ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PADI INDONESIA, 1972 – 2011
Bisuk Abraham Sisungkunon1 Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Widyono Soetjipto Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
ABSTRAK Pencapaian swasembada beras sangat erat kaitannya dengan peningkatan produksi padi. Penelitian ini berupaya untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas produksi padi di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dalam rentang waktu observasi antara tahun 1972 hingga 2011 dengan menggunakan metode ordinary least square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi padi Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh persentase perubahan luas panen padi di luar Pulau Jawa, harga padi di tingkat produsen beda kala satu tahun, dan produktivitas padi per satuan luas lahan. Kata Kunci : beras, harga produsen, luas panen, produksi, produktivitas Klasifikasi JEL : D21, Q11
ABSTRACT The achievement of rice self-sufficiency is highly dependent with rice production. This study tried to determine and analyze factors which affect Indonesian rice production. This study was conducted in a span of year 1972 – 2011 and used ordinary least square method. This study found that Indonesian rice production is significantly affected by percentage of change in rice harvested area outside Java Island, producer price of rice one year lagged, and rice yield per unit of cultivated land. Key words : rice, harvested area, producer price, production, yield JEL classification : D21, Q11
I.
PENDAHULUAN
Beras merupakan komoditas yang dianggap penting bagi masyarakat Indonesia. Menurut publikasi Food and Agriculture Organization (FAO), konsumsi per kapita beras oleh penduduk Indonesia mencapai 127,4 kg/kapita/tahun pada tahun 2009. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan konsumsi per kapita makanan pokok lainnya, seperti singkong (44,6 kg/kapita/tahun), jagung (38,3 kg/kapita/tahun), maupun gandum (21 kg/kapita/tahun). Posisi beras dalam tatanan hidup masyarakat Indonesia juga dipandang penting apabila ditinjau dari sudut pandang asupan gizi. Menurut publikasi Food and Agricultural Organization, 47,58 persen dari total kalori yang dikonsumsi oleh tiap masyarakat Indonesia per tahun disokong oleh beras. Beras juga menjadi sumber protein utama bagi masyarakat Indonesia dengan memenuhi 39,62 persen dari suplai protein per kapita masyarakat Indonesia. Peran beras sebagai sumber utama protein ini justru lebih dominan dibandingkan dengan sumber protein yang lebih lazim diketahui oleh banyak orang, seperti ikan dan makanan laut (14,28 persen), jagung (10,88 persen), gandum (6,8 persen), maupun daging (6,63 persen). Dari sudut pandang pendapatan negara, usaha tani beras memiliki kontribusi terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dibandingkan dengan usaha-usaha tani lainnya. Menurut publikasi Pusdatin Kementerian Pertanian Republik Indonesia, sekitar 70 persen dari total produk domestik bruto Indonesia yang 1
[email protected]
1
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
disumbangkan oleh sektor pertanian berasal dari pertanian padi. Pada tahun 2010, pertanian padi berkontribusi terhadap tujuh persen dari total produk domestik bruto Indonesia secara keseluruhan. Peran beras yang begitu sentral bagi masyarakat Indonesia membuat beras memiliki pengaruh politik yang begitu kuat. Saliem dalam Suryana dan Kariyasa (2008) menyatakan bahwa ketidakstabilan persediaan dan atau fluktuasi harga beras yang tidak dapat teratasi dapat memicu munculnya kerusuhan nasional yang mengarah pada tindak kriminal. Pengalaman kerusuhan nasional yang melanda Indonesia pada tahun 1966 dan 1998 menjadi bukti goncangan politik yang diakibatkan oleh lonjakan harga beras dalam waktu yang singkat2. Fenomena ini dapat dimaklumi sebab penduduk Indonesia rata-rata mengalokasikan sepuluh persen dari pendapatannya untuk konsumsi beras (Timmer, 2004)3. Oleh karena pengaruh politisnya tersebut, swasembada beras selalu menjadi tujuan utama pembangunan pertanian oleh Pemerintah Indonesia. Meskipun impor beras merupakan solusi jangka pendek yang terbaik untuk mengatasi masalah pada neraca beras nasional, swasembada beras tetap menjadi salah satu kebijakan yang patut dipertahankan pada masa mendatang. Argumen ini didasarkan atas tiga hal. Pertama, beras memiliki motif sosial dan politik yang kuat. Lebih kurang 95 persen dari penduduk Indonesia mengonsumsi beras dengan berbagai keperluan, baik sebagai bahan pangan, pakan ternak, atau kebutuhan bahan baku industri. Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi permintaan domestik akan beras dapat memicu munculnya gejolak sosial di masyarakat. Kedua, swasembada beras dapat mengalihkan penggunaan cadangan devisa yang sepatutnya dapat digunakan untuk program pembangunan lainnya (Parhusip, 1976). Data statistik Food and Agricultural Organization (FAO) menunjukkan bahwa Indonesia telah mengucurkan devisa sebesar US $ 1.193.422.000 untuk mengimpor beras sejumlah 3.085.309 ton antara tahun 2006 hingga tahun 2010. Penghematan devisa mampu dicapai apabila swasembada beras dapat dipertahankan, khususnya ketika nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat. Ketiga, pemenuhan kebutuhan beras domestik yang bergantung pada impor berisiko tinggi dan berpotensi membahayakan kinerja pemenuhan pangan nasional karena ketersediaan beras di pasar dunia cukup tipis (Swastika, 2011). Pasar beras dunia tergolong tipis (thin market) sebab diperkirakan jumlah beras yang tersedia untuk diperjualbelikan di pasar beras internasional hanyalah sekitar 4 – 5 persen dari total produksi beras dunia4 (Suryana dan Kariyasa, 2008). Sekitar 80 persen dari total beras yang diperdagangkan di pasar beras internasional tersebut hanya dikuasai oleh enam negara, yaitu Thailand, Amerika Serikat, Vietnam, Malaysia, Pakistan, Cina, dan Myanmar5. Sebagian besar beras yang diekspor oleh para negara pengekspor beras sifatnya adalah sisa konsumsi sehingga harga beras yang diperdagangkan di pasar dunia sangat fluktuatif dan tidak stabil. Gangguan persediaan (supply shock) atau peningkatan permintaan pada negara-negara pengekspor beras akan dengan mudah menurunkan kuantitas persediaan beras di pasar beras internasional, yang mana akan berakibat pada lonjakan tajam harga beras dunia. Oleh karena itu, akan sangat riskan bagi Indonesia untuk menggantungkan pemenuhan kebutuhan beras domestiknya kepada impor sepenuhnya. Swasembada beras dapat dicapai melalui dua pendekatan, yaitu melalui peningkatan produksi dan/atau pengurangan konsumsi. Pengalihan konsumsi pangan dari beras ke bahan pangan lain tidak berjalan sebaik yang diharapkan. Diversifikasi pangan masih berada dalam taraf kampanye dan promosi produk pangan non beras kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat luas (Mulyana, 1998). Akibatnya, konsumsi beras terus tumbuh yang mana konsumsi beras meningkat sebesar 8,36 persen antara tahun 2002 – 2011. Kurang prospektifnya program diversifikasi pangan yang diupayakan pemerintah membuat peningkatan produksi beras menjadi salah satu solusi yang lebih rasional untuk ditekankan dalam rangka mewujudkan swasembada beras.
Inflasi yang mencapai 600 persen pada pertengahan tahun 1965 membuat ‘Turunkan Harga Pangan’ menjadi salah satu poin dalam Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA) yang menjadi tuntutan utama mahasiswa terhadap pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1966. Kenaikan harga beras akibat serangan El Nino pada akhir tahun 1997 turut menjadi salah satu faktor pendorong demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang menuntut mundurnya Presiden Soeharto pada tahun 1998. 3 Masyarakat yang termasuk dalam kategori miskin mengalokasikan 20 hingga 25 persen dari pendapatannya untuk konsumsi beras (Timmer, 2004). 4 Proporsi ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan gandum yang mana 11,8 persen dari total produksi dunianya tersedia untuk diperdagangkan di pasar internasional (Hossain dan Narciso, 2002). 5 Thailand secara tunggal berkontribusi atas 30 persen dari total beras yang diperdagangkan di dunia (Hossain dan Narciso, 2002). 2
2
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
Kebijakan terkait beras yang dicanangkan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tahun 2009-2014 tetap berorientasi pada swasembada melalui peningkatan kapasitas produksi, sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014. Keberhasilan sebuah program pemerintah akan sangat ditentukan oleh pemilihan indikator sasaran yang tepat. Oleh karenanya, penelitian ini akan mencoba menganalisis faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi tingkat produksi padi Indonesia.
II.
TINJAUAN REFERENSI
2.1
Respon Penawaran Komoditas Pertanian Di dalam kerangka ekonomi pertanian, respon penawaran pada umumnya ditafsirkan sebagai keterkaitan antara variasi jumlah akhir produksi suatu komoditas atau luas tanam terhadap variasi harga komoditas tersebut. Fungsi respon penawaran komoditas pertanian secara sederhana dapat dituliskan sebagai berikut Qa = f(Pt-1, At, Wt, Ut) Keterangan : Qa = kuantitas akhir produksi komoditas Pt-1 = harga komoditas beda kala satu tahun A = luas tanam W = kondisi cuaca (seperti curah hujan, dan sebagainya) U = error term6 t = unsur deret waktu Kuantitas produk akhir yang dihasilkan oleh seorang petani pada suatu waktu bukanlah fungsi dari harga komoditas terkait pada waktu terkini, melainkan kuantitas yang telah ditentukan dengan memprediksi harga yang akan terbentuk di masa depan (Heady, 1952). Hal ini disebabkan oleh kekakuan aset (asset fixity) para petani akibat struktur biaya kegiatan usaha tani yang didominasi oleh biaya tetap (fixed cost). Kekakuan aset ini membuat para petani tidak dapat secara leluasa mengubah komposisi faktor produksinya untuk merespons perubahan harga komoditas yang terjadi pada saat musim tanam. Apabila petani memperkirakan bahwa peningkatan harga akan bertahan hingga musim tanam berikutnya, maka petani akan mengubah komposisi faktor produksinya pada musim tanam yang mendatang. Adanya kedekatan antara kuantitas akhir produksi komoditas dengan luas tanamnya membuat respon penawaran seringkali diasumsikan ekuivalen dengan respon dari luas tanam suatu komoditas terhadap perubahan dari faktor ekonomis dan non-ekonomis lainnya7. Dengan demikian, persamaan respon penawaran dapat berupa At = f(Pt-1, Wt, …. Ut)
(1)
Persamaan (1) sering dimodifikasi dengan memasukkan variabel harga relatif dibandingkan harga absolut komoditas. Jika Pat adalah harga dari komoditas tani alternatif yang dapat ditanam di lahan yang sama dan Pot adalah harga komoditas itu sendiri, maka persamaan (1) dapat menjadi At = f(Po-1 / Pat-1, Wt, …. Ut)
(3)
6
Error term dalam persamaan ini berupaya untuk menangkap dari efek-efek variabel yang mempengaruhi produksi akhir komoditas pertanian, namun tidak terukur. Salah satu contoh dari variabel yang tidak termasuk antara lain variasi produktivitas lahan (Y). 7 Penempatan variabel luas tanam sebagai proxy dari penawaran komoditas pertanian tidak sulit untuk dimengerti. Kuantitas produksi yang dimaksudkan dalam setiap persamaan respon penawaran bukanlah kuantitas produksi akhir yang aktual, melainkan kuantitas produksi yang direncanakan oleh petani. Karena kuantitas produksi akhir yang direncanakan oleh petani (planned production) tidak mungkin untuk diobservasi, maka luas areal tanam sangat mungkin untuk dijadikan proxy penawaran komoditas pertanian.
3
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
Mekanisme dari respon penawaran tersebut akan diilustrasikan dalam gambar 3. Dalam gambar 3, luas tanam (A) direpresentasikan pada sumbu horizontal dan tingkat harga (relatif ataupun absolut) pada sumbu vertikal. Kurva OA menggambarkan respon dari luas tanam terhadap perubahan tingkat harga, yang mana kurva tersebut memiliki kemiringan positif. Hubungan antara luas tanam dengan kuantitas akhir produksi digambarkan pada panel bagian bawah. Luas tanam dan kuantitas akhir produksi memiliki hubungan yang positif sebagaimana ditunjukkan pada kurva OC. Melalui gambar 5, dapat ditunjukkan bahwa pada tingkat harga OP1, luas lahan yang dikelola untuk ditanami komoditas terkait adalah OA1 dengan jumlah produksi akhir OQ1. Apabila tingkat harga naik ke OP2, lahan yang dikelola untuk ditanami komoditas terkait akan semakin luas ke OA2 dan kuantitas akhir produksi meningkat ke OQ2. Gambar 1. Respon Luas Areal Tanam dan Jumlah Produksi Akhir Komoditas Tani Terhadap Harga Harga
A = f(P) P2 P1
A1
O
Luas Areal Tanam
A2
Q1 Q2 C Jumlah produksi akhir
Sumber : Ghatak dan Ingersent (1984)
Pengaruh antara harga komoditas terhadap kuantitas produksi akhir seperti yang digambarkan pada gambar 5 dapat dikembangkan di dalam satu model respon penawaran yang sederhana. Jika A adalah luas areal tanam dan Y adalah produktivitas lahan per satuan luas, maka kuantitas produksi akhir suatu komoditas pertanian (Q) diperoleh melalui persamaan berikut Q=A.Y
(3)
Diasumsikan luas tanam dan produktivitas responsif terhadap perubahan harga komoditas. Melalui total diferensiasi, didapatlah
=
+
(4)
Dengan mengasumsikan fungsi produksi bersifat constant return to scale, maka apabila persamaan 4 dibagi dengan Q/P didapatlah
4
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
.
= ⁄ ⁄
ℓ
=
ℓ
= ℓ
.
+
(5)
⁄ ⁄
+
(6)
+ ℓ
(7)
di mana, ℓ adalah elastisitas dari luas tanam terhadap harga komoditas, ℓ adalah elastisitas dari produktivitas lahan terhadap harga komoditas, dan ℓ adalah elastisitas dari kuantitas produksi terhadap harga komoditas. Produktivitas dari setiap faktor produksi diukur melalui produk rata-rata (average product). Produk ratarata didapatkan dari hasil pembagian antara kuantitas akhir produksi terhadap jumlah faktor produksi yang dilibatkan. Apabila diasumsikan bahwa suatu usaha tani hanya melibatkan tanah dan tenaga kerja sebagai faktor produksinya, maka produktivitas lahan dapat diperoleh dari Y/A dan produktivitas tenaga kerja dapat diperoleh dari Y/L (Y : kuantitas produksi akhir komoditas pertanian ; A : luas lahan yang digunakan untuk bercocok tanam ; L : jumlah tenaga kerja yang dilibatkan dalam kegiatan produksi). Hubungan antara produktivitas lahan dan produktivitas tenaga kerja, sebagaimana dikutip dari Hayami dan Ruttan (1985), dapat dituliskan dalam persamaan identitas berikut.
≡
×
log
(8)
≡ log
+ log
(9)
Peningkatan produktivitas dapat dicapai melalui perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi dapat meningkatkan kuantitas akhir produksi dengan menggunakan faktor kuantitas dalam jumlah yang sama atau lebih sedikit (Nicholson dan Snyder, 2010). Dengan kata lain, perkembangan teknologi meningkatkan jumlah produk rata-rata dari setiap faktor produksi yang dilibatkan dalam sebuah proses produksi. Perkembangan teknologi direpresentasikan melalui pergeseran kurva total produksi fisik ke arah atas. Dalam gambar 2 diperlihatkan bahwa tanpa kehadiran perkembangan teknologi, petani akan menggunakan bibit sejumlah a dan memperoleh kuantitas produksi akhir sebesar b. Apabila petani menggunakan bibit dengan kualitas yang lebih tinggi (dalam hal ini penggunaan bibit unggul mewakili perkembangan teknologi), maka kurva total produksi fisik petani bergeser ke FP2 dan petani akan menikmati peningkatan kuantitas produksi akhir sebesar bc dengan jumlah bibit yang sama. Gambar 2. Dampak dari Perkembangan Teknologi Terhadap Kuantitas Akhir Produksi Kuantitas produksi akhir
c
efek perkembangan teknologi
FP2 FP1
b
Jumlah bibit
a Sumber : Metcalf (1969)
5
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
2.2
Konsep Terkait Konversi Lahan Sawah
Konversi lahan sawah didefinisikan sebagai perubahan luas lahan pada tahun t (Lt) dari luas lahan pada tahun sebelumnya (Lt-1). Besarnya perubahan tersebut diperoleh melalui pengurangan antara pencetakan sawah baru pada tahun t (Ct) terhadap alih fungsi lahan sawah pada tahun t (At). Secara matematis, konversi lahan dapat diformulasikan sebagai berikut (Lt – Lt-1) = (Ct – At) (10) Fenomena kompetisi penggunaan lahan antara kegiatan pertanian dan non-pertanian dapat dijelaskan melalui model spasial yang dikembangkan oleh Hatwick dan Olewiler (1998). Model spasial ini diilustrasikan dalam gambar 6. Gambar 6. Ilustrasi Model Spasial Penggunaan Lahan rente
ri2(x)
ri1(x)
rj(x) 0
x*
xj
x**
jarak spasial
0
Kawasan perumahan
Kawasan perumahan setelah perubahan rente
Lahan pertanian
Sumber : Hartwick dan Olewiller (1998), diolah
6
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
jarak spasial
Alokasi penggunaan lahan bergantung pada rente yang dihasilkan oleh kegiatan yang diusahakan di atas lahan tersebut. Dalam ilustrasi ini, pemilik tanah menggunakan lahannya untuk perumahan dan kegiatan usaha tani. Rente yang dihasilkan dari sektor perumahan adalah ri dan rente yang dihasilkan oleh kegiatan usaha tani adalah rj. Rente dari kedua aktivitas tersebut akan sama pada titik kejauhan x* (ri(x*) = rj(x*)). Lahan pada jarak spasial 0 hingga x* akan digunakan untuk kawasan perumahan karena rente yang dihasilkan oleh sektor perumahan lebih tinggi dibandingkan usaha pertanian pada jarak spasial tersebut. Sedangkan lahan pada jarak spasial x* hingga xj akan digunakan sebagai lahan pertanian sebab rente yang dihasilkan oleh usaha pertanian lebih tinggi dibandingkan sektor perumahan pada jarak spasial tersebut. Seandainya peningkatan permintaan masyarakat akan tempat tinggal meningkatkan nilai jual rumah, maka rente yang dapat diperoleh dari sektor perumahan akan meningkat dari ri1 ke r12. Akibatnya, pemilik tanah mengubah luas lahan yang pada awalnya digunakan untuk usaha pertanian menjadi perumahan sebesar x* - x**. Apabila rente dari sektor perumahan terus meningkat dan rente dari usaha pertanian tidak mengalami pertambahan, maka seluruh lahan yang dimiliki oleh si pemilik tanah dapat dikonversi seluruhnya menjadi kawasan perumahan. Dampak langsung dari konversi lahan pertanian adalah hilangnya kuantitas produksi potensial yang dapat dihasilkan dari lahan tersebut. Irawan dan Friyatno dalam Ilham et.al (2006) memformulasikan rumus dasar kehilangan produksi akibat konversi lahan sawah pada satu tahun di wilayah tertentu sebagai berikut Qti = Lti . Iti . Yti (11) Keterangan Q : kuantitas produksi akhir komoditas pertanian L : luas baku sawah I : intensitas panen padi per tahun Y : produktivitas padi per satuan luas lahan t : indeks tahun i : indeks wilayah Menurut Irawan (2005), dampak konversi lahan pertanian terhadap masalah pangan bersifat permanen, kumulatif, dan progresif. Dampak dari konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian bersifat permanen (irreversible) karena rente dari lahan sawah yang telah dikonversi ke penggunaan non-pertanian telah naik berlipat ganda sehingga lahan tersebut tidak akan pernah lagi digunakan untuk kepentingan pertanian. Rente yang dihasilkan oleh lahan sawah relatif sangat rendah apabila dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya, yaitu 1 : 500 terhadap industri, 1 : 622 terhadap perumahan, 1 : 14 terhadap pariwisata, dan 1 : 2,6 terhadap hutan produksi (Nasoetion dan Winoto dalam Ilham et.al , 2006). Selama rente dari lahan sawah tidak meningkat secara signifikan, maka lahan sawah yang telah dialihfungsikan akan tetap bersifat irreversible. Kesenjangan produksi yang ditimbulkan oleh konversi lahan sawah bersifat kumulatif. Hal ini dikarenakan pemulihan produksi pangan dari pencetakan sawah baru membutuhkan jangka waktu yang panjang8. Gambar 6 mengilustrasikan dampak konversi lahan yang bersifat kumulatif tersebut. Gambar 7. Dampak Kumulatif Konversi Lahan Sawah Terhadap Masalah Pangan
8
Asyik (1996) dalam Irawan (2005) mengemukakan bahwa diperlukan waktu sekitar 10 tahun agar lahan sawah yang baru dicetak dapat berproduksi secara optimal. Lambatnya optimalisasi produktivitas lahan sawah cetakan baru disebabkan jumlah air yang dibutuhkan oleh sawah cetakan baru lebih banyak air dibandingkan sawah konvensional yaitu antara 2 hingga 2,5 liter/detik/hektar. Sedangkan sawah konvensional hanya membutuhkan air sebanyak 1 liter/detik/hektar.
7
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
Produksi, permintaan, dan impor beras
Qs = Qd dk1 = M1 M2 = dk1 + dk2
Qs1
dk1 Qs2
tahun t0
t1
t2
Sumber : Irawan (2005), diolah
Pada tahun t0, kuantitas produksi beras (Qs) sama dengan kuantitas permintaan beras (Qd). Kemudian, terjadi konversi lahan sawah pada t1 sehingga produksi beras turun ke Qs1. Untuk memenuhi kelebihan permintaan, maka pemerintah melakukan impor sebesar M1. Kuantitas impor (M1) tersebut pada dasarnya merupakan dampak konversi lahan sawah yang terjadi pada t1 sebesar dk1. Apabila pada t2 kembali terjadi konversi lahan, maka dampak konversi lahan yang ditanggung pemerintah pada t2 merupakan akumulasi dari dampak konversi pada t1 dan t2 (dk1+dk2) sehingga pemerintah melakukan impor sebesar M2. Pola kumulasi dampak ini akan terus berlanjut selama konversi lahan sawah terus terjadi9. Alih fungsi lahan pertanian untuk kegiatan non-pertanian akan membuka akses transportasi yang lebih baik sehingga merangsang peningkatan permintaan lahan oleh investor atau spekulan tanah. Peningkatan harga lahan akibat meningkatnya permintaan dari pihak eksternal tersebut menjadi insentif bagi petani lain untuk menjual lahannya. Akibatnya, luas lahan yang dikonversi di wilayah tersebut akan semakin besar seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu, dampak dari konversi lahan dikatakan progresif. Gambar 8 mengilustrasikan dampak konversi lahan yang bersifat progresif tersebut. Gambar 8. Dampak Progresif Konversi Lahan Sawah Terhadap Masalah Pangan
9
Dampak konversi lahan yang kumulatif ini berlaku dengan asumsi kuantitas permintaan beras dan produktivitas lahan konstan.
8
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
Produksi, permintaan, dan impor beras
Qs = Qd
dk1 = M1
Qs1 dk2
M2 = dk1 + dk2
Qs2
tahun t0
t1
t2
Sumber : Irawan (2005), diolah
Pada tahun t0, kuantitas produksi beras (Qs) sama dengan kuantitas permintaan beras (Qd). Kemudian, terjadi konversi lahan sawah pada t1 sehingga produksi beras turun ke Qs1. Untuk memenuhi kelebihan permintaan, maka pemerintah melakukan impor sebesar M1. Kuantitas impor (M1) tersebut pada dasarnya merupakan dampak konversi lahan sawah yang terjadi pada t1 sebesar dk1. Konversi lahan sawah pada t1 membuat permintaan dari pihak eksternal akan tanah di kawasan tersebut meningkat sehingga harga tanah di kawasan tersebut naik. Peningkatan harga tanah tersebut memicu akselerasi konversi lahan pada t2 sebab petani meresponi kenaikan harga lahan dengan menjual lahan mereka kepada pihak eksternal. Akibat konversi lahan yang terjadi pada t2, pemerintah melakukan impor sebesar M2. Dampak konversi lahan yang progresif ini akan terus berlanjut selama kenaikan harga tanah menginsentif petani untuk menjual lahannya10. III.
METODE
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah diutarakan dalam bagian pendahuluan, penelitian ini berupaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi produksi padi Indonesia dalam kaitannya untuk mencapai swasembada beras serta menghitung elastisitas dari tiap-tiap faktor terhadap tingkat produksi padi dalam negeri. Di dalam penelitian ini, variabel-variabel yang digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung tercapainya swasembada beras Indonesia adalah produksi beras Indonesia sebagai variabel dependen, serta harga beras di tingkat produsen di Indonesia, luas panen padi di Pulau Jawa, luas panen padi di luar Pulau Jawa, dan produktivitas lahan tanam padi Indonesia sebagai variabel independen. Harga padi Indonesia diduga menjadi salah satu pemicu utama petani untuk berproduksi. Menurut teori penawaran klasik, harga produk yang relatif tinggi akan mendorong para produsennya untuk berproduksi dalam jumlah yang lebih banyak. Dalam penelitiannya, Mubyarto (1965) menyimpulkan bahwa petani padi di kawasan Jawa dan Madura tetap meresponi kenaikan harga beras dalam menentukan keputusan produksi mereka, yang mana kenaikan harga beras pada satu waktu akan ditanggapi dengan kenaikan produksi pada periode tanam berikutnya. Namun, Heady (1982) menyatakan bahwa petani pada umumnya lebih terdorong oleh motif mekanis dibandingkan motif ekonomi dalam berproduksi. Hal ini diperkuat oleh penelitian Lains, 10
Dampak konversi lahan yang progresif ini juga berlaku dengan asumsi kuantitas permintaan beras dan produktivitas lahan konstan.
9
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
seperti dikutip oleh Koo, Karmana, dan Erlandson (1985), yang menyatakan bahwa petani beras di Indonesia tidak meresponi perubahan harga beras, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Variabel harga beras yang digunakan di dalam penelitian ini adalah harga gabah kering giling di tingkat produsen, bukanlah harga beras di tingkat konsumen. Hal ini disebabkan petani di Indonesia pada umumnya tidak menjual beras mereka secara langsung kepada konsumen karena mereka tidak memiliki sarana penggilingan padi. Petani padi akan menjual padi mereka kepada pengusaha penggilingan padi pada tingkat harga gabah di tingkat produsen. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Parhusip (1976) serta Koo, Karmana, dan Erlandson (1985) menemukan bahwa harga beras Indonesia di tingkat konsumen beda kala satu tahun tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pergerakan tingkat produksi beras Indonesia. Luas areal panen diinduksi ke dalam penelitian ini karena lahan merupakan faktor produksi yang paling esensial dalam kegiatan usaha tani padi11. Seturut dengan konsep fungsi produksi, kuantitas produksi beras Indonesia akan meningkat seiring dengan semakin luasnya areal panen padi. Di dalam penelitian ini, luas areal panen padi dibedakan atas dua kategori, yaitu luas areal panen di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa. Pemisahan kedua kategori tersebut dikarenakan lahan pertanian di Pulau Jawa memiliki tingkat kesuburan satu setengah hingga dua kali lebih tinggi dibandingkan lahan pertanian di luar Pulau Jawa. Peningkatan produksi, yang direpresentasikan pula melalui pergeseran kurva penawaran ke arah kanan, salah satunya disebabkan oleh adanya peningkatan teknologi. Efek dari perkembangan teknologi pertanian dalam penelitian ini ditangkap oleh variabel produktivitas lahan. Beberapa penelitian sebelumnya menggunakan variabel time trend untuk menangkap efek dari perkembangan teknologi pertanian tersebut. Secara umum, persamaan yang akan dibangun dalam penelitian ini adalah PRODt = f(PRINDt-1 , AREAJAVAt , AREANOJAVAt , YIELDt)
(10)
Keterangan : PROD = kuantitas produksi padi Indonesia PRIND = harga padi Indonesia di tingkat produsen AREAJAVA = luas area panen padi di Pulau Jawa AREANOJAVA = luas area panen padi di luar Pulau Jawa YIELD = produktivitas padi Indonesia t = indeks tahun. Persamaan 3.1 dilandaskan atas empat asumsi dasar, yaitu : 1) laju pertumbuhan populasi konstan, 2) marjin pemasaran dan proporsi dari hasil produksi padi yang dijual ke pasar konstan, 3) kebijakan-kebijakan pertanian, seperti subsidi, kebijakan harga maksimum atau minimum, dianggap konstan, dan 4) kuantitas produksi padi aktual sama dengan kuantitas produksi padi yang direncanakan (Parhusip, 1976). Transformasi model (1) ke dalam bentuk model double log atau model elastisitas konstan akan menghasilkan model sebagai berikut. Log PRODt = β1 + β2 Log PRINDt-1 + β3 Log AREAJAVAt + β4 Log AREANOJAVAt + β5 Log YIELDt + et
(11)
Seperti tercantum di dalam Nachrowi dan Usman (2006), elastisitas X dari Y dalam persamaan log Y = β1 + β2 log X didefinisikan sebagai
. Karena, β =
∂ log Y ∂ log X
Luas areal panen belum tentu sama dengan luas areal tanam. Luas areal panen mengacu pada luas areal tanam yang mana tanaman yang diusahakan di atasnya menghasilkan produk akhir yang dapat dipanen. Luas areal tanam yang tidak menghasilkan produk tidak dimasukkan ke dalam perhitungan luas areal panen. Perhitungan luas areal panen juga didasarkan pada intensitas musim panen. Apabila suatu lahan sawah dipanen sebanyak dua kali dalam satu tahun, maka luas areal panen untuk lahan sawah tersebut merupakan akumulasi luas area tanam yang menghasilkan produk untuk setiap musim panen. 11
10
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
maka seluruh koefisien slope β pada model double log di atas merupakan elastisitas faktor terkait dari produksi beras dalam negeri. Alasan penerapan transformasi model dalam penelitian ini ke dalam bentuk double log, seperti dikutip dari Foote (1958) dalam Koo, Karmana, dan Erlandson (1985), adalah : 1) hubungan antar variabel cenderung mengarah pada penggandaan dibandingkan penambahan, 2) hubungan antar variabel akan lebih stabil dalam bentuk persentase dibandingkan dalam nilai absolut, dan 3) nilai residual yang tidak dijelaskan dalam model akan lebih seragam ketika diekpresikan dalam bentuk persentase dibandingkan dalam nilai absolut. Kelebihan dari penggunaan model double log adalah koefisen regresi dalam model dapat diterjemahkan langsung sebagai ukuran elastisitas variabel dependen terhadap variabel independen. Rentang waktu yang menjadi periode observasi dalam penelitian ini adalah antara tahun 1972 hingga 2011. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Kementerian Pertanian. Estimasi model dalam penelitian ini dilakukan dengan metode ordinary least squared (OLS) menggunakan software ekonometrika Eviews 6. Keterbatasan dari penelitian ini adalah variabel independen yang dilibatkan dalam model. Terdapat beberapa variabel lainnya yang secara teoretis cukup relevan untuk diinduksi ke dalam model namun tidak dilakukan oleh penulis, seperti harga bahan masukan (misal : pupuk, upah buruh tani) dan harga komoditas substitusi beras Indonesia di tingkat produsen (misal : harga singkong, harga jagung, harga kentang). Harga bahan masukan tidak dilibatkan oleh penulis karena data yang tersedia tidak secara khusus dikategorikan untuk usaha tani padi, khususnya data upah buruh tani di sektor pertanian padi. Harga komoditas substitusi juga tidak disertakan oleh penulis sebab para petani dewasa ini cenderung lebih memilih untuk bercocok tanam komoditas yang memiliki nilai jual tinggi, seperti semangka, kedelai, atau tembakau, dibandingkan komoditas substitusi padi jika mereka memilih untuk tidak menanam padi lagi12. Di sisi lain, data terkait harga produk hortikultura dan palawija yang tersedia tidak tersedia sepanjang waktu observasi yang diinginkan penulis.
IV.
HASIL DAN ANALISIS
Pada penelitian ini, produksi padi Indonesia diduga dipengaruhi oleh luas panen padi di Pulau Jawa, luas panen padi di luar Pulau Jawa, harga gabah Indonesia di tingkat produsen, dan produktivitas lahan padi Indonesia, dengan periode observasi antara tahun 1972 hingga 2011. Model ditransformasi ke dalam bentuk double log untuk menghindari adanya heterokedastisitas dan menghasilkan nilai koefisien determinasi yang lebih baik. Metode estimasi yang digunakan adalah ordinary least square (OLS) dan data yang akan diregresi berupa data deret berkala (time series). Sebelum melakukan regresi time series, data-data yang mewakili setiap variabel di dalam model, baik variabel terikat maupun variabel bebas, harus dipastikan stasioner untuk menghindari terjadinya regresi palsu (spurrious regression). Suatu rangkaian data dikatakan stasioner apabila bebas dari unit root problem. Keberadaan dari unit root problem tersebut dapat dideteksi dengan menggunakan uji Augmented Dicky-Fuller. Hasil uji Augmented Dicky-Fuller untuk rangkaian data dari setiap variabel yang terlibat di dalam model telah dipaparkan di dalam tabel 9. Tabel 9. Hasil Uji Stasioneritas Data Variabel
Penyataan dalam Model
Logaritma natural dari kuantitas produksi beras dalam negeri Logaritma natural dari luas panen padi di Pulau Jawa Logaritma natural dari luas panen
Prob. Augmented Dicky-Fuller t-stat Level First Difference
LOGPROD
0.0368
-
LOGAREAJAVA
0.9061
0.0000
LOGAREANOJAVA
0.7704
0.0000
12
Di dalam penelitian yang mengambil kerangka waktu observasi antara tahun 1970 hingga 1980an disebutkan bahwa petani padi cenderung akan beralih untuk menanam komoditas substitusi padi, semisal singkong, kentang, atau jagung, apabila harga padi di pasaran kurang memuaskan. Perilaku ini telah berubah memasuki era 2000an di mana petani lebih memilih untuk bercocok tanam produk hortikultura dan palawija yang bernilai jual tinggi ketika harga jual padi di pasaran kurang memuaskan (lihat Kompas.com 2 Agustus 2011, Aktual.co 3 Januari 2013, VivaNews 18 Januari 2010, dan TribunSumsel.com 5 September 2012).
11
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
padi di luar Pulau Jawa Logaritma natural dari harga gabah di tingkat produsen beda kala satu tahun terdeflasikan Logaritma natural dari produktivitas lahan pertanian padi Indonesia Sumber : hasil pengolahan data
LOGPRIND_1
0.0065
-
LOGYIELD
0.0178
-
Prob. Augmented Dicky-Fuller t-stat diinterpretasikan sebagai besarnya probabilita untuk menolak H0 dari uji ini, yaitu setiap variabel memiliki unit root. Rangkaian data dikatakan stasioner apabila nilai dari prob. Augmented Dicky-Fuller t-stat berada di bawah 5 persen. Berdasarkan hasil yang terdapat pada tabel 9, terdapat dua variabel yang tidak stasioner pada tingkat level, yaitu logaritma natural dari luas panen padi di Pulau Jawa dan luas panen di luar Pulau Jawa. Kedua variabel tersebut ditransformasi ke dalam bentuk pembedaan pertama dari Log(AREAJAVA) menjadi D(LOGAREAJAVA) serta Log(AREANOJAVA) menjadi D(LOGAREANOJAVA) agar menjadi stasioner. Karena variabel logaritma natural dari luas panen padi di Pulau Jawa dan luas panen di luar Pulau Jawa stasioner setelah ditransformasi ke dalam bentuk pembedaan pertama, maka seluruh variabel dapat diregresi ke dalam model ekonometrika. Model ekonometrika yang akan diestimasi dalam penelitian ini menjadi : Log PRODt = β1 + β2 Log PRINDt-1 + β3 D(Log AREAJAVA)t + β4 D(Log AREANOJAVA)t + β5 Log YIELDt + et R-squared yang didapatkan dari hasil regresi adalah sebesar 0,987659 dan adjusted R-squared sebesar 0.985730. Artinya, variabel-variabel bebas yang terpilih di dalam model mampu menjelaskan sekitar 98,57 persen dari variasi variabel terikat. Hanya 1,427 persen dari variasi variabel terikat yang dijelaskan oleh variabel bebas di luar model. Nilai statistik f yang diperoleh dari hasil regresi adalah sebesar 768.5867 dan prob (Fstatistic) sebesar 0,0000. Nilai prob (F-statistic) lebih kecil dibandingkan taraf α sebesar 5 persen sehingga H0 dari uji F harus ditolak. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel bebas yang disertakan di dalam model mampu secara bersama-sama menjelaskan keragaan dari variabel terikat dengan baik. Model dalam penelitian ini bebas dari masalah penyimpangan asumsi klasik yang ada. Tidak ada gejala multikolinearitas di antara variabel-variabel terikat yang dilibatkan di dalam model ini. Berdasarkan matriks korelasi, angka korelasi antar variabel independen tidak ada yang melebihi 0,8. Model ini juga terbebas dari masalah heterokedastisitas. Berdasarkan hasil uji Breusch-Pagan-Godfrey, nilai prob Obs*R-squared lebih besar dibandingkan taraf α sebesar 5 persen sehingga H0 dari uji Breusch-Pagan-Godfrey, yaitu model bersifat homokedastis, diterima. Model ini tidak terganggu oleh masalah autokorelasi setelah menambahkan AR(1) ke dalam model13. Sebelum mengubah model ke dalam bentuk autoregresif, hasil regresi persamaan (2) pada bab Metodologi Penelitian mengalami autokorelasi yang kuat dengan nilai Durbin-Watson stat. 0,898035. Penambahan AR(1) ke dalam model meningkatkan nilai Durbin-Watson stat. menjadi 1,984719. Sesuai dengan rule of thumb yang banyak digunakan, maka model dalam penelitian ini disimpulkan tidak memiliki masalah autokorelasi14. Model autoregresif berbentuk hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas yang merupakan nilai dari variabel terikat tersebut pada waktu sebelumnya. Proses tersebut dinyatakan sebagai AR(p) dengan p adalah orde waktu beda kala yang disertakan ke dalam model. Model autoregresif yang paling sederhana adalah AR(1) yang diekspresikan melalui persamaan berikut ini. Yt = β0 + β1 Yt-1 + et Implikasi dari model AR(1) ini adalah bahwa perilaku dari variabel terikat ditentukan oleh nilai dari variabel terikat tersebut satu periode sebelumnya. Pemilihan orde untuk persamaan autoregresif ini tidak hanya terbatas pada satu periode sebelumnya saja. Berdasarkan rule of thumb yang banyak diterapkan, pemilihan orde tergantung pada signifikansi variabel AR di dalam regresi (Agung, 2009). Misal, AR(3) masih signifikan apabila disertakan di dalam suatu model regresi. Ketika pembuat model memasukkan AR(4) ke dalam modelnya, ternyata AR(4) tidak signifikan. Artinya, orde AR tertinggi yang baik untuk dimasukkan ke dalam model adalah orde beda kala 3 periode. 13
Hanya AR(1) yang disisipkan ke dalam model untuk mengatasi masalah autokorelasi. AR(2), AR(3), dan AR(p) lainnya tidak dimasukkan karena tidak signifikan secara statistik. 14
12
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
Model yang diregresi di dalam penelitian ini adalah persamaan 4.2 dalam bab Metodologi Penelitian yang disesuaikan dengan transformasi variabel LOGAREAJAVA dan LOGAREANOJAVA ke dalam bentuk pembedaan pertama (first difference), yaitu DLOGAREAJAVA dan DLOGAREANOJAVA. Hasil pendugaan koefisien regresi terlampir pada tabel 2. Tabel 10. Hasil Pendugaan Persamaan Produksi Padi di Indonesia, 1972 – 2011 Variabel DLOGAREAJAVA DLOGAREANOJAVA LOGPRIND_1 LOGYIELD AR(1)
Koefisien -0.040953 0.44487 0.076751 1.529718 0.664885
Standard Error 0.134378 0.189808 0.045263 0.112181 0.14187
Prob. T-statistic 0.7625 0.0255** 0.0997*** 0.0000* 0.0000*
Keterangan *** : signifikan pada α = 10 persen ** : signifikan pada α = 5 persen * : signifikan pada α = 1 persen Sumber : hasil pengolahan data
Signifikansi tiap-tiap variabel bebas dalam mempengaruhi variabel terikat dapat dideteksi melalui Prob. T-statistic. Prob. T-statistic merupakan besarnya probabilita untuk menolak Ho dari uji statistik T, yaitu variabel bebas tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat. Variabel bebas dikatan memiliki hubungan yang signifikan dengan variabel terikat ketika nilai Prob. T-Statistic lebih kecil dibandingkan α pada tingkat 1 persen, lima persen, dan sepuluh persen. Berdasarkan hasil regresi pada tabel 2, tiga dari empat variabel bebas yang diajukan di dalam persamaan awal signifikan secara statistik dalam berbagai interval kepercayaan. Hanya variabel DLOGAREAJAVA saja yang tidak signifikan secara statistik. Koefisien regresi dalam model double log dapat diinterpretasikan secara langsung sebagai sebagai elastisitas variabel terikat terhadap variabel bebas. Transformasi variabel LOGAREAJAVA dan LOGAREANOJAVA mengakibatkan perubahan interpretasi pada variabel luas areal panen padi di Pulau Jawa dan di luar pulau Jawa yang termasuk di dalam model. DLOGAREAJAVA dalam model ini diinterpretasikan sebagai persentase perubahan konversi luas areal panen padi di Pulau Jawa, sedangkan DLOGAREANOJAVA dalam model ini diinterpretasikan sebagai persentase perubahan konversi luas areal panen padi di luar Pulau Jawa. Persentase perubahan luas areal panen padi di luar Pulau Jawa diestimasikan memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan perubahan kuantitas produksi padi di Indonesia. Penulis menduga insignifikansi korelasi antara persentase perubahan luas panen padi di Pulau Jawa dengan kuantitas produksi padi Indonesia terkait oleh melambatnya pertumbuhan luas areal panen di Pulau Jawa, khususnya dalam 20 tahun terakhir. Sejak tahun 1970 hingga 1990, lebih dari lima puluh persen luas areal panen padi di Indonesia berasal dari usaha tani padi di Pulau Jawa. Memasuki periode 1990an, pertumbuhan luas panen di Pulau Jawa tersebut melambat dari 1,24 persen per tahun ke 0,93 persen per tahun sehingga lebih dari lima puluh persen dari luas panen padi di Indonesia justru berasal dari usaha tani padi di luar Pulau Jawa (lihat gambar 3). Perlambatan tersebut ditengarai akibat dari konversi lahan sawah yang banyak terjadi di Pulau Jawa. Sensus Pertanian 2003 mencatat bahwa laju penyusutan sawah di Pulau Jawa mencapai 55.720 hektar per tahun15. Gambar 3. Perkembangan Luas Panen Padi Indonesia, 1970 – 2011
15 Japan International Cooperation Agency dalam Mulyana (1998) memperkirakan bahwa konversi lahan irigasi di kawasan Jawa dalam periode 1990 hingga 2020 mencapai 20.000 – 25.000 hektar per tahun dengan kecenderungan meningkat. Diestimasikan kerugian yang diderita oleh Indonesia setiap konversi satu hektar lahan sawah di Jawa adalah sekitar 4.000 dolar Amerika Serikat (Tambunan, 2008).
13
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
14,000,000 12,000,000 10,000,000 8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
0
Luas Panen Padi Indonesia (hektar)
Luas Panen Padi, Jawa (hektar)
Luas Panen Padi, Luar Jawa (hektar)
Sumber : PUSDATIN Kementerian Pertanian
Persentase perubahan luas areal panen padi di luar Pulau Jawa antar tahun diestimasikan memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kuantitas produksi padi Indonesia. Produksi padi Indonesia akan meningkat pada saat persentase perubahan luas areal panen padi di luar Pulau Jawa antar tahun meningkat. Korelasi ini telah dijelaskan secara teoretis pada model respon penawaran dalam bagian Tinjauan Referensi. Ketika harga suatu komoditas pertanian naik, maka petani meresponinya dengan memperluas areal luas tanamnya akan komoditas tersebut yang mana pada akhirnya kuantitas produksi akhir dari komoditas tersebut juga akan meningkat, ceteris paribus. Akselerasi satu persen pada perubahan luas areal panen padi di luar Pulau Jawa hanya akan berdampak pada peningkatan kuantitas produksi padi Indonesia sebesar 0.44487 persen. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa pendekatan peningkatan produksi padi di Indonesia melalui perluasan areal tanam, atau dikenal sebagai ekstensifikasi, kurang efektif. Hal ini dapat dipahami secara teknis mengingat diperlukan waktu sekitar sepuluh tahun bagi agar lahan sawah yang baru dicetak dapat berproduksi secara optimal (Irawan, 2005). Lambatnya optimalisasi penggunaan sawah cetakan baru tersebut disebabkan jumlah air yang dibutuhkan oleh sawah cetakan baru lebih banyak dibandingkan dengan sawah konvensional, yaitu antara 2 hingga 2,5 liter/detik/hektar16. Kurang efektifnya perluasan areal tanam di luar Pulau Jawa dipertegas dengan kenyataan bahwa lahan-lahan pertanian yang ada di luar Pulau Jawa secara umum tidak lebih subur dibandingkan dengan lahan-lahan pertanian yang ada di Pulau Jawa. Perubahan harga padi di tingkat produsen beda kala satu tahun diestimasikan memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan perubahan kuantitas produksi padi di Indonesia. Ketika harga jual padi di tingkat produsen naik pada tahun tertentu, maka petani padi akan meningkatkan kuantitas produksi akhirnya pada satu tahun berikutnya. Artinya, petani padi di Indonesia masih mempertimbangkan pergerakan harga jual padi dalam menyusun keputusan berproduksinya. Kesimpulan ini menepis argumen Heady (1982) yang menyatakan bahwa petani pada umumnya lebih terdorong oleh motif mekanis dibandingkan motif ekonomi dalam berproduksi. Apabila memperhatikan keragaan data pada gambar 4, Walaupun petani padi di Indonesia menanggapi kenaikan harga padi di tingkat produsen beda kala satu tahun dengan peningkatan kuantitas produksi akhir, produksi padi Indonesia dapat dikatakan inelastis terhadap harga padi beda kala satu tahun. Peningkatan satu persen harga padi di tingkat produsen beda kala satu tahun yang dideflasikan terhadap indeks harga perdagangan besar akan berdampak pada peningkatan kuantitas produksi padi sebesar 0,076751 persen. Koo, Karmana, dan Erlandson (1985) juga menemukan bahwa peningkatan produksi padi Indonesia antara tahun 1966 hingga 1975 tidak begitu responsif terhadap perubahan harga padi beda kala satu tahun, yang mana produksi padi Indonesia akan naik hanya sebesar 0,58 persen untuk setiap satu persen kenaikan harga padi di tingkat produsen beda kala satu tahun. Inelastisnya produksi beras terhadap harga jual padi di tingkat produsen beda kala satu tahun mengindikasikan bahwa harga padi bukan merupakan komponen utama yang dapat menggenjot kuantitas 16
Sawah konvensional pada umumnya membutuhkan pengairan sebanyak 1 liter/detik/hektar.
14
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
produksi padi nasional. Menurut laporan Jones dan Willet dalam Parhusip (1976), tidak ada respon positif yang kuat antara luas areal tanam dan produktivitas padi terhadap harga padi yang tinggi di jangka pendek sebab harga padi yang lebih tinggi meningkatkan pendapatan riil petani dan petani meresponinya dengan mengonsumsi beras hasil produksi mereka lebih banyak dari sebelumnya. Oleh karena itu, harga yang tinggi tidak dapat secara tunggal menggenjot produksi nasional dan dibutuhkan faktor lain yang dapat menggerakkan petani untuk dapat memproduksi padi dalam jumlah yang lebih besar. Produksi padi Indonesia diestimasikan memiliki hubungan yang positif dengan produktivitas padi per satuan luas lahan. Ketika produktivitas padi per satuan luas lahan berhasil ditingkatkan, maka kuantitas produksi akhir padi yang dihasilkan oleh para petani juga akan meningkat. Kesimpulan ini dapat dipahami secara teoretis mengingat kurva total produksi, yang mewakili kuantitas akhir yang dapat diproduksi oleh produsen dengan mengutilisasi seluruh sumber dayanya, hanya dapat digeser oleh perkembangan teknologi (lihat bab Telaah Kepustakaan). Dalam konteks pertanian, efek dari perkembangan teknologi di sektor pertanian ditunjukkan melalui peningkatan produktivitas lahan. Produksi padi juga dapat dikatakan elastis terhadap produktivitas padi. Peningkatan satu persen pada produktivitas lahan tanam padi pada satu tahun akan diikuti dengan peningkatan kuantitas produksi padi nasional sebesar 15,29718 persen. Hasil ini mengindikasikan bahwa upaya peningkatan produksi padi Indonesia lebih baik dititikberatkan pada intensifikasi pertanian dibandingkan ekstensifikasi pertanian. Kesimpulan terbatas ini pernah dialami oleh Indonesia pada awal masa pemerintahan Orde Baru. Antara tahun 1970 hingga 1984, produksi padi Indonesia tumbuh 101,987 persen. Peningkatan produksi padi yang signifikan tersebut lebih disokong oleh peningkatan produktivitas lahan dibandingkan peningkatan luas areal panen. Dalam periode yang sama, produktivitas padi Indonesia meningkat 64,32 persen sedangkan luas panen Indonesia hanya tumbuh sebesar 20,018 persen. Peningkatan produktivitas tersebut ditengarai berasal dari programprogram revolusi hijau semisal Bimbingan Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas). Walaupun menunjukkan tren yang meningkat, produktivitas padi Indonesia cenderung melandai dalam satu dekade terakhir (lihat gambar 4). Produktivitas padi meningkat 3,14 persen per tahun dalam jangka waktu 1970 - 1989. Namun dalam satu dekade terakhir, angka pertumbuhan produktivitas padi tersebut menyusut ke kisaran 1,2 persen per tahun. Stagnasi peningkatan produktivitas padi tersebut mengindikasikan bahwa lahan pertanian di Indonesia telah mencapai titik jenuhnya (levelling off)17. Gejala levelling off lahan pertanian padi Indonesia tersebut diakibatkan penggunaan pupuk yang berlebihan serta rendahnya inovasi teknologi yang dikembangkan oleh lembaga penelitian pertanian dalam negeri (Effendi et.al, 2008). Irawan (2004) menemukan bahwa 87,5 persen dari perlambatan produktivitas padi sawah di Jawa disebabkan oleh laju peningkatan mutu usaha tani yang semakin lambat sedangkan 12,5 persen sisanya disebabkan oleh penggunaan varietas unggul padi yang semakin lambat. Hasil temuan tersebut dapat dijadikan acuan bagi pembuat kebijakan untuk menentukan langkah-langkah yang ditempuh untuk memompa produktivitas padi di Indonesia secara umum. Gambar 4. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia, 1970 – 2011
17
Pingali dan Rosegrant dalam Irawan (2004) menjelaskan bahwa terdapat empat mekanisme yang dapat membuat kelelahan lahan pada lahan sawah akibat usaha tani padi yang intensif, yaitu : 1) meningkatnya salinitas tanah, terbetuknya tanah yang keras dan padat, 3) meningkatnya toksisitas tanah, dan 4) punahnya mikroorganisme pembentuk unsur nitrogen sehingga kemampuan tanah untuk menyediakan unsur tersebut semakin berkurang. Kelelahan lahan ini akan mengakibatkan respon produktivitas usaha tani terhadap peningkatan penggunaan bahan masukan serta penyempurnaan mutu usaha tani menjadi semakin tidak signifikan. Hasil kajian Irawan (2003) dalam Irawan (2004) di tiga propinsi, yaitu Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan mengungkapkan gejala tersebut. Respon produktivitas padi sawah terhadap bahan masukan usaha tani jauh lebih rendah pada lahan sawah yang telah ditanami padi secara intensif (dua atau tiga kali dalam satu tahun) dan dalam jangka waktu yang lebih lama.
15
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
7 6 5 4 3 2 1 0
Produktivitas Padi Nasional (ton/hektar) Produktivitas Padi, Lahan Jawa (ton/hektar)
1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
Produktivitas Padi, Lahan Luar Jawa (ton/hektar)
Sumber : PUSDATIN Kementerian Pertanian
Salah satu tantangan dalam pengembangan inovasi-inovasi teknologi pertanian di Indonesia adalah harga lahan di luar Pulau Jawa. Selama biaya pembukaan lahan sawah di luar Pulau Jawa lebih rendah dibandingkan dengan biaya riset pengembangan teknologi pertanian, maka pemerintah akan lebih memilih untuk menempuh ekstensifikasi dibandingkan intensifikasi untuk meningkatkan kuantitas produksi beras Indonesia. Variabel AR(1) di dalam model dapat diinterpretasikan sebagai produksi padi beda kala satu tahun. Variabel ini secara statistik signifikan mempengaruhi kuantitas produksi beras Indonesia. Artinya, petani Indonesia juga mempertimbangkan kuantitas produksi padi pada satu tahun sebelumnya dalam keputusan berproduksinya. Ketika produksi padi Indonesia beda kala satu tahun meningkat satu persen, maka kuantitas produksi beras Indonesia akan meningkat 0,664 persen.
V.
SIMPULAN
Swasembada beras selalu menjadi tujuan utama dari pembangunan pertanian Indonesia dari tahun ke tahun. Kurang efektifnya diversifikasi pangan yang dicanangkan oleh pemerintah membuat pencapaian swasembada melalui pendekatan peningkatan produksi menjadi lebih wajar untuk dilakukan. Keberhasilan sebuah program pemerintah sangat ditentukan oleh pemilihan indikator sasaran yang tepat. Penelitian ini akan mencoba menganalisis faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi tingkat produksi padi domestik dalam kapasitasnya menuju swasembada beras. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah produksi padi Indonesia diestimasikan dipengaruhi secara signifikan oleh persentase perubahan luas panen padi di luar Pulau Jawa, harga padi di tingkat produsen beda kala satu tahun, dan produktivitas lahan. Ketiga variabel bebas tersebut memiliki korelasi positif terhadap produksi padi Indonesia. Variabel produktivitas padi diestimasikan memiliki pengaruh yang paling besar terhadap peningkatan produksi padi dibandingkan kedua variabel bebas lainnya. Peningkatan satu persen produktivitas padi akan diikuti dengan peningkatan produksi padi Indonesia sebesar 1,529 persen. Oleh karena itu, kebijakan yang lebih tepat diambil oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk menggenjot produksi beras Indonesia adalah melalui intensifikasi. Intensifikasi dapat ditempuh melalui penyebarluasan sistem irigasi teknis atau penemuan varietas bibit padi yang unggul. Apabila pemerintah tetap ingin membentuk sentra produksi padi baru melalui pembukaan lahan sawah baru, hendaknya pembukaan lahan sawah tersebut mengambil lokasi di luar Pulau Jawa. Meskipun tingkat kesuburan lahan pertanian di Pulau Jawa 1,5 hingga 2 kali dibandingkan lahan-lahan subur di luar Pulau Jawa, hasil penelitian ini menemukan bahwa peningkatan persentase perubahan luas areal panen padi di Pulau Jawa tidak signifikan berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi Indonesia. Di sisi lain, pemerintah juga perlu mengawasi pergerakan harga gabah di tingkat produsen agar harga gabah yang terbentuk tetap menjadi insentif bagi petani padi untuk tetap berproduksi. Instrumen yang digunakan pemerintah untuk mengendalikan harga gabah adalah melalui penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) akan gabah. HPP gabah hendaknya ditetapkan sesuai dengan harga pasar.
16
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
Untuk penelitian selanjutnya, hendaknya variabel produktivitas padi dipecah ke dalam beberapa komponen lain, misal jumlah penggunaan pupuk per satuan luas lahan untuk usaha tani padi, jumlah traktor yang digunakan oleh petani padi, luas lahan sawah padi beririgasi teknis, atau luas lahan yang ditanami oleh varietas padi unggul. Pembagian variabel produktivitas ke dalam kategori yang lebih sempit lagi ini ditujukan untuk mengetahui sumber utama produktivitas padi di Indonesia. Mengingat data-data yang direkomendasikan tersebut tidak tersedia dalam jangka waktu sebelum periode 1980an, maka penulis menyarankan penelitian selanjutnya menggunakan data panel. Di samping itu, penulis juga menyarankan adanya faktor biaya bahan masukan di dalam penelitian sebelumnya. Faktor yang dimaksud antara lain harga pupuk yang digunakan oleh petani padi, upah buruh tani pada usaha tani padi.
DAFTAR PUSTAKA Darwanto, Dwidjono H. (2005). Ketahanan Pangan Berbasis Produksi dan Kesejahteraan Petani. Jurnal Ilmu Pertanian, Vol. 12, No. 2, hlm. 152-164. Edison, Andy Mulyana, Ferry Jie, dan Kevin A. Parton (2011). The Analysis of Supply Response of Rice Under Risk in Jambi Province. Makalah dipresentasikan di Annual Australian Agricultural and Resource Economics Society Conference ke-5 di Melbourne, 8 – 11 Februari 2011. Food and Agriculture Organization. www.fao.org Firdaus, Muhammad, Lukman M. Baga, dan Purdiyanti Pratiwi (2008). Swasembada Beras dari Masa ke Masa: Telaah Efektivitas Kebijakan dan Perumusan Strategi Nasional. Bogor: IPB Press. Ghatak, Subrata dan Ken Ingersent (1984). Agriculture and Economic Development. Maryland: The Johns Hopkins University Press. Gujarati, Damodar N. (2003). Basic Econometrics 4e. New York: United States Military Academy. Hartwick, John M. dan Nancy D. Olewiller (1998). The Economics of Natural Resource Use 2e. Amerika Serikat: Addison-Wesley. Hayami, Yujiro dan Vernon W. Ruttan (1985). Agricultural Development: An International Perspective. London: The Johns Hopkins University Press. Heady, Oarl O. (1952). Economics of Agricultural Production and Resource Use. Amerika Serikat: Prentice Hall. Ilham, Nyak, Yusman Syaukat, dan Supena Friyatno (2006). Perkembangan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Sawah Serta Dampak Ekonominya. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%2811%29%20socanyak%20ilham%20dkk-konversi%20lahan%281%29.pdf. [Diakses pada tanggal 23 Februari 2012] Irawan, Bambang (2004). Produktivitas Potensial dan Mutu Usahatani Padi di Jawa: Kecenderungan dan Konsekuensinya Terhadap Upaya Peningkatan Produksi Padi. Makalah Kerja no. 31: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Departemen Pertanian. ------------------------- (2005). Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 23 No. 1, hlm. 1 – 18. Kargbo, Alimami M. (1979). Factors Affecting Demand and Supply of Rice in Sierra Leone. Makalah Penelitian diserahkan ke Michigan State University. Koo, Won W., Maman H. Karmana, dan Gordon W. Erlandson (1985). Analysis of Demand and Supply of Rice in Indonesia. Agricultural Economics Report no. 202: North Dakota State University. Metcalf, David (1969). The Economics of Agriculture. Maryland: Penguin Books Mubyarto (1965). The Elasticity of the Marketable Surplus of Rice in Indonesia: A Study in Java-Madura. Disertasi: Iowa State University of Science and Technology. -------------- (1995). Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES. Mulyana, Ahmad (1998). Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas: Suatu Analisis Simulasi. Disertasi: Institut Pertanian Bogor. Nachrowi, Nachrowi D. dan Hardius Usman (2006). Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan: Pendekatan Populer dan Praktis. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Natawidjaja, Ronnie S. (2001). Dinamika Pasar Beras Domestik. Dalam Achmad Suryana dan Sudi Mardianto, ed. Bunga Rampai Ekonomi Beras, hlm. 59 – 81. Jakarta: Penerbit Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
17
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013
Nicholson, Walter dan Christopher Snyder (2010). Intermediate Microeconomics and Its Application 11e. Mason: South-Western Cengage Learning. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian (2011). Outlook Komoditas Pertanian Pangan: Padi. Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Parhusip, Uben (1976). Supply and Demand Analysis of Rice in Indonesia (1950 – 1972). Makalah Penelitian diserahkan ke Michingan State University. Salassi, Michael E. (1995). The Responsiveness of U.S. Rice Acreage to Price and Production Costs. Journal of Agriculture and Applied Economics, Vol. 27 no. 2, hlm. 386-399. Sawit, M. Husein (2001). Kebijakan Harga Beras: Periode Orba dan Reformasi. Dalam Achmad Suryana dan Sudi Mardianto, ed. Bunga Rampai Ekonomi Beras, hlm. 59 – 81. Jakarta: Penerbit Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Simatupang, Pantjar dan I Wayan Rusastra (2004). Kebijakan Pembangunan Sistem Agribisnis Padi. Dalam Badan Litbang Pertanian – Departemen Pertanian Indonesia, Ekonomi Padi dan Beras Indonesia, hlm. 363392. Suryana, Achmad dan Ketut Kariyasa (2008). Ekonomi Padi di Asia: Suatu Tinjauan Berbasis Kajian Komparatif. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 26 No. 1, hlm. 17 – 31. Tambunan, Tulus (2008). Ketahanan Pangan di Indonesia, Mengidentifikasi Beberapa Penyebab. Mimeo., Universitas Trisakti: Jakarta. Timmer, Peter C. (2004). Food Security in Indonesia: Current Challenges and the Long-Run Outlook. Makalah Kerja no. 48: Center for Global Development. United States Department of Agriculture. www.fas.usda.gov Wahyunto (2009). Lahan Sawah di Indonesia Sebagai Pendukung Ketahanan Pangan Nasional. Informatika Pertanian, Vol. 18 no. 2, hlm. 133 – 152. Yu, Bingxin dan Shenggen Fan (2009). Rice Production Response in Cambodia. Makalah dipresentasikan di International Association of Agricultural Economists Conference di Beijing, 16 – 22 Agustus 2009.
18
Analisis faktor-faktor…, Bisuk Abraham Sisungkunon, FE UI, 2013