ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN TERPADU WILAYAH JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG, BEKASI, DAN CIANJUR (JABODETABEKJUR) SEBAGAI KAWASAN MEGAPOLITAN SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh : NURLITA AMANIYAH 6661111919
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA SERANG, SEPTEMBER 2015
ABSTRAK Nurlita Amaniyah. 6661111919. Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) sebagai Kawasan Megapolitan. Pembimbing I: Leo Agustino, Ph.D., dan Pembimbing II: Ipah Ema Jumiati, S.IP., M.Si.
Kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) merupakan kebijakan pembentukan sebuah kawasan megapolitan. Kebijakan ini dibuat disebabkan banyak permasalahan seperti banjir, kependudukan, transportasi, kemacetan, pemukiman dan lainnya yang tidak dapat diselesaikan oleh DKI Jakarta, melainkan harus diselesaikan bersama dengan Bodetabekjur. Pembentukan kawasan megapolitan bertujuan untuk memperkuat posisi DKI Jakarta sebagai Ibukota negara dan untuk pemerataan pembangunan di wilayah sekitar Jakarta. Kebijakan ini diusulkan oleh Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Penelitian dilakukan di Sekretariat Jenderal DPD RI dan di wilayah Jabodetabekjur, yang mana bertujuan untuk menganalisis pembentukan kawasan megapolitan Jabodetabekjur. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dalam analisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur peneliti menggunakan model analisis kebijakan publik menurut Dunn, meliputi merumuskan masalah, peramalan, rekomendasi kebijakan, pemantauan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan megapolitan Jabodetabekjur belum dapat dilaksanakan secara terpadu. Hal ini karena belum ada penguatan kelembagaan antarpemerintah di wilayah Jabodetabekjur untuk mendukung pembentukan kawasan megapolitan, kemudian belum adanya badan yang ditunjuk untuk mengkoordinasikan dan mengawasi kebijakan ini. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan saran yaitu kepada seluruh instansi terkait untuk berpartisipasi dan berkoordinasi dalam mewujudkan kawasan megapolitan Jabodetabekjur, serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut serta mendukung kebijakan ini.
ABSTRACT
Nurlita Amaniyah. 6661111919. Integrated Management Policy Analysis Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, and Cianjur (Jabodetabekjur) as Megapolitan region. Advisor I : Leo Agustino, Ph.D., and advisor II: Ipah Ema Jumiati, S.IP., M.Si.
Integrated management policy of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, and Cianjur (Jabodetabekjur) is the establishment policy of megapolitan region. This policy was made because many problems such as flood, population, transportation, traffic jam, housing, and others which can not be solved by DKI Jakarta only, but must be completed along with Bodetabekjur. The establishment of megapolitan region aims to support DKI Jakarta position as capital city of nation and to development equalization around Jakarta area. This policy was proposed by the Committee 1 of Regional Representatives Council of Indonesia (DPD RI). The research was conducted at General Secretariat of DPD and also in Jabodetabekjur area, that aims to analyze the establishment of Jabodetabekjur megapolitan region. The method used is descriptive with qualitative approach. To analyze integrated management policy of Jabodetabekjur, the researcher used public policy analysis model by Dunn, as follows formulating the problem, predicting, policy recomendation, policy monitoring, and policy evaluation. The results showed that the Jabodetabekjur megapolitan policy can not implement integrated. This situation because two factors. First, there is no institutional reinforcement inter-governmental in Jabodetabekjur to support the establishment of megapolitan region. Second, there is no agency selected to coordinating and monitoring this policy. Based on the results, the researchers suggest for all agencies to participate and coordinate in realizing Jabodetabekjur megapolitan region, as well as provide an opportunity for the public to participate and support the policy.
Keywords: Policy, Management, Integrated, Jabodetabekjur, Megapolitan.
Alhamdulillahi Robbil’alamin. . . .
“fa idzaa’azamta fatawakkal’ alallah..!” (“Jika kamu sudah berazzam/Bertekad bulat, maka Bertawakkallah pada Allah..!”) (QS.3:159)
“ketika aku bersujud dan kupanjatkan doa pada waktu siang dan malam kepada Allah untuk Kesejahteraan, Allah memberikanku bekal ilmu untuk menjalani hidup. Ketika ku memohon untuk hilangnya rasa takut dalam diri ini, Allah memberikanku cobaan untuk aku carikan solusi, ketika ku memohon cinta, Allah memberikanku tenaga untuk menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan. Dan ketika aku meminta keberhasilan, Allah memberikanku ribuan kali kegagalan untuk aku terus mencoba dan berusaha. Sungguh Allah yang maha mengetahui apa yang kita butuhkan, maka berdoa dan bertawakallah. Terimakasih ya Allah…”
Untuk mereka yang selalu menyayangiku, kupersembahkan karya kecilku ini teruntuk Ayah dan Mamah yang ku sayangi...
ii ii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya kepada peneliti untuk dapat menyelesaikan
penyusunan
skripsi
yang
berjudul
“Analisis
Pengelolaan Terpadu Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Kebijakan Bekasi, dan
Cianjur (JABODETABEKJUR) Sebagai Kawasan Megapolitan”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Ilmu Sosial pada konsentrasi kebijakan publik program studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Terima kasih atas dukungan dari berbagai pihak yang telah membantu secara moril maupun materil dalam melakukan penelitian untuk kelancaran penyusunan skripsi ini, secara khusus untuk doa yang tiada terputus dari kedua orang tua atas jerih payah yang tulus ikhlas dalam mendidik. Sehubungan dengan hal itu maka peneliti juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 2. Bapak Dr. Agus Sjafari, S.Sos., M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 3. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S,Sos., M.Si., Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
iv
4. Ibu Mia Dwiana, S.Sos., M.Ikom., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 5. Bapak Gandung Ismanto, S,Sos., M.M., Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 6. Ibu Rahmawati, S.Sos., M.Si., Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 7. Ibu Ipah Ema Jumiati, S.IP., M.Si., Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sekaligus sebagai Pembimbing II yang telah memberikan banyak arahan dan masukan dalam penelitian ini. 8. Ibu Riny Handayani, M.Si., Dosen Pembimbing Akademik Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 9. Bapak
Leo Agustino, Ph.D., selaku Pembimbing I yang selalu
mengarahkan, memberikan masukan
atau
kritikan yang membangun,
memberikan semangat, dan motivasi kepada peneliti. 10. Kepada rekan-rekan Sekjen DPD RI yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian, khususnya Komite 1 DPD RI. Terima kasih atas bantuannya, motivasinya dan pengalaman yang luar biasa sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.
v
11. Terima kasih kepada seluruh informan yang telah bersedia untuk diwawancara dan
telah memberikan informasi serta data-data
yang
dibutuhkan peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini. 12. Terima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan, teman-teman di kelas E dan D, kemudian teman-teman ANE reguler ataupun non reguler angkatan 2011 yang telah mengajarkan banyak hal, berbagi pengalaman suka cita, dan saling berbagi cerita semasa kuliah. 13. Terima kasih kepada kawan-kawan di HIMANE 2012 dan HIMANE 2013 yang telah memberikan pengalaman organisasi di dunia kampus serta memberikan canda tawa dalam hidup peneliti. 14. Terima Kasih kepada kawan-kawan KKM 12 Desa Luwuk Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Serang tahun 2014, yang pernah memberikan warna dalam hidup peneliti. 15. Terima kasih untuk sahabat-sahabatku, teman-teman bermain, teman les, teman diskusi, teman spesialku, adik tingkat, kakak tingkat dan semua yang selalu memberikan support, semangat, doa dan motivasi kepada peneliti. Thank you so much for all.
vi
Peneliti menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna sempurnanya skripsi ini. Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya untuk peneliti.
Serang, September 2015 Peneliti
Nurlita Amaniyah
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii MOTTO DAN PERSEMBAHAN....................................................................... iii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii DAFTAR TABEL................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1 1.1 Latar belakang ............................................................................................1 1.2 Identifikasi masalah .................................................................................26 1.3 Pembatasan masalah.................................................................................28 1.4 Rumusan Masalah ....................................................................................29 1.5 Tujuan Penelitian .....................................................................................30 1.6 Manfaat Penelitian ...................................................................................30 1.7 Sistematika Penulisan...............................................................................32 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN ASUMSI DASAR ...........................................................................................38 2.1 Tinjauan Pustaka .......................................................................................38 2.1.1 Definisi Kebijakan Publik .................................................................38 2.1.2 Tahap-tahap Kebijakan Publik ..........................................................42
viii
2.2 Pengertian Analisis.....................................................................................43 2.3 Model Teori Analisis Kebijakan ..............................................................47 2.4 Awal Pembentukan DPD RI ....................................................................62 2.4.1 Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPD RI ...........................................64 2.4.2 Alat Kelengkapan DPD RI ................................................................65 2.5 Alasan Dibentuknya Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur .............................................................................67 2.6 Penelitian Terdahulu .................................................................................70 2.7 Kerangka Berfikir......................................................................................72 2.8 Asumsi Dasar Penelitian ...........................................................................75 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................76 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ...........................................................76 3.2 Fokus Penelitian ........................................................................................77 3.3 Lokasi Penelitian .......................................................................................78 3.4 Variabel Penelitian ....................................................................................79 3.4.1 Definisi Konsep.................................................................................79 3.4.2 Definisi Operasional..........................................................................80 3.5 Instrumen Penelitian..................................................................................81 3.6 Informan Penelitian ...................................................................................82 3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data.......................................................85 3.8 Uji Keabsahan Data ...................................................................................96 3.9 Jadwal Penelitian .......................................................................................97 BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................98 4.1 Deskripsi Objek Penelitian ........................................................................98 4.1.1 Profil Provinsi Jawa Barat...............................................................107
ix
4.1.2 Profil DKI Jakarta ...........................................................................111 4.1.3 Profil Provinsi Banten .....................................................................112 4.1.4 Profil Komite I DPD RI ..................................................................113 4.1.5 Kebijakan Pengelolaan Terpadu Jabodetabekjur ............................116 4.2 Deskripsi Data ............................................................................................121 4.2.1 Deskripsi Data Penelitian ................................................................121 4.2.2 Deskripsi Informan Penelitian.........................................................123 4.2.3 Analisis Data ...................................................................................125 4.3 Deskripsi Hasil Penelitian ...........................................................................126 4.3.1 Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur...................................................................................127 4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ......................................................................155 BAB V PENUTUP ..................................................................................................185 5.1 Kesimpulan ..................................................................................................185 5.2 Saran.............................................................................................................187 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
1.1 Jumlah Laju Pertumbuhan Penduduk Jabodetabekjur .....................................22 2.1 Pendekatan Analisis Kebijakan........................................................................46 3.1 Pedoman Wawancara .......................................................................................85 3.2 Informan Penelitian ..........................................................................................89 3.3 Jadwal Penelitian..............................................................................................97 4.1 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat ........................................................109 4.2 Daftar Anggota Komite I DPD RI .................................................................113 4.3 Daftar Informan..............................................................................................124 4.4 Perbandingan Kewenangan Provinsi, Kab/Kota ............................................156 4.5 Program Pembangunan Terintegrasi Di Jabodetabek ...................................158 4.6 Permasalahan Di Jabodetabek........................................................................160 4.7 Program Pembangunan Jaringan Kereta Api di Jabodetabek ........................176
xi
DAFTAR GAMBAR
1.1 Model Akar Permasalahan di Kawasan Jabodetabekjur ................................13 2.1 Proses Analisis Kebijakanmenurut Dunn.......................................................45 2.2 Proses Dasar Analisis Kebijakan menurut Patton dan Savicky .....................57 2.3 Bagan Kerangka Berfikir ...............................................................................74 4.1 Sejarah perkembangan kerja sama pembangunan wilayah Jabodetabek .....120 4.2 Pola Perjalanan Harian di Wilayah Jabodetabek ........................................144 4.3 Kota-kota Baru di Jabodetabek tahun 2010 .................................................166 4.4 Rencana Umum Jaringan Angkutan Massal Berbasis Jalan ........................175
xii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Izin Penelitian 2. Catatan Lapangan 3. Pedoman Wawancara 4.
Member Check
5. Catatan Wawancara 6. Peta Administrasi Jabodetabekjur 7. Daftar Hadir Bimbingan Skripsi 8. Dokumentasi Foto Hasil Penelitian 9. Daftar Riwayat Hidup
xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Sejak era pasca-Soeharto dapat disebut sebagai kebangkitan kembali gagasan desentralisasi. Gagasan tersebut menemukan signifikansinya seiring melemahnya kekuasaan terhadap dengan tuntutan-tuntutan kepentingan masyarakat. Sejak dimulainya otonomi daerah maka kewenangan tidak hanya milik pemerintah pusat saja, melainkan pemerintah daerah juga memiliki kewenangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi kekuasaan dilakukan melalui penyerahan kepada pemerintah daerah wewenang atas seluruh bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Selanjutnya digantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang mengatur urusan pemerintahan antara pusat dan daerah secara lebih tegas dan rinci. Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional, serta untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka dalam rangka pembaharuan konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI)
1
2
membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), yang bertujuan sebagai lembaga negara yang menjembatani hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pembentukan DPD RI dilakukan melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan November 2001. Sejak perubahan itu, maka sistem perwakilan dan parlemen yang berlaku di Indonesia berubah dari sistem trikameral menjadi sistem bikameral (www.dpd.go.id./halaman-profil 15 Maret 2014). Sistem bikameral adalah sistem parlemen atau lembaga legislatif yang terdiri atas dua kamar. Dalam hal ini DPD RI masuk sebagai kamar kedua. Dengan perubahan ini diharapkan ada keterwakilan dari distrik-distrik untuk duduk di satu kamar dan ikut mengawasi kinerja dari kamar yang lain dari pemerintah pusat. Kelebihan sistem bikameral tidak hanya melihat dari adanya dua kamar dalam satu parlemen, akan tetapi juga dilihat dari proses pembuatan Undang-Undang yang semakin baik dengan mekanisme double check (Budiardjo, 2005 : 180). Perubahan tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR RI, khususnya di Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR RI selain memperhatikan tuntutan politik dan pandangan-pandangan yang berkembang bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan yang bersifat akademis, dengan mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di negara-negara lain khususnya di negara yang menganut paham demokrasi. Dalam proses
3
pembahasan tersebut, berkembang kuat pandangan tentang perlu adanya lembaga yang dapat mewakili kepentingan daerah, serta untuk menjaga keseimbangan antardaerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan serasi. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut berangkat dari indikasi yang nyata bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata telah mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan, dan diantaranya juga memberi indikasi ancaman keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI selama ini (sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut (www.dpd.go.id./halaman-profil 15 Maret 2014). Berdasarkan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPD RI disebutkan bahwa DPD adalah lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 92/PUU/-X/2012, MK meneguhkan lima hal, yaitu : (i) DPD terlibat dalam pembuatan Program Legislasi Nasional (Prolegnas); (ii) DPD berhak mengajukan RUU yang dimaksudkan dalam pasal 22D ayat (1) UUD 1945, sebagai halnya atau
4
bersama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (iii) DPD berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks pasal 22D ayat (2) UUD 1945; (iv) pembahasan UU dalam konteks pasal 22D ayat (2) bersifat tiga pihak, yaitu antara DPR, DPD, dan Presiden; (v) MK menyatakan bahwa ketentuan dalam UU MD3 dan UU P3 yang tidak sesuai dengan tafsir MK atas kewenangan DPD dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945, baik yang diminta maupun tidak. Putusan MK tersebut telah mengubah paradigma proses pembuatan undang-undang (law making process) yang semakin efisien. Dengan demikian, khusus pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi mandat konstitusi DPD hanya dilakukan tiga lembaga yaitu, DPR, Presiden, dam DPD. Dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak/kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Berdasarkan putusan MK tersebut, telah ditetapkan penyusunan baru dalam mekanisme prolegnas. Berdasarkan Undang-Undang MD3 No. 17 Tahun 2014 mengenai tugas dan kewenangan MPR, DPR, DPD, dan DPRD bahwa DPD merupakan lembaga legislatif yang dipilih melalui Pemilu. Dalam kewenangannya menjalankan fungsi legislasi, DPD dapat mengajukan Rancangan UndangUndang dan memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU serta memberikan pertimbangan kepada DPR. Dengan adanya kewenangan untuk
5
mengajukan RUU maka DPD RI memiliki kewenangan dalam mengajukan RUU yang berkaitan dengan bidang otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, tata kelola, tata ruang, HAM dan lainnya. Berdasarkan UU MD3 tahun 2014 alat kelengkapan DPD RI dibagi menjadi ; (i) pimpinan, (ii) Panitia Musyawarah, (iii) panitia kerja, (iv) Panitia Perancang Undang-Undang, (v) Panitia urusan rumah tangga, (vi) Badan Kehormatan, (vii) alat kelengkapan lainnya disesuaikan. Sehubungan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, DPD RI dibagi dalam beberapa alat kelengkapan dan empat komite, yang masing-masing memiliki peran dan bidang yang ditangani. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada Komite 1 DPD RI, yang menangani bidang sebagai berikut : (i) Pemerintahan Daerah; (ii) Hubungan pusat dan daerah; (iii) Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah (iv) Pemukiman dan kependudukan (v) Pertahanan dan tata ruang; (vi) Politik, hukum, HAM, dan ketertiban umum; (vii)
Permasalahan
daerah
di
wilayah
perbatasan
negara
(www.dpd.go.id/alatkelengkapan/komite-i 15 Oktober 2014). DPD RI berada di bawah naungan Sekretariat Jendral (Sekjen) DPD RI, bersama dengan alat kelengkapan, dan sekretariat. Pada penelitian kali ini, peneliti lebih fokus pada Komite 1 yang menangani bidang otonomi daerah, pemekaran dan penggabungan wilayah. Sesuai dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tahun 2014 Komite 1 DPD RI membahas dua Rancangan Undang-Undang (RUU), yakni RUU Pengadilan Agraria dan RUU Pengelolaan Terpadu Megapolitan Jakarta,
6
Bogor, Depok Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur). Dari dua RUU yang tengah dibahas oleh DPD, dalam penelitian ini peneliti akan membahas lebih dalam mengenai analisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan. Alasan peneliti mengambil topik mengenai analisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur untuk mengetahui bagaimana sebenarnya nanti pembentukan dari sebuah kawasan megapolitan yang diterapkan di Jabodetabekjur. Selain itu pemilihan mengenai topik tersebut didukung dari data-data yang peneliti dapatkan dari Komite 1 DPD RI. Sejak tahun 2012 Komite 1 DPD RI tengah gencar mengadakan banyak kajian dan rapat kerja mengenai pembahasan RUU tersebut hinga akhirnya peneliti tertarik untuk ikut mengangkat Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur sebagai topik dalam penelitian ini. Perkembangan kota tidak terlepas karena di dalamnya terdapat pola hubungan antar manusia dan kelompok manusia, munculnya ruang-ruang produksi dan distribusi bahkan sampai arena konflik, kota dapat berkembang secara mekanik dan organik sesuai dengan karakteristiknya (Laksono, 2013 dalam PRPW UI 2013 : 6). Salah satu konsep metropolitan yang muncul di Indonesia adalah Jabodetabekjur dimana Jakarta menjadi kota inti terhadap perluasan wilayah ke arah
Bogor, Depok, Tangerang, Puncak dan Cianjur
(Bodetabekjur). Wilayah Jabodetabekjur yang merupakan pengembangan Kawasan
Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi
(Jabotabek)
yang
dibentuk
berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 13 tahun 1976
7
tentang Pengembangan Kawasan Jabotabek. Perkembangan fisik kawasan ini sudah diperkirakan sejak penyusunan Rencana Induk Jakarta tahun 1965-1985. Di dalam dokumen tersebut dijelaskan, bahwa apabila Jakarta dibangun berdasarkan rencana induk, maka dalam waktu yang relatif singkat, daerah terbangun bagian-bagian kota Jakarta akan melampaui batas administrasi sehingga mempengaruhi wilayah sekitarnya. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2008 tentang tata ruang Jabodetabekpunjur bahwa pada lingkup wilayah fungsional, yang terbagi atas tiga (3) wilayah Provinsi, yang terdiri atas 15 Kabupaten dan Kota. Di lain pihak, wewenang otonomi pemerintah daerah yang terlingkupi memiliki kedudukan yang tidak sama, di DKI Jakarta terletak pada pemerintah provinsi, sementara untuk wilayah dua provinsi lainnya terletak pada kabupaten dan kota. Hal ini membawa pada konsekuensi fungsi koordinasi serta kewenangan yang berbeda. Menelaah dari Perpres No. 54 tahun 2008 mengenai tata ruang Jabodetabekjur dibutuhkan suatu penyatuan regulasi terkait sebagai kawasan megapolitan. Regulasi keterkaitan penyatuan wilayah Jabodetabekjur tersebut dilahirkan sejalan dengan Undang-Undang lain, meliputi ; UU No. 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, UU No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan UU No. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum, UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dari Undang-undang tersebut ada keterkaitan dalam pembuatan kebijakan
8
Pengelolaan
Terpadu
Kawasan
Megapolitan
Jabodetabekjur.
Dalam
perkembangannya, wilayah Jakarta dan sekitarnya ternyata lebih cepat dibandingkan dengan efektivitas regulasi yang mengaturnya. Hal ini melahirkan kesenjangan antara obyek yang diatur dengan instrumen yang mengaturnya. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) secara faktual sudah menjadi satu kesatuan wilayah fungsional. Diantara faktor-faktor yang menyatukan wilayah Jabodetabekjur sebagai kesatuan wilayah fungsional adalah jaringan transportasi yang memfasilitasi interaksi sosial ekonomi antarwilayah, dimana Daerah Kota Istimewa (DKI) Jakarta berfungsi sebagai pusat pertumbuhannya. Hal ini membawa implikasi bahwa jika DKI Jakarta berperan sebagai pusat kegiatan, maka wilayah sekitar Jakarta berperan sebagai pusat pemukiman yang bergantung penuh secara sosial ekonomi pada Jakarta, serta menambah beban interaksi harian antar kota-kota baru tersebut dan Jakarta (NA RUU Jabodetabekjur, 2014 : 3). Secara historis, keberadaan wilayah Jabodetabekjur sebenarnya bukan hal baru. Bahkan, semua daerah dalam wilayah tersebut semula adalah bagian dari provinsi yang sama, yakni Jawa Barat. Namun pada tahun 2000, Banten mengalami pemekaran wilayah menjadi Provinsi, sehingga wilayah Tangerang menjadi bagian dari Provinsi Banten. Dengan demikian, selain secara fungsional merupakan satu kesatuan ekosistem, Jabodetabekjur secara administrasi sesungguhnya berawal dari satu kesatuan wilayah administrasi. Oleh karena itu, secara pengelolaan, Jabodetabekjur memerlukan kebijakan
9
yang harmonis dan sinkron untuk mengatasi permasalahan di wilayahnya yang dapat mengakomodasi Jabodetabekjur sebagai suatu kesatuan fungsional (Sekretariat Komite 1 DPD RI, 2014). Jabodetabekjur adalah sebuah kawasan yang merupakan gabungan beberapa wilayah kota/kabupaten wilayah yang jaraknya dekat dengan Ibukota Jakarta yakni, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. Kawasan Jabodetabekjur dikenal sebagai kawasan 3-O , yakni One Commnunity, One Interest, One Center. Kawasan ini tidak hanya menyedot perhatian masyarakat namun ternyata terjadi banyak permasalahan di dalamnya (RDPU Komite 1 DPD RI, 21 Januari 2014). Berdasarkan definisi yang tercantum dalam UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan Jabodetabekjur sudah tergolong kawasan megapolitan, yakni kawasan yang terbentuk dari dua (2) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem. Kawasan metropolitan dalam UU tersebut didefinisikan sebagai kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya satu juta (1.000.000) jiwa. Sehubungan dengan dibentuknya kawasan megapolitan, terdapat beberapa hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Menurut UU No 29 tahun 2007 tentang Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan
10
Republik Indonesia dan terletak di posisi hilir Daerah Aliran Sungai (DAS). Sementara wilayah hulu DAS di Bogor dan Cianjur merupakan kawasan lindung yang memiliki fungsi perlindungan terhadap wilayah yang terletak dibawahnya termasuk terhadap DKI Jakarta. Oleh karena itu, kedudukan DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya sangat vital untuk diatur agar fungsi masingmasing wilayah dapat terlaksana secara optimal dan sinergis. Memandang Jabodetabekjur sebagai sebuah megapolitan, terdapat perbedaan pandangan antara pemerintah daerah Provinsi di Jabodetabekjur. Pemerintah Provinsi Jawa Barat memandang bahwa permasalahan di Jabodetabekjur bersumber dari fungsi pelayanan wilayah sekitar terhadap DKI Jakarta. Sehubungan dengan itu, Provinsi Jawa Barat memandang perlu melakukan terobosan diantaranya dengan mengkonsep Twin Metropolitan Jakarta dan Bodebek Karpur (Bogor-Depok-Bekasi-Karawang-Purwakarta) yang
berkembang
secara
mandiri.
Sementara
itu,
Provinsi
Banten
mengharapkan adanya pertumbuhan wilayah Tangerang yang mandiri dengan pemukiman yang sukses, artinya kota yang mandiri disertai tumbuhnya peluang usaha dan bekerja dan hidup yang layak sehingga tidak tergantung pada DKI Jakarta. Sejak tahun 1967, telah dibentuk Badan Kerjasama antar-Kota seluruh Indonesia melalui Musyawarah antar-Kota Seluruh Indonesia (MAKSI) di Gedung Merdeka, Bandung. Saat itu, yang terpilih sebagai ketua umum MAKSI adalah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, sedangkan Sekjen-nya dipegang oleh orang Jawa Barat juga, yakni Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin
11
(alm). Salah satu tugas dan fungsi badan tersebut adalah mengelola permasalahan daerah perbatasan antara Jabar dan DKI Jakarta, saat itu Banten masih bagian wilayah administratif Provinsi Jabar. Sejak pemerintahan Ali Sadikin, program pembangunan Megapolitan Jakarta-Jabar sudah mulai di rencanakan. Pada intinya, program tersebut merupakan program kerjasama pembangunan di perbatasan untuk membentuk sebuah kawasan ragulasi wilayah
Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi
(Jabodetabek).
Namun,
hingga pemerintahan provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh Joko Widodo (Jokowi) dan provinsi Jabar dipimpin oleh gubernur Ahmad Heryawan (Aher), program tersebut masih belum dapat dilaksanakan secara optimal (FGD, 18 Februari 2014). Pemerintah telah menetapkan tujuan penataan ruang kawasan strategis ini, yakni untuk: (i) mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antar
daerah
sebagai
satu
kesatuan
wilayah
perencanaan
dengan
memperhatikan keseimbangan kesejahteraan dan ketahanan; (ii) mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan, untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir, dan (iii) mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan ini, maka kebijakan penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur adalah mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang kawasan dalam
12
rangka keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian lingkungan hidup (PRPW UI, 2013 : 8). Menurut Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan
Cianjur
(Jabodetabekpunjur)
telah
mengharmoniskan
tata
ruang
Jabodetabekjur, namun belum efektif meminimalisir masalah lingkungan dan mengharmoniskan perkembangan permukiman yang tumbuh dengan pesat karena Perpres tersebut belum diterapkan secara konsisten dan akurat (PRPW UI, 2013). Untuk itu alasan dibentuknya kebijakan Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur yang bertujuan untuk memperkuat DKI Jakarta
sebagai
Ibukota
Negara,
mewujudkan
keterpaduan
dalam
penyelenggaraan penataan ruang antar daerah sebagai suatu kesatuan wilayah perencanaan, pemerataan pembangunan, dan mewujudkan keterpaduan dalam peningkatan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan (NA RUU Jabodetabekjur). Berdasarkan uraian di atas, terdapat akar permasalahan yang sangat fundamental, yaitu substansi permasalahan Jabodetabekjur menyebar dalam wilayah fungsional, sedangkan kewenangan otonomi pemerintah daerah dalam wilayah Jabodetabekjur terdistribusi dalam wilayah administratif berbeda yang memiliki perbedaan derajat kewenangan otonomi daerah (Gambar 1.1).
13
Gambar 1.1. Model Akar Permasalahan di Kawasan Jabodetabekjur
Berdasarkan dari Gambar 1.1 di atas bahwa sampai saat ini pengelolaan Jabodetabekjur masih sulit untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Kesulitan penerapan ini dikarenakan keunikan dan kompleksitas kawasan ini dibandingkan kawasan sejenis di Indonesia. Keunikan kawasan Jabodetabekjur ini utamanya karena adanya Jakarta sebagai Ibukota negara, wilayah Jabodetabekjur mencakup tiga (3) provinsi, mencakup pusat perekonomian dan pusat politik, serta berada dalam satu sistem daerah aliran sungai (Nurlambang, 2014 dalam NA RUU Jabodetabejur 2014 : 6). Berdasarkan observasi awal yang peneliti lakukan pada tahun 2014, beberapa permasalahan diantaranya mengenai masalah (i) transportasi dan jalan, (ii) pemukiman dan lingkungan, (iii) banjir, (iv) urbanisasi dan ketimpangan sumber daya manusia, (v) kependudukan dan lainnya. Sejauh ini kita mengetahui bahwa kawasan Jabodetabekjur sangat akrab dengan permasalahan banjir dan kemacetan. Tidak hanya itu, menurut Najmulmunir, (narasumber dalam pembentukan program terpadu wilayah Jabodetabekjur)
14
dalam rapat internal dengan anggota Komite 1 DPD RI pada 27 Januari 2014, menyatakan bahwa akar masalah di Jabodetabekjur meliputi beberapa hal yaitu sebagai berikut; (i) wilayah Bodetabekjur sebagai basis pemukiman yang sangat luas menghindari kawasan kumuh, (ii) angka pertumbuhan penduduk yang tinggi disebabkan angka migrasi yang menimbulkan rasio penduduk dengan pelayanan dasar
sangat
terbatas, (iii) ketidakserasian dalam
pembangunan jalan sering menimbulkan gangguan lalu lintas, dan buruknya kondisi jalan, (iv) benturan kepentingan antara kawasan resapan dan penyimpangan air dan kawasan pemukiman, sehingga menimbulkan genangan air dan banjir ketika musim penghujan tiba, (v) pergerakan orang, barang, dan jasa antara Bodetabekjur dengan Jakarta sangat lamban dan mahal yang disebabkan oleh kemacetan. Menurut Sori (dalam FGD 18 Februari 2014) Wilayah Jabodetabekjur merupakan wilayah yang sangat cepat berkembang dan sudah menjadi satu kesatuan wilayah fungsional. Diantara faktor-faktor yang mempersatukan Jabodetabekjur sebagai kesatuan fungsional, yakni (i) Jaringan transportasi yang memfasilitasi
interaksi sosial ekonomi antar wilayah, dimana DKI
Jakarta berfungsi sebagai pusat pertumbuhannya. Hal ini membawa implikasi jika DKI Jakarta berperan sebagai pusat kegiatan, maka wilayah sekitar Jakarta berperan sebagai pusat pemukiman yang bergantung penuh secara sosial ekonomi pada Jakarta, serta menambah beban interaksi harian antar kota-kota baru tersebut dan Jakarta, (ii) Jaringan sungai yang mengintegrasikan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung-Cisadane, yang terbagi atas
15
wilayah hulu yang terletak wilayah Bogor dan Depok, serta Wilayah hilir yang meliputi Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Jakarta merupakan kota terbesar di Indonesia. Sebagai Ibukota Negara, Jakarta memegang posisi sangat penting dalam hal politik, ekonomi, dan perdagangan. Kemacetan di Indonesia khususnya ibukota DKI Jakarta tidak dapat dihindari, terutama pada titik-titik persimpangan baik di jalan-jalan protokol hingga di jalan lingkungan. Semakin hari, kemacetan di Jakarta semakin parah. Sistem transportasi yang buruk di sebagian besar wilayah Jakarta telah menimbulkan kemacetan sangat parah. Kerugian akibat macet dari perhitungan kemacetan menyebabkan waktu yang terbuang percuma (nilai waktu), biaya bahan bakar, dan biaya kesehatan. Berdasarkan data dari Yayasan Pelangi, kemacetan lalu lintas berkepanjangan di Jakarta menyebabkan pemborosan senilai Rp 8,3 triliun per tahun. Data yang sama diungkapkan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Bambang Susantono, mengacu pada kajian Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP 2004). Perhitungan itu mencakup tiga aspek sebagai konsekuensi kemacetan, yakni pemborosan BBM akibat biaya operasional kendaraan senilai Rp 3 triliun, kerugian akibat waktu yang terbuang Rp 2,5 triliun, dan dampak kesehatan akibat polusi udara sebesar Rp 2,8 triliun. Angka kerugian akan terus meningkat secara gradual seiring kemacetan lalu-lintas yang semakin parah di Jakarta. Peningkatan penggunaan kendaraan bermotor menjadi pemicu utama problem kemacetan di Jakarta. Bahkan, hingga saat ini tercatat jumlah kendaraan bermotor sudah
16
mencapai 6,5 juta unit, di mana 6,4 juta unit atau 98,6 persen merupakan kendaraan pribadi dan 88.477 unit atau sekitar 1,4 persen adalah angkutan umum, dengan pertumbuhan kendaraan mencapai 11 persen setiap tahunnya. Sedangkan panjang jalan yang ada 7.650 Km dengan luas 40,1 Km2 atau 6,2% dari luas wilayah DKI, dengan pertumbuhan jalan hanya sekitar 0.01 % per tahun. Dari angka itu jelas pertumbuhan jalan tidak mampu mengejar pertumbuhan
kendaraan,
sehingga
mengakibatkan
kemacetan
(http://bstp.hubdat.web.id/?mod=detilSorotan&idMenuKiri=345&idSorotan=5 4 15 Februari 2015). Berdasarkan data yang peneliti dapatkan dari Focus Group Discussion ( 18 dan 19
Februari 2014) mengenai pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur dengan Komite 1 DPD RI dengan Kepala Daerah seJabodetabekjur, permasalahan kemacetan di Jakarta saat ini disebabkan oleh volume kendaraan di jalur Tol Merak - Tol Kota Jakarta semakin meningkat. Data tahun 2012 menunjukan bahwa kendaraan yang melewati tol Merak sebanyak 3.500 kendaraan dengan penumpang 25.000 orang perhari. Selain itu, pertumbuhan kendaraan pribadi di DKI sangat tinggi, sekitar 98,5%, belum termasuk pertumbuhan kendaraan angkutan umum. Kerugian kemacetan yang harus ditanggung masyarakat sekitar Rp. 35triliun/tahun (FGD 18 Februari 2014). Selain itu, dari observasi yang peneliti lakukan pada bulan Februari 2014 salah satu penumpang Busway yang peneliti temui di halte koridor IX jurusan Pinang Ranti-Pluit, mengatakan bahwa saat ini jarak tempuh
17
masyarakat untuk sampai ke tempat kerja di salah satu Bank Swasta di daerah Slipi Jakarta Barat hingga kurang lebih dua sampai tiga jam. Padahal bila pada waktu normal jarak tempuhnya hanya 45 menit - 50 menit. Dari permasalahan ini tentu tidaklah efisien dan menurunkan semangat kerja akibat kelelahan dalam perjalanan. Permasalahan kemacetan juga mengakibatkan laju pergerakan barang dan jasa menuju Pelabuhan Tanjung Priok juga memakan waktu yang tak jauh berbeda yakni dua sampai tiga jam yang semestinya hanya satu jam saja. Kemacetan yang terjadi tidak hanya di Jakarta. Namun sama halnya dengan daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Jakarta sebagai pusat perdagangan barang dan jasa menjadi magnet bagi warga di wilayah Bodetabek untuk bekerja di Jakarta sehingga lalu lintas di Bodetabek menuju Jakarta setiap harinya selalu macet, terutama di jam-jam kerja (PRPW UI 2013 : 27). Salah satu pegawai Staf Rapat di Sekretariat Komite 1 DPD RI, Wahyu Taufik mengungkapkan kepada peneliti pada februari 2014 bahwa jarak rumahnya di bilangan Depok untuk sampai ke kantor di Senayan waktu tempuh yang seharusnya hanya sekitar satu jam mencapai dua jam perjalanan meskipun sudah melalui jalan bebas hambatan tetapi tetap tidak dapat menghindari kemacetan. Permasalahan lainnya selain kemacetan adalah banjir. Problematika Ibu Kota lainnya yang dapat mengakibatkan kemacetan adalah banjir. Banjir yang cukup besar sudah dua kali melanda DKI Jakarta, yakni pada tahun 2007 dan 2013. Banjir Jakarta tahun lalu menggenangi 500 RT, 203 RW, 44 Kelurahan,
18
yang tersebar di 31 Kecamatan. Jumlah penduduk yang terendam 97.608 KK atau 248.868 jiwa, pengungsi 18.018 jiwa. Kerugian banjir Jakarta 2007 diperkirakan Rp. 7,3 triliun, sedangkan kerugian banjir tahun 2013 sekitar Rp. 20 triliun. Problematika lainnya, menurut Sofwan Hadi (dalam Dongoran, 2013), hasil pengukuran tahun 1925-2003, permukaan air laut Jakarta selalu naik rata-rata 0,5 cm setiap tahunnya, sebaliknya laju penurunan muka tanah Jakarta mencapai 5 cm – 12 cm setiap tahun di sejumlah titik tertentu (FGD, 19 Februari 2014). Pada awal tahun 2015 ini, wilayah Jakarta kembali terkena banjir. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta telah mendata korban meninggal akibat banjir yang terjadi di Jakarta dari tanggal 8 sampai 11 Februari 2015. Dari data sementara tersebut, tercatat tiga warga Jakarta Utara dan satu warga Jakarta Pusat yang menjadi korban meninggal akibat banjir. Jumlah warga yang terkena dampak banjir di Jakarta mencapai 6.569 jiwa. Jumlah warga yang mengungsi sejumlah 815 jiwa. BPBD telah menyiapkan beberapa lokasi pengungsian yang tersebar di beberapa tempat. Lokasi yang digunakan sebagai tempat pengungsian beragam, seperti kantor kelurahan, rumah sakit terdekat, bangunan sekolah, sampai pos RW dijadikan sebagai tempat
pengungsian
untuk
para
korban
bencana
banjir
(http://megapolitan.kompas.com/read/2015/02/13/1604443/Tiga.Warga.Jakarta .Meninggal.Selama.Empat.Hari.Banjir 13 Februari 2015).
19
Banjir kerap kali datang ketika musim penghujan datang. Banjir di Jakarta selalu rutin selalu datang setiap tahunnya. Banjir tidak hanya merendam hampir setiap pemukiman warga, melainkan hingga menelan korban jiwa. Dari data yang peneliti dapatkan dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta (dalam PRPW UI 2013), selama terjadi maupun pascabanjir awal tahun 2014 lalu, setidaknya tercatat 40.360 orang terserang penyakit, serta 15 orang meninggal dunia di DKI Jakarta yang diakibatkan bencana banjir. Banjir yang datang dinilai sebagai ulah dari masyarakatnya itu sendiri. Masyarakat Jakarta dinilai kurang memahami bahaya kuman terhadap kesehatan keluarga dan seluruh lapisan masyarakat. Salah satu contohnya, masih kerap kali ditemui ada masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Kebiasaan buruk ini tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan lingkungan. Banjir yang datang setiap tahunnya harus segera diminimalisir agar tidak terlalu banyak mengalami kerugian. Permasalahan banjir ini tidak hanya merendam wilayah DKI Jakarta, melainkan wilayah Bodetabekjur juga terkena imbasnya. Banjir di wilayah Jabodetabekjur disebabkan oleh meluapnya air di sungai Ciliwung yang panjangnya terbentang dari Bogor hingga Tangerang. Hulu sungai Ciliwung berada di Bogor dan hilirnya berada di Tangerang yakni Kali Cisadane. Menurut Plt. Gubernur Provinsi Banten, Bapak Rano menjelaskan, banjir yang terjadi di wilayah Tangerang akibat dari meluapkan air dari kali Cisadane yang merupakan hilir dari sungai Ciliwung (FGD 18 Februari 2014).
20
Pertumbuhan penduduk yang tinggi di sekitar DKI Jakarta akibat migrasi, serta terbatasnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan perumahan dan kesempatan kerja telah menyebabkan alih fungsi lahan pertanian ke fungsi non pertanian, yang selanjutnya menimbulkan dampak turunan berupa erosi, sedimentasi sungai, pencemaran, yang semuanya berakumulasi pada masalah banjir, kesehatan, serta kerugian ekonomi dan infrastruktur (FGD 18-19 Feb 2014). Seperti diketahui, Jakarta merupakan daerah yang dilewati oleh tiga belas aliran sungai, namun karena adanya penggabungan sungai-sungai tertentu maka sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta berjumlah sepuluh sungai. Tiga belas sungai tersebut yaitu Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru Barat, Kali Ciliwung, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Baru Timur, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Sedangkan dua (2) kanal besar yang ada yaitu Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Aliran air yang melewati wilayah ini yang mana apabila tidak ditata kelola dengan baik akan mengakibatkan permasalahan seperti halnya banjir di kawasan hilir sungai (PRPW UI 2013 : 21). Dalam Penelitiannya, Susandi (2014) menguraikan beberapa permasalahan di wilayah Jabodetabekjur yakni; Jakarta dan sekitarnya akan terkena dampak perubahan iklim sangat besar dan merupakan salah satu wilayah paling rentan terhadap dampak perubahan iklim di Asia Tenggara (EEPSEA, 2009 dalam Susandi, 2014). Dikatakan bahwa bencana terkait iklim yang berpotensi terjadi di wilayah Jakarta diantaranya adalah banjir, kenaikan muka laut, dan defisit cadangan air tanah. Potensi kebencanaan iklim terlihat dalam koridor Sungai Ciliwung, mulai dari wilayah Selatan hingga Utara Jakarta. Secara umum dampak perubahan iklim yang dapat terjadi di Jakarta adalah
21
sebagai berikut: (i) Peningkatan temperatur rata-rata pada tahun 2035 di Jakarta mencapai 2oC, di Depok mencapai 1,3 oC dan di Bogor mencapai 2,5o C.; (ii) Peningkatan curah hujan rata-rata pada tahun 2035 di Jakarta mencapai 40mm, di Depok mencapai 100 mm dan di Bogor mencapai 200 mm. (iii) Wilayah yang diprediksi akan terendam pada tahun 2020 seluas 6,6 km2, sedangkan pada tahun 2035 potensi wilayah yang terendam meningkat menjadi 62,3 km2. Sementara itu kapasitas adaptif (adaptive capacity) masyarakat Jakarta diperkirakan70,4%, Depok 62,6%, Bogor 50,2%. Kapasitas adaptif didefinsikan sebagai kemampuan masyarakat beradaptasi pada perubahan yang terjadi. Dampak bencana iklim diperkirakan akan meningkatkan intensitas permasalahan wilayah Jakarta dan sekitarnya di kemudian hari (Susandi, dalam NA RUU Jabodetabekjur 2014 : 8). Kemudian permasalahan lainnya yaitu kepadatan penduduk yang terpusat di Jakarta. Permasalahan ini tentu akan menimbulkan efek domino bila tidak segera diatasi. Kepadatan penduduk di Jakarta disebabkan salah satunya dengan banyaknya penduduk yang berasa dari luar daerah Jakarta yang bekerja dan menggantungkan harapan ekonominya di Jakarta. Setiap tahunnya perumbuhan
penduduk Jakarta
semakin
mengalami
peningkatan
dan
mengalami kepadatan pertumbuhan penduduk serta mobilitas penduduk di Jakarta diakibatkan karena Jakarta menjadi pusat dari kegiatan ekonomi dan pertukaran barang dan jasa yang menyedot perhatian masyarakat di sekitar wilayah Bodetabekjur untuk datang dan bekerja di Jakarta. Kawasan Jabodetabek secara keseluruhan memiliki jumlah penduduk sebesar 31.681.555 jiwa (PRPW UI,2013 : 23). Laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta mencapai 1,03 % sedangkan tingkat pertumbuhan penduduk kabupaten atau kota di Bodetabekjur rata-rata hampir 2,80% (Tabel 1.1).
22
Tabel 1.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Jabodetabekjur Kabupaten/Kota Jakarta Utara Jakarta Barat Jakarta Pusat Jakarta Timur Jakarta Selatan Kepulauan Seribu Kabupaten Bogor Kota Bogor Kota Depok Kabupaten Bekasi Kota Bekasi Kabupaten Cianjur Kabupaten Tangerang Kota Tangerang Kota Tangerang Selatan
Jumlah Penduduk 2012 1.715.564 2.395.130 908.829 2.801.784 2.148.261 22.220 5.077.210 987.448 1.898.567 2.786.638 2.334.142 2.231.107 3.050.929 1.918.556 1.405.170
Jumlah Laju Penduduk Pertumbuhan 2011 1.697.871 1,04 2.362.656 1,37 906.752 0,23 2.775.956 0.93 2.126.833 1,01 21.875 1,58 4.922.205 3,15 967.398 2,07 1.769.787 7,28 2.677.631 4,07 2.447.930 -4,85 2.169.984 2,82 2.928.200 4,19 1869791 2,61 1.355.926 3,63
Sumber: BPS, 2013 (dalam PRPW UI 2013 : 23)
Berdasarkan tabel 1.1 di atas, terlihat pertumbuhan penduduk dan mobilitas warga yang tinggi namun tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta (dalam PRPW UI,2013), laju pertambahan jalan di Jabodetabek hanya 0,01% per tahun, sedangkan laju pertambahan kendaraan mencapai 11% per tahun. Permasalahan yang banyak terjadi di wilayah Jabodetabekjur, Komite 1 DPD RI akan mengkaji lebih dalam mengenai pembentukan kawasan megapolitan di Jabodetabekjur. Telah kita ketahui bahwa Jabodetabekjur
23
sebagai salah satu kawasan di Indonesia yang memenuhi kriteria sebagai kawasan megapolitan. Sehubungan dengan pembuatan Kebijakan Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur yang merupakan salah satu program kerja dari Komite 1 DPD RI, maka Komite 1 DPD RI akan mengkaji lebih dalam dan mengusungkan kebijakan ini untuk dibentuk sebagai RUU dan menjadikan sebagai UU yang sah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk mengoptimalkan kebijakan ini menjadi sebuah RUU Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur ini Komite 1 membentuk Tim Kerja (Timja). Timja dibentuk mengingat banyak RUU dan permasalahan lain yang tengah dibahas di Komite 1, seperti RUU pengadilan Agraria dan penyusunan Daerah Otonom Baru (DOB). Untuk itu peneliti ingin mengkaji lebih dalam, mengetahui dan menganalisis bagaimana Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur. Selain dibentuknya Timja, Komite 1 DPD RI mengundang orang-orang yang ahli dan kompeten di bidang pembangunan dan penataan kota sebagai narasumber dalam pembuatan RUU tersebut untuk membentuk sebuah kawasan megapolitan. Selain mengundang narasumber, permasalahan yang telah diuraikan diatas telah direspon melalui beberapa prinsip yang disepakati oleh Komite 1 DPD RI, perwakilan pemerintah daerah baik Provinsi, Kabupaten/Kota di kawasan Jabodetabekjur (kecuali Kota Depok yang berhalangan hadir) dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan DPD RI pada tanggal 18 Februari 2014 yang menghasilkan beberapa kesepakatan yaitu:
24
1. FGD menyepakati untuk memperkuat kerjasama antara DPD RI khususnya Komite I sebagai alat kelengkapan DPD RI yang membidangi otonomi daerah dengan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Cianjur. 2. Kerjasama sebagaimana dimaksud pada point 1 merupakan kerjasama yang diarahkan untuk memberikan perbaikan bagi percepatan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daerah sebagaimana tujuan bangsa Indonesia. 3. FGD tersebut menyepakati untuk melakukan diskusi lebih lanjut dan mendalam di kemudian hari terkait inisiatif DPD RI untuk menyusun RUU Jabodetabekjur sebagai upaya menata dan memperkuat pengelolaan kawasan DKI Jakarta sebagai Ibukota negara Republik Indonesia
beserta
kawasan
sekitarnya
serta
mengantisipasi
timbulnya dampak negatif pembangunan. 4. Seluruh pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam FGD tersebut merupakan pijakan utama dalam rangka penyempurnaan kebijakan penataan Ibukota Negara beserta kawasan megapolitan yang terus berkembang pesat dewasa ini. 5. FGD
tersebut
menyepakati
untuk
memperkuat
kelembagaan
koordinasi antar daerah yang saat ini telah berjalan serta upaya untuk mencari solusi atas tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan
25
beberapa kawasan strategis di wilayah Jabodetabekjur.
Begitu
juga
kesepakatan
telah
dicapai
dalam
FGD
yang
diselenggarakan DPD RI pada tanggal 19 Februari 2014 antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PPN/BAPPENAS, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup RI, dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional RI: "FGD tersebut (19 Februari 2014) menyepakati Komite 1 DPD RI untuk melakukan kajian secara mendalam dan menyeluruh termasuk berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan inisiatif DPD RI untuk menghasilkan kesimpulan Naskah Akademis RUU Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur sebagai upaya untuk menata dan memperkuat pengelolaan DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia beserta kawasan sekitarnya serta mengantisipasi timbulnya dampak negatif pembangunan". Undang-Undang pembentukan kawasan Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan ini penting karena menyangkut pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan atau lingkungan dan memiliki masalah mendasar pada lintas wilayah provinsi dan lintas kabupaten kota. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, peneliti ingin mengetahui lebih dalam dan menganalisis kebijakan pengelolaan terpadu kawasan megapolitan. Untuk mengetahui terkait teori dan metode dalam Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan
26
megapolitan ini akan di bahas pada bab selanjutnya.
1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian yang telah peneliti ungkapkan dalam latar belakang masalah, peneliti dapat mengidentifikasi beberapa masalah-masalah mengenai permasalahan di Jabodetabekjur. Seperti telah kita ketahui di atas permasalahan di Jabodetabekjur sebagian besar dari adanya ketimpangan-ketimpangan atas pembangunan di Jakarta dengan wilayah sekitar Jakarta. Akibat dari mobilitas dan urbanisasi sehingga banyak menimbulkan problematika di Jakarta, sebut saja kemacetan. Ketika kita memasuki wilayah Jakarta tentu tak asing lagi dengan kemacetan. Deretan panjang kendaraan akan terus bertambah di sepanjang jalan, sehingga membuat laju kendaraan sangat lamban dan waktu tempuh semakin lama. Angka pertumbuhan penduduk dan mobilitas warga yang tinggi tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana transportasi yang memadai sehingga menyebabkan kemacetan di jam-jam tertentu. Jakarta merupakan pusat dari kegiatan ekonomi yang banyak menyedot perhatian masyarakat di sekitaran wila yah Bodetabekjur. Selain masalah kemacetan, yakni masalah lainnya adalah pertumbuhan penduduk yang tinggal di sekitaran wilayah Jakarta. Akibat dari bertambahnya jumlah dan mobilitas penduduk, sumber daya air pun ikut mulai mengalami defisit. Problematika Ibu Kota lainnya yang dapat mengakibatkan kemacetan adalah banjir. Banjir yang cukup besar sudah dua kali melanda DKI Jakarta, yakni pada tahun 2007 dan 2013 (FGD 19 Februari 2014), dan pada awal tahun
27
2015 ini Jakarta kembali dilanda banjir besar.
Pada intinya, program tersebut merupakan program kerjasama pembangunan di wilayah perbatasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Hingga Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh Joko Widodo (Jokowi), Provinsi Jabar dipimpin oleh gubernur Ahmad Heryawan (Aher), dan Banten dipimpin oleh Ratu Atut Chosiyah, program tersebut masih belum optimal. Artinya kurangnya koordinasi antar pemerintah daerah dan lembaga lainnya akibat dari adanya perbedaan derajat otonomi daerah. Oleh karena itu, dalam pembuatan kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan ini harus adanya kerja sama dan harmonisasi seluruh elemen, baik dari pemerintah maupun masyarakat dan lembaga kementerian terkait. Kerja sama ini bertujuan untuk mengoptimalkan pembangunan kawasan megapolitan di Jabodetabekjur. Selain itu bertujuan untuk menguatkan DKI Jakarta sebagai Ibukota negara. Dalam hal ini harus adanya kesesuaian dan harmonisasi dari Pemprov DKI Jakarta, Jabar dan Banten dalam membentuk sebuah kawasan megapolitan. Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, menandakan bahwa banyak permasalahan yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur yang diakibatkan kurangnya koordinasi dari para stakeholder. Untuk membuat sebuah kawasan megapolitan di Jabodetabekjur dibutuhkan kerja sama dari seluruh elemen pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini Komite 1 DPD RI sebagai lembaga legislatif yang mengkaji lebih dalam permasalahan di Jabodetabekjur, dan
28
membuat RUU Kawasan megapolitan Jabodetabekjur. Dengan berbagai permasalah pelik yang terdapat dalam latar belakang masalah, peniliti dapat mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut : 1. Kurangnya koordinasi antar pemerintah Provinsi, kabupaten/kota di wilayah Jabodetabekjur 2. Ketimpangan pembangunan di Jakarta dengan wilayah Bodetabekjur 3. Jakarta sebagai pusat dari kegiatan ekonomi 4. Belum adanya penyatuan Jabodetabekjur sebagai satu regulasi dari kementerian/badan yang di tunjuk 5. Kemacetan dan pengelolaan transportasi umum 6. Banjir dan degradasi kualitas lingkungan hidup 7. Urbanisasi dan ketimpangan sumber daya manusia 1.3 Pembatasan Masalah Dengan munculnya masalah-masalah di wilayah Jabodetabekjur sebagaimana dikemukakan di atas, membuat peneliti
tertarik untuk
menganalisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur. Akan tetapi mengingat adanya keterbatasan waktu, tenaga dan dana, maka tidak mungkin untuk mengkaji semua masalah yang telah disebutkan dilatar belakang masalah.
Oleh karena itu peneliti membatasi pengkajian ini pada
beberapa masalah, yakni: 1. Sejauh mana pengkajian Komite 1 DPD RI dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi permasalahan di Jabodetabekjur, meliputi kebijakan apa yang telah atau akan dibuat, kemudian solusi dan
29
gagasan
apa
yang
ditawarkan
dalam
pembentukan
kawasan
Jabodetabekjur sebagai kawasan Megapolitan. 2. Bagaimana kerjasama antar lembaga Kementerian dan pemerintah daerah dengan DPD RI di wilayah Jabodetabekjur dalam pembentukan Kebijakan Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur, dan apakah terjadi ketimpangan atau ketidakharmonisan antara DPD RI dengan pemerintah daerah Jabar, DKI Jakarta dan Banten dalam proses pembuatan pembentukan kawasan Jabodetabekjur sebagai kawasan Megapolitan. 3. Bagaimana tahapan-tahapan yang dibuat oleh Komite 1 DPD RI dengan dalam
pembuatan
kebijakan
pengelolaan
terpadu
wilayah
Jabodetabekjur sebagai kawasan Megapolitan.
1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah dan identifikasi masalah yang telah peneliti buat, maka masalah penelitian ini penulis rumuskan sebagai berikut, Bagaimana Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur (Jabodetabekjur) sebagai kawasan Megapolitan?
30
1.5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujun untuk mengetahui lebih dalam dan menganalisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur (Jabodetabekjur) sebagai kawasan Megapolitan. Selain itu penelitian ini diajukan sebagai salah satu tugas akhir dan syarat untuk memperoleh gelar sarjana ilmu sosial pada konsentrasi kebijakan publik, program studi ilmu administrasi negara.
1.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang dapat memberikan kemanfaatan sebagai berikut: a. Secara Teoritik Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman penelitian dalam pengembangan Ilmu Administrasi Negara khususnya dalam teori-teori kebijakan publik, analisis kebijakan publik, menejemen strategi, pembangunan kota, ilmu politik ataupun pengambilan keputusan dalam organisasi publik. Sehingga ada keterbukaan informasi kepada publik khususnya para mahasiswa ilmu administrasi Negara mengenai tugas dan wewenang dari DPD RI. Dari keterbukaan infomasi tersebut, publik pun akan dapat menilai bagaimana kinerja dari DPD RI sendiri khususnya Komite 1.
31
b. Secara Praktisi Secara praktisi penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan mengenai peran dan fungsi DPD RI khususnya Komite 1 sebagai salah satu lembaga tinggi negara yang memiliki fungsi legislatif dan memiliki kewenangan berperan untuk ikut serta dalam membentuk kawasan megapolitan di Indonesia. dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Provinsi DKI Jakarta, Jabar dan Banten. Manfaat penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai informasi, referensi, atau sebagai bahan tambahan dalam pengkajian pembentukan sebuah kawasan megapolitan di Indonesia bagi pembaca dan mahasiswa Ilmu administrasi negara dan pada penelitian selanjutnya.
32
1.7 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Latar
belakang
masalah
menjelaskan
mengapa
peneliti
mengambil judul penelitian tersebut, juga menggambarkan ruang lingkup dan kedudukan masalah yang akan diteliti yang tentunya relevan dengan judul yang diambil. Materi dari uraian ini, dapat bersumber dari hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya,
hasil
seminar
ilmiah,
hasil
pengamatan,
pengalaman pribadi, dan intuisi logik. Latar belakang timbulnya masalah perlu diuraikan secara jelas, faktual dan logik. 1.2
Identifikasi Masalah Mendeteksi aspek permasalahan yang muncul dan berkaitan dari judul penelitian atau dengan masalah atau variable yang akan diteliti. Identifikasi masalah biasanya dilakukan pada studi pendahuluan pada objek yang diteliti, observasi dan wawancara ke berbagai sumber sehingga semua permasalahan dapat diidentifikasi.
1.3
Rumusan Masalah dan Pembatasan Masalah Menetapkan masalah yang paling penting dan berkaitan dengan judul penelitian. Kalimat yang biasa dipakai dalam pembatasan masalah ini adalah kalimat pernyataan. Perumusan masalah
33
adalah mendefinisikan permasalahan yang telah ditetapkan dalam bentuk definisi konsep dan definisi operasional. 1.4
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian mengungkapkan tentang sasaran yang ingin dicapai dengan dilaksanakannya penelitian, terhadap masalah yang telah dirumuskan.Isi dan rumusan tujuan penelitian sejalan dengan isi dan rumusan masalah.
1.5
Manfaat Penelitian Menggambarkan tentang manfaat penelitian baik secara praktis maupun teoritis.
BAB II DESKRIPSI TEORI DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN 2.1
Deskripsi Teori Mengkaji berbagai teori yang relevan dengan permasalahan variable penelitian, kemudian menyusunnya secara teratur dan rapi yang digunakan untuk merumuskan masalah.
2.2
Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu adalah kajian penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang dapat diambil dari berbagai sumber ilmiah, seperti skripsi, tesis, jurnal ataupun desertasi.
34
2.3
Kerangka Berpikir Kerangka berpikir menggambarkan alur pikiran penelitian sebagai
kelanjutan dari
kajian
teori untuk memberikan
penjelasan kepada pembaca. 2.4
Asumsi Dasar Penelitian Menyajikan prediksi penelitian yang akan dihasilkan sebagai hipotesa kerja yang mendasari penulisan sebagai landasan awal penelitian.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Metode Penelitian Sub bab ini menjelaskan metode yang digunakan dalam penelitian
3.2
Instrumen Penelitian Sub bab ini menjelaskan tentang proses penyusunan dan jenis alat pengumpul data yang digunakan. Dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah peneliti itu sendiri.
3.3
Penentuan Informan Sub bab ini menjelaskan tentang orang yang dijadikan sumber untuk mendapatkan data dan sumber yang diperlukan dalam penelitian. Dapat diperoleh dari kunjungan lapangan yang dilakukan di lokasi penelitian, dipilih secara purposive dan bersifat snowball sampling.
35
3.4
Teknik Pengumpulan Data Menguraikan teknik pengumpulan data hasil penelitian dan cara menganalisis yang telah diolah dengan menggunakan teknik pengolahan data sesuai dengan sifat data yang diperoleh, melalui pengamatan, wawancara, dokumentasi dan bahan-bahan visual.
3.5
Teknik Analisis Data Sub bab ini menggambarkan tentang proses penyederhanaan data ke dalam formula yang sederhana dna mudah dibaca serta mudah diinterpretasi, maksudnya
analisis data di sini tidak saja
memberikan kemudahan interpretasi, tetapi mampu memberikan kejelasan makna dari setiap fenomena yang diamati, sehingga implikasi yang lebih luas dari hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan simpulan akhir penelitian. Analisis data dapat dilakukan melalui pengkodean dan berdasarkan kategorisasi data. 3.6
Keabsahan Data Sub bab ini menggambarkan sifat keabsahan data dilihat dari objektifitas dalam subjektivitas. Untuk dapat mendapat data yang objektif berasal dari unsur subjektivitas objek penelitian, yaitu bagaimana menginterpretasikan realitas sosial terhadap fenomenafenomena yang ada.
36
3.7
Lokasi Penelitian Tempat yang dijadikan penelitian, dalam hal ini adalah Kantor Sekretariat Jendral DPD RI. Terletak di Jalan Jendral Gatot Subroto No. 6 Jakarta.
3.8
Jadwal Penelitian Menjelaskan tentang tahapan waktu penelitian.
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1
Deskripsi Objek Penelitian Menjelaskan tentang objek penelitian yang meliputi lokasi penelitian secara jelas, struktur organisasi dari populasi atau sampel yang telah ditentukan serta hal lain yang berhubungan dengan objek penelitian.
4.2
Hasil Penelitian Menjelaskan hasil penelitian yang telah diolah dari data mentah dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif.
4.3
Pembahasan Merupakan pembahasan lebih lanjut terhadap hasil analisis data dan wawancara narasumber.
BAB V PENUTUP 5.1
Kesimpulan Menyimpulkan hasil penelitian yang diungkapkan secara singkat, jelas, sejalan dan sesuai dengan permasalahan serta hipotesis penelitian.
37
5.2
Saran Berisi rekomendasi dari peneliti terhadap tindak lanjut dari sumbangan penelitian terhadap bidang yang diteliti baik secara teoritis maupun praktis.
DAFTAR PUSTAKA Memuat daftar referensi (literatur lainnya) yang digunakan dalam penyusunan skripsi, daftar pustaka hendaknya menggunakan literatur yang mutakhir. LAMPIRAN-LAMPIRAN Memuat tentang hal-hal yang perlu dilampirkan untuk menunjang penyusunan laporan penelitian maupun penyususnan skripsi, seperti Lampiran tabel-tabel, Lampiran grafik, Instrumen penelitian, Lampiran dokumentasi, Riwayat hidup peneliti, dll.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN ASUMSI DASAR
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Definisi Kebijakan Publik Pada penelitian ini mengenai analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur yang diusung oleh Komite 1 Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif yang memiliki kewenangan membuat kebijakan. Untuk itu sebelum menganalisis kebijakan yang dibuat tersebut sebaiknya kita membahas lebih jauh mengenai bagaimana konsep kebijakan publik, kita perlu mengkaji terlebih dahulu mengenai definisi dari kebijakan publik itu sendiri. Dalam penelitian Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur tentu tidak terlepas dari bagian dalam proses perumusan kebijakan publik, untuk itu sebaiknya lebih dulu
memahami
definisi kebijakan dan konsep kebijakan publik. Banyak sumber yang berasal dari para ahli yang memberikan beberapa pengertian dari definisi kebijakan, berikut definisi kebijakan ; Menurut Frederick sebagaimana dikutip dari Agustino (2008 : 7) mendefinisikan
kebijakan
sebagai
serangkaian
tindakan/kegiatan
yang
diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan
38
39
kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan harus melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian bagaimanapun
yang terpenting dalam definisi kebijakan, karena
kebijakan
harus
menunjukan
apa
yang
sesungguhnya
dikerjakan dari apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah. Menurut Richard (dalam Winarno 2007 : 17) bahwa kebijakan dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan serta konsekuensi-konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan sebagai keputusan yang berdiri sendiri. Dari beberapa pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa kebijakan adalah tindakan/kegiatan apapun yang dilakukan oleh suatu kelompok orang atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur keputusan untuk mencapai tujuan dan maksud tertentu. Lingkup dari studi kebijakan publik sendiri sangat luas karena mencakup berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Di samping itu dapat dilihat dari hierarkinya kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional maupun lokal seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah/Provinsi, Keputusan Gubernur, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Keputusan Bupati/Walikota. Secara terminologi pengertian kebijakan publik
40
(public policy) itu ternayata banyak sekali, tergantung dari segi mana kita mengartikannya. Berikut beberapa definisi kebijakan publik : Menurut Eyestone 1971 (dalam Suharto 2007 : 3) menyatakan kebijakan
publik
sebagai
hubungan
antar
unit
pemerintah
dengan
lingkungannya, sedangkan menurut Anderson 1984 (dalam Agustino 2006 : 7) menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah : “ Serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok faktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperlukan “. Menurut Dunn (1994) : “ Kebijakan publik ialah pola ketergantungan yang kompleks dari pilhan-pilihan kolektif yang saling tergantung termasuk keputusankeputusan untuk bertindakyang tidak dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative allocation of values for the whole society atau sebagai pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. Sedangkan Pressman dan Widavsky
sebagaimana
dikutip
(dalam
Budi
Winarno
2002
: 17)
mendefinisikan kebijakan publik sebagai hipotesis yang mengandung kondisi kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa diramalkan. Menurut Dye (dalam Wibawa, 2011 : 2) kebijakan
publik adalah
“whatever government choose to do or not to do” (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan).
Definisi ini menekankan
bahwa kebijakan publik adalah mengani “tindakan” dan bukan merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat publik semata. Disamping itu pilihan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu juga merupakan kebijakan
41
publik karena mempunyai pengaruh atau dampak yang sama dengan pilihan pemerintah
untuk
melakukan
sesuatu.
Terdapat
beberapa
ahli
yang
mendefinisikan kebijakan publik sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam merespon suatu krisis atau masalah publik. Begitu pun dengan Chandler dan Plano sebagaimana dikutip Tangkilisan (2003 : 1) menyatakan bahwa : “ Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas “. Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat peneliti simpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan
masalah-masalah
publik
atau
demi
kepentingan
publik.
Kebijakan untuk emlakukan sesuatu biasanya tertuang dalam ketentuanketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa. Mempelajari kebijakan publik pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat pula.
42
2.1.2. Tahap-tahap Kebijakan Publik Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahap-tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik. Namun demikian beberapa ahli mungkin membagi tahhap-tahap ini dengan urutan yang berbeda. Tahap-tahap kebijakan publik menurut Dunn (dalam Winarno, 2007 : 32-34) adalah sebagai berikut : a. Tahap penyusunan agenda Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan pada perumus kebijakan. Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pemabahasan, atau adapula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama. b. Tahap formulasi kebijakan Masalah yang tidak masuk k dalam agenda kebijakan kemudian ditulis oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian diberi pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternative/ policy options) yang ada. Dalam perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini masing-masing actor dapat bersaing untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
43
c. Tahap Adopsi Kebijakan Dari sekian banyak alaternatif kebijakan yang ditawarkan para perumus kebijakan. Pada tahap ini akan ada beberapa analisis dan peramalan untuk mendapatkan alaternatif kebijakan. Pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusan peradilan. d. Tahap Implementasi Kebijakan Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program tersebut tidak diimplementasikan. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan bersaing . e. Tahap Evaluasi Kebijakan Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan.
2.2 Pengertian Analisis Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer karangan Salim dan Sali (dalam Ningsih 2014 : 23) menjabarkan pengertian analisis sebagai berikut : a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (perbuatan, karangan dan sebagainya) untuk mendapatkan fakta yang tepat ( asal usul sebab, penyebab sebenarnya, sebagainya). b. Analisis adalah penguraian pokok persoalan atas bagian-bagian, penelaahan bagian-bagian tersebut dan hubungan antar bagian untuk mendapatkan pengertian yang tepat dengan pemahaman secara keseluruhan. c. Analisis adalah penjabaran (pembentangan) suatu hal, dan sebagainya setelah ditelaah secara seksama. d. Analisis adalah proses pemecahan masalah yang dimulai dengan hipotesis (dugaan, dan sebagainya) sampai terbukti kebenarannya melalui beberapa kepastian (pengamatan, percobaan, dan sebaginya).
44
e. Analisis adalah proses pemecahan masalah (melalui akal) ke dalam bagian-bagiannya berdasarkan metode yang konsisten untuk mencapai pengertian tentang prinsip-prinsip dasarnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Subarso dan Retnoningsih (dalam Ningsih 2014 : 24), analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduk perkara, dan sebagianya). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional (dalam Ningsih 2014 : 24) menjelaskan bahwa analsisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa. Berdasarkan pengertian di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa analisis adalah serangkaian aktivitas intelektual yang bertujuan untuk penyelidikan suatu keadaan, mengkaji dan memberikan alternatif pada suatu peristiwa atau keadaan yang akan atau telah terjadi untuk memecahkan masalah. Kemudian pengertian analisis kebijakan dari para ahli yaitu; menurut Bauer (dalam Dunn 2003 : 1) analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut William (dalam Nugroho, 2012 : 328) analisis kebijakan adalah sebuah cara penyintesisan informasi, termasuk hasil-hasil penelitian, untuk menghasilkan format keputusan kebijakan dan menentukan informasi yang relevan dengan kebijakan. Menurut Dunn (dalam Nugroho, 2012 : 299) analisis kebijakan publik adalah aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan,
45
secara kritis menilai, mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan dalam proses kebijakan. Analisis kebijakan adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan
berbagai
metode
pengkajian
multipel
dalam
konteks
argumentasi dan debat politik untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengomunikasikan pengetahuan yang relavan dengan kebijakan. Mengikuti Dunn, metode analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah, yaitu : 1. Definisi, menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. 2. Prediksi, menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu. 3. Preskripsi, menyediakan informasi mengenai nlai konsekuensi alternatif kebijakan di masa mendatang. 4. Deskripsi, menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. 5. Evaluasi, kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah. Secara visual dapat digambarkan sebagai berikut :
Definisi
Prediksi
Preskripsi
Deskripsi
Evaluasi
Gambar 2.1 Proses Analisis Kebijakan menurut Dunn
Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin ilmu dengan tujuan memberikan informasi yang bersifat deskriptif, evaluatif, dan atau preskriptif (Nugroho 2012 : 306). Analisis kebijakan menjawab tiga macam pertanyaan, yaitu: 1. Nilai yang pencapaiannya merupakan tolak ukur utama untuk menilai apakah suatu masalah sudah teratasi?
46
2. Fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai. 3. Tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilainilai. Untuk menjawabnya, (Nugroho 2012 : 307) analis kebijakan dapat menggunakan salah satu atau kombinasi dari ketiga pendekatan analisis ini, yakni empiris, valuatif, dan atau normatif. Ketiga pendekatan tersebut dipaparkan dalam tabel sebagai berikut : Tabel 2.1 Pendekatan Analisis Kebijakan Pendekatan
Pertanyaan Utama
Tipe Informasi
Empiris
Adakah dan akankah (fakta)?
Deskriptif & Preskriptif
Valuatif
Apa manfaatnya (nilai)?
Evaluatif
Normatif
Apakah yang harus diperbuat (aksi) ?
Preskriptif
Analisis kebijakan juga dapat dibedakan menjadi prospektif atau ex post yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan; dan analisis retrospektif atau ex ante adalah produksi dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan. Diantara keduanya,
Dunn
menyebut
analisis terintegrasi,
yaitu
produksi
dan
transformasi informasi baik sebelum maupun sesudah aksi kebijakan (Nugroho 2012 : 307).
47
2.3 Model Teori Analisis Kebijakan A. Analisis Kebijakan Versi Dunn Dalam proses analisis kebijakan menurut Dunn (2003 : 25) ada beberapa tahapan, yaitu : 1. Merumuskan Masalah Masalah kebijakan adalah nilai, kebutuhan, atau kesempatan yang belum terpenuhi, yang dapat diidentifikasi, untuk kemudian diperbaiki atau dicapai melalui tindakan publik. Masalah kebijakan mempunyai ciri-ciri : a. Terdapat saling ketergantungan antar masalah kebijkan, b. Mempunyai subjektivitas, c. Buatan manusia karena merupakan produk penilaian subjektif dari manusia, dan d. Bersifat dinamis. Fase-fase perumusan masalah kebijakan (Dunn 2003 : 226) disusun sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Pencarian masalah (problem search) Pendefinisian masalah (problem definition) Spesifikasi masalah (problem spesification) Pengenalan masalah (problem sensing)
Untuk menuju analisis kebijakan, sejak perumusan masalah sudah harus dikenali model-model kebijakan (Dunn 2003 : 234-241) yaitu : 1. Model deskriptif, yang bertujuan menjelaskan dan atau memprediksi sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi pilihan kebijakan.
48
2. Model normatif, yang selain bertujuan sama dengan model deskriptif, juga memberikan rekomendasi untuk meningkatkan pencapaian nilai atau kemanfaatan. 3. Model verbal, yakni bersandar pada penilaian nalar untuk membuat prediksi dan menawarkan rekomendasi. 4. Model simbolis, yaitu analisis menggunakan simbol-simbol matematis untuk menerangkan hubungan di antara variabelvariabel kunci yang dipercaya mencari suatu masalah. 5. Model prosedural, yaitu menampilkan hubungan yang dinamis di antara variabel-variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan. 6. Model sebagai pengganti dan perspektif, yaitu dimensi terakhir yang penting dari model-model kebijakan berhubungan dengan asumsi mereka. Model pengganti (surrogate model) diasumsikan sebagai pengganti dari masalah-masalah substantif. 2. Peramalan masa depan kebijakan Mengutip Dunn (2003 : 291) peramalan atau forecasting adalah suatu prosedur untuk membuat informasi faktual tentang situasi sosial di masa depan atas dasar informasi yang telah ada tentang masalah kebijakan. Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu (Dunn, 2003 : 26). Ramalan memiliki tiga (3) bentuk utama, yakni proyeksi, prediksi, dan perkiraan (Dunn 2003 : 291-292) , yaitu : 1. Peramalan ekstrapolasi, yaitu ramalan yang didasarkan atas ekstrapolasi hari ini ke masa depan, dan produknya di sebut proyeksi. Teknik yang dapat dipergunakan antara lain analisis antarwaktu, estimasi tren linear, pembobotan eksponansial, transformasi data, katastrofi metodologi. Proyeksi membuat pernyataan yang tegas berdasarkan argumen yang diperoleh dari metode tertentu dengan kasus yang paralel. Peramalan ini menggunakan tiga asumsi dasar, yaitu : persistensi (pola yang diamati di masa lampau akan tetap
49
ditemui di masa depan), keteraturan (visi di masa lalu sebagaimana ditunjukan oleh kecenderungannya akan terulang secara ajek di masa depan), dan reabilitas validitas data. 2. Peramalan teoritis, yaitu ramalan yang didasarkan pada suatu asumsi teoritik yang tegas, dan produknya disebut prediksi. Teknik yang dapat digunakan antara lain pemetaan teori, model kausal, analisis regresi, estimasi titik dan interval, analis korelasi. Apabila pada peramalan ekstrapolatif menggunakan logika induktif, pada peramalan teoritis menggunakan logika deduktif. 3. Peramalan penilaian pendapat, yaitu ramalan yang didasarkan pada penilaian informatif para ahli atau pakar tentang situasi masyarakat masa depan, dan produknya disebut perkiraan (conjecture). Teknik yang dapat digunakan antara lain analisis dampak silang, penilaian fasibilitas (kelayakan). Teknik peramalan penilaian pendapat (judgemental forecasting) berusah memperolah dan menyintesiskan pendapat-pendapat para ahli. Logika yang digunakan bersifat retroduktif karena analisis dimulai dengan dugaan tentang sesuatu keadaan, dan kemudian berbalik ke data atau asumsi yang dipergunakan untuk mendukung dugaan tersebut. Meskipun pada praktiknya ketika logika tersebut induktif, deduktif, dan retroduktif, tidak dipisahkan satu sama lain. Peramalan mempunyai sejumlah tantangan (Dunn 2003 : 294-295), yaitu: (i) akurasi ramalan, yaitu ketepatan dari remalan yang relatif sederhana yang didasarkan pada ektrapolasi atas kecenderungan sebuah variabel maupun ramalan yang kompleks berdasar modelmodel yang memasukan ratusan variabel masih terbatas. (ii) kondisi komparatif masa depan, ketepatan prediksi yang didasarkan pada model teoretik yang kompleks atas ekonomi dan sistem sumber daya energi tidak lebih tinggi dibanding ketepatan proyeksi dan konjektur yang dibuat atas dasar model ekstrapolasi sederhana dan penilaian informatif (oleh pakar). (iii) konteks, yaitu konteks institusional, temporal, dan historical. Masa depan pun terdiri dari tiga jenis, yaitu masa depan yang potensial atau sering disebut masa depan alternatif, masuk akal (plausible), dan normatif, yang merupakan gabungan antara potensial, dan plausible.
50
3. Rekomendasi Kebijakan Mengutip dari Dunn (2003 : 405) prosedur dari analisis kebijakan dari rekomendasi memungkinkan menghasilkan informasi tentang kemungkinan serangkaian aksi di masa mendatang untuk menghasilkan konsekuensi yang berharga bagi individu, kelompok, atau masyarakat seluruhnya. Untuk membuat rekomendasi kebijakan juga mengharuskan kita menentukan alternatif mana yang paling baik. Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat ganda, menentukan
kriteria
dalam
pembuatan
pilihan,
dan
menentukan
pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan (Dunn, 2003 : 27). Membuat rekomendasi kebijakan menentukan alternatif yang terbaik dan alasannya karena prosedur analisis kebijakan berkaitan dengan masalah etika dan moral. Rekomendasi pada dasarnya adalah pernyataan advokasi, dan advokasi mempunyai empat pertanyaan yang harus dijawab (Dunn, 2003 : 406), yaitu : 1. Dapat ditindaklanjuti (actionable), yaitu pernyataan advokatif memusatkan pada tindakan yang dapat menyelesaikan masalah kebijakan. 2. Bersifat prospektif, karena pernyataan tersebut dibuat sebelum dilakukan tindakan. 3. Bermuatan nilai, bahwa alternatif bergantung pada “fakta” dan juga pada nilai.
51
4. Etik secara kompleks, yaitu nilai-nilai yang mendasari pernyataan advokatif secara etika kompleks.
Dalam menentukan alternatif kebijakan (Dunn 2003 : 416-417), salah satu pendekatan yang paling banyak dipergunakan adalah pendekatan rasionalitas. Namun, rasionalitas juga berarti multirasionalitas, yang berarti terdapat dasar-dasar rasional ganda yang mendasari sebagian besar pilihanpilihan kabijakan, yaitu : a. b. c. d. e.
Rasionalitas teknis, berkenaan dengan pilihan efektif. Rasionalitas ekonomis, berkenaan dengan efisiensi. Rasionalitas legal, berkenaan dengan legalitas. Rasionalitas sosial, berkenaan dengan akseptabilitas. Rasionalitas substanstif, yang merupakan kombinasi keempat rasinalitas di atas.
Karakteristik utama dari berbagai bentuk rasionalitas tersebut adalah bahwa semuanya melakukan pemilihan secara bernalar tentang perlunya mengambil arah tindakan tertentu untuk memecahkan masalah kebijakan. Di luar model rasionalitas di atas, (Dunn 2003 : 417) menyarankan rasionalitas komprehensif, yang merupakan upaya penyingkronisasi seluruh model rasionalitas di atas. Rasionalitas bertemu dengan realitas bahwa alternatif pada akhirnya terbatas karena adanya nilai-nilai individual yang lebih banyak mempengaruhi dan batas-batas pengetahuan. Menurut Simon (dalam Nugroho 2012 : 317) memperkenalkan konsep yang lebih „moderat‟, yaitu satisfactory dan sufficiency. Di sini pengambilan alternatif tidak dipaksakan pada alternatif terbaik maksimal, namun alternatif yang terbukti akan menghasilkan suatu kenaikan manfaat yang paling memuaskan. Rekomendasi mempunyai enam (6)
52
kriteria utama, beberapa tipe pilihan rasional dapat diletakan sebagai kriteria keputusan yang digunakan untuk menyarankan pemecahan masalah kebijakan (Dunn 2003 : 429), yaitu : 1. Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakan tindakan. 2. Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas yang dikehendaki. 3. Kecukupan, berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. 4. Perataan (equity), berkenaan dengan pemerataan distribusi manfaat kebijakan. 5. Responsivitas, berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompokkelompok masyarakat yang menjadi target kebijakan. 6. Kelayakan (appropriateness), berkenaan dengan pertanyaan apakah kebijakan tersebut tepat untuk suatu masyarakat
4. Pemantauan Hasil Kebijakan Pemantauan hasil kebijakan atau biasa disebut monitoring merupakan prosedur analisis kebijakan yang digunakan untuk memberikan informasi tentang sesbab akibat kebijakan publik (Dunn, 2003 : 509). Pemantauan setidaknya memainkan empat (4) fungsi dalam analisis kebijakan yaitu; kepatuhan (compliance), akuntansi, pemeriksaan, dan ekplanasi (Dunn, 2003 : 510). Hasil kebijakan dibedakan antara keluaran (outputs), yaitu produk layanan yang diterima kelompok sasaran kebijakan, dan impak (impact), yaitu perubahan perilaku yang nyata pada kelompok sasaran kebijakan (Dunn 2003 : 2011).
53
Dunn (2003 : 514) membedakan jenis tindakan kebijakan menjadi dua (2), yakni kebijakan regulatif, yaitu tindakan kebijakan yang dirancang untuk menjamin kepatuhan terhadap standar atau prosedur tertentu, dan kebijakan alokatif yaitu tindakan mengalokasikan sumber daya tertentu pada sasaran kebijakan. Baik kebijakan regulatif maupun alokatif dapat memberikan akibat yang bersifat distributif ataupun redistributif. Pemantauan sangat penting dalam analisis kebijakan. Untuk itu ada beberapa pendekatan dalam pemantauan yang dapat dipilih menjadi beberapa pendekatan yaitu; akuntansi sistem sosial, eksperimental sosial, auditing sosial, dan sistesis riset praktek, pendekatan tersebut dapat menggunakan metode kuantitaif dan kualitatif (Dunn 2003 : 519). 5. Evaluasi Kinerja Kebijakan Evaluasi kebijakan publik merupakan bagian dari proses analisis kebijakan. Menurut Dunn (2003 : 632) fungsi evaluasi dalam analisis kebijakan adalah menyediakan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, kemudian memberikan kejelasan dan kritik nilai-nilai yang mendasari pilihan tujuan, sasaran, dan penyediaan informasi bagi perumusan masalah dan inferensi praktis. Dunn (2003 : 612) mengembangkan tiga (3) pendekatan dalam evaluasi kebijakan, yaitu evaluasi semu, evaluasi formal, dan evaluasi teoritis. evaluasi semua adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan tanpa berusaha menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-
54
hasil pada target kebijakan. Evaluasi semu berasumsi bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang terbukti sendiri atau self evident atau tidak kontroversial. Evaluasi formal merupakan pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil kebijakan, namun mengevaluasi hal tersebut atas tujuan program kebijakan yang telah diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan. evaluasi keputusan teoritis (Decission Theoritic Evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam. Model evaluasi menurut Dunn (2003 : 610) sebagai berikut : (i) (ii) (iii) (iv) (v) (vi)
Efektivitas Efisiensi Kecukupan Perataan (equity) Responsivitas Ketepatan
Evaluasi memiliki fungsi penting dalam kebijakan, pertama, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan. kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilainilai yang mendasari target dan tujuan (Dunn 2003 : 609-610). B. Analisis Kebijakan Versi SWOT Selain dengan menggunakan pendekatan teori analisis kebijakan menurut Dunn di atas, analisis kebijakan publik dapat dilakukan dengan menggunakan metode analisis SWOT. Analisis SWOT adalah instrumen yang
55
digunakan untuk melakukan analisis strategis dari sebuah kebijakan yang telah dibuat untuk diterapkan. Menurut Simbolon (1999), analisis merupakan suatu alat yang membantu menstrukturkan masalah, dengan melakukan analisis atas strategis, yang lazim disebut sebagai lingkungan eksternal. Lingkungan internal dan eksternal pada dasarnya terdapat empat unsur yang dihadapi dan memiliki sejumlah
kekuatan-kekuatan
(Strengths)
dan
kelemahan-kelemahan
(Weaknesses), dan secara eksternal akan berhadapan dengan berbagai peluangpeluang (Oppotunities) dan ancaman-ancaman (Threats). Kegiatan yang paling penting dalam memahami analisis SWOT adalah memahami seluruh informasi dalam suatu kasus, menganalisis situasi untuk mengetahui isu apa yang sedang terjadi dan memutuskan tindakan apa yang harus segera dilakukan untuk memecahkan masalah (Rangkuti, 2001 : 14). SWOT merupakan singkatan dari strengths (kekuatan-kekuatan), weaknesses (kelemahan-kelemahan),
opportunities
(peluang-peluang),
dan
threat
(ancaman-ancaman). pengertian kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam analisis SWOT (Amin 1994 : 75) adalah sebagai berikut : 1. Kekuatan (strengths). Kekuatan sumber daya, keterampilan keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan dari pasar atau suatu perusahaan. 2. Kelemahan (weaknesses) adalah keterbatasan/kekurangan dalam sumber daya alam, keterampilan dan kemampuan. 3. Peluang (opportunities). Peluang adalah situasi atau kecenderungan yang dapat memberi keuntungan. 4. Ancaman (threats) adalah situasi atau kecenderungan yang tidak dapat memberikan keuntungan.
56
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Proses pengambilan keputusan harus menganalisis faktor strategis pada kondisi saat ini. C. Analisis Kebijakan Versi Patton dan Savicky Model teori analisis kebijakan selanjutnya yaitu analisis kebijakan menurut Patton dan Savicky (dalam Nugroho 2012 : 359) bahwa analisis kebijakan publik dapat dilakukan sebelum dan sesudah kebijakan itu dibuat. Bentuk analisis dibagi menjadi dua (2) yaitu prediktif dan preskripstif. Analisis prediktif merujuk pada proyeksi kondisi masa mendatang sebagai hasil dari adopsi kebijakan. Sedangkan analisis preskriptif merujuk pada rekomendasi kebijakan. Rekomendasi kebijakan yang bersifat umum dan tidak memberikan fokus tertentu disebut advis, sementara rekomendasi yang menekan pembuat kebijakan agar memilih suatu kebijakan disebut advis persuasif. Dengan mempergunakan konsep dari pendahulunya seperti Quade, Dunn, dan Weimer & Vining, Patton dan Savicky (dalam Nugroho 2012 : 360) mempromosikan enam (6) langkah analisis kebijakan yang disebut A Basic Policy Analysis Process, yang digambarkan sebagai berikut :
57
(1) Verify, Define, and Detail the Problem (6) Monitor the
(2) Establish
Implemetend Policy
Evalution Criteria
(5) Display and
(3) Identify Alternative
Distinguish among
Policies
Alternative Policies
(4) Evaluate Alternative Policies
Gambar 2.2 Proses Dasar Analisis Kebijakan menurut Patton dan Savicky
1. Mendifinisikan, Verifikasi, dan Mendetail Permasalahan Kebijakan Proses pokok dalam langkah mendefinisikan, verifikasi, dan mendetail permasalahan kebijakan
adalah mengembangkan “pernyataan masalah”
(developing problem statement) yang secara rinci terdapat langkah-langkah berikut (Nugroho 2012 : 361) : a. b. c. d. e. f. g.
Think about the problem Delineate the boundaries of the problem Develope a fact base List goals and objectivies Identify the police anvelope Display potential cost and benefits Review the problem statement
58
Metode
dasar
yang
permasalahan antara lain
dapat
digunakan
dalam
mendefinisikan
back of the envelope calculations untuk
memeperkirakan “ukuran” permasalahan, quick decisision analysis untuk mengidentifikasi atribut-atribut atau karakter-karakter pokok permasalahan, creation of valid operational definitions untuk memastikan bahwa kita menilai masalah yang hendak dinilai, political analysis untuk membuat kita tidak mengabaikan faktor-faktor yang tidak dapat dikuantifikasi, dan issue paper atau first-cut analysis yang mengidentifikasi masalah yang diperlukan. Dalam metode quick decisision analysis menurut Patton & Savicky (dalam Nugroho 2012 : 362-363) akan tampak bahwa pengambil keputusan dihadapkan pada alternatif tapa risiko dan alternatif berisiko. Sedangkan metode analisis politik mengingatkan analis kebijakan untuk melihat isu-isu politik sebagai bagian dari integral dari proses kebijakan, mempelajari istilahistilah yang lazim digunakan untuk mengkomunikasikan faktor-faktor politik tersebut, dan menggunakan metode yang konsisten dalam pelaporan, penyajian, dan analisis isu politik. Agenda pokok adalah memastikan bahwa permasalahan dapat direduksi hingga ukuran yang dapat dikelola (a man ageable size). 1. Establishing evaluation criteria Langkah kedua dalam analisis kebijakan publik menurut Pattton dan Savicky (dalam Nugroho, 2012 : 364-366), yaitu kriteria evaluasi. Patton dan Savicky memperkenalkan evaluasi dengan model yang bersifat ekonomis, yaitu:
59
a. Free market model b. Kriteria biaya-biaya (Costs) c. Kriteria manfaat-manfaat (Benefits) d. Kriteria posisi (Standing) e. Kriteria eksternalitas f. Kriteria elastisitas g. Kriteria analisis marginal h. Kriteria keadilan Pada akhirnya, kriteria evaluasi dapat dikembangkan sesuai dengan permasalahan yang hendak dicapai, dan alternatif yang tersedia. 2. Mengidentifikasi Alternatif Menurut Patton dan Savicky (dalam Nugroho, 2012 : 368) metode untuk mengidentifikasi alternatif dikelompokkan menjadi lima (5), yaitu : a. Reaserched analysis and experimentation yang menggunakan teknik passive collection and classification. b. No-action analysis yang menggunakan teknik pengembangan tipologitipologi (development of typologies). c. Quick surveys yang menggunakan teknik analagi, metafora, dan sinektik-sebuah teknik yang melihat masalah lama dengan cara pendekatan yang baru. d. Literature review yang menggunakan teknik galang-gagas (brainstorming). e. Comparison of real world experience yang menggunakan teknik perbandingan dengan suatu ideal. 3. Evaluasi Alternatif Kebijakan Langkah ini khusus diambil untuk kebijakan yang akan diambil. Patton dan Savicky (dalam Nugroho, 2012 : 368) memperkenalkan dua (2) metode untuk menentukan alternatif kebijakan peramalan dan evaluasi.untuk analisis peramalan terdiri dari ; ekstrapolasi, yaitu membuat proyeksi masa depan
60
dengan menggunakan data masa kini; modeling teoritis, yaitu peramalan yang mempergunakan pendekatan teori; peramalan intuitif, yaitu melakukan interview kepada para ahli atau pakar (Nugroho, 2012 : 368). Teknik evaluasi yang dapat digunakan adalah (i) teknik discounting yang menghitung future value
impak dari suatu kebijakan, (ii) teknik three
measures of effieciency, yaitu teknik efisiensi yang mengkombinasikan tiga ukuran efisiensi, (iii) teknik analisis sensitivitas, yaitu proses yang digunakan dapat menemukan asumsi-asumsi yang bersifat kritikal atau sensitif terhadap analisis (Nugroho, 2012 : 369). 4. Menyajikan Alternatif Kebijakan Patton dan Savicky menegaskan bahwa proses analisis kebijakan merupakan evaluasi alternatif kebijakan dan sisi teknis, ekonomis, dan politik, dikaitkan dengan implementasinya. Dalam penyajikan alternatif kebijakan menurut Patton dan Savicky (dalam Nugroho, 2012 : 374) ada beberapa pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan perbandingan sederhana, pendekatan matrix scorecard. Patton dan Savicky tidak memberikan rekomendasi, selain mengatakan bahwa bahaya terbesar dalam analisis kebijakan seringkali bukan pada rekomendasinya, namun pada pembobotan alternatif yang tidak akurat (Nugroho, 2012 : 275).
61
5. Pemantauan dan Evaluasi Kebijakan yang diimplementasikan Patton dan Savicky mengemukakan bahwa impelemntasi sama penting dengan kebijakan itu sendiri sehingga kegagalan implementasi dianggap sama dengan kegagalan kebijakan itu sendiri. Kemudian pada evaluasi kebijakan dilaksanakan dalam pola kontinuum, dan evaluasi dalam pola kontinuum dikelompokan menjadi empat kegiatan yang berurutan, yaitu ex ante, maintenance, monitoring, dan ex post (Nughroho, 2012 : 376). Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode analisis kebijakan menurut Dunn. Dalam tahap-tahap selanjutnya dari proses kebijakan, para pembuat kebijakan mungkin berusaha menggunakan informasi baru untuk mengubah proses kebijakan semula. Desain analisis ini memberikan keuntungan untuk analisis komparasi pembentukan kebijakan. Untuk tujuan tersebut, orang bisa saja menyelidiki bagaimana fungsi-fungsi yang berbeda dilaksanakan, pengaruh apa dan oleh siapa dalam sistem politik atau unit-unit pemerintah yang berbeda dilakukan. Dalam bahasa yang lebih ringkas, kita dapat mengatakan bahwa pembentukan kebijakan lebih dari sekedar aktivitas proses intelektual. Selain itu, dari latar belakang masalah yang telah peneliti uraikan, dirasa teori analisis Dunn yang paling cocok untuk digunakan dalam analisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan.
62
2.4 Awal Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional; serta untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dalam rangka pembaharuan
konstitusi,
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Republik
Indonesia (MPR RI) membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Pembentukan DPD RI ini dilakukan melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan November 2001. DPD RI lahir dari semangat pembaharuan untuk melepaskan diri dari belenggu sisem pemerintahan yang sentralisik menuju era desentralisasi dan otonomi daerah. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.
1
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) adalah bagian dari lembaga tinggi negara dan merupakan lembaga legislatif yang bertugas menjembatani kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Keberadaan DPD RI diakui memang belum serta merta dapat mengatasi berbagai masalah. Namun, DPD RI telah banyak memberikan warna dalam
1
Merajut kerja demi Indonesia. Komite 1 DPD RI. 2014 : 1
63
menjawab berbagai persoalan bangsa demi keutuhan serta kemajuan bangsa. Beragam harapan dan cita-cita masyarakat daerah banyak ditumpuhkan kepada DPD RI. Dalam Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPD RI disebutkan bahwa DPD adalah lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 92/PUU/-X/2012, MK meneguhkan lima hal, yaitu : (i) DPD terlibat dalam pembuatan Program Legislasi Nasional (Prolegnas); (ii) DPD berhak mengajukan RUU yang dimaksudkan dalam pasal 22D ayat (1) UUD 1945, sebagai halnya atau bersama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (iii) DPD berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks pasal 22D ayat (2) UUD 1945; (iv) pembahasan UU dalam konteks pasal 22D ayat (2) bersifat tiga pihak, yaitu antara DPR, DPD, dan Presiden; (v) MK menyatakan bahwa ketentuan dalam UU MD3 dan UU P3 yang tidak sesuai dengan tafsir MK atas kewenangan DPD dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945, baik yang diminta maupun tidak. Berdasarkan Undang-Undang MD3 No. 17 Tahun 2014 mengenai tugas dan kewenangan MPR, DPR, DPD, dan DPRD bahwa DPD merupakan lembaga legislatif yang dipilih melalui Pemilu. Dalam kewenangannya menjalankan fungsi legislasi, DPD dapat mengajukan Rancangan Undang-
64
Undang dan memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU serta memberikan pertimbangan kepada DPR. Dengan adanya kewenangan untuk mengajukan RUU maka DPD RI memiliki kewenangan dalam mengajukan RUU yang berkaitan dengan bidang otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, tata kelola, tata ruang, HAM dan lainnya. Berdasarkan UU MD3 tahun 2014 alat kelengkapan DPD RI dibagi menjadi ; (i) pimpinan, (ii) Panitia Musyawarah, (iii) panitia kerja, (iv) Panitia Perancang UndangUndang, (v) Panitia urusan rumah tangga, (vi) Badan Kehormatan, (vii) alat kelengkapan lainnya disesuaikan. Kantor Sekretariat Jendral DPD RI terletak di Kompleks Parlemen DPR/MPR/DPD RI, di Jalan Jendral Gatot Subroto No. 6 Jakarta. 2.4.1 Fungsi, Tugas dan Wewenang DPD RI Sesuai dengan konstitusi, format representasi DPD RI dibagi menjadi fungsi legislasi, fungsi pertimbangan, dan fungsi pengawasan pada bidangbidang terkait sebagaimana berikut ini : a. Fungsi Legislasi Tugas dan wewenang: i.
Dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR
ii.
Ikut membahas RUU
Bidang
Terkait:
Otonomi
daerah;
Hubungan
pusat
dan
daerah;
Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; Perimbangan keuangan pusat dan daerah.
65
b. Fungsi Pertimbangan Memberikan pertimbangan dan pandangan kepada DPR dalam pembahasan suatu Rancangan Undang-Undang (RUU). c. Fungsi Pengawasan Tugas dan wewenang : i. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. ii. Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh BPK.
2.4.2
Alat Kelengkapan DPD RI Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) anggotanya
terdiri dari tiap-tiap perwakilan provinsi yang berjumlah empat (4) orang dari tiap provinsinya, terbagi dalam beberapa Komite sebagai kelengkapan tetap DPD RI. Dalam pembagian bidang-bidang yang ditangani DPD RI dari masing-masing provinsi dibagi ke dalam empat komite, yang tiap komitenya diisi oleh satu orang anggota perwakilan Provinsi. Dari data yang diperoleh dari tahun 2013, jumlah anggota DPD periode 2009-2014 keseluruhannya dari 33 Provinsi berjumlah 132 orang. dari empat (4) komite yang ada sebagai alat kelengkapan tetap, yang menangani bidang-bidang terkait, sebagai berikut :
66
1. Komite I DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; serta pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah. 2. Komite II DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada pengelolaan sumber daya alam; dan pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya. 3. Komite III DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada pendidikan dan agama. 4. Komite IV DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN; perimbangan keuangan pusat dan daerah; memberikan pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan Anggota BPK; pajak; dan usaha mikro, kecil dan menengah. DPD RI secara kelembagaan tidak terlepas dari alat kelengkapan yang terdapat di dalamnya. Dalam penelitian kali ini, peneliti lebih fokus pada Komite 1 DPD RI. Selain bidang-bidang di atas, lingkup tugas Komite I sebagai mana dimaksud, melaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut ;
67
(i) Pelaksanaan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan terkait otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; (ii) Penyampaian bahan masukan dalam rangka penyusunan pertimbangan atas RUU dan APBN sebagai pelaksanaan fungsi anggaran sesuai dengan Tata Tertib DPD RI Pasal 79 ayat (1) poin a. 2 2.5 Alasan Dibentuknya Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur Alasan mengapa akan dibentuknya Kebijakan Pengelolaan Wilayah Terpadu Jabodetabekjur adalah karena kawasan Jabodetabekjur memenuhi kriteria sebagai kawasan megapolitan yang pertama untuk memperkuat DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara dan menghindari ketimpangan pembangunana di wilayah Bodetabekjur dengan DKI Jakarta. Selain itu banyaknya masalah yang timbul akibat dari ketimpangan derajat otonomi daerah, dan ketimpangan pembangunan menyebabkan harus dibentuk sebuah satu kesatuan regulasi terkait wilayah Jabodetabekjur. Berdasarkan Prolegnas tahun 2014, Komite 1 DPD RI akan melaksanakan pembahasan lebih dalam mengenai RUU Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur untuk menjadikan wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan. Masalah yang akan dikelola yaitu masalah mengenai tata ruang kota, pola transportasi dan jalan, pemukiman dan lingkungan, kependudukan dan tenaga kerja, ekonomi dan industri.
2
Ibid.
68
Sejak tahun 1967, telah dibentuk Badan Kerjasama antar-Kota seluruh Indonesia melalui Musyawarah antar-Kota Seluruh Indonesia (MAKSI) di Gedung Merdeka, Bandung. Saat itu, yang terpilih sebagai ketua umum MAKSI adalah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, sedangkan Sekjen-nya dipegang oleh orang Jawa Barat juga, yakni Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin (alm). Salah satu tugas dan fungsi badan tersebut adalah mengelola permasalahan daerah perbatasan antara Jabar dan DKI Jakarta, saat itu Banten masih bagian wilayah administratif Provinsi Jabar. Sejak pemerintahan bang Ali Sadikin, program pembangunan Megapolitan Jakarta-Jabar sudah mulai di rencanakan. Pada intinya, program tersebut merupakan program kerjasama pembangunan di perbatasan untuk membentuk sebuah kawasan ragulasi wilayah
Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi
(Jabodetabek).
Namun,
hingga pemerintahan provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh Joko Widodo. Memasuki tahun 2012, pemerintah mencanangkan Metropolitan Priority Areas (MPA). Namun, proyek pembangunan infrastruktur kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Jepang yang menelan investasi sekitar Rp. 410 triliun tersebut belum terintegrasi dengan pembangunan di Jabar secara menyeluruh (FGD 18 Februari 2014). Regulasi Pembangunan Pemerintah DKI Jakarta dan Jabar tersebut dari tahun ke tahun terkesan statis, hanya terkonsentrasi di pusat perkotaan sehingga akan meningkatkan semakin ”jomplangnya” disparitas pembangunan antara perkotaan dan pedesaan. Padahal, untuk memecahkan permasalahan DKI Jakarta seperti, kemacetan dan banjir, Metropolitan Priority Areas (MPA)
69
DKI Jakarta tersebut dapat diperluas diintegrasikan dengan program pembangunan pedesaan di Jabar dan Banten melalui MPA “JAJATEN” yakni Megapolitan Priority Areas (MPA) Jakarta – Jabar - Banten (FGD 18 Februari 2014). Pada akhirnya usulan mengenai regulasi terkait pembentukan program terpadu wilayah Jabodetabekjur dikaji oleh Komite 1 DPD RI. Dalam Perpres 54 tahun 2008 didasarkan pada lingkup wilayah fungsional, yang terbagi atas tiga wilayah Provinsi, yang terdiri atas 15 Kabupaten dan Kota di wilayah Jabodetabekjur. Di lain pihak, wewenang otonomi pemerintah daerah yang terlingkupi memiliki kedudukan yang tidak sama, di DKI Jakarta terletak pada pemerintah provinsi, sementara untuk wilaya dua provinsi lainnya terletak pada kabupaten dan kota. Dari berbagai peliknya permasalahan yang ada di Jabodetabekjur, untuk itu alasan Komite 1 DPD RI dan bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Jabodetabekjur akan mengkaji lebih dalam dan membentuk kebijakan pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan Megapolitan dan dibentuk suatu satu kesatuan wilayah regulasi.
70
2.6
Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu adalah kajian penelitian yang pernah dilakukan
oleh peneliti sebelumnya yang dapat diambil dari berbagai sumber ilmiah, seperti skripsi, tesis, jurnal ataupun desertasi. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti memasukan dua penelitian terdahulu, yang dalam fokus penelitian membahas mengenai kajian pembentukan kawasan megapolitan di wilayah Jabodetabekjur. Dasar atau acuan yang berupa teori atau temuan-temuan melalui hasil berbagai penelitian sebelumnya merupakan hal sangat perlu dan dapat disajikan sebagai data pendukung. Penelitian terdahulu ini bermanfaat dalam mengelola dan memecahkan masalah yang timbul dalam pembentukan kawasan megapolitan di wilayah Jabodetabekjur. Dalam penelitian mengenai analisis Kebijakan Program Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan Megapolitan oleh Komite 1 DPD RI, berikut hasil penelitian terdahulu yang peneliti baca. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Pusat Riset Perkotaan dan Wilayah, Universitas Indonesia (PRPW UI), tahun 2013. Penelitian ini berjudul Penyusunan kajian strategi pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekpunjur. Tujuan dari penelitian ini untuk menyusun strategi yang dapat di implementasikan untuk pengelolaan secara sosial, infrastruktur, ekonomi, biogefisik secara terpadu di wilayah Jabodetabekpunjur. Dari penelitian ini, peneliti mendapatkan informasi mengenai permasalahan yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur untuk dibentuk sebagai kawasan megapolitan. Dalam penelitian tersebut, banyak dipaparkan mengenai permasalahan dan gambaran
71
pembentukan kawasan megapolitan. Untuk membentuk sebuah kawasan regulasi terkait megapolitan dibutuhkan kerjasama seluruh stakeholder. Dalam penelitian yang dibuat oleh PRPW UI menggunakan teori implementasi kebijakan, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pada penelitian ini memberikan informasi mengenai lemahnya koordinasi dari lembaga kerjasama yang sudah ada belum mampu mengkoordinasikan sealuruh penyatuan
wilayah
Jabodetabekjur
untuk
mencapai
sebuah
kawasan
metropolitan yang efektif dan efisien. Persamaan yang terdapat dalam penelitian ini, yakni mengkaji kawasan Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan. Sedangkan, perbedaannya Mengarah kepada kajian strategi pembentukan kawasan megapolitan di Indonesia. Kritik dalam penelitian ini sebaiknya ditekankan untuk pembuatan kebijakan yang baru pada kawasan Jabodetabekjur. Sumber yang digunakan dalam penelitian yang dibuat oleh PRPW UI dari Zainal (2013), dengan judul buku
Pengelolaan,
Kelembagaan
dan
Pembiayaan
Kawasan
Jabodetabekpunjur, yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Robert Endi Jaweng, tahun 2014. Penelitian ini berjudul Megapolitan Jabodetabekjur, Masalah dan Pilihan Model Kepemerintahan di Era Otonomi Daerah. Tujuan dari penelitian ini adalah
menyatukan
beberapa
kota
menjadi
suatu
kawasan
tempat
bergabungnya beberapa kota yang memiliki yurisdiksi administratif sendiri. Dalam penelitian ini menawarkan dua model pembentukan kawasan
72
Jabodetabekjur di era otonomi daerah seperti sekarang. Pada penelitian tersebut menggunakan teori implementasi kebijakan, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah Dalam hal kawasan perkotaaan, khususnya Jabodetabekjur, semua peraturan tersebut menyadari perlunya penataan ruang yang mendorong
keterpaduan antar daerah sebagai satu
kesatuan wilayah perencanaan. Persamaan dalam penelitian ini yakni mengkaji permasalah Jabodetabekjur. Sumber yang digunakan mengutip dari Andi (2009), dengan judul Megapolitan sebagai Konsep Pengembangan Wilayah secara Terpadu”, oleh A. Ramses dan La Bakry (Ed.), ”Pemerintahan Daerah di Indonesia”, yang diterbitkan oleh Pemprov DKI Jakarta dan MIPI. 2.7
Kerangka Berfikir Menurut Muhamad (2009 : 75) kerangka berfikir adalah gambaran
mengenai hubungan antar variabel dalam suatu penelitian, yang diuraikan menurut jalan pikiran kerangka logis. Kerangka berfikir memuat teori, dalil atau konsep-konsep yang akan dijadikan dasar dalam penelitian. Menurut Sugiyono (2007:60) kerangka berfikir adalah sintesa hubungan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan. Program pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur merupakan sebuah kebijakan yang sudah mencapai tahap finalisasi oleh Komie 1 DPD RI sehingga akhirnya saat ini sedang diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk pembahasan dan pengesahan kebijakan tersebut menjadi sebuah Undang-Undang yang sah. Kebijakan megapolitan Jabodetabekjur ini akan lahir karena hasil kajian dari berbagai permasalahan
73
yang ada di wilayah Jabodetabekjur, sehingga akhirnya Komite 1 DPD RI mengkaji
lebih
dalam
yang
bertujuan
untuk
menyatukan
wilayah
Jabodetabekjur sebagai satu kesatuan wilayah regulasi untuk dibentuk sebuah kawasan megapolitan di Indonesia. Dari hasil Focus Group Dicussion (FGD) pada tanggal 18 dan 19 Februari 2014 di ruang rapat GBHN Gedung Nusantara V Sekjen DPD RI yang diselenggarakan Komite 1 DPD RI kerjasama dengan seluruh walikota, bupati dan gubernur di 15 kota/kabupaten kawasan Jabodetabekjur, kemudian dengan beberapa Kementerian terkait telah sepakat menyetujui adanya program pembangunan
regulasi
terkait
dengan
pengelolaan
terpadu
wilayah
Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan. Dalam membentuk sebuah kebijakan Pengelolaan Terapadu Wilayah Jabodetabekjur dibutuhkan adanya kajian untuk menganalisis kebijakan yang bertujuan untuk mendapatkan beberapa alternatif, dan rekomendasi kebijakan atau pilihan dalam mengatasi permasalah yang ada di wilayah Jabodetabekjur, Karena analisis kebijakan dapat dilaksanakan ketika kebijakan tersebut belum ada atau sudah dibuat. Untuk itu peneliti akan menganalisis kebijakan tersebut. Berikut bagan kerangka berfikir dalam analisis Kebijakan Program Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur oleh Komite 1 DPD RI.
74
Gambar 2.3 Bagan Kerangka Berfikir Masalah di wilayah Jabodetabekjur : 1. Kurangnya koordinasi antarpemerintah Provinsi, kabupaten/kota di wilayah Jabodetabekjur. 2. Permasalahan banjir, kemacetan, kepadatan penduduk, defisit air tanah, ketimpangan sumber daya manusia, ketimpangan pembangunan akibat Jakarta sebagai pusat dari seluruh kegiatan perekonomian sehingga seluruh aktivitas pembangunan terfokus di Jakarta saja 3. Belum adanya regulasi terkait penyatuan wilayah Jabodetabekjur sebagai satu kesatuan oleh Badan/Kementerian yang ditunjuk.
Proses Analisis Kebijakan Menurut Dunn : 1. Merumuskan Masalah 2. Peramalan Masa Depan Kebijakan 3. Rekomendasi Kebijakan
“
Analisis
Kebijakan
Pengelolaan
Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai
4. Pemantauan Hasil Kebijakan
Kawasan Megapolitan ”
5. Evaluasi Kinerja Kebijakan (Sumber : Pengantar Analisis Kebijakan Publik, William N. Dunn, 2003)
OUTPUT : Kebijakan Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur
(Sumber : Peneliti. 2015)
75
2.8 Asumsi Dasar Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa penyatuan wilayah Jabodetabekjur sebagai satu kesatuan wilayah regulasi belum optimal. Regulasi Pembangunan Pemerintah DKI Jakarta, Jabar, dan Banten tersebut dari tahun ke tahun terkesan statis, hanya terkonsentrasi di pusat perkotaan sehingga akan semakin terlihat disparitas pembangunan antara perkotaan dan pedesaan. Hal ini dapat terlihat pada masalah-masalah yang
timbul dalam latar belakang
masalah. Saat ini Jakarta masih sebagai pusat pembangunan dan mengundang banyak masyarakat di sekitar Bodetabekjur untuk datang ke Jakarta. Namun, dari sinilah menimbulkan permasalahan seperti kepadatan penduduk, banjir, kemacetan dan permasalahan pemukiman. Program regulasi ini belum dapat dilaksanakan secara optimal dikarenakan perbedaan derajat otonomi daerah DKI Jakarta dengan wilayah Jabar dan Banten. Selain itu belum adanya sinkronisasi antar pemerintah daerah di wilayah Jabodetabekjur. Untuk itu perlu adanya suatu kebijakan yang mengatur terbentuknya suatu regulasi terkait kawasan megapolitan di Indonesia. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori analisis kebijakan publik
menurut
Dunn
sebagai
acuan
untuk
menganalisis
Kebijakan
Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2012 : 2). Metodologi penelitian merupakan suatu usaha pembuktian terhadap suatu objek penelitian untuk memperoleh kebenaran dari permasalahan dengan menggunakan pendekatan ilmiah untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dipertanggunjawabkan kebenarannya. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Moleong (2007 : 6) metode Penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Sedangkan Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2007 : 4) mengemukakan bahwa ;
76
77
“ Metodologi penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orangorang dan perilaku yang diamati ”. Pendekatan kualitatif dipergunakakan karena untuk meneliti kondisi objek yang alamiah dimana peneliti berperan sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitiannya lebih menekankan pada makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2012 : 15). Penelitian kualitatif lebih menekankan pada proses daripada produk atau outcome dan juga digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Menurut Denzim dan Lincol (dalam Moleong 2007 : 5) penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar belakang alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dari segi definisi, penelitian kualitatf merupakan penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan perasaan dan perilaku individu ataupun sekelompok orang. 3.2 Fokus Penelitian Untuk mempertajam penelitian, peneliti kualitatif menetapkan fokus penelitian. Spradley (dalam Sugiyono 2012 : 208) menyatakan bahwa “A focused refer to a single cultural domain or a few related domains”. Maksudnya adalah bahwa fokus itu merupakan domain tunggal atau beberapa domain yang terkait dari situasi sosial.
78
Pada penelitian kualitatif, penentuan fokus lebih didasarkan pada tingkat kebaruan informasi yang akan diperoleh dari situasi sosial (lapangan). Kebaruan informasi itu bisa berupa upaya untuk memahami secara lebih luas dan mendalam tentang situasi sosial.Tetapi juga ada keinginan untuk menghasilkan ilmu baru dari situasi sosial yang diteliti.Fokus penelitian yang diperoleh setelah peneliti melakukan penjelajahan umum. Dari penjelajahan umum ini peneliti akan memperoleh gambaran umum menyeluruh yang masih pada tahap permukaan terhadap situasi sosial. Untuk dapat memahami secara lebih luas dan mendalam, maka diperlukan pemilihan fokus penelitian.Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti mengambil fokus penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan oleh Komite I DPD RI (Periode 2009-2014). 3.3 Lokasi Penelitian Penelitian mengenai analisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan oleh Komite 1 DPD RI , dilakukan di Kantor Sekretariat Jendral DPD RI, Jalan Jendral Gatot Subroto Kompleks Parlemen MPR/DPR/DPD No.6 Senayan, Jakarta. Sedangkan penyusunan skripsi dilakukan di rumah peneliti di Jalan Raya Petir KM.5 No.11 RT/RW 001/002 Cilaku, Curug Serang-Banten. Alasan mengambil lokasi di Komite DPD RI dikarenakan komite I DPD RI adalah sebagai inisiator atau pengusung dari dibentuknya kebijakan ini. Selain itu kajian, rapat dan pembahasan mengenai kebijakan megapolitan Jabodetabekjur lebih sering diadakan di Kantor Sekjen DPD RI. Untuk itu
79
memudahkan peneliti untuk mendapatkan informasi yang valid guna penelitian ini. Selain itu alasan lain dikarenakan penelitian mengenai kebijakan megapolitan Jabodetabekjur ini terhitung baru dan masih belum banyak diketahui banyak orang bahwa akan dibentuk sebuah kebijakan pembentukan kawasan megapolitan di Jabodetabekjur, untuk itu peneliti tertarik untuk menjadikan kebijakan megapolitan Jabodetabekjur sebagai topik dalam penelitian ini. 3.4 Variabel Penelitian 3.4.1
Definisi Konsep
Fenomena yang diamati dalam penelitian ini adalah mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawsan Megapolitan oleh Komite I DPD RI. Konsep analisis kebijakan dalam proses kebijakan publik tentu sangatlah penting. Analisis kebijakan dapat dilakukan pada saat kebijakan belum dibuat atau sudah dibuat. Dalam pembentukan kebijakan megapolitan Jabodetabekjur diperlukan banyak kajian dan analisis guna mendapatkan rekomendasi yang terbaik yang dapat di gunakan sebagai alternatif kebijakan untuk menjawab permasalahan di Jabodetabekjur. Adapun definisi mengenai analisis kebijakan dari beberapa ahli, peneliti dapat menyimpulkan bahwa analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan untuk menciptakan, menilai, menyintesiskan informasi untuk menghasilkan format kebijakan dalam proses pembuatan kebijakan.
80
3.4.2
Definisi Operasional
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa fenomena yang akan diamati dalam penelitian ini adalah mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawsan Megapolitan oleh Komite I DPD RI. Beberapa hal penting mengenai fenomena yang akan diamati tersebut akan peneliti nilai dengan menggunakan teori model analisis kebijakan menurut Dunn. Menurut Dunn (2003 : 25) ada lima (5) tahapan yang dilakukan dalam proses analisis kebijakan yaitu : 1. Merumuskan Masalah Merumuskan masalah adalah menilai, mencari kebutuhan atau kesempatan apa yang belum dapat dipenuhi yang kemudian dapat diperbaiki dan dicapai melalui tindakan publik. 2. Peramalan masa depan (forecasting) Peramalan masa depan (forecasting) adalah suatu prosedur membuat informasi faktual tentang situasi sosial di masa depan atas dasar informasi yang telah ada di masa sekarang. 3. Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan adalah prosedur analisis kebijakan yang menghasilkan informasi tentang kemungkinan serangkaian aksi di masa yang akan datang. Dapat dikatakan dalam langkah rekomendasi kebijakan
dapat menghasilkan
menjawab permasalahan yang ada.
alternatif
kabijakan
yang dapat
81
4. Pemantauan Kebijakan Pemantauan kebijakan atau biasa disebut monitoring merupakan prosedur analisis kebijakan yang digunakan untuk memberikan informasi tentang sebab akibat kebijakan publik. 5. Evaluasi Kebijakan Evaluasi kebijakan adalah proses analisis kebijakan yang menyediakan informasi yang valid mengenai kinerja kebijakan, kemudian memberikan kritik, nilai-nilai yang mendasari tujuan, sasaran dalam kebijakan publik. 3.5 Instrumen Penelitian Menurut Sugiyono (2012 : 59) dalam penelitian kualitatif ini yang menjadi instrumen penelitian atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri (human instrument). Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan. Validitas terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validitas terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki objek penelitian baik secara akademik maupun logistiknya. Kemudian yang melakukan validasi adalah peneliti sendiri, melalui evaluasi diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori dan wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan.
82
Sejalan dengan pendapat Moleong (2007 : 9), bahwa peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Hal ini dilakukan karenahanya manusia yang dapat berhubungan dengan responden atau objek lainnya, dan manusialah yang mampu memahami kaitan kenyataankenyataan di lapangan. Hanya manusia sebagai instrument pulalah yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila terjadi hal yang demikian, tentunya dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Peneliti merupakan key instrument dalam penelitian kualitatif karena peneliti dapat merasakan langsung, mengalami, melihat sendiri objek atau subjek yang diteliti, selain itu peneliti juga mampu menentukan kapan penyimpulan data telah mencukupi, data telah jenuh dan kapan penelitian dapat dihentikan dan peneliti juga dapat langsung melakukan pengumpulan data, melakukan refleksi secara terus-menerus dan secara gradual membangun pemahaman yang tuntas mengenai suatu hal. 3.6 Informan Penelitian Menurut Moleong (2006 : 132) informan adalah orang yang dimanfaakan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Dalam penelitian kualitatif informan bukan dinamakan responden, tetapi sebagai narasumber, atau partisipan, teman dan guru penelitian. Maka dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel sumber
83
data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini misalnya, orang tersebut yang dianggap paling mengetahui tentang apa yang kita harapkan, sehingga memudahkan peneliti untuk menjelajahi obyek yang diteliti. Menurut Patton (dalam Denzin 2009 : 290), alasan logis di balik teknik Purposive dalam penelitian kualitatif merupakan prasyarat bahwa sampel yang dipilih sebaiknya memiliki informasi yang kaya (rich information). Walaupun demikian dalam pelaksanaan penelitian di lapangan nanti, tidak menutup kemungkinan peneliti juga akan menggunakan teknik Snowball, yaitu jumlah informan akan bertambah sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian. penggunaan teknik tersebut disesuaikan dengan kondisi atau situasi yang ada di lapangan. Untuk melakukan penelitian mengenai analisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan oleh Komite 1 DPD RI, peneliti telah memilih beberapa informan yang akan peneliti wawancarai yakni anggota staf ahli Komite 1 DPD RI, anggota Timja Pembuatan Kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur, tim ahli Penyusunan Kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur, dan sekretariat Komite 1, antara lain;
84
Tabel 3.1 Informan Penelitian No.
Informan
Keterangan
Peran dan Fungsi
Kode
melakukan kajian mendalam, RUU Megapolitan menampung aspirasi, Jabodetabekjur membuat inventarisasi masalah, mengajukan RUU, melakukan pengawasan terhadap kebijakan 2. Staf Ahli Komite 1 DPD Key informan Memberikan dukungan substantif/materi, memberikan RI pandangan, pendapat dalam penyusunan RUU, dan melakukan pengawasan kepada DPD
N.1
3. Staf Rapat Komite 1
N.3
1. Anggota Timja pembuatan
Key informan
Secondary informan
mengumpulkan materi, bahan rapat,
N.2
dari
inventarisasi masalah 4. Tim Ahli penyusunan Key informan Memberikan gambaran RUU Megapolitan mengenai pola Jabodetabekjur megapolitan yang akan dibentuk
di
N.4
wilayah
Jabodetabekjur di masa yang akan dating 5. Anggota Komite 1 DPD Secondary RI informan
Menampung
dan
mengumpulkan aspirasi,
Mengajukan
N.5
85
RUU,
melakukan
fungsi
pengawasan
terhadap
kebijakan
pemerintah
serta
memberikan mengenai
penilaian pencapaian
dari kebijakan 6. Kabag Komite 1 DPD RI
Secondary informan
Melakukan
N.6
pengawasan anggota
kepada
Komite
memfasilitasi
I,
rapat,
kajian, untuk mebahas RUU
yang
tengah
dibahas untuk diajukan 7. Masyarakat di Jabodetabekjur
wilayah Secondary Informan
Sebagai
pemantau
N.7
kebijakan yang telah dibuat pemerintah
3.7 Teknik Pengeolahan dan Analisis Data Teknik pengolahan data merupakan langkah yang paling penting dan strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka penelitian tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan (Sugiyono, 2012 : 63). Menentukan teknik pengumpulan data yang dapat dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuisioner (angket), dokumentasi, dan gabungan keempatnya.
86
a. Metode Observasi Nasution (dalam Sugiyono 2008 : 226) menyatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Berdasarkan keterlibatan pengamatan dalam kegiatan-kegiatan orang yang diamati, observasi dapat dibedakan menjadi observasi partisipan (participant observesation) dan observasi nonpartisipan (nonparticipant observation). Soehartono (2004 : 70), menjelaskan, dalam observasi partisipan peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber penelitian, atau pengamat ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subyek yang diteliti atau yang diamati, seolah-olah merupakan bagian dari mereka. Dalam jenis prosedur ini, peneliti adalah bagian dari keadaan alamiah, tempat dilakukannya observasi. Dengan demikian pengamatan akan lebih mudah mengamati kemunculan tingkah laku yang diharapkan. Observasi partisipan dinilai memiliki daya tarik yang tinggi sebagai suatu metode. Namun tidak semua orang ingin atau mampu menyediakan waktu untuk masalah yang dianggap tidak sah atau bernilai negatif, dan juga resiko dalam cara-cara mendapatkan data. Black & Champion (2005 : 289) menyatakan dalam observasi nonpartisipan peranan tingkah laku peneliti dalam kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan kelompok yang diamati kurang dituntut, observasi nonpartisipan adalah suatu prosedur yang dengannya peneliti mengamati
87
tingkah laku orang lain dalam keadaan alamiah, tetapi peneliti tidak melakukan partisipasi terhadap kegiatan di lingkungan yang diamati. Tentunya diperlukan keahlian untuk dapat memadukan keadaan sekitar dan mencatat hasil pengamatan yang kiranya telewati. Sugiyono (2008 : 228) menyatakan berdasarkan cara pengamatan yang dilakukan, observasi juga dibedakan menjadi dua bagian yaitu observasi tak berstruktur dan observasi berstruktur. Observasi dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak berstruktur. Observasi tidak berstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak tahu secara pasti tentang apa yang diamati. Dalam melakukan pengamatan peneliti tidak menggunakan instrument yang telah baku, tetapi hanya berupa rambu-rambu pengamatan. Soehartono menjelaskan, observasi berstruktur digunakan apabila peneliti memusatkan perhatian pada tingkah laku tertentu sehingga dapat dibuat pedoman tentang apa saja yang diamati. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi partisipan dan observasi nonpartisipan. Dimana peneliti ikut dalam rapat mengenai kajian Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur oleh Komite I DPD RI dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan Focus Group Discussion (FGD). b. Wawancara Moleong (2006 : 186) menyatakan metode wawancara merupakan metode yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak,
88
yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Sedangkan menurut Suhartono (2004 : 68), wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpul data) kepada responde, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recorder). Metode wawancara diperlukan hanya sebagai tools pengumpul data bersama-sama instrument lain. Menurut Irawan (2006 : 59) metode wawancara merupakan suatu alat pengummpulan data yang digunakan dengan instrumen lainnya. Tetapi sebagai metode, wawancara merupakan satu-satunya alat yang diperlukan berpusat pada informan (responden). Wawancara dalam kualitatif bersifat mendalam. Wawancara mendalam merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab dan bertatap muka antara pewancara dan informan adapun pedoman wawancara yang digunakan yaitu wawancara terstruktur dan terbuka yaitu wawancara berupa garis besar permasalahan yang akan ditanyakan tanpa memberikan alternatif pilihan bagi informan. Menurut Sugiyono (2008 : 140) wawancara dapat dilakukan secara terstruktur dan tidak terstruktur, dan dapat dilakukan melalui tatap muka ataupun dengan menggunakan telepon. Pada penelitian kali ini, peneliti menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur untuk memperoleh data dalam penelitian ini. Menurut Moleong (2006 : 190) wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk
89
pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang ditanyakan. Wawancara demacam ini digunakan untuk menentukan informasi yang bukan baku atau informan tunggal. Responden biasanya terdiri atas mereka yang terpilih saja karena sifatsifatnya yang khas. Biasanya mereka memiliki pengetahuan dan mendalami situasi, dan mereka lebih mengetahui informasi yang diperlukan. Wawancara mendalam (indepth interview) adalah data yang diperoleh terdiri dari kutipan langsung dari orang-orang tentang pengalaman, pendapat perasaan dan pengetahuan informan penelitian. Informan penelitian adalah orang yang memberikan informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Informasi ini meliputi beberapa macam, seperti: 1. Informan kunci (key informan) yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. 2. Informan utama, yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. 3. Informan tambahan yaitu mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial. Wawancara dilakukan dengan cara mempersiapkan terlebih dahulu berbagai keperluan yang dibutuhkan yaitu sampel informan, kriteria informan dan pedoman wawancara disusun dengan rapih dan terlebih dahulu dipahami peneliti sebelum melakukan wawancara peneliti terlebih dahulu melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Menerangkan kegunaan serta tujuan dari penelitian. b. Menjelaskan alasan informan terpilih untuk diwawancarai. c. Menjelaskan situasi atau badan yang melaksanakan.
90
Hal-hal tersebut bertujuan untuk memberikan motivasi kepada informan untuk melakukan wawancara dengan menghindari keasingan serta rasa curiga informan untuk memberikan keterangan dengan jujur, selanjutnya peneliti mencatat keterangan-keterangan
yang diperoleh dengan cara
pendekatan kata-kata dan merangkainya kembali dalam bentuk kalimat. Dalam penelitian ini, pedoman wawancara dibuat dan disusun dengan mengacu pada teori Dunn dengan lima (5) indikator dalam proses analisis kebijakan publik, yang digunakan sebagai barometer dengan melibatkan berbagai informan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pembuatan Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur oleh Komite 1 DPD RI. Adapun secara rinci mengenai indikator serta informan yang dilibatkan dalam penelitian ini dapat diuraikan dalam tabel 3.1 berikut ini.
91
Tabel 3.2 Pedoman Wawancara
Indikator
1. Pencarian Masalah
Informan (1) Anggota Timja pembuatan Jabodetabekjur
Subdimensi dalam (1) Masalah yang ada di wilayah RUU Jabodetabekjur
(2) Staf Rapat Komite 1
2. Peramalan
(2) Masalah yang terjadi dalam pembuatan Kebijakan Pengelolaan Terpadu Megapolitan Jabodetabekjur
(3) Penyebab kurang koordinasi antarpemerintah di wilayah Jabodetabekjur (1) Anggota staf ahli (1) Model kawasan megapolitan Komite 1 DPD RI Jabodetabekjur (2) Pola hidup masyarakat (2) Tim Ahli RUU Program Jabodetabekjur setelah Pengelolaan Terpadu dibentuk kawasan megapolitan Wilayah Jabodetabekjur (3) Dampak di masa depan apabila segala masalah belum dapat diselesaikan
kebijakan untuk 3. Rekomenda (1) Anggota Timja dalam (1) Alternatif pengelolaan terpadu wilayah pembuatan RUU Jabodetabekjur (Anggota Jabodetabekjur si Komite 1 DPD RI) (2) Pola atau model yang akan Kebijakan digunakan sebagai alternatif kebijakan dalam pembentukan (2) Staf Ahli Komite 1 DPD kawasan megapolitan RI (3) Rekomendasi yang ditawarkan diharapkan mampu menjawab permasalahan yang ada 4. Pemantaua (1) Anggota Komite 1 DPD (1) Pemantauan kebijakan yang n
RI
dilakukan Badan/Kementerian terkait
oleh
92
Kebijakan
(2) Masyarakat di wilayah (2) Keikutsertaan Komite 1 dalam Jabodetabekjur
pemantauan pengelolaan
(3) Kabag Komite I
kebijakan terpadu
wilayah
Jabodetabekjur (3) Proses pemantauan secara teknis yang dilakukan (4) Keikutsertaan
masyarakat
Jabodetabekjur
dalam
pemantauan kebijakan
5. Evaluasi Kebijakan
c.
(1) Anggota Komite 1 DPD (1) Dampak yang ditimbulkan dari pembentukan kawasan RI megapolitan (2) Penilaian kesesuaian dengan target/sasaran dalam pembuatan (2)Anggota Timja RUU kawasan megapolitan Jabodetabekjur (3) Evaluasi kebijakan dilakukan oleh Badan/Kementerian yang ditunjuk
Studi Pustaka Studi pustaka yaitu teknik pengumpulan data dengan cara memperoleh
data dari buku, karya ilmiah, media masa, teks book, artikel, koran, naskah akademik, jurnal, dan masih banyak lagi untuk menambah atau mendukung sumber informasi atau data yang diperlukan dalam penelitian ini. d. Studi Dokumentasi Soehartono (2004 : 70) mengemukakan bahwa studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian. Dokumen dapat berupa buku harian, surat, laporan, notulen rapat, dan dokumen lainnya. Sedangkan menurut Sugiyono (2008 : 240)
93
dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan harian, cerita, biografi, peraturan, kebijakan dan lainnya. Dokumen yang berupa gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lainlain. Studi dokumentasi merupakan salah satu sumber data sekunder
yang
diperlukan dalam sebuah penelitian. Studi dokumentasi adalah setiap bahan tertulis atau film, dan foto-foto yang dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyisik. Selanjutnya studi dokumentasi dapat diartikan sebagai teknik pengumpulan data melalui bahan-bahan tertulis yang diterbitkan oleh lembagalembaga yang menjadi objek penelitian. Baik berupa prosedur, peraturanperaturan, gambar, laporan hasil pekerjaan, serta berupa foto ataupun dokumen elektronik (rekaman). Pada analisis data merupakan pekerjaan yang sulit dalam penelitian, membutuhkan kerja keras, ketelitian dan memerlukan adanya kreatifitas yang tinggi. Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Irawan 2006 : 26), analisis data adalah proses mencari dan mengatur secara sistematis transkip interview, catatan di lapangan, dan bahan-bahan yang didapatkan, yang kesemuanya itu di kumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap suatu fenomena dan membantu untuk mempresentasikan penemuan kepada orang lain. Tersirat dalam penjelasan ini bahwa analisis data terkait erat dengan pengumpulan dengan intrepretasi data. Sedangkan analisis data di lapangan model Irawan (2006 : 27) berikut ini :
94
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pengumpulan data mentah Transkip data Pembuatan koding Penyimpulan sementara Triangulasi Penyimpulan akhir
Pada Penelitian ini, teknik analisa data dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode
tertentu.
Dalam
menganalisis
selama
di
lapangan,
peneliti
menggunakan model Miles dan Huberman yang mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif yang berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Proses datanya mencakup: 1. Data Collection (Pengumpulan data) Dalam suatu penelitian, langkah pengumpulan data adalah satu tahap yang sangat menentukan terhadap proses dan hasil penelitian yang akan dilaksanakan tersebut. Kesalahan dalam melaksanakan pengumpulan data dalam satu penelitian, akan berakibat langsung terhadap proses dan hasil suatu penelitian. Kegiatan pengumpulan data pada prinsipnya merupakan kegiatan penggunaan metode dan instrumen yang telah ditentukan dan diuji validitas dan reliabilitasnya. Secara sederhana, pengumpulan data diartikan sebagai proses atau kegiatan yang dilakukan peneliti untuk mengungkap atau menjaring berbagai fenomena, informasi atau kondisi lokasi penelitian sesuai dengan lingkup penelitian. Dalam prakteknya, pengumpulan data ada yang
95
dilaksanakan melalui pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Dengan kondisi tersebut, pengertian pengumpulan data diartikan juga sebagai proses yang menggambarkan proses pengumpulan data yang dilaksanakan dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Pengumpulan data, dapat dimaknai juga sebagai kegiatan peneliti dalam upaya mengumpulkan sejumlah data lapangan yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian (untuk penelitian kualitatif), atau menguji hipotesis (untuk penelitian kuantitatif). Merujuk pada hal tersebut, betapa pentingnya pengumpulan data dalam proses penelitian. Tanpa data lapangan, proses analisis data dan kesimpulan hasil penelitian, tidak dapat dilaksanakan. 2. Data Reduction (Raduksi Data) Mereduksi
berarti
merangkum,
memilih
hal-hal
yang
pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari pola dan temanya. Dengan demikian data yang sudah direduksi, akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan memudahkan peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya jika diperlukan. 3. Data Display (Penyajian Data) Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah mendisplay data. Penyajian
data dapat dilakukan secara sistematis dan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori dan selanjutnya, yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam metode kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplay data, maka akan memudahkan untuk
96
memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami. 4. Conclusion Drawing/Verivication (Penarikan Kesimpulan) Langkah ketiga dalam menganalisis data kualitatif
menurut Miles dan
Huberman adalah Penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti dan data-data yang kuat yang mendukung pada tahap-tahap pengumpulan data selanjutnya. 3.8 Uji Keabsahan Data Pada uji keabsahan data, peneliti akan menggunakan metode triangulasi. Metode Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sumber yang lain diluar data itu, untuk pengecekan atau pembanding terhadap data itu. Hal ini berarti membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitaif. Ada tiga (3) Triangulasi
yaitu, triangulasi
sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, triangulasi waktu (Sugiyono 2012 : 273). Dalam penelitian ini metode triangulasi dilakukan peneliti dengan mengecek data melalui wawancara dengan narasumber. Keabsahan data dilakukan melalui wawancara mengenai kebenaran informasi yang diberikan oleh narasumber melalui wawancara dengan staf sekretariat komite 1 DPD RI.
97
3.9 Jadwal Penelitian Penelitian
mengenai
Analisis
Kebijakan
Pengelolaan
Terpadu
Wilayah sebagai kawasan megapolitan, penelitian dan wawancara dilakukan di Kantor Sekretariat Jendral DPD RI, Jalan Jendral Gatot Subroto No. 6 Senayan, Jakarta. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan oktober 2014 sampai dengan bulan Juni 2015. Tabel 3.3 Jadwal Penelitian Nama Kegiatan Pengajuan Judul Acc Judul Penelitian Observasi Awal Penyusunan Proposal Bimbingan dan Perbaikan Proposal Penyerahan Proposal Seminar Proposal Revisi Proposal Wawancara Penyusunan Hasil Penelitian Sidang Skripsi Revisi Skripsi
Waktu Penelitian Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agu 2014 2014 2014 2015 2015 2015 2015 2015 2015 2015 2015
98
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) adalah salah satu lembaga tinggi negara yang mempunyai fungsi legislatif. DPD RI lahir dari semangat pembaharuan untuk melepaskan belenggu sistem pemerintahan sentralistik menuju era desentralisasi dan otonomi daerah. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik, terutama dalam hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Secara normatif, keadaan dalam ketatanegaraan, kedudukan DPD RI sangat kuat. Kedudukan DPD RI diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 22D dimana ruang lingkup tugas DPD RI sangat luas terutama terkait dengan tugas-tugas pendampingan daerah. Tugas yang dimaksud dalam Pasal 22D melingkupi tugas legislasi, perimbangan, dan pengawasan seacara operasional diatur dalam Undang-Undang (UU) No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut UU MD3).
99
Kedudukan anggota DPD RI dikenal dengan istilah senator berasal dari dari daerah non partai, dimana setiap provinsi diisi oleh empat (4) orang perwakilan. Keberadaan DPD sangat penting karena sebagai penyeimbang dalam kelembangan di Indonesia. DPD RI merupakan lembaga yang menjembatani antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya DPD RI memiliki visi, misi dan alat kelengkapan sebagai berikut ; a. Visi DPD RI Rumusan visi suatu organisasi atau lembaga pada dasarnya adalah pernyataan cita-cita yang hendak dicapai atau dituju oleh lembaga atau organisasi yang bersangkutan. Secara normatif, rumusan visi tersebut menjadi pedoman dasar semua arah kebijakan, keputusan, dan tindakan yang akan dilakukan. Karena itu, visi juga merupakan pernyataan pikiran dan kehendak untuk berubah dari keadaan yang ada saat ini (das sein) ke suatu keadaan yang diinginkan (das sollen). Lembaga Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) saat ini masih terbentur pada satu masalah utama, yakni keberadaannya yang nisbi dan „serba-tanggung‟ sebagai suatu
lembaga legislatif. Gagasan dasar
pembentukan sebagai suatu lembaga pengimbang (check and balance) kekuasaan, baik di lingkungan lembaga legislatif sendiri (DPR dan MPR RI) maupun di lembaga-lembaga eksekutif (pemerintah), belum sepenuhnya berfungsi secara optimal dan efektif. Ada beberapa penyebab utama yang dapat diidentifikasi, setidaknya sampai saat ini, yakni:
100
1. Keberadaannya sebagai suatu lembaga baru belum menemukan format kerja dan struktur kelembagaan yang memadai; 2. Sebagian besar anggotanya adalah orang-orang baru dalam dunia politik yang belum memiliki pengalaman nyata dalam praktik-praktik sistem politik Indonesia selama ini; dan 3. Batasan fungsi dan kewenangan yang ada belum memiliki kekuatan penuh dalam proses legislasi. Berdasarkan masalah pokok dan mendasar itulah, rumusan visi DPD RI yang disepakati pada Lokakarya Perencanaan Strategis DPD RI, 30 Agustus – 1 September 2005 adalah sebagai berikut : Terwujudnya Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sebagai lembaga legislatif dalam sistem tata negara Indonesia yang kuat, setara dan efektif dalam memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah menuju masyarakat Indonesia yang bermartabat, sejahtera, dan berkeadilan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). b. Misi DPD RI Untuk melaksanakan visi di atas, tentu ditunjang dengan misi yang kuat, misi DPD RI (Periode 2009-2014), yaitu sebagai berikut : 1. Memperjuangkan penataan sistem ketatanegaraan untuk memperkuat sistem check and balances melalui perubahan tahap ke lima (5) UndangUndang Dasar 1945;
101
2. Mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang DPD RI dalam mengajukan usul, ikut membahas, memberikan pertimbangan UU tertentu, dan melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang tertentu 3. Memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerah untuk mewujudkan pemerataan pembangunan bangsa yang bermartabat, sejahtera, berkeadilan, dan berkesinambungan serta berwawasan lingkungan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); 4. Meningkatkan sinergi dan interaksi serta kerjasama anggota DPD RI dengan para pemangku kepentingan untuk efektivitas perjuangan aspirasi dan kepentingan daerah dalam kebijakan nasional; 5. Mendorong pemerintah pusat untuk memberi perhatian yang lebih besar terhadap isu-isu penting dan strategis di daerah; 6. Mendorong pemerintah daerah mengidentifikasi dan menyusun strategi dalam mengatasi isu-isu dan persoalan penting di daerah; 7. Meningkatkan kinerja politik anggota DPD RI melalui institusional building, capacity building, and image building; 8. Melakukan sosialisasi DPD RI melalui berbagai terobosan kegiatan yang terprogram tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. c. Fungsi, Tugas & Wewenang DPD RI Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki tiga (3) fungsi dalam menajalan kan fungsinya, yaitu sebagai berikut ; 1. Fungsi Legislasi Tugas dan wewenang:
102
a.
Dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR
b.
Ikut membahas Rancangan Undang-Undang (RUU)
Bidang
Terkait:
Otonomi
daerah;
Hubungan
pusat
dan
daerah;
Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; Pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya; Perimbangan keuangan pusat dan daerah. 2. Fungsi Pertimbangan : Memberikan pertimbangan kepada DPR 3. Fungsi Pengawasan Tugas dan wewenang : a.
Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
b.
Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK Bidang Terkait : Otonomi daerah; Hubungan pusat dan daerah;
Pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah; Pengelolaan sumberdaya alam serta sumberdaya ekonomi lainnya; Perimbangan keuangan pusat dan daerah; Pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN); Pajak, pendidikan, agama, Undang-Undang dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR.
d. Alat Kelengkapan DPD RI Dalam melaksanakan tugasnya DPD RI dibagi ke dalam empat (4) komite yang menangai bidang-bidang terkait. Dari masing-masing provinsi terdiri dari empat (4) orang anggota DPD. Dalam setiap komite diwakili oleh
103
satu orang dari setiap provinsi. Setiap komite memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut : 1. Komite I DPD RI Komite I DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; serta pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah. Lingkup tugas Komite I sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut : 1. Pemerintah daerah; 2. Hubungan pusat dan daerah serta antar daerah; 3. Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; 4. Pemukiman dan kependudukan; 5. Pertanahan dan tata ruang; 6. Politik, hukum, HAM dan ketertiban umum; dan 7. Permasalahan daerah di wilayah perbatasan negara 2. Komite II DPD RI Komite II DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada pengelolaan sumber daya alam; dan pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya. Lingkup tugas Komite II sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut : 1. Pertanian dan Perkebunan; 2. Perhubungan;
104
3. Kelautan dan Perikanan; 4. Energi dan Sumber daya mineral; 5. Kehutanan dan Lingkungan hidup; 6. Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan dan Daerah Tertinggal; 7. Perindustrian dan Perdagangan; 8. Penanaman Modal; dan 9. Pekerjaan Umum. (1) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, maka komite II DPD RI : a. Menyampaikan konsepsi usul rancangan undang-undang dalam rangka penyusunan program legislasi nasional untuk 1 (satu) masa keanggotaan DPD dan setiap tahun anggaran; dan b. menyampaikan usulan rencana kerja dan acara persidangan Komite kepada Panitia Musyawarah. (2) Komite membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan Komite pada masa keanggotaan tahun sidang berikutnya. 3. Komite III DPD RI Komite III DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada pendidikan dan agama. Lingkup tugas Komite III sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut :
105
1. Pendidikan; 2. Agama; 3. Kebudayaan; 4. Kesehatan; 5. Pariwisata; 6. Pemuda dan olahraga; 7. Kesejahteraan sosial; 8. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; dan 9. Ketenagakerjaan. 4. Komite IV DPD RI Komite IV DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
APBN;
perimbangan keuangan pusat
dan daerah;
memberikan pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan Anggota BPK; pajak; dan usaha mikro, kecil dan menengah. Lingkup tugas Komite IV sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut : 1. Anggaran pendapat dan belanja negara; 2. Pajak dan pungutan lain; 3. Perimbangan keuangan pusat dan daerah; 4. Pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan anggota BPK; 5. Lembaga keuangan; dan
106
6. Koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah
5. Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) Panitia
Perancang
kelengkapan
Undang-Undang
(PPUU)
merupakan
alat
DPD RI yang bersifat tetap, bertugas menyiapkan Rancangan
Undang-Undang (RUU) inisiatif DPD yang akan disampaikan kepada DPR. 6. Panitia Musyawarah (Panmus) Panitia Musyawarah (Panmus) merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap. Sebagai pimpinan dalam Panmus adalah pimpinan DPD RI sendiri. Panmus bertugas merancang dan menetapkan arah kebijakan yang akan dibuat oleh DPD. 7. Badan Kehormatan (BK) Badan Kehormatan (BK) merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap, yang bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota DPD. Selain itu, BK juga bertugas untuk mengevaluasi dan menyempurnakan peraturan DPD tentang tata tertib dan kode etik DPD. 8. Panitia akuntabiltas Publik (PAP) Panitia akuntabiltas Publik (PAP) yang bertugas melakukan penelaahan lanjutan terhadap temuan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan yang disampaikan kepada DPD. 9. Panitia Hubungan Antar Lembaga (PHAL) Panitia kelengkapan
Hubungan DPD
yang
Antar
Lembaga
bertugas
(PHAL)
membina,
merupakan
alat
mengembangkan,
dan
107
meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPD dengan lembaga sejenis, lembaga pemerintah, maupun non-pemerintah, baik secara bilateral maupun multilateral. 10. Pimpinan Kelompok DPD di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Pimpinan Kelompok DPD di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah bagian integral dari DPD yang merupakan pengelompokan anggota DPD yang merangkap sebagai anggota MPR. 11. Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) adalah alat kelengekapan DPD yang bersifat tetap, yang bertugas membantu pimpinan dalam menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPD, termasuk kesejahteraan anggota DPD dan pegawai Sekretariat Jenderal. 4.1.1 Profil Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat adalah salah satu provinsi yang terletak di wilayah bagian barat pulau Jawa, Ibukota Provinsi Jawa Barat adalah kota Bandung. Luas wilayah Jawa Barat adalah 35.222.18 km², dengan jumlah penduduk pada tahun 2012 berjumlah 45.053.732 jiwa. Jawa Barta terdiri dari 18 Kabupaten, 9 Kota, 584 Kecamatan, dan 5.201 Desa dan 609 Kelurahan. Provinsi Jawa Barat dipimpin oleh
H. Ahmad Heryawan dan wakilnya H. Deddy Mizwar
(www.jabarprov.go.id, 2012 diakses pada 15 April 2015). Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No. 11 Tahun 1950 tentang pembentukan Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, di bagian barat berbatasan
108
langsung dengan DKI Jakarta. Pada tahun 2000. Jawa Barat dimekarkan dengan berdirinya Provinsi Banten, yang semula Banten bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat. Dengan lahirnya UU No.23 Tahun 2000 tentang Provinsi Banten, maka wilayah administrasi pembantu gubernur wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi provinsi Banten. Dengan UU tersebut Banten resmi menjadi
provinsi
sendiri
bukan
lagi
bagian
dari
Jawa
Barat
(http//:www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-jawa-barat/profildaerah diakses pada 20 April 2015). Sejak tahun 1996 Provinsi Jawa Barat melakukan pemekaran, sehingga membentuk kota-kota baru. Berikut sembilan (9) Kota yang terdapat di Jawa Barat. Kota-kota hasil pemekaran sejak tahun 1996 adalah : a. Kota Bekasi dimekarkan dari Kabupaten Bekasi pada tahun 1996 b. Kota Depok dimekarkan dari Kabupaten Bogor pada tahun 1999 c. Kota Cimahi dimekarkan dari Kabupaten Bandung pada tahun 2001 d. Kota Tasimalaya dimekarkan dari Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2001 e. Kota Banjar dimekarkan dari Kabupaten Ciamis pada tahun 2002 f. Kabupaten Bandung Barat dimekarkan dari Kabupaten Bandung pada tahun 2007
109
g. Kabupaten Pangandaran dimekarkan dari Kabupaten Ciamis pada tahun 2012 Berikut Tabel 4.1 Kabupaten dan Kota yang terdapat di Jawa Barat ; Tabel 4.1 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat NO.
Kabupaten/Kota
Pusat
Kecamatan
Pemerintahan
1.
Kabupaten Bandung
2.
Kabupaten
Soreang
Bandung Ngamprah
Kelurahan/ Desa
31
276
16
165
Barat 3.
Kabupaten Bekasi
Cikarang
23
187
4.
Kabupaten Bogor
Cibinong
40
430
5.
Kabupaten Ciamis
Ciamis
26
Desa
6.
Kabupaten Cianjur
Cianjur
32
360
7.
Kabupaten Cirebon
Sumber
40
424
8.
Kabupaten Garut
Taragong
42
442
Kidul
110
9.
Kabupaten Indramayu
Indramayu
31
316
10.
Kabupaten Karawang
Karawang
30
309
11.
Kabupaten Kuningan
Kuningan
32
376
12.
Kabupaten Majalengka
Majalengka
26
336
13.
Kabupaten
Parigi
10
92
Pangandaran 14.
Kabupaten Purwakarta
Purwakarta
17
192
15.
Kabupaten Subang
Subang
30
253
16.
Kabupaten Sukabumi
Pelabuhan
47
367
Ratu 17.
Kabupaten Sumedang
Sumedang
26
279
18.
Kabupaten Tasikmalaya Singaparna
39
348
19.
Kota Bandung
Bandung
30
151
20.
Kota Banjar
Banjar
4
25
21.
Kota Bekasi
Bekasi
12
56
111
22.
Kota Bogor
Bogor
6
68
23.
Kota Cimahi
Cimahi
3
15
24.
Kota Cirebon
Cirebon
5
22
25.
Kota Depok
Depok
11
63
26
Kota Sukabumi
Sukabumi
7
33
27.
Kota Tasikmalaya
Tasikmalaya
10
69
(sumber : http//: www.jabarprov.go.id/profil, 2012. Diakses 12 April 2015) Dari wilayah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat yang masuk dalam regulasi pembentukan kawasan megapolitan adalah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur. Wilayah Kabupaten Cianjur yang termasuk ke dalam Kawasan Megapolitan hanyalah sebagian saja, yakni wilayah Kecamatan Cugenang, Kecamatan Pacet, Kecamatan Sukaresmi, dan Kecamatan Cipanas.
4.1.2 Profil DKI Jakarta Daerah Kota Istimewa (DKI) Jakarta adalah Ibukota negara Indonesia. Dikarenakan Jakarta adalah Ibukota negara maka Jakarta mendapat perlakuan istimewa yakni dengan mendapatkan otonomi khusus. Untuk itu Jakarta disebut sebagai DKI Jakarta. Jakarta terletak dibagian barat laut pulau Jawa.
112
Dahulu, sebelum tahun 1527 Jakarta dikenal dengan nama Sunda Kelapa, kemudian pada tahun 1527 – 1619 dikenal dengan nama Jayakarta. Lalu pada tahun 1619 – 1942 Jakarta dikenal dengan nama Batavia, dan akhirnya pada tahun 1942 – 1972 dikenal dengan nama Djakarta, dan sekarang menjadi Jakarta. Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km². Dengan luas lautan 6.977,5 km². Dengan jumlah penduduk pada tahun 2011 berjumlah 10.187.595 jiwa. Secara
administratif Jakarta
terdiri dari
44
Kecamatan,
267
Desa/Kelurahan dan lima (5) kota administratif yakni, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat. Saat ini DKI Jakarta dipimpin oleh Basuki Tjahja Purnama yang sering disapa Ahok. Secara geografis, di sebelah selatan dan timur berbatasan langsung dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Sebelah barat berbatasan dengan Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang, serta di sebelah utara dengan laut jawa. Kondisi lautan DKI Jakarta (http://www.jakarta.go.id/web/news/2008/01/geografis-Jakarta di akses pada 29 Mei 2015). 4.1.3 Profil Provinsi Banten Banten merupakan provinsi yang terletak di penghujung bagian barat pulau Jawa. Semula Banten adalah bagian dari wilayah Jawa Barat, namun sejak tahun 2000 dengan keputusan UU No. 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten, Banten resmi memisahkan diri dari Jawa Barat dan menjadi provinsi sendiri. Ibukotanya terletak di Serang. Luas wilayah
113
provinsi Banten 9.160.70 km², dengan jumlah penduduk 10.544.030 jiwa. Banten saat ini dipimpin oleh H. Rano Karno S.IP. Provinsi Banten terdiri dari empat (4) kabupaten dan empat (4) kota, yakni kabupaten Serang, kabupaten Pandeglang, kabupaten Lebak, dan kabupaten Tangerang. Kemudian terdapat empat (4) kota yakni, Kota Serang, kota Tangerang, kota Cilegon, kota Tangerang Selatan. Kemudian Banten memiliki 154 Kecamatan, 262 Kelurahan, dan 1.273 Desa (http//:id.m.wikipedia.org/wiki/Banten diakses pada 13 April 2015). Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial, karena laut Selat Sunda yang terdapat di bagian barat Banten merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang strategis yang dapat menghubungkan dengan negaranegara tetangga, seperti Australia dan Selandia Baru. Selain itu Selat Sunda sebagai penghubung antara pulau Jawa dan Sumatera. Secara ekonomi, wilayah Banten memiliki banyak industri yang dapat menunjang perekonomian masyarakat Banten itu sendiri. Apabila dikaitkan dengan posisi geografis, dan pemerintahan terutama wilayah Tangerang (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Tangerang Selatan) merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Untuk itu wilayah Tangerang masuk dalam bagian penyatuan regulasi Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan.
114
4.1.4 Profil Komite I DPD RI Komite I merupakan alat kelengkapan yang ada di DPD RI. Anggota DPD di Komite I berjumlah 33 orang dari masing-masing provinsi di Indonesia. Ruang lingkup Komite I lebih banyak mengarah kepada otonomi daerah, pemekaran, pembentukan dan penggabungan daerah, pertanahan dan tata ruang, politik, hukum , dan HAM. Berikut nama-nama anggota DPD RI Komite I ; Tabel 4.2 Daftar Anggota Komite I DPD RI NO.
NAMA
JABATAN
ASAL PROVINSI
1.
Alirman Sori, SH., M.Hum.,MM.
Ketua Komite I
Sumatera Barat
2.
Drs. H. Abdurachman, M.AP.
Wakil Ketua Komite I
Banten
3.
Drs. H. Kamaruddin, MH.
Wakil Ketua Komite I
Sultra
4.
Hj. Aida Zulaika Nasution I, SE., Anggota Komite I
Kepri
MM 5.
H. M. Aksa Mahmud
Anggota Komite I
Sulsel
6.
H. Amang Syarifudin, Lc
Anggota Komite I
Jawa Barat
7.
Ir. Anang Prihantoro
Anggota Komite I
Lampung
8.
Hj. Denty Eka Widi Pratiwi
Anggota Komite I
Jawa Tengah
115
9.
Dr. Budi Doku
Anggota Komite I
Gorontalo
10.
Ir. Emanuel Babu Eha, M.Si
Anggota Komite I
NTT
11.
Dra. Eni Khairani, M.Si
Anggota Komite I
Bengkulu
12.
Muhammad Gazali, Lc
Anggota Komite I
Riau
13.
H. Habib Hamid Abdullah, SH., MH.
Anggota Komite I
Kalsel
14.
Drs. Hafidh Asrom, MM.
Anggota Komite I
DIY
15.
H. Ishaq Saleh
Anggota Komite I
Kalbar
16.
Dra. Hj. Juniwati T. Masichun S
Anggota Komite I
Jambi
17.
Luther Kombong
Anggota Komite I
Kaltim
18.
H.T. Bachrum Manyak
Anggota Komite I
NAD
19.
Drs. H. Mudaffar Sjah, M.Si
Anggota Komite I
Maluku Utara
20.
Hj. Percha Leanpuri B.Bus, SE, Anggota Komite I
Sumatera
M.BA
Selatan
21.
Dr. Rahmat Shah
Anggota Komite I
22.
Pdt. Rugas Binti, Bd., M.Div. M. Anggota Komite I
Sumatera Utara Kalteng
Min 23.
Pdt.
Dr.
Silviana
Hendriete Anggota Komite I
Sulteng
116
Pandegirot, M.Th. 24.
Drs. Paulus Yohanes Sumino, MM
Anggota Komite I
Papua
25.
Tellie Gozali, SE
Anggota Komite I
Babel
26.
Drs. H. Wahidin Ismail
Anggota Komite I
Papua Barat
27.
Wasis Siswoyo, SH
Anggota Komite I
Jawa Timur
28.
H. Dani Anwar
Anggota Komite I
DKI Jakarta
29.
Prof. Farouk Muhammad
Anggota Komite I
NTB
30.
Jacob Jack Ospara, S.Th., M.Th
Anggota Komite I
Maluku
31.
Hj. Mulyana Isham, SH, MM
Anggota Komite I
Sulbar
32.
Dra. Sintje Sondakh Mandey
Anggota Komite I
Sulut
33.
I Wayan Sudirta, SH
Anggota Komite I
Bali
(Sumber : Sekretariat Komite I, 2014 : 173-174) Dari 33 anggota Komite I DPD RI, dipilih menjadi 11 orang yang menjadi tim kerja (timja) pembuatan RUU megapolitan Jabodetabekjur, yaitu sebagai berikut : 1. Drs. H. Abdurahman (Koordinator). 2. H. Dani Anwar (Ketua Tim Kerja). 3. H. Amang Syafruddin, Lc. (Wakil Ketua Tim Kerja). 4. Drs. Kamaruddin, MH. 5. Prof. Farouk Muhammad.
117
6. DR. Rahmat Shah. 7. Denty Eka Widi Pratiwi, SE., MH. 8. Ir. Emanuel Babu Eha. 9. Drs. Paulus Yohanes Sumino. 10. Drs. Wahidin Ismail. 11. Habib Hamid. Selain anggota DPD Komite I, dalam alat kelengkapan Komite I ada bidang yang menangani urusan kesekretariatan yang membantu anggota Komite I dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, yaitu sekeretariat Komite I. Adapun tugas dari sekeretariat Komite I yaitu : a. Fasilitator urusan kesekretariatan Komite I b. Menyusun dan membuat bahan rapat c. Menyiapkan undangan rapat d. Menganalisis aspirasi masyarakat e. Menganalisis fungsi pengawasan f. Membuat jadwal rapat untuk Komite I g. Mengakomodir kegiatan Komite I h. Mengundang narasumber atau Tim ahli untuk membantu Anggota Komite I i. Pengelolaan persuratan dan arsip j. Mengelola perencanaan dan anggaran k. Mengelola administrasi dan pertanggungjawaban keuangan
4.1.5 Sejarah Kebijakan Pengelolaan Terpadu Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan Konsep integrasi Jabodetabekjur sebagai suatu kesatuan fungsional bermula tahun 1965 ketika Presiden Sukarno menginstruksikan penyusunan Rencana Induk Jakarta dan sekitarnya kepada Direktorat Perencanaan Kota dan
118
Daerah. Direktorat ini lalu mengajukan gagasan Rancana Induk Wilayah Metropolitan Jakarta yang meliputi Jakarta dan daerah sekitarnya, yakni Depok, Serpong, Cibinong, Citeureup, Bogor. Saat inilah istilah “Jabodetabek” pertama kali diperkenalkan dan hanya mencakup daerah terbangun (built up area) saja. Selanjutnya, diterbitkan naskah keputusan bersama No. 6575/A-1/1975)/ (2450/A/K/BKD/75) tahun 1975 tentang pembentukan Badan Persiapan Daerah untuk pengembangan Metropolitan Jabotabek yang dimantapkan melalui Keputusan bersama Gubernur Kepala Dati I Jawa Barat dan Gubernur DKI Jakarta No. (D.IV-3201/d/11/1976) (197/Pem.121/SK/1976) tertanggal 14 Mei 1976 tentang pembentukan Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabotabek yang dikukuhkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/1980 lalu Keputusan Menteri Bapennas No.125/1984. BKSP Jabodetabek dibentuk untuk mendukung koordinasi pembangunan infrastruktur di wilayah Jabotabek. Regulasi terkait penyatuan wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) dilahirkan sejalan dengan perkembangan dn dinamika wilayah Jakarta dan wilayah di sekitarnya. Namun dalam perkembangannya, pertumbuhan wilayah Jakarta lebih cepat dibandingkan dengan wilayah di sekitarnya. Wilayah Jabodetabekjur awalnya merupakan satu kesatuan wilayah administrastif, yakni Jawa Barat dan DKI Jakarta, namun pada tahun 2000 Banten resmi menjadi provinsi bukan lagi bagian dari
119
Provinsi Jawa Barat, sehingga wilayah Tangerang menjadi bagian dari provinsi Banten. Pada awalnya regulasi terkait penyatuan wilayah Jabodetabekjur telah lahir sejak tahun 1967, pada waktu itu telah dibuat kesepakatan untuk membuat suatu kawasan regulasi terkait Jabotabek. Namun sejak saat itu hingga kini belum adanya harmonisasi terkait regulasi kawasan di Jabodetabekjur. Secara pengelolaan, Jabodetabekjur memerlukan kebijakan yang harmonis dan sinkron untuk mengatasi permasalahan diwilayahnya yang dapat mengakomodasi Jabodetabekjur sebagai satu kesatuan fungsional. Tujuan dari dibentuknya regulasi
terkait
penyatuan
wilayah
Jabodetabekjur
sebagai
kawasan
megapolitan yaitu yang pertama untuk memperkuat posisi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara. Kemudian yang kedua untuk memeratakan pembangunan di wilayah sekitar DKI Jakarta, agar tidak terjadi disparitas pembangunan. Berdasarkan definisi yang tercantum dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang kawasan Jabodetabekjur sudah tergolong kawasan megapolitan, yakni sudah terdiri dari dua (2) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membuat suatu sistem. Kebijakan pengelolaan terpadu kawasan megapolitan Jabodetabekjur yang digagas oleh Komite I DPD RI ini menemukan kenyataan bahwa kawasan megapolitan Jabodetabekjur merupakan kawasan yang secara alamiah terintegrasi dari tata ruang, tata alur, transportasi massal, tata lingkungan, dan tata
pemukiman namun
secara
plotik
tidak
terintegrasi
penanganan
masalahnya. Dalam bahasa sederhana, kawasan megapolitan Jabodetabekjur
120
masalahnya terletak pada integrasi,
penanganannya disintegrasi. Dengan
permasalahan yang kompleks saat ini seperti banjir, kemacetan, pemukiman yang semerawut, penataan ruang yang tidak tertata karena berbasis kepentingan sesaat, ditambah dengan kajian akan ancaman tidak bergeraknya lalu lintas Ibukota DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya pada sepuluh atau duapuluh tahun ke depan, maka penanganan terpadu terhadap kawasan Jabodetabekjur menjadi sangat penting untuk segera dilakukan (Fachrudin, 2014 : 62). Jangkauan yang akan dicapai dalam pembuatan kebijakan ini adalah sejauh mana kebijakan ini mampu menangani masalah di kawasan megapolitan Jabodetabekjur secara terpadu. Karena itu jangkauan kebijakan ini meliputi tiga (3) provinsi yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Penjangkauan wilayah administratif yang diaturnya merupakan penegasan atas apa yang telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2008 tentang pengelolaan Jabodetabek. Dengan jangkauan politik yang hanya mencakup tiga wilayah administratif tersebut, makan kebijakan ini bersifat khusus, yang disebut jangkauan struktural (Fachrudin, 2014 : 63). Dalam rangka menjaga keterpaduan di wilayah Jabodetabekjur ini maka kebijakan ini mengamanatkan adanya Rencana Induk yang tanggungjawab penyusunannya diserahkan kepada Menko Perekonomian. Rencana induk tersebut
dibuat
bersama-sama
dengan
para
stakeholder
di
kawasan
Jabodetabekjur yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Menko namun dieksekusi oleh satuan pemerintahan terkait untuk pemerintah pusat atau kementerian/badan yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengkoordonasi
121
kawasan megapolitan Jabodetabekjur (Fachrudin. 2014 : 65). Berikut bagan perkembangan program kerja sama pembangunan wilayah Jabodetabek. Gambar 4.1 Sejarah perkembangan kerja sama pembangunan wilayah Jabodetabek
122
Sumber : NA RUU Megapolitan Jabodetabekjur (2014:48). Berdasarkan gambar 4.1 di atas, pembangunan wilayah Jabodetabek sebenarnya sudah dijalankan sejak lama. Memasuki era otonomi daerah, pengelolaan kawasan Jabodetabekpunjur semakin tidak jelas, diiringi konflik antar daerah di setiap level pemerintahan. Undang-Undang tentang Otonomi Daerah pada akhir tahun 1999 mengawali pembentukan provinsi Banten yang mencakup Kabupaten/Kota Tangerang terpisah dari provinsi Jawa Barat. Sehingga program kerja sama pembangunan wilayah Jabodetabekjur hingga kini belum dapat terlaksana secara optimal. 4.2 Deskripsi Data 4.2.1 Deskripsi Data Penelitian Deskripsi data penelitian merupakan penjelasan mengenai data yang telah didapatkan dari hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti, selama proses penelitian berlangsung. Dalam penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan menggunakan teori analisis kebijakan publik menurut Dunn, yang meliputi : 1. Pencarian masalah 2. Peramalan masa depan (forecasting) 3. Rekomendasi kebijakan 4. Pemantauan hasil kebijakan 5. Evaluasi kebijakan Adapun data yang peneliti dapatkan lebih banyak berupa kata-kata, kalimat dan rencana pembangunan kawasan megapolitan di Jabodetabekjur, baik dari hasil wawancara dengan informan penelitian, hasil observasi di
123
lapangan, catatan lapangan penelitian, atau hasil dokumentasi lainnya, yang relavan dengan fokus penelitian ini. Proses pencarian dan pengumpulan data yang dilakukan peneliti secara investigasi dimana peneliti melakukan wawancara dengan sejumlah informan yang berkaitan dengan yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini, sehingga peneliti mendapatkan informasi yang sesuai dengan yang diharapkan. Informan dalam penelitian ini, peneliti telah menentukan informan dari awal dengan menggunakan teknik purposive sampling. Data-data yang peneliti dapatkan adalah data yang berkaitan dengan penyatuan regulasi wilayah terkait pembentukan kawasan megapolitan di Jabodetabekjur. Hasil yang diperolah dari wawancara, observasi lapangan, dan kajian pustaka kemudian dibentuk secara tertulis dengan dibentuk pola serta dibuat kode-kode pada aspek tertentu berdasarkan jawaban-jawaban yang sama dan berkaitan dengan pembahasan permasalahan penelitian serta dilakukan katagorisasi. Dalam menyusun jawaban hasil wawancara, peneliti memberikan kode-kode sebagai berikut : 1. Kode Q untuk menunjukan item pertanyaan 2. Kode A untuk menunjukan item jawaban 3. Kode N.I untuk menunjukan anggota Timja pembuatan RUU Megapolitan Jabodetabekjur 4. Kode N.2 untuk menunjukan Staf Ahli Komite I 5. Kode N.3 untuk menunjukan staf rapat Komite I 6. Kode N.4 untuk menunjukan Tim Ahli pembuatan RUU Megapolitan Jabodetabekjur 7. Kode N.5 untuk menunjukan anggota Komite I DPD RI 8. Kode N.6 untuk menunjukan Kabag Komite I DPD RI 9. Kode N.7 Masyarakat di wilayah Jabodetabekjur
124
4.2.2 Deskripsi Informan Penelitian Pada penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan, dalam menentukan informan, peneliti menggunakan teknik purposive merupakan teknik penentuan informan dengan berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu yang disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan. Adapun informan-informan yang peneliti tentukan, merupakan orang-orang yang menurut peneliti ahli atau mengetahuai banyak mengenai kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan. Dalam penelitian mereka (informan) adalah orang-orang yang kesehariannya berurusan dengan permasalahan yang sedang peneliti teliti. Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang terikat dalam Sekretariat Jenderal DPD RI khususnya di Komite I, dan pihak-pihak lain yang terlibat. Untuk keabsahan data dan untuk menggali secara mendalam mengenai penelitian ini, maka peneliti mengambil informan dari beberapa masyarakat di wilayah Jabodetabekjur secara acak yang peneliti temui. Berikut informan yang telah bersedia di wawancarai adalah ; Tabel 4.3 Daftar Informan NO.
Kode
Nama Informan
Keterangan
Informan 1.
N.1
Drs. H. M. Abdurachman
Koordinator dalam pembuatan
125
Kebijakan pengeolaan terpadu megapolitan Jabodetabekjur/ Wakil I Pimpinan Komite I 2.
N.2
Fahriza
Staf Ahli Komite I
3.
N.3-1
Gerlan Gramanda
Staf Rapat Sekretariat Komite I sekaligus notulensi dalam pembahasan kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur
4.
N.4
Wawan Fachrudin
Tim Ahli pembuatan kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur
6.
N.6
Mesranian M.dev., Plg
Kepala Bagian Sekretariat Komite 1
7.
N.7-1
Diyah
Karyawan Swasta tinggal di Tangerang
8.
N.7-2
Ana
Karyawan Swasta Tinggal di Jakarta
9.
N.7-3
Ida Heriyani
PNS tinggal di Bogor
4.2.3 Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan
ini
menggunakan Model analisis data menurut Miles dan Huberman, yang mana
126
prosesnya mencakup beberapa langkah, yaitu yang pertama data collection (Pengumpulan
Data).
Pada
penelitian
mengenai
Analisis
Kebijakan
Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan, dalam tahap pengumpulan data dilakukan dengan review dokumentasi Naskah Akademik, pemaparan tim ahli, Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite I, wawancara, observasi, pengumpulan data melalui kajian pustaka dan dokumentasi. Hal ini dilakukan agar data yang didapatkan dalam penelitian ini valid dan dapat di pertanggungjawabkan. Langkah selanjutnya yaitu data reduction (reduksi data). Reduksi data artinya merangkum atau memilih hal-hal yang pokok dan memfokuskan hal yang penting. Dalam penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan, pada tahap reduksi data dilakukan dengan cara membaca ulang data-data yang didapatkan saat pengumpulan data, dan memilih data-data yang sesuai dengan fokus penelitian untuk kemudian disajikan. Kemudian langkah selanjutnya adalah data display (penyajian data). Penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan, dalam tahap penyajian data dalam penelitian kualitatif
dilakukan secara sistematis dan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, kategori, dan disajikan berupa teks naratif. Dengan mendisplay data dapat mudah memahami masalah apa yang telah terjadi. Langkah
keempat yakni
melakukan penarikan kesimpulan dan
verifikasi. Dalam penarikan kesimpulan didukung dengan bukti-bukti yang
127
kuat berupa data yang valid dan temuan di lapangan. Dengan menghubungkan hasil observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan data-data yang ada kemudian dapat ditarik sebuah kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan. 4.3 Deskripsi Hasil Penelitian Pembahasan dan analisis dalam penelitian merupakan data dan fakta yang peneliti dapatkan langsung dari lapangan dan disesuaikan dengan teori yang
peneliti
gunakan.
Dalam
pemaparan
hasil
penelitian,
peneliti
menuliskannya dalam bentuk deskriptif berupa uraian dan kutipan langsung dari narasumber. Untuk mengetahui bagaimana mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan, dengan menggunakan model teori analisis kebijakan menurut Dunn (2003) dalam analisis kebijakan meliputi lima (5) tahapan, yaitu; 1. Pencarian Masalah 2. Peramalan Masa Depan 3. Rekomendasi Kebijakan 4. Pemantauan Hasil Kebijakan 5. Evaluasi Kebijakan 4.3.1 Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan Analisis data dan temuan di lapangan yang peneliti lakukan dengan menggunakan model analisis kebijakan publik menurut Dunn (2003) dimana untuk menganalisis kebijakan meliputi lima (5) tahapan, yaitu pencarian
128
masalah, peramalan masa depan, rekomendasi kebijakan, pemantauan hasil kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Berikut penjabarannya ; 1. Pencarian Masalah Pembentukan kawasan megapolitan di wilayah Jabodetabekjur ini bertujuan untuk memperkuat posisi sebagai Ibukota Negara dan untuk pemerataan pembangunan di sekitar wilayah DKI Jakarta. Untuk itu dalam penyatuan wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur (Jabodetabekjur) tentulah banyak permasalahan yang terjadi. Salah satu upaya yang diharapkan dalam penyatuan regulasi terkait wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan adalah untuk menuntaskan segala permasalahan yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur. Dari peliknya berbagai permasalahan yang ada dibutuhkan suatu penyatuan regulasi yang dapat mengatasi permasalahan tersebut. Permasalahan yang ada di Jabodetabekjur telah diketahui melalui banyak dilakukannya survei dan riset dari banyak sumber. Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi, maka Komite I DPD RI melakukan banyak kajian mengenai permasalahan di wilayah Jabodetabekjur agar memperoleh informasi yang valid. Hal tersebut diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti di Gedung Nusantara IV pada 16 April 2015 mengungkapkan bahwa: “Mekanisme pengumpulan masalah yang ada di Jabodetabekjur itu ada beberapa tahapannya, yang pertama itu pada saat anggota Komite I DPD reses, kedua dengan mengadakan kunjungan kerja (kunker), ketiga melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) biasanya kita juga mengundang LSM dari daerah, dan selain itu dapat dilakukan dengan mengundang pemerintah atau institusi yang terkait untuk ikut membahas permasalahan yang akan kita bahas”.
129
Berdasarkan wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa upaya yang dilakukan tersebut bertujuan untuk mengetahui masalah apa yang terjadi di Jabodetabekjur. Dari hasil obervasi di lapangan bahwa permasalahan yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur yaitu dikarenakan Jakarta sebagai pusat dari segala kegiatan ekonomi dan pemerintahan sehingga banyak menyedot perhatian masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah Jakarta untuk datang ke Jakarta. Dengan begitu permasalahan menjadi bertambah yakni, kemacetan, pemukiman yang semerawut, banjir, pertumbuhan penduduk, ketimpangan pembangunan
dan
sumber
daya
manusia,
sehingga
dengan
begitu
mengakibatkan ketidakteraturan di wilayah tersebut. Hal serupa diungkapkan oleh N.3 di Gedung Nusantara IV, pada 16 April 2015 yang mengatakan bahwa: “Begini sebetulnya, kondisi sekarang Jakarta sebagai pusat ekonomi, pusat pemerintahan, pusat hiburan dan semuanya jadi bergantung pada Jakarta. Dengan begitu, dari banyak orang yang datang ke Jakarta jadi bikin Jakarta makin macet, makin padet penduduknya, dan Jakarta sebagai Ibukota Negara malah semerawut. Dan lagi seperti terlihat jomplang perkembangannya dengan daerah-daerah di sekitaran Jakarta karena semua terfokus di Jakarta “. Berdasarkan wawancara di atas, dapat peneliti ketahui, bahwa bidangbidang yang memiliki lintas batas dalam masalah dan perlu pengaturan yang lintas batas pula adalah permasalahan tata ruang, pemukiman, transportasi, sumber daya dan lingkungan. Pengelolaan bidang-bidang tersebut didasarkan pada pertimbangan dampak yang luas dan atau kepentingan dari dua atau lebih wilayah dalam kawasan megapolitan Jabodetabekjur.
130
Pertumbuhan penduduk yang tinggi di sekitar Jakarta dan sekitarnya akibat migrasi serta terbatasnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan perumahan dan kesempatan kerja telah menyebabkan alih fungsi lahan pertanian ke fungsi non pertanian. Alih fungsi lahan yang tidak terkendali selanjutnya menimbulkan dampak turunan berupa erosi, pengendapan sungai, pencemaran, yang semuanya berakumulasi pada masalah banjir, kesehatan, serta kerugian ekonomi dan infrastruktur. Hal ini diungkapkan oleh N.3 kepada peneliti di sekretariat Komite I bahwa: ”Karena banyak orang yang datang ke Jakarta jadi malah bikin banyak alih fungsi lahan ya dek. Banyak lahan yang harusnya jadi daerah resapan air sekarang alih fungsi pemukiman. Itu akibat bertambahnya jumlah penduduk dan terjadi alih fungsi lahan nambah lagi masalah banjir, pencemaran sungai, dan bisa berbahaya juga buat masyarakat”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa, dalam kurun waktu beberapa dekade ini banyak perkembangan kota-kota baru yang pada akhirnya merujuk pada Jakarta. Hal ini semakin menguatkan adanya
ketimpangan
dan degradasi lingkungan
hidup.
Hal
serupa
diungkapkan oleh N.3 kepada peneliti, bahwa: “Coba dilihat Naskah Akademik Megapolitan Jabodetabekjur ya sekarang, di sana ada perkembangan kota-kota baru. Jadi malah bikin Jakarta tambah padat kan? Makin banyak orang yang datang. Hal ini itu belum diatur makanya banyak wilayah baru yang bermunculan, dan berkembang, dan semua mengarah ke Jakarta”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa adanya kota-kota baru tersebut dikembangkan pengembang yang berbeda-beda, yang menjadikan konektivitas antara kota-kota baru itu sendiri maupun antara
131
kota-kota baru dengan jaringan infrastruktur regional. Hal ini menyebabkan segregasi spasial dan juga sosial. Pengembangan lahan ada masa itu tidak terkontrol dan membawa banyak permasalahan lingkungan (ektraksi air tanah yang berlebihan, polusi, berkurangnya ruang terbuka hijau dan area resapan air) dan permasalahan kemacetan. Pada puncak boom properti tahun 90-an, ada 23 kota baru dengan area 500-6000 ha yang dikembangkan di sekitar Jakarta (NA RUU Jabodetabekjur, 2014:30). Berdasarkan uraian masalah yang terjadi di kawasan Jabodetabekjur, maka perlu adanya suatu alternatif untuk menyelesaikan masalah. Untuk itu hasil dari pencarian masalah yang ada kemudian masuk dalam tahap inventarisasi masalah yang di akan ditampung oleh Komite I kemudian akan dibahas dalam rapat kerja maupun rapat dengar pendapat. Masalah yang ada akan menajdi suatu bahan pertimbangan dibentuknya sebuah kebijakan baru atau melahirkan sebuah alternatif yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Untuk itu Komite I DPD RI telah mengkaji lebih dalam terhadap permasalahan tersebut. Hal serupa diungkapkan oleh N.1 kepada peneliti di Gedung Nusantara IV pada 16 April 2015 bahwa:
“Begini sebetulnya, untuk permasalahan yang ada setelah kita dapat laporan atau data masalahnya kemudian akan kita kumpulkan semua masalahanya nanti akan dibahas di rapat bersama anggota Komite I DPD, lalu baru setelah dibahas bisa ketahuan apakah layak atau tidak diusulkan untuk dibuat RUU. Satu lagi, dalam inventarisasi masalah
132
DPD banyak melakukan kajian, supaya kebijakan yang akan dibuat tepat dan dapat menjawab permasalahannya”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa permasalahan yang telah diterima kemudian akan diusulkan menjadi RUU dan diajukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). RUU Megapolitan Jabodetabekjur ini merupakan kebijakan inisiatif yang diusungkan oleh Komite I DPD RI, dan telah banyak dilakukan kajian melalui institusi Perguruan Tinggi ataupun melalui LSM dan instansi terkait. Kebijakan pengelolaan Jabodetabekjur untuk dibuat sebagai kawasan megapolitan ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dan dapat memperkuat posisi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara. Dalam pembuatan kebijakan ini Komite I DPD RI tidak bekerja sendiri, melainkan bekerja sama dengan instansi terkait seperti Kementerian, Kepala Daerah se-Jabodetabekjur, dan mengundang tim ahli untuk pembentukan kawasan megapolitan. Tim ahli yang membantu dalam penyusunan kebijakan pengelolaan terpadu wilaayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan ini merupakan oarang-orang yang terdiri dari akademisi yang ahli di bidang perencanaan, tata kota dan tata ruang, serta lingkungan, yang nanti akan dapat memberikan bantuan berupa substansi materi dan pandangan terkait pembentukan kawasan megapolitan di wilayah Jabodetabekjur. Hal serupa diungkap oleh N.1 kepada peneliti, yang menyatakan bahwa: “Dalam perumusan kebijakan ini DPD tidak bekerja sendiri, kami dari Komite I juga mengundang tim ahli buat jadi narasumber, ada staf ahli komite juga, kemdudian kita juga mengundang dari pihak pemerintah seperti Kementerian atau Dirjen untuk memberikan lebih banyak
133
masukan
untuk
perumusan
kebijakan
sekaligus
kita
perkuat
kelembagaan”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa pembahasan masalah selain dengan mengundang narasumber lain, dapat juga dengan dilaksanakan Focus Group Discussion (FGD) yaitu dengan cara diskusi bersama yang dilaksanakan dalam satu ruangan dengan mengundang seluruh stakeholder dan instansi terkait dalam pembahasan kebijakan tersebut. FGD mengenai pembahasan pembentukan kawasan megapolitan Jabodetabekjur ini telah dilaksanakan pada tahun 2014 lalu dengan mengundang seluruh instansi terkait. Dalam FGD tersebut seluruh kepala daerah di wilayah Kabupaten/Kota Jabodetabekjur diundang dan membahas bersama dengan Komite I DPD RI. Dalam program kerja sama terkait penyatuan regulasi wilayah Jabodetabekjur yang terdiri dari tiga (3) Provinsi yakni Jakarta, Jawa Barat, dan Banten serta terdiri dari beberapa Kabupaten/Kota sangat diperlukannya kerjasama dan harmonisasi seluruh stakeholder. Namun sejak dicanangkannya program kerja sama tersebut belum mencapai harmonisasi sehingga terkesan statis. Hal tersebut diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti, beliau menyatakan bahwa: “Sebenarnya program pembangunan kerja sama ini sudah dari dulu direncanakan. Kerja sama yang direncanakan antar pemerintah wilayah Jabodetabekjur terkesan statis itu dikarenakan kurangnya koordinasi antar pemerintah. Selain itu juga dikarenakan adanya perbedaan derajat otonomi yang dipegang oleh DKI Jakarta. Sehingga hal ini membuat disharmoni”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa dampak dari adanya masalah perbedaan derajat otonomi yang dipangku oleh DKI
Jakarta
berbeda
dengan
wilayah
Bodetabekjur
menyebabkan
134
ketidakserasian dan kurangnya koordinasi antarpemerintah. Solusinya adalah harus ada lembaga yang mengatur untuk pengelolaan terpadu wialayah Jabodetabekjur. Selain itu dikarenakan adanya otonomi khusus di DKI Jakarta seharusnya Gubernur Jakarta memiliki kewenangan setingkat menteri agar mampu mengkoordinasikan seluruh kepala daerah di wilayah Bodetabekjur. Hal tersebut dingkapkan oleh N.2 kepada peneliti pada 16 April 2015, beliau mengungkapkan bahwa: ”Karena Jakarta punya otonomi khusus, yaitu Daerah Kota Istimewa (DKI) Jakarta sebagai Ibukota Negara, menurutku seharusnya Gubernur DKI Jakarta harus memiliki kewenangan setingkat menteri yang dapat mengatur dan mengkoordinasikan antarpemerintah di Bodetabekjur agar bisa harmonis kebijakannya. Jadi tidak lagi ada masalah kurang koordinasi, selain itu solusi masalahnya dibentuk suatu badan yang mengkoordinasikan program pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur agar lebih optimal”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa pada kenyataannya, masing-masing pemerintah daerah menetapkan pembangunan yang berorientasi pada wilayahnya sendiri. Jakarta sebagai Ibukota negara diarahkan menjadi kota utama sejak penyusunan Rencana Umum Tata Ruang kota Jakarta 2005. Visi pembangunan DKI Jakarta dalam RPJPD yang diadopsi dalam RTRW Provinsi, berfokus menjadikan Jakarta sebagai kota jasa internasional dan nasional. Di sisi lain, visi provinsi Banten cenderung lebih berorientasi pada dasar kualitas manusia yang religius dan mengutamakan kepentingan internal sedangkan visi pembangunan Jawa Barat mempunyai basis yang sama dengan Banten yaitu berbasis pada nilai religius namun
135
memiliki sikap untuk bersaing dengan DKI Jakarta dengan mengatakan ingin menjadi termaju di Indonesia. Menyikapi segala permasalahan antarpemerintah Jabodetabekjur yang disebabkan kurangnya koordinasi sehingga belum dapat optimalnya dalam penanganan masalah yang ada. Sehingga pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur yang sejak lama sudah dicanangkan terkesan statis. Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 65 tahun 1975 dan SK Menteri Dalam Negeri no. 10/34/16/282 untuk menangani kerjasama pengelolaan pembangunan di kawasan Jabodetabekjur adalah Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur. Lembaga yang awalnya menjadi rujukan pembangunan di kawasan Jabodetabekjur ini kemudian menjadi relatif tidak memiliki kekuatan dan kapasitas melaksanakan tugas dan fungsinya sejak diterapkannya sistem desentralisasi
bagi
penyelenggaraan
pemerintah
daerah.
Hal
tersebut
diungkapkan oleh N.2 bahwa: “Sebetulnya program ini sudah sejak lama dicanangkan, bahkan badannya pun telah dibentuk dari dulu, hanya saja program ini masih statis dan belum bisa berkerja secara optimal, dan kerja sama ini masih belum berkembang dari tahun ke tahun. Menurutku itu tadi gubernur Jakarta harus punya kewenangan setingkat menteri untuk mengatur dan mampu memberikan kewenangan kepada pemerintah di Bodetabekjur. Selain itu ditunjang dengan adanya badan koordinasi yang untuk lebih mengoptimalkan program pengelolaan terpadu di wilayah Jabodetabekjur ini”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) adalah badan kerjasama yang mengelola wilayah Jabodetabekjur. BKSP Jabodetabek diharapkan dapat
136
mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di wilayah Jabodetabek serta mampu mengatasi berbagai
permasalahan bersama.
Mengenai permasalahan lemahnya BKSP, N.2 mengungkapkan kepada peneliti bahwa: “Seharusnya gubernur DKI Jakarta memiliki kewenangan buat ikut mengawasi dan mengkoordinasi BKSP. Kalau BKSP sudah ada penguatan jadi tidak ada lagi masalah kurangnya koordinasi. Sekarang kan masalahnya karena kita lemah dikoordinasi, setiap daerah sibuk dengan daerahnya masing-masing”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa lemahnya BKSP mendorong untuk merumuskan satu konstruksi kelembagaan baru yang disertai peningkatan kekuatan dan kapasitas kelembagaan dalam mengelola kawasan. Kelembagaan ini hendaknya merangkul perwakilan para stakeholder, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah-pemerintah daerah yang tergabung dalam kawasan megapolitan Jabodetabekjur, stakeholder utama dan jika diperlukan dari kalangan pihak independen termasuk ahli dan praktisi. Sebagai unit yang memiliki mandat, kewenangan, dan tanggung jawab untuk urusan mengatur maka bagian ini memiliki peran legislatif yang dapat mengeluarkan produk-produk hukum atau aturan. Kelembagaan ini juga harus disertai sebuah sistem kontrol, monitoring dan evaluasi. Permasalahan kelembagaan yang masih lemah ini yang membuat program pembangunan kawasan megapolitan Jabodetabekjur ini masih belum optimal. Hal ini di ungkapkan oleh N.1 kepada peneliti di Perumnas II pada 11 Mei 2015 bahwa:
137
“Sebenarnya yang menjadi pokok dan harus kita atasi dulu itu masalah kelembagaan. Secara sekarang belum ada badan/kementerian yang punya kewenangan untuk membentuk regulasi terkait Jabodetabekjur, ditambah pemerintah daerah sibuk dengan pembangunan daerah masing-masing. Solusinya kita perkuat dulu kelembagaan baru bisa menjalankan program kerja sama untuk bikin kawasan megapolitan Jabodetabekjur secara optimal begitu”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa permasalahan yang telah dipaparkan di atas sebenarnya berawal dari ketidakharmonisan antar pemerintah di Jabodetabekjur, sehingga program pengelolaan terpadu Jabodetabekjur ini masih belum optimal dikarenakan kurangnya koordinasi. Sehingga seolah-olah semuanya menyerahkan kepada DKI Jakarta sebagai kota utama. Untuk itu semua masalah bertumpu di Jakarta. Padahal ini merupakan tanggung jawab antar pemerintah di Jawa barat, DKI Jakarta dan Banten. Dengan adanya kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan yang oleh komite I DPD RI ini diharapkan mampu memperkuat dari sisi kerja sama dan meningkatkan koordinasi kelembagaan agar kebijakan ini dapat berjalan secara optimal, sesuai rencana dan target yang diharapkan. 2. Peramalan Langkah selanjutnya dalam analisis kebijakan setelah pencarian masalah menurut Dunn (2003:291) adalah peramalan (forecasting). Dalam penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan, ada beberapa peramalan yang dilakukan guna melihat sejauh mana dan seperti apa perkembangan kawasan
138
Jabodetabekjur bila di bentuk sebagai kawasan megapolitan dan bagaimana keadaan di masa depan apabila masalah yang terjadi pada masa sekarang belum dapat ditangani. Peramalan bertujuan untuk melihat masa yang akan datang dihubungkan dengan masalah pada saat ini. Selain itu dalam pembentukan kawasan megapolitan dikhawatirkan di masa depan dapat mengubah lingkungan, unsur sosial, dan budaya dari masyarakat. Hal tersebut diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti, beliau mengungkapkan bahwa: “Kalau di lihat dari sisi peramalan, sebenarnya dari masalah kemacetan sekarang bisa berakibat lalu lintas di DKI Jakarta pada sepuluh tahun lagi bisa lumpuh dan efek banjir tahunan itu nanti 35 tahun lagi Jakarta terancam bisa tenggelam. Untuk itu kita harus mencari alternatif supaya di masa yang akan datang bisa memecahkan masalah ini”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa perkiraan mengenai akan tenggelamnya DKI Jakarta ini disebabkan karena bertambahnya volume air laut dan menyusutnya permukaan tanah. Hal ini tentu semakin tinggi air laut sehingga dalam beberapa tahun dapat mengakibatkan tenggalamnya sebagian wilayah Jakarta. Potensi rendaman di Jakarta Utara disebabkan oleh kenaikan muka laut dan penurunan permukaan tanah. Wilayah yang diprediksi akan terendam pada tahun 2020 seluas 6,6 km², sedangkan pada tahun 2035 diramalkan potensi wilayah yang terendam meningkat menjadi 62,3 km² (NA RUU Jabodetabekjur 2014:9). Berbagai masalah yang kini tengah dihadapi oleh DKI Jakarta, apabila dalam kurun waktu satu sampai dua dekade tidak ditangani dengan baik, maka akan berimbas ke wilayah sekitaran DKI Jakarta seperti wilayah Bodetabekjur. Dalam kajian PRPW UI (2013) menjelaskan bahwa pasokan sumber daya air
139
bersih sangat vital di Ibukota DKI Jakarta, namun saat ini justru mengalami defisit air bersih. Hal ini justru akan mengkhawatirkan di masa yang akan datang. Berikut fakta-fakta yang didapatkan di lapangan ; 1. Kebutuhan air mencapai 300ton per tahun tidak sesuai dengan discharge eksploitasi air bawah tanah telah menyebabkan turunnya permukaan air tanah sebesar 0,5meter dalam kurun waktu 10 tahun. 2. Pasokan air tidak dapat mengimbangi permintaan air yang terus mengalami peningkatan. Selain mengalami defisit air tanah, selanjutnya hal yang cukup mengkhawatirkan apabila tidak segera ditangani yaitu permasalahan mengenai perubahan tata guna lahan. Lahan sawah mapun lahan kering banyak berubah fungsi menjadi lahan berbangun. Kawasan perkotaan yang semula hanya terdapat di pusat Jakarta, kini sudah meluas sampai sekitar Jakarta seperti Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Hal tersebut diungkapkan oleh N.4 bahwa: “Sekarang karena semua orang mau ke Jakarta jadi lahan pemukiman mulai padat, bahkan wilayah di sekitar Jakarta seperti Bodetabekjur itu juga sekarang sudah padat penduduk. Bisa dibayangkan kalau sampai sepuluh tahun lagi belum dikelola dan ditata nanti jadinya semakin bertambah penduduk dan tidak ada lahan pemukiman”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa hal tersebut apabila tidak segera ditangani, maka akan semakin banyak alih fungsi lahan dari daerah persawahan menjadi pemukiman. Tidak hanya soal pemukiman melainkan akan hilangnya daerah resapan air sehingga ketika musim penghujan datang dapat mengakibatkan banjir yang menggenangi
140
wilayah pemukiman warga. Seperti pada tahun 2014 lalu banjir besar menggenangi daerah DKI Jakarta. Secara geografis DKI Jakarta memang terletak di daerah dataran rendah dan merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS). Untuk jika di masa yang akan datang daerah resapan air berubah alih fungsi lahan pemukiman, maka Jakarta terancam tenggelam. Kemudian hal yang dapat mengkhawatirkan di masa depan yakni permasalahan iklim. Hal tersebut diungkapkan oleh N.3 bahwa: “Masalahnya lain yaitu masalah soal iklim, karena macet dapat menyebabkan polusi udara meningkat, jadi suhu udara di wilayah perkotaan gini, khususnya di Jakarta semakin panas dan itu panasnya akan semakin meningkat juga setiap tahun, seiring dengan meningkatnya polusi udara juga”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dan dari data yang peneliti dapatkan, dapat diketahui bahwa temperatur suhu di Jakarta, Depok dan Bogor sekitarnya diproyeksikan naik masing-masing 2˚C, 1,3˚C dan 2,5˚C dalam kurun waktu 2012 hingga 2035. Hal ini menyebabkan suasana di perkotaan semakin panas. Curah hujan rata-rata Jakarta, Depok dan Bogor sekitarnya diproyeksikan naik masing-masing 40mm, 100mm dan 200mm dalam kurun waktu tersebut. Sementara itu 37 cadangan air tanah di Jakarta telah defisit 4,469,668,428 liter per tahun dan diproyeksikan defisit 18,922,483,365 liter per tahun. Luas genangan air di Jakarta akibat penurunan permukaan air tanah dan kenaikan muka air laut diproyeksikan mencapai 8,86 km2 pada tahun 2020 dan 62,3 km2 pada tahun 2100 (NA RUU Jabodetabekjur 2014:37). Kemudian hal yang perlu diperhatikan dan menjadi permasalahan yakni mengenai transportasi. Saat ini jumlah volume kendaraan semakin meningkat
141
yang menyebabkan kemacetan pada lalu lintas dari dan menuju Jakarta. Hal tersebut diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti bahwa: “Kemudian masalah transportasi ini, perlu kita perhatikan juga. Lalu lintas dari Jakarta atau menuju Jakarta sudah pasti macet. Belum lagi kalau di jam-jam sibuk, seperti jam berangkat dan pulang kantor itu udah makin parah. Dan kemacetannya semakin tahun bertambah. Bisa dilihat nanti kalau belum ada kebijakan juga yang terjadi di masa depan lalu lintas makin semrawut”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa kebutuhan perjalanan di wilayah Jabodetabek 53 juta perjalanan pada tahun 2010, dan diramalkan bahwa jumlahnya akan terus bertambah, yaitu 64 juta perjalanan pada tahun 2020. Keadaan seperti ini jika tidak ada pengembangan jaringan dan pelayanan transportasi perkotaan hingga pada tahun 2020 untuk angkutan umum akan berkurang dan kondisi lalu lintas akan semakin parah. Berbagai jenis pembangunan akan dilakukan guna membentuk sebuah kawasan megapolitan secara terpadu. Hal ini dikhawatirkan di masa depan dapat merubah cara pandang dan pola perilaku dari masyarakat yang tinggal di wilayah Jabodetabekjur. Namun, dari hasil observasi yang peneliti lakukan, hal tersebut tidaklah benar. Hal tersebut diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti bahwa: “Pembangunan kawasan megapolitan kita ini lebih banyak pada aspek transportasi, tata ruang tata kota, pemukiman dan sebagainya. Jadi tidak mengurangi aspek budaya dan sosial dari masyarakat. Kita tidak menyentuh aspek budaya. Jadi masyarakat tetap bisa bekerja dan hidup seperti biasa, hanya penataan kotanya yang kita atur dalam kebijakan megapolitan Jabodetabekjur ini“. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa pembangunan megapolitan Jabodetabekjur ini lebih terfokus pada jaringan
142
transportasi, tata kota dan tata ruang, pemukiman, dan pengembangan daerahdaerah di sekitar Jakarta. Pada pembentukan kawasan megapolitan ini tidak merubah masyarakat dari aspek sosial, budaya maupun perilaku. Hanya saja ketika kebijakan ini sudah berjalan optimal, masyarakat dapat lebih mudah untuk akses transportasi karena sudah ada penyatuan terkait regulasi Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan. 3. Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan adalah langkah ketiga dalam model analisis kebijakan menurut Dunn (2003:405). Setelah kita mengetahui bagaimana masalah yang terjadi, kemudian selanjutnya melakukan peramalan untuk masa depan, langkah selanjutnya yaitu memberikan rekomendasi kebijakan yang sesuai dengan masalah yang ada. Sehingga rekomendasi kebijakan diharapkan mampu menjawab dan menyelesaikan permasalahan. Dalam penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan oleh Komite I DPD RI, peneliti banyak mendapatkan hasil rekomendasi kebijakan yang tepat dan telah disepakati bersama oleh DPD, pemerintah, dan antarpemerintah daerah di Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten melalui Focus Group Discussion (FGD). Ada beberapa rekomendasi kebijakan yang ditawarkan salah satunya yang diungkapkan oleh N.3 selaku tim ahli dari pembuatan dalam kebijakan megapolitan Jabodetabekjur kepada peneliti N.3 mengungkapkan bahwa: “Untuk rekomendasi kebijakan sebaiknya saran saya itu dibentuk beberapa pola, supaya ada petak-petak yang sesuai dengan fungsinya.
143
Jadi nanti tidak jadi semua bertumpu pada Jakarta, semua daerah di Jabodetabek punya fungsi masing-masing”. Hal tersebut juga diungkapkan oleh N.4 kepada peneliti bahwa: “Kalau menurut saya lebih baik pengelolaan terpadu Jabodetabekjur dibentuk pola-pola. Nanti akan kita bentuk tiga pola yang pertama pola federatif, terus pola integratif, terus yang terakhir itu pola distributif. Biar ada petak-petakan gak cuma terpusat di Jakarta aja gitu”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa rekomendasi
kebijakan
untuk
pengelolaan
terpadu
Jabodetabekjur
direkomendasikan dengan dibentuk pola sebagai berikut; Pola integratif, yaitu penyatuan Jabodetabekjur dalam satu regulasi, satu reguler khusus, mengatur semua
masalah
interkoneksi
utama
di
kawasan
ini,
di
bawah
badan/kementerian yang ditunjuk, Pola Federatif, yaitu membagi kewenangan struktural antara pemerintah pusat, Core City (DKI Jakarta), semi pheri-pheri (Bodebek),
dan
pheri-pheri
City
(Tabekjur),
Pola
Distributif,
yaitu
mendistribusikan kewenangan fungsional berdasarkan keunggulan komparatif dari daerah-daerah di kawasan Jabodetabekjur. Pola-pola di atas berfungsi sebagai pemetakan fungsional daerahdaerah di kawasan Jabodetabekjur agar tidak semua terpusat di Jakarta. Hal ini tentu dapat mengurangi beban masalah di Jakarta. Selain dengan membentuk pola-pola, rekomendasi kebijakan untuk mengatasi masalah lain di kawasan Jabodetabekjur telah ditawarkan, yaitu yang pertama mengenai rekomendasi permasalahan transportasi. Permasalahan transportasi di rasa penting untuk mengitegrasikan seluruh aktivitas di Jabodetabekjur. untuk itu perlu adanya
144
rekomendasi dalam penanganan masalah trasportasi di Jabodetbekjur.
Hal
tersebut diungkapkan oleh N.3 bahwa: “Salah satu yang kita rekomendasikan adalah kebijakan untuk mengatasi permasalahan transportasi. Kita juga tau kalau Jakarta dan wilayah sekitaran Jakarta selalu macet. Untuk itu perlu ada pengembangan transportasi umum untuk masyarakat agar dapat meminimalisir kemacetan. Sekarang baru ada KRL, busway, dan APTB yang digunakan untuk integrasi di wilayah Jabodetabek, nanti akan ditambah lagi supaya semuanya bisa terintegrasi”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa Kebijakan pengembangan transportasi dibentuk bertujuan sebagai berikut : 1. Peningkatan peran moda angkutan umum 2. Pengurangan kemacetan lalu lintas jalan 3. Pengurangan polusi dan kebisingan dari operasional sistem transportasi 4. Manajemen kebutuhan transportasi untuk mengendalikan permintaan perjalanan 5. Peningkatan keselamatan dan keamanan transportasi Seperti
diketahui di latar belakang masalah peningkatan mobilitas
penduduk juga mengakibatkan kemacetan yang semakin parah. Berdasarkan data hasil observasi yang peneliti dapatkan dari FGD, setiap harinya masyarakat di sekitaran Bodetabekjur menuju Jakarta. Berikut bagan pola perjalanan masyarakat yang peneliti dapatkan dalam FGD (19 Februari 2014).
145
Gambar 4.2 Pola Perjalanan Harian di Wilayah Jabodetabek dengan semua Moda Transportasi
Berdasarkan gambar 4.2 tersebut dapat kita lihat bahwa lalu lintas dalam dan menuju Jakarta setiap harinya padat. Ada jutaan trip yang setiap harinya menuju Jakarta, tentunya hal ini menimbulkan efek kemacetan yang cukup parah.
Hal tersebut diungkapkan juga oleh N.1 kepada peneliti di
Perumnas II Tangerang pada 11 Mei 2015 bahwa: “Untuk mengurai kemacetan dari dan menuju Jakarta kita harus bikin dan mengembangkan jalan tol sebagai alternatif untuk mengurangi kemacetan. Terus kita perlu mengembangkan daerah di Jabar selatan dan Banten selatan dengan membuat jaringan transportasi supaya pembangunan ini lebih merata”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa rekomendasi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan di wilayah Bodetabekjur menuju Jakarta adalah mengembangkan jalur-jalur alternatif
146
yang dapat mengurai kemacetan. Hal serupa di ungkapkan oleh N.2 kepada peneliti bahwa: “Untuk alternatif kita harus mengembangkan jalan-jalan di daerah Banten selatan dan Jabar selatan. Supaya dapat digunakan untuk mengurai kemacetan sekaligus agar pembangunannya merata. Bukan hanya pembangunan di kawasan perkotaan saja, akan tetapi kita akan mengembangkan daerah-daerah yang di pinggiran. Banyak proyek pembangunan yang akan kita laksanakan nantinya”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa jumlah pembangunan
proyek yang ditargetkan selesai pada tahun 2030
tersebut diantaranya meliputi konstruksi jalur Mass Rapid Transit (MRT), Pengembangan pelabuhan baru berskala internasional di Cimalaya (Karawang), perluasan Bandara Soekarno – Hatta, pengembangan klaster penelitian baru, dan pengembangan sistem saluran air limbah di Jakarta untuk mengatasi masalah banjir. Hal ini diungkapkan oleh N.1 di kediamannya di Perumnas II Tangerang Pada 11 Mei 2015 bahwa: “Untuk rekomendasi transportasi kita akan membuat MRT, kemudian pembangunan dan pengembangan jalan-jalan baru, baik jalan dalam kota atau juga jalan tol di daerah yang masih belum berkembang, lalu kita juga akan mengembangkan sarana transportasi massal buat mengurai kemacetan. Kira-kira kalau tidak ada hambatan pembangunan megapolitan Jabodetabekjur bisa selesai sekitar tahun 2030”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa adanya
program
pembangunan
transportasi
massal
yang
dapat
mengintegrasikan ke seluruh wilayah Jabodetabekjur diharapkan mampu mengelola
secara
terpadu
kawasan
megapolitan
Jabodetabekjur
dan
pemerataan pembangunan. Hal tersebut juga diungkapkan oleh N.1 kepada peneliti di Perumnas II Kota Tangerang pada 11 Mei 2015 bahwa:
147
“Kita harus merekomendasikan untuk membuat transportasi massal yang dapat mengintegrasi ke seluruh kawasan megapolitan Jabodetabekjur. Kemudian kita juga harus membuat petak-petak dimana kawasan industri, pemukiman, irigasi dan sebagainya agar penataan tata ruang kota lebih teratur. Jadi kita harus selesaikan juga persoalan tata ruang. Selain itu pastinya kita akan menambah unit transportasi umum yang dapat digunakan masyarakat untuk menintegrasi ke wilayah Jabodetabekjur”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa transportasi massal yang kini sudah berjalan dan dapat mengitegrasi beberapa wilayah di Jabodetabek adalah APTB dan KRL. Perkembangannya hingga tahun 2020 trayek armada APTB dan KRL akan diperbanyak dan menambah jaringan agar dapat mengintegrasi ke seluruh wilayah Jabodetabekjur. Hal ini diharapkan mampu mempermudah laju lalu lintas dan dapat menjadi transportasi massal yang dapat mengurangi volume kendaraan pribadi untuk meminimalisir kemacetan. 4. Pemantauan Kebijakan Pemantauan kebijakan adalah langkah keempat dalam analisis kebijakan menurut Dunn. Dalam pemantauan kebijakan sering disebut sebagai monitoring, yaitu penilaian dan pengawasan saat kebijakan ini sedang dilaksanakan. Monitoring atau pemantauan pelaksanaan kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan ini dapat dilakukan oleh berbagai macam pihak termasuk akan ada campur tangan dari masyarakat. Hal tersebut diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti di Perumnas II Kota Tangerang pada 11 Mei 2015 bahwa:
148
“Pada saat kebijakan ini berjalan kita terus melakukan pemantauan agar hasilnya lebih optimal, dan sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Pemantauan dapat dilakukan melalui lembaga atau badan yang ditunjuk, pemantauan di daerah Kabupaten/Kota masing-masing di wilayah Jabodetabekjur, dan masyarakat juga bisa ikut partisipasi, atau pemantauan oleh masing-masing pemerintah daerah di wilayah Jabodetabekjur”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa monitoring atau pemantauan kebijakan dilakukan dengan kesesuaian rencana dan pelaksanaan program yang sedang dijalankan. Dalam pemantauan kebijakan pemerintah daerah menjalankan fungsi pengawasan atas program yang tengah dilaksanakan di daerah masing-masing untuk saling membentuk wilayah fungsional agar terbentuknya kawasan megapolitan. Hal ini perlu adanya suatu kewenangan dari gubernur DKI Jakarta sebagai ibukota negara untuk mengatur jalannya program terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan. Hal ini diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti bahwa: “Seharusnya Gubernur DKI Jakarta punya kewenangan setingkat menteri agar dalam pelaksanaan pembentukan kawasan megapolitan Jabodetabekjur, gubernur DKI dapat memberikan sanksi tegas kepada daerah-daerah di Bodetabekjur yang tidak patuh dalam melaksanakan programnya. Kemudian pemantauan kebijakan ini juga dapat dilakukan oleh badan koordinasi Jabodetabekjur”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa selain pemantauan melalui pemerintah, badan/kementerian yang ditunjuk atau kewenangan dari gubernur DKI Jakarta, pemantauan juga dapat dilaksanakan oleh masyarakat yang tinggal dan merasakan pembangunan kawasan megapolitan Jabodetabekjur. Masyarakat dapat ikut serta dan mengawasi
149
jalannya perogram pengelolaan terpadi di wilayah Jabodetabekjur. Hal tersebut diungkapkan oleh N.6 kepada peneliti bahwa: “Kalau untuk pemantauan selain bisa dari lembaga atau badan, menurutku masyarakat bisa ikut serta. Misalnya kalau di daerah A program yang seharusnya berjalan akan tetapi justru tidak dilaksanakan, masyarakat dapat menilai dan melaporkan melalui media elektronik, atau melalui instansi terkait. Jadi di sini perlu adanya kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat agar sama-sama bisa optimal program pembentukan kawasan megapolitan ini”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa pemantauan kebijakan yang akan diterapkan dalam kebijakan pengelolaan terpadu kawasan megapolitan ini dapat dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari pemerintah pusat pemerintah daerah Jabodetabekjur, badan/kementerian terkait bahkan masyarakat. Hal serupa diungkapkan oleh N.5 kepada peneliti bahwa: “Pemantauan ini agar lebih efisien itu kita akan melakukan pemantauan dengan melibatkan seluruh stakeholder. Baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan koordinasi dan bahkan masyarakat juga akan terlibat berpasrtisipasi. adapun kami selaku anggota DPD akan ikut melakukan pemantauan terhadap kebijakan yang sedang berjalan”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa pada pelaksanaan kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan
dalam monitoring atau pemantauan kebijakan
merupakan menjadi tugas dan tanggung jawab Menteri Koordinator bidang Perekonomian untuk tingkat nasional, Gubernur untuk tingkat provinsi, Bupati untuk tingkat kabupaten, dan Walikota untuk tingkat kota di seluruh wilayah Jabodetabekjur. Dalam hal ini tentu seluruh stakeholder dan masyarakat di wilayah Jabodetabekjur memiliki kewenangan untuk saling bekerja sama
150
dalam mengawasi atau memonitoring jalannya pengelolaan terpadu sebagai kawasan megapolitan. Peran serta masyarakat dalam melakukan pemantauan dan pengawasan dalam kebijakan ini dituntut untuk lebih partisipatif melakukan pemantauan dan penilaian. N.7 mengatakan kepada peneliti di KRL pada 11 Mei 2015 bahwa: “Kita sebagai masyarakat sebenarnya setuju sekali kalau mau ada regulasi pengelolaan terpadu di Jabodetabekjur, biar semuanya tidak menumpuk di Jakarta dan senang sekali kalau masyarakat bisa ikut partispasi, akan tetapi kalau bisa nanti harus ada sosialisasi kemana masyarakat harus melakukan pengaduan dan penilaian. Misalnya via medsos, atau melalui media massa, agar semua kebijakannya dapat berjalan lebih optimal aja dan masyarakat ikut berpartisipasi”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa dalam rangka melaksanakan pengelolaan terpadu kawasan megapolitan Jabodetabekjur yang efektif dan efisien dilakukan monitoring atau pemantauan kebijakan. Pemantauan terhadap kesesuaian rencana dengan pelaksanaan program dari masing-masing kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota di kawasan Jabodetabekjur. Hal serupa diungkapkan oleh N.5 bahwa: “Masalah pemantauan itu nantinya akan terus dilaksanakan selama kebijakan ini berjalan. Jadi nanti pemantauan itu dilakukan oleh pemerintah daerah di masing-masing kabupaten/kota Jabodetabekjur. Karena programnya dilaksanakan sesuai dengan rencana induk yang dibuat oleh pemerintah daerah sendiri yang ada di kawasan Jabodetabekjur”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa pemantauan kebijakan yang dilakukan juga melibatkan seluruh stakeholder
151
yang ada di kawasan Jabodetabekjur. Hal ini bertujuan agar seluruh program yang telah direncanakan dalam pembuatan kawasan megapolitan di wilayah Jabodetabekjur dapat berjalan sesuai target yang telah dibuat dalam rencana induk. Untuk itu dibutuhkan sosialialisasi kepada seluruh instansi terkait dan masyarakat agar kebijakan ini lebih optimal. Hal ini diungkapkan oleh N.7 bahwa: “Kita baru tahu kalau mau ada pengelolaan terpadu di Jabodetabekjur, dulu kan cuma Jabodetabek aja, sekarang ditambah Cianjur jadi Jabodetabekjur. Bagus banget kalau begitu supaya pembangunan dan tata kotanya menjadi teratur, cuma harus banyak sosialisasi yang dilakukan agar masyarakat dapat mengetahui ada kebijakan baru”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa untuk lebih memperkuat koordinasi dan harmonisasi
tentu perlu adanya
sosialisasi agar tidak terjadi kesejangan informasi. Untuk itu perlu banyak dilakukan sosialisasi mulai dari lembaga tinggi nasional, pemerintah daerah Kab/Kota hingga sosialisasi untuk masyarakat agar dapat dengan mudah melakukan
pemantauan
kebijakan
saat
pelaksanaan
kebijakan tengah
dilaksanakan. 5. Evaluasi Kebijakan Evaluasi kebijakan merupakan langkah terakhir dalam pola analisis kebijakan menurut Dunn. Tujuan evaluasi kebijakan dalam analisis kebijakan adalah untuk mengetahui menilai yang mendasari tujuan, sasaran dan kinerja dalam kebijakan tersebut. Dalam penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan,
152
peneliti banyak menemukan informasi mengenai soal evaluasi kebijakan ini yang nanti akan dilaksanakan. Evaluasi kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur ini akan dilakukan dalam kurun waktu lima (5) tahun sekali, hal serupa diungkapkan oleh N.5 kepada peneliti Kediamannya di Kota Tangerang pada 11 Mei 2015 bahwa: “Evaluasi untuk program pengelolaan Jabodetabekjur ini sudah diatur dimuat di dalam Rencana Induk pembangunan kawasan megapolitan Jabodetabekjur. Di dalam kebijakan megapolitan Jabdoetabekjur ini evaluasinya akan dilakukan setiap lima tahun sekali”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa evaluasi kebijakan dalam analisis kebijakan publik bertujuan melihat sejauh mana kebijakan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan nilai, tujuan dan target
dalam
kebijakan
tersebut.
Dalam
hal
kebijakan
megapolitan
Jabodetabekjur ini dalam setiap programnya dibuat sebuah rencana induk yang dilaksanakan oleh setiap Kabupaten/Kota di kawasan Jabodetabekjur. pada rencana induk tersebut memuat hal-hal mengenai program pembangunan yang harus dijalankan dalam waktu lima (5) tahun ke depan. Dengan begitu evaluasinya dilaksanakan pada setiap lima (5) tahun sesuai dengan tahun anggaran. Dalam evaluasi kebijakan ini akan melibatkan seluruh stakeholder yang ada di kawasan Jabodetabekjur. N.5 menambahkan bahwa: “Evaluasi yang dilakukan terhadap program yang ada pada Rencana Induk dilakukan akan melibatkan kementerian teknis terkait misalnya, badan koordinasi, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota yang berada dalam kawasan Megapolitan Jabodetabekjur”.
153
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa evaluasi program pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur ini dilakukan setiap lima tahun sekali karena sesuai dengan evaluasi kegiatan tahunan Rencana Induk dilakukan pada setiap tahun anggaran yakni dalam kurun waktu lima tahun. Pada pelaksanaannya nanti akan melibatkan dari berbagai instansi terkait. Tidak hanya badan koordinasi, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota yang berada dalam Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur, melainkan Komite I DPD RI sebagai pengusung dari kebijakan ini pun akan melakukan evaluasi untuk mengukur jauh mana kebijakan ini berjalan sesuai target. Hal serupa dikatakan oleh N.1 bahwa: “Evaluasi itu adalah kegiatan pengukuran terhadap tingkat pencapaian rencana program dan kinerja dari masing-masing kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota, serta kita sebagai anggota DPD pun ikut mengevaluasi dan mengawasi kebijakan ini dalam pelaksanaan kebijakan ini pada setiap kurun waktu 5 tahun. Jadi evaluasinya itu pada semuanya akan dilakukan, supaya program pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur ini bisa berjalan optimal dan sesuai target”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa pada evaluasi akan dilakukan meliputi pelaksanaan dan kinerja dari program yang dimuat dalam rencana induk. Dalam evaluasi ini seharusnya perlu adanya sanksi tegas pada daerah yang belum melaksanakan program sesuai dengan rencana. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan disparitas pembangunan. Dengan adanya sanksi diharapkan pemerataan pembangunan di kawasan Jabodetabekjur memenuhi pencapaian target dalam kurun waktu yang telah
154
ditentukan. Hal ini diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti di Gedung Nusantara IV pada 16 April 2015 bahwa: “Seharusnya menurutku itu adanya sanksi supaya daerah-daerah yang belum menjalankan suatu program yang direncanakan itu mendapat sanksi. Jadi semua pembangunan bisa merata dalam kurun waktu yang ditentukan. Sanksi itu bisa dari Kementerian terkait, atau badan koordinasi atau bahkan kalo misal gubernur DKI Jakarta punya kewenangan setingkat menteri bisa juga memberi sanksi pada daerahdaerah yang tidak menuruti kebijakan ini”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa pemberian sanksi ini bertujuan agar daerah Kabupaten/Kota di wilayah Jabodetabekjur dapat melaksanakan program pembangunan yang telah di rencanakan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Megapolitan Jabodetabekjur dan rencana induk pembentukan kawasan megapolitan di wilayah Jabodetabekjur. Dalam melaksanakan pengelolaan terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur, anggaran diserahkan kepada Menteri Koordinator bidang Perekonomian, untuk itu
kewenangan dari
Menteri Koordinator bidang Perekonomian yakni untuk mengkoordinasikan dan memberikan arahan kepada Menteri teknis terkait, Gubernur, dan Bupati/Walikota dalam penyusunan Rencana Induk. Hal serupa dikatakan oleh N.1 bahwa: ”Kalau dari segi pendanaan program pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur ini diserahkan kepada Menteri Koordinator bidang Perekonomian, nantinya menko perekonomian yang memberikan arahan kepada Menteri teknis terkait, Gubernur, dan Bupati/Walikota dalam penyusunan Rencana Induk, pembangunan proyek dan
155
melakukan tindakan koreksi dalam rangka evaluasi pelaksanaan Rencana Induk”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa Menteri Koordinator bidang Perekonomian dalam pelaksanaannya nanti memiliki beberapa kewenangan diantaranya akan mengoreksi dan memberikan penilaian
terhadap
kinerja
kebijakan
pengelolaan
terpadu
wilayah
Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan, dalam hal ini turut serta dalam evaluasi kebijakan. Hal tersebut diungkapkan oleh N.5 bahwa: “Masalah evaluasi anggaran itu merupakan kewenangan dari Menko Perekonomian, soalnya untuk dana kita ambil dari APBN. Jadi evaluasi anggaran akan dilakukan oleh Menko Perekonomian, kalau pelaksanaan pembangunan secara teknis diserahkan oleh pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota”. Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa pada teknis evaluasi sebenarnya menjadi tanggung jawab dari seluruh stakeholder, namun untuk permasalahan evaluasi anggaran akan dikelola oleh Menteri Koordinator Perekonomian karena anggaran dalam kebijakan megapolitan Jabodetabekjur ini masuk dalam APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Dalam evaluasi teknis pembangunan selanjutnya di serahkan kepada Badan Koordinasi, Pemerintah daerah baik gubernur, bupati, dan walikota di wilayah Jabodetabekjur.
156
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian Berdasarkan pemaparan di atas mengenai gambaran Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan dapat diketahui bahwa perkembangan kota-kota besar tidak terlepas dari urbanisasi. Semakin tinggi tingkat urbanisasi maka kota tersebut akan cepat mengalami perkembangan. Namun, dalam prakteknya khususnya di wilayah Jabodetabekjur semakin berkembang dan semakin cepat tumbuh
suatu kota
justru menimbulkan berbagai masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan. Tingginya angka pertumbuhan penduduk membuat daya tampung dan daya dukung kota semakin lemah. Secara logis kota seolah tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduknya, seperti kebutuhan air bersih dan ketersediaan lahan pemukiman. Pada awalnya kawasan Jabodetabekjur adalah satu kesatuan wilayah administratif dari provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Akan tetapi pada tahun 2000 Banten mengalami pemekaran dengan adanya UU No. 23 Tahun 2000 tentang pembentukan provinsi Banten. Dengan begitu wilayah Kabupaten/Kota Tangerang menjadi bagian dari provinsi Banten. Secara umum, jumlah dan jenis kewenangan antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota adalah sama. Perbedaanya, provinsi dalam hal tertentu dapat masuk pada kewenangan yang lintas kabupaten atau kota. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, adanya perbedaan kewenangan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Berikut seperti pada tabel 4.4.
157
Tabel 4.4 Perbandingan kewenangan Provinsi dengan Kabupaten/Kota NO.
Kewenangan Provinsi
Kewenangan Kabupaten/Kota
1.
perencanaan dan pengendalian
perencanaan dan pengendalian
pembangunan
pembangunan
perencanaan, pemanfaatan, dan
perencanaan, pemanfaatan, dan
pengawasan tata ruang
pengawasan tata ruang
penyelenggaraan ketertiban umum
penyelenggaraan ketertiban umum
dan ketentraman masyarakat
dan ketentraman masyarakat
penyediaan sarana dan prasarana
penyediaan sarana dan prasarana
umum
umum
5.
penanganan bidang kesehatan
penanganan bidang kesehatan
6.
penyelenggaraan pendidikan dan
Penyelenggaraan pendidikan
2.
3.
4.
alokasi sumber daya manusia potensial 7.
penanggulangan masalah sosial lintas Penanggulangan masalah sosial kabupaten/kota
8.
pelayanan bidang ketenagakerjaan
Pelayanan bidang ketenagakerjaan
lintas kabupaten/kota 9.
fasilitasi pengembangan koperasi,
Pengembangan, koperasi, usaha kecil
usaha kecil, dan menengah termasuk
menengah
lintas kab/kota
158
10.
pengendalian lingkungan hidup
pengendalian lingkungan hidup
11.
pelayanan kependudukan, dan
pelayanan kependudukan, dan
catatan sipil
catatan sipil
pelayanan administrasi umum
pelayanan administrasi umum
pemerintahan
pemerintahan
pelayanan administrasi penanaman
pelayanan administrasi penanaman
12.
13.
modal
termasuk
lintas modal
kabupaten/kota 14.
penyelenggaraan pelayanan dasar
penyelenggaraan pelayanan dasar
lainnya yang belum dapat
lainnya
dilaksanakan oleh kabupaten/kota 15.
pengendalian lingkungan hidup
pengendalian lingkungan hidup
16.
urusan wajib lainnya yang
urusan wajib lainnya yang
diamanatkan oleh peraturan
diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan
perundang-undangan
Sumber : NA RUU Jabodetabekjur (2014:87) Berdasarkan tabel 4.4 di atas, adanya perbedaan antara kewenangan pemerintah Provinsi dengan pemerintah Kabupaten/Kota, untuk itu setiap Kab/Kota di wlayah Bodetabekjur hendaknya untuk selalu memperkuat kelembagaan dengan pemerintah provinsi agar tidak terjadi kesenjangan. Sejak
tahun
1967
program
kerjasama
pembangunan
kawasan
Jabodetabekjur sudah di rencanakan, akan tetapi hingga saat ini berbagai rencana program penyatuan regulasi terkait kawasan Jabodetabekjur hingga
159
saat ini belum dapat terlaksana secara optimal. Berikut tabel 4.5 program pembangunan yang dapat terlaksana; Tabel 4.5 Program pembangunan terintegrasi di Jabodetabek NO. 1.
NAMA PROGRAM Bus Trans Jakarta (Busway)
TAHUN
PERKEMBANGAN
2004
Armada Busway saat ini mencapai 822 unit bis
2.
Commuter
Line
Jabodetabek
2008
(KRL)
784 Unit. Direncanakan hingga setiap tahun akan meningkat hingga tahun 2019 mencapai 1.450 Unit
3.
Angkutan Perbatasan Terintegrasi
2012
143 unit hingga saat ini
1976
Belum
dapat
Pembangunan (BKSP)
secara
optimal
Jabodetabek
berbenturan
Bus (APTB) 4.
Pembentukan Badan Kerja Sama
berjalan karena dengan
kewenangan 5.
Pembangunan Jalan Tol Akses
2010
Hingga pertengahan tahun 2010,
Tanjung Priok
progres
pembangunan Jalan Tol Akses
Tanjung
Priok
Seksi E-1 telah mencapai 96%. 6.
Jalan Tol Lingkar Luar 2 atau JORR
2
sebagai
jalan
tol
2011
Lebih
mempermudah
integrasi
ke
wilayah
160
penghubung Jabodetabek
pengendara
Bodetabekjur
menuju
Jakarta dan sebaliknya.
Berdasarkan Tabel 4.5 di atas, beberapa program hasil kebijakan yang telah dilaksanakan merupakan hasil dari kerjasama pemerintah di wilayah Jabodetabek. Tujuan dari kebijakan tersebut agar dapat mengintegrasikan dengan mudah mobilitas masyarakat ke wilayah Jabodetabek. Ada pun bentuk kerjasama lainnya yang telah dilakukan yakni dengan adanya beberapa peraturan yang dibentuk hasil dari kerjasama Pemerintah Provinsi, Kab/Kota di wilayah Jabodetabek. Bentuk peraturan yang dihasilkan merupakan rencana kerjasama yang tengah dicanangkan, akan tetapi hingga saat ini dalam kerjasama pembangunan kawasan megapolitan Jabodetabekjur belum dapat dilaksanakan secara optimal. Sejak tahun 1967, telah dibentuk Badan Kerjasama antar-Kota seluruh Indonesia melalui Musyawarah antar-Kota Seluruh Indonesia (MAKSI) di Gedung Merdeka, Bandung. Saat itu, yang terpilih sebagai ketua umum MAKSI adalah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, sedangkan Sekjen-nya dipegang oleh orang Jawa Barat juga, yakni Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin (alm). Salah satu tugas dan fungsi badan tersebut adalah mengelola permasalahan daerah perbatasan antara Jabar dan DKI Jakarta saat itu Banten masih bagian wilayah administratif provinsi Jabar). Sejak pemerintahan Ali Sadikin, program pembangunan Megapolitan Jakarta – Jabar sudah mulai di rencanakan. Pada intinya, program tersebut merupakan program kerjasama
161
pembangunan
di
perbatasan
Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi
(Jabodetabek). Hingga pemerintahan provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh Joko Widodo (Jokowi) dan provinsi Jabar dipimpin oleh gubernur Ahmad Heryawan (Aher), program tersebut masih belum optimal. Berbagai macam kerjasama yang pernah direncanakan sejak tahun 1967 belum dapat dilaksanakan dikarenakan berbenturan dengan berbagai hal. Untuk itu Komite I DPD RI sebagai salah satu lembaga tinggi negara berinisiatif untuk memperkuat program kerjasama pembangunan kawasan megapolitan di wilayah Jabodetabekjur. Dalam hal mengelola secara terpadu kawasan Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan tentu banyak permasalahan yang terjadi. Masalah-masalah yang timbul perlu perhatian yang serius. Beberapa isu atau permasalahan secara umum yang peneliti temui di lapangan yakni seperti pada tabel 4.6 sebagai berikut; Tabel 4.6 Permasalahan di Jabodetabekjur NO. 1.
PERMASALAHAN Pertumbuhan Penduduk
PERKEMBANGAN Semakin
SOLUSI
bertambah, Menekan
angka
peningkatan
pertumbuhan
pertumbuhan
penduduk, pemerataan
penduduk
mencapai pembangunan,
11% setiap tahunnya
dan
SDM di wilayah sekitar Jakarta
162
2.
Kemacetan dalam dan Bertambahnya volume Meminimalsir volume menuju Jakarta
pribadi, kendaraan
kendaraan pada
2010 dengan
tahun
mencapai
pribadi
98,6% mengembangkan
kendaraan pribadi di transpotasi publik yang DKI Jakarta.
mengintegrasi seluruh
ke wilayah
Jabodetabekjur 3.
Ketimpangan
Pembangunan terpusat Mengembangkan
Pembangunan
dan Jakarta menjadi pemerataan
dan
pusat segala interaksi pembangunan kegiatan ekonomi. 4.
Lemahnya
wilayah Bodetabekjur
Koordinasi Belum dapat telaksana Membentuk
antarpemerintah
secara program
Jabodetabekjur
optimal yang
bertugas
Badan untuk
kerjasama mengkoordinasikan dan
pembangunan kawasan
di
mengawasi
program
megapolitan kerjasama
hingga saat ini.
pembangunan kawasan megapolitan Jabodetabekjur.
Sumber : Peneliti. 2015 Berdasarkan tabel 4.6 di atas, beberapa isu permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini merupakan hasil dari temuan di lapangan saat peneliti melakukan observasi. Permasalahan yang terjadi saat ini dikarenakan program kerjasama yang dicanangkan sejak dulu hingga kini masih belum dapat terlaksana. Sehingga menimbulkan berbagai masalah di wilayah Jabodetabekjur yang belum dapat diselesaikan. Untuk itu peneliti tertarik untuk
di
163
menganalisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan dengan menggunakan model teori analisis kebijakan publik menurut Dunn (2003). Model analisis kebijakan menurut Dunn mencakup perumusan masalah, peramalan masa depan, rekomendasi kebijakan, pemantauan kebijakan, dan evaluasi kebijakan, berikut penjabarannya.
Kawasan Jabodetabekjur berada pada tiga provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Kawasan Jabodetabekjur yang berada pada Provinsi DKI Jakarta meliputi seluruh wilayah DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat diwakili oleh seluruh wilayah Kota Depok, seluruh wilayah Kota Bogor, seluruh wilayah Kabupaten Bogor, seluruh wilayah Kota Bekasi, seluruh wilayah Kabupaten Bekasi, dan sebagian wilayah Kabupaten Cianjur yang meliputi Kecamatan Cugenang, Kecamatan Pacet, Kecamatan Sukaresmi, dan Kecamatan Cipanas. Sedangkan Provinsi Banten diwakili oleh seluruh wilayah Kota Tangerang dan seluruh wilayah Kabupaten Tangerang. Hal yang menjadi akar dalam permasalahan kota besar adalah mobilitas penduduk. Dalam hal ini khusus wilayah Jabodetabekjur, bertambahanya jumlah komuter mengindikasi semakin jauhnya tempat tinggal para pekerja dengan tempat bekerja. Artinya, masyarakat yang datang ke Jakarta adalah orang-orang yang bukan penduduk Jakarta. Dalam hal ini lalu lintas menuju Jakarta di jam-jam sibuk akan semakin padat. Penggunaan kendaraan pribadi yang semakin meningkatnya yang mengakibatkan pemborosan bahan bakar, dan membuat polusi meningkat menyebabkan suhu udara meningkat sehingga
164
suhu udara kota semakin panas. Selain itu masalah lain yang diakibatkan bertambahnya jumlah penduduk yaitu mengenai bertambahnya pula volume sampah. Sampah di kota-kota besar seperti Jabodetabekjur setiap tahunnya selalu bertambah. Permasalahan seperti ini perlu adanya suatu penyelesaian yang dapat membuat kawasan perkotaan seperti Jabodetabekjur semakin lebih tertata dan teratur secara fungsional. Berdasarkan
inventarisasi
masalah
yang
terjadi
di
kawasan
Jabodetabekjur, Komite I DPD RI bekerja sama dengan pemerintah daerah Kab/Kota Jabodetabekjur untuk membuat Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan. Kebijakan ini bertujuan yang pertama untuk memperkokoh posisi DKI Jakarta sebagai Ibukota negara. Untuk memperkokoh posisi DKI Jakarta sebagai Ibukota negara diperlukan adanya daya dukung dari kota-kota disekitarnya, yang mana dalam hal ini adalah Bodetabekjur. Kemudian yang kedua untuk pemerataan pembangunan di wilayah Bodetabekjur agar tidak terpusat di Jakarta. Dalam kebijakan ini pada intinya menginginkan adanya harmonisasi dan keterpaduan kewenangan untuk memberikan pelayanan umum yang baik kepada masyarakat, pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya lainnya semata untuk memberikan kesejahteraan umum bagi masyarakat. Dalam konsep kebijakan publik ada tahapan dimana disebut analisis kebijakan. Analisis kebijakan adalah serangkaian
aktivitas
intelektual
dan
praktis
yang
ditujukan
untuk
menciptakan, menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan dalam proses
165
kebijakan. analisis kebijakan dapat dilakukan sebelum atau sesudah kebijakan itu dibuat. Dalam analisis kebijakan menurut Dunn ada lima (5) langkah yang harus dilakukan, yaitu : 1. Merumuskan masalah, dalam analisis kebijakan, masalah adalah nilai, kebutuhan, atau kesempatan yang blum dapat terpenuhi, yang dapat diidentifikasi untuk kemudian diperbaiki melalui tindakan publik. 2. Peramalan masa depan, adalah suatu prosedur untuk membuat informasi faktual tentang situasi sosial di masa depan atas dasar informasi yang telah ada di masa sekarang. 3. Rekomendasi Kebijakan
yakni menghasilkan informasi tentang
kemungkinan aksi/tindakan di masa akan datang. 4. Pemantauan hasil kebijakan,
pemantauan sering disebut monitoring
yang merupakan prosedur yang digunakan untuk memberikan informasi sebab akibat saat kebijakan dilaksanakan. 5. Evaluasi kinerja kebijakan, yaitu menyediakan informasi yang valid mengenai kinerja kebijakan, kemudian memberikan kritik yang mendasari tujuan, nilai-nilai, dan sasaran kebijakan. Konsep analisis kebijakan menurut Dunn di atas peneliti gunakan dalam penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan. Dalam tahapan analisis kebijakan pada Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan yaitu sebagai berikut.
166
Pada tahapan pertama yaitu merumuskan masalah, pada tahap ini Komite I DPD RI telah banyak bekerja sama dengan pemerintah daerah Kab/Kota di wilayah Jabodetabekjur untuk mengumpulkan masalah apa saja yang tengah di hadapi. Selain itu perumusan masalah dilakukan saat masa reses anggota Komite I DPD RI. Dengan berbagai cara yang dilakukan untuk pencarian masalah dalam langkah pembangunan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur selanjutnya dilakukan kajian mendalam dan dibahas dalam rapat kerja anggota Komite I DPD RI bersama dengan staf ahli, timja, dan staf sekretariat Komite I. Berdasarkan temuan lapangan bahwa banyak permasalahan di wilayah Jabodetabekjur yang masih belum dapat diselesaikan, seperti permasalahan pemukiman, kemacetan, banjir, tata ruang, sistem transportasi dan sebagainya. Secara umum permasalahan tersebut antara lain disebabkan karena beberapa alasan. Pertama, pembagian kewenangan yang belum jelas dan tegas antara Pemerintah,
pemerintah
daerah
provinsi,
dan
pemerintah
daerah
Kabupaten/Kota. Dalam hal ini masih belum adanya harmonisasi dan kurangnya koordinasi antar pemerintah Provinsi, dan Kab/Kota di wilayah Jabodetabekjur. Kedua, Belum adanya penguatan dari Badan/Kementerian yang ditunjuk untuk mengkoordinasikan pembangunan dalam
pengelolaan
terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan. Peneliti melihat bahwa dalam hal ini disebabkan karena perbedaan derajat otonomi daerah yang dipangku oleh DKI Jakarta, untuk itu masih banyak hal-hal yang belum dapat dilaksanakan secara harmonis dan optimal oleh pemerintah di wilayah
167
Jabodetabekjur. Bidang permasalahan utama tersebut berkorelasi erat terhadap munculnya empat (4) masalah utama, yaitu : 1. Kesemerawutan pemukiman dan bangunan serta penempatan ruang ekonomi dan industri di kawasan Jabodetabekjur; 2. Terjadinya banjir tahunan di wilayah Jakarta dan sekitarnya; 3. Urbanisasi dan segala dampak sosialnya; 4. Kemacetan akibat tata kelola transportasi yang tidak terpola secara regional. Selama tahun 1980-1990 gencar pengembangan kota-kota baru sepanjang ruas jalan tol, yang mana tidak berhubungan dengan perkembangan kawasan perkotaan, namun lebih berkaitan dengan kapitalisasi global termasuk di bidang properti. Akibatnya kota-kota baru tersebut hanya berfungsi sebagai dormitory towns yang bergantung secara sosial ekonomi pada Jakarta, serta menambah beban interaksi harian antar kota-kota baru tersebut dan Jakarta. Dengan begitu permasalahan yang paling banyak ditemui adalah kemacetan menuju Jakarta. Berikut gambar perkembangan kota-kota baru yang merujuk pada Jakarta;
168
Gambar 4.3 Kota-kota Baru di Jabodetabek tahun 2010
Sumber : NA RUU Jabodetabekjur, (2014:30). Berdasarkan gambar 4.3 di atas bahwa perkembangan kota-kota di sekitaran wilayah DKI Jakarta semakin lama semakin berkembang. Hal ini mengakibatkan bahwa semakin maju sebuah kawasan perkotaan akan menimbulkan pertumbuhan penduduk sehingga menyebabkan kepadatan penduduk di kawasan sekitaran Jakarta. Melihat permasalahan yang terjadi tidak serta merta DKI Jakarta sebagai pusat dari segala masalah, hal ini disebabkan karena mobilitas penduduk dari wilayah Bodetabekjur yang datang ke Jakarta sehingga menyebabkan berbagai masalah, seperti kemacetan, pertambahan jumlah penduduk, banjir, pemukiman yang semerawut dan sebagainya. Pertumbuhan penduduk yang tinggi di sekitar Jakarta dan sekitarnya akibat migrasi serta terbatasnya kemampuan pemerintah dalam
169
menyediakan perumahan dan kesempatan kerja telah menyebabkan alih fungsi lahan pertanian ke fungsi non pertanian. Alih fungsi lahan yang tidak terkendali
selanjutnya
menimbulkan
dampak
turunan
berupa
erosi,
pengendapan sungai, pencemaran, yang semuanya berakumulasi pada masalah banjir, kesehatan, serta kerugian ekonomi dan infrastruktur. Akibat pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi dengan berbagai aktivitasnya telah memberikan tekanan pada lahan. Pesatnya pembangunan menyebabkan tingginya perubahan pola penggunaan lahan, yang dulunya merupakan lahan sawah maupun lahan kering banyak mengalami perubahan fungsi menjadi lahan terbangun. Hal ini juga di alami oleh kawasan Jabodetabekpunjur dimana terjadi perubahan penggunaan lahan yang mulanya lahan terbangun atau kawasan perkotaan hanya terdapat di Pusat Jakarta namun sudah meluas sampai di pinggiran Jakarta seperti wilayah Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Sejak beberapa tahun yang lalu program kerja sama antar pemerintah daerah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten ini telah direncanakan dan telah di bentuk sebuah badan yang akan menangani dan mengawasi proses pembangunan di wilayah Jabodetabek pada waktu itu. Badan tersebut yaitu Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) adalah badan kerjasama yang mengelola pembangunan di diharapkan
dapat
wilayah Jabodetabekjur. BKSP Jabodetabek
mengkoordinasikan
perencanaan
dan
pelaksanaan
pembangunan di wilayah Jabodetabek serta mampu mengatasi berbagai
170
permasalahan bersama. Namun pada kenyataannya, BKSP Jabodetabek kurang berfungsi disebabkan antara lain: 1. Masalah Kewenangan BKSP Jabodetabek tidak memiliki otoritas untuk melakukan eksekusi dan terbatas pada koordinasi berkala. Kewenangan koordinasi pun terbatas pada kewenangan yang saling terkait dan saling tergantung; 2. Adanya perbedaan kepentingan Otonomi dalam mengatur dan mengurus daerah terkadang membuat daerah melupakan dan mengabaikan keterpaduan dan keserasian dengan daerah lainnya. 3. Komunikasi yang belum efektif Komunikasi
antar
kepala
daerah
dalam
satu
entitas
wilayah
Jabodetabekju belum intensif dan efektif, sehingga sulit untuk mewujudkan kesatuan bahasa visi dalam merencanakan, melaksanakan, menyusun program pembangunan; 4. Fenomena Kepemimpinan Pemimpinan daerah memiliki visi dan misinya masing-masing, terlebih lagi ketika terjadi pergantian pemimpin daerah. Hal ini menjadi penyebab sulitnya kesatuan visi dan misi di Jabodetabekjur; 5. Terbatasnya Sumber Daya BKSP Jabodetabek memiliki keterbatasan sumber daya manusia (SDM) baik kualitas dan kuantitas apabila dibandingkan dengan ruang lingkup masalah pembangunan antardaerah yang ditangani. Begitu
171
juga secara hirarki kelembagaan, terdapat kesenjangan antara kedudukan BKSP Jabodetabek sebagai lembaga non struktural yang harus berkoordinasi dengan lembaga struktural. Dalam kurun waktu beberapa dekade kawasan Jabodetabek mengalami perkembangan yang begitu pesat dan menjadi sebuah kawasan perkotaan yang besar. Namun, dalam perkembangannya ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu permasalahan koordinasi dalam kelembagaan. Untuk memperoleh keberhasilan pelaksanaan kebijakan publik, maka peran fungsi, kapasitas, serta kapabilitas kelembagaan penyelenggara menjadi kunci. Kelembagaan menjadi kunci karena dalam prakteknya menjadi bagian pokok dari
suatu
sistem
hukum
yang
akan
mempengaruhi
atau
bahkan
membentuk/mengatur sikap dan perilaku aktor-aktor yang terlibat dalam proses pengambilan
keputusan.
Dalam
temuan
di
lapangan
permasalahan
kelembagaan seolah menjadi masalah yang sering diperbincangkan, hal ini dikarenakan program pembangunan kawasan megapolitan ini adalah program kerja sama antar Pemerintah, Pemerintah daerah Provinsi, Kab/Kota di wilayah Jabodetabekjur. Untuk itu permasalahan penguatan koordinasi antar lembaga pemerintah sangat diperlukan guna terwujudnya pembangunan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan secara optimal. Selanjutnya pada tahapan kedua setelah merumuskan masalah dalam analisis kebijakan menurut Dunn (2003:291) yaitu peramalan (forecasting). Pada tahap peramalan
dalam pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur
sebagai kawasan megapolitan didasari oleh keadaan di masa sekarang. Mulai
172
dari permasalahan banjir yang saat ini setiap tahun terjadi pada musim penghujan Jakarta dan sekitarnya akan tergenang air. Dalam kurun waktu 35 tahun diramalkan bahwa kawasan Jakarta dan sekitarnya akan tenggelam. Hal ini disebabkan menyusutnya permukaan tanah dan bertambahnya volume air laut. Apabila semakin tinggi air laut sehingga dalam beberapa tahun dapat mengakibatkan tenggalamnya sebagian wilayah Jakarta. Potensi rendaman di Jakarta Utara disebabkan oleh kenaikan muka laut dan penurunan permukaan tanah. Selanjutnya hal yang dikhawatirkan di masa depan akibat dari peningkatan air laut adalah perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan fenomena global yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan tata guna dan penutup lahan, serta perubahan konsentrasi gas rumah kaca (GRK). Meningkatnya permukaan air laut berdampak pada penduduk, infrastruktur, kesehatan, dan lainnya. Hal ini tentu perlu diperhatikan sebelum bertambah parah. Kemudian Angka pertumbuhan penduduk dan mobilitas warga yang tinggi tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Laju pertambahan jalan di Jabodetabek hanya 0,01 % per 11 tahun, sedangkan laju pertambahan kendaraan mencapai 11 % per tahun (NA RUU Jabodetabekjur 2014:10). Kesenjangan ini menyebabkan kemacetan lalu lintas pada jam-jam sibuk. Apabila keadaan seperti ini terus berlanjut makan dapat diprediksi di masa yang akan datang lalu lintas dari dan menuju Jakarta akan lumpuh. Dari berbagai keadaan yang dirasa akan semakin parah dari waktu ke waktu, tentu kita perlu adanya suatu kebijakan yang dapat
173
meminimalisir permasalahan yang terjadi di masa depan. Untuk itu dengan adanya kebijakan pengelolaan terpadu wilyah Jabodetabekjur ini diharapkan mampu menjawab segala permasalahan yang dapat berdampak buruk di masa depan. Kemudian permasalahan transportasi yang semakin parah setiap tahunnya. Dari data yang peneliti dapatkan di lapangan bahwa kebutuhan perjalanan di wilayah Jabodetabek 53 juta perjalanan pada tahun 2010, dan diramalkan bahwa jumlahnya akan terus bertambah, yaitu 64 juta perjalanan pada tahun 2020. Keadaan seperti ini jika tidak ada pengembangan jaringan dan pelayanan transportasi perkotaan hingga pada tahun 2020, untuk angkutan umum akan berkurang dan kondisi lalu lintas akan semakin parah (NA RUU Jabodetabekjur 2014:11). Pada kebijakan pembentukan kawasan megapolitan Jabodetabekjur ini lebih banyak pada pengembangan jaringan transportasi, tata ruang, tata kota dan pemukiman. Sehingga tidak mengubah aspek sosial dan budaya dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang tinggal di kawasan Jabodetabekjur tetap dapat hidup dan menjalankan
aktivitas seperti biasa, hanya saja
pembangunan dan penataan kota yang lebih dikelola secata terpadu. Langkah ketiga dalam analisis kebijakan menurut Dunn yaitu rekomendasi kebijakan. Dari hasil observasi peneliti di lapangan dalam kebijakan pengelolaan terpadi wilayah Jabodetabekjur ada beberapa usulan alternatif yang dijadikan rekomendasi kebijakan yaitu rekomendasi kebijakan
174
untuk pengelolaan terpadu Jabodetabekjur dengan dibentuk pola sebagai berikut; 1. Pola integratif, yaitu penyatuan Jabodetabekjur dalam satu regulasi, satu reguler khusus, mengatur semua masalah interkoneksi utama di kawasan ini, di bawah badan/kementerian yang ditunjuk. 2. Pola Federatif, yaitu membagi kewenangan struktural antara pemerintah pusat, Core City (DKI Jakarta), semi pheri-pheri (Bodebek), dan pheri-pheri City (Tabekjur). 3. Pola Distributif, yaitu mendistribusikan kewenangan fungsional berdasarkan keunggulan komparatif dari daerah-daerah di kawasan Jabodetabekjur. Dibentuknya pola-pola di atas berfungsi sebagai pemetakan fungsional daerah-daerah di kawasan Jabodetabekjur agar tidak semua terpusat di Jakarta. Hal ini tentu dapat mengurangi beban masalah di Jakarta. Jabodetabekjur adalah kawasan yang memiliki nilai strategis sehingga
memerlukan
penanganan khusus dari pusat dan pemda agar tercipta keterpaduan pembangunan. Selain membentuk pola-pola selanjutnya dibentuk poin-poin rekomendasi dalam kebijakan megapolitan Jabodetabekjur ini, antara lain ; a. Menyatukan Jakarta dengan Bodetabekjur dalam satu regulasi yang bersifat kekhususan, b. Mendistribusikan kewenangan fungsional berdasarkan keunggulan komparatif dari daerah-daerah di kawasan Jabodetabekjur
175
c. Penyelarasan tata ruang, pola transportasi, tata lingkungan, dan desain ekonomi komplementer d. Membentuk badan koordinasi atau menunjuk kementerian terkait untuk melakukan fungsi koordinasi dan asistensi. Pembentukan pola-pola rekomendasi di atas diharapkan tidak hanya dapat menjawab segala permasalahan yang ada di Jabodetabekjur, melainkan dapat mengelola secara terpadu dan menjadikan transformasi Jabodetabekjur menjadi
sebuah
kawasan
megapolitan.
Untuk
mewujudkan
kawasan
megapolitan yang optimal dan mendukung serta memenuhi kebutuhan interaksi sosial dan kegiatan sehari-hari perlu didukung sistem angkutan umum khususnya angkutan umum massal perkotaan yang efektif, efisien dan terintegrasi di kawasan Jabodetabekjur. Pada rekomendasi dalam pembentukan pola transportasi,
arah
pembangunan angkutan massal harus memperhatikan integrasi inter dan antarmoda dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunannya, pembuatan pola transportasi yang dapat mengintegrasi wilayah Jabodetabekjur. berikut arah pembangunan angkutan massal yang dibentuk; a. Pembangunan jaringan angkutan massal berbasis jalan dan rel yang terintegrasi; b. Pembangunan infrastruktur/fasilitas pendukung angkutan massal yang sesuai standar; c. Pemanfaatan perkembangan kemajuan teknologi yang semakin canggih; d. Pengembangan angkutan massal yang ramah lingkungan.
176
Untuk
mengoptimalkan
integrasi
transportasi
di
wilayah
Jabodetabekjur, tentu kerja sama dengan Kementerian Perhubungan sangat diperlukan. Pada saat FGD pada tahun 2014 lalu, telah dibuat rencana umum jaringan massal berbasis jalan pada kawasan megapolitan Jabodetabekjur tahun 2014-2030 seperti gambar 4.4 berikut Gambar 4.4 Rencana Umum Jaringan Angkutan Massal Berbasis Jalan Pada Kawasan Jabodetabek Tahun 2014 - 2030
Sumber : Masterplan Jabodetabek, Kementerian Perhubungan, 2014 Berdasarkan gambar 4.4 di atas, dapat dilihat bahwa akan banyak pembangunan jalan dan pelebaran guna menunjang terintegrasinya transportasi massal secara optimal yang dapat mengintegrasikan ke seluruh wilayah Jabodetabekjur. Kemudian akan dibentuk beberapa trayek utama dan trayek pengumpan pada tahun 2015 sampai tahun 2020. Selanjutnya akan dibangun pula program pembangunan jaringan jalur kereta api pada kawasan
177
megapolitan Jabodetabek mulai tahun 2014-2030. Berikut Tabel 4.7 pembangunan jaringan kereta api; Tabel 4.7 Program Pembangunan Jaringan Kereta Api di Jabodetabek Tahun 2014-2030
PROGRAM
(MILYAR RUPIAH) PANJANG PEMERINTAH SWASTA/ (KM) BUMN
Peningkatan Prasarana Perkeretaapian a. Jaringan Eksisting 1)
10,000
Double Double Track, Elektrifikasi, dan Peninggian
Lintas Bekasi
35
2)
Double Double Track Lintas Barat (Karet-Manggarai)
4.5
3)
Pengembangan stasiun baru antara Bogor dan Cilebut
Lintas Bogor 4) Double Track Lintas Serpong antara Parung Panjang – Rangkasbitung 5)
6)
154 1 Stasiun 50,700 39 1,419
Pembangunan 2 (dua) stasiun baru (Stasiun Matraman
dan Stasiun Bekasi Timur) Lintas Bekasi
2 Stasiun 1,085
Pembangunan 2 (dua) stasiun baru (Stasiun Kuningan
dan Stasiun Sudirman) Lintas Priok
2 Stasiun
7)
2 Stasiun
Pembangunan 2 (dua) stasiun baru Lintas Serpong
1,662
802
b. Fasilitas Eksisting 1)
Peningkatan fasilitas stasiun Lintas Bogor
575
2)
Peningkatan fasilitas stasiun Lintas Tangerang
156
3)
Rehabilitasi sinyal/fasilitas telekomunikasi
4)
Peningkatan fasilitas perkeretaapian Lintas Bekasi
(Track Layout, Platform, Substation) 5)
2,936
Peningkatan fasilitas perkeretaapian Lintas Tj. Priok
(Track Layout, Substation) 8)
3,781
Peningkatan fasilitas perkeretaapian Lintas Bogor
(Track Layout, Substation) 7)
3,506
Peningkatan fasilitas perkeretaapian Lintas Serpong
(Track Layout, Substation) 6)
2,226
Peningkatan fasilitas perkeretaapian Lintas Tangerang
997 5,104
178
(Track Layout, Substation) Pembangunan Prasarana Perkeretaapian a.
Jaringan Baru 1)
Jalur Bandara Soekarno-Hatta (Commuter Line)
12
2)
Jalur Bandara Soekarno-Hatta (Express Line)
38
6,000
3)
Short Cut antara Palmerah dan Karet Lintas Serpong
5
1,448
4)
Short Cut Lintas Tangerang
2
1,000
5)
Short Cut Manggarai – Pondok Jati
2
597
6)
MRT East-West (Balaraja-Cikarang)
90
82,000
35,000
7)
MRT East-West (Cikokol – Bekasi)
52
48,000
20,000
8)
MRT North-South (Kampung Bandan – Lebak Bulus)
23
14,000
15,500
9)
Jalur Kereta Api Lingkar Luar (Parung Panjang – 60
78,000
75
97,500
15
19,500
Citayam – Nambo – Cikarang – Tj. Priok)
2,000 14,000
10) Jalur Kereta Api Lingkar Dalam (Kamal Muara – Rawa Buaya – Lebak Bulus – Margonda – Cibubur – Cakung – Pulo Gebang – Tj. Priok) 11) Jalur Kereta Api Lintas Pluit (Pluit – Daan Mogot – Kebayoran Lama) 12) Jalur Kereta Api Lintas Sunter (Sunter – Cempaka Baru – Jatinegara)
21
27,300
13) Monorail a)
Jalur Biru (Kampung Melayu – Casablanca – Tanah
Abang – Tomang) b)
Jalur Hijau (Rasuna Said – Gatot Subroto – SCBD -
Gelora Senayan - Asia Afrika - Taman Ria Senayan -
147
33,000
Gatot Subroto – Pejompongan) c)
Jalur Selatan (Cawang – Cibubur – Bogor)
d)
Jalur Timur (Cikarang – Cawang – Kuningan)
e)
Jalur Barat (Batu Ceper –Serpong)
b. Fasilitas Baru 1)
Automatic Train Protection (ATP) System
2)
Pembangunan Workshop di Depok TOTAL
Sumber : Masterplan Jabodetabek, Kementerian Perhubungan. 2014
713 1,389 462,550
119,500
179
Berdasarkan tabel 4.7 di atas, jumlah pembangunan
proyek yang
ditargetkan selesai pada tahun 2030 tersebut diantaranya meliputi konstruksi jalur Mass Rapid Transit (MRT), Pengembangan stasiun KRL, pengembangan pelabuhan baru berskala internasional di Cimalaya (Karawang), perluasan Bandara Soekarno – Hatta, pengembangan klaster penelitian baru, dan pengembangan sistem saluran air limbah di Jakarta. Dengan adanya program pembangunan transportasi massal yang dapat mengintegrasikan ke seluruh wilayah Jabodetabekjur diharapkan mampu mengelola secara terpadu kawasan megapolitan Jabodetabekjur. Untuk memecahkan permasalahan DKI Jakarta seperti, kemacetan dan banjir, Metropolitan Priority Areas (MPA) DKI Jakarta tersebut dapat diperluas diintegrasikan dengan program pembangunan pedesaan di Jabar dan Banten melalui MPA “JAJATEN” yakni Megapolitan Priority Areas (MPA) Jakarta – Jabar – Banten. Di Jabar, pengelolaan wilayah Jakarta – Bogor – Depok – Tangerang – Bekasi – Cianjur – (Jabodetabekjur) sebaiknya diperluas ke Pusat Kegiatan Nasional Provinsi (PKNP) Pelabuhan Ratu (Sukabumi Selatan, Jabar Selatan) sebagai Growth Centre Areas (GCA) baru. Sedangkan GCA di Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Banten dapat ditetapkan Merak (FGD 18 Februari 2014). Dari kedua titik GCA di Jabar dan Banten tersebut, aksesbilitas infrastruktur yang dapat dibangun diantaranya adalah jalan bebas hambatan (tol) Jakarta – Bogor – Pelabuhan Ratu (Tol Jagoratu) dan Tol Merak – Serang – Pelabuhan Ratu (Tol Raksaratu). Selain itu dapat berfungsi sebagai sarana distribusi barang dan jasa ke kawasan tertinggal di Jabar Selatan dan Banten
180
Selatan, kedua tol tersebut pun dapat berfungsi sebagai pengurai kemacetan Jabodetabekjur. Kendaraan yang berasal dari Sumatera (penyebrangan Bakauheni – Merak) menuju ke Jawa Tengah yang selama ini melalui Tol Merak – Tol Kota Jakarta – Tol Cikampek – Pantura – atau melalui Tol Cikampek – Tol Purbaleunyi, dapat di urai melalui Jalur Pantai Selatan (Pansela) Jabar, yakni melalui koridor Pelabuhan Ratu (Sukabumi Selatan) – Sindangbarang (Cianjur Selatan) – Rancabuaya (Garut Selatan) – Cilacap ( Jawa Tengah). Berdasarkan rencana program pembangunan dan pengembangan transportasi dan jalan-jalan tersebut, diharapkan mampu meminimalisir masalah kemacetan dan sekaligus untuk pemerataan pembangunan di wilayah Jabar dan Banten, agar tidak ada lagi masalah disparitas pembangunan. Selain itu rekomendasi kebijakan pembangunan ini diharapkan mampu meningkatkan taraf ekonomi masyarakat di wilayah Jabar selatan dan Banten selatan. Karena dengan adanya pembangunan jalan tol ini dapat dengan mudah untuk akses distribusi barang dan jasa. Sebagai upaya menjaga konsistensi dan keterpaduan dalam pengelolaan kawasan megapolitan, untuk dapat melaksanakan rekomendasi pembangunan kebijakan kawasan megapolitan, maka dibuat Rencana Induk Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan di tingkat provinsi yang mengacu kepada Rencana Induk Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Nasional, dan penyusunan Rencana Induk Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan di tingkat kabupaten dan kota mengacu kepada Rencana Induk Pengelolaan
181
Terpadu Kawasan Megapolitan di tingkat provinsi. Dengan demikian penyusunan Rencana Induk Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan dilaksanakan secara berjenjang dan terpadu. Hal ini dilakukan agar setiap Kabupaten/Kota di kawasan Jabodetabekjur dapat melaksanakan program pembangunan
pembentukan kawasan megapolitan dengan mandiri sesuai
dengan Rencana Induk di tiap masing-masing Kab/Kota. Kemudian langkah selanjutnya dalam analisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan oleh Komite I DPD RI yakni pemantauan kebijakan atau biasa disebut monitoring. Dalam pemantauan kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan dapat dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya yang pertama pemantauan kebijakan yang dilakukan di tingkat daerah oleh pemerintah daerah di Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh wilayah Jabodetabekjur. Melalui pemantauan dari pemerintah daerah diharapkan nantinya setiap daerah Kab/Kota dapat melaksanaan pembangunan program megapolitan Jabodetabekjur sesuai dengan rencana induk yang telah disepakati dengan target dan sasaran yang tepat. Selain pemantauan melalui pemerintah daerah, pemantauan kebijakan megapolitan Jabodetabekjur ini dapat pula dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat memiliki peran penting dalam menilai segala program pembangunan yang akan atau sedang dilaksanakan. Masyarakat
berhak
berperanserta
dalam
pengelolaan
Kawasan
Megapolitan Jabodetabekjur. Peranserta masyarakat sebagaimana dilakukan pada tahap perencanaan, monitoring dan evaluasi
terhadap program
182
pembangunan yang dilaksanakan. Masyarakat dapat berperanserta dalam pembiayaan pengelolaan terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur melalui pembayaran pajak. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud diatur
lebih
lanjut
dengan
Peraturan
Pemerintah.
Masyarakat
dapat
memberikan penilaian baik kritik ataupun masukan kepada pemerintah daerah melalui berbagai cara, bisa dengan menghubungi Pemkab/Pemkot setempat, melalui media sosial ataupun melalui pengaduan secara langsung apabila terjadi ketidaksesuaian pelaksanaan kebijakan di lapangan. Peranserta masyarakat dalam bentuk pembiayaan pengelolaan Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur yang berasal dari pajak dapat dialokasikam berupa penyediaan prasarana dan sarana transportasi, pemukiman, pengembangan dan pembangunan tata ruang dan lain-lain. Selanjutnya dalam pelaksanaan pemantauan atau monitoring program pembangunan wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan akan diberikan sanksi bagi daerah-daerah yang tidak mematuhi aturan dalam rencana induk yang telah disepakati. Dalam pemberian sanksi ini, Menteri Koordinator bidang Perekonomian dapat menjatuhkan sanksi kepada Menteri teknis terkait, Gubernur, Bupati, dan/atau Walikota yang tidak menyusun dan/atau melaksanakan Rencana Induk berupa teguran tertulis; peringatan tertulis; pengurangan Dana Alokasi Khusus; penundaan Dana Alokasi Khusus; dan/atau pembinaan. Kemudian, selain pemantauan yang dilakukan oleh pemerintah daerah baik Gubernur, Bupati/Walikota dan masyarakat, pemantauan pelaksanaan kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur dapat pula dilakukan
183
oleh Badan koordinasi yang ditunjuk. Badan koordinasi bertugas untuk mengkoordinasikan seluruh program kerja sama ini sekaligus melakukan pengawasan terhadap program pembangunan yang tengah berjalan untuk mewujudkan pembentukan kawasan megapolitan. Dengan adanya pengawasan atau monitoring dari Badan koordinasi diharapkan tidak ada lagi permasalahan kurang koordinasi ataupun masalah ketidakmerataan pembangunan. Selain melalaui badan koordinasi, Komite I DPD selaku penggagas kebijakan ini turut serta melakukan pemantauan. Mulai dari pemantauan ketika masa reses, melakukan rapat dengar pendapat umum yang mengundang dari berbagai kalangan
seperti
Lembaga
Swadaya
Masyarakat
(LSM),
Pemerintah,
masyarakat, dsb, serta meminta laporan dari badan koordinasi terkait program pembangunan kawasan megapolitan yang tengah berjalan. Dari pemantauan atau monitoring berbagai instansi terkait baik pemerintah daerah provinsi, kabupaten, kota, badan koordinasi dan pemerintah pusat, diharakapkan program pengelolaan terpadu di kawasan Jabodetabekjur sebagai kawasan magapolitan dapat berjalan dengan efektif, efisien dan optimal. Langkah selanjutnya dalam analisis kebijakan menurut Dunn yaitu evaluasi kebijakan. Evaluasi kebijakan ini bertujuan untuk memperoleh informasi yang valid atas kinerja dan hasil dari kebijakan. Evaluasi adalah kegiatan
pengukuran
terhadap
tingkat
pencapaian
rencana
program
pembangunan kawasan megapolitan Jabodetabekjur dan kinerja dari masingmasing kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota di seluruh kawasan megapolitan Jabodetabekjur. Evaluasi
184
menjadi tugas dan tanggung jawab dari Menteri Koordinator bidang Perekonomian untuk tingkat nasional, Gubernur untuk tingkat provinsi, Bupati untuk tingkat kabupaten, dan Walikota untuk tingkat kota. Proses evaluasi yang dilakukan melalui berbagai cara dengan tahapan yang berbeda dan menjadi tanggung jawab pemerintah di Kab/Kota Jabodetabekjur untuk setiap daerah. Dalam evaluasi kegiatan tahunan Rencana Induk dilakukan pada setiap tahun anggaran. Evaluasi terhadap program pembangunan yang dilaksanakan berdasarkan Rencana Induk dilakukan setiap lima (5) tahun sekali. Evaluasi terhadap Rencana Induk dilakukan dengan melibatkan kementerian teknis terkait atau badan koordinasi, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota yang berada dalam Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur. Berdasarkan hasil inventarisasi dan pemaparan hasil penelitian teknis di atas, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dan penekanan dalam Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan, yang mana perlu adanya sebuah Undang-Undang baru yang mengatur dan memperkuat posisi dari kawasan Megapolitan Jaodetabekjur. Untuk itu Komite I DPD RI tengah mengusulkan suatu pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang bertujuan untuk mengatur dan mengelola secara terpadu kawasan megapolitan Jabodetabekjur. Adanya pembentukan RUU Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur untuk beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut antara lain mengenai:
185
1. Pembagian wewenang yang lebih jelas dan tegas antara Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. 2. Pengaturan kerja sama yang lebih jelas dan tegas antara Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. 3. Bentuk-bentuk kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Demikian analisis dan pemaparan hasil penelitian Analisis Kebijakan Pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan. Hasil penelitian dan analisis tersebut merupakan petunjuk bahwa terdapat celah atau kekosongan peraturan perundang-undangan untuk masalah tertentu khususnya di Jabodetabekjur. Keadaan itu merupakan tantangan sekaligus peluang untuk pengaturan lebih lanjut berbagai masalah tersebut dengan membentuk
satu peraturan-perundangan baru. Demikian pula
halnya,
pengelolaan kawasan megapolitan Jabodetabekjur juga mengandung banyak masalah yang memerlukan penanganan dengan segera dan komprehensif dalam bentuk Undang-Undang yakni pembentukan RUU Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan temuan lapangan yang telah peneliti paparkan di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa dalam kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan belum dapat dilaksanakan secara optimal, dikarenakan masih ada beberapa hal yang belum dapat diselesaikan, pertama pada tahap perumusan masalah, masih banyak
permasalahan
yang belum
dapat
diselesaikan,
terlebih
pada
permasalahan yang berkaitan dengan kelembagaan. Permasalahan lemahnya kelembagaan ini dikarenakan perbedaan derajat otonomi yang dipegang oleh DKI Jakarta, yang mana DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara dengan wilayah Kabupaten/Kota di Bodetabekjur, sehingga belum adanya harmonisasi yang disebabkan oleh kurangnya
koordinasi
antar pemerintah di
wilayah
Jabodetabekjur. Selanjutnya pada peramalan masa depan, terlihat banyak hal yang perlu diperhatikan untuk segera diselesaikan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan di masa depan. Akan tetapi, hingga saat ini masih kurang penanganan yang serius dari pemerintah di wilayah Jabodetabekjur seperti permasalahan pemukiman, iklim, volume air laut yang bertambah, mobilitas penduduk dan lainnya.
186
187
Kemudian pada tahapan rekomendasi kebijakan, dari berbagai alternatif kebijakan yang disarankan sebagai rekomendasi kebijakan dan telah disepakati dan diharapkan mampu menjadi solusi untuk menangani masalah di Jabodetabejur. Akan tetapi, rekomendasi kebijakan tersebut masih belum dapat dijalankan dikarenakan masih berbenturan dengan anggaran dan permasalahan kelembagaan akibat kurangnya koordinasi. Hal tersebut menyebabkan berbagai rekomendasi kebijakan masih belum dapat dijalankan secara optimal. Pada pemantauan kebijakan, pada tahapan pemantauan kebijakan atau monitoring ini tidak hanya menjadi tanggung jawab dari Kementerian terkait atau Badan koordinasi melainkan dalam pemantauan kebijakan ini masyarakat juga diikutsertakan untuk menilai dan mengawasi selama pembangunan pembentukan kawasan megapolitan Jabodetabekjur. Pada tahapan akhir dalam analisis kebijakan yaitu, Evaluasi kebijakan. Dalam
tahapan ini evaluasi dilaksanakan sesuai dengan program yang ada
pada rencana induk.
Evaluasi akan dilakukan setiap lima (5) tahun sekali
sesuai dengan tahun anggaran. Evaluasi menjadi tanggung jawab Menteri Koordinator Perekonomian untuk tingkat nasional, Gubernur untuk tingkat Provinsi, Bupati untuk tingkat Kabupaten dan Walikota untuk tingkat kota. Terlepas dari itu Komite I DPD RI pun ikut menilai dan mengawasi selama pembangunan pembentukan kawasan megapolitan Jabodetabekjur.
188
5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian di atas, maka peneliti memberikan beberapa saran yang dapat dijadikan masukan dalam Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan, adapun saran-saran tersebut sebagai berikut; 1. Komite I DPD RI sebagai inisiator dalam pembuatan kebijakan megapolitan Jabodetabekjur perlu meningkatkan koordinasi dan penguatan kelembagaan dengan seluruh stakeholder di kawasan Jabodetabekjur, dan meningkatkan pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur, agar kebijakan ini dapat berjalan dengan optimal. 2. Perlu adanya penanganan yang serius dari pemerintah dan seluruh stakeholder di wilayah Jabodetabekjur dalam menangani berbagai masalah yang saat ini terjadi, agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan di masa yang akan datang, dengan cara membentuk suatu UU yang sah dalam pengelolaan secara terpadu di kawasan Jabodetabekjur. 3. Untuk mengatasi disparitas pembangunan antara Jakarta dengan Bodetabekjur, transformasi
perlu
adanya
rekomendasi
dari metropolitan Jakarta
kebijakan
terkait
menjadi megapolitan
Jabodetabekjur, agar pembangunan tidak terfokus di Jakarta dapat merata di wilayah Bodetabekjur.
189
4. Perlu adanya Badan baru yang ditunjuk dan dapat lebih optimal untuk mengawasi dan mengkoordinasikan seluruh stakeholder terkait dalam penyatuan regulasi terkait pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai memberikan
ruang
kepada
kawasan megapolitan, serta
masyarakat
untuk
ikut
serta
berpartisipasi melakukan pemantauan agar pelaksanaan kebijakan ini secara efektif dan efisien. 5. Untuk pelaksanaan evaluasi, pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Jabodetabekjur harus lebih transparan agar masyarakat dapat mengetahui mengenai hasil penilaian kebijakan yang telah dievaluasi, khususnya dalam evaluasi kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku : Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Jakarta. Rineka Cipta. Black, James, A, & Champion, J Dean.2005. Metode & Masalah Penelitian Sosial. Bandung : PT Refika Aditama. Dunn N William. 2003. Analisis Kebijaksanaan Publik : Kerangka Analisis dan Prosedur Perumusan Masalah. Yogyakarta : Hanindita. Dunn N William. 2003. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Publik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Fachrudin, Wawan. 2014. Kiprah Komite I DPD RI 5 Tahun Mengabdi Untuk Negeri. Jakarta Irawan, Prasetya. 2006. Metodologi Penelitian Administrasi. Jakarta : Universitas Terbuka. Komite 1 dkk.2009. Perjuangan PAH 1 DPD RI dan Memajukan Daerah. Jakarta. Komite 1 DPD RI. 2014. Merajut Kerja Demi Indonesia. Jakarta Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Miriam, Budiardjo. 2005. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Nugroho, Riant. 2002. Kebijakan Publik Untuk Negara Berkembang. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo. Nugroho, Riant. 2012. Public Policy (dinamika kebijakan, analisis kebijakan, manajemen kebijakan). Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Sugiyono .2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfhabeta. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif R&D. Bandung : Alfhabeta.
Soehartono, Irawan. 2004. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Sekjen DPD RI. 2013. Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Jakarta. Soebarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Praktek. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik (Teori, Proses dan Studi Kasus). Jakarta: CAPS. Wibawa, Samodra. 2011. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Sumber Dokumen : Naskah Akademis RUU Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan. 2014. Jakarta. Perpres 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur). Jaweng Endi Robert. 2014. Megapolitan Jabodetabekjur, Masalah dan Pilihan Model Kepemerintahan di Era Otonomi Daerah. Bogor. Pusat Riset Perkotaan dan Wilayah Universitas Indonesia. 2013. Laporan Akhir “Penyusunan Kajian Strategi Pengelolaan Terpadu Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur). Jakarta.
Sumber lain : Focus Group Disccusion Komite 1 DPD RI (18-19 Februari 2014) Humas, Jabar. 2015. http//:www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsijawa-barat/profil-daerah diakses pada 20 April 2015 Humas & Komunikasi, DKI Jakarta. 2008. http://www.jakarta.go.id/web/news/2008/01/geografis-Jakarta di akses pada 29 Mei 2015 Humas, Jabar. 2012. http//: www.jabarprov.go.id/profil, Diakses 12 April 2015 Humas, dpd. 2013. http://dpd.go.id/profile. 20 November 2014 Humas, dpd. 2013 http://dpd.go.id/alatkelengkapan-komite-i. 14 Oktober 2014 Putra, Andri. 2015. http://megapolitan.kompas.com/read/2015/02/13/1604443/Tiga.Warga.Jakar ta.Meninggal.Selama.Empat.Hari.Banjir 13 Februari 2015. Remi. 2008. http://bstp.hubdat.web.id/?mod=detilSorotan&idMenuKiri=345&idSorotan =54 15 Februari 2015. Wikibanten. 2012. http//:id.m.wikipedia.org/wiki/Banten. Pada 13 April 2015
CATATAN LAPANGAN
NO.
Tanggal
Waktu
Tempat
1.
27 Oktober
11.20 WIB
Sekretariat
2014
Komite I
Hasil Data
RUU
megapolitan
Informan Halim Sani, M.Si
Jabodetabekjur 2.
28 Desember
16.20 WIB
2014
3.
16 April 2015
14.30 WIB
Di luar
NA RUU
Gerlan
Sekretariat
megapolitan
Gramanda
Komite I
Jabodetabekjur
Gedung
Wawancara
Nusantara IV 4.
16 April 2015
13.20 WIB
Gedung
Gerlan Gramanda
Wawancara
Nusantara IV
Wawan Fachrudin M.Si
5.
16 April 2015
15. 15 WIB
Gedung
Wawancara
Ida Heriyani
Gedung
Data
Randi
Nusantara IV
Masterplan
Arrangga
Nusantara IV 6.
16 April 2015
16. 00 WIB
Jabodetabekjur 7.
16 April 2015
17. 15 WIB
Gedung
Wawancara
Fahriza M.Si
Wawancara
Anggota
Nusantara IV 9.
16 April 2015
16.30 WIB
Gedung Nusantara IV
Komite I Periode 20092014
10.
4 Mei 2015
09.30 WIB
Ruang Komite
Wawancara
Mesranian, M.Dev., Plg
11.
11 Mei 2015
10.30 WIB
Perumnas II,
Wawancara
Kota Tangerang
Drs. H. Abdurachman, M.AP
12.
11 Mei 2015
14. 10 WIB
Stasiun Duri
Wawancara
Ida H
13.
11 Mei 2015
16. 25 WIB
Stasiun Duri
Wawancara
Diyah
14.
11 Mei 2015
16. 57 WIB
Di dalam KRL
Wawancara
Anna
CATATAN WAWANCARA Nama Informan : Drs. Abdurachman, M.AP Jabatan
: Koordinator Timja Kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur
Kode Informan : N.1 Waktu
: 11 Mei 2015 di Perumnas II Kota Tangerang
1. Masalah apa saja yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur sehingga harus ada sebuah kebijakan pengelolaan terpadu di Jabodetabekjur? Jawab : banyak sebenanrnya permasalahan yang terjadi, contohnya banjir, kemacetan, tata kota yang semrawut, pemukiman kumuh, kepadatan penduduk, dan masalah lainnya. Maka dari itu perlu adanya kebijakan yang dapat menyelsaikan dan mengharmonisasi wilayah Jabodetabekjur. 2. Bagimana mekanisme pengumpulan masalahnya? Jawab : Begini dek, untuk permasalahan yang ada setelah kita dapat laporan atau data masalahnya kemudian akan kita kumpulkan semua masalahanya nanti akan dibahas di rapat bersama anggota Komite I DPD, lalu baru setelah dibahas bisa ketahuan apakah layak atau tidak diusulkan untuk dibuat RUU. Satu lagi nih dek, dalam inventarisasi masalah DPD banyak melakukan kajian, supaya kebijakan yan akan dibuat tepat dapat menjawab permasalahannya.
3. Masalah apa yang menjadi kendala dalam pembuatan kebijakan pengelolaan
terpadu
wilayah
Jabodetabekjur
sebagai
kawasan
megapolitan? Jawab : Sebenarnya yang menjadi pokok dan harus kita atasi dulu itu masalah kelembagaan. Secara sekarang belum ada badan/kementerian yang
punya
kewenangan
untuk
membentuk
regulasi
terkait
Jabodetabekjur, ditambah pemerintah daerah sibuk dengan pembangunan daerah masing-masing. Solusinya kita perkuat dulu kelembagaan baru bisa menjalankan program kerja sama untuk bikin kawasan megapolitan Jabodetabekjur secara optimal begitu dek. 4. Apa penyebab dari permasalahan kelembagaan itu sendiri ? Jawab : Permasalahan kelembagaan iyu disebabkan oleh kurangnya koordinasi antarpemerintah di wilayah Jabodetabekjur sendiri. Pemerintah daerah terkesan sibuk dengan daerahnya masing-masing dan seolah menyerahkan segala masalah ini kepada Jakarta. 5. Rekomendasi kebijakan seperti apa yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan yang ada di wilayah Jabodetabekjur? Jawab : Untuk mengurai kemacetan dari dan menuju Jakarta kita harus bikin dan mengembangkan jalan tol sebagai alternatif untuk mengurangi kemacetan. Terus kita perlu mengembangkan daerah di Jabar selatan dan Banten
selatan
dengan
membuat
jaringan
transportasi
supaya
pembangunan ini lebih merata. Selain itu kita akan membuat transportasi massal yang dapat mengintegrasi ke seluruh wilayah Jabodetabekjur.
sehingga memberikan kemudahan untuk masyarakat. Kemudian, untuk rekomendasi
kita
bakal
bikin
MRT,
terus
pembangunan
dan
pengembangan jalan-jalan baru, bak jalan dalam kota atau juga jalan tol di daerah
yang
masih
belum
berkembang,
terus
kita
juga
akan
mengembangkan sarana transportasi massal buat mengurai kemacetan. Kira-kira sih kalo misal gak ada hambatan bisa selesai nih megapolitan Jabodetabekjur sekitar tahun 2030. 6. Bagimana
permasalahan
pelaksanaan
mengenai
pendanan
untuk
mewujudkan
program-program pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur? Jawab : Kalau dari segi pendanaan, pelaksanaan program pengelolaan terpadu
wilayah
Jabodetabekjur
ini
diserahkan
kepada
Menteri
Koordinator bidang Perekonomian, biar nanti menko perekonomian yang memberikan arahan kepada Menteri teknis terkait, Gubernur, dan Bupati/Walikota dalam penyusunan Rencana Induk, dan melakukan tindakan koreksi dalam rangka evaluasi pelaksanaan Rencana Induk. 7. Bagaimana pelaksanaan evaluasi kebijakan ini? Jawab : Evaluasi itu adalah kegiatan yang dilakukan untuk pengukuran pengukuran terhadap tingkat pencapaian rencana program dan kinerja dari masing-masing kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota, serta kita sebagai anggota DPD pun ikut mengevaluasi dan mengawasi kebijakan ini dalam pelaksanaan kebijakan ini pada setiap kurun waktu 5 tahun.
Jadi evaluasinya itu pada semuanya akan dilakukan, supaya program pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur ini bisa berjalan optimal dan sesuai target.
Nama
: Fahriza M.Si
Jabatan
: Staf Ahli Komite I DPD RI
Kode Informan: N.2 Waktu
: 16 April 2015 di Gedung Nusantara IV
1. Bagaimana kondisi Jabodetabekjur di masa depan di lihat dari sisi peramalan? Jawab : kalau di lihat dari sisi peramalan dek, kalau hak ditangani dari masalah kemacetan sekarang bisa berakibat lalu lintas di DKI Jakarta pada sepuluh tahun lagi bisa lumpuh dan efek banjir tahunan itu nanti 35 tahun lagi Jakarta terancam bisa tenggelam. Untuk itu kita harus mencari alternatif supaya di masa yang akan datang bisa memecahkan masalah ini. Lalu lintas dari Jakarta atau menuju Jakarta pasti macet. Belum lagi kalau di jam-jam sibuk itu udah makin parah. Dan kemacetannya semakin tahun bertambah. Bisa dilihat kalau belum ada kebijakan juga nanti di masa depan lalu lintas makin semrawut dek. 2. Apa alternatif untuk menangani kondisi tersebut ? Jawab : Untuk alternatif kita harus mengembangkan jalan-jalan di daerah Banten selatan dan Jabar selatan. Supaya bisa mengurai kemacetan sama sekalian biar pembangunannya merata. Bukan Cuma di kawasan perkotaan aja gitu dek. Kita merencanakan untuk nanti dibangun jalan-jalan baru dan membuat MRT. Terus rencana juga kita akan mengembangkan alternatif
transportasi massal suapaya di masa depan masyarakat lebih mudah untuk saling terintegrasi. 3. Bagaimana pola hidup masyarakat Jabodetabekjur di masa depan? Jawab : untuk kehidupan tetap normal, masyarakat bisa hidup dan aktivitas seperti biasa. Kita tidak mengubah tatanan struktur sosial dan budaya, hanya saja pembangunan kota yang lebih baik dan lebih teratur dari pada kondisi sekarang. 4. Apakah dengan Pembentukan kawasan megapolitan di Jabodetabekjur dapat menjawab segala permaslaahan yang terjadi di masa kini? Jawab : untuk mampu menangani segala permasalahan tentunya tidak dengan cepat, tapi kita selalu berusaha untuk tetap optimal agar target dan segala yang sudah direncanakan dapat berjalan dengan baik, supaya semuanya jadi lebih baik dari kondisi saat ini. 5. Kapan rencana realisasi program megapolitan Jabodetabekjur ini dapat berjalan dengan optimal? Jawab : segala persiapan dan rencana pembangunan setiap tahun terus dilaksanakan, diharapkan semua program pembangunan dapat selesai di tahun 2030. 6. Bagimana model kawasan megapolitan yang akan diterapkan di wilayah Jabodetabekjur? Jawab : Model yang diterapkan adalah sebuah kawasan perkotaan yang besar, yang dikelola secara terpadu dan dapat terintegrasi dengan transportasi yang mudah seperti MRT, busway, APTB dan lainnya
sehingga kawasan Jabodetabekjur ini dapat menjadi sebuah kawasan perkotaan yang dapat memperkuat posisi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara. 7. Bagaimana pemantauan kebijakan pengelolaan Jabodetabekjur ini akan dilakukan? Jawab : Nanti pada saat kebijakan ini berjalan kita terus lakukan pemantauan agar hasilnya lebih optimal, bisa pemantauan melalui lembaga atau badan yang ditunjuk, masyarakat juga bisa, atau pemantauan oleh masing-masing pemerintah daerah di wilayah Jabodetabekjur. 8. Apa sebenarnya tujuan adari dibentuknya kebijakan pengelolaan terpadu ini ? Jawab : Tujuan adanya pengelolaan terpadu adalah untuk menjawab segala permasalahan yang terjadi. Diharapkan nantinya setelah adanya kebijakan pengelolaan terpadu ini dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Konteks
pengelolaan
terpadu
ini
dalam
artian
untuk
saling
menghubungkan antar wilayah Kota dan Kabupaten di Jabodetabekjur.
Nama Informan : Gerlan Gramanda Jabatan
:Staf Rapat Komite I DPD RI Sub bagian Megapolitan Jabodetabekjur
Kode Informan
: N.3
Waktu
: 16 April 2015 di Gedung Nusantara IV
1. Masalah apa saja yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur? Jawab : masalah yang ada itu sebenarnya kurangnya koordinasi antarpemerintah di wilayah Jabodetabekjur. Jadi malah berdampak menimbulkan banyak masalah lain. sekarang kan Jakarta itu sebagai pusat ekonomi, pusat pemerintahan, pusat hiburan dan semuanya jadi bergantung pada Jakarta. Nah, kan dari banyak orang yang datang ke Jakarta jadi bikin Jakarta makin macet, makin padet penduduknya, jadi malah Jakarta sebagai Ibukota Negara malah semerawut. Dan lagi malah keliatan jomplang dengan daerah-daerah di sekitaran Jakarta karena semua terfokus di Jakarta. 2. Apa Penyebab masalah kurangnya koordinasi? Jawab : Karena Jakarta punya otonomi khusus dan semuanya jadi seolah berpusat di Jakarta. Jadi semuanya menyeerahkan kepada Jakarta. Seharusnya antar kepala daerah di Jabodetabekjur ini meningkatkan kerja sama untuk saling berkoordinasi menyelesaikan permasalahan yang ada.
3. Masalah apa yang sering terjadi dan belum dapat diselesaikan? Jawab : Karena banyak orang yang datang ke Jakarta jadi malah bikin banyak alih fungsi lahan ya dek. Banyak lahan yang harusnya jadi daerah resapan air sekarang alih fungsi pemukiman akibat dari pertumbuhan penduduk yang meningkat. Kemudian terjadi alih fungsi lahan nambah lagi masalah yaitu banjir, pencemaran sungai, dan bisa berbahaya juga buat masyarakat. Selain itu juga masalah transportasi. Akibatnya setiap hari jumlah volume kendaraan di Jakarta bertambah dan menimbulkan kemacetan. 4. Bagimana mekanisme pengumpulan masalah untuk dibuat menjadi sebuah kebijakan? Jawab : Mekanisme pengumpulan masalah yang ada di Jabodetabekjur itu ada beberapa tahapannya dek, yang pertama itu pada saat anggota Komite I DPD reses, kedua dengan mengadakan kunjungan kerja (kunker), ketiga melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) biasanya kita juga mengundang LSM dari daerah, mengundang instansi terkait, mengundang pemerintah daerah, dan selain itu dapat dilakukan melalui survey langsung dengan masyarakat. 5. Masalah apa yang dihadapi oleh Komite I DPD RI dalam pembuatan Kebijakan ini?
Jawab : Komite I DPD RI tidak ada masalah, kita sangat serius dan mendukung adanya
kebijakan
pembentukan
kawasan
Megapolitan
Jabodetabekjur ini, makanya kita makin sering mengundang narasumber dan
melakukan
banyak
kajian
Jabodetabekjur ini dapat optimal.
supaya
kebijakan
megapolitan
Nama Informan : Wawan Fachrudin Kode
: N.4
Jabatan
: Tim Ahli Kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur
Waktu
: 16 April 2015
Tempat
: Di Gedung Nusantara IV
1. Masalah apa yang begitu mengkhawatirkan di wilayah Jabodetabekjur? Jawab : Masalah alih fungsi tata guna lahan dek. Sekarang karena semua orang mau ke Jakarta jadi lahan pemukiman mulai padat, bahkan wilayah di sekitar Jakarta kaya Bodetabekjur itu juga sekarang sudah padat penduduk dek. Nah kebayang kalo sampe sepuluh tahun lagi belum dikelola dan ditata nanti jadinya semakin bertambah dan tidak ada lahan pemukiman dek. Kalau semua dipakai untuk pemukiman kemana nanti lahan untuk daerah resapan air, nanti banjir bisa jadi masa depan justru banjir akan semakin parah. 2. Bagaimana rekomendasi kebijakan yang ditawarkan untuk mengelolala secara terpadu kawasan Jabodetabekjur? Jawab
:
Kalau
menurut
saya
lebih
baik
pengelolaan
terpadu
Jabodetabekjur dibentuk pola-pola. Nanti akan kita bentuk tiga pola yang pertama pola federatif, terus pola integratif, terus yang terakhir itu pola distributif. Biar ada petak-petakan gak cuma terpusat di Jakarta aja gitu.
Nah, dengan adanya pembentukan pola-pola berdasarkan fungsi dari Kab/Kota
masing-masing
duharapkan
juga
dapat
memeratakan
pembangunan di wilayah Bodetabekjur 3. Pola-pola seperti apa yang akan diterapkan? Jawab : pola yang akan diterpakan yang pertama yakni Pola integratif, yaitu penyatuan Jabodetabekjur dalam satu regulasi, satu reguler khusus, mengatur semua masalah interkoneksi utama di kawasan ini, di bawah badan/kementerian yang ditunjuk. Kemudian Pola Federatif, yaitu membagi kewenangan struktural antara pemerintah pusat, Core City (DKI Jakarta), semi pheri-pheri (Bodebek), dan pheri-pheri City (Tabekjur), dan terakhir Pola Distributif, yaitu mendistribusikan kewenangan fungsional berdasarkan keunggulan komparatif dari daerah-daerah di kawasan Jabodetabekjur. 4. Apakah rekomendasi yang ditawarkan dapat menjawab permasalahan yang kini tengah terjadi? Jawab : Kami akan sellau melakukan kajian untuk melakukan program yang bertujuan akan menyelesaikan masalah. Karen apada dasarkan kebijakan dibuat untuk menjawab permasalahan.
Nama Informan : Drs. H. Abduracman, M.AP Kode
: N.5
Jabatan
: Anggota Komite I DPD RI sekaligus Wakil ketua Timja Kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur
Waktu
: 11 Mei 2015
Tempat
: Di Perumnas II Kota Tangerang
1. Bagaimana kondisi Jabodetabekjur di masa yang akan datang apabila masalah saat ini belum dapat ditangani? Jawab : Jabodetabekjur khususnya Jakarta akan mengalami defisit air tanah. Selain mengalami defisit air tanah, selanjutnya hal yang cukup mengkhawatirkan apabila tidak segera ditangani yaitu permasalahan mengenai perubahan tata guna lahan. Lahan sawah mapun lahan kering banyak berubah fungsi menjadi lahan berbangun. 2. Bagaimana dampak dari permasalahan tersebut? Jawab
:
Dampaknya
akan
terjadi
pertumbuhan
penduduk
dan
mengakibatkan efek domino yang dapat menyebabkan masalah lain seperti banjir, kemacetan, sarana transportasi, kemudian masalah tata guna lahan dan masalah pemukiman yang semerawut.
3. Bagaimana Rekomendasi kebijakan untuk mengatasi masalah ini? Jawab : Untuk mengatasi masalah yang ada di Jabodetabekjur kami dari Komite I DPD RI mengajukan sebuah kebijakan baru yaitu kebijakan megapolitan Jabodetabekjur, dimana di dalam kebijakan tersebut akan dibentuk banyak program yang tujuannya untuk menyelesaikan masalah yang saat ini terjadi dan untuk membentuk sebuah kawasan megapolitan secara terpadu. 4. Rekomendasi kebijakan seperti apa yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan di Jabodetabekjur? Jawab : Untuk rekomendasi kebijakan kita kerja sama dengan tim ahli juga, jadi kita akan membentuk pola-pola di wilayah Jabodetabekjur, supaya semuanya tidak berpusat di Jakarta. Jadi pembangunannya dapat merata di wilayah sekitaran Jakarta yakni wilayah Bodetabekjur. 5. Pola-pola seperti apa yang akan diterapkan? Jawab : pola yang akan diterpakan yang pertama yakni Pola integratif, yaitu penyatuan Jabodetabekjur dalam satu regulasi, satu reguler khusus, mengatur semua masalah interkoneksi utama di kawasan ini, di bawah badan/kementerian yang ditunjuk. Kemudian Pola Federatif, yaitu membagi kewenangan struktural antara pemerintah pusat, Core City (DKI Jakarta), semi pheri-pheri (Bodebek), dan pheri-pheri City (Tabekjur), dan terakhir Pola Distributif, yaitu mendistribusikan kewenangan fungsional berdasarkan keunggulan komparatif dari daerah-daerah di kawasan Jabodetabekjur.
6. Bagaimana pemantauan dilakukan agar kebijakan ini dapat berjalan optimal? Jawab : Pemantauan ini agar lebih efisien itu kita akan melakukan pemantauan dengan melibatkan seluruh stakeholder. Baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan koordinasi dan bahkan melibatkan peran dari masyarakat juga. Kita selaku anggota DPD pun ikut melakukan pemantauan terhadap kebijakan yang sedang berjalan. 7. Kapan
diadakannya
proses
evaluasi
kebijakan
dalam
kebijakan
megapolitan Jabodetabekjur ini? Jawab : Evaluasi terhadap program pengelolaan Jabodetabekjur ini dimuat di Rencana Induk. Dalam kebijakan megapolitan Jabdoetabekjur ini dek, evaluasi kebijakan akan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali. Dan dalam pelaksanaannya akan selalu dilakukan pemantauan. 8. Kapan pemantauan kebijakan ini dilaksanakan? Jawab : Masalah pemantauan itu nantinya akan terus dilaksanakan selama kebijakan ini berjalan. Jadi nanti pemantauan itu dilakukan oleh pemerintah daerah di masing-masing kabupaten kota Jabodetabekjur dek. Karena programnya dilaksanakan jangka panjang dan sesuai dengan rencana induk yang dibuat oleh pemerintah daerah sendiri yang ada di kawasan Jabodetabekjur.
9. Siapa saja yang terlibat dalam evaluasi kebijakan ini ? Jawab : Evaluasi yang dilakukan terhadap program yang ada pada Rencana Induk dilakukan itu melibatkan seluruh stakeholder baik dari kementerian teknis terkait misalnya, badan koordinasi, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota yang berada dalam Kawasan Jabodetabekjur.
Nama Informan : Mesranian, M.Dev., Plg Kode
: N.6
Jabatan
: Kepala Bagian Sekretariat Komite I
Waktu
: 11 Mei 2015
1. Bagaimana
pemantauan
yang
akan
dilakukan
dalam
kebijakan
megapolitan Jabodetabekjur ini ? Jawab : Kalau untuk pemantauan sih selain bisa dari lembaga atau badan, menurutku masyarakat bisa ikut serta. Misalnya kalau di daerah A program yang seharusnya berjalan malah tidak dilaksanakan, nah masyarakat jadi bisa menilai dan melaporkan bisa melalui media elektronik gitu kan, jadi di sini perlu adanya kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat agar sama-sama bisa optimal program pembentukan kawasan megapolitan ini. 2. Apakah dari Sekretariat Komite I juga terlibat dalam pemantauan kebijakan? Jawab : Ya, kami dari Komite I sebagai inisiator terhadap kebijakan ini tetap ikut melakukan pemantauan dalam setiap program yang dilaksanakan dengan bekerjasama dengan badan koordinasi. 3. Masalah apa yang menajdi kendala di Komite I dalam pembuatan kebijakan megapolitan Jabodetabkjur ini?
Jawab : Kalau dari Komite I sendiri tidak ada masalah intern yah, hanya mungkin kita sedang membangun koordinasi dengan kepala daerah di seluruh Kabupaten/Kota Jabodetabekjur, supaya nantinya kebijakan ini bisa dilaksanakan setiap daerah Kabupaten/Kota lebih optimal. 4. Bagaimana proses evaluasi yang akan dilaksanakan dari Komite I DPD? Jawab : Sesuai dengan isi dalam kebijakannya bahwa evaluasi itu akan dilakukan oleh pemerintah daerah di masing-masing Kabupaten/Kota setiap lima tahun sekali. Kami dari DPD juga akan ikut serta dan memantau laporan dari hasil setiap evaluasi tiap program yang tengah berjalan.
Nama Informan : Ida Heriyani, Diah, dan Ana Kode
: N.7
Jabatan
: PNS, dan Karyawan Swasta/Masyarakat
Waktu
: 11 Mei 2015 di KRL menuju stasiun Duri
1. Sebagai masayarakat sudah tahu belum bahwa akan adanya pengelolaan
terpadi
wilayah
Jabodetabkjur
sebagai
kawasan
megapolitan di wilayah Jabodetabekjur? Jawab : Kita baru tahu kalau mau ada pengelolaan terpadu di Jabodetabekjur, dulu cuma Jabodetabek aja. Bagus sih kalau begitu supaya pembangunan dan tata kotanya teratur, cuma harus banyak sosialisasi aja biar masyarakat juga tahu kalo mau ada kebijakan baru gitu. 2. KRL merupakan salah satu alternatif yang akan ditingkatkan pembangunannya untuk mengurangi kemcetan, dari masyarakat apakah setuju ? Jawab : Setuju banget, sekarang kita mau ke bogor, depok, bahkan ke Tanjung Periok skerang lebih gampang semuanya bisa pakai KRL. Cuma mungkin KRL harus ditambah aja biar setiap jam kantor gak terlalu berdesakan.
3. Masyarakat akan dituntut lebih partisipatif, apakah akan ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan kebijakan ini? Jawab : Kita sebagai masyarakat setuju sekali kalau mau ada regulasi pengelolaan terpadu di Jabodetabekjur, biar semuanya gak numpuk di Jakarta dan senang sekali kalo masyarakat bisa ikut serta, Cuma kalau bisa nanti harus ada sosialisasi kemana masyarakat harus melakukan pengaduan gitu. Misalnya via medsos kah, atau lewat apa gitu biar semuanya lebih optimal aja. 4. Sebagai masyarakat apakah akan ikut serta dalam pemantauan kebijakan ini? Jawab : Ya pastinya kita sebagai masyarakat bakal terus pantau kebijakan yang lagi berjalan nih. Kita juga akan menilai bagaimana pelaksanaannya bener apa engga nih, sesuai apa engga. Cuma kalau boleh saran kasih ruang untuk masyarakat aja supaya dapat menyalurkan keluhannya atau penilaiaanya kepada pemerintah.
Dokumentasi Foto
Focus Group Discussion (FGD)
Membahas Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur dengan seluruh kepala daerah se-Jabodetabekjur. Di Ruang Rapat GBHN Gedung Nusantara MPR RI, Senayan, Jakarta 18 Februari 2014.
Focus Group Discussion (FGD)
Membahas Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur, di Ruang Rapat GBHN Gedung Nusantara MPR RI, Senayan, Jakarta 18 Februari 2014.
Pintu masuk Gedung Nusantara IV. Tempat peneliti melakukan wawancara dengan sejumlah narasumber. Jakarta, pada 16 April 2015.
Gedung Nusantara IV Kompleks Parlemen DPR/MPR/DPD RI , tempat peneliti melakukan wawancara dengan narasumber. Jakarta, I6 April 2015.
Wawancara dengan Drs. H. Abdurachman, M.AP selaku anggota Komite I DPD RI sekaligus Koordinator Timja Kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur, di Perumnas II Kota Tangerang, 11 Mei 2015.
Narasumber : Mesranian, M.Dev., Plg selaku Kabag Komite I DPD RI. Wawancara dengan peneliti di ruang Komite I, 4 Mei 2015.
Narasumber: Wawan Fachrudin, selaku akademisi dan Tim Ahli dalam pembuatan Kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur. Wawancara di Gedung Nusantara IV, Senayan, Jakarta 16 April 2015.
Narasumber : Ida Heriyani, masyarakat yang bekerja sebagai PNS yang tinggal di Sentul, Bogor. Setiap hari menggunakan KRL sebagai alat transportasi untuk menuju kantor agar menghindari kemacetan. Jakarta, 11 Mei 2015.
Narasumber : Gerlan Gramarda, selaku Staf rapat Komite I. Wawancara dengan peneliti di Gedung Nusantara IV, Senayan, Jakarta pada 16 April 2015.
Proyek MRT yang akan dikembangkan, merupakan salah satu program pembangunan dalam pembentukan kawasan megapolitan Jabodetabekjur.
KRL Jabodetabek, salah satu transportasi yang mengintegrasi di wilayah Jabodetabek. Dalam waktu dekat akan dilakukan pembangunan untuk dapat mengintegrasi ke wilayah Jabodetabekjur. Jakarta, 11 Mei 2015.
Ruangan dalam KRL yang cukup sepi di siang hari, akan tetapi padat saat jamjam sibuk seperti waktu pagi dan sore hari. Jakarta, 3 Juni 2015.
Stasiun Duri, stasiun yang menghubungkan KRL Tangerang, Bogor dengan Jakarta. Jakarta 11 Mei 2015.
Busway, merupakan salah satu transportasi umum di DKI Jakarta yang bertujuan untuk mengurangi volume kendaraan pribadi di jalan raya dan meminimalisir kemacetan. Jakarta, 3 Juni 2015.
Angkutan Perkotaan Terintegrasi Bus (APTB) merupakan angkutan umum yang digunakan mengitegrasi masyarakat dari wilayah Bodetabekjur menuju Jakarta. Jakarta, 3 Juni 2015.
Narasumber : Fahriza, M.Si selaku staf ahli Komite I DPD RI. Wawancara dengan peneliti pada di Gedung Nusantara IV Kompleks Parlemen DPR/DPD/MPR, Jakarta, 16 April 2015.
Gambar Kompleks Parlemen MPR/DPR/DPD RI, Jalan Jend. Gatot Subroto No. 6 Senayan, Jakarta 16 April 2015.
Gambar Kompleks Parlemen MPR/DPR/DPD RI, Jalan Jend.. Gatot Subroto No. 6 Senayan, Jakarta 16 April 2015.
CURRICULUM VITAE
Nama
: Nurlita Amaniyah
NIM
: 6661111919
TTL
: Serang, 12 Oktober 1993
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Kewarganegaraan
: Indonesia
Alamat
: Jl. Raya Petir No.11 RT/RW 001/002 Ds. Cilaku Kec. Curug, Kota Serang-Banten 42171
NOMOR KONTAK
Nomor Handphone
:
08999645785
Email
:
[email protected]
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN TAHUN 2011-2015
PENDIDIKAN Ilmu Administrasi Negara Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2008-2011
SMA Negeri 2 Kota Serang
2005-2008
SMP Negeri 5 Serang
1999-2005
SD Negeri Taman Baru II
PENGALAMAN ORGANISASI TAHUN 2012
KETERANGAN Bendahara Umum Himpunan Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara FISIP UNTIRTA
2013
Kadiv. Komunikasi Informasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara FISIP UNTIRTA