ANALISIS BIAYA ADMINISTRATIF PAJAK DI INDONESIA PADA MASA REFORMASI PAJAK JILID II TAHUN 2009-2012
Fandi Prasetyo Nurrakhman
Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan Kampus UI Depok Jawa Barat, 16424, Indonesia
E-mail:
[email protected]
Abstrak
Pemerintah di berbagai negara berupaya meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan, guna mengurangi biaya menghimpun penerimaan pajak. Tujuan penelitian ini adalah menghitung biaya administratif pajak dan rasionya di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data studi dokumentasi dan wawancara mendalam kepada pegawai DJP dan akademisi. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa Hasil perhitungan menunjukkan bahwa biaya administratif pajak mengalami tren kenaikan jumlah nominalnya pada masa reformasi pajak jilid II, meskipun pada tahun 2012 mengalami penurunan. Rasio biaya administratif pajak pada tahun masa reformasi pajak jilid II mengalami tren penurunan, meskipun sempat terjadi peningkatan rasio pada tahun 2011.
Analysis of the Administrative Costs of Tax in Indonesia at Tax Reform Part II 2009-2012
Abstract
Governments tend to increase the efficiency in administering tax, which to decrease the cost of collecting tax. The purpose of this research is to measure the administrative costs of tax and its ratio. This research uses descriptive qualitative method and gathers data and information through existing statistics study and semistructured interview from DGT officers and experts. The result of this research shows that Indonesia’s administrative costs of tax are increased from 2009 to 2011, then decreased at 2012. The trend of administrative costs of tax ratio are decreased through these years, although it was increased at 2011. Keyword: Administrative costs of tax, tax revenue, tax reform
1 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
Pendahuluan
Pemerintah memerlukan dana untuk menghimpun pajak. Dana tersebut diperoleh dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang salah satu sumber dananya berasal dari pajak. Biaya sektor publik yang paling nyata adalah biaya yang timbul pada departemen penerimaan (revenue departments) dalam menghimpun penerimaan pajak (Sandford, 1989, h. 3). Dan untuk membatasi anggaran untuk lembaga penerimaan pajak, terdapat peningkatan perhatian pemerintah di berbagai negara untuk meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan untuk mengurangi biaya menghimpun penerimaan pajak (OECD, 2011). Administrasi perpajakan yang efisien dan efektif adalah salah satu dasar terselenggaranya administrasi perpajakan yang baik (Mansury, 1996, h. 24), dan minimalisasi biaya penghimpunan pajak merupakan kriteria penting dari efisiensi fiskal (Uppal, 2003, h. 53). Oleh karena itu, untuk mengetahui efisiensi administrasi perpajakan suatu negara, maka diperlukan penelitian biaya administratif pajak. Penelitian biaya operasional perpajakan (operating costs of taxation), yaitu biaya kepatuhan (compliance cost) pajak untuk Wajib Pajak dan biaya administratif (administrative cost) untuk pemerintah, telah berkembang beberapa tahun belakangan ini (Evans, 2003, h. 64). Biaya administratif pajak tersebut yang merupakan biaya pemerintah untuk menghimpun pajak. Lebih lanjut, Evans menyebutkan sejarah biaya operasional pajak telah ada sejak Adam Smith, yang menegaskan adanya pengaruh biaya operasional pajak dalam sistem perpajakan, dan terdapat berbagai literatur yang menyebutkan adanya beban biaya yang ditanggung wajib pajak atas kewajiban perpajakannya. Adam Smith menekankan perlunya penerapan prinsip efficiency, selain prinsip equality, certainty dan convenience (dikenal sebagai prinsip four maxims) dalam mekanisme pemungutan pajak. Dalam prinsip efisiensi tersebut, pemungutan pajak sebaiknya dilaksanakan dengan cara sehemat mungkin, biaya-biaya terkait pemungutan pajak tidak lebih tinggi dari jumlah pajak yang dipungut. Cannan (1976, h. 341) menyebutkan “Every tax ought to be contrived as both to take out and keep out of the pockets of the people as little as possible, over an above what it brings into the public treasury of the state”. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan 2 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
bahwa pajak hendaknya dihimpun seringan mungkin dari masyarakat, yaitu jumlah pajak yang dihimpun maupun biaya mengimpun pajak tersebut untuk kepentingan publik suatu negara. Sandford (1989) mengukur biaya administrasi dan biaya kepatuhan pada beberapa jenis pajak di Inggris, yaitu Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pendapatan Minyak Bumi (Petroleum Revenue Tax). Berikut adalah data penerimaaan dan biaya administratif pajak yang diteliti oleh Sandford pada tahun 1986-1987. Tabel 1 Penerimaan dan Biaya Administratif Pajak Inggris 1986-87 Pajak
Penerimaan
Biaya Asministratif (£, dalam juta)
Prosentase dari Penerimaaan (%)
(£, dalam juta) Pajak Penghasilan Orang Pribadi 38.499 883 2,23 Pajak atas penjualan / pengalihan harta 1.064 18 1,69 Kontribusi asuransi nasional 25.663 46 0,17 Pajak Pertambahan Nilai 21.423 220 1,03 Pajak Penghasilan Badan 13.495 70,3 0,52 Pajak atas minyak bumi 1.189 1,4 0,12 Cukai 16.470 41,9 0,25 Lain-lain 4.597 38,9 0,85 Jumlah 122.400 1.319,5 1,07 Sumber: Telah diolah kembali dari Administrative and Compliance Cost of taxation (Sandford, 1989)
Dari tabel 1.1 dapat dilihat bahwa jumlah biaya administratif pajak di Inggris pada tahun 1986-1987 sebesar 1.319.500.000 Poundsterling, atau sebesar 1,07 persen dari jumlah penerimaan pajak. Biaya paling tinggi untuk menghimpun pajak penghasilan atas orang pribadi, yaitu sebesar 883.000.000 Poundsterling, atau sebesar 2,23 persen dari jumlah penerimaaan pajak penghasilan atas orang pribadi. Biaya administratif terkecil terdapat pada pajak atas minyak bumi, yaitu sebesar 1.400.000 Poundsterling, atau sebesar 0,12 persen dari jumlah penerimaaan pajak atas minyak bumi. Berdasarkan penelitian OECD (2013), biaya administratif pajak di berbagai negara sebagai berikut:
3 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
Tabel 2 Rasio Biaya Menghimpun Pajak (Biaya Administratif per penerimaan neto) Negara 2007
Biaya Administratif per Penerimaan Neto (%) 2008 2009 2010
2011 OECD Australia 0,93 0,95 1 1,05 0,99 Kanada 1,22 1,13 1,31 1,36 1,31 Jepang 1,5 1,49 1,71 1,93 1,75 Inggris 1,11 0,9 0,91 0,98 0,83 Swiss 0,45 0,46 0,37 0,38 Amerika Serikat 0,45 0,49 0,61 0,66 0,62 Non-OECD Hong Kong 0,85 0,75 India 0,76 0,75 0,61 0,55 Indonesia 0,64 0,58 0,48 0,55 Malaysia 1,29 1,04 1,41 1,27 1,09 Arab Saudi 1,06 1,26 1,38 1,57 Singapura 0,83 0,77 0,8 0,89 0,87 Sumber: Telah diolah kembali dari Tax Administration 2013: Comparative Information on OECD and Other Advanced and Emerging Economies (OECD, 2013, h. 180)
Tabel 2 menunjukkan bahwa prosentase biaya administratif pajak paling tinggi pada tahun 2011 di Jepang, yaitu sebesar 1,75% dari penerimaan pajak. Sedangkan prosentase biaya administratif pajak paling rendah tahun 2011 di negara Swiss, yaitu sebesar 0,4%. Di Amerika Serikat (AS) terdapat perbedaan perhitungan cost of collection, di mana Internal Revenue Service (IRS) AS menghitung penerimaan negara berdasarkan penerimaan kotor (gross base). Biaya administratif pajak di Indonesia berurutan dari tahun 2008 hingga 2011 yaitu 0,64%, 0,58%, 0,48%, dan 0,55%, terlihat bahwa rasio biaya menghimpun pajak per penerimaan pajak di Indonesia mengalami tren penurunan, namun pada tahun 2011 kembali terjadi kenaikan. Penelitian biaya administratif pajak oleh para ahli memberikan gambaran umum biaya administratif pajak di berbagai negara. Dengan konsep biaya administratif pajak, sistem perpajakan di berbagai negara dinilai biaya untuk menghimpun pajak. Dari tabel-tabel di atas dapat diketahui bahwa negara-negara di berbagai belahan dunia telah memiliki kesadaran akan biaya administratif pajak. Bahkan beberapa peneliti
dari beberapa negara telah
melakukan penelitian biaya administratif pajak (maupun biaya kepatuhan pajak) di negara masing-masing, di antaranya penelitian Sandford (1989) di Inggris dan Vaillancourt (2013) di Kanada. Melalui penelitian ini, dianalisis biaya administratif pajak di Indonesia, yaitu biaya 4 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
administratif pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat, yaitu oleh Direktorat Jenderal Pajak. Penelitian biaya administratif pajak Indonesia ini memiliki pokok-pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana perhitungan biaya administratif pajak di Indonesia pada masa reformasi perpajakan jilid II tahun 2009-2012? 2. Bagaimana tren rasio biaya administratif pajak per penerimaan pajak di Indonesia tahun 2009-2012? Batasan penelitian ini adalah, penelitian ini fokus pada jenis Pajak Pusat. Pajak pusat adalah pajak yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat, yaitu oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pajak daerah tidak diteliti dalam penelitian ini karena pajak daerah merupakan wewenang pemerintah daerah dalam pengelolaan maupun pemanfaatannya. Selain itu biaya legislatif (legislative cost) dan biaya peradilan (judicial costs) tidak termasuk dalam penelitian ini. Untuk menganalisis biaya administratif pajak dan tren kenaikan/penurunan biaya administratif pajak per penerimaan neto digunakan data DJP saat masa reformasi pajak jilid II, yaitu dari tahun 2009 hingga tahun 2012. Untuk menganalisis tren rasio biaya administratif pajak digunakan data rasio biaya administratif pajak di kawasan Asia Tenggara.
Tinjauan Teoritis
Slemrod dan Blumenthal (1992, h. 411-438) membagi costs of taxation menjadi lima unsur, yaitu: 1. Dead weight efficiency loss from taxation atau distortion cost, yaitu distorsi konsumsi dan/atau produksi yang disebabkan oleh pajak 2. The excess burden of tax evasion atau bribe cost, yaitu selisih jumlah penerimaan pajak yang seharusnya diterima negara dengan jumlah pengeluaran terkait pajak yang dibayarkan wajib pajak untuk melakukan praktik penggelapan pajak / tax evasion, 3. Avoidance cost, yaitu selisih jumlah penerimaaan pajak yang seharusnya diterima negara dengan jumlah pengeluaran terkait pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak sehubungan praktek penghindaran pajak / tax avoidance.
5 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
4. Administrative cost, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah selaku penyelenggara dalam rangka memberikan pelayanan kepada wajib pajak. Biaya ini disebut sebagai biaya menghimpun pajak (cost of collection) dalam OECD (2013), dan 5. Compliance cost, yaitu biaya yang dikeluarkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajak Evans (2014, h. 2) menyebutkan, terdapat tiga elemen biaya yang muncul dari sistem perpajakan. Elemen biaya pertama adalah pajak itu sendiri, yang dikenakan atas penghasilan, produk atau pegawai. Kedua, terdapat biaya efisiensi (efficiency cost), yang juga sebagai deadweight losses atau excess burden. Biaya efisiensi tersebut mendistorsi pasar atas pengenaan pajak. Yang ketiga adalah biaya operasi (operating cost) sistem perpajakan. Biaya tersebut terdiri dari biaya pemerintah untuk mengadministrasi dan menghimpun pajak (sebagai biaya administratif), dan biaya yang ditanggung wajib pajak untuk mematuhi, atau kadang tidak mematuhi kewajiban pajaknya (biaya kepatuhan). Sandford (1989, h. 5) menyebutkan biaya administratif adalah “public sector costs incurred in administering an existing tax code (including advice on its modification)”. Biaya administrasi merupakan biaya yang muncul dalam kegiatan mengadministrasi pajak yang ada (pada masing-masing negara). Komposisi biaya administratif meliputi gaji seluruh staf di setiap level (jabatan), iuran asuransi ansional, biaya pensiun, akomodasi, pos, telepon, percetakan, alat tulis, perjalanan komputer dan biaya-biaya perlengkapan lainnya. Allers (1994, h. 19) mendefinisikan biaya administratif sebagai “cost incurred by (mainly) public sector agents in order to administer the tax-benefit system”. Lebih lajut Allers menyebutkan komponen biaya administratif antara lain biaya gaji, biaya tempat tinggal, biaya alat tulis kantor, komputer, biaya komunikasi. Namun Allers menyebutkan aktivitas apa saja yang termasuk dalam sistem tersebut, misal apakah biaya legislasi undang-undang perpajakan, biaya perkara hukum termasuk dalam biaya administratif pajak, dan bagaimana mengukur depresiasi modal kapital (bangunan dan infrastruktur lainnya) sebagai bagian dari biaya administratif. Merupakan praktik umum dalam literatur untuk membatasi biaya administratif sebagai biaya yang berhubungan dengan operasional departemen penerimaan. Evans (2008, h. 451) menyebutkan: 6 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
Certainly, there are strong grounds for including legislative and juridical costs in calculations of administrative costs of administering tax system. And ultimately, the decision as to what to include or exclude from administrative costs is largely dependent on the availability of data, usually from governmental resources. Studi biaya administratif pajak menggunakan data laporan keuangan agen penerimaan pajak (tax revenue agency). Hal tersebut disebutkan oleh Sandford (1989, h. 51), bahwa: In this study (as in most others) the source of data on the administrative costs of central government taxes consist primarily of published data by the revenue departments – in the United Kingdom Customs and Excise and Inland Revenue. In particular the data come from annual reports of these two revenue departments which, following the Financial Management Initiative (FMI) provide a fairly detailed breakdown of costs. Other official publications have helped to refine the data on administrative costs ... as have interviews with senior officials. OECD (2004, h. 24) menyebutkan bahwa rasio biaya administratif pajak: ... the ratio is derived from a comparison of inputs (i.e. administrative costs) to outputs (i.e. tax revenue collections); initiatives that reduce relative costs (i.e. improve efficiency) or improve compliance and revenue (i.e. improve effectiveness) will impact on the ratio. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa untuk menghitung biaya administratif pajak diperlukan data biaya administratif pajak dan jumlah penerimaan pajak, yang datanya umumnya dapat diperoleh dari laporan keuangan tax revenue agency masing-masing negara.
Metodologi
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Sugiyono (2010, h. 14) menyebutkan: Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian kualitatif ditekankan paradigma natural karena manusia sebagai instrumen utama dalam penelitian. Dalam penelitian ini, teori biaya administratif pajak (administrative cost of taxation) digunakan untuk meneliti biaya administratif pajak.
7 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan mekanisme sebuah proses, menyajikan informasi dasar, menjelaskan tahap-tahap atau seperangkat tatanan, serta menciptakan seperangkat kategori atau pola (Prasetyo & Jannah, 2011, h. 42). Penelitian ini bersifat deskriptif karena bertujuan untuk menganalisis biaya administratif pajak pada masa reformasi perpajakan jilid II, dan menjelaskan tren kenaikan/penurunan biaya administratif pajak per penerimaaan pajak tahun 2009-2012. Berdasarkan manfaat, penelitian ini digolongkan ke dalam penelitian murni. penelitian ini biasanya dilakukan karena kebutuhan peneliti sendiri. Penelitian murni juga mencakup penelitian-penelitian yang dilakukan dalam kerangka akademis (Prasetyo & Jannah, 2011, h. 38). Peneliti tidak terikat oleh siapapun dan insitusi manapun untuk menyelengarakan penelitian ini. Penelitian ini dapat dikembangkan untuk memperoleh biaya operasional pajak di Indonesia dengan meneliti biaya kepatuhan pajak secara menyeluruh pada berbagai jenis pajak. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak, akademisi maupun pemerintah. Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini digolongkan menjadi penelitian crosssectional. Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang hanya dilakukan dalam waktu tertentu dan tidak akan dilakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan (Prasetyo & Jannah, 2011, h. 46). Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan dalam satu waktu, dimulai dari Januari 2014 hingga Juni 2014, dimulai dari penyusunan latar belakang hingga penyajian hasil penelitian. Singleton & Straits (1999, h. 357) menyebutkan lima kategori umum sumber data tersedia yaitu (1) dokumen publik dan laporan resmi, (2) dokumen pribadi, (3) media massa, (4) material fisik nonverbal, dan (5) arsip data sains sosial. Dalam penelitian biaya administratif pajak, digunakan sumber data dokumen publik dan laporan resmi, yaitu laporan tahunan dan laporan keuangan DJP. Teknik pengumpulan data dan informasi yang akan dilakukan adalah studi kepustakaan dan studi lapangan. Studi kepustakaan dilakukan melalui pengumpulan literatur buku-buku dan data-data yang relevan dengan masalah penelitian yang sedang diteliti, seperti buku-buku, literatur, jurnal, artikel, peraturan perundang-undangan, baik media cetak maupun media 8 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
elektronik, serta hasil penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Creswell (1994, h. 23) menjelaskan: The literature is used to “frame“ the problem in the introduction to the study or; The literature is presented in a separate section as a “review of the literature” or; The literature is presented in the study at the end, it becomes a basis for comparing and contrasting findings of the qualitative study. Selama dan sesudah pengumpulan data lapangan dilakukan, literatur dan data yang relevan dengan penelitian dipelajari hingga penelitian selesai. Hal tersebut dilakukan untuk menghasilkan analisis komprehensif mengenai biaya administratif pajak di Indonesia berdasarkan data yang diperoleh. Studi lapangan digunakan untuk mencari data yang mendukung objek pembahasan yang ada dan terjadi di lapangan dengan cara pengumpulan data melalui pihak-pihak terkait. Sebagaimana pendapat Neuman (2006, h. 383) bahwa: Field research is based on naturalism, which is also used to study other phenomena. Naturalism involves observing ordinary event in natural setting. A field researcher examines social meanings and grasps multiple perspective in natural social setting. He or she gets inside the meaning of system, and then goes back to an outside or research viewpoint. Studi lapangan yang digunakan adalah studi existing statistics dan wawancara mendalam (interview). Untuk memperoleh data untuk menghitung biaya administratif pajak, dilakukan permintaan data laporan keuangan DJP. Dari laporan keuangan tersebut dapat diperoleh data biaya dan penerimaan pajak, yang kemudian dihitung biaya dan penerimaan neto agar memperoleh biaya administratif pajak dan rasio biaya administratif pajak. Selain melakukan permintaan data kepada DJP, dilakukan wawancara mendalam kepada informan. Dalam perjalanan penelitian wawancara dapat dilakukan dengan lebih dari satu orang. Penelitian ini menggunakan model wawancara semiterstruktur, yaitu jenis wawancara yang sudah termasuk dalam kategori in-depth interview, di mana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara tersetruktur, dengan tujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya (Sugiyono, 2010, 413).
9 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
Dari hasil wawancara ini informasi yang ingin diperoleh adalah bagaimana perhitungan biaya administratif pajak Direktorat Jenderal Pajak dalam fungsinya sebagai lembaga penerimaan pajak, dan tren rasio biaya administratif pajak per penerimaan pajak di Indonesia. Dalam penelitian ini digunakan analisis Model Miles and Huberman, yaitu aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh (Sugiyono, 2010, h. 430). Aktivitas analisis data tersebut yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. Berikut adalah langkah analisis Model Miles and Huberman. Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Data tersebut dapat berjumlah banyak dan kompleks, sehingga perlu dilakukan reduksi. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya, dan membuang yang tidak perlu (Sugiyono, 2010, h.434). Data yang telah direduksi kemudian di-display (penyajian daya). Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2010, h. 434) menyebutkan “the most frequent form of display data for qualitative research data in the past has been narrative text”. Langkah ketiga adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Sugiyono (2010, h. 438) menyatakan: ...kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada di lapangan. Dari penjelasan tersebut, rumusan masalah dapat berubah berdasarkan temuan data di lapangan. Sesuai dengan penjelasan Model Miles and Huberman ini, simpulan dapat ditarik setelah analisis data tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Penelitian ini memiliki keterbatasan ketersediaan data. Sebagaimana yang terjadi di negera-negara lain yang telah diteliti, ketersediaan data yang mendetail menjadi masalah dalam penelitian biaya administratif pajak. Analisis biaya administratif pajak hanya dianalisis berdasarkan data yang ada pada laporan keuangan Direktorat Jenderal Pajak.
Hasil
Analisis biaya administratif beragam, berdasarkan ketersediaan data yang diperoleh peneliti. Data yang diperoleh Sandford (1989), sebagaimana disajikan pada bab I penelitian 10 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
ini, data biaya administratif pajak dapat diperoleh berdasarkan jenis pajak yang dikelola oleh otoritas pajak. Data yang diperoleh Vaillancourt (2013) berupa biaya administratif pajak di pusat dan di masing-masing wilayah Kanada. Data yang diperoleh untuk mengukur biaya administratif pajak di Indonesia adalah data realisasi belanja DJP. Realisasi Belanja DJP terdapat pada laporan keuangan DJP yang disusun berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan PMK Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan
Keuangan Pemerintah Pusat, yang kemudian diubah dengan PMK Nomor
233/PMK.05/2011. Dalam menyusun laporan keuangan DJP, pengumpulan data dilakukan tiap semester dengan cara mengumpulkan para pejabat / pelaksana terkait data teknis, yaitu data penerimaan dari Bidang Puktekkom Kanwil, data belanja dari Bagian Umum Kanwil, data piutang dari Bidang P4 Kanwil, dan data keberatan dan Banding dari Bidang keberatan dan Banding Kanwil (Wawancara dengan Mukti Wibowo, 3 Juni 2014). Masing-masing bidang tersebut dikumpulkan dalam sebuah meeting besar. Kewajiban mengumpulkan laporan keuangan adalah semua satuan kerja yang memiliki Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), dan dikumpulkan secara berjenjang, yaitu KP2KP dan KPP ke Kanwil, lalu Kanwil DJP mengumpulkan ke KP DJP (Wawancara dengan Mukti Wibowo, 3 Juni 2014). Perolehan data untuk penyusunan laporan keuangan DJP dari Kanwil berbentuk buku laporan keuangan per Kanwil. Realisasi belanja DJP dapat dilihat dari (1) sumber dana, (2) realisasi KP DJP dan Kanwil, dan (3) jenis belanja. Untuk menghitung biaya administratif pajak, data yang digunakan adalah data realisasi belanja DJP per jenis belanja sehingga dapat diketahui biaya administratif pajak per jenis belanja dan belanja apa yang mempengaruhi kenaikan / penurunan biaya administratif pajak pada tahun tertentu. Klasifikasi biaya administratif pajak dapat berdasarkan biaya yang dikeluarkan untuk mengelola jenis pajak, atau berdasarkan biaya yang dikeluarkan untuk fungsi atau aktivitas tertentu, namun Evans (wawancara dengan Chris Evans, 19 Mei 2014) menyebutkan bahwa, “There is no "best" way - it just depends upon the purposes for which the data is being used and the availability of such data”. Selain itu dianalisis realisasi belanja DJP dari sumber dana untuk mengetahui apakah perolehan pinjaman (loan) dan hibah (grants) mempengaruhi jumlah biaya administratif pajak. Perolehan dana pinjaman dan hibah tersebut perlu diperhatikan karena memberikan tambahan jumlah anggaran untuk DJP, sehingga apabila anggaran tersebut terealisasi maka biayanya termasuk dalam biaya administratif pajak.
11 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
Tabel 3 Realisasi Belanja DJP Menurut Sumber Dana Tahun 2009-2012 (Dalam Rupiah) Tahun 2009
Uraian Pagu Realisasi (%) Rupiah Murni 4.277.178.983.000 4.049.869.635.177 94,07 Pinjaman Luar Negeri 4.294.000.000 0 0,00 Hibah Luar negeri 21.744.080.000 0 0,00 Rupiah Murni Pendamping 2.000.000.000 0 0,00 Jumlah 4.305.217.063.000 4.049.869.635.177 94,07 2010 Rupiah Murni 3.616.755.613.000 4.319.005.999.039 111,37 Pinjaman Luar Negeri 217.918.125.000 0 0,00 Hibah Luar negeri 21.744.080.000 0 0,00 Rupiah Murni Pendamping 21.632.438.000 0 0,00 Jumlah 3.878.050.256.000 4.319.005.999.039 111,37 2011 Rupiah Murni 4.845.105.600.000 5.395.149.005.977 111,35 Pinjaman Luar Negeri 0 0 0,00 Hibah Luar negeri 15.199.600.000 1.884.390.703 12,40 Rupiah Murni Pendamping 61.189.500.000 0 0,00 Jumlah 4.921.494.700.000 5.397.033.396.680 109,66 2012 Rupiah Murni 4.969.331.645.000 5.222.832.497.997 105,10 Pinjaman Luar Negeri 0,00 Hibah Luar negeri 1.395.430.000 1.365.583.852 97,86 Rupiah Murni Pendamping 26.716.500.000 0 0,00 Jumlah 4.997.443.575.000 5.224.198.081.849 104,54 Sumber: Telah diolah kembali dari Laporan Keuangan Direktorat Jenderal Pajak (2009-2012)
Dari tabel 3 dapat diketahui tidak terdapat biaya yang anggarannya bersumber dari pinjaman. Sedangkan pada hibah, terdapat realisasi belanja kegiatan DJP yang bersumber dari hibah sebesar Rp 1.884.390.703 atau 0,035% dari realisasi belanja DJP pada 2011 dan Rp 1.365.583.852 atau 0,026% dari realisasi belanja DJP pada 2012. Dengan demikian, belanja DJP yang bersumber dari hibah tidak signifikan. Dalam menghitung biaya administratif pajak, digunakan perhitungan neto, yaitu seluruh realisasi belanja bruto dikurangi pembembalian belanja. Untuk memperoleh jumlah belanja bruto, maka setiap realisasi jenis belanja dijumlahkan sebagai berikut: Tabel 4 Realisasi Belanja Bruto DJP Menurut Jenis Belanja Tahun 2009-2012 (Dalam Rupiah) Tahun 2009
2010
Uraian Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Pembayaran Bunga (SPM-IB) Jumlah Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Pembayaran Bunga (SPM-IB)
Utang
Pagu 1.338.853.128.000 1.905.810.437.000 1.060.553.498.000 0
Realisasi 1.116.236.032.958 1.228.057.182.349 648.482.990.590 1.057.093.429.280
(%) 83,37 64,44 61,15 -
Utang
4.305.217.063.000 1.230.963.284.000 1.958.308.123.000 688.778.849.000 0
4.049.869.635.177 1.227.818.953.099 1.427.432.785.378 342.267.048.585 1.321.487.211.977
94,07 99,74 72,89 49,69 -
12 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
Jumlah 3.878.050.256.000 4.319.005.999.039 111,37 Belanja Pegawai 1.437.168.405.000 1.354.681.299.686 94,26 Belanja Barang 2.765.698.083.000 2.370.575.755.219 85,71 Belanja Modal 718.628.212.000 424.376.470.388 59,05 Pembayaran Bunga Utang 0 1.247.399.871.387 (SPM-IB) Jumlah 4.921.494.700.000 5.397.033.396.680 109,66 2012 Belanja Pegawai 1.552.002.135.608 1.488.993.656.113 95,94 Belanja Barang 3.068.304.026.025 2.825.943.594.865 92,10 Belanja Modal 377.137.413.367 293.626.083.620 77,86 Pembayaran Bunga Utang 0 615.634.747.251 (SPM-IB) Jumlah 4.997.443.575.000 5.224.198.081.849 104,54 Sumber: Telah diolah kembali dari Laporan Keuangan Direktorat Jenderal Pajak (2009-2012) 2011
Selama masa reformasi pajak jilid II, realisasi belanja bruto DJP hanya di bawah pagu pada tahun 2009, yaitu 94,07% dari anggaran, sedangkan pada tahun 2010 hingga 2012 realisasi belanja bruto DJP melebihi pagu anggaran, yaitu 111,37% pada 2010, 109,66% pada 2011, dan 104,54% pada 2012. Secara umum pagu anggaran belanja DJP selalu meningkat, kecuali pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak melakukan pengurangan anggaran DJP dalam menghimpun penerimaan pajak. Namun realisasi belanja DJP dari tahun 2010 hingga 2012 melebihi pagu total anggaran belanja DJP. Untuk memperoleh biaya administratif pajak, yaitu biaya yang timbul pada DJP dalam mengadministrasi sistem perpajakan, digunakan perhitungan biaya neto. Perhitungan biaya neto tersebut didapat dengan menghitung realisasi belanja neto DJP, yaitu realisasi belanja bruto DJP per jenis belanja dikurangi pengembalian anggaran belanja sebagai berikut: Tabel 5 Realisasi Belanja Neto DJP Tahun 2009-2012 (Dalam Rupiah) Tahun 2009
2010
2011
Uraian
Belanja Bruto 1.116.236.032.958 1.228.057.182.349 648.482.990.590 1.057.093.429.280
Pengembalian Belanja 1.092.654.533 169.407.781 21.434.000 286.098.879
Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Pembayaran Bunga Utang (SPM-IB) Jumlah Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Pembayaran Bunga Utang (SPM-IB) Jumlah Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Pembayaran Bunga Utang (SPM-IB) Jumlah
Belanja Neto 1.115.143.378.425 1.227.887.774.568 648.461.556.590 1.056.807.330.401
4.049.869.635.177 1.227.818.953.099 1.427.432.785.378 342.267.048.585 1.321.487.211.977
1.569.595.193 1.004.191.781 209.964.941 4.029.000 0
4.048.300.039.984 1.226.814.761.318 1.226.815.367.662 342.263.019.585 1.321.487.211.977
4.319.005.999.039 1.354.681.299.686 2.370.575.755.219 424.376.470.388 1.247.399.871.387
1.218.185.722 694.641.725 773.681.229 104.481.500 0
4.317.787.813.317 1.353.986.657.961 2.369.802.073.990 424.271.988.888 1.247.399.871.387
5.397.033.396.680
1.572.804.454
5.395.460.592.226
13 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
2012
Belanja Pegawai 1.488.993.656.113 1.045.105.583 1.487.948.550.530 Belanja Barang 2.825.943.594.865 703.486.536 2.825.240.108.329 Belanja Modal 293.626.083.620 7.112.300 293.618.971.320 Pembayaran Bunga 615.634.747.251 0 615.634.747.251 Utang (SPM-IB) Jumlah 5.224.198.081.849 1.755.704.419 5.222.442.377.430 Sumber: Telah diolah kembali dari Laporan Keuangan Direktorat Jenderal Pajak (2009-2012)
Pembahasan
Dari perhitungan pada tabel 5 diperoleh biaya administratif pajak, yaitu realisasi belanja neto DJP. Biaya administratif pajak di Indonesia sebesar Rp 4.048.300.039.984 pada 2009, Rp 4.317.787.813.317 Pada 2010, Rp. 5.395.460.592.226 pada 2011, dan kembali menurun menjadi Rp 5.222.442.377.430 pada 2012. Jumlah biaya administratif pajak tersebut tidak berbeda jauh dengan belanja bruto dikarenakan rendahnya pengembalian belanja selama empat tahun tersebut, tidak ada yang mencapai 2 milyar rupiah dari tahun 2009 hingga 2012. Tren biaya administratif pajak di Indonesia di bandingkan dengan pagu anggaran belanja DJP dapat dilihat pada grafik biaya administratif pajak berikut ini: Grafik 1 Tren Biaya Administratif Pajak Indonesia Tahun 2009-2012 (Dalam Jutaan Rupiah)
Biaya Administratif Pajak
Pagu Anggaran Belanja
5,500,000 5,395,461 5,000,000
5,222,442
4,921,495
4,997,444
2011
2012
4,500,000 4,305,217 4,000,000 4,048,300
4,317,788 3,878,050
3,500,000 2009
2010
Sumber: diolah dari data tabel 4 dan tabel 5
Grafik 1 menunjukkan bahwa dilihat dari nilai nominal, biaya administratif pajak mengalami tren kenaikan, kecuali pada tahun 2012 yang mengalami penurunan jumlah biaya 14 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
administratif pajak. Biaya administratif pajak pada tahun 2010 naik mencapai Rp 269.487.773.333, pada tahun 2011 naik pesat mencapai Rp 1.077.672.778.909, dan pada tahun 2012 sedikit menurun sebesar Rp 173.018.214.796. Tahun 2009 biaya administratif pajak DJP mencapai Rp 256.917.023.016 di bawah pagu anggaran, namun pada 2010 biaya administratif pajak mencapai Rp 439.737.557.317 melebihi pagu anggaran, Tahun 2011 melebihi anggaran sebesar Rp 473.965.892.226, dan Tahun 2012 melebihi pagu anggaran sebesar Rp 224.998.802.430. Grafik 1 menunjukkan Indonesia dalam kurun empat tahun tidak menekan anggaran DJP sebagai lembaga penerimaan pajak untuk mengadministrasi sistem perpajakan, kecuali pada tahun 2010. OECD (2013, 170) menyebutkan bahwa, “Revenues bodies in many countries have been directed to cut their administrative cost as part of fiscal consolidation efforts, for some requiring significant staffing reduction”. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa beberapa negara melakukan pemotongan biaya administratif, yang di antaranya dilakukan dengan pengurangan jumlah staf. Fenomena tersebut terjadi di Indonesia. DJP tidak melakukan pengurangan pegawai, kerena penurunan jumlah pegawai dikarenakan pegawai pensiun, meninggal atau mengundurkan diri. Tabel 6 Anggaran dan Realisasi Penerimaan Pajak Neto Tahun 2009-2012 (Dalam Rupiah) Tahun
Anggaran
Realisasi Penerimaan Realisasi Pertumbuhan Neto (%) Realisasi (%) 2009 577.391.733.361.176 544.661.990.676.761 94,33 2010 661.504.155.660.295 627.463.423.329.213 94,85 15,20 2011 763.675.661.804.933 742.719.856.032.954 97,26 18,37 2012 885.026.616.511.000 835.827.927.658.775 94,44 12,54 Sumber: diolah dari tabel 5.11, dan telah diolah kembali dari Laporan Keuangan DJP (2009-2012)
Tabel 6 menunjukkan bahwa penerimaan pajak DJP selalu mengalami kenaikan dari jumlah nominal maupun prosentasenya terhadap target penerimaan anggaran. Prosentase realisasi lebih dari 90% setiap tahunnya, yaitu sebesar 94,33% pada tahun 2009, 94,85% pada tahun 2010, 97,26% pada tahun 2011, dan 94,44% pada tahun 2012. Pertumbuhan realisasi penerimaan pajak dari tahun 2009 sampai 2012 lebih dari 10%, yaitu sebesar 15,2% pada tahun 2010, 18,37% pada tahun 2011, dan 12,54% pada tahun 2012.
15 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
Setelah melakukan perhitungan biaya administratif pajak pada tabel dan penerimaan pajak neto, maka dapat dihitung rasio biaya administratif pajak. Rasio Biaya administratif pajak di Indonesia sebagai berikut: Tabel 7 Rasio Biaya Administratif Pajak Tahun 2009-2012 Tahun
Penerimaan Pajak Neto (Rp) 2009 544.661.990.676.761 2010 627.463.423.329.213 2011 742.719.856.032.954 2012 835.827.927.658.775 Sumber: diolah dari tabel 5 dan 6
Biaya Administratif Pajak (Rp) 4.048.300.039.984 4.317.787.813.317 5.395.460.592.226 5.222.442.377.430
Rasio Biaya Administratif Pajak (%) 0,74 0,69 0,73 0,62
Hasil perhitungan tabel 7 menunjukkan rasio biaya administratif pajak sebesar 0,74% pada 0,69% pada 2010, 0,73% pada 2011, dan 0,62% pada 2012. Rasio tersebut menunjukkan bahwa untuk menghimpun pajak setiap Rp 1.000.000, biaya administratif pajaknya pada tahun 2009 sebesar Rp7.400, tahun 2010 sebesar Rp 6.900, tahun 2011 sebesar Rp 7.300, dan tahun 2012 sebesar Rp 6.200. Rasio biaya administratif pajak diperbandingkan antar negara untuk mengetahui tren dan efisiensi biaya administratif pajak. Berikut ini adalah grafik tren rasio biaya administratif pajak di Indonesia, beserta perbandingannya dengan tiga negara di kawasan Asia Tenggara: Grafik 2 Tren Rasio Biaya Administratif Pajak di Negara-Negara Kawasan Asia Tenggara (Dalam Persen) 1.5 1.2 0.9 0.6 0.3
2008
2009
2010
2011
0.85
0.75
0.58
0.48
0.55
0.74
0.69
0.73
Hongkong Indonesia
0.64
Indonesia* Malaysia
1.04
1.41
1.27
1.09
Singapura
0.77
0.8
0.89
0.87
Indonesia*
Malaysia
Hongkong
Indonesia
2012
0.62
Singapura
Sumber: Telah diolah kembali dari Tax Administration 2013: Comparative Information on OECD and Other Advanced and Emerging Economies (OECD, 2013, h. 180), kecuali Indonesia* dari tabel 7
16 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
Grafik 2 menunjukkan bahwa rasio biaya administratif pajak di Indonesia lebih rendah dari rasio biaya administratif pajak di Hongkong, Malaysia dan Singapura. Rasio biaya administratif pajak di Indonesia paling rendah dibandingkan tiga negara tersebut, dilihat dari rasio data OECD maupun hasil perhitungan data penelitian ini. Rasio biaya administratif pajak paling tinggi di Malaysia, yaitu sebesar 1,41% tahun 2009, 1,27% tahun 2010, dan 1,09% tahun 2011. Keempat negara tersebut menunjukkan tren penurunan rasio biaya administratif pajak. Catatan penting dari data rasio OECD adalah perhitungan rasio menghimpun pajak Hong Kong, Indonesia dan Singapura sama-sama tidak memperhitungkan cukai, dan data rasio Malaysia hanya bersumber dari jenis pajak langsung saja (OECD, 2013, 180). Hal tersebut menyebabkan rasio biaya administratif pajak di Malaysia sangat tinggi di banding Hong Kong, Indonesia dan Singapura. Tren rasio biaya administratif pajak di Indonesia data dari OECD menunjukkan tren yang sama. Kesamaan tren dapat dilihat pada data tahun 2010 dan 2011. Pada tahun 2010, rasio biaya administratif pajak data dari OECD maupun data hasil penelitian ini menunjukkan tren penurunan, data OECD menunjukkan penurunan rasio sebesar 0,1%, sedangkan data hasil penelitian ini dari tabel 7 menunjukkan penurunan rasio sebesar 0,05%. Pada tahun 2011, data OECD menunjukkan tren rasio biaya administratif pajak naik sebesar 0,07%, sedangkan data tabel 7 menunjukkan tren kenaikan rasio sebesar 0,04%. Menanggapi hasil data rasio biaya administratif pajak di Indonesia dengan data yang dipublikasikan dengan OECD, terkait efisiensi DJP menghimpun penerimaan pajak, Gunadi mengatakan: Ya itu amat efisien, murah. ... Indonesia itu berbeda dengan negara lain. Indonesia itu lebih banyak kepada potput. Potput itu murah. Yang lainnya, kayak Singapura tidak menggunakan potput tapi menggunakan official assesment. Makanya dia itu ditagih sendiri di akhir tahun. Kalau indonesia dengan potput jauh lebih murah. Kalau Indonesia tidak potput nggak jalan, karena sistem masyarakatnya highly uncomply, ketidak patuhannya tinggi. (wawancara dengan Gunadi, 9 Juni 2014) Singapura memiliki populasi masyarakat berpendidikan yang tinggi dan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi, namun pemerintah Singapura memilih untuk mengoperasikan sistem administrative assessment yang disebut sebagai official assessment system (OAS) untuk administrasi pajak penghasilan (Okello, 2014, h. 10). Pendapat Gunadi sejalan dengan OECD (2013, h. 188) bahwa dalam hal melakukan penagihan Singapura, juga Australia dan 17 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
Italia menggunakan firma hukum swasta untuk menghadapi wajib pajak yang menunggak hutang pajak. Hal ini merupakan contoh bahwa sistem perpajakan yang berlaku di suatu negara mempengaruhi biaya administratif pajaknya. Untuk melakukan perbandingan biaya administratif pajak lebih mendalam harus dilakukan dengan hati-hati karena perbedaan sistem perpajakan di masing-masing negara. OECD (2013, 183) menyebutkan, “...international comparisons of both these ratios need to be made with considerable care and take account of any abnormal factors highlighted, as well as other differences in approaches to tax administration...”. Perbandingan antar negara bukan tujuan penelitian ini, sehingga tidak dibahas lebih mendalam.
Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka simpulan yang diperoleh sebagai jawaban atas pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa biaya administratif pajak mengalami tren kenaikan jumlah nominalnya pada masa reformasi pajak jilid II, meskipun pada tahun 2012 mengalami penurunan. Jumlah biaya administratif pajak pada tahun 2010 hingga 2012 melebihi pagu anggaran belanja DJP dikarenakan oleh tidak dianggarkanya pembayaran bunga pajak sehingga jumlah pembayaran bunga pajak yang terealisasi melebihi anggaran yang tersisa. 2. Rasio biaya administratif pajak pada tahun masa reformasi pajak jilid II mengalami tren penurunan, meskipun sempat terjadi peningkatan rasio pada tahun 2011. Indonesia menghimpun penerimaan pajak dengan cukup efisien dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, yaitu Hongkong, Malaysia dan Singapura.
Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang dapat diberikan: 18 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
1. Belanja Pembayaran Bunga Utang tidak dianggarkan oleh DJP, namun setiap tahun selalu terdapat realisasi pembayaran bunga utang tersebut. Hal tersebut menyebabkan realisasi belana DJP melebihi pagu anggaran belanja DJP dari tahun 2010 hingga 2012. Seluruh biaya yang timbul harus diantisipasi dan dianggarkan oleh DJP, sehingga realisasi belanja tidak melebihi jumlah yang dianggarkan. 2. Perlu adanya studi lebih lanjut untuk melakukan perbandingan biaya administratif pajak lebih mendalam antara Indonesia dengan negara-negara lain. penelitian ini dapat diperbarui seiring tahun berjalan sehingga tren biaya administratif dapat dianalisis dengan rentang tahun yang lebih lama. Studi perbandingan biaya administratif pajak harus dilakukan dengan hati-hati karena sistem perpajakan di masing-masing negara berbeda. Perbedaan tersebut dapat berupa kewenangan lembaga penerimaan pajak di masing-masing negara, perbedaan jenis pajak yang berlaku dan perbedaan sistem pemungutan pajaknya. Daftar Referensi Buku: Barros, Maria S, Édison Roy-César and François Vaillancourt. The Compliance and Administrative Costs of Taxation in Canada. Canada: Fraser Institute, 2013 Cannan, Edwin. (1976) An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of nations by Adam Smith. Chicago: The University of Chicago Press. Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. California, USA: Sage Publication, 1994. Direktorat Jenderal Pajak. (2010). Laporan Keuangan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia Tahun Anggaran 2009. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak. Direktorat Jenderal Pajak. (2011). Laporan Keuangan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia Tahun Anggaran 2010. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak. Direktorat Jenderal Pajak. (2012) Laporan Keuangan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia Tahun Anggaran 2011. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak. Direktorat Jenderal Pajak. (2013) Laporan Keuangan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia Tahun Anggaran 2012. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak. Evans, Chris. (2008). Taxation compliance and administrative costs: an overview. Dalam M. Lang, C. Obermair, J. Schuch, C. Staringer dan P. Weninger (Eds). Tax compliance costs for companies in an enlarged European Community (h. 447-468). Vienna and Kluwer Law International, London: Linde Verlag. Mansury, R. (1996). Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: Ind-Hill Co. Neuman, William Lawrence. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (6th Ed). Boston: Allyn and Bacon. 19 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014
Prasetyo, Bambang & Jannah, Lina M. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi (Cetakan ke-6). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sandford, Cedric, Michael Godwin dan Peter Hardwick. (1989). Administrative and Compliance Cost of Taxation. Bath: Fiscal Publication. Singleton Jr, Royce A. Straits, Bruce C. (1999). Approaches to Social Research Third Edition. New York: Oxford University Press. Sugiyono.(2010) Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta. Uppal, J. S. (2003) Tax Reform in Indonesia (Cetakan ke-1). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Jurnal: Evans, Chris. (2003). Studying the Studies: an Overview of recent research into taxation operating costs. eJournal of Tax Research vol. 1. New South Wales: University of New South Wales, 2003. Evans, Chris. Lignier, Phil & Tran Nam, Binh. Tangled up in Tape: The Continuing Tax Compliance Plight of the Small and Medium Enterprise Business Sector, 2014.
Publikasi Elektronik: Allers, Maarten Adriaan. (1994). Administrative and Compliance Costs of Taxation and Public Transfers in the Netherlands. Diss. Groningen: Wolters-Noordhoff. Diakses pada 12 Maret 2014 dari http://www.rug.nl/staff/m.a.allers/phdthesisallers.pdf Blumenthal, Marsha and Joel Slemrod. (1992). The Compliance Cost of the US Individual Income Tax System: A Second Look After Tax Reform. National Tax Journal. Diakses pada 25 Maret 2014 dari http://ntj.tax.org/wwtax%5Cntjrec.nsf/32DDE1B0157480288525686C00686D0E/$FILE/v45n2185 .pdf OECD. (2004) Tax Administration in OECD Countries: Comparative Information Series (2004). OECD Publishing. Diakses pada 20 Februari 2014 dari http://www.oecd.org/ctp/administration/CIS-2004.pdf OECD. (2013). Tax Administration 2013: Comparative Information on OECD and Other Advanced and Emerging Economies. OECD Publishing. Diakses pada 20 Februari 2014 dari http://dx.doi.org/10.1787/9789264200814-en Okello, Andrew. (2014) Managing Income Tax Compliance Through Self-Assessment. International Monetary Fund. Diakses pada 30 Juni 2014 dari http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2014/wp1441.pdf
20 Analisis Biaya..., Fandi Prasetyo Nurrakhman, FISIP UI, 2014