i
ANALISIS DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN DI KABUPATEN SUBANG (Studi Kasus: Desa Belendung, Kecamatan Cibogo)
RIFAL LAKSMANA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER DATA INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini Penulis menyatakan bahwa skripsi Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Kemandirian Pangan di Kabupaten Subang (Studi Kasus: Desa Belendung, Kecamatan Cibogo) adalah karya penulis dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini penulis melimpahkan hak cipta dan karya tulis kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Rifal Laksmana NIM. H44100011
v
ABSTRAK
RIFAL LAKSMANA. Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Kemandirian Pangan di Kabupaten Subang (Studi Kasus: Desa Belendung, Kecamatan Cibogo). Dibimbing oleh RIZAL BAHTIAR. Peningkatan jumlah penduduk dan pembangunan sektor perekonomian di Indonesia khususnya di bidang industri menyebabkan meningkatnya permintaan kebutuhan akan lahan. Sedangkan persediaan lahan kering tidak mampu memenuhi permintaan. Hal ini mempengaruhi menurunnya luas lahan pertanian, khususnya lahan sawah yang dialih fungsikan untuk pembangunan perumahan rakyat dan perindustrian. Perubahan laju alih fungsi lahan di Kabupaten Subang bersifat fluktuatif dari tahun ketahun. Pada tahun 2003 – 2012 total laju alih fungsi lahan sebesar -0,57 persen atau dengan rata-rata per tahun -0,057. Pada skala makro, faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Subang yaitu jumlah perumahan rakyat dan jumlah industri. Pada skala mikro atau di tingkat petani, faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Subang yaitu luas lahan dan pendapatan dari usaha tani. Selain itu, harga lahan sangat berpengaruh signifikan kepada keputusan petani untuk mengalihfungsikan lahannya. Alih fungsi lahan menyebabkan terjadinya penurunan rata-rata pendapatan petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan yaitu sebesar Rp 1.090.762/bulan. Selain pendapatan, alih fungsi lahan mengakibatkan adanya produksi gabah kering yang hilang yaitu sebesar 231.241 ton atau sebesar Rp 1.017.460.400.000. Hasil simulasi kemandirian pangan di Kabupaten Subang dengan asumsi produktivitas padi dan konsumsi beras per kapita tetap, produksi beras Kabupaten Subang tidak dapat memenuhi kebutuhan berasnya pada tahun 2100 dengan kekurangan beras sebesar 2.773 ton. Implikasi kebijakan untuk mengatasi alih fungsi lahan sawah dapat dilakukan dari aspek baik sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Kata Kunci:
Alih Fungsi Lahan, Kabupaten Subang, Kemandirian Pangan, Pendapatan Petani, Produksi Gabah.
ABSTRACT RIFAL LAKSMANA. Analysis of Agricultural Land Conversion Impact on Food Reliance in Subang District. (Case Study in Belendung Village, Cibogo). Superviced by RIZAL BAHTIAR. Increasing of population and economy growth in Indonesia, particularly in industrial sector, leads to the demand increasing of land. Whereas the land supply is not able to fulfill the demand. This caused the problem of decreasing in agricultural land, especially rice field which converted for public housing and industrial development. There was a fluctuative rate of land conversion in Subang district. In the periode of 2003-2012 the total rate of conversion was -0,57 percent or the average rate of conversion was -0,057 percent. There are the factors that affected land conversion on macro scale in Subang district such as public housing and number of industry. There are the factors that affected land convertion on micro scale in Subang district such as land area and farm revenue. Besides that, land price was significant affected of farmer decisions for selling or converting them land. Farmers total revenue have been decreased as to be as Rp 1.090.762/month. Besides farmer revenue, occurring of land conversion decreased rice production. Rice production lost by 231.241 ton or Rp 1.107.460.400.000. The simulation result of food reliance with assumption productivity and consumption rate are constant showed that rice production in Subang district can’t supply their needs on 2100 with the number of short coming is 2.773 ton. There was various aspect of policy implication which could overcome land conversion such as social aspects, economy aspects, and environmental aspects. Keywords: Farmers’s Revenue, Food Reliance, Land Conversion, Rice Production, Subang District.
vii
ANALISIS DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN DI KABUPATEN SUBANG (Studi Kasus: Desa Belendung, Kecamatan Cibogo)
RIFAL LAKSMANA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema penelitian yang dilaksanakan semenjak Juli 2014 sampai September 2014 adalah alih fungsi lahan dengan judul “Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Kemandirian Pangan di Kabupaten Subang (Studi Kasus: Desa Belendung, Kecamatan Cibogo). Terima kasih penulis ucapkan kepada orang tua penulis tercinta, Bapak Muhammad Arifai dan Ibu Hanifah, kedua kakak tersayang Ifan Riyadi dan Innana Sari yang selalu memberikan dia dan dukungannya. Terima kasih juga kepada Bapak Rizal Bahtiar S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing. Saya ucapkan terima kasih juga kepada Bapak Kepala Desa dan Sekretaris Desa Belendung, serta Keluarga dari Hasan Nasrullah yang telah membantu penulis selama pengumpulan data. Terima kasih juga kepada teman teman satu bimbingan Devi, Putri E, Suci, Summayah, Putri R, Try, Yaris, Adi, dan Javid yang banyak memberikan masukan dan bantuan kepada penulis, sahabat penulis Fauziah, Rizqi, Erlangga, Aldesta, Yunus, Asa, Delly, Nita, Dhea, Donna, Insan, Melinda, Amalia Retna, Amalia Emmanulisa, Gita, Rizaldi, Aldi, Dwi Widya atas motivasi, semangat, dan bantuannya dalam penyusunan skripsi, serta seluruh teman-teman ESL 47 dan Ikatan Mahasiswa Bumi Sriwijaya atas kebersamaannya.
Bogor,
Mei 2015
Rifal Laksmana
DAFTAR ISI Halaman I
II
III
PENDAHULUAN .............................................................................
1
1.1
Latar belakang ........................................................................
1
1.2
Perumusan Masalah ................................................................
5
1.3
Tujuan .....................................................................................
6
1.4
Manfaat Penelitian ..................................................................
6
1.5
Ruang Lingkup Penelitian ......................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
9
2.1
Lahan Pertanian ......................................................................
9
2.2
Alih Fungsi Lahan Pertanian ..................................................
10
2.3
Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan .............................
11
2.4
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan .......... 12
2.5
Dampak Alih Fungsi Lahan .................................................... 14
2.6
Harga Lahan ...........................................................................
2.7
Kemandirian Pangan ............................................................... 16
2.8
Konsepsi Pembangunan Kemandirian Pangan .......................
17
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................
23
3.1
Kerangka Teoritis ...................................................................
23
3.1.1 Penyebab Alih Fungsi Lahan Secara Sistematis ............
23
3.1.2 Penyebab Alih Fungsi Lahan Secara Sporadis ...............
24
Kerangka Operasional ............................................................
25
METODE PENELITIAN ................................................................
29
4.1
Lokasi dan Waktu ...................................................................
29
4.2
Jenis dan Sumber Data ...........................................................
29
4.3
Metode Pengambilan Contoh .................................................
30
4.4
Metode Analisis Data .............................................................
30
4.4.1
31
3.2 IV
Analisis Deskriptif ......................................................
16
V
4.4.2
Analisis Laju Alih Fungsi Lahan ................................ 32
4.4.3
Analisis Regresi Linear Berganda ..............................
32
4.4.4
Analisis Regresi Logistik ...........................................
37
4.4.5
Metode Korelasi Pearson ............................................ 40
4.4.6
Analisis Estimasi Dampak Produksi ..........................
42
4.4.7
Analisis Terhadap Dampak Pendapatan Petani ..........
43
GAMBARAN UMUM ......................................................................
45
5.1
Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Subang .....................
45
5.2
Gambaran Wilayah Kecamatan Cibogo .................................
47
5.2.1 Gambaran Umum Desa Belendung ............................
49
Karakteristik Umum Responden ............................................
49
5.3.1
Tingkat Usia ...............................................................
50
5.3.2
Tingkat Pendidikan ..................................................... 50
5.3.3
Luas Lahan Sawah ...................................................... 51
5.3.4
Jumlah Tanggungan .................................................... 52
5.3
VI
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 53 6.1
Laju alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Subang .......
53
6.2
Faktor Makro yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Kabupaten Subang .................................................................
55
6.3
Faktor Mikro yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Ditingkat Petani ..................................................................... 58
6.4
Keterkaitan Harga LAhan Terhadap Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian ................................................................................. 61
6.5
Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani ....
62
6.6
Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi Padi Kabupaten Subang .................................................................
64
6.7
Perkiraan Perubahan Luas Lahan Sawah dan Dampak Terhadap Kemandirian Pangan Kabupaten Subang ............... 65
6.8
Implikasi Kebijakan ................................................................ 68
iii
VII
SIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
73
7.1
Simpulan .................................................................................
73
7.2
Saran .....................................................................................
74
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
75
LAMPIRAN ......................................................................................
79
RIWAYAT HIDUP .........................................................................
87
DAFTAR TABEL Halaman 1
Luas Lahan Pertanian, Data Produksi Beras dan Impor Beras Indonesia Tahun 2011 – 2013 ............................................................. 2
2
Nilai PDB Indonesia pada Tahun 2011 - 2013 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku .......................................................
3
3
Tabel Luas Panen Tanaman Padi Provinsi Jawa Barat 2010 – 2012 .. 4
4
Matriks Metode Analisis Data ............................................................
31
5
Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Subang Tahun 2012 ...........
46
6
Penggunaan Lahan di Kabupaten Subang Tahun 2012 ......................
47
7
Luas Desa di Kecamatan Cibogo Tahun 2012 ...................................
48
8
Luas dan Penggunaan Lahan di Kecamatan Cibogo Tahun 2012 ......
48
9
Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Cibogo Tahun 2012 ........... 49
10
Mata Pencaharian Penduduk Desa Belendung ...................................
49
11
Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Subang Tahun 2003 – 2012 .............................................................................
54
Hasil Estimasi Faktor - Faktor Makro yang Mempengaruhi Perubahan Luas Lahan Kabupaten Subang ........................................
56
12 13
Hasil Estimasi Faktor - Faktor Mikro yang Mempengaruhi Petani dalam Mengalihfungsikan Lahannya .................................................. 59
14
Hasil Estimasi Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Alih Fungsi Lahan ..................................................................................................
15
61
Rata - rata Perubahan Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Alih Fungsi Lahan Pertanian Ke Non Pertanian ......................................... 63
16
17
Dampak Terhadap Produksi Gabah dan Nilai Produksi Gabah Akibat Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Subang Tahun 2003 - 2012 ..................................................................................................
64
Perkiraan Perubahan Luas Lahan dan Dampak Terhadap Kemandirian Pangan di Kabupaten Subang dengan Konsumsi Beras Perkapita Teta ...........................................................................
66
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Diagram Kerangka Pemikiran Operasional ........................................
2
Tingkat Usia Responden .................................................................... 50
3
Tingkat Pendidikan Responden ..........................................................
4
Luas Lahan Sawah .............................................................................. 51
5
Jumlah Tanggungan ............................................................................ 52
6
Luas Lahan Sawah .............................................................................. 53
27
50
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta Kabupaten Subang ......................................................................
81
2
Penurunan Luas Lahan Sawah di Kabupaten Subang ........................
82
3
Data Jumlah Penduduk Kab. Subang Tahun 2003-2012 ....................
82
4
Data Tingkat Wilayah yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan ........ 82
5
Hasil Regresi Linear Berganda ........................................................... 83
6
Hasil Regresi Logistik ........................................................................
85
7
Dokumentasi Penelitian ......................................................................
86
v
1
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar belakang Sumberdaya lahan (tanah dan iklim) merupakan salah satu faktor yang
sangat menentukan keberhasilan suatu sistem usaha pertanian, karena hampir semua usaha pertanian berbasis pada sumberdaya lahan. Dengan demikian, penguasaan informasi dan pengelolaan sumberdaya lahan merupakan suatu hal yang sangat penting dan menentukan bagi keberhaslian pembangunan pertanian dalam mendukung pecapaian ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan para petani (Suryana 2005). Lahan
merupakan
bagian
sumberdaya
alam
paling
penting
bagi
pembangunan. Semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi. Peningkatan
aktivitas
pembangunan
dan
pertambahan
penduduk
akan
meningkatkan kebutuhan akan lahan, sementara ketersediaan dan luas lahan pada dasarnya tidak berubah. Walaupun kriteria lahan yang diperlukan untuk setiap sektor berbeda, namun pada kenyataannya masih sering terjadi benturan kepentingan dan alih fungsi lahan (Utomo 1992). Pada sektor pertanian, lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting. Hal ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kegiatan pertanian di Indonesia bertumpu pada lahan. Penggunaan dan hasil produksi suatu lahan pertanian akan berpengaruh terhadap ketahan pangan. Menurut UU Nomor 18 Tahun 2012, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Salah satu cara Indonesia meningkatkan kemandirian pangan yaitu dengan meningkatkan produksi bahan pangan dalam negeri khususnya beras. Peningkatan jumlah penduduk berbanding lurus dengan peningkatan permintaan terhadap beras, namun jumlah pertambahan produksi dan produktivitas cenderung lebih
2
kecil sehingga belum mampu menutupi permintaan beras. Oleh karena itu upaya meningkatkan produksi dan produktivitas beras masih relevan untuk mengatasi permintaan dan impor beras yang tinggi di Indonesia, serta untuk menjaga dan meningkatkan ketahanan pangan. Data mengenai luas lahan, produksi, produktivitas dan impor beras di Indonesia bisa dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Lahan Pertanian Padi, Data Produksi Padi dan Impor Beras Indonesia Tahun 2011-2013 Tahun
Luas Lahan Padi (Ha)
Produktivitas Padi (Ha)
2011 13.203.643 2012 13.445.524 2013 13.837.213 Sumber: Badan Pusat Statistik 2014
49.80 51.36 51.52
Produksi Padi (Ton) 65.756.904 69.056.126 71.291.494
Impor Beras (Ton) 2.750.000 1.810.372 353.485
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada tahun 2011 luas lahan pertanain padi adalah sebesar 13.303.643 Ha dapat memproduksi beras sebanyak 65.756.904 ton dengan jumlah impor beras 2.750.000 ton. Pada tahun 2012 dengan luas lahan 13.445.534 Ha dapat memproduksi beras sebanyak 69.056.126 ton dengan jumlah impor beras sebanyak 1.810.372 ton, sedangkan pada tahun 2013 dengan luas lahan 13.837.213 Ha dapat memproduksi beras sebanyak 71.291494 Ha dengan impor sebanyak 353.485. Hal ini membuktikan bahwa produksi beras di Indonesia dari tahun 2011-2013 meningkat yaitu sebesar 5.534.590 ton impor beras menurun yaitu sebesar 1.293.113 ton. Pembangunan di Indonesia lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi sehingga sektor yang memegang pengaruh paling besar akan maju dengan pesat. Sektor industri pengolahan merupakan sektor yang memiliki pengaruh besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan salah satu indikator yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi. Pesatnya perkembangan industri berdampak pada peningkatan permintaan lahan untuk sektor tersebut (Yudhistira 2013). Permintaan lahan untuk sektor industri pengolahan dapat menurunkan penggunaan lahan untuk sektor lain, salah satunya di sektor pertanian karena sektor-sektor industri pengolahan memberi tambahan nilai PDB yang cukup tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian secara luas di Indonesia. Data mengenai nilai PDB indonesia dapat dilihat di Tabel 2.
3
Tabel 2. Nilai PDB Indonesia pada tahun 2011-2013 menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku dalam juta rupiah Lapangan Usaha 2011 2012 2013 Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan 1.091,4 1.193,4 1.311,0 Pertambangan dan penggalian 876,9 970,8 1.020,7 Industri pengolahan 1.806,1 1.972,5 2.152,5 Listrik, gas dan air bersih 55,8 62,2 70,0 Konstruksi 753,5 844,0 907,2 Perdagangan, hotel dan restoran 1.023,7 1.148,6 1.301,5 Pengangkutan dan komunikasi 491,2 549,1 636,8 Keuangan, real estate dan jasa perusahaan 535,1 598,5 683,0 Jasa-jasa 785,0 889,9 1.000,8 Produk Domestik Bruto (PDB) 7.419,1 8.229,4 9.083,9 PDB Tanpa Migas 6.795,8 7.588,3 8.416,0 Sumber: Badan Pusat Statistik 2014
Tabel 2 menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) yang dihasilkan oleh sektor petanian secara luas yaitu pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan pada tahun 2011-2013 terus meningkat namun dapat dilihat juga bahwa PDB yang dihasilkan dari sektor industri pengolahan jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan dengan penambahan PDB pada sektor industri dan pengolahan lebih besar dibandingkan penambahan dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan Salah satu penyebab PDB yang dihasilkan oleh sektor pertanian lebih kecil dari sektor industri pengolahan adalah masalah pada penggunaan lahan yaitu adanya alih fungsi lahan dari pertanian menjadi non pertanian. Alih fungsi lahan merupakan salah satu masalah yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, khususnya Jawa Barat. Menurunnya luas lahan panen tanaman padi dari waktu ke waktu yang salah satunya disebabkan oleh alih fungsi lahan. Data mengenai lahan panen tanaman padi di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tabel luas panen- tanaman padi Provinsi Jawa Barat tahun 2010-2012 Jenis Tanamanan Padi Padi Padi Sumber: Badan Pusat Statistik 2014
Tahun 2010 2011 2012
Area Luas Panen (Ha) 2.037.657 1.964.466 1.918.799
4
Tabel 3 menunjukkan bahwa luas panen tanaman padi di Jawa Barat pada tahun 2010-2012 terus menurun yaitu sebesar 118.858 ha, dimana dari tahun 2010 ke tahun 2011 mengalami penurunan sebesar 73.191 ha dan dari tahun 2011 ke tahun 2012 kembali mengalami penurunan sebesar 45.667 ha. Kabupaten Subang merupakan salah satu lumbung padi di Jawa Barat. Kabupaten Subang merupakan kabupaten yang memiliki areal
lahan sawah
terluas ketiga di Jawa Barat setelah Indramayu dan Karawang, sekaligus merupakan penyumbang/kontributor produksi padi terbesar ketiga di Jawa Barat. Luas lahan sawah pada tahun 2011 tercatat seluas 84.929 hektar atau sekitar 41,39 persen dari total luas wilayah Kabupaten Subang. Sementara jumlah produksi padi sawah dan padi ladang di Kabupaten Subang pada tahun 2011 yaitu 1.184.010 ton. (PEMKAB Subang 2013). Berdasarkan angka sementara hasil pencacahan lengkap sensus pertanian 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Subang mengalami penurunan sebanyak 81.282 rumah tangga dari 293.313 rumah tangga menjadi 158.031 rumah tangga pada tahun 2013, yang berarti menurun sebesar 4,06 persen per tahun. Penurunan terbesar terjadi di Kecamatan Ciasem dan penurunan terendah terjadi di Kecamatan Ciater, yaitu masing-masing sebesar 53,31 persen dan 4,99 persen selama sepuluh tahun. Penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Subang karena alih lapangan usaha pekerjaan dan alih fungsi lahan. Alih fungsi lapangan usaha pekerjaan dikarenakan ada lapangan usaha lain yang memberi imbalan lebih dibandingkan dengan lapangan usaha pertanian. Alih fungsi lahan terjadi dari lahan pertanian mejadi lahan nonpertanian. Apabila alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian di Kabupaten Subang meningkat, hal ini akan mengakibatkan menurunnya produksi dan produktivitas dari sektor pertanian, sedangkan di sisi lain Kabupaten Subang adalah kontributor padi ketiga terbesar di Jawa Barat. Penurunan ini akan berpengaruh pada ketersediaan pangan dan ketahanan pangan nasional. Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh alih fungsi lahan pertanian terhadap produktivitas padi yang akan mempengaruhi ketahanan pangan provinsi
5
Jawa Barat serta memberikan saran dan solusi kepada pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tepat. 1.2
Perumusan Masalah Alih fungsi lahan sudah sejak lama menjadi masalah, khususnya di Jawa
Barat. Sebagai provinsi dekat ibu kota negara, memang tidak dipungkiri bila areal sawah yang berubah fungsi di Jawa Barat terus meningkat setiap tahun. Alih fungsi lahan pertanian produktif di Jawa Barat, terutama lahan sawah, menjadi lahan non pertanian telah berlangsung dan sulit dihindari sebagai akibat pesatnya laju pembangunan antara lain digunakan untuk pemukiman, industri, sarana infrastruktur dan lainnya. Penurunan produksi padi di Jawa Barat yang menyediakan 17,84 persen produksi beras nasional terjadi akibat menurunnya lahan sawah karena alih fungsi lahan dan pelandaian tingkat produktivitas di daerah-daerah itensifikasi (Afandi 2009). Alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian di Kabupaten Subang bukan hanya mengurangi ketersediaan pangan yang disebabkan oleh menurunnya hasil produksi tetapi juga menghilangkan pendapatan petani dan usaha-usaha yang bergantung pada sektor pertanian. Alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah dapat memengaruhi produksi beras yang merupakan makanan pokok di Indonesia sehingga akan mempengaruhi ketersediaan pangan dan ketahanan pangan di Indonesia khususnya Jawa Barat. Kabupaten Subang memproduksi padi terbesar ketiga di Jawa Barat. Lahan yang telah dialihfungsikan harus diganti dengan lahan sawah yang baru sehingga produksi beras yang hilang dapat digantikan dan praktik alih fungsi lahan pertanian ke pemukiman atau industri pengolahan harus dihentikan. Hal ini harus dilakukan sedini mungkin oleh Pemerintah Kabupaten Subang. Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi dapat disebabkan karena adanya bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan jumlah pembangunan industri. Alih fungsi yang terjadi di lokasi penelitian ini yaitu di Desa Belendung Kecamatan Cibogo disebabkan oleh adanya pembangunan Industri di lahan pertanian teknis yang menyebabkan hilangnya pekerjaan dan pendapatan dari petani
6
Semakin tingginya tingkat alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah di Indonesia maka akan menurunkan produksi beras, hal ini akan meningkatkan jumlah impor beras untuk memenuhi permintaan beras di Indonesia. Jumlah impor yang semakin meningkat
akan merugikan petani
Indonesia, menurunkan pendapatan petani dan mengancam kemandirian pengan di Kabupaten subang. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diambil permasalahan dalam penelitian ini diantaranya: 1.
Bagaimana pola atau karakteristik alih fungsi lahan di Kabupaten Subang?
2.
Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi alih fungsi lahan di Kabupaten Subang?
3.
Bagaimana keterkaitan harga lahan terhadap laju alih fungsi lahan pertanian
4.
Bagaimana dampak alih fungsi lahan terhadap produksi gabah dan pendapatan petani serta pengaruhnya terhadap kemandirian pangan di Kabupaten Subang?
5.
Bagaimana implikasi kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas , untuk menjawab
permasalahan tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Menganalisis pola atau karakteristik alih fungsi lahan di Kabupaten Subang
2.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi alih fungsi lahan pertanian
3.
Menganalisis keterkaitan harga lahan terhadap laju alih fungsi lahan di Kabupaten Subang.
4.
Menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap produksi gabah dan pendapatan petani sehingga mempengaruhi kemandirian pangan.
5.
Menganalisis implikasi kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut.
7
1.4
Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian diatas, hasil penelitian diharapkan dapat
memberikan manfaat kepada: 1.
Peneliti, untuk dapat menjadi sarana dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan bidang ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan yang telah dipelajari selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.
2.
Pemerintah Daerah Kabupaten Subang dalam pengelolaan sektor pertanian dalam pengambilan kebijakan pembangunan sektoral dan tata ruang wilayah.
3.
Akademisi sebagai informasi, bahan tambahan dan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
4.
Petani padi dan masyarakat Kabupaten Subang dalam mengambil keputusan dalam alih fungsi lahan yang berpangaruh dalam sektor pertanian dan impor pangan khususnya beras di Indonesia.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang berjudul Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian
Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Subang (Studi Kasus: Desa Belendung, Kecamatan Cibogo) ini memiliki batasan-batasan penelitian yang jelas agar penelitian lebih terarah dan lebih fokus dalam melakukan penelitian. Adapun pembatasan dari penelitian ini adalah: 1.
Pola, karakteristik, laju dan faktor alih fungsi lahan dilakukan di Desa Belendung Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang. Alih fungsi lahan yang dianalisis berupa perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi fungsi lain yang tidak bisa diubah menjadi lahan pertanian kembali.
2.
Lahan pertanian yang dianalisis terbatas pada lahan sawah dan hasil produksinya berupa padi atau gabah.
3.
Faktor yang memengaruhi alih fungsi lahan dilihat dari faktor internal yang memengaruhi keputusan petani dan faktor eksternal di tingkat wilayah.
4.
Variabel-variabel yang diteliti pada penelitian ini berupa data harga lahan setiap meter, luasan lahan sawah, dan data konversi lahan berupa lahan sawah di Desa Belendung, Kecamatan Cibogo.
8
5.
Perhitungan pendapatan petani yang diperhitungkan dilihat dari perubahan pendapatan rumah tangga dari petani sebelum dan sesudah adanya kegiatan alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah.
6.
Dampak terhadap ketahanan pangan dilihat dari perbandingan produksi gabah sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan, juga simulasi perbandingan kebutuhan beras dan produksi beras pada tahun mendatang.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan Pertanian Sumberdaya lahan bagi bangsa Indonesia merupakan sumberdaya yang strategis untuk menunjang kehidupan dan meningkatkan kemakmuran, serta merupakan tumpuan hidup sebagian besar penduduk untuk melakukan kegiatan produktif, seperti kegiatan pertanian dalam arti luas (tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan), industri, pemukiman dan pariwisata. Selain sebagai modal dasar untuk memproduksi pangan, serat dan bahan-bahan lain untuk kehidupan (termasuk bahan obat-obatan), lahan juga berperan penting dalam menyangga lingkungan seperti mengendalikan siklus air dan menjaga keseimbangan komposisi udara di dalam atmosfer (Arsyad 2008). Lahan merupakan entitas tiga dimensi yang meliputi segala elemen fisik dan sosial ekonomi. Elemen fisik lahan memiliki karakteristik yang sangat bervariasi menurut sebarannya dalam suatu lanskap seperti litologi, kelembaban, kesuburan, topografi, kekuatan menyangga secara mekanis dan lain-lain. Elemenelemen fisik tersebut menentukan kualitas lahan, yang penilaiannya berbeda untuk jenis penggunaan yang berbeda, yang selanjutnya menentukan kondisi sosial ekonomi masyarakat pada kawasan tersebut. Sebagai contoh, untuk keperluan pengembangan pertanian, lahan dengan kualitas yang baik adalah yang dapat memberikan pertumbuhan dan produksi tanaman secara optimal meminimalisasi degradasi. Dalam contoh ini, keadaan sosial ekonomi masyarakat dapat mempengaruhi kinerja lahan atau dapat terjadi sebaliknya (Baja 2012). Lahan yang berkualitas dicirikan oleh kemampuan lahan dalam menghasilkan produk pertanian dan dapat mempertahankan lingkungan dari kerusakan. Kualitas lahan bergantung pada sifat-sifat tanahya dan proses-proses yang terjadi dalam tanah tersebut. Sifat-sifat tanah yang penting adalah : struktur tanah, kandungan bahan organik tanah, kemampuan tanah dalam menyediakan air serta unsur hara yang cukup seimbang bagi tanaman, aerasi, laju dan besarnya transformasi siklus unsur hara (Arsyad 2008). Menurut Irawan (2005) secara garis besar, manfaat lahan pertanian dapat dibagi atas dua kategori, yaitu : 1) use values atau nilai penggunaan yang dapat
10
pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari kegiatan eksploitasi kegiatan usaha tani yang dilakukan pada sumberdaya lahan pertanian. 2) non-use values yang dapat pula disebut dengan intrinsik values atau manfaat bawaan, yang termasuk kategori manfaat ini adalah berbagai manfaat yang tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik lahan. Salah satunya adalah terpeliharanya keragaman biologis atau keberadaan spesies tertentu, yang pada saat ini belum diketahui manfaatnya, tetapi di masa yang akan datang mungkin akan sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan manusia. 2.2
Alih Fungsi Lahan Pertanian Menurut Nasution (2004) dalam Sudaryanto et al. (2009) rata-rata tingkat
konversi lahan sawah irigasi diperkirakan sekitar 110 ribu hektar per tahun. Ini termasuk konversi lahan sawah ber irigasi untuk penggunaan non-pertanian dan tanaman selain padi. Di Jawa, lahan sawah irigasi dikonversi terutama untuk tujuan non-pertanian, yaitu 58,7 persen menuju area perumahan dan sisanya untuk industri, pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Di wilayah luar jawa, 16,1 persen lahan irigasi dikonversi ke komplek perumahan, 49 persen dikonversi ke pertanian lain dan sisanya untuk berbagai penggunaan. Selain itu, jika tidak ada kebijakan yang signifikan, kemudian berdasarkan perencanaan tata ruang saat ini, sekitar 42 persen dari total lahan irigasi akan dikonversi untuk penggunaan sektor nonpertanian. Alih fungsi lahan pada dasarnya adalah proses yang tidak dapat dicegah. Hal penting dalam proses alih fungsi lahan adalah pengendalian, perencanaan dan pengawasannya. Alih fungsi lahan yang harus dicegah adalah alih fungsi lahan yang tidak terkendali dan tidak terencana sehingga menimbulkan dampak yang merugikan baik dalam perspektif jangka pendek, jangkah menengah, maupun jangka panjang. Untuk mencapai proses alih fungsi lahan yang terkendali dan terencana perlu ditingkatkan keterpaduan yang berbeda untuk tingkat pusat, daerah dan desa. Di samping itu perlu dikembangkan keterpaduan berbagai pihak lain, seperti pihak swasta dan masyarakat lainnya. Sebelum keterpaduan dicapai
11
harus diperjelas dulu mengenai fungsi, tujuan dan sasaran upaya keterpaduan (Utomo et al. 1992). Alih fungsi lahan dalam arti perubahan atau penyesuaian peruntukan penggunaan tanah, pada dasarnya tidak dapat dihindarkan dalam pelaksanaan pembangunan. Kebutuhan akan alih fungsi lahan tersebut terjadi karena dua hal, yaitu: 1) adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya dan 2) berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Pertambahan jumlah penduduk memerlukan tanah yang luas, tidak saja guna perluasan pemukiman, tetapi juga untuk perluasan kegiatan-kegiatan perekonomian pada umumnya guna menunjang kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya tersebut. Sedangkan peningkatan tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik pada dasarnya merupakan dampak positif dari keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan, yang berkaitan pula dengan terbukanya kemungkinan-kemungkinan baru berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Harsono 1992). 2.3
Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan Sihaloho (2004) membagi konversi lahan ke dalam tujuh pola atau tipologi
yaitu: 1) konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan masalah ekonomi pelaku konversi; 2) konversi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah; 3) konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal; 4) konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni masalah ekonomi dan perubahan kesejahteraan; 5) konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung; 6) konversi adaptasi agraris; disebabkan karena masalah ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian; 7) konversi multi bentuk
12
atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya untuk perkantoran, sekolah koperasi perdagangan termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi. Menurut Utomo (1992), dari sejumlah tipe alih fungsi lahan, alih fungsi sawah menjadi non-sawah dan alih fungsi kawasan non-budidaya menjadi budi daya merupakan tipe alih fungsi yang menonjol. Pola terjadinya alih fungsi sawah menjadi non-sawah berbeda dengan alih fungsi kawasan non-budidaya. Pada alih fungsi sawah, terutama industri yang mempunyai nilai tambah lebih besar sangat jelas berperan, sementara pada alih fungi non-budidaya tekanan penduduk lebih dominan. Ini artinya, alih fungsi sawah lebih banyak dipengaruhi oleh pemilik modal, sementara alih fungsi kawasan non-budidaya oleh penduduk lapar tanah (miskin). Alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara. Jika lahan sawah beririgasi teknis diubah menjadi kawasan perumahan atau industri, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat permanen. Akan tetapi, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu, maka alih fungsi fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Alih fungsi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya daripada alih fungsi lahan sementara. Alih fungsi lahan permanen mempunyai arti strategis, seperti kawasan non-budidaya (kawasan lindung) menjadi kawasan budidaya dan lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi non-sawah (industri dan pemukiman). 2.4
Faktor-faktor yang Memengaruhi Alih Fungsi Lahan Menurut Utomo (1992), Secara umum masalah alih fungsi atau tumpang
tindih dalam penggunaan lahan terjadi karena adanya: 1.
Pola pemanfaatan lahan masih sektoral, ada kecenderungan setiap sektor mempunyai
perwilayahan
komoditas
masing-masing
tanpa
mempertimbangkan sektor lain. Ego sektoral sangat kuat melandasi konsep perwilayahan komoditas tersebut. Jika konsep perwilayahan masing-masing sektor dipadukan maka akan terlihat adanya tumpang tindih dalam penggunaan lahan. Jika benturan perwilayahan sudah terjadi, maka masingmasing sektor dengan kuat mempertahankan konsepnya.
13
2.
Delinasi antar kawasan belum jelas, biasanya batas setiap kawasan di peta cukup jelas, tetapi pada kenyataannya di lapangan batas tersebut sangat tidak jelas atau kadangkala batas-batas sudah hilang atau belum ditetapkan.
3.
Kriteria setiap kawasan dalam peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) belum jelas. Misalnya kriteria detail tentang kawasan lindung kawasan hutan produksi tetap dan kawasan lainnya masih transparan, sehingga sering menimbulkan kesalahan penafsiran.
4.
Koordinasi pemanfaatan ruang masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya kelembagaan pemerintah yang merasa lebih berwenang dalam memberikan izin usaha tertentu, sehingga terjadi tumpang tindih atau konflik izin.
5.
Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) masih lemah, UUPA masih belum dilaksanakan dengan optimal dan masih ada hal-hal yang belum diatur dalam perundang-undangan.
6.
Penegakan hukum masih lemah, masih lemahnya sanksi hukum bagi pihakpihak tertentu yang melakukan penyimpangan pemanfaatan ruang. Menurut Iqbal dan Sumaryanto (2007), secara empiris lahan pertanian
paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh : 1) kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi; 2) daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan; 3) akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering; 4) pembangunan prasarana dan sarana pemukiman kawasan industri cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan. Menurut Manuwoto (1992) secara umum pengalihan fungsi lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu 1) faktor sosial atau kependudukan berkaitan erat dengan peruntukan lahan bagi pemukiman atau perumahan secara luas. Selain ditandai oleh tingkat pertambahan yang tinggi, soal kedudukan di Indonesia juga dihadapkan pada masalah penyebaran pendududk yang tidak
14
merata. Khususnya pertambahan penduduk di kota, kenaikan itu disebabkan oleh kelahiran alamiah dan urbanisasi; 2) kegiatan ekonomi dan pembangunan. Yang dimaksudkan di sini dengan kegiatan ekonomi adalah berbagai kegiatan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat; 3) pengunaan jenis teknologi yang memengaruhi juga pemanfaatan lahan, atau dapat dikatakan mempercepat alih fungsi lahan. Pemilihan teknologi yang digunakan mungkin saja dapat menyebabkan efisiensi penggunaan lahan. Akan tetapi di lain pihak dapat mengubah potensi lahan, seperti misalnya penggunaan pestisida dengan dosis tinggi pada suatu kawasan tertentu; 4) kebijaksanaan pembangunan makro. Kebijaksanaan makro yang diambil oleh suatu pemerintah akan sangat mempengaruhi seluruh jalannya sistem kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Dalam hal ini sangat perlu mencari alternatif yang mendukung kebijakan makro tetapi juga tetap berprinsip pada pembangunan yang berkelanjutan. 2.5
Dampak Alih Fungsi Lahan Menurut Soemarno (2013) konversi lahan berimplikasi pada perubahan
struktur agraria, beberapa perubahan yang terjadi, yaitu: 1.
Perubahan pola penguasaan lahan. Pola penguasaan tanah dapat diketahui dari pemilikan tanah dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain. Perubahan yang terjadi akibat adanya konversi yaitu terjadinya perubahan jumlah penguasaan tanah.
2.
Perubahan pola penggunaan. Pola penggunaan tanah dapat dilihat dari bagaimana masyarakat dan pihak-pihak lain memanfaatkan sumber daya agraria tersebut. Konversi lahan menyebabkan pergeseran tenaga kerja dalam pemanfaatan sumber agraria, khususnya tenaga kerja dalam pemanfaatan sumber agraria, khususnya tenaga kerja wanita. Konversi lahan memengaruhi berkurangnya kesempatan kerja disektor pertanian. Selain itu, konversi lahan menyebabkan perubahan pada pemanfaatan tanah dengan intensitas pertanian yang semakin tingggi. Implikasi dari berlangsungnya perubahan ini adalah dimanfaatkannya lahan tanpa mengenal sistem “bera”, khususnya untuk lahan sawah.
15
3.
Perubahan pola hubungan agraria. Lahan yang makin terbatas menyebabkan memudarnya sistem bagi hasil tanah “maro” menjadi “mertelu”. Demikian juga munculnya sistem tanah baru yaitu sistem sewa dan sistem jual gadai. Perubahan terjadi karena meningkatnya nilai lahan dan makin terbatasnya lahan.
4.
Perubahan pola nafkah agraria. Pola nafkah dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian masyarakat dari hasil-hasil produksi pertanian dibandingkan dengan hasil non-pertanian. Keterbatasan lahan dan masalah ekonomi rumah tangga menyebabkan pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian.
5.
Perubahan sosial dan komunitas. Konversi lahan dapat menyebabkan pendapatan yang semakin menurun. Dampak konversi lahan sawah dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari
fungsinya lahan sawah diperuntukan untuk memproduksi padi. Dengan demikian adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan produksi padi nasional. Kedua, dari bentuknya perubahan lahan sawah ke pemukiman, perkantoran, prasarana jalan dan lainnya berimpilkasi dengan besarnya kerugian akibat sudah diinvestasikan dana untuk mencetak sawah, membangun waduk dan sistem irigasi. Volume produksi yang hilang akibat konversi lahan sawah ditentukan oleh pola tanam yang diterapkan di lahan sawah yang belum dikonversi, produktivitas usahatani dari masing-masing komoditi dari pola tanam yang diterapkan, dan luas sawah yang terkonversi. 2.6
Harga Lahan Nilai lahan secara definisi diartikan sebagai kekuatan nilai dari lahan untuk
dipertukarkan dengan barang lain yang dapat didefinisikan sebagai harga (diukur dalam satuan uang) yang dikehendaki oleh penjual dan pembeli. Nilai lahan merupakan harga lahan yang diukur dalam satuan uang per meternya, (Michalski et al. 2010 dalam Astuti 2011). Menurut Jamal (2002), harga jual lahan yang diterima petani dalam proses petani dalam proses alih fungsi lahan secara signifikan dipengaruhi oleh status lahan, jumlah tenaga kerja yang terserap di lahan tersebut, jarak dari saluran
16
tersier, jarak dari jalan, dan jarak dari kawasan industri atau pemukiman. Sementara itu produktivitas lahan, jenis irigasi, dan peubah lain tidak berpengaruh signifikan. Faktor-faktor penentu harga lahan antara lain adalah kondisi dan lokasi lahan. Kondisi lahan dapat menentukan tingkat harga lahan, semakin baik kondisi lahan yang ada, semakin mahal harga lahan yang ditentukan oleh jarak lokasi lahan terhadap akses umum seperti pusat perbelanjaan, rumah sakit, tempat wisata, dan lain-lain. 2.7
Kemandirian Pangan Menurut Elizabeth (2011), pangan merupakan kebutuhan dasar dan hak
asasi manusia, dimana kualitas dan kecukupan berperan penting dalam menentukan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Mengkonsumsi pangan yang bergizi cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan tingkat intelegensi manusia sebagai sember daya produktif bagi kemajuan suatu negara. Sementara itu, kuantitas dan kualitas konsumsi pangan dan gizi individu sangat terkait dan dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, pengetahuan dan budaya masyarakat yang dimulai dari skala rumah tangga. Tantangan pangan Indonesia semakin hari semakin semakin kompleks. Pada suatu sisi, neningkatan permintaan bahan pangan terus terjadi seiring dengan semakin meningkatnya jumlah individu serta meningkatnya daya beli dan selera masyarakat akan bahan pangan. Menurut draft RUU sebagau pengganti UndangUndang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, kemandirian pangan diartikan sebagai kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan, yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan yang cukup ditingkat individu. Ada tiga permasalahan yang berkaitan dengan pencapaian kemandirian pangan nasional, antara lain distribusi, produksi serta konsumsi pangan. Salah satu faktor dominan penyebab rendahnya kemandirian pangan nasional adalah aspek kebijakan penanganan pangan serta banyaknya instansi yang menangani permasalahan pangan. dengan implementasi hubungan kerja antar berbagai instansi yang menangani masalah pangan maka diharapkan akan
17
terwujud ketahanan pangan nasional untuk dapat meningkatkan kemandirian pangan. (Lembaga Ketahanan Nasional RI, 2012) 2.8
Konsepsi Pembangunan Kemandirian Pangan Menurut Dewan Ketahanan Pangan (2006), kemandirian pangan diartikan
sebagai kemampuan suatu bangsa atau negara dalam menjamin ketersediaan dan perolehan pangan yang cukup, mutu yang layak dan sehat (higienis), serta aman. Keterjaminan tersebut berbasis optimalisasi pemanfaatan dan keragaman sumberdaya lokal. terwujudnya kemandirian pangan antara lain dicerminkan oleh indikator mikro dan makro. Indikator mikro adalah keterjangkauan pangan secara langsung oleh masyarajat dan rumah tangga, sedangkan indikator makro adalah kontinuitas ketersediaan pangan, terdistribusi dan terkonsumsi dengan kualitas gizi yang berimbang, baik di tingkat wilayah maupun nasional. Terwujudnya kemandirian pangan secara mikro dicirikan oleh beberapa indikator dasar, seperti, 1) ketersediaan energi minimal 2200 kkal/kapita/hari, dan ketersediaan protein minmal 57 gr/kapita/hari, 2) peningkatan kemampuan pemanfaatan dan konsumsi pangan untuk memenuhi energi minimal 2200 kkal/kapita/hari dan protein sebesar 57 gr/kapita/hari, 3) peningkatan kualitas konsumsi pangan masyarakat dengan skor minimal 80 pola pangan harapan (PPH), 4) peningkatan keamanan, mutu, dan higienis pangan yang dikonsumsi masyarakat, 5) berkurangnya jumlah penduduk yang mengalami rawan pangan transien di suatu daerah (karena bencana alam dan bencana sosial dan 6) peningkatan rata-rata penguasaan lahan oleh petani. Terwujudnya kemandirian pangan secara mikro (nasional) dicirikan oleh beberapa indikator, seperti: 1) meningkatkan produksi pangan domestik yang berbasis sumber daya lokal, guna mempertahankan penyediaan energi minal 2200 kkal/kapita/hari dan penyediaan protein minimal 57 gr/kapita/hari, yang diwujudkan melalui pemantapan swasembada beras berkelanjutan, swasembada jagung (2007), swasembada gula (2009), swasembada daging sapi (2010) dan membatasi impor pangan di bawah 10 persen dari kebutuhan pangan nasional, 2) meningkatnya land-man ratio melalui penetapan lahan abadi beririgasi dan lahan kering masing-masing minimal 15 juta ha, 3) meningkatnya kemampuan
18
pengelolaan cadangan pangan pemerintah daerah dan pemerintah pusar, 4) meningkatnya meningkatnya jangkauan jaringan distribusi dan pangan yang berkeadilan ke seluruh daerah bagi produsen dan konsumen, serta 5) meningkatnya kemampuan pemerintah dalam mengenali , mengantisipasi dan menangani secara dini tanggap darurat terhadap masalah kerawanan pangan dan gizi.
2.9
Penelitian Terdahulu Afandi (2009) melakukan penelitian mengenai kebijakan alih fungsi lahan
pertanian terhadap ketahanan pangan di Jawa Barat. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dan kualitiatif. Metode kuantitatif digunakan untuk menghitung data pertanian yang berkaitan dengan penelitian ini dan metode kualitatif digunakan sebagai pendukung metode kuantitatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif dan analisis dilakukan berdasarkan data sekunder dan telaah pustaka, serta data primer berupa data pertanian dan wawancara dengan pihak terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka waktu 12 tahun dari periode tahun 1995-2006 rata-rata Jawa Barat mengalami mutasi lahan sawah ke lahan non sawah sebesar -225.292 hektare atau sebesar -18.774 hektar setiap tahun. Dalam jangka waktu tersebut yang mengalami peningkatan lahan sawah atau perubahan lahan dari lahan nonsawah ke lahan sawah terjadi pada 3 periode yaitu pada periode 1998-1999 sebesar 0,31 persen, periode 2002-2003 sebesar 0,72 persen dan periode 20052006 sebesar 0,1 persen. Dengan berkurangnya lahan sawah di atas tentuya berpengaruh pada berkurangnya produksi padi pada tahun 1995-2006 sebesar 1.304.853 ton ata sebesar -108.738 ton setiap tahunnya. Dealam jangka waktu tahun 1995-2006 hanya terjadi 4 periode yang mengalami kenaikan produksi padi dan periode lainnya mengalami pengurangan produksi padi. Adapun yang mengalami peningkatan produksi padi yaitu terjadi pada tahun 1995-1996 sebesar 0,23 persen, periode 1998-1999 sebesar 1,24 persen, periode 1999-2000 sebesar 5,15 persen, periode 2003-2004 sebesar 9,4 persen dan periode 2004-2005 sebesar 1,93 persen.
19
Sudaryanto et al. (2009) melakukan penelitian mengenai penyebab dan konsekuensi dari peningkatan dari pertanian kecil di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
meninjau keberadaan dari pertanian kecil. Hasil penelitian
menyatakan bahwa karena adanya tekanan populasi yang meningkat dan terbatasnya pekerjaan non-pertanian, maka presentase jumlah dari pertanian kecil meningkat. Penelitian ini diutamakan di Pulau Jawa dengan tingkat populasi yang tinggi dan terbatasnya sumberdaya lahan. Selain pertambahan jumlah pertanian kecil, pendistribusian lahan cenderung lebih condong. Dengan pertanian kecil, pertanian rumah tangga harus mengganti pekerjaanya dan sumber pendapatanya. Implikasi utama dari penelitian ini yaitu: a) kebijakan pemerintah harus dirancang sesuai dengan karakteristik dari pertanian kecil; b) untuk meningkatkan posisi kedudukan petani dari pertanian kecil dan meningkatkan skala ekonomi, Indonesia perlu meningkatkan asosiasi dari petani; c) kegiatan non-pertanian di daerah pedesaan harus dipromosikan secara konsisten untuk menyerap tenaga kerja dan meningkatkan sumber pendapatan bagi petani rumah tangga; d) dalam jangka panjang, upaya untuk meningkatkan akses lahan untuk petani kecil harus intensif, meliputi pembukaan lahan baru, dan mengimplementasikan perbaikan lahan. Andhika (2013) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan serta dampaknya terhadap produksi padi di Kota Depok. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung laju alih fungsi lahan di Kota Depok, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah secara makro dan mikro di Kota Depok dan mengestimasi dampak alih fungsi lahan sawah di Kota Depok. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis laju alih fungsi lahan, metode analisis linear berganda untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan, analisis regresi logistik untuk mengestimasi faktor-faktor yang memoengaruhi petani dalam mengalihfungsikan lahan sawah dan analisis estimasi dampak produksi untuk mengestimasi kerugian yang timbul akibat alih fungsi lahan pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya pembangunan di Kota Depok menyebabkan berkurangnya lahan sawah sebesar 815 hektar dalam periode 20012012 dengan total laju penyusutan sebesar 0,80 persen. Alih fungsi lahan sawah
20
yang terjadi di tingkat wilayah dipengaruhi oleh luas bangunan dan PDRB non pertanian. Sedangkan faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan tersebut yakni hilangnya 4.848,5345 ton produksi padi atau rata-rata kehilangan sekitar 449,87 ton per tahun dimana nilai produksi yang hilang sebesar Rp 19.794.138.000 atau Rp 1.799.468.000 per tahun. Sehingga terdapat selisih antara kebutuhan akan konsumsi pangan penduduk dengan produksi beras di wilayah Depok yakni sebesar 384,63 ton/hari dimana kebutuhan konsumsi penduduk sebesar 396.67 ton/hari sedangkan rata-rata produksi beras yang dihasilkan sebesar 12,04 ton/hari. Rembulan (2013) melakukan penelitian mengenai dampak konversi lahan pertanian ke non-pertanian terhadap pendapatan petani di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor kebijakan penyebab konversi lahan pertanian, mengkaji potensi manfaat dan kerugian dari konversi lahan pertanian, serta menganalisis dampaknya terhadap pendapatan petani. Penelitian ini menggunakan metode content analysis, deskriptif, serta melihat aspek peluang kerja, produktivitas, dan perubahan pendapatan petani. Sampel yang diambil menggunakan metode simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab konversi lahan pertanian adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah akibat tingginya jumlah penduduk Kota Bogor, adanya pengembangan lahan untuk kegiatan jasa dan perdagangan yang merupakan salah satu implementasi visi Kota Bogor sebagai Kota Jasa, dan tingginya investasi pada sektor non pertanian. Manfaat dari konversi lahan ini yaitu memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kelurahan Mulyaharja dengan presentase 75% dari total PBB per tahun. Sebaliknya potensi hilangnya nilai fungsi tenaga kerja akibat konversi lahan pertanian pada petani sebesar Rp 1.656.638.095,24 per tahun. Pada petani lahan kering yaitu Rp 15.703.442,11 per tahun dengan kehilangan upah Rp 550.235.714,29 per tahun. Perubahan produktivitas hasil pertanian pada petani lahan sawah sebesar Rp 20.325.200 per hektar dengan kehilangan pendapatan Rp 1.623.989.60 /ton/ha. Pada petani lahan kering nilai turunnya produktivitas yaitu Rp 16.836.480 per hektar dengan kehilangan pendapatan Rp 1.312.288,77 /ton/ha.
21
Iqbal dan Sudaryanto (2007) melakukan penelitian mengenai strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian bertumpu pada partisipasi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaan alih fungsi lahan pertanian dan kinerja pengendaliannya dan merekomendasikan strategi alternatif pengendalian alih fungsi lahan, baik strategi peraturan kebijakan maupun strategi partisipasi masyarakat. Hasil penelitian menyatakan bahwa strategi pengendalian alih fungsi lahan yang bertumpu pada partisipasi masyarkat adalah dengan melibatkan peran serta aktif segenap pemangku kepentingan (stakeholder) sebagai entry point perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian (fokus analisis) perundang-undangan dan peraturan yang ada. Namun perlu digarisbawahi bahwa partisipasi masyarakat tidak akan terwujud bila tidak diiringi dengan pendekatan dalam bentuk sosialisasi dan advokasi. Hal demikian mengingat masyarakat sendiri memiliki tipologi kemajemukan yang antara lain dicirikan oleh perbedaan (stratifikasi) sosial dengan ikatan kaidah, institusi, dan perilaku. Pola yang bersifat penekanan atau bujukan (inducement) seyogyanya dihindari dan digantikan dengan pendekatan yang berlandaskan tipologi kemajemukan masyarakat diiringi dengan pemahaman dan apresiasi terhadap kearifan lokal setempat. Dalam skala makro, salah satu pendekatan yang patut dipertimbangkan adalah berlandaskan falsafah manusia mengikuti aturan-aturan tersebut. Jadi, fokus utamanya adalah penegakan perundang-undangan dan peraturan alih fungsi lahan secara konsekuen. Sebaliknya untuk wilayah di luar Pulau jawa dimana masyarakat relatif memiliki lahan lebih luas, perlu dibenahi sumberdaya manusianya seiring penegakan perundang-undangan dan peraturan pengendalian alih fungsi lahan. Berdasarkan penelitian-penelitian yang diuraikan di atas, terdapat kesamaan dan perbedaan dengan penelitian ini dimana perbedaannya adalah penelitan ini dilakukan di lokasi yang berbeda yaitu di Kabupaten Subang dan menganalisis pola karakteristik alih fungsi lahan dan menganalisis keterkaitan harga lahan terhadap laju alih fungsi lahan.
22
23
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1
Kerangka Teoritis Menurut Sumaryanto et al. (1995) dalam Jamal 1999, proses alih fungsi
lahan sawah dapat di bedakan menjadi dua yaitu proses alih fungsi lahan secara sporadis dan sistematis. Proses alih fungsi lahan sawah secara sistematis terjadi secara terencana, dalam luasan yang terkonsolidasi dan lebih mengikuti perencanaan tata ruang yang ada. Proses ini dapat dilihat pada pembangunan kawasan industri, pemukiman, sarana dan prasarana pendukung lainya. Proses alih fungsi yang sistematis ini diperkirakan sekitar 80 persen dari seluruh alih fungsi lahan sawah yang telah terjadi. Alih fungsi lahan sawah yang terjadi secara sporadis umumnya dilakukan oleh individual pembeli lahan sawah atau pemilik lahan sawah. Umumnya alih fungsi tidak terkonsolidasi dan luasan relatif kecil pada persil yang terpisah. Pembedaan ini diperlukan, karena pada alih fungsi lahan secara sistematis, posisi petani sebagai pemilik lahan ”given”, sehingga penyebab alih fungsi di tingkat petani karena areal termasuk lokasi pengembangan yang direncanakan. 3.1.1 Penyebab Alih Fungsi Lahan Secara Sistematis Alih fungsi lahan yang terjadi secara sistematis seharusnya dikontrol dengan peraturan dan perundangan yang ada, karena landasan dalam penyusunan rencana pembangunan tersebut telah mengintergrasikan berbagai kepentingan. Dalam kenyataan alih fungsi lahan secara sistematis ini banyak terjadi di lahan sawah yang beririgasi teknis yang dilindungi. Hal ini antara lain disebabkan oleh: 1.
Sistem administrasi tanah yang masih lemah, sehingga informasi tentang status hukum dan fungsi lahan tidak akurat.
2.
Koordinasi antar lembaga yang berkaitan dengan penggunaan tanah belum baik, akibat masih lemahnya jaringan informasi antar lembaga.
3.
Implementasi dari undang-undang tata ruang yang belum memasyarakat karena secara de facto Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang disahkan, sehingga masyarakat belum menyadari pentingnya implementasi tata ruang yang terencana.
24
4.
Persepsi tentang kerugian akibat alih fungsi lahan sawah cenderung mengunderestimate. Kerugian hanya dihitung dari hilangnya kesempatan memperoleh pangan. Kerugian lain seperti nilai investasi sawah, kerusakan lingkungan, kesempatan kerja dan aktivitas lain yang terkait kurang diperhitungkan.
5.
Bias informasi tentang kapasitas sumberdaya lahan yang ada di Indonesia. Prestasi swasembada beras tahun 1984, kurang diimbangi dalam upaya mempertahankannya. Hal itu disebabkan karena: 1) optimisme yang berlebihan terhadap kemajuan teknologi bagi peningkatan produksi padi; 2) kurangnya informasi tentang kapasistas untuk mengembangkan prasarana irigasi maupun mutu sumberdaya lahan dan air yang belum dikelola; 3) kurangnya sumberdaya lahan akibat pengaruh urbanisasi.
6.
Dalam peraturan/perundangan tentang larangan alih fungsi lahan sawah yang secara eksplisit dilindungi hanya sawah yang beririgasi teknis, sementara sawah lainnya, seperti yang beririgasi semi teknis dan sederhana tidak dilindungi, dalam kenyataanya produktivitas sawah non irigasi teknis tidak jauh berbeda. Selain itu dalam peraturan/perundangan, ada klausal yang berbunyi, bila terpaksa dilakukan alih fungsi lahan sawah, maka alih fungsi dapat dilakukan dengan catatan harus mengganti dengan luasan yang sama di tempat lain
7.
Kebijakan pemerintah tentang privatisasi pembangunan kawasan industri serta deregulasi investasi dan perizinan, yang memperlonggar izin lokasi, telah meningkatkan permintaan terhadap lahan sawah yang strategis.
3.1.2 Penyebab Alih Fungsi Lahan Secara Sporadis Alih fungsi lahan secara sporadis, yang dilakukan oleh perorangan pembeli sawah atau pemilik lahan, penyebabnya sangat beragam sekali, dan secara umum itu dapat dikelompokkan sebagai faktor eksternal dari para petani atau pemilik lahan dan internal dari kegiatan pertanian itu sendiri. 1.
Faktor Eksternal Strategi
pembangunan
wilayah
di
Indonesia
yang
bias
terhadap
pembangunan perkotaan dengan basis ekonomi yang tertumpu pada pembangunan
25
industri, telah menjadikan daerah perkotaan menjadi sangat dinamis investasi pembangunan lebih terpusat di perkotaan, sedangkan faktor pedesaan hanya mendapatkan imbas dari perekonomian kota. Kondisi ini menyebabkan sumberdaya manusia yang berkualitas di pedesaan akan tertaruk ke perkotaan. Pada saat pertanian dibayangi oleh tidak menentunya pengembangan kota, tindakan rasional yang banyak diambil oleh petani adalah menjual lahan untuk penggunaan pertanian. Tingginya urbanisasi sebagai dampak dari kondisi tersebut, menjadi semacam “advertensi” bagi penduduk pedesaan untuk meninggalkan sektor pertanian, dengan menjual lahan yang dimiliki dan memasuki sektor informal di perkotaan. 2.
Faktor Internal Secara simultan ada dua hal dari internal aktivitas pertanian yang
mempercepat proses alih fungsi lahan sawah. Pertama, lambatnya perkembangan teknologi pertanian dan kelembagaan pendukungnya, sehingga produktivitas lahan relatif tetap dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Kedua, proses fragmentasi lahan akibat pola pewarisan dalam keluarga. Rendahnya produktivitas lahan, sementara petani dihadapkan pada kebutuhan ekonomi keluarga yang selalu meningkat, menyebabkan petani lebih terdorong untuk menjual lahannya pada pemilik modal. Kondisi ini mendorong terjadinya akumulasi pemilikan lahan pada beberapa pemilik modal dan ini menjadi cikal bakal dari banyaknya tanah guntai di pedesaan. 3.2
Kerangka Operasional Lahan sebagai bagian atau unsur dari lingkungan merupakan salah satu
tempat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya untuk melakukan kegiatan. Pertambahan penduduk dan meningkatnya pertumbuhan sektor ekonomi di Kabupaten Subang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan lahan, dimana pertambahan penduduk akan membutuhkan lahan sebagai pemukiman, dan peningkatan sektor ekonomi membutuhkan lahan untuk pembangunan pada sektor industri pengolahan. Kebutuhan akan lahan dapat menyebabkan menurunnya luas lahan pertanian karena dialihfungsikan ke fungsi non pertanian. Hal ini terjadi di
26
Desa
Belendung
Kecamatan
Cibogo
dimana
lahan
pertanian
teknis
dialihfungsikan menjadi perindustrian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola alih fungsi lahan, menganalisis laju alih fungsi lahan pertanian, menganalisis faktor- faktor (internal dan eksternal) yang mempengaruhi alih fungsi lahan, dan menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap produktivitas padi dan pendapatan petani sehingga mempengaruhi ketahanan pangan. Sasaran dari penelitian ini adalah pemerintah yang berperan sebagai pengambil kebijakan dimana dalam dengan penelitian sebagai rekomendasi kebijakan pengaturan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Skema operasional dari uraian diatas ditampilkan secara sederhana di Gambar 1.
27
Pembangunan Sektor Ekonomi
Pertumbuhan Penduduk
Peningkatan Kebutuhan Lahan
Pembangunan Industri
Pemukiman
Alih Fungsi Lahan Pertanian Kab. Subang d
Pola dan Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian
Analisis Laju Alih Fungsi Lahan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Faktor Mikro
Analisis Regresi Logistik
Faktor Makro
Pengaruh Harga Lahan
Metode Korelasi Pearson
Dampak Ekonomi
Perubahan Pendapatan Petani
Analisis Regresi Linear Berganda
Rekomendasi Kebijakan Pengaturan Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Keterangan : : Ruang Lingkup Penelitian
Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran operasional
Penurunan Produksi Padi
Ketahanan Pangan
Estimasi Dampak Produksi
28
29
IV. METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Lokasi pengambilan data untuk penelitian ini adalah di Kecamatan Cibogo,
Kabupaten Subang. Lokasi ini dipilih didasarkan atas Rencama Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Subang pasal 67 poin a yang menyatakan bahwa Kecamatan Cibogo adalah salah satu kecamatan yang termasuk dalam zona industri. Selain itu menurut Izin Prinsip dan Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah, Desa Belendung yang berada di Kecamatan Cibogo adalah area pembangunan pabrik industri (produksi). Hal ini mengindikasikan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke pemukiman ataupun industri. Subang juga merupakan kabupaten ketiga terbesar penyumbang beras di Provinsi Jawa Barat, alih fungsi lahan berimpilikasi terhadap pasokan beras yang dihasilkan oleh Kabupaten Subang. Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel di Desa Belendung. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) atau disebut juga judgemental sampling karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang telah mengalami alih fungsi lahan di Kabupaten Subang. Proses pengumpulan data primer dan skunder dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2014. 4.2
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani, dan dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap produksi padi yang dihasilkan. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dari pemilik lahan baik melalui kuesioner maupun melalui wawancara mendalam. Data sekunder digunakan untuk mengetahui laju alih fungsi lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah dengan menggunakan data time series 2003-2012. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) nasional, BPS Kabupaten Subang, Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Subang,
30
Kantor Kecamatan Cibogo, dan Kantor Desa Belendung, Bappeda Kabupaten Subang, dan dinas-dinas terkait lainnya.
4.3
Metode Pengambilan Contoh Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei terhadap
petani yang bersangkutan. Metode penarikan contoh dalam penelitian ini adalah dengan cara snowball sampling. Teknik snowball sampling merupakan bentuk dari non-probability sampling method. Metode ini dipilih karena jumlah populasi yang akan diteliti belum diketahui secara pasti. Cara ini dilakukan dengan mencari sampel pertama dan mewawancarainya. Setelah itu peneliti meminta sampel pertama menunjukkan orang lain yang di sekitarnya yang dapat diwawancarai sesuai kriteria yang diinginkan oleh peneliti dan seterusnya. Dalam hal ini populasi yang akan diteliti tidak memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Sampel yang diambil sebanyak 39 petani dari populasi yang ada, dimana populasi diasumsikan menyebar normal. 4.4
Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan dua metode analisis data, yaitu metode analisis
deskriptif dan analisis kuantitatif. Metode analisis deskriptif digunakan untuk memberikan penjelasan, interpretasi data dan informasi pada tabulasi data. Metode analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui laju alih fungsi lahan, dab dampak dari alih fungsi lahan tersebut. Metode analisis kuantitatif yang digunakan adalah persamaan laju alih fungsi lahan dan analisis regresi berganda. Pengolahan data dan informasi yang dapat dilakukan secara manual dan menggunakan komputerisasi dengan program Microsoft office excel 2013 dan Statistical Program Service Solution (SPSS) 14.0. Keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data dan metode analisis data dapat dilihat pada Tabel 4.
31
Tabel 4. Matriks metode analisis data No
Tujuan Penelitian
Sumber Data
Metode Analisis Data
1
Menganalisis pola atau karakteristik alih fungsi lahan
Data Sekunder
Analisis deskriptif
2
Menganalisis laju alih fungsi lahan di Kabupaten Subang
Data Sekunder
Persamaan laju alih fungsi lahan
3
Menganalisis faktor-faktor makro yang memengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah Kabupaten Subang Menganalisis faktor-faktor mikro yang memengaruhi alih fungsi lahan pertanian ditingkat petani Menganalisis pengaruh harga lahan terhadap laju alih fungsi lahan di Kabupaten Subang Menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap produksi padi dan pendapatan petani Kabupaten Subang
Data Sekunder
Analisis Regresi Liniear Berganda
Data Primer (wawancara menggunakan kuesioner) Data Primer wawancara menggunakan kuesioner) Data Primer (wawancara menggunakan kuesioner)
Analisis Regresi Logistik
4
5
6
Metode Korelasi Pearson
Analisis estimasi dampak produksi dan dampak pendapatan petani
4.4.1 Analisis Deskriptif Menurut Whitney (1960)
dalam Nazir (2003), Analisis deskriptif
merupakan pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Selain itu, metode deskriptif ini memiliki tujuan dalam membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode analisis ini digunakan utnuk menjawab hampir seluruh tujuan penelitian yang akan dilakukan, yaitu untuk menjelaskan pola dan karakteristik alih fungsi lahan, faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dan menjelaskan bagaimana dampak dari alih fungsi terhadap produktivitas padi dan pendapatan petani sehingga mempengaruhi ketahanan pangan. Penjelasan secara deskriptif berdasarkan informasi dan data yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung. Data yang diperoleh akan diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
32
1.
Penulisan data dan informasi diperoleh selama penelitian dengan tujuan untuk mengevaluasi data. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan yang terjadi selama pengamatan.
2.
Perumusan data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk menghindari kerancuan interpretasi serta sekaligus untuk mempermudah interpretasi data.
3.
Menghubungkan hasil penelitian yang diperoleh dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian, dengan tujuan mencari arti atau memberi interpretasi yang lebih luas dari data yang diperoleh.
4.4.2 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju alih fungsi lahan secara parsial. Laju alih fungsi lahan secara parsial dapat dijelaskan sebagai berikut:
𝑣=
𝐿𝑡 −𝐿𝑡−1 𝐿𝑡−1
× 100 …………………………………………..….…..(4.1)
dimana: V
= laju alih fungsi lahan (%)
Lt
= luas lahan tahun ke-t (ha)
Lt-1 = luas lahan sebelumnya (ha) Laju alih fungsi lahan (%) dapat ditentukan melalui selisih antara luas lahan tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelumnya (t-1). Kemudian dibagi dengan luas lahan tahun sebelumnya dan dikalikan dengan 100 persen. Hal ini dilakukan juga pada tahun-tahun berikutnya sehingga diperoleh laju alih fungsi lahan setiap tahun. Nilai V<0 berarti bahwa luas lahan tersebut mengalami penyusutan.
4.4.3 Analisis Regresi Linear Berganda Analisis data yang digunakan dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan jumlah lahan pertanian akibat alih fungsi lahan adalah analisis linear berganda. Tujuan menggunakan metode ini adalah membuat suatu deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta. Metode ini sebenarnya menggambarkan hubungan antara peubah bebas atau independent (Y) dengan peubah tak bebas atau dependent (X) dan sering disebut dengan peubah penjelas. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap kegiatan alih fungsi lahan di tingkat wilayah adalah :
33
1.
Jumlah Perumahan Rakyat (Unit) Jumlah perumahan rakyat dapat mempengaruhi luas alih fungsi lahan. Jumlah perumahan rakyat akan semakin meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk, dikarenakan semakin meningkatnya jumlah penduduk maka permintaan untuk pemukiman pun meningkat dan dapat menimbulkan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanain.
2.
Jumlah Industri (unit) Semakin bertambahnya jumlah industri membuat permintaan lahan semakin meningkat.
Peningkatan
jumlah
industri
menyebabkan
luas
lahan
mengalami penurunan 3.
Produk Domestik Regional Bruto Non-pertanian (Rp Juta) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator yang dapat menggambarkan pertumbuhan ekonomi. Semakin besar pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat mempercepat terjadinya perubahan struktur ekonomi ke arah sektor manufaktur, jasa dan sektor non pertanian menjadi non pertanian. Hipotesis pada penelitian ini bahwa semakin besar PDRB maka semakin besar alih fungsi lahan yang terjadi.
4.
Produktivitas Padi Sawah (ton/ha) Penurunan luas lahan akibat adanya alih fungsi lahan juga akan mempengaruhi produktivitas lahan pertanian yang terus menurun karena lahan dianggap memiliki opportunity cost. Persamaan model regresi linear berganda untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut: LnY = α + β1Ln X1 + β2Ln X2 + β3 LnX3 + β4 LnX4 + ε ..............................(4.2) dimana : Y
= Penurunan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan (m2)
α
= intersep
X1
= Jumlah Perumahan Rakyat (unit)
X2
= Jumlah Industri (unit)
X3
= PDRB non-pertanian (Rp juta)
X4
= Produktivitas (ton/ha)
βi
= Koefisien regresi
34
ε = Eror Term Dari persamaan di atas, tanda yang diharapkan adalah β1>0, β2>0, β3>0 dan β4>0 Menurut Gujarati (2002), model analisis regresi linear berganda merupakan metode analisis yang didasarkan pada metode Ordinari Least Square (OLS). Konsep dari metode least square adalah menduga koefisien regresi (β) dengan meminimumkan kesalahan (error). Ordinary Least Square (OLS) dapat menduga koefisien regresi dengan baik karena: 1.
Memiliki sifat tidak bias dengan varians yang minimum (efisien) baik linear maupun bukan
2.
Konsisten, dengan meningkatnya ukuran sampel maka koefisien regresi mengarah pada nilai populasi yang sebenarnya, dan
3.
β0 dan β1 terdistribusi secara normal Model yang digunakan terdiri dari banyak variabel yaitu satu variabel
dependent dan beberapa variabel independent. Untuk mengetahui berapa besar faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan yang ada dalam persamaan sebelumnya, dilakukan pengujian ketelitian dan pengujian kemampuan model regresi. Dalam penelitian ini, pengujian model regresi terdiri dari tiga pengujian, yaitu uji koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi parsial (t), uji koefisien regresi menyeluruh (F) yang dijelaskan sebagai berikut: 1.
Uji Koefisien Determinasi (R2) Nilai R2 mencerminkan seberapa besar keragaman dari variabel terikat (Y)
yang dapat diterangkan oleh variabel bebasnya (Xi). Nilai R2 memiliki besaran yang positif dan kurang dari satu (0 ≤ R2 ≤ 1). Jika nilai R2 bernilai nol maka keragaman dari variabel terkait tidak dapat dijelaskan oleh variabel bebas secara sempurna. R2 dapat dirumuskan sebagai berikut:
R2 =
ESS TSS
........................................................................................(4.3)
dimana: ESS = Explained of Sum Squared TSS = Total Sum of Squared
35
2.
Uji Koefisien regresi Parsial (t) Menurut Gujarati (2002), Uji t dilakukan untuk menghitung koefisien
regresi masing-masing variabel bebas (Xi) terhadap variabel terikat (Y). Adapun prosedur pengujiannya : H0 : β1 = 0 H1 : β1 ≠ 0
𝑡=
𝑏−𝛽𝑡 𝑆𝑒𝛽
........................................................................................(4.4)
dimana: b
= Parameter dugaan
βt
= Parameter hipotesis
Se β = Standar error parameter β Jika thit (n-k) < ttabel α/2, maka H0 diterima, artinya variabel bebas(Xi) yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat (Y), namun, jika thit (n-k) > ttabel α/2, maka H0 ditolak, artinya variabel bebas (Xi) yang diuji berpengaruh nyata terhadap variabel terikat (Y). 3.
Uji Koefisien Regresi Menyeluruh (F) Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (Xi) secara
bersama-sama terhadap variabel terikat (Y). Adapun prosedur yang digunakan dalam uji F: H0 : β1 = β2 = β3 = ... = βi = 0 H1 : minimal ada satu βi ≠ 0
𝐹ℎ𝑖𝑡 =
𝐽𝐾𝑅 / (𝑘−1) 𝐽𝐾𝐺 / (𝑛−𝑘)
.............................................................................(4.5)
dimana: JKR
= Jumlah Kuadrat Regresi
JKG
= Jumlah Kuadrat Galat/Residual
k
= Jumlah variabel terhadap intersep
n
= Jumlah pengamatan (sample) Apabila Fhit < Ftabel maka H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti bahwa
variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat (Y). Sedangkan apabila Fhit > Ftabel maka H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel terikat (Y).
36
Model yang dihasilkan dari regresi linier haruslah baik. Jika tidak maka akan mempengarhi interpretasinya. Interpretasi ini benar jika model regresi linier memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai bila memenuhi asumsi klasik. Uji asumsi klasik merupakan pengujian pada model yang telah berbentuk linier untuk mendapatkan model yang baik. Setelah model di regresikan dilakukan uji penyimpangan asumsi, yaitu: a.
Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah model tersebut baik atau
tidak. Model dikatakan baik jika mempunyai distribusi normal atau hampir normal. Uji yang dapat dilakukan dengan membuat histogram normlaitas. Nilai probability yang lebih besar dari taraf nyata α menandakan residual terdistribusi secara normal. b.
Uji Autokorelasi Autokorelasi terjadi apabila ada korelasi serial antara residual. Korelasi
tersebut terjadi karena residual saling mempengaruhi satu sama lain sehingga residual tersebut tidak bebas. Korelasi tersebut menyebabkan penduga OLS menjadi tidak efisiean lagi. Cara mendeteksi dapat dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey. Uji ini dilakukan dengan meregresikan residual dengan lag residual dan semua regresor. Hasil regresi tersebut akan diperoleh
koefisien
determinasi
(Prob.
Chi-Square)
untuk
mengetahui
autokorelasi. Jika nilai tersebut lebih besar dari taraf α yang digunakan maka tidak ada permasalahan autokorelasi. c.
Uji Multikolinearitas Jika suatu model regresi berganda terdapat hubungan linier sempurna antar
peubah bebas dalam model tersebut, maka dapat dikatakan model tersebut mengalami multikolinearitas. Terjadinya multikolinearitas menyebabkan Rsquared tinggi namun tidak banyak variabel yang signifikan dari uji t. Ada berbagai cara untuk menentukan apakah suatu model memiliki gejala multikolinearitas. Salah satu cara yang digunakan adalah uji Varian Infiaction Factor (VIF). Cara ini sangat mudah, hanya melihat apakah nilai VIF untuk masing-masing variabel lebih besar dari 10 atau tidak. Bila nilai VIF lebih besar dari 10 maka diindikasikan model tersebut mengalami multikolinearitas.
37
Sebaliknya, jika VIF lebih kecil dari 10 maka diindikasikan bahwa model tersebut tidak mengalami multikolinearitas yang serius.
d. Uji Heteroskedastisitas Masalah heteroskedastisitas biasanya sering terjadi dalam data cross section. Salah satu cara dalam mendeteksi heteroskedastisitas adalah dengan transformasi terhadap peubah respon dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan ragam menjadi homogen pada peubah respon hasil transformasi tersebut. Untuk mendeteksi masalah heterokedastisitas dapat dilakukan Uji White, dengan meregresikan variabel-variabel bebas terhadap nilai absolut residualnya. Jika nilai signifikan dari hasil uji White lebih besar dari α maka tidak terdapat heteroskedastisitas dan sebaliknya. 4.4.4 Analisis Regresi Logistik Menurut Juanda (2009), analisis regresi logistik digunakan untruk mengestimasi faktor-faktor yanng mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian. Model analisis regresi logistik (logit) merupakan model non linear, baik dalam parameter maupun dalam variabel. Model logit diturunkan berdasarkan fungsi peluang logistok yang dapat di spesifikasikan sebagai berikut: 1
1
𝑃𝑡 = 𝐹(𝑍𝑡 ) = 𝐹(𝛼 + 𝛽𝑋𝑡 ) = 1+𝑛−𝑍𝑡 = 1+𝑛−(𝛼+𝛽𝑋𝑡) ................................ (4.6) Dimana e mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (e = 2.718..). Kemudian dengan menggunakan aljabar biasa, persamaan dapat m=ditunjukkan menjadi:
𝑛𝑧 =
𝑃𝑡 1−𝑃𝑡
.......................................................................................(4.7)
Peubah model regresi Pt/1-Pt dalam persamaaan diatas disebut odds, yang sering diistilahkan dengan resiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang terjadinya pilihan 1 terhadap peluang terjadinya pilihan 0 alternatif. Parameter model estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum likelihood (ML). Jika persamaan ditrasnformasi dengan logaritma natural, maka: 𝑃
𝑃
𝑡 𝑡 𝑍𝑡 = 𝑙𝑛 1−𝑃 → 𝑙𝑛 1−𝑃 = 𝑍𝑡 = 𝛼 + 𝛽𝑋𝑡 𝑡
𝑡
.......................................(4.8)
Persamaan model regresi logistik untuk mengetahui faktor yang memengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut:
38
𝑃𝑡
𝑏𝑖 = 1−𝑃𝑡 = Z = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + ε …(4.9) dimana: Z
= Peluang alih fungsi lahan (1) dan tidak alih fungsi lahan (0)
Α
= intersep
X1
= Luas lahan (ha)
X2
= Pengalaman Bertani (tahun)
X3
= Jumlah tanggungan petani (jiwa)
X4
= Biaya produksi (Rp)
X5
= Pendapatan Usaha Tani (Rp)
βi
= Koefisien regresi
ε
= Error term Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan petani dalam
mengalihfungsikan lahan, antara lain: 1.
Luas Lahan (hektar) Semakin luas seorang petani memiliki lahan maka petani tersebut akan cenderung mempertahankan lahannya, karena lahan yang luas akan semakin efisien dan memberikan keuntungan yang relatif besar pula. Hal ini dapat memperkecil alih fungsi lahan yang terjadi.
2.
Pengalaman Bertani (Tahun) Penagalaman bertani yaitu periode atau lamanya seorang petani telah melakukan kegiatan bertani selama hidupnya. semakin lama seseorang bertani maka keahlian untuk bertani akan semakin tinggi. Hal ini tentunya akan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan petani untuk menjual atau tidak lahan yang digarap olehnya.
3.
Jumlah Tanggungan Petani (jiwa) Semakin
banyak jumlah tanggungan petani maka yang biaya yang
dikeluarkan dalam memenuhi kebutuhan akan semakin meningkat pula, sehingga petani akan cenderung mencari hal lain yang dapat memberi pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini dapat mendorong petani untuk mengalihfungsikan lahan pertaniannya.
39
4.
Biaya Produksi (Rp) Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan petani untuk memproduksi padi hingga panen, seperti bibit, pupuk, dll. Variabel untuk memproduksi ini dapat memengaruhi keputusan petani dalam mengalihfungsikan lahan atau menjual lahannya yakni jika harga variabel produksi tersebut semakin tinggi.
5.
Pendapatan Hasil Usaha Tani (Rp) Semakin rendah pendapatan petani yang didapatkan dari hasil usaha tani, maka akan meningkatkan peluang petani dalam melakukan alih fungsi lahan ke non pertanian yang cenderung memberi pendapatan yang jauh lebih besar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Agar diperoleh hasil analisis regresi logit yang baik perlu dilakukan
pengujian. Pengujian dilakukan untuk melihat apakah model logit yang dihasilkan secara keseluruhan dapat menjelaskan keputusan pilihan secara kualitatif. Dalam hal ini, pilihan yang digunakan utnuk melakukan alih fungsi lahan atau tidak melakukan alih fungsi lahan. Pengujian parameter dilakukan dengan menguji semua parameter secara keseluruhan dan menguji masing-masing parameter secara terpisah. Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut: 1.
Odds Ratio Odds merupakan rasio peluang kejadian terjadi sukses (terjadinya peristiwa
= 1) terhadap peluang terjadi gagal (terjadinya peristiwa =0). Odds ratio ini sering juga digunakan sebagai suatu ukuran asosiasi yang sering ditemukan dalam epidemologi. Pada dasarnya odds ratio digunakan untuk melihat hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat dan peubah terikat dalam model logit. Nilai tersebut dapat diperoleh dari perhitungan eksponensial dari koefisien estimasi (βi) atau exp (βj). Odds ratio dapat didefinisikan sebagai berikut: 𝑃(𝑋𝑖) 1−𝑃(𝑋𝑖)
Dimana P menyatakan peluang terjadinya peristiwa (Z=1) dan 1-P menyatakan peluang tidak terjadinya peristiwa (Z=0). 2.
Likelihood Ratio Likelihood ratio bertujuan untuk mengukur rasio kemungkinan maksimum
dari peranan variabel penjelas secara serentak. Statistik uji yang digunakan untuk
40
menunjukkan nilai likelihood ratio adalah Uji G. Rumus umum Uji G sebagai berikut: H0 : β1 = β2 = β3 = ... = βi = 0 H1 : minimal ada satu βi ≠ 0 𝑙
𝐺 = −2 ln ( 𝑙0 )
..........................................................................(4.10)
𝑡
dimana: l0
= Nilai likelihood tanpa variabel
li
= Nilai likelihood dengan model penuh Apabila G > chi-square maka H0 ditolak yang berarti bahwa minimal ada
satu βi ≠ 0. Artinya model regresi tersebut secara keseluruhan dapat menjelaskan pilihan individu pengamatan. 4.4.5 Metode Korelasi Pearson Korelasi Pearson merupakan salah satu ukuran korelasi yang digunakan untuk mengukut kekuatan dan arah hubungan linier dari dua vairabel. Dua variabel dikatakan berkorelasi apabila terjadi perubahan variabel satu terhadap variabel lainnya, baik dalam arah yang sama maupun sebaliknya. Metode Korelasi Pearson digunakan untuk melihat korelasi harga lahan terhadap laju konversi lahan secara mikro di Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang. Korelasi Pearson merupakan metode yang digunakan untuk melihat korelasi antara variable-variabel yang terkait. Metode ini menggunakan data-data interval maupun rasio. Pengambilan sampel dari populasi harus random, dengan variasi yang skor kedua variabel yang akan dicari memiliki korelasi sama, dan diduga memiliki hubungan linier. Korelasi Pearson dapat dihitung dengan rumus (Santoso 2007):
𝑟=
∑{(𝑋−𝑋̅)²(𝑌−𝑌̅)² √∑{(𝑋−𝑋̅)²(𝑌−𝑌̅)²
..............................................................(4.11)
Atau dapat dihitung dengan rumus Pearson yang lain, yaitu:
𝑟=
𝑛 ∑ 𝑋𝑌−∑ 𝑋 ∑ 𝑌
√𝑛 ∑ 𝑋 2 −(∑ 𝑋)2
√𝑛 ∑ 𝑌 2 −(∑ 𝑌)2
dimana: 𝑋̅
= Rata-rata Harga Lahan (Rp)
𝑋
= Data Harga Lahan (Rp)
..................................................(4.12)
41
𝑌̅
= Rata-rata Alih Fungsi Lahan (ha)
𝑌̅
= Data Alih fungsi Lahan (ha) Hasil perhitungan korelasi di atas berada pada selang -1 ≤ r ≤ 1, yang
dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar. Pertama, korelasi positif kuat, terjadi apabila perhitungan korelasi mendekati +1. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan skor atau nilai pada variabel X akan diikuti dengan kenaikan skor atau nilai variabel Y. Sebaliknya, jika variabel X mengalami penurunan, maka akan diikuti dengan penurunan variabel Y. Kedua, korelasi negatif kuat, terjadi apabila perhitungan korelasi mendekati -1 atau sama dengan -1. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan skor atau nilai pada variabel X akan diikuti dengan penurunan skor atau nilai variabel Y. Sebaliknya, jika variabel X mengalami penurunan, maka akan diikuti dengan kenaikan variabel Y. Ketiga, tidak ada korelasi, terjadi apabila perhitungan korelasi mendekati 0 atau sama dengan 0. Hal ini berarti bahwa naik turunnya skor atau nilai satu variabel tidak mempunyai kaitan dengan naik turunnya skor atau nilai variabel yang lainnya. Apabila skor atau nilai variabel X naik tidak sellau diikuti dengan naik atau turunnya skor nilai atau variabel Y, demikian juga sebaliknya. Hal lain yang diperhatikan yaitu standarisasi. Salah satu keterbatasan kovarian sebagai ukuran kekuatan hubungan linier adalah arah/besarnya gradien yang tergantung pada satuan dari kedua variabel tersebut. Misalnya kovarian antara N (%) dan hasil padi (ton) akan jauh lebih besar apabila satuan % (1/100) dikonversi ke ppm (1/sejuta). Agar nilai kovarian tidak tergantung kepada unit dari masing-masing variabel, maka harus dibakukan terlebih dahulu yaitu dengan cara membagi nilai kovarian tersebut dengan nilai standar deviasi dari kedua variabel tersebut sehingga nilai akan terletak antara -1 dan +1. Ukuran statistik tersebut dikenal dengan Pearson product moment correlation yang mengukur kekuatan hubungan linier (garis lurus) dari kedua variabel tersebut. Variabel-variabel yang akan dilihat hubungannya antara lain harga lahan per meter persegi yang mempengaruhi luas konversi lahan dalam skala mikro. Melalui variabel-variabel tersebut dapat dianalisis bagaimana hubungan antara variabel yang satu dengan yang lain. Interpretasi hasil perhitungan Pearson menyatakan
42
jika hasil tersebut negatif, positif, maupun nol akan menunjukkan pola hubungan antar variabel tersebut apakah saling mempengaruhi atau tidak. 4.4.6 Analisis Estimasi Dampak Produksi Dampak dari alih fungsi lahan pertanian salah satunya adalah adanya kerugian yang disebabkan oleh hilangnya peluang dalam memproduksi dan hilangnya pendapatan usaha tani yang seharusnya dapat tercipta dari lahan sawah yang hilang. Menurut Utama (2006), nilai produksi sawah yang hilang dapat dirumuskan sebagai berikut: NQ = ∑(Pt . Qt) dimana NQ = Nilai produksi pada sawah yang hilang (Rp/ha) Pt
= Harga komoditi padi sawah yang ditanam (Rp/ton)
Qt
= Produksi padi sawah yang hilang per tahun (ton/ha)
T
= Tahun data Qt = ∑Qi
dimana: Qt
= Produksi pada sawah yang hilang per tahun dengan irigasi i yang terkonversi (ton/ha)
i
= 1, 2, 3, 4, dimana masing-masing menunjukkan jenis sawah irigasi teknis, semi teknis, sederhana, dan tadah hujan Qi = ∑(Si . Hm)
dimana: Si
= Luas lahan sawah dengan jenis irigasi i yang terkonversi (ha)
Hm = Produktivitas usaha tani pada musim m dari sawah dengan jenis irigasi tersebut (ton/ha) m
= 1, 2, 3 masing-masing menunjukkan musim tanam pertama, kedua, dan terakhir Pada penelitian ini, dampak alih fungsi lahan terhadap produksi padi
tersebut tidak dihitung secara terpisah berdasarkan jenis irigasi, karena asanya keterbatasan data yang tersedia. Nilai dari produktivitas lahan pertaniannya juga dikalikan dengan pola tanam dalam satu tahun, sehingga didapat nilai luas panen dari lahan yang hilang dalam satu tahun.
43
4.4.7 Analisis Terhadap Dampak Pendapatan Petani Analisis dampak pendapatan ini dilakukan dengan deskriptif kuantitatif, yaitu dengan merata-ratakan perbedaan pendapatan. Perbedaan pendapatan dihitung dengan mencari selisih antara pendapatan petani sebelum terjadi alih fungsi lahan dan perkiraan pendapatan setelah terjadi alih fungsi lahan. Nilai dari selisih tersebut nantinya dirata-ratakan sehingga didapatkan rata-rata perubahan pendapatan petani akibat alih fungsi lahan. 𝛸=
𝛱 − 𝛱′ 𝑛
dimana: X
= Rata-rata perubahan pendapatan (Rp)
П
= Pendapatan sebelum alih fungsi alih fungsi lahan (Rp)
П'
= pendapatan sesudah alih fungsi lahan (Rp)
n
= Jumlah contoh atau sample
44
45
V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1
Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Subang Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang, wilayah Kabupaten
Subang secara geografis terletak di bagian utara Provinsi Jawa Barat dengan batas koordinat yaitu antara 1070 31’ - 1070 54’ Bujur Timur dan 60 11’- 60 49’ Lintang Selatan. Adapun batas-batas wilayah dengan Kabupaten yang berdekatan letaknya secara geografis adalah sebagai berikut: Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat
Sebelah Barat
: Berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Karawang
Sebelah Utara
: Berbatasan dengan Laut Jawa
Sebelah Timur
: Berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Sumedang
Luas wilayah Kabupaten Subang adalah 205.176,95 hektar atau sekitar 6,34 persen dari luas Provinsi Jawa Barat, sedangkan ketinggian antara 0-1500 m dpl. Jika dilihat topografinya, Kabupaten Subang dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) zona/klasifikasi daerah, yaitu: 1.
Daerah Pegunungan Daerah ini memiliki ketinggian antara 500 - 1500 mdpl dengan luas 41.035,09 hektar atau 20 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang. Wilayah ini meliputi Kecamatan Segalaherang, Serangpanjang, Ciater, Jalancagak, Kasomalang, Cisalak, dan Kecamatan Tanjungsiang.
2.
Daerah Bergelombang/Berbukit Daerah dengan ketinggian antara 50 - 500 mdpl dengan luas wilayah 71.502,16 hektar atau 34,85 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang. Wilayah meliputi Kecamatan Cijambe, Subang, Cibogo, Dawuan, Kalijati, Cipendeuy, sebagian besar Kecamatan Purwadadi dan Cikaum.
3.
Daerah Dataran Rendah Dengan ktinggian antara 0 - 50 mdpl dengan luas 92.639,7 hektar atau 45,15 persen adalah wilayah Pantura (Pantai Utara) meliputi Kecamatan Pegaden, Pegaden Barat, Binong, Tambakdahan, Cipunagara, Compreng, Ciasem, Sukasari, Pusakanagara, Pusakajaya, Pamanukan, Legonkulon, Blanakan, Patokbeusi, sebagian kecil Kecamatan Cikaum dan Purwadadi.
46
Apabila dilihat dari tingkat kemiringan lahan, Kabupaten Subang memiliki lahan yang cukup miring. Hal ini tercatat bahwa 80,80 persen wilayah Kabupaten Subang memiliki tingkat kemiringan 00 - 170, 10,64 persen dengan tingkat kemiringan 180 - 450, sedangkan sisanya (8,56 persen) memiliki kemiringan diatas 450. Jumlah penduduk Kabupaten Subang sebesar 1.501.647 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 732 juwa per km2 atau 5.935 per desa. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi akan berpengaruh pada lapangan kerja yang tersedia. Jumlah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) di Kabupaten Subang adalah sebesar 1.098.710 jiwa. Sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah di bidang pertanian. Mata pencaharian penduduk Kabupaten Subang dapat dilihat di Tabel 5. Tabel 5. Mata pencaharian penduduk Kabupaten Subang tahun 2012 Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) Pertanian 490.574 Perdagangan 231.388 industri pengolahan 163.378 Lainya 213.369 Jumlah 1.098.710 Sumber : BPS Kabupaten Subang 2014
Presentase (%) 44,65 21,06 14,87 19,42 100,00
Pola penggunaan lahan di suatu wilayah dapat digunakan menjadi salah satu indikator potensi wilayah. Pola penggunaan lahan juga dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi yang ada pada masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Penggunaan lahan di Kabupaten Subang dibedakan menjadi tiga tipe penggunaan lahan yaitu, lahan sawah, lahan bukan sawah, dan lahan bukan pertanian. Lahan sawah terdiri dari lahan sawah dengan pengairan teknis setengah teknis, sederhana, pengairan non PU, dan tadah hujan. Lahan bukan sawah terdiri dari tegal/kebun, ladang huma, perkebunan, hutan rakyat, tambak, kolam dan lahan yang sementara tidak diusahakan. Sedangkan lahan bukan pertanian terdiri dari lahan rumah, hutan negara, dan rawa-rawa. Besaran penggunaan lahan dari tiga tipe penggunaan lahan di Kabupaten Subang dapat dilihat di Tabel 6.
47
Tabel 6. Penggunaan lahan di Kabupaten Subang tahun 2012 Penggunaan Lahan
Luas (Hektar)
Lahan Sawah Pengairan Teknis Pengairan Setengah Teknis Pengairan Sederhana Pengairan Non PU Tadah Hujan Lahan Bukan Sawah Tegal Kebun Ladang Huma Perkebunan Hutan Rakyat Tambak Kolam/Tebat/Empang Padang Rumput Sementara Tidak Diusahakan Lainnya Lahan Bukan Pertanian Rumah, Bangunan, dan Halaman Hutan Negara Rawa-rawa Lainnya Total Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Subang 2014
5.2
57.472 11.664 4.362 4.545 6.885 20.208 2.892 20.257 12.393 5.456 1.406 899 198 10.499 27.145 14.700 4.195 205.176
Gambaran Wilayah Kecamatan Cibogo Kecamatan Cibogo adalah salah satu kecamatan dari 22 kecamatan yang ada
di wilayah Kabupaten Subang. Adapun batas-batas wilayah dengan kecamatan yang berdekatan letaknya secara geografis adalah sebagai berikut: Sebelah Utara
: Berbatasan dengan Kecamatan Cipunagara
Sebelah Timur
: Berbatasan dengan Kecamatan Cijambe
Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Kecamatan Subang
Sebelah Barat
: Berbatasan dengan Kabupaten Sumedang
Secara topografi, luas wilayah Kecamatan Cibogo menurut penggunaan lahan sebesar 6.835 Ha, ketinggian 140 mdpl yang terdiri dari dataran rendah dan berbukit dengan jumlah penduduk sebesar 42.813 jiwa. Kecamatan Cibogo terdiri dari: Desa Sadawarna, Desa Sumurbarang, Desa Pada Asih, Desa Cibogo, Desa Cinangsi, Desa Majasari, Desa Cibalandong Jaya, Desa Belendung, Desa Cisaga. Luas wilayah dan jumlah penduduk masing-masing desa terdapat di Tabel 7.
48
Tabel 7. Luas desa di Kecamatan Cibogo tahun 2012 Desa Luas (Km2) Sadawarna Sumurbarang Padaasih Cibogo Cinangsi Majasari Cibalandong Jaya Belendung Cisaga Jumlah Sumber: Statistik Kecamatan Cibogo 2014
18 10,87 10,89 7,21 2,55 2,25 9,68 3,86 3,04 68,35
Jumlah Penduduk (Jiwa) 4.888 4.711 5.712 8.009 5.174 3.331 1.772 4.695 4.521 42.813
Lahan di Kecamatan Cibogo digunakan sebagai sawah, tegalan, perumahan, kuburan, kebun, empang, dan penggunaan lainnya. Penggunaan lahan di Kecamatan Cibogo dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Luas dan penggunaan lahan di Kecamatan Cibogo tahun 2012 Penggunaan Lahan
Luas(Ha)
Sawah Tegalan Perumahan Kuburan Kebun Empang Lainnya Jumlah Sumber: Statistik Kecamatan Cibogo 2014
4.295 398 1.066 19 929 103 25 6.835
Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Cibogo terbagi di beberapa bidang mata pencaharian, mata pencaharian yang mendominasi di Kecamatan ini adalah bidang pertanian. Hal ini dapat dibuktikan pada Tabel 9. Tabel 9. Mata pencaharian penduduk Kecamatan Cibogo tahun 2012 Jenis Pekerjaan
Jumlah (jiwa)
Pertanian PNS/TNI/POLRI Pegawai Swasta Industri/perdagangan Wiraswasta Lainnya Jumlah Sumber: Potensi Kecamatan Cibogo 2014
Presentase (%) 17.712 1.464 45 382 121 259 19.983
88,64 7,33 0,23 1,91 0,61 1,30 100,00
49
5.2.1 Gambaran Umum Desa Belendung Desa Belendung adalah satu desa di Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang dengan luas wilayah sebesar 3,86 km2, dengan batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara
: Berbatasan dengan Desa Cisaga
Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Kelurahan Karanganyar
Sebelah Timur
: Berbatasan dengan Desa Majasari
Sebelah Barat
: Berbatasan dengan Kelurahan Sukamelang
Jumlah penduduk Desa Belendung pada Tahun 2013 berjumlah 4.700 jiwa yang terdiri dari 2.434 orang laki-laki dan 2.261 orang perempuan, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1.426 kepala keluarga. Mata pencaharian penduduk Desa Belendung sebagian besar di bidang pertanian, bekerja sebagai petani ataupun buruh tani. Mata pencaharian penduduk Desa Belendung dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Mata pencaharian penduduk Desa Belendung Jenis Pekerjaan Jumlah (jiwa) Pertanian 1.927 PNS/TNI/POLRI 66 Pegawai Swasta 418 Industri/perdagangan 29 Lainnya 37 Jumlah 2.477 Sumber: Potensi Desa Belendung 2014
5.3
Presentase (%) 77,80 2,66 16,88 1,17 1,49 100,00
Karakteristik Umum Responden Karakteristik responden pada lokasi lokasi penelitian ini diperoleh
berdasarkan survey yang dilakukan kepada 39 responden yang merupakan petani, petani yang di pilih adalah petani sebagai pemilik lahan yang melakukan alih fungsi lahan dan tidak melakukan alih fungsi lahan. Karakteristik umum responden terdiri dari tingkat usia, tingkat pendidikan, luas lahan yang dimiliki, dan jumlah tanggungan. 5.3.1 Tingkat Usia Tingkat usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam berpikir dan mengambil keputusan serta kemampuan untuk melakukan sesuatu. Tingkat usia responden yang tidak melakukan alih fungsi lahan dan yang melakukan alih fungsi lahan dapat dilihat pada gambar 2.
50
30-40thn 10%
>60thn 33%
51-60thn 8%
41-50thn 49%
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 2. Tingkat usia responden Gambar 2 menunjukkan bahwa lahan banyak dimiliki oleh penduduk berusia tua, yaitu umur 41-50 tahun sebesar 49 persen dan umur lebih dari 60 tahun sebesar 33 persen. Hal ini dikarenakan penduduk berusia muda lebih tertarik sebagai pekerja pabrik dibandingkan bekerja di bidang pertanian. Selain itu juga menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk usia kerja diatas 65 tahun adalah usia pekerja yang telah pensiun dari pekerjaannya. Hal ini juga sebagai salah satu penyebab petani melakukan alih fungsi lahan karena sawahnya menjadi tidak produktif. 5.3.2 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan dapat memengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan untuk melakukan alih fungsi lahan atau tidak. Tingkat pendidikan juga berpengaruh pada perkembangan pola pikir dan pengetahuan. Persentase tingkat pendidikan responden yang tidak melakukan dan melakukan alih fungsi lahan dapat dilihat pada gambar dibawah ini. SMA 23%
SMP 13%
PT Tidak 2% Sekolah 2%
Tidak luus SD 10% SD 49%
Sumber: Data Primer (diolah)
Gambar 3. Tingkat pendidikan responden Gambar 3 menunjukkan bahwa jumlah responden tertinggi adalah responden dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), yaitu sebesar 49
51
persen. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian masih di dominasi oleh penduduk yang berpendidikan rendah. Rendahnya tingkat pendidikan responden disebabkan rendahnya tingkat pendapatan sehingga sulit untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Selain tingkat pendapatan yang rendah, fasilitas pendidikan yang minim dan jarak yang jauh juga mempengaruhi penduduk untuk meneruskan pendidikannya. 5.3.3 Luas Lahan Sawah Luas lahan yang dimiliki responden yang melakukan alih fungsi lahan umumnya bervariasi. Luas lahan yang dimiliki responden dimulai dari 0,14 hektar sampai dengan 1,68 hektar, total luas lahan sawah yang teralih fungsi sebesar 12,32 hektar dengan rata rata setiap pemilik lahan melakukan alih fungsi lahan sebesar 0,59 hektar. Luas lahan sawah dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 4.
0,51 1,00 ha 21%
>1,00 ha 15% 0,1 -0,5 ha 64%
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 4. Luas lahan sawah Gambar 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki lahan pada kisaran 0,1-0,5 hektar, yaitu sebesar 64 persen untuk responden. Banyaknya luas lahan sawah yang kecil disebabkan karena adanya penyusutan kepemilikan lahan sawah, yang disebabkan adanya sistem bagi waris turun temurun dari orang tua ke anaknya dan jual beli lahan untuk dialihfungsikan. Hal ini menyebabkan sebaiknya pemerintah mengatur dan membuat kebijakan untuk mengendalikan permasalahan penggunaan dan hak kepemilikan atas tanah sehingga lahan sawah tidak semakin kecil yang akan berdampak menurunnya hasil pertanian khususnya padi.
52
5.3.4 Jumlah Tanggungan Jumlah tanggungan merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi seseorang dalam melakukan alih fungsi lahan. Hal ini disebabkan karena semakin banyak jumlah tanggungan dalam suatu keluarga menyebabkan semakin banyak biaya yang akan dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan masing masing tanggungan atau anggota keluarga. Jumlah tanggungan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.
≥3 jiwa 56%
1-2 jiwa 44%
Sumber: Data Primer (diolah)
Gambar 5. Jumlah tanggungan Gambar 5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tanggungan lebih dari 3 jiwa. Hal ini disebabkan belum adanya kesadaran dari responden akan program Keluarga Berencana (KB) untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Semakin banyak jumlah tanggungan dalam suatu keluarga, maka semakin banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhi. Hal ini dapat mempengaruhi keputusan petani untuk menjual atau mengalihfungsikan lahan pertaniannya.
53
HASIL DAN PEMBAHASAN
VI.
6.1
Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Subang Perubahan tingkat penggunaan lahan pertanianyang dialih fungsikan
menjadi lahan non pertanian di Kabupaten Subang terjadi hampir setiap tahun. Salah satu penyebab terjadinya alih fungsi lahan ini yaitu karena kebutuhan untuk industri, lahan pemukiman, dan sarana dan prasarana lainnya seperti jalan raya, perkantoran, dan lain-lain. Perubahan luas lahan sawah yang terjadi di Kabupaten
Luas Sawah (Ha)
Subang dapat dilihat pada Gambar 6.
85600 85400 85200 85000 84800 84600 84400 84200 84000 83800 83600 83400
85355
85362 84928
84701
84929
84701
84167 84167
2003
2004
2005
2006
84206
84167
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014 (diolah)
Gambar 6. Luas lahan sawah di Kabupaten Subang tahun 2003 – 2012 Gambar 6 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan jumlah luas lahan sawah di Kabupaten Subang. Laju alih fungsi lahan sawah selama sepuluh tahun terakhir 2003-2012 mengalami penurunan rata – rata sebesar 0,569 persen. Peningkatan jumlah lahan sawah pada tahun 2008 juga sebanding dengan penurunan jumlah sawah dari tahun 2010-2012. Peningkatan luas lahan sawah disebabkan karena adanya pencetakan sawah baru dan perubahan penggunaan lahan kering yaitu lahan sawah. Perubahan luas lahan sawah terbesar terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar 722 hektar. Hal ini disebabkan karena pada tahun tersebut terjadi pembebasan lahan secara meluas untuk perindustrian dan
54
pembangunan pemukiman rakyat. Pada sepuluh tahun terakhir 2003-2012 secara keseluruhan telah terjadi penurunan luas lahan sawah sebesar 1.690 ha atau sebesar 169 ha per tahun. Laju penyusutan luas lahan sawah selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Luas dan laju alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Subang tahun 2003 - 2012 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Luas Sawah (Ha)
Pencetakan Sawah Baru (Ha)
Luas Lahan Terkonversi (Ha)
84.701 0 84.701 0 84.167 0 84.167 0 84.167 0 85.355 1.188 85.362 7 84.929 0 84.929 0 84.206 0 Total 1.195 Rata –Rata 119,5 Sumber: Badan Pusat Statistik, berbagai terbitan (diolah)
0 0 534 0 0 0 0 433 0 723 1.690 169
Laju Penyusutan Lahan (persen) 0 0 -0,630 0 0 1,411 0,008 -0,507 0 -0,851 -0,57 -0,057
Pada Tabel 11 nilai laju penyusutan lahan sawah bertanda negatif menunjukka bahwa terjadi penyusutan lahan sawah akibat adanya alih fungsi lahan. Nilai positif menjelaskan adanya penggunaan lahan dari lahan sawah baru pada tahun tersebut. Total nilai laju penyusutan lahan sawah di Kabupaten Subang yaitu sebesar -0,57 persen. Hal ini menunjukkan telah terjadi penyusutan luas lahan sawah di Kabupaten subang sebesar 0,57 persen atau sebesar 1.690 hektar. Penyusutan luas lahan sawah telah terjadi mulai tahun 2005 dimana lahan sawah mengalami penyusutan sebesar 534 hektar atau sebesar 0,63 persen dari 84.701 hektar. Pada tahun 2010 terjadi alih fungsi lahan sawah sebesar 433 hektar dari luas lahan sebesar 85.362 hektar menjadi 84.929 hektar atau terjadi penyusutan luas lahan sebesar 0,507 persen. Alih fungsi lahan terbesar terjadi pada tahun 2012 dimana lahan yang teralih fungsi sebesar 722 hektar dari luas lahan sebesar 84.928 hektar menjadi 84.206 hektar atau terjadi penyusutan luas lahan sawah sebesar 0,851 persen. Peningkatan jumlah luas lahan sawah yang besar terjadi karena adanya pencetakan lahan sawah baru di Kabupaten Subang yaitu sebesar 1.188 pada tahun 2008. Lahan sawah meningkat 1,41 persen dari tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2007 Kabupaten Subang memiliki luas lahan
55
sawah sebesar 84.167 hektar dan bertambah di tahun 2008 menjadi 85.355 hektar. Secara keseluruhan dari tahun 2003-2012 terjadi penyusutan luas lahan sawah di Kabupaten Subang sebesar 0,57 persen atau sebesar 1.690 hektar dengan rata-rata per tahun sebesar 0,057 persen atau sebesar 169 hektar per tahun. 6.2
Faktor Makro yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Kabupaten Subang Alih fungsi lahan di Kabupaten Subang dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu faktor makro dan faktor mikro. Faktor makro adalah faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di tingkat wilayah, dimana wilayah dalam penelitian ini yaitu Kabupaten Subang. Faktor yang diduga mempengaruhi dalam skala makro atau di tingkat wilayah Kabupaten Subang yakni jumlah perumahan rakyat, jumlah industri, PDRB non pertanian dan produktivitas padi sawah. Penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan luas lahan sawah di Kabupaten Subang menggunakan analisis linier berganda. Data yang digunakan merupakan data time series tahun 2003-2012. Data-data yang di dapat diolah menggunakan software Statistical Program Service Solution (SPSS) 14.0. Hasil analisis menunjukkan bahwa model yang digunakan dalam penenlitian ini baik. Hasil estimasi model yang dapat dilihat pada Tabel 6.2.1 diperoleh koefisien determinasi (R-squared) sebesar 0,683. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen mencapai 68,3 persen dan sisanya 31,7 persen diterangkan oleh variabel lain diluar model. Nilai adjusted R-squared yang dihasilkan sebesar 43,0. Nilai peluang uji F (Prob F-statistic) yang di peroleh sebesar 0,015 atau sebesar 1,5 persen. Peluang uji F tersebut lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dari hasil regresi minimal ada satu variabel independen yang mempengaruhi
variabel
dependennya.
Hasil
estimasi
fakor-faktor
yang
mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian ke lahan non pertanian dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini.
56
Tabel 12. Hasil estimasi faktor-faktor makro yang mempengaruhi perubahan luas lahan sawah Kabupaten Subang Variabel Jumlah Perumahan Rakyat
Coefficient Std. Error
Prob.
VIF
13,279
4,776
2,780
0,039*)
3,415
6,307
2,266
2,783
0,039*)
6,011
-3,985
2,994
-1,331
0,241
8,867
3,408
5,005
0,681
0,526
4,316
-141,715
74,031
-1,914
0,114
Jumlah Industri PDRB Non-pertanian Produktivitas Intercept
t-Statistic
R Square Adjusted R Square
0,683 F-Statistic 0,430 Prob(FStatistic) Durbin Watson Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah) Keterangan: *) pada taraf nyata 5%
2,696 0,015 2,240
Probabilitas setiap variabel independen dapat digunakan untuk melihat pengaruh signifikansi setiap variabel independen tersebut terhadap variabel dependen. Berdasarkan Tabel 12, variabel independen yang berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan luas lahan sawah yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan sawah yaitu jumlah perumahan rakyat dan jumlah industri. Variabelvariabel independen tersebut berpengaruh nyata pada taraf α = 5 persen. Model yang dihasilkan dari regresi linear tersebut baik karena telah memenuhi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai jika memenuhi asumsi klasik, yatu model tidak memiliki sifat multikolinearitas, normalitas,
autokorelasi
dan
heteroskedastisitas.
Tidak
adanya
sifat
multikolinearitas pada model yang ditunjukkan oleh nilai VIF yang dihasilkan di bawah 10, karena jika nilai VIF di atas 10 maka model menunjukkan adanya sifat multikolinearitas. Untuk membuktikan asumsi normalitas maka dapat dilihat pada Lampiran 6 pada penelitian ini mengenai hasil regresi berganda, pada histogram of normality test dan grafik plot residual. Grafik histogram of normality yang membentuk lonceng dan Grafik plot residual yang membentuk garis lurus, maka dapat disimpulkan bahwa residual telah menyebar normal. Angka Durbin Watson sebesar 2,240 menunjukkan pada model ini tidak terjadi autokorelasi dimana dL =
57
1,382 dan dU = 1,597. Nilai durbin watson terletak antara dU dan (4-dU) = 1,597< 2,240<2,403 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada autokorelasi positif maupun negatif pada variabel yang di uji. Untuk uji heteroskedastisitas dapat dilihat pada Lampiran 6 gambar grafik scatter plot yang menunjukkan bahwa titik-titik tidak membentuk pola tertentu, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y, hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas. Berikut ini adalah hasil estimasi regresi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di tingkat wilayah: LnY = -141,715+ 13,279LnX1 + 6,307LnX2 – 3,985LnX3 + 3,408LnX4 ...........(6.1) Berdasarkan hasil estimasi dari model regresi dapat dilihat bahwa variabel jumlah perumahan rakyat memiliki pengaruh positif (+) dan berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan sawah dimana nilai probabilitasnya sebesar 0,039 lebih kecil dari taraf nyata 10 persen (0,005 < 0,10). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah perumahan rakyat berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan. Koefisien variabel jumlah perumahan rakyat (X2) bernilai 13,279 dapat dilihat pada Tabel 12 menjelaskan bahwa, setiap kenaikan jumlah perumahan rakyat sebesar 1 persen maka akan diikuti dengan meningkatnya alih fungsi lahan sawah sebesar 13,279 persen (cateris paribus).
Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa jumlah
perumahan rakyat berkorelasi positif terhadap alih fungsi lahan. Jumlah perumahan rakyat berbanding lurus dengan peningkatan permintaan akan lahan. Semakin meningkatnya jumlah perumahan rakyat menyebabkan permintaan akan kebutuhan lahan pun meningkat. Permintaan akan kebutuhan lahan akan perumahan dan tren usaha dalam bidang properti yang sangat besar dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi sektor pembangunan infrastruktur dan perumahan rakyat dan sektor non pertanian lainnya. Pemerintah daerah akan mengunggulkan sektor yang memberikan kontribusi yang tinggi terhadap pendapatan daerah sehingga terjadinya perubahan struktur ekonomi, dimana hal ini menyebabkan adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian. Variabel jumlah industri berkorelasi positif (+) terhadap alih fungsi lahan sawah
dan berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan. Nilai probabilitas
jumlah industri adalah sebesar 0,039 lebih kecil dari taraf ntara 5 persen (0,039 <
58
0,05). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah industri berpengaruh nyata terhadap terjadinya alih fungsi lahan. Koefisien variabel yang bernilai 6,307 pada tabel 12 menunjukkan bahwa, setiap kenaikan jumlah industri sebesar 1 persen akan meningkatkan alih fungsi lahan sebesar 6,307 persen (cateris paribus). Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa semakin meningkatnya jumlah industri maka akan meningkatkan
alih
fungsi
lahan.
Adanya
peningkatan
jumlah
industi
menyebabkan permintaan akan lahan akan meningkat. Sehingga terjadinya alih fungsi lahan dari sektor pertanian ke non pertnainan. Variabel PDRB non pertanian memilki hubungan negatif (-) namun tidak berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan sawah dimana nilai probabilitasnya sebesar 0,241 lebih besar dari taraf nyata 5 persen (0.241 > 0,05). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa PDRB non-pertanian belum tentu menyebabkan alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Subang. PDRB tidak berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan dapat disebabkan karena adanya inflasi dan nilai tukar rupiah yag menurun sehingga meskipun jumlah industri bidang non pertaniannya mengalami peningkatan secara fisik namun untuk pendapatan belum memenuhi. Variabel produktivitas padi sawah memiliki hubungan yang positif (+) namun tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan luas lahan sawah dimana nilai probabilitasnya sebesar 0,526 lebih besar dari taraf nyata yaitu sebesar 5 persen (0,526 > 0,005). Hal ini dapat diinterprertasikan bahwa perubahan produktivitas padi sawah di Kabupaten Subang belum tentu mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. 6.3
Faktor Mikro yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petani
Alih fungsi lahan sawah tidak hanya dipengaruhi faktor makro tingkat wilayah tetapi juga dipengaruhi oleh keputusan internal petani. Faktor mikro adalah faktor yang mempengaruhi petani dalam melakukan alih fungsi lahan yang berdasarkan keputusan petani yang memiliki lahan sawah kepada investor ataupun pengembang, yang menyebabkan lahan beralih fungsi ke non pertanian seperti lahan industri dan perumahan rakyat. Faktor ini dianalisis untuk mengetahui penyebab petani menjual lahan ke pengembang atau investor.
59
Studi kasus penelitian mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan ditingkat petani di Kabupaten Subang ini dilakukan di Kecamatan Cibogo. Sebanyak 39 responden dalam penelitian ini merupakan petani yang memiliki dan menggarap yang terdiri dari 21 responden merupakan petani yang menjual lahannya, sedangkan 18 responden merupakan petani yang tidak menjual lajannya. Keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan dipengaruhi oleh luas lahan, pengalaman bertani, jumlah tanggungan, biaya produksi perpanen, dan pendapatan usaha tani. Faktor – faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan ditentukan dengan menggunakan analisis regresi logistik dengan memasukkan variabel independen ke dalam variabel dependen. Variabel independen
yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengalihfungsikan
lahannya yaitu luas lahan yang dimiliki oleh petani, pengalaman bertani, jumlah tanggungan, biaya produksi padi, dan pendapatan dari usaha tani, sedangkan variabel dependen yang digunakan terdapat dua kemungkinan. Untuk responden yang melakukan alih fungsi lahan diberi nilai 1 (Y=1) dan untuk responden yang tidak melakukan alih fungsi lahan diberi nilai 0 (Y=0). Hasil pengolahan data dengan menggunakan metode enter ditunjukkan pada Tabel 13 berikut ini. Tabel 13. Hasil estimasi faktor –faktor mikro yang mempengaruhi petani dalam mengalihfungsikan lahan sawah Variable
Coefficient
Sig.
Luas Lahan (X1)
20,213
0,027*)
Pengalaman Bertani (X2)
-0,002
0,946
Jumlah Tanggungan (X3)
0,197
0,651
Biaya Produksi Usaha Tani 0,388 (X4) Pendapatan Usaha Tani (X5) -1,148 Constant -1,860 Sumber : Data Primer (diolah) Keterangan : *) nyata pada taraf 5% **) nyata pada taraf 10%
0,425 0,055*) 0,212
Exp (β)
Keterangan.
6,008 Berpengaruh nyata Tidak Berpengaruh 0,998 Nyata Tidak Berpengaruh 1,218 Nyata Tidak Berpengaruh 0,678 Nyata 0,317 Berpengaruh Nyata 0,156
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik yang dapat dilihat pada Lampiran 7 mengenai hasil regresi logistik, diperoleh nilai -2 Log likelihood sebesar 42,201 ≠ 0 maka dapat diinterpretasikan bahwa model tersebut sudah baik (fit), nilai Sig pada Omnimbus test sebesar 0,040. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata yang
60
digunakan yaitu 10 persen (0,040 < 0,10), dimana artinya variabel bebas yang digunakan secara bersama-sama berpengaruh terhadap keputusan petani untuk menjual lahan. Hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 7
penelitian ini ,
dimana nilai Cos & Senell R Square sebesar 0,258 dan Nalkerke R Square sebesar 0,345. Hasil analisis dimana nilai Nagelkerke R Square lebih besar dari Cox & Snell R Square menunjukkan bahwa kemampuan kelima variabel independen dalam menjelaskan varian alih fungsi lahan sebesar 34,5 persen. Nilai Sig pada Hosmer and Lemeshow Test yang diperoleh adalah 0.618. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata sebesar 10 persen (0,618 > 0,10), dimana hal ini mengartikan bahwa model yang dibuat dapat diterima dan pengujian hipotesis dapat dilakukan. Selanjutnya nilai overall percentage pada classification table yang diperoleh sebesar 76,9 persen. Nilai tersebut menunjukkan bahwa dari 39 data yang ada terdapat 30 data yang tepat pengklasifikasiannya. Hal ini menunjukkan bahwa model yang dihasilkan baik. Model yang diperoleh dari hasil analisis regresi logistik adalah sebagai berikut: Y = - 1,860 + 20,213X1 – 0,002X2 + 0197X3 + 0,388X4 – 1,148X5 .....……..(6.2) Berdasarkan dari model yang telah diperoleh, dari kelima varibel independen yang mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan pertanian hanya terdapat dua variabel yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengalihfungsikan lahan pertaniannya secara signifikan. Variabel yang berpengaruh nyata terhadap terjadinya alihfungsi lahan sawah ditingkat petani adalah luas lahan dan pendapatan yang di dapatkan dari usaha tani. Ukuran signifikansi suatu variabel dilihat dari Sig < α (taraf nyata yang digunakan). Variabel luas lahan yang dimiliki petani di lokasi penelitian tersebut memiliki nilai Sig sebesar 0,027. Hal ini menjelaskan bahwa luas lahan sawah yang dimiliki petani berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya alih fungsi lahan sawah pada taraf 5 persen (0,027 < 0,05). Koefisien hasil yang diperoleh bertanda positif (+) sebesar 20,213 dan nilai Exp (β) atau odds ratio yang diperoleh sebesar 6,008. Hal ini menunjukkan bahwa jika jumlah luas lahan bertambah 1 hektar maka peluang petani untuk melakukan alih fungsi lahan lebih besar sebesar 6,008 kali dibandingkan tidak menjual lahan. Semakin besar luas
61
lahan sawah yang dimiliki maka semakin tinggi pula peluang petani tersebut untuk menjual lahan. Petani yang memiliki lahan sawah yang luas dan banyak akan lebih memilih menjual lahan untuk mendapatkan keuntungannya, terutama lahan-lahan yang dimiliki merupakan lahan yang tidak terlalu subur dimana biaya produksi jauh lebih mahal dari pada keuntungan yang di dapat, hal tersebut memperbesar peluang untuk petani yang memiliki lahan untuk menjual lahannya. Variabel pendapatan usaha tani memiliki nilai Sig sebesar 0,055. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pendapatan usaha tani berpenaruh nyata tehadap peluang terjadinya penjualan lahan oleh petani pada taraf nyata 10 persen (0,055 < 0,10). Koefisien hasil yang diperoleh bertanda negatif (-) sebesar 1,148 dan nilai Exp (β) atau odds ratio yang diperoleh sebesar 0,317. Hal ini berarti bahwa jika pendapatan usaha tani meningkat satu juta, maka peluang petani untuk melakukan alih fungsi lahan lebih kecil 0,317 kali dibandingkan untuk tidak menjual lahan. Semakin besar jumlah pendapatan usaha tani, maka semakin rendah pula peluang petani untuk menjual atau mengalihfungsikan lahannya. Peningkatan pendapatan usaha tani akan membuat petani tersebut akan tetap bertahan dengan usaha tani nya dimana usaha taninya memberikan keuntungan yang cukup besar dari pendapatan dari sektor lainnya. 6.4 Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Allih Fungsi Lahan Pertanian Harga lahan merupakan salah satu faktor yang menentukan keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke lahan non pertanian. Harga lahan yang mahal membuat pemilikan ingin menjual lahannya, hal ini dapat diakibatkan karena sawah yang tidak terlalu subur ataupun faktor internal dari petani itu sendiri. Hubungan antara harga lahan terhadap laju alih fungsi lahan dapat dilihat di Tabel 14. Tabel 14. Hasil estimasi keterkaitan harga lahan terhadap laju alih fungsi lahan Variabel Alih Fungsi Lahan Harga Lahan Pearson Correlation 1 1,000 Alih Fungsi Lahan Sig 0,000*) Pearson Correlation 1,000 1 Harga Lahan Sig 0,000*) Sumber: Data Primer (diolah) Keterangan: *) Nyata pada taraf 5%
62
Berdasarkan Tabel 14 menunjukkan bahwa harga lahan berpengaruh signifikan terhadap alih fungsi lahan yaitu dapat dilihat pada angka signifikan 0,000 lebih kecil dari taraf nyata yang ditentukan yaitu 5 persen (0,000<0,005). Hal ini menjelaskan bahwa setiap kenaikan harga lahan akan berpengaruh pada meningkatnya lahan yang dialihfungsikan dan begitu pula sebaliknya. Dapat dibuktikan bahwa luas lahan yang terkonversi dipengaruhi seberapa besar nilai harga lahan. Hal ini relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sihaloho (2004) bahwa alih fungsi lahan pada skala mikro dipengaruhi oleh faktor pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga), dan strategi bertahan hidup rumah tangga. Hal tersebut membuktikan bahwa harga lahan berpengaruh terhadap keputusan pemilik dalam menjual lahannya. Apabila dalam rumah tangga responden terjadi masalah dalam bidang ekonomi, salah satu cara untuk memecahkan masalahnya adalah membuat keputusan untuk menjual lahan. Di sisi lain juga dapat dipengaruhi oleh harga lahan yang tinggi dapat menimbulkan keputusan petani yang memiliki lahan untuk menjual lahan pertaniannya. 6.5
Dampak Alih Fungsi Terhadap Pendapatan Petani Pertanian adalah sektor yang paling banyak dijadikan mata pencaharian
masyarakat Indonesia. Faktor produksi pertama yang dibutuhkan dalam pertanian adalah lahan. Alih fungsi lahan di bidang pertanian akan berdampak secara langsung terhadap pendapatan petani. Penurunan jumlah luas lahan pertanian berpengaruh besar terhadap jumlah produksi padi yang dihasilkan oleh petani. Dalam penelitian ini dimana petani sebagai responden tidak hanya menerima pendapatan dari usaha tani saja tetapi juga menerima pendapatan dari non usaha tani. Pendapatan usaha tani merupakan pendapatan yang diterima oleh petani dari semua sektor pertanian perbulan, sedangkan pendapatan non usaha tani adalah pendapatan yang diterima oleh petani dari sektor non pertanian, seperti perdagangan, wiraswasta dan dari pekerjaan lainnya. Perhitungan rata - rata perubahan pendapatan petani dapat dilihat pada Tabel 15.
63
Tabel 15. Rata – rata perubahan pendapatan petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian per bulan Rata-rata Usaha Tani Pendapatan Responden Rupiah % Sebelum 2.343.430 54,99 Alih Fungsi Setelah Alih 1.090.629 42,34 Fungsi Selisih - 1.252.801 -12,65 Sumber : Data Primer (diolah)
Non Usaha Tani
Rata-rata Pendapatan Total Responden Rupiah %
Rupiah
%
1.917.647
45,01
4.261.077
100
2.079.686
57,66
3.170.315
100
162.039
12,65
-1.090.762
-
Tabel 15 menunjukkan bahwa rata – rata total pendapatan responden dari penjumlahan pendapatan usaha tani dan non usaha tani sebelum alih fungsi lahan yaitu Rp 4.261.077 per bulan dan setelah melakukan alih fungsi lahan mengalami perubahan menjadi sebesar Rp 3.170.315 per bulan. Hal ini menunjukkan bahwa adanya penurunan total pendapatan yang diperoleh petani dari sebelum dan sesudah adanya alih fungsi lahan yaitu sebesar Rp 1.090.762. Perubahan total rata-rata pendapatan dari usaha tani jauh lebih besar di bandingkan total rata-rata pendapatan non usaha tani. Perubahan total rata-rata pendapatan usaha tani sebesar Rp 1.252.801 sedangkan perubahan total rata-rata pendapatan dari non usaha tani sebesar Rp 162.039. Tabel tersebut juga menjelaskan alih fungsi lahan dapat mengubah pendapatan yang diperoleh dari usaha tani dan non usaha tani. Sebelum adanya alih fungsi lahan, persentase pendapatan usaha tani jauh lebih besar dibandingkan usaha tani dimana pendapatan usaha tani sebesar 54,99 persen dan non usaha tani sebesar 45,01 persen. Sedangkan setelah adanya alih fungsi lahan, pendapatan dari non usaha tani jauh lebih besar dibandingkan usahatani dimana pendapatan usaha tani sebesar 42,34 persen dan non usaha tani sebesar 57,66 persen. Perubahan pendapatan dari usaha tani menurun sebesar 12,65 persen, sedangkan pendapatan non usaha tani bertambah sebesar 12,65 persen. 6.6
Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi Gabah Kabupaten Subang Alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian khususnya lahan sawah
akan secara langsung berdampak kepada jumlah produksi gabah yang dihasilkan
64
pada suatu wilayah. Penurunan jumlah produksi diakibatkan berkurangnya luas panen dan tidak diimbangi dengan peningkatan penggunaan teknologi dan faktor produksi lain yang dapat membantu dalam proses produksi hasil panen. Luas panen merupakan jumlah luasan sawah yang digarap atau berhasil di panen dalam satu tahun. Pada penelitian ini diasumsikan bahwa luas lahan sawah yang dialihfungsikan tersebut tidak ada yang gagal, diasumsikan pula pola tanam yang diterapkan sebanyak dua kali dalam satu tahun untuk seluruh luasan sawah, dan jenis sawah yang diasumsikan sama termasuk jenis padi yang ditanam maupun jenis irigasi yang digunakan. Jenis gabah yang digunakan adalah Gabah Kering Giling (GKG), Angka konversi Gabah Kering Giling (GKG) menjadi beras yang sering disebut juga angka rendemen penggilingan merupakan angka yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian. Angka tersebut merupakan hasil Survei Susut Panen dan Pasca Panen yang dilakukan oleh BPS dan Kementerian Pertanian. Perhitungan mengenai produksi gabah kering dan nilai produksi yang hilang dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Dampak terhadap produksi gabah kering dan nilai produksi gabah kering akibat alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Subang tahun 2003 – 2012 Tahun
Luas Lahan Terkonversi (Ha)
Penurunan Produksi Gabah Kering (ton)
Nilai Produksi Gabah Kering yang Hilang (Rp)
2003 0 0 0 2004 0 0 0 2005 534 33.546 147.602.400.000 2006 0 0 0 2007 0 0 0 2008 0 0 0 2009 0 0 0 2010 433 168.820 742.808.000.000 2011 0 0 0 2012 722 28.875 127.050.000.000 Total 231.241 1.017.460.400.000 Sumber: Badan Pusat Statistik, berbagai terbitan (diolah)
Berdasarkan asumsi-asumsi yang telah dijelaskan sebelumnya, total produksi gabah yang hilang selama sepuluh tahun dari tahun 2003 hingga 2012 adalah sebesar 231.241 ton. Nilai produksi gabah diestimasi menggunakan harga gabah giling (GKG) yang dikalikan dengan jumlah produksi gabah kering yang
65
hilang. Jika rata – rata harga GKG adalah sebesar Rp 4.400 per kg atau Rp 4.400.000 per ton, maka nilai produksi padi tersebut adalah sebesar 231.241 ton x Rp 4.400.000 per ton = Rp 1.017.460.400.000. Jadi, nilai produksi padi dari tahun 2003 hingga 2012 yang hilang adalah sebesar Rp 1.017.460.400.000. Menurunnya nilai produksi yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan dapat mengurangi keuntungan sesungguhnya yang didapat oleh petani, selain menurunnya produksi gabah kering diakibatkan oleh hama dan penyakit tanaman sehingga dapat menyebabkan menurunnya produksi gabah dan nilai produksi gabah kering sehingga dapat menurunkan pendapatan petani. 6.7
Perkiraan Perubahan Luas Lahan Sawah dan Dampak Terhadap Kemandirian Pangan di Kabupaten Subang Alih fungsi lahan yang terjadi di suatu wilayah akan berdampak negatif
pada kemandirian pangan di wilayah itu sendiri dimana dalam penelitian ini wilayah yang melakukan alihfungsi lahan adalah Kabupaten Subang. Kemandirian pangan yang bermasalah tidak hanya menurunkan jumlah produksi beras namun akan menganggu kestabilan pertumbuhan penduduk, perekonomian, sosial dan politik. Lahan sawah yang terus menurun otomatis akan menurunkan produksi beras yang dihasilkan oleh para petani, mengakibatkan produksi beras berbanding terbalik dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya. Simulasi ini dilakukan dengan membandingkan jumlah beras yang dapat diproduksi dan jumlah beras yang dibutuhkan masyarakat pada tahun mendatang. Jumlah beras yang diperoleh dihitung dari konversi jumlah gabah pada satu tahun yang sama. Jumlah gabah yang diproduksi dihitung dari luas sawah dikalikan dengan laju pertambahan produksi rata-rata dari tahun – tahun sebelumnya. Luas sawah per tahunnya diasumsikan berubah dengan laju sebesar 0.057 persen. Produktivitas tetap yaitu sebesar 6,00687 kg/ha. Nilai tersebut didapat dari rata – rata laju perubahan pada tahun 2003 sampai tahun 2012. Jumlah gabah tersebut dikonversi dengan asumsi bahwa jumlah beras merupakan 62,74 persen dari jumlah gabah. Jumlah kebutuhan beras masyarakat didapat dari jumlah penduduk dikalikan jumlah konsumsi beras per kapita. Jumlah Penduduk diasumsikan berubah per tahunnya dengan laju sebesar 1,22 persen dan konsumsi
66
beras diasumsikan tetap yaitu sebesar 139,15 kg per kapita. Berdasarkan asumsi tersebut maka perkiraan luas sawah dan dampak terhadap ketahanan pangan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Perkiraan perubahan luas lahan dan dampak terhadap kemandirian pangan di Kabupaten Subang dengan produktivitas dan konsumsi beras perkapita tetap Tahun
Luas Sawah
Jumlah Penduduk
Kebutuhan Beras
Produksi Beras
Selisih Beras
2013
84.158
1.515.862
210.932
634.335
423.402
2014
84.110
1.534.374
213.508
633.973
420.465
2015
84.062
1.553.112
216.116
633.612
417.496
2016
84.014
1.572.079
218.755
633.251
414.496
2017
83.966
1.591.277
221.426
632.890
411.463
2018
83.918
1.610.710
224.130
632.529
408.399
2019
83.871
1.630.380
226.867
632.168
405.301
2020
83.823
1.650.291
229.638
631.808
402.170
2021
83.775
1.670.444
232.442
631.448
399.006
2022
83.727
1.690.844
235.281
631.088
395.807
2023
83.680
1.711.493
238.154
630.728
392.574
2024
83.632
1.732.394
241.063
630.369
389.306
2025
83.584
1.753.550
244.006
630.009
386.003
2026
83.537
1.774.964
246.986
629.650
382.664
2027
83.489
1.796.640
250.003
629.291
379.289
2028
83.441
1.818.581
253.056
628.933
375.877
2029
83.394
1.840.790
256.146
628.574
372.428
2030
83.346
1.863.270
259.274
628.216
368.942
2031
83.299
1.886.024
262.440
627.858
365.418
2032
83.251
1.909.057
265.645
627.500
361.855
2033
83.204
1.932.370
268.889
627.142
358.253
2034
83.156
1.955.969
272.173
626.785
354.612
2035
83.109
1.979.855
275.497
626.428
350.931
2036
83.062
2.004.033
278.861
626.071
347.209
2037
83.014
2.028.507
282.267
625.714
343.447
2038
82.967
2.053.279
285.714
625.357
339.643
2039
82.920
2.078.354
289.203
625.001
335.798
2040
82.872
2.103.735
292.735
624.644
331.910
2041
82.825
2.129.426
296.310
624.288
327.979
2042
82.778
2.155.431
299.928
623.932
324.004
2043
82.731
2.181.753
303.591
623.577
319.986
2044
82.684
2.208.397
307.298
623.221
315.923
2045
82.636
2.235.366
311.051
622.866
311.815
2046
82.589
2.262.665
314.850
622.511
307.661
2047
82.542
2.290.297
318.695
622.156
303.461
67
2048
82.495
2.318.266
322.587
621.802
299.215
2049
82.448
2.346.577
326.526
621.447
294.921
.2050
82.401
2.375.234
330.514
621.093
290.579
2051
82.354
2.404.241
334.550
620.739
286.189
2052
82.307
2.433.601
338.636
620.385
281.749
2053
82.260
2.463.321
342.771
620.031
277.260
2054
82.213
2.493.403
346.957
619.678
272.721
2055
82.167
2.523.853
351.194
619.325
268.131
2056
82.120
2.554.675
355.483
618.972
263.489
2057
82.073
2.585.873
359.824
618.619
258.795
2058
82.026
2.617.452
364.218
618.266
254.048
2059
81.979
2.649.416
368.666
617.914
249.248
2060
81.933
2.681.771
373.168
617.562
244.393
2061
81.886
2.714.521
377.726
617.210
239.484
2062
81.839
2.747.671
382.338
616.858
234.520
2063
81.793
2.781.226
387.008
616.506
229.499
2064
81.746
2.815.191
391.734
616.155
224.421
2065
81.699
2.849.570
396.518
615.804
219.286
2066
81.653
2.884.370
401.360
615.453
214.093
2067
81.606
2.919.594
406.261
615.102
208.840
2068
81.560
2.955.248
411.223
614.751
203.529
2069
81.513
2.991.338
416.245
614.401
198.156
2070
81.467
3.027.869
421.328
614.051
192.723
2071
81.420
3.064.845
426.473
613.701
187.227
2072
81.374
3.102.274
431.681
613.351
181.670
2073
81.328
3.140.159
436.953
613.001
176.048
2074
81.281
3.178.507
442.289
612.652
170.363
2075
81.235
3.217.323
447.691
612.303
164.612
2076
81.189
3.256.613
453.158
611.954
158.796
2077
81.142
3.296.384
458.692
611.605
152.913
2078
81.096
3.336.639
464.293
611.256
146.963
2079
81.050
3.377.387
469.963
610.908
140.944
2080
81.004
3.418.632
475.703
610.560
134.857
2081
80.958
3.460.381
481.512
610.212
128.700
2082
80.911
3.502.639
487.392
609.864
122.471
2083
80.865
3.545.414
493.344
609.516
116.172
2084
80.819
3.588.711
499.369
609.169
109.800
2085
80.773
3.632.537
505.467
608.821
103.354
2086
80.727
3.676.898
511.640
608.474
96.834
2087
80.681
3.721.800
517.889
608.128
90.239
2088
80.635
3.767.251
524.213
607.781
83.568
2089
80.589
3.813.257
530.615
607.435
76.820
2090
80.543
3.859.825
537.095
607.088
69.994
2091
80.497
3.906.962
543.654
606.742
63.088
68
2092
80.451
3.954.674
550.293
606.396
56.103
2093
80.406
4.002.969
557.013
606.051
49.038
2094
80.360
4.051.854
563.815
605.705
41.890
2095
80.314
4.101.336
570.701
605.360
34.659
2096
80.268
4.151.422
577.670
605.015
27.345
2097
80.222
4.202.119
584.725
604.670
19.945
2098
80.177
4.253.436
591.866
604.325
12.460
2099
80.131
4.305.380
599.094
603.981
4.887
2100
80.085
4.357.957
606.410
603.637
-2.773
Sumber: Badan Pusat Statistik, berbagai terbitan (diolah). .
Dari hasil yang diperoleh pada tabel 17 diketahui bahwa pada tahun 2100 produksi beras tidak dapat memenuhi kebutuhan beras di Kabupaten Subang. Ketersediaan produksi beras diperkirakan sebesar 696.410 ton dengan Kebutuhan beras yang diperkirakan sebesar 603.637 ton. Sehingga pada tahun tersebut akan terjadi kekurangan beras yaitu sebesar 2.773 ton. 6.8
Implikasi Kebijakan Alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah merupakan hal yang
sulit dihindari dikarenakan kebutuhan kegiatan non pertanian yakni peningkatan jumlah penduduk dan pembangunan perekonomian suatu wilayah. Pada dasarnya alih fungsi lahan memiliki dampak positif terhadap perekonomian suatu wilayah dalam sisi non – pertanian, di sisi lain juga hal ini akan berdampak pada terhadap menurunnya produksi hasil pertanian, dimana hal ini akan berkaitan dengan adanya aspek – aspek terkait seperti orientasi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Maka dari itu diperlukan adanya kebijakan atau intervensi pemerintah dalam mengatasi masalah alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian ini. Dari hasil pernelitian, implikasi kebijakan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1.
Aspek Sosial a. Penyuluhan Program Keluarga Berencana (KB) Pengendalian laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Subang dengan cara meningkatkan penyebaran informasi ke penduduk mengenai program Keluarga Berencana (KB). Hal ini bermaksud untuk menekan laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Subang yang menyebabkan
69
meningkatkan kebutuhan akan lahan, sehingga menyebabkan terjadi alih fungsi lahan. b. Implementasi UU RI Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Untuk mengendalikan alihfungsi lahan pertanian, Undang-undang ini diharapkan dapat melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, menjamin tersedianya lahan pertanian lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan, melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani, meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat, meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani, meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak, mempertahankan keseimbangan ekologis dan mewujudkan revitalisasi pertanian. c. Implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Subang Pasal 68 mengenai pertanian tanaman pangan Upaya mempertahankan lahan sawah terutama sawah yang beririgasi teknis, program pengembangannya yaitu pengukuhan kawasan pertanian lahan basah khususnya lahan sawah irigasi teknis dengan kegiatan pemetaan dan penetapan batas sawah beririgasi teknis. Peningkatan pelayanan infrastruktur pertanian untuk mempertahankan keberadaan fungsi lahan sawah beririgasi teknis dengan kegiatan peningkatan jaringan irigasi baik irigasi primer, sekunder ataupun tersier termasuk irigasi desa, mengendalikan alih fungsi lahan sawah melalui mekanisme perijinan pemanfaatan yang ketat dan menjaga sistem persawahan secara terpadu dengan mengatur penggunaan bahan pestisida dan kimia yang dapat mengakibatkan pencemaran. 2.
Aspek Ekonomi a. Memaksimalkan kebijakan untuk para petani salah satunya adalah mengenai pemberian insentif kepada para petani Sesuai UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pertanian Pangan Berkelanjutan, pasal 38 insentif yang diberikan kepada
70
petani yaitu keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, pembangunan infrastruktur pertanian, pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dam varietas unggul, kemudahan dalam mengakses informasi dan tekenologi, penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian, jaminan penerbitan sertifikat bidang tanah pertanian pangan melalui pendaftaran tanah secara sporadik dan sistematik, dan penghargaam bagi petani berpaartisipasi tinggi. Terkait isi dari pasal 38 tersebut lebih jelasnya insentif yang diberikan kepada petani dapat berupa subsidi input produksi seperti penyediaan bibit dan pupuk yang berkelanjutan dengan harga yang disesuaikan kepada petani. Keringanan yang diberikan kepada petani ini akan meningkatkan pendapatan petani sehingga meminimalisir keinginan petani untuk menjual lahan ataupun mengalihfungsikan lahannya ke non pertanian. b. Pembuatan bank tanah Lembaga bank tanah dapat memberikan jaminan ketersediaan tanah dengan mengupayakan peningkatan daya guna dan hasil guna dalam pemanfataan tanah dan mempertimbangkan kondisi fisik tanah, sekaligus rasio keseimbangan distribusi tanah dengan menyelaraskan kepentingan individu,
masyarakat,
pemerintah
dan
swasta
serta
senantiasa
memperhatikan fungsi sosial tanah dalam konteks pembangunan kota yang berkelanjutan. Sebagai intrument untuk melaksanakan berbagai kebijakan pertanahan dan mendukung pengembangan wilayah secara efisien dan efektif. 3.
Aspek Lingkungan a. Memperbaiki sistem jaringan irigasi sawah dan pencetakan sawah baru Efisiensi jaringan irigasi dimana tanaman biasa digenangi air terus menerus, hal ini dapat diubah dengan cara pemberian air sesuai dengan kebutuhan tanaman. Peningkatan jaringan irigasi menjadi lebih efisien dapat membantu dalam peningkatan produksi hasil pertanian karena meningkatnya produktivitas pertanian itu sendiri. Pencetakan sawah baru dengan sistem jaringan irigasi yang efisien dapat memaksimalkan produksi petani, selain itu juga hal ini dapat mengurangi dampak negatif
71
dari alih fungsi lahan itu sendiri, dimana bertambahnya lahan pertanian dapat menggantikan lahan pertanian yang hilang akibat alih fungsi lahan itu sendiri. b. Memanfaatkan lahan kering dan lahan yang tidak terpakai lainnya Alih fungsi lahan sawah menjadi lahan pemukiman masyarakat dan lahan industri secara langsung menurunkan produksi pertanian. Salah satu pencegahan terjadinya hal tersebut yaitu dengan cara memindahkan pembangunan dalam bidang non-pertanian ke lahan kering atau lahan yang tidak terpakai lainnya sehinga tidak mempengaruhi produksi pertanian. Hal ini dapat mengurangi kerugian di bidang pertanian dan mencegah alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.
72
73
VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Alih fungsi lahan di Kabupaten Subang mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun ke tahun. Periode tahun 2003 – 2012, luasan sawah cenderung menurun dengan rata – rata laju alih fungsi lahan sawah sebesar 0,057 persen atau sekitar 169 hektar. Alih fungsi lahan terbesar yakni terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar 723 hektar. Alih fungsi lahan ini terjadi karena peningkatan pembangunan pemukiman penduduk dan pembangunan industri.
2.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Subang pada skala makro yaitu jumlah perumahan rakyat dan jumlah industri. Sedangkan faktor yang mempengaruhi pada skala mikro yaitu luas lahan dan pendapatan usaha tani.
3.
Alih fungsi lahan di Kabupaten Subang dipengaruhi secara signifikan oleh harga lahan sesuai dengan penelitian dengan menggunakan Metode Korelasi Pearson bahwa, semakin meningkatnya harga lahan maka semakin meningkat pula lahan yang dijual dan dialihfungsikan oleh petani.
4.
Alih fungsi lahan menyebabkan adanya perubahan rata-rata pendapatan total petani sebelum dan sesudah terjadinya alih fungsi lahan, penurunan yang terjadi yaitu sebesar Rp 1.090.762. Selain pendapatan yang menurun, petani juga mengalami penurunan produksi padi. Produksi gabah yang hilang selama sepuluh tahun dari tahun 2003 hingga 2012 adalah sebesar 231.241 ton atau nilainya sekitar Rp 1.017.460.400.000. Hasil simulasi ketahanan pangan di Kabupaten Subang, yaitu pada tahun 2100 Kabupaten Subang tidak dapat memenuhi kebutuhan berasnya, dimana akan terjadi kekurangan beras sebesar 2.773ton.
5.
Implikasi kebijakan untuk mengatasi alih fungsi lahan sawah dapat dilakukan dari berbagai aspek, yaitu aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, contohnya penyuluhan memengani program Keluarga Berencana (KB),
74
pembuatan bank tanah dan memperbaiki sistem jaringan irigasi sawah dan pencetakan sawah baru.
7.2
Saran Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan,
beberapa
saran
direkomendasikan sebagai bahan pertimbangan sebagai berikut 1.
Pembentukan organisasi gabungan kelompok tani (gapoktan) yang berperan aktif untuk hasil sistem pertanian yang lebih baik
2.
Pengadaan penyuluhan pertanian mengenai keanekaragaman pangan sebagai bentuk alternatif bentuk pangan di Indonesia
3.
Pemerintah perlu secara lebih berimbang, memperhatikan kepentingan petani produsen tanpa melupakan kepentingan konsumen, terutama pada kondisi krisis global dan fluktuasi harga pangan di pasar internasional.
4.
Pemerintah perlu menyusun instrumen kebijakan stabilisasi harga gabah yang lebih efektif , misalnya memberikan jaminan harga gabah petani yang memadai terutama pada musim panen raya.
5.
Sistem pemerintahan daerah yang lebih transparan agar mengurangi pikiran negatif masyarakat mengenai kebijakan yang dilakukan dalam bidang yang bersangkut paut dengan pertanian.
75
DAFTAR PUSTAKA Afandi M Nur. 2009. Pengaruh Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan Di Jawa Barat. Sekolah Tinggi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara (LAN) Bandung, Bandung. Afandi M Nur. 2011. Analisis Kebijakan Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Jawa Barat. Sekolah Tinggi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara (LAN) Bandung, Bandung. Amang B, M Husein S. 1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional. IPB Press, Bogor. Andhika N K. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah Serta Dampaknya Terhadap Produksi Padi di Kota Depok. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arsyad S. 2008. Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Bogor. Astuti DI. 2011. Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2004. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Subang. Pemerintah Kabupaten Subang, Jawa Barat. Badan Pusat Statistik. 2011. Indonesia Dalam Angka Tahun 2010. BPS. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2012. Indonesia Dalam Angka Tahun 2011. BPS. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2013. Indonesia Dalam Angka Tahun 2012. BPS. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2014. Indonesia Dalam Angka Tahun 2013. BPS. Jakarta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang. 2004. Kabupaten Subang Dalam Angka Tahun 2003. BPS. Kabupaten Subang, Jawa Barat. ___________________________________. 2005. Kabupaten Subang Dalam Angka Tahun 2004. BPS. Kabupaten Subang, jawa Barat. ___________________________________. 2006. Kabupaten Subang Dalam Angka Tahun 2005. BPS. Kabupaten Subang, Jawa Barat. ___________________________________. 2007. Kabupaten Subang Dalam Angka Tahun 2006. BPS. Kabupaten Subang, Jawa Barat. ___________________________________. 2008. Kabupaten Subang Dalam Angka Tahun 2007. BPS Kabupaten Subang, Jawa Barat. ___________________________________. 2009. Kabupaten Subang Dalam Angka Tahun 2008. BPS. Kabupaten Subang, Jawa Barat.
76
___________________________________. 2010. Kabupaten Subang Dalam Angka Tahun 2009. BPS. Kabupaten Subang, Jawa Barat. ___________________________________. 2011. Kabupaten Subang Dalam Angka Tahun 2010. BPS. Kabupaten Subang, Jawa Barat. ___________________________________. 2012. Kabupaten Subang Dalam Angka Tahun 2011. BPS. Kabupaten Subang, Jawa Barat. ___________________________________. 2013. Kabupaten Subang Dalam Angka Tahun 2012. BPS. Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanana Pangan 20062009. Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta. Elizabeth R. 2011. Strategi Pencapaian Diversifikasi dan Kemandirian Pangan: Antara Harapan dan Kenyataan. Pusat Analaisis Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Gujarati D. 2002. Basic Economics. Mc. Graw Hill. Singapore Harsono S. 1992. Terjadinya Alih fungsi Lahan dalam Kaitannya Dengan Pelaksanaan Perundang-undangan tentang Pertanahan dalam Makalah Seminar Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung, Lampung. Iqbal M, Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu pada Partisipasi Masyarakat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatanya, dan Faktor Determinan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Jamal E. 1999. Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Alih Fungsi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. [Tesis] Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jamal. 2002. Harga Pengaruh Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Karawang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor. Lembaga Ketahanan Nasional RI. 2012. Implementasi Hubungan Kerja antar Instansi untuk Ketahanan Pangan dapat Meningkatkan Kemandirian Bangsa. Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, Jakarta. Manuwoto. 1992. Sinkronisasi Kebijaksanaan dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan, Suatu Upaya Pencegahan Alih Fungsi Lahan dalam Makalah Seminar Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung, Lampung. Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta
77
Rembulan G P. 2013. Analisis Dampak Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Pendapatan Petani di Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rifai E, Muhajir U, Abdulmuthalib T. 1992. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung, Lampung. Sihaloho M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. [Tesis] Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soemarno. 2013. Konversi Lahan dalam Mata Kuliah Landuse Planning and Land Management. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang. Suryana A. 2005. Satu Abad Kiprah Lembaga Penelitian Tanah: 1905-2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Sudaryanto T, Sri H S, Sumaryanto. 2009. Increasing Number of Small Farms in Indonesia Causes and Consequences. University of Kent, United Kingdom. Utama D. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah di Kabupaten Cirebon. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Utomo M. 1992. Alih Fungsi Lahan: Tinjauan Analitis dalam Makalah Seminar Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung, Lampung. Pemerintah Kabupaten Subang. 2013. Potensi Pertanian. www.subang.go.id/potensi-pertanian.php. Diakses pada tanggal 10 Mei 2014. Yudhistira M Dika. 2013. Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
78
79
LAMPIRAN
80
81
Lampiran 2. Peta Kabupaten Subang
82
Lampiran 3. Penurunan luas lahan di Kabupaten Subang Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Luas Lahan Sawah (Ha) 84.701 84.701 84.167 84.167 84.167 85.355 85.362 84.929 84.929 84.206
Laju Penyusutan Lahan (Ha) 0 0 -0,630 0 0 1,411 0,008 -0,507 0 -0,851
Lampiran 4. Data jumlah penduduk Kabupaten Subang tahun 2003 – 2012 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Jumlah Penduduk (Jiwa) 1,347,109 1,379,530 1,391,993 1,402,130 1,422,028 1,446,889 1,470,274 1,447,432 1,492,094 1,501,597
Laju Pertumbuhan Penduduk (persen) 2.41 0.90 0.73 1.42 1.75 1.62 -1.55 3.09 0.64
Lampiran 5. Data di tingkat wilayah yang memengaruhi alih fungsi lahan
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Ln_Jumlah Perumahan Rakyat 12.67 12.67 12.67 12.71 12.72 12.78 12.51 12.78 12.75 12.78
Ln_Jumlah Industri 3.30 3.30 3.30 3.30 3.26 4.11 3.85 3.83 3.47 3.95
Ln_PDRB Non Pertanian
Ln_Produktifitas
13.81 13.79 13.93 14.09 14.23 14.30 14.41 13.85 14.61 14.73
2.25 2.48 2.52 2.50 2.63 2.51 2.58 2.42 2.63 2.62
83
Lampiran 6. Hasil regresi berganda Model Summary
Model
R
1
R Square
.827(a)
.683
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
.430
.97090
DurbinWatson 2.240
a Predictors: (Constant), x13, x2, x3, x11 b Dependent Variable: y c Weighted Least Squares Regression - Weighted by weight
ANOVA ANOVA(b,c)
Sum of Squares
Model
Mean Square
Df F Regressi 10.165 4 2.541 2.696 on Residual 4.713 5 .943 Total 14.878 9 a Predictors: (Constant), x13, x2, x3, x11 b Dependent Variable: y c Weighted Least Squares Regression - Weighted by weight
Sig. .015(a)
Coefficients(a,b)
Model
1
(Cons tant) X1
Unstandardized Coefficients Std. B Error 141.71 74.031 5 13.279 4.776
Standardiz ed Coefficien ts
t
Sig.
Beta
Collinearity Statistics Toleran ce VIF
-1.914
.114
2.520
2.780
.039
.077
3,415
X2
6.307
2.266
3.962
2.783
.039
.031
6,011
X3
-3.985
2.994
-2.775
-1.331
.241
.015
8,867
3.408 5.005 1.307 .681 .526 a Dependent Variable: y b Weighted Least Squares Regression - Weighted by weight
.017
4,316
X4
84
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Histogram
Dependent Variable: y 1.0
Dependent Variable: y 4
Expected Cum Prob
0.8
2
0.6
0.4
0.2
1
0 -1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
Mean =2.15E-15 Std. Dev. =0.745 N =10
0.0 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Observed Cum Prob
Regression Standardized Residual
Scatterplot
Dependent Variable: y 1.5
Regression Studentized Residual
Frequency
3
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
-1.5
-2.0 -1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
Regression Standardized Predicted Value
1.5
2.0
85
Lampiran 7. Hasil regresi logistik Model Summary -2 Log Cox & likelihoo Snell R Nagelkerke Step d Square R Square 1 42.201(a) .258 .345 a Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than .001. Omnibus Tests of Model Coefficients
Step 1
Step Block Mode l
Chisquare 11.634 11.634
df
11.634
5 5
Sig. .040 .040
5
.040
Hosmer and Lemeshow Test
Step 1
Chisquare 6.260
Df 8
Sig. .618
Classification Table(a) Observed
Predicted Percentage Correct
y Step 1
a The cut value is .500
y .00 1.00 Overall Percentage
.00 13 4
1.00 5 17
72.2 81.0 76.9
86
Variables in the Equation B Step 1(a)
x1
20.213
S.E. 9.166
Wald 4.864
x2 -.002 .026 .005 x3 .197 .436 .205 x4 -.388 .486 .637 x5 -1.148 .599 3.668 Constan -1.860 1.490 1.557 t a Variable(s) entered on step 1: x1, x2, x3, x4, x5.
df
Sig. 1
.027
1 1 1 1
.946 .651 .425 .055
Exp(B) 6005933 98.508 .998 1.218 .678 .317
1
.212
.156
Lampiran 8. Dokumentasi penelitian
Keterangan: Industri Tekstil yang berdiri di tengah tengah sawah beririgasi teknis di Desa Belendung, Kecamatan Cibogo dimana sebelumnya adalah lahan sawah irigasi.
87
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 05 Juli 1993 dari ayah Muhammad Arifai dan ibu Hanifah. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar Neger 308 Palembang, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menegah Pertama Negeri 20 Palembang dan melanjutkan Pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Palembang. Pada tahun 2010, penulis lolos seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui Program USMI dan diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen dengan NRP H44100011. Selama masa Perkuliahan penulis aktif sebagai anggota PSM IPB Agriswara dengan suara Bass 1, anggota Ikatan Mahasiswa Bumi Sriwijaya (IKAMUSI), sebagai staff Departemen Pengembangan Masyarakat BEM FEM IPB 2011-2012. Selain internal kampus penulis juga aktif pada organisasi eksternal kampus yaitu sebagai Wakil Ketua Eksternal Pemuda Forum For Indonesia. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan baik lingkup departemen, fakultas, universitas, maupun nasional.