ANALISIS INTERKONEKSITAS ANTAR UNSUR PEMBANGUNAN (Studi Kasus: Kelurahan Tekolabbua Kecamatan Pangkajene Kabupaten Pangkep)
ANAL YS/S OF INTERCONNECTIVITY AMONG DEVELOPMENT ELEMENTS (A Case Study of Tekolabbua Village Pangkajene Sub-District Pangkep District)
M. ISKANDARSYAH
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2005
ANALISIS INTERKONEKSITAS ANTAR UNSUR PEMBANGUNAN (Studi Kasus: Kelurahan Tekolabbua Kecamatan Pangkajene Kabupaten Pangkep)
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Administrasi Pembangunan
Disusun dan diajukan oleh
M. ISKANDARSYAH
kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2005
TESIS
ANALISIS INTERKONEKSITAS ANTAR UNSUR PEMBANGUNAN
(Studi Kasus: Kelurahan Tekolabbua Kecamatan Pangkajene Kabupaten Pangkep)
Disusun dan diajukan oleh M. ISKANDARSYAH Nomor Pokok P0803204507
telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis pada tanggal 29 Agustus 2005 dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui Komisi Penasihat
Prof.Dr.lr.A. Map~~~iji Amien, CEng. ~tua
Dr. lr. Sumbangan Baja, M.Sc. Anggota
Ketua Program Studi Administrasi Pembangunan
Direktur Program Pascasa~ana Universitas Hasanuddin
Dr. Muh. Nur Sadik, MPM.
Prof.Dr.lr.M.Natsir Nessa, M.S.
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini Nama Nomor mahasiswa Program studi
M. lskandarsyah P08 03 204507 Administrasi Pembangunan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan terse but. Makassar, Yang Menyatakan
M. lskandarsyah
v
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahiim, Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH
menyelesaikan
mampu
tesis
yang
berjudul
ANAL/SIS
INTERKONEKSITAS ANTAR UNSUR PEMBANGUNAN (Studi Kasus: Ke/urahan Tekolabbua Kecamatan Pangkajene Kabupaten Pangkep) untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan pada Program Konsentrasi Manajemen Perencanaan Universitas Hasanuddin Makassar. Banyak kendala yang dihadapi Penulis dalam penyusunan tesis ini, untuk itu penulis dengan ketulusan hati menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. lr. A. Mappadjantji Amien, CEng., sebagai Ketua Komisi Penasehat dan Dr. lr. Sumbangan Baja, M.Sc., sebagai Anggota Komisi Penasehat serta lr. Hatta Jamil, M.Si., sebagai Readers, yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk memberikan bimbingan mulai dari pengembangan minat terhadap permasalahan penelitian ini, pelaksanaan penelitian, sampai pada penulisan tesis ini. Kepada Dr. lr. Darmawan Salman, MS., dan Dr. lr. Yusran Nur lndar, M.Sc., atas saran dan kritikannya selaku komisi penguji. Terima kasih penulis sampaikan lepada Rektor Universitas Hasanuddin, atas kesempatan belajar pada Universitas Hasanuddin. Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Asisten Direktur I
VI
dan Asisten Direktur II berserta stat. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta stat, sebagai pemberi beasiswa. Kepala PSKMP Universitas Hasanuddin,
beserta
stat
tungsional
dan
kesempatan dan pelayanan yang diberikan.
stat
administrasi,
atas
Ketua Program Studi
Administrasi Pembangunan atas dukungan selama perkuliahan dan penyelesaian Manajemen
studi.
Ketua
Perencanaan,
beserta
Pengelola
atas kesempatan
Konsentrasi
belajar serta
Studi layanan
akademik dan teknis yang diberikan selama ini. Dosen Konsentrasi Studi Manajemen Perencanaan. Bupati Pangkajene dan Kepulauan, beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program pascasarjana, sekaligus izin melaksanakan penelitian. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pangkep beserta stat. Lurah Tekolabbua beserta stat, H. Haluddin Liong dan Hamzah Adam,. Tak
lupa
kepada
rekan-rekan
mahasiswa
Program
Konsentrasi
Manajemen Perencanaan Angkatan Kedua dan Ketiga. Teristimewa
Penulis
haturkan
penghargaan
yang
setinggi-
tingginya kepada Ayahanda Drs.H.M. Syukur HAK, dan lbunda Hj. Sitti
Halijah Razak yang tercinta serta saudara-saudaraku M. Ibrahim Syah, S.E., M.M., dan M. Ismail Syah, BA., yang telah memberikan dorongan dan bantuan moril. Dan terkhusus kepada istri tercinta Sitti Rahmah
Haluddin, A.Md., yang telah membantu dan memberikan dorongan. Semoga segala kebaikan dan bantuan yang telah diberikan mendapat imbalan yang berlimpah dari ALLAH SWT.
VII
Demikian tesis diajukan, Penulis menyadari banyak kekurangan terdapat di dalamnya, walaupun demikian mudah-mudahan berbagai manfaat dapat dipetik darinya. Amin.
Makassar,
Agustus 2005
Penulis,
M. lskandarsyah
viii
ABSTRAK
M. ISKANDARSYAH. Ana/isis lnterkoneksitas Antar Unsur Pembangunan Studi Kasus: Kelurahan Tekolabbua Kecamatan Pangkajene Kabupaten Pangkep (dibimbing oleh Andi Mappadjantji Amien dan Sumbangan Baja)
Penelitian ini difokuskan pada penggambaran kapasitas swatata dari tatanan masyarakat Tekolabbua, dengan indikator pada kemampuan masyarakat beradaftasi terhadap perubahan lingkungan eksternal melalui reorganisasi interaksi internal antar sumberdaya, organisasi, dan normanorma dalam tatanan tersebut. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, dengan menggunakan metode studi kasus. Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam terhadap masyarakat dan pemerintah lokal. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan melalui kajian terhadap dokumen pelaksanaan kegiatan atau proyek serta peraturan perundang-undangan yang terkait. Penentuan informan dilakukan dengan menggunakan snowball method. Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai tatanan lokal dalam bentuk tatanan sawah, tatanan tambak, tatanan nelayan, tatanan pengolahan hasil perikanan, dan tatanan mangrove, sebagai perwujudan dari diversitas tatanan masyarakat Tekolabbua. Terbentuknya tatanan lokal tersebut merupakan hasil dari upaya adaptasi tatanan masyarakat Tekolabbua dalam berhadapan dengan perubahan lingkungan. Dengan demikian, kapasitas swatata tatanan masyarakat Tekolabbua dikategorikan "sedang" Kata kunci: lnterkoneksitas, Tatanan, Diversitas, Kapasitas Swatata, Kemandirian Lokal.
ix
ABSTRACT
M. ISKANDARSYAH. Analysis of lnterconnectivity Among Development Elements: a case study of Tekolabbua Village, Pangkajene Sub-District, Pangkep District. (supervised by Andi Mappadjantji Amien and Sumbangan Baja) The research is designed to describe the capacity of selfarrangement of community (tatanan) structure of Tekolabbua Village (Kelurahan), Pangkajene Sub-district, Pangkep District which is indicated by community adjustment ability to external changes through reorganization of internal interaction between resource, organization, and norms in the structure. The research was conducted in Tekolabbua Village, Pangkajene Sub-district, Pangkep District, by applying a case study method. Primary data were collected through observation and in-depth interview with local community members and government staff selected by using a snowball technique. Secondary data · were obtained from relevant documents concerning activities and project and legal regulations. All data were analyzed by using descriptive analysis. The results show varied local arrangement of rice field, fishpond, fisherman organization, fish processing, and mangrove cultivation as manifestation of varied structure of Tekolabbua community. The diversity is resulted in by adjusment ability of the community concerned towards environmental changes. Accordingly, the capacity of self-arrangement of Tekolabbua community is ranked to moderate. Key word: lnterconnectivity, capacity, "Kemandirian Lokal"
Community,
Diversity,
Self-arrangement
X
DAFTAR lSI halaman PRAKATA
v
ABSTRAK
viii
ABSTRACT
ix
DAFTAR lSI
X
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
XV
DAFTAR LAMPIRAN
I.
xvi
PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
6
C. Tujuan Penelitian
7
D. Kegunaan Penelitian
7
II. Tl NJAUAN PUSTAKA A. Paradigma Baru Pembangunan
9
B. Konsep Tatanan
13
C. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
17
D. Masyarakat Pesisir
22
E. Kapasitas Swatata
24
F. Kerangka Pemikiran
28
xi
Ill. METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
31
B. Pemanfaatan Peran Sebagai Peneliti
31
C. Lokasi Penelitian
32
D. Jenis dan Sumber Data
33
E. Prosedur Pengumpulan Data
34
F. Teknik Analisis Data
35
G. Pengecekan Validitas Temuan
36
H. Tahap dan Jadwal Penelitian
36
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian
38
1. Sejarah Singkat Kelurahan Tekolabbua
38
2. Keadaan Fisik Wilayah
39
3. Keadaan Sosial Ekonomi
43
4. Keadaan Sosial Budaya
46
B. Pengelolaan Sumberdaya Tatanan
48
1. Budidaya Sawah
49
2. Budidaya Tambak
54
3. Perikanan Tangkap
61
4. Pengolahan Hasil Perikanan
68
5. Penanaman dan Pemeliharaan Mangrove
71
C. Kapasitas Swatcna T atanan 1. ldentitas Tatanan
77 77
xii
2. Keragaman dan Diversitas
80
3. Kesadaran Berevolusi
85
V. KESIMPULAN DAN SARAN
88
A. Kesimpulan
88
B. Saran
89
DAFTAR PUSTAKA
91
LAMP IRAN
94
xiii
DAFT AR TABEL nom or
halaman
1.
Jadwal Persiapan dan Aktivitas Penelitian
37
2.
Luas Lahan dan Penggunannya di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep Tahun 2005
40
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9. 10. 11. 12.
Jumlah
Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep Tahun 2004
42
Jenis dan Jumlah Fasilitas dan Pusat Pelayanan di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep Tahun 2004
43
Jumlah Gedung, Guru, dan Murid di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep Tahun2004
43
Mata Pencaharian Penduduk di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep Tahun2005
44
Jenis Alat Tangkap Nelayan di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep Tahun 2005
45
Jenis
Armada Nelayan di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep Tahun 2005
45
lntegrasi R-0-N dalam Dinamika Pengelolaan Budidaya Sawah
53
lntegrasi R-0-N dalam Dinamika Pengelolaan Budidaya tambak
59
lntegrasi R-0-N dalam Dinamika Pengelolaan Perikanan Tangkap
66
lntegrasi R-0-N dalam Dinamika Pengelolaan Produk Perikanan
70
xiv
13.
lntegrasi R-0-N dalam Mangrove
Dinamika
Pengelolaan
Hutan 76
XV
DAFT AR GAM BAR
nom or
1.
halaman
Kerangka Pikir Penelitian Analisis lnterkoneksitas AntarUnsur Pembangunan Studi Kasus: Kelurahan Tekolabbua Kecamatan Pangkajene Kabupaten Pangkep
30
2.
Mekanisme Pasar Produk lkan Bandeng dan Udang Windu
58
3.
Mekanisme Pasar Produk T~ngkapan Nelayan di TPI ToliToli
63
4.
Peta
lnterkoneksitas Tekolabbua
Tatanan
Masyarakat
Kelurahan 84
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
nom or
halaman
1.
Peta Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
94
2.
Dokumentasi Kegiatan Penelitian di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep
95
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Indonesia sebagai suatu Benua Maritim memiliki wilayah laut yang sangat luas, terdiri atas 17.508 pulau besar dan kecil, diantaranya 5.707 pulau telah bernama sedangkan 11.801 masih belum bernama. Benua Maritim Indonesia memiliki garis pantai yang paling bervariasi dan terpanjang ketiga di dunia (80.791 Km), sumberdaya hayati dan non hayati dengan ekosistem yang sangat bernilai,
di samping jasa-jasa
lingkungan yang bernilai ekonomis tinggi. Kawasan pesisir sebagai bagian dari ekosistem pantai, dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti pelabuhan, kota pantai, konservasi dan pengembangan perikanan, tambak dan marikultur serta produksi minyak dan gas bumi lepas pantai (Amien, 2001). Kekayaan wilayah pesisir yang ada seharusnya berdampak kepada tingkat kesejahtraan masyarakat yang tinggi, terutama,, masyarakat yang berkaitan langsung dengan sumberdaya tersebut. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir justru meberikan dampak negatif kepada masyarakat, terutama masyarakat nelayan. Sistem
pemerintahan
dan
pembangunan
yang
sentralistik,
berorientasi sektoral dan proyek, lemahnya pengawasan, dan ketidak tanggapan dalam mengubah pendekatan dan strategi pembangunan,
2
serta ketidakselarasan antara kebijakan dan pelaksanaan pada berbagai bidang pembangunan, berdampak kepada ketidakmerataan pertumbuhan, kerusakan lingkungan, dan ketidakberdayaan masyarakat dalam proses perubahan sosial bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Saad (2000) mengemukakan pola pemanfaatan wilayah pesisir dan taut selama ini justru telah melahirkan dua paradoks sekaligus, yakni kemiskinan nelayan (masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir) di tengah melimpahnya sumberdaya alam pesisir dan taut, dan kerusakan lingkungan di tengah masyarakat lokal yang kaya akan kearifan tradisional. Kemiskinan
masyarakat
berwujud
pada
ketidakmampuan
masyarakat dalam mengambil bagian dalam kegiatan ekonomi pasar dan lemahnya pengembangan organisasi keluar lingkungan sebagai akibat dan dominasi pemerintah yang sangat kuat terhadap masyarakat. Adanya sistem nilai yang dipaksakan dari atas yang mengakibatkan terjadinya keterbatasan
politik
dari
masyarakat
yang
terwujud
pada
tidak
dilibatkannya masyarakat dalam proses implementasi kegiatan atau proyek pembangunan. Upaya pemberdayaan bagi kelompok masyarakat atau keluarga miskin selama ini dilakukan melalui penyediaan akses dan bantuan dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat melalui pemberian bantuan modal, manajemen usaha, pendampingan, dan pembangunan
prasarana
pendukung.
Namun
hal
tersebut dalam
3
prakteknya lebih berfokus pada level kesuksesan proyek.
Partisipasi
masyarakat
melibatkan
masih
lebih
dimaknakan
sebagai
upaya
masyarakat secara nominal demi kesuksesan proyek, tidak ditujukan sebagai upaya pembelajaran bagi masyarakat guna meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasionalnya. Beberapa penelitian sebagaimana diungkapkan oleh Karim (2003), memperlihatkan bagaimana implementasi proyek justru memberikan dampak negatif kepada masyarakat yaitu: 1. Penelitian Tinjabate (2001) membuktikan bahwa akibat kebijakan pemerintah
daerah
Kabupaten
Poso,
Sulawesi Tengah,
dalam
pembangunan perikanan, yakni merealisasi kepentingan pemerintah untuk meningkatkan hasil produksi perikanan laut sebagai sumber devisa negara, intervensi birokrasi dan kapitalisasi dalam kegiatan nelayan
di
lmplikasinya
Kecamatan adalah
Ampenan
berlangsung
kepentingan-kepentingan
secara
intensif.
nelayan tradisional
terabaikan akibat perlakuan diskriminatif dari pemerintah daerah Kabupaten Poso. 2. Penelitian Nasikun bersama rekan-rekannya tahun 1996 di daerah Muncar, Jawa Timur, Elfiandri tahun 2002 di pantai barat, Sumatera Barat dan lwan tahun 2002 di daerah Kelurahan Nipah I dan II Kabupaten
Tajung
Jabung,
Jambi
mengungkapkan
kesimpulan
substansinya sama bahwa akibat penetrasi kapitalisme dalam aktivitas
4
nelayan di daerah ini menyebabkan kelompok nelayan dan buruh nelayan lebih cepat terseret dalam kemiskinan. 3. Prof. Mubiyarto bersama rekan-rekanya tahun 1984 melalui hasil penelitiannya di dua desa pantai di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, menyimpulkan bahwa akibat beroperasinya kapal-kapal penangkap ikan modern setiap nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan sampai 58 %. Hal yang sama juga dibenarkan oleh Bailey ketika melakukan penelitian pada tahun 1988. Kegagalan ini diakibatkan setidaknya oleh tiga bi_dang yaitu paradigma ilmu pengetahuan, pendekatan pembangunan, dan moral dari pelaksana pembangunan. Pendekatan pembangunan yang berbasis pada paradigma Sains Modern, menitik beratkan kepada modernisasi dan pertumbuhan.
Pendekatan
pembangunan
yang
lebih
condong
ke
pembangunan ekonomi (memacu pertumbuhan) secara implisit memang mengandaikan bahwa ketidaksamaan adalah sebuah harga yang wajar dari pertumbuhan (Amien, 2003b). Saat ini pendekatan pembangunan yang mengacu pada Sains Modern, tidak lagi mampu menjangkau kompleksitas permasalahan pembangunan. Pelaksanaan pembangunan yang mulai dari perencanaan sampai evaluasi dengan menerapkan prinsip reduksionisme,
determinisme
dan
obyektivisme
yang
membagi
pembangunan berdasarkan penanganan terhadap sektor-sektor tertentu dengan wawasan sentralistik tidak dapat lagi diterapkan.
5
Dibutuhkan
suatu
pendekatan
atau
paradigma
baru dalam
pelaksanaan kegiatan pembangunan agar pembangunan menjadi sesuatu yang bermakna bagi kehidupan masyarakat dimana mereka mampu melaksanakan dan merasakan dampak dari pelaksanaan kegiatan pembangunan yang mereka laksanakan sendiri. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah dengan menghadirkan paradigma HolismeDialogisme yang merupakan paradigma ilmu yang berbasis pada pandangan sains post-Newtonian, sains post-Cartesian. Menyikapi
pergeseran
paradigma
pembangunan - ke
paradigma Holisme-Dialogisme, serta berbagai kecendrungan
arah yang
berkembang dewasa ini, dimana tuntutan akan kebebasan dan otonomi yang lebih besar dari berbagai tempat, bahkan sampai pada keinginan membentuk federasi dan berdiri sendiri atau merdeka, maka Universitas Hasanuddin, telah membentuk "tim inti" yang mengkhususkan diri pada pencermatan cara pandang (world view) bangsa atau basis paradigma pembangunan Indonesia. Tim tersebut telah mengkaji secara khusus ide atau pemikiran yang dapat menjadi
"perekat-baru" yang
dinilai
akan
cukup
prospektif
menghadapi terpaan ancaman disintegrasi bangsa. Setelah melalui berbagai pembahasan, dan memperhatikan berbagai masukan, akhirnya tim merekomendasikan konsepsi "Kemandirian Lokal" sebagai visi maupun sebagai paradigma dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara.
6
Kemandirian
Lokal
merupakan
konsep
pembangunan
yang
berbasis kepada tatanan. Hal ini merupakan konsep pembangunan yang lebih realistis dan masih berada dalam jalur kolektivisme yang menjadi pandangan hidup sebahagian besar masyarakat Indonesia. Kelurahan Kecamatan
Tekolabbua,
Pangkajene,
sebagai
Kabupaten
bagian
Pangkep,
kecil
dari
wilayah
merupakan
sebuah
lokalitas yang di dalamnya terdapat kegiatan pembangunan dengan mengintegrasikan sumberdaya, organisasi dan norma yang ada dalam lokalitas
tersebut.
lnterkoneksitas
tatanan
masyarakat
dengan
sumberdaya yang ada di sekitarnya, ataupun interkoneksitas tatanan masyarakat dengan tatanan lainnya di luar tatanan tersebut berdampak kepada munculnya sumberdaya baru didalam masyarakat. Bagaimana bentuk pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh
masyarakat
untuk
mengelola
sumberdaya
guna
memenuhi
kebutuhan masyarakat serta untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dilihat dari sudut pandang Kemandirian Lokal, menjadi fokus yang menarik untuk dipahami lebih jauh dan dianalisis lebih tajam. B. Rumusan Masalah
Berangkat dari Jatar belakang di atas, bahwa dalam rangka mewujudkan
pening~atan
kesejahtraan
sumberdaya pesisir melalui
masyarakat dan kelestarian
pendekatan Kemandirian Lokal,
maka
interkoneksitas tatanan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan menjadi suatu keharusan.
7
Terkait dengan hal terse but, maka pertanyaan penelitian yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk pengelolaan sumberdaya yang dilakukan oleh tatanan masyarakat Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep. 2. Bagaimana kualitas kapasitas swatata tatanan masyarakat Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian yang terdapat pada rumusan permasalahan sebagaimana disebutkan di atas, penelitian ini bertujuan: 1. Mendeskripsikan bentuk pengelolaan sumberdaya yang dilakukan oleh tatanan masyarakat Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep. 2. Mendeskripsikan kualitas kapasitas swatata tatanan masyarakat Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat: 1. Secara akademis,
hasil dari penelitian
ini dapat memperkaya
pengetahuan tentang konsep Kemandirian Lokal dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat serta menjadi khasanah baru dalam pengembangan konsep pembangunan masyarakat.
8
2. Maksud praktisnya, hasil penelitian ini diharapkan merangsang pihakpihak terkait terutama bagi aparat pembuat dan penentu kebijakan baik di tingkat daerah (Kabupaten Pangkep) maupun pemerintah pusat dalam upaya memformulasikan kebijakan pembangunan suatu wilayah atau daerah, agar kegiatan pembangunan dapat dilakukan oleh masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Paradigma Baru Pembangunan Ada tiga hal yang mendasari munculnya paradigma baru dalam pelaksanaan
pembangunan
pengetahuan,
pengalaman
yaitu
pergeseran
paradigma
ilmu
pembangunan, dan pergeseran aspirasi
masyarakat. Pada tataran ilmu pengetahuan terjadi pergeseran paradigma ilmu pengetahuan dari sains modern (modem science) yang mekanistik, dengan prinsip reduksionalistik, obyektif, dan deterministik, menjadi sains baru
(new
science)
yang
menekankan
prinsip
kontekstualitas, dan probabilistik (Amien, 2003a).
interkoneksitas,
Hal ini disebabkan
paradigma ilmu pengetahuan yang berdasarkan sains modern telah mengalami anomali dan tidak mampu menjawab beberapa fenomena alam yang terjadi pada saat ini. Pengalaman penyelenggaraan pembangunan di berbagai negara, maupun di Indonesia menunjukkan bahwa skenario pembangunan yang disusun dan dilaksanakan selama ini tidak mampu memberikan hasil sebagaimana ditetapkan sebelumnya, bahkan berdampak pada timbulnya kesenjangan antar lapisan/kelompok masyarakat dan wilayah, timbulnya ketergantungan masyarakat sebagai akibat dari hilangya kemampuan masyarakat, serta degradasi kualitas lingkungan hidup.
10
Belajar dari pengalaman di atas, paling tidak terjadi tiga pergeseran yaitu pergeseran pada aspek, metode, dan pelaku pembangunan. Gany (2001) mengemukakan bahwa: "pergeseran yang terjadi dilihat dari sisi pembangunan aspek atau ruang lingkup pembangunan adalah kegiatan pembangunan yang pada awalnya hanya semata-mata mencakup aspek kesejahteraan material, berkembang menjadi lebih luas sehingga mencakup aspek lingkungan hidup dan manusia. Dari sudut metode pembangunan terjadi pergeseran dari pendekatan sektoral menjadi pendekatan pembangunan wilayah, dan pada akhir-akhir ini lebih dititikberatkan pada pembangunan komunitas. Sedangkan dari sisi pelaku pembangunan, pergeseran yang terjadi cukup drastis, yakni peralihan sebagian besar kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (desentralisasi). Malah, peran pemerintah yang tadinya sangat dominan dalam semua tahap, menjadi berkurang dan digantikan oleh peran serta masyarakat".
Pergeseran yang terjadi baik pada paradigma ilmu pengetahuan, aspek, metode, dan pelaku pembangunan serta aspirasi masyarakat menunjukkan bahwa sains modern (modem science) yang selama ini menjadi
pendasaran
paradigmatis
pembangunan
telah
mengalami
anomali, bahkan telah mengalami krisis. Untuk mengatasi krisis tersebut, terdapat dua alternatif: melakukan loncatan akumulatif teori/konsep dengan tetap bertahan pada sains modern atau melakukan revolusi paradigma secara radikal.
Alternatif pertama menghadirkan paradigma
digitalisme-informatisme yang sebenarnya hanya hasil loncatan dari
paradigma sains modern, alternatif kedua menghadirkan paradigma holisme-dialogisme yang merupakan hasil dari sebuah revolusi paradigma (Amien, 2003b). Paradigma holisme-dialogisme menekankan kepada hubungan interkoneksitas yang terjadi dalam sebuah tatanan, entitas pembangunan
11
adalah interkoneksitas itu sendiri. Obyek bukan lagi sebagai entitas yang merepresentasikan
realitas,
realitas
lebih
direpresentasikan
oleh
interkoneksitas, karena itu entitas pembangunan adalah perwujudan interkoneksitas
itu
sendiri.
Bukan
kinerja
komponen
(sektor
pembangunan) yang menjadi perhatian melainkan pada hubungan yang tercipta, pada interkoneksitas diantara komponen (sektor pembangunan) tersebut.
Perwujudan interkoneksitas disebut tatanan, dan hakekat
interkoneksitas sebuah tatanan terletak pada emergence-resource yang ditimbulkannya, fitur baru yang dihasilkannya, karena fitur baru inilah yang menjamin sustainabilitas (Amien 2003b). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pengertian pembangunan yang selama ini dilihat dan mendasarkan diri pada paradigma sains modern juga mengalami pergeseran. Pengertian pembangunan menurut paradigma sains baru dikemukakan oleh Amien (2003b) dan Gany (2002) yang mendefinisikan pembangunan sebagai suatu upaya yang dilakukan untuk mendorong pengembangan dan peningkatan kualitas tatanan, oleh tatanan itu sendiri. Sedangkan pemberdayaan merupakan upaya yang dilakukan unsur yang berasal dari luar tatanan agar suatu tatanan mampu mandiri.
Dengan
demikian
pembangunan
adalah
suatu
upaya
pemberdayaan dalam wacana Kemandirian Lokal. Pembangunan berdasarkan sains baru merekomendasikan konsep Kemandirian Lokal sebagai tujuan pembangunan. Pengertian Kemandirian Lokal sebagai mana dikemukakan oleh Salman (2003: 2) adalah:
12
"kondisi dimana sebuah tatanan mampu menjaga sustainibilitas eksistensinya dalam berhadapan dengan dinamika perubahan, baik melalui interkoneksitas unsur-unsur pembentuk tatanannya secara internal maupun melalui interkoneksitas tatanan dengan tatanan lainnya secara eksternal". Pengertian lokal di sini terkait dengan variabel yang muncul dari interkoneksitas internal tatanan, berhadapan dengan pengertian non lokal yang berasal dari variabel yang muncul dari interkoneksitas eksternal tatanan. Dengan demikian, ia adalah kemandirian yang disatu sisi dibentukldipelihara oleh interkoneksitas internal, di sisi lain ia adalah kemandirian yang dipengaruhi/didinamisasi oleh interkoneksitas eksternal.
Hal ini jelas memperlihatkan bahwa kemandirian yang dimaksud bukanlah kemandirian yang absolut, melainkan terbuka dan terkait dengan lingkungan sekitarnya.
Amien (1999) mengernukakan bahwa pada
hakikatnya kemandirian yang dimaksudkan dalam perspektif tatanan adalah suatu kemandirian yang tidak bersifat absolut, tetapi bernuansa interkoneksitas dan bersifat komplementaris.
Kemandirian hanya akan
bermakna dan berarti jika dapat dimanfaatkan dan memanfaatkan kemandirian yang diniiliki dan dikembangkan di tatanan yang lain. Kemandirian tatanan adalah sustu sistem mandiri, tetapi senantiasa menerima dan memberi aliran "energi" kepada lingkungannya.
Dengan
kata lain mewujudkan interkoneksitas merupakan keharusan bagi suatu tatanan
untuk
mempertahankan
dan
meningkatkan
kualitas
keberadaannya. Dalam perspektif desentralisasi dan otonomi daerah, kemandirian lokal menjadi suatu hal yang sangat penting. Kemandirian Lokal merupakan substansi otonomi.
Oleh karena itu, otonomi adalah suatu
wujud penyerahan kompetensi pembangunan secara keseluruhan kepada masyarakat dan swasta. Otonomi akan berjalan dan berlangsung dalam
13
proses yang berkepanjangan, dan akan selesai pada saat seluruh kompetensi perencanaan, dan penyelenggaraan pembangunan telah berada di tangan masyarakat atau swasta (Gany, 2002: 6) B. Konsep Tatanan Analisis
terhadap
pergeseran
paradigma
ilmu
pengetahuan
dikombinasikan dengan pergeseran konsepsi pembangunan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas membawa kita kepada suatu konsep yang dikenal dengan istilah Tatanan yang didefinisikan sebagai perwujudan interkoneksitas antar manusia dengan manusia lainnya, antara manusia
dengan
lingkungannya
dalam
kerangka
interkoneksitas
dengan
keseluruhan (alam semesta), yang sesungguhnya berintikan hubungan antara manusia dengan Sang Penciptanya secara transcendental (Gany, 2001 ). Konsep interkoneksitas menawarkan keunggulan dibandingkan dengan konsep sistem klasik yang memusatkan perhatian pada kinerja komponen-komponen, karena kinerja tatanan tidak mungkin diketahui dengan menganalisis kinerja konponennya, sebagaimana halnya kita tidak akan
mampu
memahami
kehidupan
organisme
dengan
hanya
menganalisis kinerja dan karakteristik komponennya yang tidak lebih dari molekul-molekul yang disusun oleh atom-atom C, H, dan 0, yang persis sama dengan apa yang kita temui di alam semesta. Sebaliknya, melihatnya sebagai suatu jaringan interkoneksitas yang unik (atau
14
spesifik) akan memberikan kita gambaran yang jauh lebih komprehensif (Amien, 2003b). Elemen-elemen tatanan, baik berupa "elemen lunak" seperti manusia dengan sistem nilai, kelembagaan dan teknostrukturnya, maupun yang berupa "elemen keras" seperti lingkungan alam dan sumberdayanya, merupakan
entitas
yang
dinamis
yang
senantiasa
tumbuh
dan
berkembang, demikian pula dengan wujud interkoneksitasnya. Oleh karena itu, tatanan seyogyanya dipandang sebagai suatu "organisme" yang memiliki kecendrungan dan kemampuan untuk berkembang secara mandiri serta melakukan "asosiasi" atau "fusi" dengan tatanan lainnya. Asosiasi adalah wujud interkoneksitas dimana setiap tatanan masih mempertahankan karakteristiknya, sedangkan fusi menghasilkan tatanan baru dengan karakteristik yang baru pula karena setiap tatanan yang bergabung dan lebur ke dalam tatanan baru tersebut (Amien, 1999). Pengelolaan sumberdaya dari sudut pandang tatanan, menitik beratkan pada interkoneksitas yang terjadi diantara komponen yang ada. Amien (2003b) mengemukakan: "kita tidak akan banyak memperhatikan keberadaan kelompokkelompok masyarakat, tetapi pada interkoneksitas yang tercipta antara kelompok-kelompok itu yang antara lain diukur apakah ada sumberdaya dan atau fitur baru yang tercipta akibat keterhubungan itu, misalnya dalam bentuk pengembangan dan peningkatan kualitas social capital. lnterkoneksitas tatanan dengan lingkungannya juga menjadi pokok analisis, yaitu apakah interkoneksitas tersebut memberikan sesuatu kepada tatanan, baik dalam arti positif maupun negatir.
Modal sosial merupakan sumberdaya baru dalam tatanan yang mempunyai sifat yang berbeda dengan sumberdaya lainnya. Inti dari
15
modal sosial adalah interkoneksitas. Secara umum, · modal sosial dikategorikan dalam dua kelompok yaitu: Pertama, modal sosial yang menekankan pada jaringan hubungan sosial (network). Modal sosial ditentukan oleh jaringan sosial yang diikat antara lain oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, dan kesamaan nilai serta saling mendukung.
Kedua,
modal sosial yang menekankan pada
karakteristik (traits) yang.melekat pada diri individu manusia yang terlibat dalam interaksi sosial sebagaimana dijelaskan oleh Fukuyama sebagai "kemampuan orang untuk bekerja sama untuk satu tujuan bersama di dalam grup dan organisasi (Ancok, 2003). Pemilihan tatanan sebagai konsep dasar bagi pelaksanaan pembangunan, dilakukan dengan mengacu kepada pemikiran-pemikiran sebagai berikut: lnterkoneksitas adalah kata kunci untuk memahami setiap realitas atau fenomena alam yang terjadi dalam semesta. Kehidupan sebagai suatu jaringan yang saling terkait merupakan kesadaran baru di kalangan ilmuan. lnterkoneksitas antara partikel pada level sub atomik misalnya, memperlihatkan perilaku yang samasekali bukan merupakan kombinasi dari partikel-partikelnya dan bahkan sama sekali tidak menampilkan fenomena tentang keberadaan partikelnya. Kondisi seperti ini dapat dianalogikan sebagai tampilan tarian tanpa adanya penari, atapun alunan lagu yang merdu tanpa adanya penyanyi. Model mikro kosmos ini analog dengan perilaku kelompok atau organisasi, yang juga bukan merupakan
16
hasil kumpulan atau kombinasi perilaku individu-individunya (Amien, 2003b).
Mengacu pada konsepsi ini, maka penyelenggaraan pembangunan yang berbasis pada tatanan pada saat ini menjadi lebih realistis dan masih berada dalam jalur pemahaman kolektivisme yang menjadi way of life sebagian
besar
masyarakat
Indonesia.
Pengembangan
konsep
pembangunan yang hanya menekankan kepada pembangunan manusia sebagai individu, dirasakan sarat dengan semangat individualistis dan masih bernuansa pendapat Laplace yang dijabarkannya dari filsafat Descartes bahwa pengembangan lptek diperlukan agar manusia bisa mengendalikan dab memanfaatkan alam semesta. Model tatanan melibatkan atau bernuansa kepercayaan dan kecintaan pada Sang Pencipta sesuai dengan nilai-nilai religus Indonesia, dan
yang
sejalan
dengan
semangat spiritualisme
yang
semakin
berkembang dan semakin dianut oleh masyarakat luas diberbagai belahan dunia ini yang dikenal dengan konsepsi pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Model tatanan akan menghindarkan eksploitasi yang berlebihan atau semena- semena terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, karena ekploitasi dimaksud hanya dilaksanakan sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakatnya. Dengan demikian, upaya pembangunan yang diselenggarakan dengan mengacu kepada konsepsi ini akan sarat dengan nuansa-nuasa lingkungan hidup yang merupakan salah satu
17
syarat utama bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan seperti dikemukakan di atas. Pengukuran
terhadap
kualitas
tatanan
dilakukan
dengan
memperhatikan tiga kriteria atau indikator berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Amien (2003b) yaitu Pertama, adalah tatanan yang mampu memberikan keadilan kepada semua komponen pembentuknya. Kedua,
adalah
tatanan
yang
mampu
meningkatkan
kualitas
interkoneksitas yang telah ada dan mengembangkan interkoneksitas baru yang dapat menghasilkan sumberdaya dan atau fitur baru. Ketiga, adalah memiliki kapasitas swatata yang besar. C. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Wilayah pesisir mempunyai nilai yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup manusia. Budimawan (2003: 6) mengefllukakan bahwa walaupun wilayah pesisir ini hanya mencakup 8% dari luas seluruh muka bumi, tetapi menyumbang kira-kira 25% dari produksi biologis global. Nilai ini relatif besar dibandingkan dengan daratan yang luasnya 27% dari luas muka bumi dan hanya menyumbang produksi sebesar 41%. Sedangkan wilayah laut terbuka, luasnya sebesar 65% dari total luas bumi, tetapi produksi biologisnya hanya 33% dari total produksi biologis dunia. Menurut Amien (2001 : 8) wilayah pesisir didefinisikan sebagai: "bentang wilayah yang terdiri atas dataran pantai dan perairan pantai. Dataran pantai dianggap sebagai bagian dari kawasan pesisir, mengingat bahwa kondisi wilayah ini selain masih sangat
18
dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi di laut, juga aktivitas di wilayah ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap kondisi wilayah perairan pantai".
Luas
dataran
pantai
wilayah
pesisir
tergantung
pada
kelandaiannya, bisa hanya beberapa meter, tetapi dapat saja mencapai belasan atau puluhan kilometer, tergantung sejauh mana wilayah tersebut dipengaruhi oleh air laut. Sedangkan untuk perairan pantai sampai saat ini belum ada batasan
yang jelas. Walaupun demikian terdapat
kesepakatan diantara pakar kelautan dengan mendefinisikan wilayah perairan pantai sebagai bagian wilayah laut yang masih menerima pengaruh dari daratan (Amien, 2001). Pengelolaan sumberdaya pesisir pada dasarnya telah lama dilakukan terutama untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, namun pola pengelolaan peningkatan
yang
dilakukan selama
kesejahtraan
mengemukakan
bahwa
ini tidak berdampak kepada
masyarakat.
Budimawan
masyarakat Indonesia telah
(2003:
2)
memanfaatkan
sumberdaya pesisir dan laut, walaupun belum memberikan manfaat yang signifikan bagi perbaikan perekonomian masyarakat pesisir itu sendiri, khususnya nelayan. Fakta ini sangat ironis karena di satu sisi sumberdaya pesisir dinilai cukup menjanjikan, namun di sisi lain masyarakat pesisir •,
sebagai pengguna utama, masih termarginalisasi baik
~ecara
sosial,
budaya maupun ekonomi. Berdasarkan perspektif sains baru, pembangunan suatu wilayah harus dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kelestarian
19
sumberdaya alam dan lingkungan, pada saat yang sama mampu berdampak kepada peningkatan kesejahtraan masyarakat yang berada pada wilayah tersebut. Kaidah yang digunakaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir sebagaimana dikemukakan Amien (2003b: 275) bahwa pengelolaan sumberdaya yang dilakukan tidak boleh mengurangi peluang tatanan dimana ia dihasilkan untuk membangun dirinya. Hal ini berarti setiap kegiatan eksploitasi yang dilakukan terhadap sumberdaya yang dimiliki tatanan, harus dikompensasi dengan pemberian sumberdaya lain atau dibarengi dengan pelaksanaan kegiatan konservasi terhadap sumberdaya tersebut atau sumberdaya lain yang ada dalamltatanan. Hal ini sangat penting dalam mengatasi dampak negatif dari kegiatan yang dilakukan. Wilayah pesisir, secara garis besar memiliki ekosistem alamiah yang dibedakan atas ekosistem terumbu karang (coral reefs). hutan bakau (mangrove), padang lamun (seaggras beds). dan estuaria.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem khas wilayah pesisir yang dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis. Meskipun terumbu karang ditemukan di seluruh perairan dunia, tetapi hanya di daerah tropis terumbu karang dapat berkembang dengan baik. Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan Zooxantellae, dan
20
sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisrne lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1982). Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut, yang dapat terbentuk pada pantai karang, pada pantai koral yang mato yang diatasnya ditimbuni selaput tipis pasir atau ditimbuni lumpur atau juga pantai berlumpur. Zonasi mangrove bergantung pada kondisi tanah tempat tumbuhnya (Amien, 2001: 128).
Sedangkan
Retraubun (2002: 10) mengemukakan bahwa: "hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur''. Beberapa produk perikanan yang mempunyai hubungan erat dengan ekosistem mangrove adalah udang (Penaeus), kepiting bakau (Scilla serrata), dan tiram (Crassostrea). Lokasi dan potensi produksi
perikanan udang di Indonesia mempunyai kaitan erat dengan lokasi serta luas hutan mangrove di dekatnya.
Selain udang, beberapa jenis ikan
komersial juga mempunyai kaitan erat dengan mangrove misalnya ikan bandeng dan belanak. Disamping itu fungsi lain dari hutan mangrove adalah melindungi garis pantai dari erosi. Akar-akarnya yang kokoh dapat meredam penagruh gelombang. Selain itu akar-akar mangrove dapat pula menahan lumpur hingga lahan mangrove dapat semakin luas tumbuh ke luar,
mempercepat
terbentuknya
"tanah
timbul".
Sebagai
contoh
penambahan lahan di hilir Sungai Musi, Palembang yang dulu berada di
21
tepi pantai, pada saat ini berjarak 80 km dari pantai. Dilaporkan penambahan lahan di daerah ini kurang lebih 120 rnltahun (Nontji, 1993). Padang lamun (sea grass beds) terdapat pada perairan dangkal, dengan substrat yang lunak dan perairan yang cerah. Pada daerah ini hidup bermacam-macam biota laut seperti crustacea, molusca, cacing, dan ikan.
Secara ekologis, padang lamun memiliki beberapa fungsi
penting bagi daerah pesisir yaitu: sumber utama produktivitas primer; sumber makanan penting bagi organisme (dalam bentuk detritus); menstabilkan dasar yang kuat dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; tempat berlindungnya organisme; tempat pembesaran bagi
beberapa spesies yang
menghabiskan masa dewasanya di
lingkungan ini, misalnya udang dan ikan baronang; sebagai peredam arus sehingga menjadikan perairan di sekitarnya tenang; sebagai tudung pelindung dari panas matahari yang kuat bagi penghuninya (Nybakken, 1982). Ekosistem estuaria adalah teluk di pesisir yang sebagian tertutup, tempat air tawar dan air laut bertemu dan bercampur. Kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat berlumpur. Substrat berlumpur ini merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Diantara partikel yang mengendap di estuaria kebanyakan bersifat organik. Akibatnya substrat ini kaya akan bahan organik, yang menjadi cadangan makanan yang besar bagi organisme estuaria (Dahuri, 2001).
22
Ada tiga komponen fauna di estuaria yaitu fauna lautan, air tawar, dan payau. Komponen fauna yang terbesar didominasi oleh fauna lautan, yaitu hewan stenohaline yang terbatas kemampuannya dalam mentolerir perubahan salinitas yaitu hanya mampu mentolerir sampai 30 permil dan hewan eurihaline, hewan ini khas laut karena mampu mentolerir penurunan salinitas hingga di bawah 30 permil. Komponen air payau terdlri dari spesies yang hidup di pertengahan daerah estuaria pada salinitas antara 5 permil sampai 30 permil. Spesies ini tidak ditemukan hidup pada perairan laut maupun tawar (Nybakken, 1982). D. Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir merupakan sekelompok orang yang hidup dan saling berinteraksi dalam melakukan pengelolaan sumberdaya yang ada di sekitar mereka. Mattulada (1997) mengemukakan bahwa masyarakat pesisir adalah sekelompok manusia yang hidup bekerja sama di suatu daerah pesisir pantai dan mempunyai mata pencaharian pokok sebagai penangkap ikan dan hasil laut lainnya disebut nelayan. Nelayan dalam melakukan penangkapan ikan bergantung pada kemudahan bersama karena tempat usahanya tergolong liar, berpindah-pindah, dan ikan yang ditangkap berkembang secara alamiah. Masyarakat pesisir memanfaatkan sumberdaya alam dengan mengorganisasikan diri mereka dalam kelompok-kelompok sosial ekonomi yang dikenal dengan ikatan punggawa-sawi, baik itu untuk kegiatan penangkapan ikan maupun untuk kegiatan budidaya tambak. Sallatang
23
(1982) berpandangan bahwa dalam komonitas masyarakat pesisir khususnya di Sulawesi Selatan, terdapat kelompok nelayan yang terdiri atas Punggawa dan Sawi. Kelembagaan ini memiliki ikatan ekonomi dan sosial yang sangat kuat. Ciri patron-klien dalam kehidupan masyarakat nelayan menjadi ciri tersendiri di dalam komunitasnya. Secara struktural punggawa terdiri atas dua kelompok yaitu: (1) Punggawa besar, berkewajiban
mengorganisir
anggotanya,
menyediakan
modal,
memasarkan produksi ikan, dan melakukan pembagian hasil; (2) Punggawa kecil, berkewajiban membantu punggawa besar terutama dalam pelaksanaan operasi penangkapan ikan yang dipimpinnya secara langsung; (3) Sawi, berkewajiban mentaati punggawa terutama dalam mendukung dan melaksanakan operasi penangkapan ikan.
Untuk
keperluan itu menjadi kewajiban punggawa membimbing, menuntun, dan mengarahkan para sawi dalam upaya peningkatan pengetahuan dan ketarampilannya. Kelompok-kelompok sosial itulah yang menjadi unsur dasar yang melahirkan eksistensi masyarakat pesisir. Didalam kelompok-kelompok tersebut masyarakat melakukan interaksi berdasarkan norma dan aturan yang telah disepakati untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Umumnya masyarakat nelayan masih hidup dalam kemiskinan dengan berbagai keterbatasan, baik keterbatasan ekonomi, sosial, dan politik. Suhendra (1999: 147) merumuskan penyebab kemiskinan nelayan sebagai berikut:
24
"kemiskinan yang dialami oleh nelayan tradisional saat ini mempunyai hubungan dengan sistem pengelolaan negara yang begitu otoriter dan sifatnya yang militeristik oleh rejim Orde Baru". Menghadapai berbagai keterbatasan yang menyertai kehidupan mereka, umumnya masyarakat nelayan melakukan penyesuaian dengan perkembangan lingkungan. Bentuk penyesuaian yang dilakukan berupa diversifikasi usaha di luar kenelayanan, seperti menjadi tukang becak, buruh bangunan, buruh tani. Penyesuaian lain yang dilakukan nelayan adalah
penggunaan
bahan
kimia
atau
peledak
d~lam
kegiatan
penangkapan ikan, yang dampaknya sangat merusak habitat ikan dan kerusakan
fungsi
lingkungan
laut.
Penangkapan
ikan
dengan
menggunakan bahan peledak dan zat kimia ini jelas mempakan jalan pintas dari reaksi ketidakberdayaan menghadapi nelayan yang lebih maju alat tangkapnya. E. Kapasitas Swatata
Setiap masyarakat lokal pada dasarnya memiliki tingkat dan isi kapabilitas struktural-fungsional, yang didalamnya terkandung potensi sekaligus pembatas dari pembangunan.
Tingkat dan isi kapabilitas
fungsional sebuah masyarakat lokal ditentukan oleh kemampuan swatata dari masyarakat tersebut. Kapasitas swatata yang dimiliki oleh tatanan masyarakat menjadi faktor penentu apakah suatu tatanan mampu mewujudkan
peluang
bagi
upaya
mempertahankan
atau
bahkan
meningkatkan kualitas keberadaannya dari gelombang probabilitas yang dibawa oleh perubahan lingkungan strategisnya (Amien, 2003b).
25
Lebih lanjut dikemukakan bahwa unsur-unsur dari kapasitas swatata adalah: kualitas identitas diri (terkait dengan visi/misi dan nilai/norma), keragaman dan diversitas (terkait dengan kemampuan menyelaraskan keragaman eksternal dengan keragaman internal) dan kesadaran berevolusi (kesadaran diri sebagai bagian tak terpisahkan dari semesta sehingga keikutan berevolusi adalah keniscayaan). Kemampuan pengorganisasian diri tersebut berwujud kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan sosial eksternal melalui reorganisasi interaksi sumberdaya, organisasi dan norma-norma. Dalam bentuk kongkritnya, kemampuan pengorganisasian diri ini dapat dilihat dalam bagaimana aksi kolektif dan organisasi sosial mendapatkan, memobilisasi dan mengelola sumberdaya serta mereinvestasi surplusnya. Untuk mendapatkan pemahaman konkrit tentang hal ini, sangat penting untuk menganalisis setiap aksi kolektif dan organisasi sosial dalam aspek tiga unsur pembangunan (R-0-N), unit sosiogeografisnya, hubungan internal dan eksternalnya, dinamika historisnya, dan sebagainya (PSKMP, 2002).
Pemerintah sebagai suatu sistem administrasi lokal merupakan suatu kekuatan utama dalam membantu sistem komunitas lokal guna memenuhi tiga elemen pembangunan. Ketiga elemen pembangunan ini sangat perlu dalam
mel~takkan
suatu dasar bagi sebuah pembangunan
yang berkelanjutan, antara lain berupa: (1) aspek sumberdaya, unsur yang dikelola dalam pembangunan untuk memperkuat elemen-elemen
26
rumah tangga. Unsur-unsur ini berupa unsur fisik, manusia dan finansial; (2) aspek organisasi, unsur yang melakukan pengelolaan sejumlah sumber daya dalam rangka memperkuat elemen rumah tangga. Ada tiga ciri organisasi yaitu, pertama, dominasi, diperankan oleh organisasi pemerintah, kedua, persaingan, diperankan oleh organisasi swasta; dan ketiga, kerjasama (ko/aboras1), diperankan oleh organisasi masyarakat (civil society); 3). Aspek norma, sebagai prinsip dasar atau acuan bagi
organisasi dalam mengelola sumber daya.
Lebih lanjut dikemukakan
bahwa diantara ketiga unsur tersebut, organisasi berposisi sangat penting. Tanpa organisasi, sumberdaya yang ada tidak akan terkelola atau termanfaatkan.
Organisasilah yang berperan sebagai pelaku untuk
mengubah dan menyesuaikan hubungan keseimbangan diantara ketiga unsur saat berhadapan dengan sebuah kondisi atau situasi baru karena perubahan lingkungan (PSKMP, 2002). Ohama pembangunan
(2001) yang
secara
operasional
sangat fundamental
menjelaskan tiga
unsur
dalam kaitannya dengan
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yaitu sumberdaya, organisasi, dan norma. Aspek sumberdaya berupa penambahan sumberdaya pembangunan, dimana secara operasional membutuhkan persiapan untuk mendapatkan sumberdaya-sumberdaya penting,
berupa pendanaan,
informasi serta teknologi dan lain sebagainya, agar dapat dipergunakan dan
dimanfaatkan
untuk
mencapai
sasaran-sasaran
pembangunan yang diinginkan secara bersama.
dan
cita-cita
27
Aspek organisasi yang secara mendasar berupa komponenkomponen yang membutuhkan adanya/tidak adanya suatu mekanisme konsultasi dalam pengambilan keputusan, melengkapi seluruh organisasi dalam memperoleh sumberdaya, ada/tidak adanya dasar hukum yang sah dan ada/tidak adanya suatu mekanisme penyampaian penerimaan sumberdaya. Komponen-komponen penting inilah yang harus ada dalam kebutuhan aspek organisasi di dalam upaya mengelola sumberdaya yang tersedia untuk mencapai cita-cita dan sasaran pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir. Aspek organisasi ini terdiri dari instansi pemerintah, swasta dan masyarakat serta bagaimana peranannya dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya. Aspek norma merupakan tahap dasar yang sangat menentukan dan cukup berat serta cukup memakan waktu dan tenaga bagi pelaku pembangunan di wilayah pesisir, karena merupakan hal yang sifatnya abstrak yang berkaitan dengan sikap, perilaku dan pola pikir masyarakat. Membangun kesadaran kritis masyarakat agar mampu menemukenali dan mengatasi masalahnya dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, interaksi antara unsur sumberdaya, organisasi dan norma dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir menjadi sangat penting untuk memberikan arah pencapaian tujuan yang diinginkan. lnteraksi unsur-unsur tersebut, tidak harus terjadi secara terstruktur dan prosedural, tetapi sangat tergantung pada kondisi dan karakteristik masyarakat setempat.
28
F. Kerangka Pemikiran Masyarakat yang mendiami kawasan pesisir pantai merupakan sebuah tatanan dengan kelembagaan dan sistem kepercayaan yang beragam serta sumberdaya alam yang merupakan suatu kesatuan atau jaringan interkoneksitas yang kuat. Perwujudan dari setiap interkoneksitas yang ada disebut "tatanan"
0
Pola pengelolaan sumberdaya pesisir merupakan wujud dari interkoneksitas masyarakat dengan sumberdaya pesisir yang ada di lingkungan mereka melalui organisasi yang mereka bentuk sebagai pelaku dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup masyarakat berdasarkan norma-norma atau aturan yang mereka sepakati dan berlaku didalam tatanan masyarakat. Tatanan masyarakat merupakan interkoneksitas antar sumberdaya (R), organisasi (0), dan norma-norma (N), yang berlangsung dalam tatanano Di samping itu sebagai suatu sistem yang terbuka, tatanan 0
masyarakat juga
mempunyai
kemampuan
untuk
berinterkoneksitas
dengan tatanan lain yang berada diluar tatanan merekao lnterkoneksitas internal merupakan kemampuan tatanan untuk melakukan pengaturan kembali pola R-0-N yang ada dalam tatanan sehingga berdampak kepada peningkatan kualitas tatanan itu sendiri. Dalam hal ini dilihat dari kemampuan rumah tangga, aksi kolektif, organisasi ataupun kelompok yang ada dalam tatanan masyarakat, 0
melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya dalam rangka pemenuhan
29
kebutuhan masyarakat. Sedangkan interkoneksitas eksternal merupakan kemampuan tatanan masyarakat untuk mengintegrasikan unsur-unsur pembangunan yang berasal dari luar tatanan mereka (pemerintah dan LSM), ataupun tatanan lainnya di luar tatanan tersebut. Kemampuan untuk mensinergikan unsur-unsur pembangunan yang ada
di
dalam
tatanannya,
ataupun
mensinergikan
unsur-unsur
pembangunan tatanannya dengan unsur-unsur pembangunan yang berasal dari tatanan lain merupakan wujud dari kualitas kapasitas swatata tatanan tersebut.
Kapasitas swatata merupakan interkoneksitas R-0-N
murni yang berjalan dan berlangsung secara alami di dalam suatu tatanan. Dalam konteks ini, pelaku pembangunan adalah tatanan· itu sendiri dalam arti seluruh manusia yang ada dalam tatanan dengan melakukan perubahan
dan
penyesuaian
terhadap
struktur
tatanan
untuk
menyesuaikannya dengan tuntutan perubahan di luar tatanan yang ada. Proses ini berlangsung secara alami, dan bukan hasil dari sebuah skenario yang disusun oleh pihak yang berasal dari luar tatanan. Sedangkan pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai upaya untuk menihgkatkan kualitas t~tanan dalam arti peningkatan kapasitas tatanan agar senantiasa mampu beradaftasi secara kreatif terhadap perubahan lingkungan , sehingga dapat menciptakan peluang dari proses perubahan tersebut.
Pihak luar hanya mempasilitasi penghantaran unsur-unsur
30
pembangunan
yang
dibutuhkan
oleh
masyarakat
dengan
melihat
kemampuan dan kapasitas pengorganisasian diri tatanan masyarakat.
Pola Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Interkoneksitas Internal
Unsur Pembangunan
lnterkoneksitas Eksternal
• Rumah Tangga • Kelompok
• Sumberdaya • Organisasi • Norma
•Pemerintah • LSM • Swasta
Tatanan Masyarakat Lokal
Kapasitas Swatata
Gambar 1.
Kerangka Pikir Penelitian Analisis lnterkoneksitas Antar Unsur Pembangunan Studi Kasus: Kelurahan Tekolabbua Kecamatan Pangkajene Kabupaten Pangkep
BAB Ill
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada, maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach) dengan jenis penelitian studi kasus (case study). Unit analisis yang digunakan adalah tatanan masyarakat Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep. Pendekatan kualitatif dipilih karena tujuan penelitian ini lebih pada pengungkapan proses dan makna. Yin (2003:1) menjelaskan bahwa secara umum studi kasus dimulai dengan tipe pertanyaan "bagaimana" dan "mengapa", bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan (:>ilamana fokus penelitian terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata.
B. Pemanfaatan Peran sebagai Peneliti Dalam melakukan penelitian, peneliti berperan sebagai instrumen penelitian,
dan
keberadan
peneliti
dalam
pelaksanaan
kegiatan
wawancara dan observasi diketahui dan dikenal oleh informan. Peneliti dalam melakukan wawancara, berusaha agar responden lebih terbuka dan lelauasa dalam memberi informasi atau data, untuk
32
mengemukakan
pengetahuan
dan
pengalamannya,
terutama
yang
berkaitan dengan informasi sebagai jawaban terhadap permasalahan penelitian, sehingga terjadi semacam diskusi, obrolan santai, spontanitas (alamiah) dengan subjek penelitian sebagai pemecah masalah dan peneliti sebagai pemancing timbulnya permasalahan agar muncul wacana yang detail. C. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian yaitu di wilayah pesisir Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep.
Kelurahan Tekolabbua
terletak di sepanjang pesisir Pantai Barat Sulawesi Selatan dengan batasbatas: sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Mappasaile, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Maras, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Liukang Tupabbiring, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Anrong Appaka. Pemilihan
Kelurahan
Tekolabbua
sebagai
lokasi
penelitian
merupakan hasil dari suatu penjajagan, dengan alasan bahwa di kelur~han tersebut terdapat sejumlah warga masyarakat yang selain
melakukan aktivitas utama mereka sebagai petani tambak dan nelayan, mereke juga melakukan kegiatan pemarifaatan ekosistem mangrove, serta terdesaknya pengelolaan budidaya sawah dleh budidaya tarhbak.
33
D. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. 1. Data primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya (lokasi penelitian) melalui wawancara dan observasi. Data primer yang dikumpulkan meliputi: bentuk sumberdaya, organisasi, dan norma dalam setiap pengelolaan sumberdaya yaitu budidaya sawah, budidaya tambak, perikanan tangkap, pengelolaan hasil perikanan(PHP), dan penanaman dan pemeliharaan mangrove. Sumber
data
berasal
dari
masyarakat,
tokoh
masyarakat,
pemerintah setempat, aparat instansi terkait, LSM, dan informan kunci. Penentuan jumlah responden dilakukan dengan menggunakan teknik snow-ball, yakni penggalian data melalui wawancara mendalam dari satu responden ke responden lainnya dan seterusnya sampai peneliti tidak menemukan informasi baru lagi, jenuh, informasi "tidak berkualitas" lagi (Hamidi, 2004: 75). Pengumpulan informasi dilakukan dari informan awal atau informan kunci dan seterusnya kepada informan atau responden lainnya dan seterusnya sampai peneliti tidak lagi menemukan informasi baru.
34
2. Data sekunder Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang sudah ada.
Selain itu data sekunder juga bersumber dari
dokumentasi instansi/lembaga terkait, literatur, karya ilmiah, dokumendokumen lainnya, seperti : a) Data tentang lokasi penelitian, baik mengenai kondisi geografis, kedaan penduduk, serta aspek-aspek lain yang menyangkut kondisi dan wilayah penelitian. b) Kebijakan pendukung kelembagaan masyarakat, dokumendokumen yang berhubungan dengan program dan proyek yang ada, seperti laporan pelaksanaan kegiatan atau proyek. E. Prosedur Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini, maka dilakukan prosedur pengumpulan data melalui beberapa metode yaitu : 1. Studi dokumen, dilakukan dengan mengumpulkan data dari dokumen penting berupa arsif/profil lembaga atau kelompok yang berkaitan dengan tatanan masyarakat yang sedang diteliti. 2. Wawancara mendalam (in depth interview), yang dilakukan secara langsung berhadapan atau bertatap muka dengan subjeklinforman secara intensif dengan maksud mendapatkan gambaran lengkap tentang topik yang diteliti.
35
3. Observasi, yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap kegiatan yang
dilakukan
terkait
dengan
pengelolaan
sumberdaya
yang
dilakukan di dalam tatanan.
F~ Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini analisa data dilakukan secara analisis deskriptif kualitatif (qualitative-descriptive analysis), dengan alur kegiatan berupa: 1. Reduksi data. Data yang diperoleh di lapangan (catatan lapangan) disederhanakan ke dalam laporan lapangan. Dengan rencana ini kemudian ditonjolkan pokok-pokok yang penting sehingga mudah dalam
memberikan
gambaran
tentang
hasil
wawancara
dan
pengamatan. 2. Display data dan analisis.
lni dilakukan dalam bentuk matriks
dengan maksud untuk melihat hubungan dan keterkaitan antara unsur pembangunan yaitu sumberdaya, organisasi, dan norma yang ada dalam tatanan masyarakat. 3. Penarikan
kesimpulan.
sumberdaya,
organisasi,
sumberdaya
yang
Setelah dan
dilakukan
mengkaji
keterkaitan
norma dalam setiap dalam
kesimpulan berdasarkan hasil penelitian.
tatanan,
antara
pengelolaan
kemudian
ditarik
36
G. Pengecekan Validitas Temuan Pengujian keabsahan data yang telah dikumpulkan dilakukan melalui teknik trianggulasi antar-sumber data, antar-teknik pengumpulan data dan antar-pengumpul data yaitu: 1. Trianggulasi metode, yaitu data yang berasal dari hasil wawancara diuji dengan data hasil observasi dan seterusnya. 2. Trianggulasi sumber,
informasi yang diperoleh salah seorang
responden, perlu diuji dengan informasi yang diperoleh dari responden lainnya. 3. Trianggulasi situasi, bagaimana penuturan responden jika dalam keadaan ada orang lain dibandingkan dengan dalam keadaan send irian. 4. Trianggulasi teori, yaitu apakah ada keterkaitan penjelasan dan analisis atau tidak antara satu teori dengan teori lain terhadap hasil peneli.tian. Jika dalam pemeriksaan yang dilakukan sebagaimana disebutkan di atas ternyata tidak sama jawaban responden atau ada perbedaan data atau
informasi yang
ditemukan,
peneliti akan
melakukan pemeriksaan lebih lanjut, sehingga dikeatahui informasi yang mana yang benar. H. Tahap dan Jadwal Penelitian Pelaksanaan kegiatan penelitian mulai dari tahap persiapan hingga sidang komisi tesis membutuhkan waktu kurang lebih empat bulan mulai
37
bulan Mei 2005 sampai dengan bulan Agustus 2005 dengan tahapan kegiatan sebagaimana terlihat pada Tabel1. Tabel1.
No 1.
2.
3.
4. 5. 6.
Jadwal Persiapan dan Aktivitas Penelitian
Aktivitas Persiapan a. Studi pustaka dan penjajakan lapangan b. Penulisan proposal c. Konsultasi proposal d. Seminar proposal e. Revisi proposal Pengumpulan data, anal isis dan data konsultasi Penulisan laporan Bab Ill, IV, dan konsultasi Seminar hasil Perbaikan hasil seminar Sidang komisi tesis
Juni Juli Mei A_g__ustus 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 X
X
X X
X X X X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X
X X
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Sejarah Singkat Kelurahan Tekolabbua Kelurahan Tekolabbua menjadi kelurahan definitif relatif masih baru yaitu pada tahun 1995. Sejarah perkembangan terbentuknya kelurahan ini pada awalnya merupakan lingkungan yang termasuk dalam wilayah administratif
Kelurahan
Jagong.
Selanjutnya
pada
tahun
1988,
Lingkungan Tekolabbua masuk wilayah administratif Kelurahan Anrong Appaka sampai akhir tahun 1991. Melihat kompleksnya
perkembangan aktivitas
dan
jumlah
penduduk
permasalahan
dan
semakin
masyarakat,
terutama
menyangkut administrsi pemerintahan, serta aspirasi dari tokoh-tokoh masyarakat yang ada, maka pada awal tahun Tekolabbua
ditingkatkan
statusnya
menjadi
1992, Lingkungan
Kelurahan
Persiapan
Tekolabbua, dengan cakupan wilayah meliputi dua lingkungan yaitu (1) Lingkungan Bantilang, meliputi Rukun Warga (RW) I Bantilang, dengan 3 Rukun Tetangga (RT), dan RW II Tekota'lappa dengan 3 RT; (2) Lingkungan Toli-Toli, melipu'ti·.RW Ill Lomboka dengan 3 RT, RW IV ToliToli dengan 3RT, dan RK V Pandang Lau dengan 2 RT.
39
RW V Pandang Lau, merupakan wilayah yang terpisah oleh sungai, pada awalnya merupakan bagian dari Lingkungan Paccellang, Kelurahan Among Appaka, namun berdasarkan kesepakatan agar persyaratan administratif dapat terpenuhi, maka wilayah Pandang Lau masuk ke dalam wilayah Kelurahan Persiapan Tekolabbua.
2. Keadaan Fisik Wilayah Kelurahan Tekolabbua merupakan salah satu kelurahan dari 9 kelurahan yang ada di Kecamatan Pangkajene, dengan luas wilayah 832 ha, dan batas wilayah yaitu: •
Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Mappasaile.
•
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros.
•
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Liukang Tupabbiring.
•
Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Among Appaka. Kelurahan Tekolabbua dilintasi jalan yang arahnya mengikuti alur
sungai Pangkajene sampai percabangan sungai yang memisahkan wilayah Pandang Lau. Jalan tersebut merupakan jalan kabupaten dengan panjang kurang lebih 6 km, merupakan jalur lalu lintas utama yang menghubungkan wilayah tersebut dengan ibukota kecamatan dan kabupaten.
Jarak dengan ibukota kecamatan, adalah 3 km, dan ke
lbukota kabupaten berjarak 4 km, sedangkan ke Kota Makassar berjarak
55 km. Wilayah Kelurahan Tekolabbua merupakan kelurahan pantai yang didominasi kawasan pertambakan dan hutan mangrove. Luas areal
40
pertambakan dengan luas 565,60 Ha atau 67,98 persen, diikuti hutan mangrove dengan luas 96,47 Ha atau 11,59 persen, permukiman dengan luas 72,60 Ha atau 8,73 persen, tanah pekarangan 1,08 persen, persawahan 0,60 persen, bangunan umum 0,15 persen, pekuburan umum 0,05 persen, dan areallainnya sebesar 9,82 persen. Topografi permukaan wilayah datar dengan ketinggian 1 meter di atas permukaan laut. Data mengenai luas lahan dan penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.
No.
Luas Lahan dan Penggunaannya di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, Tahun 2005. Penggunaan Lahan
1.
Pertambakan
2.
Luas Lahan (Ha)
Persentase
565,60
67,98
Hutan Mangrove
96,47
11,59
3.
Permukiman
72,60
8,73
4.
Persawahan
5,00
0,60
5.
Tanah Pekarangan
9,00
1,08
6.
Pekuburan Umum
0,40
0,05
7.
Bangunan Umum
1,24
0,15
8.
Lainnya
81,69
9,82
832,00
100,00
Jumlah
. Sumber : D1olah dan data pnmer dan sekunder, 2005
Areal pertambakan yang ada merupakan tambak tradisional yang dikelola dengan mengandalkan pengairan yang berasal dari sumur bor, kecuali untuk tambak-tambak yang berdekatan dengan sungai dan laut, memanfaatkan pasang-surut untuk pengairan tambaknya. Jenis komoditas yang banyak diusahakan oleh masyarakat adalah lkan Bandeng dan Udang Windu.
41
Kawasan hutan mangrove yang ada, berada disepanjang sisi sungai, serta kawasan pantai. Areal persawahan yang ada merupakan sawah tadah hujan yang pada musim kemarau dimanfaatkan dengan menanam sayuran dan palawija, sedang pada musim hujan ditanami padi lokal dengan produksi yang kurang maksimal, hal ini mendorong petani untuk mengkonversi sawah mereka menjadi tambak. Wilayah permukiman penduduk pada umumnya berada di sekitar jalan utama. Rumah-rumah cukup bervariasi antara rumah panggung yang umumnya terbuat dari kayu dengan rumah yang terbuat dari batu. Permukiman penduduk, saat ini telah menikmati aliran listrik, fasilitas air bersih, dan sambungan telpon. Jumlah penduduk di Kelurahan Tekolabbua berjumlah 2.280 Jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki 1.154 jiwa, perempuan 1.126 jiwa. lni berarti penduduk pria lebih banyak dibanding penduduk wanita.
Dari
jumlah tersebut, penduduk dengan kelompok umur diatas 40 tahun menduduki jumlah terbesar dengan persentase 21,67%. Data mengenai jumlah penduduk berdasarkan
kelompok umur, dapat kita lihat pada
Tabel3. Fasilitas
umum
yang
terdapat
di
Kelurahan
Tekolabbua,
~
diantaranya sarana peribadahan masyarakat yang seluruhnya beragama Islam, berupa masjid yang terdapat pada setiap RK. Fasilitas kesehatan yang tersedia berupa satu buah puskesmas pembantu, sedangkan untuk
42
kelancaran pelayanan administrasi pemerintahan, dilakukan pada kantor kelurahan berupa bangunan permanen dan terletak diRK II Tekolabbua. Tabel 3.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, Tahun 2004.
No
Kelompok Umur (tahun)
Jumlah
Persentase
1.
00-06
259
11,36
2.
07-12
249
10,92
3.
13-15
238
10,44
4.
16-18
222
9,74
5.
19-25
332
14,56
6.
26-40
486
21,32
7.
>40
494
21,67 100,00
2280 Sumber: Monografi Kelurahan Tekolabbua, 2004 Jumlah
Prasarana fisik ekonomi seperti warung yang ada di kelurahan dimiliki oleh sebagian masyarakat. lnstitusi seperti TPI yang sangat besar manfaatnya bagi kehidupan nelayan juga tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Di
Kelurahan
Tekolabbua
terdapat
perusahaan
yang
mengelolah produk perikanan berupa pengolahan Kepiting Rajungan untuk kepentingan ekspor sebanyak 2 perusahaan. Untuk Jebih jelasnya dapat kita lihat pada Tabel 4. Sarana pendidikan yang ada berupa tiga buah Sekolah Dasar Negeri (SON), yang terdapat pada RK I Bantilang, RK II Tekolabbua, dan RK IV Toli-Toli. Selain itu Madrasah lbtidaiyah (MI), dan Madrasah Tsanawiyah
(MTs.)
juga
terdapat
di
RK
II
Tekolabbua
dengan
43
memanfaatkan satu gedung untuk pemakaian bersama. Data mengenai jumlah gedung, guru, dan murid yang ada, dapat kita lihat pada Tabel 5. Tabel4.
Jenis dan jumlah Fasilitas dan Pusat Pelayanan di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, Tahun 2004. Fasilitas dan Pusat Pelayanan
Jenis
No.
Jumlah
Lokasi
Kantor Kelurahan
1
RW Ill
Tempat Pendaratan lkan
1
RW Ill
Puskesmas Pembantu
1
RW II
Masjid
5
Masing-masing RW
Toko, Kios dan Warung
35
Tersebar tiap RW
Pengolahan Hasil Perikanan
2
RW Ill dan RW V
Pos Ronda
3
RW I, Ill, dan IV
Sumber: Monografi Kelurahan Tekolabbua, 2004 Tabel 5.
No.
Jumlah Gedung, Guru, dan Murid di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, Tahun 2004.
Jenjang Pendidikan
Gedung
Guru
Murid
1.
Sekolah Dasar
4
32
720
2.
Madrasah lbtidaiyah
1
1
21
3.
Madrasah Tsanawiyah
1
-
-
Jumlah
6 33 Sumber: Monografi Kelurahan Tekolabbua, 2004
741
3. Keadaan Sosial Ekonom i Mata pencaharian yang dominan di kelurahan Tekolabbua adalah nelayan dengan jumlah 362 orang atau 56,12 persen, diikuti oleh pegawai (negeri dan swasta) berjumlah 113 atau 17,52 persen, petani (sawah dan
44
tambak)
berjumlah
112
orang
atau
17,36
pedagang/wiraswasta sebanyak 38 orang atau pekerjaan
lainnya
sebanyak
3,10
persen.
persen,
kemudian
5,89 persen, dan
Data
mengenai
mata
pencaharian penduduk di Kelurahan Tekolabbua, dapat kita lihat pada Tabel6. Tabel 6.
No
Mata Pencaharian Penduduk di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, Tahun 2004. Mata Pencaharian
Jumlah
Persentase
Nelayan
362
56,12
Petani (sawah dan tambak)
112
17,36
38
5,89
Pegawai
113
17,52
Lain-Lain
20
3,10
645
100,00
Pedagang/Wiraswasta
Jumlah
Sumber: Monografi Kelurahan Tekolabbua, 2004 Unit penangkapan ikan pada dasarnya terdiri dari alat transpor dan alat tangkap. Alat transpor pada unit penangkapan ikan yang ada di Kelurahan Tekolabbua didominasi oleh jenis kapal motor Oolloro) dengan alat tangkap Jaring lnsang Tetap. Pemilik alat tangkap, yang terbesar di Kelurahan Tekolabbua yaitu Jaring insang tetap 69,35 persen, Bagang tancap 20,97 persen, Obor 4,03 persen, Sero 2,42 persen, serok 1,61 persen, dan Bagan perahu serta Tiku masing-masing 0,81 persen. Sedangkan penguasaan armada berupa Perahu tanpa motor sebanyak 15,74 persen dan Perahu motor sebesar 84,26 persen. Data mengenai
45
jenis alat tangkap dan armada penangkapan ikan dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Tabel 7.
Jenis Alat Tangkap Nelayan di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, Tahun 2005.
No
Jenis Armada dan Alat Tangkap
1.
Jumlah
Persentase
Jaring lnsang Tetap
86
62,77
2.
Bagang Tancap
26
18,98
3.
Sero
20
14,60
4.
Bagang Perahu
4
2,92
5.
Tiku
1
0,73
124
100,00
Jumlah
Sumber : D1olah dan data pnmer dan sekunder, 2005 Tabel8.
Jenis Armada Nelayan di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, Tahun 2005.
No
Jenis Armada dan Alat T angkap
1. 2.
Jumlah
Persentase
Perahu Tanpa Motor
17
15,74
Perahu Motor
91
84,26
108
100,00
Jumlah
Sumber : D1olah dan data pnmer dan sekunder, 2005 Pengoperasian jaring insang tetap atau oleh masyarakat dikenal sebagai "puka" (dibedakan atas puka kepiting dan puka ikan), dilakukan dengan menggunakan perahu/katinting yang berukuran rata-rata 1 x 12 meter dengan kapasitas mesin 15 - 20 PK. Pada umumnya nelayan yang ada di Kelurahan Tekolabua melakukan kegiatan penangkapan ikan tidak jauh dari wilayah mereka tepat di muara sungai Pangkajene atau keluar 1 sampai 2 mil dari pantai.
46
Jenis ikan yang umum didapatkan oleh nelayan adalah udang, balanak, tembang, teri, dan rajungan. Pada umumnya hasil tangkapan nelayan di jual kepada pedagang perantara atau ke punggawa ikan, disamping untuk dikonsumsi sendiri Khusus untuk kepiting rajungan dijual kapda usaha pengolahan kepiting rajungan. Data yang pasti tentang besarnya pendapatan nelayan dalam satu bulan atau dalam satu hari, sangat sulit untuk didapat. Hal ini tergantung pada jumlah hasil tangkapan. Adakalahnya hari ini mereka memperoleh hasil yang lumayan dan adakalahnya mereka tidak memperoleh apa-apa. Dari hasil wawancara dan observasi lapangan yang dilakukan di lokasi penelitian didapatkan besarnya
pendapatan
nelayan di
Kelurahan
Tekolabbua berkisar antara Rp. 300.000 sampai Rp. 450.000. per bulan. 4. Keadaan Sosial Budaya Sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat pesisir Kelurahan Tekolabbua adalah sistem bilateral atau parental, yaitu mengakui kedua garis keturunan orang tua (bapak dan ibu), oleh karena itu setiap pekerjaan yang dilakukan bila membutuhkan tenaga kerja, maka terlebih dahulu mereka mencari dari kalangan keluarga. Demikian pula dalam melakukan aktivitas produksi, seperti perbaikan pematang, panen, dilakukan secara gotong royong diantara keluarga. Hubungan ini juga tergambar pada aktivitas lainnya, misalnya keharusan cara-cara perkawinan dalam keluarga, sehingga perkawinan yang berlaku adalah sistem endogami, dalam arti perkawinan dilakukan
47
dalam rumpun keluarga. Namun demikian, tidak jarang pula terjadi perkawinan diluar rumpun keluarga, perkawinan diluar suku atau orang yang sama sekali tidak seketurunan. Pada umunya masyarakat di Kelurahan Tekolabbua, beragama Islam. Ketaatan mereka memeluk Agama Islam diperlihatkan dengan banyaknya jamaah yang datang ke mesjid pada setiap pelaksanaan shalat lima waktu, terlebih lagi pada hari Jum'at. Demikian pula pada saat pelaksanaan
upacara-upacara
keagamaan
seperti
Maulid
Nabi
Muhammad SAW, pengajian-pengajian yang pelaksanaannya dipusatkan di mesjid. Walaupun demikian diberbagai hal, pada tingkah laku keseharian mereka, sering kali memperlihatkan perilaku-perilaku yang bersumber pada kepercayaan animisme. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan, sebahagian masyarakat tetap mempertahankan tradisi mereka berupa keprcayaan terhadap adanya kekuatan-kekuatan roh yang terdapat di pantai dan laut. Masyarakat memiliki tempat di sekitar muara sungai Pangkajene, yang dikenal dengan nama "toddo'e", yang sangat mereka sakralkan. Apabila masyarakat mempunyai hajat atau keinginan, mereka membawa barang hantaran atau "kappara" ketempat tersebut dengan berniat, apabila hajat atau keinginan mereka terpenuhi, maka mereka akan datang kembali untuk membawa tiang kayu ulin untuk ditenggelamkan di tempat tersebut atau dalam bentuk lain misalnya memotong kambing atau binatang lainnya. Dalam pelaksanaan tradisi tersebut biasanya disertai
48
dengan pembacaan mantera-mantera yang berdasarkan budaya lokalnya dan doa-doa keselamatan berdasarkan ajaran AI-Qur'an. Di samping itu, terdapat kebiasaan yang sangat umum dilakukan oleh masyarakat, terutama jika melakukan suatu kegiatan yang mereka anggap penting seperti perkawinan, sunatan, aqikah, memasuki rumah baru, mempunyai peralatan baru, dan sebagainya, kesemuanya harus diselamati melalui kegiatan yang mereka namakan "massuro baca" yang biasanya dipimpin oleh seorang imam yang dikenal dengan istilah "Guru Baca". Biasanya untuk meramaikan hajatan, dilakukan "barasanji" berupa pembacaan Kitab Barasanji yang merupakan sejarah kehidupan dan perjuangan Rasulullah Muhammad SAW.
B. Pengelolaan Sumberdaya Tatanan Sumberdaya alam pesisir Kelurahan Tekolabbua, dikelola oleh rumah tangga dengan cara yang beragam. Tindakan pengelolaan sumberdaya oleh rumah tangga dilakukan dengan melakukan interaksi diantara rumah tangga dengan rumah tangga lainnya secara kolektif ataupun berkelompok. Analisis dilakukan
terhadap
dengan
bentuk
pengelolaan
mendeskripsikan
sumberdaya
bagaimana
integrasi
tatanan unsur
sumberdaya (R), organisasi (0), dan Norma (N), pada setiap kurun waktu (dekade). Untuk memperoleh data tentang bentuk pengelolaan sumberdaya yang terdapat dalam tatanan pada setiap dekade, penulis melakukan
49
wawancara mendalam dengan beberapa tokoh masyarakat yang telah lama
menetap
perkembangan
di
lokasi
aktifitas
penelitian
masyarakat
dan dari
mengetahui awal
sampai
bagaimana sekarang.
Wawancara terutama ditujukan untuk mengungkap fakta-fakta atau fenomena yang terjadi pada setiap dekade.
1. Budidaya Sawah Ada dua jenis sawah yang dikenal oleh masyarakat yaitu "galung ce'la" dan "galung biasa". "Galung ce'la" merupakan sawah yang terletak dekat dengan pinggiran sungai, sedangkan "galung biasa" mempunyai letak yang cukup jauh dari pinggiran sungai. Menurut keterangan "Ars/55", dulu orang tuanya bekerja sebagai petani dan luas areal sawah yang ada pada tahun 60-an, tidak kurang dari 250 Ha, karena sawah yang ada pada saat itu luasnya mencapai pinggiran sungai, lebih luas jika dibandingkan dengan lahan tambak yang ada sekarang ini. Sawah yang ada, dari dulu sampai sekarang merupakan sawah tadah hujan. Untuk "galung ce'la" ditanami dengan padi jenis "lapang", sedangkan "galung biasa" ditanami dengan padi jenis Citarum, Cisadane, atau Banda. Produksi padi untuk "galung biasa" pada tahun 60-an bisa mencapai 3 ton, sedangkan untuk "galung ce'la" hanya 1 ton. "Ars" mengungkapkan bahwa: "untuk "galung biasa" dengan luas 40 Are, jumlah padi yang bisa dihasilkan mencapai 1.250 Kg".
50
Konversi sawah menjadi tambak mulai dilakukan pada tahun 70-an, terutama untuk "galung ce'la" yang produksinya kurang menguntungkan. Apalagi pada saat itu, masyarakat mulai mengenal budidaya udang windu, yang mampu memberikan keuntungan yang cukup besar bagi petambak. Akibat
konversi
lahan
yang
terus
dilakukan
oleh
petani,
mengakibatkan "galung biasa" yang dulu produksinya cukup tinggi, mengalami penurunan akibat keberadaan tambak yang terus meningkat. Keadaan ini diperparah dengan adanya serangan hama dan penyakit yang mulai dirasakan oleh petani pada awal tahun 90-an, dimana produksi padi menurun hingga dibawah 1 ton. Kondisi ini terus berlanjut, sampai sekarang. Luas sawah yang ada sampai tahun 2005, tinggal 5 Ha, untuk wilayah Kelurahan Tekolabbua. Dalam kegiatan budidaya sawah, dikenal sistem bagi hasil "bagi dua". "Ars" menjelaskan, dalam sistem ini pemilik sawah rnenyerahkan pengelolaan sawahnya kepada pekerja. Lahan untuk budidaya dibagi dua, dan masing-masing pekerja dan pemilik sawah mendapatkan satu bagian. Modal untuk pembelian bibit dan pupuk, di tanggung oleh pemilik sawah. Pada saat padi siap dipanen, apabila pemilik lahan rnenyerahkan bagiannya kepada pekerja untuk dipanenkan, maka hasil produksi berupa gabah dikenakan lagi upah kerja sebesar 20% atau setiap lima karung gabah dikeluarkan satu karung untuk ongkos kerja. Jadi secara keseluruhan,
pekerja
mendapatkan
dibandingkan dengan pemilik lahan.
hasil
yang
lebih
besar
jika
51
Disamping itu terdapat sistim kepemilikan dengan sistem "katenni" dimana pekerja meminjamkan sejumlah uang atau emas kepada pemilik sawah, dengan imbalan pekerja dapat mengelola sawah tersebut, sampai pemilik sawah mengembalikan uang atau emas yang dipinjamkan. Teknologi budidaya sawah yang dilakukan oleh masyarakat pada awalnya diperkenalkan oleh pemerintah melalui pelatihan yang diadakan oleh pemerintah pada tahun 60-an dengan mengikutsertakan masyarakat. "Ars" mengemukakan: "ada dua orang dari kampung sini yang mengikuti pelatihan selama dua hari yang diadakan di ibukota kabupaten. Kemudian mereka mengajarkan kepada masyarakat hasil yang mereka dapatkan".
Pada akhir tahun 70-an, pemerintah menyalurkan bantuan kepada petani berupa Kredit Usaha Tani, yang disalurkan dalam bentuk pengadaan pupuk dan dikembalikan dengan cara mengangsur dengan bunga kurang lebih 6 persen. Kredit ini tidak hanya dinikmati oleh petani, tapi juga oleh petambak. Karena banyak kredit yang menunggak dan tidak mampu untuk dikembalikan, maka sejak akhir awal tahun 80-an tidak ada lagi kredit yang disalurkan kepada petani dan petambak. Dalam pengelolaan budidaya sawah dan budidaya tambak yang dilakukan oleh masyarakat terdapat aksi kolektif dalam bentuk gotong royong. Kegiatan ini umumnya dilakukan pada saat persiapan lahan dan pada waktu panen. Masyarakat saling membantu melakukan persiapan lahan atau panen tanpa mendapatkan imbalan berupa materi. Biasanya pemilik lahan akan dengan sukarela menyiapkan konsumsi selama
52
pelaksanaan
kegiatan
berlangsung.
Kegiatan
ini
dilakukan
secara
bergiliran tergantung pada anggota masyarakat yang kebetulan sedang melakukan persiapan lahan atau panen. Kegiatan ini terutama terjadi pada anggota masyarakat yang memiliki hubungan kekeluargaan yang sangat de kat.
Tabel9. lntegrasi R-0-N dalam Dinamika Pengelolaan Budidaya Sawah Waktu No. 1. Tahun 1960-an
2.
Tahun 1970-an
3.
Tahun 1980-an
4.
Tahun 1990-an
5.
Tahun 2000-an
Resources - Lahan sawah lebih luas dari lahan tambak ± 250 Ha. - Galung ce'la - Galung biasa - Pupuk - Pestisida - Padi jenis Lapang, Cisadane, Citarum. - Galung ce'la - Galung biasa - Padi jenis Lapang, Cisadane, Citarum. - Galung biasa - Pupuk - Pestisida - Padi jenis Cisadane, Citarum, Banda - Galung biasa - Pupuk - Pestisida - Serangan hama dan penyakit - Lahan sawah tinggal 5 Ha.
Organization - Gotong royong - Rumah tangga - lkatan pemilik dengan pekerja
Norms - Produksi sekali setahun - Sistem "bagi dua" - Sistem "katenni"
- Rumah tangga - Gotong royong -lkatan pemilik dengan pekerja
- Produksi sekali setahun - Sistem "bagi dua" - Sistem "katenni"
- Rumah tangga - Gotong royong - lkatan pemilik dengan pekerja
- Produksi sekali setahun - Sistem "bagi dua" - Sistem "katenni" - Konversi lahan menjadi tambak - Produksi sekali setahun - Sistem "katenni" - Konversi lahan menjadi tambak - Produksi sekali setahun - Konversi lahan rnenjadi tambak
- Rumah tangga - Gotong royong
- Rumah tangga - Gotong royong -----
Sumber: Diolah dari data primer, 2005.
I '
54
2. Budidaya Tambak
Kegiatan budidaya tambak oleh masyarakat dikenal dengan istilah "ma'pangempang". Pada awal dekade tahun 60-an, luas tambak yang ada, tidak lebih dari 50 Ha. Petambak menebar bibit bandeng (nener) yang
diperoleh
tergantung
dari
penggelondong.
kemampuan
petambak.
Jumlah Menurut
nener yang "Hid/60",
ditebar biasanya
masyarakat menebar nener sebanyak 1.000 ekor untuk setiap hektarnya. Penebaran nener dilakukan sekali setahun, dan setelah penebaran tidak ada lagi perlakuan yang dilakukan hingga panen. Budidaya udang windu mulai dikenal masyarakat pada awal dekade
tahun
70-an
berdasarkan
informasi
dari
penggelondong.
Pemeliharaan bandeng kemudian dipadukan dengan udang dalam satu siklus pemeliharaan. Penggunaan pupuk untuk menyuburkan tambak dan pestisida untuk pemberantasan hama mulai dilakukan. Produktivitas tambak pada saat itu masih kecil. Untuk satu hektar tambak, rata-rata menghasilkan di bawah 1 ton. Harga udang pada saat itu berdasarkan informasi dari tenaga penyuluh perikanan "Asr/43" berkisar antara Rp. 25.000,- s/d Rp. 30.000,- untuk udang ukuran 30 ekor setiap kilogramnya. Pada akhir dekade tahun 80-an, peningkatan permintaan akan komoditi udang
mengakibat~an
peningkatan harga udang di pasaran.
Harga udang yang biasanya hanya berkisar Rp. 30.000,- meningkat
55
menjadi Rp. 50.000,-. Hal ini memberikan motivasi kepada masyarakat untuk meningkatkan hasil produksi udang mereka. Penggunaan pakan buatan untuk ikan dan udang, mulai dilakukan oleh
masyarakat
pada
awal
dekade
tahun
90-an.
"Gat/42"
mengungkapkan pada tahun 1993, melalui program Grateks II pemerintah dan masyarakat bekerjasama melakukan percontohan teknologi budidaya tambak
"tradisional
plus".
Dengan
teknologi
ini,
produksi
dapat
ditingkatkan hingga 3 ton untuk setiap hektarnya. Teknologi ini tetap dipertahankan masyarakat sampai sekarang. Pada
dekade
ini,
peningkatan
harga
udang
terus
terjadi.
Berdasarkan keterangan dari salah seorang tenaga penyuluh perikanan yang juga seorang petani tambak "Gat/42" bahwa: "harga udang paling tinggi terjadi pada tahun 1998 yaitu untuk udang size 30 dijual dengan harga Rp. 167.000,-".
Namun kondisi ini dibarengi dengan munculnya penyakit yang menyerang udang windu dan dikenal dengan nama virus monodon bacuolo virus (MBV), yang dapat menyebabkan kematian secara massal pada udang dalam waktu yang singkat. Berdasarkan keterangan "Gaf' penyakit udang mulai menyerang tambak masyarakat pada tahun 1996. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi hal ini. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep, pada tahun 2001 melakukan kerjasama dengan pihak Balai Penelitian Perikanan Pantai (Balitkanta) dan pada tahun 2003 dengan Tim Pengendalian Penyakit Udang telah mencoba melakukan penelitian guna
56
memecahkan permasalahan tersebut, namun sampai saat ini belum ditemukan solusi yang tepat untuk menanggulangi hal tersebut. Dalam pengelolaan budidaya tambak dilakukan melalui ikatan
"punggawa-sawl'. Keterkaitan antara ponggawa dengan sawinya, dapat dilihat dari mekanisme sistem bagi hasil yang berlaku. Walaupun sistem bagi hasil yang terjadi diatur berdasarkan kesepakatan yang mereka buat sebelum melakukan kegiatan, terdapat suatu aturan yang berlaku umum bahwa sistem bagi hasil yang ditetapkan berdasarkan besarnya peranan dalam pelaksanaan kegiatan. "Hid"
mengungkapkan
bahwa dalam ikatan
ponggawa-sawi,
ponggawa tambak mempunyai peran menyiapkan sarana dan prasarana untuk kegiatan
budidaya
selama
kegiatan
berlangsung,
mengatur
pembagian hasil, sedangkan sawi melaksanakan kegiatan budidaya atau produksi. Karena peranan adalah sumber pendapatan, maka orang yang mempunyai peranan yang banyak (punggawa), mendapatkan pendapatan yang lebih besar dalam sistem bagi hasil yang dilakukan. lnformasi yang didapatkan menunjukkan bahwa pada umumnya sistem bagi hasil yang banyak diterapkan di Kelurahan Tekolabbua adalah
Sistem Bagi Lima.
Keuntungan kotor yang didapatkan dalam kegiatan
produksi, diperkurangkan dengan biaya operasional yang dipergunakan selama kegiatan produksi
untuk mendapatkan keuntungan bersih.
Selanjutnya keuntungan bersih yang didapatkan dibagi menjadi lima bagian, dimana punggawa yang mempunyai peranan yang lebih besar
57
mendapatkan empat bagian sedangkan sawi hanya mendapatkan satu bag ian. Pendapatan seorang sawi banyak ditentukan oleh luas tambak yang dikelola serta tingkat keberhasilan kegiatan yang dilakukan. Semakin luas dan tinggi produksi tambaknya, maka semakin tinggi pula bagian pendapatan yang diterima oleh sawi. "Hfd/49" seorang sawi yang mengelola tambak selaus 1,5 Ha mengungkapkan: "Penghasilan yang didapat tergantung dari berapa penjualan ikan dan udang hasil panen. Selama ini hasil yang saya dapatkan cukup untuk menghidupi keluarga saya dan menyekolahkan anak. Biasanya dalam satu siklus, lamanya tiga sampai empat bulan, saya mendapatkan bagian dari hasil penjualan kurang lebih Rp. 1.500.000,-".
Pemasaran produksi tambak dilakukan dengan cara yang berbeda untuk ikan bandeng dan udang windu. Udang windu umumnya dijual kepada penimbang udang, yang selanjutnya dijual kepada kolektor atau langsung dibawa ke Makassar untuk dijual ke eksportir udang atau cold storage. Sedangkan ikan bandeng biasanya dibawa ke pasar atau TPI
dan diserahkan ke punggawa, yang selanjutnya dijual kepada pedagang pengecer dan pedangan perantara, seterusnya sampai ke konsumen. Mekanisme pemasaran produk ikan bandeng dan udang windu dapat kita lihat pada Gambar 2. Hal ini sangat berkaitan dengan sumber modal yang digunakan dalam kegiatan budidaya. Umumnya masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhan modal, terutama untuk pengadaan bibit, pupuk, dan pakan, mereka
meminjam
kepada
punggawa/penimbang
udang
atau
58
penggelondong. Pada saat panen hasil tambak berupa udang atau ikan yang didapatkan harus dijual kepada
pemberi pinjaman. lkatan ini
dilakukan tanpa adanya agunan atau dengan kata lain tercipta modal sosial
berupa
kepercayaan
dari
(trust)
ikatan
tersebut.
"Hid"
menambahkan, walaupun terdapat perbedaan harga dengan harga sebenarnya,
tapi
hal
ini
sangat
membantu
masyarakat
dalam
mempertahankan keberlangsungan usaha yang mereka lakukan.
Petambak
Udang Windu
,
v~~
lkan Bandeng
Pasar
Penimbang Udang
TPI
~/ .---
Punggawa
I--
•lr ~
Kolektor Pagandeng
Pengecer
•lr
Cold Storage
Konsumen
I+-
Gambar 2. Mekanisme pasar produk ikan bandeng dan udang windu.
Tabel 10. lntegrasi R-0-N dalam Dinamika Pengelolaan Budidaya Tambak Waktu No. 1. Tahun 1960-an
Organization Resources -Patron klien: punggawa-sawi, - Teknologi Budidaya bandeng penggelondong-petambak. dengan penebaran 1.000 ekor - Gotong royong. per hektar. - Pengadaan nener (bibit bandeng) melalui pinjaman kepada penggelondong.
Norms - Kepercayaan - Sistem bagi hasil punggawa-sawi (sawi mendapat 10% dari keuntungan kotor untuk satu kali produksi).
2.
Tahun 1970-an
- Teknologi budidaya udang mulai dikenal, dengan sistem polykultur udang dan bandeng. - Bibit udang dan bandeng. - Pesitisida - Pupuk
-Patron klien: punggawa-sawi, penggelondong-petambak, penimbang udang-petambak. - Gotong royong.
- Kepercayaan - Penggunaan pupuk dan pestisida - Sistem bagi hasil punggawa-sawi (1 0%)
3.
Tahun 1980-an
- Pemberian bantuan Kredit Usaha Tani (KUT) - Penggunaan sumur bor untuk mengairi tambak
-Patron klien: punggawa-sawi, penggelondong-petambak, penimbang udang-petambak. - Pembentukan 1 kelompok - Gotong royong.
- Kepercayaan - Jaminan berupa sertikat Ia han - Aturan pinjaman kepada. Bank.
4.
Tahun 1990-an
- Degradasi lingkungan - Kematian udang akibat hama dan penyakit. - Percontohan budidaya udang teknologi tradisional plus. - Harga udang meningkat.
-Patron klien: punggawa-sawi, penggelondong-petambak, penimbang udang-petambak. - Pegadaian - Pembentukan 1 kelompok - Penyuluh lapangan - Gotong royong.
- Sistem bagi hasil punggawa-sawi berubah menjadi 20% untuk sawi dari keuntungan bersih. - Kerjasama pemerintah dengan masyarakat. - Pengenaan pajak untuk penggunaan sumur bor.
5.
Tahun 2000-an
- Produksi udang semakin menurun. - Pemberian bantuan modal untuk pengadaan sarana produksi. - Sosialisasi teknologi budidaya ramah lingkungan
-Patron klien: punggawa-sawi, penggelondong-petambak, penimbang udang-petambak. - Gotong royong. - Pegadaian - Pembentukan 3 kelompok - Penyuluh lapangan - Perguruan tinggi
- Aturan pinjaman kepada BRI dan Bukopin. - Kerjasama. - Kebiasaan menabung. - Penolakan masyarakat terhadap pembangunan saluran tambak.
Sumber: Diolah dari data primer, 2005.
61
3. Perikanan Tangkap Pada dekade tahun 60-an, kegiatan perikanan tangkap didominasi oleh "bagang tancap". Masyarakat mengenal bagang tancap dari nelayan yang berasal dari Tanah Mandar. lnformasi mengenai pengelolaan bagang tancap banyak didapatkan dari "Hid/60", yang kebetulan pada saat itu memiliki satu unit bagang tancap. "Hid" mengelola bagan tancap sampai tahun 1987, dan beralih menjadi pedagang perantara khusus ikan bandeng, sampai tahun 2002, dan akhirnya menjadi punggawa tambak sampai sekarang ini. Jumlah bagan tancap yang ada pada saat itu kurang lebih 50 unit, yang tersebar di sepanjang sungai sampai ke muara Sungai Pangkajene. Bagang
tancap
yang
digunakan terbuat dari
bambu
yang
ditancapkan sampai ke dasar sungai dan diikat dengan tali yang terbuat dari ijuk, membentuk suatu bangunan segi empat. Pada bagian tengah dilengkapi dengan jaring yang dapat diangkat dengan bantuan tali. Untuk menarik perhatian ikan,
bagang dilengkapi dengan lampu.
Untuk
mengoperasikannya dibutuhkan 2 sampai 3 orang, dan dilengkapi dengan sebuah perahu tampa mesin yang berukuran panjang 6 meter. Hasil tangkapan nelayan pada saat itu sangat melimpah. Jenis ikan yang ditangkap didominasi oleh ikan kembung, awu-awu, ekor kuning, teri, dan udang. Dalam satu kali operasi, nelayan bisa mendapat ikan dan udang kurang lebih 100 baka atau keranjang yang terbuat dari bambu. Hasil tangkapan langsung dibawa ke pasar kabupaten yang jaraknya tidak
62
jauh dari lokasi penangkapan. Untuk memasarkan hasil tangkapannya, nelayan mempercayakan kepada punggawa ikan yang ada di pasar. Seorang punggawa ikan, bertanggung jawab terhadap segala biaya yang harus dikeluarkan pada saat hasil tangkapan sampai ke pasar. Harga ikan ditentukan oleh punggawa, dari hasil penjualan ikan, seorang punggawa biasanya mendapatkan keuntungan sebesar 5%. Melihat hasil tangkapan nelayan yang melimpah, pada awal dekade tahun 70-an peme_rintah mendirikan tempat pendaratan ikan (TPI) di lingkungan Toli-Toli. Selanjutnya mengenalnya dengan nama TPI ToliToli. Nelayan yang memanfaatkan pendaratan ikan tersebut dikenakan retribusi atau "sussun". Berdasarkan informasi dari "Hmz/40" yang pernah diserahi tugas sebagai kolektor, setiap tahunnya jumlah retribusi yang berhasil dikumpulkan kurang lebih 7 juta rupiah. Mekanisme pasar yang berlaku pada produk perikanan yang dijual di TPI Toli-Toli dapat kita lihat pada Gambar 3. Pada awal dekade tahun 80-an, masyarakat mulai mengenal penggunaan mesin untuk armada mereka. Hal ini memberikan dampak kepada semakin intensifnya kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari aktifitas pendaratan ikan di TPI yang semakin ramai. Berdasarkan informasi dari "Hmz/40" sampai akhir tahun 80-an terdapat kurang lebih sepuluh orang punggawa ikan yang beroperasi di TPI tersebut.
63
Tangkapan Nelayan
Petani Tambak
Pasar Kabupaten
Gambar 3. Mekanisme pasar produk tangkapan nelayan di TPI Toli-Toli. Pada awal dekade tahun 1990-an, masyarakat mulai mengenal alat tangkap bagan perahu yang teknologi pembuatannya mengikuti model alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kendari. Pada saat yang sama penurunan produksi hasil tangkapan nelayan mulai terasa dengan semakin berkurangnya jenis ikan yang tertangkap. Kondisi terus terjadi sampai sekarang. "Hmz" mengungkapkan: "jenis ikan yang mempunyai nilai pasar yang tinggi seperti ekor kuning, awu-awu, banyara, sekarang tidak ada lagi. Hasil tangkapan sekarang didominasi oleh ikan-ikan kecil seperti bete-bete, besengbeseng, teri, rajungan. Walaupun sesekali nelayan mendapatkan ikan besar, tapi kondisinya tidak seperti dulu lagi"
Kondisi ini diperparah oleh tindakan nelayan yang menggunakan born dan bius dalam melakukan penangkapan ikan. Hal ini terutama dilakukan oleh nelayan yang mengoperasikan bagang perahu dan bagang tancap. Hal ini
64
dilakukan oleh nelayan sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi hasil penangkapan yang semakin menuru·n. Pada awal tahun 2000, pemerintah melalui Proyek Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil (P4K) yang dilaksanakan oleh Kantor ·' ~
lnformasi dan Penyuluh Per:tanian, menyalurkan bantuan modal kepada nelayan dalam bentuk pinjaman dengan bunga yang rendah dan tanpa jaminan. Selain itu pada tahun 2004, melalui Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang dilaksanakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, menyalurkan bantuan modal kepada nelayan dan petani tambak dalam bentuk pinjaman dengan bunga rendah serta tanpa jaminan. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti pada beberapa kelompok yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan proyek baik itu P4K atau PEMP, keberadaan kelompok petani dan nelayan pad a dasarnya bukanlah
kelompok yang
menjadi wadah
bagi
aktivitas
masyarakat untuk melakukan kegiatan secara kolektif, keberadaan kelompok lebih ditujukan agar mereka dapat mengakses sumberdaya dari luar
untuk
selanjutnya
dimanfaatkan
secara
individu.
"Asr/43"
mengemukakan bahwa: "Pada umumnya masyarakat petani tambak ataupun nelayan mau membentuk kelompok kalau ada kebutuhan atau ada sesuatu yang mereka harapkan, terutama jika ada bagian atau proyek yang menyalurkan bantuan hanya melalui kelompok. Kesadaran belumlah lahir dari diri mereka sendiri."
lntervensi tenaga pendamping atau pelaksana kegiatan cukup signifikan dalam mengarahkan masyarakat melakukan kegiatan sesuai
65
dengan keinginan mereka. Partisipasi masyarakat dalam kelompok bukanlah sesuatu yang lahir dari kesadaran masyarakat, melainkan mobilisasi untuk mendapatkan bantuan. Hal ini terlihat dari beberapa kelompok
yang
pada
akhirnya
harus
bubar karena
kemandekan
pengembalian pinjaman oleh sebahagian anggota kelompok. Hal ini menjadi harga yang wajar dalam pelaksanaan suatu kegiatan proyek, "Asr" menambahkan bahwa yang penting sudah ada langkah awal dimana masyarakat dapat berkumpul dalam suatu kegiatan sehingga dapat berkembang kerjasama.
menjadi
kesadaran
untuk melakukan
'0"<7
Tabel 11. lntegrasi R-0-N dalam Dinamika Pengelolaan Perikanan Tangkap No. Waktu 1. Tahun 1960-an
Resources - Bagan tancap mulai dikenal masyarakat. - Pengadaan alat tangkap melalui pinjaman kepada punggawa ikan.
Organization -Patron klien: punggawa-sawi, punggawa ikan-nelayan.
Norms - Kepercayaan - Sistem bagi hasil punggawa-sawi (sawi mendapat 50% dari keuntungan bersih dan dibagi berdasarkan banyaknya sawi untuk satu periode waktu). - Hasil tangkapan dijual ke punggawa ikan
2.
Tahun 1970-an
- Pemerintah membangun tempat Pendaratan lkan (TPI).
-Patron klien: punggawa-sawi, punggawa ikan-nelayan. - Pagandeng
- Kepercayaan - Sistem bagi hasil punggawa-sawi
3.
Tahun 1980-an
- Penggunaan mesin untuk armada penangkapan ikan
-Patron klien: punggawa-sawi, punggawa ikan-nelayan. - Pagandeng
- Kepercayaan - Sistem bagi hasil punggawa-sawi
4.
Tahun 1990-an
- Degradasi lingkungan - Bagang perahu mulai dikenal - Penggunaan born dan bius · untuk menangkap ikan. - Produksi tangkapan nelayan menu run
-Patron klien: punggawa-sawi, punggawa ikan-nelayan. - Pagandeng
- Kepercayaan - Sistem bagi hasil punggawa-sawi - Pelarangan penggunaan born dan bius
--
--
li7
5.
Tahun 2000-an
- Produksi tangkapan nelayan semakin menurun. - Pemberian bantuan modal untuk pengadaan sarana produksi. - Pendampingan untuk pengembangan usaha
Sumber: Diolah dari data primer, 2005.
-Patron klien: punggawa-sawi, punggawa ikan-nelayan. - Kelompok arisan - Usaha pengupasan rajungan - Pembentukan 2 kelompok - Penyuluh perikanan - Lembaga Swamitra
- Kepercayaan - Sistem bagi hasil punggawa-sawi - Aturan pinjaman kepada BRI dan Bukopin. - Ke~asama. - Kebiasaan menabung.
68
4. Pengolahan Hasil Perikanan
Kegiatan pengolahan hasil perikanan (PHP) dimulai sejak dekade tahun 60-an. Pada saat itu hasil tangkapan nelayan sangat melimpah. Kegiatan yang dilakukan berupa pembuatan ikan asin oleh ibu-ibu rumah tangga
untuk menambah
penghasilan
keluarga.
Usaha ini
terus
berkembang dan pada tahun 1970-an, hasil produksi masyarakat mulai di pasarkan sampai ke Makassar. "Hid/60" mengemukakan: 'pada tahun 70-an, pedagang perantara yang datang dari Makassar, tidak hanya membeli ikan segar, tapi juga ikan kering"
Usaha PHP yang dilakukan masyarakat terus berkembang ditandai dengan munculnya usaha pembuatan terasi di lingkungan Pandang Laut pada tahun 1995 dan usaha pengolahan ikan teri dan rajungan pada tahun 1998 di Toli-Toli. Sampai akhir dekade tahun 1990-an berbagal usaha yang muncul, mulai mengalami penurunan, dan pada tahun 2002, usaha PHP yang mampu bertahan adalah usaha pengolahan rajungan sampai saat ini. Pengelolaan
usaha
pengolahan
rajungan
dilakukan
dengan
menjalin kerjasama dengan PT. "P", sebagai salah satu eksportir produk perikanan terutama rajungan. Pembinaan diberikan dalam bentuk bantuan modal
berupa
peralatan
untuk
memasak
kepiting '
dan
kegiatan
pendampingan dan pelatihan kepada pekerja yang ada sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas produksi.
69
Pengolahan rajungan dilakukan dengan memasak rajungan sampai setengah matang, kemudian dipisahkan daging dengan cangkangnya. Daging yang didapatkan selanjutnya disortir atau dipisahkan menurut bagian-bagian tubuh kepiting seperti capit, dada, dan seterusnya. Selanjutnya daging yang telah disortir, dikemas dalam wadah tertutup, untuk selanjutnya dikirim kepada eksportir yang ada di Makassar. lnterkoneksitas pengusaha dengan masyarakat terutama nelayan, dilakukan dengan memberikan pinjaman modal berupa kapal atau alat tangkap kepada nelayan, dengan ketentuan, pembayaran pinjaman dipotong dari hasil penjualan hasil tangkapan berupa kepiting kepada pengusaha pemberi pinjaman. lnterkoneksitas tatanan PHP dengan tatanan swasta, selain berdampak kepada diadopsinya nilai-nilai manajemen pelaksanaan usaha seperti pengontrolan kualitas produksi, pengelolaan administrasi usaha, tatanan PHP juga mengadopsi nilai keserakahan yang dimiliki oleh tatanan
swasta.
Hal
ini
berdasarkan
keterangan
"Hmz/40"
yang
mengemukakan: "pada awalnya pengusaha pengolahan rajungan yang ada tidak membeli hasil tangkapan yang berukuran kecil, tapi sekarang, rajungan yang kecil-kecil pun sudah dibeli"
Hal ini dapat mengancam kelestarian rajungan, dimana rajungan berukuran kecil tidak memiliki kesempatan untuk dapat tumbuh menjadi dewasa dan berkembang biak.
IV
Tabel12. lntegrasi R-0-N dalam Dinamika Pengelolaan Produk Perikanan 1
No.
Waktu
Resources
Organization
Norms
1.
Tahun 1960-an
- Hasil tangkapan nelayan melimpah
- Usaha pembuatan ikan asin
- Produksi dipasarkan di pasar lokal
2.
Tahun 1970-an
- Hasil tangkapan nelayan melimpah
- Usaha pembuatan ikan asin
3.
Tahun 1980-an
- Hasil tangkapan nelayan melimpah
- Usaha pembuatan ikan asin
- Produksi dipasarkan di pasar lokal dan pedagan perantara - Produksi dipasarkan di pasar lokal dan pedagang perantara
>
4.
Tahun 1990-an
- Hasil tangkapan nelayan mulai menurun
- Usaha pembuatan terasi - Usaha pengolahan ikan teri
- Produksi dipasarkan di pasar lokal - Menyerap tenaga kerja yang cukup besar. i
5.
Tahun 2000-an
- Usaha pengolahan rajungan - Hasil tangkapan nelayan - Patron klien: Punggawasernakin berkurang. nelayan - Pinjaman modal ke punggawa untuk pengadaan alat tangkap dan armada. - Pendampingan pengelolaan usaha
Sumber: Diolah dari data primer, 2005.
- Kepercayaan. - Kebersihan. - Kerjasama. - Kerjasama dengan pihak swasta, dengan sistem bapak angkat.
71
5. Penanaman dan Pemeliharaan Mangrove Keterkaitan antara manusia dengan hutan mangrove dimulai ketika petani tambak melakukan penebangan terhadap pohon mangrove yang ada untuk dijadikan tambak, sedangkan kesadaran untuk memelihara dan melindungi keberadaan hutan mangrove muncul pada akhir dekade tahun 80-an, tepatnya tahun 1989. 'Hmz/40" mengungkapkan: "pada tahun 1989 sepulang dari Penas, saya bersama beberapa masyarakat, melakukan penanaman bibit mangrove di daerah sungai toa seluas kurang lebih 8 Ha. Bibit kami ambil dari pohon mangrove yang tumbuh di sepanjang sungai". Aksi kolektif tersebut selanjutnya pada tahun 1991, melalui proyek yang dilaksanakan oleh Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) cabang Maros dikukuhkan menjadi Kelompok Tani Nelayan Sejahtera, pada saat itu "Hmz" terpilih menjadi ketua kelompok. Jumlah anggota yang tercatat sebanyak 40 orang dengan pekerjaan pokok sebagai petambak dan nelayan. Melalui proyek tersebut, yang dilakukan sampai tahun 1992, luas Ia han yang ditanami dengan bibit mangrove mencapai kurang lebih 11 0 Ha yang meliputi wilayah Polewali dan Borneo. Namun berdasarkan keterangan "Ars/55" proyek tersebut gagal, karena mangrove yang ditanam habis tersapu banjir. Pada tahun-tahun berikutnya, kegiatan penanaman mangrove terus dilakukan baik itu dalam bentuk proyek ataupun swadaya. "Hmz" mengemukakan bahwa jumlah bibit yang ditanam setiap tahunnya tidak kurang dari 10.000 pohon. Jenis mangrove yang ditanam disesuaikan
72
dengan jenis yang ada di wilayah tersebut seperti Rhizopora, Avicennia, dan Sonneratia. Mempelajari dokumen-dokumen yang ada, penulis mendapatkan bahwa berbagai proyek telah dilaksanakan oleh pemerintah (kabupaten dan provinsi) ataupun lembaga lain berkaitan dengan pemeliharaan hutan mangrove yang ada di wilayah tersebut dengan melibatkan masyarakat dan LSM. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat tentang pembibitan dan penanaman mangrove didapatkan melalui pelatihan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah melalui penyuluh kehutanan. Disamping itu pembinaan juga ditujukan untuk meningkatkan kemampuan administrasi kelompok/organisasi. Pengamatan yang dilakukan peneliti terhadap kegiatan pembukuan yang dilakukan kelompok, didapatkan beberapa jenis buku yang diselenggarakan berupa buku kas, buku tamu, profil kelompok, buku pencatatan kegiatan, walaupun pembuatannya ..
cukup sederhana tapi telah memberikan informasi yang cukup lengkap. Termasuk beberapa catatan yang dilakukan oleh "Hmz" mengenai percobaan-percobaan yang dilakukan berkaitan dengan pembibitan mangrove. Pada tahun 2003, Kelompok Tani Nelayan Sejahtera berhasil menjuarai Iomba Gerakan Penghijauan dan Konsevasi Alam tingkat Kabupaten Pangkep. Selanjutnya di tingkat propinsi, kembali menjuarai Lomba Penghijauan Swadaya dan Konservasi Sumberdaya Alam kategori Kelompom Tani Hutan Mangrove. "Hmz" mengungkapakan:
73
"Hadiah yang kami dapatkan ketika menjuarai Iomba di tingkat provinsi berupa penghargaan dan sebuah pesawat TV 21", memberikan kebanggan dan kepercayaan yang tinggi kepada anggota untuk terus mengembangkan kegiatan yang mereka lakukan". Jenis bantuan lain yang diterima masyarakat pada tahun 2000-an berupa alat transportasi, berupa kapal kayu dengan panjang 9 meter lengkap dengan mesin dari Dinas Kehutanan Kabupaten Pangkep, serta sebuah Pondok Kerja dari Balai Pengembangan Daerah Ailiran Sungai (BP-DAS) Provinsi Sulawesi Selatan. Pengelolaan bibit oleh masyarakat dilakukan dengan menanam biji mangrove yang telah cukup matang ke dalam kantong plastik hitam (polybag) yang telah diisi dengan tanah, kemudian diletakkan pada lokasi
yang
telah
disiapkan.
"Hmz"
mengemukakan
bahwa
lokasi yang
dipersiapkan untuk menyemaikan bibit mangrove harus bebas dari ombak yang cukup keras dan hanya tergenang pada saat pasang terjadi. Selain itu lokasi harus diberi pagar pengaman agar binatang pengganggu tidak dapat masuk. Bibit siap di pasarkan ketika biji yang ditanam telah tumbuh di tandai dengan keluarnya daun minimal 3 helai. Sistem
pembagian
keuntungan
yang
diterapkan
kelompok
berdasarkan peran masing-masing anggota, sebagaiman dikemukakan "Nvi/28" bahwa hasil penjualan bibit yang diperoleh dibagi menjadi enam bagian. Satu bagian diperuntukkan mengganti biaya operasional yang dikeluarkan selama pembibitan seperti pembelian kantong, bahan bakar, dan sisanya untuk tabungan kelompok. Lima bagian yang lain dibagi dengan jumlah bibit yang terjual untuk mendapatkan patokan jumlah yang
74
didapatkan untuk setiap pohon. Selanjutnya setiap anggota mendapatkan bagian berdasarkan jumlah bibit yang mereka kerjakan. Keuntungan lain didapatkan anggota melalui pelaksanaan kegiatan atau proyek berupa upah penanaman dan pemasangan ajir atau tongkat penyangga tanaman. Pada tahun 2005, berdasarkan keterangan "Hmz" kelomppk telah mengikat kontrak kerjasama dengan UD "J", salah satu usaha swasta yang ada di Kota Makassar dalam hal penjualan dan pencarian pasar hasil produksi kelompok. Selain untuk kepentingan ekonomi, kegiatan penanaman dan pemeliharaan mangrove secara swadaya tetap dilakukan, terutama pada daerah-daerah yang kondisi mangrovenya kritis. Ancaman terhadap keberadaan mangrove, muncul dari tindakan sebahagian pemilik tambak yang berada di sekitar kawasan mangrove. Terkadang untuk alasan peningkatan produksi atau alasan lain, mereka mengkonversi hutan mangrove menjadi tambak. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang di lakukan pada lokasi penelitian terjadi peningkatan luas areal pertambakan, akibat aktivitas petambak mengkonversi hutan mangrove yang ada menjadi lahan pertambakan.
Hal ini dilakukan karena adanya pandangan
sebahagian masyarakat terutama para pemilik tambak yang berada di sekitar hutan mangrove bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan yang tidak bertuan sehingga mereka bebas untuk memanfaatkannya. Hal
75
ini berdasarkan keterangan yang dikemukakan oleh salah seorang pemilik tambak "Spr/51" bahwa: "anjo kayu bangkoa kan timbo kale-kaleji, labbipa punna nakke tommo lamungi, jari tena tau pata, katte pangempangta ammania battu ri kayu bangkoa, ero-erota punna erokki tambai luara'na pangempangta. Njari tamba luaraki pangempata, jai tongi wasselena" "pohon bakau yang ada hidup dengan sendirinya, dan tidak ada yang memiliki, terlebih kalau saya sendiri yang menanam. Jadi, kita yang memiliki tambak di sekitar pohon bakau tersebut bebas untuk menjadikannya tambak, agar hasil produksi bisa meningkat".
Kondisi ini kadang mengakibatkan timbulnya ketegangan di antara pemilik tambak dengan kelompok masyarakat lain yang melakukan tindakan konservasi mangrove. "Hmz" mengungkapkan bahwa: "selama ini memang belum ada aturan yang melarang penebangan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan tambak atau pemukiman, sehingga kita tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan
pelarangan". Berbagai penebangan
upaya telah dilakukan untuk mencegah terjadinya
hutan
mangrove
diantaranya
mengusulkan
kepada
pemerintah daerah dan DPRD untuk menerbitkan perda yang mengatur pemanfaatan dan pelestarian hutan mangrove, namun sampai saat ini, hal tersebut belum mendapatkan perhatian serius.
/0
Tabel 13. lntegrasi R-0-N dalam Dinamika Pengelolaan Hutan Mangrove Waktu No. Tahun 1990-an 1.
Resources - Pelatihan pembibitan dan penanaman mangrove. - Bantuan bibit untuk konservasi hutan mangrove. - Bantuan alat transportasi kapal~olloro dan mesin
Organization - Pembentukan 1 kelompok - Penyuluh kehutanan
Norms - Konservasi - Kerjasama - Kesadaran tatanan tentang pentingnya pelestarian hutan mangrove. - Pandangan masyarakat bahwa hutan mangrove tidak bertuan - Konflik
Tahun 2000-an
- Studi banding ke daerah Tongke-Tongke Sinjai. - Pendampingan pengelolaan administrasi kelompok dan pengembangan hutan mangrove. - Bantuan alat transportasi kapal dan mesin. - Bantuan pondok kerja
- Lembaga Swadaya Masyarakat - Perguruan Tinggi - Pihak Swasta
- Juara 1 tingkat kabupaten Iomba Gerakan Penghijauan dan Konservasi Alam. - Juara 1 tingkat propinsi Iomba Penghijauan Swadaya dan Konservasi Sumberdaya Alam kategori Kelompok T ani Hutan Mangrove. - Kerjasama dengan pihak swasta.
2.
-
-
---
Sumber: Diolah dari data primer, 2005.
77
C. Kapasitas Swatata Tatanan Bagian ini berusaha mengelaborasi secara lebih mendalam hal-hal yang diperoleh dari lokasi penelitian, untuk selanjutnya melakukan analisis secara
deskriptif terhadap
kapasitas
swatata
tatanan
masyarakat
Kelurahan Tekolabbua. Kapasitas swatata sangat menentukan apakah suatu tatanan mampu mewujudkan peluang bagi upaya mempetahankan atau bahkan meningkatkan kualitas keberadaannya dari gelombang probabilitas yang dibawa oleh perubahan lingkungan strategisnya. Untuk menganalisis kapasitas swatata tatanan, dilakukan dengan melihat sejauh mana tatanan memiliki unsur-unsur dari kapasitas swatata itu
sendiri
sebagaimana
dikemukakan
oleh
Amien
(2003b)
yang
membaginya ke dalam tiga hal yaitu identitas tatanan, keragaman dan diversitas, serta kesadaran berevolusi. Atau dengan kata lain dilihat dari sejauh mana kemampuan masyarakat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan eksternal melalui reorganisasi interaksi internal antar R-0-N dalam tatanan. 1. ldentitas Tatanan Pada bagian ini, peneliti melakukan penelusuran terhadap citra/visi dan nilai yang menjadi penggambaran masa depan yang akan dibentuk oleh setiap tatanan. Visi dan nilai tersebut terkait dengan bentuk interkoneksitas R-0-N yang inenjadi identitas dari tatanan bersangkutan. Setiap bentuk pengelolaan sumberdaya yang terdapat dalam tatanan masyarakat Tekolabbua memiliki R-0-N tertentu yang saling
78
berinterkoneksitas.
lnterkoneksitas tersebut memiliki citra atau visi
tertentu, citra yang menjadi identitas tatanan dan membedakannya dengan tatanan lainnya. Dari hasil obeservasi yang dilakukan oleh peneliti, terdapat lima komponen dari tatanan masyarakat Tekolabbua. Kelima komponen tersebut yaitu tatanan sawah, tatanan tambak, tatanan nelayan, tatanan pengolahan hasil perikanan, dan tatanan mangrove. Pada dasarnya setiap komponen tersebut merupakan tatanan pada tataran yang lebih rendah dari tatanan masyarakat Tekolabbua. Keberadaan tatanan mangrove memberikan dampak yang cukup besar terhadap perkembangan masyarakat. Kegiatan penanaman dan pemeliharaan mangrove yang dilakukan, telah memberikan perubahan pandangan
masyarakat
terhadap
keberadaan
hutan
mangrove.
Kesadaran ini muncul dari apa yang mereka lihat dan rasakan tentang manfaat dari keberadaan hutan mangrove. Bukti nyata yang diperlihatkan dari peristiwa bencana alam tsunami yang melanda Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara, dimana keberadaan hutan mangrove telah menjadi pelindung berbagai daerah dari kerusakan yang lebih besar. Kegiatan penanaman dan pemeliharaan hutan mangrove ini pula yang telah mengangkat nama Kelurahan Tekolabbua untuk dikenal pada tingkat nasional. Pada tahun 2003, kelompok tani nelayan Sejahtera, setelah menjadi pemenang pertama Iomba Penghijauan Swadaya tingkat Kabupaten Pangkep, selanjutnya memenangkan pula Lomba Penghijauan
79
Swadaya dan Konservasi Sumberdaya, Alam Ttngkat Propinsi Sulawesi Selatan, untuk kategori Kelompok Tani Hutan Mangrove. Keberadaan tatanan mangrove adalah untuk' mewujudkan visi kelesatarian lingkungan dan peningkatan kesejahtraan, yang dengan jelas ditunjukkan oleh Kelompok Tani Nelayan Sejahtera
sebaga~·komponen
dari tatanan tersebut. "Hmz/40" mengemukakan bahwa: "kegiatn ini kami lakukan dengan maksud untukt melestaril
masy,hakat
untuk
memenangkan
Iomba
serta
dukungan dari pemerintah setempat dapat menjadi contoh dan pelajaran kepada tatanan lain, bahwa sekecil apapun yang mereka lakukan akan berdampak kepada tatanan lainnya. Berbagai bentuk ikatan yang terdapat dalam tatanan lokal yang ada, diantaranya ikatan "punggawa-sawi", ikatan nelayan atau petambak dengan punggawa, sampai saat ini tetap eksis dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, terutama untuk keperluan modal atau
80
pengadaan sarana yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam kegiatan produksi.
Nilai
yang
diterapkan
dalam
sistem
pembagian
hasil
menunjukkan adanya modal sosial berupa kepercayaan yang tercipta dan bekerja pada berbagai bentuk ikatan yang ada dalam tatanan. Hal ini secara keseluruhan meruf?akan nilai yang cukup dominan dipegang oleh setiap tatanan lokal yang ada. Berbagai
tindakan
yang
dapat
mempengaruhi
keberadaan
sumberdaya yang ada dalam tatanan perlu mendapat perhatian, misalnya penggunaan born dan racun dalam kegiatan penangkapan ikan masih tetap dilakukan oleh nelayan. Walaupun sampai saat ini belum ada nelayan yang diproses secara hukum terkait dengan penggunaan born dan racun, tetapi beberapa keterangan yang didapatkan dan hasil pengamatan yang peneliti lakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan born dan racun sampai saat ini masih digunakan oleh nelayan dalam melakukan penangkapan ikan.
2. Keragaman dan Diversitas Kemampuan untuk menyeleraskan keragaman komponen yang ada dalam tatanan, dengan keragaman lingkungannya dimana setiap komponen terpisahkan
sadar
bahwa
mereka
dari tatanannya,
merupakan
bagian
yang
berdampak kepada kesadaran
tidak setiap
komponen untuk berperan dalam proses pengembangan tatanannya. Kalau dulu keragaman merupakan sumber konflik di dalam masyarakat, sekarang kekayaan keragaman dan kesadaran dari setiap komponen ini
81
akan
memberi
kontribusi
terhadap
kelangsungan
hidup
tatanan,
merupakan modal atau sumberdaya utama dalam proses perubahan secara kreatif. · Keragaman
dan
diversitas
tatanan
di
tunjukkan
melalui
interkoneksitas yang terjadi pada setiap komponen tatanan masyarakat Kelurahan Tekolabbua yaitu tatanan sawah, tatanan tambak, tatanan nelayan, tatanan pengolahan hasil perikanan, dan tatanan mangrove. lnterkoneksitas antara tatanan sawah dengan tatanan tambak berdampak pada terjadinya pemanfaatan sumberdaya tatanan sawah oleh tatanan tambak. Hal ini ditandai dengan adanya tindakan konversi sawah menjadi tambak. Hal ini juga terjadi pada sumberdaya manusia, dimana masyarakat yang dulunya merupakan seorang petani beralih menjadi petambak. lnterkoneksitas antara tatanan sawah dengan tatanan pemerintah berdampak
pada
terjadinya
penyaluran
sumberdaya
dari
tatanan
pemerintah kepada tatanan sawah. Hal ini diwujudkan melalui kegiatan pemberian bantuan Kredit Usaha Tani (KUT) berupa modal atau sarana produksi kepada petani dengan pengenaan bunga yang cukup rendah. lnterkoneksitas antara tatanan mangrove dengan tatanan tambak berdampak pada terjadinya pemanfaatan sumberdaya oleh kedua tatanan mangrove dan tatanan tambak. Hal ini ditandai dengan adanya hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak. Sebaliknya sumberdaya manusia tatanan tambak dimanfaatkan oleh tatanan mangrove.
82
lnterkoneksitas antara tatanan mangrove dengan tatanan nelayan berdampak pada terjadinya pemanfaatan sumberdaya oleh kedua tatanan mangrove
dan
tatanan
nelayan.
Tatanan
nelayan
mendapatykan
keuntungan dari fungsi hutan mangrove yang menjadi tempat berpijah serta berkembang biak ikan. Sebaliknya sumberdaya manusia tatanan nelayan dimanfaatkan oleh tatanan mangrove. lnterkoneksitas antara tatanan mangrove dengan tatanan LSM berdampak pada terjadinya pengayaan nilai dan norma pada tatanan mangrove yang didapatkan melalui kegiatan pendampingan, berupa aturan
pengelolaan
administrasi
kelompok,
kerjasama,
motivasi,
peningkatan keterampilan dalam pembibitan dan penanaman mangrove serta pengelolaan hutan mangrove. lnterkoneksitas antara tatanan mangrove dengan tatanan swasta berdampak pada terjadinya pemanfaatan sumberdaya oleh kedua tatanan mangrove dan tatanan swasta. Hal ini ditandai dengan adanya kegiatan pembinaan teknis yang dilakukan tatanan swasta dan bantuan dalam hal pemasaran hasil produksi. Sebaliknya tatanan swasta mendapatkan keuntungan dari selisih hasil penjualan bibit yang dilakukan. lnterkoneksitas antara tatanan nelayan dengan tatanan tambak diwujudkan melalui penerapan nilai dan aturan yang sama dalam sistem bagi hasil, yang mendasarkan kepada peranan dan fungsi dalam pelaksanaan kegiatan. Sedangkan interkoneksitas antara tatanan nelayan dengan tatanan pengolahan hasil perikanan (PHP) berdampak pada
83
terjadinya pemanfaatan sumberdaya oleh tatanan PHP berupa hasil tangkapan nelayan. Di samping itu sistem kepercayaan dalam ikatan punggawa-sawi diadopsi oleh ·~atanan PHP. lnterkoneksitas antara tatanan nelayan dengan tatanan pemerintah berdampak pada terjadinya aliran sumberdaya, organisasi dan nilai kepada
tatanan
nelayan.
Hal
ini
dilakukan
melalui
pelaksanaan
kegiatan/proyek oleh tatanan pemerintah. Sumberdaya diberikan dalam bentuk bantuan modal dan sarana produksi. Pemerintah memfasilitasi pembentukan kelompok sebagai wadah penyaluran sumberdaya serta penunjukan tenaga penyuluh lapangan da LSM untuk melakukan pendampingan. Hal yang sama terjadi pada interkoneksitas tatanan pemerintah dengan tatanan tambak dan tatanan mangrove. lnterkoneksitas antara tatanan PHP dengan tatanan swasta berdampak pada terjadinya
pemanfaatan sumberdaya
oleh
kedua
tatanan,· serta aliran nilai kepada tatanan PHP. Sumberdaya berupa peralatan produksi didapatkan dari tatanan swasta, sedangkan produksi tatatnan PHP disalurkan kepada tatanan PHP. Disamping itu tatanan swasta
melakukan
pendampingan
kepada
tatanan
PHP
dengan
memberikan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia tatanan PHP. Bentuk keterkaitan yang terjadi diantara setiap tatanan dapat kita lihat pada Gambar 4.
84
Tatanan Pemerintah
Tatanan Lem. Swadaya Masy.
Tatanan Peng. Swasta
Tatanan Sawah
Wilayah Daratan
Keterangan : R
=Sumberdaya
0 = Organlsasi N = Nonna
Wilayah Perairan
=
+++ Kuat ++ = Sedang + = Lemah
Gambar 4. Peta lnterkoneksitas Tatanan Masyarakat Kelurahan Tekolabbua.
85
3. Kesadaran Berevolusi Kesadaran masyarakat harus dibangun melalui komonikasi dan kerjasama yang baik diantara masyarakat. Kesadaran masyarakat akan permasalahan yang dihadapi dalam membangun, ditimpali dengan terbukanya peluang mengekspresikan diri akan menghadirkan prakarsa masyarakat untuk berpartisipasi. pemahaman
akan
Bila
prakarsa
telah
keterbatasan yang
dihadapi
dalam melanjutkan
berkembang,
pembangunan akan menghadirkan secara sadar semangat swadaya ditengah masyarakat. Analisis yang dilakukan terhadap berbagai bentuk interkoneksitas yang terjadi dalam tatanan masyarakat Tekolabbua didapatkan munculnya berbagai fitur baru pada setiap dekade perkembangan pengelolaan sumberdaya yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini tergantung pada kemampuan setiap tatanan dalam menghadapi perubahan lingkungannya. Sebuah tatanan dapat terus mempertahankan identitasnya atau bahkan memperbesar kemampuannya, mengalami
kepunahan
tapi
karena
sebaliknya tatanan dapat pula tidak
mampu
mempertahankan
interkoneksitas yang terjadi pada R-0-N nya. Hal ini dapat kita lihat pada perubahan yang terjadi pada setiap tatanan lokal yang ada. Misalnya pada era tahun 60-an, dimana pada saat itu bentuk pengelolaan sawah yang dilakukan masyarakat dibedakan atas "galung ce'la" dan "galung biasa". Dalam perkembangannya keberadaan kedua bentuk pengelolaan tersebut mengalami tekanan dari tatanan
86
tambak yang terus meningkat, sejak tahun 70-an. Akibat tekanan yang terus
meningkat
dan
ketidak
mampuan
"galung
ce'la"
untuk
mempertahankan interkoneksitas R-0-N nya, maka pada saat ini keberadaan "galung ce'la" tidak lagi ditemukan. Belajar dari pengalaman yang ada, menurut hemat penulis, hal yang sama akan terjadi pada "galung biasa". Bagang tancap juga muncul pada dekade tahun 60-an, sedangkan bagan perahu nanti muncul pada awal tahun 90-an. Kedua jenis alat tangkap ini muncul sebagai hasil hasil interkoneksitas tatanan masyarakat Tekolabbua dengan tatanan lain di luar tatanan tersebut. Pada awal perkembangannya kedua alat tangkap memberi kontribusi yang cukup besar bagi pelaksanaan kegiatan penangkapan ikan yang· dilakukan masyarakat. Namun, dalam perkernbangannya, keberadaan bagan tancap dan bagan perahu pada akhirnya ·menjadi ancaman, ketika nelayan mulai menggunakan born dalam pengoperasian bagan tancap ataupun bagan perahu. Sampai pada akhir dekade tahun 90-an, bagang tancap mulai menurun jumlahnya, dan saat ini banyak nelayan yang mengalihkan kegiatannya dari bagang tancap menjadi sera atau puka. Selanjutnya pada tahun 70-an, masyarakat mulai mengenal . budidaya udang windu, yang dalam perkembangannya akibat harga udang yang terus melambung terutama pada dekade tahun 90-an, menjadikan komoditi ini sebagai primadona. Hal ini memberikan tekanan
87
besar terhadap pengelolaan budidaya sawah dan hutan mangrove dimana banyak areal persawahan dan hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak. Berbagai
bentuk
perkembangan tatanan
perubahan
yang
terjadi
lokal tersebut di atas,
dalam
dinamika
merupakan
bentuk
adapatasi yang dilakukan oleh tatanan dalam berhadapan dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan eksternalnya. Memperhatikan keberadaan berbagai tatanan lokal yang ada, sebagai bentuk interkoneksitas R-0-N yang terjadi baik secara internal maupun eksternal dalam tatanan, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas kapasitas swatata tatanan masyarakat Tekolabbua adalah "sedang". Hal ini didasari oleh masih adanya kegiatan yang dilakukan oleh sebahagian masyarakat yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya serta lingkungan. Disamping itu masih terdapat konflik yang berlangsung dalam tatanan dan sampai saat ini masih belum mampu diselesaikan.
BABV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dalam hasil penelitian dan pembahasan tentang interkoneksitas antar unsur-unsur pembangunan yang ada dalam tatanan masyarakat Tekolabbua, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir yang dilakukan oleh tatanan masyarakat Tekolabbua adalah berupa budidaya sawah, budidaya tambak, perikanan tangkap,
pengolahan hasil perikanan, serta
penanaman dan pemeliharaan mangrove. 2. Kualitas kapasitas swatata masyarakat Tekolabbua termasuk dalam kateg
89
adaptasi yang dilakukan oleh tatanan masyarakat Tekolabbua dalam berhadapan dengan perubahan lingkungan. B. Saran
1. Perlu adanya tindak lanjut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang di tingkat kabupaten berupa peraturan daerah yang mengatur tentang pengaturan status pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat untuk mencegah meningkatnya tindakan konversi hutan mangrove oleh masyarakat atau pihak lain yang dapat membahayakan kelestarian hutan mangrove. 2. Perlu adanya dukungan pemerintah terhadap upaya pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat dengan mengernbangkan dan melestarikan nilai-nilai yang ada dan telah berkembang di dalam tatanan masyarakat agar nilai-nilai tersebut dapat terlembagakan, sehingga keberlanjutan dan kelestarian lingkungan dan sumberdaya pesisir dapat terjamin. 3. Perlunya disusun suatu model perencanaan pembangunan mulai dari tingkat kabupaten sampai tingkat desa atau kelurahan, yang mampu memfasilitasi masyarakat dalam meyalurkan aspirasi mereka dengan mengintegrasikan keberadaan berbagai lembaga lokal yang ada dalam tatanan masyarakat dan telah terbukti mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat. 4. Meskipun
penelitian
ini
telah
mengungkap
berbagai
fenomena
interkoneksitas antar unsur pembangunan yang ada dalam suatu
90
tatanan masyarakat, diperlukan pengkajian yang lebih mendalam tentang model perencanaan yang dapat mengintegrasikan keberadaan lembaga-lembaga lokal yang ada dalam tatanan.
DAFTAR PUSTAKA
Ami en, M.A., 1999. Penyelenggaraan Negara dari Perspektif Kemandirian Lokal dalam Pokok-Pokok Pikiran Amandemen UUD 1945 dari Perspektif Kemandirian Lokal. Amien (Ed), Universitas Hasanuddin, Makassar. _ _ _ _ , 2001. Penataan Ruang Kawasan Pesisir. Ramadhan, Bandung.
Pustaka
- - - - -, 2003a. Kebijakan Pembangunan Nasional dan Regional.
Makalah Disajikan pada Pendidikan dan Pelatihan TMPP Tingkat Dasar. Kerjasama Pusbindiklatren dan PSKMP Universitas Hasanuddin, Makassar.
_____, 2003b. Kemandirian Lokal. Perspektif Sains Baru terhadap Organisasi, Pembangunan dan Pendidikan. Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Makassar. Ancok, D., 2003. Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat. (Online) (http//www.Ancok.com. diakses pada tanggal 28 Mei 2005). Baja, S., 2005. Spatial Planning. Pengembangan Wilayah dan KawasanKawasan Khusus. Bahan Kuliah Program Pascasarjana Konsentrasi Manajemen Perencanaan. PSKMP, Universitas Hasanuddin, Makassar. Baro, R. 2002. Penataan Ruang di Sulawesi Selatan. Studi Hukum Empirik Penegakan Prinsip Pertimbangan Lingkungan di Kawasan Mamminasata. Disertasi tidak diterbitkan. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Bengen, D.G., 2002. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu, Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Presiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu. lncune. Unhas Proyek Pesisir. Makassar. Budimawan, 2003. Ana/isis Potensi Wi/ayah Pesisir. Makalah disajikan dalam Pendidikan dan Pelatihan Teknik Manajemen Perencanaan Pembangunan Tingkat Lanjutan. PSKMP. Universitas Hasanuddin, Makassar. Dahuri, M.R., Rais, J., Ginting, S.P., dan Sitepu, M.J. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta (Edisi Revisi).
92
Gany, R.A., 2001. Demokratisasi Masyarakat Desa. Dinamika Politik dan Kelembagaan Politik Desa. Makalah disampaikan pada Pertemuan IV Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) Tanggal 19-22 Juni 2001, di Tenggarong, Kalimantan Timur. ____ , 2002. Menyongsong Abad Baru. Dengan Pendekatan Pembangunan Berbasis Kemandirian Lokal, Edisi Revisi. Hasanuddin University Press, Makassar. Gazalba, S., 1983. Mesjid Pusat lbadah dan Kebudayaan Islam. Pustaka Antara, Jakarta. Hamidi, 2004. Metode Penelitian Kualitatif, Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian. UMM Press, Malang. Karim, M., 2003. Problem Ekonomi-Politik Kemiskinan Nelayan. (Online) (http://sinarharapan.com/ekonomi.htm. diakses tanggal 14 Desember 2004). Mattulada, 1997. Sketsa Pemikiran Tentang Kebudayaan, Kemanusiaan, dan Lingkungan Hidup. Hasanuddin University Press, Ujung Pandang. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. Nybakken, J.W., 1982. Marine Biology: An Ecological Approach. Penerjemah, M. Eidman, dkk. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Ohama, Y. 2001. Kerangka Teoritis dan Metode Praktis PLSD. JICA. Nagoya, Jepang. PSKMP-UNHAS, 2002. Participatory Local Social Development (PLSD): Konsep dan Kerangka Pembangunan Sosial Lokal Partisipatoris, Kerja sama PSKMP, UNHAS dengan JICA. Makassar. Retraubun, A.S.W. 2002. Rehabilitasi Ekosistem Pesisir: Manfaat dan Strategi Pelaksanannya dalam Konteks Penge/olaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Terpadu. Presiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu. lncune. Unhas- Proyek Pesisir. Makassar. Saad, S. 2000. Hak Pemeliharaan dan Penangkapan lkan, Eksistensi dan Prospek Pengaturannya di Indonesia. Disertasi. Program Studi llmu Hukum. Program Pasacasarjana. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
93
Sallatang, M.A., 1982. Ponggawa-Sawi: Suatu Studi Sosiologi Kelompok Kecil. Desertasi Doktor. Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Salman, D. 2003. Pengembangan lnkubator dan Klaster untuk Pemabngunan Perikanan dan Kelautan di Sulawesi Selatan. Makalah disajikan dalam Pelatihan Penyusunan Business-Plan bagi Aparat Perikanan dan Kelautan. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar, 22 Desember 2003. Suhendra, D., 1999. Marginalisasi Kehidupan Nelayan Tradisional. Beberapa Catatan Pengalaman Lapangan di Sumatra Utara. Makalah disajikan dalam Dialog Penanggulangan Kemiskinan Struktural Focal Point Nelayan. KIKIS beke~asama dengan LAAI dan AusAid, Medan 22-24 Desember 1999. Yin, R.K. 2003. Studi Kasus. Desain dan Metode. Persada, Jakarta.
PT Raja Grafindo
Lampiran 1. Peta Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
1-:rc l.mk.ui~ Tup~l4.lllin£,
cI '
. r~
I
J
6.
8b
Kec I 111kang Tw~ya
.... r
~J ·.1 I•
!
••
A •.
;po't'"l. . . •• ••
'l'h ••••
0'4,r. • '<([
.. .
•• PJio;···· .... ., '11i81 NTB
&
a Yt.Jl
' It
~~ ''
0
KABUPAI'El"!
BARJW
Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan Penelitian di Kelurahan Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep
Gambar 1.
Lahan sawah yang telah dikonversi menjadi tambak.
Gambar 2.
Lahan tambak yang ada di Kelurahan Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep.
Tekolabbua,
Gambar 3.
Pohon mangrove yang ditanan di sekitar pematang tambak.
Gambar 4.
Perahu/Jolloro yang digunakan nelayan menangkap ikan.
'·...~·:
~t
Gambar 5.
Suasana pendaratan ikan di TPI Toli-Toli.
Gambar 6.
Pondok kerja Kelompok Tani Nelayan Sejahtera.
Gambar 7.
Lokasi pembibitan Sejahtera.
mangrove Kelompok Tani
Nelayan
Gambar 8.
Kawasan pantai yang telah ditanami dengan mangrove swadaya masyarakat.