Amerika Serikat telah menjadi pelacur dunia, membunuh orang demi mendapatkan minyak murahdemikian pendapatThomas Birdsey. Dan siang hari itu. Thomas memasukiThree Rivers, perpustakaan umum Connecticut, menyendiri di salah satu ruang belajar di bagian belakang dan berdoa kepada Tuhan, semoga pengorbanan yang akan dia lakukan dapat diterima. Thomas berdoa dalam diam. mengulang-ulang doa Santo Matins. “Dan jika matamu yang kanan menyesalkan engkau, cungkillah dan buanglah ia… Dan jika tanganmu yang kaitan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah ia karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa daripada tubuhmu secara utuh dicampakkan ke dalam neraka.” Lalu dari jaket sweater nya Thomas mengeluarkan pisau upacara Gurkha yangdibawa ayah tirinya sebagai suvenir dari Perang Dunia II…. Apa yang dilakukan Thomas sungguh tindakan gila. namun barangkali dengan cara itu dia juga menunjukkan kegilaandunia. ketakwarasan kita. SANG PenebuS “… Dostoevsky modern dengan sentuhan pop.” New York Times Book Review “…tes Miserables abad kedua puluh.” Glamour “Sebuah karya yang kompleks dan kuat… menghanyutkan pembaca dengan arus emosinya yang deras Baca dan menangislah.” St. Louis Post-Dispatch mizan qanita Novel
#1 NEW YORK TIMES BESTSELLER W A L L Y LAMB Penerima Anugerah National Endowment for Arts, USA SANG PENEBUS I KNOW THIS MUCH IS TRUE “Tapi aku tak mau pergi bersama orang-orang gila,” kata Alice. “Oh, kamu nggak bisa menghindar,” kata si Kucing. 11 Kita semua gila di sini. Aku gila. Kamu gila.” ” Bagaimana kamu tahu aku gila?” tanya Alice. “Tentu saja kamu gila,” kata si Kucing. ” Kalau tidak, kamu nggak akan datang ke sini.” -Lewis Caroll dalam Alice’s Adventures in Wonderland Qanita membukakan jendela-jendela bagi Anda untuk menjelajahi cakrawala batu, menemukan makna dari I 21 pengalaman hidup dan kisah-kisah yang kaya
inspirasi. ejan 11 a. kisah tentang kegilaan, dosa, dan pengampunan. SANG PENEBUS: I KNOW THIS MUCH IS TRUE Diterjemahkan dari I Know This Much is True Karya Wally Lamb Terbitan ReganBooks, New York, 1998 Penerjemah: Esti A. Budihabsari Penyunting Pangestuningsih Proofreader: Enfira Translation rights HI 2004 by Mizan Pustaka Copyright HI 1998 by Wally Lamb Published by arrangement with ReganBooks, an imprint of HarperCollins Publishers Inc. All rights reserved Cetakan I, November 2007 Cetakan II, Februari 2008 Diterbitkan oleh Penerbit Qanita PT Mizan Pustaka Anggota I KAPI Jin Cinambo,Cisaranten Wetan No. 135 Ujungberung, Bandung 40394 Telp. (022)7834310 - Faks. (022)7834311 e-mail: qanita@mizancom milis:
[email protected] http://www.mizan.com Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KOT) Lamb, Wally Sang Penebus: I know this much is true/Wally Lamb j penerjemah, Esti A. Budihabsari; editor, PangestunigsihCet. 2.-Bandung Qanita, 2008. 956 b.; 205 cm. Judul asli: I know this much is true ISBN 979-3269-66-5 I. Judul. II. Esti A. Budihabsari. III. Pangestuningsih Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU) Jin Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146 Ujungber ung, Bandung 40294 Telp. (022)7815500 uiunting)- Faks (022)7802288 e-mail:
[email protected] Perwakilan: Jakarta: (021)7661724; Surabaya: (031)60050079,8281857 Makassar: (0411) 871369 Pujian untuk Sickened “Wally Lamb melakukannya lagi …. [la] punya pemenang baru di Sickened…” Tampa Tribune
“Banyak sekali yang bagus tentang buku ini…. Buku ini membuka seperti petir dan menghanyutkan Anda tanpa terasa selama hampir 1.000 halamannya …. Potret realistis adalah keahlian Lamb, dan ia memberi banyak potret itu pada kita dalam buku ini…. Kekuatan terbesar novel ini adalah realismenya yang kasar.” Chicago Sun-Times “Wally Lamb adalah gabungan antara John Grisham dan Pat Conroy. la Grisham karena keahliannya bercerita; Conroy karena bakat menulisnya …. Aku susah berhenti membaca buku ini Fort Worth Star-Telegram “Eksplorasi penderitaan dan penebusan seorang pria yang dikembangkan dengan tuntas dan diselesaikan dengan penuh kemenangan.” Publishers Weekly “Saga abad ini. Disusun dengan sangat efektif sehingga pembaca mudah membacanya, terhanyut di dalamnya …. Sulaman sastra yang kaya dan merupakan penegasan terhadap kehidupan.” Dallas Morning News “Bikin kecanduan. Novel ini berisi kegilaan, siksaan, cinta tak terbalas dan memakai pakaian lawan jenis …. Novel yang memberi semangat, terutama karena keahlian Lamb memanusiakan karakternya dan menjaga selusin alur cerita tetap menyambung.” Virginian-Pilot “Novel yang tak bisa diletakkan … dipenuhi dengan tulisan yang indah, ketegangan dramatis yang tak putus, dan karakter yang membuat pembaca merasa punya ikatan emosi dengan mereka …. Satu-satunya hal buruk tentang novel Wally Lamb ini adalah bahwa novel ini terlalu bagus.” Denver Post “Dominick Birdsey adalah seorang pahlawan cerita epik dan ceritanya yang komikal dan gelap tentang penebusan sangat menginspirasi-Les Miserables abad kedua puluh.” Glamour “Penuh dengan tokoh yang dikembangkan penuh, karakter-karakter yang tak terlupakan … Sickened… bahkan mungkin lebih baik daripada novelnya yang pertama.” San Francisco Examiner “Dongeng yang kuat dan penuh daya magis… menghanyutkan … hiburan tingkat tinggi, penuh daya dan enerjik, meyakinkan dan tak mudah dilupakan Memphis Commercial Appeal “Sebuah magnum opus… Lamb telah menciptakan kisah yang memikat, penuh kepedihan, kemurungan, dan
ketidakpastian kehidupan modern Orlando Sentinel “Hebat… panjang dan memuaskan … buku yang murah hati dan berjiwa besar… [Ini] adalah kisah Setiap Orang, pencarian mistis, kisah tentang pencip-taan jati diri… Wally Lamb adalah seorang suhu….” New Orleans Times-Picayune “Luar biasa …. Karya yang hebat, efeknya tak ada henti.” Library Journal Lamb telah menuliskan sebuah pemenang lagi. Providence Journal-Bulletin “Ini adalah buku langka yang sesuai dengan pujian yang didapatnya. Tetapi novel Wally Lamb, Sickened, memang mengharukan dan memuaskan seperti yang diklaimnya …. Pencapaian yang mendalam … novel ini dengan kuat mengisahkan tantangan-tantangan yang muncul dalam kehidupan, kesulitan-kesulitan yang harus ditanggung manusia.” Baltimore Sun “Sebuah epik, perjalanan yang penting …. Penerus yang pantas dari novel pertama Lamb yang sangat sukses She’s Come Undone…” Columbus Dispatch “Relevan … sangat memuaskan … novel yang menggugah dan tak terlupakan.” Chattanooga Free Press “Buku yang mengagumkan dan ambisius… novel epik dalam setiap aspeknya … narasi orang pertama yang menghanyutkan Anda sejak halaman pertama, dan selalu menegangkan.” Denver Rocky Mountain News “Lamb adalah sang penulis di antara penulis…. Sickened adalah prosa yang ditulis seindah puisi, dengan setiap kata dan citra yang menjalin sebuah keutuhan. Sebuah karya seni yang mengagumkan, simetri yang struktural, dan kesadaran diri yang sastrawi, kekuatan emosinya yang menggemparkan datang dari eksplorasi kebenaran universal yang tak kenal takut.” St. Louis Post-Dispatch “Sangat menggugah …. Setiap halaman dipenuhi dengan tulisan yang bagus dan cara penceritaan yang luar biasa, dan rasanya buku ini berakhir terlalu cepat…. Dengan kecerdikan, pandangan yang luar biasa, dan emosi yang gamblang, Lamb menghadirkan cerita universal tentang kasih sayang antarsaudara, konflik Oedipus, dan perjuangan untuk hidup …. Jangan lewatkan buku ini.” Richmond Times-Dispatch “Setiap waktu yang dihabiskan untuk membaca buku ini memang pantas.” Chattanooga Times “Berkilau …
terlalu bagus untuk diletakkan … sang pengarang telah melakukan lompatan besar dengan novel ini.” San Antonio Express-News Buku ini kupersembahkan kepada ayahku dan putra-putraku Dengan cara-cara yang tak begitu kupahami, kisah ini berkaitan dengan kehidupan dan kematian orang-orang berikut ini: Christopher Biase, Elizabeth Cobb, Randy Deglin, Samantha Deglin, Kathy Levesque, Nicholas Spano, dan Patrick Vitagliano. Kuharap, meskipun sedikit, novel ini bisa memberikan penghormatan pada kenangan mereka serta pengabdian dan kekuatan orang-orang tercinta yang harus mereka tinggalkan. Novel Wally Lamb yang ada di tangan Anda ini, Sickened, juga novel pertamanya, She’s Come Undone, tercatat sebagai New York Times Bestseller, “Notable Book of The Year” dari New York Times Book Review dan menjadi pilihan Oprah’s Book Club. Lamb telah menerima hadiah dari National Endowment for The Arts, New England Book Award dan Poets and Writers “Writers Helping Writers” Award. Sickened memenangi “Best Novel of The Year” dari Friend of The Library USA dan Kenneth Johnson Memorial Book Award. Seorang guru menulis yang dihormati secara nasional, Lamb saat ini menjadi sukarelawan fasilitator untuk lokakarya menulis bagi narapidana wanita di Connecticut’s York Correctional Institution. Lamb tinggal di Connecticut bersama istrina, Christine, dan tiga putra mereka. Dia sekarang sedang menulis novel ketiganya. Ucapan Terima Kasih AkU Sangat berterima kasih pada Linda Chester, agen sastraku dan temanku, dan rekannya, Laurie Fox, yang punya peran yang sama besar. Glinda dan Dorothy dalam satu agensi: berapa besar lagi keuntungan yang perlu dimiliki seorang penulis? Aku berutang pada Judith Regan, penerbit dan sobatku, atas kesetiaannya, kepercayaannya yang penuh kesabaran, dan responsnya yang bersemangat terhadap hasil kerjaku. Grazie, Judith. Rekan-rekan penulisku berikut ini yang memberikan evaluasi kritis tak terhingga atas novel ini dalam berbagai tahap, dan aku berterima kasih dan merasa tersanjung atas respons kolektif mereka yang murah hati. Mereka adalah Bruce Cohen, Deborah DeFord, Joan Joffe Hall, Rick Hornung, Leslie Johnson, Terese Karmel, Ann Z. Leventhal, Pam Lewis, David Morse, Bessy Reyna, Wanda Rickerby, Ellen Zahl, dan Feenie Ziner. Novel setebal ini ibarat seekor binatang liar yang besar dan sebuah proses kompleks yang membutuhkan keyakinan, keberuntungan, dukungan moral, dan pengetahuan melebihi apa yang diketahui pengarang. Aku berterima kasih sedalam-dalamnya kepada orang-orang berikut ini, yang masing-masingdengan berbagai cara menolongku menemukan, menceritakan, dan menerbitkan kisah ini (dan dua orang di antaranya membantuku mengambil kembali memori kisah ini dari hard drive di negeri kenangan antah-berantahku): Elliott Beard, Andre Becker, Bernice Bennett, Larry Bloom, Cathy Bochain, Aileen Boyle, Angelica Canales, Lawrence Carver, Lynn Castelli, Steve Courtney, Tracy Dene, Barbara Dombrowski, David Dunnack, John Ekizian, Sharon Garthwait, Douglas Hood, Gary Jaffe, Susan Kosko, Ken Lamothe, Linda Lamothe, Doreen Louie, Peter Mayock, Susan McDonough, Alice McGee, Joseph Mills, Joseph Montebello, Bob Parzych, Maryann Petyak, Pam Pfeifer, Pit Pinegar, Nancy Potter, Joanna Pulcini, Jenny Romero, Allyson Salazar, Ron Sands, Maureen Shea, Dolores Simon, Suzy Staubach, Nick Stevens, Christine Tanigawa, David Teplica, Denise Tyburski, Patrick Vitagliano Jr., Oprah Winfrey, Patricia Wolf, Shirley Woodka, Genevieve Young, kru pagi di Sugar Shack Bakery, dan murid-muridku di Norwich Free Academy dan University of Connecticut. Aku berutang pada Rita Regan, yang membantuku mengedit dan memberikan saran tentang hal-hal yang berhubungan dengan Sisilia, dan juga pada Mary Ann Hall,
yang memberikan Tales of My Native Town karya Gabrielle D’Annunzio ke tanganku. Terima kasih khusus kuucapkan kepada Ethel Mantzaris atas persahabatan dan dukungan setianya selama ini. Yang terakhir, rasa terima kasih yang dalam hingga tak terungkapkan lewat katakata kusampaikan pada Christine Lamb, pasangan hidup dan cintaku, yang membuatku bisa menulis. Aku berterima kasih dan menghargai para guru berikut ini, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, yang telah mendorong muridnya menuju titik tertinggi dan merangsang kreativitas: Frances Heneault, Violet Shugrue, Katherine Farrell, Leona Comstock, Elizabeth Winters, Lenora Chapman, Miriam Sexton, Richard Bilda, Victor Ferry, Dorothy Cramer, Mildred Clegg, Mary English, Lois Taylor, Irene Rose, Daniel O’Neill, Dorothy Williams, James Williams, Alexander Medlicott, Alan Driscoll, Gabriel Herring, Frances Leta, Wayne Diederich, Joan Joffe Hall, Gordon Weaver, dan Gladys Swan. Aku sangat beruntung mendapatkan dukungan dari lembaga-lembaga pendukung penulis dan organisasi berikut selama menulis novel ini: Norwich Free Academy, Willimantic, Connecticut, Public Library, Homer D. Babbidge Library, University of Connecticut, dan Connecticut Comission on the Arts. Novel ini tak mungkin ada tanpa dukungan luar biasa dan pengesahan dari National Endowment for the Arts.^f^ Satu Siang hari 12 Oktober 1990, kakak kembarku Thomas memasuki Three Rivers, perpustakaan umum Connecticut, menyendiri di salah satu ruang belajar di bagian belakang dan berdoa kepada Tuhan, semoga pengorbanan yang akan dia lakukan dapat diterima. Hari itu, pustakawan kepala menghadiri rapat seharian di Hartford, dan Mrs. Theresa Fenneck, dari bagian buku anak, bertanggung jawab menggantikannya. Dia mendekati Thomas dan memintanya memilih memelankan suara atau meninggalkan perpustakaan. Suara Thomas terdengar sampai ke meja depan, mengganggu pengunjung yang lain. Kalau mau berdoa, kata Mrs. Fenneck pada Thomas, sebaiknya pergi saja ke gereja, bukan di perpustakaan. Sehari sebelumnya, Thomas dan aku sempat menghabiskan waktu bersama selama beberapa jam. Ritual Minggu siang kami mengharuskan aku mengajaknya keluar dari Rumah Sakit Settle Building, mentraktirnya makan siang, mengunjungi ayah tiri kami atau membawanya jalan-jalan, lalu mengembalikannya ke rumah sakit sebelum waktu makan malam tiba. Di salah satu meja di bagian belakang restoran Friendly, aku duduk di hadapan kembaranku itu, terpaksa ikut mengisap asap rokoknya, dan membuka-buka, untuk kesekian kali, buku klipingnya tentang krisis Perang Teluk. Dia mulai mengkliping sejak Agustus sebagai bukti bahwa Armageddon atau kiamat sudah dekatbahwa peperangan terakhir antara baik dan buruk akan segera dimulai. “Selama bertahun-tahun ini, Amerika hidup dengan waktu pinjaman, Dominick,” katanya kepadaku. “Memainkan peran sebagai pelacur dunia, tenggelam dalam keserakahan. Kini, kita akan membayar harganya.” Dia sama sekali tak menyadari jari-jariku yang mulai mengetukngetuk meja. “Bukan maksudku mengalihkan pembicaraan,” kataku, “tapi, bagaimana soal kopi?” Sejak delapan miligram Haldol per hari berhasil memelankan suara Thomas, dia mendapatkan imbalan setiap pagi di ruang duduk pasienkopi, rokok, dan koran yang dibagikan dengan kereta dorong besi berkeriut yang lebih ra-puh daripada kondisi mentalnya. Seperti kebanyakan pasien di sana, dia dimanjakan oleh kafein dan nikotin, tetapi koranlah yang menjadi candu utama Thomas. “Bagaimana mungkin kita tega membunuh orang hanya karena ingin mendapatkan minyak murah? Bagaimana kita bisa membenarkan hal itu?” Tangannya bergerak-gerak
saat berbicara; telapaknya kusam terkena tinta koran. Tangan kotor itu seharusnya memperingatkan akumemberiku pertanda. “Bagaimana kita bisa menghindar dari kemarahan Tuhan kalau kita tak menghargai nyawa manusia?” Pelayan mendekatseorang anak SMU mengenakan baju mini berkancing dua, “Hai, aku Kristin,” dan “Sabar ya. Aku masih berlatih.” Ia menanyakan apakah kami ingin memulai dengan cheese sticks atau semangkuk sup. “Kau tidak bisa menyembah Tuhan dan uang, Kristin,” kata Thomas kepadanya. “Amerika akan memuntahkan darahnya sendiri.” Kira-kira sebulan kemudiansetelah Presiden Bush mendeklarasikan bahwa “sebuah garis telah ditarik di atas pasir” dan konflik mungkin tak bisa dihindariMrs. Fenneck muncul di depan pintuku. Selama ini, dia berusaha mencarikumencari tempat tinggalku lewat direktori kota dan pergi begitu saja ke kondominium tempatku tinggal bersama Joy, membunyikan bel pintu. Dia menunjuk suaminya yang parkir di pinggir jalan dan menunggunya di Dodge Shadow biru mereka. Dia memperkenalkan diri sebagai pustakawan yang telah menelepon 911. “Kakakmu selalu rapi dan bersih,” katanya. “Tidak semua orang yang seperti dia bisa berpenampilan seperti itu. Tetapi, kau harus tegas dengan orang-orang ini. Sepanjang hari, setiap hari, mobil rumah sakit jiwa menurunkan mereka di tengah kota dan meninggalkan mereka. Mereka tak punya tujuan, tak punya pekerjaan. Toko-toko tak mau mempekerjakan merekaapalagi bisnis sedang sulit, tak ada lagi rasa iba. Jadi, mereka datang ke perpustakaan dan duduk.” Saat berbicara itu, berkali-kali dia mengejapkan mata hijaunya yang pucat, berusaha mengalihkan pandangannya dari wajahku. Thomas dan aku adalah kembar identik, bukan fraternalsatu telur yang dibuahi lalu terbelah dua dan tumbuh terpisah. Mrs. Fenneck tak tahan menatapku karena seolah sama saja dengan melihat Thomas. Aku ingat, hari itu sangat dingin dan aku hanya menerimanya di lorong menuju ruang tamu, tak lebih jauh dari itu. Selama dua minggu, aku mengubah-ubah saluran TV mengikuti berita terbaru tentang Desert Shield, menelan kembali kemarahan dan rasa bersalah yang kurasakan akibat tindakan kakakku, dan menyimak semua omongan reporter dan berita TVpara pengisap darah yang mengais-ngais peran utama dalam acara TV orang-orang aneh. Aku tidak menawarkan diri pada Mrs. Fenneck untuk membukakan mantelnya. Aku berdiri saja di sana, tangan terlipat, kedua genggaman kukepit di ketiak. Apa pun ini, aku ingin ia segera berakhir. Wanita itu berkata, dia ingin aku memahami beban yang dihadapi para pustakawan akhir-akhir ini. Dahulu, menjadi pustakawan adalah pekerjaan yang menyenangkanapalagi dia suka bertemu dengan orang-orang. Tetapi, kini perpustakaan menjadi tujuan dengan orang-orang telantar dan tunawisma. Orangorang yang sama sekali tak peduli tentang buku atau informasi. Orang-orang yang hanya ingin duduk dan berdiam diri atau pergi ke toilet lima menit sekali. Ditambah lagi sekarang dengan AIDS, narkoba, dan sebagainya. Beberapa hari lalu, mereka menemukan jarum suntik kotor terjepit di belakang tempat tisu toilet pria. Menurutnya, negara ini seperti laci-laci lemari yang ditarik keluar dan isinya dibuang ke lantai. Tadi aku membuka pintu dengan bertelanjang kaki. Kini, kakiku terasa dingin. “Apa yang Anda inginkan?” tanyaku kepadanya. “Mengapa Anda datang kemari?” Dia datang, katanya, karena dia tidak berselera makan dan tak bisa tidur nyenyak sejak kakakku melakukannya. Bukan berarti bahwa diafan yang harus bertanggung jawab, tegasnya. Jelas, Thomas telah merencanakan semuanya dan akan tetap melakukannya, tak peduli apakah wanita pustakawan itu mengatakan sesuatu kepadanya atau tidak. Selusin orang atau bahkan lebih mengatakan kepadanya bahwa mereka melihat Thomas berjalan di kota, bergumam sendiri tentang perang dengan satu tinjunya terangkat ke udara, seakan-akan terpaku dalam posisi itu. Mrs.
Fenneck juga sudah melihatnya sendiri, dan selalu duduk sepanjang siang di bagian terbitan berkala, katanya. “Lalu, tak lama kemudian dia diam. Hanya mengeluh, menekuk siku dan mengepalkan tangannya. bahwa itu merupakan pertanda?
merasa aneh. “Dia masuk dan berdebat dengan koran,” memandang ke luar jendela dan Tetapi, siapa yang mengira
Orang waras mana yang bisa mengotak-atik dan menduga kalau dia berniat melakukan itu?” Tak seorang pun, kataku. Tak seorang pun yang bisa menduga. Mrs. Fenneck berkata bahwa dia telah bekerja selama bertahun-tahun di meja utama sebelum menjadi pustakawan bagian anak-anak dan dia ingat ibuku, semoga arwahnya tenang di sisiNya. “Ibumu suka membaca. Buku misteri dan roman, seingatku. Tenang, selalu sangat menyenangkan. Dan sangat rapi. Sungguh suatu karunia dia sudah meninggal sehingga tak perlu melihat ini, oh, wanita yang malang. Bukan berarti mati karena kanker itu menyenangkan, lho.” Dia berkata pernah punya saudara perempuan yang mati karena kanker juga dan seorang keponakan perempuan yang sekarang sedang berjuang melawan kanker. “Jika kau bertanya kepadaku,” katanya, “tak lama lagi mereka pasti mendapatkan jawaban mengapa sekarang banyak sekali kanker, dan jawabannya pasti komputer.” Kalau dia terus mengoceh, pasti aku akan menangis. Aku mungkin mencekiknya. “Mrs. Fenneck!” tukasku. Baiklah, katanya, dia akan langsung saja: apakah ayahku atau aku menganggapnya bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi? “Anda?” tanyaku. “Mengapa harus Anda?” “Karena aku sempat menegurnya sebelum dia melakukan itu.” Diriku/ah, yang kuanggap bertanggung jawabkarena mengabaikan semua ocehan tentang Islam dan Armageddon, karena tidak menghubungi dokter dan mendesak mereka memberinya obat. Dan juga, karena pergi ke unit gawat darurat dan melakukan apa yang bisa jadi merupakan keputusan yang salah. Hari Minggu itu di Friendly, Thomas hanya memesan segelas air. “Aku puasa,” katanya, dan aku sengaja diam, tak bertanya, mengabaikan tangannya yang kotor, memesan cheese burger dan kentang goreng untukku sendiri. Kukatakan kepada Mrs. Fenneck, bukan dia yang harus bertanggung jawab. Kalau begitu, apakah aku mau menulisnya hitam di atas putih? Bahwa kejadian itu tak ada hubungannya dengan dirinya? Itu adalah gagasan suamiku, katanya. Kalau aku mau menulisnya di selembar kertas, mungkin dia bisa tidur nyenyak atau memakan sedikit hidangan makan malamnya. Mungkin dia bisa mendapat ketenangan. Mata kami saling terpaut. Kali ini dia tidak berpaling. “Aku takut,” katanya. Kukatakan agar dia menunggu di teras. Di dapur, aku mengambil pulpen dan merobek selembar kertas Postit yang diambil Joy dari kantornya dan diletakkan di dekat telepon kami. (Dia mengambil lebih banyak dari yang mungkin akan kami gunakan. Kemarin, aku memasukkan tanganku ke kantong mantel musim dinginnya mencari receh untuk tukang koran dan menemukan lusinan kertas catatan mini itu. Lusinan.) Tanganku bergetar saat menulis pernyataan yang akan memenuhi semua keinginan Mrs. Fenneck: makan, tidur, pengampunan legal. Aku tidak melakukan ini karena kasihan. Aku melakukannya karena aku ingin dia tutup mulut. Agar dia pergi dari lorong apartemenku. Dan karena aku juga takut. Takut akan kakakku. Takut menjadi setengah dari dirinya. Aku kembali ke pintu depan dan mengulurkan tangan ke arah Mrs. Fenneck,
menyumpalkan kertas kuning itu ke kantong mantelnya. Dia berjengit ketika aku melakukan itu, dan responsnya yang spontan itu memberiku sedikit rasa puasjenis kepuasan yang rendah, yang nista. Tapi, aku tak peduli. Aku toh, tak pernah bilang bahwa aku orang yang mudah dicintai. Aku tak pernah bilang bahwa aku bukan orang yang menyebalkan. Aku tahu apa yang kutahu tentang kejadian di perpustakaan tanggal 12 Oktober 1990 itu, dari apa yang diceritakan Thomas kepadaku dan dari berita koran yang muncul di sisi berita tentang operasi Desert Shield. Setelah teguran Mrs. Fenneck di ruang belajar, Thomas meneruskan doanya dalam diam, mengulang-ulang doa Santo Matius, bab S, ayat 29 dan 30, “Dan jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu …. Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, daripada tubuhmu secara utuh dicampakkan ke dalam neraka.” Dari jaket sweternya, Thomas mengeluarkan pisau upacara Gurkha yang dibawa ayah tiri kami sebagai suvenir dari Perang Dunia II. Siang hari sebelumnya, pisau itu masih tergantung dalam sarungnya, terabaikan di dinding kamar atas di rumah tempat kami berdua tumbuh besar. Dokter bedah ortopedik yang kemudian merawat kakakku kagum akan tekadnya; katanya, rasa sakit yang hebat seharusnya membuat Thomas menghentikan tindakannya itu. Dengan tangan kirinya, Thomas melakukan setiap tahap yang telah lama dia latih dalam pikirannya. Mulai dengan mengiris pergelangan tangan kanannya, dia meretas tulang-tulang tangannya, mengamputasi tangannya dengan bersih dan rapi menggunakan pisau tajam itu. Dengan gerutuan keras, dia lemparkan telapak tangannya yang putus ke tengah-tengah lantai perpustakaan. Lalu, dia memegang lukanya dan menarik-narik tulang hasta serta urat nadinya, menekan dan memilinnya agar sebisa mungkin tertutup. Dia juga mengangkat lengannya ke atas untuk memperlambat perdarahan. Ketika pengunjung perpustakaan lainnya sadaratau mengira mereka sadartentang apa yang baru saja terjadi, suasana langsung kacau. Beberapa orang lari keluar; dua orang wanita bersembunyi di belakang rak-rak buku, takut kalau pria gila itu akan menyerang mereka. Mrs. Fenneck bersembunyi di belakang meja depan dan menelepon 911. Ketika itu, Thomas sudah berdiri, merambat dari ruang belajar, terhuyung-huyung ke meja terdekat dan duduk, menyuarakan keluhan yang menyayat, tetapi tak melakukan apa-apa. Pisau itu tergeletak di ruang belajar tempat dia meninggalkannya. Thomas mulai mengalami syok. Tentu saja ada darah, meski tidak sebanyak seharusnya karena Thomas tahu dan sadar bahwa dia harus menyumbat aliran darahnya. (Waktu kecil, dia mendapatkan lencana dan sertifikat pelatihan pertolongan pertama tingkat lanjut, lama setelah aku mengumumkan bahwa Boy Scouts hanya orga-ni-sasi para bajingan.) Setelah yakin bahwa Thomas tak bermaksud melukai siapa pun kecuali dirinya sendiri, Mrs. Fenneck berdiri dari belakang meja perpustakaan dan memerintahkan penjaga perpustakaan untuk menutupi potongan tangan di lantai dengan koran. EMT dan polisi datang berbarengan. Paramedis dengan segera merawat kakakku, mengikatnya ke brankar, dan mengepak tangannya yang terpotong di tas plastik berisi es yang diambilkan seseorang dari lemari es di ruang duduk pustakawan. Di unit gawat darurat, kakakku sadar dan menolak semua usaha medis untuk menyambungkan kembali tangannya. Ayah tiri kami, Ray, sedang pergi dan tak bisa dihubungi. Sedangkan aku saat itu sedang berdiri di perancah, mencuci jendela bangunan Victoria tiga lantai di Gillette Street, ketika mobil patroli datang dengan sirene dan lampu biru berkilatan, berhenti di depan jalan masuk. Aku tiba di rumah sakit ketika Thomas sedang berdebat dengan dokter bedah yang sudah dihubungi, dan sebagai keluarga terdekat kakakku setelah ayah kami, aku diminta mengambil keputusan apakah operasi sebaiknya dilanjutkan atau tidak. “Kami akan membiusnya total, memberinya obat penenang biar dia tidak mengamuk ketika sadar nanti,” janji sang dokter. Dia masih muda dengan rambut
gaya reporter TVtiga puluh tahunan kalau tak salah. Dia berbicara dengan nada normal, bahkan tidak berusaha berbisik-bisik di depan kakakku. “Kalau begitu, aku akan memotongnya lagi,” kata kakakku. “Kau kira beberapa jahitan bisa menahanku melakukan apa yang harus kulakukan? Aku punya perjanjian dengan Tuhan Yang Mahakuasa.” “Kami bisa mengikatnya selama beberapa hari pertama jika harus,” lanjut sang dokter. “Memberi kesempatan saraf untuk beregenerasi.” “Hanya ada satu penyelamat di alam semesta ini, Dokter,” teriak Thomas. “Dan itu bukan kauf” Dokter dan Thomas, keduanya memandangku. Kukatakan, aku perlu waktu beberapa menit untuk berpikir, menjernihkan otakku. Aku meninggalkan ruang operasi dan mulai berjalan ke koridor. “Kalau begitu, jangan berpikir terlalu lama,” kata dokter bedah dari belakangku. “Saat ini kesempatannya hanya fifty-fifty, dan semakin lama kita menunggu, kesempatannya semakin sedikit.” Darah berdentum di kepalaku. Aku sayang kakakku. Aku benci dia. Tak ada jalan keluar tentang siapa dirinya. Tak ada jalan kembali untuk mengubahnya. Ketika aku sampai di ujung koridor yang buntu, satu-satunya argumen yang muncul di kepalaku hanyalah argumen yang bodoh: Apakah dia masih bisa berdoa tanpa menangkupkan kedua tangannya? Masih bisa menuang kopi? Memegangi anunya? Dari ujung lain koridor kudengar Thomas berteriak. “Itu adalah tindakan religius1. Sebuah pengorbanan1. Mengapa harus kau yang selalu punya kuasa atas diriku?” Kuasa: itulah kata kunci yang mendorongku mengambil keputusan. Tiba-tiba si dokter bedah dengan rambut bevgel itu adalah ayah tiri kami dan semua jagoan serta pialang kekuasaan yang membuat Thomas menderita. Katakan pada mereka, Thomas, pikirku. Kau harus berjuang untuk hakmu! Aku kembali menyusuri koridor dan mengatakan pada dokter bahwa jawabannya adalah tidak. “Tidak?” katanya. Dia sudah mencuci tangan dan mengenakan pakaian operasi. Dia memandangku tak percaya. “Tidak?” Di ruang operasi, dokter lalu mengambil kulit dari paha atas kakakku dan menggunakannya untuk menutupi pergelangan tangannya yang terpotong. Operasinya butuh waktu empat jam. Ketika semua selesai, beberapa reporter koran dan TV telah menelepon rumahku dan berbicara kepada Joy. Selama beberapa hari berikutnya, narkotik menetes dari selang ke tulang punggung kakakku untuk mengurangi rasa sakitnya. Antibiotik dan antipsikotik disuntikkan ke pergelangannya untuk melawan infeksi, juga mengurangi upaya pemberontakannya. Daftar pengunjung yang “disetujui” membuat media tak bisa menemuinya, tetapi Thomas dengan tidak sabar dan tegas, menerangkan kepada semua orangdetektif polisi, psikiater, perawat, dan pembersih kamarbahwa dia tak bermaksud bunuh diri. Dia hanya ingin membuat pernyataan publik yang akan membangunkan Amerika, membantu kami semua melihat apa yang telah dia lihat, mengetahui apa yang telah dia ketahui: bahwa negara ini harus menghapuskan keserakahan yang jahat dan mengikuti jalan yang lebih spiritual kalau kita masih ingin bertahan hidup, kalau kita tak mau tersandung mayat anak-anak kita sendiri yang terbantai. Sebelum ini dia adalah Thomas si peragu, katanya, tetapi kini dia adalah Simon Peterbatu fondasi bangunan ordo Tuhan yang baru. Dia telah diberkahi, katanya, dengan karunia dan beban kemampuan melihat masa depan. Kalau saja orang mau mendengar, dia bisa memimpin jalannya.
Dia mengulangi semua dan masuk kembali ke rumahnya sejak 197D. melakukan semua ini, dibebankan kepadaku.
ini kepadaku pada malam sebelum dia keluar dari rumah sakit Three Rivers State Hospital, yang secara berkala menjadi “Ka-dang, aku heran mengapa harus aku yang terpilih untuk Dominick,” katanya menghela napas. “Mengapa semua ini Ini sungguh berat.”
Aku tidak menjawabnya. Aku tak mampu berbicara sama sekali. Tak mam-pu melihat tangan yang telah dia potong sendirimeskipun tangan itu sekarang telah bersih dan diperban. Alih-alih, aku memandang tangan pengecat rumahku yang kasar dan bernoda. Memandang tangan kiriku mencengkeram pergelangan tangan kanan. Keduanya lebih terlihat seperti benda mati, bukan tangan. Aku tak bisa merasakan apa pun pada kedua tangan itu.^*Dua Suatu Sabtu pagi ketika aku dan kakak kembarku berusia sepuluh tahun, televisi kami tiba-tiba meledak. Thomas dan aku menghabiskan hampir sepanjang pagi itu bermalas-malasan dalam piama kami, menonton kartun dan mengabaikan perintah Ma agar kami segera pergi ke atas, mandi, dan berganti baju. Kami seharusnya membantu Ma di luar, membersihkan jendela. Setiap kali Ray memberikan perintah, Thomas dan aku pasti langsung menurut, tetapi akhir pekan itu ayah tiri kami sedang pergi berburu itik dengan temannya Eddie Banas. Mematuhi Ma menjadi tidak wajib. Ketika itu terjadi, Ma sedang ada di luar memandang ke dalamberdiri di petak geranium di atas bangku sehingga dia bisa mencapai jendela ruang duduk. Beberapa rol rambut masih bertengger di kepalanya. Saku mantelnya penuh dengan tisu. Saat dia menyemprotkan Windex dan mengelap kaca, tangannya yang bergerak melingkar terlihat seakan melambai ke arah kami. “Kita sebaiknya keluar dan membantunya,” kata Thomas. “Bagaimana kalau Ma bilang pada Ray?1 “Ma tak akan bilang,” kataku. “Dia tak pernah bilang.” Itu benar. Tak peduli seberapa marah Ma karena kami, dia tak akan menyodorkan kami untuk dimangsa raksasa lima kaki enam inci yang tidur mendengkur di kamar tamu lantai atas pada hari kerja, bangun karena bunyi weker tepat pukul 15.30 tiap sore, dan membangun kapal selam pada malam hari. Electric Boat, shift ketiga. Di rumah kami, kau harus berjingkat-jingkat dan berbisik pada siang hari dan baru bebas setiap malam pukul 21.30 ketika Eddie Banas, teman Ray yang juga kerja di shift ketiga, menghentikan mobilnya di depan rumah kami dan membunyikan klakson. Aku selalu menunggu-nunggu bunyi klakson itu. Mendambakannya. Dengan bunyi itu, semua anggota tubuh yang kaku tertahan jadi lentur, dada dan tangan bisa rileks, dan kami kembali bisa bernapas panjang. Kadang-kadang, pada malammalam seperti itu, aku dan Thomas merayakan bunyi bantingan pintu truk Eddie dengan melompat-lompat di atas kasur kami, dalam gelap. Kebebasan dari Ray mengubah kasur kami menjadi trampolin. “Hei, lihat,” kata Thomas, memandang heran ke arah TV. “Apa?” Lalu aku pun melihatnya: lingkaran asap tipis muncul dari bagian belakang TV. Aku ingat, saat itu kami sedang menonton tayangan Howdy Doody Show. Si Badut Clarabel sedang mengejar seseorang yang membawa sebotol jus. Tiba-tiba, gambar dan suaranya mati. Api menyambar dinding ruang duduk. Kukira orang-orang Rusia yang melakukannya bahwa Khrushchev akhirnya menjatuhkan bom. Jika hal yang tak terbayangkan terjadi, kata Ray suatu kali pada saat makan malam, markas kapal selam dan Electric Boat dijamin menjadi target utama. Kami akan merasakan ledakan bom itu hingga sembilan mil ke arah
Three Rivers. Api akan muncul di mana-mana. Lalu yang terburuk: meleleh. Tangan, kaki, dan wajah orang-orang akan meleleh seperti keju. “Tiarap! Berlindung!” teriakku pada Thomas. Aku dan Thomas menjatuhkan diri ke lantai dalam posisi tiarap seperti yang diajarkan guru pertahanan diri di sekolah kami. Terdengar ledakan dari arah TV, dan asap hitam tebal membubung. Hujan kaca mengguyur ruang duduk. Suara ledakan dan asap membuat Ma tergesa-gesa masuk sambil menjerit. Sepatunya menginjak kaca saat dia berlari ke arah kami. Ma menggendong Thomas dan menyuruhku naik ke punggungnya. “Kita nggak bisa keluar!” teriakku. “Bom!” “Ini bukan bom!” teriak Ma. “TV-nya!” Di luar, Ma menyuruh Thomas dan aku berlari menyeberang jalan dan mengatakan kepada keluarga Anthony untuk menelepon pemadam kebakaran. Ketika Mr. Anthony menelepon pemadam kebakaran, Mrs. Anthony menghilangkan pecahan kaca dari rambut kami dengan sikat kecil. Kami meludahkan dahak yang penuh dengan jelaga. Ketika kami kembali ke trotoar di depan rumah keluarga Anthony, Ma sudah hilang. “Di mana ibu kalian?” teriak Mrs. Anthony. “Ia nggak kembali ke sana, kan? Jesus, Maria, Joseph!” Thomas mulai menangis. Lalu, Mrs. Anthony dan aku juga mulai menangis. “Cepat!” teriak Thomas pada suara sirene di kejauhan. Lewat jendela ruang duduk, aku bisa melihat api melahap gorden berenda rumah kami. Sekitar semenit kemudian, Ma muncul dari rumah yang terbakar, tersedu-sedu, mendekap sesuatu erat-erat di dadanya. Satu saku mantelnya terbakar karena penuh tisu; mantelnya berasap. Mr. Anthony melepas paksa mantel Ma dan menginjak-injaknya. Truk pemadam kebakaran muncul di tikungan dengan sirene menyala. Para tetangga terburu-buru keluar dari rumah mereka untuk berkerumun dan menonton. Bau hangus menguar dari tubuh Ma. Api membakar alisnya dan membuat wajah Ma hitam legam. Ketika dia mengulurkan tangan untuk merangkul Thomas dan aku, beberapa helai foto jatuh ke tanah. Saat itulah aku sadar mengapa dia kembali ke rumah: menyelamatkan album fotonya dari tempat penyimpanan di laci terbawah lemari keramik. “Semua baik-baik saja sekarang,” katanya berulang-ulang. “Semua baik-baik saja, baik-baik saja.” Dan, bagi Ma, semua memang baik-baik saja. Rumah yang dibangun ayahnya terselamatkan. Kedua putra kembarnya ada dalam pelukan. Album fotonya utuh dalam genggaman. Baru minggu lalu, aku memimpikan ibukuyang meninggal karena kanker payudara sejak 1987berdiri di dekat jendela kondominium tempatku tinggal bersama Joy, memandang kepadaku dan mengatakan janji dari masa lalu. “Semua baik-baik saja, baik-baik saja, baik-baik saja.” Kadang, selama Ma membuka dan menutup kembali album foto penuh sesak yang sangat dia sayangi itu, dua penjepit kuningan yang menyatukan sampul depan dan belakang akan bengkok dan patah, sehingga sebagian besar halaman album itu longgar dan akhirnya lepas. Album itu telah rusak selama bertahun-tahun, ketika pada Oktober 1986, Ma sendiri tubuhnya dibuka dan ditutup lagi di atas meja bedah Rumah Sakit Yale-New Haven. Setelah beberapa bulan selalu merasa lelah dan capai, dan menderita flu yang tak sembuh-sembuh, Ma menemukan benjolan di payudara kirinya. “Tak lebih besar dari penghapus pensil,” katanya kepadaku lewat telepon. “Tapi, Lena Anthony berkata sebaiknya aku pergi ke dokter, jadi aku pergi.”
Payudara kiri ibuku diangkat. Seminggu kemudian, dia diberi tahu bahwa kankernya telah menyebarke tulang dan limfa. Dengan keberuntungan dan terapi agresif, kata onkologis kepadanya, ibuku mungkin bisa bertahan enam hingga sembilan bulan lagi. Ayah tiriku, kakak kembarku, dan aku, berjuang sendiri-sendiri dengan perasaan kami tentang penyakit dan sakitnya Mahukuman mati yang diterimanya. Masing-masing kami berusaha, dengan cara kami masing-masing, untuk menebus perasaan kami pada Ma. Thomas mulai bekerja di ruang kesenian dan kerajinan di Rumah Sakit Jiwa Settle Building. Ketika Ma berbaring di rumah sakit, menjalani scaning dan pemeriksaan, juga diberi racun pembunuh kanker, Thomas menghabiskan berjam-jam merakit dan mengelem dan melapisi sesuatu yang bernama “kolase gado-gado”sebuah bentuk tak keruan yang terdiri dari kacang-kacangan, cincin pengait, kancing, makaroni, dan kacang polong kering yang membentuk tulisan: TUHAN = CINTA! Ketika diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Ma menggantung hiasan itu di dinding dapur, tempat ratusan bulatan lengket itu seakan-akan berdenyut hidupsebuah organisme di bawah mikroskop, molekul yang melompat-lompat di film sains. Melihat benda itu selalu membuatku kesal. Ayah tiriku memutuskan akan memperbaiki album Ma yang rusak, untuk pertama dan terakhir kalinya. Dia mengambil album itu dari laci lemari keramik dan membawanya ke garasi. Di sana dia memperbaikinya, menguatkan ikatan yang rusak dengan potongan lembaran aluminium dan baut baja kecil. “Sudah baik sekarang,” kata Ray kepadaku, memperlihatkan album yang sudah diperbaiki itu. Dia memegangnya sepanjang lengan dan membukanya ke arah bawah, menggerak-gerakkan sampulnya naik turun seakan sampul itu adalah sayap bebek buruannya yang tertangkap. Proyekku untuk ibuku yang sekarat adalah yang paling mahal dan ambisius. Aku akan merenovasi dapur era 1950-annya yang bernuansa pink, melapisi dinding semennya yang sudah retak, mengganti lemari-lemari yang berkeriut dengan yang modern, dan memasang meja di tengah dapur dengan oven dan kompor built-in. Kurasa aku mendapatkan gagasan itu karena ingin menunjukkan pada Ma bahwa aku adalah orang yang paling mencintainya ketimbang yang lain. Atau akulah yang paling bersyukur dari kami bertiga terhadap semua yang dilakukan Ma untuk kami. Atau aku adalah orang yang paling prihatin atas dirinya karena nasib telah memberinya, pertama-tama, suami yang pemarah, dan lalu seorang anak skizofrenik, kemudian nasib kembali menepuknya di bahu dan begitu saja memberinya kanker. Ternyata belakangan, yang kubuktikan hanya bahwa akulah orang yang paling kukuh menolak kenyataan. Jika aku mau repot-repot memberi Ma dapur baru yang mahal, maka sebaiknya dia hidup cukup lama untuk mengapresiasinya. Aku datang ke rumah ibuku di jajaran rumah kopel dari bata itu pada suatu Sabtu, pagi-pagi sekali, kurang dari seminggu setelah dia kembali dari rumah sakit. Ray secara terus terang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap proyekku dan langsung pergi dengan bersungut-sungut begitu aku tiba. Terlihat pucat dan berjalan perlahan, Ma memaksakan seulas senyum dan mulai mengeluarkan semua stoples dan barang-barangnya dari dapur ke tempat penyimpanan sementara. Dia mengamati dari pantry ketika aku memulai langkah pertama renovasiku, menempa pahatku dengan palu dan memasukkannya ke sela-sela lis dan dinding. Kulihat tangan Ma menggenggam di mulutnya, mengetuk dan mengetuk bibirnya. Diiringi bunyi retakan dan erangan paku yang terlepas dari dinding, lis selebar empat kaki terlepas dari dinding, memperlihatkan semen dan kayu juga balok tempat seseorang telah menuliskan catatan dan perhitungan di atasnya. “Lihat,” kataku, ingin menunjukkan pada ibuku tulisan yang kurasa adalah tulisan tangan ayahnya. Namun ketika berbalik, baru kusadari bahwa aku berbicara dengan pantry yang kosong. Saat itu aku tiga puluh enam tahun, belum setahun bercerai dan tidak bahagia.
Kadang tengah malam, aku masih berusaha meraih Dessa, dan ranjang kosong di sisiku akan membuatku terbangun. Kami menikah selama enam belas tahun. Aku menemukan ibuku duduk di ruang tamu, berusaha menyembunyikan air matanya. Album foto yang baru saja diperbaiki Ray ada di pangkuannya. “Ada apa?” Dia menggeleng, kembali mengetukngetuk bibir dengan genggamannya. “Aku tak tahu, Dominick. Kau teruskan saja. Hanya saja, dengan semua yang terjadi sekarang ini ….” “Ma tidak menginginkan dapur baru?” tanyaku. Pertanyaanku itu terdengar seperti ancaman. “Sayang, bukan berarti aku tidak menghargainya.” Dia menepuk tempat kosong di sebelahnya, di sofa. “Ke sini. Duduklah.” Masih berdiri, aku mengingatkan bahwa tentang dapurnya yang tak punya cukup kulihat di Kitchen Depotkompor yang Aku terdengar seperti pramuniaga yang ajaib di Kitchen Depot.
dia telah mengeluh selama puluhan tahun tempat. Aku menggambarkan kompor yang nyalanya rata terus, mudah dibersihkan. memanduku memasuki satu per satu ruangan
Ma berkata, dia tahu dapur baru akan sangat menyenangkan, tapi mungkin yang benar-benar dia butuhkan sekarang adalah agar semua hal tetap pada tempatnya. Aku duduk. Menghela napas. Kalah. “Jika kau ingin memberiku sesuatu,” katanya, “beri aku sesuatu yang kecil saja.” “Oke, baiklah,” sungutku. “Aku akan membuatkanmu kolase gado-gado seperti Thomas. Hanya saja, punyaku akan bertuliskan HIDUP ITU MENYEBALKAN. Atau YESUS KRISTUS SIALAN.” Ibuku adalah seorang wanita yang religius, dan kata-kataku itu sama saja dengan menusukkan pahatku ke jahitan lukanya. “Jangan bersikap sinis, Sayang,” katanya. Tiba-tiba saja, entah mengapa, aku menangisair mata dan sedu sedan yang tertahan mencekik tenggorokanku. “Aku takut,” kataku. “Apa yang kau takutkan, Dominick? Katakan padaku.” “Aku tak tahu,” kataku. “Aku takut untukmu.” Tetapi sebenarnya, diriku sendirilah yang kutakutkan. Mendekati usia empat puluh tahun, aku tak punya istri dan tak punya anak. Kini, aku juga akan kehilangan ibuku. Ditinggalkan dengan saudaraku yang gila dan Ray. Ma mengulurkan tangan dan mengelus lenganku. “Sayang,” katanya, “ini memang menakutkan. Tapi, aku menerimanya karena inilah kehendak Tuhan untukku.” “Kehendak Tuhan,” ulangku, tetap sinis. Aku menarik lengan bajuku, mengusapkannya ke mata dan berdehem membersihkan tenggorokanku. “Beri aku sesuatu yang kecil,” ulang Ma. “Kau ingat, musim semi lalu saat kau mampir dan berkata, ‘Hai Ma, masuk ke mobil dan aku akan mentraktirmu minum hot fudge sundae?’ Itu adalah hal yang kusukai. Mampirlah ke rumah, itu saja. Melihat-lihat album ini denganku.” Terselip di bagian dalam sampul album ibuku adalah dua gambar Thomas dan aku yang digunting empat puluh tahun lalu dari Three Rivers Daily Record. Kliping
berita yang dilipat itu sudah berwarna cokelat dimakan usia, terasa kering dan ringan seperti kulit mati. Di foto pertama, kami masih bayi keriput, tubuh kami yang mengenakan popok saling membentuk tanda petik. KEMBAR IDENTIK LAHIR PADA TAHUN LAMA, DAN TAHUN BARU, demikian judul berita itu dan seterusnya menerangkan bahwa Thomas dan Dominick Tempesta lahir di Daniel P. Shanley Memorial Hospital tanggal 31 Desember 1949 dan pada 1 Januari 195D, secara berurutan dengan jarak waktu enam menit dan pada tahun yang berbeda. (Artikel tersebut tidak menyebutkan ayah kami dan mengatakan bahwa ibu kami yang tak disebutkan namanya “baik-baik saja”. Kami adalah anak haram; kelahiran kami pasti akan diabaikan oleh koran kalau saja kami bukan bayi tahun baru.) “Thomas kecil lahir pertama, pada pukul 23.57,” tulis berita itu. “Adiknya Dominick menyusul pada pukul 00.03. Mereka berdua membagi paruh awal dan paruh akhir abad kedua puluh.” Dalam kliping berita kedua, tertanggal 24 Januari 1954, kakakku dan aku telah menjadi Thomas dan Dominick Birdsey. Kami mengenakan topi pelaut yang sama dan jaket wol hijau muda dan memberi hormat kepada pembaca Daily Record. Mamie Eisenhower berjongkok di antara kami berdua, lengannya yang memakai mantel bulu mink merangkul pinggang kami. Mrs. Eisenhower dengan rambutnya yang pendek dan topi berbunga, tersenyum ke arah kamera. Sementara Thomas dan aku, berusia empat tahun, memandang ke arah kamera dengan tatapan bingung dan patuh. Gambar ini diberi judul IBU NEGARA MENDAPAT PENGHORMATAN GANDA. Pada hari musim dingin itu, sang istri presiden sedang ada di Groton, Connecticut, untuk memecahkan sebotol sampanye di USS Nautilus, kapal selam bertenaga nuklir pertama di Amerika. Keluarga kami berdiri di tengah kerumunan di bawah panggung kehormatan, mendapat tiket untuk menjadi tamu resmi karena pekerjaan ayah tiri kami sebagai pemasang pipa di Electric Boat. EB dan Angkatan Laut bekerja sama membangun Nautilus, harapan terbesar Amerika untuk mengalahkan Komunisme. Menurut cerita ibuku, pagi itu dingin dan berkabut, tetapi tepat ketika acara peresmian kapal selam akan dimulai, matahari tiba-tiba muncul dan menerangi perayaan itu. Ma sebelumnya berdoa kepada St. Anne agar diberikan cuaca bagus, dan dia melihat kemunculan matahari yang tiba-tiba ini sebagai keajaiban kecil, sebuah pertanda yang menegaskan apa yang sudah diketahui semua orang: bahwa Surga ada di pihak kami, Surga ikut memerangi Komunisme tak bertuhan yang ingin menaklukkan dunia dan meledakkan Amerika hingga berkeping-keping. “Itu adalah hari paling membanggakan dalam hidupku, Dominick,” kata Ma padaku pagi itu ketika aku baru saja mulai, lalu menghentikan, renovasi dapurnya, dan malah duduk di sebelahnya melihat album bersamanya. “Melihat kalian berdua bersama istri presiden. Aku mengingat hari itu seperti baru terjadi kemarin. Mamie dan beberapa istri admiral ada di atas panggung VIP, melambai ke arah kerumunan, dan aku berkata pada ayah kalian, ‘Lihat, Ray. Ia menunjuk langsung ke anak-anak!’ Ia berkata, ‘Yang benar saja. Mereka hanya bergaya.’ Tetapi, aku yakin bahwa dia melihat kalian berdua. Itu selalu terjadi. Orang-orang selalu memerhatikan anak kembar. Kalian berdua selalu spesial.” Kenangan bahagianya akan hari-hari yang telah lalu menguatkan suaranya, dan memberikan semangat pada gerakannya. Masa lampau, foto-foto tua, terang matahari yang tiba-tiba menyorot dari jendela depan; gabungan semua itu membuatnya senang dan kurasa sedikit menghilangkan rasa sakit yang dia rasakan “Lalu, tiba-tiba saja, kita berempat sudah mengikuti beberapa pria dari Dinas Rahasia menuju ruang duduk di Klub Perwira. Ray masuk dengan percaya diri tentunya, tetapi aku sangat takut. Kukira kita akan mengalami masalah atau sejenisnya. Ternyata, kita masuk atas perintah Mrs. Eisenhower. Dia ingin difoto bersama kedua anak lelakiku!
“Dan mereka juga memperlakukan kita seperti orang terhormat. Ayahmu minum koktail bersama Admiral Rickover dan beberapa perwira berpangkat tinggi lainnya. Mereka menanyakan padanya tentang saat ketika dia masih di militer. Lalu, seorang pelayan membawakan kalian berdua soda jeruk dingin dalam gelas yang hampir setinggi kalian berdua. Aku takut sekali kalau-kalau salah seorang dari kalian menumpahkan soda ke baju Mamie.” “Apa yang Ma minum bersamanya?” candaku. “Wiski dan bir?” “Oh, Sayang, aku sama sekali tak minum apa-apa. Aku benar-benar gugup berdiri begitu dekat dengannya. Dia memesan Manhattan, seingatku, dan beberapa biskuit crackers dengan selai. Dia sangat ramahdan tidak sombong. Dia bertanya padaku apakah aku sendiri yang menjahit baju pelaut yang kau pakai bersama Thomas. Dia bercerita padaku bahwa dia kadang masih merajut saat melakukan perjalanan bersama Presiden, tetapi dia tak berbakat menjahit. Ketika dia berjongkok untuk difoto bersama kalian berdua, dia bercerita pada kalian tentang cucu laki-lakinya yang sedikit lebih tua dari kalian. David Eisenhower maksudnya. Suami Julie Nixon. Camp David.” Ma menggelengkan kepalanya dan tersenyum, masih tak percaya semua itu terjadi. Lalu, dia mengambil selembar Kleenex dari lengan baju mandinya dan mengusap matanya. “Kakek kalian pasti tak akan percaya,” katanya. “Pertama, dia datang ke negara ini dengan saku baju berlubang, dan yang kemudian terjadi adalah dua cucu laki-lakinya berteman dengan First Lady Amerika Serikat. Papa pasti sangat bangga akan itu. Dia akan sombong seperti seekor merak.” Papa. Domenico Onofrio Tempestakakekku dari pihak ibu, asal namakuadalah figur sentral di album fotonya sekaligus dalam hidupnya. Papa meninggal pada musim panas 1949, tanpa menyadari bahwa anak perempuannya yang berusia tiga puluh tiga tahun yang merawat rumahnyaanaknya satu-satunyasedang mengandung anak kembar. Ketika kami tumbuh besar, kakakku dan aku mengenal Papa sebagai teladan sempurna berwajah kaku dengan pencapaian cemerlang, tokoh utama dari beberapa lusin foto menguning, bintang dari ratusan anekdot. Setiap kisah yang diceritakan Ma pada kami tentang Papa menekankan pesan bahwa dia adalah sang bos, dia menguasai rumah, bahwa apa yang dia katakan itulah yang terjadi. Papa beremigrasi ke Amerika dari Sisilia pada 1901 dan berhasil maju karena dia pintar menggunakan uangnya dan tidak takut bekerja keras, sungguh kami sangat beruntung! Dia membeli tanah seluas seperempat hektar dari seorang janda petani dan menjadi imigran Italia pertama yang memiliki tanah di Three Rivers, Connecticut. Papa menaungkan atap di atas kepala kami, membangun “dengan kedua tangannya sendiri” rumah bata Victoria di Hollyhock Avenue, tempat kami tinggal saat kanak-kanaktempat ibuku tinggal sepanjang hidupnya. Papa memiliki kemauan baja dan keras kepalasifat yang sangat diperlukan untuk membesarkan seorang anak perempuan “sendirian”. Jika kami pikir Ray itu kaku, semestinya kami mengenal Papa! Suatu ketika, saat Ma masih kecil, dia merengek tak mau makan telur goreng untuk makan malam. Papa membiarkannya merengek dan merengek, lalu tanpa berkata sepatah pun, meraih ke depan dan mendorong kepala Ma ke piringnya. “Kuning telur menempel di rambutku dan di ujung hidungku dan bahkan bulu mataku. Aku menangis keras sekali. Setelah malam itu, aku selalu makan telurku dan tak pernah rewel lagi!” Kali lain, ketika Ma masih remaja dan bekerja di toko Rexall, Papa menemukan sebungkus rokok rahasia milik Ma dan langsung pergi ke toko obat itu, memaksa Ma memakan salah satu rokok Pali Malinya. Tepat di depan para pelanggan dan bosnya, Mr. Chase. Dan Claude Sminkey, penjaga mesin soda yang ditaksir setengah mati oleh Ma. Setelah Papa pergi, Ma berlari keluar dan muntah di trotoar, menjadi tontonan para pejalan kaki. Dia keluar kerja, dan
merasa sangat malu pada dirinya sendiri. Tetapi dia tak pernah merokok lagibahkan tak pernah menyukai bau rokok setelah itu. Papa benar-benar membuatnya kapok. Ma telah melanggar aturan ayahnya dan lalu menyesalinya. Jelas bahwa Papa tidak mau orang yang tinggal di rumahnya main sembunyi-sembunyi dari dirinya. Tiba-tiba, di tengah kebersamaan kami melihat-lihat album foto itu, Ma menyuruhku menunggu. Dia ingin mengambil sesuatu. Desah kesakitan pelan terdengar dari mulutnya saat dia berdiri dan menuju tangga. “Ma, apa pun itu, biar aku yang mengambilkan-nya untukmu,” kataku. “Tak apa-apa, Sayang,” sahutnya dari tangga. “Aku lebih tahu pasti di mana tempatnya.” Aku membuka-buka lembaran album saat menungguseolah melihat film yang terpotong-potong dan tak sempurna tentang keluargaku. Tiba-tiba aku sadar bahwa ibuku telah menyusun album ini sebagai rekaman perjalanan hidup ayahnya, Thomas, dan aku. Orang-orang lain hanya muncul di belakang layar: Ray, Dessa, pasangan Anthony di seberang jalan, Tusia bersaudara dari sebelah. Akan tetapi, kakekku, kakakku, dan aku, adalah bintang album ibuku. Ma sendiri, malu difoto dan merasa malu akan bibirnya yang sumbing, hanya muncul dua kali dalam album foto keluarga. Di foto pertama, dia adalah salah satu anak di barisan murid sekolah berwajah masam yang berpose di depan St. Mary of Jesus Christ Grammar School. (Dua tahun lalu, gereja menjual bangunan sekolah yang lapuk itu kepada sebuah developer dari Massachusetts yang mengubahnya menjadi apartemen. Aku ikut tender untuk pengecatan bagian dalam, tetapi dikalahkan oleh Paint Plus.) Di foto kedua, Ma berumur sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Dia berdiri di samping ayahnya yang jangkung di depan beranda rumah di Hollyhock Avenue, mengenakan gaun seperti karung dan wajah kaku sesuai dengan wajah Papa. Di kedua foto tersebut, ibuku menutupkan tangan di depan wajahnya untuk menutupi mulutnya yang cacat. Rupanya itu adalah gerakan tubuh yang telah dia pelajari sejak lama dan dia praktikkan sepanjang hidupnya: menyembunyikan bibirnya yang sumbing dengan tangan kanannyapermintaan maaf tak henti-hentinya pada dunia karena sebuah cacat sejak lahir yang tak bisa dia tolak. Bibir atasnya, sumbing tepat di bagian kiri gigi seri atas, menampakkan satu setengah sentimeter gusi dan mengesankan seolah dia selalu mengejek. Tetapi, Ma tak pernah mengejek. Dia meminta maaf. Dia menutupkan tangan di depan mulutnya bahkan di depan penjaga toko dan penjual keliling, untuk tukang pos dan guru yang datang pada hari berkunjung ke rumah, di depan para tetangga, suaminya, dan bahkan kadang pada dirinya sendiri ketika dia duduk di ruang tamu menonton TV dan bayangannya tampak di layar. Ibuku hanya sekali menyinggung bibirnya yang sumbing, suatu hari pada 1964 ketika dia duduk di hadapanku di ruang praktik dokter mata. Sebulan sebelumnya, guru aljabarku di kelas sembilan menyarankan pada ibuku agar mataku dites setelah memergokiku menyipitkan mata saat melihat ke papan tulis. Namun, aku menolak. Kacamata hanya untuk anak pintar, untuk pecundang, dan anak aneh. Aku gusar karena Thomas tidak menderita miopia jugajadi, meskipun kembar, dia tak harus ikut-ikutan memakai kacamata jelek seperti aku. Padahal, dia-\ah anak aneh itu, si kutu buku. Dia yang seharusnya terkena rabun jauh. Jika Ma tetap memaksaku memakai kacamata, kataku padanya, aku tetap tak akan memakainya. Namun, Ma bilang kepada Ray, dan Ray mengeluarkan salah satu ultimatum makan malamnya. Jadi, aku pergi ke Dr. Wisdo, bertingkah seburuk yang kubisa, dan sengaja gagal membaca tulisan yang ditempel di dinding. Dua minggu kemudian, bingkai kacamata hitamku yang terbuat dari plastik sedang dipas di wajahku di ruang praktik berpenerangan fluoresen dengan cer-min yang terlalu banyak. “Kurasa kacamata itu membuatmu terlihat tampan, Dominick,” hibur Ma. “Terhormat.
Ia terlihat seperti Ray Milland muda. Iya kan, Dokter?” Dr. Wisdo tidak menyukaiku karena kelakuanku yang buruk saat kunjungan pertama dahulu. “Yah gumamnya enggan, “kalau Anda bilang begitu, sih.” Semua ini terjadi ketika aku mengalami demam pubertas dan Beatle-mania. Musim panas sebelumnya, di lapangan basket di Fitz Field, seorang anak bernama Billy Grillo menunjukkan padaku dan Marty Overturf setumpuk buku stensilan kisut terkena hujan yang dia temukan di taman dalam sebuah tas plastik: Sensuous Sisters, Lusty Days & Lusty Nights, The Technician of Ecstasy. Aku mengambil dua buku yang basah oleh embun itu dan membawanya ke meja piknik tempat aku membaca halaman per halamannya yang sudah mulai memudar, terpesona sekaligus jijik membaca hal-hal yang dilakukan pria pada wanita, hal-hal yang dilakukan wanita pada diri mereka sendiri, dan pada satu sama lain. Semua itu membuatku ternganga. Hari itu aku pulang dari main basket, menjatuhkan diri ke ranjang dan tertidur, dan terbangun di tengah-tengah mimpi basahku yang pertama. Tak lama setelah itu, The Beatles muncul di acara Ed Suiiivan. Di balik pintu kamar mandi yang terkunci, aku mulai menyisir poniku ke depan dan membayangkan fantasi tentang gadis-gadis yang menjeritjerit melihat The Beatlesapa yang bisa dilakukan gadis-gadis itu padaku dan apa yang aku lakukan pada mereka. Jadi, tampak mirip Ray Milland, salah satu bintang film lama favorit ibuku, adalah hal terakhir yang kuinginkan. “Bisa diam nggak, sih?” kataku pada Ma, tepat di depan Dr. Wisdo. “Hei, hei, hei, sudahlah. Sudah cukup,” protes Dr. Wisdo. “Anak macam apa yang bilang ‘Diam’ pada ibunya sendiri?” Ma menutupkan tangannya di depan mulut dan mengatakan pada dokter bahwa dia tak apa-apa. Aku cuma kecewa. Ini bukanlah aku yang sebenarnya. Memangnya Ma tahu siapa aku sebenarnya, senyumku sinis dalam hati. Dr. Wisdo berkata bahwa dia harus keluar ruangan beberapa saat dan ketika dia kembali, dia berharap aku sudah minta maaf pada ibuku yang malang. Selama beberapa saat, tak satu pun dari kami yang mengatakan sesuatu. Aku cuma duduk di sana, tersenyum sinis penuh perlawanan pada ibuku, merasa menang sekaligus merasa buruk. Lalu Ma mengejutkanku. “Kau pikir kacamata itu buruk,” katanya. “Coba kalau kau seperti aku. Setidaknya kau masih bisa melepas kacamatamu.” Aku langsung tahu yang dimaksudkan ibuku bibir sumbingnyatetapi penyebutannya yang tiba-tiba itu menghantamku seperti bola salju yang tepat mengenai mata. Dari semua topik terlarang di rumah kami, dua hal yang paling terlarang adalah identifikasi ayah biologis Thomas dan aku, dan cacat ibuku. Kami tak pernah bertanya tentang keduanyakarena kami telah diajari untuk tidak bertanya dan menghormati kebungkaman yang hampir-hampir suci itu. Kini, Ma sendiri melanggar satu dari dua aturan tertinggi. Aku melengos, terkejut, malu, tapi Ma tak berhenti bicara. “Suatu kali,” katanya, “seorang anak laki-laki, anak jahat bernama Harold Kettlety, mulai memanggilku ‘Muka Kelinci’. Aku tak melakukan apa pun padanya. Tak satu pun. Aku belum pernah mengganggu siapa punaku bahkan takut pada bayanganku sendiri. Suatu hari, tiba-tiba dia memikirkan nama itu dan menurutnya itu lucu. ‘Halo, Muka Kelinci,’ bisiknya padaku dari kursi sebelah. Tak lama, beberapa anak laki-laki lain mengikutinya. Mereka sering mengejarku saat istirahat dan memanggilku ‘Muka Kelinci’.” Aku duduk terdiam, menggoyang-goyangkan kakiku, ingin ibuku
berhentimengharapkan Harold Kettlety masih anak-anak sehingga aku bisa menemukan dia dan merobek wajahnya. “Jadi, aku mengadu pada guru, dan dia menyuruhku menghadap kepala sekolah, Mother Agnes namanya. Dia sangat tegas.” Jemari Ma menarik-narik tali buku sakunya sembari berbicara. “Kepala sekolah mengatakan agar aku berhenti membesar-besarkan masalah. Aku justru memperburuk keadaan, katanya, dengan membuat masalah ini diketahui semua orang. Aku sebaiknya mengabaikannya saja …. Lalu, lebih banyak anak laki-laki mengejekku, bahkan anak laki-laki dari kelas lain. Hingga semua menjadi sangat buruk, membuatku sering sesak napas sebelum pergi ke sekolah setiap pagi. Di rumah kita, kau tidak bisa tak masuk sekolah karena sakit kecuali kau menderita campak atau cacar air. Itu adalah hal yang paling tidak disukai Papaaku tinggal seharian di rumah, tidak sekolah karena beberapa anak menyebalkan mengolok-olokku.” Aku ingin ibuku berhenti. Aku tak ingin mendengar luka dalam suaranyamelihat bagaimana dia meremas dan memelintir tali buku saku itu. Jika ibuku terus bicara, mungkin dia akan menyerah dan menceritakan semuanya padaku. “Aku tak mengerti bagaimana cerita cengeng ini ada hubungannya denganku,” kataku. “Bagaimana kalau langsung saja katakan apa maksudmu sebelum aku mati ketuaan?” Ibuku langsung diam, dan kurasa dia terdiam mengetahui kenyataan bahwa anaknya sendiri bergabung dengan Harold Kettlety. Dalam perjalanan pulang dari dokter mata, aku memilih duduk di kursi belakang dan tidak bicara pada ibuku. Dalam perjalanan, aku mengeluarkan kacamata baruku dari kotak plastik cokelatnya, membersihkan lensanya dengan kain bersilikon, dan memakainya. Aku memandang ke luar jendela, diam-diam terkagum-kagum oleh pemandangan dunia yang lebih tajam dan jernih daripada yang kuingat. Aku tidak mengatakan apa pun tentang ini, tidak meminta maaf, dan tak berusaha menebus kesalahanku pada ibuku. “Ma menangis di bawah,” kata Thomas padaku di kamar kami kemudian. Aku sedang latihan angkat berat, melepas kemeja, memakai kacamata. “Terus, memangnya aku harus apa?” kataku. “Memegang kain lap di depan hidungnya?” “Cobalah bersikap baik padanya,” katanya. “Dia ibumu, Dominick. Kadang, kau memperlakukan dia seperti tai.” Aku memandang diriku di cermin kamar kami sembari mengangkat beban, mengamati otot-ototku yang mulai terbentuk dan yang sekarang bisa kulihat lebih jelas karena kacamataku. “Kenapa tidak kau katakan saja kata itu daripada mengejanya,” sambarku sinis. “Langsung saja. Bilang ‘tai1. Buat dirimu merasa senang.” Thomas sedang mengganti pakaian sekolahnya ketika kami bicara. Kini dia berdiri, tangan di pinggang, hanya mengenakan celana, kaus kaki, dan leher turtieneck palsu yang populer di kalangan anak-anak sok baik di sekolah kami. Thomas punya empat atau lima jenis barang macam itu dengan warna berbeda. Ya ampun, aku benci leher turtieneck palsu itu. Aku memandang kami berdua, berdampingan, di cermin. Di sebelahku, Thomas kelihatan seperti badut kurus. Mr. Pep Squad Captain. Tuan Sok Baik. “Aku serius, Dominick,” katanya. “Kau sebaiknya memperlakukan Ma dengan baik atau aku akan bilang Ray. Aku pasti bilang. Jangan kira aku nggak berani.” Itu adalah omong kosong dan kami berdua tahu itu. Aku meraih lempengan barbelku, menambah beban ekstra pada pegangannya dan
mengangkatnya. Gombal. Anak banci sok baik. “Oh, ya ampun, aku takut,” ejekku padanya. “Aku takut banget, hingga pengin eek di celana.” Thomas berdiri diam, seperti Ma, tatapannya yang sebal luluh menjadi penuh pengampunan. “Cobalah sedikit tenang, aku cuma mau bilang itu, Dominick,” katanya. “Ngomong-omong, aku suka kacamatamu.” Ketika Ma kembali menuruni tangga pada hari ketika aku urung merenovasi dapurnya, dia membawa sebuah brankas metal abu-abu. Aku meletakkan album foto, berdiri dan berjalan ke arahnya. “Ini, Sayang,” katanya. “Ini untukmu. Huh, berat juga.” “Ma, tadi kan aku bilang, biar kuambilkan.” Aku mengambil brankas itu darinya. “Apa sih, isinya?” “Buka dan lihatlah,” katanya. Ma menempelkan kunci di salah satu sisi kotak itu; aku mencandainya tentang inikukatakan, untung dia tidak bekerja di Fort Knox. Dia memandang jari-jariku melepas isolasi, memasukkan kunci ke lubang dan memutarnya. Dalam keseriusannya menungguku membuka brankas itu, Ma bahkan tak mendengar guyonanku. Di dalam kotak itu ada sebuah amplop manila besar melengkung di atas kamus kecil tak bersampul, diikat dengan karet gelang yang langsung putus begitu kusentuh. Dalam amplop itu terdapat setumpuk kertas tebalseperti sebuah manuskrip. Sepuluh hingga lima belas halaman pertama ditiklembaran asli dan salinan karbon. Sisanya ditulis dalam tulisan tangantulisan tangan yang lancip-lancip dan tak beraturan dengan tinta bolpoin biru. “Ini bahasa Italia, kan?” tanyaku. “Apa ini?” “Kisah hidup ayahku,” jawab Ma. “Dia mendiktekannya pada musim panas ketika dia meninggal.” Saat aku membalik-balik lembaran-lembaran itu, aroma kertas yang tua dan lapuk tercium hidungku. “Mendiktekan kepada siapa?” tanyaku padanya. “Padamu, Ma?” “Bukan dong,” katanya. Apa aku masih ingat keluarga Mastronunzios dari gereja? Tootsie dan Ida Mastronunzio? Ibuku selalu begitu: menganggap bahwa database ingatanku tentang semua orang Italia di Three Rivers sama besar dengan ingatannya. “Hmm …,” gumamku Aku pasti ingat, Ma ngotot. Mereka punya mobil putih besar yang selalu mereka bawa ke Misa? Ida bekerja di binatu? Berjalan sedikit pincang? Yah, pokoknya, Tootsie punya sepupu yang datang dari Italia setelah perang. Angelo Nardi, itu namanya. Dia dulu adalah seorang juru steno di pengadilan Palermo. “Dia juga tampansangat memesona. Dia sedang mencari kerja.” Ayah Ma telah lama mengatakan betapa dia ingin suatu hari duduk dan menceritakan kisah hidupnya agar bisa menjadi pelajaran bagi para sisiliani lainnya. Dia beranggapan bahwa anak muda di Old Country pasti ingin membaca bagaimana salah seorang dari mereka berhasil datang ke Amerika dan sukses. Berhasil membuat kemajuan. Papa berpikir kisahnya pasti bisa memberikan inspirasi pada mereka untuk melakukan hal yang sama. Jadi, ketika bertemu dengan sepupu Tootsie itu pada suatu hari di Italian Club, dia memunculkan gagasan besarnya. Dia akan menceritakan kisahnya pada Angelomeminta Angelo menuliskannya, lalu mengetiknya. Proyek tersebut dimulai secara besar-besaran, menurut ibuku. “Berhati-hati dengan uang” selama hidupnya, Papa kini tak membatasi pengeluaran untuk autobiografi inspirasionalnya yang pertama. Dia mengeluarkan beberapa perabot
dari ruang duduk dan menyewa mesin tik untuk Angelo. “Semua oke-oke saja dalam dua hari pertama,” kata Ma. “Tetapi setelah itu, datang masalah.” Papa memutuskan, dia tak bisa menceritakan kisahnya secara bebas dengan adanya Angelo di ruangan bersamanyamenurutnya, dia akan ingat semuanya dengan lebih baik apabila dia sendirian. “Jadi, yang terjadi berikutnya, Papa menelepon sejumlah perusahaan penyedia peralatan menelepon interlokal,yang hampir-hampir tak bisa kupercaya, Dominick, karena dia bahkan tak pernah menelepon sepupunya di Brooklyn untuk mengucapkan Selamat Natal atau Paskah. Merekalah yang selalu harus menelepon kami tiap tahun karena Papa tak ingin membuang uangnya. Tetapi untuk proyeknya ini, dia menelepon ke sana kemari. Akhirnya, dia menyewa sebuah mesin Dictaphone dari sebuah tempat di Bridgeport.” Ma menggelengkan kepala, masih terheran-heran hingga kini. “Gila, kalau saja kau lihat alat itu ketika sampai di sini! Aku hampir jatuh karena terkejut pada hari mereka menggotong alat itu masuk rumah.” Dua mesin dinaikkan di kereta beroda, katanyasatu untuk orang yang mendikte dan satunya lagi untuk stenografer yang pertama-tama mengubah rekaman menjadi coretan-coretan kemudian mengetiknya. Mereka mendirikan alat itu di ruang duduk depan dan memindahkan mesin tik Angelo ke kamar tamu. “Angelo yang malang,” kata Ma. “Kurasa dia tak tahu apa yang akan dia hadapi.” Awalnya, Angelo maupun Papa tak tahu bagaimana menjalankan Dictaphone, kata Ma. Mereka mencoba dan mencoba. Seharian penuh Papa menyumpah-nyumpah! Dia akhirnya menyuruh Angelo naik bus ke Bridgeport untuk belajar bagaimana menjalankan alat bodoh itu. “Padahal, orang itu hampir-hampir tak bisa bahasa Inggris, Dominick. Lagi pula, dia baru saja datang dari Old Country. Tetapi bagaimanapun, dia berhasil kembali, dan dia tahu bagaimana menjalankan alat itu membuatnya berfungsi. “Setiap pagi, Angelo mempersiapkan semua, lalu dia harus meninggal-kan Papa sendiri. Itulah aturannya. Papa tak mau mendiktekan satu kata pun hingga dia sendirian. Angelo biasanya datang ke dapur dan menunggu. Jadi, akhirnya aku kenal dia sedikit. Dia pria yang baik, Dominick, dan sangat tampan. Aku biasanya membuatkan dia kopi dan kami berbincang tentang ini itutentang hidupnya dulu di Palermo, keluarganya. Aku sering membantu bahasa Inggrisnya. Dia juga pintar lho; kau menjelaskan sesuatu kepadanya dan dia akan langsung mengerti. Kau bisa tahu bahwa dia bakal sukses.” Dictaphone itu punya pita plastik merah, kata Ma; tempat suara direkam, kalau dia tak salah ingat. Papa biasanya duduk di dekat mesin itu selama dua atau tiga jam setiap kali dan lalu, kalau sudah selesai, dia akan memanggil Angelo dan Angelo harus segera berlari datang. Angelo kemudian mendorong kereta Dictaphone itu ke kamar belakang tempat mesin tik diletakkan. Mendengarkan apa yang terekam di pita tersebut dan mencatatnya dalam steno. Lalu dia mengetiknya. “Tetapi kau tahu, ayahku benci suara mesin tik. Dia tak ingin mendengar cekiak-cekiik mesin tik setelah dia selesai mendikte. Semua upayanya mengingat masa lalu itu membuat dia gampang marah.” “Aku tidak mengerti,” kataku. “Mengapa dia tidak mendiktekannya saja langsung?” “Aku tak tahu. Gugup kurasa.” Ma mengulurkan tangan dan menyentuh manuskrip itumengusapkan jemarinya di atas kata-kata ayahnya. Dia sendiri tak berani mendekati ruang duduk ketika Papa berbicara pada Dictaphone. Papa sangat serius tentang itu. Dia bahkan mungkin menembak Ma kalau berani mendekat. Ma mengatakan bahwa sistem rumit yang dirancang ayahnya itustenografer, Dictaphone, ruang pribadi untuk pendikte dan yang didikteberjalan lancar selama seminggu, lalu sistem itu kemudian juga berantakan. Pertama-tama, ada
salah paham tentang harga sewa peralatan itu. Papa mengira dia membayar delapan dolar per minggu untuk sewa Dictaphone, tetapi ternyata kemudian dia harus membayar delapan dolar per hari. Empat puiuh dolar seminggu! “Jadi, dia bilang persetan pada perusahaan rental itu, lalu dia dan Angelo mendorong kereta Dictaphone ke beranda depan. Mesin itu dibiarkan di luar selama dua hari penuh sebelum akhirnya seseorang datang dari Bridgeport dan mengambilnya. Aku sangat ketakutan ketika mesin-mesin itu berada di luar. Aku bahkan tak bisa tidur. Bagaimana jika hujan? Bagaimana jika seseorang datang dan mencurinya? “Tetapi akhirnya, Papa kembali mendiktekan kisahnya langsung ke Angelo. Namun, itu juga tak berjalan lebih baik daripada waktu pertama kali. Bahkan, menjadi semakin buruk. Papa mulai menuduh Angelo mengorek-ngorek urusan pribadinyamemintanya menjelaskan bagian ini atau itu ketika Papa sudah menceritakan seperti yang dia ingin ceritakan dan tak mau lebih detail lagi. Ya, ayahku memang bisa sangat keras kepala. Dia mulai menuduh Angelo yang malang mengubah beberapa hal yang telah dia kisahkansengaja memberikan kesan negatif pada ayahku. Angelo akhirnya kapok, pria yang malang. Mereka berdua mulai bertengkar seperti kucing dan anjing.” Sekitar pertengahan Juli, Papa memecat Angelo, kata ibuku. Lalu, setelah beberapa hari, dia menjadi tenang dan menyewanya kembali. Tetapi setelah beberapa hari Angelo kembali, Papa memecatnya lagi. Ketika Papa berusaha menyewanya kembali, Angelo menolak. “Dia pindah tak lama setelah itu,” kata Ma. “Ke barat, ke daerah Chicago. Dia menulis satu surat padaku dan aku membalasnya, cuma itu. Tetapi setelah masalah dengan Angelo dan Dictaphone dan semuanyasemua omong kosong ituPapa akhirnya pergi ke halaman belakang dan menuliskan semua kisahnya sendiri. Dia menulis hingga akhir musim panas itu. Dia menaiki tangga belakang tiap pagi, setiap habis sarapan, kecuali saat hujan atau saat dia merasa tidak enak badan. Dia biasanya duduk di depan meja besinya dengan kertas dan bolpoinnya. Menulis, sendirian.” Aku membuka lagi lembaran-lembaran manuskrip berdebu itusekian banyak halaman penuh dengan kata-kata asing. “Ma pernah membacanya?” tanyaku pada Ma. Ma menggeleng. Kontak mata kami terlepas. “Mengapa tidak?” “Oh, aku tak tahu, Dominick. Aku m