ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA
Oleh :
YULISTYO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul : “ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA” merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Pebruari 2006
Yulistyo C 561030154
ABSTRAK YULISTYO. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA Di bawah bimbingan Mulyono S. Baskoro sebagai ketua, Daniel R. Monintja dan Budhi Hascaryo Iskandar masing-masing sebagai anggota.
Ternate adalah salah satu kota di Maluku Utara yang mempunyai potensi kelimpahan sumberdaya perikanan tangkap yang tinggi. Berdasarkan sumber data (DKP dan LIPI 2001), sumberdaya perikanan di Ternate, Maluku Utara masih under exploited dibandingkan Laut Jawa yang menunjukkan gejala tangkap lebih (over fishing). Situasi ini membuka peluang untuk mengembangkan perikanan tangkap di Ternate dengan berpedoman pada CCRF. Tujuan penelitian ini adalah (1) menyusun suatu konsep pengembangan armada kapal perikanan yang terstruktur, baik untuk nelayan tradisional maupun perusahaan besar sekalipun dan (2) menyusun kebijakan yang nantinya dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi penga mbil keputusan dalam kaitannya dengan armada penangkapan yang akan beroperasi di perairan Maluku Utara, khususnya di Ternate. Metode analisis seperti AHP, SWOT, Analisis Finansial dan Linear Goal Programming digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapal pole and line dengan ukuran 10 - 30 GT menjadi prioritas pertama untuk dikembangkan dengan alokasi sebanyak 24 unit, diikuti dengan kapal purse seine dengan ukuran 10 - 30 GT dengan alokasi sebesar 4 unit, dan kapal handline lebih kecil dari 10 GT dengan alokasi sebanyak 347 unit. Untuk mempercepat pembangunan perikanan tangkap di Ternate, beberapa alternatif dijadikan pertimbangan untuk pelaksanaannya yaitu (1) membangun pasar untuk memasarkan hasil hasil perikanan, (2) membangun fasilitas pasca panen dan processing dan (3) membangun/mengembangkan Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate. Kata Kunci : Kapal Perikanan, Pengembangan, CCRF, Ternate, Pole and Line
ABSTRACT YULISTYO. Policy Analysis of Fishing Fleet Development Based on Code of Conduct for Responsible Fisheries in Ternate, North Maluku. Under Supervision of Mulyono S. Baskoro, Daniel R. Monintja, and Budhi Hascaryo Iskandar.
Ternate, one of the areas in the northern part of Molucas has a plenty of fisheries resources especially in capture fisheries. Based on the available data (DKP dan LIPI, 2001), this resources still under exploited comparing to the one in Java Sea which has over exploited (over fishing). This situation gives an opportunity for developing the capture fisheries in Ternate by taken into account the Code of Conduct for Responsible Fisheries. The objectives of the research are: (1) to construct a concept for fishing fleet development that applicable both for small and large scale of fisheries business, and (2) to developed design a policy related to appropriate fishing fleet that consider to be operated in Ternate. The analysis methods such as AHP, SWOT, Financial Analysis, and Linear Goal Programming are used in this research as tools to fulfill the objectives. The result show that pole and line fleet between 10-30 GT lies on the first priority to be developed with 24 units allocations then followed by purse seine between 10-30 GT with 4 units allocations and handline under 10 GT with 347 units allocations. In order to accelerate the development of fisheries sector in Ternate, some alternative considerations should be taken into account i.e. first to build a market for fisheries business, second to develop post harvest and processing facilities and the third to develop a fishing port in Ternate. Keywords: Fishing fleet, development, Code of Conduct for Responsible Fisheries, Ternate, pole and line.
ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA
Oleh :
YULISTYO C 561030154
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
LEMBAR PENGESAHAN Judul Disertasi
:
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: : :
Analisis Kebijakan Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Berbasis Ketentuan Perikanan yang Bertanggung Jawab di Ternate, Maluku Utara Yulistyo C 561030154 Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Anggota
Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Desember 1961 dari Bapak bernama Drs. H. Mudho Harsono dan Ibu bernama Hj. Suharti Sukasuwasih (Alm). Penulis menikah tahun 1988 dengan Dra. Hj. Daina Rahmi, MM dan telah dikaruniai 2 (dua) orang putra dan 1 (satu) orang putri yaitu Anandhita Kasetra, Prima Yudantra dan Chinta Yulidantri. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 3 Jakarta pada tahun 1973. Tahun 1976 menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 3 Jakarta dan selanjutnya menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Tingkat Atas di SMA Negeri 3 Jakarta tahun 1980. Sejak tahun 1980, penulis mengikuti kuliah S1 di Fakultas Perikanan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1985. Pada tahun 1986 sampai 1989 diangkat
sebagai Tenaga Teknis
Perikanan Pada Direktorat Bina Program Ditjen Perikanan Departemen Pertanian. Pada tahun 1989 Penulis mendapatkan kesempatan tugas belajar dari ASEAN-ADPC (Agricultural Development Planning Centre) Kerjasama dengan US-AID di bidang Agricultural Economic di Kasetsart University, BangkokThailand, dan selesai tahun 1991. Tahun 1992 – 1998 penulis menjadi Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Belitung Propinsi Sumatera Selatan, kemudian pada tahun 1998 – 2001 menjadi Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara/Samudera Belawan Medan, selanjutnya tahun 2001 – 2002 penulis menjadi kepala Pusat Informasi dan Pelayanan Masyarakat Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), tahun 2002 – 2004 penulis menjadi Direktur Sarana Perikanan Tangkap Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP, Tahun 2004 – 2005 menjadi Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Aparatur DKP dan selanjutnya menjadi Widyaiswara di DKP dari tahun 2005 sampai sekarang. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan Pendidikan Program Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini yang dibuat sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini merupakan
hasil
penelitian
penulis
dengan
judul
“Analisis
Kebijakan
Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Berbasis Ketentuan Perikanan yang Bertanggung Jawab di Ternate, Maluku Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada : 1. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja dan Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si sebagai komisi pembimbing; yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis hingga selesainya disertasi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc selaku Dekan Sekolah Pascasarjana, beserta staf atas penyediaan fasilitas selama penulis melaksanakan pendidikan 3. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc sebagai Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc sebagai Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, beserta staf atas segala perhatian dan penyediaan fasilitas pendidikan. 4. Departemen Kelautan dan Perikanan, selaku instansi tempat penulis bekerja yang telah memberikan izin dan bantuan untuk mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana. 5. Ketua Bappeda Kota Ternate, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate, Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate dan segenap jajarannya atas izin yang diberikan serta bantuan fasilitas selama penelitian berlangsung. 6. Ayahanda, Istri dan Anak-anak tercinta serta seluruh keluarga yang tidak pernah berhenti mencurahkan kasih sayang serta dukungannya kepada penulis dalam suka dan duka.
i
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu atas segala perhatian dan bantuannya sehingga disertasi ini dapat selesai. Penulis menyadari bahwa dalam disertasi ini masih terdapat berbagai kekurangan. Saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan agar lebih memberikan bobot terhadap kesempurnaan tulisan ini. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi terhadap pengembangan armada perikanan tangkap di Indonesia.
Bogor, Pebruari 2006
Yulistyo
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... viii 1
2
3
PENDAHULUAN ............................................................................................
1
1.1
Latar Belakang .......................................................................................
1
1.2
Perumusan Masalah ................................................................................
5
1.3
Tujuan Penelitian ....................................................................................
12
1.4
Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................
12
1.5
Manfaat Penelitian ..................................................................................
13
1.6
Kerangka Pemikiran ...............................................................................
14
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
15
2.1
Pembangunan Sub Sektor Perikanan Tangkap .......................................
15
2.2
Tujuan dan Sasaran Pembangunan Perikanan Tangkap .........................
16
2.3
Perkembangan Armada, Produksi dan Nilai Hasil Perikanan ................
18
2.4
Potensi dan Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap ......................
24
2.5
Analisis SWOT ......................................................................................
27
2.6
Memilih Keputusan yang Baik ...............................................................
28
2.7
Code of Conduct for Responsible Fisheries ...........................................
30
2.8
Analytical Hierarchy Process (AHP) ....................................................
31
2.9
Linear Goal Programming .....................................................................
32
METODOLOGI ..............................................................................................
34
3.1
Waktu dan Tempat .................................................................................
34
3.2
Metode Pengumpulan Data ....................................................................
34
3.3
Teori SWOT ...........................................................................................
35
3.4
Analytical Hierarchy Process (AHP) .....................................................
38
3.5
Analisis Finansial ..................................................................................
41
3.6
Linear Goal Programming .....................................................................
43
3.7
Code of Conduct for Responsible Fisheries ...........................................
44
3.8
Metode Analisis Tentang Kapal Perikanan ............................................
45
iii
4
5
6
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN .............................................
58
4.1
Profil........................................................................................................
58
4.2
Keragaan Perikanan Tangkap..................................................................
60
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
70
5.1
Analisis SWOT ......................................................................................
70
5.2
Analisis Kebijakan ................................................................................
82
5.3
Analisis Finansial.................................................................................... 115
5.4
Code of Conduct for Responsible Fisheries ........................................... 122
5.5
Keragaan Desain Kapal Perikanan ......................................................... 127
5.6
Linear Goal Programming ..................................................................... 140
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 146 6.1
Kesimpulan ............................................................................................. 146
6.2
Saran ...................................................................................................... 147
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 148 LAMPIRAN ........................................................................................................... 152
iv
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Tahun 2001 – 2003 .......................
18
2.
Penyediaan Ikan untuk Konsumsi Dalam Negeri Tahun 2001 – 2003 ................
19
3.
Perkembangan Ekspor Impor Perikanan Tahun 2001 – 2003 ..............................
21
4.
Perkembangan Jumlah Kapal Perikanan Tahun 2001-2003 ................................
22
5.
Perkembangan Jumlah Nelayan Tahun 2001 – 2003 ...........................................
23
6.
Produktivitas Nelayan Tahun 2001 – 2003 ..........................................................
24
7.
Tingkat Pemanfaatan SDI ....................................................................................
25
8.
Model Matriks Analisis SWOT dan TOWS ........................................................
37
9.
Nilai Skala Perbandingan Berpasangan ...............................................................
41
10.
Produksi tahunan menurut jenis ikan dan jenis alat tangkap terpilih di Maluku Utara ....................................................................................................................
62
11.
Produksi tahunan menurut jenis ikan di Kota Ternate ..........................................
62
12.
Produksi tahunan menurut jenis alat tangkap terpilih di Kota Ternate .................
63
13.
Kapal motor menurut ukuran kapal (GT) di Kota Ternate ...................................
67
14.
Jumlah unit penangkapan terpilih di Kota Ternate ...............................................
67
15.
Matriks Faktor Strategi Internal Pengembangan Armada Kapal Ikan yang Bertanggung Jawab ...............................................................................................
16.
71
Matriks Faktor Strategi Eksternal Pengembangan Armada kapal Ikan yang Bertanggung Jawab ...............................................................................................
72
17.
Model Matriks Analisis SWOT ............................................................................
73
18.
Matriks Penyusunan Rangking dalam Analisis SWOTpada Pengembangan Armada Kapal Perikanan yang Bertanggung Jawab ...........................................
19.
Penentuan Prioritas Kebijakan Pengembangan Armada Kapal Perikanan yang Bertanggung Jawab ...............................................................................................
20.
74
Target dan Realisasi Penerimaan Pungutan Perikanan Bersumber dari Pemanfaatan Sumberdaya Ikan.............................................................................
21.
74
90
Hasil Penilaian Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap di Kota Ternate untuk Tingkat 2 (Kriteria) dan Tingkat 3 (Kendala ) ............................................. 105
v
22.
Hasil Penilaian Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap di Kota Ternate untuk Tingkat 4 (Alternatif) ................................................................................. 105
23.
Perkembangan Produksi Perikanan dirinci Menurut Kecamatan pada Tahun 2002-2004.............................................................................................................. 107
24.
Perkembangan Armada Penangkapan Ikan di Kota Ternate Tahun 2002-2004 .................................................................................................. 108
25.
Skor untuk Kriteria dan Permasalahan dalam Kebijakan Pengembangan Armada Penangkapan Ikan di Kota Ternate ........................................................ 111
26.
Skor untuk Alternatif dalam Kebijakan Pengembangan Armada Penangkapan Ikan di Kota Ternate.............................................................................................. 114
27.
Analisis Net Present Value (NPV) Usaha Perikanan Berdasarkan Jenis Alat Tangkap ................................................................................................................. 115
28.
Analisis Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Usaha Perikanan Berdasarkan Jenis Alat Tangkap ................................................................................................ 116
29.
Analisis Internal Rate of Return (IRR) Usaha Perikanan Berdasarkan Jenis Alat Tangkap ................................................................................................................. 117
30.
Nilai Scoring Berdasarkan NPV, B/C, IRR .......................................................... 117
31.
Analisis Finansial Berdasarkan Klasifikasi Ukuran Kapal .................................. 118
32.
Kenaikan harga ikan akibat kenaikan BBM ........................................................ 120
33.
Analisis Finansial dengan Harga BBM per 1 Nopember 2005 dan dengan Harga Ikan Naik Rata-rata 10% ........................................................................... 120
34.
Hasil skoring alat tangkap yang memenuhi Code of Conduct for Responsible Fisheries ................................................................................................................ 123
35.
Ukuran Pokok Kapal Kelas 10 GT yang Disurvei................................................ 128
36.
Perhitungan Hidrostatik Kapal 10 GT pada Sarat Air 1.08 Meter........................ 131
37.
Perhitungan Hidrostatik Kapal 10 GT pada Sarat Air 1.45 Meter........................ 132
38.
Parameter Bentuk Kapal 10 GT yang Disurvei..................................................... 133
39.
Scantling Kapal 10 GT yang Disurvei serta Ketentuan BKI ................................ 133
40.
Hasil Surve i Ukuran Kapal 10 GT ........................................................................ 134
41.
Biaya Investasi Kapal Uk uran 10 GT dengan Pole and Line ............................... 138
42.
Biaya Modal Kerja Kapal Ukuran 10 GT dengan Pole and Line .......................... 138
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Peta Potensi Ikan..............................................................................................
4
2.
Diagram Alir Kerangka Pemikiran ..................................................................
14
3.
Metode Moorsom / Sympson’s Rules .............................................................
55
4.
Peta Propinsi Maluku Utara .............................................................................
58
5.
Produksi tahunan menurut jenis ikan di Kota Ternate .....................................
63
6.
Perkembangan produksi tahunan menurut jenis alat tangkap terpilih di Kota Ternate .................................................................................................
64
7.
Musim Puncak Penangkapan Untuk Pelagis Besar .............................................
65
8.
Perkembangan Kapal Motor Menurut Ukuran Kapal (GT) di Kota Ternate ...
67
9.
Perkembangan Jumlah Unit Penangkapan Terpilih di Kota Ternate ...............
68
10.
Hirarki Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap di Kota Ternate ..........
104
11.
Diagram Tingkat Permasalahan dalam Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap di Kota Ternate .................................................................................
12.
105
Diagram Tingkat Alternatif dalam Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap di Kota Ternate ..................................................................................
105
13 Perkembangan produksi perikanan Kota Ternate per Kecamatan ...................... 107 14
Perkembangan armada penangkapan ikan di Kota Ternate ................................ 108
15.
Hirarki Kebijakan Pengembangan Armada Penangkapan Ikan di Kota Ternate ................................................................................................
113
16.
Data Pasokan BBM Solar di PPN Ternate ......................................................
121
17.
Rencana Garis (Lines Plan) Kapal Multipurpose 10 GT .................................
130
18.
Desain Kapal Pole and line 10 GT ..................................................................
135
19.
Desain kapal purse seine 10 GT ......................................................................
136
20.
Hasil Analisis Data Linear Goal Programming................................................
143
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Perhitungan Tingkat Pengembalian Internal Rate of Re turn (IRR), Ratio Biaya-Manfaat (Benefit Cost Ratio) dan Nilai Manfaat Bersih Sekarang (Net Present Value) untuk Kapal dengan Alat Tangkap Pole and Line 10 – 30 GT...........................................................................................................
2
153
Perhitungan Tingkat Pengembalian Internal Rate of Return (IRR), Ratio Biaya-Manfaat (Benefit Cost Ratio) dan Nilai Manfaat Bersih Sekarang (Net Present Value) untuk Kapal dengan Alat Tangkap Purse Seine 10 – 30 GT...........................................................................................................
3
154
Perhitungan Tingkat Pengembalian Internal Rate of Return (IRR), Ratio Biaya-Manfaat (Benefit Cost Ratio) dan Nilai Manfaat Bersih Sekarang (Net Present Value) untuk Kapal dengan Alat Tangkap Bottom Hand Line = 10GT ................................................................................................................
4
155
Perhitungan Tingkat Pengembalian Internal Rate of Return (IRR), Ratio Biaya-Manfaat (Benefit Cost Ratio) dan Nilai Manfaat Bersih Sekarang (Net Present Value) untuk Kapal dengan Alat Tangkap Pole And Line 10 – 30 GT dengan Harga BBM Solar Rp. 4300/liter dan Harga Ikan Naik Rata-rata 10% ......................................................................................................
5
156
Perhitungan Tingkat Pengembalian Internal Rate of Return (IRR), Ratio Biaya-Manfaat (Benefit Cost Ratio) dan Nilai Manfaat Bersih Sekarang (Net Present Value) untuk Kapal dengan Alat Tangkap Purse Seine 10 – 30 GT dengan Harga BBM Solar Rp. 4300/liter dan Harga Ikan Naik Rata-rata 10% ......................................................................................................
6
157
Perhitungan Tingkat Pengembalian Internal Rate of Return (IRR), Ratio Biaya-Manfaat (Benefit Cost Ratio) dan Nilai Manfaat Bersih Sekarang (Net Present Value) untuk Kapal dengan Alat Tangkap Bottom Hand Line = 10GT dengan Harga BBM Solar Rp. 4300/liter dan Harga Ikan Naik
7.
Rata-rata 10% ......................................................................................................
158
Kapal Huhate (Pole and Line) 10 – 30 GT..........................................................
159
viii
8
Kapal Purse Seine (Pajeko).................................................................................
160
9
Kapal Bottom Handline = 10 GT ........................................................................
161
10
Kapal Gillnet = 10 GT.........................................................................................
162
11
Ikan Hasil Tangkapan..........................................................................................
163
ix
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan terpusat seperti pada era lalu dianggap tidak akan mampu lagi mengikuti dinamika masyarakat dan perubahan eksternal yang berkembang semakin cepat, sehingga desentralisasi pembangunan dinilai memiliki makna yang semakin penting. Inti dari desentralisasi ini pada dasarnya adalah pemberdayaan wilayah dan masyarakat, serta pengembangan prakarsa dan kreativitas
lokal.
Desentralisasi
memungkinkan
daerah-daerah
tersebut
mempunyai kewenangan dan keleluasaan yang lebih besar untuk melaksanakan kebijakan sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat serta kondisi daerahnya masing- masing. Salah satu wujud dari implementasi desentralisasi adalah ditindakla njutinya gagasan otonomi daerah melalui penetapan UU nomor 22/1999 jo UU nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal menarik yang patut dicermati adalah adanya salah satu pasal yang mengatur kewenangan daerah dalam pengelolaan wilayah perairan laut dalam skenario otonomi daerah. Disebutkan dalam Pasal 10, bahwa daerah propinsi berwenang mengelola wilayah laut maksimum sejauh 12 mil dari garis pantai, sementara daerah tingkat dua (Dati II) berwenang mengelola wilayah laut sejauh sepertiga dari batas kewenangan daerah propinsi atau sekitar 4 mil laut dari garis pantai. Jenis kewenangan tersebut mencakup pengaturan kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, serta penegakan hukum. Jelas bahwa implementasi otonomi daerah membawa sejumlah implikasi terhadap
aktivitas
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan.
Pertama,
sudah
seharusnya daerah mengetahui potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar untuk meregulasi pengelolaan sumberdaya, seperti penentuan jenis dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai di daerahnya. Kedua, daerah dituntut bertanggung jawab atas kelestarian sumberdaya perikanan di daerahnya itu. Ketiga, semakin terbuka peluang bagi masyarakat lokal, utamanya nelayan untuk terlibat dalam proses pengelolaan sumberdaya.
Disisi lain, globalisasi perekonomian dan liberalisasi perdagangan dunia sangat mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia yang menganut sistem ekonomi terbuka. Globalisasi perekonomian dunia yang semakin kompleks dan kompetitif menuntut tingkat efisiensi yang tinggi. Pergerakan ke arah tingkat efisiensi ini menuntut penggunaan teknologi tinggi yang semakin intensif yang harus tetap memperhatikan asas-asas kelestarian lingkungan, serta kemampuan manajerial dan profesionalisme yang semakin meningkat pula. Dampak lain dari kondisi tersebut adalah persaingan yang ketat dalam kualitas produk termasuk produk dan jasa dari sub sektor perikanan tangkap. Terdapat 7 alasan utama mengapa sektor kela utan dan perikanan perlu dibangun. Pertama, Indonesia memiliki sumber daya laut yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. Kedua, Indonesia memiliki daya saing (competitive advantage) yang tinggi di sektor kelautan dan perikanan sebagaimana dicerminkan dari bahan baku yang dimilikinya serta produksi yang dihasilkannya. Ketiga, industri di sektor kelautan dan perikanan memiliki keterkaitan (backward and forward linkage) yang kuat dengan industri- industri lainnnya. Keempat, sumber daya di sektor kelautan dan perikanan merupakan sumber daya yang selalu dapat diperbaharui (renewable resources) sehingga bertahan dalam jangka panjang asal diikuti dengan pengelolaan yang arif; Kelima, investasi di sektor kelautan dan perikanan memiliki efisiensi yang relatif tinggi sebagaimana dicerminkan dalam Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang rendah (3,4) dan memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi pula seperti digambarkan dengan Incremental Labor Output Ratio (ILOR) sebesar 7-9. Keenam, pada umumnya industri perikanan berbasis sumberdaya lokal dengan input rupiah namun dapat menghasilkan output dalam bentuk dolar. Ketujuh, dengan berkembangnya sektor kelautan dan perikanan nasional akan semakin mendukung upaya peningkatan ketahanan nasional, mengingat wilayah laut di KTI hingga saat ini merupakan salah satu basis wilayah praktek perikanan ilegal oleh kapal ikan asing (Dahuri, 2003). Usaha penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia saat ini telah berkembang dengan pesat. Perkembanga n tersebut, telah menyebabkan tingginya tekanan pemanfaatan terhadap sumberdaya ikan di beberapa wilayah
2
perairan Indonesia, sehingga telah menyebabkan terjadinya over fishing seperti di laut Jawa dan Selat Malaka. Namun demikian di beberapa WPP lainnya masih terdapat peluang usaha penangkapan yang masih dapat dikembangkan seperti di WPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Bila perkembangan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak terkendali hingga tingkat pemanfaatannya melebihi daya dukung sumberdayanya, maka kelestarian sumberdaya ikan akan terancam, dan sebagai akibatnya kelangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan juga akan terancam. Agar kelestarian sumberdaya ikan dapat dipertahankan dan kelangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan dapat terjamin, maka pengelolaan sumberdaya ikannya harus dilakukan secara benar. Pengelolaan sumberdaya ikan secara benar adalah sesuai dengan Undang-Undang Perikanan No 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Kode Etik Perikanan yang bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries/CCRF ). Dengan menerapkan pengelolaan sumberdaya ikan secara benar diharapkan dapat mencegah terjadinya penangkapan yang berlebihan atau dapat memulihkan status sumberdaya ikan yang telah mengalami degradasi (Dahuri, 2002). WPP di wilayah Ternate menurut penelitian BRKP masih bisa dilakukan eksploitasi. Berdasarkan hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, BRKP DKP pada tahun 2001, untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over fishing seperti di Perairan Selat Malaka (176,29 %), Laut Jawa dan Selat Sunda (171,72 %) serta Laut Banda (102,74 %). Sedangkan tingkat pemanfaatan di wilayah pengelolaan lainnya adalah Laut Flores dan Selat Makassar sebesar 88,12 %, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 46,84 %, Laut Arafura 42,67 % dan Laut Maluku, Teluk Tomini dan Seram 41,83 % (PRPT-BRKP, 2001). Peluang pengembangan masih dapat dilakukan di Wilayah Pengelolaan Perikanan untuk Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram untuk SDl pelagis besar, pelagis kecil dan demersal. Menurut Peta potensi ikan di Ternate masih bisa dieksploitasi untuk ikan Cakalang dengan potensi 36.000 ton baru di produksi 18.000 ton dan Ikan Albakora dengan potensi 34.000 ton baru diproduksi 15.000 ton (www.dkp.go.id).
3
Sumber : BRKP – DKP (2001).
Gambar 1 Peta Potensi Ikan Sumberdaya ikan yang cukup melimpah tidak mempunyai arti dari sisi ekonomi apabila tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dan sis tematis untuk mendayagunakannya sehingga mampu memberikan manfaat secara berkelanjutan. Salah satu sarana yang sangat penting dalam rangka memanfaatkan sumberdaya ikan di laut adalah armada penangkapan ikan berupa kapal dan alat penangkap ikan. Selama ini pengembangan armada perikanan harus diakui belum ditangani secara memadai karena adanya berbagai masalah, terutama yang terkait dengan kewenangan dalam pembinaannya yang masih menyebar di berbagai institusi. Untuk itu perlu adanya kesamaan persepsi dan langkah-langkah dari seluruh pihak sehingga armada perikanan Indonesia dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan. Armada penangkapan ikan yang di kota Ternate masih perlu dikembangkan mengingat bahwa secara fisik-geografis sebagian besar wilayah KTI termasuk Ternate adalah laut yang mengandung kekayaan sumberdaya hayati yang sangat besar baik dari jumlah maupun diversitas, yang hingga saat ini pemanfaatannya belum maksimal.
4
Selanjutnya armada perikanan di Ternate yang didominasi armada skala kecil telah banyak menimbulkan berbagai persoalan. Data tahun 2004 menunjukkan jumlah armada penangkapan ikan yang ada di kota Ternate sebanyak 1125 buah kapal yang didominasi perahu tanpa motor sebanyak 762 buah atau 67,73% , kemudian motor tempel sebanyak 344 buah atau 30,57% dan kapal motor sebanyak 19 buah atau hanya 1,68% dari total keseluruhan jumlah kapal (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate 2005). Dari komposisi yang ada menunjukkan keterbatasan jangkauan operasi penangkapan sehingga menyebabkan adanya penumpukkan operasi penangkapan di daerah pantai, pada akhirnya diyakini akan menimbulkan gejala terjadinya over fishing seperti yang terjadi di pantai Utara Jawa. Terbatasnya armada perikanan berukuran besar yang mampu beroperasi di perairan lepas pantai dan bahkan ZEEI, telah dimanfaatkan oleh kapal asing untuk menangkap ikan di perairan tersebut dengan berbagai modus operandi. Oleh karenanya sering terjadi pencurian ikan oleh kapal asing yang menyebabkan kerugian negara yang tidak kecil, selain me ngganggu kedaulatan negara. Disisi lain, upaya pengawasan dan patroli yang semakin ditingkatkan belum dapat mengatasi permasalahan secara keseluruhan karena keterbatasan kemampuan yang ada, baik di jajaran TNI Angkatan Laut maupun instansi lain yang berwenang. 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan dalam imp lementasi pembangunan perikanan tangkap hingga saat ini memiliki beberapa permasalahan, dalam aspek : (1) Pengadaan sarana produksi, (2) Pembinaan/layanan pendukung, (3) Pemasaran, (4) Proses produksi, (5) Prasarana, (6) Pengolahan hasil perikanan, dan (7) pemanfaatan sumberdaya ikan. 1) Aspek pengadaan sarana produksi Sarana produksi penangkapan ikan seperti alat tangkap, kapal, alat bantu penangkapan ikan, dan tenaga kerja mempunyai beberapa permasalahan. Masalah yang muncul dari alat tangkap, disebabkan alat tangkap yang digunakan untuk kegiatan penangkapan, masih dominan di import. Hal ini disebabkan kualitas dari 5
alat tangkap lebih baik apabila dibandingkan produksi dalam negeri. Kapal yang diproduksi oleh galangan-galangan kapal di dalam negeri harganya lebih tinggi dan kualitasnya masih rendah. Demikian pula dengan alat bantu penangkapan seperti fish finder, GPS, radio untuk komunikasi harganya masih tinggi, sehingga setiap kapal penangkapan ikan masih sulit menjangkau untuk memiliki alat-alat bantu penangkapan tersebut. Permasalahan yang dihadapi dibidang tenaga kerja adalah jumlah banyak namun keterampilan dan ketahanan melautnya rendah. Meskipun pada kenyataannya sebagian besar penduduk bermukim di kawasan pesisir dan negara Indonesia merupakan negara kepulauan, kebanggaan sebagai bangsa bahari hanya secara nyata ditampilkan oleh beberapa suku bangsa di Indonesia. Salah satu masalah sehubungan dengan hal ini adalah rendahnya minat kaum muda potensial untuk bergelut dengan dunia kebaharian dan perikanan disebabkan rendahnya insentif di sektor ini. Panjangnya rantai pemasaran dalam proses pembelian faktor- faktor produksi berakibat pada besarnya beban harga yang harus dibayar nelayan. Selain itu, krisis moneter juga telah meningkatkan harga-harga kebutuhan nelayan. Bagi nelayan penangkap ikan yang produksinya tidak berorientasi ekspor, keadaan demikian telah menurunkan tingkat hidup dan kesejahteraannya. Akibat melonjaknya dolar, harga mesin dan alat tangkap perikanan yang merupakan barang impor, membumbung tinggi. Harga jaring udang berukuran 1,5 inchi meningkat dari Rp 27.500 per buah menjadi Rp 75.000-80.000. Mesin Yanmar 10,5 PK misalnya naik dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 5 juta. 2) Aspek pembinaan/layanan pendukung Permasalahan yang muncul dari pembinaan/layanan pendukung adalah: (1) Kebijakan pemerintah yang diterbitkan masih banyak yang kontradiktif; (2) Permodalan yang dapat mengakses untuk perbankan rendah; (3) Law enforcement rendah; (4) Adanya arogansi sektoral antar departemen; (5) Peran kelembagaan non pemerintah masih rendah. Sebagai suatu sistem aquabisnis, keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tiga sub-sistem utamanya, yakni: (1) Produksi, (2) Pasca panen (penanganan dan pengolahan), dan (3) Pemasaran; tetapi juga oleh sub-sistem 6
penunjangnya yang meliputi: a) Prasarana dan sarana, b) Finansial/keuangan, c) Sumberdaya manusia dan IPTEK, dan d) Hukum dan kelembagaan. Kebijakan pemerintah di ketujuh sub-sistem (bidang) aqubisnis perikanan dinilai secara umum belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan, seperti kebijakan tentang kredit murah dan lunak yang belum ada, misalnya bunga sekitar 10% untuk mendukung usaha perikanan tangkap ataupun industri pengolahan dan tidak terpenuhinya investasi yang seharusnya dibutuhkan di sektor perikanan tangkap dan sulitnya melakukan investasi. Dari sisi peraturan dan perundang-undangan di bidang perikanan, jika ditinjau dari segi materi peraturan dan perundang-undangan sudah relatif memadai, namun yang belum memadai adalah implementasinya. Untuk dapat menerapkan kebijakan pembangunan perikanan diperlukan instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai. Kesepakatan pakar dan pengamat pembangunan perikanan dari dalam maupun luar negeri, bahwa implementasi dan penegakkan hukum (law enforcement) bidang perikanan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan masih terlalu ringan, seperti bagi pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas pena ngkapan ikan secara ilegal, penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung jawab, dan seterusnya. Di sisi lain, terjadi juga tumpang tindih (over lapping) kebijakan yang seringkali menimbulkan konflik kewenangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan wilayah-wilayah tersebut ditangani lebih dari satu departemen yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda. Padahal hubungan ekologis-biologis dan ekonomi daerah pesisir, pantai, laut, sungai maupun danau saling terkait satu dengan lainnya. 3) Aspek proses produksi Permasalahan yang muncul dari proses produksi adalah: (1) Biaya kelembagaan tinggi, baik yang merupakan biaya legal maupun illegal; (2) Akses informasi berupa sumberdaya ikan dan informasi pasar masih rendah; (3) Kepastian hukum tentang perizinan dan pengalokasian daerah penangkapan ikan masih rendah serta adanya pemahaman yang sempit mengenai otonomi daerah;
7
(4) Asuransi untuk kegiatan dalam bidang penagkapan ikan masih belum terpecahkan; serta (5) Pendapatan nelayan masih rendah. Berkaitan dengan gejala overfishing di beberapa kawasan, jenis stok sumberdaya perikanan yang telah mengalami overfishing adalah udang (hampir mengalami overfishing di seluruh perairan Indonesia, kecuali L. Seram sampai Teluk Tomini, L. Sulawesi, Samudera Pasifik, dan Samudera Hindia). Kondisi tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia. Mengingat kemampuan nelayan- nelayan kita masih sangat terbatas sehingga sulit melakukan ekspansi penangkapan pada perairan ZEEI. Masalah lain yang terkait dengan produksi perikanan tangkap adalah tentang pencurian ikan oleh nelayan dan kapal asing. Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh ternyata terjadinya surplus hasil penangkapan ikan ke pihak asing tidak lepas dari
peran berbagai pihak, baik pengusaha maupun aparat, melalui beberapa
mekanisme sebagai berikut: (1) Pihak asing seolah-olah memiliki hutang kepada mitra bisnisnya di Indonesia, melalui putusan pengadilan, pihak asing tersebut diharuskan membayar hutangnya dengan menggunakan kapal ikan eks-charter yang izinnya telah habis, (2) Kapal ikan eks-charter atau kapal yang baru dimasukkan dari luar negeri dikamuflase seolah-olah kapal produksi dalam negeri, (3) Pengusaha Indonesia melakukan impor kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun transaksi impor tersebut tidak benar-benar terjadi karena tidak melakukan pembayaran, dan (4) Pengusaha Indonesia melakukan impor kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun dengan harga yang dibuat semurahmurahnya. Hal tersebut ternyata juga telah menyebabkan kerugian negara sebesar US$ 1,362 milyar per tahun. Kondisi di atas antara lain disebabkan masih belum optimalnya pengendalian pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, yang antara lain disebabkan (1) Kurangnya sarana dan alat penegakan hukum di laut yang menyebabkan intensitas dan efektivitas monitoring serta pengawasan menjadi berkurang; (2) Pengendalian pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan ditangani oleh berbagai instansi, sehingga memerlukan koordinasi; (3) Belum diberdayakannya Petugas Pengawas Sumberdaya Ikan (WASDI) dan Pengawas Kapal Ikan (WASKI) secara optimal.
8
Adanya tumpang tindih juga dapat dilihat dari pemahaman yang sempit mengenai otonomi daerah, khususnya yang menyangkut kewenangan dalam pengelolaan wilayah laut, baik oleh sebagian aparat di daerah, nelayan maupun masyarakat luas. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antar nelayan di beberapa daerah sehubungan dengan perebutan fishing ground, dispute antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota, Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, maupun antar Pemerintah Kabupaten/Kota. Apabila kondisi ini berlangsung terus maka pelaksanaan pembangunan perikanan tangkap sangat dimungkinkan akan mengalami hambatan. Keterbatasan teknologi informasi menyebabkan sumberdaya yang tersedia tidak dapat teridentifikasi secara memadai. Data dan informasi tentang perikanan masih tersebar dan belum tertata dengan baik dalam suatu sistem jaringan, sehingga sulit mengaksesnya untuk menetapkan suatu kebijakan. Selain itu tingkat akurasi dan validasinya juga masih diragukan. Masalah utama dalam bidang perikanan tangkap adalah tingkat kemiskinan nelayan. Hal ini terlihat dari kond isi wilayah pesisir yang identik dengan kekumuhan dan ketertinggalan. Kemiskinan struktural masyarakat pesisir yang terjadi, merupakan resultante dari berbagai masalah lainnya. Dalam perikanan tangkap, rendahnya produktivitas nelayan disebabkan karena tiga faktor utama, yakni sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula, sehingga kapasitas tangkapnya rendah. Mereka memiliki berbagai keterbatasan, antara lain dalam hal pengetahuan/ keterampilan, akses permodalan dan pasar serta telah terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass beds), yang merupakan habitat ikan dan organisme laut lainnya berpijah, mencari makan, atau membesarkan diri (nursery ground). Kerusakan lingkungan laut ini juga disebabkan oleh pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut.
9
4) Aspek prasarana Permasalahan yang muncul dari prasarana kegiatan penangkapan ikan adalah: (1) Banyak pelabuhan perikanan tidak berfungsi optimal, disebabkan karena tidak adanya suplai BBM, es, Air tawar, pelelangan, dan suasana keamanan yang tidak kondusif; (2) Sanitasi/hygiene pelabuhan rendah; (3) Pelabuhan ekpor terbatas. Prasarana Perikanan yang ada di Propinsi Maluku Utara terdiri dari 1(satu) buah Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate di Kota Ternate, 2 (dua) buah Pelabuhan Perikanan Pantai yaitu di Tobelo Halmahera Utara dan Bacan Halmahera Selatan. 5) Aspek pengolahan Permasalahan yang muncul dari pengolahan hasil perikanan adalah: (1) Kelangkaan bahan baku berupa ikan, bahan saus media dan tin plate; dan (2) Sumber air yang digunakan untuk kegiatan pengolahan. Diakui bahwa kemampuan teknologi pasca panen (penanganan dan pengolahan) produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi mutu produk secara internasional (seperti HACCP, persyaratan sanitasi, dan lainnya) masih lemah. Sebagai contoh, Thailand yang volume produksi ikan tunanya di bawah Indonesia, ternyata nilai ekspor produk ikan tuna olahannya jauh melampaui nilai ekspor Indonesia, karena Thailand sangat inovatif dan kreatif dalam mencari nilai tambah melalui berbagai teknologi pengolahan ikan tuna, yang antara lain meliputi: (1) Sashimi, sushi (fresh); (2) Frozen; (3) Loin; (4) Fish Cake; (5) Surimi; (6) Canning; (7) Fish Oil; (8) Salted Fish; (9) Fish Meal; (10) Fish Ball; (11) Tuna Sausage; (12) Tuna Ham; dan (13) Fish Crackers. 6) Aspek pemasaran Permasalahan yang muncul dari pemasaran hasil perikanan adalah: (1) Market intelligence rendah; (2) Harga tidak kondusif; (3) Pangsa pasar; (4) Pasar domestik masih lemah; (5) Transportasi belum menunjang. Pemasaran komoditas perikanan Indonesia di pasar dalam negeri maupun ekspor, sebagian besar masih ditentukan oleh para pembeli/konsumen (buyer market ). Hal ini mengakibatkan harga jual produk perikanan seringkali kurang 10
menguntungkan pihak produsen (nelayan atau petani ikan). Ada dua faktor utama yang membuat pemasaran produk perikanan Indonesia masih lemah. Pertama, karena lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen. Kedua, belum memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu.
7) Aspek pemanfaatan sumberdaya ikan Sumberdaya ikan merupakan milik bersama (common resources), sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat dimiliki secara perorangan, menyebabkan semua lapisan masyarakat berhak untuk memanfaatkan, dan karenanya dapat menimbulkan berbagai macam persaingan antar pelaku, baik antar nelayan dengan nelayan, antar nelayan dan pengusaha, antar pengusaha dengan nelayan, dan antar pengusaha dengan pengusaha yang begitu ketat dan sulit dikendalikan. Potensi sumberdaya akan (standing stock) yang terdapat diperairan Maluku Utara diperkirakan mencapai 694.382,48 ton dengan potensi lestari yang dapat dimanfaatkan (Maximum Sustainable Yield) sebesar 347.191,24 ton per tahun yang terdiri dari ikan pelagis besar 211.590.00 ton per tahun dan ikan demersal 135.005,24 ton per tahun. Dari perkiraan potensi tersebut menunjukan bahwa potensi sumberdaya tersebut cukup prospektif untuk dikelola dan dikembangkan. Sampai tahun 2002 tingkat pemanfaatan baru mencapai 26,51 %, hal ini masih dapat ditingkatkan lagi melalui upaya penangkapan yang ramah lingkungan (PRPT, 2006). Pemanfaatan sumberdaya ikan di Ternate Maluku Utara sebagaimana dipesankan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries diharapkan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan yg bertanggung jawab adalah pengelolaan yang dapat menjamin keberlanjutan perikanan dengan suatu upaya agar terjadi keseimbangan antara tingkat eksploitasi dengan sumberdaya ikan yang ada.
11
1.3 Tujuan Penelitian (1) Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menyusun kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan di Ternate, Maluku Utara. (2) Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : (1) Menyusun pengembangan armada kapal perikanan yang terstruktur, baik itu yang nantinya akan dioperasikan oleh nelayan tradisional maupun perusahaan besar sekalipun; dan (2) Menyusun kebijakan pengembangan yang
nantinya
dapat
dipakai
sebagai
bahan
pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam kaitannya dengan armada penangkapan yang akan beroperasi di perairan Maluku Utara, khususnya di Ternate. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Dalam upaya lebih mempertajam fokus pembahasan agar sesuai dengan tujuan penelitian, maka dalam studi ini dilakukan pembatasan ruang lingkup penelitian. Penelitian ini difokuskan hanya dalam lingkup "kebijakan tentang pengembangan armada penangkapan ikan ". Ruang lingkup penelitian ini, yaitu : (1)
Keadaan perikanan Ternate (Maluku Utara) dimasa kini yang meliputi : pengadaan sarana produksi, proses produksi, prasarana pelabuhan, pengelolaan, pemasaran serta pembinaan perikanan
(2)
Penjabaran isu–isu lokal, nasional dan global dalam pengembangan perikanan tangkap.
(3)
Permasalahan yang dihadapi oleh perikanan tangkap dilokasi penelitian.
(4)
Opini masyarakat dalam pengembangan perikanan tangkap.
(5)
Penyusunan kebijakan pengembangan armada. Pengembangan armada kapal perikanan beserta alat tangkapnya di wilayah
Maluku Utara dalam hal ini di Ternate dalam upaya untuk pemanfaatan sumber daya alam hayati dan non- hayati laut yang dikelola secara komprehensif dan berkelanjutan dimaksudkan untuk peningkatan kesejahteraan bangsa dalam hal ini nelayan tradisional.
12
1.5 Manfaat Penelitian (1) Manfaat bagi pengambil kebijakan (pemerintah) Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan pemerintah dalam hal menetapkan kebijakan dan perencanaan pembangunan perikanan tangkap di tingkat Pusat (Departemen Kelautan & Perikanan, Depnakertrans, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Negara Lingkungan Hidup) dan di tingkat daerah (BAPPEDA, Dinas Kelautan & Perikanan Propinsi dan Dinas Perikanan Kabupaten/Kota). (2) Manfaat bagi masyarakat perikanan setempat Sebagai bahan pemikiran dan informasi bagi masyarakat perikanan setempat terutama nelayan untuk dapat mengaplikasikan armada perikanan tangkap yang kompetitif, produktif dan berkelanjutan.
13
1.6 Kerangka Pemikiran
PERMASALAHAN : - Pengadaan sarana produksi. - Pemasaran - Pembinaan/layanan pendukung - Ketimpangan - proses produksi Pemanfaatan SDI - Prasarana/Pelabuhan Perikanan - Pengolahan
KEBIJAKAN PEMERINTAH YANG ADA (Pusat/Daerah)
STATUS PERIKANAN / POLA PENGEMBANGAN DI MASA KINI
ANALISIS YANG DIGUNAKAN : SWOT AHP FINANSIAL CCRF DESAIN KAPAL LGP
•
OPSI PENGEMBANGAN PERIKANAN YANG BERKELANJUTAN
•
OPSI PENGEMBANGAN ARMADA
Tidak/No Ya/Yes KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA Gambar 2 Diagram Alir Kerangka Pemikiran 14
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pembangunan Sub-Sektor Perikanan Tangkap Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia
untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Apabila pengembangan perikanan disuatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak, dengan pendapatan ne layan yang memadai (Monintja, 2000). Selanjutnya dalam kaitan dengan penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit serta produktivitas nelayan yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis. Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap dilakukan dalam suatu sistem usaha perikanan tangkap terpadu yang terdiri dari sub sistem produksi, pengolahan pasca panen, dan pemasaran yang di dukung oleh sub-sistem sarana produksi yang mencakup sarana dan prasarana, finansial, SDM dan IPTEK serta hukum dan kelembagaan.
Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap akan
terwujud dengan baik apabila komponen-komponennya berjalan secara terpadu. Pengadaan dan penyediaan sarana produksi harus mampu mendukung kebutuhan kegiatan produksi atau sebaliknya. Demikian pula dalam kegiatan produksi selain memperhatikan kondisi ekosistem perairan dan sumber dayanya, juga harus mengkaitkan dengan kegiatan distribusi dan pemasarannya. Belum tercapainya tingkat produktivitas dan efisiensi usaha perikanan serta sulitnya pemasaran hasil, pada dasarnya karena belum dikaitkannya kegiatan berproduksi secara baik dengan aspek tersedianya sarana dan pemasaran (Ditjen Perikanan Tangkap, DKP, 2004). Industri perikanan sebagai bagian dari sistem bisnis perikanan belum besar peranannya di dalam meningkatkan kesejahteraan petani nelayan. Industri pengolahan produk perikanan kebanyakan belum mampu memperoleh bahan baku yang dibutuhkan guna mengoperasikan unit usahanya
pada tingkat kapasitas
minimum secara kontinyu. Hal ini pada dasarnya karena belum terjalinnya keterkaitan antara industri pengolahan dengan pemasok bahan baku. Tantangan yang dihadapi di dalam pembangunan industri perikanan tangkap pada dasarnya adalah terwujudnya keberhasilan nelayan dengan industri pengolahan ikan secara mantap, sehingga mobilisasi pembangunan industri perikanan, seperti industri pengalengan ikan, dan industri pengolahan ikan lainnya, dapat memberikan peranan yang lebih besar dalam meningkatkan kesejahteraan petani nelayan (Ditjen Perikanan Tangkap, DKP, 2004).
2.2
Kebijakan, Tujuan dan Sasaran Pembangunan Perikanan Tangkap Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang
menggunakan berbagai metode pene litian dan argumen menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah kebijakan (Dunn, 1998). Selanjutnya Quandun dalam Dunn, (1998) menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah setiap jenis analisa
yang menghasilkan dan menyajikan
informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka.. Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang tidak hanya pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen-komponen tapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatifalternatif baru. Kebijakan Pemerintah yang sangat penting dan strategis untuk mengatur pengelolaan perikanan adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 31 tentang Perikanan dimana secara tegas dalam pasal 6 ayat 1 diamanatkan bahwa Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Kemudian pasal 6 ayat 2 menyatakan bahwa Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.
16
Berkaitan dengan kebijakan tersebut dan sesuai dengan potensi dan peluang yang dimiliki Indonesia, maka pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Perikanan telah menetapkan beberapa misi pembangunan perikanan tangkap, yaitu : (1) mengendalikan pemanfaatan sumberdaya ikan; (2) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan; (3) meningkatkan mutu dan nilai tambah hasil perikanan; (4) menyediakan bahan pangan sumber protein hewani dan bahan baku industri serta ekspor; (5) menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha perikanan tangkap; (6) menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang produktif; (7) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia; (8) mengembangkan kelembagaan dan peraturan perundangan; (9) meningkatkan penerimaan
PNBP
dan
PAD;
(10)
meningkatkan
tertib
administrasi
pembangunan; dan (11) menjadikan sumberdaya ikan sebagai perekat nusa dan bangsa (Ditjen Perikanan Tangkap, 2001). Untuk mendukung misi tersebut, maka kebijakan dan strategi yang diterapkan adalah : (1) peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha penangkapan; (2) peningkatan mutu dan nilai tambah hasil perikanan; (3) pengembangan sarana dan prasarana perikanan tangkap; (4) peningkatan pelayanan dan pengendalian Perizinan Usaha; (5) penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan tangkap; (6) penyempurnaan Sistem Statistik Perikanan Tangkap; dan (7) peningkatan peran Indonesia dalam organisasi/lembaga internasional yang terkait dengan perikanan tangkap. Adapun tujuannya yang hendak dicapai adalah : (1) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
nelayan;
(2)
menjaga
kelestarian
sumberdaya
ikan
dan
lingkungannya; dan (3) meningkatkan kontribusi sub sektor perikanan tangkap terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Sasaran pembangunan perikanan tangkap meliputi : (1) produksi
Perikanan Tangkap; (2) volume dan nilai ekspor hasil
peningkatan perikanan
tangkap; (3) pengembangan armada penangkapan ikan; (4) penyediaan ikan untuk konsumsi dalam negeri; (5) penyediaan lapangan kerja atau penyerapan tenaga kerja / nelayan; dan (6) peningkatan PNBP.
17
2.3
Perkembangan Armada, Produksi dan Nilai Hasil Perikanan Secara umum, pelaksanaan program pembangunan perikanan tangkap
selama tahun 2003 menunjukkan hasil yang nyata dan menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari semakin luas dan terarahnya usaha peningkatan produksi perikanan tangkap, peningkatan konsumsi ikan, ekspor hasil perikanan, pendapatan nelayan, perluasan lapangan kerja, serta memberikan dukungan terhadap pembangunan di bidang industri dan menunjang pembangunan daerah. Beberapa
indikator
makro
pencapaian
pembangunan
perikanan
tangkap
berdasarkan Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, diuraikan berikut ini. 1)
Produksi Pada periode 2001-2003, perkembangan produksi perikanan tangkap
meningkat rata-rata 5,15%, yaitu dari 4.276.720 ton pada tahun 2001 menjadi 4.728.320 ton pada tahun 2003 (Tabel 1). Tabel 1 Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Tahun 2001 - 2003 Wilayah Perairan Laut Perairan Umum Jumlah
Produksi (Ton) 2001 2002 1) 3.966.480 4.205.370 310.240 316.030 4.276.720 4.521.400
2)
2003 4.406.200 322.120 4.728.320
Rata-rata Kenaikan (%) 5,40 1,90 5,15
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004 Dari data di atas terlihat bahwa laju produksi penangkapan di laut lebih tinggi dibandingkan dengan produksi penangkapan di perairan umum. Dalam periode 2001-2003, produksi penangkapan di laut meningkat rata-rata per tahun sebesar 5,40% dari 3.966.480 ton pada tahun 2001 menjadi 4.406.200 ton pada tahun 2003. Pada periode yang sama, produksi penangkapan di perairan umum hanya mengalami peningkatan 1,90% dari 310.240 ton pada tahun 2001 menjadi 322.120 ton pada tahun 2003. Jika dibandingkan dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton, maka produksi tahun 2003 telah mencapai 86,05% dari JTB. 2)
Konsumsi Ikan Dalam Negeri Seiring dengan peningkatan produksi, penyediaan ikan untuk konsumsi
dalam negeri juga mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2001 total penyediaan ikan hasil tangkapan dan budidaya untuk konsumsi dalam negeri mencapai 4,69 18
juta ton, maka pada tahun 2003 telah mencapai 5,30 juta ton. Dengan demikian, pada periode 2001 – 2003 terjadi kenaikan konsumsi ikan dalam negeri rata-rata 6,41% per tahun. Data selengkapnya tersaji pada Tabel 2. Tabel 2 Penyediaan Ikan untuk Konsumsi Dalam Negeri Tahun 2001 - 2003 Konsumsi Uraian Konsumsi Total (1.000 ton) Konsumsi per Kapita (Kg/kapita/tahun)
2001
2002 1)
4.692,96
4.841,55
22,47
22,84
Rata-rata Kenaikan 2003 2) (%) 5.308,68 6,41 24,67
4,83
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004 Kendati demikian, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, konsumsi ikan per kapita per tahun di Indonesia tergolong masih sangat kecil. Sebagai contoh, pada tahun 2003 konsumsi ikan dalam negeri baru mencapai 24,67 kg per kapita. Artinya, rata-rata penduduk Indonesia pada tahun 2003 hanya mengonsumsi ikan 67,5 gram (kurang dari satu ons) per hari. Kenyataan diatas menunjukkan bahwa kampanye gerakan makan ikan sebagai makanan yang nikmat, sarat gizi, dan menyehatkan harus terus digelorakan dengan berbagai pendekatan dan media penyampaian. Di sisi lain, konsumsi ikan juga terkait erat dengan kondisi ekonomi masyarakat. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, produk perikanan yang beredar di pasaran masih terasa mahal. Dengan demikian, konsumsi ikan dalam negeri memiliki peluang lebih besar untuk meningkat jika kondisi makro perekonomian nasional semakin membaik. 3)
Ekspor - Impor Perkembangan perikanan Indonesia juga dapat dilihat dari neraca ekspor-
impor. Data tahun 2001-2003 sebagaimana terlihat pada Tabel 4 menunjukkan bahwa ekspor perikanan Indonesia terus meningkat. Sebaliknya, impor menunjukkan kecenderungan yang terus menurun. Fakta yang cukup menarik untuk dianalisis, kenaikan rata-rata ekspor per tahun dari sisi volume dan dari sisi nilai menunjukkan angka yang cukup berbeda, yakni masing- masing 19,61% dan 11,92%. Hal ini patut menjadi perhatian bersama, apakah perbedaan persentase
19
ekspor dari sisi nilai dan volume tersebut terjadi karena adanya penurunan mutu produk perikanan yang diekspor atau karena hal lain, seperti harga internasional produk perikanan yang mengalami penurunan (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004). Kecenderungan lebih rendahnya persentase nilai (rupiah) perkembangan ekspor produk perikanan dibandingkan dengan perkembangan volume (ton) terjadi di hampir semua jenis ikan. Perbedaan yang paling mencolok terjadi pada komoditas ikan hias. Dari sisi volume, ikan hias mengalami peningkatan rata-rata 25,98% per tahun, namun dari sisi nilai komoditas ini hanya mengalami peningkatan rata-rata 13,56% per tahun. Perbedaan yang cukup mencolok juga terjadi pada komoditas tuna/cakalang/tongkol dengan perkembangan volume dan nilai masing- masing 18,93% dan 12,50% (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004). Kondisi yang sebaliknya terjadi pada sisi impor. Secara umum impor hasil perikanan pada periode 2001-2003 memang mengalami penurunan. Namun, ratarata penurunan impor menunjukkan bahwa penurunan dari sisi nilai lebih kecil dibanding dengan penurunan dari sisi volume, masing- masing 5,38% dan 6,45%. Perbedaan signifikan terjadi pada komoditas tepung binatang berkulit keras/lunak. Untuk komoditas ini, pada sisi volume mengalami penurunan sebesar 26,93%, tapi dari sisi nilai justru mengalami peningkatan sebesar 6,83% (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004).
20
Tabel 3 Perkembangan Ekspor Impor Perikanan Tahun 2001 – 2003 2002 1)
2001
2003 2)
100 26,45 17,29 5,72 0,00 0,55 49,99 100 57,29 13,42 1,06 1,55 0,89 25,79
565.739 124.765 92.797 28.560 5,87 3.514 316.098 1.570.353 836.563 212.426 15.785 11.471 15.054 479.054
100 22,05 16,40 5,05 0,00 0,62 55,88 100 53,27 13,53 1,01 0,73 0,96 30,50
696.290 150.130 118.460 36.540 9,92 4.250 386.900 2.004.067 1.064.146 271.894 21.770 19.555 18.671 608.031
100 21,56 17,01 5,25 0,00 0,61 55,57 100 53,10 13,57 1,09 0,98 0,93 30,34
Perubahan Rata-rata (%) 19,61 8,59 18,93 15,20 - 2,01 25,98 26,11 11,92 8,34 12,50 14,76 7,95 13,56 20,38
Volume (Ton) 162.472 100 - Ikan segar/beku 12.657 7,79 - Ikan kaleng 976 0,60 - Tepung Ikan 98.139 60,40 -Tepung Binatang 14.166 8,72 Berkulit Keras/Lunak - Lainnya 36.534 22,49 Nilai (US$ 1.000) 103.616 100 - Ikan segar/beku 10.254 9,90 - Ikan kaleng 1.414 1,36 - Tepung Ikan 50.346 48,59 -Tepung Binatang 4.956 4,78 Berkulit Keras/Lunak - Lainnya 36.646 35,37 Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
124.010 16.148 1.495 61.301
100 13,02 1,21 49,43
136.870 17.900 1.830 66.120
100 13,08 1,34 48,31
- 6,65 19,22 37,79 - 14,84
7.149 37,917 91.217 10.404 1.650 37.628
5,76 30,58 100 11,41 1,81 41,25
6.840 44.180 92.312 10.404 1.650 37.628
5,00 32,28 100 11,27 1,79 40,76
- 26,93 10,15 - 5,38 0,73 8,34 - 12,63
4.017 37.518
4,40 41,13
5.327 37.303
5,77 40,41
6,83 0,90
Volume (Ton) - Udang - Tuna/Cakalang/Tongkol - Rumput Laut - Mutiara - Ikan Hias - Lainnya Nilai (US$ 1.000) - Udang - Tuna/Cakalang/Tongkol - Rumput Laut - Mutiara - Ikan Hias - Lainnya
Nilai 487.116 128.830 84.205 27.874 21,75 2.682 243.503 1.631.899 934.986 218.991 17.230 25.257 14.603 420.832
%
Impor
Ekspor
KOMODITAS
Nilai
%
Nilai
%
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004 4)
Armada Kapal Perikanan Peningkatan produksi penangkapan di laut, tidak terlepas dari bertambahnya
sarana penangkap ikan yang dioperasikan dan makin majunya teknologi yang diterapkan sehingga terjadi kenaikan produktivitas. Pada periode 2001-2003, jumlah perahu/kapal perikanan di laut menunjukan peningkatan rata-rata sebesar 0,64%, yaitu dari 468.521 buah pada tahun 2001 menjadi 474.540 buah pada tahun 2003 (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004). Peningkatan rata-rata per tahun jumlah kapal motor terbesar terjadi pada kapal motor yang berukuran antara 50 – 100 GT sebesar 99,60% yaitu dari 1.602 buah kapal pada tahun 2001 menjadi 5.510 buah kapal pada tahun 2003, disusul kemudian oleh kapal motor berukuran 30-50 GT (91,13%) dan kapal motor 21
ukuran 100-200 GT (74,21%). Penurunan jumlah kapal terjadi pada kapal tanpa motor yang mengalami penurunan rata-rata sebesar 2,38% yaitu dari 241.714 buah kapal pada tahun 2001 menjadi 230.360 buah pada tahun 2003 (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004). Hal tersebut sejalan dengan program motorisasi dan dorongan untuk lebih memanfaatkan ZEEI dengan menggunakan kapal motor berukuran besar. Selengkapnya, perkembangan jumlah kapal perikanan Indonesia periode 2001-2003 tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Perkembangan Jumlah Kapal Perikanan Tahun 2001-2003 Jumlah No. 1 2 3
Jenis Kapal Perahu Tanpa Motor Perahu Motor Tempel Kapal Motor - KM < 5 GT - KM 5-10 GT - KM 10-20 GT - KM 20-30 GT - KM 30-50 GT - KM 50-100 GT - KM 100-200 GT - KM = 200 GT Jumlah
2001 241.714 120.054 106.753 70.925 22.641 6.006 3.008 781 1.602 1.295 495 468,521
2002
1)
237.270 120.760 114.690 71.680 23.100 6.370 3.370 2.150 4.380 2.920 720 472.720
2003
2)
230.360 125.580 118.600 72.060 23.610 6.880 3.780 2.300 5.510 3.590 870 474.540
Rata-rata Kenaikan (%) - 2,38 2,29 5,42 0,80 2,12 7,03 12,10 91,13 99,60 74,21 33,14 0,64
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2003
Dalam pengembangan perikanan kedepan, maka salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah peningkatan kemampuan armada perikanan, terutama yang dimiliki oleh nelayan skala kecil. Pada saat yang sama, secara bertahap tetapi pasti kita harus mengadakan rasionalisasi intensitas penangkapan (jumlah nelayan atau jumlah kapal ikan) pada setiap wilayan perairan sesuai dengan potensi lestarinya. Dengan kata lain fishing effort pada wilayah-wilayah perairan yang telah overfishing, seperti Selat Malaka, Pantai Utara Jawa dan lainnya sudah saatnya dikurangi. Selanjutnya, nelayan-nelayan ini ditingkatkan kemampuannya untuk beroperasi di wilayah perairan yang masih belum dimanfaatkan secara optimal (underutilization). Atau kelebihan nelayan dari wilayah yang telah mengalami
22
overfishing ini disalurkan pada usaha budidaya perikanan, industri penanganan dan pengolahan hasil perikanan, serta sektor ekonomi lainnya (Dahuri, 2002). Upaya peningkatan kemampuan armada perikanan baik nasional maupun di masing- masing Provinsi, Kabupaten dan Kota merupakan langkah untuk menjadikan nelayan sebagai tuan rumah di lautnya sendiri. Para nelayan dengan armada yang lebih modern diharapkan mampu beroperasi di perairan teritorial bahkan ZEEI untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada sekaligus menjalankan fungsi pengawasan terhadap praktek ilegal kapal asing. 5)
Jumlah Nelayan Pada periode 2001-2003, jumlah nelayan juga terus mengalami peningkatan.
Jika pada tahun 2001 nelayan Indonesia mencapai 3.286.500 orang, maka pada 2003 menjadi 3.476.200 orang (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004). Dengan demikian, pada kurun waktu tersebut terjadi kenaikan jumlah nelayan rata-rata 2,86% per tahun. Selengkapnya tersaji pada Tabel 5. Tabel 5 Perkembangan Jumlah Nelayan Tahun 2001 - 2003 No. 1 2
Wilayah Perairan Laut Perairan Umum Jumlah
Jumlah Nelayan (orang) Rata-Rata Kenaikan (%) 2001 20021) 20032) 2.562.945 2.573.300 2.673.760 2,15 723.555 753.630 802.440 5,32 3.286.500 3.326.930 3.476.200 2,86
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004 Adanya peningkatan jumlah nelayan cukup menggembirakan karena menunjukkan bahwa sektor perikanan tangkap terus membuka lapangan kerja. Namun di sisi lain, hal ini juga menjadi fakta yang patut mendapat perhatian bersama karena jika dibandingkan dengan produksi perikanan maka perbandingan jumlah nelayan dengan skala produksinya menjadi sangat kecil. Sebagai contoh, pada tahun 2003 produktivitas nelayan hanya 1,36 ton per orang. Artinya, jumlah tangkapan nelayan per hari hanya sekitar 3,73 kg saja. Gambaran selengkapnya tersaji pada Tabel 6.
23
Tabel 6 Produktivitas Nelayan Tahun 2001 – 2003 Uraian Produksi (ton) Jumlah Nelayan (Orang) Produktivitas ton/tahun/ orang Nelayan kg/hari/orang
2001 4.276.720 3.286.500 1,30 3,57
20021) 4.521.400 3.326.930 1,36 3,72
20032) 4.728.320 3.476.200 1,36 3,73
Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka proyeksi
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004 Jika dibandingkan terhadap jumlah tangkapan yang diperbolehkan, yakni 5,12 juta ton per tahun, maka jumlah nelayan sekarang ini masih terlihat terlalu banyak. Sebagai contoh, dengan jumlah nelayan tahun 2003, maka produktivitas nelayan hanya akan mencapai 1,56 ton per orang per tahun, atau hanya 4,27 kg/orang/hari (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004). Fakta diatas menunjukkan bahwa diperlukan beberapa upaya agar jumlah nelayan mencapai titik yang optimal. Upaya-upaya tersebut antara lain: (1) Relokasi nelayan dari wilayah yang overfishing ke wilayah yang underutilized; (2) Meningkatkan kemampuan nelayan artisanal menjadi nelayan modern melalui modernisasi alat tangkap dan peningkatan daya jelajah kapal; (3) Mengalihkan sebagian nelayan penangkap ke pembudidaya ikan; dan (4) Mengalihkan sebagian nelayan di bidang penangkapan ikan ke pekerjaan lain, terutama yang masih terkait dengan sub sektor perikanan, misalnya bidang pengolahan dan pemasaran.
2.4
Potensi dan Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap Indonesia memiliki potensi dan peluang pengembangan sumberdaya
perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitasnya. Sedangkan bila dilihat dari tingkat pemanfaatan menurut kelompok sumberdaya ikan tahun 2000 disajikan pada Tabel 7.
24
Tabel 7 Tingkat Pemanfaatan SDI Tahun 2000 Potensi (Ton/Th)
JTB (Ton/Th)
Produksi (Ton)
1. Ikan Pelagis Besar 1.165.360 2. Ikan Pelagis Kecil 3.605.660 3. Ikan Demersal 1.365.090 4. Ikan Karang 145.250 5. Udang Penaeid 94.800 6. Lobster 4.800 7. Cumi-Cumi 28.250 Jumlah 6.409.210 Sumber : PRPT-BRKP (2001)
932.288 2.884.528 1.092.072 116.200 75.840 3.840 22.600 5.127.368
736.170 1.784.330 1.085.500 156.890 259.940 4.080 42.510 4.069.420
No
Kelompok SDI
Tingkat Pemanfaatan (%) 78,97 61,86 99,40 135,02 342,75 106,25 188,10 79,37
Tabel 7 diatas menunjukkan bahwa kelompok SDI yang potensinya paling besar adalah ikan pelagis kecil, yakni kelompok ikan yang hidup pada kolom air dan permukaan serta secara fisik berukuran kecil. Contoh jenis ikan yang termasuk dalam kelompok ini adalah ikan kembung, alu-alu, layang, selar, tetengkek, daun bambu, sunglir, julung-julung, teri, japuh, tembang, lemuru, parang-parang, terubuk, ikan terbang, belanak, dan kacang-kacang. Kedua adalah ikan demersal, yaitu kelompok ikan yang hidup di dasar perairan dan terdiri atas spesies antara lain : sebelah, lidah, nomei, peperek, manyung, beloso, biji nangka, kurisi, swanggi, gulamah, bawal, layur, senangin/kuro, lencam, kakap merah, kakap putih, pari, sembilang, buntal landak, kuwe, gerot-gerot, bulu ayam, kerongkerong, payus, etelis, dan remang. Ketiga adalah ikan pelagis besar, yakni kelompok ikan yang hidup pada kolom air dan permukaan serta secara fisik berukuran besar, yang terdiri atas spesies antara lain : tuna mata besar, madidihang, albakora, tuna strip biru selatan, cakalang, tongkol, setuhuk/marlin, tenggiri, layaran, ikan pedang, cucut/hiu dan lemadang. Keempat adalah ikan Karang, yaitu kelompok ikan yang hidup di sekitar perairan karang, yang terdiri atas spesies antara lain : ekor kuning, pisang-pisang, kerapu, baronang, kakak tua, napoleon, dan kerondong (morai). Kelima adalah udang penaid, yaitu kelompok udang yang terdiri atas spesies antara lain : peneid, kepiting, rajungan, rebon dan udang kipas. Berikutnya atau yang potensinya paling kecil adalah kelompok cumi-cumi dan lobster (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004).
25
Data potensi dan JTB diatas dimungkinkan mengalami perubahan ke arah yang positif, yakni terjadi kenaikan. Berdasarkan hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001, potensi SDI di perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,40 juta ton per tahun, dengan rincian 5,14 juta ton per tahun berasal dari perairan territorial dan dan perairan wilayah serta 1,26 juta ton per tahun berasal dari ZEEI. Data ini masih bersifat sementara, karena masih akan didiskusikan lebih lanjut dengan Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut sebelum dikukuhkan dalam peraturan perundang-undangan (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004). Sementara itu, juga berdasarkan hasil pengkajian Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan di laut mencapai 4,069 juta ton (PRPT-BRKP, 2001). Dengan demikian, Tingkat Pemanfaatan SDI di Indonesia telah mencapai 63,49 % dari potensi lestari sebesar 6,409 juta ton pertahun atau 79,37 % dari JTB sebesar 5,127 juta juta ton pertahun. Pemanfaatan tersebut tidak merata untuk setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan, bahkan di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over fishing seperti di Perairan Selat Malaka (176,29 %), Laut Jawa dan Selat Sunda (171,72 %) serta Laut Banda (102,74 %). Tingkat pemanfaatan di wilayah pengelolaan lainnya berturut-turut adalah Laut Flores dan Selat Makassar sebesar 88,12 %, Samudera Hindia 72,41 %, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 46,84 %, Laut Natuna dan Cina Selatan 44,92 %, Laut Arafura 42,67 % dan Laut Maluku, Teluk Tomini dan Seram 41,83 %. Dari data Tingkat Pemanfaatan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peluang pengembangan masih dapat dilakukan di Wilayah Pengelolaan Perikanan: (1)
Laut Natuna dan Cina Selatan untuk SDI pelagis besar, pelagis kecil dan demersal;
(2)
Laut Flores dan Selat Makasar untuk SDI pelagis besar dan pelagis kecil;
(3)
Laut Banda untuk SDI pelagis besar;
(4)
Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram untuk SDI pelagis besar, pelagis kecil dan demersal;
26
(5)
WPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik untuk SDI pelagis kecil dan demersal;
(6)
Laut Arafura untuk SDI pelagis kecil;
(7)
Samudera Hindia untuk SDI pelagis kecil dan pelagis besar. Demikian pula dari sisi permintaaan atau demand side, potensi dan peluang
pasar hasil laut dan ikan relatif baik. Pada tahun 1994, impor dunia hasil perikanan sekitar 52.493 juta ton. Indonesia termasuk peringkat ke-8 dalam produksi ikan (peringkat ke-5 untuk udang, dan peringkat ke-2 untuk tuna); peringkat ke-9 untuk ekspor ikan (peringkat ke-4 untuk udang, dan peringkat ke-1 untuk tuna). Permintaan ikan tahun 2010, diperkirakan akan mencapai 105 juta ton. Potensi pasar dalam negeri juga relatif masih baik; total konsumsi ikan dalam negeri tahun 2001 diperkirakan sekitar 4,6 juta ton dengan konsumsi rata-rata 21,71 kg/kap/tahun. Sementara itu konsumsi ikan yang direkomendasikan dalam Lokakarya Nasional Widya Karya Pangan dan Gizi untuk mencukupi kebutuhan gizi sekitar 26,55 kg/kap/tahun. Jadi masih jauh dari yang direkomendasikan (PRPT-BRKP, 2001). Dari hasil pengkajian Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Seram dan Teluk Tomini pada tahun 1998, dihasilkan tingkat pemanfaatan menurut kelompok sumberdaya ikan yaitu : (1) pelagis besar baru dimanfaatkan sebesar 37,01 %, (2) pelagis kecil dimanfaatkan sebesar 38,84 %, (3) ikan demersal telah dimanfaatkan sebesar 75,14 %, sedangkan untuk udang penaeid tingkat pemanfaatannya telah melampaui 100 % (Widodo et. al (1998) yang diacu dalam PRPT-BRKP (2001)). Oleh karena itu peluang pengembangan di WPP Laut Seram dan Teluk Tomini dapat dilakukan pada sumberdaya ikan pelagis besar, pelagis kecil dan ikan demersal, sedangkan untuk sumberdaya udang penaeid perlu pembatasan terhadap hasil tangkapan dan/atau upaya penangkapan.
2.5
Analisis SWOT Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan suatu strategi.
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats).
27
Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan. Dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis
faktor-faktor strategis (kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT ( Rangkuti, 2005).
2.6
Memilih Keputusan Yang Terbaik Dalam pengambilan keputusan akhir sering kali seorang atau sekelompok
pengambil keputusan harus mempertimbangkan kriteria majemuk, termasuk diantaranya pertimbangan-pertimbangan resiko dan ketidak pastian yang mungkin dihadapi dimasa ya ng akan datang. Ada beberapa teknik yang bisa dipakai dalam pengambilan keputusan yang memiliki tujuan majemuk, diantaranya adalah ada beberapa program goal programming, MCDM dan lain- lain (Pujawan, 1995). Pengambilan Keputusan Banyak Kriteria atau Multi Criteria Decision Making (MCDM) merupakan aplikasi yang baru dalam manajemen. Model keputusan dengan kriteria yang tunggal hanya bisa diterapkan pada permasalahan bertujuan tunggal dari sistem, tanpa memperhatikan tujuan-tujuan lainnya (Saaty, 1991). Dalam teori ekonomi neoklasik, perusahaan merupakan organisasi yang bertujuan tunggal yaitu memberi kesejahteraan bagi pemiliknya. Perencanaan perusahaan mempunyai beberapa tujuan yang bila dicari pemecahannya satu persatu tidaklah tertalu sulit untuk dilakukan, namun bila semua tujuan itu dimasukan dalam satu sistem pengambilan keputusan akan menimbulkan banyak konflik. Di sini diperlukan suatu metode khusus yang bisa memecahkan masalah tersebut dengan memenuhi semua tujuan yang ada tanpa satu pun meninggalkan variabel yang terkait. Karakteristik yang signifikan yang membedakan metode ini dengan prosedur solusi yang tradisional adalah terlibatnya preferensi pengambilan keputusan dalam mencari suatu solusi yang optimum. Dalam hal ini banyaknya tujuan yang bertentangan yang menjadikan sumber pemahaman sehingga pengambilan keputusan mempunyai peranan yang sangat penting.
28
Ada banyak pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan ‘multi criteria decision making’, yang secara umum diklasifikasikan dalam tiga pendekatan dasar, yaitu (Saaty, 1991) : 1) Metode Utillitas/Bobot Metode ini mengekspresikan semua tujuan dalam ukuran yang sama (single measure). Dengan demikian pengambilan keputusan multi tujuan dapat ditransformasikan menjadi model dengan satu fungsi tujuan (objective function). Permasalahan yang ada dari model ini adalah keakuratan tranformasi tujuantujuan yang berbeda kedalam satu ukuran yang sama. 2) Metode Ranking/Prioritas Metode ini digunakan sebagai ganti untuk mencari nilai utilitas/bobot, yaitu dengan menggunakan ranking prioritas untuk menunjukkan derajat kepentingan masing- masing tujuan. Dalam metode ini semua tujuan dipertimbangkan menurut rangking atau prioritasnya dan tidak perlu ditransformasikan ke dalam satu fungsi tujuan. 3) Metode Solusi Efisien Metode ini tidak mempertimbangkan preferensi pengambilan keputusan namun dengan menggenerate sekumpulan solusi efisiensi dari himpunan solusi yang memenuhi konstrain. Himpunan solusi efisien adalah himpunan solusi dimana perubahan dari satu solusi ke solusi yang lain secara simultan menyebabkan perbaikan pada satu atau lebih tujuan dan penurunan sekurangkurangnya pada satu tujuan dalam nilai pemuasnya. Solusi efisien juga disebut solusi optimal pareto/solusi non dominasi. Pengambilan keputusan akan memilih solusi yang sesuai dengan preferensi diantara himpunan solusi efisien ini. Program tujuan ganda (multiple goal programming) yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan metode yang menggunakan struktur prioritas dari tujuan-tujuan yang dipertimbangkan, dengan alasan sebagai berikut (Saaty, 1991): (1) Pengembangan model relatif lebih sederhana. (2) Modifikasi minor dapat digunakan untuk mencakup pendekatan alternatif (metode efisien, pembobotan dan sebagainya) dalam pengambilan keputusan multi tujuan.
29
(3) Metode
pemecahan
sangat
sederhana
dan
hanya
merupakan
perbaikan/modifikasi dari metode simplek dua fase. (4) Model dan asumsinya konsisten dengan problem dunia nyata yang khusus (spesifik). (5) Dari beberapa alasan diatas maka pengambilan keputusan banyak tujuan ini atas
dasar
fleksibilitas,
efisiensi,
kemudahan
penggunaan
serta
pengimplementasian.
2.7
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau Ketentuan
Perikanan yang Bertanggungjawab diharapkan dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan perikanan secara bertanggungjawab. Pedoman teknis ini akan memberikan kelengkapan yang diperlukan bagi upaya nasional dan internasional untuk menjamin pengusahaan yang lestari dan berkelanjutan menyangkut sumberdaya hayati akuatik yang selaras dan serasi dengan lingkungan. Pedoman ini juga ditujukan terutama bagi para pengambil keputusan didalam otoritas pengelolaan perikanan dan kelompok yang berkepentingan, termasuk perusahaan perikanan, organisasi nelayan, organisasi non pemerintah yang peduli dan lain- lainnya. Adanya eksploitasi yang berlebihan terhadap stok ikan penting, modifikasi ekosistem, kerugian ekonomi yang nyata, dan persengketaan internasional mengenai pengelolaan dan perdagangan ikan telah mengancam konservasi jangka panjang perikanan dan kontribusi perikanan terhadap suplai pangan. Oleh karena itu Sidang Komite FAO tentang Perikanan (COFI-19), yang diadakan Maret 1991, merekomendasikan bahwa sudah mendesak diperlukan pendekatan baru pada pengelolaan perikanan yang meliputi pertimbangan konservasi dan lingkungan, termasuk sosial-ekonominya. Perikanan yang bertanggungjawab tidak membolehkan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara berlebihan , melebihi rata – rata pertumbuhan stok ikan. Jika tidak, sumberdaya tersebut akan menipis seiring berjalannya waktu, mempengaruhi keanekaragaman genetik suatu stok atau populasi, dan bila ditinjau dari aspek ekonomi, juga akan mempengaruhi rata – rata keuntungan optimal
30
menjadi lebih rendah. Sebaliknya, apabila sumberdaya perikanan dipandang sebagai stok modal yang dikelola secara bertanggungjawab dan berkelanjutan, akan menghasilkan manfaat sosial dan ekonomi yang besar. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan penangkapan ikan yang ramah lingkungan adala h (Direktorat produksi, Ditjen Perikanan, 2000): 1) Kriteria Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan Menentukan alat penangkapan ikan yang dalam operasinya produktif dan hasil tangkapannya mempunyai nilai ekonomis tinggi. Dala m pengoperasian alat tersebut juga tidak merusak lingkungan dan kelestarian sumberdaya yang ada tetap terjaga. Oleh karena itu perlu diperhatikan beberapa hal antara lain : -
selektifitas alat penangkapan ikan
-
tidak merusak sumberdaya dan lingkungan
-
meminimumkan discard (ikan buangan)
2) Fishing Ground ( Daerah Penangkapan Ikan) Pembagian daerah penangkapan yang sesuai dengan ukuran kapal dan jenis alat tangkap yang digunakan, perlunya pengaturan operasi penangkapan ikan dilapangan, dimaksudkan agar tidak terjadi benturan antara kelompok nelayan, baik antar nelayan tradisional maupun dengan pemilik kapal besar. Dalam hal ini perlunya peraturan yang harus dipatuhi dan penindakan hukum yang tegas untuk menjaga kelestarian fishing ground. 3) Pe manfaatan Sumberdaya perikanan harus dikelola secara wajar, agar kontribusinya terhadap nutrisi, ekonomi dan kesejahteraan sosial penduduk dapat ditingkatkan. 4) Peraturan Perlu diperhatikan adanya peraturan – peraturan yang mengatur jalannya operasi penangkapan ikan yang menuju ramah lingkungan dan bertanggungjawab. Salah satu peraturan tersebut adalah mengatur jalur – jalur penangkapan ikan.
2.8 Analytical Hierarchy Process (AHP) Sumber kerumitan masalah keputusan bukan hanya ketidak pastian atau ketidak sempurnaan informasi. Penyebab lainnya adalah banyaknya faktor yg berpengaruh terhadap pilihan pilihan yang ada, beragamnya kriteria pemilihan dan
31
jikan pengambilan keputusan lebih dari satu. Jika sumber kerumitan itu adalah beragamnya kriteria, maka analytical hierarchy process (AHP) merupakan teknik untuk membantu menyelesaikan masalah ini (Mulyono, 2002). Dalam perkembangannya, AHP tidak saja digunakan untuk menentukan prioritas pilihan-pilihan dengan banyak kriteria , tetapi penerapannya telah meluas sebagai metode alternatif untuk menyelesaikan bermacam- macam masalah, seperti memilih portofolio, analisis manfaat biaya, peramalan dan lain- lain. Pendeknya, AHP menawarkan penyelesaian masalah keputusan yang melibatkan seluruh sumber kerumitan seperti yang diidentifikasikan diatas. Hal ini dimungkinkan karena AHP cukup mengandalkan intuisi sebagai input utamanya, namun intuisi harus datang dari pengambilan keputusan yang cukup informasi dan memahami masalah keputusan yang dihadapi (Mulyono, 2002).
2.9 Linear Goal Programming Linear Goal Programming (LGP) merupakan pengembangan Linear Programing (LP). Perbedaan utama antara LGP dan LP terletak pada struktur dan penggunaan fungsi tujuan. Dalam LP fungsi tujuannya hanya mengandung satu tujuan, sementara dalam LGP semua tujuan apakah satu atau beberapa digabungkan dalam sebuah fungsi tujuan. Ini dapat dilakukan dengan mengekspresikan tujuan ini dalam bentuk sebuah kendala (goal constrain), memasukkan suatu variabel simpangan (deviational variabel) dalam kendala itu untuk mencerminkan seberapa jauh tujuan dicapai, dan menggabungkan variabel simpangan dalam fungsi tujuan.
Dalam LP tujuannya bisa maksimisasi atau
minimisasi,
LGP
sementara
dalam
tujuannya
adalah
meminimumkan
penyimpangan-penyimpangan dari tujuan-tujuan tertentu. Ini berarti semua masalah LGP adalah masalah minimisasi (Mulyono, 2004). Karena penyimpangan-penyimpangan dari tujuan-tujuan itu diminimumkan, sebuah model LGP dapat menangani aneka ragam tujuan dengan dimensi atau satuan ukuran yang berbeda. Tuj uan-tujuan saling bentrok juga dapat diselesaikan. Jika terdapat banyak tujuan, prioritas atau urutan ordinalnya dapat ditentukan, dan proses penyelesaian
LGP itu akan berjalan sedemikian rupa sehingga tujuan
dengan prioritas tertinggi dipenuhi sedekat mungkin sebelum memikirkan tujuan-
32
tujuan dengan peristiwa lebih rendah. Jika LP berusaha mengidentifikasi solusi optimum dari suatu himpunan solusi layak, LGP mencari titik yang paling memuaskan dari sebuah persoalan dengan beberapa tujuan, sekali lagi LGP ingin meminimumkan
penyimpangn-penyimpangan
dari
tujuan-tujuan
dengan
mempertimbangkan hirarki prioritas.
33
3 METODOLOGI 3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian lapang dilakukan pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2005.
Lokasi penelitian berbasis di Kota Ternate, dan sentra-sentra nelayan
seperti Dufa-Dufa, Sangaji dan Jailolo di Provinsi Maluku Utara.
3. 2 Metode Pengumpulan Data 1) Jenis data yang akan dikumpulkan Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer me lalui diskusi, wawancara dan pengisian questionaire yang terstruktur dengan metode check list. Data sekunder didapatkan melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada. Seluruh data yang dikumpulkan terdiri dari : (1)
Data Potensi Sumberdaya Perikanan Tangkap, meliputi alat tangkap dan produksinya yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.
(2)
Data Sosial Ekonomi dan Budaya, meliputi jumlah penduduk, mata pencaharian,
pendidikan,
partisipasi
masyarakat
dalam
pengelolaan
sumberdaya perikanan tangkap, kecenderungan masyarakat memanfaatkan sumberdaya perikanan tangkap serta keinginan masyarakat. (3)
Data Kelembagaan, meliputi lembaga-lembaga yang ada di tingkat desa baik formal maupun non formal, kapasitas lembaga (dilihat dari kemampuan menjabarkan program pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap), interaksi lembaga dengan pihak luar dan program yang dibuat oleh lembaga yang ada.
(4)
Peraturan dan perundangan, meliputi seluruh peraturan dan perundangan baik pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi baik secara langsung dan tidak langsung mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.
2) Teknik pengumpulan data Sumber data pokok (primer dan sekunder) dalam penelitian ini dihimpun melalui beberapa teknik pengumpulan data, yaitu :
(1)
Teknik Survei Mensurvei adalah kegiatan mengajukan pertanyaan pada orang-orang
(wawancara) dan merekam jawabannya untuk dianalisis. Kekuatan utama dari bertanya sebagai sebuah teknik pengumpulan data primer adalah kepandaiannya atau versatility. Teknik wawancara yang digunakan dalam studi ini ialah wawancara secara mendalam (in-depth interview), yaitu percakapan dua arah atas inisiatif pewawancara dengan memakai panduan wawancara (interview guide) pada sekelompok responden yang telah ditentukan. Keunggulan in-depth interview ini ialah adanya jaminan kedalaman dan rincian (detail) informasi yang diperoleh. (2)
Teknik Pengamatan (observasi) Observasi meliputi segala hal yang menyangkut pengamatan aktivitas atau
kondisi perilaku maupun non perilaku yang dikelompokkan dalam observasi non perilaku (non behavioral observation) dan observasi perilaku (behavioral observation). Oleh sebab itu mengacu pada pengertian tersebut, dalam studi ini peneliti melakukan pengamatan dengan melihat kejadian secara terencana dan langsung pada tujuan (obyek yang diteliti) guna menghimpun data asli pada saat kejadiannya. (3)
Teknik Dokumentasi Teknik dokumentasi yang dimaksudkan dalam studi ini ialah proses
pengumpulan dan pengkajian informasi (data sekunder) yang bersumber dari database, yaitu terbitan-terbitan berkala, buku/literatur, informasi internet, dokumen, surat kabar, dan referensi statistik. Sumber data sekunder digolongkan menjadi sumber informasi organisasional (internal), yaitu database dari instansi pernerintah, dan informasi eksternal berupa database dari lembaga nonpemerintah (swasta).
3. 3 Teori SWOT Peningkatan pendapatan nelayan dan pencapaian tingkat kesejahteraan nelayan itu sendiri hanya dapat dicapai dengan mengoptimalkan produksi penangkapan, upaya penangkapan dan secara ekonomi menguntungan.
35
Dalam pencapaian tujuan dimaksud, maka harus dibuat suatu rencana strategi dan kebijakan yang berpedoman pada peraturan perundangan yang berlaku terutama pada perikanan yang bertanggung jawab yang telah dijabarkan pada Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995). Hal ini dilakukan agar ikan yang ditangkap ukurannya selektif dan belum mencapai MSY (Maximum Sustainable Yield) dan MEY (Maximum Economic Yield). Penelitian menunjukkan bahwa kinerja perusahaan dapat ditentukan oleh kombinasi
faktor
internal
dan
eksternal.
Kedua
faktor
tersebut
harus
dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Dimana SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal yang terdiri Strength dan Weakness serta lingkungan eksternal yang terdiri Opportunity dan Threats. Untuk mengetahui strategi dan kebijakan yang akan ambil, maka dilakukan analisis SWOT dengan mengidentifikasi berbagai faktor internal dan faktor eksternal secara sistematik dan dilanjutkan dengan merumuskannya. Kemudian membandingkan antara faktor internal, yaitu kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness) dengan faktor eksternal, yaitu peluang (Opportunity) dan ancaman (Threats). Salah satu model analisis SWOT dapat ditampilkan dalam bentuk matrik kotak, dua yang paling di atas adalah kotak faktor eksternal peluang dan ancaman/tantangan, sedangkan dua kotak sebelah kiri adalah kotak faktor internal, yaitu kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan. Empat kotak lainnya merupakan kotak isu-isu strategi yang timbul sebagai hasil kontak antara faktorfaktor eksternal dan faktor-faktor internal. Adapun isu strategi tersebut antara lain: (A) Comparative Advantage, (B) Mobilization, (C) Investment/Divestment, dan (D) Damage Control (Kearns 1992 dalam Salusu 1988). Sedangkan menurut David (1989) dalam Salusu (1988) yang menggunakan istilah TOWS, yaitu ingin mendahulukan analisis ancaman dan peluang untuk melihat sejauh mana kapabilitas internal sesuai dan cocok dengan faktor- faktor eksternal. Dalam analisis TOWS ada empat strategi yang ditampilkan. Strategi SO dipakai untuk menarik keuntungan dari peluang yang tersedia dalam lingkungan eksternal. Strategi WO bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang dari lingkungan luar. Strategi ST digunakan untuk
36
menghindari, paling tidak memperkecil dampak dari ancaman yang datang dari luar. Strategi WT adalah taktik yang diarahkan pada usaha memperkecil kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal. Model analisis SWOT menurut Kearns (1992) dan David (1989) dalam Salusu (1996) disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Model Matrik Analisis SWOT atau TOWS Faktor Internal
Faktor
Strengths
Weaknesses
(Kekuatan)
(Kelemahan)
Eksternal Ø Comparative Advantage
Opportunities
(SWOT)
(Peluang)
Ø Strategi SO (TOWS) Ø Investment
Threats (Ancaman)
Ø Mobilization (SWOT) Ø Strategi WO (TOWS) Ø Damage
Divestment
Control
(SWOT)
(SWOT)
Ø Strategi ST
Ø Strategi WT
(TOWS)
(TOWS)
Sumber : Kearns (1992) ,David (1989) yang diacu dalam Salusu (1988)
Dalam menentukan strategi yang terbaik, dilakukan pemberian bobot (nilai) terhadap tiap unsur SWOT berdasarkan tingkat kepentingan dan kondisi suatu wilayah. Bobot (nilai) yang diberikan berkisar antara 1 - 3. Setelah masing- masing unsur
SWOT
diberi
bobot
(nilai),
unsur-unsur
tersebut
dihubungkan
keterkaitannya dalam bentuk matrik untuk memperoleh beberapa alternatif strategi. Kemudian alternatif-alternatif tersebut dijumlahkan bobotnya untuk menghasilkan rangking dari tiap-tiap strategi alternatif. Strategi dengan rangking 37
tertinggi merupakan alternatif strategi yang diprioritaskan untuk dilakukan (Rangkuti 2000).
3. 4 Analytical Hierarchy Process (AHP) Proses Analisis Hirarki (The Analytical Hierarchy Process) dikembangkan pertama kali oleh L. Saaty pada tahun 1971, yang merupakan pakar matematika dari University of Pittsburg Amerika Serikat. Metode ini adalah salah satu dari ilmu pengambilan keputusan (Saaty, 1991). Tujuan utama dari metode ini adalah dapat mengatasi proses pengambilan keputusan dengan masalah yang merupakan suatu sistem kompleks dan tidak terstruktur. Kompleksitas dan tidak terstrukturnya suatu sistem tersebut karena dukungan data dan informasi dari masalah yang dihadapi sangat minim. Data yang diperlukan kalaupun ada mungkin hanya bersifat kualitatif saja yang berdasarkan presepsi, pengalaman atau intuisi. Sehingga masalah tersebut hanya dapat dirasakan dan diamati, namun kelengkapan data numerik tidak menunjang untuk memodelkannya secara kuantitatif. Dalam penyelesaian masalah yang kompleks dan tidak terstruktur tersebut, perlu langkah penyederhanaan dengan menstrukturkan komponen masalah tersebut secara hirarki. Dimana dalam menyusun suatu hirarki diperlukan tahap-tahap sebaga i berikut :
Tahap 1
:
Mendefinisikan masalah dan menentukan secara spesifik solusi yang
Tahap 2
:
diinginkan
Menyusun hirarki dimulai dengan tujuan (objective) yang umum, diikuti oleh sub tujuan, kriteria, dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan hirarki paling bawah.
Tahap 3
:
Membangun matrik perbandingan pasangan yang mempunyai kontribusi relatif atau pengaruh pada masing- masing tujuan atau kriteria yang dikembangkan pada tingkat yang lebih atas.
Tahap 4
:
Melakukan perbandingan pasangan sehingga diperoleh judgement
seluruhnya
sebanyak
[n(n-1)]/2
buah,
38
dimana
n
adalah
banyaknya
komponen
yang
dibandingkan. Tahap 5
:
Setelah
data
perbandingan
pasangan
terkumpul,
kemudian dihitung nilai eigen value dan diperiksa konsistensinya. Jika tidak konsisten, maka pengambilan data diulang. Tahap 6
:
Mengulangi tahap 3,4 dan 5 untuk seluruh tingkat dan kelompok hirarki.
Tahap 7
:
Menghitung
eigenvektor
dari
setiap
matrik
perbandingan pasangan di atas, dimana nilai dari vektoreigen merupakan bobot setiap komponen. Tahap 8
:
Memeriksa konsistensi jika nilainya lebih besar dari 10%, maka kualitas data judgement harus diperbaiki.
Adapun keuntungan menyusun ke dalam bentuk hirarki dalam analisis adalah sebagai berikut : 1) Hirarki yang merepresentasikan sistem dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana perubahan tingkat kepentingan elemen pada level atas berpengaruh terhadap tingkat kepentingan elemen-elemen pada tingkat hirarki di bawahnya. 2) Hirarki memberikan informasi yang lengkap dan jelas atas struktur dan fungsi dari sistem dalam tingkatan lebih rendah dan memberikan gambaran faktorfaktor apa yang berpengaruh terhadap tujuan-tujuan pada tingkat lebih atas. Pembatasan-pembatasan
dari
elemen-elemen
pada
tingkatan
tertentu
direpresentasikan secara baik dalam tingkatan berikutnya yang lebih atas dari elemen tersebut. 3) Penganalisaan dengan hirarki lebih efisien daripada analisis secara keseluruhan. 4) Stabil dan fleksibel, stabil dalam hal perubahan yang kecil akan menghasilkan pengaruh yang kecil pula, fleksibel dalam hal penambahan terhadap struktur hirarki tidak akan merusak atau mengacaukan performasi hirarki secara keseluruhan.
39
Skala Penilaian Perbandingan Pasangan Tahap terpenting dari proses analisis hirarki adalah penilaian perbandingan pasangan, yang pada dasarnya merupakan perbandingan tingkat kepentingan antara komponen (elemen) dalam suatu tingkat hirarki. Penilaian dilakukan dengan cara membandingkan sejumlah kombinasi elemen yang ada pada setiap hirarki, sehingga dapat dilakukan penilaian kuantitatif untuk mengetahui besarnya bobot setiap elemen. Untuk pembandingan pasangan, bentuk matrik merupakan bentuk yang lebih disukai. Beberapa keuntungan dengan menggunakan bentuk matrik adalah : 1) Bentuk lebih sederhana 2) Merupakan alat yang cukup baik yang menawarkan kerangka untuk pengujian konsistensi 3) Dapat
diperolehnya
tambahan
informasi
melalui
pembuatan
seluruh
pembandingan yang mungkin. 4) Dalam analisa sentivitas dari seluruh tingkat hirarki untuk mengubah dalam judgement.
Oleh Saaty (1980) telah menyusun tabel skala perbandingan pasangan seperti dilihat pada Tabel 9 sebagai berikut :
40
Tabel 9 Nilai skala perbandingan berpasangan Intensitas Kepentingan
Definisi Variabel Sama pentingnya
1
Kedua elemen memberikan kontribusi
Elemen yang satu sedikit lebih penting terhadap yang lain Elemen yang satu mempunyai tingkat kepentingan yang kuat atau esensial terhadap yang lainnya Tingkat kepentingan yang jelas lebih kuat
3
5 7
Tingkat kepentingannya mutlak
9 2,4,6,8 Kebalikan dari nilai di atas
3. 5
Keterangan
Pengalaman atau judgement sedikit memihak pada sebuah elemen dibandingkan elemen yang lainnya Pengalaman atau judgement secara kuat memihak pada sebuah elemen dibanding elemen yang lainnya Sebuah elemen secara kuat disukai dan dominasinya tampak dalam praktek Bukti bahwa suatu elemen lebih penting dari elemen yang lainnya adalah sangat jelas
Nilai-nilai tengah diantara 2 Nilai ini diberikan bila diperlukan adanya judgement yang kompromi antara dua judgement berdampingan Bila komponen i mendapat salah satu nilai di atas (non zero) saat dibandingkan dengan elemen j, maka elemen j mempunyai nilai sebaliknya saat dibandingkan dengan i.
Analisis Finansial
1) Benefit-Cost Ratio Untuk pengembangan armada penangkapan ikan di daerah Ternate diperlukan suatu ukuran yang menyeluruh sebagai dasar pemikiran/penolakan terhadap kegiatan/proyek yang akan dilaksanakan. Salah satunya adalah Benefit Cost Ratio. Pada Benefit/Cost Ratio penekanannya ditujukan kepada manfaat (benefit) bagi kepentingan umum. Adapun rumus yang digunakan adalah :
B/CR =
Nilai Sekarang Benefit Nilai Sekarang Biaya
=
( PV ) B ( PV ) C
Biaya C pada Rumus di atas dapat dianggap sebagai biaya pertama (Cf) sehingga rumusnya menjadi : B/CR =
( PV ) B Cf
41
Dimana : B/CR
= Perbandingan manfaat terhadap biaya (benefit-cost ratio)
(PV) B
= Nilai Sekarang Benefit
(PV) C = Nilai Sekarang Biaya
Adapun criteria BCR akan memberikan petunjuk sebagai berikut : B/CR
> 1
Usulan proyek/Kegiatan diterima
B/CR
< 1
Usulan proyek/kegiatan ditolak
B/CR
= 1
Netral
2) Net Present Value (NPV) NPV merupakan selisih antara Present Value dari benefit dan Present Value dari biaya. Rumusannya sebagai berikut : Bt
Merupakan benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t;
Ct
merupakan biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t, tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat modal (pembelian peralatan, tanah, konstruksi, dan sebagainya) atau rutin;
N
Adalah umur ekonomis dari proyek
I
Merupakan Social Opportunity Cost of Capital, yang ditunjuk sebagai Social Discount Rate
NPV =
[ N
B1 1+i
+
B2 (1+i) 2
+ …
Bn (1+i) n
]
-
[
C1 1+i
+
C2 (1+i) 2
+ …
Cn (1+i) n
Bt - Ct
= ? t=1
(1+i) t
Dalam evaluasi suatu proyek tertentu tanda “go” dinyatakan oleh nilai NPV = 0. Jika NPV = 0, berarti proyek tersebut mengembalikan persis sebesar Social Opportunity Cost of Capital. Jika NPV < 0, proyek supaya ditolak, artinya ada
42
]
penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk sumber-sumber yang diperlukan proyek.
3) Internal Rate of Return (IRR) IRR adalah nilai discount rate i yang membuat NPV dari proyek sama dengan nol, yaitu :
n
Bt - Ct
?
= 0
t=1
(1+iIRR)t
IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek, asal setiap benefit bersih yang diwujudkan ( yaitu setiap Bt – Ct yang bersifat positif ) secara otomatis ditanam kembali dalam tahun berikutnya dan mendapatkan tingkat keuntungan i yang sama yang diberi bunga selama sis a umur proyek.
3.6 Linear Goal Programming Analisis pengembangan armada penangkapan ikan di daerah penelitian dikaji
dengan
menggunakan Linear Goal Programing.
Linear Goal
Programming merupakan perluasan dari Linear Programming, sehingga seluruh asumsi, notasi, formulasi model matematik, prosedur perumusan model dan penyelesaiannya tidak berbeda.
Perbedaannya hanya terletak pada adanya
sepasang variabel deviasional yang muncul dalam fungsi tujuan dan fungsi- fungsi kendala.
Ole h karena itu, konsep dasar Linear Programming akan selalu
melandasi pembahasan model Goal Programing (Siswanto, 1993). Dalam penelitian ini, metode ini digunakan dalam rangka menentukan jumlah armada optimal yang dapat dikembangkan dengan dasar beberapa tujuan yang ingin dicapai. Proses analisis dilakukan dengan alat bantu komputer dan software LINDO.
43
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah : 1. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan di daerah penelitian. 2. Memaksimumkan penyerapan tenaga kerja di daerah penelitian. 3. Meminimumkan penggunaan BBM di daerah penelitian. 4. Memaksimumkan nilai produksi penangkapan ikan di daerah penelitian.
3.7 Code of Conduct for Responsible Fisheries Didalam pengelolaan sumberdaya ikan, untuk me njaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya, merupakan tanggung jawab bersama negaranegara sebagaimana telah diatur dalam UNCLOS 1982. Pengelolaan sumberdaya ikan pada tingkat International berpedoman pada Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Pada Tahun 1995 negara-negara anggota FAO telah menyepakati aturan yang dituangkan sebagai Kode Etik Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries). Kode etik ini pada dasarnya mengatur perilaku dan tata cara melaksanakan kegiatan perikanan secara bertanggungjawab, seperti mengatur alat tangkap dan metoda penanganannya, aturan tentang ambang batas pencemaran yang dapat ditoleransi, larangan penggunaan sarana perikanan yang membahayakan, larangan membuang hasil- hasil perikanan yang dapat dimanfaatkan, mewaspadai alat tangkap yang tidak bertuan yang dapat mengancam kelestarian sumber (ghost fishing). Dalam menganalis kebijakan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) terdapat beberapa pedoman yang menjadi arah untuk diikuti antara lain : (1)
Dalam memanfaatkan sumberdaya ikan harus melalui melalui prinsip selektivitas alat tangkap;
(2)
Tidak ada hasil perikanan yang dibuang percuma (discard);
(3)
Sumberdaya ikan harus dimanfaatkan optimal;
(4)
Tetap menjaga kelestarian sumberdaya dan binatang laut lainnya;
(5)
Menggunakan bahan bakar secara efisien;
(6)
Tidak terjadi perikanan yang tidak bertuan (ghost fishing);
(7)
Berprinsip hati- hati dalam merencanakan pemanfaatan sumberdaya ikan;
44
(8)
Alat/bahan penangkapan yang digunakan, tidak merusak lingkungan (tidak polusi). Pelaksanaan Code of Conduct for Responsible Fisheries ini akan efektif
hasilnya, jika dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip yang mengarah pada pedoman tersebut di atas kedalam kebijakan dan peraturan perikanan. Dalam menentukan Kode Etik Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab, dilakukan pemberian bobot (nilai) terhadap tiap unsur dari pedoman tersebut di atas berdasarkan setiap jenis alat tangkap yang beroperasi di wilayah perairan Ternate Maluku Utara. Bobot (nilai) yang diberikan berkisar antara 1 - 4. Setelah masingmasing unsur pedoman yang menjadi arah dari Code of Conduct for Responsible Fisheries dengan setiap jenis alat tangkap diberi bobot (nilai), unsur-unsur tersebut dihubungkan keterkaitannya dalam bentuk matrik untuk memperoleh beberapa alternatif. Kemudian alternatif- alternatif tersebut dijumlahkan bobotnya untuk menghasilkan rangking dari tiap-tiap alat tangkap. Jenis alat tangkap dengan ranking tertinggi merupakan alat tangkap yang diprioritaskan memenuhi kaidah Code of Conduct for Responsible Fisheries.
3. 8 Metode Analisis Tentang Kapal Perikanan 3.8.1 Basic design Kapal Kajian Basic Design Kapal Perikanan adalah suatu pekerjaan untuk merancang kapal-kapal penangkapan ikan. Untuk merancang "basic design" kapal penangkapan ikan, agar hasil yang diperoleh maksimal mengacu pada dua dasar, yaitu laik laut dan layak tangkap. Untuk membuat atau merancang kapal agar laik laut dapat mengacu pada prinsip-prinsip perancangan suatu kapal yang sesuai dengan kaidah perancangan kapal. Sedangkan untuk kapal dapat menjadi laik tangkap, harus mengacu pada ilmu- ilmu perikanan khususnya teknologi penangkapan yang akan digunakan. Dalam membuat basic design kapal penangkapan ikan, diawali dengan survei yang antara lain meliputi pengukuran terhadap kapal-kapal penangkapan ikan yang sudah ada dan dioperasikan oleh para nelayan. Dan hasil pengukuran akan dilakukan kajian dan analisis terhadap data yang diperoleh di lapangan, baik ditinjau dari aspek fisik kapal dan aspek ekonomi. Khususnya hasil analisis aspek 45
fisik kapal, akan dijadikan acuan untuk membuat rancangan-rancangan basic design pada pekerjaan ini.
3.8.2 Aspek Fisik Kapal Aspek fisik kapal mencakup dimensi-dimensi utama kapal (panjang, lebar, dalam/tinggi dan sarat), koefisien-koefisien bentuk kapal termasuk faktor stabilitas kapal. Basic design kapal perikanan ini meliputi 4 (empat) rancangan, yaitu: 1. Rancangan Garis (Lines Plan) 2. Rancangan Umum (General Arrangement) 3. Rancangan Konstruksi Melintang (Midship Section Construction) 4. Rancangan Konstruksi Membujur (Profile Construction) Rancangan garis menentukan karakteristik kapal dibawah air. Rancangan ini akan menentukan bentuk lambung kapal yang akan dirancang. Rancangan garis air merupakan parameter bentuk (form parameter) sebagai dasar yang menentukan kinerja (performance) maupun Stabilitas kapal. Oleh karena itu, nilainilai parameter bentuk ini sangat bervariasi antara satu kapal dengan kapal lainnya, tergantung pada bentuk dan jenis kapal yang direncanakan. FAO 1996 memberikan beberapa parameter bentuk kapal yang ideal untuk jenis-jenis kapal penangkapan ikan. Namun secara umum perancang kapal (designer) menentukan atau memilih nilai dari parameter bentuk yang sesuai denga n jenis kapal yang direncanakan. Parameter bentuk yang ditetapkan oleh FAO 1996 antara lain adalah: . (1) Rasio perbandingan antara panjang dan lebar (L / B). (2) Rasio perbandingan antara lebar dengan sarat air (B / T). (3) Koefisien Midship (C M). (4) Koefisien Prismatic (C P ). (5) Letak titik tekan, secara membujur dalam prosentase panjang kapal Longitudinal Centre of Bouyancy (LCB %), dan bila berada di belakang Midship diberi tanda minus (-). (6) Half angle of entrance of load water line (± a ) (7) Trim.
46
Adapun nilai-nilai yang ideal parameter bentuk adalah: (1) (L / B) ………………………. 3,10 - 4,30 (2) (B / T) ………………………. 2,00 - 3,20 (3) (C M) ………………………. 0,50 - 0,80 (4) (C P )
………………………. 0,55 - 0,65
(5) LCB% ………………………. - 6,00 - +1,00 (6) ½ a
………………………. 15.0 - 34,0
(7) Trim
………………………. - 0,04 - + 0,13
Untuk menentukan parameter bentuk akan dilakukan perhitungan dari ukuran utama kapal. Ukuran pokok kapal ditentukan dengan metoda perbandingan terhadap kapal yang disurvei yang dianggap laik laut dan laik tangkap kemudian dibandingkan dengan kriteria nilai ideal yang diberikan oleh FAO 1996. Ukuran pokok tersebut adalah : (1) Panjang Panjang kapal sangat erat kaitannya dengan tata ruang, sehingga memenuhi kapasitas ruang mesin, tangki bahan bakar, tangki air tawar, ruang palkah ikan, ruang akomodasi, gudang, tempat kerja untuk kegiatan penangkapan, gudang alat tangkap dan lain sebagainya. Pada prinsipnya panjang kapal akan berpengaruh terhadap: (1) Hambatan Kapal (2) Kecepatan (3) Kekuatan Membujur (4) Stabilitas (5) Pengaturan Tata Ruang (2) Lebar Lebar kapal sangat erat hubungannya dengan stabilitas kapal dan juga hambatan kapal serta area kerja pada geladak kapal. (3) Tinggi Tinggi kapal sangat erat hubungannya dengan kapasitas muat, stabilitas serta kekuatan membujur kapal. Penambahan atau pengurangan tinggi kapal akan berpengaruh terhadap kekuatan membujur dan letak titik berat. 47
(4) Sarat air Sarat air adalah kedalaman kapal pada kondisi kosong atau penuh. Sarat air kapal digunakan untuk mengetahui displacement kapal. (5) Freeboard Freeboard adalah ketinggian antara sarat air terhadap geladak utama. Freeboard berpengaruh terhadap stabilitas yaitu sudut karam kapal. (6) Koefisien dan Rasio Kapal Koefisien-koefisien kapal akan menentukan ciri kapal (bentuk kapal) dan berhubungan erat dengan stabilitas serta hambatan kapal, yang meliputi : (i) Koefisien Balok Koefisien balok (CB) menentukan bentuk dan volume kapal (bentuk kapal) yang berada di bawah garis air. Koefisien balok juga digunakan untuk menentukan displacement kapal. (ii) Koefisien Bidang Lintang Tengah Koefisien bidang lintang tengah (C M) adalah untuk menentukan luas bidang lintang tengah kapal. Koefisien ini juga berpengaruh pada stabilitas kapal. (iii) Koefisien Bidang Garis Air Koefisien bidang garis air (Cw) menentukan luas bidang garis air pada setiap kedalaman air. Jika tiap-tiap luas garis air dihitung secara integral dengan metoda Simson akan diperoleh displacement, stabilitas melintang dan stabilitas membujur kapal. (iv) Koefisien Prismatik Koefisien prismatik (Cp) menentukan kelangsingan kapal dan berhubungan erat dengan hambatan kapal. (v) Speed Length Ratio (SLR) Kecepatan kapal penangkapan ikan dapat dikelompokkan berdasarkan rasio perbandingan antara kecepatan dan panjang kapal yang dinyatakan dengan V / v L. Dari pengelompokan ini akan muncul kriteria kapal dengan kecepatan tinggi, kecepatan normal dan kecepatan rendah. § Kecepatan rendah (V / v L = 0,69 s/d 0,92) § Kecepatan normal (V / v L = 1,03 s/d 1,14)
48
§ Kecepatan tinggi (V / v L = 1,26 s/d 1,37) Kapal penangkapan ikan biasanya termasuk kapal berkecepatan tinggi, dimana kecepatan optimumnya memiliki nilai V / v L = 1,34 atau bilangan Froude V / v gL = 0,38. (7) Rancangan Umum Rancangan umum (General Arrangement) adalah gambaran umum dari keseluruhan penataan ruangan dan perlengkapan di kapal. Penataan ruang di kapal dimaksudkan untuk memperoleh efisiensi ruangan-ruangan yang dibutuhkan sesuai dengan fungsi dan kegiatan kapal tersebut. Penataan ruangan pada saat perencanaan pembuatan kapal dirancang dan dihitung secara seksama agar memenuhi areal maupun volume ruangan yang dibutuhkan serta untuk memperoleh stabilitas kapal yang mantap. Pada prinsipnya penataan ruangan ini bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu ruangan di bawah geladak dan ruangan di atas geladak. Ruang di bawah geladak meliputi : (i)
Ruang Ceruk Buritan : biasanya digunakan sebagai tempat steering gear. Pada kapal kayu, ruang ceruk buritan ini menjadi multi fungsi, yang juga digunakan sebagai penyimpanan peralatan mesin.
(ii)
Ruang Mesin : biasanya disebut juga sebagai kamar mesin digunakan sebagai tempat akomodasi dari mesin kapal yang merupakan sumber daya penggerak kapal. Tenaga mesin dapat ditentukan dengan menghitung hambatan kapal dalam berbagai jenis nilai kecepatan dan dituangkan dalam bentuk grafik.
(iii) Ruang Palkah Ikan : adalah ruangan yang digunakan untuk menyimpan ikan hasil tangkapan. Ruang palkah ikan ini harus diberi insulasi, agar penetrasi panas dapat dikurangi atau dihambat. Bahan insulasi yang sering digunakan dewasa ini adalah Polyurethan. Pendinginan ikan di palkah ikan dapat dengan menggunakan unit pendingin atau menggunakan es. Karena ikan harus dipertahankan mutunya agar tetap baik maka konstruksi palkah ikan (terutama dinding-dinding kapal yang diberi insulasi) harus dirancang secara khusus dan seksama sesuai dengan persyaratan mutu ikan yang diperlukan.
49
Pada prinsipnya ukuran palkah ikan ditentukan antara lain oleh : • Lama hari operasi (jumlah setting) • Produktivitas alat tangkap • Jenis ikan yang tertangkap • Sistem pendinginan yang digunakan • Stowage ratio ikan. (iv) Ruang Ceruk Depan : ruang ceruk depan digunakan untuk tempat serbaguna seperti untuk menyimpan rantai jangkar. Disamping itu, sisa ruangan yang ada juga digunakan untuk menyimpan peralatan kapal ataupun suku cadang alat tangkap ikan. (v) Tangki Bahan Bakar : ruangan yang digunakan untuk menyimpan bahan bakar yang akan digunakan kapal selama beroperasi. Volume tangki bahan bakar sangat berhubungan dengan lama operasi (pelayaran) serta daya mesin yang digunakan di kapal. (vi) Tangki Air Tawar : ruangan yang digunakan untuk menyimpan air tawar untuk keperluan awak kapal selama operasi penangkapan (pelayaran). Ukuran tangki air tawar juga berhubungan dengan jumlah awak kapal serta lama trip operasi. FAO menyarankan bahwa seorang awak kapal penangkapan ikan membutuhkan air tawar ± 14 liter per hari. (vii) Tangki Ballast : tangki ballast pada umumnya terletak di haluan kapal. Tangki ballast biasanya diisi air laut yang berfungsi untuk mengimbangi moment trim (agar kapal tidak tungging atau tonggak). Ruang di atas geladak pengaturannya sangat penting karena berhubungan langsung dengan pengoperasian alat tangkap. Ruang di atas geladak meliputi ruang kemudi, ruang akomodasi awak kapal, gudang (tempat penyimpanan) alat tangkap serta berbagai tempat alat bantu penangkapan. (8) Rancangan Konstruksi Melintang Ukuran balok konstruksi melintang kapal ditentukan dengan perhitungan scantling berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) pada tahun 1996, khususnya untuk kapal kayu, yang didalamnya meliputi : a. Lunas b. Linggi haluan dan linggi buritan 50
c. Gading-gading dan wrang d. Galar balok e. Kulit Iuar f. Balok geladak g. Geladak h. Pagar i.
Sekat-sekat kedap air
j. Palkah ikan k. Pondasi mesin. Ukuran-ukuran bagian konstruksi dapat berubah sesuai dengan kriteria daerah pelayaran yang telah ditetapkan oleh peraturan BKI, 1996. 9) Rancangan Konstruksi Membujur Rancangan konstruksi membujur kapal meliputi : a. Konstruksi membujur Iambung b. Konstruksi geladak c. Konstruksi bangunan atas d. Konstruksi linggi haluan e. Konstruksi linggi buritan
3.8.3 Metode Analisis GT Kapal Ikan Berdasarkan KEPMEN No. 10 Tahun 2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan, pasal 16 ayat (3) huruf (a) dan berdasarkan rumus International Formula for Tonnage Measurement Of Ships 1969, ditetapkan bahwa perhitungan GT untuk kapal : (1)
Panjang diatas 24 m dihitung berdasarkan rumus pendekatan GT = V. k, dimana (V) adalah volume kapal dan (k) adalah konstanta yang didapat dari tabel konstanta untuk m3 volume kapal.
(2)
Untuk kapal dibawah 24 m dihitung dengan rumus : (L x B x D x Cb) : 2,83. Cb = Koefisien block dari kapal. Cb Pukat Ikan = 0.8, Purse Seine = 0.6 s/d 0.8, Long Line = 0.6, untuk yang lain 0.5 s/d 0.6.
51
Pengukuran GT kapal sebagaimana yang telah dijelaskan, meliputi pengukuran seluruh ruangan tertutup yang ada di kapal. Di Indonesia desain kapal ikan cukup bervariasi, beberapa kapal ada yang memiliki ruangan di atas geladak ukur dan ada yang tidak. Bahkan beberapa kapal ikan tidak memiliki palka ikan seperti pada kapal-kapal pole and line, atau pun kapal-kapal yang termasuk kategori perikanan skala kecil, seperti perahu payang, perahu dogol dan perahu compreng. Dalam sejarah pene ntuan metoda pengukuran kapal, Moorsom dalam Nomura dan Yamazaki (1977) menyebutkan bahwa cara pengukuran kapal di berbagai negara adalah cara pengukuran menurut MOORSOM. Cara ukur MOORSOM mula- mula diterapkan di Inggris dan negara jajahannya tahun 1855. Kemudian penerapannya diikuti oleh Austria, Italia. Turki, Norwegia dan Finlandia. Baru pada tahun 1886, dengan diberlakukannya Scepmentings Ordonantie 1927 di wilayah Indonesia mulai diterapkan cara ukur MOORSOM dalam pengukuran kapal. Akan tetapi dalam pelaksanaannya satu dengan yang lainnya mempunyai sistem yang berbeda. Karena itu dirasakan perlu adanya suatu sistem yang bersifat universal. Sesudah perang dunia kedua (1939-1945), United Nations mendirikan suatu organisasi perkapalan khusus yaitu "Intergovernmental Maritime Consultative Organization' disingkat "ICMO" berkedudukan di London, Inggris. Menyadari betapa pentingnya penetapan suatu sistem yang bersifat universal untuk pengukuran kapal, maka pada tanggal 27 Mei hingga 23 Juni 1969 diselenggarakan suatu konferensi yang dihadiri oleh lebih 40 negara, termasuk Indonesia, dengan mengundang ICMO. Tujuannya adalah untuk merumuskan Konvensi Internasional tentang Pengukuran Kapal. Pada tanggal 23 Juni 1969 disahkan “International Convention on Tonnage Measurement of Ships”. Dalam konvensi ini juga ditetapkan penggunaan isi kotor (Gross Tonnage/GT) dan isi bersih (Net Tonnage) sebagai parameter pengukuran serta cara pengukurannya. Pemerintah Indonesia pada akhirnya mengesahkan konvensi tersebut melalui Keputusan Presiden No.5 Tahun 1989 tentang Pengesahan International Convention on Tonnage Measurement of Ships 1969. Beberapa hal utama yang perlu diketahui dari International Convention on Tonnage Measurement of Ships
52
1969 adalah bahwa konvensi ini akan diterapkan pada kapal-kapal yang digunakan untuk pelayaran-pelayaran internasional dan yang terdaftar di negaranegara yang pemerintahannya ikut menandatangani konvesi tersebut (Pasal 3), dan tidak akan berlaku bagi kapal-kapal yang panjangnya kurang dari 24 meter (Pasal 4). Dengan demikian kapal-kapal yang memiliki panjang kurang dari 24 meter diatur oleh masing- masing negara. Gross Tonnage (GT/isi kotor) kapal berdasarkan International Convention on Tonnage Measurement of Ships 1969 (Konvensi Internasional Tentang Pengukuran Kapal 1969) yang telah diratifikasi dengan Keppres No.5 Tahun 1989 tentang Pengesahan International Convention on Tonnage Measurement of Ships 1969, adalah ukuran besarnya kapal secara keseluruhan dengan memperhitungan jumlah isi semua ruangan-ruangan tertutup baik yang terdapat di atas geladak maupun di bawah geladak ukur. Berdasarkan Keputusan Peraturan Pengukuran Kapal 1927 (Scepmentings Ordonantie 1927) pasal 32 Ayat (2) disebutkan bahwa ukuran isi kapal atau kendaraan air adalah dalam meter kubik (m3 ) dan dalam ton-register (Register Ton/RT). Jumlah ton-register didapat dengan cara mengalikan jumlah meter kubik dengan bilangan 0,353. Dengan demikian bilangan 0,353 merupakan nilai konversi dari meter kubik ke ton-register. Bilangan ini diperoleh berdasarkan ukuran satuan kaki (feet) Inggris. Dimana : Satu feet = 30.479 cm, Satu feet kubik = 0,02831405 m3 100 feet kubik = 2,831405 m3. Satu meter kubik = 0,353 RT (Register Ton). Cara pengukuran Internasional adalah berdasarkan ketetapan yang ada dalam Konvensi Internasional tentang Pengukuran Kapal (International Convention on Tonnage Measurement of Ships) 1969, dimana GT kapal ditentukan sesuai dengan rumus berikut :
GT = K . V
Keterangan : V = Jumlah isi semua ruang-ruang tertutup yang dinyatakan dalam meter kubik.
53
K1 = 0,2 + 0,002 log 10 V (atau nilai K; merupakan koefisien yang diperoleh dari hasil interpolasi linier/berupa tabel). Penggunaan rumus ini menghasilkan ukuran isi kapal dengan satuan meter kubik. Jumlah isi semua ruang-ruang tertutup (V) sebagaimana tersebut di diatas merupakan ruangan-ruangan yang terdapat di bawah geladak ukur maupun di atas geladak
ukur.
Pengukuran
ruang-ruang
tertutup
berdasarkan
peraturan
internasional pada intinya ada dua, yaitu dengan mengalikan panjang, lebar dan tinggi suatu ruangan untuk mendapatkan volume ruangan berbentuk segi empat dan menghitung volume bagian per bagian dari suatu ruangan yang berbentuk tidak beraturan dengan cara pengukuran menurut MOORSOM atau dalam bidang naval architec dikenal cara penghitungan dengan menggunakan Sympson's Rules. Pengukuran menurut MOORSOM ini adalah dengan cara menghitung volume suatu ruangan tertentu yang tidak beraturan dengan terlebih dahulu membagi ruangan-ruangan tersebut menjadi beberapa bagian yang lebih kecil. Kemudian ruangan-ruangan kecil tersebut dihitung volumenya bagian per bagian dan baru kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan volume total ruangan tersebut. Sebagai ilustrasi, perhitungan ruangan menurut MOORSOM dapat dilihat pada Gambar 3.
54
Gambar 3. Metode Moorsom / Sympson’s Rules Definisi ruang tertutup berdasarkan International Convention on Tonnage Measurement of Ships 1969, Peraturan 2 Pasal 22, adalah ruang-ruang yang dibatasi oleh badan kapal, ole h dinding penyekat yang tetap atau yang dapat dipindah, oleh geladak- geladak ataupun penutup-penutup lain selain tenda-tenda tetap ataupun yang dapat dipindah. Ditinjau dari definisi tersebut, khusus untuk pengukuran GT kapal ikan meliputi seluruh ruangan tertutup yang terdapat di atas maupun di bawah dek seperti palka, palka umpan (bagi kapal ikan yang membawa umpan hidup/mati seperti kapal pole and line, kapal rawai tuna dan sebagainya), gudang/tempat menyimpan Blat tangkap, ruang akomodasi ABK (accomodation room), dapur (bagi kapal ikan yang lebih dari satu hari operasi per trip), ruang kemudi (khusus ruang kemudi yang tertutup), ruang mesin, tangki bahan bakar (fuel oil tank) dan tangki air tawar (fresh water tank).
55
3.8.4 Metode Analisis Spesifikasi Kapal dan Alat Tangkap Ikan Kapal Perikanan sesuai dengan undang- undang terbaru mengenai Perikanan No. 31 Tahun 2004 disebutkan bahwa kapal, perahu atau alat apung lain yang dipergunakan
untuk
melakukan
penangkapan
ikan,
mendukung
operasi
penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan. Armada penangkapan ikan adalah merupakan kesatuan sarana penangkapan ikan yang meliputi kapal perikanan yang terdiri dari kapal penangkap ikan, dan alat penangkapan ikan serta alat bantu penangkapan ikan baik alat perlengkapan di atas kapal maupun alat bantu operasional penangkapan ikan yang bertujuan untuk mengumpulkan ikan seperti rumpon atau lampu pengumpul ikan. Secara struktural, armada penangkapan ikan dibedakan menurut kategori besarnya ukuran kapal perikanan yaitu armada tradisional dan modern. Armada penangkapan ikan tradisional umumnya terdiri dari perahu tanpa motor, perahu motor tempel sampai dengan kapal motor tidak lebih besar dari 30 GT. Armada penangkapan ikan modern menggunakan kapal motor di atas 30 GT dan dilengkapi pula dengan berbagai alat bantu penangkapan ikan yang sarat dengan muatan teknologi penangkapan dan pengolahan pasca panen hasil perikanan. Menurut cara operasional, armada penangkapan ikan diklasifikasikan berdasarkan jenis alat penangkapan ikan yang digunakan. Bila dilihat dari segi oseanografi, keadaan topografi dasar perairan, banyaknya jenis-jenis ikan, udang dan biota lainnya dengan tingkah laku dan sifat yang berbeda-beda, sudah tentu memerlukan alat penangkap dan cara penangkapan yang berbeda-beda pula di dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Di Indonesia, banyak terdapat jenis alat penangkap, baik untuk ikan, udang maupun biota la ut lainnya. Beberapa alat penangkap sederhana yang telah lama diusahakan secara tradisional oleh nelayan di Indonesia, antara lain : tombak, sero, bubu, pancing dan jala. Kemudian menyusul alat penangkap lain, seperti : berbagai jenis pukat kantong dan berbagai jenis jaring insang. Dalam perkembangan lebih lanjut kemudian muncul alat penangkap yang lebih produktif dan efisien, seperti pukat udang, pukat cincin, rawai, huhate dan lain, sebagainya.
56
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia telah mengklasifikasikan berbagai macam alat penangkap yang ada di Indonesia ini ke dalam sepuluh (10) kelompok, yaitu : (1) Pukat udang ; (2) Pukat cincin ; (3) Pukat kantong ; (4) Jaring insang ; (5) Jaring angkat ; (6) Pancing; (7) Perangkap ; (8) Alat pengumpul kerang dan rumput laut ; (9) Muro-ami, termasuk soma mallalugis dan (10) Alat penangkap lainnya.
57
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Data geografis dari Provinsi Maluku Utara dengan Ibukota di Ternate berada antara 1240 -1300 Bujur Timur dan antara 30 Lintang Selatan sampai 30 Lintang Utara, dan dilewati oleh Garis Khatulistiwa. Berbatasan langsung dengan : •
Utara
•
Selatan - Laut Seram
•
Timur - Provinsi Irian Jaya
•
Barat
- Laut Pasifik
- Pulau Sulawesi
Gambar 4 Peta Propinsi Maluku Utara
Wilayah Propinsi Maluku Utara secara administratif mempunyai luas 140.255,36 km2 yang terdiri dari luas lautan 106.977,32 km2 dan luas daratan 33.276 km2 , luas lautan merupakan persentase terbesar yakni 77 % dari keseluruhan wilayah. Secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari satu pulau besar dan 396 pulau kecil dimana 69 buah pulau berpenghuni, sedangkan 327 buah pulau tidak berpenghuni dengan jumlah penduduk Propinsi Maluku Utara sebesar 20.995 jiwa adalah nelayan (Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku Utara, 2003). Kota Ternate yang luasnya 5.795,4 km2 terdiri dari luas perairan 5.544,55 km2 atau 95,7% dan daratan 250,85 km2 atau 4,3 % yang tersebar pada delapan pulau. Jarak antara pulau Ternate ke pulau lain adalah sebagai berikut (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Terna te, 2003) : -
Pulau Ternate – Pulau Hiri 1,5 mil laut
-
Pulau Ternate – Pulau Moti 11 mil laut
-
Pulau Ternate – Pulau Mayau 90 mil laut
-
Pulau Ternate – Pulau Tifure 106 mil laut
-
Pulau Ternate – Pulau Maka 1,6 mil laut
-
Pulau Ternate – Pulau Mano 1,6 mil laut
-
Pulau Ternate – Pulau Gurida 106, 1 mil laut Jumlah penduduk Kota Ternate pada tahun 2004 adalah 148.946 jiwa.
Wilayah kota Ternate terletak antara 30 Lintang Utara dan 30 Lintang Selatan serta 124 Bujur Timur, Kota Ternate berbatasan dengan : -
sebelah utara dengan Samudera Pasifik
-
sebelah selatan dengan Laut Maluku
-
sebelah timur dengan laut Halmahera
-
sebelah barat dengan laut Maluku
Temperatur udara antara 270 C – 320 C dengan kisaran salinitas perairan antara 29 – 34%. Kota Ternate lebih dulu digunakan untuk menyebut daerah perkotaan yang berada ditengah Pulau Ternate, lokasi ibukota Propinsi Maluku Utara, namun, Kota Ternate juga merupakan sebutan resmi wilayah administratif yang meliputi
59
delapan pulau : Ternate, Moti, Hiri, Mayau, Tifure, Maka, Mano dan Burida. Tiga pulau terakhir tidak berpenghuni. Kota Ternate terdiri dari 4 Kecamatan yaitu masing- masing (1) Kecamatan Ternate Utara dengan 17 Kelurahan, (2) Kecamatan Ternate Selatan dengan 19 Kelurahan, (3) Kecamatan Pulau Ternate dengan 21 Kelurahan dan (4) Kecamatan Moti dengan 6 Kelurahan sehingga jumlah Kelurahan di Kota Ternate adalah 63 Kelurahan.
4.2 Keragaan Perikanan Tangkap 4.2.1 Potensi/Produksi Sumberdaya Ikan Potensi sumberdaya ikan laut Maluku Utara diperkirakan sebesar 484.382,48 ton/tahun yang terdiri dari potensi ikan pelagis sebesar 315.000 ton/tahun dan 169.382,48 ton/tahun adalah potensi sumberdaya ikan demersal seperti cumi dan kelompok ikan hias. Penyebaran potensi ikan tersebut didasarkan pada wilayah penangkapan yaitu : Laut Maluku, Laut Seram, Laut Halmahera dan Pasifik bagian selatan. Dari potensi tersebut yang dapat dimanfaatkan sebesar 242.191, 24 ton/tahun. Sampai dengan tahun 2001 produksi yang dihasilkan mencapai 83.758,69 ton/tahun dengan demikian tingkat pemanfaatannya baru mencapai 34,58 % (Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku Utara, 2003). Sektor Perikanan dan Kelautan Maluku Utara memiliki prospek yang cerah untuk dibangun menjadi suatu kegiatan ekonomi yang tangguh, strategis dan berkelanjutan. Hal ini didukung oleh potensi sumberdaya perikanan yang relatif besar, disamping itu ada beberapa faktor yang mendukung sektor perikanan untuk berkembang dan menjadi leading sektor dari pembangunan daerah ini seperti potensi sumberdaya perikanan yang belum tergarap secara optimal. Adapun dengan adanya konflik di Maluku Utara yang terjadi pada bulan Agustus 1999 sampai awal tahun 2000 telah banyak merenggut lebih kurang 2000 orang dan diperkirakan 22.000 rumah, bangunan umum dan tempat ibadah rusak dan hancur, selama kerusuhan tersebut masyarakat pedesaan dan masyarakat pesisir kehilangan mata pencaharian dan barang-barang modal mereka, sedangkan lebih dari 200.000 penduduk mengungsi ke lokasi lain diantaranya ke Propinsi Sulawesi Utara (Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku Utara, 2004).
60
Sekitar 14.000 nelayan di lokasi konflik telah kehilangan alat-alat produksi, sehingga diperlukan kegiatan untuk menunjang kehidupan mereka, berupa bantuan pengadaan perahu, alat tangkap ikan yang hilang atau dirampok pada saat kerusuhan. Propinsi Maluku Utara kehilangan produksi ikan disebabkan karena jumlah perahu dan alat tangkap berkurang jumlahnya dan mengakibatkan berkurangnya ikan yang di konsumsi keluarga dan yang tersedia di pasar-pasar lokal. Hal tersebut diatas dipandang menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi kehidupan nelayan di sekitarnya. Untuk itu pemerintah mencoba memberikan beberapa bantuan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup nelayan serta memulihkan kembali taraf kehidupan mereka yang sesuai dengan kondisi sebelumnya. Perikanan tangkap merupakan salah satu prime mover karena kontribusinya cukup besar yaitu sebesar 86,44 % dari total produksi, dengan berbagai jenis hasil tangkapan berupa ikan konsumsi bernilai ekonomis penting diantaranya ikan pelagis besar seperti cakalang (Katsuwanus pelamis), tuna (Thunnus sp), tongkol, cucut dan berbagai jenis pelagis kecil seperti kembung (Rastreliger kanagurta) layang (Decapterus), tembang (Sardinella spp), selar (Selparoides spp) dan teri. Beberapa jenis ikan demersal yang diusahakan oleh masyarakat nelayan antara lain kerapu (Ephinepelus spp), ekor kuning (Caesio spp), beronang (Siganus spp), kakatua (Scarus spp), kakap (Lates spp) serta jenis lainnya yang belum dikomersilkan dan masih terbatas. Hasil identifikasi jenis-jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan disekitar perairan pantai terdapat 98 jenis ikan, 74 diantaranya bernilai ekonomis penting, 20 jenis telah dikomersilkan termasuk didalamnya cumi- cumi (Loligo sp), teri (Stelophorus spp), nener, bandeng serta 12 jenis ikan hias ekosistem terumbu karang (Dinas Kelautan Propinsi Maluku Utara, 2004). Produksi ikan terbesar di Maluku Utara adalah ikan cakalang, yang ditangkap dengan alat tangkap pole and line, seperti terlihat pada Tabel 10.
61
Tabel 10 Produksi tahunan menurut jenis ikan dan jenis alat tangkap terpilih di Maluku Utara NO
TAHUN 2004
JENIS IKAN PS
GN
LL
TAHUN 2005 PL
BHL
PS
GN
LL
PL
BHL
1.
Kerapu
-
-
-
-
129,9
-
-
-
-
131,9
2.
Kakap
-
34,5
-
-
138,6
-
49
-
-
146,3
145,1
52,8
-
-
176,6
154,1
74,1
-
-
189,1
42,4
63,7
-
-
162,6
517,2
88,4
-
-
148,8
Ekor
3.
kuning 4.
Kembung
5.
Tenggiri
-
-
5,3
-
-
-
-
382,5
-
-
6.
Tuna
-
-
1856,9
125,1
89,1
-
-
2333,2
130,2
161,75
7.
Cakalang
-
-
-
16986,2
161,3
-
-
-
20558,1
397,9
8.
Tongkol
-
-
-
4108,5
162,4
-
-
-
4088,9
182,7
9.
Layang
12878,4
281,3
-
-
-
15452,4
296,9
-
-
-
10.
Selar
843,6
244,4
-
-
-
885,0
266,1
-
-
-
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara (2005) Keterangan : PS : purse seine GN : gillnet LL : longline PL : pole and line BHL : bottom handline
Sedangkan untuk produksi perikanan tangkap Kota Ternate terutama didominasi oleh ikan cakalang, tuna dan layang (Tabel 11). Tabel 11 Produksi tahunan menurut jenis ikan di Kota Ternate NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
JENIS IKAN Kerapu Kakap Ekor kuning Kembung Tenggiri Tuna Cakalang Tongkol Layang Selar Kuwe
PRODUKSI (Ton) 2004 2005 54,35 98,09 73,52 81,68 42,51 98,61 53,51 180,09 168,03 110,95 551,23 546,90 2307,99 4727,12 1167,78 809,33 1576,29 2713,00 159,86 464,95 30,87 121,66
Rata-rata kenaikan (%) 80,48 11,10 131,97 236,55 -33,97 -0,79 104,82 -30,69 72,11 190,85 294,10
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara (2005)
62
5000 4500 4000
Produksi (ton)
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 Kerapu
Kakap
Ekor kuning
Kembung Tenggiri
Tuna
Cakalang Tongkol
Layang
Selar
Kuwe
Jenis alat tangkap Tahun 2004
Tahun 2005
Gambar 5 Produksi tahunan menurut jenis ikan di Kota Ternate Alat tangkap pole and line mempunyai produktivitas tertinggi di Kota Ternate dibandingkan dengan alat tangkap lainnya seperti bottom handline, purse seine dan gillnet (Tabel 12).
Tabel 12 Produksi tahunan menurut jenis alat tangkap terpilih di Kota Ternate No.
JENIS ALAT TANGKAP
1
Purse Seine
2
Gillnet
4
Pole and Line
5
Bottom Handline
2004 (Ton)
2005 (Ton)
129,70
281,47
70,88
206,10
1920,44
3915,66
227,45
306,07
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara (2005)
63
4500 4000
Produksi (ton)
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 Purse Seine Tahun 2004
Tahun 2005
Gillnet
Pole and Line
Bottom Handline
Jenis alat tangkap
Gambar 6 Perkembangan produksi tahunan menurut jenis alat tangkap terpilih di Kota Ternate 4.2.2 Daerah Penyebaran dan Musim Penangkapan Daerah penangkapan untuk pelagis besar (tuna dan cakalang) di perairan Maluku Utara adalah : (1)
Di Ternate daerah penangkapan meliputi perairan Pulau Hiri dan Laut Maluku.
(2)
Di Tidore, daerah penangkapan meliputi perairan Halmahera Tengah, Pulau Makian dan Perairan Tidore bagian Selatan.
(3)
Di Bacan, Daerah penangkapan meliputi perairan Selat Obi dan Laut Maluku.
(4)
Di Sana na, daerah penangkapan meliputi perairan Sula dan Laut Seram.
(5)
Di Buli daerah penangkapan meliputi perairan pada laut Halmahera.
(6)
Di Morotai daerah penangkapan meliputi perairan Pasifik Selatan dan Laut Halmahera. Musim penangkapan untuk pelagis besar dilakukan sepanjang tahun dengan
musim puncak sebagai berikut (Dinas Kelautan Propinsi Maluku Utara, 2004) : (1)
Ternate, Tidore :
Januari – April dan September – Oktober
(2)
Bacan
Februari – Mei dan September – Oktober
:
64
(3)
Sula
:
Februari – April dan September – Desember
(4)
Morotai
:
Januari – April dan September – Nopember
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Jul
Agt
Sep Okt Nop Des
Ternate Bacan Sula Morotai Gambar 7 Musim puncak penangkapan untuk pelagis besar
Daerah tangkapan untuk pelagis kecil dan demersal di perairan Maluku Utara adalah : (1)
Teluk Kao
: Kembung, teri dan bambangan
(2)
Gane Barat dan Timur : Kakap merah, kerapu, bambangan, biji nangka
(3)
Bacan
: Kakap merah, kerapu, bambangan, swanggi, lencam, gulama dan layang.
(4)
Morotai
: Kerapu, kakap, bambangan, kuwe dan kembung
(5)
Kayoa
: Layang dan ekor kuning
(6)
Loloda
: Kakap merah, bambangan, kembung
(7)
Wasilei
: Teri, julung-julung dan kembung
Musim penangkapan untuk Pelagis kecil dan ikan demersal dilakukan sepanjang tahun Untuk daerah tangkapan yang bukan ikan adalah : (1)
Loloda
: Cumi-cumi, teripang dan sput
(2)
Teluk Kao
: Ubur- ubur, teripang, siput dan cumi-cumi
(3)
Bacan
: Ubur- ubur, teripang dan budidaya mutiara
(4)
Taliabu Barat
: Cumi-cumi, rumput laut dan teripang
(5)
Morotai
: Rumput laut dan teripang
(6)
Wasilei
: Ubur- ubur dan teripang.
Daerah penangkapan untuk ikan hias meliputi : (1)
Sula dan Taliabu
: Angel fish (Pomachantidae), kepe-kepe, morishidol (Zanctidae), bendera, tiger fish (Scorpaenidae)
65
(2)
Morotai dan Loloda
: Angel fish, morishidol, triger fish
(3)
Bacan, Gane, Obi dan Kayoa : Angel fish, morishidol, triger fish
(4)
Buli dan Patani
: Angel fish, morishidol, tiger fish.
4.2.3 Sarana dan Prasarana Perikanan 1) Sarana Perikanan Jumlah armada penangkapan ikan di Propinsi Maluku Utara rata-rata dimiliki nelayan skala kecil yang terdiri dari armada tanpa motor, armada motor tempel dan armada motor dalam. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara Tahun 2005, armada yang dimiliki nelayan masih didominasi oleh armada motor tempel sebanyak 1623 unit atau sebesar 37,01 % dari total armada sebanyak 4385 unit. Armada motor tempel khususnya beroperasi untuk memanfaatkan ikan- ikan pelagis kecil, ikan karang, ikan demersal lainnya dengan menggunakan alat tangkap mini purse seine, gill net, hand line, tonda, pole and line. Adapun armada tanpa motor menempati urutan kedua, yaitu sebanyak 1614 unit atau sebesar 36,81 % dari total armada. Armada tanpa motor mempunyai daerah operasi pada wilayah pesisir, dengan sasaran pemanfaatan berorientasi pada jenis-jenis ikan pelagis dan jenis-jenis ikan karang di daerah pesisir dengan menggunakan alat tangkap handline dan gill net. Armada penangkapan yang menggunakan motor dalam atau kapal motor berjumlah sekitar 1148 unit atau sebesar 26,18 % dari total armada. Armada kapal motor dikhususkan pada pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan yang berorientasi pada jenis-jenis ikan pelagis besar, demersal dengan menggunakan alat tangkap pole and line dan jenis long line dengan bobot rata-rata armada penangkapan antara 10 – 30 GT. Total armada penangkapan ikan di Kota Ternate sebanyak 435 unit yang didominasi oleh motor tempel sebanyak 155 unit (35,63 %), diikuti oleh armada kapal motor sebanyak 142 unit (32,64 %) dan terakhir adalah perahu tanpa motor sebanyak 138 unit (31,72 %). Khusus untuk kapal motor didominasi oleh kapal motor yang berukuran 5-10 GT (Tabel 13).
66
Tabel 13 Kapal motor menurut ukuran kapal (GT) di Kota Ternate KAPAL MOTOR (GT)
2004 (Unit)
2005 (Unit)
0-5
53
58
5-10
64
70
10-20
6
8
20-30
3
6
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara (2005)
80 70
Jumlah (unit)
60 50 40 30 20 10 0 0-5
5-10
10-20
20-30
Kapal Motor (GT) Tahun 2004
Tahun 2005
Gambar 8 Perkembangan kapal motor menurut ukuran kapal (GT) di Kota Ternate Terdapat beberapa jenis unit penangkapan terpilih di Kota Ternate seperti dapat dilihat pada Tabel 14 di bawah ini. Tabel 14 Jumlah unit penangkapan terpilih di Kota Ternate No
JENIS ALAT TANGKAP
2004 (Unit)
2005 (Unit)
1
Purse Seine
16
21
2
Gillnet
23
24
3
Pole and Line
29
35
4
Bottom Handline
26
30
67
40 35
Jumlah (unit)
30 25 20 15 10 5 0 Purse Seine
Gillnet
Pole and Line
Bottom Handline
Jenis alat tangkap Tahun 2004
Tahun 2005
Gambar 9 Perkembangan jumlah unit penangkapan terpilih di Kota Ternate 2)
Prasarana perikanan Prasarana perikanan yang ada di Propinsi Maluku Utara sampai saat ini
terdiri dari : (1) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) yang sekarang telah dinaikkan statusnya menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) di Kota Ternate, memiliki luas lahan keseluruhan berkisar 40.000 m² dengan fasilitas yang tersedia berupa : perkantoran dan perumahan karyawan, dermaga sepanjang 560 m², cold storage, pabrik es kapasitas 5 ton, bengkel seluas 200 m², balai pertemuan nelayan seluas 100 m², tempat pelelangan ikan dengan luas 500 m² dan fasilitas lainnya. (2) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Bacan Kabupaten Maluku Utara memiliki luas lahan yang cukup memadai yaitu seluas 60.000 m² dengan
fasilitas
amtara lain : perkantoran dan mess operator, dermaga sepanjang 462 m, tempat pelelangan ikan seluas 270 m², fasilitas pendukung dari PT. Usaha Mina seperti cold storage, bengkel, docking, brain freezer. (3) Pangkalan Pendaratan Ikan Tobelo Kabupaten Maluku Utara memiliki luas lahan keseluruhan 30.000 m² dengan fasilitas yang tersedia berupa : perkantoran dan rumah dinas, dermaga sepanjang 240 m, tempat pelelangan
68
Ikan seluas 200 m², balai pertemuan nelayan sebesar 80 m² dan 1 buah bengkel seluas 50 m². (4) Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan sebanyak 1(satu) buah di Kota Ternate. (5) Dempond Tambak di Jailolo Kabupaten Maluku Utara (6) Perusahaan BUMN maupun swasta nasional yang memiliki prasarana Perikanan di Provinsi Maluku Utara berupa cold storage, pabrik es untuk penangkapan dan budidaya antara lain : PT. Usaha Mina, PT. Bangun Karya Sejati di Bacan, PT. Prima Reva Indo di Morotai, dan PT. Ocean Mitra Mas.
69
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis SWOT 1) Arahan Strategi Pengembangan Perikanan Pelagis Dalam upaya memberikan arahan strategi pengembangan perikanan tangkap di Ternate
Provinsi Maluku Utara, dilakukan analisis SWOT dengan melihat
faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman). Ketersediaan potensi sumberdaya ikan pelagis kecil dan dukungan sarana dan prasarana perikanan (armada, alat tangkap dan pusat-pusat pendaratan ikan), serta jumlah nelayan, kelompok usaha maupun usaha perikanan tangkap skala besar merupakan suatu kekuatan dalam rangka pengembangan perikanan skala kecil. Namun demikian, masih rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan nelayan, modal usaha, diversifikasi usaha penangkapan ikan pelagis dan manajemen usaha yang masih lemah merupakan unsur kelemahan dalam rangka meningkatkan produktivitas usaha penangkapan. Sementara unsur peluang meliputi pengaturan kegiatan perikanan tangkap yang desentralisasi, semakin berkembangnya teknologi tepat guna untuk penangkapan ikan pelagis, perluasan daerah penangkapan yang produktif, dan dukungan pemerintah daerah melalui instansi terkait dalam memberikan pembinaan yang bersifat teknis dan non teknis kepada nelayan. Sedangkan unsur ancaman meliputi belum diterapkannya selektivitas alat tangkap, pengaturan kegiatan penangkapan belum terarah, masih terjadi pencurian ikan oleh kapal-kapal asing dan kegiatan penangkapan ikan pelagis dengan bahan peledak. Berdasarkan hasil identifikasi faktor eksternal dan internal kemudian dilakukan pembobotan, ranking, dan skor dari masing- masing unsur SWOT disajikan pada Tabel 15 dan 16.
Tabel 15 Matrik Faktor Strategi Internal Pengembangan Armada Kapal Ikan yang Bertanggung jawab Kode
Unsur SWOT
Internal Kekuatan K1 K2 K3 K4 K5 K6
Produksi SDI di Ternate dengan Kapal pole & Line 10 GT cukup tinggi Bahan baku kayu untuk kapal ikan tersedia banyak SDM untuk ABK kapal cukup banyak tersedia Tersedianya alat tangkap, umpan dan pengumpul ikan (rumpon) Tersedianya galangan kapal rakyat untuk pembuatan kapal ikan Penerapan Perikanan yang berwawasan lingkungan dan bertanggungjawab (CCRF)
Bobot
Rating
Skor
A
B
AXB
0.10
4
0.40
0.10
4
0.40
0.05
3
0.15
0.10
3
0.30
0.05
4
0.20
0.10
3
0.30
0.10
2
0.20
0.10
1
0.10
0.05
1
0.05
0.10
1
0.10
0.05
2
0.10
0.10
2
0.20
Kelemahan L1 L2 L3 L4 L5
L6
Tidak tersedianya Basic Design kapal ikan sebagai acuan pembangunan kapal ikan Kurangnya permodalan dalam pembuatan kapal dan alat tangkap Pendapatan nelayan masih kurang (rendah) Pengelolaan usaha perikanan tangkap masih tradisional (sederhana) Pembagian hasil usaha pengelolaan kapal tidak merata antara pemilik kapal dan ABK nelayan Kurangnya pasokan untuk pengadaan mesin kapal, teknologi penangkapan ikan dan alat navigasi kapal TOTAL :
1.00
2.50
71
Tabel 16 Matrik Faktor Strategi Eksternal Pengembangan Armada Kapal Ikan yang Bertanggung jawab Kode
Unsur SWOT
Eksternal
Bobot Rating
Skor
A
B
A xB
0,10
4
0.40
0,10
3
0,30
0,05
3
0,15
Perlu adanya pengadaan cold storage Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda untuk peningkatan usaha perikanan Kebijakan tentang teknologi tepat guna pada armada penangkapan untuk menjaga mutu ikan dan kualitas ikan
0,10
3
0,30
0.05
4
0.20
0.10
4
0.40
Ancaman
A
B
AxB
0,10
4
0.40
0,10
3
0,30
0,05
3
0,15
0,10
3
0,30
0.05
4
0.20
0.10
4
0.40
Peluang P1 P2 P3 P4 P5 P6
A1 A2
Permintaan ikan meningkat baik pasar lokal, regional dan luar negeri Peningkatan dan penambahan kapal ikan 10 GT dengan alat tangkap Pole & Line Pengolahan hasil tangkapan baik berupa ikan kaleng atau ikan beku untuk ekspor ataupun konsumsi dalam negeri
Batas – batas daerah penangkapan belum diterapkan Beroperasinya armada kapal ikan asing baik yang legal/illegal
A3
Selektifitas alat tangkap belum diterapkan
A4
Persaingan harga ikan dipasaran lokal dan regional Pemakaian bahan peledak oleh beberapa sebagian nelayan Belum dibatasinya ukuran minimal mata jaring dari alat tangkap yang digunakan
A5 A6
Untuk menentukan kebijakan pengembangan perikanan pelagis kecil di provinsi Maluku Utara, maka teknik yang digunakan adalah mencari strategi silang dari keempat faktor tersebut, yaitu : •
Kebijakan KP, kebijakan yang dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar- besarnya.
•
Kebijakan KA, kebijakan yang dibuat dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman.
•
Kebijakan LP, kebijakan yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.
72
•
Kebijakan LA, kebijakan yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
Tabel 17 Model Matrik Analisis SWOT Kekuatan
Faktor Internal
Faktor Eksternal Peluang
Ø Permintaan ikan meningkat baik pasar lokal regional dan luar negeri. Ø Peningkatan dan penambahan kapal ikan 10 GT dengan alat tangkap Pole & Line. Ø Pengolahan hasil tangkapan baik berupa ikan kaleng atau ikan beku untuk ekspor ataupun konsumsinya dalam negeri. Ø Perlu adanya pengadaan cold storage Ø Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda untuk peningkatan usaha perikanan. Ø Kebijakan tentang teknologi tepat guna pada armada penangkapan untuk menjaga mutu ikan dan kualitas ikan.
Ancaman Ø Batas-batas daerah penangkapan belum diterapkan. Ø Beroperasinya armada kapal ikan asing baik yang legal/illegal. Ø Selektivitas alat tangkap belum diterapkan. Ø Persaingan harga ikan dipasaran lokal dan regional. Ø Pemakaian bahan peledak oleh beberapa sebagian nelayan. Ø Belum dibatasinya ukuran minimal mata jaring dari alat tangkap yang digunakan.
Kelemahan
Ø Produksi SDI di Ternate dengan Kapal 10 GT dan PL cukup tinggi. Ø Bahan baku kayu untuk kapal ikan tersedia banyak. Ø SDM untuk ABK kapal banyak tersedia. Ø Tersedianya alat tangkap, umpan dan pengumpul ikan (rumpon). Ø Tersedianya galangan kapal rakyat untuk pembuatan kapal ikan. Ø Penerapan perikanan yang berwawasan lingkungan dan bertanggungjawab (CCRF).
Ø Tidak tersedianya Basic Design kapal ikan sebagai acuan pembangunan kapal ikan. Ø Kurangnya permodalan dalam pembuatan kapal dan alat tangkap. Ø Pendapatan nelayan masih kurang (rendah). Ø Pengelolaan usaha perikanan tangkap masih tradisional (sederhana). Ø Pembagian hasil usaha pengelolaan kapal tidak merata antara pemilik kapal dan ABK nelayan. Ø Kurangnya pasokan untuk pengadaan mesin kapal, teknologi penangkapan ikan dan alat navigasi kapal.
Kebijakan KP
Kebijakan LP
v Pengembangan usaha v Peningkatan investasi dari perikanan tangkap dengan luar untuk peningkatan penambahan armada kapal usaha perikanan skala ikan. kecil. (K1, K2, K3, P1, P2 dan P3). (L2, L3, P1 dan P2). v Penerapan CCRF perlu v Menyediakan cold storage segera dilaksanakan sehingga dan pengadaan teknologi SDI tetap lestari. tepat guna untuk menjaga (K5, K6, P4, P5 dan P6). mutu ikan. (L4, P4 dan P6).
Kebijakan KA
Kebijakan LA
v Melakukan aturan sesuai batas wilayah penangkapan dan aturan pemasangan rumpon yang sesuai. (K1, A1 dan A3). v Memaksimalkan potensi perikanan yang ada terutama galangan kapal perikanan. (K2, K5 dan A2 ).
v Menerapkan adanya basic design kepada armada kapal perikanan yang akan dibangun sekaligus design alat tangkap. (L1, L2 dan A2 ). v Menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan ukuran tubuh ikan yang ditetapkan. (L6 dan A6).
73
Tabel 18 Matrik Penyusunan Rangking dalam Analisis SWOT pada Pengembangan Armada Kapal Perikanan yang Bertanggung Jawab Unsur Peluang (Opportunity)
Kekuatan (Strength)
Kelemahan (Weakness)
(K1, K2, K3, P1, P2 dan P3). (K5, K6, P4, P5 dan P6).
(L2, L3, P1 dan P2). (L4, P4 dan P6).
(K1, A1 dan A3). (K2, K5 dan A2).
(L1, L2 dan A2). (L6 dan A6).
Ancaman (Threats)
Tabel 19 Penentuan Prioritas Kebijakan Pengembangan Armada Kapal Perikanan yang Bertanggung Jawab UNSUR SWOT
KETERKAITAN
Pengembangan usaha perikanan tangkap
K1, K2, K3, P1, P2
dengan penambahan armada kapal ikan.
dan P3.
Penerapan CCRF perlu segera
K5, K6, P4, P5
dilaksanakan sehingga SDI tetap lestari.
dan P6.
Masuknya investasi dari luar untuk
SKOR
RANKING
0.5
1
0.4
2
L2, L3, P1 dan P2.
0.35
3
L1, L2, dan A2.
0.3
4
L4, P4 dan P6.
0.3
5
K2, K5 dan A2.
0.25
6
0.25
7
0.2
8
peningkatan usaha perikanan skala kecil. Menerapkan adanya basic design kepada armada kapal perikanan yang akan dibangun sekaligus design alat tangkap. Menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan. Memaksimalkan potensi perikanan yang ada terutama galangan kapal perikanan. Melakukan aturan sesuai batas wilayah penangkapan dan aturan pemasangan
K1, A1 dan A3.
rumpon yang sesuai. Menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan ukuran tubuh ikan yang
L6 dan A6.
ditetapkan.
74
2) Penerapan Strategi Pengembangan Bertolak pada matrik keterkaitan faktor internal, eksternal dan hasil analisis SWOT, maka dapat ditentukan strategi dan kebijakan pengembangan perikanan tangkap khususnya untuk ikan pelagis di Ternate Provinsi Maluku Utara, sebagai berikut : Strategi 1. (Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan). Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan bertujuan untuk mengupayakan optimalisasi pengembangan usaha perikanan tangkap, khususnya untuk ikan pelagis. Upaya ini dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar baik lokal maupun regional, yang didukung dengan produksi sumberdaya ikan pelagis di Ternate Maluku Utara yang tinggi dibarengi dengan adanya dukungan nelayan skala kecil yang tersedia cukup banyak serta tersedianya alat tangkap, umpan dan alat pengumpul ikan (rumpon). Strategi 2. (Penerapan CCRF perlu segera dilaksanakan sehingga SDI tetap lestari).
Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) atau Ketentuan Perikanan yang Bertanggungjawab diharapkan dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan perikanan secara bertanggungjawab. Pedoman teknis ini akan memberikan kelengkapan yang diperlukan bagi upaya nasional dan internasional untuk menjamin pengusahaan yang lestari dan berkelanjutan menyangkut sumberdaya hayati akuatik yang selaras dan serasi dengan lingkungan. Pedoman ini juga ditujukan terutama bagi para pengambil keputusan didalam otoritas pengelolaan perikanan dan kelompok yang berkepentingan, termasuk perusahaan perikanan, organisasi nelayan, organisasi non pemerintah yang peduli dan lainlainnya. Adanya eskploitasi yang berlebihan stok ikan penting, modifikasi ekosistem, kerugian ekonomi yang nyata dan persengketaan internasional mengenai pengelolaan dan perdagangan ikan telah mengancam konservasi jangka panjang perikanan dan kontribusi perikanan terhadap suplai pangan.
75
Strategi 3. (Masuknya investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan skala kecil)
Penguatan
struktur
industri
pengolahan
industri
perikanan
adalah
peningkatan kerja sama kemitraan antar nelayan dengan industri tuna perikanan dan industri terkait melalui prinsip bisnis yang saling menguntungkan dengan dukungan dan fasilitas pemerintah, dengan mengembangkan kewajiban antar pihak dimana faktor utamanya adalah masuknya investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan skala kecil. Ada 3 aspek yang perlu diperhatikan dalam hal ini yaitu pertama Industri : menjamin membeli ikan nelayan terutama ikan tuna sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan dan diketahui nelayan, membayar dengan harga kesepakatan menurut pasar, jenis-ukuran- mutu, dan jumlah kontrak, melakukan perluasan gudang penyimpan/cold storage, melakukan pembinaan penanga n mutu pasca tangkap dan transportasi, serta membantu mengupayakan peningkatan modal kerja agar pasokan dapat meningkat baik jumlah maupun mutu; kedua Nelayan : melakukan penguatan kelembagaan profesi/ekonomi, meningkatkan dan menjaga mutu hasil tangkapan, meningkatkan jenis dan kualitas alat tangkap sesuai dengan target ikan yang akan ditangkap yaitu ikan tuna, menjamin jumlah pasokan yang rutin, serta menjaga hubungan bisnis yang konsisten, dan yang terakhir Peran Pemerintah : pemerintah pusat dan daerah memiliki peran menciptakan dan menjaga hubungan bisnis antara nelayan dengan industri pengolahan ikan dan meningkatkan mutu sumberdaya manusia pelaku bisnis perikanan, pemberdayaan lembaga bisnis perikanan terkait dan industri perikanan. Kebijakan masuknya investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan pelagis
bertujuan untuk lebih memajukan usaha perikanan tangkap. Dengan
adanya investasi dari luar tersebut, terutama investasi dari pihak swasta, yang selama ini kurang memperhatikan nelayan nelayan di Ternate, maka diharapkan mampu meningkatan usaha perikanan yang dijalankan oleh nelayan Ternate. Untuk lebih menggairahkan pangsa pasar ikan pelagis, diharapkan kita dapat memperkecil kelemahan yang ada, terutama kelemahan pada modal usaha (biaya) pengadaan alat tangkap, pendapatan nelayan dan pembagian hasil usaha yang
76
selama ini tidak merata pada nelayan, dikaitkan dengan peluang yang ada pada permintaan pasar lokal dan regional serta peningkatan armada kapal ikan. Masuknya investasi dari luar ini diharapkan untuk penambahan modal kepada nelayan untuk menangkap ikan, karena selama ini modal yang dimiliki berasal dari nelayan itu sendiri. Penambahan modal oleh investor berarti peningkatan usaha nelayan yang selama ini memiliki keterbatasan modal, sehingga mereka menginginkan adanya penambahan modal yang lebih besar untuk meningkatkan hasil tangkapan dan pendapatannya. Adapun pemberian modal dapat disalurkan melalui Koperasi Unit Desa (KUD) kepada kelompok nelayan yang ada di daerah yang menjadi tujuan investasi.
Strategi 4. (Menerapkan adanya basic design kepada armada kapal perikanan yang akan dibangun sekaligus design alat tangkap).
Pada hakekatnya kajian basic design kapal perikanan adalah suatu pekerjaan untuk merancang kapal-kapal penangkapan ikan. Untuk merancang "basic design" kapal penangkapan ikan, agar hasil yang diperoleh maksimal mengacu pada dua dasar, yaitu laik laut dan layak tangkap. Untuk membuat atau merancang kapal agar laik laut dapat mengacu pada prinsip-prinsip perancangan suatu kapal yang sesuai dengan kaidah perancangan kapal. Sedangkan untuk kapal dapat menjadi laik tangkap, harus mengacu pada ilmu- ilmu perikanan khususnya teknologi penangkapan yang akan digunakan. Pada dasarnya, agar dapat menentukan teknologi penangkapan yang akan diterapkan, terlebih dahulu diketahui jenis ikan yang akan menjadi target tangkapan, mengetahui sifat-sifat biologis ikan, sifatsifat migrasi, habitat serta fishing ground dimana ikan itu akan ditangkap. Dengan pengetahuan tersebut, dapat ditentukan jenis dan ukuran alat tangkap serta teknologi yang akan diterapkan untuk menangkap ikan tersebut. Penerapan teknologi, penggunaan dan penentuan jenis dan ukuran alat tangkap ikan sangat mempengaruhi rancang bangun kapal penangkapan yang akan digunakan. Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa jenis dan ukuran alat tangkap serta teknologi yang akan diterapkan pada saat pengoperasian alat akan berpengaruh langsung kepada rancangan "basic design" kapal penangkapan ikan.
77
Strategi 5. (Menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan).
Kebijakan dalam menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna pada armada penangkap ikan di perairan, untuk menjaga mutu ikan pelagis, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan yang selama ini hanya tertumpu pada penjualan ikan segar. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi kelemahan modal usaha (biaya) pengadaan alat tangkap oleh nelayan dengan memanfaatkan peluang dalam pengadaan cold storage dan kapal penampung ikan hasil tangkapan. Pengadaan cold storage ditujukan untuk menampung ikan- ikan yang tertangkap pada saat musim penangkapan terutama di daerah Tidore yang memiliki alat tangkap pajeko dan alat tangkap pole and line. Selain itu di daerah Tidore bukan hanya melakukan penangkapan ikan pelagis kecil, tetapi juga ikan pelagis besar, dengan demikian pengadaan cold storage dapat menampung ikan hasil tangkapan, baik ikan pelagis kecil maupun ikan pelagis besar yang merupakan ikan ekonomis penting. Pengadaan cold storage juga dimaksudkan agar ikan yang tertangkap tersebut selain dapat dipasarkan di pasaran lokal, juga dapat dipasarkan keluar daerah (dalam lingkup regional), dan dapat diekspor ke luar negeri untuk ikan pelagis besar (cakalang dan tuna). Strategi 6. (Memaksimalkan potensi perikanan yang ada terutama galangan kapal perikanan).
Dalam era pasar bebas ini dimana tingkat persaingan yang cukup tinggi, maju mundurnya suatu industri manufaktur seperti halnya industri galangan kapal ikan sangat ditentukan oleh produk atau kapal ikan yang dihasilkannya baik segi kualitas, harga mapun waktu penyerahan, tanpa memenuhi ketiga kriteria tersebut pihak galangan cukup sulit survive atau berkembang. Demikian halnya industri galangan kapal ikan nasional, meskipun kemajuan yang dicapainya cukup signifikan dalam pembuatan berbagai jenis dan ukuran kapal, akan tetapi menurut para pemakai (domestik) selama ini kapal yang dibuatnya terkesan harganya cukup tinggi dan delivery time sering terlambat, belum lagi masalah bahan baku pembuatan kapal ikan.
78
Berdasarkan hasil pemantauan ke galangan kapal di Ternate yang dapat dikatakan sebagai galangan kapal tradisional, terlihat bahwa kesan negatif seperti diatas salah satu penyebabnya adalah karena kegiatan pengelolaan persediaan ini belum berjalan dengan baik terutama dalam hal penerapan fungsi pengawasan, baik dalam proses pengadaan barang dan material, penerimaan, penyimpanan, pengamanan maupun cara mendistribusikannya ke bengkel-bengkel produksi. Umumnya berbagai komponen dan material yang ada, penempatannya belum terkonsentrasi di dalam gudang, sehingga disana-sini terlihat penumpukan barang, kondisi ini tentu saja dapat menimbulkan hal- hal yang tidak diinginkan seperti rusak, hilang yang pada akhirnya tentu akan mempengaruhi kapal yang dihasilkan baik dari segi harga, kualitas maupun waktu penyerahan. Kurang baiknya pengelolaan persediaan pada galangan kapal tradisional memang dapat dipahami, karena sebagian besar dari galangan tersebut pengelolaannya belum menerapkan prinsip-prinsip manajemen (modern) secara baik. Disamping itu keberadaan sarana dan prasarana yang ada di galangan juga belum sepenuhnya dapat menunjang kegiatan pengawasan secara baik. Dengan kondisi seperti itu tentu saja akan memberikan dampak negatif terhadap galangan yang dapat mengakibatkan sulitnya mendapat order, padahal kontinuitas order tersebut sangat menentukan maju-mundurnya galangan kapal tersebut terutama untuk kapal perikanan. Strategi 7. (Melakukan aturan sesuai batas wilayah penangkapan dan aturan pemasangan rumpon yang sesuai).
Kebijakan menerapkan aturan batas wilayah penangkapan dan aturan pemasangan rumpon yang sesuai untuk perikanan skala kecil (pelagis kecil) bertujuan untuk mengupayakan kepemilikan wilayah dari nelayan pelagis kecil yang melakukan penangkapan pada wilayahnya, yaitu menetapkan hak kepemilikan dari nelayan skala kecil pada alat pengumpul ikan (rumpon) yang dipasang di perairan. Untuk menerapkan kebijakan ini dapat dilakukan dengan mengurangi kelemahan dan mengeliminasi ancaman yang menghasilkan kebijakan antara keterkaitan pengelolaan usaha perikanan tangkap yang masih rendah dengan batas-batas daerah penangkapan yang belum diterapkan.
79
Penerapan kebijakan ini ditujukan kepada nelayan yang memiliki perizinan yang diberikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate, sehingga penambahan alat pengumpul ikan (rumpon) dan penangkapan ikan hanya ditujukan kepada nelayan pemilik alat tangkap dan alat pengumpul ikan saja. Ini dilakukan agar nelayan- nelayan yang tidak memiliki izin penangkapan di daerah tersebut tidak dapat melakukan penangkapan. Selain itu penerapan kebijakan ini dilakukan untuk mencegah konflik yang diakibatkan oleh perebutan penguasaan daerah penangkapan (fishing ground) yang merupakan sumber mata pencaharian. Konflik ini dapat terjadi antar kelas nelayan, maupun antar nelayan secara umum. Biasanya konflik ini terjadi antar nelayan yang berada di luar daerah dengan nelayan yang berada di pulau Tidore dan Moti. Strategi 8. (Menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan ukuran tubuh ikan yang ditetapkan).
Kebijakan menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan ukuran tubuh ikan bertujuan untuk lebih mengoptimalkan penangkapan dengan lebih memperhatian ukuran minimal mata jaring agar ikan yang diperoleh pada saat penangkapan sesuai dengan ukuran panjang standar ikan, sehingga ikan yang tertangkap merupakan ikan yang telah melewati ukuran pertumbuhan. Kebijakan ini sangat diperlukan untuk tetap mempertahankan keberadaan ikan di perairan Maluku Utara, agar tidak terjadi kelebihan tangkap ikan dalam masa pertumbuhan (growth overfishing). Dalam merumuskan kebijakan ini strategi yang dimiliki mempunyai hubungan yang erat antara kekuatan produksi sumberdaya ikan pelagis kecil dan adanya dukungan nelayan skala kecil di Maluku Utara dengan ancaman dari selektivitas alat tangkap yang belum diterapkan dan terjadinya over fishing pada ikan pelagis kecil.
80
3) Pembahasan Strategi Pengembangan Dari kedelapan strategi yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa arahan strategi ini jika dapat diwujudkan, maka pendapatan nelayan akan meningkat dan kesejahteraan akan meningkatkan pula. Berarti peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan nelayan. Disamping itu, mengutip pendapat Nielsen (1996) dalam Satria et.al (2002), perlu adanya perspektif co-management sebagai sebuah kelembagaan yang merupakan proses untuk mengintegrasikan dan merelokasikan tanggung jawab manajemen dan kompetensi (kekuatan hukum) diantara pelaku dengan jalan membagi biaya perumusan dan implementasi regulasi kepada kelompok pengguna (user). Dengan sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan semacam ini, diharapkan pendapatan nelayan dan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor perikanan dapat meningkat. Untuk itu, perlu diupayakan mekanisme solusi yang didasarkan pada tiga dimensi ruang yaitu ruang masyarakat, ruang pemerintah dan ruang pasar.
Terwujudnya mekanisme ini akan melahirkan
sebuah sistem ekonomi yang adil, mandiri, dan demokrasi. Selain strategi dan kebijakan yang disampaikan diatas, Satria et.al (2002) juga
mengedepankan
program-program
alternatif
yang
berusaha
untuk
mengurangi kemiskinan dalam masyarakat nelayan antara lain : (1)
Perbaikan kapal-kapal dan alat penangkapan.
(2)
Subsidi masukan- masukan.
(3)
Perbaikan pemasaran dan teknologi pasca-panen.
(4)
Pembentukan koperasi atau organisasi lainnya.
(5)
Pengembangan sumber-sumber pendapatan alternatif atau tambahan.
Adapun empat alternatif pertama diciptakan untuk mencapai sasaran, yaitu : (1)
Meningkatkan produktivitas nelayan (kuantitas penangkapan).
(2)
Meningkatkan harga-harga yang diterima para nelayan.
(3)
Menekan biaya yang harus ditanggung para nelayan.
Sedangkan alternatif yang kelima untuk meningkatkan biaya penangkapan melalui peningkatan upah oportunitas bagi pekerja penangkap ikan.
81
5.2 Analisis Kebijakan 1) Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap Potensi lestari perikanan Kota Ternate adalah sebesar 47.838,25 ton/ tahun yang terdiri dari ikan pelagis besar seperti tuna, tongkol, cucut, tenggiri dan ikan pelagis kecil seperti layang dan tembang, sedangkan ikan demersal seperti Kakap Merah, Ekor kuning serta berbagai jenis ikan Kerapu. Produksi perikanan Ternate adalah sebesar 10.048,50 ton atau tingkat pemanfaatannya baru mencapai 21,01 % dari potensi lestari, sehingga dari produksi yang dicapai tersebut menunjukkan tingkat pemanfaatannya masih under exploitation, akibatnya peluang investasi di sektor Perikanan dan Kelautan di Kota Ternate masih sangat terbuka. Daerah penangkapan untuk pelagis besar (tuna dan cakalang) di perairan Kota Ternate meliputi perairan Pulau Hiri, Moti dan Pulau Batang Dua dan Laut Maluku. Musim penangkapan sepanjang tahun dan musim puncak yaitu pada Januari - April serta September – Oktober. Daerah penangkapan pelagis kecil dan demersal adalah pesisir Pulau Ternate, Moti, Hiri dan Tifure Batang Dua. Jenis pelagis besar yang dominan di perairan Kota Ternate meliputi jenis tuna (Thunnus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomboramorus spp) dan cucut (flasmobranch). Khusus untuk ikan tuna dan cakalang tingkat pemanfaatan baru mencapai 21,07 % padahal perairan ini merupakan alur migrasi tuna dan cakalang sehingga peluang dan investasi masih sangat terbuka, demikian pula dengan tingkat pemanfaatan cucut masih sangat minim dan belum menggunakan sarana yang memadai. Banyak jenis pelagis kecil yang terdapat di perairan Kota Ternate namun yang dominan dan banyak ditangkap adalah jenis layang (Decapterus spp) dan tembang (Sardinella fimbriata). Pemanfaatan pelagis kecil ini hanya dilakukan oleh nelayan tradisional yang berdomisili pada daerah kawasan pesisir kota sehingga pemasaran pelagis kecil selama ini masih didominasi pasar lokal dan antar pulau. Spesifik dasar perairan adalah substrat lumpur berpasir, memiliki terumbu karang dan padang lamun sehingga pada habitat ini sumberdaya demersal sangat potensial. Namun pemanfaatannya masih sangat sedikit, sehingga peluang usahanya masih sangat terbuka. Jenis jenis ikan demersal yang dominan dan sering menjadi tujuan penangkapan adalah kakap merah (Prestoporoides), ikan
82
tembang (Lutjanus johni), ikan kerong-kerong (Saurida tumbil). Khusus untuk ikan kerapu baru dikembangkan dua areal budidaya dan penangkapan dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA), sedangkan jenis ikan dasar lainnya mengandalkan pasar lokal. Kota Ternate merupakan kota kepulauan yang terdiri dan 8 (delapan) pulau dan kesemuanya merupakan pulau-pulau kecil. Karakter masing- masing pulau sangat berbeda antara satu pulau dengan pulau lainnya. Lima pulau berpenghuni diantaranya yaitu Pulau Ternate, Pulau Moti, Pulau Hiri, Pulau Tifure dan Pulau Mayau dan tiga pulau yang tidak berpenghuni yaitu Pulau Mano, Pulau Maka dan Pulau Gurida. Perairan Kota Ternate memiliki berbagai jenis ikan hias pada perairan Pulau Hiri, Moti, dan Pulau Ternate dan yang dominan adalah jenis Zanclidae (ikan bendera), Scorpaenidae (ikan lepu) dan jenis Chaetodontidae (ikan kepe-kepe). Jenis-jenis ikan hias tersebut sangat indah dan bernilai ekonomis, namun diusahakan secara sederhana dengan mengandalkan pasar lokal. Pulau Ternate merupakan pulau terbesar dari wilayah Kota Ternate dengan luas daratan 992,12 km2 , dimana Kota Ternate merupakan Pusat Pemerintahan, baik Pemda Kota Ternate maupun Pemda Propinsi Maluku Utara. Berdasarkan data statistik, jumlah penduduk Pulau Terna te adalah 105.967 jiwa yang tersebar pada keliling Pulau Ternate. Jumlah Kelurahan pada Pulau Ternate adalah sebanyak 63 kelurahan, 54 kelurahan terletak pada bagian pesisir sehingga umumnya kegiatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya diarahkan pada pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan yang dominan di Pulau Ternate antara lain : (1) Ikan pelagis
: ikan tuna, cakalang, layang, selar dan tongkol;
(2) Ikan demersal : kakap merah dan bambanga n, kerapu bebek, kerapu sunu dan jenis lainnya; (3) Danau
: jenis ikan air tawar berupa ikan mas, nila dan mujair;
(4) Non Ikan
: teripang dengan jenis teripang pasir, teripang gama, teripang susu, kerang tiram, kima, udang lobster jenis bambu, hitam dan mutiara.
Selain itu, wilayah Pulau Ternate juga terdapat hutan bakau (mangrove) yang tumbuh pada beberapa kelurahan diantaranya di pesisir Kelurahan Mangga
83
Dua sampai ke Bastiong serta pesisir pantai Kelurahan Fitu, Gambesi dan Kastela namun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Oleh karena itu Pemerintah Kota Ternate sekarang sedang melakukan rehabilitasi di beberapa wilayah pesisir. Sesuai dengan kondisi geografis wilayah, Pulau Moti merupakan bagian dari wilayah Kota Ternate yang memiliki spesifikasi tersendiri, ini dikarenakan kondisi flora dan fauna yang tidak sama dengan pulau-pulau lainnya di Kota Ternate. Pulau Moti yang luas keseluruhan wilayahnya 83.833 km2 . Sedangkan Jarak Pulau Moti dengan Pulau Ternate adalah 11 mil laut, dimana rute perjalanan harus ditempuh melalui lautan dengan transportasi motor laut selama kurang Iebih 2 Jam. Pulau Moti terbagi atas 6 kelurahan dengan jumlah penduduk 5140 jiwa dengan mata pencaharian sebagian besar adalah nelayan dan petani. Hal ini dikarenakan semua wilayah Kelurahan berada pada wilayah pesisir. Sesuai dengan karakteristik Pulau Moti, bahwa para nelayan di daerah ini banyak yang melakukan penangkapan dengan purse seine; handline, gill net, bubu dan pancing tonda. Selain itu jenis ikan yang dominan di Pulau Moti antara lain ikan layang, ikan tongkol, kuwe, cakalang, kerapu, dan berbagai jenis ikan demersal lainnya. Pulau Hiri memiliki karakteristik tersendiri, dimana kondisi geografis wilayahnya berhadapan dengan lautan bebas dan sebagian lagi bersebelahan dengan Pulau Ternate dan Pulau Halmahera. Luas daratan keseluruhan dari pulau ini adalah 7,31 km2 kondisi pulaunya berbatu dan air tanahnya payau, sehingga untuk pengembangan pertanian kurang cocok, potensi yang cocok untuk dikembangkan adalah perikanan. Kebiasaan para nelayan di Pulau Hiri dalam upaya pemanfaatan sumberdaya lautnya adalah dengan melaksanakan upaya penangkapan dengan sarana berupa kalase (muroami), mini purse seine, gill net, pole and line, handline, pancing tonda dan bubu. Produksi yang dominan dan dapat dikembangkan adalah jenis ikan tuna, cakalang, layang, dan ikan dasar lainnya. Pulau Tifure yang merupakan bagian wilayah dan Kecamatan Pulau Ternate memiliki luas daratan kurang el bih 7 km2 dan dihuni penduduk sebanyak 712 jiwa. Pulau Tifure terdiri dari 2 kelurahan yang me rupakan pulau terjauh dari ibukota dengan jarak 106 mil laut, dimana pulau-pulau ini merupakan alur migrasi ikan pelagis besar dan kecil. Pulau Tifure secara geografis tidak berbeda jauh
84
dengan pulau sekitarnya seperti Pulau Mayau dan Pulau Hiri. Sumberdaya ha yati yang paling dominan di pulau ini adalah untuk jenis ikan pelagis yaitu ikan tuna, cakalang, layang, tongkol dan ikan dasar. Jenis ikan dasar adalah ikan kakap merah, ikan gutila, ikan kuwe dan jenis ikan hias. Sedangkan produksi yang paling dianggap dominan adalah jenis ikan layang, Kemudian untuk jenis komoditi yang bisa dikembangkan adalah ikan tuna, cakalang dan layang. Luas daratan Pulau Mayau kurang lebih 8,5 km2 dan berpenduduk kurang lebih 1.510 jiwa. Masyarakat di kepulauan ini bermata pencaharian hampir sama dengan masyarakat pulau Tifure yaitu sebagian besar nelayan dan petani. Potensi perairan laut untuk Pulau Mayau sangat besar untuk kegiatan perikanan tangkap, hal ini karena populasi Terumbu karang di perairan Pulau Mayau sangat luas dan masih utuh atau alami. Sehingga di perairan kepulauan ini dijumpai jenis-jenis ikan yang dominan seperti layang, komo/tongkol, cakalang dan tuna, ikan hiu/cucut, ikan hias dan beberapa jenis ikan dasar. Dari segi pemanfaatannya potensi sumberdaya alam pesisir dan lautnya juga termasuk masih rendah sehingga masih sangat besar peluang untuk pengembangan upaya perikanan tangkap. Armada dan sarana penangkapan yang digunakan para nelayan di kepulauan ini juga masih tergolong tradisional, sehingga hasil produksi tangkapannya masih rendah. Adapun armada dan alat tangkap yang selama ini digunakan para nelayan dapat dirincikan sebagai berikut: perahu tanpa motor 27 unit, motor tempel 12 unit, kapal motor tidak ada. Sarana penangkapan yang digunakan terdiri dari: mini long line 2 unit, purse seine / pajeko 2 unit, pole and line 1 unit, gill net 6 unit, bubu 21 unit, pancing tonda 61 unit dan handline 39 unit. Peningkatan produksi perikanan yang telah dicapai selama ini telah meningkatkan konsumsi ikan per kapita nasional dari 19,98 kg per kapita pada tahun 1998 menjadi 21,78 kg per kapita pada tahun 2001. Konsumsi ikan pada masa yang akan datang, diperkirakan akan meningkat seiring dengan peningkatan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat akan arti penting nilai gizi produk perikanan bagi kesehatan dan kecerdasan otak manusia. Jika dibandingkan dengan beberapa negara lain yang termasuk kedalam negara penghasil ikan dunia, maka Indonesia adalah negara dengan konsumsi per kapita paling rendah, bahkan lebih
85
rendah dibandingkan dengan Philipina. Pada tahun 1990 saja, konsumsi per kapita Philipina sudah mencapai 24 kg/kap/tahun. Sementara konsumsi per kapita Jepang mencapai 110 kg/kap/tahun. Peningkatan konsumsi ikan per kapita, memiliki korelasi dengan pendapatan per kapita suatu negara. Hal ini disebabkan kemampuan daya beli masyarakat produk perikanan tergantung pada tingkat pendapatannya. Semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin besar peluang untuk mengkonsumsi produk pangan berprotein tinggi seperti ikan dan produk hasil laut lainnya. Konsumsi ikan di Kota Ternate pada tahun 2004 sebesar 7.074,90 ton, menunjukkan peningkatan apabila dibandingkan dengan tahun 2003, maka kebutuhan konsumsi ikan lokal di Kota Ternate mengalami peningkatan sebesar 765,50 ton. Meningkatnya hasil tangkapan bagi nelayan secara langsung berpengaruh terhadap pendapatan nelayan, ini dilihat dengan tingginya permintaan ikan dipasar lokal dengan harga ikan yang sangat tinggi.. Ketergantungan pada iklim dan lingkungan menyebabkan pendapatan nelayan menjadi tidak menentu. Pendapatan nelayan ini diperkirakan akan menjadi lebih kecil dengan adanya krisis ekonomi yang telah melanda bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan karena meningkatnya biaya operasional dari sebelumnya, sementara depresiasi nilai rupiah terhadap dollar Amerika tidak dinikmati oleh nelayan kecil, karena pangsa pasar nelayan tradisional masih terfokus dalam negeri. Hal yang berbeda justru dialami pengusaha perikanan yang berorientasi ekspor, dimana nilai produksi perikanan mengalami peningkatan karena adanya depresiasi rupiah terhadap dollar. Selain dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, hasil perikanan juga dipasarkan ke negara lain (ekspor) yang jumlahnya terus meningkat. Beberapa jenis komoditas perikanan Indonesia yang diekspor adalah udang, tuna/cakalang, rumput laut, kerang-kerangan, kepiting, ki an hias, uburubur dan mutiara. Laju pertumbuhan ekspor perikanan Indonesia dalam kurun waktu 1998-2001 sangat pesat. Pada tahun 1998 volume ekspor perikanan Indonesia sebesar 650.291 ton dengan nilai US$ 1,7 milyar dan meningkat menjadi 703.155 ton dengan nilai US$ 1,74 milyar pada tahun 2000. Dengan perolehan devisa sebesar US$ 1,74 milyar pada tahun 2000, Indonesia telah
86
menjadi negara penghasil dan pemasok ikan terbesar ke lima di Dunia. Sampai saat ini volume dan nilai ekspor perikanan Indonesia masih didominasi komoditas udang dan tuna/cakalang. Ekspor ikan tuna/cakalang Indonesia selama kurun waktu 1998-2001 mengalami peningkatan. Volume ekspor tuna pada tahun 1998, mencapai 104.330 ton dengan nilai US$ 215,1 juta, diharapkan meningkat menjadi 105.793 ton dengan nilai US$ 230,8 juta pada tahun 2001. Sebagian besar ekspor ikan tuna Indonesia, masih dalam bentuk ikan segar. Upaya untuk memperoleh nilai tambah melalui pengolahan bahan baku/ikan belum maksimal dilakukan eksportir Indonesia. Meski Indonesia mampu meningkatkan ekspor komoditas perikanan, namun pertumbuhan itu masih diikuti dengan kenaikan impornya. Komoditas industri pengolahan perikanan bukan bahan makanan, seperti lemak dan minyak ikan, tepung ikan, tepung binatang berkulit keras/lunak masih mendominasi impor komoditas perikanan Indonesia. Pada tahun 1998, impor untuk jenis komoditas ini mencapai 46.088 ton dengan nilai mencapai US$ 33,5 juta. Angka impor komoditas tersebut terus mengalami peningkatan pada tahun 1999 mencapai volume impor sebesar 83.314 ton dengan nilai US$ 42,7 juta. Tahun 2000 volume impor komoditas ini telah mencapai 59.308 ton dengan nilai US$ 31,9 juta. Berarti sepanjang tahun 1998-2000 rata-rata impor Indonesia untuk komoditas bukan bahan makanan mengalami kenaikan volume mencapai 25,98 % dan kenaikan nilai rata-rata mencapai 1,73 %. Kenaikan yang sama terjadi pada impor komoditas perikanan bahan makanan, seperti ikan segar/beku, ikan dalam kaleng, agar-agar dan komoditas bahan makanan lainnya. Bahkan pada tahun 2000, kebutuhan akan komoditas perikanan bahan makanan terus mengalami kenaikan yang cukup berarti. Indikasi ini dapat dilihat dari kenaikan volume impor komoditas perikanan bahan makanan mencapai 15.016 ton dengan nilai US$ 19,3 juta pada tahun 1998, dan mengalami kenaikan pada tahun 1999 mencapai volume 32,5 juta ton dengan nilai US$ 33,5 juta. Pada tahun 2000 angka volume dan nilainya tersebut mengalami kenaikan lagi, hingga volumenya mencapai 40.472 ton dengan nilai US$ 34,8 juta. Jadi,
87
sejak tahun 1998-2000 impor komoditas bahan makanan perikanan rata-rata mengalami kenaikan 70,49 % dengan kenaikan nilai mencapai 38,79 %. Kenaikan impor bahan makanan tersebut umumnya disebabkan oleh kebutuhaan pasokan untuk industri pengalengan ikan. Saat ini terdapat 24 pabrik pengalengan ikan, diantaranya ada 13 pabrik bertujuan ekspor dengan kapasitas terpasang 259 ribu ton yang memproduksi ikan kaleng dari sardine dan mackerel (60 %), tuna (35 %), dan kepiting (5 %). Selama ini kapasitas produksi mereka hanya mencapai 50 persen dari kapasitas terpasang. Faktor lain yang menyebabkan meningkatnya volume impor adalah maraknya rumah makan asing dan hotel yang memilih ikan impor (jenis ikan yang tidak hidup di perairan Indonesia ) dalam memenuhi keinginan konsumen. Dengan demikian total volume impor perikanan Indonesia mencapai 61.104 ton dengan nilai total US$ 52,5 juta pada tahun 1998, naik sebesar 115.818 ton dengan nilai US$ 76,3 juta pada tahun 1999. Meski pada tahun 2000 volume impor mengalami penurunan menjadi 99.780 ton dengan nilai total mencapai US$ 66,7 juta, namun perkembangan volume impor produk perikanan Indonesia dari tahun 1998-2000, secara keseluruhan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 37,85 % dengan kenaikan nilai total rata-rata mencapai 16,39 %. Komoditas tepung ikan masih merupakan komoditas impor tertinggi, baik total volume maupun nilainya. Dilihat dari neraca ekspor- impor produk perikanan di atas, jelas bahwa surplus perdaga ngan komoditas perikanan Indonesia dari tahun 1998-2000 mengalami kanaikan rata-rata sebesar 1,13 %. Meski mengalami kenaikan ratarata impor, namun total neraca perdagangan ekspor- impor komoditas perikanan Indonesia dari tahun 1998-2000, mengalami kenaikan. Pada tahun 1998 surplus perdagangan perikanan Indonesia mencapai US$ 1,64 milyar, tahun 1999 mengalami surplus sebesar US$ 1,52 milyar dan pada tahun 2000 surplus perdagangan mencapai US$ 1,67 milyar. Naiknya surplus neraca perdagangan semakin membuktikan bahwa sektor perikanan tidak membebani neraca pembayaran, sebaliknya justru merupakan andalan untuk memperoleh devisa. Sebagai satu komoditas ekspor non migas, perikanan mempunyai peran yang strategis dalam meningkatkan pendapatan devisa negara dan kesejahteraan para nelayan. Peningkatan terhadap produk perikanan baik untuk pasar domestik
88
maupun pasar internasional, terus meningkat seiring dengan meningkatnya laju pertambahan penduduk, kenaikan pendapatan (income), terjadinya pergeseran selera konsumen dari “red meat” menjadi “white meat ” serta menurunnya konsumsi daging sebagai akibat dari merebaknya berbagai penyakit ternak seperti BSE (bovine spongiform encephalopaty) dan penyakit mulut dan kuku. Disamping itu akhir-akhir ini juga terlihat meningkatnya permintaan “organic food” termasuk “organic fish” khususnya di negara-negara maju. Dengan potensi sumberdaya perikanan yang cukup melimpah, Indonesia mempunyai peluang yang baik untuk memposisikan diri sebagai produsen dan eksportir utama produk kelautan dan perikanan. Akan tetapi, pengembangan ekspor hasil perikanan dan kelautan dihadapkan kepada dua masalah utama, yaitu hambatan tarif dan hambatan non tarif. Seharusnya globalisasi perdagangan dunia, mengecilkan hambatan tarif dan non tarif. Justru disinilah letak permasalahan yang dihadapi negara berkembang, yakni munculnya hambatan tarif dan non tarif yang diberlakukan oleh negara- negara maju terkadang merupakan bagian dari upaya mereka melindungi industri dan kepentingan ekonomi domestik mereka. Adanya peningkatan devisa, menunjukkan bahwa sumber kekuatan cadangan dana pemerintah semakin kuat yang akan mengakibatkan pemerintah dapat membiayai operasional pembangunan tanpa tergantung pada hutang luar negeri. Sejak tahun 2000 Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor perikanan masuk sebagai perhitungan pendapatan negara dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebagai penerimaan bukan pajak dari sumberdaya alam disamping minyak bumi, gas alam, pertambangan umum dan kehutanan. PNBP sektor perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) serta pendapatan non sumberdaya alam lainnya. Pengenaan pungutan perikanan didasarkan pada PP nomor 141 tahun 2000 dan 142 tahun 2000 serta penyempurnaannya berupa PP nomor 54 tahun 20002 dan 62 tahun 20002 yang diarahkan untuk mengakomodasikan ketentuan mengenai pungutan perikanan bagi kapal berbendera asing. Sampai dengan 24 Desember 20002 realisasi PNBP mencapai sebesar Rp 258,156 milyar, yang terdiri dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan termasuk dari PMA dan PMDN sebesar Rp 255,45
89
milyar, dan jasa Pelabuhan sebesar Rp 2,7 milyar. Dengan demikian perolehan PNBP tahun 2002, baru mencapai 87,82 % dari target sebesar Rp 291,67 milyar. Target tersebut bersumber dari kapal berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing, seperti terlihat pada Tabel 20. Tabel 20 Target dan realisasi penerimaan pungutan perikanan bersumber dari pemanfaatan sumberdaya ikan, hingga 24 Desember 2002 (jutaan rupiah) Target Penerimaan Tahun 2002
Sumber
Kapal berbendera Indonesia 118,000 Kapal Berbendera asing 173,000 Total 291,000 Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2002
Realisasi Nilai SPP Pungutan yang di perikanan yang terbitkan sudah dibayar 232,317 190,789 92,494 64,660 324,811 255,449
Nilai Surat Perintah Pembayaran (SPP) pungutan perikanan yang telah diterbitkan hingga 24 Desember 2002 berjumlah Rp 324,8 milyar. Dari nilai SPP ini, telah dibayarkan sebesar Rp 255,4 milyar. Peningkatan pajak akan mengakibatkan penambahan keuangan negara yang selanjutnya akan menjadi dana perimbangan pusat dan daerah. Otonomi daerah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang No. 32 tentang Otonomi Daerah, merupakan landasan yang kuat untuk mencapai pengelolaan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan. Agar otonomi daerah memberikan dampak positif terhadap pengelolaan sumberdaya laut, maka perlu adanya keinginan dan komitmen pemerintah daerah bersama masyarakat untuk mengelola sumberdaya kelautan yang berada dala m kewenangannya secara berkelanjutan. Sebagaimana tersirat dalam definisi pembangunan berkelanjutan diatas, bahwa
pembangunan
suatu
kawasan
akan
bersifat
berkesinambungan
(sustainable) apabila tingkat (laju) pembangunan beserta segenap dampak yang ditimbulkannya secara agregat tidak melebihi daya dukung lingkungan kawasan tersebut. Sementara itu, daya dukung lingkungan suatu kawasan ditentukan oleh kemampuannya didalam menyediakan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan bagi kehidupan makhluk hidup serta kegiatan pembangunan manusia, yaitu :
90
(1)
Ketersediaan
ruang
(space)
yang
sesuai
(suitable)
untuk
tempat
tinggal/permukiman dan beberapa kegiatan pembangunan; (2) Ketersediaan sumberdaya alam untuk keperluan konsumsi dan proses produksi lebih lanjut; (3) Kemampuan kawasan untuk menyerap/mengasimilasi limbah sebagai hasil samping
dari
kegiatan
manusia
dan
kegiatan
pembangunannya;
dan
(4) Kemampuan kawasan menyediakan jasa-jasa penunjang kehidupan (life supporting systems) dan kenyamanan seperti udara bersih, air bersih, siklus hidrologi, siklus hara, siklus biogekimia dan tempat-tempat yang indah serta nyaman untuk rekreasi dan pemulihan kedamaian jiwa (spiritual renewal). Atas dasar pengertian pembangunan berkelanjutan dan daya dukung lingkungan, maka secara ekologis terdapat persyaratan agar pengelolaan sumberdaya kelautan di daerah
dapat
berlangsung
secara
optimal
dan
berkelanjutan.
Strategi
pembangunan kelautan tersebut adalah : (1) Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara harus melakukan inventarisasi dan pemetaan mengenai karakteristik, biofisik, potensi pembangunan (sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan), karakteristik dan dinamika sosio-kultural masyarakat, dan aspek kelembagaan (institusional arrangements). Khusus perihal informasi potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan hendaknya dilaksanakan secepat mungkin. Namun demikian tidak berarti pelaksanaan pembangunan perikanan di Provinsi Maluku Utara harus menunggu terkumpulnya semua data dan informasi. Keduanya harus berjalan paralel dan saling melengkapi; (2) Atas dasar informasi dari langkah pertama, selanjutnya disusun peta tata ruang pembangunan berkelanjutan yang terdiri atas kawasan preservasi, kawasan konservasi dan kawasan pembangunan. Di dalam kawasan pembangunan inilah diatur penempatan dan tata ruangnya untuk berbagai macam kegiatan (sektor) pembangunan secara sinergis dan saling menguatkan. Untuk menghindarkan timbulnya dampak negatif dari satu sektor yang dapat melemahkan kinerja atau mematikan sektor lainnya, ma ka diperlukan pengelolaan (mitigasi) dampak baik yang berupa dampak fisik (lingkungan), sosial ekonomi maupun sosial budaya.
91
(3) Menyusun rencana investasi dan pembangunan atas dasar peta tata ruang yang dihasilkan pada langkah kedua tadi. Sektor-sektor pembangunan dapat dibagi menjadi dua kelompok besar : (1) Sektor prasarana (social overhead capital) dan (2) Sektor produktif (directly productive activities). Sektor produktif adalah sektor-sektor pembangunan (ekonomi) yang langsung menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa (goods and services) yang diperlukan oleh masyarakat,
termasuk
perikanan,
pertanian.
Kehutanan,
pariwisata,
pertambangan dan energi, serta industri. Sedangkan sektor prasarana adalah sektor-sektor yang tidak secara langsung menghasilkan barang dan jasa, tetapi tanpa keberadaan sektor ini maka sektor produktif tidak mungkin berkinerja secara efisien dan optimal. Sektor prasarana selanjutnya dapat dikelompokkan menjadi sektor prasarana keras (hard-infrastructure sector), misalnya permukiman dan prasarana wilayah dan perhubungan; dan sektor prasarana lunak (soft-infrastructure sector) termasuk antara lain pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, agama, hukum, kelembagaan, iptek, dan pemberdayaan perempuan; (4) Menyusun kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Langkah ini sangat penting dalam rangka menjamin pelaksanaan pembangunan kelautan secara berkelanjutan. Untuk mengantisipasi dan meminimalkan (mitigasi) dampak negatif yang akan muncul akibat berbagai kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan, perlu dilakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara cermat dan benar. Selanjutnya
untuk
menjamin
kelestarian
(sustainability)
sumberdaya
perikanan laut, maka tingkat penangkapan total tidak melebihi Total Allowable Catch (TAC) yang telah ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian ilmiah yang seksama. Selain itu, teknologi penangkapan ikan (fishing boats and fishing gears) yang digunakan harus ramah lingkungan sehingga tidak mengancam kelestarian stok ikan maupun merusak habitatnya. Pemeliharaan ekosistem pesisir utama (seperti mangrove, estuaria, padang lamun, dan terumbu karang) sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) serta alur ruaya (migratory routes) dari berbagai jenis ikan dan biota lainnya dari segala bentuk perusakan harus dilakukan dengan seksama. Pengendalian pencemaran
92
baik yang berasal dari sumber-sumber pencemar di darat maupun di laut harus dikerjakan secara serius guna memelihara kesehatan dan produktivitas lingkungan pesisir dan lautan; (5) Kebijakan dan program untuk menciptakan iklim investasi dan usaha (bussiness environment) yang kondusif. Sudah menjadi pengetahuan umum (public) bahwa krisis ekonomi yang belum kunjung berakhir adalah karena semakin menurunnya aktivitas investasi dan usaha sektor riil. Hal tersebut mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah pengangguran, menurunnya daya beli masyarakat, dan membengkaknya jumlah penduduk miskin. Kondisi ini telah dan terus akan memicu berbagai bentuk tindak kekerasan, kriminalitas, dan demonstrasi yang menjurus pada anarkisme. Penurunan kegiatan investasi dan usaha sektor riil terutama disebabkan karena iklim investasi dan usaha yang belum kondusif sebagai akibat dari : (1) Kurangnya kepastian dan keadilan hukum; (2) Kondisi keamanan yang menghawatirkan; (3) Etos kerja dan produktivitas SDM (tenaga kerja) yang relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia; (4) Minimnya prasarana pembangunan di daerah-daerah pesisir dan pulau-pulau kecil; (5) Kurangnya dukungan permodalan kredit; (6) Kebijakan perpajakan dan berbagai macam retribusi daerah yang memberatkan; dan (7) Perizinan dan birokrasi yang sarat dengan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme), sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Daerah harus mampu membiayai operasional pembangunan dari dana yang didapat dari potensi sumberdaya daerahnya sendiri, sehingga PAD mutlak digali untuk kemakmuran dan kesejahteraan daerahnya sendiri. Berdasarkan pola produksinya, tenaga kerja yang terjun ke kegiatan produksi perikanan dibedakan menjadi dua macam, yakni : nelayan dan pembudidaya ikan. Nelayan dikategorikan sebagai tenaga kerja yang melakukan aktifitas produksinya dengan cara berburu ikan di laut atau melaut. Umumnya mereka memiliki alat produksi utama seperti kapal dan alat tangkap ikan. Kegiatan produksi nelayan tergantung pada musim ikan dan hasil produksinya cenderung merupakan jenis-jenis ikan segar ekonomis penting, baik yang tergolong ikan demersal, pelagis, crustacea, dan komoditi perikanan laut lainnya.
93
Perkembangan
teknik
penangkapan
modern,
terutama
semenjak
diperkenalkannya motorisasi (modernisasi perikanan) telah membagi formasi sosial nelayan menjadi dua kategori yaitu nelayan tradisional dan nelayan modern. Berdasarkan teknik dan alat-alat penangkapannya nelayan tradisional dan nelayan modern. Berdasarkan teknik dan alat-alat penangkapannya nelayan tradisional adalah nelayan yang masih mempertahankan cara penangkapannya dengan menggunakan kapal tanpa motor (KTM), tanpa inovasi teknologi, tanpa dukungan modal yang kuat, tanpa kelembagaan usaha yang mapan, cenderung bersifat subsisten, dan secara geneologi telah menekuni aktivitas tersebut secara turun temurun. Berbeda halnya dengan nelayan modern, teknik penangkapannya mengadopsi perkembangan teknologi, seperti kapal motor hingga ke teknologi citra satelit. Dukungan modal dan kelembagaan usahanya mapan, serta ciri-ciri subsistem telah hilang. Usaha penangkapannya ditujukan semata- mata untuk meraih profit secara maksimal. Modernisasi perikanan ternyata tidak memilah formasi nelayan atas dasar kepemilikan cara produksi, namun telah memilah pula nelayan atas dasar kepemilikan alat produksi. Nelayan yang memiliki alat-alat produksi seperti kapal dan modal digolongkan sebagai nelayan pemilik. Berbeda dengan nelayan yang tidak memiliki alat produksi dan menjual tenaga atau keahliannya untuk menangkap ikan, dikategorikan sebagai nelayan buruh. Klasifikasi nelayan tersebut atas dasar teknik kepemilikan alat produksi itu masih dibedakan berdasarkan kegiatan menjadi nelayan penuh, nelayan sebagai sambilan utama, dan nelayan sebagai sambilan tambahan. Sampai dengan tahun 2000, jumlah total nelayan Indonesia sekitar 2.486.456 orang atau mengalami kenaikan sebesar 3,21 % dibandingkan tahun 1999 dan dalam kurun waktu 1990-2000 telah mengalami peningkatan sebesar 5 % per tahun. Nelayan berprofesi penuh pada tahun 2000 berjumlah 1.212.195 orang atau mengalami kenaikan sebesar 3,06 % dibandingkan pada tahun sebelumnya. Kenaikan jumlah tenaga kerja yang menjadi nelayan sambilan utamapun mengalami kenaikan 5,06 % dibanding tahun sebelumnya atau berjumlah 911.163 orang pada tahun 2000.
94
Melihat laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi, mengakibatkan perlunya tambahan lapangan kerja yang cukup besar sehingga sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu andalan untuk menyerap tenaga kerja tersebut. Permasalahan utama yang sering dihadapi adalah ketersediaan modal. Ini dicerminkan antara lain berupa keterbatasan kredit dengan persyaratan yang relatif mudah untuk usaha agribisnis perikanan. Minimnya lembaga keuangan di daerah kabupaten dan kecamatan, menjadi penyebab terhambatnya usaha perikanan di daerah. Selama masa PJP I saja jumlah modal yang dikucurkan melalui investasi pemerintah dan swasta di bidang perikanan hanya sebesar 0,02 % dari total modal yang ada di sektor-sektor pembangunan. Kelangkaan
modal ini telah
mengakibatkan kelangkaan alat dan faktor produksi pada sektor perikanan, sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak pernah optimal. Modal memiliki peranan penting dalam memperbesar kapasitas produksi dan meningkatkan permintaan efektif. Besarnya potensi sumberdaya perikanan dan kelautan membutuhkan investasi untuk pembentukan modal. Berdasarkan pendekatan ekonomi, bahwa setiap penambahan satu unit modal akan memperbesar satu satuan output dalam setiap kegiatan produksi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kebutuhan terhadap alat-alat produksi (terutama teknologi modern) merupakan faktor produksi yang akan memudahkan setiap kegiatan produksi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kebutuhan terhadap alat-alat produksi (terutama teknologi modern) merupakan faktor produksi yang akan memudahkan setiap kegiatan produksi dalam menciptakan output di bidang perikanan. Kemampuan menciptakan output ini akan mendorong pembentukan permintaan, yang berarti meningkatkan permintaan efektif. Hadirnya modal dalam kegiatan perikanan akan mendorong kehadiran teknologi maju, pembentukan overhead social dan ekonomi, pembentukan jaringan bisnis perikanan, pengendalian mutu serta efisiensi. Selain itu, hal yang patut dicermati adalah permasalahan sumberdaya manusia di sektor perikanan, khususnya dalam hal rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan nelayan. Kualitas pendidikan Sumber Daya Manusia (SDM) perikanan, bagian terbesar nelayan berpendidikan rendah yaitu 70 % tidak tamat Sekolah Dasar (SD) dan tidak sekolah, 19,59 % tamat Sekolah Dasar, dan hanya
95
0,03 % yang memiliki pendidikan sampai jenjang Diploma 3 dan Sarjana. Masih sedikitnya perhatian pemerintah terhadap peningkatan kualitas SDM nelayan, ABK, aparat pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari anggaran pemerintah, swasta, atau stakeholders lainnya untuk mengucurkan dananya dalam peningkatan/ keahlian SDM kelautan dan perikanan. Penangkapan ikan dengan menggunakan bom, potasium cyanida, menjadi ancaman serius bagi perikanan tangkap, karena menunjukkan angka yang terus meningkat setiap tahunnya. Kini kerusakan terumbu karang berada pada kondisi yang amat memprihatinkan. Destructive fishing dengan menggunakan bom dan potasium cyanida ini dipicu oleh semakin sempitnya lahan pencaharian nelayan lokal di daerah tersebut, akibat pengkaplingan wilayah tangkapan nelayan lokal oleh investor yang masuk. Juga hadirnya para penadah ikan jenis dilindungi. Terjadinya kerusakan fisik dan habitat ekosistem perairan dapat dilihat pada kondisi yang terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput laut. Terumbu karang Indonesia dengan luas total sekitar 85.000 km² yang masih berada dalam kondisi sangat baik hanya 6,20 %, kondisi baik 23,72 %, kondisi sedang 28,30 %, dan kondisi rusak 41,78 %. Dari kondisi terumbu karang tersebut, ternyata terumbu karang di kawasan barat Indonesia memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan tengah dan timur Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada ekosistem hutan mangrove dari 5,21 juta Ha menjadi 2,5 juta Ha. Penurunan luasan mangrove hampir merata terjadi di seluruh kawasan pesisir Indonesia. Untuk mengoptimalkan pengelolaan sektor kelautan dan perikanan, maka diperlukan peningkatan kapasitas dan kelembagaan kelautan dan perikanan menjadi salah satu prioritas utama kebijakan sektor kelautan dan perikanan. Untuk mendukung pengembangan kapasitas dan kelembagaan, maka berbagai kebijakan yang ada perlu diarahkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi sistem pengelolaan sektor kelautan dan perikanan serta meningkatkan kualitas kelembagaan dan sumberdaya manusia pendukungnya.
96
a. Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengembangan sistem pengelolaan kelutan dan perikanan perlu diarahkan untuk meningkatkan kemampuan manajemen kelautan dan perikanan nasional dengan penekanan pada empat aspek sebagai berikut: (1) Mengembangkan
dan
meningkatkan
kapasitas
sistem
perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan sektor kelautan dan perikanan yang dilandasi oleh prinsip keterpaduan. Prinsip keterpaduan tersebut mencakup keterpaduan dalam menetapkan substansi dan ruang lingkup pengelolaan dan keterpaduan dalam menetukan dan melaksanakan peran bagi para pihak terkait di setiap tataran sistem pengelolaan; (2) Meningkatkan peran para pihak terkait untuk menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan kewenangan, hak dan kewajibannya sejalan dengan garis kebijakan yang berlaku; (3) Menegakkan sistem penegakkan hukum yang efektif; (4) Mengembangkan sistem pengelolaan kelautan dan perikanan yang mendukung pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ekonomi, yaitu suatu sistem yang mendorong tumbuhnya investasi dan peranserta masyarakat di sektor usaha kelautan dan perikanan. Hal ini perlu segera ditangani karena sampai sekarang belum ada strategi nasional pembangunan kelautan dan perikanan yang memberikan landasan konseptual pengelolaan kelautan dan perikanan. b. Pengembangan Kelembagaan dan Sumberdaya Manusia Pengembangan Kelembagaan dan Sumberdaya Manusia diarahkan untuk meningkatkan kualitas kelembagaan sektor kelautan dan perikanan serta sumberdaya manusia pendukungnya. Pengembangan kelembagaan meliputi kegiatan-kegiatan
peningkatan
kapasitas
lembaga-lembaga
pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha dalam rangka meningkatkan kemampuan mereka memainkan perannya secara efektif dalam sistem pengelolaan sektor kelautan dan perikanan. Untuk menunjang kegiatan tersebut, pengembangan hubungan kelembagaan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha akan dilakukan dengan mengutamakan sistem kemitraan (public private partnership). Pengembangan kelembagaan pemerintah harus menekankan pada pengembangan sistem dan mekanisme hubungan Pusat dan Daerah dalam kerangka penerapan desentralisasi.
97
Selain itu, pengembangan kelembagaan juga mencakup pengembangan hubungan kelembagaan nasional, regional dan internasional, terutama dalam rangka memperkokoh sistem pengelolaan dan pengembangan peluang investasi dan bisnis.
Kualitas
sumberdaya
manusia
akan
ditingkatkan
dalam
rangka
memberdayakan sumberdaya manusia di jajaran pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk mendorong pemanfaatan potensi sumberdaya alam laut dan perikanan
secara
optimal.
Pemberdayaan
masyarakat
diarahkan
untuk
meningkatkan aksestabilitas masyarakat terhadap sumberdaya alam laut dan perikanan dan jasa-jasa kelautan dalam bentuk peningkatan keterampilan dan pengembangan
teknologi,
termasuk
sistem
sistem
pengelolaan
yang
memungkinkan masyarakat untuk ikut serta menjadi pemain utama (shareholders) dalam usaha kelautan dan perikanan. Secara komprehensif, kelembagaan dipandang penting karena dapat berperan dalam pengambilan keputusan baik untuk kegiatan investasi dan kegiatan ekonomi lainnya, baik dalam bentuk individu atau sebuah organisasi dalam konteks sosial atau interaksi dengan pihak lain. Perubahan dalam kelembagaan akan merubah gugus oportunitas yang dihadapi oleh para pelaku ekonomi sehingga keragaan ekonomi seperti produksi, kesempatan kerja, kemiskinan, kerusakan lingkungan, distribusi pendapatan dapat berubah. Sedangkan perubahan dalam teknologi, preferensi dan pendapatan menuntut adanya perubahan dalam kelembagaan. Kelembagaan sebagai organisasi dapat berupa lembaga- lembaga formal seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan, Dinas Perikanan, Pemerintah Daerah, Koperasi Unit Desa, Kelompok Nelayan, bank dan sejenisnya, namun dari sudut pandang ekonomi, lembaga dalam artian organisasi biasanya menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh mekanisme pasar tetapi melalui mekanisme administrasi atau komando. Pasar dapat menjadi batas eksternal dari suatu organisasi, akan tetapi secara internal aktivitas ekonomi dikoordinasikan secara administratif. Dari dimensi sosial, sebagai aturan main kelembagaan dapat diartikan sebagai himpunan aturan mengenai tata hubungan diantara orang-orang, dimana ditentukan hak-hak mereka berupa perlindungan atas hak-haknya, hak-hak
98
istimewa dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu, dipandang dari sud ut individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya. Kelembagaan dapat dicirikan kedalam tiga hal, yaitu: (1) Batas-batas jurisdiksi; (2) Hak-hak kepemilikan baik yang berupa hak atas benda materi maupun bukan materi; dan (3) Aturan representasi. Kelembagaan (institusi) merupakan rule of the game dalam masyarakat, atau secara lebih formal merupakan aturan yang membatasi dan membentuk interaksi manusia. Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai himpunan aturan mengenai tata hubungan diantara orang-orang dimana ditentukan hak-hak mereka, pelindung atas haknya, hak-hak istimewa dan tanggung jawabnya. Apabila dikelola dengan baik, kelembagaan dapat berfungsi melancarkan pembangunan. Kelembagaan memberikan ketentuan terhadap anggota masyarakatnya mengenai hak-hak, kewajiban dan tanggung jawabnya. Institusi merupakan aturan atau prosedur yang menentukan bagaimana manusia bertindak, dan peran atau organisasi yang bertujuan memperoleh status satu legitimasi tertentu. Peraturan dan peranan dapat dilembagakan sebagai peraturan atau perundang-undangan dan sebagai organisasi yang konkrit. Dalam uraian di atas nampak bahwa kelembagaan menjadi salah satu faktor penting dalam berbagai hal termasuk dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan kelautan dan perikanan. Dibandingkan dengan bentangan garis pantai, jumlah pulau dan luas lautnya, prasarana dan sarana perikanan yang dimiliki Kota Ternate, masih jauh dari optimal. Sebagai gambaran Thailand dengan garis pantai hanya 2.600 km (1/35 dari panjang garis pantai Indonesia) memiliki sekitar 52 pelabuhan perikanan yang sebagian besar memenuhi standar hygienes dan sanitasi internasional. Dalam menunjang prasarana produksi perikanan maka kebijakan Pernerintah Kota Ternate yang ditindak lanjuti oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate dengan menetapkan kawasan sentra perikanan, dalam penetapan kawasan sentra perikanan guna mendongkrak kinerja pemerintah dalam melayani para nelayan dalam melengkapi persyaratan dan memberikan konstribusi bagi nelayan guna menarik pendapatan asli daerah. Untuk merealisasi semuanya diatas maka perlu kiranya dibangun prasarana produksi yang memadai, maka pada Tahun 2004 Pemerintah Kota Ternate melalui
99
program dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate membangun prasarana produksi perikanan seperti : Pengembangan Pabrik Es Kapasitas 5 Ton, Pembuatan Pabrik Es (DIPDA-L), Pengembangan Balai Benih Ikan, Penyertaan Modal Pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Pesisir, Administrasi Penunjang Kegiatan DAK-Perikanan dan Pengembangnan Pangkalan Pendaratan Ikan (DAK-Perikanan). Dari semua kegiatan diatas sumber dananya berasal dari APBD dan Dana Alokasi Khusus (DAK-Perikanan), sedangkan kegiatan tersebut berlokasi di dua Kecamatan yaitu Kecamatan Ternate Utara (Kelurahan Dufa-Dufa) dan Kecamatan Ternate Selatan (Kelurahan Gambesi). Program perikanan tahun Anggaran 2004 Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate mengalami kenaikan yang sangat signifikan dan pada prinsipnya merupakan kesinambungan kegiatan pada tahun sebelumnya dan merupakan daya dukung dalam melaksanakan program Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, serta kebijakan pemerintah Kota Ternate. Adapun Program yang dilaksanakan pada tahun 2004 adalah: 1. Program Pengembangan Produksi Perikanan - Penyertaan Modal Pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Pesisir - Administrasi Penunjang DAK Perikanan - Pengadaan Rumpon Ikan Pelagis Laut Dangkal - Pengadaan Alat Tangkap Purse Seine (Pajeko) - Pengadaan Bibit Ikan Mas dan Ikan Kepala Timah - Pembangunan Gedung Pabrik Es (DIPDA- L) - Pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (DAK-Perikanan) - Pengadaan Mesin Pabrik Es Kapasits 10 Ton (La njutan) 2. Program Peningkatan Mutu Hasil Perikanan - Pengadaan Cold Box Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode AHP, diperoleh hasil bahwa kriteria “penyerapan tenaga kerja” dalam pembangunan perikanan tangkap khususnya di kota Ternate merupakan kriteria dengan nilai tertinggi (skor 0,261), diikuti oleh kriteria “pendapatan nelayan” dengan skor 0,169. Hal ini berarti bahwa pembangunan perikanan tangkap di kota Ternate
100
khususnya dalam peningkatan penyerapan tenaga kerja merupakan hal yang paling penting dibandingkan dengan kriteria-kriteria lainnya. Sesuai dengan kondisi di lapangan bahwa berdasarkan hasil pendataan penduduk Tahun 2003 adalah 148.946 Jiwa dan menunjukan kecenderungan peningkatan pada wilayah tertentu, khususnya di wilayah Kota Ternate Utara dan .Kota Ternate Selatan. Peningkatan ini disebabkan beberapa faktor yaitu urbanisasi dan migrasi yang hampir sama. Jumlah penduduk per wilayah Kecamatan Kota Ternate: 1. Kec. Kota Temate Utara
: 60.285 Jiwa;
2. Kec. Kota Ternate Selatan
: 66.535 Jiwa;
3. Kec. Pulau Temate
:17.590 Jiwa;
4. Kec. Moti
: 4.536 Jiwa;
Pertumbuhan penduduk Kota Ternate pada tahun 2003 sebesar 148.946 Jiwa bila dibandingkan dengan tahun 2002 sebesar 120.865 Jiwa atau terjadi pertumbuhan 1,22 %. Kenaikan ini disebabkan kembalinya para pengungsi dari Manado dan Bitung, serta terjadinya eksodus para pendatang dan berbagai daerah ke Kota Ternate. Selain peningkatan penyerapan tenaga kerja, hal yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan pendapatan nelayan. Sebagaimana permasalahan nelayan pada umumnya di Indonesia, pendapatan mereka perlu ditingkatkan. Adapun pada level kendala atau permasalahan, skor tertinggi diperoleh pada atribut “prasarana umum” (0,296), yang selanjutnya diikuti oleh atribut “kelembagaan” (skor 0,213). Hal ini berarti bahwa permasalahan yang paling mendesak di Kota Ternate adalah mengenai prasarana umum yang disusul oleh permasalahan kelembagaan. Sebagaimana diketahui, prasarana umum di Kota Ternate khususnya yang berkaitan dengan fasilitas di bidang kelautan
dan
perikanan sangat penting untuk dipenuhi kebutuhannya,seperti misalnya pembangunan cold storage, pabrik es, penambahan daya listrik, perluasan fasilitas pelabuhan dan sarana pemasaran seperti pasar ikan. Dalam hal kelembagaan jelas terlihat perlunya penambahan dan penguatan lembaga yang berkaitan dengan pasar yaitu perlu dikembangkan lembaga pasar baik untuk menampung atau memasarkan produk perikanan maupun lembaga keuangan mikro seperti bank
101
pasar, di lokasi penelitian perlu penambahan dan penguatan kelembagaan. Hal lain yang juga patut
menjadi perhatian adalah kelembagaan disatu sisi dan
organisasi disisi lain harus dibedakan dengan jelas, dimana organisasi adalah structure of roles (struktur dari peran). Fauzi A, 2005 menyatakan beberapa tipe kelembagaan dapat berbentuk organisasi, misalnya rumah tangga, koperasi, unit usaha dan sebagainya. Di sisi lain ada pula kelembagaan yang bukan organisasi, misal mata uang ataupun produk hukum dan perundang-undangan. Sebaliknya, ada pula organisasi yang bukan merupakan lembaga, seperti organisasi grass-root. Untuk permasalahan prasarana umum dalam pembangunan perikanan tangkap di Kota Ternate, tujuan utama yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) (skor 0,323) sebagaimana terlihat dalam Tabel 21. Tujuan selanjutnya adalah untuk meningkatkan pajak (skor 0,318) dan meningkatkan ketersediaan ikan sebagai sumber protein (skor 0,317). Pelaksanaan
inventarisasi
dan
identifikasi
jenis-jenis
dan
potensi
sumberdaya alam dan tata lingkungan hidup belum dapat diselesaikan. Dengan demikian, belum seluruh sumberdaya perikanan dan tata lingkungan diketahui secara pasti. Disamping itu ketentuan yang menyangkut pembinaan sumberdaya perikanan belum dilaksanakan secara optimal. Untuk permasalahan kelembagaan di lokasi penelitian, diperoleh bahwa tujuan utama yang ingin dicapai adalah meningkatkan pajak (skor 0,267), PAD (skor 0,245), dan devisa (skor 0,220). Hal ini dikarenakan usaha perikanan pada hakekatnya merupakan sektor kegiatan yang dilakukan swasta dan masyarakat, dimana peran pemerintah hanya terbatas pada fungsi- fungsi pengaturan, pembinan, penyediaan prasarana dan bila diperlukan mengadakan usaha-usaha perintis. Usaha peningkatan produksi dan produktifitas menuju pada peningkatan pendapatan
nelayan.
Pendapatan
nelayan
senantiasa
ditempuh
melalui
peningkatan partisipasi nelayan melalui peranan fungsionalnya dibidang pelayanan, penyediaan sarana produksi, kredit dan pengolahan serta pemasaran hasilnya. Setelah menelaah kriteria-kriteria yang diperlukan dalam menentukan kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kota Ternate serta permasalahan-
102
permasalahan yang dihadapinya, maka alternatif kebijakan yang terpilih adalah pembentukan pasar (skor 0,230), yang diikuti alternatif pembangunan fasilitas pengolahan (skor 0,180) dan pembangunan prasarana pelabuhan (skor 0,170). Kontributor tertinggi untuk alternatif kebijakan pembentukan pasar adalah adanya permasalahan kelembagaan (skor 0,336). Pemasaran komoditas perikanan di Kota Ternate, sebagian besar ditentukan oleh para pembeli/konsumen (buyer market). Kondisi ini mengakibatkan harga jual produk perikanan pada umumnya atau seringkali kurang menguntungkan produsen (nelayan). Ada dua faktor utama yang membuat pemasaran produk perikanan di Kota Ternate masih lemah, yaitu: (1) Lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen tentang jenis dan mutu komoditas perikanan; (2) Belum memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu. Ikan dan produk perikanan adalah merupakan komoditas yang sangat mudah busuk sehingga menuntut cara penanganan dan pengolahan yang cepat dan tepat agar mutu dan kesegarannya tetap prima. Akan tetapi, sebagian besar ikan ditangkap dari perairan yang cukup jauh dari tempat pendaratan atau lokasi konsumen. Padahal sebagian besar nelayan adalah nelayan tradisional dengan keterbatasan modal, skala usaha, keterampilan maupun peralatan. Akibatnya, sebagian besar hasil tangkapan tidak ditangani dengan baik, dan pada waktu didaratkan, mutunya sudah merosot, bahkan sebenarnya tidak cocok lagi untuk dikonsumsi (not fit for human consumption). Berikutnya, untuk alternatif kebijakan pembangunan fasilitas pengolahan, prasarana umum merupakan kendala yang menjadi kontributor terbesar (skor 0,232) yang sekaligus menjadi kontributor tertinggi untuk alternatif kebijakan pembangunan prasarana pelabuhan (skor 0,247). Terjadinya praktek-praktek penanganan dan pengolahan ikan dengan kaidah-kaidah good handling practices (GHP) dan good manufacturing practices (GMP) terutama disebabkan karena tidak tersedianya fasilitas penunjang seperti air bersih, es dan garam di tempattempat pendaratan.
103
Gambar 10 Hirarki kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kota Ternate
104
Tabel 21
Hasil penilaian kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kota Ternate untuk tingkat 2 (kriteria) dan tingkat 3 (kendala)
Suplai Protein Pendapatan Nelayan Profit Usaha Devisa Pajak PAD Penyerapan Tenaga Kerja Results
Tabel 22
SDM 0,143 0,147 0,217 0,148 0,142 0,141 0,223 0,174
SDA 0,169 0,173 0,174 0,193 0,152 0,185 0,148 0,168
Kelembagaan 0,181 0,197 0,197 0,220 0,267 0,245 0,195 0,213
Prasarana Umum 0,317 0,291 0,259 0,287 0,318 0,323 0,290 0,296
Model Weights 0,082 0,169 0,129 0,094 0,114 0,151 0,261
Hasil penilaian kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kota Ternate untuk tingkat 4 (alternatif) Pengadaan Alat Tangkap
Sumber Dana SDM SDA Kelembagaan Prasarana Umum Results
Sumber Dana 0,189 0,192 0,152 0,153 0,120 0,107 0,145 0,149
0,159 0,123 0,148 0,095 0,089 0,123
Pengadaan Perahu/Kapal
0,159 0,161 0,163 0,086 0,096 0,133
Program DIKLAT
0,133 0,224 0,187 0,149 0,123 0,163
Pembangunan Prasarana Pelabuhan
0,149 0,143 0,133 0,179 0,247 0,170
Pemb Fasilit Pengolhn (pabrik es, cld storage dsb)
0,187 0,143 0,185 0,155 0,232 0,180
Pembentukan Pasar (pedagang, collector dsb)
0,213 0,205 0,185 0,336 0,212 0,230
Gambar 11 Diagram tingkat permasalahan dalam kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kota Ternate
Gambar 12 Diagram tingkat alternatif dalam kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kota Ternate
105
2) Analisis Kebijakan Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Sebagai suatu sektor yang memanfaatkan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), idealnya sektor perikanan mampu mencapai hasil secara berkesinambungan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan para pelaku yang bergerak serta terkait di bidang ini. Terdapat tujuh indikator kinerja (performance indicators) yang dapat digunakan untuk melihat lebih jauh pencapaian hasil pembangunan perikanan, yaitu: (1) Produksi perikanan; (2) Volume dan nilai ekspor produk perikanan; (3) Pendapatan negara bukan pajak; (4) Konsumsi per kapita; (5) Tenaga kerja; (6) Pendapatan nelayan; dan (7) Peraturan perundangundangan. Peningkatan kontribusi sub sektor perikanan dalam menunjang peranan serta laju pertumbuhan sektor perikanan dalam pembangunan nasional terutama sekali dilaksanakan melalui peningkatan produksi perikanan yang berorientasi pada perluasan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, peningkatan nilai tambah, efesiensi usaha dan peningkatan pendapatan usaha perikanan. Dalam hal ini, pembangunan perikanan mempunyai harapan baik karena potensi sumberdaya perikanan yang tersedia sangat besar dan sepenuhnya belum dimanfaaatkan secara optimal. Bagi usaha penangkapan ikan di laut yang berdasarkan usahanya pada sumberdaya perikanan yang merupakan milik bersama (common property), pengembangan produksinya diarahkan pada pencapaian pemanfaatan sumberdaya secara rasional untuk meningkatkan produktifitas usaha nelayan, pengembangannya senantiasa diarahkan ke perairan yang masih potensial, perairan lepas pantai dan ZEE. Selanjutnya usaha penangkapan akan ditata kembali sehingga diharapkan kegiatan penangkapannya tidak melampaui daya dukung dan sumberdaya yang tersedia dan tercapai rasionalisasi pemanfaatannya. Pengembangan usaha penangkapan di perairan pantai yang masih potensial dilaksanakan metalui motorisasi dan modernisasi unit penangkapan dengan menggunakan perahu motor tempel dan kapal motor berukuran kurang dari 10 GT.
106
Tabel 23
No
Perkembangan produksi perikanan dirinci menurut kecamatan pada tahun 2002 -2004 Kecamatan
1
Ternate Utara
2
Ternate Selatan
3
Kecamatan Pulau Ternate Kecamatan Moti
4
2002 (Ton)
Total
2003 (Ton)
2004 (Ton)
3.135,67
4.204,62
4.225,39
945,55
1.267,58
1.274,15
2.497,35
3.347,33
3.365,24
879,93 7.457,00
1.178,97 9.998,50
1.185,72 10.048,50
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate, 2004
4.500 4.000
Produksi (Ton)
3.500 3.000 Kec. Ternate Utara Kec Ternate Selatan Kec. P. Ternate Kec. Moti
2.500 2.000 1.500 1.000 500 0 2002
2003 Tahun
2004
Gambar 13 Perkembangan produksi perikanan Kota Ternate per Kecamatan
Disamping itu akan ditempuh pula usaha diversifikasi melalui perbaikan teknik penangkapan untuk meningkatkan efisiensi usaha. Mulai dari tahun 2002 sampai tahun 2004 armada perikanan di Kota Ternate sebanyak 1.125 buah yang terdiri dari kapal motor sebanyak 19 buah, motor tempel sebanyak 344 buah dan perahu tanpa motor sebanyak 762 buah. Dari uraian data diatas kita bisa lihat dalam tabel berikut ini yang menguraikan secara rinci mengenai perkembangan armada penangkapan.
107
Tabel 24
Perkembangan Armada Penangkapan Ikan di Kota Ternate dari tahun 2002 -2004.
Jenis Armada
2002 (Unit) 22
Kapal Motor
2003 (Unit) 21
2004 (Unit) 19
Rata-rata Kenaikan (%) -
Motor Tempel
260
275
344
12.76
Perahu Tanpa Motor
755
787
762
-
1.037
1.083
1.125
Total
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate, 2004
900
Jumlah Armada (Unit)
800 700 600 500 400 300 200 100 0
2002
2003
2004
Tahun Kapal Motor
Motor Tempel
Perahu Tanpa Motor
Gambar 14 Perkembangan armada penangkapan ikan di Kota Ternate Jumlah Armada penangkapan di Kota Ternate Tahun 2004 tercatat secara keseluruhan sebanyak 1.125 buah terdiri dari perahu tanpa motor 762 buah, Motor Tempel 344 buah dan Kapal Motor 19 buah. Pada tahun 2004 produksi baru mencapai 10.048,50 ton dengan demikian maka tingkat pemanfaatan baru mencapai 21,01 % dan potensi lestari sehingga dari produksi yang dicapai tahun terakhir menunjukkan tingkat pemanfaatan masih under exploitation, sehingga peluang investasi di sektor Perikanan dan Kelautan di Kota Ternate masih sangat terbuka.
108
Kendala yang dihadapi pada kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan adalah permasalahan sumberdaya manusia di sektor perikanan, khususnya dalam hal rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan nelayan. Kualitas pendidikan Sumber Daya Manusia (SDM) perikanan, bagian terbesar nelayan berpendidikan rendah yaitu 70 % tidak tamat Sekolah Dasar (SD) dan tidak sekolah, 19,59 % tamat Sekolah Dasar, dan hanya 0,03 % yang memiliki pendidikan sampai jenjang Diploma 3 dan Sarjana. Masih sedikitnya perhatian pemerintah terhadap peningkatan kualitas SDM nelayan, ABK, aparat pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari anggaran pemerintah, swasta, atau stakeholders lainnya umtuk mengucurkan dananya dalam peningkatan/keahlian SDM kelautan dan perikanan. Modal memiliki peranan penting dalam memperbesar kapasitas produksi dan meningkatkan permintaan efektif. Besarnya potensi sumberdaya perikanan dan kelautan membutuhkan investasi untuk pembentukan modal. Berdasarkan pendekatan ekonomi, bahwa setiap penambahan satu unit modal akan memperbesar satu satuan output dalam setiap kegiatan produksi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kebutuhan terhadap alat-alat produksi (terutama teknologi modern) merupakan faktor produksi yang akan memudahkan setiap kegiatan produksi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kebutuhan terhadap alat-alat produksi (terutama teknologi modern) merupakan faktor produksi yang akan memudahkan setiap kegiatan produksi dalam menciptakan output di bidang perikanan. Kemampuan menciptakan output ini akan mendorong pembentukan permintaan, yang berarti meningkatkan permintaan efektif. Hadirnya modal dalam kegiatan perikanan akan mendorong kehadiran teknologi maju, pembentukan overhead social dan ekonomi, pembentukan jaringan bisnis perikanan, pengendalian mutu serta efisiensi. Alat penangkap ikan pole and line dan purse seine, merupakan dua jenis alat tangkap yang mampu menyerap tenaga kerja seoptimal mungkin. Kedua jenis alat tangkap ini dapat dilakukan pengoperasiannya dengan sistem one day fishing. Bagi usaha penangkapan ikan di laut yang berdasarkan usahanya pada sumberdaya perikanan yang merupakan milik bersama (common property), pengembangan produksinya diarahkan pada pencapaian pemanfaatan sumberdaya
109
secara
rasional.
Untuk
meningkatkan
produktifitas
usaha
nelayan,
pengembangannya senantiasa diarahkan ke perairan yang masih potensial. Selanjutnya usaha penangkapan akan ditata kembali sehingga diharapkan kegiatan penangkapannya tidak melampaui daya dukung dan sumberdaya yang tersedia dan tercapai rasionalisasi pemanfaatannya. Pengembangan usaha penangkapan di perairan pantai yang masih potensial dilaksanakan me lalui motorisasi dan modernisasi unit penangkapan dengan menggunakan perahu motor tempel dan kapal motor berukuran < 5 GT, 5-10 GT, dan > 10 GT. Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode AHP, diperoleh hasil bahwa kriteria “peningkatan penyerapan tenaga kerja” dalam pengembangan armada penangkapan ikan khususnya di kota Ternate merupakan kriteria dengan nilai tertinggi (skor 0,207), diikuti oleh kriteria “peningkatan produktivitas penangkapan” dengan skor 0,154. Berikutnya adalah kriteria penggunaan BBM yang rendah (skor 0,140). Dengan demikian Kota Ternate memerlukan suatu alternatif kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan yang dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Selain itu juga diperlukan alternatif kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan yang memiliki produktivitas
penangkapan yang
tinggi, serta tidak memerlukan penggunaan
BBM yang tinggi. Sesuai dengan kondisi di lapangan bahwa armada huhate dan purse seine melakukan kegiatan penangkapannya di perairan pantai, yang masih potensial sehingga jarak tempuh dari fishing base ke fishing ground relatif tidak terlalu jauh. Hal demikian menyebabkan biaya operasional khususnya penggunaan BBM untuk kedua jenis armada penangkapan tersebut me merlukan penggunaan BBM yang tinggi. Adapun permasalahan yang relatif penting untuk diselesaikan terlebih dahulu dalam rangka pengembangan armada penangkapan di Kota Ternate adalah masalah pelabuhan/PPI/TPI (skor 0,294), selanjutnya adalah mengenai kondisi perairan (skor 0,205), diikuti oleh permasalahan jumlah galangan (skor 0,192). Penyelesaian permasalahan mengenai Pelabuhan/PPI/TPI terutama diharapkan dapat meningkatkan PAD, devisa dan penyerapan tenaga kerja, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 25.
110
Tabel 25
Skor untuk kriteria dan permasalahan dalam kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan di Kota Ternate
Kelestarian SDI Peningkatan Profit Usaha Peningkatan.Produktivit. Penangkapan Penggunaan BBM yg rendah Peningkatan PAD Peningkatan Devisa Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Hasil
Sumber dana 0.128
SDM 0.19
Kondisi perairan 0.199
Jml galangan 0.221
Pelab./PPI/TPI 0.262
Model Weights 0.138
0.192
0.17
0.225
0.16
0.253
0.118
0.151
0.224
0.224
0.172
0.228
0.154
0.123 0.112 0.123
0.191 0.138 0.163
0.253 0.182 0.216
0.157 0.202 0.149
0.276 0.366 0.349
0.14 0.124 0.119
0.108 0.132
0.16 0.177
0.16 0.205
0.246 0.192
0.326 0.294
0.207
Skor kontribusi masing- masing kriteria tersebut terhadap permasalahan mengenai Pelabuhan/PPI/TPI berturut-turut adalah sebesar 0,366, 0,349, dan 0,326.
Prasarana perikanan yang berupa pelabuhan perikanan, pangkalan
pendaratan ikan, laboratorium pembinaan dan pengujian hasil perikanan yang dibangun didaerah-daerah yang potensial yang disediakan sebagai basis operasional bagi nelayan-nelayan tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan. Melihat masalah kondisi perairan di lokasi penelitian, kriteria utama yang perlu dicapai dalam rangka pengembangan armada penangkapan ikan di Kota Ternate adalah penggunaan BBM yang rendah (skor 0,253), diikuti oleh kriteria peningkatan profit usaha (0,225) dan selanjutnya adalah kriteria peningkatan produktivitas penangkapan yang berbeda tipis dengan kriteria sebelumnya (skor 0,224). Meningkatnya hasil tangkapan bagi nelayan secara langsung berpengaruh terhadap pendapatan nelayan, ini dilihat dengan tingginya permintaan ikan dipasar lokal dengan harga ikan yang sangat tinggi. Pendapatan rata-rata nelayan dan petani ikan di Kota Ternate pada Tahun 2004 per orang sebesar Rp. 10.530.000,bila dibandingkan dengan tahun 2003 maka pendapatan para Nelayan dan Petani Ikan mengalami kenaikan sebesar Rp. 52.500,- / Orang. Untuk permasalahan jumlah galangan di lokasi penelitian, dengan pemecahan permasalahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja (skor 0,246), menjaga kelestarian SDI (skor 0,221), dan meningkatkan PAD (skor 0,202). Galangan kapal sangat diperlukan untuk
111
pemeliharaan kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi di perairan Kota Ternate. Pembangunan gala ngan kapal akan mengakibatkan penyerapan tenaga kerja bagi Sumber Daya Manusia di Kota Ternate. Kapal-kapal yang terawat baik akan memperkecil kecelakaan selama pelayaran, dan ketepatan dalam produksi penangkapan. Diharapkan dengan produksi yang meningkat, berdampak pula pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dari kriteria-kriteria yang diperlukan dalam menentukan kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan di Kota Ternate serta permasalahanpermasalahan yang dihadapinya, maka alternatif kebijakan pengembangan armada yang terpilih berturut-turut adalah : alat tangkap pole and line dengan bobot kapal lebih dari 10 GT, pole and line dengan bobot kapal 5-10 GT, purse seine dengan bobot kapal lebih dari 10 GT, dan prioritas keempat adalah rawai denga n bobot kapal lebih dari 10 GT. Pengembangan armada dengan bobot kapal > 10 GT sangat dimungkinkan, karena sumberdaya perikanan Indonesia di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) belum dimanfaatkan secara optimal. Kondisi armada perikanan laut nasional sampai tahun 2000 secara kuantitas sebenarnya cukup besar, yaitu sekitar 449.518 unit. Hanya saja, komposisi dari armada kapal perikanan ini didominasi oleh kapal-kapal kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan produksinya. Dari jumlah kapal tersebut sekitar 51 % (230.867 buah kapal) merupakan kapal tanpa motor yang memiliki kemampuan terbatas, dan hanya beroperasi di sekitar perairan pantai. Armada perikanan nasional yang memiliki kemampuan besar (modern) hanya 21,6 %.
112
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA
GOAL
Sumber Daya Ikan (Lestari) é
KRITERIA
KENDALA (LIMITING FACTOR)
OPSI
Profit Usaha é
Sumber Dana
PL < 5 GT
PL >10 GT
PL 5-10 GT
Rawai < 5 GT
Penggunaan BBM ê
Produktivitas Penangkapan é
SDM
Rawai > 10 GT
Rawai 5-10 GT
Devisa é
Jumlah Galangan
Kondisi Perairan
GN < 5 GT
PAD é
GN > 10 GT
GN 5-10 GT
Penyerapan Tenaga Kerja é
Pelabuhan/ PPI/TPI
PS < 5 GT
PS > 10 GT
PS 5-10 GT
HL < 5 GT
HL > 10 GT
HL 5-10 GT
Gambar 15 Hirarki kebijakan pemgembangan armada penangkapan ikan di Kota Ternate
113
Tabel 26
Skor untuk alternatif dalam kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan di Kota Ternate Sbr dana
Bobot dari kendala PL < 5 PL 5-10 PL 10-30 Rawai < 5 Rawai 5-10 Rawai 10-30 GN < 5 GN 5-10 GN 10-30 PS < 5 PS 5-10 PS 10-30 HL < 5 HL 5-10 HL 10-30
0.132 0.054619 0.088321 0.092388 0.045322 0.072051 0.074956 0.040674 0.069146 0.072051 0.042417 0.073213 0.077281 0.045904 0.073213 0.078443
SDM
0.177 0.049850 0.081682 0.085886 0.047447 0.075075 0.079279 0.040841 0.069069 0.073273 0.047447 0.080480 0.084685 0.042643 0.069069 0.073273
Kondisi Perairan
Jml galangan
Pelabuhan/ PPI/TPI
0.205 0.063158 0.096491 0.100585 0.046199 0.073099 0.077193 0.035088 0.059649 0.063743 0.049708 0.080117 0.084211 0.036842 0.064912 0.069006
0.192 0.052815 0.085897 0.089959 0.048172 0.074869 0.078932 0.040046 0.067324 0.071387 0.044689 0.074869 0.078932 0.045270 0.071387 0.075450
0.294 0.054920 0.088101 0.092105 0.050343 0.077231 0.081236 0.037757 0.062357 0.066362 0.044622 0.073799 0.077803 0.046339 0.071510 0.075515
Bobot Akhir
PRIORITAS
0.05527 0.08829 0.09237 0.04790 0.07487 0.07879 0.03858 0.06484 0.06876 0.04589 0.07640 0.08048 0.04348 0.06993 0.07416
11 2 1 12 6 4 15 10 9 13 5 3 14 8 7
114
5.3 Analisis Finansial Analisis finansial yang dilakukan dalam usaha pengembangan perikanan di perairan Ternate, Maluku Utara meliputi perhitungan biaya investasi, biaya operasional penangkapan, biaya total, pendapatan total dan keuntungan yang dihitung berdasarkan kriteria investasi seperti, Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR) terhadap 4 (empat) jenis alat tangkap terpilih, yang terdiri dari purse seine, pole and line, bottom handline dan gillnet . 1) Net Present Value ( NPV) Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai Net Present Value (NPV) dari 4 jenis alat tangkap terpilih yang di kaji berdasarkan tahun perhitungan discount rate sebesar 10% menunjukkan bahwa usaha penangkapan dengan menggunakan alat tangkap purse seine dan bottom handline mempunyai nilai NPV yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Pole and line mempunyai NPV tertinggi sebesar Rp. 297,524,776 dalam 10 tahun, diikuti dengan purse seine dengan nilai NPV sebesar Rp. 271,778,669 dalam 10 tahun. Berdasarkan kriteria NPV maka alat tangkap pole and line, purse seine dan bottom handline dikatakan layak dengan masa pengusahaan 10 tahun. Tabel 27 Analisis Net Present Value (NPV) usaha perikanan berdasarkan jenis alat tangkap Jenis Alat Tangkap Purse Seine Bottom Handline Gillnet Pole and Line
Tahun 10 NPV 271,778,669 87,055,226 30,913,893 297,524,776
15 NPV 359,269,807 116,361,823 47,118,501 462,008,297
20 30 NPV NPV 428,784,501 412,514,944 136,786,784 157,089,321 60,170,560 69,038,908 530,910,682 530,910,682
2) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Kriteria investasi Net B/C merupakan indeks efisiensi yang perhitungannya mempergunakan data yang sama seperti NPV. Jika a melambangkan present value jumlah sisa Bt – Ct positif dan b adalah present value nilai mutlak jumlah sisa yang negatif, maka NPV merupakan a – b dan Net B/C adalah a/b. Perhitungan
115
present value sehubungan dengan kriteria tersebut mempergunakan discount rate yang sama. Net B/C ini menunjukkan gambaran berapa kali lipat benefit akan diperoleh dari cost yang dikeluarkan. Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap 4 (empat) jenis alat tangkap (Tabel 28), diketahui bahwa hampir semua jenis alat tangkap memiliki nilai BC Ratio lebih dari 1. BC Ratio terbesar terdapat pada jenis alat tangkap bottom handline sebesar 1,14; 1,14; 1,15; 1,15 berturut-turut untuk masing- masing tahun perhitungan 10, 15, 20, 30 tahun. Tabel 28 Analisis Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) usaha perikanan berdasarkan alat tangkap di perairan Ternate, Maluku Utara Tahun Jenis Alat Tangkap Purse Seine Bottom Handline Gillnet Pole and Line
10 BCR 1.05 1.14 1.04 1.12
15 BCR 1.09 1.14 1.05 1.15
20 BCR 1.06 1.15 1.06 1.15
30 BCR 1.06 1.15 1.06 1.15
3) Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return merupakan salah satu analisis yang digunakan dalam menentukan kelayakan suatu usaha. IRR adalah suatu nilai discount rate i yang membuat NPV dari proyek atau usaha menjadi nol (0). IRR bertujuan untuk mengetahui persentase keuntungan dari suatu usaha setiap tahun dan juga merupakan alat ukur bagi kemampuan usaha dalam mengembalikan bunga pinjaman. IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu usaha. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai Internal Rate of Return (IRR) dari 4 (empat) jenis alat tangkap yang dikaji memberikan gambaran bahwa semua jenis alat tangkap memiliki IRR
di atas 10 (Tabel 29), ini menunjukkan bahwa
persentase yang dihasilkan masih lebih besar dari bunga bank yang berkisar 10 % - 15 % sehingga menjadi daya tarik bagi nelayan dan pengusaha untuk berusaha dengan menggunakan alat tangkap terpilih tersebut.
116
Tabel 29 Analisis Internal Rate of Return (IRR) usaha perikanan berdasarkan jenis alat tangkap di perairan Ternate, Maluku Utara Jenis Alat Tangkap
Tahun 15 IRR 27.43% 38.95% 16.32% 32.13%
10 IRR 26.49% 38.17% 14.00% 30.60%
Purse Seine Bottom handline Gillnet Pole and Line
20 IRR 27.65% 39.00% 16.78% 32.22%
30 IRR 27.69% 39.01% 16.88% 32.25%
Dari empat jenis alat tangkap yang dianalisis, yang mempunyai nilai IRR lebih besar dari bunga bank dengan discount rate 10 % adalah berturut-turut bottom handline dengan IRR sebesar 38.17 %, Pole and Line dengan IRR sebesar 30.60 % dan purse seine dengan IRR 26.49 %, maka hanya 3 jenis alat tangkap yang cukup layak untuk dijadikan suatu usaha yaitu bottom handline, pole and line, dan purse seine.
4) Analisis Prioritas Dari hasil analisis ekonomi yang telah dijelaskan diatas, dapat kita lakukan analisis prioritas dari ke 4 jenis alat tangkap yaitu: bottom handline, pole and line, gillnet dan purse seine (Tabel 30). Analisis prioritas dilakukan dengan menggunakan skala
1 sampai 4 dimana nilai satu merupakan nilai terendah.
Hasil dari analisis prioritas ini digunakan untuk menentukan 3 besar alat tangkap yang kemudian akan dilakukan analisa ekonomi berdasarkan Gross Ton dari ketiga jenis alat tangkap tersebut. Tabel 30 Nilai Scoring Berdasarkan NPV, B/C, IRR No 1 2 3 4
Nama Alat Tangkap Purse Seine Bottom Handline Gillnet Pole and Line
10 3
NPV 15 20 3 3
Nilai Skoring Berdasarkan B/C 30 10 15 20 30 10 3 2 2 3 3 2
IRR 15 20 2 2
30 2
2
2
2
2
4
3
4
4
4
4
4
1
1
1
1
1
1
3
3
1
1
4
4
4
4
3
4
4
4
3
3
Total Skor
Ranking
30
3
4
39
2
1
1
16
4
3
3
43
1
117
Dari hasil analisis prioritas diatas dapat disimpulkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada jenis alat tangkap pole and line. Kemudian berturut-turut bottom handline, dan purse seine. Untuk selanjutnya, ketiga jenis alat tangkap ini akan dilakukan analisis yang lebih mendalam berdasarkan klasifikasi ukuran kapal (Gross Ton/GT) yang dibagi menjadi 2 yaitu dibawah 10 GT dan 10 - 30 GT. Tabel 31 Analisis Finansial Berdasarkan Klasifikasi Ukuran Kapal Bottom Handline = 10 GT 10-30 GT
Jenis Kapal IRR (%)
BCR
NPV (Rp)
10 Th 15 Th 20 Th 30 Th 10 Th 15 Th 20 Th 30 Th 10 Th 15 Th 20 Th 30 Th
45.06% 45.77% 45.81% 45.81% 1.30 1.31 1.33 1.33 72,789,060 97,450,342 114,837,889 132,344,260
39.20% 40.09% 40.14% 40.15% 1.10 1.11 1.11 1.11 144,668,365 194,977,112 228,975,507 266,950,960
Purse Seine = 10 GT 10 -30 GT
Pole & Line = 10 GT 10-30 GT
20.54% 22.53% 22.70% 22.79% 1.02 1.06 1.03 1.03 49,083,135 85,214,240 92,797,241 97,542,392
6.30% 6.06% 7.50% 8.28% 1.02 1.03 1.03 1.03 51,625,894 81,599,493 99,685,258 99,685,258
27.24% 28.31% 28.45% 28.49% 1.04 1.07 1.04 1.04 235,825,162 322,869,913 362,710,821 376,945,401
33.34% 33.87% 33.97% 33.99% 1.17 1.17 1.18 1.18 434,911,255 545,621,664 650,001,977 660,913,386
Sebagaimana data yang disajikan pada Tabel 31 diatas, hasil analisis finansial terhadap alat tangkap bottom handline berdasarkan klasifikasi ukuran kapal (GT) menunjukkan bahwa ukuran kapal = 10 GT memiliki nilai IRR dan BCR yang lebih tinggi dibandingkan kapal dengan ukuran > 10 GT, sementara nilai NPV lebih rendah. Hal Ini menunjukkan bahwa tingkat efisiensi investasi alat tangkap bottom handline = 10 GT memberikan nilai yang lebih baik, namun NPV yang diterima lebih kecil. Pada kondisi ini terdapat 2 alternatif kebijakan yang dapat diambil, yaitu: 1. Apabila ketersediaan dana investasi terbatas, sebaiknya dikembangkan bottom handline dengan ukuran = 10 GT, karena efisiensi penggunaan dana investasi lebih tinggi. 2. Apabila
ketersediaan
dana
investasi
relatif
mencukupi
sebaiknya
dikembangkan bottom handline berukuran > 10 GT, karena akan menghasilkan Net Cash Flow yang lebih besar. Sementara kebijakan pengembangan untuk alat tangkap purse seine dan pole and line, sebaiknya diarahkan pada kapal-kapal berukuran 10 - 30 GT. Karena
118
berdasarkan hasil analisis finansial, baik IRR, BCR maupun NPV memberikan nilai yang lebih baik. Kenaikan BBM per tanggal 1 Oktober 2005 menimbulkan dampak yang sangat luar biasa di berbagai sektor kehidupan dimana banyak sekali persoalanpersoalan yang semakin rumit untuk dipecahkan. Salah satunya adalah biaya operasional melaut semakin meningkat baik untuk usaha perikanan skala kecil sampai dengan usaha dengan usaha perikanan skala yang besar. Bila dilihat dari prosentase kenaikan BBM khususnya solar, kenaikannya melebihi 100% yaitu dari Rp. 2100/liter menjadi Rp. 4300/liter jelas ini mengakibatkan biaya operasional meningkat tajam. Dalam penelitian ini juga dihitung kenaikannya dilihat dari kenaikan BBM dan harga ikan naik rata-rata 10 %, ini disebabkan sampai dengan Desember 2005 ternyata harga ikan di Kota Ternate yang diharapkan sebagai revenue cost meningkat tetapi ternyata hanya meningkat ratarata 10 % saja, dengan kata lain pendapatan masyarakat di Kota Ternate belum beranjak menuju perbaikan yang menggembirakan. Tabel 32 menunjukkan kenaikan harga rata-rata ikan layang dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2005 yang tinggi sebesar 42,29 %, yang diikuti dengan kenaikan harga rata-rata ikan cakalang periode yang sama yang cukup tinggi sebesar 22,35 %. Kenaikan terendah terjadi pada kenaikan harga rata-rata ikan kakap merah sebesar 3,37 %. Dari hasil observasi langsung, kenaikan harga ini disebabkan permintaan terhadap ikan-ikan tersebut tetap tinggi sedangkan pasokan ikan berkurang karena hampir 30 % armada yang ada tidak dapat melaut yang disebabkan karena biaya operasional khususnya BBM solar meningkat lebih dari 100%. Selain kenaikan harga ikan disebabkan permintaan yang tinggi, kenaikan tersebut disebabkan pula pasokan/permintaan ikan layang untuk keperluan ekspor ke Philipina melalui Kota Bitung permintaannya meningkat sehingga harga rata-rata ikan layang menunjukkan kenaikan hingga 42,29 %.
119
Tabel 32 Kenaikan harga ikan akibat kenaikan BBM No
Harga ikan rata-rata/kg (Rp) Okt Nop Des
Jenis ikan
1
Tongkol
2 3
Layang Cakalang
4
Tuna
5 6
Kembung Kakap Merah
Rata-rata kenaikan (%)
6000
8000
7333,33
12,5
4333,33 7333,33
6333,33 10000
8766,67 10833,33
42,29 22,35
10000
12000
14000
18,33
5333,33 10333,33
7333,33 11333,33
7666,67 11000
21,02 3,37
Sumber : Data primer PPN Ternate (2005), diolah
Untuk melihat dampak kenaikan harga BBM dan harga ikan terhadap kelayakan usaha penangkapan, maka perhitungan difokuskan hanya untuk jenis kapal beserta alat tangkap yang sudah terpilih yaitu Kapal Pole and Line 10 – 30 GT, Kapal Purse Seine 10 – 30 GT dan kapal Bottom Handline = 10 GT. Dari hasil perhitungan (Tabel 33) diperoleh hasil bahwa ketiga alat tangkap tersebut menunjukkan nilai IRR, B/C Ratio dan NPV yang signifikan atau dapat dikatakan layak untuk diusahakan walaupun dengan harga BBM yang cukup tinggi. Untuk sementara waktu sambil menunggu situasi ekonomi stabil dan daya beli masyarakat dapat meningkat maka armada kapal bottom hand line = 10 GT dapat menjadi prioritas pertama untuk dikembangkan dikarenakan tingkat kelayakan usahanya lebih menjanjikan dan pengembalian investasinya bisa lebih cepat, kemudian diikuti dengan armada pole and line 10 – 30
GT dan selanjutnya
armada purse seine 10 – 30 GT. Tabel 33 Analisis finansial dengan harga BBM per 1 Oktober 2005 dan denga n harga ikan naik rata-rata 10 % Jenis Kapal IRR (%) BCR NPV (Rp)
10 Th 20 Th 30 Th 10 Th 20 Th 30 Th 10 Th 20 Th 30 Th
Bottom Handline = 10 GT
Purse Seine >10 GT
Pole & Line > 10 GT
41.44% 42.31% 42.31% 1.23 1.26 1.26 65.856.635 104.768.617 121.065.597
46.86% 47.31% 47.31% 1.06 1.07 1.07 450.311.073 659.890.336 668.936.274
19.35% 20.41% 20.47% 1.08 1.08 1.08 236.881.462 357.254.575 373.277.243
120
Dampak lainnya akibat kenaikan harga BBM adalah berkurangnya armada penangkapan ikan melaut sebanyak kurang lebih 30 %, hal ini dapat terlihat pada pasokan BBM solar yang terjual di Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate pada bulan Nopember dan Desember 2005 yang turun sebesar kurang lebih 30 % menjadi 72 Ton dibandingkan dengan bulan-bulan sebelum kenaikan harga BBM solar yang dapat menjual solar sebanyak 96 Ton sampai 100 Ton per bulannya (Gambar 16).
120
Solar terjual (ton)
100
80
60
40
20
0
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sept
Okt
Nop
Des
Gambar 16 Data pasokan BBM Solar di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ternate Tahun 2005
121
5.4 Code of Conduct for Responsible Fisheries Code of Conduct for Responsible Fisheries diperlukan sebagai upaya sadar dan berencana didalam mengelola sumberdaya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan. Sasaran pembangunan perikanan tangkap baik di tingkat nasional maupun internasional adalah untuk meningkatkan mutu hidup tanpa mempengaruhi atau mengganggu kualitas dari lingkungan hidup. Ketentuan perikanan yang bertanggung jawab, diharapkan dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk me laksanakan kegiatan perikanan yang berwawasan lingkungan. Untuk menjamin kemungkinan terbaik penyediaan ikan guna generasi mendatang, maka semua yang terlibat pada perikanan tangkap di perairan Maluku Utara hendaknya bekerja sama untuk melindungi dan mengelola sumberdaya ikan dan habitatnya. Tujuan sebenarnya yang akan dicapai dari analisis Code of Conduct for Responsible Fisheries adalah untuk membantu pemerintah mengembangkan atau memperbaiki kebijakan perikanan tangkap. Sebagaimana diketahui, bahwa pengembangan dari kebijakan perikanan tangkap yang baik hendaknya mempunyai kebijakan penangkapan ikan yang jelas dan teratur. Kebijakan perikanan tangkap dikembangkan dengan cara bekerjasama semua kelompok yang mempunyai kepentingan. Dalam upaya memberikan arahan kebijakan pengembangan perikanan tangkap sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) di Ternate, Provinsi Maluku Utara, dilakukan analisis CCRF dengan pemberian bobot (nilai) terhadap setiap unsur dari pedoman CCRF, berdasarkan setiap jenis alat tangkap yang beroperasi di wilayah perairan Ternate Maluku Utara. Bobot (nilai) yang diberikan berkisar antara 1 - 4. Keberadaan alat tangkap seperti pole and line, purse seine, bottom handline, dan gillnet, dan dihubungkan keterkaitannya dalam bentuk matriks dengan berbagai kriteria seperti: (1) Selektivitas alat tangkap; (2) Discard; (3) Ketersediaan sumberdaya ikan yang optimal; (4) Alat tangkap tidak merugikan kelestarian sumberdaya dan binatang lain; (5) Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang efisien; (6) Tidak terjadi ghost fishing; (7) Berprinsip kehati- hatian dalam pemanfaatan sumberdaya; (8) Kegiatan
penangkapan
tidak
merusak
lingkungan
(tidak
polusi).
122
Tabel 34 Hasil skoring alat tangkap yang memenuhi Code of Conduct Responsible Fisheries
No
Alat Tangkap
Kriteria CCRF Selektivitas Alat
Discard
SDI optimal
Tidak merugikan Kelestarian sumber daya & binatang lain
BBM yang efisien
Tidak terjadi perikanan yg tdk bertuan (Ghost Fishing)
Berprinsip kehati hatian
Tidak polusi
Skor
Rangking
1
Pole and Line
4
4
4
4
2
4
4
2
28
1
2
Purse Seine
1
1
1
1
1
2
1
1
9
4
3
Bottom Handline
3
3
3
3
3
3
3
3
24
2
4
Gillnet
2
2
2
2
4
1
2
4
19
3
Berdasarkan hasil pembobotan (nilai) terhadap tiap unsur dari pedoman Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), dengan setiap jenis alat tangkap yang beroperasi di wilayah perairan Maluku Utara, seperti terlihat pada Tabel 35 tersebut di atas, skor tertinggi untuk alat tangkap yang sesuai dengan kriteria pedoman Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) adalah pole and line kemudian disusul oleh bottom handline. Pole and line memiliki kriteria sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dikarenakan: (1)
Pole and line merupakan alat tangkap yang dilengkapi dengan mata pancing tanpa kait no. 5, sehingga hanya ikan- ikan sasaran tangkap saja yang tertangkap. Dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, maka alat tangkap pole and line memiliki prinsip selektivitas yang tinggi (nilai:4);
(2)
Tidak ada hasil tangkapan yang dibuang percuma (discard) oleh alat tangkap pole and line (nilai: 4);
(3)
Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan yang tertangkap sangat optimal (nilai: 4);
(4)
Selektivitas yang tinggi dari alat tangkap pole and line akan menjaga kelestarian sumberdaya dan binatang laut lainnya (nilai: 4);
(5)
Kegiatan penangkapan ikan dengan pole and line bersifat movable mengejar gerombolan ikan yang beruaya, sehingga dalam penggunaan bahan bakar sangat tidak efisien (nilai: 2);
(6)
Pada penangkapan ikan dengan pole and line, tidak akan terjadi kegiatan penangkapan ikan yang tidak bertuan (ghost fishing). Hal ini dikarenakan alat tangkap pole and line dioperasikan secara aktif oleh setiap pemancing (nilai: 4);
(7)
Pada pemanfaatan sumberdaya ikan dengan pole and line, berprinsip hatihati. Ikan- ikan sasaran tangkap merupakan ikan pelagis besar yang memiliki sifat ruaya (nilai 4);
(8)
Kegiatan penangkapan dengan pole and line menggunakan umpan hidup. Umpan hidup yang mengalami kematian pada saat berada di bak penampungan umpan hidup akan dibuang begitu saja ke laut, sehingga menimbulkan pencemaran (nilai: 2).
124
Bottom handline sebagai urutan prioritas ke dua setelah pole and line dikarenakan: (1)
Bottom handline merupakan alat tangkap yang dilengkapi dengan mata pancing berkait no. 5, sehingga hanya ikan- ikan sasaran tangkap yang mampu memangsa mata pancing dengan ukuran nomor 5 saja yang tertangkap. Dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, maka alat tangkap bottom handline memiliki prinsip selektivitas cukup tinggi (nilai:3);
(2)
Tidak ada hasil tangkapan yang dibuang percuma (discard) oleh alat tangkap bottom handline (nilai: 3);
(3)
Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan yang tertangkap cukup optimal (nilai: 3);
(4)
Selektivitas yang cukup tinggi dari alat tangkap bottom handline akan menjaga kelestarian sumberdaya dan binatang laut lainnya (nilai: 3);
(5)
Kegiatan penangkapan ikan dengan bottom handline bersifat movable mencari gerombolan ikan yang beruaya, sehingga dalam efisiensi bahan bakar sangat kurang efisien (nilai: 3);
(6)
Pada penangkapan ikan dengan bottom handline, tidak akan terjadi kegiatan penangkapan ikan yang tidak bertuan (ghost fishing). Hal ini dikarenakan alat tangkap bottom handline dioperasikan secara aktif oleh setiap pemancing (nilai: 3);
(7)
Pada pemanfaatan sumberdaya ikan dengan bottom handline, berprinsip hati-hati. Ikan-ikan sasaran tangkap merupakan ikan pelagis kecil yang memiliki sifat ruaya (nilai 3);
(8)
Kegitan penangkapan dengan bottom handline menggunakan umpan. Umpan yang sudah dipergunakan dibuang ke laut begitu saja, sehingga menimbulkan pencemaran (nilai: 3). Dari kriteria yang telah dikemukakan sesuai dengan pedoman Code of
Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), maka alat tangkap pole and line memiliki skor sejumlah 28. Alat tangkap pole and line menduduki rangking ke 1 dengan skor 28, disusul masing- masing dengan bottom handline, gillnet, dan purse seine masing- masing dengan skor: 24.19 dan 9
125
Bertitik-tolak pada matriks skoring keterkaitan antara tiap unsur dari pedoman Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), dengan setiap jenis alat tangkap yang beroperasi di wilayah perairan Maluku Utara, maka dapat ditentukan kebijakan pengembangan perikanan tangkap
khususnya untuk ikan
pelagis di Ternate Provinsi Maluku Utara, sebagai berikut : 1) Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan alat tangkap pole and line Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan alat tangkap pole and line dapat mengupayakan kelestarian sumberdaya. Upaya ini dilakukan untuk memenuhi ketentuan yang telah diatur dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau Ketentuan Perikanan yang Bertanggungjawab, sehingga diharapkan dapat dipergunakan
sebagai
pedoman
untuk
pengembangan
bertanggungjawab di Ternate, Maluku Utara.
perikanan
secara
Permintaan pasar baik lokal
maupun regional, yang didukung dengan produksi sumberdaya ikan pelagis di Maluku Utara yang tinggi dibarengi dengan adanya dukungan nelayan skala kecil yang tersedia cukup banyak serta tersedianya alat tangkap pole and line dan umpan hidup. 2) Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan alat tangkap bottom handline Seperti halnya perikanan tangkap dengan alat tangkap pole and line maka pengembangan perikanan tangkap dengan alat tangkap bottom handline, menempati urutan ke dua. Alat tangkap bottom handline menggunakan mata pancing berkait nomor 5, sehingga memiliki nilai selektivitas yang tinggi. Perikanan tangkap dengan alat tangkap bottom handline dapat memenuhi kriteria Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau Ketentuan Perikanan yang Bertanggungjawab, sehingga diharapkan perikanan tangkap dengan alat tangkap bottom handline dapat dikembangkan di perairan wilayah Maluku Utara, khususnya di Ternate.
126
5.5 Keragaan Desain Kapal Perikanan 5.5.1 Hasil Survei Kapal Perikanan Pelaksanaan pekerjaan basic design kapal perikanan ini didahului dengan mengadakan survei di lapangan terhadap kapal-kapal perikanan yang sudah dibangun dan sudah dioperasikan. Survei dilakukan di Ternate dengan beberapa daerah yaitu Dufa-dufa, Sangaji dan Jailolo. Pada saat survei, telah diamati 3 (tiga) jenis kapal penangkap ikan yaitu : kelas 3 GT, 10 GT dan 15 GT dengan masing- masing alat tangkap pole and line, rawai, gillnet, purse seine dan handline. Setelah dilakukan kajian lebih lanjut melalui kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan metode AHP, yang terpilih adalah Kapal 10 GT dengan alat tangkap pole and line.
Dalam kajian basic design hanya difokuskan pada
alternatif yang terpilih yaitu kapal ikan 10 GT dengan alat tangkap pole and line, dan diharapkan sebagai kajian desain kapal multipurpose dimana kapal yang ada di Ternate mayoritas kapal skala kecil. Data lapangan dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui karakteristik kapalkapal yang diamati. Disamping itu, desain kapal-kapal tersebut dikaji untuk mengetahui apakah kapal telah didesain dengan baik dan memenuhi ketentuan yang berlaku. Proses selanjutnya adalah membuat basic design kapal perikanan. Pembuatan desain ini mengacu pada pengamatan lapangan, terutama pada karakteristik budaya daerah. Apabila kapal-kapal perikanan yang diamati, setelah dikaji ternyata memenuhi kriteria desain yang baik, maka kapal tersebut akan digambar ulang. Namun jika kapal tersebut masih belum memenuhi kriteria desain yang baik, maka dibuat desain yang baru. Tahap ini ditujukan terutama untuk menganalisis data dari lapangan yang meliputi kondisi fisik kapal penangkap ikan, dan faktor keamanan serta keselamatannya, operasi penangkapan dan alat tangkap serta alat bantu penangkapan, spesifikasi teknis standar untuk masing- masing kapal yang dikaji serta analisis finansialnya. Dari analisis ini diupayakan untuk menghasilkan rumusan yang dijadikan sebagai hasil akhir dari studi dalam bentuk rekomendasi.
127
(1) Kapal Perikanan Kelas 10 GT Kapal kelas 10 GT yang disurvei pada studi ini adalah kapal perikanan yang menggunakan alat tangkap pole and line. Survei dilaksanakan di lapangan dengan cara pengukuran kapal, pengamatan langsung terhadap aspek fisik serta wawancara dengan para nelayan yang mengoperasikan kapal serta pihak galangan dan perajin kapal yang membangun kapal.
i) Ukuran Pokok Kapal Dari hasil pengukuran fisik kapal diperoleh data ukuran pokok kapal yang disajikan pada Tabel 35. Tabel 35 Ukuran Pokok Kapal Kelas 10 GT yang disurvei NO
UKURAN POKOK
SATUAN (m)
1.
Panjang Seluruh Kapal (LOA)
14.15
2.
Panjang Deck Kapal (LDL)
13.50
3.
Panjang Garis Air (LWL)
11.81
4.
Lebar Maksimum (Bmax)
3.43
5.
Lebar Dek (BDK)
3.43
6.
Lebar Garis Air (BWL)
3.26
7.
Tinggi Dek (DDK)
1.45
8.
Freeboard (Fb)
0.37
9.
Sarat (T)
1.08
ii) Gross Tonnage Pada saat survei di lapangan, kelas Gross Tonnage kapal dihitung dan menggunakan beberapa asumsi. Gross Tonnage kapal yang sesungguhnya masih belum dapat dihitung dengan cermat, apabila koefisien balok (CB) kapal masih belum diketahui. Koefisien balok kapal yang sesungguhnya bisa dihitung setelah data pengukuran di lapangan dianalisis. Dari hasil analisis koefisien balok diperoleh dan digunakan untuk menghitung Gross Tonnage kapal.
128
Berdasarkan KEPMEN No.10 tahun 2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan, pasal 16 ayat (3) huruf (a) dan berdasarkan rumus International Formula for Tonnage Measurement of Ships 1969, ditetapkan bahwa perhitungan GT untuk kapal : (1)
Panjang diatas 24 m dihitung berdasarkan rumus pendekatan GT = V. k, dimana (V) adalah volume kapal dan (k) adalah konstanta yang didapat dari tabel konstanta untuk m3 volume kapal.
(2)
Panjang dibawah 24 m dihitung dengan rumus : (L x B x D x Cb) : 2,83. Dimana : Cb = Koefisien block, untuk : Pukat Ikan
= 0.8
Purse Seine = 0.6 s/d 0.8 Long Line
= 0.6
Lainnya
= 0.5 - 0.6.
129
iii) Rencana Garis Berdasarkan hasil pengukuran fisik kapal di lapangan, rencana garis kapal kelas 10 GT yang disurvei digambar dan disajikan dibawah ini.
Gambar 17 Rencana Garis (Lines Plan) Kapal Multipurpose10 GT
130
iv) Nilai Parameter Hidrostatik Karakteristik kapal dapat dibaca pada Tabel 36 yang dihitung berdasarkan rencana garis. Hasil perhitungan ini berdasarkan sarat air 1.08 meter dan 1.45 meter.
Tabel 36 Nilai Parameter Hidrostatik Kapal 10 GT pada Sarat Air 1.08 meter NO I.
URAIAN
UKURAN
SATUAN
KET.
DIMENSION 1.
Panjang Seluruh Kapal (LOA )
14.15
m
2.
Panjang Deck Kapal (LDL )
13.50
m
3.
Panjang Garis Air (LWL )
11.81
m
4.
Lebar Maksimum (Bmax)
3.43
m
5.
Lebar Garis Air (BWL )
3.26
m
6.
Tinggi Deck (DDK )
1.45
m
7.
Sarat (T)
1.08
m
8.
Volume
16.14
m3
9.
Displacement
16.54
ton
II.
COEFFICIENTS
1.
Prismatic
0.595
2.
Block
0.390
3.
Midship
0.655
4.
Waterplane
0.733
III.
RATIOS
1.
L/B
3.63
2.
B/T
3.02
IV.
CENTROIDS
1.
LCB
8.38
m
53.2% Aft
2.
LCF
8.74
m
56.2% Aft
3.
VCB
0.71
m
V.
AREAS 1.
Waterplane
28.19
m2
2.
Wetted Surface Area
36.65
m2
131
Tabel 37 Nilai Parameter Hidrostatik Kapal 10 GT pada Sarat Air 1.45 meter NO I.
URAIAN
UKURAN
SATUAN
KET.
DIMENSION 1.
Panjang Seluruh Kapal (LOA )
14.15
m
2.
Panjang Deck Kapal (LDL )
13.50
m
3.
Panjang Garis Air (LWL )
12.88
m
4.
Lebar Maksimum (Bmax)
3.43
m
5.
Lebar Garis Air (BWL )
3.39
m
6.
Tinggi Deck (DDK )
1.45
m
7.
Sarat (T)
1.45
m
8.
Volume
27.86
m3
9.
Displacement
28.56
ton
II.
COEFFICIENTS
1.
Prismatic
0.611
2.
Block
0.442
3.
Midship
0.721
4.
Waterplane
0.762
III.
RATIOS
1.
L/B
3.80
2.
B/T
2.33
IV.
CENTROIDS
1.
LCB
8.58
m
53.5% Aft
2.
LCF
8.58
m
56.6% Aft
3.
VCB
0.94
m
V.
AREAS 1.
Waterplane
33.25
m2
2.
Wetted Surface Area
48.05
m2
132
v) Parameter Bentuk Pada Tabel 38 disajikan parameter bentuk kapal 10 GT dengan alat tangkap pole and line. Tabel 38 Parameter bentuk kapal 10 GT yang disurvei NO
PARAMETER
NILAI IDEAL
NILAI SURVEI
1. 2. 3. 4. 5. 6.
L / B (rasio pjg lbr) B/T (rasio lebar sarat) CM (coefisien midship) CP ( Coefisien prismatik) LCB % (posisi ttk apung) ½ a (sudut basah)
3.10 ~ 4.20 2.00 ~ 3.20 0.50 ~ 0.80 0.55 ~ 0.65 - 6.00 ~ 1.00 15.00 ~ 34.00
3.630 3.020 0.655 0.595 - 1.800 22.00
vi) Scantling Untuk menganalisis konstruksi kapal dilakukan pencatatan terhadap bagianbagian konstruksi kapal. Pada tabel dibawah ini disajikan scantling kapal 10 GT dan dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku. Tabel 39 Scantling Kapal 10 GT yang Disurvei serta Ketentuan Sesuai BKI NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Lunas Linggi Haluan Linggi Buritan Gading Lengkung Gading Utama Wrang
bxd bxd bxd txd txd txd
UKURAN SURVEI 100 x 120 100 x 100 100 x 100 95 x 100 120 x 150 -
Galar Balok Galar Balok Kim Kulit Luar Balok Geladak Geladak Pagar (Railing) Sekat-Sekat Kedap Air Palkah Ikan Pondasi Mesin Jarak Gading-Gading
txd txd t bxt t dxt t t dxt a0
150 x 45 200 x 50 40 110 x 65 40 200 x 35 40 40 200 x 250 400
BAGIAN KONSTRUKSI
UKURAN BKI 185 x 275 155 x 230 155 x 245 65 x 75 65 x 100 60 x 180 210 x 60 210 x 55 40 85 x 85 42 500 x 30 40 45 170 x 210 330
Keterangan Kurang Sesuai Kurang Sesuai Kurang Sesuai Sesuai Sesuai
Kurang Sesuai Kurang Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Kurang Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai
Keterangan : b = lebar balok, d = tinggi balok, t = tebal balok a0 = jarak gading-gading
133
vii) Perhitungan Gross Tonnage Kapal Perhitungan Gross Tonnage Kapal untuk kapal dibawah 24 m dihitung dengan rumus : (L x B x D x Cb) : 2,83. Dimana Cb = Koefisien block dari kapal. Untuk Cb Pukat Ikan = 0.8, Purse Seine = 0.6 s/d 0.8, Long Line = 0.6, untuk yang lain 0.5 s/d 0.6 ( KEPMEN No. 10 Tahun 2003). GT
= (11,81 X 3,43 X 1,45 X 0,55) : 2,83 = 11,415
Tabel 40 Hasil Survei Ukuran Kapal 10 GT NO
URAIAN
UKURAN
SATUAN
1. Panjang Seluruh Kapal (LOA)
14.15
m
2. Panjang Deck Kapal (LDL)
13.50
m
3. Panjang Garis Air (LWL)
11.81
m
4. Lebar Maksimum (Bmax)
3.43
m
5. Lebar Garis Air (BWL)
3.26
m
6. Tinggi Deck (DDK)
1.45
m
134
vii) Rancangan Umum Kapal Pole and line 10 GT dan Purse Seine 10 GT
Gambar 18 Desain Kapal Pole and line 10 GT
135
Gambar 19 Desain kapal purse seine 10 GT
136
5.5.2 Aspek Ekonomi Operasional Kapal Aspek ekonomi pengoperasian kapal akan mengkaji mengenai keterkaitan pengoperasian kapal penangkapan ikan terhadap perekonomian, khususnya kelayakan usaha penangkapan secara finansial. Pengoperasian atau usaha penangkapan ikan akan selalu dipengaruhi dan sekaligus mempengaruhi perekonomian, baik secara regional maupun nasional bahkan juga internasional. Oleh karena itu, kajian ekonomi khususnya dari sisi finansial pengoperasian kapal penangkapan ikan perlu dilakukan untuk melihat kelayakan usaha tersebut. Ukuran kelayakan suatu usaha biasanya berdasarkan pada dua kriteria yaitu nilai keuntungan bersih saat ini yang biasanya dikenal dengan istilah Net Present Value (NPV) dan prosentase penerimaan internal yang dikenal dengan istilah Internal Rate of Return (IRR). Kedua kriteria dasar ini berangkat dari asumsi bahwa nilai uang saat ini adalah lebih besar bila dibandingkan dengan nilai uang pada masa yang akan datang. Untuk dapat menghitung nilai NPV atau IRR akan dilakukan beberapa perhitungan awal yang meliputi biaya investasi, biaya operasi dan hasil operasi. Dalam penelitian ini, kriteria yang digunakan adalah IRR. Selanjutnya, kelayakan usaha ini akan dikaji dengan mengaitkannya pada pagu kredit bank dan juga pola penangkapan ikan yang dewasa ini dikembangkan dalam usaha penangkapan ikan. Usaha penangkapan ikan dengan pola tersebut akan dikaitkan dengan pembentukan koperasi perikanan/KUD Mina. Diharapkan dari kajian ekonomi khususnya dari sudut pandang finansial ini akan diperoleh alternatif pengusahaan yang produktif, layak dan dapat dilaksanakan oleh kelompok nelayan yang tergabung dalam koperasi perikanan.
137
1) Biaya Investasi Kasko Kapal Biaya Investasi meliputi biaya pengadaan kapal dan alat tangkapnya dengan rincian seperti Tabel 41 dibawah ini. Tabel 41 Biaya Investasi Kapal Ukuran 10 GT dengan Pole and Line No
Jenis Biaya
Harga (Rp.)
Umur Ekonomis Penyusutan (Tahun) (%) 10 10
Nilai Penyusutan (Rp.) 3.747.180
1. Kasko Lengkap
37.471.800
2. Permesinan
46.344.900
10
10
4.634.490
3. Perlengkapan Kapal
9.881.300
10
10
988.130
4. Alat Tangkap
3.000.000
3
33.33
1.000.000
Jumlah :
96.698.000
10.369.800
2) Biaya/Modal Kerja Biaya atau Modal Kerja yang dibutuhkan adalah modal kerja untuk operasi penangkapan selama satu tahun, yang rinciannya disajikan pada Tabel 42 dibawah ini. Tabel 42 Biaya Modal Kerja Kapal Ukuran 10 GT dengan Pole and Line NO
Jenis Biaya
Per Trip/Hari (Rp.)
Per Tahun (Rp.)
1. Umpan
1.800.000
18.000.000
2. Bahan Bakar
2.200.000
22.000.000
3. Oli
180.000
1.800.000
4. Ransum
300.000
3.000.000
5. Air Tawar
8.000
80.000
6. Es Balok
600.000
6.000.000
7. Upah ABK (*)
-
-
8. Perawatan Kapal
-
1.350.000
9. Perawatan Alat Tangkap
-
300.000
-
200.000
-
52.730.000
10. Lain- lain Jumlah :
(*) : Upah ABK dibayarkan berdasarkan prosentase dari hasil penjualan setelah dikurangi biaya operasional.
138
3) Hasil Pengamatan Survei Kapal Perikanan 10 GT : i)
Rasio L / B = 3.630. Rasio L / B kapal kelas 10 GT ini masuk nilai ideal yang ditetapkan. Oleh karena itu, nilai L / B kapal ini sudah sesuai peraturan BKI.
ii)
Rasio B / T = 3.02. Rasio B / T dari kapal kelas 3 GT ini masuk nilai ideal yang ditetapkan. Oleh karena itu, nilai L / B kapal ini sudah sesuai peraturan BKI.
iii)
Koefisien bidang lintang tengah (C M) = 0.655. Koefisien bidang lintang tengah kapal masuk nilai ideal yang ditetapkan.
iv)
Letak titik tekan (LCB ) berada 0,532%. LCB di depan midship adalah memenuhi kriteria yang ditetapkan.
v)
Half Angle of Entrance Of Load Water Line (½ a ) = 13° adalah dibawah nilai ideal yang telah ditetapkan.
vi)
Dari hasil perhitungan Gross Tonnage kapal adalah 11,415 yang ternyata lebih besar dari perkiraan kasar dimana kapal dianggap masuk kelas 10 GT.
vii) Jarak gading- gading kapal survei 500 mm, jauh lebih besar dari yang ditetapkan oleh BKI yaitu 280 mm. Kapal yang disurvei pada umumnya tidak memasang wrang, sedangkan peraturan BKI harus dipasang wrang. viii) Semua parameter bentuk, scantling maupun kapasitas kapal akan di design baru untuk menjadi basic design yang tetap dan akan diusahakan mempertahankan bentuk yang spesifik maupun nilai budaya dari daerah Ternate.
139
5.6 Linear Goal Programming Linear Goal Programming dalam penelitian ini bertujuan untuk mengalokasikan jumlah armada dari teknologi penangkapan yang terpilih.
Dari analisis yang
dilakukan sebelumnya, teknologi penangkapan yang terpilih adalah : pole and line dengan ukuran armada 10 - 30 GT, purse seine dengan ukuran armada 10 - 30 GT, dan bottom handline dengan ukuran armada < 10 GT. Untuk pengolahan data, pole and line dengan ukuran armada dengan ukuran armada
10 - 30 GT disimbolkan dengan X1, purse seine
10 - 30 GT disimbolkan dengan X2, dan bottom handline
dengan ukuran armada < 10 GT disimbolkan dengan X3. Tujuan yang ingin dicapai dalam analisis ini antara lain adalah : 1. Mengoptimumkan pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan di Kota Ternate. Sumberdaya ikan dominan dan unggulan di Kota Ternate yang dioptimumkan adalah : cakalang, tuna (madidihang), layang, tongkol, dan ikan demersal. a. Cakalang Cakalang
di
tempat
penelitian
secara
dominan
ditangkap
dengan
menggunakan satu buah alat tangkap yaitu pole and line, dalam hal ini secara khusus pole and line dengan ukuran armada 10 - 30 GT. Berdasarkan hasil estimasi perhitungan potensi lestari, nilai MSY untuk cakalang di perairan Maluku Utara sebesar 21284,36 ton, sedangkan estimasi MSY untuk perairan Ternate adalah sebesar 60 % MSY Maluku Utara yaitu sebesar 12770,62 ton. Nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah tangkap yang dibolehkan (JTB) yaitu 80 % dari MSY cakalang di Ternate atau sebesar 10216,49 ton. Persamaan kendala tujuan dari permasalahan diatas adalah : DB1 - DA1 + 427,64X1 = 10216,49 b. Tuna (madidihang) Tuna (madidihang) di tempat penelitian secara dominan tertangkap dengan menggunakan alat tangkap pole and line khususnya dengan armada ukuran 10 – 30 GT. Berdasarkan hasil estimasi perhitungan potensi lestari, nilai MSY untuk Tuna di perairan Maluku Utara sebesar 7430,33 ton, sedangkan estimasi MSY untuk perairan Ternate adalah sebesar 60 % MSY Maluku Utara yaitu sebesar 4458,20 ton. Nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini,
140
adalah nilai jumlah tangkap yang dibolehkan (JTB) yaitu 80 % dari MSY tuna di Ternate atau sebesar 3566,56 ton. Persamaan kendala tujuan dari permasalahan diatas adalah : DB2 – DA2 + 96,79X1 = 3566,56 c. Layang Layang di Kota Ternate tertangkap dengan menggunakan purse seine, dalam hal ini dipilih dengan menggunakan armada ukuran 10 – 30 GT. Berdasarkan hasil estimasi perhitungan potensi lestari, nilai MSY untuk layang di perairan Maluku Utara sebesar 13041,79 ton, sedangkan estimasi MSY untuk perairan Ternate adalah sebesar 60 % MSY Maluku Utara yaitu sebesar 7825,07 ton. Nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah tangkap yang dibolehkan (JTB) yaitu 80 % dari MSY cakalang di Ternate atau sebesar 6260,06 ton. Persamaan kendala tujuannya adalah sebagai berikut : DB3 – DA3 + 1449,07X2 = 6260,06 d. Tongkol Tongkol di Kota Ternate tertangkap dengan menggunakan alat tangkap purse seine, khususnya dengan armada ukuran 10 – 30 GT.
Berdasarkan hasil
estimasi perhitungan potensi lestari, nilai MSY untuk tongkol di perairan Maluku Utara sebesar 12371,55 ton, sedangkan estimasi MSY untuk perairan Ternate adalah sebesar 60 % MSY Maluku Utara yaitu sebesar 7422,93 ton. Nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah tangkap yang dibolehkan (JTB) yaitu 80 % dari MSY cakalang di Ternate atau sebesar 5938,34 ton. Persamaan kendala tujuan yang diperlukan adalah : DB4 – DA4 + 1045,78X2 = 5938,34 e. Demersal Ikan demersal di Kota Ternate tertangkap dengan menggunakan bottom handline, khususnya dengan armada < 10 GT. Berdasarkan hasil estimasi perhitungan potensi lestari, nilai MSY untuk ikan demersal di perairan Maluku Utara sebesar 101872,08 ton, sedangkan estimasi MSY untuk perairan Ternate adalah sebesar 60 % MSY Maluku Utara yaitu sebesar 61123,25 ton. Nilai potensi yang digunakan untuk pengalokasian ini, adalah nilai jumlah tangkap
141
yang dibolehkan (JTB) yaitu 80 % dari MSY ikan demersal di Ternate atau sebesar 48898,60 ton. Persamaan kendala tujuan yang diperlukan adalah : DB5 – DA5 + 140,76X3 = 48898,60
2. Memaksimumkan penyerapan tenaga kerja di Ternate. Untuk mengalokasikan tenaga kerja (nelayan) di Ternate, maka diperlukan data jumlah nelayan. Jumlah nelaya n di Kota Ternate adalah sebanyak 5174 orang. Dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan diketahui bahwa alat tangkap pole and line dengan ukuran armada 10 – 30 GT rata-rata membutuhkan 24 tenaga kerja/unit, alat tangkap purse seine dengan ukuran armada 10 - 30 GT ratarata memerlukan 20 tenaga kerja/unit, dan alat tangkap bottom handline dengan ukuran armada < 10 GT rata-rata membutuhkan 4 tenaga kerja/unit.
Dengan
demikian, persamaan kendala tujuan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut : DB6 + 24X1 + 20X2 + 4X3 = 5174
3. Meminimumkan penggunaan BBM di Kota Ternate. Untuk mengetahui pengalokasian BBM di Kota Ternate maka perlu diketahui ketersediaan BBM disana, serta penggunaan BBM pada masing- masing alat tangkap. BBM dalam hal ini dibagi dalam dua kategori, yakni solar dan minyak tanah.
a. Solar Berdasarkan data dari Kantor Cabang Pertamina Ternate, ketersediaan solar di Kota Ternate adalah sebesar 134000 kiloliter. Persamaan kendala tujuan dari permasalahan ini adalah sebagai berikut : 64,20X1 + 13,52X2 + 10,80X3 - DA7 = 134.000
b. Minyak tanah Berdasarkan data dari Kantor Cabang Pertamina Ternate, ketersediaan minyak tanah di Kota Ternate adalah sebesar 612.000 kiloliter. Persamaan kendala tujuan dari permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 3,71X1 + 31,55X2 + 5,40X3 - DA8 = 612.000
142
4. Memaksimumkan nilai produksi usaha penangkapan ikan di Kota Ternate. Berdasarkan data yang tersedia maka digunakan data nilai produksi yang telah diperoleh dari masing- masing teknologi penangkapan terpilih selama ini untuk menggambarkan hasil usaha yang dicapai. Berdasarkan data statistik perikanan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, nilai produksi penangkapan pada tahun 2004 adalah sebesar Rp 42.203.700.000. Persamaan kendala tujuan dari permasalahan ini adalah : DB9+2.855.300.000X1+1.871.400.088X2+146.700.000X3 = 42.203.700.000
Hasil yang diperoleh dari pengolahan persamaan-persamaan diatas disajikan dalam Gambar 20.
Gambar 20 Hasil Analisis Data Linear Goal Programming Dari Gambar 20 diatas diketahui bahwa hampir semua tujuan yang diinginkan tercapai. Hal ini ditunjukkan dari nilai variabel deviasional (DA atau DB) yang sama dengan nol. Kecuali untuk pemanfaatan sumberdaya ikan tuna yang masih berada di bawah nilai JTB nya sebesar 1254.21 ton, demikian juga dengan pemanfaatan sumberdaya ikan tongkol yang masih berada di bawah nilai JTB nya sebesar 1420.51 ton. Untuk tujuan memaksimumkan penyerapan tenaga kerja juga masih berada di bawah target pencapaian sebesar 3125 orang. 143
Pemanfaatan sumberdaya ikan tuna dan tongkol yang masih berada di bawah JTB menunjukkan masih kurangnya armada penangkapan di daerah penelitian khususnya pole and line dan purse seine dengan ukuran 10 - 30 GT.
Dengan
penambahan armada pole and line dan purse seine dengan ukuran 10 - 30 GT, sekaligus akan menyerap tenaga kerja, sehingga target pencapaian tena ga kerja dapat terpenuhi. Adapun pengalokasian dari ke-tiga teknologi penangkapan yang terpilih adalah : pole and line dengan ukuran armada 10 – 30 GT sebanyak 24 unit, purse seine dengan ukuran armada 10 – 30 GT sebanyak 4 unit, dan handline dengan ukuran armada < 10 GT sebanyak 347 unit. Berdasarkan kondisi yang ada saat ini, maka alokasi optimum armada pole and line dengan ukuran 10 – 30 GT sebanyak 24 unit dan alokasi optimum armada purse seine ukuran 10 - 30G T sebanyak 4 unit dapat diterima, hal ini disebabkan karena armada penangkapan ikan dengan ukuran 10 - 30 GT yang ada baru sekitar 19 unit. Untuk alokasi armada bottom handline sebanyak 347 unit dapat diterima pula, hal ini terkait dengan efisiensi penggunaan BBM. Sesuai hasil analisis Code of Conduct for Responsible Fisheries yang telah dilakukan dalam penelitian ini terlihat bahwa hasil analisis Linear Goal Programing menunjukkan bahwa terbukti kebijakan pengembangan armada yang diinginkan sesuai dengan Ketentuan Perikanan yang Bertanggung Jawab dengan armada ya ng diprioritaskan yaitu pole and line dan bottom handline masing- masing dengan alokasi sebanyak 24 unit dan 348 unit. Martosubroto (2005) menyatakan bahwa dalam pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab adalah pengelolaan yang dapat menjamin keberlanjutan perikanan dengan suatu upaya agar terjadi keseimbangan antara tingkat eksploitasi dengan sumberdaya yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa yang berkepentingan disini bukanlah hanya pemerintah tetapi juga pengguna penangkapan (stakeholders), karena kegagalan pengelolaan pada suatu perikanan akan merugikan pengusaha itu sendiri. Oleh karena itu dalam penelitian ini armada kapal purse seine untuk sementara dilakukan pengendalian dengan alokasi sebanyak 4 unit. Pengendalian armada kapal purse seine sesuai dengan analisis CCRF pada sub bab 5.4 tulisan ini dimana kapal purse seine tidak ramah lingkungan yang hanya mempunyai skor 9 atau paling rendah dibandingkan dengan kapal pole and line dan kapal bottom hand line, disamping juga perairan laut Ternate - Maluku Utara pengelolaan sumberdaya perikanannya masih mengacu pada Ketentuan Perikanan yang Bertanggung Jawab dan masih sangat ramah 144
lingkungan.
Pengendalian sementara armada kapal purse seine di Ternate
dimaksudkan juga untuk menghindari adanya konflik nelayan antar daerah seperti terjadinya pembakaran kapal purse seine Dharma Samudera milik nelayan Tegal Jawa Tengah pada hari Minggu 22 Januari 2006 oleh sejumlah orang tak dikenal di perairan Pulau Kerayaan, Kalimantan Selatan. Seperti dikutip dalam harian Kompas, 23 dan 24 Januari 2006 di halaman 24 bahwa peristiwa pembakaran kapal-kapal purse seine nelayan Tegal - Jawa Tengah ini telah berlangsung beberapa kali di Kalimantan. Setelah peristiwa pembakaran ini dilanjutkan pula dengan demonstrasi sekitar 1000 nelayan dari kerukunan nelayan Kota Baru, Kalimantan Selatan ke DPRD Kota Baru pada hari Senin tanggal 23 Januari 2006, yang pada intinya mereka menolak masuknya kapal penangkap ikan purse seiner ke perairan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Selain karena penghasilannya menurun sejak
kehadiran kapal purse seiner yang berdaya tangkap besar, mereka juga khawatir akan terus terjadi konflik antar nelayan. Mereka minta pemerintah bersikap tegas. Diharapkan konflik semacam ini tidak akan pernah terjadi di perairan Ternate khususnya dan Maluku Utara pada umumnya.
145
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dari 6 analisis yang digunakan dalam penelitian ini, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : (1)
Strategi yang menjadi prioritas adalah mengembangkan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan dengan pola operasi yang mengacu pada Ketentuan Perikanan yang Bertanggung jawab.
(2)
Kebijakan yang harus diambil untuk membangun sektor Kelautan dan Perikanan di Ternate, Maluku Utara diprioritaskan pada pembentukan pasar, pembangunan fasilitas pengolahan dan pembangunan prasarana pelabuhan.
(3)
Armada kapal perikanan yang terpilih untuk meningkatkan produktivitas usaha penangkapan ikan yaitu armada pole and line berukuran 10-30 GT dan berukuran 5-10 GT, diikuti dengan jenis armada purse seine berukuran 10-30 GT.
(4)
Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa armada pole and line, purse seine dengan ukuran 10 - 30 GT layak dan efisien untuk terus dikembangkan. Namun demikian akibat kenaikan harga BBM pada tanggal 1 Oktober 2005 armada bottom handline = 10 GT dapat menjadi prioritas pertama untuk dikembangkan, dikarenakan tingkat kelayakan usahanya lebih menjanjikan dan pengembalian investasinya bisa lebih cepat, kemudian diikuti dengan armada pole and line 10 – 30 GT dan selanjutnya armada purse seine 10 – 30 GT.
(5)
Hasil analisis CCRF dengan menggunakan kriteria seperti selektivitas alat, discard dan ghost fishing didapatkan bahwa armada pole and line merupakan yang ramah lingkungan diikuti dengan armada bottom handline, sedangkan armada purse seine tidak ramah lingkungan.
(6)
Pengembangan
usaha
perikanan
tangkap
dapat
dilakukan
melalui
pengalokasian jumlah optimum armada pole and line sesuai alokasi sebanyak 24 unit dan purse seine sebanyak 4 unit dengan ukuran 10 - 30 GT, sedangkan armada bottom handline = 10 GT jumlah optimum sesuai alokasi sebanyak 347 unit.
(7)
Semua parameter bentuk, scantling maupun kapasitas kapal akan di design baru untuk menjadi basic design yang tetap dan akan diusahakan mempertahankan bentuk yang spesifik dengan
nilai budaya dari daerah
Ternate. (8)
Mengacu pada 6 analisis yang telah dilakukan dalam penelitian serta berdasarkan prinsip-prinsip pada ketentuan perikanan yang bertanggung jawab (CCRF), maka kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan di Ternate, Propinsi Maluku Utara adalah : perlu dikembangkannya armada penangkapan ikan pole and line antara 10 – 30 GT, bottom handline = 10 GT dan pengendalian armada purse seine.
6.2 Saran Saran yang dapat diberikan setelah dilakukan penelitian ini antara lain adalah : (1)
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate Provinsi Maluku Utara, bersama Perbankan setempat dibantu oleh Departemen Kelautan dan Perikanan diharapkan mengembangkan armada kapal perikanannya di perairan Ternate Maluku Utara dengan jenis armada yaitu Pole and Line diatas 10 – 30 GT dan bottom handline = 10 GT yang pengoperasiannya sesuai kaidah ramah lingkungan atau ketentuan perikanan yang bertanggung jawab (CCRF).
(2)
Dinas Perikana n dan Kelautan Kota Ternate diharapkan melakukan pengendalian armada purse seine, karena selain tidak ramah lingkungan dimaksudkan juga untuk menghindari adanya konflik nelayan antar daerah, seperti yang terjadi akhir-akhir ini di beberapa daerah di tanah air.
147
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Kota Ternate. 2004. Monografi, Kota Ternate 2003. Ternate. Bappeda Provinsi Maluku Utara. 2005. Draft Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah
(RPJMD)
Tahun
2005-2007
Provinsi
Maluku
Utara.Ternate. Biro Klasifikasi Indonesia. 1996. Buku Peraturan Klasifikasi dan Konstruksi Kapal Laut- Peraturan Kapal Kayu. Jakarta. Charles, A. T. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Science Ltd. Oxford. 370 p. Dahuri, R. 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor Perikanan dan Kelautan.
Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan
Indonesia. Jakarta. 157 hal. Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah. Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor 233 hal Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2004. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Maluku Utara Tahun 2004. Ternate. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2005. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Maluku Utara tahun 2005. Ternate. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2004. Laporan Tahunan 2003. Ternate. Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate. 2004. Laporan Tahunan 2003. Ternate. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2004. Pencapaian Pembangunan Perikanan Tangkap Tahun 2001 – 2003. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2005. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Tahun 1999 - 2004. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2001. Kebijakan dan Program Pembangunan Perikanan Tangkap. Jakarta. Direktorat jenderal Perikanan Tangkap.
2002. Prosiding Forum Koordinasi
Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS), Jambi 2002. Jakarta.
Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran DKP Dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, 2003. Profil Peluang Investasi dan Usaha Sektor Perikanan dan Kelautan. Jakarta. Direktorat Produksi. Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Petunjuk Teknis Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan. Jakarta. Direktorat Sarana Perikanan Tangkap. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2005. Kajian Teknologi Penangkapan Tepat Guna. Draft Laporan Akhir. Jakarta. Direktorat Sumberdaya Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2005. Pedoman Umum Tata Laksana Perikanan Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries). 11 hal. Dunn, W.N. 1998. Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Djamhur, M. 2003. Kajian Tingkat Pendapatan Masyarakat Berbasis Optimalisasi Perikanan Pelagis Kecil di Propinsi Maluku Utara. Tesis. 85 hal. FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. 1996. Operasi Penangkapan Ikan
(Fishing Operation). Direktorat Jenderal Perikanan Departemen
Pertanian (Terjemahan 1999). Jakarta. Fauzi. A. 2005. Kebijakan Perikanan dan kelautan. Isu, Sintesis, dan Gagasan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 185 hal. Haluan, J., Nurani, T.W., Wisudo, S.H.,Wiyono, E.S., Mustaruddin. Manajemen Operasi. Teori dan Praktek pada Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, 2004. 231 hal. Hokkanen, 1997. Decision Making Under Uncertainty : Model and Choices, Englewood Cliffs. New Jersey, Prentice-Hall, Icp. 1997. Kadariah, Karlina, Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. LPEM. FEUI. 181 hal. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan. 1997. Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) di Perairan Indonesia Tahun 1997. Jakarta.
149
Martosubroto, P. 2005. Menuju Pengelolaan Perikanan Yang Bertanggungjawab. Makalah pada Forum Pengkajian Stock Ikan Laut 2005. Jakarta. Monintja, D. 2000. Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 156 hal. Monintja, D, Yusfiandayani. 2004. Menelusuri Masalah Perikanan Tangkap. Makalah Lokakarya Gerbang Mina Bahari. Jakarta. Mulyono, S. 2002. Riset Operasi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 347 hal Nomura, M, dan Yamazaki, T. 1977. Fishing Techniques. JICA. Tokyo. Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate, Ditjen Perikanan tangkap. 2005. Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate 2004. Ternate. Pujawan. 1995. Analisa Keputusan. Ganeca Exact Bandung. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001. Produksi Ikan Dari Hasil Penangkapan Di Laut. Jakarta. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen kelautan Perikanan, 2006. Prosiding Pengkajian Stok Ikan 2005. Jakarta. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen kelautan Perikanan, 2001.
Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia.
Jakarta. Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Saaty, T.L. 1991. Pengambil Keputusan. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Saaty, T.L. 1980. The Analytic HierarchY Process, Mc. Graw-Hill Book Co. Salusu, J. 1988. Pengambilan Keputusan Stratejik. Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit. Penerbit PT. Grasindo. Jakarta. Satria A, Dkk. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Diterbitkan atas kerjasama Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Partnership for Governace Reform in Indonesia, dengan PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta..
150
Sedana, G, Dkk. 2005. Riset Kelimpahan Sumberdaya Ikan Pelagis Besar, Kecil, dan Demersal di Laut Halmahera dan Laut Sulawesi. PRPT-BRKP-DKP Jakarta. 53 hal. Siswanto. 1993. Goal Programming dengan menggunakan LINDO. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. 203 hal. Soeharto, I.. 1995. Manajemen Proyek. Dari Konseptual Sampai Operasional. Erlangga Jakarta. Tim Litbang Kompas, 2003. Profil Daerah Kabupaten/Kota. PT. Kompas Media Nusantara. 682 hal. Vincke. 1981. Judgment in Managerial Decision Making, John Wiley & Sons, 1981. www.dkp.go.id. [25 April 2005].
151
LAMPIRAN