ANALISIS DAYA DUKUNG LAHAN DI KOTA BAUBAU, SULAWESI TENGGARA
MUHAMMAD MU’MIN FAHIMUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Dukung Lahan di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016
Muhammad Mu’min Fahimuddin P052120271
RINGKASAN MUHAMMAD MU’MIN FAHIMUDDIN. Analisis Daya Dukung Lahan di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh BABA BARUS dan SRI MULATSIH. Daya dukung didefinisikan sebagai kemampuan lingkungan untuk mendukung aktivitas hingga tingkat tertentu. Telah banyak konsep dikembangkan untuk menjelaskan daya dukung diantaranya daya dukung fisik lingkungan dan ekonomi. Selain itu, daya dukung dimaknai pula sebagai batasan polulasi pada daerah dan waktu tertentu. Batasan ini sangat ditentukan oleh jumlah sumberdaya dan tingkat konsumsi. Mengetahui daya dukung lahan di wilayah perkotaan sangatlah penting. Daya dukung lahan yang didekati dengan pendekatan ekologi dan ekonomi membantu mengetahui penggunaan lahan lebih menitikberatkan pertimbangan ekologi atau ekonomi, atau kedua-duanya. Hasil riset yang telah banyak dilakukan menunjukkan bahwa secara global telah terjadi peningkatan luasan penggunaan lahan terbangun. Kecenderungan ini juga terjadi pada kota-kota di Indonesia tak terkecuali di Kota Baubau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya dukung lahan di Kota Baubau baik secara fisik lahan maupun ekonomi lahan dan merumuskan arah kebijakan melalui penataan ruang. Metode penelitian ini dengan dua pendekatan yaitu pendekatan fisik dan ekonomi lahan. Pendekatan fisik terdiri atas analisis penggunaan lahan aktual, analisis kemampuan lahan dan rencana pola ruang. Tiap analisis menghasilkan peta yang ditumpangtindihkan untuk menghasilkan status daya dukung lahan secara fisik. Pendekatan ekonomi lahan dilakukan melalui perhitungan nilai ekonomi setiap penggunaan lahan. Nilai ekonomi lahan diperoleh melalui nilai ekonomi dinamis dan nilai ekonomi statis. Nilai ekonomi dinamis berdasarkan nilai produktivitas lahan (recardian rent) sedang nilai ekonomi statis berdasarkan nilai biaya yang dibutuhkan untuk membuat penggunaan lahan tersebut. Nilai ekonomi dibandingkan nilai Kualitas Hidup Layak (KHL) untuk mengetahui memenuhi daya dukung secara ekonomi atau tidak memenuhi. Hasil penilaian dengan pendekatan fisik lahan dan ekonomi ditumpangtindihkan untuk mengetahui status daya dukung lahan berkelanjutan atau tidak berkelanjutan. Secara fisik lahan di Kota Bauabau yang memenuhi daya dukung adalah 21 890.80 ha (74.68 %) dan tidak memenuhi seluas 7 423.13 ha (25.32 %). Secara ekonomi, tujuh kelurahan yang tidak memenuhi daya dukung dari 38 kelurahan di Kota Baubau. Hasil overlay antara daya dukung fisik dengan ekonomi lahan menunjukkan status keberlanjutan dimana 21 421.25 ha (73.08 %) berkelanjutan dan 7 892.68 ha (26.92 %) tidak berkelanjutan. Kebijakan rencana penataan ruang di Kota Baubau hingga tahun 2030 luas penggunaan lahan terbangun meningkat hingga 45.43 %. Peningkatan tersebut diikuti dengan berkurangnya luasan lahan pangan dan kehutanan. Berdasarkan hal tersebut arahan pengelolaan lahan di Kota Baubau dilakukan dengan pengendalian penggunaan lahan terbangun dan perlindungan lahan pangan dan konservasi (kehutanan). Kata kunci: Baubau, daya dukung lahan, ekonomi lahan, kemampuan lahan, penggunaan lahan
SUMMARY Muhammad Mu'min Fahimuddin. Carrying Capasity Analysis of Land in Baubau City, Southeast Sulawesi Province. Supervised by BABA BARUS and SRI MULATSIH. Carrying capacity defined as the ability of environment to support activities to a specific level. Many of the concepts that have been developed to explain the carrying capacity of the environment including physical carrying capacity and the economy carrying capacity. Moreover, the carrying capacity can also be interpreted as limiting the density of polulasi certain area and a certain time. These limits are largely determined by the amount of resources and the level of consumption. Knowing the carrying capacity of land in urban areas is very important. Carrying capacity of land with ecological and economic approach can help to determine whether a land use more focus to ecology or economy, or both. The results of the research that has been done shows that globally there has been a increase in the extent of use of undeveloped land. This trend also occurred in several cities in Indonesia including in Baubau city. This study aims to determine the carrying capacity of the land in the City Baubau both physically and economically, and to formulate policy direction through the arrangement of space. This research method with two approaches, physical and economic approaches land. Physical approach consists of the analysis of the actual land use, land capability analysis and spatial pattern plan. Each analysis produce maps that overlaid to generate status carrying capacity of land to physically. Economic land approach is done by calculating the economic value of each class of land use. The economic value of the land acquired through the dynamic economic value and static economic value. Dynamic economic value based on the production of land use (recardian rent), while static economy value based on the costs required to make the land use. The economic value compared to the value of the Quality of Life to determine the carrying capacity economically meet or not meet the carrying capacity. Results of the assessment with the physical and economic approach overlaid to know the status of carrying capacity, sustainable or unsustainable. Physically (ecology) of land in the Baubau city that meet the carrying capacity is 21 890.80 ha (74.68%), which does not meet the carrying capacity is 7 423.13 ha (25.32%). Economically there are seven villages that do not meet the carrying capacity of 38 villages. If an overlay between the physical and economic carrying capacity of land shows the status of sustainability in which 21 421.25 ha (73.08%) sustainable and 7 892.68 ha (26.92%) are not sustainable. Furthermore, the policy of spatial planning in the Baubau city to 2030, area build up land and high economic activity increase to 45.43%. The increase was accompanied by a reduced land area of food and forestry. Based on the mentioned, the direction of land management in the Baubau city to do with controlling the use of build up land; and protection to land of food and conservation (forestry). Keywords: Baubau city, the carrying capacity of the land, land economics, land capability, land use.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS DAYA DUKUNG LAHAN DI KOTA BAUBAU, SULAWESI TENGGARA
MUHAMMAD MU’MIN FAHIMUDDIN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Widiatmaka, DEA
PRAKATA Segala puji dan rasa syukur tak terhingga penulis haturkan karena tesis ini salah satu anugerah yang luar biasa dari Allah SWT. Shalawat dan salam kerinduan yang teramat sangat untuk kekasih Ilahi, Muhammad SAW karena telah membawa petunjuk keselamatan dan panutan akhlak yang baik. Melalui Baginda Rasul Muhammad SAW Habibillah, penulis peroleh keteladanan tentang perjuangan dari sebuah proses. Karya tulis ini tak sekadar sebagai upaya memenuhi syarat menyelesaikan studi magister di Institut Pertanian Bogor (IPB). Namun didorong oleh kegelisahan dan rasa ingin tahu terkait studi daya dukung di perkotaan khususnya Kota Baubau. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kecenderungan pembangunan perkotaan di Indonesia semakin mengenyampingkan aspek ekologi. Kalaupun ada, sebatas tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan yang faktanya masih dilaksanakan setengah hati. Kajian isu lingkungan saat ini telah mendapat perhatian yang serius dimata dunia. Perhatian tersebut memuncak diawal dekade 70-an dengan dicetuskan KTT Bumi pertama di Stockholm, Swedia. Bahkan KTT Bumi ikut mempengaruhi lahirnya UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Nama kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup menjadi kementerian Negara Lingkungan Hidup. Sejak itu, Indonesia mulai aktif mengikuti pertemuan KTT Bumi tahun 1982 di Nairobi, Kenya dan menjadi anggota World Commission on Environment and Development (WCED). Salah satu isu lingkungan hidup yang sering mencuat dipermukaan adalah daya dukung (carriying capasity) lingkungan. Daya dukung (carrying capasity) secara sederhana dimaknai sebagai kemampuan suatu lahan tertentu untuk menampung atau memberi kehidupan secara baik dan layak berdasarkan sumber daya yang dimilikinya. Terdapat tiga persoalan pelik yang sering kali dikaitkan dengan masalah daya dukung yaitu tekanan penduduk (populasi), kebutuhan ruang tinggal dan ketersediaan sumberdaya. Saat ini, daya dukung digunakan untuk mengukur tingkat keberlanjutan baik wilayah tertentu maupun bumi secara global. Tesis ini mencoba mengurai wilayah yang lebih kecil yakni lahan Kota Baubau dengan pendekatan daya dukung. Pemilihan ini cukup beralasan karena: pertama, hampir semua sektor dan aktivitas pembangunan dilakukan diatas lahan. Aktivitas pembangunan tersebut sangat menentukan pola penggunaan lahan yang terjadi. Kedua, kajian daya dukung lahan sangat penting untuk wilayah perkotaan karena aktivitas ekonomi, pembangunan dan perubahan penggunaan lahan sangat dinamis terjadi di kota. Ketiga, penulis sangat merasakan betul “denyut nadi” pembangunan di Kota Baubau. Di kota ini hampir tidak ada kajian yang lebih serius terkait lingkungan hidup. Menurut penulis, Kota Baubau sebagai kota yang masih relatif muda, kajian daya dukung lahan penting menjadi arahan pembangunan dan langkah preventif terjadinya kerusakan lahan (ekologi). Sejak proses pengumpulan data hingga penulisan tesis ini melibatkan banyak pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada mereka. Pertama-tama Bapak Dr. Ir. Baba Barus,MSc dan Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, MSc.Agr selaku pembimbing I dan II yang tidak hanya memberikan
arahan namun tak bosan memberikan dorongan dan motivasi. Penghargaan buat Bapak Lala M Kolopaking dan Bang Sofyan Sjaf yang telah memberi kesempatan belajar di PSP3-IPB melalui Sekolah Drone Desa (SDD) sehingga banyak gagasan tesis ini penulis “uji coba” di sana. Penulis juga berterima kasih kepada Pemerintah Kota Baubau dan jajaran SKPD-nya yang telah menfasilitasi berbagai data. Tak lupa pula penulis berterima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan PSL 2012, kawan-kawan RUMANA IPB SULSEL yang selalu berbagi keceriaan disaat suntuk, kawan-kawan RESPECT, rekan-rekan Sekolah Drone Desa (SDD) PSP3-IPB yang telah menemani belajar. Saudaraku se-rumah kontrakan Dik Fiqar, Dik Fitrah, kawan janjang dan yang datang belakangan Yadi Laode dan kawan Ibo, kalian luar biasa dan sangat membantu. Terima kasih untuk Kanda Yusran Darmawan bersama keluarga kendati saya selalu mengajak “ribut” tapi selalu menjamu sebagai saudara dan hadir saat penulis Kanker (kantong Kering). Terkhusus kedua orang tua penulis ayahanda Drs. H. Faimuddin dan Ibunda Nursia yang telah membukakan pintu dunia dan memperkenalkan isinya, memberikan nasehat, petuah dan inspirasi, memanjatkan doa-doa terbaik setiap waktu. Sungguh ananda penuh dosa dan belum membalas segala kebaikan kalian. Mertua penulis, Alm. Drs. Supomo Supadi dan Almh. Sulfiani Supomo, posisi kalian sudah seperti orang tua penulis. Terima kasih telah menitipkan buah hati kalian untuk mendampingi penulis saat susah dan senang. Ya Allah, berikan tempat terbaik disana buat kedua mertua hamba. Aamin. Teristimewa untuk istriku tercinta Fira Diah Setiawaty yang semoga kelak menjadi bidadariku di surga. Terima kasih telah dengan sabar mendampingi, menyemangati dan mencurahkan segala kasih ditengah segala kekuarangan. Ayah janji akan membuatkan rumah indah itu untukmu agar tenang mendidik anak-anak kita. Amiratushafirah, engkau belahan hati dan kedua biji mataku. Maafkan Ayah, Nak..,karena usiamu yang kini 4 tahun, selama 3 tahun Ayah tidak berada disampingmu. Kata-katamu “Amirah rindu Ayah” selalu menjadi penyemangat buat ayah. Akhirul kalam, akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada segala pihak yang telah membantu dan tak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Di tengah bangsa ini yang begitu besar, karya tulis ini hanyalah langkah kecil dari niat tulus untuk mengabdi kepada negeri. Atas segala kekurangan dari karya tulis ini penulis mohonkan masukan yang konstruktif untuk perbaikan pada penelitian selanjutnya. Bogor, Maret 2016
Muhammad Mu’min Fahimuddin
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xii 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 3 Tujuan 4 Manfaat Penelitian 4 Kerangka Pemikiran 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 Daya Dukung (Carrying Capasity) 5 Penggunaan Lahan 7 Kemampuan Lahan 9 Land Rent 10 Geographic Information System (GIS) 11 3 METODE PENELITIAN 12 Lokasi dan Waktu Penelitian 12 Alat Penelitian 12 Jenis dan Sumber Data Penelitian 12 Analisis Data 13 Analisis Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan 13 Intrepretasi Penggunaan Lahan (land use) Aktual 144 Analisis Kemampuan Lahan 14 Evaluasi Keselarasan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Rencana Pola Ruang 16 Analisis Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan 23 Menyusun Arahan Pengelolaan Lahan Di Kota Baubau Berbasis Daya Dukung Lahan 24 4 KONDISI UMUM WILAYAH 25 Administrasi Wilayah 25 Kondisi Fisik Wilayah 26 Topografi 26 Klimatologi 26 Hidrologi 26 Kondisi Sosial Ekonomi 27 Perekonomian 27 Rencana Pola Ruang Kota Baubau 28 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 29 Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan 29 Penggunaan Lahan Aktual 29 Analisis Kemampuan Lahan 41 Evaluasi Penggunaan Lahan aktual dan Pola Ruang RTRW 45 Evaluasi Keselarasan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Kemampuan Lahan 45 Evaluasi Keselarasan Rencana Pola Ruang RTRW Terhadap Kemampuan Lahan 47
Evaluasi Keselarasan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Rencana Pola Ruang RTRW 50 Evaluasi Keselarasan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan Aktual dan Rencana Pola Ruang RTRW 52 Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan. 55 Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan 58 Penggunaan Lahan Pertanian 58 Penggunaan Lahan Peternakan dan Tambak 59 Penggunaan Lahan Kehutanan 60 Penggunaan Lahan Hotel 60 Penggunaan Lahan Pemukiman 60 Penggunaan Lahan Komersil 61 Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Publik 62 Penggunaan Lahan Pelabuhan dan Bandar Udara 62 Penggunaan Lahan Pemakaman dan Terminal 63 Penggunaan Lahan Pusat Pendidikan, Bangunan Pemerintah, Tempat Ibadah dan Jalan 63 Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan 63 Arahan Pengelolaan Lahan Berbasis Daya Dukung Lahan 69 Rumusan Asumsi 69 Penilaian Daya Dukung Lahan 70 Arahan Tindak Lanjut 74 6 SIMPULAN DAN SARAN 76 Simpulan 76 Saran 76 DAFTAR PUSTAKA 76 RIWAYAT HIDUP 102
DAFTAR TABEL 3.1 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan pilihan penggunaan lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007) 3.2 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan 3.3 Matriks penilaian keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan 3.4 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang RTRW 3.5 Contoh matriks penilaian keselarasan kemampuan lahan, rencana pola ruang RTRW dan penggunaan lahan aktual 3.6 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik lahan dan nilai ekonomi lahan 4.1 Nilai PDRB Kota Baubau setiap sektor berdasarkan harga berlaku pada tahun 2010 dan 2011 5.1 Klasifikasi penggunaan lahan aktual Kota Baubau. 5.2 Foto lapangan dan citra setiap penggunaan lahan aktual
15 18 19 20 215 25 28 30 32
5.3 Luas kelas dan sub kelas kemampuan lahan di Kota Baubau 5.4 Hasil evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terrhadap kemampuan lahan 5.5 Luas dan rencana pola ruang RTRW Kota Baubau 5.6 Hasil evaluasi keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan 5.7 Hasil evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang RTRW 5.8 Luas setiap kategori keselelarasan lahan dikota Baubau 5.9 Populasi jenis ternak/komoditi di Kota Baubau 5.10 Jenis dan jumlah pedagang kaki lima di ruang terbuka publik 5.11 Nilai land rent beberapa penggunaan lahan aktual 5.12 Status daya dukung lahan berdasarkan nilai ekononomi lahan setiap kelurahan di Kota Baubau 5.13 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik lahan dan nilai ekonomi lahan 5.14 Luasan lahan dengan status daya dukung berkelanjutan dan tidak berkelanjutan perkelurahan
45 47 48 49 52 53 59 62 64 68 71 73
DAFTAR GAMBAR 1.1 3.1 3.2 4.1 5.1 5.2
5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12
Kerangka pikir penelitian analisis daya dukung lahan di Kota Baubau Peta lokasi penelitian Proses klasifikasi penggunaan lahan (land use) Peta rencana pola ruang RTRW Kota Baubau Peta penggunaan lahan Kota Baubau Sebaran faktor pembatas kelerengan (a), sebaran faktor pembatas tekstur (b), sebaran faktor pembatas kedalaman tanah (c), dan sebaran faktor pembatas drainase (d) untuk analisis kemampuan lahan di Kota Baubau Kelas kemampuan lahan di Kota Baubau Sub kelas kemampuan lahan di Kota Baubau Evaluasi penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan Evaluasi keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan Evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang RTRW Evaluasi keselarasan kemampuan lahan, penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang RTRW Sebararan lahan terbangun dan non terbangun Sebaran nilai ekonomi penggunaan lahan per kelurahan Peta sebaran status daya dukung lahan setiap kelurahan di Kota Baubau Arahan pengelolaan ruang di Kota Baubau
5 13 14 29 31
42 43 44 46 50 51 55 65 67 72 75
DAFTAR LAMPIRAN 1 Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas mengikuti Arsyad (2010) 79 2 Contoh sub kelas kemampuan lahan pada satuan lahan homogen 80 3 Perhitungan daya dukung berdasarkan ketersediaan lahan 81 4 Perhitungan land rent beberapa penggunaan lahan aktual 85
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan sangat ditentukan oleh sumberdaya alam diantaranya lahan. Lahan merupakan modal dasar berlangsungnya proses pembangunan. Meningkatnya populasi dan pembangunan memberikan tekanan terhadap lahan. Apalagi mayoritas penduduk Indonesia berusaha pada sektor pertanian. Oleh karena itu, kualitas sumberdaya lahan harus dijaga dari berbagai bentuk degradasi lahan yang dapat mengancam kemampuan dan produktivitas lahan. Upaya konservasi sumberdaya lahan mutlak diperlukan untuk mempertahankan kualitas lahan yang digunakan (Mahmudi 2002). Peraturan Menteri (PERMEN) Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2009 menjelaskan bahwa lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfir, atmosfir, tanah, geologi, timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur. Permen tersebut kemudian menguraikan lebih lanjut bahwa setiap lahan memiliki karakteristik untuk menunjukkan daya dukung lingkungan (carrying capacity). Daya dukung dalam pengertian yang luas dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem (lingkungan) untuk mendukung suatu aktivitas pada level tertentu. Definisi ini menyebabkan daya dukung tidak dapat dijelaskan secara tunggal dan sederhana. Secara umum telah banyak konsep yang dikembangkan untuk menjelaskan daya dukung diantaranya daya dukung fisik lingkungan (physical) dan daya dukung ekonomi (economic) (Rustiadi et al. 2009). Braithwaite et al. (2012) mendefinisikan daya dukung sebagai batasan kepadatan polulasi tertentu pada daerah dan waktu tertentu. Batasan ini sangat ditentukan oleh jumlah sumberdaya dan tingkat konsumsi. Menurut Tilman (1982) segala sesuatu yang dikonsumsi oleh spesies berpotensi membatasi sumber daya yang dikonsumsi itu. Istilah konsumsi oleh Tilman digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang digunakan termasuk ruang yang didiami oleh organisme atau populasi tertentu. Berangkat definisi ini, Braithwaite et al. (2012) berpendapat bahwa ruang adalah sumber daya sebagai tempat untuk melakukan aktivitas (berkonsumsi). Konsep diatas digunakan untuk menjelaskan daya dukung lahan secara fisik lingkungan dan daya dukung lahan secara ekonomi. Secara fisik lingkungan (ekologis), daya dukung lahan erat kaitannya dengan tata guna atau penggunaan lahan. Baja (2012) mengungkapkan bahwa penggunaan lahan berkelanjutan sangat ditentukan oleh cara pandang dan persepsi pengambil keputusan (decision maker) dan pengguna/pengelola lahan (land manager). Cara pandang itu berupa upaya perimbangan dan keadilan antara fungsi ekologi dan fungsi ekonomi penggunaan lahan. Daya dukung lahan secara ekonomi dapat dijelaskan dengan pendekatan land rent. Melalui pendekatan land rent, dapat memberikan gambaran terkait perkembangan penduduk disertai usaha-usahanya untuk meningkatkan kesejahteraannya yang seringkali berdampak terhadap daya dukung suatu wilayah (Rustiadi et al. 2009). Lahan dinilai dari aspek produktifitas lahan, biaya
2
pemanfaatan, pendapatan, keuntungan dan aspek ekonomik lainnya. Pada wilayah yang lebih luas, untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, analisis dapat dilakukan pada setiap unit land use atau unit administrasi yang lebih sempit yakni kecamatan dan desa. Di daerah perkotaan, mengetahui daya dukung lahan sangatlah penting. Daya dukung lahan yang didekati dengan pendekatan ekologi dan ekonomi dapat membantu untuk mengetahui apakah penggunaan lahan lebih menitikberatkan pertimbangan ekologi atau ekonomi, atau kedua-duanya. Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Seto et al. (2011) dari 326 studi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan luasan wilayah perkotaan di dunia seluas 58,000 km2 dari tahun 1970 hingga 2000. Peningkatan luasan tersebut mendorong hilangnya lahan pertanian, kehutanan, mempengaruhi iklim setempat, fragmen habitat, dan mengancam keanekaragaman hayati menjadi penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi (Kumar 2009, Seto et al. 2011 dan Santos et al. 2014). Lahan dalam konteks otonomi daerah memainkan peranan yang sangat penting. Secara ekonomi, sembilan sektor pembangunan daerah yang tertuang dalam PDRB daerah berbasis pada lahan. Pengaturan tata guna lahan sangat menentukan besaran sumbangan sembilan sektor tersebut terhadap PDRB. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor dalam PDRB daerah yang produktifitasnya ditentukan oleh produktifitas lahan. Kota Baubau sebagai kota yang relatif masih muda dalam pengembangannya harus memperhatikan aspek daya dukung yang tertuang dalam perencanaan penggunaan lahan. Kota Baubau terbentuk menjadi daerah otonom pada tanggal 21 Juni 2001 berdasarkan UU No 13 Tahun 2001. Wilayah Kota Baubau dengan total luas 29 313.96 ha awalnya memiliki empat kecamatan. Di tengah perjalanannya, di wilayah ini kemudian terbentuk tiga kecamatan baru yang merupakan pemekaran dari kecamatan yang sudah ada sebelumnya (Darmawan 2008). Tertuang dalam dokumen RTRW kota Baubau, visi kota Baubau adalah terwujudnya kota Baubau sebagai kota budaya yang produktif dan nyaman, melalui optimalisasi sumberdaya lokal secara profesional dan amanah, menuju masyarakat sejahtera, bermartabat, dan religi. Upaya mewujudkan visi ini tentu saja sangat terkait erat dengan pola pengelolaan dan pemanfaatan lahan kota. Secara geografis Kota Baubau terletak di bagian tengah Indonesia yakni bagian dari Sulawesi Tenggara dan merupakan satu-satunya jalur pelayaran nasional di Sulawesi Tenggara (SULTRA). Jumlah penduduk Kota Baubau menurut hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 1990 berjumlah 77 224 jiwa. Pada tahun 2000 mencapai 106,092 jiwa, sehingga laju pertumbuhan penduduk per tahun selama 10 tahun sebesar 3.23 %. Angka pertumbuhan ini cukup besar karena dipicu oleh adanya eksodus baik dari Ambon maupun dari Timor-Timur. Hasil registrasi penduduk pada akhir tahun 2006 berjumlah 122 339 jiwa. Dari jumlah tersebut, terdapat jumlah penduduk laki-laki sebanyak 57 027 jiwa (46.61 %) dan perempuan 65 312 jiwa (53.39 %). Jumlah rumah tangga (household) 28 416 KK dengan rata-rata 4-5 orang anggota per KK (Darmawan 2008). Situs resmi pemerintah kota Baubau (baubaukota.go.id) menyebutkan berdasarkan Sensus Penduduk (SP) 2010 bertambah lagi hingga mencapai 136,991 orang.
3
Rumusan Masalah Daya dukung lahan dapat dijelaskan dengan dua pendekatan yakni pendekatan fisik lingkungan dan pendekatan ekonomi. Kedua pendekatan ini secara pragmatis sekaligus menjelaskan dua manfaat lahan yakni manfaat secara ekologi dan manfaat secara ekonomi. Pendekatan fisik lingkungan memberikan arahan ekologis dalam hal penggunaan lahan. Pendekatan fisik lingkungan menegaskan bahwa penggunaan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahannya. Produktivitas dan besaran manfaat lahan dapat diukur berdasarkan tingkat kemampuan lahan tersebut. Penekanan pada kemampuan lahan ini untuk memberikan jaminan bahwa penggunaan lahan tidak melampaui daya dukung lahan sehingga keberlanjutan dapat terjaga. Pendekatan ekonomi memberikan gambaran tentang nilai lahan secara ekonomi (land rent). Dalam analisis land rent ada dua hal yang mempengaruhi nilai ekonomi lahan. Pertama adalah seberapa besar nilai produktifitas lahan tersebut. Ini yang biasa disebut recardian rent. Selain itu, faktor jarak dari pusat kota atau pertumbuhan juga mempengaruhi nilai land rent atau biasa disebut dengan locational rent. Idealnya kedua aspek tersebut dalam tata guna lahan harus berjalan seimbang dan simultan. Namun kenyataannya, seiring dengan laju pembangunan dan populasi manusia keseimbangan aspek ekologi dan ekonomi terhadap lahan sering terabaikan. Trend penggunaan lahan di wilayah perkotaan mengarah untuk penggunaan lahan dengan nilai ekonomi tinggi (non pertanian dan kehutanan) seperti pemukiman, pemerintahan dan aktivitas ekonomi (Kumar 2009, Santos et al. 2014). Hal ini memang tersurat dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Selain itu, Jayadinata (1999) dan Martokusumo (2006) yang mengutip Levebre (1990) menegaskan bahwa kawasan perkotaan lebih diprioritaskan untuk kegiatan pemukiman, pemerintahan dan aktivitas ekonomi. Namun bukan berarti bahwa penggunaan lahan di wilayah perkotaan mengabaikan aspek daya dukung fisik lingkungan. Ada beberapa alasan penting mengapa daya dukung harus diperhatikan dalam tata guna lahan. Pertama, untuk memastikan keberlanjutan lahan karena lahan memiliki karakter dan kapasitas maksimum untuk menampung kehidupan dan aktifitas tertentu. Jika ini terlampaui maka akan berdampak pada kerusakan lahan dan munculnya bencana alam. Kedua, banyaknya regulasi yang memberikan pedoman dalam tata guna lahan untuk tidak mengabaikan aspek daya dukung lingkungan. Ketiga, tidak semua wilayah perkotaan di Indonesia memiliki kondisi biofisik dan sosial yang sama. Masih banyak wilayah di Indonesia yang statusnya sebagai kota namun secara aktual masih mencirikan non perkotaan seperti didominasi oleh hutan dan pertanian. Hal ini juga didukung oleh regulasi dan kebijakan daerah untuk mempertahankan kualitas lingkungan hidup sekaligus sebagai komoditi andalan pada kota tersebut. Kota Baubau adalah salah satu kota baru yang terdapat di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kota Baubau ditetapkan sebagai kotamadya sejak tahun 2001 yang awalnya adalah bagian administrasi dari Kabupaten Buton. Kondisi aktual penggunaan lahan Kota Baubau masih di dominasi oleh kawasan hutan dan pertanian. Hal ini cukup memberikan konstrubusi untuk menjaga kualitas lingkungan kota.
4
Kota Baubau memiliki laju populasi yang cukup tinggi yakni mencapai 3.23 % pertahunnya. Hal ini dikarenakan Kota Baubau memiliki akses yang cukup terbuka untuk dikunjungi sehingga mendorong terjadinya migrasi penduduk. Selain itu, Kota Baubau sejak masa kolonial Belanda sebagai center of network dari wilayah kepulauan Sulawesi Tenggara (Rabani 2010). Kondisi ini meningkatkan permintaan ruang untuk pemukiman dan aktivitas ekonomi lainnya dan mendorong konversi lahan pertanian dan kehutanan. Melihat penjelasan diatas, maka dibutuhkan arahan pengelolaan lahan yang terencana dengan baik. Dalam konteks tata guna lahan, perencanaan pengelolaan lahan harus memperhatikan keseimbangan daya dukung lahan secara ekologi dan secara ekonomi. Rencana pengelolaan tersebut harus tertuang dalam kebijakan. Dalam konteks kebijakan, pengaturan penggunaan lahan tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Untuk itu, RTRW harus memberikan arahan tata guna lahan dengan memperhatikan aspek daya dukung baik secara ekologi dan maupun secara ekonomi. RTRW Kota Baubau memproyeksikan pola rencana penggunaan lahan hingga tahun 2030. Hal ini tentu saja memungkinkan perubahan penggunaan lahan terhadap penggunaan lahan saat ini. Jika dikaitkan dengan kemampuan lahan, apakah penggunaan lahan saat ini dan rencana penggunaan lahan dalam RTRW telah mempertimbangkan aspek kemampuan lahan. Sebaliknya pula, apakah penggunaan lahan tersebut secara ekonomi memiliki nilai yang cukup untuk menunjang populasi penduduk di Kota Baubau. Berdasarkan uraian di atas, maka ada beberapa pertanyaan yang dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan fisik lingkungan. 2. Bagaimana daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan ekonomi. 3. Bagaimana arahan penggunaan lahan di Kota Baubau dengan pendekatan daya dukung lahan. Tujuan Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan fisik lingkungan. 2. Menganalisis daya dukung lahan aktual di Kota Baubau dengan pendekatan ekonomi. 3. Menyusun arahan penggunaan lahan di Kota Baubau dengan pendekatan analisis daya dukung lahan. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi ilmu pengetahuan; memberikan perspektif baru tentang kajian daya dukung lahan di Kota Baubau serta memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.
5
2. Bagi penentu kebijakan; menjadi sumbang saran yang konstruktif dalam menyusun rencana pembangunan khususnya perencanaan pengelolaan lahan dengan pendekatan daya dukung lahan. 3. Bagi praktisi; memberikan masukan dan referensi dalam pengelolaan lahan dengan pendekatan daya dukung lahan. Kerangka Pemikiran Adapun kerangka pikir penelitian ini adalah seperti pada diagram alir berikut: Daya dukung lahan Analisis kemampuan lahan
Fisik lingkungan
- klasifikasi land use aktual - pola ruang RTRW
Daya dukung lahan secara fisik lingkungan
Analisis land rent
Ekonomi
1.
klasifikasi aktual
land use
Daya dukung lahan secara ekonomi
Penentuan daya dukung
Berdasarkan KHL
Arahan pengelolaan lahan
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian analisis daya dukung lahan di Kota Baubau
2 TINJAUAN PUSTAKA Daya Dukung (Carrying Capasity) Daya dukung (carrying capasity) lahan secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan lahan untuk mendukung hidup manusia dan makhluk hidup lain (Baja 2012). Daya dukung biasanya dikaitkan dengan daya tampung yang oleh Baja (2012) diartikan sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalam tanah/lahan. Soemarwoto (2003) menekankan bahwa daya dukung adalah batas kemampuan untuk memasok sumber daya dan mengasimilasi zat pencemar serta ketegangan sosial. Dari sini daya dukung terkait pada lingkungan alamiah dan lingkungan sosial.
6
Rustiadi et al. (2009) menjelaskan bahwa terminologi daya dukung sulit ditafsirkan secara tunggal namun menyentuh konsep yang lebih luas. Konsep daya dukung yang telah banyak dikembangkan mencakup konsep daya dukung fisik (physical), daya dukung ekologis (ecological), daya dukung sosial (social) dan daya dukung ekonomi (economic). Ditinjau dalam perspektif lingkungan maka daya dukung mencakup dua komponen yaitu kapasitas penyediaan (supportive capasity) dan kapasitas tampung (assimilative capasity). Konsep daya dukung tidak hanya digunakan untuk menjelaskan kasus populasi manusia. Hagy dan Kaminski (2015) menggunakan konsep daya dukung untuk memahami ekologi satwa liar kaitannya dengan keberlanjutan wilayah konservasi. Studi tersebut lebih fokus pada hewan liar jenis unggas di Mississippi Timur, Tennessee Barat dan lembah Mississippi, Amerika Serikat. Melalui konsep daya dukung, Hagy dan Kaminski menjelaskan jumlah dan jenis makanan beberapa jenis unggas dan area dalam mencari makanan. Saat ini, daya dukung telah dipergunakan untuk mengukur keberlanjutan suatu wilayah. Keberlanjutan ini dikaitkan dengan ketersediaan sumberdaya alam dan lingkungan terhadap kebutuhan hidup manusia. Disini dilakukan perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan sumber daya, misalnya luas aktual lahan produktif. Luas areal yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia disebut jejak ekologi (ecological footprint). Jejak ekologi dapat dikaji dari luas aktual lahan produktif yang dihitung dengan memperbandingkan antara lahan tersedia atau akan tersedia dalam kurun waktu tertentu dan lahan yang dibutuhkan untuk menjamin kehidupan pada standar tertentu (Baja 2012). Konsep ecological footprint pertama kali dikemukakan oleh Mathias Wackernagel dalam desertasinya yang berjudul Ecological Footprint and Appropriated Carrying Capacity: A Tool for Planning Toward Sustainability pada Universitas British Columbia Tahun 1994. Perhitungan daya dukung lingkungan hidup dilakukan terhadap dua aspek utama, yaitu lahan dan air. Aspek lahan menggunakan basis neraca bioproduk dan biokapasitas serta kemampuan lahan yang mengadopsi konsep ecological footprint dan kelas kemampuan lahan sedangkan aspek air mengadopsi konsep water footprint (Rustiadi et al. 2010). Ada dua hal yang ingin didekati oleh ecological footprint. Pertama, mengukur biaya total ekologis dalam area lahan dari supply seluruh barang (pertanian, pemukiman, jalan, dll) dan jasa kepada penduduk. Kedua, sebagai indikator keberlanjutan yaitu carrying capasity. Hal yang kedua ini daya dukung dimaknai sebagai jumlah populasi maksimum yang dapat didukung oleh luasan lahan tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan ecological footprint mengukur permintaan penduduk atas alam dalam satuan metrik (Rustiadi et al. 2010). Pendekatan ecological footprint pernah digunakan oleh Bai et al. (2015) di wilayah ekologi Yuanzhou, China. Studi ini dilakukan untuk mengevaluasi keberlanjutan penggunaan lahan pertanian guna menjamin pasokan makanan (pangan) yang aman dan mencapai pembangunan pertanian berkelanjutan selama periode 1981-2009. Pendekatan yang dilakukan berdasarkan jejak ekologi (ecological footprint) yang diintegrasikan dengan analisis emergi. Analisis emergi telah digunakan untuk mengevaluasi aliran energi dalam sistem yang kompleks yang didasarkan pada prinsip energetik, teori sistem dan sistem ekologi. Metode akuntasi juga digunakan dalam studi tersebut. Metode ini telah mulai diperkenalkan sejak tahun 2005 disebut dengan emergetic ecological footprint
7
(EEF). Hasil studi menjelaskan bahwa lahan pertanian di Yuanzhou digunakan tidak berkelanjutan sejak tahun 1983. Menurut Permen LH No. 17 tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah terdapat tiga pendekatan untuk mengukur daya dukung lingkungan yaitu 1) berdasarkan kemampuan lahan, 2) berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan lahan (neraca lahan), dan 3) berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan air (neraca air). Permen tersebut menegaskan bahwa untuk memenuhi daya dukung lingkungan maka setiap penduduk dalam wilayah harus terpenuhi menurut standar Kualitas Hidup Layak (KHL) yang disetarakan dengan pangan beras. Lebih lanjut disebutkan bahwa asumsi perkapita (orang/tahun) KHL yang harus dipenuhi adalah setara 1 ton beras. Kelemahan dari Permen LH tersebut adalah tidak menjelaskan secara detail apa yang menjadi dasar penentuan KHL adalah setara dengan 1 ton beras. Selain itu, apakah setara 1 ton beras tersebut juga termasuk di dalamnya kebutuhan non pangan seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain sebagainya. Jika merujuk pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2012 tentang Perubahan Penghitungan Kebutuhan Hidup Layak, maka cukup jelas bahwa definisi Kebutuhan Hidup Layak adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Selain ituKepmen tersebut juga menjabarkan komponen-komponen yang termasuk dalam KHL yaitu Makanan & Minuman 11 items, Sandang 13 items, Perumahan 26 items, Pendidikan 2 item, Kesehatan 5 items, Transportasi 1 item dan Rekreasi dan Tabungan 2 item. Komponen inilah yang menjadi dasar penentuan Upah Minimum Regional/Kabupaten/Kota (UMR/UMK). Dari sini dapat dimaknai bahwa asumsi KHL 1 ton beras menurut Permen LH dapat dianggap sama dengan komponen KHL menurut Kepmen Tenaga Kerja yang direfleksikan melalui nilai UMR/UMK. Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya akibat dari berbagai kegiatan manusia baik di masa lalu maupun di masa sekarang seperti kegiatan reklamasi, penebangan hutan dan akibat merugikan lainnya (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Baja (2012) menguraikan bahwa dalam perencanaan tata guna lahan sangat penting untuk dibedakan pemahaman antara tanah (soil), lahan (land), unit lahan (land unit), penggunaan lahan (land use) dan jenis pemanfaatannya (land utilization type). Lahan dapat bersifat stabil atau labil karena dikaitkan pada aktivitas manusia dalam memanfaatkan tanah. Hal itu pula dipengaruhi oleh sifat tanah, siklus alam dan faktor-faktor lain yang berhubungan. Oleh karena itu lahan tidak hanya merujuk pada tanah tetapi aktifitas yang berhubungan dengan semua faktor yang relevan dari lingkungan biofisik seperti geologi, bentuk lahan, topografi, vegetasi, aktivitas di bawah permukaan tanah hingga aktivitas sosial, ekonomi dan budaya.
8
Terminologi penggunaan lahan (land use) sering pula dipersandingankan dengan istilah tutupan lahan (land cover). Land cover merujuk pada keadaan biofisik dari permukaan bumi dan lapisan di bawahnya. Land cover menjelaskan keadaan fisik permukaan bumi sebagai lahan pertanian, gunung atau hutan. Land cover adalah atribut dari permukaan dan bawah permukaan lahan yang mengandung biota, tanah, topografi, air tanah dan permukaan, serta struktur manusia. Sedangkan land use adalah tujuan manusia dalam mengeksploitasi land cover (Lambin et al. 2003). Johnson dan Zuleta (2013) pernah mempersandingkan istilah Land Use Land Cover (LULC) untuk menjelaskan rusaknya keanekaragaman hayati di Ekoregion Espinal, Argentina. Penelitian terkait LULC tersebut dilakukan pada periode 1987-2001 dan 2001-2009 di dua daerah aliran sungai yang letaknya atau berdekatan dengan Espinal, salah satu ekoregion paling dilindungi dari Argentina. Mereka berhasil mendeteksi penurunan ekosistem hingga 20 % dan khususnya 60 % hutan asli telah hilang. Hal ini didorong oleh perubahan penggunaan lahan Ekoregion Espinal menjadi lahan pertanian dan peternakan. Lambin et al. (2003) menjelaskan bahwa perubahan penggunaan lahan diakibatkan oleh adanya faktor-faktor pendorong (driving factors) seperti tekanan penduduk, faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi), teknologi, faktor kebijakan (policy), kelembagaan, budaya dan biofisik wilayah. Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan untuk menemukan penyebab (driver) yang mendorong terjadinya perubahan tersebut serta akibat atau dampak yang ditimbulkan. Beberapa alasan perubahan penggunaan lahan yaitu kelangkaan sumberdaya; perubahan kesempatan akibat pasar; intervensi kebijakan dari luar; hilangnya kapasitas adaptasi dan meningkatnya kerentanan; perubahan dalam organisasi sosial dalam akses sumberdaya dan dalam tingkah laku. Penelitian yang dilakukan oleh Abraham et al. (2015) menunjukkan hubungan antara perilaku manusia dalam memanfaatkan lahan (penggunaan lahan) dengan jejak ekologi (ecological footprint). Penelitian tersebut dilakukan di Meksiko dengan mengembangkan peta jejak ekologi manusia untuk mengidentifikasi daerah ekologi yang paling berubah oleh tindakan manusia. Pendekatan yang dilakukan terhadap dua variabel penting yaitu geografi fisik dan geografi sejarah. Geografi fisik yakni tinjauan spasial dalam bentuk bioma dan ekoregion dan geografi sejarah yaitu tinjauan spasial pemukiman manusia dan aktivitas lainnya dimasa lalu. Hasilnya menunjukkan bahwa pemukiman manusia dimasa lalu telah mendorong pola penggunaan lahan dan secara keseluruhan Meksiko masih memiliki 56 % lahan yang memiliki dampak dari aktivitas manusia. Nilai terendah berada pada wilayah utara yang kering dan tenggara tropis, sedangkan nilai yang tinggi sepanjang pantai teluk Meksiko, pedalaman sepanjang koridor timur ke barat yang mengikuti rentang vulkanik Meksiko dan terikat dengan dataran tinggi. Kesimpulannya adalah penyebaran jejak ekologi manusia dibatasi oleh kondisi fisik geografi untuk pembangunan pada tingkat bioma dan bioma yang berbeda, sejarah peradaban masa lalu yang kompleks, teknologi, ledakan demografi abad 20 dan pola pemukiman kuno yang diduduki koloni Spanyol.
9
Kemampuan Lahan Kemampuan lahan adalah '' kualitas '' lahan untuk menghasilkan tanaman yang umum dibudidayakan dan tanaman rumput untuk penggembalaan tanpa kerusakan selama periode waktu yang panjang (FAO, 1983). Berbeda dengan definisi Wells dalam Gad (2015) mendefinisikan kemampuan lahan sebagai kemampuan lahan untuk mendukung jenis penggunaan lahan tertentu tanpa menyebabkan kerusakan permanen. Kategori klasifikasi kemampuan lahan dibagi ke dalam kelas kemampuan dan sub kelas kemampuan lahan (Gad 2015). Kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas dan penghambat (degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk pertanian yang umum (Arsyad 2010) Tanah sebagai komponen utama dari sistem klasifikasi kemampuan lahan, mempertimbangkan keterbatasan tanah, risiko kerusakan ketika tanah digunakan, dan bagaiman cara tanah memberi respon terhadap perlakuan yang diberikan (Gad 2015). Klasifikasi kemampuan lahan menyediakan panduan untuk penilaian kendala tanah dan rekomendasi pengelolaan lahan untuk penggunaan di berbagai skala termasuk negara, DAS hingga tingkat perencanaan kawasan perumahan (Murphy et al. 2004). Di Indonesia sistem klasifikasi kemampuan lahan yang umum digunakan adalah sistim USDA (United State Departemen of Agriculture) karena sangat mudah dan sederhana, hanya memerlukan data tentang sifat-sifat fisik/morfologi tanah dan lahan yang dapat diamati di lapangan, tanpa memerlukan data tentang sifat-sifat kimia tanah yang harus dianalisis di laboratorium (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007) Menurut Arsyad (2010) intensitas faktor penghambat adalah menjadi faktor penentu pengklasifikasian kemampuan lahan. Menggunakan sistim USDA, tanah dikelompokkan menjadi delapan kelas dengan menggunakan angka romawi. Semakin tinggi kelas kemampuan menunjukkan semakin tinggi pula faktor penghambat dan ancaman kerusakan sehingga jenis dan intesitas penggunaannya semakin terbatas. Secara rinci setiap kelas kemampuan lahan dijelaskan oleh Arsyad (2010) sebagai berikut: Kelas I, lahan yang tidak mempunyai Tidak mempunyai atau hanya sedikit hambatan yang membatasi penggunaannya sehingga sesuai untuk berbagai penggunaan terutama pertanian. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: topografi datar, kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, tidak mengalami erosi, kedalaman efektif dalam, drainase baik, mudah diolah, kapasitas menahan air baik, subur, tidak terancam banjir dan iklim sesuai bagi pertumbuhan tanaman secara umum. Kelas II, lahan yang memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan sehingga mengurangi pilihan penggunaannya. Hal ini dapat menyebabkan perlu adanya tindakan konservasi yang sedang. Tindakan pengelolaan harus hatis-hati. Memiliki salah satu atau kombinasi faktor: lereng landaiberombak, kepekaan erosi sedang, kedalaman efektif sedang, struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, salinitas sedikit atau sedang, kadang terkena banjir, kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, dan keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan Kelas III, lahan yang memiliki beberapa hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan lahan dan memerlukan tindakan konservasi
10
khusus dan keduanya.. Mempunyai pembatas lebih berat dari kelas II dan jika dipergunakan untuk tanaman perlu pengelolaan tanah dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan. Hambatan membatasi lama penggunaan bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi dari pembatas tersebut. Hambatan dapat disebabkan: topografi miringbergelombang, kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi, telah mengalami erosi sedang, dilanda banjir satu bulan tiap tahun selama lebih 24 jam, kedalaman dangkal terhadap batuan, terlalu basah, mudah diolah, kapasitas menahan air rendah, salinitas sedang, kerikil atau batuan permukaan tanah sedang, atau hambatan iklim agak besar Kelas IV, lahan yang memiliki hambatan dan ancaman kerusakan tanah lebih besar dari kelas III, dan pilihan tanaman juga terbatas. Perlu pengelolaan hati-hati untuk tanaman semusim, tindakan konservasi lebih sulit diterapkan. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: lereng miring-berbukit, kepekaan erosi tinggi, mengalami erosi agak berat, tanah dangkal, kapasitas menahan air rendah, selama 2-5 bulan dalam setahun dilanja banjir lebih dari 24 jam, drainase buruk, banyak kerikil atau batua permukaan, salinitas tinggi dan keadaan iklim kurang menguntungkan Kelas V , lahan yang tidak memiliki ancaman erosi tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak mudah untuk dihilangkan, sehingga membatasi pilihan penggunaannya. Terletak pada topografi datar-hampir datar tetapi sering terlanda banjir, berbatu atau iklim yang kurang sesuai. Kelas VI, lahan yang mempunyai faktor penghambat berat sehingga tidak sesuai untuk penggunaan pertanian. Memiliki pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor: lereng curam, telah tererosi berat, sangat dangkal, mengandung garam laut, daerah perakaran sangat dangkal atau iklim yang tidak sesuai. Kelas VII, lahan yang tidak sesuai untuk budidaya pertanian dengan penghambat berat dan tidak dapat dihilangkan yaitu: lereng curam dan atau telah tererosi sangat berat dan sulit diperbaiki Kelas VIII, lahan yang sebaiknya dibiarkan secara alami. Pembatas dapat berupa: lereng sangat curam, berbatu atau kerikil atau kapasitas menahan air rendah. Land Rent
Land rent adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan balas jasa atas penggunaan lahan yang harus dibayarkan pada lahan (Rustiadi et al. 2009). Setiap jenis penggunaan lahan memiliki nilai land rent yang berbeda. Jenis penggunaan lahan dengan keuntungan komparatif tertinggi akan mempunyai porsi penggunaan terbesar. Hal ini dikarenakan lahan diarahkan pada kegiatan yang memberikan nilai land rent tertinggi. Dampaknya pada lahan pertanian meskipun lebih lestari kemampuannya menjamin kehidupan petani, tetapi hanya memberikan sedikit keuntungan finansial dibandingkan sektor industri, pemukiman dan jasa lainnya menyebabkan konversi lahan pertanian ke non pertanian tidak dapat dicegah (Arsyad dan Rustiadi 2008). Kumar (2009) pernah melakukan studi yang berkaitan dengan land rent yang dapat memicu perubahan penggunaan lahan di kota New Delhi. Hasil studi
11
Kumar menunjukkan bahwa selama periode tahun 1986-2004 telah terjadi perubahan penggunaan lahan pertanian ke sektor konstruksi. Alasannya adalah penggunaan lahan non pertanian memiliki nilai produktivitas ekonomi lebih tinggi dibanding pertanian. Barlowe (1986) menjabarkan bahwa land rent dapat digunakan untuk menjelaskan tingkat perbaikan kualitas lingkungan. Perbaikan kualitas lingkungan ini berkaitan dengan tingkat kenyamanan (amenity) dari suatu lingkungan. Hal yang berkaitan dengan kenyamanan lingkungan tersebut antara lain pemandangan alam yang estetik, akses terhadap sumberdaya alam seperti sumber air, akses terhadap fasilitas dan layanan publik serta ruang rekreasi. Analisis ekonomi lahan mengacu pada keunggulan komparatif atau efisiensi dari penggunaan lahan dari suatu kegiatan produktif. Efisien disini diartikan bahwa alokasi sumber-sumber ekonomi digunakan untuk kegiatan yang menghasilkan output dengan nilai ekonomi tertinggi. Faktor harga ekonomi mungkin bayangan dimana tidak menunjukkan harga yang sesungguhnya untuk mencerminkan beberapa manfaat secara sosial dari lahan (Rossiter 2004). Pada mulanya land rent hanya terbatas untuk memberikan apresiasi atas nilai ekonomi lahan. Dalam perspektif yang lebih luas ternyata lahan tidak hanya memberikan manfaat secara ekonomi dalam arti nilai pasar semata (economic land rent) tetapi juga memberikan manfaat lainnya yaitu environment rent dan social rent. Hanya saja, dalam mekanisme pasar kedua nilai tersebut tidak diperhitungkan sehingga memberikan gambaran yang bias terhadap land rent (Arsyad dan Rustiadi 2008). Baja (2012) menjelaskan bahwa ada empat parameter penting untuk penilaian keselarasan ekonomi lahan dalam perpektif penataan ruang dan tata guna lahan. Parameter tersebut adalah: 1) kualitas sumberdaya setempat (in-situ resource quality) yang disebut sebagai keselarasan penggunaan lahan dalam kaitannya biaya ekonomi. 2) keterjangkauan atau aksesibilitas (accessibility), 3)topologi ruang/lahan (topology) dan 4) ketersediaan lahan (availability). Penjelasan yang diberikan oleh Rustiadi et al. (2009) bahwa economic rent sebidang lahan atau ruang dapat dibedakan atas dua yaitu biaya intrinsik (intrinsic rent) dan biaya lokasional (locational rent). Biaya intrinsik adalah nilai yang terkandung dalam sebidang lahan seperti kesuburan dan topografinya sehingga mempunyai keunggulan produktivitasnya. Biaya ini biasa pula disebut ricardiant rent. Biaya lokasional adalah biaya yang dipengaruhi oleh oraganisasi spasial produksi. Faktor yang paling berpengaruh disini adalah jarak dengan menggunakan teori von Thunen. Geographic Information System (GIS) Salah satu perangkat lunak yang bisa digunakan untuk identifikasi dan analisis penggunaan lahan dalam menghitung daya dukung lahan adalah Geographic Information System (GIS). Star dan Estes (1990) dalam Baja (2012) mendefinisikan GIS sebagai suatu sistem berbasis komputer untuk menangkap (capture), menyimpan (store), memanggil kembali (retrieve), menganalisis, dan mendisplay data spasial sehingga dapat menyelesaikan masalah yang kompleks untuk kepentingan penelitian, perencanaan, pelaporan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Prahasta (2005) mendefinisikan GIS sebagai
12
satu kesatuan formal yang terdiri dari berbagai sumberdaya fisik dan logika untuk menganalisis berbagai objek yang ada dipermukaan bumi. GIS merupakan sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang terreferensi dengan kordinat spasial atau geografis. Upaya tata guna lahan referensi spasial tersebut menjadi syarat utama. Dengan demikian GIS dianggap sebagai sistem pemetaan kelas tinggi yang dibutuhkan dalam setiap perencanaan tata guna lahan mulai dari perencanaan awal, inventarisasi informasi, analisis, manipulasi data hingga penyajian hasil untuk digunakan dalam dalam pengambilan keputusan (Baja 2012). Barus dan Wiradisastra (2000) menjabarkan bahwa GIS memiliki empat komponen utama yaitu: (1) data input yakni terkait upaya pengumpulan dan mempersiapkan data spasial dan atribut, (2) data manajemen yakni terkait pengorganisasian data dan atribut, (3) data manipulasi dan analisis yakni terkait manipulasi dan pemodelan data untuk menyajikan data sesuai dengan tujuan dan (4) data output yakni terkait upaya menghasilkan luaran seluruh atau sebagian data baik dalam bentuk softcopy, hardcopy atau berkas (file). Saat ini GIS telah banyak dipergunakan dalam berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan dan kehutanan, bidang bisnis dan perencanaan pelayanan, bidang lingkungan, dan lain-lain (Barus dan Wiradisastra 2000). Bidang perencanaan tata guna lahan, GIS digunakan untuk berbagai aplikasi baik inventarisasi, deteksi, identifikasi, evaluasi dan pemantauan dimana hal ini telah disadari oleh para peneliti, perencana dan pengelola sumberdaya alam dan lingkungan bahwa GIS adalah perangkat yang sangat penting.
3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Baubau, Propinsi Sulawesi Tenggara. Kota Baubau mencakup delapan kecamatan (Gambar 3.1) dengan total luas wilayah 29 313.96 ha. Waktu penelitian dilakukan selama enam bulan yakni sejak bulan April hingga bulan September 2014. Alat Penelitian Alat yang digunakan adalah perangkat komputer yang dilengkapi dengan Microsoft Office, Microsoft Excel, software pemetaan, kamera dijital, Global Positioning System (GPS) dan alat tulis-menulis. Jenis dan Sumber Data Penelitian Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dihasilkan dari hasil indepth interview, pengamatan dan survey langsung di lokasi penelitian. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari studi kepustakaan, hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan topik penelitian, informasi dari lembaga tertentu baik pemerintah maupun non pemerintah dan informasil dari media massa.
13
Jenis data primer berupa hasil verifikasi lapangan terhadap hasil interpetasi citra. Selain itu data survey harga komoditi pertanian, komoditi perkebunan, komoditi peternakan, komoditi perikanan, komoditi kehutanan, sewa lahan/bangunan, aktivitas pedagang kaki lima dan kondisi fisik wilayah. Jenis data sekunder yang dibutuhkan adalah peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dari Badan Informasi Geospasial (BIG) skala 1:50 000, citra Quickbird tahun 2013 Kota Baubau, peta land system skala 1:250 000, dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Baubau, data Potensi Desa (PODES), data Baubau dalam angka, data Pendapatan Asli Daerah (PAD) data konstruksi jalan dan bangunan serta data penunjang lainnya.
Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Analisis Data Penelitian terdiri dari tiga tahap yakni: (1) menganalisis daya dukung lahan aktual dengan pendekatan fisik lingkungan (ekologi); (2) menganalisis daya dukung lahan aktual dengan pendekatan ekonomi (land rent); (3) menyusun arahan pengelolaan lahan di kota Baubau berbasis daya dukung lahan.
Analisis Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan Proses analisis diawali dengan melakukan interpretasi citra Quickbird Kota Baubau tahun 2013. Setelah itu dilakukan analisis kemampuan lahan di kota Baubau yang menghasilkan peta kemampuan lahan. Peta kemampuan lahan menjadi ukuran untuk menilai tingkat daya dukung fisik baik pada penggunaan lahan aktual maupun pola ruang RTRW. Selain itu berdasarkan penggunaan lahan akan dianalisis tingkat ketersediaan lahan pangan.
14
Intrepretasi Penggunaan Lahan (land use) Aktual Intrepretasi citra dilakukan dengan menggunakan software pemetaan. Intrepretasi ini meliputi proses intrepretasi data penginderaan jauh (citra), klasifikasi peta penggunaan lahan dan pengamatan lapangan penggunaan lahan. Gambar 3.2 menunjukkan tahapan interpretasi citra.
Gambar 3.2 Proses klasifikasi penggunaan lahan (land use) Intrepetasi citra merupakan kegiatan mengkajian terhadap foto udara atau citra satelit untuk mengidentifikasi objek dan menilai pentingnya objek tersebut. Intrepretasi kegiatan yang dilakukan berupa deteksi, identifikasi serta analisis. Interpretasi secara visual dilakukan dengan melihat pola, warna, tekstur, rona, kedekatan interpreter terhadap lokasi dan aspek lain. Proses ini akan menghasilkan poligon-poligon yang menunjukkan kelas penggunaan lahan. Citra yang diinterpretasi terlebih dahulu dilakukan koreksi geometrik untuk menyesuaikan dengan titik koordinat sesungguhnya di bumi. Proses interpretasi citra dilakukan dengan dijitasi on screen. Hasil klasifikasi kemudian divalidasi dengan pengamatan di lapangan berdasarkan penggunaan lahannya dengan bantuan Global Positionong System (GPS) ataupun dengan bantuan google earth. Kelas penggunaan lahan (land use) yang diidentifikasi di Kota Baubau berjumlah 24 kelas. Kelas penggunaan lahan tersebut yaitu badan air, bandara, bangunan Pemerintah, cagar budaya, hotel, hutan, jalan, kebun campuran, kklang pertamina, komersil, lahan terbuka, mangrove, padang rumput, pelabuhan, pemakaman, pemukiman, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, pusat pendidikan, ruang publik, ruang terbuka hijau, tambak, tempat ibadah dan terminal. Setiap kelas lahan dijabarkan lebih lanjut sesuai rona citra yang ditunjukkan, pola, sebaran, dinamika penggunaan lahan ataupun berdasarkan komoditi pada penggunaan lahan pertanian. Analisis Kemampuan Lahan Analisis kemampuan lahan mengacu pada sistem United State Departement Agriculture (USDA). Sistem USDA merupakan sistem yang paling banyak digunakan untuk melihat kemampuan lahan. Banyak pula sistem lain yang dikembangkan di beberapa negara, misalnya di Kanada, Inggris, Australia, New Zealand dan Malaysia. Adapula sistem Malawi yang dikembangkan oleh Young
15
dan Goldsmith (1977). Namun pada dasarnya pengembangan sistem-sistem tersebut tetap mengacu pada sistem USDA dengan beberapa modifikasi (Baja 2012). Merujuk sistem USDA, pembagian kelas kemampuan lahan pada penelitian ini menjadi delapan kelas kemampuan lahan. Tingkat kelas kemampuan lahan berhubungan atau berkorelasi dengan intensitas dan pilihan penggunaan lahan. Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan pilihan penggunaan lahan sebagaimana pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan pilihan penggunaan lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)
Kemampuan lahan dengan kategori kelas dibagi menjadi sub kelas yang didasarkan pada jenis faktor penghambat atau ancaman dalam penggunaan lahan (Rustiadi et al. 2010). Indikator tersebut antara lain : (1) tekstur, (2) lereng permukaan, (3) drainase, dan (4) kedalaman efektif. Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas mengikuti Arsyad (2010) sebagaimana disajikan pada Lampiran 1. Data sekunder yang digunakan adalah adalah peta land system skala 1:250.000 dan Rupa Bumi Indonesia (RBI) dengan skala 1 : 50.000. Faktor penghambar tekstur, drainase dan kedalaman tanah diperoleh dari land system, sedangkan untuk data kelerengan diperoleh dari RBI. Pengkelasan kelerengan pada RBI berbeda dengan kelas kelerengan yang diinginkan. Kondisi ini diantisipasi dengan pengolahan data kelerengan terlebih dahulu dengan mengubah data vektor kelerengan pada RBI menjadi data DEM (raster). Setelah itu dilakukan re-kelas pada kelerengan menjadi kelas kelerengan yang diinginkan. Data kelas kelerengan yang baru lalu diubah kembali menjadi data vektor. Faktor penghambat tekstur, drainase dan kedalaman tanah diperoleh dari land system, sehingga data ini juga memiliki skala pemetaan 1 : 250 000. Skala tersebut belum setara dengan skala pemetaan kelerengan. Untuk itu, faktor penghambat tekstur, drainase dan kedalaman tanah didetailkan terlebih dahulu. Proses pendetailan dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang tersedia dan pengamatan lapangan. Setelah melalui proses pendetailan, setiap faktor penghambat akan menghasilkan peta yang setara dengan skala 1 : 50 000. Proses selanjutnya adalah
16
empat peta dari setiap faktor penghambat ditumpangtindihkan dengan cara joint atribut. Hasilnya berupa poligon-poligon yang lebih detail, diperoleh dari perpotongan poligon-poligon dari peta faktor penghambat. Setiap poligon detail tersebut disebut satuan lahan homogen yang memiliki nilai tekstur, drainase, kedalaman tanah dan kelerengan. Contoh matriks sub kelas kemampuan lahan pada satuan lahan homogen sebagaimana disajikan pada Lampiran 2. Berdasarkan nilai tersebut setiap poligon dijustifikasi kelas kemampuan dan sub kelas kemampuan lahannya. Evaluasi Keselarasan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan dan Rencana Pola Ruang Terdapat empat evaluasi keselarasan lahan yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu: 1) evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan. 2) evaluasi keselarasan rencana pola ruang terhadap kemampuan lahan. 3) evaluasi penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang, dan 4) evaluasi kemampuan lahan, penggunaan lahan dan rencana pola ruang. Evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang terhadap kemampuan lahan bertujuan untuk melihat keselarasan penggunaan lahan aktual dan pola ruang RTRW terhadap kelas kemampuan lahan di Kota Baubau. Hal ini dilakukan dengan cara menumpangtindihkan peta land use dengan peta kemampuan lahan dan peta rencana pola ruang RTRW dengan peta kelas kemampuan lahan. Semakin besar ketidakselarasan maka semakin besar pula penyimpangan penggunaan lahan dan pola ruang terhadap kemampuan lahan. Hasil evaluasi ini digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam membangun skenario pengelolaan lahan di Kota Baubau. Penentuan keselarasan terhadap kemampuan lahan memiliki pertimbangan. Pertama, pertimbangan ekologis yakni melihat sejauh mana dampak ekologis yang mungkin muncul dari faktor penghambat pada setiap kelas penggunaan lahan. Kedua, faktor biaya yang muncul akibat kerusakan ekologi atau untuk pelaksanaan kegiatan pada kelas penggunaan lahan. Evaluasi keselarasan juga dilakukan antara penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang. Hal ini dilakukan untuk melihat tingkat konsistensi antara rencana pola ruang dengan penggunaan lahan aktual. Selain itu dapat dinilai kemungkinan diterapkannya pola ruang berdasarkan kondisi penggunaan lahan aktual. Evaluasi keselarasan lahan terbagi atas tiga kondisi keselarasan yaitu: 1) selaras (S); 2) tidak selaras (TS); dan 3) selaras bersyarat (SB). Penentuan kondisi keselarasan dilakukan melalui tabel penilaian keselarasan. Penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan pada Tabel 3.2, penilaian keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan pada Tabel 3.3 dan penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang pada Tabel 3.4. Evaluasi keselarasan yang keempat adalah keselarasan antara kemampuan lahan, penggunaan lahan dan rencana pola ruang. Hal ini dilakukan untuk melihat interaksi kemampuan lahan, penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang sekaligus melalui matriks keputusan pada Tabel 3.5. Penilaian matriks juga terdiri hanya 2 kategori yaitu selaras (S), dan tidak selaras (TS). Selaras Bersyarat
17
ditiadakan karena penilaian keselarasan lebih kompleks dibandingkan penilaian keselarasan sebelumnya dengan mempertimbangan aspek ekologi dan perencanaan (kebijakan, sosial dan ekonomi) dengan uraian sebagai berikut: Selaras : Aspek ekologis selaras pada kelas kemampuan lahannya dengan memperhatikan faktor pembatas kelas kemampuan lahan. Keselarasan tersebut jika secara faktual atau diprediksi tidak akan memberikan dampak kerusakan lahan saat kegiatan dilakukan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Aspek perencanaan realistis untuk dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi lahan aktual baik dari aspek pembiayaan, lokasi administrasi dan stabilitas serta konflik sosial yang telah/sedang/mungkin terjadi. Tidak selaras : Baik dari aspek lingkungan, kondisi faktual lahan dan perencanaan tidak selaras atau tidak bisa dilakukan. Memberikan dampak ekologi dalam jangka pendek dan panjang, biaya mahal, dan berpontensi konflik sosial. Status selaras dan tidak selaras kemudian diuraikan lebih rinci menjadi 14 kategori yaitu sebagai berikut: S_1 (selaras_1) merupakan lahan secara ekologi selaras, penggunaan lahan aktual terbangun dan dalam rencana pola ruang RTRW juga merupakan lahan terbangun. S_2 (selaras_2) merupakan lahan secara ekologi selaras, penggunaan lahan aktual terbangun dan dalam rencana pola ruang RTRW direncanakan menjadi penggunaan lahan non terbangun. S_3 (selaras_3) merupakan lahan secara ekologi selaras, penggunaan lahan aktual non terbangun dan dalam rencana pola ruang RTRW direncanakan menjadi penggunaan lahan terbangun. S_4 (selaras_4) merupakan lahan secara ekologi selaras, penggunaan lahan aktual non terbangun dan dalam rencana pola ruang RTRW juga direncanakan menjadi penggunaan lahan non terbangun misalnya pertambangan. TS_1 (tidak selaras_1) merupakan lahan yang direncanakan menjadi lahan terbangun dan secara ekologis tidak selaras dengan kelas kemampuan lahannya. TS_2 (tidak selaras_2) merupakan lahan yang direncanakan menjadi lahan non terbangun dan secara ekologis tidak selaras dengan kelas kemampuan lahannya. TS_3 (tidak selaras_3) merupakan lahan dengan status kepemilikan privat, secara aktual merupakan lahan terbangun yang direncanakan menjadi lahan terbangun bersifat publik dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya pemukiman dan hotel menjadi perkantoran, fasilitas publik, fasilitas umum dan tambang. TS_4 (tidak selaras_4) merupakan lahan dengan status kepemilikan privat, secara aktual merupakan lahan terbangun yang direncanakan menjadi lahan non terbangun dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya pemukiman menjadi perkebunan, sawah, hutan kota dan taman.
Tabel 3.2 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan
No
Penggunaan Lahan
II_d2
II_l1d2
II_t1
II_t1l1
III_d3
III_k1
III_l2
III_l2d3
III_l2d3k1
IV_d4
IV_k2
IV_l3
IV_l3d4
IV_l3k2
VI_k3
VI_l4
VI_l4k3
VII_l5
VIII_l6
Sub Kelas Kemampuan Lahan
1 2
Badan air Bandara Bangunan Pemerintah Cagar budaya Hotel Hutan Jalan Kebun campuran Kilang pertamina Komersil Lahan terbuka Mangrove Padang rumput Pelabuhan Pemakaman Pemukiman Pertanian lahan basah Pertanian lahan kering Pusat pendidikan Ruang publik Ruang terbuka hijau Tambak Tempat ibadah Terminal
S S
S S
S S
S S
S S
S S
S S
S S
S S
S S
S S
S TS
S TS
S TS
S TS
S TS
S TS
S TS
S TS
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
TS
TS
TS
TS
S S S S S S S S S S S S S
S S S S S S S S S S S S S
S S S S S S S S S S S S S
S S S S S S S S S S S S S
S S S S S S S S S S S S S
S S S S S S S S S S S S S
S S S S S S S S S S S S S
S S S S S S S S S S S S S
S S S S S S S S S S S S S
S S S S S S S TS S S S S S
S S S S S S S TS S S S S S
S S S S S TS S TS TS S TS S TS
S S S S S TS S TS TS S TS S TS
S S S S S TS S TS TS S TS S TS
S TS S S S TS S TS S S TS TS S
S TS S S TS TS TS TS TS S TS TS TS
S TS S S TS TS TS TS TS S TS TS TS
S TS S SB TS TS TS TS TS TS TS TS TS
S TS S SB TS TS TS TS TS TS TS TS TS
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
SB
SB
SB
SB
TS
TS
TS
TS
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
TS
TS
TS
S
TS
TS
TS
TS
S S S S S S
S S S S S S
S S S S S S
S S S S S S
S S S S S S
S S S S S S
S S S S S S
S S S S S S
S S S S S S
S S S S S S
S S S S S S
S S S TS S S
S S S TS S TS
S S S TS S TS
S S S TS S S
TS TS S TS TS TS
TS TS S TS TS TS
TS TS S TS TS TS
TS TS S TS TS TS
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Keterangan: S = selaras
TS = tidak selaras
SB = selaras bersyarat
19
Tabel 3.3 Matriks penilaian keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan
III_l2d3
III_l2d3k1
IV_d4
IV_k2
IV_l3
IV_l3d4
IV_l3k2
VI_k3
VI_l4
VI_l4k3
VII_l5
VIII_l6
III_k1
III_d3
II_t1l1
S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SB = selaras bersyarat
III_l2
1 Cagar Budaya S S 2 Fasilitas sosial S S 3 Fasilitas umum S S 4 Hutan S S 5 Hutan Kota S S 6 Hutan Lindung S S 7 Hutan Produksi Terbatas S S 8 Hutan Raya S S 9 Industri Perikanan S S 10 Kawasan Bandara S S 11 Kawasan Pelabuhan S S 12 Komersil S S 13 Konservasi Pantai S S 14 markas tni/kostrad S S 15 Pemukiman S S 16 Pergudangan S S 17 Perkantoran S S 18 Perkebunan S S 19 PLTU S S 20 Sawah S S 21 Taman S S 22 Tambang S S 23 Wisata Pantai S S Keterangan: S = selaras TS = tidak selaras
II_t1
Rencana pola ruang
II_l1d2
No
II_d2
Sub kelas kemampuan
S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
S TS TS S S S S S TS TS S TS S S TS S S S TS SB S SB S
S TS TS S S S S S TS TS S TS S S TS S S S TS SB S SB S
S TS TS S S S S S TS TS S TS S S TS TS TS S TS SB S SB S
S TS TS S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
S TS TS S S S TS S TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS S SB TS
S TS TS S S S TS S TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS S SB TS
S TS TS S S S TS S TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS SB TS TS
S TS TS S S S TS S TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS SB TS TS
20
Tabel 3.4 Matriks penilaian keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang RTRW
Keterangan: S = selaras
TS = tidak selaras
SB = selaras bersyarat
21
Tabel 3.5 Contoh matriks penilaian keselarasan kemampuan lahan, rencana pola ruang RTRW dan penggunaan lahan aktual
Keterangan: S = selaras
TS = tidak selaras
TS_5 (tidak selaras_5) merupakan lahan dengan status kepemilikan privat, secara aktual merupakan lahan non terbangun yang direncanakan menjadi lahan terbangun publik dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan kebun campuran direncanakan menjadi komersil, perkantoran, fasilitas umum dan fasilitas publik. TS_6 (tidak selaras _6) merupakan lahan dengan status kepemilikan privat, secara aktual merupakan lahan non terbangun yang direncanakan menjadi lahan non terbangun dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan kebun campuran direncanakan menjadi hutan, hutan kota, hutan lindung dan hutan produksi terbatas. TS_7 (tidak selaras_7) merupakan lahan dengan status kepemilikan publik, secara aktual merupakan lahan terbangun yang direncanakan menjadi lahan terbangun tetapi dengan fungsi yang berbeda dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya bangunan milik publik yang direncanakan menjadi pemukiman privat, sarana ibadah direncanakan menjadi terbangun lainnya dan jalan direncanakan menjadi terbangun lainnya. TS_8 (tidak selaras_8) merupakan lahan dengan status kepemilikan publik, secara aktual merupakan lahan terbangun yang direncanakan menjadi lahan non terbangun dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya bangunan milik publik/pemerintah, sarana ibadah dan jalan direncanakan menjadi hutan, perkebunan, sawah dan wisata pantai. TS_9 (tidak selaras_9) merupakan lahan dengan status kepemilikan publik, secara aktual merupakan lahan non terbangun yang berfungsi lindung direncanakan menjadi lahan terbangun dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya hutan, badan air, taman, pemakaman, ruang terbuka hijau direncanakan menjadi perkantoran, fasilitas umum, fasilitas publik, pemukiman dan komersil. TS_10 (tidak selaras_10) merupakan lahan dengan status kepemilikan publik, secara aktual merupakan lahan non terbangun yang berfungsi lindung direncanakan menjadi lahan non terbangun berfungsi budidaya dan secara ekologis selaras dengan kelas kemampuan lahannya. Misalnya badan air dan hutan direncanakan menjadi sawah, perkebunan dan hutan produksi terbatas.
Aspek lain yang dipertimbangan dalam penentuan keselarasan dan ketidakselarasan adalah lokasi unit lahan. Lokasi yang dimaksud disini adalah berupa lokasi administrasi baik desa/kelurahan maupun kecamatan. Aspek lokasi dianggap penting karena terkait sebaran penggunaan lahan untuk kepentingan perencanaan ruang. Selain itu untuk mengetahui daya dukung berdasarkan fisik lingkungan lahan kelas land use aktual dan rencana pola ruang RTRW, dilakukan melalui daya tampung dari beberapa kelas penggunaan lahan, yaitu: Land use untuk pemukiman mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI) 031733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan bahwa luas lahan minimal yang dibutuhkan orang dewasa adalah 9.6m2 Land use untuk pertanian daya dukung mengacu pada Rustiadi et al. (2010) bahwa kebutuhan pangan setara beras untuk bisa hidup layak adalah 1 ton
23
beras/orang/tahun. Dari sini dapat digunakan untuk menentukan luasan lahan pertanian untuk hidup layak perorang. Land use untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) didasarkan pada konstribusi luasan terhadap ruang terbuka hijau publik (20%) berdasarkan UndangUndang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Analisis Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan
Analisis ekonomi lahan dilakukan pada kelas penggunaan lahan aktual. Kelas penggunaan lahan aktual yang dianalisis yaitu pertanian secara umum (pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, kebun campuran), peternakan, tambak, kehutanan, hotel, pemukiman, komersil, ruang terbuka publik, pelabuhan, bandara, pemakaman, terminal, pusat pendidikan, bangunan pemerintah, tempat ibadah, jalan dan lahan terbuka. Setiap kelas penggunaan lahan yang ada akan dilakukan perhitungan dan analisis land rent. Land use pertanian, peternakan, tambak dan kehutanan dianalisis dengan menghitung produktivitas bersih (keuntungan ekonomi bersih) dari komoditi yang dihasilkan. Nilai tersebut diperoleh dengan mengetahui nilai produktivitas bruto/kotor yang dikurangi dengan biaya input produksi. Biaya angkut/transportasi juga menjadi variabel yang mempengaruhi nilai produktivitas bersih (keuntungan ekonomi bersih). Land use hotel dianalisis dengan jumlah pemasukan tahun aktual berdasarkan jumlah tamu/pengunjung yang dikurangi dengan biaya pengelolaan pada tahun actual 2013. Land use pemukiman dianalisis berdasarkan aktivitas ekonomi pada penggunaan lahan pemukiman. Terdapat dua aktivitas ekonomi pada penggunaan lahan pemukiman yaitu penyewaan rumah kost dan industri kecil rumah tangga. Data rumah kost diperoleh melalui survey dengan melihat sebarannya untuk menentukan sampel. Data industri kecil rumah tangga diperoleh dari data sekunder Dinas Perindustrian,Perdagangan, Koperasi dan UKM Kota Baubau. Land use komersil dianalisis dengan mengambil sample bangunan ruko di penggunaan lahan komersil. Sample tersebut ditentukan dengan memperhatikan sebaran penggunaan lahan komersil. Hasil analisis sample digunakan untuk memproyeksikan nilai ekonomi total penggunaan lahan komersil sesuai dengan luas penggunaan lahan tersebut. Nilai ekonomi ruko ditentukan berdasarkan sewa bangunan. Land use ruang terbuka publik nilai ekonominya dianalisis berdasarkan aktivitas ekonomi pada penggunaan lahan ruang terbuka publik. Aktivitas ekonomi pada penggunaan lahan ruang terbuka publik di Kota Baubau berupa aktivitas pedagang kaki lima, yaitu: 1) pedagang gorengan dan minuman, 2) pedagang makanan (bakso, soto, ayam goreng, dll), 3) pedagang elektronik dan musik, 4) pedagang aksesoris, dan 5) pedagang dan penyewaan mainan anak-anak. Para pedagang tersebut didata untuk diketahui biaya modal, pendapatan ekonomi kotor dan pendapatan ekonomi bersih perbulan dan pertahunnya. Land use pelabuhan dan Bandar Udara (Bandara) nilai ekonominya diperoleh dari jumlah orang dan barang yang keluar melalui pelabuhan dan bandara.
24
Jumlah orang dan barang yang masuk tidak dihitung karena aktivitas belanja barang dan tiket tidak dilakukan di Kota Baubau. Land use pemakaman dan terminal nilai ekonominya ditentukan berdasarkan jumlah pemasukan retribusi pada tahun aktual 2013. Data tersebut diperoleh melalui Kantor Dinas Pendapatan dan Keuangan Daerah Kota Baubau. Land use pusat pendidikan, bangunan pemerintah, tempat ibadah dan jalan, nilai ekonominya didasarkan pada nilai statis. Nilai statis merupakan nilai yang dibutuhkan untuk membangun konstruksi persatuan luas tertentu. Data nilai tersebut diperoleh dari hasil indepth interview kepada pelaku usaha jasa konstruksi.
Hasil analisis nilai ekonomi lahan bersih selanjutnya dibandingkan dengan nilai Kualitas Hidup Layak (KHL) yang setara 1 ton beras per kapita (Rustiadi et al. 2010). Hasil perbandingan tersebut menunjukkan tingkat daya dukung lahan dengan pendekatan ekonomi untuk penggunaan lahan aktual. Nilai ekonomi lahan dibagi menjadi 2 kategori yaitu memenuhi daya dukung ekonomi dan tidak memenuhi daya dukung ekonomi. Penentuan kategori dilakukan melalui perbandingan antara nilai ekonomi lahan dengan nilai Kualitas Hidup Layak (KHL) perkapita, dengan asumsi sebagai berikut: Memenuhi daya dukung ekonomi jika nilai ekonomi lahan dibandingkan dengan nilai KHL hasilnya lebih besar dari jumlah populasi pada satuan wilayah administrasi. Tidak memenuhi daya dukung ekonomi jika nilai ekonomi lahan dibandingkan dengan nilai KHL hasilnya lebih kecil dari jumlah populasi pada satuan wilayah administrasi. Satuan wilayah administrasi yang digunakan dalam pemetaan ini adalah unit desa/kelurahan. Menyusun Arahan Pengelolaan Lahan Di Kota Baubau Berbasis Daya Dukung Lahan Arahan pengelolaan ini diharapkan menjadi saran perbaikan ataupun pelaksanaan dokumen RTRW kota Baubau hingga tahun 2030. Rumusan arahan pengelolaan dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil analisis daya dukung lahan secara fisik lingkungan dan ekonomi. Arahan pengelolaan lahan di Kota Baubau dilakukan dengan membangun skenario pengelolaan lahan berbasis daya dukung lahan. Proses perumusan arahan pengelolaan lahan dimulai dengan melakukan tumpang tindih (overlay) peta hasil evaluasi keselarasan fisik lahan (kemampuan lahan, penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang) dengan peta nilai ekonomi lahan (land rent). Hasil tumpang tindih menggambarkan status daya dukung lahan di Kota Baubau yang didasarkan pada matriks penilaian pada Tabel 3.6. Terdapat dua penilaian status daya dukung lahan di Kota Baubau yaitu berkelanjutan (B) dan tidak berkelanjutan (TB). Arahan pengelolaan lahan disusun berdasarkan hasil analisis daya dukung lahan baik secara fisik lingkungan maupun ekonomi. Hasil analisis daya dukung lahan tersebut dirumuskan menjadi asumsi untuk membangun skenario pengelolaan. Aspek penting yang diperhatikan dalam penyusunan arahan tersebut
25
adalah aspek ekologi, sosial ekonomi dan perencanaan. Hasilnya berupa peta tematik arahan pengelolaan lahan di Kota Baubau. Tabel 3.6 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik lahan dan nilai ekonomi lahan Evaluasi keselarasan fisik lahan S_1 S_2 S_3 S_4 TS_1 TS_2 TS_3 TS_4 TS_5 TS_6 TS_7 TS_8 TS_9 TS_10
Kategori nilai ekonomi lahan memenuhi daya dukung ekonomi B B B B TB TB TB TB TB TB TB TB TB TB
tidak memenuhi daya dukung ekonomi TB TB TB TB TB TB TB TB TB TB TB TB TB TB
4 KONDISI UMUM WILAYAH
Administrasi Wilayah Secara administrasi Kota Baubau merupakan bagian dari Propinsi Sulawesi Tenggara. Namun secara ekologi daratan Kota Baubau terpisah dari Pulau Sulawesi yakni terletak di daratan Pulau Buton bagian selatan. Sejak tahun 1982 Kota Baubau merupakan kota administratif (KOTIF) dari Kabupaten Buton. Kota Baubau mekar menjadi kotamadya pada tanggal 21 Juni 2001 berdasarkan UU No 13 Tahun 2001. Awal pemekarannya, Kota Baubau hanya terdiri dari empat kecamatan yaitu Kecamatan Bungi, Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Wolio dan Kecamatan Betoambari. Seiring perkembangannya dimekarkan tiga kecamatan baru yakni Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Bungi. Sementara Kecamatan Betoambari wilayahnya dibagi hingga mekarlah Kecamatan Murhum. Saat ini baru saja dibentuk kecamatan kedelapan yakni Kecamatan Batu Poaro merupakan pecahan dari Kecamatan Murhum. Secara geografis terletak di bagian selatan garis katulistiwa di antara 5021’ 5030’ Lintang Selatan dan di antara 122030’ – 122045’ Bujur Timur. Kota Baubau memiliki luas wilayah 29,313.96 ha. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan
26
Kapontori, Kabupaten Buton; sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton; sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan dan sebelah barat dengan Selat Buton (BPS 2013). Kondisi Fisik Wilayah Topografi Topografi Kota Baubau bergelombang dan berbukit-bukit. Kisaran ketinggian 0 m hingga 221 m di atas permukaan laut. Antara perbukitan terdapat lembah dimana lembah tersebut umumnya dikembangkan sektor pertanian baik pertanian teknis (irigasi) maupun non teknis (BPS 2013). Klimatologi Secara umum kondisi iklim Kota Baubau sama dengan iklim Pulau Buton. Terdapat dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Periode musim hujan terjadi dari bulan Desember hingga bulan April dimana pada bulan – bulan tersebut angin barat yang bertiup dari Asia dan Samudera Pasifik mengandung banyak uap air. Musim kemarau terjadi antara Bulan Juni hingga November karena pada bulan-bulan ini angin timur yang bertiup dari Australia kurang mengandung uap air . Siklus musim ini mendorong terjadinya bulan basah dan bulan kering (BPS 2013). Berdasarkan catatan Stasiun Meteorologi Kelas III Betoambari, pada tahun 2012 terjadi hari hujan sebanyak 130 dengan curah hujan 1,832.6 mm. Kondisi ini menurun jika dibandingkan dengan hari hujan dan curah hujan tahun sebelumnya yang mencapai 144 hari dan 3 349.6 mm. Curah hujan tertinggi di tahun 2012 terjadi pada bulan Maret sebesar 335.7 mm sedangkan curah hujan terkecil terjadi pada bulan Agustus sebesar 1.2 mm (BPS 2013). Suhu udara di Kota Baubau pada tahun 2012 berkisar antara 19.80C sampai dengan 360C. Rata-rata kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu sebesar 20 knot sedangkan rata-rata kecepatan angin terendah terjadi pada bulan Januari yakni sebesar 8 knot. Sementara itu, rata-rata tekanan udara selama tahun 2012 tercatat antara 1 011.2 mb – 1 015.3 mb. Tekanan terendah terjadi pada bulan Maret dan tertinggi pada bulan Agustus (BPS, 2013). Dibandingkan data yang dikumpulkan oleh Baja (2012) curah hujan tahunan Kota Baubau adalah 2 666 mm pertahun dengan rata-rata curah hujan bulanan 202.17 mm. Bulan basah (>100mm) cukup tinggi yakni sebanyak delapan bulan dan sisanya adalah bulan kering. Curah hujan terendah pada bulan Agustus, September dan Oktober. Suhu udara relatif bervariasi antara 23° C hingga 33°C dengan rata-rata perbedaan sekitar 10°C. kelembaban udara cukup merata sepanjang tahun yakni berkisar antara 72% dan 85%. Hidrologi Kota Baubau memiliki dua sungai besar yaitu sungai Baubau dan sungai Bungi. Sungai Baubau mengalir di sebelah selatan yang bermuara di pusat kota
27
pada bagian timur. Sungai ini juga yang membatasi Kecamatan Wolio dengan Kecamatan Murhum dan Kecamatan Batupoaro. Sungai tersebut umumnya memiliki potensi yang dapat dijadikan sebagai sumber tenaga irigasi dan kebutuhan rumah tangga (BPS, 2013). Sungai Bungi mengalir di sebelah utara Kota Baubau. Sungai Bungi melintas dari Kecamatan Sorawolio, membelah Kecamatan Bungi dan tepat bermuara di Kecamatan Lea-Lea dan Kecamatan Kokalukuna. Sungai ini merupakan sumber air untuk persawahan dan air bersih PDAM. Sungai Bungi membentuk daerah tangkapan sendiri (sub DAS Bungi), dimana kawasan pertanian Ngkari-Ngkari dan sekitarnya terletak di dalam daerah tangkapan tersebut. Pada bagian hulu sungai Bungi terdapat mata air bungi (Baja 2012). Kondisi Sosial Ekonomi Kependudukan Berdasarkan hasil sensus penduduk (SP) tahun 2000 jumlah penduduk Kota Baubau berjumlah 106 092 jiwa. Jumlah penduduk Kota Baubau mengalami peningkatan berdasarkan hasil sensus penduduk (SP) tahun 2010 yakni 136 991 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk kota Baubau pertahun selama kurun waktu 10 tahun sebesar 2.59 persen (BPS 2013) Hasil proyeksi yang dilakukan oleh BPS, jumlah penduduk Kota Baubau tahun 2012 adalah 142 576 jiwa, dimana 70 408 jiwa (49.38 persen) penduduk laki-laki dan 72 168 orang (50.62 persen) adalah perempuan. Kurun waktu tahun 2010-2012 mengalami penduduk Kota Baubau mengalami pertumbuhan sebesar 2.02 persen. Dari 8 kecamatan, tingkat pertumbuhan penduduk yang tertinggi terjadi di Kec. Sorawolio yaitu 2.09 persen. Luas Kota Baubau adalah 29 313.96 ha. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, maka kepadatan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kepadatan penduduk Kota Baubau tahun 2000 sebesar 480 orang per km2 kemudian tahun 2010 sebesar 620 orang per km2 dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 645 orang per km2. Kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Batupoaro sebesar 17 384 orang per km2, sedangkan Kecamatan Sorawolio dengan luas wilayah terbesar justru memiliki kepadatan penduduk terkecil yaitu sebesar 89 orang per km2. Perekonomian Kondisi perekonomian Kota Baubau digambarkan melalui Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Perhitungan PDRB dilakukan berdasarkan atas harga berlaku. Harga berlaku digunakan untuk mengetahui kondisi ekonomi satu tahun tertentu. Nilai PDRB Kota Baubau berdasarkan harga berlaku pada tahun 2011 sebesar Rp 2 339 206.76 (BPS 2013). Lihat Tabel 4.1. Berdasarkan data BPS (2013) terdapat sembilan sektor penting yang menentukan nilai PDRB Kota Baubau. Sembilan sektor tersebut adalah 1)Pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan; 2) Pertambangan dan penggalian; 3) Industri pengolahan; 4) Listrik, gas dan air bersih; 5)
28
Konstruksi/bangunan; 6) Perdagangan, hotel dan restoran; 7) Pengangkutan dan komunikasi; 8) Keuangan, persewaan dan Jasa perusahaan; dan 9) Jasa-jasa. Tabel 4.1 Nilai PDRB Kota Baubau setiap sektor berdasarkan harga berlaku pada tahun 2010 dan 2011 2010 Harga berlaku (juta Rp)
No
Sektor
1
Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, dan Kehutanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Konstruksi/Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total
2 3 4 5 6 7 8 9
%
2011 Harga Berlaku (juta Rp)
%
294 359.69
14.13
316 175.46
13.52
12 207.72
0.59
14 973.96
0.64
52 899.68 23 705.68 396 965.54
2.54 1.14 19.06
57 963.11 26 001.29 454 550.28
2.48 1.11 19.43
533 251.51
25.61
613 408.32
26.22
227 890.03
10.92
248 744.51
10.63
119 624.04
5.74
151 099.06
6.46
421 975.00 2 082 878.89
20.27 100.00
456 290.77 2 339 206.76
19.51 100.00
Rencana Pola Ruang Kota Baubau Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelasakan bahwa dalam pengelolaan ruang terbagi atas dua yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Didasarkan pada arahan Undang-Undang tersebut, rencana tata ruang Kota Baubau mempertimbangkan aspek ekologis, sosial budaya dan ekonomi. Hal tersebut tercermin dalam pembagian pola ruang Kota Baubau. Dari aspek perencanaan, secara terstruktur perencanaan pola uang Kota Baubau tertuang dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Baubau tahun 20102030. Kawasan budidaya dan kawasan lindung dijabarkan dalam perencanaan pola ruang RTRW sebagaimana pada Gambar 4.1. Rencana pola ruang Kota Baubau terdiri atas hutan, hutan raya, hutan lindung, hutan kota, taman , cagar budaya, konservasi pantai, industri perikanan, wisata pantai, kawasan bandara, kawasan
29
pelabuhan, markas tni/kostrad, perkebunan, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), komersil, pemukiman, hutan produksi terbatas, fasilitas sosial, tambang, perkantoran, pergudangan, sawah dan fasilitas umum.
Gambar 4.1 Peta rencana pola ruang RTRW Kota Baubau
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan Penggunaan Lahan Aktual Klasifikasi penggunaan lahan aktual melalui intrepetasi citra Quicbird tahun 2013 yang telah terkoreksi. Interpretasi dilakukan melalui dijitasi on screen karena citra Quickbird memiliki resolusi yang cukup tinggi yakni 0.5 m. Selain kecermatan dan pemahaman intrepeter mengenai lokasi penelitian (Arifin dan Hidayat 2014), interpretasi ini didasarkan pada visualisasi warna/rona, tekstur, bentuk, ukuran, pola, bayangan serta kedekatan intrepreter terhadap objek yang ditunjang dengan verifikasi lapang (Munibah 2008). Klasifikasi penggunaan disesuaikan dengan kebutuhan analisis penggunaan lahan dengan tetap memperhatikan SNI 7645:2010 tentang Klasifikasi Penutupan Lahan. Melalui proses tersebut, diperoleh informasi yang berbeda-beda terkait penggunaan lahan. Selain itu, informasi terkait penggunaan lahan juga menggambarkan dinamika aktivitas sosial dalam hal pemanfaatan lahan.
30
Berdasarkan hasil intrepetasi terdapat 24 kelas penggunaan lahan di lokasi penelitian yang disajikan pada Tabel 5.1 Tabel 5.1 Klasifikasi penggunaan lahan aktual Kota Baubau. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Penggunaan Lahan Luas (ha) Pelabuhan 10.74 Ruang Publik 12.78 Pertanian Lahan Kering 1 362.74 Pertanian Lahan Basah 1 381.55 Lahan Terbuka 154.20 Hutan 15 692.14 Badan Air 166.01 Kilang Pertamina 17.21 Jalan 209.44 Bandara Betoambari 21.32 Komersil 25.07 Hotel 3.64 Cagar Budaya 3.86 Pusat Pendidikan 35.85 Pemakaman 4.11 Mangrove 41.84 Bangunan Pemerintah 48.53 Tambak 52.21 Tempat Ibadah 6.12 Pemukiman 718.45 Terminal 0.42 Kebun Campuran 8 455.42 Padang Rumput 880.64 Ruang Terbuka Hijau 9.64 Luas Total 29 313.93 Sumber: Citra Quickbird tahun 2013 setelah diolah, 2015
% 0.04 0.04 4.65 4.72 0.53 53.53 0.57 0.06 0.72 0.07 0.09 0.01 0.01 0.12 0.01 0.14 0.17 0.18 0.02 2.45 0.00 28.84 3.00 0.03 100.00
31
Gambar 5.1 Peta penggunaan lahan Kota Baubau Hasil interpretasi citra Quickbird tahun 2013 (Tabel 5.1) menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang paling dominan adalah penggunaan lahan hutan seluas 15 692.14 ha (53.53 %). Penggunaan lahan terluas lahan kedua, ketiga dan keempat adalah kebun campuran, pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering dengan masing-masing luasan 8 455.42 ha (28.84 %), 1 381.55 ha (4.72 %) dan 1 362.74 ha (4.65 %). Sementara itu, untuk penggunaan lahan pemukiman hanya seluas 718.45 ha (2.45). Secara spasial sebaran penggunaan lahan aktual di Kota Baubau dapat dilihat pada Gambar 5.1. Penggunaan lahan (land use) berkaitan atau secara tidak langsung menunjukkan jenis pengelolaan lahan yang diterapkan pada suatu satuan lahan (Baja 2012). Gambar 5.1 menunjukkan bahwa sebaran penggunaan lahan hutan berada pada wilayah belakang (hinterland) Kota Baubau. Lahan terbangun seperti pemukiman dan komersil berada tidak jauh dari wilayah depan (pantai). Sementara itu, penggunaan lahan kebun campuran, pertanian lahan kering dan pertanian lahan basah menjadi wilayah transisi antara wilayah depan (lahan terbangun) dengan wilayah hinterland (hutan). Wilayah depan menjadi pusat kota sedangkan wilayah transisi dan hinterland menjadi zona penyangga pusat kota. Secara umum penggunaan lahan dapat dikategorikan dua yaitu penggunaan lahan terbangun dan non terbangun. Melalui citra Quickbird tahun 2013 kedua penggunaan lahan tersebut menunjukkan karakter yang berbeda sehingga relatif mudah untuk diinterpretasi. Tabel 5.2 menunjukkan citra tiap penggunaan lahan dan verifikasi lapang.
32
Tabel 5.2 Foto lapangan dan citra setiap penggunaan lahan aktual No
Penggunaan Lahan
1
Hutan
2
Kebun campuran
3
Pertanian lahan kering
4
Pertanian lahan basah
Foto Lapangan
Citra
33
5
Mangrove
6
Padang rumput
7
Tambak
8
Ruang Terbuka Hijau
9
Lahan terbuka
34
10
Badan air
11
Pemakaman
12
Jalan
13
Bangunan pemerintah
14
Pemukiman
35
15
Pusat pendidikan
16
Pelabuhan
17
Bandara Betoambari
18
Kilang pertamina
19
Terminal
36
20
Tempat ibadah
21
Komersil
22
Hotel
23
Cagar budaya
24
Ruang terbuka publik
Hutan Hutan dalam banyak hal memberikan manfaat bagi masyarakat baik produk barang maupun jasa lingkungan seperti perlindungan tanah, potensi
37
rekreasi, pengaturan sumberdaya air, dan aneka produk kayu (Baskent dan Keles 2008). Masyarakat Kota Baubau memanfaatkan hutan baru berupa produk Rotan dan getah Pinus. Pemanfaatan ini dilakukan melalui kelompok usaha dan dibawah pengawasan Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kota Baubau. Secara keseluruhan luas hutan di Kota Baubau mencapai 15 692.14 ha atau 53.53 % dari luas total wilayah kota. Hutan tersebut tersebar di wilayah Kecamatan Bungi, Sorawolio, Wolio dan Kokalukuna yang berada di bagian belakang wilayah (hinterland) kota. Melalui citra Quickbird tahun 2013, penggunaan lahan hutan berwarna biru tua dengan kerapatan kanopi yang padat (lihat Tabel 5.2 No. 1). Kebun Campuran Penggunaan lahan kebun campuran memiliki luasan 8 455.42 ha atau 28.84 % dari wilayah kota. Penggunaan lahan kebun campuran merupakan penggunaan terluas kedua setelah hutan. Sebaran penggunaan lahan ini umumnya di Kecamatan Lea-Lea, Bungi, Murhum dan Betoambari. Melalui citra Quickbird tahun 2013 menunjukkan warna biru tua, kepadatan tajuk rapat dengan pola tertentu (lihat Tabel 5.2 No. 2). Penggunaan lahan kebun campuran menjadi penyangga ketersediaan pangan Kota Baubau. Pertanian Lahan Kering Citra Quickbird tahun 2013 menunjukkan penggunaan lahan kering dengan warna hijau kecoklatan, pola persegi, dan hijauan yang tidak merapat (lihat Tabel 5.2 No. 3). Penggunaan lahan pertanian lahan kering tersebar di Kecamatan Lea-Lea, Bungi, Murhum dan Betoambari. Luasan penggunaan lahan ini mencapai 1 362.7448 ha atau 4.65 % dari total wilayah kota. Jenis komoditi pertanian lahan kering adalah tanaman semusim. Pertanian Lahan Basah Pertanian lahan basah di Kota Baubau dibudidayakan melalui sistem irigasi teknis dengan indeks pertanaman dua kali dalam setahun. Jenis padi yang dibudidayakan umumnya varietas Cisantana. Melalui citra Quickbird tahun 2013 menunjukkan bahwa sebaran penggunaan lahan pertanian lahan basah terdapat di Kecamatan Sorawolio dan Bungi. Citra yang ditunjukkan berupa warna hijau muda dengan pola persegi (lihat Tabel 5.2 No. 4). Penggunaan lahan ini menjadi penunjang ketersediaan pangan masyarakat dengan luasan total 1 381.5487 ha atau 4.72 % dari wilayah kota. Mangrove Penggunaan lahan mangrove terdapat di wilayah Kecamatan Bungi dan Lea-Lea dengan luasan mencapai 41.84 ha atau 0.14 % dari wilayah kota. Melalui citra Quickbird tahun 2013 menunjukkan warna biru tua dengan kerapatan tajuk yang tinggi yang mengelompok pada daerah pesisir atau muara (lihat Tabel 5.2 No. 5). Jenis yang ditemukan adalah Sonneratia dan Nypa yang membentuk suatu zonasi (mintakat), yaitu Sonneratia di zona luar dan Nypa di zona dalam (Baja et al. 2007). Padang Rumput Padang rumput umumnya digunakan untuk penggembalaan ternak. Berdasarkan citra Quickbird tahun 2013 padang rumput berwarna hijau dengan tekstur yang halus dan terdapat di seluruh wilayah kecamatan di Kota Baubau (lihat Tabel 5.2 No. 6). Kecamatan Betoambari memiliki hamparan padang rumput paling luas. Total luasan penggunaan lahan padang rumput adalah 3 % dari total wilayah Kota Baubau atau setara dengan 880.64 ha.
38
Tambak Berdasarkan citra Quickbird 2013, tambak di Kota Baubau terdapat di Kecamatan Bungi. Warna kecoklatan dengan pola persegi dan terdapat di daerah pesisir karena proses budidayanya dipengaruhi air laut (lihat Tabel 5.2 No. 7). Namun, berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Baubau, perikanan darat di Kota Baubau juga dibudidayakan secara mina padi (terpadu dengan budidaya sawah) yang sifatnya temporal. Pada interpretasi penggunaan lahan di Kota Baubau, mina padi diinterpretasi sebagai penggunaan lahan basah. Berdasarkan hasil intepretasi citra, luas tambak adalah 52.21 ha atau 0.18 % dari luas wilayah Kota Baubau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) RTH menawarkan banyak manfaat bagi penduduk kota-kota berupa rekreasi, kualitas lingkungan, kesehatan, ekosistem, manfaat ekonomi, dan pemandangan (Choi 2013). Di Kota Baubau, RTH publik dikelola oleh dinas terkait dalam bentuk taman-taman kota, jalur hijau dan sempadan sungai. Berdasarkan interpreasi citra Quickbird, RTH ditunjukkan dengan pola bergerombol dan memanjang yang berwarna hijau tua (lihat Tabel 5.2 No. 8). Sebaran RTH terdapat di Kecamatan Wolio dan Murhum. Luas RTH hasil interpretasi citra adalah 9.64 ha atau setara dengan 0.03 %. Lahan Terbuka Lahan terbuka diakibatkn oleh pembukaan lahan hutan dan penggalian tanah untuk memperoleh tanah timbunan yang dibutuhkan pembangunan. Melalui citra Quickbird, lahan terbuka berwarna kekuningan dan kecoklatan (lihat Tabel 5.2, No. 9). Luas lahan terbuka berdasarkan interpretasi citra adalah 0.53 % dari luas wilayah kota atau setara 154.20 ha. Badan Air Badan air di Kota Baubau dalam bentuk sungai dan saluran irigasi. Kota Baubau memiliki dua sungai besar yaitu sungai Baubau dan sungai Bungi. Sungai Baubau membatasi Kecamatan Wolio dengan Kecamatan Murhum dan Kecamatan Batupoaro. Sungai Bungi melintas dari Kecamatan Sorawolio, membelah Kecamatan Bungi dan tepat bermuara di Kecamatan Lea-Lea dan Kecamatan Kokalukuna. Sungai ini merupakan sumber air untuk persawahan dan air bersih PDAM. Sungai Bungi membentuk daerah tangkapan sendiri (sub DAS Bungi), dimana kawasan pertanian Ngkari-Ngkari dan sekitarnya terletak di dalam daerah tangkapan tersebut. Pada bagian hulu sungai Bungi terdapat mata air bungi (Baja 2012). Melalui citra Quickbird, terlihat pola badan air umumnya memanjang dan berkelok-kelok dengan menunjukkan rona warna hijau tua (lihat Tabel 5.2 No. 9). Total luas badan air Kota Baubau adalah 166.01 ha atau 0.57 %. Pemakaman Penggunaan lahan untuk pemakaman di Kota Baubau mencapai 4.11 ha atau setara 0.01 %. Di Kota Baubau terdapat 13 lokasi penggunaan lahan untuk pemakaman. Lima lokasi di Kecamatan Batupoaro, dua lokasi di Kecamatan Murhum, enam lokasi di Kecamatan Wolio dan satu lokasi di Kecamatan Kokalukuna. Dari 13 lokasi tersebut satu diantaranya adalah makam khsusus etnik Tionghoa dan satu makam pahlawan yang berada di Kecamatan Wolio. Melalui citra satelit penggunaan lahan pemakaman menunjukkan pola mengelompok dan rona hijau yang berbintik putih. Rona hijau tersebut merupakan vegetasi yang terdapat pada penggunaan lahan pemakaman, sedang bintik putih adalah makam (lihat Tabel 5.2, No. 10).
39
Jalan Citra Quickbird menunjukkan bahwa pola jalan memanjang dan berkelokkelok yang menyebar pada setiap kecamatan. Warna yang ditunjukkan adalah kehitaman (lihat Tabel 5.2, No. 11). Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2006 tentang Jalan, terdapat jalan arteri, lokal dan lingkungan. Jalan arteri yang menghubungkan antar kecamatan, jalan lokal yang menghubungkan kelurahan dalam satu kecamatan dan jalan lingkungan. Jalan lingkungan di Kota Baubau menghubungkan antar pemukiman dan jalan usaha tani. Berdasarkan interpretasi citra Quickbird tahun 2013 luas jalan di Kota Baubau mencapai 209.44 ha atau 0.72 %. Bangunan Pemerintah Penggunaan lahan untuk bangunan pemerintah mencakup perkantoran seperti kantor Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), kantor camat, kantor lurah, TNI dan Kepolisian dan bangunan lain milik pemerintah. Penggunaan lahan bangunan pemerintah memiliki luasan mencapai 48.53 ha atau 0.17 %. Melalui citra terlihat pola penggunaan lahan bangunan pemerintah mengelompok dan menyebar ke setiap kecamatan. Warna yang ditunjukkan variatif sesuai dengan warna atap bangunan pemerintah tersebut (lihat Tabel 5.2, No. 12). Interpretasi penggunaan ahan bangunan pemerintah ini sangat terkait pada kedekatan dan pengetahuan interpreter dengan wilyah studi. Pemukiman Sebaran pemukiman di Kota Baubau umumnya berada di bagian depan kota yakni dekat pantai. Wilayah pemukiman terpadat berada di Kecamatan Wolio dan menjadi pusat kota. Kecamatan Wolio juga menjadi kawasan pemukiman kota lama yang mekudia berkembang seiring dengan pertumbuhan penduduk dan aktifitas ekonomi warga kota. Melalui citra pemukiman berbentuk kotak/persegi dimana sebarannya mengikuti sebaran jalan (lihat Tabel 5.2, No. 13). Penggunaan lahan aktual melalui interpretasi citra telah mencapai 718.45 ha atau 2.45 % dari wilayah kota. Selain sebagai rumah tinggal, lahan pemukiman juga menjadi tempat berlangsungnya aktivitas industri rumahan (home industry). Pusat Pendidikan Penggunaan lahan untuk aktivitas pendidikan mencakup sekolah, pendidikan tinggi dan Pondok Pesantren (PONPES). Sebaran aktiitas pendidikan paling banyak pada wilayah pemukiman padat. Bentuk bangunan umumnya bangunan memanjang yang membentul lingkaran ataupun huruf L (lihat Tabel 5.2, No. 13). Lahan yang digunakaan untuk aktivitas pendidikan di Kota Baubau saat ini mencapai 35.85 ha atau 0.12 % dari wilayah kota. Pelabuhan Pelabuhan merupakan infrastruktur yang sangat vital bagi kota pantai. Pelabuhan menjadi pintu masuk manusia dan barang menuju kota yang mendorong ektivitas ekonomi. Sepanjang wilayah barat Kota Baubau berbatasan langsung dengan laut. Saat ini jumlah pelabuhan di Kota Baubau sebanyak 13 buah. Pelabuhan utamanya adalah pelabuhan Murhum yang terletak di Kecamatan Wolio. Selain itu terdapat pula pelabuhan Batu tempat berlabuhnya kapal antar pulau dan pelabuhan Ferry. Di Kecamatan Betoambari juga terdapat pelabuhan pertamina untuk bongkar muat kapal minyak wilayah timur Indonesia. Selain itu di Kecamatan Betoambari juga terdapat pelabuhan untuk kapal antar pulau. Terdapat pula dua buah pelabuhan kecil di wilayah Pulau Makassar. Pulau
40
Makassar merupakan bagian administrasi dari Kecamatan Kokalukuna. Luas total lahan untuk pelabuhan di Kota Baubau mencapai 10.74 ha atau 0.04 %. Bandara Betoambari Sama halnya dengan pelabuhan, Bandar Udara (BANDARA) Betoambari memiliki peranan vital sebagai pintu masuk menuju kota melalui udara. Melalui citra Quickbird warna Bandara Betoambari berwarna hitam dengan garis putih memanjang (lihat Tabel 5.2, No. 15). Citra tersebut menunjukkan landasan pacu pesawat terbang. Kawasan Bandara Betoambari terletak di wilayah Kecamatan Betoambari dengan luas lahan mencapai 21.32 ha atau 0.07 %. Kilang Pertamina Terdapat dua kawasan kilang pertamina di Kota Baubau. Kawasan kilang pertamina merupakan kilang penampungan minyak wilayah Indonesia timur. Kawasan dilengkapi dengan pelabuhan untuk bongkar muat kapal minyak. Melalui citra Quickbird tampak kilang minyak berwarna putih berbentuk bulat. Kawasan kilang ini berada di wilayah Kecamatan Betoambari dengan luas lahan 17.21 ha atau 0.06 %. Terminal Terdapat dua terminal di Kota Baubau. Terminal pertama di Kecamatan Wolio yang disebut dengan terminal sentral Baubau dan terminal kedua di Kecamatan Batupoaro yang disebut dengan terminal Wameo. Terminal sentral Baubau sebagai tempat persinggahan angkutan dalam kota sedangkan terminal Wameo sebagai tempat persinggahan angkutan luar kota Baubau. Luas lahan yang digunakan untuk terminal adalah 0.42 ha. Tempat Ibadah Sarana tempat ibadah di Kota Baubau yaitu masjid, gereja dan pura. Masyarakat Kota Baubau adalah mayoritas muslim sehingga jumlah masjid jauh lebih besar dibandingkan tempat ibadah lain. Gereja berjumlah tiga buah yang terdapat di Kecamatan Wolio dan satu buah di Kecamatan Bungi. Pura hanya 1 buah yang terdapat di Kecamatan Bungi. Melalui citra Quickbird bangunan tempat ibadah (masjid) berbentuk persegi dan terdapat lingkaran kubah diatasnya (lihat Tabel 5.2, No. 18). Luas lahan untuk tempat ibadah mencapai 6.12 ha atau 0.02 %. Komersil Penggunaan lahan komersil di Kota Baubau mencakup pergudangan, pusat perbelanjaan/mall, pertokoan dan pasar. Terdapat tiga bangunan pusat perbelanjaan besar di Kota Baubau yaitu pusat perbelanjaan Umna Rijoli, Laelangi dan Lippo Mall yang keduanya berada di Kecamatan Wolio. Jumlah pasar utama ada tiga buah yaitu pasar Sentral Baubau dan Pasar Karya Nugraha yang terletak di Kecamatan Wolio dan pasar Wameo yang terletak di Kecamatan Batupoaro. Kawasan pergudangan tersebar di Kecamatan Wolio, Murhum, Batupoaro dan Betoambari. Kawasan pertokoan berada di kota lama yakni Kecamatan Wolio yang berdekatan dengan pasar Sentral Baubau. Luas penggunaan lahan komersil mencapai 25.07 ha atau 0.09 %. Hotel Data BPS Kota Baubau menyebutkan bahwa jumlah hotel dan penginapan di mencapai 52 hotel. Namun berdasarkan hasil survey lapang hanya terdapat 21 buah hotel yang aktif. Sebaran hotel di Kota Baubau berada di Kecamatan Wolio,
41
Murhum, Batupoaro dan wilayah Kecamatan Kolalukuna yang berbatasan dengan Kecamatan Wolio. Selain itu terdapat satu buah hotel yang terdapat di Kecamatan Betoambari. Luas lahan untuk penggunaan hotel mencapai 3.64 ha atau 0.01 %. Cagar Budaya Kota Baubau juga dikenal sebagai kota budaya. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Kota Baubau di masa kesultanan Buton merupakan pusat Kesultanan Buton dari abad 13 hingga abad 20. Wilayah kekuasaannya mencakup Wilayah pulau Buton dan beberapa pulau yang ada di sekitarnya, antara lain pulau Muna, Kabaena, Wawonii, gugusan kepulauan Tukang Besi (Wanci, Kaledupa, Tomea, dan Binongko) dan pulau-pulau lainnya di sekitar pulau Buton, yakni Siompu, Kadatuang, Mangkassar, dan Talaga (Rabani 2010). Sisa peninggalan kesultanan Buton di Kota Baubau antara lain benteng dan rumah adat yang terdapat di Kecamatan Murhum. Luas lahan untuk penggunaan cagar budaya mencapai 3.86 ha 0.01 %. Ruang Publik Ruang publik menjadi tempat mengisi liburan ataupun sekedar melepas kepenatan bagi warga Kota Baubau. Ruang publik ini menyuguhkan aneka jajanan dan pemandangan laut karena posisinya berada di pesisir. Melalui citra satelit salah satu ruang publik menunjukkan warna kuning merupakan warne tegel dan warna biru merupakan kolam (lihat Tabel 5.2, No. 24). Terdapat enam ruang publik di Kota Baubau yaitu satu di Kecamatan Betoambari, dua di Kecamatan Batu Poaro, satu di Kematan Wolio dan dua di Kecamatan Kokalukuna. Luas lahan yang digunakan untuk ruang publik adalah 12.78 ha atau 0.04 %. Analisis Kemampuan Lahan Tanah pada dasarnya memiliki kemampuan yang berbeda untuk mendukung penggunaan spesifik. Untuk mengetahui kemampuan suatu daerah perlu melakukan klasifikasi kemampuan lahan. Klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian tanah dengan komponen sistematis dan pengelompokan ke dalam kategori berdasarkan sifat yang merupakan potensi dan kendala dalam penggunaan lahan berkelanjutan (Arsyad 2010). Terdapat empat faktor pembatas pada penelitian ini yaitu kelerengan (l), tekstur (t), kedalaman (k) dan drainase (d). Setiap faktor pembatas memiliki intensitas dan sebaran spasial yang variatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor pembatas kelerengan lebih heterogen baik dari intensitas maupun sebarannya. Sedangkan tektur lahan di Kota Baubau cenderung homogen yakni didominasi oleh kelas tektur 1 (t1). Hal ini disebabkan oleh kondisi permukaan lahan di Kota Baubau cenderung berbukit-bukit dimana semakin ke belakang lahannya makin tinggi dari permukaan laut. Peta sebaran setiap fakto pembatas ditumpangtindihkan untuk menghasilkan peta kelas dan sub kelas kemampuan lahan. Sebaran setiap faktor pembatas dapat dilihat pada Gambar 5.2.
42
a
b
c
d
Gambar 5.2 Sebaran faktor pembatas kelerengan (a), sebaran faktor pembatas tekstur (b), sebaran faktor pembatas kedalaman tanah (c), dan sebaran faktor pembatas drainase (d) untuk analisis kemampuan lahan di Kota Baubau Penerapan klasifikasi kemampuan lahan memberikan manfaat untuk menentukan arah penggunaan lahan. Arahan tersebut tidak hanya untuk penggunaan lahan pertanian seperti untuk budidaya tanaman semusim, perkebunan, dan kehutanan, tetapi juga penggunaan lahan non pertanian (Samranpong et al. 2009). Penerapan klasifikasi ini sebagai bentuk upaya tidak hanya untuk menjaga keberlanjutan lahan namun juga keberlanjutan produksi. Terdapat enam kelas kemampuan lahan di Kota Baubau yaitu kelas II, III, IV, VI, VII dan VIII sedangkan kelas kemampuan lahan I dan V tidak ditemukan. Kelas kemampuan lahan II, III, IV dan VI tersebar di hampir seluruh kecamatan. Kelas kemampuan lahan VII hanya terdapat di Kecamatan Bungi, sedangkan kelas kemampuan lahan VIII hanya ditemukan di Kecamatan Lea-Lea. Sebaran kelas kemampuan lahan di Kota Baubau dapat dilihat pada Gambar 5.3.
43
Gambar 5.3 Kelas kemampuan lahan di Kota Baubau Hasil analisis menunjukkan bahwa kelas kemampuan lahan VI memiliki luas sebaran tertinggi yakni 15 446.52 ha atau setara dengan 52.69 %. Sedangkan kelas kemampuan VII memiliki sebaran yang paling rendah yaitu 53.34 ha atau 0.18 %. Luas kelas kemampuan lahan setiap kelas dapat dilihat pada Tabel 5.3. Tingkat kelas kemampuan suatu lahan ditentukan faktor penghambat atau resiko paling besar yang terdapat pada satuan lahan. Faktor penghambat tersebut sekaligus menjadi sub kelas kemampuan lahan. Lahan di Kota Baubau terdapat 19 sub kelas kemampuan lahan. Faktor penghambat utama pada sub kelas kemampuan lahan adalah kelerengan (l), tekstur (t), kedalaman (k) dan drainase (d). Sub kelas kemampuan lahan yang memiliki luasan terbesar adalah sub kelas VI dengan faktor pembatas utama kedalaman (k) dan kelerengan (l). Gambar 5.4 menunjukkan secara spasial sub kelas VI tersebar di daerah belakang (hinterland) wilayah Kota Baubau. Sub kelas VI dengan faktor penghambat utama kedalaman (k) merupakan faktor penghambat paling luas dari sub kelas VI yakni 13 901.99 ha. Sub kelas VI dengan faktor penghambat kelerengan (l) seluas 729.28 ha dan kombinasi keduanya adalah 815.26 ha. Hal ini menunjukkan bahwa daerah belakang (hinterland) Kota Baubau didominasi oleh lahan dengan kedalaman (k) sangat dangkal (<25 cm). Sub kelas kemampuan lahan yang memiliki luasan terkecil adalah sub kelas VII dengan faktor penghambat utama adalah kelerengan (l). sub kelas ini hanya terdapat di Kecamatan Bungi dengan pola memanjang. Luas sub kelas VII hanya 53.34 ha. Sebaran sub kelas kemampuan lahan dan luasannya masing-masing disajikan pada Gambar 5.4 dan Tabel 5.3.
44
Gambar 5.4 Sub kelas kemampuan lahan di Kota Baubau Berdasarkan hasil analisis kemampuan lahan diatas, terdapat 46.74 % atau 13 702.24 lahan di Kota Baubau masih dapat dipergunakan untuk berbagai penggunaan lahan. Luasan tersebut terdiri dari kelas kemampuan lahan II, III dan IV. 52.69 % atau 15 446.52 ha adalah lahan dengan kelas kemapuan VI dimana kelas VI lahan yang masih dapat dipergunakan secara terbatas dengan memperhatikan faktor pembatasnya. Sebesar 165.20 ha atau 0.56 % merupakan lahan kelas kemampuan VII dan VIII yang hanya bisa digunakan untuk kegiatan konservasi dan rekreasi terbatas. Arsyad (2010) menjelaskan bahwa lahan pada kelas kemampuan I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan dipergunakan untuk berbagai penggunaan seperti pertanian pada umumnya. Lahan pada kelas kemampuan VI mempunyai hambatan yang berat sehingga tidak cocok untuk penggunaan lahan pertanian. Penggunaan lahan kelas VI terbatas untuk padang gembalaan, hutan atau cagar alam. Sedangkan kelas kemampuan VII dan VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Lahan dengan kelas kemapuan VII dan VIII dibiarkan secara alami atau dipergunakan untuk hutan lindung, rekreasi atau cagar alam. Kelas kemampuan I hingga IV disebut juga sebagai kelas arable karena kemampuannya untuk mendukung berbagai usaha pertanian intensif (arable), sedangkan kelas kemampuan V hingga VIII disebut non-arable. Non-arable berarti lahan yang penggunaannya untuk usaha non pertanian. Usaha pertanian dapat pula dilakukan pada lahan non-arable namun diikuti dengan teknik pengelolaan yang seksama (Baja 2012).
45
Tabel 5.3 Luas kelas dan sub kelas kemampuan lahan di Kota Baubau Kelas kemampuan
Luas
%
II
4 182.55
14.27
III
1 698.17
5.79
IV
7 821.52
26.68
VI
15 446.52
52.69
VII VIII Total
53.34 111.86 29 313.96
0.18 0.38 100.00
Sub kelas II_d2 II_l1d2 II_t1 II_t1l1 III_d3 III_k1 III_l2 III_l2d3 III_l2d3k1 IV_d4 IV_k2 IV_l3 IV_l3d4 IV_l3k2 VI_k3 VI_l4 VI_l4k3 VII_l5 VIII_l6
luas 1 005.24 1 284.44 1 016.38 876.48 260.39 130.23 1 184.19 4.18 119.19 310.06 2 697.66 3 245.00 1.64 1,567.15 13 901.99 729.28 815.26 53.34 111.86 29 313.96
% 3.43 4.38 3.47 2.99 0.89 0.44 4.04 0.01 0.41 1.06 9.2 11.07 0.01 5.35 47.42 2.49 2.78 0.18 0.38 100.00
Evaluasi Penggunaan Lahan aktual dan Pola Ruang RTRW Kemampuan lahan pada penelitian ini menjadi acuan untuk mengevaluasi penggunaan lahan aktual dan perencanaan penggunaan lahan di masa mendatang yang tertuang dalam RTRW. Evaluasi keselarasan dilakukan melalui Tabel keselarasan lalu dituangkan dalam bentuk peta keselarasan untuk melihat sebarannya secara spasial. Penilaian keselarasan terdiri atas selaras (S), selaras bersyarat (SB) dan tidak selaras (TS). Selain itu juga dilakukan evaluasi keselarasan rencana pola ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual. Evaluasi Keselarasan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Kemampuan Lahan Berdasarkan hasil interpretasi citra Quickbird tahun 2013, di Kota Baubau terdapat 24 kelas penggunaan lahan. Kelas penggunaan lahan tersebut dievaluasi dengan sub kelas kemampuan lahan dengan overlay peta. Hasil overlay secara spasial pada Gambar 5.5. Penggunaan lahan hutan dan badan air dianggap selaras (S) untuk semua sub kelas kemampuan lahan (15 858.15 ha atau 54.09 %). Selain penggunaan lahan hutan dan badan air, kelas penggunaan lahan yang telah selaras (S) dengan kemampuan lahan seluas 12 574.36 atau 42.90 %. Kelas penggunaan lahan yang tidak selaras (TS) dengan kemampuan lahan 521.67 ha atau 1.78 % dan kelas
46
penggunaan lahan yang selaras bersyarat (SB) seluas 359.78 ha atau 1.23 %. Luas hasil evaluasi keselarasan setiap kelas penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan disajikan pada Tabel 5.4.
Gambar 5.5 Evaluasi penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan Tabel 5.4 menunjukkan bahwa ketidakselarasan penggunaan lahan aktual terhadap kemampuan lahan merupakan jenis penggunaan lahan dengan aktivitas manusia yang cukup tinggi. Ketidakselarasan penggunaan lahan tersebut berada pada kelas IV sampai kelas VIII dengan faktor pembatas yang dominan adalah kelerengan (l) dan kedalaman (k). Penggunaan lahan yang memiliki ketidak selarasan paling tinggi adalah penggunaan lahan pertanian lahan kering dengan luas 239.19 ha atau 0.82 %, sedang yang paling rendah adalah penggunaan lahan untuk pusat pendidikan seluas 0.20 ha. Tabel 5.4 menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang tidak selaras terhadap kemampuan lahan umumnya adalah penggunaan lahan pertanian, perkebunan dan lahan terbuka. Hal ini menyebabkan pola sebarannya mengikuti sebaran penggunaan lahan pertanian dan perkebunan yang umumnya berada di wilayah Kecamatan Sorawolio, Lea-Lea dan sebagian Kecamatan Wolio. Selaras bersyarat umumnya berada pada penggunaan lahan jalan dan pertanian lahan basah sehingga pola sebarannya memanjang dan bergerombol seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.5. Penggunaan lahan selaras bersyarat (SB) terdapat pada penggunaan lahan untuk pertanian lahan basah dan jalan. Faktor pembatas utamanya adalah kelerengan (l) dimana pertanian lahan basah berada pada kelerengan 15-30 % (l3) dan jalan pada kelerengan >65 % (l6). Hal ini mengharuskan adanya perlakuan teknis khusus untuk menghindarinya terjadinya degradasi lahan utamanya bahaya erosi. Perlakuan teknis pada lahan basah dapat dilakukan dengan pembuatan teras
47
sedang pada jalan dengan pembuatan talud. Selain itu, penanaman vegetasi jenis pohon sangat penting untuk mengikat massa tanah. Tabel 5.4 Hasil evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terrhadap kemampuan lahan Selaras Penggunaan Lahan Badan air Bandara Bangunan Pemerintah Cagar budaya Hotel Hutan Jalan Kebun campuran Kilang pertamina Komersil Lahan terbuka Mangrove Padang rumput Pelabuhan Pemakaman Pemukiman Pertanian lahan basah Pertanian lahan kering Pusat pendidikan Ruang publik Ruang terbuka hijau Tambak Tempat ibadah Terminal Total
luas (ha)
%
166.01 21.32
0.57 0.07
48.16
0.16
3.87 3.64 15 692.15 207.06 8 360.61 17.21 25.08 30.06 41.84 871.97 10.74 4.11 667.76
Tidak selaras luas % (ha) -
Selaras Bersyarat persen luas (ha) (%) -
0.37
0.00
-
-
0.01 0.01 53.53 0.71 28.52 94.82 0.06 0.09 0.10 124.14 0.14 2.97 8.68 0.04 0.01 2.28 50.70
0.32 0.42 0.03 0.17
2.38 -
0.01 -
1 020.55
3.48
3.60
0.01
357.40
1.22
1 123.56
3.83 239.19
0.82
-
-
35.65 12.78 9.64 52.21 6.12 0.42 28 432.51
0.12 0.20 0.04 0.03 0.18 0.02 96.99 521.67
0.00 1.78
359.78
1.23
Evaluasi Keselarasan Rencana Pola Ruang RTRW Terhadap Kemampuan Lahan Evaluasi pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan dilakukan untuk melihat sejauh mana pola ruang RTRW mempertimbangkan aspek ekologi dalam pemanfaatan lahan hingga 20 tahun mendatang. Hal ini penting mengingat sumberdaya lahan sangat menentukan keberlanjutan pembangunan kota. Hasil
48
evaluasi keselarasan ini akan menjadi bahan perbaikan atau revisi RTRW di Kota Baubau. RTRW Kota Baubau hingga tahun 2030 merencanakan 23 pola ruang atau pemanfaatan lahan. Luas dan rencana pola ruang Kota Baubau disajikan pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Luas dan rencana pola ruang RTRW Kota Baubau No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Rencana Pola Ruang Luas (ha) Hutan 1 044.51 Hutan Raya 203.26 Hutan Lindung 4 383.88 Hutan Kota 392.28 Taman 140.90 Cagar Budaya 87.29 Konservasi Pantai 70.43 Industri Perikanan 5.67 Wisata Pantai 125.95 Kawasan Bandara 117.23 Kawasan Pelabuhan 113.49 markas tni/kostrad 126.03 Perkebunan 5 403.78 PLTU 109.23 Komersil 1 490.61 Pemukiman 3 132.03 Hutan Produksi Terbatas 3 787.26 Fasos 11.74 Tambang 4 723.53 Perkantoran 1 086.89 Pergudangan 352.57 Sawah 353.48 Fasum 2 051.93 Total 29 313.96 Sumber: Dokumen RTRW Kota Baubau tahun 2010-2030
% 3.56 0.69 14.95 1.34 0.48 0.30 0.24 0.02 0.43 0.40 0.39 0.43 18.43 0.37 5.08 10.68 12.92 0.04 16.11 3.71 1.20 1.21 7.00 100.00
Tabel 5.6 menunjukkan hasil evaluasi keselarasan rencana pola ruang terhadap kemampuan lahan. Pola ruang untuk fungsi lindung dalam evaluasi keselarasan dianggap selaras (S) dengan luas 6 322.55 ha atau 21.57 %. Tabel 5.6 menunjukkan bahwa terdapat pola ruang yang tidak selaras (TS) terhadap kemampuan lahan seluas 2 681.83 ha atau 9.15 % dan selaras bersyarat (SB) seluas 1 479.33 ha atau 5.04 %. Hal ini disebabkan oleh faktor pembatas kelerengan (l) baik pada pola ruang yang selaras (S) maupun yang selaras bersyarat (SB).
49
Tabel 5.6 Hasil evaluasi keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Rencana Pola Ruang Hutan Hutan Raya Hutan Lindung Hutan Kota Taman Cagar Budaya Konservasi Pantai Industri Perikanan Wisata Pantai Kawasan Bandara Kawasan Pelabuhan markas tni/kostrad Perkebunan PLTU Komersil Pemukiman Hutan Produksi Terbatas Fasilitas sosial Tambang Perkantoran Pergudangan Sawah Fasilitas umum Total
Selaras luas (ha) 1 044.51 203.26 4 383.88 392.28 140.90 87.29 70.43 5.67 119.10 117.23
% 3.56 0.69 14.95 1.34 0.48 0.30 0.24 0.02 0.41 0.40
Tidak Selaras luas (ha) % -
Selaras Bersyarat luas (ha) % 6.85 0.02 -
113.49
0.39
-
-
-
-
126.03 5 375.02 76.49 1 141.22 2 673.16
0.43 18.34 0.26 3.89 9.12
32.74 349.40 458.87
0.11 1.19 1.57
28.75 -
0.10 -
3 787.26
12.92
-
-
-
-
11.74 3 288.95 963.07 304.34 344.33 383.16
0.04 11.22 3.29 1.04 1.17 1.31
123.83 48.22
0.42 0.16
1 668.77
5.69
1 434.58 9.15 -
4.89 0.03 -
25 152.82
85.80
2 681.83
9.15
1 479.33
5.04
Rencana pola ruang yang tidak selaras (TS) terhadap kemampuan lahan berupa rencana kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), komersil, pemukiman, perkantoran, pergudangan dan fasilitas umum. Lahan yang tidak selaras ini polanya mengelompok yang tersebar di seluruh kecamatan kecuali Kecamatan Batu Poaro. Sedangkan untuk rencana pola ruang selaras bersyarat (SB) adalah rencana kawasan wisata pantai, perkebunan, tambang dan sawah. Tersebar hanya di Kecamatan Sorawolio dan sedikt di Kecamatan Bungi. Berdasarkan hasil analisis dapat dikatakan bahwa rencana pola ruang belum sepenuhnya memperhatikan kemampuan lahan. Sebaran evaluasi keselarasan rencana pola ruang disajikan pada Gambar 5.6.
50
Gambar 5.6 Evaluasi keselarasan rencana pola ruang RTRW terhadap kemampuan lahan Evaluasi Keselarasan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Rencana Pola Ruang RTRW Hasil analisis menunjukkan bahwa keselarasan antara pemanfaatan lahan aktual terhadap rencana pola ruang 23 637.50 ha (80.64 %), tidak sesuai 4 210.09 ha (14.36 %) dan sesuai bersyarat 1 466.34 ha (5.00 %). Sebaran keselarasan dan luas masing-masing keselarasan rencana dilihat pada Gambar 5.6 dan Tabel 5.7. Gambar 5.7 menunjukkan bahwa sebaran pemanfaatan lahan aktual yang sesuai terhadap pola ruang menyebar di seluruh wilayah kecamatan. Keselarasan ini didominasi oleh lahan yang diperuntukkan untuk kawasan lindung. Kawasan yang berfungsi lindung pada lahan aktual sangat dominan sehingga saat dilakukan tumpang tindih dengan rencana pola ruang memiliki keselarasan yang luas. Selain itu rencana pola ruang perkebunan juga memiliki keselarasan yang luas. Sebaran perkebunan berada pada Kecamatan Bungi, Lea-Lea dan Sorawolio. Pemukiman merupakan rencana pola ruang untuk lahan terbangun yang memiliki keselarasan paling tinggi. Khusus untuk pertambangan Nikel direncanakan seluas 4 723.56 ha (16.11 %). Secara ekologis dan ditunjang regulasi aktivitas pertambangan yang mungkin dilakukan seluas 4 345.09 (14.82 %) dan tidak memungkinkan untuk dilakukan seluas 378.47 ha (1.29 %). Tidak dimungkinkannya sejumlah luasan pertambangan dikarenakan ketidakselarasan dengan penggunaan lahan lain yaitu pertanian dan pemukiman. Hal ini jika dipaksakan akan memicu konflik ruang dengan masyarakat. Tahap eksplorasi pertambangan di Kota Baubau telah
51
dilakukan sejak tahun 2009. Namun tidak dapat dilakukan usaha eksploitasi dikarenakan adanya penentangan aktivitas tambang dari masyarakat. Masyarakat menilai tambang dapat menggangu aktivitas pertanian dan merusak lingkungan kota. Akibat dari penentangan tersebut aktivitas pertambangan tidak dapat diteruskan sejak tahun 2012 (Rusyamin 2013).
Gambar 5.7 Evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang RTRW Hasil yang tidak sesuai sebarannya bergerak dari daerah belakang menuju pusat kota. Ketidakselarasan diakibatkan oleh kendala ekologis. Kendala ekologis karena ketidakselarasan karakter fisik lahan yakni semakin kebelakang daerah Kota Baubau memiliki kelas kelerengan lebih tinggi. Penggunaan lahan terhadap pola ruang yang sesuai bersyarat berada pada wilayah hinterland Kota Baubau. Wilayah ini aktualnya umumnya hutan yang direncanakan menjadi sawah dan perkebunan. Sesuai bersyarat terjadi juga karena faktor ekologi dan sosial. Hasil evaluasi keselarasan ini secara umum dapat pula menggambarkan kemungkinannya rencana pola ruang diterapkan hingga tahun 2030. Dari rencana pola ruang yang ada pengembangan kota diarahkan untuk ke daerah belakang yang secara aktual merupakan daerah pertanian dan hutan. Telah banyak riset menunjukkan bahwa lahan yang paling memungkinkan untuk dialihfungsikan dalam rangka pengembangan kota adalah lahan pertanian dan hutan. Berdasarkan analisis menunjukkan bahwa penerapan RTRW di Kota Baubau mungkin untuk dilakukan selama kendala ketidakselarasan dapat dikendalikan. Aspek penting lainnya adalah mencegah terjadinya konflik ruang dengan masyarakat sebagai akibat dari pelaksanaan RTRW.
52
Tabel 5.7 Hasil evaluasi keselarasan penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang RTRW Rencana Pola Ruang
Selaras persen luas (ha) (%) 3.48 1 020.48 0.69 202.57 4 383.83 14.95 1.28 376.63 0.47 137.31 0.30 87.29 0.23 68.70 0.02 5.67 0.37 108.52 0.38 112.17
Hutan Hutan Raya Hutan Lindung Hutan Kota Taman Cagar Budaya Konservasi Pantai Industri Perikanan Wisata Pantai Kawasan Bandara Kawasan Pelabuhan 77.82 Hankam 125.81 Perkebunan 3 268.38 PLTU 107.93 Komersil 979.49 Pemukiman 2 541.69 Hut.Pro.Terbatas 3 767.00 Fasos 11.16 Tambang 4 345.09 Perkantoran 700.37 Pergudangan 24.19 Sawah 345.59 Fasum 839.82 Total 23 637.50
0.27 0.43 11.15 0.37 3.34 8.67 12.85 0.04 14.82 2.39 0.08 1.18 2.86 80.64
Tidak Selaras Selaras Bersyarat persen persen luas (ha) luas (ha) (%) (%) 21.03 0.07 0.69 0.00 0.06 0.00 15.66 0.05 3.58 0.01 1.74 0.01 17.42 0.06 5.06 0.02 35.67 0.22 674.45 1.40 511.12 590.58 20.26 0.58 378.47 386.53 328.38 5.07 1 212.12 4 210.09
0.12 0.00 2.30 1 463.53 0.00 1.74 2.01 0.07 0.00 1.29 1.32 1.12 0.02 2.82 4.13 14.36 1 466.34
4.99 0.01 5.00
Evaluasi Keselarasan Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan Aktual dan Rencana Pola Ruang RTRW Tahapan penelitian ini melakukan evaluasi keselarasan kemampuan lahan pada tingkat sub kelas, penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang RTRW. Evaluasi keselarasan dilakukan melalui matriks keselarasan pada Tabel 3.5. Berdasarkan hasil analisis luas lahan yang selaras adalah 21 890.80 ha atau 74.68 % dan yang tidak selaras seluas 7 423.13 ha atau 25.32 %. Nilai luas lahan yang selaras menunjukkan bahwa luas lahan tersebut memungkinkan untuk dilakukan dalam rencana pola ruang RTRW, sedangkan nilai luas lahan yang tidak selaras cukup sulit untuk dilaksanakan.
53
Tabel 5.8 Luas setiap kategori keselelarasan lahan dikota Baubau Kelas Kemampuan Lahan II
III
IV
VI
Sub Kelas IId2 II_t1,II_t1l1 II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l1 II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l1 II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l1 II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l2 II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l3 II_d2, II_l1d2, II_t1 II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l1 II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l1 II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l2 II_d2, II_l1d2, II_t1, II_t1l1 III_l2 III_l2 III_l2 III_d3, III_k1, III_l2, III_l2d3, III_l2d3k1 III_d3, III_k1, III_l2 III_k1, III_l2 III_k1, III_l2 III_l2 III_d3, III_k1, III_l2 III_k1, III_l2 III_k1, III_l2 III_k1, III_l2 IV_d4, IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 IV_k2, IV_l3k2 IV_d4, IV_k2, IV_l3k2 IV_d4, IV_k2, IV_l3, IV_l3d4, IV_l3k2 IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 IV_d4, IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 IV_d4, IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 IV_d4, IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 IV_d4, IV_k2, IV_l3, IV_l3k2 VI_k3, VI_l4, VI_l4k3
Kategori Kesesuaian
Luas (ha)
S1 S2 S3 S4 TS3 TS4 TS5 TS6 TS7 TS8 TS9 TS10 S1 S2 S3
339.33 1.50 669.35 1 990.85 32.72 63.72 369.27 543.34 89.33 30.73 28.81 23.94 51.69 4.01 158.69
S4
1 239.49
TS3 TS4 TS5 TS6 TS7 TS8 TS9 TS10 S1 S2 S3
10.33 5.87 108.35 3.27 17.07 6.70 8.59 85.97 216.33 4.56 1 736.00
S4
3 548.59
TS3 TS4 TS5 TS6 TS7 TS8 TS9 TS10 S1
48.52 8.97 580.72 878.69 54.08 8.33 245.47 491.26 28.87
54
Kelas Kemampuan Lahan
VII VIII Jumlah
Sub Kelas VI_k3 VI_k3, VI_l4k3 VI_k3, VI_l4, VI_l4k3 VI_l4, VI_l4k3 VI_l4, VI_l4k3 VI_k3, VI_l4 VI_k3, VI_l4 VI_k3, VI_l4, VI_l4k3 VI_k3, VI_l4k3 VI_k3, VI_l4k3 VI_k3, VI_l4 VI_k3, VI_l4, VI_l4k3 VI_k3, VI_l4k3 VII_l5 VII_l5 VIII_l6 VIII_l6
Kategori Kesesuaian S2 S3 S4 TS1 TS2 TS3 TS4 TS5 TS6 TS7 TS8 TS9 TS10 TS1 TS2 TS1 TS2
Luas (ha) 0.99 2 570.90 9 329.64 314.81 478.32 50.15 4.20 1 018.83 309.33 21.55 6.49 488.27 821.97 24.59 28.75 105.01 6.85 29 313.96
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakselarasan tersebut adalah adanya kendala ekologis dan sosial. Gambar 5.8 menunjukkan bahwa sebaran ketidakselarasan lahan terjadi pada wilayah Kecamatan Sorawolio, Bungi, LeaLea dan sebagian Kokalukuna. Selain kendala ekologis, ketidakselarasan terjadi karena upaya untuk mempertahankan lahan-lahan pertanian dan hutan menjadi lahan terbangun dan kegiatan bernilai ekonomi tinggi. Selain itu banyak pula lahan-lahan terbangun yang status kepemilikan privat tumpah tindih dengan rencana pola ruang terbangun lainnya pada RTRW. Luas setiap kategori keselarasan sebagaiman disajikan pada tabel 5.8.
55
Gambar 5.8 Evaluasi keselarasan kemampuan lahan, penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang RTRW Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Fisik Lingkungan. Tahapan penelitian ini untuk memberikan penilaian apakah penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang telah memenuhi daya dukung secara ekologis atau tidak. Penilaian dilakukan terhadap penggunaan lahan secara umum berdasarkan hasil analisis yang dilakukan. Penilaian juga dilakukan secara spesifik untuk lahan pertanian secara umum (pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perkebunan campuran, dan tambak), pemukiman dan kawasan hijau secara umum (Hutan dan taman) yang dikaitkan dengan kemampuan menampung populasi manusia. Kemampuan lahan memberikan cerminan kondisi fisik lingkungan dalam mendukung berbagai penggunaan secara umum. Semakin baik kemampuan lahan maka semakin variatif pilihan penggunaan lahannya (Arsyad 2010). Selain itu daya dukung lahan secara fisik juga mencerminkan kemampuan untuk menopang populasi manusia dalam satuan lahan tertentu (Soemarwoto 2004). Tabel 5.4, Tabel 5.6 dan Tabel 5.7 menunjukkan bahwa secara umum berdasarkan fisik lingkungan lebih baik pada penggunaan lahan aktual dibandingkan rencana pola ruang RTRW. Hal ini ditunjukan dengan luas lahan yang telah selaras terhadap kemampuan lahan sebesar 28 432.51 ha (96.99 %) untuk penggunaan lahan aktual dan 25 152.82 ha (85.80 %) untuk rencana pola ruang RTRW. Lahan selaras bersyarat seluas 359.78 ha (1.23 %) untuk penggunaan lahan aktual dan 1 479.33 ha (5.04 %) untuk rencana pola ruang RTRW. Sedangkan lahan yang tidak selaras 521.67 ha (1.78 %) untuk penggunaan lahan aktual dan 2 681.83 ha (9.15 %) untuk rencana pola ruang.
56
Namun demikian untuk kondisi lahan sesuai bersyarat dan tidak sesuai tidak dapat diabaikan begitu saja karena dapat menjadi sumber kerusakan lingkungan di Kota Baubau. Munculnya lahan sesuai bersyarat dan tidak sesuai diakibatkan oleh faktor penghambat utama kelerengan (l) dan kedalaman tanah (k). Lahan dengan sesuai bersyarat mengaharuskan adanya penerepan teknologi untuk menghindari kerusakan lingkungan lahan sedangkan lahan tidak sesuai direkomendasikan untuk mengganti kegiatan dengan yang sesuai kelas penggunaannya. Secara umum, hasil evaluasi keselarasan antara penggunaan lahan aktual terhadap rencana pola ruang relatif selaras atau memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan luasan penggunaan lahan aktual yang selaras relatif dominan. Namun memerlukan arahan lebih lanjut untuk lahan yang tidak selaras dan selaras bersyarat. Namun demikian berdasarkan Gambar 5.6, Gambar 5.7 dan Tabel 5.7 menunjukkan adanya kecenderungan luas lahan yang tidak selaras semakin tinggi. Hal ini dikarenakan proses evaluasi keselarasan telah memasukkan faktor perencanaan dan sosial didalamnya. Dokumen RTRW Kota Baubau merekomendasikan adanya tambang Nikel dimana hasil evaluasi menunjukkan rencana tambang nikel tersebut secara umum selaras. Namun demikian kegiatan tambang Nikel tidak dapat berjalan karena telah terjadi konflik antara masyarakat dengan pemilik Izin Usaha Pertambangan dan pemerintah sejak tahun 2009. Masyarakat tidak menginginkan adanya rencana tambang Nikel tersebut dan hingga saat ini rencana tambang terhenti pada tahap eksplorasi. Terkait konflik tambang tersebut, Rusyamin (2013) telah melakukan studi di Kota Baubau. Hasil studi Rusyamin menunjukkan bahwa konflik rencana tambang dipicu oleh faktor sosial budaya, perizinan dan ekologi. Faktar sosial budaya berkaitan dengan status kepemilikan lahan sebagai tanah adat yang menjadi kepemilikan bersama (common property) yang kemudian berubah menjadi kepemilikan pribadi (privat property) melalui campur tangan pemerintah. Faktor perizinan berkaitan dengan adanya dugaan proses terbitnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) tidak melalui mekanisme yang sebenarnya. Faktor ekologi berkaitan dengan kekhawatiran masyarakat akan mengganggu ekosistem kota dan mata pencaharian penduduk sekitar tambang. Hal ini cukup beralasan karena lokasi rencana tambang Nikel berada pada daerah ketinggian dan merupakan hutan penyangga Sub DAS Bungi. Sub DAS Bungi saat ini digunakan untuk irigasi pertanian dan sember air minum masyarakat Kota Baubau. Penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang RTRW akan memberikan gambaran yang berbeda jika dikaitkan dengan populasi penduduk Kota Baubau dan manfaat ekologis. Penggunaan lahan yang berkaitan dengan populasi penduduk adalah penggunaan lahan pertanian secara umum (pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, kebun campuran dan perikanan darat) dan pemukiman. Sedang penggunaan lahan yang berkaitan dengan manfaat ekologis adalah hutan, Ruang Terbuka Hijau (RTH), taman dan konservasi pantai. Penggunaan lahan pertanian sangat berkaitan erat dengan ketersediaan pangan populasi penduduk dengan menghitung ketersediaan lahan untuk hidup layak (KHL) setara beras. Menggunakan analisis Rustiadi et al. (2010) maka KHL Kota Baubau seluas 0.22 ha/jiwa/tahun (lihat lampiran 3). Hasil analisis menunjukkan lahan pangan tersedia pada penggunaan lahan aktual seluas 4 532.89 ha setara beras. BPS (2013) menunjukkan jumlah populasi penduduk
57
Kota Baubau mencapai 142 576 jiwa. Hal ini berarti bahwa dengan luas pangan tersedia hanya mampu mendukung ketersediaan pangan bagi 20 696 jiwa penduduk atau 14.51 % dari total penduduk Kota Baubau. Sedangkan untuk rencana pola ruang RTRW tidak dapat dihitung karena belum diketahuinya harga komoditi pertanian dimasa mendatang. Namun rencana pola ruang RTRW untuk pertanian (sawah dan perkebunan) seluas 5 719.35 ha (19.51 %). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar kebutuhan pangan penduduk Kota Baubau berasal dari luar Kota Baubau melalui aktivitas belanja hasil pangan. Luas penggunaan lahan pemukiman pada penggunaan lahan aktual di Kota Baubau seluas 718.45 ha (2.45 %). Mengacu pada SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan bahwa luas lahan pemukiman minimal yang dibutuhkan orang dewasa adalah 9.6 m2. Penggunaan lahan pemukiman Kota Baubau saat ini bisa menampung populasi hingga 748 393 jiwa. Sedangkan penggunaan lahan pemukiman pada rencana pola ruang RTRW 3 132.03 ha (10.68 %) dengan daya tampung maksimal 3 262,534 jiwa. Berdasarkan data BPS (2013) jumlah penduduk Kota Baubau mencapai 142,576 jiwa dengan pertumbuhan penduduk 2,02 % maka hingga tahun 2030 jumlah penduduk mencapai 204 354 jiwa. Ruang Terbuka Hijau (RTH) memberikan manfaat ekologis dalam wilayah kota. Sesuai dengan undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang luas RTH adalah 30 % dari luas wilayah kota. Proporsi RTH publik 20 % yang dikelola pemerintah dan sisanya merupakan RTH privat. Penggunaan lahan aktual di Kota Baubau yang termasuk RTH publik adalah ruang terbuka hijau, hutan, mangrove dan pemakaman yang total luasannya mencapai 15 747.74 ha (53.71 %). Sedangkan RTH publik pada rencana pola ruang RTRW mencakup hutan, hutan raya, hutan lindung, hutan kota, taman, konservasi pantai dan hutan produksi terbatas. Luas RTH publik pada rencana pola ruang RTRW mencapai 10 022.52 ha ( 34,19 %). Secara umum dari hasil analisis terlihat bahwa berdasarkan evaluasi kemampuan lahan baik pada penggunaan lahan aktual maupun rencana pola ruang RTRW daya dukung lingkungan relatif tinggi (lihat Tabel 5.4, Tabel 5.6, Tabel 5.7 dan Tabel 5.8). Dilihat dari aspek kemampuan menampung populasi penduduk dan manfaat ekologis baik penggunaan lahan aktual maupun rencana pola ruang RTRW keduanya menunjukkan daya dukung fisik lingkungan yang baik. Ketersediaan lahan pangan berdasarkan KHL setara beras pada penggunaan lahan aktual menunjukkan daya dukung fisik lingkungan yang rendah (defisit). Rencana pola ruang RTRW menunjukkan terjadinya penurunan luas lahan pertanian pangan dan lahan yang memberikan manfaat ekologis (RTH) bila dibandingkan dengan penggunaan lahan aktual. Disisi lain, terjadi peningkatan penggunaan lahan pemukiman dan lahan terbangun lainnya pada rencana pola ruang RTRW. Hal ini menunjukkan bahwa dimasa mendatang Kota Baubau diarahkan pada sektor non pertanian (jasa dan perdagangan) yang bernilai ekonomi tinggi. Aktifitas jasa dan perdagangan nampaknya menjadi aktivitas ekonomi utama untuk memenuhi ketersediaan pangan penduduk kota. Hal ini semakin menguatkan adanya kecenderungan perubahan penggunaan lahan di perkotaan dari pertanian ke non pertanian. Sejalan dengan hasil penelitian Kumar (2009) di kota New Delhi bahwa telah terjadi perubahan penggunaan lahan pertanian ke sektor konstruksi dari tahun 1986-2004. Alasannya adalah
58
penggunaan lahan non pertanian memiliki nilai produktivitas ekonomi lebih tinggi dibanding pertanian. Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan Tahapan penelitian ini untuk melihat daya dukung lahan dari sisi ekonomi lahan. Ekonomi lahan pada penelitian ini dilihat dari seberapa besar produktivitas (land rent) dari aktivitas ekonomi pada penggunaan lahan. Produktivitas tersebut diukur dari jumlah harga output yang dihasilkan setelah dikurangi biaya input pada penggunaan lahan. Daya dukung lahan dengan pendekatan ekonomi hanya dilakukan pada penggunaan lahan aktual. Penggunaan lahan pada rencana pola ruang RTRW tidak dilakukan dikarenakan tidak adanya atau tidak memungkinkannya diperolah data harga komoditi dimasa mendatang. Namun demikian, daya dukung lahan secara ekonomi pada penggunaan lahan aktual dapat digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan daya dukung lahan secara ekonomi pada rencana pola ruang RTRW. Terdapat 18 penggunaan lahan aktual yang dianalisis daya dukung secara ekonomi. Penggunaan lahan tersebut yaitu penggunaan lahan pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, lahan kebun campuran, lahan tambak, lahan padang rumput (melalui peternakan), lahan kehutanan, lahan hotel, lahan pemukiman, lahan komersil, lahan ruang terbuka publik, lahan pelabuhan, lahan bandar udara, lahan pemakaman, lahan terminal, lahan pusat pendidikan, lahan bangunan pemerintah, lahan tempat ibadah dan lahan jalan. Hasil perhitungan land rent penggunaan lahan aktual tersebut sebagimana pada Lampiran 4. Penggunaan Lahan Pertanian Penggunaan lahan pertanian secara umum mencakup pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan kebun campuran. Harga satuan setiap komoditi yang digunakan disini adalah harga tingkat petani. Lampiran 4 menjelaskan hasil perhitungan nilai ekonomi setiap penggunaan lahan. Berdasarkan hasil survey lapang ditemukan bahwa petani tidak langsung mengantarkan komoditinya ke pusat pasar namun dijemput oleh pengumpul di lokasi lahan. Para pengumpul ini dalam istilah lokal disebut papalele. Selain itu, pada komoditi beras sering pula ditemukan konsumen langsung datang membeli ke petani dalam jumlah cukup banyak untuk dikonsumsi karena beras dapat disimpan dalam waktu lama. Kondisi ini menyebabkan petani tidak menanggung biaya transportasi. Oleh karena itu dalam analisis ini biaya transportasi tidak dimasukkan dalam variabel untuk menentukan nilai ekonomi lahan pertanian. Luas lahan pertanian berdasarkan interpretasi citra Quickbird tahun 2013 mencapai 11 199.72 ha atau 38.2 % dari total luas Kota Baubau. Berdasarkan data BPS dan hasil survey, nilai pendapatan ekonomi kotor lahan pertanian mencapai Rp171 677 973 600 dan nilai pendapatan ekonomi bersih Rp148 052 528 760. Biaya input atau nilai selisih sebesar Rp23 625 444 840 atau 13.76 %. Komoditi yang memberikan konstribusi terbesar terhadap nilai ekonomi lahan pertanian adalah komoditi padi, sedangkan yang paling rendah adalah tanaman hias Anyelir. Pendapatan ekonomi kotor Padi adalah Rp93 208 500 000 (54.29 %) dan
59
pendapatan ekonomi bersihnya Rp79 208 500 000 (53.50 %), sedangkan pendapatan ekonomi kotor Anyelir adalah Rp270 000 dan pendapatan ekonomi bersih Rp234 000. Nilai konstribusi tersebut sangat dipengaruhi luas lahan, produktivitas dan indeks pertanaman dalam setahun (lihat Lampiran 4). Penggunaan Lahan Peternakan dan Tambak Berdasarkan data Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan dan Peternakan, di Kota Baubau terdapat lima jenis peternakan yang budidayakan yaitu sapi, kambing, ayam kampung, ayam potong, ayam petelur dan itik. Pengelolaan ternak di Kota Baubau, selain ternak ayam potong dan ayam petelur dilakukan secara tradisional dan tidak intensif. Pakan ternak diperoleh dari dari lingkungan sekitar dan sampah rumah tangga. Ternak sapi dan kambing diikat di padang rumput, pekarangan ataupun lahan pertanian. Populasi ternak/komoditi ternak di Kota Baubau dapat dilihat pada Tabel 5.9 Penggunaan lahan tambak terdapat di Kecamatan Bungi, Lea-Lea dan Sorawolio. Di Kecamatan Bungi dan Lea-Lea budidaya tambak merupakan tambak pesisir. Selain itu adapula tambak/perikanan darat di Kecamatan Bungi dan Kecamatan Sorawolio diintegrasikan dengan pertanian lahan basah (mina padi). Komoditi perikanan darat (tambak) berupa ikan bandeng. Berdasarkan survey lapang, petani yang membudidayakan peternakan dan tambak hasilnya tidak langsung dijual ke pasar. Sama halnya dengan komoditi pertanian, komoditi peternakan dan tambak dijual melalui pengumpul (papalele). Pengumpul (papalele) biasanya telah bekerjasama cukup lama dengan para petani lalu mendistribusikan ke pasar. Sistem seperti tersebut biaya angkut atau transportasi dibebankan ke pengumpul (papalele) sehingga terjadi perbedaan harga komoditi antara harga di tingkat petani dengan harga di pasar. Lampiran 4 menunjukkan bahwa nilai pendapatan ekonomi kotor peternakan sebesar Rp47 251 945 000 sedangkan pendapatan ekonomi bersihnya sebesar Rp40 092 494 167. Terlihat bahwa selisih antara nilai ekonomi kotor dengan nilai ekonomi bersih adalah Rp7 159 450 833. Selisihnya cukup rendah dikarenakan pada komoditi peternakan ayam kampung, itik dan ayam petelur menghasilkan dua produk berbeda (telur dan daging) dengan satu biaya input pada waktu yang sama. Tabel 5.9 Populasi jenis ternak/komoditi di Kota Baubau No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Ternak/komoditi Sapi Kambing Ayam kampung ayam potong Itik ayam ras petelur telur ayam kampung telur ayam petelur telur itik
satuan ekor ekor ekor ekor ekor ekor butir butir butir
populasi 1 792 1 681 139 604 41 050 4 546 9 000 6 282 150 2 340 000 6 650 100
Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan dan Kehutanan setelah diolah,2015
60
Penggunaan lahan tambak/perikanan darat menghasilkan nilai ekonomi yang cukup besar pertahunnya. Lampiran 4 menunjukkan bahwa nilai pendapatan ekonomi kotor penggunaan lahan tambak/perikanan darat sebesar Rp379 200 000 sedangkan nilai pendapatan ekonomi bersihnya sebesar Rp313 933 625. Selisih antar nilai tersebut merupakan biaya input sebesar Rp65 266 375. Penggunaan Lahan Kehutanan Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kota Baubau, hingga saat ini manfaat ekonomi yang diperoleh dari penggunaan lahan hutan hanya berupa komoditi non kayu yaitu getah pinus dan rotan. Komoditi kayu tidak ditemukan karena status hutan di Kota Baubau adalah hutan lindung atau konservasi. Pengelolaan getah pinus dan rotan dilakukan oleh lembaga usaha yang dibina dan mendapat izin dari Pemerintah Kota Baubau. Analisis ekonomi penggunaan lahan hutan dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan ekonomi kotor penggunaan lahan hutan mencapai Rp658 080 000 dan pendapatan ekonomi bersih sebesar Rp127 230 000. Komoditi rotan memberi konstribusi pendapatan ekonomi bersih lebih besar dibanding komoditi getah pinus yakni sebesar Rp90 750 000 sedangkan getah pinus sebesar Rp36 480 000. Penggunaan Lahan Hotel Analisis terhadap penggunaan lahan hotel melalui survey hotel yang masih aktif. Berdasarkan hasil survey, jumlah hotel yang masih aktif berjumlah 21 hotel. Satu diantara hotel di Kota Baubau adalah kelas bintang 1 dan hotel lainnya merupakan hotel kelas melati. Luas penggunaan lahan untuk hotel hasil interpretasi citra adalah 3.64 ha atau 0.01 % luas wilayah kota. Secara spasial sebaran hotel di Kota Baubau adalah 14 hotel terdapat di Kecamatan Wolio, 3 hotel di Kecamatan Murhum, 2 hotel di Kecamatan Kokalukuna, 1 hotel di Kecamatan Batupoaro dan 1 hotel di Kecamatan Betoambari. Lampiran 4 menunjukkan bahwa nilai pendapatan ekonomi kotor penggunaan lahan hotel mencapai Rp9 451 580 000, sedangkan pendapatan ekonomi bersih penggunaan lahan hotel adalah Rp8 017 380 000. Biaya input pengelolaan penggunaan lahan hotel mencapai Rp1 434 200 000. Hotel_17 memberikan konstribusi paling besar terhadap pendapatan ekonomi bersih penggunaan lahan hotel yakni Rp1 305 250 000 (16.28 %) dan hotel_2 memiliki nilai konstribusi paling kecil yakni Rp80 880 000 (1.01 %). Penggunaan Lahan Pemukiman Nilai ekonomi penggunaan lahan pemukiman dilakukan melalui analisis aktivitas ekonomi yang dilakukan pada penggunaan lahan pemukiman. Terdapat 2 aktivitas ekonomi pada penggunaan lahan pemukiman yaitu sewa kost dan industri kecil rumah tangga (home industry). Luas penggunaan lahan pemukiman di Kota Baubau mencapai 718.45 ha (2.45 %). Rumah kost salah satu pemukiman yang memberikan konstribusi terhadap pendapatan ekonomi lahan. Jumlah kost yang dinalisis adalah 36 rumah kost yang
61
sebagian besar merupakan bangunan permanen. Rumah kost umumnya disewa oleh mahasiswa dan pelajar yang sedang menempuh pendidikan di Kota Baubau. Keberadaan rumah kost tersebar di Kecamatan Wolio, Kecamatan Betoambari, Kecamatan Murhum dan Kecamatan Batu Poaro. Hal ini dikarenakan akses kecamatan tersebut sangat mudah terhadap perguruan tinggi yang terdapat di Kota Baubau. Nilai pendapatan ekonomi lahan dari sewa 36 rumah kost adalah Rp1 460 400 000 setahun. Rumah kost_26 memberikan konstribusi paling besar yaitu Rp90 000 000 atau 6.16 %. Rumah kost_26 terdapat di Kecamatan Wolio dengan jumlah kamar 15, luas bangunan 300 m2 dan sewa kamar Rp6 000 000 pertahun. Rumah kost_1 dengan luas bangunan 24 m2 dan jumlah kamar 2 buah memberikan konstribusi paling rendah yaitu Rp7 200 000 setahun. Rumah kost_1 juga terletak di Kecamatan Wolio. Industri kecil dan rumah tangga di Kota Baubau cukup berkembang. Usaha ini merupakan sektor informal yang turut andil mendorong pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja di Kota Baubau. Berdasarkan data maping industri tahun 2014 Dinas Perindustrian, Koperasi dan UKM (PERINDAKOP dan UKM) bahwa terdapat 1 895 unit usaha kecil dan rumah tangga di Kota Baubau. Jumlah tersebut mampu menyerap 3 893 orang tenaga kerja. Hasil analisis menunjukkan bahwa hasil penjualan produk industri kecil dan rumah tangga di Kota Baubau tahun 2013 mencapai Rp138 147 360 000. Nilai belanja ditahun yang sama mencapai Rp67 452 360,000. Terdapat selisih antara nilai penjualan dan belanja sebesar Rp70 695 000 000. Selisih tersebut merupakan nilai pendapatan ekonomi bersih dari industri kecil dan rumah tangga. Industri tersebut digerakkan dengan total modal awal sebesar Rp31 801 150 000. Hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 4. Penggunaan Lahan Komersil Penggunaan lahan komersil di Kota Baubau merupakan salah satu jenis penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi lahan (land rent) yang cukup tinggi. Luas penggunaan lahan komersil adalah 25.07 ha atau 0.09 % luas wilayah kota. Lahan komersil umumnya merupakan lahan yang diatasnya berupa kompleks pertokoan/ruko yang menjual berbagai kebutuhan penduduk kota. Berbagai aneka kebutuhan penduduk kota yang diperdagangkan disini mulai kebutuhan peralatan rumah tangga, makanan hingga mesin. Nilai ekonomi lahan (land rent) dihitung melalui nilai sewa bangunan. Berdasarkan hasil analisis 30 sampel ruko diperoleh nilai sewa total selama setahun mencapai Rp1 225 500 000. Ruko_9 memberikan konstribusi paling besar terhadap nilai sewa yaitu Rp90 000 000 sedang ruko_1,2,4,18,19, dan ruko_25 memberikan nilai konstribusi paling kecil yaitu Rp20 000 000. Ruko_11 memiliki luas bangunan 120 m2, jumlah lantai 2 dan berada di jalan primer. Ruko yang memiliki nilai sewa rendah memiliki luas bangunan antara 44 m 2 hingga 70 m2 dan jumlah lantai masing-masing 2. Luas total lahan ruko sampel adalah 0.22 ha. Berdasarkan nilai ekonomi lahan (land rent) 30 sampel ruko maka diperoleh hasil proyeksi nilai ekonomi lahan (land rent) total penggunaan lahan komersil adalah sebesar Rp137 587 483 206. Hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 4.
62
Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Publik Ruang terbuka publik di Kota Baubau selain digunakan untuk aktivitas sosial dan ruang bagi warga kota melepaskan kepenatan, lahan ini juga digunakan untuk aktivitas pedagang kaki lima. Hasil survey lapang menyebutkan terdapat 110 pedagang kaki lima dengan lima jenis dagangan yaitu: 1) pedagang gorengan dan minuman, 2) pedagang makanan (bakso, soto, ayam goreng, dll), 3) pedagang elektronik dan musik, 4) pedagang aksesoris, dan 5) pedagang dan penyewaan mainan anak-anak. Jumlah masing-masing jenis pedagang kaki lima dilihat pada Tabel 5.10. Nilai ekonomi penggunaan lahan ruang terbuka publik didasarkan pendapatan ekonomi yang diperoleh pada pedagang kaki lima yang berdagang di ruang terbuka publik tersebut. Hasil analisis menyebutkan jumlah total pendapatan ekonomi bersih para pedagang dalam setahun rata-rata Rp10 617 372 000 dengan rata-rata perbulan Rp884 781 000. Sementara pendapatan ekonomi kotor setahun mencapai Rp16 673 400 000 dengan rata-rata pendapatan ekonomi kotor perbulan sebesar Rp1 389 450 000. Selisih nilai tersebut merupakan biaya input produksi sebesar Rp504 669 000 perbulan dan Rp6 056 028 000 pertahun. Pedagang_54 meruakan pedagang yang memiliki pendapatan paling tinggi. Sebulan dapat mendapatkan pendapatan ekonomi bersih Rp18 000 000 dan setahun Rp216 000 000. Nilai tersebut diperoleh dengan biaya input Rp12 000 000 perbulan dan Rp144 000 000 pertahun untuk jenis dagangan makanan. Pedagang _73 dan pedagang_103 memiliki pendapatan paling rendah dengan jenis dagangan aksesoris dan menjual/menyewakan mainan anak-anak. Pendapatan ekonomi bersih perbulan adalah Rp3 960 000 dan Rp47 520 000 pertahun dengan biaya input Rp2 040 000 perbulan dan Rp24 480 000 pertahun. Tabel 5.10 Jenis dan jumlah pedagang kaki lima di ruang terbuka publik No 1 2 3 4 5
Jenis dagangan Pedagang gorengan dan minuman Pedagang makanan (bakso, soto, ayam goreng, dll) Pedagang elektronik dan musik Pedagang aksesoris pedagang dan penyewaan mainan anak-anak Total
Jumlah 38 22 7 29 14 110
Penggunaan Lahan Pelabuhan dan Bandar Udara Pelabuhan dan Bandara Udara (Bandara) turut mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah karena peranannya sebagai pintu lalu lintas barang dan orang. Kota Baubau memiliki beberapa pelabuhan laut dan 1 buah bandara. Pelabuhan laut terdiri dari 1 pelabuhan utama yang menjadi penghubung antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian Timur yang berada di wilayah ALKI 3 (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Kota Baubau juga memiliki beberapa pelabuhan rakyat yang menghubungkan pulau-pulau kecil di wilayah kepulauan Buton serta 1 pelabuhan penyeberangan Ferry yang menghubungkan Kota Baubau dengan Kabupaten Buton Tengah. Bandara Betoambari terletak di wilayah Kecamatan Betoambari yang melayani 2 maskapai penerbangan yaitu Garuda Indonesia dan
63
Wings Air untuk jenis pesawat ATR (Avions de Transport Regional) dengan kapasitas 72 penumpang. Setiap hari rata-rata terdapat 4 kali penerbangan regional. Nilai ekonomi penggunaan lahan pelabuhan dan bandara ditentukan dari jumlah orang dan barang yang keluar dari pelabuhan dan bandara tersebut. Data analisis hanya berupa jumlah orang dan barang yang keluar karena transaksi belanja dilakukan di wilayah Kota Baubau. Hasil analisis menunjukkan jumlah total nilai ekonomi di pelabuhan sebesar Rp359 216 080 000 yang terdiri dari Rp314 797 430 000 biaya penumpang dan Rp44 418 650 000 dari biaya pengiriman barang. Nilai total ekonomi penggunaan lahan bandara sebesar Rp58 330 313 000 yang terdiri atas Rp58 192 325 000 untuk penumpang dan Rp137 988 000 untuk barang. Penggunaan Lahan Pemakaman dan Terminal Penggunaan lahan pemakaman di Kota Baubau seluas 4.11 ha yang tersebar di 13 lokasi pemakaman, sedangkan penggunaan lahan terminal seluas 0.42 ha yang terdapat di pasar sentral Baubau dan pasar Wameo. Nilai ekonomi lahan kedua penggunaan lahan tersebut diperoleh melalui besaran pajak atau retribusi penggunaan lahan. Berdasarkan data Dinas Pendapatan dan Keuangan Daerah Kota Baubau tahun 2013 jumlah retribusi pemakaman di Kota Baubau sebesar Rp8 230 000 dan terminal sebesar Rp81 586 000. Penggunaan Lahan Pusat Pendidikan, Bangunan Pemerintah, Tempat Ibadah dan Jalan Nilai ekonomi penggunaan lahan pusat pendidikan, bangunan pemerintah, tempat ibadah dan jalan dianalisis berdasarkan nilai statis penggunaan lahan persatuan luas. Nilai statis merupakan nilai ekonomi yang dibutuhkan untuk membangun konstruksi bangunan dan jalan. Hasil analisis menyebutkan bahwa nilai ekonomi yang dibutuhkan untuk konstruksi bangunan pusat pendidikan dan bangunan pemerintah per satuan meter persegi (m2) sebesar Rp2 617 506. nilai tersebut mencakup pekerjaan persiapan, pekerjaan tanah, pekerjaan pasang batu, pekerjaan batu, pekerjaan dinding, pekerjaan kusen, pekerjaan atap, pekerjaan plafond, pekerjaan listrik dan pekerjaan finishing. Penggunaan lahan jalan memiliki nilai ekonomi Rp355 740/m2. Nilai tersebut mencakup pekerjaan umum, pekerjaan tanah, pekerjaan perkerasan dan bahu jalan, pekerjaan perkerasan aspal dan pekerjaan struktur. Penggunaan lahan tempat ibadah memiliki nilai ekonomi lahan sebesar Rp1 306 122. Hasil analisis menunjukkan nilai ekonomi total penggunaan lahan pusat pendidikan, bangunan pemerintah, jalan dan tempat ibadah masing-masing adalah Rp938 381 124 403; Rp1 270 291 351 121; Rp745 047 912 233; dan Rp79 907 265 306. Daya Dukung Lahan dengan Pendekatan Ekonomi Lahan Nilai land rent mengacu pada nilai bersih keuntungan yang diperoleh dari penggunaan lahan pada suatu periode waktu tertentu. Keuntungan bersih diperoleh dari selisih antara pendapatan ekonomi bruto setelah dikurangi dengan
64
biaya input untuk mengelola aktivitas penggunaan lahan tertentu. Ringkasan hasil analisis ekonomi beberapa penggunaan lahan sebagaimana disajikan pada Tabel 5.11. Tabel 5.11 menunjukkan bahwa penggunaan lahan bangunan pemerintah memiliki economic land rent (Pendapatan Ekonomi Bersih ) yang tertinggi yakni Rp1 270 291 351 121, sedangkan yang paling rendah adalah pada penggunaan lahan pemakaman sebesar Rp8 230 000. Hal ini disebabkan karena penggunaan lahan terbangun termasuk bangunan pemerintah kendati tidak luas tetapi membutuhkan biaya pekejaan yang relatif mahal dan variatif. Sedangkan penggunaan lahan pemakaman tidak terdapat aktivitas ekonomi. Demikian pula penggunaan lahan hutan memiliki luas paling tinggi namun dari aspek pemanfaatannya masih dibatasi oleh oleh kebijakan pemerintah baik dari aspek luasan maupun komoditi. Hal ini menegaskan bahwa penggunaan lahan hutan lebih diarahkan pada daya dukung ekologi. Tabel 5.11 Nilai land rent beberapa penggunaan lahan aktual No 1 2 3 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Penggunaan Lahan Pertanian Peternakan Tambak Kehutanan Hotel Pemukiman -sewa rumah kost -industri kecil dan RT Komersil Ruang terbuka publik Pelabuhan Bandar udara Pemakaman Terminal Pusat pendidikan Bangunan pemerintah Tempat ibadah Jalan Jumlah Total
Pendapatan Ekonomi Kotor
Pendapatan Ekonomi Bersih
171 677 973 600 47 251 945 000 379 200 000 658 080 000 9 451 580 000
148 052 528 760 40 092 494 167 313 933 625 127 230 000 8 017 380 000
1 460 400 000 138 147 360 000 137 587 483 206 16 673 400 000 359 216 080 000 58 330 313 000 8 230 000 81 586 000 938 381 124 403 1 270 291 351 121 79 907 265 306 745 047 912 233 3 974 551 283 869
1 460 400 000 70 695 000 000 137 587 483 206 10 617 372 000 359 216 080 000 58 330 313 000 8 230 000 81 586 000 938 381 124 403 1 270 291 351 121 79 907 265 306 745 047 912 233 3 868 227 683 821
Sewa ruko/kios untuk lahan komersil dan rumah kost tidak memiliki pendapatan ekonomi kotor. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemilik ruko/kios dan rumah kost pada kondisi aktual (2013) tidak mengeluarkan biaya input untuk pengelolaannya. Biaya input tersebut dibebankan kepada penyewa berupa biaya listrik, air dan kebersihan. Biaya input yang dibebankan kepeda pemilik ruko/kios dan rumah kost berupa biaya pembangunan dan perbaikan fasilitas, namun biaya
65
tersebut tidak dimasukkan karena ruko/kios dan rumah kost dibangun sebelum tahun 2013 dan selama tahun 2013 tidak terjadi perbaikan fasilitas. Demikian pula penggunaan lahan pelabuhan, bandar udara, pemakaman, terminal, pusat pendidikan, bangunan pemerintah, tempat ibadah dan jalan data pendapatan ekonomi kotor tidak tersedia. Tabel 5.11 menunjukkan perbedaan nilai ekonomi lahan antara penggunaan lahan terbangun dengan non terbangun (pertanian, peternakan, hutan, tambak dan pemakaman). Penggunaan lahan terbangun memiliki nilai ekonomi Rp3 679 633 267 269 sedangkan penggunaan lahan non terbangun sebesar Rp188 594 416 552. Nilai ekonomi lahan terbangun diperoleh dari penyediaan jasa melalui penyewaan fasilitas sedangkan nilai ekonomi lahan non terbangun diperoleh melalui hasil penjualan barang/produk. Namun demikian untuk industri kecil dan rumah tangga juga menghasilkan barang/produk untuk dijual. Sementara nilai ekonomi pusat pendidikan, bangunan pemerintah, tempat ibadah dan jalan diperoleh dari nilai ekonomi statis. Sebaran nilai ekonomi lahan terbangun dan non terbangun pada Gambar 5.9.
Gambar 5.9 Sebararan lahan terbangun dan non terbangun Besar nilai ekonomi yang dihasilkan oleh lahan non terbangan sangat bergantung pada luas lahan yang digunakan. Semakin luas lahan non terbangun (pertanian, peternakan, hutan dan tambak) maka semakin besar pula nilai ekonomi yang dihasilkan. Sedangkan pada penggunaan lahan terbangun nilai ekonominya sangat bergantung pada kualitas pelayanan dan jasa yang diberikan melalui penyediaan fasilitas yang baik. Berdasarkan Tabel 5.11 dapat diketahui tingkat daya dukung berdasarkan nilai ekonomi lahan (land rent) penggunaan lahan. Asumsi yang digunakan untuk hidup layak adalah satu ton beras per kapita (Rustiadi et al. 2010). Satu ton beras
66
dikonversi menjadi rupiah dengan harga beras berlaku (2013) Rp8 570/kg, maka satu ton beras setara dengan Rp8 750 000. Daya dukung berdasarkan nilai ekonomi penggunaan lahan Tabel 5.11 dapat diketahui dengan:
Nilai yang diperoleh merupakan jumlah penduduk yang dapat didukung berdasarkan ekonomi lahan yaitu 442 083 jiwa. Nilai tersebut melebihi jumlah penduduk Kota Baubau tahun 2013 sebanyak 142 576 jiwa atau 3.1 kali dari jumlah penduduk Kota Baubau. Gambar 5.10 dan Tabel 5.12 menunjukkan status daya dukung ekonomi dan sebaran nilai ekonomi lahan perkelurahan di kota Baubau. Terlihat bahwa Kelurahan Wale, Kelurahan Lipu dan Kelurahan Wangkanapi adalah kelurahan yang memiliki nilai ekonomi tertinggi pertama, kedua dan ketiga dengan status memenuhi daya dukung secara ekonomi. Hal ini dikarenakan ketiga kelurahan tersebut memiliki aktivitas ekonomi lahan yang sangat baik dan intensif. Kelurahan Wale merupakan daerah pusat kota dimana kelurahan tersebut terdapat aktivitas pelabuhan.
67
Gambar 5.10 Sebaran nilai ekonomi penggunaan lahan per kelurahan Kelurahan yang memiliki status tidak memenuhi daya dukung secara ekonomi adalah Kelurahan Sukanayo, Wameo, Bone-Bone, Bataraguru dan Bukit Wolio Indah. Hal ini disebabkan oleh tingkat populasi penduduk yang tidak didukung oleh luas wilayah dan aktivitas ekonomi yang memadai. Selain itu khusus Kelurahan Sukanayo berada terisolasi di Pulau Makassar dengan penggunaan lahan yang bernilai ekonomi rendah. Thunen (Rustiadi et al. 2011) bahwa pola penggunaan lahan berbentuk membentuk pola melingkar dimana pusat kota yang berada pada bagian depan menjadi pusat pemukiman, industri dan pasar. Pada bagian belakang merupakan penggunaan lahan pertanian dan hutan yang menyediakan (supply) komoditi pangan dan hutan yang dibutuhkan (demand) pusat kota.
68
Tabel 5.12 Status daya dukung lahan berdasarkan nilai ekononomi lahan setiap kelurahan di Kota Baubau No
Kelurahan
1 2
Palabusa Kampeonaho Ngkari Ngkari Bugi Kalia Lia Gonda Baru Karya Baru Liabuku Kaisabu Lowu-Lowu Kolose Lakologou Sukanayo Liwuto Waruruma Kadolomoko Wale Kaobula Batulo Wameo Ngangana Umala Lanto Tomba Wangkanapi Tarafu Bone-Bone Batara Guru Wajo Kadolokatapi Lamangga Bukit Wolio Indah Tanganapada Katobengke Melai Lipu Baadia Waborobo Sula'a Jumlah
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
2 562 2 067
92 695 338 613 78 290 767 324
Nilai daya dukung 10 594 8 948
2 256
107 600 722 507
12 297
Memenuhi
1 895 1 209 1 749 1 910 3 263 2 126 2 315 1 082 2 291 2 464 2 247 3 109 5 074 1 926 2 080 5 032 4 835
43 465 333 755 61 349 920 789 54 668 037 702 60 800 733 944 148 543 888 418 150 338 227 801 102 213 240 899 14 052 957 853 97 796 953 256 10 751 300 302 50 153 866 207 63 249 296 419 88 283 618 330 341 990 831 792 37 355 632 336 155 819 368 833 31 075 048 205
4 967 7 011 6 248 6 949 16 976 17 182 11 682 1 606 11 177 1 229 5 732 7 228 10 090 39 085 4 269 17 808 3 551
Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Tidak memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Tidak memenuhi
3 925
20 523 376 458
2 346
Tidak memenuhi
4 916 4 351 7 382 5 280 6 321 9 134 4 732 4 039 6 267
31 389 176 262 126 335 986 192 254 838 209 835 52 414 852 181 45 837 592 210 47 182 915 511 77 529 463 005 60 540 519 454 225 477 337 635
3 587 14 438 29 124 5 990 5 239 5 392 8 861 6 919 25 769
Tidak memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Tidak memenuhi Tidak memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi
8 138
69 952 244 894
7 995
Tidak memenuhi
4 887 8 124 2 013 5 262 2 482 2 122 1 709 142 576
195 553 287 383 215 087 270 863 48 451 207 572 304 115 817 234 113 090 734 318 46 911 028 447 142 501 579 081 3 868 227 683 821
22 349 24 581 5 537 34 756 12 925 5 361 16 286 442 083
Populasi penduduk
Nilai ekonomi lahan
Status daya dukung ekonomi Memenuhi Memenuhi
Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi
69
Secara spasial, penggunaan lahan terbangun berada pada bagian depan wilayah kota atau pusat kota (center), sedangkan penggunaan lahan non terbangun berada pada wilayah belakang (hinterland). Hal ini seiring dengan teori Von Lingkaran penggunaan lahan terkoneksi oleh transportasi melalui penyediaan infrastruktur jalan. Teori Von Thunen menjelaskan bahwa biaya transportasi menjadi faktor penting untuk menentukan besaran ekonomi lahan (land rent). Namun dalam kasus Kota Baubau, nilai ekonomi penggunaan lahan pertanian tidak dipengaruhi oleh biaya transportasi karena biaya transportasi dibebankan oleh pengumpul (papalele). Arahan Pengelolaan Lahan Berbasis Daya Dukung Lahan Penyusunan arahan bertujuan untuk menjadi rekomendasi pengelolaan lahan berbasis daya dukung. Penyusunan arahan berdasarkan hasil analisis daya dukung dengan pendekatan fisik lingkungan dan pendekatan ekonomi lahan. Secara umum berdasarkan analisis penggunaan lahan aktual relatif telah memenuhi daya dukung secara fisik lingkungan maupun ekonomi. Rumusan Asumsi Hasil analisis sebelumnya menjadi hal penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan arahan pengelolaan lahan. Hasil analisis keselarasan lahan dan analisis ekonomi lahan (land rent) memberikan gambaran yang lebih jelas tentang dinamika penggunaan lahan baik dari aspek fisik lingkungan (ekologi), sosial ekonomi maupun perencanaan. Hal tersebut yang menjadi rumusan asumsi untuk menentukan arahan pengelolaan lahan di Kota Baubau. Hasil analisis keselarasan menunjukkan bahwa untuk penggunaan lahan aktual tingkat keselarasan mencapai 96.99 %. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekologis penggunaan lahan aktual masih memenuhi daya dukung lahan. Namun terdapat 1.78 % lahan yang tidak sesuai dan 1.23 % yang sesuai bersyarat. Kondisi ini menujukkan perlu adanya pengelolaan yang lebih spesifik untuk lahan dengan status tidak sesuai dan sesuai bersyarat. Evaluasi keselarasan pada rencana pola ruang RTRW menunjukkan bahwa lahan yang berstatus selaras sebesar 85.80 %. Lahan yang berstatus tidak selaras berupa penggunaan lahan-lahan terbangun. Lahan tidak selaras dan selaras bersyarat masing-masing sebesar 9.15 dan 5.04 %. Rencana pola ruang untuk pertambangan sejak tahun 2009 terus terjadi konflik di masyarakat karena mengancam kerberlanjutan aktivitas budidaya pertanian di bawahnya. Sehingga aktivitas pertambangan di Kota Baubau cukup sulit dilakukan karena terus mendapat penentangan oleh masyarakat dan diperlukan upaya pencegahan terjadinya konflik ruang dan ekologi yang berkepanjangan. Evaluasi rencana pola ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual menunjukkan bahwa 80.64 % selaras, 14.36 % tidak selaras dan 5.00 % selaras bersyarat. Kecenderungan luas lahan yang tidak selaras terus meningkat berdasarkan hasil evaluasi keselarasan kemampuan lahan, penggunaan lahan aktual dan rencana pola ruang menjadi 25.32 % dan jumlah lahan selaras menurun menjadi 21 890.80 ha atau 74.68 %. Meningkatnya ketidakselerasan terjadi pada rencana pola ruang untuk lahan-lahan terbangun. Hal ini
70
menunjukkan bahwa berdasarkan kondisi aktual dan perencanaan, penerapan rencana pola ruang RTRW memiliki potensi ekologi dan pontensi konflik sosial terkait kebijakan ruang. Hasil analisis ekonomi lahan (land rent) menunjukkan bahwa selama ini ekonomi di Kota Baubau lebih ditunjang oleh aktivitas lahan non pertanian dan kehutanan. Kondisi tersebut tidak berkeselarasan dengan luas penggunaan lahan dimana lahan di Kota Baubau sebagian besar didominasi oleh penggunaan lahan pertanian dan kehutanan yakni 94,92 %, sementara penggunaan lahan terbangun hanya sebesar 4.94 %. Namun demikian penggunaan lahan pertanian dan kehutanan menjaga keberlanjutan ekologi dan menjaga stabilitas sosial di Kota Baubau. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa nilai ekonomi lahan penggunaan lahan aktual telah memenuhi daya dukung secara ekonomi. Untuk itu, sangat penting untuk menjaga dan mempertahankan eksistensi penggunaan lahan pertanian dan hutan. Fakta yang menunjukkan bahwa selama ini ekonomi Kota Baubau ditopang oleh penggunaan lahan non pertanian dan kehutanan (lahan terbangun) dapat memicu perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun. RTRW sebagai kebijakan perencanaan dan pengelolaan ruang kota, menunjukkan adanya rencana peningkatan luasan lahan terbangun hingga tahun 2030 mendatang. Penelitianpenelitian sebelumnya juga telah menegaskan bahwa perubahan penggunaan lahan di wilayah perkotaan cenderung berubah pada kegiatan yang bernilai ekonomi tinggi (lahan terbangun). Untuk itu, pada arahan ini diupayakan pada pengendalian lahan terbangun dan perlindungan terhadap lahan pertanian dan kehutanan. Penilaian Daya Dukung Lahan Sub judul ini menjabarkan penilaian daya dukung lahan berdasarkan hasil analisis fisik lahan dan ekonomi lahan. Tabel 5.13 menunjukkan luasan lahan yang berkelanjutan dan tidak berkelanjutan. Lahan lahan yang berkelanjutan meruapakan lahan yang secara fisik lingkungan saling selaras dan secara ekonomi mampu memenuhi kebutuhan ekonomi penduduk berdasarkan kebutuhan hidup layak. Luas lahan berkelanjutan adalah 21 421.25 ha (73.08 %). Lahan yang tidak berkelanjutan merupakan lahan yang secara fisik tidak saling selaras dan secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup layak penduduk atau tidak memenuhi salah satunya. Luas lahan yang statusnya tidak berkelanjutan adalah 7 892.68 ha (26.92 %). Tabel 5.13 menunjukkan bahwa sebagian besar (73.08 %) lahan di Kota Baubau memiliki status daya dukung yang berkelanjutan. Lahan dengan status daya dukung tidak berkelanjutan (26.92 %) merupakan akumulasi dari lahan yang secara ekonomi memenuhi daya dukung tetapi secara fisik tidak selaras seluas 7 367.49 ha (25.13 %) dan lahan yang baik secara ekonomi tidak memenuhi daya dukung dan secara fisik tidak selaras seluas 525.18 ha (1.79 %). Status daya dukung lahan tersebut dapat diketahui sebarannya berdasarkan kelurahan di Kota Baubau yang disajikan pada gambar 5.11. Status daya dukung lahan di Kota Baubau terdiri dari daya dukung lahan yang berkelanjutan dan daya dukung yang tidak berkelanjutan. Sebaran lahan dengan daya dukung yang tidak berkelanjutan mengikuti penggunaan lahan
71
terbangun dan sebaran jalan. Hal ini menyebabkan seluruh kelurahan memiliki lahan dengan status daya dukung tidak berkelanjutan dengan luasan yang variatif. Bahkan terdapat 7 kelurahan yang keseluruhan lahannya dianggap tidak berkelanjutan yaitu kelurahan Sukanayo, Wameo, Ngangana Umala, Lanto, BoneBone, Bataraguru, dan Bukit Wolio Indah. Hal ini disebabkan kelurahan tersebut memiliki nilai ekonomi lahan yang tidak memenuhi kebutuhan hidup layak penduduknya. Tabel 5.13 Matriks penilaian status daya dukung berdasarkan keselarasan fisik lahan dan nilai ekonomi lahan Kategori fisik S_1 S_2 S_3 S_4 TS_01 TS_02 TS_03 TS_04 TS_05 TS_06 TS_07 TS_08 TS_09 TS_10
Memenuhi daya dukung ekonomi luas (ha) 484.18 8.91 4 917.23 16 010.93 448.42 513.92 138.00 78.10 2 073.18 1 734.63 151.11 51.89 757.34 1 420.90
status berkelanjutan berkelanjutan berkelanjutan berkelanjutan tidak berkelanjutan tidak berkelanjutan tidak berkelanjutan tidak berkelanjutan tidak berkelanjutan tidak berkelanjutan tidak berkelanjutan tidak berkelanjutan tidak berkelanjutan tidak berkelanjutan
Tidak memenuhi daya dukung ekonomi luas (ha) status 151.95 tidak berkelanjutan 1.84 tidak berkelanjutan 236.67 tidak berkelanjutan 79.10 tidak berkelanjutan 3.71 tidak berkelanjutan 4.65 tidak berkelanjutan 30.86 tidak berkelanjutan 0.37 tidak berkelanjutan 13.79 tidak berkelanjutan 2.24 tidak berkelanjutan
Kelurahan yang memiliki lahan dengan status daya dukung berkelanjutan umumnya merupakan lahan non terbangun yaitu penggunaan lahan pertanian dan hutan. Lahan dengan status berkelanjutan memiliki karakter fisik yang selaras dengan kelas penggunaannya dan umumnya penggunaan lahan tersebut juga memiliki fungsi ekologis. Secara ekonomi lahannya mampu menyediakan kebutuhan penduduknya berdasarkan kebutuhan hidup layak. Hal tersebut dikarenakan kelurahan tersebut relatif memiliki populasi penduduk yang rendah. Sebaran lahan dengan status daya dukung berkelanjutan umumnya berada pada daerah hiterland. Luasan lahan dengan status daya dukung berkelanjutan dan tidak berkelanjutan perkelurahan disajikan pada tabel 5.13.
72
Gambar 5.11 Peta sebaran status daya dukung lahan setiap kelurahan di Kota Baubau
73
Tabel 5.14 Luasan lahan dengan status daya dukung berkelanjutan dan tidak berkelanjutan perkelurahan Kelurahan Palabusa Kampeonaho Ngkari Ngkari Bugi Kalia Lia Gonda Baru Karya Baru Liabuku Kaisabu Lowu-Lowu Kolose Lakologou Sukanayo Liwuto Waruruma Kadolomoko Wale Kaobula Batulo Wameo Ngangana Umala Lanto Tomba Wangkanapi Tarafu Bone-Bone Batara Guru Wajo Kadolokatapi Lamangga Bukit Wolio Indah Tanganapada Katobengke Melai Lipu Baadia Waborobo Sula'a
Berkelanjutan 1 109.96 363.46 1 326.99 1 934.10 809.76 3 354.52 725.39 1 271.94 2 725.66 448.30 8.21 105.88 70.50 727.12 448.79 18.37 8.52 29.72 14.12 57.15 35.49 37.48 2 323.90 50.00 37.76 295.48 63.07 472.34 587.32 781.19 1 178.75 21 421.25
Status daya dukung Tidak Persen Berkelanjutan 3.79 276.95 1.24 1 018.63 4.53 1 016.77 6.60 416.39 2.76 560.55 11.44 763.28 2.47 101.61 4.34 1 236.12 9.30 1 124.59 1.53 108.41 0.03 100.90 0.36 29.64 56.96 0.24 7.15 2.48 191.31 1.53 159.33 0.06 11.03 0.03 5.25 0.10 16.47 29.88 27.87 26.39 0.05 9.04 0.19 11.70 0.12 6.27 51.13 47.82 0.13 11.16 7.93 48.22 0.17 14.74 282.12 0.13 11.78 1.01 25.92 0.22 7.58 1.61 12.61 2.00 44.55 2.66 10.97 4.02 11.58 73.08 7 892.68
Persen 0.94 3.47 3.47 1.42 1.91 2.60 0.35 4.22 3.84 0.37 0.34 0.10 0.19 0.02 0.65 0.54 0.04 0.02 0.06 0.10 0.10 0.09 0.03 0.04 0.02 0.17 0.16 0.04 0.16 0.05 0.96 0.04 0.09 0.03 0.04 0.15 0.04 0.04 26.92
74
Arahan Tindak Lanjut Hasil analisis daya dukung lahan memberikan arahan untuk pengelolaan lahan di Kota Baubau. Arahan tersebut sebagai masukan untuk revisi dokumen RTRW Kota Baubau. Rencana pola ruang RTRW yang telah ada tetap menjadi acuan alokasi penggunaan lahan dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial ekonomi dan perencanaan. Arahan pengelolaan lahan di Kota Baubau adalah dengan melakukan pengendalian terhadap penggunaan lahan terbangun dan perlindungan lahan pertanian. Selain itu, lahan-lahan yang berfungsi ekologis juga dipertahankan. Secara umum penggunaan lahan di Kota Baubau dibagi dua kelas penggunaan. Pertama, penggunaan lahan non terbangun yang meliputi wilayah utara dan timur kota. Wilayah itu mencakup Kecamatan Bungi, Sorawolio, LeaLea. Kawasan ini dapat ditetapkan sebagai kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) melalui Peraturan Daerah (PERDA). Kedua, Penggunaan lahan terbangun untuk kawasan pengembangan jasa dan perdagangan berada pada wilayah selatan dan pesisir kota. Penggunaan lahan non terbangun (pertanian dan kehutanan) di Kota Baubau sangat penting dipertahankan. Kendati secara ekonomi nilai lahannya sangat rendah dibandingkan dengan penggunaan lahan non pertanian, namun penggunaan lahan pertanian dan kehutanan berperan penting sebagai zona penyangga atau “sabuk pengaman” dalam menjaga keberlanjutan ekologi kota dan stabilitas sosial. Oleh karena itu penggunaan lahan pertanian dan kehutanan sebisa mungkin dipertahankan. Pertanian lahan basah (sawah) saat ini merupakan sawah beririgasi teknis. Rencana pola ruang yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan diarahkan untuk tidak dilakukan dan penggunaan lahannya dibiarkan sesuai penggunaan lahan aktual. Penggunaan lahan aktual yang berada pada kelas VII dan VIII yang diatasnya terdapat aktivitas budidaya dijadikan sebagai kawasan lindung. Penggunaan lahan pada kelas kemampuan tersebut memiliki daya dukung buruk. Secara spasial arahan pengelolaan lahan berbasis daya dukung di Kota Baubau dilihat pada Gambar 5.12. Gambar 5.12 memadukan antara kondisi penggunaan lahan aktual, rencana pola ruang dan kemampuan lahan dengan memperhatikan aspek sosial ekonomi dan lingkungan Kota Baubau. Secara umum terdapat empat fungsi kawasan yaitu kawasan budidaya, kawasan budidaya berfungsi lindung, kawasan lindung serta kawasan pertanian pangan dan perkebunan. Kawasan budidaya merupakan kawasan dengan aktivitas ekonomi tinggi yang umumnya merupakan lahan terbangun. Kelas penggunaan lahan yang termasuk kawasan budidaya yaitu industri perikanan, fasilitas sosial, pusat pendidikan, perkantoran, pergudangan, fasilitas umum, komersil, pemukiman, kawasan bandara, kawasan pelabuhan, markas TNI, PLTU, wisata pantai, jalan, pusat pendidikan, sarana ibadah dan terminal. Namun demikian, lahan-lahan terbangun tersebut dalam pengelolaannya harus berdasarkan pada prinsip keberlanjutan yaitu menjaga kualitas iklim mikro dan ketersediaan air tanah. Hal ini dilakukan dengan menambahkan hijauan utamanya jalur hijau jalan, sempadan sungai, taman privat dan sumur resapan pada area perkantoran dan pemukiman. Luas total kawasan budidaya yaitu 7 984.60 ha atau 27.24 %.
75
Kawasan budidaya berfungsi lindung berfungsi untuk membantu menjaga Sub DAS Bungi dan menciptakan kesan estetik dan iklim mikro yang nyaman di perkotaan. Kawasan budidaya berfungsi lindung terdiri dari penggunaan lahan ruang terbuka publik dan Hutan Produksi Terbatas (HPT). HPT merupakan jenis hutan yang dapat diolah untuk kepentingan industri dengan prinsip pengelolaan yang berkelanjutan. Kawasan ini mencakup luasan 4 030.75 ha atau 13.75 %.
Gambar 5.12 Arahan pengelolaan ruang Kota Baubau Kawasan lindung memberikan manfaat ekologi bagi keberlangsungan kota dan melindungi aset peninggalan sejarah kota. Kawasan lindung dapat dimanfaatkan secara ekonomi selama tidak bersifat eksploitatif misalnya lebah madu hutan, ekowisata dan wisata sejarah/budaya. Kawasan lindung terdiri atas penggunaan lahan hutan lindung, hutan kota, taman, ruang terbuka hijau (RTH), pemakaman, mangrove, konservasi pantai, badan air dan cagar budaya. Luas kawasan lindung mencapai 12 118.07 ha atau 41.34 %. Kawasan pertanian pangan dan perkebunan berfungsi untuk menjaga ketersediaan pangan bagi penduduk Kota Baubau. Kawasan ini terdiri atas pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, tambak, peternakan, dan perkebunan dengan luas 5 180.52 ha (17.67 %). Pertanian lahan basah dan lahan kering yang telah ada pada penggunaan lahan aktual sepenuhnya dipertahankan. Pengelolaan tambak dengan konsep minapadi dan peternakan yang lebih intensif. Perencanaan lahan perkebunan disesuaikan dengan lahan perkebunan aktual dan rencana pola ruang RTRW. Kawasan ini sangat penting untuk dilindungi sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) di Kota Baubau yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah (PERDA). Khusus untuk rencana pertambangan Nikel diarahkan untuk tidak dilakukan. Hal ini dikarenakan telah berkali-kali memicu konflik ruang antara masyarakat
76
dengan pemerintah dan antara masyarakat dengan pengusaha tambang Nikel. Bagi masyarakat Kota Baubau keberadaan tambang Nikel lebih memberikan dampak kerusakan ekologi yakni mengancam keberadaan lahan pertanian dan sumber air minum dibandingakan dampak ekonomi yang dihasilkan dari tambang tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan Sub DAS Bungi sebagai sumber air irigasi dan air minum berada di rencana kawasan tambang Nikel.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan terkait daya dukung lahan di Kota Baubau, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Daya dukung lahan di Kota Baubau secara fisik lingkungan baik yang ditunjukkan dengan luas lahan yang selaras lebih tinggi yakni 21 890.80 ha atau 74.68 % dibanding luas lahan yang tidak selaras yakni 7 423.13 ha atau 25.32 %. 2. Daya dukung lahan di Kota Baubau secara ekonomi memenuhi daya dukung yang ditunjukkan dengan hasil perbandingan dengan KHL (Rp8 750 000) melebihi jumlah penduduk. Nilai ekonomi lahan di Kota Baubau sebesar Rp3 868 227 683 821 yang mampu menghidupi 442 083 jiwa atau 3.1 kali jumlah penduduk Kota Baubau tahun 2013. 3. Arahan pemanfaatan ruang terdiri atas empat kawasan yaitu kawasan budidaya (7 984.60 ha atau 27.24 %), kawasan budidaya berfungsi lindung (4 030.75 ha atau 13.75 %), kawasan lindung (12 118.07 ha atau 41.34 %) dan kawasan lahan pangan dan perkebunan (5 180.52 ha atau 17.67 %). Saran Perlunya dilakukan dialog dan komunikasi intensif dengan pihak Pemerintah Daerah (PEMDA) Kota Baubau untuk mendorong agenda revisi dokumen RTRW Kota Baubau. Agenda revisi RTRW terkait dua hal pokok yaitu pertama, perlindungan lahan di Kota Baubau dengan memperhatikan aspek daya dukung dalam perencanaan dan pengelolaan lahan. Kedua, pengendalian penggunaan lahan terbangun dan perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
DAFTAR PUSTAKA Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua Cetakan Kedua. Bogor (ID): IPB Press Arsyad S dan Rustiadi E. 2008. Penyelamatan Tanah, Air dan Lingkungan. Jakarta (ID): Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kota Baubau dalam Angka. Baubau (ID): Badan Pusat Statistik
77
Bai X, Wen Z, An S dan Li B. 2015. Evaluating sustainability of cropland use in Yuanzhou county of the loess plateau, China using an emergy-based ecological footprint. PLoS ONE 10(3):e0118282. DOI:10.1371/journal.pone.0118282 Baja S, Sudjiton, Amiruddin LA, Zamhuri Y, Munizu M, Tahara T, Mustari T dan Abduh M. 2007. Masterplan Kawasan Industri Perikanan dan Pariwisata Terpadu (KIPPT) Pulau Makassar Kota Baubau Sulawesi Tenggara. Baubau (ID): Pemerintah Kota Baubau. Baja S. 2012. Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi. Barlowe R. 1986. Land Resource Economics: The Economics of Real Estate. 4th ed. Englewood Cliffs, New Jersey (US): Prentice-Hall Barus B, dan Wiradisastra U.S. 2000. Sistem Informasi Geografis. Bogor (ID): Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Braithwaite JE, Meeuwig JJ dan Jenner KCS. 2012. Estimating cetacean carrying capacity based on spacing behaviour. PLoS ONE 7(12): e51347. DOI:10.1371/journal.pone.0051347 Choi J. 2013. Green Open Space Conservation GIS Spasial Modeling [Desertasi]. New York (US): State University of New York, Colledge of Enviromental Science and Forestry Darmawan Y. 2008. Menyibak Kabut di Keraton Buton. Baubau (ID): Respect. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1983. Guidelines: Land evaluation for rain fed agriculture. Soils Bulletin 52. Rome (IT): FAO of the United Nation. Gad A. 2015. Land capability classification of some western desert Oases, Egypt, using remote sensing and GIS. Elsevier:The Egyptian Journal of Remote Sensing and Space Sciences. Tersedia pada: www.elsevier.com/locate/ejrs. Gonzales-Abraham C, Ezcurra, Garcillan PP, Ortega-Rubio A, Kolb M dan Creel JEB. 2015. The Human footprint in Mexico: physical geography and historical legacies. PLoS ONE 10(3): e0121203. DOI:10.1371/journal.pone.0121203. Grekousis G dan Mountrakis G. 2015. Sustainable development under population pressure: lessons from developed land consumption in the conterminous US. PLoS ONE. DOI:10.1371/journal.pone.0119675. Hardjowigeno S dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Keselarasan Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Yogyakarta (ID). Gadjah Mada University Press. Hagy HM dan Kaminski RM. 2015. Determination of foraging thresholds and effects of application on energetic carrying capacity for waterfowl. PLoS ONE 10(3): e0118349. DOI:10.1371/journal.pone.0118349 Jayadinata, Johara T. 1999. Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah . Edisi Ketiga. Bandung (ID): ITB Johnson B.G dan Zuleta, G.A. 2013. Land-use land-cover change and ecosystem loss in the Espinal ecoregion, Argentina. Elsevier: Agriculture, Ecosystems and Environment 181 (2013) 31– 40.
78
Kumar P. 2009. Assessment of Economic Drivers of Land Use Change in Urban Ecosystems of Delhi, India. Stockholm (SE): Springer Science & Business Media Lambin EF, Geist HJ, Lepers E. 2003. Dynamics of land use and land cover change in tropical regions. Annu. Rev. Environment Resource. 28:205-41 Mahmudi B. 2002. Optimalisasi penggunaan lahan dan penetapan daya dukung lingkungan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Cilampuyung, Sub-DAS Cimanuk Hulu, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): IPB. Munibah K. 2008. Model spasial perubahan penggunaan lahan dan arahan penggunaan lahan berwawasan lingkungan (studi kasus DAS Cidanau, Provinsi Banten) [Desertsi]. Bogor (ID): IPB. Murphy BW, Murphy C, Wilson BR, Emery KA, Lawrie J, Bowman G, Lawrie R, Erskine W, 2004. A revised land and soil capability classification for New South wales. Di dalam: International Soil Conservation Organisation Conference. Prahasta E. 2005. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung (ID): Penerbit Informatika. Rabani LO. 2010. Kota-Kota Pantai di Sulawesi Tenggara. Yogyakarta (ID): Penerbit Ombak Rossiter DG. 2004. Land Evaluation. Part IV- Economic Land Evaluation. Departemen of Soil, Corp and Atmospheric Science, Colledge of Agriculture and Life Science, Cornell University (US): Cornell University Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Rustiadi E, Barus B, Prastowo, Iman LOS. 2010. Pengembangan Pedoman Evaluasi Pemanfaatan Ruang; Penyempurnaan Lampiran Permen LH 17/2009. Bogor (ID): Kerjasama Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan hidup dan Pusat Pengkajian perencanaan dan Penegembangan wilayah Institut Pertanian Bogor (P4W-IPB). Rusyamin LO. 2013. Ekologi Politik Pertambangan di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara [tesis]. Bogor (ID): IPB. Santos MJ, Watt T dan Pincet S. 2014. The push and pull of land use policy: reconstructing 150 years of development and conservation land acquisition. PLoS ONE 9(7): e103489. DOI:10.1371/journal.pone.0103489 Seto KC, Fragkias M, Guneralp B dan Reilly MK. 2011. A meta-analysis of global urban land expansion. PLoS ONE 6(8): e23777. DOI:10.1371/journal.pone.0023777. Soemarwoto O. 2003. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta (ID). Gadjah Mada University Press. _______. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Cetakan Kesepuluh. Jakarta (ID): Djambatan Star J dan Estes JE. 1990. Geographic Information System: An Introduction. Prentice Hall, Englewood Cliff Tilman D.1982. Resource competition and community structure. Monographs in Population Biology 17: 1–296.
79
Lampiran 1 Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas mengikuti Arsyad (2010) No Faktor Penghabat 1 Tekstur tanah (t)
2
3
4
Intensitas Faktor Penghambat - t1 : halus : liat berdebu, liat - t2 : agak halus: liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung liat berpasir. - t3 : sedang: debu, lempung berdebu, lempung - t4 : agak kasar: lempung berpasir - t5 : kasar: pasir berlempung, pasir Lereng permukaan (l) - l0 : >0-3 %: datar - l1 : >3-8 %: landai/berombak - l2 : >8-15 %: agak miring/bergelombang - l3 : >15-30 %: miring/berbukit - l4 : >30-45 %: agak curam - l5 : >45-65 %: curam - l6 : >65 %: sangat curam Drainase tanah (d) - d0 : tanah mempunyai peredaran udara baik. Seluruh profil tanah dari atas sampai lapisan bawah berwarna terang yang uniform dan tidak terdapat bercak-bercak. - d1 : tanah mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat, atau kelabu pada lapisan atas dan bagian atas lapisan bawah. - d2 : lapisan tanah atas mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat, atau kelabu. Bercakbercak terdapat pada seluruh lapisan bawah. - d3 : bagian atau lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kelabu, coklat, dan kekuningan. - d4 : seluruh lapisan permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak kelabu, coklat, dan kekuningan. Kedalaman efektif (k) dalam: >90 cm sedang: 90-50 cm dangkal: 50-25 cm sangat dangkal: <25 cm
Lampiran 2 Contoh sub kelas kemampuan lahan pada satuan lahan homogen Jenis tanah
% kelerengan (l)
Tekstur (t)
Kedalaman (k)
draiase (d)
Kelas
1
Tropudalfs; Eutropepts
l1 (landai:3-8)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
II
sub kelas II_l1d2
2
Tropudalfs; Eutropepts
l1 (landai:3-8)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
II
II_l1d2
3
Tropudalfs; Eutropepts
l3 (miring berbukit:15-30)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
IV
IV_l3
4
Tropudalfs; Eutropepts
l3 (miring berbukit:15-30)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
IV
IV_l3
5
Tropudalfs; Eutropepts
l2 (agak miring:8-15)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
III
III_l2
6
Tropudalfs; Eutropepts
l2 (agak miring:8-15)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
III
III_l2
7
Tropudalfs; Eutropepts
l0 (datar:0-3)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
II
II_d2
8
Tropudalfs; Eutropepts
l4 (agak curam:30-45)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
VI
VI_l4
9
Sulfaquents; Hydraquents
l0 (datar:0-3)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
II
II_d2
10
Sulfaquents; Hydraquents
l1 (landai:3-8)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
II
II_l1d2
11
Sulfaquents; Hydraquents
l3 (miring berbukit:15-30)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
IV
IV_l3
12
Sulfaquents; Hydraquents
l2 (agak miring:8-15)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
III
III_l2
13
Rendolls; Eutropepts
l0 (datar:0-3)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
II
II_d2
14
Rendolls; Eutropepts
l2 (agak miring:8-15)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
III
III_l2
15
Rendolls; Eutropepts
l0 (datar:0-3)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
II
II_d2
16
Rendolls; Eutropepts
l0 (datar:0-3)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
II
II_d2
17
Rendolls; Eutropepts
l1 (landai:3-8)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
II
II_l1d2
18
Rendolls; Eutropepts
l2 (agak miring:8-15)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
III
III_l2
19
Rendolls; Eutropepts
l2 (agak miring:8-15)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
III
III_l2
20
Rendolls; Eutropepts
l0 (datar:0-3)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
II
II_d2
21
Rendolls; Eutropepts
l2 (agak miring:8-15)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
III
III_l2
22
Rendolls; Eutropepts
l0 (datar:0-3)
t1 (halus)
k0 (dalam:>90)
agak buruk (d1)
II
II_d2
SLH
Lampiran 3 Perhitungan daya dukung berdasarkan ketersediaan lahan Produksi Beras Komoditi Padi sawah padi ladang
satuan kg kg
Produksi padi 10 652 400 1 162 800
Nilai Produksi beras dan palawija Produksi Komoditi satuan (Pi) Beras sawah kg 6 391 440.00 Beras ladang kg 697 680.00 jagung kg 717 400 kedelai kg 4 000 kacang tanah kg 5 000 kacang hijau kg 2 850 ubi kayu kg 1 630 250 ubi jalar kg 384 800 jumlah
Produksi beras 6 391 440 697 680
harga satuan (Rp/kg)
(Hi) 8 750 12 000 4 500 15 000 19 000 20 000 5 000 5 000
Nilai produksi (Pi * Hi) 55 925 100 000 8 372 160 000 3 228 300 000 60 000 000 95 000 000 57 000 000 8 151 250 000 1 924,000,000 77 812 810 000
Nilai produksi sayuran Komoditi
satuan
Bawang Daun Kubis Petsai / sawi Kacang Panjang Cabe Besar Cabe Rawit Tomat Terung Buncis Ketimun Kangkung Bayam
kg kg kg
Produksi harga satuan (Rp/kg) (Pi) (Hi) 8 800 6 500 31 400 8 000 51 700 8 750
Nilai produksi (Pi * Hi) 57 200 000 251 200 000 452 375 000
kg
84 600
13 000
1 099 800 000
kg kg kg kg kg kg kg kg
20 900 12 600 39 000 74 800 6 800 31 100 94 700 31 500 Jumlah
35 000 50 000 25 000 8 550 12 000 10 000 7 000 8 000
731 500 000 630 000 000 975 000 000 639 540 000 81 600 000 311 000 000 662 900 000 252 000 000 6 144 115 000
82
Nilai produksi buah Komoditi
satuan
Alpokat Mangga Rambutan Jeruk Jambu Biji Jambu Air Pepaya Pisang Nenas Salak Nangka Sawo Sukun Belimbing Sirsak Semangka
kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg
Produksi harga satuan (Rp/kg) (Pi) (Hi) 22 200 21 950 343 800 15 000 258 100 10 000 37 300 11 000 16 400 10 000 23 300 5 000 40 100 6 500 245 000 15 000 74 300 8 500 1 900 25 000 139 900 7 500 1 100 8 000 17 100 7 500 12 700 3 000 16 100 5 700 3 500 20 000 Jumlah
Nilai produksi (Pi * Hi) 487 290 000 5 157 000 000 2 581 000 000 410 300 000 164 000 000 116 500 000 260 650 000 3 675 000 000 631 550 000 47 500 000 1 049 250 000 8 800 000 128 250 000 38 100 000 91 770 000 70 000 000 14 917 026 600
Nilai produksi perkebunan Komoditi melinjo Coklat Jambu Mete Kelapa Dalam Kelapa Hybrida Kopi Kemiri Enau Asam Jawa Pinang Kapuk
Produksi
satuan kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg
(Pi) 1 200 523 200 571 700 162 450 16 000 12 850 16 200 2 750 9 000 4 750 23 750 jumlah
harga satuan (Rp/kg) (Hi) 15 000 29 000 11 000 8 000 7 500 18 000 3 500 7 500 20 000 5 000 1 000
Nilai produksi (Pi * Hi) 18 000 000 15 172 800 000 6 288 700 000 1 299 600 000 120 000 000 231 300 000 56 700 000 20 625 000 180 000 000 23 750 000 23 750 000 23 435 225 000
Nilai produksi tanaman obat Komoditi Lidah Buaya Jahe Laos / Lengkuas
satuan kg kg kg
Produksi (Pi) 540 72 315 85 876
harga satuan (Rp/kg) (Hi) 10 000 20 000 20 000
Nilai produksi (Pi * Hi) 5 400 000 1 446 300 000 1 717 520 000
83
Komoditi
Produksi
satuan
Kencur Kunyit Lempuyang Temulawak Temuireng Temukunci Dringo Kapulaga Mengkudu Mahkota Dewa Kejibeling Sambiloto
(Pi) 2 098 59 770 40 58 549 26 505 277 153 10 1 291 107 695 5 323 jumlah
kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg
harga satuan (Rp/kg) (Hi) 40 000 20 000 40 000 20 000 25 000 30 000 23 000 45 000 55 000 20 000 20 000 8 000
Nilai produksi peternakan, perikanan dan kehutanan harga satuan Produksi (Rp/satuan) Komoditi satuan (Pi) (Hi) Sapi kg 1 792 6 000 000 Kambing kg 1 681 1 500 000 Ayam kampung kg 139 604 90 000 ayam potong kg 41 050 40 000 Itik kg 4 546 55 000 ayam ras petelur kg 9 000 55 000 perikanan darat kg 18 960 20 000 telur ayam kampung kg 6 282 150 1 500 telur ayam petelur kg 4 929 600 1 100 telur itik kg 6 650 100 1 300 Getah Pinus kg 24 320 3 500 Rotan kg 20 000 4 000 Jumlah
Nilai produksi (Pi * Hi) 83 920 000 1 195 400 000 1 600 000 1 170 980 000 662 625 000 8 310 000 3 519 000 450 000 71 005 000 2 140 000 13 900 000 42 584 000 6 425 653 000
Nilai produksi (Pi * Hi) 10 752 000 000 2 521 500 000 12 564 360 000 1 642 000 000 250 030 000 495 000 000 379 200 000 9 423 225 000 5 422 560 000 8 645 130 000 85 120 000 80 000 000 52 260 125 000
Nilai produksi tanaman hias Komoditi Anggrek Anthurium / Kuping Gajah Anyelir Gerbera Gladiol
kg
(Pi) 165
harga satuan (Rp/tangkai) (Hi) 25 000
kg
42
20 000
840 000
kg kg kg
18 24 346
15 000 15 000 15 000
270 000 360 000 5 190 000
satuan
Produksi
Nilai produksi (Pi * Hi) 4 125 000
84
Komoditi
satuan
Produksi (Pi)
Heliconia / pisangpisangan Krisan Mawar Sedap Malam Dracena Melati Palem Aglaonema Kamboja Jepang Euphorbia Phylodendron Pakis Monstera Ioxora / Soka Cordyline Difenbahia Sansiviera Anthurium Daun Caladium
harga satuan (Rp/tangkai) (Hi)
Nilai produksi (Pi * Hi)
kg
151
17 000
2 567 000
kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg kg jumlah
300 77 125 50 137 100 172 773 115 105 230 112 397 197 71 211 180 259
15 000 25 000 17 000 15 000 25 000 35 000 13 500 20 000 10 000 15 000 20 000 20 000 15 000 15 000 15 000 15 000 17 000 20 000
4 500 000 1 925 000 2 125 000 750 000 3 425 000 3 500 000 2 322 000 15 460 000 1 150 000 1 575 000 4 600 000 2 240 000 5 955 000 2 955 000 1 065 000 3 165 000 3 060 000 5 180 000 78 304 000
Untuk mengetahui ketersediaan lahan pangan Kota Baubau: SL = Σ(Pi x Hi) x . 1 . Hb Ptvb = 181 073 258 600 x . 1 . 8 750 4 565.31 = 4 532.89 ha Untuk mengetahui luas lahan pangan yang dibutuhkan perpenduduk untuk hidup layak (KHLL), adalah: KHLL = 1 ton/Ptvb = 0.22 ha/jiwa Jadi jumlah penduduk Kota Baubau yang dapat didukung oleh lahan pangan tersedia adalah: = 4 532.89 ha 0.22 ha/jiwa = 20 695.09 jiwa atau 14.51 % dari jumlah total penduduk Kota Baubau
Lampiran 4 contoh perhitungan land rent beberapa penggunaan lahan aktual Penggunaan lahan pertanian No
Komoditi
harga satuan Rp/kg
luas panen
total produksi/thn
Produk tivitas (kg/ha)
indeks panen
biaya input per ha
pendapatan kotor
per ha/thn
per ha
perha/thn
pendapatan bersih per ha
per ha/thn
total pendapatan kotor
total pendapatan bersih
1
Padi sawah
8 750
1 400
10 652 400
7 609
2
5 000 000
10 000 000
33 288 750
66 577 500
28 288 750
56 577 500
93 208 500,000
79,208,500,000
2
Padi ladang
12 000
342
1 162 800
3 400
1
2 940 000
2 940 000
40 800 000
40 800 000
37 860 000
37 860 000
13 953 600,000
12,948,120,000
3
jagung
4 500
312
717 400
2 299
1
3 500 000
3 500 000
10 347 115
10 347 115
6 847 115
6 847 115
3 228 300,000
2,136,300,000
4
kedelai
15 000
3
4 000
1 333
1
1 500 000
1 500 000
20 000 000
20 000 000
18 500 000
18 500 000
60,000,000
55,500,000
5
kacang tanah
19 000
5
5 000
1 000
1
1 500 000
1 500 000
19 000 000
19 000 000
17 500 000
17 500 000
95,000,000
87,500,000
6
kacang hijau
20 000
3
2 850
950
1
1 500 000
1 500 000
19 000 000
19 000 000
17 500 000
17 500 000
57,000,000
52,500,000
7
ubi kayu
5 000
178
1 630 250
9 159
1
500 000
500 000
45 793 539
45 793 539
45 293 539
45 293 539
8 151,250,000
8,062,250,000
8
ubi jalar
5 000
81
384800
4 751
1
500 000
500 000
23 753 086
23 753 086
23 253 086
23 253 086
1 924,000,000
1,883,500,000
9
Alpokat
21 953
6
22 200
3 700
1
700 000
700 000
81 226 100
81 226 100
80 526 100
80 526 100
487,356,600
483,156,600
10
Mangga
15 000
72.87
343 800
4 718
1
700 000
700 000
70 769 864
70 769 864
70 069 864
70 069 864
5 157,000,000
5,105,991,000
11
Rambutan
10 000
65.78
258 100
3 924
1
700 000
700 000
39 236 850
39 236 850
38 536 850
38 536 850
2 581,000,000
2,534,954,000
12
Jeruk
11 000
15
37 300
2 487
1
700 000
700 000
27 353 333
27 353 333
26 653 333
26 653 333
410,300,000
399,800,000
13
Jambu Biji
10 000
16.2
16 400
1 012
1
700 000
700 000
10 123 457
10 123 457
9 423 457
9 423 457
164,000,000
152,660,000
14
Jambu Air
5 000
9.57
23 300
2 435
1
700 000
700 000
12 173 459
12 173 459
11 473 459
11 473 459
116,500,000
109,801,000
15
Pepaya
6 500
86.33
40 100
464
1
700 000
700 000
3 019 229
3 019 229
2 319 229
2 319 229
260,650,000
200,219,000
16
Pisang
15 000
353.30
245 000
693
1
1 000 000
1 000 000
10 401 925
10 401 925
9 401 925
9 401 925
3 675,000,000
3,321,700,000
17
Nenas
8 500
38.76
74 300
1 917
1
1 000 000
1 000 000
16 293 860
16 293 860
15 293 860
15 293 860
631,550,000
592,790,000
18
Salak
25000
17.30
1 900
110
1
700 000
700 000
2 745 665
2 745 665
2 045 665
2 045 665
47,500,000
35,390,000
19
Nangka
7 500
45.60
139 900
3 068
1
700 000
700 000
23 009 868
23 009 868
22 309 868
22 309 868
1 049,250,000
1,017,330,000
20
Sawo
8 000
1.40
1 100
786
1
700 000
700 000
6 285 714
6 285 714
5 585 714
5 585 714
8,800,000
7,820,000
21
Sukun
7 500
9.48
17 100
1 804
1
700 000
700 000
13 528 481
13 528 481
12 828 481
12 828 481
128,250,000
121,614,000
86
No
Komoditi
harga satuan Rp/kg
luas panen
total produksi/thn
Produk tivitas (kg/ha)
indeks panen
biaya input per ha
pendapatan kotor
per ha/thn
per ha
perha/thn
pendapatan bersih per ha
per ha/thn
total pendapatan kotor
total pendapatan bersih
22
Belimbing
3,000
8.11
12,700
1,566
1
700,000
700,000
4,697,904
4,697,904
3,997,904
3,997,904
38,100,000
32,423,000
23
Sirsak
5,700
21.27
16,100
757
1
700,000
700,000
4,314,528
4,314,528
3,614,528
3,614,528
91,770,000
76,881,000
24
melinjo
15,000
9.36
1,200
128
1
700,000
700,000
1,923,077
1,923,077
1,223,077
1,223,077
18,000,000
11,448,000
25
Coklat
29,000
136
523,200
3,847
1
13,000,000
13,000,000
111,564,706
111,564,706
98,564,706
98,564,706
15,172,800,000
13,404,800,000
26
Jambu Mete
11,000
402.20
571,700
1,421
1
5,000,000
5,000,000
15,635,753
15,635,753
10,635,753
10,635,753
6,288,700,000
4,277,700,000
27
Kelapa Dalam
8,000
106
162,450
1,533
1
1,500,000
1,500,000
12,260,377
12,260,377
10,760,377
10,760,377
1,299,600,000
1,140,600,000
28
Kelapa Hybrida
7,500
11.50
16,000
1,391
1
1,500,000
1,500,000
10,434,783
10,434,783
8,934,783
8,934,783
120,000,000
102,750,000
29
Kopi
18,000
34.25
12,850
375
1
1,500,000
1,500,000
6,753,285
6,753,285
5,253,285
5,253,285
231,300,000
179,925,000
30
Kemiri
3,500
54.95
16,200
295
1
1,000,000
1,000,000
1,031,847
1,031,847
31,847
31,847
56,700,000
1,750,000
31
Enau
7,500
10.25
2,750
268
1
1,000,000
1,000,000
2,012,195
2,012,195
1,012,195
1,012,195
20,625,000
10,375,000
32
Asam Jawa
20,000
4.75
9,000
1,895
1
500,000
500,000
37,894,737
37,894,737
37,394,737
37,394,737
180,000,000
177,625,000
33
Pinang
5,000
1.30
4,750
3,654
1
500,000
500,000
18,269,231
18,269,231
17,769,231
17,769,231
23,750,000
23,100,000
34
Kapuk
1,000
20.65
23,750
1,150
1
1,000,000
1,000,000
1,150,121
1,150,121
150,121
150,121
23,750,000
3,100,000
35
Bawang Daun
6,500
2
8,800
4,400
1
10,000,000
10,000,000
28,600,000
28,600,000
18,600,000
18,600,000
57,200,000
37,200,000
36
Kubis
8,000
5
31,400
6,280
1
14,000,000
14,000,000
50,240,000
50,240,000
36,240,000
36,240,000
251,200,000
181,200,000
37
Petsai / sawi
8,750
25
51,700
2,068
1
12,000,000
12,000,000
18,095,000
18,095,000
6,095,000
6,095,000
452,375,000
152,375,000
38
Kacang Panjang
13,000
39
84,600
2,169
1
15,000,000
15,000,000
28,200,000
28,200,000
13,200,000
13,200,000
1,099,800,000
514,800,000
39
Cabe Besar
35,000
9
20,900
2,322
1
15,000,000
15,000,000
81,277,778
81,277,778
66,277,778
66,277,778
731,500,000
596,500,000
40
Cabe Rawit
50,000
7
12,600
1,800
1
17,000,000
17,000,000
90,000,000
90,000,000
73,000,000
73,000,000
630,000,000
511,000,000
41
Tomat
25,000
16
39,000
2,438
1
15,000,000
15,000,000
60,937,500
60,937,500
45,937,500
45,937,500
975,000,000
735,000,000
42
Terung
8,550
25
74,800
2,992
1
15,000,000
15,000,000
25,581,600
25,581,600
10,581,600
10,581,600
639,540,000
264,540,000
43
Buncis
12,000
6
6,800
1,133
1
10,000,000
10,000,000
13,600,000
13,600,000
3,600,000
3,600,000
81,600,000
21,600,000
44
Ketimun
10,000
13
31,100
2,392
1
12,000,000
12,000,000
23,923,077
23,923,077
11,923,077
11,923,077
311,000,000
155,000,000
45
Kangkung
7,000
36
94,700
2,631
2
5,000,000
10,000,000
9,206,944
18,413,889
4,206,944
8,413,889
662,900,000
302,900,000
87
No
Komoditi
46
Bayam
47
harga satuan Rp/kg
luas panen
total produksi/thn
Produk tivitas (kg/ha)
indeks panen
biaya input per ha
pendapatan kotor
per ha/thn
per ha
pendapatan bersih
perha/thn
per ha
per ha/thn
total pendapatan kotor
total pendapatan bersih
8,000
18
31,500
1,750
2
5,000,000
10,000,000
7,000,000
14,000,000
2,000,000
4,000,000
252,000,000
72,000,000
Semangka
20,000
1.5
3,500
2,333
1
5,000,000
5,000,000
46,666,667
46,666,667
41,666,667
41,666,667
70,000,000
62,500,000
48
Lidah Buaya
10,000
0.0365
540
14,795
1
2,500,000
2,500,000
147,945,205
147,945,205
145,445,205
145,445,205
5,400,000
5,308,750
49
Jahe
20,000
4.0237
72,315
17,972
1
700,000
700,000
359,445,287
359,445,287
358,745,287
358,745,287
1,446,300,000
1,443,483,410
50
Laos / Lengkuas
20,000
2.9193
85,876
29,417
1
700,000
700,000
588,332,820
588,332,820
587,632,820
587,632,820
1,717,520,000
1,715,476,490
51
Kencur
40,000
0.3333
2,098
6,295
1
700,000
700,000
251,785,179
251,785,179
251,085,179
251,085,179
83,920,000
83,686,690
52
Kunyit
20,000
2.8004
59,770
21,343
1
700,000
700,000
426,867,590
426,867,590
426,167,590
426,167,590
1,195,400,000
1,193,439,720
53
Lempuyang
40,000
0.01
40
4,000
1
700,000
700,000
160,000,000
160,000,000
159,300,000
159,300,000
1,600,000
1,593,000
54
Temulawak
20,000
2.4002
58,549
24,393
1
700,000
700,000
487,867,678
487,867,678
487,167,678
487,167,678
1,170,980,000
1,169,299,860
55
Temuireng
25,000
1.3385
26,505
19,802
1
700,000
700,000
495,050,430
495,050,430
494,350,430
494,350,430
662,625,000
661,688,050
56
Temukunci
30,000
0.0263
277
10,532
1
700,000
700,000
315,969,582
315,969,582
315,269,582
315,269,582
8,310,000
8,291,590
57
Dringo
23,000
0.0162
153
9,444
1
700,000
700,000
217,222,222
217,222,222
216,522,222
216,522,222
3,519,000
3,507,660
58
Kapulaga
45,000
0.0030
10
3,333
1
700,000
700,000
150,000,000
150,000,000
149,300,000
149,300,000
450,000
447,900
59
Mengkudu
55,000
0.0860
1,291
15,012
1
700,000
700,000
825,639,535
825,639,535
824,939,535
824,939,535
71,005,000
70,944,800
60
Mahkota Dewa
20,000
0.0058
107
18,448
1
700,000
700,000
368,965,517
368,965,517
368,265,517
368,265,517
2,140,000
2,135,940
61
Kejibeling
20,000
0.0519
695
13,391
1
700,000
700,000
267,822,736
267,822,736
267,122,736
267,122,736
13,900,000
13,863,670
62
Sambiloto
8,000
0.4091
5,323
13,011
1
700,000
700,000
104,091,909
104,091,909
103,391,909
103,391,909
42,584,000
42,297,630
63
Anggrek
25,000
165
165
1
1
2,000
2,000
25,000
25,000
23,000
23,000
4,125,000
3,795,000
64
Anthurium / Kuping Gajah
20,000
42
42
1
1
2,000
2,000
20,000
20,000
18,000
18,000
840,000
756,000
65
Anyelir
15,000
18
18
1
1
2,000
2,000
15,000
15,000
13,000
13,000
270,000
234,000
66
Gerbera
15,000
24
24
1
1
2,000
2,000
15,000
15,000
13,000
13,000
360,000
312,000
67
Gladiol
15,000
346
346
1
1
2,000
2,000
15,000
15,000
13,000
13,000
5,190,000
4,498,000
68
Heliconia / pisang-pisangan
17,000
151
151
1
1
2,000
2,000
17,000
17,000
15,000
15,000
2,567,000
2,265,000
69
Krisan
15,000
300
300
1
1
2,000
2,000
15,000
15,000
13,000
13,000
4,500,000
3,900,000
88
No
harga satuan Rp/kg
Komoditi
luas panen
total produksi/thn
Produk tivitas (kg/ha)
indeks panen
biaya input per ha
pendapatan kotor
per ha/thn
per ha
pendapatan bersih
perha/thn
per ha
per ha/thn
total pendapatan kotor
total pendapatan bersih
70
Mawar
25,000
77
77
1
1
2,000
2,000
25,000
25,000
23,000
23,000
1,925,000
1,771,000
71
Sedap Malam
17,000
110
125
1
1
2,000
2,000
19,318
19,318
17,318
17,318
2,125,000
1,905,000
72
Dracena
15,000
50
50
1
1
2,000
2,000
15,000
15,000
13,000
13,000
750,000
650,000
73
Melati
25,000
137
137
1
1
2,000
2,000
25,000
25,000
23,000
23,000
3,425,000
3,151,000
74
Palem
35,000
37
100
3
1
2,000
2,000
94,595
94,595
92,595
92,595
3,500,000
3,426,000
75
Aglaonema
13,500
122
172
1
1
2,000
2,000
19,033
19,033
17,033
17,033
2,322,000
2,078,000
76
Kamboja Jepang
20,000
573
773
1
1
2,000
2,000
26,981
26,981
24,981
24,981
15,460,000
14,314,000
77
Euphorbia
10,000
115
115
1
1
2,000
2,000
10,000
10,000
8,000
8,000
1,150,000
920,000
78
Phylodendron
15,000
105
105
1
1
2,000
2,000
15,000
15,000
13,000
13,000
1,575,000
1,365,000
79
Pakis
20,000
230
230
1
1
2,000
2,000
20,000
20,000
18,000
18,000
4,600,000
4,140,000
80
Monstera
20,000
112
112
1
1
2,000
2,000
20,000
20,000
18,000
18,000
2,240,000
2,016,000
81 82 83
Ioxora / Soka Cordyline Difenbahia
15,000 15,000 15,000
347 187 71
397 197 71
1 1 1
1 1 1
2,000 2,000 2,000
2,000 2,000 2,000
17,161 15,802 15,000
17,161 15,802 15,000
15,161 13,802 13,000
15,161 13,802 13,000
5,955,000 2,955,000 1,065,000
5,261,000 2,581,000 923,000
84
Sansiviera
15,000
131
211
2
1
2,000
2,000
24,160
24,160
22,160
22,160
3,165,000
2,903,000
85
Anthurium Daun
17,000
155
180
1
1
2,000
2,000
19,742
19,742
17,742
17,742
3,060,000
2,750,000
86
Caladium
20,000
259
259
1
1
2,000
2,000
20,000
20,000
18,000
18,000
5,180,000
4,662,000
6,406,950,886
6,456,446,580
6,189,362,886
6,223,858,580
171,677,973,600
148,052,528,760
Jumlah
Peternakan No 1 2 3 4 5
Jenis Ternak/komoditi Sapi Kambing Ayam kampung ayam potong Itik
satuan ekor ekor ekor ekor ekor
populasi 1 792 1 681 139 604 41 050 4 546
Harga satuan (Rp) 5 500 000 950 000 90 000 45 000 55 000
Biaya Input/tahun Pendapatan Kotor per ekor total 1 500 000 2 688 000 000 9 856 000 000 350 000 588 350 000 1 596 950 000 15 000 2 094 060 000 12 564 360 000 27 833 1 142 558 333 1 847 250 000 -
Pendapatan Bersih 7 168 000 000 1 008 600 000 10 470 300 000 704 691 667 250 030 000
89
No 6 7 8 9
Jenis Ternak/komoditi ayam ras petelur telur ayam kampung telur ayam petelur telur itik
satuan
populasi
ekor butir butir butir Jumlah
9 000 6 282 150 2 340 000 6 650 100
Harga satuan (Rp) 55 000 1 500 1 100 1 300
Biaya Input/tahun Pendapatan Kotor per ekor total 25 740 231 660 000 2 574 000 000 91 250 414 822 500 8 645 130 000 37 083 690 000
Pendapatan Bersih 495 000 000 9 423 225 000 2 342 340 000 8 230 307 500 40 092 494 167
Penggunaan lahan tambak luas lahan 52.213
produksi produktivitas harga/kg (kg) 18 960
363.13
biaya input
pendapatan kotor
per ha total per ha total 20 000 1 250 000 65 266 375 7 262 545.22 379 200 000
pendapatan bersih per ha total 6 012 545.22 313 933 625
Penggunaan lahan hotel
No
Hotel
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Hotel_1 Hotel_2 Hotel_3 Hotel_4 Hotel_5 Hotel_6 Hotel_7 Hotel_8 Hotel_9 Hotel_10 Hotel_11 Hotel_12 Hotel_13 Hotel_14 Hotel_15 Hotel_16 Hotel_17 Hotel_18 Hotel_19 Hotel_20 Hotel_21 Total
Jumlah Pemasukan (Rp) 432 600 000 110 880 000 236 250 000 259 650 000 397 250 000 479 600 000 430 350 000 124 600 000 180 000 000 231 000 000 432 000 000 631 000 000 710 000 000 346 050 000 492 500 000 144 000 000 1 407 250 000 447 000 000 303 600 000 486 000 000 1 170 000 000 9 451 580 000
Jumlah Keuntungan Pengeluaran bersih (Rp) 61 800 000 370 800 000 30 000 000 80 880 000 46 800 000 189 450 000 55 400 000 204 250 000 75 200 000 322 050 000 83 200 000 396 400 000 82 200 000 348 150 000 35 000 000 89 600 000 45 400 000 134 600 000 43 400 000 187 600 000 80 200 000 351 800 000 85 200 000 545 800 000 83 600 000 626 400 000 65 200 000 280 850 000 73 600 000 418 900 000 38 400 000 105 600 000 102 000 000 1 305 250 000 75 200 000 371 800 000 75 200 000 228 400 000 75 200 000 410 800 000 122 000 000 1 048 000 000 1 434 200 000 8 017 380 000
Penggunaan lahan pemukiman Sewa rumah kost
No
Kost
alamat
1
Kost_1
Jln. Imam Bonjol
2
Kost_2
Jl. Erlangga
3 4
Kost_3 Kost_4
Bataraguru Jl. Langkariri
5
Kost_5
Jln. Husni Thamrin
6 7 8 9
Kost_6 Kost_7 Kost_8 Kost_9
Jln. Wa Ode Wau Jln. Wa Ode Wau Jln. Cut Nyak dien Jln. Wa Ode Wau
10
Kost_10 Jl. Taxi
11 12 13 14 15
Kost_11 Kost_12 Kost_13 Kost_14 Kost_15
16
Kost_16 Jln. La Ode Walanda
17
Kost_17 Pos 1, Kel. Lanto
18
Kost_18 Jln. La Ode Walanda
Jln Wa Ode Wau Jln. STAI Lorong Artum Jln. Latsitarda Jln. Waode Wau
tipe permanen semi permanen permanen permanen Semi permanen permanen permanen permanen permanen semi permanen permanen permanen permanen permanen permanen semi permanen permanen semi permanen
kondisi bangunan luas jml luas (m2) kamar bangunan
Nilai Sewa perbulan
pertahun
total/tahun
12
2
24
300 000
3 600 000
7 200 000
16
15
240
250 000
4 000 000
60 000 000
12 12
8 9
96 108
400 000 250 000
4 800 000 3 000 000
38 400 000 27 000 000
16
5
80
350 000
4 200 000
21 000 000
12 12 16 12
14 14 7 15
168 168 112 180
300 000 350 000 400 000 350 000
3 600 000 4 200 000 4 800 000 4 500 000
50 400 000 58 800 000 33 600 000 67 500 000
12
16
192
300 000
3 600 000
57 600 000
12 12 9 12 12
14 10 8 13 14
168 120 72 156 168
350 000 200 000 300 000 275 000 350 000
4 200 000 2 400 000 3 600 000 3 300 000 4 200 000
58 800 000 24 000 000 28 800 000 42 900 000 58 800 000
12
25
300
250 000
3 000 000
75 000 000
9
6
54
300 000
3 600 000
21 600 000
12
25
300
250 000
3 000 000
75 000 000
92
19 20
Kost_19 Jln. Langkariri Kost_20 Jln. Erlangga (pos 1)
21
Kost_21 Jln. Langkariri
22
Kost_22 Jln. Betoambari
23 24 25 26
Kost_23 Kost_24 Kost_25 Kost_26
27
Kost_27 Jln. H. Agus Salim
28 29 30 31 32 33 34 35 36
Kost_28 Kost_29 Kost_30 Kost_31 Kost_32 Kost_33 Kost_34 Kost_35 Kost_36
Jln. La Ode Boha Jln. Dayanu Iksanuddin betoambari Jln. H. Agus Salim
palatiga Jln. Husni Thamrin Jaln Bulawambona Jln. Cokroaminoto Lr. Taksi Jln. Sultan Hasanuddin Jln. Sultan Hasanuddin Jln. Erlangga Jln. Betoambari Lr. Hoga Jumlah
permanen permanen semi permanen semi permanen permanen permanen permanen permanen semi permanen permanen permanen permanen permanen permanen permanen permanen permanen permanen
16 12
5 11
80 132
300 000
3 000 000 3 600 000
15 000 000 39 600 000
12
18
216
250 000
3 000 000
54 000 000
12
6
72
200 000
2 400 000
14 400 000
12 12 15 20
6 13 5 15
72 156 75 300
300 000 350 000 350 000 500 000
3 600 000 4 200 000 4 200 000 6 000 000
21 600 000 54 600 000 21 000 000 90 000 000
20
2
40
500 000
6 000 000
12 000 000
15 15 9 25 12 12 12 12 12
10 3 4 6 8 10 12 9 8
150 45 36 150 96 120 144 108 96 4 794
350 000 500 000 400 000 500 000 300 000 350 000 250 000 350 000 750 000 12 025 000
4 200 000 6 000 000 4 800 000 6 000 000 3 600 000 4 200 000 3 000 000 4 200 000 9 000 000 148 600 000
42 000 000 18 000 000 19 200 000 36 000 000 28 800 000 42 000 000 36 000 000 37 800 000 72 000 000 1 460 400 000
93
Contoh Industri kecil rumah tangga
Kelurahan
Gonda Baru
Kaisabu
Nama pemilik
Alamat
Jenis usaha
Jml Tng Kerja
Jumlah Modal (Rp)
Nilai pembelanjaan(Rp)
Nilai penjualan (Rp)
Per bulan
Per tahun
Per bulan
Per Tahun
Zainudin
Kel. Gonda baru
Pembuatan teralis
1
20 000 000
1 000 000
12 000 000
2 500 000
30 000 000
Ruhania Kasman Udin Samlan Tahir gade Wahid Tahir m La bajoe Ruhania Marwah Fatmawati Nurhidayat Sarna Sumarni Wa eti Wa arutiu Saima Jahran Samudi Suciati Nur jantung La famili
Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kel. Gonda baru Kaisabu baru Kaisabu baru Kaisabu baru Kaisabu baru
Anyaman nentu Penggilingan padi Tambal ban Tambal ban Tambal ban Tambal ban Tambal ban Tambal ban Penjahit Las listrik Anyaman nentu Anyaman nentu Anyaman nentu Anyaman nentu Anyaman nentu Anyaman nentu Anyaman nentu Anyaman nentu Depot isi ulang Pembuatan jipang Fotocopy Bengkel las
2 2 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 1 3
500 000 20 000 000 3 000 000 3 000 000 4 000 000 4 000 000 3 000 000 5 000 000 500 000 30 000 000 500 000 600 000 600 000 500 000 400 000 500 000 500 000 300 000 20 000 000 5 000 000 40 000 000 15 000 000
500 000 3 000 000 1 000 000 900 000 1 000 000 1 000 000 800 000 1 500 000 1 000 000 2 500 000 500 000 600 000 600 000 500 000 400 000 500 000 500 000 300 000 500 000 2 000 000 500 000 2 000 000
6 000 000 36 000 000 12 000 000 10 800 000 12 000 000 12 000 000 9 600 000 18 000 000 12 000 000 30 000 000 6 000 000 7 200 000 7 200 000 6 000 000 4 800 000 6 000 000 6 000 000 3 600 000 6 000 000 24 000 000 6 000 000 24 000 000
2 000 000 5 500 000 2 500 000 2 200 000 2 500 000 2 500 000 2 000 000 3 500 000 2 500 000 5 000 000 1 500 000 1 600 000 1 700 000 1 500 000 1 200 000 1 500 000 1 500 000 1 000 000 2 500 000 6 000 000 2 000 000 5 000 000
24 000 000 66 000 000 30 000 000 26 400 000 30 000 000 30 000 000 24 000 000 42 000 000 30 000 000 60 000 000 18 000 000 19 200 000 20 400 000 18 000 000 14 400 000 18 000 000 18 000 000 12 000 000 30 000 000 72 000 000 24 000 000 60 000 000
Penggunaan Lahan Komersil
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Ruko/toko
jenis
ruko_1 Ruko ruko_2 Ruko ruko_3 Ruko ruko_4 Ruko ruko_5 Ruko ruko_6 Ruko ruko_7 Ruko ruko_8 Ruko ruko_9 Ruko ruko_10 Ruko ruko_11 Ruko ruko_12 Ruko ruko_13 Ruko ruko_14 Ruko ruko_15 Ruko ruko_16 Ruko ruko_17 Ruko ruko_18 Ruko ruko_19 Ruko ruko_20 Ruko ruko_21 Ruko ruko_22 Ruko ruko_23 Ruko ruko_24 Ruko ruko_25 Ruko ruko_26 Ruko ruko_27 Ruko ruko_28 Ruko ruko_29 Ruko ruko_30 Ruko Jumlah
Nilai sewa/tahun (Rp) 20 000 000 20 000 000 25 000 000 20 000 000 70 000 000 25 000 000 75 000 000 65 000 000 90 000 000 40 000 000 80 000 000 20 500 000 60 000 000 60 000 000 25 000 000 40 000 000 60 000 000 20 000 000 20 000 000 40 000 000 60 000 000 60 000 000 20 000 000 45 000 000 20 000 000 25 000 000 30 000 000 40 000 000 25 000 000 25 000 000 1 225 500 000
Kondisi bangunan luas jml tipe (m2) lantai permanen 44 2 permanen 50 2 permanen 44 2 permanen 70 2 permanen 84 2 permanen 50 2 permanen 108 2 permanen 117 2 permanen 120 2 permanen 60 2 permanen 180 2 permanen 50 2 permanen 84 2 permanen 50 3 permanen 72 2 permanen 56 2 permanen 84 3 permanen 55 2 permanen 50 2 permanen 50 3 permanen 50 3 permanen 50 2 permanen 60 2 permanen 75 2 permanen 120 2 permanen 90 2 permanen 60 2 permanen 120 2 permanen 70 2 permanen 60 2 2 233
Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Publik No
Pedagang
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Pedagang_1 Pedagang_2 Pedagang_3 Pedagang_4 Pedagang_5 Pedagang_6 Pedagang_7 Pedagang_8 Pedagang_9 Pedagang_10 Pedagang_11 Pedagang_12 Pedagang_13 Pedagang_14 Pedagang_15 Pedagang_16 Pedagang_17 Pedagang_18 Pedagang_19 Pedagang_20 Pedagang_21 Pedagang_22 Pedagang_23
Jenis Jualan
Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman
Biaya input
perdapatan kotor
pendapatan bersih
perbulan
pertahun
perbulan
pertahun
perbulan
3 570 000 3 366 000 3 468 000 3 825 000 3 825 000 3 570 000 3 570 000 3 366 000 3 366 000 3 774 000 3 468 000 3 570 000 3 060 000 2 856 000 3 060 000 2 856 000 2 754 000 3 060 000 4 080 000 3 876 000 3 060 000 4 182 000 3 060 000
42 840 000 40 392 000 41 616 000 45 900 000 45 900 000 42 840 000 42 840 000 40 392 000 40 392 000 45 288 000 41 616 000 42 840 000 36 720 000 34 272 000 36 720 000 34 272 000 33 048 000 36 720 000 48 960 000 46 512 000 36 720 000 50 184 000 36 720 000
10 500 000 9 900 000 10 200 000 11 250 000 11 250 000 10 500 000 10 500 000 9 900 000 9 900 000 11 100 000 10 200 000 10 500 000 9 000 000 8 400 000 9 000 000 8 400 000 8 100 000 9 000 000 12 000 000 11 400 000 9 000 000 12 300 000 9 000 000
126 000 000 118 800 000 122 400 000 135 000 000 135 000 000 126 000 000 126 000 000 118 800 000 118 800 000 133 200 000 122 400 000 126 000 000 108 000 000 100 800 000 108 000 000 100 800 000 97 200 000 108 000 000 144 000 000 136 800 000 108 000 000 147 600 000 108 000 000
6 930 000 6 534 000 6 732 000 7 425 000 7 425 000 6 930 000 6 930 000 6 534 000 6 534 000 7 326 000 6 732 000 6 930 000 5 940 000 5 544 000 5 940 000 5 544 000 5 346 000 5 940 000 7 920 000 7 524 000 5 940 000 8 118 000 5 940 000
pertahun
83 160 000 78 408 000 80 784 000 89 100 000 89 100 000 83 160 000 83 160 000 78 408 000 78 408 000 87 912 000 80 784 000 83 160 000 71 280 000 66 528 000 71 280 000 66 528 000 64 152 000 71 280 000 95 040 000 90 288 000 71 280 000 97 416 000 71 280 000
96
No
Pedagang
Jenis Jualan
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Pedagang_24 Pedagang_25 Pedagang_26 Pedagang_27 Pedagang_28 Pedagang_29 Pedagang_30 Pedagang_31 Pedagang_32 Pedagang_33 Pedagang_34 Pedagang_35 Pedagang_36 Pedagang_37 Pedagang_38
39
Pedagang_39
40
Pedagang_40
41
Pedagang_41
42
Pedagang_42
43
Pedagang_43
44
Pedagang_44
Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Gorengan dan minuman Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gado-
Biaya input
perdapatan kotor
pendapatan bersih
perbulan
pertahun
perbulan
pertahun
perbulan
pertahun
3 774 000 3 774 000 3 672 000 3 672 000 2 550 000 2 550 000 3 570 000 3 570 000 2 550 000 3 264 000 3 774 000 2 958 000 3 162 000 3 060 000 3 672 000
45 288 000 45 288 000 44 064 000 44 064 000 30 600 000 30 600 000 42 840 000 42 840 000 30 600 000 39 168 000 45 288 000 35 496 000 37 944 000 36 720 000 44 064 000
11 100 000 11 100 000 10 800 000 10 800 000 7 500 000 7 500 000 10 500 000 10 500 000 7 500 000 9 600 000 11 100 000 8 700 000 9 300 000 9 000 000 10 800 000
133 200 000 133 200 000 129 600 000 129 600 000 90 000 000 90 000 000 126 000 000 126 000 000 90 000 000 115 200 000 133 200 000 104 400 000 111 600 000 108 000 000 129 600 000
7 326 000 7 326 000 7 128 000 7 128 000 4 950 000 4 950 000 6 930 000 6 930 000 4 950 000 6 336 000 7 326 000 5 742 000 6 138 000 5 940 000 7 128 000
87 912 000 87 912 000 85 536 000 85 536 000 59 400 000 59 400 000 83 160 000 83 160 000 59 400 000 76 032 000 87 912 000 68 904 000 73 656 000 71 280 000 85 536 000
7 200 000
86 400 000
18 000 000
216 000 000
10 800 000
129 600 000
8 400 000
100 800 000
21 000 000
252 000 000
12 600 000
151 200 000
9 360 000
112 320 000
23 400 000
280 800 000
14 040 000
168 480 000
7 680 000
92 160 000
19 200 000
230 400 000
11 520 000
138 240 000
9 600 000
115 200 000
24 000 000
288 000 000
14 400 000
172 800 000
9 360 000
112 320 000
23 400 000
280 800 000
14 040 000
168 480,000
97
No
Pedagang
45
Pedagang_45
46
Pedagang_46
47
Pedagang_47
48
Pedagang_48
49
Pedagang_49
50
Pedagang_50
51
Pedagang_51
52
Pedagang_52
53
Pedagang_53
54
Pedagang_54
55
Pedagang_55
56
Pedagang_56
57
Pedagang_57
Jenis Jualan
gado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll)
Biaya input perbulan
pertahun
perdapatan kotor perbulan
pertahun
pendapatan bersih perbulan
pertahun
10 320 000
123 840 000
25 800 000
309 600 000
15 480 000
185 760 000
10 800 000
129 600 000
27 000 000
324 000 000
16 200 000
194 400 000
10 320 000
123 840 000
25 800 000
309 600 000
15 480 000
185 760 000
8 880 000
106 560 000
22 200 000
266 400 000
13 320 000
159 840 000
8 640 000
103 680 000
21 600 000
259 200 000
12 960 000
155 520 000
10 800 000
129 600 000
27 000 000
324 000 000
16 200 000
194 400 000
11 520 000
138 240 000
28 800 000
345 600 000
17 280 000
207 360 000
7 200 000
86 400 000
18 000 000
216 000 000
10 800 000
129 600 000
10 800 000
129 600 000
27 000 000
324 000 000
16 200 000
194 400 000
12 000 000
144 000 000
30 000 000
360 000 000
18 000 000
216 000 000
10 560 000
126 720 000
26 400 000
316 800 000
15 840 000
190 080 000
11 040 000
132 480 000
27 600 000
331 200 000
16 560 000
198 720 000
10 080 000
120 960 000
25 200 000
302 400 000
15 120 000
181 440 000
98
No
Pedagang
58
Pedagang_58
59
Pedagang_59
60
Pedagang_60
61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80
Pedagang_61 Pedagang_62 Pedagang_63 Pedagang_64 Pedagang_65 Pedagang_66 Pedagang_67 Pedagang_68 Pedagang_69 Pedagang_70 Pedagang_71 Pedagang_72 Pedagang_73 Pedagang_74 Pedagang_75 Pedagang_76 Pedagang_77 Pedagang_78 Pedagang_79 Pedagang_80
Jenis Jualan
Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) Makanan (Bakso,sate,gadogado,dll) elektronik dan musik elektronik dan musik elektronik dan musik elektronik dan musik elektronik dan musik elektronik dan musik elektronik dan musik Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris
Biaya input perbulan
pertahun
perdapatan kotor perbulan
pertahun
pendapatan bersih perbulan
pertahun
9 840 000
118 080 000
24 600 000
295 200 000
14 760,000
177 120 000
10 560 000
126 720 000
26 400 000
316 800 000
15 840,000
190 080 000
10 080 000
120 960 000
25 200 000
302 400 000
15 120,000
181 440 000
3 825 000 3 468 000 4 080 000 3 264 000 3 825 000 3 570 000 3 825 000 3 570 000 3 570 000 3 570 000 4 080 000 3 825 000 2 040 000 3 825 000 3 468 000 2 550 000 2 550 000 4 080 000 3 264 000 3 162 000
45 900 000 41 616 000 48 960 000 39 168 000 45 900 000 42 840 000 45 900 000 42 840 000 42 840 000 42 840 000 48 960 000 45 900 000 24 480 000 45 900 000 41 616 000 30 600 000 30 600 000 48 960 000 39 168 000 37 944 000
11 250 000 10 200 000 12 000 000 9 600 000 11 250 000 10 500 000 11 250 000 10 500 000 10 500 000 10 500 000 12 000 000 11 250 000 6 000 000 11 250 000 10 200 000 7 500 000 7 500 000 12 000 000 9 600 000 9 300 000
135 000 000 122 400 000 144 000 000 115 200 000 135 000 000 126 000 000 135 000 000 126 000 000 126 000 000 126 000 000 144 000 000 135 000 000 72 000 000 135 000 000 122 400 000 90 000 000 90 000 000 144 000 000 115 200 000 111 600 000
7 425,000 6 732,000 7 920,000 6 336,000 7 425,000 6 930,000 7 425,000 6 930,000 6 930,000 6 930,000 7 920,000 7 425,000 3 960,000 7 425,000 6 732,000 4 950,000 4 950,000 7 920,000 6 336,000 6 138,000
89 100 000 80 784 000 95 040 000 76 032 000 89 100 000 83 160 000 89 100 000 83 160 000 83 160 000 83 160 000 95 040 000 89 100 000 47 520 000 89 100 000 80 784 000 59 400 000 59 400 000 95 040 000 76 032 000 73 656, 000
99
No
Pedagang
81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106
Pedagang_81 Pedagang_82 Pedagang_83 Pedagang_84 Pedagang_85 Pedagang_86 Pedagang_87 Pedagang_88 Pedagang_89 Pedagang_90 Pedagang_91 Pedagang_92 Pedagang_93 Pedagang_94 Pedagang_95 Pedagang_96 Pedagang_97 Pedagang_98 Pedagang_99 Pedagang_100 Pedagang_101 Pedagang_102 Pedagang_103 Pedagang_104 Pedagang_105 Pedagang_106
Jenis Jualan
Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris Aksesoris mainan anak-anak mainan anak-anak mainan anak-anak mainan anak-anak mainan anak-anak mainan anak-anak mainan anak-anak mainan anak-anak mainan anak-anak mainan anak-anak
Biaya input
perdapatan kotor
pendapatan bersih
perbulan
pertahun
perbulan
pertahun
perbulan
pertahun
2 958 000 3 570 000 2 856 000 3 825 000 2 550 000 2 550 000 4 080 000 3 570 000 3 825 000 2 550 000 3 570 000 3 570 000 3 825 000 3 825 000 4 080 000 4 590 000 3 060 000 2 550 000 2 244 000 2 856 000 3 060 000 2 754 000 2 040 000 2 142 000 2 550 000 2 346 000
35 496 000 42 840 000 34 272 000 45 900 000 30 600 000 30 600 000 48 960 000 42 840 000 45 900 000 30 600 000 42 840 000 42 840 000 45 900 000 45 900 000 48 960 000 55 080 000 36 720 000 30 600 000 26 928 000 34 272 000 36 720 000 33 048 000 24 480 000 25 704 000 30 600 000 28 152 000
8 700 000 10 500 000 8 400 000 11 250 000 7 500 000 7 500 000 12 000 000 10 500 000 11 250 000 7 500 000 10 500 000 10 500 000 11 250 000 11 250 000 12 000 000 13 500 000 9 000 000 7 500 000 6 600 000 8 400 000 9 000 000 8 100 000 6 000 000 6 300 000 7 500 000 6 900 000
104400 000 126 000 000 100 800 000 135 000 000 90 000 000 90 000 000 144 000 000 126 000 000 135 000 000 90 000 000 126 000 000 126 000 000 135 000 000 135 000 000 144 000 000 162 000 000 108 000 000 90 000 000 79 200 000 100 800 000 108 000 000 97 200 000 72 000 000 75 600 000 90 000 000 82 800 000
5 742 000 6 930 000 5 544 000 7 425 000 4 950 000 4 950 000 7 920 000 6 930 000 7 425 000 4 950 000 6 930 000 6 930 000 7 425 000 7 425 000 7 920 000 8 910 000 5 940 000 4 950 000 4 356 000 5 544 000 5 940 000 5 346 000 3 960 000 4 158 000 4 950 000 4 554 000
68 904 000 83 160 000 66 528 000 89 100 000 59 400 000 59 400 000 95 040 000 83 160 000 89 100 000 59 400 000 83 160 000 83 160 000 89 100 000 89 100 000 95 040 000 106 920 000 71 280 000 59 400 000 52 272 000 66 528 000 71 280 000 64 152 000 47 520 000 49 896 000 59 400 000 54 648 000
100
No
Pedagang
107 108 109 110
Pedagang_107 Pedagang_108 Pedagang_109 Pedagang_110 Jumlah
Jenis Jualan
mainan anak-anak mainan anak-anak mainan anak-anak mainan anak-anak
Biaya input perbulan
pertahun
perdapatan kotor perbulan
pertahun
pendapatan bersih perbulan
pertahun
2 448 000 29 376 000 7 200 000 86 400 000 4 752 000 57 024 000 2 346 000 28 152 000 6 900 000 82 800 000 4 554 000 54 648 000 3 060 000 36 720 000 9 000 000 108 000 000 5 940 000 71 280 000 2 754 000 33 048 000 8 100 000 97 200 000 5 346 000 64 152 000 504 669 000 6 056 028 000 1 389 450 000 16 673 400 000 884 781 000 10 617 372 000
101
Penggunaan Lahan Pelabuhan dan Bandar Udara Nilai Ekonomi Pengiriman Barang di Pelabuhan Jumlah total Biaya pengiriman pengiriman No Jenis Pelayaran rata-rata Jumlah (Rp) persatuan (Rp) ton m3 1 Umum 270 000 116 921 644 31 742 550 000 2 Rakyat 300 000 40 044 1 386 12 429 000 000 4 Perintis 350 000 706 247 100 000 Total 44 418 650 000 Nilai Ekonomi Penumpang Pelabuhan Nama Biaya rataJumlah No Pelabuhan rata tiket kapal 1 Murhum 935 000 2 905 2 Jembatan Batu 15 000 2 046 3 Penyeberangan 10 000 3 055 Jumlah
Jumlah Nilai total penumpang ekonomi 334 899 313 130 565 000 15 929 238 935 000 142 793 1 427 930 000 314 797 430 000
Nilai Ekonomi Penumpang dan Barang Bandara Udara Jenis Biaya rata-rata Jumlah Jumlah No muatan persatuan penerbangan muatan 1 orang 1 025 000 1 471 56 773 2 barang (kg) 36 000 1 471 3 833 Jumlah
Nilai ekonomi 58 192 325 000 137 988 000 58 330 313 000
Penggunaan Lahan Pusat Pendidikan, Bangunan Pemerintah, Tempat Ibadah dan Jalan Nilai rata-rata No Penggunaan lahan Luas (ha) ekonomi lahan Nilai ekonomi lahan per m2 1 Pusat pendidikan 35.85 2 617 506 938 381 124 403 Bangunan 2 48.53 2 617 506 1 270 291 351 121 pemerintah 3 Tempat ibadah 6.12 1 306 122 79 907 265 306 4 Jalan 209.44 355 740 745 047 912 233 Total 3 033 627 653 064
102
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bataraguru, Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 6 Januari 1982. Penulis merupakan anak ke 2 dari 11 orang bersaudara dari pasangan Bapak Drs. H. Faimuddin dengan Ibu Hj. Nursia. Menyelesaikan pendidikan sarjana strata 1 di Jurusan Budidaya Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar pada tahun 2009. Setelah itu mengabdikan diri sebagai dosen luar biasa di Universitas Dayanu Ikhsanuddin hingga tahun 2012. Bersamaan dengan itu, aktif pula dalam dunia kepenulisan pada lembaga penerbitan lokal untuk menerbitkan buku-buku sejarah dan kebudayaan lokal. Tahun 2011 penulis menikahi Fira Diah Setiawaty dan telah dikaruniai seorang putri. Tahun 2012 tanpa sponsor penulis terdaftar sebagai mahasiswa pasca sarjana di Institut Pertanian Bogor dengan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sembari menjalani perkuliahan, penulis menjadi asisten peneliti pada Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Institut Pertanian Bogor (PSP3-IPB).