak tumpang tindih dengan kawasan pemanfaatan umum.
• Rencana Tata Ruang Wilayah
• Kriteria baku kerusakan lingkungan
Arahan pemanfaatan kawasan pemanfaatan umum dalam rencana zonasi, pemerintah menegaskan untuk melakukan pengawasan ketat AMDAL terhadap industri dan limbah di kawasan pesisir untuk mengurangi tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir/laut. Pelarangan kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan wilayah dan lingkungan pesisir. Sosialisasi produk hukum terkait
Membangun kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai kerusakan lingkungan hidup khususnya kawasan ekosistem mangrove, serta produk hukum dan penegakan hukumnya.
• Rencana Strategis
• Ganti rugi kerusakan lingkungan hidup • Usaha atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL
33 – Wetlands International Indonesia Programme
kerusakan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam pesisir. • PP No.64/2010
• Rencana Strategis DKP
• Rencana Tata Ruang Wilayah • Rencana Strategis
• UU No.41/1999 • Permenhut No.26/2010
• Rencana Strategis DKP
• Rencana Tata Ruang Wilayah
• Mangrove sebagai struktur/fisik untuk mitigasi bencana pesisir
Program pemasangan APO (Alat Pemecah Ombak) dan penanaman mangrove sebagai penanganan masalah erosi/abrasi. Ijin bagi kegiatan yang memberikan perlindungan pantai dari abrasi di sempadan pantai dalam zonasi kawasan sempadan pantai. Pembangunan pelindung pantai yang sesuai dengan karakter dan kondisi setempat sebagai perangkap sedimen dan mengembalikan hutan mangrove di pantai yang terdegradasi.
Promosi hybrid engineering sebagai salah satu alternatif pelindung pantai berbasis mangrove.
• Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang mengalami degradasi/deforestasi
Program rehabilitasi dan konservasi ekosistem vital di pesisir melalui penanaman mangrove. Penanaman kembali mangrove serta pelarangan alih fungsi lahan dan penebangan liar dalam zonasi kawasan pantai berhutan bakau/mangrove.
Keberlanjutan program rehabilitasi mangrove pada kawasan pantai berhutan bakau/mangrove yang sudah mengalami degradasi/deforestasi.
34 – Wetlands International Indonesia Programme
3.4. Kendala Pelaksanaan Kebijakan Kebijakan berupa undang‐undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri hingga peraturan daerah khususnya yang terkait masalah pengelolaan ekosistem mangrove telah banyak dilahirkan di Indonesia. Akan tetapi hal tersebut tidak menjamin bahwa kebijakan akan terlaksana dengan baik sehingga mampu mewujudkan pengelolaan ekosistem mangrove yang baik dan berkelanjutan. Keadaan ini memunculkan pertanyaan mengapa kebijakan‐kebijakan tersebut tidak dapat terimplementasi dengan baik di lapangan. Masalah utama yang terjadi dalam implementasi kebijakan di Indonesia adalah inkonsistensi dari pelaksanaannya di lapangan. Pelaksanaan yang tidak konsisten dapat dilihat dari tidak dilaksanakannya kebijakan tersebut oleh pihak‐pihak yang dimaksud dalam kebijakan‐kebijakan tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurang tersosialisasinya kebijakan kepada target kebijakan atau kurang tegasnya pelaksana kebijakan tersebut. Selain itu, lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran atas kebijakan‐kebijakan tersebut menjadi salah satu faktor yang sangat berperan dalam rendahnya pelaksanaan kebijakan‐kebijakan di Indonesia. Masalah inkonsistensi berikutnya adalah apabila sebuah kebijakan sudah dilaksanakan dengan baik di lapangan, tapi beberapa waktu kemudian kebijakan tersebut sudah tidak dilaksanakan lagi. Penyebabnya hampir selalu sama yaitu dari pihak pengemban kebijakan itu sendiri yang tidak konsisten dalam melaksanakannya serta lemahnya penegakan hukum atas pelaksanaan kebijakan‐kebijakan tersebut. Selain masalah tidak konsistennya pelaksanaan kebijakan di lapangan, adanya kelemahan di dalam kebijakan tertentu juga ikut berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Pada masa tahun 1980an hingga pertengahan 1990an, masih ada pandangan keliru mengenai mangrove yang dianggap memiliki nilai intrinsik yang rendah sehingga menyebabkan lahirnya kebijakan yang kurang tepat, dimana hutan mangrove lebih diarahkan untuk dikonversi menjadi lahan produktif. Sementara pada saat yang sama juga sudah mulai disebutkan dalam beberapa kebijakan bahwa kawasan ekosistem mangrove adalah salah satu kawasan yang harus dikelola dengan baik bahkan dilindungi. Beberapa kebijakan mengenai pengelolaan mangrove hanya memberikan pilihan untuk dijadikan sebagai kawasan konservasi. Hal ini akan sulit diterapkan pada daerah yang telah memiliki pemanfaatan tradisional yang intensif, sehingga akan menyulitkan tercapainya sebuah konsesus pengelolaan mangrove di daerah. Misalnya di daerah Jawa, hampir sebagian besar areal mangrove yang ada telah dimanfaatkan oleh penduduk baik sebagai permukiman, tambak, ataupun bentuk pemanfaatan lainnya yang sebenarnya tidak sejalan dengan konservasi mangrove. Kebijakan terkait penetapan lebar jalur hijau mangrove juga masih banyak mendapatkan kritik dari beberapa ahli, walaupun di beberapa kebijakan sudah diatur dengan cukup detil. Pendapat beberapa ahli menyatakan, secara ekologis lebar jalur hijau mangrove semestinya ditentukan secara spesifik untuk setiap lokasi, tidak bisa dilakukan secara umum, karena setiap lokasi tertentu mempunyai karakteristik yang spesifik dan berbeda dengan tempat lainnya.
35 – Wetlands International Indonesia Programme
Masalah yang juga sering dijumpai dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan, adalah adanya konflik dan tumpang tindih antar kebijakan. Sebagai contoh, Undang‐Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dalam pelaksanaannya sering bertolak‐belakang dengan kebijakan dengan kebijakan yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam seperti tambang, hutan, minyak bumi dan gas, serta penangkapan ikan. Bila disandingkan dengan Undang‐Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka akan dihadapkan dengan belum jelasnya batasan kewenangan pengelolaan konservasi sumber daya antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan ini juga menegaskan kewenangan dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Kemungkinan terburuk dari otonomi daerah ini adalah keinginan mengeksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan prinsip‐prinsip berkelanjutan, sehingga tekanan bagi wilayah pesisir khususnya akan semakin meningkat. Situasi ini akan memunculkan peluang konflik normatif pengelolaan dengan Undang‐Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil. 3.5. Implementasi Strategi Perlindungan Pesisir Berbasis Mangrove Di wilayah pantai tropis, banyak area hutan mangrove yang telah diubah untuk membuat ruang bagi kegiatan manusia seperti permukiman, budidaya tambak dan pemanfaatan lainnya. Kegiatan ini menyebabkan tekanan yang meningkat di area pesisir sehingga terjadi erosi dan abrasi, intrusi air asin, banjir air pasang dan badai, yang secara langsung akan membahayakan manusia dan alam sekitarnya. Untuk mengatasi situasi ini, pengelola pesisir cenderung beralih pada pendekatan struktur keras seperti tanggul dan pemecah ombak/gelombang. Namun, struktur tersebut relatif mahal dan tidak fleksibel serta gagal memberikan perlindungan yang memadai bagi masyarakat. Perlindungan yang diberikan bersifat sementara, dan terkadang menjadi kontraproduktif serta memperburuk masalah yang seharusnya dipecahkan. Saat ini, Wetlands International sedang melakukan kajian berupa pendekatan aplikasi hybrid engineering sebagai salah satu alternatif perlindungan pesisir berbasis mangrove. Hybrid engineering merupakan konsep inovatif yang berusaha untuk bekerja dengan alam, alih‐alih melawannya. Konsep ini berusaha untuk memadukan ilmu teknik sipil dengan proses alam dan sumber dayanya, menghasilkan solusi dinamis yang lebih mampu beradaptasi dengan perubahan keadaan. Hybrid engineering terdiri dari beberapa tahapan perlindungan dengan tujuan akhir yaitu mengembalikan sistem pertahanan alami pantai. Hybrid engineering dibangun dengan menggunakan bahan yang tersedia secara lokal seperti kayu, bambu dan ranting pohon. Bangunan yang semi permeabel (berpori) ini berfungsi untuk mengembalikan kondisi pantai melalui proses alami seperti sedimentasi sehingga kondisi hidrodinamika dan ekologi akan kembali seperti sedia kala dan merangsang pertumbuhan lahan yang sebelumnya sudah terdegradasi oleh erosi/abrasi. Pendekatan hybrid engineering dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan ekosistem. Untuk di Indonesia, pendekatan yang dilakukan adalah untuk mengatasi erosi pantai di daerah tropis dengan menggunakan infrastruktur hutan bakau alami untuk menstabilkan garis pantai. 36 – Wetlands International Indonesia Programme
Sistem perakaran mangrove yang diadopsi dalam konstruksi hybrid engineering berfungsi untuk menangkap dan menstabilkan sedimen. Sedimen akan terperangkap di area pasang surut dan membentuk hamparan cembung dengan kemiringan yang landai dan air dangkal ke arah laut dari tepi pantai. Struktur keras seperti pematang tambak, tembok/dinding laut dan pemecah ombak, dapat mengganggu proses keseimbangan sedimen yang keluar dan masuk tersebut. Ombak yang dipantulkan oleh struktur keras semakin lama akan membesar dan mengambil lebih banyak sedimen ke laut. Sedangkan air pasang surut tidak bisa membawa cukup sedimen ke pantai karena tertahan oleh struktur keras tersebut dan akan membentuk cekungan yang curam dan perairan yang cukup dalam pada area pasang surut ke arah laut. Untuk menangani permasalahan erosi dan mengembalikan garis pantai yang stabil, langkah pertama yang diperlukan adalah untuk membalikkan proses hilangnya sedimen. Cara terbaik untuk melakukan ini adalah bekerja sama dengan alam, menggunakan teknik sipil pintar yang memberikan alam sedikit bantuan, tetapi membiarkan alam bekerja keras untuk kita. Struktur permeabel yang ditempatkan di depan garis pantai, tidak memantulkan gelombang melainkan memecahnya sehingga akan mengurangi ketinggian dan energi gelombang sebelum mencapai pantai. Struktur ini juga memungkinkan lumpur untuk melewatinya dan meningkatkan jumlah sedimen yang terperangkap di dekat pantai. Fungsi inilah yang ditiru oleh struktur ini dari fungsi dan struktur sistem perakaran mangrove. Setelah proses erosi sudah mulai terhenti dan garis pantai mulai akresi, proses restorasi mangrove dapat dilakukan. Proses restorasi sendiri dapat dilakukan dengan menggabungkan proses pertumbuhan alami mangrove yang terjadi di lokasi tersebut dengan penanaman yang dilakukan oleh manusia. Selanjutnya, sabuk hijau yang terbentuk oleh hutan mangrove inilah yang akan mematahkan gelombang dan menangkap sedimen dalam jangka panjang serta memberikan perlindungan seutuhnya bagi pesisir serta masyarakat dan semua aktivitas yang terlibat didalamnya. Teknik ini diterapkan dalam bentuk petak dengan tujuan secara perlahan dapat mengembalikan tanah yang terabrasi oleh laut. Teknik hybrid engineering dapat bekerja jika diterapkan dengan benar. Selain strukturnya sendiri, dibutuhkan pemeliharaan rutin pada struktur di bagian tepi arah laut. Struktur baru perlu ditempatkan di ujung arah laut setelah sedimen yang terperangkap sudah cukup banyak dan jumlah lahan yang tereklamasi sudah terpenuhi. Pemilihan mangrove yang benar berdasar jenis, usia dan ukuran dalam tahap restorasi juga sangat berpengaruh dalam memaksimalkan fungsi perlindungan pantainya. Pekerjaan terkait hybrid engineering harus melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah, swasta dan khususnya adalah masyarakat. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga dan memelihara struktur hybrid engineering yang telah dibangun di wilayahnya, sehingga menjamin struktur tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sementara itu, pemerintah memiliki peran dalam membuat kebijakan terkait rencana pelaksanaan kegiatan serta rencana berkelanjutan penggunaan lahan dari hasil kegiatan hybrid engineering tersebut. Adanya kebijakan khusus terkait perlindungan pesisir berbasis mangrove di Indonesia sangat diperlukan untuk memastikan program mitigasi bencana pesisir dengan menggunakan mangrove dapat terlaksana dengan baik sehingga mendukung pengelolaan mangrove yang berkelanjutan di Indonesia. 37 – Wetlands International Indonesia Programme
IV. KESIMPULAN Pengelolaan mangrove saat ini sudah menjadi perhatian serius di Indonesia, khususnya dalam masalah lingkungan dan ekonomi. Perhatian ini dimulai dari kenyataan bahwa mangrove berperan penting dalam menjinakkan banjir pasang musiman dan sebagai pelindung wilayah pesisir. Ekosistem mangrove di Indonesia berada dalam ancaman yang meningkat karena tingginya tuntutan pembangunan di wilayah pesisir. Diantara semua ancaman yang ada, barangkali yang paling serius adalah persepsi di kalangan masyarakat dan pegawai pemerintah yang masih menganggap mangrove sebagai sumber daya yang kurang bermanfaat, atau anggapan bahwa mangrove lebih bermanfaat secara ekonomi bila dibandingkan fungsinya secara ekologis. Kebijakan dan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove di Indonesia yang paling relevan dapat dikelompokkan dalam 4 hal yaitu kewenangan pengelolaan, perlindungan lingkungan, konservasi sumber daya hayati dan mitigasi bencana. Akan tetapi, dasar kebijakan atau perundangan khusus yang mengatur pengelolaan mangrove secara berkelanjutan saat ini belum tersedia. Oleh karena itu, pengelolaan mangrove di Indonesia masih didasarkan pada dokumen kebijakan dan perundangan yang termasuk dalam 4 kategori di atas, dimana dokumen peraturan tersebut sudah tersedia mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintahan desa. Dalam pelaksanaannya, beberapa kebijakan atau perundangan tersebut memiliki banyak kesamaan, sehingga antara peraturan tersebut bisa saling mendukung dan menguatkan. Walaupun begitu, terdapat beberapa pengertian dan interpretasi yang berbeda juga di antara peraturan‐peraturan tersebut. Kondisi ini memunculkan masalah yang dapat mengganggu penerapan kebijakan dan perundangan tersebut baik di tingkat pemerintah pusat hingga di pemerintah daerah. Dokumen kebijakan dan perundangan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir, khususnya mangrove, sudah cukup banyak tersedia. Akan tetapi dalam banyak hal, peraturan‐peraturan tersebut belum terlaksana dengan semestinya. Beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut antara lain kurangnya kesadaran hukum baik dari masyarakat maupun pelaksana kebijakan, tidak tercakupnya semua kepentingan sektor yang terlibat di kawasan pesisir, serta kurangnya koordinasi dan kerjasama antara instansi sektoral maupun di antara pemerintah pusat dan daerah. Isu strategis yang dapat dijadikan sebagai bahan advokasi perlindungan pesisir berbasis mangrove antara lain yaitu : 1) kebijakan perlindungan ekosistem mangrove melalui zonasi wilayah pesisir; 2) kebijakan kewenangan pengelolaan ekosistem mangrove yang terintegrasi; 3) kebijakan mitigasi bencana pesisir berbasis mangrove; dan 4) pengembangan kebijakan khusus pengelolaan mangrove lestari yang mengatur semua aspek terkait pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove, baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah hingga pemerintahan desa. Salah satu kegiatan yang dapat dijadikan sebagai pendekatan perlindungan pesisir berbasis mangrove adalah aplikasi hybrid engineering. Sebuah konsep yang sedang dikembangkan oleh Wetlands International bekerjasama dengan Deltares, yaitu sebuah struktur semi permeabel perangkap sedimen yang mengadopsi sistem perakaran mangrove, serta memanfaatkan mekanisme alam untuk mengembalikan kestabilan kondisi pantai berhutan mangrove melalui proses sedimentasi yang alami.
38 – Wetlands International Indonesia Programme
Tabel 3. Intervensi Kebijakan Perlindungan Pesisir Berbasis Mangrove Tema Kewenangan pengelolaan mangrove
Perlindungan mangrove
Konservasi mangrove
Peluang Intervensi
Usulan Kegiatan
Proses • Rapat konsultasi
1) Pembagian kewenangan penetapan dan pengelolaan ekosistem mangrove. 2) Pengaturan pola pemanfaatan ekosistem mangrove. 3) Kebijakan khusus terkait pengelolaan ekosistem mangrove.
• Mengkaji dan memberi input RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota.
1) Peningkatan kesadaran masyarakat dan pemerintah mengenai perlindungan ekositem mangrove. 2) Kewajiban AMDAL bagi setiap kegiatan di pesisir yang berpotensi merusak ekosistem mangrove. 3) Kegiatan rehabilitasi yang tepat dan berkelanjutan.
• Pelatihan/workshop terkait perlindungan mangrove.
• Workshop/pelatihan
• Mengkaji AMDAL kegiatan/usaha di wilayah pesisir.
• Kajian kerusakan mangrove
1) Penetapan kawasan mangrove sebagai
• Mengkaji penetapan kawasan mangrove
• Sosialisasi RTRW. • Mengkaji penyusunan kebijakan tingkat pemerintah pusat.
• Kajian dokumen • Sosialisasi RTRW • Workshop pengelolaan ekosistem mangrove • Diskusi lintas sektor
Target stakeholder
Indikator
• Kementerian terkait
• Laporan hasil kegiatan
• Pemerintah daerah
• Dokumen hasil kajian
• BAPPEDA
• Dokumen rancangan kebijakan
• Dinas terkait • LSM • Perguruan tinggi • Masyarakat
• Mengkaji kegiatan rehabilitasi dan potensinya.
• Kajian dokumen dan lapangan
• Kajian efektivitas kegiatan rehabilitasi
• Rapat konsultasi • Kajian dokumen
• Pemerintah daerah
• Laporan hasil kegiatan
• BAPPEDA
• Dokumen hasil kajian
• Dinas terkait
• Anggaran dan program kerja • Perguruan tinggi rehabilitasi • Masyarakat mangrove • LSM
• Pemerintah daerah
• Laporan hasil kegiatan
39 – Wetlands International Indonesia Programme
kawasan konservasi dalam RTRW. 2) Penyusunan rencana zonasi pesisir dalam RTRW dan RZWP.
sebagai kawasan konservasi dalam RTRW dan RZWP.
• Sosialisasi RZWP
• BAPPEDA • Dinas terkait • LSM
• Mengkaji rencana zonasi wilayah pesisir dalam RZWP Provinsi dan Kabupaten/Kota.
• Dokumen hasil kajian
• Perguruan tinggi • Masyarakat
• Sosialisasi RZWP. Mitigasi bencana berbasis mangrove
1) Kegiatan perlindungan pantai berbasis mangrove. 2) Kebijakan khusus terkait perlindungan pesisir berbasis mangrove.
• Mengkaji program kerja Dinas terkait.
• Rapat konsultasi
• Promosi hybrid engineering.
• Workshop/seminar
• Kajian dokumen
• Diskusi lintas sektor • Mengkaji penyusunan • Diskusi publik kebijakan tingkat pemerintah daerah.
• Pemerintah daerah
• Laporan hasil kegiatan
• BAPPEDA
• Dokumen hasil kajian
• Dinas terkait
• Anggaran dan program kerja • Perguruan tinggi perlindungan • Masyarakat pantai • LSM
• Dokumen rancangan kebijakan
40 – Wetlands International Indonesia Programme