ANALISIS KEANEKARAGAMAN IKTIOFAUNA DI HUTAN MANGROVE CAROCOK TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN
ARTIKEL
INDRA SYAMSON NPM : 1210018112007
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BUNG HATTA 2015
ANALISIS KEANEKARAGAMAN IKTIOFAUNA DI HUTAN MANGROVE CAROCOK TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN Indra Syamson1, Eni Kamal2, Usman Bulanin2 1)
Mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Pesisir dan Kelautan, Program Pascasarjana, Universitas Bung Hatta 2) Dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Pesisir dan Kelautan, Program Pascasarjana, Universitas Bung Hatta
Email:
[email protected].
ABSTRAK
Ekosistem hutan mangrove mempunyai sifat dan bentuk yang khas, serta mempunyai fungsi dan manfaat sebagai sumberdaya pembangunan. Fungsi hutan mangrove sebagai fungsi biologis, dikenal sebagai daerah asuhan (nursery ground) dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi ikan, udang, kepiting, kerang, dan biota perairan lainnya. Untuk menentukan keanekaragaman iktiofauna di Carocok Tarusan Pesisir Selatan, pada bulan Juli 2014 sampai dengan bulan Desember 2014 telah dilakukan pengambilan sampel di empat stasiun dengan menggunakan jaring tiga lapis (trammel net), jaring insang (gill net), dan bubu lipat. Selama penelitian telah terkumpul ikan sebanyak 1.114 ekor terdiri dari 15 species dan 12 genus. Apogon caramensis, Mugil dussumieri, dan Panaeus monodon merupakan species yang dominan. Indeks keanekaragaman (H) cukup rendah berkisar 0,0698 – 0,1566. Indeks kemerataan (E) berkisar antara 0,0696 – 0,1835. Indek kekayaan jenis (d) berkisar 1,5941 – 4,7824. Indeks similiritas/kesamaan/kemiripan (λ) berkisar 0,0140 – 0,0530 Kata kunci: Keanekaragaman, iktiofauna,, hutan mangrove, Carocok Tarusan
ANALYZE OF DIVERSITY IN THE FOREST MANGROVE ICHTHYOFAUNA CAROCOK TARUSAN PESISIR SELATAN DISTRICT Indra Syamson1, Eni Kamal2, Usman Bulanin2 1) 2)
Student of Coastal Management and Marine Aquatic Resources, Postgraduate of Bung Hatta University Lecture of Coastal Management and Marine Aquatic Resources, Postgraduate of Bung Hatta University
Email:
[email protected].
Abstract Mangrove forest ecosystems have specific character and spesific shape, if has function as delopment resources too. Mangrove forests function as a biological function, known as the breeding (nursery grounds) and spawning (spawning ground) for fish, shrimp, crabs, shellfish, and other aquatic biota. To determine the diversity iktiofauna in Carocok Tarusan Pesisir Selatan, in July 2014 through the month of December 2014 has been conducted sampling at four stations using three layers nets (trammel net) gill nets (gill net), and traps fold. During the study has collected s 1,114 fish consists of 15 species and 12 genera. Apogon caramensis, Mugil dussumieri, and Panaeus monodon they are the dominant species. diversity index (H) is quite low ranging from 0.0698 to 0.1566. Evenness index (E) ranged from 0.0696 to 0.1835. Index of species richness (d) ranges from 1.5941 to 4.7824. Similiritas index / sameness / similarity (λ) range from 0.0140 to 0.0530 keyword: Diversity, ichthyofauna,, mangrove forests, Carocok Tarusan
I.
PENDAHULUAN
Ekosistem hutan mangrove mempunyai sifat dan bentuk yang khas, serta mempunyai fungsi dan manfaat sebagai sumberdaya pembangunan. Fungsi hutan mangrove sebagai sumber daya ekonomi maupun ekologi, dan telah lama dirasakan masyarakat yang hidup di sekitar wilayah tersebut. Hutan mangrove memiliki kandungan bahan organik yang tinggi, yang merupakan sebagai salah satu mata rantai dalam suatu ekologi. Bahan organik sangat berperan penting bagi makhluk hidup yang berdomosili dikawasan hutan mangrove yaitu, sebagai tempat sumber makanan dan tempat asuhan beranekaragam iktiofauna. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan manggrove bukanlah tumbuhan manggrove itu sendiri, tetapi sarasah yang berasal dari tumbuhan manggrove (daun, ranting, buah, batang, dsb). Sebagai sarasah manggrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplanton, alga ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri. Dalam proses fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel sarasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya. Proses makan memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota membentuk suatu jaringan makanan yang.komplek,sehingga ekosistem mangrove merupakan habitat,
nursery ground, feeding ground, spawning ground bagi fauna di perairan, Kamal (2006).
Penelitian tentang keanekaragaman iktiofauna di hutan mangrove Carocok Tarusan belum pernah dilakukan. Namum dengan demikian kajian ini sangan penting dilakukan untuk mengetahui ragam iktiofauna daerah ini. Perlu kita ketahui bahwa banyak orang dan makhluk hidup lainnya yang menggantungkan hidupnya di daerah ini. Secara umum diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai keanekaragaman species ikan di daerah ini, dan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan II. TINJAUAN PUSTAKA
Untuk kelestarian ekosistem di hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh factor lingkungan. Apabila factor lingkungan tidak stabil akan mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan mangrove. Menurut Dahuri (2003), ada tiga parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu suplai air tawar dan salinitas, pasokan nutrien, dan stabilitas substrat. Kamal (2006), menjelaskan bahwa hutan manggrove adalah suatu ekosistem yang mempunyai 3 (tiga) fungsi pokok ; 1. Funsi fisik, menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari gempuran ombak dan abrasi, menjadi wilayah penyangga terhadap rembesan air laut (intrusi) dan sebagai filter pencemaran yang masuk kelaut;
2. Fungsi biologis, sebagai daerah asuhan dan tempat pemijahan (nursery ground dan spauning ground) bagi ikan, udang, kepiting, kerang dan biota perairan lainnya seperti tempat persinggahan burung-burung yang bermigrasi serta tempat habitat alami berbagai jenis biota flora dan fauna lainnya; 3. Fungsi ekonomis sebagai sumber bahan bakar (arang dan kayu bakar),bahan bangunan (balok, atap rumah, tikar), perikanan, pertanian, makanan, obat-obatan, minuman, bahan mentah kertas, bahan pembuatan kapal (gading-gading) dan lainnya. Berkaitan hutan mangrove sebagai fungsi biologis bersamaan pendapat Zahid (2011), menjelaskan bahwa keberadaan larva, dan juwana ikan di estuari mayangan sebagai bagian dari komposisi spesies menunjukkan peran fungsional estuari yang berhubungan dengan hutan mangrove sebagai daerah pemijahan, pembesaran, perlindungan, dan lumbung makanan. Kerusakan ekosistem mangrove erat hubungan dengan pertambahan jumlah penduduk. Bengen (2004) menyatakan bahwa: Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, dll), tentu dapat menimbulkan tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir. Meningkatnya tekanan ini tentunya berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove itu sendiri baik secara langsung (misalnya kegiatan penebangan atau konversi lahan) maupun tak langsung (misalnya pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan). Kita ketahui bahwa setiap jenis ikan mempunyai tipe
tingkah laku yang berbeda terhadap situasi lingkungan. Menurut Praditya (2013) menjelaskan bahwa klasifikasi ikan yang terdapat dalam ekosistem mangrove ada 4 (empat) tipe ikan yaitu Ikan penetap sejati, Ikan penetap sementara, Ikan pengunjung pada periode pasang, dan Ikan pengunjung musiman. Beberapa pakar mancanegara melakukan penelitian tentang ikan –ikan di daerah perairan mangrove di antaranya Wilcox et al. (1975) dalam Genisa .(2004). yang meneliti hutan mangrove Bahama menemukan 56 jenis ikan. Karena kebanyakan sampel ikan yang diambilnya adalah juvenile, maka dia menduga bahwa hutan mangrove merupakan nursery ground dari berbagai jenis ikan. Selain dari itu penelitian yang dilakukan Genisa (2004 ) menjelaskan gambaran umum keanekaragaman jenis ikan yang berada di daerah mangrove Sungai Mahakam, didapatkan telah terkumpul ikan sebanyak 1.684 ekor terdiri dari 80 jenis yang mewakili 44 suku. Sardinella fimbriata, Leiognathus elongatus, Rastrelliger kanagurta dan Apogon caramensis, merupakan jenis-jenis yang dominan. Sebaran individu per jenis setiap pengamatan hampir merata. Indeks keanekaragaman jenis (H) cukup tinggi yaitu berkisar antara 0,5300 – 1,5547. Indeks kemerataan (l) berkisar antara 0,3308 – 0,9198. Sedangkan indeks kekayaan jenis (d) berkisar antara 13,1801 – 23,7026 . Ganesa et al., (2002) dalam penelitian yang dilakukan di sekitar estuaria Mamberamo, irian Jaya, suku Clupeidae tertangkap lima jenis yaitu Anodontostoma chacunda, Clupea malanura, Clupea lile, Ilisha melastoma dan Setipinna papnensis. Sedangkan di estuaria Digul, Irian Jaya hanya
tertangkap satu jenis yaitu Sardinella fimbriata Genisa (2003)
III. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2014 hingga bulan Desember 2014 di ekosistem hutan mangrove Carocok Tarusan. Penelitian ditetapkan di 4 (empat) stasiun.. Pada setiap stasiun pengamatan ditetapkan koordinat titik lokasi penangkapan. Untuk stasiun A (Carocok) koordinatnya 1º 15҆҆҆ 20” LS dan 100º 25҆҆ 30” BT. Untuk stasiun B (Bukit Ameh) koordinatnya 1º 15҆҆҆ 30” LS dan 100º 25҆҆ 00” BT. Untuk stasiun C (Pincuran Didiah) titik koordinatnya, 1º 14҆ 37,37” LS dan 100º 24҆ 40“ BT Untuk stasiun D (Sungai Gemuruh) koordinatnya 1º 13҆ 50” LS dan 100º 25҆ 40” BT.( gambar 1) Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer ini diperoleh melalui pengamatan secara langsung di lokasi penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dinas terkait , wawancara langsung dan studi literatur. Alat tangkap yang digunakan dalam pengambilan sampel terdiri dari Jaring tiga lapis (trammel net), Jaring insang (gill net), dan bubu lipat. Operasi penangkapan dilakukan pada saat pasang surut dan pasang naik pada tanggal 21 setiap bulan Hijriah sampai dengan tanggal 7 setiap bulan Hijriah (Bulan gelap). Pada setiap stasiun operasi penangkapan dicatat data kualitas air dan kondisi lingkungan. Untuk
setiap sampel dilakukan penimbangan berat dan panjang dan kemudian dilakukan penimbangan berat total. Langkah berikutnya memisahkan ikan menurut genus. Kemudian dari genus di identifikasi menurut spesies. Kemudian melakukan pengukuran panjang tiap spesies dan data tersebut masukkan dalam tabel. Identifikasi sebagian besar dilakukan di lapangan untuk ikan yang sudah pasti spesiesnya, dan sisanya dilakukan di laboratorium. Untuk pengukuran parameter suhu, salinitas, pH, DO, kecerahan dilakukan secara periodik dengan rentang waktu 2 (dua) jam sekali, kemudian dirata-ratakan dan dibuat dalam bentuk tabel Seluruh data di peroleh dikumpulkan dan dibuat tabel untuk mempermudah dalam proses perhitungan dan analisa. Analisa yang dilakukan meliputi, Indeks Keanekaragaman, indeks kemerataan, indeks kekayaan jenis, indeks similaritas. -
D C B
A
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat (2010) Gambar 1. Peta lokasi penelitian di hutan mangrove Carocok Tarusan Pesisir Selatan
Keterangan : A = Stasiun A B = Stasiun B C = Stasiun C D = Stasiun D
E ≈ 0 : Tidak merata. 3. Indeks Kekayaan Jenis.
1 .Keanekaragaman Dalam mempelajari indek keanekaragaman jenis dihitung menurut rumus dari Shannon (Bengen, 2003)
Dapat dihitung menggunakan rumus dari dalam Genisa (2006)
dengan Margalef
D = S – 1 / log N
N = Jumlah seluruh individu Ni = Jumlah individu ke I S = Jumlah jenis Tolak ukur indeks keanekaragaman tersaji pada tabel 1 (nilai indek Shanon-Wiener). Tabel1:
Nilai tolak ukur keanekaragaman
Nilai tolak ukur
indeks
Keterangan
H ̕ ˂ 1,0
Keanekaragaman rendah, miskin,produktifitas sangat rendah sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan ekosistem tidak stabil
1,0 ˂ H ̕ ˂ 3,322
Keanekaragaman sedang, produktifitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis sedang
H ̕ >3,322
Keanekaragaman tinggi, stabilitas ekosistem mantap, produktifitas tinggi, tahan terhadap tekanan ekologis
2. Indeks Kemerataan. Dapat dihitung menurut rumus dari Pielou dalam Genisa (2006) E = H / Log S H = Indek keanekaragaman S = jumlah jenis Kategori tingkat kemeretaan (Santoso 1995) E ≈ 1 : Merata.
N = jumlah seluruh individu Ni = jumlah individuke i S = Jumlah jenis 4. Similaritas / Kesamaan / Kemiripan Dalam menentukan kemiripan digunakan indeks Morisita yang didasarkan atas indeks dominasi Simpson. Untuk dua komunitas , misalnya komunitas 1 dan komunitas 2, Indeks dominasi Simpson untuk komunitas 1 dapat dihitung dengan rumus (Bengen, 2003).
X
= banyaknya individu spesies ke –i yang terdapat pada komunitas ke –1 N1 = total individu seluruhnya pada komunitas ke – 1 . ʎ1 = komunitas 1 Kriteria :Indeks dominasi antara 0 - 1 D ≤ 0,5 tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya. D ≥ 0,5 terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya. .Similaritas indeks Jaccard a JI=-------------------------a+b+c+d a = Jumlah contoh dimana terdapat kedua spesies b = Jumlah contoh dimana
terdapat hanya spesies A . c = jumlah contoh dimana terdapat hanya spesies B. d = Jumlah contoh dimana kedua spesies tidak terdapat
Berdasarkan jumlah spesies dan genus dapat dilihat dalam bentuk gambar 2 di bawah ini
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Kemelipahan Hasil Tangkapan
Dari hasil pengamatan dilapangan kawasan Teluk Tarusan mempunyai potensi ekosistem hutan mangrove, estuaria, terumbu karang, padang lamun, dan beberapa pulau sangat kecil. Hamparan hutan mangrove hampir mengelilingi seluruh pantai, dan desertai dengan bukit yang cukup tinggi yang mengelilinginya. Di bagian Timur sedang di bangun jalan menuju Desa Mandeh, Sungai Nyalo dan sungai Pinang. Berdasarkan hasil tangkapan selama penelitian terhadap iktiofauna Spesies yang berhasil tertangkap secara total adalah 1.114 ekor terdiri dari 13 spesies yang mewakili 12 genus (table 3). Akan tetapi untuk masing-masing stasiun pengamatan terdapat perbedaan untuk jumlah spesies maupun genus (table 2). Dari tabel 2 dan gambar 2 pada stasiun A dengan hasil tangkapan berjumlah 323 ekor, terdiri dari 13 spesies dan mewakili 11 genus. Stasiun B dengan hasil tangkapan 245 ekor, yang terdiri dari 11 spesies terdiri dari 10 genus. Stasiun C dengan hasil tangkapan berjumlah 223 ekor, terdiri dari 10 spesies dan mewakili 9 genus Stasiun D dengan hasil tangkapan 323 ekor, yang terdiri dari 5 spesies terdiri dari 5 genus.
Gambar 2. Jumlah spesies dan genus untuk tiap stasiun (2015) Gambar 3. Dibawah ini menggambarkan ketidakstabilan jumlah individu ditiap stasiun
Gambar 3 Grafik Kemelimpahan jumlah individu ,untuk tiap stasiun (2015) Gambar 3 melukiskan kemelimpahan jumlah individu, yang berhasil ditangkap di setiap stasiun di daerah mangrove perairan pantai Carocok Tarusan. Disini dapat dengan jelas dilihat perbandingan jumlah individu antara stasiun A, stasiun B ,stasiun C, dan stasiun D. Stasiun A ,
dan stasiun B mengambarkan bahwa total individu cukup tinggi, Sedangkan antara stasiun A, stasiun B, dan stasiun C perbedaan jumlah spesies tidak begitu mencolok, . Yaitu untuk stasiun A 13 spesies, stasiun B 11 spesies dan stasiun C 10 spesies,
dan stasiun D 5 spesies. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 2.. Sedangkan antara stasiun A, stasiun B, dan stasiun C perbedaan jumlah spesies tidak begitu mencolok. Yaitu untuk stasiun A 13 spesies, stasiun B 11 spesies, stasiun C 10 spesies
Tabel 2..Keanekaragaman jenis ikan di daerah perairan hutan mangrove Pantai CarocokTarusan Kab. Pesisir Selatan Nama No
Stasiun
Genus/species
Total Comon
Lokal
A
B
C
D
1
Epinephelus lanceolatus
Kerapu kertang
Kerapu .karatang
15
9
--
--
24
2
Epinephelus coioides
Kerapu lumpur
Kerapu .lumpur
10
--
8
--
18
3
Epinephelus fuscoguttatus
Kerapu macan
Kerapu macan
4
4
2
--
10
4
Lutjanus fulviflamus
Tanda 2
Tando 2
4
--
--
--
4
5
Lutjanus argentimaculatus
Kakap .merah
Nawi
--
--
--
25
25
6
Apogon ceramensis
Siriding
Sariding
119
107
74
58
358
7
Mugil dussumieri
Belanak
Belanak
30
11
1
133
175
8
Panaeus monodon
Udang windu
Udang .windu
43
29
35
--
107
9
Scyla serata
Kepiting bakau
Kepiting
14
17
16
69
116
.bakau 10
Siganus javus
Baronang
Baronang
32
31
32
--
95
11
Tetraodon stellatus
Buntal
Bonta
20
8
33
--
61
12
Lates calcarifer
Kakap .putih
Kakap .putih
11
10
--
--
21
13
Toxotes jaculatos
Sumpit
Sumpit
13
14
15
38
80
14
Zanclus cornutus
Bona
Bona
8
5
--
--
13
15
Tylosurus macrolepis
Todak
Todak
--
--
7
--
7
Total Individu
323
245
223
323
1.114
Total Species
13
11
10
5
15
Total Genus
11
10
9
5
12
25 %
Mahmudi et.all.,(2008), menjelaskan bahwa dan stasiun D 5 spesies. Untuk lebih jelas sarasah mangrove yang jatuh dan tertimbun dapat dilihat pada gambar 4. di lantai hutan mangalami dekomposisi oleh berbagai jasad renik untuk menghasilkan detritus dan mineral bagi kesuburan tanah, serta sumber bagi kehidupan fitoplankton yang berkedudukan sebagai produser primer 4.2.
Gambar 4. Grafik jumlah spesies tiap stasiun (2015) Indeks keanekaragaman dari hasil penangkapan untuk ke empat lokasi stasiun dapat dilahat dalam tabel 3, disini terlihat perbandingan antara stasiun A, B, C, dan D. Tabel 3. Indeks keanekaragaman Jenis (H),indeks kemerataan (E), indeks .kekayaan jenis (D) similaritas /kesamaan / kemiripan (λ). Stasiun Indeks No
A
B
C
D
1
H
0,1566
0,0698
0,0782
0,1231
2
E
0,1406
0,0696
0,0818
0,1835
3
D
4,7824
4,2568
3,8326
1,5941
4
Λ
0,0140
0,0211
0,0186
0,0530
Ji
AB = 73 %
BC = 53 %
CD = 26,66 %
AC = 60 %
BD = 26 %
AD
=
Indeks keanekaragaman (H)
Berdasarkan data pada table 1, menunjukkan bahwa apabila indek keanekaragaman kecil dari 1, hal ini menunjukkan keanekargaman rendah, miskin, produktifitas sangat rendah sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan ekosistem tidak stabi. Dari hasil analisis yang dilakukan tentang keanekaragaman menunjukkan angka kecil dari 1 (Tabel 3). Menunjukkan rata-rata indeks keanekaragaman dibawah angka satu yaitu, 0,0725 -0,1487. Menurut Lloyod & Ghelardi (1964) dalam Ganesa (2006) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis tinggi bila banyak jenis yang mendominasi ekosistem tersebut, dan keanekaragaman jenis rendah bila hanya satu jenis saja yang terdapat di dalamnya mendominasi komunitas tersebut. Tinggi rendahnya keanekaragaman jenis di pengaruhi oleh banyak factor dan salah satu factor adalah kualitas lingkungan. Pada tabel 3 jelas terlihat bahwa indeks keanekaragaman jenis (H) untuk ke empat perairan berkisar antara 0,0725 – 0,1487 dimana spesies Apogon ceremensis (siriding) yang hampir mendominasi di seluruh perairan dengan jumlah 358 ekor, sedangkan yang berikutnya didominasi oleh
spesies Mugil dussumieri (Belanak) dengan jumlah 175 ekor. Menurut MC Manus et all. ,(1981) dalan Genisa(2006), melaporkan bahwa perbedaan keragaman jenis ikan erat hubungan dengan subtract, sedangkan kelimpahan erat hubungan dengan kesuburan perairan . hasil lain menunjukkan bahwa sebagian besar ikan yang tertangkap berada pada stadia fingerling (ikan muda) dan Juvenil (benih). Dibandingkan dengan hasil penelitian tersebut nampak bahwa keanekaragaman di perairan pantai Carocok cukup rendah. Ini menunjukkan indikasi bahwa bahwa hasil tangkapan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan diantaranya adalah, luas lokasi, habitat, musim, kedalamn perairan, subtrat, dan lain sebagainya. Menurut Lloyod & Ghelardi (1964) dalam Genisa (2006) mengatakan bahwa keanekaragaman jenis tinggi bila banyak jenis yang mendominasi ekosistem tersebut dan keanekaragaman jenis rendah bila hanya satu jenis saja yang terdapat didalamnya mendominasi komunitas tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan , yaitu hanya beberapa jenis ikan yang mendominasi. Berdasarkan data ini sudah bisa dipastikan bahwa keanekaragaman tergolong rendah. Hal ini akibat dari kondisi dari parameter lingkungan. 4.3. Indek Kemerataan (E). Indek kemerataan(E) yang diperoleh dari keempat perairan berkisar antara 0,0696 – 0,1835. Menurut Adum (1971) dalam Genisa (2006) nilai indek kemerataan itu tinggi jika tidak terjadi pemusatan individu pada suatu jenis tertentu. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan untuk keempat perairan menunjukkan indek kemerataan stasiun D tertinggi yaitu yaitu
karena species Mugil dussumieri (Belanak) mempunyai jumlah individu yang tertangkap sangat tinggi yaitu 133 ekor. Tingginya hasil tangkapan di stasiun D ini selain perairan in cukup jauh dari perairan lainnya juga dipengaruhi oleh factor salinitas, karena ikan ini umunya sering berada pada perairan yang salinitasnya relative rendah yaitu rata-rata pada saat pasang 29 ppt dan pada saat surut 27 ppt, hal ini dikarenakan oleh perairan ini di aliri oleh aliran sungai yang cukup besar. Untuk melihat tingkat Indek kemerataan(E) pada suatu tempat perairan dapat dilihat pada angka indeks kemerataan yang diperoleh dari keempat stasiun berkisar antara 0,0696 – 0,1835. Menurut Adum (1971) dalam Genisa (2006) nilai indeks kemerataan itu tinggi jika tidak terjadi pemusatan individu pada suatu jenis tertentu. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan untuk keempat stasiun menunjukkan indek kemerataan stasiun D yang lebih tinggi yaitu 0,1835, kemudian dilanjutkan dengan stasiun A yang indek kemerataannya 0,1406 tertinggi kedua setelah stasiun D karena perairan ini didominasi oleh tertangkapnya jenisi Apogon ceramensis(Seriding) sebanyak 119 ekor. Dari hasil penelitian jenis ikan ini tertangkap hampir merata di seluruh stasiun . Untuk stasiun D yaitu karena species Mugil dussumieri (Belanak) mempunyai jumlah individu yang tertangkap sangat tinggi yaitu 133 ekor. 4.4.
Indek Kekayaan Jenis (D)
Indek kekayaan jenis (D) keempat stasiun berkisar 1,5941 – 4,7099. Dapat kita lihat dari keempat stasiun, species yang paling banyak tertangkap adalah stasiun A dengan jumlah 13 species dengan nilai indek kekayaan jenis 4,7099. Sedangkan
kekayaan jenis yang paling rendah adalah stasiun D yaitu individu yang tertangkap berjumlah 5 species dengan indek kekayaan jenis 1,5941 (Tabel 3).. Apabila dibandingkan dengan yang dilakukan di empat stasiun pengamatan, ,jenis yang paling banyak tertangkap pada stasiun D adalah berjumlah 58 jenis. Jadi dapat dikatakan bahwa kekayaan jenis di empat lokasi perairan tergolong rendah apabila dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Genisa (1999) Indeks kekayaan jenis keempat stasiun di daerah mangrove sungai Musi Banyuasin selama 4 kali pengamatan mempunyai nilai lebih tinggi yaitu antara 17,6880 – 30,7066. Berdasarkan perbandingan ini sudah jelas bahwa bahwa perairan Pantai Carocok tergolong rendah hal ini disebabkan oleh factor lingkungan. Apabila lingkungan sudah rusak, akan berakibat pada habitat iktiofauna pada perairan tersebut akan terganggu. 4.5.
Similiritas / Kesamaan / Kemiripan
Berdasarkan tabel 3 jelas terlihat bahwa nilai indek similiritas keseluruhan stasiun tergolong rendah, dengan kisaran 0,0128 – 0,0530. Hal ini berarti terdapat stasiun yang hampir tidak mengalami dominasi spesies tertentu. Dari keempat stasiun, hanya stasiun D yang mempunyai nilai indek similiritas yang lebih tinggi, yaitu 0,0530, Hal ini menunjukkan perairan tersebut mempunyai kekayaan jenis yang rendah dengan sebaran tidak merata, sedangkan staiun A, B, dan C bisa dikatakan mengalami mendekati hampir sama yaitu, 0,0140, 0,0211, dan 0,0186. Dengan adanya nilai indeks ini menandakan bahwa tidak semua spesies memiliki daya adaptasi dan kemampuan bertahan hidup yang sama di suatu tempat. Dengan kata
lain bahwa untuk setiap spesies mempunyai habitat hidupnya masing-masing. Apabila habitat terganggu secara otomatis spesies ini tidak akan bertahan hidup, dengan kata lain akan pindah ketempat lain yang habitatnya sesuai. Dari pengamatan dilapangan membuktikan bahwa kerusakan hutan mangrove akan mempengaruhi ekosistem pada perairan tersebut. Fungsi kemiripan menghitung kesamaan dan ketidaksamaan antara dua objek yang diobservasi. Objek yang dimaksud disini adalah komunitas yang saling berbeda menyatakan bahwa kemiripan suatu komunitas dengan komunitas lain dapat dinyatakan dengan koefisien similiritas ( similarity coefficients) dan memiliki nilai yang bervariasi antara 0 (jika kedua komunitas benar-benar berbeda) hingga 1 (jika kedua komunitas identik). Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan nilai similitas stasiun A nilai similiritasnya adalah 0,0128, stasiun B =0,0211, stasiun C= 0,0186 dan stasiun D adalah 0,0530. Berarti untuk kempat stasiun ini tergolong rendah . Pengujian similaritas indeks jaccard di dasarkan pada ada / hadir atau tidaknya dalam suatu penarikan contoh. Jadi disini dapat dilihat hubungan antara satu perairan dengan perairan yang lainnya. Dari hasil analisa yang dilakukan hubungan stasiun A dengan stasiun B, didapatkan hubungan kehadiran species stasiun A dengan species stasiun B sebanyak 73 %. Ini berarti hubungan stasiun A dan stasiun B sangat dekat apabila dibandingkan dengan stasiun C dan D. Hubungan kedekatan kedua antara stasiun A dengan stasiun C yaitu sebanyak 60 %. Ini berarti hubungan kedua terdekat adalah dengan stasiun C, dibandingkan dengan stasiun D.
Sedangkan hubungan kedekatan ketiga stasiun A adalah dengan perairan D yaitu sebanyak 25 % . Sedangkan hubungan kedekatan species stasiun B dengan stasiun C sebanyak 53 %, demikian juga halnya dengan Species stasiun B dengan stasiun D sebanyak 26 %(Tabel 3).Untuk lebih jelasnya hubungan similaritas ini dapat juga digambarkan dalam bentuk grafik , yaitu antara perairan A, B, C, dan D (Gambar 4)
Gambar
4. Garafik hubungan similaritasi antara stasiun A,B,C, dan D, (2015).
masyarakat,dan limbah pelabuhan. Sedangkan untuk perairan B memang berdekatan dengan stasiun A namun mempunyai kondisi lingkungan yang berbeda. Dari hasil penelitian dilpangan bahwa stasiun B masih banyak di jumpai beberapa kelompok terumbu karang yang masih hidup dan hutan mangrove yang kerusakannya masih belum parah, dan mempunyai ketebalan sedimen rata-rata 10,45 cm.. Hubungan kedekatan kedua antara stasiun A dengan stasiun C yaitu sebanyak 60 %. Ini berarti hubungan kedua terdekat adalah dengan stasiun C, dibandingkan dengan stasiun D. Untuk perairan mempunyai subtrat yang lumpur berpasir dengan ketebalan rata-rata 4,5 cm. Untuk lokasi stasiun C di depan perairan masih ditemukan terumbu karang yang masih hidup dan beberapa keramba jaring apung masyarakat, dan berdekatan dengan pintu masuk air laut saat pasang. Sedangkan hubungan kedekatan ketiga stasiun A adalah dengan stasiun D yaitu sebanyak 25 %. Untuk lokasi stasiun D memang berdekatan dengan muara sungai yang cukup besar yang berada di tengah hutan mangrove. Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah species sedikit dibandingkan dengan species lainnya, tetapi mempunyai jumlah individu yang mendominasi cukup banyak. Sedangkan hubungan kedekatan species stasiun B dengan stasiun C sebanyak 53 %, demikian juga halnya dengan Species stasiun B dengan stasiun D sebanyak 26 %(Tabel 3). Untuk lebih jelasnya hubungan asosiasi ini dapat juga digambarkan dalam bentuk grafik , yaitu antara stasiun A, B, C, dan D (Gambar 4)
Pengujian similaritas di dasarkan pada ada / hadirnya atau tidaknya dalam suatu penarikan contoh. Jadi disini dapat dilihat hubungan antara satu perairan dengan perairan yang lainnya. Dari hasil analisa yang dilakukan hubungan yang pertama, yaitu stasiun A dengan stasiun B, didapatkan hubungan kehadiran species stasiun A dengan species stasiun B sebanyak 73 %. Ini berarti hubungan stasiun A dan stasiun B sangat dekat apabila dibandingkan dengan stasiun C dan D .Kita ketahui bahwa stasiun A lokasinya berdekatan dengan lokasi pelabuhan, yaitu sedimen yang tebal yaitu rata-rata 32,25 cm. Hal ini disebabkan oleh aktifitas pelabuhan,disamping aktifitas penduduk yang tidak terkendalikan, yaitu 4.6. Hubungan Keanekaragaman dengan berupa pembuangan hasil limbah Parameter lingkungan
Suhu rata-rata pada setiap stasiun menunjukkan fluktuasi yang relatif kecil. Untuk stasiun A, suhu rata-rata pada saat pasang 31,45ºC dan pada saat surut 30ºC. Stasiun B suhu rata-rata pada saat pasang 30,25ºC dan pada saat surut 29,50ºC. Stasiun C suhu rata-rata pada saat pasang 32,30ºC dan pada saat surut 29,40ºC. Sedangkan untuk stasiun D suhu rata-rata pada saat pasang 31,40ºC dan pada saat surut 29,45ºC. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, melaporkan bahwa suhu optimal untuk hutan mangrove berkisar antara 28 -- 32⁰C. sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan menggambarkan bahwa suhu rata-rata di hutan mangrove masih dalam batas normal yaitu 29,50--32⁰C mendukung dalam kehidupan biota-biota serta pertumbuhan hutan mangrove (tabel 4).
Kadar salinitas setiap perairan berfluktuasi relatif kecil. Untuk stasiun A, pada saat pasang 31 ppt dan saat surut 30 ppt. Stasiun B pada saar pasang 32 ppt dan saat surut 31 ppt. Stasiun C pada saat pasang 32 ppt dan pada saat surut 32 ppt. Sedangkan untuk stasiun D pada saat pasang 29 ppt dan pada saat surut 27 ppt. Sesuai dengan laporan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, bahwa salinitas untuk kehidupan biota laut di hutan mangrove yaitu 0 (nol) sampai 34 ppt. Dengan demikian kadar salinitas perairan Carocok Tarusan berada dalam kondisi ideal, yaitu 27 - 32 ppt hal ini karena adanya masukan air laut pada saat pasang dan masukan air tawar daridari beberapa anak sungai yang bersumber dari perbukitan di sekitarnya. untuk lebih jelas lihat tabel 4 dan gambar 3.
Gambar 3. Grafik hubungan antara salinitas dengan indeks keanekaragakan tiap stasiun, Gambar 2. Grafik hubungan antara suhu 2015 dengan indeks keanekaragaman tiap stasiun, Begitu juga halnya dengan dengan 2015. kadar pH (Puissance negative de H atau Gambar 3. Grafik hubungan antara salinitas logaritma negative dari kepekatan ion H dengan indeks keanekaragakan tiap yang terlepas dalam suatu larutan/ cairan) di perairan Carocok Tarusan yaitu: Untuk stasiun, 2015. stasiun A pada saat pasang 7,10 dan saat surut 6,45. Untuk stasiun B pada saat
pasang 7,00 dan pada saat surut 6,90. Berdasarkan ketentuan ini dapat Untuk stasiun C pada saat pasang 7,00 dan dikatakan pH perairan pantai Carocok saat surut 7,00. Tarusan ideal, yaitu kisaran pH 6,45 – 7,10,(tabel 4 dan gambar 4).
Tabel 4. Data hasil pengukuran parameter liongkungan pada masing-masing stasiun. Stasiun N o
Parameter
Sa tuan
A
B
C
D
Pasang
Surut
Pasang
Surut
Pasang
Surut
Pasang
Surut
1
Suhu
ºC
31,45
30,12
30,25
29,50
32,30
29,75
31,40
29,45
2
Salinitas
PPT
31
30
32
31
32
32
29
27
7,10
6,45
7,00
6,90
7,00
7,00
7,00
6,50
5,2
5,5
5,3
5,5
5,5
5,5
5,5
5,5
3 4
PH DO
-ppm
5
Kedalaman
m
1,4
0,2
1,4
0,2
1,4
0,2
1,4
0,2
6
Kecerahan
m
0,5
0,2
0,4
0,2
0,6
0,2
0,7
0,2
7
Ketebalan sedimen
Cm
52,25
52,25
45,45
45,45
30,5
30,5
47,0
47,0
Lumpur ber
Lum pur ber
Lum pur ber
Lumpur ber
pasir
pasir
8
Subtrat
Lumpur berpasir
Lum pur ber
Lumpur berpasir
Pasir
. Demikian juga halnya dengan stasiun D pada saat pasang 7,00 dan pada saat surut 6,50. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, melaporkan bahwa pH yang ideal untuk biota air laut adalah berkisar antara 6,5 -- 8,5. Sama dengan Suwondo at.all., (2006) menjelaskan bahwa kisaran pH 6,5 – 9 masih mendukung Gambar kehidupan perairan mangrove. Berdasarkan ketentuan ini dapat dikatakan pH perairan pantai Carocok Tarusan ideal, yaitu kisaran pH 6,45 – 7,10,(tabel 4 dan gambar 4).
pasir
Lumpur pasir
ber
pasir
4.Grafik hubungan antara pH dengan indeks keanekaragaman tiap stasiun, 2015.
Dengan demikian hutan mangrove yang berada di perairan Carocok Tarusan ideal untuk kehidupan iktiofauna. Untuk stasiun A pada saat pasang kadar oksigen 5,2 ppm dan surut 5,5 ppm. Untuk stasiun B pada saat pasang kadar oksigen 5,3 ppm dan surut 5,5 ppm. Stasiun C pada saat pasang kadar oksigen 5,5 ppm dan saat surut 5,3, sedang untuk stasiun D pada saat pasang kadar oksigen 5,5 ppm dan saat surut 5,5 ppm, (tebel 4 dan gambar 5). Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, melaporkan bahwa kadar oksigen terlarut yang ideal untuk kehidupan ikan dalan air adalah > 5 ppm, jika kurang dari itu resiko kematian ikan akan semakin tinggi. Namun tidak semua ikan seperti itu, sebab ada juga beberapa ikan yang mampu hidup kadar oksigen ekstrim. Berdasarkan data yang diambil di lapangan pada saat penelitian rata-rata di atas 5 ppm, berarti kondisi air laut dalam batas ideal.
Dari hasil pengamatan bahwa stasiun D ini dialiri oleh sungai yang debit air yang cukub besar yang kondisi hutan mangrove tergolong rusak sedang. Berdasarkan spesies ikan yang mendominasi untuk setiap stasiun terdapat perbedaan yang cukup jelas,( gambar 6), hal ini disebabkan oleh habitat setiap spesies ikan sudah pasti berbeda. Untuk stasiun D didomoinasi oleh spesies Mugil dussumieri, karena ikan spesies ini lebih menyukai salinitas rendah, dapat dilihat pada tabel 5. Demikian juga halnya dengan spesies Luthanus argentinaculatus habitatnya lebih menyukai daerah salitas rendah yaitu daerah muara sungai. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan bahwa, untuk spesies setiap stasiun didominasi oleh spesies berbeda hal ini disebabkan oleh habitat iktiofauna itu masing-masing. Sesuai apa dikatakan oleh MC Manus et. all.,(1981) dalam Genisa (2006), menjelaskan bahwa perbedaan keragaman jenis ikan erat hubungannya dengan subtract, sedangkan kelimpahan erat hubungannya dengan kesuburan perairan.
Ket. Ac = Apogon ceramensis Pm = Panaeus monodon Sj = Siganus javus Ts = Tetraodon stellatus Md = Mugil dussumieri Ss = Scyla serrata
Gambar 5. Grafik hubungan DO dengan indeks keanekaragaman tiap Gambar 6 . Grafik jumlah spesies yang stasiun,2015. dominan tiap stasiun, 2015. Kalau dilihat dari jenis ikan yang tertangkap ternyata didominasi oleh spesies V. KESIMPULAN DAN SARAN ikan yang menyukai salinitas agak rendah.
5.1. Kesimpulan 1. Nilai indeks keanekaragaman untuk stasiun A (Carocok) ,stasiun B (Bukit Ameh), stasiun C (Pincuran Didiah), dan stasiun D (Sungai Gemuruh) tergolong rendah yaitu : rata-rata dibawah angka 1(satu). 2. Nilai indeks kemerataan rata-rata rendah yaitu < 1 (satu). 3. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan nilai similaritas memiliki nilai bervariasi diantara angka 0 (Nol) dan angka 1 (satu), 4. Indeks kekayaan jenis untuk semua perairan dapat digolong rendah karena mendekati angka 0 (Nol). 5. Spesies yang hidup di perairan A (Carocok), B (Bukit Ameh) dan C (Pincuran Didiah) bersimilaritas dekat, sedangkan dengan perairan D (Sungai Gemuruh) bersimilaritas jauh. 6. Keberadaan spesies yang hampir merata di seluruh stasiun adalah jenis Apogon ceramensis, Scyla serata, dan taxotes jaculatos. 7. Jumlah total ikan yang tertangkap di perairan pantai Carocok sebanyak 1.114 ekor yang terdiri dari 15 spesies dan 12 genus.
Intensif Sistem Tertutup yang Ramah Lingkungan. Jepara BBAP Jepara. Adiwijaya,H.2009. Kondisi Mangrove Pantai Timur Surabaya dan Dampaknya Terhadap lingkungan Hidup. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol. 1 Edisi Khusus. Asriyana,M.F. Rahadrjo,S. Sukumin, D.F. Lumban Batu, dan E.S Kartamiharja. 2009. Keanekaragaman Ikan di Perairan Teluk Kendari Sulaesi Tenggara. Jurnal Iktiologi Indonesia, 9 (2) : 97 – 112 2009. Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan. Pusat Kajian Sumberdaya Peisisr dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bengen
D.G. 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL – IPB Bogor.
Bengen,
D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor Indonesia.
Bengen,D.G. 2003. Sinopsis Teknik 5.2. Saran Pengambilan Contoh Dan Analisa Data Biofisik Sumberdaya Pesisir 1. Diharapkan untuk menjaga hutan Dan Laut. Penerbit PKSPL-IPB 023 2003. mangrove agar keanekaragaman biota disekitar mangrove dapat diperhatikan. Bengen,D.G. 2004. Sinopsis Ekosistem dan 2. Dengan melihat kondisi yang ada perlu Sumberdaya Alam Pesisir dan pemantauan secara berkala terhadap Laut Serta Prinsip keanekaragaman ikan untuk menjamin Pengelolaannya. Penerbit PKSPLIPB 02-3 2004. kemantapan ekosistem dan keberlanjutan sumberdaya ikan. Blaber, S.J.M. 1997. Fish and fisheries of tropical estuaries. Chapman &Hall. DAFTAR PUSTAKA London. 367 p. Adiwidjaya, D. 2004. Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vanamei)
Budiman, 2006. Analisis Sebaran Ikan Demersal Sebagai Basis
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Indonesia. Jurnal Oseana Volume di Kabupaten Kendal. Tesis XXIV, Nomor 1 1999 17 – 38 Program Pasca Sarjana Undip Genisa,A.S. 2003 . Sebaran dan struktur Semarang. komunitas ikan di sekitar estuaria Digul, Irian Jaya. Jurnal Ilmu Dahuri, R., Rais, J.M, Ginting S.P, dan Sitepu, M.J, 1995. Pengelolaan Kelautan dan Perikanan “Torani” Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Universitas Hasanuddin Makasar 2 Lautan Secara Terpadu. PT (12): 57 – 63. Pradnya Paramita, Jakarta. Genisa,A.S. 2004. Sebaran dan struktur Dinas Hidro-oseanografi, TNI AL ,2010. komunitas ikan di sekitar estuaria Daftar Pasang Surut / Tide Citarum, Ciliwung dan Cisadane, Tabels,Kepulauan Teluk Jakarta. Jurnal Ilmu Indonesia/Indonesia Archipelago. Kelautan Dam Perikanan “Torani” Dikeluarkan di Jakarta Oleh Dinas Universitas Hasanuddin Makasar Hidro-oseanografi, TNI AL. No.1 Vol. 14 Maret 2004 : 01 – 07. Dinas kelautan dan Perikanan Pemerintah Genisa,A.S, 2006. Keanekaragaman Fauna Sumatera Barat 2010. Laporan Ikan Di Perairan Mangrove Sungai Akhir Penyusunan Pemetaan Mahakan Kalimantan Timur. Jurnal Hutan Mangrove di Sumatera Oseanologi dan Limnologi di Barat 2010. Lokasi Kab. Pesisir Indonesia 2006. (41): 39 – 53. Selatan dan Kota Padang, Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Gunarto, 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Barat. Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Litbang Pertanian, 23 (1). Pesisir Selatan (2011) Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Hadipurnomo,1995. Fungsi dan Manfaat Mangrove di Dalam Mintakat (SLHD). Pemerintah Kabupaten Pantai (coastal Zone) , Duta Pesisir Selatan. Rimba/ Maret – April /177FAO Rome,1982. Hutching,P and 178/XXI1995. Hal 11. P.Saenger. Ecology of Mangroves. University of Queensland, Haryono, 2012. Iktiofauna Perairan Lahan Gambut Pada Musim Penghujan di London,1987 Mann, K.H. Ecology Kalimantan Tengah. Jurnal of Coastal Water. Second Edition. Iktiologi Indonesia, 12(1):83-9. Blackwell Science. 2000 Saenger, P. E. J, Hegerl, and J.P.S. Davie. Hukom,F.D, 2010. Keanekaragaman dan Global Status of Mangrove Kelimpahan Sumberdaya Ikan di Ecosystems. Teluk Klabat ,Perairan Bangka Belitung. Jurnal Iktiologi Indonesia, Fitriana,Y.R. 2006. Kenekaragaman dan 10 (1) : 11 – 23, 2010 Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Kamal,E. Hermalena,L. Tamin,R. dan Taman Hutan Raya Ngurah Rai Suardi,ML.(2005). Mangrove Bali. Jurnal Biodiversitas. Vol. 7 (1) Sumatera Barat. Pusat Kajian hal. 67-72 Januari 2006. Mangrove dan Kawasan Pesisir. Genisa,A.S. 1999. Pengenalan Jenis-Jenis Ikan Laut Ekonomis Penting Di
Penerbit Bung Hatta Press.
Kamal,2006. Potensi Dan Pelestarian Sumberdaya Pesisir Hutan Mangrove Dan Terumbu Karang Di Sumatera Barat Jurnal, Mangrove Dan Pesisir, Vol. VI (2) 2006.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders, Philadelphia, London and Toronto 574 pp.
KEPMEN Negara Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Peraturan Pemerintah Nomor. 82 Tahun 2001.Tentang Pengelolaan Laut Untuk Biota Laut. Kualitas Air Dan Pengendalian KEPMEN Negara Lingkungan Hidup No. Pencemaran Air. 201 Tahun 2004. Tentang Kriteria Baku Mutu Air Laut dan Pedoman Praditya.R.K. 2013. Ekosistem Hutan Mangrove. Teknik Lingkungan, Penentuan Kerusakan Mangrove. Fakultas Teknik Sipil & Ludwig, J.A. Reynolds.J.F. 1988. Stastical Perencanaan Universitas Islam ecology. A primer methods and Indonesia. computing. John Wiley & Sons. Purnami.A.T, Sunarto, dan Setyono.P. New York 2010. Study of Bentos Community Mahmudi,M. Soewardi,K. Kusmana,C. Based on Diversity And Similarity Hardjomiddjojo,H. dan Damar,A. Indeks In Cengklik Dam Boyolali. Jurnal Ekosains Vol. II (2) Juli 2008. Laju Dekomposisi Serasah Mangrove Dan Kontribusinya 2010. Terhadap Nutrien Di Hutan Mangrove Reboisasi. Jurnal Restu.I.W. 2002. Kajian Pengembangan Wisata Mangrove di Taman Hutan Penelitian Perikanan Vol.II (1) Juni Raya Ngurah Rai Wilayah Pesisir 2008 19-25. Selatan Bali. Tesis : Program Nuddin H. dan Graziano R, 2011. Analisis Pascasarjana Institut Pertanian Indikator Utama Pengelolaan Bogor. Hutan Mangrove Berbasis dan Kunci Masyarakat di Desa Curahsawo , Saanin,H.1984.Taksonomi Identifikasi Ikan 1. Penerbit Kec. Gending Kabupaten Binacipta. Probolinggo. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Saanin,H.1984.Taksonomi dan Kunci Hal. 29. Vol. 6 (1), Juni 2011. Identifikasi Ikan 2. Penerbit Terakreditasi B No. Binacipta. 335/AU1/P2MBI/04/2011. Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Nurgayah, W. 2008. Tesis. Tipologi Ekosistem Mangrove. Makalah Fungsional Mangrove dan disamapaikan pada Lokakarya Keterkaitannya dengan Komunitas Nasional Pengembangan Sistem Iktiofauna di Pulau Lentea Pengawasan Ekosistem Laut Kecamatan Kaledupa Selatan Tahun 2000. Jakarta Indonesia. Kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara. Simanjuntak, C.P.H, Sulistiono, Rahardjo, M.F, dan Zahid A. 2011. Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Iktiodiversitas di perairan Teluk Pendekatan Ekologis. PT Bintuni,Papua Barat. Jurnal Gramedia Jakarta. Iktiologi Indonesia, 11(2):107-126,
Suprapto, Herlisman, dan Wgiyo,K.2006. Kondisi Perairan Dasar Dan Kelimpahan Populasi Bentos Di Perairan Arafura. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.12 (3) hal. 211-217 Desember 2006. Suwondo, Febrita E, Sumanti F, 2006. Struktur Komunitas Gastropoda Pada Hutan Mangrove Di Pulau Sipora Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Jurnal Biogenesis Vol. 2 (1): 25-29 Zahid, A, Simanjuntak,C.P.H, Rahardjo, M.F, dan Sulistio. 2011. Iktiofauna Ekosistem Estuaria Mayangan Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia, 11 (1) 77-85 Juni 2011.